Best Legal Opinion - ALSA Indonesia Legal Opinion Periode III

Page 1

BEST LEGAL OPINION ALSA INDONESIA LEGAL OPINION PERIODE III EKSISTENSI PERADILAN ADAT DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA Dania Shofi Maziyah, Ulfa Septian Dika dan Atiqoh Farhah Universitas Airlangga

I.

KASUS POSISI LATAR BELAKANG : Kasus ini dimulai pada tahun 2012, antara suku Talang Mamak dengan PT

Quest Geophysical Asia (QSA) dimana PT QSA memulai pembukaan aktivitas eksplorasi migas di Kabupaten Indragiri Hulu. Aktivitas perusahaan ini mendapat penolakan keras dari masyarakat setempat karena dianggap juga telah melanggar hukum adat, diantaranya; masuk ke tanah adat tanpa permisi, melakukan pemancangan di tanah adat tanpa izin, membuka lahan tanpa izin, hingga merusak dan membinasakan ladang dan tanaman diatasnya hingga akar-akaran. Atas dasar tersebut, pada 4 Februari 2013 dilaksanakan pertemuan antara masyarakat adat Talang Mamak dengan perwakilan perusahaan. Berdasarkan pertemuan ini dihasilkan kesepakatan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh PT QSA akan diberhentikan sementara dan dilakukan pengakajian terhadap pelanggaran hukum adat yang dilakukan oleh PT QSA. Kemudian pada 16 Februari 2013 dilakukan pertemuan yang menghasilkan kesepakatan bahwa masyarakat Talang Mamak menetapkan hukuman adat terhadap PT QSA, yakni dengan denda sebesar 3 Taheil (Rp 50.000.000) selain denda adat tanam tumbuh yang harus dibayar perusahaan serta perusahaan dituntut memperbaiki jalan yang rusak.

II.

ISU HUKUM

1.

Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Peradilan di Indonesia.

2.

Keberlakuan Putusan Peradilan Adat Talang Mamak terhadap PT. Quest Geophysical Asia.


III. DASAR HUKUM 1.

UUD NRI 1945

2.

UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

3.

UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa

4.

Putusan Mahkamah Konstitusi 35/PUU-X/2012

5.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011

IV.

ANALISIS

1.

Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Peradilan di Indonesia “Dimana ada masyarakat adat, di situ ada Peradilan Adat” – Hedar

Laudjeng Informal justice atau non state administered formal justice merupakan sebuah bentuk penyelesaian sengketa yang dibedakan dari state administered formal justice system.1 Peradilan adat, baik dalam bentuk sederhana maupun terlembaga secara solid merupakan sarana penyelesaian sengketa atas pelanggaran terhadap tata perilaku, baik antara sesama masyarakat maupun dengan alam dan lingkungan sekitarnya. 2 Keberadaan peradilan adat tersebut telah diakui sejak masa kolonial Hindia Belanda berdasarkan pasal 130 Indische Staatsregeling.3 Pengakuan atas Peradilan Adat ini selanjutnya dihapus melalui UU No 19 Tahun 1964

tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan

Kehakiman

yang

menyebutkan bahwa peradilan di wilayah RI adalah peradilan negara yang ditetapkan dengan undang-undang. Selanjutnya, diundangkannya UU No 14

Tody Sasmitha Jiwa Utama dan Sandra Dini Febri Aristya, ‘Kajian Tentang Relevansi Peradilan Adat Terhadap Sistem Peradilan Perdata di Indonesia’ (2015) 27 Mimbar Hukum [62]. 2 Yance Arizona, ‘Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Nasional’ <https://www.academia.edu/3723907/Kedudukan_Peradilan_Adat_dalam_Sistem_Hukum_Nasion al> accessed 6 November 2019. 3 Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia (Miswar 1989) dalam Peluang dan Tantangan Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Indonesia, Tim Badan Pembinaan Hukum Nasional, (2013) [11]. 1


Tahun 1970 yang menggantikan UU No 19 Tahun 1964 juga mengamini ketentuan sebelumnya serta menghapus keberadaan peradilan adat dan swapraja. 4 Sementara itu, amandemen konstitusi kembali memberikan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat melalui Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945. Lebih lanjut, pengakuan tersebut diuraikan melalui UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menyatakan bahwa wewenang desa adat untuk menyelesaikan permasalahan hukum warganya diakui oleh negara. Selain UU Desa, nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat ini juga dapat dijadikan sebagai sumber hukum tidak tertulis bagi hakim dalam mengambil keputusan. Hal ini sesesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Meskipun diakui sebagai sumber hukum, secara struktural Pengadilan Adat tidak terikat dalam hubungan hierarkis dengan badan-badan peradilan formal di Indonesia. Pasal 18 UU 48/2009 membatasi bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Oleh karena tidak memiliki hubungan struktural, maka tidak ada kewajiban bagi hakim untuk mematuhi keputusan pengadilan adat.5 Meskipun keberadaan Pengadilan Adat tidak secara ekplisit diakui, namun keberadaan masyarakat hukum adat telah diakui oleh Negara, baik berdasarkan konstitusi maupun peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Salah satunya adalah putusan MK, yang mengakui hak masyarakat adat juga hutan adat. Namun, ada atau tiadanya pengakuan (negara atau hukum nasional), sesungguhnya eksistensi peradilan adat di Indonesia telah berlangsung lama, dipertahankan secara turun temurun oleh komunitas lokal dan atau masyarakat adat.6 Bagi masyarakat adat, peradilan adat dapat memberikan sesuatu yang seringkali lebik baik dari peradilan formal. Tujuan dari peradilan adat untuk menyeimbangkan situasi sosial yang terganggu karena adanya tindakan yang 4

