KALTIM HIJAU DAN MOMENTUM REVITALISASI KEHUTANAN Oleh : Achmad Husry
Dalam sebulan terakhir, wacana Kaltim Hijau (Green Kaltim) sebagai visi utama pembangunan Kalimantan Timur telah menjelma menjadi dialektika utama berbagai sektor di provinsi terluas kedua di Indonesia tersebut. Adalah deklarasi Kaltim Hijau pada tanggal 7 Januari 2010 oleh Gubernur Kalimantan Timur, Awang Farouk Ishak pada acara forum Kaltim Summit. Deklarasi tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai pertemuan yang melibatkan berbagai pihak dan elemen masyarakat sebagai upaya mennyusun rencana tindak (actions plan) yang bersifat konkrit, terukur (measurebale) dan layak terap (aplicable). Segera saja, Kaltim Hijau, menjelma menjadi sebuah gerakan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan, serta mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan hidup. Pertanyaannya kini, sejauh mana sektor-sektor usaha di Kalimantan Timur, khususnya yang berbasis lahan –utamanya sektor kehutanan di bawah payung Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI)- mengantisipasi dan merespon konsep Kaltim Hijau tersebut. Hal ini penting, mengingat selama ini terdapat kesalahan berpikir di berbagai kalangan dunia usaha bahwa pembangunan yang mengedepankan lingkungan selalu identik dengan perspektif high cost atau ekonomi biaya tinggi.
Rasionalitas Konsep pembangunan Kaltim Hijau 2013 sesungguhnya merupakan momentum terbaik bagi kebangkitan sektor kehutanan Kalimantan Timur, baik pengusahaan hutan alam dan hutan tanaman di hulu maupun industrialisasi kehutanan di hilir. Setidaknya, terdapat tiga rasionalitas besar untuk menjelaskan perspektif tersebut.
Pertama, dari aspek konfigurasi kawasan. Wilayah Provinsi Kalimantan Timur saat ini tercatat memiliki luas ± 20,865,744 Ha, dimana 19,844,177 hektar diantaranya merupakan daratan dan sisanya seluas ± 1,021,657 Ha adalah kawasan perairan. Menariknya, dari luasan tersebut,
berdasarkan RTRWP
Kaltim (1999), seluas ± 4.916.900 Ha adalah kawasan lindung (Hutan Lindung dan Hutan
Konservasi). Sementara kawasan budidaya kehutanan (Hutan
Produksi) seluas ±
9.734.653 Ha. Terakhir, areal kawasan budidaya non
kehutanan atau APL seluas ± 5.192.624 Ha. Dengan demikian, luas kawasan hutan Kaltim mencapai ± 14.651.553 Ha atau
(70,22%) dari seluruh luas
kawasannya. Dengan kata lain, Kaltim Hijau merupakan salah satu pendekatan pembangunan yang diharapkan akan mengedepankan peran dan kontribusi hutan di masa depan. Tentu saja dengan perspektif yang lebih adaptif terhadap kelestarian lingkungan dan konservasi tanah dan air. Kedua, persoalan ledakan populasi. Dewasa ini, Indonesia -termasuk Kalimantan Timur- menghadapi persoalan ledakan penduduk di satu sisi, sementara di sisi lain daya dukung lingkungan untuk memenuhi kebutuhan populasi justru kian menurun. Jumlah penduduk Kaltim (BPS, 2008) sebesar 3.094.700 jiwa yang tersebar di 10 Kabupaten dan 4 Kota, 136 Kecamatan dan 1410 desa.dengan kepadatan penduduk 14,8 orang/km². Dengan semakin meningkatnya migrasi ke Kaltim diperkirakan penduduk Kaltim tahun 2013 mencapai jumlah 3,472 juta, dengan asumsi tingkat pertumbuhan rata-rata penduduk sebesar 2,17%. Selama ini, sumber daya hutan selalu menjadi salah satu katup solusi jangka pendek dan parsial atas persoalan kependudukan melalui aktivitas perambahan hutan. Karenanya, konsep Kaltim Hijau diharapkan dapat menyentuh persoalan riil yang dihadapi masyarakat, yaitu keterbatasan akses terhadap hutan dan lemahnya kepemilikan lahan melalui penataan ruang bagi berbagai kepentingan. Termasuk bagi kepentingan kehidupan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Rasionalitas terakhir, relevansi dengan isu dan wacana pemanasan global dan perubahan iklim. Dalam konteks perubahan iklim, Kalti memiliki geopolitik yang sangat strategis. Pada forum Governors Climate Forest (GCF) di California,
USA November 2009, Kalimantan Timur (baca : Gubernur) merupakan salah satu peserta yang diundang karena dinilai memiliki komitmen kuat dalam mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan. Hal itu juga tercermin dari komitmen Pemerintah Kaltim dalam forum Lokakarya Nasional tentang Pemanasan Global dan Mitigasi Perubahan Iklim 1 Desember 2009 di Balikpapan. Terakhir dalam forum Conference of The Parties (COP) ke 15 UNFCCC pada tanggal 18-20 Desember 2009 di Copenhagen, dimana Pemerintah RI telah menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca hingga 26 % pada Tahun 2020. Semua itu kemudian dikompilasi melalui forum Kaltim Summit pada tanggal 7 Januari 2010 di Samarinda yang menghasilkan Deklarasi Kaltim Hijau. Dalam konteks penurunan emisi karbon, posisi kehutanan akan sangat penting karena 14 % diantaranya akan berasal dari sektor kehutanan. Dengan tiga rasionalitas di atas, sangat jelas mengapa visi Kaltim Hijau dapat dianggap sebagai sebuah terobosan yang sangat konstruktif bagi revitalisasi peran dan kontribusi sektor kehutanan ke depan.
