ANALISA TERHADAP RENDAHNYA PENYERAPAN ANGGARAN DI DAERAH
Disusun Oleh : 1. Kezia Diradoti 2. Leonny Taniawardany 3. Gustav Guardiano 4. Alexander Bolony 5. Daniel Andre Stefano
ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS DIPONEGORO
BAB I PENDAHULUAN
I.
Latar belakang
Perkembangan perekonomian suatu negara ditunjang dari seberapa besar pembangunan yang dilakukan oleh negara tersebut. Seiring dengan bergulirnya era otonomi daerah yang mulai dicanangkan mulai pada tahun 2001 di Indonesia, maka pembangunan dan pelayanan di tingkat daerah merupakan salah satu agenda yang sangat penting demi terealisasinya perkembangan ekonomi di Indonesia. Sudah menjadi tugas dari pemerintah daerah pula untuk menyediakan menyediakan pelayanan dan membangun infrastruktur publik melalui alokasi dan pelaksanaan belanja pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Salah satu tolok ukur yang dapat digunakan untuk melihat kinerja belanja daerah yaitu didasarkan pada pendekatan tingkat penyerapan belanja. Semakin tinggi tingkat penyerapan, dianggap semakin optimal tingkat kinerja belanjanya, dan sebaliknya semakin rendah tingkat penyerapan maka semakin rendah pula kinerja belanja suatu pemerintah daerah. Penyerapan belanja APBD mengindikasikan kecepatan daerah dalam menggunakan dananya untuk pelayanan ke masyarakat. Penyerapan belanja daerah yang lambat menunjukkan kurangnya komitmen daerah dalam pelaksanaan anggaran yang mengakibatkan menumpuknya dana di RKUD sebagai dana idle. Minimnya penyerapan belanja yang direalisasikan oleh pemerintah daerah dapat dilihat dari data yang menunjukkan bahwa, secara persentase, realisasi penyerapan belanja menunjukkan perbandingan antara besaran realisasi penyerapan dengan anggaran belanja (non konsolidasi). Secara persentase,
realisasi belanja daerah agregat per provinsi, kabupaten dan kota sampai dengan bulan September 2014 (Triwulan III) diperkirakan mencapai 52,2% dari total anggaran belanja daerah (Rp 856,242 triliun), yang berarti masih lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasinya pada periode yang sama tahun 2013 sebesar 57,6%, tahun 2012 sebesar 58,7%, dan tahun 2011 sebesar 58,8%.1 Minimnya penyerapan anggaran tersebut muncul di tengah tuntutan agar pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dan daerah semakin transparan dan akuntabel dalam rangka melaksanakan asas-asas pemerintahan yang baik. Selain itu, dengan adanya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah memberikan perubahan yang sangat mendasar terhadap pelaksanaan pemerintahan, terutama dalam hal pengelolaan keuangan negara dan menjadi tonggak awal dari otonomi daerah.
1
Bappenas, Laporan Realisasi APBD dan Dana Idle Triwulan III Tahun 2014, hlm.7.
II.
Rumusan Masalah Permasalahan pokok yang mendasari adalah : 1. Bagaimana pengaturan penganggaran yang dilakukan di daerah? 2. Apa penyebab rendahnya penyerapan anggaran di daerah dan bagaimana korupsi juga berperan di dalamnya?
BAB II PEMBAHASAN
1. Anggaran Daerah dan Kebijakan publik
A. Anggaran Daerah Dalam pasal 1 angka 32 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, anggaran daerah adalah rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan dengan perda. Mengenai peraturan yang mengatur tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) yang setiap tahunnya tidak sama. Permendagri Nomor 52 Tahun 2015 adalah peraturan yang mengatur tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah untuk tahun 2016. Menurut M. Suparmoko pengertian dari APBD ialah anggaran yang memuat daftar pernyataan rinci tentang jenis dan jumlah penerimaan, jenis dan jumlah pengeluaran negara yang diharapkan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun tertentu2.
