LOCAL CHAPTER LEGAL WRITINGS
alsa-indonesia.org
Fenomena Implementasi Kebijakan Hukum Indonesia dalam Menghadapi Tantangan dan Peluang Pasar Bebas Sesuai Dengan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Penulis: Humairah Qaolan Syaqiila Issue Alasan pentingnya kewirausahaan di Indonesia disampaikan dan dirangkumkan dari keterangan Glints pada Jurnal Ekonomi & Pendidikan yangmana berguna untuk; menciptakan lapangan kerja dan menyerap tenaga, meningkatkan penerimaan pajak negara, mendorong inovasi dan kemandirian masyarakat, menjadi indikator keunggulan dan daya saing negara. Sejumlah negara maju, seperti Jepang, Korea Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat, bisa mencapai posisi yang sekarang karena banyaknya pengusaha di negara mereka. Sayangnya, jumlah pengusaha di Indonesia masih rendah, dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara. Mengutip katadata.co.id, pada tahun 2016 jumlah pengusaha di negara ini hanya 3,1% dari seluruh populasi. Sedangkan Malaysia dan Singapura berhasil mencatat masing-masing 5% dan 7% pengusaha dari total populasinya.
1
Kegiatan monopoli usaha di Indonesia sendiri sudah
dikenal sejak zaman penjajahan Belanda yaitu perdagangan berada dalam satu payung perusahaan ini menutup persaingan usaha dari masyarakat itu sendiri. Lalu, apa itu persaingan usaha? Persaingan usaha adalah tentang interaksi atau hubungan perusahaan atau pelaku usaha di pasar. Dewasa ini di Indonesia sangat menentang perbuatan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat, mengapa demikian? Persaingan usaha tidak sehat, kata Ardiansyah, pasti mengakibatkan kerugian pada konsumen. Oleh karena itu, Negara wajib hadir melindungi konsumen melalui persaingan antar pelaku usaha dan perlindungan kepada konsumen. 2 Namun, pada kenyataannya persaingan usaha tidak sehat justru sering hadir dalam dunia usaha
1
Investor.id. (2019, 17 Desember). Peran Penting Kewirausahaan bagi Pertumbuhan Ekonomi dan Bisnis. Diakses pada 28 Oktober 2020, dari ://investor.id/business/peran-penting-kewirausahaan-bagi-pertumbuhan-ekonomi-danbisnis 2
Hukumonline.com (2019, 21 Maret). Ada Irisan Kuat Antara Persaingan Usaha dan Perlindungan Konsumen. Diakses pada 28 Oktober 2019, dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c93402f7d670/ada-irisan-kuatantara-persaingan-usaha-dan-perlindungan-konsumen?page=2
masyarakat Indonesia, bahkan ada beberapa kasus yang membawa bukti nyata bahwa monopoli yang telah memiliki payung hukum tidak memilik eksistensi kuat ditengah masyarakat. Seperti pada akhir tahun 2019 Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman kepada PT Tirta Investma selaku produsen AQUA sebesar Rp 13,8 miliar karena terbukti melakukan praktik monopoli usaha. Ikut didenda juga PT Balina Agung Perkasa selaku distributor AQUA sebesar Rp 6,2 miliar. 3Yang menjadi pertanyaan bagi kita semua adalah mengapa disaat monopoli dan persaingan usaha tidak sehat memiliki payung hukum namun masih dicederai pelaku usaha? Apakah benar pelaku usaha membangun perekonomian bangsa? Lalu, disamping membangun apakah ia mencoba menguasai pasar? Maka dari itu fenomena dari perwujudan hukum ini harus menjadi isu yang diperhatikan oleh masyarakat dan pemerintah. Regulations
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Putusan Perkara No.22/KPPU-I/2006
Pasal 382 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Analysis Seperti yang telah dijabarkan diatas, Mahkamah Agung (MA) menghukum PT Tirta Investma selaku produsen AQUA sebesar Rp 13,8 miliar karena terbukti melakukan praktik monopoli usaha. Ikut didenda juga PT Balina Agung Perkasa selaku distributor AQUA sebesar Rp 6,2 miliar. Kasus bermula saat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyelidiki praktik usaha tidak sehat yang dilakukan oleh AQUA. Penyelidikan itu berlanjut ke sidang KPPU dan digelarlah pembuktianPada 19 Desember 2017, KPPU memutuskan AQUA melanggar Pasal 15 ayat (3) huruf b dan Pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 3
Detiknews. (2019, 28 November). MA Denda Aqua Rp 13.8 Miliar Karena Terbukti Monopoli Usaha. Diakses pada 28 Oktober 2020, dari https://news.detik.com/berita/d-4801904/ma-denda-aqua-rp-138-miliar-karena-terbuktimonopoli-usaha
1999. Hal ini seakan membawa Undang-Undang yang telah ada menjadi tidak memiliki arti atau landasan hukum yang filosofis. Sungguh ironis kenyataan yang ada padahal pemerintah mengusahakan penuh agar monopoli tidak menjadi konsumsi publik. Beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 secara eksplisit menyebutkan konsumen dan/atau kata pembeli untuk mempertegas perlindungan konsumen dari dampak persaingan tidak sehat tersebut. Misalnya saja perilaku kartel yang akan langsung mengurangi kesejahteraan konsumen melalui harga yang mahal alias tidak kompetitif. Perilaku penyalahgunaan posisi dominan akan berdampak kepada konsumen berupa semakin terbatasnya pilihan yang tersedia di pasar dan tentunya, harga yang harus dibayar tidak kompetitif. Berdasarkan kasus-kasus pelanggaran persaingan usaha yang sudah ditangani oleh KPPU, dapat disimpulkan bahwa kerugian terhadap konsumen itu nyata adanya. Mengacu kepada hasil kajian KPPU misalnya yang menyebutkan, dampak kerugian konsumen untuk kartel tarif SMS mencapai 2,8 trilliun selama periode dua tahun. Belum lagi kasus-kasus lainnya, yang menimbulkan dampak kerugian terhadap konsumen dengan estimasi jumlah yang sangat signifikan. 4 Selanjutnya monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. 5 Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. 6 Lalu, persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.7 Perdagangan bebas adalah kemudahan bagi para pelaku usaha untuk menjual produknya ke luar negeri tanpa adanya hambatan perdagangan. Hambatan perdagangan ini mencakup kebijakan pemerintah suatu negara mengenai pajak, kuota 4
Nasional.Kontan.co.id (2019, 16 Maret). Lindungi Konsumen dari Efek Persaingan tak Sehat KPPU Gandeng BPKN. Diakses pada 28 Oktober 2020, dari https://nasional.kontan.co.id/news/lidungi-konsumen-dari-efekpersaingan-tak-sehat-kppu-gandeng-bpkn 5 6
Pasal 1 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (5) UU No. 5 Tahun 1999
7
Pasal 1 ayat (6) UU No. 5 Tahun 1999
impor, bea cukai, dan lain sebagainya yang dibuat untuk menghambat produsen luar negeri dalam menjual produknya.8 Lalu apa hubungan monopoli dengan adanya pasar bebas. Sifat pelaku usaha yang ingin membuat usaha berkembang serta tidak mau kalah dengan produk lainnya menjadikan pengusaha menguasahakan dirinya untuk menguasai pasar yang ada. Ditinjau lebih lanjut sebenarnya ada beberapa hal yang dapat menimbulkan terjadinya monopolistik yaitu pembangunan industri besar dengan teknologi produksi massal (mass production) sehingga denga hal ini menjadikan pengusaha dengan mudah membentuk struktur pasar yang monopolistik dan oligopolistik, faktor yang lain adalah pada umumnya industri atau usaha yang besar memperoleh proteksi efektif yang tinggi, bahkan melebihi rata-rata industri yang ada kemudian faktor yang lain adalah industri tersebut memperoleh kemudahan dalam mendapatkan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih baik, dan dengan adanya berbagai usaha yang menghambat usaha baru. 9 Dalam hal ini kita dapat mengambil satu artian bahwa tantangan dari pasar bebas ini adalah hadirnya monopoli, apalagi bila disertai dengan persaingan usaha yang tidak sehat. Monopoli memiliki ciri-ciri; hanya ada satu produsen atau penjual, tidak ada produsen lain menghasilkan produk yang dapat mengganti secara baik produk yang dihasilkan pelaku usaha monopoli, adanya suatu hambatan baik secara alamiah, teknis atau hukum. Kalau kita melihat hal tersebut di atas maka ada beberapa faktor yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat di antaranya adalah (1) kebijaksanaan perdagangan, (2) pemberian hak monopoli oleh pemerintah, (3) kebijaksanaan investasi, (4) kebijaksanaan pajak, (5) dan pengaturan harga oleh pemerintah. Akibatnya pelaku usaha yang memiliki industri tersebut membentuk kelompok dan memasuki pasar baru, tahap selanjutnya akan melakukan diversifikasi usaha dengan mengambil keuntungan dari kelebihan sumber daya manusia dan alam serta keuangan yang berhasil dikumpulkan dari pasar yang ada. Struktur pasar oligopolistik dan monopolistik tidak dapat dihindarkan, dan bukan pula lahirnya direncanakan. Oleh sebab itu pada negara-negara 8
Knic.co.id. (2019, 22 Januari). Definisi dan Keuntungan Pasar Bebas. DIakses pada 28 Oktober 2020, dari https://www.knic.co.id/id/definisi-dan-keuntungan-pasar-bebas 9
Muliyawan, S.H., M.H. (2015, 28 Oktober). Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Tinjauan Hukum. Diakses pada 28 Oktober 2020, dari http://www.pn-palopo.go.id/index.php/berita/artikel/222-persaingan-usaha-tidak-sehat-dalamtinjauan-hukum
