The Best Teacher

Page 1

THE BEST TEACHER

Pratiwi, cewek yang masih berumur 19 tahun. Anak tunggal dari Bapak Bahar dan Ibu Halimah ini baru menyelesaikan kuliah S1nya, program Pendidikan Guru Sekolah Dasar, tepat pukul 09.00 pagi disuruh menghadap ke kepala dinas pendidikan di kotanya. Entah apa yang akan diterimanya, nasihat, penghargaan atau apa, ia pun tak tau pasti. Setelah berpamitan, dengan mobil mewah yang dibelikan ayahnya, Tiwi melaju bersama sopirnya menuju kantor dinas pendidikan. Dan tak lebih sedetik pun dari waktu yang sudah ditentukan, dia sampai di ruangan yang penuh AC itu. Sesampainya, dia dipersilakan duduk oleh kepala dinas, kemudian mereka mulai membicarakan masalah yang cukup serius. Kepala dinas menyerahkan surat kepada Tiwi, dan tak sedikitpun rasa takut dan cemas pada Tiwi ketika dia membacanya. Setelah tercapai persetujuan diantara kedua belah pihak, maka Tiwi pulang dengan perasaan lega. Tiwi

:

“Terima

kasih

banyak,

pak

atas

semuanya.

Saya

mohon

pamit

dulu.

Assalamu’alaikum..” Pak Syaipul

: “Wa’alaikumussalam”

Selang beberapa menit, Tiwi sudah sampai di rumahnya. Dia langsung menemui ibunya yang lagi memasak di dapur bersama pembantunya. Tiwi

: “Mamaaah…. Maah”

Bu Halimah

: “Iya, sayang. Ada apa?”

Tiwi

: “Tadi Tiwi ketemu kepala dinas, terus dikasih hadiah. Coba tebak, apa hadiahnya?”

Bu Halimah

: “Hmm…, apa yah? Pasti buku, atau pulpen…”

Tiwi

: “Ih, mamah.., emangnya hadiah pembagian raport SD apa? Ini tuh luar biasa banget.. beneran dech. Gini yach, mah.. sebenernya Tiwi itu dikasih hadiah ngajar di sekolah yang baru dibangun di daerah perkampungan gitu, sekitar 50 km dari sini, lingkungannya itu masih asli.., listrik aja baru beberapa minggu ada disana.,, dan rencananya besok Wi pergi kesana,,, gimana, luar biasa kan mah???” 1


Bu Halimah

: “Apa? Itu kamu sebut luar biasa? Kamu yakin mau ngajar di sana? Udah dipikirkan secara matang? Kamu gak takut jadi guru di sana? Kamu kan bisa di sini aja, mengelola perusahaan eyang yang sudah diwariskan sama kamu. Wi.., mamah khawatir.., apalagi kamu itu kan anak satu-satunya, kalau ada apa-apa sama kamu, gimana? ”

Tiwi

: “Mamah tenang aja deh, yakin aku gak akan apa-apa. Aku kan udah gede, bisa kok jaga diri. Ini tuh tugas yang mulia. Apa mamah tega ngebiarin anak tersayang mamah ini putus cita-citanya. Mah, ayolah mah.., mamah ngedukung aku kan.. Wi udah dari dulu pengen jadi guru kayak mamah, apalagi ngajar anak-anak di sana. Wi pengen mandiri, gak selalu tergantung dari Mamah Papah. Ya, oke yah, mah…” (memelas)

Bu Halimah

: (sedih mendengar keinginan anaknya) “Ini bukan masalah profesinya, tapi masalah tempat dimana kamu nanti tinggal.. Mamah ngedukung kamu jadi guru, bahkan dari dulu, tapi mamah cuman takut sama keadaan kamu yang bakalan tinggal di daerah pedalaman itu…”

Tiwi

: “Mah, kan mamah sendiri yang bilang kalau kita itu harus berani mengambil setiap risiko yang akan terjadi, kita jangan berprasangka buruk dulu dengan keadaan yang akan datang. Kalau mamah yakin, Wi pasti akan baik-baik saja kok. Allah selalu bersama kita, ngejaga kita, ngebimbing kita. Mamah jangan terlalu mencemaskan Wi. Lagian, kalau gak ada halangan, satu minggu sekali Wi akan pulang ke sini… Jadi, keputusannya gimana, Mah?”

Bu Halimah

: (berpikir)

Tiwi

: “Ayolah mah…., ya mah ya.., mamahku yang baik hati, yang manis, penyayang, dan segalanya dech..” (mencoba merayu)

Bu Halimah

: “Baiklah,, Karena tekadmu sudah benar-benar bulat, maka Mamah bolehin kamu pergi kesana, tapi kamu harus janji, hati-hati disana dan kalau ada apa-apa, cepet hubungi kami.”

Tiwi

: “Siap, mamahku sayang.” (beranjak pergi)

Bu Halimah

: “Oh, iya.., Papah kamu gimana? Udah setuju?”

