Local Chapter Legal Writings - ALSA LC UNAIR

Page 1

LOCAL CHAPTER LEGAL WRITINGS

alsa-indonesia.org


PARADIGMA PEMIDANAAN PELAKU PROSTITUSI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA ALSA Local Chapter Universitas Airlangga alsalcunair@yahoo.com Abstrak Dalam hukum positif di Indonesia belum ada yang mengatur khusus mengenai praktik prostitusi. Prostitusi merupakan fenomena yang telah lama terjadi di Indonesia. Namun, dasar hukum pemidanaan pelaku prostitusi di Indonesia hanya mengatur mengenai pemidanaan terhadap mucikari, dan tidak mengatur pemidanaan terhadap PSK dan pelanggannya. Dasar hukum pemidanaan Prostitusi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya diatur dalam pasal 296 dan pasal 506 KUHP, yang mengatur mengenai pemidanaan terhadap Mucikari. Sedangkan terhadap PSK dan pelanggannya, sama sekali tidak dapat dikenakan pidana dari tindakan prostitusi yang mereka lakukan. Pemidanaan yang terjadi pada PSK dan pelanggannya seringkali menggunakan dasar dalam Pasal 284 KUHP tentang perzinahan tetapi merupakan delik aduan, atau pasal dalam UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) apabila menyebarkan konten pornografi, atau menggunakan UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi atas tindakan menyebarluaskan konten pornografi ataupun menyediakan jasa pornografi. Meskipun dasar pemidanaan bagi PSK dan pelanggannya itu berhubungan dengan tindakan asusila atau tindakan seks yang mereka lakukan, tetapi tidak didasarkan secara langsung pada tindakan prostitusi yang mereka lakukan. Kemudian terdapat perbedaan pendapat mengenai penggolongan prostitusi sebagai TPPO atau tidak. Ada juga inkonsistensi dalam penerapan hukum di setiap kasus prostitusi yang ada di Indonesia. Misalnya, ada kasus yang dimasukkan dalam TPPO dan ada yang malah mengikutkan PSK-nya sebagai pelaku dari kasus lain yang berhubungan dengan tindakan prostitusinya meskipun tidak secara langsung. Sehingga masih banyak terdapat kekosongan hukum mengenai penegakan hukum prostitusi di Indonesia. Tulisan ini mencoba menjawab ketidakjelasan yang membungkus hukum dari prostitusi di Indonesia dan menguraikannya. Kata Kunci: Eksploitasi; Mucikari; Prostitusi; PSK; UU TPPO.

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Eksistensi dari hukum sebagai ilmu hukum praktis sudah sepatutnya menjadi sebuah solusi dari suatu permasalahan hukum. Karena pada dasarnya tujuan dari hukum itu sendiri adalah sebagai legal problem solving.1 Dalam kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari hukum, dimana tanpa adanya hukum maka akan menimbulkan keadaan chaos. Oleh karena itu diperlukan adanya kaidah hukum, walaupun telah ada kaidah kepercayaan atau keagamaan, kaidah kesusilaan, dan kaidah sopan santun, tata krama atau adat, tetapi kaidah-kaidah tersebut hanya membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban saja. Sedangkan kaidah hukum, selain membebani manusia dengan kewajiban,

1

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, 2011, h. 12.


kaidah hukum juga memberikan hak. 2 Dengan adanya kaidah hukum, maka kepentingan-kepentingan manusia yang sudah mendapat perlindungan dari kaidah lainnya akan lebih terlindungi, serta kaidah hukum melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang belum mendapat perlindungan dari kaidah lainnya.3 Dalam hal ini, terkait prostitusi berhubungan dengan kaidah kesusilaan. kaidah kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai individu, menyangkut kehidupan pribadi manusia. Sumber kaidah kesusilaan adalah dari manusia sendiri, jadi bersifat otonom dan tidak ditujukan kepada sikap lahir, tetapi ditujukan kepada sikap batin manusia juga. Sanksi yang mengancam apabila terdapat perbuatan yang melanggar kaidah kesusilaan adalah batin manusia itu sendiri. Tidak ada kekuasaan diluar dirinya yang memaksakan sanksi itu 4. Berbeda dengan kaidah hukum yang berasal dari luar diri manusia. kaidah hukum berasal dari kekuasaan luar diri manusia yang memaksakan kepada kita (heteronom)5. Sehingga terdapat sanksi yang bersifat memaksa apabila kaidah hukum itu dilanggar. kaidah hukum dan kaidah lainnya termasuk kaidah kesusilaan tidak dapat dipisahkan, karena ada hubungan erat yang saling mempengaruhi satu sama lain. 6 Misalnya dalam hukum positif Indonesia mengenai hukum pidana, memperhatikan kaidah-kaidah kesusilaan dan memberikan jaminan kepastian hukum dengan mengaturnya secara khusus dalam KUHP pada BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan pada BAB VI tentang Pelanggaran Kesusilaan. Namun, walaupun telah ada dasar hukum yang memberikan kepastian hukum mengenai kaidah kesusilaan, terkait Prostitusi di Indonesia masih menimbulkan banyak pertanyaan karena adanya kekosongan hukum mengenai aturan tentang prostitusi itu sendiri. Hal yang dipertanyakan dalam hal ini adalah Apakah menurut pandangan hukum Indonesia prostitusi merupakan tindak pidana atau hanya merupakan tindakan yang melanggar kesusilaan? Urgensi dari adanya jawaban dari pertanyaan tersebut adalah karena menyangkut pada penentuan prostitusi sebagai kaidah hukum atau kaidah kesusilaan, yang berpengaruh pada ada atau tidak adanya sanksi hukum terhadap pelaku prostitusi. Dalam hal ini, yang juga menjadi perdebatan dan menimbulkan banyak sekali penafsiran adalah mengenai status dari PSK apakah juga merupakan pelaku prostitusi? Serta apakah penegakan hukum prostitusi di Indonesia sudah tepat dan telah memenuhi nilai-nilai keadilan? Dalam peraturan perundang-undangan yang ada sama sekali tidak ada aturan sanksi bagi PSK, sedangkan terdapat aturan sanksi bagi Mucikari sebagaimana diatur dalam Pasal 296 KUHP & UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO)? Dalam hal ini apabila PSK melakukan secara sukarela dan ia tidak beritikad baik 2

Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo,S.H., Mengenal Hukum, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta , 2007. h. 14. Ibid. h. 11. 4 Ibid. h. 7. 5 Ibid. h. 13. 6 Ibid. h. 14. 3


untuk menghindari perbuatannya yang melanggar kesusilaan, apakah adil bagi pihak lainnya apabila PSK tidak dikenai sanksi padahal PSK adalah pelaku utama dari prostitusi dan ia juga mendapatkan keuntungan dari prostitusi itu sendiri. Selain itu, hal lain yang dipertanyakan adalah apakah prostitusi dapat dikualifikasikan sebagai TPPO? Berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU TPPO menyatakan bahwa: “Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.” 7 Sehingga dalam hal ini apabila korban secara sukarela menyetujui tindakan eksploitasi terhadap dirinya, dengan demikian sudah sepatutnya diduga ia mendapatkan keuntungan atas hal tersebut. Apakah dapat disimpulkan bahwa Korban tindakan eksploitasi dalam TPPO tersebut sama dengan Prostitusi dimana PSK secara sukarela dan menyetujui serta mendapatkan keuntungan atas hal tersebut. Dalam penegakan hukum Prostitusi di Indonesia terdapat inkonsistensi dalam hal pengenaan sanksi pada para pihak yang terlibat dalam Prostitusi. Dimana berdasarkan peraturan perundangundangan yang ada, pihak yang dapat dikenai sanksi dari Prostitusi hanyalah Mucikari. Pengenaan sanksi pidana pada Mucikari diatur dalam Pasal 296 KUHP dan UU TPPO. Sedangkan untuk sanksi bagi PSK dan pelanggannya, dapat dikenai pasal 284 KUHP tentang tindak pidana perzinahan. Akan tetapi, pasal tersebut merupakan delik aduan sehingga untuk dapat dikenakan pasal tersebut, harus didahului dengan adanya aduan dari suami/istri pelaku. PSK dan pelanggannya juga dapat

dikenakan pasal dalam UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (disingkat UU ITE) apabila menyebarkan konten pornografi dan UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi atas tindakan menyebarluaskan konten pornografi ataupun menyediakan jasa pornografi. Akan tetapi, sanksi pidana berdasarkan UU ITE dan UU Pornografi hanya dapat dikenakan apabila terjadi penyebaran konten pornografi, sehingga apabila tidak ada penyebaran konten pornografi baik di internet ataupun di tempat umum maka PSK maupun pelanggannya tidak dapat dikenai sanksi apapun dan bebas dari segala tuntutan hukum terkait tindakan Prostitusi yang dilakukannya. Sehingga PSK sebagai pelaku utama dari Prostitusi itu sendiri tidak dapat dikenai sanksi pidana atas tindakan Prostitusi. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum pada pelaku prostitusi sangat tidak tegas dan menimbulkan terjadinya kekosongan hukum, sehingga status dari PSK sebagai pelaku utama prostitusi seakan-akan tidak dihiraukan karena tidak adanya aturan hukum 7

UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Ps. 1 angka 7.


yang mengatur secara tegas sanksi pidana untuk PSK. Maka penegakan hukum prostitusi di indonesia belum sepenuhnya memenuhi nilai-nilai keadilan, karena PSK yang dapat dikatakan sebagai “tokoh utama” prostitusi yang secara sukarela dan menyetujui tindakan prostitusi serta mendapatkan keuntungan dari tindakan prostitusi tersebut tidak dapat dikenai sanksi hukum secara efektif.

B. RUMUSAN MASALAH 1. Apakah menurut pandangan hukum Indonesia prostitusi merupakan tindak pidana atau hanya merupakan tindakan yang melanggar kesusilaan? Serta, apakah penegakan hukum kepada pelaku prostitusi perlu dilakukan? 2. Apakah prostitusi dapat dikualifikasikan sebagai Tindak Pidana Perdagangan Orang? II.

PEMBAHASAN

1. Legalitas praktik prostitusi serta penegakan hukum bagi pelaku praktik prostitusi di Indonesia Dalam sistem hukum di Indonesia, belum diatur secara eksplisit mengenai praktik prostitusi. Secara etimologi kata prostitusi berasal dari bahasa latin yaitu “pro-stituere” yang artinya membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, pencabulan, dan pergendakan atau perselingkuhan. Sedangkan kata “prostitute” merujuk pada kata keterangan yang berarti Wanita Tuna Susila (WTS) atau biasa disebut dengan PSK (Pekerja Seks Komersial) yakni seseorang yang menjual jasa seksual. Prostitusi juga dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatanperbuatan seksual dengan mendapatkan imbalan sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan sebelumnya 8. Prostitusi merupakan fenomena yang telah lama terjadi di Indonesia. Namun, sistem hukum di Indonesia hanya mengatur mengenai pidana terhadap mucikari, bukan pelaku dari perbuatan prostitusi yakni PSK dan pelanggan dari PSK itu sendiri. Prostitusi atau tindakan pelacuran dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya diatur dalam pasal 296 dan juga pasal 506 KUHP. Pasal 296 KUHP menyebutkan bahwa “Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, 8

Drs. H. Kondar Siregar, MA, Model Pengaturan Hukum tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu, Perdana Mitra Handalan, Medan, 2015 . h. 1-3


dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah9.” Sedangkan dalam pasal 506 KUHP menyebutkan “Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai mata pencaharian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun10.” Namun, berdasarkan pasal

tersebut

yang dapat

dijerat

hanyalah seorang

mucikari

atau

pemilik/pengelola tempat lokalisasi. Pasal tersebut tidak menjerat “pelaku utama” dari praktik prostitusi itu sendiri yakni PSK dan pengguna jasa/pelanggannya. Pasal tersebut juga tidak mengatur mengenai bagaimana jika seorang PSK dan pelanggannya mengadakan transaksi untuk melakukan perbuatan seksual tersebut tanpa perantara (mucikari) atau dengan kata lain PSK tersebut me-manage dirinya sendiri, apakah perbuatan tersebut juga dapat dikategorikan dalam suatu perbuatan prostitusi atau tidak? Untuk menjerat PSK dan pelanggannya, dapat dengan menggunakan pasal 284 KUHP tentang tindak pidana perzinahan. Permasalahannya adalah, pasal tersebut merupakan delik aduan sehingga untuk dapat dikenakan pasal tersebut, harus didahului dengan aduan dari suami/istri pelaku. Permasalahan lain yang muncul adalah, bagaimana jika PSK maupun pelanggannya belum terikat dalam perkawinan? maka mereka tidak dapat dikenakan pasal tersebut dan akan dibebaskan dari hukuman. Selain menggunakan pasal tentang overspel, PSK dan pelanggannya juga dapat dikenakan pasal dalam UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (disingkat UU ITE) apabila menyebarkan konten pornografi dan UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi atas tindakan menyebarluaskan konten pornografi ataupun menyediakan jasa pornografi. Namun, pasal-pasal tersebut tidak memberikan ancaman pidana pada perbuatan prostitusi itu sendiri, akan tetapi karena menyebarluaskan di media sosial ataupun melakukan hal-hal yang melanggar kesusilaan di tempat umum. Jika tidak melanggar keduanya, maka PSK dan pelanggannya juga tidak dapat dijerat pidana. Terdapat beberapa wilayah yang melarang prostitusi dalam peraturan daerahnya. Contohnya adalah Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, pasal 42 ayat 2 menyatakan “Setiap orang dilarang: a.menjadi penjaja seks komersial; b.menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial; c.memakai jasa penjaja seks komersial11.” Namun, kembali lagi bahwa peraturan tersebut adalah peraturan daerah yang tidak mengikat semua orang, hanya warga 9

Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) Ps. 296 Ibid., Ps. 506 11 Perda DKI Jakarta No. 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, Ps. 42 ayat 2 10


daerah tersebut saja. Dari sini dapat dilihat bahwa terdapat kekosongan hukum dalam menjerat pelaku prostitusi. Peraturan mengenai prostitusi di Indonesia masih sangat kurang, dan sifatnya kabur. Dalam beberapa kasus prostitusi yang terjadi di Indonesia, mucikari juga sering dijerat dengan pasal lain yakni terkait dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sebagaimana diatur dalam UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, atau dengan UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik apabila mucikari tersebut menyebarkan konten yang dianggap melanggar kesusilaan/konten pornografi. Dalam hal seorang mucikari dikenakan dengan pasal dalam UU TPPO, maka PSK tidak dapat dikenakan pidana dikarenakan dalam hal ini PSK termasuk ke dalam kategori korban. Selain itu, jika korban dari tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh mucikari tersebut merupakan anak-anak (belum berusia 18 tahun) maka dapat dijerat dengan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di Indonesia sendiri, prostitusi merupakan suatu perbuatan yang dianggap tercela dan tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Prostitusi dapat ditafsirkan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan/moralitas yang tidak sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa. Namun, belum ada hukum yang secara khusus mengaturnya sehingga dalam praktiknya masih banyak prostitusi di Indonesia. Hukum pidana di Indonesia “kurang tegas” dalam mengatur perkara tersebut. Berdasarkan pasal 1 ayat 1 KUHP yang mengatur mengenai asas legalitas, menyebutkan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Pasal dalam UU ‘tidak benar-benar’ mengatur mengenai praktik prostitusi itu sendiri. Lantas apakah hal tersebut dapat diartikan bahwa prostitusi di Indonesia adalah legal? Jika dilihat dari sistem hukum Indonesia yang tidak mengaturnya, secara tidak langsung itu berarti melegalkan. Prostitusi termasuk dalam perbuatan melawan hukum materiil yang berfungsi positif artinya adalah perbuatan tersebut tidak diatur di dalam undang-undang, namun oleh masyarakat dianggap tercela atau tidak sesuai dengan kaidah dan nilai yang ada dalam masyarakat. Namun kembali lagi, jika dikaitkan dengan asas legalitas dimana suatu perbuatan tidak dapat dihukum kecuali ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, maka tidak dapat dilakukan penegakan hukum terhadap praktik prostitusi. Mengapa Indonesia Tidak Mengkriminalkan Perbuatan Prostitusi di dalam KUHP nya?


Jika dilihat kembali sejarah pembuatan KUHP, berdasarkan asas konkordansi maka WvSNI ( Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie ) tanggal 15 Oktober 1915 dan diundangkan dalam S. 1915 No. 732 dan mulai diberlakukan di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1918.12 Setelah kemerdekaan, KUHP tetap diberlakukan disertai penyelarasan kondisi berupa pencabutan pasal-pasal yang tidak lagi relevan. Hal ini berdasarkan pada Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang menyatakan bahwa: "Segala badan negara dan peraturan yang masih ada langsung diberlakukan selama belum diadakan yang baru menurut UndangUndang Dasar ini13.” Ketentuan tersebutlah yang kemudian menjadi dasar hukum pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan pada masa kolonial pada masa kemerdekaan. Untuk menegaskan kembali pemberlakuan hukum pidana pada masa kolonial tersebut, pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah kemudian mengeluarkan UndangUndang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-undang inilah yang kemudian dijadikan dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). Karena KUHP merupakan peninggalan dari Belanda, maka sistem hukumnya juga mengikuti budaya barat yang bersifat liberalis. dalam budaya barat, termasuk Belanda mentolerir adanya ‘kumpul kebo’, hal tersebut sangat bertentangan dengan budaya indonesia. Di Belanda, membeli dan menjajakan hubungan seks adalah tindakan legal selama hal itu melibatkan ‘seks antara orang dewasa yang saling menyepakati’. Faktor lainnya adalah WVS sudah lama sekali dibuat, sehingga perlu menambah aturan baru yang dapat mengikuti perkembangan zaman. Oleh karenanya, sudah tepat jika dalam Rancangan Undang-Undang KUHP (RUU KUHP) mengatur mengenai prostitusi. Dalam RUU KUHP, Pasal pasal 483 ayat 1 menyatakan “dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan14.” Hal tersebut akan memberikan kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan, karena jika tidak maka peraturan yang ada akan terkesan kabur. Perbuatan tersebut dianggap tercela oleh masyarakat, namun hukum tidak melarangnya. Terdapat larangan, namun hanya berlaku untuk mucikari saja dan meloloskan pelaku utama (PSK dan pelanggannya). Seharusnya undang-undang yang akan diberlakukan di Indonesia harus

12

Didik Endro Purwoleksono, Hukum Pidana, Airlangga University Press, Surabaya, 2014. h. 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Ps II Aturan Peralihan 14 Rancangan Undang-Undang KUHP. Ps. 483 13


berpijak pada sisi-sisi filosofis dan sosiologis maupun apa yang menjadi keyakinan yuridis mayoritas bangsa Indonesia

2. Prostitusi dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) telah diberikan definisi yang cukup luas untuk klausa perdagangan orang. Yang mana dalam pasal 1 angka 1 disebutkan sebagai suatu kegiatan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, atau menerima orang dengan tujuan eksploitasi atau membuat orang tersebut tereksploitasi dengan cara-cara tertentu dikualifikasi sebagai Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang selanjutnya disebut sebagai TPPO. Prostitusi, sebagai suatu tindakan yang banyak diperbincangkan di masyarakat, seringkali dikualifikasi sebagai TPPO.

Terdapat beberapa pandangan yang menyetujui

pemikiran tersebut, salah satunya adalah pendapat Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Kabupaten Tuban, yaitu Nurjanah yang menyatakan bahwa kegiatan Prostitusi tergolong perdagangan manusia. Sebab, didalamnya ada praktek jual beli manusia oleh sang mucikari.

Alasan penjelasannya adalah karena

didalam kegiatan prostitusi terdapat kegiatan memperdagangkan perempuan untuk tujuan eksploitasi seksual. Pemahaman dan kualifikasi yang demikian dinilai keliru oleh Profesor Harkristuti Harkrisnowo, yang mana beliau merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Di hadapan akademisi dan praktisi pelatihan hukum pidana di Banjarmasin, beliau menilai bahwa sebagian orang salah persepsi mengenai prostitusi. Beliau mengatakan bahwa sebagian masyarakat menyatakan bahwa prostitusi merupakan perdagangan orang, padahal menurut beliau yang dilakukan prostitusi tersebut adalah perdagangan layanan seksual, dimana terdapat perbedaan penting yaitu “mereka” (yang dalam hal ini PSK) mau (secara sukarela menyetujui) atau tidak mau (tidak sukarela). Dari pandangan tersebut dapat dilihat adanya garis pembeda antara prostitusi sebagai korban TPPO atau bukan, yaitu dari kehendak PSK. Ada yang “termasuk perdagangan orang” dan ada yang merupakan “pekerjaan menjual jasa seks”. Tapi, dalam pasal 1 angka 1 UU TPPO menegaskan bahwa Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,


penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi15. Dan dilanjut dengan pasal 1 angka 7 UU TPPO yang menegaskan istilah eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil16. Dari sini terlihat dua hal, yang pertama adalah perdagangan orang yang bertujuan untuk eksploitasi yang mana tindakan nya tidak terbatas pada pelacuran. Prostitusi atau pelacuran dapat masuk kedalam kategori eksploitasi yang mana merupakan tujuan dari perdagangan orang, bukan secara langsung prostitusi adalah perdagangan orang. Jadi sebenarnya tidak bisa dikatakan secara langsung bahwa perbuatan prostitusi merupakan TPPO dan kemudian mucikari adalah pelakunya dan PSK adalah korbannya. Kemudian dapat dilihat bahwa eksploitasi yang dilakukan dalam perdagangan orang tidak memandang “persetujuan” tokoh utama atau PSK sendiri. Jadi, meskipun mereka sendiri sudah menyetujui untuk melakukan prostitusi atau pelacuran, selama ada mucikari dalam tindakan tersebut, maka akan tetap masuk ke dalam kategori TPPO. Selain pendapat dan tindakan para penegakan hukum dalam menangani berbagai kasus prostitusi yang selalu menggunakan pasal TPPO, terdapat juga yurisprudensi yang menegaskan hal yang searah dengan pandangan ini. Menurut pertimbangan putusan kasasi MA Nomor 1387/Pid.Sus/2014, disebutkan bahwa: Alasan-alasan kasasi Jaksa/Penuntut Umum dibenarkan, Judex Facti salah menerapkan hukum dalam hal menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 10 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 dengan alasan sebagai berikut: a. Bahwa alasan pertimbangan Judex Facti dalam membebaskan Terdakwa dengan alasan bahwa Anak Nakal/Terdakwa tidak pernah membohongi ataupun menipu saksi korban agar mau bekerja di Cafe Indri karena Anak Nakal telah menceritakan semua 15 16

Op.cit., Ps. 1 angka 1 Ibid., Ps. 1 angka 7


tugas sebagai purel/pegawai di cafe termasuk uang yang diterima ..., dan seterusnya Anak Nakal tersebut mengeluarkan biaya terlebih dahulu untuk menjemput saksi korban. Di samping itu, korban tidak sama sekali tidak mengalami penderitaan fisik maupun psikologis, bahkan pengakuan Saksi Korban menyatakan betah kerja di Cafe Indri karena tetap diberi kebebasan oleh pemilik cafe ..., dan seterusnya. Berdasarkan uraian tersebut tidak ada satu unsur pun yang ada pada perbuatan Anak Nakal/ Terdakwa yang bersifat pemaksaan, ancaman, kekerasan, penipuan yang dilakukan oleh Anak Nakal terhadap Saksi Korban Indrayani; b. Bahwa alasan pertimbangan Judex Facti tersebut keliru dalam memahami dan menafsirkan unsur-unsur Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 10 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007, dengan mengatakan bahwa perbuatan Anak Nakal/ Terdakwa tidak ada yang bersifat pemaksaan, ancaman kekerasan, penipuan dan sebagainya terhadap saksi korban. Judex Facti membatasi dan mengurangi sebagian unsur-unsurnya. Bahwa benar dalam perkara a quo unsur pemaksaan, ancaman kekerasan dan penipuan tidak terpenuhi. Namun unsur tersebut merupakan unsur yang bersifat alternatif (bukan unsur kumulatif) artinya masih ada unsur lainnya yang harus dibuktikan. Hal ini bukan berarti, dengan tidak terpenuhinya sebagaimana dimaksud Judex Facti tidak dapat disimpulkan bahwa Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 10 UndangUndang No. 21 Tahun 2007 tidak terbukti sehingga Terdakwa dibebaskan; Bahwa masih terdapat unsur lainnya yang dapat dibuktikan yaitu unsur membantu melakukan penerimaan atau perekrutan terhadap seorang dalam keadaan posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun dengan persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain 17; c. Bahwa perbuatan Terdakwa a quo untuk membantu pemilik cafe Sdr. Winarti guna mendatangkan atau merekrut orang yang dapat dipekerjakan di cafe untuk apalagi dengan gaji yang sangat rendah yaitu Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per bulan ditambah bonus Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) per jam apabila melayani atau menemani tamu-tamu dengan menggunakan celana pendek yang seksi adalah merupakan bentuk eksploitasi secara ekonomi maupun secara seks. Meskipun kemudian Saksi Korban merasa senang atau menikmati kebebasan bersama dengan para tamu serta pemilik cafe; d. Bahwa oleh karena itu, perbuatan Terdakwa/Anak Nakal yang mencari orang tenaga kerja sampai ke kampung yaitu Pasuruan, di antaranya adalah Saksi Korban 17

Ibid., Ps. 2 ayat (1)


Indrayani untuk dipekerjakan di cafe karaoke guna melayani dan menemani tamutamu untuk minum beralkohol bir/minuman keras dan bisa dipegang-pegang atau dirangkul atau dipeluk dengan memakai celana pendek adalah merupakan servis pelayanan seks meskipun hanya dalam kemasan perbuatan cabul, tujuannya adalah untuk mengeksploitasi saksi korban adalah merupakan perbuatan yang memenuhi unsur Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 10 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007. Dari sini dapat terlihat bahwa hakim menganggap bahwa perbuatan “Saksi korban” (yang merupakan mucikari) dapat dikatakan masih “dibawah” perbuatan prostitusi dan sudah dapat dikenakan TPPO. Padahal prostitusi sudah mengetahui dan secara sukarela menyetujui melakukannya serta mendapatkan keuntungan dari hal tersebut tetap dimasukan kedalam kasus TPPO. Meskipun begitu, sama seperti yang disampaikan Profesor Harkristuti Harkrisnowo, penulis juga menganggap bahwa prostitusi tidak dapat disamakan dengan TPPO. Hal yang paling mendasar dalam perbedaanya adalah kesukarelaan PSK tersebut. Dalam kasasi dikatakan bahwa “..unsur membantu melakukan penerimaan atau perekrutan terhadap seorang dalam keadaan posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun dengan persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain.” 18 Posisi rentan sendiri merupakan pihak yang lemah, baik lemah secara fisik maupun mental, secara ekonomis, politik dan sosial. Biasanya dikaitkan dengan anak-anak, perempuan, tidak berpendidikan, miskin, tidak kenal hukum, tidak mempunyai perlindungan dan lain-lain.. Yang mana, jika kita kaitkan dengan tindak kriminalitas lain yaitu, misalkan pencurian, maka masyarakat menengah bawah atau orang yang berada dalam “posisi rentan” akan dianggap lebih berpotensi menjadi pelaku pencurian meskipun tidak menutup kemungkinan dari kalangan menengah ataupun ada yang melakukan dengan alasan yang tidak berhubungan dengan alasan pemenuhan kebutuhan hidup. Dari sini dapat dikatakan bahwa kadang menjadi prostitusi sendiri adalah suatu pilihan, kesukarelaan, orang yang berada dalam posisi rentan tersebut dapat berjuang lebih keras agar tidak perlu menjadi prostitusi itu sendiri. Kebanyakan, prostitusi yang dilakukan artis-artis pun seharusnya tidak dapat dimasukan kedalam TPPO karena tidak masuknya unsur posisi rentan dan kesukarelaan tersebut karena dianggap mereka masih dapat memenuhi kebutuhan hidupnya atau melakukan prostitusi hanya sebagai “penambah biaya jajan” atau “cara menambah job di dunia entertainment”. Prostitusi sendiri dapat termasuk perbuatan yang tidak melanggar hukum, dalam hal ini dari 18

Ibid.


tindakan “menjual diri” tanpa bantuan mucikari, maka tidak semua PSK merupakan korban. Dalam TPPO sendiri, terdapat adanya korban dari tindakan kriminal tersebut. Dalam kamus Webster’s sebagaimana dikutip oleh Farhana, disebutkan pengertian korban adalah: 19 a. Orang atau binatang dikorbankan kepada dewa atau didenda oleh orang lain; seseorang yang mengalami penindasan, kerugian atau penderitaan, b. Seseorang yang dibunuh, dianiaya atau didenda oleh orang lain; seseorang yang mengalami penindasan , kerugian atau penindasan, c.