Yance Arizona, Loc. Cit. Tody Sasmitha Jiwa Utama dan Sandra Dini Febri Aristya, Op.Cit. [65]. 6 Tim Badan Pembinaan Hukum Nasional, ‘Peluang dan Tantangan Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Indonesia’ (2013) Pengkajian Hukum BPHN [6] 5


melanggar hukum adat. Sehingga, pada umumnya sanksi adat bukanlah bertujuan sebagai bentuk pembalasan. Karena kebutuhan akan peradilan adat tersebut, Negara seyogyanya melakukan penguatan akan keberadaan peradilan adat. Cara penguatan peradilan adat yang saat ini menjadi pilihan adalah penguatan institusional. Melalui cara ini, peradilan adat diposisikan sebagai perpanjangan tangan negara dalam hal penanganan perkara. Namun, formalisasi ini akan mempengaruhi perubahan nilai dan tata cara dalam melaksanakan peradilan adat, sebab telah mulai mengadopsi nilai dan tata cara peradilan formal.

7

Sementara itu, legalisasi terhadap putusan

Pengadilan Adat dapat mencerminkan penundukan terhadap kekuasaan negara. Bentuk formalisasi yang diupayakan untuk memperkuat keadilan sosial dalam sistem peradilan adat bukanlah menempatkannya dalam atau di bawah sistem peradilan nasional, yang berkonsekuensi atas mekanisme formal dan prosedural berbasis hukum acara tertentu yang baku, melainkan menempatkannya dalam sistem hukum nasional serta mendorong pada pemajuan dan perlindungan hakhak para pihak yang bersengketa atau berkonflik (substansialisasi) dengan memperhatikan prinsip-prinsip terselenggaranya peradilan adat, yakni prinsip kearifan lokal, keadilan sosial dan HAM. Peradilan adat haruslah tetap sebagai mekanisme yang dipandang relatif lebih dinamis, serta memiliki makna penting secara sosiologis. Keberlakuannya harus dilihat sebagai upaya merawat secara lebih maju atas situasi “social significance� (kebermaknaan sosial).

2.

Keberlakuan Putusan Peradilan Adat Talang Mamak terhadap PT Quest Geophysical Asia. Terhadap suatu putusan yang lahir dari sengketa yang terjadi antara

masyarakat Talang Mamak dengan PT QGA, dimungkinkan adanya dua sikap yang diambil oleh PT QGA, yaitu ; menjalankan putusan tersebut atau tidak menjalankan putusan yang telah di keluarkan oleh peradilan adat.

7

Yance Arizona, Loc.Cit.


Ditaatinya putusan peradilan adat oleh pihak luar menandakan adanya eksistensi peradilan adat. Kondisi demikian dalam suatu sistem hukum disebut dengan “strong legal pluralism” sebagaimana dicetuskan oleh John Griffiths yang bermakna bahwa tidak semua hukum adalah hukum yang diatur oleh lembaga negara.8 Yang dimaksud dengan hal ini adalah tidak semua aturan yang diberlakukan dalam suatu negara merupakan hukum formal, namun juga berlaku hukum yang berlaku di tengah pluralisme masyarakat yaitu hukum adat. Sehingga konsep “strong legal pluralism” dapat dimaknai kehadiran hukum adat lebih kuat daripada hukum formal. Berbeda dengan hal tersebut, apabila dalam kasus ini putusan peradilan adat tidak dijalankan oleh pihak luar, maka hal ini menandakan bahwa pihak luar tersebut tidak mengakui eksistensi dari peradilan adat itu sendiri. Karena eksistensi suatu peradilan adat tersebut dapat diukur dengan parameter; Pertama, pihak luar menyetujui penyelesaian sengketa melalui mekanisme peradilan adat dan Kedua, putusan peradilan adat tersebut dijalankan oleh pihak luar yang dalam sengketa ini adalah PT QGA. Eksistensi dari peradilan adat dapat dilihat dari keberlakuan putusannya, dan keberlakuan putusan peradilan adat adalah sepanjang para pihak mengakui dan mentaati. Tidak dijalankannya putusan peradilan adat menandakan bahwa pihak luar tersebut tidak mengakui peradilan adat, sehingga tidak mengakui eksistensi dari masyarakat adat. Efektif dan relasi pihak luar terhadap pemberlakuaan peradilan adat adalah tergantung dari posisi tawar masyarakat adat terhadap pihak luar tersebut, semakin tinggi daya tawar masyarakat adat maka semakin tinggi pula kemungkinannnya peradilan adat tersebut berlaku efektif.9 Merujuk pada konsep pluralisme hukum yang dikemukaan oleh John Griffiths yaitu pluralisme yang kuat (strong legal pluralism) dan pluralisme yang lemah (weak legal pluralism) , tidak dijalankan nya putusan peradilan adat menandakan adanya

