LOCAL CHAPTER LEGAL WRITINGS
alsa-indonesia.org
ALSA Indonesia "PROGRESSIVE EFFORTS OF LAW ENFORCEMENT CONCEPTION AS A CATALIZATOR TOWARD ILLEGAL MINERALS AND COAL"
Written by: Arian Nathan Parheheon Local Chapter University of Jenderal Soedirman
Mineral resources are a natural wealth owned by the Unitary State of the Republic of Indonesia, even the related sectors make a big contribution to national scale economic development. The Constitution of the Republic of Indonesia gives the people the mandate and power to manage the natural sector for the greatest prosperity of the people, this can be seen from Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution which reads as follows: "Earth and water and natural resources contained therein. controlled by the state and used for the greatest prosperity of the people. This means that the right to control the state is an instrument while the greatest prosperity of the people is the ultimate goal of natural wealth management.1 Indonesia is a country that prioritizes the spirit and the ultimate ideals of a welfare state, which is something that must be realized by the state and the Indonesian government. One of the instruments to achieve this is through natural resource management.2
Mining is an important sector as a supplier of state revenue, and it should be noted that there are many mining points in Indonesia itself. This is a special concern for law enforcement officials to take action against perpetrators who mine those not following applicable regulations. Law Number 3 of 2020 concerning Mineral and Coal Mining (“MINERBA Law”) defines mining as follows: “Mining is part or all of the stages of activity in the context of mineral or coal management and exploitation which include general investigations, exploration, feasibility
1
Adrian Sutedi, 2012, Mining Law, Sinar Grafika, Jakarta, p. 24. Otong Risadi, 2012, Mining and Forestry in the Perspective of the Ideals of Pancasila Law and National Justice Dialectics, Thafa Media, Yogyakarta, p. 7. 2
studies, construction, mining, processing and/or refining or development and/or utilization, transportation and sales, as well as post-mining. " However, it is very dilemmatic that the small miners in Indonesia are small people, which is their main source of livelihood, but on the other hand, the state is considered not to provide prosperity to its people to manage natural or mineral resources. However, following the constitutional mandate contained in Article 1 paragraph (3) of the 1945 Constitution which states as follows: "The State of Indonesia is the State of Law", it is clear that the apparatus acts based on the applicable law and cannot arbitrarily. Mining permits in Indonesia have been regulated in Article 35 of the MINERBA Law, then article 158 of the MINERBA Law has provided fines to miners who do not have a permit which reads as follows: "Anyone who carries out mining without a permit as referred to in article 35 shall be sentenced to imprisonment at the longest. 5 (five) years and a maximum fine of Rp. 100,000,000,000.00 (one hundred billion rupiah). Then the question becomes, are illegal miners, who are in the category of poor people, forced to pay such fines? This is of course a problem in the field.
The imposition of criminal law in mining practices has been found in various decisions, namely the case of coal mining without a permit at Kutai Kartanegara (Decision of the District Court of Tanggerang Number: 357 / Pid.B / LH / 2019 / PN.Trg and the second is the case of coal mining without permission in Samarinta (Samarinda District Court Decision Number: 312 / Pid.Sus / 2019 / Pn.Smr, who sentenced article 158 of the Minerba Law as a representative of the enforcement of criminal law on coal mining without a permit. In that case, enforcement of the criminal law was realized through Imposing punishment with aspects that must be fulfilled, namely juridical, philosophical, psychological, sociological, and educational pedagogical aspects.3 The purpose of punishment must be determined in the formulation stage Arrangement of the appropriate form and type of sanction must be based on the stated objectives of punishment in law The purpose of punishment needs to be formulated in the formation of laws so as not to raises inconsistencies in imposing crimes at the application stage by law enforcement agencies4so that the law itself is clear and easily understood by the public and law enforcers must be just law 3
Legal considerations with the Tulungagung District Court Decision Number: 62 / Pid.Sus / 2014 / PN / Ta Marcus, "Criminal Attitude which is oriented towards the Purpose of Criminalization", Journal of Mimbar Hukum 21, No.1 (2009): 93-107 4
enforcers in the sense that they still see the values that exist in society so that this becomes a mutual reflection in building future laws to be better.