Seseorang

yang

mengalami

kematian

atau

luka-luka

dalam

berusaha

menyelamatkan diri, d. Seseorang yang diperdaya, ditipu atau mengalami penderitaan; seseorang yang dipekerjakan atau dimanfaatkan secara sewenang-wenang dan tidak layak. Maka dari itu, untuk dapat seseorang dianggap sebagai korban dari suatu tindak pidana harus memenuhi salah satu dari pengertian “korban” tersebut. Selain itu, pandangan masyarakat maupun penegak hukum mengenai berbagai kasus prostitusi, sering menerapkan double standard dalam menggolongkan prostitusi sebagai TPPO. Salah satunya adalah kasus Vanessa Angel, yang selanjutnya disebut VA. VA tidak dianggap sebagai korban TPPO, justru VA dipidana karena pasal lain yang berhubungan dengan penyebaran konten berisi asusila dalam ITE beserta dengan mucikari-mucikarinya yang dijerat dengan pasal yang sama. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa tidak semua praktek prostitusi merupakan TPPO dan tidak semua PSK adalah korban.

III.

KESIMPULAN Indonesia menganut prinsip Equality Before the Law sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 DUHAM: “Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini20” dan Pasal 27 (1) UUD NRI 1945 : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”21 dengan demikian semua orang sama dihadapan hukum. Akan tetapi dalam hal ini terdapat perbedaan perilaku terhadap para pihak yang terlibat prostitusi. Yaitu terdapat perbedaan perlakuan hukum antara

19

Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. h. 154. Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, Ps. 7. 21 Op.cit., Ps. 27 (1). 20


mucikari dengan PSK maupun pelanggannya. Dimana peraturan perundang-undangan Indonesia hanya memidana pelaku mucikarinya saja sedangkan pelaku utama yang melakukan tindakan prostitusi tersebut, dalam hal ini PSK dan pelanggannya, sama sekali tidak dapat dikenakan pidana dari tindakan prostitusi yang mereka lakukan. Jika pun PSK dan pelanggannya mendapat pidana, meskipun itu berhubungan dengan tindakan asusila atau tindakan seks yang mereka lakukan, tetapi tidak berdasarkan secara langsung pada tindakan prostitusi yang mereka lakukan. Yang mana untuk PSK yang belum kawin, dapat terancam pidana UU ITE maupun UU Pornografi jika mereka menyebarluaskan konten asusila pada media elektronik atau menyebarnya di depan umum. Untuk pelanggannya, mereka dapat dikenakan pasal tentang zina di pasal 284 KUHP jika ia sudah kawin. Ketentuan pada pasal 284 KUHP merupakan delik aduan, sehingga apabila tidak ada aduan dari istri pelanggan PSK, maka pelanggan PSK tersebut tidak dapat dikenai sanksi pidana pasal 284 KUHP, hal ini berlaku mutatis mutandis juga untuk pihak PSK. Kemudian terdapat perbedaan pendapat mengenai penggolongan prostitusi sebagai TPPO atau tidak. Ada juga inkonsistensi dalam penerapan hukum di setiap kasus prostitusi yang ada di Indonesia. Dimana kadang ada kasus yang dimasukan dalam TPPO dan ada yang malah mengikutkan PSK-nya sebagai pelaku dari kasus lain yang berhubungan dengan tindakan prostitusinya meskipun tidak secara langsung. Meskipun begitu terdapat pembedaan yang paling mendasar dari ketidak konsistenan penerapan hukum yang berlaku yaitu kesukarelaan, dengan ditambah unsur kapan seseorang disebut sebagai korban. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa tidak semua praktek prostitusi merupakan TPPO dan tidak semua PSK adalah korban. Dengan kata lain, ada prostitusi yang “termasuk perdagangan orang” dan ada yang merupakan “pekerjaan menjual jasa seks”. Maka dari itu, Prostitusi perlu adanya pengaturan hukum formil yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan secara tegas. Misalkan hukum Indonesia secara tegas tidak memperbolehkan atau di-ilegal-kan tindakan atau perbuatan prostitusi, maka sebaiknya aturan tersebut harus berpijak pada sisi-sisi filosofis dan sosiologis maupun apa yang menjadi keyakinan yuridis mayoritas bangsa Indonesia. DAFTAR BACAAN Buku M. Hadjon, Philipus, Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press,Yogyakarta, 2011. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta , 2007.


Siregar, Kondar, Model Pengaturan Hukum tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu, Perdana Mitra Handalan, Medan, 2015. Purwoleksono, Didik Endro, Hukum Pidana, Airlangga University Press, Surabaya, 2014. Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Undang-Undang No.1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi Rancangan Undang-Undang KUHP (RUU KUHP) Perda DKI Jakarta No. 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia

Internet https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/UU%2019%20Tahun%202016.pdf

diakses

pada tanggal 28 Agustus 2020. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20151213175400-12-97911/prostitusi-artis-tak-tepat-dijeratuu-perdagangan-orang diakses pada tanggal 30 Agustus 2020. https://www.hukum-hukum.com/2018/08/pidana-mucikari-sekalipun-pekerja-senangdieksploitasi.html diakses pada tanggal 30 Agustus 2020 https://www.mahkamahagung.go.id/id diakses pada tanggal 2 September 2020. https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/28607/undangundang-nomor-44-tahun-2008# diakses pada tanggal 13 September 2020.


https://encyclopedia.1914-1918-online.net/article/prostitution diakses pada tanggal 17 September 2020.


PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 16 TAHUN 2000 DITINJAU DARI HAK ASASI MANUSIA DAN DAMPAK TERHADAP WARGA SURABAYA ALSA Local Chapter Universitas Airlangga alsalcunair@yahoo.com Abstrak Pandemi Covid-19 telah menyebar hingga ke seluruh pelosok dunia, Presiden Indonesia Joko Widodo mengumumkan Kebijakan Status darurat kesehatan masyarakat pada akhir Maret 2020. Dalam hal ini, Presiden Joko Widodo menerapkan opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dan Pemerintah Surabaya dengan arahan Walikota Tri Rismaharini menindaklanjuti Kebijakan tersebut dengan dikeluarkannya Peraturan Walikota Surabaya Nomor 16 Tahun 2020 Pedoman Pembatasan Sosial berskala besar dalam penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Dalam satu sisi, peraturan tersebut memiliki tujuan untuk melindungi masyarakat Surabaya. Namun dilain sisi, peraturan tersebut membatasi beberapa Hak Asasi dari tiap masyarakat Surabaya. Artikel ini akan membahas Peraturan Walikota Surabaya Nomor 16 Tahun 2020 Pedoman Pembatasan Sosial berskala besar dalam penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dari sudut pandang Hak Asasi Manusia dan langkah apa yang seharusnya dilakukan Pemerintah Kota Surabaya untuk menangani Covid-19 dari sudut kerugian yang telah dialami Warga Surabaya dengan pemberlakuan Peraturan tersebut. Kata Kunci: Covid-19, Pemerintah Kota Surabaya, Hak Asasi Manusia, Dampak I.

Pendahuluan CoronaVirus Disease 2019 (Covid-19) merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan oleh

coronavirus berjenis SARS-CoV-2 dimana Virus ini menyerang saluran pernafasan1. Dimana salah satu gejala dari seorang yang terkena Virus Covid-19 ini yaitu Demam, Batuk Kering, dan Mudah kelelahan. Virus Covid-19 ini pertama kali muncul dari laporan di salah satu website Media di China pada 31 Desember 2019 dimana ada laporan kasus fenomena penyakit yang saat itu masih belum diketahui di Wuhan salah satu kota di China2. Pada saat dilakukan penelitian pada orang yang mengalami gejala penyakit tersebut, pada 9 Januari 2020 ditemukan bahwa penyakit masyarakat Wuhan tersebut disebabkan

WHO,”Covid-19”, https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/question-and-answershub/q-a-detail/coronaviruse-disease-covid-19, diakses pada tanggal 17 Oktober 2020 1

WHO, “Timeline of WHO’s response to COVID-19” https://www.who.int/news/item/29-06-2020-covidtimeline, diakses pada tanggal 17 Oktober 2020 2


oleh salah satu keluarga dari novel coronavirus. Hingga saat ini tanggal 16 Oktober 2020, kasus yang telah terkonfirmasi di seluruh dunia berjumlah 38.789.204 orang. Dengan jumlah kematian yang telah terkonfirmasi sebesar 1.059.097 orang dengan 235 Negara yang telah terinfeksi oleh Covid-19 ini3. Angka tersebut tentu merupakan angka yang sangat besar dengan cakupan seluruh dunia. Penyebaran Covid-19 di Indonesia didahului oleh laporan adanya Warga Negara Jepang yang dinyatakan positif. Sebelum adanya salah satu Warga Negara Jepang yang dinyatakan positif tersebut, Pemerintah Indonesia pada Januari 2019 masih menolak keberadaan Covid-19 di Indonesia. Namun, Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono mengatakan “Sejak Januari 2019, kami telah menduga adanya kasus Covid-19 yang dicurigai, namun laporan kasus tersebut ternyata tidak dilanjutkan karena terduga kasus Covid-19 tersebut dilaporkan negatif. Namun, pada saat tersebut pemerintah memiliki tingkat resistensi yang tinggi

terkait adanya laporan kasus dugaan Covid-19”4. Namun

pernyataan pemerintah tersebut sangat tidak beralasan dan relevan setelah Ahli Epidemiologi dari Oxford Clinical Research Unit, Iqbal Elyazar menyatakan bahwa pada saat itu Indonesia tidak memiliki suatu Kurva Pandemi yang Valid. Dan pemerintah juga tidak menutup destinasi wisata turis, dan tidak memberikan suatu aturan khusus untuk turis terkait adanya penyebaran Covid-19 ini. Namun, dalam pelaksanaan pernyataan dari pemerintah tersebut, Ilmuwan merasa mereka tidak diikutkan dalam pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, justru Pemerintah langsung memberikan pernyataan bahwa Indonesia aman dari coronavirus tanpa adanya data yang jelas. Dan hal tersebut merupakan suatu permasalahan yang justru membuat perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia menjadi semakin parah dan kompleks karena tidak adanya data dan fakta yang jelas. 5 Pada 11 Maret 2020, World Health Organization menyatakan Covid-19 menjadi suatu pandemi di seluruh dunia, lalu Presiden Joko Widodo langsung mengeluarkan kebijakan berupa pemberlakuan PSBB di Indonesia. Pemerintah Surabaya pun melanjutkan kebijakan tersebut dengan menerbitkan

WHO, “Coronavirus Disease (COVID-19) pandemic Number at a glance”, https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019, diakses pada tanggal 17 Oktober 2020. 3

AHMAD ARIF, “Iqbal Elyazar: Jadikan Epidemiologi Memandu Indonesia” https://kompas.id/baca/humaniora/ilmu-pengetahuan-teknologi/2020/05/20/iqbal-elyazar-jadikan-epidemiologimemandu-indonesia/, diakses pada tanggal 17 Oktober 2020. 4

Tempo, “Ilmuwan Indonesia Merasa Tidak Dilibatkan Dalam Menangani Virus Corona” https://www.tempo.co/abc/5597/ilmuwanindonesia-merasa-tidak-dilibatkan-dalam-menangani-virus-corona, diakses pada tanggal 17 Oktober 2020. 5


Peraturan Walikota Surabaya Nomor 16 Tahun 2020 Pedoman Pembatasan Sosial berskala besar dalam penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). A.