Weak Legal Pluralism, Karena pihak luar lebih

8 John Griffiths, ‘What is Legal Pluralism?’ (1986) 32 Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law.[5]. 9 Muhar Junef, ‘Penerapan Sanksi Adat Kepada Perusahaan dan Pihak Lain dalam Peradilan Adat’, E-(2015), 1, Journal WIDYA Yustitia, [105].


mengedepankan sistem hukum negara daripada hukum adat. Weak Legal Pluralism merupakan bentuk lain dari sentralisme hukum (legal centralism), karena walaupun dalam kenyataannya hukum negara (state law) mengakui adanya sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, sementara itu sistem-sistem hukum yang lain bersifat inferior dalam hierarkhi sistem hukum negara.10 Ketika putusan peradilan adat tidak dijalankan oleh pihak luar yang dihukum oleh putusan itu, maka upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat adat yaitu dengan bertahan menggunakan hukumnya untuk melindungi ruang kehidupannya.

Sehingga

diupayakan

sebaiknya

masyarakat

adat

tidak

menggunakan mekanisme peradilan nasional karena hal tersebut justru akan menciderai eksistensi dari peradilan adat itu sendiri. Karena peradilan adat memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan sistem peradilan nasional, logika berpikir yang tidak sama antara sistem hukum nasional dengan sistem hukum adat. Dimana sistem hukum nasional lebih mengedepankan pada legitimasi hukum, sedangkan sistem hukum adat lebih pada proses sosial yang ada dalam masyarakat adat.

V.

KESIMPULAN Pengakuan terhadap hukum adat telah disebutkan dalam konstitusi. Namun

keberadaan peradilan adat tidak termasuk dalam sistem peradilan nasional berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009. Sehingga, seringkali terjadi pengabaian terhadap putusan yang dihasilkan oleh peradilan adat. Dalam menyikapi putusan peradilan adat ada dua sikap yang diambil oleh pihak yang bersengketa, yaitu ; menjalankan putusan tersebut atau tidak menjalankan putusan yang telah di keluarkan oleh peradilan adat. Ditaatinya putusan peradilan adat menandakan kondisi sistem hukum yang mencerminkan strong legal pluralism. Sebaliknya, tidak ditaatinya putusan peradilan adat menandakan kondisi sistem hukum yang mencerminkan weak legal pluralism.

10

John Griffiths, Op.Cit. [8].


VI.

SARAN Pemerintah harus melakukan pengakuan terhadap eksistensi peradilan adat

sebagai bagian dari sistem hukum di Indonesia, namun tidak harus diformalisasikan

dalam

bentuk

peraturan

perundang-undangan.

Bentuk

formalisasi yang diupayakan untuk memperkuat keadilan sosial dalam sistem peradilan adat bukanlah menempatkannya dalam atau di bawah sistem peradilan nasional, yang berkonsekuensi atas mekanisme formal dan prosedural berbasis hukum acara tertentu yang baku, melainkan menempatkannya dalam sistem hukum nasional serta mendorong pada pemajuan dan perlindungan hak-hak para pihak yang bersengketa atau berkonflik (substansialisasi) dengan memperhatikan prinsip-prinsip terselenggaranya peradilan adat, yakni prinsip kearifan lokal, keadilan sosial dan HAM.

VII. DAFTAR PUSTAKA Buku Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia (Miswar 1989) dalam Peluang dan Tantangan Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Indonesia, Tim Badan Pembinaan Hukum Nasional, (2013). Tim Badan Pembinaan Hukum Nasional, ‘Peluang dan Tantangan Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Indonesia’ (2013) Pengkajian Hukum BPHN.

Jurnal John Griffiths, ‘What is Legal Pluralism?’ (1986) 32 Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law. Muhar Junef, ‘Penerapan Sanksi Adat Kepada Perusahaan dan Pihak Lain dalam Peradilan Adat’, E-(2015), 1, Journal WIDYA Yustitia.


Tody Sasmitha Jiwa Utama dan Sandra Dini Febri Aristya, ‘Kajian Tentang Relevansi Peradilan Adat Terhadap Sistem Peradilan Perdata di Indonesia’ (2015) 27 Mimbar Hukum.

Laman Yance Arizona, ‘Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Nasional’ <https://www.academia.edu/3723907/Kedudukan_Peradilan_Adat_dalam_S istem_Hukum_Nasional> accessed 6 November 2019.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.