LOCAL CHAPTER LEGAL WRITINGS
alsa-indonesia.org
Polemik Penetapan PP Kebiri Kimia Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Anak: Menakar Kemaslahatan Hak Asasi Manusia Achmad Fathoni Pendahuluan Indonesia adalah negara hukum. 1 Artinya mekanisme yang diberlakukan ketika terjadi suatau permasalahan maka hukum adalah bentuk terdepan yang harus dijalankan demi tegaknya marwah hukum yang disematkan kepada negara sebagai tanggung jawabnya dalam mengendalikan bentuk-bentuk permasalahan apapun di negara ini. Hukum hadir sebagai penyempurna bermasyarakat yang tersusun secara agung kedudukannya di negara ini. Implementasi kemanfaatan seharusnya lebih bisa dirasakan lagi bagi masyarakat. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.2 Tak hanya orang dewasa yang sering menjadi korban ancaman ataupun perbuatan melanggar hukum, anak-anak pun dipaksa untuk merasakan ancaman serta perbuatan tersebut. Salah satu contoh kejahatannya yaitu kekerasan seksual. Orientasi kekerasan seksual dewasa ini sering digadang-gadang seabagai praktik yang mengerikan terhadap anak yang menjadi korbannya. Bukan saja mengalami trauma dari factor psikologis, anak justru enggan untuk hidup karena telah mengalami kekerasan seksual, disatu sisi anak-anak yang yang menjadi korban notabene adalah perempuan yang bisa dikatakan telah kehilangan keperawanannya. Alih-alih ingin mencerdasakan bangsa, kehadiran anak-anak justru dibuat tak berdaya dengan banyaknya praktik kekeraan seksual yang sedang menimpa. Penegakan hukum justru harus bisa terwujud dengan rasa adil demi tercapainya cita-cita bangsa. Oleh karenanya mutu dan kebebasan terhadap anak-anak harus diawasi sebagai bentuk perlindungan. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 3 Pemerintah melalui Presiden Jokowi telah meberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) No 70 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Eelektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Fungsi dan tujuan pemerintah untuk menetapkan peraturan tersebut yaitu dengan maksud untuk memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana kekerasan seksual. Pemberatan sanksinya, bukan hanya sanksi pidana pokok, melainkan juga pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, serta berupa Tindakan Kebiri Kimia, pemasangan dan pelepasan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi.
1
Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28D ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 3 Undang undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak 2
Terkait dengan tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia, Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejak tahun 2014 sudah pernah mengindikasikan adanya kegentingan nasib anak Indonesia akibat kejahatan tersebut. Pada tahun 2014, tercatat lebih dari 60 persen kasus yang dilaporkan kepada KPAI adalah kekerasan seksual anak. 4 Berdasarkan data LPSK misalnya, tercatat ada 271 kasus kekerasan seksual anak yang ditangani pada tahun 2018, kemudian pada tahun 2019 mengalami lonjakan kasus sebesar 29 persen. 5
4
Jennifer Brier, “Menakar Aspek Kemanfaatan Dan Keadilan Pada Sanksi Kebiri Kimia Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Anak Di Indonesia” 21, no. 1 (2020): 1–9. 5 Ibid. hal 1-9
Pembahasan Sepanjang sejarah peradaban manusia, kebiri dilakukan dengan berbagai tujuan. Tak ada catatan pasti kapan kebiri dilakukan pada manusia. Namun, di Mesir, pada 2.600 sebelum Masehi (SM), budak yang dikebiri berharga lebih tinggi karena dianggap lebih rajin dan patuh kepada majikannya. Tindakan serupa ditemukan pada budak di Yunani sekitar 500 SM, penjaga harem raja di Persia, serta bendahara dan sejumlah pejabat kekaisaran Tiongkok. 6 Setelah Presiden Joko Widodo meneken PP Kebiri kimia banyak sekalu pro kontra yang terjadi dari beberapa Lembaga, instansi dan bahkan masyarakat sipil juga turut serta menyampaikan apa yang sedang terjadi. Pada dasarnya memang penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan seksual telah diatur di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang perlindungan anak. Kerapkali praktik keekrasan seksual ini mengarah pada anak, sebagai manusia yang masih lemah secara fisik, menjadikan anak sebagai pihak yang dijadikan target kekerasan bagi para pelakunya. Sering terdengar bahwa sifat ketergantungan anakanak terhadap orang dewasapun menjadikan salah satu alasan kenapa praktik kekerasan seksual ini banyak menyasar pada anak. Tak jarang, tipu daya orang dewasa yang berhasil mengelabuhi anak untuk dijadikan mangsanya. Baru-baru ini diramaikan dengan pemberitaan seorang anak yang masih duduk di kursi Sekolah Dasar mengalami kekerasan seksul dari pria yang sudah beristri. Seorang pria beristri tega lakukan pelecehan terhadap bocah kelas 2 Sekolah Dasar (SD) di Kotawaringin Timur (Kotim), Kalteng saat sedang berteduh di sebuah pondok karena hujan. Kejahatan seksual yang dilakukan pria berinisial MH (35) tersebut berawal ketika pelaku bersama istrinya beserta korban pergi mencari tupai yang tidak jauh dari rumah mereka. Peristiwa ini terjadi pada Kamis 21 Januari 2021.7 Dengan melihat kasus diatas, rasa prihatin terhadap negeri ini seakan tak bisa dikesampingkan. Melalui pemberlakuan PP Keberi Kimia tersebut, negara mencoba dan hadir sebagai pemangku kekuasaan tertinggi di negara untuk memberikan rasa jera dan takut kepada pelaku akan perbuatan kekerasan seksual tersebut. Ada sejumlah syarat bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang akan dijatuhi hukuman kebiri. Syarat umum bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang akan di jatuhkan hukuman kebiri: 8 1. Pelaku yang akan dikebiri divonis hukuman pidana minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun. 2. Keputusan hakim yang mutlak diberika terhadap pelaku atau terdakwa, karena keputusan hakim menjadi syarat utama dalam memberikan penetapan sanksi kebiri kimia. 6
Basma G. Alhogbi, “HUKUMAN KEBIRI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN PEDOFILIA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK,” Journal of Chemical Information and Modeling 53, no. 9 (2017): 21–25, http://www.elsevier.com/locate/scp. 7 Sigit Dzakwan, Astaga! Bocah Kelas 2 SD Dilecehkan Pria Beristri Saat Berteduh, https://news.okezone.com/read/2021/01/25/340/2350429/astaga-bocah-kelas-2-sd-dilecehkan-pria-beristri-saatberteduh (diakses pada 9 februari 2021) 8 Universitas Muhammadiyah Purworejo, “Menelaah Hukuman Kebiri Kimia Sebagai Pidana Tambahan Bagi Pelaku Pedofelia Galih Bagas Soesilo” 3, no. 1 (2021).
3. Hukuman kebiri diberikan apabila pelaku telah dewasa atau sudah berumur diatas 18 tahun. Mungkin saja dengan diberlakukannya PP ini pelaku merasa tak adil dan telah melanggar HAM, akan tetapi dengan secercah harapan dari praktik ini mencoba menghilangkan unsur kekerasan seksual terhadap anak dengan motif yang beragam. Menurut Amnesti Internasional, hukuman kebiri kimia melanggar hukum internasional akan larangan tindak penyiksaan, dan perlakuan atau penghukuman lainnya yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia sebagai mana yang di atur oleh Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR). Proses pemandulan yang sifatnya sementara ini membuat hak para pelaku kejahatan seksual memiliki keturunan terhapus.9 Selain Amnesti Internasional, Lembaga atau instasin turut menyuarakan pendapatnya perihal pemberlakuan PP tersebut, yaitu pendapat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara tegas menolak hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak (pedofilia), alasanya didasari bahwa tindakan kebiri kimia adalah bentuk upaya merubah ciptaan yang Maha Kuasa. 10 Kemudian Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur turut mengkaji pemberlakuan hukum kebiri bagi pelaku kejahatan seksual di kalangan anak adalah haram, hal ini didasari bahwa mayoritas ulama mensyaratkan takzir tidak berdampak negatif, sementara dari sisi kesehatan kebiri kimia tidak hanya merusak organ reproduksi tapi dapat merusak organ yang lain. 11 Selain dari Lembaga NU, Ortom Muhammadiyah yaitu PP Nasyiatul Aisyiyah (NA) juga ikut berpendapat, dengan mengatakan pemberlakuan PP No.70 Tahun 2020 harus dikritisi dan dikaji dengan melihat dua sudut pandang yang berbeda, yaitu dari sudut pandang korban hukuman kebiri kimia adalah hal yang layak dan pantas diberikan, sementara untuk pelaku sendiri hukuman kebiri kimia akan memberikan trauma tersendiri, oleh karena itu mesti ada bimbingan dari segi psikologis.12 Terkait pelaksanaan penjatuhan hukuman kebiri kimia dalam amanahnya Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 Pasal 9 huruf b, yang mana tertuliskan bahwa Jaksa memerintahkan Dokter untuk melaksanaan tindakan kebiri kimia, hal ini memerlukan diskusi dan pembahasan yang lebih mendalam, mengingat bahwa profesi Dokter terikat dengan kode etik dan sumpah profesinya iaitu tidak melakukan sesuatu yang dapat merusak kesehatan pasien. Banyak pihak yang menilai pidana kebiri terlalu keji dan tidak manusiawi, tidak mendidik, serta merendahkan derajat dan martabat manusia. Ada juga yang berpendapat pidana kebiri diberlakukan karena desakan masyarakat sehingga beraroma dendam dan subyektif. Terakhir 9
Perppu No et al., “Hukuman Kebiri Kimia Merupakan Bentuk Penghukuman Yang Merendahkan Martabat Manusia Indonesia,” 2016. 10 IDN Times, 2021, Tolak Hukuman Kebiri Kimia, MUI: Itu Mengubah Ciptaan Allah SWT https://www.idntimes.com/news/indonesia/fitang-adhitia/tolak-hukuman-kebiri-kimia-mui-itu-mengubahciptaanallah-swt/1 11 NUonline, 2019 , NU Jatim Haramkan Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Pencabulan https://www.nu.or.id/post/read/110442/nu-jatim-haramkan-hukuman-kebiri-kimia-bagi-pelaku-pencabulan 12 MUHAMMADIYAH.OR.ID, 2021, Hukuman Kebiri Pada Pelaku Kekerasan Seksual Pada Anak, Ketum NA : Perlu Dikritisi !, https://muhammadiyah.or.id/hukuman-kebiri-pada-pelaku-kekerasanseksual-pada-anak-ketum-naperlu-dikritisi/
