Jejak

Gratisan

Vol. 2/1, Januari 2009

Berbeda Untuk Lebih Bergairah

Di Samping Beton Harus Ada Pohon Arti Penting Hutan Kota bagi Ibukota

Pilihan “Enviromentalist�

Sudah Waktunya Kamu Bertindak

Mengintip Celah Pulau Komodo Losmen Terapung Mengantar ke Negeri Naga www.mapalaui.info/jejak

Jejak Utama

10

“Ibukota butuh taman-taman kota Ibukota butuh hutan-hutan kota Ibukota butuh ruang terbuka hijau Ibukota butuh burung-burung berkicau”

DI SAMPING Beton HARUS ADA Pohon GAYA LO, GAYA GUE

6

Pilihan “Enviromentalist” Sudah Waktunya Kamu Bertindak

6

Ketika isu global warming mencuat, organisasi-organisasi lingkungan menjadi pilhan para environmentalist, siapa sajakah mereka?

JEJAK ALAM

KOTAK SURAT

2

TAHUKAH KAMU ?

2

REKOMENDASI

2

KELILING KAMPUS

3

JEJAK WAKTU

4

DAUR ULANG

5

AGENDA

24

16

Mengintip Celah Pulau Komodo Losmen Terapung: Mengantar ke Negeri Naga

Social skill yang mumpuni terkadang dapat menjadi andalan untuk berkeliling Indonesia, tentu saja dengan biaya yang minim.

JEJAK INSPIRASI

22

Hutan Kota UI: Wujud Cinta “Sang Arsitek” Hutan Kota UI yang mampu membersihkan paruparu penghuninya, tidak lepas dari peran sang arsitek. Penghargaan Kalpataru-pun seakan sangat layak untuk disematkan kepadanya.

FOTO SAMPUL Nelayan Flores sedang “mendeteksi“ keberadaan ikan buruan.

Lokasi: Flores, Nusa Tenggara Timur Fotografer: Seto Wardhana

Hai-hai,

Nggak selamanya men-Jejak itu mudah. Ketika kaki harus melangkah, kadang ada duri yang tidak sengaja terinjak, selanjutnya, sulit kiranya untuk kita melangkah dengan normal.

Yapz..., pun ketika ingin kembali men-Jejak-kan Kampus UI dengan majalah yang kamu baca ini, “duri-duri“ kecil cukup “berhasil” menghambat langkah kami untuk terbit dengan sesuai jadwal.

Persiapan menjelang BKP (Badan Khusus Pelantikan) Mapala UI di awal tahun 2009 mendatang, telah cukup menguras tenaga dan pikiran, mulai dari tema yang akan diangkat, kurikulum, hingga strategi promosi, yang salah satuya melalui Jejak.

Nah, untuk itu, spesial buat kamu penikmat Jejak pada umumnya, dan khususnya buat kaliankalian yang udah nunggu-nunggu kapan Mapala UI melakukan seleksi anggota baru, kami hadir dengan bonus khusus, yaitu suplemen yang berisi informasi-informasi tentang BKP Mapala UI 2009.

Tapi tenang, “informasi-informasi” lain khas Jejak juga tetap ada kok, dan buat edisi ini kita mengusung hutan kota sebagai Jejak Utama. Buat kamu yang kuliah di UI, mungkin sudah jadi langganan buat nikmatin salah satu manfaat Hutan Kota UI, penyaji udara segar yang kaya O2, tapi minim zat-zat polutan. Sang “paru-paru kota” udah nge-refresh lagi paru-paru kita. Tapi apa cuma itu manfaat yang bisa kita nikmatin, kalau pengen tahu yang lainnya, silahkan baca aja ya...

Well, selamat men-Jejak untuk ketiga kalinya!

Dari

Kami,

DIEN NURDINI

“for Fun, for Explore, for Others...”

Tema BKP07

DITERBITKAN OLEH: BIRO PEMINATAN BP MAPALA UI; BEREDAR GRATIS

Berbeda untuk Lebih Bergairah

Pemimpin Redaksi: Dien Nurdini N; Redaktur Pelaksana: Ade sulaeman, Prihandoko Senior Editor: Adiseno; Koordinator Artistik: Agung Nugroho, Wahid N; Pemasaran: Seto Wardhana Produksi dan Distribusi: ariFanti; Fotografer: ,Sugi BJ, Ringga reza, M Fauzan, fikri muftih; Kontributor: Zulbahrie, Enos Primo, Sofyan Nurhadi, AnNisa rahmania, Rizky Afriono, ade wahyudi, Astri nadia, AMELIA SAFITRI, YULIA SHADRINA Alamat redaksi: Sekretariat Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) Kampus Baru UI, Depok. telp. (021) 788 84872

majalahjejak@gmail.com

KOTAK SURAT

Majalah Jejak sangat menarik.

Beda aja dengan majalah gratisan yang lain. Keep d gud work yah.

Barita Mahasiswa FISIP UI Lebih matang dengan cover depan cukup menarik,, bahasannya juga asik !!

Dwi Arie Wibowo Mahasiswa FISIP UI

Menurut gue Jejak edisi 2 tuh bagus banget. Penulisannya menarik dan seperti profesional, terutama info-info tentang lingkungannya.

Gue tertarik banget dengan masalah lingkungan setelah nonton Inconvenient Truth-nya Al Gore. Oya, bisa bahas mengenai global warming lebih banyak lagi, nggak? Terus tolong banyakin info tentang backpacking, tips, dan backpacking yang bagus ‘n worthed. Jejak adalah majalah gratisan terbaik menurut gue (dasar orang Indonesia, sukanya gratisan :P).

Andra Maulana Mahasiswa F-Psi UI

Seneng banget punya majalah kampus tentang lingkungan. Keren!

Mellisa Yans Mahasiswa FISIP UI Membuat majalah Jejak adalah prestasi ‘biasa’ bagi generasi sekarang.

Membuat untuk terus terbit adalah prestasi luar biasa.

ADE RAHMAT Anggota senior Mapala UI Semoga semangat pantang menyerah menjadi semangat buat teman-teman Redaksi Jejak.

PAIDO PANGGABEAN Alumni FE UI

TAHUKAH KAMU?

Jejak 2

Dengan kita memelihara 10.000 pohon yang berusia 16-20 tahun, maka kita telah mampu untuk mengurangi kandungan karbon dioksida di udara sebesar 800 ton per tahun.

(Simpson and McPherson, 1999)

Vol. 2/1, Januari 2009

Dalam jangka waktu satu tahun, Jakarta hanya dapat menikmati udara bersih selama 22 hari, 223 hari dengan tingkat kebersihan yang sedang, 95 hari dengan udara yang tidak sehat dan sisanya selama 4 hari Jakarta dipenuhi oleh kadar udara yang sangat tidak sehat.

Ketika kita menggunakan kantong plastik yang biasanya akan kita buang setelah kita gunakan dalam waktu 4 jam (rata-rata), maka kita akan menyisakan waktu selama 400 tahun agar kantong plastik tersebut dapat terurai.

(Planet Science)

(Kompas, 28 Januari 2004)

REKOMENDASI

Kertas Hemat Biaya dari Xerox

Untuk menghemat biaya dan resource, serta meminimalkan sampah, produsen printer Xerox mengembangkan kertas reusable jenis baru.

Bila kertas berlapis yang peka cahaya ini dicetak dengan UV Printer, hasil cetakan akan menghilang dengan sendirinya setelah 16 sampai 24 jam.

Selanjutnya, kertas ini dapat digunakan kembali sampai 100 kali pemakaian. Printer ini cocok

untuk dokumen-dokumen yang hanya dibutuhkan sesaat, seperti mencetak isi e-mail.

Diharapkan bahan baku yang digunakan akan jauh berkurang daripada sebelumnya. Menurut Xerox, saat ini hampir setengah dari hasil cetakan hanya digunakan sekali, sedangkan seperempatnya dibuang pada hari yang sama.

Harga printer dan kertas khusus ini nantinya tidak jauh berbeda dengan model yang konvensional.

Sumber: www.xerox.com

KELILING KAMPUS

Kampus UI dikenal sebagai kampus yang hijau karena keberadaan hutan kota di dalamnya. Sebagai salah satu universitas ternama di Indonesia, program Green Campus telah menjadi sasaran utama pengembangan wilayah kampus.

Apa Pendapat Anak UI tentang Hutan Kota UI? Hutan Kota UI sangat bermanfaat sekali bagi lingkungan UI itu sendiri maupun bagi civitas akademika UI. Hal itu terbukti dengan rindangnya kampus UI pada siang hari. Namun, Hutan Kota UI sangatlah tidak aman terutama pada malam hari.

Sehingga sebaiknya perlu ditambah penerangan yang cukup dan keamanan yang lebih banyak agar hutan UI menjadi nyaman untuk kita semua.

Rahel, FH 07

Hutan Kota UI menurut saya sudah cukup bagus.

Tapi kebersihannya mesti ditingkatkan lagi dan kalau bisa sih Hutan Kota UI jadi hutan kota yang produktif.

Vol. 2/1, Januari 2009

Vionita, FE 06

3

Jejak

Anita, FKM 06

Menurut saya, Hutan Kota UI masih kurang pohonnya dan kurang terkelola dengan baik. Sebaiknya pihak kampus menambah jumlah pohon yang ada agar program green campus dapat tercapai.

Tunggul, Fasilkom 03

Keamanan adalah masalah utama yang harus diperhatikan dalam mengelola Hutan Kota UI. Sebaiknya pihak kampus lebih meningkatkan penjagaan di dalam Hutan Kota UI agar tindak kriminal yang mungkin terjadi dapat dicegah.

