ALSA Indonesia Legal Review Competition 2020 Selected Paper

Page 1

SELECTED PAPERS

ALSA INDONESIA LEGAL REVIEW COMPETITION 2020

Find out more alsa-indonesia.org


PRIVATE ENFORCEMENT: INKLUSIVITAS AKSES PENEGAKAN HUKUM DALAM PERKARA PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Inggito Suryoputro, Anugrah Wishnumurti, I Gst Putu Agung Universitas Gadjah Mada

Latar Belakang Untuk menunjang keharmonisan aktivitas persaingan usaha, hukum hadir sebagai alat untuk mengatur dan membatasi aspek-aspek tertentu bagi para pelaku usaha dalam menjalankan roda usahanya.1 Hukum persaingan usaha sendiri merupakan bagian dari hukum ekonomi sehingga bersifat multidimensional dan masuk baik ke dalam ranah hukum publik maupun privat.2 Artinya, dalam hal terdapat fenomena persaingan usaha yang tidak sehat, dampak negatif tidak hanya akan dirasakan oleh para pelaku usaha pesaing, melainkan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, persaingan usaha yang efisien merupakan sebuah kausa finalis dalam konsepsi terciptanya iklim usaha yang kondusif. Untuk mewujudkan idealisme di atas, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Selanjutnya disebut UU No. 5/1999) memberikan mandat kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap masalah-masalah persaingan usaha yang terjadi di Indonesia.3 Berkaitan dengan fungsi penegakan hukum, KPPU berwenang untuk; 1) menerima laporan, melakukan penelitian dan penyidikan atas adanya indikasi kegiatan persaingan usaha tidak sehat,

Ahmad Muhtar Syarofi, “Kontribusi Hukum Terhadap Perkembangan Perekonomian Nasional Indonesia,” Iqtishodia: Jurnal Ekonomi Syariah, Vol. 1, No. 2, September 2016, hlm. 60. 2 Syamsul Maarif dan B.C. Rikrik Rizkiyana, Posisi Hukum Persaingan Usaha Dalam Sistem Hukum Nasional, Maret 2004, dapat diakses melalui https://www.kppu.go.id/, hlm. 8-9. 3 Lihat Pasal 36 UU No. 5 Tahun 1999. 1


2) memutuskan ada atau tidaknya kerugian yang dialami oleh pelaku usaha lain maupun masyarakat, serta 3) memberi efek jera melalui penjatuhan sanksi.4 Secara teoritis, penegakan hukum bertujuan untuk memberikan rasa jera dan memberikan rasa keadilan bagi para pihak yang merasa dirugikan. Sayangnya hingga kini KPPU masih belum optimal dalam memanfaatkan kewenangan penegakan hukum yang diberikan oleh UU No. 5/ 1999. Kondisi ini dibuktikan oleh banyaknya putusan KPPU yang dibatalkan dalam upaya hukum banding maupun kasasi karena pengajuan keberatan oleh tergugat. Bahkan beberapa putusan tidak dapat dieksekusi karena KPPU tidak memiliki lembaga sita atau upaya sita.5 Hal ini dipicu oleh adanya disparitas antara UU No. 5/1999 dengan undang-undang yang bersifat umum seperti KUHP, KUHD, maupun kebijakan dari pemerintah yang dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.6 Oleh karena itu, untuk mendorong penegakan hukum persaingan usaha yang lebih komprehensif, diperlukan paradigma baru dalam penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia. Berdasarkan pemaparan diatas, legal review ini akan membahas praktik yang sesuai dengan hukum positif indonesia dalam hal persaingan usaha, hingga bagaimana peluang penerapan private enforcement dalam memberikan kepastian hukum serta kesetaraan akses bagi para pihak terutama korban.

Rumusan Masalah 1. Bagaimana status quo permasalahan penegakan hukum persaingan usaha dalam kaitannya dengan pengajuan permohonan ganti kerugian? 2. Bagaimana peluang penerapan private enforcement dalam penyelesaian perkara persaingan usaha di Indonesia?

