Jurnal LoroNG Vol 3, No. 1 November 2013 (LKP2M UIN Maliki Malang)

Page 1





Daftar Isi ISSN 1819-2945 Pelindung Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si. Penasehat Dr. H. M. Zainuddin, M.Ag. Dr. Sugeng Listyo Prabowo, M.Pd. Dr. H. Agus Maimun, M.Pd. Konsultan Ahli Dr. Mujaid Kumkelo, M.H. Dr. Ach. Nashichuddin, M.Ag. Penanggung Jawab Agung Prasetyo (Direktur LKP2M 2013) Pemimpin Redaksi Muhammad War’i Redaksi Ahli Fauzi A. Muda Ahmad Makki Hasan, S.Hum. Anggah Teguh Prastyo, M.Pd. Bayu Tara Wijaya, S.Si. Redaktur Pelaksana Taufiquddin Sekretaris Redaksi Finayatul Maula Bendahara Redaksi Siti Lailatul Hajar Staf Redaksi Ichmi Yani Arinda Rohma Hilwin Nisa’ Muhammad N. Hasan Design & Layouter Munawar Afandi Dearga Sukaria Distributor All Redaksi LoroNG Journal of Social Cultural Studies, jurnal ilmiah mahasiswa yang diterbitkan sebagai media pengkajian sosial budaya yang berkehendak menjadi kawah candra dimukanya teman-teman mahasiswa, dan pengkajian sosial budaya di tengah kelesuan tradisi tulis di kalangan akademisi. Berisi tulisan ilmiah popular, hasil penelitian, gagasan orisinil yang kritis dan segar serta book review. Terbit berkala tiap enam bulanan oleh Lembaga Kajian, Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa (LKP2M) Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Sapa Redaksi Sinergisitas Pendidikan dan Budaya dalam Membentuk Karakter Bangsa Muhammad War’i ~ 5

Artikel Fokus LoroNG Pelestarian Wayang Kulit sebagai Alternatif Pemerkuat Jati Diri Bangsa Hilwin Nisa’ ~ 9

Konstribusi Pesantren dalam Memfilter Modernisasi Sosial Budaya Masyarakat Muhammad N. Hassan ~ 17

Jam Karet dan Tradisi yang Membudaya Siti Laitatul Hajar ~ 29

Pendidikan Pesantren, Sholihun Likulli Zaman Wa Makan Tina Siska Hardiansyah ~ 41

Internalisasi Budaya Nusantara dalam Pendidikan menuju Kepemimpinan Ideal Muhammad War’i ~ 51

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam Membentuk Perilaku Peserta Didik Gencar S. Perkasa ~ 59

Riset LoroNG Pendidikan Anti Korupsi Berbasis Keluarga, Menyongsong Indonesia Emas 2045 Nafisatul Wakhidah ~ 81

Ritual “Bersih Desa” dalam Arus Modernisasi (Studi Pelestari Budaya di Desa Dinoyo, Malang) Ichmi Yani Arinda Rohmah ~ 97

Metode Tabulasi Wazan (Inspirasi Belajar Shorof Mudah dan Praktis) Agung Prasetiyo ~ 105

Analisis Vegetasi dan Pendugaan Cadangan Karbon Tersimpan pada Tanggul Lumpur Lapindo Bagus Setiawan ~ 115

Book Review LoroNG Asketisme Hidup Orang Jawa Finayatul Maula ~ 127



ď Ť Sinergisitas Pendidikan dan Budaya dalam Membentuk Karakter Bangsa Sapa Redaksi Masih segar dalam ingatan peristiwaperistiwa memilukan dalam pendidikan kita yang semakin menjamur dewasa ini. Anarkisme pelajar, seks bebas, dan beragam fenomena sosial memilukan lainnya yang menjadi warna buram masa depan pendidikan bangsa. Sudah banyak wacana maupun alternatif-alternatif dikemukakan para ahli dalam rangka membendung, merekonstruksi maupun merevitalisasi sistem pendidikan kita. Pertanyaannya masih sama, apa yang salah dengan pendidikan kita?

Dalam bukunya “Dunia yang Dibalik�, karya Amir Filiang, salah satu yang menyebabkan degradasi moral manusia adalah kemajuan teknologi yang berimplikasi pada sikap latah dan mengikuti budaya luar. Hasilnya, manusia akan dibawa pada sikap apatis dan hedonis yang pekat. Demikianlah juga yang tengah menderu dunia pendidikan kita dewasa ini. Peserta didik telah dininabobokkan oleh teknologi dan budaya latah akan budaya luar, sehingga moralitas yang sejatinya menjadi tujuan pendidikan menjadi terbengkalai atau tak sampai sebagai tujuan seharusnya.

Miris memang, umur bangsa indonesia yang sudah begitu dewasa, namun masih pincang dalam mengembangkan lini-lini kehidupan, terutama bidang pendidikannya. Mengganti kurikulum secara berkala belum mampu untuk menjadikan pendidikan kita semakin baik. Beberapa pembacaan dilakukan terkait proses perbaikan sistem. Namun demikian masih saja pendidikan kita tidak menunjukkan cahaya kemajuan. Memang secara intelektual, mungkin peserta didik sudah mampu untuk menguasai materi, itu bisa kita lihat dari beberapa kejuaraan internasional yang bisa direbut oleh anak bangsa, tapi secara moral anak didik bangsa kita semakin menunjukkan degradasi dengan fenomena-fenomen yang belakangan ini muncul.

Radhar Panca Dhana, mengenai fenomena diatas menyebutnya sebagai keadaan disintegrasi pendidikan dan kebudayaan. Hal demikian disebabkan karena orientasi pendidikan yang melulu pada persoalan intelektual sehingga lupa pada nilai-niai moral yang tertanam pada kebudayaan milik sendiri,sehingga salah satu langkah untuk membenahi pendidikan nasional kita adalah memasifkan sinergisitas pendidikan dan kebudayaan sehingga berjalan berdampingan dan dalam orientasi yang sama yakni mewujudkan generasi cemerlang dan menguatkan karakter bangsa. Berangkat dari fenomena di atas, sebagai langkah solutif, Jurnal Lorong edisi 5


Muhammad War’i # Sapa Redaksi kali ini akan membahas sinegi pendidikan dan kebudayaan, bagaimana kedua term ini sudah seharusnya berjalan bersamaan dalam proses pendidikan anak bangsa. Dibutuhkan wacana ataupun kajiankajian konprehensip untuk membantu mewujudkan sinergi tersebut sehingga dalam implementasinya akan mempu memberikan hasil yang maksimal. Dalam tulisannya Hilwin Nisa’ mengangkat wayang kulit sebagai identitas budaya bangsa yang penting untuk memperkuat jati diri bangsa sehingga mampu bertahan dalam derasnya arus modernisme. Sejalan dengan hal itu, Hasan menulis tentang bagaimana kontribusi pesantren dalam memfilter modernisasi sosial budaya masyarakat. Dalam tulisan tersebut,Hasan mengungkapkan bahwa pesantren terbukti sebagai institusi pendidikan yang paling lama dan bertahan di tengah derasnya arus modernisasi sosial budaya masyarakat.Hal ini bisa menjadi sinergi budaya dalam mempertahankan idealisme pendidikan bangsa. Kemudian tulisan Hajar yang menggungat tradisi jam karet yang telah membawa bangsa Indonesia memiliki profiling yang lemah di dunia internasional. Hajar mengajak masyarakat Indonesia untuk bisa melawan tradisi buruk jam karet melalui beberapa langkah yang dia tawarkan dalam tulisannya, “Jam Karet dan Tradisi yang Membudaya.” Di samping itu, masih dalam pembahasan pendidikan pesantren, Tina Siska Haridansyah mengungkapkan bahwa untuk bisa menjaga tradisi luhur peserta didik (santri) Pesantren harus mengembalikan tujuan pendidikan; tafaqquh fi ad-din untuk mencetak generasi yang 6

cerdas dan berbudi pekerti. Masalah kepemimpinan juga menjadi fenomena memiriskan dewasa ini, bagaimana tidak, pemimpin yang seharusnya mampu berdiri di tengah keragamaan rakyatnya, masih terpaku pada tarik menarik kepentingan antar golongan yang membuat keadilan tak bisa berjalan tegap. Melalui tulisannya, “Internalisasi Budaya Nusantara dalam Pendidikan, Menuju Kepemimpinan Ideal,” Muhammad War’i mengajak pembaca untuk menjadikan budaya nusantara sebagai ruh dalam pendidikan guna membentuk generasi bangsa yang cemerlang serta menjawab mimpi akan hadirnya pemimpin yang ideal, yakni pemimpin yang mampu mengantarkan bangsa Indonesia menjadi lebih baik. Problem dinamika teknologi juga menjadi salah satu hal yang mempengaruhi mentalitas negatif peserta didik. Perkembangannya yang sangat pesat memaksa sistem pendidikan juga harus memasuki area tersebut untuk integrasi bahan ajar.Melalui tulisannya, Gencar S.P memaparkan bagaimana peran teknologi informasi dalam pendidikan, yakni menunjang para peserta didik dalam meningkatkan kemampuan akademis, guna menyongsong persaingan era Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di percaturan internasional. Demikian pula dengan beberapa tulisantulisan berikutnya yang membincang terkait dengan sinergi budaya dan pendidikan. Pada perinsipnya, sinergi budaya dan pendidikan merupakan hal yang harus dimasifkan guna menjaga tradisi luhur bangsa sebagai karakter mulia dari cengkraman arus modernisme yang semakin menggila. Tidak ketinggalan, Finayatul Maula yang LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Sinergisitas Pendidikan dan Budaya dalam Membentuk Karakter Bangsa membicarakan terkait local genius yang dimiliki budaya Jawa yakni berupa suluk atau jalan hidup yang membawa pada sikap ketenangan individu dan sosial. Memayu Hayuning Bawana, judul buku yang direview olehnya yang membincang terkait asketisme hidup orang jawa untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Akhirnya, semoga wacana-wacana yang membincang terkait sinergi budaya dan pendidikan di atas mampu memberikan kontribusi guna membentuk karakter bangsa yang bersih dari sistem-sistem amoral yang belakangan ini semakin marak. Semoga

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

apa yang menjadi mimpi dan harapan akan bangsa indonesia yang lebih baik tidak sebatas ilusi, namun adalah tekad kuat untuk senantiasa berjuang, karena sesungguhnya revolusi belumlah selesai. Selamat membaca!

Malang, November 2013 Pemimpin Redaksi Muhammad War’i

7



 Pelestarian Wayang Kulit sebagai Alternatif Pemerkuat Jati Diri Bangsa Abstract Wayang Kulit as one of the original culture of Java land art before entering Hinduism to Java, until Islam came and made Wayang Kulit as a medium for his missionary endeavour. Many of the messages conveyed in the play puppet show. Therefore, preserving the puppet is a liability. In addition to the moral education media, Wayang Kulit can foster a love of Indonesian nation, as well as the identity of Indonesian nation with other nations. Wayang kulit sebagai salah satu seni budaya asli dari tanah Jawa yang ada sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa, hingga akhirnya Islam datang dan menjadikan wayang kulit sebagai media dakwahnya. Banyak pesan yang disampaikan dalam lakon pertunjukan wayang kulit. Oleh karena itu, melestarikan wayang kulit adalahsebuahkewajiban. Selain sebagai media pendidikan moral, wayang kulit dapat memupuk rasa cinta pada bangsa Indonesia, serta menjadi identitas antara bangsa Indonesia dengan bangsa lainnya. Kata Kunci: WayangKulit, Media Pendidikan Moral Oleh

Hilwin Nisa’ Bendahara LKP2Mperiode 2013 MahasiswaJurusanMatematikaUIN Maliki Malang hilwinnisa@gmail.com

Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.

Pendahuluan Wayang adalah salah satu seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

9


Hilwin Nisa’ # Artikel Fokus LoroNG Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, yang kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh punakawan dalam pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia, tepatnya budayawan Jawa untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan. Termaktub dalam disertasi yang berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah wayang kulit seperti yang kita kenal sekarang. Hadirnya Islam di tanah Jawa memberikan sedikit perubahan pada budaya wayang kulit. Salah satu penyebar ajaran Islam di tanah Jawa, wali songo ada yang menggunakan budaya wayang kulit untuk mensyiarkan agama Islam di pulau Jawa. Hal ini dilakukannya untuk menarik perhatian masyarakat Jawa pada waktu itu. Dalam pertunjukan wayang kulit tersebut, tentunya tidak sedikit pesan yang disisipkan guna tercapainya misi mengislamkan masyarakat Jawa. Metode dakwah melalui wayang kulit ini dirasa cukup berhasil. Banyaknya masyarakat 10

Jawa yang pada akhirnya mengikrarkan diri beriman pada Tuhan semesta alam, sudah lebih dari cukup sebagai bukti kesaktian pesan yang disampaikan melalui pertunjukan wayang kulit. Selain itu, ternyata banyak masyarakat pada waktu itu yang mengidolakan kesenian wayang kulit. Karena banyaknya penggemar wayang kulitlah, yang membuat kesenian wayang kulit sempat mem-boom-ing di tanah Jawa khususnya, dan Indonesia umumnya. Seiring berkembangnya zaman, wayang kulit masih tetap terus exist di panggung pertunjukan. Hingga akhirnya, kini wayang kulit telah memperkenalkan Indonesia di kancah internasional. Wayang kulit juga telah tercatat sebagai budaya nasional bangsa Indonesia. Sejak 7 November 2003, UNESCO telah mengakui wayang Indonesia sebagai World Master Piece of Oral and Intagible Heritage of Humanity, hal ini sesuai dengan pernyataan Iman Budhi Santosa (2011:5), dalam bukunya yang berjudul Saripati Ajaran Hidup Dahsyat Dari Jagad Wayang. Dengan kata lain, wayang Indonesia telah diakui sebagai mahakarya dunia, dan telah menembus level tertinggi kebudayaan umat manusia. Maka seharusnya kita bangga sebagai bangsa Indonesia, karena karya anak bangsa telah dinikmati oleh masyarakat di seluruh penjuru dunia. Meskipun wayang kulit popular di kancah internasional, namun hal itu bukanlah jaminan bahwa wayang kulit cukup digandrungi pemuda Indonesia. Tidak sedikit pemuda Indonesia yang kurang begitu mengenal kesenian yang akrab disebut sebagai warisan wali songo tersebut. Bahkan, pertunjukan wayang kulit sudah mulai jarang diminati para pemuda Indonesia. Mereka jauh lebih bangga menikmati kesenian-kesenian dari LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Pelestarian Wayang Kulit sebagai Alternatif Pemerkuat Jati Diri Bangsa luar negeri, daripada kesenian dari dalam negeri. Sangat disayangkan jika seni warisan leluhur yang syarat akan nilai-nilai luhur itu ditinggalkan begitu saja oleh bangsanya. Selain itu sangat diharapkan warisan leluhur yang berupa kekayaan cipta rasa dan karsa ini akan terus lestari dan menjadi icon bangsa Indonesia. Sungguh ironis jika karya bangsa sendiri dinikmati masyarakat dunia, akan tetapi justru diabaikan begitu saja oleh bangsanya. Kurang digemarinya wayang kulit di kalangan pemuda bangsa Indonesia dewasa ini, bisa jadi dikarenakan kurangnya pengenalan terhadap budaya bangsa. Selain itu, bisa jadi wayang kulit dirasa sudah tidak ladi begitu menarik. Anggapan kurang menarik, bisa saja muncul karena kurangnya pengetahuan tentang wayang kulit. Sekilas wayang kulit hanya sekedar kesenian tradisional saja, akan mendapatkan predikat kuno dan ketinggalan zaman bagi penikmatnya. Akan tetapi jika kita kaji lebih jauh, lebih dari itu wayang kulit bukan hanya sekedar kesenian tradisional yang tanpa makna. Banyak sekali pesan-pesan yang disampaikan melalui pertunjukan wayang kulit, sehingga wayang kulit mempunyai peran yang cukup besar dalam pembelajaran moral. Bisa jadi dengan diperkenalkannya wayang kulit pada putra-putri bangsa sejak dini, mampu menjawab persoalan krisis moral yang akhir-akhir ini melanda bumi pertiwi. Jadi, mari kita buktikan kecintaan kita pada bangsa ini dengan mencintai dan melestarikan budaya bangsa. Wayang Kulit dan Lakonnya Wayang yang disinyalir telah lahir di tanah Jawa sejak 2000-1500 tahun SM, LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

merupakan salah satu hasil kristalisasi dari pencaharian spiritual orang Jawa yang penuh dengan makna simbolitas. Simbol yang mewakili lelaku atau benih hidup dalam dunia pewayangan adalah makara yang terdapat pada pohon kalpataru berupa kayon atau gunungan, yang dapat juga digambarkan sebagai Brahma Mula (benih hidup dari Brahma).1 Dalam arti denotif, wayang di Indonesia adalah hasil kreasi seni berwujud boneka yang menggambarkan berbagai tokoh dalam kisah tertentu. Wayang sendiri merupakan kreasi seni budaya yang sangat terbuka. Pakem pedalanganpun dengan mudah disisipi bermacam pesan dan peristiwa yang beraneka warna. Jadi tidak menutup kemungkinan jika satu pertunjukan wayang berbeda dalam setiap penyajiannya. Tentunya tidak merubah intisari dari cerita wayang tersebut. Hingga kini, kesenian wayang cukup berakar di Jawa, Sunda, Bali, dan Madura. Bahan membuat wayangpun bermacammacam, tergantung perkembangan zaman serta visi kreatornya. Seperti kulit kayu, batang kayu, kulit lembu, perak, tembaga, fiber, dan lain-lain. Dalam sejarahnya, cukup banyak jenis wayang yang pernah ada dan digelar di Indonesia. Misalnya wayang beber, wayang kulit, wayang golek, wayang krucil atau wayang klithik, wayang orang, wayang topeng, wayang cepak, wayang gedhog, wayang sadat, wayang potehi atau wayang makao, wayang wahyu, wayang kancil, dan wayang ukur. Wayang kulit dibuat dari kulit lembu atau kulit kerbau yang ditatah, kemudian diwarnai. Terdapat di Jawa, Bali, Madura, 1 Dharmawan Budi Suseno, 2009,Wayang Kebatinan Islam, (Bantul: Kreasi Wacana), Hlm.6

11


Hilwin Nisa’ # Artikel Fokus LoroNG Betawi, hingga Palembang. Cerita yang dimainkan bersumber dari epos Ramayana dan Mahabharata. Sisi menarik dari pertunjukan kesenian wayang ini adalah adanya pesan moral, etika, dan sikap hidup yang terdapat dalam setiap lakon yang digelar. Selain itu, untuk menarik simpati masyarakat yang terus berubah dari zaman ke zaman, terkadang dalang juga menampilkan humor punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong).  Salah satu cerita yang menarikdalam dipewayangan ini adalah cerita tentang malapetaka di pembuangan. Kisah ini menceritakan tentang Sri Rama, Dewi Sinta, dan Raden Leksmana yang meninggalkan istana. Mereka meninggalkan istana karena telah diusir dari Ayudya. Terutama bagi Sri Rama yang sebenarnya adalah putra mahkota dan berhak menggantikan ayahnya sebagai raja di Ayudya. Moral dan Budi Pekerti dalam Lakon Wayang Kulit Seperti halnya definisi wayang menurut Dharmawan Budi Suseno dalam bukunya yang berjudul Wayang Kebatina Islam (2009:6), dijelaskan bahwa wayang syarat akan makna simbolitas. Begitu juga dalam cerita wayang kulit di atas, ada beberapa pelajaran moral yang dapat diambil sebagai berikut: 1. Hidup tanpa tujuan jelas atau lunga saparan-paran (pergi tanpa arah tujuan pasti), seperti yang dilakukan Sri Rama, bukan solusi yang tepat untuk keluar dari permasalahan yang dihadapi. Terlebih, karena ia telah beristri, meskipun diikuti oleh adik yang setia, Raden Leksmana. Mengapa demikian, pergi tanpa tujuan pasti sama halnya dengan nglambrang (tidak tahu ke mana harus 12

pergi). Padahal, semua titah (makhluk hidup atau manusia) yang diciptakan oleh Tuhan.Dalam pewayangan afalah dewata mempunyai tujuan tertentu. Pergi tanpa tujuan sama halnya layanglayang putus yang akan kabur kanginan (terbawa angin). 2. Setiap laki-laki yang telah beristri perlu memiliki tanggung jawab terhadap istrinya. Seperti membahagiakan, menjaga keselamatan, menyejahterakan kehidupan, dan sebagainya. Kasus Raden Rama menunjukkan bahwa langsung tidak langsung dia telah melibatkan Dewi Sinta dalam kesengsaraan yang tidak seharusnya dialami. Padahal, secara diam-diam, dia dapat menitipkan Dewi Sinta ke Mantili jika dirinya ingin menjalani kewajibannya sebagai “orang buangan�. Karena itulah, sikap Raden Rama membawa Dewi Sinta ke hutan belantara, meskipun sang istri bersikukuh mengikuti sebagai bukti kecintaan dan kesetiaan terhadap suami, tetap dinilai kurang pada tempatnya. 3. Sebagai suami, memenuhi keinginan istri adalah wajar. Tetapi, yang bersangkutan seharusnya mampu melihat apa dan bagaimana keinginan tersebut dengan jernih. Apabila keinginan tersebut tidak sewajarnya, mengada-ada atau membahayakan dan mustahil terpenuhi, seharusnya sang suami dapat menolaknya dengan cara yang tepat, sehingga diterima oleh pasangannya. Contoh sikap Sri Rama yang meluluskan permintaan Dewi Sinta memburu kijang kencana membuktikan bahwa ia terlampau memanjakan sang istri. Akibatnya, terjadilah apa yang disebut dalam peribahasa Jawa: welas LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Pelestarian Wayang Kulit sebagai Alternatif Pemerkuat Jati Diri Bangsa temahan lalis (kasihan, namun akhirnya mencelakakan atau membunuhnya), karena permintaan sang istri melampaui batas kewajaran situasi-kondisi yang tengah dihadapi. 4. Musibah yang dialami Dewi Sinta bukan semata-mata karena Rahwana yang tergila-gila terhadap titisan Dewi Widowati. Tetapi, juga dikarenakan terbukanya peluang untuk Rahwana melaksanakan niatnya, serta sikap perbuatan Dewi Sinta sendiri yang tidak peka terhadap keadaan hutan Dandaka. Keinginannya memperoleh kijang kencana yang berlebihan menunjukkan dirinya tidak mempunyai pengalaman sedikitpun mengenai hutan, baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Wajar dirinya sebagai putri raja yang tidak pernah mengtahui seluk-beluk hutan mempunyai keinginan seperti itu. Akan tetapi, seharusnya tanggap bahwa kijang kencana merupakan keanehan yang tidak masuk akal, apalagi kehadirannya juga tiba-tiba, tampak  jinak, tetapi sukar ditangkap. Untuk menangkal berbagai kemungkinan buruk dari kejadian seperti itu, semua orang perlu eling lan waspada (ingat dan waspada), karena bisa saja dibalik kejadian itu terdapat jebakan atau ancaman yang tidak dapat diramalkan sebelumnya. 5. Karena kekhawatiran yang berlebihan, seorang perempuan mudah kelepasan bicara. Meskipun mungkin sekedar melampiaskan kekesalan dan kegelisahan hatinya, namun bisa saja ucapan tadi menyakitkan hati orang yang dituju atau yang mendengarnya. Contohnya, seperti tuduhan Dewi Sinta kepada LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

Raden Leksmana. Kecurigaan seperti itu seharusnya tidak perlu diucapkan, apalagi pada situasi yang sangat khusus. Karena itulah, setiap  orang perlu menjaga ucapannya, karena salah-salah dapat menimbulkan  kesalahpahaman dan sakit hati pada orang lain. Dalam peribahasa Jawa, nasihat untuk itu adalah aja ngomong waton, nanging ngomonga nganggo waton (jangan asal bicara, tetapi bicaralah menggunakan landasan yang jelas). 6. Sumpah Raden Leksmana yang tidak akan menikah seumur hidup sesungguhnya tidak perlu terjadi. Betapapun sakit hati dituduh menginginkan sang kakak ipar (Dewi Sinta), sebagai kesatria, seharusnya ia dapat meredam sedalam-dalamnya. Ibarat dituduh maling, kalau dirinya sama sekali tidak mencuri, mengapa berkecil hati? Kecuali, jika jauh dilubuk hatinya memang tersembunyi keinginan seperti itu. Jika hanya ingin menyanggah bahwa dirinya tidak seperti yang dituduhkan Dewi Sinta, kemudian menjawabnya dengan sumpah, nilai sumpah tadi jadi terasa rendah. Kendati akhirnya numusi (sumpah itu terbukti), namun keduanya telah dirugikan dengan dikrarkannya sumpah tadi. 7. Perbuatan Garuda Jatayu merupakan contoh nilai-nilai kepahlawanan dan pengorbanan tanpa pamrih yang patut diteladani. Garuda Jatayu semata-mata hanya membela kebenaran dan melawan keangkaramurkaan Rahwana yang kebetulan melintas di depannya. Tanpa mempedulikan menang atau kalah, ia rela mengorbankan dirinya demi membela kalangan yang tertindas (dalam hal ini 13


Hilwin Nisa’ # Artikel Fokus LoroNG Dewi Sinta). Meskipun perbuatan ini mencerminkan moral-akhlak yang baik, siapapun seyoganya memperhitungkan juga nasib dirinya sendiri. Memang, ia berhasil mengabdi pada kebenaran dan berhasil pula memberikan petunjuk kepada Sri Rama tentang penculik Dewi Sinta. Namun, sesungguhnya Garuda Jatayu dapat mengendalikan diri. Bukannya soroh amuk(mengamuk) jika memang tidak dapat mengalahkan Rahwana. Setelah berhasil merenggut kalung Dewi Sinta, seharusnya Jatayu cepat menghindar agar dirinya tidak menjadi korban kesewenangan raja Alengkadiraja itu.2 Lakon Wayang Kulit dan Pembelajaran Moral Arus modernisasi telah banyak memberi perubahan dalam kehidupan masyarakat. Namun, yang menyedihkan adalah perubahan yang terjadi justru cenderung mengarah pada krisis moral dan akhlak. Krisis moral tengah menjalar dan menjangkiti bangsa ini. Hampir semua elemen bangsa juga merasakannya. Menyelami negeri Indonesia kini seolah kita sedang berkaca pada cermin retak. Sebuah negeri yang sungguh sangat ganjil. Bahkan, keganjilan demi keganjilan sudah melampaui dunia fiksi. Seolah-olah bangsa ini dari tahun ke tahun, tidak pernah sadar dan sesegera mungkin menyembuhkan luka dan sakit akutnya. Justru sebaliknya, bangsa ini semakin dijangkiti virus yang “melumpuhkan” tersebut. Apa sesungguhnya yang salah dari sistem pendidikan bangsa ini sehingga menghasilkan pemimpin-pemimpin yang 2 Ibid. Hlm.208-212

14

sangat korup dan sebagian besar birokrat kita bermental amoral. Sebagai bahan renungan, agaknya semua ini terlanjur terjadi, rela tak rela kita boleh mengaitkan dengan rendahnya pengajaran (apresiasi) sastra. Hal ini dikarenakan sastra mampu mengasah rasa, mengolah budi, dan memekakan pikiran. Hal ini sesuai dengan wasiat Umar bin Khatab yang dikutip dari sebuah buku yang berjudul Pendidikan Karakter Berbasis Sastra (Rohinah M. Noor:2011) bahwa beliau berwasiat kepada rakyatnya untuk mengajari anakanak mereka sastra, karena sastra dapat membuat anak yang pengecut menjadi jujur dan pemberani. Sastra mempunyai cakupan yang sangat luas, dan di antaranya adalah kesenian wayang kulit. Wayang kulit sebagai kesenian tradisional yang dipopularkan oleh para wali songo, tentu bukan tanpa maksud dan tujuan para wali songo memilih kesenian wayang kulit tersebut. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh S. Takdir Alisjahbana (1985:7) dalam bukunya yang berjudul Seni dan sastra di tengah-tengah pergolakan masyarakat dan kebudayaan, bahwa dalam penciptaan karya, seorang seniman pasti mempunyai isi, suatu pesan, atau dengan kata lain, dia selalu mewakili suatu tenaga rohani. Demikian juga dengan wali songo yang telah memasyarakatkan kesenian wayang kulit tersebut. Para wali songo mempunyai misi yang besar, yakni mensyiarkan ajaran Islam melalui kesenian wayang kulit tersebut. Dalam dakwah melaui lakon wayang kulit, tentu banyak sekali pesan-pesan dan ajaran-ajaran yang telah diselipkan dalam pertunjukan wayang kulit tersebut. LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Pelestarian Wayang Kulit sebagai Alternatif Pemerkuat Jati Diri Bangsa Dalam bukunya yang berjudul “Hikmah Abadi Nilai-nilai Tradisional dalam Wayang�, Barnas Sumantri dan Dr. Kanti Walujo mengungkapkan bahwa menurut Prof. Poedjawijatna (2011) dalam pewayangan banyak sekali yang dapat digunakan untuk pendidikan. Masih menurut Prof. Poedjawijatna, wayang penting sekali ditingkatkan fungsinya sebagai alat pendidikan yang baik. Pendidikan yang merupakan pengetahuan tentang kebudayaan yang menyangkut bahasa, kemasyarakatan dulu dan sekarang, tentang keadilan, tentang kenegaraan, sampai kehidupan di akhirat nanti. Dalam cerita wayang, pekerti yang jahat akan kalah dengan kebaikan. Misalnya dalam cerita Bharatayuda yaitu perang saudara antara Kurawa dengan Pandawa. Kurawa biarpun jumlahnya 100 orang kalah dengan Pandawa yang hanya berjumlah 5 orang. Hal ini disebabkan oleh kejahatan para Kurawa yang tidak disetujui para dewata, sehingga para dewa mengutus dewa Wisnu turun ke dunia dan menitis menjadi Prabu Kresna yang merupakan penasehat para Pandawa. Biarpun Pandawa jumlahnya hanya 5 orang, tetapi mereka senang mencari ilmu dengan bertapa sehingga mereka memperoleh ketangkasan, dan mendapatkan senjata-senjata yang ampuh dari para dewata. Di samping itu, kebaikan hati mereka sangat menawan hati para dewa untuk melindunginya. Dari contoh cerita wayang kulit yang telah dipaparkan penulis di atas, dapat diketahui bahwa wayang kulit menyimpan banyak pesan untuk memperbaiki moral. Ditambah lagi, ternyata seni mempunyai peran yang cukup besar dalam pendidikan LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

moral. Sehingga, bukan solusi yang salah jika kesenian wayang kulit sudah seharusnya tetap dilestarikan dan diperkenalkan pada bangsa Indonesia sejak dini. Selain untuk media pendidikan moral, dengan diperkenalkannya wayang kulit sejak dini juga bertujuan untuk memupuk rasa cinta pada kebudayaan nasional. Oleh karena itu, kesenian wayang kulit sudah sepantasnya diperkenalkan sejak dini kepada para putra putri bangsa. Akan tetapi perlu dipehatikan juga,agar wayang kulit mudah diterima masyarakat di tengah gencarnya arus modernisasi ini, seni wayang kulit perlu diadakan perubahan-perubahan yang sesuai denga zaman yang berlaku. Wayang Kulit Pemerkuat Jati Diri Bangsa Jatidiri yang dalam bahasa Inggris disebut identity,adalah suatu kualitas yang menentukan suatu individu sedemikian rupa sehingga diakui sebagai suatu pribadi yang membedakan dengan individu yang lain. Jati diri bangsa berarti suatu kualitas yang menentukan bangsa kita suatu bangsa yang diakui sebagai bangsa yang berbeda dengan bangsa yang lainnya. Sementara itu, menurut Prince (2010:1),identitas nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa yang majemuk. Kemajemukan itu merupakan gabungan dari unsur-unsur pembentuk identitas, yaitu suku bangsa, agama, kebudayaan, dan bahasa. Indonesia yang kaya akan budaya sudah seharusnya tetap dilestarikan keberagaman budayanya. Keberagaman budaya bangsa Indonesia merupakan suatu kekayaan yang belum tentu dimiliki oleh bangsa lain. Selain sebagai pembeda antara bangsa Indonesia 15


Hilwin Nisa’ # Artikel Fokus LoroNG dengan bangsa lainnya, menjaga budaya bangsa berarti juga telah mewariskan kekayaan bangsa pada generasi penerus bangsa. Sudah saatnya bangsa kita bangun dari tidurnya dan mengembalikan jati diri bangsa. Bangsa yang bermartabat dan bangsa yang kaya akan seni dan budaya. Wayang kulit yang merupakan salah satu budaya bangsa Indonesia menjanjikan banyak manfaat pada bangsa Indonesia. Keindahan seni serta pesan-pesan yang bisa dijadikan sebagai media pendidikan moral bagi putra-putri bangsa Indonesia. Berdasarkan salah satu cerita dalam wayang kulit yang sudah dipaparkan penulis di atas, dapat diketahui bahwasanya cerita wayang kulit selalu memberikan pesan-pesan moral yang disajikan secara menarik. Fungsi seni sebagai media pendidikan moral, serta cerita-cerita yang disajikan dalam wayang kulit yang selalu memberikan pesan moral, tentu dapat membantu untuk mendidik moral para penikmatnya. Pesan moral yang terkandung dalam cerita pewayangan, bukan hanya mengenai moral dalam bersosialisasi terhadap sesama manusia, akan tetapi juga bagaimana berinteraksi dengan Sang Maha Pencipta. Harapannya, dengan diperkenlkan dan dilestarikannya wayang kulit tersebut akan membentuk karakter bangsa yang bermartabat, yaitu karakter Pancasila yang sesuai dengan jatidiri bangsa. Sangat tidak rugi, jika budaya wayang kulit tetap dilestarikan dan diperkenalkan pada putra-putri bangsa sejak dini. Selain itu, dengan terus menjaga dan melestarikan budaya bangsa, bangsa kita akan semakin diakui oleh bangsa lainnya. Menjaga dan melestarikan budaya juga dapat memupuk 16

rasa cinta putra-putri bangsa pada bangsa Indonesia. Rasa bangga dan memiliki akan budaya bangsa pun juga akan ada, dengan dikenalkan dan dilestarikannya budaya bangsa tersebut. Selain itu, dengan melestarikan dan menjaga budaya bangsa, maka bangsa lainpun juga akan mengakui budaya bangsa kita, sehingga budaya bangsa kita tidak akan lagi dicuri oleh bangsa lainnya. Daftar Pustaka Alisjahbana, S. Takdir. 1985. Seni dan Sastera di Tengah-tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Dian Rakyat Noor, Rohaniah M. 2011. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Santosa, Iman Budhi. 2011. Saripati Ajaran Hidup Dahsyat dari Jagad Wayang. Jogjakarta: Flash Books Sumantri, Barnas. Dkk. 2011. Hikmah Abadi Nilai-nilai Tradisional dalam Wayang. Jogjakarta: Pustaka Pelajar Suseno, Dharmawan Budhi. 2009. Wayang Kebatinan Islam. Bantul: Kreasi Wacana http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id/ artikel_detail-42607-Makalah Cara%20Mengembalikan%20Jati%20Diri%20 Bangsa%20Indonesia.html, (diakses 25 September 2013) http://cahcepu.com/blog/wayangkul, (diakses 25 September 2013) http://lppkb.wordpress.com/2011/03/28/ program-memperkokoh-karakterdan-jatidiri-bangsa/,   (diakses 25 September 2013)

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


ď Ť Konstribusi Pesantren dalam Memfilter Modernisasi Sosial Budaya Masyarakat Abstract Pesantren (Islamic boarding school) as religious educational institutions as well as community, was able to play its role as a renewal precursor. The existence of Islamic boarding school in fact, gives alternative bids of model in term of education, thought and action. This proved that Islamic boarding school as the oldest educational institutions is able to survive amid the current swiftly transformation of socio-cultural. Socio-cultural alteration can be overcame with five elements. These elements are the elements that can form an Islamic boarding school. These are Kiai (priest), mosque, dormitories, santri (student of Islamic boarding school), and kitab kuning (classical textbook). These elements have a function as socio-cultural education in shaping behavior of socio-cultural. Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan sekaligus kemasyarakatan, ternyata mampu memainkan peranannya sebagai pelo0(perubahan) sosial budaya masyarakat. Perubahan sosial budaya tersebut dapat diatasi dengan lima elemen. Elemen-elemen tersebut adalah unsur yang dapat membentuk pondok pesantren, yaitu kiai, masjid, asrama, santri, dan kitab kuning. Unsur-unsur yang membentuk pesantren tersebut berfungsi sebagai sarana pendidikan dalam membentuk perilaku sosial budaya masyarakat. Kata kunci: Pesantren, Modernisasi, Sosial Budaya, Masyarakat Oleh

Muhammad N. Hassan Pengurus Biro Kajian Saintek LKP2M Periode 2013 Mahasiswa Jurusan Biologi UIN Maliki Malang

tinggi (high-technology), menyebabkan bangsa Indonesia tergiring pada pola interaksi yang amat cepat dan massif dengan negara-negara lain di dunia. Daniel Bell, menyebutnya dengan abad masyarakat pasca-industri (the post industrialized society).1

Pendahuluan Pada era modernisasi sekarang ini, Alvin Toffler penulis buku The Third Wave, membayangkan akan terciptanya “masyarakat informasi� (the information society), sebagai dampak adanya abad informasi (information age) yang sulit dihindari oleh negara manapun, termasuk Indonesia. Sehingga fenomena globalisasi yang begitu cepat mengalami akselerasi dalam berbagai aspek, sebagai konsekuensi-logis dari penerapan teknologi

Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia tidak saja memiliki peran strategis dalam 1 Moh. Toriqul Chaer, 2013, Inklusifisme P santren, diakses dari http://m.cyberdakwah. com/2013/07/inklusifisme-pesantren/, pada tanggal 02 Oktober 2013 pukul 13:30 WIB

17


Muhammad N. Hassan # Artikel Fokus LoroNG aspek pencerahan keilmuan. Namun ia juga merupakan lembaga pemberdayaan layaknya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ada di Indonesia saat ini. Itu artinya pondok pesantren merupakan LSM tertua di Indonesia. Dengan demikian, multi peran pesantren memberikan harapan pesantren sebagai agen perubahan (agent of change), baik dalam aspek keilmuan, sosial, budaya, dan pemberdayaan ekonomi. Tidak berlebihan kiranya obsesi tersebut karena pesantren memiliki komponen-komponen bagi ekspektasi terhadap terjadinya perubahan. Berbagai komponen itu adalah diantaranya posisi kiai yang memiliki kharisma, budaya keilmuan yang selalu menuntut nilai-nilai idealisme, dan kemampuan memobilisasi massa untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat terhadap suatu program. Sayangnya di beberapa pondok pesantren saat ini, komponen-komponen tersebut telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu bagi kepentingan hegemoni politik nasional.2 Lembaga ini juga semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan penjejalan materi–materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran sosial). Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kekinian masyarakat. Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata–mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespon carut-marut 2 Drs. H. Maskul Haji, M.Pd.I, Halaqah: Dari Pesantren untuk Indonesia Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, (dilansir dari SKH Kedaulatan Rakyat, Sabtu 28 Januari 2012). 18

persoalan masyarakat di sekitarnya. Pergeseran orientasi semacam ini tidak berarti meraibkan identitas pesantren dengan segala keunikannya, melainkan justru semakin mempertegas bahwa pesantren sejak berdirinya adalah lembaga milik masyarakat yang dikembangkan atas swadaya masyarakat itu sendiri. Demikianlah dalam perkembangannya, pesantren semakin menyadari perlunya reintegrasi kehidupan di dalamnya dengan realitas di luarnya yang dalam masa–masa sebelumnya dua ranah ini demikian berjarak, untuk tidak mengatakan bersebrangan. Dipihak yang lain, belantika3 perkem­ bangan pesantren sekarang ditandai dengan munculnya generasi baru. Generasi baru pesantren ini disamping tetap mewarisi tradisi keilmuwan pesantren sebelumnya, juga berhasil meng-create tradisi yang sama sekali baru sekaligus berhasil mensinergikannya dengan perkembangan keilmuan mutakhir. Dengan demikian, lahirnya generasi baru tidak terlepas dari jaringan intelektual era sebelumnya, di samping juga berhasil membentuk jaringan yang sama sekali baru. Generasi baru ini dalam wujudnya berhasil membentuk genre baru dengan rantai intlektual yang baru pula yang kemudian dapat dibedakan dengan genre generasi sebelumnya. Genre generasi baru inilah yang saya sebut dengan genre intelektual pesantren era keemasan. Genre intelektual pesantren era keemasan ditandai dengan muculnya tradisi intelektual baru di dunia pesantren, sebuah tradisi yang tidak dijumpai dalam era-era sebelumnya (baik era pertumbuhan maupun era perkembangan pesantren). 3 be·lan·ti·ka n usaha dagang atau jasa dl dunia permusikan (lagu-lagu, kaset, dsb) atau pertunjukan (tari, dsb): -- musik LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Konstribusi Pesantren dalam Memfilter Modernisasi Sosial Budaya Masyarakat Kalau pada era sebelumnya, genre intelektual pesantren lebih menekankan pada transmisi mistisisme dalam arti yang sangat luas dan kemudian bergeser pada pemekaran kurikulum yang tidak melalui pada transmisi mistisisme dan pendalaman, tetapi pada variasi kurikulum yang beragam. Namun pada era keemasannya, pesantren semakin memperluas ruang implementasinya dengan melengkapi dan menciptakan alternatif-alternatif baru yang dapat menopang destabilisasi4 pesantren di tengah ancaman modernitas. Di era ini, pesantren berhasil menjadi lembaga pendidikan islam yang mondial5 dan kosmopolitan6. Oleh karenanya, pesantren telah mampu berperan dalam membentuk prilaku sosial budaya masyarakat dan memenuhi eksistensi kehadiran di tengah-tengah masyarakat. Sehingga menanamkan kepercayaan masyarakat terhadap pesantren. Mengenal Pesantren Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan berbasis agama, pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama islam. Namun, dalam perkembangannya, pesantren mengalami perubahan, yaitu perubahan dari dalam untuk kepentingan penunjukan identitas. Meskipun kepemimpinan dipegang oleh otoritas kiai sebagai sentral pesantren, 4 de·sta·bi·li·sa·si /déstabilisasi/ n perbu tan dsb yg menyebabkan tidak stabil (mantap); men·de·sta·bi·li·sa·si v menjadikan tidak stabil (mantap): tujuan gerakan para pemberontak ialah mencoba ~ pemerintahan yg baru 5 mon·di·al a berkaitan dng seluruh dunia 6 kos·mo·po·li·tan a 1 mempunyai wawasan dan pengetahuan yg luas; 2 terjadi dr orang-orang atau unsur-unsur yg berasal dr pelbagai bagian dunia

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

tetapi pesantren sebagai institusi sudah membuka diri bagi perubahan. Lihat saja bermula dari “langgar” atau mushola untuk tempat pengajaran, kemudian berkembang menjadi sebuah institusi modern, dengan kelas-kelasnya, dengan metodenya, dengan kurikulum bahkan dengan penataan organisasinya. Pesantren mempunyai akar sejarah panjang, sekalipun pesantren-pesantren besar yang ada sekarang hanya dapat dilacak asal usulnya sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Dalam hal ini Zamakhsyari Dhofier telah membuat peta pesantren-pesantren di Jawa dari abad ke-19 dan abad ke-20 yang menunjukan adanya 40 pemusatan pesantren dengan Jawa Timur sebagai pemegang terbesar, diikuti secara berurutan oleh Jawa Tengah dan Jawa Barat. Mengingat umurnya yang tua dan luasnya penyebaran pesantren, dapat dipahami bahwa pengaruh lembaga itu pada masyarakat sekitarnya sangat besar. Banyak peristiwa sejarah pada abad ke-19 yang menunjukan betapa besar pengaruh pesantren dalam mobilisasi masyarakat pedesaan untuk aksi-aksi protes terhadap masuknya kekuasaan birokrasi kolonial di pedesaan. Dengan asumsi yang sama, sekarang ini pemerintah dan lembagalembaga swasta seperti LSM, mencoba meletakan harapan pada pesantren dalam usaha mereka memajukan pembangunan desa. Pesantren sebagai lembaga sosial yang berada di akar bawah mempunyai peranan strategis dalam melaksanakan cita-cita pembangunan yang memerlukan peran serta masyarakat dan perencanaan dari bawah.7 7 Nurchois Madjid, Buletin Bina Pesantren, (Jakarta: Depag RI, 2009), hlm. 8-11

19


Muhammad N. Hassan # Artikel Fokus LoroNG Lembaga pendidikan yang khas Indonesia (indigenous)8 ini bisa dilacak sejak kehadiran dan da’wah Islam di Indonesia. Penyiaran Islam khususnya di Jawa relatif tidak menimbulkan problem konfliktual karena proses akulturasi, akomodasi dan transformasi terhadap lembaga semisal yang telah eksis sebelumnya yang dimainkan oleh agama Hindu-Budha.9 Ia merupakan pioner dan corong sosialisasi Islam di Indonesia dan bahkan pada era kolonialisme, pesantren tidak saja bermain dalam wilayah da’wah dan pendidikan akan tetapi juga secara signifikan telah memberikan kontribusi bagi terwujudnya iklim kemerdekaan. Sejarah menunjukkan bahwa pesantren mempunyai akar tradisi yang sangat kuat di lingkungan masyarakat Indonesia. Ia merupakan produk budaya orisinil masyarakat Indonesia. Sejak awal kehadirannya pesantren telah menunjukkan watak populisnya dengan memberikan sistem pendidikan yang dapat diakses oleh semua golongan masyarakat. Hal itu merupakan pengejawantahan dari konsep “ummah” dalam Islam yang menempatkan harkat dan martabat manusia secara egaliter di hadapan Tuhan. Karena itulah, dalam perjalanan sejarah keindonesiaan, pesantren tidak pernah lekang oleh waktu, bahkan secara kuantitas terus mengalami kenaikan.10 Karena itu masyarakat pesantren sejak awal merupakan komposisi besar kelompok sosial budaya di Indonesia. Hal itu sebagaimana Geertz membagi 8 Nurcholis Madjid yang dikutip oleh Hasan Mu’arif Ambari dalam, Menemukan Peradaban; Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia (Jakarta: Logos, 2001), hlm. 319 9 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indon sia (Jakarta: Logos, 2001), hlm. 145 10 Husni Rahim, Ibid, hlm. 146

20

kategori sosial masyarakat Jawa menjadi santri, priyayi dan abangan, walaupun pilahan sosial tersebut dalam era global semakin absurd. Selama ini kelompok santri yang terlembagakan dalam masyarakat pesantren identik dengan masyarakat tradisional. Berbeda dengan masyarakat modern, masyarakat tradisional merupakan kelompok terbesar dalam pelapisan sosial di Indonesia. Pesantren dari masa ke masa Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut: Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Konstribusi Pesantren dalam Memfilter Modernisasi Sosial Budaya Masyarakat setempat.11 Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah.12 Peraturan-peraturan tersebut membuktikan ketidakadilan dan tidak bijaksana pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluasluasnya dan membuka secara luas jabatanjabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut. Dampak kebijaksanaan itu adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak.13 Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk 11 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Te tang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 41 12 Zuhairini. Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997). 149. 13 Zamakhsyari Dhofier, Op.Cit., hlm. 41

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini (1997: 150), ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik� di Indonesia. Menurut survei yang diselenggarakan kantor Urusan Agama yang dibentuk oleh Pemerintah Militer Jepang di Jawa tahun 1942 mencatat jumlah madrasah, pesantren dan murid-muridnya seperti terlihat berikutnya dalam Tabel 1: TABEL 114: Jumlah pesantren, madrasah dan santri di Jawa dan Madura pada tahun 1942 (Survai kantor Urusan Agama) Propinsi Daerah Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Tawa Timur Jumlah:

Jumlah Pesantren dan Madrasah 167 1 046 351 307 1 871

Jumlah Santri 14 513 69 954 21 957 32 931 139 415

TABEL 215: Jumlah pesantren dan santri di Jawa pada tahun 1978. (Laporan Departement Agama RI) Propinsi Daerah Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah

Jumlah Pesantren 27 2 237 430

Jumlah Santri 15 767 305 747 65 070

14 Ibid, hlm. 40 15 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 140

21


Muhammad N. Hassan # Artikel Fokus LoroNG Tawa Timur Jumlah:

1 051

290 790

3 745

675 364

Dalam Tabel 2, dapat kita melihat bahwa hampir empat dasawarsa kemudian, jumlah pesantren di Jawa telah bertambah kurang lebih empat kali. Statistik dari Tabel 2, yang dikumpulkan dari laporan Departemen Agama RI pada tahun 1978 yang mengenai keadaan pesantren di Jawa, menunjukkan bahwa sistem pendidikan pesantren di Jawa dipelihara, dikembangkan dan dihargai oleh masyarakat umat Islam di Indonesia. Kekuatan pondok pesantren dapat dilihat dari segi lain, yaitu walaupun setelah Indonesia merdeka telah berkembang jenis-jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk madrasah dan pada tingkat tinggi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), namun secara luas, kekuatan pendidikan Islam di Jawa masih berada pada sistem pesantren.16 Dari data-data tersebut harus kita bertanya, mengapa pesantren begitu sanggup menahan dan berkembang selama bertahun-tahun penuh dengan tantangan dan kesulitan yang dibuat baik pemerintah Belanda maupun pemerintah RI? Sistem pendidikan pondok pesantren mampu bertahan dan tetap berkembang karena siap menyesuaikan dan memoderenkan tergantung pada keadaan yang sebenarnya ada di Indonesia. Sejak awalnya, pesantren di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dan tantangan karena dipengaruhi keadaan sosial, politik, dan perkembangan teknologi di Indonesia serta tuntutan dari masyarakat umum. Oleh karena itu, pada masa ini di dunia pesantren terjadi pembangunan 16 Zamakhsyari Dhofier, Op.Cit., hlm. 20

22

sistem pendidikan pesantren modern yang berorientasi kepada pemberdayaan santri dan masyarakat. Sehingga pesantren menjadi akar budaya yang dari dulu hingga sekarang sangat mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Tjahjo Kumolo (2007), secara sosio demografi, masyarakat kita masih sangat menonjolkan perilaku ketokohan seseorang di dalam lingkungan pesantren. Dan diakui atau tidak, pesantren dengan berbagai bentuk dan variasi proses pembelajarannya, merupakan bagian dari peradaban bangsa yang telah melekat kuat dalam sejarah bangsa. Keunggulan pesantren terletak pada prinsip “memanusiakan manusia�17 dalam proses pembelajarannya (M.H. Said Abdullah, 2007). Sebagai lembaga pendidikan yang sangat berakar masyarakat, pada umumnya pesantren hidup, dari, oleh, dan untuk masyarakat. Pesantren berusaha mendidik para santri, kemudian dapat mengajarkannya pada masyarakat. Eksistensi pesantren menjadi istimewa karena menjadi pendidikan alternatif (penyeimbang) pendidikan yang dikembangkan oleh kaum kolonial sehigga diharapkan dapat menumbuhkan kaum intelektual yang berwawasan luas dengan landasan spiritual yang kuat. Abdurrahman Wahid (1995) menjelaskan pula bahwa pondok pesantren memegang prinsip dasar dalam menyikapi perubahan 17 Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia menghargai dan menghormati harkat dan derajat manusia lainnya. Memanusiakan manusia adalah tidak menindas sesame, tidak menghardik, tidak bersifat kasar, tidak menyakiti, dan perilaku-perilaku buruk lainnya. Herimanto dan Winarno, Ilmu Sosial & Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 32

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Konstribusi Pesantren dalam Memfilter Modernisasi Sosial Budaya Masyarakat sebagai berikut: “Al-muhaafadzatu alal-qadiimi as-Shaalihi Wal- Akhidzu bin-Jadidiil Ashlah”, yaitu memegang tradisi lama yang baik dan mengambil inovasi baru yang lebih baik. Persoalan yang berpautan dengan civic values akan bisa dibenahi melalui prinsipprinsip yang dipegang pesantren selama ini dan tentunya dengan perombakan yang efektif, berdaya guna, serta mampu memberikan kesejajaran sebagai umat manusia (al musawah bain-nas). Transformasi Perilaku Sosial Budaya Sebelum kita melangkah lebih jauh dalam konteks kajian ini, setidaknya ada dua istilah kunci yang perlu mendapat eksplanasi secara tepisah, yaitu: “sosial” dan “budaya”. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan suatu rumusan definitif secara jelas tentang artikulasi perubahan sosial budaya. Konsep pertama adalah konsep “sosial” atau sering disebut dengan masyarakat (community) yang berarti sekelompok ikatan nilai dan norma-norma sosial. Sekumpulan orang yang tinggal bersama dalam satu tempat. Istilah sosial dapat juga diartikan sebagai wadah atau tempat orang-orang saling berhubungan dengan hukum dan budaya tertentu untuk mencapai tujuan bersama.18 Sosial atau masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup dalam, sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai satu kesatuan sosial dan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas, suatu masyarakat yang lebih terrefleksi dalam seni, sastra, 18 A. Sani, Sosiologi dan Perubahan Masyarakat, (J karta: Pustaka Jaya, 1995), hlm. 23

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

religi dan moral.19 Konsep kedua dari term ini adalah konsep “budaya” yang selanjutnya mendapat afiks ke-an menjadi kebudayaan atau culture. Menurut Koentjaraningrat, kata kebudayaan berasal dari sansekerta buddhayah, ialah jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Sementara P.J. Van Der Peet, memandang bahwa asal kata “kebudayaan” merupakan perkembangan dari kata majemuk budi-daya, yang artinya daya dari budi, kekuatan dari akal. Istilah budaya sendiri dalam bahasa inggris berasal dari kata latin colere, yanga berarti mengolah, mengerjakan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti, culture sebagai segala daya dan usaha manusia untuk mengubah alam.20 Pada dasarnya suatu masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkannya tidak berhenti berproses, kecuali apabila masyarakat dan kebudayaan tersebut telah mati. Setiap masyarakat dan kebudayaan, pasti mengalami perubahan. Mungkin saja perubahan yang terjadi tidak begitu tampak, karena manusia kurang menyadarinya atau merasa dirinya kurang terlibat. Di Indonesia ini sering dikatakan bahwa, masyarakat desa sama sekali tidak berubah, atau sukusuku bangsa yang terasing, sama sekali masih murni. Ini semua sekali tidak benar, mungkin pandangan tersebut didasarkan pada sudut pandangan yang sangat sempit. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, hampirhampir tidak memungkinkan manusia dan 19 Titik Triwulan T, Transformasi Sosial Budaya, (J karta: Lintas Pustaka, 2008), hlm. 24 20 Titik Triwulan T, Ibid, hlm. 25

23


Muhammad N. Hassan # Artikel Fokus LoroNG kelompoknya untuk menutup diri terhadap pengaruh dari luar. Memang perlu diakui di satu pihak pengaruh tersebut masuk dengan mudah, namun dipihak lain, ada pula pengaruh yang lebih sukar. Tranformasi perubahan sosial budaya dalam konteks ini adalah proses perubahan yang diakibatkan oleh kemajuan pola pikir, gagasan dan ide-ide manusia mengakibatkan terjadinya perbedaan dengan keadaan sebelumnya dengan keadaan yang sedang dihadapi. 21 perubahan kebudayaan mencakup banyak aspek, baik nemtuk, sifat perubahan, dampak perubahan, dan mekanisme yang dilaluinya. Perubahan kebudayaan yang terjadi bias memunculkan masalah, antara lain perubahan akan merugikan manusia jika perubahan itu bersifat regress (kemunduran) bukan progress (kemajuan); perubahan bias berdampak buruk atau menjadi bencana jika dilakukan melalui revolusi, berlangsung cepat, dan di luar kendali manusia. 22 Perubahan kebudayaan di dalamnya mencakup perkembangan kebudayaan. Pembangunan dan modernisasi termasuk pula perubahan kebudayaan. Pengertian modernisasi tersebut hendaknya dikaitkan dengan tujuannya, dan bukan terhadap caranya semata-mata pengkaitan terhadap caranya semata-mata, mungkin menghasilkan kesalapahaman yang dapat menghasilkan sikap-sikap berprasangka terhadap kebudayaan tradisional maupun kebudayaan barat.23

menunjukkan eksistensi yang sangat menjanjikan dan membanggakan. Terbukti, apa yang belum dikenal manusia, sekarang sudah tidak asing lagi. Bahwa kelaparan dan penyakit menular yang dahulu sangat ditakuti, sekarang sudah dapat dihindari : kesulitan dan bahaya-bahaya alamiah yang dahulu menyakitkan dan menghambat perhubungan, sekarang bukan masalah lagi. Pendek kata, kemajuan saintek telah menghasilkan produk-produk yang memudahkan kehidupan, memberikan kesenangan dan kenikmatan, sehingga kebutuhan-kebutuhan jasmani tidak lagi pemenuhannya. Kondisi dan hasil kemajuan saintek itu seharusnya membawa kebahagiaan dan kemaslahatan yang lebih banyak kepada manusia dalam kehidupannya. Akan tetapi suatu kenyataan yang menyedihkan, bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh, hidup semakin sukar dan kesukarankesukaran material berganti dengan kesukaran mental-spiritual. Beban jiwa semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaan lebih sering terasa dan lebih menekan sehingga mengurangi kebahagiaan.

Keberhasilan modernisasi telah

Persoalan tersebut tidak lain adalah akibat terjajahnya bangsa oleh modernisasi dan globalisasi dalam arus yang semakin kuat. Sehingga saat ini tugas dan peran lembaga pendidikan dalam menggali ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi tanpa menghilangkan jati diri Indonesia melalui pelestarian nilai-nilai dan moral bangsa Indonesia.24

21 A. Sani, Op.Cit., hlm. 157 22 Herimanto dan Winarno, Ilmu Sosial & Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 32 23 Soerjono Soekanto, Memperkenalkan Sosiolog, (J karta: Rajawali Pers, 1992), hlm 43-44

24 Elly M. Setiadi, et al., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 60-61

24

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Konstribusi Pesantren dalam Memfilter Modernisasi Sosial Budaya Masyarakat Peran Pesantren dalam Membentuk Perilaku Sosial Budaya Masyarakat Sebagai lembaga pendidikan keagamaan sekaligus kemasyarakatan, pesantren ternyata mampu memainkan peranannya sebagai pelopor pembaruan. Keberadaan pesantren dalam kenyataannya sanggup memberikan tawaran alternatif model pendidikan, pemikiran dan tindakan. Pesantren terbukti sebagai institusi pendidikan yang paling lama dan bertahan ditengah derasnya arus perubahan sosial. Pesantren merupakan perintis pendidikan islam di Indonesia, sehingga sudah sewajarnya menjadi panutan bagi pendidikan Islam secara makro. Apalagi belakangan pesantren yang juga mengakomodasi model pendidikan modern dengan kurikulum dan sistem pembelajarannya. Berbagai ilmu-ilmu di luar ilmu keagamaan sudah mulai di ajarkan di pesantren. Bahkan pembelajaran bahasa Inggris, selain bahasa Arab juga mulai di ajarkan di pesantren, tampaknya menjadi benar bahwa pesantren bukan saja tempat untuk mengkaji tiga ilmu agama, yaitu bahasa Arab, Fiqih dan Tauhid, tetapi ilmu humanitis, bahasa Inggris dan sejarah. Tentu tidak cukup itu saja, pesantren ternyata juga mengajarkan soft skills bagi santri-santrinya agar memiliki kesiapan memasuki dunia kerja. Dalam pesantren terdapat berbagai unsur yang kemudian membentuk pokok pesantren, baik kiai, masjid, asrama, santri, dan kitab kuning. Menurut Dhofier (1985: 44-66) kelima elemen itulah menjadi elemen dasar dari tradisi pesantren. Melalui konstruksi dan relasi kelima elemen tersebut akhirnya pondok pesantren menciptakan dan membentuk perilaku sosial kebudayaan LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

yang mungkin berbeda dengan masyarakat lainnya di luar pesantren. Perilaku sosial kebudayaan tersebut terbentuk tidak hanya pada karakteristik fisik pesantren, melainkan juga bidang terbatas perilaku kebudayaan dari komunitas pesantren. Dalam konteks demikian, pesantren oleh Abdurrahman Wahid kemudian dianggap sebagai sebuah sub kultur dalam kultur masyarakat yang lebih luas. Menurut Abdurrahman Wahid (1988: 4047) unsur-unsur yang membentuk pesantren berfungsi sebagai sarana pendidikan dalam membentuk perilaku sosial budaya. Peranan kiai dan santri dalam menjaga tradisi keagamaan dalam kurun waktu relatif panjang. Pola kebudayaan yang terbentuk tercipta sebagai sebuah kebiasaan atau tradisi yang muncul sebagai implikasi logis dari pola relasi dan fungsionalisme yang terjalin dalam komunitas pesantren.25 Sungguhpun demikian, pandanganpandangan sumir terhadap kiai—biasanya dilakukan oleh para modernis dan puritan— tetap tak mampu menggeser pengaruh kiai di masyarakat. Keberadaan pesantren yang manunggal dengan lingkungan sekitarnya, memang unik. Ia seperti berada di wilayah periferi kekuasaan negara, sekaligus hadir di jantung masyarakat. Dan, sebagai figure sentral pesantren dan masyarakat, kiai dituntut bersikap kontekstual, fleksibel dan elastis menyikapi dinamika sosial, sekaligus menjaga agar jati diri dan sistem nilai pesantren tidak luntur. Dalam strategi sosial kebudayaan, kepercayaan diri self confidence yang berkelindan dengan sikap pertahanan diri (self defensive) seperti ini, 25 Abdurohman Wahid, dalam Makalah Listiyono Santoso, Kamampuan Internal Pesantren Mengakomodasi Perubahan, (1988), hlm. 40-47

25


Muhammad N. Hassan # Artikel Fokus LoroNG akan memberikan landasan kuat bagi transformasi sosial.26 Pelestarian tradisi dan budaya pesantren ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi upaya membangun karakter bangsa. Tiga hal yang ingin dicapai, dari acara tersebut yakni, pertama menegaskan budaya pesantren, sebagai sub kultur Indonesia yang lebih adaptatif dan menghargai tradisi serta kearifan budaya lokal, kedua, mengembalikan akar budaya Indonesia yang cinta damai, toleran, ramah.27 Saat ini pesantren justru lebih banyak terjebak dalam perjuangan kepentingan yang bersifat pragmatis oportunis, terlebih lagi pada era pasca Orde Baru, terutama sekali pada saat-saat menjelang Pemilu. Pesantren dalam banyak kesempatan justru menjadi ajang pertarungan kepentingan perebutan kekuasaan atas nama agama. Generasi masa lalu menjadikan politik sebagai media memperjuangkan kepentingan agama, saat ini justru agama dijadikan “tunggangan” kepentingan politik. Ini bisa terjadi karena Pesantren tidak memiliki visi dan misi yang jelas dalam konstalasi perubahan sosial yang sedang berlangsung. Pesantren saat ini ibarat sebuah kapal yang berlayar di tengah gelombang laut dengan tanpa tujuan. Ia akan berlayar menuju ke tempat yang diinginkan oleh nahkodanya. Di tengah arus perubahan tata nilai sosial-budaya seperti sekarang ini, Pesantren tampak tidak 26 Rizal Mumazziq, Cermin Bening dari Pesantren; Potret Keteladanan Para Kiai, (Surabaya: Khalista, 2009) Resensi oleh A. Khoirul Anam, Santri Pesantren Ciganjur, 2010. 27 Nusron, dalam acara Festival Budaya Pesantren bertajuk “Dari Pesantren untuk Bangsa, Merevitalisasi Tradisi dan Menghargai Budaya Lokal”, (Kegiatan tersebut dihelat untuk memperingati Harlah ke79 Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Jakarta, 2013)

26

memiliki sense of crisis sama sekali.28 Pesantren memiliki karakteristik tersendiri yang khas yang hingga saat ini menunjukkan kemampuannya yang cemerlang melewati berbagai episode zaman dengan kemajemukan masalah yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan sejarahnya, ia telah memberikan andil yang sangat besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan pencerahan terhadap masyarakat. Salah satu hal yang membuat pesantren di Indonesia tetap bertahan adalah ia tetap mempertahankan budaya (budaya pesantren), kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah culturaldeterminism.29 Pesantren dianggap sebagai instrumen penting. Sebab, pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan dan “pendidikan” sampai sekarang masih diyakini mempunyai peran besar dalam membentuk karakter individu-individu yang dididiknya, dan mampu menjadi “guiding light” bagi generasi muda penerus bangsa.30

28 Drs. Yasmadi, MA., Modernisasi Pesantren, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 61 29 Arifur Rahman, Pesantren Budaya Sebagai Pusat Kegiatan Pondok Pesantren di Singosari, (Malang: Tugas Akhir Jurusan Teknik Arsitektur UIN MALANG, 2011) 30 Syamsul Ma’arif, Transformative Learning dalam Membangun Pesantren Berbasis Multikultural, (Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Volume 1, Nomor 1, Juni, 2012), hlm. 8

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Konstribusi Pesantren dalam Memfilter Modernisasi Sosial Budaya Masyarakat Oleh karena itu, sudah tidak diragukan lagi bahwa pesantren memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya. Sehingga eksistensi pesantren di tengah-tengah masyarakat mampu menjadikan kehadiran pesantren tetap menjadi idaman masyarakat di tengah penggerusan moral yang diakibatkan oleh budaya konsumeris. Strategi budaya yang dimainkan pesantren terbukti efektif dalam mempertahankan nilai-nilai agama dan moralitas di samping pada saat yang sama terus berusaha mengapresiasi sekaligus berkreasi menciptakan nilai-nilai baru yang mungkin menopang keberlangsungan tradisi pesantren. Demikianlah, pesantren dengan ragam variannya terus berusaha menciptakan strategi-strategi baru untuk terus menyumbangkan kemampuannya dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Strategi-strategi itu terus diujiterapkan sesuai dengan skala prioritas dan tantangan masing-masing pesantren.31 Oleh karenanya masyarakat diharapkan mempercayai pondok pesantren mampu hadir sebagai solusi transformasi sosial budaya.

Penutup Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang komplit memenuhi berbagai aspek, terutama aspek pendidikan moral dan karakter. Meskipun dewasa ini segala cakupan mengenai kehidupan tidak bisa terlepas dari perubahan-perubahan nilai akibat globalisasi. Akan tetapi, pondok pesantren dengan pendidikan di dalamnya dinilai mampu menciptakan dan membentuk perilaku sosial budaya masyarakat. Hal demikian dikarenakan pesantren terdapat berbagai unsur yang kemudian membentuk pokok pesantren, baik kiai, masjid, asrama, santri, dan kitab kuning. Kelima elemen itulah menjadi elemen dasar dari tradisi pesantren. Melalui konstruksi dan relasi kelima elemen tersebut akhirnya pondok pesantren menciptakan dan membentuk perilaku sosial kebudayaan yang bisa jadi berbeda dengan masyarakat lainnya di luar pesantren. Perilaku sosial kebudayaan tersebut terbentuk tidak hanya pada karakteristik fisik pesantren, melainkan juga bidang terbatas perilaku kebudayaan dari komunitas pesantren. Dalam konteks demikian, pesantren oleh Abdurrahman Wahid kemudian dianggap sebagai sebuah sub kultur dalam kultur masyarakat yang lebih luas. Harapannya, pondok pesantren benarbenar mampu hadir berkontribusi dalam transformasi sosial budaya dan sebagai solusi mengurangi budaya konsumtif masyarakat. Sehingga masyarakat dapat mengilangkan

31 Mastuki, M.A., Intelektualisme Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hlm. 7

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

27


Muhammad N. Hassan # Artikel Fokus LoroNG asumsi tentang citra pesantren sebagai pendidikan yang ketinggalan zaman, dan kehadiran pesantren tetap menjadi idaman masyarakat di tengah penggerusan budaya yang diakibatkan oleh peradaban global. Daftar Pustaka Abdullah, Said. 2007. Pesantren, Jati diri dan Pencerahan Masyarakat. Sumenep: Said Abdullah Institute Publishing Chaer, Moh. Toriqul. 2013. Inklusifisme Pesantren. diakses dari http://m. cyberdakwah.com/2013/07/ inklusifisme-pesantren/ pada tanggal 02 Oktober 2013 pukul 13:30 WIB Dhofier, Zamakhsyari. 1985. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES Haji, Maskul. Halaqah: Dari Pesantren untuk Indonesia Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, (dilansir dari SKH Kedaulatan Rakyat, Sabtu 28 Januari 2012) Hasbullah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Ma’arif, Syamsul. Transformative Learning dalam Membangun Pesantren Berbasis Multikultural. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Volume 1, Nomor 1, Juni, 2012. hal. 8 Madjid, Nurcholis. 2006. Buletin Bina Pesantren. Jakarta: Depag RI Madjid, Nurcholis (yang dikutip oleh Hasan Mu’arif Ambari). 2001. Menemukan Peradaban; Jejak Arkeologis dan Historis 28

Islam Indonesia. Jakarta: Logos Mastuki. 2006. Intelektualisme Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka Mumazziq, Rizal. 2009. Cermin Bening dari Pesantren; Potret Keteladanan Para Kiai. Surabaya: Khalista Nusron. 2013. Dari Pesantren untuk Bangsa, Merevitalisasi Tradisi dan Menghargai Budaya Lokal. Jakarta: Festival Budaya Pesantren, Harlah ke-79 Gerakan Pemuda (GP) Ansor Rahim, Husni. 2001. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Rahman, Arifur. 2011. Pesantren Budaya Sebagai Pusat Kegiatan Pondok Pesantren di Singosari. Malang: Tugas Akhir Jurusan Teknik Arsitektur UIN Malang Setiadi, Elly M., et al. 2011. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Soekanto, Soerjono. 1992. Memperkenalkan Sosiologi. Jakarta: Rajawali Pers Sani, A. 1995. Sosiologi dan Perubahan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Jaya Triwulan T., Titik. 2008. Transformasi Sosial Budaya. Jakarta: Lintas Pustaka Wahid, Abdurrahman. 1995. Pesantren Sebagai Subkultural, dalam Pesantren dan Pembaruan. Jakarta: LP3ES Wahid, Abdurahman. 1988. Kamampuan Internal Pesantren Mengakomodasi Perubahan. (dalam Makalah Listiyono Santoso) Yasmadi, Drs., MA. 2002. Modernisasi Pesantren. Jakarta: Ciputat Press Zuhairini. 1997. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


ď Ť Jam Karet dan Tradisi yang Membudaya Abstract Hours rubber as a tradition, has been so ingrained in the habits of Indonesian society. This fact certainly affects the performance of Indonesian nation in the activities of their works, as well as in the international competition of nations. Thus, hours rubber becomes ambivalent, as an obstacles to progress, and as a tradition that has been fundamental in Indonesian culture. This article will study about rubber watch that has become a tradition in Indonesia, and solution-step to uncover regardless of it bridle. Jam karet sebagai sebuah tradisi, telah begitu mendarah daging dalam kebiasaan masyarakat indonesia. Kenyataan ini tentu berpengaruh pada kinerja bangsa indonesia dalam aktifitas pekerjaan mereka, juga dalam persaingan internasional bangsa-bangsa. Jam karet dengan demikian menjadi ambivalen, sebagai hal yang menghambat kemajuan, dan sebagai tradisi yang sudah mendasar di kebudayaan indonesia. Artikel ini akan membincang jam karet yang sudah menjadi tradisi di indonesia, dan mengungkap langkah solutif untuk terlepas dari jeratnya. Kata kunci: Jam karet, tradisi yang membudaya

Oleh

Siti Laitatul Hajar Anggota Bidang Penelitian Kualitatif LKP2M 2013 Mahasiswa Jurusan BSI Semester VII sitilailatulhajar@gmail.com

melimpah juga patut untuk dibanggakan. Mulai dari satwa langka yang kini diakui sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia yaitu komodo, hingga satwa dan flora yang hingga kini belum diberi nama pun juga ada di kepulauan Indonesia.

Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu Negara besar dengan kepualuaan yang tidak kurang berjumlah 17.000 pulau. Dari kepulauan itu, Indonesia diperkaya oleh suku, adat istiadat, bahasa dan juga agama serta kepercayaan yang ada. Bahkan dalam sebuah film berjudul “Tanah Surga, Katanya� dikatakan bahwa Indonesia yang luas itu tidak bisa diurus dalam satu hari, tapi butuh proses yang tidak sebentar. Kekayaan Indonesia belum cukup di situ saja, kekayaan sumber daya alam yang

Kekayaan Indonesia yang luar biasa tersebut rupanya timpang bila kita paradoks kan dengan kebiasaan jam karet yang menjadi budaya di Indonesia. Dikatakan membudaya karena kebiasaan ini dilakukan tidak hanya di kalangan atas saja, melainkan mulai dari lembaga terkecil sampai lembaga tertinggi. 29


Siti Laitatul Hajar # Artikel Fokus LoroNG Sebut saja jadwal rapat mahasiswa, di kantor, di universitas sampai pada sidang yang dilakukan oleh anggota dewan dan pemerintah pusat sekalipun, jam karet tidak dapat dihindarkan. Entah apakah ini merupakan sebuah budaya baik yang harus dipertahankan atau budaya buruk yang harus ditinggalkan, namun budaya jam karet telah menjadi suatu kepastian di negeri ini. Kepastian yang membudayakan ini menjadikan waktu seperti permainan bagi masyarakat Indonesia. Jika selama ini dikatakan bahwa zaman yang mengatur hidup manusia, tapi tidak dengan masyarakat Indonesia, merekalah yang mengatur zaman. Menarik memang membahasakan waktu bagi masyarakat Indonesia, karena faham telat itu sudah masuk ke dalam pola pikir dan menjadi kebiasaan yang tidak dapat dihindarkan.

dengan pernyataan, “sorry, I am busy”. Berbeda dengan masyarakat Negara Timur Tengah, mereka memiliki semboyan yang juga tidak kalah bermaknanya dengan Eropa. Mereka menilai waktu sebagai pedang, “al-waqtu kas-saif”. Pemaknaan demikian memiliki penjelasan bahwa bagi masyarakat Arab waktu itu laksana sebuah senjata yang dapat membunuh apabila tidak dapat menggunakannya dengan tepat. Kehati-hatian mereka menggunakan waktu tersebut, sehingga bagi mereka waktu harus dapat di-manage, diatur dan dibagi sesuai kapasitasnya.

Waktu sendiri didefinisikan sebagai masa. Masa di mana kita melakukan aktivitas keseharian, mengukir prestasi dan mencipta sejarah. Dan masa sebagai waktu yang lampau seakan terus dikenang dan diceritakan meskipun satu detik yang lalu, karena kita tidak akan pernah dapat mengembalikannya.

Masyarakat Indonesia sendiri mewakili entitas melayu lebih unik dalam mendefinisikan waktu. Banyak semboyan yang menunjukkan ke arah pemaknaan tersebut. Misalnya dalam masyarakat Jawa sering sekali diucapkan sebuah falsafah “alonalon asal kelakon”, kalau dalam masyarakat global Indonesia kita juga sering mendengar istilah “biar lambat asal selamat”, “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”. Kesemua istilah ini apabila kita rumuskan mengenai pemaknaan waktu bagi masyarakat Indonesia adalah ketelitian, lamban, suka menunda, atau dapat pula bermakna terlalui menghargai waktu.

Eropa biasanya memaknai waktu sebagai uang, sebagaimana ungkapan “time is money”. Pemaknaan demikian sehingga mereka teramat saying untuk membuang waktu dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, karena sama saja dengan menghambur-hamburkan uang atau menyianyiakan kesempatan untuk menghasilkan uang. Wajar, apabila mereka di dalam setiap kesempatan untuk berbicara atau melakukan kegiatan mereka menimpalinya

Menarik memang membahas persoalan menghargai waktu di Indonesia. Kita mungkin pernah hadir dan datang dalam sebuah acara resmi baik skala lokal, Nasional atau bahkan Internasional yang permasalahan waktu tanpa terasa dan mau tidak mau harus diakui bahwa itu ngaret. Mulai dari persiapan pelaksana kegiatan, undangan kehormatan, sampai pada peserta dapat menjadi alasan sebuah waktu kegiatan yang telah ditentukan menjadi mundur

30

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Jam Karet dan Tradisi yang Membudaya untuk beberapa saat. Dan hal itu pun ditanggapi sebagai sebuah kewajaran, sehingga ekspresi orang-orang di dalamnya seperti biasa dan tidak ada masalah. Maka muncul sebuah ungkapan klasik, “masih menunggu pemateri, masih menunggu pembuka acara, atau bahkan yang lebih ekstrim yaitu maaf, masih menunggu peserta di jalan”. Inilah identitas ke-Indonesia-an kita dalam menanggapi sebuah permasalahan mengenai waktu. Maka, kajian pada artikel ini akan coba mengungkap, mendeskripsikan dan mengurai alasan atau sudut pandang ke-Indonesia-an dalam budaya “jam karet”. Karena mau tidak mau budaya ini sudah melekat dan menjadi mind-stream masyarakat Indonesia. Munculnya budaya jam karet di indonesia “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orangorang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”1. Sebagaimana dalam ayat tersebut, Allah SWT bersumpah dengan menggunakan waktu atau masa. Secara global surat al-‘Ashr di atas memberi peringatan kepada seluruh manusia bahwa diri mereka di dalam kerugian apabila tidak mampu memanfaatkan waktu yang diamanahkan kepada mereka. Sejalan dengan ayat tersebut, dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqy dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah bersabda: “Pergunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara yang lain. Hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum 1 QS. Al-‘Ashr: 1-3

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

sakitmu, sempatmu sebelum sempitmu, masa mudamu sebelum masa tuamu, dan kayamu sebelum miskinmu.” Ayat dan Hadits di atas menjadi bukti bahwa Islam begitu memerhatikan agar manusia dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Waktu, sebagaimana dijelaskan pada hadits di atas pasti akan berbalik pada akhirnya. kalau kita tidak siap untuk menghadapi waktu atau kehidupan yang dapat berbalik kapan saja, maka akan celakalah pada masanya. Pakar komunikasi internasional Richard D. Lewis 16 tahun lalu menerbitkan buku: “When Cultures Collide”. Dalam buku tersebut ia menulis bahwa “waktu” di Indonesia laksana “kolam tak berbatas” atau disebut dengan “jam karet”. Ketepatan waktu tak dirisaukan. Pertemuan dapat molor satu jam bahkan dapat lebih. Orang Indonesia tak suka dikejar kejar waktu. Dari penuturan Richard dapat dipahami bahwa hampir keseluruhan orang Indonesia memiliki pemikiran yang sama mengenai waktu. Meskipun Richard menulis bukunya 16 tahun yang lalu, namun hingga saat ini kebiasaan yang telah seolah dilestarikan ini masih saja berlangsung. Orang Indonesia umumnya tidak suka memiliki deadline, tidak suka terburu-buru, dan tidak suka memiliki jam-jam khusus di mana ia seakan-akan diatur. Keadaan ini memungkinkan manusia Indonesia untuk mengatur dirinya sendiri terhadap waktu dan bukan sebaliknya. Namun, salah jika menyimpulkan bahwa manusia Indonesia memiliki sifat malas. Mereka hanya ingin memiliki kebebasan sendiri. Baik di belahan daerah manapun, 31


Siti Laitatul Hajar # Artikel Fokus LoroNG keadaan yang sama akan ditemui bahwa manusia Indonesia memiliki jamnya sendiri dalam melaksakan pelbagai aktivitasnya. Budaya sendiri merupakan hasil cipta, karya dan karsa manusia. Sebagai suatu kepastian, maka seiring dengan berkembangnya suatu kebiasaan, maka ia perlahan akan menjadi pemakzulan dalam pola pikir masyarakat. Tidak terkecuali budaya jam karet. Semula ia hanyalah kebiasaan turunan yang diwariskan oleh penjajah kepada bangsa Indonesia, yang kemudian tanpa terasa diikuti oleh pemerintah Indonesia sebagai pemegang tongkat kebijakan. Sikap permisif ini kemudian diamini tidak hanya di kalangan atas atau menengah saja, tapi menjamur hingga kepada masyarakat bawah. Hal ini tentu saja merupakan hasil bentukan budaya yang tanpa disadari menjadi hukum kecil yang berlaku di masyarakat Indonesia. Sehingga mau tidak mau budaya yang semula baru ini menjadi teladan baru bagi masyarakat. Tentu saja tidak memedulikan salah atau benar budaya ini, melainkan menjadi semacam cermin kepribadian masyarakat Indonesia. Tentu saja tidak akan ada api jika tidak ada asap sebelumnya. Selalu pula jarang sekali ada hujan yang tidak didahului mendung. Begitu pun dengan budaya jam karet di Indonesia. Setidaknya, banyak hal yang menjadi pengaruh atau faktor pendukung kemunculan jam karet di Indonesia. Beberapa faktor tersebut akan coba kita kaji, di antaranya: Pertama, sikap kurang amanah. Sikap kurang amanah yang dimaksud adalah tidak adanya rasa tanggung jawab yang besar dalam menghargai waktu yang telah diamanahkan pada dirinya. Sikap ini hampir dimiliki oleh 32

semua orang Indonesia. Bahkan meskipun sudah ditetapkan tata tertib dan hukuman apabila melanggarnya, masih saja tetap dilabrak oleh pelaku pelanggarnya. Seolah tidak memberikan efek jera, malah hukum yang ada menjadi dipermainkan. Kedua, sikap menggantungkan diri pada orang lain. Dalam bahasa Jawa, sikap ini diistilahkan sebagai sikap “njagakno�, yaitu sikap bergantung dan mengandalkan orang lain. Di dalam sebuah even acara pasti saja saling menggantungkan diri. Belum mau datang, karena yakin betul ada orang yang sudah mengurus hal tersebut. Alhasil sikap saling bergantung ini menjadikan even tersebut mundur karena saling tunggu tak berkesudahan, hingga akhirnya waktu ngaret pun tidak terelakkan. Sikap saling menggantungkan ini dimaknai pula sebagai sikap merasa keterwakilan diri sudah ada pada orang lain, sehingga apabila dirinya tidak ada ia berkeyakinan bahwa kegiatan tersebut tetap akan berjalan. Sebagaimana istilah “show must go on�. Sikap ketiga yaitu, sikap terlalu menghargai waktu. Ini adalah sikap positif di antara sikap negatif yang ada. Orang Indonesia sangat menghargai waktu yang ada. Telat atau jam karet yang diterapkan oleh mereka tidak terlepas dari upaya mereka untuk memberikan penghargaan terhadap waktu. Orang-orang yang memiliki sikap ketiga ini beranggapan bahwa daripada hadir tepat waktu dan kegiatan belum juga berlangsung, maka lebih baik melanjutkan pekerjaan atau menyelesaikan pekerjaan lain terlebih dahulu dan kemudian datang pada waktu yang dinyana sebagai waktu yang tepat untuk hadir.

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Jam Karet dan Tradisi yang Membudaya Jam karet, Alon-Alon Asal Kelakon Setelah penelitian Richard D. Lewis terhadap manusia Indonesia, Muchtar Lubis secara lisan pada tahun 1977, menyebut enam ciri manusia Indonesia. Meliputi hipokrit alias munafik (1), enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya (2), berjiwa feodal (3), percaya takhayul (4), artistik (5), dan berwatak lemah (6). Kemudian Koentjaraningrat (2004: 45) menambahkan pembacaan terhadap manusia Indonesia yaitu dengan memperinci kelemahan mentalitas manusia Indonesia, di antaranya: (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu; (2) sifat mentalitas yang suka menerabas; (3) sifat tak percaya kepada diri sendiri; (4) sifat tak berdisiplin murni; (5) sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh. Muchtar Lubis maupun Koentjaraningrat memiliki kesepakatan dalam memberikan definisi mengenai manusia Indonesia, yaitu enggan atau mengabaikan tangung jawab. Dan salah satu yang menjadi bagian dari tanggung jawab adalah efektifitas dalam menggunakan waktu. Sayangnya pendapat itu benar, hingga kini sikap menghargai waktu bagi manusia Indonesia masih sangat mengkhawatirkan. Dengan demikian bentukan semboyan alon-alon asal kelakon menjadi kebalikan dalam efektifitas waktu yang disebutkan. Masyarakat Indonesia dengan pemikiran sucinya memaknai kerja keras itu tidak membutuhkan waktu yang tepat melainkan ketekunan. Itu pulalah yang menjadikan Muchtar Lubis memberikan poin tersendiri mengenai manusia Indonesia, yaitu mencintai seni. Bekerja, bagi manusia Indonesia adalah melakukan kegiatan seni. Dan karenanya LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

bukan menuntut ketepatan akan waktu tetapi ketelatenan dan kerja keras yang memadai. Sehingga keterlambatan bukanlah menjadi penghalang dalam memberikan nilai, melainkan hasil akhir dari sebuah kerja keras itulah yang membuatnya menjadi sangat berharga dan bernilai lebih. Semua terlihat artistik menjadi andalan utama kebanggaan manusia Indonesia. Padahal sejatinya tidak selalu demikian. Gambaran umum kemajuan masyarakat dunia, juga dilihat dari bagaimana mereka mampu memberikan sebuah penghargaan akan waktu. Setidaknya, kita dapat melihat bagaimana Ghana, Korea dan juga Jepang dapat menjadi pelajaran sekaligus perenungan bagi kita bagaimana mereka mampu melesat jauh di masa kini. Huntington menggambarkan Ghana pada tahun 1960-an serba sama dengan Korea Selatan. Namun, 30 tahun kemudian, Korsel melampaui Ghana dalam segala hal. Mengapa? Pertanyaan ini dijawab Lawrence Harrison dalam artikel Promoting Progressive Culture Change di buku yang sama. Akar masalahnya, Korsel menghidupi dan mengembangkan nilai budaya progresif dengan 10 tipologi manusia, di antaranya berorientasi waktu, kerja keras, hemat, pendidikan, dan menghagai prestasi. Kedua, Jepang, walaupun bencana datang bertubi-tubi dalam bentuk gempa bumi, tsunami, meledaknya reaktor nuklir, mereka mampu menyikapinya dengan tenang. Dalam kondisi yang kritis masyarakat Jepang tetap mengedapankan nilai-nilai positif. Dalam acara berita di TV, disampaikan pengalaman warga negara Indonesia yang tinggal di Jepang, mendapatkan pengalaman menarik ketika gempa datang dan dia sedang 33


Siti Laitatul Hajar # Artikel Fokus LoroNG berbelanja di Mall. Setelah peristiwa gempa telah usai dari pihak penanggung jawab Mall segera mengembalikan kartu kredit warga negara Indonesia yang tertinggal. Hal ini merupakan refleksi teguhnya integritas dan kejujuran warga Jepang. Gambaran bahwa di Jepang setiap dompet yang jatuh umumnya akan kembali dalam keadaan utuh. karakter integritas dan kejujuran ini telah melekat dalam masyarakat Jepang karena adanya spirit dan ajaran Bushido yang menekankan karakter amapengasih, santun, sopan, mulia, hormat dan lain-lain (Zaim Uchrowi, 2009: 4). Begitupun dengan semboyan berikutnya, yaitu “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”. Pernyataan ini lebih bernilai negatif, seakan-akan mempermainkan waktu yang ada, namun juga memiliki nilai positif yaitu memberikan kelonggaran dan yang lebih utama adalah dengan tidak meninggalkan aktivitas tersebut. Ditinjau dari aspek agama akan manis tampaknya semboyan ini, karena bersifat ibadah. Dan keterlambatan tidaklah menjadi dosa, melainkan rukhsoh tersendiri. Namun, dalam kacamata sosial, semboyan ini akan dinilai sebagai ketidakseriusan dalam memegang amanah dan waktu yang diberikan. Dan akan menjadi dosa sosial tersendiri apabila tidak mampu menyelesaikan meskipun harus di akhir tenggat waktu yang ada. Alon-alon asal kelakon sendiri menjadi ciri khas manusia Indonesia alam memaknai hidup mereka. Bagaimana tidak, dari gaya berjalan saja manusia Indonesia menghayati betul setiap langkah kaki mereka. Melihat sekilas mungkin seperti tidak memiliki semangat hidup, namun sejatinya memang sudah menjadi bagian 34

dari jiwa manusia Indonesia untuk berjalan tidak cepat. Perumpamaan ini juga sejalan dengan semboyan “makan nggak makan asal ngumpul”. Ciri satu ini hampir di miliki seluruh manusia Indonesia. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Buchori Zainuddin, bahwa manusia Indonesia terbiasa dengan kehidupan yang ramai. Mereka merasa nyaman berada dalam kelompok sekalipun secara relatif membatasi ruang gerak pribadinya.2 Menghabiskan waktu untuk berkumpul meskipun dengan obrolan yang ringan dan tidak ada manfaatnya adalah kesenangan menyeluruh yang tidak terbantahkan. Memerangi Budaya Jam Karet Manusia Indonesia masa depan perlu dipahami bukan sebagai ”sudah begitu, mau apalagi”, tetapi bisa diubah, melalui strategi kebudayaan, yaitu dengan melakukan perubahan sistem nilai budaya (culture value system). Kita masih dapat memperbaiki semuanya, hanya saja kita butuh perjuangan panjang untuk merubahnya. Kita dapat menjadikan Negara-negara yang hari ini berkembang dan besar dalam memaknai waktu dan bagaimana proses mereka merubah tipologi dan karakter masyarakat di dalamnya. Sebenarnya sumber persoalan buruknya kualitas manusia Indonesia adalah adanya nilai-nilai yaitu sistem budaya yang negatif dan penjajahan yang sangat lama yang dialami bangsa Indonesia–meminjam istilah dari Koentjaraningrat. Sistem nilai 2 Imam Buchori Zainuddin, Tantangan Budaya Kita pada Abad Tenkosains Abad XXI. Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel Transformasi Budaya Membangun Manusia Indonesia Berkesadaran Ilmu Pengetahuan pada Sabtu, 31 Maret 2012.