Lia, FIK 04

Hutan kota UI sudah terlihat sepeti hutan kota pada umumnya. Namun, kurang terawat sehingga menjadi daerah rawan kejahatan. Sisi positifnya sih, UI jadi lebih teduh dan sejuk di siang hari.

Saya harap sih penataan Hutan Kota UI harus lebih baik dari sekarang.

Kawasan Kebun Bibit Kawasan Farma Medika 1% 5% Kawasan Cagar Buah 10%

Kawasan Wales Barat 40% Kawasan Vegetasi Asli 20%

Pembagian kawasan Hutan Kota UI

Kawasan Wales Timur 24%

JEJAK WAKTU

Agustus 14/1961

Juli 7/1989 Tim ekspedisi Mapala UI berhasil mencapai puncak McKinley, Alaska, Amerika Serikat. Pencapaian ini juga merupakan bagian rangkaian dari program Ekspedisi Puncak Tujuh Benua Mapala UI.

Jejak 4

Gerakan Pramuka secara resmi dikenalkan kepada masyarakat pada tanggal 14 Agustus 1961 diikuti pawai oleh Presiden Soekarno, selanjutnya tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Pramuka.

26/1883

Letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda, Jawa Barat menjadi salah satu letusan terdahsyat sepanjang sejarah. Letusan terjadi pada pukul 12.30 yang dilanjutkan beberapa letusan berikutnya dan tsunami pada pukul 17.00. Peristiwa ini menimbulkan banyak korban dan berdampak terhadap iklim global.

September

12 Juli

16 September

Tanggal ini dijadikan sebagai peringatan Hari Koperasi karena pada tahun 1947 untuk pertama kalinya Kongres Koperasi diadakan di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Program Lingkungan PBB menetapkan tanggal 16 September 1987 sebagai Hari Ozon Sedunia, karena dirasakan perlu untuk menjaga lapisan ozon agar tidak menipis. Hal ini mengingat bahaya radiasi ultraviolet yang berlebihan dapat membahayakan kehidupan di bumi.

17/1969

22/2007

Vol. 2/1, Januari 2009

Amerika Serikat berhasil membawa awaknya Neil Amstrong dan Edwin Aldrin menorehkan sejarah sebagai manusia pertama yang menjejakkan kai di permukaan bulan melalui misi Apollo 11.

Hari Tanpa Kendaraan Bermotor diberlakukan di kawasan Sudirman dan Thamrin.

Program ini dimulai dari pukul 6 pagi sampai 2 siang. Hal ini dilakukan dalam rangka “Car Free Day Internasional� sekaligus untuk mengurangi pencemaraan udara yang hampir sebagian besar dihasilkan oleh kendaraan bermotor.

Oktober

Desember

1/1990

17/1985

Pencapaian Puncak Elbrus, Rusia oleh Tim Ekspedisi Puncak Tujuh Benua (The Seven Summit) Universitas Indonesia.

Ekpsedisi ini adalah kelanjutan dari Ekspedisi Mapala UI yang telah mencapai empat puncak sebelumnya.

November 5 November

Hari Cinta Puspa Satwa Nasional (HCPSN) merupakan salah satu event lingkungan tahunan yang diperingati secara serentak setiap tanggal 5 November di seluruh Indonesia. Peringatan ini menitikberatkan pentingnya upaya penyadartahuan, kecintaan masyarakat, serta upaya pelestarian terhadap flora dan fauna nasional

Sejak pencanangan oleh PBB melalui Resolusi No. 40/201 A tanggal 17 Desember 1985 maka Hari Habitat Dunia diperingati setiap senin pertama Oktober. Ide dasarnya adalah menyadarkan masyarakat umum pentingnya memperbaiki kondisi permukiman, khususnya bagi penduduk miskin yang hidup tanpa menikmati air minum, sanitasi yang memadai, dan pelayanan dasar lainnya. Habitat sendiri diartikan sebagai tempat tinggal atau hunian manusia beserta lingkungannya. Tema peringatan mengikuti tema yang menjadi kesepakatan dunia.

Daur ulang

Salah satu kawasan hijau di Monas yang dimanfaatkan sebagai sarana kesehatan bagi masyarakat.

kemudian juga ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota (PP 63/2002).

Dalam PP ini Hutan kota diartikan sebagai suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Tujuannya adalah untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Hutan kota memiliki fungsi memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika, meresapkan air, menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota, dan mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.

Untuk itu, tindak lanjut dari PP 63/2002 yakni tiap daerah

baik wilayah kabupaten atau kota menunjuk, membangun, menetapkan, dan mengelola kawasan tertentu yang berpotensi menjadi hutan kota di wilayahnya.

Sampai saat ini telah banyak wilayah kabupaten atau kota yang memiliki hutan kota, termasuk Jakarta melalui Hutan UI-nya. Hal ini perlu didukung oleh pemerintah daerah setempat karena masih banyak daerah RTH lain yang sedang mengarah ke pembentukannya sebagai Hutan Kota yang tentunya membutuhkan banyak dukungan baik dari segi moril maupun materil.

Sejarah Estafet Legalistas Hutan Kota di Indonesia 1. Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945.

2. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

3. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

4. UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman.

5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

6. UU No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Frame work Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim).

7. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

8. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

9. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

10. PP No. 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang.

11. PP No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

12. PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah Otonom.

13. PP No. 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

14. PP No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.

15. PP No. 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi.

16. PP No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota.

5

Jejak

Selain melalui Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD RI tahun 1945, Indonesia sebagai sebuah bangsa pertama kali menetapkan sebuah landasan mengenai pengaturan pertanahan pada tahun 1960 dengan disahkannya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA).

Undang-undang ini memulai era baru pertanahan di Indonesia. Sampai detik ini UU tersebut telah banyak memberikan nilai dinamisasi positif dalam bidang agraria Indonesia. Di balik dari segala kekurangannya, pemerintah terus berupaya untuk menegakkan keadilan dan keseimbangan terhadap alam sekitar kita.

Tonggak ketegasan pemerintah berikutnya terjadi pada tahun 1999 dengan disahkannya peraturan perundang-undangan yang lebih spesifik, yakni UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. UU ini mengatur secara jelas mengenai pengaturan hutan-hutan di Indonesia sebagai salah satu aset paru-paru dunia.

Salah satu pasal yang disoroti dalam UU ini terdapat dalam Pasal 9 yang mengindikasikan diperlukannya suatu wilayah Ruang Terbuka Hijau (RTH) khusus di dalam suatu wilayah tertentu.

Salah satu jenis RTH yang dikenal secara luas adalah Hutan Kota yang

Vol. 2/1, Januari 2009

Oleh Cipto Haryabri

GAYA LO, GAYA GUE

“Man has lost the capacity to foresee and to forestall. We will end by destroying the earth.”

Jejak

– Albert Schweitzer, 1875-1965

6 Vol. 2/1, Januari 2009

Pilihan “Enviromentalist” Sudah Waktunya Kamu Bertindak “Man has lost the capacity to foresee and to forestall. We will end by destroying the earth.”

[Albert Schweitzer, 1875-1965]

Portal Dunia Maya yang Environmentalist

satu tahun yang diberikan oleh mahasiswa dan masyarakat umum dimana dukungan bisa diperpanjang setiap tahun. Dengan menjadi SA, maka Anda telah membantu secara finansial dan non finansial atas upaya konservasi yang dijalankan WWF. SA dapat menjadi sukarelawan kegiatan maupun membantu WWF menyebarkan pesan lingkungan.

Untuk mendaftar menjadi sahabat alam secara online, silahkan kunjungi www.supporterwwf.org/registrasi

Nah, untuk itu, sekarang mari kita mulai menelusuri portal dunia maya, dan menilik apa aja LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) lingkungan yang beredar di sana, dan hal apa aja yang lagi mereka kampanyekan: WWF(www.wwf.org) Rhino Care. Program unik dari WWF memberi kesempatan bagi kita untuk mengadopsi Badak Jawa dalam upaya menyelamatkan mereka dari kepunahan. Ada lima paket dalam program ini atau disebut Adoption Package, mulai dari Basic Package, Advance, Family, Silver, Gold, hingga Platina Package. Donasi yang terendah dimulai dari Basic Package sebesar Rp 250.000. Dengan biaya tersebut kita otomatis mendapatkan sertifikat adopsi beserta foto ekslusif badak, merchandise Rhinocare, pin dan T-shirt, juga perkembangan berita mereka di Ujung Kulon.

Sahabat Alam. Sahabat Alam (SA) adalah bentuk dukungan selama

Jakarta Green Monster (www.jgm. or.id) Komunitas relawan yang peduli pada kawasan pesisir utara dan lahan basah di Jakarta dengan difasilitasi oleh Fauna and Flora International (FFI) Indonesia Programme dan Balai Konservasi Sumbaer Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta. Berdiri sejak 2006, aktifitas Jakarta Green Monster meliputi monitoring burung, pemanduan anak sekolah atau

Teks oleh Astrid Nadia dan Dien Nurdini Foto oleh Ringga R. dan Sugi BJ

masyarakat umum, birdwatching, kampanye lingkungan, inventarisasi keanekaragaman hayati, pembersihan sampah, penanaman kembali, dan lain sebagainya.

My Baby Tree (www.mybabytree. org) Begitu masuk website ini kita akan disuguhkan dengan tampilan web-nya yang lucu dan tidak biasa. Seperti namanya, website ini mengusung misi dari WWF (World Wide Fund) untuk mengajak orang di seluruh dunia   berkontribusi memberikan dampak nyata dalam memerangi isu perubahan iklim di dunia.