berkembang dan beberapa negara yang sedang berkembang struktur pasar yang demikian perlu ditata atau diatur dengan baik, yang pada dasarnya akan mengembalikan struktur pasar menjadi pasar yang lebih kompetitif. 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sendiri hadir untuk mengoreksi tindakan-tindakan dari kelompok pelaku ekonomi yang menguasai pasar karena dengan posisi dominan maka dapat menggunakan kekuatannya untuk berbagi macam kepentingan yang menguntungkan pelaku usaha. Akan tetapi, tantangan dari pasar bebas sendiri adalah monopoli perdagangan sehingga hadirnya UndangUndang ini sendiri sebagai koridor hukum yang mengatur ketika terjadi persaingan usaha tidak sehat antar pelaku usaha (monopoli). Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyidangkan kasus dugaan monopoli yang dilakukan oleh PT Astra Honda Motor (AHM). Perusahaan itu diduga melakukan pelanggaran pasal 15 ayat 2 dan ayat 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal ini melarang para pelaku usaha melakukan perjanjian dengan persyaratan tertentu. Dalam pasal 47 dan pasal 48 beleid tersebut, disebutkan jika terbukti bersalah maka pelaku terancam sanksi berupa tindakan administratif. Selain itu, sanksi berupa denda mulai dari Rp 5 miliar sampai maksimal Rp 25 miliar, atau kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 bulan.11 Ini merupakan bentuk usaha Komisi Pengawas Persaingan Usaha membawa Indonesia menjadi bebas monopoli dengan tanpa membatas pergerakan ekspor dan impornya ke luar negeri. Conclusion Sejalan dengan pembahasan kali ini, fenomena implementasi kebijakan hukum dalam hal ini Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan tantangan dan peluang pasar bebas memiliki bentuk konkritnya tersendiri. Tapi sebagai landasan hukum harus menjadi landasan hukum yang sosiologis dan yuridis bukan menjadi filosofis saja. Kebijakan ini dipandangan filosofis oleh pelaku usaha 10
Muliyawan, S.H., M.H. (2015, 28 Oktober). Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Tinjauan Hukum. Diakses pada 28 Oktober 2020, dari http://www.pn-palopo.go.id/index.php/berita/artikel/222-persaingan-usaha-tidak-sehat-dalamtinjauan-hukum 11
Kompas.com (2020, 15 Juli). KPPU Mulai Sidangkan Kasus Dugaan Monopoli Pelumas. Diakses pada 28 Oktober 2020, dari https://money.kompas.com/read/2020/07/15/171128926/kppu-mulai-sidangkan-kasus-dugaanmonopoli-pelumas
namun tidak oleh pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah saja telah mencoba menyusut beberapa kasus persaingan usaha tidak sehat demi menjaga konektivitas perekonomian Indonesia. Sebagai stakeholder pemerintah bertugas menjaga ketertiban umum baik dalam perekonomian dan sosial agar tetap menciptakan harmonisasi dari penyelenggaraan pemerintah. Dapat ditarik kesimpulan bahwa tantangan dan peluang dari pasar bebas ini memiliki dampak positif dan negatif. Akan tetapi, dampak positifnya berkaitan dengan di invidu yang menjalani kegiatan usaha, sedangkan dampak negatifnya menghasilkan kegiatan monopoli yang menganggu konetivitas perekonomian Indonesia dalam hal. Sehingga, dalam hal implementasi kebijakan hukum yang ada sudah memiliki contoh perwujudan konkrit, lalu langkah lebih lanjutnya adalah pemerintah membangun hubungan sosialisasi dengan pelaku usaha agar tetap memperhatikan prinsip yang ada disamping ia ingin melakukan kegiatan ekspor impor tapi peruturan yang ada tetap menjadi prioritas utama.
REFERENSI Detiknews. (2019, 28 November). MA Denda Aqua Rp 13.8 Miliar Karena Terbukti Monopoli Usaha. Diakses pada 28 Oktober 2020, dari https://news.detik.com/berita/d4801904/ma-denda-aqua-rp-138-miliar-karena-terbukti-monopoli-usaha Hukumonline.com (2019, 21 Maret). Ada Irisan Kuat Antara Persaingan Usaha dan Perlindungan
Konsumen.
Diakses
pada
28
Oktober
2019,
dari
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c93402f7d670/ada-irisan-kuat-antara-persainganusaha-dan-perlindungan-konsumen?page=2 Investor.id. (2019, 17 Desember). Peran Penting Kewirausahaan bagi Pertumbuhan Ekonomi
dan
Bisnis.
Diakses
pada
28
Oktober
2020,
dari
https://www.investor.id/business/peran-penting-kewirausahaan-bagi-pertumbuhan-ekonomi-danbisnis Knic.co.id. (2019, 22 Januari). Definisi dan Keuntungan Pasar Bebas. DIakses pada 28 Oktober 2020, dari https://www.knic.co.id/id/definisi-dan-keuntungan-pasar-bebas Kompas.com (2020, 15 Juli). KPPU Mulai Sidangkan Kasus Dugaan Monopoli Pelumas. Diakses
pada
28
Oktober
2020,
dari
https://money.kompas.com/read/2020/07/15/171128926/kppu-mulai-sidangkan-kasus-dugaanmonopoli-pelumas Muliyawan, S.H., M.H. (2015, 28 Oktober). Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Tinjauan
Hukum.
Diakses
pada
28
Oktober
2020,
dari
http://www.pn-
palopo.go.id/index.php/berita/artikel/222-persaingan-usaha-tidak-sehat-dalam-tinjauan-hukum Nasional.Kontan.co.id (2019, 16 Maret). Lindungi Konsumen dari Efek Persaingan tak Sehat
KPPU
Gandeng
BPKN.
Diakses
pada
28
Oktober
2020,
https://nasional.kontan.co.id/news/lidungi-konsumen-dari-efek-persaingan-tak-sehat-kppugandeng-bpkn
dari
TANTANGAN PELAKSANAAN SIDANG PIDANA ONLINE SEBAGAI DAMPAK DARI WABAH PANDEMI COVID-19 Muhamad Bayu Nugroho ALSA Local Chapter Universitas Sriwijaya
A. Pendahuluan Berkembangnya wabah virus covid-19 di Indonesia menjadi tantangan sendiri bagi para penegak hukum maupun penerapan pelaksanaan peradilan hukum di Indonesia. Data statistik terakhir menunjukkan bahwa setidaknya terdapat 174.796 kasus positif corona di Indonesia dengan kasus kematian sebanyak 7.417 jiwa, pasien dalam pengawasan (PDP) sebanyak 41.420 orang dan pasien yang sembuh sebanyak 125.959 orang.1 Angka di atas menunjukkan bahwa semakin daruratnya Indonesia dalam menghadapi wabah virus covid-19 ini. Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi semua pihak untuk tetap menjalankan rutinitas dan agenda kerja seperti biasanya termasuk juga dalam mekanisme pelaksanaan persidangan di Indonesia. Sejak pandemi covid-19 mulai mewabah ke seluruh dunia sejak awal tahun 2020, banyak negara-negara di dunia yang telah memberlakukan social/physical distancing (pembatasan sosial/fisik) bahkan lockdown (karantina wilayah). Indonesia dan Amerika Serikat termasuk negara-negara yang tidak memberlakukan lockdown namun bukan berarti hal tersebut tidak membawa dampak pada dunia praktik hukum. Meskipun tidak memberlakukan lockdown, Indonesia dan Amerika Serikat tetap memberlakukan social distancing di negaranya yang menyebabkan tidak mungkin suatu peradilan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya (dalam situasi normal) sesuai dengan peraturan yang berlaku. Demi menerapkan social distancing, maka Institusi Pengadilan tidak dimungkinkan untuk mengadakan persidangan sesuai dengan standar yang telah diatur sebelumnya, karena dapat menimbulkan kerumunan orang, yang menyebabkan resiko penyebaran virus covid-19 semakin tinggi.
1
https://covid19.go.id/peta-sebaran diakses pada 31 Agustus 2020 pukul 19.08 WIB.
Hal ini menyebabkan institusi pengadilan harus menggantungkan diri pada teknologi untuk menunjang keberlangsungan
pelayanan
hukum
kepada
para
pencari
keadilan.
Pemanfaatan secara maksimal sistem e-court yang sudah berjalan sejak dikeluarkannya Perma No. 1 Tahun 2019 saat ini telah menjadi solusi bagi institusi pengadilan di bawah Mahkamah Agung untuk tetap memberikan pelayanan hukum meskipun para pencari keadilan tidak hadir di pengadilan secara langsung. Pemanfaatan e-court ini pada akhirnya bermuara pada pentingnya penerapan Virtual Courts yang diadakan secara daring tanpa perlu menghadirkan para pihak di ruang persidangan. B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dan empiris . Penulis mengumpulkan data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan melakukan studi kepustaakaan. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur mengenai regulasi persidangan online di Indonesia baik sebelum dan sesudah pandemi covid-19 mewabah, dan dikaji secara mendalam terhadap fenomena yang terjadi selama pandemi covid-19. C. Dasar Hukum 1. Pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 4. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2019 tentang Tata Cara Persidangan Secara Eloktronik. 5. SEMA No. 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lingkungan MA dan Badan Peradilan di Bawahnya 6. Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor B-049/A/SUJA/03/2020 tanggal 27 Maret 2020 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Tugas, Fungsi dan Kewenangan Kejaksaan di tengah pandemi Covid 19. D. Rumusan Masalah 1. Bagaimana regulasi pelaksanaan persidangan yang dilakukan secara daring?