Latar belakang Pemerintah Kota Surabaya, dibawah kepemimpinan Walikota Tri Rismaharini, menerbitkan

Peraturan Walikota Surabaya Nomor 16 Tahun 2020 Pedoman Pembatasan Sosial berskala besar dalam penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dalam hal melanjutkan kebijakan Presiden Joko Widodo mengenai PSBB. Hingga saat ini 16 Oktober 2020, terdapat total kumulatif pasien terkonfirmasi Covid-19 di Surabaya sebesar 15.201 orang, dengan jumlah meninggal sebesar 1.121 orang6. Angka tersebut justru merupakan angka yang tinggi, maka oleh karena itu Pemerintah Kota Surabaya mengeluarkan kebijakan untuk menanggulangi adanya peningkatan angka pasien positif Covid-19 yang tidak terkendali. Namun, dalam pelaksanaan hal tersebut, banyak sektor-sektor yang terdampak, terutama yaitu sektor ekonomi, dimana dalam sisi Ekonomi terancam dengan adanya resesi. Dan dengan adanya Peraturan a quo, menyebabkan banyak orang yang terancam PHK, dan tidak dapat mendapatkan Hak nya sebagai makhluk sosial, dimana Manusia harus bersosialisasi dengan Manusia lain sebagai salah satu bentuk Kehidupan Manusia dimana Manusia adalah makhluk sosial. Dengan adanya Peraturan Walikota Surabaya Nomor 16 Tahun 2020 Pedoman Pembatasan Sosial berskala besar dalam penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Hal tersebut melanggar salah satu Hak Asasi Manusia berupa jaminan sosial sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945 Pasal 28H ayat (3) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.”, Pelanggaran terhadap hal tersebut masih merupakan salah satu dari Hak yang dilanggar oleh Pemerintah Kota Surabaya dengan menerapkan Peraturan Walikota Surabaya Nomor 16 Tahun 2020 Pedoman Pembatasan Sosial berskala besar dalam penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) pada Kota Surabaya. Dalam Legal Review ini akan dibahas lebih lanjut terkait apakah terdapat pelanggaranpelanggaran lain dan bagaimanakah seharusnya Pemerintah Kota Surabaya menanggulangi nya.

Surabaya Lawan COVID-19, “Statistik” https://lawancovid-19.surabaya.go.id/visualisasi/graph, diakses pada tanggal 17 Oktober 2020. 6


B.

Rumusan masalah

1. Apakah Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang dimiliki oleh masyarakat dilanggar dengan pemberlakuan Peraturan Walikota Surabaya Nomor 16 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial berskala besar dalam penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)? 2. Bagaimana cara pemerintah menangani kerugian yang ditimbulkan akibat pemberlakuan Peraturan Walikota Surabaya Nomor 16 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial berskala besar dalam penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)? II. Pembahasan 1. Apakah Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang dimiliki oleh masyarakat dilanggar dengan pemberlakuan Peraturan Walikota Surabaya Nomor 16 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial berskala besar dalam penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Hak Ekonomi, Sosial, dan budaya merupakan salah satu hak asasi manusia yang dimiliki oleh masing masing individu. Ada berbagai bentuk dari pemenuhan Hak Hak EKOSOB mulai dari pemenuhan pendidikan yang layak, adanya pemenuhan kesehatan yang merata, pemenuhan pekerjaan yang layak bagi tiap individu, dan tempat tinggal yang layak. Sebenarnya masih banyak pemenuhan yang lainnya, namun apa yang sudah dijabarkan diatas merupakan beberapa pemenuhan yang dilanggar dikarenakan adanya kebijakan Pemerintah pusat

untuk melakukan apa yang disebut

sebagai PSBB ( Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang selanjutnya diterapkan di masing masing wilayah. Dalam hal ini Pemerintah kota Surabaya melakukan kebijakan tersebut dengan membuat dasar hukumnya berupa diterbitkannya Peraturan Walikota Surabaya Nomor 16 Tahun 2020 Pedoman pembatasan sosial berskala besar dalam penanganan coronavirus disease 2019 (covid-19) di kota Surabaya. Diterbitkannya Peraturan Walikota ini berdasarkan adanya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (COVID – 19)7 dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/264/2020 tentang Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Wilayah Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur Dalam

7

Peraturan Walikota Surabaya nomor 16 tahun 2020 Pedoman pembatasan sosial berskala besar dalam penanganan coronavirus disease 2019 (covid-19) di kota Surabaya.


Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (COVID – 19)8. Penerapan Peraturan Walikota Surabaya ini mempunyai maksud dan tujuan yang disebutkan dalam Bab 2 yang berisi pasal 2 dan pasal 3, dimana mempunyai maksud untuk pedoman pelaksanaan PSBB dalam rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) di Daerah9, sedangkan tujuannya adalah untuk membatasi kegiatan tertentu dan pergerakan orang dan/atau barang dalam mencegah penyebaran Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)10. Tertulis dalam pasal 6 bahwa adanya penghentian sementara kegiatan Sekolah, institusi pendidikan lainnya, dan/atau industri dalam rangka magang, Praktek Kerja Lapangan dan/atau kegiatan lainnya. Seperti

yang

sudah

tertera

diatas

bahwasannya

pemenuhan

Hak

EKOSOB

(Ekonomi,Sosial,dan Budaya) salah satunya adalah dengan cara pemenuhan hak untuk menerima pendidikan yang layak, namun dengan adanya Peraturan Walikota ini membuat beberapa siswa atau Mahasiswa mengalami kesulitan dalam mendapatkan akses untuk memenuhi haknya dalam hal pendidikan yang layak. Ada beberapa alasan mengapa hal ini bisa terjadi mulai dari tidak tersedianya alat elektronik penunjang untuk mengakses hak mereka yaitu mendapatkan ilmu pengetahuan, dan kalaupun mempunyai alat elektronik penunjang, namun tidak mempunyai koneksi Internet yang stabil dan mempunyai kuota yang banyak, karena seperti yang sudah kita ketahui penerapan kegiatan akademik dilakukan secara daring atau Online, sehingga membutuhkan beberapa penunjang mulai dari alat elektronik hingga kuota Internet dan kestabilan koneksinya. Pasal 8 ayat (1)a menjelaskan Dalam penghentian sementara kegiatan selama pemberlakuan PSBB, penanggung jawab satuan sekolah dan institusi pendidikan lainnya wajib memastikan proses pembelajaran tetap berjalan dan terpenuhinya hak peserta didik dalam mendapatkan pendidikan.11 pada kenyataannya di lapangan masih banyak adik adik dan teman teman kita yang kesulitan dalam mendapatkan hak mereka untuk menerima pendidikan yang layak, namun dengan adanya bantuan dari Kementrian Pendidikan berupa Kuota Internet yang dapat digunakan oleh siswa dan tenaga pendidik mulai tingkat Peserta Didik Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Paket Kuota Data Internet untuk Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, Paket Kuota Data Internet untuk Pendidik pada PAUD dan Jenjang

8

Ibid.,

9

Ibid.,

10

Ibid.,

11

Ibid.,


Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Paket Kuota Data Internet untuk Mahasiswa dan Dosen. 12 Hal tersebut didasari dengan adanya Peraturan Sekretaris Jenderal Nomor 14 Tahun 2020 tentang petunjuk teknis bantuan kuota data internet tahun 2020. Permasalahan pemenuhan Hak selanjutnya yaitu terhadap pemenuhan pekerjaan yang layak bagi tiap Individu, karena akibat terjadinya Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) membuat banyaknya pekerja yang dirumahkan, tidak mempunyai kejelasan terkait status nya sebagai pekerja, hingga mengalami kehilangan pekerjaan. Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19 dibuat sebagai bentuk salah satu alasan adanya kebijakan karyawan yang dirumahkan akibat timbulnya Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan COVID-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.13 Tindakan PHK secara sepihak bukan suatu hal yang dianjurkan dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja/buruh mereka, sebaiknya adanya forum komunikasi yang transparan antara para pihak bisa menjadi jawaban dari permasalahan yang terjadi, sehingga tidak menyebabkan kerugian yang besar terhadap kedua belah pihak. Dalam hal berbudaya tentu saja akan mengganggu untuk menjalankan prosesnya terutama kalau membutuhkan massa banyak dalam pelaksanaannya, alasannya mudah karena kita harus menjaga jarak antar individu untuk mencegah penyebaran dari Virus ini, dan menekan tingkat positif setiap harinya di daerah. 2. Bagaimana cara pemerintah menangani kerugian yang ditimbulkan akibat pemberlakuan Peraturan Walikota Surabaya Nomor 16 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial berskala besar dalam penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Ekonomi adalah salah satu ilmu sosial yang mempelajari aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan jasa. Ekonomi bukan berbicara 12 13

Peraturan sekretaris jenderal nomor 14 tahun 2020 tentang petunjuk teknis bantuan kuota data internet tahun 2020

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5e7b6315b663f/upah-karyawan-yang-dirumahkan-karenawabah-corona


seputar uang, tapi masalah kemakmuran pemenuhan barang dan jasa baik dalam rumah tangga, perusahaan dan negara. Untuk mencapai kemakmuran tersebut anda harus produktif menghasilkan barang dan jasa yang kemudian ditukarkan dengan barang dan jasa lainnya. Tak dipungkiri jika ekonomi yang dimaksudkan merupakan salah satu bagian yang paling penting, karena kegiatan ekonomi mencangkup beberapa bagian, ada yang memproduksi, dan distribusi, disana kita tentu memerlukan banyak sumber daya manusia, hampir semua orang terjun dalam ekonomi. Akan tetapi di masa seperti ini tidak dapat dipungkiri bahwa ekonomi nasional menjadi terpuruk, khususnya di wilayah kota surabaya, World Health Organization menyatakan, coronaviruses adalah virus yang menginfeksi sistem pernapasan. Infeksi virus ini disebut covid-19. Virus corona menyebabkan penyakit flu biasa sampai penyakit yang lebih parah seperti sindrom pernafasan timur tengah (Mers-CoV) dan sindrom pernafasan akut parah (SARS-CoV). Virus ini pertama kali muncul di Wuhan China, Desember 2019, lalu berkembang sangat cepat bahkan ke berbagai negara, dan saat ini sudah merupakan suatu pandemi, melanda seluruh dunia. Menyikapi kasus ini maka berbagai kebijakan mulai dimunculkan. Mulai penerapan Work From Home, Social Distancing dan Physical Distancing, sampai diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tentu ini akan menimbulkan dampak bagi perekonomian di Indonesia. Pemerintah dan masyarakat harus siap dengan apa yang terjadi bila kasus penyebaran virus ini semakin berlarut. Dampak dari penyebaran virus corona terjadi di berbagai bidang, baik di sektor riil, bursa saham. Dan yang paling dirasakan berat terhadap perekonomian secara global di Indonesia, dimana mengalami perlambatan pertumbuhan. Pandemi COVID-19 juga menimbulkan dampak yang mengerikan terhadap investasi yang membuat masyarakat akan memilih untuk sangat hati-hati dalam membeli barang bahkan untuk melakukan investasi. Pandemi ini juga sangat mempengaruhi proyeksi pasar. Investor dapat cenderung untuk tidak berinvestasi dikarenakan berubahnya asumsi pasar dan tidak jelasnya supply chain.14 Pada sektor investasi, China adalah salah satu negara yang memiliki dan menginvestasikan modalnya di Indonesia. Pada tahun 2019 silam, realisasi atas investasi langsung dari China

14

Pepinsky, T. B., & Wihardja, M. M. (2011). Decentralization and Economic Performance in Indonesia. Journal of East Asian Studies, 11(3), 337–371.


menduduki peringkat kedua terbesar setelah Singapura.15 Contohnya saja investasi dari China untuk salah satu wilayah di Indonesia yaitu Sulawesi senilai 5 milyar USD sedang dalam tahap pelaksanaan, namun pekerja dari China masih terhambat untuk datang ke Indonesia sehingga investasi tersebut masih ditunda. Indonesia sendiri telah membuat aturan kebijakan pembatasan untuk bepergian ke dan dari negara-negara yang masuk dalam zona merah penularan selama pandemi COVID-19 dengan tujuan untuk memutus mata rantai penularan COVID-19, langkah ini mengikuti kebijakan yang telah lebih dulu dilaksanakan oleh beberapa negara. Kebijakan pembatasan ini memberikan dampak terhadap jadwal penerbangan, bagaimana tidak beberapa maskapai melakukan pembatalan terbang dan sebagian maskapai lagi terpaksa tetap melaksanakan penerbangan meskipun sebagian besar bangku pesawatnya tidak terisi demi pemenuhan hak pelanggan. Para pelanggan sebagian besar juga melakukan cancel atas order tiket penerbangan dikarenakan semakin mewabahnya sebaran COVID19. Situasi tersebut memaksa pemerintah untuk mengambil langkah dan kebijakan dengan memberi potongan harga untuk para pelancong dengan tujuan Malang, Yogyakarta, Belitung, Manado, Batam, Labuan Bajo, Bintan, Lombok, Denpasar dan Danau Toba. Sebagian besar negara Eropa juga membuat kebijakan atau aturan yang mewajibkan seluruh maskapai penerbangan harus menggunakan sekitar 80% kuota penerbangan yang beroperasi ke luar benua Eropa sehingga tidak kehilangan kuota dari maskapai pesaingnya. Kebijakan pembatasan untuk bepergian ke negaranegara yang masuk dalam zona merah penularan COVID-19 tidak saja dilakukan oleh Indonesia saja, melainkan juga telah dilakukan oleh Australia, China, Rusia, Italia, Singapura dan negaranegara lain. Kota Surabaya juga terkena imbas dari Covid-19 ini, pemerintah kota Surabaya Harus memutar otak bagaimana mereka mengembalikan ekonomi warganya yang terdampak Covid-19 ini, upaya yang sudah dilakukan pemerintah Kota Surabaya dalam memulihkan ekonominya sudah terlihat dari beberapa bulan yang lalu semenjak sudah dimulainya tahapan New Normal, Pemerintah Kota Surabaya Sudah membuat tim baru untuk penanggulangan Covid-19 dan pemulihan ekonomi Kota Surabaya, tim tersebut merupakan gabungan dari beberapa Organisasi Perangkat Daerah di lingkungan Pemkot Surabaya. Pembentukan tim ini dinilai penting untuk saling menyamakan