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Jam Karet dan Tradisi yang Membudaya budaya itu dihidupi dan dikembangkan oleh manusia, yang menjadi subyek atas perilaku dan tindakannya. Sedangkan untuk membangkitkan mental negara terjajah adalah dengan banyak belajar kepada negara-negara lain yang telah maju, sehingga termotivasi untuk meningkatkan kepribadiannya ke arah yang lebih baik. Permasalahan jam karet atau ngaret bagi manusia Indonesia telah menjadi ciri khusus bahkan sudah menjadi watak bangsa. Maka, sudah bukan lagi sebagai kewajaran namun menjadi keharusan bersama untuk diperbaiki. Setidaknya, dukungan untuk melaksanakan komitmen bersama kita, yaitu disiplin nasional. Inilah yang kemudian harus kita dukung demi kian terkikisnya budaya jam karet di Indonesia. Pengaruh jam karet sendiri terhadap manusia dapat bersifat negatif, dapat pula bersifat positif. Pengaruh negatif jam karet terhadap manusia adalah sebagai berikut: Jam karet dapat merusak rencana kerja yang telah tersusun dengan baik. Karena adanya penundaan atau penguluran waktu, rencana kerja yang sudah dibagi waktunya menjadi berantakan. Contoh sederhana adalah terjadinya keterlambatan pesawat. Dengan adanya keterlambatan tersebut maka acara rapat atau pekerjaan lain menjadi kacau. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan situasi ‘stres’ di dalam diri seseorang. Keadaan stres menimbulkan banyak dampak negatif baik terhadap kesehatan jiwa maupun kesehatan fisik. Sebelum memungkasi pembahasan jam karet ini dengan menguraikan upaya mengatasi budaya jam karet, perlulah kita menjawab sebuah pertanyaan penting, yaitu: mengapa kebiasaan jam karet membudaya? LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

Setidaknya, banyak faktor yang diperkirakan mempunyai kaitan yang erat dengan tumbuhnya kebiasaam jam karet. Faktorfaktor tersebut antara lain meliputi: Pertama, yaitu masyarakat Indonesia yang agraris. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris yang sangat bergantung pada bidang pertanian dalam menopang kehidupan ekonomi. Mayoritas penduduk Indonesia, termasuk kakek dan neneknya, adalah petani. Pekerjaan sebagai petani ini tidak terlalu menuntut ketepatan waktu di bidang industri. Orang dapat pergi ke sawah kapan saja, pagi, siang, atau sore. Lain halnya dengan para pekerja di dalam industri yang jam kerjanya sangat diatur oleh perusahaan. Pada pekerjaan industri, keterlambatan datang ke tempat kerja akan menyebabkan turunnya produktivitas kerja. Selain faktor ketepatan waktu, kondisi alam Indonesia yang tidak dibatasi oleh iklim seperti di negara-negara yang memiliki empat musim (musim panas, musim rontok, musim dingin, dan musim semi) menyebabkan para petani tidak perlu terlalu ketat dengan waktu. Kondisi ini sangat berbeda dengan para petani di negara yang memiliki empat musim. Waktu tanam mereka sangat terbatas, sehingga mereka harus memanfaatkan waktu secara maksimal bila ingin mendapatkan optimal. Kedua, sikap pemuka masyarakat. Yang dimaksudkan di sini adalah sikap pemuka masyarakat yang menduduki jabatan formal, seperti kepala desa, camat, kepala kantor, dan lain-lain. Ada kecenderungan bahwa pemuka masyarakat ini di dalam beberapa kegiatan selalu harus ditunggu oleh bawahannya, bukan menunggu bawahannya. Di dalam 35


Siti Laitatul Hajar # Artikel Fokus LoroNG kegiatan rapat misalnya, biasanya pimpinanlah yang datang paling akhir. Setelah pimpinan datang, rapat baru dimulai. Keterlambatan ini tidak berarti bahwa pimpinan terlambat tiba atau datang di tempat rapat. Cukup sering pimpinan sudah berada di kantor. Pmpinan terlambat datang karena dia biasanya menghendaki semua orang lain sudah hadir. Apakah sebabnya timbul sikap pimpinan yang demikian? Ada beberapa kemungkinan penyebabnya. Kemungkinan pertama ialah pimpinan memang sangat sibuk sehingga dia menggunakan waktunya untuk mengerjakan pekerjaan yang lainnya. Kemungkinan kedua ialah karena pimpinan merasa turun kewibawannya bila harus menunggu anak buahnya. Dengan datang paling akhir, pimpinan merasa dirinya sangat terhormat, semua orang akan memandangnya, dan tidak jarang banyak anak buah yang berdiri untuk menghormatinya. Satu hal lain yang membuat pimpinan atau juga orang lain suka terlambat dalam mengerjakan sesuatu kegiatan yang telah ditetapkan, adalah kebiasaan memegang jabatan rangkap. Makin banyak jabatan yang dipegang maka akan makin besar kemungkinan untuk membiasakan diri dengan jam karet. Hanya segelintir manusia dengan disiplin sangat tinggi yang dapat mempertahankan ketepatan waktu kerja dalam kondisi jabatan yang demikian. Dalam masyarakat yang berorientasi ke atas (bapakaisme), sikap pimpinan semacam itu akan menyuburkan kebiasaan jam karet di kalangan masyarakat. Kalau pimpinan sudah memberikan contoh, maka anak buah akan merasa jam karet adalah hal yang lumrah dan legal. Dari disinilah dimulai suatu rangkaian proses penurunan 36

produktivitas kerja. Ketiga, sistem penilaian prestasi. Ketepatan waktu di dalam melaksanakan suatu pekerjaan adalah salah satu tolak ukur keberhasilan kerja. Namun seringkali dalam kenyataannya mereka ‘yang tepat-waktu’ dan ‘yang terlambat’ diperlakukan sama saja. kondite karyawan tidak dinilai dari ketepatan waktu tersebut. Jarang sekali orang-orang yang tepat-waktu mendapat penghargaan. Cukup sering kita dengan selorohan tentang sistem penggajian pegawai negeri yang berdasarkan PGPS, yang dterjemahkan sebagai pintar Goblok Penghasilan Sama. Demikian pula dengan aspek kehidupan masyarakat di luar kantor atau perusahaan. Seringkali keterlambatan tidak menimbulkan konsekuensi apa-apa. Misalnya kalau terlambat datang ke stasiun kereta api untuk membeli karcis, seseorang tidak perlu antri. Ia dapat secara langsung menyerobot di depan orang lain tanpa konsekuensi apa-apa. Tidak ada yang menegur apakah petugas atau orang lain yang dalam antrian. Keterlambatan hanya membawa konsekuensi bila berhadapan dengan kantor-kantor tertentu yang umumnya kantor pemerintah. Misalnya keterlambatan membayar listrik, biaya tilpon, dan biaya air ledeng akan mendapat konsekuensi aliran akan dicabut. Keterlambatan membayar pajak atau iuran TV akan dikenakan denda. Sangat disayangkan kalau keterlambatan tersebut berasal dari kantor pemerintah, masyarakat tidak dapat membrikan sanksi pada petugas. Misalnya keterlambatan petugas menyelesaikan KTP atau surat lainnya, tidak ada sanksi apa-apa. Keadaan yang demikian ini akan menyebabkan aparatur negara mempunyai keleluasaan LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Jam Karet dan Tradisi yang Membudaya untuk terlambat dalam melayani masyarakat. Kalau sekiranya penilaian prestasi kerja petugas yang melayani masyarakat dikaitkan dengan kecepatannya melaksanakan tugas (tidak molor), maka besar kemungkinan jam karet ini akan teratasi. Keempat, sikap masyarakat yang rikuh dan tidak berterus terang. Sifat atau non-asertif ditandai oleh adanya perasaan segan untuk mengatakan sesuatu perbuatan orang lain yang dianggap kurang wajar. Keseganan ini timbul karena adanya kekhawatiran bahwa teguran yang disampaikan akan membuat orang lain menjadi tersinggung perasaannya. Sifat yang demikian akan membuat orang tidak bersedia untuk mengeritik perilaku jam karet. Sifat tidak suka memberi kritik itu semakin menonjol bila orang yang melakukan jam karet itu adalah pimpinan. Ada rasa kuatir bahwa kritik terhadap pimpinan itu akan mencelekakan dirinya. Daripada membuat masalah lebih baik diam saja. Upaya pemberantasan jam karet ini sangat ditentukan oleh sikap pimpinan formal. Kelima, sikap masyarakat yang menyerah pada keadaan. Jika ditinjau dari cara manusia melihat faktor yang mempengaruhi kehidupannya, secara garis besar manusia dapat digolongkan ke dalam dua tipe. Tipe pertama disebut dengan pusat kendali internal (internal locus of control) yang melihat kemajuan di dalam hidup ditentukan oleh faktor-faktor di dalam diri seperti bekerja keras, cita-cita yang tinggi, dan keuletan dalam mengubah nasib. Orang tipe ini yakin bahwa kemajuan dirinya ditentukan oleh dia sendiri. Tipe yang kedua adalah pusat kendali eksternal (external locus of control). Orang yang termasuk ke dalam tipe ini beranggapan bahwa LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

faktor-faktor di luar dirilah yang menentukan keberhasilan seseorang. Misalnya karena nasib naik, adanya koneksi, dan bukan karena kerja keras dari diri sendiri. Orang tipe ini beranggapan bahwa bekerja keras, menepati waktu, bekerja penuh disiplin bukanlah faktor utama penyebab keberhasilan untuk menduduki posisi tertentu. Faktor yang paling menentukan adalah ada tidaknya koneksi, khususnya koneksi yang masih ada kaitan keluarga. Dalam masyarakat yang menganut prinsip kekeluargaan sifat subjektif untuk mengutamakan anggota kelaurga sendiri sangatlah besar. Kalau sekiranya anggota keluarga diberi kesempatan tersebut memang memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas yang diberikan sistem koneksi tidak memberikan pengaruh yang fatal. Tetapi kalau anggota keluarga yang diberikan kesempatan tersebut tidak memiliki kualifikasi yang dituntut oleh pekerjaan maka akibatnya akan fatal. Dalam masyarakat kita sering mendengar selorohan seperti ‘sedulurisasi’ dalam hal untuk mendapatkan kesempatan. Suasana masyarakat yang demikian ini akan membuat orang kurang yakin bahwa disiplin di dalam menggunakan waktu akan mengantarkan seseorang ke kemajuan karir diri sendri. Sangat dikuatirkan iklim koneksi yang demikian itu akan menumbuhkan sifat yang merupakan ciri orang-orang yang memiliki tipe kepribadian pusan kendali eksternal (external locus of control). Hasil-hasil penelitian di negara maju menunjukkan bahwa yang berhasil memajukan suatu negara bukanlah orang-orang yang pasrah pada nasib dan koneksi, tetapi adalah orangorang yang bekerja keras dan penuh disiplin. Dalam pembanugnan suatu bangsa harus 37


Siti Laitatul Hajar # Artikel Fokus LoroNG ditumbuhkan sifat kepribadian ‘pusat kendali internal’ (internal locus of control) di kalangan masyarakat. Orang yang merasa bahwa hasil kerja ditentukan oleh faktor di dalam dirinya akan bertanggung jawab terhadap hasil kerjanya. Dia tidak akan mencari kambing hitam dari kegagalan kerjanya. Orang yang demikian akan mengundurkan diri dari pekerjaan bila dia merasa tidak berhasil. Bahkan di Jepang banyak orang yang gagal di dalam pekerjaan memilih hara-kiri untuk mempertanggungjawabkan kegagalannya. Setelah melihat kenyataan adanya kendala budaya dalam upaya menegakkan disiplin, maka tampaknya agak tidak mudah untuk menghilangkan kebiasaan jam karet. Namun demikian kita tidaklah harus pesimis. Dalam kenyataan di Indonesia masih ada institusi yang sangat menghargai waktu. Kegiatan keagamaan seperti shalat Jum’at di masjid dan kebaktian di gereja masih selalu sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Ada beberapa kegiatan yang sifatnya program jangka panjang dan program jangka pendek yang diharapakan bisa ikut menghilangkan jam karet. Untuk program Jangka Panjangnya, Kebiasaan hidup berdisiplin bermula dari kehidupan dalam lingkungan berkeluarga. Keluargalah institusi pertama yang menanamkan disiplin pada setiap individu. Kalau orangtua sendiri tidak tahu bagaimana caranya menumbuhkan sikap hidup berdisiplin, maka sulit bagi si anak untuk berkembang menjadi orang yang berdisiplin. Ada dugaan di kalangan para ahli bahwa banyak keluarga di Indonesia ini tidak tahu bagaimana mendidik anak supaya berdisiplin. Anak-anak dibiarkan berbuat semaunya tanpa suatu aturan yang 38

akan menopang tumbuhnya si anak menjadi warganegara yang berdisiplin dan bertanggung jawab. Kalau dugaan ini benar maka perlu digalakkan program pendidikan untuk orang dewasa tentang cara menanamkan disiplin. Hal ini perlu sekali disebarluaskan di kalangan masyarakat, baik melalui jalur formal maupun jalur informal. Disiplin yang sudah terbentuk di dalam keluarga akan menjadi buyar bilamana keadaan di laur rumah tidak mendukung terbinanya sikap disiplin. Oleh karena itu penataan lingkungan yang mendukung sifat disiplin ini sangat perlu dilakukan. Misalnya kebiasaan antri di masyarakat dapat ditumbuhkan dengan cara memasang pagar antrian di tempat-tempat yang diminati masyarakat (public interest), seperti tempat hiburan, bioskop, penjualan tiket, check-ini pesawat, bank, tempat pengambilan formulir, dan lain-lain. Misalnya di tempat hiburan yang ramai di kunjungi oleh anak kecil, loket penjualan karcis dan pintu masuk,dipasangi pagar. Dengan adanya pagar tersebut orang lain tidak bisa menyerobot semaunya seperti yang selama ini banyak terjadi di Indonesia. Kebiasaan antri ini harus dibiasakan dari masa kanak-kanak. Kalau si anak sudah terbiasa dengan antri, setelah mereka dewasa diharapkan perilaku itu terus bertahan. Keadaan di Indonesia dalam hal penataan lingkungan yang demikian tampaknya belum digalakkan. Banyak tempattempat yang menuntut orang untuk antri tetapi tidak disediakan pagar untuk menata antri. Tampaknya untuk mengurangi kebiasaan tidak disiplin perlu ada peraturan yang mewajibkan pemasangan tempat antri pada tempat-tempat yang merupakan public interest. Sifat berani berterus terang untuk menatkan sesuatu yang salah, yang merupakan pelanggaran disdiplin waktu, perlu dikembangkan sejak LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Jam Karet dan Tradisi yang Membudaya anak masih kecil. Untuk dapat menumbuhkan sifat berani berterus terang ini tidaklah mudah, karena budaya tidak terus terang dan kurang asertif ini sudah menjadi ciri budaya dan sulit untuk ditinggalkan. Tiada jalan lain kecuali menanamkan kesadaran bahwa budaya demikian harus mulai ditinggalkan. Penanaman sifat-sifat manusia yang tangguh seperti yang diajarkan oleh agama dan yang ditatar melalui P4 juga dimulai dari dalam keluarga. Ini adalah usaha jangka panjang untuk menumbuhkan manusia yang diharapkan akan mendukung terwujudnya kebiasaan menghargai waktu. Adapun Usaha jangka pendek untuk mengurangi kebiasaan jam karet perlu diprioritaskan pada karyawan baik pegawai negeri maupun pegawai swasta. Oleh karena di tangan mereka ini permasalahan jam karet paling mudah dilihat. Beberapa usaha yang kiranya perlu dilakukan adalah seperti berikut: Pertama, sudah tiba saatnya pemerintah menilai kemajuan suatu unit pelaksana pemerintahan dari segi kecepatannya melayani masyarakat. Pemberian tanda penghargaan kepada suatu unit pelaksana pemerintahan haruslah ditekankan pada aspek kecepatan melayani hak rakyat, bukan karena kemampuan menghabiskan dana pembangunan tepat pada waktunya. Kalau pencapaian program KB, peningkatan penghasilan pajak, dan transmigrasi dinyatakan dalam target, maka sudah waktunya untuk menargetkan kecepatan pelayanan masyarakat. Unit yang dapat mempercepat proses pelayanan patut diberi insentif, sedangkan unit yang tetap lambat dalam memberikan pelayanannya perlu dikenakan hukuman (disinsentif). Kedua, memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut menilai prestasi kerja pegawai negeri, baik pimpinan maupun bawahan. Undang-Undang Dasar negara kita menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Jadi LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

sudah sewajarnya masyarakat diberi kesempatan untuk mwenilai prestasi pegawai negeri di dalam melayani masyarakat. Adanya kotak pengaduan di setiap instansi akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut menilai kedisiplinan pegawai negeri. Tentu saja harus ada keinginan serius dari pihak atasan untuk menggunakan penilaian masyarakat ini sebagai masukan untuk mempercepat pelayanan terhadap masyarakat. Sejauh ini penilaian terhadap karyawan hanya ditentukan oleh pimpinan melalui penilaian kondite. Penilaian kondite ini seringkali tidak objektif. Penilaian yang tidak objektif ini akan membingungkan para karyawan. Seringhkali orang yang disiplin dan yang tidak disiplin dengan waktu mendapat penilaian yang sama baiknya atau sama buruknya. Ketiga, kebiasaan jam karet tidak terlepas dari terpenuhinya hajad hidup. Adanya peningkatan kebutuhan hidup, sifat konsumtivisme, dan perubahan tata dan nilai hidup materialistik, gaji pegawai negeri yang sangat rendah akan meyebabkan semakin mudahnya terjadi korupsi waktu yang digunakan untuk mencari tambahan penghasilan. Sudah tiba saatnya untuk merealisasikan kenaikan penghasilan pegawai negeri dalam batas-batas tertentu. Kenaikan penghasilan ini perlu diiimbangi dengan pengetatan pelaksanan sanksi pelanggaran disiplin waktu. Keempat, disiplin waktu di kalangan karyawan sangat ditentukan oleh sikap pimpinan. Pada masyarakat yang menganut ‘bapakisme’ ini keteladanan dari para pemimpin sangat perlu. Oleh karena itu upaya mengurangi jam karet harus dimulai oleh pimpinan. Pimpinan perlu menghilangkan anggapan bahwa datang lebih awal dalam suatu kegiatan akan mengurangi kewibawaan sebagai pimpinan. Selain itu sudah tiba saatnya bagi pimpinan 39


Siti Laitatul Hajar # Artikel Fokus LoroNG untuk mengurangi jabatan rangkap. Masih banyak penganggur di Indonesia yang menunggu pembagian jabatan. Penutup Munculnya budaya jam karet atau biasa disebut ngaret di Indonesia sudah sejak lama. Jauh sebelum Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaannya, kebudayaan jam karet ini sudah diterapkan oleh bangsa yang berperang dengan Indonesia. Keadaan ini belum sempat diperbaiki oleh pendulum kita di masa itu, karena mereka lebih focuspadawilayahmemperbaikiperekonomian bangsa dan struktur pemerintahan dan lain sebagainya. Sehingga, permasalahan jam karet ini kemudian tetap menjadi bagian dari Indonesia yang sulit untuk dilepaskan sebagai karakter bangsa. Jam karet dapat kita rumuskan bahwa masyarakat Indonesia yang notabenenya adalah masyaarakt agraris lebih memaknai waktu sebagai sesuatu yang tak berujung. Sebagai petani, mereka tidak dituntut tepat waktu seperti pekerja-pekerja industri. Dan hampir bersamaan dengan itu, manusia Indonesia lebih pada menyerah pada keadaan. Semboyan alon-alon asal kelakon dan lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali dilengkapi dengan semboyan kebersamaan “makan nggak makan asal kumpul� menjadi alternative pilihan yang kemudian terpatri dalam menjalani kehidupan. Persoalan penghargaan terhadap waktu bukan tidak penting, tapi permasalahan jiwa dan seni jauh lebih mendahului itu semua.

40

Adapun mengenai solusi yang ditawarkan yakni digolongkan menjadi dua jangka; jangka panjang dan pendek. Baik jangka pendek maupun jangka panjang semuanya akan siasia tanpa dukungan dan perjuangan bersama dari masyarakat Indonesia. Keharusannya adalah mulai berbenah dari sekarang dan mulai dawri diri sendiri. Karena amat banyak orang yang berfikir untuk merubah dunia, tapi teramat sedikit mereka yang berfikir untuk merubah dirinya sendiri.

Daftar Rujukan Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Lubis, Muchtar. 1992. Budaya, Masyarakat, Dan Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Harrison, Lawrence E. & Samuel P. Huntington (ed.). 2000. Culture Matters, How Values Shape Human Progress. New York: Basic Books. Satjipto Rahardjo. 1986. Gambaran Tentang Manusia dari Sudut Sosiologi dalam Mencari Konsep Manusia Indonesia Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Erlangga. Imam Buchori Zainuddin, 31 Maret 2012, Tantangan Budaya Kita pada Abad Tenkosains Abad XXI. (Makalah)

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


 Pendidikan Pesantren Sholihun Likulli Zaman Wa Makan Abstract Today’s Indonesian education has been far from the goal of tafaqquh fi ad-deen. Instead, various educational institutions became one machine that controlled protégé life and led them to become human being who stuck by worldly materialism and being away from the soul of spirituality, not to mention the Islamic world. There are not a few boarding school’s education that has been washed away by global education which brings their students to be human beings with bodies without mind, critical power and creativity. Everything has been programmed, uniformed and standardized. Therefore, Boarding schools must restore educational purposes; tafaqquh Fi ad-din to overprint intelligent generation with virtuous character. Pendidikan Indonesia hari ini telah jauh dari tujuan tafaqquh fi ad-diin. Sebaliknya berbagai lembaga pendidikan justru menjadi satu mesin pengendali kehidupan anak didik dan menggiring mereka untuk menjadi insan yang terpasung oleh materialisme duniawi dan kian jauh dari ruh spiritualitas, tak terkecuali dunia pesantren. Tidak sedikit pendidikan pesantren yang telah jauh terbawa arus pendidikan global yang membawa anak didiknya untuk menjadi manusia-manusia dengan tubuh-tubuh tanpa pikiran, tanpa daya kritis dan kreativitas. Semuanya telah diprogram, diseragamkan dan distandardisasi. Oleh karenanya, Pesantren harus mengembalikan tujuan pendidikan; tafaqquh fi ad-din untuk mencetak generasi yang cerdas dan berbudi pekerti. Kata kunci: Pendidikan, Pesantren, Global Oleh:

Tina Siska Hardiansyah Kepala Bidang Penerbitan LKP2M Periode 2011 Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab tina_siska@gmail.com

Pendahuluan

(PT) menerapkan format pendidikan barat. Segalanya mengacu pada standardisasi pendidikan yang telah dipatenkan oleh Negara Barat, baik pendidikan yang berada di bawah naungan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) maupun pendidikan yang dinaungi Kementrian Agama (Kemenag). Kita masih sedikit memaklumi ketika itu adalah pendidikan nasional di bawah naungan Mendiknas, akan tetapi model ini

Membincangkan sistem pendidikan yang sukses dalam aplikasi dan aktualisasinya, maka yang muncul di otak mayoritas warga Negara Indonesia adalah Barat, bukan Mesir, Maroko atau Negara Timur lainnya. Sehingga tidak heran, jika model pendidikan Indonesia di bangku sekolah, mulai dari sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP) hingga ke perguruan tinggi 41


Tina Siska Hardiansyah # Artikel Fokus LoroNG tidak relevan untuk pendidikan madrasah yang hakikatnya berakar dari pendidikan pesantren. Sebagai contoh konkret, saat ini untuk menjadi seorang guru di lingkup madrasah harus memenuhi persyaratan minimal lulusan S-1 untuk tingkat madrasah aliyah (MA), D-3 untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan D-2 untuk tingkat madrasah ibtidaiyah (MI)1. Padahal, itu semua adalah produk Negara Barat. Para pejabat di Kemenag telah lupa akan sejarah pendidikan Indonesia pra-kolonialisme, di mana pendidikan kita berawal dari halaqoh-halaqoh kecil dengan metode sorogan. Untuk menjadi seorang guru madrasah tidak membutuhkan title seperti S-1, D-3 dan sejenisnya karena pada dasarnya madrasah dibangun atas adanya keinginan bersama untuk bertafaqquh fi al-din2 dan karena strata dalam pendidikan seperti D-1, D-2, S-1 hingga S3 merupakan produk kolonial yang sengaja dihadirkan untuk menggeser pendidikan pesantren Indonesia yang selama ini diperjuangkan oleh para alim ulama’ kita dan dianggap membahayakan pemerintahan. Belajar pun tidak dibatasi usia (long live education), tidak membutuhkan biaya yang membumbung tinggi (komersialisasi pendidikan) seperti yang terjadi saat ini dan tidak ada tujuan lain melainkan mencari ilmu untuk kemudian dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari demi kemaslahatan umat. Namun realita pendidikan madrasah di Indonesia hari ini berkata lain. Banyak dari pesantren telah jauh menyimpang dari rel pendidikan yang bertujuan tafaqquh fi al-din. Pesantren dan madrasah pun tidak lepas dari 1 Departemen Agama RI. Desain Pengembangan M drasah. Hal: 61. 2005. Jakarta 2 Ibid, hal: 23

42

pengaruh konsep pendidikan Barat. Dalam hal ini Mubarok: 2009 mengklasifikasikan tipologi pendidikan pesantren ke dalam empat kelompok. Pertama, pesantren yang tetap konsisten seperti pesantren zaman dulu, disebut salafi. Kedua, pesantren yang memadukan sistem lama dengan sistem pendidikan sekolah, disebut pesantren modern. Ketiga, pesantren yang sebenarnya hanya sekolah biasa namun siswanya diasramakan 24 jam. Keempat, pesantren yang tidak mengajarkan ilmu agama karena semangat keagamaan telah dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan kehidupan sehari-hari di asrama. Terlepas dari beragam corak pendidikannya, formalisasi pesantren menuntut adanya kepatuhan terhadap peraturan yang diseragamkan. Itu berarti sebuah kelaziman untuk tunduk dan mengekor pada konsep pendidikan barat, hingga lambat laun tanpa disadari pendidikan pesantren kehilangan jati dirinya. Pembelajaran pesantren tidak lagi menganut sistem belajar-tuntas namun sistem kejar kurikulum sebagaimana sekolah formal: idealnya sekolah dasar diselesaikan 6 tahun, sekolah menengah pertama dan atas masing-masing 3 tahun, seorang mahasiswa dapat dinyatakan lulus apabila telah menyelesaikan jumlah SKS tertentu. Untuk menyelesaikan pendidikan Sarjana (S1), seorang mahasiswa diwajibkan untuk mengambil 144-160 satuan kredit semester (sks) yang diambil selama delapan sampai dua belas semester. Pada jenjang Magister (S2), seorang mahasiswa harus menyelesaikan 39 sampai 50 sks selama kurun waktu empat sampai sepuluh semester,  dan untuk jenjang doktoral (S3) LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Pendidikan Pesantren, Sholihun Likulli Zaman Wa Makan harus menempuh sekitar 79 sampai 88 sks dalam jangka waktu delapan sampai empat belas semester.3 Padahal asal-muasal sistem pendidikan pesantren mensyaratkan ketuntasan santri dalam mempelajari suatu bidang tertentu dalam kurun waktu yang tidak terbatas. Bisa saja seorang santri menguasai bidang tauhid satu atau dua bulan dan lekas beranjak ke keilmuan lainnya. Sebaliknya, bisa saja lama menggeluti bidang tersebut namun tidak juga tuntas. Maka ia masih harus terus mendalaminya hingga mencapai pemahaman yang tuntas. Sistem belajar-tuntas tersebut, sedikit demi sedikit telah bergeser mengikuti standardisasi pendidikan formal. Paradigma masyarakat kita telah digiring dan diindoktrinasi sedemikian rupa hingga mereka berasumsi bahwa jika tidak sekolah maka kita akan bodoh, biadab (tidak memiliki adab), menjadi pengangguran, terbelakang, konservatif, primitif, miskin dan buta huruf.4 Padahal jika melihat pada fakta sejarah, sistem sekolah baru muncul sejak adanya politik etis di tahun 1900-an. Jauh sebelum itu, masyarakat kita telah sedemikian maju dan berperadaban. Ini terbukti dengan banyaknya bangunan berupa prasasti, candi, arca yang begitu megah, yang secara nalar tidak mungkin diciptakan oleh orang-orang bodoh dan primitif. Di abad 1 M masyarakat nusantara telah mampu menciptakan kalender sendiri, yakni kalender pranoto mongso dan kalender pakuwon. Di abad 6 M mereka mampu 3 Situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi 4 Disampaikan oleh K. Ng. H Agus Sunyoto dalam diskusi rutinan, Jum’at, 13 September 2013 di Pesantren Global

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

membuat huruf sendiri; ho, no, co, ro, ko, dst‌ Juga berbagai mahakarya seperti Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular yang mengajak pada toleransi antar agama, terutama antar agama Hindu-Siwa dan Buddha5, Kakawin Nagarakretagama karya Mpu Prapanca yang menjelaskan keadaan di keraton Majapahit dalam masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, raja agung di tanah Jawa dan juga Nusantara, dan masih banyak lagi karya-karya pribumi yang tidak mungkin karya-karya tersebut dituliskan oleh orang yang buta huruf. Kaum kolonialisme telah berhasil menanamkan asumsi-asumsi tersebut hingga mengakar kuat di benak masyarakat Indonesia hingga hari ini. Sehingga sebagai kaum pribumi alias inlander, masyarakat kita merasa menjadi masyarakat yang kerdil di mata dunia. Di samping itu, penggiringan yang dilakukan kaum kapitalis membawa kita menjadi konsumen dalam segala aspek kehidupan, tak terkecuali dunia pendidikan. Dan ini menjadi satu pertanda bahwa bangsa kita tengah mengalami masa kemunduran. Hal ini sebagaimana disampaikan Ibnu Khaldun dikutip oleh Ahmad Mubarok dalam bukunya Psikologi Islam Kearifan & Kecerdasan Hidup bahwa jatuh bangunnya bangsa ditandai oleh lahirnya tiga generasi6. Pertama, generasi pendobrak. Kedua, generasi pembangun. Ketiga, generasi penikmat alias konsumen, dan hari ini masyarakat kita tengah menduduki posisi generasi ketiga, yakni generasi yang hanya asyik menikmati pembangunan. Anehnya lagi, 5 http://id.wikipedia.org/wiki/Kakawin_Sutas ma diakses pada Senin, 23 September 2013 pukul 12:16 WIB 6 Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA. Psikologi Islam Kearifan & Kecerdasan Hidup. 2009. Jakarta: The IIIT dan WAP. Hal: 243

43


Tina Siska Hardiansyah # Artikel Fokus LoroNG mereka bukan hanya kurang terpelajar tetapi justru kebanyakan kelompok terpelajar. Potret Pendidikan Indonesia Masa Kini Pendidikan wajib 9 tahun, sesuai undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Inilah pendidikan negera kita hari ini, yang pada praktiknya justru menggiring pada kondisi ‘yang kaya terus sekolah, yang miskin gigit jari’. Apa yang salah dengan pendidikan kita dewasa ini? Sekurang-kurangnya, menurut Achmad Mubarok7 ada Sembilan poin kekeliruan pendidikan nasional kita selama ini: a) Pengelolaan pendidikan di masa lampau terlalu berlebihan pada aspek kognitif, mengabaikan dimensi lainnya sehingga buahnya melahirkan generasi split personality, kepribadian yang pecah.

mencapai 1 guru untuk 14 siswa, namun di madrasah (di bawah naungan depag) 1 guru negeri untuk 2000 siswa. Anggaran pendidikan SMA negeri mencapai Rp. 400.000,-/ siswa/tahun sementara madrasah aliyah hanya Rp. 4.000,-/siswa/ tahun. f) Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pendidikan dan SDM dikalahkan oleh uniformitas yang sangat sentralistik, sehingga kreatifitas dalam pengembangan pendidikan menjadi tidak tumbuh. g) Sentralisasi pendidikan nasional mengakibatkan tumpulnya gagasangagasan otonomi daerah h) Pendidikan nasional kurang menghargai kemajemukan budaya, bertentangan dengan semangat Bhineka Tunggal Ika.

b) Pendidikan terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang memandang Jakarta (ibukota) sebagai satu-satunya tumpuan harapan tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar di daerah masing-masing.

i) Muatan indoktrinasi nasionalisme dan patriotism yang dipaksakan melalui PPKN terlalu kering hingga kontraproduktif.

c) Gagal melahirkan lulusan SDM yang siap berkompetisi di dunia global.

a) Generasi muda yang langitnya rendah, tidak memiliki imajinasi idealistik

d) Pendidikan gagal meletakkan sendi-sendi dasar pembangunan masyarakat yang berdisiplin. e) Pengelolaan pendidikan selama ini mengabaikan demokratisasi dan hak-hak asasi manusia. Sebagai contoh, pada masa orde baru guru negeri di sekolah lingkungan diknas 7 Ibid. hal: 244

44

Sembilan poin di atas melahirkan buah yang pahit8:

b) Angkatan kerja yang tidak bisa berkompetisi dalam lapangan kerja pasar global c) Birokrasi yang lamban, korup dan tidak kreatif d) Masyarakat luas mudah bertindak anarkis 8 Ibid. hal:245

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Pendidikan Pesantren, Sholihun Likulli Zaman Wa Makan e) Cendekiawan yang hipokrit f) Pelaku ekonomi yang tida siap bermain fair g) Hutang luar negeri tertanggungkan

yang

tak

h) Merajalelanya tokoh pemimpin yang bermoral rendah i) Pemimpin daerah yang kebingungan. Bupati daerah minus tetap berharap kucuran dari pusat, bupati daerah plus menghambur-hamburkan untuk hal-hal yang tidak strategis. Kondisi pendidikan di atas tidak hanya terjadi di tingkatan SD hingga SMA namun juga di pendidikan perguruan tinggi. Lebih parah, (Yasraf: 2005) menyebut pendidikan tinggi kita sebagai tempat industrialisasi, institusi total, panopticon, dan tempat lahirnya kekerasan simbol. Pendidikan tinggi sebagai industrialisasi pendidikan. Hal ini meminjam istilah Hans Magnus Enzensberger di dalam Dreamers of Absolute, bahwa pendidikan tinggi menjadi sebuah industri besar pikiran yang dilengkapi dengan mesin-mesin pikiran yang memproduksi pikiran-pikiran seragam, tingkah laku yang seragam. Segala sesuatunya diseragamkan, mulai dari pakaian, nama, kurikulum, metode, buku ajar bahkan tingkah laku sehari-hari. Dari sini tercipta sebuah totalitas keseragaman masyarakat yang tidak memberi tempat bagi perbedaan, keunikan dan pluralitas. Di samping adanya fenomena penyeragaman dalam segala hal, Adorno dan Horkheimer juga melihat bahwa pendidikan dijadikan sebagai alat ekonomi, di mana pemaksaan pendidikan tinggi hanya untuk melahirkan lulusan yang hanya siap bekerja di dunia LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

industri. Sistem pendidikan kita memaksa seseorang untuk menjadi pekerja; sekrup di dalam sebuah mesin industrialisasi. Pendidikan kita juga dikatakan sebagai institusi total, yakni sebuah institusi yang mengendalikan seluruh waktu, tenaga dan pikiran mahasiswa. Semua digiring dan digembleng untuk tetap berada dalam area yang telah ‘mereka’ ciptakan. Hubungan sosial mereka dibatasi sedemikian rupa, cara berpikir, jalan pikiran, bahkan ideologi dikendalikan agar tak mampu berpikir kritis. Mahasiswa dididik ibarat manusia robot di mana ia dikendalikan oleh sebuah remot yang dikendalikan oleh ‘mereka’ yang sarat akan kepentingan. Sistem totalitarianisme yang demikian akan menghasilkan manusiamanusia dengan tubuh-tubuh tanpa pikiran, tanpa daya kritis dan kreativitas, oleh karena kesemuanya telah diprogram, diseragamkan dan distandardisasi. Pendidikan tinggi seperti yang dijelaskan di atas, menurut Michael Foucault akan menyebabkannya menjadi sebuah panopticon, yakni sebuah situasi antara yang diawasi dan yang mengawasi, antara yang dikontrol dan orang yang mengontrol. Di sini mahasiswa seolah telah mati, karena ibarat boneka, yang hanya bergerak saat digerakkan, tanpa memiliki kreativitas murni dari dalam dirinya. Padahal sebagai makhluk unik, manusia memiliki segudang potensi dalam dirinya yang jika masing-masing individu mengaktualisasikannya sesuai potensi yang dimiliki akan tercipta kekayaan karya anak bangsa. Masih menurut Yasraf, bahwa sistem pendidikan nasional kita hari ini merupakan satu penghambat terbentuknya sebuah iklim pendidikan yang dinamis, produktif dan 45


Tina Siska Hardiansyah # Artikel Fokus LoroNG kreatif. Mengapa? Pertama, pendidikan kita bersifat hegemonik, yakni ia dijadikan alat untuk mendominasi, menanamkan pengaruh, dan menumbuhkan kepatuhan semata. Kedua, bersifat sentralistik, yakni pendidikan diorganisir berdasar pada sebuah model pengendalian dan manajemen memusat. Sentralisasi terjadi hampir di segala bidang: landasan ideologi, visi, misi, tujuan, struktur, kurikulum, metode pengajaran, dan mekanisme pendidikan. Ketiga, bersifat monologis, yakni pendidikan dengan model komunikasi satu arah, di mana pengajar dan pejabat/ birokrat pendidikan ibarat raja, di mana segala yang disampaikannya haruslah diamini dan dibenarkan, maka yang terjadi adalah pengalihan pengetahuan atau reproduksi pengetahuan semata. Keempat, bersifat reaktif, yakni pendidikan kita diarahkan dan dilaksanakan untuk merespon kebutuhan pasar semata. Kelima, bersifat formalistik, yakni pendidikan yang mengarahkan anak didiknya hanya untuk memperoleh gelar dan kerja. Pendidikan tidak membekali anak didiknya dengan sikap mandiri dan kreatif. Dengan sistem pendidikan yang demikian dapat dipastikan Negara ini akan melahirkan generasi penikmat saja, bukan pembangun apalagi pendobrak. Pendidikan Masa Depan Di dunia global yang terus berkembang, jika berbagai bentuk industrialisasi pendidikan, panopticon, dan kekerasan simbol tetap dipertahankan, niscaya bangsa ini tidak akan pernah mengalami kemajuan karena sumber daya manusia yang akan dilahirkan dari rahim pendidikan kita adalah bayi-bayi 46

yang tak dapat berpikir kritis, dialektis, lateral dan argumentatif. Padahal, empat poin tersebut merupakan sebuah pondasi bagi tumbuh kembangnya intelektualitas. Di sinilah kiranya perlu dirumuskan sistem pendidikan yang non komersil, berorientasi pada masa depan bangsa sehingga fungsi pendidikan sebagaimana termaktub dalam undang-undang 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tidak sia-sia. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melahirkan sumber daya manusia yang dinamis, produktif dan kreatif9. Pertama, pendidikan yang demokratis, yakni pendidikan yang di dalamnya terjadi proses saling belajar antara guru dan murid, antara dosen dan mahasiswa. Di antara dosen dan mahasiswa terjadi hubungan relasi bukan pakar-non pakar. Di antara guru dan murid terjadi hubungan saling belajar bukan hubungan antara tuan dan budak yang bersifat diktator. Di dalam pendidikan yang demokratis terdapat adanya penghargaan dan penghormatan atas keragaman siswa dengan segala kreativitasnya. Seringkali kita temui di dalam proses belajar-mengajar di mana seorang guru mendikte anak didiknya untuk melakukan A, B, C dan D. Lantas ketika anak didik memiliki pendapat atau cara berbeda Guru bukannya mengapresiasi inovasi siswa melainkan mengatakan, “Kok tidak sama dengan cara yang tadi Bapak/ Ibu jelaskan? Ayo dibenarkan!� Kondisi demikian sama sekali tidak menggambarkan pola pendidikan yang demokratis. Dengan pola pendidikan yang memasung kreativitas, akan membentuk pribadi anak didik yang berpikir sempit, sehingga anak 9 Ibid, 278-282

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Pendidikan Pesantren, Sholihun Likulli Zaman Wa Makan didik tidak akan mampu menjadi sosok dengan cakrawala berpikir yang luas alias one open minded. Menjadi guru yang tidak selalu beranggapan bahwa dirinya yang paling tahu dan paling benar akan membantu siswa menumbuhkan kepercayaan diri dan keberanian untuk menyampaikan pendapat pribadinya terlepas dari penilaian apakah pendapat tersebut salah atau benar. Kedua, pendidikan dialogisme. Tentang pendidikan dialogisme akan sangat tepat diterapkan dalam dunia pendidikan perguruan tinggi. Proses pembelajaran tidak menggunakan komunikasi satu arah di mana dosen berceramah dan mahasiswa bersikap pasif dengan hanya duduk manis mendengarkan tanpa ada proses dialektis. Komunikasi bersifat interaktif dengan sistem monolog disertai dengan diskusi di akhir, seminar dan debat sangat ditekankan, karena usia mahasiswa merupakan saat untuk menumbuhkembangkan kemampuan kritis, kemampuan argumentatif, dan kemampuan analitis. Dengan demikian, mahasiswa dapat berperan dalam proses menuju pemahaman yang lebih mendalam.

potensi utamanya, bukannya diperkenalkan bagaimana kondisi pertanian hari ini, apa permasalahannya, bagaimana mengatasi problematika tersebut, siswa justru diintervensi dengan paradigma buruk tentang betapa nestapanya nasib petani, hidup dalam serba kekurangan, segalanya sulit, harus berjemur di bawah terik matahari, berkotor-kotor karena bergelut dengan tanah, rumput, dan semacamnya. Paradigma demikian membuat siswa enggan dengan dunia pertanian, mereka kian dijauhkan dari apa yang menjadi potensi utama daerah mereka demi iming-iming kemapanan kehidupan. Dalam benak mereka terpatri, bahwa untuk dapat hidup enak dan mapan harus menjadi pegawai, PNS kalau bisa sehingga gaji setiap bulan terjamin bahkan saat pensiun. Saat menempuh pendidikan tinggi di kota, mereka tak lagi ingat untuk kembali ke desa dan melakukan perbaikan-perbaikan yang kiranya memerlukan intelektualitas, tenaga, dan waktunya.

Ketiga, pendidikan desentralistis, yakni pendidikan yang berangkat dari local genius, ciri lokal, atau muatan lokal, di mana potensi lokal diberikan porsi lebih banyak dibanding materi yang lain. Disesuaikan dengan kebijaksanaan otonomi daerah, maka visi, misi, arah, tujuan, bentuk, kurikulum dan metode pendidikan disesuaikan dengan potensi daerah setempat dengan pertimbangan proyeksi pengembangannya ke depan.

Keempat, pendidikan proaktif. Pendidkan yang mendidik anak bangsa menjadi insan pemberani, berpandangan jauh ke depan demi kemaslahatan umat. Berani menghadapi berbagai tantangan di dunia yang kian pesat berkembang, mencari dan mengambil peluang dalam setiap momen disertai dengan kematangan diri, bermental avant-garde, berani memasuki ketidakpastian (chaos), berani menciptakan ketidakberaturan (disorder), mempunyai inisiatif, bermental mandiri, tidak menggantungkan diri pada kerja, mempunyai motivasi untuk berprestasi.

Pendidikan kita hari ini justru menjauhkan anak daerah dari beragam potensi yang ada di daerah masing-masing. Sebagai contoh, di sebuah desa dengan pertanian sebagai

Kelima, pendidikan berorientasi pengetahuan/produk. Anak didik diarahkan untuk memiliki motivasi tinggi dalam mencari pengetahuan dalam mengembangkan

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

47


Tina Siska Hardiansyah # Artikel Fokus LoroNG sesuatu yang baru, bukan mencari status atau tiket untuk dapat bekerja. Keenam, pendidikan alternative10. Sebuah pendidikan yang memberikan peluang dan ruang untuk dapat berkembangnya aspek pluralitas, baik dalam ideologi, bentuk, strategi dan metodenya.

Relevansi Pendidikan Pesantren Nilai-nilai yang harus ada dalam pendidikan masa depan sebagaimana digagas Yasraf sesungguhnya telah ada di dunia pendidikan pesantren. Mastuhu dalam bukunya yang berjudul Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, 1994 menjelaskan empat prinsip pendidikan di pesantren. Pertama, prinsip mencari kebijaksanaan. Dengan prinsip ini, santri diajak untuk sadar akan tanggung jawabnya di tengah kehidupan bermasyarakat. Kedua, prinsip bebas terpimpin, di sini anak didik belajar secara mandiri dan ustadz berperan sebagai pembimbing. Ketiga, prinsip self government, merupakan prinsip yang mengajari santri untuk mengorganisir diri sendiri, mengatur kehidupan sehari-hari selama di pesantren. Keempat, prinsip kolektivisme, prinsip yang mendidik santri untuk tidak semata-mata mementingkan diri sendiri, namun meletakkan kepentingan umum di atas kepentingan diri sendiri. Pada tahun 1930-an Soetomo menganjurkan agar asas-asas sistem pendidikan pesantren digunakan sebagai dasar pembangunan pendidikan nasional 10 Paulo Freire (et.al). 1999. Menggugat Pendidikan Fundamentalisme, Konservatisme, Liberal, Anarkis. Pustaka Pelajar.

48

Indonesia11. Hal ini dikarenakan pendidikan pesantren mengandung ruh atau spiritualitas moral. Hasbullah turut mendukung dengan pernyataannya, bahwa sistem pendidikan di dunia pesantren memiliki keunikan dibanding pendidikan pada umumnya, beberapa keunikan tersebut di antaranya: 1. Memakai sistem tradisional dengan kebebasan penuh dibandingkan dengan sekolah modern sehingga terjadi hubungan dua arah antara santri dan kiai. 2. Kehidupan di pesantren menampakkan semangat demokrasi karena mereka praktis bekerja sama mengatasi problem non kurikuler mereka. 3. Para santri tidak mengidap penyakit simbolis, yaitu perolehan gelar dan ijazah, karena sebagian besar pesantren tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan santri dengan ketulusan hatinya masuk ke pesantren tersebut meski tanpa adanya ijazah. Hal itu karena demi mencari ridlo Allah swt semata. 4. Sistem pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme persaudaraan, persamaan, percaya diri dan keberanian hidup. Alumninya tidak ingin menduduki posisi pemerintahan sehingga mereka hampir tak bisa dikuasai oleh pemerintah.12 Keunikan pesantren tersebut tidak hanya didapati dalam pendekatan pembelajaran yang digunakan, namun juga dalam pandangan hidup dan tatanan nilai yang dianut13. Dulu, 11 Nurcholis Madjid. Bilik-bilik Pesantren. Hal.112 12 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, hal. 141 13 Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan M drasah Diniyah, hal. 28

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Pendidikan Pesantren, Sholihun Likulli Zaman Wa Makan sebelum pendidikan sekolah masuk ke Nusantara, figur seorang kiai menjadi tokoh utama dalam dunia pendidikan pesantren oleh karena kiai mencerminkan ketinggian ilmu agama, luasnya pengalaman, darah biru, kaya dan “sakti” sehingga kedudukan kiai sebagai sentral sistem menjadi sangat efektif.14 Pusat perhatian sistem pendidikan pesantren kuno lebih pada mendidik santri agar menjadi insan al-kamil dan sama sekali belum menghubungkan dengan konsep pasar tenaga kerja. Sosok kiai pengasuh pesantren sekaligus berperan sebagai “kurikulum” dari pesantrennya. Hal ini dimaksudkan bahwa program utama akademik pesantren ditentukan oleh klasifikasi keahlian yang dimiliki sang kiai. Sebagai misal, jika kiainya ahli ilmu fiqh maka ilmu yang paling dominan dikaji adalah ilmu fiqh sehingga diperoleh pemahaman secara mendalam dan tuntas. Prinsip demikian sesungguhnya sangat modern, seperti yang berlaku di universitas-universitas terkenal di barat, yakni pembukaan suatu program studi tergantung ada tidaknya guru besar dari cabang keilmuan tersebut15, tidak seperti di Indonesia yang lebih suka memaksakan diri tanpa melihat sumber daya pendidik yang ada sehingga kondisi pendidikannya keteteran, tertatih dan merangkak. Namun hari ini, kelemahan mayoritas pesantren justru terletak pada figur kiai, baik dari aspek keilmuan, “keanggunan kepribadian” maupun distorsi lingkungan16. Hal senada disampaikan pula oleh Nawawi bahwa pesantren-pesantren yang dulu pernah mengalami kejayaan, sebagian mengalami 14 Mubarok, Psikologi Islam, hal 247 15 Ibid, hal. 248 16 Op. cit, hal. 250

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

kesurutan sejarah karena regenerasi para kiainya tidak disiapkan dalam pengkaderan serius. Sementara arus sedemikian kuat terhadap pesantren, justru dunia pesantren tertantang untuk menjawab problematika pendidikan di masyarakat17. Melihat peranan penting pesantren di masa depan, maka perlu dilakukan perubahan-perubahan agar pendidikan pesantren relevan dengan situasi dan kondisi dewasa ini, di mana kita hidup dalam dunia global dengan segala tawaran menggiurkan di dalamnya, sebab pesantren merupakan alternatif pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu sendiri (people centered development) dan sekaligus sebagai pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai (value oriented development)18. Daftar Pustaka Mubarok, Achmad. 2009. Psikologi Islam Kearifan & Kecerdasan Hidup. Jakarta: The IIIT dan WAP Departemen Agama RI. 2003. Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah: Pertumbuhan dan Perkembangannya. Jakarta: Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam. 2005. Desain Pengembangan Madrasah. Jakarta: Departemen Agama RI Hasbullah. 2001. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

17 Nawawi, Sejarah dan Perkembangan Pesantren, hal. 6 18 Nur Cholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, hal. xxi

49


Tina Siska Hardiansyah # Artikel Fokus LoroNG Madjid, Nurcholis. 1997. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina

Nawawi. 2006. Sejarah dan Perkembangan Pesantren dalam Jurna Ibda’ Vol. 4 No. 1 Jan-Jun

Freire, Paulo (et.al). 1999. Menggugat Pendidikan Fundamentalisme, Konservatisme, Liberal, Anarkis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

http://www.dikti.go.id/?page_ id=68&lang=id diakses pada, Senin 23 September 2013 pukul 11: 41 WIB

Yasraf Amir Piliang. Transpolitika Dinamika Politik di Era Virtualitas. 2005. Yogyakarta: Jalasutra

50

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


ď Ť Internalisasi Budaya Nusantara dalam Pendidikan menuju Kepemimpinan Ideal Abstract The ideal leadership is one of the conditions to form social order which needs dignified preparation of various circles that its central is based on the community itself.Today,our country is experiencing a crisis of idealleadership. It is proved by the corruption that is still being rampant. To meet the ideal leadership in this country, Indonesia must prepare generation characterized by nation’s cultural character without being restrained by outside traditions and culture. Kepemimpinan yang ideal merupakan salah satu syarat terbentuknya tatanan masyarakat yang bermartabat yang diperlukan persiapan matang dari berbagai kalangan yang sentralnya pada masyarakat itu sendiri. Kini, negeri kita tengah mengalami krisis kepemimpinan ideal. Itu terbukti dengan KKN yang masih meraja lela. Untuk menyongsong kepemimpinan yang ideal di negeri ini, Indoensia harus mempersiapkan generasi yang berkarakter kebudayaan bangsa tanpa terkungkung oleh tradisi dan budaya luar. Kata kunci: Internalisasi, budaya nusantara, pendidikan, kepemimpinan ideal. Oleh

Muhammad War’i Wakil Direktur LKP2M Periode 2013 Mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Maliki Malang Akmaly.warok@gmail.com / warokakmaly.blogspot.com

yang hanya sebatas formalitas bagi sebuah negara demokrasi1.

Pendahuluan Pemimpin yang bermartabat tentunya menjadi impian seluruh manusia di manapun berada, begitupun di Indonesia. Hanya saja, harapan untuk mendapatkan pemimpin bermartabat seperti panggang yang jauh dari api. Setiap momen pemilihan umum, kita selalu disuguhkan dengan wacanawacana progresif terkait masa depan bangsa. Namun demikian, kenyataan pahit yang kini masih memeluk keadaan kita seolah menjadi sinyal negatif, bahwa kita selama ini hanya berjalan di tempat. Sistem perpolitikan kita tak lebih dari konsep mati

Kesadaran akan posisi kaum elit politik sebagai tulang punggung tegaknya demokrasi tak serta merta membawa kita menuju rekonstruksi paradigma politik yang lebih sehat. Tarik-menarik kepentingan antar partai politik masih saja menjadi pemandangan dalam implementasi birokrasi di negeri ini. Orientasi yang demikian pincang salah satunya disebabkan oleh para aktor di tubuh partai politik itu sendiri. 1 Asep Nurjaman. dkk. Kebijakan Elitis Politik Ind nesia. (Yogyakakarta: Pustaka Pelajar. 2006) Hal. v-x

51


Muhammad War’i # Artikel Fokus LoroNG Dengan demikian, salah satu cara untuk memperbaiki perpolitikan bangsa Indonesia saat ini adalah dengan mempersiapkan para aktor-aktor yang memiliki kapasitas secara keilmuan dan moral secara karakter individual. Cerita buram para pejabat negara sudah banyak kita dengar di media-media massa. Kadangkala atraksi-atraksi antagonistik tak jarang mewarnai hubungan antara rakyat dan pejabat. Masih begitu sering kita dengar rakyat yang merusak kantor-kantor pemerintah karena ketidakbecusan pejabat yang terkait. Atau tentang korupsi yang merajalela di tataran elit pemerintah. Semuanya membawa kita kepada pemandangan sesak dan sikap pesimistis atas proses demokrasi di negeri ini. Dan sering kali muncul sebagai perlawanan adalah sikap apatisme yang disebabkan rasa penat dan bosan melihat semua itu. Hal tersebut tentu akan berakibat tidak baik pada eksistensi bangsa. Rongrongan dari berbagai doktrinasi yang kontra dengan NKRI akan menjadikan wacana tersebut sebagai ajang untuk menjastifikasi ideologi mereka2. Di samping itu, kenyataan pelik yang kita temukan di realitas pendidikan kita saat ini adalah peserta didik yang tidak lagi mencerminkan manusia yang terdidik. Mereka semakin beringas dan tidak mengenal aturan. Sudah biasa kita saksikan di acaraacara berita di televisi tawuran antar pelajar. Baik yang di ibu kota Jakarta maupun di banyak daerah-daerah di Indonesia. Begitupun juga dengan tingkah-tingkah amoral lainnya seperti seks bebas dan kriminalitas. Semua ini membuat kita miris 2 Misalnya saja, organisasi-organisasi yang me bawa wacana khilafah atau negara islam berlandaskan syariat islam.