4

Lihat Pasal 36 UU No. 5 Tahun 1999. Rai Mantilli, Hazaar Kusmayanti, dan Anita Afriani, “Problematika Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam rangka Menciptakan Kepastian Hukum,” Jurnal Ilmu Hukum Volume 3, Nomor 1, Tahun 2016. 6 ibid 5


Analisis 1.

Status Quo Permasalahan Penegakan Hukum Persaingan Usaha Dalam Kaitanya dengan Pengajuan Permohonan Ganti Kerugian

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, KPPU merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk menindaklanjuti kasus persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 5/1999.7 Untuk memberikan rasa jera serta mengembalikan keadaan seperti semula, KPPU memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi terhadap pelaku usaha yang melanggar UU No. 5/1999, berupa sanksi administratif dan/atau penjatuhan hukuman pidana.8 Tidak hanya itu, UU No. 5/1999 juga membuka peluang bagi para pihak yang merasa dirugikan untuk menyampaikan permohonan ganti rugi akibat peristiwa pelanggaran hukum persaingan usaha. Adapun legitimasi yuridis pengajuan permohonan ganti rugi a quo secara tegas termaktub dalam Pasal 38 ayat (2) yang menjelaskan bahwa pihak yang dirugikan dapat mengajukan laporan tertulis kepada KPPU dengan dilengkapi rincian kerugian yang dialami.9 Dalam memutus permohonan ganti rugi dari pelaku usaha, maka KPPU mereferensikan diri pada ketentuan dalam pasal 47 (2) (f) undang-undang a quo di mana dalam mengenakan sanksi administratif kepada pelaku usaha, dapat menetapkan pembayaran ganti rugi sebagai salah satu metodenya. Ironisnya dalam tataran implementasi acapkali putusan terhadap tindakan anti persaingan usaha jauh dari rasa keadilan. Bagaimana tidak? Banyak kasus anti persaingan usaha yang diputus oleh KPPU bersifat multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian terhadap pemenuhan hak korban atas ganti rugi. Hal tersebut dikarenakan KPPU dalam beberapa kesempatan menolak untuk memberikan sanksi

7

Vide Pasal 1 ayat 18 dan Pasal 30 UU No. 5 Tahun 1999. Pemberian sanksi administratif termaktub dalam pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999. 9 Lihat Pasal 38 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999. 8


ganti rugi terhadap pelaku pelanggaran persaingan usaha.10 KPPU beranggapan bahwa sanksi ganti rugi hanya dapat diberikan jika perkara didasarkan atas laporan dengan tuntutan ganti rugi.11 Padahal, Pasal 47 ayat (2) tidak menyebutkan bahwa penetapan ganti rugi hanya terbatas pada perkara laporan dengan tuntutan ganti rugi. Masih terkait dengan ganti rugi, jaminan ganti rugi terhadap konsumen pun tidak mendapat kepastian. Berkaca pada kasus Kartel SMS, dalam putusannya KPPU menyiratkan bahwa majelis tidak berwenang untuk memberikan sanksi ganti rugi kepada konsumen. Sekilas, dapat ditangkap bahwa kewenangan penentuan sanksi ganti rugi terhadap konsumen sebagai salah satu pihak adalah diluar wewenang KPPU. Akan tetapi, hal berbeda tercantum dalam kasus Fuel Surcharge, dimana majelis justru memasukan unsur kepentingan konsumen dalam pertimbangan, dengan catatan ganti rugi diberikan secara kas kepada pemerintah. Sehingga, didapatkan bahwa ganti rugi terhadap konsumen diberikan kepada pemerintah bukan kepada konsumen secara individual. Pada kasus Kartel Skutik Yamaha dan Honda, KPPU kembali tidak menerapkan sanksi ganti rugi terhadap konsumen oleh pengusaha, melainkan hanya menerapkan sanksi berupa denda. Hal ini kemudian dianggap sebagai bentuk ketidakberpihakan terhadap hak atas ganti rugi dari para konsumen, secara para konsumen tersebut sebagai pihak langsung yang berhubungan dengan pelaku usaha juga menanggung kerugian atas praktik para pelaku usaha. Tafsir lain mengenai kompensasi atau ganti rugi untuk pelanggaran UU No. 5/1999 adalah adanya pemikiran bahwa ganti rugi perlu dilakukan melalui Pengadilan Negeri dengan gugatan ganti rugi perdata. Gugatan tersebut dilakukan dengan menggunakan penetapan atau putusan KPPU mengenai adanya pelanggaran terhadap ketentuan UU No. 5/1999, sehingga keputusan atau ketetapan tersebut digunakan sebagai bukti untuk melakukan gugatan ganti rugi melalui peradilan perdata. Perbedaan pemikiran ini memunculkan multitafsir atas posisi konsumen atau khalayak umum dalam mengajukan ganti rugi.