BIBLIOGRAPHY Regulation
The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia Article 33 paragraph (3)
Indonesian government. 2020. Law No. 3 of 2020 concerning amendments to Law Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining. Republic of Indonesia State Gazette of 2020, No. 147. State Secretariat. Jakarta
Journal and Article Surya, A. (2019). Law Enforcement Against Unlicensed Excavated C Mining in Bener Meriah Regency. RESAM Legal Journal.
Primary. W. N & Ismunarno. Criminal Liability for Mining Actors Without a Community Mining Permit (IPR) Based on Law Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining
Sembiring.RNS, DKK. Criminal Law Enforcement Against Coal Mining Without Permits in East Kalimantan Related to Criminal Purposes. Kertha Semaya Journal
Wijaya, T. (2020). "Killed Breath", Grief due to Illegal Coal Mining in Muara Enim ". Retrieved 11 February 2020, From https://www.mongabay.co.id/2020/10/24/napas-yang-terb Killkesedihan-akibat-tambang-batubara-ilegal-di-muara-enim/
Hanafiah, J. (2020). "When will the Illegal Gold Mining in West Aceh be Ordered?". Retrieved 11 February 2020, from https://www.mongabay.co.id/2020/09/15/kapan-tambang-emasilegal-di-aceh-barat-ditertibkan/
Assifa, F. (2020). "Illegal Plantation and Mining 17 Million Hectares, Dedi Mulyadi: The Country Has
Lost
Two
Times".
Retrived
11
February
2020,
From
https://regional.kompas.com/read/2021/01/19/09161441/kebun-dan-tambang-ilegal-17juta-hectare-dedi-mulyadi-negara-rugi-dua-kali
PELANGGARAN ETIKA BISNIS PADA BANK LIPPO
Disusun oleh: Alumni Relation Division
Eldifa Maurine Tiara Athaya Shafira Jasmine Allifya Utari Gibran Radiansyach Raynaldi Sianturi
I.
PENDAHULUAN
Terjadinya globalisasi ekonomi dengan terbukanya pasar nasional menumbuhkan minat untuk melakukan kegiatan bisnis. Kegiatan bisnis ini akan memicu terjadinya persaingan yang sangat ketat dan dapat menyebabkan pelaku bisnis menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Tina Dacin : (2011 : 1) mengatakan bahwa penipuan tetap merupakan masalah yang sulit dipecahkan dan mahal dalam organisasi saat ini. Dalam bisnis aspek hukum pun sangat mempengaruhi terwujudnya persaingan yang sehat, dengan kata lain berbagai permasalahan yang terjadi pada dunia bisnis yang di akibatkan dengan “curangnya” pelaku bisnis dikarenakan etika bisnis dan peranan hukum belum berjalan sebagai semestinya. Melihat kasus PT Bank Lippo Tbk yang berawal dari laporan keuangan Triwulan III tahun 2002 yang dikeluarkan tanggal 30 september 2002 oleh PT. Bank Lippo Tbk, yaitu terjadi perbedaan informasi atas laporan keuangan yag disampaikan kepublik melalui iklan di sebuah surat kabar nasional pada tanggal 28 November 2002 dengan laporan keuangan yang disampaikan ke Bursa Efek Jakarta (BEJ). Dalam laporan tersebut dimuat adanya pernyataan manajemen PT. Bank Lippo Tbk bahwa Laporan Keuangan tersebut disusun berdasarkan Laporan Keuangan Konsolidasi yang telah diaudit oleh KAP Prasetio, Sarwoko, Sandjaja (penanggung jawab Drs. Ruchjat Kosasih) dengan Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian. Pada Laporan Keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 –tanggal yang sama- yang disampaikan ke Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada tanggal 27 Desember 2002, ternyata disampaikan laporan yang berbeda. Laporan itu mencantumkan Pernyataan manajemen PT. Bank Lippo Tbk bahwa Laporan Keuangan yang disampaikan adalah Laporan Keuangan “audited” yang tidak disertai dengan laporan auditor independen yang berisi opini Akuntan Publik.
