ALSA Indonesia Legal Opinion 2020 - Periode 1

Page 1

PERIODE 1

ALSA INDONESIA LEGAL OPINION

Sistematika Perbudakan Modern dalam Kapal Tangkap Ikan pada Anak Buah Kapal

alsa-indonesia.org


ALSA NATIONAL CHAPTER INDONESIA 2020-2021

ALSA INDONESIA LEGAL OPINION “Sistematika Perbudakan Modern Dalam Kapal Tangkap Ikan Pada Anak Buah Kapal”


DAFTAR ISI ALSA INDONESIA LEGAL OPINION PERIODE I 2020-2021 “Sistematika Perbudakan Modern Dalam Kapal Tangkap Ikan Pada Anak Buah Kapal�

Haryo Putro Dirgantoro, Mario Jon Jordi, dan Tri Prasetyo Dharma Yoga ALSA Local Chapter Universitas Gadjah Mada

Kontinuitas Praktik Modern Slavery terhadap Anak Buah Kapal Indonesia sebagai Refleksi Kusutnya Instrumen Hukum Indonesia -------------------------------------------------------------- 1-11 Michael Wibowo Joestiawan, Kadek Novita Dwi Irianti dan Gusti Ayu Suasti Astumaz Daniswari ALSA Local Chapter Universitas Udayana

Kepastian Hukum Korban Eksploitasi Pada Anak Buah Kapal Dalam Hukum Nasional ---- 12-20 Fadhilah Nuraini Rustam ALSA Local Chapter Universitas Jenderal Soedirman

Perlindungan Hukum Bagi Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia Di Kapal Ikan Asing -------- 21-27 Muhammad Akbar Santara, Pahlawan Jati Kusumo, dan Sasha Brilliani Trison ALSA Local Chapter Universitas Indonesia

Karamnya Hak Anak Buah Kapal, Ketika Penerapan Regulasi Tidak Optimal ---------------- 28-38 Teuku M. Soulthanarafif dan Tiara Haji Faradiba ALSA Local Chapter Universitas Syiah Kuala

Upaya Pengawasan dan Perlindungan Hukum Bagi Anak Buah Kapal ------------------------- 39-46 Dewi Ayu Atika Putri, Much. Nanditama Bayu Ramadhan, dan Saskia Tembang Prasasti ALSA Local Chapter Universitas Jember

Rekonstruksi Penegakan Hukum Positif Sebagai Upaya Perlindungan Anak Buah Kapal yang Berstatus Warga Negara Indonesia ------------------------------------------------------------------ 47-55 Veren Towua ALSA Local Chapter Universitas Sam Ratulangi Lemahnya Penegakan Hukum dalam Hal Pelindungan Pekerja Migran Indonesia untuk Melindungi Hak-Hak Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia di Kapal-Kapal Asing ------------ 56-63


LEGAL OPINION ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS GADJAH MADA

1


Kontinuitas Praktik Modern Slavery terhadap Anak Buah Kapal Indonesia sebagai Refleksi Kusutnya Instrumen Hukum Indonesia Haryo Putro Dirgantoro, Mario Jon Jordi, dan Tri Prasetyo Dharma Yoga Universitas Gadjah Mada

I.

Batasan dan Asumsi 1. Legal opinion ini disusun dan ditujukan semata-mata untuk mengikuti Kompetisi ALSA Indonesia Legal Opinion Periode 1 2020-2021. Apabila terjadi pengungkapan Legal Opinion ini terhadap pihak ketiga, Kami tidak bertanggung jawab kepada pihak ketiga tersebut. 2. Legal opinion ini hanya didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, baik di negara Republik Indonesia maupun negara yang bersangkutan dengan isu hukum yang Penulis angkat.

II.

Kasus Posisi 1. Bahwa pada tanggal 7 Mei 2020, Anak Buah Kapal Indonesia (“ABK�) yang bekerja di kapal berbendera Tiongkok, Long Xing 629 yaitu Effendi Pasaribu dikabarkan meninggal dunia saat menjalani pengobatan di Busan, Korea Selatan. 2. Bahwa setelah ditelusuri lebih lanjut, terdapat 3 ABK lainnya yang meninggal yaitu Sepri, Alfatah, dan Ari (ketiganya dilarung di Samudera Pasifik). Diketahui pula bahwa kondisi ketiga ABK tersebut saat meninggal dunia memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu badan membengkak, sakit bagian dada, dan sesak nafas. 3. Bahwa menurut pengakuan salah satu ABK, mereka mengalami perbudakan saat bekerja berupa overworking, fasilitas tidak layak, hingga hanya mendapat upah sebesar US$120 selama 13 bulan bekerja. 4. Bahwa selanjutnya ditemukan fakta bahwa ABK yang bekerja di Kapal Long Xing 629 tersebut disalurkan dan ditempatkan oleh agen-agen ilegal.

2


5. Bahwa Pemerintah Tiongkok telah menginvestigasi kasus a quo. Namun, investigasi tersebut berjalan dengan lamban.

III.

Isu Hukum 1. Bagaimana

urgensi

penerbitan

Peraturan

Pemerintah

tentang

Penempatan dan Pelindungan Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan sebagai upaya restrukturisasi sistem penyaluran dan penempatan ABK selaku Pekerja Migran Indonesia? 2. Bagaimana Partnership

efektivitas Agreement

penyelesaian

IV.

Sino-Indonesia (Sino-Indonesia kasus

Comprehensive CSPA)

Strategic

dalam

a

upaya quo?

Dasar Hukum 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. 3. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan. 4. Sino-Indonesia Comprehensive Strategic Partnership Agreement.

V.

Analisis 1. Urgensi Penerbitan Peraturan Pemerintah tentang Penempatan dan Pelindungan Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan sebagai Upaya Restrukturisasi Sistem Penyaluran dan Penempatan ABK selaku Pekerja Migran Indonesia Indonesia yang merupakan rechtstaat 1 telah memiliki payung hukum utama dalam pelindungan Pekerja Migran Indonesia (“PMI”) yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja

1

Merujuk Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, expressive verbis dijelaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

3


Migran Indonesia (“UU PPMI”). UU a quo secara tegas menyatakan bahwa ABK kapal ikan merupakan PMI yang harus diberikan pelindungan.2 Salah satu bentuk pelindungan yang harus diberikan adalah pelindungan dalam proses penyaluran dan penempatan ABK yang diatur dalam Pasal 64 UU PPMI. Pasal a quo berisi amanat tentang pembentukan peraturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah (“PP”). PP tersebut nantinya akan memegang peranan penting terhadap upaya restrukturisasi sistem penyaluran dan penempatan ABK. Namun, terhitung setelah 3 (tiga) tahun sejak UU tersebut diundangkan, bahkan setelah beberapa kali pembahasan, PP tersebut nyatanya masih jauh dari kata tuntas.

3

Hal ini kemudian

menyebabkan berlanjutnya kasus-kasus overworking, tidak diperolehnya fasilitas yang layak, hingga upah yang tidak sesuai dengan kontrak sebagai bentuk modern slavery yang menimpa ABK Indonesia. Berdasarkan Kasus Posisi, salah satu penyebab ABK rentan mengalami praktik modern slavery adalah adanya agen-agen penyalur ABK ilegal yang terlibat dalam praktik perbudakan manusia.4 Agen-agen ilegal merupakan agen yang tidak terdaftar secara resmi sebagai Usaha Keagenan Awak Kapal (Ship Manning Agency) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan Dan Penempatan Awak Kapal. Keberadaan agenagen ilegal tersebut berimplikasi pada sulitnya pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terhadap proses penempatan dan penyaluran ABK Indonesia. Lebih lanjut, penyaluran dan penempatan ilegal tersebut turut mengacaukan database yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia terhadap keberadaan ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing.

2

Vide Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. 3 Migrant Care, ‘Migrant Care Outlook 2020: Proyeksi Isu Pekerja Migran Indonesia dalam Analisis Berbasis Data’ (Migrant Care 2020) <https://migrantcare.net/2020/01/migrant-care-outlook-2020/> diakses 14 Juli 2020. 4 International Labour Office and Sectoral Activities Department, Caught at Sea: Forced Labour and Trafficking in Fisheries (International Labour Office and Sectoral Activities Department 2013). [18].

4


Hambatan-hambatan tersebut di satu sisi seharusnya dapat membantu pemerintah dalam memetakan permasalahan untuk merumuskan kebijakan, namun di sisi lain tidak adanya data yang jelas turut mempersulit upaya pencegahan dan penanganan praktik modern slavery terhadap ABK Sebenarnya, sudah ada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan, namun aturan tersebut hanya berlaku untuk kapal perikanan dalam negeri.5 Sementara itu, pengaturan untuk kapal perikanan yang ada di luar negeri hingga saat ini masih belum ada. Ketidakjelasan proses penempatan dan penyaluran ABK seperti ini membuat semakin lemahnya aspek pelindungan hukum terhadap ABK Indonesia yang bekerja di luar negeri. Kondisi

a quo semakin menjadi anomali mengingat

Indonesia merupakan negara maritim. Keniscayaan tersebut secara mutatis mutandis memberikan obligasi bagi Pemerintah Indonesia untuk menyusun kerangka regulasi yang jelas dan komprehensif terkait segala hal yang berkaitan dengan kelautan, termasuk terhadap ABK sebagai profesi yang erat kaitannya dengan laut demi restrukturisasi sistem penyaluran dan penempatan ABK selaku pekerja migran Indonesia.

2. Efektivitas Sino-Indonesia Comprehensive Strategic Partnership Agreement (“Sino-Indonesia CSPA�) dalam Upaya Penyelesaian Kasus A Quo Berdasarkan Kasus Posisi, Tiongkok menjadi pihak yang bertanggung jawab sesuai dengan asas flag state responsibility dan nasionalitas aktif. Sejak Mei 2020, Tiongkok telah melakukan investigasi

5

Bahwa menurut Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan, hanya berlaku untuk: a. setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, termasuk Pengusaha Perikanan yang melakukan kegiatan usaha perikanan di wilayah pengelolaan Negara Republik Indonesia; dan b. setiap Kapal Perikanan berbendera Indonesia yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia maupun di luar wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, serta kapal pengangkut ikan berbendera asing, yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.

5


terhadap kasus a quo. 6 Kewenangan investigasi tersebut merupakan pengejawantahan salah satu poin Sino-Indonesia CSPA yang telah ditandatangani pada tahun 2013. Sebagai sebuah dokumen hukum, CSPA merupakan upgraded form dari strategic partnership yang berisi kesepakatan antara dua aktor internasional untuk meningkatkan kerja sama yang saling menguntungkan.7 Beberapa poin dalam Sino-Indonesia CSPA yang relevan dengan kasus a quo adalah memperkuat kerja sama antara lembaga-lembaga penegak hukum untuk mencegah dan memberantas perdagangan orang, pelindungan HAM, dan pergerakan serta pelindungan pekerja migran.8 Dalam praktiknya, terdapat kesulitan dalam mengimplementasikan CSPA baik dari sisi hukum maupun politik. Dari sisi hukum, sifat CSPA sebagai instrumen hubungan bilateral adalah non-binding.9 Hal ini berarti negara terkait memiliki kebebasan untuk mematuhi maupun tidak mematuhi CSPA tanpa adanya sanksi tegas. Sebagai konsekuensinya, Tiongkok bisa saja menolak melakukan investigasi kasus a quo secara tuntas. Selain itu, CSPA bersifat abstrak yang berarti pengaturannya tidak disertai tolok ukur keberhasilan implementasi yang jelas. Hal ini menyebabkan sulitnya penyusunan strategi penerapan CSPA. Contohnya, Sino-Indonesia CSPA tidak mengatur secara spesifik mengenai teknis penyelenggaraan kerja sama tersebut. Sejatinya, Indonesia dan Tiongkok pada tahun 2017 telah menandatangani Plan of Action (“PoA”) sebagai pengaturan lebih lanjut dari

