Local Chapter Legal Writing - ALSA LC UNAND

Page 1

LOCAL CHAPTER LEGAL WRITINGS

alsa-indonesia.org


KEKUATAN HUKUM DALAM PENEGAKAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM DITINJAU DARI ASPEK HUKUM DALAM PENANGANAN COVID-19 DI INDONESIA

Arya Putra Rizal Pratama

Universitas Andalas


ABSTRAK

Penelitian ini sebagaimana untuk mengetahui bagaimana kepastian hukum dalam penerapan yang telah diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. Dimana saat Covid-19 melanda Indonesia telah mengakibatkan masalah- masalah dari segala aspek ekonomi, sosial,dan hukum. Indonesia merupakan negara hukum dengan sistem Civil Law yang menekankan aturan-aturan secara tertulis.Penanganan Covid-19 di Indonesia berawal dari Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Pembatasan Pergerakan masyarakat disaat Covid-19. Inpres ini menjadi suatu pedoman bagi dasar hukum selama pandemi ini terjadi di Indonesia untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum di Indonesia. Peneliti akan mengamati bagaimana kekuatan hukum dalam penegakan dan perlindungan hukum dalam penanganan Covid-19 di Indonesia? Lalu bagaimana aspek kepastian hukum dalam penangana Covid-19 dalam ketatanegaraan di Indonesia?. Setelah peneliti amati bahwa (1) kekuatan hukum dalam penegakan dan perlindungan hukum mengalami suatu distorsi yang diakibatkan banyaknya regulasi dan kebijakan yang diterbitakan oleh pejabat berwenang. Lalu, aspek kepastian hukum dalam penanganan Covid-19 dalam ketatanegaraan mengalami kekosongan hukum dalam pengaturan terhadap perlindungan tenaga non- medis sebagai pihak sukarelawan dalam penanganan Covid-19. Metode penelitian ini melalui Normatif Yuridis (doctrinal research) atau disebut studi dogmatis.Pendekatan penelitian ini dilakukan secara peraturan perundang-undangan (statue approach), pendekatan kasus (cases approach) dan pendekatan analitis (analytical approach).

Kata kunci : Kepastian hukum, kekosongan hukum, pejabat berwenang, distorsi, dan perlindungan tenaga non-medis

1


BAB I PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Indonesia merupakan Negara Hukum” sebagaimana payung hukum untuk melindungi kegiatan umat manusia berdasarkan negara rechtstaats. Sejatinya tujuan hukum merupakan suatu hakikat keberadaan suatu aturan hukum sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan atas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan tersebut. Indonesia merupakan negara hukum dengan berlandaskan asas legalitas sebagaimana Nullum delictum nulla sine praevia lega poenali1 dalam penegakan atas hukum secara konstitusional. Keberhasilan dalam penegakan hukum akan berhasil apabila penerapan atas kepastian hukum selaras dengan Das Sollen dan Das Sein. Namun, tidak semudah itu sebuah negara menerapkan ketentuan-ketentuan hukum yang berada di dalam UndangUndang yang telah sah sebagaimana pedoman tujuan hukum tersebut. Kekuatan hukum merupakan amanah konstitusi yang akan diterapkan melalui peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan pembangunan hukum secara nasional2. Negara berperan sebagai regulator untuk mencapai suatu hak warga negara atas pengakuan, jaminan, dan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum3. Melihat keadaan bencana non-alam global (Covid-19), terutama Indonesia terus melakukan rekayasa hukum melalui pembentukan regulasi-regulasi terhadap pemenuhan terhadap pencegahan, perlindungan, keselamatan warga negara dari dampak penyebaran Corona Virus Dieases 2019. Indonesia telah menelan korban positif Covid-19 bertambah sebanyak 3.906 menjadi 340.622 orang4. Penyebaran Virus (Covid-19) mengalami suatu permasalahan yang mengakibatkan ketidakstabilan dalam berbagai macam aspek baik hukum, sosial, politik, dan ekonomi yang menjadi suatu tiang kuat dalam pertumbuhan dan perkembangan suatu negara. Ketika Pemerintah Pusat memberikan informasi pada tanggal 11 maret 2020 mengakibatkan suatu terganggunya fudamental negara yang berhubungan pada pemenuhan hak-hak dasar warga negara secara konstitusional. Presiden Jokowi langsung mengeluarkan kebijakannya melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 tentang Refocussing kegiatan, Realokasi Anggaran, Serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) menjadi awalnya proses pengaturan kehidupan masyarakat selama pandemi ini melanda di Indonesia. Pengaturan ini menjadi dasar da lam pengendalian umat manusia dalam berkegiatan di luar rumah, pendisiplinan dalam penggunaan APD dan penegakan hukum terhadap pencegahan penyebaran Covid-19 di Indonesia hingga saat ini.

Pasal 1 ayat 1Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahwa “ suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada” 2 Ketentuan pada Peraturan Perundang-undangan Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan perundangundangan 3 Ketentuan pada Pasal 28D ayat (1) UUD1945 4 Faizal Fanani, 2020, “Data Terkini Jumlah Korban Virus Corona di Indonesia”, artikel,berita, merdeka.com, https://www.merdeka.com/peristiwa/data-terkini-jumlah-korban-virus-corona-di-indonesia.html, 1

2


Penyebaran Covid-19 telah mengakibatkan suatu kekhawatiran yang luar biasa bagi setiap masyarakat di Indonesia meskipun pemerintah selaku regulator terus menerbitan berupa himbauan dan peraturan-peraturan yang dapat menunjang keberlanjutan dan stabilitas melalui peraturan pusat (Perppu), peraturan daerah (Perda), himbauan, serta Instruksiinstruksi sebagai pengikat antar pusat dengan daerah secara hukum. Selama proses penanganan yang telah dilakukan oleh pemerintah hingga saat ini adalah kesehatan masyarakat sebagai Hak Fudamental yang dijamin secara konstitusional. Sesungguhnya jaminan konstitusi terhadap hak atas kesehatan telah ada sejak masa Konstitusi Republik Serikat (RIS) 1949 “Penguasa senantiasa berusaha dengan sungguh-sungguh memajukan kebersihan umum dan kesehatan rakyat”5. Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang perlu diutamakan adalah asas perlindungan hukum dan kepastian hukum itu sendiri. Landasan perlindungan dan kepastian hukum dituangkan melalui prinsip bestuurszong (kesejahteraan umum). Pada idealnya, Sjachran Basah menuturkan, peran aktif negara dalam mewujudkan welfare state tidak membenarkan negara melakukan tindakan yang semena- mena, semuanya harus dapat dipertanggungjawabkan6. Penulis mengamati secara lapangan, bahwa kepastian aturan hukum saat Covid-19 melanda sudah secara konkret sesuai nilai- nilai hukum tersebut. Namun, secara penegakan yang dilakukan oleh penegak hukum selaku subjek hukum belum secara kuat mengamalkan kepastian hukum semestinya. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis 7.Penulis menganalisa dengan banyaknya pemerintah mengeluarkan berupa himbauan, instruksi,atau peraturan sebagai bentuk penangana hukum belum berarti kepastian akan tindakan hukum selaras dengan norma- norma pada regulasi tersebut. Melihat secara kasus, dengan minimnya kekuatan hukum terhadap Tenaga Kesehatan dan Non-Kesehatan masih menjadi suatu permasalahn yang harus diatasi secepat mungkin. Jumlah kematian tenaga kesehatan (nakes) di Indonesia akibat infeksi Covid-19 kembali meningkat, mencapai 228 nakes8. Penulis mengalisa bahwa pengaturan selama situasi Covid-19 di Indonesia masih belum kuat secara kekuatan hukum. Secara konstitusi bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat sepenuhnya dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.Indonesia sebagai sistem hukum Civil Law lebih berfokus pada keberadaan pengaturan secara prosedural daripada substansi atas perundang-undangan tersebut. Secara kekuatan hukum di Indonesia baik sebelum dan selama Covid-19 ini melanda di Indonesia terlihat bahwa jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum untuk rakyat masih mengalami suatu tumpang tindih. Secara aspek hukum dalam perlindungan perekonomian mengakibatkan suatu distorsi atas ketidakpastian dari pemerintah mengenai kinerja yang berhubungan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Setelah pemerintah pusat mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 untuk penanganan dari buruknya sistem keuangan negara Toar Palilingan, 2020, “Aspek Hukum Dalam Penanganan Wabah Covid-19”, artikel, berita, Manado Post, https://manadopost.jawapos.com/opini/20/04/2020/aspek -hukum-dalam-dalam-penanganan-wabah-covid19/, 6 Ade Mulya,2020, “Delapan Asas Mengawal Negara di Tengah Pandemi Covid-19”,artikel, berita, aceh trend, https://www.acehtrend.com/2020/05/09/delapan-asas-mengawal-negara-di-tengah-pandemi-covid19/, 7 I GedePe rdana Yoga, 2020, “Covid-19 Dalam Perspektif Kepastian Hukum Perlindungan Keselamatan”,artikel, berita bali, https://www.opini.beritabali.com/read/2020/07/21/202007210014/covid-19dalam-perspektif-kepastian-hukum-perlindungan-keselamatan, 8 Ellyvon Pranita, 2020, “Kematian Akibat Covid-19, Data Terbaru IDI Ungkap 228 Tenaga Kesehatan Meninggal Dunia, artikel, berita, kompas.com, https://www.kompas.com/sains/read/2020/09/29/170200223/kematian-akibat-covid-19-data-terbaru-idiungkap-228-tenaga-kesehatan?page=all, 5