52

dan prihatin. Padahal jika kita menilik sejarah, bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki karakter kemanusiaan yang bagus dan menghargai harmoni sosial. Itu semua terbukti dari sekian bentuk budaya yang dimiliki bangsa ini. Maka dengan demikian, ada yang salah dengan proses pendidikan kita. Menkaji tulisan Radhar Panca Dhana beberapa hari yang lalu di koran Kompas tentang dunia pendidikan kita saat ini. Tulisan tersebut berjudul “Pendidikan Pecundang�. Dalam tulisan itu, Radhar menulis bagaimana keadaan peserta didik saat ini adalah warisan dari pendidikan orde baru yang hanya terpaku pada materi-materi sentralistik yang menghasilkan peserta didik prematur. Artinya, kapasitas peserta didik dalam hal intelektualitas tidak maksimal, bahkan cendrung salah produk. Misalnya saja Viky yang terkenal dengan “vikiisme� yang merupakan simbol kebobrokan pendidikan kita. Ataupun juga dengan si Doel yang terlibat kecelakaan maut. Bagi Radhar itulah salah satu hasil pendidikan kita saat ini. Dan hal tersebut tentunya dibutuhkan evaluasi oleh negara3. Proses pendidikan seharusnya diarahkan tidak hanya menuju lapangan ke-intelektualan, tapi juga menuju lautan moral yang bersih. Sehingga perserta didik mampu menyerap pengetahuannya secara baik untuk kepentingan masa depan dan mampu mengolah spiritualitasnya untuk kesalehan horizontal. Untuk melakukan hal ini tentunya dibutuhkan sinergisitas budaya di dalam pendidikan itu sendiri. Hal ini mengingat pentingnya menanamkan karakter budaya 3 Radhar Panca Dhana. Pendidikan Pecundang. Kompas edisi 17 September 2013

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Internalisasi Budaya Nusantara dalam Pendidikan menuju Kepemimpinan Ideal bangsa pada diri peserta didik. Sehingga kedepannya diharapkan muncul generasigenerasi cerdas yang memiliki karakter kebudayaan yang khas Indonesia dan mampu menjawab mimpi bangsa memperoleh pemimpin yang ideal. Kepemimpinan ideal Kepemimpinan merupakan kemampuan individu untuk mempengaruhi, memotifasi dan memungkinkan pengikut untuk memberikan kontribusi terhadap efektivitas dan kesuksesaan komunitas4. Tambahan pula, kepemimpinan membutuhkan kewibawaan seorang pemimpin sehingga mampu memberikan dampak persuasif dalam implementasi setiap kebijakan. Kepemimpinan dalam hal ini adalah suatu hal yang menunjukkan pada keadaan pantas seseorang untuk mengatur suatu komunitas (negara). Maka dari itu, tentunya seorang pemimpin harus memiliki karakater yang memungkinkan dia untuk dihormati dalam sebuah komunitas. Hal demikian karena seseorang secara psikologis akan lebih patuh pada perintah atau intruksi seseorang yang memiliki latar budaya yang sama dengan mereka. Di negara kita, tentunya pemimpin yang diharapkan adalah pemimpin yang memiliki karakter sebagaimana budaya yang ada di indonesia (nusantara). Berbicara budaya nusantara tentunya berbicara perangkat sosial yang cukup rumit dan kompleks. Ini mengingat bangsa indonesia sebagai negara yang penuh dengan keragaman budaya. Kepemimpinan ideal dengan demikian, merupakan keadaan pemerintahan yang 4 House dkk, dalam teori dan perilaku organisasi (malang. UIN Maliki Press. 2008) hal 195

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

dipimpin oleh seorang yang bijaksana dan mampu memahami dengan utuh objek yang dipimpinnya sehingga mampu membawa harapan-harapan dan mimpi masa depan yang dimiliki oleh rakyatnya. Bangsa indonesia dalam hal ini masih begitu jauh dari model kepemimpinan yang seperti itu. indikator yang menunjukkan hal tersebut sudah cukup jelas, tidak meratanya perekonomian negara, kolepnya sistem budaya dan pendidikan kita serta semakin merajalelanya aktifitas koruptif para birokrasi negara. Ada beberapa karakter orang agar bisa menduduki posisi pemimpin ideal. Dibutuhkan karakter yang benar-benar kuat serta pemahaman yang mendalam tentang masyarakat dan negara, agar dia bisa berdiri sebagai pengayom bangsa yang tidak hanya bermodal pencitraan dan topeng media, tapi benar-benar bentuk asli yang bisa merangkul semua elemen masyarakat. Karakter yang seperti inilah yang kelak mampu berdiri di keragaman bangsa indonesia serta mampu mewadahi semua aspirasi secara objektif dan merata. Ini penting mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang dibalut keragaman budaya dan nilai dalam masyarakatnya. Melalui hal ini, maka sekiranya penting dilakukan kajian terkait masa depan politik bangsa Indonesia dengan pemimpin bermartabat yang kelak hadir sebagai jawaban dari mimpi-mimpi rakyat Indonesia. Bukan berarti saat ini pemimpin kita jauh dari karakter pemimpin ideal, tapi hasil yang dicapai menggambarkan bahwa kepemimpinan di negeri ini masih belum bisa berdiri dengan utuh dan objektif. Pemimpin negara masih terkesan berdiri di lahan golongan atau partainya saja. 53


Muhammad War’i # Artikel Fokus LoroNG Sehingga lahan-lahan lain yang sebenarnya penting untuk pengembangan negara tak tersentuh dan terbengkalai. Berangkat dari hal tersebut, maka sekiranya penting untuk meniti langkahlangkah menuju era pemimpin-pemimpin yang bermartabat, yakni para pemimpin yang memiliki ketulusan dalam mengabdi kepada masyarakat dan benar-benar sebagai penyambung lidah masyarakat. Artinya mereka yang menjadi pemimpin tidak justru menjadi penindas dan pengambil hak-hak rakyat. Tentunya hal ini dibutuhkan proses yang tidak sedikit dan butuh keseriusan dan komitmen dari berbagai kalangan. Dari pemerintah sendiri maupun lokal masyarakat. Ada beberapa komponen yang harus kita persiapkan untuk mempersiapkan pemimpin yang bermartabat. Diantaranya: pendidikan, kebudayaan dan humanisme yang tinggi. Pendidikan menjadi penting karena secara formal maupun non formal dia menjadi syarat dari segala karir di kehidupan ini. Secara formal, seseorang membutuhkan pengakuan (ijazah) untuk kepentingan studi maupun kerja. Dan secara non formal pemimpin dituntut pintar dan cerdas. Kemudian, seorang pemimpin juga harus memiliki nilai budaya yang kuat. Dalam hal ini, budaya bangsa Indonesia harus benar-benar melekat dan menjadi karakternya, sehingga akan berimplikasi kepada warga yang dipimpinnya. Warga yang dipimpin akan menemukan sosok panutan dari pemimpin mereka. Adapun yang terakhir adalah humanisme. Seorang pemimpin harus memiliki jiwa humanisme yang tinggi sehingga mampu merangkul seluruh rakyatnya tanpa pandang bulu. 54

Evaluasi bidang pendidikan Sebagai langkah solutif, kita mesti melakukan pembenahan dalam bidang pendidikan. Ini mengingat pendidikan sebagai sentral dan penentu perbaikan untuk masa depan. Namun demikian, tidak cukup dengan perbaikan pendidikan secara independen, melainkan konsep pendidikan harus disinergikan dengan budaya yang ada. Dalam hal ini bangsa Indonesia harus menggali nilai-nilai budaya yang mereka miliki, agar mampu menjadi ruh dalam proses pendidikan bangsa. Mekanisme ini memang membutuhkan waktu yang lama dan intens karena berbicara budaya adalah berbicara piranti halus dalam diri manusia yang itu hanya bisa disentuh melalui kesadaran diri. Untuk membangkitkan kesadaran diri terhadap budaya sendiri, dibutuhkan semangat mencintai identitas diri dan tidak terbuai dengan kebudayaan luar. Jika kita flashback ke masa lampau, situasi pendidikan kita saat ini yang akultural adalah situasi pendidikan kita pada awal kemerdekaan. Dimana pada awal kemerdekaan, bangsa kita mengalami virus alienasi yakni keterasingan dari budaya sendiri. Ini merupakan implikasi logis dari proses kolonialisme yang begitu panjang. Diantara rasa keterasingan tersebut berupa: meragukan hakekat diri sendiri, ragu akan penentuan tempatnya di tengah lingkungan, ragu pada bahasa Ibu dan pengalaman eksistensial kaum serta bangsa sendiri, dan yang paling parah terasing dari kebudayaan sendiri, dengan akibat terjadinya urbanisasi secara massal.5Yang menjadi pertanyaan adalah, jika dulu kita mengalami alienasi 5 Kartini Kartono. Wawasan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional. 1990. Bandung: Mandar Maju. Hal 30

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Internalisasi Budaya Nusantara dalam Pendidikan menuju Kepemimpinan Ideal karena baru merdeka, maka apakah setelah 68 tahun bangsa ini merdeka, kita masih dikungkung kebudayaan luar? Secara formal akademik, barangkali kita telah menyusun banyak materi sebagai standarisasi dan kodifikasi terhadap kebudayaan yang kita miliki, namun apakah kebudayaan terbatas pada dialektika konsep? Berbicara budaya seharusnya berbicara aplikasi. Artinya kebudayaan bangsa kita tidak mungkin terinternalisasikan dengan sendirinya tanpa kemauan dari semua warga negara. Dalam hal ini, pemerintah sebagai penegak administrasi pendidikan harus membentuk kegiatan-kegiatan atau pun program yang sifatnya mengajak seluruh warga negara menyerap nilai kebudayaan yang dimiliki agar nilai-nilai budaya bisa terinternalisasikan pada sikap dan tingkah laku warga negara, dalam hal ini adalah peserta didik. Kenapa ini penting, karena sesungguhnya akar dari kebobrokan pendidikan kita saat ini adalah aninternalisasi kebudayaan sendiri (budaya nusantara) terhadap pendidikan kita dewasa ini. Salah satu hal yang melatari ini memang tidak bisa kita pungkiri adalah pengaruh kolonialisme, namun kini kita harus segera merancang langkah dan tehnik agar mampu keluar dari lingkaran setan masa lalu yang telah mengembargo kita dari kebebasan mengekspresikan kebudayaan sendiri sehingga kita kehilangan jati diri. Kembali mengkaji nilai-nilai sendiri adalah langkah bijak untuk kembali menjadi bangsa yang sadar dan menyerap identitas sendiri, tidak berjiwa dengan ruh budaya lain.

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

Budaya nusantara sebagai ruh pendidikan bangsa Budaya nusantara atau dalam istilahnya Ki Hajar Dewantara adalah kebudayaan nasional merupakan kebudayaan puncak dari budaya-budaya yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Budaya nusantara dengan demikian adalah identitas bangsa indonesia yang berakar pada keragaman yang dimilikinya karena adanya cita-cita dan harapan yang sama, yakni kejayaan dan kesejahteraan bangsa. Dengan demikian, budaya nusantara sebagai ruh pendidikan berarti menjadikan nilai-nilai budaya nusantara sebagai sinergi bagi pendidikan formal, yang kemudian diharapkan terinternalisasikan di dalam jiwa peserta didik sehingga mampu menjadi generasi yang peduli kepada bangsa sendiri juga mampu untuk menggerakkan roda kepemimpinan ketika masa mereka sampai pada hal itu. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka pemerintah dan seluruh kalangan yang bergerak untuk menjalankan roda pendidikan harus memiliki komitmen yang kuat dalam memasukkan kebudayaan nusantara dalam materi pendidikannya, yang mana sifatnya adalah materi aplikasi, artinya peserta didik diarahkan untuk mengimplementasikan kebudayaan yang mereka miliki dengan suka rela. Jika hal ini berhasil, maka apa yang disebut sebagai pendidikan karakter akan menempuh hasil yang maksimal. Salah satu gerakan pemerintah yang juga harus diminimalisir adalah gerakan penerapan modernisasi pendidikan menurut pola luar. Dalam hal ini keberadaan sekolahsekolah yang lebih berkarakter kebaratan bisa dijadikan contoh. Kebijakan ini tentu 55


Muhammad War’i # Artikel Fokus LoroNG akan membawa pada pengadopsian budaya luar dan kurang menyertakan unsurunsur budaya asli serta aspirasi lokal dan regional6. Implikasi dari kebijakan ini adalah munculnya mental-mental peserta didik yang tidak berkarakter bangsa sendiri tapi justru berjiwa budaya luar. Sistem pendidikan seperti ini sebenarnya sudah dulu disindir oleh Robert S. President World Bank Group (1974) yang menyatakan bahwa negara-negara berkembang dalam sistem pendidikan masih saja terkungkung dengan kebudayaan kolonial yang pernah menjajahnya7.

internalisasi lebih efektif dan merupakan kesadaran individual. Mekanisme ini tentunya didasarkan dengan daerah masingmasing di seluruh Indonesia. Artinya, setiap kebudayaan daerah yang ada memiliki kewajiban untuk mengkaji kebudayaan lokal mereka. Kedua, dari sisi regulasi, pemerintah harus mensistematisasikan kurikulum kebudayaan berbasis lokal genius sehingga mampu menjadi payung hukum dan penekanan yang sifatnya intsruktif dari pemerintah. Harapannya, dengan regulasi yang ada, proses internalisasi akan semakin tersistematiskan.

Dari data di atas, berarti salah satu yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk memperbaiki peserta didiknya adalah dengan memperbaiki pendidikannya serta tidak lupa pada ruh pendidikan berupa kebudayaan asli milik sendiri (budaya nusantara). Dengan demikian, nantinya akan terbentuk suatu generasi cerdas secara intelektual dan memiliki kesalehan sosial secara horizontal yang terbangung melalui penghayatan yang mendalam dan internalisasi dari kebudayaannya.

Selanjutnya, semua pihak juga memulai internalisasi budaya yang berorientasi pendidikan sedini mungkin. Yakni dengan cara mengenalkan kebudayaan-kebudayaan daerah kepada peserta didik, mengarahkan anak-anak untuk mencintai kebudayaan sendiri. Salah satu untuk menopang ini adalah budaya bercerita cerita rakyat. Dalam hal ini kisah-kisah tentang pemimpin perkasa yang pernah dimiliki nusantara atau daerah kerajaan masa lalu daerah terkait masingmasing. Seperti misalnya cerita tentang Gajah Mada, Sidharta Gautama dan lainnya. Ini bertujuan untuk menanamkan sikap kepemimpinan dan mampu membawa aspirasi seluruh rakyatnya. Dengan demikian, harapan akan terbentuknya pemimpin yang bermental seperti yang diharapkan bisa tercapai.

Internalisasi Kebudayaan nusantara dalam pendidikan Ada beberapa hal teknis yang mesti dilakukan pemerintah dan seluruh pihak terkait dalam rangka menginternalisasikan kebudayaan nusantara dalam pendidikan guna membentuk kepemimpinan yang ideal. Pertama, masyarakat harus sadar akan nilai-nilai kebudayaan luhur yang mereka miliki dan mau menggali dan mengkaji milik mereka itu sehingga proses 6 Ibid. Hal 31 7 Ibid. Hal 33

56

Penutup Untuk memulai internalisasi budaya dalam pendidikan seyogyanya dimulai sejak dini agar hasil yang dihasilkan lebih efektif dan mampu bertahan dari segala LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Internalisasi Budaya Nusantara dalam Pendidikan menuju Kepemimpinan Ideal penyakit zaman seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Ini mengingat kita sudah terikat dalam lingkaran setan KKN sehingga sangat sulit untuk memberangus virus tersebut. Di samping itu, mengingat kebudayaan lokal juga memiliki senyawa yang namanya local genius yang mana fungsi darinya adalah untuk mengantisipasi, menyaring, bahkan mentransformasikan berbagai bentuk pengaruh budaya luar sehingga sesuai dengan ciri-ciri masyarakat lokal. Makin kuat daya tahan kearifan lokalnya, maka masyarakat yang bersangkutan makin stabil. Dengan demikian, untuk menjadikan budaya sebagai nyawa dalam pendidikan, maka kebudayaan juga harus disucikan dari pengaruh luar, ini untuk memastikan bahwa budaya yang akan kita masukkan dalam pendidikan benar-benar karakter bangsa dan akhirnya mampu membentuk generasi kepemimpinan yang ideal, yakni

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

kepemimpinan yang akan membawa indonesia lebih cemerlang. Referensi Nurjaman, Asep, dkk. 2006. Kebijakan Elitis Politik Indonesia. Yogyakakarta: Pustaka Pelajar Kartono , Kartini. 1990. Wawasan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Mandar Maju Dhana, Radhar Panca. Pendidikan Pecundang. Kompas edisi 17 september 2013 Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra, Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan Dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Siswanto dan sucipto.2008. Teori dan Prilaku Organisasi.Malang: UIN Maliki Press

57



 Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam Membentuk Perilaku Peserta Didik Abstract Following the rapid growth of Internet, advanced technology and globalization crash into all aspects of life. Despite a late start, the development of Internet in Indonesia is very promising. It spreads quickly to the realm of national education. Various innovations were born and grown titled e-education such as e-learning, e-books, e-journals and so on. Supporting the learners in improving academic skills to meet the competition era of Information and Communication Technology (ICT) in the international arena, various easy facilities always accompany the learning process. Changes in lifestyle and student’s behavior color the integration of Internet and education declared by government through its curriculum in 2013. Learner’s behavioral changes make a new issue for educational providers. Seiring berkembang pesatnya internet, kemajuan teknologi dan globalisasi menerjang ke segala lini kehidupan. Walaupun start terlambat, perkembangan internet di Indonesia sangat menjanjikan. Hal ini menjalar hingga ke ranah pendidikan nasional. Berbagai inovasi lahir dan berkembang bertajuk e-education seperti e-learning, e-book, e-journal dan sebagainya. Menunjang para peserta didik dalam meningkatkan kemampuan akademis menyongsong persaingan era Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di percaturan internasional. Berbagai kemudahan senantiasa mengiringi proses belajar mengajar. Perubahan gaya hidup dan perilaku peserta didik mewarnai pengintegrasian internet ke dalam pendidikan yang dicanangkan pemerintah melalui kurikulum 2013-nya. Perubahan tingkah laku peserta didik menjadikan persoalan baru bagi penyelenggara pendidikan. Kata Kunci: Teknologi Informasi dan Komunikasi, Teknologi Pendidikan oleh

Gencar S. Perkasa Direktur LKP2M 2011 Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi Jurusan Teknik Informatika 2008 gencar_sp@ymail.com

ilmu pengetahuan maka mereka kelak akan menguasai peradaban. Benarkah itu?

Pendahulan “Siapa yang menguasai ilmu pengetahuan maka dia akan menguasai dunia”.

Hampir di setiap negara maju di dunia, negara penguasa peradaban di zamannya pastilah memiliki keluasan ilmu pengetahuan. Mesir dengan peradabannya telah memukau banyak ilmuan. Di zaman kurang lebih dua ribu tahun sebelum masehi, mereka telah mengenal ilmu tentang pengawetan mayat

Pepetah tua itu menjelaskan secara tegas kepada kita semua hanya dengan satu kalimat, bahwa siapa pun manusia atau sekelompok orang atau negara yang mana di dalamnya tempatnya (menguasai) 59


Gencar S. P # Artikel Fokus LoroNG dengan teknik mumi, belum lagi bidang arsitektur pun tak kalah mentereng. Di zaman yang masih berperadaban rendah, mesir telah memperkenalkan bangunan megahnya yaitu piramid yang merupakan kuburan para raja dan masih berdiri kokoh sampai sekarang. Di bidang aksara, peradaban mesir telah mengenal tulisan, berupa gambar dan simbol-simbol yang dikenal dengan tulisan hieroglyph.

Masih di dunia Islam, Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al Ma’mun (813-833 M). Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 dokter. Penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Berdiri sekolah-sekolah tempat menuntut ilmu, salah satu karya besar yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah2. Pada masa inilah Islam menguasai peradaban dunia.

Hal serupa juga terjadi di Yunani, tempatnya filsuf-filsuf besar lahir. Mulai dari Socrates, Plato, Aristoteles yang sampai sekarang karya pemikiran mereka masih menghiasi buku-buku filsafat di perpustakaan seluruh dunia. Inilah masa kemajuan bangsa eropa dimulai, dimana ilmu pengetahuan berkembang serius disana hingga akhirnya mencapai masa keemasan.

Begitu juga yang terjadi di Inggris yang kita kenal dengan revolusi Industri. Di mulai pada akhir abad ke-18 dimana terjadi peralihan besar-besaran dari tenaga manusia berganti ke tenaga mesin. Titik balik peradaban terjadi ketika penemuan Mesin Uap oleh James Watt. Dimana hampir setiap sektor industri menggunakan penemuannya untuk meningkatkan produktivitas. Inggris benar-benar merupakan pusat industri waktu itu. Menjadi negara yang maju dan modern di eropa. Semua tak lain karena ilmu pengetahuan.

Di era Islam masa keemasan pun juga tak luput dari geliat ilmu pengetahuan. Di zaman Dinasti Abbasiyah dunia Islam dipandang maju disegala bidang. Berbagai tokoh besar di segala bidang lahir. Al-Kindi, filsuf pertama dari kalangan Islam, AlKhwarijmi sebagai bapak Matematika dengan karya fenomenalnya Al-Jabar (Al-Gebra), Ibnu Sina (Avicenna) bapak pengobatan modern dunia, lahir pada masa ini. Pada periode pertama (750-754 M), pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah (pemimpin) benar-benar tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai puncak tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.1 1 Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2008.

60

Di era globalisasi ini, ketika hal-hal yang dahulu kita bayangkan kini telah menjadi kenyataan. Dimana dahulu manusia hanya bisa membayangkan bulan dari jarak ribuan kilometer, kini mereka dapat menginjakkan kaki di bulan. Dahulu untuk mengirimkan pesan manusia harus menelusuri jarak tidak sedikit dengan kuda sebagai kendaraan, kemudian berkembang pengirimas pesan menggunakan perantara merpati pos hingga membayangkan pengiriman pesan melalui telepati. Telepati saat itu masih sekedar mitos, takhayul karena tak dapat dibuktikan secara ilmiah. Kini telepati itu telah menjadi kenyataan, jarak sudah tak menjadi masalah. Di berbagai belahan Hlm, 50. 2 Ibid., hlm. 53.

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam Membentuk Perilaku Peserta Didik bumi, entah itu dipisahkan oleh lautan, gunung atau hutan rimba sekalipun. Mulai dari pesan berupa tulisan, gambar, suara maupun gambar dan suara dapat sampai tujuan hanya dalam hitungan detik. Itulah buah dari kedahsyatan perkembangan teknologi. Pengetahuan itu berkembang dan menjelma menjadi teknologi, atau dapat dikatakan teknologi itu lahir dari rahim ilmu pengetahuan. Perkembangan teknologi dewasa ini tepatnya pada abad ke-20 didominasi oleh perkembangan teknologi Informasi dan Komunikasi (Information Communication Technology) atau yang populer dengan sebutan TIK. TIK tumbuh dan berkembang bermula dari terwujudnya sebuah transmisi suara tanpa kabel melalui siaran radio AM yang pertama (1910-1920 M). Komunikasi suara tanpa kabel ini pun segera berkembang pesat. Kemudian dilanjutkan dengan penemuan cikal-bakal televisi (TV) yang saat itu masih berupa cakrem metal kecil berputar dengan banyak lubang oleh seorang mahasiswa usia 23 tahun di berlin jerman, Paul Nipkow. Kemudian pada 1920 disempurnakan oleh Logie Baird dan Charles Francis Jenkins yang menggunakan piringan nipkow ini untuk menciptakan suatu sitem dalam penangkapan gambar, transmisi dan penerimanya.3 Dilanjutkan dengan komputer elektronik, beroperasi pertama pada tahun 1943. Komputer elektronik pertama beroperasi pada tahun 1943. Lalu diikuti oleh tahapan miniaturisasi komponen elektronik melalui 3 Sutarman S. Kom, M. Kom. Pengantar Teknologi Informasi. Jakarta: Bumi Aksara. 2009. Hlm. 29.

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

penemuan transistor pada tahun 1947 dan rangkaian terpadu (integrated electronics) pada tahun 1957. Perkembangan teknologi elektronika, yang merupakan cikal bakal TIK saat ini, mendapatkan momen emasnya pada era Perang Dingin. Persaingan IPTEK antara blok Barat (Amerika Serikat) dan blok Timur (dulu Uni Soviet) justru memacu perkembangan teknologi elektronika lewat upaya miniaturisasi rangkaian elektronik untuk pengendali pesawat ruang angkasa maupun mesin-mesin perang. Miniaturisasi komponen elektronik, melalui penciptaan rangkaian terpadu, pada puncaknya melahirkan mikroprosesor. Mikroprosesor inilah yang menjadi ‘otak’ perangkat keras komputer dan terus berevolusi sampai saat ini. Perangkat telekomunikasi berkembang pesat saat teknologi digital mulai digunakan menggantikan teknologi analog.4 Perkembangan komputer sendiri melalui empat generasi, yaitu generasi pertama (1943-1956) saat itu ukuran fisik komputer sangat besar memerluhkan ruang yang luas, cepat panas, penyimpanan yang kecil, dan membutuhkan daya listrik yang besar dan hanya berorientasi pada bidang bisnis. Generasi kedua (1957-1964 ), kapasitas memori yang cukup besar serta menggunakan simpanan luar, sudah menggunakan bahasa tingkat tinggi, membutuhkan daya listrik yang lebih kecil daripada generasi sebelumnya, orientasi sudah tidak pada bisnis lagi. Generasi ketiga (1956-1971) memiliki peningkatan pada software, lebih cepat 10.000 kali dari generasi pertama. Generasi keempat (19724 Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Teknol gi_Informasi_Komunikasi. 23 Agustus2013, 06:36 wib.

61


Gencar S. P # Artikel Fokus LoroNG sekarang) spesifikasi dan fitur-fitur yang ada hampir sama dengan yang kita jumpai saat ini. Contoh komputer pada generasi ini adalah Apple Macinthosh (1984), IBM PC/ 486 (1990), Pentimu I-IV, AMD K6 3D (1998). Dan berkembang terus hingga dualcore, Core2duo, core-i3 dst. Penulis tak menyebut generasi kelima dikarenakan di generasi ini masih bersifat imajiner. Kejayaan komputer dibarengi juga dengan kemunculan Internet. Nah dari sini lah segala pertukaran informasi, distribusi dan komunukasi mengalami kemajuan pesat dan sulit dibendung. Internet sendiri merupakan kependekan dari Internasional Network yang artinya jaringan yang menghubungkan dua pihak atau lebih untuk saling bertukar informasi dan komunikasi diberbagai belahan dunia. Di sini kita mendapat berbagai kemudahan. Internet dapat menghubungkan komputer dengan jaringan komputer yang berada di seluruh negara untuk memenuhi kebutuhan informasi baik di wilayah Departemen atau Lembaga, baik di pemerintahan maupun Swasta. Melalui internet pengguna dapat mengirimkan data berupa dokumen, audio video dan gambar. Semua komputer pada jaringan internet memerluhkan kode unik tidak boleh sama yang digunakan sebagai alamat komputer atau di dunia IT disebut IP Adress. Nomor IP ini terdiri dari 32bit atau empat byte sehingga terbuka kemungkinan untuk menyediakan 2 pangkat 32 atau empat milyar nomor IP (alamat komputer) yang berbeda. Karena nomor IP sulit untuk diingat maka digunakan nama domain sebagai penandanya. Dalam penulisannya nama domain dipisahkan dengan tanda titik di belakang kemudian 62

diikuti dengan klasifikasi domain seperti .com untuk Commersial, .info untuk penyedia informasi, .org untuk oraganisasi, .gov untuk pemerintahan kemudian diikuti dengan inisial negara seperti .us untuk Amerika Serikat, .uk untuk britania raya,.id untuk Indonesia dan seterusnya. Seiring perkembangan internet yang pesat dibeberapa tahun terakhir ini, semakin banyak informasi yang dapat dinikmati secara online tanpa batas. Beberapa layanan yang dapat dinikmati pada jaringan internet diantaranya world wide web (www), surat elektronik (email), obrolan online (Chatting), USENET, File Transfer Protocol (FTP), Telnet, Layanan Multimedia, Telepon Internet dan berbagai layanan lainnya. Selain itu, buah dari layanan internet juga berimbas ke ranah sosial. Layanan hubungan komunikasi dua arah antar individu yang praktis, efektif dan efisien dalam satu sistem jejaring sosial seperti yang paling marak saat ini adalah Facebook, twitter. Kemudian ada pula pendahulunya yaitu friendster, tumblr, dan lain sebagainya. Mengakibatkan ruang sosial untuk mengekspresikan diri, beraktualisasi ke publik semakin luas tanpa batas. Seorang individu menuliskan kondisi yang dialaminya saat ini kemudian saat itu pula pengakses jejaring sosial di seluruh dunia dapat mengetahui. Internet merupakan langkah besar dalam revolusi peradaban manusia. Dibalik kemudahan dan manfaat yang dapat dipetik dari kehadirannya, ternyata muncul dampak negatif yang cukup kompleks di berbagai problematika kehidupan manusia. Internet dapat di analogikan seperti pisau. Dapat bermanfaat positif bagi penggunanya bila ditangan yang benar. Seperti ibu rumah LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam Membentuk Perilaku Peserta Didik tangga yang menggunakan pisau untuk perlengkapan dapurnya dalam menyajikan santapan keluarga. Pun begitu pula akan membawa dampak yang buruk bila digunakan oleh tangan yang salah seperti perampok. Menggunakan pisau sebagai alat penunjang kejahatan, seperti mengancam korbannya yang dapat merugikan orang lain. Salah satu dampak positif dapat dirasakan dalam dunia pendidikan. Dengan adanya sumber informasi yang tak terbatas, memungkinkan para peserta didik untuk mengakses pengetahuan dari berbagai sumber yang tersedia diberbagai belahan bumi. Membuat pilihan dalam penunjang pembelajaran semakin banyak dan beranekaragam. Tidak hanya mengandalkan referensi dari media cetak saja. Dan bahkan melalui fasilitas internet, dapat dilakukan pembelajaran jarak jauh. Dimana pengajar dan yang diajar tak harus berada pada satu tempat. Dengan bermodalkan komputer di masing-masing pihak yang tersambung jaringan internet, kegiatan pembelajaran pun siap dilaksanakan. Lintas kota, pulau, negara bahkan benua. Kemudian dampak negatif yang muncul dalam penggunaan internet diantaranya: Mendorong munculnya kejahatan jenis baru. Internet telah mendorong munculnya jenis-jenis kejahatan jenis baru yang tidak ada sebelumnya. Selain itu, cakupan yang digunakan melalui internet sulit di ukur dampak langsungnya karena jangkauan internet yang sangat luas.5 Kejahatan penipuan, pencurian nomor kartu kredit, pornografi merupakan beberapa contoh kejahatan konvensional yang menjadi lebih besar dampaknya akibat munculnya 5 Sutarman. Hlm, 73

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

internet. Perusakan situs internet, seperti kasus wildan seorang lulusan SMK yang meretas situs presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono. Contoh paling hangat kejahatan yang terjadi karena kehadiran internet6 Kemudian pengiriman virus yang bertujuan untuk memata-matai aktivitas suatu negara atau seseorang, seperti pada kasus virus yang diduga dibuat Amerika Serikat untuk memata-matai aktivitas nuklir Iran. Virus ini berjenis malware, penyusup dan perusak sistem, bernama Flame. Flame adalah attack toolkit yang menggabungkan sifat-sifat backdoor, trojan, dan worm sehingga mampu menggandakan diri lewat jaringan dan media eksternal jika diperintahkan oleh pembuatnya. Begitu berada dalam komputer, malware ini bisa menjalankan serangkaian kegiatan mata-mata dan pencurian data, termasuk merekam ketikan keyboard, merekam percakapan pengguna lewat mikrofon, serta mengambil screenshot apabila terdapat aplikasi tertentu yang dijalankan, seperti instant messenger dan Outlook. Data curian hasil memata-matai pengguna tersebut kemudian dikirim ke domain “Control & Command� yang dikendalikan oleh pembuat Flame. Sebuah backdoor juga diciptakan di komputer terinfeksi sehingga kreator malware ini bisa menambahkan fungsi-fungsi spionase lain sesuai kebutuhan.7 Internet juga dapat memunculkan kejahatan berupa pelecehan dan teror seperti 6 Harian kompas edisi Rabu, 30 januari 2013. 7 Portal berita online kompas. edisi Rabu 30 mei 2012 beralamatkan: http://tekno.kompas.com/ read/2012/05/30/10303657/ditemukan.virus. komputer.paling.canggih.dan.berbahaya. Diakses 25 Agustus 2013, 16:10 wib.

63


Gencar S. P # Artikel Fokus LoroNG pada kasus Cyberbullying Amanda todd, gadis 15 tahun asal kanada yang bunuh diri akibat pelecehan melalui internet seperti yang dilansir pada portal berita wartanews.com.8 Kondisi Pendidikan Indonesia saat ini. “Saat Malaysia baru merdeka, Indonesia mengirimkan dokter, guru dan insinyur untuk mengajar negara itu karena dianggap lebih maju. Namun sekarang Indonesia hanya banyak mengirim pembantu�, demikian pernyataan yang sempat dilantunkan Yusril Ihza Mahendra saat memberikan pidato dalam acara zikir akbar di Monas, Minggu 27 Februari 2011. Seakan-akan Bangsa Indonesia sudah tak punya hal-hal positif lagi di bidang pendidikan saat ini. Bangsa Indonesia cenderung terbuai dengan romantisme sejarah dimasa lau, dimana dapat dikatakan masa emas pendidikan Indonesia telah berlalu. Malaysia setelah merdeka, 31 Agustus 1957, memohon bantuan kepada presiden RI pertama, Ir. Soekarno, untuk mengirimkan beberapa tenaga pengajar. Membangun sektor pendidikan yang saat itu sangat jauh tertinggal. Setengah abad telah berlalu, dengan berbagai polemik dan tantangan yang dihadapi, pendidikan Indonesia mengalami penurunan drastis, bahkan jauh tertinggal dari negara-negara asia tenggara lain termasuk Malaysia. Berdasarkan hasil dari pengamatan United Nation Development 8 http://www.wartanews.com/ internasional/36403585-5a6a-f0fb-806ce3e65724fb5d/sebelum-tewas-bunuh-diri-amanda-todd-posting-video-bully. Diakses 25 agustus 2013, 16:29 wib.

64

Program (UNDP) dalam hal pembangunan manusia, Indonesia berada diperingkat ketujuh dari sepuluh negara ASEAN, kita hanya unggul dari Myanmar (10), Kamboja (9) dan Laos (8). Sementara Malaysia berada di peringkat ketiga setalah Singapura dan Brunei Darussalam. Untuk lebih lengkapnya lihat tabel peringkat UNDP dibawah. Peringkat Index Pembangunan Manusia negara-negara ASEAN Tabel: Peringkat IPM negara ASEAN No

Negara

IPM

1 2

Singapura Brunei Darussalam

0,922 0,894

Peringkat Index 25 30

3 4 5 6 7 8 9 10

Malaysia Thailand Filipina Vietnam Indonesia Laos Kamboja Myanmar

0,811 0,781 0,771 0,733 0,728 0,601 0,598 0,583

63 78 90 105 107 130 131 132

Sumber: UNDP, 2007 Laporan perhitungan UNDP tahun 2007-2008 menunjukkan IPM Indonesia sebesar 0,728 yang berada dalam peringkat 107 dari 177 negara yang disurvey. Index Pembangunan Manusia (IPM) merupakan gabungan dari index harapan hidup (IHH), index pendidikan (IP), dan Gross Domestik Bruto (GDB). Yang mana saat itu GDP Indonesia mencapai 0,609 dari skala 1. Harapan hidup orang Indonesia (IHH) mencapai 69,7 tahun atau dinyatakan dalam index 0,745. Index pendidikan mencapai 0,83 karena angka melek huruf sebesar 90,4% dan rata-rata rasio masuk sekolah dari SD samapai SMA mencapai 68,2%.9 9 Mohammad Ali. Pendidikan Untuk Pembangunan Nasional: Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi. Bandung: PT. Imtima. 2009. Hlm.28

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam Membentuk Perilaku Peserta Didik Data di atas menunjukkan bahwa ada yang salah dengan pendidikan di Indonesia saat ini, cenderung menurun. Bahkan dari negara yang tak memiliki pondasi pendidikan semenjak merdeka seperti Malaysia pun harus kalah. Kondisi seperti ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah selaku penyelenggara pendidikan, namun harus ada upaya bersama baik itu Pemerintah, Pihak terkait, stakeholder pendidikan dan tentunya kiprah dari masyarakat. Sebagai masyarakat yang peduli akan pendidikan, patut kiranya masalah ini untuk direnungkan bersama sebagai evaluasi nasional, membuahkan kebijakan-kebijakan nyata yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Tentunya dengan dibarengi kesadaran bersama untuk mencapai Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang tinggi dan berkualitas. Diperkembangannya, Pendidikan di Indonesia telah mengalami beberapa pergantian kurikulum. Tercatat semenjak di proklamirkan kemerdekaan RI 1945, negara kita sudah melewati 9 kali pergantian kurikulum. Dimulai kurikulum Rencana Pelajaran 1947 awal kemerdekaan, Rencana Pelajaran 1954 yang masih sama dengan kurikulum sebelumnya, Kurikulum 1968 kurikulum terintegrasi pertama, Kurikulum 1975 yang disusun lebih rinci daripada pendahulunya, kurikulum 1984 yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975, Kurikulum 1994 (suplemen kurikulum 1999), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP) 2006 dan yang saat ini masih hangat-hangatnya yaitu kurikulum 2013. Berdasarkan Pemerdikbud no. 81A tahun 2013, Kurikulum 2013 ini merupakan LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

penyempurnaan, pemodifikasian dan pemutakhiran kurikulum sebelumsebelumnya. Implementasi kurikulum 2013 setidaknya akan mendorong enam perubahan. Menurut Staf khusus Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Sukemi, mengatakan bahwa Mendikbud Mohammad Nuh mengibaratkan Kurikulum 2013 sebagai sebuah kendaraan yang bisa membawa atau melakukan banyak perubahan. Menyebut efek domino dari Kurikulum 2013 itu sedikitnya ada enam perubahan yakni penataan sistem perbukuan, penataan Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK), dan penataan pola pelatihan guru. Selain itu, memperkuat budaya sekolah melalui pengintegrasian kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstra kurikuler, serta penguatan peran guru bimbingan dan konseling (BK). Perubahan berikutnya, memperkuat NKRI melalui kegiatan ekstra kurikuler kepramukaan, dan memperkuat integrasi pengetahuanbahasa-budaya.10 Sungguh sangat naif ketika berbicara soal hasil (dampak) yang didapat dari kurikulum 2013, karena implementasinya baru dilaksanakan pada 15 Juli lalu. Namun berbagai aksi penolakan hampir terjadi di seluruh penjuru negeri, berdalih karena kebingungan dengan kurikulum baru, sosialisasi yang kurang, ketersediaan buku, kesiapan guru, prasarana dan sebagainya. Penulis beranggapan bahwa perubahan radikal sangat perlu diterapkan, mengingat kondisi pendidikan saat ini yang kian tak 10 Portal berita antaranews.com. Senin, 15 Juli 2013. Beralamatkan: http://www.antaranews. com/berita/385550/kurikulum-2013-dorongenam-perubahan. diakses pada 26 Agustus 2013, 14:41 wib.

65


Gencar S. P # Artikel Fokus LoroNG menentu. Kualitas yang dihasilkan dari proses pendidikan yang masih sulit diukur keberhasilannya. Hanya berorientasi pada Output yang dihasilkan, mementingkan hasil akhir atau nilai ketimbang budi pekerti dan proses dalam belajar. Hal ini sangat tampak ketika hasil nilai Ujian Nasional (UN) dijadikan satu-satunya tolok ukur dalam kesuksesan Institusi sekolah. Entah berakhlak bejat yang penting mendapat nilai UN yang bagus maka dinyatakan lulus. Bahkan tidak sedikit peserta didik yang pintar, langganan 10 besar dikelas, diterima Perguruan Tinggi terkemuka sebelum UN, harus gigit jari karena mendapat nilai kurang bagus disalahsatu mata pelajaran kemudian dinyatakan tak lulus berdasarkan ketetapan yang berlaku. Berdasarkan data yang dikutip dari RAPBN-P 2013 total anggaran untuk sektor pendidikan sebesar 20%. Naik menjadi Rp. 344,4 trilun dari sebelumnya di APBN 2012 sebesar 336,8. Dan perlu diketahui, penerapan jatah 20% dari APBN untuk sektor pendidikan ini telah dilaksanakan sejak tahun 2009, namun semua itu masih jauh panggang dari api. 11 Dengan kondisi semacam ini harusnya dapat mendukung peningkatan kualitas pendidikan, setidaknya berimbas pada membaiknya mutu pendidikan. Namun sentuhan APBN 20% itu hampir tak dapat dirasakan dalam kehidupan nyata. Ironis memang, realita di lapangan menunjukkan bahwa dari keseluruhan dana pendidikan tersebut (20% APBN) sejumlah 80% dialokasikan untuk gaji guru. Kemudian sisanya digunakan untuk meningkatkan 11 Kementrian Keuangan Republik Indonesia via http://anggaran.depkeu.go.id.

66

kualitas pendidikan seperti sarana dan prasarana, pengembangan pendidikan, biaya operasional institusi dan lain-lain, apakah pendidikan kita akan membaik? Sistem pendidikan yang dianut di negara kepulauan ini juga masih kurang memadai. Sistem penerapan pendidikan cenderung disama-ratakan. Entah itu di kota, di pucuk gunung, di perbatasan, di daerah terpencil sekalipun semua memiliki standard kompetensi yang sama. Padahal pemerataan fasilitas sarana dan pra sarana masih belum rata. Dengan kurikulum yang terintegrasi dengan teknologi informasi dan komunikasi setiap lembaga penyelenggara pendidikan (SD sampai SMA) dituntut untuk dapat menjalankan. Tentunya penerapan kebijakan tersebut membutuhkan fasilitas yang memadai sebagai penunjang. Seperti koneksi internet, komputer per siswa, LCD Proyektor. Di daerah Indonesia lain yang kurang beruntung, jangankan memiliki fasilitas penunjang, memiliki kelas yang layak saja pun sudah anugerah luar biasa. Beratap rapuh lagi bocor, tak ada belajar mengajar tanpa diselimuti rasa khawatir di dalamnya. Sewaktu-waktu atap runtuh tanpa diduga. Bagaimana bisa menerapkan kurikulum 2013 dengan baik. Pada hakikatnya, pendidikan itu sendiri dihadirkan guna memajukan dan menyamaratakan pola pikir warga negaranya. Dipilah dan diklasifikasi sesuai disiplin ilmu yang dibutuhkan sehingga negara dengan mudah dapat menyelenggarakan pembangunan disegala sektor, kapanpun dan dimanapun. Mudahnya begini, katakanlah saat ini LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam Membentuk Perilaku Peserta Didik pemerintah membutuhkan sumber daya manusia di bidang TIK untuk pembangunan negara. Maka dari itu diselenggarakanlah pendidikan yang fokus terhadap disiplin ilmu ke-TIK-an. Di akhir, para lulusan disambut langsung dengan tugas negara dalam upayanya membangun sektor TIK nasional. Pemerintah tinggal memakai SDM yang ada tanpa harus menjelaskan panjang lebar, mendetail dari nol hal-hal yang berkaitan dengan TIK. Para alumnus pendidikan tersebut tinggal bergerak merumuskan kebijakan dan mengerjakan sesuai dengan yang dikuasainya menuju kesejahteraan bangsa dan negara tentunya. Begitu juga dengan disiplin-disiplin ilmu yang lain.

terhadap moral si anak adalah kedua orang tua. Namun karena kehidupan sekarang semakin kompleks maka dibutuhkanlah yang namanya pendidikan sekolah.

Di sisi lain pendidikan juga dapat diklasifikasikan berdasar fase/ tahapan proses. Pendidikan menurut kacamata Ki Hajar Dewantoro terbagi menjadi tiga asas, yaitu Pendidikan Keluarga, Pendidikan Sekolah dan Pendidikan Lingkungan.

Dekat dengan penjual minyak wangi, ikut terbawa wangi. Dekat dengan pande besi, ikut terbakar. Begitulah gambaran tentang pendidikan lingkungan karena tentunya lingkungan merupakan variabel utama di fase ini. Dimana seseorang bergaul disitulah karakter terbentuk. Bung Kano pernah berkata, jika kamu ingin mengetahui karakter seseorang cukuplah lihat dengan siapa dia bergaul dan buku apa yang dia baca. Lingkunganlah yang secara tak langsung menempa dan membentuk karakter suatu individu.

Pendidikan dikeluarga sangat penting dalam mengarahkan seseorang menentukan akan kemana dia selanjutnya. Karena disinilah pondasi awal, dimulai ketika lahir, tumbuh kembang hingga masuk sekolah. Bahkan ketika telah bersekolahpun pendidikan keluarga juga masih sangat dibutuhkan. Sebagai pengontrol tindaktanduk, mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk. Sebenarnya dalam pola pikir kehidupan lampau, pendidikan keluarga saja sudah cukup untuk bekal mengarungi bahtera kehidupan ke depan, tentunya jika orang tua merasa mampu untuk mengajarkan luasnya ilmu pengetahuan yang dibutuhkan. Karena seperti yang dijelaskan dalam islam, yang paling bertanggung jawab LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

Sebenarnya pendidikan di sekolah merupakan pendidikan penunjang orang tua untuk membesarkan sang anak. Bisa jadi, karena tak mampu, atau mungkin tak cukup waktu untuk mengajarkan keilmuan di luar yang mereka ketahui. Lembaga sekolah bisa dikatakan sebagai penyedia “jasa penitipan� untuk membimbing sang anak hingga siap menghadapi tantangan kehidupan ke depan. Di fase ini diantaranya seperti sekolah umum, le,baga khursus, pondok pesantren, perguruan tinggi dan yang menyerupainya.

Realita ternyata berkata lain. Para orang tua cenderung menyerahkan pendidikan sepenuhnya pada sekolah. Tak tahu menahu, sekolah seaka-akan sebagai solusi tunggal dalam memenuhi kebutuhan segala ilmu pengetahuan. Mengabaikan moral dan karakter sang anak. Jika anak melakukan penyimpangan atau kesalahan, tanpa berkaca terlebih dahulu sang orang tua pun langsung menunjuk sekolah sebagai 67


Gencar S. P # Artikel Fokus LoroNG penyebab utama yang tak becus dalam membimbing sang anak. Tetapi akibat dari kesalahan itu sekolah ikut tercoreng namanya. Sering dijumpai headline surat kabar, “Seorang Siswa SMA Negeri A membunuh seorang siswa SMA Negeri B karena tak terima diejek. Mengapa menyebutkan nama sekolah bukannya menyebut nama orang tua masing-masing?. Serupa tapi tak sama, perlakuan yang diterima pendidik (guru/dosen/ pengajar) pun juga membuat kening berkerut serta tangan mengelus dada. Jika dia seorang perempuan, maka dia rela untuk meninggalkan pekerjaan rumahnya, mengurus anak-anaknya, melayani suaminya hanya untuk mengurus anak orang lain yang dititpkan disekolah. Dia lakukan sedari pagi hingga siang bahkan hingga sore. Belum lagi ketika pekerjaan mengoreksi tugas peserta didiknya harus dibawa ke rumah. Dia lewatkan malam dengan melihat satu persatu lembar pekerjaan peserta didik. berbicara kesejahteraan para pendidik. Pernahkah mereka berpikir menghabiskan liburan bersama keluarga ke Bali? Jangankan berlibur, gaji yang didapat telah habis digerogoti rayap kebutuhan rumah tangga. Membayar uang sekolah, membayar baby sister untuk menggantikan keberadaanya merawat sang anak sepanjang hari ketika tak ada di rumah. Tidak jarang, berhutang pun hampir selalu menjadi solusi instan penguat perekonomian rumah tangga. Jika ingin kendaraan bermotor, rumah, barang elektronik tidak sedikit yang terpaksa menggunakan solusi kredit, berbunga lunak atau berbunga tinggi pun jadi.

