DAFTAR ALSA INDONESIA LEGAL OPINION PERIODE I Tema : Hukum Pemilihan Umum No.
Local Chapter
Judul Problematika Hukum Deklarasi oleh Kepala Daerah
1.
Universitas Andalas
terhadap Salah Satu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu 2019 Larangan Rangkap Jabatan dalam Pemilu 2019 bagi
2.
Universitas Gadjah Mada
Calon
Anggota
DPD:
Supremasi
Hukum
atau
Skeptisisme Hukum? 3.
Universitas Hasanuddin
4.
Universitas Indonesia
Ketentuan Surat Suara Cadangan dalam Pemilihan Umum Tahun 2019 Money
Politics:
Kecurangan
Mendarah Daging di Tanah Air
Demokrasi
yang
LEGAL OPINION ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS ANDALAS
LEGAL OPINION Problematika Hukum Deklarasi oleh Kepala Daerah terhadap Salah Satu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu 2019 Oleh: Annisa Tri Wulandari, Anggun Widia Anggraini, dan Arda Rahayu ALSA Local Chapter Universitas Andalas
Kasus Posisi Pemilu Presiden telah resmi selesai sejak ditetapkannya pasangan nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul atas pasangan Prabowo-Sandi dalam perolehan suara sah berdasarkan Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Perhitungan Secara Nasional pada 21 Mei 2019 lalu. Pasangan Jokowi-Ma’ruf menang dengan perolehan suara sebanyak 85.607.362 suara atau 55,50 persen dari total suara sah 154.257.601 suara. Ketua KPU RI, Arief Budiman menyatakan bahwa KPU tetap memberikan kesempatan bagi peserta pemilu yang merasa tidak puas terhadap hasil perhitungan tersebut untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam jangka waktu selambatnya tiga hari setelah pengumuman pemenang. Hal ini sesuai dengan Pasal 475 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mana nantinya MK akan memutus perselisihan yang timbul akibat keberatan tersebut paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh peserta Pemilu kepada Mahkamah Konstitusi. Pengajuan permohonan oleh pihak Prabowo-Sandi memang menjadi topik yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini. Namun, sebelumnya deklarasi dukungan yang dilakukan oleh para Kepala Daerah juga menjadi perhatian khususnya Jawa Tengah yang mana Gubenur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan 31 kepala daerahnya melakukan deklarasi dukungan terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 begitu pula yang dilakukan oleh 10 orang kepala daerah di Sumatera Barat.
Badan Pengawas pemilu (Bawaslu) Jawa Tengah menyatakan bahwa deklarasi yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah dan 31 kepala daerah tersebut telah melanggar aturan. Aturan yang dilanggar bukanlah terkait kampanye yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut sehingga melanggar UU Pemilu, melainkan melanggar netralitas kepala daerah dalam pemilu sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Isu Hukum 1. Apakah Gubernur Jawa Tengah dan 31 kepala daerah yang melakukan deklarasi dukungan telah melanggar wewenang meskipun mereka memiliki Hak Pilih? 2. Apakah deklarasi dukungan dari kepala daerah dapat memberikan dampak terhadap perolehan suara Paslon?
Dasar Hukum 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 61 ayat (2) menyebutkan “Sumpah/janji kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: “Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa”.” 3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua terhadap UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
Analisis Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang dimaksud dengan Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.1 Jadi dapat dikatakan bahwa berdasarkan pasal tersebut tindakan yang dilakukan oleh para kepala daerah dapat dikategorikan telah menyalahi peraturan yang ada. Hal ini seperti yang telah dijelaskan pada pasal di atas bahwa kepala daerah adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah, jadi seharusnya hanya digunakan untuk hal- hal yang berkaitan dengan kepentingan penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri dan bukan untuk kepentingan politik. Di dalam video yang beredar di berbagai platform sosial media terlihat bahwa Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menyebutkan bahwa ia sedang bersama dengan 31 kepala daerah yang terdiri dari Bupati dan Walikota yang menyatakan dukungannya terhadap Pasangan Calon (Paslon) 01. Hal yang dilakukan Ganjar Pranowo dan 31 kepala daerah lainnya yang dilakukan di Solo pada tanggal 26 Januari 2019 tersebut tentunya adalah hal yang salah karena jabatan kepala daerah yang telah melekat pada diri mereka mengindikasikan bawa sebagai Kepala Daerah harus bersikap netral dan tidak memihak kepada salah satu pasangan calon. Hal ini berbeda konteks jika Ganjar Pranowo dan 31 Kepala Daerah lainnya melakukan deklarasi kepada salah satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden mengatasnamakan diri pribadi dan menggunakan fasilitas pribadi. Jika mereka menggunakan fasilitas pemerintah yang diberikan kepada pejabat pemerintah demi kelancaran tugas, maka hal tersebut telah melanggar peraturan yang ada karena mereka menggunakan hak politik mereka sebagai Warga Negara Indonesia yang berhak memilih salah satu pasangan calon seperti yang diatur dalam Pasal 28 UUD 1945. Pendeklarasian dukungan oleh Kepala Daerah juga terjadi di Sumatera Barat sebanyak 12 Kepala Daerah memdeklarasikan diri mereka mendukung1 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
secara terang-terangan Paslon 01. Deklarasi yang dilakukan oleh kepala daerah yang berasal dari bupati dan wali kotat ini dilakukan saat Pasangan Calon (Paslon) Capres dan Cawapres 01 tersebut tengah melakukan kampanye di Danau Cimpago, Padang, Sumatera Barat. Dalam fakta di lapangan, terkhususnya di Sumatera Barat, perolehan suara yang didapat oleh pasangan Jokowi-Ma’ruf (Paslon 01) hanya sebanyak 14,05% saja yang mana sangat berbanding terbalik dengan Pasangan Prabowo-Sandi (Paslon 02) yang memperoleh suara sebanyak 85,95%. Dari data yang diperoleh dari perhitungan suara yang KPU Sumbar membuat mereka menang telak di Provinsi Sumatera Barat. Jika ditelaah dari dua kasus di atas yang dimana beberapa kepala daerah melakukan deklarasi dukungan terhadap salah satu calon. Maka, dapat diketahui bahwa hasil yang diperoleh dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut sangat berbeda. Meskipun, para Kepala Daerah menyatakan dukungan dan deklarasinya, hal itu tidak memengaruhi hasil dari perolehan suara yang didapatkan oleh masing-masing calon. Faktanya di Jawa Tengah Paslon 01 unggul dengan perolehan suara sebanyak 77,29%, hal yang berlawanan terjadi di Sumatera Barat Paslon 02 unggul dengan perolehan suara sebanyak 85,95% suara. Meskipun kepala daerah tersebut melakukan deklarasi dukungan, akan tetapi pilihan tetap di tangan rakyat. Ada beberapa teori yang dapat dikaitkan dengan kasus diatas agar terciptanya Pemilihan Umum seperti yang diharapkan, yaitu: 1.