2. Apa saja masalah yang ditimbulkan akibat pelaksanaan persidangan yang dilakukan secara daring? E. Hasil dan Pembahasan 1. Regulasi Pelaksanaan Sidang Secara Daring Pada tanggal 23 Maret 2020, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Badan Peradilan yang Berada Di Bawahnya. Surat ini mengevaluasi sekaligus mencabut Surat Edaran Sekretaris Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Hakim dan Aparatur Peradilan Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran COVID-19 di Lingkungan Mahkamah Agung RI dan Badan Peradilan di Bawahnya, yang dikeluarkan pada tanggal 17 Maret 2020. Dengan berpedoman pada Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 19 Tahun 2020 tanggal 16 Maret 2020 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Aparatur Sipil Negara Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran COVID-19 di lingkungan instansi Pemerintah, maka SEMA No 1 Tahun 2020 ini memberikan instruksi kepada Hakim dan Aparatur Peradilan untuk melaksanakan tugas jabatannya dengan bekerja di rumah atau tempat tinggalnya (Work From Home) dan menerapkan social distancing dalam pemberian pelayanan secara langsung di lingkungan institusi serta penerapan protokol kesehatan di lingkungan kerja.2 Merujuk pada SEMA No 1 Tahun 2020 ini, dalam pelaksanaan peradilan pidana juga tentunya harus mematuhi dengan melakukan improvisasi dalam pelaksanaan sidang secara daring. Namun pelaksanaan persidangan melalui teleconference di kemudian hari akan menimbulkan permasalahan harmonisasi hukum. Dengan tidak diubahnya UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (disebut sebagai KUHAP) yang mengatur tentang Sistem Peradilan Pidana 2
Mahkamah Agung Republik Indonesia, https://www.mahkamahagung.go.id/id/pengumuman/4065/surat-edaranmahkamah-agung-ri-nomor-1-tahun-2020-tentang-pedoman-pelaksanaan-tugas-selama-masa-pencegahanpenyebaran-corona-virus-disease-2019-covid-19-di-lingkungan-mahkamah-agung-ri-dan-badan-peradilan-yangberadadibawahnya#:~:text=Mahkamah%20Agung%20Republik%20Indonesia&text=Jakarta%2DHumas%2C%20Senin%2C %2023,RI%20Nomor%20%3A%201%20Tahun%202020.&text=23%20Maret%202020.,Tentang%20Pedoman%20Pelaksanaan%20Tugas%20Selama%20Masa%20Pencegahan%20Penyebaran%20Corona %20Virus,Badan%20Peradilan%20Berada%20di%20Bawahnya. Diakses pada 31 Agustus 2020 pukul 22.42 WIB
di Indonesia, maka sulit untuk diadakannya pelaksanaan Persidangan melalui Teleconference. Perjanjian Kerjasama antar ketiga lembaga tersebut tidak memiliki landasan hukum yang cukup kuat bahkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dalam hal ini adalah KUHAP, PP Nomor 27 tahun 1983 jo. PP Nomor 58 Tahun 2010 jo. PP Nomor 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pada pasal 154 KUHAP meskipun tidak secara eksplisit disebutkan bahwa Terdakwa wajib hadir dalam persidangan. Namun dari ketujuh ayat pada Pasal 154 KUHAP menegaskan bahwa Terdakwa sepatutnya hadir dan tidak diperbolehkan untuk diwakili dalam persidangan berdasarkan surat panggilan oleh Jaksa Penuntut Umum (Pasal 152 ayat (2) KUHAP).3 KUHAP tidak memperbolehkan proses peradilan in absentia dalam acara pemeriksaan biasa dan pemeriksaan singkat hal ini dapat di lihat pada Pasal 154 ayat (4) KUHAP. Asas kehadiran terdakwa ini biasa dikenal dalam tindak pidana khusus seperti pada tindak pidana korupsi dant idnak pidana ekonomi. Asas kehadiran terdakwa ini memiliki sebutan lain yakni ius singular, ius speciale, atau bizonder strafrecht. Selain itu Asas Kehadiran terdakwa ini berhubungan dengan Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan. Pengaplikasian video conference pada pemeriksaan perkara di persidangan (khususnya perkara pidana) di Indonesia sebenarnya bukanlah menjadi hal yang baru. Sebelum pandemi COVID-19 penggunaan video conference sudah digunakan di beberapa kasus. Namun penggunaanya terbatas hanya untuk mendengarkan keterangan dari saksi. Hal ini sebagaimana di atur di dalam Pasal 9 Ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, di mana seorang saksi dapat didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang. Penggunaan video conference ini bertujuan untuk melindungi keamanan saksi dari berbagai ancaman atau demi mempermudah pemberian keterangan tanpa harus hadir di ruang sidang. Sementara itu pihak-pihak lain seperti Hakim, Penuntut Umum, Terdakwa dan pengacaranya tetap diwajibkan hadir di ruang sidang berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.
Anggita Doramia Lumbanraja . “PERKEMBANGAN REGULASI DAN PELAKSANAAN PERSIDANGAN ONLINE DI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT SELAMA PANDEMI COVID-19”.[2020]. [JURNAL CREPIDO]. [Vol.2]. [1]. 3
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/crepido/article/view/7896/4046 diakses pada 31 Agustus 2020, pukul 22.50 WIB.
2. Masalah yang Ditimbulkan Akibat Pelaksanaan Sidang Secara Daring Hakikat pembuktian dalam persidangan perkara pidana amat sangat penting. Lilik Mulyadi dalam bukunya "Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi," telah menguraikan urgensi beban pembuktian. Pembuktian merupakan suatu proses untuk menentukan dan menyatakan tentang kesalahan sesorang dapat dijatuhkan pidana. Dari hasil persidangan dapat dibuktikan sah dan meyakinkan sesorang melakukan tindak pidana (veroodeling), atau kemudian dapat pula dibebaskan dari dakwaan (Vrispraak) apabila tidak terbukti melakukan tindak pidana. Atau bisa dilepaskan dari segala tuntutan hukum (anslaag van allerchtvervolging) apabila apa yang didakwakan terbukti, tetapi bukan merupakan suatu tindak pidana.4 Yahya Harahap dalam bukunya "Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali." Mengemukakan bahwa pembuktian merupakan suatu ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang, yang digunakan oleh hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan dalam persidangan, dan tidak dibenarkan membuktikan kesalahan terdakwa dengan tanpa alasan yuridis dan berdasarkan keadilan. Permasalahan terkait pembuktian di muka persidangan saat ini, manakala persidangan perkara pidana dilaksanakan secara online atau melalui teleconference dengan alasan pandemi Covid-19. Hal tersebut sejatinya telah memantik sejumlah isu terkait keabsahan pembuktian yang dilakukan penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa serta keyakinan hakim, akan pembuktian yang dilakukan oleh penuntut umum. Pasal 183 KUHAP menjelaskan “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
4
Suara.cpm “Keabsahan Pembuktian dalam Persidangan Online di Masa Pandemi Covid-19” https://www.suara.com/yoursay/2020/05/22/163836/keabsahan-pembuktian-dalam-persidangan-online-di-masapandemi-covid-19?page=all diakses pada 31 Agustus 2020, pukul 23.24 WIB
Dan apabila kita memperhatikan penjelasan Pasal 183 KUHAP, maka maksud pasal tersebut adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Permasalahan saat ini dengan penerapan sidang secara online atau melalui teleconference yang sejatinya dalam praktik, terdakwa menjalani sidang dengan tetap berada di Lembaga Pemasyarakatan, sementara hakim berada di ruang persidangan dan penuntut umum berada di kantor kejaksaan ataupun diruang sidang bersama-sama dengan hakim, telah mempengaruhi pembuktian dalam persidangan. Untuk perkara pidana yang pembuktiannya mudah, hal tersebut sejatinya tidak terlalu berpengaruh. Namun, untuk perkara yang pembuktiannya rumit dan membutuhkan alat bukti yang spesifik, penerapan sidang secara online atau melalui teleconference menurut hemat penulis tidak dapat dilaksanakan. Melainkan harus dilakukan secara langsung, arti langsung disini adalah langsung dihadapkan terdakwa di depan hakim untuk menilai secara langsung pembuktian yang dilakukan oleh penuntut umum dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Dalam pelaksanaan persidangan online, untuk perkara pidana yang pembuktiannya rumit dan membutuhkan alat bukti spesifik yang penulis maksud adalah perkara yang dalam pembuktiannya menjadikan alat bukti surat sebagai dasar pijakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa, di mana tanpa alat bukti surat kesalahan terdakwa tidak dapat dibuktikan dan alat bukti lainnya seperti keterangan saksi bergantung pada alat bukti surat. Contoh dari perkara tersebut salah satunya yakni perkara korupsi yang membutuhkan dokumen-dokumen persuratan untuk membuktikan telah terjadi tindak pidana korupsi, sehingga dokumen-dokumen persuratan tersebut yang merupakan alat bukti surat haruslah diuji kebenarannya dan di perlihatakan secara langsung kepada para pihak untuk menilai kebenaran akan dokumen surat yang dijadikan alat bukti dalam persidangan. Sehingga pelaksanaan persidangan untuk perkara sebagaimana dimaksud penulis diatas, tidaklah dapat dilakukan melalui persidangan online karena akan rentan terjadi manipulasi persidangan atau permainan perkara yang dapat mengaburkan ataupun mengubah fakta persidangan, selain itu pelaksanaan persidangan online atau teleconference dari sisi non teknis juga rentan bermasalah seperti gangguan jaringan internet yang dapat mengakibatkan tidak didengar dan dilihatnya secara baik atau salah menangkap maksud keterangan para pihak baik itu jaksa,
hakim, pengacara, saksi maupun terdakwa yang dapat mengaburkan fakta sebenarnya sehingga tidak dapat dicapainya kebenaran materil dari hasil persidangan perkara pidana. Pembuktian yang rumit, yang membutuhkan kemampuan lebih dari penuntut umum untuk mengurai persesuaian keterangan para saksi, bukti surat, petunjuk dan alat bukti lainnya, serta mengkonfrontasi keterangan-keterangan saksi, terdakwa dan bukti surat yang dihadirkan oleh penuntut umum, tidak dapat dilakukan begitu saja melalui teleconference atau pertemuan secara virtual. Karena akan mempengaruhi hak-hak para pihak yang berperkara, baik itu terdakwa, korban, maupun masyarakat secara umum yang tidak dapat dikurangi ataupun disimpangi guna menemukan kebenaran materiil dalam pelaksanaan persidangan perkara pidana. Jika merujuk pada ketentuan Pasal 153 ayat (3) KUHAP jo. Pasal 13 UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), disebutkan bahwa setiap pemeriksaan pengadilan harus terbuka untuk umum. Jika pemeriksaan/persidangan tersebut tidak terbuka untuk umum, maka dapat mengakibatkan putusan pengadilan tersebut menjadi batal demi hukum. Pasal 153 ayat 3 KUHAP sendiri hanya membatasi untuk proses persidangan pidana dapat dikecualikan tidak terbuka untuk umum sejauh perkaranya mengenai tindak pidana kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. Sedangkan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa pemeriksaan pengadilan yang pada dasarnya terbuka untuk umum dapat dikecualikan sejauh undang-undang menentukan lain.5 Selain itu, implikasi lebih lanjutnya adalah bahwa putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Jika hal ini tidak dilakukan terbuka untuk umum, maka dapat mengakibatkan putusan tersebut batal demi hukum.