CSPA,

hanya

saja

PoA

juga

dinilai

kurang

konkret

pengimplementasiannya. Tommy Kurnia, ‘China Serahkan Hasil Investigasi Awal Perbudakan ABK WNI ke Indonesia’ (Liputan6.com, 2020) <https://www.liputan6.com/global/read/4259351/china-serahkan-hasilinvestigasi-awal-perbudakan-abk-wni-ke-indonesia> diakses 17 Juli 2020. 7 Ieva Gajauskaite, ‘Strategic Partnership in Foreign Policy: Comparative Analysis of Polish – Ukrainian and Lithuanian – Ukrainian Strategic Partnerships’ (2013) 11 Lithuanian annual strategic review.[191]. 8 Redaksi Kumparan, ‘Pemerintah RI dan China Wajib Investigasi Tuntas Dugaan Perbudakan ABK WNI’ (Kumparan, 2020) <https://kumparan.com/kumparannews/pemerintah-ri-dan-china-wajibinvestigasi-tuntas-dugaan-perbudakan-abk-wni-1tNOHKz4yDp/full> diakses 11 Juli 2020. 9 Gatra Priyandita, ‘From Rivals to Partners: Constructing the Sino-Indonesian Strategic Partnership’ (2019) 21 Global: Jurnal Politik Internasional.[6]. 6

6


Sementara, penerapan Sino-Indonesia CSPA dari sisi politik juga mengalami kendala. Indonesia dan Tiongkok merupakan dua negara yang memiliki relasi kuasa yang timpang baik secara ekonomi maupun politik. Dari segi ekonomi, Tiongkok merupakan negara dengan ekonomi terkuat kedua di dunia, sementara Indonesia berada di posisi ke-16.10 Patut diingat pula bahwa dari segi politik Tiongkok merupakan negara terkuat ke-3 di dunia. 11 Relasi kuasa yang timpang tersebut akan berdampak pada lemahnya kekuatan Indonesia untuk memengaruhi kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Tiongkok. Hal ini ditunjukan melalui sikap Tiongkok yang sejauh ini cenderung mengambil langkah berdasarkan kepentingannya daripada mendengarkan masukan dari Pemerintah Indonesia.12 Contohnya dalam kasus a quo, Pemerintah Tiongkok dinilai tidak transparan dalam mengungkapkan hasil investigasi.13 Lebih lanjut, pelaksanaan CSPA juga membutuhkan realisasi anggaran yang tidak sedikit. Dengan adanya CSPA, program yang dijalankan oleh pemerintah akan bertambah, tetapi hal ini tidak disertai dengan peningkatan anggaran yang cukup oleh Pemerintah Indonesia.14 Sino-Indonesia CSPA sejatinya merupakan suatu pembuka jalan demi menuntaskan kasus tersebut. Akan tetapi, status quo justru menyingkap realita yang tidak sesuai dengan das sollen dari Sino-Indonesia CSPA. Maka dari itu, Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa Tiongkok telah menjalankan investigasi terhadap kasus a quo dengan serius. Hal ini akan menjadi preseden penting untuk menilai komitmen masingmasing negara terhadap eksistensi Sino-Indonesia CSPA.

International Monetary Fund, ‘World Economic Outlook Database’ (IMF, 2019) <https://www.imf.org/en/Publications/SPROLLs/world-economic-outlookdatabases#sort=%40imfdate%20descending/> diakses 16 Juli 2020. 11 U.S News and World Report, ‘The 2020 Best Countries Rankings’ (U.S. News and World Report, 2020) <https://www.usnews.com/news/best-countries> diakses 16 Juli 2020. 12 Gatra Priyandita, (n 9).[20]. 13 Reja Hidayat, ‘Yang Tidak Terungkap dalam Perbudakan ABK Indonesia di Kapal Cina’ (Tirto.id, 2020) <https://tirto.id/yang-tidak-terungkap-dalam-perbudakan-abk-indonesia-di-kapalcina-fE4V> diakses 22 Juli 2020. 14 Gatra Priyandita, (n 9).[12]. 10

7


VI.

Penutup

1. Kesimpulan Praktik modern slavery terhadap ABK merupakan bentuk represi terhadap hak asasi manusia pada pekerja migran. Salah satu faktor utama yang menyebabkan

langgengnya

praktik

tersebut

adalah

penyaluran

dan

penempatan PMI yang dilakukan oleh agen-agen ilegal yang kerap kali terlibat dalam aksi perbudakan manusia. Hal tersebut diperparah dengan tidak kunjung diterbitkannya Peraturan Pemerintah tentang Penempatan dan Pelindungan Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan yang telah diamanatkan pada Pasal 64 UU PPMI sehingga menyebabkan terjadinya vacuum of law. Melihat fakta di lapangan yang semakin memburuk, Pemerintah Indonesia seharusnya lebih tanggap menyelesaikan permasalahan a quo dengan segera menerbitkan PP Penempatan dan Pelindungan Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan. Selanjutnya, Indonesia dengan Tiongkok pada hakikatnya telah menandatangani CSPA yang seharusnya memiliki dampak signifikan terhadap upaya preventif ataupun represif terhadap kasus modern slavery yang dialami ABK. Kendatipun demikian, terdapat kelemahan CSPA baik dari sisi hukum berupa sifatnya yang abstrak dan tidak mengikat maupun dari sisi politik berupa relasi kuasa yang timpang antara Indonesia dan Tiongkok serta kurangnya anggaran dari Pemerintah Indonesia. Kelemahan ini akan berdampak pada tingkat efektivitas Sino-Indonesia CSPA dalam upaya penyelesaian kasus a quo.

2. Saran a. Berangkat dari carut-marutnya aspek tata kelola penempatan

dan

pelindungan ABK yang disebabkan oleh kusutnya instrumen hukum Indonesia tentang penyaluran PMI, Pemerintah Indonesia harus segera menerbitkan PP tentang Penempatan dan Pelindungan Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan. b. Pemerintah

Indonesia

seharusnya

memaksimalkan

koordinasi

antarsektoral dalam bidang penempatan dan pelindungan ABK.

8


c. Sino-Indonesia CSPA hendaknya dimaksimalkan fungsinya, jangan hanya menjadi das sollen saja, tetapi harus diwujudkan menjadi das sein. d. Mengingat adanya relasi kuasa yang timpang antara kedua negara, Pemerintah Indonesia hendaknya meningkatkan pengawasan dan pengawalan sebagai bentuk desakan kepada Pemerintah Tiongkok untuk segera menyelesaikan investigasi kasus a quo secara serius.

9


DAFTAR PUSTAKA

Buku International Labour Office and Sectoral Activities Department, Caught at Sea: Forced Labour and Trafficking in Fisheries (Ebrary, 2013).

Jurnal Gatra Priyandita, ‘From Rivals to Partners: Constructing the Sino-Indonesian Strategic Partnership’ (2019) 21 Global: Jurnal Politik Internasional. Ieva Gajauskaite, ‘Strategic Partnership in Foreign Policy: Comparative Analysis of Polish – Ukrainian and Lithuanian – Ukrainian Strategic Partnerships’ (2013) 11 Lithuanian annual strategic review.

Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6141). Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1851).

Laman International Monetary Fund, ‘World Economic Outlook Database’ (IMF, 2019). Migrant Care, ‘Migrant Care Outlook 2020: Proyeksi Isu Pekerja Migran Indonesia dalam Analisis Berbasis Data’ (Migrant Care 2020). Redaksi Kumparan, ‘Pemerintah RI dan China Wajib Investigasi Tuntas Dugaan Perbudakan ABK WNI’ (Kumparan, 2020). Reja Hidayat, ‘Yang Tidak Terungkap dalam Perbudakan ABK Indonesia di Kapal Cina’ (Tirto.id, 2020).

10


Tommy Kurnia, ‘China Serahkan Hasil Investigasi Awal Perbudakan ABK WNI ke Indonesia’ (Liputan6, 2020). U.S News and World Report, ‘The 2020 Best Countries Rankings’ (U.S. News and World Report, 2020). Yohana Artha Uly, ‘Perlindungan ABK Indonesia di Kapal Ikan Asing Belum Optimal, Ini Sebabnya’ (Kompas, 2020).

11


LEGAL OPINION ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS UDAYANA

12


KEPASTIAN HUKUM KORBAN EKSPLOITASI PADA ANAK BUAH KAPAL DALAM HUKUM NASIONAL Michael Wibowo Joestiawan, Kadek Novita Dwi Irianti dan Gusti Ayu Suasti Astumaz Daniswari Universitas Udayana I.

ISU HUKUM Indonesia sebagai negara hukum yang sangat menjunjung tinggi hak asasi

manusia jelas melindungi setiap orang dari perbuatan yang tidak manusiawi misalnya perbudakan. Di dalam pengaturan hukum peristiwa tentang larangan perbudakan diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut sebagai UU HAM) 1 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Perdagangan Orang (selanjutnya disebut sebagai UU TPPO) 2. Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disebut sebagai UUD NRI Tahun 1945)3 sebagai negara hukum, mengakui dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang melekat secara kodrat dan tidak terpisahkan dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan kemanusiaan. Hal yang sudah diatur tersebut dilanggar dengan mencuatnya kasus Mashuri yang merupakan Anak Buah Kapal (selanjutnya disebut sebagai ABK) asal Indonesia yang bekerja di Kapal Fu Yuan Yu 1218 “purse seine” atau pukat cincin yang berbendera China sejak bulan September 2019, bahwasannya mengatakan bahwa telah mengalami tindak kekerasan bersama dengan teman – temannya yang bekerja juga sebagai ABK.4 Ia mengaku kerap mendapat perlakuan tidak manusiawi seperti halnya dipukul dan juga disiksa. Bahkan salah satu temannya sampai meninggal dunia akibat disiksa dan mirisnya jasad temannya diletakkan di

1

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007. 3 UUD NRI 1945. 4 Raja Eben Lumbanrau, ‘ABK Indonesia : Teman saya meninggal dan disimpan sebulan di tempat pendingin ikan…,’(BBC News Indonesia, 2020) https://www.bbc.com/indonesia/indonesia52633694, accessed 28 Juli 2020 2

13


lemari pendingin ikan selama berbulan – bulan lalu kemudian dilarungkan ke laut. Tidak tahan dengan perlakuan yang didapat, Mashuri dan juga beberapa temannya memutuskan untuk melarikan diri dengan melompat dari kapal sampai harus terombang – ambing selama 12 jam di laut. Hal ini sangat miris melihat Indonesia sebagai salah satu poros maritim dunia, kasus tersebut merupakan salah satu potret yang mengharu pilu yang tidak didasarkan pada nilai kemanusiaan terjadi pada anak buah kapal dari Indonesia. Pada tanggal 15 Agustus 2019, ABK ini disalurkan oleh agen PT Mandiri Tunggal Bahari atau MTB yang berlokasi di Tegal Jawa Tengah. MTB adalah perusahaan yang sama yang juga menyalurkan Herdianto, ABK Indonesia yang meninggal dan dilarung di laut Somalia oleh kapal berbendera China bernama Luqing Yuan Yu 623. Yang perlu diperhatikan Kontrak Kerja Anak Buah Kapal (ABK) mayoritas dilakukan dengan prosedur yang tidak benar seperti kewajiban ABK untuk bekerja dalam 1 (satu) hari sehingga terjadi kesewenangan batas-batas hak dan kewajiban lalu adanya kewenangan yang istimewa dari nahkoda kapal yang dapat bertindak secara sepihak kepada Anak Buah Kapal.5

II.

DASAR HUKUM

1.

UUD NRI 1945.

2.

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

3.

UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Perdagangan Orang.

4.

UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerjan Migran Indonesia.

III.