68

Tindakan Solutif Dalam Upaya Mengentaskan Masalah Pendidikan Membangun kembali sistem pendidikan yang berkualitas memang tak semudah membalik telapak tangan. Mengganti sistem yang sudah ada jauh lebih komplek ketimbang memulai dari nol. Simak saja negara Jepang, paska perang dunia II setelah tahun 1945 mengkalau-balaukan negara seisinya, perekonomian termasuk pendidikan. Namun dengan strategi yang jitu, yaitu mengumpulkan seluruh tenaga pendidik yang tersisa kemudian perlahan membenahi negara dimulai dari sektor pendidikan terlebih dahulu. Kemudian sesegera mungkin bangkit dan tak berlamalama dalam keterpurukan. Dengan dukungan seluruh rakyatnya, jepang kembali berdiri tegak lewat sektor pendidikan sebagai kunci pembangunan kembali. Jadi sistem, sistem yang baik dan jitu lah yang pertama kali harus kita benahi di pendidikan nasional saat ini. Melibatkan orang-orang yang cemerlang dan ahli dalam bidang ini tentunya, “The right man on the right place�. Merumuskan sistem yang tepat dan mensosialisasikannya ke khalayak umum guna mencegah kesalahpahaman sosial. Terlepas dari pro dan kontra, sesegera mungkin diwujudkan apapun yang terjadi. Bersama-sama mendukung kinerja dalam proses pembangunan kembali pendidikan. Dengan cara mendukung pihak yang bersangkutan untuk menjalankan perannya masing-masing. Selain itu yang tak kalah penting, negara juga secara tegas menjalankan konstitusi tanpa ada kompromi. Meminimalisir celah-celah yang dapat mengundang oknum-oknum LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam Membentuk Perilaku Peserta Didik pendidikan melakukan hal-hal yang dapat merugikan. Pembangunan sistem pendidikan juga diimbangi dengan pembangunan di berbagai sektor pendukung seperti Perbaikan/ pembangunan gedung yang layak, peningkatan mutu dan kesejahteraan pendidik, perbaikan sistem penilainan dan pengujian, desentralisasi pengelolaan pendidikan termasuk memberi banyak wewenang sekolah dalam mebuat kebijakan, meningkatkan peran serta masyarakat, orang tua, swasta dalam pengelolaan pendidikan, dan yang juga tak kalah penting untuk menghadapi tantangan di era global ke depan adalah pendayagunaan teknologi untuk menunjang proses belajarmengajar berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Mengapa harus Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)? Menyiapkan diri untuk menghadapi tantangan pendidikan di masa depan. Iya itulah jawaban yang paling pas. Namun secara gamblang peran TIK dalam pendidikan saat ini sangat-sangat dibutuhkan. Jika tak ingin tertinggal oleh kemajuan jaman. Semua negara di dunia tanpa terkecuali, berusaha meningkatkan mutu masyarakat dan bangsanya memasuki era persaingan global (teknologi) melalui urat nadi pendidikan sebagai awal, termasuk di dalamnya adalah kita, Indonesia. Menurut UNESCO ada tiga kategori negara-negar yang mendayagunakan TIK untuk pendidikan adalah sebagai berikut:

into the education system); Contohnya seperti Korea Selatan, Australia, Singapura. Mereka telah memiliki kebijakan nasional dalam bidang pendayagunaan TIK untuk pendidikan dan telah memiliki kurikulum TIK yang terintegrasi dengan kurikulum nasional. Kondisi pendayagunaan TIK untuk pendidikan adala sebagai berikut: -Hampir semua kelas telah dilengkapi komputer dan peralatan TIK lainnya. -Rasio ketersediaan komputer dan jumlah siswa disekolah adalah SMU 1:5, SMP 1:7, SD 1:10. -Semua sekolah memiliki tingkat akses internet dengan kecepatan tinggi dan bandwith yang cukup besar sehingga dimungkinkan terselenggaranya multimedia secara penuh. -33% guru dilatih setiap tahun oleh guru yang sudah memiliki sertifikat TIK. 2. Middle Countries Negar-negara yang masuk dalam kategori ini mempunyai kebijakan dan rencana induk tentang TIK secara nasional, menerapkan dan mencoba bermacam-macam strategi tetapi TIK belum terintregasi secara penuh dalam pendidikan. Contoh Thailand, China, Jepang, Filipina, India. 3. Beginning Countries Negara-negara pemula seperti Indonesia, Myanmar, Vietnam, Bangladesh. Negaranegara ini telah memiliki kebijakan nasional namun belum memiliki sumber daya yang cukup untuk melaksanakan kebijakan dan rencana kerja atau belum mempunyai kebijakan tetapi sudah memulai pilot

1. Advanced Countries (Integrating ICT LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

69


Gencar S. P # Artikel Fokus LoroNG proyek TIK.12 Seperti yang dipaparkan oleh Suryamin, Kepala Badan Pusat Statistik, Indonesia tercatat ada diurutan ke-95 dari 155 negara untuk urusan pengembangan TIK. Jangankan berbicara global, di lokal asia tenggara saja kita masih kalah jauh dengan Singapura, Malaysia, dan Filipina soal pengembangan TIK.13 Penulis mengambil contoh yang cukup relevan dengan Indonesia adalah Malaysia. Dengan total populasi sebanyak 23,1 juta orang (2003) Malaysia merasakan bahwa pendidikan telah memberikan platform yang kokoh yang memungkinkannya menjadi salah satu negara yang ekonominya berkembang secara pesat di asia. Kebijakan dalam TIK juga mengarah pada pencapaian tujuan jangka panjang 2020. Untuk mewujudkan visi tersebut diciptakanlah Multimedia Super Corridor (MSC) yang dimaksudkan untuk menarik perusahaan kelas dunia, menempatkan industri multimedianya di Malaysia, melakukan penelitian, mengembangkan produk-produk dan teknologi baru serta mengekspornya dari sana. MSC menerapkan suatu rencana jangka panjang yang merentang dari 1996-2020 ditargetkan dalam 3 tahap perkembangan: -Tahap pertama (1996-2003), tahap diciptakannya koridor ini. -Tahap kedua (2004-2010) pada saat ini telah ada dua kota pintar di sana yaitu Putrajaya dan Cyberjaya. Diharapkan kertangka global hukum cyber dapat diharmoniskan dan 12 Herina Yuhetty dan Hardjito. Edukasi Net Pe belajaran Berbasis Internet: Tantangan dan Peluangnya. Hal.14 13 BPS, 2013

70

paling tidak 4-5 kota pintar di Malaysia akan terhubungkan dengan cybercities global. -Tahap ketiga (2010-2020), Malaysia akan evolve ke dalam satu MSC sebagai test bed aplikasi multimedia terbaru. Pengadilan cyber Internasional diharapkan dapat didirikan di Malaysia dan 12 kota pintar terbentuk.14 Sebanyak 90 sekolah telah dipilih sebagai lokasi rintisan awal smart school. Departemen Pendidikan Malaysia telah melatih 1.720 guru-guru dalam hal metode mengajar di smart school untuk menjamin keberhasilan proyek ini. Di akhir proyek rintisan ini di tahun 2002 yang lalu, 87 sekolah (83 sekolah menengah dan 4 sekolah dasar) di semua negara bagian Malaysia telah mengambil bagian aktif dalam program ini dan pada saat yang bersamaan telah menghasilakan sejumlah 1.494 judul topik. Keberhasilan proyek ini banyak ditentukan oleh para agen perubahan di berbagai tingkatan: departemen, negara bagian, dan sekolah. Di tingkat departemen, menteri, sekretaris jendral dalam kapasitasnya sebagai ketua Komisi Pengarah smart school, Direktur Bagian teknologi pendidikan yang berfungsi sebagai kepala proyek perintisan smart school dan wakil direkturnya yang menangani pelaksanaanya dari hari ke hari. Di tingkat negara bagian wakil direktur Departemen Pendidikan Negara Bagian bertindak sebagai ketua tim penunjang strategi smart school sedang kepala Pusat Sumber belajar Negara Bagian bertindak sebagai wakilnya. Di tingkat sekolah kunci perubahan terletak pada kepala sekolah, yang 14 Dewi Salma Prawiradilaga dan Eveline Siregar. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. 2007. hal. 109.

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam Membentuk Perilaku Peserta Didik menyusun rencana pengelolaan perubahan rencana jangka pendek maupun panjang dan kegiatan para stakeholder utama di sekolah. Orang tua dan masyarakat melalui SPP masing-masing sekolah juga aktif dilibatkan dalam mengelola perubahan ini.15 Kembali ke negeri sendiri, dewasa ini Indonesia bukan lagi diposisikan untuk bertanya “Apa itu TIK?” lagi, tetapi selayaknya sudah bertransformasi untuk lebih ke arah pendayagunaan TIK itu sendiri disegala lini kehidupan, terlebih dunia Pendidikan. Bahkan jauh-jauh hari Eric Ashby pakar pendidikan ternama berpendapat bahwa teknologi komunikasi telah menimbulkan revolusi yang keempat. Revolusi pertama terjadi ribuan tahun lalu sejak saat masyarakat membedakan tanggung jawab orang dewasa, dan tugas mendidik para muda beralih dari orang tua kepada guru dan dari rumah kesekolah. Revolusi kedua terjadi dengan dipergunakannya bahasa tulisan sebagai sarana untuk pendidikan. Sebelum itu pendidikan berlangsung secara lisan. Revolusi ketiga berlangsung dengan diketemukannya teknik percetakan yang kemudian memungkinkan tersedianya buku secara meluas. Revolusi keempat ditandai dengan perkembangan elektronik terutama dalam bentuk radio, televisi, pita rekaman dan komputer.16 Berdasarkan laporan the Carnegie Commision on Higher Education, revolusi keempat itu telah berkembang selama kurang lebih tiga dekade, dan selama itu pula telah mampu menunjukkan 15 Ibid. hal. 110-111. 16 Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, M.Sc. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. 2007. Jakarta: Kencana. Hal. 494.

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

karakteristik futuristiknya. Media baru itu telah menawarkan sejumlah alternatif pemecahan masalah, tak hanya akseptabel melainkan juga yang spektakuler. Berbagai implikasi perkembangan teknologi itu, khususnya pada jenjang pendidikan tinggi, dilaporkan sebagai berikut: • Pembelajaran di luar kampus untuk orang dewasa akan semakin berkembang, dan merupakan segmen yang tumbuh pesat dalam pendidikan lanjutan. • Mahasiswa dalam perguruan tinggi kecil akan mempunyai akses lebih besar dari berbagai sumber. • Perpustakaan, bilamana berkembang menjadi pusat sumber belajar dalam berbagai bentuk, akan merupakan ciri dominan dalam kampus. • Bangunan kampus akan berserak dengan adanya kampus inti di pusat, dan sejumlah kampus satelit yang menimbulkan keakraban pada masyarakat dengan ukurannya yang kecil. • Tumbuhnya profesi baru dalam bidang media dan teknologi: • Tuntutan bagi semua mahasiswa dan tentunya semua warga sivitas akademika untuk menguasai teknologi tertentu, sekurangnya komputer. • Calon guru sekolah lanjutan dan calon dosen harus dilatih dalam penggunaan teknologi instruksional • Pengalihan dana yang semula untuk membangun gedung di kampus, untuk biaya operasi pengajaran di luar kampus 71


Gencar S. P # Artikel Fokus LoroNG • Mahasiswa dituntut untuk belajar lebih mandiri • Diperlukan tes yang lebih banyak dan lebih baik, untuk menilai kemajuan belajar mahasiswa yang belajar dengan menggunakan teknologi baru. 17 Keberhasilan pendayagunaan teknologi bukan terletak pada seberapa canggih peralatan teknologi yang dipakai tetapi lebih banyak pada manusia yang mengembangkannya (guru, dosen, civitas akademika dan lain-lain)

Pada 2013, menurut perkiraan APJII, pengguna internet di Indonesia akan mencapai 82 juta atau 30% dari jumlah pengguna pada 2012, pada 2014 mencapai 107 juta, dan pada 2015 mencapai 139 juta. Pada 2013, menurut perkiraan APJII, pengguna internet di Indonesia akan mencapai 82 juta atau 30% dari jumlah pengguna pada 2012, pada 2014 mencapai 107 juta, dan pada 2015 mencapai 139 juta. (Lebih jelasnya lihat grafik).

Internet Indonesia saat ini Bagai gayung bersambut, penetrasi TIK ke dalam ranah pendidikan tinggal menunggu waktu. Di realita arus deras globalisasi lewat internet sudah begitu nyata. Masyarakat telah menyambut kehadiran internet dengan tangan sangat terbuka. Hampir semua lapisan masyarakat perkotaan sudah tak gaptek lagi. Berdasar survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tercatat pengguna internet di Indonesia telah mencapai 63 juta di tahun lalu (2012) atau sekitar 24,23% dari total penduduk Indonesia. Valens Riyadi, Kepala Departement Pendaftaran Internet Nasional APJJI menjelaskan bahwa hasil survey tersebut menunjukkan penetrasi internet terhadap populasi penduduk tidak hanya terjadi di pulau Jawa tapi merata di wilayah Sumatera, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Timur. 17 Eric Ashby. The Fourth Revolution: Instructional Technology in Higher Education, A Carnegie Commision on Higher Education Report. New York: McGraw-Hill Book Co.

72

Gambar:Pengguna Internet di Indonesia Sumber: APJII, 2013 Survei APJII itu menunjukkan penduduk berusia berusia 12 - 34 tahun mendominasi pengguna internet di Indonesia dengan porsi 64,2%. Sedangkan kelompok pengguna berusia 20-24 tahun mencapai 15,1% dari total pengguna. Dilihat dari profilnya, mereka yang masih bekerja dengan lama kerja antara satu hingga dua tahun mencapai 53,3% dari total pengguna, yang disusul ibu rumah tangga, dan pelajar. Sementara dari jenis perangkat yang dipakai untuk mengakses internet, ponsel pintar menempati porsi 70,1%, diikuti PC Notebook (45,4%), komputer rumah (41%), PC Netbook (5,6%), dan LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam Membentuk Perilaku Peserta Didik tablet (3,4%). APJII melakukan survei itu melalui wawancara serta pengisian kuisioner yang melibatkan dua ribu responden di 42 kota dari 31 provinsi di Indonesia sejak April hingga Juli 2012. Responden yang disurvei berusia 12 hingga 65 tahun dengan akses internet lebih dari sejam dari golongan sosial ekonomi A hingga C. 18 Sekarang Semua serba E Sebelum didengungkan perihal kurikulim 2013 berserta seputar pro dan kontranya, kurikulum yang notabene dikenal lebih mengedepankan pegintegrasian segala disiplin ilmu ke dalam TIK, dunia pendidikan nasional telah mengenal E-education. E-education sendiri merupakan gabungan dari dua kata dalam bahasa Inggris, electric dan education, yang kurang lebih dalam bahasa Indonesia Pendidikan Elektronik. E-education ini merupakan sistem pendidikan berbasis internet. Bersamaan dengan itu, lahir pula istilah e-learning, e-book, e-news, e-library, e-consulting, e-dictionary, e-journal dan “e� yang lain. Istilah-istilah tersebut membuktikan bahwa segala aktivitas belajar-mengajar elektronik mendorong lahirnya berbagai perangkat pendukung yang menyertainya juga memanfaatkan internet. Manfaat yang dipetik dari penerapan sistem e-education bagi institusi pendidikan, peserta didik dan masyarakat diantaranya memperpendek jarak, perluasan jaringan pendidikan, menghemat biaya, menghadirkan peluang kerja baru, meningkatkan produktivitas, praktis dan sebagainya. 18 Sumber dirangkum dari situs www.apjii.or.id.

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

Di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, mulai mengenal e-learning pada pertengahan tahun 2010, saat itu tahun ajaran baru. Salah satu dosen jurusan Teknik Informatika di Universitas telah menyelenggarakan ujian elektronik berbasis internet dengan sistem ciptaan sendiri. Dengan konsep, 20 dari 50 soal yang ditampilkan secara acak, kemudian si mahasiswa menjawabnya, tentunya dengan penggunaan timer. Kemudian hasil jawaban dapat segera diproses sistem, beberapa menit setelah itu nilai sudah dapat diketahui. 2 tahun berselang e-learning hampir diterapkan ke semua jurusan. Dengan memanfaatkan aplikasi freeware berbasis internet yang telah disediakan oleh situs penyedia e-learning/ e-education seperti edmodo.com contohnya. Salah satu perangkat pendukung e-education yang sangat vital kehadirannya adalah E-book. Merupakan transformasi bentuk dari buku konvensional yang berbahan dasar kertas kemudian dirubah ke dalam bentuk soft copy berupa file berjenis pdf yang memungkinkan untuk diperbanyak dan didistribusikan ke mana pun dengan memanfaatkan jaringan internet. Hal ini sangat menguntungkan bagi penyelenggaraan pendidikan jarak jauh. Dengan berbagai kemudahan yang dicapai berkat kehadiran e-book, memunculkan berbagai variasi e-book seperti e-dictionary, e-journal, e-magazine dan sebagainya. E-dictionary sendiri tidak lain dan tak bukan merupakan tranformasi dari kamus dalam versi e-book. Bermacam-macam kamus tercipta, diantaranya Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Inggris-Indonesia, Kamus istilah, kamus bahasa arab, tafsir quran elektronik, hadits elektronik dan 73


Gencar S. P # Artikel Fokus LoroNG sebagainya. Namun e-dictionary di sini lebih variartif. Tidak hanya berbentuk pdf tetapi juga berupa aplikasi dengan dilengkapi fitur untuk memudahkan pencarian. Hanya dengan mengetik kata kunci saja, kemudian arti yang diinginkan dapat ditemukan hanya dalam beberapa detik. Ada pula e-dictionary online, dimana kita dapat mencari makna kata bahkan dapat juga menerjemahkan satu kalimat, satu paragraf bahkan lebih. Situs penyedia Kamus online ini diantaranya seperti logos.net, www.bahasa.net, www. artinya.net, indoworks.com.au, word2word. com, altavista.com, sederat.com, google translate dan lain sebagainya.19 Dalam perkembangan e-book, di tengah ruang baca para akademisi saat ini telah muncul berbagai situs penyedia bagai dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Mulai dari toko buku online baik yang berbayar seperti amazon.com maupun yang gratis seperti slideshare. com, book.google.com. Pun begitu juga dengan perkembangan jurnal, berbagai macam penyedia jurnal bermunculan baik yang berbayar seperti Spingerlink, IEEE, prorequest dan yang tak berbayar seperti google cendekia. Bahkan hampir setiap universitas terkemuka di Indonesia mengeluarkan jurnal versi elektronik yang telah terakreditasi A oleh Dirjend Dikti (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi) seperti Bionatura (Jurnal Ilmiah rekayasa biologi Universitas Padjajaran), Medical Journal of Indonesia (Jurnal kedokteran Universitas Indonesia), Millah (Jurnal Keagamaan Universitas Islam Indonesia) 19 Budi Sutedjo Dharma Oetomo, S.kom., MM. e-Education; Konsep, Teknologi dan Aplikasi Internet Pendidikan. Yogyakarta: Andi. 2007. hal. 176-277.

74

dan lain sebagainya.20 Kondisi serupa juga terjadi pada majalah elektronik atau yang populer dikenal dengan istilah e-Magazine. Cikal bakal majalah elektronik ini bermula dari berkembang pesat dunia pemberitaan yang memanfaatkan jaringan internet atau disebut dengan e-news. Berbagai portal berita membludak layaknya jamur di musim hujan. Diantaranya kompas.com, detik.com, liputan6.com, inilah.com, antaranews.com, vivanews.com, okezone.com, merdeka.com dan sebagainya. Majalah elektronik tak ubahnya seperti buku elektronik ataupun jurnal elektronik. Tidak membutuhkan media kertas atau sejenisnya cukup menggunakan media elektronik berupa monitor atau gadge. Seperti halnya e-book, majalah elektronik ini ada yang gratis seperti majalah detik dan male yang dapat di unduh di situs detik.com, ada pula yang berbayar (berlangganan) seperti National Geography Magazine, Times Magazine. Di balik kemudahan yang ditawarkan oleh sistem e-education dengan perangkat pendukungnya e-book, e-journal, e-dictionary, e-magazine seperti yang telah digambarkan tulisan di atas. Ternyata juga memunculkan berbagai problematika tersendiri. Karena Tradisi penulisan ilmiah masih tetap dipertahankan maka munculah masalah antara lain: • Ketidaktahuan para peserta didik tentang berapa lama artikel-artikel itu akan bertahan dalam situsnya. • Standar artikel dan bagaimana standar penulisan artikel tersebut. 20 Sumber: http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/ Daftar-Jurnal-Hasil-Akreditasi-DIKTI.html pada 7 September 2013, 19:45 wib.

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam Membentuk Perilaku Peserta Didik • Kevalidan penciptaan dan kepemilikan artikel juga sulit untuk diuji, karena kemudahan untuk melakukan copy atas dokomen tersebut 21 TIK dan Perilaku Peserta Didik Perkembangan pesat teknologi informasi sudah tak terbendung lagi. Arus deras globalisasi menggrojok seluruh badan ibu pertiwi. Genderang era keterbukaan informasi telah ditabuh. Menyentuh segala lini kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Dalam proses penetrasi globalisasi mengakibatkan budaya yang kuat dan agresif akan memengaruhi budaya yang lemah dan pasif. Budaya yang kuat menurut Selo Sumardjan adalah budaya yang bersifat progresif yaitu yang mengandung ciri-ciri diantaranya: • Cara berpikir yang rasional dan realistik • Kebiasaan membaca yang tinggi • Kemampuan mengembangkan dan menyerap ilmu pengetahuan yang banyak dan cepat • Terbukanya untuk inovasi, bahkan selalu berusaha mencari hal-hal baru • Pandangan hidup yang berdimensi lokal, nasional dan universal • Mampu memprediksi dan merencanakan masa depan • Teknologi yang senantiasa berkembang dan digunakan.22 Dari ciri-ciri yang disebutkan di atas, 21 Budi Sutedjo. Hal 156. 22 Selo Sumardjan. Media komunikasi Massa dan Gl balisasi. 1993. Jakarta. Makalah dalam Seminar Nasional Kebijakan Penerangan.

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

dapat ditelaah bahwasanya budaya Indonesia hampir tak termasuk di dalamnya. Di poin yang pertama, jelas kita tak termasuk. Berbagai fenomena ganjil dan diluar akal sehat manusia sering terjadi di Indonesia. Kita ambil contoh saja Fenomena Dukun cilik nan sakti Ponari. Masyarakat tampak antusias sekali dengan metode yang dipraktekkan oleh Anak asal Jombang ini. Berbekal batu yang konon didapat dari sambaran petir kemudian dicelupkan ke segelas air. Dipercaya ramuan yang diluar nalar dan sulit dijelaskan secara ilmiah tersebut dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Di poin kedua pun terus terang kondisi Indonesia saat ini tak mendukung. Menurut UNESCO dari 127 negara yang disurvey, indonesia berada di peringkat 69 dalam hal index pembangunan pendidikan. Bahkan lebih parahnya index membaca manusia Indonesia mencapai 0,001 yang berarti setiap seribu penduduk hanya ada satu orang yang membaca. (Republika, 8 Juni 2013). Direktur Eksekutif Kompas Gramedia, Suwandi S Subrata sebagaimana ditulis dalam laman kompas.com pada Rabu (29 februari 2012 ) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2011 tercatat produksi buku di Indonesia sekitar 20.000 judul buku. Jika dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang sekitar 240 juta, angka ini sangat memiriskan. Satu buku dibaca 80.000 orang. Di poin-poin selanjutnya mungkin tak jauh beda kondisinya. Buku merupakan sumber utama dalam menunjang ilmu pengetahuan karena buku merupakan gerbang menuju ilmu pengetahuan itu sendiri. Sedangkan minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan 75


Gencar S. P # Artikel Fokus LoroNG bahwa budaya Indonesia termasuk dalam kategori budaya yang lemah dan pasif, wajarlah jika budaya luar (Budaya Agresif) dapat masuk dan diterima dengan mudah oleh budaya kita. Begitu gampangnya budaya K-Pop menjamur di dunia fashion dan hiburan tanah air. Berbagai Boy-band dan Girl Band lahir dari rahim arus deras globalisasi. Semua itu tak lain dan tak bukan lagi-lagi karena buah dari kemajuan teknologi Informasi (TIK). Demikian halnya yang terjadi di lingkungan pendidikan, khususnya bagi peserta didik. Era keterbukaan informasi telah merubah pola perilaku peserta didik secara tidak langsung. Kehadiran penetrasi internet ke dalam sistem pendidikan mengakibatkan beberapa pergeseran tingkah laku peserta didik yang harus diantisipasi, diantaranya: a) Individualis Frekuensi pertemuan antara pendidik dengan peserta didik menjadi berkurang. Interaksi antara keduanya sebagian besar melalui jaringan internet begitupun juga interaksi antar peserta didik lainnya. Pola interaksi demikian tentu saja dapat menyebabkan hubungan sosial peserta didik menjadi semakin tergerus. Ruang beraktualisasi diri menjadi semakin terbatas di realita. Jika dibiarkan begini maka prilaku individualistik akan terbentuk dengan sendirinya b) Kemalasan Akses yang mudah lagi tak terbatas membuat peserta didik semakin malas untuk mengunjungi perpustakaan, berdiskusi dengan pengajar, teman atau seorang ahli,

76

membaca buku karena semua itu telah tersedia di Internet. c) Plagiasi Tersedianya berbagai bentuk referensi di internet mengundang adanya praktek plagiasi. Bukan rahasia lagi, di kalangan peserta didik melakukan meng-copypaste dalam penulisan ilmiah telah menjadi kebiasaan dan perilaku yang telah mengakar, ini sangat membahayakan. d) Jiwa Kepemimpinan yang Kurang Dengan frekuensi pertemuan antar peserta didik yang berkurang, tentu saja berakibat minusnya hubungan/ interaksi sosial di antara mereka. Kondisi semacam ini mengakibatkan kiprah mereka dalam berorganisasi secara riil di lingkungan pendidikan juga semakin berkurang. Bisa jadi dalam satu kelas belajar mengajar sudah tak membutuhkan lagi jasa seorang ketua kelas. Karena kegiatan belajar mengajar telah bertransformasi, kalau pun masih dibutuhkan tentu saja tugas sang ketua kelas lebih sedikit, membagi informasi lewat sms atau forum online saja misalnya. e) Haus Informasi Di era serba informasi, begitu mudah mendapatkan informasi dari mana pun melalui media apa pun. Iklim demikian secara tak langsung akan membentuk prilaku individu menjadi haus akan informasi, seakan-akan tak lengkap memualai hari dengan membuka informasi terlebih dahulu. Hal ini sebenarnya bagus, namun apabila informasi terlalu banyak yang dilahap tanpa paya selektif membuat informasiinformasi tak penting yang tak dibutuhkan (Junk Information) juga ikut memenuhi memory otak. LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam Membentuk Perilaku Peserta Didik f) Menyimpang Sering kita mendengar berita tentang kasus penculikan yang berawal dari perkenalan di situs jejaring sosial, seorang yang sama sekali tak dikenal menjadi sangat mengenal dan rela berbuat apa saja. Kemudian berakhir dengan perbuatanperbuatan menyimpang. Akibat dari tak terbatasnya ruang untuk berekspresi ke berbagai orang tanpa terkontrol melalui internet. g) Manajemen Waktu yang Buruk Mungkin ini juga pernah dialami oleh sebgaian besar orang. Di saat disibukkan dengan mencari referensi di dunia maya, tanpa sengaja membuka hal-hal di luar tema yang dicari seperti membuka facebook, twitter dan bahkan bermain game dengan dalih beristirahat sejanak yang akhirnya menjadi keasyikan hingga lupa waktu. Bahkan sampai tidur larut sehingga mengganggu waktu istirahat malam. Datang ke sekolah terlambat, kurang tidur sehingga mempengaruhi kemampuan penerimaan pelajaran. h) Lemahnya Kepekaan Lingkungan

terhadap

Dikemudian hari, segala aktivitas dapat dilakukan hanya lewat internet, termasuk kegiatan belajar mengajar. Sudah pasti membuat setiap orang akan disibukkan dengan segala aktivitas di depan komputer tanpa keluar rumah. Hal ini mengakibatkan rapuhnya kepekaan sosial terhadap lingkungan sekitar dan ini kurang baik jika dibiarkan.

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

i) Memahami secara teori tetapi praktek kurang Kemajuan sistem pendidikan akibat pemanfaatan jaringan internet yang optimal akan mempertajam analisis teori dan kajian pustaka para akademisi, karena berjubelnya referensi yang dapat diakses, terlebih dalam sistem E-Education/ E-learning. Namun berbanding terbalik dengan Praktik, kurangnya (bahkan tidak ada) mentor yang intensif guna memonitoring membuat praktik menjadi kurang maksimal. Bisa saja praktikum mungkin ditiadakan dalam sistem e-learning, karena dapat dilakukan di tempat masing-masing, asal dapat mengumpulkan laporan hasilnya saja lewat internet. Penutup Perkembangan kemajuan teknologi tak dapat dielakkan, menjadi perhatian besar dari seluruh aktivitas manusia tak terkecuali dalam pendidikan. Bak balita yang lucu dan imut, teknologi membuat gemas para pelaku penyelenggara untuk mengadopsinya dalam dunia pendidikan. Di anggap kuno dan ketinggalan jaman apabila masih mempertahankan sistem yang ada. Siapa yang menolak teknologi, dia akan tersisih. Bagai gayung bersambut, walau terlambat start, namun berdasar statistik perkembangan jaringan dan pengguna internet di Indonesia sangat menjanjikan. Penetrasi internet dalam pendidikan diprediksi berjalan lancar, kurikulum berbasis

77


Gencar S. P # Artikel Fokus LoroNG Teknologi Informasi dan Komputer (TIK) dicanangkan tahun ini. Berbagai keuntungan didapat berbagai inovasi terlahir dan debat panas antara orang-orang yang mengaku pemerhati pendidikan tersaji hangat di meja pemberitaan nasional. Jika tak mengalami kendala dan dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan, pendidikan di Indonesia semakin variatif dan berkualitas. Geliat perkembangan dunia akademis semakin bergairah. Menghasilkan produk-produk manusia unggul bertaraf internasional yang siap bersaing secara global. Seakan-akan seperti boomerang, internet menawarkan kemudahan yanga sangat menggoda dalam pendidikan. Namun apabila tak kena sasaran akan kembali dan balik menyerang si pemakai. Internet ternyata mendatangkan persoalan yang kompleks. Merubah secara ekstrim kebiasaan pendidikan yang telah ada, khususnya berimbas pada pola perilaku peserta didik yang harus diantisipasi diantaranya: sifat individualis, kemalasan, plagiasi, jiwa kepemimpinan yang kurang, haus informasi, perilaku menyimpang, manajemen waktu yang buruk, kepekaan terhadap lingkungan yang kurang dan memahami secara teori tapi lemah di praktik. Sebuah pekerjaan rumah besar bagi penyelenggara pendidikan di Indonesia untuk mencapai sumber daya manusia yang berkualitas dan peka terhadap jaman namun juga santun dalam berakhlak. Daftar Pustaka Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: 78

Rajagrafindo Persada. Sutarman S. Kom, M. Kom. 2009. Pengantar Teknologi Informasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Ali, Mohammad. Pendidikan Untuk Pembangunan Nasional: Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi. 2009. Bandung: PT. Imtima. Prawiradilaga, Dewi Salma dan Eveline Siregar. 2007. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. Miarso , Prof. Dr. Yusufhadi, M.Sc. 2006. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Makalah Yuhetty, Herina dan Hardjito. Edukasi Net Pembelajaran Berbasis Internet: Tantangan dan Peluangnya. Ashby, Eric. The Fourth Revolution: Instructional Technology in Higher Education, A Carnegie Commision on Higher Education Report. New York: McGraw-Hill Book Co. Oetomo, Budi Sutedjo Dharma, S.kom., MM. 2007. e-Education; Konsep, Teknologi dan Aplikasi Internet Pendidikan. Yogyakarta: Andi. Sumardjan, Selo. 1993. Media komunikasi Massa dan Globalisasi. Jakarta. Makalah dalam Seminar Nasional Kebijakan Penerangan. Internet Wikipedia. 2013. http://id.wikipedia. org/wiki/Teknologi_Informasi_ Komunikasi. 23 Agustus2013, 06:36 wib Portal berita online kompas. edisi Rabu 30 mei 2012 beralamatkan: http://tekno.kompas.com/ read/2012/05/30/10303657/ LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam Membentuk Perilaku Peserta Didik ditemukan.virus.komputer.paling. canggih.dan.berbahaya. Diakses 25 Agustus 2013, 16:10 wib.

Kementrian Keuangan Republik Indonesia via http://anggaran.depkeu.go.id

Portalberitaoninewartawannewsberalamatkan: http://www.wartanews.com/ internasional/36403585-5a6a-f0fb806c-e3e65724fb5d/sebelum-tewasbunuh-diri-amanda-todd-postingvideo-bully. Diakses 25 agustus 2013, 16:29 wib.

Anonim. http://isjd.pdii.lipi.go.id/index. php/Daftar-Jurnal-Hasil-AkreditasiDIKTI.html pada 7 September 2013, 19:45 wib.

www.apjii.or.id

Portal berita online antaranews.com. Senin, 15 Juli 2013. Beralamatkan: http://www. antaranews.com/berita/385550/ kurikulum-2013-dorong-enamperubahan. diakses pada 26 Agustus 2013, 14:41 wib.

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

79



ď Ť Pendidikan Anti Korupsi Berbasis Keluarga, Menyongsong Indonesia Emas 2045 Abstract This study discusses about parenting and a place based on family’s educational environment as the first and foremost placein instilling the values of anti-corruption to children in order to commemorate 100 years of Indonesian independent day. The study was conducted by using the method of Participatory Action Research (PAR), in order to see the extension on which people can understand and apply in life while instilling moral values to the children’s anti-corruption. The data was collected by triangulation method; method of observation, Group Discussion, interview and audio material in the form of documents and written documents. The informant obtained as many as 10 people through purposive sampling in search of PKK members exactly at RW 12 Merjosari village .The finding study revealed through a review theory of planned behavior (TPB) that some informants have local genius characteristic in instilling the values of anti-corruption to his son. As well, it has been a change in parenting the child who makes the informant wiser and children show considerable changes in their daily behavior. Penelitian ini membahas tentang pengasuhan anak, tempat mendidik yang berbasis keluarga sebagai lingkungan pertama dan paling utama dalam menanamkan nilai-nilai anti korupsi kepada anak untuk menyongsong 100 tahun Indonesia merdeka. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Partisipatory Action Research (PAR), guna melihat sejauh mana masyarakat dapat memahami dan menerapkan dalam kehidupan ketika menanamkan nilai-nilai moral anti korupsi kepada anak. Pengumpulan data dilakukan dengan triangulasi metode; metode observasi, Forum Group Discussion, wawancara mendalam dan dokumen berupa materi audio serta dokumen tertulis. Informan diperoleh sebanyak 10 orang melalui penelusuran purposive sampling pada anggota PKK RW 12 kelurahan Merjosari. Temuan penelitian mengungkapkan melalui tinjauan teori perilaku terencana (TPB) bahwa beberapa informan memiliki ciri khas local genius dalam menanamkan nilai-nilai anti korupsi kepada anaknya. Serta, telah adanya perubahan pola pengasuhan informan terhadap anaknya yang menjadikan para informan lebih bijaksana dan anak menunjukkan perubahan yang lumayan dalam perilaku kesehariannya. Kata Kunci: Pengasuhan Anak, Pendidikan Anti Korupsi, Teori Perilaku Terencana Oleh

Nafisatul Wakhidah Mahasiswa Psikologi Semester V Biro Kajian Seni dan Budaya LKP2M UIN Maliki Malang

81


Nafisatul Wakhidah # Riset LoroNG Pendahuluan Republik Indonesia yang hari ini dihuni oleh 250 juta jiwa penduduk tengah berada di ujung tanduk, mengalami masalah pelik nan multidimensional menyangkut tatanan nilai, kriminalitas sampai di lingkup korupsi yang semakin merajalela dan besar nominalnya.1 Beberapa hasil survei lembaga-lembaga transparansi mengindikasikan tingginya tingkat korupsi di Indonesia, karena Indonesia sendiri dibandingkan dengan negara-negara lainnya, berada di posisi ke-58 terkorup di dunia menurut survei Transparency International (TI) pada tahun 2012. Sedangkan untuk kalangan Asia, Indonesia menduduki sebagai negara terkorup nomor satu di Asia dengan nilai 8,32 dan di bawahnya Thailand dengan nilai 7,63.2 Munculnya perbuatan korupsi didorong oleh dua motivasi. Pertama, motivasi intrinsik, yaitu adanya dorongan memperoleh kepuasan yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi. Kedua, motivasi ekstrinsik, yaitu dorongan korupsi dari luar diri pelaku yang tidak menjadi bagian melekat dari perilaku itu sendiri. 3 Motivasi kedua ini seperti adanya alasan melakukan korupsi karena ekonomi, ambisi memperoleh jabatan tertentu, atau obsesi meningkatkan taraf hidup atau karir jabatan secara pintas. Jika dikaji lagi, perilaku korupsi di Indonesia sendiri memiliki dua akar penyebab. Ada korupsi yang bersifat sistemik/sistematik dan muncul karena adanya dukungan sosial. 1 http://health.liputan6.com/read/521272/ bkkbn-tahun-ini-penduduk-indonesia-capai-250juta-jiwa 2 Farizt, 14 Negara Terkorup di Asia, http://www. hupelita.com/baca.php?id=50218, hlm 3 Syamsul Anwar. Hal. 13

82

Bersifat sistemik yang di dalamnya merupakan bentuk kerjasama sesama sebaya. Namun di sini akan mengupas dan memperdalam tentang akar korupsi yang terjadi karena dukungan sosial. Baik oleh orang tuanya ataupun di pihak keluarga yang membuat seseorang mengambil keputusan untuk melakukan tindak korup, entah karena terpaksa atau mengejar kegengsian dunia semata. Dengan demikian, baik amanat maupun keadilan harus ditunaikan dan ditegakkan tanpa membedakan agama, keturunan, atau ras.4 Apalagi setelah diterapkannya sistem desentralisasi, tingkat korupsi menjadi semakin merata dari yang kelas kakap sampai pada kelas teri. Sementara itu, pemerintah juga telah mencoba berbagai program untuk memerangi bahaya laten korupsi. Seperti kantin kejujuran (kajur) dan pengetatan sistem pengawasan dengan adanya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, hasilnya masih nihil. Dari berbagai kasus korupsi di atas, seakan korupsi sudah menjadi “penyakit� yang menggerogoti, dan sukar disembuhkan, karena merupakan fenomena yang kompleks. Untuk memberantas korupsi di Indonesia tidak cukup hanya dengan melakukan suatu tindakan represif saja, namun yang lebih mendasar lagi yaitu melakukan tindakan preventif atau pencegahan. Upaya pencegahan tersebut memerlukan waktu yang tidak hanya cukup dibutuhkan satu generasi saja, melainkan dua atau tiga generasi. Atas alasan demikian, maka tidak ada kata berhenti bagi pemberantasan korupsi. Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol 2,(Ciputat: Lentera Hati, 2000), hlm. 458.

4 Quraish

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Pendidikan Anti Korupsi Berbasis Keluarga, Menyongsong Indonesia Emas 2045 Prinsip Pembangunan jangan hanya berfokus pada pembangunan fisik ataupun fasilitas saja. Namun pembangunan akan moral generasi muda itu jauh lebih penting dari segalanya. Karena apalah arti SDA yang melimpah namun manusianya tidak bisa mengolahnya dengan efektif dan efisien untuk kemaslahatan bersama. Malah lebih mementingkan golongannya sendiri saja. Salah satunya adalah melalui jalur pendidikan masyarakat dalam upaya penanaman nilai anti-korupsi dalam pengasuhan anak oleh keluarga. Lalu bagaimana dengan pendidikan di Indonesia kaitannya dengan problem bangsa ini? Mendidik generasi muda dengan menanamkan nilai-nilai etika dan moral yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut sangat penting untuk diindahkan. Keluarga sebagai organisasi sosial terkecil dalam masyarakat memiliki peran dasar dan pengaruh yang signifikan dalam penanaman nilai dan pembentukan perilaku anak. Betapa pentingnya penerapan pola asuh orang tua yang baik kepada anaknya, selain karena orang tua adalah suri tauladan bagi anaknya, dari orang tualah akan timbul pembiasaan pembentukan karakter anak. Karena tindak perilaku korupsi bisa dimulai dari salahnya pola asuh yang diterapkan semasa pembentukan karakter yang pada akhirnya akan membentuk karakter dan ketika semakin dibiasakan atau terjadi proses pembiaran maka puncaknya karakter tersebut akan menjadi sebuah perilaku laten yang tak mudah diubah kecuali dengan kemauan yang kuat oleh masing-masing individu yang menjalaninya.

Berkaca dari berbagai fakta di atas, pendidikan karakter sejak usia dini/ penerapan pola pengasuhan yang baik adalah kunci dari berbagai problem tersebut. Dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bahwasannya tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang yang demokratis serta bertanggung jawab.5 Bertitik tolak dari dasar, fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut menjadi jelas bahwa manusia Indonesia yang hendak dibentuk melalui proses pendidikan bukan sekedar manusia yang berilmu pengetahuan semata tetapi membentuk manusia Indonesia yang berkepribadian dan berakhlak. Pengasuhan orang tua harus intensif sejak usia balita sampai usia dewasa. Karena, orang tua, terutama seorang Ibu adalah lingkungan pertama seorang anak belajar tentang arti kehidupan. Di sana seorang anak dapat belajar berbagai norma kehidupan, kontrol perilaku, dan memiliki prinsip atau keyakinan dalam bertindak. Selain itu, model pendidikan terbaik, yang memungkinkan anak dapat mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan, adalah ketika mereka mengalami sendiri nilai-nilai yang diajarkan. Baik ketika anak menjadi subjek maupun objek yang diperoleh dari pengalaman dengan melakukan, melihat atau pun mendengar apa ajaran yang diinternalisasikan oleh keluarga mereka, terutama seorang ibu. 5 Qodir dkk, Undang-Undang Sistem Pe didikan Nasional, (Jogjakarta: Media Wacana Press, 2003), hlm. 12.

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

83


Nafisatul Wakhidah # Riset LoroNG Dengan demikian, internalisasi nilainilai antikorupsi melalui pengasuhan orang tua merupakan upaya yang sangat penting untuk menyiapkan generasi bangsa dalam memajukan budi pekerti, pikiran, tindakan untuk menentang korupsi. Hal tersebut sinkron serta dapat dikaji dengan Teori Perilaku Terencana oleh Ajzen6 yang di dalamnya memiliki konstruk tentang keyakinan perilaku (Behavioral beliefs), keyakinan normatif (Normative Beliefs), dan kepercayaan control (Control Beliefs) yang pada akhirnya terbentuk dalam sebuah tingkah laku nyata. Prosedur penerapan yang dipakai dimulai dari asesmen kebutuhan masyarakat tentang moral anak-anak mereka, polapola budaya lokal orang tua dalam proses penanaman nilai-nilai antikorupsi kemudian dapat disusul dengan adanya pemberian workshop dalam rangka pemberdayaan kepada Ibu-ibu untuk pengaplikasian pelatihan yang telah diperoleh sampai pada tahapan pemantauan dan evaluasi akhir benar-benar diterapkannya perilaku terencana yang berasaskan keyakinan normatif yang berlaku dalam masyarakat, keyakinan subjektif perilaku yang dilakukan oleh individu sendiri dan adanya kontrol diri dari masing masing pribadi tentang apa resiko dari yang akan mereka perbuat. Sementara itu, disebutkan periode bonus demografi penduduk Indonesia berlangsung pada 2010-2045, di mana usia produktif paling tinggi di antara usia anak-anak dan orang tua. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2011, jumlah penduduk Indonesia 2010 usia muda lebih banyak 6 The Theory of Planned Behavior-Icek Ajzen (1985-1987)-University of Massachusetts at Amherst 84

dibandingkan dengan usia tua. Dalam data itu terlihat, jumlah anak kelompok usia 0-9 tahun sebanyak 45,93 juta, sedangkan anak usia 10-19 tahun berjumlah 43,55 juta jiwa. Nanti pada 2045, mereka yang usia 0-9 tahun akan berusia 35-45 tahun, sedangkan yang usia 10-20 tahun berusia 45-54. Pada usia-usia itulah para remaja hari ini yang memegang peran di suatu negara. Hal ini tentunya dapat dimaksimalkan dengan cara menyiapkan kader-kader terbaik negeri ini untuk membangun Indonesia yang gemilang di usianya yang ke 100 Tahun.7 Maka, betapa pentingnya penyiapan generasi emas sejak saat ini dengan corak pengasuhan ibu yang baik untuk menyongsong Indonesia emas 2045 nanti. Karena anak-anak kita saat ini bukanlah milik kita namun milik zamannya nanti. Pendidikan Anti Korupsi Korupsi berasal dari kata Latin Corruptio atau Corruptus. Kemudian muncul dalam bahasa Prancis dan Inggris, dalam bahasa Belanda Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Korupsi. 8 Alatas menadaskan esensi korupsi sebagai pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Korupsi merupakan perwujudan immoral dari dorongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan penipuan. Sementara, Bank dunia membatasi pengertian korupsi hanya pada, “Pemanfaatan kekuasaan untuk mendapat keuntungan pribadi.� Ini merupakan definisi yang sangat luas 7 http://www.pikiran-rakyat.com/node/186763 8 (A. Hamzah, Korupsi; dalam pengelolaan Proyek Pembangunan. (Jakarta, Akademika Pressindo, 1985, hlm 2-3)

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Pendidikan Anti Korupsi Berbasis Keluarga, Menyongsong Indonesia Emas 2045 dan mencakup tiga unsur korupsi yang digambarkan dalam akronim KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). 9 Ketika menulis dalam abad ke-14, Ibn Kholdun mengatakan bahwa akar penyebab korupsi adalah “Nafsu untuk hidup bermewah-mewahan di kalangan kelompok yang berkuasa.”10 Di dalam Al-Qur’an tidak dibedakan secara tegas antara korupsi dan mencuri, tetapi setidaknya korupsi merupakan perbuatan yang jauh lebih besar dosanya dibandingkan dengan mencuri. Jika hukuman bagi pencuri dalam Islam adalah potong tangan, maka hukuman bagi koruptor lebih berat dari itu. Hukuman bagi pencuri sebagaimana di nashkan dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 38:

َ ‫السا ِرقَ ُة فَاق‬ ‫ْط ُعوا أَيْ ِدَ�ي ُه َما َج َز ًاء‬ َّ ‫السار ُِق َو‬ َّ ‫َو‬ َّ َّ ‫يم‬ َ ‫مِبَا َك َسبَا نَ َكاال م‬ ٌ ‫ِن الل ِه َوالل ُه َع ِزي ٌز َح ِك‬ )٨٣( “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka, barangsiapa bertaubat sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah (5); 38)11

9 ((N. kusuma dan Fitria Agustina, Gelombang Perlawanan Rakyat; kasus-kasus Gerakan Sosial di Indonesia (Yogyakarta:INSIST Press, 2003), hal 12 dan The World Bank, Memerangi Korupsi di Indonesia: Memperkuat Akuntabilitas untuk kemajuan)(Jakarta; World Bank Office, Jakarta, 2003, hlm 20)) 10 (Ibnu Khaldun, Mukaddimmah(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000, hlm 428-429) 11 Al-Qur’an Al Maidah; 38

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

Pendidikan karakter yang utama dan pertama bagi anak adalah lingkungan keluarga. Dalam lingkungan keluarga, anak akan mempelajari dasar-dasar perilaku yang penting bagi kehidupannya kemudian. Karakter dipelajari anak melalui memodel para anggota keluarga yang ada di sekitar terutama orang tua. Model perilaku keluarga secara langsung maupun tidak langsung akan dipelajari dan ditiru oleh anak. Anak memodel orang tua dalam keluarga bersikap, bertutur kata, mengekspresikan harapan, tuntutan, dan kritikan satu sama lain, menanggapi dan ditiru oleh anak. Anak memodel orang tua dalam keluarga bersikap, bertutur kata, mengekspresikan harapan, tuntutan, dan kritikan satu sama lain, menanggapi dan memecahkan masalah, serta mengungkapan perasaan dan emosinya. Model perilaku yang baik akan membawa dampak baik bagi perkembangan anak demikian juga sebaiknya. Teori Perilaku Terencana Poin utama teori ini adalah perilaku seseorang dapat diprediksikan dari behavioral intention (niat perilaku). Niat behavioral ini dapat diprediksikan melalui dua variable utama; sikap seseorang terhadap perilaku dan norma sosial subjektif. Sikap seseorang terhadap perilakunya sendiri diprediksikan oleh ekspektasi nilai. Keinginan untuk mencapai suatu hasil akan dipertimbangkan berdasarkan kemungkinan terwujudnya hasil itu. Social norms (norma sosial) yang subjektif diprediksikan melalui ekspektasi terhadap pertimbangan orang lain dengan motivasi 85


Nafisatul Wakhidah # Riset LoroNG untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi itu. Niat baik tidak selalu cukup. Terkadang kita tidak mempunyai kemampuan atau sumber daya untuk melakukan sesuatu yang kita niatkan. Seseorang mungkin berniat berhenti merokok, tetapi dia meragukan kemampuannya untuk melakukannya. Misalnya, Schiffer dan Ajzen (1985) menemukan bahwa diantara mahasiswi yang berniat untuk menurunkan berat badan, mereka yang berhasil melakukannya hanyalah mereka yang percaya bahwa mereka dapat mengontrol berat badan dan sukses menurunkannya jika mereka mencobanya. Sikap terhadap keinginan untuk menurunkan berat badan tidak banyak pengaruhnya terhadap perilaku mahasiswi yang merasa tidak mampu menurunkan berat badan. Hal itu senada dengan perkara korupsi, niat saja tidaklah cukup. Dikarenakan ada faktor lain yang sangat dominan untuk bisa menciptakan hal-hal yang berkaitan dengan tindak korupsi. Seperti lewat teman sebaya, dukungan atau tuntutan dari keluarga di rumah. Dengan memasukkan unsur control ke dalam bangunan teori ini, maka teori ini akan menjadi lebih baik dalam menjelaskan niat dan perilaku. ini terutama berlaku apabila perilaku menimbulkan masalah yang berkaitan dengan control. Revisi model ini memasukkan variabel kontrol yang dinamakan theory of planned behavior (teori Perilaku yang direncanakan). Theory of planned behavior adalah Teori tentang bagaimana orang mempertimbangkan implikasi dari perilaku saat mereka sedang berniat untuk melakukan suatu tindakan. 86

Theory Planned Behavior (TPB) atau teori perilaku terencana merupakan pengembangan lebih lanjut dari TRA. TPB dapat digunakan untuk memprediksi apakah seseorang akan melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku. Konstruk ini ditambahkan dalam upaya memahami keterbatasan yang dimiliki individu dalam rangka melakukan perilaku tertentu, dengan kata lain dilakukan atau tidak dilakukanya suatu perilaku tidak hanya ditentukan oleh sikap dan norma subjektif semata tetapi juga persepsi individu terhadap kontrol yang dapat dilakukannya yang bersumber pada keyakinan terhadap kontrol tersebut (control beliefs).