Teori Keadilan Pemilu (Electoral Justice) Sistem keadilan pemilu merupakan instrument penting untuk menegakkan hukum dan menjamin sepenuhnya penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksaan pemilu yang bebas, adil, dan jujur. Konsep keadilan pemilu tidak hanya terbatas pada penegakan kerangka hukum saja melainkan juga merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam merancang dan menjalankan seluruh proses pemilu. Ramlan Subakti menyatakan ada 7 (tujuh) kriteria yang mesti dipenuhi untuk mewujudkan sebuah pemilu yang adil dan berintegritas, yang diantaranya kepastian hukum yang dirumuskan berdasarkan asas pemilu demokratis, persaingan bebas dan adil antarkontestan pemilu serta partisipasi seluruh pemangku kepentingan dalam
seluruh rangkaian penyelengaraan tahap pemilu.1 2. Teori Pemilu yang Bebas dan Adil (Free and Fair Election) Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa Pemilu merupakan proses kontestasi memperebutkan suara rakyat. Dalam konteks itu, pemilu sesungguhnya merupakan kontestasi yang dapat saja diwarnai berbagai praktik curang. Demi untuk memenangi perebutan pengaruh terhadap pemilih, kontestan pemilu potensial melakukan segala cara termasuk pelanggaran dan kecurangan.2 Dari dua teori tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sekalipun kepala daerah melakukan deklarasi dukungan terhadap salah satu pasangan calon, akan tetapi agar terciptanya Pemilu yang adil, bebas dan jujur maka seharusnya hal tersebut tidak berdampak terhadap masyarakat yang akan memilih, karena pilihan tetap berada ditangan rakyat.
Kesimpulan Problematika yang muncul dalam Pemilu salah satunya yaitu Dukungan Terbuka dari Kepala Daerah kepada Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden jika dilihat dari segi peraturan maka hal tersebut boleh saja dilakukan, dalam batasan apabila bentuk dukungan itu tidak melanggar UU Pemerintah Daerah serta tidak menggunakan fasilitas negara seperti yang tercantum dalam Pasal 304 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Saran Seyogyanya sebagai pejabat pemerintah mengutamakan prinsip netralitas dalam menggunakan hak suaranya. Hal ini jika dipandang lebih jauh mengenai penggunaaan hak suara sebagai Warga Negara Indonesia yang baik memang tidak melanggar konstitusi serta jajaran peraturan yang berada di bawahnya. Tetapi, jika dikaji lebih jauh mengenai
1
Refly Harun, Pemilu Konstitusional Desain Penyelesaian Sengketa Pemilu Kini dan Ke Depan (PT RajaGrafindo Persada 2016).[17] 2 Refly Harun, Pemilu Konstitusional Desain Penyelesaian Sengketa Pemilu Kini dan Ke Depan (PT RajaGrafindo Persada 2016).[18]
norma yang hidup di temgah masyarakat dan stigma yang telah dibangun mengenai Kepala Daerah yang memiliki kekuatan dan kekuasaan dalam memperoleh dukungan serta kembali menarik sejarah mengenai keterlibatan kepala daerah dalam mendukung presiden. Tentu saja kita mempertanyakan sejauh mana moralitas seorang pejabat pemerintah yang netralitas dan mengutamakan kedaulatan rakyat di atas segalanya. Pemerintah terkhusus DPR perlu mengkaji ulang regulasi mengenai moralitas seorang pejabat pemerintah jika memberikan dukungan pribadi dengan melepaskan title “Pejabat Pemerintah” yang telah melekat pada dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Harun, Refly, 2016, Pemilu Konstitusional Desain Penyelesaian Sengketa Pemilu Kini dan Nanti, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182
LEGAL OPINION ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS GADJAH MADA
LEGAL OPINION Larangan Rangkap Jabatan dalam Pemilu 2019 bagi Calon Anggota DPD: Supremasi Hukum atau Skeptisisme Hukum? Oleh: Novrita Nadila Humaira, Jeremy Abrahan Guntur, dan Bernessa Clarissa Rotua Silalahi ALSA Local Chapter Universitas Gadjah Mada I. KASUS POSISI 1. Pada tanggal 23 Juli 2018, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang menganulir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang melarang pengurus partai politik menjadi calon legislatif Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 2. Putusan MK tersebut dijadikan dasar terbitnya Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD yang merupakan Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 khususnya Pasal 60A yang mengharuskan pengurus partai politik sebagai calon anggota DPD dalam Pemilu 2019 untuk mengundurkan diri dari jabatannya. 3. Oesman Sapta Odang (OSO), Ketua DPD sekaligus Ketua Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), terancam tidak dapat mencalonkan diri sebagai anggota DPD pada Pemilu 2019. 4. OSO melakukan uji materiil atas Peraturan KPU tersebut ke Mahkamah Agung (MA) yang permohonan intinya adalah menyatakan bahwa Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tidak sah dan batal demi hukum. 5. MA mengeluarkan putusan atas uji materiil tersebut melalui Keputusan Nomor 65 P/HUM/2018 yang intinya menyatakan bahwa Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tidak berrlaku surut, yang mengindikasikan bahwa pengurus partai politik tertap bisa mencalonkan diri menjadi anggota DPD untuk Pemilu 2019. 6. KPU memutuskan untuk mengikuti Putusan MK dan mencoret nama OSO dari Daftar Calon Tetap (DCT).
7. OSO juga melaporkan KPU ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dengan tudingan pelanggaran administrasi dan pidana pemilu.
II. ISU HUKUM 1. Apakah Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 mengenai larangan anggota partai politik merangkap sekaligus menjadi anggota DPD telah sesuai dengan hukum pemilihan umum di Indonesia? 2. Bagaimana implementasi dari Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018, Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018, dan Putusan MA Nomor 65 P/HUM/2018 dalam realita penyelenggaraan Pemilu 2019 di Indonesia?
III. DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disingkat UU Pemilu) 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disingkat UU MD3) 3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (selanjutnya disingkat UU Parpol) 4. Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 5. Putusan MK Nomor 10/PUU-VI/2008 6. Putusan MA Nomor 65 P/HUM/2018 7. Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018
IV. ANALISIS “Ubi jus incertum, ibi jus nullum” Di mana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum
Persyaratan untuk menjadi anggota DPD diatur dalam Pasal 182 UU Pemilu. Salah satu persyaratan yang menimbulkan multi interpretasi adalah Pasal 182 huruf m UU Pemilu yang berrelevansi dengan Pasal 302 ayat (1) huruf c UU MD3 yang keduanya pada pokoknya mensyaratkan bahwa calon anggota DPD agar bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat negara lainnya, direksi, komisaris, dewan pengawas, dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara. 3 Jika dilihat berdasarkan ketentuan-ketentuan mengenai persyaratan bagi anggota DPD diatas, memang tidak ada aturan yang secara tegas melarang ataupun membatasi anggota partai politik untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Namun demikian, apabila Pasal 302 ayat (1) huruf c UU MD3 dan Pasal 182 huruf m UU Pemilu tersebut diatas diinterpretasikan secara sistematis dengan Pasal 34 ayat (1) huruf c UU Parpol, akan terlihat keterkaitan diantara ketiganya. Pasal 34 huruf c UU Parpol secara eksplisit menyatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pasti merupakan bagian dari sumber keuangan partai politik. 4 Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa anggota DPD tidak diperbolehkan merangkap sebagai pengurus partai politik karena anggaran partai politik bersumber dari bantuan APBN/APBD. Pada faktanya, berdasarkan laporan dari Indonesian Parliamentary Center, terdapat setidaknya tujuh puluh anggota DPD yang berafiliasi kepada partai politik yang sebagiannya merupakan pengurus. Bahkan, OSO, Ketua Umum Hanura, baru saja dilantik sebagai pimpinan baru DPD. 5 Padahal, salah satu tujuan atau original intention dari perubahan UUD NRI 1945 yang menyebabkan lahirnya DPD adalah agar terciptanya fungsi Check and Balances dalam lembaga kenegaraan sehingga kekuasaan tidak bertumpu hanya pada satu institusi negara saja.