muncul penolakan dari dokter, dalam hal ini Ikatan Dokter Indonesia (IDI), untuk menyuntik pelaku pedofil dengan zat kimia. Dokter menolak menjadi eksekutor pidana kebiri dengan alasan bertentangan dengan kode etik (KODEKI). Sesuai kode etik, seorang dokter harus menjadi pelindung kehidupan sesuai dengan Pasal 11 Kode Etik Kedokteran. Seorang dokter harus mengerahkan segala kemampuanya untuk memelihara kehidupan alamiah pasienya dan tidak untuk mengakhirinya. 13 Dalam hal ini, IDI mendorong keterlibatan dokter dalam hal rehabilitasi korban dan pelaku. Rehabilitasi korban, menurut Ilham, menjadi prioritas utama guna mencegah dampak buruk dari trauma fisik dan psikis yang dialaminya. “Rehabilitasi pelaku diperlukan untuk mencegah kejadian serupa dilakukan kembali. Kedua, rehabilitasi membutuhkan penanganan komprehensif melibatkan berbagai disiplin ilmu.” IDI menilai kebiri kimia tak menjamin berkurangnya hasrat dan potensi perilaku kekerasan seksual pelaku. Karena itu, IDI mengusulkan agar pemerintah mencari bentuk hukuman lain sebagai sanksi tambahan. Ketua Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) Prijo Sidipratomo menambahkan, sumpah dokter adalah universal, dan diakui sebagai world medical etic oleh semua dokter. Dalam sumpah itu dikatakan, dokter tak akan menggunakan pengetahuannya untuk hal-hal lain yang bertentangan dengan kemanusiaan. 14 Penolakan oleh IDI juga mempertimbangkan akan adanya efek samping terhadap pihak yang dikebiri. Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi juga angkat bicara, Prof. DR. Dr. Wimpie Pangkahila,MSc, Sp.And meragukan hukuman kebiri kimia bisa memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual. Efek samping yang ditimbulkan dari kebiri kimiawi juga dianggap beresiko. Wimpie menjabarkan, jika hormon testosteron sebagai cairan yang menunjukkan gairah seseorang disetop, bisa berdampak pada tulang yang cepat keropos. Tak hanya itu, perut pelaku juga bakal membesar dan mengidap insomia. Selain itu beliau juga mengatakan efek dari pengkebirian itu ialah mengalami keropos pada tulang, perut akan membesar karena kehilangan testosterone. Jadi menurut beliau pemikiran konsep penerapan hukum seperti ini adalah konsep yang perlu dikaji kembali, karena dia beranggapan bahwa orang yang semula normal malah dibuat tak normal. 15 Bukan pidana namanya apabila jika sifatnya tidak memaksa dan terkesan melanggar HAM. Apabila kembali kepada unsur tujuan pemidanaan dimasa lalu, maka tujuannya ialah sebagai balasan, tetapi berorientasi kepada masa depan, maka tujuan pidana adalah untuk memperbaiki kelakuan terpidana. Selanjutnya dikenal dengan adanya teori relatif atau teori tujuan, tujuan pemidanaan adalah mencegah kejahatan. Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat. 13
Debora Anggie Noviana Bambang Waluyo and Rosalia Dika Agustanti, “Analisis Terhadap Pelaksanaan Pidana Kebiri Kimia Dalam Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak Dalam Perspektif Yuridis Dan Kedokteran,” Borneo Law Review 4, no. 1 Juni (2020): 45–63, http://jurnal.borneo.ac.id/index.php/bolrev/article/view/1399. 14
Ikatan Dokter Indonesia (IDIonline), 2021, Dokter Berani Melawan Presiden, Kirim Surat Resmi Nolak Ngebiri,
http://www.idionline.org/berita/dokter-berani-melawan-presiden-kirim-surat-resmi-nolak-ngebiri/ 15
Ikatan Dokter Indonesia (IDIonline), 2021, Ini Efek Samping Hukum Kebiri Kimia http://www.idionline.org/berita/ini-efek-samping-hukum-kebiri-kimia/
Jadi, tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum. 16 Perspektif perimbangan cost and benefit. Seperti yang diuraikan pada paragraf sebelumsebelumnya, sanksi suntik kebiri masih dipertanyakan keberhasilannya dalam mengontrol kekerasan seksual anak, sedangkan berbicara soal biaya sudah bisa diperkirakan mahal. Seperti yang dilansir dalam berita di beberapa media massa, diketahui bahwa biaya untuk rangkaian suntik kebiri sekitar 40 juta rupiah.17 Tetapi yang perlu digaris bawahi disini ialah, bahwa penjatuhan sanksi pidana tersebut tidak serta merta langsung dijatuhkan suntik kebiri kimia terhadap pelaku kejatan seksual anak. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan di dalam proses pelaksanaannya sebelum melakukan perintah hakim untuk yang telah berkekuatan hukum tetap, diantaranya harus diuji secara penilaian klinis, kesimpulan dan pelaksanaan. Beberapa tahapan tersebut harus dijalankan secara runtut dan dilakukan oleh ahli yang memiliki kompetensi di bidang medis dan psikiatri untuk menentukan layak atau tidak layaknya pelaku kejahatan seksual anak dijatuhi hukuman kebiri. Memang hukuman kebiri yang dijatuhkan terhadap pelaku pemerkosaan terhadap anak, apabila dikaitan dengan hak asasi manusia (HAM) maka hukuman kebiri melanggar dua prinsip yang menjadi amanat reformasi, yaitu prinsip HAM dan demokrasi 18 Secara substansi, hukuman kebiri akan berdampak pada hilangnya hak seseorang untuk melanjutkan keturunan dan terpenuhi kebutuhan dasarnya yang dijamin dalam UUD 1945. Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan hak-hak asasi manusia sebagaimana yang terdapat di dalam Undang-undang Dasar maupun Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, sampai saat ini tidak ada kajian yang menunjukkan bahwa sanksi kebiri mampu secara efektif menekan tindakan kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah hal kompleks yang tidak bisa serta merta hilang dengan mengebiri pelaku. 19 Disamping itu juga, beberapa kasus kejatahatan yang terjadi di Indonesia terkadang salah dalam menduga dan menangkap seorang pelakunya. Lantas bagaimana dengan adanya suntik kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak jika pelaku tersebut adalah korban salah tangkap atau bukan pelaku yang sebenarnya? Inilah beberapa pekerjaan rumah yang harus dikaji ulang oleh pemerintah Indonesia, walaupun PP tersebu telah diteken oleh Presiden. Jangan sampai kemudian pada kasus ini terjadi salah tangkap kepada pelaku, karena bukan saja mengalami trauma dan tidak berfungsinya pada alat reproduksi, tetapi juga akan menimbulkan dendam yang amat besar oleh seorang yang salah tangkap. Serta, negara melalui pemerintah harus bertanggung jawab penuh atas kejadian tersebut bila terjadi di negara ini.
16
Fitri Wahyuni, “Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Anak Dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia,” Researchgate.Net, 2017, 279–96. 17 Brier, “Menakar Aspek Kemanfaatan Dan Keadilan Pada Sanksi Kebiri Kimia Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Anak Di Indonesia.” 18 Fajri Nursyamsi, 2021, PSHK: Perppu Kebiri Melanggar Hak Asasi Manusia https://www.beritasatu.com/nasional/365041/pshk-perppu-kebiri-melanggar-hak-asasi-manusia 19
Wahyuni, “Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Anak Dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia.”
Kesimpulan Dapat ditarik kesimpulan bahwa PP Kebiri Kimia ini memang banyak yang belum dapat menerimanya sebagai langkah tepat penjatuhan sanksi yang tegas bagi seorang pelaku kekerasan seksual pada anak. Dari faktor psikologis, sejatinya kita tidak dapat tahu bahwa pemberlakuan kebiri kimia ini dapat memberikan efek jera bagi pelaku. Perkembangan teknologi dari zaman ke zaman memang sangatlah cepat, dan hal itu dapat menjadi faktor pendukung lain untuk mencari cara lain agar kekerasan seksual dapat dilakukannya kembali. Beberapa lembaga besar seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiya juga turut menyuarakan pendapatnya. Kedua lembaga tersebut memiliki pendapat yang senada yaitu menolak dan harus melakukan pengkajian ulang dengan hadirnya penjatuhan sanksi kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual anak. Penolakan juga dating dari IDI. Ikatan Dokter Indonesia mempertimbangkan akan adanya efek samping terhadap pihak yang dikebiri. Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi juga meragukan hukuman kebiri kimia bisa memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual. Efek samping yang ditimbulkan dari kebiri kimiawi juga dianggap beresiko, bisa berdampak pada tulang yang cepat keropos. Tak hanya itu, perut pelaku juga bakal membesar dan mengidap insomia. Selain itu beliau juga mengatakan efek dari pengkebirian itu ialah mengalami keropos pada tulang, perut akan membesar karena kehilangan testosterone. Ditilik dari perspektif HAM pun memang hukuman kebiri yang dijatuhkan terhadap pelaku pemerkosaan terhadap anak, apabila dikaitan dengan hak asasi manusia (HAM) maka hukuman kebiri melanggar dua prinsip yang menjadi amanat reformasi, yaitu prinsip HAM dan demokrasi. Disamping itu juga, beberapa kasus kejatahatan yang terjadi di Indonesia terkadang salah dalam menduga dan menangkap seorang pelakunya. Lantas bagaimana dengan adanya suntik kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak jika pelaku tersebut adalah korban salah tangkap atau bukan pelaku yang sebenarnya? Inilah beberapa pekerjaan rumah yang harus dikaji ulang oleh pemerintah Indonesia, walaupun PP tersebu telah diteken oleh Presiden. Jangan sampai kemudian pada kasus ini terjadi salah tangkap kepada pelaku, karena bukan saja mengalami trauma dan tidak berfungsinya pada alat reproduksi, tetapi juga akan menimbulkan dendam yang amat besar oleh seorang yang salah tangkap. Serta, negara melalui pemerintah harus bertanggung jawab penuh atas kejadian tersebut bila terjadi di negara ini.
