LOCAL CHAPTER LEGAL WRITINGS
alsa-indonesia.org
DEGRADASI PANCASILA DAN ISU KEBANGKITAN KOMUNISME DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG HALUAN IDEOLOGI PANCASILA Oleh: Lutfiah Bulqis Arifin, Annisa Amalia Dwi Cahyani, Besse Resky Amalia, Hema Maline Patigai, dan Mohammad Fachri Haekal Universitas Hasanuddin A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.1 Menurut Bung Karno, “Pancasila is the “philosofische grondslag” of Indonesian Independence. This pholosofische grondslag means foundation, philosophy, the most profound thought, the spirit, and the deepest desire, upon which to build the eternal, indestructible mansion of Independent Indonesia”. 2 Sejalan dengan pemikiran Bung Karno, Kaelan berpendapat bahwa “Pancasila adalah filsafat negara yang lahir sebagai ideologi kolektif (cita-cita bersama) bangsa Indonesia. Pancasila sebagai filsafat negara atau dasar falsafah negara (Philosofische Gronslag) berfungsi sebagai fundamen kenegaraan”.3 Makna filosofis dari pernyataan ini adalah bahwa dalam setiap aspek penyelenggaraan negara harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, seperti bentuk negara, sifat negara, tujuan negara, tugas dan kewajiban negara dan warga negara, sistem hukum, serta segala penyelenggaraan negara. Apabila kita merujuk pada konsep stuffen theory4 Hans Kelsen, maka Pancasila bukanlah staat fundamental norm, tetapi di atasnya lagi, karena ia merupakan
1
Pandji Setijo, Pendidikan Pancasila Perspektif sejarah Perjuangan Bangsa, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2011, hlm. 86. 2 Sjafruddin Prawiranegara, “PANCASILA AS THE SOLE FOUNDATION”, Indonesia, No. 38 (Oct., 1984), Cornell University Press: Southeast Asia Prograp Publications at Cornell University, hlm. 76. 3 Kaelan, Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Paradigma,Yogyakarta, 2009, hlm. 59. 4 Menurut Hans Kelsen dalam stuffen theory-nya, norma itu berjenjang berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki. Pengertiannya, norma hukum yang dibawah berlaku dan bersumber, dan berdasar dari norma yang lebih
filsafat bangsa. Sebab itu Pancasila disebut juga sebagai volkgeist5. Pancasila sebagai volkgeist menjadi salah satu piranti utama bagi konsep kehidupan bertatanegara di Indonesia. Secara ketatanegaraan, posisi Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum. 6 Pancasila merupakan nilai dasar dari bangsa Indonesia, serta merupakan landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sejak kemerdekaan. Mengingat pentingnya keberadaan Pancasila tersebut di Indonesia, tentunya pembuatan ideologi Pancasila telah melewati proses yang sangat panjang. Konsiderans Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila yang menyatakan bahwa rumusan Pancasila sejak 1 hingga rumusan final 18 Agustus 1945 ialah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai dasar negara. 7 Makna satu kesatuan proses lahirnya Pancasila ini juga dapat dipahami bahwa rumusan final tanggal 18 Agustus 1945 dijiwai dari Pidato Soekarno 1 Juni 1945 dan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Dengan kata lain, tidak dapat memisahkan rumusan Pancasila dari sudut pandang tiga peristiwa itu masingmasing. Dalam perjalanan sejarah, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode (2009-2014) telah mengeluarkan Empat Pilar MPR dimana Pancasila menjadi salah satu pilarnya. Melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017, Presiden Jokowi membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Kemudian melalui Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018, Presiden Jokowi membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Seakan tak mau kalah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode (20192024) saat ini tengah membahas Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang merupakan inisiatif DPR atas usul dari partai PDIP. Pembahasan RUU HIP ini telah menimbulkan kegaduhan di ruang publik. Hadirnya RUU HIP ini dinilai tidak tepat dibahas di tengah masa pademi. Sebab, RUU HIP bukanlah menjadi urgensi untuk dibahas saat ini.
tinggi, dan norma yang lebih tinggi juga bersumber dan berdasar dari norma yang lebih tinggi lagi begitu seterusnya sampai berhenti pada norma yang tertinggi yang disebut sebagai norma dasar (Grundnorm). 5 Volkgeist adalah istilah yang digunakan oleh seorang ahli sejarah hukum, Von Savigny. Volkgeist sendiri berarti jiwa bangsa atau dapat diartikan sebagai jiwa para elit. Karena elit atau pemimpin mencerminkan bangsa itu sendiri. 6 Fajlurrahman Jurdi, Hukum Tata Negara Indonesia, Prenadamedia Group, Jakarta, 2019, hlm. 47. 7 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila
Haluan Ideologi Pancasila sendiri, merupakan pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arah bagi seluruh warga negara dan penduduk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.8 Motivasi pembentukan RUU HIP tentunya dapat kita temukan dalam naskah akademik. Berdasarkan latar belakang yang terdapat pada naskah akademik RUU HIP, maka dapat diketahui bawah motivasi pembentukan RUU HIP adalah pandangan subyektif legislatif atau DPR RI atas kondisi kekinian bangsa Indonesia. Sehingga dinyatakan secara jelas, "maka diperlukan campur tangan negara untuk memelopori mengimplementasikan ideologi Pancasila sesuai tantangan jaman masa kini". Ini menunjukkan bahwa RUU HIP tidak berangkat dari kebutuhan nasional dan masyarakat Indonesia, melainkan DPR RI “memaksakan kehendaknya” agar negara terlibat dalam kepentingan politik praktis yang sangat subyektif dan bernuansa tendensius. 9 Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) sangat menarik untuk menjadi kajian dan pembahasan publik. Mengingat Pancasila milik bersama seluruh bangsa Indonesia, bukan milik satu golongan tertentu. Karenanya, siapapun itu lapisan masyarakat, berhak untuk menanggapi dan memberikan sumbangsih pemikirannya terhadap RUU HIP. Baru dua bulan kurang, sejak beredarnya file draf Naskah Akademik dan RUU HIP tertanggal 26 April 2020 melalui sosial media, telah menuai reaksi besar dari masyarakat berupa penolakan dan tanggapan serius, bahkan di bulan Juni telah banyak kegiatan-kegiatan ilmiah dan diskusi membedah RUU HIP secara online. Fenomena ini memecahkan rekor kontroversial suatu RUU dengan tanggapan yang sangat cepat dari masyarakat, hanya kurang dari dua bulan. 10 Salah satu alasan yang mendasari timbulnya penolakan keras terhadap RUU HIP adalah tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun
8
Pasal 1 Ketentuan Umum RUU HIP Anton Hariyadi, “Siapa Yang Membutuhkan RUU HIP”, Adalah: Buletin Hukum dan Keadilan, Vol. 4 No. 3 (2020), hlm. 20. 10 Ibid., hlm. 18. 9
1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan Ajaran Komunisme/ Marxisme sebagai salah satu konsideran. Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau
ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme
dalam
segala
bentuk
dan
manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang. 11 Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila, tidak mengenal adanya pemisahan antara negara dengan agama. Tidak ada tempat bagi segala paham yang memisahkan antara agama dengan negara. Oleh karena itu, sangat tidak tepat apabila komunisme hidup dan tumbuh di negara Indonesia. 12 Untuk itu, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji lebih lanjut mengenai ketiadaan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 sebagai salah satu konsideran RUU HIP yang menjadi perhatian serius bagi masyarakat karena dinilai dapat membangkitkan kembali paham komunisme di Indonesia. Isu besar dan sensitif yang terdapat dalam RUU HIP tentu saja akan membawa dampak negatif dan menjadi ancaman bagi Pancasila sebagai ideologi bangsa dengan eksistensinya. Tulisan ini akan disusun dengan pendahuluan yang mencakup latar dari masalah yang diangkat. Setelah pendahuluan, pada bagian II akan dikaji pembahasan terkait ketiadaan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/ 1966 sebagai dasar hukum RUU HIP dan bagaimana eksistensi RUU HIP menjadi ancaman bagi Pancasila yang didasarkan pada data-data yang telah ditemukan. Selanjutnya bagian III akan memuat kesimpulan dan saran dari keseluruhan tulisan ini. 2. Rumusan Masalah 1.
Mengapa ketiadaan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan Ajaran Komunisme/ Marxisme sebagai salah satu konsideran RUU HIP dapat mempengaruhi kebangkitan paham komunisme di Indonesia?
2.
Bagaimana eksistensi RUU HIP dapat menjadi ancaman bagi Pancasila selaku ideologi bangsa Indonesia?
11
Pasal 2 TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia Hufron dan Hajjatulloh, “Aktualisasi Negara Hukum Pancasiladalam Memberantas Komunisme di Indonesia”, Mimbar Keadilan, Vol. 13, No. 1 (2020), hlm. 66. 12
B. PEMBAHASAN 1. Ketiadaan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1996 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan Ajaran Komunisme/ Marxisme sebagai Salah Satu Konsideran RUU HIP dapat Mempengaruhi Kebangkitan Paham Komunisme di Indonesia Secara yuridis, pencegahan dan pemberantasan komunisme dilakukan dengan penegakan hukum berdasarkan TAP MPRS Nomor XXV/1966 Tahun 1966. Peraturan ini memuat pernyataan mengenai pembubaran Partai Komunis Indonesia yang merupakan organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Jika kita menganalisis bagian Pembukaan dari RUU HIP mengenai dasar hukum, bagian tersebut tidak menyantumkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/ Marxisme-Leninisme sebagai dasar hukumnya. Mengetahui bahwa judul RUU HIP adalah menyangkut ideologi, maka secara normatif, diharuskan menyantumkan dasar hukum mengenai ideologi yang dilarang yaitu mengenai paham atau ajaran Komunisme. Paham Komunisme atau Marxisme-Leninisme dinyatakan bertentangan dengan Pancasila, terutama jika dihubungkan dengan sila kesatu Pancasila. Orang-orang dan golongan penganut paham tersebut, khususnya PKI pada 1948 dan 1965, dikatakan telah beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia yang sah dengan jalan kekerasan. 13 “Jika saya mati sudah tentu bukannya berarti PKI ikut mati bersama kematian saya. Tidak, sama sekali tidak. Walaupun PKI sekarang sedang rusak berkepingkeping, saya tetap yakin bahwa ini hanya bersifat sementara. Dan dalam proses sejarah nantinya, PKI akan tumbuh kembali, sebab PKI adalah anak zaman yang dilahirkan oleh zaman”. Kutipan di atas, adalah pernyataan Sudisman - anggota Lihat, Keputusan2 M.P.R.S, Sidang Umum ke-IV 20 Djuni – 6 Djuli 1966, U.P. Indonesia, Yogyakarta, hlm. 96. Lihat juga Samsuri, “Komunisme Dalam Pergumulan Wacana Ideologi Masyumi”, Millah, Vol. 1, No.1, Agustus 2001, hlm. 100. 13
Polit Biro PKI zaman DN Aidit yang diadili pada bulan Juli 1967 dan dijatuhi hukuman pidana mati yang disampaikan pada nota pembelaan (pledoi) di sidang pengadilan pada tanggal 21 Juli 1967. Pernyataan demikian menegaskan, para anggota PKI sangat yakin bahwa komunisme tidak akan mati dari muka bumi ini, meskipun para pengikutnya telah dieksekusi mati oleh negara. Bahkan, boleh jadi keyakinan semacam itu, juga dipegang teguh oleh keturunan anggota PKI di masa sekarang.14 Sejalan dengan pernyataan di atas, RUU HIP dianggap dapat memberikan ruang untuk kembali membangkitkan paham komunis di Indonesia. Isu kebangkitan paham komunis mulai muncul dan digeber sejak 2015 silam dan dikatakan tampak menguat kembali pada era kepemimpinan Joko Widodo. Munculnya RUU HIP tentunya menimbulkan banyak kontroversi dan menuai kritikan dari berbagai kalangan. Hal yang paling dikritisi dalam RUU HIP ini adalah isu menyangkut akomodasi paham komunisme dalam RUU HIP. Hal ini dapat dilihat pada bagian Pembukaan RUU HIP mengenai dasar hukum, yang tidak menyantumkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia. Tidak dijadikannya TAP MPRS tersebut sebagai dasar hukum dari RUU HIP mengundang banyak pertanyaan. Seperti terkesan sedang memberi ruang bagi komunisme, juga seakan sedang mengalami amnesia sejarah. Padahal, komunisme telah terbukti ingin mengubah ideologi negara menjadi ideologi komunis. TAP MPRS XXV/1966 merupakan esensi penting dan ruh dari ideologi negara yaitu Pancasila, sekaligus ikhtiar kita menjaga orisinalitas Pancasila dari pengaruh haluan kiri dan kanan, seperti sosialis komunis dan dan kapitalis liberalis. Dari kejadian tersebutlah lahir banyak kritikan terhadap pemerintah yang menjabat saat ini. Masyarakat menganggap apabila tidak dicantumkan dasar hukum yang melarang ideologi lain selain Pancasila, maka RUU HIP sangat kental dengan kepentingan akomodasi politik untuk mengkompromikan ideologi komunis dalam berbangsa dan bernegara. Hal ini banyak menimbulkan pro dan kontra dari beberapa fraksi partai di pemerintahan pula. “Jangan bermain-main dengan isu-isu sensitif yang bisa menciderai umat dan masyarakat.” Demikian penggalan
14
Hufron dan Hajjatulloh, Op. Cit., hlm. 60.
pernyataan Wakil Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) Saleh Partaonan Daulay yang menjadi pesan peringatan bagi DPR selaku penyusun Rancangan Undang-Undang agar tak sembarangan dalam menyusun draf Rancangan UndangUndang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Selain itu juga mereka menambahkan jika TAP MPRS tersebut diabaikan oleh pemerintah, maka fraksi PAN akan menarik diri dari pembahasan. Catatan sejarah Indonesia, pada tahun 1948 terjadi pemberontakan PKI yang dikenal dengan “Madiun Affair” 1948 dan tragedi nasional pada tahun 1965 yang kemudian dalam sejarah dikenal dengan G 30 S/PKI. Tragedi yang kemudian hari dikenang sebagai pengkhianatan PKI itu menjadi trauma politik rakyat Indonesia. 15 Trauma inilah yang kemudian dikedepankan dan menjadi dasar yang kuat untuk menolak adanya paham komunisme yang berkembang di Indonesia. Badan Legislasi (Baleg) sebagai alat kelengkapan dewan yang semula merumuskan dan membahas di tingkat awal RUU HIP harusnya memperhatikan hal-hal apa saja yang harus dimasukkan ke dalam RUU HIP tersebut. Dalam pembahasan, sejumlah fraksi telah mengingatkan pentingnya pencantuman TAP MPRS XVV/1966. Namun sepertinya hal tersebut tak juga digubris oleh DPR sebagai Badan Legislasi hingga akhirnya diparipurnakan dan disahkan menjadi usul insiatif DPR. Tentu saja dengan kejadian tersebut tak sedikit masyarakat mempertanyakan motif meniadakan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 dari RUU HIP. Sebab itu, boleh jadi masyarakat justru menduga seolah adanya upaya pengaburan sejarah terkait paham komunisme yang telah menjadi memori buruk bagi bangsa kita. Terlebih lagi paham komunisme sangat bertolak belakang dengan dengan jati diri dan ideologi bangsa kita yaitu Pancasila. Menanggapi hal ini, pihak dari MPR sendiri menganggap tidak ada kejanggalan yang terdapat di RUU HIP tersebut. Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah telah memastikan tidak ada ruang bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk kembali bangkit. Ia juga menegaskan bahwa TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Karena itu, tanpa disebutkan
15
Sulardi, “Diskursus Seputar Tap. MPRS No. XXV”, Jurnal Ilmiah Bestari, No. 30 Th. XIII, 2000, hlm. 17.
dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila pun, organisasi terlarang ini dan ajaran komunismenya tak mungkin lagi dibangkitkan kembali dengan cara apapun. Bertolak belakang dengan pernyataan Ahmad Basarah, Wakil Ketua MPR Syariefuddin Hasan justru menegaskan bahwa TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 harus dimasukkan ke dalam RUU HIP untuk menghadirkan kepastian hukum agar tidak ada ruang bagi ideologi terlarang untuk menghadirkan kepastian hukum agar ideologi terlarang tersebut tidak dapat masuk dan menyusup dalam nilai-nilai Pancasila. dan juga muatan dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) harus diperbaiki secara hati-hati, teliti, dan juga cermat. Seharusnya RUU HIP memiliki substansi yang kuat dan mencerminkan Pancasila itu sendiri. Generasi saat ini dinilai mulai melupakan identitas bangsa sendiri, yaitu Pancasila serta sejarahnya. Karenanya, RUU HIP harus memuat substansi yang tak lepas dari pemahaman sejarah yang benar dan menegaskan kembali TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 didalam RUU HIP. Apabila pembahasan RUU HIP ini kembali berlanjut tanpa mencantumkan TAP MPRS Nomor XXV/1966 Tahun 1966 sebagai dasar hukumnya, maka bukan tidak mungkin paham komunis dapat kembali bangkit di Indonesia. Negara dalam hal ini telah membatasi ruang gerak tersebarnya paham yang bertentangan dengan ideologi Pancasila dalam konteks Ormas. Karena itu, RUU HIP yang secara terang benderang menyantumkan ideologi Pancasila harus menegaskan dirinya bahwa seluruh dasar hukum yang mengatur tentang ideologi terlarang haruslah dimasukkan ke dalam dasar hukum bagian Pembukaan RUU HIP. 16 2. Eksistensi RUU HIP dapat Menjadi Ancaman bagi Pancasila selaku Ideologi Bangsa Indonesia Pada dasarnya RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) diperlukan sebagai kerangka awal landasan berpikir serta bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat Indonesia itu sendiri. Hal tersebut tercantum di dalam pasal 1 ketentuan umum RUU HIP yang berbunyi “Haluan Ideologi Pancasila adalah pedoman bagi penyelenggara
16
negara
Anton Hariyadi, Op. Cit., hlm. 22.
dalam
menyusun
dan
menetapkan
perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arah bagi seluruh warga negara dan penduduk dalam kehidupan
berbangsa dan
bernegara berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila”.17 Tentunya dengan dibuatnya RUU HIP ini pemerintah dan DPR berharap RUU HIP dapat berfungsi sebagai ideologi dinamis yang melekat dalam diri setiap warga Indonesia sehingga mampu menjawab seluruh permasalahan yang muncul di tengah globalisasi dan revolusi industri 4.0.18 Akan tetapi, Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) justru menuai kontroversi di tengah masyarakat karena dinilai RUU HIP ini hadir di waktu yang tidak tepat. Disaat masyarakat butuh penanganan terhadap angka wabah covid-19 yang kian meningkat, DPR justru mengusulkan RUU HIP yang dinggap tidak memiliki urgensi untuk dibahas. Fraksi pengusung RUU HIP ini yaitu PDIP menyampaikan bahwa tujuan dibuatnya undang-undang ini adalah mulia, selain untuk menguatkan BPIP, keberadaannya pun akan menangkal masuknya pemahaman yang bertentangan dengan Pancasila. Akan tetapi respon berbagai pihak justru sebaliknya, berbagai kalangan baik dari ormas maupun mahasiswa menganggap bahwa keberadaan RUU HIP menjadi ancaman bagi Pancasila. Ketika ada RUU yang ingin menyentuh Pancasila bahkan mengotakatiknya, sangat wajar bila menimbulkan reaksi dari berbagai pihak masyarakat. Penyusun RUU HIP semestinya menyadari bahwa Pancasila itu sumber dari segala sumber hukum negara, sehingga tidak perlu diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan apapun karena kedudukan pancasila yang meta norma atau berada diatas peraturan manapun. Sehingga jika ada peraturang perundangundangan yang ingin mengatur pancasila, sungguh tujuan utama peraturan itu ialah untuk menciderai ruh pancasila. Dikarenakan ada kepentingan politik di belakangnya, Pancasila diturunkan derajatnya menjadi UU. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa UU bersifat dinamis, sedangkan Pancasila bersifat statis. UU seperti area terbuka untuk diuji,
17 18
Ibid., hlm. 18. Ibid., hlm. 21.
