Warta Paroki Emmanuel Sukadana

Page 1

DESEMBER 2017 JANUARI 2018

E D I S I

WARTA PAROKI E M M A N U E L S U K A D A N A

NATAL

DALAM SENDU

Nek Doyan Memupus Rasa Sendu dengan Tradisi



ADIL KA’ TALINO

BACURAMIN KA’ SARUGA

BASENGAT KA’ JUBATA


DAFTAR ISI I

COVER

ii

TYPOGRAFI

iii

DAFTAR ISI

iv

REDAKSIONAL PROFIL

1

AYAH : Terjadilah Padaku Menurut Kehendak-mu

KISAH 7

12

NATAL DALAM SENDU Nek Doyan Memupus Rasa Sendu dengan Tradisi PANGGILAN ITU MENGGEMBIRAKAN Perjalanan Pelayanan dalam Masa TOP

BUDAYA 14

KAMPUNG TRANSMIGRAN BALI Ketenangan di Desa Sedahan Jaya

17

TUAK Tradisi Minum Tuak ala Suku Dayak

19

HENGKI : Permainan Tadi Punya Makna

22

KOMPAK DARI ESTAFET KELERENG

SEPUTAR KKN CERITA FOTO WEEKEND LIST 27

AKHIR PEKAN DIAKHIR TAHUN

29

BACKCOVER


REDAKSIONAL PENANGGUNG JAWAB Ir. Y. Hendra Suryadharma, MT. PENASEHAT RP. Damasus Jehaut, CP PEMIMPIN UMUM Christian Wahyu Prabowo PEMIMPIN REDAKSI Ambrosius Dwiwahyu R. H. REDAKTUR PELAKSANA Elizabeth Florence Warikar REPORTER Elizabeth Florence Warikar Rudolf Aji Sigit Prasetya FOTOGRAFER Elizabeth Florence Warikar Rudolf Aji Sigit Prasetya Frater Yanri Muni, OAD LAYOUTER Rudolf Aji Sigit Prasetya KONTRIBUTOR Frater Yanri Muni, OAD


Teks & Foto : Flo Warikar

AYAH :

K

#PROFIL

Terjadilah Padaku Menurut Kehendakmu-Mu

alimantan, menjadi pulau tempat saya berteduh. Berteduh dari segala masalah kehidupan yang menyayat hati saya. Ya, saya bukanlah orang Kalimantan asli. Saya berasal dari pulau seberang, yang kata kebanyakan orang adalah pulau penghasil rezeki. Kenalkan, nama saya Utmiati. Pulau Jawa, tepatnya di Malang, Jawa Timur adalah tanah kelahiran saya 42 tahun yang silam. Bagi saya, Malang pernah menjadi kampung halaman yang selalu saya rindukan. Bagaimana tidak? Saya lahir dan dibesarkan oleh keluarga yang selalu membuat saya tersenyum bahagia. Namun, semuanya telah sirna. Kebahagiaan keluarga saya lenyap begitu saja di tangan orang-orang yang tak punya hati.

1

Rosalia Utmiati

WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA

Ketika itu saya sudah menikah dengan seorang lelaki asli Suku Dayak Ope bernama Anton. Umur kami terpaut begitu jauh, sekitar 23 tahun. Namun, dia lah yang setia menguatkan hati saya sampai detik ini untuk tetap melanjutkan perjalanan hidup. Menguatkan hati saya karena perbuatan mereka. Mereka yang sampai detik ini bahkan tidak saya ketahui identitas maupun keberadaannya. Tahun 2001 menjadi tahun terberat dalam kehidupan saya. Tak mampu untuk mengingatnya secara detail. Tepatnya ketika saya hamil anak kedua. Kejadian ini menjadi pengalaman terburuk dalam hidup saya. Permasalahan mengenai kepemilikan


tanah ini pun berakhir tragis. Pada waktu itu, ayah kandung saya disiksa oleh banyak orang menggunakan b a m b u r u n c i n g s a m p a i menghembuskan nafas terakhirnya. Entah apa yang ada di pikiran mereka sampai tega membunuh sesamanya manusia dengan begitu keji. Saat itu tak banyak hal yang bisa saya lakukan. Mereka jauh lebih kuat dari saya bahkan dari anggota keluarga saya yang pada waktu itu juga ada di tempat kejadian. Selain itu, kondisi kehamilan saya juga tidak memampukan saya u n t u k m e n o l o n g ay a h . M e ra s a bersalah? Tentu saja, begitu menyayat hati. Ketika itu, saya menganggap bahwa manusia menjadi mahluk yang justru tidak punya hati. Yang saya ingat betul dari kejadian itu adalah kata-kata terakhir yang diucapkannya. “Ya Bapa, terjadilah padaku menurut perkataanMu�, setelah itu, ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. “Ya Bapa, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu�, kalimat yang tak pernah saya dengar sebelumnya. Namun, entah mengapa, tiap hari setelah kejadian tersebut, saya selalu teringat dengan kalimat itu. Ayah saya pun pada akhirnya kami makamkan secara muslim. Ya, saya memang disebasarkan oleh keluarga muslim. Kejadian tersebut juga membuat harapan saya pupus. Awalnya, saya berniat untuk membangun keluarga kecil saya ini di Jawa. Menetap, mencari nafkah dan hidup di tanah kelahiran saya. Namun apa boleh buat, kejadian tersebut berhasil membuat hidup saya menjadi gelap dan suram. Harapanharapan indah semuanya telah sirna. Tak lama dari kejadian itu pun, saya memutuskan untuk meninggalkan Ma l a n g . Ya , s aya m e m i l i h u nt u k menetap dan tinggal di Pontianak.

Sebenarnya pada waktu itu saya tidak tahu harus tinggal dimana, bekerja sebagai apa dan lain sebagainya. Namun, saya yakin, dengan pindah ke Pontianak yang tak lain sudah beda pulau dengan Malang, hidup saya akan lebih berwarna. Saya pindah ke Pontianak dalam keadaan hamil besar. Belum lama tinggal di Pontianak, saya harus melahirkan anak kedua. Masalah terus saja datang dalam hidup saya. Entah apa yang saya perbuat dan entah dosa apa yang pernah saya lakukan selama hidup ini. Mungkin karena terlalu kepikiran tentang kematian ayah saya lah yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan janin saya kurang baik. Anak saya terlahir selamat namun perlu penanganan khusus selama hidupnya. Saya masih bersyukur karena anak saya yang kedua boleh hidup sampai 13 tahun. Bagi saya, 13 tahun itu m e n j a d i t a h u n ya n g c u k u p b a g i kehidupan anak saya. Mengingat kondisinya yang memprihatinkan. Saya yakin, sekarang anak saya jauh lebih bahagia bersama Tuhan di surga. Waktu terus berjalan dan saya masih tetap berada di Kalimantan. Pulau yang membuat saya nyaman untuk menjalani kehidupan ini. Selama berada di sini, saya membantu suami untuk membiayai hidup dengan menjadi asisten rumah tangga, buruh cuci baju dan setrika. Semua saya lakukan dengan bahagia. Cukup, menjadi pedoman hidup saya, karena cukuplah yang justru membuat saya bisa hidup sampai saat ini. Tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Seiring dengan berjalannnya waktu, suami saya mengajak untuk pindah ke kampung halamannya. Ya, memang kampung halaman suami saya bukan di Pontianak. Suami saya berasal dari Si k u c i n g Ku a l a n , Si m p a n g Hu l u , WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA

2


Ketapang, Kalimantan Barat. Butuh sekitar empat jam menempuh perjalanan darat dari Pontianak menuju Sikucing Kualan. Kami pun akhirnya memutuskan untuk pindah dan menetap di Sikucing Kualan. Kiranya sekitar enam tahun lamanya saya tinggal di Sikucing Kualan. Selama enam tahun itulah, saya dipertemukan dengan Thomas yang tak lain adalah tetangga kami. Thomas sering berbagi cerita kepada kami dan entah mengapa lama-lama kami juga menjadi nyaman untuk menceritakan permasalahan hidup yang pernah kami alami. Tentu, tidak mudah untuk menceritakan luka lama. Namun, saya pribadi memilih untuk menceritakannya supaya saya juga bisa lebih baik menjalani hidup selanjutnya. Ketika itu Thomas banyak berbagi cerita maupun memberikan solusi dengan pandangan agamanya. Ia beragama Katolik. Jujur, saya tak tahu apa-apa tentang agama itu. Sama sekali tidak pernah terpikir ataupun ingin tahu tentang agama itu. Saya merasa bahwa diri sendiri pun belum begitu paham dengan agama sendiri dan untuk apa mengetahui ajaran lain. Sebenarnya Thomas tidak pernah memaksa saya untuk menceritakan permasalahan hidup keluarga saya. Ia hanya bilang “Jangan menyimpan dendam, belajar untuk mengampuni dan cobalah terbuka, bukan pada saya tetapi pada Yang Mahakuasa”. Saya tak b e g i t u p a h a m d e n g a n a p a ya n g dikatakan oleh Thomas. Seiring dengan berjalannya waktu, saya paham apa maksud dari Thomas. Banyak hal yang pada akhirnya membuat saya paham dengan kalimat sederhana dengan makna yang begitu dalam. Selama tinggal di Sikucing Kualan pula, saya terus belajar untuk memaafkan. Ya, memaafkan mereka yang sudah tega terhadap ayah kandung saya. sederhana dengan makna yang begitu dalam.

3

WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA

Selama tinggal di Sikucing Kualan pula, saya terus belajar untuk memaafkan. Ya, memaafkan mereka yang sudah tega terhadap ayah kandung saya. Tak lagi menjadi asisten rumah tangga, saya beralih untuk membuka usaha kecil-kecilan yaitu pesanan kue. Saat itu, gereja yang tepat berada di belakang rumah saya sedang memiliki acara yang cukup besar. Salah seorang tetangga saya yang tak lain adalah umat dari gereja tersebut meminta bantuan saya untuk membuatkan kue sebagai hidangan dalam acara. Tanpa berpikir lama, saya langsung menerima rezeki tersebut. Hujan lebat menyelimuti desa kami dan saya tetap asyik membuat kue pesanan. Belum selesai membuat kue, saya tergerak untuk melihat keadaan gereja yang ada tepat di belakang rumah saya. Penasaran. Satu kata itu lah yang mewakili saya sampai tergerak untuk mau berkunjung ke rumah ibadat agama lain. Ta n p a b e r l a m a- l a m a , s ay a langsung mengajak suami untuk menemani ke gereja. Spontan, suami saya menolak. Ia heran melihat saya dengan permintaan yang aneh. Namun saya terus merengek dan pada akhirnya ia mau menemani saya ke gereja. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, ketika itu sedang hujan. Kami tetap menuju gereja dan setelah sampai di depan, kami tertegun melihat altar dari luar gereja. Akhirnya, kami pun bertanya pada salah seorang yang ada di situ. “Permisi. Apa kami boleh masuk?” tanya kami. “Tentu saja. Silakan.” jawabnya dengan begitu ramah. “Namun kami ini bukan Katolik. Kami beragama Muslim.” dengan ragu kami mencoba untuk terbuka.


Kedua anak Utmiati yaitu Ica (kiri) & Dewit (kanan) yang selalu tersenyum ketika di depan kamera.

“Gereja ini terbuka bagi siapa saja yang datang. Syaratnya hanya satu, saling menghormati saja satu sama lain.” jawabnya masih dengan senyuman tulus.

Malam itu badan saya terasa begitu lelah. Saya memutuskan untuk segera tidur. Seperti biasa, ketika tidur saya selalu bermimpi. Namun, mimpi kali ini berbeda dan cenderung aneh. Saya terbangun dengan detak jantung yang berdegup begitu kencang. Keringat mengucur di tubuh saya. Mimpi ini benar-benar aneh, bahkan seolah nyata. Saya bertemu dengan seorang ibu di persimpangan jalan.

Ta k ra g u , ka m i b e rd u a a k h i r nya memasuki gedung itu. Ya, gedung gereja yang ada tepat di belakang rumah kami. Kali pertama untuk melihat seisi gereja. Te n t u n y a , b a n y a k b e n d a - b e n d a m a u p u n g a m b a r- g a m b a r y a n g sebelumnya belum pernah saya lihat. Setelah beberapa menit berada di tempat itu, kami pun bergegas untuk kembali ke rumah dan melanjutkan aktivitas kami yang sempat tertunda.

“Mau kemana?” tanya ibu yang ada dalam mimpi saya itu. “Mau ke ujung jalan di sana.” dengan mantap saya menjawabnya.

Hari demi hari berlalu. Banyak hal pula yang sudah saya lakukan. Menjalani rutinitas seperti biasa. Dan Puji Tuhan, saya telah mengandung anak ketiga kami. Rasa syukur benar-benar saya ungkapkan kepada Tuhan karena mempercayakan saya kembali untuk mengandung.

Ibu itu pun membiarkan saya terus berjalan menuju ujung jalan. Sesampainya di sana, saya melihat dua pintu yang membuat saya kebingungan. Mana yang harus saya buka. Karena keraguan itu, saya menempelkan telinga saya untuk mendengar situasi yang terjadi di balik kedua pintu tersebut. WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA

4


Rumah panggung sederhana kediaman Utmiati.

Pintu pertama, yaitu pintu sebelah kanan. Suara yang saya dengar saat itu adalah suara gemercik air. Seolah ada sungai dan taman yang begitu sejuk. Layaknya yang ada di gambar anak-anak TK atau SD. Bahkan juga seolah ada sungai dan taman yang biasanya ada di ďŹ lm-ďŹ lm kartun. Setelah mendengar jelas suasana di balik pintu sebelah kanan, saya pun penasaran dengan suara yang ada di pintu sebelah kiri. Pintu kedua, tentu ini pintu sebelah kiri. Tak berbeda dengan sebelumnya, hal yang pertama saya lakukan adalah menempelkan telinga saya pada pintu itu. Terdengar suara yang begitu berisik dan terkesan meminta tolong. Sangat berbeda dengan apa yang saya dengar di pintu sebelumnya. Tak ada ketenangan di pintu sebelah kiri. Mungkin inilah yang membuat saya terbangun. Keesokan harinya, saya masih kepikiran dengan mimpi semalam. Saya pun menceritakannya pada bibi dan