2


: (kembali lagi menengok ke arah bu Halimah) “Udah dong, tadi pas dijalan Wi udah

Tiwi

nelpon papah, dan langsung disetujui tanpa ini itu kayak mamah.., hehehe” (pergi) Bu Halimah

: “Kamu mau kemana?”

Tiwi

: (berteriak) “Mau nyiapin barang-barang buat besok..” ***

Hari Minggu ini tak seperti hari minggu yang telah lalu. Tak ada acara liburan di keluarga Bahar. Para penghuni rumah sibuk, membantu Tiwi berkemas. Semua koper berisi keperluan sehari-hari telah ditaruh ke dalam bagasi mobil. Tak lama setelah semua barang dimasukkan, Tiwi berpamitan. Pak Bahar dan Bu Halimah tidak ikut mengantarkan, hanya sopir pribadinya menemani. Tiwi

: “Pah, Mah. Wi berangkat dulu yah… doakan Wi.” (bersalaman)

Bu Halimah

: “Pasti kami doakan.. Kalau sudah sampai disana, kabari Mamah yah..” (terharu.., menangis)

Tiwi

: “Oke mah, tenang aja..” (memeluk dan menyapu air mata Bu Halimah)

Pak Bahar

: “Bikin kita bangga ya, Wi. Papah pasti bakalan kangen sama kamu, karena gak ada lagi anak manja yang selalu minta diantar jemput sama papah kemaaanaa aja.” : “Wi juga pasti kangen sama Papah. Tapi, kita bisa telponan kok, di sanakan udah bisa

Annisa

nyambung sinyalnya gitu lho.. Hmm.., oh ya pah…, jagain mamah yach Pah.. Awas lho kalau sampe nangis… Hehehe..” Bibi

: “Dasar non ini.. Jaga diri juga, Non”

Tiwi

: “Iya, bi. Makasih. Udah ah, kalau kelamaan disini, Wi gak berangkat-berangkat jadinya.. Yuk, Mang.. kita cabut…”

Mang Dhani

: “Baik, non..”

Tiwi

: “Assalamu’alaikum..”

Bu, Pak, Bi

: “Wa’alaikumussalam wr. Wb..” Tiwi dan Mang Dhani pun berangkat, menuju perkampungan Sukar Sekali. Berjam-jam

mereka menempuh perjalanan dan akhirnya penantian berakhir sudah. Tempat dimana Tiwi akan membagi ilmunya telah dicapai. Setelah menurunkan barang-barang Tiwi dan menaruhnya di rumah 3


Dinas Guru, Mang Dhani pulang, kembali ke kota, meninggalkan Tiwi dengan impian-impiannya yang segera menjadi nyata. ***

Hari pertama memasuki sekolah, semangat dan tak ingin terlambat. Berjalan kaki sekitar 10 menit saja, Tiwi sudah sampai di SDN Anonim. Dia duduk di depan, menunggu. Di sana hanya ada 2 ruangan, ruangan kelas dan ruangan di mana dia sekarang duduk. Tak ada yang aneh saat itu. Namun, kegelisahan mulai menghantui. Jam ditangan Tiwi telah menunjukkan pukul delapan, namun tak jua ia melihat anak-anak di sekitarnya, lengang, hanya binatang yang berkeliaran di lapangan sekolah, memakan rumput dan ilalang. Sungguh miris dia melihat hal itu. : “Pada kemana siswa-siswi dan guru yang mengajar di sini? Apa hari ini hari libur?

Tiwi

Perasaan enggak deh, tapi kok sekolah ini sepi banget, bahkan terlihat seperti peternakan hewan.” Untuk memecah kesunyian, dia mengambil buku di dalam tasnya, mulai membaca. Sekian kalimat dia membaca, akhirnya terdengar jua huru-hara dari pintu gerbang sekolah, ternyata segerombolan anak-anak dengan pakaian biasa, tanpa seragam, datang. Mereka bingung dan merasa asing ketika melihat Tiwi duduk sendirian. Nina

: “Pian siapa?”

Tiwi

: “Pian?”

Anak-anak

: (tertawa)

Tia

: “Uiy kakawanan, sakalinya ngarannya PIAN. Lucu” Tiwi bingung kenapa anak-anak itu tertawa. Kemudian, dia tersadar. Dia sadar bahwa yang

sekarang dia hadapi adalah anak-anak perkampungan, yang masih menggunakan bahasa daerah sini. Dia segera bertindak cepat, mengambil kamus bahasa Banjarnya. Mencari kata-kata yang tidak dia mengerti. Tiwi

: “Oh, maksudnya nih, ngaran ibu kah?”

Alyne

: “Iih, bu ai”

4


: (sibuk mencari kata di dalam kamus) “Ngaran ibu nak ai, Tiwi. Ibu kaina maajar disia.

Tiwi

Selain ibu, siapa nang maajar buhan Pian?” Rahmawati

: “Ibu Susan wan Pak Tito.”

Tiwi

: “Badua anya?”