II.
PEMBAHASAN
Pada kasus PT. Lippo Bank Tbk tersebut mengandung 3 (tiga) unsur dari pasal 93 Undang-Undang Pasar Modal. Pertama, tindakan tersebut mempengaruhi harga Efek di Bursa Efek.dilihat dari fakta menunjukan bahwa tindakan PT. Bank Lippo Tbk dengan memberikan informasi yang menyesatkan pada laporan keuangan per 30 September 2002 telah menimbulkan ketidakpastian di masyarakat sehingga mempengaruhi harga Efek di Bursa. Saham PT. Lippo Bank Tbk pun mengalami fluktuasi yang tajam disebabkan oleh missleading information tersebut. Dan akibat laporan keuangan yang diterbitkan tersebut menggerakkan harga bahkan tidak semata-mata berdampak pada saham PT Bank Lippo, tbk semata, tetapi juga bursa efek secara keseluruhan. Dalam kasus tersebut ditemukan fakta sebagai berikut bahwa dalam Laporan Keuangan per 30 September 2002 yang diiklankan di media massa pada tanggal 28 November 2002, Manajemen PT. Bank Lippo Tbk menyatakan bahwa Laporan Keuangan tersebut disusun berdasarkan Laporan Keuangan Konsolidasi yang telah diaudit oleh KAP Prasetyo, Sarwoko dan Sandjaja dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian. Akan tetapi, Hasil pemeriksaan Bapepam menunjukan bahwa laporan keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 yang diiklankan pada tanggal 28 November 2002 adalah laporan keuangan yang tidak diaudit meskipun angka-angkanya sama seperti yang tercantum dalam Laporan Auditor Independen. Hal ini menunjukan bahwa pernyataan atau keterangan yang diberikan oleh pihak manajemen PT. Bank Lippo Tbk dalam laporan tersebut secara material tidak benar atau menyesatkan yang mana dalam hal ini melanggar pasal 93 UU pasar modal bahwa : “Setiap Pihak dilarang, dengan cara apa pun, membuat pernyataan atau memberikan keterangan yang secara material tidak benar atau menyesatkan sehingga mempengaruhi harga Efek di Bursa Efek” dan pihak yang
bersangkutan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa pernyataan atau keterangan tersebut secara material tidak benar atau menyesatkan atau tidak cukup berhati-hati dalam menentukan kebenaran material dari pernyataan atau keterangan tersebut. Pencantuman kata “audited” pada Laporan Keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 membawa implikasi pada perhitungan akun-akun didalamnya yang terlihat baik namun sesungguhnya bukan keadaan yang sebenarnya. Laporan keuangan yang disampaikan ke publik tanggal 28 November 2002 mencatat total aktiva per 30 September 2002 sebesar Rp. 24,185 triliun, laba tahun berjalan sebesar Rp. 98,77 miliar dan CAR sebesar 24,77%. Sekilas dengan membaca laporan ini, Investor melihat bahwa kinerja perusahaan berjalan dengan bagus. Dengan
demikian
keputusan-keputusan
yang
diambil
investor
akan
menguntungkan perusahaan misalnya Investor melakukan pembelian saham Lippo secara besar-besaran. Hal ini tentunya merugikan Investor sebab dengan dasar informasi yang salah maka keputusan yang diambilnya juga tidak tepat. Keadaan yang sebenarnya adalah sebagaimana Laporan Keuangan per 30 September yang disampaikan ke BEJ tanggal 27 Desember 2002 yang sudah diaudit oleh KAP Prasetyo, Sarwoko dan Sandjaja dimana total aktiva per 30 September 2002 sebesar Rp. 22,8 triliun, rugi bersih sebesar Rp. 1,273 triliun dan CAR sebesar 4,23%. Lalu Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) sendiri sudah menyatakan terdapat kekuranghati-hatian yang menyebutkan adanya kekuranghati-hatian Direksi Bank Lippo dalam mencantumkan kata "diaudit" dan opini Wajar tanpa Syarat pada iklan laporan keuangan per 30 September 2002.