2
Rahardjo Adisasmita, 2011. Pengelolaan Pendapatan & Anggaran Daerah. Penerbit Graha Ilmu : Yogyakarta.
1.1. Pihak-pihak yang melakukan Penganggaran Pihak yang melakukan penganggaran daerah adalah: 1. Pihak eksekutif a. Gubernur / Bupati / Walikota b. Sekretaris Daerah (Sekda) c. Tim Anggaran Eksekutif d. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) e. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) f. Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD)
2. Pihak legislatif a. Panitia Anggaran Legislatif b. Komisi-Komisi DPRD
3. Pihak pengawas dalam perencanaan anggaran daerah adalah: a. Badan Pengawas Keuangan (BPK) b. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) c. Badan Pengawas Daerah (BAWASDA)
1.2. Proses penganggaran di Daerah Proses penganggaran di daerah menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional dimulai dari proses penyusunan RPJP Daerah yang memuat visi, misi serta arah pembangunan daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Setelah RPJP Daerah ditetapkan, tugas selanjutnya adalah Pemerintah Daerah menetapkan RPJM Daerah yang memuat uraian dan penjabaran mengenai visi, misi dan program kepala daerah dengan memperhatikan RPJP Daerah dan RPJM Nasional dengan memuat hal-hal tentang arah
kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum daerah, program serta kegiatan SKPD yang dituangkan dalam renstra dengan acuan kerangka pagu indikatif. RPJM Daerah ditetapkan dengan peraturan daerah paling lambat 3 (tiga) bulan sejak kepala daerah dilantik berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 Pasal 19 ayat (3). Setelah itu dilanjutkan dengan penetapan RKPD yang ditetapkan setiap tahunnya bedasarkaan acuan RPJMD, renstra, renja dan memperhatikan RKP dengan Peraturan Kepala Daerah sebagai dasar untuk penyusunan APBD. Proses perencanaan dari RPJP Daerah, RPJM Daerah sampai dengan RKP Daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2005 berada di BAPPEDA. Proses selanjutnya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 34 dan 35 menyatakan kepala daerah menyusunan kebijakan umum APBD dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara berdasarkan RKPD dengan memperhatikan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Penyusunan APBD yang diterbitkan setiap tahunnya. Setelah KUA dan PPAS disepakati dalam nota kesepakatan antara Kepala Daerah dan Pimpinan DPRD maka kepala Daerah menyusun surat edaran perihal pedoman penyusunan RKASKPD/PPKD dengan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah yang direncanakan dan merupakan implikasi kebutuhan dana untuk pelaksanaan program dan kegiatan tersebut pada tahun berikutnya memuat rencana pendapatan, belanja untuk masing-masing program dan kegiatan menurut fungsi untuk tahun yang direncanakan, dirinci sampai dengan rincian objek pendapatan, belanja,. dan pembiayaan, serta prakiraan maju untuk tahun berikutnya. RKA SKPD dan RKA PPKD berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Pasal 41 ayat (1) menyatakan “RKA-SKPD yang telah disusun oleh kepala SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1)
disampaikan kepada PPKD� dan ayat
(2) “RKA-SKPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), selanjutnya dibahas oleh tim anggaran pemerintah daerah�. Tim Anggaran Pemerintah Daerah yang selanjutnya disingkat TAPD berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 adalah tim yang dibentuk dengan keputusan kepala daerah dan dipimpin oleh sekretaris daerah yang mempunyai tugas menyiapkan serta melaksanakan kebijakan kepala daerah dalam rangka penyusunan APBD yang anggotanya terdiri dari pejabat perencana daerah, PPKD dan pejabat Iainnya sesuai dengan kebutuhan. Proses selanjutnya adalah PPKD sesuai dengan aturan perundang-undangan menyusun rancangan peraturan daerah dan rancangan peraturan kepala daerah untuk disampaikan ke DPRD dan selanjutnya dibahas serta disepakati bersama yang dituangkan dalam nota kesepakatan antara kepala daerah dan pimpinan DPRD. Setelah