Daftar Pustaka Undang-Undang Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28D ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Jurnal Alhogbi, Basma G. “HUKUMAN KEBIRI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN PEDOFILIA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.” Journal of Chemical Information and Modeling 53, no. 9 (2017): 21–25. http://www.elsevier.com/locate/scp. Brier, Jennifer. “Menakar Aspek Kemanfaatan Dan Keadilan Pada Sanksi Kebiri Kimia Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Anak Di Indonesia” 21, no. 1 (2020): 1–9. Debora Anggie Noviana Bambang Waluyo, and Rosalia Dika Agustanti. “Analisis Terhadap Pelaksanaan Pidana Kebiri Kimia Dalam Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak Dalam Perspektif Yuridis Dan Kedokteran.” Borneo Law Review 4, no. 1 Juni (2020): 45–63. http://jurnal.borneo.ac.id/index.php/bolrev/article/view/1399. No, Perppu, Undang-undang No, Perlindungan Anak, Amnesty International, Pemerintah Indonesia, Mei Presiden, Joko Widodo, et al. “Hukuman Kebiri Kimia Merupakan Bentuk Penghukuman Yang Merendahkan Martabat Manusia Indonesia,” 2016. Purworejo, Universitas Muhammadiyah. “Menelaah Hukuman Kebiri Kimia Sebagai Pidana Tambahan Bagi Pelaku Pedofelia Galih Bagas Soesilo” 3, no. 1 (2021). Wahyuni, Fitri. “Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Anak Dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia.” Researchgate.Net, 2017, 279–96. Media Online Sigit Dzakwan, Astaga! Bocah Kelas 2 SD Dilecehkan Pria Beristri Saat Berteduh, https://news.okezone.com/read/2021/01/25/340/2350429/astaga-bocah-kelas-2-sddilecehkan-pria-beristri-saat-berteduh (diakses pada 9 februari 2021) IDN Times, 2021, Tolak Hukuman Kebiri Kimia, MUI: Itu Mengubah Ciptaan Allah SWT https://www.idntimes.com/news/indonesia/fitang-adhitia/tolak-hukuman-kebiri-kimia-muiitu-mengubahciptaan-allah-swt/1 NUonline, 2019 , NU Jatim Haramkan Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Pencabulan https://www.nu.or.id/post/read/110442/nu-jatim-haramkan-hukuman-kebiri-kimia-bagipelaku-pencabulan MUHAMMADIYAH.OR.ID, 2021, Hukuman Kebiri Pada Pelaku Kekerasan Seksual Pada Anak, Ketum NA : Perlu Dikritisi !, https://muhammadiyah.or.id/hukuman-kebiri-padapelaku-kekerasanseksual-pada-anak-ketum-na-perlu-dikritisi/
Ikatan Dokter Indonesia (IDIonline), 2021, Dokter Berani Melawan Presiden, Kirim Surat Resmi Nolak Ngebiri, http://www.idionline.org/berita/dokter-berani-melawan-presiden-kirimsurat-resmi-nolak-ngebiri/ Ikatan Dokter Indonesia (IDIonline), 2021, Ini Efek Samping Hukum Kebiri Kimia http://www.idionline.org/berita/ini-efek-samping-hukum-kebiri-kimia/ Fajri
Nursyamsi, 2021, PSHK: Perppu Kebiri Melanggar Hak Asasi Manusia https://www.beritasatu.com/nasional/365041/pshk-perppu-kebiri-melanggar-hak-asasimanusia
Penerapan Program Asimilasi Terhadap Narapidana Pada Masa Pendemi Covid-19 Achmad Fathoni Pendahuluan Narapidana merupakan sebagai pihak yang dituntut bersalah oleh pengadilan dalam suatu perbuatan yang dilakukannya yang kemudian dihukum sesuai ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia dan dirampas kebebasannya sebagai hukuman yang dijalaninya. Pengertian narapidana berasal dari dua suku kata yaitu Nara artinya orang dan Pidana artinya hukuman dan kejahatan (pembunuhan, perampokan, penganiayaan, narkoba, korupsi, dan sebagainya). Jadi pengertian narapidana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai orang yang menjalani suatu hukuman karena melakukan tindak pidana. Menurut Heru Susetyo dikutip dari laporan Tim pengkajian Hukum, “Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) yaitu seseoarang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum 1 Selayaknya manusia pada umumnya, narapidana juga berkeinginan hidup normal seperti biasanya tanpa adanya suatau tuntutan yang mengharuskan narapidana harus tunduk dibawah kewenangan lembaga permasyarakatan yang sebagai pihak yang menjalankan fungsi kenegaraan dibidang kehukuman. Salah satu fungsi Lapas bagi narapidana ialah bagaimana narapidana tersebut bisa merasakan sebuah hukuman yang bersifat humanis yang diberlakukan, dengan tujuan supaya narapidana yang berada di Lapas bisa menghasilkan suatu didikan yang diberikan oleh petugas Lapas dengan tujuan bisa bersaing secara kompetitif dan terampil bila telah keluar dari lapas dengan masyarakat umum. Dalam sistem peradilan pidana, Lapas bukan saja sebagai tempat untuk semata-mata memidana orang, melainkan juga sebagai tempat untuk membina atau mendidik orang-orang terpidana, agar mereka itu setelah selesai menjalankan pidana mereka, mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar Lapas sebagai warganegara yang baik dan taat pada hukum yang berlaku. 2 Tujuan akhir pelaksanaan pembinaan dalam sistem pemasyarakatan adalah untuk menyiapkan warga binaan pemasyarakatan menjadi warga Negara yang baik dan berguna serta memulihkan kesatuan hubungan antara mereka dan masyarakat. Pemulihan hubungan ini dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat dalam proses pembinaan, baik dalam bentuk kerja sama maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah selesai menjalani pidananya. 3 Sahardjo menjelaskan bahwa lembaga pemasyarakatan bukan tempat yang semata-mata memidana orang, melainkan juga sebagai tempat membina atau mendidik orang-orang terpidana, agar setelah menjalani pembinaan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar lembaga pemasyarakatan sebagai warga Negara yang baik dan taat pada hukum yang berlaku. 4
1
Giandari Maulani et al., “Sistem Informasi Pengelolaan Data Pembinaan Kegiatan Kerja Narapidana Berbasis Website Pada” 2, no. 1 (2016). 2 Haryono Haryono, “Optimalisasi Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Lapas Terbuka Dalam Proses Asimilasi Narapidana,” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 12, no. 3 (2018): 295, https://doi.org/10.30641/kebijakan.2018.v12.295-311. 3 Haryono. 4 Lidya Suryani Widayati, “Rehabilitasi Narapidana Dalam Overcrowded Lembaga Pemasyarakatan,” Jurnal Negara Hukum Vol.3, no. 2 (2012): 201–26.
Beranjak dari suatu penanganan yang menjadi suatu kewajiban oleh petugas lapas kepada narapidana, ada hal penting lain disini yang harus kita kaji, yaitu kuota narapidana yang berada di lapas yang bisa dikatakan bahwa lapas sudah melebihi batas daya tampungnya (over crowding). Disituasi yang semakin tak mencapai titik terang dengan hadirnya wabah Covid19 diseluruh masyarakat dunia, ada perhatian khusus yang harus dijalankan dan dipertimbangkan mengenai keberadaan narapidana di lembaga pemasyarakatan yang cukup memungkinkan untuk terpapar covid 19. Dengan keberadaan lapas yang over crowding ditambah dengan mewabahnya covid 19, menjadikan narapidana harus diberikan perhatian khusus di tengah kehidupannya di lapas yang terbilang sangat tidak memenuhi standar keamanan protokol kesehatan covid19. Dengan hal ini penulis akan membahas bagaimana pelaksanaan Penerapan Asimilasi Terhadap Narapidana Pada Masa Covid-19. Apakah dengan hadirnya penerapan asimilasi terhadap narapidana ini terbilang perlu dan langkah yang efektif untuk mencegah atau memutus mata rantai persebaran covid 19 di Lembaga Pemasyarakatan. Implementasi dan efektivitas Program asimilasi bagi narapidana bukan hal yang baru lagi untuk kita dengar, sebelum adanya wabah Covid19 program asimilasi memang sempat menjadi perbincangan dikalangan masyarakat. Program tersebut bertujuan agar mengoptimalkan pengurangan jumlah narapidana yang berada di lembaga pemasayarakatan. Misalkan, fungsi pidana penjara yang digantikan dengan mengoptimalkan pidana denda, pidana bersyarat dan mediasi penal sebagai penopang kewajiban yang harus dijalankan oleh narapidana. Kebijakan pemerintah melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 tentang “SYARAT PEMBERIAN ASIMILASI DAN HAK INTEGRASI BAGI NARAPIDANA DAN ANAK DALAM RANGKA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYEBARAN COVID-19” dijelaskan bahwa hakikat pemberian asimilasi kepada narapidana merupakan suatu upaya dalam rangka menanggulangi penyebaran covid19 di dalam lapas. Adapun tujuan asimilasi menurut hemat saya ialah memberikan proses pembinaan kepada narapidana dan anak yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan untuk mengembalikan mereka kepada lingkungan masyarakat yang nyata, guna membaurkan kembali sifat narapidana asimilasi sebagai bentuk adaptasi sosial. Adapun ketentuan yang harus diperhatikan dalam hal implementasi pengeluaran dan pembebasan narapidana dan anak melalui asimilasi, dilakukan dengan : a. Pengeluaran bagi Narapidana dan Anak melalui asimilasi dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Narapidana yang 2/3 masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020; 2. Anak yang 1/2 masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020; 3. Narapidana dan anak yang tidak terkait dengan PP 99 Tahun 2012, yang tidak sedang menjalani subsidaer dan bukan warga negara asing; 4. Asimilasi dilaksanakan di rumah;