3


dengan dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK)9. Namun, penulis melihat dari perppu no.1 tahun 2020 yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat hanya mitigasi pelemahan keuangan negara bukan pencegahan penyebaran Covid-19 di Indonesia. Hal ini mengalami suatu ketidaktegasan penerapan hukum yang akan menjadi suatu masalah pemerintah sebagaimana peran regulator untuk menjalankan nilainilai konstitusional tersebut.

II. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis dapat merumuskan dua pokok permasalahan yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana Kekuatan Hukum dalam Penegakan Hukum dan Perlindungan terhadap Penanganan Covid-19 di Indonesia ? 2. Bagaimana Aspek Hukum dalam Penanganan Covid-19 secara Ketatanegaraan di Indonesia ?

III. Dasar Hukum • • • • • • • •

• • •

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan Peraturan Pengganti Perundang-Undangan Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Tenaga Kesehatan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Kedaruratan Bencana pada Kondisi Tertentu Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Refocussing Kegiatan Anggaran, Serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19

9 Ketentuan pada Pertimbangan hukum terhadap (Perppu) Peraturan Pengganti Perundang-undangan Nomor1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasioanl Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan

4


BAB II ANALISA

A. Kekuatan Hukum dalam Penegakan Hukum dan Perlindungan terhadap Penanganan Covid-19 di Indonesia Penanganan Covid-19 di Indonesia berawal dari Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 sebagai upaya negara untuk menutup ruang gerak virus tersebut. Inpres tersebut mengatur mengenai pembatasan kemerdekaan masyarakat dalam menjalankan aktivitas di luar rumah yang sangat mengancam terkena Covid19.Konstitusi menjelaskan bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta perhormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,d an ketertiban umum dalam suatu masyarakay demokratis�10.Dasar seorang Kepala Negara dalam mengeluarkan suatu kebijakan harus berdasarkan pada asas perlindungan (Protection rule) dalam mencapai suatu kenikmatan dan kesejahteraan kepada masyarakat selaku pemegang kedaulatan negara. Penanganan Covid-19 di Indonesia baik secara tenaga kesehatan telah diatur berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 yang dimana adanya pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Namun, kebijakan sebagai pedoman untuk pengarah dan pelaksana selama pandemi virus ini masih berada di Indonesia. Selama Covid-19 melanda di Indonesia, banyak sekali aturan-aturan baik antara pusat dengan daerah saling tidak terkordinasi sehingga mengakibatkan suatu tumpang tindih secara tidak langsung. Seharusnya dengan adanya Intruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 menjadi suatu pedoman secara koordinasi kepada daerah dalam mengeluarkan suatu aturan atau kebijakan terhadap pengendalian penyebaran virus tersebut. Penulis menganalisa, bahwa selama penanganan pandemi Covid-19 pemerintah lebih fokus dalam pembentukan suatu regulasi atau kebijakan secara prosedural bukan secara substansi dalam pengaturan atas kebijakan tersebut. Keberhasilan kepastian hukum disuatu negara bukan diukur seberapa banyak negara membuat aturan atau regulasi yang akan diterapkan dihadapan publik. Melainkan, efektivitas terhadap substansi dalam regulasi atau kebijakan yang memiliki dampak luas dan sifat dari memaksa suatu aturan dalam diteladani oleh masyarakat luas. Pelaksanaan suatu aturan yang telah diterbitkan oleh pemerintah dapat diukur seberapa pedulinya masyarakat untuk mematuhi aturan tersebut.Namun, hal ini akan menjadi suatu dilematis pemerintah dalam mengeluarkan suatu aturan yang dimana mengakibatkan suatu kekecewaan terhadap masyarakatnya hingga akhirnya tidak melaksanakan instruksi pemerintah pusat11. Secara teori, dengan negara hukum 10

Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 Fathurrohman, 2020, “Kebijakan Covid-19 Tumpang Tindih�,artikel, berita, Fin Fajar Indonesia Networking, https://fin.co.id/2020/04/30/kebijakan-covid-19-tumpang-tindih/, 11

5


(rechtstaat) yang dengan menganut sistem civil law cenderung akan menggunakan aturan-aturan tertulis yang seakan-akan secara prosedural akan mengakibatkan suatu permasalahan dengan aturan lain apabila tidak selaras bahkan bertentangan kewenangan dengan aturan lain. Menurut konstitusi bahwa “untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin,diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”12. Penulis berpandangan bahwa dalam pembentukan suatu regulasi perlu mengutamakan nilai- nilai dalam penegakan dan perlindungan hak asasi manusia dengan prinsip negara hukum dan tidak mengakibatkan suatu pertentangan antar pihak lain secara eksplisit. Analisa publik dari Universitas Trisaksi Trubus Rahadiansyah menilai sejatinya kebijakan pemerintah pusat sudah cukup memfasilitasi banyak pihak 13. Menurut hasil lapangan faktor dari banyak aturan yang tumpang tindih diakibatkan ego sektoral dalam penentuan suatu peraturan tanpa adanya sinkronisasi antar sektoral lainnya. Penulis melihat, bahwa pemerintah masih perlu belajar dalam pengaturan suatu regulasi atau kebijakan dengan pihak atau bidang sektor lain di dalamnya sehingga kekuatan hukum dalam perlindungan dan penegakan hukum dalam penanganan Covid-19 di Indonesia dapat terlaksana sesuai dengan kepastian hukum tersebut. Politik hukum merupakan tujuan perundang- undangan untuk mencapai suatu tujuan hukum baik responsif atau sebaliknya.melihat karakter dari regulasi atau kebijakan melalui instruksi, himbauan dan kebijakan lainnya dapat dikatakan responsif. Namun, dengan tingginya ego sektoral antara stakeholder mengakibatkan aturan ini mengakibatkan suatu kerugiatan dikarenakan kerjasama antar para pihak tidak terlaksana dengan baik. Salah satu polemik dari kekuatan hukum pada regulasi yang dikeluarkan saat pandemi Covid-19 melanda di Indonesia adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020. Dimana menuai suatu kekecewaan terhadap masyarakat dan stakeholder yang tidak terlihat semangat dalam pengendalian penyebaran Covid-19 di Indonesia saat pemilihan tersebut. Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan bahwa ada masalah di UU Pilkada, yang hingga saat ini masih mengatur pilkada dalam situasi yang normal14. Penulis melihat ketegasan antara rakyat luas dengan pemerintah harus bersinergi dalam pengendilan virus tersebut. Apabila secara politik hukum dalam pembentukan suatu aturan bersifat responsif namun belum tentu penerapan secara lapangan akan mengakibatkan sesuai dengan nilai-nilai responsif yang dapat mengantarkan kepastian hukum sebagaimana tujuan hukum tersebut.

