DAFTAR ALSA INDONESIA LEGAL OPINION PERIODE 2 Tema: Hukum Lingkungan
No.
Local Chapter
1.
Universitas Jember
2.
Universitas Padjadjaran
Judul Konsekuensi
Hukum
PT.
Pertamina
atas
Pencemaran Laut di Lepas Pantai Karawang Pertanggungjawaban dalam Kasus Kebakaran Lahan dan Hutan Provinsi Riau Partisipasi Indonesia dalam Penerapan Sustainable
3.
Universitas Sam Ratulangi
Development Goals Khususnya di Bidang Hukum Lingkungan
4.
Universitas Syiah Kuala
Pertanggungjawaban Korporasi Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Problematika
5.
Universitas Udayana
Pengurangan
Timbulan
Sampah
Plastik Pasca Terbitnya Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai
LEGAL OPINION ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS JEMBER
LEGAL OPINION Konsekuensi Hukum PT. Pertamina atas Pencemaran Laut di Lepas Pantai Karawang Oleh : Anneke Kevin Setiawan, Arif Budiawan dan Iklimah Dinda Indiyani Adiesta ALSA Local Chapter Universitas Jember
KASUS POSISI Pemanfaatan minyak dan gas (Migas) saat ini masih menjadi opsi yang dipertimbangkan untuk memenuhi kebutuhan manusia baik dalam bidang industri, transportasi dan rumah tangga tak terkecuali di Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki beragam potensi kekayaan laut. Panjang pantai 81.000 km atau 14% garis pantai seluruh dunia dan sebagian besar wilayahnya merupakan lautan yang mencapai kedalaman 3,1 juta km2 dan luas laut ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 2,7 juta km2. 1 Namun luasnya laut di Indonesia menimbulkan ancaman yang cukup besar terhadap kelestarian laut yaitu adanya pencemaran laut melalui tumpahan minyak. Menurut Badan Dunia Group of Expert on Scientific Aspects of Marine Pollution (GESAMP), sekitar 6,44 juta ton/tahun kandungan hidrokarbon mencemari perairan dunia yang berdampak pada kelestarian organime laut dan masyarakat sekitar.2 Hal tersebut terjadi di kawasan lepas pantai Karawang sebagai akibat adanya kebocoran minyak yang menimbulkan gelembung udara di sumur YYA-1 Blok Offshore North West Jawa (ONWJ) di daerah pengeboran minyak oleh Pertamina.3 Kejadian tersebut bermula pada tanggal 12 Juli 2019 saat melakukan re-entry dari drilling activity di sumur YYA 1 yang menyebabkan munculnya gelembung. Dua hari berselang, pihak Pertamina melakukan pemberhentian kegiatan operasional dan melakukan proses evakuasi pegawai. Setelah tiga hari
Sulistyono, ‘Dampak Tumpahan Minyak (Oil Spill) di Perariran Laut pada Kegiatan Industri Migas dan Metode Penanggulangannya’ 03 Forum Teknologi 49. 2 Ibid. 3 Efrem Siregar, ‘Ini Kronologi Tumpahan Minyak Pertamina Di Pesisir Karawang’ (CNBC Indonesia, 22 July 2019) <https://www.cnbcindonesia.com/news/20190722163841-4-86690/ini-kronologi-tumpahan-minyakpertamina-di-pesisir-karawang> accessed 5 September 2019. 1
kejadian tersebut, muncul oil sheen dipermukaan laut dan terus meluas hingga ke arah barat pantai.4 Sesuai Undang-Undang Kelautan, kejadian tersebut menimbulkan pencemaran laut dan dikategorikan sebagai pencemaran yang berasal dari kegiatan di laut 5 dan kerugian bagi masyarakat sekitar. Luasnya daerah yang terkena dampak bocornya minyak tersebut merusak ekosistem dan melumpuhkan aktivitas masyarakat. Menurut Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Karawang, Hendro Subroto, terdapat 5 (lima) subjek yang diindikasikan terkena dampak tumpahan minyak. Lima subjek tersebut diantaranya nelayan tangkap, pelaku usaha budi daya, petambak garam, dan rusaknya terumbu karang6 serta mangrove. Misalnya yang terjadi pada nelayan tangkap, mereka mengalami kerugian hingga 50% karena laut tercemar dan ikan yang menjadi objek tangkapan mati karena tercemar Bahan Berbahaya Beracun (B3). Kemudian perlindungan terumbu karang dan mangrove secara jelas diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Negara Republik Indonesia tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil harus ditaati karena dampak yang ditimbulkan memungkinkan terjadinya kerusakan keduanya. 7 Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terikat pada regulasi yang menegaskan jika perusahaan wajib menerapkan tanggung jawab sosial dan lingkungan pada setiap kegiatan perusahaan.8 Namun kejadian yang terjadi di Karawang menunjukkan terjadi kelalaian dari pihak Pertamina dan perlu adanya tanggung jawab agar fungsi lingkungan dan sosial didaerah terdampak kembali seperti semula. ISU HUKUM
4 Anastasia Arvirianty, ‘Ini Kronologi Lengkap Tumpahan Minyak Pertamina Di Karawang’ (CNBC Indonesia, 25 July 2019) <https://www.cnbcindonesia.com/news/20190725183604-4-87676/ini-kronologilengkap-tumpahan-minyak-pertamina-di-karawang> accessed 5 September 2019. 5 Pasal 52 ayat 1 huruf b Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. 6 Luthfiana Awaluddin, ‘Ratusan Hektare Terumbu Karang Rusak Tercemar Tumpahan Minyak Pertamina’ (detiknews, 8 August 2019) <https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4657267/ratusan-hektare-terumbukarang-rusak-tercemar-tumpahan-minyak-pertamina> accessed 6 September 2019. 7 Selengkapnya lihat Pasal 35 Undang-undang Negara Republik Indonesia tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 8 Pasal 74 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Dari permasalahan yang dijabarkan pada kasus posisi tersebut, maka isu hukum yang akan diangkat yaitu bagaimana bentuk pertanggungjawaban Pertamina selaku BUMN terhadap pencemaran di kawasan lepas pantai Karawang sebagai kejahatan lingkungan?
DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 2. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 3. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 4. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan 5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan. 6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 24/PERMENKP/2016 tentang Tata Cara Rehabilitasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
ANALISIS Bocornya minyak di lepas pantai Karawang oleh PT. Pertamina menyebabkan dampak yang luas baik dari sudut lingkungan maupun sosial. Melihat dampak yang ditimbulkan, kejadian tersebut dapat dipastikan mencemari laut dan dikategorikan sebagai kejahatan terhadap lingkungan.9 Kemudian hal itu diperkuat dalam definisi pencemaran laut menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut dijelaskan secara eksplisit, bagaimana suatu kejadian dapat dikatakan pencemaran laut.10
9
Lihat Pasal 97 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 10 Selengkapnya lihat Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut.