10

Lihat Putusan KPPU 07/KPPU-L/2007. Hukumonline.com, “Digugat Ganti Rugi Konsumen Yamaha-Honda, KPPU: Bukan Wewenang Kami,” https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5dca521ba8b59/digugat-ganti-rugi-konsumenyamaha-honda--kppu--bukan-wewenang-kami?page=2, diakses 26 Oktober 2020. 11


Selain dalam beberapa kasus tersebut, mengacu kepada Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2009 tentang Pedoman Tindakan Administratif memberikan perincian bahwa ganti rugi sendiri timbul dari tindakan anti persaingan. Lebih lanjut, pada penjelasan berikutnya dikatakan bahwa beban pembuktian berada pada pengusaha yang meminta ganti kerugian. Hal ini semakin menimbulkan pemikiran yang berbeda yang pada akhirnya memunculkan kebingungan mengenai ganti rugi yang diajukan oleh konsumen mengingat pedoman tersebut mengatur bahwa kerugian muncul apabila pelaku usaha dirugikan oleh pengusaha lainnya. Lebih lanjut, pengajuan ganti rugi oleh konsumen pernah diajukan dalam salah satu kasus fenomenal, yakni dalam kartel Yamaha-Honda. Menanggapi gugatan ganti rugi yang diajukan konsumen tersebut, Kepala Biro Hukum KPPU saat itu, Ima Damayanti menyatakan bahwa gugatan ganti rugi masyarakat terhadap kegiatan kartel seyogyanya melalui mekanisme class action.12 Hal ini lebih lanjut memperkeruh tafsir yang tersedia, apakah ganti rugi diberikan kepada pelaku pengusaha saja, ataukah dibayarkan kepada pemerintah, atau dapat menjadi hak konsumen yang mengalami kerugian dari tindakan anti persaingan usaha tersebut. Ketidakpastian terhadap akses ganti rugi konsumen tentu dapat dikatakan melanggar ruh daripada UU No. 5/1999 yang bertujuan untuk menjaga kepentingan umum. Padahal, aspek konsumen merupakan hal yang penting untuk ditegakkan perlindungannya, sebagai upaya untuk menjauhkan konsumen dari kerugian yang diakibatkan oleh persaingan usaha yang tidak sehat. Mengacu pada UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, didapatkan bahwa perlindungan terhadap konsumen adalah upaya penting untuk menjamin agar hak-hak konsumen dapat terlaksana. Dalam UU No 8 Tahun 1999 Pasal 19 tersebut juga didapatkan frasa bahwa ganti rugi merupakan hak bagi konsumen yang mengalami kerugian dari barang atau jasa yang dihasilkan atau dikomersilkan, yang apabila ditarik lebih jauh dapat

Kabar24, “Kartel Yamaha-Honda: KPPU Tak Bisa Berikan Putusan,” https://kabar24.bisnis.com/read/20191112/16/1169512/kartel-yamaha-honda-kppu-tak-bisa-berikanputusan-ganti-rugi. 12


disimpulkan bahwa sejatinya konsumen memiliki hak atas ganti rugi terhadap perbuatan perusahaan yang merugikan konsumen. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa KPPU sebagai bentuk dari Public Enforcement masih kurang efektif dalam memastikan adanya proteksi untuk para korban persaingan usaha tidak sehat. Hal ini dikarenakan jika korban tidak secara spesifik melaporkan dengan tuntutan ganti rugi maka pada akhirnya korban harus melanjutkan proses pengadilan terpisah melalui perdata untuk mendapatkan ganti rugi dari pelaku pelanggaran UU No. 5/1999. Selain itu, hukum persaingan usaha di Indonesia juga tidak mengatur secara tegas mengenai hubungan antara ranah persaingan usaha dengan perdata, dimana hal ini dilemparkan kepada pengadilan untuk menentukan.13