12

Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 Muhammad Adimaj, 2020, “100 Hari Covid-19, Ego Sektoral Bikin Peraturan Tumpang Tindih”,artikel. Berita, Kabar 24, https://kabar24.bisnis.com/read/20200610/15/1251036/100-hari-covid-19- egosektoral-bikin-peraturan-tumpang-tindih/2, 14 Ramadhan, 2020, “Polemik Konser Musik saat Kampanye Pilkada, Ternyata Ada Aturannya”,artikel, asums.co, https://asumsi.co/post/polemik-konser-musik-saat-kampanye-pilkada-ternyata-ada-aturannya, 13

6


B. Aspek Hukum dalam Penanganan Covid-19 secara Ketatanegaraan di Indonesia Dalam pengaturan hukum selama situasi penangan Covid-19 di Indonesia secara aspek hukum tidak terlalu signifikan dalam pengendalian penyebaran virus tersebut. Dimana penanganan Covid-19 di Indonesia dengan menggunakan tenaga nonkesehatan belum terdapatnya kepastian hukum dengan baik. Pengaturan tenaga nonkeseharan menurut analisa penulis masih diatur pada surat Pengumuman Direktur rumah sakit seperti RSUD Kota Depok Nomor :445/557-UPEP mengenai rekrutmen tenaga non- medis15. Secara hukum mengalami suatu permasalahan terhadap perlindungan hidupnya berupa hak-hak sebagaimana diatur tentang hak tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan diatur pada UU Nomor36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan yang menjelaskan, yakni16 : Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhakMemperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar Profesi,standar Pelayanan Profesi,dan Standar Prosedur Operasional.

Jika mengacu pada Keppres Nomor 7 Tahun 2020 bahwa “Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden”17.Menurut analisa penulis, bahwa pengaturan tenaga non-medis mengalami suatu ambigu terhadap kepastian hukum tersebut. Secara peraturan perundangundangan bahwa “ terdapatnya suatu kejelasan tujuan dan kedayagunaan dan kehasilgunaan sehingga dapat mencerminan asas pengayoman dan 18 kemanusia” .Secara substansial hukum di Indonesia sering mengalami suatu masalah terhadap tujuan regulasi ini dibentuk. Menurut pengaturan pada Keadaan Darurat Bencana bahwa “suatu keadaan yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan sekelompok orang/masyarakat yang memerlukan tindakan penanganan segera dan memadai, yang meliputi kondisi siaga darurat, tanggap darurat, dan transisi darurat ke pemulihan”19.Acuan ini menurut penulis akan menghindari dari kekosongan hukum terhadap kepastian hukum mengenai tenaga non- medis sebagai garda depan dalam pengendalian penyebaran Covid-19 tersebut. Jenis virus ini berasal dari penyakit zoonosis yang mengakibatkan pengaruhnya kesehatan makhluk hidup

Dwi Arjanto, 2020, “Wabah Corona, Sukarelawan Dokter dan Tenaga Medis Kian Krusial”,artikel, berita,Tempo.com, https://fokus.tempo.co/read/1325159/wabah-corona-sukarelawan-dokter- dantenaga-medis-kian-krusial/full&view=ok , 16 Pasal 57 huruf a UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan 17 Pasal 2 18 Ketentuan pada Pasal 5 huruf a dan e serta Pasal 6 huruf a dan b UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan 19 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Dalam Keadaan Tertentu 15

7


lainnya seperti manusia20. Dalam substansi pada pembentukan regulasi seharusnya pemerintah bersama stakeholder perlu melakukan mengamati terhadap virus sejenis SARS-Cov-2 terhadap dampak dari makhluk hidup lainnya seperti manusia. Tentunya kepastian hukum baik perlindungan, jaminan, kesehatan,keselamatan, dan kenyamanan dalam menjalankan kehidupan selama Covid-19 dapat tercapai sesuai dengan the purpose of law. Dibalik aspek kepastian hukum selama pandemi Covid-19 terdapatnya kebijakankebijakan yang memiliki potensi beresiko dalam menjalankan kehidupan berdemokrasi. Pasalnya Kapolri Jenderal Polisi (Kapolri) Idham Aziz mengeluarkan surat Telegram Rahasia (TR) tentang upaya penegakan hukum selama masa pencegahan penyebaran wabah virus corona (Covid-19)21. Dimana produk dari kebijakan yang dikeluarkan oleh kapolri adalah penghinaa terhadap presiden dan pejabat negara, kejahatan yang potensial selama PSBB, penanganan kejahatan dalam ketersediaan bahan pokok, dan penanganan terkait situasi dan opini di ruang siber.tentunya ini mengakibatkan suatu resiko yang cukup berbahaya terhadap masyarakat dalam melakukan aktivitas atau kepentingan lainnya terutama melalui media sosial atau perangkat daring. Permasalahan ini tidak harus melihat dari adanya kepastian hukum saja, melainkan tujuan dari aturan itu diterbit oleh pejabat berwenang dengan ukuran nilai- nilai negara hukum tersebut. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian penuh terhadap pemerintah dalam pembuatan regulasi harus mengacu pada integrasi substansi dan tindakan hukum yang ada di dalam regulasi tersebut. Dengan begitu ketidakpastian hukum selama pandemi Covid-19 akan teratasi dan iklim ketidakstabilan secara aspek kehidupan akan kembali normal. Dalam hal penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang melakukan penyebaran informasi Hoax alias bohong sangat meningkat. Sejak kasus corona pertama di Wuhan, hoax menyebar di Indonesia dengan segala macam bentuk,terutama penyebaran ketakutan22. Hal ini mengakibatkan suatu hilang kontrol dalam pengawasan masyarakat melalui hukum secara konstitusional.Penulis menilai seharusnya pemberlakuan atas regulasi atau kebijakan yang terbitkan oleh pejabat berwenang lebih terhadap health oriented. Pemerintah pusat harus mengeluarkan Perppu mengenai Penanganan protokol kesehatan selama Covid-19 berlangsung. Justru ini akan meminalisir terhadap tumpang tindih terhadap kepastian hukum dalam perlindungan dan keselamatan masyarakat dari bencana non-alam tersebut.