5

WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA

paman. Namun, jawaban mereka justru membuat saya semakin takut. “Biasanya yang mimpi seperti itu, akan meninggal dalam waktu dekat.� kata mereka. Sontak saya bukannya merasa tenang tetapi semakin kepikiran dengan tanggapan mereka. Sampai pada akhirnya ada seminar karismatik. Seminar yang menjelaskan mengenai berbagai macam hal tentang kehidupan. Tidak sekadar datang saja, namun saya benar-benar menyimaknya dengan seksama. Banyak hal baru yang saya dapatkan dalam seminar itu. Dan lagilagi, itu adalah seminar orang-orang beragama Katolik. Namun entah mengapa, saya sangat terarik untuk mengikutinya. Setelah mengikutinya, saya merasa tenang dan bisa melanjutkan rutinitas tanpa bayangbayang ketakutan. Beberapa hari setelah mengikuti seminar itu saya mendapatkan mimpi yang aneh lagi. Saya dipertemukan dengan sosok yang begitu terang dan mengahmpiri saya. Tenang sekali


rasanya berada di sampingnya. Bahkan suasana tempat kami bertemu pun sangat syahdu. Tanpa sungkan saya pun memintanya supaya mengizinkan saya untuk tinggal di tempat itu. Namun apa boleh buat, ia tidak mengizinkannya. Katanya ini belum waktunya untuk tinggal di tempat itu. Saya pun terbangun kaget dan bingung dengan mimpi itu. Entah apa maksudnya dan siapa sosok itu. Sejak mimpi kedua ini, saya justru semakin penasaran dengan ajaran agama Katolik. Saya benar-benar penasaran dan seolah untuk mendapatkan maksud mimpi itu bisa saya temukan di ajaran agama ini. Akhirnya, saya memutuskan untuk berdiskusi dengan suami saya. Alhasil, kami justru cekcok karena menurutnya ajakan saya untuk pindah agama adalah hal yang aneh. Namun, tak lama kemudian, suami saya menyetujui keputusan “aneh� tersebut. Bahkan suami saya pun ikut memilih untuk beralih ke agama Katolik. Perjuangan kami pun tidak berhenti sampai sini. Kami harus m e m i nt a i z i n ke p a d a i b u u nt u k memutuskan suatu hal yang cukup berat dan sensitif ini. Perlahan mencoba untuk menjelaskan dengan segala konsekuensi yang akan kami hadapi ke depannya. Puji Tuhan, ibu menyetejui keputusan kami. Menurutnya semua agama dengan ajarannya masingmasing baik adanya. Semua tetap ada di tangan manusia masing-masing, bagaimana menyikapinya dan bagaimana perilaku yang kita pilih untuk menjalani kehidupan ini.

Utmiati dan suami saya Zakaria Anton. A n a k p e rt a m a s ay a m a s i h s ay a bebaskan untuk memilih agama yang mau ia ikuti. Pesan saya hanya satu, yaitu selalu ingat kepada Tuhan dan selalu bersyukur. Berbeda dengan anak saya yang ketiga. Ia langsung saya baptiskan ketika masih bayi. Maka secara otomatis, anak ketiga saya juga beragama Katolik. Kurang lebih sekitar dua tahun setelah itu. Anak pertama saya juga memilih untuk menjadi pengikut Yesus. Menjadi umat Katolik. Tak ada paksaan apa pun dari saya maupun suami, karena kami juga tidak pernah dipaksa oleh orang tua untuk menentukan jalan kehidupan ini. Saya mulai rajin untuk datang ke perayaan ekaristi maupun ibadat sabda. Dan dengan berjalannya waktu pula. Saya mendapatkan jawaban dari rasa penasaran saya. Kalimat terakhir yang disebutkan oleh ayah saya sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. “Terjadilah padaku, menurut kehedakMu.� Kalimat itu akhirnya saya temui dalam ajaran agama ini dan pada akhirnya saya pun bisa memaknainya. Bahwa segala yang kita punya di dunia ini, segala yang kita rencanakan, segala yang kita alami adalah kehendak-Nya. Maka kunci dari kehidupan adalah bersyukur. Melalui rasa syukur itulah hidup menjadi lebih nyaman, damai dan bahagia.

Akhirnya tepat pada tahun kelahiran anak saya yang ketiga. Tepatnya tahun 2009, saya dan suami resmi menjadi umat Katolik. Kami akhirnya di baptis secara sah oleh gereja. Nama saya menjadi Rosalia WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA

6


S

alah satu hari spesial bagi umat kristiani adalah Hari Natal. Hari yang selalu ditunggu-tunggu, karena hari itulah biasanya diadakan kumpul keluarga untuk merayakan bersama. Tahun-tahun sebelumnya memang seperti itu adanya. Menunggu Hari Natal tiba dan merayakannya bersama keluarga, paling tidak bersama orang tua. Namun apa boleh buat, hari ini semuanya berbeda. Sinar matahari yang masuk lewat sela-sela jendela yang terbuat dari kayu jati itu membuat silau mata saya pagi ini. Membuka mata dan ternyata saya sedang berada dalam realita kehidupan. Realita dimana saya bangun di kamar salah satu Orang Muda Katolik (OMK) di Kepayang bernama Maya. Kepayang merupakan salah satu stasi yang berada di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Ya, rupanya Natal kali ini tak bisa saya rayakan bersama orang-orang terdekat. Bahkan tidak ada sinyal sedikit pun di ponsel saya. Itu artinya, sekadar mengucapkan Selamat Hari Natal kepada keluarga maupun kerabat juga tak bisa. Natal kali ini benarbenar beda. Merayakan dengan lingkungan, tradisi dan orang-orang baru. Jika ada yang bertanya “apa kau bahagia?â€?, tentu saya ragu untuk menjawabnya. DeďŹ nisi bahagia seperti apa yang harus saya ungkapkan untuk menjawab pertanyaan itu? Perayaan Natal kali ini saja tidak saya sambut dengan Ekaristi Kudus seperti biasanya. Maklum, hanya ada seorang pastor di Paroki Sukadana. Tentu, dalam perayaan hari besar seperti ini, pastor harus memimpin ekaristi di paroki. Sedangkan saya, berada di stasi yang jaraknya sekitar 42 km dari pusat paroki. Maka mau tidak mau, Natal kali ini saya

7

WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA

NATAL

DALAM SENDU


hanya mengikuti Ibadat Sabda yang dipimpin oleh seorang Frater. Natal kali ini serba tidak seperti “biasanya”. Hari ini tanggal 24 Desember 2017. Tepatnya Hari Minggu, pukul 06.00 WIB. Setelah betul-betul sadar dengan realita ini, saya bergegas menuju tas ransel yang saya taruh di sudut kamar dekat pintu. Mengambil pakaian yang akan saya kenakan untuk ibadat di kapel pagi ini. Tak lupa pula handuk dan segala perlengkapan mandi lainnya. Melangkah menuju pintu, membuka gorden yang menyelimuti pintu kamar dan menemukan senyuman ramah dari tuan rumah. Beruntung rasanya. Setidaknya senyuman itu menjadi pelipur lara atas kesenduan saya pagi ini. “Selamat pagi, saya numpang mandi ya May.” pinta saya. “Iya kak, silakan.” jawabnya sambil menyapu lantai rumah. Ketika berjalan menuju kamar mandi, saya bertemu dengan anggota keluarga Maya lainnya. Ada ibu dan bapaknya serta adik-adiknya yang juga baru saja memulai rutinitas mereka. Tak lupa saya menyapa mereka dan tak lupa meminta izin untuk menumpang mandi.

Persiapan Natal di Paroki Sukadana. (Flo Warikar)

#KISAH

Nek Doyan Memupus Rasa Sendu dengan Tradisi

Langkah kaki saya semakin cepat menuju kamar mandi, mengingat hanya ada satu kamar mandi. Jam sudah menunjukan pukul 06.15 WIB dan belum semua anggota di rumah ini sudah mandi. Itu artinya saya harus bergegas mandi supaya kamar mandinya bisa digunakan secara bergantian. Setelah selesai mandi, saya langsung disuruh sarapan oleh Maya. Memang terlihat makanan sudah siap disajikan di lantai dapur rumah itu. Sebenarnya ada rasa canggung dan kurang enak dengan pemilik rumah. Seolah berada di rumah sendiri saja saya ini, bangun, mandi kemudian langsung sarapan tanpa membantu untuk menyiapkannya. Namun, Frater Yandri, Aji (teman KKN saya) dan Maya pun sudah siap untuk berdoa makan

