LOCAL CHAPTER LEGAL WRITINGS
alsa-indonesia.org
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HUBUNGAN KERJA NON-STANDAR ANTARA PERUSAHAAN APLIKASI DENGAN PENGEMUDI OJEK ONLINE Anastasia Hilda Mayora 19/445102/HK/22116 Perkembangan zaman hingga abad ke-21 pada saat ini telah melahirkan banyak hal-hal baru, biasanya ide tersebut muncul seiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia terhadap sesuatu yang lebih efisien dan efektif. Salah satu karya anak bangsa yang banyak digunakan saat ini adalah transportasi ojek online, Gojek, yaitu sebuah layanan berbasis aplikasi yang dapat menghubungkan penumpang dengan pengemudi ojek. Kehadiran ojek online juga berjasa dalam menciptakan banyak lapangan pekerjaan, karena seperti yang diketahui bersama salah satu isu sosial yang sulit sekali dipecahkan negara Indonesia adalah terkait pengangguran. Menurut data yang dilansir kumparan, Gabungan Aksi Roda Dua (GARDA) Indonesia menyatakan di Indonesia sendiri sudah ada lebih dari empat juta pengemudi ojek online1. Namun, setelah kurang lebih sepuluh tahun beroperasi, tentu terdapat beberapa hal yang sekiranya diperlukan untuk menyempurnakan eksistensi dari Gojek terutama dari sisi regulasi hukum bagi para pengemudi ojek online ini. Banyak orang awam yang mengira antara perusahaan penyedia aplikasi ojek online dengan pengemudi ojek online terjalin suatu hubungan kerja namun jika dikaji melalui perspektif Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, hubungan diantara keduanya adalah sebatas hubungan kemitraan atau partnership dengan didasarkan pada perjanjian kemitraan yang diterangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Jika mengacu pada Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003, hubungan kerja sendiri diartikan sebagai hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Hal ini berakibat, untuk menilai suatu hubungan tergolong sebagai suatu hubungan kerja atau tidak adalah dengan kriteria memenuhi unsur pekerjaan, upah dan perintah secara kumulatif. Terdapat dua unsur yang menjadikan hubungan antara perusahaan penyedia aplikasi ojek online dengan pengemudi ojek online bukanlah suatu hubungan kerja. Dalam hubungan kemitraan, secara teori hubungan antara
Kumparan. Organisasi Ojol: Ada 4 Juta Driver Ojol di Indonesia (https://kumparan.com/kumparantech/organisasiojol-ada-4-juta-driver-ojol-di-indonesia-1tBrZLEXOEI), diakses pada 4 Januari 2021. 1
penyedia aplikasi dengan pengemudi ojek online adalah setara, sehingga dengan adanya perantara teknologi aplikasi membuat buram unsur perintah. Perintah ini tidak dapat dinyatakan serta merta langsung diberikan oleh perusahaan karena pada kenyataannya memang perintah ini berasal dari pengguna layanan ojek online yang terhubung dengan pengemudi melalui aplikasi yang tersedia dan tentu saja perintah ini hanya dapat diterima jika pengemudi ojek online menghendakinya. Selanjutnya, upah biasanya dalam hubungan kerja standar diberikan langsung oleh pemberi kerja kepada pekerja, namun dalam hal ini upah/imbalan yang diterima pengemudi ojek online tersebut didapatkan langsung dari pengguna setelah pengemudi menuntaskan pekerjaan mengantar pengguna ke suatu tempat sesuai dengan tujuan yang dinyatakan di dalam aplikasi. Menurut International Labour Organization (ILO), hubungan kerja standar harus memenuhi beberapa unsur, antara lain: bersifat penuh waktu, pekerjaan bersifat tetap (bukan pekerjaan kontrak), dan dilandasi perjanjian kerja (tertulis). Sedangkan tidak ada definisi yang menggambarkan arti normatif dari hubungan kerja non-standar. ILO hanya menyebutkan terdapat empat jenis hal yang merupakan deviasi dari hubungan kerja standar, yaitu hubungan kerja kontrak, part time/ on call work, temporary agency employment/ employee involvement multiple parties, dan disguise employment relationship/ dependent self employment2. Hubungan kemitraan yang terbangun diantara penyedia aplikasi dengan pengemudi ojek online tergolong sebagai disguise employment relationship/ dependent self employment. Hubungan ini tidak memenuhi unsur hubungan kerja standar namun dari segi hak dan kewajiban hampir mirip dengan posisi orang yang bekerja dalam hubungan kerja. Namun, tentu saja hak yang diterima pengemudi ojek online tidak akan sama persis seperti yang diterima pekerja dalam hubungan kerja. Hal inilah yang mengkhawatirkan, walaupun secara normatif pekerja dalam hubungan kerja non-standar tidak bisa diasosiasikan dengan pekerja rentan, namun perlu kita sadari bersama posisi pekerja dalam hubungan kerja non-standar seperti pengemudi ojek online secara empiris itu cukup rentan. Dalam realita yang terjadi dalam hubungan kerja standar, sekalipun posisi pekerja memang lebih lemah dibandingkan pemberi kerja, namun dengan adanya hak-hak normatif yang dicakup di dalam UU No. 13 Tahun 2003 setidak-tidaknya bargaining position yang lemah lebih dapat diantisipasi dengan perlindungan yang diakomodir di dalam undang-undang a quo.
International Labour Organization. Non-standard forms of employment (https://www.ilo.org/global/topics/nonstandard-employment/lang--en/index.htm), diakses pada 5 Januari 2021. 2
Meningkatnya jumlah angkatan kerja yang kian bertambah tiap tahun dengan tidak seimbangnya lapangan kerja yang dibuka ditambah pula keterbatasan keterampilan yang dimiliki calon pekerja membuat hubungan kerja non-standar seolah hadir sebagai “solusi singkat” terkait polemik pengangguran. Hubungan kerja non-standar seperti menjadi pengemudi ojek online banyak dipilih orang-orang saat ini yang membutuhkan pekerjaan cepat dengan tidak menuntut keterampilan khusus. Arah kebijakan ketenagakerjaan yang diinisiasi pemerintah memang menuju ke arah pengentasan pengangguran, secara realita hubungan kerja non-standar seperti menjadi pengemudi ojek online memang lebih banyak menyerap pekerja ke dalam lapangan pekerjaan. Amanat konstitusi yang tertuang dalam Pasal 27 ayat (2) sendiri sudah menginstruksikan agar negara dapat mengusahakan setiap warga negara Indonesia (WNI) mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Inilah yang menjadi poin penting dimana pekerjaan harus sejalan dengan tercapainya penghidupan yang layak. Dengan tergolongnya pekerjaan pengemudi ojek online sebagai salah satu bentuk hubungan kerja non-standar, dimana hubungan tersebut secara nyata tidak diakomodir oleh UU Ketenagakerjaan membuat pemerintah harus mulai memikirkan untuk meregulasi ulang ketentuan ketenagakerjaan yang ada saat ini. Banyaknya WNI yang menggantungkan nasib dengan bekerja sebagai pengemudi ojek online tentu membutuhkan payung hukum yang dapat menjamin kelayakan hidup demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedepannya, jika memang pemerintah dapat mengakomidir keberadaan pengemudi ojek online sebagai salah bentuk hubungan kerja yang diakui hukum ketenagakerjaan nasional, harapannya pengemudi ojek online dapat memperoleh hak yang biasa didapatkan pekerja pada umumnya, seperti upah lembur, jamsostek maupun pesangon jika hubungan kerjasama diantara penyedia layanan dan pengemudi ojek online berakhir3.
Wibowo, Imam Hadi Wibowo. Status Hubungan Pengojek dan Perusahaan Aplikasi Layanan Ojek (https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt50924dbf2ad1f/status-hubungan-pengojek-dan3
perusahaan-aplikasi-layanan-ojek/), diakses pada 5 Januari 2021.
KESESUAIAN PENYELENGGARAAN ARBITRASE SECARA ELEKTRONIK DENGAN REGULASI ARBITRASE DI INDONESIA DAN PRINSIP DASAR ARBITRASE Oleh: Anistya Pratista Rahma
ABSTRAK Terjadinya Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) menyebabkan banyak perubahan di seluruh aspek kehidupan manusia. Kebijakan physical distancing diterapkan demi mengurangi penyebaran virus. Hal ini berdampak juga terhadap proses arbitrase di Indonesia, di mana sebelumnya proses arbitrase dilakukan secara langsung dan tatap muka. Namun, untuk mempercepat penyelesaian sengketa, praktik penyelesaian arbitrase secara elektronik mulai menjadi sebuah gagasan. BANI yang pada awalnya hanya mengambil tindakan pendundaan proses arbitrase kini mengeluarkan sebuah Surat Keputusan yang berisi prosedur penyelenggaraan arbitrase secara elektronik. Setelah dikeluarkannya Surat Keputusan tersebut, penyelenggaraan arbitrase secara elektronik pun kini sudah memiliki kepastian hukum. Oleh karena itu juga, penyelenggaraan arbitrase secara elektronik ini pun nyatanya tidak bertentangan dengan prinsip dasar arbitrase sebagai sebuah perjanjian jika memenuhi syarat sah sebagai sebuah perjanjian dan bersesuaian dengan asas-asas perjanjian pada umumnya.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 2019, Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) mulai menggegarkan seluruh dunia. Berbagai aspek dalam kehidupan ikut terkena dampak akibat menyebarnya Covid-19 tersebut, mulai dari kegiatan sosial, pendidikan, keagamaan, bisnis, dan pada umumnya seluruh kegiatan manusia. Kebijakan physical distancing mulai diterapkan oleh pemerintah di negara-negara di seluruh dunia demi mencegah dan menghambat penyebaran Covid-19. Indonesia pun telah menerapkan kebijakan physical distancing ini untuk seluruh kegiatan di tempat umum. Kebijakan physical distancing di Indonesia dimulai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 dan dilanjutkan dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB.
Dengan adanya regulasi mengenai physical distancing, maka banyak kegiatan tatap muka kemudian dialihkan kepada berbagai platform elektronik. Belakangan ini, penyelesaian sengketa bisnis yang biasanya dilakukan secara tatap muka, yaitu melalui arbitrase pun sebagian telah mengalami penyeseuaian dengan menggunakan platform elektronik. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dan mempercepat penyelesaian sengketa di tengah pandemi, di mana kapasitas penggunaan ruangan sangat berkurang karena adanya kebijakan physical distancing. Namun, pengalihan proses arbitrase yang umumnya dilakukan secara tatap muka kepada penggunaan platform elektronik tersebut membawa pertanyaan mengenai prinsipprinsip dan asas-asas dari arbitrase serta kesesuaiannya dengan regulasi mengenai arbitrase yang ada di Indonesia.
B. Perumusan Masalah 1.
Apakah yang dimaksud dengan arbitrase?
2.
Kapan Indonesia mulai mengenal praktik arbitrase serta membentuk lembaga arbitrase?
3.
Bagaimana regulasi yang ada di Indonesia terkait penyelenggaraan arbitrase secara elektronik?
4.
Apakah penyelenggaraan arbitrase secara elektronik bertentangan dengan prinsip dasar arbitrase?
PEMBAHASAN A. Pengertian Arbitrase Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.1 Menurut R. Subekti, arbitrase adalah penyelesaian sengketa atau pemutusan sengketa yang dilakukan oleh seorang hakim atau para hakim atas dasar persetujuan para pihak untuk tunduk kepada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang telah dipilih atau ditunjuk oleh mereka.2 Kemudian H.M.N Poerwosujtipto memberikan pengertian arbitrase (ia menyebutnya sebagai perwasitan) sebagai suatu
1
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU APS”) 2 R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Bina Cipta, 1981), hlm. 1.
peradilan perdamaian, di mana para pihak membuat kesepakatan agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.3 Dari ketiga pengertian tersebut, dapat ditarik kesamaan bahwa arbitrase merupakan sebuah cara penyelesaian sengketa dengan persetujuan/kesepakatan kedua belah pihak yang bersengketa.