5. Surat keputusan asimilasi diterbitkan oleh Kepala Lapas, Kepala LPKA, dan Kepala Rutan. 5 b. Pembebasan bagi Narapidana dan Anak melalui integrasi (Pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas), dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Narapidana yang telah menjalani 2/3 masa pidana; 2. Anak yang telah menjalani 1/2 masa pidana; 3. Narapidana dan Anak yang tidak terkait dengan PP nomor 99 tahun 2012, yang tidak sedang menjalani subsidaer dan bukan warga negara asing; 4. Usulan dilakukan melalui system database pemasyarakatan; 5. Surat keputusan integrasi diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan.6 Dengan kondisi lapas yang memprihatinkan, dengan kapasitas lapas yang hanya bisa menampung 160 ribu narapidana, tapi faktanya justru penghuni lapas membludak mencapai 270 ribu narapidana. Sehingga dalam hal demikian, topik pencegahan dan penaggulangan wabah Covid19 tidak dimungkinkan untuk terlaksananya pembatasan sosial di dalam lapas. Harus dipahami pula bahwa program asimilasi ini bukan serta merta membebaskan secara leluasa kepada narapidana, tetapi tetap ada pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Terkait hal ini, pelepasan tahanan atau narapidana banyak dari kalangan masyarakat yang justru merasa khawatir tentang keberadaan narapidana yang di keluarkan. Stigmasi tersebut bermunculan di kalangan masyarakat, yang artinya bila stigma tersebut tetap tersebar dengan luas, serta pola keamaan dan pengawasan terhadap narapidana justru akan menambah angka dampak negatif. Yang artinya pelapasan narapidana dengan melalui program asimilasi dan integrasi tidak menunjukkan keberhasilannya dalam pelaksanaannya. Santer terdengar bahwa narapidana yang dibebaskan kembali melakukan tindak pidana di masyarakat. Ini menunjukkan bukti bahwasannya pelaksanaan program asimilasi dengan salah satu latar belakangkan ingin mengurangi dan mencegah persebaran virus corona di lapas, malah membuat situasi genting yang justru meresahkan masyarakat. Menkumham Yasonna mengatakan seluruh warga binaan yang kembali berulah akan mendapatkan sanksi berat. Saat ini, Yasonna telah menginstruksikan jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham untuk berkoordinasi dengan Polri dan Kejaksaan guna mengoptimalkan pengawasan tersebut. 7 Menurut data, napi yang dilepas sudah mencapai lebih dari 35 ribu yang menjalani program asimilasi dan integrasi. Kemudian dari jumlah tersebut, tercatat ada 10 warga binaan yang kembali berulah saat menjalani program asimilasi dan integrasi. Ada yang kembali ditangkap karena kasus mencuri, mabuk dan kekerasan, serta kasus narkoba. 8 Dari kondisi yang demikian, itulah sebabnya tentang pelaksanaan program asmilasi dan integrasi dapat berjalan sesuai target, butuh adanya suatau upaya ketat yang optimal dalam sistem pengawasannya. Terutama dalam hal mengantisipasi 5
Kementerian Hukum dan Ham, “Surat Keputusan Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 Tentang Pengeluaran Dan Pembebasan Narapidana Dan Anak Melalui Asimilasi Dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19,” 2020, 2018–20. 6 Kementerian Hukum dan Ham. 7 Moh. Dani, Pratama Huzaini, Straft Cell Menanti Napi Asimilasi yang Berulah Lagi, https://hukumonline.com/berita/baca/lt5e953c106fc62/i-straft-cell-i-menanti-napi-asimilasi-yangberulah-lagi?page=all (diakses pada 23 November 2020) 8 Moh. Dani, Pratama Huzaini, Straft Cell Menanti Napi Asimilasi yang Berulah Lagi, https://hukumonline.com/berita/baca/lt5e953c106fc62/i-straft-cell-i-menanti-napi-asimilasi-yangberulah-lagi?page=all (diakses pada 23 November 2020)
dampak negatif yang akan ditimbulkan ke masyarakat. Koordinasi yang mempuni juga tidak bisa berjalan dengan hanya satu lembaga pengawas, butuh koordinasi yang luas dalam proses pengawasannya dalam hal ini adalah kepolisian, Kejaksaan Pegadilan ataupun BNN. Kapolri Idham Azis sendiri sudah menerbitkan Telegram No. ST/1238/IV/OPS.2/2020 yang berisi amanat kepada polisi untuk memelihara keamanan dan ketertiban, terutama selama Covid-19.9 Kendati demikian, dengan diberlakukannya program asimilasi semakin menenjukkan angka yang negatif pada tingkat tindak kejahatan yang dilakukan napi asimilasi. Tercatat pada bulan Juli 2020 sebanyak 236 narapidana yang melakukan tindakan kejahatan. Kondisi ini semakin memperlihatkan hasil buruk yang signifikan keberadaan narapidana seusai diberikan untuk lepas dari lapas. Jenis kejahatan yang dilakukan pun beragam, pihak kepolisian menemukan sejumlah kasus seperti kekerasan, pencurian dengan pemberatan (curat), pencurian kendaraan bermotor (curanmor), penganiayaan, penyalahgunaan narkoba, hingga pencabulan terhadap anak.10 Herman Herry selaku Ketua Komisi III DPR RI telah mengisyaratkan kepada kemenkumham untuk berbenah, mekanisme pemberian asimilasi hingga ketua komisi III tersebut meminta bahwa harus lebih diperketat lagi dalam melakukan kebijakan kriteria-kriteria narapidana yang akan dikeluarkan melalui program asimilasi. Hal itu dimungkinkan untuk meminimalisir kemungkinan narapidana asimilasi melakukan pengulangan tindakan negatif ketika telah kembali ke masyarakat. Meski begitu, kita sebagai masyarakat harus mendukung penuh inisiasi yang dilakukan pemerintah dalam program asimilasi dan integrasi. Dengan over capacity di dalam lapas, tidak bisa dipungkiri pula tentang kesehatan narapidana bila salah satu diantara mereka harus terjangkit Covid19 karena tidak mampunya suatu upaya pencegahan covid ketika kondisi lapas yang memang melebihi kapasitasnya. Di sisi lain, ketika narapidana terebut telah dikeluarkan melalui program asimilasi, nampaknya malah menambah beban negara. Satu sisi, kita harus bisa membenahi dari faktor upaya pengawasannya. Upaya pengawasan dapat berjalan dengan baik, apabila koordinasi yang diusung antar lembaga- lembaga (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga masyarakat) ketika berjalan sesuai kebutuhan program asimilasi ini. Minimnya daya dukung kontrol narapidana asimilasi menjadikan salah satu faktor yang utama tidak dapat dilakukan suatu upaya pencegahan. Di antara lembaga terkait, juga harus bisa menjalankan peran masyarakat sipil sebagai fungsi kontrol. Kemudian, kurangnya edukasi kepada masyarakat sipil tentang adanya progam asimilasi narapidana ini dinilai kurang disebarluaskan. Bahwasannya, pemerintah sebagai penggerak program ini mampu menjamin adanya situasi yang kondusif di dalam masyarakat. Tidak adanya unsur menyakiti dan menghindari ketika narapidana tersebut telah di kembalikan ke lingkungan masyarakat. Hal ini justru secara tidak langsung dapat memicu terjadinya polemik sosial di masyarakat. Narapidana merasa bahwa kehadirannya telah ditolak oleh masyarakat, dan memungkinkan bahwa narapidana kembali melakukan tindak kejahatannya. Untuk itu, pendekatan humanis antar masyarakat sangat dibutuhkan. Budaya sosial yang tinggi, merupakan salah satu hal yang penting untuk ditumbuhkan di masyarakat sipil 9
Muhammad, Yasin, Dampak Negatif Pembebasan Napi Harus Diantisipasi, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e9ef37a4119f/dampak-negatif-pembebasan-napiharus-diantisipasi?page=all (diakses 24 November 2020) 10 Syaiful, Arif, 106 Napi Asimilasi Berulah, Mencuri Hingga Pencabulan, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200512150324-12-502544/106-napi-asimilasi-kembaliberulah-mencuri-hingga-pencabulan (diakses 24 November 2020)
kepada narapidana asimilasi tersebut. Teori labelling masih begitu kuat praktiknya di masyarakat dalam hal menjustifikasi narapidana sebagai orang yang tetap berprilakuan buruk. Kesimpulan Ada beberapa hal penting tentunya ketika kita membahas persoalan penerapan asimilasi terhadap narapidana pada masa Covid19 ini. Yang pertama dari penerapannya yang masih kurang maksimal. Penerapan yang kurang maksimal tersebut dapat dinilai dari pola pengawasan terhadap narapidananya. Dimana dalam faktanya para narapidana yang mendapatkan program asimilasi tersebut masih bisa atau masih melakukan tindak kejahatan di masyarakat. seperti sejumlah kasus kekerasan, pencurian dengan pemberatan (curat), pencurian kendaraan bermotor (curanmor), penganiayaan, penyalahgunaan narkoba, hingga pencabulan terhadap anak. Justru dengan adanya program asimilasi ini Lembaga Permasyarakatan harus mampu menjamin jikalau narapidananya telah menunjukkan progresifitas positif berprilakuan baik dan tidak akan mengulang perbuatan buruknya. Untuk hal ini lembaga pemasyarakatan harus benar-benar mengoptimalkan edukasi dan pelatihan yang dijanlakan narapidana di dalam lapas semasa menjalankan masa tahanannya. Kemudian, dari pihak pemerintah harus mengedukasi masyarakat sipil tentang keberadaan narapidana yang akan kembali ke masyarakat. Masih banyak masyarakat yang masih menganut teori labelling. Dimana masyarakat beranggapan bahwa narapidana yang dikembalikan ke masyarakat masih memiliki sifat buruk dan perbuatan buruk. Justru ketika masyarakat beranggapan demikian hal ini justru secara tidak langsung dapat memicu terjadinya polemik sosial di masyarakat. Narapidana merasa bahwa kehadirannya telah ditolak oleh masyarakat, dan memungkinkan bahwa narapidana kembali melakukan tindak kejahatannya. Maka dari itu dari pemerintah harus benar-benar menginisiasi kepada masyarakat tentang keberadaan narapidana, serta pemerintah harus mengkondisikan lembaga-lembaga terkait dalam hal program asimilasi harus menjalin koordinasi yang mempuni guna bisa meghasilkan suatu upaya pencegahan dan pengawasan terhadap narapidana asimilasi dan integrasi bisa berjalan sesuai target.
Daftar Pustaka Jurnal Haryono, Haryono. “Optimalisasi Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Lapas Terbuka Dalam Proses Asimilasi Narapidana.” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 12, no. 3 (2018): 295. https://doi.org/10.30641/kebijakan.2018.v12.295-311. Kementerian Hukum dan Ham. “Surat Keputusan Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 Tentang Pengeluaran Dan Pembebasan Narapidana Dan Anak Melalui Asimilasi Dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19,” 2020, 2018–20. Maulani, Giandari, Kartika Chandra, Buana Sejati, and Siti Pujianingsih. “Sistem Informasi Pengelolaan Data Pembinaan Kegiatan Kerja Narapidana Berbasis Website Pada” 2, no. 1 (2016). Widayati, Lidya Suryani. “Rehabilitasi Narapidana Dalam Overcrowded Lembaga Pemasyarakatan.” Jurnal Negara Hukum Vol.3, no. 2 (2012): 201–26.