Program Kunci Dengan dilaunchingnya pendekatan pembangunan berbasis Kaltim Hijau, maka kini yang diperlukan adalah serangkaian program aksi
yang bersifat
konkrit, terukur dan layak terap. Program aksi tersebut bisa dibedakan atas pendekatan skala prioritas (penting dan mendesak),
jangka waktu (jangka
panjang maupun pendek), maupun perspektif lokasi (hulu maupun hilir). Dalam konteks kehutanan, dewasa ini perlu dipikirkan empat program aksi prioritas
di
tingkat
hulu.
Keempat
program
tersebut
bermuara
pada
pengembalian kualitas dan daya dukung lingkungan. Keempat program dimaksud adalah (1) program rehabilitasi hutan dan lahan kritis, (2) program restorasi esistem, (3) program reklamasi dan (4) program konservasi. Hingga saat ini, kegiatan RHL berbasis Dana Alokasi Khusus (DAK) DR periode 2001- 2005 seluas 86.809,00 hektar. Sementara kegiatan RHL berbasis Dana Gerhan periode 2001- 2003 telah mencapai seluas 89.947,88 hektar. Sementara untuk pembangunan hutan rakyat di Kaltim telah mencapai 65.931
hektar. Hal itu tentu masih jauh dari cukup mengingat data Dephut (2009) menyatakan bahwa luas lahan kritis di Kaltim mencapai 11,508,722 hektar. Jumlah tersebut meningkat drastis dari tahun 2004 yang hanya seluas 6,402,472 hektar. Sementara untuk restorasi Ekosistem, kini telah dilaunching IUPHHK Restorasi Ekosistem atas nama PT. Rehabilitasi Habitat Orang Utan (PT. RHOI) dengan luasmencapai 90,000 hektar. IUPHHK Restorasi Ekosistemn tersebut diinisiasi oleh Yayasan Balikpapan Orangutan Survival (BOS). Program kunci lainnya yang harus dilakukan dalam rangka pencapaian Kaltim Hijau adalah pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan. Meskipun tidak separah dua propinsi lain di barat dan tengah Kalimantan, namun persoalan titik api (hot spot) yang menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan telah menyebabkan buruknya citra Indonesia di mata internasional. Berdasarkan data Departemen Kehutanan (2009) bulan tertinggi titik api Kaltim terjadi pada bulan September sebanyak 910. Sementara titik api terendah pada tahun yang sama terjadi di bulan Januari sebanyak 7 titik api. Program kunci berikutnya adalah pemberantasan illegal logging. Diakui, praktek pembalakan liar atau illegal logging merupakan salah satu praktek yang sangat merugikan sektor kehutanan Kaltim. Apalagi malpraktek tersebut diikuti dengan upaya penyelundupan kayu ke negeri jiran. Data Dinas Kehutanan Kaltim ditunjukkan bahwa upaya penanganan illegal logging terus menglamai peningkatan kinerja. Tahun 2009 tercatat terdapat 287 kasus, meningkat drastis dari tahun 2008 dan 2007 yang masing-masing hanya mencapai 23 jumlah kasus. Terakhir, pogram kunci prioritas yang perlu segera dilakukan dalam konteks Kaltim Hijau adalah percepatan pembangunan hutan tanaman industri sebagai sumber pasokan bahan baku industri kehutanan Kaltim. Sudah saatnya industri kehutanan merubah total orientasi sumber bahan baku industrinya yang semula mengandalkan sepenuhnya dari hutan alam bergeser pada pasokan hutan tanaman. Sampai tahun 2009, tercatat jumlah HTI di Kaltim mencapai 27 unit, dimana yang aktif sejumlah 24 unit dengan luas mencapai 1.157.783 Ha.
Diharapkan dalam sepuluh tahun ke depan di Kaltim akan dibangun hutan tanaman seluas 520,000 hektar.
Penutup Jelas, Kaltim Hijau adalah sebuah pandangan visioner untuk mewujudkan cita-cita Kalimantan Timur yang mandiri dan sejahtera. Karenanya, Kaltim Hijau harus memiliki perangkat kebijakan, tata kelola pemerintahan serta programprogram pembangunan yang mampu memberikan perlindungan sosial dan ekologis terhadap masyarakat Kalimantan Timur, serta memberikan jaminan jangka panjang terhadap keselamatan dan kesejahteraan masyarakat serta keberlanjutan lingkungan hidup. .Dalam konteks tersebut, harus terdapat dua pendekatan utama dalam pembangunan Kaltim ke depan agar visi Kaltim Hijau 2013 dapat terwujud. Pertama,
dimulainya
berwawasan
proses
lingkungan
pelaksanaan
(Green
pembangunan
Development).
Kedua,
daerah
yang
implementasi
pembangunan yang senantiasa didasari oleh sebuah kondisi tata kelola pemerintahan yang berwawasan lingkungan (Green Governance). Bila itu tercapai, maka dapat dipastikan Kaltim dibawah Awang Farouk Ishak akan memiliki benchmark sebagai pelopor provinsi hijau di Indonesia. Dan itu dapat diduplikasi sebagai sebuah model bagi provinsi lain di Indonesia. Bravo Kaltim Hijau 2013 !!!.