2. Peluang penerapan private enforcement dalam penyelesaian perkara persaingan usaha di Indonesia Pada dasarnya, penegakan hukum persaingan usaha dapat dibagi menjadi dua yaitu public enforcement dan private enforcement.14 Public enforcement merujuk pada proses penegakan hukum persaingan usaha yang dilakukan oleh suatu badan pengawas persaingan usaha.15 Berbeda dengan public enforcement, private enforcement mengacu pada proses litigasi yang diinisiasi oleh pihak yang dirugikan oleh praktek anti kompetisi.16 Karena fungsi utama public enforcement adalah untuk melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran hukum persaingan usaha, private enforcement diperlukan untuk memastikan korban-korban persaingan usaha tidak sehat memiliki hak untuk memperoleh kompensasi atas kerugian yang mereka derita. OECD, “OECD Review of Regulatory Reform: Competition Law and Policy in Indonesia,” (2012) para. 183. 14 Clifford A. Jones, “Private Enforcement of Antitrust Law in the EU, UK and USA, (1999), Oxford University Press. 15 Wouter Wils, “Private Enforcement of EU Antitrust Law and its Relationship with Public Enforcement: Past Present and Future,” (2016), 40 World Competition 3 16 Karl Huschelrath dan Sebastian Peyer, “Public and Private Enforcement of Competition Law: A Differentiated Approach,” CCP Working Paper 13-5, 2013 13


Manfaat lain dari private enforcement sendiri adalah untuk memaksimalkan penegakan hukum persaingan usaha bersama dengan keberadaan public enforcement.17 Private enforcement dapat berfungsi sebagai sarana pencegahan pelanggaran hukum persaingan usaha suatu negara.18 Dalam private enforcement, korban persaingan usaha tidak sehat dapat menuntut ganti rugi kepada pelanggar hukum persaingan usaha.19 Apabila permohonan dikabulkan oleh pengadilan, pelanggar akan dibebankan dengan dua kewajiban yaitu; (1) pembayaran denda administratif yang masuk ke kas negara atas dasar pelanggaran ketentuan persaingan usaha, dan (2) pembayaran ganti rugi yang dibayarkan ke korban atas dasar kerugian yang ditimbulkan dari pelanggaran yang ia lakukan. Penjatuhan sanksi yang demikian diharapkan mampu memberikan efek jera.20 Di Amerika Serikat sendiri private enforcement merupakan praktek yang populer. Salah satu alasannya adalah menurut hukum AS, penggugat ganti rugi atas tindakan persaingan usaha tidak sehat berhak memperoleh nilai ganti rugi sebesar tiga kali lipat dari kerugian yang senyatanya diderita apabila gugatannya dikabulkan oleh pengadilan.21 Hal ini disebut sebagai treble damages. Manfaat berikutnya dari private enforcement adalah pihak yang ingin mengajukan gugatan ganti rugi dapat langsung mengajukan gugatan ganti rugi secara independen, tanpa bergantung pada putusan suatu lembaga pengawas persaingan usaha. Pengajuan gugatan ganti rugi secara independen ini dapat dikategorikan sebagai stand-alone claim. Pada dasarnya pengajuan ganti rugi dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu stand-alone claim dan follow-on claim.22 Pengajuan follow-on claim bergantung pada putusan resmi lembaga pengawas persaingan usaha atas suatu perkara Lihat lebih lanjut dalam International Competition Network, “Development of Private Enforcement of Competition Law in ICN Jurisdictions,” (2019). 18 Lihat lebih lanjut dalam Robert H. Lande, “Introduction: Benefits of Private Enforcement: Empirical Background,” (2012), University of Baltimore School of Law. 19 Lihat lebih lanjut dalam Niamh Dunne, “The Role of Private Enforcement within EU Competition Law,” (2014), Cambridge Yearbook of European Legal Studies. Cambridge University Press. 20 Roger et al, “The EC Green Paper on Damages Actions in Antitrust Cases an Academic Comment”, (2006), Rotterdam, Rotterdam Institute of Private Law. 21 Lihat pasal 4 Clayton Act. 22 Assimakis Komninos, “EC Private Antitrust Enforcement”, (2008), Hart Publishing 17