Teks : Flo Warikar

WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA

8


bersama. Maka mau tak mau, setelah menaruh semua perlengkapan mandi di kamar, saya langsung ikut bergabung untuk sarapan. Menu sarapan pagi ini cukup sederhana, ada telur dadar dan tempe goreng. Akan tetapi rasanya begitu nikmat. Mungkin karena momen kebersamaan saat makan itulah yang jarang sekali saya alami ketika berada di Jogja. Setelah selesai sarapan, kami langsung bergegas menuju Kapel Kepayang yang tak terlalu jauh jaraknya dari rumah Maya. Setelah sampai di kapel, pintu belum dibuka. Bahkan belum ada satu umat pun yang terlihat di sekitar kapel itu. Tentu saja, dalam benak saya timbul rasa kecewa dan lagi-lagi membandingkan dengan suasana persiapan natal biasanya. Saya sadar bahwa ini adalah kebiasaan buruk dalam hidup saya. Namun, benar adanya. Itulah yang saya rasakan. Menunggu sekitar 30 menit lamanya, akhirnya satu per satu umat pun berdatangan. Ramai juga ternyata. Kursi kapel pun penuh terisi. Akhirnya, rasa kecewa itu terkikis dengan kedatangan umat yang cukup banyak. Ibadat Sabda berjalan lancar seperti biasa. Petugas koor, bacaan, mazmur Acara Api Unggun di Nek Doyan. (Aji Prasetya) maupun persembahan pun terlihat sudah mempersiapkan sedemikian rupa. Bahkan Ibadat Sabda di kapel ini terasa lebih meriah karena koor diiringi oleh organ. Setelah selesai, kami memutuskan untuk berkunjung ke rumah Bapak Agus Ahui. Ia adalah katekis yang sangat aktif di Paroki Sukadana. Biasanya ia lah yang menemani Romo, Frater atau Bruder ketika melakukan pelayanan ke stasi-stasi yang jarak cukup jauh dan sulit. Namun, beberapa bulan terakhir, kondisi kesehatannya kurang baik. Maka mau tak mau, ia harus lebih banyak menggunakan waktunya untuk beristirahat di rumah. Menghabiskan waktu sampai sore tiba di rumah Pak Agus. Ibadat Sabda Malam Natal pun akan segera dimulai. Saya bergegas untuk mempersiapkan diri, menyambut kelahiran Tuhan Yesus yang sekali lagi tidak seperti biasanya. Ya, tanpa keluarga maupun orang-orang terdekat dalam hidup saya. Kali ini seolah saya merayakannya sendiri.

9

WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA


Umat yang datang jauh lebih banyak daripada pagi tadi. Mungkin karena ini sudah malam natal tapi entahlah, saya juga tak tahu pasti apa penyebabnya. Satu hal yang jelas, saya merasa sedikit terhibur dengan kehadiran banyak umat yang ada di Kepayang. Bahkan dekorasi kapel yang mendukung mampu menjadi pelipur lara malam natal kali ini. Ibadat Sabda berlangsung kurang lebih selama dua jam. Setelah ibadat, Frater Yandri mengajak kami untuk berkunjung ke kapel yang berada di stasi sebelah. Nek Doyan, begitulah nama stasi yang letaknya enam kilometer dari Kepayang ini. Ternyata perayaan Ibadat Sabda Malam Natal di Nek Doyan yang dipimpin oleh Bruder Martinus ini belum selesai. Akhirnya, kami menunggu kurang lebih 15 menit di area kapel sampai ibadat selesai. “Marilah kita pergi, kita diutus.�

Pesta Kembang Api di Nek Doyan. (Aji Prasetya)

Kalimat itu sudah diucapkan oleh Bruder Martinus, itu artinya perayaan Ibadat Sabda Malam Natal telah usai. Tak membutuhkan waktu lama, kami langsung bergegas menuju kapel dan m e n g h a m p i r i b r u d e r. S e t e l a h menghampirinya, kami pun berjalan menuju rumah adat yang berada tepat di depan kapel. Rupanya ada perayaan Malam Natal di rumah adat itu.

Rumah adatnya cukup lebar dan memanjang. Semua masih terbuat dari kayu sekalipun itu lantai. Layaknya rumah panggung khas Kalimantan pada umumnya. Hanya saja, rumah adat itu disediakan memang sebagai tempat untuk mengadakan acara-acara seperti malam ini. Acara malam ini di awali dengan doa bersama yang dilanjutkan dengan makan bersama. Uniknya, makanan yang kami santap adalah makanan yang dibawa dari setiap keluarga. Mulai dari nasi, sayur, lauk pauk sampai makanan ringan seperti kue kering dan kue basah. Unik dan berhasil membuat saya mulai bisa merasakan kehangatan nuansa malam natal. Sembari makan, masih ada pula acara lain seperti pentas seni dan berjoged bersama. Seru. Satu kata itu yang mewakili semua rangkaian acara malam ini. Benar-benar di luar dugaan saya.

WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA

10


Umat Stasi Nek Doyan bersiap untuk makan dalam acara “Nasi Sayuk” di rumah adat. (Flo Warikar)

Melalui acara inilah saya bisa melihat bahkan ikut bergabung dengan tradisi yang selama ini masih terus mereka lakukan tiap tahunnya. Mulai dari penampilan tarian adat, tradisi mengumpulkan “nasi sayuk” sampai pada joged bersama. Tidak memandang orang tua, muda atau anak-anak. Semua berkumpul menjadi satu dan berjoged bersama. Ya, semuanya itu seru. Acara malam ini betul-betul berhasil memupuskan rasa sendu saya di perayaan Malam Natal tahun ini. Tidak bersama keluarga maupun orang-orang terdekat namun bersama keluarga baru dan orangorang baru yang didekatkan Tuhan pada hari ini. Nek Doyan juga telah menyadarkan saya bahwa di Hari Natal memang semuanya serba baru. Akan tetapi yang saya maksud bukan baju atau sepatu baru melainkan keluarga, suasana, tradisi dan kebahagiaan baru. Tentu kebahagiaan kali ini benarbenar baru, kebahagiaan yang ditularkan melalui senyuman tulus dan sambutan hangat dari seluruh umat Stasi Nek Doyan. Terima kasih banyak Nek Doyan.

11

WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA


PANGGILAN

ITU MENGGEMBIRAKAN #KISAH Perjalanan Pelayanan dalam Masa TOP (Tahun Orientasi Pastoral) Oleh : Frater Yanri Muni, OAD

M

enjalankan masa TOP (Tahun Orientasi Pastoral) adalah sebuah refleksi hidup yang harus dimaknai dengan baik oleh seorang calon imam. Panggilan untuk menjadi seorang imam adalah sebuah pilihan yang direfleksikan sebagai sebuah perjuangan hidup yang selama ini diperjuangkan. Sebelum menjadi imam, haruslah terlebih dahulu menjadi orang baik karena pribadi yang baik menggambarkan siapa calon imam itu ketika berada ditengah-tengah umat. Kurang lebih sudah tiga bulan saya berada di Paroki Emmanuel Sukadana. Walaupun baru tiga bulan tapi sungguh saya bahagia dalam proses pengabdian diri di masa TOP ini. Ini merupakan sebuah partisipasi terindah dalam goresan hidupku. Situasi di sekitar lingkungan Gereja ini tidak jauh berbeda dengan dilingkungan sebelumnya yaitu Komunitas OAD (Ordo Agustinus Discalced) di Bandung. Keluarga dan bertetangga dengan saudara-saudara muslim, doa-doa yang dilantunkan oleh u m at Mu s l i m s u d a h t i d a k a s i n g ditelingaku. Perbedaannya disini adalah perjuangan untuk menemukan Allah dalam ketenangan ataupun keheningan. Doa sendiri, misa pagi pun hanya berdua (aku sama romo), pokoknya benarb e n a r s i l e n t i u m m a g n u m (a l i a s mencintai keheningan). Perjalanan dalam menyusuri panggilan “cinta” ini sungguh menggembirakan. Menggembirakan karena berjumpa dengan umatMu. Terutama saat turney