Sementara dalam kapasitasnya sebagai bank, Bank Lippo bisa terancam sanksi pidana yang tercantum dalam pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Selengkapnya berbunyi:
"Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja:
a.
membuat
atau
menyebabkan
adanya
pencatatan
palsu
dalampembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha,laporan transaksi atau rekening suatu bank; b.
menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidakdilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalamdokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatubank;
c.
mengubah,
mengaburkan,
menyembunyikan,
menghapus,
ataumenghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan,maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi ataurekening suatu bank, atau dengan sengaja
mengubah,
mengaburkan,
menghilangkan,menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (limabelas) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyarrupiah)".
Selain itu, menyangkut kasus tidak dilaporkannya perubahan kepemilikan yang signifikan, Lippo bisa terjerat pasal 87 pasal (2,3) dan pasal 89 ayat (1) UndangUndang Pasar Modal.
Tidak aneh kalau Koordinator Badan Pekerja ICW, Teten Masduki, yakin bahwa dalam kasus Lippo bukan hanya UU Pasar Modal dan UU Perbankan yang bisa diterapkan, tetapi juga UU Tindak Pidana Korupsi.
III.
PENUTUP
Dalam bisnis aspek hukum pun sangat mempengaruhi terwujudnya persaingan yang sehat, dengan kata lain berbagai permasalahan yang terjadi pada dunia bisnis yang di akibatkan dengan “curangnya” pelaku bisnis dikarenakan etika bisnis dan peranan hukum belum berjalan sebagai semestinya. Padahal, tanpa adanya sistem hukum yang mapan, misalnya segala kontrak dan perjanjian bisnis hanya akan tinggal diatas kertas; hak cipta hanya sebuah buah bibir; dankurs atau mata uangpun bisa berubah kapan saja. Jika kepastian hukum begitu minim, jelaskah bisnis tidak akan berkembang begitu baik. Target terpenting dalam kegiatan bisnis adalah peningkatan profesionalisme para pelaku pasa sehingga terhindar dari praktek persaingan usaha tidak sehat/ monopoli dan perbuatan yang merugikan konsumen/pengguna barang dan jasa. Praktek-praktek seperti persaingan usaha tidak sehat/monopoli dan perbuatan yang merugikan konsumen/pengguna barang dan jasa akan membuat pasar menjadi tidak efisien. Hukum berperan dalam hal mencegah dan menangani kasus serta memberikan hukuman pidana, perdata dan administratif bagi para pengusaha yang melakukan praktik kecurangan seperti monopoli dengan dikeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
DAFTAR PUSTAKA : Dacin, Tina. dkk. 2011. Artikel “
Unethical Conduct Within Organizations:Understanding and Preventing Fraudulent Behavior ” dalam Journal of Business Ethics. Tersedia: http://aaahq.org/calls/JBE_Fraud_Issue.pdf(15 desember 2019)
Anogara, Pandji. 2007. Pengantar Bisnis Pengelolaan Bisnis Dalam EraGlobalisasi . Jakarta: Rineka Cipta
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7656/adakah-unsur-pidana-yangbisa-menjerat-direksi-bank-lippo/
Potensi kegiatan merger dan akuisisi dalam perspektif hukum persaingan usaha pasca pandemic covid-19
Disusun oleh Rio Putra Pratama
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Merger dan Akusisi merupakan salah satu kegiatan strategi korporasi yang dilakukan oleh suatu perusahaan untuk mencapai sebuah tujuan dalam menjalankan bisnis, dalam kegiatan Merger dan akuisisi terdapat tiga jenis yang diatur dalam undang-undang, yaitu penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari pereroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum, peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum, dan pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham
perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan tersebut, ketiga kegiatan merger dan akuisisi tersebut disebutkan dan diatur dalam Undan-Undang No. 40 Tahun 2007. Membahas mengenai merger dan akuisisi sangat rawan sekali dengan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat yang akan merugikan perekonomian nasional, Hubungan dengan hukum persaingan perusahaan dalam hal ini adalah agar ketiga kegiatan merger dan akuisisi tersebut tidak menyalahi aturan anti monopoli dan persaingan tidak sehat seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 , dalam situasi sulit saat ini dimana pandemic covid-19 menjangkit kehampir seluruh dunia menarik untuk menganalisis dampak yang akan terjadi pada kegiatan merger dan akuisisi pasca pandemic covid-19 ini , perekonomian nasional akan lesu perusahaan dituntut untuk dapat melakukan management krisis pasca pandemic nanti, salah satunya dengan melakukan strategi merger dan akuisisi, disisi lain perlu dicermati bahwa pengawasan yang ketat harus dilakukan guna menjamin dan menjaga tidak adanya praktik monopoli dan persaingan tidak sehat pasca pandemic covid-19 ini. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang sebagaimana disajikan, maka akan terbentuk rumusan masalah sebagai berikut; -Bagaimana batasan Merger dan Akuisisi dalam perspektif Undang-Undang anti monopoli dan persaingan tidak sehat? -Bagaimana potensi yang akan terjadi terhadap suatu kegiatan Merger dan Akuisisi pasca pandemic covid-19? 1.3 Tujuan Penulisan Untuk menilai apakah kebijakan pemerintah dalam upaya penanganan manajemen krisis di sector ekonomi nantinya pasca pandemic covid-19 sudah tepat atau belum, selain mempersoalkan sudah tepat atau belumnya pemerintah dalam mengambil kebijakan melalui uraian ini kita dapat bersikap lebih kritis lagi untuk menilai apakah pemerintah dalam upayanya mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi atau tidak, sehingga kemungkinan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, tidak akan terjadi
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Batasan Merger dan Akuisisi dalam perspektif Undang-Undang anti mnopoli dan persaingan tidak sehat Undang-Undang Anti Monopoli dan persaingan tidak sehat mengatakan bahwa Merger dan Akuisisi dilarang jika hal tersebut menyebatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan tidak sehat. Pembatasan praktek monopoli adalah penguasaan pangsa pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha atau lebih dari 75% dari 2 atau lebih pelaku usaha. Sedangkan batasan persaingan tidak sehat dilihat dari unsur-unsur yang meliputi kejujuran, legalitas, dan hal menimbulkan penguasaan pasar. Praktek kegiatan perusahaan yang akan menyebabkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah, pertama melakukan perjanjian yang dilarang, misalnya praktek kartel,penetapan harga dan pembagian wilayah, kedua kegiatan yang dilarang, misalnya praktek monopoli, praktek monopsoni, dan persekongkolan, ketiga penyalahgunaan posisi dominan, artinya keadaan dimana tidak memiliki pesaing yang berarti dipasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha memiliki posisi tertinggi diantara pesaing yang lainnya dalam kaitan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, dan kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Dalam menilai apakah dalam Merger dan Akuisisi telah terjadi praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, bukan hanya besarnya pangsa pasar yang dijadikan ukuran. Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2010 tentang penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham perusahaan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, menyatakan bahwa penilaian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengenai apakah suatu merger mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah; konsentrasi pasar, hambatan masuk pasar(entry barrier), potensi perilaku, efisiensi pasar, potensi kepailitan. Sebagai otoritas lembaga pengawasan dalam persaingan usaha KPPU dituntut untuk berperan aktif dan bertanggung jawab terhadap penilaian kegiatan Merger dan Akuisisi untuk mencegah terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Potensi konsentrasi pasar akan nyata terlihat pasca badai
pandemic covid-19 dimana banyak perusahaan yang akan melakukan management krisis salah satunya adalah melakukan merger, itulah sebabnya hukum tentang merger maupun hukum tentang anti monopoli sangat mewanti-wanti agar suatu merger dan akuisisi tidak sampai melanggar ketentuan anti monopoli dan persaingan tidak sehat 1 . 2.2 potensi yang akan terjadi terhadap suatu kegiatan Merger d an Akuisisi pasca pandemic covid-19 Saat pandemic covid-19 ini terjadi di Indonesia maka para ahli ekonomi memprediksi bahwa Indonesia akan menghadapi badai krisis ekonomi yang cukup signifikan, salah satu dampak yang timbul dari bidang ekonomi adalah terganggunya roda bisnis suatu perusahaan, diberlakukannya himbauan social distancing yang artinya membatasi kegiatan social berdampak pada kegiatan bisnis perusahaan yang menjadi tidak maksimal tidak hanya itu pemerintah juga mengeluarkan himbauan yang lebih ketat lagi dimana pemerintah menginstruksikan hanya ada delapan (8) perusahaan yang masih boleh beroprasi yaitu; sector kesehatan, pangan makanan dan minuman, energy, komunikasi, keuangan dan perbankan, logistic, retail, industri strategis, oleh karenanya perusahaan dituntut harus mampu untuk mengatasi manajemen krisis sebagai proses yang membahas perusahaan dengan sebuah peristiwa besar yang mengancam merugikan perusahaan jika ingin perusahaanya bangkit dari keterpurukan pasca pandemic covid-19.salah satu manajemen krisis yang mungkin dilakukan oleh suatu perusahaan yaitu Merger dan Akuisisi hal ini memungkinkan disaat perusahaan butuh suntikan modal atau berfikir untuk penggabungan modal serta asset pasca pandemic berakhir nantinya, ini tentu menjadi potensi pemasalahan baru jika pemerintah atau otoritas terkait tidak cermat dan cenderung acuh terhadap kegiatan Merger dan Akuisisi pasca pandemic ini yang berpotensi menyebabkan kegiatan usaha perusahaan memonopoli pasar, perusahan yang riskan dengan kegiatan monopoli nantinya adalah perusahan yang berada pada mekanisme pasar oligopoly secara praktek ekonomi, meski secara teori hukum oligopoly dilarang melalu Undang-undang No. 5 tahun 1999 pasal 4, dalam hal ini harus dibuktikan secara nyata bahwa praktek oligopoly telah nyata terjadi dan melanggar ketentuan perjanjian yang dilarang oleh undang undang monopoli tersebut, contoh sector berpotensi melakukan Merger dan Akuisisi pasca pandemic dan berujung dengan praktek monopoli serta
1
Fuady Munir,2008,Pengantar Hukum Bisnis – menata bisnis modern di era global, Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal,91.