B. Perkembangan Praktik Arbitrase dan Pembentukan Lembaga Arbitrase di Indonesia Indonesia telah mengenal praktik arbitrase bahkan sebelum kemerdekaan. Dasar hukum adanya arbitrase di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda tertulis pada pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg, dan landasan umum arbitrase terdapat pada buku Ketika reglemen Hukum Acara Perdata (rv), dimulai dari pasal 615 hingga pasal 651 Rv.4 Kemudian, Ketika Jepang mengambil alih Indonesia, badan arbitrase yang telah dibentuk oleh Belanda tidak diubah dan ditetapkan oleh peraturan Pemerintah Balatentara Jepang tetap diakui sah keberadaannya.5 Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, untuk menghindari kekosongan hukum, diberlakukan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang membuat aturan arbitrase zaman Belanda tetap diakui sampai terbentuknya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa.6 Keabsahan dari keberadaan pengadilan arbitrase sebagai jalan penyelesaian sengketa di luar pengadilan di Indonesia pada masa itu juga dipertegas dengan penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.7 Pada tanggal 30 November 1977, melalui SK No. SKEP/152/DPH/1977 terbentuklah sebuah badan arbitrase Indonesia yang dikenal sebagai Badan Arbitrase Nasional Indonesia (“BANI”).8 Semenjak saat itu, perkembangan arbitrase di Indonesia terus berlanjut, bahkan selain BANI, Indonesia juga memiliki badan arbitrase lainnya seperti Badan Arbitrase Pasar
3
H. M. N Poerwosutjipto, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan, dan Penundaan Pembayaran, Cetakan III, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal.1. 4 E. Anik, Arbitrase dalam Sistem Hukum di Indonesia (Tulungagung: IAIN Tulungagung, 2017) diakses melalui https://media.neliti.com/media/publications/135358-ID-none.pdf pada 1 Januari 2021. 5 Ibid. 6 Ibid. 7 A. D. Giartono, Pelaksanaan Konvensi New York Tahun 1958 di Indonesia, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2003) diakses melalui http://eprints.undip.ac.id/13499/1/2003MIH2754.pdf pada 2 Januari 2021. 8 Tentang Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), diakses melalui baniarbitration.org pada 2 Januari 2021.
Modal Indonesia, Badan Arbitrase Syariah Nasional, Badan Arbitrase Hak Kekayaan Intelektual, dan Badan Arbitrase Komoditi Berjangka Indonesia.9 Indonesia juga telah meratifikasi Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (New York Convention 1958) dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1981 yang membuat putusan arbitrase asing dapat dieksekusi dan memiliki kekuatan hukum di Indonesia.
C. Regulasi Terkait Penyelenggaraan Arbitrase secara Elektronik di Indonesia UU APS belum secara tegas mengatur mengenai penyelenggaraan arbitrase secara elektronik. Belum terdapat pasal yang secara spesifik menjelaskan proses maupun cara menyelenggarakan arbitrase secara elektronik, namun UU APS tidak menutup kemungkinan untuk hal tersebut. Di dalam Pasal 4 ayat (3) UU APS diejaskan bahwa: “Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimile, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.” Hal ini menjawab pertanyaan mengenai kemungkinan penyelenggaraan arbitrase jika dilihat dari regulasi arbitrase yang ada di Indonesia. Namun, UU APS saja belum cukup memberikan kepastian hukum untuk penyelenggaraan arbitrase secara elektronik. Hal ini karena masih adanya keraguan mengenai legalitas perjanjian arbitrase secara elektronik, kedudukan arbitrator dalam penyelenggaraan arbitrase elektronik, serta permasalahaan putusan secara elektronik.10 Keraguan mengenai legalitas perjanjian arbitrase secara elektronik, kedudukan arbitrator dalam penyelenggaraan arbitrase elektronik, serta permasalahaan putusan secara elektronik pada akhirnya dapat teratasi dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Nomor 20.015/V/SK-BANI/HU tentang Peraturan dan Prosedur Penyelenggaraan Arbitrase secara Elektronik (“SK Arbitrase Elektronik”). SK Arbitrase Elektronik ini menyatakan tidak berlakunya Surat Keputusan Dewan Pengutus BANI Nomor: 20.007/III/SK-BANI/HU tanggal 23 Maret 2020 tentang Penghentian Sementara Proses Persidangan di BANI Selama Pandemik
9
E. Anik, Arbitrase dalam Sistem Hukum di Indonesia (Tulungagung: IAIN Tulungagung, 2017) diakses melalui https://media.neliti.com/media/publications/135358-ID-none.pdf pada 2 Januari 2021. 10 Solikhah, Prospek Arbitrase Elektronik sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Ditinjau dari Hukum Bisnis (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2009) diakses melalui https://core.ac.uk/download/pdf/11717928.pdf pada 3 Januari 2021
Corona Virus Disease (COVID-19) dan dengan itu segala persidangan dapat dilanjutkan dengan jalan elektronik jika memang para pihak sepakat untuk melakukannya dengan cara tersebut. Dalam SK Arbitrase Elektronik, telah diatur secara rinci prosedur dari arbitrase secara elektronik dan telah memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang ingin menyelenggarakan arbitrase secara elektronik. SK Arbitrase Elektronik memberikan persyaratan kesepakatan para pihak yang dilaksanakan dengan itikad baik sebagai syarat pertama untuk menyelenggarakan arbitrase secara elektronik.11 Permohonan arbitrase dapat dimohonkan secara elektronik dan buktibukti dan dokumen dapat dikirimkan melalui email dengan format Pdf atau diserahkan secara fisik.12 Berkaitan dengan putusan arbitrase, menurut Pasal 10 SK Arbitrase Elektronik, putusan dapat diucapkan oleh arbiter secara elektronik dengan terlebih dahulu menyampaikan Salinan putusan elektronik kepada para pihak melalui media elektronik, dengan memperhatikan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 jo Pasal 35 dan Prosedur BANI.13 Kemudian, dalam hal ada kekosongan peraturan dan prosedur, Pasal 12 SK Arbitrase Elektronik menentukan bahwa Peraturan dan prosedur BANI yang berlaku untuk persidangan secara normal tetap berlaku serta ketentuan lainnya berkaitan dengan penyelenggaraan arbitrase yang tidak terdapat dalam SK Arbitrase Elektronik maupun peraturan dan prosedur arbitrase secara normal, akan ditentukan oleh Dewan Pengurus BANI.14
D. Kesesuaian Penyelenggaraan Arbitrase secara Elektronik dengan Prinsip Dasar Arbitrase Pengertian arbitrase yang telah dipaparkan sebelumnya memberikan kesimpulan bahwa arbitrase diadakan berdasarkan kesepakatan para pihak, atau lebih tepatnya berdasarkan atas sebuah perjanjian, yaitu yang disebut perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase ini dapat diadakan dalam bentuk klausul arbitrase sebagai bagian dari perjanjian utama para pihak maupun dengan membuat perjanjian arbitrase tersendiri.15 Selain itu, para pihak juga dapat membuat akta compromise, yaitu pembuatan perjanjian setelah timbulnya 11
Pasal 2 Surat Keputusan Nomor 20.015/V/SK-BANI/HU tentang Peraturan dan Prosedur Penyelenggaraan Arbitrase secara Elektronik 12 Ibid. Pasal 3 jo. Pasal 8 13 Ibid. Pasal 10 14 Ibid. Pasal 12 15 Cut Memi, Arbitrase Komersial Internasional: Penerapan Klausul dalam Putusan Pengadilan Negeri (Jakarta: Sinar Grafika, 2017)
perselisihan di antara para pihak sebagaimana yang diperkenankan oleh Pasal 9 ayat (1) UU APS. Perjanjian sebagai dasar pelaksanaan arbitrase memberikan sebuah kesimpulan lainnya, yaitu bahwa pada intinya arbitrase juga menganut asas-asas dalam perjanjian, bahwa prinsip dasar arbitrase adalah sebuah perjanjian. Adapun asas-asas dalam hukum perjanjian adalah Asas Konsensualisme, Asas Kebebasan Berkontrak Asas Kekuatan Mengikat Perjanjian (pacta sunt servanda), Asas Iktikad Baik (good faith), Asas Kepercayaan, Asas Personalitas, Asas Persamaan Hukum, Asas Keseimbangan, Asas Kepastian Hukum, Asas Moral, Asas Kepatutan, Asas Kebiasaan dan Asas Perlindungan.16 Namun, asas yang perlu ditelaah berkaitan dengan penyelenggaraan arbitrase elektronik adalah Asas Konsensualisme, Asas Kebebasan Berkontrak, Asas Pacta Sunt Servanda, dan Asas Iktikad Baik. Adanya Asas Konsensualisme menjelaskan bahwa perjanjian itu adalah sah dan mengikat jika berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak telah tercapai hal-hal pokok dalam perjanjian.17 Asas Konsensualisme ini ditemukan pada Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Kesepakatan para pihak untuk mengadakan arbitrase secara elektronik tentunya merupakan bagian dari pemenuhan Asas Konsensualisme itu sendiri dan karena itu arbitrase secara elektronik tidaklah bertentangan dengan prinsip dasar arbitrase sebagai sebuah perjanjian dan dapat sah berlaku bagi para pihak. Selain itu, berdasarkan Asas Kebebasan Berkontrak, yaitu di mana para pihak bebas membuat perjanjian dengan bentuk, isi, cara pelaksanaan, pihak yang terlibat, dan lain sebagainya selagi tidak bertentangan dengan undang-undang membawa kesimpulan bahwa pengadaan arbitrase secara elektronik tidaklah menyalahi prinsip dasarnya sebagai sebuah perjanjian. Di tambah lagi dengan tidak dilarangnya pengadaan arbitrase secara elektronik oleh UU APS dan terdapatnya SK Arbitrase Elektronik memperjelas keabsahan penyelenggaraannya yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan memenuhi asas kebebasan berkontrak. Menurut Asas Pacta Sunt Servanda, yaitu yang dapat ditemukan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai
16
N. A. Sinaga, Peranan Asas-Asas Hukum Perjanjian dalam Mewujudkan Tujuan Perjanjian (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma Jakarta, 2018) diakses melalui https://media.neliti.com/media/publications/275408-peranan-asas-asas-hukum-perjanjian-dalam67aa1f8a.pdf pada 4 Januari 2021 17 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 9.
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sahnya pembuatan suatu perjanjian adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan dalam konteks perjanjian arbitrase, syarat sahnya sebuah perjanjian arbitrase adalah sebagai berikut:18 1. Kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian pokok untuk menyelesaikan sengketa yang telah atau akan terjadi melalui forum arbitrase, tanpa adanya paksaan; 2. Para pihak adalah orang yang mampu/cakap melakukan perbuatan hukum; 3. Harus mengenai objek tertentu, yaitu objek perjanjian pokok itu sendiri; 4. Adanya alasan atau sebab yang halal, yaitu perjanjian arbitrase tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan Dengan demikian, perjanjian untuk mengadakan arbitrase secara elektronik tetap berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak dan tidak ada alasan untuk membuat perjanjian arbitrase secara elektronik menjadi batal demi hukum jika sudah memenuhi persyaratan di atas karena sifat asalnya sebagai sebuah perjanjian yaitu pacta sunt servanda. Pengadaan secara elektronik itu pun tidak bertentangan dengan salah satu syarat di atas, terlebih lagi karena regulasi arbitrase di Indonesia sudah membenarkan pengadaan arbitrase secara elektronik. Kemudian, berkaitan dengan Asas Itikad Baik, yaitu yang tertulis dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata bahwa semua perjanjian haruslah diadakan dengan itikad baik. Pengadaan arbitrase secara elektronik adalah semata-mata dengan niat untuk mempercepat penyelesaian sengketa dan diharapkan dengan itu hubungan bisnis di antara para pihak dapat kembali berjalan dengan baik. Pengadaan arbitrase secara elektronik ini sah-sah saja jika memang tujuannya adalah demi kebaikan para pihak dan hal itu bersesuaian dengan Asas Itikad Baik, bukan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau melakukan tipu daya.