15

Akhmad, Romadhoni, B., Karim, K., Tajibu, M. J., & Syukur, M. (2019). The Impact of Fuel Oil Price Fluctuations on Indonesia’s Macro Economic Condition. International Journal of Energy Economics and Policy, 9(2), 277–282.


persepsi. Selain itu, pembentukan tim ini untuk memastikan agar koordinasi terkait penanganan Covid-19 yang selama ini berjalan tetap sama, dengan semisal tetap mematuhi protokol kesehatan di pusat perbelanjaan. Pemerintah Kota Surabaya juga menggandeng jajaran TNI dan Polri karena pemerintah Kota Surabaya juga menganggap bahwa kolaborasi ini memang sangat diperlukan dan dinilai sangat penting.16 Kondisi Perekonomian di Surabaya juga mulai berjalan baik karena Pemerintah Kota Surabaya juga meringankan Pajak Bumi dan Bangunan, meringankan dalam artian bisa diangsur, dan juga terkait Izin Mendirikan Bangungan juga sudah diatur terkait pembayarannya.17 Selain itu yang juga direncanakan oleh pemerintah Kota Surabaya adalah mengalokasikan dana kelurahan yang akan dipakai untuk penanganan percepatan Covid-19. Hampir seluruh lapisan masyarakat terkena dampak dari corona ini, mulai dari kehilangan pekerjaan hingga tanggungan kewajiban. 18

III. Kesimpulan Adanya pemberlakuan Peraturan Walikota Surabaya Nomor 16 Tahun 2020 Pedoman pembatasan sosial berskala besar dalam penanganan coronavirus disease 2019 (covid-19) di kota Surabaya memang membuat ruang gerak ataupun membatasi dari kegiatan yang dimiliki oleh warga Surabaya. Namun alasan adanya pemberlakuan peraturan ini bukan tanpa alasan yang jelas dan konkrit, alasan utamanya adalah karena Surabaya sudah sempat menyentuh zona hitam yang menandakan pertumbuhan warga yang positif terkena Virus Corona tinggi dan hal ini menjadi pusat perhatian di berbagai pemberitaan media nasional karena sebagai daerah pertama yang mempunyai status zona Hitam. Dikeluarkannya peraturan tersebut memang tampak menghalangi hak hak yang dimiliki oleh warga Surabaya, namun perlu diperhatikan adanya urgensi yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kota untuk melakukan adanya tindakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) adalah untuk melindungi warga Kota agar tidak terkena Virus Corona. Dalam pemenuhan Hak EKOSOB sendiri memang harus dilakukan Liputan 6 “Cara Risma Agar ekonomi Surabaya Terhindar Dari Jurang resesi”,www.surabaya.liputan6.com, diakses pada tanggal 17 Oktober 2020 16

17

Ibid.,

18

Ibid.,


adanya pembatasan sementara sampai adanya titik terang untuk menyelesaikan permasalah Pandemi ini. Terkait keberlangsungan ekonomi di Kota Surabaya, pemerintah dalam hal ini sudah menerapkan hal yang memang dapat mengembalikan ekonomi warganya, seperti tetap membuka sektor perdagangan dengan selalu menerapkan protokol kesehatan, hal ini juga dapat menekan penyebaran Covid-19 dengan tidak menghilangkan esensinya dalam hal pengembalian ekonomi warga Kota Surabaya. Langkah yang diambil Pemerintah Kota Surabaya juga perlu dukungan dari berbagai pihak, tidak hanya pemerintah saja akan tetapi sebagai warga kita juga harus berusaha menekan penyebaran Covid-19 ini agar pandemi yang dialami segera selesai dan kita bisa beraktivitas normal kembali seperti sedia kala.


Daftar Pustaka Peraturan Perundang-Undangan 1. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 2. Peraturan Walikota Surabaya nomor 16 tahun 2020 Pedoman pembatasan sosial berskala besar dalam penanganan coronavirus disease 2019 (covid-19) di kota Surabaya Jurnal 3. Pepinsky, T. B., & Wihardja, M. M.. “Decentralization and Economic Performance in Indonesia”, Journal of East Asian Studies”, 11(3), 2011. 4. Akhmad, Romadhoni, B., Karim, K., Tajibu, M. J., & Syukur, M. “The Impact of Fuel Oil Price Fluctuations on Indonesia’s Macro Economic Condition”, International Journal of Energy Economics and Policy, 9(2), 2019. Internet 5. Liputan 6, “Cara Risma Agar ekonomi Surabaya Terhindar Dari Jurang resesi”,www.surabaya.liputan6.com, diakses pada tanggal 17 Oktober 2020 6. WHO, “Timeline of WHO’s response to COVID-19” https://www.who.int/news/item/29-062020-covidtimeline, diakses pada tanggal 17 Oktober 2020 7. WHO,”Covid-19”, https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/questionand-answers-hub/q-a-detail/coronaviruse-disease-covid-19, diakses pada tanggal 17 Oktober 2020 8. WHO, “Coronavirus Disease (COVID-19) pandemic Number at a glance”, https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019, diakses pada tanggal 17 Oktober 2020. 9. AHMAD ARIF, “Iqbal Elyazar: Jadikan Epidemiologi Memandu Indonesia” https://kompas.id/baca/humaniora/ilmu-pengetahuan-teknologi/2020/05/20/iqbal-elyazar-jadikanepidemiologi-memandu-indonesia/, diakses pada tanggal 17 Oktober 2020. 10. Tempo, “Ilmuwan Indonesia Merasa Tidak Dilibatkan Dalam Menangani Virus Corona” https://www.tempo.co/abc/5597/ilmuwanindonesia-merasa-tidak-dilibatkan-dalam-menanganivirus-corona, diakses pada tanggal 17 Oktober 2020. 11. Surabaya Lawan COVID-19, “Statistik” https://lawancovid-19.surabaya.go.id/visualisasi/graph, diakses pada tanggal 17 Oktober 2020. 12. https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5e7b6315b663f/upah-karyawan-yangdirumahkan-karena-wabah-corona


KOMPARASI REGULASI KEGIATAN EKSPOR BENIH LOBSTER DITINJAU DARI KONSEP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN TEORI UTILITARIAN

ALSA Local Chapter Universitas Airlangga alsalcunair@yahoo.com

Abstrak Indonesia kembali melegalkan ekspor benih lobster di tahun ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 tahun 2020 Tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah Negara Republik Indonesia. Sebelumnya, ekspor benih lobster di Indonesia dilarang melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 Tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan Dari Wilayah Negara Republik Indonesia. Kedua peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri yang berbeda tersebut memunculkan beragam pandangan yang membandingkan antara manfaat dan dampak yang dapat ditimbulkan dari diberlakukannya tiap regulasi. Isu utama ialah aspek lingkungan yang menyangkut kehidupan biota dan ekosistem laut sedangkan aspek ekonomi berkaitan dengan mata pencaharian nelayan benih lobster dan kerugian negara karena perdagangan benih lobster secara ilegal. Perbedaan kedua peraturan tersebut selanjutnya akan dianalisis dari sudut pandang teori utilitarian yang menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang baik harus dapat memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan yang sebesar-besarnya kepada masyarakat, serta aspek pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menginstruksikan pembangunan berjalan beriringan dengan perawatan dan pengeloaan secara efisien atas keberadaan sumber daya alam. Pendekatan yang digunakan ialah statute approach dan conseptual approach yang mengarahkan pada kesimpulan bahwa masing-masing regulasi memiliki kelebihan atau kekurangan dalam aspek ekonomi dan lingkungan. Kata kunci: ekspor benih lobster, teori utilitarian, pembangunan berkelanjutan

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Isu terkait regulasi ekspor benih lobster yang ditetapkan oleh menteri kelautan dan perikanan, Edhy Prabowo pada 4 Mei 2020 lalu menuai reaksi pro dan kontra di berbagai lapisan masyarakat. Setidaknya terdapat dua isu yang paling umum menjadi bahan diskusi diantaranya terkait kelestarian lingkungan dan perekonomian. Isu-isu tersebut muncul dikarenakan banyak elemen dalam regulasi ini yang kontradiksi dengan regulasi yang dikeluarkan oleh mantan menteri kelautan dan perikanan sebelumnya, Susi Pudjiastuti melalui


Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) Dari Wilayah Negara Republik Indonesia, diantaranya yaitu larangan ekspor benih lobster ke luar negeri.Susi Pudjiastuti beralasan larangan ekspor benih lobster yang dikeluarkan adalah untuk menjaga kelestarian lobster di alam dan menjaga harga jualnya. Atas regulasi tersebut nelayan-nelayan merasa dirugikan karena tidak dapat memanen benih lobster yang menjadi sumber pencahariannya. Setelah peraturan tersebut dikeluarkan tak jarang dijumpai nelayan yang melakukan penangkapan benih lobster dan mengekspornya secara ilegal sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar terhadap negara Indonesia.1 Hal inilah yang mendasari dikeluarkannya regulasi baru terkait ekspor benih lobster yang diharapkan lebih ramah terhadap perekonomian para nelayan. Apabila dipandang dari teori utilitarian, regulasi sebelumnya dipandang belum mencerminkan tujuan utama hukum yaitu untuk mencapai kebahagian dan kemanfaatan terbesar bagi banyak masyarakat. Dilegalkannya kembali ekspor benih lobster ke luar negeri yang dilatarbelakangi oleh alasan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya para nelayan yang mata pencahariannya bersumber dari pencarian benih lobster ternyata tidak-serta merta memberikan jaminan akan adanya dampak positif di berbagai aspek. Ekspor benih lobster dalam jumlah besar dikhawatirkan akan menimbulkan adanya eksploitasi terhadap sumber daya alam dan kelestarian ekosistem laut yang dimiliki. Tidak hanya itu, regulasi ini dikhawatirkan akan memiliki andil dalam terjadinya kerusakan terumbu karang karena untuk mengambil benih lobster tinggal di dalam terumbu karang seringkali dijumpai menggunakan alat yang tidak ramah lingkungan.2 Hal tersebut mencerminkan adanya sisi lain dari penerapan teori utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan terbesar bagi banyak masyarakat3 tidak selalu memberikan dampak positif dalam jangka panjang apabila menghiraukan aspek lainnya selain aspek ekonomi yang menjadi tujuan utama. Dalam tulisan ini akan dibahas perbandingan diantara kedua regulasi yang pernah diberlakukan di Indonesia dalam kaitannya terhadap ekspor benih lobster ditinjau dari pandangan teori utilitarian dan aspek keberlanjutan lingkungan serta Jerry Indrawan, “Pencabutan Larangan Ekspor Benih Lobster, Tepatkah?”, https://investor.id/opinion/pencabutan-larangan-ekspor-benih-lobster-tepatkah, diakses pada tanggal 10 Agustus 2020. 2 Gloria Setyvani Putri, “Soal Benih Lobster, Ahli Paparkan Dampak dan Peraturan Penangkapannya”, https://sains.kompas.com/read/2019/12/19/121144423/soal-benih-lobster-ahli-paparkan-dampak-dan-peraturanpenangkapannya?page=all, diakses pada tanggal 10 Agustus 2020. 3 Besar, “Utilitarianisme dan Tujuan Perkembangan Hukum Multimedia di Indonesia”, https://businesslaw.binus.ac.id/2016/06/30/utilitarianisme-dan-tujuan-perkembangan-hukum-multimedia-di-indonesia/, diakses pada tanggal 11 Agustus 2020. 1


berwawasan lingkungan dengan menggunakan metode pendekatan peraturan perundangundangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach) yakni dengan menggunakan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.

B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan isu pada latar belakang diatas dapat diajukan dua rumusan masalah, yaitu: 1) Bagaimanakah perbandingan antara kedua regulasi tersebut jika dikaitkan dengan aspek pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup? 2) Apakah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 telah sesuai dengan tujuan hukum menurut teori utilitarian?