ANALISIS

Penegakan Hukum bagi PT Mandiri Tunggal Bahari terhadap ABK asal Indonesia

Denny Armandhanu ‘Kejanggalan Kontrak Kerja yang Bikin ABK WNI di Kapal China Menderita’(Kumparan, 2020) https://kumparan.com/kumparannews/kejanggalan-kontrak-kerjayang-bikin-abk-wni-di-kapal-china-menderita-1tO8zpsxFk6/full, accesed 1 September 2020 5

14


PT MTB adalah salah satu agen perekrut ABK asal Indonesia terindikasi melakukan Human Trafficking (Perdagangan Orang) didasari kasus Mashuri yang merupakan ABK asal Indonesia yang bekerja di Kapal Fu Yuan Yu 1218 “purse seine” atau pukat cincin yang berbendera China itu mengatakan bahwa telah mengalami tindak kekerasan bersama dengan teman – temannya yang bekerja juga sebagai ABK. Aktivitas ABK yang disalurkan oleh PT MTB hanya mendapatkan penyiksaan seperti dipukul, ditendang, disiksa dan maksimal mendapatkan jam tidur 3 sampai 4 jam. 6 MTB adalah perusahaan yang sama yang juga menyalurkan Herdianto, ABK Indonesia yang meninggal dan dilarung di laut Somalia oleh kapal berbendera China bernama Luqing Yuan Yu 623. Pada dasarnya hal tersebut melanggar Pasal 4 UU TPPO 7 yaitu “Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling singkat sedikit Rp.120.000.000,00 (seatus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).” Dimana saat mempekerjakan orang ke luar wilayah, PT MTB sebagai agen perekrut seharusnya sudah mengetahui sistem kerja di Kapal Fu Yuan Yu 1218 melalui kontrak kerja sehingga terjadi kesewenangan batas-batas hak dan kewajiban lalu adanya kewenangan yang istimewa dari nahkoda kapal yang dapat bertindak secara sepihak kepada ABK dan salah satu bentuk modern slavery (perbudakan modern). Sehingga memenuhi mens rea PT MTB dalam unsur “dengan maksud dieksploitasi”. Hak Asasi dari ABK yang seharusnya sudah terlindungi di masa modern ini juga direnggut. Salah satu hak asasi manusia yang diakui dalam Pasal 27 Ayat (2) UUD NRI Tahun 19458 yaitu hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Namun, dalam praktiknya masih saja praktik pelanggaran yang terjadi bagi para tenaga

Rohmana Kurniandari ‘Kisah ABK Indonesia Alami Perbudakan di Kapal Cina Berhasil Lolos setelah Terjun ke Laut https://ternate.tribunnews.com/2020/05/20/kisah-abk-indonesia-alamiperbudakan-di-kapal-china-berhasil-lolos-setelah-terjun-ke-laut?page=all accessed 28 Juli 2020 7 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Orang 8 Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. 6

15


kerja, terutama pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada ABK Perikanan yang merupakan salah satu aktor penting dalam misi Indonesia menjadi negara poros maritim dunia9 terutama pada ABK yang berada di Kapal Fu Yuan Yu 1218 “purse seine” Padahal hal ini tidak sesuai dengan Pasal 4 UU HAM

10

yang

menjelaskan untuk hak untuk tidak diperbudak dan Pasal 20 ayat (1) UU HAM 11 yang menyatakan tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba didasari tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights).12 Maka diperlukan analisis mengenai konsep anti modern slavery (Perbudakan Modern) dalam perspektif hukum hak asasi manusia tersebut terhadap pencegahan modern slavery (Perbudakan Modern) dalam industri perikanan. Dalam perkembangannya pelaku modern slavery (Perbudakan Modern) tidak merasa memiliki korban perbudakan, namun memperlakukan korban dengan sewenangwenang demi kepentingan pelaku perbudakan tanpa adanya kebebasan untuk melepaskan diri.13 Eksploitasi yang dilakukan oleh PT MTB didasari pengurusan dan pemberangkatan korban untuk bekerja sebagai ABK sebagai perekrut pekerja migran Indonesia atau ABK yang tidak memiliki Surat Izin Resmi (SIP2MI) sebagai perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia yang melanggar Pasal 2 huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerjan Migran Indonesia14

yaitu “Menempatkan Pekerja Migran Indonesia tanpa

SIP2MI)”. Ketidakmilikan PT MTB terhadap SIP2MI bisa menjadi pembenar bagi PT MTB karena merupakan permasalahan yang timbul dalam ketidakpastian hukumnya tata kelola hukum nasional di Indonesia dengan adanya lima pintu yang PresidenRI.go.id, ‘Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia’, (PresidenRI.go.id, 2015), http://presidenri.go.id/berita-aktual/indonesia-sebagai-poros-maritim-dunia.html , accessed 25 Juli 2020. 10 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 11 Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 12 Indah Prisnasari ‘Modern Slavery Pada Anak Buah Kapal (Abk) Perikanan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia’ 475, 482 < https://e-journal.unair.ac.id/JD/article/view/14229> accessed 1 September 2020 13 Savira Dhanika, ‘Modern Slavery in Indonesia : Between Norms and Implementation’ (2015) 1, 5 Brawijaya Law Journal < https://lawjournal.ub.ac.id/index.php/law/article/view/27/0> accessed 1 September 2020 14 Pasal 2 huruf (c) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerjan Migran Indonesia. 9

16


bisa mengirimkan ABK Indonesia keluar Negeri yaitu melalui Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja, Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Pemerintah Daerah melalui Dinas Perdagangan dan Jasa, dan terakhir secara Mandiri. Perlu dilakukan harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM agar pengiriman ABK Indonesia melalui satu pintu dan memberikan kepastian hukum terhadap ABK yang ingin bekerja di Kapal Luar Negeri. Sehingga eksploitasi ABK di Kapal Fu Yuan Yu 1218 “purse seine” tidak terulang kembali. Pemerintah berkewajiban menjamin,melindungi dan memenuhi HAM melalui kebijakan, regulasi dan legislasi.15

IV.

KESIMPULAN Aktivitas ABK yang disalurkan oleh PT MTB ke Kapal Fu Yuan Yu 1218

“purse seine” melanggar Pasal 4 UU TPPO. Penting melihat salah satu hak asasi manusia yang diakui dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 adalah hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pada Pasal 4 UU HAM juga menjelaskan untuk hak untuk tidak diperbudak dan Pasal 20 ayat (1) UU HAM yang menyatakan tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba, kemudian ketidakmilikan PT MTB terhadap SIP2MI merupakan permasalahan yang timbul karena ketidakpastian hukumnya tata kelola hukum nasional di Indonesia dengan adanya lima pintu yang bisa mengirimkan ABK Indonesia keluar Negeri yaitu melalui Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja, Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Pemerintah Daerah melalui Dinas Perdagangan dan Jasa, dan terakhir secara Mandiri.

V.

SARAN Pemerintah seharusnya berupaya untuk menghentikan eksploitasi ABK yang

bekerja di atas kapal asing dengan melakukan investigasi – investigasi yang

Iman Prihandono, ‘Kerangka Hukum Pengaturan Bisnis dan HAM di Indonesia’. (2015) 1, 7 ELSAM. < https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2015/02/Kerangka-HukumPengaturan-B_HAM-Iman.pdf> accessed 1 September 2020 15

17


dianggap perlu. Diperlukan analisis mengenai konsep anti modern slavery (Perbudakan Modern) dalam perspektif hukum hak asasi manusia tersebut terhadap pencegahan modern slavery (Perbudakan Modern) dalam industri perikanan agar tidak ada lagi agen – agen perekrutan para pekerja yang menyalahgunakan kesempatannya untuk mendapatkan profit oriented semata tanpa memperhatikan kesejahteraan pekerja yang disalurkannya. Perlu dilakukan harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM agar pengiriman ABK Indonesia melalui satu pintu dan memberikan kepastian hukum terhadap ABK yang ingin bekerja di Kapal Luar Negeri. Pemerintah berkewajiban menjamin,melindungi dan memenuhi HAM melalui kebijakan, regulasi dan legislasi

18


DAFTAR PUSTAKA Jurnal Online Indah Prisnasari ‘Modern Slavery Pada Anak Buah Kapal (Abk) Perikanan Dalam Perspektif

Hak

Asasi

Manusia’

475,

482

<

https://e-

journal.unair.ac.id/JD/article/view/14229> accessed 1 September 2020 Savira Dhanika, ‘Modern Slavery in Indonesia : Between Norms and Implementation’

(2015)

1,

5

Brawijaya

Law

Journal

<

https://lawjournal.ub.ac.id/index.php/law/article/view/27/0>

accesed

1

September 2020 Iman Prihandono, ‘Kerangka Hukum Pengaturan Bisnis dan HAM di Indonesia’. (2015)

1,

7

ELSAM.

<https://referensi.elsam.or.id/wp-

content/uploads/2015/02/Kerangka-Hukum-Pengaturan-B_HAM-Iman.pdf> accessed 1 September 2020 Laman Raja Eben Lumbanrau, ‘ABK Indonesia : Teman saya meninggal dan disimpan sebulan di tempat pendingin ikan…,’(BBC News Indonesia, 2020) https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52633694, accessed 28 Juli 2020 PresidenRI.go.id, ‘Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia’, (PresidenRI.go.id, 2015), http://presidenri.go.id/berita-aktual/indonesia-sebagai-poros-maritimdunia.html , accessed 25 Juli 2020 Rohmana Kurniandari ‘Kisah ABK Indonesia Alami Perbudakan di Kapal Cina Berhasil Lolos setelah Terjun ke Laut’ (Ternate Tribun News, 2020) https://ternate.tribunnews.com/2020/05/20/kisah-abk-indonesia-alamiperbudakan-di-kapal-china-berhasil-lolos-setelah-terjun-ke-laut?page=all accessed 28 Juli 2020 Denny Armandhanu ‘Kejanggalan Kontrak Kerja yang Bikin ABK WNI di Kapal China

Menderita’(Kumparan,

2020)

https://kumparan.com/kumparannews/kejanggalan-kontrak-kerja-yangbikin-abk-wni-di-kapal-china-menderita-1tO8zpsxFk6/full, September 2020 Perundang-undangan

19

accesed

1


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886). Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720). Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerjan Migran Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6141).

20


LEGAL OPINION ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

21


PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK BUAH KAPAL (ABK) INDONESIA DI KAPAL IKAN ASING Fadhilah Nuraini Rustam Universitas Jenderal Soedirman

I. Isu Hukum Pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk dunia dan gambaran pasokan ikan dunia mendorong peningkatan permintaan pekerja di kapal ikan. Indonesia merupakan salah satu negara terbesar yang mengirim tenaga kerja terutama dalam bidang Perikanan, khususnya Anak Buah Kapal yang selanjutnya disebut ABK Di Indonesia selama tahun 2013-2015 terdapat terbilang lebih dari dua ratus ribu ABK Indonesia bekerja di kapal ikan asing (KIA). Namun perlindungan HAM bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing masih mempunyai masalahnya tersendiri, sering kali mereka menjadi korban human trafficking dan forced labour. Peristiwa yang terjadi kepada ABK asal Indonesia di kapal ikan asing Long Xing 629 memberikan kita gambaran bagaimana mereka menjadi korban Human Trafficking. Dari total 22 ABK Indonesia yang diberangkatkan untuk bekerja di kapal ikan Long Xing 629 dua diantaranya di pindahkan ke kapal Long Xing 630. Salah satu ABK meninggal dunia dan jenazahnya dilarungkan ke laut pada tanggal 22 Desember 2019. Selanjutnya terdapat 3 orang ABK asal Indonesia yang sakit dan salah satunya meninggal dunia, jenazahnya pun juga dilarungkan ke laut pada tanggal 27 Desember 2019, dan dua orang lainnya dipulangkan ke tanah air. Tersisa 16 orang ABK yang berstatus WNI yang masih berada di kapal Long Xing 629. Merasa ada perlakuan yang tidak beres, ke-16 ABK tersebut meminta untuk pulang kembali ke Tanah Air. Namun kapal Long Xing 629 tidak memiliki izin untuk kembali. Lalu pada tanggal 8 Maret 2020 ke-16 ABK tersebut dipindahkan ke kapal Tian Yu 8. Dalam perjalanan salah satu ABK meninggal dunia dan jenazahnya juga dilarungkan ke laut pada