Frater Yanri Muni, OAD. (Flo Warikar)

ke stasi-stasi. Sudah beberapa kali saya melakukan turney terutama pelayanan ibadat sabda ke stasi-stasi sekalian visitasi dengan umat-umat. Mengarungi lumpur, menembus kegelapan, wajah yang hitam berubah menjadi putih karena debu dan itu semua adalah kisah kasih nan indah pada saat turney ke stasi-stasi. Beberapa kali rasa letih dan hampir hilang spirit oleh karena jarak dan kehadiran umat yang semakin minim. Namun Engkau masih membimbingku, menyalakan kembali pelita hatiku yang hampir redup untuk bangkit. Semangat ini kusyukuri. Kalau kurenungkan disinilah menjadi klop spiritualitas OAD, kontemplatifa k t i f. B a h w a a d a k e s e m p a t a n kesempatan dalam seminggu itu untuk menyepi, menyendiri (salutary place) untuk berdoa, meditasi demi kedewasaan rohani. Namun ada saatsaat dimana kita harus aktif, berani keluar untuk mengunjungi, menyapa WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA

12


Kebersamaan Frater Yanri dengan OMK Stasi Kepayang sesudah ibadat. (Flo Warikar)

dan merangkul mereka yang terpinggirkan, yang sudah tidak peduli lagi dengan Gereja. Dalam relasi personal dengan Allah dalam keheningan aku mampu mengalami keterpesonaan, keterpautan dan keterlibatan dengan Dia sebagai pribadi yang memanggil dan mencintai aku. Dan sungguh aku mengalami bahwa dengan keterpesonaan untuk tinggal bersama Kristus inilah yang menjadi daya kekuatanku untuk tetap setia, terutama dalam keadaan krisis dan menghadapi kesulitan (ujian hidup). Keterpautan dan keterpesonaan dengan Kristus dalam keheningan “personal prayer� mendorong aku untuk melangkah maju bekerjasama dengan Kristus yang memanggil aku untuk terlibat dalam karyaNya. Inilah kekuatan saya untuk siap diutus, dan menjalankan tugas-tugas, dan rutinitas yang saya alami di Paroki Emmanuel ini. Hemat saya, dalam medan berpastoral ini aku ditantang untuk menanggalkan kepentingan-kepentingan pribadiku untuk membagi ketenangan dan kedamaian pribadiku dengan Tuhan kepada sesama. Hampir delapan tahun sudah, aku mengikuti jejak langkahNya. Suka dan duka, tangisan, kegembiraan, sukacita sudah banyak aku alami. Tapi memang saat inilah yang terindah. Memang indah, indah karena aku melayani. Indah karena aku berada ditengah-tengah Engkau dalam pelayananku bersama umatMu. Bisa dikatakan pula bahwa enam tahun aku mempersiapkan diriku, imanku dan kini tibalah saatnya, Engkau membimbingku untuk turun melihat umatMu. Bersama mereka, merasakan suka duka hidup mereka, membantu dan melayani mereka. Ini semua adalah tantangan bagiku untuk menanggalkan segala keegoisan, keserakahan, kesombonganku, untuk membagi/memberi totalitas cintaku kepadaMu lewat segala talenta, skill yang Engkau karuniakan untukku. Aku sangat bersyukur dan inilah harmoni cinta Allah yang menyatu dalam melodi cinta aku dan umatNya dalam pelayanan. Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang, Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena namaNya. (Maz. 23).

13

WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA


KAMPUNG

TRANSMIGRAN BALI

#BUDAYA Ketenangan Di Desa Sedahan Jaya Teks : Flo Warikar

Foto : Aji Prasetya

Udaranya sangat sejuk. Kicauan burung, ayam berkokok, anjing mengongong dan suara penjual sayuran menjadi latar suara sore itu. Sambil menikmati manisnya buah rambutan untuk menikmati ketenangan Desa Sedahan Jaya. WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA

14


K

awasan Sedahan Jaya merupakan salah satu desa yang berada di Sukadana, Kaypng Utara, Kalimantan Barat. Sekitar 12 km dari Sukadana, saya sudah bisa menikmati ketenangan desa ini. Seperti di Bali rasanya. Memang desa ini merupakan desa yang berisi transmigran dari Bali. Tak heran apabila ada pura-pura untuk mereka sembahyang, baik itu pura bersama maupun pura milik pribadi yang biasanya ada di depan rumah masingmasing. Kebetulan, sore itu sehabis hujan saya berkunjung ke rumah I Gusti Ngurah Suadnyana atau lebih akrab dengan sapaan Gusti. Ia adalah salah satu pinandhita atau rohaniawan Hindu di Sedahan. Rumahnya terletak tepat berada di sebelah kanan Pura Dalem. Sore itu pula ia sudah siap dengan baju adat dan sajen untuk sembahyang. Saya diajaknya ke pura untuk memperlihatkan dan memperkenalkan tradisi umat Hindu asal Bali bila sedang sembahyang. Namun, sebelum ke pura, ia menyuruh saya untuk menikmati buah rambutan hasil kebunnya sendiri. Setelah menikmati beberapa rambutannya, kami segera bergegas berjalan ke pura. Khawatir apabila hujan datang lagi. Sembari jalan menuju Pura Dalem, Gusti menceritakan mengenai perpindahannya dari Bali menuju Kalimantan sampai pada akhirnya m e n e t a p d i S e d a h a n . Tr a g e d i meletusnya Gunung Agung lah yang membuat sebagian besar penduduk asli Bali harus melakukan transmigrasi ke pulau lain. Kalimantan Barat dan Lampung, merupakan daerah yang ditargetkan oleh pemerintah sebagai t e m p at u n t u k m e n a m p u n g p a ra pengungsi meletusnya Gunung Agung.

15

WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA

“Dulu itu ketika Gunung Agung meletus, daerah Karangasem dan Gianyar sampai rata tanah akibat lahar panas.� tuturnya sambil mengingat betul tragedi 52 tahun silam. Ia terus melanjutkan cerita itu sampai mendekati pintu yang ada di pura. Pada awal kedatangan trasmigran Bali datang ke Kalimantan Barat sebenarnya mereka turun di Pontianak. Namun, pada akhirnya mereka tersebar di beberapa daerah dan salah satunya adalah Sedahan Jaya ini. Pertama kali mereka datang, hanya ada 25 Kartu Keluarga (KK) saja. Namun, melihat tragedi Gunung Agung yang semakin mengerikan pada waktu itu, akhinya 25 KK tersebut meminta izin kepada pejabat desa setempat untuk mengajak orang Bali lainnya tinggal di Sedahan Jaya. Beruntungnya, pejabat desa mengizinkannya. Sejak saat itu lah, transmigran Bali jumlahnya semakin banyak. Bahkan sekarang jumlah orang Bali yang tinggal di Sedahan Jaya sudah mencapai 100an KK. Awal kedatangan mereka, benar-benar belum memiliki apa-apa. Akhirnya mereka (para kepala keluarga dari 25 KK yang datang duluan) meminta pada pemerintah untuk menyediakan mereka lahan. Lahan itu diminta mereka untuk membangun rumah maupun berladang. Beruntungnya, pemerintah mengabulkannya. Tiap transmigran mendapatkan dua hektar lahan yang bisa digunakan untuk menunjang kehidupan mereka selama berada di Kalimantan Barat. Seiring dengan berjalannya waktu, transmigran Bali yang lain akhirnya juga sudah mampu untuk membeli lahan sendiri sebagai sumber kehidupan mereka. Suasana tenang khas Sedahan Jaya terus terasa hingga menjelang matahari terbenam. Gusti pun meneruskan ceritanya setelah ia