Media Elektronik Muhammad, Yasin, Dampak Negatif Pembebasan Napi Harus Diantisipasi, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e9ef37a4119f/dampak-negatifpembebasan-napi-harus-diantisipasi?page=all (diakses 24 November 2020) Syaiful, Arif, 106 Napi Asimilasi Berulah, Mencuri Hingga Pencabulan, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200512150324-12-502544/106-napiasimilasi-kembali-berulah-mencuri-hingga-pencabulan (diakses 24 November 2020) Moh. Dani, Pratama Huzaini, Straft Cell Menanti Napi Asimilasi yang Berulah Lagi, https://hukumonline.com/berita/baca/lt5e953c106fc62/i-straft-cell-i-menantinapi-asimilasi-yang-berulah-lagi?page=all (diakses pada 23 November 2020)
Penolakan Djoko Tjandra Sebagai Justice Collaborator : Menilik Legalitas Hukum dan Prosedural Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi Aisyah Amini Universitas Jember
Beberapa waktu belakangan terakhir dunia hukum di Indonesia dihebohkan dengan kasus korupsi besar yang melibatkan Djoko Tjandra dalam korupsi Pengalihan Hak Tagih akan Bank Bali, hal ini dikarenakan dalam proses penjemputan paksa oleh aparat yang berwenaang pada 2020 silam, Djoko Tjandra yang saat itu menjabat menjadi Direktrur PT. Erat Giat Pratama melarikan diri. Dalam proses peradilan pidana hal ini dianggap sebagai peristiwa hukum yang mengakibatkan terhambatnya proses hukum sehingga menambah deret pasal yang akan dikenakan kepada Djoko Tjandra. Dirinya terbukti melakukan korupsi akan pencairan dana pada Bank Bali sebesar 940 milyar, selain itu menguatkan juga dirinya akan tuntutan jaksa pada 20 tahun silam. Masalah tersebut dinilai sebagai masalah keperdataan dan bukan ranah pidana sehingga dirinya terbebas dari pasal yang dituntutkan padanya oleh hakim. Namun, karena bukti yang terus merebak bahkan adanya kesaksian Jaksa Pinangki yang juga menjadi Tersangka semakin menguatkan Djoko Tjandra terlibat dalam kasus korupsi Bank Bali. Tak hanya penangkapan Djoko Tjandra yang menjadi utas menarik jika diperbincangkan. Pengajuan Justice Collaborator yang diklaim oleh Pengacara djoko candra juga menjadi salah satu sorotan public. Jaksa yang bersangkutan memohon kepada hakim untuk menolak tawaran pengajuan justice collaborator. Hakim pun mengabulkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum untuk memberikan klaimisasi Justice Collaborator terhadap Djoko Candra. 1 Alasan penolakan yang dilakukan
1
https://news.detik.com/berita/d-5361405/djoko-tjandra-ajukan-diri-sebagai-justicecollaborator-kasus-red-notice
oleh Hakim akan pengajuan Justice Colaborator dalam hal ini perlu ditilik secara komprehensif menimbang alasan yuridis maupun alasan fundamental lainya. Justice Collaborator secara progresif dinilai sebagai kunci dalam pengungkapan
kasus
besar
yang
melibatkan
beberapa
orang
namun
penyelesaianya belum dapat diungkap oleh penegak hukum. Hal ini dikarenakan suatu kasus yang belum terungkap tersebut merupakan kejahatan yang terorganisir, sistematis, dilakukan secara massif dan sulit untuk dideteksi, sehingga perlu adanya Justice Collaborator2. Justice Collaborator sendiri merupakan saksi sekaligus pelaku yang membantu penegak hukum dalam mengungkap sindikat kejahatan atau sebuah praktik yang melawan hukum. Justice Collaborator dianggap sebagai seseorang yang dapat memberikan bukti secara signifikan akan kejahatan suatu kasus untuk mendapatkan prestasi berupa keringanan atau pemberian remisi. Secara historis justice collaborator diumumkan pertama kali sebagai doktrin di Amerika Serikat akan pengungkapan mafia besar. Hal ini karena kejahatan mafia seringkali tidak menemukan titik temu, oleh sebab itu pengadilan di Amerika Serikat memberikan penawaran kepada orang yang bersedia mengungkapan kejahatan tersebut untuk disematkan klaim khusus yaitu sebagai Justice Collaborator, atau pihak yang bekerjasama dengan pengadilan atau kepolisian setempat. Peran yang dimiliki oleh Justice Collaborator adalah3 : 1) Untuk mengungkap suatu kasus tindak pidana khusus yang sulit dideteksi karena terorganisisr, sistematis, massif seperti kejahatan Terorisme, Narkotika, Kejahatan Kerah Putih, dan kejahataan Korupsi 2) Memberikan informasi yang signifikan terbukti mengarahkan kepada pengungkapan kepada aparat penegak huku.
2
Nurhikmah Saleh,Skripsi “Kajian Yuridis Terhadap Justice Collaborator dalam Mengungkap
Tindak Pidana Korupsi”, FH.Univ.Hasanuddin Makassar, h.1 3
Firman Wijaya, 2012, “Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum”,
Penaku, Jakarta, h.7
3) Memberikan kesaksian dalam proses peradilan yang berlangsung Walaupun Justice Collaborator pertama kali diperkenalkan sebagai doktrin yang ada di Amerika Serikat, melalui sebuah konvensi untuk menekan angka korupsi atau UNAC meluncurkan sebuah kovensi atau perjajian yang mmeberikan definisi jelas akan Justice Collaborator serta peran dan perlindungannya. Hal ini yang kemudian diratifikasi di Indonesia melaui Undnag-Undang No. 7 Tahun 2006. Konvensi diatas telah dijadikan sebagai hukum nasional melalui ratifikasi. Namun selain hasil ratifikasi tersebut, sumber hukum di Indonesia akan Justice Collaborator lainya adalah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Wistleblowers) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. SEMA sendiri juga memberikan arahan kepada hakim dalam proses penjatuhan justice collaborator dengan beberapa kriteria: 1) Yang bersangkutan merupakan pelaku tindak pidana tertentu, mengakui
kejahatannya,
bukan
pelaku
utama
dan
memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara tersebut; 2) Jaksa Penuntut Umum telah menjelaskan dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga dapat mengungkap tindak pidana dimaksud.
Selain itu untuk mendapatkan pengajuan akan Justice Collaborator juga perlu mempertimbangkan pendapat dari KPK sebagai instansi yang berwenang dalam memproses perkara Korupsi juga LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk memberikan rekomendasi atau surat pernyataan perlindungan yang nantinya diberikan kepada para Justice Collaborator. Persyaratan tersebut menjadi dasar legitimasi bahwasanya untuk dapat memperoleh status sebagai pihak yang bekerjasama dengan
pemerintah maka dirinya bukan merupakan pelaku utama, wajib mengembalikan asset yang dianggap merugikan, dan bersikap kooperatif saat persidangan4. Secara procedural, walaupun SEMA telah menjadi dasar hukum akan Justice Collaborator, hal ini belum sepenuhnya mengakomodir perlindungan kepada para Justice Colaborator, karena hal ini hanya berlaku dalam ranah pengadilan saja, alias hanya dapat dijadikan rekomendasi kepada hakim untuk memutuskan perkara. Belum ada yang mengikat jaksa ataupun kepolisian untuk melindungi dan memberikan jaminan kepastian. Hal ini karena secara legalitasnya KUHP kita yang dijadikan sebagai acuan belum menjelaskan secara rinci akan Justice Collaborator selain UU RI Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sehingga dalam hal prosedural masih banyak hal-hal
formil yang belum
tercantumkan dan berakibat pada ketiadaan hak istimewa yang dapat diberikan kepada justice collaborator. Belum lagi tumpang tindih pengajuan rekomendasi justice collaborator yang dilakukan oleh KPK atau LPSK. Juga adanya keterbatasan dalam pengajuan rekomendasi oleh LPSK karena berbeda dengan KPK yang memiliki otoritas resmi. Hal ini masih dapat menihilkan pengajuan Justice Collaborator. Sehingga
selama
KUHP
atau
hukum
formil
kita
belum
mengakomodasi soal Justice Collaborator maka upaya pengajuan Kerjasama untuk pengungkapan kasuh kejahatan luar biasa akan mengalami kegamangan akibat ketiadaan hukum dan legalitas yang mengikat banyak pihak. Karena adanya kekosongan hukum inilah perlu dilakukan optimalisasi terhadap beberapa peraturan yang ada sebelumnya. Mengingat peran Justice Collaborator mempunya urgensi dalam pengungkapan kasus pidana di Indonesia terlebih korupsi yang sangat memperihatinkan karena penyeleweangan yang mengambil hak rakyat Indonesia. Justice Collaborator perlu diberikan perhatian lebih dalam 4
Lies Sulistiani, et. Al, tanpa tahun terbit, “Sudut Pandang Peran LPSK dalam Perlindungan Saksi dan Korban”, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta, h. 1-2.
menjaga keamanan dan konribusinya tanpa menghilangkan konteks mens rea atau tujuan pengajuan Justice Collaborator. Sehingga berdasarkan penjelasan diatas mengenai Justice Collaborator Dapat diketahui bahwa syarat menjadi seorang Justice Collaborator adalah bukan merupakan pelaku utama, tetapi pelaku yang bergerak atas instruksi pelaku utama dengan mengakui kejahatan yang dilakukannya, mau bekerjasama dengan penegak hukum dalam
memberikan keterangan
sebagai saksi di dalam proses peradilan yang sangat signifikan sehingga dapat mengungkap tindak pidana dimaksud yang dsecara efektif, dapat mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran yang lebih besar dan mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana Hal tersebutlah yang dijadikan sebagai dasar legitimasi oleh Kejaksaan untuk meminta hakim yang bersangkutan dalam kasus Djoko Tjandra untuk menolak pengajuan dirinya. Hal ini dikarenakan Djoko Tjandra merupakan pelaku utama dalam kasus korupsi Red Notice tersebut. Selain itu Djoko Tjandra tidak bersedia kooperatif diawal karena memilih untuk menghilang dari kejaran penegak hukum. Juga tidak adanya pernyataan yang signifikan yang diberikan oleh Djoko Tjandra untuk mengungkap kasus, dirinya pun juga belum memiliki itikad baik dalam memberikan asset yang diklaim merugikan negara. Sehingga sudah jelas langsung mematahkan syarat utama akan pengajuan Justice Collaborator. Jika pengajuan Justice Collaborator hanya dijadikan sebagai eksepsi Djoko Tjandra dalam meringankan hukuman, maka dirinya salah besar, karena keputusan pengadilan yang diberikan oleh hakim juga menyangkut pertimbangan KPK dan juga LPSK. Yang pada saat kasus itu juga menolak upaya pengajuan Justice Collaboration. Dengan kata lain membenarkan bahwa Justice Collaborator adalah kunci dari pengungkapan sebuah kejahatan besar bukan sebagai cara untuk mendapatkan keringanan hukuman semata.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan Undang-undang No.31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Banga Anti Korupsi,2003): (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4620). Buku Mulyadi, Lilik, 2015,”Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia”, Alumni, Bandung. Sulistiani, Lies,et. Al, tanpa tahun terbit, “Sudut Pandang Peran LPSK dalam Perlindungan Saksi dan Korban”, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta. Wijaya, Firman, 2012, “Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum”, Wedatama Widya Sastra, Jakarta. Internet https://business-law.binus.ac.id/2018/02/14/justice-collaborator-danperlindungan-hukumnya/ diakses pada tanggal 10 Februari 2021 https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5eecb3724eb3b/melihat-lagikontroversi-status-justice-collaborator-nazaruddin/ diakses pada tanggal 10 Februari 2021
THE INFLUENCE OF UDHR, ICCPR, AND GUIDELINES FOR THE REGULATION OF COMPUTERIZED PERSONAL DATA FILES ON PERSONAL DATA PROTECTION Brillian Aditya Prawira Arafat
Personal data protection is a great importance to be discussed in a time with the massive and rapid development of technology as it is today. The presences of the Internet of Things, Big Data, to the concept of Data Mining show the rapid dynamics of life so that all aspects of life are affected, including legal aspects. The existence of laws and their instruments is indispensable in these changes, because the law regulates human behavior. 1 Due to the great need for technology, information – and technology – has a crucial importance in economic, social and political considerations2 so that the idea of providing a legal umbrella for personal data does not only protect one's data, but the a quo protection also has the objective of providing guarantees for the basic rights and freedoms of people associated with the data.3 The urgency of protecting personal data is also strengthened by the emergence of data leakage cases 4 such as the one that occurred in early January 2021 involving a Chinese company - Socialarks - with 11,651,162 Instagram user profiles, 66,117,839 LinkedIn user profiles, and 81,551,567 Facebook user profiles.5 Before discussing further about personal data protection, firstly, it is necessary to limit the scope of what is called personal data. Personal data is data that is private and confidential, it can be in the form of identity, code, symbol, letters, or numbers that mark a person and can be used to identify someone. 6 According to the Cambridge Dictionary, personal data is information stored on a computer that relates only to an individual, and that individual 1