dicabut, diubah, dan dibatalkan. Sedangkan Pancasila yang ada sekarang sudah berada pada tempatnya yang luhur.19 Hadirnya RUU HIP menuai kontroversi yang kian memanas, walaupun pemerintah telah memutuskan untuk menunda pembahasannya namun tidak mudah redam begitu saja, karena telah terlanjur memancing emosi masyarakat. RUU HIP banyak mengandung isu-isu besar dan sensitif. Salah satunya yaitu, dalam naskah akademik RUU HIP tidak menyebutkan ideologi yang dilarang berkembang di Indonesia yaitu Komunisme. Seharusnya jika membahas mengenai ideologi Pancasila maka perlu juga dicantumkan mengenai ideologi atau pahampaham yang bertentangan dengan ideologi bangsa. Hal ini tentu saja bertujuan untuk menghalangi paham-paham tersebut kembali hidup di bumi pertiwi. Seperti yang kita ketahui, paham komunis merupakan salah satu tantangan bagi pancasila yang mana ajaran komunis berasaskan materialisme yang mengandung kepercayaan bahwa Tuhan atau bidang adikodrati (super natural realm) tidak ada.20 Meski organisasi komunis telah dibubarkan dan negara komunis pun dibubarkan, pahamnya tidak berarti hilang bersama bubarnya Partai Kominis Indonesia atau bubarnya Uni Soviet. Seorang tokoh komunis Indonesia, Alimin pernah mengatakan, “Partai Komunis yang betul-betul revolusioner, harus berkata dengan terus terang, bahwa Partai Komunis tidak dapat menerima Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan orangorang komunis merasa jijik untuk menutupnutupi pandangan dan tujuannya. Pancasila adalah bertentangan dengan dialektika materialisme.”21 Dari pernyataan ini maka terlihat jelas bahwa, prinsip Ketuhanan yang terdapat pada sila pertama Pancasila sangat bertentangan dengan ideologi komunis yang tidak mengakui adanya Tuhan. Dalam segi ideologis, kaum komunis melandaskan kepercayaannya pada historikal materialis. Ideologi komunisme tidak mempercayai Tuhan, agama dilarang tegak karena hanya dianggap sebagai candu bagi manusia sebagaimana
19
Ibid., hlm. 24. A.M. Romly, Agama Menentang Komunisme, Bina Rena Pariwara, Jakarta, 1997, hlm. 41. 21 Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai (G30S/PKI dan Peran Bung Karno), C. V. Sri Murni, Jakarta, 1988, hlm. 323. 20
yang dikatakan Marx. Ia juga menyebutkan bahwa agama hanya akan menjadi penghalang bagi terwujudnya masyarakat komunis.22 Untuk mencapai masyarkat komunis yang materialis tersebut, mereka mentempuh segala cara yang mengabaikan nilai-nilai agama dan susila. Materialisme mengajarkan mereka bahwa sifat manusia itu adalah hasil dari interaksinya dengan dunia materi di luarnya, bahwa kesadaran manusia ditentukan oleh keberadaan sosialnya. Tindakan-tindakan pemaksaan dan kekerasan merupakan salah satu ciri dari ajaran komunisme. Ciri lain ajaran komunisme ialah upaya menyebarkan kebencian terhadap pihak yang berbeda pandangan. Faktanya, pelaksanaan dan pemberlakuan ajaran dan paham komunisme di mana pun senantiasa menelan korban manusia, sebagai contoh peristiwa G30S/PKI yang merenggut nyawa tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang yang lain dibunuh dalam suatu usaha kudeta. Penghargaan kepada nyawa manusia sama sekali tidak ada dalam praktek komunisme. Yang dipentingkan adalah tercapainya tujuan, bukan baik atau tidaknya cara yang dipakai. Sekali lagi bagi komunis semua cara sah dan halal meski harus menghilangkan nyawa manusia. Selain berisi atheism23 dalam lapangan falsafahnya, komunisme dalam lapangan politiknya memegang paham anti demokrasi atau diktatur proletariar. Hal ini bertujuan untuk menghalangi mereka yang tidak sejalan dengan pemikiran kaum komunis. Dengan demikian ideologi komunisme cenderung melahirkan suatu sistem politik yang otoriter dan tirani. Kemudian dalam lapangan sosial, komunisme menganjurkan pertentangan dan perjuangan kelas. Marx membagi masyarakat menjadi dua kelompok besar yang saling bermusuhan yaitu, borjuis dan proletariat. Dalam perjuangan kelas tersebut, Marx menempatkan proletariat sebagai kelas yang paling menderita dan mewakili kaum pekerja seluruh manusia. Kelas proletar adalah kelas yang memenuhi kebutuhan hidupnya semata-mata dengan menjual tenaganya. Sedangkan kelas borjuis terdiri dari para pemilik sumber-sumber produksi. 24
Edi Casedi, Syamsul Hidayat, “Pemikiran Paham Komunis Perspektif Pancasila”, Jurnal Studi Islam, Vol. 18, No. 2, Desember 2017, hlm. 114. 23 Ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak memercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme (kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan) 24 Lyman Tower Sargent, Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer, Erlangga, Jakarta, 1987, hlm. 87. 22
Kemudian, dalam lapangan ekonomi menghilangkan hak perseorangan dengan prinsip sama rata dan sama rasa. Manusia dianggap sebagai benda mati yang tidak mempunyai keinginan untuk berkembang, maju dan mandiri. 25 Dengan kata yang lebih jelas, dalam masyarakat komunis manusia menjadi budak sistem yang sangat menguntungkan yang bebas dan merdeka. Dan mereka adalah pengatur sistem itu sendiri. Inilah perbudakan besar dan kolektif dalam sebuah negara yang dikontrol langsung oleh negara itu sendiri. Melihat aspek-aspek dari paham komunis yang telah dipaparkan di atas, serta menghargai sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang merupakan sila yang menjadi asas dari sila-sila lainnya menjadi amat sangat penting bagaimana Pancasila melihat agama dan Tuhan. Hal inilah yang menunjukkan bahwa Pancasila sangat bertentangan dengan paham dan ajaran komunisme yang mempunyai tujuan menyebarkan paham atheisme. Selain menganut paham atheisme, komunisme juga identik dengan tindakantindakan pemaksaan, kekerasan, kebencian dan permusuhan yang menyebabkan paham ini jauh dari nilai kesusilaan dan keberadaban. Hal ini tentu bertentangan dengan Pancasila yang menganut nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Atas dasar inilah komunisme tidak mempunyai ruang dalam Pancasila. Dengan sikap dan sifatnya yang sangat bertentangan dengan dasar NKRI, maka ajaran ini tidak layak hidup subur di bumi pertiwi yang pernah dikhianati oleh PKI dengan melakukan kudeta atas pemerintahan yang sah dengan upaya menjadikan Indonesia tidak berdaulat di bawah kaki dan tangan Rusia, negara komunis. Menimbang bahwa paham komunis pada hakikatnya di Indonesia sangat bertentangan dengan Pancasila dan untuk mengambil tindakan yang tegas maka, ditetapkanlah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tahun 1966 tentang pembubaran, pernyataan sebagai organisasi terlarang diseluruh wilayah negara republik indonesia bagi partai komunis Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunis/marxisme-leninisme. 26
25 26
Edi Casedi dan Syamsul Hidayat, Op. Cit., hlm. 117. TAP MPRS No. XXV Tahun 1966
Sudah sepatutnya seluruh bangsa Indonesia menerima, mendukung dan mempertahankan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia (MPRS-RI) Nomor XXV/ MPRS/1966 yang melarang setiap kegiatan untuk
menyebarkan
atau
mengembangkan
paham
atau
ajaran
komunisme/marxisme-leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan menggunakan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut di Indonesia. Maka dari itu, sangat penting untuk mencantumkan peraturan ini sebagai dasar hukum dari RUU HIP sehingga paham dan ajaran komunisme tidak mempunyai ruang untuk bangkit kembali dan berusaha untuk mengganti Ideologi Indonesia. Sejatinya Pancasila haruslah tetap menjadi sumber dari segala sumber hukum negara, tanpa perlu dijadikan UU. Karena sebagai dasar negara, penafsiran Pancasila telah dijabarkan dalam batang tubuh UUD NRI 1945. Sehingga Pembukaan UUD NRI 1945 dan batang tubuh UUD NRI 1945 adalah haluan negara, haluan berbangsa dan bernegara, haluan seluruh pemerintahan dalam mengambil kebijakan. Pancasila lebih tinggi dari batang tubuh UUD NRI 1945. Mengapa Pancasila harus diuraikan secara rinci lagi ke dalam RUU HIP. DPR RI telah dengan sengaja menjatuhkan derajat Pancasila dari kedudukannya yang luhur, sebagai sumber nilai, pedoman, haluan dan dasar negara. Karena Pembukaan UUD NRI 1945 tidak bisa diamandemen, hanya batang tubuhnya yang dapat diamandemen. 27
27
Anton Hariyadi, Op. Cit., hlm. 24-25.
C. PENUTUP 1.
Kesimpulan Sejak bergulir di publik, RUU HIP mengundang sejumlah perdebatan. Perdebatan ini mengandung hal yakni tak dimasukkannya TAP MPRS Nomor XXV/1966 Tahun 1966 yang melarang PKI dan paham Komunisme/MarxismeLeninisme. Hal ini dicurigai sejumlah pihak sebagai legitimasi kembali masuknya paham Komunisme. Jika berbicara mengenai Pancasila maka sejatinya, TAP MPRS Nomor XXV/1966 Tahun 1966 harus menjadi dasar pertimbangan utama setelah UUD 1945. RUU HIP dinilai tak mendesak untuk dibahas apalagi pembahasan ini dilakukan ditengah merebaknya Covid-19 di Indonesia. Setelah membaca draf RUU HIP dengan seksama, memang terdapat materi yang substantif justru bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. RUU HIP dan beberapa hal yang berkaitan dengan penguatan Pancasila sebenarnya tidak diperlukan karena secara hukum Pancasila mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan kuat. RUU HIP yang mengandung isu kebangkitan paham komunisme menjadi perhatian utama, karena seperti yang kita ketahui komunisme dan Pancasila merupakan dua hal saling bertentangan. Oleh karena itu, apabila pembahasan RUU ini berlanjut maka hal ini justru akan menjadi ancaman bagi Pancasila selaku ideologi bangsa. Mengapa? Karena Pancasila haruslah tetap menjadi sumber dari segala sumber hukum negara, tanpa perlu dijadikan UU. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa UU bersifat dinamis sedangkan Pancasila bersifat statis.
2.
Saran Dalam menghadapi perdebatan yang timbul akibat RUU HIP, sudah seharusnya DPR sebagai wakil rakyat mendengar suara dari masyarakat. Pancasila perlu untuk dilindungi dari bahaya dan praktik paham-paham apapun yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Untuk itu, TAP MPRS Nomor XXV/1966 Tahun 1966 memiliki peran yang penting dalam melindungi bangsa serta ideologi kita dari paham Komunisme yang pernah menjadi memori buruk bagi bangsa ini. Pemerintah harusnya mampu untuk menegaskan paham-paham yang dilarang hidup di Indonesia dengan memasukkan TAP MPRS Nomor XXV/1966 Tahun 1966 sebagai dasar hukum dari RUU HIP. Hadirnya RUU HIP justru menjatuhkan derajat Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Demi
melindungi Pancasila yang merupakan hasil renungan dan pemikiran bangsa kita, maka kita harus menolak hal-hal yang bertentangan dengan budaya dan jati diri bangsa. Bangsa Indonesia perlu belajar dari dua pengalaman sejarah kekuasaan di masa lalu ketika perumusan Perundang-undangan atau kebijakan penerapan ideologi Pancasila disalahgunakan dan dijadikan instrumen kekuasaan yang bersifat monolitik oleh penguasa.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Jurdi, Fajlurrahman. 2019. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group. Kaelan. 2009. Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Paradigma. Keputusan2 M.P.R.S. Sidang Umum ke-IV 20 Djuni – 6 Djuli 1966. 1996. Yogyakarta: U.P. Indonesia. Lyman Tower Sargent. 1987. Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer. Jakarta: Erlangga. Romly, A.M. 1997. Agama Menentang Komunisme. Jakarta: Bina Rena Pariwara. Soerojo, Soegiarso. 1988. Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai (G30S/PKI dan Peran Bung Karno). Jakarta: C. V. Sri Murni. Setijo, Pandji. 2011. Pendidikan Pancasila Perspektif sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/MarxismeLeninisme. Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Haluan Ideologi Pancasila. JURNAL Casedi, Edi dan Syamsul Hidayat. 2017. Pemikiran Paham Komunis Perspektif Pancasila. Jurnal Studi Islam Vol. 18 No. 2. Hariyadi, Anton. 2020. Siapa Yang Membutuhkan RUU HIP. Adalah: Buletin Hukum dan Keadilan Vol. 4 No. 3. Hufron dan Hajjatulloh. 2020. Aktualisasi Negara Hukum Pancasila dalam Memberantas Komunisme di Indonesia. Mimbar Keadilan Vol. 13 No. 1. Prawiranegara, Sjafruddin. 1948. PANCASILA AS THE SOLE FOUNDATION. Indonesia Volume 38. Southeast Asia Program Publications at Cornell University: Cornell University Press
Samsuri. 2001. Komunisme Dalam Pergumulan Wacana Ideologi Masyumi. Millah Vol. 1 No. 1. Sulardi. 2000. Diskursus Seputar Tap. MPRS No. XXV. Jurnal Ilmiah Bestari No. 30.
Eksistensi Indirect Evidence dalam Upaya Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Oleh : Andi Yunisa Febriyanti, Cindy Valencya, Merchi Limban Universitas Hasanuddin
A. PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah diatur mengenai berbagai larangan bagi tindakan yang menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dari kegiatan maupun perjanjian diantara para pelaku usaha salah satunya kartel. Menurut ketentuan dalam Pasal 11 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999, perjanjian kartel dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Salah satunya yaitu Perjanjian Kartel. Perjanjian Kartel terjadi antara satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan diantara keduanya.1 Mutia Anggraini, Skripsi: ‘’ Penggunaan Indirect Evidence (Alat Bukti Tidak Langsung) Oleh Kppu Dalam Proses Pembuktian Dugaan Praktik Kartel Di Indonesia” (Malang: Brawijaya,2013),Hal. 4. 1
Kartel merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999. Jenis perjanjian ini sering terjadi dalam kegiatan usaha, yang ditentukan oleh pelaku usaha dibidang tertentu, dengan tujuan utama mencari keuntungan secara mudah dan maksimal, sehingga mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Kartel ini memperoleh keuntungan sangat tinggi melebihi harga wajar. 2 Dalam praktik bisnis di Indonesia, kartel justru seringkali terjadi dalam perkumpulan asosiasi dagang. Asosiasi-asosiasi tersebut melakukan pertemuan rutin secara bulanan, kuartalan, atau semesteran guna membahas perkembangan bisnis antar pelaku usaha dan perusahaan sejenis. Namun tidak jarang melakukan pertukaran informasi yang berakhir pada kesepakatan harga, jumlah pasokan, dan pembagian wilayah pemasaran, yang melanggar persaingan sehat. Kesepakatan tersebut pada umumnya dilakukan secara tertutup atau diam-diam, sehingga seringkali KPPU menghadapi kesulitan dalam mengungkap dan membuktikan adanya kartel.3 Salah satu Kasus praktik kartel yang pernah terjadi di Indonesia dengan menggunakan Indirect Evidence yaitu pada kasus Perkara Industri Farmasi Kelas Terapi Amlodipine, dikarenakan maraknya kasus praktik kartel di Indonesia, dalam hal inilah maka berkembang model pembuktian kartel dengan menggunakan Indirect Evidence, yang antara lain dilakukan melalui penggunaan berbagai hasil analisis ekonomi yang bisa membuktikan adanya korelasi antar satu fakta ekonomi dengan fakta ekonomi lainnya, sehingga akhirnya menjadi sebuah bukti kartel yang utuh dengan identifikasi sejumlah kerugian bagi masyarakat di dalamnya.4
Asmah, Hukum Persaingan Usaha “Hakikat Fungsi KPPU diindonesia”. (Makassar: Social Politic Genius (SIGn)), Hal.145. 3 Ibid., hal. 147 4 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kartel.hlm 11 2
2. Rumusan Masalah
1
Bagaimana Kedudukan Indirect Evidence dalam hukum Positif Indonesia?
2
Bagaimana Penerapan Indirect Evidence sebagai salah satu alat bukti dalam persaingan usaha di Indonesia
B. PEMBAHASAN
1. Kedudukan Indirect Evidence dalam hukum positif di Indonesia
Indirect Evidence atau pembuktian secara tidak langsung untuk saat ini diatur di dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 4 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pasal 11 Tentang Kartel Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) masih berjuang mencari pengakuan bukti tidak langsung. Upaya menempatkan sebagai ‘bukti tersendiri’ sedang ditempuh melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sukarni
selaku
Anggota
Komisioner
KPPU
mengatakan
bahwa
“Keberadaan bukti tidak langsung sangat diperlukan dalam proses pembuktian khususnya pembuktian dalam kasus kartel. Kesulitan otoritas persaingan membongkar keterkaitan antar pelaku usaha dalam sindikat kartel memaksa investigator mencari bukti alternatif yang setidaknya menyatakan adanya kesepakatan antara pelaku yang terlibat. keberadaan digunakan sebagai pembuktian terhadap kondisi yang dapat dijadikan dugaan atas pemberlakuan perjanjian lisan” Sejauh pembahasan RUU Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat antara Komisi VI DPR RI bersama Pemerintah tidak terlihat adanya kesepakatan untuk menjadikan sebagai bukti yang berdiri sendiri. Sukarmi mengatakan, usulan pengaturan bukti tidak langsung ke dalam pasal tersendiri awalnya diakomodir oleh Komisi VI DPR RI. Namun, saat pembahasan lebih lanjut di tingkat Badan Legislatif DPR (Baleg), ternyata pasal
terkait bukti tidak langsung tersebut dicoret sehingga tidak masuk dalam draf RUU. 5 Indikasi dari pelanggaran UU No. 5 tahun 1999 yang dilakukan oleh KPPU adalah kebenaran materiil. Kebenaran materiil adalah kebenaran yang bersumber pada kaidah-kaidah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Hukum Perdata yang dicari adalah kebenaran formil. Pencarian kebenaran materiil untuk membuktikan bahwa adanya akibat dari persaingan usaha tidak sehat tersebut, diperlukan keyakinan KPPU bahwa pelaku usaha melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menyebabkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Keyakinan itu didapat dengan cara memastikan kebenaran atas laporan dan inisiatif KPPU atas dugaan terjadinya praktek kartel dengan cara melakukan penelitian, pengawasan, penyelidikan, dan pemeriksaan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam pasal 42 disebutkan ada lima alat bukti yang dapat digunakan bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha yaitu; keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan atau dokumen, petunjuk dan keterangan pelaku usaha. Dalam KUHAP dan HIR alat bukti langsung tersebut diajukan masing-masing dalam pasal 184 dan 164.6 Dalam pedoman pasal 11 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan usaha disebutkan bahwa “KPPU harus berupaya memperoleh satu atau lebih alat bukti”. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa satu alat bukti cukup untuk menindaklanjuti laporan ataupun dugaan adanya indikasi kartel. Hal ini bertentangan dengan Hukum acara pidana. Hukum pidana menyatakan “satu bukti bukan bukti” (unus testis nullus testis). Minimal alat bukti yang sah menurut KUHAP, yaitu dua alat bukti.7 Kedudukan Indirect Evidence dalam hukum positif Indonesia belum memiliki kepastian hukum, hal ini dikarenakan tidak ada peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai Indirect Evidence, namun di sisi lain KPPU 5
Nanda Narendra Putra, “Berjuang Mencari Legitimasi Indirect Evidence”,https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt598aba978d57c/berjuang-mencarilegitimasi-indirect-evidence/ diakses 23 Oktober 2020 6 7
Mutia Anggraini, loc. cit. Ibid hlm 5.
menerapkan Indirect Evidence karena menganggap pembuktian ini merupakan salah satu alternatif untuk dapat membuktikan dugaan praktik kartel yang dilakukan oleh pelaku usaha dikarenakan sulitnya membuktikan praktik kartel yang dilakukan secara diam-diam sehingga Indirect Evidence hanya dianggap sebagai sebuah bukti petunjuk. Dengan demikian,maka kedudukan Indirect Evidence adalah sebagai alat bukti tambahan. KPPU perlu mendapatkan alat bukti lainnya untuk memproses permasalahan hingga didapat suatu kesimpulan akhir atas adanya dugaan pelanggaran atau tidak atas UU No. 5 tahun 1999. Alat bukti tidak langsung tidak dapat digunakan sebagai alat bukti satu-satunya di dalam persidangan yang dilakukan oleh KPPU. Cara penggunaan Indirect Evidence telah dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi yang diajukan oleh KPPU atas pembatalan oleh Pengadilan Negeri. 8
2. Penerapan Indirect Evidence sebagai salah satu alat bukti dalam kasus Persaingan Usaha tidak sehat di Indonesia
Penggunaan bukti tidak langsung (Indirect Evidence) umumnya diterapkan pada perkara kartel. Tujuan utama para pelaku usaha melakukan perjanjian kartel adalah untuk meningkatkan keuntungan diantara anggota kartel dan hal ini akan merugikan konsumen, karena konsumen tidak punya pilihan lain di pasar yang bersangkutan terhadap produk tertentu, baik dari aspek harga maupun kualitasnya. Kartel biasanya dibentuk dan dilakukan secara rahasia maka pembuktian keberadaan perjanjian kartel menimbulkan permasalahan (Silalahi (Ed.), 2015:11)9. permasalahan ini menjadi pembahasan dalam hukum persaingan usaha karena untuk membuktikan terjadinya kartel dibutuhkan alat bukti yang disebut dengan bukti tidak langsung (Indirect Evidence).sebagaimana diketahui bukti
8
Ibid hlm 2.
Udin Silalahi dan Isabela Cynthia Edgina,”Indirect evidence dalam hukum persaingan usaha”, Jurnal Yudisial , Vol. 10, No.3, Desember 2017 9
ekonomi dan bukti komunikasi merupakan jenis alat bukti tidak langsung (Indirect Evidence). bukti komunikasi yaitu rekaman pembicaraan telepon antar pelaku usaha pesaing dan Bukti Ekonomi yang terdiri dari Structural Evidence (bukti struktual) dan Conduct Evidence (bukti perilaku)10. Sehingga Peran bukti komunikasi dan bukti ekonomi ini tidak berdiri sendiri, melainkan keduanya saling terkait. Adanya bukti ekonomi harus didukung oleh bukti komunikasi, begitu pun sebaliknya. Penulis berpendapat bahwa Penerapan Indirect Evidence di Indonesia masih dapat dikatakan sangat lemah meskipun sudah banyak putusan yang mengakui adanya bukti tidak langsung ini. Berdasarkan jurnal yang penulis dapatkan, berikut adalah sikap pengadilan terkait penggunaan Indirect Evidence oleh Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung RI: 1
Putusan KPPU No. 024/KPPU-I/2009 Tentang Perkara Minyak Goreng
Jenis Indirect Evidence yang digunakan yaitu Communication Evidence dan Facilitating Practices yang dilakukan melalui proses signaling. Alasan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung menolak penggunaan Indiret Evidence karena dalam hukum pembuktian Indonesia tidak mengenal istilah Indirect Evidence, dan juga kasus luar negeri Steel Cartel dan Paulo Airlines tidak dapat dijadikan dasar sumber hukum karena tidak bersumber dari hukum Indonesia.11 2
Putusan KPPU No.017/KPPU-I/2010 tentang Perkara Industri Farmasi Kelas Terapi Amlodipine
Jenis Indirect Evidence yang digunakan yaitu ada perintah untuk berkomunikasi diantara sesama pesaing (bukti komunikasi). Alasan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung menolak karena alat bukti tidak langsung tidak diatur dalam hukum Indonesia, dan juga berkomunikasi diantara sesama pesaing tidak dilarang.12
10
Ibid hlm 320 Antoni, Veri. “Penegakan Hukum atas Perkara Kartel di luar Persekongkolan Tender di Indonesia”. MIMBAR HUKUM Volume 31, Nomor 1, Februari 2019 12 Ibid hal 102 11
3
Putusan No.