rancangan peraturan daerah tentang APBD disetujui proses berikutnya adalah tahapan evaluasi ke Gubernur untuk mendapat persetujuan, tata cara evaluasi dan lainnya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. B. Kebijakan Publik Kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh organisasi publik (public Organization). Pada hakekatnya kebijakan pulik adalah intervensi pemerintah yang bertujuan untuk mengubah yang ada atau mempengaruhi arah dan kecepatan dari perubahan yang sedang berlangsung dalam masyarakat, guna mewujudkan kondisi yang diinginkan.3 Kebijakan Publik yang dibuat ini harus memperhatikan prinsip Good Governance yang merupakan suatu peyelengaraan manajemen pembangunan
3
Bachtiar Hassan Miraza, Peran Kebijakan Publik Dalam Perencanaan Wilayah, Sumatera Utara, 2005, hal.3
yang solid dan bertanggung jawab dan sesuai dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, sebagai langkah untuk meghidari salah alokasi dana investasi dan pencegahan tindak korupsi baik secara politik maupun secara administratif, menjalankan disiplin anggaran, serta penciptaan legal dan politican framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha. Dalam mewujudkan Good Governance ini, ada beberapa prinsip yang dianut, yaitu meliputi :
a. Partisipasi Setiap orang harus memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing. Partisipasi ini perlu dibangun dan terjadi atas dasar kebebasan berserikat dan berpendapat, serta kebebasan untuk berpartisiapsi secara konstruktif. b. Transparansi Transparansi dilaksanakan dalam kerangka kebebasan aliran informasi untuk mellihat berbagai proses di dalam kelembagaan itu sendiri dan informasi harus dapat diakses secara bebas bagi yang membutuhkannya, dari informasinya harus dapat disediakan secara memadai dan mudah dimengerti untukt digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi. c. Berorientasi Konsensus Pemerintahan yang baik akan bertindak sebagai penengah bagi macam macam kepentingan yang berbeda untuk mencapai sebuah kesepakatan yang terbaik bagi individu – individu itu sendiri, dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah; d. Berkeadilan Pemerintahan yang baik akan memberikan kesempatan yang sama dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan membuat kualitas hidup yang lebih baik
e. Efektivitas dan Efesiensi Setiap kegiatan dan kelembagaan perlu menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang tersedia; f. Akuntabilitas Para pengambil keputusan (decision makers) dalam organisasi sector public (pemerintah), swasta, Dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para pemilik (stakeholders). Pertanggungjawaban tersebut berbedabeda, tergantung apakah jenis keputusan organisasi itu bersifat internal atau bersifat eksternal.
2. Penyebab rendahnya penyerepana anggaran di Daerah
Pasal 155 ayat (1) Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa ‘’Penyelenggaraan urusan pemrintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah’’, artinya dana APBD diperuntukkan bagi pelaksanaan tugas pemerintahan daerah yang sudah dilimpahkan atau didesentralisasikan pusat ke daerah. Selama ini, pelaksanaan pemerintahan di daerah sebagian besar di biayai oleh pusat atau subsidi daerah otonom4. Tetapi justru yang terjadi saat ini penyerapan anggaran di beberapa daerah terbilang cukup minim. Kita mengambil salah satu contoh pada tahun 2015 pada kuartal III, total penyerapan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah provinsi D.K.I. Jakarta hanya sebesar 27% ini menjadi sebuah pertanyaan mengapa terjadi rendahnya penyerapan anggaran.
4
Juli Panglima Saragih, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003), hal. 49
Tedapat beberapa penyebab rendahnya penyerapan anggaran di daerah, diantaranya: a. Lamanya proses pembuatan rancangan anggaran dan/atau perubahan b. Ketakutan pemerintah daerah atas tuduhan korupsi c. Sistem birokrasi yang berbelit-belit d. Kurang akuratnya perencanaan pembangunan di daerah
2.1.