melangsungkan sembahyang di Pura Dalem. Sekitar pukul 17.30 ia selesai sembahyang. Kemudian, kami kembali ke rumahnya sembari ia kembali bercerita. “Dulu, sini belum banyak pohon buah-buahan terutama durian. Justru setelah kami (transmigran Bali) datang, kebiasaan berladang itu mulai t e r j a d i . B u ka n nya a p a-a p a , t a p i memang benar itu adanya.” tuturnya. Namun benar, saat ini banyak sekali pohon durian dan rambutan yang ada di Sedahan Jaya. Tak tertinggal, hamparan sawah yang begitu luas pun saya temukan di Sedahan Jaya ini. Bahkan Gusti mengaku, pada tahun 1980-an sempat terjadi musim durian besarbesaran. Sampai orang banyak menolak makan durian karena terlalu berlimpah durian. Saat ini, durian yang dihasilkan masih banyak tetapi tak sebanyak dulu. Kepiawaian orang Bali pun tak berhenti sampai sini. Pada tahun 1990-an, Sedahan berhasil merebut juara I dalam memenangkan lomba “Lumbung Padi 1000 Ton” tingkat Provinsi Kalimantan Barat sekitar tahun 1990an. Ta k h a nya i t u , ke r u k u n a n a nt a r penduduk disini juga sangat tinggi. Toleransi dan saling menghargai disini sangat terasa. Tidak semua penduduk di Sedahan Jaya adalah orang Bali. Mereka hidup berdampingan dengan orang Dayak, Melayu dan beberapa orang yang berasal dari Flores. Tingginya toleransi disini juga terlihat dari cerita Gusti bahwa umat Hindu di Sedahan secara bebas bisa melangsungkan sembahyang bahkan merayakan harihari besar umat Hindu. Hanya saja ada satu tradisi Bali yang tidak boleh diterapkan di tanah Kalimantan, yaitu membakar orang yang telah meninggal. Para transmigran Bali pun menurutinya ka re n a m e re ka j u g a m e n g h a rg a i kepercayaan suku Dayak bahwa orang meninggal bukan untuk dibakar tetapi

dikuburkan. Maka setelah didoakan di Pura Dalem, orang yang meninggal biasanya langsung dikuburkan. Saling toleran itulah yang harusnya bisa ditiru oleh sebagian besar manusia di dunia ini. Menghargai perbedaan yang ada dan tidak membanding-bandingkan antara milik saya dan miliknya bisa dijadikan sebagai kunci untuk mendapat ketenangan hidup ini. Maka tak heran, sore itu saya merasakan betul ketenangan di Desa Sedahan Jaya. Matahari sudah terbenam dengan sempurna. Bulan dan bintang-bintang sudah nampak begitu jelas. Angin sepoi berganti menjadi dingin sekali. Jalanan depan rumahnya pun sudah sepi Sajian rambutan yang disiapkan oleh Gusti untuk saya juga sudah hampir habis. Nampaknya saya harus segera bergegas pulang. “Terima kasih banyak Pak untuk sambutan, cerita dan suguhan rambutan enaknya. Saya pamit sekalian pamit pulang ke Jogja, siapa tahu kita bisa berpapasan dilain tempat” kataku sambil berjabat tangan dengannya. Ia membalasnya dengan pesan-pesan yang sangat bermanfaat untuk saya dan mengantarkan saya sampai depan rumahnya. Sekali lagi, terima kasih Gusti untuk pengingat bahwa toleransi sangat penting diterapkan oleh seluruh manusia yang ada di dunia ini.

WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA

16


TUAK #BUDAYA

Tradisi Minum Tuak Ala Suku Dayak Teks & Foto : Flo Warikar

C

awan telah disiapkan untuk kami masing-masing. Sengaja cawan kecil yang tuan rumah siapkan untuk saya sebagai tamu. Ternyata sajiannya adalah minuman itu. Indonesia memiliki ribuan suku. Tak heran apabila tradisi yang ada pun beragam. Semua tradisi yang ada adalah unik dan tidak ada istilah salah. Tradisi mampu bertahan lama tentu memiliki maksud tertentu. Sama halnya dengan tradisi yang ada di Suku Dayak. Jamuan tuak di Stasi Durian Sebatang.

Tiga hari setelah tiba di tanah Borneo, saya berkunjung ke salah satu daerah bernama Durian Sebatang. Menuju Durian Sebatang ada dua alternatif, yaitu menyusuri sungai dengan motor air atau menyusuri peekebunan sawit dengan jalanan yang berdebu jika panas tiba dan becek ketika hujan tiba.

secara langsung merupakan pilihan yang paling tepat untuk mengisi keseharian saya selama disana.

Letak desa yang berada di tepian sungai membuat daratan disini menjadi tergenang air. Jika air sungai sudah mulai pasang, halaman rumah yang tadinya rerumputan atau tanah bisa berubah menjadi air. Tak heran apabila rumah-rumah di sini masih berbentuk rumah panggung dan rata-rata semua masih terbuat dari kayu.

Hari kedua di Durian Sebatang, saya memperoleh kesempatan untuk datang ke rumah Andriana Tuti atau akrab d i p a n g g i l Tu t i . B a r u s a j a m a s u k rumahnya dan duduk, perempuan paruh baya itu sudah tergesa-gesa berjalan menuju dapur rumahnya untuk memberi kami jamuan. Ya, saat itu saya berkunjung tak sendiri namun bersama tiga orang teman lainnya. Tak terlalu lama ia berada di dapur dan kembali ke ruang tamu dengan membawa tiga cawan kecil dan satu teko berukuran sedang yang berisi cairan putih pekat.

Menginap selama tiga hari di Durian merupakan pengalaman yang m e n g a sy i k a n . B e n a r- b e n a r b i s a merasakan kebersamaan antar sesama. Bagaimana tidak, di sini belum ada listrik, apalagi sinyal di telepon genggam. Maka tak heran, komunikasi

Mata kami saling melirik, seolah paham apa yang ada dipikiran satu sama lain. Rupanya benar apa yang kami duga. Cairan yang ada di dalam teko kecil itu adalah tuak. Minuman berakohol yang dibuat secara tradisional khas Kalimantan. Biasanya terbuat dari beras

17

WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA


Tuangan tuak pertama di Stasi Durian Sebatang.

atau buah yang punya kandungan gula cukup banyak kemudian difermentasi. Inilah salah satu tradisi Suku Dayak yang masih kental, terdapat budaya minum minuman berakohol tradisional. Sontak, saya menerimanya dengan senang. Bukan karena saya peminum, namun karena bisa merasakan tradisi yang memang masih kental sekali. Saya tuang sedikit tuak itu ke dalam cawan yang sudah disediakan oleh tuan rumah. Tak sampai penuh, hanya setengah gelas saja. Setelah itu saya minum sedikit demi sedikit dan betul, rasanya sangat manis. Sehari sebelumnya saya sempat berbincang dengan Vincent orang Teluk Batang yang mengantarkan saya ke Durian Sebatang. Ia mengatakan dan menyarankan untuk tidak minum tuak terlalu banyak. Satu gelas saja sudah sangat cukup menurutnya, karena memang tak terlalu bagus pula untuk kesehatan dengan rasanya yang begitu manis. Selain itu, setelah minum tuak dan terasa pusing maka tidak dianjurkan untuk mandi. Mandi membuat badan semakin pusing bahkan sampai sempoyongan. Pesan itu benar-benar saya ingat, maka hanya setengah gelas saja saya minum tuak itu. Setelah saya minum sampai, tak terasa pusing sama sekali. Mungkin karena saya menerapkan saran dari Vincent kemarin. Di Kalam, Paroki Balai Berkuak, Keuskupan Ketapang, tradisi minum tuak masih melekat. Justru masih sangat kental dibandingkan dengan Durian Sebatang. Saya dapat cerita dari seorang teman yaitu Jessica mengenai tradisi minum tuak. Ketika itu ada acara adat penyambutan Uskup Ketapang. Kemudian cara minumnya pun unik. Tuak ditaruh di kendil dan diminum menggunakan bambu sebagai alat sedotnya. Memutar ke orang lain sampai tuak di kendil habis. Tradisi yang unik dan hanya tentunya memiliki kekhasannya sendiri yang berbeda dengan daerah lain. Perlu diingat, tuak memang merupakan bagian dari tradisi namun ada baiknya kita minum secukupnya saja. Bukankah segala yang ada di dunia ini jika berlebihan tidak baik adanya? WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA

18


Bentuk aksi KKN 72 di stasi Kepayang dengan membuat karya “Harapanku”.