PENUTUP A. Kesimpulan Penyelenggaraan arbitrase secara elektronik tidaklah bertentangan dengan regulasi arbitrase yang ada di Indonesia, maupun prinsip-prinsip dasar arbitrase, yaitu sebagai sebuah
18
Cut Memi, Arbitrase Komersial Internasional: Penerapan Klausul dalam Putusan Pengadilan Negeri (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hlm. 29
perjanjian. Penyelenggaraan arbitrase secara elektronik sendiri bahkan sebelum dikeluarkannya SK Arbitrase Elektronik dimungkinkan penyelenggaraannya oleh UU APS dan oleh karena itu tidaklah bertentangan dengan undang-undang. Terlebih lagi, setelah BANI mengeluarkan SK Arbitrase Elektronik, kejelasan prosedur dan kepastian hukum menjadi semakin terjamin. Penyelenggaraan arbitrase secara elektronik juga sesuai dengan prinsip dasarnya sebagai sebuah perjanjian, asalkan memenuhi syarat sahnya sebagai suatu perjanjian dan bersesuaian dengan asas-asas perjanjian, maka ia dapat mengikat para pihak seperti perjanjian pada umumnya, dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang mengadakan perjanjian arbitrase tsb. Dengan demikian, dapat disimpulkan tidak terdapat alasan untuk membatalkan perjanjian arbitrase yang diselenggarakan secara elektronik. B. Saran Penyelenggaraan arbitrase secara elektronik ini sangatlah inovative dan merupakan sebuah jalan keluar dari kesulitan dalam penyelesaian sengketa akibat kewajiban physical distancing pada masa pandemic. Akan lebih baik jika Indonesia terus mengembangkan regulasi terkait arbitrase secara elektonik ini agar tidak tertinggal dengan regulasi arbitrase secara elektronik yang berlaku secara internasional yaitu dengan jalan meratifikasi regulasi arbitrase internasional secara elektronik yang akan memudahkan pengusaha asing dalam menyelesaikan sengketanya dengan pengusaha Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Subekti, R., 1981, Arbitrase Perdagangan, Bandung: Bina Cipta. Poerwosutjipto, H. M. N., Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan, dan Penundaan Pembayaran, Cetakan III, 1992, Jakarta: Djambatan. Anik, E., Arbitrase dalam Sistem Hukum di Indonesia, 2017, Tulungagung: IAIN Tulungagung. Giartono, A. D., Pelaksanaan Konvensi New York Tahun 1958 di Indonesia, 2003, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Tentang Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), baniarbitration.org. Solikhah, Prospek Arbitrase Elektronik sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Ditinjau dari Hukum Bisnis, 2009, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Surat Keputusan Nomor 20.015/V/SK-BANI/HU tentang Peraturan dan Prosedur Penyelenggaraan Arbitrase secara Elektronik. Memi, Cut, Arbitrase Komersial Internasional: Penerapan Klausul dalam Putusan Pengadilan Negeri, 2017, Jakarta: Sinar Grafika. Sinaga, N. A., Peranan Asas-Asas Hukum Perjanjian dalam Mewujudkan Tujuan Perjanjian, 2018, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma Jakarta. HS, Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, 2003, Jakarta: Sinar Grafika.
Pengaturan Khusus Mengenai Status Hukum Perusahaan yang Mergernya Dibatalkan oleh KPPU sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Pelaku Usaha Oleh Cintya Sekar Ayu, Nabila Asysyifa Nur, Nia Faridatul Khasanah Dunia persaingan usaha menuntut pelaku usaha untuk memiliki strategi handal dalam menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk menjaga kelangsungan perusahaan adalah dengan melakukan merger atau penggabungan. Merger merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh sebuah badan usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan badan usaha lain yang telah ada dan badan usaha yang menggabungkan diri tersebut menjadi bubar.1 Dengan melakukan merger, suatu badan usaha dapat beroperasi dengan lebih efektif untuk mencapai tujuan perusahaan dan mewujudkan efisiensi biaya produksi.2 Dalam praktiknya, transaksi merger yang dilakukan oleh perusahaan dapat didorong oleh keinginan untuk meningkatkan kekuatan dan dominasi di pasar yang mana peningkatan kekuatan tersebut membawa pengaruh pada persaingan antar pelaku usaha dan berdampak pada konsumen.3 Untuk menghindari hal tersebut, praktik merger harus diatur agar tidak mengganggu iklim persaingan usaha yang sehat. Perihal merger di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU Persaingan Usaha”). Merger dapat dilakukan oleh perusahaan ataupun bank.4 Dalam tulisan ini, 1
Vide Pasal (1) angka 1 PP No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham yang dapat mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 2 Hitt, A., Michael, (2002), Merger dan Akuisisi: Panduan Meraih Laba Bagi Para Pemegang Saham, Edisi 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 3 Sudjana, “Merger Dalam Perspektif Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999”, Jurnal Hukum POSITUM, Vol. 1, No. 1, Desember 2016, hlm. 104-123. 4 Sryani, “Dampak Hukum Notifikasi Merger Menciptakan Persaingan Usaha yang Sehat”, Jurnal Law Pro Justicia, Vol. 1, No.1, Desember, 2015. Hlm. 45.
Penulis menitikberatkan pada merger perusahaan yang pengaturannya ada dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”). Peraturan merger yang menganut rezim post-merger notification mensyaratkan bahwa merger yang berakibat pada nilai aset dan/atau nilai penjualan yang melebihi jumlah tertentu wajib diberitahukan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (“KPPU”), selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan.5 Untuk mengatur pelaksanaan norma tersebut diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun
2010
Tentang
Penggabungan
atau
Peleburan
Badan
Usaha
dan
Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli
dan
Persaingan
Usaha
tidak
Sehat
(“PP
57/2010”).
Sebagai
konsekuensinya, setiap pelaku usaha yang tidak menyampaikan pemberitahuan tertulis sebagaimana diatur dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari dikenai sanksi berupa denda administrasi sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk setiap hari keterlambatan, dengan denda maksimal sebesar Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).6 Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kasus keterlambatan pemberitahuan pengambilalihan saham adalah sebesar 72,7% dari total kasus yang telah diputus oleh KPPU pada tahun 2020.7 Pada tahun 2019 sebesar 37,5% dan tahun 2018 sebesar 33,3%.8 Persentase kasus keterlambatan yang kian naik dari tahun ke tahun menunjukkan kurangnya kesadaran pelaku usaha dalam melakukan pemberitahuan pengambilalihan saham. Tidak hanya itu, banyak kasus keterlambatan pemberitahuan 5
Vide Pasal 29 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat jo. Pasal 5 ayat (1) PP No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham yang dapat mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 6 Vide Pasal 6 PP No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham yang dapat mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 7 Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, “Database Putusan KPPU”, http://putusan.kppu.go.id/simper/menu/, diakses 12 September 2020. 8 Ibid.
pengambilalihan saham diputus dengan denda yang relatif lebih kecil daripada yang seharusnya. Hal tersebut membuktikan bahwa realisasi denda tidak sebanding dengan waktu keterlambatan sehingga kurang memberikan kesadaran bagi para pelaku usaha dan di sisi lain tidak memberikan keadilan bagi masyarakat. Salah satu contoh keterlambatan pemberitahuan pengambilalihan saham dapat dilihat pada kasus PT Prospek Karyatama oleh PT Sarana Farmindo Utama. Terlapor yang dalam kasus ini adalah PT Sarana Farmindo Utama seharusnya melakukan pemberitahuan paling lama tanggal 18 Februari 2016, namun pihaknya baru melakukan pelaporan pada tanggal 24 Juli 2019. Akibat keterlambatan tersebut, terlapor diputus dengan denda Rp2.250.000.000,00 (dua miliar dua ratus lima puluh juta rupiah).9 Denda tersebut tidak sesuai dengan Pasal 6 PP 57/2010. Jika diselidiki lebih lanjut, keterlambatan melakukan post-merger notification turut menghambat kinerja KPPU dalam melakukan pengkajian mengenai apakah merger yang dilakukan terindikasi monopoli atau tidak. Pasalnya, KPPU sebagai penerima notifikasi merger dapat melakukan pembatalan terhadap merger yang telah dilakukan oleh perusahaan apabila penggabungan/peleburan atau pengambilalihan saham tersebut menimbulkan monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.10 Adapun pelaksanaan denda administratif dari keterlambatan melakukan post-merger notification yang jumlahnya tidak sebanding sebagaimana yang tertera dalam PP 57/2010 tidak memberikan efek jera kepada perusahaan dan karenanya timbul celah praktik monopoli. Sanksi pembatalan merger merupakan suatu langkah yang signifikan dalam dunia usaha. Namun sayangnya, hingga saat ini sanksi pembatalan merger belum pernah 9
Putusan KPPU No. 28/KPPU-M/2019, Dugaan Pelanggaran Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 jo. Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 terkait Keterlambatan Pemberitahuan Pengambilalihan (Akuisisi) Saham PT Prospek Karyatama oleh PT Sarana Farmindo Utama, 15 April 2020. 10 Vide Pasal 47 huruf e UU No. 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha.
dilakukan oleh KPPU.11 Pembatalan merger sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 47 huruf e UU Persaingan Usaha berimplikasi pada timbulnya kerugian perusahaan yang telah menggabungkan dan menerima penggabungan. Hal ini dikarenakan sebelum penggabungan berlangsung, telah banyak biaya yang dikeluarkan oleh pelaku usaha untuk memenuhi syarat-syarat penggabungan baik formil maupun materiil hingga akhirnya penggabungan tersebut disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.12 Namun, setelah memberikan notifikasi kepada KPPU penggabungan yang dilakukan justru dibatalkan melalui Putusan KPPU karena terindikasi monopoli dan persaingan tidak sehat Berkaitan dengan pembatalan merger, Pasal 122 ayat (1) UU PT menyatakan bahwa akibat dari merger adalah perusahaan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum. Norma dalam ketentuan tersebut seolah-olah telah memberikan kepastian terkait status hukum perusahaan yang telah menggabungkan diri ke dalam perusahaan lain. Namun sisi lain, mekanisme post-merger notification yang berlaku di Indonesia menimbulkan ketidakpastian status hukum perusahaan yang pernyataan mergernya dibatalkan oleh KPPU. Hal ini karena pasal a quo tidak secara
mutatis
mutandis
menyatakan
bahwa
perusahaan
yang
notifikasi
penggabungannya dibatalkan kembali kepada status hukum semula. Ibarat orang yang telah menikah, status individu yang telah bercerai tidak lantas dinyatakan janda atau tidaknya. Dalam kenyataan yang demikian terdapat kekosongan hukum terkait status perusahaan yang pernyataan mergernya dibatalkan oleh KPPU yang nyata-nyata menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlindungan bagi para pelaku usaha. Hal ini 11
Resya Nugraha, KPPU: Keputusan Pre-Notifikasi atau Post-Notifikasi Masih Menunggu Hasil Amandemen, Kontan.Co.Id,https://nasional.kontan.co.id/news/kppukeputusan-pre-notifikasi-atau-post-notifikasi-masih-menunggu-hasil-amandeme, diakses tanggal 12 September 2020. 12 Dian, Sihabudin dan Bambang, “Status Kepemilikan Saham Hasil Pembatalan Penggabungan Perseroan Terbatas oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha”, Jurnal Cakrawala Hukum, Vol. 10, No. 1. Juli, 2019. hlm. 14.
karena perusahaan yang telah melakukan penggabungan tersebut telah dicabut hak dan kewajibannya dengan alasan hukum pada saat terjadinya penggabungan. Implikasi dari pencabutan hak dan kewajiban yang kemudian tidak dikembalikan seperti semula setelah adanya pembatalan tentu sangat merugikan para pelaku usaha. Berdasarkan urgensi adanya kekosongan hukum terkait status perusahaan yang mergernya dibatalkan oleh KPPU, Penulis memberikan suatu langkah solutif untuk menutup celah kekosongan hukum dan menciptakan kepastian hukum dalam dunia persaingan usaha. Untuk itu, penting agar undang-undang memuat pengaturan terkait pengembalian status hukum perusahaan yang penggabungannya dibatalkan oleh KPPU dalam suatu pasal khusus di dalam UU Persaingan Usaha maupun UU PT dan ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengembalian status hukum perusahaan tersebut perlu diatur Peraturan Pemerintah. Implikasi dari adanya pengaturan pengembalian status hukum tersebut adalah terciptanya perlindungan hukum bagi para pelaku usaha serta terwujudnya pijakan hukum yang jelas bagi KPPU dalam menegakkan hukum. Dengan demikian, sanksi pembatalan merger lebih aplikatif dalam tataran praktis dan lebih menjamin terwujudnya persaingan usaha yang sehat. Besar harapan penulis agar solusi tersebut dapat dipertimbangkan oleh pembuat undang-undang sehingga tercipta perlindungan dan kepastian hukum dalam pelaksanaan post-merger notification di Indonesia.