Korupsi dalam pengambilan kebijakan Istilah kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin yakni corruptio atau corruptus. Secara harfiah istilah tersebut diartikan sebagai keburukan, kebusukan, atau ketidak-jujuran. Istilah corruption dalam Black’s Law Disctionary didefinisikan: (Henry Campbell Black; 1979 : 311.) “… an act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights of other. The act an official or fiduciary person unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the rights of others”
2.2. Konsep Pengadaan Barang dan Jasa
Secara normatif, konsep pengadaan barang dan jasa telah diatur dalam Pasal 1 butir 1 KepPres No. 54 Tahun 2010, yaitu kegiatan untuk memperoleh barang dan jasa oleh Kementrian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang dan jasa. Proses pengadaan barang dan jasa ini rawan terjadi korupsi, mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap pelaksanaan kontrak.
2.3. Pola Penyimpangan dalam Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa
Pada umumnya pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dibutuhkan waktu minimal 45 hari dan dikelompokan berdasarkan tahap kegiatannya. Tahap kegiatan pengadaan barang dan jasa dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) tahap (Amiruddin; 2010 : 46 - 47) : 1. Tahap persiapan. Pada tahap ini kegiatannya meliputi: a. Perencanaan pengadan barang dan jasa; b. Pembentukan panitia pengadaan barang dan jasa; c. Penetapan sistem pengadaan barang dan jasa; d. Penyusunan jadwal pengadaan barang dan jasa; e. Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS); f. Penyusunan Dokumen Pengadaan barang dan jasa.
2. Tahap Proses pengadaan. Pada tahap ini kegiatan meliputi a. Pemilihan penyedia barang dan jasa dan b. Penetapan penyedia barang dan jasa. c. Tahap penyusunan kontrak. d. Tahap pelaksanaan kontrak.
Tetapi dalam perjalanan tahap tersebut, terdapat suatu modus operandi yang membuat pelaksanaan pengadaan ini menjadi tidak jujur. Menurut Antasari Azhar terdapat 18 (delapan belas) modus operandi, yaitu5 : 1. Pengusaha menggunakan pengaruh pejabat pusat untuk “membujuk� kepala daerah/pejabat daerah mengintervensi proses pengadaan dalam rangka memenangkan pengusaha/rekanan tertentu dan meninggikan harga atau nilai kontrak dan pengusaha/rekanan dimaksud memberikan sejumlah uang kepada pejabat pusat maupun daerah;
5
http://www.kompasiana.com/fransdione/teror-hukum-dan-penyerapananggaran_55d88c5b24afbd530913929e, diakses pada 10 Januari 2015, pukul 21.00
2. Pengusaha mempengaruhi kepala daerah/pejabat daerah untuk mengintervensi proses pengadaan agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung dan harga barang/jasa dinaikkan (mark-up), kemudian selisihnya dibagibagikan; 3. Panitia pengadaan membuat spesifikasi barang yang mengarah ke merek atau produk tertentu dalam rangka memenangkan rekanan tertentu dan melakukan mark-up harga atau nilai kontrak; 4. Kepala daerah/pejabat daerah memerintahkan bawahannya untuk mencairkan dan menggunakan dana/anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaranpengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti yang tidak benar atau fiktif; 5. Kepala daerah/pejabat daerah memerintahkan bawahannya menggunakan dana/uang daerah untuk kepentingan pribadi koleganya, atau untuk kepentingan pribadi kepala daerah/peiabat daerah yang bersangkutan atau kelompok tertentu, kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti fiktif; 6. Kepala daerah menerbitkan peraturan daerah sebagai dasar pemberian upah pungut atau honor dengan menggunakan dasar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang tidak berlaku lagi; 7. Pengusaha, pejabat eksekutif, dan pejabat legislatif daerah bersepakat melakukan tukar guling (ruislag) atas aset pemda dan melakukan markup atas aset peda serta mark-up atas aset pengganti dari pengusaha/rekanan; 8. Para kepala daerah meminta uang jasa (dibayar di muka) kepada pemenang tender sebelum melaksanakan proyek; 9. Kepala daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan; 10. Kepala daerah membuka rekening atas nama kas daerah dengan spesimen pribadi (bukan pejabat dan bendahara yang ditunjuk),