Adapun permasalahan yang muncul yaitu bentuk pertanggungjawaban seperti apa yang dilakukan oleh Pertamina selaku pencemar untuk mengembalikan fungsi lingkungan dan sosial laut tersebut? Padahal secara tegas diatur
bahwa terdapat kewajiban Persero untuk
melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan 11 pada setiap kegiatan operasionalnya. Merujuk dari The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan juga sebagai bentuk kontribusi untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan dan segala aspek termasuk manusia yang terlibat dan berada disekitar tempat operasional.12 Selain itu, pendapat lain juga menyebutkan jika tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah bentuk komitmen perusahaan secara moral dalam beroperasi secara sah dan kontribusi untuk peningkatan ekonomi dan kualitas hidup karyawan serta masyarakat sekitar.13 Kemudian melihat luasnya dampak yang ditimbulkan akibat kebocoran tersebut, memperlihatkan jika Pertamina lamban dalam mengatasi hal tersebut. Ini terbukti dari lamanya estimasi waktu kejadian dengan turunnya pemberitahuan kondisi darurat oleh Pertamina. Padahal dalam Pasal 53 ayat 2 huruf (a) Undang-Undang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UU PPLH), disebutkan jika masyarakat harus diberikan peringatan dan informasi apabila terjadi pencemaran. Peringatan tersebut dimaksudkan untuk memberikan edukasi dini pada masyarakat dan bagaimana penanganan jika terjadi pencemaran laut. Namun tindakan tersebut luput dilakukan oleh Pertamina dan cenderung lamban merespon kejadian yang terjadi sehingga menyebabkan masyarakat sekitar turun tangan untuk membersihakan tumpahan minyak di wilayah pesisir laut Karawang. Keadaan ini memunculkan respon negatif dari berbagai pihak salah satunya respon yang ditunjukkan oleh Ohiongyi Marino, Kepala Divisi Pesisir dan Maritim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) yang menyebutkan bahwa Pertamina dinilai lamban dalam memberikan early warning system sehingga masyarakat yang turun membersihkan tumpahan minyak tersebut tidak teredukasi akan bahaya yang ditimbulkan jika penangangan minyak tumpah tersebut
11
Pasal 74 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Samuel Ronatio Adinugroho, Budiharto and Joko Priyono, â&#x20AC;&#x2DC;Pelaksanaan Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan PT. Pertamina Semarang (Persero) Ditinjau dari Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatasâ&#x20AC;&#x2122; (2017) 6 Diponegoro Law Journal 3. 13 Ibid, 4. 12
tidak diatasi dengan cara khusus dan berdampak buruk bagi kesehatan.14 Pada kejadian ini yang perlu diperhatikan dan dikawal yaitu bentuk pertanggungjawaban Pertamina. Dalam menanggapi kejadian ini, Pertamina telah melakukan pengeboran untuk menutup sumur permanen15 dan memasang oil boom. Selain itu, Pertamina juga mendirikan posko kesehatan dan pengaduan bagi masyarakat yang terkena dampak kejadian tersebut. Secara regulasi, Pertamina selaku pihak pencemar terikat oleh ketentuan dan undangundang terkait penyelesaian tumpahnya minyak yang dilakukan oleh mereka. Pada Pasal 53 ayat (2) UU PPLH disebutkan tindakan yang harus dilakukan oleh pihak pencemar terhadap wilayah yang terkena dampak diantaranya, memberikan peringatan, pengisolasian daerah tercemar, penghentian sumber pencemaran dan cara lain sesuai perkembangan ilmu pengetahuan.16 Namun sangat disayangkan penegakan regulasi tersebut dinilai masih lemah dan respon yang ditunjukkan pihak terkait tidak serius misalnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak tanggap dalam memberikan pembaharuan daerah terdampak secara resmi dan tidak serius dalam meminta reaksi pemulihan cepat kepada pencemar17 terlebih lagi tumpahan minyak ini bukan pertama kalinya bagi PT. Pertamina.
KESIMPULAN 1. Pencemaran di lepas pantai Karawang karena tumpahnya minyak dari kegiatan operasioanl PT. Pertamina dapat dikatakan kejahatan terhadap lingkungan mengingat dampak yang ditimbulkan cukup luas. 2. Lambannya respon dari PT. Pertamina menyebabkan munculnya aksi masyarakat sekitar untuk membersihkan tumpahan minyak yang pada dasarnya menjadi kewajiban pihak pencemar. 3. Tumpahnya minyak tersebut mencemari dan merusak ekosistem daerah terdampak baik dari segi lingkungan maupun sosial. Della Syahni and Lusia Arumingtyas, â&#x20AC;&#x2DC;Tumpahan Minyak Pertamina Masuk Perumahan Warga, Tindakan Kementerian Lingkungan?â&#x20AC;&#x2122; (Mongabay Environmental News, 29 August 2019) <https://www.mongabay.co.id/2019/08/29/tumpahan-minyak-pertamina-masuk-perumahan-warga-tindakankementerian-lingkungan/> accessed 6 September 2019. 15 Ibid. 16 Pasal 53 ayat 2 Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 17 Syahni and Arumingtyas (n 14). 14
4. Masyarakat daerah terdampak tidak teredukasi akan bahaya tumpahan minyak karena kurangnya ealry warning dari PT. Pertamina. 5. PT. Pertamina belum sepenuhnya menjalankan sanksi yang telah diatur dalam regulasi terkait.
SARAN 1. Perlu adanya proses pemulihan agar fungsi lingkungan dan sosial wilayah terdampak kembali dijalankan sesuai regulasi. 2. Dilakukannya proses rehabilitasi terhadap terumbu karang dan mangrove sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 24/PERMENKP/2016 tentang Tata Cara Rehabilitasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 3. Meningkatkan koordinasi antara PT. Pertamina dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia agar memunculkan penanganan yang tepat dan cepat. 4. Memberikan edukasi dan deteksi dini kepada masyarakat agar tidak terkena dampak dari pencemaran oleh bocornya minyak tersebut. 5. Pemberian sanksi tegas kepada pencemar sehingga menimbulkan efek jera. 6. Perlu dilakukannya pemeliharaan secara rutin terhadap segala peralatan ataupun benda yang berkaitan dengan kegiatan pengeboran minyak di tengah laut oleh PT. Pertamina.
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-Undangan Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 24/PERMEN-KP/2016 tentang Tata Cara Rehabilitasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
JURNAL Adinugroho SR, Budiharto and Priyono J, ‘Pelaksanaan Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan PT. Pertamina Semarang (Persero) Ditinjau dari Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas’ (2017) 6 Diponegoro Law Journal 3 Sulistyono, ‘Dampak Tumpahan Minyak (Oil Spill) di Perariran Laut pada Kegiatan Industri Migas dan Metode Penanggulangannya’ 03 Forum Teknologi 49