02/KPPU-I/2009
tentang Perkara Tender
Pekerjaan
Pembangunan Jaringan Air Bersih Kabupaten Lingga Jenis Indirect Evidence yang digunakan yaitu bukti komunikasi, kesamaan Form dalam metode pelaksanaan, dsb. Pengadilan Negeri melakukan penolakan dengan alasan bukti tidak langsung tidak dikenal dalam UU No.5 Tahun 1999 sedangkan Mahkamah Agung menerima bukti tidak langsung dalam kasus ini.13 4
Putusan No.09/KPPU-L/2008 tentang Perkara Pengadaan Give Away Haji Tahun Anggaran 2007 di PT.Garuda Indonesia
Jenis Indirect Evidence yang digunakan yaitu ada rekaman pertemuan (bukti komunikasi). Pengadilan Negeri menolak alat bukti tersebut tetapi Mahkamah Agung menerima alat bukti tersebut.14 Melihat sikap Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung di Indonesia terhadap putusan tersebut Penulis menilai untuk membuktikan dugaan pelanggaran kartel seiring perkembangan zaman memang Indirect Evidence harus diterapkan dalam sistem hukum Indonesia. Dugaan pelanggaran kartel yang telah disidangkan oleh KPPU, yaitu sebanyak 25 perkara, adalah perkara kecil mengingat banyaknya bahkan ratusan laporan dugaan perkara kartel kepada KKPU. Akan tetapi, dari 25 perkara tersebut, hanya 11 perkara atau tidak lebih separuh perkara yang dapat dibuktikan oleh KPPU terjadinya perjanjian kartel. Pembuktian kartel seringkali terhambat karena otoritas persaingan usaha mengalami kesultan dalam membuktikan eksistensi adanya kartel, yaiitu menemukan bukti adanya perjanjian dimana pelaku usaha saling bersepakat untuk melakukan kartel. Para pelaku usaha seringkali membuat perjanjian kartel secara tidak tertulis sehingga tidak terdapat bukti fisik atau bukti langsung (Direct Evidence) mengenai kejahatan kartel yang mereka lakukan. Dikarenakan kasus kartel yang bisa semakin marak terjadi sehingga menimbulkan persaingan hukum yang tidak sehat diantara para pelaku usaha. Penggunaan Indirect Evidence tidak serta merta diajukan oleh KPPU. Proses penelitian panjang KPPU dilandaskan pada metode penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan kevalidan atau kesahihan analisisnya. Pembuktian kartel 13 14
Ibid hal 102 Ibid hal 103
sulit dilakukan jika dihubungkan dengan hukum acara perdata, yang lebih menekankan penggunaan alat bukti langsung. Penggunaan Indirect Evidence dapat menjadi bukti petunjuk, untuk memberikan informasi tambahan terkait bukti-bukti utama seperti yang dikatakan dalam Pasal 42 UU Nomor 5 Tahun 1999. Melihat urgensi ini, KPPU mendesak amandemen UU Nomor 5 tahun 1999 agar dibuatkan pasal tersendiri yang memperjelas tentang pembuktian Indirect Evidence.15 Menilai terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, KPPU harus menggunakan alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 42 yaitu terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan/ atau dokumen, petunjuk, dan keterangan terlapor. Apabila bukti tidak langsung (Indirect Evidence) digunakan maka kedudukannya adalah sebagai bukti pendukung atau penguat dari bukti di atas16. Atas dasar ini Penulis merasa perlu penegasan dalam penerapan Indirect Evidence ini, karena jika tidak maka dapat menjadi celah yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha dalam melakukan praktik kartel, hal ini didasari pada fakta bahwa KPPU sulit untuk mendapatkan bukti Direct Evidence (bukti langsung). Jika dilihat dari beberapa kasus yang telah ditangani oleh KPPU. Banyak diantaranya hanya menggunakan Indirect Evidence dalam mengungkap kasus praktik Kartel. Padahal Indirect Evidence hanya merupakan bukti petunjuk, sehingga membutuhkan bukti yang lain. Tujuan untuk diterapkan Indirect Evidence sebagai alat bukti sah untuk menjamin Kepastian Hukum dalam Pembuktian Persaingan Usaha tidak sehat sehingga tidak menimbulkan perdebatan atau asumsi dalam penerapannya melanggar asas dan ketentuan hukum positif di Indonesia. Penulis mendapatkan sumber dari beberapa literatur yang menyebutkan bahwasanya bukti tidak langsung terkadang tidak dapat dijadikan pertimbangan Hakim, karena didalam hukum tidak mengenal bukti ekonomi, selain itu untuk bukti
ekonomi
KPPU
belum
memiliki
wewenang
dalam
melakukan
penggeledahan dan penyadapan. Meskipun bukti petunjuk dikenal dalam
15
Ibid hlm 101 Ibnu Akhyat ,”Penggunaan Indirect Evidence (Alat Bukti tidak langsung) dalam proses pembuktian dugaan Praktik Kartel di Indonesia oleh KPPU” Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Vol.16, No. 2, Oktober 2018 16
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun, Pedoman yang dikeluarkan oleh KPPU hanyalah dapat mengatur mengenai
hal-hal
teknis
dalam
pelaksanaan
UU
Antimonopoli17.Dalam
menjalankan kewenangan terkait dengan regulasi, pada dasarnya KPPU hanya memiliki tugas untuk membuat pedoman serta publikasi terkait dengan hukum persaingan. Hal ini tidak dapat dijadikan legitimasi bahwa KPPU memiliki kewenangan regulatif. 18 Pedoman yang dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Komisi tidak memiliki daya ikat sebagai suatu peraturan perundang-undangan, sehingga KPPU tidak dapat memasukkan Peraturan Komisi yang dibuatnya sebagai dasar hukum untuk menghukum pelaku usaha. Dalam hal memutus dan menjatuhkan sanksi, KPPU hanya berwenang menjatuhkan sanksi administratif yang telah diatur dalam Pasal 47 ayat (1), untuk hal-hal yang menyangkut dengan pidana, maka KPPU harus menyerahkan perkara tersebut kepada lembaga yang berwenang yaitu Kepolisan, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri. Selain itu putusan KPPU pun tidak memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga untuk dapat memiliki kekuatan eksekutorial KPPU harus memintakan penetapan kepada Pengadilan Negeri. Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12 Tahun 2011) telah mengatur hierarki peraturan perundang-undangan dan memasukkan peraturan komisi sebagai peraturan perundang-undangan lain. Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 menjelaskan bahwa, Peraturan Perundangundangan seperti Peraturan Komisi diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.19
Rio Satriawan , Rony Setyawan dan Taufik Dwi Paksi,2015, Analisis Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Hasil Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS),Surakarta. 17
18 19
Ibid hlm 1730 Ibid hlm 1723
2.1 Penerapan Indirect Evidence di Negara lain
Hampir setiap negara mengakui keberadaan Indirect Evidence dalam penegakan kartel, bagi negara yang menganut Anglo Saxon atau common law system pembuktian tidak langsung sudah wajar digunakan dalam proses pengadilan karena beranggapan bahwa dengan semakin banyaknya bukti tidak langsung yang ditemukan di lapangan anak semakin menguatkan keberadaan alat bukti lain di persidangan. Namun, seperti yang dikatakan bahwa bukti tidak langsung ini belum bisa berdiri sendiri, masih dibutuhkan bukti langsung sebagai bukti kuat dalam suatu kasus. Contohnya Negara Brazil dalam perkara The Steel Cartel Case , CADE (Council for Economic Defense) melakukan investigasi berdasarkan bukti ekonomi, tetapi CADE juga menggunakan teori “the parallelism plus” untuk memperkuat bukti tidak langsung kasus tersebut. Kemudian di Republik Ceko, concerted practice of bakery producer merupakan contoh kasus dimana keputusan otoritas persaingan usaha hanya berdasarkan bukti tidak langsung. Bentuk bukti tidak langsung tersebut adalah korespondensi (kebanyakan via email) antar kompetitor saat disampaikan (ditemukan) saat otoritas melakukan penggeledahan tiba-tiba. Di Jepang juga ada kasus yang menggunakan alat bukti tidak langsung yaitu kasus Bid Riggs dalam tender yang dilakukan oleh US Air Transport. Sama dengan di Brazil, JFTC (Komisi Perdangangan Adil Jepang) tidak dapat menemukan bukti langsung dan adapun bukti tidak langsung yaitu pembentukan Klub Kabuto yang tujuannya tidak diperjelas apakah akan meningkatkan hubungan pribadi antar perusahaan atau untuk melakukan praktek anti persaingan. Di Malaysia, Indirect Evidence tidak dapat berdiri sendiri, harus didukung oleh alat bukti lainnya. Di Australia, untuk menentukan adanya kesepakatan (meeting of the mind) yang diharuskan dalam pembuktian adanya perjanjian yang melanggar hukum persaingan, bukti situasional (circumtances) bisa dipakai. Bukti ini dapat berupa petunjuk perbuatan paralel, petunjuk tindakan bersama-sama,
petunjuk adanya kolusi, petunjuk adanya struktur harga yang serupa (dalam kasus price fixing). Namun demikian, dalam pembuktiannya tetap memerlukan barang bukti langsung. Indirect Evidence kedudukannya hanya sebagai pendukung atau penguat dari salah satu alat bukti yang dimaksud. Sementara itu Amerika Serikat dalam kasus High Fructose Corn Syrup yang membuktikan persekongkolan hanya dengan menggunakan bukti tidak langsung, sedangkan dalam kasus Baby Food, Blomkest Fertilizer, dan Williamson Oil adanya bukti langsung dianggap belum cukup untuk membuktikan adanya persekongkolan. Bukti tidak langsung di Amerika digunakan untuk pembuktikan komitmen secara sadar untuk melakukan pola yang sama dengan tujuan anti persaingan. Apabila pengusaha hanya mengadalkan alat bukti langsung berupa pengakuan atau kesepakatan tertulis maka hal tersebut dapat menurunkan kemampuan lembaga persaingan untuk membuktikan kolusi yang melanggar hukum. Dengan demikian di Amerika, bukti tidak langsung dapat digunakan. Di negara Argentina juga menggunakan bukti tidak langsung pada kasus Kartel Semen. CNDC Argentina (Komisi untuk Pertahanan Persaingan) menggabungkan antara bukti tidak langsung, bukti ekonomi, dan praktek fasilitasi (pertukaran informasi yang masuk akal) yang digunakan oleh perusahaan yang bangkrut untuk bersaksi.20 Berdasarkan pengalaman Amerika Serikat dan Uni Eropa,Penulis menarik kesimpulan bahwa pengadilan telah menerima dan bahkan mensyaratkan penggunaan bukti ekonomi dan komunikasi dalam kasus persaingan, meskipun pengadilan tidak selalu menemukan bukti ekonomi yang meyakinkan. Saat ini banyak kasus di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa perilaku kartel dapat dibuktikan dengan menggunakan bukti tidak langsung. Meskipun tidak ada bukti langsung dari kesepakatan tersebut, lembaga persaingan dapat mendukung elemen pembuktian dengan menggunakan bukti penyesuaian yang disadari.
20
Antoni Veri, 2014. “Posisi Bukti Tidak Langsung sebagai Verifikasi Alat di Kartel Case”, Mimbar Hukum Vol. 26, No. 1, Februari 2014.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Indirect Evidence atau alat bukti tidak langsung dalam proses pembuktian menurut sistem hukum pembuktian di Indonesia dapat digunakan sebagai alat bukti. Dengan adanya pernyataan tersebut maka Kedudukan Indirect Evidence adalah sebagai alat bukti tambahan. KPPU perlu mendapatkan alat bukti lainnya untuk memproses permasalahan hingga didapat suatu kesimpulan akhir atas adanya dugaan pelanggaran atau tidak atas UU No. 5 tahun 1999. Alat bukti tidak langsung tidak dapat digunakan sebagai alat bukti satu-satunya di dalam persidangan yang dilakukan oleh KPPU. Cara penggunaan Indirect Evidence telah dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi yang diajukan oleh KPPU atas pembatalan oleh Pengadilan Negeri. 2. Saran
Dalam kasus Praktik Kartel diperlukan Payung Hukum yang memadai mengingat di Indonesia banyak terjadi persaingan usaha tidak sehat , hal ini diperlukan untuk menjamin kepastian hukumnya, salah satu cara adalah melakukan revisi pada UU No.5 Tahun 1999 terkhusus pada pembuktian dan kartel . Pada revisi ini, DPR mempertimbangkan kembali Penerapan Indirect Evidence sebagai alat bukti yang sah dalam hukum positif Indonesia, mengingat di dalam beberapa Negara telah menerapkan Indirect Evidence secara efektif dalam mengungkap dugaan kasus praktik kartel yang dilakukan oleh pelaku usaha.Dengan adanya peraturan baru mengenai Indirect Evidence tersebut
diharapkan dapat memudahkan pembuktian pada kasus praktik kartel agar pelaku usaha tidak lagi memanfaatkan celah hukum. Peraturan ini diharapkan juga dapat menciptakan persaingan usaha yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. menurut Penulis, Indirect Evidence adalah salah satu metode pembuktian yang mutakhir agar KPPU dapat lebih meningkatkan pengawasannya dalam menangani praktik kartel yang merupakan salah satu urgensi di dalam bidang persaingan usaha tidak sehat di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Buku Asmah,2017, “Hukum Persaingan Usaha Hakikat Fungsi KPPU di Indonesia”, Social Politic Genius (SIGn), Makassar, 2017. Jurnal Akhyat, Ibnu ,”Penggunaan Indirect Evidence (Alat Bukti tidak langsung) dalam proses pembuktian dugaan Praktik Kartel di Indonesia oleh KPPU” Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Vol.16, No. 2, Oktober 2018 Antoni, Veri. “Penegakan Hukum atas Perkara Kartel di luar Persekongkolan Tender di Indonesia”. Mimbar Hukum Vol. 31, No. 1, Februari 2019 Antoni, Veri. 2014. “Posisi Bukti Tidak Langsung sebagai Verifikasi Alat di Kartel Case”. Mimbar Hukum Vol.26, No. 1, Februari 2014. Silalahi, Udin dan Isabella Cynthia Edgina. “Pembuktian Perkara Kartel di Indonesia dengan menggunakan Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence)”. Jurnal Yudisial, Vol 10, No 3 (2017). Skripsi Anggraini,Mutia. 2013. ‘’ Penggunaan Indirect Evidence (Alat Bukti Tidak Langsung) Oleh Kppu Dalam Proses Pembuktian Dugaan Praktik Kartel Di Indonesia”. Skripsi. Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang. Indriani,2018, “Bukti Tidak Langsung (circumstantial evidence) dalam Perkara Kartel Sepeda Motor Yamaha dan Honda”,Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Nuraeni,2019, “Penggunaan Indirect Evidence oleh Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) dalam Proses Pembuktian Dugaan Praktik Kartel”. Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar. Hasil Penelitian Satriawan, Rio, Rony Setyawan dan Taufik Dwi Paksi, 2015, Analisis Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Hasil penelitian, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS),Surakarta Peraturan Perundang-Undangan Pedoman Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kartel Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Internet Putra,Nanda Narendra , “Berjuang Mencari Legitimasi Indirect Evidence”,https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt598aba978d57c/berjuangmencari-legitimasi-indirect-evidence/ diakses 23 Oktober 2020 Rizki Mochammad Januar, “Mengenal Penerapan Indirect Evidence dalam Penanganan Kasus Kartel”. https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f197e29bcbc3/mengenalpenerapan-i-indirect-evidence-i-dalam-penanganan-kasus-kartel?page=3,diakses 22 Oktober 2020
LEGAL PERSPECTIVES TOWARD DRUG PATENT BASED ON TRIPS SAFEGUARDS IN THE MIDST OF COVID-19 URGENCY INTRODUCTION If we look deeper into intellectual property, it contains a dichotomous interpretation both in terms of protecting the creation and in terms of its exclusivity. If this is correlated with the current pandemic situations, it is closely related to the patent registration process of various pharmaceutical companies in various parts of the world to create a drug for COVID-19 that can be used in accessible way by the public although this presents pros and cons regarding patent registration. It is such a dilemma that can be viewed in terms of drug patent registration for COVID-19 which is often judged to have an element regarding the exclusivity of pharmaceutical company patents with its own complexity, or in terms of prioritizing accessibility related to drug distribution in the context of efforts to heal people throughout the world. In Indonesia itself, this is a form of legal issue that needs to be correlated with the harmonization of the substance between Law No. 13 of 2016 concerning Patents and the substance contained in the Agreement of Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), especially in the context of safeguards. Salus populi suprime lex esto which means "people's safety is the highest law" becomes an affirmative adage to us that in the present moment, what are our priorities in responding to this pandemic even though it must pass through a dilemma which is becoming a separate issue in the realm of the pharmaceutical industry and in terms of positive law in Indonesia and international law. If examined further, the exclusivity in question is also interpreted as an appropriate form of protection for the drug patent so that it is considered as a form of appreciation to researchers who have spent a lot of investment and time to carry out the development and trial. Thus, there are still many perspectives that open our point of view regarding the essence of the determination of patents in the pharmaceutical industry in the midst of current urgency that must be reviewed comprehensively from various sides. The growth of the global pharmaceutical industry is predicted to increase 1% -3% in the next 12-18
months. This figure is still lower than the previous prediction due to uncertainties toward the condition of the COVID-19 outbreak which affected the impact on the distribution and accessibility of medicines in an inclusive manner.1 This was revealed in the results of research conducted by Moody's Investor Service.Inc which was released on May 19, 2020. COVID-19 has caused a disruption of the health system which has a negative impact on industrial utilization. So, the impact of this pandemic concretely is not only related to the production controversy over COVID-19 drugs, but also has a variety of impacts. For example, this pandemic has slowed clinical trials of a number of therapeutic drugs that are in process, causing delays in marketing new drugs. In addition, problems related to financial aspects are also in a critical phase such as licensing uncertainty, price uncertainty, to business competition. The problem is certainly trying to threaten Indonesia's health system that is characterized by regional striking and social inequalities.2 Sometimes we also question, how the government's efforts in designing constructive strategies in the health sector in order to answer the current challenges. Bloom, Canning and Sevilla (2003) have suggested that a one-year improvement in a population's life expectancy contributes to an increase of four percent in output and economic growth.3 In that sense, the problem of being able to improve our health system in the midst of the current situation is a joint issue, especially in the production of patent medicines that are needed by the community and this is correlated to improving life expectancy. The basic regulation of this topic is Law No. 13 of 2016 concerning Patents, which are the basis of national law in Indonesia, will then be harmonized with the TRIPS Agreement as a form of harmonization related to the analysis of legal issues concerning patents in the pharmaceutical industry.
1
Nindya Aldila, “COVID-19 Picu Ketidakpastian Bagi Industri Farmasi Global”, (Bisnis.com, 21 May 2020) <https://ekonomi.bisnis.com/read/20200521/257/1243443/covid-19-picu-ketidakpastian-bagi-industrifarmasi-global> accessed on 5 July 2020 2 United Nations Conference on Trade and Development, “Development Dimensions of Intellectual Property in Indonesia:Access to Medicines, Transfer of Technology and Competition” (New York and Geneva: UNCTAD, 2011), 35 3 Richard Husada and Raymond R Tjandrawinata, The Healthcare System and the Pharmaceutical Industry in Indonesia. (U.K: Palgrave Macmilan, 2013), 10.
ANALYSIS Indonesia's efforts in the field of patents, have been fundamentally outlined in Law No. 13 of 2016 concerning Patents which is a substitute for Law No. 14 of 2001. The replacement of this law is a form of substantial adaptation to the development of law at the national and international level which essentially accommodates international trade agreements issued by the World Trade Organization (WTO) in the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights. Patents are basically a "barrier to entries" in the pharmaceutical industry. With patents, companies can limit the space for other companies to innovate, because they have to wait for a drug license that is categorized as having a patent that has been completed or is called an off-patent and of course this takes a long time. Therefore, it is very important for the national pharmaceutical industry to have a continuity in innovating by prioritizing the discovery of new drug products at more affordable prices. If viewed from a legal perspective in Indonesia in responding to the current pandemic conditions, Indonesia actually has the right to implement vaccine and drug related patents. In article 109 paragraph 1 letter b of Law No. 13 of 2016 confirms that the government can implement its own patents based on considerations relating to state security or urgent needs for the benefit of the public and the implementation of patents by the government is limited and should not be sold at high prices and not for export. This is certainly a manifestation of the compulsory license instrument which is one of TRIPS Safeguards through negotiations on patented pharmaceutical products in Indonesia. Moreover, this includes the category of "national emergency" that the compulsory license can actually be applied without negotiation through a voluntary exception mechanism. If we analyze together that in the midst of the current pandemic situations, the accessibility category of the distribution of COVID-19 drug patents is a top priority which has also been justified in Law No. 13 of 2016 in certain contexts. In the case that for the production of patent drugs that are available massively in the current emergency conditions, then other alternatives available in the patent system can also be through the mechanism of implementing patents based on "Government Use". This is also justified in TRIPS Agreement Article 31, that it is possible for a country to
submit a compulsory license based on "Government Use" which is one of the reliefs to implement patents without permission from the patent owner. Thus, the state simply has more intervention in carrying out positive coercion to the patent owner for the country's needs indirectly, ignoring the exclusivity of the patent but focusing on being able to pay attention to the health of many people at a macro level while also paying attention to the effectiveness of the compulsory application of a “Government Use” based on its compulsory license. In accordance with Article 132 paragraph 1 letter d of Law No. 13 of 2016 which confirms that if the objectives of the compulsory license are not carried out which ultimately only harms the interests of the community. In addition, Law No. 13 of 2016 also emphasizes the existence of parallel imports which are expected to be a guarantee for the existence of a fair price on the related patent in fulfilling a sense of justice from pharmaceutical products to human health needs. This can also be an alternative to access the pharmaceutical product which is urgently required for human health, especially if the COVID-19 drug patent has a fairly expensive price in Indonesia in accordance with Article 167 of Law No. 13 of 2016 letter a. What's more, so far there has been no registration of drugs or vaccines related to COVID-19 registered in Indonesia. Homeland pharmacy and medicine products are also currently dominated by foreign industries. In fact, in terms of technology related to pharmaceuticals and medical devices to date, 95% of Indonesia's pharmaceutical raw materials are imported products.4 As a result, the government is also acting progressively to be able to create regulations related to the acceleration of the development of the pharmaceutical and medical device industry through Presidential Instruction No. 6 of 2016 concerning the Acceleration of the Development of the Pharmaceutical Industry and Medical Devices, to be a form of manifestation of independence and enhance the competitiveness of the domestic pharmaceutical and medical device industry. 4
Directorate General of Intellectual Property Ministry of Law and Human Rights of the Republic of Indonesia. “Pendaftaran Paten Obat Covid-19 Bisa Dilakukan Tanpa Mengorbankan Kepentingan Umum”, (DGIP, 2020) <https://dgip.go.id/pendaftaran-paten-obat-covid-19-bisa-dilakukan-tanpamengorbankan-kepentingan-umum> accessed on 5 July 2020
CONCLUSION
In essence, behind the substantial translation of Law No. 13 of 2016 to the TRIPS Agreement shows great positivity that in the current emergency situation, the fundamental legal basis currently in effect directs the state and the pharmaceutical industry to prioritize the health of many people by prioritizing the accessibility of drug patents that can be produced massively as soon as possible with a slight exclusion of exclusivity toward the patent in the current situation. The most important thing is that based on TRIPS Safeguards such as compulsory license, government use, to parallel importation, it is also a form of accommodation of international regulations harmonized with national regulations so that they can synergize with one another in order to create an accessibility of medicines which is an urgency in a focused pandemic situation as an irony which has not been resolved to date in various parts of the world.