II. PEMBAHASAN 1. Perbandingan antara Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 tahun 2020 dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 jika dikaitkan dengan aspek pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Dalam membuat suatu peraturan selain perlu memperhatikan tujuan yang ingin dicapai, penting juga untuk mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan dari disahkannya peraturan tersebut. Lingkungan menjadi salah satu aspek yang sering terkena dampak dari dibuatnya suatu peraturan. Di Indonesia sendiri telah ada instrumen yang khusus mengatur tentang lingkungan hidup, yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). UU PPLH merupakan manifestasi dari hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu aspek yang erat kaitannya dengan aspek lingkungan adalah aspek ekonomi, terutama jika melihat kondisi riil di Indonesia hingga saat ini dimana sebagian besar sektor perekonomian ditunjang oleh sumber daya alam Indonesia yang kaya. Begitu pentingnya memperhatikan aspek lingkungan dalam melakukan kegiatan ekonomi sehingga UU PPLH dalam pertimbangannya mencantumkan bahwa dalam mengeluarkan


suatu peraturan yang salah satunya bertujuan untuk meningkatkan taraf ekonomi penting untuk diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan dapat diartikan sebagai pola kebijaksanaan pembangunan dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan ekosistem yaitu pembangunan yang berorientasi kepada pengelolaan sumber daya alam sekaligus melakukan upaya perlindungan dan pengembangannya. 4 Sedangkan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) dijelaskan oleh Pasal 1 angka 3 sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. 5 Konsep dasar dari pembangunan berkelanjutan sendiri bermula dari ide bahwa kebutuhan hidup manusia yang tidak terbatas jumlahnya yang tidak sejalan dengan keberadaan sumber daya alam yang terbatas. Prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sebenarnya bukanlah ide baru, hal ini telah eksis sebelumnya melalui Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 dimana “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Yang menjadikan prinsip ini penting untuk menjadi bahan pertimbangan

ialah

bahwa

Indonesia

sebagai

negara

yang

sebagian

besar

perekonomiannya ditunjang oleh sumber daya alam tidak dapat terus mengandalkan bahan-bahan yang hingga kini tersisa di alam dikarenakan beberapa bahan membutuhkan waktu tahunan hingga ratusan tahun untuk terbentuk kembali, sehingga dapat menimbulkan kelangkaan atau bahkan kepunahan sumber daya alam tertentu. Jika dikaitkan kedalam isu ekspor benih lobster, kedua regulasi ini jelas memiliki pandangan dan cara yang berbeda dalam meng-handle kegiatan ekspor benih loster di wilayah Indonesia Permen KP Nomor 56 Tahun 2016 menerapkan aspek pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan menutup segala kesempatan untuk melakukan ekspor benih lobster. Dilarangnya ekspor benih lobster dilakukan untuk menjaga keberadaan dan ketersediaan populasi sumberdaya lobster di laut Indonesia, hal ini telah sesuai dengan ide pembangunan berkelanjutan yaitu menjaga ketersediaan sumber daya alam masa kini untuk masa yang akan datang. Selain itu, aspek berwawasan 4

Rosana, Mira. "Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan di Indonesia." Jurnal KELOLA: Jurnal Ilmu Sosial, Vol.1, 2018, h 156. 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140)


lingkungan diharapkan mampu melindungi ekosistem terumbu karang dikarenakan benih lobster yang umumnya sangat kecil bertempat tinggal di terumbu karang, apabila ekspor benih lobster dilegalkan maka dikhawatirkan kegiatan yang berkaitan dengan panen benih losbter akan merusak ekosistem terumbu karang yang tidak hanya menjadi tempat tinggal benih lobster tapi juga beragam biota laut lainnya. Aspek-aspek tersebut jelas terlihat dalam rumusan Pasal 7 Permen KP Nomor 56 Tahun 2016 yang mengandung norma larangan. Hal berbeda dirumuskan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c dan Pasal 5 Permen KP Nomor 12 Tahun 2020 yang cenderung optimis bahwa ekspor benih lobster dapat dilakukan beriringan dengan menjaga stabilitas ekosistem laut dan terumbu karang. Hal ini ditunjukkan dalam rumusan pasal-pasalnya yang memberikan keterbukaan untuk melakukan ekspor benih lobster namun dilengkapi dengan syarat-syarat tertentu yang wajib dipenuhi. Syarat-syarat tersebut digunakan layaknya filter untuk menjaga stabilitas ekosistem laut dan terumbu karang, diantaranya ialah kuota dan lokasi penangkapan Benih Bening Lobster (Puerulus) sesuai hasil kajian dari Komnas KAJISKAN (Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan) sehingga tidak semua wilayah laut dengan benih lobster dapat menjadi lokasi pengambilan benih lobster, hal ini bertujuan untuk mencegah adanya kelangkaan benih lobster di daerah tersebut; Selanjutnya, eksportir harus melaksanakan kegiatan Pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.) di dalam negeri dengan melibatkan masyarakat atau Pembudidaya setempat untuk menhindari kelangkaan lobster; Kemudian, penangkapan Benih Bening Lobster (Puerulus) harus dilakukan dengan menggunakan alat penangkapan ikan yang bersifat pasif untuk mencegah adanya destructive fishing yang dapat merusak habitat biota laut; Selain itu, nelayan kecil penangkap Benih Bening Lobster (Puerulus) dan/atau Lobster Muda ditetapkan oleh direktorat jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan tangkap, sehingga hanya nelayannelayan yang memenuhi kualifikasi sajayang berhak menjalankan kegiatan ini; Waktu pengeluaran Benih Bening Lobster (Puerulus) dilaksanakan dengan mengikuti ketersediaan stok di alam yang direkomendasikan oleh Komnas KAJISKAN dan ditetapkan oleh direktorat jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan tangkap; eksportir melepasliarkan Lobster (Panulirus spp.) sebanyak 2 (dua) persen dari hasil Pembudidayaan dan dengan ukuran sesuai hasil panen untuk menjaga ketersediaan lobster di laut Indonesia. Dari dua rumusan pasal tersebut dapat terlihat bahwa Permen KP Nomor 12 Tahun 2020 tidak hanya berorientasi pada peningkatan perekonomian tetapi juga mengutamakan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan seperti yang dimaksud UU


PPLH dan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 meskipun dalam perlaksanaannya di masa depan tidak selalu sesuai dengan apa yang dirumuskan. Aturan yang ada sangat mungkin untuk disalahgunakan ditambah dengan belum adanya rincian secara jelas dari peraturan tersebut, contohnya kriteria apa sajakah yang dapat menjadi patokan sehingga sebuah alat dapat dikatakan sebagai alat penangkap ikan yang bersifat pasif. Sehingga tetap diperlukan kerjasama dari setiap pemangku kepentingan, baik itu pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk membangun perekonomian dengan selalu mengutamakan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. 2. Analisis Perbandingan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 Ditinjau dari Sudut Pandang Teori Utilitarian

Teori utilitarian digagas oleh Jeremy Bentham seorang filsuf dan ahli hukum asal Inggris, awal mula teori ini muncul karena ketidakpuasan Bentham terhadap hukum. Teori ini dibahas secara rinci dalam bukunya yang berjudul An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, yang diterbitkan tahun 1789. Teori utilitarian termasuk bagian dari sistem etika teleologis yang menekankan ukuran baik buruknya sesuatu berdasarkan tujuan yang akan dicapai. Inti dari Teori Utilitarian yang dikeluarkan oleh Bentham adalah “The greatest happiness of the greatest number”, yang mana dalam hal ini suatu perbuatan dianggap baik apabila mampu memberikan kebahagiaan yang besar terhadap banyak orang. Dalam konsep hukum, the greatest happiness of the greatest number dimaknai bahwa tujuan hukum adalah untuk memberikan kebahagiaan dan kemanfaatan yang sebesar-besarnya kepada masyarakat. Hukum digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Baik buruknya hukum dilihat dari sejauh mana hukum tersebut mampu memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan yang sebesar-besarnya kepada masyarakat banyak, yang artinya prinsip kemanfaatanlah yang digunakan sebagai batu uji dan sarana untuk mengevaluasi peraturan atau kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. 6 Hukum yang dalam hal ini sebuah peraturan perundang-undangan harus dapat mencapai 4 (empat) tujuan yaitu memberi sumber nafkah hidup (to provide subsistance), kecukupan (to provide abundance), keamanan (to provide security) dan mencapai keadilan (to attain equity) untuk dapat mewujudkan kebahagiaan kepada masyarakat.7 Atas dasar tersebut, kedua regulasi yang dibandingkan akan diuji dengan prinsip kemaanfaatan menurut teori utilitarian, sudahkah mencapai “the greatest happiness of the greatest number”? 6 7

Latipulhayat, Atip. “Khazanah: Jeremy Bentham”. PADJAJARAN Jurnal Ilmu Hukum, Vol.2, 2015. Ibid.


Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 dikeluarkan dengan fokus utama untuk pemajuan sektor perekonomian dengan mempertahankan kelestarian lingkungan. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam merumuskan aturan hukum ini diantaranya menjaga keberlanjutan ketersediaan sumber daya perikanan, peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat, kesetaraan teknologi budidaya, pengembalian investasi, peningkatan devisa negara, serta pengembangan pembudidayaan lobster, kepiting, dan rajungan. 8 Pasal 3 ayat (1) peraturan ini menjelaskan bahwa penangkapan benih lobster hanya dilakukan oleh nelayan kecil yang terdaftar dalam kelompok nelayan di lokasi penangkapan benih. Perusahaan eksportir juga harus melakukan budidaya lobster di dalam negeri dengan memanfaatkan masyarakat daerah setempat serta benih lobster yang ditangkap harus berasal dari nelayan kecil yang terdaftar dalam kelompok nelayan penangkap benih bening lobster di lokasi penangkapan. Ketentuan-ketentuan yang sudah dijabarkan diatas, terkait penangkapan benih lobster, tentu akan memberikan keuntungan ekonomis bagi setiap pihak yang terlibat termasuk negara jika dilakukan sesuai dengan rumusannya dan sekaligus menjaga kestabilan ketersediaan sumber daya lobster. Sebelum Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 dikeluarkan (ketika regulasi ekspor benih lobster dilarang), terjadi banyak kasus penyelundupan benih lobster ke luar negeri, yang berdampak pada kerugian negara karena tidak masuk ke dalam kas negara dan keuntungannya hanya dinikmati oleh oknum-oknum tertentu. Hal ini dapat ditunjukkan melalui data yang dihimpun Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menyatakan bahwa pada tahun 2016 ditemukan 55 kasus penyelundupan benih lobster dengan taksiran nilai sebesar Rp 71,7 Miliar, tahun 2017 ditemukan 100 kasus dengan taksiran nilai Rp 336,3 Miliar, tahun 2018 ditemukan 59 kasus dengan taksiran nilai 463,4 Miliar, dan tahun 2019 ditemukan 30 kasus penyelundupan benih lobster dengan taksiran nilai Rp 287,3 Miliar.9 Data tersebut menunjukkan setelah diberlakukannya larangan ekspor benih lobster di 2016 justru terjadi peningkatan dalam penyelundupan benih lobster, yang jika diakumulasikan dapat menunjukkan kerugian negara yang tidak sedikit. Permen KP Nomor 56 Tahun 2016 yang pada saat itu dibentuk pada masa kepengurusan Menteri Susi Pudjiastuti, dibentuk berdasarkan kenyataan yang terdapat dilapangan, dimana kegiatan panen benih lobster untuk di ekspor menyebabkan kerusakan 8

9

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 tahun 2020 Tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 454), konsiderans. Safrezi Fitra, Andrea Lidwina, “Benih Dilarang, Ekspor Lobster Benderang” https://katadata.co.id/0/analisisdata/5e9a57af96532/benih-dilarang-ekspor-lobster-benderang, diakses pada tanggal 14 Agustus 2020.


terumbu karang di lautan. Selain itu, peraturan ini juga dibuat untuk menjaga ekosistem agar tidak terjadi eksploitasi terhadap benih lobster yang dapat berakibat pada kelangkaan populasi lobster di alam. Hal ini dapat dilihat pada bagian konsiderans yang pada intinya menjelaskan “bahwa dalam rangka menjaga keberadaan dan ketersediaan populasi sumber daya Lobster, Kepiting dan Rajungan…”. Oleh karena itu, dibuatlah beberapa kriteria berdasarkan Pasal 3 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016, bahwa lobster yang boleh ditangkap harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 10 a. penangkapan dan/atau pengeluaran pada tanggal 15 Desember sampai dengan tanggal 5 Februari baik dalam kondisi bertelur maupun tidak bertelur dan dengan ukuran lebar karapas diatas 15 (lima belas) cm atau berat diatas 200 (dua ratus) gram per ekor; b. penangkapan dan/atau pengeluaran pada tanggal 6 Februari sampai tanggal 14 Desember dalam kondisi tidak bertelur dengan ukuran lebar karapas diatas 15 (lima belas) cm atau berat diatas 200 (dua ratus) gram per ekor; c. pengeluaran pada tanggal 15 Desember sampai dengan tanggal 5 Februari baik dalam kondisi bertelur maupun tidak bertelur dan dengan ukuran lebar karapas diatas 15 (lima belas) cm atau berat diatas 200 (dua ratus) gram per ekor yang berasal dari hasil budidaya yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Asal; atau d. pengeluaran pada tanggal 6 Februari sampai tanggal 14 Desember dalam kondisi tidak bertelur dengan ukuran lebar karapas diatas 15 (lima belas) cm atau berat diatas 200 (dua ratus) gram per ekor yang berasal dari hasil budidaya yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Asal. Dari ketentuan di atas sangat jelas bahwa yang boleh ditangkap hanyalah lobster yang sudah dewasa saja (siap konsumsi), tidak merupakan benih lobster. Tidak hanya itu, larangan untuk ekspor benih lobster untuk dibudidayakan juga tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) yang mengatakan “Setiap orang dilarang menjual benih lobster untuk budidaya”. Bagi pelanggar ketentuan tersebut juga dikenai sanksi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Di satu sisi, regulasi ini memberi dampak yang baik bagi ekosistem laut di Indonesia karena lobster yang ditangkap adalah yang telah dewasa, sehingga lobster yang masih kecil atau berupa benih dapat terus bertumbuh dan melanjutkan siklus hidupnya di laut. Pun dengan penangkapan lobster yang sudah besar lebih mudah dan tidak perlu merusak terumbu karang seperti menangkap benih lobster yang jauh lebih susah karena berada di dalam terumbu karang. Penangkapan lobster dengan ukuran siap jual pada masa