ARTIKEL BERITA Arvirianty A, ‘Ini Kronologi Lengkap Tumpahan Minyak Pertamina Di Karawang’ (CNBC Indonesia, 25 July 2019) <https://www.cnbcindonesia.com/news/201907251836044-87676/ini-kronologi-lengkap-tumpahan-minyak-pertamina-di-karawang> accessed 5 September 2019Awaluddin L, ‘Ratusan Hektare Terumbu Karang Rusak Tercemar Tumpahan Minyak Pertamina’ (detiknews, 8 August 2019) <https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4657267/ratusan-hektare-terumbukarang-rusak-tercemar-tumpahan-minyak-pertamina> accessed 6 September 2019 Siregar E, ‘Ini Kronologi Tumpahan Minyak Pertamina Di Pesisir Karawang’ (CNBC Indonesia, 22 July 2019) <https://www.cnbcindonesia.com/news/201907221638414-86690/ini-kronologi-tumpahan-minyak-pertamina-di-pesisir-karawang> accessed 5 September 2019
Syahni D and Arumingtyas L, â&#x20AC;&#x2DC;Tumpahan Minyak Pertamina Masuk Perumahan Warga, Tindakan Kementerian Lingkungan?â&#x20AC;&#x2122; (Mongabay Environmental News, 29 August 2019) <https://www.mongabay.co.id/2019/08/29/tumpahan-minyak-pertaminamasuk-perumahan-warga-tindakan-kementerian-lingkungan/> accessed 6 September 2019
LEGAL OPINION ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS PADJADJARAN
LEGAL OPINION Pertanggungjawaban dalam Kasus Kebakaran Lahan dan Hutan Provinsi Riau Oleh: Ahmad R. Sumartapraja, Muchamad Ahessa Zachary, Nadia Andika ALSA Local Chapter Universitas Padjadjaran
KASUS POSISI Fenomena kebakaran hutan belakangan ini seringkali terjadi, mulanya kasus-kasus kebakaran hutan dianggap terjadi secara alamiah akibat cuaca, namun seiring berjalannya waktu manusia dianggap memiliki peran yang besar dalam memulai terjadinya kebakaran hutan pada milenium terakhir ini. Kebakaran hutan ini memiliki dampak secara langsung sebagai berikut: Pertama, timbulnya penyakit infeksi saluran penrnafasan akut bagi masyarakat. Kedua, secara sosial dan ekonomi masyarakat dirugikan karena berkurangnya efisiensi kerja, kantor-kantor dan sekolah-sekolah yang diliburkan serta transportasi penghubung terganggu. Ketiga, kerugian imateriil dan materiil pada masyarakat setempat bahkan menyebabkan transboundary haze pollution (pencemaran asap lintas batas) ke wilayah negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.1 Mengutip kasus kebakaran hutan yang terjadi di Provinsi Riau pada tahun 2017, sedikitnya 1.052 hektar lahan dan hutan di Provinsi Riau habis terbakar2. Jumlah luas lahan yang terbakar tersebut merupakan kalkulasi dari bulan januari hingga bulan september. Dalam hal ini kapabilitas dari Pemerintah Daerah Provinsi Riau selama ini pun seringkali dipertanyakan, terlebih dari sorotan negara tetangga yang letak georafisnya tidak jauh dari Provinsi Riau, mereka memiliki kerugian lintas geografis dan lintas negara yang berdampak pada kerugian sosial, ekonomi serta lingkungan. Kapabilitas pemerintah Provinsi Riau sangat dituntut dalam mengendalikan kebakaran hutan dan lahan. Kapabilitas merupakan bentuk dari Desri Hunawan, Menyelesaikan Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) di Indonesia melalui â&#x20AC;&#x153;Jalan Pantasâ&#x20AC;? atau â&#x20AC;&#x153;Jalan Pintasâ&#x20AC;??, Seminar Nasional Hukum, Vol.1/No. 1/Thn. 2016, hlm. 278 2 Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "1.052 Hektar Lahan dan Hutan di Riau Ludes Terbakar", https://regional.kompas.com/read/2017/09/18/23030061/1.052-hektar-lahan-dan-hutan-di-riau-ludesterbakar. Penulis : Kontributor KompasTV, Citra Indriani 1
kemampuan yang harus dimiliki oleh pemerintah pusat maupun daerah menghadapi tantangan dan masalah yang terjadi dalam dinamika serta perubahan.3 Kebakaran yang terjadi secara terus menerus mengindikasikan bahwa Pemerintah Provinsi Riau tidak mampu mengendalikan kebakaran hutan. Diperlukan kapabilitas yang baik untuk segera menyudahi fenomena yang telah terjadi berlarut-larut lamanya, tentunya Pemerintah Provinsi Riau pun harus didukung oleh para stakeholder serta masyarakat Riau itu sendiri.
ANALISIS Dasar hukum dari pembukaan lahan dengan cara membakar dapat ditemukan di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Peraturan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU PPLH”),4 dimana di Pasal 69-nya menyatakan bahwa “setiap orang dilarang melakukan perbuatan pembukaan lahan dengan cara membakar”. Dasar hukum ini didukung oleh Pasal 26 dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan (“UU Perkebunan”), yang melarang setiap pelaku usaha perkebunan untuk membuka lahan dengan cara pembakaran yang dapat menghasilkan pencemaran terhadap lingkungan hidup. 5 Kedua peraturan ini menyongsong sanksi sebesar sepuluh miliar rupiah bagi para pelanggarnya. 6 Isu hukum yang timbul dalam kasus-kasus kebakaran hutan bukanlah timbul dari ketidakpastian hukum kedua pasal yang disebut diatas. Melainkan, timbul dari Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan (“Permen 10/2010”), yang menyatakan pada Pasal 4 Ayat (1) bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk membuka lahan dengan cara pembakaran, maksimal sebesar 2 Hektar, dengan sebelumnya melapor ke kepala desa yang bersangkutan. 7
3 Geovani Meiwanda, Kapabilitas Pemerintah Daerah Provinsi Riau: Hambatan dan Tantangan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 19/No. 3/Maret 2016, hlm. 252 4 Pasal 69 Ayat (1), Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Peraturan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 5 Pasal 26, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan. 6 supra (n.4-5.) 7 Pasal 4 Ayat (1), Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan
Tim penulis mengakui akan adanya hak bagi masyarakat adat untuk mengelola lingkungan hidupnya, ini pun menjadi suatu hal yang vital dalam kelestarian lingkungan hidup in-situ yang dipijak oleh masyarakat adat itu sendiri.8 Tetapi, ada permasalahan yang timbul dikarenakan percampuran hak dipasal yang terbahas, kurangnya pengawasan, dan tindak lanjut dari pemerintah. Pertama, menurut Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tiap-tiap orang memiliki hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. 9 Akibat dari kebakaran-kebakaran hutan yang terjadi berefek yang amat buruk bagi masyarakat sekitar, dalam halnya kualitas udara yang dihirupnya. Efek yang dirasakan ini mungkin musiman dengan tenggang waktu yang tidak terlalu, tetapi, berangkat dari kerangka waktu ini keberlakuan dari Hak Asasi yang disebut dalam UUD 1945 tidak bisa diberlakukan dengan kerangka waktu yang sama.10 Kedua, prinsip sic utere tuo ut alienum non laedas mewajibkan tiap-tiap negara untuk memperhatikan hak dan kedaulatan dari negara-negara tetangganya, juga dalam perihal pengelolaan lingkungan hidup.11 Akibat dari kebakaran hutan juga berefek buruk pada negaranegara tetangga Indonesia, menuruni kualitas hidup dan efisiensi bekerja.12 Walaupun sudah diberikan bantuan dalam penanggulangan bencana kebakaran hutan yang terjadi, 13 dari segi hukum internasional, Pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam wilayahnya tidak berefek negatif pada negaranegara tetangganya, seperti Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura.