HENGKI : Permainan Tadi Punya Makna #SEPUTAR_KKN

Teks : Flo Warikar

Foto : Frater Yanri Muni, OAD

Ayo buruan… Buruan… Buruan… Begitulah teriakan para OMK Kepayang ketika melakukan estafet kelereng menggunakan sumpit.

K

uliah Kerja Nyata atau KKN merupakan salah satu tugas wajib yang harus di tempuh oleh seluruh mahasiswa tempat kami kuliah. Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) itulah namanya yang terkenal di seluruh negeri ini. Akhir tahun 2017 sampai pada awal tahun 2018, KKN kembali dilaksanakan dibeberapa daerah seperti Kabupaten Kulon Progo, Sintang, Sekadau, Ketapang, Kayong Utara dan Kepulauan Mentawai. KKN kali ini merupakan KKN ke 72 yang telah diselenggarakan oleh UAJY. Kami adalah salah satu peserta KKN 72 yang memiliki kesempatan untuk mengabdi di Kabupaten Kayong Utara. Hanya ada satu kelompok yang ditempatkan di Kabupaten Kayong Utara, akan tetapi dalam wilayah Gereja Katolik, kabupaten ini masih masuk dalam wilayah Keuskupan Ketapang. Maka tak heran apabila program kerja yang harus kelompok kami lakukan sama dengan program kerja milik kelompok yang ada di Kabupaten Ketapang. Salah satu program kerja yang harus kami lakukan di Kalimantan Barat ini adalah mengadakan Character Building. Target pesertanya pun dibebaskan oleh pihak kampus. Kelompok kami memilih Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Sukadana untuk menjadi target peserta Character Building.

19

WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA


Foto bersama OMK stasi Kepayang di akhir kegiatan.

Awalnya kami bingung untuk mencari tahu siapa saja anggota OMK di sini. Maklum, Paroki Sukadana memiliki 17 stasi yang tentunya setiap stasi juga memiliki OMK. Setiap ajakan Romo dan Frater mengunjungi stasi, kami pun memanfaatkannya pula untuk berkenalan dengan OMK yang ada di stasi-stasi. Sampai pada akhirnya kami memutuskan untuk memilih OMK Stasi Kepayang sebagai target peserta Character Building. Alasan kami memilih OMK Kepayang dikarenakan pada waktu Ibadat Sabda minggu Adven IV salah seorang umat mengeluhkan OMK. Ia mengeluhkan pada waktu yang disediakan untuk memberikan pengumuman paroki. Ia mengeluhkan bahwa menurutnya OMK tak memiliki rasa untuk membuat perayaan malam natal tahun ini menjadi meriah. Tak ada panitia khusus dan ketika kumpul kebanyakan di antara mereka justru asyik bermain voli. Hal tersebut akhirnya membuat kami mantap untuk mengadakan Character Building di Stasi Kepayang. Mengingat

jumlah anggota mereka juga cukup banyak dibanding dengan stasi-stasi l a i n ya n g p e r n a h ka m i k u n j u n g i sebelumnya. Maka langkah selanjutnya yang kami lakukan adalah bertemu dengan ketua OMK Stasi Kepayang. Setelah bertemu dan ia setuju dengan program kerja kami, akhirnya kami menentukan jadwal untuk merealisasikan kegiatan ini. Rabu, 3 Januari 2018 pukul 16.30 kami memulai acara dengan berdoa bersama di dalam kapel. Meminta berkat Tuhan setiap melakukan kegiatan menurut kami adalah hal yang harus selalu dilakukan. Maka, tak heran bila berdoa kami lakukan di awal kegiatan. Kami sudah menyiapkan empat jenis permainan yang terdiri dari Aku Kenal Kamu, Estafet Kelereng, Pertandingan Plastik dan 369. Selain itu, diakhir kegiatan kami juga mengajak temanteman OMK untuk mereeksikan permainan yang sudah mereka lakukan. Jelas, walaupun kami sudah menyiapkan games dari Jogja, namun tetap kami sesuaikan dengan keadaan WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA

20


OMK Stasi Kepayang. Menurut kami, permainan-permainan tersebut bukan sekadar untuk bersenang-senang, namun juga harus memiliki makna yang bisa membangun OMK Stasi Kepayang semakin berkembang. Permainan pertama, Aku Kenal Kamu a d a l a h p e r m a i n a n ya n g m e n i t i k beratkan sikap saling mengenal antar anggota. Percuma apabila dalam satu lingkup organisasi tak mengenal satu sama lain. Tidak sekadar tahu nama dan letak rumahnya dimana namun lebih pada karakter dan kebiasaan setiap pribadi yang ada. Kedua, Estafet Kelereng. Pada permainan ini, bisa melatih kecekatan, kekompakan dan fokus. Cara memainkannya adalah memindahkan kelereng menggunakan sumpit dari dan sampai pada batasbatas yang sudah ditetapkan oleh kami. Mereka pun hanya memiiki durasi selama satu menit untuk bisa memindahkan kelereng sebanyak mungkin. Ketiga, Pertandingan Plastik. Metodenya hampir sama seperti main bola hanya menggunakan tangan dan hanya perlu kepekaan. Mendegarkan secara cermat apa yang perintahkan oleh pemandu permainan. Terakhir adalah 369. Permainan ini memerlukan konsetrasi tinggi. Hanya dengan berhitung secara urut dan bergantian. Hanya saja angka yang mengandung angka tiga, enam dan sembilan tidak boleh disebutkan namun diganti dengan satu kali tepukan tangan. Setelah semua permainan dimainkan, maka selanjutnya adalah refleksi. Tiap anggota OMK harus merefleksikan apa saja makna yang telah didapat melalui kegiatan tersebut. Secara bergantian mereka maju satu per satu dan secara bergantian merefleksikan di depan anggota OMK yang lain. Hengki, selaku ketua OMK di sini pun menyambut baik kedatangan kami sore itu. Ia juga mengungkapkan bahwa permainan-permainan tadi punya

21

WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA

Senyuman SI Tono, salah satu OMK Kepayang.

makna-makna yang bisa diterapkan dalam organisasi mereka. Terutama dalam hal kekompakan dan kecekatan. Tak hanya Hengki sebagai ketua saja yang angkat bicara. Anggota lain seperti Tono dan Susi pun mengungkapkan bahwa senang sekali bisa melakukan kegiatan seperti ini. Mereka juga mengatakan bahwa jarang untuk bisa sekadar berkumpul dan melakukan kegiatan seperti ini. Lalu, berlanjut dengan kesan dan refleksi dari anggota lain. Semua sudah memaparkan kesan dan merefleksikan kegiatan yang dilakukan sore ini. Kemudian, tak lupa juga kami menyediakan potongan kertas kecil warna-warni yang siap mereka tuliskan harapan terkait dengan kemajuan OMK Stasi Kepayang. Harapan kami sebagai peserta KKN 72 Paroki Sukadana adalah OMK Stasi Kepayang semakin kompak untuk memajukan kapel maupun keaktifan umat Stasi Kepayang.