Daftar Pustaka Buku Hitt, A., Michael, (2002), Merger dan Akuisisi: Panduan Meraih Laba Bagi Para Pemegang Saham, Edisi 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Internet Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, “Database Putusan KPPU”, http://putusan.kppu.go.id/simper/menu/, diakses 12 September 2020. Jurnal Dian, Sihabudin dan Bambang, “Status Kepemilikan Saham Hasil Pembatalan Penggabungan Perseroan Terbatas oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha”, Jurnal Cakrawala Hukum, Vol. 10, No. 1. Juli, 2019. Sudjana, “Merger Dalam Perspektif Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999”, Jurnal Hukum POSITUM, Vol. 1, No. 1, Desember 2016. Sryani, “Dampak Hukum Notifikasi Merger Menciptakan Persaingan Usaha yang Sehat”, Jurnal Law Pro Justicia, Vol. 1, No.1, Desember, 2015. Putusan Pengadilan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, 28/KPPU-M/2019, Dugaan Pelanggaran Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 jo. Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 terkait Keterlambatan Pemberitahuan Pengambilalihan (Akuisisi) Saham PT Prospek Karyatama oleh PT Sarana Farmindo Utama, 15 April 2020. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lembaran Negara Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3817, 5 Maret 1999.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4756, 16 Agustus 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham yang dapat mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lembaran Negara Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5144, 20 Juli 2010.
Polemik Dualisme Judicial Review Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi Dalam sejarah, pengujian terhadap produk legislasi yang dilakukan oleh lembaga peradilan atau yang disebut judicial review terus mengalami perkembangan. Hal ini dimulai dari negara Amerika Serikat yang pada tahun 1803 melakukan judicial review terhadap perkara Madison versus Marbury hingga pada tahun 1920 membentuk peradilan khusus konstitusional di Austria. Di Indonesia sendiri kemudian menerapkan gagasan tersebut pada perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian membentuk Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003. Hal ini mengakibatkan Mahkamah Agung bukan lagi pelaku tunggal kekuasaan kehakiman karena dalam Pasal 24 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa “kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi” yang kemudian hal ini menjadi persoalan karena terdapat dualisme kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sama-sama memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review. Apakah berarti kita bisa tetap membiarkan terjadi dualisme antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi? Atau apakah keduanya harus disatukan? Jika demikian, maka di Indonesia terdapat dualisme yang mengakibatkan pemisahan kekuasaan kehakiman. Lalu apakah kita harus melakukan pemisahan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi demi rapihnya konstruksi pengujian perundang undangan? Berdasarkan hasil amandemen ke 3 UUD 1945 politik hukum di bidang peradilan dan kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan. Jika dulu kekuasaan kehakiman hanya diletakan berpuncak pada Mahkamah Agung, namun sekarang puncak kekuasaan kehakiman ada dua yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Berkaitan dengan hal tersebut Mahfud MD1 mengatakan “secara sederhana dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung memegang kekuasaan kehakiman dalam perkara konvensional, sedangkan Mahkamah Konstitusi memegang kekuasaan kehakiman dalam perkara ketatanegaraan”. Disebutkan dalam Pasal 24C ayat 1 UUDNRI 1945 bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang 1
Mahfud, M. D. (2010). Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca amandemen Konstitusi, cetakan kedua. Jakarta: Kencana. Hlm. 57.
kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Kemudian dalam pasal 24A ayat 1 poin 1 UUDNRI 1945 disebutkan bahwa “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang”2. Dapat dilihat bahwa dalam Pasal 24A ayat 1 poin 1 Mahkamah Agung berwenang menguji konflik peraturan yaitu peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Sedangkan dalam Pasal 24C ayat 1 Mahkamah Konstitusi juga berwenang menguji konflik peraturan yaitu berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Melihat kewenangan judicial review yang dimiliki oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung memberikan gambaran bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada Mahkamah Agung, sementara menurut ketentuan yang terdapat di dalam UUDNRI Tahun 1945, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan yang sama dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari objek yang diuji, yaitu terdapat pembatasan produk hukum yang akan diuji oleh Mahkamah Agung yang secara langsung membatasi Mahkamah Agung untuk melakukan kontrol secara normatif terhadap setiap produk hukum. Mahkamah Agung hanya berwenang mengadili peraturan perundangundangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, sementara untuk peraturan yang lebih tinggi, yaitu undang-undang terhadap UUDNRI Tahun 1945 kewenangannya dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Tentu hal ini dapat menimbulkan persoalan hukum karena pemberian kewenangan pada subtansi yang sama yaitu pengujian peraturan perundang-undangan, namun membedakan objeknya dengan organisasi yang berbeda tetapi dalam kelembagaan negara yang sama yaitu kekuasaan kehakiman yang dikemudian hari akan menimbulkan berbagai kerancuan normatif dan kerancuan teknis3 yang berkaitan dengan peraturan yang ada di bawahnya. 4
2
Al Hidayat, Nanang, Sari, Mela. (2018). Dualisme Judicial Review Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Jurnal Magister Hukum Udayana. Vol. 7. Hlm 321 3 Silalahi, Doni. (2016). Kewenangan Yudisial Review Mahkamah Agung Terhadap Peraturan Perundang-Undangan di Bawah Undang-Undang. Jurnal Untan. Vol 3. Hlm. 55 4 Soemantri, Sri, 1986, Hak Menguji Material di Indonesia, Bandung: Alumni.
Masalahnya adalah jika Undang-Undang yang digunakan untuk menguji sedang diuji di Mahkamah Konstitusi dan ternyata diputuskan bahwa Undang-Undang dimaksud bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945. Hal ini akan berbeda jika pengujian peraturan perundang-undangan itu dilakukan satu atap, karena kondisi diatas dapat segera diatasi dan ditangani langsung. Disini Mahkamah Konstitusi dapat mendahulukan pengujian Undang-Undang terhadap UUDNRI Tahun 1945 dan apabila Undang-Undang tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945, maka menjadi tidak relevan permohonan untuk menguji PP, karena Undang-Undang yang dijadikan hukum pembuatan PP tidak dapat lagi berlaku.5 Dualisme tersebut juga menimbulkan kebingungan dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya pengujian perundang-undangan di bawah undang-undang, tetapi yang juga membawa nuansa konstitusionalitas. Apakah dengan ini Mahkamah Agung dapat menguji konstitusionalitas? Karena pada dasarnya Mahkamah Konstitusi-lah yang berwenang menguji konstitusionalitas. Maka bisa dikatakan bahwa judicial review di Indonesia saat ini menimbulkan persilangan antara kewenangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahfud MD berpendapat bahwa terdapat dua catatan tentang bentuk ideal pengujian undang-undang di Indonesia6, yang pertama Mahkamah Konstitusi idealnya berfungsi untuk menjamin konsistensi semua peraturan perundang-undangan sehingga lembaga ini hanya memeriksa konflik peraturan perundangundangan mulai dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah derajatnya. Oleh sebab itu, kewenangan uji materil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang lebih tinggi lebih ideal jika diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Dengan ide ini, konsistensi dan singkronisasi semua peraturan perundang-undangan secara linier ada di satu lembaga, yakni Mahkamah Konstitusi. Kedua, Mahkamah Agung idealnya berwenang untuk menangani semua konflik peristiwa antar-person dan/atau pembubaran partai politik dan sebagainya dan Mahkamah Agung dibebaskan dari kewenangan menguji materil peraturan perundang-undangan. Dua catatan yang disebutkan oleh Mahfud MD di atas memberikan penegasan bahwa kewenangan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar dan pengujian peraturan perundangundangan terhadap undang-undang harus diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Hal ini 5
Ibid, hlm. 306. Enrico Simanjuntak, 2013, Kewenangan Hak Uji Materil Pada MA RI, Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 2 Nomor 3 November 2013, MA RI, Jakarta, hlm. 342. 6
tentunya berkaitan dengan hirariki yaitu agar ada konsentrasi dan konsistensi penafsiran semua peraturan perundang-undangan dari yang paling tinggi, yaitu UUDNRI Tahun 1945 sampai yang paling rendah. 7 Karena pada dasarnya penyusunan hirarki sangatlah ketat karena peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang ada diatasnya. Oleh karena itu dikarenakan dualisme judicial review tersebut diharapkan dilakukannya amandemen kelima terhadap UUDNRI Tahun 1945 untuk merubah ketentuan judicial review yang seharusnya diserahkan sepenuhnya kepada Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tunggal pelaksana judicial review atas seluruh peraturan perundang-undangan sehingga diharapkan Mahkamah Agung akan lebih fokus pada penanganan perkara konkrit ditingkat kasasi dan peninjauan kembali bagi para pencari keadilan. Juga perlunya mengakomodir kewenangan judicial review terhadap seluruh peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Konstitusi dan diakomodirnya kewenangan constitutional question terhadap seluruh lingkup peradilan di Indonesia, sehingga semua peraturan perundang-undangan dapat diuji tingkat konstitusionalitasnya di dalam satu lembaga, yaitu Mahkamah Konstitusi.8
7
Bahtiar. (2015). Problematika Implemantasi Putusan MK Pada Pengujian UU Terhadap UUD. Raih Asa Sukses. Jakarta. Hlm. 102. 8 Putra, Antoni. (2018). Dualisme Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 15. Hlm. 78
Daftar Pustaka
Al Hidayat, Nanang, Sari, Mela. (2018). Dualisme Judicial Review Peraturan PerundangUndangan di Indonesia. Jurnal Magister Hukum Udayana. Vol. 7. Hlm 321. Bahtiar. (2015). Problematika Implemantasi Putusan MK Pada Pengujian UU Terhadap UUD. Raih Asa Sukses. Jakarta. Hlm. 102. Mahfud, M. D. (2010). Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca amandemen Konstitusi, cetakan kedua. Jakarta: Kencana. Hlm. 57. Putra, Antoni. (2018). Dualisme Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 15. Hlm. 78. Silalahi, Doni. (2016). Kewenangan Yudisial Review Mahkamah Agung Terhadap Peraturan Perundang-Undangan di Bawah Undang-Undang. Jurnal Untan. Vol 3. Hlm. 55 Simanjuntak, Enrico. (2013). Kewenangan Hak Uji Materil Pada MA RI. Jurnal Hukum dan Peradilan. Vol. 2 Nomor 3 November 2013. MA RI. Jakarta. Hlm. 342. Soemantri, Sri. (1986). Hak Menguji Material di Indonesia. Bandung: Alumni.