8
Pasal 8(j), Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1992 tentang Keanekaragaman Hayati. Pasal 28H, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 10 Peter Jones, Human Rights and Diverse Cultures: Continuity or Discontinuity?, 09 Critical Review of International Social and Political Philosophy 01, hlm. 29-30. 11 Xue Hanqin, Transboundary Damage in International Law (Cambridge Unversity Press, 2001), hlm. 131. 12 supra n.1. 13 Alan Khee-Jin Tan, Forest Fires of Indonesia: State Responsibility and International Liability, 48 International & Comparative Law Quarterly 04 (1999), hlm. 8, "Negara-negara tetangga Indonesia yang terkena imbas dari kebakaran hutan yang terjadi mengirim bantuan materiil untuk menanggulangi bencana alam yang terjadi. Malaysia mengirimkan pasukan pemadam kebakaran selagi Singapura berkontibusi dengan bantuan sistem pengawasan satelit, dengan banyak bantuan dari negara-negara lain dalam bentuk pasokan peralatan pemadam kebakaran mulai dari penasihat teknis sampai dengan peralatan pemadam kebakaran melewati udara." 9
KESIMPULAN Berdasarkan fakta-fakta dan analisis sebagaimana tertuang di atas, maka tim penulis sependapat bahwa Pemerintah Daerah Provinsi Riau telah terbukti lalai dalam mengawasi lingkungan nya, yang dalam hal ini merupakan kebakaran lahan dan hutan yang mengakibatkan sedikitnya 1.052 hektar hangus terbakar, oleh karena itu tim penulis berpendapat bahwa Pemerintah Provinsi Riau harus berhadapan dengan hukum di Pengadilan atas perbuatan tersebut yang berdampak pada pencemaran lingkungan dan hangusnya hutan tersebut yang tidak hanya masyarakat Provinsi Riau saja yang menjadi korban akibat hal tersebut, melainkan juga Negara-negara tetangga yang lokasi nya berdekatan dengan Provinsi Riau, seperti Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura. Selanjutnya atas kelalaian tersebut dan akibat yang timbul tersebut, maka tim penulis sepakat bahwa Pemerintah Provinsi juga harus dibebankan membayar ganti rugi berupa materiil kepada pihak Penggugat, membayar pemulihan lingkungan dan memperketan pengawasan terhadap lingkungan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Buatan di Provinsi Riau. Pengawasan tersebut dapat mencegah dan menanggulangi terjadinya kasus-kasus serupa di kemudian hari, pengawasan tersebut juga sejalan dengan kewenangan Pemerintah Provinsi Riau untuk mengelola kekayaan Negara terhadap Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Buatan yang tujuannya sebagaimana tercantum pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) Pasal 4 untuk: a. Tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup sebagai tujuan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya; b. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana; c. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai Pembina Lingkungan Hidup; d. Terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang; dan e. Terlindungnya Negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah Negara yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Hanqin, Xue, 2001, Transboundary Damage in International Law, Cambridge Unversity Press, United KingdoHunawan, Desri, 2016, ‘Menyelesaikan Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) di Indonesia melalui “Jalan Pantas” atau “Jalan Pintas”?’, Seminar Nasional Hukum, Vol.1, No. 1. Indriani, Citra, 2017, 1.052 Hektar Lahan dan Hutan di Riau Ludes Terbakar, Kompas.com, dilihat 7 September 2019, <https://regional.kompas.com/read/2017/09/18/23030061/1.052-hektar-lahan-danhutan-di-riau-ludes-terbakar>. Jones, Peter, ‘Human Rights and Diverse Cultures: Continuity or Discontinuity?’, Critical Review of International Social and Political Philosophy, Vol. 1, No. 9. Meiwanda, Geovani, 2016, ‘Kapabilitas Pemerintah Daerah Provinsi Riau: Hambatan dan Tantangan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan’, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 19. No. 3. Tan, Alan Khee-Jin, 1999, ‘Forest Fires of Indonesia: State Responsibility and International Liability’, International & Comparative Law Quarterly Vol. 04, No. 48.
LEGAL OPINION ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS SAM RATULANGI
LEGAL OPINION Partisipasi Indonesia dalam Penerapan Sustainable Development Goals Khususnya di Bidang Hukum Lingkungan Oleh : Yesica Adi dan Annabella Karamoy ALSA Local Chapter Universitas Sam Ratulangi
KASUS POSISI Hukum lingkungan dalam pengertiannya yang paling sederhana dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur tatanan lingkungan hidup, dimana istilah tersebut masih relatif baru dalam dunia ilmu pengetahuan hukum namun tumbuh dengan sangat cepat, bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran manusia untuk melindungi dan memelihara tempat hidup manusia.1 Dengan tumbuhnya pengertian dan kesadaran untuk melindungi dan memelihara lingkungan hidup, maka tumbuh pula perhatian hokum
khususnya untuk bidang tersebut sehingga lahir dan
berkembanglah cabang ilmu baru yang disebut dengan hukum lingkungan. Salah satu dari sekian banyak perwujudan kepedulian manusia terhadap lingkungan hidup tersebut adalah terbentuknya Sustainable Developtment Goals, atau yang kita kenal sebagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Sebelum adanya Sustainable Development Goals, telah ada lebih dulu Millenium Development Goals yang mulai diberlakukan sejak tahun 2000. Akan tetapi, program ini dianggap gagal karena tidak membawa perubahan yang berarti. Pada bulan September 2015, dalam Sidang Umum Persatuan Bangsa-bangsa di New York, Kepala Negara dan Perwakilan dari 193 Negara telah menyepakati Deklarasi Agenda 2030 untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tersebut. Agenda ini merupakan rencana aksi untuk People, Planet and Prosperity serta untuk penguatan perdamaian universal. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ini terdiri atas 17 tujuan dan 169 target yang terukur.2 Indonesia adalah salah satu negara yang telah berkomitmen untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ini. Namun bagaimanakah penerapan dan pencapaian Indonesia sejauh ini sejak ditetapkannya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tersebut?
1Dr.
Flora Pricilia Kalalo, S.H., M.H. Hukum Lingkungan (Unsrat Press 2016) [175] Climate Change Trust Fund â&#x20AC;&#x2DC;Tentang SDGsâ&#x20AC;&#x2122; (Indonesia Climate Change Trust Fund, 2018) https://www.icctf.or.id/sdgs/ accessed 8 Septermber 2019 2Indonesia
Sustainable Development Goals memiliki kaitan yang sangat erat dengan undang-undang ini, dimana Tujuan Pembangunan Berkelanjutan mencakup luas sejumlah kegiatan yang berjalan selaras dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.
DASAR HUKUM 1. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 2. Peraturan Presiden No. 59 Tahun2017 Tentang Pelaksanaan Pencapaian TPS/SDGs 3. Rencana Aksi Nasional TPB/SDGs 2017-2019 4. Rencana Pembangunan angka Menengah Nasional 2015-2019 5. Rencana Kerja Pemerintah 6. Rencana Aksi Daerah 7. Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri PPN/Kepala Bappenas sebagai peraturan teknis pelaksanaan TPB/SDGs.
ANALISIS Sebelum membahas lebih lanjut tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, ada baiknya kita lebih dulu mengetahui tentang apa sajakah yang termasuk dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tersebut. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ini terdiri atas: 1. Mengentaskan segala bentuk kemiskinan 2. Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan gizi dan mendukung pertanian berkelanjutan 3. Menjamin kehidupan sehat dan mendukung kesejahteraan bagi semua di segala usia 4. Menjamin pendidikan yang inklusif dan setara secara kualitas dan mendukung kesempatan belajar seumur hidup bagi semua. 5. Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. 6. Menjamin ketersediaan dan manajemen air dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua. 7. Menjamin akses terhadap energi yang terjangkau, dapat diandalkan, berkelanjutan, dan