BIBLIOGRAPHY
Aldila, Nindya. “Covid-19 Picu Ketidakpastian Bagi Industri Farmasi Global”. (Bisnis.com. 21 May 2020). <https://ekonomi.bisnis.com/read/20200521/257/1243443/covid-19-picuketidakpastian-bagi-industri-farmasi-global> accessed on 5 July 2020 Directorate General of Intellectual Property Ministry of Law and Human Rights of the Republic of Indonesia. “Pendaftaran Paten Obat Covid-19 Bisa Dilakukan Tanpa Mengorbankan Kepentingan Umum”. (DGIP. 2020). <https://dgip.go.id/pendaftaranpaten-obat-covid-19-bisa-dilakukan-tanpa-mengorbankan-kepentingan-umum> accessed on 5 July 2020 Ratanaprayul, Wongrat. “Pharmaceutical IP and competition law in Indonesia”. (Thomson Reuters Practical Law. 1 Jan 2020). <https://uk.practicallaw.thomsonreuters.com/w-0152428?transitionType=Default&contextData=(sc.Default)&firstPage=true&bhcp=1> accessed on 5 July 2020 Richard, Raymond R Tjandrawinata. The Healthcare System and the Pharmaceutical Industry in Indonesia. U.K: Palgrave Macmilan, 2013. Print Sinaga, Selvie. “Ancaman Paten Terhadap Kesehatan Publik dan Safeguards Trips”. (Atmajaya.ac.id. 12 Oct 2015). <https://m.atmajaya.ac.id/web/KontenUnit.aspx?gid=artikelhki&ou=hki&cid=ancaman-paten-terhadap-kesehatan-publik-dan-safeguards-trips#> accessed on 5 July 2020 United Nations Conference on Trade and Development. Development Dimensions of Intellectual Property in Indonesia:Access to Medicines, Transfer of Technology and Competition. New York and Geneva: UNCTAD, 2011. Print
PERSPEKTIF HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DALAM DIMENSI KONSERVASI FLORA DAN FAUNA, PEMBERDAYAAN HUKUM, DAN AKOMODASI KEARIFAN LOKAL PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tanah gambut merupakan timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati baik yang telah mengalami proses pelapukan maupun yang belum mengalami proses pelapukan. Jika ditinjau berdasarkan Pasal 1 angka 2 PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang telah terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 cm dan terakumulasi pada rawa. Pembentukan tanah gambut sendiri merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986:86-94).1 Menurut Suryadiputra et al. (2005), ekosistem lahan gambut tropis di seluruh dunia meliputi areal seluas 40 juta hektar dan 50% (20 juta hektar) diantaranya terdapat di Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Papua dan sedikit Sulawesi). Berdasarkan fakta tersebut, Indonesia menjadi negara keempat dengan luas lahan rawa gambut terluas di dunia setelah Kanada (170 juta hektar), Uni Soviet (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha). Secara spesifik, penyebaran lahan gambut dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini:
Sumber Gambar: Euroconsult, 1984, dalam KK-PLGN, 2006: 8-9 1
Teddy Prasetiawan, “Masa Depan Lahan Gambut Indonesia” Jurnal Kepakaran Aspirasi DPR RI, Vol. 1, No. 2, hal. 258, 2010
Dengan adanya pemaparan data di atas, menunjukkan bahwa gambut merupakan salah satu tanah yang mendominasi wilayah Indonesia dan tentunya sangat penting bagi seluruh elemen masyarakat dalam memberikan konsentrasi dan fokus terkait pengelolaan lahan gambut yang juga memiliki fungsi yang sangat beragam. Fungsi dari lahan gambut secara ringkas antara lain: (1) sebagai pengatur hidrologi karena memiliki kemampuan sebagai penambat air tawar sehingga dapat menahan banjir pada musim hujan dan dapat melepaskan air tersebut saat musim kemarau sehingga dapat mencegah terjadinya intrusi air laut ke darat, (2) sebagai sarana konservasi keanekaragaman hayati yang tentunya menjadi habitat unik bagi para flora dan fauna yang sangat bervariasi sehingga jika ekosistem gambut ini mengalami kerusakan, tentunya akan sangat berdampak pada keanekaragaman tersebut. Bahkan, ekosistem gambut di Sumatera saja telah memiliki lebih dari 300 jenis tumbuhan yang hanya dijumpai di hutan rawa gambut (Giesen W, 1991). Namun ironis, kasus kebakaran hutan dan lahan gambut yang menjadi isu terkini merupakan hal yang sangat memprihatinkan dalam dimensi keberlangsungan ekosistem gambut kita sehingga dibentuknya Badan Restorasi Gambut (BRG) namun dengan periode kerja selama lima tahun, pastinya akan menyisakan keraguan jika tidak ada aksi keberlanjutan setelah periode waktu BRG telah berlalu. Lihat saja, pada tahun 2015 terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut yang mengakibatkan 19 orang meninggal, 500.000 orang menderita infeksi saluran pernafasan, dan lebih dari 4 juta siswa tidak dapat bersekolah selama satu bulan dengan kerugian ekonomi mencapai Rp221 triliun.2 Kebakaran lahan gambut juga dapat melepaskan 1,62 miliar metrik ton gas rumah kaca (GRK) ke udara atau setara dengan produksi emisi dari 350.000 kendaraan dalam satu tahun. Komitmen Indonesia terhadap Paris Agreement tahun 2015 dalam mengatasi perubahan iklim melalui NDC (National Determind Contribution) tentunya harus direvitalisasi dan digerakkan kembali khususnya pada fokus dari pemerintah Indonesia dan berbagai stakeholders dalam memperhitungkan eksistensi ekosistem lahan gambut sebagai penyerap karbondioksida. Hal-hal ini juga dapat dikorelasikan dengan penegakan hukum positif di Indonesia dengan kebijakan terkait sehingga segala aspek yang ada dapat ditilik sesuai dengan aturan dan pedoman yang berlaku. Pada tulisan ini, penulis akan membahas secara spesifik terkait eksistensi peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ada terkait perlindungan dan pengelolaan lahan gambut dengan fokus perhatian pada konservasi flora dan fauna dalam ekosistem gambut, upaya pemberdayaan hukum di masyarakat, hingga akomodasi kearifan lokal dalam pengelolaan lahan gambut. Selain itu, legal review ini juga akan mengandung aspek harmonisasi peraturan perundang-undangan sebagai bentuk konsolidasi esensi atas interpretasi mengenai substansi yang ada di dalam beragam peraturan tersebut dan diharapkan menjadi sebuah kumpulan dasar hukum yang menghasilkan implementasi 2
Niratha Samadhi & Dewi Tresya, “Kebijakan Hukum untuk Lahan Gambut dan Perlindungan Lingkungan” (https://wri-indonesia.org/id/blog/kebijakan-hukum-untuk-lahan-gambut-dan-perlindungan-lingkungan diakses pada 12 Juni 2020)
yang kontributif, efektif, dan efisien dalam hal pengelolaan lahan gambut secara komprehensif. 2. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah perspektif hukum terkait konservasi flora dan fauna pada ekosistem lahan gambut di Indonesia? 2. Bagaimanakah kontribusi dari kearifan lokal jika ditilik melalui perspektif hukum positif yang berlaku dalam melakukan pengelolaan lahan gambut? 3. Bagaimanakah model pemberdayaan hukum pada masyarakat terkait pengelolaan lahan gambut sebagai bentuk edukasi hukum?
PEMBAHASAN 1. Bagaimanakah perspektif hukum terkait konservasi flora dan fauna pada ekosistem lahan gambut di Indonesia? Menurut PP No. 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PP No. 71 Tahun 2014 dinyatakan bahwa gambut mempunyai ciri khas yang unik selain sebagai komponen lahan basah tetapi juga menjadi komponen penting dalam lingkungan hidup terhadap keberagaman komponen biotik dan abiotik antara lain sebagai sumber daya alam berupa plasma nutfah dan komoditi kayu, sebagai tempat hidup ikan, dan sebagai gedung penyimpanan karbon yang berparan dalam menjadi penyeimbang iklim. Urgensi terkait perlindungan kenekaragaman hayati dalam lahan gambut tentunya menjadi perhatian Indonesia seperti yang telah Indonesia lakukan dalam meratifikasi Ratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (UNCBD) melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 yang pada intinya, dalam konvensi ini menegaskan pentingnya peran ekosistem lahan gambut seperti yang direkomendasikan dalam Resolution VII/15 yang dihasilkan dari Conferences of The Parties (COP) ke-7 UNCBD.3 Selain itu, telah terafirmasi bahwa sesuai Strategic Goals Aichi Target yang diadopsi dari COP UNCBD ke-10 menegaskan bahwa perlindungan ekosistem lahan gambut adalah hal yang sangat vital dalam melestarikan flora dan fauna yang ada di dalamnya. Beberapa peraturan nasional terkait perlindungan ekosistem diatur melalui UndangUndang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang memiliki beberapa peraturan pelaksanaannya diantaranya PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Ada pula peraturan nasional yang khusus membahas flora dan fauna yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati. Namun, dari berbagai macam dasar hukum tersebut, rangkaian substansi dalam UU dan PP yang ada tidak secara spesifik mengatur mengenai flora dan fauna pada lahan gambut. Tetapi, hanya memberikan rambu-rambu secara prinsip dalam Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 berupa larangan seperti: (1) mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagianbagiannya dalam keadaan hidup atau mati; (2) mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia. Tetapi, ada pula interpretasi substansi secara eksplisit yang terdapat pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.15/MENLHK/SEKJEN/KUM.1/2/2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah 3
A. Pramudianto, “Flora dan Fauna pada Ekosistem Lahan Gambut dan Status Perlindungannya dalam Hukum Nasional dan Internasional” Jurnal Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan, 2018
di Titik Penataan Ekosistem Gambut khususnya pada Pasal 8 ditegaskan bahwa pada saat proses pengukuran di titik penataan harus tetap memperhatikan keberadaan dari flora dan fauna yang dilindungi. Dalam arti, peraturan menteri ini merupakan bentuk manifestasi atas pentingnya perlindungan flora dan fauna di dalam ekosistem gambut. Ada pula eksistensi dari peraturan daerah seperti Peraturan Daerah Kabupaten Humbang Hasundutan Nomor 8 Tahun 2013 tetntang Lahan Gambut. Pada peraturan tersebut, dijelaskan bahwa lahan gambut memiliki kondisi alamiah dengan tingkat keasaman yang rendah dan miskin unsur hara, sehingga menjadi habitat yang unik terhadap keanekaragaman hayati yang hidup di ekosistem tersebut. Esensi dari peraturan daerah tersebut menunjukkan akan pengakuan keanekaragaman hayati di dalam ekosistem gambut yang diharapkan, menjadi perhatian bagi seluruh elemen masyarakat dan pemerintah untuk bisa berkonsentrasi pada upaya konservasi dan perlindungan flora dan fauna di dalamnya. Terlebih lagi, dalam ekosistem gambut menyimpan keanekaragaman dengan beragam spesies langka. Menurut Mudiyarsoet al. (2004) dalam penelitian pendugaan cadangan karbon, terdapat lebih dari 50 spesies pohon di hutan gambut. Lalu, menurut Iqbal dan Setijono (2011) di Hutan Rawa Gambut Merang-Kepayang terdapat 178 jenis pohon yang dilindungi diantaranya Pulai Tawa (Alstonia pneumatophore), Jelutung Rawa (Dyera costulata), dan Mengris (Kompassia malacensis). Lalu untuk keanekaragaman fauna, menurut Suryadiputraet al. (2005) terdapat beberapa jenis fauna di lahan gambut sekitar Sungai Puning, Kabupaten Barito Selatan, diantaranya yang termasuk mamalia, avifauna, dan herpetofauna. Jenis mamalia diantaranya adalah Malu-Malu Kukang (Nycticebus coucang), Lutung, Cekong (Presbytis cristatus), Beruk (Macaca namestrina yang dilindungi UU dan termasuk appendix II CITES), serta Ungko (Hylobates agliss), dan Kelawat (Hylobates mulleri yang dilindungi UU termasuk appendix I CITES atau memenuhi kriteria IUCN terancam punah dengan status endangered). 2. Bagaimanakah kontribusi dari kearifan lokal jika ditilik melalui perspektif hukum positif yang berlaku dalam melakukan pengelolaan lahan gambut? Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) mengartikan kearifan lokal sebagai “Nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.”4 Dalam hal ini bahwa eksistensi kearifan lokal sangat berpengaruh pada kondisi masyarakat sekitar lahan gambut dalam proses pengelolaan yang mereka yakini dengan cara masing-masing. Seperti halnya jika UUPPLH memperbolehkan praktik dari kearifan lokal untuk melakukan pembakaran lahan. Pada Pasal 69 ayat (1) huruf h UUPPLH menyatakan bahwa, “Setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”.
4
Pasal 1 angka 30 UUPPLH.
Dalam UUPPLH sendiri, pembakaran lahan dianggap sebagai bentuk tindak pidana lingkungan. Bagi mereka yang melakukan pembakaran lahan dapat dikenakan sanksi pidana berupa penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 10 tahun, dengan denda paling sedikit Rp. 3 Milyar dan paling banyak Rp. 10 Milyar.5 Tetapi, pada Pasal 69 ayat 2 memberikan penjelasan terkait pembakaran lahan yang dimaksud bahwa aktivitas ini dapat dilakukan dengan tetap melakukan adaptasi pada kearifan lokal yang berlaku. Dijelaskan pada UUPPLH bahwa kearifan lokal dalam pembakaran lahan dapat dilakukan maksimal dua hektare per kepala keluarga namun hanya dapat ditanami oleh jenis varietas lokal.6 Tidak lupa pula bahwa ada syarat khusus juga yaitu dengan membangun sekat bakar setelah melakukan pembakaran dan penanaman varietas lokal agar menjadi upaya preventif terkait penjalaran api ke areal sekitarnya Sehingga dapat disimpulkan bahwa syarat kumulatif dari pembakaran lahan yang dimaksud berdasarkan kearifan lokal yaitu adanya batasan berupa luas areal yaitu dua hektare per kepala keluarga, lalu batasan tanaman yang ditanami yaitu merupakan jenis varietas lokal dan juga diharapkan menjadi bentuk perpanjangan ekspektasi dalam melestarikan pangan lokal, dan terakhir yaitu adanya teknologi pengaman berupa sekat bakar. UUPPLH terkait perintah dalam hal kearifan lokal juga telah dijalankan melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permenlhk) Nomor P.34/MenLHK/Setjen/Kum.1/5/2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Selain itu, Peraturan Menteri ini juga hadir untuk bisa merealisasikan Protokol Nagoya yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013.7 Namun, jika ditilik lebih jauh, upaya pembakaran lahan berdasarkan kearifan lokal yang berlaku tidak dapat berlaku lagi jika melihat kondisi kebakaran hutan dan lahan saat ini yang sangat masif terjadi di berbagai provinsi di Indonesia khususnya di pulau Kalimantan. Teknologi hasil kearifan lokal yang dimaksud seperti sekat bakar sudah tidak dapat diaktualisasikan lagi sehingga perlunya upaya adaptasi dalam menghadapi problematika lingkungan ini. Alhasil, Badan Restorasi Gambut terus melakukan penelitian dan pada akhirnya menemukan solusi terkait dengan menghasilkan Pengelolaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) sebagai bentuk kearifan lokal baru yang lebih adaptif dan ramah lingkungan. Semua proses yang ada berasal dari didirikannya Sekolah Lapang yang melatih ratusan petani dan mencetak 30 kader pelatih serta demplot-demplot PLTB yang telah terdistribusi di ratusan desa. PLTB yang dimaksud merupakan serangkaian upaya dengan cara amenciptakan budaya pertanian baru dengan teknologi tanpa bakar, sikap bebas limbah (zero waste), dan hadirnya harmonisasi dengan kondisi alam. Baik dapat
5
Pasal 108 UUPPLH. Penjelasan Pasal 69 Ayat (2) UUPPLH. 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Protokol Nagoya Tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang muncul dari pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati. 6
diaktualisasikan dengan penggunakan pupuk non kimia dalam proses penanaman dan tidak melakukan aktivitas membakar lahan. 3. Bagaimanakah model pemberdayaan hukum pada masyarakat terkait pengelolaan lahan gambut sebagai bentuk edukasi hukum? Kita perlu merefleksikan kembali bahwa hadirnya hukum diharapkan dapat menciptakan keadilan yang merata bagi seluruh individu. Terkait dengan problematika kebakaran hutan dan lahan gambut, program pemberdayaan hukum menjadi salah satu kunci jawaban sebagai bentuk edukasi hukum yang holistik khususnya kepada masyarakat sekitar lahan gambut yang memiliki peranan yang signifikan dalam melakukan pengelolaan dan pelaporan jika terjadi kasus kebakaran dan isu hukum lainnya. Misalnya, substansi mendasar terkait Hukum Lingkungan dam Hukum Pidana Umum harus bisa menjadi kapasitas fundamental bagi para petani gambut khususnya para tokohtokoh yang berkiprah di Desa Peduli Gambut. Hal ini sudah sangat sejalan dengan kenyataannya bahwa BRG juga telah memfasilitasi dibentuknya paralegal masyarakat di desa-desa gambut yang telah mencapai 470 paralegal yang tergabung dalam Perhimpunan Paralegal Masyarakat Gambut Indonesia (PPMGI). Program pemberdayan hukum ini juga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Pemberdayaan hukum dapat dimanifestasikan ke dalam bentuk program berupa penyuluhan dan konsultasi hukum, penelitian hukum, mediasi, hingga investigasi perkara. Selain itu, hal yang terpenting adalah bagaimana pemberdayaan hukum ini bisa menjadi bentuk pertolongan dalam mendampingi masyarakat di luar pengadilan dan membantu proses perancangan dokumen hukum terkait hal-hal yang berkorelasi dengan pengelolaan lahan gambut.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dalam rangka memberikan konsentrasi lebih pada eksistensi lahan gambut, diperlukan upaya penegakan hukum yang terharmonisasi dengan baik dan terafirmasi secara jelas terkait pengelolaan dan perlindungan dari lahan gambut itu sendiri. Dalam arti, bahwa setiap proses pengelolaan dan perlindungan ekosistem lahan gambut harus memiliki pedoman yang signifikan dan teratur sehingga dapat menciptakan proses implementasi yang terarah dan bertanggung jawab. Dalam dimensi dan fokus tulisan ini, keanekaragaman hayati dalam ekosistem lahan gambut yaitu flora dan fauna sangat penting untuk dilindungi seperti yang tercantum pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.15/MENLHK/SEKJEN/KUM.1/2/2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penataan Ekosistem Gambut, dalam proses pengukuran muka air tanah di ekosistem gambut harus tetap memperhatikan habitat dari flora dan fauna yang hadir di ekosistem tersebut. Begitu pula juga pada Peraturan Daerah Kabupaten Humbang Hasundutan Nomor 8 Tahun 2013 tentang Lahan Gambut yang begitu mengakui keberagaman hayati di dalam sebuah ekosistem gambut sebagai bentuk manifestasi dari perhatian pemerintah daerah dalam mengelola lahan gambut secara bertanggung jawab. Lalu, dengan kehadiran kontroversi terkait pembakaran lahan yang telah dijelaskan. Namun ternyata, UUPPLH memberikan limitasi terkait pembakaran lahan yang berdasarkan kearifan lokal yang berlaku dengan memenuhi syarat kumulatif dari pembakaran lahan yang dimaksud berdasarkan kearifan lokal yaitu adanya batasan berupa luas areal yaitu dua hektare per kepala keluarga, lalu batasan tanaman yang ditanami yaitu merupakan jenis varietas lokal dan juga diharapkan menjadi bentuk perpanjangan ekspektasi dalam melestarikan pangan lokal, dan terakhir yaitu adanya teknologi pengaman berupa sekat bakar. Namun, solusi dari hal tersebut terjawab dengan hadirnya Pengelolaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) sebagai bentuk eksplorasi dari Badan Restorasi Gambut. Tidak kalah penting pula bahwa pemberdayaan hukum kepada masyarakat juga menjadi sangat vital karena hal ini menjadi bentuk edukasi hukum kepada masyarat di desa gambut agar dapat menjadi bentuk pertolongan dalam mendampingi masyarakat dalam mengurusi hal-hal terkait perancangan dokumen hukum yang berkorelasi dengan pengelolaan lahan gambut maupun pelaporan isu hukum yang terjadi pada daerah sekitar gambut. 2.