METODE PENELITIAN Penelitian ini sengaja menggunakan desain Parsipatory Action Research (PAR) dengan maksud bahwa telah banyak sekali survey konvensional tentang tingkat korupsi yang terjadi di Indonesia. Namun, selama ini belum ada survey atau seberapa besar dari hasil usaha-usaha yang telah dikerahkan oleh Lembaga-lembaga terkait untuk setidaknya meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi. Selain itu, mencoba mencari cara-cara pemahaman lain yang lebih mengena terhadap masyarakat terkait kampanye tentang bahaya laten korupsi.

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Pendidikan Anti Korupsi Berbasis Keluarga, Menyongsong Indonesia Emas 2045 Jenis dan Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor12, Penelitian kualitatif adalah “Prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”. Disamping itu, metode kualitatif mempunyai adaptabilitas yang tinggi, sehingga memungkinkan bagi peneliti untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah-ubah yang dihadapi dalam penelitian ini. Jenis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Participation Action Research (PAR). PAR adalah pendekatan yang paling banyak ditempuh dalam desain penelitian partisipatif. Fals-Borda dan Rahman (1991) secara tegas menempatkan PAR dalam tradisi gerakan kaum liberalis: “mereka yang mengadopsi PAR adalah mereka yang memiliki komitmen radikal untuk membongkar batasanbatasan institusional, tradisi kaum Chartis, tradisi kaum utopian, dan gerakan-gerakan social abad XIX (hlm.vii)”. Dalam PAR terdapat tiga features, yakni participation, action, research. 1. Participation mengambil bentuk inquirer decision-making yang menggunakan ‘the principle of equity’ (dipahami sebagai co-existence and self determination) untuk membawa divergent contextual factors dan divergent interpretations dari metodologi ke dalam tugas menggeneralisasi data (subscribing to the ‘relativist’ characteristic of the paradigm). 2. Action adalah direct experience dari 12 Moleong, 2000 : 3

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

partisipan dengan isu sebagaimana dipresentasikan dalam setiap kehidupan sehari-hari, dan bagaimana participatory action research methods dapat melibatkan secara langsung partisipan dengan dunia mereka. 3. Research adalah process and form menghasilkan pengetahuan dalam empat domain pengetahuan: experiental, presentational, propositional, practical (John Heron 1996), dan sebagaimana diarahkan oleh partisipan untuk pelananan terbaik bagi kepentingan masyarakat. Pengetahuan dikembangkan melalui dialog reflektif dan analisis kritis yang dilakukan oleh partisipan yang terlibat dalam aksi (subscribing to the hetrmeneutic and dialog characteristic of the paradigm). Jadi tugas utama PAR adalah “Pencerahan dan Kebangkitan Masyarakat umum”.13 Poin penting kedua dalam PAR adalah “Pengalaman hidup masyarakat” dan gagasan bahwa “melalui pengalaman aktual atas kejadian tertentu kita bisa memahami esensinya secara intuitif; merasakan, menikmati, dan memahaminya sebagai sebuah realitas.14

Gambar. 1. Spiral Siklus PAR Pengumpulan data dilakukan dengan 13 Fals Borda & Rahman, 1991, hlm. iv 14 Fals Borda & Rahman, 1991, hlm. 4

87


Nafisatul Wakhidah # Riset LoroNG triangulasi metode; metode observasi, Forum Group Discussion, wawancara mendalam dan dokumen berupa materi audio serta dokumen tertulis. Informan diperoleh sebanyak 10 orang melalui penelusuran purposive sampling pada anggota PKK RW 12 kelurahan Merjosari. Analisis Data Analisis data diwakili oleh momen refleksi putaran penelitian tindakan. Dengan melakukan refleksi peneliti akan memiliki wawasan otentik yang akan membantu dalam menafsirkan datanya. Teknik analisis kualitatif, yang satu modelnya adalah teknik analisis interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1984; 21-23). Analisis ini terdiri dari tiga komponen kegiatan yang saling terkait satu sama lain: reduksi data, beberan (display) data dan penarikan kesimpulan. Dalam membahas tentang analisis data penelitian kualitatif para ahli memiliki pendapat yang berbeda. Huberman dan Miles mengajukan model analisis data yang disebutnya sebagai model interaktif. Terdiri dari tiga hal utama berupa; Reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/ verifikasi. Ketiga kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang jalin-menjalin, pada saat sebelu, selama dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar untuk membangun wawasan umum yang disebut analisis. 15

15 (Miles, Hubermn, 1992) dikutip dari Buku Metodologi Penelitian Ilmu Sosial. Muhammad Idrus

88

Pengumpulan Data Penyajian Data

Reduksi Data Penarikan Kesimpulan/Verifikasi

(Miles dan Huberman, 1992) Dalam model interaktif, tiga jenis kegiatan analisis dan kegiatan pengumpulan data merupakan proses siklus dan interaktif. Artinya, peneliti harus siap bergerak diantara empat “sumbu� kumparan itu. Yaitu proses pengumpulan data, penyajian data, reduksi data, dan kesimpulan atau verifikasi. Fokus pada objek penelitian, dimana hanya berfokus pada objek yang ingin diteliti. Reduksi data sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian, pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dalam catatan-catatan tertulis di lapangan.16 Keabsahan data Kualitatif Dengan mengacu pada Moleong (1994), untuk pembuktian validitas data ditentukan oleh kredibilitas temuan dan interpretasinya dengan mengupayakan temuandan penafsiran yang dilakukan sesuai dengan kondisi yang senyatanya dan disetujui oleh subjek penelitian (perpekstif emik). Cara pemenuhan validitasnya seperti dengan memperpanjang observasi, pengamatan yang terus-menerus, triangulasi, membicarakan hasil temuan dengan orang lain, menganalisis kasus negatif, menggunakan bahan referensi, 16 Idrus, Muhammad. 2009. Metodologi Penelitian Ilmu Sosial. Erlangga. Jakarta

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Pendidikan Anti Korupsi Berbasis Keluarga, Menyongsong Indonesia Emas 2045 Adapun untuk reliabilitas bisa dilakukan dengan pengamatan sistematis, berulang dan dalam situasi yang berbeda. Guba (1981) menyarankan tiga teknik agar data dapat memenuhi kriteria validitas dan reliabilitas, yaitu: memperpanjang waktu tinggal, observasi lebih tekun, dan melakukan triangulasi. DISKUSI Paparan Kondisi Awal Dampingan Sejak diresmikannya PKK di seluruh Indonesia dalam membantu kegiatan masyarakat Indonesia, PKK kelurahan Merjosari juga terus berkembang dan berbenah. Ketua PKK kelurahan Merjosari saat ini dijabat oleh Ibu Abdullah. Didalamnya memiliki 4 Kelompok Kerja (Pokja). Subyek penelitian ini adalah 10 Ibu-ibu PKK RW 12 di dusun Joyosuko, Merjosari, Lowokwaru, Malang. Subjek penelitian diperoleh melalui penentuan sampel dengan menggunakan model purposive sampling. Dimana peneliti memiliki pertimbanganpertimbangan tertentu dalam pengambilan atau pemilihan sampelnya dan bantuan dari Ibu ketua PKK RW 12. Penelitian ini sengaja memilih kelurahan Merjosari karena pada tahun 2012 mendapatkan Pakarti Madya 1 Tingkat Nasional, Pelaksana Terbaik Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kategori Kota di Indonesia. Dari sana peneliti tertarik untuk melihat seberapa jauh tingkat kesejahteraan keluarga dari sisi tersebut yang nantinya berdampak pula pada pola pengasuhan yang diberikan kepada anak. Karena ibu adalah pihak yang paling menentukan tentang pendidikan moral anak di masa yang akan datang. Yang LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

mana degradasi moral di era globalisasi ini sudah sangat luar biasa parahnya. Analisis Hasil Tahap 1 : Focus Group Discussion (FGD) dan Konseling Kelompok Focus Group Discussion atau yang sering disebut FGD. FGD dirancang untuk melakukan pengumpulan data dengan menggunakan sebuah forum diskusi dengan tema-tema yang telah dipersiapkan sejak awal oleh peneliti. FGD yang dilakukan kali ini berfokus pada tema seberapa jauh para informan telah berupaya menanamkan nila-nilai Anti Korupsi kepada anak-anak mereka. Tujuan utama diskusi terfokus ini adalah untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang tema yang dijadikan fokus penelitian. Selain itu, FGD ini secara tidak langsung juga menjadi proses konseling kelompok diantara para informan, yang nantinya memiliki tujuan akhir yaitu adanya kesadaran dalam pengasuhan Ibu terkait pendidikan anti korupsi pada anak. Disamping dapat terlihat local genius pengasuhan Ibu terkait anti korupsi kepada anak. FGD yang dilaksanakan disini berlandaskan teori Perilaku terencana. Teori ini berusaha untuk memprediksi dan menjelaskan perilaku manusia dalam konteks tertentu. Menurut Ajzen dan Fishbein, sikap dan kepribadian seseorang berpengaruh terhadap perilaku tertentu hanya jika secara tidak langsung dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berkaitan erat dengan perilaku.17 Tahapan pertama peneliti bersama 10 17 (Ajzen, 1991: hal 2)

89


Nafisatul Wakhidah # Riset LoroNG Informan melakukan proses diskusi terarah (Focus Group Discussion). FGD ini diadakan di Basecamp Keluarga Besar Mahasiswa Bidikmisi (KBMB) UIN Maliki Malang yang beralamat di Jl. Joyosuko No. 25 A, kelurahan Merjosari, kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. FGD dilaksanakan pada hari Jumat, 21 Juni 2013 dimulai dari pukul 15.00 sampai 17.00 WIB. Dalam proses FGD di dukung oleh seorang Moderator, seorang Notulen dan Dokumenter.

padanya. Disamping itu, kebohongan akan menghilangkan rasa kepercayaan diri mereka sendiri dengan kedustaannya akan melemahkan pengaruh nasihat dan pengarahannya.

Hasil penelitian menunjukkan, ternyata cara penanaman nilai yang dilakukan oleh para informan terhadap anak-anak mereka memiliki corak yang berbeda-beda. Seperti contoh Ibu;

Adapun pendidikan anak untuk bisa hidup sederhana adalah sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Nu’aim dari Muadz bin Jabal secara marfu’;

Jika bermain, kalo sampe adzan dia belum pulang, pasti saya marahi, patokannya adzan pokoke wes. (FGD, Camp KBMB, KS.23. 21 Juni 2013)

Lain lagi dengan ibu yang satu ini; Kalo saya ya, lho Widi ngapain? Kok bisa seperti ini? Lain kali hati-hati. Ini punya orang lain ya, kalo yang punya marah gimana? Nanti kalo minta diganti gimana? Seperti itu (FGD, Camp KBMB,W.33a. 21 Juni 2013)

Theory of planned behavior berperan disini, karena dari data diatas terlihat bagaimana seorang ibu yang telah mempertimbangkan implikasi dari perilaku anak saat mereka sedang berniat untuk melakukan sesuatu. Jika menurut pandangan para pendidik bahwa pendidikan yang baik itu adalah yang berpijak pada keteladanan yang baik, maka kepada setiap pendidik bertanggung jawab agar tidak berbohong kepada anak-anaknya. Meskipun dengan alas an untuk mendiamkannya ketika menangis, atau menekankan suatu perkara 90

Mendidik anak sejak kecil agar hidup sederhana, percaya diri, menanggung beban dan berani. Dengan demikian anak akan merasakan keberadaannya dan supaya bisa melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya dengan baik.

“Jauhilah oleh kalian perilaku bermewah-mewahan, karena hamba Allah yang baik adalah yang tidak bermewah-mewahan.”

Sigmund Freud merupakan pendiri Psikoanalisis. Dalam teori Psikoanalisis berfokus pada pentingnya pengalaman masa kanak-kanak. Intinya, masa kanakkanak memegang peran menentukan dalam membentuk kepribadian dan tingkah laku manusia ketika dewasa kelak. Jadi, apa yang dialami dan diajarkan oleh para informan kepada anak akan memiliki bekas yang sangat kuat dalam pembiasaan sikap dan pembentukan perilaku anak. Seiring dengan itu, Tokoh John B. Watson, Bapak Behaviorisme, yang sering dikutip; “Kita tidak memiliki bukti nyata untuk pewarisan sifat (perilaku). Saya yakin betul bahwa akan diperolehnya hasil yang baik dari dibesarkannya dengan baik seorang bayi sehat yang dilahirkan oleh bajingan, pembunuh, pencoleng, atau pelacur siapa yang punya bukti

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Pendidikan Anti Korupsi Berbasis Keluarga, Menyongsong Indonesia Emas 2045 sebaliknya? ‌.beri saya selusin bayi sehat, dan biarkan saya memberikan dunia yang telah saya tetapkan sendiri untuk membesarkan mereka, maka saya jamin bahwa saya akan dapat mengambil secara acak siapapun diantara mereka untuk dilatih menjadi spesialis apapun yang saya pilih-dokter, pengacara, seniman, pedagang andal dan bahkan, ya pengemis atau pencuri. (Watson, 1930, hlm. 103-104)

Dari pernyataan diatas, terlihat begitu vital dan pentingnya peranan orang tua sebagai arsitek anak. Kaena sejatinya anak tidak pernah salah dalam meniru dan tugas orang tualah yang mengarahkannya menuju kebaikan akhlak dan kemajuan intelektualnya. Dari sana juga terlihat bahwa beberapa informan ternyata sudah mulai memahami perbedaan psikologis tentang perkembangan anak dan karakter yang dmiliki masingmasing. Meski belum semuanya memahami dan dengan rentang waktu yang dilakukan oleh para ibu masih sporadis tergantung situasi dan kondisi. Dari hasil FGD masih ada informan yang belum menyepakati pola pengasuhan terbaik yaitu dengan menghindarkan kekerasan dalam rumah tangga. Karena jika dilihat dari tingkat pendidikannya, informan pelaku tergolong telah mengikuti sampai jenjang atas standar pendidikan dasar di Indonesia. PKK RW 12 Joyosuko merupakan PKK yang masih dalam tataran pembenahan atau proses untuk bangkit dibandingkan dengan RW-RW lain di kelurahan Merjosari. Hal ini tentunya harus mendapatkan perhatian yang agak lebih, mengingat ternyata adanya LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

pola asuh yang buruk dikeluarga bisa disebabkan karena hubungan yang kurang baik antara pihak ayah dan ibu. Setidaknya para informan sudah sadar dan memahami akan pentingnya penanaman nilai-nilai tersebut. Selanjutnya disusul dengan kegiatan sharing, saling mengutarakan pendapat dan pengalamannya dalam menerapkan model pola pengasuhan terhadap anak-anak mereka. Dari beberapa pendapat dan masukan yang dilakukan oleh para informan, terdapat semacam konseling kelompok dan pada akhirnya dapat menumbuhkan kesadaran bersama terkait gaya pengasuhan anak yang baik kepada anak. Temuan-temuan penelitian khas seperti pola pengasuhan dengan kekerasan yang dilakukan oleh 2 orang ibu, ada juga Ibu sebagai sosok yang paling ditakuti dalam keluarga, Adanya integrasi penanaman nilai antikorupsi dengan penekanan pada nilai-nilai agama juga. Tahap 2: Depth Interview lewat Media Pamflet Anti Korupsi Dari adanya FGD sebelumnya, didapatkan temuan penelitian berupa para informan ternyata telah menanamkan dua nilai penting dalam proses pengasuhannya. Nilai kejujuran dan Tanggung jawab. Dua nilai tersebut merupakan modal bagi peneliti untuk mengambil tindakan aksi pemantaban penenaman nilai anti korupsi melewati media pamflet anti korupsi. kita, masih belum punya rezeki, nanti kalo sudah punya rezeki meskipun nggak minta nantikan dibelikan. (Wawancara. Rumah SB. SB. 18. 4 Juli 2013)

91


Nafisatul Wakhidah # Riset LoroNG Pemahaman untuk bersabar dan selalu berusaha untuk mendapatkan hasil atau keinginan yang diidamkan.

“Terkadang, pendidikan pekerti pada masa kecil berguana bagi anakanak

itu kan sabar juga ada batasnya, kalo kita spontan, pas kita juga nggak mood, ada problem lain, meskipun itu nggak bias disembunyikan, terkadang anak itu juga kena imbasnya (Wawancara.

S e s u n g g u h n y a r a n ti n g j i k a diluruskan

Rumah SB. SB. 6. 4 Juli 2013)

Norma Subjektif (subjective norm) adalah sejauh mana individu memiliki motivasi untuk mengikuti pandangan orang terhadap perilaku yang akan dilakukannya. Seperti tahapan seorang anak tadi untuk akhirnya mengikuti apa yang disarankan oleh Ibunya. Norma subyektif digambarkan oleh Ajzen dengan apakah individu mau mematuhi pandangan orang lain yang berpengaruh dalam hidupnya atau tidak. Didalamnya anak akan diajarkan untuk memiliki keyakinan bahwa ketika ia berbuat baik akan selalu di dukung. Jadi, ada proses dukungan sosial dari orang tuanya. saya biasakan dengan perkataan dengan disiplin untuk mengembalikan sesuai dengan tempatnya, dan saya biasakan menggunakan dengan kata tolong. Sabar itu susah, karena anak saya itu hipperaktif, mencari perhatian pada orang lain. (Wawancara. Rumah WW. WW.17. 6Juli 2013) Saya hati-hati ketika hendak memperlakukan anak dengan kekerasan, karena ada adiknya. Saya takut di praktikkan pada adiknya. (Wawancara. Rumah WW. 21.6 Juli 2013)

Upaya preventif, karena masa anak adalah masa emas. Sangat mudah sekali meniru apapun yang dilihat atau diajarkan oleh orang lain. Seperti yang diungkapkan oleh penyair dalam puisinya;

92

Tetapi setelah dewasa pendidikan itu tidak berguna lagi bagi mereka

Maka ia akan lurus Dan engkau tidak akan bisa membengkokkannya jika ia Telah menjadi kayu�

Tahap 3; Refleksi dan Evaluasi Kritis ..nggak semua Ibu, memerankan atau berfungsi sebagaimana layaknya Ibu yang sesungguhnya. Bisa mungkin karena factor ekonomi, factor pendidikan, ya, factor keterbelakangan budaya atau factor lainnya, saya yakin kalau orang tua yang pernah makan sekolah gitu, yang secara keilmuan dia mumpuni atau paling tidak ilmu tentang keibuan dia tau, saya yakin, tidak akan memperlakukan anak dengan sewenang-wenang bagaimana diperlakukan seyogyanya anak itu mereka paham. (Wawancara. Kelurahan. CF.8. 4Juli 2013) ada control gitu paling nggak, semisal ibunya, apakah bapaknya, ada control, le tolong dan sebagainya, anak kos juga berperan, (Wawancara. Kelurahan. CF.10. 4Juli 2013) ya secara insiden, Pokja I karena disana membawahi moralitas. ada pendidikan pendahuluan bekal negara, itu kan disitu termasuk 4 pilar, pancasila UUD, dll. Kita tanamkan lewat 4 pilar itu, (Wawancara. Kelurahan. CF.12. 4Juli 2013) InsyaAllah, syawal nanti akan diadakan pelatihan, pembekalan untuk kedua calon mempelai. bagaimanapun juga mereka dari awal mulai, memahami bagaimana peran, fungsi istri, dan suami, sehingga paham tupoksi masing-

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Pendidikan Anti Korupsi Berbasis Keluarga, Menyongsong Indonesia Emas 2045 masing, apa tugasnya, apa tanggung jawabnya, apa kewajibannya, istri juga demikian Termasuk membekali si suami, nanti di rem dalam ucapan. karena nggak semua orang tua membekali putra-putrinya, apakah kamu siap nduk le nikah? Kebanyakan hanya secara finansial saja, belum mencapai pada tataran secara mental, kamu nnti sudah masuk pada level ini, kamu nanti harus ,jelas mensikapi perbedaan yang ada itu harus kita tekankan dan berikan pada mereka,,(Wawancara. Kelurahan. CF.14. 4Juli 2013)

Data diatas merupakan hasil crosscheck peneliti dengan jajaran pengurus PKK Kelurahan Merjosari dan langkah-langkah yang akan diterapkan menyikapi isu-isu terbaru yang ada di masyarakat. Penutup Sikap dasar riset ini selalu meletakkan dan menitikberatkan pada “kualitas proses” daripada “hasil” sehingga mendorong kecenderungan analisis sosial tidak harus didesain secara baku sebelumnya. Kesahihan sebuah analisis dan riset sosial tidak ditentukan oleh sejauh mana prosedur riset itu “objektif” atau tidak melainkan ditentukan oleh sejauh mana proses“ dialektis bersama rakyat dilakukan dalam integrasi intersubjektif peneliti dan rakyat. Riset Aksi Partisipatoris tidaklah dilakukan dalam ruang laboratorium melainkan dalam latar alamiah bersama masyarakat. Kulaitas riset dan analisis berjalan tanpa melalui rekayasa buatan yang sudah didesain sebelumnya. Dalam proses riset ini tidak ada kesimpulan akhir, karena menyadari bahwa kondisi objektif masyarakat akan selalu berkembang, berubah dan berdinamika LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

dengan seluruh keterkaitan perubahanperubahan kondisi objektif yang ada. Menjadi jelas bahwa PAR (Participation action Research) memang tidak diorientasikan untuk melakukan kesimpulan atas hipotesa kita tentang masyarakat, melainkan menjadi “alat dan senjata analisis” untuk mendorong berbagai perubahan sosial. Dapat disimpulkan dari adanya penelitian yang telah berlangsung ini, ternyata; 1. Ada usaha dari para informan dalam penanaman nilai anti korupsi terhadap anak-anak mereka. 2. Informan sudah mulai memahami perbedaan karakter dan psikologi perkembangan anak. Sehingga, memiliki cara-cara khusus dalam memperlakukan setiap anaknya. 3. Telah adanya pemantaban penanaman moral terhadap anak yang diintegrasikan dengan agama. Dan seharusnya dengan agamalah kepentingan ini dapat saling singkron. Karena sejatinya agama adalah pedoman hidup, pedoman melangkah setiap orang. 4. Pendidikan anti korupsi berbasis keluarga yang berdasar local genius masyarakat dinilai lebih efektif dan efisien dalam menanamkan moral kepada generasi muda dalam pembudayaan karakter anti korupsi. 5. Kesadaran itu juga tercermin dari para informan dalam Focus Group Discussion bahwa pendidikan anti korupsi perlu dimulai sejak dini, selain sebagai bentuk penanaman karakter yang baik berlandaskan agama guna mempersiapkan di akhirat nanti.

93


Nafisatul Wakhidah # Riset LoroNG 6. Telah adanya perubahan pola pengasuhan informan terhadap anaknya yang menjadikan para informan lebih bijaksana dan anak menunjukkan perubahan yang lumayan dalam perilaku kesehariannya. Daftar Pustaka Al-Qur’an. 2009. Ringkasan Tafsir Al-Qur’an Untuk Wanita. .Penerbit Hilal. A. Hamzah, Korupsi; dalam pengelolaan Proyek Pembangunan. (Jakarta, Akademika Pressindo, 1985, hlm 2-3. Alatas, S.H. 1987. Korupsi; Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta; LP3ES. Albab, Dr. Ulul. 2009. A to Z Korupsi; Menumbuhkembangkan Spirit Antikorupsi. Surabaya: Jaring pena. Alwisol. Psikologi Kepribadian. UMM Press. Edisi revisi. 2004; Malang. Ancok, Djamaludin. 2004. Psikologi Terapan. Yogyakarta. Darussalam. Brannen, Julia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Press. Dirto Hadisusanto, dkk. 1995. Pengantar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta. Djiwandono SEW. Psikologi perkembangan, Edisi Revisi. Jakarta: Grasindo. 2006. Fishben Martin dan Ajzen Icek. 1975. Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction to Theory and Research. 94

Massachusetts : Addison-Wesley. Fishben Martin and Ajzen Icek. 1980. Understanding Attitude and Predicting Social Behavior. London : Practice Hall. Furqon Hidayatullah. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa.Yuma Pustaka: Surakarta. Graha C. Keberhasilan anak tergantung orang tua. Panduan bagi orang tua untuk memahami perannya dalam membantu keberhasilan pendidikan anak. Jakarta: Gramedia. 2007. Gerungan WA. Psikologi sosial. Bandung: Refika Aditama. 2004. Gunarsa, Singgih. Psikologi perkembangan anak dan remaja, cet. 14, Jakarta: Gunung Mulia. 2010. Hurlock, EB. 1978. Perkembangan Anak (terjemahan). Erlangga: Jakarta. H. Norman Wirght.1996. Menjadi Orang Tua yang Bijak (terjemahan). Andi Offset:Yogyakarta. Jakarta, Buku Pelatihan Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas. 2010 hal. 9 dan 10. Louis O. Kaffsoff, Elements of Philosophy/ Pengantar Filsafat, Terj. Soenarjo Soemargono, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1996), hlm. 345. Madya, Prof. Suwarsih. 2007. Teori dan Praktik Penelitian Tindakan (Action Research). Bandung: Alfabeta. M. Sastrapratedja, S. J., “Pendidikan Nilai”, dalam EM. K. Kaswardi, (Ed), Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, (Jakarta : PT. Grasindo, 1993), hlm.3. LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Pendidikan Anti Korupsi Berbasis Keluarga, Menyongsong Indonesia Emas 2045 Monks R dan Haditono KSR. Psikologi perkembangan Yogyakarta, UGM Press. 2004. N. Kusuma dan Fitria Agustina, Gelombang Perlawanan Rakyat; kasus-kasus Gerakan Sosial di Indonesia (Yogyakarta:INSIST Press, 2003), hal 12 dan The World Bank, Memerangi Korupsi di Indonesia: Memperkuat Akuntabilitas untuk kemajuan) (Jakarta; World Bank Office, Jakarta, 2003, hlm 20)). Norman K Denzin & Yvonna S Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Resarch, Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Pinel John P.J. 2009. Biopsikologi Edisi Ketujuh .Pustaka Pelajar :Yogyakarta Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol 2,(Ciputat: Lentera Hati, 2000), hlm. 458. Qodir dkk, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, (Jogjakarta: Media Wacana Press, 2003), hlm. 12. Rohmad Wahab. 1999. Perkembangan Belajar Peserta Didik. Depdikbud. Santana, Septiawan. 2010. Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Salafuddin, Ahmad. 2010. Nilai-nilai Pendidikan Antikorupsi dalam Surat An-Nisa’ Ayat 58 (Studi Analisis dengan Pendekatan Tafsir Tahlily). Skripsi. IAIN Walisongo: Semarang (Dipublikasikan). Santrock. John W. 2011. Masa Perkembangan anak. Salemba Humanika. Jakarta. Hal.22. Semma, DR. Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia (YOI). Shelley E. Taylor, Letitia Anne Peplau, David LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

O. Sears. 2009. Psikologi Sosial edisi kedua belas. Kencana; Jakarta. Sudjana, Dr. Eggi. 2008. Republik Tanpa KPK Koruptor Harus Mati. Surabaya: JP Books. Sunarjo A, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV Alwaah, 1989), hlm. 128. The Theory of Planned Behavior-Icek Ajzen (1985-1987)-University of Massachusetts at Amherst. Qodir dkk, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, (Jogjakarta: Media Wacana Press, 2003), hlm. 12. Yasin Musthofa.2007. EQ untuk Anak Usia Dini dalam Pendidikan Islam. Sketsa: Yogyakarta. INSANIA|Vol. 12|No. 2|P3M STAIN Purwokerto | Sumiarti 1 Mei-Ags 2007|189-207. Makalah Simposium nasional pendidikan 2008 oleh Harmanto, Mpd Univ. Negeri Surabaya, Yulita TS, Pusat Studi Urban Unika Soegijapranata Semarang. Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 63. Pendidikan Anak Dalam Islam Link Terkait Erdiana N. Ibu pencetak generasi unggul. 2008. Nanggroe Aceh tersedia dalam: http://harian-aceh.com/arsip/index. php (diakses 1 April 20011). Kantin kejujuran di sekolah mati karena perilaku tidak jujur kantin kejujuran sekolah HARIAN_JOGJA.com diakses pada 18 Mei 2013Kantin Kejujuran gagal berantas Budaya Korupsi Antaranews.com diakses tanggal 95


Nafisatul Wakhidah # Riset LoroNG 15 Mei 2013 65 Kantin Kejujuran Gagal, SMAN 1 Terbaik Bekasi Terkini.com diakses pada 23 Mei 2013 Website resmi PKK Jatim diakses 8 Juli 2013 11.00 am Bhayu Sulistiawan, “Nilai-nilai pendidikan Antikorupsi Dalam Pendidikan Islam” http://fai.elcom.umy.ac.id/mod/ forum/discuss.php?d=130 hlm.78. diakses pada tanggal 8 Mei 2013 http://www.pikiran-rakyat.com/ node/186763 diakses pada tanggal 18 Mei 2013

96

Farizt, 14 Negara Terkorup di Asia, http://www. hupelita.com/baca.php?id=50218, Voa-Indonesia dari You-tube diakses pada 23 Maret 2013 Fitria, Isna Noor,. Dalam tulisan artikel berjudul “Ketika Islam Bicara Korupsi” http://hukum.kompasiana.com Opini 31 May 2012 | 20:47. Diakses pada 18 Mei 2013 Bkkbn-tahun-ini-penduduk-indonesiacapai-250-juta-jiwa http://health. liputan6.com/read diakses pada 2 April 2013

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


 Ritual “Bersih Desa” dalam Arus Modernisasi (Studi Pelestari Budaya di Desa Dinoyo, Malang) Abstract

”Cleaning Village” ritual is a tradition that is still preserved by the society in Dinoyo, Lowokwaru, Malang. Based on research conducted through qualitative descriptive approach and examining case studies, it is mentioned that cultural societies is still maintaining the traditional values of ritual ”Cleaning Village” as a motivator for people to acquire more advanced life. The results of this descriptive qualitative study is not only describing the efforts of the community in maintaining the tradition, but also explaining the history and the meaning of ”Cleaning Village” tradition which is implemented in routine activities in Dinoyo village. Ritual “Bersih Desa” merupakan salah satu tradisi yang masih dilestarikan oleh masyarakat di Kelurahan Dinoyo, Kecamatan Lowokwaru, Kabupaten Malang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif deskriptif dan telaah budaya studi kasus menyebutkan bahwa masyarakat tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi ritual “Bersih Desa” sebagai motivator masyarakat untuk memperoleh kehidupan yang lebih maju. Hasil penelitian kualitatif deskriptif tidak hanya menjelaskan tentang upaya masyarakat mempertahankan tradisi juga menjelaskan sejarah dan pemaknaan dari tradisi “Bersih Desa” yang dilaksanakan secara rutinitas di Kelurahan Dinoyo. Kata Kunci: “Bersih Desa”, Tradisi, Ritual.

Oleh

Ichmi Yani Arinda Rohmah Sekretaris LKP2M periode 2013, mahasiswi Jurusan Pendidikan IPS UIN Maliki Malang arindaichmi186@gmail.com

babat alas Dinoyo dipimpin oleh seorang mantan prajurit Pajang, Mataram yang bernama Eyang Aji Singomenggolo tepat pada abad ke 16.

Pendahuluan Ritual “Bersih Desa” di Dinoyo, Lowokwaru, Malang merupakan ritual turun-temurun dari para leluhur yang telah melakukan babat alas Dinoyo. Maksud dari babat alas tersebut yaitu membuka lahan atau tanah baru untuk digunakan sebagai tempat tinggal berbentuk tanah yasan, baik sebagai tanah ladang, tegalan maupun persawahan. Pada waktu dilakukannya

Sejarah tradisi “Bersih Desa” di Kelurahan Dinoyo yaitu ketika Aji Singo Menggolo sebagai prajurit Pajang yang lahir di bumi Ponorogo, beliau bersama dengan anggota keluarga dan sahabatsahabatnya ingin menyingkir dari Pajang 97


Ichmi Yani Arinda Rohmah # Riset LoroNG menuju Ponorogo. Namun, nampaknya di Ponorogo beliau merasa tidak nyaman dan tidak puas. Bersama tidak kurang dari 150 keluarga, beliau meninggalkan bumi Ponorogo menuju ke arah Timur.Sampailah rombongan keluarga besar ini di tempat yang masih berwujud semak belukar, bahkan masih berupa hutan belantara. Namun karena dipandang tanahnya sangat subur maka diputuskan untuk bertempat tinggal di tempat yang baru ini. Kemudian, tanah ini disebut dengan Tlatah Dinoyo. Diperkirakan babad alas Dinoyo ini dilakukan pada Tahun 1592 Masehi. Setelah babad alas Dinoyo di mulai, maka Eyang Aji Singo Menggolo membagi lahan hutan sebagai berikut: (sumber cerita Bapak Sanadi) yaitu, Desa Dinoyo dibagi untuk 50 orang Gogol/Pancen(Penggarap dan akhirnya sebagai pemilik tanah sawah/tegal). Sebanyak 35 orang gogol berada di daerah selatan, sedang 15 gogol di sebelah utara, desa di luar Dinoyo, dibagikan untuk lebih dari 100 orang gogol (Merjosari, Tlogomas, Ketawanggede, Penanggungan, Jatimulyo). Para gogol ini bertanggung jawab untuk menggarap lahan pertanian, mengatur pengairan sawah/tegal dan setiap panen mereka berkumpul untuk melakukan pertemuan sekaligus tasyakuran bersama di rumah Palang/Lurah Desa (dikenal dengan istilah “Bersih Desa” ). Tujuan utama “Bersih Desa” pada waktu itu adalah musyawarah dan saling berkomunikasi antar gogol. Pada waktu ritual “Bersih Desa”, pada abad ke 16 masih berupa upacara sesajen dan dilakukan doa beserta pengarahan para tokoh tentang perkembangan Dinoyo. Sedangkan ketika modernisasi datang di Dinoyo pada tahun 1997 ritual “Bersih 98

Desa”tersebut telah berubah bentuknya, namun tidak meninggalkan nilai-nilai tradisi asli. Perubahan tersebut disebabkan oleh perkembangan zaman yang semakin berkembang, kemudian mempengaruhi pola pikir dan hidup masyarakat Dinoyo. Pola pikir dan hidup modern yang dapat mempengaruhi bentuk ritual “Bersih Desa” dapat dilihat dari bagaimana masyarakat Dinoyo melaksanakan ritual, yaitu dengan adanya kombinasi ritual atau cara masyarakat melaksanakan ritual “Bersih Desa” dengan mengkombinasikan budaya modern tanpa harus menghilangkan nilai-nilai tradisi “Bersih Desa” asli. Adanya modernitas pada masya­rakat Dinoyo, kemudian peneliti memban­ dingkannya dengan teori pembangunan menurut W.W. Rostow dan teori modernisasi Mc Clelland yang sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat adat (indigenous peoples) untuk mengembangkan konsep-konsep dan praktik pengembangan yang sesuai dengan jati diri mereka.1 Menurut W.W Rostow bahwa semua masyarakat pernah mengalami sikap ’tradisional’ dan akhirnya menjadi modern. Dijelaskan lebih lanjut bahwa sikap manusia tradisional tersebut dianggap sebagai suatu masalah.2 Sehingga masyarakat adat dipandang tradisional dan dengan demikian dianggap sebagai penghalang pembangunan, oleh karenanya masyarakat harus diubah dan disesuaikan, atau dikacaukan supaya tumbuh ide-ide pembaruan. 1 Widen, Kumpiady, Peranan Kebudayaan dalam Pe bangunan: Perspektif Antropologi, (http://kumpiadywiden.com), diakses Juni 2013, pukul 15.00. 2 Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi ,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2002), hlm.55.

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Ritual “Bersih Desa” dalam Arus Modernisasi (Studi Pelestari Budaya di Desa Dinoyo, Malang) Namun, berdasarkan realita jika sikap tradisional merupakan suatu masalah dan perlu dihilangkan demi proses pembangunan suatu daerah, peneliti menemukan studi kasus bahwa ritual “Bersih Desa” yang mempunyai nilai tradisional masih dipertahankan karena dianggap sebagai salah satu faktor yang diyakini sebagai motivator dalam pembangunan daerah Dinoyo, Lowokwaru, Malang. Ketidak sinambungan antara teori modern dengan realita tersebut dijadikan suatu masalah oleh peneliti. Kemudian peneliti menjabarkan masalah tersebut pada dua aspek, yaitu; pertama, bagaimana modernisasi mempengaruhi nilai tradisi ritual “Bersih Desa” di Dinoyo. Kedua, bagaimana upaya masyarakat dalam mempertahankan nilai tradisi ritual “Bersih Desa” dalam arus modernisasi tersebut. METODE PENELITIAN Jenis penelitian Penelitian ini dilakukan pada tahun 2013 di kelurahan Dinoyo kecamatan Lowokwaru Kabupaten Malang memerlukan waktu 30 hari. Fokus pada penelitian ritual “Bersih Desa” Dinoyo. Peneliti menggunakan dua jenis pendekatan penelitian kualitatif deskriptif karena data yang peneliti peroleh dari lapangan diungkapkan melalui uraian yang terperinci.3Kedua, menggunakan pendekatan telaah budaya studi kasus, karena lebih menekankan pada suatu kasus terpilih saja, selain itu peneliti berusaha memahami kelompok yang ditelaah; 3 Upe, Ambo. Damsid. Asas-Asas Multiple Researc es, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010), hlm.5

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

siapa-siapa pemerannya dan juga berusaha mengembangkan pernyataan-pernyataan umum mengenai regularitas dalam struktur proses sosial budaya.4 Jenis kasus yang diteliti oleh peneliti adalah masalah yang bersifat kausal yaitu fenomena yang terjadi adalah hasil sebab akibat anatara faktor satu dengan lainnya. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti yaitu menggunakan teknik interview tersetruktur kepada 7 warga Dinoyo yang ditentukan peneliti sendiri (purposive), observasi passive participation selama 2 minggu yaitu sebelum atau persiapan ritual dan waktu dilaksanakan ritual. Sedangkan pengumpulan dokumentasi selama 2 minggu berupa foto, surat-surat dan dokumentasi pribadi dari narasumber sebagai catatan perilaku, tindakan, pengalaman dan kepercayaan. Analisis Data Analisis data yang dipakai peneliti yaitu jenis analisis konten. Peneliti menggunakan jenis analisis konten karena penelitian yang dilakukan lebih banyak mengungkap ihwal pesan sebuah fenomena dan cara pengungkapan pesan itu sendiri. Pada analisis konten hal terpenting yang harus dilakukan adalah menganalisis dan menjelaskan data yang perlu dikaji, bagaimana data itu didefinisikan dan dari populasi mana diambil. Konteks tersebut juga perlu disusun rapi dengan tidak meninggalkan kondisi di sekitar fenomena, kejadian sebelumnya, 4 Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Keb dayaan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hlm.77

99


Ichmi Yani Arinda Rohmah # Riset LoroNG pada saat terjadi dan setelah terjadi.5 Fokus analisis konten lebih pada pengungkapan nilai. Aspek-aspek nilai yang perlu diungkap dalam analisis konten, yaitu: Pertama, nilai yang berhubungan dengan sifat dasar manusia (orientasi nilai tentang: kejahatan dan kebaikan). Kedua, nilai yang berkaitan antara relasi manusia dengan alam. Ketiga, nilai yang berhubungan dengan waktu hidup manusia (nilai masa lalu, nilai kini, dan akan datang). Keempat, nilai rata-rata aktivitas manusia (nilai yang menjadikan manusia bermutu atau tidak). Kelima, nilai yang berhubungan dengan relasi individu dengan kelompok (Liliweri:2001). Data hasil pengamatan dibentuk dari bait baris, kalimat dan alinea. Langkah-langkah analisis konten yaitu6: pertama, mentranskrip data lisan ke dalam bentuk tulisan. Kedua, memparafrasekan dan menerjemahkan ke dalam bahasa laporan. Ketiga, Memahami dan diinterpretasikan. DISKUSI Pengaruh Modernisasi pada Masyarakat Dinoyo Berdasarkan penelitian selama 30 hari di Kelurahan Dinoyo, Kecamatan Lowokwaru, Kabupaten Malang, telah diketahui bahwa masyarakat Dinoyo mengalami perubahan sosial menuju masyarakat modern. Hal tersebut dapat dibuktikan secara teoritis dengan hasil interview dan observasi, peneliti pada kajian teoritis modernisasi menggunakan teori pembangnan W.W Rostow karena modernisasi yang terjadi di Kelurahan Dinoyo melalui beberapa 5 Ibid, hlm.81 6 Ibid, hlm.85

100

fase-fase tertentu, yaitu dapat dilihat dari keabsahan aspek-aspek nilai modernitas yang ada pada masyarakat sebagaimana berikut ini: Ciri-ciri Masyarakat Modern berdasarkan teori Pembangunan W.W Rostow7 sebagai berikut: Fase-Fase Perubahan Sosial Fase Pertama Fase Kedua Fase Ketiga Fase Keempat Fase Kelima

Ciri-ciri Masyarakat Modern Masyarakat tradisional Pra-kondisi tinggal landas Tinggal landas Menuju kedewasaan Era konsumsi tinggi

Hasil interview dan observasi telah diketahui bahwa masyarakat Dinoyo merupakan masyarakat menuju kedewasaan yaitu tepat pada fase keempat. Berikut adalah hasil interview dan observasi peneliti: Pertama, pada bidang pemerintahan dan penanaman jiwa nasionalisme, masyarakat Dinoyo mempunyai prihatin atau peduli terhadap perkembangan pemerintahan di Indonesia. Hal tersebut karena sebagai timbal balik dari apa yang sudah diberikannya pemerintah kepada masyarakat, juga sebagai sebuah penghargaan kepada jasa para pahlawan nasional. Masyarakat masih mempunyai antusias tinggi terhadap program pemerintah sampai zaman sekarang. Kedua, pada bidang sosial dan ekonomi, timbal balik adanya modernisasi memberikan dampak positif pada kehidupan masyarakat Dinoyo. Masyarakat sebagian besar lebih 7 Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi ,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2002), hlm.55

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Ritual “Bersih Desa” dalam Arus Modernisasi (Studi Pelestari Budaya di Desa Dinoyo, Malang) menyukai gaya hidup modern. Mulai dari pemenuhan kebutuhan sandang, papan dan pangan. Sikap masyarakat semakin individu meski masih ada saling sapaan, pembangunan yang dahulu dikerjakan dengan gotongroyong sekarang mulai individu dengan menyewa pekerja bangunan. Persaingan di bidang usaha semakin ketat di semua bidang. Investasi-investasi semakin bermunculan meski tidak berada di kelurahan Dinoyo keseluruhannya, akan tetapi pengaruhnya dapat dirasakan masyarakat Dinoyo karena Kelurahan Dinoyo masuk dalam ranah kota Malang. Ketiga, pada bidang industrialisasi, masyarakat dalam kesehariannya mendapatkan pengaruh adanya modernisasi pada industri-industri yang memproduksi banyak fasilitas dan cukup modern terutama produk busana dan makanan. Hal tersebut membuat masyarakat lebih bersifat konsumtif. Beberapa temuan ciri khas perubahan sosial pada masyarakat Kelurahan Dinoyo tersebut dapat disimpulkan, bahwa masyarakat Dinoyo merupakan masyarakat modern menuju kedewasaan. Pengaruh Modernisasi pada Tradisi Ritual “Bersih Desa” Dinoyo Modernisasi telah mempengaruhi kebudayaan atau tradisi masyarakat Dinoyo, khususnya pada tradisi “Bersih Desa”. Hal tersebut dapat dilihat dari aplikasi atau pelaksanaan ritual “Bersih Desa” itu sendiri. Karena mendapat pengaruh yang kental di arus modernisasi maka menjadikan ritual “Bersih Desa” tersebut berubah dari beberapa periode. LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

Pada hasil penelitian, diketahui bahwa sebelum tahun 1997 sebenarnya tidak seperti sekarang. Dahulu pelaksanaan dari ritual “Bersih Desa” tidak menggunakan kirab (karnaval) pustaka, akan tetapi hanya sesajen di makam dengan doa oleh sesepuh desa. Mulai tahun 1997 tradisi ritual “Bersih Desa” digabung dengan Kirab (karnaval) pada 17 (tujuh belas) Agustus setiap 2 (dua) tahun sekali dan digilir antar RW sebagai panitia, Lurah, tokoh masyarakat dan warga juga ikut kirab (karnaval). Tahun 2010 sampai sekarang tidak boleh membawa nasi yang dihidangkang dalam bentuk kerucut (baca:tumpeng) dan makan-makan di makam, sedangkan dahulu masyarakat boleh melaksanakannya. Bahkan dahulu tumpeng mempunyai ukuran yang jauh lebih besar daripada tahun 2010 sampai sekarang. Sebelum tahun 1997 ritual “Bersih Desa” dilaksanakan selama sehari semalam. Namun, pada tahun 1997 ritual “Bersih Desa” dapat dilakukan beberapa hari yaitu minimal tiga hari dengan berbagai rentetan acara. Acara pada ritual “Bersih Desa” masih dipertahankan nilai-nilai keaslianya, akan tetapi karena pengaruh perubahan sosial di berbagai bidang, kemudian pelaksanaan ritual“Bersih Desa” dikaliborasikan dengan budaya modern dan terdapat nilai-nilai relegiusitas Islami. Yaitu dapat dibuktikan pada pra acara ritual “Bersih Desa” pagi hari, masyarakat setempat pada malam hari melaksanakan doa bersama dan istighotsah tepat jam 19.30 WIB sampai selesai di halaman kantor kelurahan Dinoyo diikuti oleh semua warga dan tokoh masyarakat.