modern bagi semua. 8. Mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, penyerapan tenaga kerja penuh dan produktif serta pekerjaan yang layak bagi semua. 9. Membangun infrastruktur berketahanan, mendukung industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan serta mendorong inovasi. 10. Mengurangi kesenjangan di dalam dan diantara negara-negara. 11. Mewujudkan kota-kota dan pemukiman yang inklusif, aman, tangguh dan berkelanjutan. 12. Menjamin pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan. 13. Segera mengambil tindakan untuk melawan perubahan iklim dan dampaknya. 14. Mengkonservasi dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya maritim, laut, dan samudera untuk pembangunan yang berkelanjutan. 15. Melindungi, memulihkan, dan mendukung penggunaan yang berkelanjutan, melawan penggurunan, serta menghentikan dan membalikkan degradasi tanah dan menghentikan kehilangan keanekaragamanhayati. 16. Memperjuangkan masyarakat yang damai dan inklusif, menyediakan akses terhadap keadilan bagi semua dan membangun institusi-institusi yang efektif, bertanggungjawab, dan inklusif pada semua tingkat. 17. Menguatkan perangkat implementasi dan merevetalisasi kemitraan global untuk pembangunan yangberkelanjutan. Indonesia memegang teguh 3 (tiga) prinsip utama dalam pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. "Ketiga prinsip ini mencakup hal-hal mendasar dalam kehidupan masyarakat," ujar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro dalam sambutan dibacakan Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Gellwyn Jusuf pada seminar "Mewujudkan Indonesia Berkelanjutan 2030 Melalui SDGs." Prinsip pertama yaitu universality yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, menghormati hak individu, perdamaian, dan kemitraan. Prinsip kedua yaitu prinsip integration yang dilaksanakan secara terintegrasi pada semua dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan yang saling terkait. Prinsip yang ketiga yaitu prinsip no one left behind atau kegiatan yang dilaksanakan dengan
melibatkan semua pemangku kepentingan.3 Berpatokan kepada prinsip-prinsip ini, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dapat dengan mudah tercapai. Melihat bagaimana perkembangan lingkungan hidup di negara kita sejak diterapkannya Sustainable Development Goals, terdapat perubahan-perubahan yang signiďŹ kan pada aspek-aspek tertentu, meskipun tentu saja belum sempurna. Berbicara mengenai hukum lingkungan, pada dasarnya sudah ada hukum yang khusus mengatur tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, yaitu Undang-undang No. 32 Tahun 2009. Pasal 1 ayat (2) Undang-undang ini menjelaskan bahwa Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakkan hukum. Ada 3 komponen pembangunan berkelanjutan yakni, pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan. Tiga komponen ini harus saling bergantung dan terkait serta memperkuat diri untuk mencapai pembangunan berkelanjutan ini. Indonesia sebagai negara berkembang membutuhkan pembangunan berkelanjutan ini untuk dapat mewujudkan tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang terdapat pada alinea keempat yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Kebutuhan akan sandang dan pangan, air bersih serta sanitasi yang layak seharusnya menjadi kebutuhan dasar dan wajib di rasakan oleh semua masyarakat Indonesia. Namun dengan masih banyaknya masyarakat yang hidup di garis kemiskinan masih sulit mendapatkan pasokan air bersih serta mendapatlan sanitasi yang layak menjadi sebuah kritikan bagi pemerintah untuk dapat memperjuangkan hak dasar tersebut. Semakin banyaknya pohon yang ditebang dan hutan yang di bakar dengan sewenang-wenang membuat semakin sulit bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan hakhak dasar di atas. Susahnya juga menindaklanjuti segala pelanggaran lingkungan membuat beberapa pihak tidak mengenal efek jera dan terus melakukan pengrusakkan lingkungan tanpa memikirkan dampaknya bagi manusia. hukum lingkungan seharusnya bisa jadi solusi untuk lebih ditegaskan mengenai sanksi terhadap pengrusakkan lingkungan ini. 3
Ant, â&#x20AC;&#x2DC;Kepala Bappenas Ungkap 3 Prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutanâ&#x20AC;&#x2122; (okezone.com, 2016) https://www.google.com/amp/s/economy.okezone.com/amp/2016/10/13/320/1513411/kepala-bappenas-ungkap-3-prinsiptujuan-pembangunan-berkelanjutan accessed 8 Septermeber 2019
Selain itu dalam pembangunan berkelanjutan terdapat salah satu tujuan yakni membangun infrastruktur berketahanan, mendukung industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan serta mendorong inovasi. Pembangunan infrastruktur dan industri tak lepas juga dengan dampakdampaknya terhadap lingkungan itu sendiri. Masih banyak kegiatan industri yang memproduksi limbah yang merusak lingkungan seperti kasus limbah tahu di pengadilan negeri sidoarjo tahun 199 8, PT sidomakmur dan PT sidomulyo dilaporkan ke pengadilan akibat membuat instalasi yang tidak memenuhi daya tampung limbah, sehingga air limbah/kotoran meluber keluar dan mengalir ke Kali Surabaya, pembuangan air limbah tersebut menyebabkan menurunnya kualitas air Kali Surabaya dan menyebabkan air kekurangan oksigen yang berakibat matinya kehidupan daam air serta sangat sukar untuk diolah menjadi air bersih untuk bahan baku PDAM. 4 namun sayangnya sanksi pidana terhadap kejadian ini terbilang cukup ringan. Yakni menjatuhkan pidana terhadap Bambang Goenawan selaku Direktur selama 6 bulan dalam masa percobaan 1 tahun dan denda Rp1.000.000,00 subsider dua bulan kurungan.5 dimana seharusnya sanksi yang diberikan diperberat dengan pencabutan izin usaha sesuai dengan Pasal 33 PP Nomor 20 tahun 1990 tentang pengendalian pencemaran air. Dari hal-hal diatas, bisa kita melihat bahwa peran serta Indonesia untuk pembangunan berkelanjutan sangat penting untuk kemajuan bangsa. Akan tetapi perhatian kita pun tidak seharusnya lepas dari masalah lingkungan yang menjadi efek samping perwujudan pembangunan berkelanjutan ini.
KESIMPULAN Sejak di tetapkan Tujuan pembangunan Berkelanjutan di Indonesia kita dapat melihat sekian banyak perubahan yang signifikan.Tujuan Pembangunan Berkelanjutan juga menjadi salah satu penunjang bagi tercapai tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. 3 komponen pembangunan berkelanjutan yakni, pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan adalah komponen yang tidak bisa lepas satu sama lain, harus dijalankan seimbang dan saling berketergantungan. Kebutuhan sandang, pangan, air bersih dan sanitasi yang layak merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi manusia yang berguna untuk mensejahterahkan dirinya, lingkungan memiliki peran penting untuk menyediakan kebutuhan ini. ketika lingkungan dirusak kebutuhan dasar ini pun sulit terpenuhi. Selain itu, pembangunan industri dan infrastruktur sangat diperlukan untuk
4 5
Supriadi, S.H., M.Hum. Hukum Lingkungan di Indonesia (Sinar Grafika 2010). [317] Supriadi, S.H., M.Hum. Hukum Lingkungan di Indonesia (Sinar Grafika 2010). [318]
mengembangkan SDM dan membuka lapangan perkerjaan, ada baiknya pembangunan ini dilakukan dengan memperhitukan lingkungan yang dipakai untuk industri dan infrastruktur agar tidak terus menerus terpaku pada produksi tanpa memperhatikan hasil. Yang pada akhirnya dapat memunahkan sumber daya alam di bumi. Ketika di realisasikan dengan baik Sustainable Development Goals dapat menjadi pendukung Indonesia mejalankan tujuan negara dan menaikkan Indonesia menjadi negara maju. Namun, penting pula bagi untuk peduli pada lingkungan sekitar saat berusaha mencapai tujuan ini.
SARAN Masyarakat harus lebih banyak berbenah mencintai lingkungan dan memiliki kesadaran diri mengenai pentingnya menjaga lingkungan. Pemerintah juga harus lebih teliti dan cermat dalam penyelenggaraan praktek Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ini serta ketika memberlakukan sanksisanksi bagi mereka yang merusak lingkungan. Di masa depan nanti diharapkan bahwa pemerintah dan warga negara Indonesia dapat berpartisipasi lebih dalam mewujudkan Sustainable Development Goals, demi terwujudnya lingkungan hidup yang baik bagi semua masyarakat Indonesia.
LEGAL OPINION ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS SYIAH KUALA
LEGAL OPINION Pertanggungjawaban Korporasi Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Oleh : Latifa Ananda ALSA Local Chapter Universitas Syiah Kuala
PENDAHULUAN Pencemaran dan kerusakan lingkungan di Indonesia sudah sering kali terjadi bahkan dari tahun ke tahun jumlah kerusakan dan pencemaran lingkungan ini semakin bertamabah. Indonesia yang diuntungkan dengan
sumber daya alam yang berlimpah serta keadaan
geografis yang sangat strategis yang seharusnya menjaga serta melestarikan lingkungan yang sudah dimanfaatkan tersebut, namun kita lihat saat ini bukan hanya memanfaatkanya malah melakukan kerusakan lingkungan dan menyebabkan pencemaran terjadi demi memajukan pertumbuhan ekonomi ataupun menguntungkan diri sendiri. Dewasa ini, perusahaan grup menjadi bentuk usaha yang banyak diminati dan dipilih oleh pelaku usaha di Indonesia. Banyak pula perusahaan-perusahaan yang beregrak di bidang pembangunan.
Seiring dengan meningkatnya aktivitas pembangunan ekonomi dan
pertumbuhan penduduk
mengakibatkan tekanan yang tinggi pada lingkungan hidup. Peran
korporasi dirasa semakin banyak mempengaruhi sektor-sektor kehidupan manusia terkait pembangunan ekonomi tersebut maka dapat kita rasakan semakin banyak jumlah perusahaanperusahaan tersebut semakin banyak pula pencemaran yang terjadi. Pencemaran lingkungan tersebut terjadi dikarenakan kurangnya perhatian korporasi terhadap masalah pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup. Keadaan ini sesuai dengan pemikiran Emil Salim, seorang ahli ekonomi yang menyatakan bahwa â&#x20AC;&#x153;penyumbang utama kerusakan lingkungan adalah industri, aktivitas industri telah menghasilkan kotoran limbah ampas industri yang sangat serius mencemarkan lingkunganâ&#x20AC;?. 1 Kegiatan korporasi dalam pembangunan industri tersbut tidak mempertanggungjawabkan
1
M.T. Zen, Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup,( Jakarta: Sinar Grafika, 1981), h. 107
terkait kebijakan pengelolaan dan pembuangan limbahnya yang menyebabkan kerusakan dan penceramaran terjadi. Atas permasalahan tersebut, lantas kemudian muncul pertanyaan â&#x20AC;&#x153;bagaimanakah pertanggungjawaban yang dilakukan korporasi atas tindakannya dalam melakukan penecemaran dan kerusakan lingkungan?â&#x20AC;?.
DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 3. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi 4. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup. 5. Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi
ANALISIS Wirjono Prodjodikoro menempatkan korporasi sebagai suatu subjek hukum pidana. Menurutnya dengan adanya perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan hukum turut serta dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbul gejala- gejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, maka hal ini masuk dalam perumusan tindak pidana. Dalam hal ini, sebagai perwakilan yang mendapatkan hukuman pidana adalah oknum lain, yaitu orang-orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum, Sedangkan sangat memungkinkan apabila seorang direktur itu hanya melakukan putusan dari dewan direksi. Maka kemudian timbul gagasan bahwa suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subyek suatu tindak pidana.2
2
h. 55.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Edisi Kedua, (Bandung: Eresco, 1989),
Untuk menetapkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dapat dengan berlandaskan pada kriteria pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan-tujuan korporasi tersebut. Korporasi dianggap sebagai pelaku jika korporasi tersebut terbukti melakukan tindakan bersangkutan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan badan hukum/korporasi, juga termasuk dalam hal orang (karyawan perusahaan) yang secara faktual melakukan tindakan bersangkutan atas inisiatif sendiri serta bertentangan dengan instruksi yang diberikan. Namun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan badan hukum mengajukan keberatan atas alasan tiadanya kesalahan dalam dirinya.3 Dalam menentukan siapa-siapa yang bertanggungjawab di antara pengurus suatu badan hukum yang harus mempertanggungjawabkan tindakan pidana yang dilakukan tersebut, harus melihat segi dokumen AMDAL, izin (lisensi) dan pembagian tugas pekerjaan dalam jabatan yang terdapat pada badan hukum (korporasi) yang bersangkutan. Penelusuran dan dokumendokumen tersebut akan menghasilkan data, informasi dan fakta dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha yang bersangkutan dan sejauhmana pemantauan dan pengendalian yang telah dilakukan terhadap dampak yang ditimbulkan tersebut. Dari dokumen- dokumen tersebut dapat diketahui bagaimana hak dan kewajiban pengurus-pengurus perusahaan tersebut, untuk memantau, mencegah dan mengendalikan dampak negatif kegiatan perusahaan. Sehingga dari penelusuran itu, akan nyata pula apakah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tersebut terjadi karena kesengajaan atau karena kelalaian. Memperhatikan ketentuan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH) yang menetapkan bahwa kewajiban setiap orang memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup. Kemudian ketentuan dalam Pasal 116 UU PPLH yang menganut doktrin vicarious liability dimana pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang lingkungan hidup dilimpahkan kepada badan hukum dan para pengurusnya secara bersama-sama, dalam hal kegiatan dan/atau usaha korporasi tersebut yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau
3
Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup disampaikan pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar (Medan: USU, 2003). Hlm 12.
kerusakan lingkungan hidup.4 Selanjutnya pada ketentuan Pasal 118 UU PPLH disebutkan pula apabila tindak pidana lingkungan oleh badan hukum maka sanksi pidana akan dijatuhkan kepada badan usaha yang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional. Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam Pasal 97 ayat (1) menyatakan bahwa Direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan. Dalam melakukan tugas dan kewajibannya direksi harus melakukan kepengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, dan wajib dijalankan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab yang menjadi konsekuensi atas perbuatan yang dilakukan yang berarti direktur sebuah perusahaan tidak dapat melepaskan dirinya dari pertanggungjawaban pidana dalam hal perusahaan yang dipimpinnya mencemari dan atau merusak lingkungan. Kemudian Pertanggungjawaban bagi korporasi ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi (selanjutnya disebut Perma 13/2016). Terkait dengan penerapan pertanggungjawaban yang dilakukan oleh korporasi, terdapat akibat atau sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi menurut peraturan
yang
dituangkan dalam Pasal 25 ayat (1) Perma 13/2016 yaitu berupa pidana pokok dan/atau pidana tambahan. Adapun pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda. Sedangkan pidana tambahan yang dijatuhkan terhadap korporasi sesuai yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, yaitu Pasal 10 KUHP dan ketentuan jenis pidana lain yang tersebar dalam undang-undang lain. Kemudian berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup diatur pula bagaimana ancaman atau sanksi pidana yang diberlakukan terhadap tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh suatu badan usaha atau korporasi yang diaatur di dalam Bab V. Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.
4
Harun M. Husein, Lingkungan Hidup Masalah, Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 180-181.
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi juga memuat beberapa tindakan korporasi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban diantaranya; a) semua perbuatan yang didasarkan pada keputusan pengurus; b) berbuat atau tidak berbuatya seseorang untuk kepentingan korporasi; c) perbuatan yang menggunakan sumber daya manusia, dana, atau dukungan/fasilitas korporasi; d) perbuatan yang dilakukan oleh pihak ketiga atas permintaan atau perintah dari korporasi atau pengurus korporasi; e) Perbuatan dalam rangka menjalankan kegiatan sehari-hari korporasi; f)
perbuatan yang menguntungkankorporasi;
g) tindakan yang biasanya diterima (accepted) oleh korporasi; h) Korporasi yang secara nyata menampung hasil tindak pidana5
Selain itu, PerJA 2014 juga menentukan beberapa perbuatan pengurus korporasi yang dapat dimintakan pertanggungajwaban pidana, diantaranya: a) setiap orang yang melakukan, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan, atau membatu tindak pidana; b) setiap orang yang memiliki kendali dan wewenang untuk mengambil langkah pencegahan tindak pidana, namun tidak mengambil langkah yang seharusnya; c) orang yang memiliki pengetahuan akan adanya risiko yang cukup besar dan mengetahui bahwa tindak pidana akan dilakukan oleh korporasi.6
Tindak pidana lingkungan hidup yang disebabkan oleh berbagai kegiatan pembangunan serta kegiatan illegal dibidang pertambangan, industri, kehutanan, dan perkebunan serta tindak pidana pelanggaran tata ruang yang dilakukan oleh badan usaha atau korporasi, diatur dalam
5
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi, Lampiran h. 3-4. 6
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi, Lampiran h. 5.
