Best Legal Opinion - ALSA Indonesia Legal Opinion 1

Page 1

BEST LEGAL OPINION ALSA INDONESIA LEGAL OPINION PERIODE I Larangan Rangkap Jabatan dalam Pemilu 2019 bagi Calon Anggota DPD: Supremasi Hukum atau Skeptisisme Hukum? Oleh: Novrita Nadila Humaira, Jeremy Abrahan Guntur, dan Bernessa Clarissa Rotua Silalahi ALSA Local Chapter Universitas Gadjah Mada I. KASUS POSISI 1. Pada tanggal 23 Juli 2018, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang menganulir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang melarang pengurus partai politik menjadi calon legislatif Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 2. Putusan MK tersebut dijadikan dasar terbitnya Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD yang merupakan Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 khususnya Pasal 60A yang mengharuskan pengurus partai politik sebagai calon anggota DPD dalam Pemilu 2019 untuk mengundurkan diri dari jabatannya. 3. Oesman Sapta Odang (OSO), Ketua DPD sekaligus Ketua Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), terancam tidak dapat mencalonkan diri sebagai anggota DPD pada Pemilu 2019. 4. OSO melakukan uji materiil atas Peraturan KPU tersebut ke Mahkamah Agung (MA) yang permohonan intinya adalah menyatakan bahwa Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tidak sah dan batal demi hukum. 5. MA mengeluarkan putusan atas uji materiil tersebut melalui Keputusan Nomor 65 P/HUM/2018 yang intinya menyatakan bahwa Pasal 60A


Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tidak berlaku surut, yang mengindikasikan bahwa pengurus partai politik tetap bisa mencalonkan diri menjadi anggota DPD untuk Pemilu 2019. 6. KPU memutuskan untuk mengikuti Putusan MK dan mencoret nama OSO dari Daftar Calon Tetap (DCT). 7. OSO juga melaporkan KPU ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dengan tudingan pelanggaran administrasi dan pidana pemilu. II. ISU HUKUM 1. Apakah Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 mengenai larangan anggota partai politik merangkap sekaligus menjadi anggota DPD telah sesuai dengan hukum pemilihan umum di Indonesia? 2. Bagaimana implementasi dari Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018, Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018, dan Putusan MA Nomor 65 P/HUM/2018 dalam realita penyelenggaraan Pemilu 2019 di Indonesia?

III. DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disingkat UU Pemilu) 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disingkat UU MD3) 3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (selanjutnya disingkat UU Parpol) 4. Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 5. Putusan MK Nomor 10/PUU-VI/2008 6. Putusan MA Nomor 65 P/HUM/2018 7. Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018


IV. ANALISIS “Ubi jus incertum, ibi jus nullum� Di mana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum Persyaratan untuk menjadi anggota DPD diatur dalam Pasal 182 UU Pemilu. Salah satu persyaratan yang menimbulkan multi interpretasi adalah Pasal 182 huruf m UU Pemilu yang relevan dengan Pasal 302 ayat (1) huruf c UU MD3 yang keduanya pada pokoknya mensyaratkan bahwa calon anggota DPD agar bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat negara lainnya, direksi, komisaris, dewan pengawas, dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara.1 Jika dilihat berdasarkan ketentuan-ketentuan mengenai persyaratan bagi anggota DPD di atas, memang tidak ada aturan yang secara tegas melarang ataupun membatasi anggota partai politik untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Namun demikian, apabila Pasal 302 ayat (1) huruf c UU MD3 dan Pasal 182 huruf m UU Pemilu tersebut di atas diinterpretasikan secara sistematis dengan Pasal 34 ayat (1) huruf c UU Parpol, akan terlihat keterkaitan diantara ketiganya. Pasal 34 huruf c UU Parpol secara eksplisit menyatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pasti merupakan bagian dari sumber keuangan partai politik.2 Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa anggota DPD tidak diperbolehkan merangkap sebagai pengurus partai politik karena anggaran partai politik bersumber dari bantuan APBN/APBD.