3
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum jo. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik 5 Achmad Nurcholis, ‘Katastrofi Dewan Perwakilan Daerah: Parpolisasi, Korupsi, dan kemelut Konflik’, (Indonesian Parliamentary Center, 2017) < https://ipc.or.id/katastrofi-dewan-perwakilan-daerah-parpolisasikorupsi-dan-kemelut-konflik/> accessed 29 Juni 2019.
Fungsi Check and Balances tersebut tidak akan terlaksana secara maksimal apabila di dalam pengerjaannya masih tercampur dengan kepentingan politik, bukan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat/daerah. Pentingnya DPD sebagai jembatan antara daerah dan pusat tersebut juga ditekankan dalam Putusan MK Nomor 10/PUU-VI/2008 yang salah satunya menyatakan bahwa DPD merupakan representasi daerah (territorial representation) yang membawa dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam kerangka kepentingan nasional sebagai imbangan atas prinsip “checks and balances” terhadap DPR yang merupakan representasi politik (political representation) dari aspirasi dan kepentingan politik partai-partai politik dalam rangka kepentingan nasional. 6 Apabila anggota DPD sebagai territorial representation mayoritas diisi oleh anggota partai politik sebagai political representation yang fungsinya seharusnya “dikerjakan” oleh DPR, tentu akan terjadi double representation atau keterwakilan ganda, yaitu dijalankannya fungsi parlemen yaitu DPR dan DPD oleh satu lembaga. Maka dari itu, seharusnya, dalam mencalonkan diri sebagai anggota DPD, seseorang tersebut haruslah sebagai perseorangan yang tidak memiliki afiliasi dengan partai politik manapun yang tidak lagi membawa kepentingan partainya melainkan membawa kepentingan daerahnya. Oleh karena itu, larangan anggota partai politik yang merangkap sekaligus menjadi anggota DPD telah sesuai dengan hukum pemilihan umum yang berlaku di Indonesia. Namun, dikeluarkannya Putusan MK tersebut telah menimbulkan efek “domino” dengan juga dikeluarkannya putusan terhadap gugatan dari OSO oleh MA dan Peraturan KPU yang ketiganya memiliki substansi yang bertentangan. Pertentangan antar-putusan tersebut juga telah menimbulkan reaksi berupa pro dan kontra dalam masyarakat. Reaksi kontra masyarakat timbul dikarenakan MK pada putusannya menambah syarat baru dalam pendaftaran calon anggota DPD, sedangkan ketika putusan tersebut dijatuhkan, seluruh tahapan pendaftaran calon anggota DPD telah berakhir dan tidak ada lagi verifikasi syarat-syarat pendaftaran. Secara nyata, dalam penyelenggaraan pemilu memang terdapat linimasa waktu yang ditetapkan. KPU telah menutup pendaftaran calon anggota DPD pada tanggal 11 Juli 2018. Di 6
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VI-2008, paragraf [3.18.1], huruf f, halaman 205-206
sisi lain, verifikasi hingga penetapan DCT berlangsung sampai 20 September 2018. Putusan MK tersebut tertanggal 23 Juli 2018, yang berarti putusan tersebut dijatuhkan setelah melewati masa pendaftaran. Ditambah, pada tanggal 25 Oktober 2018, MA mengeluarkan Putusan MA Nomor 65 P/HUM/2018 yang bertentangan dengan Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018, dimana MA berpendapat bahwa Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tidak dapat diberlakukan untuk Pemilu 2019 karena peraturan tersebut lahir setelah rangkaian pendaftaran dan tahapan Pemilu 2019 dimulai sehingga peraturan tersebut tidak dapat berlaku surut (retroactive). Oleh karena itu, MA berpendapat bahwa Pasal 60A tersebut tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum selama tidak digunakan untuk Pemilu 2019. 7 Berdasarkan Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018, dalam kasus OSO, KPU menyatakan bahwa OSO harus tetap menyerahkan surat pengunduran diri dari pengurus partai maksimal tanggal 21 Desember 2018 apabila ia tetap ingin namanya dimasukkan dalam DCT. Namun, sampai batas waktu yang ditentukan, OSO tidak menyerahkan surat tersebut. Akhirnya, KPU menyatakan bahwa nama OSO tidak dicantumkan dalam DCT sebagai peserta pemilu anggota DPD 2019. Keputusan KPU untuk mencoret nama OSO dari DCT karena mengikuti Putusan MK tersebut dinilai sangat kontroversial, mengarah ke kepentingan politik tertentukah atau memang merupakan amanah konstitusi? Abdul Kadir, kuasa hukum OSO, pun melakukan pengaduan kepada Bawaslu atas Keputusan KPU tersebut. Dalam putusannya, Bawaslu memerintahkan KPU untuk memasukkan OSO dalam daftar calon anggota DPD dalam Pemilu 2019 namun OSO tetap harus mundur sebagai pengurus Partai Hanura jika kembali lolos sebagai anggota DPD periode 2019-2024. 8 Dalam hal ini, kekisruhan dalam pengimplementasian ketiga putusan/peraturan tersebut jelas telah memunculkan pandangan skeptis dari masyarakat Indonesia terhadap penyelenggaraan Pemilu tahun 2019 di Indonesia.