Lia

: “Inggih bu ai.” Tiba-tiba, bapak dan ibu yang dimaksud sebagai pengajar di sekolah itu datang. Anak-anak

berhamburan masuk ke dalam kelas. Susan

: “Oh, ada guru baru yah? Yang akan menjadi wali kelas di sekolah ini kan?”

Tiwi

: “Iya, Saya Tiwi” (berjabat tangan)

Susan

: “Saya Susan, kepala sekolah sekaligus guru agama. Dan ini Pak Tito, guru olahraga di sini” : (tersenyum dan ikut berjabat tangan) “Salam kenal, Bu. Semoga kita dapat bekerja

Tito

sama. Oh iya, saya masuk ke kelas dulu. Pelajaran akan segera dimulai. Mari..” (berlalu, menuju ruangan kelas) Tiwi

: “Mari, Pak..” (heran)

Susan

: “Ibu bisa ikut saya. Kita ngobrol di dalam saja.”

Tiwi

: (diam, berjalan di belakang Bu Susan) Susan dan Tiwi pun masuk ke dalam ruangan guru, mereka saling tukar pendapat.

Tiwi

: “Jadi, kebiasaan upacara bendera tiap pagi Senin tidak ada? Dan pelajaran baru dimulai pukul 9? Trus, pakaian anak-anak tidak seragam?”

Susan

: “Benar, Bu. Pelaksanaan upacara Bendera rasanya tidak memungkinkan. Untuk waktu belajar-mengajar, kami sudah mencoba masuk sekolah pukul setengah delapan pagi, namun anak-anak tidak bisa melakukannya karena mereka harus bekerja dahulu, membantu keluarga. Masalah pakaian seragam, tak ada dana untuk itu, jadi kami memperbolehkan mereka mengenakan pakaian bebas pantas.”

Tiwi

: (berpikir sejenak) “Hmmm.., saya akan mengusahakan untuk bisa membantu anakanak di sini. InsyaAllah nanti saya berkomunikasi dengan orang tua murid agar anak-

5


anak mereka bisa sekolah tepat waktu, tidak harus bekerja terlebih dahulu. Dan saya juga akan mencoba menangani masalah seragam mereka.” Susan

: “Baru sehari di sini, kami sudah merepotkan ibu.”

Tiwi

: “Tidak, bu. Saya tidak merasa direpotkan. Saya malah senang bisa ikut membantu.”

Susan

: “Oh ya, Bu. Anak-anak di sini masih belum lancar berbahasa Indonesia, jadi kalau ada yang Ibu belum pahami, silakan tanyakan kepada kami. Jangan sungkan-sungkan, karena di sini kita juga dalam tahap belajar. Mulai besok Ibu bisa mengajar, jadi senggang waktu ini bisa ibu gunakan untuk beradaptasi dengan lingkungan di sini, bisa belajar bahasa daerah Banjar.” : “Iya, Bu, Terima kasih.”

Tiwi

Setelah perbincangan yang cukup lama, akhirnya Tiwi pulang ke rumah dinas, mempelajari isi kamus bahasa Banjar yang baru dibelinya sebelum berangkat kemarin. Dia juga menelepon orang tuanya agar bisa membawakan baju seragam SD untuk anak muridanya. Orang tuanya yang ringan tangan langsung menyetujui permintaan anak mereka yang semata wayang itu. Dan sore itu, dia berjalan-jalan di sekitar perkampungan, menemui orang tua murid. Dia berusaha menjelaskan agar anak mereka bisa masuk sekolah pukul setengah delapan, dan Alhamdulillah orang tua murid bisa menerima permintaan Tiwi. ***

Hari kedua berada di daerah yang masih asing bagi Tiwi. Tiba saatnya dia memulai aktivitasnya menjadi seorang guru. Dia pun menuju ruang kelasnya yang masih belum tertata rapi. Tiwi

: “Assalamu’alaikum…”

Anak2

: “Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh..”

Tiwi setengah kaget melihat meja dan kursi yang berantakan dan sampah yang berserakan. Tiwi

: “Anak-anak nang ibu sayangi, kita babarasih dulu nah,, andaki meja kursinya, susuni rapi-rapi, sampahnya dibuangi dulu, supaya nyaman diliat, nyaman jua kita balajarnya. Lawan kaina lamun sudah barasih, ibu bari hadiah.. hakun kada?”

6


Mendengar kata hadiah, anak-anak dengan semangatnya bekerja sama membersihkan ruang kelas mereka, dan tak sampai 10 menit mereka sudah selesai, kemudian kembali meneruskan pelajaran setelah semuanya mendapat hadiah “coklat” dari Tiwi. Tiwi

: “Nah, sakarang ibu handak maabsen dulu lah. Bila ngarannya ibu sambat, angkat tangannya lah. Tia

Tia

: “Ulun.”