5
LBH Jakarta.“PROSES PERSIDANGAN PENGADILAN HARUS TETAP TERBUKA UNTUK UMUM MESKIPUN DILAKSANAKAN SECARA ONLINE AKIBAT WABAH PANDEMI VIRUS COVID-19” https://www.bantuanhukum.or.id/web/proses-persidangan-pengadilan-harus-tetap-terbuka-untuk-umummeskipun-dilaksanakan-secara-online-akibat-wabah-pandemi-virus-covid-19/ diakses pada 31 Agustus 2020 pukul 23.34 WIB.
Di satu sisi, bila pun badan peradilan di bawah Mahkamah Agung RI hendak menghindar dari mandat/kewajiban Undang-undang yang menyatakan persidangan wajib terbuka untuk umum dengan menggunakan dasar berupa Surat Edaran Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan, maka hal tersebut tak dapat dibenarkan. Ini dikarenakan Surat Edaran Dirjen Badan Peradilan Umum yang membatasi pengambilan foto, rekaman video, dan rekaman audio dengan harus seizin Ketua Pengadilan setempat bertentangan dengan prinsip keterbukaan proses peradilan dalam UU Kekuasaan Kehakiman, KUHAP, maupun UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Selain itu, Surat Edaran Dirjen Badan Peradilan Umum telah diperintahkan untuk dicabut oleh Ketua Mahkamah Agung RI karena tidak sesuai dengan prinsip keterbukaan peradilan. Pelaksanaan persidangan yang terbuka untuk umum ini menjadi penting karena bagian dari transparansi dan upaya melaksanakan amanat due process of law. Transparansi menjadi penting agar publik dapat mengawasi jalannya persidangan, menyimak fakta-fakta hukum yang ditampilkan di dalam persidangan, dan meminimalisir adanya intrik/permainan mafia peradilan yang berpotensi mengintervensi jalannya pemeriksaan perkara yang dapat berujung pada putusan yang tidak berkeadilan bagi pencari keadilan di persidangan.
F. Kesimpulan Pelaksanaan sidang secara daring merupakan improvisasi yang sangat baik dalam mengatasi problema yang diakibatkan dari wabah covid-19. Namun, perlu juga diperhatikan dan menjadi fokus utama dalam proses peradilan ialah mencapai kepastian, keadilan dan kebermanfaatan hukum. Untuk itu perlu regulasi dan Standar operational prosedur (SOP) yang lebih lengkap dalam melaksanakan sidang secara daring. Para penyelenggaran peradilan hendaknya Kembali mengkaji secara lebih dalam dan melakukan penemuaan hukum baru dalam pelaksanaan sidang secara daring, sehingga dapat diperoleh tujuan hukum yang sejati yaitu keadilan, kepastian dan kebermanfaatan hukum itu sendiri.
ANALISIS ISI DAN PROSES PEMBUATAN ATURAN OMNIBUS LAW Amsal Sihite 2019 I. Fakta Hukum Pada bulan Oktober 2020 Buruh Indonesia melakukan gerakan mogok nasional selama tiga hari untuk menyuarakan penolakan terhadap RUU Cipta kerja.1 RUU Cipta kerja sendiri merupaka salah satu bagian dari Omnibus Law sendiri. Dalam Omnibus Law sendiri itu ada terdapa 3 RUU yang akan siap diundangkan, antara lain: RUU Cipta Kerja, RUU tentang ketentuan dan Fasilitas Perpajakan Untuk Penguatan Perekonomian dan RUU tentang Pengemban dan Penguatan Sektor Keuangan. Seperti yang kita tahu bahwa Omnibus Law sendiri memiliki arti bahwa metode atau konsep pembuatan regulasi yang memang menggabungkan beberapa aturan sekaligus menjadi satu peraturan. 2 Kenapa ditengah Pandemi Covid-19 ini, pemerintah Indonesia ingin mengesahkan RUU Cipta kerja? Sejak pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia pada bulan Maret 2020, perekonomian Indonesia terpengaruh menjadi turun, hal ini disebabkan karena Indonesia pada saat pandemi ini mengeluarkan peraturan mengenai PSBB dan juga Work For Home, sehingga banyak kegiatan ekonomi yang terhenti dan tidak heran jika perekonomian Indonesia yang menengah kian menurun.3 Pengesahan Omnibus Law ini di latar belakangi karena Indonesia merasa bahwa ada banyak kesusahan jika ingin berinvestasi di Indonesia. faktor faktor tersebut dikarenakan susahnya perizinan, perpajakan, pengadaan tanah dan banyak aspek lainnya. Ada beberapa manfaat yang akan diterima Indonesia jika banyak Negara ataupun organisasi lain berinvestasi di Indonesia, antara lain, 1
Muhammad Idris, ”Mengenal Apa Itu Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan Isi Lengkapnya”, https://money.kompas.com/read/2020/10/05/102200626/mengenal-apa-itu-omnibus-law-ruucipta-kerja-dan-isi-lengkapnya?page=all, diakses 9 September 2020 2 Ibid. 3 Lilik Hamdan, “Kajian Urgensi Pembahasan Omnibus Law UU Cipta Kerja di Tengah Lonjakan Kasus Positif Covid-19”, https://pangandaran.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-10808845/kajianurgensi-pembahasan-omnibus-law-uu-cipta-kerja-di-tengah-lonjakan-kasus-positif-covid-19, Diakses 9 September 2020
Indonesia mendapatkan modal baru untuk membantu Pemerintah membangun infrastuktur, dapat membuka lapangan kerja, menghadirkan kemajuan di bidang tertentu dan dapat menjamin perlindungan Negara.4 II. Isu Hukum Permasalahan yang terjadi pada pembahasan Omnibus Law ini adalah isi yang kerap lebih mementingkan kepentingan investor dibanding Buruh Indonesia. Dalam isi Omnibus Law Cipta kerja terdapat banyak perubahan yang merugikan buruh, empat perubahan diantaranya adalah dihapusnya ketentuan Pasal 91 UU Ketenagakerjaan tentang kesepakatan pengupahan, pasal 88B tentang penetapan upah, perubahan ketentuan tentang jangka waktu PKWTT, serta Pasal 77 tentang ketentuan waktu kerja. 5 Hal ini yang menjadi ketakutan bagi buruh yang ada di Indonesia, yaitu seperti kesemena-menaan yang akan terjadi pada buruh. Pada pasal 56 RUU Cipta Kerja perjanjian kerja waktu tertentu diatur berdasarkan kesepakatan para pihak, tetapi berbeda dari sebelumnya, jangka waktu itu nanti akan diatur dengan peraturan pemerintah, dan dalam Omnibus Law itu sendiri belum jelas mengenai peraturan pemerintah yang mana yang akan dipakai, atau jangan-jangan peraturan pemerintah tersebut belum ada. Hal ini membuat pertanyaan mengenai bagaimana jaminan dari peraturan Omnibus Law ini sendiri. Tidak sampai disitu, proses pembuatan daripada Omnibus Law sendiri juga memberikan kesan tidak Tranparansi kepada masyarakat. Pada saat dimulainya pembahasan Omnibus Law ini oleh DPR, Masyarakat sama sekali belum mendapatkan draft UU tersebut. Tanpa penerapan transparansi, bagaimana masyarakat dapat percaya kepada pemerintah? 6 Tidak heran jika ada masyarakat Indonesia melakukan demo dan lainnya, ada kemungkinan bahwa Omnibus Law 4
Prabowo, Adhi Setyo, Andikha Nugraha Triputra, Yoyok Junaidi, “Politik Hukum Omnibus Law di Indonesia”, Jurnal Pamator, Vol 13, No.1, April 2020 5 Ahmad Fauzan, “Omnibus Law Cipta Kerja Merugikan Buruh Memanjakan Oligarki”, https://tirto.id/omnibus-law-cipta-kerja-merugikan-buruh-memanjakan-oligarki-f6aF, Diakses 9 September 2020 6 Haris Prabowo, “Omong Kosong Transparansi DPR dan Pemerintah Soal UU Cipta Kerja”, https://tirto.id/omong-kosong-transparansi-dpr-dan-pemerintah-soal-uu-cipta-kerja-f54x, Diakses 9 September 2020