Haryanti, T., 2017. Hukum dan Masyarakat. TAHKIM, 10(2): 160 Gursel, I., 2016. Protection of Personal Data in International Law and the General Aspects of the Turkish Data Protection Law. Dokuz Eylul Universitesi Hukuk Fakultesi Dergisi, 18: 35. 3 Natamiharja, R. and Mindoria, S., 2019. Perlindungan Data Privasi dalam Konstitusi Negara Anggota ASEAN. 4 Harry Pettit, 2021. Personal Facebook, Instagram and LinkedIn data 200 MILLION users ‘exposed online by leakers’, The Sun. https://www.thesun.co.uk/tech/13739919/facebook-instagram-linkedin-data-exposedhackers/. (14 Jan 2021, 11:46, Updated: 15 Jan 2021, 10:39), 5 Jim Wilson. 2021. Chinese start-up leaked 400GB of scraped data eksposing 200+ million Facebook, Instagram and LinkedIn users. Safety Detectives https://www.safetydetectives.com/blog/socialarks-leakreport/#review-0. January 11, 2021. 6 Latumahina, R.E., 2014. Aspek Hukum Perlindungan Data Pribadi di Dunia Maya. Jurnal GEMA AKTUALITA, 3(2): 16. 2
doesn't want everyone to know7 while the meaning given by Jerry Kang, personal data is data that describes information that is closely related to someone who can distinguish the characteristics of each person.8 From those understandings, it can be understood that what is included in the category of personal data are data such as: identity, including name, address, occupation, etc; code, including codes such as OTP (One-Time Password), etc; letters or numbers, such as ATM PIN numbers, etc. and these data are confidential because we do not want other people to know about these data. In the international world, we are familiar with various kinds of legal instruments such as Covenants to Perjanjian. From those regulating the formation of international organizations that handle maritime matters such as the Convention on the Establishment of the International Maritime Consultative Organization, to those regulating human rights issues such as the Universal Declaration of Human Rights (UDHR) which is also one of the international legal instruments regarding rights over privacy. UDHR9 is a declaration that provides a legal basis for its member states in terms of the state's obligation to respect and protect the rights of individual citizens of its citizens, contained in the UDHR which says10: “No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honourand reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks.” Based on Article 12, every person has the right to legal protection against interference with his personal affairs, his family, his household or correspondence as well as his honor and reputation. So it can be concluded that everyone also has the right to legal protection for their personal data because personal data is also a personal matter for a person that must be protected to prevent exploitation and abuse by other parties. UDHR is considered too broad so that it requires more specific protection (special) which later initiated and gave birth to the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). As the name implies, UDHR and ICCPR are not the same in terms of binding 7
Cambridge Dictionary < https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/personaldata?q=personal+data+ > accessed (9 February 2021) 8 Sautunnida, L., 2018. Urgensi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi di Indonesia: Studi Perbandingan Hukum Inggris dan Malaysia. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 20(2); 374 9 It should be noted that according to what Marc Freeman and Gibran V. Ert mentioned in International Human Rights Law, one of the triggers for the adoption of this Declaration was the bad precedent of World War 2. 10 See Article 12 Universal Declaration of Human Rights 1948
the parties concerned. This is because UDHR is only a declaration, where a declaration is only an agreement with a brief content. In addition, the Declaration is only an appeal to member countries - which signed the Declaration - without having the force of law.11 Meanwhile, the ICCPR is a law-making convention, which formulates legal principles for the international community. 12 The ICCPR provides an understanding and emphasis that no individual can be treated arbitrarily or illegally interfered with in his personal affairs.13 The ICCPR then gives powers to countries to create legal instruments to protect the country so that it is an obligation of countries that have ratified and signed this ICCPR to implement it. 14 In 1990, the the UN General Assembly adopted the Guidelines for the Regulation of Computerized Personal Data Files. This guideline contains nine basic principles and all of them are advisory. 15 The first principle is principle of lawfulness and fairness. This principle advises that information about persons should not be collected or processed in unfair or unlawful ways. It also shouldn’t be used for ends contrary to the purposes and principles of the United Nations Charter. Secondly, the principle of accuracy. This principle advices regular checks on the accuracy and relevance of the data recorded must be conducted by persons responsible for the compilation of files or those responsible for keeping them. Next is principle of purpose-specification. This means that The purpose which a file is to serve and its utilization in terms of that purpose should be specified, legitimate and, when it is established, receive a certain amount of publicity or be brought to the attention of the person concerned. Then, Principle of interested-person access. This means, everyone who offers proof of identity has the right to know whether information concerning him is being processed and to obtain it in an intelligible form, without undue delay or expense, and to have appropriate rectifications or erasures made in the case of unlawful, unnecessary or inaccurate entries and, when it is being communicated, to be informed of the addressees. Last four basic principles are: Principle of non-dicrimination; Power to make exceptions; Principle of security; Supervision and sanctions; and Transborder data flows. This principle in the guidelines should apply to personal data
11
Boer Mauna. 2013. Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Edisi Kedua. Cetakan Kelima. Alumni. Bandung. p. 94 12 Ibid. p. 91 13 See Article 17 paragraph (1) of the International Covenant on Civil and Political Rights 14 Natamiharja, R. and Mindoria, S. Op. Cit. hlm 7 15 Gursel, I. Op. Cit. p. 37
which kept by the governmental international organizations and this guidelines were made to protect and respect the data kept by the authority. The presence of these three instruments has enlightened all elements of the world community that protection of personal affairs is a special matter and needs to be respected and given protection by law, especially personal data in an era where the internet is extremely risky for data leakage. Seeing the cases of data leakage that continue to occur, it is actually necessary to take concrete and decisive steps from the government of a country to prevent, protect, and overcome data leakage. Data leaks also occur because companies which holding or storing data still have a fragile protection system so that third parties can take part or all of the data.16 In this case, the role of the government as a party with complete state equipment is really needed. They can collaborate with Electronic System Administrators to protect people's personal data. The theree international legal instruments – UDHR, ICCPR, and UN Guidelines For The Regulation Of Computerized Personal Data Files - actually have a proportional influence on the protection of personal data. Especially for countries that have signed the ICCPR. However, again regarding the execution and preservation of the value of these international legal instruments are things that need to be considered so that a noble value of a legal instrument does not go to waste.
16
Natamiharja, R., 2018. A Case Study on Facebook Data Theft in Indonesia. FIAT JUSTISIA: Jurnal Ilmu Hukum, 12(3): p. 3
Urgensi Pemenuhan Hak Korban melalui Pengesahan Rancangan UndangUndang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)
Oleh : Dini Wininta Sari Universitas Jember
ABSTRAK Masalah kekerasan seksual di Indonesia merupakan bentuk kejahatan terhadap martabat kemanusiaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya hak atas perlindungan dan hak atas keadilan. Hak-hak korban kekerasan seksual belum mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah, sehingga korban tidak memperoleh akses terhadap keadilan yang memadai serta mengalami trauma yang berkepanjangan. Hal ini mengindikasikan regulasi dan penegakan hukum dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual masih kurang berpihak pada korban. Situasi yang demikian mengharuskan pemerintah untuk segera mencari jalan tengah dan melaksanakan strategi yang tepat dengan tujuan untuk kepastian hukum dan keadilan masyarakat. Penulis menggunakan dua metode yaitu doktrinal untuk menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekerasan seksual dan non-doktrinal untuk mengetahui fakta sosial dengan melihat regulasi serta pemberlakuannya. Hasil diskusi menunjukkan bahwa upaya untuk pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual dapat dilakukan dengan membentuk suatu pembaruan hukum, yaitu pengesahan Rancangan UndangUndang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang dapat melindungi korban dan mendorong peran negara agar bertanggung jawab terhadap penghapusan kekerasan seksual di Indonesia. Kata Kunci : Hak Korban, Penghapusan, Kekerasan Seksual
Pendahuluan Kasus
kekerasan seksual di Indonesia
setiap tahun
mengalami
peningkatan, korbannya mulai dari balita, anak-anak, remaja sampai lansia. 1 Anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan seksual karena dianggap sebagai sosok yang lemah serta memiliki ketergantungan yang tinggi dengan orang-orang dewasa di sekitarnya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan ratusan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang diduga dilakukan orang terdekat sebagai pelaku. Data menunjukkan bahwa ditemukan 218 kasus kekerasan seksual anak pada tahun 2015, 120 kasus pada tahun 2016, dan 116 kasus pada tahun 2017. 2 Kemudian Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat jumlah perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual terus meningkat setiap tahun. 3 Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2011 sampai dengan 2019, tercatat 46.698 kasus kekerasan seksual, baik di ranah personal maupun publik dengan bentuk kekerasan seksual yang beragam. Mulai dari perkosaan, pencabulan, pelecehan verbal, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual hingga perbudakan seksual. 4 Beberapa kasus kekerasan pada perempuan belum menemukan titik keadilan bagi para korban. Sebagai contoh kasus yang menarik perhatian publik, yaitu kasus kekerasan yang menimpa Baiq Nuril dan Agni (nama samaran mahasiswi Universitas Gadjah Mada). Penulis meyakini bahwa kasus tersebut merupakan bukti masih lemahnya regulasi dan penegakan hukum di Indonesia mengenai kekerasan seksual, sehingga pemenuhan hak korban tidak terkoordinasi dan tidak komprehensif karena adanya faktor kriminalisasi. Berbagai regulasi Ivo Noviana, “Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya Child Sexual Abuse: Impact And Hendling,” Sosio Informa 1, no. 1 (2015): hlm. 14. 2 Desi Sommaliagustina dan Dian Cita Sari, “Kekerasan Seksual pada Anak dalam Perspektif Hak Asasi Manusia,” Jurnal Psikologi 1, no. 2 (2018): hlm. 76-77. 3 Kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%) artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat. Kekerasan yang terjadi meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual. 4 Siti Aminah Tardi, “Suara Korban, Suara Tuhan Di Kasus Pelecehan Seksual,” nasional, diakses 4 Oktober 2020, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200810071940-21-533895/suarakorban-suara-tuhan-di-kasus-pelecehan-seksual. 1