Tiwi

: “Alyne”

Alyne

: (mengangkat tangan)

Tiwi

: “Buhan ikam kambar kah?” (menunjuk TIa dan Alyne)

Alyne

: “Yo I, bu”

Tiwi

: (tersenyum). “Aida”

Aida

: (dadah-dadah)

Tiwi

: “Roy”

Roy

: “Saya, Bu”

Tiwi

: “Ai Roy, Siapa ngintuh Roy? Dihiga ikam?”

Tia

: “Nitu adingnya Roy bu ai..”

Tiwi

: “Ading? Napa adding dibawa ka sakulahan?”

Roy

: “Ulun disuruh maingun bu ai. Abah Ulun sudah maninggal. Mama ulun bagawi, jadi ulun nang disuruh manjagaakan inya”

Tiwi

: (merasa iba) “Ya sudahlah. Ibu tarusakan maabsennya. Rahmawati”

Rahmawati

: “Bu..”

Tiwi

: “Ipin”

Ipin

: (tidak mendengarkan, asyik ngobrol dengan Iyudh)

Tiwi

: “Ipin”

Tia

: “Woy, pin. Tuh ikam dihiau paguruan. Kada mandangar kah?”

Ipin

: “Uiy, napa-napa.”

Tiwi

: “Pin, jangan bapandiran pank”

Ipin

: “Inggih, maaf bu ai.., sengaja..” 7


Anak-anak

: “Hahahaha”

Tiwi

: “Sssst. Iyudh”

Iyudh

: “Hadir, bu..”

Tiwi

: Sudah habis kalo?

Lia

: “balum bu, ulun balum disambat..”

Tiwi

: “Oh, maaf, ibu kada tau. Siapa ngarannya?”

Lia

: “Lia harum mewangi sepanjang hari.”

Tiwi

: “Oh, Lia.. nah, karena sudah habis, jadi..”

Nina

: “Balum, bu. Balum.., ulun handak jua..”

Tia

: “Roy, ading ikam lapas tuh..”

Roy

: “Nina, duduk sini nah, jar kaka napa. Jangan mangganggu kalu. Apa kada kaka bawa lagi ka sakulahan. Lakasi sini nah..” (menarik tangan Nina)

Tiwi

: “Roy, roy, biarakan ja inya.”

Roy

: (melepas tangan Nina)

Nina

: (mendekati Tiwi)

Tiwi

: “Kenapa sayang?”

Nina

: “Ulun handak mamadahakan ngaran Ulun banaram”

Tiwi

: “Siapa garang ngaran Pian?”

Nina

: “Nina.. bu,, nina boleh lah duduk parak ibu.”

Tiwi

: “Boleh, asal jangan macal lah.”

Nina

: “Inggeh… kaka…, ambilakan kursi Ulun…”

Roy

: (dengan sigap mengambilkan kursi untuk Nina, kemudian kembali ke tempat duduknya.”

Tiwi

: “Sakarang, saatnya kita balajar supaya piiin..”

Tia

: “tuuuull….”

Anak-anak

: (tertawa)

8


: “Sudah, sudah. Maksud Tia tuh kita balajar supaya pintar, amun pintar kawa bagawi,

Tiwi

mancari duit. Duitnya sagan nukar pintul, iya kalu tia?” Alyne

: “Bah, tahu bangat ibu nih pikiran Tia.” (tersenyum, melirik ke arah tia)

Alyne

: “Parah ikam nih, umpatan jua.”

Tiwi

: “Eh, jangan bakalahi.”

Ipin

: “Buhannya dasar kaya itu bu ai, kada bakalahi kada. Kadada ah saudara kambar bakalahi, kacuali ha marabutakan ulun..”

Iyudh

: “aduh, handak muntah nah mandangar”

Tiwi

: “Sudah, sudah. Kita mulai ja langsung nah. Palajaran pamulaan adalah bahitung.”

Tia

: “Bah, aku tu rajanya mahitung, makanan sahari-hari pang.” (ngobrol dengan aida)

Aida

: “Ooh.., sumbunk..”

Tiwi

: “anak-anak ibu, kaina bawa bilah lidi nang diputung halus-halus, panjangnya sakitar sakilan tangan buhan ikam. Nituh sagan buhan ikam bahitung. Bawa saratus buting lah.”

Anak-anak

: “Inggih..”

Mereka pun belajar. Begitulah setiap hari, belajar, belajar, dan terus belajar. Hingga hari berganti minggu, berganti bulan, dan tahun, Tiwi gak pernah lelah dan mengeluh memberikan ilmu kepada anak muridnya, dia senang melihat semangat mereka. Semakin sehari, semakin meningkat perkembangan prestasi mereka. Mereka sudah lancar berbahasa Indonesia, lancar berhitung, dan bernyanyi. Waktu yang terus berputar, tak sedikit pun mau berkompromi, membuat keakraban guru dan muridnya ini sudah berlangsung selama 4 tahun, dan tanpa terasa mereka sekarang telah menjadi murid kelas 4 SD. *** Tiba-tiba, pada suatu hari, Tiwi hanya melihat tiga anak didiknya di dalam kelas. Tiwi

: “Kemana rahmawati, lia, roy, alyne dan tia?”