memang merupakan aturan yang baik, akan tetapi karena tidak ada transparansi pemerintah maka banyak masyarakat yang kekuarangan informasi dan salah sangka kepada peraturan Omnibus Law. III. Dasar Hukum 1. Undang-Undang Dasar 1945 2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik 3. Undang-Undang Nomor13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan 4. Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan IV. Analisis Hukum Jaminan Hak manusia itu dasarnya sudah diatur dalam UUD 1945, salah satunya pada pasal 28. Apabila pembuatan UU Omnibus Law ini memberikan akibat yang tidak bagus bagi buruh, sehingga mengakibatkan hilangnya beberapa hak buruh tersebut atau menentang HAM maka hal ini tidak sejalan dengan apa yang diatur dalam UUD 1945 tersebut.7 Kajian lebih lanjutnya mengenai hak ini sendiri itu ada diatur dalam UU no 13 Tahun 2013 tentang ketenagakerjaan. Dalam UU No 13 tahun 2013 tentang ketenagakerjaan itu diatur mengenai Perlindungan, Pengupahan dan Kesejahteraan daripada tenaga kerja. Memang dalam UU ini aka nada beberapa hal yang akan diubah jika berlandaskan pada peraturan Omibus Law, akan tetapi pemerintah dalam mengkaji UU Omnibus Law dapat melihat dan berlandsakan pada aturan UU no 13 tahun 2013 tentang ketenagakerjaan ini. Dasar daripada penerapan tranpsaransi ini dapat kita lihat pada saat disahkannya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dalam Rapat Paripurna DPR, 3 April 2008, sehingga semua warga negara Indonesia mendapat jaminan hak atas informasi.Tujuan pembentukan undangundang ini dikarenakan menjadi landasan hukum yang berkaitan dengan pemenuhan hak setiap warga negara untuk memperoleh berbagai informasi 7
Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, Pasal 28
berkenaan dengan kegiatan penyelenggaraan negara karena setiap badan publik seperti lembaga pemerintahan wajib menyediakan dan melayani permintaan informasi dari masyarakat yang mana jika informasi tersebut tidak termasuk dalam informasi publik yang dikecualikan karena bersifat rahasia. Berdasarkan pasal 2 UU
KIP,
tujuan UU
mengenai keterbukaan
informasi/transparansi masyarakat, antara lain: a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; b. mendorong
partisipasi
masyarakat
dalam
proses
pengambilan
kebijakan publik; c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik; d. mewujudkan penyelenggaraan transparan,
efektif
dan
negara efisien,
yang
baik,
akuntabel
yaitu serta
yang dapat
dipertanggungjawabkan; e. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak; f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau g. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas8 Sehingga apabila keterbukaan Informasi masih tertutup, bagaimana masyarakat mau percaya kepada pemerintah dan juga aturan Omnibus Law tersebut. Hal ini juga sejalan dengan Asas Asas Pemerintahan yang baik, dalam kegiatan administrasi dan yang paling penting adalah pembuaan UU adalah keterbukaan Informasi atau transparansi
8
Undang-Undang No 14 Tahun 2008
V. Kesimpulan Jika memang sudah dibahas maka kita sebagai masyarakat harus selalu mengkritisi akibat-akibat yang terjadi jika Omnibus Law disahkan. Omnibus Law mungkin tidak akan di demo oleh masyarakat asalkan UU Omnibus Law jelas dan bagaimana akan diterapkan. Isi yang kurang jelas daripada UU Omnibus Law tersebut juga harus segera diperbaiki. Peraturan Omnibus Law memang akan membawa dampak yang baik bagi perekonomuian, akan tetapi jika tidak ada jaminan untuk para buruh dan keterbatasan Informassi mengenai UU ini maka bagaimana masyarakat dapat mempercayai Pemerintah dan UU tersebut?
DAFTAR PUSTAKA Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Undang-Undang Nomor13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Jurnal Prabowo, Adhi Setyo, Andikha Nugraha Triputra, Yoyok Junaidi, “Politik Hukum Omnibus Law di Indonesia”, Jurnal Pamator, Vol 13, No.1, April 2020 Artikel Muhammad Idris, ”Mengenal Apa Itu Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan Isi Lengkapnya”, https://money.kompas.com/read/2020/10/05/102200626/mengenalapa-itu-omnibus-law-ruu-cipta-kerja-dan-isi-lengkapnya?page=all,
diakses
9
September 2020 Lilik Hamdan, “Kajian Urgensi Pembahasan Omnibus Law UU Cipta Kerja di Tengah
Lonjakan
Kasus
Positif
Covid-19”,
https://pangandaran.pikiran-
rakyat.com/nasional/pr-10808845/kajian-urgensi-pembahasan-omnibus-law-uucipta-kerja-di-tengah-lonjakan-kasus-positif-covid-19, Diakses 9 September 2020 Ahmad Fauzan, “Omnibus Law Cipta Kerja Merugikan Buruh Memanjakan Oligarki”, https://tirto.id/omnibus-law-cipta-kerja-merugikan-buruh-memanjakanoligarki-f6aF, Diakses 9 September 2020 Haris Prabowo, “Omong Kosong Transparansi DPR dan Pemerintah Soal UU Cipta Kerja”, https://tirto.id/omong-kosong-transparansi-dpr-dan-pemerintah-soaluu-cipta-kerja-f54x, Diakses 9 September 2020
Analisis Terhadap Polemik Dalam Klaster Omnibus Law Arkana Putra Gumayra 2019 A. Fakta Pada tanggal 05 okotober 2020, Dewan perwakilan rakyat Indonesia ( DPR – RI ) lewat rapat paripurnanya, telah mengesahkan Omnibuslaw Law RUU Cipta kerja menjadi Undang – undang.. B. Permasalahan Undang undang yang katanya akan membuat rakyat indonesia khususnya rakyat kecil semakin sejahtera , justru berisi kebijakan kebijakan yang tidak adil bagi rakyat, khususnya rakyat menengah kebawah. hal tersebut telah melanggar Pancasila ke – 5 yang merupakan dasar dalam pembentukan Undang – undang. Ketika rakyat menganalisa isi Undang – undang ini yang bermasalah, pemerintah justru mengatakan apa yang rakyat analisa adalah sebuah kebohongan. Maka dari itu, melalui tulisan ini, saya akan mengupas tuntas bahwa Undang – Undang ini sangatlah bermasalah. C. Dasar Hukum : RUU Cipta kerja yang diterbitkan pada tanggal 12 Februari 2020 D. Analisa : 1. Benarkah Uang pesangon akan dihilangkan? Uang pesangon tetap adaBAB IV: KETENAGAKERJAAN - Pasal 89 Tentang perubahan terhadap Pasal 156Ayat 1 UU 13 Tahun 2003menyebutkan Dalam hal terjadi pemutusan hubungankerja, pengusaha wajib membayar uangpesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja. Ada beberapa pesangon yang dihapuskan oleh UUOL CK, yaitu: (1) Menghapuskan uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena surat peringatan. Padahal dalam UU Ketenagakerjaan pasal 161 menyebutkan pekerja/buruh yang di PHK karena mendapat surat peringatan memiliki hak mendapatkan pesangon. (2) Menghapuskan uang pesangon bagi bekerja/buruh yang di PHK karena peleburan, pergantian status kepemilikan perusahaan. Pekerja/buruh yang di PHK karena pergantian status kepemilikan perusahaan tidak akan diberi pesangon lagi oleh perusahaan awal, sebab hal ini sudah dihapus dalam UU OL Cipta Kerja.
(3) Menghapuskan uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi 2 tahun dan pailit. Pemerintah telah menghapus UU Ketenagakerjaan pasal 164 dan 165 di dalam Cipta Kerja Jadi nantinya pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan mengalami kerugian dan pailit tidak mendapatkan pesangon. (4) Menghapuskan uang santunan berupa pesangon bagi ahli waris atau keluarga apabila pekerja/buruh meninggal. Cipta Kerja juga telah menghapus pemberian uang santunan berupa pesangon, hak uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak bagi ahli waris yang ditinggalkan. (5) Menghapuskan uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena akan memasuki usia pensiun. Pemerintah telah menghapus Pasal 167 UUK yang isinya mengatur pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena memasuki usia pensiun.