Saran
Diharapkan bahwa dalam adanya pedoman yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan, tidak hanya menjadi formalitas semata tetapi dapat diaktualisasikan oleh tokoh-tokoh terkait yang merupakan hasil kolaborasi dari masyarakat, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan stakeholders lainnya untuk bisa melahirkan terciptanya aktualisasi dari beragam peraturan yang ada. Selain itu,
diperlukan kajian akademik yang berkelanjutan sehingga dapat menjadi masukan konstruktif dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang terus mengalami perubahan dan mengakomodasi perkembangan zaman sesuai dengan kebutuhan yang hadir dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Brady, M.A. 1997. Organic Matter Dynamics of Coastal Peat Deposits in Sumatra. Ph.D. Thesis. University of British Columbia. Vancouver.Canada. Commision on Legal Empowerment of the Poor, 2008. Making the Law Work for Everyone Volume I, New York: UNDP; Hardjowigeno, S. 1986. Sumber Daya Fisik Wilayah dan Tata Guna Lahan: Histosol. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hal. 86-94. Page, S et al. 2010. Science Highlights: Pasta and Present Carbon Accumulation and Loss in Southeast Asian Peatlands. Vol 18 No. 1April 2010. Department of Geography. University of Leicester. UK. Hal. 25. PerMenLHK (Peraturan MenteriLingkungan Hidup dan Kehutanan) Nomor P.15/MENLHK/ SEKJEN/KUM.1/2/2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penaatan Ekosistem Gambut Pramudianto A.2016. Ketentuan Etika dalam Perjanjian Internasional di Bidang Perlindungan Fauna Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya alam Hayati dan Ekosistemnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Penerapan Sanksi Dan Penyelesaian Sengketa Hak Cipta Oleh Hukum Positif Indonesia Terhadap Pelanggar Hak Cipta Dalam Platform Youtube Oleh : Andi Yunisa Febriyanti, Andi Numratil Hidayah, Muhammad Sahar Ramadhan Universitas Hasanuddin A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Dewasa ini, peran teknologi komunikasi semakin penting yang lebih dipicu oleh kebutuhan aktivitas dunia modern yang serba cepat dan tuntutan jaman yang serba mengglobal, di mana memerlukan teknologi komunikasi yang efisien dan dapat menjangkau wilayah yang luas tanpa dihalangi oleh batas negara. Salah satu teknologi yang berhasil menjawab kebutuhan tersebut adalah internet.1 Dari kondisi demikian, tak dapat disangkal lagi bahwa kehadiran internet telah memunculkan suatu fenomena baru terhadap aspek – aspek kehidupan manusia. Dari sisi hukum, fenomena internet sangat jelas berpengaruh terhadap model pengaturan hukum di internet. Seperti diketahui penerapan hukum saat ini pada kenyataanya masih banyak memiliki kelemahan. Beberapa kelemahan itu antara lain sangat dibatasi dengan yurisdiksi dan sangat bergantung dengan hal – hal yang sifatnya formal.2 Kelemahan yang dimiliki hukum konvensional saat ini menunjukkan juga kompleksitas dari objek yang diatur. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Larry Lessig yang menyatakan : Cyberspace is a new and exciting frontier, and presents a host of new and difficult legal questions in many areas. The development of legal rules that will govern activity in this new environment in likely to be a complex, and at times a controversial, process.3 Kompleksitas pengaturan ini, melahirkan berbagai permasalahan hukum. Salah satu permasalahan hukum tersebut adalah hak cipta.4 Hak cipta5 pada dasarnya adalah hak ekslusif
1
D. Friedman P, Analisis Hak Konsumen Dalam Hal Perolehan Karya Cipta Lagu Melalui Internet Dalam Pola Peer to Perr Communication Berdasarkan Undang – Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, Tesis tidak diterbitkan, Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006, Hal 2. 2 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2000, Hal 87. 3 Larry Lessig, Introduction of Cyberspace, Cyberspace Law for Non-Lawyers, Http://www.eff.org/legal/Cyberlaw_Course/Cyberlaw.001, diakses 15 Juli 2020.
bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang terdiri dari buku, program komputer, ceramah kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu, serta hak terkait dengan hak cipta.6 Ciptaan – ciptaan ini dilindungi hak cipta sebagai hak eksklusif, ciptaan – ciptaan ini menjadi hak yang semata – mata diperuntukkan bagi pencipta atau pihak lain yang diperbolehkan memanfaatkan hak tersebut dengan seizin pencipta. Kegiatan mengumumkan atau memperbanyak diartikan sebagai kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, mengimpor atau mengekspor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun. Secara tradisional hak cipta telah diterapkan kedalam buku – buku, tetapi sekarang hak cipta telah meluas dan mencakup perlindungan atas karya sastra, drama, karya musik, dan artistik, termasuk rekaman suara, dan televisi serta program komputer.7 Di era globalisasi seperti ini dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat kebutuhan masyarakat juga semakin bertambah. Kini teknologi merupakan sarana yang merambah hampir keseluruh sektor kehidupan. Salah satu dampak dari kemajuan teknologi adalah munculnya era digital yang ditandai dengan munculnya tiga teknologi, yaitu : komputer, komunikasi, dan multimedia. 8 Dengan perkembangan konvergensi ketiga teknologi telah membuat muatan informasi atau pesan dalam komunikasi tidak lagi hanya berupa teks, angka, gambar saja, melainkan dapat berupa suara atau bahkan berupa gambar bergerak (film/video). 9 Di era digital seperti sekarang ini, video menjadi hal yang sangat diminati oleh masyarakat, dengan video masyarakat bisa mendapatkan banyak manfaat, manfaat tersebut dapat dibidang ilmu pengetahuan, sarana pengenalan produk, dan sarana hiburan. Salah satu situs berbagi video atau video sharing terpopuler dan paling banyak dikunjungi adalah Youtube. 10 Youtube adalah sebuah situs web video sharing dan situs tempat menyimpan video baik itu video dokumentasi ataupun video pribadi. Para pengguna Yotube tidak perlu membuat account untuk mengirim video ke Youtube dan menikmati fitur – fitur yang tersedia di situs ini, Youtube juga mengemas situsnya dengan format menu yang mudah dipelajari dan pengunggahan yang tidak rumit. Karena kemudahan yang ditawarkan oleh Youtube, hal ini menjadikan Youtube sangat popular di masyarakat. Menurut survey dari 4
Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo (Eds), Hak Kekayaan Intelektual (suatu pengantar), PT. Alumni, Bandung, 2011, Hal 6. 5 Indonesia, Undang – Undang Tentang Hak Cipta. UU. No. 28 Tahun 2014, ps 1 angka 1 6 Tomatzu Hazumi, ASIAN copyright handbook Indonesian version, Asia Pacific Cultural Center for Unesco, 2004, Hal 15 – 16. 7 Ibid. 8 Gene K. Landy, The IT/Digital Legal Companion (A Comprehensive Business Guide to Software, IT, Internet, Media and IP Law), USA, Hal 46. 9 Paul Goldstein, Hak Cipta : Dahulu, kini, dan esok, yayasan obor Indonesia, Jakarata, 1997, Hal 23 – 24. 10 Yolanda Stellarosa, Sandra Jasmine Firyal, Andre Ikhsano “Pemanfaatan Youtube Sebagai Sarana Transformasi Majalah Highend”, Jurnal Lugas Vol. 2 No. 2, 2018, Hal 15.
lembaga peneliti Internet Hitwise lebih dari 2 (dua) miliar pengunjung mengunjungi Youtube perharinya, dengan demikian menjadikan Youtube situs video sharing terbesar dijagat dunia maya.11 Dengan banyaknya pengguna Youtube dan sebagian besar video yang ada di Youtube bermateri hak cipta, hal ini menimbulkan masalah hukum dibidang hak kekayaan intelektual, khususnya hak cipta. Banyak masyarakat pengguna Youtube tidak mengetahui bahwa video – video yang ada di Youtube sebagian besar bermateri hak cipta dan karya – karya bermateri hak cipta tersebut sering disalah gunakan oleh pengguna Youtube, bahkan digunakan untuk kepentingan komersial tanpa seizin pemilik video.12 Di Indonesia secara nasional hak cipta diatur dalam Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan. Melalui hak cipta, muncullah hak moral dan hak ekonomi. Hak moral diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta yang meliputi hak untuk tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan nama kreator pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum, menggunakan nama samarannya, sampai mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi, pemotongan, modifikasi, dan hal – hal lain yang bersifat merugikan kehormatan atau reputasi sang kreator. Sedangkan hak ekonomi diatur dalam Pasal 8 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta meliputi penerbitan, penggandaan dalam segala bentuk, adaptasi, aransemen, transformasi, pendistribusian, hingga penyiaran atas ciptaannya.13 Adanya Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta kemudian menjadi tameng dan payung hukum dalam melindungi berbagai ide atau sebuah karya cipta seorang pencipta. Karya cipta yang mendapat perlindungan apabila diwujudkan dan harus mempunyai bentuk yang unik, bersifat diri sendiri atau pribadi serta menunjukkan kualitas asli sebagai bentuk ciptaan yang telah lahir dari kreativitas, keahlian, dan atau kemampuan seseorang. Ciptaan yang dilindungi dalam undang – undang hukum cipta adalah karya kreatif dari manusia yang bersumber dari intelektualnya.14 Pihak Youtube juga melakukan kerja sama dengan pembuat kebijakan pemerintah, perwakilan industri serta para pembuat karya cipta untuk melindungi kekayaan intelektual dan ekspresi individu.Youtube mematuhi pemberitahuan pelanggaran hak cipta sesuai Digital 11
Hitwise, 2013, Survei Pengguna YouTube, http://www.hitwise.com/news/yt2012.html, diakses 15 Juli 2020. Andika Andre Pratista dan Bambang Winarno dan Zairul Alam, “Tinjauan Terhadap Tindakan Pengumuman dan Perbanyakan Video Melalui Situs Youtube Secara Melawan Hukum”, Hal 4 – 5. 13 Anak Agung Mirah Satria Dewi, “Perlindungan Hukum Hak Cipta Terhadap Cover Version Lagu Di Youtube”, Jurnal Magister Hukum Udayana Vol. 6 No. 4, 2017, Hal 510 – 511. 14 Made Ari Yudia Krisna dan I Made Dedy Priyanto, ”Tanggung Jawab Pihak Youtube Terhadap Pelanggar Video Tanpa Izin Pencipta”, Hal 3 – 4. 12
Millennium Copyright Act (DMCA) dan sejalan dengan ketentuan pemberitahuan dan pengahapusan dalam undang – undang nasional yang berlaku.15 Di dalam situsnya, Youtube membuat halaman yang mengatur mengenai hak cipta, agar pengguna Youtube bisa mengetahui lebih dalam mengenai hak cipta, bentuk perlindungan dan apa saja akibat hukum apabila melakukan pelanggaran hak cipta di dalam situsnya. Di halaman hak cipta, Youtube tidak menjelaskan secara rinci pengertian hak cipta, tetapi mengatur jenis – jenis karya apa saja yang harus mematuhi hak cipta, bagaimana cara menggunakan karya – karya yang bermateri hak cipta tanpa melanggar, kepemutusan hak cipta, perbedaan antara hak cipta, merek dagang dan paten, serta perbedaan antara hak cipta dan privasi.16 Kesuksesan Youtube ini bukan tanpa hambatan, gugatan mengenai dugaan pelanggaran hak cipta adalah tantangan terbesar dalam perjalanan sukses Youtube. Dengan banyaknya dugaan pelanggaran hak cipta yang terjadi di Youtube, Youtube menyediakan jalan penyelesaian sengketa hak cipta di situsnya. 17 Adapun tanggung jawab yang diberikan oleh pihak Youtube terkait dengan pelanggaran hak cipta yang terjadi di dalam platformnya yaitu, pihak Youtube memberikan sebuah perlindungan berupa perlindungan dengan cara menonaktifkan dan langsung menghapus video yang melanggar hak cipta dari pihak yang tidak bertanggung jawab, namun hal ini akan dilakukan ketika adanya aduan dari pihak yang merasa merugi karena adanya tindakan tersebut. Tindakan penghapusan video karena pelanggaran hak cipta merupakan hak yang sah dan formal yang diberikan oleh pihak Youtube apabila terjadi suatu pelanggaran terkait video yang melanggar hak cipta. Selain itu, pihak Youtube juga sudah memberikan edukasi terkait dengan hak cipta dengan membuat sebuah halaman di situsnya dan hal itu merupakan suatu tanggung jawab yang dapat diberikan pihak Youtube terkait video yang melanggar hak cipta.18 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta juga mengatur mengenai akibat hukum terhadap situs – situs yang memicu adanya pelanggaran hak cipta. Youtube dapat saja di boikot atau di blokir secara keseluruhan apabila situs Youtube itu sendiri telah di laporkan oleh pihak – pihak yang merasa dirugikan pada bidang hak cipta. Adapun dasar hukum yang menguatkan yaitu Pasal 54 dan Pasal 55 undang – undang hak cipta. Pada Pasal 54 menyebutkan pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan pada pembuatan dan penyebaran video yang memiliki hak cipta, pemerintah juga bekerja sama dengan beberapa pihak baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri dan pemerintah berwenang mengawasi selalu tindakan yang melanggar hak cipta dengan media atau alat apapun terhadap karya cipta. Sedangkan, Pasal 55 undang – undang hak cipta 15
Ibid, hal 12. Andika Andre Pratista dan Bambang Winarno dan Zairul Alam, op. cit., hal 8. 17 Ibid, hal 11. 18 Made Ari Yudia Krisna dan I Made Dedy Priyanto, op. cit., hal 12. 16
menyebutkan jikalau ada seseorang yang tahu atau mengetahui adanya tindakan melanggar mengenai hak cipta untuk digunakan secara komersial melalui sistem elektronik dapat dilakukannya pelaporan kepada menteri di bidang telekomunikasi dan informatika.19 Penutupan terhadap situs – situs yang dapat memicu pelanggaran terhadap hak cipta video harus berdasarkan bukti yang cukup kuat barulah pihak berwenang dapat menutup situs yang melanggar hak cipta khusnya Youtube sehingga tidak dapat diakses kembali.20 Perbuatan pelanggaran terhadap hak cipta video merupakan suatu pelanggaran atas hak eksklusif dari pencipta. Youtube sebagai sarana penyedia informasi dalam bentuk video harus bertindak lebih tegas lagi dalam membuat peraturan, agar kedepannya tidak terjadi lagi pelanggaran terhadap hak cipta yang dapat merugikan pencipta suatu karya.21 2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana penerapan sanksi dalam Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta terhadap pelanggar hak cipta dalam platform Youtube ? 2. Bagaimana penyelesaian sengketa Copyright di Youtube menurut Peraturan Perundang – undangan yang berlaku di Indonesia ?
Ibid, hal 12 – 13. Ibid, hal 13. 21 Ibid. 19 20
B. Pembahasan 1. Penerapan Sanksi dalam Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta terhadap Pelanggar Hak Cipta dalam Platform Youtube Dalam beberapa tahun terakhir, ada sebuah platform yang memfasilitasi para seniman atau pembuat video sinematografi untuk menyalurkan dan mempersembahkan hasil karyanya yaitu YouTube namun, perkembangan teknologi membuat banyaknya oknum yang menyalah gunakan teknologi untuk kepentingan pribadinya, seperti melakukan pembajakan video di situs YouTube tanpa izin dari pemegang atau yang memiliki hak cipta atas video tersebut. Hal tersebut menyababkan suatu kesan bahwa masyarakat tidak menghargai hasil karya cipta dari pencipta dan memberi dampak bahwa negara Indonesia kurang memberikan perhatian serius serta ketegasan dalam masalah hak cipta. Hal ini justru mengakibatkan kerugian bagi pemegang atau pemilik hak cipta terkait video yang bersangkutan dan membuat resah para pembuat konten untuk menuangkan ide dan kretivitasnya ke dalam video yang hendak mereka unggah ke situs YouTube. Hal ini terjadi di karenakan di dalam video di internet khususnya YouTube setiap orang dengan bebas mengunggah video apa saja. Dampak negatifnya kondisi ini membuat para pencipta malas untuk berkarya dan kondisi ini pula dibuat semakin parah karena adanya pemikiran bahwa profesi pencipta belum cukup menjadi jaminan seseorang akan mendapatkan hidup yang layak.22 Diketahui bahwa saat ini akun YouTube Calon Sarjana sudah tidak bisa ditemukan lagi dan seluruh video yang diunggah selama ini sudah dihapus oleh pihak YouTube dengan alasan pelanggaran hak cipta. Ya, memang beberapa waktu yang lalu Calon Sarjana sempat mengalami kasus plagiarisme dimana mereka mengambil thumbnail serta isi video tanpa memberi sumber kepada pemilik asli dari video tersebut.Salah satu YouTuber yang mengangkat masalah ini yaitu JT diketahui telah mengambil tindakan untuk melaporkan akun Calon Sarjana sehingga akun milik INFIA tersebut dapat dihapus. Kemudian JT menghubungi YouTuber lain yang konten miliknya dicuri oleh Calon Sarjana untuk samasama melaporkan hal tersebut agar pihak YouTube dapat dengan cepat menghapus akun Calon Sarjana dari platform tersebut.23 Pengaturan hak cipta di YouTube sangat diawasi ketat dikarenakan sebuah video merupakan termasuk karya sinematografi sebagai suatu ciptaan, sesuai dalam Pasal 40 Ayat (1) Huruf M Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC) dikatakan bahwa yang dimaksud dengan karya sinematografi merupakan salah satu contoh karya yang berbentuk audiovisual. Karena media platform yang digunakan di YouTube sendiri merupakan suatu karya yang dapat dinikmati melalui indera penglihatan dan pendengaran dan demi menjaga agar YouTube selalu menjadi media sosial yang
Made Ari Yudia Krisna dan I Made Dedy Priyanto. “Tanggung Jawab Pihak Youtube terhadap Pelanggaran Video tanpa izin Pencipta”. Hal 4-5 23 Ferry Andika, “ Inilah Alasan Kenapa Channel YouTube Calon Sarjana Dimusnahkan!”, (INDOZONE 23 januari 2020) https://www.indozone.id/tech/RMsqWv/inilah-alasan-kenapa-channel-youtube-calon-sarjanadimusnahkan>accessed 10 juli 2020. 22
digemari, maka dapat disimpulkan bahwa memang YouTube sangatlah harus mengawasi ketat mengenai hak cipta suatu orang.24 Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.25 Pencipta diberikan kebebasan dalam memanfaatkan hak yang didapat atas suatu karya cipta yang telah dibuatnya, salah satunya dengan melakukan perjanjian lisensi dengan pihak lain. Tujuan dari dilakukannya perjanjian lisensi tersebut adalah dapat memberikan perlindungan kepada para pihak yang berjanji dalam kerangka hukum kontrak sehingga dapat mengakomodir kepentingan para pihak dalam suatu kontrak. Selain daripada itu, tujuan diadakannya perjanjian lisensi terhadap pencipta juga dapat memberikan keuntungan berupa royalty. Royaltytersebut diberikan oleh penerima lisensi kepada pencipta (selaku pemberi lisensi) atas dasar keuntungan banyaknya atau besarnya produk yang dihasilkan dan atau dijual dalam suatu kurun waktu tertentu 26 pelanggaran yang dilakukan oleh beberapa oknum seringkali mendatangkan kerugian akibat keuntungan berupa royalty. Padahal perjanjian lisensi ini harusnya menjadi perhatian khusus karena berkaitan dengan perlindungan dan kepastian hukum, juga untuk memberikan hak kepada pencipta untuk dapat diberikan royaltinya. Perlindungan hak cipta menganut sistem perlindungan secara otomatis. Dengan kata lain tanpa proses pencatatan, Pencipta otomatis mendapat kepastian hukum atas ciptaannya pada saat karya tersebut telah berwujud karya cipta nyata (expression work).Ciptaan yang mendapatkan perlindungan hak cipta harus memiiliki unsur keaslian yaitu terdapat kreatifitas pencipta serta tidak merupakan hasil tiruan dan didalamnya tercermin refleksi diri dari penciptanya. Meskipun Hak Cipta tidak memerlukan pendaftaran dan bersifat otomatis, namun demikian dianjurkan kepada pencipta maupun pemegang hak cipta untuk mendaftarkan ciptaannya, karena Surat Pendaftaran Ciptaan tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti di Pengadilan apabila timbul sengketa dikemudian hari terhadap ciptaan tersebut. 27 Selama ciptaan tersebut memiliki sifat keaslian maka secara otomatis Hak Cipta memiliki sistem perlindungan, hal ini seharusnya lebih diperhatikan oleh akun Calon Sarjana dan akun Youtube lainnya sebagai seorang Content Creator, karena tidak dibenarkan dalil apabila konten tersebut tidak didaftarkan sebelumnya menjadi alasan pembenaran bahwa tidak terjadi Pelanggaran Hak Cipta.