Aida

: “Tidak tahu bu mereka pada kemana. Oh iya, bukankah tia dan alyne sudah tiga hari ini

tidak masuk sekolah?” Ipin

: “Kalau roy… hmmmmm”

Tiwi

: “Kenapa pin?” 9


Ipin

: “Gak tau bu”

Iyudh

: “Dasar.”

Tiwi

: “Ya sudah, kita belajar seadanya saja. Nanti sepulang sekolah kalian temenin ibu mencari

mereka.” Anak2

: “Baik, bu”

Pelajaran pun diteruskan. ***

Seperti janji tadi pagi, maka Tiwi ditemani tiga anak muridnya berjalan menyusuri perkampungan, mencari tahu di mana, kemana dan kenapa lima orang sahabatnya tidak masuk sekolah. Di perjalanan, mereka bertemu sekelompok laki-laki yang tengah mabuk-mabukkan dan bermain judi. Mereka pun menunduk, tak mau melihat wajah-wajah lelaki yang asyik meneguk miras. Mereka terus berjalan, dan berjalan, sambil memperbincangkan sesuatu. Tiwi

: “Bagaimana menurut kalian, apakah sikap orang-orang tadi baik?”

Ipin

: “Ya enggak lah. Dosa.”

Iyudh

: “Tapi kan, kalau menang, banyak dapat duit”

Aida

: “Walaupun banyak, tapi kan haram. Ingat gak kata ibu susan?”

TIwi

: “Iya tuh, bener kata temen kamu. Lagian, masih banyak kok pekerjaan halal untuk mendapatkan duit yang halal juga.”

Iyudh

: “Tapi kan, sekarang ini nyari pekerjaan yang haram aja susah, apalagi yang hahal.”

Ipin

: “Yudh, yudh, kamu lupa ya? Bukankah kalau kita punya kemauan yang kuat, tekad yang bulat, pasti Allah akan nunjukin jalan yang terbaik, nunjukin mana pekerjaan yang halal buat kita, rezeki kan sudah diatur ama Dia.”

Aida

: “Tumben kamu pin,, kata-kata udah kayak ustadz aja. Hehehe…”

Ipin

: “Ya beginilah didikan Ibu Tiwi..”

Tiwi

: (tersipu malu)

Aida

: “Nah, kita sudah sampai Bu. Ini rumahnya si kembar. Yudh, ketok pintunya, ipin yang ngasih salam.” 10


Iyudh

: (mengetok pintu)

Ipin

: “Assalamu’alaikum… Spada? Spidi? Spatu?”

Aida

: “Ipin..”

Ipin

: (berhenti mengolok-olok)

Sandy

: (membukakan pintu) “Wa’alaikumussalam.. eh, Ibu… masuk Bu.”

Ipin

: “Kok Cuma ibu yang disuruh masuk? Kita gimana?”

Sandy

: “Oh, ada nak ipin lawan kakawanan jua kah.. ayo masuk barataan. Tia.., Alyne.., nih ada Ibu guru wan kakawanan ikam..”

Tia dan Alyne

: “Inggih, tunggui dulu”

(Ipin, aida, iyudh berebut masuk) Akhirnya, mereka semua pun masuk, duduk di tempat yang sudah disediakan. Tiwi mulai menginterogasi Bu Sandy, Ibunya Alyne dan Tia. Sandy

: “Jadi, kaya itu tadi pang Bu ai. Kami kadada biaya sagan nukar kacamata. Maka kadua-dua anak kami nih kada tapi jalas lagi malihat.”

Tia

: “Iya am bu ai. Kami padahal handak bangat sakulah, tapi kaya apa pang lagi.”

Alyne

: “Handak nukar, kasian kuitan, bacari gasan makan haja lapah, apalagi gasan manukar kacamata.”

Tiwi

: “Hadangi satumat lah.” Tiwi menelpon dokter pribadinya di kota, meminta agar dia bisa ke rumah ibu sandy untuk

memeriksa mata kedua anaknya. Tiwi

: “Tadi, saya sudah minta bantuan dokter Pretty untuk memeriksakan mata anak ibu. insyaAllah beliau akan tiba disini beberapa jam lagi. Kalau misalnya mata anak Ibu perlu kacamata, maka akan dibuatkan, dan selesai sekitar satu minggu. Jadi, harap bersabar. Dan soal biaya, ibu tidak usah khawatir.”

Tia

: “Jadi, kami bisa sekolah lagi?”

Tiwi

: “Pasti.”

Tia

: “Alhamdulillah”

Alyne

: “Horeee….” 11


Ipin

: “Salamat kawan lah”

Sandy

: “Terima kasih bu, atas bantuannya.”

Tiwi

: “Sama-sama. Ini semua pemberian dari Allah. Nah, kami handak aur lagi. Jadi, kami bulik ai dulu Bu lah.”