Yayasan Bina Usaha Lingkungan – YBUL (www.ybul.or.id) YBUL akan meluncurkan program pengembangan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan, seperti air, angin, tenaga matahari, dan lainnya, yang berbasis masyarakat, demi melistriki desa-desa yang belum memperoleh listrik di Indonesia. Di samping itu hal ini juga untuk melestarikan lingkungan dan menghambat pemanasan global, karena listrik yang kita nikmati dari PLN sekarang kan listrik yang dibangkitkan dari sumber energi fosil, yang dalam prosesnya dihasilkan emisi gas rumah kaca yang tinggi.

Proyek rintisan dari program lima tahun ini, adalah pembangkit listrik Microhydro di Caringin Kabupaten Bogor. Proyek ini membutuhkan banyak mahasiswa dari berbagai latar bidang studi untuk ikut menyukseskannya. Tertarik? Kunjungi websitenya.

Clean Up Indonesia (www.cleanup. or.id) Clean Up Indonesia adalah sebagai bagian dari Clean Up the World (CUW) yang hadir sebagai wujud kepedulian masyarakat Indonesia terhadap masalah kebersihan dunia yang semakin lama kian memprihatinkan. CUI sendiri adalah sebuah yayasan/ organisasi non profit yang menaungi sukarelawan yang tertarik dan mau memperhatikan permasalahan

Vol. 2/1, Januari 2009

Sebenarnya banyak yang bisa dilakukan untuk perbaikan bumi. Terutama hal-hal kecil yang bisa dimulai dari perubahan gaya hidup kita. Buat kamu-kamu yang ingin sesuatu yang beda yang bisa mewadahi rasa cinta kamu terhadap lingkungan, kamu bisa bergabung dengan organisasi-organisasi lingkungan. Sebut saja organisasi seperti WWF (World Wide Fund), Walhi, ataupun Green Peace, yang kesemuanya sudah umum kita dengar, dan bayangkan masih ada 1.001 organisasi lingkungan lainnya yang siap menjaga kelestarian bumi ini.

Manfaatnya tentu banyak jika kita bergabung dengan organisasi semacam itu, kita bisa ikut berperan serta dalam program-program lingkungan yang mereka adakan, kita menjadi terpicu untuk semakin mencintai lingkungan karena kita membawa nama organisasi, jalinan pertemanan yang luas dengan sesama anggota, dan pastinya kita harus bisa menjadi contoh atau teladan bagi teman-teman kita yang lain.

7

Jejak

“Manusia telah kehilangan kemampuannya meramal dan mencegah. Ia akan berakhir jika ia merusak bumi.� Ada kesan ironis dan efek rasa takut yang ingin dihadirkan Albert Schweitzer melalui kutipannya di atas. Bahwa manusia tidak selamanya akan memiliki kemampuan dan kekuasaan atas bumi. Bahwa jika perilaku tidak bersahabat terhadap bumi tidak segera diubah maka sang manusia ini pun akan berakhir jua.

Bumi beserta segala permasalahan dan misterinya memang telah menyita perhatian kita belakangan ini. Masalah sampah, lahan hijau, hutan yang habis ditebangi, pencemaran udara, merupakan sebuah daftar panjang yang menjadi pe-er bagi para penghuninya. Banyak pe-er yang sebenarnya tidak terlalu sulit diselesaikan jika para penghuni tersebut mulai untuk belajar mencintai sang bumi terlebih dahulu.

Kita, kamu, kalian, sebagai generasi muda, apa sih wujud nyata yang bisa diberikan, yang bisa dilakukan untuk perbaikan bumi?

kebersihan dan lingkungan baik disekitarnya (mikro) maupun menjadi bagian dari sukarelawan dunia (makro) tanpa memandang status sosial maupun ekonomi, melainkan dengan sebuah ikatan kepedulian terhadap kebersihan.

Jejak 8 Vol. 2/1, Januari 2009

KeRa – Yayasan BOS (www. orangutan.or.id) KeRa (Kerabat Orangutan) adalah salah satu program yang diadakan oleh Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (Yayasan BOS) untuk menjadi wadah bagi para relawan yang peduli akan pelestarian orangutan dan habitatnya. Melalui KeRa diharapkan relawan dapat menuangkan ide dan pikirannya dalam menyebarluaskan isu-isu mengenai pelestarian orangutan dan habitatnya. Beberapa kegiatan yang bisa diikuti diantaranya kegiatan di ruang terbuka seperti pameran dan outbound, menyebarkan informasi orang utan di sekolah-sekolah JABODETABEK, membantu dalam desain grafis, menyelenggarakan kuliah primata, dan mengembangkan kegiatan lainnya.

Adopt The Corral (www. adopthecoral.com) Banyaknya terumbu karang yang hancur di laut kita akibat penangkapan ikan yang menggunakan bahan peledak, perilaku manusia yang mengancam pertumbuhan mereka (bahkan dengan menyentuhnya saja) memang sudah tidak bisa ditolerir lagi.

Oleh karena itu, mengadopsi terumbu karang juga bisa jadi pilihan.

Here They Are the Agent Of Change Susah kali ya buat percaya kalo terlibat di organisasi lingkungan tuh bermanfaat banget. Nah, makanya kita mau kasih unjuk beberapa teman kita yang aktif di organisasi lingkungan.

Ajeng, FISIP Kesejahteraan Sosial ’05 Cewek yang sekarang menjabat wakil ketua BEM FISIP UI ini mulai bergabung di FLOEM (FISIP Love Environment) di tahun 2007.

Apa aja sih project yang lagi dikerjain sama FLOEM ini? Ajeng ngejelasin kalau FLOEM sekarang sedang menangani WMP (Waste Management Project), yakni penelitian tentang mau tidaknya orang mengelola sampah.

Ada lagi yang namanya Gerakan

Kertas Bolak-Balik.

Inti dari gerakan ini adalah membuat SOP lingkungan untuk diadopsi oleh Dekanat supaya nantinya dikeluarkanlah SK (Surat Keputusan) mengenai penggunaan kertas bolak-balik untuk skripsi, tugastugas, dll di lingkungan kampus.

Pesan dari Ajeng nih, “Kalo lo peduli lingkungan, ya lo turun langsung, tangani tu sampah. So, Total Action.”

Devi, Psikologi’ 05 Komunitas yang digeluti mahasiswi semester 7, Psikologi ini sepertinya sudah tak asing lagi di telinga kita. WWF (Wild World Fund) adalah concern-nya saat kini.

Di WWF, Devi bertindak sebagai Public Educator juga fasilitator untuk memberi pendidikan lingkungan ke sekolah-sekolah.

Menurutnya ada banyak kesan yang bisa didapat setelah bergabung.

“Selain bisa mengembangkan diri, gue juga jadi tahu lebih banyak tentang lingkungan. Yang paling berkesan sih ,ternyata untuk menyumbang peran di bidang lingkungan nggak harus dari hal besar, tapi justru dari hal-hal kecil yang dimulai dari kehidupan kita sehari-hari”, ungkapnya.

Wah-wah, kalau begini sih jadi tidak ragu lagi yah untuk segera memilih salah satu cara untuk mencintai lingkungan.

Bis Patas untuk Para EnvironmentalisT

Green Psychology Ternyata ada juga lho fakultas yang sudah memiliki komunitas lingkungan di tempatnya. Sebut saja komunitas Green Psychology dari Fakultas Psikologi UI. Komunitas yang baru terbentuk ini berkembang dari kepedulian masyarakat psikologi UI yang ingin mengaplikasikan ilmu psikologinya terhadap lingkungan.

Pelatihan bagi pelatih (training for traner) untuk tenaga penyuluh lingkungan di Desa Tangkil dan Cinagara, Ciawi, Kabupaten Bogor. Aktivitas ini digagas Mapala UI dengan menggandeng ESP USAID yang mendukung tenaga pelatih, Departemen Kehutanan, Taman Nasional Gede Pangrango, dan LSM setempat.

Desa Cinagara yang dialiri salah satu hulu Sungai Cisadane. Kelestarian lingkungan di wilayah ini akan memberi banyak manfaat bagi penduduk dan kualitas air sungai yang mengalir ke wilayah Bogor, Tangerang dan Jakarta.

BSO (Biology) Selain itu terdapat juga komunitas di Jurusan Biologi MIPA yaitu badan semi otonom yang bergerak di bidang konservasi lingkungan. BSO tersebut terdiri dari Canopy (bergerak di bidang konservasi tumbuhan), Comata (bergerak di konservasi hewan), dan Sigma-B (bergerak di bidang konservasi kelautan).

Floem (FISIP Love Environment) Komunitas lingkungan dari FISIP juga tidak mau kalah dengan membentuk Floem (FISIP Love Environment). Komunitas ini berkembang dari program kerja departemen sosial lingkungan yaitu waste management project (WMP).

Buat kamu yang berasal dari fakultas lain, coba deh cek di kampus kamu, siapa tahu terdapat komunitas lingkungan lainnya yang bisa menjadi tempat kamu berpartisipasi. Jika belum, kamu tetap bisa kok untuk menyalurkan rasa cinta lingkungan kamu dari hal yang kecil, seperti mengaplikasikan tips ramah lingkungan di kehidupan sehari-hari.

Bahkan, siapa tahu dari hal yang kecil tersebut kamu bisa membuat temanteman kamu tertarik untuk kemudian mulai merintis membentuk komunitas lingkungan sendiri di sekitar kamu.