Ega Ramadayanti,2020, “Covid-19 dalam Perspektif One Health Approach dan Law Enforcement”,artikel, Unpad, Fakultas Hukum, https://fh.unpad.ac.id/covid-19-dalam-perspektif-one-health- approach-dan-lawenforcement/, 21 Muhammad Ali,2020, “Penegakan Hukum Saat Pandemi Covid-19 Dikritik,Ini Tanggapan Kapolri”,artikel, liputan 6, https://www.liputan6.com/news/read/4222134/penegakan-hukum-saat-pandemicovid-19-dikritik-ini-tanggapan-kapolri, 22 Petrus Richard Sianturi, 2020, “Masalah Hukum dalam Wabah Covid-19”,artikel.berita, Tempo.com, https://kolom.tempo.co/read/1323201/masalah-hukum-dalam-wabah-covid-19, 20

8


BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan terkait dari hasil Analisa pada permasalahan ini Adalah :

1. Penegakan hukum pada situasi pandemi Covid-19 di Indonesia cenderung mengalami suatu pelemahan atas penerapan hukum di lapangan. Menurut hasil lapangan faktor dari banyak aturan yang tumpang tindih diakibatkan ego sektoral dalam penentuan suatu peraturan tanpa adanya sinkronisasi antar sektoral lainnya. Selama Covid-19 melanda di Indonesia, banyak sekali aturan-aturan baik antara pusat dengan daerah saling tidak terkordinasi sehingga mengakibatkan suatu tumpang tindih secara tidak langsung. Hal ini yang mengakibatkan suatu distorsi terhadap penerapan hukum secara Das Sein terhambat sehingga kekuatan hukum dalam penegakan hukum untuk perlindungan hukum masyarakat cukup ambigu dan rentan lemah. 2. Aspek kepastian hukum selama penanganan Covid-19 masih terdapat kekosongan hukum sebagaiamana jaminan hak-hak dasar (fudamental rights) warga negara. Kekosongan hukum ini dialami oleh tenaga nonmedis yang mengajukan diri secara sukalera untuk membantu pasien yang terkena virus tersebut. Namun terdapat pengaturan mengenai gugus depan Covid-19 yang diatur melalui Keputusan Pres iden Nomor 7 Tahun 2020 tidak mengakomodir kepentingan perlindungan tenaga nonmedis Covid-19. Bukan permasalahan pada kepastian hukum saja, melainkan adanya kebijakan-kebijakan yang rentan beresiko kepada masyarakat dalam menjalankan kehidupan demokrasi tersebut. Bahkan penyebaran hoax informasi terhadap penyebaran covid-19 sangat tinggi dan kurang mampu dapat dicegah dengan tepat sasaran. Meskipun banyaknya suatu regulasi atau kebijakan yang terbitnya oleh pejabat berwenang belum berarti kepastian hukum itu ada namun, harus melihat kontek pada penerapan kepastian hukum di lapangan tersebut. B. Saran Analisa dari Kekuatan hukum terhadap penegakan hukum dan perlindungan hukum dalam penanganan covid-19 maka, terdapat suatu saran sebagai berikut :

1. Keberhasilan kepastian hukum di suatu negara bukan diukur seberapa banyak negara membuat aturan atau regulasi yang akan diterapkan dihadapan publik. Melainkan, efektivitas terhadap substansi dalam regulasi atau kebijakan yang memiliki dampak 9


luas dan sifat dari memaksa suatu aturan dalam di teladani oleh masyarakat luas. Solusi dalam meningkatkan kekuatan hukum untuk penegakan dan perlindungan hukum selama covid-19 ini adalah dengan melakukan pembentukan suatu peraturan atau kebijakan yang terintegrasi mengenai substansi hukum dalam pencegahan penyebaran covid-19 tersebut. Dengan banyaknya regulasi atau kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang belum tentu penerapan hukumnya mendapatkan kepastian yang menyeluruh (populis). 2. Seharusnya pemberlakuan atas regulasi atau kebijakan yang terbitkan oleh pejabat berwenang lebih terhadap health oriented. Pemerintah pusat harus mengeluarkan Perppu mengenai Penanganan protokol kesehatan selama Covid-19 berlangsung. Justru ini akan meminalisir terhadap tumpang tindih terhadap kepastian hukum dalam perlindungan dan keselamatan masyarakat dari bencana non-alam tersebut. Penulis memiliki pandangan bahwa akan terciptanya kepastian hukum apabila lebih condong pada kejelasan, kehasilgunaan, dan kemanfaatan dari substansi yang ada di dalam regulasi tersebut.

10


DAFTAR PUSTAKA

JURNAL/WEB/LAMAN

o Ade Mulya,2020, “Delapan Asas Mengawal Negara di Tengah Pandemi Covid19”,artikel, berita, aceh trend, https://www.acehtrend.com/2020/05/09/delapan-asasmengawal-negara-di-tengah-pandemi-covid-19/, o Dwi Arjanto, 2020, “Wabah Corona, Sukarelawan Dokter dan Tenaga Medis Kian Krusial”,artikel, berita,Tempo.com, https://fokus.tempo.co/read/1325159/wabahcorona-sukarelawan-dokter-dan-tenaga-medis-kian-krusial/full&view=ok o Ega Ramadayanti,2020, “Covid-19 dalam Perspektif One Health Approach dan Law Enforcement”,artikel, Unpad, Fakultas Hukum, https://fh.unpad.ac.id/covid-19dalam-perspektif-one-health-approach-dan-law-enforcement/ o Ellyvon Pranita, 2020, “Kematian Akibat Covid-19, Data Terbaru IDI Ungkap 228 Tenaga Kesehatan Meninggal Dunia, artikel, berita, kompas.com, https://www.kompas.com/sains/read/2020/09/29/170200223/kematian-akibat-covid-19-dataterbaru-idi-ungkap-228-tenaga-kesehatan?page=all

o Fathurrohman, 2020, “Kebijakan Covid-19 Tumpang Tindih”,artikel, berita, Fin Fajar Indonesia Networking, https://fin.co.id/2020/04/30/kebijakan-covid-19tumpang-tindih/ o Faizal Fanani, 2020, “Data Terkini Jumlah Korban Virus Corona di Indonesia”, artikel,berita, merdeka.com, https://www.merdeka.com/peristiwa/data-terkini-jumlahkorban-virus-corona-di-indonesia.html o I GedePerdana Yoga, 2020, “Covid-19 Dalam Perspektif Kepastian Hukum Perlindungan Keselamatan”,artikel, berita bali, https://www.opini.beritabali.com/read/2020/07/21/202007210014/covid-19-dalamperspektif-kepastian-hukum-perlindungan-keselamatan o Muhammad Adimaj, 2020, “100 Hari Covid-19, Ego Sektoral Bikin Peraturan Tumpang Tindih”,artikel. Berita, Kabar 24, https://kabar24.bisnis.com/read/20200610/15/1251036/100 -hari-covid-19-egosektoral-bikin-peraturan-tumpang-tindih/2 o Muhammad Ali,2020, “Penegakan Hukum Saat Pandemi Covid-19 Dikritik,Ini Tanggapan Kapolri”,artikel, liputan 6, https://www.liputan6.com/news/read/4222134/penegakan-hukum-saat-pandemicovid-19-dikritik-ini-tanggapan-kapolri o Petrus Richard Sianturi, 2020, “Masalah Hukum dalam Wabah Covid19”,artikel.berita, Tempo.com, https://kolom.tempo.co/read/1323201/masalahhukum-dalam-wabah-covid-19 o Ramadhan, 2020, “Polemik Konser Musik saat Kampanye Pilkada, Ternyata Ada Aturannya”,artikel, asums.co, https://asumsi.co/post/polemik-konser-musik-saatkampanye-pilkada-ternyata-ada-aturannya o Toar Palilingan, 2020, “Aspek Hukum Dalam Penanganan Wabah Covid-19”, artikel, berita, Manado Post, https://manadopost.jawapos.com/opini/20/04/2020/aspekhukum-dalam-dalam-penanganan-wabah-covid-19/

11


•

Peraturan Perundang-Undangan o o o o o o o o o

o o o

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 \ Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Atas Perubahan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Peraturan Pengganti Perundang-Undangan Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Tenaga Kesehatan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Kedaruratan Bencana pada Kondisi Tertentu Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Refocussing Kegiatan Anggaran, Serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19

