ALSA Indonesia Legal Review Competition 2020 Selected Paper

Page 1

SELECTED PAPERS

ALSA INDONESIA LEGAL REVIEW COMPETITION 2020

Find out more alsa-indonesia.org


Pendefinisian Pasar Bersangkutan pada Multi-Sided Market di Era Revolusi Industri 4.0: Quo Vadis?

Jehuda Ebenhaezer Winata, Hilwa Az Zahra Adwani, dan Rivaldi Rizqianda Fakultas Hukum Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

“Revolusi” merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukan suatu perubahan yang bersifat radikal dan terjadi secara tiba-tiba. Sepanjang sejarah, kita telah melewati berbagai macam revolusi, khususnya di bidang ekonomi yang selalu diawali dengan inovasi teknologi dan perubahan cara pandang umat manusia terhadap peristiwa-peristiwa ekonomi. Revolusi ekonomi terbesar dan terdekat dari abad ke-21 dimulai pada abad ke-18 yang ditandai dengan berpindahnya pemanfaatan tenaga dari manusia kepada mesin uap yang dikenal dengan istilah revolusi industri. 1

Tanpa kita sadari, revolusi industri tidak pernah berhenti terlepas dari tercapainya efisiensi produksi dari mesin uap dan perkeretaapian hingga akhir tahun 1840, melainkan tetap berlanjut hingga awal abad ke-20 dengan munculnya inovasi teknologi berupa pemanfaatan listrik dan jalur perakitan2 yang memungkinkan untuk dilakukannya produksi massal (mass

1

Klaus Schwab, 2018, The Fourth Industrial Revolution, World Economic Forum, Swiss,

hlm. 11. 2 Jalur perakitan atau assembly line ditemukan oleh Ransom E. Olds pada tahun 1901 dan selanjutnya disempurnakan oleh Henry Ford pada tahun 1913. Jalur perakitan menjadi salah satu penemuan terpenting dalam sejarah industrial atas keberhasilannya dalam memungkinkan dilakukannya produksi masal.

1


production) sebagaimana dikenal dengan sebutan Revolusi Industri 2.0.3 Sedangkan Revolusi Industri 3.0 atau yang lebih dikenal dengan istilah revolusi digital dimulai pada tahun 1960-an diawali dengan perkembangan semikonduktor yang melahirkan komputer hingga internet di tahun 1990an.4

28 tahun setelah kelahiran internet atau the dot-com era, tepatnya pada tahun 2018, istilah “Revolusi Industri 4.0” akhirnya dicetuskan oleh Klaus Schwab dan didefinisikan sebagai revolusi yang dilandasi peleburan dan interaksi antara inovasi teknologi dengan domain fisik, digital, bahkan biologis secara terpadu. Perubahan besar tersebut disinyalir memiliki perbedaan fundamental mendalam dengan tiga revolusi industri sebelumnya akibat begitu cepat dan luasnya penyebaran berbagai teknologi baru dan inovasi di seluruh belahan dunia.5 tersebut

pada

akhirnya

Penyebaran teknologi dan inovasi

menunjang

interkoneksi

jaringan

yang

memungkinkan kehadiran internet of things6 (“IoT”) sebagai salah satu pilar Revolusi Industri 4.0 yang menjembatani antara dunia fisik dengan digital khususnya pada bidang ekonomi. 7

Memandang secara kewilayahan, IoT telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ekonomi internet di Asia Tenggara sejak tahun 2015 hingga 2019; dari gross merchandise value senilai USD. 32.000.000.000,00 (tiga puluh dua miliyar dollar Amerika Serikat) di tahun 2015 menjadi 100 Milyar USD di akhir tahun 2019.8 Namun, kecepatan menjadi hal yang relatif dalam mendefinisikan pertumbuhan ekonomi internet Asia Tenggara karena meskipun secara regional pertumbuhan 3

Klaus Schwab, Op. cit., hlm. 12. Ibid. 5 Ibid. 6 Secara sederhana, IoT digambarkan sebagai hubungan antara suatu hal (barang, jasa, tempat, dsb.) dengan manusia yang dimungkinkan atas adanya jaringan yang diciptakan oleh perkembangan teknologi (internet). Lihat Klaus Schwab, Op. cit., hlm. 21. 7 Ibid. 8 Stephanie Davis, et al., 2019, Swipe Up and to the Right: Southeast Asia’s $100 billion internet economy, Hasil Penelitian, Program Penelitian Ekonomi Internet oleh Google, Temasek, dan Bain & Company, Asia Tenggara, hlm. 18. 4

2


ekonomi internet Asia Tenggara sangat pesat, Indonesia merupakan negara yang menyumbang laju pertumbuhan terbesar 9 sejak 2015 akibat pesatnya pertumbuhan sektor e-commerce, online travel, online media, dan ride hailing. Atas hal tersebut, Indonesia diprediksi berada di jalur yang tepat untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi internetnya hingga senilai 130 Milyar USD pada tahun 2025.10