1

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum jo. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik


Pada faktanya, berdasarkan laporan dari Indonesian Parliamentary Center, terdapat setidaknya tujuh puluh anggota DPD yang berafiliasi kepada partai politik yang sebagiannya merupakan pengurus. Bahkan, OSO, Ketua Umum Hanura, baru saja dilantik sebagai pimpinan baru DPD.3 Padahal, salah satu tujuan atau original intention dari perubahan UUD NRI 1945 yang menyebabkan lahirnya DPD adalah agar terciptanya fungsi Check and Balances dalam lembaga kenegaraan sehingga kekuasaan tidak bertumpu hanya pada satu institusi negara saja. Fungsi Check and Balances tersebut tidak akan terlaksana secara maksimal apabila di dalam pengerjaannya masih tercampur dengan kepentingan politik, bukan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat/daerah. Pentingnya DPD sebagai jembatan antara daerah dan pusat tersebut juga ditekankan dalam Putusan MK Nomor 10/PUU-VI/2008 yang salah satunya menyatakan bahwa DPD merupakan representasi

daerah

(territorial

representation)

yang

membawa

dan

memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam kerangka kepentingan nasional sebagai imbangan atas prinsip “checks and balances” terhadap DPR yang merupakan representasi politik (political representation) dari aspirasi dan kepentingan politik partai-partai politik dalam rangka kepentingan nasional.4 Apabila anggota DPD sebagai territorial representation mayoritas diisi oleh anggota partai politik sebagai political representation yang fungsinya seharusnya “dikerjakan” oleh DPR, tentu akan terjadi double representation atau keterwakilan ganda, yaitu dijalankannya fungsi parlemen yaitu DPR dan DPD oleh satu lembaga. Maka dari itu, seharusnya, dalam mencalonkan diri sebagai anggota DPD, seseorang tersebut haruslah sebagai perseorangan yang tidak memiliki afiliasi dengan partai politik manapun yang tidak lagi membawa kepentingan partainya melainkan membawa kepentingan daerahnya. Oleh karena itu, larangan anggota 3 Achmad Nurcholis, ‘Katastrofi Dewan Perwakilan Daerah: Parpolisasi, Korupsi, dan kemelut Konflik’, (Indonesian Parliamentary Center, 2017) < https://ipc.or.id/katastrofi-dewanperwakilan-daerah-parpolisasi-korupsi-dan-kemelut-konflik/> accessed 29 Juni 2019. 4 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VI-2008, paragraf [3.18.1], huruf f, halaman 205-206


partai politik yang merangkap sekaligus menjadi anggota DPD telah sesuai dengan hukum pemilihan umum yang berlaku di Indonesia. Namun, dikeluarkannya Putusan MK tersebut telah menimbulkan efek “domino� dengan juga dikeluarkannya putusan terhadap gugatan dari OSO oleh MA dan Peraturan KPU yang ketiganya memiliki substansi yang bertentangan. Pertentangan antar-putusan tersebut juga telah menimbulkan reaksi berupa pro dan kontra dalam masyarakat. Reaksi kontra masyarakat timbul dikarenakan MK pada putusannya menambah syarat baru dalam pendaftaran calon anggota DPD, sedangkan ketika putusan tersebut dijatuhkan, seluruh tahapan pendaftaran calon anggota DPD telah berakhir dan tidak ada lagi verifikasi syarat-syarat pendaftaran. Secara nyata, dalam penyelenggaraan pemilu memang terdapat linimasa waktu yang ditetapkan. KPU telah menutup pendaftaran calon anggota DPD pada tanggal 11 Juli 2018. Di sisi lain, verifikasi hingga penetapan DCT berlangsung sampai 20 September 2018. Putusan MK tersebut tertanggal 23 Juli 2018, yang berarti putusan tersebut dijatuhkan setelah melewati masa pendaftaran. Ditambah, pada tanggal 25 Oktober 2018, MA mengeluarkan Putusan MA Nomor 65 P/HUM/2018 yang bertentangan dengan Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018, dimana MA berpendapat bahwa Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tidak dapat diberlakukan untuk Pemilu 2019 karena peraturan tersebut lahir setelah rangkaian pendaftaran dan tahapan Pemilu 2019 dimulai sehingga peraturan tersebut tidak dapat berlaku surut (retroactive). Oleh karena itu, MA berpendapat bahwa Pasal 60A tersebut tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum selama tidak digunakan untuk Pemilu 2019.5 Berdasarkan Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018, dalam kasus OSO, KPU menyatakan bahwa OSO harus tetap menyerahkan surat pengunduran diri dari pengurus partai maksimal tanggal 21 Desember 2018 apabila ia tetap ingin