12


URGENSI RUU PKS SEBAGAI PAYUNG HUKUM KEKERASAN SEKSUAL DI INDONESIA Nita Oxyara Universitas Andalas Abstract Sexual violence is a real problem in today's life, the victims not only of women but also of men. This real problem is increasingly rampant in public and private circles, on social media pages and even educational institutions that are supposed to be a place to develop have become a frightening abyss that do not rule out destroying the future and homes that should have been a comfortable place of return have now become containers of violent treatment. Sexual violence is an important issue but does not have a strong legal umbrella to provide comprehensive protection for survivors or victims. And it seems that this important issue is not a priority for representative institutions to accommodate the elimination of this issue. Instead of trying to eliminate the Draft Law on the Elimination of Sexual Violence (RUU PKS) as the legal umbrella for sexual violence in Indonesia, the House of Representatives issued a draft law that has been under discussion since 2014 from the 2020 Priority Prolegnas list so that the discussion of the PKS Bill is terminated . This paper will analyze the issue of sexual violence in Indonesia and the urgency of the PKS Bill as a legal umbrella for sexual violence. The author uses normative research methods with literature study, namely books and journals and analyzes the draft legislation. The author will also use historical explanations in writing this criticism comprehensively. Keywords: sexual violence, RUU-PKS, law


Abstrak Kekerasan seksual merupakan masalah nyata dalam kehidupan dewasa ini, yang korbannya tidak hanya terjadi pada perempuan, tetapi juga pada laki-laki. Masalah nyata ini semakin merajalela di lingkungan publik maupun privat, di laman media sosial bahkan sampai institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat untuk berkembang malah menjadi jurang menakutkan yang tak menutup akan kemungkinan menghancurkan masa depan. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berpulang yang nyaman, kini menjadi wadah perlakuan kekerasan. Kekerasan seksual merupakan isu penting, tetapi tidak memiliki payung hukum yang kuat untuk memberi perlindungan yang komprehensif pada penyintas atau korban. Selain itu, tampaknya isu penting ini tidak dijadikan prioritas oleh lembaga perwakilan untuk mengakomodir penghapusan isu ini. Alih-alih berupaya untuk mengentaskan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebagai payung hukum kekerasan seksual di Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat mengeluarkan rancangan undang-undang yang sudah diwacanakan sejak tahun 2014 ini dari daftar Prolegnas Prioritas 2020 sehingga pembahasan RUU PKS dihentikan. Tulisan ini akan menganalisis mengenai permasalahan kekerasan seksual di Indonesia serta urgensi RUU PKS sebagai payung hukum kekerasan seksual. Penulis menggunakan metode penelitian normatif dengan studi Pustaka, yaitu buku dan jurnal serta menganalisis rancangan peraturan perundang-undangan. Penulis pun akan menggunakan penjelasan historis dalam menulis kritik ini secara komprehensif. Kata kunci: kekerasan seksual, RUU-PKS, hukum


BAB I PENDAHULUAN I.

Latar Belakang Masalah Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.1 Kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, bentuk diskriminasi gender, dan pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihapus.2 Kekerasan seksual mengoyak manusia dan kemanusiaan, menimbulkan dampak fisik, psikis kesehatan, sosial, pendidikan, ekonomi dan politik bagi korban seketika dan berkelanjutan. Korban kekerasan seksual, yang kebanyakan adalah perempuan, anak dan kelompok rentan lainnya, harus mendapat perlindungan negara agar tidak terjadi keberulangan dan terbebas dari setiap bentuk kekerasan seksual. Namun, keterbatasan payung hukum dalam mengidentifikasi dan mendefinisikan jenis-jenis kekerasan seksual serta hukum yang ada belum berpresprektif korban sehingga belum memadai untuk memberikan perlindungan yang komprehensif dari tindak kekerasan seksual bagi penyintas. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28 G ayat 1 menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi�.

3

Namun, kenyataan yang terjadi

adalah sarana untuk perlindungan diri yaitu RUU PKS dicabut dari daftar Prolegnas Prioritas sehingga mengakibatkan semakin jauhnya payung hukum yang mengayomi perlindungan bagi penyintas atau korban kekerasan seksual tidak menutup kemungkinan akan semakin maraknya kasus kekerasan seksual ini terjadi. Hal ini 1

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Ibid 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2


menimbulkan pertanyaan di mana kehadiran negara dalam memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan melaksanakan amanat UUD NRI Tahun 1945? Kasus kekerasan seksual di Indonesia merupakan fenomena gunung es yang mana marak terjadi namun penutupan kasus ini juga tidak dapat dihitung jari. Kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja baik pelaku adalah orang asing maupun orang terdekat korban yang memiliki hubungan kekeluargaan. Banyak kasus kekerasan seksual yang tertutup karena penyintas atau korban tidak berani melapor dan pembungkaman kasus tersebut dengan indikasi apabila dilaporkan akan menimbulkan aib bagi keluarga penyintas maupun pelaku. Selain itu victim blaming yang berkembang di masyarakat menjadi salah satu alasan pembungkaman kasus kekerasan seksual. Pembungkaman kasus kekerasan seksual umum dilakukan dengan menikahkan korban dengan pelaku yang tidak berdasar atas suka sama suka, tetapi dalam konteks menutupi aib. Seperti kasus kekerasan seksual terhadap seorang santriwati berusia 16 tahun di sebuah pesantren di Kubu Raya, Kalimantan Barat akhir Juni 2019. Perbuatan tersebut diketahui dilakukan oleh salah seorang pengurus pesantren berinisial NR. Hal ini bukanlah solusi yang tepat bagi korban karena tidak memberikan penyelesaian bagi pemulihan korban. Jika hal ini dibiarkan, hanya akan memberikan efek traumatis kepada korban sehingga korban tidak dapat menjalani kehidupan atas dasar rasa aman. Penyelesaian kasus tersebut menunjukkan bahwa akses terhadap keadilan bagi para penyintas atau korban tidak dipenuhi dan mengindikasikan adanya kesalahan dalam pelaksanaan hukum yang seharusnya hukum sebagai sarana keadilan dan kepastian namun bertolak belakang dengan implementasinya. Hasil kajian Komnas Perempuan yang dihimpun dari laporan lembaga layanan menemukan dalam rentang waktu 10 tahun yaitu 2001-2011 rata-rata setiap harinya 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Berdasarkan data dari Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta menyebutkan bahwa pada tahun 2019 telah terjadi kasus kekerasan sebanyak 794 kasus, khususnya 149 kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah 46 orang anak dan 103 orang dewasa. Selain itu, data dari Komnas Perempuan terdapat 1.290 kasus kekerasan seksual sepanjang pembahasan RUU PKS di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau dalam rentang waktu 2017-2019. Secara lebih terperinci dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.


No

Jenis

Jumlah Kasus

1.

Perkosaan

846

2.

Pelecehan seksual

331

3.

Eksploitasi seksual

38

4.

Penyiksaan seksual

33

5.

Pemaksaan aborsi

13

6.

Pemaksaan pelacuran

10

7.

Perbudakan seksual

9

8

Pemaksaan kontrasepsi

2

9.

Pemaksaan perkawinan

2

10.

Tidak diketahui

6

Jumlah

1.290

(Komnas Perempuan, 2020) Semakin maraknya kasus kekerasan seksual di Indonesia, maka semakin dibutuhkannya payung hukum yang jelas sehingga korban kasus kekerasan seksual dapat menerima perlindungan dan terpenuhinya hak-hak bagi korban yaitu hak atas penanganan, perlindungan dan pemenuhan yang didapatkan, digunakan dan dinikmati oleh korban, dengan tujuan mengubah kondisi korban yang lebih baik, bermartabat dan sejahtera, yang berpusat pada kebutuhan dan kepentingan korban yang multidimensi, berkelanjutan dan partisipatif.4 Selain itu, perlu adanya jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, memulihkan korban, menindak serta merehabilitasi pelaku sehingga tidak terjadinya lagi kasus kekerasan seksual di Indonesia. II.

Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kasus kekerasan seksual di Indonesia saat ini? 2. Bagaimana penyelesaian kasus kekerasan seksual di Indonesia sehingga diharapkan mampu menangani kasus kekerasan seksual yang semakin merajalela?

4

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual


III.

Dasar Hukum Dasar hukum yang melandasi permasalahan ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28D ayat 1 yaitu Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Selain itu Pasal 28G ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 yaittu setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Apabila disahkan RUU PKS menjadi UU PKS menerapkan asas peraturan perundang-undangan yaitu asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis, yaitu ketentuan peraturan perundang-undangan yang khusus akan mengalahkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang umum. Jaminan perlindungan kekerasan seksual di Indonesia saat ini berdasar pada KUHP Pasal 285, 286, 287, 290 dan 291, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Pasal 8(b), ayat 47 dan 48, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 1 ayat 3 dan ayat 7 serta UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat 15, 17 ayat 2, 59 dan 66 ayat 1 dan 2, 69, 78 dan 88. Selain itu, perlindungan terhadap kekerasan seksual juga didukung dengan Statuta Roma Pasal 7 ayat 2(g), Pasal 69 ayat 1 dan 2, Pasal 68, Resolusi PBB 1820 tentang Kekerasan Seksual dalam Konflik Bersenjata, Deklarasi penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan (ICPD) pada bulan Desember 1993 serta Deklarasi Wina Tahun 1993.


BAB II ANALISIS Kekerasan seksual merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Secara khusus kekerasan seksual merampas hak sebagai warga negara atas jaminan perlindungan dan rasa aman yang telah dijamin di dalam konstitusi pada Pasal 28G ayat 1. Kekerasan seksual lahir dari ketimpangan relasi kuasa yang merampas hak sebagai warga negara untuk bebas dari perlakuan diskriminatif dan untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif itu yang tertuang dalam Pasal 28I ayat 2. Akibat dari kekerasan seksual itu, korban dapat kehilangan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin sesuai amanat Pasal 28H ayat 1, hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia yang tertuang dalam Pasal 28G ayat 2, dan bahkan mungkin kehilangan haknya untuk hidup pada Pasal 28A. Banyak pula korban kekerasan seksual yang kehilangan haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum yang dijamin dalam Pasal 27 ayat 1 dan Pasal 28D ayat 1 karena tidak dapat mengakses proses hukum yang berkeadilan. Untuk itu, demi mewujudkan pelaksanaan amanat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan membangun negara hukum yang berkeadilan dan berkepastian hukum salah satu Langkah yang tepat adalah melindungi dan mengentaskan permasalahan kekerasan seksual di Indonesia dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Kekerasan seksual di Indonesia hanya dapat dipidana apabila termasuk dalam konteks pemerkosaan dan pencabulan yang terdapat dalam hukum positif Indonesia yaitu Pasal 285 dan Pasal 289 KUHP. Kasus pemerkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP hanya memberikan hukuman kepada pelaku yaitu pidana penjara paling


lama 12 tahun.5 Selain itu, kasus pencabulan yang diatur dalam Pasal 289 KUHP hanya memberikan hukuman kepada pelaku, yaitu pidana penjara paling lama 9 tahun. 6 Pasal-pasal tersebut hanya memberikan hukuman yang dapat dikatakan tidak setimpal kepada pelaku tanpa mengakomodir pemulihan korban. Selain itu, sebagaimana yang kita tahu bahwa kenyataan yang terjadi kekerasan seksual memiliki banyak jenis. Hal ini menunjukkan bahwa pasal-pasal tersebut belum mampu mengakomodasi perlindungan-perlindungan yang konkret terhadap kasus kekerasan seksual. Sistem hukum yang diharapkan mampu memberikan keadilan dan perlindungan, masih jauh dari harapan. Keterbatasan hukum ini menyebabkan korban tidak mendapatkan rasa aman, keadilan dan pemulihan karena pelaku bebas dari jeratan hukum. Selain itu, belum ada kebijakakan yang memandatkan pencegahan, penanganan, pemulihan korban dan pemantauan kekerasan seksual dari Negara. Untuk itu, perlu adanya kepastian hukum yang mengatur khusus mengenai kekerasan seksual. RUU PKS yang diajukan oleh salah satu komunitas perempuan di Indonesia pada tahun 2014 ini menjadi alasan yang tepat dalam mengentaskan permasalahan kekerasan seksual di Indonesia. RUU PKS adalah rancangan undang-undang yang memperluas definisi, bentuk-bentuk dari kekerasan seksual. Karena nyatanya, definisi kekerasan seksual di hukum positif Indonesia saat ini masih sangat sempit. RUU PKS ini juga merumuskan pencegahan tindak kekerasan seksual secara institusional. Selain itu, RUU PKS juga bertujuan untuk memulihkan korban kekerasan seksual dari trauma yang dimilikinya baik secara psikologis ataupun psikis. Salah satu program utama yang menjadi fokus RUU PKS adalah pemulihan korban yang dalam hukum positif Indonesia yang mengatur kekerasan seksual tidak tercantum. Mirisnya kondisi korban karena keterbatasan pemulihan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga korban sulit kembali pada kondisi fisik, psikis, seksual, ekonomi, sosial, seperti sebelum terjadi kekerasan seksual. Selain itu korban juga mendapat stigma yang buruk dan dikucilkan dari masyarakat serta dampak yang sangat serius dan traumatik seumur hidup yang tak jarang berujung pada tekanan psikologis yang mengakibatkan korban melakukan bunuh diri.

5 6

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 289


Sebagai undang-undang khusus atau lex specialist RUU PKS mengatur tentang pemulihan, meliputi sebelum, selama, dan setelah proses peradilan. Sebelum dan selama peradilan pemulihan yang dilakukan adalah dengan penyediaan layanan Kesehatan untuk pemulihan fisik dan psikologis, pemberian informasi tentang hak korban, proses peradilan dan layanan pemulihan, pemberian bantuan transportasi, biaya hidup dan biaya lainnya yang diperlukan, pendampingan hukum, penyediaan tempat tinggal yang layak dan aman, penyediaan layanan psikososial, penyediaan fasilitas Pendidikan bagi korban dan anak korban, serta penyediaan dokumen kependudukan dan dan dokummen pendukung lainnya. Setelah proses peradilan pemulihan dilakukan dengan pemantauan, pemeriksaan dan pelayanan Kesehatan fisik dan psikologis korban secara berkala, ganti kerugian atau restitusi, serta pendampingan

penggunaannya,

penyediaan

layanan

jaminan

sosial,

dan

pemberdayaan ekonomi untuk korban dan keluarga korban. Penghapusan kekerasan seksual sendiri memiliki definisi bahwa segala upaya untuk mencegah terjadi kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan korban, menindak pelaku dan mengupayakan tidak terjadi keberulangan kekerasan seksual. Penghapusan kekerasan seksual didasarkan pada asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi korban, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.7 Penghapusan Kekerasan Seksual bertujuan: a. mencegah segala bentuk kekerasan seksual; b. menangani, melindungi dan memulihkan korban; c. menindak pelaku; dan d. menjamin terlaksananya kewajiban negara dan peran dan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.8 RUU PKS membagi bentuk-bentuk kekerasan seksual menjadi 9 bentuk, yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan pemasangan dan penggunaan