Pesatnya pertumbuhan keempat sektor industri internet di atas memicu kemunculan model bisnis baru yang menciptakan disrupsi11 di antara para pelaku usaha Indonesia dengan melakukan pembentukan ulang skema produksi, konsumsi, hingga transportasi yang pada akhirnya merubah lebih banyak struktur pasar dan perdagangan ke arah pasar multi-sisi (multi-sided market/platform atau “MSM”). Berbeda dengan pasar satu-sisi (one-sided market atau “OSM”), MSM merupakan struktur pasar yang memiliki dua kelompok konsumen berbeda tetapi saling membutuhkan antara satu dengan yang lain; hal tersebut dikenal dengan istilah indirect network effects yang diinternalisasi oleh pelaku usaha yang bersangkutan, tetapi menjadi eksternalitas bagi para kelompok konsumen.12 Sebagai contoh, perusahaan transportasi online yang memiliki dua kelompok konsumen; driver sebagai yang pertama dan rider sebagai yang kedua. Sebagai driver sudah pasti kita

9 Rata-rata pertumbuhan ekonomi internet Asia Tenggara sejak tahun 2015 adalah 33% per tahun. Namun, Indonesia mengungguli rata-rata pertumbuhan tersebut hingga 16%. Nilai ekonomi internet Indonesia per desember 2019 diprediksi setara dengan 40 Milyar USD dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 49% sejak tahun 2015. Ibid. 10 Stephanie Davis, et al., Op. cit., hlm. 18-21. 11 Disrupsi berbicara mengenai suatu proses di mana bisnis baru dengan ukuran yang notabene lebih kecil dari segi sumber daya dapat menantang keberadaan dari bisnis yang sudah berjalan pada bidang tertentu. Namun pada perkembangannya prinsip dan teori dari disruptive innovation seringkali ditafsirkan secara luas. Untuk itu, apabila anda tertarik untuk mempelajari teori disruptive innovation lebih lanjut, lihat Clayton M. Christensen, Michael Raynor dan Rory McDonald, “What is Disruptive Innovation”, Harvard Business Review, Desember 2015. 12 David S. Evans, “The Antitrust Economics of Multi-Sided Platform Markets”, Yale Journal on Regulation, Vol. 20, 2003, hlm. 325. Terdapat beberapa referensi yang memberikan definisi berbeda terkait MSM tetapi masing-masing referensi tersebut menitikberatkan MSM atas adanya hubungan tidak langsung di antara dua kelompok konsumen berbeda yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku tiap-tiap konsumen dari masing-masing kelompok terhadap pelaku usaha yang bersangkutan. Hubungan tersebut menjadi eksternalitas bagi masing-masing kelompok konsumen tetapi diinternalisasi oleh pelaku usaha yang bersangkutan, sehingga dikenal dengan sebutan network externalities (yang berasal dari indirect network di antara para kelompok konsumen).

3


akan memilih untuk menjadi bagian dari satu pelaku usaha yang memiliki banyak konsumen dari kelompok rider, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, terlepas dari perbedaan kedua kelompok konsumen tersebut, mereka tetap memiliki hubungan satu sama lain yang pada akhirnya berpengaruh pada perilaku kelompok konsumen lainnya untuk memilih atau tidak memilih untuk menggunakan jasa dari suatu pelaku usaha yang bergerak dalam MSM.13

Bertambahnya jumlah pelaku usaha yang bergerak pada MSM memiliki implikasi tersendiri dalam persaingan usaha, terutama dalam hal analisis persaingan serta penafsiran peraturan perundang-undangan. Terkait analisis persaingan, hingga saat ini masih terjadi perbedaan pendapat di kalangan sarjana hukum, ahli, hingga otoritas persaingan usaha dalam menentukan mekanisme untuk mendefinisikan pasar bersangkutan dalam MSM; Apakah harus didefinisikan secara satu kesatuan untuk terpisah untuk masingmasing kelompok konsumen? Apakah indirect network merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam mendefinisikan pasar bersangkutan dalam MSM? Terlebih lagi dalam lingkup penegakan hukum nasional, masih sedikit perkara persaingan usaha di Indonesia yang melibatkan pelaku usaha yang bergerak pada MSM yang dapat dijadikan putusan pembanding di samping belum adanya pedoman baku mengenai mekanisme pendefinisian pasar bersangkutan pada MSM. Padahal definisi yang tepat dari pasar bersangkutan merupakan fasilitas penting dari analisa persaingan untuk

13 Untuk lebih mudah, kita dapat membedah model bisnis dari GO-JEK maupun Grab (melalui fitur Go-Ride dan Grab-Bike) sebagai dua raksasa hail riding di Indonesia. Para driver (kelompok konsumen pertama) akan menjatuhkan pilihannya untuk bergabung dengan GO-JEK maupun Grab dari banyak atau sedikitnya rider yang menggunakan aplikasi GO-JEK maupun Grab. Semakin banyak rider dalam salah satu aplikasi, maka para driver akan menilai bahwa aplikasi yang bersangkutan akan lebih menguntungkan atau mempunyai economic value yang lebih tinggi. Begitu pula sebaliknya. Hal yang sama juga dapat kita lihat dari model bisnis Tokopedia, Shoppee, Lazada, dsb. sebagai pemain besar di sektor e-commerce. Para merchant akan memilih aplikasi yang memiliki lebih banyak buyer, begitu pula sebaliknya. Namun, tidak semua model bisnis dari pelaku usaha yang bergerak dalam MSM berbasis internet; pelaku usaha yang bergerak di bidang media informasi (seperti Koran Kompas) dan alat pembayaran berbasis kartu (seperti Visa dan Mastercard) juga bergerak di dalam pasar dengan struktur MSM.