2. Benarkah UMP, UMK, UMSP dihapus? Upah Minimum Regional (UMR) tetap ada.didalam BAB IV: KETENAGAKERJAAN Pasal 89 Tentang perubahan terhadap Pasal 88C UU13 Tahun 2003: -
(Ayat 1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. (Ayat 2) Upah minimum sebagaimanadimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi. Jawaban :
Persoalannya, tidak cukup ditentukan hanya dengan UMR Provinsi.UU OL CK ternyata Meniadakan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMK), upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), sehingga penentuan upah hanya berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP). 3. Benarkah Upah buruh dihitung per jam? Faktanya: Tidak ada perubahan dengan sistem yang sekarang. Upah bisa dihitung berdasarkan waktu atau berdasarkan hasil. Pada BAB IV: KETENAGAKERJAAN - Pasal 89Tentang perubahan terhadap Pasal 88 UU13 Tahun 2003, Upah ditetapkan berdasarkan: a. satuan waktu; dan/atau b. satuan hasil. Persoalannya, di UUK tidak diatur tentang perhitungan upah kerja berdasar satuan waktu dan satuan hasil. UU OL CK mengatur Adanya upah satuan hasil
dan waktu.Upah satuan hasil adalah upah yang ditetapkan berdasarkan satu waktu seperti harian, mingguan atau bulanan. Sementara upah satuan hasil adalah upah yang ditetapkan berdasarkan hasil dari pekerjaan yang telah disepakati.Potensi upah per jam (berdasarkan satuan waktu), juga terlihat dari revisi Pasal 92 yang dalam Ayat (2) menjadi seperti ini: Struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pedoman untuk penetapan upah berdasarkan satuan waktu. Meskipun di dalam Cipta Kerja tidak secara tegas dikatakan upah per jam, namun perangkat hukum yang kelak akan digunakan sebagai upah per jam boleh jadi sudah disiapkan. Jika ini diberlakukan, buruh akan benar-benar cilaka karena takehomepaynya bisa jauh dari UMR. 4. Benarkah Semua hak cuti (cuti sakit, cuti kawinan, cuti khitanan, cuti baptis, cuti kematian, cuti melahirkan) hilang dan tidak ada kompensasi? Pada BAB IV: KETENAGAKERJAAN Pasal 89Tentang perubahan terhadap Pasal 79 UU13 Tahun 2003 (Ayat 1) Pengusaha wajib memberi: a. waktu istirahat; dan b. cuti. A. (Ayat 3) Cuti yang wajib diberikan kepadapekerja/buruh yaitu : -
cuti tahunan, palingsedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerjaselama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
B. (Ayat 5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat di atas,perusahaan dapat memberikan cuti panjang yang diatur dalam perjanjian kerja,peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Persoalannya adalah banyak hak cuti buruh yang ditiadakan. yaitu : (1) UU Cipta Kerja ini menyerahkan regulasi terkait hak cuti panjang kepadaperusahaan. (2) UU Cipta Kerja tidak mencantumkan hak cuti panjang selama 2 bulan bagi pekerja/ buruh yang sudah bekerja selama 6 tahun secara terus menerus dan menyerahkan aturan itu kepada perusahaan atau perjanjian kerja sama yang disepakati. (3) UU Cipta Kerja tidak mencantumkan hak cuti haid bagi perempuan. RUU Cipta Kerja tidak menuliskan hak cuti haid di hari pertama dan kedua masa menstruasi yang sebelumnya diatur dalam UUK. (4) UU Cipta Kerja tidak mencantumkan
pembahasan, perubahan atau status penghapusan pasal tentang Cuti hamil dan melahirkan (Pasal 82 UUK), Hak menyusui (Pasal 83 UUK), cuti menjalankan perintah wajib agama (Pasal 80 UUK). 5. Benarkah Outsourcing diganti dengan kontrak seumur hidup? Outsourcing ke perusahaan alih daya tetap dimungkinan. Pekerja menjadi karyawan dari perusahaan alih daya. Pada BAB IV: KETENAGAKERJAAN pasal 89 Tentang perubahan terhadap Pasal 66 Ayat1 UU 13 Tahun 2003 menyebutkan : Hubungan kerja antara perusahaan alih dayadengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidaktertentu. Persoalannya adalah ketika tidak ada batas waktu berapa lama seorang pekerja menjadi pegawai alih daya. didalam UUK , diantaranya : (1) Pasal 59 UUK mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) terhadap pekerja itu maksimal dilakukan selama 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun.Lalu UU OL CK menghapus Pasal 59 UUK yang mengatur tentang syarat pekerja waktu tertentu atau pekerja kontrak. Dengan penghapusan pasal ini, maka tidak ada batasan aturan seseorang pekerja bisa dikontrak, akibatnya bisa saja pekerja tersebut menjadi pekerja kontrak seumur hidup. (2) Aturan UUK penggunaan outsourcing dibatasi dan hanya untuk tenaga kerja di luar usaha pokok. UU Cipta Kerja akan membuka kemungkinan bagi lembaga outsourcing untuk mempekerjakan pekerja untuk berbagai tugas, termasuk pekerja lepas dan pekerja penuh waktu. Hal ini akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin bebas. 6. Benarkah tidak akan ada status karyawan tetap? Pada BAB IV: KETENAGAKERJAAN - Pasal 89Tentang perubahan terhadap Pasal 56 UU13 Tahun 2003 disebutkan bahwa Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Pasal 59 UUK mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) terhadap pekerja itu maksimal dilakukan selama 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun.Lalu , UU OL CK menghapus Pasal 59 UUK yang mengatur tentang syarat pekerja waktu tertentu atau pekerja kontrak. Dengan penghapusan pasal ini, maka tidak ada batasan aturan seseorang pekerja bisa dikontrak, akibatnya bisa saja pekerja tersebut menjadi pekerja kontrak seumur hidup. 7. Apakah Perusahaan bisa memPHKkapanpun secara sepihak?
Pada BAB IV: KETENAGAKERJAAN - Pasal 90 Tentang perubahan terhadap Pasal 151 UU13 Tahun 2003 disebutkan bahwa : -
(Ayat 1) Pemutusan hubungan kerja dilaksanakan kesepakatanantara pengusaha dengan pekerja/buruh.
berdasarkan
-
(Ayat 2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungankerja dilakukan melalui prosedurpenyelesaian perselisihan hubunganindustrial sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan.
Jawaban : Persoalannya adalah, selain 9 alasan PHK, di UUOL CK ada tambahan alasan perusahaan mem-PHK buruh.alasan – alasan terebut adalah : (1) Melihat pada UU Ketenagakerjaan, ada 9 alasan perusahaan boleh melakukan PHK seperti: 1. Perusahaan bangkrut 2. Perusahaan tutup karena merugi 3. Perubahan status perusahaan 4. Pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja 5. Pekerja/buruh melakukan kesalahan berat 6. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun 7. Pekerja/buruh mengundurkan diri 8. Pekerja/buruh meninggal dunia 9. Pekerja/buruh mangkir UU Cipta Kerja menambah 5 poin lagi alasan perusahaan boleh melakukan PHK, di antaranya meliputi: 1.. Perusahaan melakukan efisiensi. 2. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan. 3. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang
4. Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh 5. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan Kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan . Pasal 56 Ayat (3), Omnibus Law RUU Cipta Kerja mengatur jika jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak. Namun, Omnibus Law RUU Cipta Kerja juga menghapuskan ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan mengenai aturan pembatasan jenis pekerjaan dan jangka waktu yang bisa diikat dalam kontrak kerja. Ketentuan tentang perjanjian kerja PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu) dapat berakhir saat pekerjaan selesai juga membuat pekerja rentan dilakukan pemutusan hubungan kerja karena perusahaan dapat menentukan sepihak pekerjaan berakhir. 8. Benarkah Jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang? Faktanya: Jaminan sosial tetap ada. BAB IV: KETENAGAKERJAAN - Pasal 89Tentang perubahan terhadap Pasal 18 UU40 Tahun 2003 meyebutkan bahwa : Jenis program jaminan sosial meliputi: a. jaminan kesehatan; b. jaminan kecelakaan kerja; c. jaminan hari tua; d. jaminan pensiun; e. jaminan kematian; f. jaminan kehilangan pekerjaan. Jawaban : Pasal 167 ayat (5) UUK menyatakan, dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). UU OL CK menghapus sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun. Didalam UU
OL CK menghapus Pasal 184 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan "Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp100.000.000.00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah)". Jadi, ada hak pekerja yg hilang, yakni jaminan pensiun. Apakah itu dianggap tidak berartibagi pekerja? 9. Benarkah Semua karyawan berstatus tenaga kerja harian? Faktanya: Status karyawan tetap masih ada. Pada BAB IV: KETENAGAKERJAAN - Pasal 89Tentang perubahan terhadap Pasal 56 Ayat1 UU 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentuatau untuk waktu tidak tertentu. Pasal 59 UUK mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) terhadap pekerja itu maksimal dilakukan selama 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun. UUOL CK menghapus Pasal 59 UUK yang mengatur tentang syarat pekerja waktu tertentu atau pekerja kontrak. Dengan penghapusan pasal ini, maka tidak ada batasan aturan seseorang pekerja bisa dikontrak, akibatnya bisa saja pekerja tersebut menjadi pekerja kontrak seumur hidup. Memang betul akan tetap ada pegawai tetap, tetapi pegawai baru lainnya akan sulit menjadi pegawai tetap perusahaan jika tidak ada pembatasan waktu menjadi pegawai kontrak. 10. Benarkah Tenaga kerja asing bebas masuk? Faktanya: Tenaga kerja asing tidak bebas masuk, harus memenuhi syarat dan peraturan. Pada BAB IV KETENAGAKERJAAN Pasal 89 Tentang perubahan terhadap Pasal 42 Ayat1 UU 13 Tahun 2003 menyebutkan Setiap pemberi kerja yang mempekerjakantenaga kerja asing wajib memilikipengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing dari Pemerintah Pusat. (1) Pasal 42 ayat 1 UUK menyatakan:Setiap pemberi kerja yang mempekerjakantenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Ketentuan ini diperlunak dalam RUU Cipta Kerja, izin tertulis TKA diganti dengan pengesahan rencana penggunaan TKA. (2) Pasal 43 ayat 1 UUK berbunyi Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. pasal 43 mengenai rencana penggunaan TKA dari pemberi kerja sebagai syarat mendapat izin kerja dimana dalam RUU Cipta kerja, informasi terkait periode penugasan ekspatriat, penunjukan tenaga kerja
menjadi warga negara Indonesia sebagai mitra kerja ekspatriat dalam rencana penugasan ekspatriat dihapuskan. (3) Pasal 44 ayat 1 UUK menegaskan bahwa Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku.Oleh UU OL CK Pasal 44 mengenai kewajiban menaati ketentuan mengenai jabatan dan kompetensi TKA dihapus. Apakah hal ini tidak berarti ada indikasi bahwa TKA lebih leluasa dan bebas masuk? E. KESIMPULAN Bahwa Undang – undang Cipta kerja ini memang bermasalah adalah bukan suatu kebohongan.beberapa poin diatas telah menjawab bahwasannya pemerintah seharusnya tidak mengesahkan undang – undang ini. Maka dari itu, langkah yang paling tepat yang bisa dilakukan pemerintah adalah membuat Undang – undang baru yang bertujuan untuk menggantikan Undang undang ini yang mempunyai banyak kejanggalan.