7 8

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Ibid


kontrasepsi, pemaksaan penghentian kehamilan atau aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Penjelasan mengenai bentuk-bentuk kekerasan seksual sesuai dengan RUU PKS adalah sebagai berikut. 1. Pelecehan Seksual Setiap orang dilarang melakukan Pelecehan Seksual yaitu dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain yang tidak diinginkan orang tersebut, berhubungan dengan bagian tubuh seseorang berkonotasi/bernuansa seksual. Tindakan fisik yang dimaksud dalam RUU PKS antara lain sentuhan, colekan, serangan atau cara-cara lain yang mengenai alat kelamin, atau anggota tubuh yang berhubungan dengan seksual dan seksualitas seseorang termasuk dada, payudara, pantat, dan rambut. Sedangkan tindakan non fisik antara lain siulan, kedipan mata, gerakan atau isyarat atau bahasa tubuh yang memperlihatkan atau menyentuh atau mempermainkan alat kelamin, ucapan atau komentar yang bernuansa sensual atau ajakan atau yang mengarah pada ajakan melakukan hubungan seksual, mempertunjukkan materi-materi pornografi dan memfoto secara diam-diam dan atau mengintip seseorang. 2. Eksploitasi Seksual Eksploitasi seksual adalah perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu

muslihat,

kebohongan,

keadaan

palsu,

penyalahgunaan

wewenang,

ketergantungan seseorang, agar seseorang melakukan hubungan seksual dengannya atau orang lain, dan/atau perbuatan yang memanfaatkan tubuh seseorang tersebut untuk memenuhi keinginan seksual diri sendiri atau orang lain, dengan maksud mendapatkan keuntungan diri sendiri atau orang lain. Keuntungan tersebut tidak selalu berupa uang atau barang. 3. Pemaksaan Kontrasepsi


Setiap orang dilarang untuk melakukan pemaksaan pemasangan atau penggunaan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan penyalahgunaan

kekuasaan,

penyesatan,

penipuan,

ketidakberdayaan,

tanpa

persetujuan orang tersebut, dengan maksud membuat orang itu kehilangan fungsi reproduksinya untuk sementara waktu. Setiap orang dilarang untuk melakukan pemaksaan sterilisasi melalui kekerasan atau ancaman kekerasan, tanpa persetujuan orang tersebut yang mengakibatkan kehilangan fungsi reproduksi permanen. 4. Pemaksaan Aborsi Setiap orang dilarang menghentikan kehamilan seorang perempuan dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, ketidakberdayaan, tanpa persetujuan perempuan tersebut, dipidana karena pemaksaan aborsi. Persetujuan yang dimaksud harus diimbangi dengan informasi menyeluruh sehubungan dengan kesehatan reproduksi orang tersebut. Selain itu, perlu ditegaskan bahwa perempuan yang menjadi korban pemaksaan aborsi tidak dapat dipidana.

5. Perkosaan Setiap

orang

dilarang

melakukan

kekerasan,

ancaman

kekerasan,

penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, tipu muslihat, atau ketidakberdayaan untuk memberikan persetujuan, untuk melakukan hubungan seksual, atau memasukkan dan/atau menggesekkan alat kelaminnya ke vagina, anus, mulut, atau bagian tubuh orang lain yang patut diduga sebagai hubungan seksual; atau memasukkan bagian tubuhnya yang bukan alat kelamin atau suatu benda ke dalam alat kelamin atau anus orang lain, diancam karena perkosaan.

6. Pemaksaan Perkawinan Setiap orang dilarang dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, tipu muslihat, pengambilan manfaat ekonomi maupun non-ekonomi, atau pembatasan ruang gerak, penyekapan, atau penculikan, sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya, melakukan perkawinan yang bertentangan dengan hakikat perkawinan, diancam dengan pemaksaan perkawinan. Pemaksaaan perkawinan termasuk dengan pengatasnamaan praktik budaya juga ditentang dalam RUU PKS ini.


7. Pemaksaan Pelacuran Setiap orang dilarang untuk melakukan kekerasan, ancaman kekerasan, rangkaian

kebohongan,

nama/identitas/martabat

palsu,

atau

penyalahgunaan

kepercayaan, melacurkan seseorang dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain, dipidana dengan pemaksaan pelacuran.

8. Perbudakan Seksual Setiap orang dilarang untuk melakukan perbuatan satu atau lebih tindak pidana kekerasan seksual disertai pembatasan ruang gerak atau mencabut kebebasan seseorang, dengan tujuan menempatkan orang tersebut melayani kebutuhan seksual dirinya sendiri atau orang lain secara berulang dalam jangka waktu tertentu diancam karena perbudakan seksual.

9. Penyiksaan Seksual Setiap pejabat negara yang melakukan satu atau lebih tindak pidana, atau menyuruh, menghasut, menyetujui atau membiarkan kekerasan seksual untuk tujuan intimidasi, paksaan, hukuman, atau mendapatkan informasi atau pengakuan, atau untuk segala alasan berdasarkan diskriminasi, dipidana karena penyiksaan seksual. Setiap orang yang melakukan satu atau lebih tindak pidana kekerasan seksual, yang dilakukan atas penggerakan, hasutan, persetujuan atau pembiaran oleh pejabat negara, untuk tujuan intimidasi, paksaan, hukuman, atau mendapatkan informasi atau pengakuan, atau untuk segala alasan berdasarkan diskriminasi, dipidana karena penyiksaan seksual.

Hambatan yang dihadapi korban kekerasan seksual ketika mencari keadilan adalah, sebagai berikut. •

KUHAP mengatur lima alat bukti. Namun, lima alat bukti ini belum mengakomodasi kebutuhan korban yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa

•

Korban, termasuk korban disabilitas, seringkali disalahkan dan distigma oleh Aparatur Penegak Hukum.


•

Korban seringkali mengalami trauma berulang selama proses peradilan (mulai dari pelaporan, pemeriksaan di kepolisian, hingga di persidangan).

•

Korban seringkali dilaporkan kembali sebagai pelaku.

•

Saksi atau korban seringkali tidak mendapat bantuan hukum atau pendampingan. Karena KUHAP hanya mengatur hak atas bantuan hukum bagi tersangka dan terdakwa. Sedangkan UU Perlindungan Saksi Korban hanya mengatur bahwa hanya dalam kasus tertentu dan dengan keputusan LPSK, saksi dapat memperoleh bantuan hukum.

•

Banyak kasus kekerasan seksual tidak dapat diproses di peradilan karena dianggap kurang bukti.

•

Aturan dalam Sistem Peradilan Pidana tidak sensitif terhadap kebutuhan khusus korban, termasuk korban dengan disabilitas.

Banyaknya hambatan-hambatan dalam proses peradilan kekerasan seksual yang berdasar atas lemah dan terbatasnya hukum positif Indonesia diharapkan mampu mendorong pengesahan RUU PKS. RUU PKS sebagai payung hukum yang berperspektif pemenuhan dan perlindungan hak korban mampu mengatasi permasalahan-permasalahan serta hambatan-hambatan pada proses peradilan kasus kekerasan. Selain itu RUU PKS juga mengatur mengenai pencegahan agar tidak terjadinya kasus kekerasan seksual baik secara berulang dan berkelanjutan. RUU PKS memperluas cakupan alat bukti yaitu keterangan korban, surat keterangan psikolog, psikolog klinis, dan atau psikiater, rekam medis, rekaman pemeriksaan dalam proses penyidikan, informasi elektronik, dokumen, pemeriksaan rekenining bank, yang memberi peluang bagi korban dan aparatur penegak hukum untuk bisa memenuhi syaarat pembuktian. Karena KUHAP baru menetapkan 5 alat bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. RUU PKS juga melarang Aparat Penegak Hukum untuk merendahkan, menyalahkan

korban,

membebankan

pencarian

alat

bukti

kepada

korban,

menggunnakan pengalaman atau latar belakang korban sebagai alasan untuk tidak melanjutkan penyidikan korban, serta melarang menyampaikan identitas korban kepada media massa atau media sosial. Selain itu, RUU PKS juga mewajibkan aparat


penegak hukum untuk merujuk Korban dan Saksi ke lembaga penyedia layanan pendampingan sesuai kebutuhan. RUU PKS mengatur tentang pemulihan korban baik selama hingga setelah proses peradilan, serta pengawasan atas proses pemulihan. Hal ini menjawab atas permasalahan hambatan-hambatan pada proses peradilan kekerasan seksual. Dalam RUU PKS, korban tidak dapat dijadikan tersangka atau terdakwa atas perkara pidana yang terkait dengan kasus kekerasan seksual yang dialami korban. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi lagi kasus penjatuhan pidana bagi korban seperti kasus Baiq Nuril yang terjadi pada 2019 lalu.