4


dapat mengidentifikasi permintaan konsumen, kompetitor bersangkutan, hingga batasan perilaku anti-persaingan yang dapat dilakukan. 14

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis menentukan dua rumusan masalah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini yaitu: 1. Apakah pendefinisian pasar bersangkutan dari pelaku usaha yang bergerak dalam MSM harus didefinisikan secara satu kesatuan atau secara terpisah untuk masing-masing kelompok konsumen? 2. Apakah perhatian dan analisis terhadap kedua kelompok konsumen dibutuhkan dalam mendefinisikan pasar bersangkutan baik secara satu kesatuan maupun terpisah untuk masing-masing kelompok konsumen?

14 Andi Fahmi Lubis, et al., 2009, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Jakarta, hlm. 50. Lihat juga Sebastian Wismer dan Arno Rasek, “Market Definition in Multi-Sided Markets”, Makalah, Pertemuan OECD Competition Committee, 21-23 Juni 2007, hlm. 3.

5


BAB II PEMBAHASAN

2.1 End-to-End User Transaction sebagai Tolak Ukur Penentuan Pasar Bersangkutan bagi Pelaku Usaha yang Bergerak dalam MSM

Perkembangan pesat IoT yang turut merevolusi MSM pada dasarnya memicu pertanyaan terkait apakah semua MSM dapat dipersamakan antara satu dengan yang lain, atau terdapat dikotomi untuk membedakan MSM satu dengan yang lain. Untuk itu, penulis akan menjawabnya dengan satu pertanyaan retorik, apakah terdapat perbedaan mendasar pada model bisnis yang dimiliki oleh Facebook dengan Tokopedia? Jawabannya jelas berbeda. Sebagai online social media, Facebook memiliki model bisnis untuk menarik dua kelompok konsumen, user dan advertiser di mana user tidak melakukan transaksinya dengan advertiser melalui Facebook sebagai platform. Namun, Tokopedia sebagai platform e-commerce memiliki model bisnis untuk menarik buyer dan merchant sebagai dua kelompok konsumen yang nantinya melakukan transaksinya secara langsung melalui Tokopedia. Perbedaan fundamental tersebut dikenal sebagai end-to-end user transaction.15 Untuk dapat lebih memahami maksud penulis mengenai endto-end user transaction, dapat dilihat Gambar 2.1.1. dan Gambar 2.1.2.

15

End-to-end user transaction yang dimaksud di sini adalah transaksi di antara para kelompok konsumen, bukan adanya biaya tambahan (charge fees atau membership fees) yang dibebankan oleh pelaku usaha yang bersangkutan sebagaimana pernah diteliti Julian Wright. Berbeda dari Filistrucchi, Julian Wright mengemukakan bahwa pasar bersangkutan dari pelaku usaha yang bergerak pada MSM dapat didefinisikan secara keseluruhan apabila terdapat biaya tambahan yang dikenakan oleh pelaku usaha yang bersangkutan. Lihat Julian Wright, “One-Sided Logic in Two-Sided Markets”, Review of Network Economics, Vol. 3, No. 1, 2003.

6


Facebook

User

Iklan advertiser tersampaikan tapi tidak ada transaksi

Advertiser

Gambar 2.1.1. MSM tanpa end-to-end user transaction.

Tokopedia

Buyer

Merchant Transaksi jual-beli Gambar 2.1.2. MSM dengan end-to-end user transaction.

Gambar 2.1.1. memaparkan secara sederhana model bisnis dari Facebook sebagai pelaku usaha yang bergerak pada MSM tanpa end-to-end user transaction (“MSM Non-Transaksi”). Kelompok konsumen advertiser memanfaatkan Facebook sebagai platform untuk memasarkan iklannya kepada kelompok konsumen user. Dengan demikian tidak terdapat suatu transaksi yang dilakukan oleh user dengan advertiser secara langsung melalui Facebook. Namun, Gambar 2.1.2. menunjukan transaksi yang dimaksud secara nyata terjadi di antara buyer dengan merchant selaku dua kelompok konsumen dari Tokopedia sebagai platform. Hal itu merupakan implikasi dari model bisnis Tokopedia sebagai pelaku usaha yang bergerak pada MSM dengan end-to-end user transaction (“MSM Transaksi”).