Legal Essay Fazzahra Aathifa The Comparison of European Union and United Nations Security Council Regarding the Revocation of International Organization’s Decisions through Judicial Review The issue of the revocation of decisions may occur in any scope of law, in this case it can of course also happen in the scope of international law, through this concept there is a peculiarity inside of it which are, procedural violations of regulations that are almost never followed by sanctions, the causes for cancellation that are quite specific, and seems impossible if it is applied only in exceptional cases, if the very importance of the norm has been broken.1 Regarding this matter, in my opinion, a revocation of decisions through the Judicial Review can be made, even though the Judicial Review itself is enforced, and not universally applied. Although if we’re talking about UNSC (United Nations Security Council), in this case, based on Article 39 of the United Nations Charter, it is said that, “The Security Council shall determine the existence of any threat to the peace, breach of the peace, or act of aggression and shall make recommendations, or decide what measures shall be. taken in accordance with Articles 41 and 42, to maintain or restore international peace and security.”, through this article which is underlined in Chapter VII, could be seen that it provides and offers a really broad and strong strength to UNSC, through which UNSC has the power to make decisions, primarily those that are under Chapter VII concerning the maintenance of international peace and security. Based on this statement, International Court Justice, which is one of the principal judicial organs at the United Nations, regarding the decisions under Chapter VII cannot conduct a judicial review, but can only provide a legal advisory opinion.2 Furthermore, in a situation like this there is an opinion, that there is another way for the ICJ to take part in the UNSC ruling whereby the decision suggested by the ICJ could subsequently set a precedent for future UNSC action or could be used to cast a voice of doubt on the validity of previous precedents3. In addition, the ICJ could engage in an “expressive” review mode by questioning the acceptability or legality of the actions taken by UNSC, thereby “signaling” UNSC for implementation in the
1
Petculescu, I. (2005). THE REVIEW OF THE UNITED NATIONS SECURITY COUNCIL DECISIONS BY THE INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE. Netherlands International Law Review, 52(02), p. 184 2 Ušiak, Jaroslav & Saktorova, Lubica. (2014). The International Court of Justice and the Legality of UN Security Council Resolutions. Danube. 5. 10.2478/danb-2014-0011 3 Alvarez. "Judging the Security Council" (1996) 90 A.J.I.L. 1 p.23
Legal Essay Fazzahra Aathifa future, and not actually invalidating the UNSC decision itself.4 Coupled with the ICJ statement, stating that, “in the exercise of its discretionary competence given by Article 39 of the United Nations Charter, the Security Council decided that there existed a threat to the peace, and it was not the role of the ICJ to question. that decision. Therefore, the judgment appeared to give deference to the Security council once a decision had been made under chapter VII ”. Therefore, in the case of UNSC decisions regarding the maintenance of peace and security, the ICJ cannot directly contend with it. In addition to that, the ICJ does not have the power of judicial review regarding UN activities, even though it is known as the main judicial organ of the United Nations.5 Regarding the European Union, a judicial review can be conducted through the European Court of Justice. In the case of judicial review in the European Union, the method that must be followed by Community Law becomes clear in one of the first cases of the jurisdiction of the European Court of Justice, which is the Alegra case where the ECJ based the need for a judicial review in the EU on “law on the prohibition of justice”6. Furthermore, referring to Article 263 of Treaty on the Functioning of the European Union (TFEU), it is said that there are four conditions for the revocation of a decision, including “...1) The institution must be reviewable. 2) The act must be reviewable. 3) The challenge must be made within the specified time limit. 4) The individual must have locus standi - this relates to the recognition of a legal interest in a matter. It is that interest which results in the right to mount a legal challenge against the act. ”. Moreover, through this article, it is further explained that the first three requirements are stipulated in Article 263 of the TFEU and are not at all seen as problematic. Meanwhile, regarding those who can actually “apply”, makes the problem of locus standi, which is the capacity of the party to show to the court that there is adequate relation and damage to the law or action in question to justify the involvement of that party in the case, problematic, where applicants are categorized
4
Akande, Dapo. “The International Court of Justice and the Security Council: Is There Room for Judicial Control of Decisions of the Political Organs of the United Nations?” The International and Comparative Law Quarterly, vol. 46, no. 2, 1997, pp. 312. JSTOR, www.jstor.org/stable/760719. Accessed 15 Dec. 2020. 5 Malcolm Shaw. International Law, Cambridge Press. 2008. P. 1113 6 4 Joined Cases 7/56 and 3/57 to 7/57, Algera v Common Assembly of the ECSC [1957] ECR 39.
Legal Essay Fazzahra Aathifa into 3 categories, which are privileged, semi-privileged and non-privileged, in which through the interpretation there can be seen explicitly differences amongst them. Thus, through my explanation above, it can be concluded that the UNSC decision cannot be revoked through a judicial review, especially in the realm of peacekeeping and security under Chapter VII, while European Union decisions can be revoked through a judicial review conducted by the European Court of Justice.
Urgensi Penyatuatapan Judicial Review dalam Sistem Hukum di Indonesia Oleh: Shafa Femalea Sekar Nuswantari
Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu elemen penting dalam ketatanegaraan Indonesia yang diatur dalam konstitusi. Pengaturan mengenai Kekuasaan Kehakiman dalam konstitusi pun pernah mengalami perubahan. Sebelum amandemen, Undang-Undang Dasar 1945 hanya menyebutkan Mahkamah Agung sebagai pemegang Kekuasaan Kehakiman. Setelah amandemen ketiga, hal ini berganti. Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen ketiga dengan tegas menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia terdiri atas Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang membawahi lembaga-lembaga peradilan, yang terdiri dari lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Lahirnya Mahkamah Konstitusi setelah adanya amandemen ketiga tersebut melahirkan fungsi-fungsi baru bagi lembaga peradilan di Indonesia.
Sebelum amandemen, konstitusi hanya menyebutkan bahwa Mahkamah Agung berfungsi untuk menjalankan kekuasaan kehakiman dan berwenang dalam pemilihan hakim. Setelah munculnya Mahkamah Konstitusi, terdapat pengaturan yang lebih jelas dalam konstitusi untuk membedakan wewenang di antara keduanya. Namun, lahirnya Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya ini bukanlah bebas masalah. Pasal 24A UUD 1945 mengatur bahwa Mahkamah Agung berwenang dalam pengujian Peraturan Perundangundangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Di sisi lain, Pasal 24C UUD 1945 mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 19451. Hal tersebut menunjukkan timbulnya dualisme judicial review atau pengujian peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum di Indonesia2.
Pengujian peraturan perundang-undangan atau judicial review merupakan hal yang penting bagi Indonesia yang menganut civil law, dimana sumber hukum utamanya berupa kodifikasi peraturan perundang-undang dan memiliki Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 24A dan 24C. Antoni Putra, “Dualisme Pengujian Peraturan Perundang-Undangan,” Jurnal Legislasi Indonesia 15, No. 2 (2018): 70. 2
sumber hukum tertinggi3. Judicial review bertujuan untuk menjamin hak-hak warga negara dengan memberikan pengawasan terhadap semua peraturan perundang-undangan agar tidak ada yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi, judicial review yang dilakukan di bawah dua atap menimbulkan banyak perdebatan karena beberapa masalah.
Permasalahan pertama, pemisahan kewenangan untuk melakukan judicial review tidak relevan dengan konsep negara hukum di Indonesia yang memercayai adanya hierarki peraturan perundang-undangan.4 Sri Sumantri berpendapat bahwa Undang-Undang dengan Peraturan Perundang-Undangan yang ada di bawahnya memiliki sebuah hubungan yang erat.5 Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan UndangUndang. Sedangkan Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan kondisi tersebut, proses judicial review yang dilakukan pada dua lembaga akan menjadi tidak efektif.
Masalah dualisme dalam judicial review dapat dilihat apabila terjadi konflik peraturan dimana terhadap Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang dilakukan judicial review dan diputuskan bahwa peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Namun, saat di kemudian hari Undang-Undang yang menjadi batu uji pada masalah a quo diuji terhadap Undang-Undang Dasar 1945, diputuskan bahwa Undang-Undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan harus dibatalkan. Maka, pengajuan judicial review peraturan perundang-undangan tersebut menjadi tidak relevan.6 Inkoherensi dan inkosistensi putusan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi membuat proses judicial review menjadi rumit dan kurang memberikan kepastian hukum. Terlebih, dapat dibayangkan, bila telah ada lebih dari satu peraturan perundang-undangan yang diuji materi dengan batu uji Undang-Undang yang sama dan ternyata setelahnya baru diputuskan bahwa Undang-Undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Penyelesaian konflik peraturan dalam kondisi seperti itu akan menjadi semrawut.
Chocky R. Ramadhan, “Konvergensi Civil Law dan Common Law di Indonesia dalam Penemuan dan Pembentukan Hukum”, Jurnal Mimbar Hukum Universitas Gadjah Mada 30, No.2 (2018): 214. 4 Muhammad Ishar Helmi, “Penyelesaian Satu Atap Perkara Judicial Review di Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Salam FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 6, No.1 (2019): 105 5 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Pengkajian Konstitusi tentang Problematika Pengujian Peraturan Peraturan Perundang-Undangan, Dr. Taufiqurrahman Syahuri S.H.,M.H dan tim, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2014,https://bphn.go.id/data/documents/lap.akhir_pengkajian_konstitusi_pengujian_uu.pdf 6 Antoni Putra, op. cit. hlm. 74. 3
Permasalahan lain karena penyatuatapan judicial review adalah beban penanganan perkara pada Mahkamah Agung menjadi sangat banyak.7 Dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Agung membawahi empat lingkup peradilan yang totalnya mencapai 910 pengadilan8 di seluruh Indonesia dengan ribuan kasus setiap harinya. Mahkamah Agung juga menjadi harapan bagi pencari keadilan untuk menangani perkara di tingkat kasasi.9 Dengan memberikan beban judicial review atas peraturan turunan Undang-Undang yang jumlahnya sangat banyak kepada Mahkamah Agung tentu akan membuat beban pekerjaan Mahkamah Agung membengkak.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, maka penyatuatapan judicial review penting untuk dilakukan. Seperti lazimnya negara-negara penganut civil law lainnya, judicial review sebaiknya dilakukan di satu lembaga yang disebut Mahkamah Konstitusi.10 Jika judicial review hanya dilakukan oleh satu lembaga dengan batu uji yang tidak berubah, yaitu UndangUndang Dasar 1945 untuk pengujian Undang-Undang dan Undang-Undang untuk pengujian peraturan perundang-undangan di bawahnya, putusan-putusan yang berkaitan dengan konflik peraturan akan linear dan lebih sinkron dari peraturan terbawah hingga peraturan yang tingkatnya paling tinggi.11 Saat judicial review peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang diajukan, proses pengujian materi dapat dimulai dengan meninjau apakah Undang-Undang yang akan menjadi batu uji sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Ketika diputuskan bahwa Undang-Undang tidak sesuai konstitusi, maka pengajuan peraturan perundang-undangan juga langsung diputuskan tidak relevan12. Hal ini tentu lebih sederhana dan tidak memakan waktu yang lebih lama dalam prosesnya. Sistem pengujian seperti ini juga akan menghindari pengajuan judicial review dengan batu uji Undang-Undang yang sama. Urgensi penyatuatapan judicial review lainnya adalah untuk mengurangi beban penanganan perkara yang diterima Mahkamah Agung. Proses judicial review yang hanya difokuskan kepada Mahkamah Konstitusi dapat mengoptimalkan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga Undang-Undang (the guardian of constitution) dan memfokuskan Mahkamah
7
Muhammad Ishar Helmi, op. cit. Azizah, "Era Baru Menuju Badan Peradilan yang Modern", Mahkamah Agung Republik Indonesia, 27 Desember 2018, https://www.mahkamahagung.go.id/ 9 Antoni Putra, op. cit. hal.70. 10 Sudirman, “Memurnikan Kewenamgam Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Pegawal Konstitusi (The Guardian of the Constitution”, Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 1, No. 1 (2016): 51-52. 11 Nanang Al Hidayat dan Mela Sari, “Dualisme Judicial Review Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”, Jurnal Magister Hukum Udayana 7, No. 3 (2018): 323. 12 Antoni Putra, op.cit. 8
Agung pada penanganan kasus-kasus konkritnya.13 Dengan adanya penyatuatapan sistem judicial review di Indonesia, maka putusan yang dihasilkan pun tidak tumpang tindih dan prosesnya menjadi lebih efektif sehingga lebih dapat memberikan kepastian hukum kepada warga negara Indonesia.
13
Nanang Al Hidayat dan Mela Sari, op. cit. hal. 325.