Sandy

: “Inggih, silakan.”

Tiwi

: “Tia, Alyne, ibu bulik nah.”

Alyne

: “Inggeh, makasih bu ai.”

Ipin

: “Uy, kami bulikan nah barataan ai.. Assalamu’alaikum.”

Sandy, tia, alyne : “Wa’alaikumussalam” Setelah selesai dari rumah si kembar, mereka meneruskan perjalanan menuju rumah Roy. Begitu sampai digubuknya Roy, Ipin mengetuk pintu. Dari dalam rumah, Roy membukakan pintu, dan menyuruh masuk rombongan guru dan murid tadi. Mereka pun ngobrol panjang lebar. Ipin, Iyudh dan aida lagi-lagi menjadi pendengar setia. Roy

: “Itulah sebabnya saya tidak masuk sekolah.”

Eka

: “Maafkan anak saya bu, karena saya dia harus ketinggalan pelajarannya. Andai saja suami saya masih ada, mungkin anak saya tidak akan seperti ini, membantu saya mencari uang.”

(nina mendekati Tiwi) Tiwi

: “Sudahlah bu, yang lalu biarkanlah berlalu. Sekarang, saya menawarkan sebuah cara bagaimana agar ibu bisa mencari uang tanpa harus bekerja setengah mati, dan bahkan ibu bekerja bisa sambil mengasuh anak ibu, nina. Ya kan sayang.”

Nina

: “he iehh…,,” (mengangguk)

Tiwi

: “Begini bu.., nanti saya akan menyediakan alat dan bahannya, ibu tinggal mengolahnya.”

Nina

: “Bikin apaan bu?”

Tiwi

: “bikin anyaman, nin. Ibu kamu pasti bisa. Iya kan bu? Coba aja dulu.”

Eka

: (berpikir).. “Baiklah, akan saya coba. Makasih banyak ya bu atas sarannya.”

Tiwi

: “Sama-sama. Jadi, kamu Roy. Besok kamu bisa masuk sekolah lagi.” 12


Roy

: “Benarkah bu? Terima kasih kalau begitu.”

Nina

: “sekolah? Nina ikut yah?”

Tiwi

: “Nina dirumah aja, sama mama. Kalau udah gede, baru bisa sekolah kayak kakak kamu.” : “gitu yach? Hmm, oke deh, mulai sekarang nina pengen makan yang banyak supaya

Nina

cepet gede, biar bisa sekolah dan ketemu ibu.” Tiwi

: (tersenyum).. oh ya pin, kita masih punya satu 2 misi lagi kan?”

Ipin

: “Eh, iya bu.”

Tiwi

: “Jadi, kalau begitu kami pamit dulu yach. Mari Bu..”

Aida

: “Dadah roy, sampai ketemu besok.”

Iyudh

: “Pake dadah segala.”

Aida

: “Sirik aja kamu..”

Tiwi

: “Dasar kalian ini.” Mereka berjalan lagi, menuju rumah Rahmawati. Dan kebetulan dia ada di halaman rumah,

bersama adiknya. Ipin

: “Eh, Rahma. Kenapa tadi kamu gak masuk sekolah?” (berteriak)

Tiwi

: “Ipin, jangan teriak-teriak dong.”

Ipin

: “Iya, bu. Maaf”

Rahma

: “eh, ibu. Hmm…, adik saya lagi sakit, jadi saya harus merawatnya.”

Tiwi

: “Sakit apa?” (memegang dahi adiknya rahma)

Santi

: “Kata orang yang baju putih di puskesmas, aku kena demam. Tadi udah dikasih obat kok, sekarang udah sembuh.”

Tiwi

: “Syukurlah. Jadi besok kamu masuk sekolah kan?”

Rahma

: “Bagaimana dengan adik saya bu?”

Tiwi

: “Nanti besok bawa aja dia ke sekolah, biar ibu yang mengurusnya.”

Rahma

: “Baik, bu. Terima kasih karena telah memberikan perhatian yang lebih kepada kami. Kalian juga Pin, Yudh, da..”

Ipin

: “Aaah,, santai ja kale..” 13


Aida

: “Dasar ipin.”

Perbincangan mereka pun selesai, sekarang tinggal satu orang lagi yang akan mereka temui, Lia. Dia sudah satu minggu tidak masuk sekolah tanpa kabar apapun. Belum juga mereka sampai rumah Lia, mereka sudah mendengar keributan dari dalam rumah. Lia

: “Abah nih kada adil, urang lain bisa sakulahan, kanapa ulun kada dibulihakan. Pabila pintarnya Ulun.”

Yana

: “Bujur tuh bah ai. Jangan sampai lia kayak ulun, pangangguran. Kada bisa napa-napa. Pian kada kawa diandalakan. Bisanya mainta duit mama, dipakai gasan judi, mabukmabukan. Sia-sia lalu hidup.”

Arif

: “Malawan kah ikam? Ikam tuh anak siapa garang? Tasarah ku ai, handak kaya apakah. Ku tampar saku.”