Vol. 2/1, Januari 2009

Seperti istilah “kalo naek bis patas, jauh-deket, gope� (ini sebelum krimon, ya), nah untuk kalian yang mau berkontribusi untuk menyelamatkan bumi, nggak perlu jauh-jauh kok, di UI juga tersedia wadah untuk itu, jadi walaupun beda tempat, bayar tetep gope, eh maksudnya tetap bisa melestarikan alam. Oke, mari kita membahas komunitas lingkungan di fakultas UI sendiri:

“EnviromentalisT�, Alam dan Mapala UI Ups..., hampir lupa, di UI sendiri, ada lho UKM yang sering bergelut di kegiatan lingkungan, penasaran? Baca terus aja, ya!

Aktifitas dari komunitas mahasiswa pencinta alam pertama di Indonesia ini bukan sekedar naik gunung. Sudah banyak kegiatan lingkungan yang dijalankan oleh Mapala UI. Diantaranya operasi bersih saat pendakian gunung, yang barubaru ini dilakukan adalah operasi bersih Gunung Gede.

Terkait dengan Gunung Gede ini pula, pasti kita tahu daerah puncak dan sekitarnya? Nah, Mapala UI memiliki program-program tersendiri untuk menjaga kelestarian wilayah yang menjadi sumber air bagi warga Jakarta dan sekitarnya, selain dengan melakukan reboisasi di lahan kritis,

Majalah Jejak Yaps, majalah yang kamu baca ini merupakan salah satu wujud kepedulian Mapala UI terhadap permasalahan lingkungan, terutama di sekitar kampus UI. Tema lingkungan yang menjadi topik utama, diharapkan dapat menggugah kesadaran warga UI dan sekitarnya tentang permasalahan lingkungan yang pada dasarnya sering mereka temui.

Jejak

9 Mapala UI juga melakukan upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung GedePangrango, tepatnya di Desa Cinagara dan Desa Tangkil, keduanya berada di Ciawi, Bogor.

Selain kegiatan-kegiatan yang diusung sendiri, Mapala UI juga sering bekerja sama dengan pihak lain dalam membangun lingkungan.

Contoh yang paling anyar adalah keikutsertaan Mapala UI dalam kegiatan tanam pohon di sekitar ruas tol Cipularang, dan pada saat kegiatan OKK 2008, Mapala UI, bersama dengan beberapa UKM lain, menjadi pihak pemandu dalam kegiatan Cinta Kampus.

JEJAK UTAMA

Jejak 10 Vol. 2/1, Januari 2009

DI SAMPING Beton HARUS ADA Pohon

Arti Penting Hutan Kota bagi Ibukota “Ibukota butuh tamantaman kota Ibukota butuh hutanhutan kota Ibukota butuh ruang terbuka hijau Ibukota butuh burungburung berkicau”

Era globalisasi, kian menuntut manusia untuk selalu mengembangkan ide baru guna mendukung kehidupannya yang sering kali mereka anggap sebagai dunia modern, dunia yang mutakhir. Pembangunan merajalela di sana-sini. Proyek-proyek raksasa ibarat berlomba dalam sebuah sirkuit balap. Tak peduli negara maju, negara berkembang, atau negara miskin, semua berbaur menikmati era ini.

Satu hal yang ironis, pemanasan global menjadi isu lingkungan yang paling terkenal. Dunia pun mulai sedikit menoleh pada konsep “hijau”, “green”….

Problema Jakarta Teks oleh Prihandoko dan Zulbahrie Foto oleh Ringga R. dan Sugi BJ

Sebagai kota yang memiliki aktivitas terpadat di Indonesia, Jakarta tentu tidak mau melewatkan

era ini begitu saja. Seakan ingin kembali ke masa jayanya sebagai salah satu bandar terpenting di dunia, kota ini pun mulai berbenah menuju satu kata, 'modern'. Pembangunan fisik kota terjadi di berbagai sektor, mulai dari pembangunan gedunggedung komersial –perkantoran, pusat industri, mal, plaza, hingga mega proyek jalan raya dan tol.

Sayangnya, pembangunan fisik kota tersebut seringkali mengabaikan tata ruang kota, yang tentunya berimbas pada buruknya kualitas hasil yang dicapai. Untuk itu, diperlukan ruang terbuka hijau untuk menyangga semwarutnya kondisi yang ada.

Dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa persentase antara bangunan dengan non

bangunan adalah 60 berbanding 40.

Memang cukup ideal. Tapi faktanya, persentase untuk bangunan selalu melebihi ketetapan yang telah disepakati. Imbasnya adalah semakin berkurangnya lahan untuk jenis yang terakhir. Sementara dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 63 tahun 2002, setiap kota diharuskan untuk memiliki hutan kota seluas 10 persen jika dibandingkan dengan luas wilayahnya.

Namun, seperti kita ketahui bersama kebanyakan kota masih memenuhi hal tersebut di bawah 10 persen.

Di Jakarta, berbagai pembangunan yang mengabaikan tata ruang kota telah menjadi sebuah masalah tersendiri. Coba saja kita bandingkan persentase antara gedung komersial dengan RTH (Ruang Terbuka Hijau). Terjadi

Vol. 2/1, Januari 2009

kendaraan bermotor di ibukota kian menambah masalah polusi udara Jakarta. Masyarakat, disadari atau tanpa disadari, banyak menghirup udara yang semakin kotor oleh karena limbah akibat hasil daripada pembakaran, entah itu hasil dari pabrik, sampah, ataupun kendaraan bermotor yang biasa kita gunakan ke kampus.

Polusi yang memprihatinkan, lebatnya “hutan beton”, dan meningkatnya titik panas di kota akibat dinding kaca bangunan merupakan pemandangan yang jamak bagi publik di Jakarta. Bila diabaikan, mereka pun akan terus setia hadir di kota ini hingga di masa datang. Oleh karena itu, salah satu solusi untuk memulihkan kualitas lingkungan di Jakarta adalah dengan membangun RTH, maka hal ini harus mendapatkan perhatian khusus oleh warga kota seperti kita.

Pembangunan perkotaan seharusnya mempertimbangkan segala aspek sarana dan prasarana yang menunjang kehidupan fisik daerah perkotaan. Kini bisa kita lihat, Jakarta sebagai kota metropolitan selama ini hanya mementingkan pembangunan fisik dari segi bangunan yang utuh. Contoh sederhananya adalah saat kita kecil.

Dulu, dekat rumah kita pasti ada taman bermain yang rindang. Namun sekarang, telah berubah menjadi pom bensin! Pembangunan fisik yang tidak dapat dipungkiri lagi kebutuhannya –selain bangunan berbeton– bagi kita adalah RTH.

11

Jejak

ketimpangan yang sangat mencolok antara keduanya. Bahkan, RTH yang telah ada, banyak yang berubah fungsi menjadi gedung-gedung komersial. Padahal, RTH ini sangatlah potensial sebagai daerah resapan air sekaligus pengendali banjir. Kini, sekitar 92 persen ruang di ibukota telah berubah menjadi hutan beton, dan hanya tersisa 8 persen yang menjadi daerah resapan air.

Akibatnya tentu sudah bisa kita tebak, banjir yang sering melanda ibukota menjadi sangat sulit untuk diatasi.

Minimnya daerah resapan air, apalagi tidak diimbangi dengan sistem drainase yang baik dan terpadu, akan mempercepat hancurnya kota ini karena selalu menjadi pelanggan bencana banjir di musim penghujan.

Pengalihan fungsi RTH menjadi hutan beton telah memunculkan kekhawatiran dari berbagai pihak terhadap masa depan dari kota ini, terutama bagi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Berpedoman pada Perda No. 6/1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta 2010, Pemprov DKI berusaha untuk memenuhi luas lahan RTH sebesar 13,94 persen dari luas DKI Jakarta sebesar 661,62 km2.

Sementara saat ini, realisasi RTH baru mencapai 9,9 km2. Niat baik ini tentunya harus didukung oleh seluruh lapisan masyarakat yang ada di Jakarta. Jika tidak, penurunan kualitas lingkungan hidup di kota ini akan terus berlangsung.

Selain itu, bertambahnya jumlah

Hutan Kota

Agar kota-kota besar di Indonesia menjadi tempat tinggal yang manusiawi dengan lingkungan yang sehat, maka berbagai upaya dari pemerintah provinsi untuk penghijauan kota (urban forestry) perlu segera dilakukan. Hal ini sejalan dengan semakin dibutuhkannya RTH di tengah ruang publik.

RTH dapat terbagi oleh berbagai macam, diantaranya bisa berupa taman industri, taman pemukiman, pertanian perkotaaan, jalur hijau, taman kota, dan hutan kota.

Dari semua jenis RTH, hutan kota merupakan salah satu yang mempunyai kelebihan khas. Hutan kota merupakan ekosistem yang tidak sama dengan pengertian hutan yang kita kenal selama ini. Hutan kota adalah komunitas tumbuhan berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar atau bergerombol (menumpuk) dengan struktur meniru (menyerupai) hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan lingkungan sehat nyaman dan estetis. Mungkin tidak akan terlalu banyak satwa yang bisa kita lihat, namun satwa tersebut turut memberi arti bagi hutan kota

itu sendiri.

Ada dua pendekatan yang dipakai untuk membangun sebuah hutan kota. Pertama, hutan kota dibangun pada lokasi tertentu saja.

Pada pendekatan pertama ini, hutan kota dipandang sebagai bagian dari sebuah kota. Penentuan luasnya dapat berdasarkan persentase luas kota maupun berdasarkan jumlah penduduk kota. Kedua, semua areal yang ada dalam sebuah kota pada dasarnya adalah areal untuk hutan kota. Pendekatan kedua ini memandang komponen-komponen yang ada di dalam kota sebagai bagian dari hutan kota. Indonesia menggunakan pendekatan pertama dalam membangun sebuah hutan kota, dimana hutan kota masih saja dipandang sebagai pelengkap dalam sebuah kota. Pemahaman tersebut sebenarnya semakin menyempitkan makna penting dari hutan kota.