yang telah diselidiki.23 Dalam follow-on claim penggugat menggunakan putusan resmi lembaga pengawas persaingan usaha sebagai acuan dalam mengajukan gugatan ganti rugi ke pengadilan dan penggugat tidak akan dibebani biaya yang sama dengan standalone claim karena investigasi dan pembuktian telah dilakukan oleh lembaga pengawas persaingan usaha yang hasilnya telah tercantum di dalam putusan perkara.24 Berbeda dengan follow-on claim, dalam stand-alone claim pengajuan gugatan ganti rugi dilakukan tanpa mengacu pada putusan lembaga pengawas persaingan usaha terhadap perkara yang telah diadili.25 Sebagai konsekuensi logis, pemohon gugatan ganti rugi harus melakukan sendiri pembuktian dan investigasi sehingga dapat dikatakan stand-alone claim memakan biaya yang lebih besar dibanding follow-on claim. Hukum persaingan usaha AS pada dasarnya menganut dual enforcement regime sehingga baik follow-on claim maupun stand-alone claim sangat dimungkinkan untuk dilaksanakan.26 Pernyataan ini dibenarkan dengan clayton act pasal (15) huruf a yang menyatakan bahwa “…any person who shall be injured in his business or property by reason of anything forbidden in the antitrust law may sue therefor in any district court of the United States...” Ketentuan seperti ini menegaskan bahwa siapapun yang dirugikan akibat persaingan usaha tidak sehat memiliki hak untuk mengajukan gugatan ganti rugi. Mengenai penerapan follow-on dan stand-alone claim di Indonesia, Pasal 47 ayat (2) huruf f UU Nomor 5/1999 menyatakan bahwa KPPU memiliki wewenang untuk melakukan tindakan administratif berupa penetapan ganti rugi. Pada prakteknya, baru ada satu perkara yang ditangani KPPU dimana pelapor mengajukan permohonan ganti rugi yaitu Perkara Nomor 19/KPPU-L/2007. Perkara ini mengenai adanya dugaan

Ariel Ezrachi dan Maria Ioannidou, “Access to Justice in European Competition Law - Public Enforcement as A Supplementary Channel for Corrective Compensation,” (2011), Asia Pacific Law Review. 24 Ibid 25 Assimakis Komninos, Op cit, hlm. 6&7 26 Uk.practicallaw.thomsonreuters.com. “Private Antitrust Litigation in The United States: Overview”. (https://uk.practicallaw.thomsonreuters.com/6-6328692?transitionType=Default&contextData=(sc.Default)&firstPage=true), diakses pada 28 Oktober 2020 23


pelanggaran UU Nomor 5/1999 atas laporan dari PT Aquarius Musikindo yang berkaitan dengan perpindahan Band Dewa 19 dari PT Aquarius Musikindo ke EMI Music South East Asia. Pada perkara ini, majelis hakim memutuskan bahwa para terlapor terbukti melanggar ketentuan pasal 23 UU Nomor 5/1999 dan menetapkan nilai ganti rugi yang harus dibayar terlapor I dan II kepada PT Aquarius Musikindo sebesar Rp. 3.814.749.520.27 Sayangnya, KPPU hanya berwenang untuk menetapkan nilai ganti rugi dan tidak berwenang untuk memutus gugatan ganti rugi. Untuk itu, pengajuan gugatan ganti rugi harus ditujukan ke Pengadilan Negeri.28 Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa hanya followon claim yang dapat dilakukan di Indonesia karena kewenangan untuk menetapkan nilai ganti rugi hanya dimiliki oleh KPPU dan sebagai konsekuensi pengajuan gugatan ganti rugi ke Pengadilan Negeri harus berdasarkan putusan KPPU yang memuat penetapan nilai ganti rugi. Penulis juga berpendapat bahwa stand-alone claim belum terakomodasi oleh hukum positif Indonesia dan untuk sementara ini tidak mungkin untuk diterapkan. Situasi ini sungguh disayangkan dikarenakan sebenarnya standalone claim memiliki manfaat apabila dapat diterapkan di Indonesia. Jika stand-alone claim dapat diterapkan di Indonesia, Korban tidak perlu lagi bergantung pada putusan KPPU dalam mengajukan gugatan ganti rugi. Sejak 2003, Uni Eropa sedang menjalankan reformasi hukum persaingan usaha dengan dikeluarkannya EC Regulation 1/2003. Regulasi tersebut secara terang menyebutkan keberadaan kesempatan untuk pengadilan masing-masing negara untuk mengaplikasikan Pasal 81 dan 82 Treaty of the Establishment of European Community secara penuh.29 Penerapan dari private enforcement juga didukung oleh kasus yang ditangani oleh European Court of Justice, dimana disebutkan oleh pengadilan bahwa pelaksanaan peraturan antitrust yang terdapat pada Pasal 101 dan 102 dari Treaty of the Functioning of the European Union memerlukan adanya hak atau kesempatan bagi