dimaksudkan untuk mempermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur; 11. Kepala daerah meminta atau menerima jasa giro/tabungan dana pemerintah yang ditempatkan di bank; 12. Kepala daerah memberikan izin pengelolaan sumber daya alam kepada perusahaan yang tidak memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya; 13. Kepala daerah menerima uang/barang yang berhubung dengan proses perizinan yang dikeluarkannya; 14. Kepala daerah/keluarga/kelompoknya membeli lebih dahulu barang dengan harga yang sudah murah kemudian dijual kembali kepada instansinya dengan harga yang sudah di mark-up; 15. Kepala daerah meminta bawahannya untuk mencicilkan barang pribadinya dengan menggunakan anggaran daerah; 16. Kepala daerah memberikan dana kepada pejabat tertentu dengan beban pada anggaran dengan alasan pengurusan DAU/DAK; 17. Kepala daerah memberikan dana kepada DPRD dalam proses penyusunan APBD; 18. Kepala daerah mengeluarkan dana untuk perkara pribadi dengan beban anggaran daerah (Antasari Azhari, dalam Kompas, 23-08-2008).
2.3. Permasalahan Kurangnya Penyerapan Anggaran
Sering kita dengar seorang aparat penegak hukum atau pun masyarakat berkomentar jika kita tidak salah mengapa perlu takut. Tetapi persoalannya tidak lah sesederhana itu dalam permasalahan kurangnya penyerapan anggaran daerah ini. Apabila kita mencermati pasal-pasal Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, maka seseorang dapat dikatakan bersalah apabila memenuhi unsur-unsur : (1) Memperkaya dan atau menguntungkan diri sendiri atau pihak lain,
(2) Menyalahgunakan kewenangan, (3) Menyebabkan kerugian keuangan negara.
Bertitik tolak dari unsur-unsur tersebut seseorang dapat dinyatakan bersalah apabila perbuatannya telah memenuhi salah satu unsur tersebut. Dalam prakteknya jerat hukum tipikor bukan hanya itu tapi juga pasal-pasal yang ada di KUHP. Dalam KUHP terdapat jerat lain yang dapat digunakan oleh aparat hukum antara lain melakukan suatu perbuatan secara bersama-sama, ikut serta, kelalaian, membantu, memfasilitasi, mengetahui tapi tidak melaporkan dan lain-lain. Semua perbuatan tersebut aktif atau pasif, niat atau tidak, dapat menyebabkan seseorang terjerat hukum. Hal ini diperparah dengan budaya politik kita yang sakit. Saat ini jalan termudah menjatuhkan lawan politik atau mematikan karier seseorang adalah menjerumuskannya ke dalam persoalan hukum. Jerat ini semakin menakutkan jika ada ditangan oknum aparat yang mencari keuntungan pribadi dengan “menunggangi gerakan pemberatasan korupsi". Dalam kondisi seperti ini, sangat manusiawi apabila seseorang bersikap hati-hati dalam bekerja, dan cenderung menghindari resiko.
2.4. Upaya Represif dan Preventif Untuk mencegah adanya penyimpangan dalam hal penggunaan anggaran dan memlindungi pemerintah daerah untuk melakukan penggunaan anggaran secara tepat, dikeluarkannya Undang-undang mengenai Administrasi yaitu undang-undang nomor 30 tahun 2014. Dalam undang-undang ini mengatur dengan maksud agar pemerintah daerah tidak perlu ragu ketika ingin menetapkan suatu penggunaan anggaran dalam upaya untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan.