TANTANGAN PELAKSANAAN SIDANG PIDANA ONLINE SEBAGAI DAMPAK DARI WABAH PANDEMI COVID-19 Muhamad Bayu Nugroho ALSA Local Chapter Universitas Sriwijaya
A. Pendahuluan Berkembangnya wabah virus covid-19 di Indonesia menjadi tantangan sendiri bagi para penegak hukum maupun penerapan pelaksanaan peradilan hukum di Indonesia. Data statistik terakhir menunjukkan bahwa setidaknya terdapat 174.796 kasus positif corona di Indonesia dengan kasus kematian sebanyak 7.417 jiwa, pasien dalam pengawasan (PDP) sebanyak 41.420 orang dan pasien yang sembuh sebanyak 125.959 orang.1 Angka di atas menunjukkan bahwa semakin daruratnya Indonesia dalam menghadapi wabah virus covid-19 ini. Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi semua pihak untuk tetap menjalankan rutinitas dan agenda kerja seperti biasanya termasuk juga dalam mekanisme pelaksanaan persidangan di Indonesia. Sejak pandemi covid-19 mulai mewabah ke seluruh dunia sejak awal tahun 2020, banyak negara-negara di dunia yang telah memberlakukan social/physical distancing (pembatasan sosial/fisik) bahkan lockdown (karantina wilayah). Indonesia dan Amerika Serikat termasuk negara-negara yang tidak memberlakukan lockdown namun bukan berarti hal tersebut tidak membawa dampak pada dunia praktik hukum. Meskipun tidak memberlakukan lockdown, Indonesia dan Amerika Serikat tetap memberlakukan social distancing di negaranya yang menyebabkan tidak mungkin suatu peradilan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya (dalam situasi normal) sesuai dengan peraturan yang berlaku. Demi menerapkan social distancing, maka Institusi Pengadilan tidak dimungkinkan untuk mengadakan persidangan sesuai dengan standar yang telah diatur sebelumnya, karena dapat menimbulkan kerumunan orang, yang menyebabkan resiko penyebaran virus covid-19 semakin tinggi.
1
https://covid19.go.id/peta-sebaran diakses pada 31 Agustus 2020 pukul 19.08 WIB.
Hal ini menyebabkan institusi pengadilan harus menggantungkan diri pada teknologi untuk menunjang keberlangsungan
pelayanan
hukum
kepada
para
pencari
keadilan.
Pemanfaatan secara maksimal sistem e-court yang sudah berjalan sejak dikeluarkannya Perma No. 1 Tahun 2019 saat ini telah menjadi solusi bagi institusi pengadilan di bawah Mahkamah Agung untuk tetap memberikan pelayanan hukum meskipun para pencari keadilan tidak hadir di pengadilan secara langsung. Pemanfaatan e-court ini pada akhirnya bermuara pada pentingnya penerapan Virtual Courts yang diadakan secara daring tanpa perlu menghadirkan para pihak di ruang persidangan. B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dan empiris . Penulis mengumpulkan data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan melakukan studi kepustaakaan. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur mengenai regulasi persidangan online di Indonesia baik sebelum dan sesudah pandemi covid-19 mewabah, dan dikaji secara mendalam terhadap fenomena yang terjadi selama pandemi covid-19. C. Dasar Hukum 1. Pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 4. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2019 tentang Tata Cara Persidangan Secara Eloktronik. 5. SEMA No. 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lingkungan MA dan Badan Peradilan di Bawahnya 6. Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor B-049/A/SUJA/03/2020 tanggal 27 Maret 2020 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Tugas, Fungsi dan Kewenangan Kejaksaan di tengah pandemi Covid 19. D. Rumusan Masalah 1. Bagaimana regulasi pelaksanaan persidangan yang dilakukan secara daring?
2. Apa saja masalah yang ditimbulkan akibat pelaksanaan persidangan yang dilakukan secara daring? E. Hasil dan Pembahasan 1. Regulasi Pelaksanaan Sidang Secara Daring Pada tanggal 23 Maret 2020, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Badan Peradilan yang Berada Di Bawahnya. Surat ini mengevaluasi sekaligus mencabut Surat Edaran Sekretaris Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Hakim dan Aparatur Peradilan Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran COVID-19 di Lingkungan Mahkamah Agung RI dan Badan Peradilan di Bawahnya, yang dikeluarkan pada tanggal 17 Maret 2020. Dengan berpedoman pada Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 19 Tahun 2020 tanggal 16 Maret 2020 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Aparatur Sipil Negara Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran COVID-19 di lingkungan instansi Pemerintah, maka SEMA No 1 Tahun 2020 ini memberikan instruksi kepada Hakim dan Aparatur Peradilan untuk melaksanakan tugas jabatannya dengan bekerja di rumah atau tempat tinggalnya (Work From Home) dan menerapkan social distancing dalam pemberian pelayanan secara langsung di lingkungan institusi serta penerapan protokol kesehatan di lingkungan kerja.2 Merujuk pada SEMA No 1 Tahun 2020 ini, dalam pelaksanaan peradilan pidana juga tentunya harus mematuhi dengan melakukan improvisasi dalam pelaksanaan sidang secara daring. Namun pelaksanaan persidangan melalui teleconference di kemudian hari akan menimbulkan permasalahan harmonisasi hukum. Dengan tidak diubahnya UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (disebut sebagai KUHAP) yang mengatur tentang Sistem Peradilan Pidana 2
Mahkamah Agung Republik Indonesia, https://www.mahkamahagung.go.id/id/pengumuman/4065/surat-edaranmahkamah-agung-ri-nomor-1-tahun-2020-tentang-pedoman-pelaksanaan-tugas-selama-masa-pencegahanpenyebaran-corona-virus-disease-2019-covid-19-di-lingkungan-mahkamah-agung-ri-dan-badan-peradilan-yangberadadibawahnya#:~:text=Mahkamah%20Agung%20Republik%20Indonesia&text=Jakarta%2DHumas%2C%20Senin%2C %2023,RI%20Nomor%20%3A%201%20Tahun%202020.&text=23%20Maret%202020.,Tentang%20Pedoman%20Pelaksanaan%20Tugas%20Selama%20Masa%20Pencegahan%20Penyebaran%20Corona %20Virus,Badan%20Peradilan%20Berada%20di%20Bawahnya. Diakses pada 31 Agustus 2020 pukul 22.42 WIB
di Indonesia, maka sulit untuk diadakannya pelaksanaan Persidangan melalui Teleconference. Perjanjian Kerjasama antar ketiga lembaga tersebut tidak memiliki landasan hukum yang cukup kuat bahkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dalam hal ini adalah KUHAP, PP Nomor 27 tahun 1983 jo. PP Nomor 58 Tahun 2010 jo. PP Nomor 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pada pasal 154 KUHAP meskipun tidak secara eksplisit disebutkan bahwa Terdakwa wajib hadir dalam persidangan. Namun dari ketujuh ayat pada Pasal 154 KUHAP menegaskan bahwa Terdakwa sepatutnya hadir dan tidak diperbolehkan untuk diwakili dalam persidangan berdasarkan surat panggilan oleh Jaksa Penuntut Umum (Pasal 152 ayat (2) KUHAP).3 KUHAP tidak memperbolehkan proses peradilan in absentia dalam acara pemeriksaan biasa dan pemeriksaan singkat hal ini dapat di lihat pada Pasal 154 ayat (4) KUHAP. Asas kehadiran terdakwa ini biasa dikenal dalam tindak pidana khusus seperti pada tindak pidana korupsi dant idnak pidana ekonomi. Asas kehadiran terdakwa ini memiliki sebutan lain yakni ius singular, ius speciale, atau bizonder strafrecht. Selain itu Asas Kehadiran terdakwa ini berhubungan dengan Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan. Pengaplikasian video conference pada pemeriksaan perkara di persidangan (khususnya perkara pidana) di Indonesia sebenarnya bukanlah menjadi hal yang baru. Sebelum pandemi COVID-19 penggunaan video conference sudah digunakan di beberapa kasus. Namun penggunaanya terbatas hanya untuk mendengarkan keterangan dari saksi. Hal ini sebagaimana di atur di dalam Pasal 9 Ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, di mana seorang saksi dapat didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang. Penggunaan video conference ini bertujuan untuk melindungi keamanan saksi dari berbagai ancaman atau demi mempermudah pemberian keterangan tanpa harus hadir di ruang sidang. Sementara itu pihak-pihak lain seperti Hakim, Penuntut Umum, Terdakwa dan pengacaranya tetap diwajibkan hadir di ruang sidang berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.