7
Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018, hlm. 46-47 F Fitria Chusna Farisa, `KPU Tegaskan OSO Tak Masuk Dalam DCT Caleg DPD’, (Kompas, 2018) <https://nasional.kompas.com/read/2018/12/24/18111491/kpu-tegaskan-oso-tak-masuk-dalam-dct-caleg-dpd> accessed 29 Juni 2019. 8
V. KESIMPULAN Terlepas dari sudah linearnya larangan calon anggota DPD merangkap sebagai anggota partai politik dengan hukum pemilihan umum di Indonesia, Putusan MK Nomor 30/PUUXVI/2018, Putusan MA Nomor 65 P/HUM/2018, serta Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 menjadi perdebatan karena dianggap menghasilkan keputusan yang berbeda-beda. Padahal apabila kita amati dengan seksama, Putusan MK dan Putusan MA secara normatif tidak bertentangan karena sama-sama memutuskan untuk melarang pencalonan anggota DPD yang berasal dari pengurus partai politik. Perbedaannya ialah pada implementasinya. Putusan MK tersebut langsung diberlakukan pada Pemilu 2019 karena Putusan MK baru dijatuhkan pada tanggal 23 Juli 2018 sementara persyaratan pengumpulaan dokumen Pemilu berakhir pada 19 Juli 2019, sedangkan Putusan MA baru diberlakukan pada Pemilu selanjutnya. Namun, justru perbedaan implementasi tersebutlah yang menimbulkan kesimpangsiuran dalam pelaksanaan Pemilu calon anggota DPD tahun 2019 ini. Putusan MK tersebut tidak memuat apakah harus dilakukan verifikasi ulang atau tidak padahal Putusan MK tersebut menambah syarat untuk menjadi calon anggota DPD disaat seluruh tahapan pendaftaran telah berakhir. UU Pemilu juga tidak mengatur mekanisme apa yang harus dilakukan setelah Putusan MK itu dijatuhkan. Dengan tidak diaturnya mekanisme apa yang harus dilakukan setelah Putusan MK dijatuhkan, tentu dapat memunculkan keresahan karena absennya kepastian hukum.
VI. SARAN 1. Seharusnya MA, MK, dan KPU melakukan koordinasi yang berkelanjutan dan mendalam guna menghindari adanya putusan dan/atau peraturan yang saling bertentangan agar kepastian hukum dalam Pemilu 2019 di Indonesia dapat tercipta. 2. MK dan KPU dalam mengeluarkan putusan/peraturan hendaknya menilik asas nonretroaktif sehingga tidak mengganggu proses tahapan Pemilu yang sedang berjalan.
3. UU MD3 sebaiknya memuat pasal yang mengatur secara eksplisit mengenai larangan adanya rangkap jabatan menjadi DPD.
DAFTAR PUSTAKA Laman [accessed 29 Juni 2019] Achmad Nurcholis, ‘Katastrofi Dewan Perwakilan Daerah: Parpolisasi, Korupsi, dan Kemelut Konflik’, (Indonesian Parliamentary Center, 2017) <https://ipc.or.id/katastrofi-dewanperwakilan-daerah-parpolisasi-korupsi-dan-kemelut-konflik/>. Fitria Chusna Farisa, `KPU Tegaskan OSO Tak Masuk Dalam DCT Caleg DPD’, (Kompas, 2018)
<https://nasional.kompas.com/read/2018/12/24/18111491/kpu-tegaskan-oso-tak-
masuk-dalam-dct-caleg-dpd>. Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VI/2008 Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018
LEGAL OPINION ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS HASANUDDIN
LEGAL OPINION Ketentuan Surat Suara Cadangan dalam Pemilihan Umum Tahun 2019 Oleh: Nurul Zashkia ALSA Local Chapter Universitas Hasanuddin A. Kasus Posisi (Case Position) Adapun kronologis singkatnya adalah sebagai berikut : 1. Bahwa berdasarkan Pasal 350 ayat 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Jumlah surat suara di setiap TPS sama dengan jumlah Pemilih yang tercantum di dalam daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan ditambah dengan 2% (dua persen) dari daftar pemilih tetap sebagai cadangan. 2. Bahwa berdasarkan Pasal 227 ayat 1 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan Dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum, Surat Suara cadangan di setiap TPS/TPSLN/KSK digunakan untuk mengganti Surat Suara Pemilih yang keliru dicoblos, mengganti Surat Suara yang rusak, dan untuk Pemilih tambahan.
3. Bahwa berdasarkan Pasal 210 ayat 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Daftar pemilih tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas data Pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPS yang karena keadaan tertentu
Pemilih tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS tempat yang bersangkutan terdaftar.
4. Bahwa Eric Nainggolan adalah salah satu penduduk yang terdaftar sebagai Daftar Pemilih Tetap disalah satu TPS di Jakarta.
5. Bahwa beberapa hari sebelum Pemilu Eric Nainggolan mendaftarkan dirinya sebagai Daftar Pemilih Tambahan di Bali dengan melakukan pengurusan formulir A5 sehingga Eric Nainggolan terdaftar sebagai Daftar Pemilih Tambahan di TPS 21 Bali.
6. Bahwa pada tanggal 17 April 2017, ketika Eric Nainggolan tidak dapat melakukan pencoblosan oleh karena surat suara di TPS tersebut habis.
7. Bahwa jumlah surat suara yang tersedia di TPS 21 Bali berjumlah 191, yaitu 187 surat suara dari Daftar Pemilih Tetap dan 4 surat suara cadangan untuk Daftar Pemilih Tambahan dan Daftar Pemilih Khusus.
8. Bahwa jumlah surat suara di TPS 21 Bali tidak mencukupi oleh karena jumlah Daftar Pemilih Tambahan membludak sehingga menyebabkan beberapa wajib pilih salah satunya Eric Nainggolan kehilangan hak suaranya. Hal ini disebabkan atas berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang mengatur bahwa jumlah surat suara cadangan hanya 2% dari Daftar Pemilih Tetap dan tidak memberikan solusi apabila surat suara tersebut
kurang sementara di Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan Dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum justru memberikan solusi jika terjadi kekurangan surat suara. Atas dasar ketidakharmonisan antara kedua peraturan tersebut yang menyebabkan berbagai permasalahan dalam proses pemungutan suara yang berujung pada hilangnya hak suara rakyat dalam pesta demokrasi yaitu Pemilu.
B. Isu Hukum (Legal Issues) Adapun yang menjadi permasalahan hukum antara lain : 1. Bagaimana penerapan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang membatasi jumlah surat suara cadangan harus 2% dari jumlah Daftar Pemilih Tetap di daerah-daerah yang memiliki jumlah Daftar Pemilih Tambahan yang banyak seperti kota-kota metropolitan?
2. Bagaimana penerapan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan Dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum yang mengatur tentang solusi apabila terjadi kekurangan surat suara di TPS tertentu, apakah harmonis dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum dan dapat sepenuhnya mengatasi terjadinya kekurangan surat suara yang menyebabkan hilangnya hak memilih dari seorang wajib pilih bernama Eric Nainggolan?