Berdasarkan hasil penelitian penulis, dikotomi MSM ke dalam MSM NonTransaksi dan Transaksi memberikan suatu perbedaan yang jelas dalam mendefinisikan pasar bersangkutan pada MSM. Di mana pasar bersangkutan harus didefinisikan secara satu kesatuan pasar untuk pelaku

7


usaha yang bergerak pada MSM Transaksi.16 Namun, pada pelaku usaha yang bergerak pada MSM Non-Transaksi, pasar bersangkutan dapat didefinisikan secara terpisah untuk masing-masing kelompok konsumen.17 Untuk dapat menjabarkan hal tersebut lebih dalam, selanjutnya penulis hendak memberikan contoh pendefinisian pasar bersangkutan dalam MSM Transaksi (e-commerce) dan MSM Non-Transaksi (online social media).

E-commerce merupakan salah satu contoh dari MSM Transaksi, di mana pihak buyer dan merchant selaku dua kelompok konsumen dari platform ecommerce melakukan transaksi satu dengan yang lain menggunakan platform tersebut. Dengan kata lain, produk yang ditawarkan oleh MSM Transaksi adalah “kemampuan untuk melakukan transaksi melalui platform yang tersedia”.18 Melihat karakteristik yang dimilik oleh platform-platform e-commerce seperti Tokopedia, Shoppee, maupun Lazada, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa seluruh platform tersebut berada dalam satu pasar bersangkutan yang sama atau tidak sama sekali. Hal ini dikarenakan transaksi di antara merchant dengan buyer pasti dilaksanakan pada platform tersebut atau tidak dilaksanakan sama sekali.19 Hal tersebut yang menyebabkan

argumentasi

penulis

untuk

mendefinisikan

pasar

bersangkutan dari pelaku usaha yang bergerak pada MSM secara satu kesatuan.

Namun, dalam kasus yang melibatkan MSM Non-Transaksi seperti online social media penentuan pasar bersangkutan tidak bisa dilakukan seperti sebelumnya. Sebagaimana yang kita ketahui, online social media seperti

16 Lapo Filistrucchi, et al., “Market Definition in Two-Sided Markets: Theory and Practice”, Tilburg Law School Legal Studies Research Paper Series, No. 09, 2019, hlm. 9. 17 Ibid. 18 Sebastian Wismer dan Arno Rasek, Op. cit., hlm.8. 19 Maksud “tidak dilaksanakan sama sekali” yang penulis tuliskan dapat dijabarkan sebagai berikut. Apabila buyer ingin membeli sepatu yang dijual oleh merchant pada Tokopedia, maka buyer tidak memiliki cara lain selain menggunakan Tokopedia sebagai platform transaksinya. Dengan demikian apabila buyer tidak melaksanakan transaksi melalui Tokopedia, maka buyer tidak dapat membeli sepatu tersebut; dengan kata lain transaksi tidak terjadi. Titik berat dalam mendefinisikan pasar bersangkutan secara satu kesatuan terletak pada “pelayanan” yang diberikan pelaku usaha yang bersangkutan. Terkait hal tersebut akan dibahas selanjutnya oleh penulis. Lihat catatan 25.

8


Facebook dan LinkedIn memiliki dua kelompok konsumen, yaitu user dan advertiser. Kelompok konsumen advertiser mungkin menganggap bahwa Facebook dan LinkedIn sebagai dua produk substitusi karena mereka dapat memasang iklan yang sama untuk keduanya dalam waktu yang berbeda, sedangkan kelompok konsumen user menganggap bahwa Facebook adalah sarana online social media yang digunakan dengan tujuan hiburan sedangkan LinkedIn digunakan dengan tujuan professional; atau dapat dikatakan Facebook dan LinkedIn merupakan online social media yang benar-benar berbeda. Ketiadaan end-to-end user transaction di antara kelompok konsumen user dan advertiser menimbulkan paradigma berbeda ada terhadap platform yang bersangkutan (di mana user memandang Facebook dan LinkedIn sebagai dua platform berbeda sedangkan advertiser memandangnya sebagai dua platform substitusi). Untuk itu, pendefinisian pasar bersangkutan pada MSM Non-Transaksi diidentifikasi secara berbeda dipandang dari masing-masing kelompok konsumen.

Hal tersebut di atas merupakan dasar pernyataan penulis sebelumnya yang menjadikan end-to-end user transaction sebagai tolak ukur untuk mendefinisikan pasar bersangkutan dari suatu pelaku usaha dalam MSM sebagai satu kesatuan pasar atau secara terpisah. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Lapo Filistrucchi yang menganjurkan bahwa apabila dalam suatu MSM terdapat end-to-end user transaction maka seharusnya pasar bersangkutan didefinisikan sebagai satu kesatuan pasar, tetapi apabila sebaliknya maka dapat didefinisikan dua pasar bersangkutan yang saling berhubungan.20

Namun, dengan didefinisikannya pasar bersangkutan secara satu kesatuan terhadap pelaku usaha yang bergerak pada MSM dapat menimbulkan suatu anggapan di mana terdapat dua produk yang tidak bersifat substitusi satu dengan yang lain dalam pasar bersangkutan tersebut atau dengan kata lain pasar bersangkutan dianggap didefinisikan terlalu luas. Padahal, 20

Lapo Filistrucchi, et al., Op. cit., hlm. 10.