UU PPLH, UU sektoral dan UU Tata Ruang. Sedangkan terkait pembuktian Tindak Pidana Lingkungan dapat dibuktikan melalui alat bukti Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat antara lain: Hasil laboratorium, dituangkan dalam bentuk tertulis dan dikuatkan dengan keterangan ahli di persidangan, berita acara pengambilan contoh hasil interpretasi foto satelit, surat atau nota dinas, memorandum, notulensi rapat atau segala sesuatu yang terkait petunjuk, keterangan terdakwa, dan alat bukti lain, termasuk alat bukti lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain. Dalam hal tidak terpenuhinya alat bukti yang ada dalam perkara yang dampaknya luas, hakim dapat melakukan judicial activism melalui teknik interpretasi.
KESIMPULAN Kerusakan dan pencemaran lingkungan kini tengah marak terjadi dimana-mana yang kemudian berdampak atas kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari dimana seharusnya masyarakat sebagai penikmat sumber daya alam menjaga lingkungan dengan baik dan peran pemerintah dalam menjaga lingkungan ini sangat penting untuk dilakukan,untuk itu pemerintah mengeluarkan berbagai aturan-aturansebagai pertanggungjawaban bagi para pelaku tinak pidana lingkungan diantaranya; UU PPLH, UU Perseroan Terbatas, UU Sektoral lainnya, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup kemudian perJA nomor 28 tahun 2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi yang mengatur ketentuan mengenai ancaman dan sanksi pidana atas tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh badan usaha.
SARAN Peraturan terkait pertanggungjawaban korporasi terhadap tindak pidana lingkungan sudah banyak diatur dalam berbagai hirarki perundang-undangan maka sudah sepatutnya aturan-aturan tersebut terealisasikan dengan baik bagi korporasi-korporasi yang hendak melakukukan pembangunan yang nantinya akan berdampak ke lingkungan maka pemerintah
disini harus bersikap lebih tegas dalam penegakan aturan-aturan tersebut sehingga berbagai pihak yang terlibat mematuhi berbagai aturan yang berlaku.
LEGAL OPINION ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS UDAYANA
LEGAL OPINION Problematika Pengurangan Timbulan Sampah Plastik Pasca Terbitnya Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai Oleh: Haganta Tarigan dan I Gusti Ayu Widhiatmika Dewi ALSA Local Chapter Universitas Udayana KASUS POSISI Provinsi Bali sebagai sentra pariwisata di Indonesia bahkan dengan pencapaiannya menempati peringkat pertama dari 25 Destinasi Wisata Terbaik di dunia versi TripAdvisor tahun 2018 yang dipilih dalam kategori Travellers Choice1 ternyata tidak membuatnya terlepas dari permasalahan lingkungan yang juga telah menjadi isu dudnia yang tidak lain adalah permasalahan sampah plastik. Terbukti dengan peristiwa yang terjadi pada bulan yang sama dengan berita tersebut, seorang penyelam Inggris melalui sebuah video di perairan Nusa Penida memperlihatkan banyaknya sampah plastik. Belum lagi viralnya sebuah foto yang diunggah ke media sosial yang diambil oleh seorang WNA Inggris di sebuah pantai di Bali yang bertebaran sampah.2 Atas permalahan yang terjadi, di penghujung akhir tahun 2018 Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Hal ini menjadikan Bali sebagai provinsi pertama sekaligus pelopor dalam menerapkan peraturan mengenai pembatasan timbulan sampah plastik sekali pakai. Meskipun demikian, aturan ini tentu menimbulkan pro-kontra dimasyarakat. Bagi mereka yang menentang aturan ini pun mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). Uji materi diajukan para Pemohon, yakni Asosiasi Daur Ulang Plastik Inonesia (ADUPI), Didie Tjahjadi (pelaku usaha perdagangan barang dari kantong plastik) dan Agus Hartono Budi
Rezki Alvionitasari & Tulus Wijanarko, ‘Kalahkan Paris, Bali Peringjat 1 Destinasi Wisata Terbaik Dunia’, (Tempo, 2018), https://travel.tempo.co/read/1067443/kalahkan-paris-bali-peringkat-1-destinasi-wisataterbaik-dunia, accessed 4 September 2019. 2 Badan Pusat Statistik Provinsi Bali Seksi Statistik Kependudukan, ‘Menuju Bali Bebas Sampah Plastik’, (Bali Post, 2019), www.balipost.com/news/2019/01/28/67311/Menuju-Bali-Bebas-Sampah-Plastik.html, accessed 4 September 2019. 1
Santoso (pelaku usaha industri barang dari plastik).3 Akan tetapi, dalam amar putusan MA Nomor 29 P/HUM/2019 menyatakan bahwa MA menolak permohonan keberatan hak uji materi dari para Pemohon dan putusan ini semakin menguatkan secara hukum berlakunya aturan tersebut. Meskipun dalam penyambutannya ada yang menolak, namun sebagian masyarakat memberikan respon positif.
ISU HUKUM 1. Bagaimana dasar pelaksanaan Peraturan Gubernur Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai ditinjau dari aspek hukum lingkungan? 2. Bagaimana solusi pemerintah Provinsi Bali untuk mengantikan produk plastik berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai bagi masyarakat?
DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultur Right (Kovenan Internasional tentang Hak Atas Ekonomi, Sosial, dan Budaya) 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HakaAsasi Manusia 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengaturan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah 6. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah 7. Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik
3 San Edison, "MA Tolak Uji Materi Pergub Bali Nomor 97 Tahun 2018", (Indonesia Koran.Com, 2019),http://www.indonesiakoran.com/news/nusantara/read/81622/ma.tolak.uji.materi.pergub.bali.nomor.97.tah un.2018, accessed 1 September 2019.
ANALISIS Berdasarkan aspek teknis tentang pembatasan pengelolaan sampah, sebagaimana diatur Direktorat Jendral Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen PSLB3 KLHK) pada angka 7 menyatakan bahwa sampah plastik sekali pakai selain mencemari ekosistem daratan seperti tanah, tanaman, dan hewan juga mencemari ekosistem perairan terutama ekosistem laut. 4 Serta berdasarkan kegiatan clean up on voice one island di seluruh Pulau Bali di 150 lokasi yang meliputi laut, pantai, sungai, jalan, desa, dan kota menemukan bahwa jumlah sampah plastik yang terkumpul sebanyak 30 ton. Komposisinya adalah sampah kemasan makanan (22%), botol dan gelas (16%), kantong belanja (15%), sedotan (12%) dan lain-lain utamanya styrofoam (7%).5 Salah satunya Pantai Kuta yang dikenal sebagai destinasi wisata dunia dengan kasus pencemaran lingkungan hidup. Sebagai kawasan yang menjadi pusat pertumbuhan hotel, restoran dan beragam fasilitas perdagangan dan bisnis yang berkelas dunia, seharusnya kawasan tersebut menampilkan kualitas daerah yang sesuai dengan citra daerah tujuan wisata internasional. Namun, fakta-fakta yang menunjukkan peningkatan pencemaran lingkungan hidup di kawasan yang telah berkembang rmenjadi segitiga emas pertumbuhan ekonomi tersebut sangat memprihatinkan. 6 Hal inilah yang menjadi latar belakang diterbitkannya Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Aturan ini membawa angin segar dan merupakan respon cepat dari Pemerintah Provinsi Bali bagi permasalahan sampah yang ada di daerahnya. Landasan hukum yang mendasari diterbitkannya aturan ini yaitu merujuk pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultur Right (Kovenan Internasional tentang Hak Atas Ekonomi, Sosial, dan Budaya). Selanjutnya Pasal 28 H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Pasal 9 ayat 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
4
Rosita Candrakirana, 'Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Bidang Pengelolaan Sampah Sebagai Perwujudan Prinsip Good Environmental Governance Di Kota Surakarta' (2015) 04 Yustisia.[585]. 5 Ni Made Wedayani, 'Studi Pengelolaan Sampah Plastik Di Pantai Kuta Sebagai Bahan Bakar Minyak' (2018) 15 Presipitasi.[125]. 6 Putra, A., dan Husrin, S., 'Kualitas Perairan Pasca Cemaran Sampah Laut Di Pantai Kuta Bali Water Quality Of Post Contamination Of Marine Debris In The Kuta Beach Of Bali' (2017) 9 Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis.[57-66].
Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU No 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Pun juga dalam peraturan lainnya mengenai pengendalian dalam mengelola lingkungan hidup sesungguhnya sudah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang pada pasal 13 ayat (3) dan pasal 63 ayat (1) yang kemudian dikatakan menjadi salah satu tugas pemerintah daerah. Pengendalian yang dalam peraturan tersebut khususnya pasal 13 ayat (2) dinyatakan meliputi pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan sudah cukup baik dalam upaya penyelesaian permasalahan lingkungan. Selain itu, bahwa ketentuan tersebut diatas yang menjadi dasar legitimasi berlakunya Pergub Bali 97 Tahun 2018 tidak serta-merta memberikan solusi yang solutif bagi masyarakat baik bagi konsumen dan produsen kemasan plastik. Bahwa pelestarian lingkungan dalam wujud pembatasan dan bahkan penghentian produksi PSP tersebut juga seharusnya turut serta memperhatikan semua pihak dan bukannya menjadi jalan terhentinya keberlangsungan usaha dari para pelaku usaha plastik yang ada, terlebih lagi peraturan tersebut merupakan peraturan tingkat daerah yang masih dapat dicari celahnya dengan berlindung pada peraturan tingkat pusat yang belum banyak mengatur mengenai pembatasan sampah plastik. Bahwa permasalahan pertama yang timbul adalah tidak dijelaskannya produk pengganti PSP yang dapat menjadi alternatif bagi konsumen dan produsen pasca terbitnya aturan tersebut sampai saat ini. Penyelesaian melalui peraturan ini tidak sesederhana menyuruh untuk mencari produk pengganti karena klasifikasi jenis usaha dari para pihak tersebut secara khusus produsen, distributor, dan penjual PSP telah diatur dan ditetapkan dalam perizinan usaha mereka. Penggantian produk tersebut akan berakibat banyak pada jenis usaha mereka dan Pemerintah Provinsi Bali belum banyak hadir memberikan solusi dan juga peraturan, kebijakan, atau setidaknya insentif untuk mengatasi problema itu. Selain itu, permasalahan lain yang juga terdapat dalam peraturan tersebut adalah rezim peraturannya yang masih dalam tataran pembatasan dan penghentian tanpa didahului pengaturan yang rinci mengenai pengendalian. Namun, yang juga belum dijabarkan dalam undang-undang tersebut adalah daur ulang sebagai salah satu aspek yang sangat penting dalam pengendalian. Mendaur ulang artinya menggunakan kembali bahan plastik yang sudah dipakai dengan terlebih dahulu diolah agar tetap aman dalam pemakaiannya. Mendaur ulang adalah salah satu solusi yang sangat baik dengan tidak harus menghentikan kegiatan usaha dari
produsen, distributor, dan pelaku usaha sehingga jenis usaha mereka tetap namun bahan dasar barangnya saja yang tidak diperbaharui.7 Lain halnya dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 yang sebelumnya sudah secara cukup spesifik mengatur dalam pasal 20 ayat (1) huruf b mengenai istilah â&#x20AC;&#x153;daur ulangâ&#x20AC;? yakni sebagai salah satu aspek pengurangan sampah sebagaimana yang telah didefinisikan pada Pasal 19. Pada pasal 15 ayat (1) pada intinya sudah mewajibkan setiap badan usaha melakukan pendauran ulang sampah produksi dan kemasan yang tidak dapat atau bahkan sulit terurai. Kenihilan dalam aturan tersebut untuk menindaklanjuti semangat pendauran ulang sampah sedikit menjadi cerminan bahwa Provinsi Bali baru memulai dengan rezim pembatasan dan penghentian. Padahal, tingkatan lebih lanjut dari pendauran ulang sudah diterapkan beberapa daerah lain di Indonesia tidak lain berupa pemanfaatan sampah yang dialihkan menjadi energi. Oleh karena itu, peraturan ini hadir belum mampu memberikan solusi yang solutif bagi konsumen dan produsen kemasan plastik dalam hal produk pengganti kemasan plastik serta belum diatur secara teknis mengenai mekanisme daur ulang yang sejatinya menjadi salah satu langkah yang sangat tepat dalam mengatasi persamalahan sampah plastik di Bali.
KESIMPULAN 1. Bahwa Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai telah memiliki dasar pelaksanaan ditinjau dari aspek hukum lingkungan dengan berbagai peraturan perundang-undangan diatasnya dan diperkuat dalam Yuriprudensi Mahkamah Agung tahun 2019. 2. Bahwa Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai kurang membahas tentang solusi produk, usaha dan jenis produk pengganti plastik sekali pakai sehingga menimbulkan kerugian bagi Produsen, Distributor, serta Pelaku Usaha produk plastik sekali pakai dan kebingungan bagi konsumen serta belum ada yang mengatur tentang pendauran ulang sampah sebagaimana instruksi pasal 15 ayat (2) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2011.
7
Nurhenu Karuniastuti, 'Bahaya Plastik Terhadap Kesehatan Dan Lingkungan' (2016) 03 Forum Teknologi.[10].
SARAN 1. Pemerintah Provinsi Bali harusnya menindaklanjuti semangat pendauran ulang sampah sebagai cerminan bahwa Provinsi Bali berkomitmen secara konsisten dalam menanggulangi permasalahan sampah plastik dengan tingkatan lebih lanjut yaitu pendauran ulang yang sudah diterapkan beberapa daerah lain di Indonesia dengan pemanfaatan sampah yang dialihkan menjadi sumber energi alternatif.
DAFTAR PUSTAKA Jurnal Rosita Candrakirana, 'Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Bidang Pengelolaan Sampah Sebagai Perwujudan Prinsip Good Environmental Governance Di Kota Surakarta' (2015) 04 Yustisia. Ni Made Wedayani, 'Studi Pengelolaan Sampah Plastik Di Pantai Kuta Sebagai Bahan Bakar Minyak' (2018) 15 Presipitasi. Putra, A., dan Husrin, S., 'Kualitas Perairan Pasca Cemaran Sampah Laut Di Pantai Kuta Bali Water Quality Of Post Contamination Of Mare Debris In The Kuta Beach Of Bali' (2017) 9 Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. Nurhenu Karuniastuti, 'Bahaya Plastik Terhadap Kesehatan Dan Lingkungan' (2016) 03 Forum Teknologi. Laman Rezki Alvionitasari & Tulus Wijanarko, ‘Kalahkan Paris, Bali Peringjat 1 Destinasi Wisata Terbaik Dunia’, (Tempo, 2018), <https://travel.tempo.co/read/1067443/kalahkanparis-bali-peringkat-1-destinasi-wisata-terbaik-dunia>. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali Seksi Statistik Kependudukan, ‘Menuju Bali Bebas Sampah Plastik’, (Bali Post, 2019), <www.balipost.com/news/2019/01/28/67311/MenujuBali-Bebas-Sampah-Plastik.html>. San
Edison, "MA Tolak Uji Materi Pergub Bali Nomor 97 Tahun 2018", (IndonesiaKoran.Com,2019), <http://www.indonesiakoran.com/news/nusantara/read/81622/ma.tolak.uji.materi.per gub.bali.nomor.97.tahun.2018>.