Rafik Al Hariri. Sri Maharani. “ Perlindungan Hukum bagi pencipta yang karya videonya diunggah kembali (Reupload) di Youtube secara illegal Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta”. (2019) 1 Trunojoyo (208-209). 25 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta 26 Ahmad Faldi Albar, Rohaini, Diane Eka Rusmawati. “Perlindungan Hukum pengunaan musik sebagai latar dalam Youtube menurut Undang-Undang Hak Cipta”(2018) 1 Pactum Law Journal (325) 27 Desak Komang Lina Maharani dan I Gusti Ngurah Parwata. “Perlindungan Hak Cipta terhadap penggunaan lagu sebagai suara latar video di situsYoutube”. Jurnal Ilmiah, hal 9 24
Pasal 4 UU Hak Cipta menyatakan bahwa hak eksklusif terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk terkait. Berdasarkan Pasal 9 UU Hak Cipta bahwa : 1) Pencipta atau pemegang hak cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan ciptaan; b. Penggandaan ciptaan dalam segala bentuk; c. Penerjemahan ciptaan; d. Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan; e. Pendistribusian ciptaan atau salinannya; f. Pertunjukan ciptaan; g. Pengumuman ciptaan; h. Komunikasi ciptaan; dan i. Penyewaan ciptaan. 2) Setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang hak cipta. 3) Setiap orang yang tanpa izin hak cipta atau pemegang hak cipta dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan ciptaan secara komersial. Dengan hak ekonomi tersebut, pihak lain dilarang menggunakan karya cipta untuk tujuan komersial tanpa izin pencipta. Penggunaan secara komersial sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 24 UU Hak Cipta adalah pemanfaatan ciptaan dan/atau produk terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan eknomi dari berbagai sumber atau berbayar. 28 Sedangkan Hak moral diatur dalam Pasal 5 UU Hak Cipta yaitu hak pencipta untuk dicantumkan namanya dalamciptaan dan untuk melarang orang lain mengubah ciptaannya baik judul ataupun anak judul ciptaan. Hak moral dibagi menjadi dua, yang pertama yaitu hak untuk diakui sebagai pencipta lagu (authorship right atau paternity right). Dalam hal ini hak moral mengharuskan identitas pencipta dicantumkan pada ciptaan, baik dengan nama diri maupun samaran. Dalam ha-hal tertentu dan atas dasar pertimbangan pencipta, pencipta dapat meniadakan identitas dirinya (anonim). Kedua yaitu hak keutuhan karya (the right to protect the integrity of the work), yaitu hak yang menyangkut segala bentuk sikap dan perlakuan terkait dengan integritas atau martabat pencipta. Dalam pelaksanaannya, hak tersebut diekspresikan dalam bentuk larangan untuk mengubah, mengurangi, atau merusak ciptaan yang dapat menghancurkan integritas penciptanya.29 Masa berlakunya Hak Moral Pencipta, berlaku tanpa batas waktu. Sebagaimana juga disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan huruf d hak moral pencipta berlaku selama berlangsungnya jangka waktu Hak Cipta atas Ciptaan yang bersangkuta. 30 Perlindungan hukum diberikan terhadap seseorang yang memiliki hak cipta atas suatu karya cipta music dan lagu oleh sebab out di dalam undang28
Ibid., hal 7 Ibid., hal 8 30 Christine C.Salindeho, “Perlindungan Musik dan Lagu di era teknologi internet dalam perspektif UndangUndang Hak Cipta Indonesia”.Jurnal Hukum LEX ET SOCIETATIS Vol. V No.5 Juli 2017. Hal 153 29
undang hak cipta mengatur sanksi pidana terhadap orang-orang yang melakukan pelanggaran hak moral maupun hak ekonomi dengan cara melawan hukum.31 Upaya yang dapat ditempuh oleh pecipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan perlindungan hukum, yaitu : a. Proses Mediasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Dalam UU Hak Cipta diatur dalam pasal 95 dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa Hak Cipta dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, atau pengadilan. Selain pelanggaran dalam bentuk pembajakan, sepanjang pihak-pihak yang bersengketa masih ada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus menempuh terlebih dahulu penyelesaian sengketa melalui mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana b. Aduan Tindak Pidana Pencipta yang merasa dirugikan hak ekonomi atau hak moralnya tanpa izinnya, dapat melaporkan pelanggaran Hak Cipta dengan mengajukan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, sesuai dengan pasal 120 UU Hak Cipta. Khusus terhadap kasus ini, terdapat dalam pasal 112, Pasal 113 ayat (3), dan Pasal 113 ayat (2). c. Ganti Rugi Pencipta atau Pemegang Hak ciptaa dapat mengajukan gantu rugi kepada para pihak dalam hal terjadi pelanggaran Hak Ekonomi dan Hak Moral. Hal ini diatur dalam pasal 96 Undang-Undang Hak Cipta. Gugatan dapat diajukan melalui Pengadilan Niaga dengan diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar Putusan Pengadilan tentang perkara tindak pidana Hak Cipta dan/atau Hak terkait. Pembayaran terhadap tuntutan ganti rugi ini dibayarkan paling lama 6 (enam)bulan setelah putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. d. Penutupan Konten/Situs Pada dasarnya Kominfo hanya dapat melakukan tindakan penutupan konten/situs jika terdapat laporan dari masyarakat. Hak cipta adalah hak yang melekat pada diri Pencipta, oleh karena itu jika Pencipta merasakan dirugikan Pencipta dapat melaporkan kepada Pemerintah untukdilakukan penutupan Konten/situs.32 Pemilik Hak Cipta dapat melaporkan kepada Direktorat Penyelidikan Dirjen HKI, yang memuat : a. Identitas pelapor b. Bukti hak atas Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait c. Alamat situs yang dilaporkan d. Jenis dan/atau konten yang melanggar Hak Cipta dan/atau Hak Terkait e. Jenis pelanggaran,dan ; 31
Ibid.,hal 54 Eunike Lydia Prameswari, Budi Santoso,dan Rinitami Njatrijani, “Perlindungan Hukum terhadap Hak ekonomi atas pemutaran video lagu Daerah pada Media Sosial Youtube”, Diponegoro Law Journal Vol 6 No.2 Tahun 2017. hal 6-7. 32
f. Keterangan lain terkait konten yang melanggar Hak Cipta dan/atau Hak Terkait Penyelesaian sengketa akibat pelanggaran hak cipta sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dapat dilakukan melalui pengadilan. Pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan Niaga. Pengadilan lainnya selain Pengadilan Niaga tidak berwenang menangani penyelesaian sengketa Hak Cipta. Prosedur penyelesaian sengketa di pengadilan niaga tata cara gugatan, upaya hukum dan penetapan semnetara pengadilan.Pencipta, pemegang Hak Cipta dan / atau pemegang Hak Terkait atau ahli warisnya yang mengalami kerugian hak ekonomi berhak memperoleh Ganti Rugi. 33 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, mengatur mengenai Penyelesaian Sengketa : Kewenangan Pengadilan Pasal 95 : (1) Penyelesaian sengketa Hak Cipta dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, atau pengadilan. (2) Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah Pengadilan Niaga. (3) Pengadilan lainnya selain Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak berwenang menangani penyelesaian sengketa Hak Cipta. (4) Selain pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam bentuk Pembajakan, sepanjang para pihak yang bersengketa diketahui keberadaannya dan/atau berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menempuh terlebih dahulu penyelesaian sengketa melalui mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana.34 Telah dijelaskan dalam pasal 55 mengenai konten hak cipta dan hak terkait dalam teknologi informasi dan komunikasi. Dalam pasal tersebut dikemukakan bahwa setiap orang yang mengetahui pelanggaran Haka Cipta dan/atau Hak Terkait melalui sistem elektronik untuk penggunaan secara komersial dapat melaporkan kepada Menteri. Yang selanjutnya Menteri akan meromendasikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah dibidang Telekomunikasi dan Informatika untuk menutup sebagian atau seluruh konten yang melanggar Hak Cipta dalam sistem elektronik atau menjadikan layanan elektronik tidak dapat diakses.35 Sanksi pelanggaran Hak Cipta diatur dalam BAB XVII UU Tentang Hak Cipta a. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan perbuatan dengan cara merusak,merubah,atau menghilangkan terhadap alat yang digunakan untuk melindungi Ciptaan dan untuk mencegah aatau membatasi tindakan yang tidak diizinkan oleh pencipta yang kemudian ditujukan untuk penggunaan secara komersial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda Richard G.E.Rumbekwan, “PENYELESAIAN SENGKETA AKIBAT TERJADINYA PELANGGARAN HAK CIPTA DI PENGADILAN NIAGA”,Jurnal Hukum Lex Crimen Vol.V No.3 Maret 2016.hal 137 34 Ibid.,hal 132 35 Eunike Lydia Prameswari, Budi Santoso,dan Rinitami Njatrijani, “Perlindungan Hukum terhadap Hak ekonomi atas pemutaran video lagu Daerah pada Media Sosial Youtube”, Diponegoro Law Journal Vol 6 No.2 Tahun 2017. hal 4-5 33
b.
c.
d.
e.
f.
g.
paling banyak Rp.300.000.000.00 (tiga ratus juta rupiah). (Pasal 112 Undang-Undang tentang Hak Cipta). Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) (Pasal 113 Undang-Undang tentang Hak Cipta). Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta dlam bentuk perbuatan Penerjemahan Ciptaan, Pengadaptasian Ciptaan, Pengaransemenan Ciptaan, atau Pentransformasian Ciptaan, Pertunjukkan Ciptaan, dan Komunikasi Ciptaan untuk penggunaan secara Komersial dipidana dengan pidana paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah). (Pasal 113 Undang-Undang tentang Hak Cipta). Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang Hak Cipta melakaukan pelanggaran hak ekonomi pencipta dalam hal melakukan perbuatan penerbitan ciptaan,Penggandaan Ciptaan,Pendistribusian Ciptaan dalam segala bentuknya, dan pengumuman Ciptaan untuk penggunaan secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah) (Pasal 113 Undang-Undang tentang Hak Cipta). Setiap Orang yang memenuhi unsur seizing pencipta melakukan Pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah). (pasal 113 UndangUndang tentang Hak Cipta). Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaraan Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.00 (seratus juta rupiah). (Pasal 114 Undang-Undang tentang Hak Cipta). Setiap Orang yang tanpa persetujuan dari orang yang dipotret atau ahli warisnya melakukan Penggunaan Secara Komersial, Penggandaan, Pengumuman, Pendistribusian, atau Komunikasi atas potret sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 untuk kepentingan reklame atau periklanan untuk Penggunaan secara Komersial baik dalam media elektronik maupun non elektronik, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah). (Pasal 115 Undang-Undang tentang Hak Cipta).
Sanksi pidana terhadap pelanggaran hak moral dan hak ekonomi dari Pencipta ini bertujuan untuk memberi efek jera kepada pelaku serta mencegah akan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, dan memberikan perlindungan kepada Pencipta atau pemegang Hak Cipta 36 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak cipta juga 36
Ibid.,hal 6
mengatur mengenai akibat hukum terhadap situs-situs yang memicu adanya pelanggaran hak cipta. YouTube dapat saja di boikot atau di blokir secara keseluruhan apabila situs YouTube itu sendiri telah di laporkan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan pada bidang hak cipta. Adapun dasar hukum yang menguatkan yaitu pasal 54 dan pasal 55 UUHC. Pada pasal 54 menyebutkan pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan pada pembuatan dan penyebaran video berhak cipta, pemerintah juga bekerja sama dengan beberapa pihak baik itu didalam negeri ataupun luar negeri dan pemerintah berwenang mengawasi selalu tindakan yang melanggar hak cipta dengan media atau alat apapun terhadap karya cipta.Pasal 55 UUHC menyebutkan jikalau ada seseorang yang tahu atau mengetahui adanya tindakan melanggar mengenai hak cipta untuk di gunakan secara komersial melalui sistem elektronik dapat dilakukannya pelaporan kepada menteri di bidang telekomunikasi dan informatika. penutupan terhadap situs-situs yang dapat memicu pelanggaran terhadap hak cipta video harus berdasarkan bukti yang cukup kuat barulah pihak berwenang dapat menutup situs yang melanggar hak cipta khusnya YouTube sehingga tidak dapat diakses kembali.37 Akibat pelanggaran terhadap hak cipta sangat merugikan bagi pencipta dan pemegang hak cipta, karena hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Apabila hal ini dibiarkan dan tidak dilindungi, maka para Pencipta dan dan pemegang hak cipta akan kehilangan motivasi untuk lebih kreatif membuat karya cipta yang baru, padahal hasil ciptaan dapat menunjang pertumbuhan ekonomi dan mernberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang menggantikan UndangUndang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta diharapkan lebih memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pencipta, pemegang hak cipta, dengan masyarakat sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, sehingga pelanggaran terhadap hak cipta dapat dicegah dan apabila pelanggaran tersebut terjadi, maka sanksi hukum dapat diberlakukan bagi pelakunya. 38 2. Penyelesaian Sengketa Copyright di Youtube Menurut Peraturan Perundang – Undangan yang Berlaku di Indonesia Secara garis besar copyright adalah hak cipta. Perbedaan ini hanya persoalan nama dan tren yang dikenal dalam masyarakat. Copyright biasanya digunakan untuk melindungi produk dari tindak duplikasi. Dalam dunia bisnis, copyright sangat familiar. Khususnya bagi sektor yang menciptakan produk teknologi digital. Selain itu, copyright bisa membuat pemegang hak tersebut mendapatkan royalti/provit. Jika terdapat pihak yang mencoba mendapat keuntungan dari produk yang sudah dikenakan hak cipta. Berkaitan dengan pasal 80 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, pemegang Hak Cipta
Made Ari Yudia Krisna dan I Made Dedy Priyanto, “Tanggung Jawab Pihak Youtube terhadap pelanggaran Video tanpa izin dari Pencipta”, Hal 12 – 13. 38 Richard G.E Rumbekwan, “Penyelesaian sengketa akibat terjadinya Pelanggaran Hak Cipta di Pengadilan Niaga”, Jurnal Hukum Lex Crimen Vol V No. 3 Maret 2016, Hal 132. 37
memiliki hak eksklusif untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya ataupun mengeluarkan izin melakukan hal tersebut berupa lisensi. Lisensi merupakan izin tertulis yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak terkait kepada pihak lain. Lisensi ini digunakan untuk melaksanakan hak ekonomi atas produk Hak Terkait dengan syarat tertentu. Bersamaan dengan pemberian lisensi tersebut, biasanya diikuti oleh pembayaran royalti kepada pemegang hak cipta lagu tersebut. 39 Royalti sendiri dapat diartikan sebagai kompensasi bagi penggunaan sebuah ciptaan. Terkait besarannya, dikembalikan kepada perjanjian lisensi yang dibuat antara pemilik hak terkait dan penerima lisensi. Karena sifat dasarnya merupakan suatu perjanjian, maka aturan yang berlaku tidak jauh dari hukum perikatan dan Pacta Sunt Servanda40 / asas kebebasan berkontrak pada 1338 BW. Memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian dalam 1320 BW. Pasal 82 - 83 tentang larangan dalam pembuatan lisensi. Batasan – batasan dalam kebebasan berkontrak yang dimuat dalam 1265-1266 BW tentang pembatalan. Serta 1337 BW terkait sebab yang terlarang oleh undang-undang, kesusilaan, dan kepentingan umum maka perjanjian itu dianggap sah. Kemudian perlu diperhatikan bahwa pada dasarnya harus terjalin kesepakatan oleh kedua belah pihak tanpa adanya paksaan. Hal ini berlaku untuk seluruh unsur yang terlibat seperti para penikmat produk, pemegang Hak Cipta, dan YouTube (sebagai kuasa). Perkembangan yang pesat berbanding lurus dengan konsekuensi yang timbul. Sebagai karya yang terdapat pada medium digital, platform Youtube menduduki posisi juara dalam persaingan. Menurut data statistik penayangan di Youtube, lebih dari 6 miliar jam video ditonton di Youtube setiap bulannya. Bila dikalkulasikan setiap orang di Bumi menghabiskan setidaknya 1 jam untuk mengakses platform ini. 41 Selain hak cipta, Youtube juga memasukkan beberapa pelanggaran lain seperti : 1. Pelanggaran Privasi Tindakan ekspos informasi pribadi atau meng-upload video tentang seseorang tanpa persetujuan orang yang bersangkutan. 2. Pelecehan dan Penindasan Maya Yaitu membuat pesan yang kasar, merekam seseorang untuk tujuan kejahatan tanpa persetujuannya, membuat video negatif dan menyakitkan tentang orang lain. 3. Perkataan yang Mendorong Kebencian. Mengacu pada konten yang menyerukan kekerasan atau kebencian terhadap individu atau kelompok berdasarkan atribut tertentu. Biasanya membahas tentang rasa atau etnis asal, agama, kecacatan, jenis kelamin, usia, status veteran, orientas seksual atau identitas gender. 4. Peniruan Identitas
39
UUHC, pasal 35 Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Pacta_sunt_servanda, diakses tanggal 20 juli 2020. 41 Youtube, Statistic, https://www.youtube.com/intl/id/about/press/, diakses tanggal 22 juli 2020. 40
Aktifitas seperti menggunakan nama pengguna yang sama, menyamar sebagai orang lain di komentar, email atau video merupakan aktifitas peniruan identitas yang dapat dianggap pelecehan. 5. Ancaman Konten yang berisi ancaman bahaya fisik yang serius terhadap seseorang atau sekelompok orang tertentu. 6. Membahayakan Anak Mengupload, memberi komentar atau terlibat dalam berbagai aktivitas yang berbau seksual anak dibawah umur. Sejak tahun 2019 Youtube memberi perhatian ekstra untuk layanan yang disediakan pada anak – anak. Mendapat syarat tambahan dalam publikasi video hingga sistem terkemuka untuk mendeteksi pengguna konten anak. 7. Ketelanjangan atau Konten Seksual. Konten yang berbau pornografi merupakan hal yang terlarang. Terlebih untuk platform yang dengan mudahnya dapat diakses oleh publik setiap saat. 8. Konten Kekerasan atau Grafis. Terutama dimaksudkan untuk memberi kejutan, sensasi, atau hal yang kurang sopan tidak boleh ditayangkan di Youtube. 9. Konten yang Merugikan atau Berbahaya. Aktivitas bahaya dan illegal mencakup pembuatan bom instruksional, permainan mencekik, penggunaan obat keras, atau tindakan lain yang dapat menimbulkan cedera serius. Namun terdapat pengecualian jika tujuan utamanya adalah pendidikan, dokumentar, ilmiah, atau artistik dan tidak ditayangkan secara serampangan. 10. Spam, Pratik penipuan dan scam Didalam Youtube dilarang membuat konten yang mencoba mengelabuhi orang lain guna mendapatkan keuntungan finansial untuk diri sendiri. Pada intinya, setiap pengguna Youtube berpotensi melakukan pelanggaran hak cipta. Karena hampir semua video yang ada di Youtube memiliki hak cipta. 1. Penyelesaian sengketa di Youtube Gugatan dugaan pelanggaran hak cipta adalah tantangan terbesar dalam keberlangsungan YouTube. Seiring perkembangannya, Yotube teah menyediakan jalan penyelesaian sengketa hak cipta di situsnya. Youtube menyediakan tempat pengajuan gugatan hak cipta di formulir website-nya. Permintaan pemberitahuan pelanggaran hak cipta hanya boleh dikirimkan oleh pemilik hak cipta atau kausa untuk bertindak atas nama pemiliknya. Jenis - jenis pengaduan pelanggaran hak cipta berupa : a. Konten yang tidak pantas, berupa video yang berbau kekerasan, seksual, dan video-video yang dapat menimbulkan perpecahan antar umat beragama. b. Muncul tanpa izin, apabila seseorang muncul di konten video seseorang tanpa izin pihak tersebut. c. Penyiksaan atau pelecehan yang dilakukan kepada anda. d. Privasi, apabila terdapat konten yang menggunakan gambar milik anda.
e. Pelanggaran hak cipta, menyalin karya yang bermateri hak cipta. Jika pelanggaran terjadi, kita dapat menggunakan formulir web untuk melakukan gugatan. Kemudian mengirimkan keluhan DMCA yang valid untuk menghapus video tersebut. Jika pengguna mendapatkan tiga teguran hak cipta dalam 90 hari, akun mereka bersama dengan saluran terkait akan dihentikan. Dapat dilihat bahwa Youtube telah mengambil langkah yang berani untuk menindaki permasalahan hak cipta. Kemudian bagi sebagian besar pemilik hak cipta, ini merupakan cara tercepat dan termudah untuk meminta penghapusan karena pelanggaran hak cipta. 2. Pelunakan yang diberikan oleh Youtube Dalam kondisi tertentu, kita dapat menggunakan karya yang dilindungi Hak Cipta Tanpa melanggar ketentuan. Hal ini dapat dilakukan melalui penggunaan yang diperkenankanatau dengan mendapatkan izin untuk menggunakan konten orang lain di video Anda.Youtube mengenal ini dengan istilah “The first rule of copyright”.42 Istilah ini memuat Pembuat konten hanya boleh mengunggah video yang telah mereka buat atau yang diizinkan untuk mereka gunakan. Itu berarti mereka tidak boleh mengunggah video yang tidak mereka buat, atau menggunakan konten dalam video mereka yang memiliki hak cipta oleh orang lain, seperti trek musik, cuplikan program yang dilindungi hak cipta, atau video yang dibuat oleh pengguna lain, tanpa otorisasi yang diperlukan. Selain itu, Youtube juga memberi jalan untuk menggunakan kembali materi yang dilindungi hak cipta tanpa izin dari pemilik karya, dikenal dengan istilah “Fair Use”. 43 Pelaksanaan Fair Use ditentukan berdasarkan kasus per kasus, dan negara yang berbeda memiliki aturan berbeda tentang kapan boleh menggunakan materi tanpa izin pemilik hak cipta. Youtube sendiri menerapkan aturan yang serupa dengan Amerika Serikat, sehingga karya berupa komentar, kritik, penelitian, pengajaran, atau pelaporan berita dapat dianggap sebagai Fair Use, sehingga tidak memberi kewajiban untuk memiliki izin terlebih dahulu. 3. Penyelesaian sengketa menurut Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Dalam ketentuan Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, sengketa hak cipta dapat terdiri dari sengketa perdata atau pidana. Pilihan penyelesaian ini pada praktiknya disesuaikan dengan tujuan dan kepentingan pemegang hak cipta. Jika tujuannya menarik kompensasi, maka jalur yang ditempu adalah penyelesaian secara perdata. Namun jika ditujukan untuk memberikan efek jera, maka penyelesaiannya adalah secara pindana.
42 43
Youtube, https://www.youtube.com/howyoutubeworks/policies/copyright, diakses tanggal 20 juli 2020. Ibid.