5

Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018, hlm. 46-47


namanya dimasukkan dalam DCT. Namun, sampai batas waktu yang ditentukan, OSO tidak menyerahkan surat tersebut. Akhirnya, KPU menyatakan bahwa nama OSO tidak dicantumkan dalam DCT sebagai peserta pemilu anggota DPD 2019. Keputusan KPU untuk mencoret nama OSO dari DCT karena mengikuti Putusan MK tersebut dinilai sangat kontroversial, mengarah ke kepentingan politik tertentukah atau memang merupakan amanah konstitusi? Abdul Kadir, kuasa hukum OSO, pun melakukan pengaduan kepada Bawaslu atas Keputusan KPU tersebut. Dalam putusannya, Bawaslu memerintahkan KPU untuk memasukkan OSO dalam daftar calon anggota DPD dalam Pemilu 2019 namun OSO tetap harus mundur sebagai pengurus Partai Hanura jika kembali lolos sebagai anggota DPD periode 2019-2024.6 Dalam hal ini, kekisruhan dalam pengimplementasian ketiga putusan/peraturan tersebut jelas telah memunculkan pandangan skeptis dari masyarakat Indonesia terhadap penyelenggaraan Pemilu tahun 2019 di Indonesia.

F Fitria Chusna Farisa, `KPU Tegaskan OSO Tak Masuk Dalam DCT Caleg DPD’, (Kompas, 2018) <https://nasional.kompas.com/read/2018/12/24/18111491/kpu-tegaskan-oso-takmasuk-dalam-dct-caleg-dpd> accessed 29 Juni 2019. 6


V. KESIMPULAN Terlepas dari sudah linearnya larangan calon anggota DPD merangkap sebagai anggota partai politik dengan hukum pemilihan umum di Indonesia, Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018, Putusan MA Nomor 65 P/HUM/2018, serta Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 menjadi perdebatan karena dianggap menghasilkan keputusan yang berbeda-beda. Padahal apabila kita amati dengan seksama, Putusan MK dan Putusan MA secara normatif tidak bertentangan karena sama-sama memutuskan untuk melarang pencalonan anggota DPD yang berasal dari pengurus partai politik. Perbedaannya ialah pada implementasinya, Putusan MK tersebut langsung diberlakukan pada Pemilu 2019 karena Putusan MK baru dijatuhkan pada tanggal 23 Juli 2018 sementara persyaratan pengumpulan dokumen Pemilu berakhir pada 19 Juli 2019, sedangkan Putusan MA baru diberlakukan pada Pemilu selanjutnya. Namun, justru perbedaan implementasi tersebutlah yang menimbulkan kesimpangsiuran dalam pelaksanaan Pemilu calon anggota DPD tahun 2019 ini. Putusan MK tersebut tidak memuat apakah harus dilakukan verifikasi ulang atau tidak padahal Putusan MK tersebut menambah syarat untuk menjadi calon anggota DPD disaat seluruh tahapan pendaftaran telah berakhir. UU Pemilu juga tidak mengatur mekanisme apa yang harus dilakukan setelah Putusan MK itu dijatuhkan. Dengan tidak diaturnya mekanisme apa yang harus dilakukan setelah Putusan MK dijatuhkan, tentu dapat memunculkan keresahan karena absennya kepastian hukum.


VI. SARAN 1. Seharusnya MA, MK, dan KPU melakukan koordinasi yang berkelanjutan dan mendalam guna menghindari adanya putusan dan/atau peraturan yang saling bertentangan agar kepastian hukum dalam Pemilu 2019 di Indonesia dapat tercipta. 2. MK dan KPU dalam mengeluarkan putusan/peraturan hendaknya menilik asas non-retroaktif sehingga tidak mengganggu proses tahapan Pemilu yang sedang berjalan. 3. UU MD3 sebaiknya memuat pasal yang mengatur secara eksplisit mengenai larangan adanya rangkap jabatan menjadi DPD.


DAFTAR PUSTAKA Laman [accessed 29 Juni 2019] Achmad Nurcholis, ‘Katastrofi Dewan Perwakilan Daerah: Parpolisasi, Korupsi, dan

Kemelut

Konflik’,

(Indonesian

Parliamentary

Center,

2017)

<https://ipc.or.id/katastrofi-dewan-perwakilan-daerah-parpolisasi-korupsi-dankemelut-konflik/>. Fitria Chusna Farisa, `KPU Tegaskan OSO Tak Masuk Dalam DCT Caleg DPD’, (Kompas, 2018) <https://nasional.kompas.com/read/2018/12/24/18111491/kputegaskan-oso-tak-masuk-dalam-dct-caleg-dpd>. Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VI/2008 Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.