27

Lihat Putusan Perkara Nomor: 19/KPPU-L/2007. Jawaban resmi KPPU atas pertanyaan yang diajukan penulis via E-Mail. 29 Federico Casolari, “Private Enforcement of European Union Competition Law,” (2014), The International Spectator. 28


siapapun untuk dapat menuntut kompensasi melalui pengadilan akibat kerugian yang mereka dapatkan sebagai dampak dari pelanggaran peraturan mengenai persaingan usaha.30 Adapun menurut ECJ (European Court of Justice), keberadaan hak tersebut akan memperkuat penegakkan terhadap hukum persaingan usaha Uni Eropa dan mengurangi adanya perjanjian atau praktik persaingan usaha tidak sehat.31 UU No.5/1999 dirasa belum secara tegas memberikan hak kepada korban persaingan usaha untuk melakukan gugatan kompensasi. Negara Asia Tenggara seperti Malaysia dan Singapura juga sudah memiliki peraturan mengenai hak kompensasi penuh melalui private enforcement. Gugatan ganti rugi ke Pengadilan Negeri di Indonesia dalam prakteknya didasari oleh Pasal 1365 KUHPER atau Perbuatan Melawan Hukum dan tidak diatur di dalam UU No. 5/1999. Hal ini merupakan indikasi bahwa secara normatif tidak ada halangan untuk menggugat ganti rugi terhadap pelanggar UU No. 5/1999. Namun berbeda dengan Indonesia, Singapura menerapkan integrasi gugatan ganti rugi ke Pengadilan Negeri di dalam hukum persaingan usahanya sesuai dengan Competition Act Section 86 mengenai Right to Private Actions yang secara spesifik mengatur mengenai gugatan perdata dari para pihak yang dirugikan atas pelanggaran peraturan tersebut. Diharapkan dengan keberadaan integrasi ketentuan gugatan ke dalam peraturan persaingan usaha maka dapat memperjelas prosedur dalam menggugat ganti rugi bagi para pihak yang dirugikan dari persaingan usaha tidak sehat. Sebelum private enforcement dapat diterapkan secara optimal di Indonesia, terlebih dahulu harus ada skema penerapan yang jelas. Skema penerapan ini harus dapat menyelesaikan segala permasalahan yang sudah dipaparkan sebelumnya. Pertama, perlu adanya peraturan perundangan yang mengatur secara tegas mengenai hak menuntut ganti rugi atas praktek persaingan usaha tidak sehat. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa UU No.5 /1999 tidak secara tegas memberikan hak untuk melakukan gugatan perdata atas kerugian yang diakibatkan oleh persaingan usaha tidak

30 31

Ibid. Lihat Kasus Perkara Crehan v. Courage, ECEJ, Paragraf 27.