Mekanisme penyelesaian sengketa hak cipta dapat dilakukan dengan dua cara yakni proses arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa sesuai dengan ketentuan UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan gugatan ke pengadilan niaga. Upaya penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum atau non-litigasi. Harus dengan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian ini dikenal dengan nama Pactum de Compramitendo jika perjanjian dibuat sebelum adanya sengketa, dan Acta Compromis jika perjanjian dibuat setelah adanya sengketa. Putusan Arbitrase bersifat final and binding. Penyelesaian melalui Arbitrase memiliki beberapa keuntungan berupa : 1. Kerahasiaan nama para pihak yang bersengketa dapat dijaga. Dalam dunia bisnis tentu eksistensi atas nama baik sangat berpengaruh. 2. Bebas dalam menentukan Bahasa. Melihat ruang lingkup Youtube yang sangat luas, sengketa pihak yang berasal dari negara berbeda sangat memungkinkan untuk terjadi. 3. Bebas memilih Judicatoratau Arbiter, biasa diisi dengan ahli sehingga masukan yang diterima sangat berhubungan dengan pokok sengketa. Melihat keuntungan tersebut, terdapat beban lebih pada cost yang harus dikeluarkan. Biaya tersebut disesuaikan dengan nilai klaim pihak yang menggugat. Oleh karena itu, semakin besar klaim yang dimasukkan semakin besar juga biaya yang dikeluarkan. Sedangkan untuk alternatif penyelesaian sengketa, dapat dilakukan dengan lembaga penyelesaian sengketa melalui prosedur yang disepakati para pihak. Beberapa pilihan penyelesaiannya berupa konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Namun putusan alternative penyelesaian sengeketa terpadat pada itikad baik para pihak. Apabila putusan ini belum memberikan rasa keadilan pada salah satu pihak, maka dapat dilakukan kembali upaya gugatan ke pengadilan niaga. Upaya untuk melakukan penyelesaian sengketa ke pengadilan niaga diatur dalam pasal 95 - 105 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Tata cara pengajuan gugatan ke pengadilan niaga diatur dalam pasal 95 - 105 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta yang menyatakan : Pasal 100 44 1. Gugatan atas pelanggaran Hak Cipta diajukan kepada ketua Pengadilan Niaga. 2. Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat oleh panitera Pengadilan Niaga dalam register perkara pengadilan pada tanggal gugatan tersebut didaftarkan. 3. Panitera Pengadilan Niaga memberikan tanda terima yang telah ditandatangani pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. 4. Panitera Pengadilan Niaga menyampaikan permohonan gugatan kepada ketua Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 2 (dua) Hari terhitung sejak tanggal gugatan didaftarkan. 44
UUHC, pasal 100
5. Dalam waktu paling lama 3 (tiga) Hari terhitung sejak gugatan didaftarkan, Pengadilan Niaga menetapkan Hari sidang. 6. Pemberitahuan dan pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita dalam waktu paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak gugatan didaftarkan. Pasal 101 45 1. Putusan atas gugatan harus diucapkan paling lama 90 (sembilan puluh) Hari sejak gugatan didaftarkan. 2. Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipenuhi, atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung jangka waktu tersebut dapat diperpanjang selama 30 (tiga puluh) hari. 3. Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. 4. Putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 (empat belas) Hari terhitung sejak putusan diucapkan. Kedua pasal tersebut menjabarkan prosedur mengajukan gugatan dalam menyelesaikan sengeketa perdata melalui jalur litigasi.Dapat dilihat bahwat bahwa prosedur penyelesaian sengketa hak cipta dengan jalur perdata berlangsung cepat. Bahkan menurut Pasal 101 ayat (1) UUHC gugatan wajib diputus dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah pendaftaran perkara di Pengadilan Niaga. Upaya persidangan yang cepat juga terlihat pada upaya hukum banding yang dapat ditempuh.Penentuan jangka waktu upaya hukum kasasi harus diputus paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Membuktikan bahwa penyelesaian sengket melalui jalur perdata mendapat perhatian yang baik. C. Penutup 1. Kesimpulan Di Indonesia secara nasional hak cipta diatur dalam Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan. Melalui hak cipta, muncullah hak moral dan hak ekonomi. Hak moral diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta yang meliputi hak untuk tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan nama kreator pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum, menggunakan nama samarannya, sampai mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi, pemotongan, modifikasi, dan hal – hal lain yang bersifat merugikan kehormatan atau reputasi sang kreator. Sedangkan hak ekonomi 45
UUHC, pasal 101
diatur dalam Pasal 8 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta meliputipenerbitan, penggandaan dalam segala bentuk, adaptasi, aransemen, transformasi, pendistribusian, hingga penyiaran atas ciptaannya. Hak cipta adalah Hak ekslusif bagi pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan hak ekslusif menurut Pasal 4 UU Hak Cipta adalah hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah hak yang melarang pihak lain untuk menggunakan karya cipta untuk tujuan komersial tanpa izin pencipta berkaitan dengan keuntungan yang akan didapatkan Pencipta, sedangkan Hak Moral adalah hak Pencipta untuk dicantumkan namanya dan melarang orang lain untuk mengubah ciptaannya baik judul maupun anak judul. Upaya yang dapat dilakukan oleh pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan perlindungan hukum yaitu: proses mediasi, aduan tindak pidana, ganti rugi dan penutupan konten/situs. Sedangkan mengenai penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui arbitrase atau pengadilan, menurut UU Hak Cipta pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan Niaga. 2. Saran Di era digital yang kian pesat platform Youtube seharusnya mempunyai upaya preventif untuk menimalisir terjadinya kasus Pelanggaran Hak Cipta. Seperti sebelum konten di upload terlebih dahulu konten tersebut dideteksi, yaitu pendeteksi adanya kesamaan konten dan jika ditemukan adanya plagiatrisme maka perlu ditindak tegas berupa pemberian sanksi menurut ketentuan hukum positif Indonesia ataupun sanksi yang ditentukan oleh Platform Youtube. Dengan demikian para Content Creator lebih memperhatikan Hak Cipta dan berpikir panjang untuk melakukan pelanggaran.
DAFTAR PUSTAKA Buku Mertokusumo, Sudikno. 2005. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty. Lindsey, Tim dkk. 2011. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Bandung: PT. Alumni. Goldstein, Paul. 1997. Hak Cipta : Dahulu, Kini, dan Esok. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia. Tomatzu Hazumi, ASIAN copyright handbook Indonesian version, Asia Pacific Cultural Centre for Unesco, 2004. Gene K. Landy, The IT/Digital Legal Companion (A Comprehensive Business Guide to Software, IT, Internet, Media and IP Law), USA. Tesis D. Friedman P. 2006. (Analisis Hak Konsumen Dalam Hal Perolehan Karya Cipta Lagu Melalui Internet dalam Pola Peer to Perr Communication Berdasarkan Undang – Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta). Tesis. Tidak Diterbitkan. Fakultas Hukum. Universitas Indonesia:Jakarta. Jurnal Stellarosa, Yolanda., Sandra Jasmine Firyal., dan Andre Ikhsano. (2018). Pemanfaatan Youtube Sebagai Sarana Transformasi Majalah Highend. Jurnal Lugas Volume 2. 2. Dewi, Anak Agung Mirah Satria. (2017). Perlindungan Hukum Hak Cipta Terhadap Cover Version Lagu Di Youtube. Jurnal Magister Hukum Udayana Volume 6. 2. Pratista, Andika Andre., Bambang Winarno., dan Zairul Alam. (2014). Tinjauan Terhadap Tindakan Pengumuman dan Perbanyakan Video Melalui Situs Youtube Secara Melawan Hukum. Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Volume 2. 1. Krisna, Made Ari Yudia dan I Made Dedy Priyanto. (2019). Tanggung Jawab Pihak Youtube Terhadap Pelanggar Video Tanpa Izin Pencipta. Jurnal Ilmu Hukum Volume 7. 10. Rumbekwan, Richard G. E. (2016). Penyelesaian sengketa akibat terjadinya Pelanggaran Hak Cipta di Pengadilan Niaga. Jurnal Hukum Lex Crimen Volume V. 3.
Albar, Ahmad Faldi., Rohaini., dan Diane Eka Rusmawati. (2018). Perlindungan Hukum Pengunaan Musik Sebagai Latar dalam Youtube Menurut Undang – Undang Hak Cipta. Pactum Law Journal Volume 1. 4. C. Salindeho, Christine. (2017). Perlindungan Musik dan Lagu di Era Teknologi Internet dalam Perspektif Undang – Undang Hak Cipta Indonesia. Jurnal Hukum LEX ET SOCIETATIS Volume V. 5. Prameswari, Eunike Lydia., Budi Santoso., dan Rinitami Njatrijani. (2017). Perlindungan Hukum Terhadap Hak ekonomi Atas Pemutaran Video Lagu Daerah Pada Media Sosial Youtube. Diponegoro Law Journal Volume 6. 2. Al Hariri, Rafik dan Sri Maharani. (2019). Perlindungan Hukum Bagi Pencipta yang Karya Videonya Diunggah Kembali (Reupload) di Youtube Secara Illegal Menurut Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Volume 1. 1. Maharani, Desak Komang Lina dan I Gusti Ngurah Parwata. Perlindungan Hak Cipta Terhadap Penggunaan Lagu Sebagai Suara Latar Video di Situs Youtube. Jurnal Ilmiah Perundang – Undangan Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Internet Larry Lessig, Introduction of Cyberspace, Cyberspace Law for Non – Lawyers, http://www.eff.org/legal/Cyberlaw_Course/Cyberlaw.001, diakses pada 15 Juli 2020 pukul 20.00 WITA. Hitwise, 2013, Survei Pengguna YouTube, http://www.hitwise.com/news/yt2012.html, diakses pada 15 Juli 2020 pukul 21.30 WITA. Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Pacta_sunt_servanda, diakses pada 20 Juli 2020 pukul 20.30 WITA. Youtube, https://www.youtube.com/howyoutubeworks/policies/copyright, pada 20 Juli 2020 pukul 21.00 WITA.
diakses
Youtube, Statistic, https://www.youtube.com/intl/id/about/press/, diakses pada 22 Juli 2020 pukul 19.00 WITA. Andika, Ferry. (2020, 23 Januari). Inilah Alasan Kenapa Channel YouTube Calon Sarjana Dimusnahkan!. 10 Juli 2020. INDOZONE. https://www.indozone.id/tech/RMsqWv/inilah-alasan-kenapa-channel-youtube-calon-sarjanadimusnahkan, diakses pada 15 Juli 2020 pukul 22.00 WITA.
Polemik Kebijakan Pengungkapan Data Pasien Covid-19 : Antara Hak Perlindungan Data Pasien Dan Upaya Percepatan Penanganan Pandemi Covid-19 Di Indonesia Oleh: Gusnidar Suryam dan Atiqah Fadhilah Zakaria Universitas Hasanuddin A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Saat ini dunia sedang berada dalam mode darurat terkait merebaknya Corona Virus Disease yang tersebar sejak tahun 2019 akhir atau yang saat ini disebut dengan Covid-19. Sejak bulan Maret 2020, organisasi kesehatan dunia atau WHO memberikan pernyataan bahwa saat ini Covid-19 adalah sebuah pandemi. Virus Covid-19 merupakan zoonosis, sehingga terdapat kemungkinkan virus berasal dari hewan dan ditularkan ke manusia. Pada Covid-19 belum diketahui dengan pasti proses penularan dari hewan ke manusia, tetapi data filogenetik memungkinkan Covid-19 juga merupakan zoonosis. Perkembangan data selanjutnya menunjukkan penularan antar manusia (human to human), yaitu diprediksi melalui droplet dan kontak dengan virus yang dikeluarkan dalam droplet. Hal ini sesuai dengan kejadian penularan kepada petugas kesehatan yang merawat pasien Covid-19, disertai bukti lain penularan di luar China dari seorang yang datang dari Kota Shanghai, China ke Jerman dan diiringi penemuan hasil positif pada orang yang ditemui dalam kantor.1 Covid-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 sejumlah dua kasus. Data 31 Maret 2020 menunjukkan kasus yang terkonfirmasi berjumlah 1.528 kasus dan 136 kasus kematian.10 Tingkat mortalitas Covid-19 di Indonesia sebesar 8,9%, angka ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.2 Sejauh ini, memang belum ada sains atau hasil penelitian ilmiah yang bisa memprediksi secara akurat kapan puncak pandemi Covid-19, yang kemudian bisa menganalisis tren penurunan dan penanda akhir dari pandemi. Karena itu, masyarakat harus terlibat dalam pencegahan melalui peningkatan solidaritas sosial dan kerja sama
Diah Handayani, et.al., ‘Penyakit Virus Corona 2019’, Jurnal Respirologi Indonesia, Vol. 40 No. 2, 2020, hal 122. 2 Adityo Susilo, et.al., ‘Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini’, Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, Vol 7 No.1, 2020, hal 46. 1
seperti gotong royong atau pun sabilulungan. Selain itu, negara pun, dalam hal ini pemerintah, memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu dalam penanganan Covid-19. Di antaranya keterbatasan sumber daya tenaga dan sarana kesehatan, dan juga keterbatasan sumber daya finasial. Kita tahu bahwa memilih kebijakan PSBB bukan karantina wilayah, selain pertimbangan filosofis dan politis seperti stabilitas keamanan dan pertahanan negara, juga karena pertimbangan kemampuan finansial. Jika PSBB hanya himbauan moral perlu adanya Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net), maka karantina wilayah menurut UU No, 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan ada himbauan normatif yang mewajibkan negara untuk menyediakan kebutuhan dasar manusia
selama
karantina
wilayah
diberlakukan,
termasuk
ternak-ternak
peliharaannya. Di atas semua itu, bentuk penanganan Covid-19 dalam masa ketidakpastian adalah pencegahan. Bentuk penanganan ini senantiasa melibatkan semua lapisan masyarakat. Dan, bentuk penanganan yang mengutamakan tindakan memutus mata rantai pergerakan penularan Covid-19.3 Di tengah pelaksanaan penanggulangan dan pencegahan wabah Covid-19 terdapat pro kontra berkenaan dengan pembukaan transparansi data pasien penderita Covid-19 menjadi polemic bagi pembuat kebijakan dan masyarakat . Bagi pihak yang mendukung keterbukaan data pribadi pasien penderita Covid-19 secara komprehensif beralasan bahwa Tindakan tersebut dapat membantu dalam mengantisipasi penularan secara terorganisasi. Namun penolakan juga datang dari kalangan yang kontra dengan upaya ini, dikarenakan hal tersebut berpotensi menimbulkan diskriminasi dan persekusi sepihak dari masyarakat terhadap pasien serta keluarga dan orang terdekat nya. Sebagaimana peristiwa yang terjadi pada pasien 01 dan 02 dimana data pribadi keduanya disebarkan oleh oknum tak bertanggungjawab meliputi domisili , foto ,anggota keluarga , pekerjaan hingga lokasi kerja yang bersangkutan. 4 Pasal 1 angka 22 UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, menyebut bahwa, “Data Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.”. Lanjut pada pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas Muslim Mufti, et.al., “Analisis Pengkuruan Tingkat Kepercayaan Publik Terhadap Pemerintah: Kekuatan Bagi Penanganan Covid-19 Berbasis Masyarakat”, Digital Library UIN Sunan Gunung Djati, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Juli 2020, hal. 3. 4 Rahandi Rizi, ‘Batasan Hukum Keterbukaan Data Medis Pasien Pengidap Covid-19: Perlindungan Privasi VS Transparansi Informasi Publik’, Law, Development & Justice Review Journal, Vol. 3 No. 1, 2020, hal. 145 3
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi (Pasal 1 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran), berdasarkan definisi ini maka pasien memiliki hubungan yang berkaitan erat dengan dokter. Hubungan antara dokter pasien, bila kita melihat hubungan ini dari perspektif kedokteran maka hubungan dokter pasien adalah hubungan medik, namun selain hubungan medik dalam hubungan dokter pasien juga dikenal hubungan hukum bila dilihat dari sudut pandang hukum. Hubungan-hubungan ini tidak jarang berbenturan, karena bila kita melihat dari hubungan hukum maka hak dan kewajiban yang akan mendominasi sedangkan bila dilihat dari hubungan medik maka peran dokter yang lebih dominan. Bila terjadi benturan antara dua macam hubungan ini maka akan terjadi masalah, maka dari itu penting untuk adanya pengaturan yang baik dalam hubungan dokter pasien, baik dari segi hukum maupun segi medik. Dalam hubungan ini baik dokter maupun pasien memiliki hak dan kewajiban masing-masing untuk mencapai hubungan yang harmonis maka perlu menyadari hak dan kewajiban masing-masing, sehingga dapat menghormati hak orang lain.5 Menurut Satijipto Raharjo, Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Berkaitan dengan hak pasien, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pasien dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.6 Perlindungan privasi berhubungan erat dengan pemenuhan hak data pribadi. Hubungan mengenai privasi dan perlindungan data pribadi ditegaskan oleh Allan Westin. Ia mendefinisikan privasi sebagai hak individu, grup atau lembaga untuk menentukan apakah informasi tentang mereka akan dikomunikasikan atau tidak kepada pihak lain. Definisi yang dikemukakan oleh Westin disebut dengan information privacy Valeri M.P. Siringoringo, et.al., ‘Pengaturan Perlindungan Hukum Hak-Hak Pasien Dalam Peraturan Perundang-undangan Tentang Kesehatan di Indonesia’, Diponegoro Law Journal , Vol. 6 No. 2, 201, hal. 2. 6 Ibid., 5
karena menyangkut informasi pribadi. Di bawah pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945, perlindungan data pribadi di Indonesia tersebar di berbagai undang-undang. Kemudian, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bentuk dari perlindungan privasi yang diamanatkan langsung oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia yang mengandung penghormatan atas nilai-nilai HAM dan nilai-nilai persamaan serta penghargaan atas hak perseorangan sehingga perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memberikan keamanan privasi dan data pribadi dan menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif.7
2. Rumusan Masalah 1. Apa dasar hukum hak perlindungan data diri pasien Covid-19? 2. Bagaimana hukum memandang kebijakan pengungkapan data pasien Covid-19 dari segi upaya percepatan penanganan pandemi Covid-19 ?
Sinta Dewi Rosadi, Garry Gumelar Pratama, ‘Perlindungan Privasi dan Data Pribadi Dalam Era Ekonomi Digital di Indonesia’, Veritas et justitia, Vol. 4 No. 1, 2018, hal 95. 7
B. Pembahasan 1.
Dasar Hukum Hak Perlindungan Data Diri Pasien Covid-19 Angka positif virus Covid-19 di Indonesia saat ini terus bertambah setiap harinya. Terhitung sejak pasien pertama dilaporkan di Indonesia pada awal Maret 2020 hingga saat ini Agustus 2020, pasien yang terdampak virus Covid-19 adalah sebanyak 120.000+ orang. 79.000+ diantaranya telah dinyatakan sembuh dan sekitar 5.600+ orang meninggal dunia. Dari ratusan ribu pasien di Indonesia yang terdampak virus Covid-19, semuanya memiliki hak yang sama sebagai pasien salah satunya hak perlindungan khususnya perlindungan data diri sebagai pasien.8 Privasi dan data pribadi menjadi sebuah hal yang penting karena pengguna dalam jaringan tidak akan melakukan sebuah transaksi digital apabila merasa keamanan akan privasi dan data pribadinya terancam. Salah satu perlindungan privasi dan data pribadi tersebut berkenaan bagaimana data pribadi tersebut akan diproses termasuk data sensitif dari pengguna yang apabila disebarkan ke pihak yang tidak bertanggung jawab akan berpotensi menimbulkan kerugian finansial, bahkan mengancam keamanan dan keselamatan pemiliknya.9 Sebagai sebuah hak yang melekat pada diri pribadi, perdebatan mengenai pentingnya
perlindungan
terhadap
hak
atas
privasi
seseorang
mula-mula
mengemukakan di dalam putusan-putusan pengadilan di Inggris dan kemudian di amerika serikat. Hingga kemudian Samuel Warren dan louis Brandeis menuliskan konsepsi hukum hak atas privasi dalam Harvard Law Review Vol. IV No. 5, 15 Desember 1890. Tulisan dengan judul dengan “The Right to Privacy” inilah yang pertama kali mengonseptualisasi hak atas privasi sebagai sebuah hak hukum. Tulisan ini sendiri muncul ketika koran-koran mulai mencetak gambar orang untuk pertama kalinya. Dalam tulisan tersebut Warren dan Brandeis secara sederhana mendefinisikan hak atas privasi sebagai “hak untuk dibiarkan sendiri” (the right to be let alone). Definisi mereka didasarkan pada dua asas: (i) kehormatan pribadi; dan (ii) nilai-nilai seperti martabat individu, otonomi dan kemandirian pribadi. Gagasan ini kemudian mendapatkan justifikasi dan pengakuan dengan adanya beberapa gugatan hukum yang
8
https://palu.tribunnews.com/2020/08/10/update-virus-corona-di-indonesia-per-senin-10-agustus-2020-kasuspositif-bertambah-1687-orang (Koran Online) 9 Sinta Dewi Rosadi, Gerry Gumelar Pratama, Op.cit., hal. 89
kemudian memberikan pembenaran tentang perlunya perlindungan hak atas privasi, terutama dengan sandaran alasan moralitas.10 Perlindungan data sendiri secara umum pengertiannya mengacu pada praktik, perlindungan, dan aturan mengikat yang diberlakukan untuk melindungi informasi pribadi dan memastikan bahwa subjek data tetap mengendalikan
informasinya.
Singkatnya, pemilik data harus dapat memutuskan apakah ingin membagikan beberapa informasi atau tidak, siapa yang memiliki akses, untuk berapa lama, untuk alasan apa, dan dapat memodifikasi beberapa informasi ini, dll. Sedangkan data pribadi jika mengacu pada EU GDPR (General Data Protection Regulation) adalah: “Setiap informasi terkait seseorang (‘subjek data’) yang dapat mengenali atau dapat dikenali; mengenali secara langsung atau tidak lansung seseorang tersebut, terutama dengan merujuk pada sebuah tanda pengenal seperti nama, nomor identitas, data lokasi, data pengenal daring atau pada satu faktor atau lebih tentang identitas fisik, psikologis, genetik, mental, ekonomi, atau sosial orang tersebut”. Data pribadi umumnya dibedakan menjadi dua kategori: Data Pribadi Bersifat Umum, seperti: Nama, Alamat, Alamat e‐mail, Data lokasi, IP address, web cookie; dan Data Pribadi Spesifik (Sensitif), seperti: ras, etnis, agama, pandangan politik, orientasi seksual, genetik, biometrik, kondisi mental dan kejiwaan, catatan kriminal.11 Salah satu lingkungan yang sangat menjunjung hak perlindungan data diri yaitu dunia medis. Sebagaimana yang dikemukakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, salah satu fungsi rumah sakit adalah menyelenggarakan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit. Setiap tindakan medis yang akan diberikan kepada pasien haruslah mendapat ijin dan persetujuan, baik tertulis maupun tidak tertulis. Kegiatan pencatatan, perekaman yang kemudian di dokumentasikan dalam satu file khusus merupakan bentuk fisik dari bukti yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum apabila terjadi masalah dikemudian hari terkait ketidaksesuaian yang dialami oleh pasien. Ragam bentuk catatan tindakan medis yang dilakukan dalam pelayanan kesehatan itulah yang disebut dengan rekam medis.12
Wahyudi Djafar, Makalah: “Hukum Perlindungan Data Pribadi di Indonesia: Lanskap, Urgensi dan Kebutuhan Pembaruan”, Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 26 Agustus 2019, hal. 2-3. 11 Ibid., hlm. 5 12 Indah Susilowati, et.al., ‘Perlindungan Hukum Terhadap Hak Privasi dan Data Medis Pasien di Rumah Sakit X Surabaya’, Jurnal Wiyata , Vol. 5 No. 1, 2018, hal. 11 10
Rekam medis diisi oleh tenaga kesehatan yang melakukan perawatan serta tindakan medis terhadap pasien sesegera mungkin agar tidak menjadi lupa, dan sesuai dengan keadaan pasien yang sebenarnya. Isi dalam rekam medis adalah milik pasien dan merupakan rahasia yang harus dijaga. Semua petugas kesehatan wajib menyimpan rahasia kedokteran, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Permenkes Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran pada Pasal 4 disebutkan bahwa semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kedokteran dan/atau menggunakan data dan informasi tentang pasien wajib menyimpan rahasia kedokteran. Jaminan terhadap kepastian hukum dalam memberikan perlindungan kepada pasien dapat mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Fakta yang terjadi, seringkali data pasien satu dengan lainnya terbuka kerahasiaannya baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, misalnya saat pasien diperiksa, riwayat kesehatan pasien yang diungkapkan oleh dokter maupun tenaga kesehatan yang mendampingi, terdengar oleh pasien lain ataupun keluarga yang tidak berhak mengetahuinya, terutama saat bersamasama menunggu giliran untuk pemeriksaan dokter karena tempatnya yang sangat berdekatan.13 Pada dasarnya, dokter merupakan salah satu profesi yang memiliki tanggung jawab serta etika dalam melayani masyarakat. Dalam hal ini, seorang dokter wajib untuk merahasiakan segala bentuk hal mengenai pasiennya. Pengaturan ini terdapat di Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), tepatnya pada pasal 16 tentang Rahasia Jabatan, yaitu “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.”. Adapun cakupan pasal tersebut ialah : 1) Seorang dokter wajib merahasiakan apa yang dia ketahui tentang pasien yang ia peroleh dari diri pasien tersebut dari suatu hubungan dokter-pasien sesuai ketentuan perundang-undangan. 2) Seorang dokter tidak boleh memberikan pernyataaan tentang diagnosis dan/atau pengobatan yang terkait diagnosis pasien kepada pihak ketiga atau kepada masyarakat luas tanpa persetujuan pasien. 3) Seorang dokter tidak boleh menggunakan rahasia pasiennya untuk merugikan pasien, keluarga atau kerabat dekatnya dengan membukanya kepada pihak ketiga atau yang tidak berkaitan.