Quo Vadis Efektivitas Prosedur Notifikasi Post-Merger dalam Persaingan Usaha? Jeremy Abraham Guntur, Natasha Pitoy, Shafa Karina Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada E-mail: jeremyguntur@gmail.com, natashapitoy@mail.ugm.ac.id , shafakarina13@gmail.com Perkembangan teknologi, peningkatan dalam kondisi keuangan, kelebihan kapasitas keuangan serta perkembangan ekonomi kreatif merupakan hal-hal yang dapat mendorong peningkatan dari sebuah praktik bisnis kontemporer yang dikenal dengan aktivitas merger dan akuisisi.1 Definisi penggabungan (selanjutnya disebut merger) menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) adalah “perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu badan usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan badan usaha lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari badan usaha yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada badan usaha yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan usaha yang menggabungkan diri berakhir karena hukum”.2 Namun sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli), pelaku usaha dilarang melakukan merger apabila “tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat” ,3 oleh karena itu terdapat prosedur yang harus dilakukan oleh pengusaha baik sebelum dan sesudah melakukan merger. Prosedur merger t erdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (PP No. 57 Tahun 2010) pelaku usaha yang memenuhi syarat yang memiliki jumlah aset gabungan lebih dari Rp2.500.000.000.000,00 (dua triliun lima ratus miliar Rupiah) atau memiliki nilai penjualan gabungan lebih dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun Rupiah) diwajibkan untuk memberikan notifikasi terkait merger yang dilakukan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).4 Bahwasanya, notifikasi merger adalah pemberitahuan resmi yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap KPPU tentang merger yang dilakukan oleh perusahaannya. Terdapat
1
Muhamad Syaichu, ‘Merger Dan Akuisisi: Alternatif Meningkatkan Kesejahteraan Pemegang Saham’ (2006) 3 Jurnal Studi Manajemen & Organisasi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro.[59]. 2 Pasal 1 Angka 9, UU PT. 3 Pasal 28 Ayat 1, UU Anti Monopoli. 4 Pasal 5 Ayat 2, PP No. 57 Tahun 201 tentang Penggabungan Atau Peleburan Badan Usaha Dan Pengambilalihan Saham Perusahaan Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
2 (dua) jenis notifikasi yang diklasifikasikan berdasarkan waktu pemberitahuannya, yakni notifikasi pre-merger (sebelum merger) dan notifikasi post-merger (sesudah merger) .5 Notifikasi pre-merger merupakan pemberitahuan yang bersifat sukarela oleh pelaku usaha yang akan melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan usaha untuk mendapatkan pendapat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengenai dampak yang ditimbulkan dari rencana penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan juga sebagai suatu sistem pengawasan preventif oleh KPPU agar tercipta suasana anti monopoli dan persaingan usaha.6 Sementara notifikasi post-merger merupakan pemberitahuan tertulis yang wajib diberikan oleh perusahaan yang melakukan merger kepada KPPU paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal telah berlaku efektif secara yuridis penggabungan, peleburan atau pengambilalihan dan juga sebagai pemberitahuan transaksi merger yang telah dilakukan oleh pelaku usaha, yang artinya KPPU hanya sebatas me-review merger yang telah terlaksana dan mempersempit kesempatan KPPU dalam melakukan pencegahan terhadap merger yang mengakibatkan monopoli dan persaingan tidak sehat. Apabila pengusaha tidak melakukan pemberitahuan post-merger tersebut maka akan dikenai sanksi denda administratif yaitu, Rp 1.000.000.000,- (satu miliar Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan dan maksimum denda Rp 25.000.000.000,- (dua puluh lima milyar Rupiah).7 KPPU memiliki peran yaitu sebagai quality control suatu transaksi merger, dengan sistem notifikasi post merger t erdapat kelebihan dan kekurangan dalam menghindari persaingan usaha tidak sehat. Kelebihan pada notifikasi post-merger y aitu KPPU dapat melakukan pengawasan terhadap transaksi merger yang terjadi sehingga tidak menyimpang dari prosedur dan peraturan yang berlaku.8 Di sisi lain, notifikasi a quo memiliki kekurangan pada quality control yang in absentia d ari prosedur merger, dikarenakan KPPU baru melakukan kontrol setelah merger tersebut terjadi. Maka, apabila terbukti merger tersebut mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat serta baru diberikan larangan merger oleh KPPU, hal tersebut akan sangat merugikan pelaku usaha yang bersangkutan dan persaingan usaha sendiri. Selain itu dengan berlakunya sistem notifikasi post-merger m enjadi tidak ada fungsi preventif yaitu dapat mengantisipasi terjadinya monopoli dan persaingan tidak sehat dari perusahaan terkait, sehingga tidak mengakomodasi seluruh kepentingan baik itu pemegang saham minoritas, pekerja, dan masyarakat selaku konsumen atau nasabah9.
5
Bab III Petunjuk Pelaksanaan Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Pre-Notifikasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha Tahun 2009. 6 Sriyani Br. Ginting, ‘Dampak Hukum Notifikasi Merger Menciptakan Persaingan Usaha yang Sehat’ (2015) 1 Jurnal Law Pro Justitia. [55]. 7 Pasal 6, PP No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan Atau Peleburan Badan Usaha Dan Pengambilalihan Saham Perusahaan Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 8 Sriyani Br. Ginting, Op. cit. [56]. 9 Ibid.
Walaupun konsekuensi KPPU dari penerapan notifikasi post-merger a pabila hasil merger dinilai mengakibatkan demikian meningkatnya konsentrasi pasar, KPPU dapat memberikan persyaratan tertentu untuk dipatuhi dan diubah oleh pelaku usaha (remedies) atau bahkan dapat saja membatalkan transaksi merger. Namun sejauh ini KPPU belum pernah menerapkan pembatalan transaksi a quo. Sekalipun merger pasca-notifikasi terbukti meningkatkan posisi dominan, KPPU selama ini masih melakukan usaha proaktif kepada pelaku usaha dengan memberikan remedies. Hal itu dilakukan lantaran KPPU memang tak pernah ingin mematikan pelaku usaha, mengingat tujuan dibentuknya KPPU adalah mengawasi, bukan mematikan10. Mayoritas negara lain di dunia telah mewajibkan penggunaan sistem notifikasi pre-merger dibanding notifikasi post-merger yang dinilai alangkah lebih efektif apabila dilakukan pemberitahuan sebelum melakukan transaksi merger k epada pihak yang berwenang. Pihak yang berwenang nantinya akan langsung melakukan fungsi preventif dan pengawasan terhadap transaksi merger yang akan dilakukan guna mencegah terjadinya praktek monopoli dan persaingan tidak sehat antar badan hukum. Dengan demikian, jika ditemukan indikasi monopoli atau persaingan usaha tidak sehat maka pihak yang berwenang tersebut dapat langsung menindaklanjuti dengan mengirimkan laporan tertulis mengenai indikasi tersebut sehingga tidak perlu menunggu sampai transaksi merger s elesai dan menghabiskan biaya, waktu dalam jumlah yang banyak dan juga memberikan ketidakpastian bagi pelaku usaha, pihak ketiga dan masyarakat terkait merger t ersebut11. Dapat dilihat pula, ketidakefektifan dari sistem notifikasi post-merger yang justru diwajibkan vis-à-vis dengan notifikasi pre-merger yang justru bersifat sukarela. Terlebih lagi, pada tahap pasca-notifikasi, KPPU hanya sebatas melakukan review terhadap merger yang telah terlaksana dan mempersempit kesempatan KPPU dalam melakukan pencegahan terhadap merger yang berpotensi dalam mengakibatkan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Sehingga, dapat dikatakan tidak adanya quality control terhadap aktivitas merger di Indonesia. Terlebih lagi, efektivitas dari sistem notifikasi post-merger pun dipertanyakan terkait perihal keniscayaan dari para pihak untuk melakukan prosedur pemberitahuan atau notifikasi a quo. Pada penerapan notifikasi post-merger, tampak pula akan adanya kelonggaran dalam kewajiban untuk melakukan pemberitahuan notifikasi merger, yang tercermin pula dari ketidakpastian para pihak yang bersangkutan untuk bertindak secara bona fide a tau “in good faith”. Apabila dibandingkan dengan prosedur notifikasi pre-merger, di mana binding force
Anna Maria Tri Anggraini, ‘Penerapan Sistem Notifikasi Post-Merger atas Pengambilalihan Saham Perusahaan Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha’ (2015) 1 Jurnal Law Pro Justitia. [29]. 11 International Chamber of Commerce, ‘ICC Recommendations on Pre-Merger Notification Regimes’ (2015) 1 ICC Recommendation. [11]. 10
tentunya merupakan sebuah hal yang mutlak dikarenakan sistem ini menawarkan sebuah ketentuan prerequisite y ang patut ditaati oleh para pihak yang bersangkutan. Bahwasanya, hal ini menjadi tidak sesuai dengan fungsi preventif dari pengawasan KPPU yaitu untuk mengantisipasi terjadinya monopoli dan persaingan tidak sehat dari perusahaan atau bank terkait, dan juga fungsi pengawasan dari KPPU terhadap persaingan usaha sehat atau anti monopoli yang menyertakan pula pemenuhan hak bagi pemegang saham minoritas, pekerja dan masyarakat selaku konsumen atau nasabah. Sebagai solusinya, KPPU seharusnya mewajibkan notifikasi pre-merger dan bukan notifikasi post-merger karena sesuai dengan fungsi dan tugas yang diemban oleh KPPU sendiri yaitu sebagai lembaga preventif dan pengawasan dari persaingan usaha yang ada di Indonesia sehingga dapat tercipta efektivitas prosedur dan pengawasan merger dalam mencegah persaingan usaha tidak sehat.
Reformulasi Mekanisme Post-Merger Notification: Upaya Preventif Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Persero I.
Latar Belakang Dalam dunia persaingan usaha, dikenal adanya praktik Penggabungan atau Peleburan
Badan Usaha, dan Pengambilalihan saham perusahaan atau yang sering disebut dengan istilah merger. Merger merupakan corporate action yang bertujuan untuk mensinergikan sumber daya yang dimiliki pihak-pihak perusahaan yang terlibat dalam rangka memaksimalkan profit yang diperoleh (profit maximization).1 Mekanisme merger diatur pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU Persaingan Usaha”). Pasal 29 ayat (1) UU a quo mengatur bahwa salah satu proses yang harus ditempuh dalam melakukan merger adalah pemberitahuan kepada komisi selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak merger dilakukan. Aturan tersebut disebut sebagai post-merger notification. II.
Pembahasan dan Analisis Mekanisme post-merger notification tidak hanya berlaku bagi Badan Usaha privat,
namun juga bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Berdasarkan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Perubahan Bentuk Badan Hukum Badan Usaha Milik Negara (“PP 43/2005”)2, khusus terhadap BUMN yang berbentuk Persero, mekanisme merger tunduk pada perundangundangan di bidang perseroan terbatas, in casu a quo Undang-Undang Republik Indonesia 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”). Dengan demikian, segala ketentuan mengenai merger yang diatur pada UU PT secara mutatis mutandis berlaku pada BUMN berbentuk Persero yang melakukan merger. Post-merger notification mensyaratkan adanya pemberitahuan kepada Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (“KPPU”) oleh BUMN setelah merger selesai dilaksanakan. Mekanisme tersebut akan membawa 2 (dua) konsekuensi utama. Pertama, post-merger notification menaikan probabilitas terjadinya praktik monopoli. Hal tersebut dapat terjadi karena KPPU tidak dapat mengambil langkah preventif untuk mengidentifikasi perusahaan-
1
T.M. Zakir, Derajat Urgensi Regulasi Merger: Mencegah Pengaturan yang Berlebihan dalam Efektifitas Regulasi Meger dan Akuisisi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010), hal. 39. 2 PP 43/2005 adalah Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
perusahaan yang melakukan praktik merger yang berpotensi melanggar prinsip-prinsip persaingan usaha yang baik.3 Risiko tersebut akan menjadi lebih tinggi pada BUMN yang melakukan merger. Hal tersebut karena selain adanya potensi monopoli dan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip persaingan usaha oleh BUMN, status keuangan BUMN adalah keuangan negara berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU PTPK”). Dengan demikian, apabila BUMN tidak diawasi secara hati-hati, penyelewengan terhadap keuangan negara dan tindak pidana korupsi akan sangat mungkin terjadi. Sesungguhnya, Pasal 51 UU Persaingan Usaha telah menyatakan bahwa BUMN memiliki hak monopoli. Namun, perlu diperhatikan bahwa tidak semua BUMN memiliki hak tersebut. Terdapat 2 (dua) variabel BUMN yang memiliki hak monopoli berdasarkan UU Persaingan Usaha. Pertama, cabang produksi BUMN harus menguasai hajat hidup orang banyak dari segi alokasi (barang atau jasa yang berasal dari sumber daya alam), distribusi (kebutuhan pokok masyarakat), dan stabilisasi seperti pertahanan, keamanan, moneter, fiskal, dan regulasi. Variabel kedua adalah cabang produksi BUMN harus penting bagi negara yang dianggap vital. Secara a contario, BUMN yang tidak memenuhi kedua variabel tersebut diklasifikasikan sebagai BUMN yang tidak memiliki hak monopoli. Dengan demikian, Pasal 51 UU Persaingan Usaha tidak serta merta membuat BUMN bebas dari jangkauan hukum persaingan usaha. BUMN tidak boleh berlindung di balik pasal tersebut dan melakukan abuse of monopoly session. Konsekuensi kedua adalah terciptanya inefisiensi biaya dan aktivitas BUMN yang melakukan merger. Penerapan mekanisme post-merger notification lebih menekankan sifat koreksional dibanding preventif.4 Dengan mekanisme tersebut, KPPU dapat membubarkan BUMN yang telah melakukan merger yang dinilai tidak memenuhi syarat dan/atau prinsipprinsip persaingan usaha yang berlaku. Pembubaran yang dilakukan akan mengganggu rencana bisnis dari BUMN terkait. Di samping itu, pembubaran pasca merger juga menimbulkan biaya yang tidak kecil yang harus ditanggung oleh BUMN.5 Keadaan tersebut tentu saja menciptakan ketidakpastian pada BUMN yang melakukan merger.6 III. Kesimpulan
3
M. Januar Rizki, Wacana Pre-Merger Notification Menguat dalam Revisi Undang-Undang Persaingan Usaha, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c6537e35bf17/wacana-i-pre-merger-notification-i-menguatdalam-revisi-uu-persaingan-usaha/, diakses pada 13 September 2020 4 T.M. Zakir, Loc.cit. 5 M. Januar Rizki, Loc.cit. 6 Ibid.
Sebagai dampak globalisasi yang membuka peluang persaingan global antar para pelaku bisnis, baik pada tingkat lokal hingga internasional, maka persaingan yang ada juga semakin masif. Dalam hal ini juga terhadap upaya untuk menyingkirkan para pesaingnya.7 Upaya menyingkirkan pesaing disini bisa terjadi melalui perbuatan yang legal maupun tidak.8 Salah satu bentuk kegiatan yang sering digunakan oleh para pegiat bisnis untuk menyingkirkan para pesaing usaha mereka adalah terkait penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.9 sehingga berdasarkan analisis di atas, post-merger notification memiliki kelemahan yang krusial sehingga diperlukan adanya mekanisme yang lebih relevan, yaitu pre-merger notification. Penerapan pre-merger notification dinilai lebih transparan dan akuntabel terhadap setiap aksi Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha, dan Pengambilalihan saham perusahaan, khususnya pada BUMN. Namun, kebijakan tersebut tentunya juga meninggalkan lubang yang juga dirasa cukup vital untuk ditambal, yaitu terkait dengan data perusahaan. Hal ini dikarenakan pada saat hendak melakukan merger, perusahaan terlebih dahulu melaporkan kepada KPPU. Dalam hal ini, data yang dilaporkan oleh suatu perusahaan merupakan data yang bersifat konfidensial. Sehingga apabila data tersebut bocor, maka dapat menimbulkan masalah baru terkait perlindungan data perusahaan. Untuk itu diperlukan reformulasi yang masif terhadap hukum pidana dan hukum administrasi terkait dengan potensi kebocoran data dalam pre-merger notification.
7
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli, (Jakarta: Raja Gravindo Persada, 2000), hal. 1. 8 Xavier Nugraha, Rizki Istighfariana Achmadi, Nina Amelia Novita Sari, “Urgensi Notifikasi Pratransaksi 3P (Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan) Upaya Preventif Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Jurnal Legislatif, Vol. 2, No. 2, Juni 2019, hlm. 84. 9 Ibid.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli, (Jakarta: Raja Gravindo Persada, 2000). M. Januar Rizki, Wacana Pre-Merger Notification Menguat dalam Revisi Undang-Undang Persaingan Usaha, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c6537e35bf17/wacana-i-pre-mergernotification-i-menguat-dalam-revisi-uu-persaingan-usaha/, diakses pada 13 September 2020. Peraturan Pemerinah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Dan Perubahan Bentuk Badan Hukum Badan Usaha Milik Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4454. T.M. Zakir, Derajat Urgensi Regulasi Merger: Mencegah Pengaturan yang Berlebihan dalam Efektifitas Regulasi Meger dan Akuisisi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010). Xavier Nugraha, Rizki Istighfariana Achmadi, dan Nina Amelia Novita Sari, Urgensi Notifikasi Pratransaksi 3P (Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan) Upaya Preventif Persaingan Usaha Tidak Sehat, Jurnal Legislatif, Vol. 2, No. 2, Juni 2019.
Menilik Pro dan Kontra Decision Making Process pada Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) Sebagai Suatu Organisasi Internasional Association of Southeast Asian Nations atau yang sering disebut dengan ASEAN merupakan suatu organisasi internasional regional yang berada di kawasan Asia Tenggara. Setiap organisasi internasional memiliki metode atau cara yang berbeda-beda dalam mengambil suatu keputusan. ASEAN sebagai suatu organisasi internasional tentunya memiliki metode atau cara tersendiri dalam mengambil suatu keputusan yang sifat keputusannya tersebut tentunya berbeda-beda sesuai dengan tujuan dari suatu organisasi internasional tersebut yang dalam hal ini adalah tujuan dari didirikannya ASEAN. Metode atau cara pengambilan keputusan yang diterapkan ASEAN disebutkan dalam Bab VII Pasal 20 ayat (1) Piagam ASEAN atau ASEAN Charter yang berbunyi “As a basic principle, decision-making in ASEAN shall be based on consultation and consensus.”1 Bunyi pasal ini menyebutkan bahwa “Pengambilan keputusan di ASEAN harus berdasarkan konsultasi dan konsensus.” Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa ASEAN sebagai suatu organisasi internasional menggunakan metode konsultasi dan konsensus dalam proses pengambilan suatu keputusan. Konsensus merupakan suatu metode pengambilan keputusan di mana satu kelompok melakukan musyawarah untuk dapat mencapai suatu keputusan yang bulat.2 Metode pengambilan keputusan ini dapat dilakukan dengan suatu sikap tertentu yang berada jauh sebelum persetujuan ini terbentuk dan dimaksudkan untuk membuat suatu perjanjian secara formal.3 Dalam arti yang lebih sederhana, konsensus merupakan suatu metode dalam pengambilan keputusan internasional di mana keputusan yang diambil harus disepakati serta mendapat dukungan dari semua negara anggota ASEAN tanpa terkecuali. Apabila terdapat salah satu negara anggota ASEAN yang tidak sepakat terhadap suatu keputusan, walaupun sebagian besar dari negara anggota menyepakati keputusan tersebut, tetap saja suatu keputusan tidak dapat disepakati atau tidak dapat dibuatkan suatu perjanjian. Dapat disimpulkan bahwa metode konsensus ini lebih mengedepankan persetujuan dari seluruh pihak yang bersifat satu suara. Metode konsensus ini tentunya memiliki kelebihan serta kekurangan dan menuai banyaknya pandangan pro dan kontra terhadap proses pengambilan keputusan yang diterapkan oleh salah satu organisasi internasional yaitu ASEAN.
1
Pasal 20 ayat (1) Piagam ASEAN (ASEAN Charter). Sugiyono, “Kajian Pembentukan Hukum Internasional di Komite Antariksa Perserikatan Bangsa-Bangsa”, Lex Jurnalica, Volume 8, Nomor 3, 2011, hlm. 259. 3 Ibid. 2
Metode konsensus merupakan metode yang bersifat tidak praktis dan sulit tercapainya suatu keputusan apabila dibandingkan dengan metode pengambilan keputusan yang lain seperti metode simple majority. Simple majority merupakan metode pengambilan keputusan dengan suara terbanyak yaitu 50% negara anggota ditambah satu suara setuju.4 Metode konsensus ini dikatakan sulit karena suatu keputusan hanya dapat disepakati apabila mendapat persetujuan dari seluruh negara anggota ASEAN. Metode ini secara tidak langsung memberikan hak veto secara efektif kepada setiap negara anggota dengan berpendapat dan menyarankan suatu hal berdasarkan konflik kepentingan dari masing-masing negara anggota.5 Tentunya dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk menyatukan perbedaan pendapat dalam memecahkan suatu permasalahan dan tidak dapat dipungkuri bahwa setiap negara anggota akan berpendapat dan memberikan solusi sesuai dengan kepentingan masing-masing negaranya. Dalam hal ini, jumlah waktu yang diperlukan untuk tercapainya suatu keputusan yang bulat sangat bergantung pada faktor-faktor seperti pentingnya suatu keputusan yang harus diambil dalam menghadapi suatu masalah, misalnya faktor-faktor politik dan ekonomi, serta terdapat unsur-unsur masalah yang dianggap tidak dapat didamaikan dan belum sempurna dalam penyelesaiannya.6 Metode konsensus ini juga sulit digunakan pada organisasi internasional yang memiliki anggota dalam jumlah yang besar. Terlepas dari semua kekurangan yang dimiliki oleh metode pengambilan keputusan yang diterapkan oleh ASEAN, metode konsensus juga memiliki kelebihan yang tentunya dapat mempermudah ASEAN dalam menjalankan keputusan yang telah disepakati bersama. Setelah tercapainya konsensus, maka akan meminimalisir konflik terhadap pelaksanaan keputusan. Ketika terjadi konsensus artinya semua pihak yang dalam hal ini adalah negara anggota ASEAN telah menyepakati dan menyetujui untuk dengan sukarela melaksanakan keputusan tersebut tanpa adanya unsur paksaan. Dalam hal ini, seluruh negara anggota ASEAN akan melaksanakan keputusan tersebut dengan sungguh-sungguh. Tercapainya konsensus juga akan meminimalisir konflik dan akan mengurangi kemungkinan setiap negara anggota untuk melaksanakan keputusan dengan setengah hati, serta akan terdapat legitimasi lebih untuk melakukan pelaksanaan terhadap suatu keputusan tersebut. Tidak hanya itu, implementasi keputusan akan menjadi lebih lancar dan lebih mudah karena sudah diterima dan didukung oleh keseluruhan negara anggota.7 4
Sugiyono, Op.cit., hlm. 261 Ibid., hlm. 263. 6 Ibid. 7 Rizkita Alamanda, “Pengambilan Keputusan Dalam Organisasi Internasional Uni Eropa Setelah Berlakunya Traktat Lisbon Tahun 2007”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, hlm. 3 5
Proses pengambilan keputusan melalui metode konsensus merupakan suatu metode yang tepat untuk digunakan oleh organisasi internasional regional layaknya ASEAN. Sesuai dengan Pembukaan (Preambule) Piagam ASEAN disebutkan bahwa “Resolved, to ensure sustainable development for the benefit of present and future generations and to place the wellbeing, livelihood, and welfare of the peoples at the centre of the ASEAN community building process.”8 Yang artinya “Menyepakati, untuk menjamin pembangunan berkelanjutan yang bermanfaat bagi generasi-generasi sekarang dan mendatang, menempatkan kesejahteraan dan penghidupan yang layak, serta kemakmuran rakyat sebagai pusat proses pembentukan komunitas ASEAN.” Dari bunyi pembukaan Piagam ASEAN tersebut, dinyatakan bahwa ASEAN dibentuk untuk menjamin kesejahteraan serta kemakmuran masyarakat setiap negara anggotanya. Hal ini tentunya sejalan dengan tujuan dari adanya metode konsensus itu sendiri. Metode konsensus memungkinkan setiap negara anggota untuk menjelaskan dan memberikan proposal
regional
yang
dimiliki
oleh
masing-masing
negara
anggota
dengan
mempertimbangkan hal-hal yang dianggap mengancam kepentingan nasional untuk disampaikan di dalam musyawarah agar tercapainya suatu keputusan yang dapat mengakomodir kepentingan nasional dari masing-masing negara anggota. Metode konsensus ini menekankan pada negosisasi antar negara agar masing-masing negara dapat menerima usulan, serta dalam konsensus akan dijamin pula pengambilan keputusan di dalam negosiasi yang tidak akan didominasi oleh keunggulan beberapa kelompok tertentu, sehingga prosedur tersebut tetap dapat memberikan persamaan derajat.9 Kekurangan yang disebutkan di atas berkaitan dengan metode konsensus yaitu memberikan hak veto secara efektif kepada setiap negara anggota justru akan menjadi suatu kelebihan karena dalam metode ini setiap negara anggota akan dengan terbuka menjelaskan apa saja kepentingan dari masyarakatnya. Kepentingan ini berarti setiap negara anggota akan menyampaikan hal-hal yang dirasa dapat menunjang kesejahteraan warganya serta menghindari hal-hal yang dapat mengancam kepentingan warga negaranya. Metode ini tentunya menyediakan alternatif penyelesaian apabila tidak kunjung menemukan konsensus. Metode konsensus ini akan digunakan ASEAN dalam proses pengambilan keputusan, tetapi Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN akan menjadi tempat tertinggi pengambilan keputusan, jika konsensus tidak tercapai atau tidak terjadi sengketa diantara negara anggotanya.10
8
Pembukaan Piagam ASEAN (ASEAN Charter). Sri Setianingsih Suwardi, 2004, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, Jakarta: UI-Press, hlm. 169. 10 Elfia Farida, ”Efektivitas Piagam ASEAN (ASEAN Charter) Bagi ASEAN Sebagai Organisasi Internasional”, Jurnal Ilmiah Imu Hukum QISTI, Volume 7, Nomor 5, hlm. 13. 9
Secara keseluruhan metode ini tepat untuk digunakan oleh ASEAN dengan alasanalasan sebagai berikut. Pertama, di dalam pengambilan keputusan, negara anggota diberikan kesempatan untuk mengajukan proposal regionalnya yang menekankan pada kemakmuran serta kesejahteraan masyarakatnya dan menghindari ancaman-ancaman dari luar. Hal ini juga sejalan dengan Pembukaan Piagam ASEAN serta tujuan dari dibentuknya ASEAN yaitu untuk mencapai kemakmuran serta kesejahteraan rakyatnya. Kedua, apabila suatu keputusan tercapai dengan cara konsensus maka setiap negara anggota akan mengimplementasikan atau menjalankan keputusan tersebut dengan sungguh-sungguh serta tidak ada unsur keterpaksaan. Ketiga, metode ini akan meminimalisir konflik yang terjadi setelah keputusan disahkan da implementasi akan berjalan dengan lancar. Keempat, metode konsensus memberikan ruang negosiasi antar setiap negara anggota sehingga metode ini tetap dapat memberikan persamaan derajat antar setiap negara anggota. Kelima, apabila konsensus tidak tercapai, maka Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN akan menjadi tempat tertinggi pengambilan keputusan. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, metode konsensus merupakan suatu metode yang layak dan tepat dalam proses pengambilan keputusan di ASEAN.
DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Suwardi, Sri Setianingsih. (2004) Pengantar Hukum Organisasi Internasional, Jakarta: UIPress. B. JURNAL Farida, E. (2009) ‘Efektivitas Piagam ASEAN (ASEAN Charter) Bagi ASEAN Sebagai Organisasi Internasional’, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI, Volume 7, Nomor 5, hlm. 13. Sugiyono. (2011) ‘Kajian Pembentukan Hukum Internasional di Komite Antariksa Perserikatan Bangsa-Bangsa’, Lex Jurnalica, Volume 8, Nomor 3, hlm. 259. C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Piagam Association of Southeast Asian Nations (Piagam ASEAN). D. HASIL PENELITIAN/TUGAS AKHIR Alamanda R., “Pengambilan Keputusan Dalam Organisasi Internasional Uni Eropa Setelah Berlakunya Traktat Lisbon Tahun 2007”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2012.
Peran Masyarakat Yang “Dipersempit” dalam Proses Perizinan Lingkungan Pasca Disahkannya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Peran serta masyarakat dalam penyusunan, penilaian, dan pengawasan Amdal dalam UndangUndang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut “UU Ciptaker”) menuai banyak kontroversi, di antaranya adalah UU Ciptaker dinilai mempersempit peran serta masyarakat dalam menjalankan fungsi tersebut. Salah satu perbedaan yang mencolok jika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) adalah dihapusnya hak untuk menyatakan keberatan atas Amdal setelah Amdal selesai disusun. Peran serta masyarakat dibatasi pada tahap penyusunan saja dan masyarakat yang dilibatkan dibatasi pada masyarakat yang terdampak langsung saja serta masyarakat tetap dapat mengajukan gugatan atas izin, bukan izin lingkungan, tetapi terhadap izin usaha dari perusahaan tersebut. Widia Edorita menyebutkan ada 8 hak masyarakat yang diakui dalam UU PPLH, yaitu hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, hak akses informasi, hak akses partisipasi, hak mengajukan usul atau keberatan terhadap rencana usaha dan atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup, hak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, hak untuk melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup, hak untuk tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat1. Berkenaan dengan hak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Kadek Cahya Susila Wibawa (2019) menjelaskan bahwa Pasal 70 Ayat (1) UU PPLH menyebutkan 3 bentuk peranan masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu dengan melakukan pengawasan sosial, pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan, dan penyampaian informasi atau laporan2. Implikasi yang ditimbulkan dari adanya peran tersebut adalah masyarakat berhak untuk menyampaikan aspirasiya baik sebelum izin diterbitkan, maupun setelah izin diterbitkan. Menurut Pasal 30 UU PPLH, keterlibatan ini dapat berupa partisipasi dalam Komisi Penilai Amdal yang berwenang menentukan kelayakan Amdal. Keterlibatan ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan (selanjutnya disebut Permen Pedoman Keterlibatan). Fransmini Ora Rudini menjelaskan bahwa sebenarnya dalam pelibatan masyarakat ini pemrakarsa mengikutertakan masyarakat terkena dampak, masyarakat pemerhati lingkungan, dan masyarakat yang terpengaruh oleh keputusan 1
Widia Edorita, “Peran Serta Masyarakat Terhadap Lingkungan Menurut UU No.32 Taun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Neliti. https://media.neliti.com/media/publications/9089-ID-peran-sertamasyarakat-terhadap-lingkungan-menurut-uu-no32-tahun-2009-tentang-pe.pdf diakses pada tanggal 26 Desember 2020 pukul 21 28 WIB 2 Kadek Cahya Susila Wibawa, “Mengembangkan Partisipasi Masyarakat Dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Untuk Pembangunan Berkelanjutan”, Adminitrative Law & Governance Journal. Volume 2 Issue 1, March 2019, Universitas Diponegoro. https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/alj/article/download/5068/2683#:~:text=Lebih%20lanjut%20dalam%20Pa sal%2070,penyampaian%20informasi%20dan%2Fatau%20laporan. Diakses pada taggal 26 Desember 2020 pukul 21.42 WIB
AMDAL tersebut. Namun, dalam praktiknya, implementasi Permen Pedoman Keterlibatan belum dilakukan secara utuh dan benar. Fransmini Ora Rudini memberikan contoh bahwa dalam kasus PT Harita di Kecamatan Air Upas Kabupaten Ketapang, keterlibatan masyarakat diwakilkan oleh perangkat desa tanpa melibatkan masyarakat terdampak. Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena dalam UU PPLH sendiri diatur bahwa masyarakat dapat mengirimkan wakilnya saja untuk menjadi anggota Komisi Penilai Amdal (Pasal 30 UU PPLH) yang mana perangkat desa, yang juga merupakan anggota masyarakat terdampak, dapat bertindak sebagai wakil masyarakat. Sayangnya pelibatan perangkat desa seringkali dilakukan sedemikian rupa sehingga anggota masyarakat yang benar-benar merasakan dampaknya justru tidak dilibatkan. Dalam UU Ciptaker, keberadaan Komisi Penilai AMDAL dihapus dengan dihapusnya ketentuan Pasal 29 hingga 30 UU PPLH dan kelayakan AMDAL tidak lagi ditentukan oleh Komisi Penilai Amdal, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dengan dihapusnya ketentuan Pasal 31 UU PPLH. Penghapusan Komisi Penilai AMDAL ini memiliki sisi baik dan buruk bagi pelibatan masyarakat. Sisi baiknya, praktik implementasi Permen Pedoman Keterlibatan yang tidak utuh dan benar dapat dicegah dengan cara menghapuskan fungsi penilaian tersebut. Adapun sisi buruk bagi pelibatan masyarakat adalah peran masyarakat dalam memberikan persetujuan menjadi sangat dibatasi mengingat masyarakat tidak lagi dapat memberikan penilaian atas kelayakan AMDAL yang dapat berpengaruh secara langsung terhadap pengesahan AMDAL tersebut. Selain itu, UU Ciptaker juga menghapuskan hak masyarakat untuk menyatakan keberatan atas AMDAL begitu AMDAL selesai disusun dengan mengubah ketentuan pada Pasal 26 ayat (4)3. Namun UU Ciptaker juga mengatur dalam Pasal 26 ayat (3) bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pelibatan masyarakat akan diatur melalui PP sehingga kepastian mengenai ada tidaknya hak untuk mengajukan keberatan atas AMDAL setelah selesai disusun masih mungkin berubah, namun untuk sementara ini tidak ada hingga terbit PP yang mengatur megenai hal tersebut. Sejauh ini, kerangka hukum UU Ciptaker memberikan kesempatan pada masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial, pemberian saran, pendapat, usul dan keberatan pada tahap penyusunan Amdal. Kesempatan ini dapat diberikan melalui tetapi tidak terbatas pada sosialisasi dan konsultasi kepada masyarakat terdampak. PP yang mengatur mengenai keterlibatan masyarakat dalam penyusunan Amdal belum disusun sehingga cara-cara yang dapat dilakukan belum diberikan batasan-batasan yang jelas. Namun, salah satu hal yang sudah diatur mengenai keterlibatan masyarakat dalam penyusunan Amdal adalah yang dilibatkan adalah masyarakat terdampak langsung, yang mana menurut Guru Besar Hukum Lingkungan UI Andri Gunawan, belum dijelaskan secara langsung dalam UU Ciptaker dan karenanya dapat diartikan sebagai masyarakat yang tinggal persis di samping lokasi usaha.4 Dalam pengertian ini, masyarakat yang tidak “tinggal persis di samping lokasi usaha” tidak dapat memberikan pendapat dan ini bisa berarti menghapuskan peran masyarakat pemerhati lingkungan dalam penyusunan Amdal. Kepastian hukum atas pengertian tersebut belum dijelaskan secara eksplisit dalam UU Ciptaker. 3
Mufti F. Barri, 2020. “Hilangnya Fungsi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan dalam Era Omnibus Law”. Mongabay. https://www.mongabay.co.id/2020/11/04/hilangnya-fungsi-perlindungan-dan-pengelolaanlingkungan-dalam-era-omnibus-law/ diakses pada tanggal 26 Desember 2020 pukul 22.14 WIB 4 Ardito Ramadhan, “UU Cipta Kerja Dinilai Persempit Partisipasi Masyarakat Terkait Amdal”. Kompas. https://nasional.kompas.com/read/2020/11/04/17523481/uu-cipta-kerja-dinilai-persempit-partisipasimasyarakat-terkait-amdal diakses pada tanggal 26 Desember 2020 pukul 22.22 WIB
Setelah Amdal disusun, masyarakat tidak dapat menyatakan keberatan atas izin tersebut. Lantas timbul pertanyaan, jika kemudian masyarakat dirugikan, bagaimana masyarakat bisa menuntut keadilan? Mengenai hal tersebut, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menjelaskan bahwa dalam pelaksanaannya, masyarakat tetap dimungkinkan untuk melakukan gugatan PTUN kepada perusahaan tersebut. Gugatan tersebut diajukan atas izin lingkungan yang menjadi bagian dari izin usaha tersebut. Namun sepanjang izin usaha tidak dicabut, perusahaan tetap dapat beroperasi5. Mekanisme ini memiliki kelemahan dari sisi formil karena pada dasarnya izin lingkungan adalah bagian yang harus terpenuhi untuk memperoleh izin usaha. Mekanisme ini dapat menyebabkan dampak buruk terhadap lingkungan akibat terus berlangsungnya praktik yang menyebabkan izin lingkungan tersebut dicabut Keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan Amdal mengalami perubahan yang signifikan dalam UU Ciptaker, dari yang sebelumnya masyarakat memiliki peranan dalam penyusunan, penilaian, dan pengawasan menjadi penyusunan dan pengawasan yang dilakukan melalui jalur litigasi terhadap perusahaan yang merugikan lingkungan yang sayangnya tetap dimungkinkan untuk beroperasi meski izin lingkungannya dicabut. Bagaimana masyarakat dilibatkan juga masih perlu diatur lebih lanjut sebagaiana diamanatkan oleh Pasal 26 ayat (3) UU PPLH jo. Pasal 22 angka 5 UU Ciptaker
5
Jeis Montesori, “Menteri LHK: UU Cipta Kerja Integrasikan Kembali Izin Lingkungan ke Perizinan Berusaha”. Berita Satu. https://www.beritasatu.com/nasional/685169/menteri-lhk-uu-cipta-kerja-integrasikan-kembali-izinlingkungan-ke-perizinan-berusaha, diakses pada tanggal 26 Desember 2020 pukul 22.32 WIB