persaingan tidak sehat, diantaranya; perusahaan provider internet, perusahaan industri semen, baja, almunium dan masih banyak lagi, dapat dibayangkan jika perusahaan-perusahaan tersebut saling ber Merger sehingga mereka dapat menentukan harga semaunya dan mereka tidak dapat tersaingi oleh siapapun itulah gambaran nyata jika pemerintah atau otoritas terkait tidak cermat dalam mengatasi kemungkinan yang akan terjadi pasca pandemic ini, persaingan tidak sehat akan banyak terjadi, harga-harga tidak akan stabil tentu hal tersebut akan menyengsarakan masyarakat pada umumnya dan mengganggu penanganan krisis ekonomi Indonesia, berbagai stimulus kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah baik fiscal ataupun non fiscal, dari segi non fiscal salah satunya pemerintah memberikan stimulus kepada para pelaku usaha atau perusahaan yaitu relaksasi pemberian kesempatan bagi pelaku usaha yang melakukan transaksi penggabungan dan peleburan atau pengambilalihan termasuk perpindahan asset produktif untuk menyampaikan pemberitahuan setelah priode kebijakan bekerja dari rumah berakhir dan juga pemerintah mengisyaratkan agar regulasi Merger dan Akusisi tidak dipersulit pasca pandemic covid-19 ini berakhir, dari sini dapat kita simpulkan bahwa pemerintah sangat mendukung kegiatan Meger dan Akuisisi perusahaa pasca pandemic ini berakhir nantinya guna mendorong upaya kebangkitan ekonomi Indonesia dari keterpurukan, memang kegiatan Merger dan Akuisisi menjadi pilihan yang sangat strategis dilakukan dalam penanganan manajemen krisis suatu perusahaan, namun dengan seluruh uraian ini kita dapat menuntut pemerintah agar berhati-hati dan waspada dengan kemungkinan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat asalkan pemerintah tidak lengah dan berpegang teguh pada peraturan serta ketetapan hukum yang ada seperti Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2010 tentang penggabungan, pengambilalihan, dan peleburan, dan penilaian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) maka ke khawatiran akan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat diminimalisir.
BAB III PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan Pandemic covid-19 yang terjadi dihampir seluruh penjuru dunia akan mengakibatkan krisis ekonomi dihampir seluruh dunia yang terkena dampak pandemic tersebut, namun seperti kata peribahasa badai pasti berlalu setiap ujian,cobaan, dan kesulitan pada akhirnya akan segera berlalu dinamika akan memasuki fase baru yaitu fase awalan upaya kebangkitan dari pandemic ini, Negara dituntut untuk membuat kebijakan-kebijakan yang sangat menguntungkan demi bangkitnya kembali ekonomi yang mengalami krisis, geliat upaya tersebut salah satunya tentu akan berfokus pada suatu perseroan kebijakan ini kita kenal dengan kebijakan non fiscal, diamana pemerintah membuat peraturan-peraturan seperti penyederhanaan dan pengurangan jumlah larangan dan pembatasan untuk aktivitas ekspor maupun impor, dan pelonggaran terkait regulasi corporate action, salah satu pelonggaran dari regulasi corporate action tercermin pada upaya pemerintah yang akan melonggarkan dan mempermudah kegiatan Merger dan Akuisisi hal ini tentu akan menjadi permasalahan baru jika pemerintah tidak berhat-hati dan memberikan kelonggaran yang sangat luas terhadap kegiatan Merger dan Akuisisi, akibat hukum Merger dan Akuisisi terhadap persaingan usaha tidak sehat adalah kegiatan Merger tersebut tidak menutup kemungkinan akan terjadinya konsentrasi pasar yang dilarang oleh Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang anti monopoli, bentuk perlindungan hukum demi menjaga kepentingan umum perlu menjadi focus pemerintah agar monopoli sebuah produk perusahaan benar-benar tidak terjadi. 3.2 Saran Pemerintah harus berhati-hati dalam menentukan kebijakan untuk membangkitkan ekonomi Indonesia dari krisis pasca pandemic covid-19, pemerintah beserta otoritas terkait seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus saling berkordinasi agar kebijakan yang diambil pemerintah terhadap relaksasi kegiatan Merger dan Akuisisi ini tidak malah menjadi hal yang mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Daftar pustaka 1. Faudy munir, 2008, pengantar hukum bisnis – menata bisnis modern di era global, cetakan ketiga, Citra aditya bakti, Bandung 2. Pakpahan Normin S, 1995, hukum perusahaan Indonesia, Yayasan pengembangan hukum ekonomi Indonesia, Jakarta 3.Supramono Gatot, 2009, hukum perseroan terbatas,cetakan kelima, Djambatan, Jakarta