Nahda

: “Jangan bah, istighfar.”

Lia

: “Urang mabuk disuruh istighfar. Parcuma.”

Nahda

: “Lia, hudah gin. Sana kaluar aja buhan ikam.” Tiwi dan 3 anak murid yang masih setia menemaninya segera menemui Lia yang baru keluar dari

rumah. Dia bercerita tentang kejadian sebenarnya yang dia alami dan alasan kenapa dia tidak masuk sekolah, yaitu karena dilarang oleh ayahnya. Ibu Tiwi merasa kasihan melihat Lia, dan dia pun menemui Pak Arif yang ternyata adalah salah satu dari laki-laki yang mabuk dan main judi tadi. Tiwi

: “Pak, bapak sadar tidak dengan kelakuan Bapak. Kalau Bapak memiliki sikap begini, berarti Bapak sudah menghancurkan masa depan anak bapak. Seharusnya Bapak bersyukur karena anak Bapak bisa sekolah secara gratis. Mendapat pendidikan itu adalah hak, pak. Jadi gak aturannya kalau Bapak melarang anak Bapak bersekolah. Bapak gak kepengen ngeliat anak Bapak sukses seperti orang-orang?”

Arif

: “Alah…, kamu ini. Guru apaan kamu? Membela anak yang melawan Bapaknya…”

Tiwi

: (tidak menghiraukan, pergi menemui Lia) Ayah kamu masih terpengaruh minuman keras. Percuma bicara kebaikan dengannya untuk sekarang ini. Nanti Ibu akan kembali lagi menemui Ayahmu. Besok, kami harus sekolah. Ibu yang akan bertanggung jawab atas semuanya dan ibu berjanji akan segera menyelesaikan masalah ini.” 14


Lia

: “InsyaAllah Bu. Saya akan berusaha untuk bisa sekolah lagi.”

Tiwi

: “Ibu pulang dulu. Salam untuk ibu dan kakakmu ya.”

Iyudh

: “Assalamu’alaikum..”

Lia

: “Wa’alaikumussalam.” Misi hari itu telah berakhir dengan perasaan puas dan karena bisa membantu, bahagia

karena bakalan bisa bertemu teman lagi dan tentunya juga ada perasaan lelah, jadi Ipin, iyudh, aida, dan bu Tiwi pulang ke rumah masing-masing untuk istirahat. ***

Seminggu setelah kejadian itu, sekolah kembali penuh. Semua anak telah masuk sekolah. Ada perasaan haru, bangga memiliki guru seperti Bu Tiwi yang mau memperhatikan anak didiknya. Si kembar telah memiliki kacamata, Lia tak lagi dilarang sekolah oleh ayahnya, Roy bisa sekolah tepat waktu tanpa Nina, dan Rahmawati bisa kembali tertawa riang. Mereka berlima sangat bahagia, apalagi mempunyai teman yang selalu memberikan semangat seperti Ipin, Iyudh, dan Aida. Bumi masih berputar, tak henti-hentinya. Sang Pemilik Seluruh Alam Semesta yang mengatur segalanya, mengatur pergantian tahun, semua seperti berjalan sangat cepat hingga tak pernah terasa kalau delapan sahabat karib ini telah menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar. Dengan perantara Bu Tiwi yang selalu sabar mendidik mereka dan tak lelahnya menemani keseharian mereka, kini akhirnya mereka akan mengadakan acara perpisahan. Sebelum acara dimulai. Tiwi

: “Pah, selama enam tahun ini Wi selalu nolak hadiah ulang tahun yang Papah tawarkan. Tapi, sekarang, Wi mau…?”

Pak Bahar

: “Mau hadiahnya? Kamu mau apa? Mobil? Rumah? Atau apa?”

Tiwi

: “Enggak, Wi gak mau semua itu. Wi cuma mau Papah sama Mamah nerima anak didik Wi. Mereka bakal tinggal di sana, terus Papah yang biayain semua keperluan sekolah mereka sampai berhasil. Gimana pah?”

Pak Bahar

: “Papah sih, acc aja.., asal kamu bahagia.”

Tiwi

: “Mamah?” 15


Pak Bahar

: “Soal mamah, tenang aja. Dia pasti setuju juga kok, apalagi kalau tau rumah kita bakalan rame.”

Tiwi

: “Oke deh, pah. Makaaaasiih banyak. Aku tunggu Mang Dhaninya di sini. Jadi, besok mereka udah ada disana. Hmmm.., udah dulu yah pah. Assalamu’alaikum”

Pak Bahar

: “Wa’alaikumussalam..” ***

Esok harinya. Tiwi

: “Ingat! Kalian harus sukses. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Belajar yang rajin, jangan nakal. Masalah di sini biar ibu yang tangani, yang kalian lakukan di sana hanya menuntut ilmu, dan buktikan bahwa kalian bisa membanggakan kami. Jangan kembali sebelum berhasil. Ibu tidak ingin melihat kalian gagal.”