9


sebagaimana yang kita ketahui bahwa semakin lebar pasar bersangkutan didefinisikan, maka akan timbul kemungkinan bahwa definisi tersebut akan membawa hal-hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan persaingan

yang

diperkarakan. 21

Untuk

itu,

pendefinisian

pasar

bersangkutan secara satu kesatuan terhadap pelaku usaha yang bergerak dalam MSM juga harus dilakukan secara hati-hati.

Salah satu contoh kasus pendefinisian pasar bersangkutan dari pelaku usaha yang bergerak pada MSM dengan memperhatikan keberadaan end-to-end user transaction adalah sebagaimana yang dilakukan oleh The Competition and Consumer Commission of Singapore (“CCCS”) terhadap Grab dan Uber tahun 2018 lalu. Sebelumnya perlu menjadi perhatian bahwa di Singapura, Grab dan Uber tidak hanya bergerak pada layanan transportasi online tetapi pada jasa penyewaan mobil dengan supir.22 Untuk menjaga konsistensi pembahasan tulisan ini, penulis hanya akan membahas pendefinisian pasar bersangkutan pada pasar layanan transportasi online. CCCS mendefinisikan pasar bersangkutan dari Grab dan Uber dalam konteks platform sebagai “platform dua-sisi yang menghubungkan driver dengan rider untuk penyediaan layanan transportasi titik-ke-titik dengan supir”.23 Walaupun CCCS hanya menjelaskan secara implisit mengenai dikotomi MSM Transaksi dan Non-Transaksi, tetapi CCCS mengakui bahwasanya Grab dan Uber sebagai platform dua-sisi yang memiliki kelompok konsumen driver dan rider yang bertransaksi melalui platform tersebut.24 Menurut hemat penulis, walaupun jasa yang diberikan Grab maupun Uber kepada kedua kelompok konsumen bukanlah produk substitusi satu dengan yang lain, tetapi CCCS berhasil mendefinisikan pasar bersangkutan untuk kedua kelompok konsumen sebagai satu bentuk

21

Andi Fahmi Lubis, et al., Op. cit., hlm. 50. Putusan Competition and Consumer Commission of Singapore, No. 500/001/18, Notice of Infringement Decision of the Sale of Uber’s Southeast Asian Business to Grab in Consideration of a 27.5% Stake in Grab, 24 September 2018, hal. 3, par. 2. 23 Putusan Competition and Consumer Commission of Singapore, Op. cit., hlm. 56, par. 178. 24 Ibid., hlm. 29-30, par. 93-97. 22

10


pelayanan tunggal25, yaitu “platform penghubung antara rider dan driver”. Dengan demikian, pasar bersangkutan yang didefinisikan sebagai satu kesatuan karena adanya end-to-end user transaction tidak akan menjadi terlalu lebar selama dapat didefinisikan sebagai satu pelayanan tunggal yang timbul dari koeksistensi di antara dua kelompok konsumen yang bersangkutan; dalam hal ini, layanan yang diberikan Grab dan Uber kepada kelompok konsumen driver untuk dipasangkan dengan rider dan sebaliknya.

2.2 Kebutuhan Akan Analisis terhadap Kelompok Konsumen dalam Menentukan Pasar Bersangkutan pada MSM Transaksi dan NonTransaksi

Pendefinisian pasar bersangkutan secara satu kesatuan sudah pasti memiliki implikasi bahwa analisis harus dilakukan terhadap seluruh kelompok konsumen dari pelaku usaha yang bersangkutan. Karena, bentuk “satu pelayanan tunggal” baru dapat tergambar apabila seluruh kelompok konsumen pelaku usaha bersangkutan menjadi pertimbangan penentuan pasar bersangkutan. Namun, bagaimana dengan MSM Non-Transaksi? Apakah dalam mendefinisikan dua pasar secara terpisah tetap harus memperhatikan masing-masing kelompok konsumen yang ada untuk mendefinisikan kelompok lainnya? Sebagai contoh apabila Facebook

Frasa “satu pelayanan tunggal” juga pernah menjadi basis pengambilan keputusan dari Mahkamah Agung Amerika Serikat pada kasus United States v. Grinnel pada tahun 1966. Grinnel merupakan pelaku usaha yang bergerak pada bisnis alarm keamanan di mana terdapat berbagai jenis alarm (alarm kebakaran, alarm anti-pencuri, dsb.). Pihak Grinnel memberikan alasan bahwasanya terdapat perbedaan pasar di antara alarm kebakaran dengan alarm anti-pencuri, tetapi Mahkamah menguatkan putusan Pengadilan Distrik yang mendefinisikan pasar bersangkutan dari Grinnel sebagai “the protection of property through use of a central service station” dengan landasan bahwa kedua pasar tersebut dapat dimasukan sebagai “single basic service” atau “satu pelayanan tunggal”. Walaupun perkara Grinnel bukan pelaku usaha yang bergerak pada struktur MSM, tetapi putusan tersebut menjadi preseden pendefinisian pasar berdasarkan pelayanan yang ditawarkan pelaku usaha. Lihat Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, No. 384 U.S. 563, 13 Juni 1966, par. 571572. 25

11


hendak melakukan akuisisi terhadap LinkedIn, apakah pihak otoritas harus memperhatikan sisi kelompok konsumen advertiser dalam menentukan pasar bersangkutan untuk sisi kelompok konsumen user dan sebaliknya?