22


tanggal 2 April 2020. Sebanyak 15 ABK akhirnya tiba di Busan, Korea Selatan dan menjalani karantina selama 14 hari untuk menjalanka protoko kesehatan pencegahan virus covid-19. Selama masa karantina tersebut, salah satu dari mereka meninggal dunia sehingga hanya 14 orang ABK asal Indonesia yang selamat kembali ke tanah air. Kasus ini bermula dari viralnya video yang ditayangkan oleh media Korea Selatan yang memperlihatkan bagaimana jenazah ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing, dilarungkan ke laut. Lalu bagaimanakah perlindungan hukum bagi ABK yang diduga mengalami perbudakan di kapal ikan asing? Serta bagaimanakah hukum pelarungan jenazah ABK menurut peraturan yang berlaku

II. Dasar Hukum 1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan indak Pidana Perdagangan Orang 3. Seafarer’s Service Regulations – International Labour Organizatio article 30 (gatau ratifikasiannya dan di internet gaada)

III. Analisis Kurangnya regulasi yang ada untuk melindungi ABK yang bekerja di kapal asing meningkatkan kerentanan para ABK menjadi korban perbudakan modern. Dalam kasus kapal Long Xing 629 para ABK asal Indonesia ini mengaku diperlakukan secara tidak wajar mulai dari jam kerja yang tidak manusiawi yaitu kurang lebih 18 jam per hari, diberi makanan yang tidak layak untuk dikonsumsi, hingga mendapatkan upah yang tidak layak dan tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan. Mereka dijanjikan upah 200 Dollar AS perbulan tetapi hanya menerima 42 Dollar AS perbulan. Hal yang dialami oleh ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing Long Xing 629 itu dirasa merupakan penghinaan terhadap kemanusiaan. 23


UU No.18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia telah mengatur mengenai hak dan kewajiban para Pekerja Migran Indonesia. pekerja Migran Indonesia ialah pekerja WNI yang sedang melakukan pekerjaan dengan menerima upah kerja diluar wilayah Republik Indoneisa. Hak tersebut diatur di dalam Pasal 6 ayat (1). Pasal 6 ayat (1) huruf d: “memperoleh pelayanan yang profesional dan manusiawi serta perlakuan tanpa diskriminasi pada saat sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja” Pasal 6 ayat (1) huruf f: “memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di negara tujuan penempatan dan/atau kesepakatan kedua negara dan/atau Perjanjian Kerja” Berdasarkan uraian pasal diatas maka dapat disimpulkan bahwa ABK yang bekerja di kapal Long Xing 629 itu tidak mendapatkan hak mereka sebagai pekerja Migran Indonesia sebagaimana telah diatur oleh UU Nomor 18 Tahun 2017 tersebut dikaitkan keadaan yang telah diuraikan di atas Perlindungan terhadap tenaga kerja migran Indonesia juga terdiri dari beberapa asas, salah satunya adalah asas anti-perdagangan manusia (Pasal 2 huruf h UU Nomor 18 Tahun 2008. Namun apa yang terjadi kepada ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing Long Xing 629 tentu saja telah tidak sesuai dengan asas yang telah ditetapkan oleh UU Nomor 18 Tahun 2017. Dalam

Undang-Undang

Nomor

21

Tahun

2007

Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 1 ayat (1) menyebutkan : “Perdagangan

Orang

adalah

tindakan

perekrutan,

pengangkutan,

penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,

24


penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.” Pasal ini dapat digunakan untuk mengusut kasus yang dialami oleh ABK Indonesia di kapal ikan asing Long Xing 629. Mereka dapat bekerja di kapal ikan asing karena dijanjikan pekerjaan yang bergaji tinggi oleh calo, lalu calo inilah yang selanjutnya menghubungkan ABK ini kepada penyalur. Peran calo dan penyalur ini berhenti sejak para ABK ini mulai bekerja dan mereka melepaskan tanggungjawab mereka terhadap apa yang terjadi selanjutnya dengan para ABK ini. Mengenai pelarungan jenazah di laut telah diatur di dalam Seafarer’s Service Regulations, International Labour Organization (telah di ratifikasi oleh Indonesia) article 30, yang berbunyi: “Should any seaman or passenger on the voyage die, the master shall immediately report it to the employer to convey the bad news to victims’ family. The deceased who meets the following conditions shall be buried at sea under the decision of the master: 1. Vessel cruising in international waters. 2. Being dead for over 24 hours or death is caused by infectious disease and the deceased has been sterilized. 3. Unable to keep the corpse for reasons of hygiene or the port of entry forbids vessels to keep cadavers, or other legitimate reasons. 4. A death certificate shall be issued by the ship's doctor (if available). While conducting sea burial, the master shall hold an appropriate death ceremony and adopt measures to prevent the corpse from floating up. The ceremony shall be recorded or photographed in as much detail as possible. Relics of the deceased such as hair remains and personal belongings shall be entrusted to personnel to forward to the deceased’s spouse or immediate family members,’’

25


“Jika ada pelaut atau penumpang dalam pelayaran tersebut yang meninggal dunia, maka nakhoda harus segera melaporkannya kepada pemberi kerja untuk menyampaikan kabar buruk tersebut kepada keluarga korban. Almarhum yang memenuhi persyaratan berikut akan dimakamkan di laut berdasarkan keputusan majikan: 1. Pelayaran kapal di perairan internasional. 2. Meninggal lebih dari 24 jam atau meninggal karena penyakit menular dan almarhum sudah disterilkan. 3. Tidak dapat menyimpan jenazah karena alasan kebersihan atau pelabuhan masuk melarang kapal untuk menyimpan jenazah, atau alasan sah lainnya. 4. Sertifikat kematian harus dikeluarkan oleh dokter kapal (jika tersedia). Saat melakukan penguburan di laut, nakhoda harus mengadakan upacara kematian yang sesuai dan mengambil langkah-langkah untuk mencegah jenazah mengambang. Upacara harus direkam atau difoto sedetail mungkin. Peninggalan almarhum seperti sisa rambut dan barang-barang pribadi dipercayakan kepada personel untuk diteruskan kepada pasangan almarhum atau anggota keluarga dekat, Pada intinya pelarungan mayat ke laut diperbolehkan dengan memperhatikan beberapa ketentuan yang tercantum di dalam article 30 Seafarer’s Service Regulations. Pelarungan yang dialami oleh ABK Indonesia yang meninggal diatas kapal selama pelayaran menjadi legal apabila semua ketentuan dalam article 30 Seafarer’s Service Regulations telah terpenuhi Namun apabila ketentuan tersebut ada yang dilanggar dan tidak terpenuhi maka proses hukum harus ditempuh demi kedaulatan berbangsa dan bernegara

26


Daftar Pustaka Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 242, Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 6141) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tentang Pmeberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 4720) Seafer’s Service Regulations – International Labour Organization

27


LEGAL OPINION ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS INDONESIA

28


Karamnya Hak Anak Buah Kapal, Ketika Penerapan Regulasi Tidak Optimal Muhammad Akbar Santara, Pahlawan Jati Kusumo, dan Sasha Brilliani Trison. Universitas Indonesia

I.

KASUS POSISI Sebanyak empat belas anak buah kapal (selanjutnya disebut sebagai “ABK”) Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut sebagai “WNI”) di atas Kapal Tian Yu 8 dan Long Xing 605 diizinkan turun dan melakukan karantina di Hotel Ramada, mereka diwawancarai oleh tim APIL (Advocates for Public Interest Law) Korea Selatan yang kemudian menemukan bukti kuat adanya praktik perbudakan modern dengan kronologi sebagai berikut: 1. Pada Desember 2018 hingga Februari 2019, PT Aman Prima Jaya (selanjutnya disebut sebagai “PT APJ”) merekrut delapan ABK, PT Sinar Muara Gemilang (selanjutnya disebut sebagai “PT SMG”) merekrut enam ABK, PT Lakemba Perkasa Bahari (selanjutnya disebut sebagai “PT LPB”) merekrut lima ABK, dan tiga ABK lainnya (identitas perekrut belum diketahui). 2. Para ABK diterbangkan dari Jakarta menuju Busan, Korea Selatan pada 13 dan 14 Februari 2019 untuk bekerja di Kapal Long Xing 629, kemudian berangkat berlayar pada 15 Februari 2019. 3. Pada Maret 2019, dua ABK dipindahkan ke Kapal Long Xing 630. 4. Pada 22 Desember 2019, satu ABK di Kapal Long Xing 629 meninggal dunia dan jasadnya dilarung ke laut. 5. Pada 27 Desember 2019, tiga ABK sakit dan dipindahkan ke Kapal Long Xing 802. Naas, satu ABK meninggal dunia dan dilarung ke laut, dua ABK lainnya dikembalikan ke Indonesia. 6. Pada 27 Maret 2020, enam belas ABK di Kapal Long Xing 629 meminta kembali ke Indonesia, namun karena kapal tidak memiliki izin untuk kembali, mereka dipindahkan ke Kapal Tian Yu 8. Dalam perjalanan ke 29


Indonesia, satu ABK meninggal dunia pada 2 April 2020 dan dilarung ke laut. 7. Pada 14 April 2020, lima belas ABK tiba di Busan dan menjalani karantina di Hotel Ramada. Sayangnya, satu ABK meninggal dunia pada 27 April 2020 waktu Busan karena sakit dengan gejala yang sama dengan rekan-rekan terdahulu (badan membengkak, sakit pada bagian dada, dan sesak nafas).

II.

ISU HUKUM 1. Apakah regulasi-regulasi yang ada telah terstruktur dengan baik untuk mencegah terjadinya praktik perbudakan modern terhadap ABK WNI?

III.

DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (selanjutnya disebut sebagai “UU TPPO”). 2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (selanjutnya disebut sebagai “UU PPMI”). 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan. 4. Peraturan Menteri Dalam Negeri (selanjutnya disebut sebagai “Permendagri”) Nomor 36 Tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan. 5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (selanjutnya disebut sebagai “Permen KP”) Nomor 42 Tahun 2016 tentang Perjanjian Kerja Laut Bagi Awak Kapal Perikanan. 6. Peraturan

Menteri

Perhubungan

(selanjutnya

disebut

sebagai

“Permenhub”) Nomor PM 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal.

30


7. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut sebagai “Permenaker”) Nomor 10 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia. 8. Peraturan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (selanjutnya disebut sebagai “BNP2TKI”) Nomor: PER.1 2/KA/IV/2013 Bab 3 Pasal 8(c).

IV.