Anggita Doramia Lumbanraja . “PERKEMBANGAN REGULASI DAN PELAKSANAAN PERSIDANGAN ONLINE DI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT SELAMA PANDEMI COVID-19”.[2020]. [JURNAL CREPIDO]. [Vol.2]. [1]. 3
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/crepido/article/view/7896/4046 diakses pada 31 Agustus 2020, pukul 22.50 WIB.
2. Masalah yang Ditimbulkan Akibat Pelaksanaan Sidang Secara Daring Hakikat pembuktian dalam persidangan perkara pidana amat sangat penting. Lilik Mulyadi dalam bukunya "Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi," telah menguraikan urgensi beban pembuktian. Pembuktian merupakan suatu proses untuk menentukan dan menyatakan tentang kesalahan sesorang dapat dijatuhkan pidana. Dari hasil persidangan dapat dibuktikan sah dan meyakinkan sesorang melakukan tindak pidana (veroodeling), atau kemudian dapat pula dibebaskan dari dakwaan (Vrispraak) apabila tidak terbukti melakukan tindak pidana. Atau bisa dilepaskan dari segala tuntutan hukum (anslaag van allerchtvervolging) apabila apa yang didakwakan terbukti, tetapi bukan merupakan suatu tindak pidana.4 Yahya Harahap dalam bukunya "Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali." Mengemukakan bahwa pembuktian merupakan suatu ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang, yang digunakan oleh hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan dalam persidangan, dan tidak dibenarkan membuktikan kesalahan terdakwa dengan tanpa alasan yuridis dan berdasarkan keadilan. Permasalahan terkait pembuktian di muka persidangan saat ini, manakala persidangan perkara pidana dilaksanakan secara online atau melalui teleconference dengan alasan pandemi Covid-19. Hal tersebut sejatinya telah memantik sejumlah isu terkait keabsahan pembuktian yang dilakukan penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa serta keyakinan hakim, akan pembuktian yang dilakukan oleh penuntut umum. Pasal 183 KUHAP menjelaskan “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
4
Suara.cpm “Keabsahan Pembuktian dalam Persidangan Online di Masa Pandemi Covid-19” https://www.suara.com/yoursay/2020/05/22/163836/keabsahan-pembuktian-dalam-persidangan-online-di-masapandemi-covid-19?page=all diakses pada 31 Agustus 2020, pukul 23.24 WIB
Dan apabila kita memperhatikan penjelasan Pasal 183 KUHAP, maka maksud pasal tersebut adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Permasalahan saat ini dengan penerapan sidang secara online atau melalui teleconference yang sejatinya dalam praktik, terdakwa menjalani sidang dengan tetap berada di Lembaga Pemasyarakatan, sementara hakim berada di ruang persidangan dan penuntut umum berada di kantor kejaksaan ataupun diruang sidang bersama-sama dengan hakim, telah mempengaruhi pembuktian dalam persidangan. Untuk perkara pidana yang pembuktiannya mudah, hal tersebut sejatinya tidak terlalu berpengaruh. Namun, untuk perkara yang pembuktiannya rumit dan membutuhkan alat bukti yang spesifik, penerapan sidang secara online atau melalui teleconference menurut hemat penulis tidak dapat dilaksanakan. Melainkan harus dilakukan secara langsung, arti langsung disini adalah langsung dihadapkan terdakwa di depan hakim untuk menilai secara langsung pembuktian yang dilakukan oleh penuntut umum dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Dalam pelaksanaan persidangan online, untuk perkara pidana yang pembuktiannya rumit dan membutuhkan alat bukti spesifik yang penulis maksud adalah perkara yang dalam pembuktiannya menjadikan alat bukti surat sebagai dasar pijakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa, di mana tanpa alat bukti surat kesalahan terdakwa tidak dapat dibuktikan dan alat bukti lainnya seperti keterangan saksi bergantung pada alat bukti surat. Contoh dari perkara tersebut salah satunya yakni perkara korupsi yang membutuhkan dokumen-dokumen persuratan untuk membuktikan telah terjadi tindak pidana korupsi, sehingga dokumen-dokumen persuratan tersebut yang merupakan alat bukti surat haruslah diuji kebenarannya dan di perlihatakan secara langsung kepada para pihak untuk menilai kebenaran akan dokumen surat yang dijadikan alat bukti dalam persidangan. Sehingga pelaksanaan persidangan untuk perkara sebagaimana dimaksud penulis diatas, tidaklah dapat dilakukan melalui persidangan online karena akan rentan terjadi manipulasi persidangan atau permainan perkara yang dapat mengaburkan ataupun mengubah fakta persidangan, selain itu pelaksanaan persidangan online atau teleconference dari sisi non teknis juga rentan bermasalah seperti gangguan jaringan internet yang dapat mengakibatkan tidak didengar dan dilihatnya secara baik atau salah menangkap maksud keterangan para pihak baik itu jaksa,
hakim, pengacara, saksi maupun terdakwa yang dapat mengaburkan fakta sebenarnya sehingga tidak dapat dicapainya kebenaran materil dari hasil persidangan perkara pidana. Pembuktian yang rumit, yang membutuhkan kemampuan lebih dari penuntut umum untuk mengurai persesuaian keterangan para saksi, bukti surat, petunjuk dan alat bukti lainnya, serta mengkonfrontasi keterangan-keterangan saksi, terdakwa dan bukti surat yang dihadirkan oleh penuntut umum, tidak dapat dilakukan begitu saja melalui teleconference atau pertemuan secara virtual. Karena akan mempengaruhi hak-hak para pihak yang berperkara, baik itu terdakwa, korban, maupun masyarakat secara umum yang tidak dapat dikurangi ataupun disimpangi guna menemukan kebenaran materiil dalam pelaksanaan persidangan perkara pidana. Jika merujuk pada ketentuan Pasal 153 ayat (3) KUHAP jo. Pasal 13 UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), disebutkan bahwa setiap pemeriksaan pengadilan harus terbuka untuk umum. Jika pemeriksaan/persidangan tersebut tidak terbuka untuk umum, maka dapat mengakibatkan putusan pengadilan tersebut menjadi batal demi hukum. Pasal 153 ayat 3 KUHAP sendiri hanya membatasi untuk proses persidangan pidana dapat dikecualikan tidak terbuka untuk umum sejauh perkaranya mengenai tindak pidana kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. Sedangkan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa pemeriksaan pengadilan yang pada dasarnya terbuka untuk umum dapat dikecualikan sejauh undang-undang menentukan lain.5 Selain itu, implikasi lebih lanjutnya adalah bahwa putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Jika hal ini tidak dilakukan terbuka untuk umum, maka dapat mengakibatkan putusan tersebut batal demi hukum.
5
LBH Jakarta.“PROSES PERSIDANGAN PENGADILAN HARUS TETAP TERBUKA UNTUK UMUM MESKIPUN DILAKSANAKAN SECARA ONLINE AKIBAT WABAH PANDEMI VIRUS COVID-19” https://www.bantuanhukum.or.id/web/proses-persidangan-pengadilan-harus-tetap-terbuka-untuk-umummeskipun-dilaksanakan-secara-online-akibat-wabah-pandemi-virus-covid-19/ diakses pada 31 Agustus 2020 pukul 23.34 WIB.
Di satu sisi, bila pun badan peradilan di bawah Mahkamah Agung RI hendak menghindar dari mandat/kewajiban Undang-undang yang menyatakan persidangan wajib terbuka untuk umum dengan menggunakan dasar berupa Surat Edaran Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan, maka hal tersebut tak dapat dibenarkan. Ini dikarenakan Surat Edaran Dirjen Badan Peradilan Umum yang membatasi pengambilan foto, rekaman video, dan rekaman audio dengan harus seizin Ketua Pengadilan setempat bertentangan dengan prinsip keterbukaan proses peradilan dalam UU Kekuasaan Kehakiman, KUHAP, maupun UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Selain itu, Surat Edaran Dirjen Badan Peradilan Umum telah diperintahkan untuk dicabut oleh Ketua Mahkamah Agung RI karena tidak sesuai dengan prinsip keterbukaan peradilan. Pelaksanaan persidangan yang terbuka untuk umum ini menjadi penting karena bagian dari transparansi dan upaya melaksanakan amanat due process of law. Transparansi menjadi penting agar publik dapat mengawasi jalannya persidangan, menyimak fakta-fakta hukum yang ditampilkan di dalam persidangan, dan meminimalisir adanya intrik/permainan mafia peradilan yang berpotensi mengintervensi jalannya pemeriksaan perkara yang dapat berujung pada putusan yang tidak berkeadilan bagi pencari keadilan di persidangan.
F. Kesimpulan Pelaksanaan sidang secara daring merupakan improvisasi yang sangat baik dalam mengatasi problema yang diakibatkan dari wabah covid-19. Namun, perlu juga diperhatikan dan menjadi fokus utama dalam proses peradilan ialah mencapai kepastian, keadilan dan kebermanfaatan hukum. Untuk itu perlu regulasi dan Standar operational prosedur (SOP) yang lebih lengkap dalam melaksanakan sidang secara daring. Para penyelenggaran peradilan hendaknya Kembali mengkaji secara lebih dalam dan melakukan penemuaan hukum baru dalam pelaksanaan sidang secara daring, sehingga dapat diperoleh tujuan hukum yang sejati yaitu keadilan, kepastian dan kebermanfaatan hukum itu sendiri.