sehat. Ketegasan dalam pengaturan ini diperlukan untuk memastikan kejelasan dari wewenang masing-masing stakeholder dalam sebuah pelanggaran persaingan usaha. Kedua, perlu adanya peraturan mengenai mekanisme ganti rugi yang dapat dilakukan pengusaha atau konsumen yang dirugikan oleh praktek persaingan usaha tidak sehat. Peraturan perundangan ini harus mencakup pengaturan mengenai pengajuan gugatan ganti rugi dalam bentuk stand-alone claim dan follow-on claim. Mengenai stand-alone claim, peraturan yang dimaksud harus memberikan kejelasan mengenai pihak mana saja yang dapat mengajukan gugatan ganti rugi dan bagaimana prosedur penyerahan barang bukti dari pihak KPPU ke pihak penggugat agar penggugat dapat melakukan pembuktian di Pengadilan Negeri tanpa didasarkan dengan putusan KPPU. Mengenai follow-on claim, peraturan yang dimaksud juga harus memberikan kejelasan mengenai pihak mana saja yang dapat mengajukan gugatan ganti rugi. Baik gugatan follow-on claim maupun stand-alone claim sebaiknya dilaksanakan dalam bentuk class action apabila para penggugat memiliki kesamaan fakta dan kepentingan hukum yang sama.32 Untuk mengatasi perkara yang sama diajukan gugatan class action ke beberapa pengadilan pada waktu yang bersamaan, perlu ada ketentuan yang memperbolehkan dilakukannya kumulasi gugatan class action agar pengadilan dapat menyelesaikan sejumlah perkara sekaligus melalui proses yang sama.33 Hal ini dikarenakan belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kumulasi gugatan class action. Ketiga, dibutuhkan ketentuan yang menegaskan mengenai wewenang mengadili gugatan ganti rugi atas praktek persaingan usaha tidak sehat. Penulis berpendapat bahwa wewenang ini harus diberikan kepada Pengadilan Negeri dan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara perdata yang berlaku. Alasanya adalah karena pada dasarnya KPPU tidak berwenang dalam mengadili gugatan ganti rugi atas

Lihat dalam Andi Fahmi Lubis, et.al., “Buku Teks Hukum Persaingan Usaha Edisi II,” (2017), KPPU, Jakarta. 33 Ibid 32


praktek persaingan usaha tidak sehat dan pemeriksaan gugatan ganti rugi sudah sering dilakukan di Pengadilan Negeri. Penulis berpendapat bahwa pemisahan wewenang antara penetapan pelanggaran dan penetapan ganti rugi akan membuat proteksi terhadap para korban lebih efektif.

Kesimpulan Berdasarkan pemaparan diatas, dapat diketahui terdapat berbagai permasalahan dalam pemberian ganti rugi bagi korban. Kebingungan ini dilatarbelakangi sifat multitafsir mengenai pemberian ganti kerugian apakah diberikan kepada pelaku usaha, pemerintah ataukah kepada konsumen. Pada dasarnya dalam hukum persaingan usaha di Indonesia belum ada ketentuan yang secara jelas mengatur mengenai tata cara pengajuan gugatan ganti rugi oleh korban. Korban belum memperoleh kepastian hukum dikarenakan belum adanya ketentuan yang mengatur secara jelas tentang hal ini. Dalam beberapa putusan KPPU pula tidak diberikan kepastian mengenai siapa saja yang berhak memperoleh ganti rugi atau kompensasi, dengan banyaknya perbedaan penerapan dalam tiap kasusnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa putusan KPPU yang mengkategorikan ganti rugi sebagai ganti kerugian yang ditujukan ke kas negara dan bukan ke korban. Penulis berargumen bahwa Indonesia perlu menerapkan private enforcement agar hak-hak korban dapat terlindungi. Seperti yang sudah dipaparkan di atas, private enforcement dapat meningkatkan efek jera bagi pelanggar ketentuan hukum persaingan usaha Indonesia dan juga dapat memberikan kepastian hukum bagi korban untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang senyatanya ia derita dengan menyediakan akses dan kepastian dalam penuntutan ganti rugi. Penulis juga menyimpulkan bahwa public enforcement dan private enforcement bukanlah dua hal yang saling bertentangan melainkan dua hal yang harus ada agar tercipta kondisi persaingan usaha yang kondusif, adil, dan efektif.