ANALISIS Pasal 1 UU TPPO menyatakan praktik perbudakan modern ini sebagai perdagangan orang, sebab memenuhi paling tidak satu unsur dari tiap proses, cara, dan tujuan eksploitasi yang disebutkan dalam pasal tersebut.1 Perbudakan sendiri berdasarkan penjelasan yang ada di UU TPPO diartikan sebagai kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain yang menyebabkan orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang diperintahkan meskipun tidak menghendakinya dan merupakan salah satu bentuk eksploitasi yang dimaksud di dalam Pasal 1 UU TPPO. Pengeksploitasian dibuktikan dari empat belas ABK WNI yang diperlakukan secara tidak manusiawi di atas kapal, hanya diberikan air minum sulingan dari air laut, serta makanan berupa umpan ikan dan makanan basi.2 Kemudian, pembayaran gaji tidak sesuai Perjanjian Kerja Laut (yang selanjutnya disebut dengan “PKL”), yakni 300 dolar Amerika Serikat setiap bulan.3 Nyatanya, selama 13 bulan bekerja mereka hanya mendapatkan 1,7 juta rupiah, beberapa dari mereka bahkan tidak dibayar. 4

Tim Penyusun Modul Badan Diklat Kejaksaan R.I., ‘Modul Tindak Pidana Perdagangan Orang’ (Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia Jakarta, 2019) <http://badiklat.kejaksaan.go.id/eakademik/uploads/modul/8c4e2d72b118aa46e57f5d1a98d8a6c2.pdf> accessed 14 Juli 2020. 2 Puteranegara Batubara, ‘Temuan Tim Hukum 14 ABK WNI Terkait Dugaan Perbudakan di Kapal China’ (Okezone, 2020) <https://nasional.okezone.com/read/2020/05/10/337/2211967/temuantim-hukum-14-abk-wni-terkait-dugaan-perbudakan-di-kapal-china?page=2> accessed 12 Juli 2020. 3 Redaksi kumparan, ‘Kejanggalan Kontrak Kerja yang Bikin ABK WNI di Kapal China Menderita’ (Kumparan News, 2020) <https://kumparan.com/kumparannews/kejanggalan-kontrakkerja-yang-bikin-abk-wni-di-kapal-china-menderita-1tO8zpsxFk6/full> accessed 13 Juli 2020. 4 Ibid. 1

31


Unsur dalam PKL pun membuat ABK rentan, diantaranya tidak boleh komplain terkait makanan yang disiapkan, tidak boleh membantah perintah kapten, tidak boleh melarikan diri dari kapal, dan unsur lainnya.5 Praktik ini terus berlanjut karena sistem regulasi mengenai tata kelola penempatan dan perlindungan ABK masih berantakan. Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (selanjutnya disebut sebagai “BP2MI”), Benny Ramdhani, hingga saat ini BP2MI tidak memiliki data seputar ABK di kapal asing yang meliputi perusahaan perekrut ABK, data ABK, dan perusahaan agensi di luar negeri, aturan pembagian kewenangan antar institusi pun tidak jelas dan tegas. 6 Setidaknya terdapat dua instansi dengan wewenang untuk memberikan izin kepada suatu perusahaan dalam melakukan perekrutan dan penempatan ABK. Pertama, Kementerian Perhubungan sesuai dengan Permenhub RI Nomor PM 84 Tahun 2013 dapat memberikan izin beserta kewajibankewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan perekrut ABK melalui Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (selanjutnya disebut sebagai “SIUPPAK”) untuk merekrut ABK. 7 Kedua, Kementerian Ketenagakerjaan yang dapat mengeluarkan Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (selanjutnya disebut sebagai “SIP3MI”) kepada Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (selanjutnya disebut sebagai “P3MI”) melalui Permenaker RI Nomor 10 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia, di mana surat ini memberikan izin kepada suatu perusahaan untuk melokasikan pekerja migran Indonesia atau Tenaga Kerja Indonesia (selanjutnya disebut sebagai “TKI”), yang di

Redaksi kumparan, ‘Kejanggalan Kontrak Kerja yang Bikin ABK WNI di Kapal China Menderita’ (Kumparan News, 2020) <https://kumparan.com/kumparannews/kejanggalan-kontrakkerja-yang-bikin-abk-wni-di-kapal-china-menderita-1tO8zpsxFk6/full> accessed 13 Juli 2020. 6 Devina Halim, ‘BP2MI Akui Tak Punya Data Terpadu Seputar ABK di Kapal Asing’ (Kompas, 2020) <https://nasional.kompas.com/read/2020/05/14/23013551/bp2mi-akui-tak-punya-dataterpadu-seputar-abk-di-kapal-asing> accessed 11 Juli 2020. 7 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 84 Tahun 2013 Pasal 13-20. 5

32


dalamnya mencakup ABK di perusahaan asing.8 Dari permasalahan ini, dapat dikatakan bahwa data-data yang tidak akurat memugkinkan terjadi karena

perusahaan

yang

bersangkutan

tidak

melaporkan

ketenagakerjaannya dengan mengikuti birokrasi yang ada. Karena pada dasarnya, jika perusahaan tersebut mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada, maka ketidakakuratan data tenaga kerja dapat dihindari. Hal ini juga diatur secara tegas pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 yang menjelaskan bahwa perusahaan yang tidak patuh untuk melaporkan ketenagakerjaannya kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat dikenakan ancaman pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah). 9 Namun, adanya data yang tidak akurat ini bukan semata-mata merupakan kesalahan dari pihak perusahaan saja. Keadaan ini diperparah dengan kurangnya pengetahuan ABK akan regulasi-regulasi yang berlaku. Banyak ABK yang berangkat tanpa melalui prosedur-prosedur yang ada sehingga data mereka tidak terekam sekaligus menjadi penyebab atas ketidakakuratan data yang dimiliki oleh pemerintah.10 Jika ditinjau dari UU PPMI Pasal 3 huruf b, pemerintah Indonesia mempunyai tugas untuk mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.11 Dalam kasus ini, penyelenggara penempatan dilakukan oleh pelaksana penempatan TKI swasta terhadap ABK WNI yang seringkali ditemukan dokumen-dokumen resmi yang memuat data-data yang tidak benar untuk mendaftarkan ABK, seperti pada kasus ini, dalam PKL disebutkan kapal berbendera Korea Selatan, tetapi kapal tempat empat belas

8

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2019 Pasal 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan 10 Devina Halim, ‘Kasus Kapal Long Xing 629 yang Menguak Masalah Perlindungan ABK WNI di Kapal Asing’ (Kompas, 2020) <https://nasional.kompas.com/read/2020/05/15/09161051/kasuskapal-long-xing-629-yang-menguak-masalah-perlindungan-abk-wni-di-kapal?page=all> accessed 11 Juli 2020. 11 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. 9

33


ABK tersebut berlayar berbendera Tiongkok.12 Padahal, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Permenhub RI No. 84 Tahun 2013 Pasal 4 Ayat (2), badan tersebut harus mempunyai izin usaha keagenan awak kapal yang wajib dievaluasi oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut untuk memantau dan memastikan tidak ada praktik perdagangan orang yang dilakukan perusahaan-perusahaan perekrut ABK. 13 Evaluasi tersebut, sesuai dengan Pasal 31 Ayat 3 dan Pasal 12 Permenhub RI No. 84 Tahun 2013, dilaksanakan melalui verifikasi tahunan terhadap kinerja usaha keagenan awak kapal yang didapatkan dari menyampaikan laporan internal audit kepada Direktur Jenderal Perhubungan Laut. Penempatan ABK sebagai TKI di kapal berbendera asing pun mempunyai beberapa syarat yang perlu dipenuhi untuk menunjang terealisasikannya prosedur yang resmi. Salah satunya adalah PKL, yang harus disahkan oleh Kementerian Perhubungan sesuai dengan Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor: PER.1 2/KA/IV/2013 Bab 3 Pasal 8(c). PKL yang dibuat oleh pemilik Kapal Long Xing 629 telah melanggar ketentuanketentuan yang tercantum dalam Permen KP No. 42 Tahun 2016, seperti dalam Pasal 23 Ayat (1) yang mewajibkan jam kerja normal maksimal 8 jam, tetapi dalam PKL tertulis jam kerja diatur sesuai diskresi dari kapten kapal dan kenyataannya para ABK bekerja 18 hingga 48 jam sehari. 14 Lebih lanjut, PKL juga mengandung unsur yang sangat menyimpang dari ketentuan pada Pasal 21 ayat (4) huruf b Permenhub RI Nomor PM 84 Tahun 2013 yang menyebutkan bahwa PKL wajib menjamin perawatan medis dan pengobatan terhadap ABK yang cedera atau sakit selama bekerja, namun nyatanya ketika 8 ABK sakit, mereka tidak dibawa ke rumah sakit, hanya diberikan obat kedaluwarsa, dan tidak memiliki

Redaksi kumparan, ‘Kejanggalan Kontrak Kerja yang Bikin ABK WNI di Kapal China Menderita’ (Kumparan News, 2020) <https://kumparan.com/kumparannews/kejanggalan-kontrakkerja-yang-bikin-abk-wni-di-kapal-china-menderita-1tO8zpsxFk6/full> accessed 13 Juli 2020. 13 Peraturan Menteri Perhubungan No. 84 Tahun 2013 Pasal 4 Ayat (2) tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal. 14 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2016 tentang Perjanjian Kerja Laut Bagi Awak Kapal Perikanan. 12

34


asuransi kesehatan hingga akhirnya meninggal dunia.15 Selain itu, Pasal 22 dari peraturan yang sama mewajibkan agar PKL mencantumkan peraturan yang melarang penganiayaan secara fisik dari semua pihak terkait, tetapi ABK WNI sering mengalami kekerasan fisik oleh wakil kapten dan ABK senior Tiongkok.16 Untuk melindungi TKI di luar negeri dari eksploitasi, pemerintah Indonesia mempunyai kewenangan untuk menutup penempatan TKI di negara asing sesuai dengan ketentuan pada Pasal 32 Ayat (1) UU PPMI. Berdasarkan hal tersebut, jika pemerintah menganggap bahwa suatu negara asing tidak bisa melindungi TKI, penempatan TKI di negara tersebut ditutup melewati peraturan menteri. Dari hal-hal tersebut, terlihat bahwa pemerintah Indonesia mempunyai instrumen hukum yang cukup untuk melindungi ABK yang bekerja di luar negeri, namun implementasi yang masih gagap dan regulasi yang tumpang tindih membuka jalur perbudakan modern dalam bentuk perdagangan orang.

V. KESIMPULAN UU TPPO telah jelas mengecam praktik perdagangan orang dan eksploitasi ABK di atas kapal yang mengarah pada perbudakan modern. Tidak adanya pemantauan dari Direktur Jenderal Perhubungan Laut dalam pembuatan PKL oleh kapten kapal atau perusahaan perekrut yang tidak sesuai dengan yang diuraikan dalam Bagian Ketiga mengenai PKL pada Permenhub No. PM 84 Tahun 2013 serta pelaksanaan kerja oleh ABK yang tidak manusiawi. Perihal ini disebabkan oleh tumpang tindihnya regulasi mengenai perekrutan, penempatan, dan perlindungan ABK, sebagai akibat dari ketidaktegasan pembagian wewenang antara tiga instansi yang mengatur ihwal pemberian izin kepada perusahaan perekrut ABK untuk

Redaksi kumparan, ‘Kejanggalan Kontrak Kerja yang Bikin ABK WNI di Kapal China Menderita’ (Kumparan News, 2020) <https://kumparan.com/kumparannews/kejanggalan-kontrakkerja-yang-bikin-abk-wni-di-kapal-china-menderita-1tO8zpsxFk6/full> accessed 13 Juli 2020. 16 Ibid. 15

35


merekrut dan melokasikan ABK. Sehingga, menghambat perolehan akurasi data atas perusahaan perekrut ABK dan jumlah ABK WNI yang bekerja di kapal ikan asing sehingga menyulitkan pengawasan optimal dari pemerintah untuk dapat mencegah perekrutan dan penempatan ABK yang tidak memenuhi syarat dan prosedur resmi pemerintah.

VI.

REKOMENDASI 1. Pemerintah Indonesia sebaiknya lebih memantau dan menekankan efektivitas penggunaan regulasi terkait PKL dalam Permenhub No. PM 84 Tahun 2013. 2. Pemerintah Indonesia hendaknya menutup penempatan ABK Indonesia di kapal negara-negara asing yang rawan terhadap kasuskasus TPPO seperti Cina atau Thailand. 3. Pemerintah

Indonesia

seyogianya

memberikan

pembagian

kewenangan yang lebih jelas dan tegas terhadap instansi yang berkaitan dengan perekrutan ABK agar tidak ada peraturan yang tumpang tindih sehingga mudah diawasi dan menghasilkan basis data yang akurat.

36


Daftar Pustaka

Internet [Accessed 11-14 Juli 2020] Devina Halim, ‘Bareskrim Tetapkan 2 Tersangka Lagi dalam Kasus ABK WNI di Kapal Long Xing 629’ (Kompas, 2020). Devina Halim, ‘BP2MI Akui Tak Punya Data Terpadu Seputar ABK di Kapal Asing’ (Kompas, 2020). Devina Halim, ‘Kasus Kapal Long Xing 629 yang Menguak Masalah Perlindungan ABK WNI di Kapal Asing’ (Kompas, 2020). Devina Halim, ‘Kemenlu Ungkap Kendala Lindungi ABK di Luar Negeri, Salah Satunya Tak Punya Data Akurat’ (Kompas, 2020). Puteranegara Batubara, ‘Temuan Tim Hukum 14 ABK WNI Terkait Dugaan Perbudakan di Kapal China’ (Okezone, 2020). Redaksi kumparan, ‘Kejanggalan Kontrak Kerja yang Bikin ABK WNI di Kapal China Menderita’ (Kumparan News, 2020). Tim Penyusun Modul Badan Diklat Kejaksaan R.I., ‘Modul Tindak Pidana Perdagangan Orang’ (Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia Jakarta, 2019).

Perundang-undangan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2016 tentang Perjanjian Kerja Laut Bagi Awak Kapal Perikanan. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

37


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan.

38


LEGAL OPINION ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS SYIAH KUALA

39


UPAYA PENGAWASAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK BUAH KAPAL Teuku M. Soulthanarafif dan Tiara Haji Faradiba Universitas Syiah Kuala

I. KASUS POSISI a. Bahwa pada tanggal 5 mei 2020 telah muncul sebuah berita dari channel Youtube MBC Korea yang berjudul ( diartikan ) “Eksklusif! 18 jam sehari kerja, bila sakit dan meninggal dibuang ke Laut� yang berkaitan dengan terjadinya perbudakan terhadap Anak Buah Kapal (ABK), termasuk yang berasal dari Indonesia oleh para nelayan dari kapal berbendera China. b. Sebagaimana yang dilaporkan, ABK yang berasal dari luar China mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dan diperlakukan sebagai budak. Mereka dipaksa minum air laut yang telah difilter dan diberi makan umpan ikan. Adapun air mineral yang layak konsumsi hanya diperuntukan bagi nelayan asal China dikapal tersebut. c. Para ABK asal Indonesia ini direkrut oleh agen-agen penyalur ABK yang tidak terdaftar oleh Kementrian Perhubungan (Kemenhub) dan Kementrian Ketenagakerjaan (Kemenaker) d. Tidak dapat dipungkiri minimnya pengawasan dan perhatian dari Kemenhub, Kemenaker dan Indonesia Fisherman Association (IFMA) menjadi salah satu factor maraknya terjadi pengeksploitasian dan perlakuan yang tidak manusiawi terhadap ABK. II. DASAR HUKUM a. Dasar Hukum dalam Lingkup Nasional a) UUD 1945 b) Undang- undang nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia c) Peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan nomor 2 tahun 2017 tentang persyaratan dan mekanisme sertifikasi Hak Asasi Manusia perikanan d) Hukum Maritim Indonesia

40


b. Dasar Hukum dalam Lingkup Internasional. a) International Bill of Right b) International Convention on The Elimination for All Forms of Racial Discrimantion. c) Konvensi ILO No. 188 tahun 2007 d) Maritime Labour Convention 2006 e) 1993 Torremolinos Protocol (The Torremolinos Convention for The Safety of Fishing Vessels) f) Recommendation work in fishing convention 2007

III. ANALISA HUKUM Praktik perdagangan manusia dalam Industri Perikanan terhadap Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia. Praktik perdagangan manusia sangat rentang terjadi dalam Industri Perikanan, terutama terhadap ABK yang berasal dari negara berkembang. Pada tahun 2016 Mentri Kelautan dan Perikanan telah mendata bahwa 4000 orang termasuk nelayan Indonesia berpotensi menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) 1. Kemudian Walk Free Fondation (2016) mendata banyaknya 736.100 orang berkewarnegaraan Indonesia yang mengalami Perdagangan manusia dan Perbudakan yang sebagian besar korbannya adalah dalam sektor Perikanan 2. Data tersebut semakin memperkuat fakta bahwa Indonesia yang rentang mengalami Tindak pidana Perdagangan Manusia. Data tersebut diperoleh pada tahun 2016, dan ternyata pada tahun 2020 praktik perdagangan manusia yang dilakukan oleh Kapal Asing terhadap ABK asal Indonesia masih terjadi. a. Para ABK Indonesia ini direkrut dan ditempatkan oleh agen awak kapal yang illegal dari PT Mandiri Tunggal Bahari (MTB) sebagai perusahaan 1

Riza Amalia, dkk.

Muhammad Dwibagus Lisandro,�Perbudakan terhadap Anak Buah Kapal Penangkap Ikan Asing di Indonesia� https://www.neliti.com/id/publications/ accessed 3 september 2020 2

41


yang tidak terdaftar sebagai asosiasi dan baru beroperasi senagai penyalur ABK serta tidak memiliki Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) yang diterbitkan Kementrian Perhubungan. PT Mandiri Tunggal Bahari juga tidak memiliki izin resmi sebagai Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIPEMI) yang diterbitkan oleh Kementrian Tenaga Kerja, sehingga menyalahi pasal 1 ayat 1 dan pasal 1 ayat 9 UU No. 18 tahun 2017 yang berkaitan dengan SIUPPAK dan SIP3MI. Karena Perusahaan ini merupakan perusahaan Ilegal dan tentunya bekerja sama dengan pihak kapal asing yang juga Ilegal serta tidak terpantau oleh pemerintah, maka mereka dapat dengan semaunya membuat standar dalam perekrutan dan penempatan. D`iketahui bahwa perjanjian kontrak kerja juga upah yang ditawarkan tidak sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan oleh kemetrian juga standart perekrutan dan penempatan yang dicantumkan dalam International Maritime Labour 2006. Namun sayangnya kontrak kerja yang tidak sesuai standart itu dibubuhi Letter of Guarantee (LG) sehingga sulit untuk disentuh oleh hukum. Karena sasaran yang dijadikan korban merupakan masyarakat menengah kebawah sehingga mungkin mereka tidak mempunyai pengetahuan mengenai peraturan dan sistematika yang semestinya, juga karena didoktrin dan tidak diberikan waktu yang cukup sehingga dengan mudahnya mereka menandatangi kontrak kerja yang justru merugikan tersebut. b. Berdasarkan rangkuman dari Undang-Undang Indonesia dan juga Konvensi Internsional PMI/ABK memiliki hak memperoleh akses dan fasilitas untuk pengembangan diri, menguasai dokumen perjalanancsv selama bekerja, memperoleh dokumen dan perjanjian kerja CPMI atau PMI ,memperoleh upah yang sesuai dengan standart upah negara tujuan atau

kesepakatan

kerja,memperoleh

42

jaminan

keselamatan

dan


perlindungan, memperoleh penjelasan Hak dan Kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam kontrak perjanjian kerja.3 c. Sebagaiman informasi yang diperoleh sebelumnya dimana ABK yang mengalami perbudakan dalam kapal berbendera China tersebut adalah ABK yang bukan berasal dari China. Maka disimpulkan telah terjadi konflik social etnis, yaitu diskriminasi terhadap ABK Indonesia yang diperlakukan secara tidak manusiawi oleh para nelayan China yang bekerja dikapal tersebut. Bentuk tindakan diskrimansi dan Human Traficking ini merupakan salah satu penyelewengan terhadap HAM. HAM adalah suatu perangkat hak yang melekat pada diri seseorang yang merupakan pemberian dari Tuhan dan bersifat Hakiki, serta tidak dapat dicabut atau dirampas oleh orang/organisasi tertentu. Permasalahan HAM menjadi concern bagi masyarakat dunia yang kemudian diwujudkan melalui sidang PBB sehingga dibentuklah instrument Hukum HAM Internasional yaitu, Undang- Undang HAM Internasional (International Bill of Right) dan juga dibentuk Konvensi- Konvensi tentang HAM salah satunya adalah Konvensi mengenai Penghapusan Terhadap Semua Bentuk Diskriminasi Rasial. Konvensi ini telah menghapus segala bentuk tindakan diskriminasi dalam kehidupan guna mewujudkan perdamaian dan menghargai martabat seluruh manusia. d. Berdasarkan informasi yang diberitakan oleh stasiun televisi asal Korea Selatan tersebut, para ABK dipaksa bekerja hingga 18 jam sehari sehingga para ABK kekurangan waktu istirahat karena jam kerja yang melewati batas yang wajar, dan ABK asal Indonesia ini juga tidak diberi makan dan minum yang layak oleh pihak kapal. Dan apabila sakit mereka dibuang ke Laut. Kemungkinan para ABK ini sakit bisa jadi karena terlalu lelah bekerja dan mereka memakan makanan yang tidak layak. Hal tersebut menyalahi nilai yang telah disepakati dalam Konvensi ILO No. 188 tahun

3

Anissa Erou, “Perlindungan Awak Kapal Perikanan Sebagai Pekerja Migran Indonesia�(Greenpeace,2020) www.greenpeace.org> accessed 7 July 2020

43


2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan pasal 8 ayat 1 dimana pemilik kapal harus memastikan bahwa nahkoda memberikan fasilitas keamanan dan keselamatan bagi awak kapal, ayat 2 b mengatur tentang kesehatan dan keselamatan anak buah kapal yang harus dihormati oleh kapten Kapal. Penerapan jam kerja yang mencapai 18 jam sehari ini juga telah menyalahi standar jam kerja dan waktu istirahat bagi awak kapal yang telah diatur dan disepakati dalam Konvensi ILO No. 188 tahun 2007 tepatnya pada bagian ke- IV pasal 13 dan 14, dimana dikatakan bahwa awak kapal harus mendapatkan waktu istirahat yang cukup untuk kesehatan dan keselamatan mereka. Minimal awak kapal diberikan waktu istirahat 10 jam dalam jangka waktu 24 jam dan 77 jam dalam jangka waktu 7 hari. Apabila terjadi kondisi tertentu sehingga menyebabkan kurangnya waktu istirahat tersebut, maka awak kapal harus segera mungkin mendapatkan kompensasi waktu istirahat.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan peraturan Undang-Undang No.18 Tahun 2017 Pemerintah harus meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan atau agen yang menempatkan awak kapal. Mengawasi proses pendaftaran, perekrutan, pelatihan, dan sertifikasi calon awak kapal. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir dan mencegah terjadinya kasus perbudakan kapal dikemudian hari. Pemerintah Indonesia lamban dalam memberikan respon terhadap permasalahan yang dihadapi oleh warga negaranya yang terjadi diluar negri, dan tidak menunjukan sikap yang sesuai dengan peraturan terkait perlindungan PMI yang sudah buat oleh pemerintahan Indonesia sendiri maupun peraturan yang dibuat oleh pihak internasional dan disepakati bersama oleh negara-negara didunia.

44


Menurut penulis, Faktor internal dari terjadinya human error ini disebabkan perekonomian negara yang tidak stabil, dapat dilihat dari latar belakang korban yang merupakan masyarakat dengan menengah kebawah. Pemerintah diharapkan dapat menstabilkan kondisi ekonomi masyarakat terlebih dahulu. Kemudian faktor lainnya adalah kurang nya perhatian serta pengimplementasian regulasi yang tegas sehingga masi banyak agen agen perekrut PMI Ilegal, yang juga bekerja sama dengan organisasi ilegal diluar negri. Kemenhub dan Dishub bersama dengan Menaker dan Disnaker berkolaborasi untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak terjerat dengan sistem-sistem ketenagakerjaan luar, serta memberikan sosialisasi mengenai hak dan kewajiban mereka sebagai tenaga kerja asing. Pemerintah dan seluruh badan terkait ketenagakerjaan migran ini mengimplemetasikan ketentuan regulasi yang telah ditetapkan. Jika terjadi pelanggaran terkait kapal asing yang kemudian mengharuskan untuk menggugat atau membawa kasus tersebut ke kancah hukum internasional maka, Indonesia dapat menggugat ke International Judicial Court atau International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS).

45


DAFTAR PUSTAKA Daftar Jurnal Amalia, Riza,dkk. "Perlindungan Hak Anak Buah Kapal dalam Kerangka Hukum Nasional dan Hukum Internasional" Paper Universitas Lampung (2016): 118. Prisnasari, Indah. "Modern Slavery Pada Anak Buah Kapal (ABK) Perikanan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia." Jurist-Diction 2.2 (2019): 475-500 Lisandro, Muhammad Dwibagus ”Perbudakan terhadap Anak Buah Kapal Penangkap Ikan Asing di Indonesia” Jurnal Kriminologi Indonesia (2017) Khadafi, Andi. "Kejahatan terhadap Perbudakan ABK dilakukan oleh Perusahaan Thailand yang Berafiilasi dengan Perusahaan Indonesia Pt. pusaka Bejina Resources (Pbr)." Jurnal Hukum Samudra Keadilan 11.1 (2016): 1-18. Saragih, Irene Yasvinka. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia di Kapal Asing”. Diss. Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, 2019.

Daftar Perundang-Undangan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlidnungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Buruh Migran Indonesia Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan nomor 2 Tahun 2017 Tentang Persyaratan dan mekanisme Sertifikasi Hak Asasi Manusia Perikanan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2007 Tentang Kepelautan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Usaha Perikanan Tangkap

46


LEGAL OPINION ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS JEMBER

47


Rekonstruksi Penegakan Hukum Positif Sebagai Upaya Perlindungan Anak Buah Kapal yang Berstatus Warga Negara Indonesia Dewi Ayu Atika Putri, Much. Nanditama Bayu Ramadhan, dan Saskia Tembang Prasasti Universitas Jember

I.

Isu Hukum International Labour Standards on Seafarers yang telah ditetapkan oleh ILO (International Labour Organization) dinilai belum dapat berjalan secara maksimal sebab masih begitu banyak hal terkait perbudakan di atas kapal yang kerap kali terjadi. Berdasarkan hal tersebut, adapun yang menjadi permasalahan hukum antara lain: 1. Bagaimana peran negara Indonesia dalam pelaksanaan penegakan hukum untuk melindungi warga negaranya yang bekerja sebagai ABK (Anak Buah Kapal) di luar wilayah Indonesia? 2. Bagaimana

rekonstruksi

penegakan

hukum

yang

tepat

untuk

permasalahan perbudakan WNI (Warga Negara Indonesia) yang bekerja sebagai ABK? II. Dasar Hukum 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang selanjutnya disebut sebagai UU No. 21/2007; 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan selanjutnya disebut sebagai UU No. 13/2013; 3. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 42/Permen-Kp/2016 Tentang Perjanjian Kerja Laut Bagi Awak Kapal Perikanan selanjutnya disebut sebagai Permen No. 42/Permen-Kp/2016; 4. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi Hak Asasi Manusia Perikanan selanjutnya disebut Permen No. 2/Permen-Kp/2017;

48


5. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia selanjutnya disebut sebagai UU No.18/2017. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2000 tentang Kepelautan selanjutnya disebut sebagai PP No. 7/2000

III. Analisis Berdasarkan pada Pasal 1 angka (7) UU No. 21/2007, Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.1 Sehingga dalam hal ini perbudakan merupakan rangkaian bagian dari eksploitasi. Berdasarkan pengakuan ABK (Anak Buah Kapal) TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang beredar di berbagai media berita dan media sosial mengenai kasus TKI yang bekerja sebagai ABK di kapal China dengan nama kapal Luqing Yuan Yu 623 para ABK mengaku dipaksa untuk bekerja selama 18 (delapan belas) jam sehari dan hanya menerima gaji sebesar $120 atau sekitar 1,7 juta. Hal tersebut melanggar Pasal 21 PP No. 7/2000 yang berbunyi: (1) Jam kerja bagi awak kapal ditetapkan 8 (delapan) jam setiap hari dengan 1 (satu) hari libur setiap minggu dan hari-hari libur resmi; (2) Perhitungan gaji jam kerja bagi awak kapal ditetapkan 44 (empat puluh empat) jam setiap minggu. (3) Jam kerja melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan dipekerjakan pada hari-hari libur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 1

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdaganangan Orang.

49


dihitung lembur; (4) Setiap awak kapal harus diberikan waktu istirahat palin sedikit 10 (sepuluh) jam dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) jam yang dapat dibagi 2 (dua), yang salah satu diantaranya tidak kurang dari 6 (enam) jam kecuali dalam keadaan darurat.2 Selain itu, para ABK TKI di kapal Luqing Yuan Yu 623 asal China tersebut mengaku bahwa selama bekerja, mandor kapal kerap menganiaya mereka. Dalam upaya penanganan perkara Eksploitasi, UU No. 21/2007 juga menjelaskan pentingnya proses pidana bagi pelaku, serta pemenuhan hak-hak korban yang meliputi hak untuk memperoleh restitusi dan rehabilitasi. Restitusi merupakan hak yang diberikan kepada korban oleh pelaku sebagai bentuk ganti rugi atas penderitaan yang dialami korban penentuan besaran resitusi yang diajukan. Untuk memperkuat upaya penanganan TPPO, Pemerintah Rl juga telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 69 tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO. Pembentukan Gugus Tugas ini merupakan upaya pelaksanaan dari pasal 58 ayat 7 UndangUndang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.3 Selain itu Regulasi Indonesia dalam melakukan upaya perlindungan terhadap ABK: 1. Berdasarkan yang tercantum dalam Pasal 2 Permen No.42/PermenKp/2016 : PKL bagi Awak Kapal Perikanan dilaksanakan berdasarkan prinsip: a. kesetaraan hak dan kewajiban; b. kesejahteraan, keamanan, kenyamanan, keselamatan, dan kesehatan kerja; c. jaminan asuransi; dan d. jaminan hukum. Perjanjian kerja laut dibuat untuk menjamin perlindungan bagi Awak Kapal 2

Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2000 tentang Kepelautan Fikry Cassidy, Partogi Samosir, Joevi Roedyati, R. Ardhya Erlangga Arby, Widya Gultom, Martogi Harahap, Bramantya Dwiputra Widodo, Faiz Ahmad Nugroho, Ayu Saptaningtyas, Strategi Perlindungan Dan Penanganan Kasus Anak Buah Kapal (ABK) Sektor Perikanan Indonesia Yang Bekerja Di Luar Negeri (Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia 2016).[6]. 3

50


Perikanan dari risiko kerja dan bagi pemilik Kapal Perikanan, Operator Kapal Perikanan, Agen Awak Kapal Perikanan, atau Nakhoda Kapal Perikanan dari risiko usaha.4 1.

Permen No. 2/Permen-Kp/2017.

Permen ini dibuat untuk melengkapi Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 42/Permen-Kp/2016 Tentang Perjanjian Kerja Laut Bagi Awak Kapal Perikanan. Kementrian kelautan dan perikanan mendorong para pelaku industri untuk melakukan sertifikasi kepada ABK apabila tidak melaksanakannya maka pemerintah akan mencabut atau tidak akan memperpanjang surat izin usaha perikanan dan operasional kapal.5 Di lain sisi Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) di luar negeri atau kapal ikan asing (KIA), hingga saat ini dinilai masih sangat lemah meskipun Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menerbitkan kedua peraturan menteri diatas serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35/Permen-Kp/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan. Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh. Abdi Suhufan mengatakan, penyebab masih lemahnya perlindungan terhadap TKP berprofesi ABK, yaitu karena hingga sekarang regulasi hukum yang mengaturnya masih lemah dan bersifat parsial sehingga belum mengatur dari hulu ke hilir tentang proses penempatan ABK asal Indonesia yang mengakibatkan Pemerintah tidak memiliki data yang pasti berapa jumlah ABK kapal ikan yang bekerja di luar negeri, sehingga menyulitkan upaya pelindungan yang mesti dilakukan Negara kepada warga negaranya, Adapun, ketiga UU yang dimaksud, adalah UU No.40/2007 tentang Perseroan

4

Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 42/Permen-Kp/2016 Tentang Perjanjian Kerja Laut Bagi Awak Kapal Perikanan. 5 Riza Amalia, Ade Irma Fitriani, Bayu Sujadmiko, Ph.D., ‘Perlindungan Hak Anak Buah Kapal Dalam Kerangka Hukum Nasional Dan Hukum Internasional’ [3].

51


Terbatas, UU No.17/2008 tentang Pelayaran, dan UU No.18/2017. Ketiga UU tersebut dan turunannya saat ini masih membuat bingung lembaga yang melaksanakannya. Jika itu tetap dibiarkan, maka itu akan terus menjadi celah untuk melakukan pelanggaran bagi kapal ikan.6 Dalam hal Rekonstruksi penegakan hukum yang tepat untuk permasalahan perbudakan WNI ada usulan 2 fase strategi dalam upaya penegakan hukum untuk permasalahan perbudakan, yang pertama strategi fase saat terjadinya kasus yang merupakan sebuah rangkaian kebijakan dalam penegakan hukum terhadap ABK Indonesia yang mengalami kasus di kapal penangkap ikan. Adapun strategi yang diusulkan dalam fase ini adalah : 7 a. Aspek Penegakan Hukum •

Meningkatkan sinergi dan koordinasi dalam menindaklanjuti laporan dari ABK yang tersangkut kasus, maupun dari pihak lainnya yang kredibel;

Memaksimalkan

upaya

pendampingan

kepada

ABK

termasuk

penjemputan, pengantaran, pengumpulan keterangan; •

Memperkuat upaya-upaya yang dapat membantu proses hukum termasuk melakukan identifikasi awal petunjuk TPPO dan fasilitasi bantuan hukum; serta

Meningkatkan pendekatan terhadap pemangku kepentingan terkait di negara tempat kejadian termasuk penegak hukum setempat, kapten kapal dan korporasi yang bertanggung jawab terhadap kapal penangkap ikan.

Yang kedua strategi fase pasca kasus merupakan rangkaian tindakan atau kebijakan yang dilakukan setelah kepulangan ABK Indonesia korban TPPO ke daerah asal sebagai upaya untuk memulihkan kembali kondisi dan hak dari ABK

M Ambari, ‘Perlindungan ABK Indonesia Di Luar Negeri Masih Lemah’ (31 May 2019) <https://www.mongabay.co.id/2019/05/31/perlindungan-abk-indonesia-di-luar-negeri-masihlemah/> accessed 21 July 2020. 7 Fikry Cassidy, Partogi Samosir, Joevi Roedyati, R. Ardhya Erlangga Arby, Widya Gultom, Martogi Harahap, Bramantya Dwiputra Widodo, Faiz Ahmad Nugroho, Ayu Saptaningtyas (n 3) [32-33]. 6

52


yang dirampas selama bekerja. Adapun strategi yang diusulkan dalam fase ini adalah:8 a. Aspek Penegakan Hukum •

Memaksimalkan upaya dalam memfasilitasi ABK untuk memperoleh restitusi yang sepadan dan seadil-adilnya; serta

•

Meningkatkan sosialisasi aturan dan petunjuk teknis Penanganan Kasus TPPO bagi aparat penegak hukum, hakim, jaksa, polisi, dan pemangku kepentingan terkait seperti diplomat, imigrasi, pegawai pelabuhan dan lainnya.

Selain usulan diatas menurut penulis bahwa Pemerintah Indonesia perlu membuat regulasi khusus terkait dengan WNI yang bekerja sebagai ABK di luar wilayah Indonesia karena dalam UU 18/2017 mengatur mengenai perlindungan pekerja imigran secara keseluruhan dan dipukul rata. Bekerja sebagai ABK di luar wilayah Indonesia tidak lah seperti TKI yang lain, dikarenakan pengawasan terhadap ABK memiliki kesulitan tersendiri dibanding TKI lainnya yang hanya bekerja di tempat tetap / berada di alamat yang jelas, sedangkan ABK bekerja di kapal yang nota bene nya kapal selalu bergerak dan berubah-ubah berdasarkan rute yang telah di rencanakan. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab sulitnya melakukan pengawasan terhadap WNI yang bekerja sebagai ABK di luar wilayah Indonesia.

8

ibid [33].

53


Daftar Pustaka Buku Fikry Cassidy, Partogi Samosir, Joevi Roedyati, R. Ardhya Erlangga Arby, Widya Gultom, Martogi Harahap, Bramantya Dwiputra Widodo, Faiz Ahmad Nugroho, Ayu Saptaningtyas, Strategi Perlindungan Dan Penanganan Kasus Anak Buah Kapal (ABK) Sektor Perikanan Indonesia Yang Bekerja Di Luar Negeri (Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia 2016). Jurnal Riza Amalia, Ade Irma Fitriani, Bayu Sujadmiko, Ph.D., ‘Perlindungan Hak Anak Buah Kapal Dalam Kerangka Hukum Nasional Dan Hukum Internasional’ [3]. Laman M Ambari, ‘Perlindungan ABK Indonesia Di Luar Negeri Masih Lemah’ (Mongabay, 2019). Diakses 21 Juli 2020. Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720); Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 42/Permen-Kp/2016 Tentang Perjanjian Kerja Laut Bagi Awak Kapal Perikanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1825); 54


Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi Hak Asasi Manusia Perikanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 15); Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6141); Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2000 tentang Kepelautan selanjutnya disebut sebagai PP No. 7/2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3929).

55


LEGAL OPINION ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS SAM RATULANGI

56


Lemahnya Penegakan Hukum dalam Hal Pelindungan Pekerja Migran Indonesia untuk Melindungi Hak-Hak Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia di Kapal-Kapal Asing Veren Towua Universitas Sam Ratulangi

I. Kasus Posisi Secara geografis letak negara Indonesia berada di antara 2 (dua) benua (Asia dan Australia) dan 2 (dua) samudera (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik). Indonesia juga memiliki empat selat yang antara lain adalah Selat Makassar, Selat Sunda, Selat Malaka, Selat Lombok yang setiap tahunnya dilalui 40-50 persen perdangan dunia. Posisi strategis ini membuat Indonesia menjadi wilayah yang banyak dilalui oleh kapal-kapal asing bahkan tidak jarang melabuhkan kapalnya di dalam wilayah Indonesia, menjadi salah satu faktor penyebab banyak warga Negara Indonesia tertarik untuk bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) melalui perekrutan agen lokal maupun bergabung secara mandiri. Tawaran upah kerja tinggi pada kapal asing membuat warga Negara Indonesia yang relatif memiliki pendidikan rendah tentu tertarik untuk direkrut, walaupun seringkali didapati dalam pekerjaan sebagai ABK dibarengi pula perlakuan tidak layak dan tidak manusiawi yang dilakukan oleh atasan kapal asing terhadap ABK. Fakta di lapangan menunjukan kerasnya kehidupan ABK yang bekerja pada kapalkapal asing. Beberapa perlakuan tidak manusiawi yang melanggar Hak Asasi Manusia kerap dirasakan oleh banyak anak buah kapal, salah satunya berdasarkan temuan dari temuan Greenpeace Asia yang menyebutkan ada kasus ġematian ABK yang jenazahnya dimasukkan dalam freezer dicampur dengan ikan.1 Berdasarkan keterangan ABK yang bekerja di kapal Cina,

1

https://www.republika.id/posts/6870/mencari-kesejahteraan-di-perbudakan-dunia [diakses pada 20 Juli 2020]

57


mereka mendapat perlakuan yang sangat mengerikan, dimana para ABK bekerja selama 20-22 jam per hari dan hanya digaji Rp. 100.000,00 per bulan. Mereka pun mendapatkan konsumsi makanan dan minuman yang tidak layak sehingga menyebabkan mereka rentan sakit bahkan berujung kematian.2 Merebaknya kasus 4 ABK yang meninggal di atas kapal asing milik perusahaan Cina membuka kembali tabir kenyataan dimana perbudakan dan eksploitasi ABK sangat kental dan banyak terjadi. Kejadian mengenai perbudakan ABK bukanlah berita baru, telah ada beberapa kasus serupa yang telah terjadi sebelumnya seperti salah satunya pada tahun 2015, dua orang ABK yang bekerja untuk kapal ikan New Bai 168 berbendera Taiwan yang tidak digaji selama 8 bulan3. Maka dari itu, International Labour Organization (ILO) telah mengindentifikasi beberapa hal yang mendukung perlunya penanganan khusus, antara lain sulitnya upaya pengawasan, keterbatasan akses ke kapal tempat kejadian, kompleksitas isu yang melibatkan banyak aktor, proses rekrutmen yang tidak sesuai prosedur, serta peningkatan permintaan ABK seiring bertumbuhnya industri perikanan.4

II. Isu Hukum 1. Bagaimana

peran

pemerintah

untuk

melindungi

dan

menjamin

terselenggaranya penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia terhadap ABK yang bekerja di kapal-kapal milik asing? 2. Bagaimana implementasi Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia bagi Warga Negara Indonesia yang bekerja di kapal-kapal milik asing?

2

https://www.republika.id/posts/6870/mencari-kesejahteraan-di-perbudakan-dunia [diakses pada 27 Juli 2020] Riyono, 'Mencari Kesejahteraan di perbudakan dunia' (2020) 3 https://nasional.tempo.co/read/1339726/kasus-kasus-perbudakan-abk-indonesia-di-kapalasing/full&view=ok [diakses pada 27 juli 2020] Dewi Nurita, 'Kasus Perbudakan ABK Indonesia di Kapal Asing' (2020) 4 ILO, "Caught at Sea: Forced Labour and trafficking in Fisheries", 2013.

58


III. Dasar Hukum 1. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; 2. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 3. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia; 4. Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor 13 Tahun 2009; 5. Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor 03 Tahun 2013; 6. Peraturan BNP2TKI Nomor 12 Tahun 2013.

IV. Analisis Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktik serupa perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun orang tersebut tidak menghendakinya. Merujuk dari definisi tersebut, kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi dan situasi yang dialami oleh para ABK yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi selama bekerja pada kapal-kapal milik asing adalah perbudakan modern. Perbudakan modern, menurut Indeks Perbudakan Dunia, merupakan suatu kondisi di mana seseorang memperlakukan orang lain sebagai properti miliknya, sehingga kemerdekaan orang itu terampas lalu dieksploitasi demi kepentingan orang yang melakukan praktik perbudakan. Orang bisa dipekerjakan dan dibuang begitu saja seperti barang. Hal ini tentu mencederai hak asasi manusia yang pada dasarnya dimiliki oleh tiap-tiap manusia, berdasarkan UU Nomor 39 tahun 1999, Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia,

59


bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Begitu pula yang terdapat dalam Pasal 20 UU Nomor 39 tahun 1999, menyebutkan perihal pelarangan perbudakan dan perhambaan. Kekerasan yang dialami oleh ABK pun sesungguhnya merupakan salah satu contoh praktik perbudakan modern yang telah melanggar HAM. Sehingga dalam hal ini, pemerintah memegang peran krusial untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia dari para ABK yang pada dasarnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hal ini pun sejalan dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menerangkan bahwa tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, yang berarti bahwa pemerintah harus memastikan bahwa setiap warga negara hidup dan bisa bekerja dengan layak tanpa bayang-bayang intimidasi ataupun kekerasan dari orang lain. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah harus lebih dahulu menciptakan payung hukum yang mengatur akar-akar dari permasalahanpermasalahan ini, pemerintah harus memperjelas regulasi terkait perekrutan ABK oleh kapal-kapal asing didukung dengan kelengkapan administratif dan hal-hal teknis terkait, pun harus memastikan keterbukaan dan jaminan keselamatan kerja serta upah dari kapal-kapal milik asing yang melakukan perekrutan, sehingga tercipta alur yang jelas dan tentunya berbasis hukum. Pemerintah harus melakukan pengumpulan data dan sinkronisasi aturan untuk memaksimalkan pelindungan terhadap warga negara Indonesia yang bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) di kapal asing. Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang merupakan dari pembaruan dan penguatan peraturan sebelumnya yaitu, UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Yang menekankan peran pemerintah perihal penempatan dan

perlindungan

pekerja

migran

Indonesia.

Dengan

adanya

penyempurnaan undang-undang ini, hak-hak pekerja migran Indonesia

60


untuk terlindung dari segala macam praktik perbudakan diharapkan untuk semakin terjamin. Namun pada kenyataannya, masih banyak Pekerja Migran Indonesia, khususnya menjadi pekerja Anak Buah Kapal (ABK) di kapal-kapal asing melalui proses yang tidak sah atau illegal.5 Hal ini tentunya menunjukan bahwa UU No. 18 tahun 2017, khususnya pasal 5 huruf e yang menyebutkan bahwa setiap Pekerja Migran Indonesia harus memiliki dokumen lengkap yang dipersyaratkan tidak terimplementasi dengan baik. Kenyataan ini disebabkan karena kurangnya kesadaran calon Pekerja Migran Indonesia dan kelemahan pembuat kebijakan hukum dalam hal penegakan hukum. Permasalahan selanjutnya adalah mengenai jaminan sosial para Pekerja Migran Indonesia sesuai yang dimaktubkan dalam Pasal 29 UU Nomor 18 tahun 2017 yang juga dinilai belum terimplementasi dengan sebagaimana yang telah diatur karena fakta lapangan masih menunjukan rentetan kasus Anak Buah Kapal (ABK) yang meninggal ketika menunaikan pekerjannya. Karena itu, dibutuhkan kesadaran penuh dari pemerintah dalam menjalankan tugas dalam untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan. Sinergisitas antarkementerian dan Lembaga-lembaga terkait perlu diadakan agar terciptanya situasi kerja yang layak dan berperikemanusiaan bagi Pekerja Migran Indonesia. Maka dari itu, agar terwujudnya implementasi nyata dari produk hukum UU Nomor 18 tahun 2017, terdapat beberapa hal yang harus dilakukan: 1. Mensosialisasikan dan mendorong calon Pekerja Migran Indonesia untuk mengikuti jalur resmi sesuai yang telah diatur; 2. Mendesak

pemerintah

dan

Lembaga-lembaga

terkait

untuk

mengoptimalkan perekrutan pekerja sampai pada perlindungan pekerja dalam masa kerja maupun; 5

https://www.voaindonesia.com/a/kemlu-banyak-wni-bekerja-ilegal-sebagai-abk-kapal-ikanasing/5447283.html [diakses pada 20 Juli 2020]

61


3. Pemerintah harus memastikan bahwa ketersediaan kerja atau job order telah memiliki verifikasi dari negaranya dan memastikan bahwa Pekerja Migran Indonesia telah memiliki dokumen perjanjian kerja yang sesuai dengan standar HAM internasional; 4. Pemerintah harus segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perlindungan Pekerja Migran di Sektor Kelautan sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017. Permasalahan terkait perlakuan terhadap anak buah kapal (ABK) harus diatasi dari akar permasalahannya, agar tidak lagi ada eksploitasi dan perbudakan dalam lingkungan kerja. Pemerintah harus memaksimalkan setiap sumber daya yang ada agar terciptanya jaminan hukum yang bisa melindungi hak-hak setiap warga negara, khususnya ABK. Dasar hukum yang masih kurang memadai terhadap keselamatan dan perihal upah pekerja ABK harus segera diterbitkan agar tidak terjadi lagi kasus serupa yang tentunya memprihatinkan untuk disaksikan. Dengan tersedianya jaminan hukum yang tepat sasaran, maka seharusnya tidak ada lagi upah yang tidak terbayarkan ataupun bahkan nyawa ABK yang melayang di lautan.

62


DAFTAR PUSTAKA Dewi Nurita, 'Kasus Perbudakan ABK Indonesia di Kapal Asing' (2020) https://nasional.tempo.co/read/1339726/kasus-kasus-perbudakan-abkindonesia-di-kapal-asing/full&view=ok [diakses pada 27 juli 2020] Riyono,

'Mencari

Kesejahteraan

di

perbudakan

dunia'

(2020)

https://www.republika.id/posts/6870/mencari-kesejahteraan-diperbudakan-dunia [diakses pada 27 Juli 2020] Wardah Fathyah, ‘Kemlu: Banyak WNI Bekerja Ilegal Sebagai ABK Kapal Ikan Asing’

(2020)

https://www.voaindonesia.com/a/kemlu-banyak-wni-

bekerja-ilegal-sebagai-abk-kapal-ikan-asing/5447283.html [diakses pada 20 Agustus 2020] ILO, "Caught at Sea: Forced Labour and trafficking in Fisheries", 2013.

63


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.