#CERITA_FOTO

Teks : Flo Warikar

Foto : Flo Warikar & Fr. Yanri Muni, OAD

KOMPAK DARI ESTAFET KELERENG

K

ekompakan merupakan satu kata yang mudah sekali terucap dari mulut kita. Namun, apakah mudah juga untuk diterapkan dalam kehidupan kita seharihari? Terkadang kita lebih mementingkan kepentingan pribadi di atas segalanya. Selain itu, tak jarang pula mereka yang memang tidak mau peduli dengan orang atau bahkan lingkungan sekitarnya. Kedua hal itu yang sering kali menghambat kata “kompak” itu menjadi sulit untuk direalisasikan. Melalui permainan estafet kelereng ini, kami sebagai peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) 72 ingin memperlihatkan bahwa kekompakan itu penting diterapkan dalam kehidupan sehari-hari kita. Kegiatan ini kami lakukan di Stasi Kepayang dengan peserta para Orang Muda Katolik (OMK) setempat. Apalagi dalam kehidupan berorganisasi. Tanpa adanya kekompakan, tidak akan menghasilkan sesuatu yang maksimal.

Briefing dilakukan sebelum memulai permainan estafet kelereng. Hal ini dilakukan supaya semua peserta jelas dengan alur permainan sehingga ketika permainan berlangsung tak ada hambatan.

Setelah briefing selesai dilakukan dan semua peserta sudah siap, maka dimulailah permainan estafet kelereng. Strategi masing-masing kelompok pun sudah diatur sedemikian rupa supaya bisa memenangkan permainan estafet kelereng kali ini. WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA

22


Heboh. Satu kata yang mewakili suasana kala itu. Mereka benar-benar berebut supaya bisa memindahkan kelereng sebanyak mungkin dari wadah besar ke wadah yang dimiliki oleh masing-masing kelompok.

Fokus demi mendapatkan kelereng supaya kelompoknya bisa menang. Tak heran apabila kelereng susah mereka pindahkan karena mengambil kelereng dengan sumpit terlalu licin.

#CERITA_ 23

WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA


Tak lupa mereka anggota kelompok yang tidak bertugas untuk mengambil kelereng sibuk untuk memberikan dukungan. Ada yang tegang, panik, bahkan tertawa geli melihat tingkah lucu teman-temannya saat memindahkan kelereng dengan berbagai macam pose.

Setelah permainan selesai, kami meminta mereka untuk menuliskan harapan mereka setelah melakukan permainan tadi. Banyak yang menuliskan “semoga semakin kompak� dalam harapannya. Tak lupa, kami pun menuliskan harapan yang sekaligus kesan pesan selama bermain bersama teman-teman OMK Stasi Kepayang. Setelah semua tertempel, kami menyerahkannya kepada OMK Kepayang sebagai buah tangan yang diwakilkan oleh ketua OMK Stasi Kepayang.

FOTO WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA

24


Tak lupa pula, kami memanfaatkan momen kebersamaan ini dengan foto bersama sebagai kenang-kenangan bahwa kami pernah berpapasan bahkan bermain bersama. Semoga melalui pertemuan ini, kita bisa belajar dan menerapkan makna dari permainan tadi. Terima kasih OMK Stasi Kepayang. Semoga kita berpapasan lagi.

25

WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA


Selesai. WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA

26


AKHIR PEKAN DIAKHIR TAHUN Teks & Foto : Flo Warikar

#WEEKEND_LIST

Bentuk aksi KKN 72 di stasi Kepayang dengan membuat karya “Harapanku�.

Akhir pekan sudah tiba dan saatnya mengisi waktu untuk berlibur. Kebetulan hari ini adalah akhir pekan di tahun 2017. Tak pikir panjang, kami bergegas menuju Pantai Pulau Datuk.

S

ebagai peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN), kami memiliki banyak program kerja yang harus diselesaikan selama satu bulan. Waktu untuk refreshing pun tak bisa kami lakukan secara rutin. Mengingat setiap akhir pekan, kami harus berkunjung ke stasi-stasi bersama Frater atau Bruder untuk merayakan ibadat sabda di sana. Beruntung, sebelum kami menuju ke salah satu stasi, Pastoran Emmanuel Sukadana mendapat kunjungan. Staff Keuskupan Ketapang sedang mengadakan piknik ke Sukadana dan mengajak teman-teman KKN kami yang berada di Seminari Menengah St. Laurentius Ketapang untuk bergabung. Sebelum memulai acara mereka di pantai, tak lupa untuk singgah sejenak di Pastoran Emmanuel Sukadana. Sekadar bertegur sapa dengan Romo, Frater maupun kami sebagai peserta KKN 72 yang ditugaskan disini. Sekitar satu jam kami bercengkrama bersama sambil menikmati kue natal dan teh atau kopi hangat. Perpaduan yang nikmat sekali pagi itu, maklum udara terasa sangat sejuk karena hujan baru saja selesai. Bahkan matahari pun masih malu untuk memperlihatkan dirinya.

27

WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA


Bentuk aksi KKN 72 di stasi Kepayang dengan membuat karya “Harapanku�.

Sebelum hujan datang lagi, kami bergegas untuk ke pantai. Beruntungnya, kami juga diajak untuk bergabung bersama mereka. Akhirnya kami beserta Frater dan ketua OMK Emmanuel Sukadana ikut ke pantai. Kami menikmati suara deburan ombak, foto bersama, makan di pantai bersama dan tentu bersenda gurau antar satu sama lain. Momen ini menjadi momen berharga bagi kami untuk melepas rindu dengan teman-teman satu unit kami. Maklum, semenjak penempatan kami tidak bertemu sama sekali. Hanya sesekali kami melalukan komunikasi melalui video call. Pertemuan itu benar-benar kami nikmati untuk bertukar cerita mengenai kegiatan kami selama dua minggu menjalankan tugas KKN ini. Tentunya, banyak pengalaman suka dan duka yang kami alami selama menjalankan tugas ini. Namun, ketika kami ceritakan saat pertemuan itu, semuanya terasa menyenangkan. Bahkan seolah tak ada hambatan sedikit pun dalam menjalankan tugas ini. Tak lupa kami juga berbaur dengan para staff Keuskupan Ketapang serta para romo yang juga ikut dalam acara ini. Mulai dari membantu mereka mempersiapkan makanan, menemani minum degan, membantu menyalankan arang, mengajak bergurau atau sekadar cerita ringan saja sampai makan siang benar-benar siap. Kurang lebih sekitar satu jam kemudian, makan siang sudah siap disajikan dan saatnya kami antre untuk antre. Kami pikir makan di pantai, menu makanannya akan alakadarnya. Ternyata kenyataannya sangat lengkap bahkan bisa dibilang mewah sekali. Sambal saja sampai tiga macam. Lengkap dengan lauk pauk hewani maupaun nabati serta sayuran dan buah sebagai pencuci mulut. Piknik akhir tahun yang menyenangkan. Mampu melepas kepenatan walau hanya sebentar. Langit sudah mulai ditutupi oleh awan gelap yang sangat tebal. Angin sudah berhembus begitu kencang, sampai dedauan yang gugur pun berterbangan. Kami segera membereskan semua peralatan makan dan menyimpannya kembali dalam mobil. Kemudian benar, hujan turun sangat lebat. Para rombongan melanjutkan perjalanan mereka ke Air Paoh dan kami memutuskan untuk menunggu hujan reda untuk kembali ke pastoran. Untung, kami membawa kendaraan sendiri jadi kami tidak perlu merepotkan mereka untuk mengantarkan kami pulang. Perpisahan itu di pantai. Perpisahan akhir tahun yang menyenangkan karena sudah boleh bersenang-senang bersama di pantai. Selamat menjalankan tugas kembali teman. Sampai jumpa di Nanga Tayap untuk pulang bersama ke tanah Jawa. WARTA PAROKI EMMANUEL SUKADANA

28


MATURNUWUN BERKAH DALEM


KULIAH KERJA NYATA 72 UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA 2017-2018


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.