10

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 Tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia, (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Bomor 1999), Ps.3


peraturan ini dibuat juga meningkat dan memiliki harga jual yang cukup tinggi. Namun, regulasi ini disisi lain mengorbankan pekerjaan nelayan yang mata pencahariannya adalah pencari benih lobster. Salah satu contoh nyata disampaikan oleh Sucipto, seorang nelayan tradisional asal Banyuwangi yang menyatakan bahwa penerapan peraturan larangan menangkap lobster berdampak buruk bagi kesejahteraan nelayan. Dikutip dari Detik News, Sucipto, seorang nelayan asal Banyuwangi mengatakan "Saya ingin menyampaikan, sejak adanya larangan menangkap benih lobster, sangat menyengsarakan nelayan. Ada 1.000 lebih nelayan tradisional di Banyuwangi yang kehilangan mata pencaharian". 11 Berdasarkan pemaparan diatas apabila dilihat dari sudut pandang teori utilitarian, Peraturan Menteri Kelautan Nomor 12 Tahun 2020 mampu memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan yang sebesar-besarnya pada masyarakat. Hal ini tercermin dari terpenuhinya tujuan untuk memberi sumber nafkah hidup (to provide subsistance), yang ditunjukkan melalui dibukanya kembali kesempatan bagi nelayan pencari benih lobster untuk menjalankan kembali mata pencahariannya yang sebelumnya hilang karena adanya larangan penangkapan benih lobster oleh Permen KP Nomor 56 Tahun 2016, sehingga para nelayan mendapatkan nafkah hidup. Hal ini juga sejalan dengan UUD NRI 1945 Pasal 27 ayat (2) dimana "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Selanjutnya tujuan untuk memberi kecukupan (to provide abundance) yang ditunjukkan oleh Pasal 3 Permen tersebut, memberikan izin untuk membudidayakan lobster dalam negeri dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan dengan tujuan agar populasi lobster tetap terjaga, cukup dan berlimpah, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Pasal 5 juga memberikan peranan penting untuk menjaga kelestarian lobster, dimana eksportir benih lobster harus melaksanakan budidaya lobster. Selain itu, peraturan ini juga mencapai tujuan untuk memberi keamanan (to provide security) yang ditunjukkan dari adanya sanksi administratif dalam pasal 13 bagi para pelanggar, hal ini senada dengan tujuan dibuatnya sanksi menurut Henry Campbell Black, yaitu sebagai bagian dari hukum yang dirancang untuk mengamankan penegakan hukum dengan menjatuhkan hukuman atas pelanggarannya atau menawarkan ganjaran atas ketaatannya.12 Sehingga, dengan diberikannya sanksi, penegakan hukum dapat diamankan. Tujuan untuk mencapai keadilan (to attain equity) telah terpenuhi juga, yang ditunjukkan melalui keuntungan yang diperoleh dari ekspor

Mega Putra Ratya, “Larangan Tangkap Benih Lobster, Nelayan Mengeluh Pendapatan Menurun” https://news.detik.com/berita/d-4887647/larangan-tangkap-benih-lobster-nelayan-mengeluh-pendapatan-turun, diakses pada tanggal 14 Agustus 2020. 12 Susanto, Sri Nur Hari. ”Karakter Yuridis Sanksi Hukum Administrasi: Suatu Pendekatan Komparasi”. Administrative law & Governance Journal, Vol.2, 2019. 11


benih lobster tidak hanya dinikmati oleh oknum tertentu, namun keuntungannya dinikmati oleh negara, nelayan, perusahaan pengekspor benih lobster. Hal ini sejalan dengan UUD NRI 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Maksud dari pasal tersebut adalah negara menguasai semua sumber daya alam yang ada tetapi bukan berarti negara menjadi pemilik dari semua sumber daya itu, melainkan rakyatlah yang menjadi pemilik sumber daya alam. Sumber daya alam tersebut harus digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, bukan sebagian rakyat indonesia.13 Berbeda halnya dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 yang melarang ekspor benih lobster, peraturan ini belum sepenuhnya mampu memberi kemanfaatan dan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Hal ini tercermin dari banyaknya nelayan yang justru kehilangan mata pencahariannya sebagai penangkap benih lobster, artinya peraturan ini belum mencapai tujuan memberi sumber nafkah hidup (to provide subsistance) dan mengabaikan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945. Terkait dengan tujuan untuk memberi kecukupan (to provide abundance) peraturan ini sebenarnya baik dalam menjaga kecukupan ketersediaan lobster baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang karena membiarkan lobster hidup di laut secara alami dan tidak diekspor sehingga peluang eksploitasi menjadi kecil. Tujuan untuk memberi keamanan (to provide security) dalam peraturan ini juga sudah tercermin dari adanya sanksi bagi para pelanggar. Akan tetapi, tujuan untuk mencapai keadilan (to attain equity) juga belum tercapai karena melihat banyaknya kasus penyelundupan benih lobster setelah Permen ini dikeluarkan yang mengakibatkan keuntungan dari ekspor benih lobster hanya dinikmati oleh oknum-oknum penyelundup benih lobster, sementara nelayan dan negara sangat dirugikan. Hal ini belum mencerminkan apa yang diamanatkan oleh UUD NRI 1945 Pasal 33 ayat (3). Maka dari itu, dicabutnya regulasi yang menyangkut larangan ekspor benih lobster diharapkan dapat mengurangi angka penyelundupan benih lobster sehingga keuntungan ekspor tersebut dapat menambah devisa negara dan dinikmati semua pihak yang terlibat dalam ekspor benih lobster, sekaligus mewujudkan tujuan Negara Republik Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum rakyat Indonesia.

III. KESIMPULAN Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik dua kesimpulan sebagai berikut: Hayati, Tri. “Hak Penguasaan Negara Terhadap Sumber Daya Alam dan Implikasinya Terhadap Bentuk Pengusahaan Pertambangan”. Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke-49, 2019. 13


1. Kedua regulasi tersebut memiliki pandangan dan cara yang berbeda dalam menyikapi kegiatan ekspor benih lobster di Indonesia jika dikaitkan dengan aspek pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan seperti yang tertuang dalam UU PPLH. Permen KP Nomor 56 Tahun 2016 fokus pada aspek pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan menutup akses terhadap ekspor benih lobster, hal ini terlihat dari adanya norma larangan pada pasal 7 peraturan menteri tersebut. Sedangkan permen KP Nomor 12 Tahun 2020 cenderung optimis dapat menyeimbangkan antara kegiatan ekspor benih lobster dengan aspek pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang ditunjukkan melalui Pasal 3 dan 5-nya meskipun dalam pelaksanaannya rentan untuk disalahgunakan karena belum terperincinya aturan hukum yang ada hingga saat ini. 2. Apabila dilihat dari sudut pandang teori utilitarian Permen KP Nomor 56 Tahun 2016 belum sepenuhnya mencapai tujuan dari hukum untuk memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan yang sebesar-besarnya pada masyarakat. Sedangkan Permen KP Nomor 12 Tahun 2020 jika dilihat berdasarkan rumusan pasalnya telah mencerminkan tercapainya tujuan hukum untuk memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Batu uji kedua regulasi tersebut adalah prinsip kemanfaatan menurut Teori Utilitarian yang diperjelas lagi yaitu dengan tercapainya tujuan memberi nafkah hidup, memberi kecukupan, memberi keamanan, dan memberi keadilan. Akan tetapi, Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2020 masih secara substansial saja mencerminkan mampu mencapai "greatest happiness of the greatest number", sementara pada penerapannya masih perlu dilihat perkembangannya selama beberapa waktu kedepan karena peraturan ini baru diundangkan bulan Mei 2020 lalu.


DAFTAR BACAAN Jurnal Hayati, Tri. “Hak Penguasaan Negara Terhadap Sumber Daya Alam dan Implikasinya Terhadap Bentuk Pengusahaan Pertambangan”. Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke-49, 2019. Latipulhayat, Atip. “Khazanah: Jeremy Bentham”. PADJAJARAN Jurnal Ilmu Hukum, Vol.2, 2015. Rosana, Mira. "Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan di Indonesia." Jurnal KELOLA: Jurnal Ilmu Sosial, Vol.1, 2018. Susanto, Sri Nur Hari. ”Karakter Yuridis Sanksi Hukum Administrasi: Suatu Pendekatan Komparasi”. Administrative law & Governance Journal, Vol.2, 2019. Peraturan Perundang-Undangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 tahun 2020 Tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 454).


Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 Tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia, (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Bomor 1999). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140). Internet Besar, “Utilitarianisme dan Tujuan Perkembangan Hukum Multimedia di Indonesia”, https://businesslaw.binus.ac.id/2016/06/30/utilitarianisme-dan-tujuan-perkembangan-hukum-multimedia-diindonesia/, diakses pada tanggal 11 Agustus 2020. Gloria Setyvani Putri, “Soal Benih Lobster, Ahli Paparkan Dampak dan Peraturan Penangkapannya”, https://sains.kompas.com/read/2019/12/19/121144423/soal-benih-lobster-ahli-paparkan-dampakdan-peraturan-penangkapannya?page=all, diakses pada tanggal 10 Agustus 2020. Jerry

Indrawan,

“Pencabutan

Larangan

Ekspor

Benih

Lobster,

https://investor.id/opinion/pencabutan-larangan-ekspor-benih-lobster-tepatkah,

Tepatkah?” diakses

pada

tanggal 10 Agustus 2020. Mega Putra Ratya, “Larangan Tangkap Benih Lobster, Nelayan Mengeluh Pendapatan Menurun”, https://news.detik.com/berita/d-4887647/larangan-tangkap-benih-lobster-nelayan-mengeluhpendapatan-turun, diakses pada tanggal 14 Agustus 2020. Safrezi

Fitra,

Andrea

Lidwina,

“Benih

Dilarang,

Ekspor

Lobster

Benderang”,

https://katadata.co.id/0/analisisdata/5e9a57af96532/benih-dilarang-ekspor-lobster-benderang, diakses pada tanggal 14 Agustus 2020.


Guarantee of the Rights of Foreign Refugees during the COVID-19 Pandemic Period in Indonesia

ALSA Local Chapter Universitas Airlangga unair.alsa@gmail.com

I.

Introduction Since the stipulated of COVID-19 as a pandemic by the World Health Organization (WHO) on March 11, 20201, various countries have issued several policies aimed at closing access to entry (lockdown) into their countries. Vietnam, Malaysia, China, Italy, France, and Denmark are some of the few countries that implement policies lockdown for their residents and immigrants to prevent population mobilization or movement that can increase the spread of COVID-19.2 In Indonesia, the Government has recorded several restrictions on population mobilization by enacting largescale social restrictions in various regions which have quite high positive rates. Efforts to limit the mobilization are not limited to domestic only, but the government has also issued a policy in the form of a Circular of the Ministry of Law and Human Rights of the Republic of Indonesia Number IMI-GR.01.01-2325 of 2020 concerning the Temporary Prohibition of Foreigners Entering the Territory of the Republic of Indonesia which states that refusing all visa applications submitted by migrants who are not foreigners mandated in Article 3 paragraph (1) of the Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 11 of 2020 which includes: Foreigners holding limited stay permits and permanent residency permits,

1

World Health Organization, 'WHO Director-General's opening remarks at the media briefing on COVID-19 March 11 2020', (WHO, 2020) https://www.who.int/directorgeneral/speeches/detail/whodirector-general-s-opening-remarks-at-the-media-briefing-onCOVID-19 --- 11-march-2020 accessed 14 January 2021. 2

Rizal Setyo Nugroho, 'Malaysia Lockdown Corona, Berikut Negara-negara yang Lebih Dulu Melakukannya', (Kompas, 2020) https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/17/071500065/malaysia-lockdown-corona-berikutnegara-negara-yang-lebih-dulu-melakukannya?page=all accessed 12 January 2021.


Foreigners Holders of Diplomatic Visas and Service Visas, Foreigners Holders of Diplomatic Stay Permits and Service Stay Permits, Medical Assistance and Support Personnel, Food and Humanitarian reasons, Transportation crews, and Foreigners who will work on national strategic projects. II.

Legal Issues 1. Does the enactment of the Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 11 of 2020 concerning the Temporary Prohibition of Foreigners from Entering the Territory of the Republic of Indonesia also apply to foreign refugees who will enter the territory of the Republic of Indonesia? 2. What legal protection can the Indonesian state provide for refugees in the field of health?

III.

Legal Basis 1. The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia 2. Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights 3. Presidential Regulation Number 125 of 2016 concerning Handling Refugees from Abroad 4. Minister of Law and Human Rights Regulation Number 11 of 2020 concerning Temporary Prohibition of Foreigners from Entering the Territory of the Republic of Indonesia

IV.

Analysis 1. Applicability of Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 11 of 2020 for Foreign Refugees in Indonesia Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 11 of 2020 in essence regulates the temporary prohibition of foreigners from entering Indonesian territory. Based on the Minister of Law and Human Rights Regulation a quo, foreigners are not Indonesian citizens.3 If explored further, the Minister of Law and Human Rights Regulation

3

Article 1 number 5 Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 11 of 2020


a quo does not further regulate refugees who are foreigners entering the territory of the Republic of Indonesia. This is evidenced in the Minister of Law and Human Rights Regulation a quo which only regulates foreigners in the event that there are no special qualifications as refugees or asylum seekers. Special qualifications for foreigners to be referred to as refugees (refugee)4 as referred to in Presidential Regulation Number 125 of 2016 concerning Handling of Refugees from Abroad are foreigners who are in the territory of the Republic of Indonesia on grounds of reasonable fear of persecution on the grounds of race, ethnicity, religion, nationality, membership of certain social groups, and differing political opinions and do not want protection from their country of origin and/or have obtained asylum seeker status or refugee status from UNHCR. Therefore, as the definition of 'refugees' according to the Presidential Regulation a quo, refugees are a special part of foreigners. The existence of a legal emptiness in regulations related to the entry of foreign refugees into Indonesian territory during the COVID19 pandemic, can lead to overlapping coordination and misconceptions on immigration in local areas. In addition, this legal emptiness is prone to violating the principle of non-refoulement as the basic principle for the refugee law which prohibits countries from evicting or returning refugees in any way to their home countries because their lives will be threatened because of race, religion, nationality, membership in social groups.5 Therefore, it is important for Indonesia to regulate policies related to the entry of foreign refugees during the COVID-19 pandemic, given that there is a legal emptiness related to refugees and asylum seekers. This can cause confusion between immigration and officials in the

4

Article 1 number 1 Presidential Regulation Number 125 of 2016 concerning Handling Refugees from Abroad 5 Article 33 point 1 of the Geneva Convention 1951


regions when facing the influx of foreigners who declare themselves as refugees or asylum seekers in such a large number.