Saran a. Perlu adanya jaminan terhadap perlindungan konsumen, dalam rupa pemberian kepastian akses terhadap ganti rugi yang dialami konsumen sebagai akibat dari persaingan usaha; b. Perlu adanya Ketentuan yang menegaskan mengenai wewenang dari KPPU dan Pengadilan Negeri dalam hal pemberian uang ganti rugi korban dalam perkara persaingan usaha tidak sehat; c. Perlu adanya ketentuan mengenai gugatan ganti rugi yang terintegrasi di dalam hukum persaingan usaha di Indonesia sehingga korban persaingan usaha tidak sehat memperoleh kepastian hukum mengenai prosedur pengajuan gugatan ganti rugi yang benar.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad

Muhtar

Syarofi,

Kontribusi

Hukum

Terhadap

Perkembangan

Perekonomian Nasional Indonesia, Iqtishodia: Jurnal Ekonomi Syariah, Vol. 1, No. 2, September 2016. Andi Fahmi Lubis, et.al., “Buku Teks Hukum Persaingan Usaha Edisi II,” (2017), KPPU, Jakarta. Ariel Ezrachi dan Maria Ioannidou, “Access to Justice in European Competition Law - Public Enforcement as A Supplementary Channel for Corrective Compensation,” (2011), Asia Pacific Law Review. Assimakis Komninos, “EC Private Antitrust Enforcement,” (2008), Hart Publishing. Clifford A. Jones, 1999 Private Enforcement of Antitrust Law in the EU, UK and USA, Oxford University Press Federico Casolari, “Private Enforcement of European Union Competition Law,” (2014), The International Spectator. Hukumonline.com “Digugat Ganti Rugi Konsumen Yamaha-Honda, KPPU: Bukan

Kami”

Wewenang

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5dca521ba8b59/digugat-ganti-rugikonsumen-yamaha-honda--kppu--bukan-wewenang-kami?page=2. International Competition Network, “Development of Private Enforcement of Competition Law in ICN Jurisdictions,” (2019). Kartel

Yamaha-Honda:

KPPU

Tak

Bisa

Berikan

Putusa,

https://kabar24.bisnis.com/read/20191112/16/1169512/kartel-yamaha-honda-kpputak-bisa-berikan-putusan-ganti-rugi.


OECD, ‘OECD Review of Regulatory Reform: Competition Law and Policy in Indonesia,’ (2012). Karl Huschelrath dan Sebastian Peyer, “Public and Private Enforcement of Competition Law: A Differentiated Approach”, (2013), CCP Working Paper 13-5. Niamh Dunne, “The Role of Private Enforcement within EU Competition Law,” (2014), Cambridge Yearbook of European Legal Studies. Cambridge University Press. Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2009 tentang Pedoman Tindakan Administratif Putusan Perkara KPPU Nomor: 19/KPPU-L/2007. Putusan Perkara KPPU Nomor: 26/KPPU-L/2007. Putusan Perkara KPPU Nomor: 25/KPPU-I/2009. Putusan Perkara KPPU Nomor: 04/KPPU-I/2016. Paripurna Sugarda & Muhammad Rifky Wicaksono, “Power to the people: enhancing competition law enforcement in Indonesia through private enforcement,” (2018), Asia Pacific Law Review. Rai Mantilli, Hazaar Kusmayanti, dan Anita Afriani, “Problematika Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam rangka Menciptakan Kepastian Hukum,” Jurnal Ilmu Hukum Volume 3, Nomor 1, Tahun 2016. Robert H. Lande, “Introduction: Benefits of Private Enforcement: Empirical Background,” (2012), University of Baltimore School of Law. Roger et al, “The EC Green Paper on Damages Actions in Antitrust Cases an Academic Comment,” (2006), Rotterdam, Rotterdam Institute of Private Law. Syamsul Maarif dan B.C. Rikrik Rizkiyana, “Posisi Hukum Persaingan Usaha Dalam Sistem Hukum Nasional,” (2004).


Thomson Reuters Practical Law, “Private Antitrust Litigation in The United States:

Overview,”

https://uk.practicallaw.thomsonreuters.com/6-632-

8692?transitionType=Default&contextData=(sc.Default)&firstPage=true. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Wouter Wils, “Private Enforcement of EU Antitrust Law and its Relationship with Public Enforcement: Past Present and Future,” (2016), 40 World Competition 3.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.