Selain dua pendekatan di atas, bentuk hutan kota juga merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari hutan kota itu sendiri. Bentuk hutan kota sangat tergantung pada bentuk lahan yang tersedia. Bentuk hutan kota ini dibagi menjadi tiga.

Pertama, berbentuk bergerombol atau menumpuk. Hutan kota dengan bentuk seperti ini memiliki komunitas

tumbuhan yang terkonsentrasi pada suatu areal dengan jumlah tumbuhannya minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat tidak beraturan. Kedua, berbentuk menyebar. Hutan kota jenis ini tidak mempunyai pola tertentu, dengan komunitas tumbuhannya yang tumbuh menyebar terpencar dalam bentuk rumpun atau bergerombol kecil. Ketiga, berbentuk jalur, dimana komunitas tumbuhannya tumbuh pada lahan berbentuk jalur lurus atau melengkung, mengikuti bentukan sungai, jalan raya, pantai, dan saluran air.

Sebagai tambahan, struktur hutan kota juga memainkan peran yang cukup vital bagi pembangunan sebuah hutan kota. Maksud dari ‘struktur’ di sini adalah komposisi dari tumbuh-tumbuhan, jumlah, dan keanekaragaman dari komunitas tumbuhan yang menyusun hutan kota. Struktur hutan kota ini terbagi menjadi dua. Pertama, berstrata dua, dimana komunitas tumbuhan hutan kota hanya terdiri dari pepohonan dan rumput atau penutup tanah lainnya. Kedua, berstrata banyak, dimana komunitas tumbuhtumbuhan hutan kota selain terdiri dari pepohonan dan rumput, juga terdapat semak, terna, liana, epifit,

ditumbuhi banyak anakan dan penutup tanah, jarak tanam rapat tidak beraturan, dengan strata dan komposisi mengarah serta meniru komunitas tumbuh-tumbuhan hutan alam (hutan kota jenis kedua ini ada di kampus UI Depok).

Peraturan Pemerintah No. 63/2002 menyebutkan bahwa hutan kota merupakan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat dalam suatu wilayah perkotaan. Tanahnya bisa berupa tanah negara atau tanah hak. Luas hutan kota minimal 0,25 hektar dengan persentase paling sedikit 10 persen dari wilayah kota. Mengenai penentuan lokasi dan luas hutan kota, hal ini menjadi tugas Walikota atau Bupati berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan. Khusus untuk DKI Jakarta, dilakukan oleh Gubernur dan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta. Aspek penting yang perlu diperhatikan dalam membangun hutan kota adalah perencanaan, kelembagaan dan organisasi pelaksanaan, pemilihan jenis tanaman serta pemeliharaannya.

Kriteria penentuan luas kutan kota berbeda-beda dan tergantung dengan kebijakan oleh pemerintah

daerah. Berikut cara yang dapat dilakukan untuk penentuannya, misalnya menurut persentase dari luas kota, penentuan berdasarkan jumlah penduduk, dan berdasarkan isu ranking yang ada misalnya untuk mengatasi masalah air bersih, untuk pemenuhan kebutuhan oksigen, dan lain sebagainya.

Sebagai informasi, hasil inventarisasi Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta mencatat bahwa luas hutan kota di ibukota sekitar 183 hektar. Keberadaan dari hutan kota tersebut tersebar di lima wilayah DKI Jakarta dengan total 16 lokasi hutan kota. Persentase hutan kota yang paling luas berada di wilayah Jakarta Selatan, sekitar 75 hektar. Angka yang cukup besar ini disumbangkan oleh lima lokasi hutan kota, dan yang paling terkenal adalah hutan kota Kampus UI dan Kebun Binatang Ragunan. Sementara itu, persentase hutan kota yang paling sempit berada di wilayah Jakarta Pusat, sekitar 4 hektar. Angka ini hanya diwakili oleh satu lokasi hutan kota, yaitu Manggala Wanabakti.

Menurut data yang bersumber dari Sub Dinas Kehutanan DKI Jakarta, pada tahun 2006 total luas RTH yang direkomendasikan sebagai hutan kota adalah 450,56 hektar.

Potensi Wisata

Jejak 14 Vol. 2/1, Januari 2009

Tidak dapat dipungkiri, hutan kota sangatlah penting dalam keseharian kita. Perannya dalam menyangga bobroknya kualitas lingkungan sungguh besar. Jika dikembangkan dengan baik, fungsi rekreasi dapat menjadikan hutan kota sebagai sarana wisata alternatif bagi masyarakat perkotaan.

Hutan kota yang ada di tengah sibuknya aktivitas kota, seringkali diabaikan keberadaannya. Salah satu dari kita pun masih sering memandangnya sebelah mata.

Hutan kota dianggap sebagai pajangan dan pelengkap dari kota itu sendiri. Padahal jika jeli, kita dapat memanfaatkannya sebagai sarana pelepas lelah, sejenak melupakan kesibukan kita. Di sini, hutan kota memainkan unsur pelesirannya dengan baik. Seorang rekan mahasiswa UI dari Fakultas Ilmu Budaya saat ditanya komentarnya tentang fungsi hutan kota menjawab, “Untung gue kuliah di UI, walau tugas numpuk, namun pepohonan di sini bisa ngebantu kita ngilangin stres sejenak, mungkin karena banyaknya suplai oksigen juga kali ya?�

Keberadaan RTH di Jakarta yang semakin sempit memang cukup memprihatinkan. Penyusutan lahan bervegetasi ini memperburuk kondisi fisik kota. Udara yang sejuk dan kicauan burung menjadi barang yang sangat mahal di Jakarta. Kesibukan yang padat dari warga kota dan persaingan hidup pun makin hari makin tinggi, dengan mudah dapat memunculkan tingkat stres yang tinggi. Kebutuhan akan ruang publik yang sejuk dan nyaman kian mendesak. Sayangnya, kebutuhan ini sulit didapat dari kota yang telah menyibukkan keseharian mereka.

Setelah berkegiatan, warga harus berjibaku dengan kondisi lingkungan yang buruk. Ironis sekali memang.

Setiap akhir pekan atau masa libur, banyak warga kota yang mengungsi ke daerah sejuk yang umumnya berada di luar kota, misalnya Puncak.

Kegiatan ini mungkin hanya dapat dilakukan oleh segelintir warga kota saja. Keterbatasan ekonomi menjadi ganjalan utama bagi mereka yang enggan melakukannya. Bagi mereka yang ekonominya terbatas, pergi keluar kota untuk sekedar menikmati udara sejuk dan melepas kepenatan

merupakan sebuah impian yang mungkin sulit untuk diwujudkan.

Dengan demikian, keberadaan dari RTH yang ada di dalam kota seperti hutan kota, kebun binatang dan taman kota menjadi penting bagi mereka. Pasalnya, dengan biaya yang terbatas, mereka pun berharap agar kebutuhan akan rekreasi tetap terlaksana. Murah meriah dengan unsur pelesiran yang tinggi, RTH jawabannya!

Hutan kota memang luar biasa.

Fungsinya yang beragam menjadikan RTH ini kian hari kian dibutuhkan keberadaannya. Di negara maju, hutan kota memang mendapat perhatian yang khusus. Central Park di Amerika Serikat pun lahir sebagai wujud penghormatan negara tersebut akan pentingnya lingkungan yang baik dan berkualitas tinggi. Kondisi

Akan sangat sia-sia jika kita panjang lebar membicarakan hutan kota tanpa mengetahui fungsinya. Secara tersirat, semua memang sudah mengerti tentang fungsi hutan kota, misalnya hutan kota berfungsi untuk memulihkan kualitas lingkungan, ataupun berfungsi untuk menjaga keseimbangan ekologi yang ada. Namun, alangkah baiknya jika kebaikan dari hutan kota itu dirinci agar didapat pemahaman yang lebih baik.

Fungsi hutan kota sangat tergantung kepada bentuk dan struktur, serta tujuan perancangannya. Secara garis besar, fungsi hutan kota yang teramat banyak itu dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu fungsi lansekap dan fungsi pelestarian lingkungan (ekologi).

Fungsi Lansekap Terbagi menjadi dua jenis, fungsi fisik dan fungsi sosial.

Fungsi fisik terkait dengan peran hutan kota secara fisik, misalnya sebagai pelindung terhadap angin (bahkan di Jerman, hutan kota dibangun untuk tujuan ini),

sinar matahari, pemandangan yang kurang bagus, dan terhadap bau yang menyengat. Sedangkan fungsi sosial menekankan bahwa hutan kota menjadi lokasi interaksi sosial yang sangat menyenangkan. Fungsi sosial ini juga berhubungan dengan fungsi kesehatan dan pendidikan, misalnya hutan kota dimanfaatkan untuk terapi fisik, sebagai apotik hidup, serta tentunya sarana rekreasi dan olah raga.

Fungsi Pelestarian Lingkungan (Ekologi) Fungsi pelestarian lingkungan bagi hutan kota antara lain adalah menyegarkan udara atau sebagai paru-paru kota, menurunkan suhu kota dan meningkatkan kelembaban, sebagai ruang hidup satwa, penyangga dan pelindung permukaan tanah dari erosi akibat air hujan, sehubungan dengan itu hutan kota dapat membantu penyediaan air tanah. Fungsi lain adalah pengendali dan mengurangi polusi udara dan limbah, penyaring debu, penyerap dan penapis bau, peredam kebisingan, mengurangi bahaya hujan asam serta sebagai tempat pelestarian plasma nutfah (bahan baku biologi yang penting untuk masa depan) dan bioindikator.

Vol. 2/1, Januari 2009

Fungsi Hutan Kota

15

Jejak

terbalik justru terjadi di Indonesia.

Bahkan, ibukota kita tercinta ini dicap sebagai kota dengan tingkat pencemaran yang tinggi di Asia Tenggara.

Dari sisi ekonomi, keadaan lingkungan perkotaan telah mengalami perkembangan secara pesat, namun di sisi lain telah mengalami penurunan kualitas secara lingkungan. Hutan kota sebagai salah satu solusi dari lingkungan yang buruk di Jakarta pun kurang mendapat perhatian.

Hutan kota di Jakarta masih belum bisa dimaksimalkan dengan baik dan telah mengalami perubahan serta penurunan kualitas. Indikatornya bisa kita rasakan dari perubahan dan penurunan fungsi hutan kota, ditunjukkan oleh penurunan kondisi di sekitar lokasi hutan kota, di antaranya suhu udara, sistem tata air, keutuhan pepohonan.

Ekosistem daerah perkotaan semakin parah, maka untuk memperbaikinya perlu segera dilakukan perubahan. Untuk itu, lebih baik stigma ‘pelengkap dan pajangan’ yang terus melekat pada hutan kota kita buang jauh dari benak kita. Dengan demikian, kita juga ikut mendukung pencegahan dari isu pemanasan global yang ada di depan mata. Arti penting hutan kota bagi ibukota harus terwujud. Bukan sekedar mimpi, impian.

JEJAK ALAM

Losmen Terapung Teks dan foto oleh Seto ‘Awo’ Wardhana

Jejak 16 6 Vol. 2/1, Januari 2009 Losmen terapung itu...

Pagi itu masih seperti pagi-pagi yang lain dalam perjalanan kami.

Matahari dan kicauan burung menjadi alarm bagi. Penduduk yang lalu-lalang melakukan rutinitasnya mengganggu tidur nyenyak kami. Hanya ada satu hal yang berbeda yaitu tempat tidur yang berayun tanpa henti semalaman.

Malam itu kami menumpang tidur di atas kapal milik penduduk Desa Komodo. Kapal penduduk bermuatan 20-30 orang itu menjadi tempat berteduh kami hari itu. Inilah sedikit cerita perjalanan saya dan empat kawan ke Pulau Komodo.

Kita di Indonesia pasti tahu apa itu komodo, reptil terbesar yang masih hidup. Kita pun tahu bahwa binatang ini satwa endemik yang hanya hidup di sini. Dan kita tahu bahwa binatang ini adalah salah satu objek wisata yang paling dicari oleh wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.

Tak sedikit orang yang rela

Vol. 2/1, Januari 2009

Mengantar ke Negeri Naga

Jejak

17

Landscape Desa Komodo

merogoh kocek nya untuk melihat hewan pemakan bangkai ini. Dari mengikuti jasa pelayanan tur yang menggunakan kapal pesiar, hingga mereka yang menyewa kapal untuk pergi ke pulau yang yang terletak tak jauh dari lepas pantai Flores ini. Kala itu kami ingin mencoba cara lain.

Menguji Social SkilL

Keterbatasan dana merupakan kelemahan kami. Sedangkan keleluasaan waktu adalah kekuatan yang tersedia. Itulah yang menjadi perhitungan kami untuk melakukan perjalanan ini. Sesampainya di Labuhan Bajo, pelabuhan di Barat Flores, kami berlima langsung membagi tugas. Beberapa mencari informasi untuk transportasi menuju Pulau Komodo, dan sisanya mencari bahan makanan di pasar. Kebetulan saya mendapat tugas untuk mencari transportasi.

Dari data dan informasi yang kami dapatkan, untuk mencapai Pulau Komodo adalah dengan menggunakan jasa travel atau mencharter kapal di pelabuhan. Dari awal, opsi untuk menggunakan jasa agensi perjalanan sudah kami coret dari daftar. Tentunya kami tidak akan mampu membayar biaya yang ratarata disiapkan untuk turis asing itu.

Percobaan awal adalah mencoba bersosialisasi dengan beberapa turis asing untuk memperingan biaya penyewaan kapal. Namun karena ketidakcocokan waktu membuat kami harus membatalkan rencana itu. Saya pun teringat akan Desa Komodo.

Salah satu dari sekian banyak desa yang ada di dalam kawasan taman nasional, bahkan sebelum taman nasional itu berdiri. Dan benar, kami akhirnya menemukan kapal penduduk yang akan pulang ke Pulau Komodo.

Dengan biaya yang jauh lebih murah kami pun bisa menyebrang ke Pulau Komodo. Losmen terapung pun telah disiapkan. Kapal yang kami tumpangi itu akan berangkat keesokan paginya dan kami diijinkan untuk menginap di kapal tersebut.

Kami pun punya waktu seharian di Labuhan Bajo untuk membeli perbekalan yang akan dibutuhkan di Pulau Komodo. Ternyata tempat menginap kami cukup sensasional, tidur berayun dimanja gelombang lembut pelabuhan.

Setelah berbicara dengan sang nahkoda kami pun mengetahui bahwa kapal itu ternyata milik ayah dari Siti Hajar, salah seorang teman dari Ditto yang dulu bersekolah di Bima. Dan Hajar yang akan bersekolah di Mataram baru saja satu minggu yang lalu pulang ke Desa Komodo.

Ha! Setidaknya kami sudah memiliki tempat menginap di sana.

Menggantungkan hidup pada ikan

Jejak 18 Vol. 2/1, Januari 2009

Toh, sebenarnya tanpa Hajar pun kami kemungkinan akan mencoba menginap di rumah kepala desa.

Malam itu kami bisa menikmati makan malam hasil tangkapan kami sendiri. Laut yang jernih mengijinkan semua orang, bahkan yang awam terhadap kegiatan memancing pun bisa mendapatkan ikan (dengan catatan saya tidak berhasil menangkap satupun). Ikan sencara yang paling banyak kami tangkap menjadi salah satu camilan yang paling sering kami makan. Tangkap sendiri, olah sendiri, makan sendiri.

Dan semboyan D.I.Y kami pakai di sini.

Bukit “Lord of The Ring�

Pagi berikutnya, sekitar pukul 10 pagi, kapal berangkat dan perjalanan

memakan waktu lima jam. Dan hari itu ternyata bagian dalam kapal diprioritaskan untuk ibu-ibu, anakanak, karung-karung beras, dan kerupuk. Karena itu kami berlima dan beberapa pemuda lainnya terpaksa terjemur seperti ikan asin di atas kapal penumpang tersebut.

Kapal mulai memuat barangbarang belanjaan para penduduk.

Mereka terpaksa harus membeli bahan pangan di darat (penduduk yang tinggal di pulau biasa disebut orang pulo) karena tidak adanya perkebunan di wilayah Desa Komodo yang merupakan salah satu bagian dari Taman Nasional Komodo. Taman Nasional sebagai media konservasi tentunya tidak bisa mengijinkan pembuatan lahan pertanian

Perbukitan tandus, ciri khas landscape Pulau Komodo

yang kemungkinan besar akan mengganggu habitat dari komodo itu sendiri. Selain itu tradisi penduduk desa yang mata pencahariannya mencari ikan juga mempengaruhi tidak adanya lahan pertanian di Desa Komodo.

Di atas kapal dalam perjalanan menuju desa kami dibuat terkagumkagum oleh pemandangan yang disajikan oleh alam. Bukit-bukit tua yang mengingatkan kita pada film Lord of the Ring, lumba-lumba dan penyu yang berenang bebas di sekitar perahu Dimulai dari dua ekor elang yang berkelahi dengan seekor elang lainnya layaknya pesawat Spitfire Inggris yang harus berjuang melawan Messerschmitt Jerman dalam Battle of Britain. Penyu dan lumba-lumba yang

melompat bebas bersama pari manta di sekitar kapal tumpangan kami, panorama yang indah dan kawasan budidaya rumput laut disajikan berturut-turut kepada kami.

Desa Parabola

Vol. 2/1, Januari 2009

Eagle flyes alone...

19

Jejak

Setibanya di sana kami langsung menuju rumah Haji Hajar dan disambut oleh Siti Hajar. Sebetulnya Hajar sendiri tidak menunggu kami, karena sinyal telepon seluler tidak mencapai Pulau komodo, tapi karena menunggu kapal milik ayahnya kembali. Seketika itu pula kaget melihat Ditto yang tiba-tiba muncul di rumahnya. Hajar sendiri adalah teman satu kos Ditto, salah satu teman perjalanan saya yang berasal dari Flores. Karena pertemanan lama itulah kami mendapatkan tempat menginap yang benar-benar menyenangkan.

Desa Komodo sendiri merupakan desa kecil yang hanya dihuni sekitar 1.300-an penduduk. Mayoritas mata pencaharian mereka adalah nelayan.

Terlepas dari penampilan rumah mereka yang ala kadarnya, tingkat kemakmuran para penduduk, yang diperoleh dari hasil penangkapan ikan, sangatlah baik. Mungkin itu sebabnya hampir di setiap rumah yang rata-rata berdindingkan papan kita bisa melihat parabola terpajang di depannya. Mungkin ini semua hanya masalah prioritas saja.

Selain mencari ikan para penduduk juga memiliki pekerjaan sambilan yaitu membuat patung replika satwa komodo dari yang berukuran 20 cm hingga berukuran sama dengan komodo dewasa. Para pembuat patung ini mulai berkerja apabila bulan purnama dimana mereka sulit untuk mendapatkan ikan. Patung-patung ini dijual dengan harga yang bervariasi, dari dua puluh ribu sampai tiga juta rupiah.

Listrik yang hanya mengaliri desa ini dari pukul enam sore hingga dua belas malam pun menjadi sebuah keuntungan dan kerugian tersendiri bagi penduduknya. Setidaknya bagi saya sendiri melihat anak-anak bermain di luar rumah bersama-sama merupakan nilai positif. Hal yang tentunya sangat berbeda dengan keadaan di perkotaan besar dimana anak-anak tidak bisa hidup tanpa televisi dan permainan elektronik. dan kami pun sempat menikmati camilan udang rebon, asam yang dicampur jadi satu.

Antene parabola menjadi kebutuhan utama bagi penduduk Desa Komodo meski lokasinya cukup terpencil

Camilan udang rebon kini ditambah dengan bumbu penyedap: serbuan MSG!

Ujian Social Skill Jilid Dua dan Perkenalan dengan Ora

TNK merupakan daerah wisata, social skill kami berguna di sini. Karena dengan modal senyuman manis dan surat pemberian Pak Kades, para penjaga mengijinkan kami masuk tanpa perlu membayar biaya retribusi.

Kami akhirnya berjalan-jalan bersama para staf dari taman nasional yang sedang beristirahat karena kamilah grup turis terakhir yang masih ada di sana. Rasa putus asa pun sempat menghampiri kami ketika seekor ‘ora’ yang sangat besar lari saat kami baru menyadari keberadaannya. Rasa putus asa itu

merencanakan untuk masuk ke Taman Nasional Komodo (TNK) itu sendiri. Hal ini dikarenakan mahalnya tiket masuk, setidaknya untuk kami, yang mencapai 98 ribu rupiah per kepala untuk masuk kedalam TNK. Kami hanya berharap bahwa benar cerita yang kami dapat sebelumnya bahwa para komodo sering sekali turun ke desa untuk sekedar berteduh, karena desa yang kami tinggali tak lain merupakan bagian dari TNK itu sendiri.

Malam sebelum kami berangkat, saya bertemu dengan bapak kepala desa untuk sekedar sowan dan memberitahukan bahwa kami akan menginap di rumah bapak Haji Hajar untuk beberapa hari. Tentu dengan

Jakarta yang ingin melihat komodo”.

Wah! sudah diangkat menjadi saudara rupanya kami, ramah sekali cara mereka menerima tamu di sini! Di pintu masuk Pulau Komodo kami bertemu dengan beberapa rombongan wisatawan asing yang gagal melihat “ora”, begitu komodo disebut di sana, yang sedang bersembunyi. Dan kejadian itu sempat membuat kami gelisah.

Setelah bertemu dengan mas Herman kami pun diajak berjalan berkeliling untuk mencari komodo.

Sedikit cerita bahwa seorang backpacker harus memiliki social skill yang tinggi karena mereka biasa masuk ke daerah yang notabene bukan daerah wisata. Toh, walaupun

akhirnya hilang ketika seekor ora lain menghampiri dan tidur di dekat tempat kami beristirahat. “ Seumur hidup baru dua kali saya mengantar orang dan dihampiri komodo. Dan saat itu para wisatawan membayar tiket masuk,” canda mas Herman.

Kebetulan Komodo itu baru saja makan dan mencari tempat untuk tidur. “Dia nggak bakal gerak lagi sampai besok pagi”, kata Mas Herman. Kami pun puas sekali melakukan sesi fotografi dengan binatang legendaris itu. Dan si “komo” pun mendukung dengan menggeleng-gelengkan kepala dan mengedipkan mata nya.

Dan setelah puas melakukan sesi foto kami pun pulang ke desa

Jejak

Keesokan harinya kami berangkat ke pintu masuk TNK, Loh Liang. Musim kawin komodo pada saat itu membuat kami tidak bisa melihat komodo di sekitar desa karena mereka bersembunyi.

Rasanya kurang tenang bagi batin kami bila belum melihat binatang ini secara langsung di habitat aslinya.

Kami pun menyusuri pantai selama kurang lebih satu jam dari desa untuk mencapai Loh Liang.

Pada awalnya kami tidak

sedikit tersenyum dan menceritakan perjalanan kami di Tambora, Sataonda, dan sekitarnya dapat membuat Pak Kades terenyuh dan menawarkan bantuannya, “Bantuan macam apa?” pikir saya. Rasanya tidak enak kalo kami harus menerima uang dari Pak Kades “Mampirlah ke kantor besok pagi”, kata Pak Kades Keesokan paginya di kantor Pak Kades secarik kertas di berikan kepada kami unutk kami lanjutkan kepada Hermansyah, penduduk desa yang berkerja di TNK yang initnya meminta bantuan untuk kami “Saudara-saudara Pak Kades dari

20 Vol. 2/1, Januari 2009

Asik main di luar, tidak menjadi generasi TV karena belum masuk aliran listrik

Vol. 2/1, Januari 2009

Suvenir khas Pulau Komodo

Jejak

21

dan bersiap-siap untuk pergi kembali.

Kebetulan kami pulang saat air laut mulai surut dan menyaksikan terumbu karang di tepi pantai yang timbul karena surutnya air laut dan beberapa penduduk yang mengumpulkan kerang untuk dijadikan souvenir. Dalam perjalan kali ini, seperti perjalanan lainnya kami melihat banyak hal dan dengan semakin banyak kami melihat halhal baru, kepekaan dan sensitivitas kami makin terlatih. Dan dua hal itu lah yang membuat kami semakin mencintai negara ini. Karena untuk mencintai Indonesia tidak mungkin tanpa mengenal dari dekat masyarakat yang ada di dalamnya, bukan?

Legalitas vs Budaya

Rupanya, syarat untuk bekerja di TNK bagi penduduk Desa Komodo cukup berat. Alhasil hanya lima orang saja dari seluruh penduduk Desa Komodo, yang bekerja untuk Taman Nasional Komodo (TNK).

Ini dikarenakan minimnya tenaga terdidik diantara penduduk desa yang juga sedikit itu. Sekolah yang ada hanya sampai tingkat SMP, dan kata Pak Kades jumlah sarjana hanya tiga orang saja.

Di sisi lain, sebagai wilayah konservasi, pengelola TNK

wajib menerapkan peraturan layaknya taman nasional, misalnya melarang penggunaan bom dan racun untuk menangkap ikan, perburuan rusa liar, dan lainnya. Disinilah kemudian masalah sering kali timbul, karena pelarangan itu menyentuh kebiasaan penduduk yang kadang terlanjur membudaya. Bahkan, sebagian penduduk desa merasa upaya untuk bertahan hidup dibatasi oleh peraturan TNK. Ini memang masalah dasar negeri ini dalam hal pelestarian lingkungan. Selain mendasar, juga rumit. Saking rumitnya, saya malah memilih untuk tidur di kasur yang empuk, karena ini kesempatan langka selama disana.

JEJAK INSPIRASI

Jejak 22

Upaya yang keras dalam membangun hutan kota membuat Tarsoen Waryono menerima penghargaan Kalpataru dari Presiden RI pada 6 Juni 2005. Tarsoen merupakan pelaksana Program Pembangunan Hutan Kota Kampus Universitas Indonesia, Depok seluas 100 hektar, yang terdiri dari zona inti untuk hutan hujan tropis dan zona penyangga cagar untuk tanaman obat, buah dan persemaian. Berikut hasil bincang-bincang Jejak dengan “Sang Arsitek Hutan Kota�.

Vol. 2/1, Januari 2009

HUTAN KOTA UI

Wujud Cinta Sang Arsitek

Teks oleh Sofyan Nurhadi Foto oleh Fikri M

Apa fungsi Hutan Kota UI? Fungsi hutan kota UI sebagai labotarium alam bagi civitas akademika UI atau perguruan tinggi lain serta beberapa siswa didik di tingkat SLTA. Apa dasar pengembangan hutan kota di lingkungan Kampus UI? Dasar dari pengembangan hutan kota UI adalah SK. Rektor UI Nomor 088/SK/R/UI/1985, tentang Mahkota Hijau dengan bentuk Hutan Kota guna mewujudkan tujuan pokok: Pertama, penampilan dan kesan citra UI, dan kedua, perwujudan manfaatmanfaat serbaguna hutan kota.

Pengembangan kawasan UI sesuai dengan Rencana Tata Ruang terdiri atas kawasan terbangun sebesar 70% dan kawasan Ruang terbuka Hijau

: Ir. Tarsoen Waryono, M.Si : Cilacap, 12 Juni 1952 : Jalan Cendrawasih Raya No. 306, Depok I, Kota Depok : • Sarjana Kehutanan, Institut Pertanian Bogor • Magister Manajemen Konservasi, Biologi FMIPA UI • Doktor Restorasi Ekologi, Biologi FMIPA UI : • Departemen Kehutanan (1974-1986) • Staf Pengajar Departemen Geografi FMIPA UI (1987-sekarang) : • Pengelola Hutan Kota Universitas Indonesia (1990-sekarang) • Ketua Forum Komunikasi Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta (1995-sekarang)

• Sekretaris Himpunan Kelompok Tani Indonesia (1998-2003)

• Sekretaris Lembaga Swadaya Lingkungan Hidup Kota Depok (2000-sekarang)

• Konterpart Pemberdayaan Masyarakat Sadar Lingkungan Kabupaten Admintratif Kepulauan Seribu (2002-sekarang)

• Anggota Tim Pengembangan Bidang Studi Perhutanan (Universitas Nusa Bangsa Bogor dan Universitas Winaya Mukti Bandung) (2006-sekarang)

• Ketua Forum Keluarga Kalpataru Nasional, Jakarta (2007sekarang) Penghargaan : Anugerah di Bidang Lingkungan (Kalpataru) tahun 2005

(RTH) 30% dari luas UI yang mencapai 390 hektar.

Dari data yang didapat, Hutan Kota UI ditata menyatu dengan situ?

Desain hutan kota UI dikombinasikan dengan tandon air atau situ seluas 30 hektar. Situ-situ ini berfungsi sebagai pengendali banjir serta suplai air tanah, baik di kampus UI sendiri maupun di Jakarta Selatan. Selain itu, situ ini juga berfungsi sebagai kawasan rekreasi dan olah raga seperti perahu naga serta sepeda air.

Enam situ yang dibangun untuk melengkapi hutan kota, yaitu Situ Kenanga (dekat masjid), Situ Agatis (dekat F-MIPA), Situ Mahoni (dekat FE), Situ Puspa (dekat Fakultas Ilmu Budaya), Situ Ulin (dekat Fakultas Teknik), dan Situ Salam (dekat Asrama dan Wisma Makara UI). Keunikan dari situ ini, jika kita merangkai huruf depan dari keenam situ ini akan terangkai kata K-A-M-P-U-S. Mengenai pengunjung Hutan Kota UI yang membuang sampah sembarangan?

Masalah ini adalah tugas kita semua sebagai civitas akademika UI untuk menyadarkan mereka yang membuang sampah sembarangan.

Kalau kita melihatnya, langsung saja ditegur.

Dengar-dengar akan dibangun mal di dalam kampus?

Sekarang ini, sebenarnya pembangunan fisik sudah cukup, sehingga tidak perlu dilakukan lagi pembangunan yang menyebabkan terganggunya air tanah.

Pengecualian terhadap bangunan-bangunan yang telah direncanakan sebelumnya seperti pembangunan gedung Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi dan Rumah Sakit. Kalau mau bangun mall, lebih baik membangun mal buku terbesar di dunia, kan itu lebih berguna.

Usaha yang keras dari Tarsoen dalam hal pelestarian lingkungan melalui media Hutan Kota UI tentunya telah memberikan sedikit 'pencerahan' kepada generasi muda agar terus mewarisi nilai-nilai cinta terhadap lingkungan yang sekarang ini mulai tergerus akibat pola pergaulan yang justru sifatnya lebih ke arah 'merusak', bukan 'melestarikan'.

Pernyataan terakhirnya dalam wawancara ini menyiratkan sindiran kepada kita semua bahwa sebenarnya pembangunan fisik yang bersifat lingkungan-lah yang kita butuhkan saat ini, bukan pembangunan fisik yang mendukung kepentingan segelintir pihak saja.

Vol. 2/1, Januari 2009

Lalu bagaimana dengan Hutan Kota UI? Hutan kota yang ada di Kampus UI merupakan hutan kota terluas yang dimiliki oleh DKI Jakarta dan Kota Depok, yakni 100 hektar. Hutan kota ini berbeda dengan kawasan hijau penyangga bangunan, karena hutan kota ini memiliki tujuan misional yaitu ingin menanam pepohonan yang berasal dari Sabang sampai Merauke di bawah nama besar UI. Jenis pohon yang dimiliki pun mempunyai makna, baik secara akademis, politis serta nilai-nilai sosial budaya.

Keterkaitannya bahwa Indonesia merupakan negara megadiversitas yang memiliki jenis flora dan fauna terbesar kedua setelah Brasil.

Secara akademis, jenis tanaman yang dibudidayakan di hutan UI terutama jenis endemik. Jenis tanaman ini selain memiliki peranan fungsi ekologis, mempunyai fungsi estetika.

Nama Lahir Alamat Pendidikan

Pekerjaan

Profesi

23

Jejak

Bagaimana pembangunan Kawasan Hijau Kampus UI? Pembangunan Kawasan Hijau Kampus UI dibagi menjadi dua tatanan: kawasan hutan kota dan kawasan hijau penyangga (landscape).

Sedangkan untuk pembangunan fisik berada di luar hutan kota, tepatnya di sekitar fakultas, memadukan jenis tanaman perdu berbunga dan berwarna serta dikombinasikan dengan bentuk warna bangunan.

AGENDA

“SELAMATKAN BUMIKU”

23 Januari - 1 Februari 2009, Gedung Summitmas, Jl. Sudirman, Jakarta The Japan Foundation menyelenggarakan pameran lukisan anak Indonesia Jepang yang bertema “Selamatkan Bumiku”. Acara ini akan dilaksanakan di Hall Japan Foundation, Gedung Summitmas, Jalan Sudirman.Untuk keterangan lebih lanjut dapat menghubungi Arum atau Lia The Japan Foundation, 021-5201266 (hunting).

PAMERAN INOVASI IPTEK

4 - 8 Maret 2009, Kampus ITB, Bandung Pameran inovasi IPTEK ini diselenggarakan di Kampus ITB Bandung. Pameran ini akan menampilkan karya-karya mutakhir dalam solusi iteks yang meliputi energi, bioteknologi, desain, dan pengelolaan lingkungan.

JAKARTA INTERNATIONAL JAVA JAZZ FESTIVAL 2009 8th ISLAMIC BOOK FAIR

Jejak 24 Vol. 2/1, Januari 2009

28 Februari - 8 Maret 2009, Gelora Bung Karno, Jakarta Acara yang diselenggarakan oleh IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) ini bertema “8th Islamic Book Fair 1430/2009”, dan akan diselenggarakan di Istora Gelora Bung Karno Jakarta.

Acara ini diadakan sebagai ajang pameran buku-buku Islam, baik buku pengetahuan ataupun buku kebudayaan Islam.

6, 7, 8 Maret 2009, Jakarta Dengan mengusung semangat “Membawa Dunia ke Indonesia”, Jakarta International Java Jazz Festival akan kembali diadakan pada tahun 2009, tepatnya tanggal 6 - 8 Maret 2009. Java Festival Produksi selalu komit untuk menampung kreativitas musisi Indonesia. Seperti di festival sebelumnya, untuk tahun 2009, musisi Indonesia, dari senior ke junior, akan berkolaborasi dengan seniman internasional dalam festival itu. Beberapa nama internasional yang direncanakan akan hadir, antara lain Dianne Reeves, Roy Ayers, David Foster, Peabo Bryson, Mike Stern, Eric Darius, Everette harpa, Kirk Whalum, Kurt Rosenwinkel, Regina Carter, Ledisi, Annekei, eliane Elias, Oleta Adams, Ed Motta, Claudia Acuña, Ivan Lins, Tom Scott, Phil Perry, Ron King, dan BB King. Untuk informasi lebih lanjut: www.javajazzfestival.com

Selamat atas terpilihnya Cipto Haryabri (M-745-UI)/FH UI ‘05 sebagai Ketua BP Mapala UI periode 2008-2009

12 Desember 1964-2008

44 Tahun Mapala UI Pemenang Quiz vol 1/2 Juni 2008 Pertanyaan: Bilangan Fu adalah novel karya Ayu Utami yang ke berapa?

Jawaban: b. 3

Pemenang kuis: • Mellisa Yans • Andra Maulana • Dwi Arie Wibowo • Barita • Lucky N.

Para pemenang dapat mengambil hadiah langsung ke Sekretariat Mapala UI Gedung Pusgiwa Lt. 1 Kampus Baru UI, Depok. T (021) 788 84872.

Jangan lupa bawa identitas diri ya!!!

Selamet yah!!!

Jejak Alam edisi selanjutnya bakal ngasih cerita perjalanan Tim Mapala UI mendaki Gunung Leuser pada Juni 2008 lalu. Di kalangan pendaki gunung, Leuser terkenal sebagai gunung yang sulit dan ‘berbahaya’ karena jalur-jalurnya yang bisa menyesatkan. Ikuti cerita perjalanan yang menantang di gunung yang terkenal kaya dengan keanekaragaman vegetasi

Jejak bisa diambil di: • Kantin, Perpustakaan, dan Koperasi Mahasiswa semua fakultas di UI • Asrama UI Depok • Masjid Ukhuwah Islamiyah • Alfamart Psikologi UI • Perpustakaan Pusat UI • PUSGIWA UI

Tertarik pasang iklan?

Hubungi: Annisa Rahmania 0817 646 1939 atau Prihandoko 0817 666 8895

LEUSER

EKO BISNIS

Peluang bisnis yang semakin kecil sekarang ini ternyata telah jadi celah buat munculnya inovasibaru. Bisnis berbasis lingkungan adalah salah satu jawabannya. Manfaatnya pun ngga’k tanggung-tanggung, selain dapet laba dari hasil berbisnis, pelestarian lingkungan juga terus terjaga.

25

Jejak

POLUSI SUARA

Kebisingan yang terjadi di lingkungan tempat tinggal kita emang selalu aja bikin kesel. Bunyi kendaraan bermotor di jalanan yang padat, gelegar mesin pabrik, dan yang lainnya. Selain emang bikin lingkungan kita nggak nyaman, polusi suara ini pastinya memberi efek negatif terhadap indera pendengaran manusia. Pemahaman yang sedikit sekali dari masyarakat soal polusi suara ini telah mendorong tim redaksi Jejak untuk ngasih sedikit perhatiannya ke jenis polusi yang satu ini.

Vol. 2/1, Januari 2009

SEE U...

Call: Supriyatno 0852 8346 2994, 021 9165 2597 Yulia 0819 0559 4647, 021 9276 8150