2. Legal Protection for Refugees by Indonesia in Health Sector In Indonesia, only around 9 thousand refugees, out of the total, are in shelters managed by the International Organization for Migration (IOM), while around 5 thousand refugees are not in shelters and do not get any facilities.6 Stated that if viewed from global commitments and agreements, even though it is not the direct responsibility of the Indonesian government, the government should also apply its humanitarian policies to refugees, especially those not in holding houses so that they get the right health protection, especially during the COVID19 pandemic.7 In addition, Indonesia needs to emphasize to UNHCR and IOM, which have a mandate from the United Nations in the New York Declaration for Refugees and Migrants, which then reached an agreement and set forth in A Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration to carry out their obligations without discrimination related to health protection. to refugees in Indonesia. 8 Basically, protection of refugees is the responsibility of every country.9 Even though the 1951 Geneva Conventions and the 1967 New York Protocol already exist, until now, Indonesia has not ratified the international instrument on refugees. Protection of refugees which is then regulated in Presidential Decree Number 125 of 2016 concerning the Handling of Refugees from Abroad regulates that although in a formal juridical manner, Indonesia has not ratified the international instrument regarding refugees, Indonesia still has the obligation to

6

Rahel, 'UNHCR Ungkap 13 Ribu Pengungsi dari 45 Negara di RI, Mayoritas di Jabodetabek' (detiknews, 2020) https://news.detik.com/berita/d-4876218/unhcr-ungkap-13-ribu-pengungsi-dari45-negara-di-ri-mayoritas-di-jabodetabek/2 accessed 9 January 2021. 7 Ibid. 8 Ibid. 9 Sigit Riyanto, ‘Urgensi Legislasi Hukum Pengungsi dan Kendalanya di Indonesia’ (2004) 2 Jurnal Hukum Internasional. [67].


protect international refugees. This is based on the International Customary Law that on the basis of Human Rights, all the countries are legally binding. The 1951 Geneva Convention affirms the rights of refugees, i.e. the right not to be treated in a discriminatory manner, property rights, rights of association, rights to litigation in court, rights to work, rights to social welfare, rights to education and teaching, rights to freedom of movement, right to identification and travel documents, right of non-refoulement, right to personal status. The Rudenim coordinates with the local district/city government to provide shelter for refugees. 10 If there is no permanent shelter, temporary accommodation must be provided for the refugees. 11 Health services for these refugees, provided by IOM, include the provision of clean water, meeting the needs for food, drinking and clothing, health and hygiene services, and religious facilities.

V.

Conclusions and Recommendations To prevent the increasingly widespread of COVID-19, the Government has implemented several policies that limit the mobilization of individuals, both Indonesian citizens and foreign nationals. One of the efforts made by the government is the prohibition for foreigners to enter Indonesian territory as stipulated in Ministerial and Human Rights Regulation Number 11 of 2020. The Minister of Law and Human Rights Regulation a quo does not regulate foreign refugees entering the territory of the Republic of Indonesia. This can lead to overlapping coordination and misconceptions on immigration in local areas, as well as possible violations of the nonrefoulement principle.

10

Article 24 paragraph (1), Presidential Decree Number 125 of 2016 concerning Handling of Refugees from Abroad 11 Article 24 paragraph (2), Presidential Regulation Number 125 of 2016 concerning Handling of Refugees from Abroad


If Indonesia has not ratified the 1951 Geneva Conventions and the 1967 New York Protocol, Indonesia is not obliged to fulfill the rights of refugees in Indonesia. Therefore, foreign refugees in Indonesia experience difficulties regarding health management during the COVID-19 pandemic. In fact, these constraints have been accommodated in International Customary Law related to Human Rights, with implementation by Indonesia which can cooperate with IOM to facilitate the fulfillment of the basic rights of foreign refugees residing in the territory of the Republic of Indonesia. The legal uncertainty experienced by foreign refugees in Indonesia can be overcome by implementing policies that accommodate foreign refugees as legal subjects and can be treated the same as other foreign citizens.

VI.

Bibliography Journal World Health Organization, 'Promoting the health of refugees and migrants: Draft global action plan 2019–2023' (2019) 25 WHO.

Internet Marion MacGregor, 'Germany: Migrants and Refugees May Fill Labor Gaps' (Info Migrants, 2020).

UNHCR, 'Figure at Glance' (UNHCR, 2020).

Rizal Setyo Nugroho, 'Malaysia Lockdown Corona, Berikut Negara-negara yang Lebih Dulu Melakukannya', (Kompas, 2020)

Tri Nuke Pudjiastuti, 'Politik Internasional: Kerentanan Pengungsi pada Masa Pandemi COVID-19 di Indonesia', (LIPI Political Research Center, 2020).


World Health Organization, 'WHO Director-General's opening remarks at the media briefing on COVID-19 - March 11 2020', (WHO, 2020) Legislation The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia

Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights (Republic of Indonesia State Gazette 1999 Number 165, Supplement to the State Gazette of the Republic of Indonesia Number 3886)

Presidential Regulation Number 125 of 2016 concerning Handling of Refugees from Abroad (State Gazette Number 368 of 2016)

Minister of Law and Human Rights Regulation Number 11 of 2020 concerning Temporary Prohibition of Foreigners Enter the Territory of the Republic of Indonesia (State Gazette of the Republic of Indonesia Year 2020 Number 305)


THE FULFILLMENT OF CHILDREN RIGHTS FOR ROHINGYA REFUGEES DURING COVID-19 PANDEMIC IN INDONESIA

ALSA Local Chapter Universitas Airlangga unair.alsa@gmail.com

I.

Statement of Facts Conflict of Myanmar began in 1978, Rohingya as ethnic minorities experienced human rights violations. This condition became worse day by day, this is the reason why Rohingya Muslims tried to flee to other regions, in addition to their basic rights as the minority that almost disappeared under the circumstances. Rohingya refugees have come to Indonesia from 2012 until now in several stages. Based on data from the Ministry of Foreign Affairs in 2015 there were approximately 11.000 Rohingya refugees in Indonesia. Recently in September 2020, 300 Rohingya refugees landed in Indonesia stated that they had been at sea for 6 months. At first, the government refused and wanted to return them to the sea, but the local community took the initiative to help, because of the prevailing customary laws related to aid and solidarity to fellow human beings. This initiative is not the first time the Acehnese have taken to Rohingya refugees. However, this local government and community’s effort doesn’t fulfill the rights of Rohingya refugees especially with the situation of COVID-19 Pandemic that makes Indonesia itself difficult in various aspects. Indonesian government didn’t sign The 1951 Refugee Convention that makes the government have no obligation to fulfill the rights of refugees, but the government said that Indonesia behaved as if it had ratified. This is proven by the Presidential Regulation No. 125/2016 on Handling Refugees from Abroad that formulates specifically related to handling and assistance including the provision of shelters.


II.

Legal Issues 1. What are the State Responsibilities and Barriers While Fulfilling Children Rights of the Refugees? 2. How is the fulfillment of Children Rights for Rohingya Refugees in Indonesia during the Covid-19 Pandemic?

III.

Applicable Rules 1. Universal Declaration of Human Rights 2. Convention on the Rights of the Child 3. Law No. 23 of 2002 on the Child Protection 4. Law No. 35 of 2014 Amending Law on Child Protection 5. Presidential Regulation No. 125 of 2016 on the Treatment of Refugees from Overseas 6. Presidential Decree No. 36 of 1990 on The Validation of The Convention on the Rights of the Child

IV.

Analysis 1. State Responsibilities and Barriers While Fulfilling Children Rights of the Refugees As mentioned in the Statement of Facts above, the abuse inflicted by the Government of Myanmar upon the Rohingya Muslims — which is described by the United Nations as a “textbook example of ethnic cleansing”1— made them, effectively, refugees. As is described and regulated by The Presidential Decree No. 125 of 2016 on the Treatment of Refugees from Overseas.

1

Zeid Ra'ad Al Hussein, Darker and more dangerous: High Commissioner updates the Human Rights Council on human rights issues in 40 countries, Human Rights Council 36th session, 11 September 2017.


Therefore giving the Rohingya Muslims the status of asylum-seekers, as they are fleeing to pursue protections by any country that recognizes the conditions of these children. Meaning, the principle of non-refoulement, which forbids countries to have any refugee sent back to the origin where they are most likely to face prosecution and threat, is at play here. This case turns the Indonesian Government in a situation Michael Walzer defined as “Right vs. Right”2, as it is believed that there is a limit of what one can give in order to help those in need. Therefore it is also necessary for a country to look at the conditions their citizens are bearing before turning to another occurrence. It soon becomes a question as to what extent we have to open our borders and accept these “strangers” that don’t even seem to share the same background as ours. This way of thinking, leads us back to the basic human rights that all men, especially children, are to be immune from any form of torture and discrimination. That by having appropriate identification criteria of a refugee stated in the first article of the Presidential Decree No. 125 of 2016 on the Treatment of Refugees from Overseas is to be the basis of selecting the people that are to enter our border and live in Indonesia. Bearing in mind the principle of universality and inalienability mentioned and provided in the preamble of the Universal Declaration of Human Rights, and that what caused these children to flee from their home country is because of their lack of military support and capability, and not their lack of understanding of what is morally right. It consequently highlights the obligation the Government of Indonesia holds to what is ruled in the Convention on the Rights of the Child (CRC). That is to apply the best interests rule, non-discrimination, and the right to 2

Joseph H. Carens, “Refugees and the Limits of Obligation”, Public Affairs Quarterly,Vol. 6, No. 1, 1992, p. 34.


participate for these children of refugees. Meaning that in each action done by the government, it is necessary to let these children express their views freely regarding any matters that may affect their well-being. Furthermore, Indonesia bears the obligation and responsibility to make sure the children of refugees are taken care of, and should the child be separated from their family, the state becomes obligated to make sure of their adoption3 and family rights4. In addition to that, the progressive rights5 such as the right to health6, an adequate standard of living7, and education8 are to be complied according to the state’s economic stability and development to ensure its certainty as well as its continuity. 2. Fulfillment of Children Rights for Rohingya Refugees in Indonesia during the Covid-19 Pandemic The protection of human rights in general are manifested in several international instruments, from the Universal Declaration of Human Rights, International Covenant on Civil and Political Rights, International Covenant on Economic, Social and Culture, the Convention on the Rights of the Child (CRC). Indonesia has ratified the CRC on 25 August 1990 through Presidential Decree No. 36 the Year 1990 on The Validation of The Convention on the Rights of the Child (Government Gazette year 1990 number 57). The next step taken by Indonesia is to establish Law No. 23 of 2002 on the Child Protection on 22 October 2002, then amended by the Law Number 35 of 2014. But the fact that Indonesia hasn’t ratified the 1951 Convention on the Status of refugees and Protocol 1967, Indonesia still shall

3

Article 21 of The Convention on the Rights of the Child. Article 5 of The Convention on the Rights of the Child. 5 UN High Commissioner for Refugees (UNHCR), Refugee Children: Guidelines on Protection and Care, https://www.refworld.org/docid/3ae6b3470.html, 1994, p. 5, accessed on 22 January 2021. 6 Article 24 of The Convention on the Rights of the Child. 7 Article 27 of The Convention on the Rights of the Child. 8 Article 28 of The Convention on the Rights of the Child. 4


be liable for the right protection of the refugee children under article 22 of the CRC. CRC is the main standard of protection includes the guarantees of health, education, and welfare, and includes guarantees relating to the child’s individual personality, rights to freedom of expression, religion, association, assembly, and privacy. During this pandemic situation, action taken by Indonesian government is by doing rapid tests on all the refugees who landed in Aceh in June 2020, and reported that there are no refugees infected by the coronavirus. This pandemic also affected all activities including school activity. Many refugee children can’t get an education because of the limited access to it, the school is closed and can only be accessed online with the internet. The ministry of education provides free internet and also UNHCR established distance learning mechanism using platform zoom and youtube. This action is the only way Indonesian government and UNHCR can give because there’s no specific regulation about education towards refugee children.

V.

Closing 1. Conclusion Although in a pandemic situation, it doesn’t mean the obligation for countries to help refugees can be abandoned, especially when it comes to the children. States Parties shall take appropriate steps to ensure that a child who is seeking refugee status or who is considered a refugee receives appropriate protection and humanitarian assistance in the acquisition of rights. The CRC states that protection given includes the guarantees of health, education, and welfare, and includes guarantees relating to the child's individual personality, rights to freedom of expression, religion, association, assembly, and privacy.

2. Recommendation


To fulfill the children rights of Rohingya refugees, Indonesia should provide protection in the form of fulfilling children's rights to an adequate standard of living for their physical, mental, and social development by providing facilities for their basic needs, health, and especially their educational needs. This can be done by coordinating search and rescue operations to find and help boats in distress that transport the Rohingya refugees, which carry the majority of whom are children and women, and welcome them in Indonesia. Indonesian government can collaborate with the United Nations High Commissioner for Refugees to protect refugees and stateless people in determining their refugee status, and also provides adequate educational facilities for child refugees for their future and their long term livelihood independently, as like Indonesia's commitment to the Sustainable Development Goals and the Global Compact on Refugees. In addition, Indonesia should immediately ratify The 1951 Refugee Convention so the Indonesian government can be more comprehensive to fulfill refugee’s rights following the commitments agreed in international conventions.


BIBLIOGRAPHY

Book UN High Commissioner for Refugees (UNHCR), Refugee Children: Guidelines on Protection and Care, https://www.refworld.org/docid/3ae6b3470.html, 1994. Journal Joseph H. Carens, “Refugees and the Limits of Obligation”, Public Affairs Quarterly,Vol. 6, No. 1, 1992. Speech Zeid Ra'ad Al Hussein, Darker and more dangerous: High Commissioner updates the Human Rights Council on human rights issues in 40 countries, Human Rights Council 36th session, 11 September 2017. Law and Regulation Convention on the Rights of the Child


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.