RUU PKS merupakan rancangan undang-undang yang menganut asas lex specialis karena khusus mengatur penghapusan kekerasan seksual. Substansi dari RUU PKS ini sudah sangat komprehensif dan mampu menangani permasalahan kekerasan seksual di Indonesia yang semakin meningkat ini. Namun, pembahasan RUU PKS di Komisi VIII dihentikan dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal. Pengentasan kekerasan seksual yang seharusnya menjadi prioritas untuk dikerjakan mengalami penundaan secara terus menerus sejak RUU ini diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat hingga dicabut dari skala prioritas Prolegnas 2020.

Berdasarkan data yang ada bahwa kekerasan seksual semakin sering terjadi menunjukkan betapa urgensinya pengesahan RUU PKS di Indonesia. Perundangundangan di Indonesia yang memiliki keterbatasan memformulasikan bentuk, definisi dan ruang lingkup yang dapat digunakan dalam proses hukum. Hukum positif Indonesia dalam KUHP hanya mengatur Perkosaan dan Pencabulan sebagai bentuk kekerasan seksual dan KUHAP tidak mengatur hak-hak korban dalam proses hukum. Keterbatasan hukum ini menyebabkan korban tidak mendapatkan rasa aman, keadilan, dan pemulihan karena pelaku bebas dari jeratan hukum. Selain itu, belum ada kebijakan yang memandatkan pencegahan, penanganan, pemulihan korban dan pemantauan seksual dari Negara. Berdasarkan penjelasan tersebut, bukankah sudah jelas jika tidak menyegerakan pengesahan RUU PKS sama dengan menunjukkan lemahnya perlindungan hukum Indonesia? Perwujudan kepastian dan keadilan hukum patut dipertanyakan. Mengesahkan RUU PKS sama dengan melaksanakan amanat sila kedua Pancasila yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab. Kekerasan seksual bertentangan


dengan nilai-nilai kemanusiaan dan sudah sewajibnya negara mencegah terjadinya kekerasan seksual dan memulihkan harkat dan martabat kemanusiaan korban, menghukum dan merehabi pelaku untuk Kembali dan menghomati nilai-nilai kemanusiaan dirinya dan orang lain. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan terkait hukum pidana dan viktomologi yang belum diadopsi dalam peraturan perundang-undangan, maupun sistem dan cara kerja aparat penegak hukum. Tak jarang aparat penegak hukum memandang remeh permasalahan ini dan mengambil tindakan hanya berdasar rasa kemanusiaan yang karena pengaturan mengenai sistem dan cara kerja yang tidak diatur dalam hukum posittif Indonesia. Selain itu, aparat penegak hukum yang memiliki fungsi melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum tidak menjalankan perannya. Aparat penegak hukum menanyakan hal-hal yang tidak sepantasnya kepada korban kekerasan korban seperti “kemarin pakai baju apa?� yang seolah-olah kekerasan seksual yang terjadi tersebut dikarenakan korban yang memancing hal tersebut untuk terjadi. Hal ini menunjukkan budaya victim blamings yang berkembang di masyarakat tak luput pada aparat penegak hukum. Tidak memandang kasus kekerasan seksual berdasarkan perspektif korban karena tidak diatur dalam hukum positif Indonesia menggiring kita bahwa Indonesia sangat membutuhkan peraturan yang mewadahi hal tersebut dan mengesahkan RUU PKS adalah jalannya. Negara berhutang kepada rakyatnya untuk mensejahterakan rakyat sesuai amanat proklamasi. Sejahtera bagi setiap individu berarti bebas dari segala bentuk kekerasan seksual. Namun, kenyataannya Indonesia tidak memiliki alat pelindung untuk menjamin kebebasan bagi setiap individu untuk bebas dari segala bentuk kekerasan seksual karena RUU PKS tak kunjung disahkan. Kekerasan seksual berbagai macam dampak negatif, yaitu dampak pada psikis atau psikososial, dampak sosial, dampak terhadap kesehatan reproduksi, dampak terhadap Kesehatan dan dampak atas keamanan atau rasa aman. Secara lebih lengkap dapat dilihat pada penjelasan berikut.

a. Dampak sosial 1) terbatasnya gerak dan pergaulan; 2) terhambatnya akses terhadap sumber-sumber informasi dan sumber daya;


3) disalahkan dan mengalami penolakan oleh keluarga dan lingkungan; 4) dikucilkan dari komunitas; 5) mendapat cemooh dari lingkungan atau stigma sosial.

b. Dampak terhadap Kesehatan Reproduksi 1) keguguran; 2) kehamilan yang tidak diinginkan 3) aborsi yang tidak aman 4) infeksi menular termasuk HIV/AIDS 5) menstruasi tidak teratur 6) komplikasi kehamilan 7) rusaknya organ reproduksi

c. Dampak terhadap Kesehatan 1) luka, cedera, memar atau lebam pada bagian tubuh; 2) kematian karena pembunuhan atau karena bunuh diri 3) kematian ibu melahirkan, kematian bayi, atau kematian karena tertular HIV/AIDS.

d. Dampak atas Keamanan 1) aparat keamanan sering tidak menganggap serius laporan atau aduan; 2) korban tidak merasa aman, terancam dan takut terhadap ancaman balas dendam; 3) tidak terlindungi; 4) risiko kekerasan berlanjut atau keberulangan kekerasan seksual.


BAB III PENUTUP I.

Kesimpulan Kekerasan seksual merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kekerasan seksual di Indonesia semakin merajalela. Namun disayangkan kenyataan yang ada semakin menjauhnya harapan untuk mendapatkan kepastian dan keadilan hukum dikarenakan RUU PKS yang dicabut dalam daftar Prolegnas Priorias 2020. Payung hukum kekerasan seksual saat ini yaitu KUHP belum mengakomodir permasalahan kasus kekerasan seksual karena terbatasnya definisi, bentuk-bentuk, sistem dan cara kerja aparat penegak hukum dalam mengentaskan permasalahan ini serta victim blaming yang sampai saat ini menjadi budaya masyarakat Indonesia. Diperlukannya pengesahan RUU PKS untuk melindungi hak setiap individu, mewujudkan keadilan dan kepastian di negara hukum. RUU PKS memuat aturan mengenai pencegahan, penanganan kasus, pelindung, dan pemulihan korban, serta mengupayakan agar tidak terjadi keberulangan kasus kekerasan seksual. Untuk itu, pengesahan RUU PKS merupakan jalan ideal dalam mengentaskan permasalahan kasus kekerasan seksual.

II.

Saran Pemerintah harus segera mengesahkan RUU PKS dengan terlebih dahulu meletakkan rancangan undang-undang ini ke dalam Prolegnas Prioritas 2021. Selain itu, agar RUU PKS segera disahkan di Indonesia perlu kontribusi seluruh elemen masyarakat dengan mempunyai perspektif korban dan manusiawi dengan tidak menyalahakan korban apabila kasus kekerasan terjadi dengan menyinggung pakaian yang digunakan atau latar belakang korban.


DAFTAR PUSTAKA Diani, Hera. Mengapa Indonesia Perlu UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Magdalene, 25 Mei 2016. Manullang, E. Fernando. 2007. Menggapai Hukum Berkeadilan. Jakarta: Kompas. Raharjo, Satjipto. 2000.Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.