Sebagai suatu platform bagi para kelompok konsumennya, pelaku usaha yang bergerak dalam MSM (baik Transaksi maupun Non-Transaksi) dituntut untuk menginternalisasi eksternalitas positif (indirect network) di antara kedua kelompok konsumennya. Dengan demikian, pelaku usaha yang bersangkutan sudah pasti selalu mendasari keputusannya untuk memuaskan seluruh kelompok konsumennya, dari skema pembebanan biaya hingga keputusan produksi keduanya dilakukan untuk berusaha mengajak26 kedua kelompok konsumen tersebut bergabung ke dalam platform yang sama.27

Dari sudut pandang kelompok konsumen, keberadaan indirect network effect merupakan suatu kausa terjadinya diferensiasi produk28 baik secara vertikal maupun horizontal yang mempengaruhi elastisitas permintaan dari kelompok konsumen terhadap platform yang bersangkutan. Diferensiasi vertikal berbicara mengenai kualitas yang mempengaruhi kerelaan

26

Salah satu ciri-ciri dari pelaku usaha yang bergerak dalam MSM adalah bagaimana keputusan yang dibuat olehnya bertujuan untuk “mengajak” para kelompok konsumennya untuk berada dalam platform yang sama. Lihat Jean-Charles Rochet dan Jean Tirole, “Two-Sided Markets: A Progress Report”, The RAND Journal of Economics, Vol. 37, No. 3, 2006, hlm. 645. Tidak heran apabila pelaku usaha menetapkan harga di bawah biaya marjinal, nol, atau bahkan negatif pada satu kelompok konsumennya untuk meningkatkan nilai ekonomis platform tersebut dari sudut pandang kelompok konsumen lainnya. Geoffrey Parker dan Marshall Van Alstyne membuktikan bahwa indirect network yang ada di antara dua kelompok konsumen mempengaruhi permintaan dari masing-masing kelompok konsumen sehingga indirect network tersebut juga mempengaruhi keputusan penetapan harga yang dapat berbeda-beda pada dua kelompok tersebut. Lihat Geoffrey Parker dan Marshall Van Alstyne, “Two-Sided Network Effects: A Theory of Information Product Design”, Management Science, Vol. 51, No. 10, Oktober 2005. Penetapan harga di bawah biaya marjinal hingga pemberian insentif pada pelanggan (harga negatif) adalah dampak dari elastisitas harga pada MSM yang memiliki sifat berbeda dari elastisitas harga pada OSM; harga pada satu sisi tidak hanya berpengaruh pada kelompok konsumen pada sisi tersebut, tetapi pada kelompok konsumen di sisi lainnya. Lihat juga Marc Rysman, “The Economics of Two-Sided Markets”, The Journal of Economic Perspectives, Vol. 23, No. 3, 2009, hlm. 130. 27 David S. Evans, Op. cit., hlm. 325. 28 Kita harus menganggap bahwa masing-masing kelompok konsumen adalah komoditas atau produk bagi kelompok lainnya yang dapat meningkatkan nilai ekonomis dari platform atau pelaku usaha yang bergerak dalam MSM. Hal demikian merupakan konsekuensi dari adanya indirect network effect. Lihat catatan kaki 13.

12


konsumen untuk membayar; di mana satu produk dapat menangkap seluruh permintaan apabila disajikan bersama dengan produk yang lain pada harga yang sama.29 Sedangkan diferensiasi horizontal berbicara mengenai preferensi konsumen di mana tiap-tiap produk memiliki kelas-kelas konsumennya sendiri. Untuk itu apabila kedua produk tersebut disajikan pada harga yang sama, maka masing-masing konsumen akan memiliki preferensinya masing-masing berdasarkan seleranya.30

Mengambil contoh Facebook dengan LinkedIn di atas, persaingan yang terjadi sisi kelompok konsumen advertiser merupakan dampak dari diferensiasi vertikal maupun horizontal yang terjadi pada sisi kelompok konsumen user.31 Apabila Facebook memiliki lebih banyak user karena memang disajikan sebagai online social media berbasis hiburan ketimbang LinkedIn yang memang disajikan sebagai online social media khusus profesional, maka kelompok konsumen advertiser akan menganggap bahwa Facebook terdiferensiasi secara vertikal. Hal tersebut mengakibatkan apabila Facebook meningkatkan biaya iklan pada laman mereka, kemungkinan kelompok konsumen advertiser akan tetap dengan senang hati memasang materi iklannya di Facebook. Namun, bisa-bisa saja kelompok konsumen advertiser menganggap bahwa LinkedIn merupakan produk yang terdiferensiasi secara horizontal 32 apabila memang kelompok 29 Rodolphe Dos Santos Ferreira dan Jacques-François Thisse, “Horizontal and Vertical Differentiation: The Launhardt Model”, International Journal of Industrial Organization, Ed. 14, 1996, hlm. 486. 30 Ibid. 31 Lagi-lagi harus kita ingat bahwa bagi kelompok konsumen A (advertiser) maka yang mereka anggap sebagai produk atau komoditas adalah kelompok konsumen B (reader) dan sebaliknya. Lihat catatan kaki 28 dan catatan kaki 13. 32 Pada era Revolusi Industri 4.0, perkembangan IoT juga berpengaruh terhadap strategi pemasaran dari kelompok konsumen advertiser yang juga dikenal sebagai narrow marketing (pemasaran sempit). Strategi tersebut pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dari kelompok konsumen advertiser untuk hanya menargetkan kelompok konsumen user dari kalangan tertentu dengan dukungan dari teknologi yang disediakan pelaku usaha sebagai platform. Dengan kata lain, strategi tersebut berlandaskan paham “menjadi yang terbaik untuk kalangan tertentu” di mata kelompok konsumen user. Sebagai contoh: Kelompok konsumen advertiser dari jasa wedding planner hendak mengiklankan produknya melalui Facebook. Dalam hal ini, Facebook telah menyediakan layanan algoritma iklan yang hanya menargetkan kelompok konsumen user dengan status “baru tunangan” atau “just got engaged” dan juga konsumen user yang memiliki riwayat pencarian terhadap akun-akun wedding organizer. Dalam hal ini, jejak dan perilaku dari konsumen user sudah diamati dan direkam oleh Facebook (sebagai data) yang mana kemudian digunakan

13


konsumen tersebut memiliki target iklan dari kalangan user profesional. Jadi sebaliknya apabila LinkedIn meningkatkan biaya iklan mereka, tetap ada kemungkinan bahwa kelompok konsumen advertiser akan dengan senang hati mengiklankan produknya pada laman LinkedIn.

Perhatian yang sama juga seharusnya diberikan pada kelompok konsumen user. Besar kemungkinan bahwa kelompok konsumen user akan menganggap bahwa produk yang terdiferensiasi secara vertikal adalah online social media yang tidak memiliki banyak iklan terlepas dari ketiadaan biaya ikut serta atau membership fee. Karena umum bagi kelompok konsumen user untuk menganggap bahwa keberadaan iklan sebagai eksternalitas yang bersifat negatif.

Walaupun demikian, Filistrucchi memberikan klasifikasi khusus terhadap MSM Non-Transaksi dan hanya memiliki satu eksternalitas sebagai kriteria untuk dapat dilakukannya pendefinisian pasar bersangkutan tanpa menganalisis kedua sisi kelompok konsumen. 33 Sebagai contoh, apabila pihak otoritas menemukan bahwa dalam rencana akuisisi antara Facebook dengan LinkedIn kelompok konsumen user tidak terdampak dalam bentuk apapun dari adanya konten iklan di samping layanan sosial media yang disajikan oleh masing-masing pelaku usaha, maka pihak otoritas tidak lagi perlu melakukan analisis pada kelompok konsumen user dalam mendefinisikan pasar bersangkutan dari kelompok konsumen advertiser. Karena jelas bahwa dalam kasus tersebut hanya terdapat satu eksternalitas, yaitu bagaimana kelompok konsumen user menjadi tolak ukur diferensiasi vertikal atau horizontal dari kelompok konsumen advertiser. Namun, menurut hemat penulis hal tersebut di atas akan sangat jarang untuk terjadi atau akan sangat sulit pula untuk dibuktikan bahwa hanya terdapat satu jenis

sebagai strategi Facebook untuk menarik perhatian kelompok konsumen advertiser kalangan tertentu (dalam hal ini penyedia jasa wedding planner). Dengan demikian, analisis diferensiasi horizontal dari suatu pelaku usaha yang bergerak pada MSM bagi kelompok konsumennya harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian untuk menhindari kesalahan-kesalahan yang tidak diinginkan. 33 Lapo Filistrucchi, et al., Op. cit., hlm. 27.

14


eksternalitas pada MSM yang dimaksud; karena dengan begitu sebenarnya pelaku usaha yang bersangkutan tidak bergerak pada MSM melainkan OSM.

15


BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa: 1.) Berdasarkan penelitian penulis, dapat disimpulkan bahwa end-toend user transaction dapat dijadikan sebagai salah satu indikator dalam menentukan pasar bersangkutan dari pelaku usaha yang bergerak pada MSM. Apabila pelaku usaha bergerak dalam MSM Transaksi, maka pasar bersangkutan didefinisikan secara kesatuan sebagai satu pelayanan tunggal yang timbul karena koeksistensi dari seluruh kelompok konsumen pelaku usaha yang bersangkutan. Namun, apabila pelaku usaha bergerak dalam MSM NonTransaksi, maka pasar bersangkutan didefinisikan secara terpisah untuk masing-masing pasar karena perbedaan paradigma tiap-tiap kelompok konsumen terhadap platform yang bersangkutan; dan 2.) Keberadaan indirect network menjadi salah satu faktor diferensiasi vertikal maupun horizontal yang mempengaruhi perilaku masingmasing

kelompok

konsumen

pada

pelaku

usaha

yang

bersangkutan. Untuk itu, keberadaan seluruh kelompok konsumen sudah pasti harus diperhatikan dan dianalisis apabila pendefinisian pasar bersangkutan dilakukan secara satu kesatuan. Namun, untuk mendefinisikan pasar bersangkutan secara terpisah,

perlu

dilakukan analisis terlebih dahulu terhadap dampak eksternalitas dari masing-masing kelompok konsumen dari pelaku usaha yang bersangkutan. Apabila eksternalitas yang ada hanya berdampak pada salah satu kelompok konsumen, maka pendefinisian pasar bersangkutan dari kelompok konsumen yang tidak terdampak

16


tidak perlu memperhatikan kelompok konsumen lainnya. Namun, apabila sebaliknya, kedua kelompok konsumen harus saling dipertimbangkan dalam menganalisis pasar bersangkutan untuk masing-masing kelompok konsumen.

1.2. Saran

Penulis

menyarankan

untuk

memulai

pendefinisian

pasar

bersangkutan bagi pelaku usaha yang bergerak pada MSM dengan analisis terhadap keberadaan end-to-end user transaction; dan dilanjutkan dengan pendefinisian sesuai dikotomi MSM Transaksi dan Non-Transaksi. Untuk memperjelas rekomendasi yang penulis berikan, penulis menyediakan skema sederhana pada Gambar 3.2.1. di bawah.

17


Pelaku Usaha (platform pada MSM)

Terdapat end-to-end user

Tidak terdapat end-to-end

transaction

user transaction

Secara satu kesatuan pasar

dua pasar terpisah untuk

sebagai satu pelayanan

masing-masing kelompok

tunggal

konsumen

Hanya terdapat satu Terdapat dua eksternalitas

eksternalitas

Memperhatikan kedua kelompok

Hanya memperhatikan kelompok

konsumen untuk menganalisis diferensiasi

konsumen yang terdampak

produk

eksternalitas

Gambar 3.2.1. Skema analisis pendefinisian pasar bersangkutan.

18


Daftar Pustaka Christensen, Clayton M., Michael Raynor dan Rory McDonald, “What is Disruptive Innovation”, Harvard Business Review, Desember 2015.

Davis, Stephanie, et al., 2019, Swipe Up and to the Right: Southeast Asia’s $100 billion internet economy, Hasil Penelitian, Program Penelitian Ekonomi Internet oleh Google, Temasek, dan Bain & Company, Asia Tenggara.

Evans, David S., “The Antitrust Economics of Multi-Sided Platform Markets”, Yale Journal on Regulation, Vol. 20, 2003.

Fahmi Lubis, Andi, et al., 2009, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Jakarta.

Ferreira, Rodolphe Dos Santos, dan Jacques-François Thisse, “Horizontal and Vertical Differentiation: The Launhardt Model”, International Journal of Industrial Organization, Ed. 14, 1996.

Filistrucchi, Lapo, et al., “Market Definition in Two-Sided Markets: Theory and Practice”, Tilburg Law School Legal Studies Research Paper Series, No. 09, 2019.

Lee, K. W., “Review on Issue Relevant to M&A in Internet Open Market”, KFTC Annual Report, 2008.

19


Parker, Geoffrey, dan Marshall Van Alstyne, “Two-Sided Network Effects: A Theory of Information Product Design”, Management Science, Vol. 51, No. 10, Oktober 2005.

Putusan Competition and Consumer Commission of Singapore, No. 500/001/18, Notice of Infringement Decision of the Sale of Uber’s Southeast Asian Business to Grab in Consideration of a 27.5% Stake in Grab, 24 September 2018

Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, No. 384 U.S. 563, 13 Juni 1966.

Rochet, Jean-Charles, dan Jean Tirole, “Two-Sided Markets: A Progress Report”, The RAND Journal of Economics, Vol. 37, No. 3, 2006.

Rysman, Marc, “The Economics of Two-Sided Markets”, The Journal of Economic Perspectives, Vol. 23, No. 3, 2009.

Schwab, Klaus, 2018, The Fourth Industrial Revolution, World Economic Forum, Swiss.

Wismer, Sebastian, dan Arno Rasek, “Market Definition in Multi-Sided Markets”, Makalah, Pertemuan OECD Competition Committee, 21-23 Juni 2007.

Wright, Julian, “One-Sided Logic in Two-Sided Markets”, Review of Network Economics, Vol. 3, No. 1, 2003.

20


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.