101


Ichmi Yani Arinda Rohmah # Riset LoroNG Pada pagi hari ritual “Bersih Desa” dilaksanakan di makam Kelurahan Dinoyo. Perubahan yang terjadi yaitu: Pada awalnya berupa ritual sesajen diganti dengan kirab tumpeng dan pusaka atau karnaval pamong praja dan budaya tradisional, digiring mulai dari kantor kelurahan Dinoyo, Jl. MT Haryono, Jl. Gajayana, Jl. Simpang Gajayana, Jl. Joyo Tambaksari, Jl. Joyo Raharjo, MT Haryono Gg.12; Pasar Dinoyo lama; Jl. Raya MT Haryono. MT Haryono Gg. 6 Gempol; Makam Umum Dinoyo, Jl. MT Haryono Gg.8, finish: Kantor Kelurahan Dinoyo. Untuk lebih mengetahui modernitas yang lebih mempengaruhi masyarakat dalam tradisi ritual “Bersih Desa” dapat dilihat pada acara karnavalnya yang lebih menunjukkan nuansa modern. Yaitu dalam acara karnaval ada pertunjukkan beberapa tarian tradisional dan modern, arak-arakan (jalan bersama-sama) menggunakan kostum tradisional dan modern. Pada waktu kirab (karnaval budaya) dapat dilihat terdapat pengaturan barisan kirab untuk voorreyders, publikasi, cucuk lampah, kelompok kirab pusaka dan upacara ritual, kelompok drumb band, dokar pamong praja dan tokoh masyarakat, kelompok budaya tradisional (Jamaah terbang jidor, reog, kuda lumping, bantengan, dll), kelompok sapu jagad. Kemudian setelah kirab (karnaval) siang hari jam 13.30 – 16.00 WIB ada pertunjukkan seni tradisional kuda lumping di halaman kelurahan Dinoyo. Malam hari jam 19.30 di halaman kelurahan diadakan resepsi HUT Proklamasi RI Kelurahan Dinoyo, dilanjutkan dengan pentas campursari pimpinan Ki Iswandi yang asli dari Dinoyo, dari Padepokan Gunung Ukir, Batu bersama grup seni 102

tradisional Dinoyo. Pada puncak resepsi “Bersih Desa” Dinoyo dilanjutkan dengan pertnjukkan wayang kulit semalam suntuk, dengan cerita Babat alas wonomarto. Beberapa bukti nyata pada perubahanperubahan pelaksanaan ritual “Bersih Desa” tersebut dapat disimpulkan, bahwa tradisi ritual “Bersih Desa” di Kelurahan Dinoyo mengalami percampuran dengan budayabudaya modern meski nilai keaslian tradisi ritual “Bersih Desa” tetap dipertahankan. Upaya Masyarakat Mempertahankan Tradisi Ritual “Bersih Desa” di Dinoyo Tradisi ritual “Bersih Desa” di Dinoyo telah diketahui mendapat pengaruh modernisasi. Sehingga terjadinya perubahan-perubahan pada aspek pelaksanaannya. Namun masyarakat Dinoyo tetap menjaga nilai-nilai tradisi asli ritual “Bersih Desa” di Dinoyo, yaitu dengan cara mengkaliborasikan antara budaya modern dengan tradisi asli. Tanggapan masyarakat tentang latar belakang dipertahankannya tradisi upacara “Bersih Desa” di kelurahan Dinoyo dalam ranah modernisasi, yaitu: Pertama, melestarikan budaya dan tradisi peninggalan leluhur. Salah satu penghormatan yang diberikan masyarakat Dinoyo kepada para leluhurnya yaitu menjaga dan melestarikan peninggalanpeninggalan para leluhur. Sehingga, masyarakat Dinoyo mempunyai antusias tinggi dalam melestarikan tradisi Ritual “Bersih Desa”. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa sebelum pra acara ritual “Bersih Desa” masyarakat berantusias menyiapkan segala kebutuhannya begitu pula waktu pelaksanaan Ritualnya. Kemudian sebagian LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Ritual “Bersih Desa” dalam Arus Modernisasi (Studi Pelestari Budaya di Desa Dinoyo, Malang) besar dana yang digunakan dalam ritual “Bersih Desa” merupakan dari masyarakat Dinoyo sendiri. Kedua, alasan dipertahankannya tradisi ritual “Bersih Desa” yaitu ada ikut campur para tokoh masyarakat (perangkat pemerintahan kota Malang, perangkat tokoh kelurahan, tokoh agama dan budaya) dalam pelaksanaan ritual. Wali Kota Malang pun berkunjung pada waktu pelaksanaan ritual, para tokoh masyarakat juga berantusias membimbing jalannya pelaksanaan ritual “Bersih Desa” di Dinoyo. Ketiga, adanya tujuan yang sama untuk mempertahankan tradisi sebagai rasa syukur kepada Tuhan, penghormatan kepada rohroh para leluhur. Selain itu, masyarakat berharap dengan melaksanakan ritual “Bersih Desa” akan membawa kehidupan masyarakat yang lebih maju. Keempat, tradisi yang dijaga diyakini akan membawa banyak berkah, memberi rasa persaudaraan antar masyarakat Dinoyo. Karena masyarakat menyadari akan adanya individualisme dalam kehidupan masyarakat modern. Sehingga, masyarakat membutuhkan suatu senjata untuk dapat mempersatukan kembali rasa paguyuban antar masyarakat. Upaya masyarakat di Kelurahan Dinoyo mempertahankan tradisi upacara “Bersih Desa” di ranah modernisasi, yaitu: Pertama, Mengkaliborasikan budaya modern dengan tradisi asli yang masih bersifat kejawen pada tradisi ritual “Bersih Desa”. Kedua, Dalam pelaksanaan tradisi ritual “Bersih Desa” semua rangkaian acara melibatkan generasi muda dan masyarakat LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

dalam mensukseskan acara baik sebagai pelaku upacara maupun panitia. Ketiga, semua rentetan acara dilaksanakan secara terbuka dan dapat diikuti oleh masyarakat dari kawula muda sampai tua, masyarakat lokal dan pendatang. Terkait dengan teori pembangunan yang diungkapkan oleh W.W. Rostow dan teori modernisasi oleh Mc Clelland yang sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat adat (indigenous peoples) untuk mengembangkan konsep-konsep dan praktik pengembangan yang sesuai dengan jati diri mereka. Dan juga Menurut W.W Rostow bahwa semua masyarakat pernah mengalami sikap ’tradisional’ dan akhirnya menjadi modern. Dijelaskan lebih lanjut bahwa sikap manusia tradisional tersebut dianggap sebagai suatu masalah. Sehingga masyarakat adat dipandang tradisional dan dengan demikian dianggap sebagai penghalang pembangunan, oleh karenanya masyarakat harus diubah dan disesuaikan, atau dikacaukan supaya tumbuh ide-ide pembaruan. Akan tetapi berdasarkan realita, peneliti menemukan studi kasus bahwa ritual “Bersih Desa” yang mempunyai nilai tradisional masih dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakat. Bahkan ritual “Bersih Desa” dianggap sebagai salah satu faktor yang diyakini dapat memotivasi masyarakat dalam membangunan daerah Dinoyo, Lowokwaru, Malang, selain itu tradisi ritual “Bersih Desa” diyakini juga dapat membawa banyak berkah dan kebaikankebaikan lainnya kepada masyarakat modern di Dinoyo. Pada hasil penelitian tersebut dapat ditelaah bahwa teori W.W. Rostow dan Mc 103


Ichmi Yani Arinda Rohmah # Riset LoroNG Clelland tidak sesuai dengan realitas sosial yang peneliti dapati di masyarakat Dinoyo. Bahkan anggapan bahwa pemikiran atau sikap yang tradisional harus dihilangkan dalam kehidupan masyarakat modern tersebut adalah anggapan yang perlu dihindari. Bagaimanapun juga, dampak positif yang diyakini masyarakat Dinoyo ketika menjaga dan melestarikan tradisi ritual “Bersih Desa” lebih besar daripada dampak negatifnya. Penutup Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa modernisasi telah mempengaruhi tradisi ritual “Bersih Desa” di Kelurahan Dinoyo, Kecamaatan Lowokwaru, Kabupaten Malang. Sehingga masyarakat Dinoyo melakukan beberapa upaya untuk menjaga dan melestarikan tradisi ritual “Bersih Desa”. Upaya-upaya yang diusahakan oleh masyarakat Dinoyo tersebut yaitu Pertama, Mengkaliborasikan budaya modern dengan tradisi lokal yang masih bersifat kejawen pada tradisi ritual “Bersih Desa”. Kedua, Dalam pelaksanaan tradisi upacara “Bersih Desa” semua rangkaian acara melibatkan generasi muda dan masyarakat dalam mensukseskan acara baik sebagai pelaku upacara maupun panitia. Ketiga, semua rentetan acara dilaksanakan secara terbuka dan dapat diikuti oleh masyarakat dari kawula muda sampai tua, masyarakat lokal dan pendatang. Keberhasilan masyarakat modern di Dinoyo, Lowokwaru, Malang dalam menjaga dan melestarikan tradisi dari leluhur merupakan wujud dari masih diberikannya kebebasan kepada masyarakat modern untuk mempertahankan budaya tradisionalnya meski ada kaliborasi dengan

104

budaya modern. Kemudian, dari hal tersebut dapat ditelaah bahwa hasil penelitian dengan teori pembangunan yang diungkapkan oleh W.W. Rostow dan teori modernisasi oleh Mc Clelland terjadi kontra. Penelitian ini telah berjalan sebagaimana mestinya. Akan tetapi dalam penelitian ini masih memerlukan banyak inovasiinovasi baru yang dapat mengembangkan penelitaian. Penelitian selanjutnya perlu dilaksanakan yaitu ketika masyarakat mengalami perubahan sosial pada tahap fase keempat ciri masyarakat modern, namun lebih besar lagi dampak modernitas pada tradisi-tradisi masyarakat. Pada fase keempat sampai pada fase yang kelima tersebut masyarakat mengalami perubahan dari high modern, post industrialists dan post modern dan perubahan tradisional tersebut sedikit banyak pasti akan mempengaruhi nilai-nilai tradisi asli di masyarakat. Daftar Pustaka Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi PenelitianKebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Fakih, Mansour, 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Giri MC, Wahyana. 2010. Sajen & Ritual Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi Laksono. 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Riyanto, Wahyu. 2007. Malang, Kota Kita. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Upe, Ambo, Damsid. 2010. Asas-Asas Multiple Researcher. Yogyakarta: Tiara Wacana. http://kumpiadywiden.com. LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


 Metode Tabulasi Wazan (Inspirasi Belajar Shorof Mudah dan Praktis) Abstract Arabic language is an Islamic language due to Islamic percepts are based on Arabic language. Hence, learning Arabic language grammatically is a customary for those who learn it. The status quo in fact shows that grammatical Arabic language are commonly learned in boarding school or even in formal school. Based on data researched shows that Shorof (morphology) is considered difficult to be learned. This research is an experiment to examine “tabulasi wazan” method in order to prove whether this method is able to improve the students’ ability in learning shorof or not. Bahasa Arab merupakan bahasa Islam karena sumber ajaran Islam berbahasa Arab.Oleh karena itu, mempelajari tata bahasa Arab adalah sebuah keniscayaan bagi setiap orang yang mempelajarinya.Fakta di lapangan menunjukkan bahawa tata bahasa Arab umumnya diajarkan di pondok pesantren maupun di sekolah formal.Data yang di dapat peneliti di lapangan menunjukkan bahwa shorofmasih menjadi hal yang masih dianggap sulit. Penelitian ini berupa eksperimen untuk menguji metode tabulasiwazan yang bertujuan untuk membuktikan apakah dengan metode tersebut dapat meningkatkan kualitas mahasiswa dalam mempelajari shorof. Kata Kunci :Bahasa Arab, Shorof, Tabulasi wazan Oleh

Agung Prasetiyo Direktur LKP2M periode 2013 Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab UIN Maliki Malang Agung-pba@yahoo.co.id

sebagai ahli linguistik strukturalis menyatakan bahwa produksi bahasa tidak lepas dari fonologi, leksikon, morfologi, semantik dan sintaksis.

Pendahuluan Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa unik di dunia. Bahasa ini kaya akanberbagai polanya. Pembelajaran bahasa ini sangat diperlukan beberapa unsur bahasa,yaitu yang terdiri dari aswat, mufrodat maupun tarakibnya dan keterampilan bahasa yang berupa keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan keterampilan membaca dan keterampilan menulis.Menurut Ferdinan De Saussure

Pembahasan bahasa Arab istilah nahwu (sintaksis), shorof (morfologi), fonetik,ilmu alashwat,balaghoh, mantiq adalah hal yang tidak asing lagi di telinga karena tata bahasa tersebut biasanya digunakan sebagai alat untuk memahami dan mendalami bahasa Arab sehingga dapat memahami 105


Agung Prasetiyo # Riset LoroNG teks berbahasa Arab secara komprehensif (Kamilan). Pada realitasnya tata bahasa diatas mayoritas diajarkan di sekolah, pondok pesantren maupun perguruan tinggi yang bertendensi Islami.Namun, belajar semua itu membutuhkan waktuyang relatif lama sehingga harus ada model baru yang dikembangkan agar tidak membutuhkan interval waktu bertahun-tahun atau yang disebut tata bahasa fungsional.Tata bahasa fungsional adalah mengajarkan tatabahasa yang berorientasi pada fungsi atau kebutuhan. Menurut pendapat Sanfusious bahwa ketika seseorang mendengar saja pasti akan lupa. Jika mendengar dan melihat maka akanssedikit ingat. Jika mendengar, melihat dan berdiskusi maka akan paham. Jika mendengar, melihat, berdiskusi, serta dipraktikkan maka akan menguasai pengetahuan dan terakhir cara yang terbaik agar belajar efektif adalah dengan mengajar. Keterangan diatas maka peneliti mempunyai ide dengan mempertimbangkan dan melihat realitas apa yang harus dibenahi agar pembelajaran semakin menarik dan mudah untuk dipahami karena belajar sejatinya adalah mencari problem solving.Hal tersebut membuat peneliti mencoba mencari data permasalahan yang umum ditemukan dan dirasa sulit oleh sebagaian mahasiswa yaitu mengenai tashrif (shorof). Tashrif dalam segi bahasa berarti perubahan atau perpindahan.Sedangkan menurut istilah adalah perpindahan dari asal satu (masdar atau fi’il madhi) ke dalam bentuk lainyang berbeda106

beda guna menghasilkan makna yang dikehendaki1. Penelitimendapatkan data awal yaitu masih banyak mahasiswa terutama Pendidikan Bahasa Arab belum benar-benar memahami shorof2.Alasan yang paling mendasar ialah beberapa mahasiswa belum pernah belajar shorof sebelumnya, kurang dapatmemahami penjelasan dosen, pengajaran yang monoton dan stagnan bahkan kurang dapatmemahamioutcomeshorof itu sendiri. Berdasarkan pemaparan diatas terlintas dalam benak peneliti untuk mencoba memberikan tawaran metode untuk membantu mempermudah pemahaman mata kuliah shorofsatu sebagai langkah awal untuk menguji cobakan sebuah metode baru. Peneliti menyebut metode ini dengan istilah tabulasi wazan karena metode ini mencoba memberikan pemahaman untuk belajar shorof melalui tabel-tabel yang berwarna agar mudah untuk memberikan pemahaman kepada para mahasiswa. Hasil penelitian ini untuk mengetahui bagaimana cara kerja metode tabulasi wazan. Sehingga dapat membantu mahasiswa untuk memberikan kemudahan dalam memahami shorof satu dan untuk mengetahui apakah metode tabulasi wazan dapat membantu mahasiswa dalam meningkatkan hasil belajar shorof satu.Hal tersebut pemfokusan penelitian adalah tashrif ishtilahi pada babTsulasi Mujarrod bab satu sampai bab enam. Pertimbangannya adalah bahwa bab-bab tersebut adalah bab dasar yang harus benar-benar dikuasai mahasiswa agar 1 Abi Hasan Ali bin Hisyam al Kaelani, Kitab Al Kailani, hal 2, Al matlub hal 8 2 Wawancara peneliti dengan beberapa mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab angkatan 2010 dan angkatan 2011 pada tanggal 6 Oktober 2012

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Metode Tabulasi Wazan (Inspirasi Belajar Shorof Mudah dan Praktis) materi tahsrif setelahnya menjadi mudah. Bab-bab tersebut selanjutnya akan diuji cobakan dengan menggunakan metode tabulasiwazan. Metode Tabulasi Wazan

Metode ialah suatu cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki.Metode juga diartikan cara kerja yg bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yg ditentukan3. Tabulasimenurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penyusunan menurut lajur yg telah tersedia, penyajian data dalam bentuk tabel atau daftar untuk memudahkan pengamatan dan evaluasi. SedangkanWazan memiliki makna timbangan, acuan, atau rumus bakudimana setiap kata kerja nantinya akan masuk ke salah satu dari wazan yang ada. Wazan berfaedah untuk menjelaskan kondisi kata serta perubahannya, kata pokok dan tambahannya dengan ungkapan paling ringkas dan lafadz termudah.Sedangkan mauzun adalah kata yang dibandingkan dan disandingkan dengan wazan. Misalnya ‫ كتب‬adalah mauzun dari wazan ‫ فعل‬dan ‫يكتب‬ adalah mauzun dari wazan ‫يفعل‬. Konklusi dari uraian diatas, bahwa metode tabulasi wazan dalam penelitian ini ialah suatu metode yang digunakan oleh peneliti untuk membuat rancangan pembelajaran shorofguna mempermudah pemahaman shorof satu melalui tabel berwarna yang diurutkan sesuai dengan wazan dan mauzunnya serta tanda untuk membedakan jenis bina’ yang ada. Tashrif atau Shorof 3 Kamus Besar Bahasa indonesia

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

Tashrif dalam segi bahasa berarti perubahan atau perpindahan, sedang menurut istilah adalah perpindahan dari asal satu (masdar atau fi’il madhi) ke dalam bentuk lain yang berbeda-beda guna menghasilkn makna yang dikehendaki. Kemudian tasrif itu sendiri dibagi menjadi dua bagian : 1. Tashrif Ishtilahi yakni perubahan atau perpindahan kalimat dari mashdar atau fi’il madhi yang berbeda-beda bentuknya karena menghendaki makna yang dikehendaki4. 2. Tashrif Lughawi yakni perubahan mutlak, namun yang dikehendaki disini adalah perubahan bentuk kalimah kebentuk lain dengan memperhatikan dari segi mufrod, tasniah, dan jamak serta memperhatikan mudzakkar muannats juga dari segi ghoib, khitob dan mutakallim5. Pembagian Fi’il

ٌ ‫ِف‬ ّ ‫عل‬ ُ ‫ثاليث إ�ذا جُي َّرد أ�بوابُه ِس ٌّت كام‬ ‫سترسَد‬ Fi’il Tsulasi Mujarrod atau fi’ilyang terdiri dari tiga huruf asal dan tidak ada huruf tambahan itu ada enam bab dalam baik berikut : Pembagian Fi’il Tsulasi Pada dasarnya fi’il jika dilihat dari segi jumlah hurufnya itu ada dua macam : a) Fi’il Tsulasi yakni fi’ilyang terdiri dari tiga huruf. Fi’il Tsulasi ini ada dua macam: -Fi’il Tsulasi Mujarrod (terdiri 6 bab) 4 Al matlub, hal 8 5 Mushthofa al Gholayaini, Kitab Jami’ud durus juz 1, hal 226

107


Agung Prasetiyo # Riset LoroNG -Fi’il Tsulasi Mazid (terdiri 14 bab) b) Fi’il Ruba’i yakni fi’ilyang terdiri dari empat huruf asal. Fi’il Ruba’i ini juga ada dua macam : -Fi’il Ruba’i Mujarrod Fi’il Ruba’i Ghiru Mulhaq (terdiri 1bab)dan F i ’ i l R u b a ’ i M u l h a q (terdiri 7 bab).

-Fi’il Ruba’i Mazid (terdiri 3 bab)Fi’il Ruba’i Mujarrod yakni fi’il yang terdiri dari tiga huruf asal yang sepi dari huruf tambahan yang terdiri dari 6 bab sebagai berikut.

‫فاالعني إن تفتح مباض فاكسر‬ ‫أو ضم أو فافتح هلا يف الغابر‬ ‫وإن تضم فاضممنها فيه‬ ‫أو تنكسر فافتح وكسرا عيه‬ Apabila ‘ain fi’il madhi dibaca fathah (‫ )فعل‬maka ‘ain fi’il mudhari’ boleh dibaca tiga :

-Dhommah (‫ )يفعل‬contoh ‫نصر ينصر‬ -Kasroh (‫ )يفعل‬contoh ‫ضرب يضرب‬ -Fathah (‫ )يفعل‬contoh ‫يفتح فتح‬ Kemudian apabila ‘ain fi’ilmadhinya dibaca dhommah (‫ )فعل‬maka ‘ainfi’ilmudhori’nya dibaca dhommah saja (‫ )يفعل‬dan apabila ‘ainfi’ilmadhinya dibaca kasroh maka fi’ilmudhari’nya boleh dibaca dua macam:

-Fathah contoh ‫يعلمعلم‬ 108

-Kasroh contoh ‫حيسبحسب‬ Untuk mengetahui istilah fa’ fi’il, ‘ain fi’il, lam fi’il maka akan dijelaskan sebagai berikut : a) Apabila berupa fi’il tsulasi (‫)فعل‬ maka (‫ )ف‬disebut fa’fi’il, (‫ )ع‬disebut ‘ainfi’il, (‫ )ل‬disebut lam fi’il, begitu juga huruf yang sejajar dengan (‫)فعل‬ seperti lafadz ‫ نصر‬maka (‫ )ن‬nya disebut fa’ fi’il karena sejajar dengan (‫ (ص‬, )‫ )ف‬nya disebut ‘ain fi’il

karena sejajar dengan (‫(ر‬, )‫ )ع‬nya disebut disebut Lam fi’il karena sejajar dengan (‫)ل‬.6

b) Bila berupa fi’il ruba’i (‫ )فعلل‬maka (‫ )ف‬disebut fa’ fi’il, (‫ )ع‬disebut ‘ain fi’il, (‫ )ل‬yang pertma disebut lamfi’il, dan (‫ )ل‬yang kedua disebut lam fi’il kedua, begitu juga huruf yang sejajar dengan (‫ )فعلل‬seperti lafadz ‫ دخرج‬maka: -(‫ )د‬nya disebut fa’ fi’il karena sejajar dengan (‫)ف‬. -(‫ )خ‬nya disebut ‘ainfi’il karena sejajar dengan (‫)ع‬. -(‫ )ر‬nya disebut disebut lamfi’il pertama karena sejajar dengan -(‫ )ل‬pertama. -(‫ )ج‬nya disebut disebut lamfi’il 6 Alasan ulama’ ahli shorof menggunakan ‫فعل يفعل‬ sebagai wazan tidak lafadz lain karena lafadz tersebut memuat tiga huruf yang terdiri dari tiga makhraj yaitu bibir, mulut dan tenggorokan dan bila ditinjau dari segi maknanya bisa umum pada semua pekerjaan. (Al matlub, hal 11)

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Metode Tabulasi Wazan (Inspirasi Belajar Shorof Mudah dan Praktis)

kedua karena sejajar dengan (‫)ل‬ kedua.

‫الباب األول من الثالثي المجرد‬ ‫َ�ف َع َل يَف ُعل‬

Fi’il Tsulasi Mujarrod fi’il tsulasi mujarrod7 bila dilihat dari segi ‘ainfi’ilnya yang ada pada fi’ilmadhi dan mudhari’nya itu berjumlah Sembilan bab yakni :

‫ فعل‬.7

‫ فعل‬.4

‫ فعل‬.1

‫ فعل‬.8

‫ فعل‬.5

‫ فعل‬.2

‫ فعل‬.10

‫ فعل‬.6

‫ فعل‬.3

Namun dari kesembilan bab itu hanya terpaki 6 bab, sedang yang 3 tidak dipakai:

-‫ يفعل فعل‬tidak terpakai karena wazan tersebut tidak tergolong lughat yang baik dan fasih. -‫ يفعل فعل‬tidak terpakai supaya tidak terjadi kumpulnya dua harokat yang berat yang berlawanan yakni dhommah dan kasroh. -‫ يفعل فعل‬tidak ada karena agar tidak terjadi mengharokati satu huruf dengan harokat yang bertambah berat yakni pertama kasroh lalu dhommah8. 7 fi’il tsulasi mujarrod didahulukan daripada fi’il tsul si mazid karena dari segi keasalannya, maksudnya fi’il tsulasimujarrod itu menjadi asal dari fi’il tsulasi mazid sehingga asal lebih diutmakan dari padacabangnya (al Mathlub) 8 Ali bin Usman, kitab Talhis al Asas, hal 5

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

Bab satu ini ditandai dengan ‘ainfi’ilmadhi dibaca fathah dan ‘ainfi’il mudhari’ dibaca dhommah. Bab satu ini didahulukan dari bab dua karena lebih banyak lughat dan maknanya dan karena ‘ainfi’il pada ‘ainfi’il mudhori’nya dibaca dhommah sedang pada bab dua ‘ainfi’il mudhari’nya dibaca kasroh dan dhammah adalah harakat yang paling kuat dan kasroh adalah lemah-lemahnya harokat maka yang kuat lebih didahulukan9. Adapun lafadz-lafdz yang masuk pada bab satu ini kebanyakan berupa fi’ilmuta’ddi dan terkadang fi’illazim namun sedikit.

‫الباب الثاني من الثالثي المجرد‬ ‫ف َعل يفعِل‬ Bab dua ini ditandai dengan ‘ainfi’ilmadhi dibaca fathah dan ‘ain fi’il mudohri’ dibaca kasroh. Adapun kalimat yang masuk pada bab ini adalah kalimat yang berupa fi’il muta’addi. Contoh ‫ زيد بكر زيدا نصر‬dan kadang berupa fi’illazim contoh ‫زيدجلس‬. Perlu diperhatikan pada bab ini ialah bab ini khusus bagi fi’il yang menunjukkan arti pekerjaan yang dikerjakan anggota badan dhohir yakni pekerjaan yang butuh untuk menggerakkan anggota badan untuk bisa menghasilkan pekerjaan itu , seperti ‫يضربضرب‬.

9 Syekh muhammad kafawi Ibnu Haj hamid, Kitab kafawi, hal 7

109


Agung Prasetiyo # Riset LoroNG

‫الباب الثالث من الثالثي المجرد‬

berat maka pada kalimah telah hilang10.

‫ف َعل يف َعل‬ Bab tiga ini ditandai dengan ‘ain fi’il madhi dibaca fathah dan ‘ain fi’il mudhari’ dibaca fathah. Adapun lafadz yang bisa masuk pada bab tiga ini adalah kebanyakan fi’il muta’ddi seperti ‫ فتحت الباب‬dan kadang berupa fi’il lazim, ‫زيد ذهب‬. Bab tiga ini didahulukan dari bab empat karena karena bab tiga ‘ain fiil madhi dibaca fathah dan pada bab empat ‘ain fi’il dibaca kasroh sedangkan fathah itu asal dan kasroh itu cabang . Pada bab tiga ini disyaratkan lamfi’il harus berupa huruf halaq yang enam yakni :

-Hamzah (‫)همزة‬seperti lafadz ‫سأل‬ -Ha’ ( ‫)هاء‬seperti lafadz‫ذهب‬ -‘Ain ( ‫ )عين‬seperti lafadz ‫منع‬ -Ghoin (‫ )غين‬seperti lafadz ‫شغل‬ -Ha’ (‫ )حاء‬seperti lafadz ‫فتح‬ -Kho’ (‫ ) خاء‬seperti lafadz ‫فخر‬ Alasan disyaratkannya huruf halaq karena ‘ain fi’il madhi dan ‘ain fi’il mudhari’ dibaca fathah , sedangkan fathah adalah harokat yang paling ringan dan hal demikian tidak seimbang dengan bab bab lain, agar seimbang maka disyaratkan ‘ain atau lam fi’ilnya harus berupa salah satu halaq. Dan ini tidak disyaratkan pada fa’ fi’il karena dalam fi’il mudhori’ fa’ fi’il tersebut mati (tidak berharokat) maka bila demikian sifat

‫الباب الرابع من الثالثي المجرد‬ ‫فعِل يف َعل‬ Bab keempat ini ditandai dengan ‘ainfi’il yang dibaca kasroh pada fi’ilmadhi dan dibaca fathah ‘ain fi’ilmudhari’nya. Kebanyakan kalimat yang masuk pada bab empat ini berupa fi’illazim karena menunjukkan arti lazim (sifat yang melekat yang sulit lepas), contoh ‫( فرح‬bahagia). Pada bab empat ini kebanyakan menunjukkan arti penyakit makna susah dan bahagia seperti ‫(فرح‬bahagia), ‫( مرض‬sakit) dan juga terkadang bermakna makna warna, contoh ‫ شهب‬dan berwarna cacat seperti ‫( عور‬juling matanya), dan bermakna hias diri, contoh ‫( بلج‬bersinar), makna tersebut kebanyakan pada bab empat sekalipun juga bisa berada pada bab lain. Kebanyakan fi’il yang masuk pada bab empat khusus untuk fi’il yang dikerjakan oleh anggota batin karena hal tersebut pada bab empat ini tidak ada isim alatnya dan bab empat ini disebut dengan af’alul qulub yaitu fi’il yang dikerjakan oleh hati.

‫الباب الخامس من الثالثي المجرد‬ ‫فعِل يف َعل‬ Bab lima ini ditandai dengan ‘ainfi’ilmadhi dan ‘ain fi’ilmudhori’nya dibaca dhommah. 10 13

110

Ali Bin Utsman, kitab talhisul asa, hal

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Metode Tabulasi Wazan (Inspirasi Belajar Shorof Mudah dan Praktis) Adapun lafadz-lafadz yang masuk pada bab lima ini khusus diikuti oleh fi’il yang bermakna watak dan sifat pembawaan yang melekat seperti pemberani, penakut, bagus, jelek, sedang kalimat yang menunjukkan arti demikian itu pasti tidak membutuhkan maf’ul namun hanya berhubungan dengan fa’ilnya saja maka bab lima tidak isim maf’ulnya. Bab lima didahulukan dari bab enam karena ‘ainfi’ilnya dibaca dhommah pada fi’ilmadhi dan mudhari’nya dan bab enam dibaca kasroh kedunya. Dhommah adalah harakat yang paling kuat dibanding kasroh maka sewajarnya yang kuat didahulukan.

‫الباب السادس من الثالثي المجرد‬ ‫فعِل يف َعل‬ Bab enam ini ditandai dengan ‘ainfi’ilmadhi dan ‘ain fi’il mudhari’nya dibaca kasroh,kebanyakan kalimat yang masuk pada bab ini adalah fi’il ta’addi seperti ‫حسب‬. METODE PENELITIAN Jenis penelitian Berdasarkan masalah yang peneliti kemukakan, maka penelitian ini termasuk penelitian eksperimen karena di dalamnya menguji cobakan suatu metode baru yaitu tabulasi wazan.Dalam penelitian ini terdapat kelas eksperimen dan kelas kontrol. Tepatnya disebut dengan metode Quasi Eksperimentyaitu melakukan observasi dalam keadaan buatan. LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

Penelitian ini juga terdapat dua kelompok yang dipilih secara acak, kemudian diberi pretest untuk mengetahui keadaan awal adakah perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.Kelompok eksperimen diberi perlakuan berupa pembelajaran shorof dengan model tabulazi wazan, sedangkan kelompok kontrol menggunakan pembelajaran tanpa model tabulazi wazan. Desain Penelitian Desain Penelitian yang digunakan adalah model Nonequivalen Control Group Design yang dapat digambarkan pada table berikut : O1 O1

X

O2 O2

Kerangan : -O1: Tes awal (pretest) pada kelas eksperimen dan kelas kontrol -O1: Tes akhir (posttest) pada kelas eksperimen dan kelas kontrol -X: Perlakuan pada kelompok eksperimen menggunakan model pembelajaran Tabulasi wazan.

Prosedur Penelitian Prosedur penelitian yang peneliti gunakan adalah sebagai berikut : 1. Tahap analisis permasalahan a) Melakukan potensi dan masalah b) Mencari studi pendahuluan berupa studi literatur dengan penelitian atau jurnal ilmiah yang mendukung 111


Agung Prasetiyo # Riset LoroNG mengenai hal-hal yang berhubungan dengan model pembelajaran tabulasi wazan. 2. Tahap Persiapan Penelitian. a) Menetapakan pokok bahasan yang akan digunakan dalam penelitian. b) Membuat istrumen penelitian. c) Membuat rencana pembelajaran dan penelitian. d) Melakukan penelitian.

uji

pelaksanaan bahan ajar

coba

instrumen

e) Merevisi instrumen penelitian. 3. Tahap Pelaksanaan Penelitian. a) Mengadakanpre-test kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk mengetahui kemampuan siswa. b) Melakukan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan yang berbeda pada kelas kontrol dan kelas eksperimen dengan jumlah jam pelajaran, pengajaran dan pokok bahasan yang sama. Pada kelas eksperimen pembelajaran mengguakan model tabulasiwazan sedangkan kelas kontrol pembelajaran menggunakan pembelajaran tanpa model tabulsi wazan.

diambil dalam penelitian ini adalah mahasiswa jurusan Pendidikan bahasa Arab angkatan 2012.Sampel dari penelitian eksperimen dengan tema “Metode Tabulasi Wazan UntukMempermudah Pemahaman Shorof satu (Studi Eksperimen Fi’ilTsulasiMujarrod Bab1 – Bab 6) ini terdiri dari 29 mahasiswa yang terdiri dari 2 kelas yakni kelas F kecil dan kelas G kecil. Kelas F kecil sebagai kelas kontrol dan kelas G kecil sebagai kelas eksperimen. Gambaran konkrit rincian sampel sebagai berikut : Kelas Fk Kelas Gk

Kontrol Eksperimen

17 12

Instrumen Penelitian Instrumen Penelitian yang digunakan dalam penelitin ini berbentuk tes. Adapun bentuk penilaiannya meliputi : 1. Tes Hasil belajar Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini adalah tes tertulis berupa pre-test dan post-test berupa soal-soal yang dibuat dengan berbagai bentuk soal dengan warna.Agar instrument menjadi alat ukur yang baik, maka perlu dilakukan langkahlangkah berikut :

4. Tahap Analisis data.

a) Membuat kisi-kisi soal.

a) Mengumpulkan data kuantitatif.

b) Menyususn tes sesuai dengan kisikisi yang telah dubuat dan kunci jawaban.

b) Membandingkan hasil tes pada kelas eksperimen dan kelas control. c) Melakukan analisis data kuantitatif terhadap pre-test dan pos-ttest. 5. Tahap Pembuat Kesimpulan Adapun populasi dan sampel yang akan 112

c) Uji coba soal. Melaui uji coba soal diharapkan dapat diketahui taraf validitas soal, reabilitas soal, taraf kesukaran tiap soal singga dapat dipilih soal-soal yang baik dan dapat dijadikan LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Metode Tabulasi Wazan (Inspirasi Belajar Shorof Mudah dan Praktis) sebagai tes pada kelas sampel penelitian. Metode Analisa Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan analisa statistikt tes atau uji t dengan menggunakan SPSS (Statistic Product Service Solution) 17.Adapun langkah untuk mengolah data klik a­ nalyze>compare means->paired sample T tes untuk membandingkan nilai rata-rata dua kelompok yang berpasangan.

DISKUSI

Cara Kerja Adapun cara pengajaran shorof menggunakan metode tabulasi wazan sebagai berikut: a) Memberikan pendahuluan tentang ilmu shorof sehingga mahasiswa mampu memahami konsep dasar shorof. b) Mengenalkan warna dan tanda yang telah tersediakan di modul. c) Meminta mahasiswa menghafal dan memahami setiap warna dan tanda yang tertera di modul. d) Mulai masuk pada bab I dan menjelaskan materi tentang wazanwazan yang terdapat pada bab I. e) Analisis setiap bina’ serta warna dan tanda setiap bina’.

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

f) Sebelum melanjutkan materi tentang bab selanjutnya maka perlu ada evaluasi terlebih dahulu sebagai langkah implementasi pemahaman. g) Mengulang cara nomor 4,5, dan 6 pada bab-bab selanjutnya h) Memberikan kesimpulan/ rangkuman di akhir pelajaran. Efektivitas Metode TabulasiWazan Efektivitas metode tabulasi wazan dapat dilihat hasil analisisnya sebagai berikut : a) Dari hasil pre-test kelas eksperimen dapat diketahui bahwa jumlah nilai dari pre-test adalah 787,65, meannilai pre-test dari kelas eksperimen adalah 65,63, sedangkan jumlah dari nilai kuadratnya adalah 54042,23. b) Dari hasil pre-test kelas kontrol dapat diketahui bahwa jumlah nilai dari pre-test adalah 1145.3, meannilai pretest dari kelas kontrol adalah 67.37, sedangkan jumlah dari kuadratnya adalah 79944.37. c) Dari hasil post-test kelas eksperimen dapat diketahui bahwa jumlah nilai dari post-test adalah 893.55,meannilai pre-test dari kelas eksperimen adalah 74.46, sedangkan jumlah dari kuadratnya adalah 67832.27. d) Dari hasil post-test kelas kontrol dapat diketahui bahwa jumlah nilai dari post tes adalah 1136.9, meannilai post-test dari kelas kontrol adalah 66.87, sedangkan jumlah dari kuadratnya adalah 71583.37.

113


Agung Prasetiyo # Riset LoroNG Tabel standar deviasi, T Tabel dan T Tes dari Nilai Post test No

Aspek

Koaborasi Kelas Kontrol 17

Kelas eksperimen 12

1

Jumlah mahasiswa (n)

2

Jumlah Nilai 1136.9 (X) Mean 66.87 Jml. Kuadrat 71583.37 Nilai (X)

893.55

Standar Deviasi T Tabel

10.76

3 4

5 6

7

T Tes

12.89

74.46 67832.27

1,796 -,268

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa standar deviasi dari kelas kontrol adalah 12.89, sedangkan standar deviasi dari kelas eksperimen adalah 10.76 dan T tabelnya adalah 1,796 dan T tesnya adalah -,268. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa : a) Cara untuk menggunakan metode tabulasi wazan adalah dimulai dengan mengenalkan konsep dasar shorof, kemudian mengajarkan metode tersebut dengan modul yang telah dibuat. Hal yang perlu diperhatikan adalah dengan memilih memberikan evalusi sebelum melanjutkan bab setelahnya. 114

b) Metode tabulasi wazan memberikan dampak yang signifikan. Hal ini dibuktikan dengan t hitung sebesar -,268 lebih

kecil apabila dibandingkan dengan t tabe1,796 sehingga t hitung berada diwilayah penerimaan Ho. Hasilnya adalahmetodetabulasi wazan yang telah diajarkan memberikan dampak yang signifikan untuk memberikan kemudahan mahasiswa yang belajar shorof

Kajian Pustaka Abi Hasan Ali bin Hisyam al Kaelani. Kitab Al Kailani Ali bin Usman.Kitab Talhis al Asas Al Rozi Ah, A. Syanwani.2009.Al Maqoshid As Shorfiyah,Pengantar Memahami Nadhom Al- Maqshud. Jombang:Darul Himah Hasan,Iqbal.2009.Analisis Data Penelitian Dengan Statistik.Jakarta:PT Bumi Aksara Kamus Besar Bahasa Indonesia Sugiyono.2010.Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:Alfa Beta Mushthofa al Gholayaini. Kitab Jami’ud durus juz 1 Muhammad kafawi Ibnu Haj hamid. Kitab kafawi

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


ď Ť Analisis Vegetasi dan Pendugaan Cadangan Karbon Tersimpan pada Tanggul Lumpur Lapindo Abstract The age of dike area has been 7 years up to now. During this time, there has been a natural process of succession as it’s marked by the emergence of new vegetation. Mud area has considerable potential to store carbon reserves. This study was conducted to assess levee vegetation in the area through the analysis of vegetation carbon stocks and savings on necromassa and undergrounds plants. Line transects sampling and carbon reserve deposits with allometric equation are used as the research methods. Results showed the succession in Lapindo hot mud dike beginning class or competition and reaction. 35 different types of plants with 324 as the number of species in a 0,001 acre (324.000 species/ha). The highest diversity index is seen at station 7 (2,58498) and the lowest at station 1 (0,96336). The highest dominance index is emerged at station 2 (0,447488) and the lowest at station 7 (0,090868). The amount of stored carbons in the underground plant reaches 242,597 tons and necromassa plant reaches 193,743 tons. Umur areal tanggul hingga sekarang kurang lebih 7 tahun. Selama waktu tersebut telah terjadi proses suksesi secara alami dengan ditandai munculnya vegetasi baru. Areal lumpur memiliki potensi yang cukup besar dalam menyimpan cadangan karbon. Penelitian ini dilakukan untuk mendata tumbuhan di areal tanggul melalui analisis vegetasi dan simpanan cadangan karbon pada tumbuhan bawah dan nekromassa. Metode sampling penelitian menggunakan transek garis dan simpanan cadangan karbon dengan persaman Allometrik. Hasil menunjukkan proses suksesi di tanggul lumpur panas Lapindo pada tahap awal atau kompetisi dan reaksi. Ditemukan 35 jenis tumbuhan bawah dengan jumlah spesies sebanyak 324 dalam 0,001 hektar (324.000 spesies/ha). Indeks keanekaragaman tertinggi pada stasiun 7 (2,58498) dan terendah pada stasiun 1 (0,96336). Indeks dominansi tertinggi pada stasiun 2 (0,447488) dan terendah pada stasiun 7 (0,090868). Jumlah cadangan karbon tersimpan pada tumbuhan bawah mencapai 242,597 ton dan nekromassa mencapai 193,743 ton. Kata kunci: tanggul lumpur panas Lapindo, analisis vegetasi, cadangan karbon, nekromassa Oleh

Bagus Setiawan Kepala Biro Penelitian LKP2M 2013 Mahasiswa Jurusan Biologi Bagong_gus@yahoo.co.id

115


Bagus Setiawan # Riset LoroNG Pendahuluan

Penanggungan.

Lumpur panas Lapindo merupakan limbah setengah padat bercampur materi minyak mentah yang berasal dari eksplorasi penambangan minyak oleh PT. Lapindo Brantas. Lokasi eksplorasi penambangan dan pengeboran berada di Kecamatan Porong, Sidoarjo Jawa Timur1. Lumpur panas Lapindo menyembur mulai 29 Mei 2006 hingga sekarang. Debit semburan lumpur mencapai 120.000 hingga 135.000 m3/hari2. Terdapat 116 lubang ventilasi lainnya yang muncul kurang lebih 4 tahun terakhir, sehingga air yang terpisah dari endapan lumpur berkisar 35.000-84.000 m3/hari3.

Tanggul menampung lumpur panas Lapindo kurang lebih tujuh tahun. Adanya tanggul di areal lumpur panas Lapindo menyebabkan perubahan lingkungan yang signifikan. Perubahan seperti ini disebut sebagai suksesi. Suksesi merupakan proses perubahan akibat gangguan yang berat sehingga komunitas awal menjadi hilang atau rusak total. Untuk menuju kondisi lingkungan yang seimbang dalam proses suksesi mebutuhkan waktu yang sangat lama4. Terdapat dua sebab utama yang mengakibatkan suksesi yakni perubahan faktor habitat yang tidak bergantung pada komunitas tumbuhan dan perubahan yang disebabkan oleh pengaruh vegetasi itu sendiri5.

Alternatif penanganan lumpur panas Lapindo sampai saat ini adalah

dengan membuang lumpur ke Sungai Porong dan menampung lumpur di tanggul. Tanggul digunakan untuk menahan lumpur agar tidak meluber ke areal warga. Kondisi tanggul saat ini mencapai luas sebanding dengan ± 8 desa. Lebar tanggul mencapai ± 25 meter sedangkan panjang tanggul ± 17,3 kilometer. Tinggi tanggul lumpur pada bagian barat (Kecamatan Porong) mencapai 3 lantai rumah. Sedangkan tanggul bagian utara, selatan, dan barat mencapai ± 12 meter. Susunan tanah tanggul berasal dari Gunung Perahu dan 1 Ninik Herawati. Analisis Risiko Lingkungan Aliran Air Lumpur Lapindo Ke Badan Air (Studi Kasus Sungai Porong dan Sungai Aloo - Kabupaten Sidoarjo) (Diponegoro: Universitas Diponegoro, 2007) 2 Rohmat Ilman Salim. dkk. Studi kapasitas ben ungan sebagai pengendali semburan Lumpur sidoarjo (Surabaya: Institut Teknologi Surabaya, 2009) 3 Davies, R. Lumpur Lapindo Menyembur Hingga Tahun 2030. (Retrieved Maret 2012, 2011, from http://www.detiknews..com/.)

116

Proses perubahan habitat vegetasi pada suatu areal dapat menciptakan habitat baru yang sebelumnya tidak ada. Suksesi dapat memberikan kesempatan bagi vegetasi untuk menempati habitat baru6. Hal ini telah terjadi di areal tanggul dengan munculnya vegetasi-vegetasi baru. Apabila suksesi di tanggul dibiarkan selama 20 tahun diperkirakan membentuk komunitas tumbuhan yang kompleks. Komunitas kompleks atau klimaks adalah kondisi yang mencapai homeostatis. Komunitas tumbuhan di suatu areal memiliki fungsi (environment service) seperti penyedia oksigen, simpanan cadangan karbon, dan penyerap karbon dioksida 4 Zoer’aini Djamal Irwan. Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi, Ekosistem, Komunitas dan Lingkungan (Jakarta: Bumi Aksara, 2003) 5 Loveless. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan u tuk Daerah Tropik 2 (Jakarta: Gramedia, 1998) 6 Indriyanto. Ekologi Hutan (Jakarta: Bumi A sara, 2006)

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Analisis Vegetasi dan Pendugaan Cadangan Karbon Tersimpan pada Lumpur Lapindo (CO2)7. Fungsi tersebut bekerja melalui fotosintesis di dalam daun. Hasil proses fotosintesis adalah berupa karbohidrat dan diedarkan ke seluruh tubuh. CO2 yang tinggi di atmosfir diakibatkan oleh kegiatan industri dan kendaraan bermotor. Gambaran kadar CO2 di atmosfir dapat diketahui melalui pengukuran kadar karbon yang diserap oleh tanaman. Sedangkan pengukuran cadangan yang tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati (nekromassa) secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran8.

nekromassa 1,42-8,45 ton/ha11.

Berikut beberapa penelitian tentang pengukuran karbon yang dilakukan pada tingkat tumbuhan bawah dan nekromassa. Cadangan karbon pada hutan primer di areal PT. Sikatan Wana Raya pada tingkat tumbuhan bawah menyumbang sebesar 2,68 ton/ha9. Cadangan karbon pada KPH Cianjur Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten tumbuhan bawah mencapai 1,02-3 ton/ha. Sedangkan simpanan karbon nekromassa mencapai 3,2-8,3 ton/ha10. Cadangan karbon di areal HTI kayu serat PT. RAPP Sektor Pelalawan, Propinsi Riau pada tumbuhan bawah 1,1-4,75 ton/ha dan

Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif. Penelitian ini terbagi dalam tiga tahap yaitu persiapan (observasi), pengambilan sampel, dan analisis data. Observasi dilakukan untuk mengetahui kondisi lingkungan dan menentukan stasiun. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode transek (transect sampling). Metode transek digunakan karena melihat kondisi tanggul yang memanjang. Analisa data dengan memperhatikan frekuensi, kerapatan, indeks nilai penting, Indeks Keanekaragaman, Indeks Dominansi, dan simpanan karbon.