Pemerintah daerah berhak menggunakan hak diskresi sesuai dengan tujuan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, dan memberikan kepastian hukum; dan d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Tentunya hak ini tidak boleh bertentangan dengan perundangundangan yang berlaku, asas-asas umum pemerintahan yang baik, adanya itikad baik, untuk suatu objek tertentu, dan memiliki suatu kepentingan atas penggunaan haknya tersebut. Dalam pelaksanaannya terdapat standar prosedurnya yaitu Pejabat Pemerintahan sesuai dengan kewenangannya wajib menyusun dan melaksanakan pedoman umum standar operasional prosedur pembuatan Keputusan, Standar operasional tertuang dalam pedoman umum standar operasional prosedur pembuatan Keputusan pada setiap unit kerja pemerintahan., dan pedoman umum standar operasional prosedur pembuatan Keputusan wajib diumumkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada publik melalui media cetak, media elektronik, dan media lainnya.
BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan Setelah dilakukan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa keberhasilan pembangunan di suatu daerah juga ditentukan dari seberapa besar terserapnya anggaran yang telah direncanakan. Proses penganggaran yang dilakukan di suatu daerah melibatkan pihak eksekutif dan legislatif dalam tahap perencanaan dan diawasi oleh BPK, BPKP, dan BAWASDA. Proses penganggaran tersebut juga harus sesuai dengan undangundang nomor 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional yang selanjutnya dilakukan proses sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah yang selanjutnya untuk dibuat dan disepakati bersama antara legislatif dan eksekutif.
Tolak ukur keberhasilan penyerapan anggaran juga tidak bisa terlepas dari kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah daerah setempat yang harus selalu memperhatikan prinsip Good Governance. Dalam pasal 155 ayat (1) Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa ‘’Penyelenggaraan urusan pemrintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah’’, tetapi dalam kenyataannya justru penyerapan anggarannya dikatakan sangat minim seperti diambil contoh pada daerah D.K.I Jakarta yang penyerapan anggarannya cukup minim sekitar 20%. Hal ini disebabkan oleh salah satunya ketakukan yang dialami oleh pemerintah daerah ketika telah melahirkan suatu kebijakan justru akan membawanya ke dalam masalah hukum, salah satunya korupsi. Salah satu masalah yang dapat ditimbulkan yaitu dari proses pengadaan barang dan jasa yang melibatkan pemerintah daerah dan pengusaha dengan berbagai modus operandinya. Di sini dapat diketahui bagaimana proses yang tidak benar
yang berujung pada masalah hukum yaitu korupsi seperti yang dijelaskan oleh Antasari Azhar dengan modus operandinya. Untuk mengatasi ketakutan tersebut pemerintah pusat sebagai langkah represif dan preventif mengeluarkan peraturan yaitu Undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan. Peraturan ini dikeluarkan agar para pemerintah daerah tidak takut untuk mengambil suatu kebijakan yang nantinya berakibat masalah hukum padahal secara itikad baik pemerintah daerah tersebut tidak ingin melakukan suatu pelanggaran administrasi yang berujung pada masalah hukum. Diberikannya hak diskresi diharapkan pemerintah daerah tidak takut ketika mengambil suatu kebijakan yang tentunya hak yang diberikan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan memiliki suatu konflik kepentingan.
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas Laporan Realisasi APBD dan Dana Idle Triwulan III Tahun 2014, hlm.7.
Rahardjo Adisasmita, 2011. Pengelolaan Pendapatan & Anggaran Daerah. Penerbit Graha Ilmu : Yogyakarta
Bachtiar Hassan Miraza, Peran Kebijakan Publik Dalam Perencanaan Wilayah, Sumatera Utara, 2005, hal.3
Juli Panglima Saragih, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003), hal. 49
http://www.kompasiana.com/fransdione/teror-hukum-dan-penyerapananggaran_55d88c5b24afbd530913929e, diakses pada 10 Januari 2015, pukul 21.00