C. Sumber Hukum (Source of Law) Adapun yang menjadi sumber hukum dalam opini hukum (legal opinion) ini adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan 5. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan Dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum
D. Argumentasi Hukum (Legal Arguments) a. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Tidak Responsif
1. Bahwa sebagaimana telah diketahui secara normatif bahwa pada Pasal 350 ayat 3 UndangUndang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum membatasi jumlah untuk mengganti Surat Suara Pemilih yang keliru dicoblos, mengganti Surat Suara yang rusak, dan untuk Pemilih Tambahan hanya berjumlah 2% dari jumlah Daftar Pemilih Tetap dan tidak mengatur lebih lanjut jika surat suara tersebut kurang, sementara berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang
No. 12 Tahun 2011 mengatur bahwa bahwa dalam membentuk Peraturan PerundangUndangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan PerundangUndangan yang baik, dimana dua dari tujuh asas tersebut adalah kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, serta kedayagunaan dan kehasilgunaan. Selain itu, pada Pasal 6 ayat 1 juga mengatur bahwa meteri muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
2. Bahwa sebagaimana diketahui secara sosiologis bahwa terdapat gelombang penolakan terhadap pemberlakuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum membatasi jumlah surat suara cadangan yang diperuntukkan untuk Daftar Pemilih Tambahan dan Daftar Pemilih Khusus hanya berjumlah 2% dari jumlah Daftar Pemilih Tetap dan tidak mengatur lebih lanjut jika surat suara tersebut kurang. Gelombang penolakan tersebut tidak hanya berasal dari masyarakat, namun juga dari kalangan akademisi, bahkan pejabat publik lain. Hal ini disebabkan bahwa ketentuan tersebut tidak mampu mengakomodir masalahmasalah yang berpotensi besar akan terjadi saat Pemilu dan telah terbukti terjadi saat Pemilu yaitu terjadi kekurangan surat suara di beberapa TPS yang terdapat di berbagai daerah di Indonesia yang berujung pada hilangnya hak memilih warga negara seperti yang dialami oleh Eric Nainggolan yang kehilangan haknya untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi karena kurangnya surat suara di TPS 21 Bali. Oleh karena itu pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum tidak berasaskan kedayagunaan dan kehasilgunaan,
keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, serta ketertiban dan kepastian hukum.
3. Bahwa untuk mewujudkan suatu negara yang berdasarkan demokrasi konstitusional, didalam konstitusi telah mengatur penjaminan atas hak untuk memilih dalam Pemilu antara lain : - Pasal 1 ayat 3
: Negara Indonesia adalah negara hukum
- Pasal 22E ayat 1 : Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. - Pasal 27 ayat 1
: Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. - Pasal 28C ayat 2 : Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. - Pasal 28D ayat 1 : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta pengakuan yang sama dihadapan hukum. - Pasal 28H ayat 2 : Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. - Pasal 28I ayat 4 : Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. - Pasal 28I ayat 5 : Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi man usia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum tidak mengakomodir seluruh nilai-nilai didalam konstitusi atau dalam proses pembentukannya tidak berasaskan kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dan/ atau dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
4. Bahwa hak untuk memilih dalam Pemilu merupakan Hak Asasi Manusia, hal ini dibuktikan dengan penegasan Pasal-Pasal yang berkaitan dengan penjaminan bagi setiap warna negara yang telah memenuhi syarat untuk menyalurkan hak pilihnya dalam Pemilu dalam Bab X Undang-Undang Dasar 1945 tentang Hak Asasi Manusia, juga secara normatif juga dijamin dalam Nomor Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yaitu pada Pasal 43 ayat 1 yang berbunyi bahwa “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Secara teoritis, Prof. Aswanto dalam penyusunan Bahan Kuliah Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin PPS Unhas, mengemukakan bahwa menurut Marthen Kriale mengemukakan bahwa HAM adalah hak yang bersumber dari Allah. Jack Donnaly, mengatakan bahwa HAM adalah hak yang bersumber dari hukum alam, tetapi sumber utamanya dari Allah. Meskipun terdapat dualisme pendapat, ada yang mengatakan bahwa hak pilih sebagai hak dasar adalah HAM, ada pula yang berpendapat bahwa hak untuk memilih sebagai salah satu dari hak politik warga negara adalah hak dasar bukan HAM, seperti teori yang disampaikan oleh DF. Scheltens yang membedakan keduanya bahwa HAM adalah hak yang diperoleh setiap manusia sebagai konsekuensi ia dilahirkan menjadi manusia.
Karenanya HAM harus dibedakan dengan hak dasar, dimana HAM berasal dari kata “Mensen Rechten”, sedangkan hak dasar berasal dari kata “Grond Rechten”. Namun, DF. Scheltens melanjutkan bahwa hak dasar berasl dari Hak Asasi Manusia. Terlepas dari dualisme pendapat tersebut, yang terpenting adalah hak pilih adalah hak konstitusional warna negara yaitu hak yang dijamin oleh konstitusi sebagai dasar bernegegara, sehingga ketika konstitusi sebagai pandangan bangsa tidak lagi ditaati dan diamalkan maka yang terjadi adalah vandalisme terhadap penyelenggaraan ketatanegaraan atau oleh Prof. Bagir Manan menyebutnya sebagai pelanggaran terhadap hak-hak warga negara. Negara Indonesia adalah Negara Hukum, berdasarkan teori Albert Venn Dicey dalam bukunya Introduction to the Study of The Law of the Consitution, menuliskan adanya 3 konsep Rule of Law antara lain : 1. Supremasi Hukum 2. Equality before the law 3. Terjaminnya Hak Asasi Manusia. Selain itu, Julius Stahl mengemukakan bahwa konsep negara hukum yang disebutnya dengan istilah “rechtsstaat”mencakup 4 elemen penting, yaitu : 1. Perlindungan hak asasi manusia 2. Pembagian kekuasaan 3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang 4. Peradilan tata usaha negara.
5. Bahwa sebagaimana telah diketahui secara filosofis bahwa menurut alam pemikiran Pancasila, sebisa mungkin semua suara rakyat tanpa terkecuali harus mampu diakomodir oleh
Pemerintah, bahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan proses pengambilan hak dari warga negara maka Pemerintah harus mampu memberikan kemudahan, sehingga dalam penyaluran hak tersebut warga negara tidak mengalami kesulitan, sebab adanya kesulitas maka berpotensi tercederainya hak warga negara. Kaitannya dengan hal tersebut, dikutip melalui buku yang berjudul Negara Paripurna karangan Yudi Latif, Ir. Soekarno pernah mengatakan “ Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, tetapi kita mendirikan Negara Indonesia semua buat semua, satu buat semua dan semua buat satu”.
b. Penerapan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan Dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum Tidak Solutif.
1. Seperti yang telah kita ketahui bahwa pada Pasal 227 dan Pasal 228 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan Dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum Tidak Solutif telah mengatur solusi jika surat suara disuatu TPS kurang yaitu : Pasal 227 : (1) Surat Suara cadangan di setiap TPS/TPSLN/KSK digunakan untuk mengganti Surat Suara Pemilih yang keliru dicoblos, mengganti Surat Suara yang rusak, dan untuk Pemilih tambahan.
(2) Dalam hal Surat Suara cadangan tidak mencukupi dapat menggunakan Surat Suara yang masih tersedia. (3) Penggunaan Surat Suara cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dicatat dalam berita acara. Pasal 228 : (1) Dalam hal terdapat kekurangan Surat Suara pada TPS yang hanya berjumlah 1 (satu) TPS dalam 1 (satu) kelurahan/desa atau nama lain, dilakukan prosedur sebagai berikut: a. KPPS segera melaporkan kekurangan Surat Suara kepada PPS; b. PPS setempat berkordinasi dengan PPS terdekat berkaitan dengan ketersediaan Surat Suara; c. Apabila PPS terdekat memiliki ketersediaan Surat Suara sebagaimana dimaksud dalam huruf b, PPS berkoordinasi dengan Pengawas TPS untuk mengambil Surat Suara dari TPS di kelurahan/desa atau nama lain yang berdekatan dengan TPS yang kekurangan Surat Suara, dengan tetap mempertimbangkan kecukupan Surat Suara di TPS terdekat tersebut; d. pengambilan Surat Suara sebagaimana dimaksud dalam huruf c, dicatat ke dalam formulir Model C2-KPU dan formulir Model CKPU oleh KPPS di TPS terdekat yang Surat Suaranya diambil, sejumlah yang diterima di awal dalam kotak suara dikurangi dengan Surat Suara yang diambil oleh PPS; e. PPS memberikan Surat Suara yang telah diambil sebagaimana dimaksud dalam huruf c kepada KPPS di TPS yang kekurangan Surat Suara; dan f. KPPS di TPS yang kekurangan Surat Suara mencatat penerimaan Surat Suara dari PPS sebagaimana dimaksud dalam huruf e ke dalam formulir Model C2-KPU, sejumlah Surat Suara yang diterima ditambah dengan Surat Suara tambahan dari PPS.
Solusi yang diatur didalam PKPU secara empiris belum mampu mengakomodir berbagai masalah yang terjadi saat proses pemungutan suara yang berujung pada tercederainya hak pilih warga negara. Hal ini disebabkan akibat jumlah surat suara cadangan yang terbatas, sementara jumlah Daftar Pemilih Tambahan di suatu daerah membludak dan solusi yang diatur dalam PKPU tidak mampu mengakomodir masalah tersebut karena dibeberapa daerah surat suara di TPS kelurahan/desa atau nama lain terdekat dengan TPS yang mengalami kekurangan surat suara justru juga mengalami kekurangan surat suara, sementara pengambilan surat suara di TPS kelurahan/desa atau nama lain yang tersedia memiliki terkadang memiliki jarak yang sangat jauh sehingga ditambah dengan proses pengurusan seperti pembuatan berita acara memerlukan waktu yang cukup lama untuk sampai ke TPS yang mengalami kekurangan surat suara, sementara itu terdapat aturan batas waktu dalam proses pemungutan surat suara. Hal ini dibuktikan dengan hilangnya hak pilih Eric Nainggolan sebagai Pemilih Tambahan di TPS 21 Bali akibat kekurangan surat suara di TPS tersebut.
2. Secara normatif, ketentuan dalam Pasal 227 dan Pasal 228 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan Dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum terkesan tidak harmonis dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang membatasi surat suara cadangan hanya 2% dari jumlah Daftar Pemilih Tetap dan tidak mencantumkan ketentuan lebih lanjut apabila surat suara kurang namun Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2019 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan Dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum justru mengatur hal tersebut.
E. Kesimpulan dan Rekomendasi (Conclusions and Recommendations). Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Diharapkan masyarakat untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum khususnya Pasal Pasal 350 ayat 3 terhadap UndangUndang Dasar ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
2. Diharapkan pemerintah khususnya DPR untuk merevisi Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum agar dapat mengakomodir berbagai masalah yang berpotensi terjadi saat proses pemungutan suara khsusnya yang terkait dengan jumlah surat suara cadangan dan solusi jika terjadi kekurangan surat suara pada TPS.
3. Diharapkan pemerintah bisa lebih cepat dan tanggap dalam mencegah terjadinya masalah saat pemungutan suara, misalnya pemerintah mengeluarkan PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) sebelum Pemilu dilaksanakan jika terdapat Pasal yang dinilai belum mampu mengakomodir permasalahan dalam Undang-Undang.
F. Penutup Demikian legal opinion ini dibuat, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.
LEGAL OPINION ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS INDONESIA
LEGAL OPINION Money Politics: Kecurangan Demokrasi yang Mendarah Daging di Tanah Air Benedict Giankana Rangkidompu Sowolino dan Dyah Ayu Saraswati ALSA Local Chapter Universitas Indonesia
A. Kasus Posisi (Facts) Pada tahun ini, pemilihan umum (“Pemilu”) diselenggarakan bukan hanya untuk memilih calon presiden dan wakil presiden, namun juga untuk memilih calon anggota legislatif seperti Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”), Dewan Perwakilan Daerah (“DPD”), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“DPRD”) Provinsi, serta DPRD Kabupaten/Kota.9 Pemilu tersebut diselenggarakan pada tanggal 17 April 2019 dengan lebih dari 800.000 Tempat Pemungutan Suara (“TPS”) yang tersebar di seluruh provinsi Indonesia.10 Pemilu ini mengusung dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, yaitu Joko Widodo-K.H. Ma’ruf Amin dengan nomor urut 01 dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dengan nomor urut 02. Ada 16 partai politik yang ikut serta, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (“PKB”), Gerakan Indonesia Raya (“Gerindra”), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (“PDIP”), Golongan Karya (“Golkar”), Nasional Demokrat (“NasDem”), Garuda, Berkarya, Partai Keadilan Sejahtera (“PKS”), Persatuan Indonesia (“Perindo”), Partai Persatuan Pembangunan (“PPP”), Partai Solidaritas Indonesia (“PSI”), Partai Amanat Nasional (“PAN”), Hati Nurani Rakyat
Iswara N. Raditya, ‘Pilpres 2019 & Sejarah Pemilu Serentak di Indonesia’ (Tirto, 2019) <https://tirto.id/pilpres-2019-sejarah-pemilu-serentak-pertama-di-indonesia-dmTm> accessed 20 June 2019. 9
10 Komisi Pemilihan Umum, ‘Info Publik Pemilu 2019’ (Komisi Pemilihan Umum, 2019) <https://pemilu2019.kpu.go.id/> accessed 20 June 2019.
(“Hanura”), Demokrat, Partai Bulan Bintang (“PBB”), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (“PKPI”).11 Walaupun mencetak sejarah, masih ada sosok yang memengaruhi Pemilu 2019: money politics. Money politics adalah kegiatan penukaran uang sebagai jaminan dukungan terhadap individu atau partai politik tertentu, bahkan untuk tidak menggunakan hak suaranya sama sekali.12 Hingga kurang lebih dua minggu sebelum penyelenggaraan pemilu 2019, polisi menyatakan ada 31 kasus money politics yang sedang diproses.13 Indonesia telah memiliki peraturan yang melarang praktik money politics. Namun, peraturan yang ada memunculkan banyak pertanyaan terkait dualitas sanksi yang ada dan subjek dari peraturan itu sendiri. Alhasil, bukannya memberikan jaminan hukum, peraturan yang ada malah memberikan ketidakpastian. Selain itu, money politics juga telah menjadi budaya dalam masyarakat. Contohnya dapat dilihat dari pengalaman Santi Ramchand, seorang calon anggota legislatif, yang mengaku saat dia berkampanye ada beberapa orang yang secara terbuka meminta uang, bahkan seorang tokoh masyarakat setempat yang meminta unit air conditioner dan juga sepeda motor.14
B. Isu 1. Keberadaan pasal-pasal yang menimbulkan pertentangan mengenai subjek hukum yang dapat dikenai sanksi serta sanksi apa yang dikenakan.
11
Ibid.
Amarru Muftie Holish,[et.al.], ‘Money Politic dalam Praktik Demokrasi Indonesia’ (2018) 4 No. 2 Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang.[231]. 12
CNN Indonesia, ‘Polisi Proses 31 Kasus Politik Uang Jelang Pemilu 2019’ (CNN Indonesia, 2019) <https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190404170302-12-383470/polisi-proses-31-kasus-politik-uangjelang-pemilu-2019> accessed 25 June 2019. 13
14 Tom Allard, Jessica Damiana, ‘Pushing the envelope: Money politics mars Indonesian poll’ (Reuters, 2019) <https://www.reuters.com/article/us-indonesia-election-corruption/pushing-the-envelope-money-politicsmars-indonesian-poll-idUSKCN1RN06T> accessed 22 June 2019.
2. Ada celah dalam peraturan perundang-undangan yang dapat dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab. 3. Money politics sebagai budaya yang telah tertanam dalam masyarakat.
C. Dasar Hukum 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) 2. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”) 3. UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU Pileg”) 4. UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (“UU Pilkada”) 5. Peraturan KPU No. 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota (“PKPU Pilkada”)
D. Analisis “Keberadaan pasal-pasal yang menimbulkan pertentangan mengenai subjek hukum yang dapat dikenai sanksi serta sanksi apa yang dikenakan” Kepastian hukum di tengah masyarakat memberikan sekat yang jelas antara perilaku yang dilindungi dan dilarang karena hukum itu sendiri ada demi menjaga keamanan umum dan menjamin hak kita sebagai warga negara tidak dilanggar oleh orang lain. 15 Sebaliknya, ketidakpastian hukum akan membuat sekat antara apa yang dilindungi dan dilarang itu menjadi kabur. Sayangnya, peraturan yang mengatur tentang money politics dalam kampanye pemilu termasuk dalam kategori hukum yang memberi ketidakpastian. Hal tersebut dapat dilihat dari sanksi yang diberikan bagi yang melakukan tindakan money politics.
15
Robert Alexy, ‘Legal Certainty and Correctness’ (2015) 28 No. 4 Ratio Juris.[443].
Pasal 285 UU Pemilu mengatur bahwa sanksi yang dikenakan terhadap pelaku money politics hanya dapat dikenakan terhadap calon legislatif dan sanksi tersebut merupakan sanksi administratif, yaitu pembatalan nama calon legislatif dari daftar calon tetap serta pembatalan penetapan calon legislatif sebagai calon terpilih. Namun, dalam Pasal 301 UU Pileg diatur bahwa sanksi atas tindakan money politics merupakan pidana penjara atau denda. Pertentangan sanksi bagi tindakan money politics yang diatur dalam dua regulasi tersebut mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum karena tidak ada arahan yang jelas mengenai sanksi mana yang digunakan. Di lain sisi, Pasal 78 PKPU Pilkada menyatakan sanksi pelanggaran money politics ialah pembatalan sebagai calon dan sanksi pidana berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, Pasal 187A UU Pilkada mengatur bahwa sanksi untuk tindakan money politics bukan hanya dikenakan kepada pemberi uang, tetapi juga kepada penerima. Bahkan, dalam Pasal 149 KUHP, yang notabene merupakan sumber utama hukum pidana di Indonesia, sanksi dijatuhkan kepada baik pemberi dan penerima. Hal tersebut menyulut api kepada ketidakpastian berikutnya, yaitu subjek hukum manakah yang dapat dikenakan sanksi, apakah sebatas pemberi saja atau penerima juga. “Ada celah dalam peraturan perundang-undangan yang dapat dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab” Hukum yang tidak memberikan kepastian akan menimbulkan celah hukum yang berpotensi untuk dimanfaatkan. Salah satunya yakni Pasal 284 UU Pemilu yang menyatakan pelaksana dan tim kampanye pemilu dilarang memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi suara pemilih, tetapi dalam lampiran disebutkan bahwa “materi lainnya” tidak termasuk beberapa hal: uang makan, biaya transportasi, biaya pengadaan kampanye pada pertemuan terbatas, dan hadiah lainnya. Celah hukum yang ada dalam pasal tersebut memberikan jalan bagi mantan Bupati Semarang, Siti Ambar Fathonah, untuk bebas dari vonis pidana berdasarkan Pasal 521 UU Pemilu yang dituntut oleh jaksa karena adanya pemberian
uang dari pihaknya kepada penyelenggara pagelaran wayang. 16 Dalam Putusan No. 227/Pid.Sus/2018/PN Unr, Siti dibebaskan karena walaupun tindakannya termasuk kampanye—ia mengenalkan dirinya sebagai calon legislatif dari suatu partai di awal acara— uang yang ia berikan kepada pihak penyelenggara tidak termasuk peristiwa pidana karena Siti hanya memenuhi permintaan sumbangan dari penyelenggara, atau dalam kata lain, termasuk “hadiah lainnya.” Pada lokasi yang berbeda, terjadi operasi tangkap tangan di Kabupaten Karo, Sumatera Selatan pada tanggal 16 April 2019, yang mana tertangkap dua oknum tim sukses membawa uang lebih dari Rp11.000.000,00 dan tiga kartu nama atas nama tiga calon legislatif salah satu partai politik besar di Indonesia.17 Keduanya mengaku bahwa untuk menjamin suara 50 warga Kecamatan Tiga Binanga, mereka akan memberikan Rp225.000,00 per orang. Menurut Kapolres Tanah Karo, para pelaku diancam pidana 4 tahun penjara dan denda Rp48.000.000,00, sesuai dengan Pasal 523 ayat (2) UU Pemilu Perbedaan di antara kedua kasus di atas ialah pada kasus yang terjadi di Kabupaten Karo, Pasal 278 ayat (2) UU Pemilu yang menjadi rujukan tindakan para oknum dengan jelas melarang pemberian imbalan kepada pemilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan suaranya di masa tenang yang berlangsung selama tiga hari sebelum pemungutan suara, dengan lampiran yang tidak memberikan pengecualian atas apa yang dimaksud dengan “imbalan.” Sedangkan pada kasus yang terjadi di Kabupaten Semarang, dengan pengecualian yang ada pada Pasal 284 UU Pemilu, memberikan celah bagi oknum untuk mengeluarkan biaya selama termasuk dalam kategori yang diperbolehkan dalam undang-undang.
Nazar Nurdin, ‘Alasan Hakim Vonis Bebas Eks Bupati Semarang Terkait Money Politics’ (Kompas, 2018) <https://regional.kompas.com/read/2018/11/19/21200161/alasan-hakim-vonis-bebas-eks-bupatisemarang-terkait-money-politics> accessed 25 June 2019. 16
17 Hendri Setiawan, ‘Polres Karo Amankan Caleg dan Timses Partai Gerindra yang Diduga Lakukan Money Politcs’ (Kompas, 2019) <https://regional.kompas.com/read/2019/04/16/09302141/polres-karo-amankancaleg-dan-timses-partai-gerindra-yang-diduga-lakukan> accessed 25 June 2019.
“Money politics sebagai budaya yang telah tertanam dalam masyarakat.” Selain kedua aspek sebelumnya, faktor lainnya yang mendorong gencarnya money politics di Indonesia ialah budaya menerima uang kampanye yang telah tertanam di masyarakat. Budaya ini tertanam karena rendahnya pendidikan mengenai politik, sehingga masyarakat kurang teredukasi sepenuhnya tentang pentingnya pemilu, memilih calon yang baik, serta konsekuensi dari money politics.18 Contoh dalam masyarakat dapat dilihat dari hasil survei di Kabupaten Bekasi. Survei tersebut menunjukkan bahwa secara mayoritas penduduk setempat tidak mengetahui, atau tidak mau mengakui, ketika ditanya apakah mereka pernah menerima uang imbalan dari sosok yang mencalonkan diri ataupun tim kampanye calon tersebut.19 Bahkan, sebanyak 78,8% dari sampel yang diwawancara menyatakan bahwa mereka setuju dengan gerakan kampanye money politics.20
E. Kesimpulan Money politics memiliki tiga faktor utama untuk tetap berjaya di dunia politik Indonesia: kurangnya kepastian hukum, adanya celah dalam peraturan, dan budaya yang telah tertanam dalam masyarakat. Ketidakpastian hukum muncul karena adanya pertentangan antara empat regulasi yang mengatur money politics, yaitu UU Pemilu, UU Pileg, UU Pilkada, dan PKPU Pilkada. Pertentangan yang dimaksud ialah mengenai sanksi bagi pelaku money politics dan pihak mana saja yang dapat dikenakan sanksi tersebut. Celah dalam peraturan dapat dilihat dengan jelas pada Pasal 284 UU Pemilu, yang meskipun telah menjabarkan larangan pemberian materi sebagai imbalan suara, masih memperbolehkan beberapa bentuk materi lain untuk diberikan. Pengecualian tersebut memberikan celah yang dapat dan telah dieksploitasi oleh oknum untuk mendapatkan suara yang mereka butuhkan. Budaya money politics yang
Ayomi Amindoni, ‘Kompetisi Pemilu Semakin Sengit, Politik Uang Semakin Rawan’ (BBC News Indonesia, 2019) <https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47747515> accessed 25 June 2019. 18
19 Rusham, ‘Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Money Politics’ (2015) XXI No. 1 PARADIGMA.[92-93]. 20
Ibid.
tertanam dalam masyarakat merupakan akibat dari kurangnya pendidikan politik bagi masyarakat, sehingga mereka belum sepenuhnya memahami pentingnya pemilihan umum dan konsekuensi dari money politics.
F. Saran Pertama, penyeragaman peraturan mengenai tindakan money politics. Pada bahasan di atas, terdapat perbedaan peraturan tentang sanksi dan ketidakjelasan batas-batas tindakan money politics antara UU Pemilu, UU Pileg, UU Pilkada, serta PKPU Pilkada. Hal tersebut memberikan celah bagi pelaku tindakan money politics dan mengakibatkan tidak adanya kepastian dalam memberikan sanksi pada pelakunya. Kedua, dibutuhkan sosialisasi yang masif dari Komisi Pemilihan Umum (“KPU”) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (“Bawaslu”) kepada masyarakat akan bahaya money politics terhadap keberlangsungan demokrasi. Masyarakat harus mengerti bahwa money politics harus diberantas, bukan didiamkan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara sosialisasi ke lapangan atau melalui edukasi dari usia dini. Ketiga, sepatutnya ditingkatkan pengawasan oleh Bawaslu baik pada hari pencoblosan di TPS, pada saat waktu tenang, ataupun pada masa kampanye. Peningkatan pengawasan melalui kehadiran petugas, atau relawan dari masyarakat, yang hadir untuk memantau pada tiga fase tersebut sepatutnya dilakukan oleh Bawaslu, dalam upaya mencegah terjadinya money politics agar pemilu diselenggarakan dengan bebas, rahasia, jujur, dan adil.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Alexy R, ‘Legal Certainty and Correctness’ (2015) 28 No. 4 Ratio Juris
Holish A M, Rohmat, Syarifudin I, ‘Money Politic dalam Praktik Demokrasi Indonesia’ (2018) 4 No. 2 Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang.
Rusham, ‘Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Money Politics’ (2015) XXI No. 1 PARADIGMA.
Perundang-undangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 827)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316).
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898).
Putusan Pengadilan Putusan No. 227/Pid.Sus/2018/PN Unr (2018) 227 (Unr)
Laman Allard T, Damiana J, ‘Pushing the envelope: Money politics mars Indonesian poll’ (Reuters,
2019)
<https://www.reuters.com/article/us-indonesia-election-
corruption/pushing-the-envelope-money-politics-mars-indonesian-pollidUSKCN1RN06T> accessed 22 June 2019.
Amindoni A, ‘Kompetisi Pemilu Semakin Sengit, Politik Uang Semakin Rawan’ (BBC News
Indonesia,
2019)
<https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47747515>
accessed 25 June 2019.
CNN Indonesia, ‘Polisi Proses 31 Kasus Politik Uang Jelang Pemilu 2019’ (CNN Indonesia,
2019)
<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190404170302-12-
383470/polisi-proses-31-kasus-politik-uang-jelang-pemilu-2019> accessed 25 June 2019
Komisi Pemilihan Umum, ‘Info Publik Pemilu 2019’ (Komisi Pemilihan Umum, 2019) <https://pemilu2019.kpu.go.id/> accessed 20 June 2019.
Nurdin N, ‘Alasan Hakim Vonis Bebas Eks Bupati Semarang Terkait Money Politics’ (Kompas,
2018)
<https://regional.kompas.com/read/2018/11/19/21200161/alasan-
hakim-vonis-bebas-eks-bupati-semarang-terkait-money-politics> accessed 25 June 2019.
Raditya I N, ‘Pilpres 2019 & Sejarah Pemilu Serentak di Indonesia’ (Tirto, 2019) <https://tirto.id/pilpres-2019-sejarah-pemilu-serentak-pertama-di-indonesia-dmTm> accessed 20 June 2019.
Setiawan H, ‘Polres Karo Amankan Caleg dan Timses Partai Gerindra yang Diduga Lakukan
Money
Politcs’
(Kompas,
2019)
<https://regional.kompas.com/read/2019/04/16/09302141/polres-karo-amankan-calegdan-timses-partai-gerindra-yang-diduga-lakukan> accessed 25 June 2019.