7 Hilda Zulkifli. dkk. Kandungan Cadangan Ka bon pada Area Suksesi Industri Pertambangan di Papua: Mitigasi Dampak Perubahan Iklim (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2011) 8 Kurniatun Hairiah. dkk. Pengukuran Cadangan Karbon dari Tingkat Lahan ke Bentang Lahan Edisi 2. (Malang: University of Brawijaya, 2011) 9 Nanang Hanafi dan R. Biroum Bernardianto. Perndugaan Cadangan Karbon pada Sistem Penggunaan Lahan di Areal PT. Sikatan Wana Raya (Palangka Raya: Universitas PGRI Palangka Raya, 2012) 10 Bambang Hero Saharjodan Hadi Firdaus Prima Wardhana. Pendugaan Potensi Simpanan Karbon Pada Tegakan Pinus (Pinus merkusii Jungh. Et de Vriese) di KPH Cianjur Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. (Bogor: IPB, 2011)

Parameter lingkungan yang dilibatkan dalam penelitian ini antara lain kompoenen biotik (tumbuhan) dan abiotik (air, tanah, suhu, angin, kelembapan, dan unsur makronutrisi). Tujuan digunakan parameter adalah untuk menggambarkan secara pasti kondisi lingkungan yang mengarah pada proses suksesi dan potensi simpanan

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

Penelitian tentang proses suksesi melalui analisis vegetasi dan simpanan cadangan karbon di tanggul lumpur belum pernah dilakukan. Maka penting untuk mengetahui jenis-jenis vegetasi dan simpanan cadangan karbon di areal suksesi tanggul. Selain itu, proses suksesi ini dapat dijadikan sebagai acuan dan pertimbangan untuk pengelolahan dan penanaman pohon dalam upaya memperkuat tanggul. Metode Penelitian

11 Yuniawati. Pengaruh Pemanenan Kayu Terhadap Potensi Karbon Tumbuhan Bawah dan Serasah di Lahan Gambut (Studi Kasus di Areal HTI Kayu Serat PT. RAPP Sektor Pelalawan, Propinsi Riau). (Bogor: Kementerian Kehutanan, 2013)

117


Bagus Setiawan # Riset LoroNG karbon di tanggul. Penelitian ini sudah dilakukan pada bulan Maret hingga Agustus 2013 di lokasi tanggul lumpur panas Lapindo Kecamatan Jabon dan Porong Kabupaten Sidoarjo. Tanggul semburan lumpur panas Lapindo (area terdampak) memiliki luas 43,75 hektar. Sampel penelitian menggunakan 11 stasiun dan setiap stasiun memiliki 5 substasiun. Pemilihan stasiun berdasarkan karakteristik dan dianggap mewakili keadaan vegetasi di tanggul lumpur panas Lapindo. Tabel Karakteristik Stasiun pada Analisis Vegetasi Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

118

Karakteristik Areal mesin penyedot lumpur 1 Tanggul paling tengah atau paling dekat dengan pusat semburan Gedangan/ Stasiun Porong Bekas tanggul jebol Areal wisata Areal bekas tambak warga Areal pantau lumpur Areal mesin penyedot lumpur 2 Besuki Areal jarang dikunjungi 1 Areal jarang dikunjungi 2

Koordinat S 7.537615 E 112.708917 S 7.531701 E 112.708332 S 7.538498 E 112.702966 S 7.517901 E 112.708589 S 7.523379 E 112.704839 S 7.540104 E 112.710745 S 7.53385 E 112.717847 S 7.532744 E 112.717482 S 7.531808 E 112.721516 S 7.520937 E 112.726847 S 7.518853 E 112.720710

Gambar Lokasi Stasiun Penelitian (Google Maps, 2013) Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: pasak, termohigrometer, anemometer, thermometer, nampan pengering, kamera, meteran 50 meter, meteran jahit 150 cm, pisau, timbangan digital (max. 7 kilogram), cethok, sabit, dan penggaris 30 cm. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain: plastik, kertas label, peralatan tulis, tally sheet, tali raffia 200 m2, kresek, sak (kadhut), dan spidol permanen. Prosedur Penelitian Berikut prosedur penelitian analisis vegetasi di tanggul lumpur panas Lapindo: Ditentukan titik stasiun berdasarkan karakter lingkungan. Ditancapkan pasak utama di tanah sebagai penanda awal stasiun. Dililitkan tali meteran 50 meter di pasak dan ditarik hingga 10 meter. Diberi tanda setiap dua meter sebagai penanda stasiun. Dicatat dalam tally sheet setiap vegetasi yang berada dalam substasiun. Diambil LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Analisis Vegetasi dan Pendugaan Cadangan Karbon Tersimpan pada Lumpur Lapindo spesimen vegetasi guna kepentingan identifikasi. Diukur parameter lingkungan; suhu dan kelembaban (termohigrometer) dan kecepatan angin (anemometer). Dilakukan pengambilan dokumentasi kegiatan di lapangan. Dianalisis data yang diperoleh dari lapangan. Berikut prosedur penelitian simpanan cadangan karbon tumbuhan bawah di tanggul lumpur panas Lapindo: Ditempatkan kuadran plot utama (5 m × 40 m) berdasar ketentuan karakter stasiun. Dipotong semua tumbuhan bawah (pohon berdiameter < 5 cm, herba dan rumput-rumputan) yang terdapat di dalam kuadran, dipisah antara daun dan batang. Dimasukkan ke dalam kantong plastik, beri label sesuai dengan kode substasiun. Diikat semua kantong plastik berisi tumbuhan guna mempermudah pengemasan. Dimasukkan dalam karung besar untuk mempermudah pengangkutan ke laboratorium. Ditimbang berat basah daun cabang, ranting, dicatat beratnya dalam lembar pengamatan. Diambil sub-contoh tanaman dari masing-masing biomassa sekitar 100-300 gram. Bila biomassa contoh yang didapatkan hanya sedikit (<100 gram), maka ditimbang semuanya dan jadikan sebagai sub-contoh. Dikeringkan subcontoh biomassa di bawah sinar matahari selama 6-7 hari dengan rata-rata suhu 400C. Ditimbang berat keringnya dan catat dalam lembar pengamatan. Berikut prosedur penelitian simpanan cadangan karbon nekromassa tidak berkayu di tanggul lumpur panas Lapindo: Diambil semua sisa-sisa bagian tanaman mati, daundaun dan ranting-ranting gugur yang terdapat dalam tiap-tiap kuadran, dimasukkan ke dalam kantong kresek dan diberi label LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

sesuai dengan kode sustasiun. Diikat semua kantong plastik berisi nekromassa yang diambil dari satu stasiun. Dimasukkan dalam karung besar untuk mempermudah pengangkutan laboratorium. Dikeringkan semua nekromassa di bawah sinar matahari. Apabila sudah kering, digoyang-goyangkan agar tanah yang menempel dalam seresah rontok dan terpisah dengan nekromassa. Ditimbang contoh nekromassa kering. Diambil sub-contoh seresah sebanyak 100-300 gram untuk dikeringkan di bawah sinar matahari selama 6-7 hari dengan ratarata suhu 400C. Bila biomassa contoh yang didapatkan hanya sedikit (<100 gram), maka ditimbang semuanya dan dijadikan sebagai sub-contoh. Ditimbang berat keringnya dan dicatat dalam lembar pengamatan yang telah disediakan.

Analisis Data

Data vegetasi yang diperoleh dari lapangan dianalisis untuk mendapatkan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman, Indeks Dominansi12: Jumlah seluruh tumbuhan

Kerapatan (K) = Jumlah

seluruh sampling unit

Kerapatan Relatif (KR) = Frekuensi (F) =

K suatu jenis

K total seluruh jenis

Jumlah petak contoh ditemukan spesies Jumlah seluruh petak contoh F suatu spesies

Frekuensi Relatif (FR) = F seluruh

spesies

Indeks nilai penting (INP) = KR + FR Indeks keanekaragaman = Hi = − σ

Keterangan :

× 100%

ni N

× 100%

log

ni

N

12 Melati Ferianita Fachrul. 2007. Metode Sampling Bioekologi. (Jakarta: Bumi Aksara, 2007)

119


Bagus Setiawan # Riset LoroNG ni : jumlah individu suatu jenis. N : jumlah total individu seluruh jenis. Pi : ratio species dengan total individu seluruh spesies. Indeks dominansi = Keterangan : C: dominansi ni: nilai kepentingan untuk tiap spesies N: total nilai kepentingan Karbon tersimpan dianalisis dengan menggunakan rumus allometrik untuk menduga biomassa tumbuhan13: Rumus biomassa tumbuhan bawah dan nekromassa

Keterangan: : total berat kering BK: berat kering : total berat basah BB: berat basah Diskusi Perjalanan suksesi menuju klimaks di suatu lahan dapat ketahui melalui munculnya vegetasi baru dan perubahan lingkungan. Proses suksesi dapat dipantau melalui perkembangan munculnya vegetasi hingga klimaks. Salah satu cara untuk mengetahui hal tersebut adalah dengan melalui analisis vegetasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di tanggul lumpur panas Lapindo ditemukan 35 jenis tumbuhan bawah. Jumlah individu yang ditemukan mencapai 324 individu/10m2 (0,001 hektar). Tumbuhan bawah yang ditemukan di 13 Hairiyah. dkk. op. cit.

120

areal tanggul adalah sebagian besar berasal dari suku Poaceae (rumput-rumputan). Setiap stasiun suku ini selalu ada dan terlihat mendominasi. Keberadaan suku Poaceae menandakan bahwa suku ini memiliki toleransi pertumbuhan dan persebaran yang tinggi di suatu lingkungan. Suku Poaceae dinilai sebagai tumbuhan kosmopolit dan memiliki pertumbuhan yang sangat cepat walaupun dengan kondisi yang kurang mendukung bagi tumbuhan lain. Selain itu, suku ini memiliki biji yang sangat kecil dan ringan sehingga mudah terbawa oleh angin. Suku kedua yang banyak tumbuh di tanggul adalah dari polong-polongan (Fabaceae). Sebagian besar suku ini menjalar dan memiliki biji yang sangat cepat berkecambah. Tumbuhan yang ditemukan yang akan menjadi pohon masih dikategorikan dalam pancang seperti lamtoro, karena lamtoro memiliki pertumbuhan yang cukup lama untuk menjadi pohon besar. Komponen dalam melakukan analisis vegetasi diperlukan parameter kuantitatif seperti: Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), dan Indeks Nilai Penting (INP). Nilai KR dapat menggambarkan bahwa jenis dengan nilai kerapatan tinggi memiliki pola penyesuaian yang besar14. Kepadatan populasi sangat penting diukur untuk menghitung produktivitas pertumbuhan15 Nilai KR pada semua stasiun yang paling tinggi berada di stasiun 1 (55,68%) dan 2 (64,4%). Sedangkan nilai KR yang sangat rendah pada stasiun 9 dan stasiun 10. Nilai FR pada semua stasiun berkisar antara 2-32%. Nilai FR tertinggi dimiliki oleh stasiun 1, sedangkan rerata paling 14 Melati Ferianita Fachrul. op. cit. 15 Nurdin Muhammad Suin. Ekologi Hewan T nah (Jakarta: Bumi Aksara, 2003)

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Analisis Vegetasi dan Pendugaan Cadangan Karbon Tersimpan pada Lumpur Lapindo rendah pada stasiun 7. Jadi frekuensi relatif tergolong dalam kelas A (0-20%) dan kelas B (21-40%)16. Terdapat hubungan antara KR dan FR dari hasil di atas, apabila nilai KR tinggi maka nilai FR juga diperkirakan tinggi pula. Terdapat hubungan antara KR dan FR, apabila FR tinggi umumnya KR tinggi pula17. INP pada semua stasiun berkisar mulai dari 3,02-86,93. Nilai INP pada vegetasi yang tinggi antara lain: Panicum palmifallium, Eleusine indica, Mimosa pudica, Axonopus compresus, Dactyloctenium aegyptium, Botriochala pertusa, dan Agrostis infirma. Sedangkan INP terendah antara lain: Echinochloa crus-galli, Paederia foetida, dan Portulaca olercara. Indeks Keanekaragaman Berikut diagram Indeks Keanekaragaman pada vegetasi di areal tanggul lumpur panas Lapindo dari beberapa stasiun.

Gambar Diagram Indeks Keanekaragaman Berdasarkan diagram Indeks Keanekaragaman dapat digambarkan, bahwa stasiun yang memiliki nilai keanekaragaman 16 Melati Ferianita Fachrul. op. cit. 17 Nurdin Muhammad Suin. op. cit.

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

vegetasi tertinggi adalah stasiun 7 (2,585). Pada stasiun ini terdapat 19 jenis tumbuhan, Stasiun 7 berada di areal pemantauan lumpur. Maka memiliki indikasi bahwa persebaran biji dan pertumbuhannya berasal dari tanggul tepi dan terkumpul di areal ini. Selain itu, pertumbuhan setiap jenis lebih merata dalam setiap substasiun dan dinilai tidak ada jenis yang mendominasi di stasiun 7 dan dapat dikatakan sedang melimpah. Stasiun yang memiliki keanekaragaman paling rendah adalah stasiun 1 (0,963) yang berada di areal mesin penyedot lumpur 1. Terletak di bagian tengah dan berada di depan mesin penyedot lumpur 1. Pada stasiun 1 hanya terdapat 5 jenis tumbuhan. Jenis tumbuhan tersebut sebagian besar berasal dari Poaceae dan Cyperaceae. Rendahnya keanekaragaman di stasiun 1 karena letak tanggul yang berada paling tengah dan dekat dengan pusat semburan. Hal ini juga terjadi pada stasiun 2 yang memiliki tingkat keanekaragaman rendah. Letak kedua stasiun ini dinilai cukup sulit dalam persebaran biji dan membutuhkan waktu relatif lama untuk mencapai keanekaragaman jenis yang tinggi. Faktor angin di stasiun ini berkisar 0,8-1,6 m/s yang kurang berpotensi dalam penyebaran biji. Menurut18Apabila nilai keanekaragamannya tinggi maka semakin tua dan stabil keadaan suatu komuitas tersebut. Indeks Dominansi Berikut diagram Indeks Dominansi vegetasi di areal tanggul lumpur panas Lapindo dari beberapa stasiun. 18 Melati Ferianita Fachrul. op. cit.

121


Bagus Setiawan # Riset LoroNG

Gambar Diagram Indeks Dominansi Indeks dominansi menunjukkan bahwa stasiun yang memiliki nilai dominansi tertinggi adalah pada stasiun 1 (0,4453) dan 2 (0,4475). Dominansi jenis vegetasi di kedua statsiun ini adalah Poaceae seperti Panicum sp., dan Eleusine indica. Kedua jenis ini hampir ditemukan pada semua substasiun dan banyak berada di jalan setapak tanggul. Dominansi vegetasi terendah terjadi pada stasiun 7 yaitu 0,0909. Pada stasiun ini ditumbuhi vegetasi yang lebih beragam dari pada stasiun 1 dan 2. Pada ketiga stasiun ini (1, 2, dan 7) bersifat berbanding terbalik antara nilai keanekaragaman dan dominansi. Pada stasiun 1 dan 2 memiliki nilai dominansi tertinggi dan rendah dalam keanekaragaman. Akan tetapi pada stasiun 7 memiliki nilai keanekaragaman tertinggi dan rendah dalam dominansi. Apabila nilai dominansi tinggi, maka dominansi terpusat pada satu spesies. Tetapi apabila nilai dominansi rendah, maka dominansi terpusat pada beberapa spesies19. Keseragaman jenis vegetasi di tanggul banyak berasal dari suku rerumputan. Hal ini disebabkan tanah yang berasal dari 19 Indrayanto, op. cit.

122

pegunungan diperkirakan menyisakan propagul, sehingga perkembangan proses juga turut terbantu dari luar tanggul. Namun, dari analisis kesamaan antar stasiun menunjukkan nilai 0, artinya tidak ada kesamaan jenis yang nyata pada setiap stasiun. Hal ini dikarenakan setiap stasiun memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga memunculkan jenis keanekaragaman yang berbeda pula. Selain itu, faktor abiotik juga turut menentukan keanekaragaman jenis dalam masing-masing stasiun. Faktor Abiotik Faktor abiotik merupakan komponen penunjang utama dalam proses suksesi. Faktor abiotik meliputi jenis parameter seperti suhu, pH, kelembaban udara, angin, dan kandungan nutrisi tanah. Faktor abiotik ini sangat menentukan keberadaan suatu vegetasi di suatu habitat sehingga disebut faktor pembatas. Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi interaksi antara organisme dengan lingkungannya. Pengaruh faktor abiotik terhadap vegetasi lebih pada ke arah fisiologi20. Berikut hasil pengukuran faktor abiotik dari areal tanggul lumpur panas Lapindo. Hasil Pengukuran Faktor Abiotik Paremeter Suhu Kelembaban Angin Nitrogen Fosfor Kalium Magnesium Kalsium pH

Nilai 29-41 82,2-52 0-2,2 0,31 34,3 48,7 8,31 0,81 6,5-8

20 Amin Setyp Leksono. Ekologi Pendekatan Deskriptif dan Kuantitif. (Malang: Bayumedia, 2007)

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Analisis Vegetasi dan Pendugaan Cadangan Karbon Tersimpan pada Lumpur Lapindo Penghitungan parameter dimulai pada pukul 07.00-09.00WIB, sehingga diperoleh suhu maksimal 410C. Vegetasi di suatu lingkungan memiliki daya toleransi tertentu dalam berinteraksi dengan faktor abiotik. Apabila suhu terlalu tinggi atau rendah maka berpengaruh terhadap proses enzimatik. Suhu berpengaruh pada ekosistem karena merupakan syarat yang diperlukan organisme untuk hidup21. Suhu secara langsung sangat mempengaruhi nilai kelembaban. Nilai kelembaban tertinggi 82,2% dan terendah 52% RH. Tingginya nilai kelembapan dapat dipicu oleh rendahnya nilai suhu, begitu pula sebaliknya. Jadi tercatat pada areal tanggul semakin siang (suhu semakin tinggi) maka nilai kelembaban semakin rendah. Keberadaan angin menentukan nilai kelembaban dan berperan dalam penyebaran biji tumbuhan tertentu22. Kecepatan angin tercatat hingga 2,2 m/s mulai pukul 07.30 WIB. Kecepatan angin di tanggul akan bertambah seiring dengan berubahan waktu yang menuju siang dan sore hari. Sebagian angin berasal dari hembusan selat Madura dan jalan raya. Mengetahui total pH tanah sangat penting guna menentukan keberadaan dan kepadatan vegetasi23. Nilai pH tanah dapat digunakan sebagai indikator kesuburan kimiawi tanah. pH mencerminkan ketersediaan hara dalam tanah tersebut. pH optimum untuk ketersediaan unsur hara adalah 7,0 sedangkan pH dibawah 6,5 dan diatas 7,5 dapat menyebabkan defisiensi unsur-unsur nutrisi24. 21 Leksono. op. cit. 22 Leksono, op. cit. 23 Suin, op. cit. 24 Kemas Ali Hanifah. Dasar-Dasar Ilmu Tanah.

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

Total nitrogen pada areal tanggul sangat rendah karena tidak ada tumbuhan sisa dalam menyusun tanggul pada tahap awal, karena nitrogen sebagian besar berasal dari sisa tumbuhan. Total fosfor pada areal tergolong dalam kisaran kebutuhan vegetasi akan nutrisi. Rata-rata fosfor dalam tanhah sekitar 0,08%. Total kalium pada areal tanggul tergolong kecil karena kurang dari kisaran rerata 2,6%. Total kalsium dan magnesium pada tanggul tergolong dalam kisaran serapan vegetasi, tumbuhan menyerap kalsium 0,5% dan magnesium 0,04% yang berfungsi sebagai komponen dinding sel dan terlibat dalam metabolisme karbohidrat25. Suksesi yang berada di tanggul lumpur panas Lapindo merupakan proses menuju perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan dapat diketahui melalui dengan adanya perbedaan signifikan antara sebelum dan sesudah terjadi semburan lumpur. Sebelum terjadi peristiwa semburan, areal terdahulu merupakan kehidupan bagi warga Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin. Namun, setelah terjadi semburan semuanya berubah total. Perubahan pada bencana ini, terdapat dua macam suksesi yaitu suksesi primer dan suksesi sekunder. Suksesi primer yakni pada lumpur panas Lapindo dan suksesi sekunder yakni tanggul lumpur panas Lapindo. Suksesi di areal tanggul masih berada pada tahap awal. Namun, membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menuju klimaks. Hal ini ditandai dengan munculnya tumbuhan bawah seperti rerumputan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008) 25 Muhammad Faiz Barchia. Agroekosistem Tanah Mineral Masam. (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press, 2009)

123


Bagus Setiawan # Riset LoroNG tumbuhan merambat, semak, dan pancang. Clements;26 telah merinci tahapan suksesi menuju klimasks. Kondisi vegetasi di tanggul saat ini menurut tahapan dari Clements berada pada tahap kompetisi dan reaksi. Tahapan ini menggambarkan organisme cenderung meningkat jumlahnya karena proses pertumbuhan dan perkembangan. Semua organisme akan bergabung dalam satu habitat, sehingga antar organisme mengalami proses alamiah. Misalnya: persaingan, pemangsaan, dan simbiosis. Suksesi secara keseluruhan berkembang sebagai akibat dari interaksi organisme dengan lingkungannya. Perubahan proses suksesi terjadi akibat pengaruh faktor-faktor eksternal seperti hadirnya unsur hara. Suksesi terjadi sebagai akibat dari hukum alam. Pertumbuhan vegetasi di sekitar areal suksesi, akan mendorong kecepatan suksesi. Hal ini dikarenakan keberadaan spesies akan menjadi sumber bakal tumbuhan (biji atau spora). Spesies yang tumbuhan di tempat tersebut merupakan spesies lokal yang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi dibanding spesies asing27. Simpanan Karbon Berikut hasil analisis pengukuran cadangan karbon di areal lumpur panas Lapindo pada tingkat tumbuhan bawah dan nekromassa.

26 Indriyanto. op. cit. 27 Indriyanto. op. cit.

124

Gambar Diagram Simpanan Karbon pada Tumbuhan Bawah dan Nekromassa Digram di atas merupakan hasil dari sampel perhitungan simpanan karbon. Simpanan karbon paling tinggi pada tumbuhan bawah adalah di stasiun 1 7,3704 ton/ha, sedangkan pada nekromassa pada stasiun 1 6,592 ton/ha. Stasiun ini memiliki nilai simpanan karbon tertinggi karena memiliki vegetasi bawah yang kompleks dan rapat. Akan tetapi, pada stasiun 2 dan 3 keadaan vegetasi banyak berupa suku Poaceae, sehingga memiliki simpanan karbon yang sedikit pula. Namun untuk mengetahui jumlah simpanan karbon pada tanggul perlu dilakukan nilai ratarata dari ketiga stasiun. Jadi simpanan total cadangan karbon di tanggul pada tumbuhan bawah mencapai 242,597 ton dan nekromassa mencapai 193,743 ton. Sedangkan rata-rata simpanan karbon per hektar yakni tumbuhan bawah 5,545 ha/ ton dan nekromassa 4,428 ha/ton. Jumlah sumbangan karbon di areal tanggul dapat berasal dari Jalan Raya Surabaya-Malang dan LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Analisis Vegetasi dan Pendugaan Cadangan Karbon Tersimpan pada Lumpur Lapindo pusat semburan lumpur yang mengeluarkan gas berwarna putih. Nilai simpanan karbon pada tumbuhan bawah lebih besar dari nekromassa karena sebagian besar tanggul banyak tertutupi oleh tumbuhan bawah. Perbedaan jumlah cadangan karbon pada setiap lokasi penelitian disebabkan karena perbedaan kerapatan tumbuhan pada setiap lokasi. Cadangan karbon pada suatu sistem penggunaan areal dipengaruhi oleh jenis vegetasinya28. Rendahnya potensi karbon tumbuhan bawah dan nekromassa dapat berpengaruh pada jumlah total potensi karbon di atas permukaan tanah. Hal ini disebabkan karena karbon tumbuhan, karbon serasah, karbon tegakan dan karbon nekromassa digunakan untuk menghitung jumlah total karbon di atas permukaan tanah29.

Penutup

Simpulan dari penelitian ini adalah proses suksesi di areal tanggul lumpur panas Lapindo masih pada tahap awal atau kompetisi dan reaksi. Ditemukan 35 jenis tumbuhan bawah dengan jumlah individu sebanyak 324 dalam 0,001 hektar (324.000 spesies/1ha). Indeks Keanekaragaman tertinggi pada stasiun 7 (2,58498) dan terendah pada stasiun 1 (0,96336). Indeks Dominansi tertinggi pada stasiun 2 (0,447488) dan terendah pada stasiun 7 (0,090868). Jumlah cadangan karbon tersimpan pada areal tanggul lumpur panas Lapindo pada tumbuhan bawah mencapai 242,597 ton dan nekromassa mencapai 193,743 ton.

28 Hairiyah. dkk. op. cit. 29 Yuniawati, op. cit.

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

DAFTAR PUSTAKA Barchia, M. F. (2009). Agroekosistem Tanah Mineral Masam. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press Davies, R. (2011). Lumpur Lapindo Menyembur Hingga Tahun 2030. (online). Retrieved Maret 2012, 2011, from http://www. detiknews..com/ Fachrul, M. F. (2007). Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara Hairiah, K., Ekadinata, A., Sari, R. R., & Rahayu, S. (2011). Pengukuran Cadangan Karbon dari Tingkat Lahan ke Bentang Lahan Edisi 2. Bogor, Malang, Indonesia: Universitas Brawijaya Hanifah, K. A. (2005). Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: Raja Grafindo Persada Herawati, N. (2007). Analisi Risiko Lingkungan Aliran Air Lumpur Lapindo Ke Badan Air (Studi Kasus Sungai Porong dan Sungai Aloo - Kabupaten Sidoarjo). Universitas Diponegoro, Program Studi Pacsasarjana. Semarang: Universitas Diponegoro Indriyanto. (2006). Ekologi Hutan . Jakarta: Bumi Aksara Irwan, Z. (2003). Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi, Ekosistem, Komunitas dan Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara Leksono, A. S. (2007). Ekologi Pendekatan Deskriptif dan Kuantitif. Malang: Bayumedia Loveless. (1998). Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik 2. Jakarta: Gramedia Saharjo, B. H., & Wardhana, H. F. (2011). Pendugaan Potensi Simpanan Karbon Pada Tegakan Pinus (Pinus merkusii Jungh. Et de Vriese) di KPH Cianjur Perum Perhutani Unit III Jawa Barat 125


Bagus Setiawan # Riset LoroNG dan Banten. Jurnal Silvikultur Tropika, 3, 96-100 Salim, R. I., Mustain, M., & Sholihin. (2009). Studi Kapasitas Bendungan sebagai Pengendali Semburan Lumpur Sidoarjo. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Teknik Kelautan. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Suin, N. M. (2003). Ekologi Hewan Tanah. Jakarta: Bumi Aksara

Zulkifli, H., Windusari, Y., Yustian, I., & Herinawati, D. (2011). Kandungan Cadangan Karbon pada Area Suksesi Industri Pertambangan di Papua: Mitigasi Dampak Perubahan Iklim. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. 3, pp. 1124-1131. Palembang: Universitas Sriwijaya

Yuniawati. (2013). Pengaruh Pemanenan Kayu Terhadap Potensi Karbon Tumbuhan Bawah dan Serasah di Lahan Gambut (Studi Kasus di Areal HTI Kayu Serat PT. RAPP Sektor Pelalawan, Propinsi Riau). Jurnal Hutan Tropis, 1, 24-31

126

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


ď Ť Asketisme Hidup Orang Jawa

Istilah memayu hayuning bawana banyak didengar siapa saja. Konsep ini banyak menghiasai wawasan kosmologi kejawen. Ungkapan ini tidak sekedar ungkapan (unenunen) biasa. Ada pendapat bahwa ungkapan itu merupakan falsafah hidup, dan di sisi lain ada yang menyebut sebagai laku (pekerti). Banyak orang yang memandang ungkapa itu memang basis filosofi kehidupan nyata. Bahkan ungkapan itu merupakan sebuah perisai hidup, yang banyak ditaati oleh para penghayat kepercayaan kejawen untuk mewadahi seluruh tindakan religi Jawa yang mendambakan keselamatan hakiki.

Judul Penulis Penerbit Tebal Buku Cetakan ISBN Peresensi

Memayu hayuning bawana ternyata memiliki relevansi dengan wawasan kosmologi kejawenyang memberi pengertian bentangan jagad besar (makrokosmos) dan jagad kecil (mikrokosmos).Kedua jagad ini harus dijaga keselamatannya. Banyak cara yang dilakukan orang Jawa agar dalam hidupnya dapat menjalankan proses memayu hayuning bawana. Ungkapan ini merupakan bagian dari strategi mewujudkan ideologi kejawen dengan cara memperindah dunia. Upaya orang Jawa agar dapat menjaga, memperindah, dan menyelamatkan dunia akan terpantul ke dalam sikap hidupnya berupa endapan angan-angan yang dimanifestasikan ke dalam budi pekerti. Dengan budi pekerti, orang Jawa memiliki bingkai tingkah laku guna mewujudkan

: Memayu hayuning Bawana : Dr. Suwardi Endraswara, M. Hum : Narasi, Anggota IKAPI : 224 halaman : I, 2013 : 979-168-315-8 : Finayatul Maula

Kepala Bidang Karya Tulis Ilmiah LKP2M 2013. E-mail: fifien_lho@yahoo.com

127


Finayatul Maula # Book Review LoroNG cita-cita hidup tertinggi. Ada tiga strategi pokok untuk mencapai memayu hayuning bawana pada tataran kehidupan, yaitu (1) strategi mengolah pribadi, olah batin, dan olah rasa, (2) strategi interaksi sosial, (3) strategi berinteraksi dengan Tuhan. Ketiga strategi ini, hendaknya dinalar, dirasa, dan dihayati sebagai perjuangan mencapai kedamaian dunia. Memayu hayuning bawana sebuah laku hidup yang memiliki titik puncak spiritual. Penghayat kepercayaan kejawen, biasanya berusaha meraih titik puncak tersebut dengan batin. Ibarat mendaki gunung, tentu banyak batu dan kerikil yang sering menggoda pelaku. Titik puncak tersebut adalah keselamatan hidup. Keselamatan merupakan kondisi yang super spiritual, sulit dijelaskan dengan kata, tetapi nyatanyata ada. Memayu hayuning bawana adalah watak moral yang berusaha memelihara kedamaian dunia. Dunia damai merupakan puncak gagasan manusia. Dalam tataran dunia damai, tingkah laku seseorang yang hanya bertekad mewujudkan ketentraman dan kesejahteraan manusia di dunia. Dalam alam modern seperti saat ini, ungkapan ini dapat disamakan dengan usaha perdamaian memelihara perdamaian dunia, agar bebas dari rasa kemiskinan, kelaparan, kekurangan serta peperangan. Maksud pandangan ini, dapat disaksikan manakala manusia tidak selalu bermusuhan, dapat menghargai pluralitas, dan toleransi tinggi dikedepankan. Istilah memayu hayuning bawana dalam pandangan kearifan lokal jawa memang amat spiritual. Kunci memayu sebagai kearifan 128

lokal tetap pada keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di dunia. Oleh karena itu setiap anggota masyarakat wajib melaksakan memayu hayuning bawana. Pelaksanaan kearifan lokal memayu hayuning bawana harus serentak dibarengi dengan greget (semangat) Ambrastha dur angkara (Memberantas nafsu-nafsu rendah). Sebab kalau begitu akan kehilangan momentum mendapatkan simpati dan dukungan dari masyarakat. Sesudah sebuah masyarakat melaksanakan memayu hayuning bawana, tentulah dengan sendirinya masyarakat tersebut akan dapat menyumbangkan kedamaian, ketentraman, kerukunan, persatuan dan kesatuan bagi bangsa, dan negara, bahkan juga bagi dunia. Jurus-jurus Mencapai Memayu Hayuning Bawana Jarang orang Jawa menyadari bahwa dirinya sedang atau telah memayu hayuning bawana menemukan keselamatan dunia. Istilah memayu hayuning bawana memang secara bebas dapat diartikan dengan “mempercantik dunia yang cantik�. Dari kata “mempercantik� tersebut berarti memayu hayuning bawana merupakan usaha positif disertai dengan kesadaran yang tinggi untuk tidak akan membuat menjadi tidak cantik. Konteks ini membutuhkan jurus yang dapat mempermudah pencapaian. Untuk dapat membuat cantiknya dunia yang sudah cantik ini, terdapat tiga hubungan yang sekaligus secara bersamaan oleh masingmasing manusia, yaitu: (1) hubungan yang harmonis dalam masyarakat majemuk, ada tenggang rasa yang tinggi, menghormati perbedaan dan mencari kesamaannya, LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Asketisme Hidup Orang Jawa menggalang persatuan dan kesatuan, tidak memaksakan kehendak sendiri pada orang lain, bisa rumangsa bukan rumangsa bisa. (2) Hubungan antar manusia dengan alam semesta, dengan menyadari bahwa alam telah banyak memberikan kesejahteraan pada manusia dan melalui alam maka manusia berterima kasih dan mensyukuri kepada alam yang demikian bersahabat dan bukan sebaliknya, yaitu kebaikan hati alam dibalas dengan merusak alam mentangmentang alam tidak bisa berbicara dan melawan kesewenang-wenangan atas ulah manusia. (3) Hubungan manusia dengan Tuhan yang Maha Esa Sang Pencipta Alam. Dengan menyadari siapa diri kita ini dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, sudah semestinya kita harus senantiasa mengikuti aturan-aturan Tuhan. Dalam rangka merawat dan menjaga “kecantikan dunia� ini, maka harus dimulai dari diri sendiri sebagai jagad cilik karena bagaimana mungkin bila jagad cilik-nya sudah kotor dan selalu mengingkari aturan-aturan Tuhan akan dapat merawat dan menjaga jagad gedhe. Untuk itu diperlukan jurus khusus, yaitu watak tepa selira dan bisa rumangsa. Tepa selia artinya mampu mengukur diri sendiri, hingga mau menghormati orang lain. Bisa rumangsa berarti mampu merasakan hal-hal yang dirasakan pihak lain. Jika diri kita dicubit sakit, sebaiknya jangan mencubit orang lain, begitulah terapan konsep-konsep itu. dengan pengertian ini maka memayu hayuning bawana merupakan salah satu “aturan main� yang mendasar dalam pembinaan budi pekerti luhur karena didalamnya terkandung suatu sari dari hakikat kehidupan dan untuk apa manusia diciptakan. LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

Memayu hayuning bawana dapat dicapai melalui watak dasar perilaku yang disebut karyenak tyasing sesama. Artinya, perilaku yang berusaha menyenangkan pihak lain yang mendahulukan kebutuhan kolektif, dibanding kebutuhan kepentingan diri sendiri. Bagian penting dari pekerti memayu hayuning bawana adalah sepi ing pamrih dan rame ing gawe. Sepi ing pamrih adalah jurus jitu agar orang jawa benar-benar mampu menghias dunia. Sepi ing pamrih merupakan jiwa orang Jawa yang berkerja untuk keluarga, bekerja untuk masyarakat, bekerja untuk kemanusiaan atau untuk kesejahteraan dunia, tanpa mengharapkan imbalan. Asketisme Sebagai Wahana Memayu Hayuning Bawana Asketisme adalah tindakan mulia bagi orang Jawa untuk menuju pada tingkat kemanunggalan mistik. Asketisme dapat disebut juga semedi (meditasi). Semedi tidak lepas dari aneka tindakan ritual. Tiap-tiap ritual itu, memuat proses meditasi dimana memiliki tiga makna esensial. Pertama, tindakan meditasi orang Jawa biasanya dilakukan oleh paguyuban kejawen, memuat simbolisme mistik, dan kesatuan antara manusia dengan Tuhan. Kedua, semedi merupakan perwujudan refleksi struktur simbolik kosmologi Jawa. Ketiga, semedi dalam ritual biasanya terkait dengan aspek memayu hayuning bawana, berupaya mencapai kesuburan dan kesejahteraan. Tindakan semacam ini adalah suatu gambaran kosmogonik dalam reproduksi kosmos yang berpengaruh pada pelaku untuk mencapai ketentraman dan kesejahteraan. 129


Finayatul Maula # Book Review LoroNG Asketisme tidak mungkin lepas dari struktur kosmologi Jawa. Struktur kosmologi Jawa itu sebuah peta pemikiran jernih, untuk meneropong kehidupan. Dalam menjalankan asketisme, orang Jawa tekun bersemedi. Dalam hal apa saja, orang Jawa melakukan konsentrasi batin dengan cara semedi yang memiliki posisi penting, karena saat itu seseorang dapat menghubungkan dengan kekuatan Dzat dalam bentuk sakral. Tindakan asketisme oleh masyarakat Jawa sebagai wahana kontrol tatanan hidup manusia untuk mencapai kondisi bahagia dan tenteram. Hal itu berkaitan dengan kesabaran, ketulusan hati, tanpa protes, kejujuran, dan budi luhur. Memayu Hayuning Bawana dalam Konteks Ritual Jawa Banyak ritual dalam masyarakat Jawa, yang diarahkan untuk memayu hayuning bawana. Yakni, ritual sekaligus sebagai rasa eling. Eling adalah iman Jawa yang dibangun lewat aeka ritual Jawa, yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan dunia. Harmoni dunia akan menandai sebuah keteraturan kosmos. Keteraturan menjadi basis penentu hadirnya keselamatan. Banyak ritual yang digunakan oleh orang Jawa untuk bertindak memayu hayuning bawana. Ritual akan membangun rasa eling kepada Kang Marba Dumadi. Ritual merupakan proses negosiasi untuk mendapatkan keselamatan. Ritual dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan diri dengan makrokosmos. Jika orang Jawa eling terhadap keterkaitan makrokosmosmikrokosmos, dirinya akan semakin hatihati dalam bertindak. Eling merupakan 130

kesadaran total terhadap diri sendiri dan pihak lain. Kesadaran yang hakiki tersebut dimanifestasikan ke dalam ritual yang sakral. Slametan sebagai tindakan ritual yang memuat pesan memayu hayuning bawana, merupakan perwujudan adanya keyakinan orang jawa terhadap kekuatan lain di luar dirinya. Seluruh niat slametan, sebenarnya menuju pada ranah hidup setelah mati. Alam ini yang memesona pelaku, karena ada nuansa keabadian. Dunia abadi memang selalu misterius. Melalui selamatan, orang Jawa menaruh harap agar kelak dapat hidup damai (hayuning bawana), setelah mati. Hidup di dunia sekedar mampir ngombe, hingga ada hidup abadi. Ritual yang juga merupakan upaya memayu hayuning bawana, adalah menghormati leluhur. Konsep hormat diwujudkan dalam bentuk nyekar, membuat nisan (kijing), dan membersihkan kuburan. Kijing ada yang menyebut sebagai pemuliaan orang yang telah mati. Leluhur bagi orang Jawa menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan. Leluhur dalam kehidupan para mistikus merupakan hal istimewa. Terlebih bagi leluhur yang awalnya memiliki kedudukan tertentu, misalkan cikal bakal, pejuang, guru mistik, dan sebagainya. Keterkaitan antara leluhur, Tuhan, dan orang Jawa memang sangat dekat. Ketiganya senantiasa hadir dalam batin. Untuk memuliakan leluhur biasanya dengan berbagai sesaji. Sesaji merupakan simbol keterkaitan orang Jawa dan roh. Namun hakikat keterkaitan itu tidak lain mewujudkan sebuah interaksi manusia dengan Tuhan. Batin orang Jawa selalu muncul bahwa Tuhan yang murba (menguasai) baik dirinya maupun leluhur. LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Asketisme Hidup Orang Jawa Memayu Hayuning Bawana dalam Kehidupan Sosial Dalam kehidupan sosial, selalu diperlukan perilaku budi luhur. Yakni perilaku yang menuju pada hal-hal kedamaian dunia. Budi luhur adalah dasar filosofi kejawen, yang melandasi perilaku memayu hayuning bawana. Istilah dalam islam budi luhur disebut akhlakul karimah. Dalam hidup sehari-hari, dibutuhkan berbagai aturan, baik tertulis maupun non tertulis. Aturan dan norma itu disebut etika, untuk membingkai tindakan yang benar-benar memayu hayuning bawana. Selain budi luhur, sebagai terapan ajaran memayu hayuning bawana adalah gotong royong. Gotong royong merupakan cermin kehidupan sosial yang memuat tradisi guyub rukun. Tradisi ini akan memupuk persaudaraan. Dewasa ini, gotong royong yang menjadi teladan bagi masyarakat telah jarang dilakukan. Ketika gotong royong mulai dilindas individualisme, berarti upaya menyelamatkan dunia semakin pudar. Oleh karena hakikat hidup manusia, selain sebagai makhluk personal juga sebagai makhluk sosial. Kesadaran kolektif jauh lebih membahana, akan menyiratkan sinar kecerahan. Kalau hidup sudah individualistis, dunia menjadi sempit, dan terasa gelap. Di masyarakat Jawa, gotong royong merupakan ciri kebutuhan yang sangat diperlukan dalam kehidupan nyata yang dapat diterapkan untuk mengendalikan kebutuhan individualis yang lain. Gotong royong memang menghiasi dunia. Fenomena tersebut menjadi saksi kepedulian manusia. Nafsu manusia yang sebenarnya ego, dapat dipatahkan. Kerjasama yang menuju pada sisi kebaikan, memupuk rasa sosial satu sama LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013

lain. Persaudaraan dan komunalitas muncul dalam pergaulan sosial yang didukung kegotong royongan. Roh kebersamaan akan membangkitkan batin manusia untuk senantiasa menghargai satu sama lain. Terapan ajaran memayu hayuning bawana yang lain adalah sopan santun. Sopan santun Jawa merupakan cermin kehalusan budi. Sopan santun mengimplikasikan suasana kejawen tulen. Di dalamnya tampak ada suasan tata krama. Dengan sopan santun hubungan manusia menjadi tertata, tidak mengikuti kemauan sendiri. Harga humanitis amat dipertimbangkan dalam kehidupan sosial orang Jawaw. Dari berbagai strata sosial Jawa, jelas memiliki sopan santun yang dikenal halus. Orang yang jauh dari sopan santun, akan dinyatakan belum Jawa atau bahkan tidak Jawa. Jawa dalam konteks ini mengindikasikan sebuah peradaban yang saling menghargai satu sama lain. Sopan santun akan membingkai hubungan sosial. Sopan santun akan membentuk watak seseorang lebih arid menghadapi orang lain. Aktualisasi Memayu Hayuning Bawana Dalam hal ini, yang digambarkan adalah riak-riak embun ketika memasuki dunia penghayat. Penghayat kepercayaan kejawen, ternyata sebuah komunitas yang benar-benar unik. Mereka dengan gigih mempertahankan hidup menuju konsepsi memayu hayuning bawana. Penghayat merupakan fenomena sosiokultural yang andal ketika berhadapan dengan godaan duniawi. Konsistensi penghayat kepercayaan kejawen untuk selalu memegang teguh laku 131


Finayatul Maula # Book Review LoroNG memayu hayuning bawana, sulit diragukan lagi. Umumnya penghayat kepercayaan justru tidak mudah tergoda oleh kegerlapan duniawi. Mereka berusaha membantu aktivitas sosial agama lain baik dalam hal suka maupun duka. Penghayat juga sering mengundang agama lain pada ritual-ritual seperti malem siji sura dan peringatan ulang tahun berdirinya paguyuban. Penghayat pernah mengumpulkan agama lain yaitu Islam, Kristen, Katolik dan Hindu untuk melakukan doa bersama demi keselamatan hidup. Melalui acara itu, penghayat mencoba mempertahankan diri, dengan memberikan penjelasan ke publik, bahwa mereka tidak menyembah kayu watu, melainkan menghayati ketuhanan. Penghayatan ketuhanan berpedoman pada budi luhur, yang diyakini bahwa melalui proses pendumadian, hidupnya akan selalu tersinari sifat Tuhan yang luhur. Toleransi antar penghayat dengan pemeluk agama lain, bertujuan untuk selalu ngrengkuh, artinya anti pertentangan. Perlawanan batin sengaja dihindari agar konflik terminimalisir. Pada saat demikian, berarti yang diupayakan memang selalu memayu hayuning bawana, selalu memerhatikan keselamatan dengan sesama. Biarpun nuansa kehidupan penghayat tampak sinkretis, hidup dengan penuh polesan-polesan dan seni sosial, agar hidupnya senantiasa bebas dari prasangka jelek. Rekontekstualisasi Memayu Hayuning Bawana

ternyata paguyuban itu juga menjalankan tapa ngrame dalam bentuk pengobatan tradisional. Tapa ngrame semacam ini sebagai pekerti tolong menolong tanpa pamrih seperti ajaran yang telah mereka terima ketika tirakat di puncak gunung. Betapa tingginya budi luhur penghayat, hingga biarpun yang berobat itu orang kaya, tetap tidak ditarik biaya. Meski tak jarang pula banyak orang-orang yang telah diobati memberi amplop, hadiah, kebutuhan seharihari dan sebagainya, kalau dihubungkan dengan konsep Mauss ternyata menjadi “keharusan� untuk melakukannya. Orang Jawa sering menyebut hal itu terkait dengan harga diri, serta memunculkan budaya malu, jika tidak tahu balas jasa. Pemberian ucapan tersebut tampak tanpa diduga sama sekali oleh keluarga penghayat. Jika pemberian itu ditolak, tentu akan menyebabkan hubungan mereka kurang enak. Maka dengan rendah hati penghayat pun menerimanya. Pekerti tidak minta upah ketika mengobati, sebaliknya mau menerima pemberian yang diobati, merupakan pekerti sosial yang sepi ing pamrih sebab penghayat sengaja atau tidak telah menanggalkan hasrat manusiawi, untuk bekal menuju alam transdental. Dengan memayu hayuning bawana, berarti kita bukan saja mensyukuri atas nikmat karunia yang diberikan kepada manusia namun juga merupakan wujud tanggung jawab dan bakti serta kecintaan kita kepada Sang Pencipta Alam Semesta Gusti Kang Murbeng Dumadi.

Setelah mempelajari bagaimana penghayat di masyarakat yang berhadapan dengan riak-riak embun di atas daun, 132

LoroNG, Volume 3 Nomor 1, November 2013


Info Penerimaan Naskah Jurnal LoroNG ISSN 1829-2945

Redaksi Jurnal LoroNG (Journal of Social Cultural Studies) Lembaga Kajian, Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa menerima naskah untuk diterbitkan pada edisi berikutnya. Untuk manual penulasan naskah di Jurnal LoroNG sebagaimana ketentuan berikut: 1. Jumlah halaman antara 15-20 halaman untuk Artikel Fokus Tematik, Tamu LoroNG, Artikel Lepas LoroNG, Riset LoroNG dan 5-7 halaman untuk Book Review, ukuran kertas A4, spasi 1,5, font Times New Roman size 12. 2. Naskah minimal memuat: Artikel Fokus Tematik, Tamu LoroNG, Artikel Lepas LoroNG,meliputi: judul (sesuai dengan tema edisi terbit), abstrak, kata kunci, nama penulis, pendahuluan, pembahasan, penutup, dan daftar pustaka; Riset LoroNG, meliputi: judul, abstrak, kata kunci, nama penulis, pendahuluan, kajian teori, hasil penelitian, kesimpulan, daftar pustaka; Rubrik Book Review, meliputi: judul, nama penulis buku, tempat dan nama penerbit, tahun terbit, tebal halaman, penerjemah (jika ada), hasil kajian, kesimpulan. 3. Naskah harus menyertakan abstrak (berbahasa Inggris dan/atau Indonesia), 150-200 kata dan 3-5 keywords (kata kunci), kecuali book review. 4. Semua tulisan menggunakan metode penulisan ilmiah dengan catatan kaki (footnote) dan mencantumkan daftar pustaka (bibliography) di belakang tulisan. 5. Penulis menyerahkan naskah asli dalam bentuk hard file dan soft file (dalam bentuk *.rtf). 6. Setiap karya yang terbit akan mendapat imbalan dari redaksi. Penulis berminat bisa dikirimkan ke Kedai Sinau LKP2M Gedung SC Lt.1 UIN Maliki Jalan Gajayana 50 Malang 65144 atau ke: lkp2muinmaliki@gmail.com, CP: Redaksi [War’i | 087885299216]


Volume 1, No. 1

Volume 2, No. 1

Volume 1, No. 2

Volume 2, No. 2




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.