13
Ibid., hal. 12
4) Dalam hal terdapat dilema moral atau etis akan dibuka atau dipertahankannya rahasia pasien, setiap dokter wajib berkonsultasi dengan mitra bestari dan/atau organisasi profesinya terhadap pilihan keputusan etis yang akan diambilnya. 5) Setiap dokter wajib hati-hati dan mempertimbangkan implikasi sosial-ekonomibudaya dan legal terkait dengan pembukaan rahasia pasiennya yang diduga/mengalami gangguan jiwa,penyakit infeksi menular seksual dan penyakit lain yang menimbulkan stigmatisasi masyarakat. 6) Setiap
dokter
pemeriksa
kesehatan
untuk
kepentingan
hukum
dan
kemasyarakatan wajib menyampaikan hasil pemeriksaaan kepada pihak berwewenang yang memintanya secara tertulis sesuai ketentuan perundangundangan. 7) Seorang dokter dapat membuka rahasia medis seorang pasien untuk kepentingan pengobatan pasien tersebut, perintah undang-undang, permintaan pengadilan, untuk melindungi keselamatan dan kehidupan masyarakat setelah berkonsultasi dengan organisasi profesi, sepengetahuan/ijin pasien dan dalam dugaan perkara hukum pihak pasien telah secara sukarela menjelaskan sendiri diagnosis/pengobatan penyakitnya di media massa/elektronik/internet. 8) Seorang dokter wajib menyadari bahwa membuka rahasia jabatan dokter dapat membawa konsekuensi etik, disiplin dan hukum.14 Penjelasan pasalnya yaitu, “Dokter wajib menjaga kerahasiaan yang terbit dari hubungan dokter-pasiennya karena hal itu komponen fundamental dan keberadaan pasien. Kewajiban ini dilakukan dalam rangka melindungi hak-hak asasi pasien sebagai individu bermartabat. Hal ini cerminan dari aliran mutlak (absolut) dalam kewajiban simpan rahasia kedokteran. Namun dalam kehidupan supermodern saat ini terdapat juga aliran relatif..”15 Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 36 tahun 2012 merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 48 ayat 1 UU No. 29 tahun 2004. Permenkes ini mengatur mengenai rahasia kedokteran. a. Ruang lingkup Rahasia Kedokteran Rahasia Kedokteran adalah data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang diperoleh tenaga kesehatan pada waktu menjalankan pekerjaan atau profesinya pengertian ini diatur
14 15
Kode Etik Kedokteran Indonesia, Pasal 16: Rahasia Jabatan Ibid.,
dalam Pasal 1 angka 1, yang kemudian diatur dalam Pasal 3 ayat (1) mengenai ruang lingkupnya, yang menyatakan bahwa: Rahasia kedokteran mencakup data dan informasi mengenai: a) Identitas pasien; b) Kesehatan pasien meliputi hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penegakan diagnosis, pengobatan dan/atau tindakan kedokteran; dan c) Hal lain yang berkenaan dengan pasien. b. Kewajiban Menyimpan Rahasia Kedokteran Dalam permenkes ini diatur pihak mana sajakah yang mempunyai kewajiban untuk menyimpan rahsia kedokteran, hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa : Semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kedokteran dan/atau menggunakan data dan informasi tentang pasien wajib menyimpan rahasia kedokteran, pihak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi : dokter dan dokter gigi serta tenaga kesehatan lain yang memiliki akses terhadap data dan informasi kesehatan pasien, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan, tenaga yang berkaitan dengan pembiayaan pelayanan kesehatan, tenaga lainnya yang memiliki akses terhadap data dan informasi kesehatan pasien di fasilitas pelayanan kesehatan, badan hukum/korporasi dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan dan mahasiswa/ siswa yang bertugas dalam pemeriksaan pengobatan, perawatan, dan/atau manajemen informasi di fasilitas pelayanan kesehatan Mengenai jangka waktu mengenai kewajiban menyimpan rahasi kedokteran diatur di dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa: Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran berlaku selamanya, walaupun pasien telah meninggal dunia.16 Selain aturan tersebut, masih banyak lagi aturan-aturan lain yang memuat mengenai hak tiap pasien untuk mendaptkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita berserta data-data medisnya, seperti pada UU 44/2009, UU 36/2009, juga UU 14/2008. Pasal 32 huruf (i) Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit mengemukakan bahwa, “i. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang
16
Valeri M.P Siringoringo, et.al., Op.cit., hal. 9-10
diderita termasuk data-data medisnya.”. Juga pada pasal 38 ayat (1) diterangkan bahwa, “Setiap Rumah Sakit harus menyimpan rahasia kedokteran.”. Pasal 57 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan diatur bahwa: (1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan (2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal: a) Perintah undang-undang b) Perintah pengadilan c) Izin yang bersangkutan d) Kepentingan masyarakat; atau e) Kepentingan orang tersebut Pada pasal 17 huruf h angka (2) Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengenai informasi yang dikecualikan, tertera bahwa riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang; termasuk dalam informasi yang dikecualikan apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik karena dapat mengungkap rahasia pribadi. Disamping itu, rumah sakit dapat menolak mengungkapkan segala informasi pasien kepada publik yang berkaitan dengan rahasia kedokteran. 17 Hak-hak pasien ini juga berlaku bagi pasien Covid-19 tanpa adanya perbedaan, karena disaat bersamaan terbukanya informasi mengenai pasien ini dapat menjadi penyebab timbulnya diskriminasi dan pengucilan sosial kepada pasien oleh sejumlah kelompok. Oleh karena itu, sesuai pada pasal 29 ayat (1) huruf m UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit bahwa, “Setiap rumah sakit berkewajiban : m. Menghormati dan melindungi hak-hak pasien;”. Jika pihak rumah sakit tidak melindungi identitas pasiennya yang positif terdampak Covid-19 dimana dalam hal ini merupakan kewajibannya, maka rumah sakit dapat dikenai sanksi berupa sanksi administratif sesuai pada pasal 29 ayat (2) UU No. 44 Tahun 2009 tersebut.18
Istiana Heriani, ‘Hak Atas Informasi Publik Dan Hak Atas Rahasia Medis: Problem Hak Asasi Manusia Dalam Pelayanan Kesehatan’, Jurnal Hukum Samudra Keadilan.,Vol. 13 No.1. Januari-Juni 2018, hal 71. 18 Ibid,. 17
Lahirnya Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik adalah wujud reformasi penyelenggaraan pemerintahan yang perlu disambut dengan optimisme masyarakat akan itikad baik pemerintah untuk menegaskan adanya jaminan transparansi informasi publik.19 Bagi badan publik yang melanggar aturan terkait penyebaran data diri seseorang maka berlaku pasal 54 ayat (1) UU Keterbukaan Informasi Pribadi tersebut yaitu, “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam pasal 17 huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Sampai saat ini semenjak bulan Maret 2020, dilaporkan bahwa total jumlah kasus infeksi virus corona di Indonesia hingga pada Kamis 30 Juli 2020, secara nasional kasus dikonfirmasi sebanyak 106.336 (+ 1.904) kasus, 64.292 (+ 2.154) diantaranya sembuh dan 5.058 (+ 83) orang meninggal dunia, 53.723 Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan 30.046 Pasien Dalam Pengawasan (PDP), menurut laporan data dari Percepatan Penanganan Covid-19 melalui laman resmi sosial media BNPB Indonesia20.
2.
Kebijakan Pengungkapan Data Pasien Covid-19 Dari Segi Upaya Percepatan Penanganan Pandemi Covid-19 Setiap pasien berhak untuk mendapatkan perlindungan khususnya perlindungan untuk data dirinya sebagai pasien agar tidak disebarluaskan. Namun pada masa pandemi Covid-19 saat ini hak itu kemudian menuai kontroversi dari berbagai pihak terkait kepentingan siapakah yang harus diutamakan apakah pasien ataukah khalayak umum. Jika menelisik tindakan pemerintah pada awal munculnya pasien positif Covid19 tepatnya di Depok, pemerintah setempat ‘dikabarkan’ menyebarluaskan alamat dari pasien tersebut dimana alamat tersebut termasuk data privasi yang wajib dilindungi dalam hukum. Hal itu kemudian mengundang kritikan di media sosial dikarenakan hal
Sitta Saraya, ‘Tindak Pidana Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia, Sebuah Kajian Perbandingan Sistem Pemidanaan di Negara Asing Thailand dan Jepang’, Jurnal Ius Constituendum , Vol. 4 No.2, 2019, hal. 131. 20 https://konfirmasitimes.com/2020/07/30/update-virus-corona-30juliindonesia/ (Koran Online) 19
tersebut berpotensi menimbulkan diskriminasi dan persekusi sepihak dari masyarakat terhadap pasien serta keluarga dan orang terdekat nya. 21 Setelah menuai kritik karena dianggap menyebarkan data pribadi dalam hal ini alamat, beberapa waktu kemudian pemerintah pusat menekankan untuk tidak menyebarluaskan data pribadi pasien Covid-19. Namun pada bulan Maret 2020, terdapat warga negara yang malah mengajukan permohonan uji materi sejumlah Undang-Undang yang berkaitan dengan kerahasiaan data pasien coronavirus disease (Covid-19) ke Mahkamah Konstitusi. Pihak pemohon tersebut menyuarakan kepada pemerintah untuk membuka informasi pasien atau suspect Covid-19. Hal ini bertujuan untuk mengurangi potensi penyebaran Covid-19 jika publik sejak awal mengetahui informasi pasien atau suspect Covid-19. 22 Mengenai kapan data pribadi dalam hal ini pasien dapat dibuka atau disebarkan diatur dalam : Pasal 57 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, berbunyi : “Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundangundangan.”
Pasal 48 ayat 2 UU No. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, berbunyi: “Rahasia kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan, pemenuhan permintaan aparatur penegak hukum bagi kepentingan penegakan hukum, permintaan Penerima Pelayanan Kesehatan sendiri, atau pemenuhan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.” Pasal 73 ayat 2 UU 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, berbunyi: “Rahasia kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan, pemenuhan permintaan aparatur penegak hukum bagai kepentingan penegakan hukum,
21
Rahandi Rizi, Op.cit., hal. 145 https://www.jawapos.com/nasional/25/03/2020/data-pasien-korona-ditutupi-advokat-ajukan-uji-materi-ke-mk/ (koran online) 22
permintaan Penerima Pelayanan Kesehatan sendiri, atau pemenuhan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.” Pasal 38 ayat 2 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, berbunyi: “Rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dibuka untuk kepentingan kesehatan pasien, untuk pemenuhan permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, atas persetujuan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan dasar hukum diatas pada intinya data pasien atau rahasia medis dapat dibuka hanya jika untuk kepentingan kesehatan pasien, berdasarkan undang-undang atau berdasarkan permintaan aparatur penegak hukum. Jika menelisik aturan yang kurang lebih mengatur perlindungan kerahasiaan medis ini, dapat ditemukan masih ada beberapa celah yang kemudian membuka peluang untuk dibukanya rahasia medis pasien dalam hal ini identitas pasien, antara lain : 1). Disharmonisasi ketentuan Pasal 57 ayat (1) dengan Pasal 52 UU Kesehatan. Dalam ketentuan Pasal 57 ayat (2) dinyatakan bahwa sifat kerahasiaan data pribadi ini tidak berlaku terhadap sejumlah hal diantaranya: perintah Undang-Undang, perintah pengadilan , izin yang bersangkutan, kepentingan masyarakat; dan kepentingan orang tersebut. Benturan norma dalam Undang-Undang Kesehatan ini bisa dijadikan celah hukum bagi pihak yang menginginkan pembukaan informasi pasien Covid-19 ke publik dengan dalih argument yang menyatakan bahwa pandemi Covid-19 sudah mengancam kepentingan masyarakat, mengancam kesehatan masyarakat, dan penularannya sudah sedemikian mengkhawatirkan. 23 2). Dihapusnya Delik Pidana Dalam UU Praktek Kedokteran oleh Putusan MK Penghapusan delik pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 79 C UU Praktek Kedokteran terhadap Dokter yang tidak menjalankan kewajiban. Pasal 51 c terdapat kewajiban dokter untuk merahasiakan informasi mengenai Kesehatan pasien hingga si pasien meninggal. Dengan adanya penghapusan kebijakan kriminalisasi terhadap dokter , bilamana terjadi kelalaian pembukaan rekam medik oleh oknum dokter selaku penyelenggara jasa Kesehatan akan menimbulkan kesulitan dalam melakukan
23
Rahandi Rizi, Op.Cit.,hal. 161
penindakan, karena basis hukum yang bersifat lex specialis telah dicabut. Dengan tidak adanya memiliki aturan yang bersifat spesifik dan jelas, potensi penyalahgunaan transfer informasi data rekam medis menjadi tidak terkendali dan meningkatkan kemungkinan kebocoran informasi serta aksesibilitas orang yang tidak berwenang24 Perlu ditekankan Indonesia telah memasuki fase berbahaya dengan corona bulan Agustus 2020 angka psoitif Covid-19 telah mencapai 120.000+, pemerintah membutuhkan kebijakan yang tepat dalam merespon bahaya tersebut dan kebijakan ini menjadi alternatif yang dapat dipertimbangkan. Hal ini kemudian menjadi alasan piihak pro terkait urgensinya data diri pasien Covid-19 dibuka. Diatas semua itu, mereka beranggapan bahwa selain hak perlindungan data diri pasien, negara juga harusnya mempertimbangkan hak masyarakat yang nonreaktif agar dapat merasa aman dan dapat mencegah diri mereka untuk tidak menjadi sasaran penyebaran. Namun pertanyaan apakah pandemi Covid-19 saat ini dapat dimasukkan kedalam prasyarat data diri pasien dapat di buka, maka jawabannya tegas dari pemerintah adalah tidak. Pemerintah Indonesia hingga Juli 2020 tidak memperkenankan untuk membuka data diri pasien Covid-19 hal ini telah diatur secara spesifik dalam Surat Edaran Nomor: 2 Tahun 2020 tentang Pelayanan Informasi Publik Dalam Masa Darurat Kesehatan Masyarakat akibat Covid-19. Surat Edaran ini mengatur Batasan data yang boleh layanan informasi terkait Covid-19 yang meliputi : jenis penyakit, persebaran, area episentrum, serta pencegahan nya. Penyampaian informasi dilakukan secara ketat dan terbatas dengan tetap melindungi data pribadi Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Pasien Positif dan orang yang dinyatakan sembuh. 25
C. Penutup 1. Kesimpulan Kebijakan untuk membuka data diri pasien Covid-19 mengundang pro kontra dari berbagai kalangan. Dari kalangan pro menyatakan dengan tegas bahwa setiap pasien memiliki hak untuk perlindungan data diri sebagai pasien sebagai rahasia medis diatur dalam hukum kesehatan mulai dari UU Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit kemudian Permenkes Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
Mohammad Hossein Yarmohammadiana et al. ‘Medical record information disclosure laws and policies among selected countries; a comparative study’. Journal of Research in Medical Science May-Jun; Vol.15 No. 3, 2010, hal. 141 25 Rahandi Rizi, Op.Cit.,hal. 159-160 24
2012 Tentang Rahasia Kedokteran, dan kemudian diperjelas lagi dalam UndangUndang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik bahwa data diri pasien merupakan informasi yang dikecualikan untuk dibuka ke publik. Meskipun demikian,
pandemi
Covid-19
menimbulkan
dilema
mengingat
angka
penyebarannya hingga Agustus 2020 terus meningkat dan telah mencapai 120.000+ sehingga mendorong pemerintah untuk lebih responsif sebagai langkah untuk mencegah penyebarannya, salah satu kebijakan yang didesak oleh beberapa pihak yaitu permintaan untuk dibukanya data diri pasien positif Covid-19 yang bertujuan untuk mengurangi potensi penyebaran Covid-19 jika publik sejak awal mengetahui informasi pasien atau suspect Covid-19. Namun pemerintah telah menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia tidak memperkenankan untuk membuka data diri pasien Covid-19 hal ini telah diatur secara spesifik dalam Surat Edaran Nomor: 2 Tahun 2020 tentang Pelayanan Informasi Publik Dalam Masa Darurat Kesehatan Masyarakat akibat Covid-19. Surat Edaran ini mengatur Batasan data yang boleh layanan informasi terkait Covid-19 yang meliputi : jenis penyakit, persebaran, area episentrum, serta pencegahan nya. Penyampaian informasi dilakukan secara ketat dan terbatas dengan tetap melindungi data pribadi Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Pasien Positif dan orang yang dinyatakan sembuh. Walaupun telah dipertegas, peraturan terkait kerahasiaan medis tersebut belum optimal karena masih memberikan celah. Hal ini disebabkan adanya pertentangan norma dalam UU Kesehatan antara Pasal 71 dan Pasal 72 yang menimbulkan ketidakpastian secara hukum dan dihapuskan nya sanksi pidana bagi oknum dokter yang melakukan pelanggaran atas hak rekam medis.
2. Saran Pemerintah Indonesia telah menegaskan bahwa membuka data diri pasien bertentangan dengan hukum khususnya pada dunia medis. Namun dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini memang dibutuhkan beberapa langkah yang lebih responsif dan strategis sehingga wajar saja jika beberapa pihak menganggap membuka data diri pasien Covid-19 ini dapat menjadi solusi. Dalam hal ini sebaiknya pemerintah harus memperhatikan kembali pertentangan norma dalam UU kesehatan agar tercapai kepastian hukum tentang pelanggaran atas hak rekam medis. Selain itu Rancangan Undang-Undang tentang perlindungan data Pribadi
seyogyanya lekas disahkan agar Indonesia mempunyai regulasi payung utama yang digunakan sebagai jembatan untuk menangani pengaturan parsial data pribadi yang tersebar dalam sejumlah regulasi.
D. Daftar Pustaka
Handayani, Diah, et.al.. (2020). Penyakit Virus Corona 2019. Jurnal Respirologi Indonesia Volume 40. 2. Istiana Heriani. 2018. Hak Atas Informasi Publik Dan Hak Atas Rahasia Medis: Problem Hak Asasi Manusia Dalam Pelayanan Kesehatan. Jurnal Hukum Samudra Keadilan.Volume 13 No.1. Kode Etik Kedokteran Indonesia Koran Online. 10 Agustus 2020.https://palu.tribunnews.com/2020/08/10/updatevirus-corona-di-indonesia-per-senin-10-agustus-2020-kasus-positif-bertambah-1687orang. Koran Online. 25 Maret 2020. https://www.jawapos.com/nasional/25/03/2020/datapasien-korona-ditutupi-advokat-ajukan-uji-materi-ke-mk/ Koran Online. 30 Juli 2020. https://konfirmasitimes.com/2020/07/30/update-viruscorona-30juliindonesia/. Mohammad Hossein Yarmohammadiana , Ahmad Reza Raeisi*b, Nahid Tavakolic, Leila Ghaderi Nansad. 2010. Medical record information disclosure laws and policies among selected countries; a comparative study. Journal of Research in Medical Science. Volume 15 No. (3): Mufti Muslim, et.al.. 2020. Analisis Pengukuran Tingkat Kepercayaan Publik Terhadap Pemerintah: Kekuatan Bagi Penanganan Covid-19 Berbasis Masyarakat. Digital Library UIN Sunan Gunung Djati. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Bandung. Rahandi Rizi. 2020. Batasan Hukum Keterbukaan Data Medis Pasien Pengidap Covid-19: Perlindungan Privasi VS Transparansi Informasi Publik. Law, Development & Justice Review Journa. Volume 3.1. Rosadi, Sinta dewi dan Garry Gumelar Pratama. (2018). Perlindungan Privasi dan Data Pribadi Dalam Era Ekonomi Digital di Indonesia. Veritas et justitia Volume 4. 1. Saraya, Sitta. (2019). Tindak Pidana Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia, Sebuah Kajian Perbandingan Sistem Pemidanaan di Negara Asing Thailand dan Jepang. Jurnal Ius Constituendum Volume 4. 2.
Siringoringo, Valeri M.P., et.al.. (2017). Pengaturan Perlindungan Hukum Hak-Hak Pasien Dalam Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kesehatan di Indonesia. Diponegoro Law Journal Volume 6. 2. Susilo, Adityo, et.al.. (2020). Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia Volume 7. 1. Susilowati, Indah, et.al.. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Privasi dan Data Medis Pasien di Rumah Sakit X Surabaya. Jurnal Wiyata Volume 5. 1. Wahyudi Djafar. 2019. Hukum Perlindungan Data Pribadi di Indonesia: Lanskap, Urgensi dan Kebutuhan Pembaruan. Makalah. Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.