Rahmawati

: “pasti bu. Kami akan pegang janji kami.”

Ipin

: “Tenang bu. Jika ada kemauan, pasti ada jalan. Kami yakin kami akan sukses.”

Aida

: “Iya, bu. Doakan saja kami.”

Tiwi

: “selalu, selalu kami doakan.”

Arif

: “Hati-hati nak. Kami akan merindukanmu.”

Lia

: “Makasih, pak.”

Nina

: “Kakak, jaga diri baik-baik yah.”

Roy

: “Kamu juga, jangan nakal.”

Mang Dhani

: “Semua sudah siap?”

TIa dan Alyne

: “Tunggu… kami ketinggalan” (berlari menyusul)

Iyudh

: “Hampir saja kalian ini.”

Tia

: “Ayo mang, kita cabut. Dadah semuanya.”

Alyne

: “Assalamu’alaikum.”

Semua

: “Wa’alaikumussalam”

Mobil pun melaju, mereka berpisah.., untuk sementara, bukan untuk selamanya. *** 16


Singkat cerita… Sepuluh tahun kemudian… Aida

: “Assalamu’alaikum.. ibu…”

Tiwi

: “Siapa yah?”

Aida

: “Ini aida”

Roy

: “Saya roy”

Ipin

: “Ipin, BU”

Lia

: “Lia.”

Tia

: “Tia”

Alyne

: “Ini kembarannya.”

Rahma

: “Kakaknya Santi.”

Iyudh

: “Yudha, Bu”

Tiwi

: “Kalian?”

Tia

: “Iya, bu. Ini kami. Seperti janji kami, kami akan kembali ke sini membawa keberhasilan.”

Aida

: “Saya sudah menjadi bidan, roy menjadi polisi, rahma menjadi guru olahraga, lia menjadi guru bahasa inggris, tia menjadi guru fisika, alyne menjadi guru kimia, ipin menjadi camat, dan iyudh menjadi guru matematika.

Roy

: “Kami sudah bertekad gak akan kemana-mana. Kami akan membangun kampung halaman ini agar lebih maju. Kami akan mengabdi di sini, memperbaiki yang perlu diperbaiki dan menambah yang masih kurang.”

Rahma

: “Kami ingin seperti Ibu, membantu dan membantu, mencetak generasi penerus yang berkualitas, tanpa mengharapkan balasan, tanpa mengharapkan jasa. Kami ingin anak cucu kami berhasil seperti kami, bahkan lebih.”

Tiwi

: “Ibu bangga mendengarnya. Kalian sudah membuktikan pada dunia bahwa kalian mampu.”

Ipin

: “ini semua tak terlepas dari jerih payah ibu. Terima kasih, bu. Terimakasih kami untuk mu, guru kami, pahlawan tanpa tanda jasa.” (memberikan lilin kepada Bu Tiwi) 17


: “Lilin itu seperti ibu. Menerangi gelap kami, memberikan cahaya kepada kami, pelita

Lia

dalam hidup kami.” : “Dan satu lagu kami persembahkan untuk guru di seluruh dunia, terutama untukmu, Bu

Alyne

Tiwi.” Tiwi

: (terharu) Lantunan lagu yang dinyanyikan anak-anak didikan Bu Tiwi mengantarkan kebahagiaan yang

terpancar dari sudut matanya. Berkali-kali dia mengucap syukur di dalam hati atas nikmat semua ini karena ilmu yang dia berikan tak sia-sia, berguna bagi orang lain.. Dia dan guru-guru di manapun berada sangat besar jasanya, walau tak ada tanda penghargaan atas semua yang mereka berikan, namun mereka tetap rela mendidik kita, menjadikan kita mengerti tentang arti dari sebuah kehidupan dan betapa pentingnya sebuah pendidikan. Terima kasih untuk kalian, PAHLAWAN TANPA TANDA JASA.

Peran

Pemain

Pengisi Suara

1. Pratiwi

annisa 1

wulan2

2. bu halimah

hernina3

Nadia4

3. pak bahar

jhondy5

arif6

4. pembantu

ipit7

ulya8

5. kepala dinas

saddam9

tito10

6. mang Dhani

alfi11

Saddam

7. Pak tito

Tito

arif

8. susan

susi12

annisah13

9. amat

Roy14

saddam

10. sandah

Aida15

devy16

11. ati

herlena 17

rindang18

12. amah

tia19

rina20

13. ipah (adik roy)

nina21

atul22 18


14. imah

alyne23

via24

15. ipin

ipin25

Tito

16. adul

yudha26

Agung27

17. sanah

lia28

ayu29

18. bahran (ayah lia)

arif

jhondy

19. nahda

nahda30

rini31

20. eka (ibunya roy)

eka32

ristiani33

21. rahmawati (ibu si kembar)

Sandy34

dessy35

22. yana (kakak lia)

yana36

ani37

23. santi (adik rahma)

santi38

ulya

24. narrator=rina barabai, 301009

19


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.