yang mengatur kriminalisasi suatu perbuatan menjelaskan secara rinci perbuatan yang dapat dijatuhi pidana, namun tidak menjelaskan terkait hak-hak korban. Seperti pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tidak menegaskan definisi korban.5 Permasalahan ini sangat memprihatinkan, sebab dampak kekerasan seksual terhadap korban sangat serius dan menyebabkan trauma berkepanjangan. Hal ini dapat meningkatkan situasi “darurat kekerasan seksual” yang harus segera ditangani secara tepat, adil, dan komprehensif. 6 Negara menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) yang ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan hak dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).7 Beberapa dari hak konstitusional yang harus mendapat perhatian yaitu hak untuk bebas dari ancaman dan kekerasan, hak atas perlindungan serta hak atas keadilan. Sehingga dalam hal ini, korban merupakan warga negara yang memiliki hak-hak khusus, sehingga haknya merupakan bagian dari HAM yang wajib dipenuhi oleh negara. 8 Untuk menganalisis dan menjawab paradoks-paradoks tersebut, penulis melalui tulisan ini mendiskusikan pentingnya hak-hak korban serta layanan untuk korban kekerasan seksual dengan menelusuri substansi dari peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan kekerasan seksual. Kemudian penulis juga mencoba membenturkan hak-hak tersebut dengan upaya penguatan dan pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual melalui pembentukan suatu regulasi yang berpihak pada masyarakat sebagai korban dengan tujuan untuk memberantas kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Maidina Rahmawati, Supriyadi Widodo Eddyono, dan Basuki Rahmat, “Menuju Penguatan Hak Korban dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” t.t., hlm. 7-8. 6 Atikah Rahmi, “Urgensi Perlindungan bagi Korban Kekerasan Seksual dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu Berkeadilan Gender,” JURNAL MERCATORIA 11, no. 1 (28 Juni 2018): hlm. 3840, https://doi.org/10.31289/mercatoria.v11i1.1499. 7 Dalam Pembukaan disebutkan melindungi segenap bangsa Indonesia, yang berarti perlindungan bagi seluruh warga negara. Lihat Rahmi, hlm. 38-40. 8 Sri Endah Kinasih, “Perlindungan dan Penegakan HAM terhadap Pelecehan Seksual,” t.t., hlm. 3-4. 5
Hak-Hak Korban Kekerasan Seksual Penulis meyakini bahwa perlindungan terhadap korban kekerasan seksual merupakan hal yang sangat perlu untuk diberikan. Upaya perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual merupakan bagian dari HAM yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi. Dampak dari kekerasan seksual yang dirasakan korban menimbulkan ancaman fisik dan psikologis yang sangat besar serta stigma yang muncul dari masyarakat. Bentuk perlindungan korban dapat dilakukan melalui reparasi, 9 kompensasi, 10 restitusi, 11 dan rehabilitasi yang merupakan upaya pemulihan korban. Sedangkan pemulihan korban juga ditegaskan secara rinci yang terdiri atas: restitusi, kompensasi, rehabilitasi, pemuasan/satisfaction dan jaminan tidak diulanginya perbuatan. 12 Kemudian pengakuan hak-hak korban kekerasan seksual tercantum secara eksplisit dalam UN Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power.13 Ruang lingkup hak-hak korban yang diatur dalam deklarasi ini, terdiri dari akses terhadap keadilan dan peradilan yang adil, restitusi, kompensasi, dan bantuan. Akses terhadap keadilan dan peradilan yang adil terdiri atas hak atas mekanisme yang adil dan hak atas pemulihan yang diberikan oleh negara. 14 Untuk layanan khusus15 bagi korban kekerasan seksual perlu difokuskan kepada pemulihan bagi korban yang selama ini belum diprioritaskan. Pemulihan berbasis hak dilakukan dengan mengupayakan pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan yang berkelanjutan, yaitu mulai dari hak 9
Reparasi adalah pemulihan kondisi korban. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. 11 Restitusi diatur dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 52 RUU PKS, meliputi: keuangan sebagai ganti kerugian materiil dan immateriil, layanan pemulihan yang dibutuhkan korban dan/atau keluarga korban, permintaan maaf kepada korban dan/atau keluarga korban, dan pemulihan nama baik korban dan/atau keluarga korban. Lihat Rahmawati, Eddyono, dan Rahmat, “Menuju Penguatan Hak Korban dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” hlm. 53. 12 Rahmi, “Urgensi Perlindungan bagi Korban Kekerasan Seksual dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu Berkeadilan Gender,” hlm. 49-50. 13 Deklarasi ini merupakan instrumen internasional pertama yang fokus terhadap kepentingan dan hak-hak korban dalam administrasi peradilan dengan tujuan keadilan dan bantuan untuk korban tindak pidana dan penyalahgunaan kekuasaan. 14 Rahmawati, Eddyono, dan Rahmat, “Menuju Penguatan Hak Korban dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” hlm. 13. 15 UN Secretary-General Guidance Note on Reparations for Conflict-Related Sexual Violence pada Juni 2014 10
memperoleh bantuan fisik, bantuan dalam menyelesaikan masalah dari proses awal hingga akhir, memperoleh rehabilitasi, perlindungan dari kemungkinan adanya ancaman dari pihak pelaku, mendapatkan restitusi, ganti kerugian, kompensasi dari pihak pelaku, hingga mengajukan upaya hukum. 16 Penulis meyakini bahwa agar hak korban dapat dipenuhi dengan semestinya, proses tersebut perlu dilakukan secara komprehensif sehingga trauma yang dialami korban dapat berkurang dan penyelesaian hukum terhadap pelaku dapat ditegakkan. 17 Peran negara sangat penting dalam menjamin pemenuhan segala kepentingan dan hak-hak warga negaranya. Jaminan ini dapat diaktualisasikan dengan memberikan rasa aman melalui kepastian hukum dan keadilan. Berbagai problematika dari konstruksi hukum mengenai kekerasan seksual menegaskan bahwa negara harus mengambil tindakan untuk merekonstruksi rumusan regulasi guna tercapainya akses terhadap keadilan bagi para korban kekerasan seksual. 18 Dalam hal ini, pengesahan RUU PKS yang mengatur secara khusus mengenai hak-hak korban, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual perlu segera ditindaklanjuti. Hak korban dalam RUU PKS diatur ke dalam tiga kelompok, yaitu penanganan,
perlindungan
dan
pemulihan
korban
yang
multidisiplin,
terkoordinasi dan berkelanjutan. 19 Pemenuhan hak atas penanganan bertujuan memberikan pelayanan terpadu yang multisektor dan terkoordinasi kepada korban serta mendukung korban menjalani proses peradilan pidana.
20
Kemudian,
pemenuhan hak atas perlindungan bertujuan memberikan rasa aman bagi korban, Helen Intania Surayda, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual dalam Kajian Hukum Islam,” 2014, hlm. 28-29. 17 Kinasih, “Perlindungan dan Penegakan HAM terhadap Pelecehan Seksual,” hlm. 4. 18 Sayyidatiihayaa Afra Geubrina Raseukiy dan Yassar Aulia, “Membuka Cakrawala Terhadap Akses Keadilan bagi Korban Kejahatan Seksual di Indonesia: Tinjauan Paradigmatis atas Penegakan Hukum,” Majalah Hukum Nasional 1 (2019): hlm. 154. 19 Pasal 22 RUU PKS 20 Pasal 23 RUU PKS: Hak korban atas penanganan meliputi: hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan, perlindungan, dan pemulihan; hak mendapatkan dokumen penanganan; hak atas pendampingan dan bantuan hukum; hak atas penguatan psikologis; hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan dan perawatan medis; hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus korban. diikuti dengan penyelenggaraan visum et repertum, surat keterangan pemeriksaan psikologis dan atau surat keterangan psikiater. 16
keluarga korban serta harta bendanya selama dan setelah proses peradilan pidana. 21 Pemenuhan hak pemulihan meliputi pemulihan secara fisik, psikologis, ekonomi, sosial budaya, dan restitusi serta penguatan dan pemberdayaan korban selama dan setelah proses peradilan.22 Pemulihan dilakukan sejak diketahui atau dilaporkan kasus kekerasan seksual serta diselenggarakan oleh Lembaga Pengada Layanan yang diawasi oleh kementerian di bidang sosial. 23
Problematika Regulasi di Indonesia yang Kurang Berpihak pada Korban Kedudukan korban kekerasan seksual di Indonesia belum mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Berbagai regulasi yang telah dibentuk belum berhasil memenuhi kebutuhan korban, sehingga menghambat korban untuk memperjuangkan hak-haknya. Dalam KUHP telah diatur mengenai kejahatan seksual khususnya pada Pasal 281 KUHP mengenai kesusilaan, Pasal 284 KUHP mengenai perzinahan, dan Pasal 285 KUHP mengenai perkosaan. Hal ini menjadi permasalahan utama berkaitan dengan penyelesaian kasus, sebab KUHP tidak memberikan pengaturan mengenai kejahatan seksual lain.24 Beberapa pasal dalam KUHP yang mengatur perlindungan bagi korban kekerasan seksual hanya terbatas pada pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku, bukan pertanggungjawaban terhadap kerugian atau penderitaan korban secara nyata. 25 Kemudian ketentuan dalam KUHAP menegaskan bahwa pelaku lebih memiliki akses lebih untuk berinteraksi dengan penegak hukum dibandingkan dengan korban. Penulis meyakini bahwa ketentuan tersebut belum menunjukkan keberpihakan terhadap korban, sehingga mekanisme lebih pada penjatuhan pidana karena korban tidak dijadikan subjek dalam peradilan pidana.26 21
Pasal 24 dan Pasal 25 RUU PKS Rahmawati, Eddyono, dan Rahmat, “Menuju Penguatan Hak Korban dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” hlm. 47-49. 23 Pasal 26-31 RUU PKS 24 Afra Geubrina Raseukiy dan Aulia, “Membuka Cakrawala Terhadap Akses Keadilan bagi Korban Kejahatan Seksual di Indonesia: Tinjauan Paradigmatis atas Penegakan Hukum,” hlm. 163-164. 25 Anastasia Hana Sitompul, “Kajian Hukum tentang Tindak Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Indonesia,” Lex Crimen 4, no. 1 (2015): hlm. 47-48. 26 Ketentuan hukum dalam KUHAP menyatakan bahwa korban hanya berinteraksi dengan penyidik pada saat pelaporan atau pengaduan dan berinteraksi dengan hakim serta jaksa penuntut 22
Permasalahan lain yaitu belum adanya regulasi pokok yang secara komprehensif mengatur tentang hak korban kekerasan seksual sebab regulasi yang ada hanya menggunakan undang-undang sektoral dan tidak menjangkau semua jenis korban. Seperti pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak memuat ketentuan pidana mengenai kekerasan seksual terhadap anak, yaitu persetubuhan dan pencabulan terhadap anak. Yang menjadi persoalan adalah undang-undang tersebut tidak mengatur secara khusus hak anak korban kekerasan seksual yang secara pasti memerlukan intervensi berbeda dari korban kejahatan lainnya. 27 Kemudian terdapat undang-undang yang secara substansial lebih baik mengatur tentang hak dan kepentingan korban, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Namun, undang-undang tersebut hanya dapat digunakan untuk kekerasan seksual yang terjadi dalam ruang lingkup yang terbatas yaitu domestik atau dalam rumah tangga, dengan demikian korban kekerasan seksual dengan tindak pidana lain sulit mendapatkan hak-hak khusus tersebut.28 Secara umum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (PSK) memuat ketentuan dasar yang rinci untuk melindungi hak-hak saksi dan koban yang berlaku secara umum untuk semua tindak pidana. 29 Meskipun hak-hak tersebut telah diatur secara tegas, namun pada implementasinya masih banyak korban kekerasan seksual yang memperoleh kriminalisasi setelah melaporkan kasus yang dialaminya. Hal ini menegaskan
umum pada saat pemeriksaan di pengadilan. Sedangkan pelaku dapat berinteraksi dengan penegak hukum dari proses awal sampai akhir. Lihat Buku Seri Pendidikan Publik JP 89 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2016), hlm. 22. 27 Rahmawati, Eddyono, dan Rahmat, “Menuju Penguatan Hak Korban dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” hlm. 23-24. 28 Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, “Seminar Indonesia Darurat Kekerasan Seksual Mendorong Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual,” 2017, hlm. 5-6. 29 Intania Surayda, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual dalam Kajian Hukum Islam,” hlm. 33-34.
regulasi yang mengkriminalisasi beberapa bentuk kekerasan seksual harus memuat bentuk layanan secara umum bagi korban. 30
Urgensi Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) Dari aspek yuridis, terdapat tiga aspek yang harus diperhatikan dalam mengetahui hambatan yang dihadapi korban kekerasan seksual, yaitu aspek substansi, struktur, dan budaya hukum. 31 Dalam tulisan ini, pembahasan akan fokus pada aspek substansi yang erat kaitannya dengan pembentukan rumusan undang-undang. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penegasan hak atas perlindungan dari kekerasan seksual belum dapat diakomodir oleh hukum Indonesia. Dengan demikian, perubahan paradigma yang lebih memihak pada korban diperlukan dalam muatan peraturan perundang-undangan karena hal tersebut akan sangat mempengaruhi bagaimana aparat penegak hukum dalam menangani perkara kejahatan seksual dan pengaruhnya bagi para korban. 32 Penulis dalam hal ini mendesak pemerintah untuk melakukan pembaruan hukum secara menyeluruh, yang meliputi: pengaturan tentang pencegahan terjadinya kekerasan seksual, bentuk-bentuk kekerasan seksual, hak-hak korban, hukum acara peradilan pidana kekerasan seksual, pemantauan penghapusan kekerasan seksual, dan pemidanaan. 33 Dalam rangka
menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut,
Komnas Perempuan menginisiasi pembentukan RUU PKS yang menganut prinsip lex
specialis
derogat
legi
generali
(hukum
yang
bersifat
khusus
mengesampingkan hukum yang bersifat umum). 34 Kekhususan rancangan undangRahmawati, Eddyono, dan Rahmat, “Menuju Penguatan Hak Korban dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” hlm. 36-39. 31 Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective (New York: Russell Sage Foundation, 1975). 32 “Seminar Indonesia Darurat Kekerasan Seksual Mendorong Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual,” hlm. 5-6. 33 Unsur-unsur tersebut telah dicantumkan secara rinci dalam RUU PKS, namun sampai saat ini belum adanya kepastian kapan disahkannya RUU PKS tersebut.Lihat hlm. 8. 34 RUU PKS merumuskan 9 (sembilan) jenis tindak pidana kekerasan seksual meliputi: pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual. 30
undang ini akan memberikan pemenuhan hak-hak korban yang diwujudkan dalam setiap proses peradilan pidana termasuk koordinasi dalam penyelenggaraan pemulihan bagi korban dan upaya pelaksanaan tujuan penindakan pelaku. 35 RUU PKS mampu membentuk sistem baru yang berperspektif pada perlindungan korban dari sisi penegakan hukum karena RUU ini didasarkan pada kajian terhadap pengalaman-pengalaman korban dan bagaimana mereka menghadapi proses hukum. 36 Hal ini dibuktikan dengan pengaturan yang komperehensif tentang usaha untuk tidak memberikan stigma kepada korban, seperti pengaturan mengenai larangan bagi aparatur penegak hukum untuk menyalahkan korban, menelusuri riwayat seksual korban dan mempublikasikan identitas korban.37 Permasalahan utama yang terjadi hingga saat ini adalah RUU PKS ditarik dari daftar Program Legislasi Nasional (Polegnas) Prioritas 2020 atas usulan dari Komisi VIII dengan alasan pembahasannya sulit dilakukan. Wakil Ketua Komisi VIII, Marwan Dasopang menjelaskan kesulitan yang dimaksud disebabkan lobilobi fraksi dengan seluruh fraksi di Komisi VIII masih menemui jalan buntu, yang mana sejak periode lalu pembahasan RUU PKS masih terjadi perdebatan mengenai judul, definisi kekerasan seksual, dan aturan mengenai pemidanaan.38 Penulis meyakini setidaknya ada 6 (enam) alasan urgensi pengesahan RUU PKS. Pertama, karena Indonesia memerlukan penegak hukum yang responsif terhadap korban kekerasan seksual. Kedua, RUU PKS mengenal konsep relasi kuasa dalam kasus kekerasan seksual, sehingga dapat menghindari korban dari penyalahgunaan keadaan.39 Ketiga, RUU PKS dapat mencegah kriminalisasi korban, keluarga korban, para saksi, dan pendampingnya atas kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. Keempat, RUU PKS menjamin partisipasi masyarakat Intania Surayda, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual dalam Kajian Hukum Islam,” hlm. 35. 36 hlm. 8. 37 Rahmawati, Eddyono, dan Rahmat, “Menuju Penguatan Hak Korban dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” hlm. 59. 38 Sania Mashabi, “Marak Kasus Kekerasan Seksual Dinilai Jadi Alasan Urgensi Pengesahan RUU PKS,” KOMPAS.com, diakses 8 Oktober 2020, https://nasional.kompas.com/read/2020/08/12/10225291/marak-kasus-kekerasan-seksual-dinilaijadi-alasan-urgensi-pengesahan-ruu-pks. 39 Relasi kuasa sebagai suatu modus terjadinya kekerasan seksual yang polanya semakin kompleks serta berkaitan dengan kedudukan korban dan pelaku kekerasan seksual. Pelaku merupakan pihak yang memiliki kuasa di dalam suatu relasi atau hubungan. 35
dalam mendukung korban yang dijamin dalam hal pemantauan atau pelaporan kasus. Kelima, RUU PKS mengakui keterangan saksi dan korban sebagai alat bukti yang sah dalam penyidikan serta surat dari psikolog dan dokter kejiwaan sebagai barang bukti. Keenam, RUU PKS menjamin masuknya materi penghapusan kekerasan seksual dalam kurikulum pendidikan tinggi sebagai sarana edukasi. 40
Penutup Perlindungan korban dalam berbagai regulasi yang berlaku saat ini seperti KUHP, KUHAP, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kenyataannya belum berhasil memenuhi kebutuhan korban. Hal ini dikarenakan regulasi tersebut hanya dapat digunakan untuk kekerasan seksual yang terjadi dalam ruang lingkup terbatas dan tidak menjangkau semua jenis korban. Dengan demikian, pembaruan regulasi yang lebih berpihak pada korban dalam penanganan kekerasan seksual perlu segera dibentuk secara komperehensif. Keberadaan RUU PKS dalam upaya mendekatkan korban kepada pemenuhan haknya harus diapresiasi. Hak korban yang diatur dalam RUU PKS diatur ke dalam tiga kelompok, yaitu penanganan, perlindungan dan pemulihan korban. Dengan adanya rancangan undang-undang ini, pemenuhan hak-hak korban dapat diwujudkan dalam setiap proses peradilan pidana termasuk upaya pemulihan bagi korban serta pemidanaan terhadap pelaku. Sehingga, korban akan merasa mendapatkan perlindungan dan terpenuhinya rasa keadilan di masyarakat.
Sania Mashabi, “Urgensi RUU PKS untuk Segera Disahkan DPR,” KOMPAS.com, diakses 8 Oktober 2020, https://nasional.kompas.com/read/2020/08/07/08253531/urgensi-ruu-pks-untuksegera-disahkan-dpr. 40
Daftar Pustaka Afra Geubrina Raseukiy, Sayyidatiihayaa, dan Yassar Aulia. “Membuka Cakrawala Terhadap Akses Keadilan bagi Korban Kejahatan Seksual di Indonesia: Tinjauan Paradigmatis atas Penegakan Hukum.” Majalah Hukum Nasional 1 (2019). Aminah Tardi, Siti. “Suara Korban, Suara Tuhan Di Kasus Pelecehan Seksual.” nasional.
Diakses
4
Oktober
2020.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200810071940-21-533895/suarakorban-suara-tuhan-di-kasus-pelecehan-seksual. Buku Seri Pendidikan Publik JP 89 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2016. Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. “Seminar Indonesia Darurat Kekerasan Seksual Mendorong Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual,” 2017. Hana Sitompul, Anastasia. “Kajian Hukum tentang Tindak Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Indonesia.” Lex Crimen 4, no. 1 (2015). Intania Surayda, Helen. “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual dalam Kajian Hukum Islam,” 2014. Kinasih, Sri Endah. “Perlindungan dan Penegakan HAM terhadap Pelecehan Seksual,” t.t., 5. “Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).” Diakses 4 Oktober 2020. https://www.kpai.go.id/. Komnas Perempuan. “Siaran Pers dan Lembar Fakta Komnas Perempuan: Catatan Tahunan
Kekerasan
terhadap
Perempuan
2020,”
2020.
https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-siaran-pers-dan-lembarfakta-komnas-perempuan-catatan-tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan2020. M. Friedman, Lawrence. The Legal System: A Social Science Perspective. New York: Russell Sage Foundation, 1975. Mashabi, Sania. “Marak Kasus Kekerasan Seksual Dinilai Jadi Alasan Urgensi Pengesahan RUU PKS.” KOMPAS.com. Diakses 8 Oktober 2020.
https://nasional.kompas.com/read/2020/08/12/10225291/marak-kasuskekerasan-seksual-dinilai-jadi-alasan-urgensi-pengesahan-ruu-pks. ———. “Urgensi RUU PKS untuk Segera Disahkan DPR.” KOMPAS.com. Diakses
8
Oktober
2020.
https://nasional.kompas.com/read/2020/08/07/08253531/urgensi-ruu-pksuntuk-segera-disahkan-dpr. Noviana, Ivo. “Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya Child Sexual Abuse: Impact And Hendling.” Sosio Informa 1, no. 1 (2015). Purnomo Wahidin, Kudus, dan Akbar Ridwan. “Urgensi Pengesahan RUU PKS dan Dinamika tak Berujung di DPR.” https://www.alinea.id/. Diakses 8 Oktober 2020. https://www.alinea.id/nasional/urgensi-pengesahan-ruu-pksdan-dinamika-tak-berujung-di-dpr-b1ZQk9vA5. Rahmawati, Maidina, Supriyadi Widodo Eddyono, dan Basuki Rahmat. “Menuju Penguatan Hak Korban dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” t.t., 70. Rahmi, Atikah. “Urgensi Perlindungan bagi Korban Kekerasan Seksual dalam Sistem
Peradilan
MERCATORIA
Pidana 11,
Terpadu no.
Berkeadilan
1
(28
Gender.”
Juni
JURNAL
2018):
37.
https://doi.org/10.31289/mercatoria.v11i1.1499. Sommaliagustina, Desi, dan Dian Cita Sari. “Kekerasan Seksual pada Anak dalam Perspektif Hak Asasi Manusia.” Jurnal Psikologi 1, no. 2 (2018). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban