Teknik dan Manajemen Pesemaian | Indriyanto

Page 1


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak cipta merupakan hak ekslusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa足 mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp5.000.000,000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedar足kan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Ir. Indriyanto, M.P.

Lembaga Penelitian Universitas Lampung Bandar Lampung 2013


Penerbit LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS LAMPUNG Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro, No. 1 Bandar Lampung, 35143 Telp. (0721) 705173, 701609 ext. 138 Fax. 773798 e-mail: lemlit@unila.ac.id Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Indriyanto Teknik dan Manajemen Pesemaian Penyunting: Prof. Totok Agung, Ph. D Cetakan, 2013 xx + 270 hlm. 15,7 x 24 cm ISBN: 978-979-8510-69-4 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang All Rights Reserved Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Isi di luar tanggung jawab percetakan


Buku teks Teknik dan Manajemen Pesemaian ditulis untuk menambah referensi yang dibutuhkan dalam mengembangkan aspek budidaya hutan khususnya dalam pengadaan bibit yang berkualitas, baik kualitas fisik, fisiologis, maupun kualitas genetis. Pembangunan hutan bertujuan agar hutan lestari dan dapat dimanfaatkan hasilnya untuk kepentingan kesejahteraan seluruh manusia. Suatu filosofi sederhana untuk diucapkan, namun sangat sulit direalisasikan yaitu “hutan lestari dan masyarakat sejahtera�. Dalam berbagai konsep pembangunan hutan selalu mencari sistem yang dapat diterapkan dan/atau dapat dijalankan untuk mewujudkan hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Kesulitan selalu dialami oleh setiap pengelola hutan di Indonesia karena berbagai sebab faktor teknis maupun nonteknis, faktor internal maupun eksternal, serta faktor alam maupun manusia. Namun pada prinsipnya, semua faktor tersebut harus mendapat perhatian untuk ditangani satu demi satu. Salah satu prinsip yang penting untuk melestarikan hutan adalah menanam kembali pepohonan pada area-area terbuka, areal bekas penebangan, dan lahan kritis di dalam kawasan hutan, serta pada lahan kritis di luar kawasan hutan. Menanam pohon di dalam maupun di luar kawasan hutan merupakan wujud cinta tanaman, dan sebagai langkah dalam proses melestarikan hutan atau mewujudkan eksistensi hutan, karena salah satu indikator yang pantas untuk menyatakan kelestarian hutan adalah eksistensi dari ekosistem hutan. Oleh Indriyanto

v

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

KATA PENGANTAR


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

KATA PENGANTAR karena itu, untuk mewujudkan eksistensi hutan, maka penanaman pohon perlu dilakukan. Penanaman pohon membutuhkan bibit yang berkualitas serta jumlahnya mencukupi kebutuhan seluruh areal yang akan ditanami agar semua tujuan kegiatan penanaman pohon dapat tercapai. Bibit yang tidak berkualitas sangat merugikan konsumen karena banyak hal yang akan dialami, misalnya persentase hidup rendah, pertumbuhan tanaman jelek, kesehatan tanaman jelek, produksi rendah, serta kualitas hasil tanamannya rendah. Untuk memperoleh bibit pohon yang berkualitas perlu penguasaan teknik pembibitan pohon. Melalui buku ini, saya berkeinginan menyumbangkan pengetahuan dan gagasan atau pemikiran yang berkaitan dengan upaya pembangunan pesemaian atau pembibitan pohon hutan. Oleh karena itu, penulisan buku ini bertujuan untuk memperkaya bahan bacaan tentang pembibitan pohon hutan yang sangat diperlukan oleh para mahasiswa perhutanan, para mahasiswa pertanian yang berminat dalam bidang pesemaian pohon hutan, masyarakat yang mencintai kegiatan pengadaan bibit, serta masyarakat yang beraktivitas mengelola hutan. Di dalam buku Teknik dan Manajemen Pesemaian ini disajikan berbagai materi ilmu pengetahuan dan teknologi yang relevan dengan pembangunan bibit atau pesemaian pohon hutan. Beberapa lingkup materi yang disajikan dalam buku ini antara lain: jenis-jenis pesemaian pohon hutan dan karakteristiknya, sumber bahan tanaman yang layak untuk pembibitan, cara perbanyakan pohon, media tumbuh semai, hama dan penyakit pesemaian serta prinsip pengendaliannya. Pada buku ini juga disajikan materi tentang penggunaan mikoriza di pesemaian, teknik pembibitan beberapa spesies pohon hutan, gambaran pembibitan pohon yang dilakukan oleh penangkar bibit lokal di Lampung, dan sertifikasi mutu benih. Materi yang disajikan dalam buku ini pada umumnya bersumber dari hasil-hasil penelitian yang termuat dalam skripsi, laporan penelitian, proseding, jurnal, dan info hutan, baik karya penelitian saya sendiri maupun karya penelitian para peneliti lainnya. Bahan dari berbagai

vi

Indriyanto


sumber tersebut diolah dan dianalisis, lalu dilengkapi pemikiran penulis tentang upaya pembangunan pesemaian (pembibitan) yang baik dan benar, kemudian disajikan secara sistematis agar mudah dipahami oleh para pembaca. Saya menyatakan rasa utang budi yang tidak terhingga serta ucapan terima kasih kepada intri tercinta (Eny Joharaeni) yang setia dan selalu memberi dorongan semangat untuk menulis buku, juga kepada kelima anak saya (Silvananda Indriyanto, Nurani Hardikananda Indriyanto, Jananda Forestrika Indriyanto, Jananda Nuralam Indriyanto, dan Syaif Al Islam Indriyanto). Pada kesempatan yang baik ini, saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Totok Agung, Ph.D. yang berkenan menelaah dan memeriksa buku ini, kemudian memberi masukan mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan substansi dan kaidah penulisan. Kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penulisan buku, serta kepada semua anggota Panitia Penyelenggara Lokakarya Pendampingan Penulisan Buku Teks tahun 2012 diucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Lembaga Penelitian Universitas Lampung yang berkenan menerbitkan buku ini. Demikian juga, kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam upaya menulis buku teks Teknik dan Manajemen Pesemaian, maka saya menyampaikan terima kasih. Saya sangat berharap semoga buku teks ini bermanfaat bagi para pembaca dalam dunia kehidupannya, serta berguna untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu kehutanan.

Bandar Lampung, Oktober 2009

Ir. Indriyanto, M.P.

Indriyanto

vii

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

KATA PENGANTAR



Ketersediaan buku yang relevan bidang studi dan mudah diperoleh akan menentukan keberhasilan studi mahasiswa. Namun, yang lebih penting adalah cara penyampaian substansi buku yang memungkinkan pembaca dapat memahami dengan mudah. Dalam bidang pertanian dan kehutanan, buku yang secara khusus membahas tentang pesemaian masih jarang. Buku Teknik dan Manajemen Pesemaian yang disusun oleh Ir. Indriyanto, M.P. ini mencoba mengisi kelangkaan buku bidang tersebut. Buku ini disusun dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Penggunaan bahasa yang sederhana ini menyebabkan pembaca tidak mudah lelah ketika membaca buku ini. Buku Teknik dan Manajemen Pesemaian disusun secara sistematis dan komprehensif, sehingga akan bermanfaat bagi mahasiswa dan masyarakat umum yang tertarik belajar bidang ini. Kehadiran buku ini akan meningkatkan kontribusi perguruan tinggi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bandar Lampung, Agustus 2012 Reviewer Buku DIKTI,

Prof. Totok Agung, Ph.D. Indriyanto

ix

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

KATA PENGANTAR DARI PENDAMPING



KATA PENGANTAR ……………………………………………........ KATA PENGANTAR DARI PENDAMPING ……………………........ BAB 1. PESEMAIAN POHON HUTAN …………………………….. A. Pendahuluan ................................................................................................. B. Jenis-Jenis Pesemaian ................................................................................. C. Pemilihan Lokasi Pesemaian ………………………………….......... D. Penentuan Jumlah Bibit dan Luas Pesemaian ………………….... E. Penentuan Jumlah Bedeng Pesemaian dan Kapasitasnya ............ Ringkasan ............................................................................................................ Latihan ..................................................................................................................

1 3 6 9 11 17 17

BAB 2. SUMBER BAHAN TANAMAN .......................................... A. Pendahuluan ................................................................................................. B. Pohon Plus ...................................................................................................... C. Tegakan Benih ............................................................................................... D. Kebun Benih …………………………………………........………… Ringkasan …………………………………………………………......... Latihan ……………………………………………………………...........

21 21 22 23 25 27 28

BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON ....................................... A. Pendahuluan ................................................................................................ B. Perbanyakan Pohon dengan Biji atau Buah ………………..……. C. Perbanyakan Pohon dengan Cara Setek …………..……………..

29 29 30 45

Indriyanto

v ix

xi

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

DAFTAR ISI


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

DAFTAR ISI D. Perbanyakan Pohon dengan Cara Cangkok ……………..……..... E. Perbanyakan Pohon dengan Cara Okulasi ..................…………...... F. Perbanyakan Pohon dengan Cara Penyambungan …..................... Ringkasan ............................................................................................................ Latihan ..................................................................................................................

55 60 63 67 68

BAB 4. MEDIA TUMBUH SEMAI ................................................. A. Pendahuluan ................................................................................................ B. Jenis Media Tumbuh di Pesemaian ....................................................... C. Penggunaan Bahan Organik untuk Media Tumbuh Semai ........... D. Peran dan Manfaat Bahan Organik ....................................................... Ringkasan …………………………………………………….........…… Latihan ………………………………………………………….........….

69 69 70 76 79 84 85

BAB 5. NAUNGAN ATAU ATAP PESEMAIAN ............................... A. Pendahuluan ................................................................................................ B. Sifat Toleransi Spesies Pohon terhadap Intensitas Radiasi Matahari .......................................................................................................... C. Jenis Bahan untuk Naungan Pesemaian ............................................. Ringkasan ............................................................................................................ Latihan .................................................................................................................

87 87 88 92 94 95

BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN ......... 97 A. Pendahuluan …………………………………………………........... 97 B. Hama Tanaman di Pesemaian ................................................................. 99 C. Penyakit Tanaman di Pesemaian ........................................................... 106 D. Prinsip Pengendalian Hama dan Penyakit ......................................... 123 Ringkasan ............................................................................................................ 126 Latihan ................................................................................................................. 127 BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN ..................... 129 A. Pendahuluan ................................................................................................ 129 B. Mengenal Mikoriza ..................................................................................... 130 C. Jenis-Jenis Mikoriza …………………………………………............ 132

xii

Indriyanto


DAFTAR ISI D. Peranan dan Kegunaan Mikoriza dalam Budidaya Hutan ............. 136 E. Pengaruh Mikoriza terhadap Kualitas Pertumbuhan Bibit ............ 139 F. Teknik Inokulasi Mikoriza .......................................................................... 148 Ringkasan ............................................................................................................ 155 Latihan .................................................................................................................. 156

HUTAN ............................................................................157 A. Pendahuluan ................................................................................................ 157 B. Pembibitan Pterigota (Pterygota alata) ................................................ 158 C. Pembibitan Gaharu (Aquilaria malaccensis) …………......……….. 161 D. Pembibitan Mangium (Acacia mangium) …………………...…… 165 E. Pembibitan Jati (Tectona grandis) ………….....…………………… 170 F. Pembibitan Khaya (Khaya anthotheca) …….....………………….... 177 G. Pembibitan Mimba (Azadirachta indica) ………………....………. 180 H. Pembibitan Berbagai Spesies Pohon Anggota Famili Dipterocarpaceae ………………………………………....……….. 185 I. Pembibitan Tembesu (Fagraea fragrans) ……………….....………. 191 J. Pembibitan Bambang Lanang (Madhuca aspera) ………...………196 K. Pembibitan Berbagai Spesies Pohon Mahoni (Swietenia spp.) ............................................................................................. 201 L. Pembibitan Berbagai Spesies Pohon Kayu Putih (Melaleuca spp.) ............................................................................................204 M. Pembibitan Merbau Darat (Intsia palembanica) ………………... 211 N. Pembibitan Kemiri (Aleurites moluccana) ............................................ 216 Ringkasan ............................................................................................................ 221 Latihan ................................................................................................................. 222 BAB 9. PEMBIBITAN POHON OLEH PENANGKAR BIBIT LOKAL.223 A. Pendahuluan ................................................................................................ 223 B. Penangkar Bibit Lokal di Lampung ……………………………......225 C. Spesies Pohon yang Diusahakan dalam Pembibitan ...................... 226 D. Tipe Perbanyakan Tanaman untuk Pembibitan Pohon ……….... 232 E. Tahap Proses Kegiatan Pembibitan ........................................................236

Indriyanto

xiii

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON


DAFTAR ISI F. Pemasaran Bibit ........................................................................................... 238 Ringkasan …………………………………………………………......... 241 Latihan …………………………………………………………….......... 242

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 10. SERTIFIKASI MUTU BENIH ……………………………. . 243 A. Pendahuluan ............................................................................................... 243 B. Tujuan Sertifikasi Mutu Benih ................................................................. 244 C. Prosedur Sertifikasi Mutu Benih Tanaman Hutan ............................ 246 Ringkasan ............................................................................................................ 248 Latihan ................................................................................................................. 249 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 251 KAMUS KECIL ..................................................................................................... 261 TAKARIR ............................................................................................................... 263 BIOGRAFI PENULIS ........................................................................................... 269

xiv

Indriyanto


Tabel Halaman 1. Kebutuhan air bagi beberapa jenis pohon di pesemaian ……... 8 2. Cara skarifikasi benih beberapa spesies pohon .............................. 36 3. Jenis dan konsentrasi hormon, serta persentase jadi setek dan anakan cabutan yang diberi hormon ………................ 51 4. Kandungan unsur hara (nutrisi) kompos dari berbagai jenis bahan organik … ............................................................................. 80 5. Beberapa spesies pohon yang bersimbiosis dengan beberapa spesies cendawan pembentuk ektomikoriza ……...... 140 6. Pertumbuhan semai tusam (Pinus merkusii) pada umur 6 bulan yang telah diinokulasi tiga jenis cendawan pembentuk mikoriza ................................................................................ 142 7. Pertumbuhan semai tusam (Pinus merkusii) pada umur 13 bulan yang telah diinokulasi tiga jenis cendawan pembentuk mikoriza ................................................................................ 142 8. Bobot kering (biomassa) bibit sengon laut (Paraserianthes falcataria) pada umur 2 bulan di pesemaian yang telah diinokulasi dengan inokulum tanah yang mengandung MVA ... 144 9. Bobot kering (biomassa) dan indeks mutu bbibit sengon laut (Paraserianthes falcataria) pada umur 3 bulan di pesemaian yang telah diinokulasi dengan inokulum tanah yang mengandung MVA …............................................................................... 145

Indriyanto

xv

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

DAFTAR TABEL


DAFAT TABEL

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

10. Pertumbuhan bibit tusam (Pinus merkusii) pada bedengan sekitar pohon induk yang bermikoriza dan pada bedengan tanpa pohon induk …………………………………………........... 146 11. Pertumbuhan bibit leda (Eucalyptus pellita) yang diinokulasi spora Pisolithus tinctorius dalam bentuk tablet, kapsul, suspensi spora, dan kontrol (tanpa diinokulasi) .............................. 147 12. Spesies pohon/perdu dan kapasitas produksi bibit yang diusahakan oleh penangkar bibit lokal di Lampung .................... 227 13. Lokasi sumber bahan tanaman untuk pembibitan pohon di Lampung ................................................................................................. 234

xvi

Indriyanto


Gambar Halaman 1. Skarifikasi benih jati dengan cara perendaman benih dalam air dengan suhu awal 250 C, 400 C, 550 C, 700 C, dan 800 C (Aritonang, 2005) …………………..................................... 38 2. Skarifikasi benih merbau darat dengan perendaman dalam larutan asam sulfat 0%, 20%, 40%, dan 60% (Purwani, 2006) ………………................................................................. 40 3. Skarifikasi benih mahoni dengan perendaman dalam larutan KNO3 6% (Sitompul, 2005) .......................................................... 41 4. Menyemai benih jati pada bedengan penaburan (gambar diambil oleh Chalis Octaviana pada tahun 2005 di pembibitan jati KPH Cepu) ...................................................................... 42 5. Bedengan penyapihan untuk memindah kecambah/semai dari bedengan penaburan (gambar diambil oleh Indriyanto pada tahun 2001 di lokasi pembibitan PT Inhutani V, Lampung) ………………........................................................................... 45 6. Menyemai setek cabang sungkai pada media tumbuh dalam polybag (Ginting, 2005) .........................................…………… 54 7. Menyemai setek akar sukun dalam sungkup plastik (foto diambil Indriyanto pada tahun 2004 di lokasi pesemaian masyarakat Lampung Timur) ……………………………………... 54 8. Bentuk sungkup plastik untuk menjaga kelembapan udara pada bedengan penyemaian setek (foto diambil Indriyanto Indriyanto

xvii

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

DAFTAR GAMBAR


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

DAFAT GAMBAR pada tahun 2004 di lokasi pesemaian masyarakat Lampung Timur) ……………....................................................................................... 55 9. Pembibitan durian secara okulasi (foto diambil Indriyanto pada tahun 2004 di lokasi pesemaian masyarakat Lampung Timur) .............................................................................................................. 62 10. Media tumbuh untuk menyemai benih terbuat dari pasir yang dimasukkan ke dalam bak kecambah (Aritonang, 2005) ............................................................................................................ 72 11. Naungan atau atap pesemaian terbuat dari alang-alang (foto diambil Indriyanto pada tahun 2002 di lokasi pesemaian KPPH Sumberagung, Bandar Lampung) …….......... 93 12. Naungan atau atap pesemaian terbuat dari daun kelapa (foto diambil Indriyanto pada tahun 2004 di lokasi pesemaian masyarakat Lampung Tengah) ……………………. 94 13. Naungan atau atap pesemaian terbuat dari sarlon/ paranet (foto diambil Indriyanto pada tahun 2000 di lokasi pesemaian PT Inhutani V Way Hanako, Lampung Utara) ……………………....................................................................... 94 14. Bibit pterigota yang siap untuk ditanam (Masano, 1998) ....….. 160 15. Bibit gaharu yang siap untuk ditanam (foto diambil Indriyanto tahun 2004 di lokasi pesemaian masyarakat Way Jepara, Lampung Timur) .............................................................. 165 16. Bibit mangium umur 4 bulan setelah penyapihan (foto diambil Indriyanto tahun 2004 di lokasi pesemaian Lampung Utara) ……….......................................................................... 169 17. Bibit jati yang siap untuk ditanam (Sumarna, 2003) ..................... 177 18. Bibit mimba berumur 3—4 bulan (Kardinan dan Ruhnayat, 2003) ………………………………………………………………. 185 19. Bibit meranti yang siap untuk ditanam (foto diambil Indriyanto tahun 2004 di pesemaian Way Jepara, Lampung Timur) ....................................................................................... 191 20. Bibit tembesu hasil perbanyakan dengan setek cabang (Sofyan et al., 2005) ……………………………………………….. 196 21. Bibit bambang lanang umur 3 bulan di pesemaian (Badan

xviii

Indriyanto


Penelitian dan Pengembangan Kehutanan; Selebaran “Teknik Silvikultur Bambang Lanang”) ………….............................200 22. Bibit mahoni yang siap untuk ditanam (Balai Perbenihan Tanaman Hutan, 2000) ............................................................................ 204 23. Semai kayu putih yang telah disapih (Sunanto, 2003) ………… 211 24. Semai merbau darat yang sudah waktunya untuk disapih (Purwani, 2006) .......................................................................................... 214 25. Penyiraman semai merbau darat menggunakan gembor (Musradi, 2006) ……………………………………………………. 216 26. Bibit kemiri yang siap untuk ditanam (foto diambil Indriyanto tahun 2006 di lokasi pesemaian KPPH Citiis, Bandar Lampung) ..................................................................................... 221 27. Rantai pemasaran bibit pohon di Lampung (Sasmita, 2006) ..... 240 28. Bagan alir mengenai tahap proses sertifikasi mutu benih (Balai Perbenihan Tanaman Hutan, 2002) ......................................... 246

Indriyanto

xix

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

DAFTAR GAMBAR



PESEMAIAN POHON HUTAN A. Pendahuluan Pesemaian atau pembibitan pohon hutan merupakan salah satu aspek penting yang perlu dibangun dalam melaksanakan kegiatan budidaya hutan. Pesemaian adalah bangunan dan/atau kegiatan dalam rangka menyediakan bibit. Bibit didefinisikan sebagai bahan tanaman yang siap untuk ditanam di areal penanaman. Pesemaian dibuat dengan tujuan utama menyediakan bibit atau membuat stok bibit yang jumlahnya mencukupi kebutuhan setiap saat diperlukan untuk penanaman atau mencukupi kebutuhan konsumen setiap saat memerlukan bibit, serta untuk menyediakan bibit yang berkualitas baik. Jika persediaan bibit mencukupi kebutuhan, maka kegiatan penanaman pohon dalam rangka membangun hutan atau dalam rangka rehabilitasi lahan kritis akan berjalan lancar. Demikian juga jika bibit pohon yang tersedia berkualitas baik, maka tingkat keberhasilan penanaman akan tinggi, kualitas pertumbuhan pohon yang ditanam tinggi, serta produksi dari pohon yang ditanam akan tinggi. Ini semua bisa ditempuh melalui pembangunan pesemaian disertai penerapan prinsip-prinsip budidaya hutan dengan sebaik-baiknya. Di dalam kegiatan pengelolaan hutan, khususnya di dalam kegiatan pembinaan tegakan hutan perlu diketahui bahwa kegiatan pesemaian merupakan tahapan yang akan menentukan terwujudnya penanaman

Indriyanto

1

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

1


BAB 1. PESEMAIAN POHON HUTAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

pohon dalam kawasan hutan atau reboisasi kawasan hutan. Oleh karena itu, pesemaian selalu dimasukkan di dalam perencanaan dalam pengelolaan hutan, apalagi dalam pengelolaan hutan produksi mutlak dibangun pesemaian untuk merealisasikan penanaman kembali hutan setelah kegiatan eksploitasi. Hal ini dimaksudkan agar proses regenerasi tegakan secara buatan dapat dilakukan dan dapat berjalan dengan baik, sehingga kondisi vegetasi hutan setelah ditebang bisa pulih kembali, dan pada akhirnya hutan lestari. Prinsip sederhana mengenai kelestarian hutan adalah bahwa wujud hutan selalu ada dan potensinya dapat dimanfaatkan secara terus menerus. Selain pemikiran yang telah dikemukakan di atas, beberapa hal lainnya yang dijadikan alasan perlunya membangun pesemaian sebagai satu kesatuan kegiatan pengelolaan hutan antara lain sebagai berikut. (1) Persentase hidup dari biji-biji yang disemai dahulu di pesemaian diharapkan lebih besar dibandingkan dengan biji-biji yang ditanam secara langsung di lokasi penanaman karena biji yang disemai di pesemaian memperoleh pemeliharaan secara baik. (2) Biji-bji yang berukuran kecil lebih mudah hilang jika ditanam secara langsung di lokasi penanaman. (3) Biji-biji beberapa jenis pohon mengalami masa dormansi, sehingga diperlukan perlakuan skarifikasi sesuai tipe dormansinya. (4) Beberapa jenis pohon yang akan ditanam memerlukan asosiasi dengan cendawan pembentuk mikoriza dan/atau bakteri pembentuk bintil akar, sehingga asosiasi secara efektif dapat ditempuh melalui inokulasi (penularan) cendawan atau bakteri tersebut pada saat tanaman masih di pesemaian. (5) Beberapa jenis pohon pada fase semai (seedling) membutuhkan pemeliharaan dan perlindungan khusus dari pengaruh berbagai faktor lingkungan, sehingga pemeliharaan dan perlindungan semai dapat dilakukan di pesemaian agar bahan tanaman memiliki sifat lebih mampu bertahan hidup (viable).

2

Indriyanto


BAB 1. PESEMAIAN POHON HUTAN

B. Jenis-Jenis Pesemaian Pesemaian pohon hutan dapat dibedakan menjadi 2 jenis berdasarkan atas lama waktu berfungsinya pesemaian tersebut. Dua jenis pesemaian yang dimaksudkan adalah pesemaian sementara dan pesemaian permanen. 1. Pesemaian sementara Pesemaian sementara adalah pesemaian yang dibangun untuk jangka waktu yang pendek, pada umumnya lama waktu berfungsinya pesemaian yaitu 1—3 tahun. Menginat jangka waktu berfungsinya pesemaian sementara itu pendek, maka pesemaian sementara memiliki karakteristik yang sesuai dengan fungsi dan jangka waktu yang diperlukan. Pesemaian sementara merupakan pesemaian yang berukuran kecil karena dibangun hanya untuk menyediakan sejumlah bibit yang diperlukan bagi suatu lokasi penanaman pohon. Oleh karena itu, pada umumnya pesemaian sementara mempunyai ciri-ciri sebagai berikut. a. Pesemaian terletak dekat daerah yang akan ditanami. b. Tata letak pesemaian disesuaikan dengan areal yang akan ditanami. c. Pesemaian hanya untuk memproduksi bibit beberapa kali saja (1—3 kali). d. Tempat pesemaian selalu dipindah menyesuaikan lokasi penanaman yang membutuhkan bibit. e. Sarana dan prasarana yang digunakan bersifat sementara. f. Bentuk dan kualitas bangunan pesemaian dibuat secara sederhana dengan bahan-bahan yang masa pakainya sesuai untuk jangka waktu 1—3 tahun.

Indriyanto

3

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Kompetensi dasar pada bab 1 ini adalah agar mahasiswa dan para pembaca mampu memahami arti pesemaian dan tujuan pembangunan pesemaian pohon hutan, serta dapat merencanakan kebutuhan luas area pesemaian dan kebutuhan bahan untuk membangun pesemaian pohon hutan.


BAB 1. PESEMAIAN POHON HUTAN Berdasarkan atas ciri-ciri tersebut, maka pesemaian sementara yang dibangun dalam satu kesatuan pengelolaan hutan dapat dilihat segi keuntungan maupun kerugiannya. Keuntungan dari dibuatnya pesemaian sementara antara lain sebagai berikut. a. Ongkos pengangkutan bibit ke lokasi penanaman jauh lebih murah.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

b. Keadaan ekologi tempat pesemaian mendekati keadaan ekologi lokasi penanaman, sehingga bibit yang dipindahkan dari pesemaian ke lokasi penanaman tidak banyak mengalami masalah yang berhubungan dengan adaptasi kondisi lingkungan. c. Tidak diperlukan pemeliharaan kesuburan tanah melalui pemupukan karena pesemaian selalu dipindahkan tempatnya pada tempat yang tanahnya subur seteleh kegiatan penanaman di lokasi tanam selesai. Adapun kekurangan dari dibuatnya pesemaian sementara antara lain sebagai berikut. a. Ongkos pembuatan pesemaian menjadi mahal karena pekerjaan yang tersebar mengikuti tersebarnya lokasi pesemaian. b. Para pekerja yang digunakan tersebar mengikuti tersebarnya lokasi pesemaian, hal ini memungkinkan turunnya produktivitas kerja, sehingga hasil yang diperoleh juga rendah. c. Jumlah pekerja yang terlatih kurang karena lokasi pesemaian yang selalu berpindah tempat, sehingga kualitas kerja dari para pekerja rendah dan hasil yang diperoleh kurang memuaskan. d. Pekerjaan tidak terkonsentrasi pada satu tempat, sehingga pengawasan atau pengontrolan menjadi kurang maksimal. 2. Pesemaian Permanen Pesemaian permanen adalah pesemaian yang dibangun untuk jangka waktu yang panjang dengan lama waktu berfungsinya pesemaian, yaitu selama jangka waktu pengusahaan hutan itu dilakukan. Menginat jangka waktu berfungsinya pesemaian permanen

4

Indriyanto


BAB 1. PESEMAIAN POHON HUTAN

a. Lokasi untuk pesemaian tidak berpindah tempat. b. Pesemaian digunakan untuk memproduksi bibit secara terus menerus selama jangka waktu pengusahaan hutan. c. Pesemaian berukuran besar (berskala luas). d. Sarana dan prasarana yang digunakan bersifat permanen. e. Bentuk dan kualitas bangunan dibuat secara modern dengan bahan-bahan yang masa pakainya sesuai untuk jangka waktu yang lama. f. Peralatan yang digunakan merupakan peralatan yang modern, walaupun demikian jika diperhitungkan bahwa harga bibit secara keseluruhan dalam jangka waktu panjang menjadi murah. Berdasarkan atas ciri-ciri tersebut, maka pesemaian permanen yang dibangun dalam satu kesatuan pengelolaan hutan dapat dilihat segi keuntungan maupun kerugiannya. Keuntungan dari dibuatnya pesemaian permanen antara lain adalah sebagai berikut. a. Dalam hal pengolahan tanah, ada kemungkinan mengerjakannya secara mekanis. b. Kesuburan tanah selalu dipelihara dengan cara pemupukan atau menggunakan bahan organik (BO). c. Tenaga kerja yang dipergunakan selalu tetap dan terpilih. d. Perencanaan semua pekerjaan yang berhubungan dengan pesemaian dapat dilakukan secara teratur. e. Penerapan teknologi pembibitan juga dapat direncanakan dengan baik. f. Pengawasan pekerjaan dapat dilakukan secara efektif dan lebih

Indriyanto

5

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

itu panjang, maka pesemaian permanen memiliki karakteristik yang sesuai dengan fungsi dan jangka waktu yang diperlukan. Pesemaian permanen merupakan pesemaian yang berukuran besar atau berskala besar karena dibangun untuk menyediakan sejumlah bibit yang diperlukan untuk penanaman pohon di seluruh areal pengelolaan hutan. Oleh karena itu, pada umumnya pesemaian permanen memiliki ciri-ciri sebagai berikut.


BAB 1. PESEMAIAN POHON HUTAN efisien karena tenaga yang dipergunakan sudah terlatih dan semua kegiatan terpusat pada satu tempat. g. Penerapan sistem administrasi pesemaian akan lebih mudah. Adapun kekurangan dari dibuatnya pesemaian permanen antara lain adalah sebagai berikut. a. Ongkos pengangkutan bibit lebih mahal karena jarak dari lokasi pesemaian ke lokasi penanaman tidak selalu dekat. b. Persentase kerusakan bibit selama pengangkutan bibit lebih tinggi.

C. Pemilihan Lokasi Pesemaian Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan lokasi pesemaian, antara lain: keadaan tempat, keadaan tanah, ketersediaan air, dan keamanan lokasi.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

1. Keadaan tempat pesemaian Tempat untuk membangun pesemaian harus dipilih tempat yang memenuhi kualifikasi keadaan sebagai berikut. a. Kemiringan tempat pesemaian relatif datar, artinya harus dipilih tempat yang paling datar dalam suatu wilayah atau kawasan hutan yang dikelola. b. Letak tempat pesemaian relatif dekat dengan semua lokasi yang akan ditanami. Hal ini dimaksudkan agar pendistribusian bibit dari tempat pesemaian ke setiap lokasi penanaman dapat dilakukan dengan mudah dan dengan biaya yang murah. c. Keadaan lingkungan tempat pesemaian harus sesuai dengan persyaratan tumbuh jenis tanaman yang akan ditanam dan/ atau akan dibuat bibitnya. Keadaan lingkungan yang dimaksud meliputi: ketinggian tempat dari permukaan laut, rata-rata curah hujan per tahun, tipe iklim, rata-rata kelembapan udara, rata-rata suhu udara, dan jenis tanah. d. Mudah memperoleh tenaga buruh maupun bahan-bahan yang

6

Indriyanto


diperlukan untuk membangun pesemaian, hal ini bertujuan agar kebutuhan tenaga kerja dan bahan dapat terpenuhi dengan mudah. e. Tempat untuk pesemaian harus mudah dicapai oleh para pekerja yang terlibat dalam pengelolaan pesemaian; dengan kata lain bahwa aksesibilitas tempat pesemaian bagi para pekerja harus tinggi. Oleh karena itu, harus ada jalan yang kondisinya baik yang menghubungkan tempat pesemaian dengan tempat tinggal para pekerja. 2. Keadaan tanah di lokasi pesemaian Lokasi pesemaian harus dipilih yang memiliki keadaan tanah yang subur dengan drainase dan aerasi tanah yang baik, tanah tidak terlalu basah dan tidak terlalu kering, tanah tidak berbatu, tanah ringan dan mudah diolah, serta bersih dari sisa-sisa tanaman/pohon. Tanah subur merupakan tanah yang mengandung banyak zat hara yang tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh tanaman untuk pertumbuhannya. Tanah yang subur pada umumnya terbentuk karena adanya banyak bahan organik yang mengalami pelapukan atau terdekomposisi secara sempurna. Tanah yang mengandung banyak bahan organik pada umumnya berwarna gelap. Semakin tinggi kandungan bahan organik tanah, maka semakin gelap warna tanah tersebut. Drainase tanah adalah suatu sifat yang menggambarkan kondisi sirkulasi air di dalam tanah, sedangkan aerasi tanah adalah suatu sifat yang menggambarkan kondisi sirkulasi udara di dalam tanah. Drainase dan aerasi tanah erat hubungannya dengan tekstur tanah, sedangkan tekstur tanah berhubungan dengan ukuran partikel tanah. Pada tanah yang ringan dan mudah diolah umumnya memiliki drainase dan aerasi yang baik. 3. Ketersediaan air Ketersediaan air di lokasi pesemaian merupakan syarat mutlak yang harus diperhatikan, mengingat air mutlak dibutuhkan untuk pengairan

Indriyanto

7

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 1. PESEMAIAN POHON HUTAN


BAB 1. PESEMAIAN POHON HUTAN atau penyiraman bibit. Ketersediaan air sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit di pesemaian, oleh karena itu air harus tersedia setiap saat (sepanjang tahun) untuk penyiraman bibit di pesemaian. Mengingat pentingnya air bagi pertumbuhan bibit di pesemaian, maka lokasi pesemaian harus dipilih yang berdekatan dengan sumbersumber air. Ketersediaan sumber air alamiah di dalam kawasan hutan dapat menekan biaya pemeliharaan bibit. Namun jika tidak terdapat sumber air alamiah, maka diperlukan upaya menggali sumber air. Setiap jenis pohon di pesemaian memerlukan air yang berbedabeda banyaknya. Kebutuhan air bagi beberapa jenis pohon di pesemaian diperkirakan sebagai berikut (Tabel 1). Tabel 1. Kebutuhan air bagi beberapa jenis pohon di pesemaian

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Jenis Pohon Jati (Tectona grandis) Mahoni (Swietenia macrophylla) Merawan (Hopea odorata) Sonokembang (Pterocarpus pedatus) Kayu mawar (Dalbergia cochichinensis) Kayu putih (Eucalyptus spp.) Tusam (Pinus merkusii)

Banyaknya air yang diperlukan (m3/hektar/ hari) 20 60 80 40 40 40 60

Sumber: Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi (1975)

4. Keamanan lokasi pesemaian Pesemaian harus berada pada lokasi yang keamanannya terjamin, lokasi harus bebas dari berbagai macam bentuk gangguan, baik yang disebabkan oleh manusia, binatang, maupun kekuatan alam seperti angin, api, dan banjir. Untuk mencegah agar pesemaian tidak terkena banjir, maka lokasi pesemaian jangan dipilih pada daerah sekitar aliran sungai yang rawan terkena banjir. Untuk mencegah gangguan manusia dan binatang, maka lokasi pesemaian harus dipagar secara

8

Indriyanto


baik sehingga gangguan yang bersumber dari manusia dan binatang tidak berpengaruh pada pesemaian. Adapun kerusakan pesemaian yang disebabkan oleh angin dan api dapat dicegah atau dihindari dengan cara membuat sabuk pelindung (shelter belt atau green belt) dengan menanam spesies pohon atau perdu yang dapat menahan angin dan api. Di samping itu, pada tempat-tempat yang rawan kebakaran atau sering sekali terjadi kebakaran dan pada tempattempat yang berdekatan dengan sumber kebakaran hutan, sebaiknya tidak dijadikan lokasi untuk membangun pesemaian. Sabuk pelindung untuk keamanan pesemaian dibuat mengelilingi lokasi pesemaian dengan menanam spesies pohon atau perdu yang tergolong spesies cepat tumbuh (fastgrowing species), misalnya kemlandingan atau petai cina (Leucaena glauca), lamtorogung (Leucaena leucocephala), akasia (Acacia auriculiformis), mangium (Acacia mangium), gamal (Gliricidia sepium), rosidi (Gliricidia maculata), johar (Cassia siamea), dan secang (Caesalpinia bonducella).

D. Penentuan Jumlah Bibit dan Luas Pesemaian Luas pesemaian dapat ditentukan berdasarkan jumlah bibit yang harus tersedia untuk memenuhi kebutuhan penanaman dan berdasarkan fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan operasional, administrasi, gudang alat, dan saprodi. Dengan demikian, luas pesemaian menggambarkan kapasitas atau daya tampung pesemaian terhadap sejumlah bibit yang akan dibuat. Hal ini berarti bahwa jumlah bibit yang akan dibuat sangat menentukan luasnya area pesemaian. Jumlah bibit yang akan dibuat di pesemaian bergantung kepada beberapa hal sebagai berikut (Khaerudin, 1994). a. Luas seluruh area yang akan ditanami. b. Pola tanam yang digunakan, apakah menggunakan pola hexagon (segi enam atau disebut juga segi tiga sama sisi), square (segi empat), dan quincunx (siku keluang atau disebut segi tiga sama kaki). c. Jarak tanam yang digunakan dalam penanaman bibit di area tanam.

Indriyanto

9

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 1. PESEMAIAN POHON HUTAN


BAB 1. PESEMAIAN POHON HUTAN Total jumlah bibit (TS) adalah jumlah bibit jadi ditambah dengan jumlah bibit untuk penyulaman ditambah dengan jumlah bibit yang diperkirakan mati di pesemaian. Total jumlah bibit merupakan jumlah keseluruhan bibit yang harus diproduksi di pesemaian untuk mencukupi kebutuhan penanaman hutan. Jumlah bibit jadi (S) adalah banyaknya bibit yang diharapkan hidup semua pada luasan seluruh area yang akan ditanami dengan jarak tanam tertentu sesuai dengan pola tanamnya.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

luas seluruh area yang akan ditanami Jumlah bibit jadi = ---------------------------------------------- luas area tanam Pada pola tanam hexagon dengan jarak sisi segitiga 5 m, maka luas area tanamnya adalah (0,5 x 5 m) x (0,5 x 5 m 3 ) = 10,825 m2. Pada pola tanam square dengan jarak tanam 3 m x 4 m, maka luas area tanamnya adalah 3 m x 4 m= 12 m2. Pada pola tanam quincunx (siku keluang) dengan jarak tanam dalam satu baris 4 m dan jarak antarbaris 6 m, maka luas area tanamnya adalah 0,5 x 4 m x 6 m= 12 m2. Jumlah bibit untuk penyulaman dalam penanaman disediakan sebanyak 20% dari jumlah bibit jadi. Sedangkan jumlah bibit yang kemungkinan mati pada saat di pesemaian diperkirakan sebanyak 10%--15% dari jumlah bibit jadi. Dengan cara penghitungan sederhana seperti tersebut, maka dapat diketahui total jumlah bibit yang harus diproduksi dalam suatu pesemaian, sehingga luas pesemaianpun dapat diperkirakan berdasarkan atas total jumlah bibit yang akan diproduksi setiap tahunnya. Perlu diketahui bahwa setiap lokasi pesemaian terdiri atas area efektif dan area non-efektif. Area efektif yaitu area di pesemaian yang khusus digunakan sebagai tempat menghasilkan bibit di pesemaian yang mencakup tempat-tempat untuk pengecambahan benih dan untuk penyapihan kecambah. Tempat untuk pengecambahan benih pada umumnya disebut bedeng pengecambahan atau bedeng penaburan benih atau bedeng tabur. Tempat untuk penyapihan kecambah pada umumnya disebut bedeng penyapihan atau bedeng sapih. Adapun 10

Indriyanto


BAB 1. PESEMAIAN POHON HUTAN

Luas area efektif= TS x 0,01 m2/batang 100 Luas area pesemaian = ------ x TS x 0,01 m2/batang 60

E. Penentuan Jumlah Bedeng Pesemaian dan Kapasitasnya 1. Bedeng pengecambahan Bedeng pesemaian terdiri atas bedeng pengecambahan dan bedeng penyapihan. Bedeng pengecambahan yaitu bedeng yang dipergunakan untuk mengecambahkan benih. Bedeng pengecambahan yaitu bagian dari area efektif di pesemaian yang dipergunakan untuk mengecambahkan benih. Kapasitas bedeng pengecambahan dapat dihitung dengan cara sebagai berikut dan bergantung kepada cara penaburan benih di bedeng pengecambahan. a. Penaburan benih secara teratur Penaburan benih secara teratur adalah penaburan benih di bedeng pengecambahan yang dilakukan dengan jarak antarbenih sama. Dengan cara penaburan seperti ini, maka kapasitas satu bedeng pengecambahan adalah sebagai berikut. luas satu bedeng (m2) apasitas satu bedeng pengecambahan = --------------------------------- luas area tabur (cm2/benih) Luas area tabur yaitu luas area yang dibentuk oleh jarak antarbenih yang dikecambahkan dalam bedeng pengecambahan. Jika jarak antarbenih 5 cm x 5 cm, maka luas area tabur tiap benih adalah 25 cm2. Indriyanto

11

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

area non-efektif yaitu area di pesemaian yang digunakan sebagai tempat sarana dan prasarana pesemaian, misalnya tempat untuk bangunan gedung, untuk halaman, dan untuk instalasi air. Luas area efektif adalah 60% dari luas area pesemaian, sehingga luas area non-efektif adalah 40% dari luas area pesemaian. Untuk kepentingan praktis di lapangan, luas area efektif dapat diperkirakan sebesar 0,01 m2/batang dikalikan dengan total jumlah bibit yang akan diproduksi di pesemaian (Khaerudin, 1994).


BAB 1. PESEMAIAN POHON HUTAN b. Penaburan benih secara merata Penaburan benih secara marata adalah penaburan benih di bedeng pengecambahan yang dilakukan dengan jarak tabur yang tidak diatur menggunakan jarak tertentu. Dengan cara penaburan benih secara merata, maka kapasitas satu bedeng pengecambahan dapat dihitung menggunakan Formula Smith (Smith, 1986) sebagai berikut.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

AxS W= ------------------CxPxGxL

Keterangan: W= kapasistas satu bedeng pengecambahan = jumlah benih tiap bedeng pengecambahan A= luas bedeng pengecambahan (bedeng tabur) S= jumlah semai per m2 yang direncanakan C= jumlah benih per kg P= persentase kemurnian benih (angka dalam desimal) G= persentase kecambah benih (angka dalam desimal) L= perkiraan jumlah benih yang hidup selama di bedeng pengecambahan (angka dalam desimal) Jadi, Formula Smith tersebut dapat digunakan untuk memprakirakan kapasitas satu bedeng pengecambahan jika terpenuhi hal-hal sebagai berikut. a. Penaburan benih di bedeng pengecambahan dilakukan dengan penaburan secara merata, yaitu penaburan benih yang jarak antarbenih tidak diatur dengan jarak tertentu. b. Jumlah semai (seedling) per m2 di bedeng pengecambahan telah direncanakan. c. Persentase kemurnian benih telah dihitung atau diketahui dalam identitas benih. d. Persentase kecambah benih telah diuji atau diketahui dalam identitas benih, e. Perkiraan jumlah benih yang hidup selama di bedeng pengecambahan telah diketahui dari pengalaman-pengalaman 12

Indriyanto


BAB 1. PESEMAIAN POHON HUTAN terdahulu atau berdasarkan pengalaman orang lain. f. Jumlah benih tiap kilogram telah dihitung atau diketahui dalam identitas benih.

jumlah benih Jumlah bedeng pengecambahan= ---------------------------kapasitas satu bedeng Jumlah benih= TS + {(100%-G) TS}

Keterangan: TS = total jumlah bibit yang akan diproduksi di pesemaian G = persentase kecambah benih 2. Bedeng penyapihan Bedeng penyapihan yaitu bedeng yang digunakan untuk menyapih semai. Dapat dikatakan juga bahwa bedeng penyapihan yaitu bagian dari area efektif yang digunakan untuk memindahkan kecambah dari bedeng pengecambahan ke bedeng penyapihan. Bedeng penyapihan biasanya dibuat dengan ukuran 1 m x 5 m atau 1 m x 10 m. Mengingat penyapihan kecambah pada umumnya dilakukan pada media sapih yang berada dalam kontiner/ wadah/pot, maka kapasitas satu bedeng penyapihan bergantung kepada luas lingkaran kontiner yang digunakan untuk wadah media sapih. luas satu bedeng (m2) Kapasitas satu bedeng penyapihan = ----------------------------- luas lingkaran kontiner jumlah kontiner Jumlah bedeng penyapihan = ---------------------------------------- kapasitas satu bedeng penyapihan Jumlah kontiner/wadah/pot yang dimaksud pada rumus tersebut merupakan banyaknya kontiner yang digunakan untuk menyapih Indriyanto

13

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Apabila kapasitas satu bedeng pengecambahan sudah dihitung, maka banyaknya bedeng pengecambahan yang harus dibuat adalah sebagai berikut.


BAB 1. PESEMAIAN POHON HUTAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

total jumlah bibit yang diproduksi dalam pesemaian, sehingga jumlah kontiner yang diperlukan sama dengan total jumlah bibit (TS). Contoh Soal Suatu kegiatan pembangunan hutan tanaman akan dilakukan dalam kawasan hutan produksi seluas 10.000 hektar. Enam puluh persen dari luas kawasan hutan tersebut akan ditanami pohon mahoni (Swietenia macrophylla), dan 40% luas kawasan akan ditanami pohon akasia (Acacia decurens). Pola jarak tanam yang digunakan adalah pola square 3 m x 4 m. Jumlah benih mahoni per kg adalah 2.000 butir, persentase kecambah 80%, persentase kemurnian benih 95%, prakiraan benih yang hidup selama di pesemaian 90%. Jumlah benih akasia per kg adalah 73.500 butir, persentase kecambah 85%, persentase kemurnian benih 95%, prakiraan benih yang hidup selama di pesemaian 90%, jumlah semai per m2 adalah 2.500 batang. Untuk pesemaian mahoni, jarak tabur benih mahoni di bedeng penaburan 3 cm x 4 cm, ukuran bedeng tabur dan bedeng penyapihan 1 m x 10 m, ukuran polybag (diameter 8 cm, tinggi 15 cm). Untuk pesemaian akasia, penaburan benih pada bedeng tabur dilakukan secara merata, ukuran bedeng tabur dan bedeng penyapihan 1 m x 10 m, ukuran polybag (diameter 8 cm, tinggi 15 cm). Kemudian kerjakan dan jawablah beberapa pertanyaan sebagai berikut. a. Berapa jumlah bibit mahoni dan akasia yang diperlukan? b. Berapa luas area pesemaian yang harus dibuat? c. Berapa jumlah benih (g atau kg) mahoni dan akasia yang diperlukan? d. Berapa jumlah bedeng penaburan untuk pesemaian mahoni? e. Berapa jumlah bedeng penyapihan untuk pesemaian mahoni? f. Berapa jumlah bedeng penaburan untuk pesemaian akasia? g. Berapa jumlah bedeng penyapihan untuk pesemaian akasia? h. Berapa volume tanah (top soil) yang diperlukan untuk media tumbuh semai di bedeng penyapihan?

14

Indriyanto


BAB 1. PESEMAIAN POHON HUTAN Jawaban: Luas total area= 10.000 ha= 100.000.000 m2: Luas untuk tanaman mahoni= 60%= 6.000 ha= 60.000.000 m2 Luas untuk tanaman akasia= 40%= 4.000 ha= 40.000.000 m2. Jarak tanam square 3m x 4m, maka luas area tanam atau luas ruang tumbuh bibit= 12 m2.

Jumlah bibit jadi untuk akasia=

= 5.000.000 batang. = 3.333.334 batang.

a. Jumlah bibit yang diperlukan: Mahoni = (5.000.000) + (20% x 5.000.000) + (10% x 5.000.000) = 6.500.000 batang. Akasia = (3.333.334) + (20% x 3.333.334) + (10% x 3.333.334) = 4.333.334,2 batang. Jumlah bibit seluruh jenis= 10.833.335 batang. b. Luas area pesemaian= x TS x (0,01m2/btg) = x 10.833.335 batang x (0,01 m2/batang)= 18,05 hektar. c. Jumlah benih yang diperlukan: Mahoni = TS + {(100%-G) x TS} = 6.500.000 + {(20% x 6.500.000)} = 7.800.000 benih = = 3.900 kg Akasia= TS + {(100%-G) x TS} = 4.333.335 + {(15% x 4.333.335)} = 4.983.335,25 benih = = 67,8 kg

Indriyanto

15

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Jumlah bibit jadi untuk mahoni=


BAB 1. PESEMAIAN POHON HUTAN d. Jumlah bedengan penaburan untuk mahoni Kapasitas satu bedeng tabur: Untuk mahoni = = 8.333,3 benih = 8.334 benih Jumlah bedeng tabur = = 935,9 bedengan = 936 bedengan Luas lingkaran polybag= = x 42= 50,24 cm2 Tinggi polybag= 15 cm, Volume polybag= 50,24 cm2 x 15 cm= 753,6 cm3 Kapasitas satu bedeng sapih= = 1.990,4 batang = 1.991 batang e. Jumlah bedeng penyapihan untuk mahoni =

= 3.264,69= 3.265 bedeng

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

f. Jumlah bedeng penaburan untuk akasia Kapasitas satu bedeng tabur= = = 0,468 kg/bedengan Jumlah bedeng tabur = = 144,87 bedengan = 145 bedengan g. Jumlah bedeng penyapihan untuk akasia =

= 2.176,46= 2.177 bedeng

h. Volume tanah yang diperlukan untuk media tumbuh semai di bedeng penyapihan = volume satu polybag x jumlah polybag = 753,6 cm3 x 10.833.335= 8.164.001.256 cm3= 8.164,001 m3.

16

Indriyanto


Ringkasan Pesemaian yaitu bangunan dan/atau kegiatan dalam rangka menyediakan bibit, sedangkan bibit diartikan sebagai bahan tanaman yang siap untuk ditanam di areal penanaman. Pesemaian dibuat dengan tujuan utama menyediakan bibit atau membuat stok bibit yang jumlahnya mencukupi kebutuhan setiap saat diperlukan untuk penanaman atau mencukupi kebutuhan konsumen setiap saat memerlukan bibit, serta untuk menyediakan bibit yang berkualitas baik. Pesemaian pohon hutan dapat dibedakan menjadi 2 jenis berdasarkan atas lama waktu berfungsinya pesemaian tersebut, yaitu pesemaian sementara dan pesemaian permanen. Pesemaian sementara adalah pesemaian yang dibangun untuk jangka waktu yang pendek dan berukuran kecil, sedangkan pesemaian permanen adalah pesemaian yang dibangun untuk jangka waktu yang panjang dan berukuran besar atau berskala besar. Letak lokasi pesemaian harus direncanakan kelayakannya dengan memperhatikan beberapa hal, antara lain: keadaan tempat, keadaan tanah, ketersediaan air, dan keamanan lokasi. Luas pesemaian dapat ditentukan dan besarnya bergantung kepada kapasitasnya untuk menampung sejumlah bibit yang akan dibuat untuk memenuhi kebutuhan penanaman, serta bergantung kepada fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan operasional, administrasi, maupun gudang alat dan saprodi. Jumlah bibit yang akan dibuat bergantung kepada luas areal hutan yang akan ditanami dan jarak tanam yang digunakan. Latihan 1. Jelaskan apa yang disebut bibit. 2. Jelaskan apa yang disebut pesemaian. 3. Jelaskan tujuan dibuat pesemaian pohon hutan. 4. Sebutkan dan jelaskan beberapa alasan perlunya dibangun pesemaian. 5. Sebutkan dan jelaskan dua jenis pesemaian berdasarkan atas lama waktu berfungsinya pesemaian.

Indriyanto

17

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 1. PESEMAIAN POHON HUTAN


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 1. PESEMAIAN POHON HUTAN 6. Sebutkan ciri-ciri dari masing-masing jenis pesemaian tersebut nomor 5. 7. Sebutkan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan lokasi pesemaian, kemudian jelaskan kualifikasi dari masingmasing hal tersebut. 8. Jika jumlah bibit yang diharapkan hidup semua di seluruh area yang ditanami sebanyak 10.000.000 batang, jumlah bibit yang diprakirakan mati di pesemaian sebanyak 10%, maka: a. berapa jumlah seluruh bibit yang harus dibuat di pesemaian? b. berapa butir jumlah benih yang diperlukan apabila daya kecambah benih 90%? c. berapa m2 luas area efektif di pesemaian? d. berapa hektar area yang ditanami apabila jarak tanamnya 4 m x 5 m. 9. Suatu kegiatan pembangunan hutan tanaman akan dilakukan dalam kawasan hutan produksi bebas seluas 10.000 hektar. Tiga puluh persen dari luas kawasan hutan tersebut akan ditanami pohon damar (Agathis loranthifolia), dan seluruh sisa luas kawasan akan ditanami pohon tusam (Pinus merkusii). Pola jarak tanam yang digunakan adalah pola hexagon dengan jarak antarpohon 6 m. Jumlah benih damar per kg adalah 4.950 butir, persentase kecambah 95%, persentase kemurnian benih 95%, prakiraan benih yang hidup selama di pesemaian 90%. Jumlah benih tusam per kg adalah 63.000 butir, persentase kecambah 85%, persentase kemurnian benih 90%, dan prakiraan benih yang hidup selama di pesemaian 80%. Jumlah semai per m2 adalah 2.500 batang. Ukuran bedeng tabur dan bedeng penyapihan 1 m x 10 m, ukuran polybag (diameter 8 cm, tinggi 15 cm). Penaburan benih pada bedeng tabur untuk kedua jenis pohon tersebut dilakukan secara merata. Kemudian kerjakan dan jawablah beberapa pertanyan sebagai berikut. a. Berapa jumlah bibit damar dan tusam yang diperlukan. b. Berapa luas area pesemaian yang harus tersedia. c. Berapa jumlah benih (g atau kg) damar dan tusam yang diperlukan.

18

Indriyanto


BAB 1. PESEMAIAN POHON HUTAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

d. Berapa jumlah bedeng penaburan untuk pesemaian damar. e. Berapa jumlah bedeng penyapihan untuk pesemaian damar. f. Berapa jumlah bedeng penaburan untuk pesemaian tusam. g. Berapa jumlah bedeng penyapihan untuk pesemaian tusam. h. Volume tanah (top soil) yang diperlukan untuk media tumbuh semai di bedeng penyapihan.

Indriyanto

19



SUMBER BAHAN TANAMAN A. Pendahuluan Bahan tanaman adalah bagian organ tanaman yang bisa dipergunakan untuk bahan perbanyakan tanaman. Menurut fungsi perbanyakan tanaman, maka organ tanaman yang dapat digunakan sebagai alternatif bahan tanaman terdiri atas organ generatif dan organ vegetatif. Contoh organ generatif pada pohon adalah biji dan buah, sedangkan contoh organ vegetatif adalah batang, cabang, dan akar. Kunci keberhasilan dalam kegiatan penanaman pohon, selain pemilihan spesies pohon yang tepat juga penggunaan benih atau bahan tanaman yang diambil dari sumber yang baik. Sumber bahan tanaman yang baik yaitu sumber bahan tanaman yang memenuhi kualifikasi keunggulan sifatnya ditinjau dari segi mutu genetik, sehingga bibit yang dihasilkan dari bahan tanaman tersebut akan memiliki kualitas unggul yang pasti adalah kualitas genetiknya, kemudian juga kualitas fisik dan fisiologinya. Perlu diperhatikan bahwa keberhasilan penanaman pohon sesungguhnya jangan hanya dinilai dari keberhasilan jumlah tanaman yang hidup setelah ditanam, akan tetapi harus dinilai juga dari terpenuhinya jumlah dan kualifikasi hasil pohon sesuai penggunaannya (kayu, buah, lateks, resin, gom, kopal, tanin, atau yang lainnya). Cara utama yang dapat ditempuh dalam memenuhi kualifikasi yang diharapkan dari hasil pohon yang ditanam adalah melakukan Indriyanto

21

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

2


BAB 2. SUMBER BAHAN TANAMAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

pemuliaan pohon (pemurnian pohon) pada tingkatan pemuliaan mana saja yang memungkinkan bisa ditempuh dalam rangka memperoleh keunggulan sifat pohon. Berkaitan dengan hal yang demikian ini, maka penggunaan bahan tanaman dari sumber yang baik merupakan cara sederhana dalam menerapkan konsep pemuliaan pohon. Sumber bahan tanaman yang layak dimanfaatkan untuk kepentingan budidaya pohon antara lain adalah pohon plus (disebut juga pohon induk, pohon inti, pohon biji, atau pohon unggul), tegakan benih, area pengumpulan benih, dan kebun benih. Masing-masing karakteristik sumber bahan tanaman itu akan diuraikan satu demi satu pada urain berikut. Kompetensi dasar dalam mempelajari bab 2 adalah agar mahasiswa dan para pembaca lainnya mampu memahami ciri-ciri sumber bahan tanaman yang bermutu, mampu mengidentifikasi sumber bahan tanaman, serta mampu memanfaatkan dan mengelola sumber bahan tanaman dalam kegiatan pembinaan hutan.

B. Pohon Plus Pohon plus yaitu pohon yang memiliki kelebihan dari berbagai segi, baik kualitas pertumbuhannya, daya tahannya terhadap serangan hama dan penyakit, daya tahannya terhadap kekurangan air, kualitas batang, produksi kayu, produksi buah, dan produksi hasil lainnya (hasil nir-kayu). Pohon plus disebut pohon induk karena pohon ini dijadikan tetua dalam proses regenerasi yang diharapkan dapat mewariskan sifat-sifat yang baik pada keturunannya. Pohon plus disebut pohon inti karena di hutan alam produksi, pohon ini selain sebagai sumber bahan tanaman juga diharapkan akan membentuk tegakan utama yang akan ditebang pada rotasi penebangan yang akan datang. Pohon plus disebut pohon biji karena pohon ini dijadikan sebagai sumber biji untuk proses regenerasi tegakan hutan. Pohon plus disebut pohon unggul karena pohon ini memiliki sifat-sifat unggul yang tampak pada ekspresi fenotipenya. Pemilihan pohon plus pada suatu tegakan hutan alam maupun tegakan hutan tanaman harus memperhatikan kriteria sifat-sifat

22

Indriyanto


unggul, antara lain adalah sebagai berikut (Darjadi dan Hardjono, 1976). a. Pohon memiliki pertumbuhan normal (tidak kerdil). b. Bentuk batang pohon lurus dengan lingkaran batang bulat. c. Tajuk pohon tumbuh simetris. d. Batang bebas cabang tinggi. e. Tajuk pohon mendapat cahaya dari arah atas dan samping, atau dengan kata lain bahwa pohon tidak tertekan atau ternaungi oleh pohon lainnya. f. Pohon telah diketahui masa berbunga dan berbuahnya, kemudian dipilih pohon yang memiliki masa berbunga dan berbuah secara teratur. g. Pohon menghasilkan buah secara lebat. h. Pohon dalam kondisi sehat atau tidak terserang oleh hama dan penyakit. Pohon-pohon plus yang telah ditentukan di dalam suatu areal hutan harus dipelihara dengan baik. Di bawah pohon plus harus dibersihkan agar biji atau buah yang telah jatuh dan/atau berkecambah memungkinkan untuk dikumpulkan sebagai bahan tanaman atau bibit. Namun demikian, pengumpulan buah atau biji dapat dilakukan juga secara langsung dengan memanen buah pada tajuk pohon plus yang telah ditentukan.

C. Tegakan Benih Tegakan benih yaitu tegakan hutan yang sebagian besar pohon penyusunnya adalah pohon plus dan letaknya tersebar merata di seluruh areal tempat tumbuh tegakan hutan tersebut (Santoso, 1991). Tegakan benih bisa merupakan tegakan hutan alamiah, bisa juga merupakan tegakan hutan buatan (hutan tanaman). Untuk menentukan tegakan benih di suatu areal pengelolaan hutan, terlebih dahulu perlu dilakukan survai kondisi tegakan hutan dan kondisi kawasan hutannya. Jika kondisi tegakan hutan dan kondisi kawasan hutannya telah

Indriyanto

23

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 2. SUMBER BAHAN TANAMAN


BAB 2. SUMBER BAHAN TANAMAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai tegakan benih, maka kawasan hutan ini harus dipetakan pada peta kawasan hutan. Tujuan pemetaan kawasan hutan tersebut agar letak lokasi tegakan benih dalam suatu areal pengelolaan hutan mudah diketahui melalui peta. Apabila pada suatu saat tertentu diperlukan bahan tanaman untuk pembangunan pesemaian, maka pemungutan benih bisa dilakukan pada areal tersebut. Lantai hutan di bawah tegakan benih harus dibersihkan secara periodik. Tujuan pembersihan lantai hutan tersebut agar sanitasi lingkungannya baik dan memudahkan dalam pengumpulan buah atau biji yang jatuh di bawah tegakan benih. Adapun suatu tegakan hutan layak ditetapkan sebagai tegakan benih apabila memenuhi kriteria sebagai berikut (Darjadi dan Hardjono, 1976). a. Tegakan hutan yang sebagian besar pohon penyusunnya adalah pohon plus, baik tegakan hutan alamiah maupun tegakan hutan tanaman. b. Aksesibilitas menuju tegakan hutan cukup bagus. c. Tegakan hutan tidak terletak pada daerah yang rawan kebakaran hutan maupun bencana alam lainnya. d. Kondisi kemiringan lahan tidak termasuk kategori sangat curam. Tegakan hutan diutamakan yang berada pada lahan datar, kecuali tidak ada pilihan lain untuk memilih tegakan hutan sebagai tegakan benih. Tegakan benih yang memperoleh pemeliharaan secara intensif disebut areal pengumpulan benih (APnB). Pemeliharaan tegakan benih secara intensif mencakup penjarangan, pemupukan, serta pengendalian hama dan penyakit. Penjarangan dilakukan dengan cara menebang pohon-pohon berfenotipe buruk agar memberi ruang tumbuh yang lebih optimum bagi pohon-pohon berfenotipe baik. Pemupukan dilakukan untuk menambah unsur hara pada tanah agar kebutuhan unsur hara bagi pertumbuhan pohon menjadi lebih baik dan untuk memacu pembungaan dan pembuahan. Selain itu, untuk

24

Indriyanto


BAB 2. SUMBER BAHAN TANAMAN mencegah kontaminasi serbuksari dari pohon-pohon lain yang ada di sekitarnya, maka pada APnB perlu dibuat jalur isolasi berupa pohonpohon yang ditanam rapat membentuk jalur mengelilingi APnB. Menurut Darjadi dan Hardjono (1976), suatu areal yang di dalamnya terdapat tegakan hutan dan didominasi pohon plus dinamakan daerah plus. Daerah tersebut merupakan tempat untuk memproduksi benih berkualitas baik, sehingga daerahnya dapat disebut juga daerah

D. Kebun Benih Kebun benih yaitu kebun atau hutan yang dibangun dengan menanam pohon-pohon plus atau menanam klon unggul dengan tujuan untuk sumber pengambilan bahan tanaman baik berupa biji, buah, ataupun organ vegetatif. Kebun benih merupakan tegakan hutan tanaman yang sengaja dibuat dengan menanam pohonpohon yang telah diketahui sifat genetiknya dan telah diuji beberapa keturunannya, serta dipelihara secara intensif agar pertumbuhan setiap pohonnya optimal. Pembangunan kebun benih harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut. a. Lokasi kebun benih dipilih yang memiliki aksesibilitas bagus. b. Lokasi kebun benih dipilih tempat yang datar agar pengelolaan kebun benih dapat dilakukan secara mudah. c. Lokasi kebun benih dipilih tempat yang tanahnya subur agar setiap pohon yang ditanam dapat tumbuh secara optimal. d. Lokasi kebun benih dipilih tempat yang tidak rawan kebakaran hutan maupun bencana alam lainnya. e. Lokasi kebun benih harus terisolasi (terpisah atau tersekat) letaknya dari tegakan hutan yang sudah ada. Pengisolasian lokasi kebun benih bertujuan agar dapat mengurangi terjadinya penyerbukan dari pohon-pohon di sekitarnya yang berketurunan jelek atau dari pohon-pohon yang belum diketahui secara pasti sifat keturunannya. f. Pada kebun benih harus dibuat tanaman tepi (border rows) beberapa

Indriyanto

25

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

produksi benih.


BAB 2. SUMBER BAHAN TANAMAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

baris secara rapat mengelilingi kebun benih. Tanaman tepi terbuat dari jenis-jenis pohon yang sama dengan jenis pembentuk kebun benih. g. Pohon-pohon harus ditanam dengan jarak teratur agar penampilan tanaman dari aspek demonstrasi tampak bagus. h. Pohon-pohon harus ditanam dengan jarak tanam lebih lebar dibandingkan dengan jarak tanam yang biasa digunakan untuk penanaman pohon hutan. Jarak tanam lebar pada kebun benih dimaksudkan agar setiap pohon yang ditanam mendapatkan ruang tumbuh yang cukup. Sesuai dengan proses pembangunan kebun benih dan bentuk bahan tanaman yang akan diproduksi lalu digunakan untuk pemudaan hutan, maka kebun benih dapat digolongkan menjadi tiga macam sebagai berikut. a. Kebun benih semai (KBS) yaitu kebun benih yang dibangun menggunakan bahan generatif yang diperoleh dari pohon-pohon plus atau klon-klon unggul dan dimaksudkan untuk menghasilkan bahan tanaman berupa organ generatif (biji atau buah). b. Kebun benih klon (KBK) yaitu kebun benih yang dibangun menggunakan bahan vegetatif yang diperoleh dari pohon-pohon plus atau klon-klon unggul dan dimaksudkan untuk menghasilkan bahan tanaman berupa organ generatif. c. Kebun benih pangkas (KBP) yaitu kebun benih yang dibangun menggunakan bahan vegetatif yang diperoleh dari pohon-pohon plus atau klon-klon unggul dan dimaksudkan untuk menghasilkan bahan tanaman berupa organ vegetatif. Khusus pada kebun benih pangkas, agar dapat menghasilkan bahan tanaman yang baik untuk perbanyakan secara vegetatif (okulasi, setek, cangkok, maupun sambungan), maka perlu direjuvenasi. Rejuvenasi kebun benih pangkas bertujuan agar produski bahan vegetatif berlimpah dan kualitasnya bagus. Rejuvenasi kebun benih pangkas dilakukan dengan cara memangkas cabang (dahan dan ranting) pada

26

Indriyanto


posisi setengah panjang cabang. Pemangkasan cabang dilakukan terhadap dahan dan/atau ranting yang tua dan dilakukan pada saat menjelang akhir musim kemarau. Manfaat pemangkasan dahan dan ranting tua pada kebun benih pangkas antara lain adalah sebagai berikut. a. Pemangkasan dahan dan ranting tua diharapkan dapat menstimulasi munculnya bakal tunas (primordia tunas), sehinga produksi bakal tunas dapat memenuhi kebutuhan untuk perbanyakan secara okulasi. Kegiatan pemangkasan cabang seperti ini adalah kegiatan membangun bakal tunas atau mata tunas (entrijs). b. Pemangkasan dahan dan ranting tua diharapkan dapat mematahkan dormansi bakal tunas, sehingga bakal tunas yang dorman bisa tumbuh dan berkembang menjadi tunas. c. Pemangkasan dahan dan ranting tua diharapkan agar pada setiap pohon di kebun benih pangkas bisa tumbuh banyak cabang muda. Cabang-cabang muda merupakan bahan tanaman yang sangat potensial untuk perbanyakan dengan setek dan sambungan. Cabang-cabang muda bisa terjadi karena pemangkasan dahan dan ranting mengakibatkan beberapa pucuk lateral tumbuh dan berkembang dari primordia tunas yang terdapat pada setiap buku-buku batang terutama yang terletak persis di bawah bidang pemotongan, dan pucuk lateral ini akan tumbuh secara cepat. Ringkasan Bahan tanaman yaitu bagian organ tanaman yang bisa dipergunakan untuk bahan perbanyakan tanaman, baik perbanyakan secara generatif, secara vegetatif, maupun secara kombinasi generatif dan vegetatif. Organ tanaman yang dimaksud meliputi organ generatif dan organ vegetatif. Organ generatif pada pohon misalnya biji dan buah, sedangkan organ vegetatif pada pohon misalnya batang, cabang, dan akar. Sumber bahan tanaman yang baik yaitu sumber bahan tanaman yang memenuhi kualifikasi keunggulan sifat ditinjau dari segi mutu genetik, sehingga bibit yang dihasilkan dari bahan tanaman tersebut

Indriyanto

27

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 2. SUMBER BAHAN TANAMAN


BAB 2. SUMBER BAHAN TANAMAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

akan memiliki kualitas unggul. Keunggulan kualitas bibit yang dimaksud dan pasti akan diperoleh jika menggunakan bahan tanaman dari sumber yang layak adalah kualitas genetiknya, kemudian juga kualitas fisik dan fisiologinya. Sumber bahan tanaman yang layak dimanfaatkan untuk kepentingan budidaya pohon antara lain: pohon plus (bisa juga disebut pohon induk, pohon inti, pohon biji, atau pohon unggul), tegakan benih, area pengumpulan benih, dan kebun benih. Sesuai dengan proses pembangunannya dan bentuk bahan tanaman yang akan diproduksi dan digunakan untuk pemudaan hutan secara buatan, maka kebun benih dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu kebun benih semai, kebun benih klon, dan kebun benih pangkas. Latihan 1. Jelaskan apa yang disebut pohon plus? 2. Sebutkan kriteria keunggulan sifat yang dimiliki pohon plus. 3. Jelaskan apa yang disebut tegakan benih? 4. Sebutkan kriteria tegakan hutan yang layak untuk ditetapkan sebagai tegakan benih. 5. Jelaskan apa yang disebut kebun benih? 6. Sebutkan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembangunan kebun benih. 7. Jelaskan pengertian tentang kebun benih semai. 8. Jelaskan pengertian tentang kebun benih klon. 9. Jelaskan pengertian tentang kebun benih pangkas. 10. Jelaskan apa yang disebut rejuvenasi kebun benih. 11. Sebutkan tujuan melakukan rejuvenasi kebun benih pangkas. 12. Jelaskan kapan waktu (musim) yang baik dalam melakukan rejuvenasi kebun benih pangkas.

28

Indriyanto


CARA PERBANYAKAN POHON A. Pendahuluan Cara perbanyakan pohon pada umumnya dijadikan dasar dalam metode membuat bibit pohon di pesemaian. Bibit pohon merupakan bahan tanaman yang siap untuk ditanam di areal penanaman yang wujudnya bisa semai (seedling) dan bisa berupa organ tanaman, baik organ generatif maupun organ vegetatif tanaman. Namun, setiap spesies pohon dalam kenyataannya mempunyai tingkat kemudahan yang berbeda dalam hal cara perbanyakannya, walaupun secara teori perbanyakan pohon dapat dilakukan secara generatif, secara vegetatif, dan gabungan dari cara generatif dan vegetatif. Dengan demikian, cara yang paling mudah dalam hal perbanyakan pohon pada umumnya dipilih untuk diterapkan dalam pembibitan pohon. Perbanyakan pohon secara generatif yaitu perbanyakan pohon yang dilakukan menggunakan organ generatif pohon misalnya biji dan/atau buah. Perbanyakan pohon secara generatif disebut juga perbanyakan secara seksual karena bahan tanaman yang dipergunakan merupakan hasil proses perkawinan antara sel kelamin jantan dan sel kelamin betina pada bunga. Perbanyakan pohon secara vegetatif yaitu perbanyakan pohon yang dilakukan menggunakan organ vegetatif pohon misalnya batang, cabang, ranting, dan akar. Perbanyakan pohon secara vegetatif disebut juga perbanyakan secara aseksual karena bahan tanaman yang dipergunakan untuk perbanyakan pohon bukan hasil proses perkawinan antara sel kelamin jantan dan Indriyanto

29

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

3


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON sel kelamin betina pada bunga. Adapun perbanyakan pohon secara gabungan (generatif dan vegetatif) adalah perbanyakan pohon yang dilakukan menggunakan organ generatif dan vegetatif. Perbanyakan pohon secara generatif pada umumnya dilakukan dengan menyemai atau menanam benih dan/atau buah. Perbanyakan pohon secara vegetatif dapat berupa setek dan cangkok, sedangkan perbanyakan pohon secara gabungan (generatif dan vegetatif) dapat berupa okulasi dan sambungan (Hartmann, Flocker, dan Kofranek, 1981). Dari banyak segi, cara perbanyakan pohon merupakan sesuatu hal yang sangat penting untuk diketahui karena kegiatan pemudaan hutan secara buatan selalu menerapkan aspek-aspek budidaya pohon yang di antaranya adalah pembibitan pohon. Pemudaan hutan secara buatan selalu berhubungan dengan praktek perbanyakan pohon, apalagi dalam pembangunan hutan tanaman industri yang menghendaki bibit unggul. Bibit unggul diperoleh melalui penerapan langkah pemuliaan pohon, maka cara perbanyakan pohon akan menentukan tatacara pemuliaan pohon yang dipergunakan untuk memperoleh bibit unggul. Kompetensi dasar dalam mempelajari bab 3 adalah agar mahasiswa dan para pembaca yang lainnya mampu memahami cara perbanyakan pohon, kemudian mampu melakukan cara perbanyakan tersebut untuk membangun pesemaian pohon hutan.

B. Perbanyakan Pohon dengan Biji atau Buah Biji adalah organ generatif tanaman yang terbentuk dari bakal biji (ovulum) dan berkembang setelah proses pembuahan pada bunga. Buah adalah organ generatif tanaman yang terbentuk dari bakal buah (ovarium) dan di dalamnya terdapat atau tidak terdapat bakal biji yang semuanya berkembang setelah proses pembuahan pada bunga. Biji dan buah yang digunakan untuk kepentingan budidaya disebut benih. Benih dapat juga diartikan sebagai biji atau buah yang dapat berfungsi dan dimanfaatkan sebagai bahan tanaman. Perbanyakan pohon secara generatif harus memperhatikan beberapa ketentuan, antara lain: sumber pengambilan benih, 30

Indriyanto


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON

1. Sumber pengambilan Benih Benih pohon harus dipersiapkan secara baik untuk menunjang kelancaran dalam proses pengadaan bibit. Bibit yang baik adalah bibit yang dibuat dari benih (biji atau buah) unggul, dan benih unggul sudah pasti diperoleh dari pohon-pohon unggul. Oleh karena itu, biji atau buah yang akan digunakan untuk perbanyakan pohon harus diambil dari pohon plus, tegakan benih, areal pengumpulan benih, kebun benih semai, atau dari kebun benih klon jika sumber-sumber benih lainnya tidak ada. Sumber-sumber bahan tanaman tersebut merupakan sumber yang layak dinilai dari mutu genetiknya. Sumbersumber bahan tanaman untuk perbanyakan secara generatif memiliki mutu genetik semakin baik dari pohon plus ke tegakan benih, areal pengumpulan benih, kebun benih semai, dan paling tinggi adalah kebun benih klon. Penggunaan biji atau buah yang berasal dari pohon asalan merupakan tindakan yang mengabaikan prinsip pemuliaan/ pemurnian pohon. Menurut Santoso (1991), benih unggul merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan dan pengusahaan hutan tanaman. Upaya pengadaan benih unggul merupakan suatu proses dan berorientasi jangka panjang yang memerlukan tenaga, keahlian memadai, dan kesabaran yang tinggi, bahkan diperlukan biaya yang besar. Meskipun demikian, untuk kepentingan masa depan dalam mewujudkan produktivitas dan kualitas hasil hutan tanaman, maka pengadaan benih unggul merupakan upaya yang sangat penting. 2. Pengumpulan Benih Pada kebanyakan spesies pohon, waktu yang paling baik untuk mengumpulkan benih yaitu sesaat setelah biji atau buah itu masak. Kegiatan pengumpulan biji atau buah dari sumber-sumber benih atau bahan tanaman yang telah ditentukan dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain adalah sebagai berikut. Indriyanto

31

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

pengumpulan benih, seleksi benih, penanganan benih, dan menyemai benih. Masing-masing ketentuan yang harus dilakukan diuraikan sebagai berikut.


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON a. Mengumpulkan biji atau buah yang telah jatuh di bawah pohon. Cara ini dapat dilakukan pada sumber-sumber bahan tanaman yang berupa tegakan benih, areal pengumpulan benih, kebun benih semai, maupun pada kebun benih klon. b. Memungut atau memanen buah yang masih ada di atas pohon. Cara pengumpulan buah seperti ini dapat dilakukan dengan memanjat pohon atau menggunakan alat untuk memungut buah yang masih ada pada pohon. d. Mengumpulkan biji atau buah pada pohon-pohon yang telah ditebang. Pohon sumber benih yang sangat tua pada umumnya boleh ditebang, sehingga buah dan bijinya bisa dikumpulkan untuk bahan perbanyakan secara generatif.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Cara yang baik dalam pengumpulan biji atau buah bergantung kepada spesies dan kondisi tempat yang memungkinkan (Suseno dan Suginingsih, 1984). Akan tetapi, kualitas biji atau buah yang paling terjamin keamanannya adalah biji atau buah yang diambil langsung dari pohon dengan syarat biji atau buah tersebut telah masak fisiologis. 3. Seleksi Benih Seleksi benih adalah pemilihan benih yang baik dari benih-benih yang telah dikumpulkan. Kriteria benih yang baik dalam seleksi adalah sehat (tidak berjamur dan tidak ada lubang serangan hama), bentuknya normal, warnanya mengkilap, berukuran besar, dan bobotnya besar. Kegiatan seleksi benih ini dilakukan satu demi satu terhadap semua benih yang telah terkumpulkan. Untuk seleksi terhadap bobot atau isi benih dapat dilakukan dengan cara memasukkan benih ke dalam air lalu benih-benih yang terapung dibuang, sedangkan benih yang tenggelam digunakan untuk bahan tanaman. Benih yang terapung diduga tidak berisi atau kopong, sedangkan benih yang tenggelam diduga berisi atau mengandung komponen benih yang sempurna. Dari segi ukuran besar kecilnya benih dan bobot benih diduga ada hubungannya dengan kandungan cadangan makanan dan kondisi embrio yang ada di dalamnya. Benih yang berukuran besar dan 32

Indriyanto


bobotnya besar diduga mengandung cadangan makanan yang lebih banyak dan embrionya lebih besar dibandingkan dengan benih yang berukuran kecil dan ringan (Sutopo, 2002). Pada jaringan penyimpanan cadangan makanan dalam benih terdapat karbohidrat, protein, lemak, dan mineral yang diperlukan oleh embrio sebagai materi (bahan) dan energi yang berguna dalam perkecambahan benih. Percobaan yang pernah dilakukan oleh Heriyanto dan Sutono (2001) dapat dikemukakan bahwa benih eboni (Diospyros celebica) yang berukuran besar cenderung memiliki daya berkecambah (germination capability) yang lebih besar. Pada percobaan tersebut, benih eboni yang telah dikecambahkan selama 45 hari dengan media tumbuh tanah Latosol diperoleh data daya berkecambah benih yang berukuran kecil adalah 70%, benih berukuran sedang adalah 72%, dengan daya kecambah benih yang berukuran besar adalah 87%. Untuk benihbenih yang berukuran kecil, selain kandungan cadangan makanan yang tersimpan jumlahnya sedikit diduga sebagian besar benih yang berukuran kecil perkembangan embrionya kurang sempurna sejak terjadinya pembuahan pada bunga. 4. Penanganan Benih Beberapa kegiatan dalam penanganan benih antara lain: ekstraksi benih, pelepasan sayap untuk benih-benih yang bersayap, pengeringan benih, dan skarifikasi. a. Ekstraksi benih yaitu kegiatan pengeluarkan benih dari buah dan/ atau menghilangkan pericarpus berdaging atau pulp. Ekstraksi benih untuk buah berdaging dapat dilakukan dengan cara merendam buah ke dalam air lalu diremas-remas hingga benih keluar dan terpisah dari daging buahnya. Ekstraksi benih untuk buah kering dapat dilakukan dengan cara menjemur buah supaya buah membuka dan benih ke luar dari buahnya, jika benih tidak ke luar maka buah yang telah dijemur lalu dipukul-pukul supaya benih ke luar dari buah. b. Pelepasan sayap buah atau sayap benih. Pelepasan sayap pada buah atau benih yang bersayap dilakukan dengan memotong sayap tersebut menggunakan gunting pada bagian dekat pangkal sayap. Indriyanto

33

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON Contoh benih yang bersayap adalah benih Pinus spp., Swietenia spp, dan Agathis spp., sedangkan contoh buah bersayap adalah semua anggota famili Dipterocarpaceae misalnya Shorea spp., Hopea spp., Dipterocarpus spp.. c. Pengeringan benih umum dilakukan untuk benih yang bersifat ortodoks men-cakup benih yang dapat dikeringkan hingga kadar air rendah (2—5%), sedangkan benih rekalsitrans mencakup benih yang memerlukan kadar air tinggi. Benih rekalsitrans pada waktu masak, umumnya memiliki kadar air lebih dari 30%, dan benih ini tidak perlu dikeringkan karena benih memiliki kepekaan dan mudah rusak jika kadar air turun di bawah 30% (Schmidt, 2000). Pengeringan benih-benih ortodoks dilakukan dengan cara menjemur di bawah terik matahari. d. Skarifikasi benih yaitu salah satu upaya untuk mematahkan dormansi benih (Baker et al., 1979; Schmidt, 2000). Skarifikasi benih dapat didefinisikan juga sebagai upaya pematahan masa dormansi benih dengan suatu cara tertentu agar benih dapat berkecambah pada saat diletakkan pada tempat yang ideal untuk proses perkecambahan. Benih yang dorman (dalam kondisi istirahat) harus diskarifikasi sesuai dengan tipe dormansinya. Dormansi yaitu sifat benih yang sebenarnya hidup tetapi tidak berkecambah walaupun diletakkan pada tempat yang secara umum dianggap telah memenuhi syarat bagi proses perkecambahan. Penyebab dormansi benih antara lain: kulit benih yang keras, embrio yang belum sempurna struktur dan perkembangan jaringannya, serta adanya zat penghambat (inhibitor) dalam perkecambahan benih. Zat-zat yang diketahui dapat menghambat perkecambahan benih antara lain: larutan mannitol, larutan garam dapur (NaCl), sianida, dinitrofenol, fluorida, hydroxilamine, coumarin, dan zat-zat golongan herbisida. Mengingat benih yang mengalami dormansi sulit berkecambah dalam waktu cepat ketika benih tersebut dikecambahkan, maka sebelum benih dikecambahkan harus diskarifikasi terlebih dahulu. Contoh beberapa cara skarifikasi yang dapat diterapkan adalah penipisan kulit, peretakan kulit, perendaman benih dalam air panas, 34

Indriyanto


perendaman dalam air dingin, perendaman benih dalam zat asam, dan perendaman benih dalam zat perangsang tumbuh seperti IBA, IAA, dan GA-3. Cara skarifikasi tersebut disesuaikan dengan tipe dormansinya. Berbagai cara skarifikasi yang dapat dipilih untuk menangani masalah dormansi pada benih berbagai spesies pohon hutan dapat dilihat pada Tabel 2. Kegiatan penelitian yang berkaitan dengan skarifikasi benih telah banyak dilakukan. Sari (2004) telah melakukan percobaan skarifikasi benih jati (Tectona grandis) dengan cara mengampelas kulit buah pada salah satu ujung buah. Pengampelasan kulit buah jati dilakukan sampai terlihat kulit buah bagian dalam (endocarpium). Pengampelasan kulit buah jati dengan cara tersebut ternyata tidak berpengaruh terhadap persentase kecambah benih jati. Buah jati yang kulit buah bagian luar (exocarpium) dan kulit buah bagian tengah (mesocarpium) diampelas, kemudian dikecambahkan, lalu diamati selama 3 bulan, diperoleh data persentase kecambah sebesar 8,61%--8,80%. Hal ini berarti bahwa pengampelasan kulit buah jati yang dilakukan pada bagian exocarpium dan mesocarpium buah tidak efektif dalam mematahkan dormansi, meskipun setelah dilakukan pengampelasan kemudian direndam dalam larutan Giberelin (5—25 ppm) selama 24 jam. Perlu diketahui bahwa dormansi pada benih jati didominasi oleh dormansi fisik yang disebabkan oleh tebal dan kerasnya kulit buah bagian dalam, oleh karena itu pengampelasan kulit buah jati seharusnya dilakukan sampai pada endocarpium. Endocarpium yang keras menjadi penghambat dalam perkecambahan benih yang ada di dalamnya karena imbibisi air tidak berjalan dengan baik disebabkan oleh endocarpium yang sulit ditembus oleh air (impermeable), sehingga kebutuhan sejumlah air untuk perkecambahan tidak segera terpenuhi. Selain itu, endocarpium yang keras bisa menghambat perkembangan radikel karena radikel sulit menembus bagian kulit buah yang keras. Percobaan yang dilakukan oleh Sari tersebut menggunakan media perkecambahan berupa campuran tanah dan pasir (1:1) dan dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Indriyanto

35

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON Tabel 2. Cara skarifikasi benih beberapa spesies pohon No.

Skarifikasi

1.

Akasia (Acacia auriculiformis)

2.

Dekurens (Acacia decurrens)

3.

Mangium (Acacia mangium)

4.

Pilang (Acacia leucophloea)

5.

Segawe (Adenanthera microsperma) Weru (Albizzia procera)

Direndam air suhu awal 75oC lalu dibiarkan dingin selama 24 jam.

Sengon laut (Paraserianthes falcataria) Sengon buto (Enterolobium cyclocarpum) Kemiri (Aleurites molluccana)

Direndam air suhu awal 75oC lalu dibiarkan dingin selama 24 jam.

6. 7. 8.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Nama Spesies Pohon

9.

Direndam air suhu awal 75oC— 1000C lalu dibiarkan dingin selama 24 jam. Direndam air suhu awal 75oC lalu dibiarkan dingin selama 24 jam. Direndam air suhu awal 75oC— 1000C lalu dibiarkan dingin selama 24 jam. Direndam air suhu awal 75oC lalu dibiarkan dingin selama 24 jam.

Direndam air suhu awal 75oC lalu dibiarkan dingin selama 24 jam.

Direndam air suhu awal 75oC lalu dibiarkan dingin selama 24 jam. Direndam air suhu awal 75oC lalu dibiarkan dingin selama 24 jam. Direndam dalam larutan asam sulfat pekat (95% atau 97%) selama 15 menit, lalu dicuci bersih dengan air tawar. Direndam air suhu awal 75oC lalu dibiarkan dingin selama 24 jam.

10.

Rasamala (Altingia excelsa)

11.

Jabon (Anthocephalus cadamba) Saninten (Castanea argentea)

Direndam air suhu awal 75oC lalu dibiarkan dingin selama 24 jam.

13.

Cemara laut (Casuarina equisetifolia)

Direndam air suhu awal 60oC lalu dibiarkan dingin selama 24 jam.

14.

Merbau darat (Intsia palembanica)

Direndam dalam larutan asam sulfat pekat (95% atau 97%) selama 15 menit lalu dicuci bersih dengan air tawar.

12.

36

Diperam dalam karung goni basah selama 5—6 hari.

Indriyanto


15.

Merbau pantai (Intsia bijuga)

Direndam dalam larutan asam sulfat pekat (95% atau 97%) selama 15 menit lalu dicuci bersih dengan air tawar.

16.

Bungur (Lagerstroemia speciosa)

Direndam dalam air dingin selama 24 jam hingga 96 jam.

17.

Lamtorogung (Leucaena leucocephala)

Direndam dalam air dingin selama 24 jam.

18.

Kayu putih (Melaleuca leucadendron) Saga (Pelthophorum pterocarpum) Balsa (Ochroma bicolor)

Direndam dalam air dingin selama 24 jam.

19. 20.

Direndam dalam air dingin selama 24 jam.

21.

Tusam (Pinus merkusii)

Disiram air mendidih, kemudian direndam air dingin selama 24 jam. Direndam dalam air dingin selama 24 jam.

22.

Damar (Agathis loranthifolia)

Direndam dalam air dingin selama 24 jam.

23.

Mahoni (Swietenia macrophylla)

24.

Jati (Tectona grandis)

25.

Bambang (Michelia koordersiana)

Direndam dalam air dingin selama 24 jam atau direndam larutan kalium nitrat (0,2%--12%) selama 14 jam—21 jam. Direndam dalam air mengalir selama 48 jam atau direndam larutan kalium nitrat (0,2%--6%) selama 14 jam. Direndam dalam air mendidih selama 2 jam kemudian dikeringkan di panas matahari selama 2 hari

Sumber: Balai Perbenihan Tanaman Hutan (2000), Suseno dan Suginingsih (1984), Balai Teknologi Perbenihan (2000).

Perendaman benih ke dalam air dengan suhu awal tertentu memungkinkan untuk digunakan dalam skarifikasi (lihat Gambar 1). Sasaran dalam skarifikasi dengan cara seperti ini adalah untuk merenggangkan (menurunkan kerapatan) kulit buah atau kulit biji, sehingga proses imbibisi air ke dalam benih berjalan lancar sesuai

Indriyanto

37

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON dengan kebutuhan perkecambahan. Selain itu, sasaran skarifikasi dengan perendaman benih ke dalam air adalah untuk menstimulasi perkembangan embrio dalam benih setelah mengondisikan suhu awal tertentu pada air yang digunakan untuk skasifikasi. Percobaan yang dilakukan oleh Aritonang (2005) diperoleh hasil bahwa perendaman benih jati ke dalam air dengan suhu awal 700 C cenderung memberikan hasil yang baik dalam mempercepat

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

perkecambahan benih. Di samping itu, daya berkecambah benih jati yang diberi perlakuan perendaman dalam air dengan suhu awal 700 C lebih baik dibandingkan dengan tanpa perendaman maupun perendaman ke dalam air dengan suhu awal 250 C, 400 C, 550 C, dan 800 C. Pengamatan perkecambahan benih jati yang dilakukan Aritonang dalam jangka waktu 80 hari diperoleh data bahwa benih jati yang diskarifikasi dengan perendaman dalam air suhu awal 700 C dan dibiarkan sampai dingin selama 24 jam, lalu dikecambahkan pada media pasir dan dilaksanakan dalam rumah kaca menghasilkan daya berkecambah 52% dan rata-rata hari berkecambah benih selama 22,6 hari (dibulatkan 23 hari).

Gambar 1. Skarifikasi benih jati dengan cara perendaman benih dalam air dengan suhu awal 250 C, 400 C, 550 C, 700 C, dan 800 C (Aritonang, 2005)

Benih merbau darat (Intsia palembanica) memiliki tanggapan yang serupa dengan hasil penelitian Aritonang tersebut, yaitu tanggapan proses perkecambahan benih terhadap skarifikasi perendaman benih dalam air dengan suhu awal yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Musradi (2006) dikemukakan 38

Indriyanto


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON

selama 24 jam, kemudian benih dikecambahkan dalam bedengan perkecambahan yang ditutup dengan sungkup plastik berwarna biru, sedangkan media perkecambahannya terbuat dari campuran tanah dan pasir (3:1). Perlakuan perendaman benih dalam air dengan suhu awal 650 C sampai dengan 750 C merupakan suhu perendaman paling efektif dalam mematahkan dormansi benih merbau darat, serta paling efektif dalam menstimulasi atau memacu kemampuan benih merbau darat untuk berkecambah. Benih merbau darat yang diskarifikasi dengan perendaman air suhu awal 650 C—750 C bisa berkecambah secara cepat dengan rata-rata hari berkecambah 19 hari. Persentase kecambah benih merbau darat setelah benih dikecambahkan selama 40 hari adalah 77%--81%. Skarifikasi benih yang mengalami dormansi akibat kulit benih yang keras dapat dilakukan juga secara kimiawi, yaitu dengan merendam benih ke dalam larutan kimia tertentu sebelum benih dikecambahkan dengan maksud untuk melunakkan kulit benih. Benih yang kulitnya lunak setelah diskarifikasi secara kimiawi akan bersifat dapat ditembus (permeable) oleh air dalam proses imbibisi dan dapat ditembus oleh oksigen. Untuk kepentingan skarifikasi ini, penggunaan larutan asam sulfat (H2SO4) maupun larutan kimia lainnya sangat memungkinkan (lihat Gambar 2). Dalam percobaan skarifikasi secara kimiawi tidak semata-mata ingin mencari perlakuan yang berpengaruh paling baik terhadap perkecambahan, akan tetapi juga ingin mencari konsentrasi terendah yang efektif dalam mematahkan dormansi benih, mengingat harga zat kimia yang digunakan sangat mahal. Percobaan yang telah dilakukan oleh Purwani (2006) mengenai skarifikasi benih merbau darat dengan asam sulfat dapat dikemukakan Indriyanto

39

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

bahwa skarifikasi perendaman benih dalam air dengan suhu awal yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap persentase kecambah, rata-rata hari berkecambah, nilai kecambah, dan daya berkecambah benih merbau darat. Suhu awal air yang dicoba oleh Musradi untuk skarifikasi benih merbau darat adalah 250 C (suhu normal air), 350 C, 450 C, 550 C, 650 C, 750 C, dan 800 C. Perendaman benih dalam air tersebut dilakukan


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan asam sulfat dan lama perendaman dapat menurunkan perkecambahan benih merbau darat. Lebih lanjut dikemukakan bahwa konsentrasi larutan asam sulfat 40% menghasilkan persentase kecambah benih merbau darat tertinggi, sedangkan lama perendaman yang efektif dalam mematahkan dormansi adalah perendaman selama 20 menit. Skarifikasi benih merbau darat dengan larutan asam sulfat 40% selama 20 menit menghasilkan persentase kecambah sebesar 90% dan rata-rata hari berkecambah 16 hari.

Gambar 2. Skarifikasi benih merbau darat dengan perendaman dalam larutan asam sulfat 0%, 20%, 40%, dan 60% (Purwani, 2006)

Selain larutan asam sulfat, larutan kalium nitrat (KNO3) juga digunakan secara luas dalam skarifikasi dan untuk menstimulasi perkecambahan benih (lihat Gambar 3). Larutan kalium nitrat dengan konsentrasi 0,2% biasa digunakan untuk mempercepat proses perkecambahan benih yang mengalami dormansi (Copeland, 1995). Senyawa kimia ini (kalium nitrat) dapat berfungsi untuk mengefektifkan penggunaan cahaya dan suhu, serta penyerapan oksigen oleh benih. Unsur nitrogen pembentuk kalium nitrat berpengaruh terhadap sintesis asam amino dan protein. Protein berfungsi sangat penting sebagai pengatur pertumbuhan vegetatif misalnya untuk meningkatkan pertumbuhan batang dan daun, serta menstimulasi pertumbuhan meristem ujung. Menurut Syafutri (2002), konsentrasi larutan KNO3 12% merupakan konsentrasi yang efektif untuk memacu pertumbuhan semai 40

Indriyanto


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON

Gambar 3. Skarifikasi benih mahoni dengan perendaman dalam larutan KNO3 6% (Sitompul, 2005)

5. Menyemai Benih Benih sebaiknya disemai terlebih dahulu. Menyemai benih berarti melakukan kegiatan pesemaian yang meliputi mengecambahkan benih dan menyapih kecambah dari bedeng pengecambahan ke bedeng penyapihan. Adapun media tumbuh yang digunakan untuk mengecambahkan benih dan untuk menyapih kecambah (semai) disajikan pada bab tersendiri yang menguraikan tentang media tumbuh semai. Benih yang disemai terlebih dahulu akan memiliki kelebihan dibandingkan benih yang langsung ditanam di areal penanaman. Mengecambahkan benih dilakukan dengan cara membenamkan benih dalam media perkecambahan sedalam 1,5 kali panjang benih dengan posisi mikropil (lubang keluarnya akar) terletak di bawah. Dengan demikian, ada upaya memosisikan benih sesuai dengan hukum alam bahwa akar akan tumbuh ke bawah, sehingga posisi bakal akar pada saat benih dikecambahkan harus diusahakan terletak di bawah (lihat Gambar 4).

Indriyanto

41

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

mahoni, sedangkan lama waktu perendaman benih mahoni dalam larutan tersebut adalah 21 jam. Benih mahoni yang diberi perlakuan perendaman dalam larutan kalium nitrat 12% dan lama perendaman benih 21 jam, kemudian dikecambahkan selama 3 minggu, lalu disapih hingga umur 2 bulan, diperoleh bibit dengan rata-rata tinggi 25,46 cm dan rata-rata diameter batang 0,508 cm.


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON Sebelum benih dikecambahkan, media perkecambahannya disiram air secukupnya hingga semua bagian media perkecambahan menyerap air. Demikian pula, setelah benih dikecambahkan medianya harus disiram air secara teratur setiap pagi hari. Banyakanya air yang digunakan untuk menyiram bedengan perkecambahan harus disesuaikan dengan kondisinya agar media perkecambahan tidak terlalu becek dan tidak terlalu kering.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Penyemaian benih bertujuan antara lain sebagai berikut. a. Benih yang disemai diharapkan memiliki persentase hidup lebih besar karena benih sebelum disemai mendapatkan perlakukan yang lebih baik untuk proses perkecambahan. b. Semai diharapkan memiliki pertumbuhan yang lebih baik karena selama di pesemaian selalu mendapatkan pemeliharaan dengan baik, serta memperoleh ruang tumbuh yang layak untuk pertumbuhan semai. c.

Gambar 4. Menyemai benih jati pada bedengan penaburan (gambar diambil oleh Chalis Octaviana pada tahun 2005 di pembibitan jati KPH Cepu)

Pertumbuhan semai diharapkan akan lebih baik setelah dilakukan penyapihan semai. Semai (kecambah) sebaiknya disapih pada bedeng penyapihan. Penyapihan semai adalah pemindahan semai dari bedeng perkecambahan ke bedeng penyapihan.

42

Indriyanto


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON

maupun ruang tumbuh di dalam media bagi pertumbuhan akar semai. c. Menghindari terjadinya persaingan di antara semai dalam memanfaatkan segala komponen lingkungan untuk pertumbuhannya. d. Memberikan suplai unsur hara dan air bagi pertumbuhan semai. Penyapihan semai dilakukan dengan dua cara, yaitu sebagai berikut. a. Semai disapih pada bedengan tanah, jika bibit yang akan dihasilkan adalah bibit cabutan atau bibit tunggkul (stump), b. Semai disapih pada wadah (kontiner) yang berisi media tumbuh bibit dan disusun pada bedengan penyapihan, jika bibit yang akan dihasilkan adalah bibit dalam kontiner. Penyapihan semai pada umumnya dikerjakan ketika akar cabang mulai tumbuh dan batangnya mulai mengayu. Kondisi semai seperti ini biasanya terjadi pada umur semai 1 minggu hingga 1 bulan setelah benih berkecambah. Pada umur semai tersebut bagi jenis pohon yang pertumbuhannya lambat umumnya semai telah mencapai tinggi 3—5 cm dan panjang akar 8—15 cm, sedangkan bagi jenis pohon yang pertumbuhannya cepat tinggi semai akan lebih tinggi dari keadaan tersebut. Umur kecambah yang disapih ternyata berpengaruh terhadap pertumbuhan semai atau bibit. Pada percobaan yang dilakukan oleh Indriyanto (1999) memberikan informasi bahwa periode penyapihan berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit mahoni (Swietenia

Indriyanto

43

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Tujuan penyapihan semai antara lain adalah sebagai berikut. a. Memberikan kesempatan atau kemungkinan pertumbuhan akar kecambah secara lebih baik, sehingga suatu saat nanti semai yang ditanam di area penanaman dapat menjadi tanaman yang tumbuh baik dengan persentase hidup yang tinggi. b. Memberikan ruang tumbuh yang cukup baik ruang tumbuh di atas permukaan media bagi pertumbuhan batang dan tajuk semai


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON macrophylla). Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan oleh Indriyanto tersebut bahwa penyapihan kecambah mahoni umur 3 minggu setelah benih berkecambah merupakan saat penyapihan yang tepat karena pertumbuhan bibit paling baik dibandingkan dengan penyapihan kecambah umur 1 minggu, 2 minggu, 4 minggu, dan 5 minggu setelah benih berkecambah. Pertumbuhan bibit mahoni yang dimaksud adalah berdasarkan lima variabel pengamatan pertumbuhan bibit (tinggi bibit, diameter batang, panjang akar, bobot kering, dan indeks mutu bibit) yang kesemuanya menunjukkan rata-rata nilai yang terbaik bagi bibit yang kecambahnya disapih umur 3 minggu setelah benih berkecambah. Pada perlakuan tersebut, tinggi bibit mahoni umur 4 bulan di pesemaian adalah 40,29 cm, diameter batang adalah 0,42 cm, panjang akar 22,14 cm, bobot kering 3,58 g/bibit, dan indeks mutu bibit 0,0362. Kecambah yang masih muda memerlukan media yang kondisi aerasi dan drainasenya dapat dikendalikan dengan baik karena pada fase ini pertumbuhan kecambah terjadi dengan memanfaatkan cadangan makanan yang tersedia dalam endosperm dan kotiledon. Dalam pemanfaatan cadangan makanan ini diperlukan air untuk translokasi bahan organik, untuk menyusun protoplasma, pembesaran sel, dan pertumbuhan. Aerasi dan drainase yang baik memungkinkan air yang tersedia dapat digunakan untuk memanfaatkan cadangan makanan untuk pertumbuhan dan memungkinkan pula tersedianya oksigen untuk respirasi. Pada saat sistem perakaran mulai berkembang disertai berkembangnya daun sebagai organ fotosintesis, sudah barang tentu meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap media tumbuh. Demikian pula ketika cadangan makanan dalam endosperm ataupun dalam kotiledon habis, maka suplai unsur hara sangat diperlukan. Oleh karena itu, penyapihan pada saat yang tepat yaitu saat bibit memerlukan suplai unsur hara untuk pertumbuhan akan berdampak positif terhadap kualitas pertumbuhan bibit. Jika kecambah sudah saatnya memerlukan suplai unsur hara untuk pertumbuhan akan tetapi tidak segera dilakukan penyapihan, maka

44

Indriyanto


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON pertumbuhan setiap organ bibit akan terganggu dan ketika disapih pertumbuhan organ maupun perakaran bibit tidak berkembang dengan baik. Dengan demikian, penyapihan kecambah dimaksudkan agar bibit terhindar dari persaingan unsur hara dalam bak kecambah (bedeng perkecambahan), dan dimaksudkan agar pertumbuhan organ-organ tanaman dapat berjalan secara baik sesuai dengan suplai unsur hara yang diperlukan untuk proses pertumbuhan tersebut.

Gambar 5. Bedengan penyapihan untuk memindah kecambah/semai dari bedengan penaburan (gambar diambil oleh Indriyanto pada tahun 2001 di lokasi pembibitan PT Inhutani V, Lampung)

C. Perbanyakan Pohon dengan Cara Setek Perbanyakan pohon secara vegetatif adalah perbanyakan pohon tanpa melalui proses penyerbukan dan pembuahan, perbanyakan ini dilakukan menggunakan organ vegetatif pohon. Organ vegetatif pohon yang dapat digunakan sebagai bahan perbanyakan vegetatif adalah batang, cabang, ranting, dan akar. Adapun yang disebut setek adalah sepotong batang, cabang, ranting, atau akar yang dipakai sebagai bahan perbanyakan pohon. Perbanyakan pohon secara vegetatif dengan setek sangat cocok untuk spesies pohon yang bersifat tumbuh cepat (fast growing species), misalnya angsana (Pterocarpus indicus), lamtorogung

Indriyanto

45

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Contoh bentuk bedengan penyapihan dapat dilihat pada Gambar 5.


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

(Leucaena leucocephala), randu (Ceiba pentandra), mahoni daun lebar (Swietenia macrophylla), mahoni daun kecil (Swietenia mahagoni), jabon (Anthocephalus chinensis), kelampayan (A. cadamba), puspa (Schima wallichii), sungkai (Peronema canescens), sukun (Artocarpus communis), sonokeling (Dalbergia latifolia), wareng (Gmelina arborea), rukam (Flacourtia rukam), waru pantai (Hibiscus tiliaceus), dan lain-lain. Perbanyakan pohon secara vegetatif dengan cara setek memiliki kelebihan, meskipun cara ini juga memiliki kekurangan. Beberapa kelebihan perbanyakan pohon dengan cara setek antara lain adalah sebagai berikut. a. Pohon yang dihasilkan memiliki sifat yang sama persis dengan induknya, sehingga cara perbanyakan seperti ini sesuai untuk upaya pemurnian/pemuliaan tegakan hutan. b. Meskipun tanaman yang dihasilkan tidak berakar tunggang, namun daya tahan terhadap angin tidak kalah dengan tanaman hasil perbanyakan secara generatif. Bahkan jika perbanyakan dengan setek mampu menghasilkan akar cabang dan akar halus yang ekstensif maka daya tahan pohon terhadap angin bisa lebih baik karena sistem perakaran yang ekstensif ini akan beragregasi dengan tanah sehingga memperkuat tanah dan memperkuat berdirinya tubuh pohon. c. Pohon hasil perbanyakan dengan setek yang menghasilkan sistem perakaran secara ekstensif bisa memiliki daya tahan yang lebih tinggi terhadap kekeringan dan terhadap kekurangan unsur hara dibandingkan dengan tanaman hasil perbanyakan secara generatif. d. Jika hasil yang dipungut adalah hasil hutan nir-kayu, maka pohon hasil perbanyakan dengan setek cepat memproduksi hasil hutan tersebut. Adapun beberapa kekurangan perbanyakan pohon dengan cara setek antara lain sebagai berikut. a. Pohon induk tajuknya menjadi rusak karena cabang/rantingnya dipungut untuk bahan perbanyakan pohon.

46

Indriyanto


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON b. Setiap satu pohon induk menghasilkan jumlah bahan setek yang terbatas dibandingkan dengan cara generatif.

1. Sumber Pengambilan Setek Untuk melakukan pemurnian/pemuliaan tegakan hutan, maka bahan untuk setek harus diambil dari sumber benih yang memiliki mutu genetik tinggi untuk perbanyakan pohon secara vegetatif. Sumber bahan setek yang layak ditinjau dari aspek pemurnian tegakan hutan adalah Kebun Benih Pangkas (KBP), akan tetapi jika KBP tersebut belum dibangun maka bahan setek bisa diambil dari pohon plus. Dalam rangka pembangunan hutan tanaman maupun hutan tanaman industri, pembangunan kebun benih harus diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan bahan tanaman yang unggul. Melalui cara yang demikian itu diharapkan produktivitas hutan dapat ditingkatkan dan kualitas produksinya memadai sesuai persyaratan teknologi penggunaan hasil hutan, baik hasil hutan berupa kayu maupun nirkayu. Perbanyakan pohon secara vegetatif dengan setek bisa berhasil apabila bahan setek yang disemai mampu membentuk sistem pertunasan dan sistem perakaran yang dapat berfungsi untuk menyerap unsur hara, air, dan oksigen, serta mampu menopang tubuh tanaman. Pembentukan akar pada setek pohon sangat dipengaruhi oleh kondisi pohon-pohon sumber bahan setek, serta dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Oleh karena itu, pohon yang dijadikan sebagai sumber setek harus layak ditinjau dari aspek pemurnian tegakan hutan, di antaranya adalah pohon-pohon yang memiliki sifat-sifat terbaik yang dikehendaki.

Indriyanto

47

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Perbanyakan pohon secara vegetatif dengan setek harus memperhatikan beberapa ketentuan, antara lain: sumber pengambilan setek, pemungutan setek dan penanganannya, dan menyemai setek. Masing-masing ketentuan yang harus dilakukan diuraikan sebagai berikut.


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Sumber pengambilan bahan setek harus diperhatikan karena pohon hasil perbanyakan secara vegetatif memiliki banyak kelebihan yang salah satu di antaranya adalah sifat pohon hasil perbanyakan tersebut selalu seperti pohon induknya (Hendromono, 1998). Dengan demikian, pemungutan/pengambilan bahan setek pohon dari sumber benih yang tidak benar akan menghasilkan bibit yang tidak sesuai dengan tujuan dan harapan dalam pembangunan hutan tanaman. 2. Pemungutan Setek dan Penanganannya Kegiatan pemungutan setek harus memerhatikan beberapa hal sebagai berikut. a. Batang, cabang, ataupun ranting yang akan digunakan untuk setek harus dipilih dari organ yang sehat dan pertumbuhannya normal. b. Batang, cabang, ataupun ranting tidak terlalu tua karena organ vegetatif yang terlalu tua memiliki banyak sel dan jaringan yang mati atau sebagian besar sel-selnya tidak lagi aktif membelah diri. c. Panjang minimal bagi batang, cabang, ataupun ranting untuk sebatang setek adalah satu ruas, akan tetapi juga jangan terlalu panjang hingga menyulitkan dalam teknis pelaksanaan penyetekan dan mengganggu kekokohan setek yang disemai. Ruas (internodus) yaitu bagian batang, cabang, dan ranting yang dibatasi oleh buku-buku batang (nodus), sehingga satu ruas yaitu bagian batang, cabang, dan ranting yang dibatasi oleh dua buku-buku batang. Buku-buku batang merupakan tempat duduknya daun, juga sebagai tempat tumbuhnya tunas, serta merupakan tempat yang potensial untuk pertumbuhan akar jika buku-buku batang ini terletak di bagian pangkal setek dan dibenamkan pada media tumbuh. Namun demikian, ukuran panjang setek yang optimum bagi keberhasilan setek setiap spesies pohon masih perlu dilakukan penelitian. d. Ukuran diameter batang, cabang, atau ranting yang akan digunakan untuk setek jangan terlalu besar, sebaiknya digunakan diameter batang, cabang, atau ranting sebesar < 2 cm. Besar atau kecilnya diameter batang, cabang, dan ranting berkorelasi dengan umur

48

Indriyanto


organ tersebut. Batang, cabang, atau ranting yang berdiameter besar pada umumnya lebih tua dibandingkan dengan yang berdiameter kecil, sehingga yang berdiameter < 2 cm diduga memiliki sel-sel yang masih aktif untuk pertumbuhan setek, kendatipun demikian besar kecilnya diameter batang, cabang, ataupun ranting untuk setek masih perlu dilakukan penelitian pada setiap spesies pohon agar diketahui diameter optimum bagi keberhasilan setek. e. Jika perbanyakan pohon menggunakan setek akar, maka akar pohon yang digunakan adalah akar yang pertumbuhannya horizontal karena akar demikian memudahkan dalam pemungutan. Karena pemungutan akar horizontal lebih mudah, maka kerusakan yang kemungkinan terjadi pada bahan setek dapat ditekan, dan keruskan tanah sebagai tempat tumbuh pohon induk juga dapat ditekan. Pemungutan bahan stek akar dilakukan dengan cara menggali akar horizontal di sekeliling pohon induk, kemudian memotong akar tersebut, dan tanah bekas galian harus dikembalian pada posisi semula. Untuk menghindari salah posisi dalam menyemai setek, maka pada saat pengambilan akar supaya bagian pangkal akar dipotong miring. Jumlah akar dan intensitas pengambilan akar horizontal pada setiap pohon harus bipertimbangkan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi fisik dan fisiologis pohon induknya. Akar yang digunakan untuk setek sebaiknya berdiameter < 2 cm, dan panjang setiap setek akar menurut Prastowo dkk. (2006) lebih kurang 5 cm—10 cm. f. Penanganan bahan setek perlu dilakukan secara baik dan benar agar bahan setek tidak rusak dan tidak mati. Suatu langkah yang paling baik adalah menyemai setek sesegera mungkin agar bahan setek tidak layu. Akan tetapi, jika jumlah bahan setek yang akan disemai cukup banyak maka penyemaian setek memerlukan waktu lama. Untuk menghindari kerusakan bahan setek, semua bahan setek yang telah terkumpulkan diikat dan dibungkus karung goni yang basah dan diletakkan di bawah atap (naungan). g. Perlakuan untuk mempercepat pertumbuhan akar pada setek dapat dilakukan secara kimiawi yaitu menggunakan hormon tumbuh

Indriyanto

49

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON nabati. Beberapa jenis hormon tumbuh nabati yang digunakan untuk menstimulasi/memacu pertumbuhan setek antara lain, asam indol asetat (AIA), asam indol butirat (AIB), asam naftalen asetat (ANA), asam giberelat (GA3), asam 2,4-dikloropenoksiasetat (2,4-D), dan Rootone-F. Dosis dari masing-masing hormon tersebut dalam penggunaannya untuk menstimulasi pertumbuhan setek harus disesuaikan dengan kebutuhan sebab jika penggunaannya

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

berlebihan diduga bisa beracun bagi tanaman. Berkaitan dengan penggunaan hormon pertumbuhan, stimulasi pertumbuhan setek karena pemberian hormon terjadi pada konsentrasi yang relatif rendah. Pemberian hormon pada konsentrasi tinggi akan menyebabkan pertumbuhan akar terhambat, dan jika konsentrasi hormon ditingkatkan lebih tinggi lagi, maka tanaman akan mati (Northen, dalam Sudradjat, 1987). Pernyataan tersebut cukup beralasan bahwa pada konsentrasi hormon yang sangat tinggi kemungkinan bisa terjadi ketidakefektivan kerja hormon karena dengan konsentrasi yang terlalu tinggi hormon bisa bersifat menghambat bahkan bersifat racun terhadap jaringan tumbuhan (Leopold dan Kriedman, dalam Sudradjat, 1987). Demikian pula jika konsentrasi hormon terlalu rendah kemungkinan ketidakefektivan kerja hormonpun terjadi, sehingga hormon tidak mampu menstimulasi pertumbuhan akar dan tunas. Menurut Prastowo dkk. (2006), konsentrasi AIB, AIA, dan ANA antara 500 ppm—10.000 ppm, hal ini bergantung kepada spesies tanamannya. Penggunaan hormon asam indol butirat (AIB) yang pernah dicoba oleh Siagian (1992) pada setek batang wareng (Gmelina arborea) dapat dikemukakan bahwa hormon AIB berpengaruh positif terhadap persentase jadi setek batang. Pada konsentrasi AIB 400 mg/liter (equivalen dengan 400 ppm), persentase jadi setek batang wareng adalah 72,29%. Dosis AIB tersebut merupakan dosis yang berpengaruh paling baik terhadap persentase jadi setek batang wareng dibandingkan dengan dosis-dosis lainnya (0 mg/liter, 50 mg/ liter, 100 mg/liter, dan 200 mg/liter). Perbanyakan pohon sengan setek

50

Indriyanto


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON

dapat dikemukakan bahwa persentase hidup bibit terbaik (65,83%) diperoleh dengan memberi hormon Rootone-F berdosis 50 mg/cc. Meranti batu merupakan salah satu spesies pohon anggota famili Dipterocarpaceae yang bersifat tumbuh lambat (slow growing species), sehingga penggunaan hormon tumbuh seperti Rootone-F pada akar anakan pohon yang akan ditanam dimungkinkan dapat menstimulasi pertumbuhannya. Untuk kepentingan perbanyakan pohon dengan setek, penggunaan hormon Rootone-F dengan dosis tersebut barangkali dapat digunakan, meskipun demikian dosis yang efektif dan efisien dalam aplikasinya untuk perbanyakan setiap spesies pohon masih perlu diteliti lebih lanjut. Pada Tabel 3 disajikan penggunaan beberapa jenis hormon dan konsentrasinya, serta persentase keberhasilan setek dan anakan cabutan yang diberi hormon penumbuh akar.. Tabel 3. Jenis dan konsentrasi hormon, serta persentase jadi setek dan anakan cabutan yang diberi hormon No.

Jenis Pohon yang Distek

1.

Anisoptera megistocarpa

2.

Dryobalanops lanceolata

3.

Shorea acuminate

4.

Shorea assamica Shorea bracteolate

5.

Jenis Hormon dan Konsentrasinya IBA 150 ppm untuk merendam pangkal setek selama 1 jam NAA dalam bentuk bubuk/ tepung IBA 30 ppm untuk merendam pangkal setek selama 1 jam Rootone-F dalam bentuk bubuk/tepung IBA 500 ppm untuk merendam pangkal setek Indriyanto

Persentase Jadi (%) 76 88 65 81 91 51

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

dikatakan berhasil apabila sudah terbentuk sistem pertunasan dan sistem perakaran yang bisa berfungsi untuk menyerap air, unsur hara, dan menopang tubuh tanaman. Penggunaan hormon Rootone-F untuk menstimulasi pertumbuhan anakan meranti batu (Shorea platyclados) telah dicoba oleh Napitupulu dan Supriana (1986) dengan cara mengoleskan hormon tersebut pada akar anakan pohon. Berdasarkan percobaan yang dilakukan


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON

9.

Shorea leprosula Shorea pauciflora Vatica pauciflora Gmelina arborea

10.

Morus shima

11.

Shorea platyclados

12.

Hopea mengarawan

13.

Eucalyptus urophylla

14.

Shorea javanica

6. 7. 8.

Rootone-F dalam bentuk bubuk/tepung Rootone-F dalam bentuk bubuk/tepung

95

IBA 0,2%

80

IBA 400 ppm Rootone-F 75 mg dalam bentuk pasta dioleskan pada pangkal setek Rootone-F 50 mg dalam bentuk pasta dioleskan pada akar anakan pohon NAA 125 ppm untuk merendam akar anakan cabutan selama 24 jam. Rootone-F 1 g/ml (1 gram dalam 1 ml aquades) dioleskan pada pangkal setek. Rootone-F 50mg/cc untuk merendam pangkal setek selama 5 menit.

70

72,29

65,83 76,67 24 68

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Sumber: Yasman et al. (2002); Siagian (1992); Sudradjat (1987); Napitupulu dan Supriana (1986); Omon (1987); Januansyah (2007); Indriyanto (2005).

Mengenai ukuran panjang setek batang/cabang sesungguhnya tidak selalu sama untuk setiap spesies pohon. Ukuran panjang setek yang sering digunakan dalam perbanyakan tanaman secara vegetatif adalah 10 cm—30 cm atau setiap setek minimal memiliki 3—5 bakal tunas (Wudianto, 1992), sedangkan menurut Sutarto (1994) bahwa panjang setek batang adalah 10 cm—75cm yang setiap seteknya minimal terdiri atas dua buku-buku batang (dua nodus). Ruas batang, cabang, atau ranting antarspesies pohon tidak sama panjangnya, oleh karena itu sangat wajar apabila ukuran panjang setek batang/cabang tidak selalu sama untuk setiap spesies pohon. Untuk tanaman murbei (Morus shima), rata-rata panjang setek yang digunakan adalah 20 cm (Siagian, 1992). Adapun panjang setek pucuk pohon damar kaca yang pernah dicoba oleh Hendromono adalah 15 cm (Hendromono, 1998).

52

Indriyanto


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON

3. Menyemai Setek Menyemai setek dapat dilakukan pada bedengan pengecambahan yang nantinya jika setek sudak hidup lalu disapih dalam kontiner (wadah) yang berisi media penyapihan, namun dapat juga setek disemai langsung dalam kontiner yang berisi media tumbuh (lihat Gambar 6 dan Gambar 7). Beberapa hal yang perlu diperhatikan di dalam menyemai setek pohon adalah sebagai berikut. a. Media tumbuh untuk menyemai setek pohon bisa berupa pasir jika nantinya akan dilakukan penyapihan terhadap setek yang telah hidup. Penyapihan terhadap setek yang telah hidup dilakukan dalam kontiner yang berisi media tumbuh berupa tanah lapisan atas (top soil) atau tanah lapisan atas yang diberi campuran bagan organik dengan perbandingan tanah : bahan organik adalah 4:1, 3:1, 2:1, atau 1:1. Penjelasan lebih khusus disampaikan pada bab berikutnya tentang media tumbuh semai. b. Menyemai setek bisa dilakukan langsung ke dalam kontiner yang berisi media tumbuh berupa tanah lapisan atas atau campuran tanah lapisan atas dengan bahan organik dengan perbandingan seperti di atas. c. Stek disemai pada posisi tegak dengan kedalaman pembenaman 5 cm—10 cm. Adapun khusus setek akar, dapat disemai dengan posisi horizontal ataupun posisi tegak. Menyemai setek akar dengan posisi horizontal dapat dilakukan dengan membenamkan setek secara horizontal sedalam diameter setek.

Indriyanto

53

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Bahan setek yang panjang mengandung cadangan makanan yang tersimpan dalam organ setek lebih banyak dibandingkan dengan setek yang pendek, sehingga diduga semakin panjang setek akan berpengaruh positif terhadap persentase jadi setek. Akan tetapi, dengan pertimbangan efisiensi dan efektivitas penggunaan bahan (organ vegetatif pohon), maka panjang setek yang berpengaruh optimal terhadap persentase jadi setek perlu dicoba untuk setiap spesies pohon.


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

d. Kelembaban udara tempat menyemai setek supaya dipertahankan tetap tinggi yaitu sekitar 70%--90%, sedangkan suhu udara sekitar 250C—27oC. Untuk mempertahankan kondisi kelembaban udara, sebaiknya bedengan penyemaian setek diberi sungkup plastik warna putih (lihat Gambar 8). Sungkup plastik selain berfungsi untuk menjaga kelembaban udara juga untuk mengurangi transpirasi, sehingga bahan setek tetap segar atau tidak kering. e. Bedengan penyemaian setek diletakkan di bawah naungan alamiah atau diberi atap (naungan) buatan untuk mereduksi sinar matahari dan untuk melindungi pesemaian dari pengaruh tetesan curah hujan. Naungan buatan bisa menggunakan anyaman daun kelapa, anyaman daun nipah, anyaman daun alang-alang, atau menggunakan paranet (sarlon shade) dengan persentase reduksi sinar matahari sebesar 75% (Prastowo at al., 2006).

Gambar 6. Menyemai setek cabang sungkai pada media tumbuh dalam polybag (Ginting, 2005)

Gambar 7. Menyemai setek akar sukun dalam sungkup plastik (foto diambil Indriyanto pada tahun 2004 di lokasi pesemaian masyarakat Lampung Timur)

54

Indriyanto


Gambar 8. Bentuk sungkup plastik untuk menjaga kelembapan udara pada bedengan penyemaian setek (foto diambil Indriyanto pada tahun 2004 di lokasi pesemaian masyarakat Lampung Timur)

D. Perbanyakan Pohon dengan Cara Cangkok Cangkok (layering) yaitu salah satu cara perbanyakan pohon dengan cara menumbuhkan akar pada batang, cabang, atau ranting yang masih melekat pada pohon induknya (Hartmann, Flocker, dan Kofranek, 1981). Perbanyakan pohon dengan cangkok terdiri atas dua cara yaitu cangkok biasa atau cangkok udara (air layering) dan merunduk atau cangkok tanah (ground layering). Cangkok biasa yaitu cangkok yang dilakukan dengan cara menyayat kulit batang, cabang, atau ranting, kemudian membalut sayatan dengan tanah dan membungkusnya dengan plastik atau sabut kelapa, kemudian diikat dengan tali. Merunduk yaitu cangkok yang dilakukan dengan cara menyayat kulit cabang atau kulit ranting, kemudian membengkokkan cabang/ranting tersebut ke arah tanah di bawah pohon dan menimbun bagian cabang/ranting yang disayat dengan tanah. Perbanyakan pohon dengan cara cangkok sangat cocok untuk jenis pohon yang tumbuh cepat. Pada umumnya spesies pohon yang bisa dengan mudah diperbanyak dengan cara stek, bisa juga dengan mudah diperbanyak dengan cara cangkok. Cara perbanyakan dengan cangkok seperti juga cara perbanyakan dengan stek bersifat sangat baik untuk memurnikan sifat unggul karena pohon hasil perbanyakan ini memiliki sifat yang sama dengan sifat pohon induknya. Indriyanto

55

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Perbanyakan pohon secara vegetatif dengan cara cangkok memiliki kelebihan, meskipun cara ini juga memiliki kekurangan. Beberapa kelebihan perbanyakan pohon dengan cara cangkok antara lain adalah sebagai berikut. a. Pohon yang dihasilkan memiliki sifat yang sama persis dengan induknya, sehingga cara perbanyakan seperti ini sesuai untuk upaya pemurnian/pemuliaan tegakan hutan. b. Meskipun tanaman yang dihasilkan tidak berakar tunggang, namun daya tahan terhadap angin tidak kalah dengan tanaman hasil perbanyakan secara generatif. Jika perbanyakan dengan cangkok mampu menghasilkan akar cabang dan akar halus yang ekstensif maka daya tahan pohon terhadap angin bisa lebih baik karena sistem perakaran yang ekstensif ini akan beragregasi dengan tanah sehingga memperkuat tanah dan memperkuat berdirinya tubuh pohon. c. Pohon hasil perbanyakan dengan cangkok yang menghasilkan sistem perakaran secara ekstensif bisa memiliki daya tahan yang lebih tinggi terhadap kekeringan dan terhadap kekurangan unsur hara dibandingkan dengan tanaman hasil perbanyakan secara generatif. d. Jika hasil yang dipungut adalah hasil hutan nir-kayu, maka pohon hasil perbanyakan dengan cangkok cepat memproduksi hasil hutan tersebut. Adapun beberapa kekurangan perbanyakan pohon dengan cara cangkok antara lain adalah sebagai berikut. a. Pohon induk tajuknya menjadi rusak karena cabang/rantingnya dipungut untuk bahan perbanyakan pohon. b. Setiap satu pohon induk menghasilkan jumlah bahan cangkok yang sangat terbatas dibandingkan dengan cara stek dan cara generatif. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan perbanyakan pohon secara cangkok antara lain: sumber cangkok (pohon yang akan dicangkok), bahan dan alat untuk mencangkok, cara mencangkok, dan penyapihan cangkok. 56

Indriyanto


1. Sumber Cangkok Pohon yang cabang dan rantingnya akan dicangkok harus pohonpohon yang berada di dalam Kebun Benih Pangkas (KBP), akan tetapi jika KBP tersebut belum dibangun maka pohon yang dicangkok bisa berupa pohon plus. Kendatipun pohon yang akan dicangkok sudah merupakan pohon terpilih, namun dalam tahap pelaksanaan mencangkok harus memilih cabang/ranting yang memenuhi kriteria sebagai berikut. a. Cabang atau ranting yang akan dicangkok harus dipilih yang kondisinya sehat dan pertumbuhannya normal. b. Cabang atau ranting terletak pada bagian tajuk yang mendapat penyinaran matahari penuh, kecuali cara merunduk (ground layering) harus dipilih cabang atau ranting yang letaknya dekat dengan tanah dan diperkirakan bisa dibengkokkan ke arah tanah di bawah pohon. c. Cabang dipilih yang tidak terlalu tua, juga tidak terlalu muda. d. Ukuran diameter cabang atau ranting yang akan dicangkok adalah 1 cm—2 cm. 2. Bahan dan Alat untuk Membuat Cangkok Bahan dan alat yang diperlukan untuk membuat cangkok pohon antara lain adalah sebagai berikut. a. Bahan tanaman yang berupa cabang/ranting dengan kriteria seperti yang telah disebutkan di atas. b. Media untuk menumbuhkan akar, misalnya tanah lapisan atas yang subur, pupuk kandang, kompos, gambut, dan lumut. c. Zat perangsang tumbuh jika diperlukan untuk menstimulasi pertumbuhan akar cabang/ranting yang dicangkok misalnya Rooteone-F, AIB, AIA, dan ANA. d. Pembungkus media tumbuh akar, misalnya bisa menggunakan plastik putih atau menggunakan sabut kelapa. e. Tali rafia untuk mengikat pembungkus tersebut. f. Media tumbuh dalam kontiner (wadah) yang dipergunakan untuk menyapih cangkokan.

Indriyanto

57

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

g. Pisau yang tajam mata pisaunya untuk mengerat dan menyayat kulit cabang/ranting yang akan dicangkok. h. Gergaji untuk memotong cabang/ranting yang dicangkok jika telah tumbuh akar. 3. Cara Mencangkok Mencangkok pohon sebaiknya dilakukan pada musim hujan agar tidak mengalami kerepotan dalam menyiram cangkok yang masih ada di pohon induknya. Meskipun demikian, mencangkok pada musim kemarau juga bisa dilakukan asalkan rajin menyiram cangkok yang masih ada di pohon induknya. Jika cangkok dibuat musim kemarau tetapi tidak disiram secara teratur, maka kemungkinan besar akar tidak tumbuh dan cangkok tidak jadi. Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam mencangkok pohon adalah sebagai berikut. a. Memilih cabang/ranting yang baik (yang memenuhi kriteria seperti yang telah disebutkan di atas). b. Mengerat kulit cabang/ranting dengan jarak antarkeratan 2cm—4 cm, dan menyayat kulit batang/ranting di antara dua keratan tadi. Mengerat kulit bisa dilakukan secara penuh melingkari cabang/ ranting disebut mengerat 100%, bisa juga mengerat kulit sebagian atau disebut mengerat 80% (40% di satu sisi dan 40 % di sisi yang berseberangan). c. Membersihkan kambium yang ada pada cabang/ranting yang kulitnya telah disayat. Membersihkan kambium bisa dilakukan dengan mengerik pakai pisau secara pelan-pelan dan teliti, bisa juga menggosok sengan kain hingga bagian yang disayat tampak kering dan tidak licin. d. Memberi zat perangsang tumbuh jika diperlukan untuk menstimulasi pembentukan dan pertumbuhan akar. Zat perangsang tumbuh digunakan dengan cara mengoleskan pada seluruh bagian yang telah disayat terutama pada keratan bagian atas tempat tumbuhnya akar. Kemudian dibiarkan beberapa menit (lebih kurang 5—10 menit) agar ZPT melekat pada bagian yang diolesi.

58

Indriyanto


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON

memperlancar aerasi dan drainase. Mengikat pembungkus bagian bawah harus kencang, sedangkan mengikat bagian atas dilakukan agak kendor agar air yang mengalir dari bagian atas cabang/ranting bisa masuk ke dalam media tumbuh akar. g. Apabila cangkok sudah tumbuh akar dan sebagian besar akarnya sudah ada yang menerobos pembungkus media tumbuh, maka cangkok harus dipindah atau disapih pada media penyapihan dalam kontiner (wadah). Kecepatan tumbuh akar pada cangkokan setiap spesies pohon berbeda-beda, hal ini bergantung kepada kandungan rhizokalin dalam cabang/ranting pohon yang dicangkok. Pada umumnya spesies pohon yang memang bisa diperbanyak dengan cara cangkok, dalam waktu 3—5 bulan cangkokan sudah tumbuh akar. Perbanyakan pohon dengan cara cangkok dikatakan berhasil jika cabang/ranting yang dicangkok bisa tumbuh akar dan mampu hidup setelah disapih hingga menjadi bibit yang siap ditanam. h. Penyapihan cangkok dilakukan dalam kontiner yang berisi media tumbuh bibit. Cangkok yang telah tumbuh akar (kira-kira umur 3—5 bulan) dipotong dengan gergaji pada bagian pangkal kira-kira 5 cm di bawah bagian yang tumbuh akar. Sebagian ranting dan daun dipangkas untuk mengurangi penguapan, pembungkus media yang berupa plastik dibuka sedangkan yang berupa sabut kelapa cukup dilepas talinya kemudian cangkokan disapih dalam kontiner. Penyapihan cangkokan diletakkan pada bedeng penyapihan yang diberi atap atau naungan.

Indriyanto

59

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

e. Menutup sayatan dengan media tumbuh akar. Media tumbuh harus menutup seluruh bagian cabang/ranting yang telah disayat. f. Membungkus media tumbuh dengan plastik putih atau dengan sabut kelapa, kemudian mengikatnya di bagian pangkal dan ujung. Pembungkus media tumbuh yang ,menggunakan plastik supaya diberi lubang dengan cara menusuk pembungkus dengan paku beberapa bagian. Lubang pembungkus berguna untuk


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON

E. Perbanyakan Pohon dengan Cara Okulasi Okulasi adalah perbanyakan pohon secara kombinasi antara cara vegetatif dan cara generatif. Okulasi adalah perbanyakan pohon yang dilakukan dengan cara menggabungkan (menempelkan) bakal tunas (entrijs) pada batang bawah (onderstam). Batang bawah dan bakal tunas keduanya berasal dari pohon yang berbeda tetapi masih satu kerabat. Kekerabatan batang bawah dengan bakal tunas yang ditempelkan menentukan kecocokan dan keberhasilan okulasi. Tingkat kekerabatan antara batang bawah dengan bakal tunas yang masih memungkinkan untuk okulasi adalah satu famili, dan semakin dekat tingkat kekerabatan antara kedua bagian tersebut maka kecocokannya akan semakin besar. Dengan demikian, batang bawah dan bakal tunas yang paling sesuai untuk okulasi adalah berasal dari spesies yang sama. Perbanyakan pohon dengan cara okulasi ini dapat digunakan untuk memurnikan sifat unggul karena tanaman hasil perbanyakan dengan cara ini akan sama persis dengan sumber bakal tunasnya (entrijs-nya). Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan perbanyakan pohon secara okulasi, antara lain: sumber bakal tunas, kriteria batang bawah, dan cara okulasi pohon. 1. Sumber Bakal Tunas untuk Perbanyakan secara Okulasi Bakal tunas (entrijs) yang digunakan sebagai bahan okulasi pohon sebaiknya diambil dari Kebun Benih Pangkas (KBP). Untuk menghasilkan bakal tunas yang banyak pada KBP diperlukan upaya pemangkasan cabang secara teratur agar memacu munculnya bakal tunas pada setiap buku-buku cabang. Pemangkasan cabang dilakukan pada musim kemarau, agar penguapan air berkurang dan menekan pertumbuhan dominansi apikal pada setiap cabang, sehingga memacu berkembangnya primordia tunas pada buku-buku cabang. Bagian cabang yang dipotong dalam pemangkasan cabang tersebut adalah ujung-ujung cabang sepanjang 0,25 bagian panjang cabang. Pemotongan cabang dapat menggunakan gunting pangkas cabang atau gergaji pangkas cabang. Bahan okulasi yang disebut entrijs ini harus benar-benar berupa

60

Indriyanto


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON

2. Kriteria Batang Bawah untuk Perbanyakan secara Okulasi Batang bawah (onderstam) untuk bahan okulasi pohon dalam pembibitan pohon harus dipersiapkan secara generatif dengan cara menyemai benih (buah atau biji) di pesemaian. Batang bawah bisa dipersiapkan dalam bedengan tanah, akan tetapi sebaiknya batang bawah dalam okulasi pohon dipersiapkan dalam bentuk semai (anakan pohon) yang disapih dalam wadah/kontiner. Kriteria batang bawah yang digunakan untuk okulasi pohon antara lain: spesiesnya sekerabat dengan entrijs, berupa semai yang sehat (tidak terserang oleh hama atau penyakit), pertumbuhannya normal, batang tegak dan tajuknya simetris, benih untuk membangun batang bawah bisa bersumber dari pohon asalan walaupun akan lebih baik jika diambil dari sumber yang plus, dan berumur kurang dari satu tahun atau sesuai dengan layaknya umur bibit yang belum dipindahkan di areal penanaman. 3. Cara Okulasi Pohon Cara okulasi pohon yang dimaksudkan di sini adalah langkahlangkah yang perlu ditempuh dalam proses okulasi. Langkah-langkah yang dimaksudkan antara lain adalah sebagai berikut. a. Menyemai benih di pesemaian sebagai bahan batang bawah. b. Membangun bakal tunas di Kebun Benih Pangkas dengan cara pemangkasan cabang dalam rangka membangun bakal tunas. c. Mencari bakal tunas yang layak untuk dijadikan bahan okulasi. d. Mengambil bakal tunas dengan cara menyayat kulit batang yang ada bakal tunasnya. Menyayat kulit batang yang ada bakal tunasnya dilakukan dengan pisau yang tajam dan sebelumnya dibersihkan dengan alkohol 60%. Bentuk sayatan segi empat dengan ukuran yang sesuai dengan besarnya batang bawah yang akan ditempeli bakal tunas. Bakal tunas yang sudah dipungut dimasukkan ke

Indriyanto

61

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

bakal tunas yang belum berkembang menjadi tunas, agar bahan ini mudah bergabung dengan batang bawah dalam proses okulasi pohon.


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

dalam kantong plastik atau ke dalam tromol botani kemudian segera ditempelkan pada batang bawah. e. Menyayat kulit batang bawah dengan pisau yang tajam. Kulit batang bawah yang disayat sebaiknya berbentuk segi empat mengelilingi bakal tunas tepat pada buku-buku batang tempat bakal tunas agar proses penggabungan entrijs dengan batang bawah lebih mudah. Bentuk dan ukuran sayatan kulit batang bawah harus sama dengan bentuk dan ukuran sayatan kulit batang bakal tunas, kemudian kulit sayatan batang bawah dibuang. f. Menyisipkan atau menempelkan entrijs pada onderstam secara hati-hati dan rapi dengan mengupayakan sisi-sisi kedua sayatan (terutama sisi bagian atas) harus saling bersentuhan/menempel.

Gambar 9. Pembibitan durian secara okulasi (foto diambil Indriyanto pada tahun 2004 di lokasi pesemaian masyarakat Lampung Timur)

g. Mengikat tempelan secara kuat dan rapat dengan plastik putih yang lentur, dan diupayakan tempat primordial tunas terbuka (tidak tertutup oleh plastik ikatan). h. Apabila tempelan sudah bergabung dan tunas sudah tumbuh/ berkembang, maka batang pokok yang terletak di atas tempelan harus dipotong agar pertumbuhan tunas tempelan menjadi lebih baik. Setelah tunas betul-betul sudah tumbuh dengan baik, kemudian pengikat tempelan harus dibuka.

62

Indriyanto


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON

F. Perbanyakan Pohon dengan Cara Penyambungan Penyambungan (grafting) adalah cara perbanyakan pohon secara kombinasi antara cara vegetatif dan cara generatif. Sambungan adalah gabungan antara tunas atau pucuk (scion) dengan batang bawah (stock). Batang bawah dan tunas/pucuk keduanya berasal dari pohon yang berbeda tetapi masih satu kerabat. Kekerabatan batang bawah dengan tunas/pucuk yang disambungkankan menentukan kecocokan dan keberhasilan cara perbanyakan sambungan ini. Tingkat kekerabatan antara batang bawah dengan tunas/pucuk yang masih memungkinkan untuk perbanyakan cara sambungan adalah satu famili, dan semakin dekat tingkat kekerabatan antara kedua bagian tersebut maka kecocokannya (kompatibilitasnya) akan semakin besar. Dengan demikian, batang bawah dan tunas/pucuk yang paling sesuai untuk perbanyakan cara sambungan adalah berasal dari spesies yang sama. Perbanyakan pohon dengan cara penyambungan ini dapat digunakan untuk memurnikan sifat unggul karena tanaman hasil perbanyakan dengan cara ini akan sama persis dengan sumber tunas/ pucuk (scion). Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan perbanyakan pohon secara sambungan, antara lain: sumber tunas/pucuk, kriteria tunas/pucuk, kriteria batang bawah, dan cara penyambungan pohon. 1. Sumber Tunas/Pucuk untuk Perbanyakan dengan Cara Penyambungan Bakal tunas/pucuk (scion) yang digunakan sebagai bahan perbanyakan pohon dengan cara penyambungan sebaiknya diambil dari Kebun Benih Pangkas (KBP). Untuk menghasilkan tunas/pucuk

Indriyanto

63

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

i. Bibit dirawat secara baik sampai tunas hasil tempelan berkembang membentuk tajuk bibit secara normal dengan pertumbuhan batang yang tegak sejajar atau hampir sejajar dengan sumbu longitudinal batang bawah. Kondisi bibit seperti ini dapat dilihat pada Gambar 9.


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

yang banyak dan berkualitas, maka pada KBP diperlukan upaya pemangkasan cabang secara teratur agar memacu munculnya bakal tunas pada setiap buku-buku cabang. Pemangkasan cabang dilakukan pada musim kemarau, agar penguapan air berkurang dan menekan pertumbuhan dominansi apikal pada setiap cabang, sehingga memacu berkembangnya primordial tunas untuk tumbuh dan berkembang menjadi tunas pada buku-buku cabang. Bagian cabang yang dipotong dalam pemangkasan cabang tersebut adalah ujung-ujung cabang sepanjang 0,25 bagian panjang cabang. Pemotongan cabang dapat menggunakan gunting pangkas cabang atau gergaji pangkas cabang. Pemangkasan cabang pada Kebun Benih Pangkas merupakan kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan banyak cabang muda yang pucuknya sangat potensial sebagai bahan scion pada perbanyakan dengan cara penyambungan karena tunas-tunas muda yang tumbuh setelah dipangkas memiliki banyak sekali sel yang aktif membelah dan memanjang. Cara pemangkasan cabang pohon yang bertujuan seperti tersebut dinamakan rejuvenasi. Bahan sambungan yang disebut scion ini harus berupa tunas/pucuk hasil rejuvenasi pohon di Kebun Benih Pangkas, agar bahan ini mudah bergabung dengan batang bawah dalam proses penyambungan. 2. Kriteria Tunas/Pucuk untuk Perbanyakan dengan Cara Penyambung­an Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan tunas/ pucuk sebagai bahan dalam perbanyakan pohon dengan cara penyambungan antara lain: tunas/pucuk diambil dari Kebun Benih Pangkas, tunas/pucuk merupakan hasil rejuvenasi, tidak mengambil pucuk dari tunas yang tua atau tunas yang dorman, tunas/pucuk dalam kondisi sehat (tidak terserang oleh hama maupun penyakit), tunas/pucuk memiliki pertumbuhan yang sempurna, panjang tunas/ pucuk 5 cm—15 cm, diameter pangkal tunas/pucuk lebih kecil atau sama dengan diameter ujung stock yang akan disambungkan.

64

Indriyanto


3. Kriteria Batang Bawah untuk Perbanyakan dengan Cara Penyambungan Batang bawah (stock) untuk bahan perbanyakan pohon dengan cara penyambungan dalam pembibitan pohon harus dipersiapkan secara generatif dengan cara menyemai benih (buah atau biji) di pesemaian. Batang bawah bisa dipersiapkan dalam bedengan tanah, akan tetapi sebaiknya batang bawah untuk perbanyakan pohon secara penyambungan dipersiapkan dalam bentuk semai (anakan pohon) yang disapih dalam wadah/kontiner. Kriteria batang bawah yang digunakan untuk perbanyakan pohon secara penyambungan antara lain: spesiesnya sekerabat dengan tunas/pucuk (scion) yang akan disambungkan, berupa semai yang sehat (tidak terserang oleh hama dan penyakit), pertumbuhannya normal, batang tegak dan tajuknya simetris, benih untuk membangun batang bawah bisa bersumber dari pohon asalan walaupun akan lebih baik jika diambil dari sumber yang plus, dan berumur kurang dari satu tahun atau sesuai dengan layaknya umur bibit yang belum dipindahkan di areal penanaman. 4. Cara Penyambungan untuk Perbanyakan Pohon Cara penyambungan pohon yang dimaksudkan di sini adalah langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam proses penyambungan antara scion dan stock. Langkah-langkah yang dimaksudkan antara lain: a. Menyemai benih di pesemaian sebagai bahan batang bawah (stock). b. Membangun bakal tunas di Kebun Benih Pangkas dengan cara pemangkasan cabang dalam rangka membangun tunas atau pucukpucuk muda. c. Mencari tunas/pucuk yang layak untuk dijadikan bahan sambungan, tentunya tunas/pucuk yang dicari harus memenuhi kriteria seperti yang dikemukakan di atas. d. Mengambil tunas/pucuk dengan cara memotongnya menggunakan pisau yang bersih dan tajam. Pisau yang akan digunakan terlebih

Indriyanto

65

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON dahulu dibersihkan dengan alkohol 60%. Tunas/pucuk yang sudah dipungut diikat dengan tali plastik kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik atau ke dalam tromol botani kemudian segera disambungkan pada batang bawah (stock). e. Mengiris atau mengerat kedua bahan (scion dan stock) secara hati-hati dengan bentuk irisan/keratan sesuai dengan metode sambungan yang dikehendaki. Beberapa metode sambungan yang dapat dipilih, antara lain: sambung celah (cleft grafting), sambung belah (splice grafting), sambung trianggulasi (trianggulation grafting), sambung sisi (side grafting), sambung pelana (saddle grafting), sambung perisai (shield grafting), dan sambung botol (bottle grafting atau approach grafting). f. Menyambungkan antara scion dengan stock secara hati-hati dan rapi dengan mengupayakan permukaan irisan dari kedua bahan tersebut saling berimpitan. g. Mengikat sambungan tersebut secara kuat dan rapat dengan plastik putih yang lentur. h. Membungkus scion dengan plastik putih untuk mempertahankan kondisi kelembaban udara di sekitar scion. Untuk mempertahankam kelembaban udara dan mengurangi terjadinya evapotranspirasi yang berlebihn, maka pembibitan dengan cara sambungan sebaiknya ditutup dengan sungkup (tutup plastik putih). i. Apabila sambungan sudah bergabung dan tunas/pucuk sudah tumbuh/berkembang lebih kurang 3—4 bulan, maka sungkup bisa dibuka secara bertahap. Setelah tunas betul-betul sudah tumbuh dengan baik, sungkup bisa dibuka semua dan tali pengikat sambungan harus dibuka. j. Bibit dirawat secara baik sampai tunas hasil sambungan berkembang membentuk tajuk bibit secara normal.

66

Indriyanto


Ringkasan Perbanyakan pohon dapat dilakukan secara generatif, secara vegetatif, serta secara gabungan generatif dan vegetatif. Perbanyakan pohon secara generatif harus memperhatikan beberapa ketentuan, antara lain: sumber pengambilan benih, pengumpulan benih, seleksi benih, penanganan benih, dan cara menyemai benih. Biji atau buah yang akan digunakan untuk perbanyakan pohon secara generatif harus diambil dari pohon plus, tegakan benih, areal pengumpulan benih, kebun benih semai, atau dari kebun benih klon jika sumber-sumber benih lainnya tidak ada. Adapun beberapa kegiatan dalam penanganan benih meliputi ekstraksi benih, pelepasan sayap untuk benih-benih yang bersayap, pengeringan benih, dan skarifikasi. Ekstraksi benih yaitu kegiatan pengeluarkan benih dari buah dan/atau menghilangkan pericarpus berdaging atau pulp. Skarifikasi benih didefinisikan sebagai upaya pematahan masa dormansi benih dengan suatu cara tertentu agar benih dapat berkecambah pada saat diletakkan pada tempat yang ideal untuk proses perkecambahan. Perbanyakan pohon secara vegetatif yaitu perbanyakan pohon tanpa melalui proses penyerbukan dan pembuahan, namun perbanyakan ini dilakukan menggunakan organ vegetatif pohon, misalnya batang, dahan, ranting, akar, dan organ vegetatif lainnya. Cara perbanyakan secara vegetatif misalnya dengan setek batang, setek akar, dan dengan cangkok. Perbanyakan pohon secara gabungan generatif dan vegetatif yang dapat dilakukan dengan cara okulasi (penempelan) dan penyambungan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan perbanyakan pohon secara okulasi, antara lain: sumber bakal tunas, kriteria batang bawah, dan cara okulasi pohon. Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan perbanyakan pohon secara penyambungan, antara lain: sumber tunas/pucuk, kriteria tunas/pucuk, kriteria batang bawah, dan cara penyambungannya.

Indriyanto

67

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON


BAB 3. CARA PERBANYAKAN POHON

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Latihan 1. Jelaskan apa yang disebut ekstraksi benih. 2. Sebutkan dan jelaskan cara ekstraksi benih sesuai dengan tipe buahnya. 3. Jelaskan apa yang disebut sifat dormansi pada benih, kemudian sebutkan tipe-tipe dormansi benih. 4. Jelaskan apa saja keuntungan dan kerugian sifat dormansi pada benih. 5. Jelaskan apa yang disebut skarifikasi benih. 6. Sebutkan dan jelaskan cara-cara skarifikasi benih menurut tipe dormansinya. 7. Sebutkan kriteria kecambah yang sudah waktunya untuk disapih ke media penyapihan. 8. Jelaskan apa tujuan dilakukannya penyapihan kecambah/semai. 9. Sebutkan kriteria bahan tanaman yang baik untuk setek. 10. Sebutkan faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan perbanyakan pohon dengan cara setek. 11. Sebutkan kriteria bahan tanaman yang baik untuk cangkok. 12. Sebutkan dua jenis cara perbanyakan dengan cara cangkok. 13. Sebutkan faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan perbanyakan pohon dengan cara cangkok. 14. Jelaskan apa yang disebut perbanyakan pohon dengan cara okulasi. 15. Sebutkan faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan perbanyakan pohon dengan cara okulasi. 16. Jelaskan apa yang disebut perbanyakan pohon dengan cara penyambungan (grafting). 17. Sebutkan faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan perbanyakan pohon dengan cara penyambungan.

68

Indriyanto


MEDIA TUMBUH SEMAI A. Pendahuluan Salah satu komponen penting yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman adalah media tumbuh. Media tumbuh semai merupakan suatu bahan yang berguna sebagai tempat untuk berdiri tegaknya semai, sebagai tempat untuk berkembangnya akar semai, sebagai tempat untuk menyimpan air, gas, dan zat hara, sekaligus sebagai tempat penyediaan zat hara, air, dan gas yang diperlukan untuk pertumbuhan semai. Mengingat fungsi media tumbuh semai yang kompleks, maka bahan yang dipergunakan untuk media tumbuh semai harus memiliki kualitas yang memadai. Pertumbuhan semai dipengaruhi oleh berbagai faktor, ada faktor iternal dan ada faktor eksternal. Faktor internal disebut juga faktor dalam yaitu faktor yang berhubungan dengan mutu genetik dan mutu fisiologis, di mana faktor ini pada umumnya sebagai pewarisan sifat dari induk/tetua kepada anak atau keturunannya, sehingga disebut faktor genetik. Sifat pohon ada yang hanya dipengaruhi oleh faktor genetik, ada juga yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan, serta ada yang hanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Jika sifat pertumbuhan pohon dipengaruhi oleh lingkungan maupun dipengaruhi oleh adanya interaksi genetik dan lingkungan, maka kesesuaian kondisi lingkungan untuk pertumbuhan pohon perlu diperhatikan secara seksama dan dipenuhi untuk keperluan pertumbuhan yang optimal. Indriyanto

69

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

4


BAB 4. MEDIA TUMBUH SEMAI

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Di pesemaian, kondisi lingkungannya juga harus sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan optimal semai/bibit yang dikembangkan. Di antara faktor lingkungan semai/bibit yang harus diperhatikan dengan baik di pesemaian adalah media tumbuh semai. Media tumbuh semai merupakan lingkungan tempat sistem perakaran semai untuk menjalankan fungsinya sebagai penopang berdiri tegaknya semai dan sebagai organ penyerap zat-zat yang diperlukan untuk pertumbuhan semai. Oleh karena itu, optimalnya fungsi sistem perakaran semai sangat bergantung kepada kondisi media tumbuhnya. Media tumbuh yang kualitasnya rendah (baik kualitas fisik, kimia, maupun kualitas biologisnya) akan menghasilkan semai yang pertumbuhannya jelek. Sebaliknya, media tumbuh yang kualitasnya baik akan menghasilkan semai yang pertumbuhannya juga baik. Kompetensi dasar dalam mempelajari bab 4 adalah agar mahasiswa dan para pembaca lainnya mampu memahami kualifikasi media tumbuh yang baik, kemudian mampu memilih media tumbuh yang layak untuk kepentingan pembangunan pesemaian.

B. Jenis Media Tumbuh di Pesemaian Media tumbuh di pesemaian digolongkan menjadi dua golongan berdasarkan atas fungsi utama dalam proses pertumbuhan semai. Dua golongan media tumbuh yang dimaksud yaitu media perkecambahan benih dan media penyapihan semai. 1. Media Perkecambahan Benih Pada setiap pembangunan pesemaian atau pembibitan diperlukan proses perkecambahan benih. Dalam suatu pengertian secara luas, benih adalah setiap organ tanaman baik organ vegetatif maupun organ generatif yang dapat berfungsi dan dimanfaatkan sebagai bahan tanaman. Bahan tanaman adalah bagian organ tanaman yang bisa berfungsi sebagai bahan perbanyakan tanaman dan/atau sebagai alat perkembangbiakan tanaman, dengan demikian wujud bahan tanaman bisa berupa organ vegetatif misalnya batang, cabang, dan akar, sedangkan organ generatif antara lain biji dan buah. Dengan

70

Indriyanto


demikian, benih menurut pengertian secara luas contohnya adalah biji, buah, batang, cabang, dan akar. Adapun dalam pengertian secara sempit, benih adalah biji yang dapat berfungsi dan dimanfaatkan sebagai bahan tanaman. Namun demikian kebanyakan kalangan menggunakan istilah benih ini dalam pengertian secara sempit yang contoh wujudnya adalah biji tanaman yang dapat berfungsi dan dimanfaatkan untuk kepentingan budidaya. Biji adalah organ generatif tanaman yang terbentuk dari bakal biji (ovulum) dan berkembang setelah proses pembuahan pada bunga. Benih yang dipergunakan untuk pembibitan harus dikecambahkan pada suatu media perkecambahan yang layak agar persentase kecambahnya tinggi. Perkecambahan benih adalah proses secara kompleks dalam benih berupa perombakan kembali cadangan makanan yang tersimpan dalam benih untuk melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan embryo, pertumbuhan dan perkembangan tunas dan akar sampai terbentuk anakan pohon (Daniel et al., 1979). Dalam proses tersebut benih harus ditempatkan pada media tumbuh yang disebut media perkecambahan agar benih mampu berkecambah. Media tumbuh untuk perkecambahan benih tidak harus memiliki kandungan unsur hara yang banyak (yang mampu menyuplai unsur hara bagi kecambah benih) mengingat benih yang sedang dikecambahkan belum memerlukan zat hara, akan tetapi harus memenuhi kualifikasi sebagai berikut. a. Media perkecambahan harus mampu menyimpan air yang dibutuhkan untuk perkecambahan benih. b. Mempunyai drainase dan aerasi yang baik. Drainase adalah sifat yang berkenaan dengan sirkulasi air dalam media tumbuh, sedangkan aerasi adalah sifat yang berkenaan dengan sirkulasi udara (gas-gas yang terkandung di dalam udara) dalam media tumbuh. Drainase dan aerasi yang baik pada media tumbuh akan berpengaruh positif terhadap proses difusi gas dan infiltrasi air ke dalam media tumbuh, meningkatnya persediaan oksigen dan air dalam media tumbuh, serta meningkatkan kapasitas benih maupun akar kecambah untuk mengabsorpsi dan mengangkut air.

Indriyanto

71

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 4. MEDIA TUMBUH SEMAI


BAB 4. MEDIA TUMBUH SEMAI c.

Media perkecambahan harus mampu mempertahankan kelembabannya. d. Media perkecambahan tidak mengandung racun atau zat pencemar yang dapat meracuni benih dan menghambat proses perkecambahan benih. e. Media perkecambahan tidak menjadi sumber penyakit bagi benih yang dikecambahkan maupun bagi kecambah itu sendiri. f. Media perkecambahan berupa bahan yang mudah didapatkan dan harganya murah.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Bahan-bahan yang pada umumnya digunakan untuk media perkecambahan benih antara lain: pasir dan tanah, walaupun dalam skala laboratorium banyak juga yang menggunakan bahan selain pasir dan tanah untuk uji viabilitas benih dengan mengecambahkan benih secara langsung pada media perkecambahan berupa kertas atau kapas. Media perkecambahan benih berupa pasir dalam bak kecambah dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Media tumbuh untuk menyemai benih terbuat dari pasir yang dimasukkan ke dalam bak kecambah (Aritonang, 2005)

72

Indriyanto


BAB 4. MEDIA TUMBUH SEMAI

yang bertolok ukur dari kualitas fisik dan fisiologi yang dipandang sesuai untuk ditanam di areal penanaman, sehingga dapat diharapkan bibit mampu beradaptasi di lingkungan areal penanaman, mampu hidup dengan persentase hidup yang tinggi, serta memiliki kualitas pertumbuhan yang baik. Oleh karena itu, penyapihan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya agar menghasilkan bibit yang berkualitas dengan jumlah yang memenuhi kebutuhan. Perlu diketahui bahwa penyapihan kecambah adalah suatu kegiatan memindah kecambah/semai dari media perkecambahan ke media penyapihan. Sedangkan media penyapihan adalah suatu substrat yang berfungsi sebagai tempat sistem perakaran bibit dan mampu menyediakan berbagai bahan baik mineral, gas, maupun air yang diperlukan oleh kecambah untuk pertumbuhannya secara optimal. Pertumbuhan kecambah akan baik dan sempurna apabila kecambah ditempatkan pada media tumbuh yang berkualitas dan memiliki kondisi yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhannya. Adapun tujuan penyapihan kecambah di antaranya adalah sebagsai berikut. a. Memberikan kemungkinan pertumbuhan akar cabang dan bulu akar secara baik, sehingga sistem perakaran kecambah akan berkembang menjadi baik. Perkembangan sistem perakaran kecambah secara baik akan membuat sistem perakaran tersebut berfungsi secara efektif dalam menyerap zat hara, air, dan gas, serta sebagai tempat berdiri kokohnya kecambah selama di bedengan pesemaian. b. Menghindari terjadinya persaingan di antara kecambah dalam hal memanfaatkan ruang tumbuh dan semua faktor lingkungan yang

Indriyanto

73

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

2. Media Penyapihan Kecambah/Semai Kecambah/semai yang sudah terbentuk dari proses perkecambahan benih pada media perkecambahan harus disapih atau dipindahkan ke dalam media khusus untuk menumbuhkan semai menjadi bibit. Bibit adalah bahan tanaman baik bahan dari organ vegetatif maupun dari organ generatif yang siap untuk ditanam di areal penanaman. Kesiapan bahan tanaman yang disebut bibit merupakan kelayakan


BAB 4. MEDIA TUMBUH SEMAI

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

ada pada media tumbuhnya. c. Untuk memenuhi kebutuhan faktor lingkungan yang layak bagi pertumbuhan kecambah. d. Agar kecambah tumbuh secara baik dan dalam kondisi yang sehat. Kegiatan penyapihan kecambah ini pada umumnya dilakukan pada saat akar cabang kecambah mulai tumbuh dan batangnya mulai mengayu, di mana kondisi kecambah seperti ini biasanya terjadi pada umur 1 minggu hingga 1 bulan setelah benih berkecambah. Pada umur tersebut, tinggi kecambah telah mencapai 3 cm—5 cm dan panjang akarnya 8 cm—15 cm untuk jenis pohon yang pertumbuhannya lambat, sedangkan bagi jenis pohon yang pertumbuhannya cepat tentunya tinggi dan panjang akar kecambah akan lebih besar dari keadaan tersebut. Tumbuhnya akar cabang pada kecambah merupakan suatu tanda bahwa tidak lama lagi bulu akar akan tumbuh dan segera berfungsi untuk menyerap zat hara, air, dan gas yang diperlukan untuk pertumbuhan lebih lanjut, sehingga pada saat seperti ini kecambah harus ditempatkan pada media tumbuh yang memiliki kualifikasi yang layak untuk menopang pertumbuhannya. Media penyapihan kecambah/semai harus memiliki kualifikasi sebagai berikut (Indriyanto, 1999). a. Media penyapihan kecambah harus mampu menyimpan atau mengikat air dan zat hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kecambah. b. Media penyapihan harus mempunyai drainase dan aerasi yang baik. Drainase adalah sifat yang berkenaan dengan sirkulasi air dalam media tumbuh, sedangkan aerasi adalah sifat yang berkenaan dengan sirkulasi udara (gas-gas yang terkandung di dalam udara) dalam media tumbuh. Drainase dan aerasi yang baik pada media tumbuh akan berpengaruh positif terhadap proses difusi gas dan infiltrasi air ke dalam media tumbuh, meningkatnya persediaan oksigen dan air dalam media tumbuh, serta meningkatkan kapasitas akar kecambah untuk mengabsorbsi dan mengangkut air dan mineral yang terlarut.

74

Indriyanto


c. Media penyapihan harus mampu mempertahankan kelembab足 annya. d. Media penyapihan tidak mengandung racun atau zat pencemar yang dapat meracuni kecambah dan menghambat proses pertumbuhan kecambah. e. Media penyapihan tidak menjadi sumber penyakit bagi kecambah yang disapih. f. Media penyapihan harus subur, yaitu mengandung zat hara yang cukup bagi pertumbuhan semai, serta memiliki sifat-sifat kimia lainnya yang memungkinkan hara dapat tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh semai untuk pertumbuhannya. g. Media penyapihan harus diupayakan berupa bahan yang mudah didapatkan dan harganya murah. Bahan baku utama media penyapihan adalah tanah lapisan atas (top soil), walaupun tidak semua lahan mengandung tanah yang memenuhi kualifikasi untuk media penyapihan kecambah seperti tersebut. Tanah lapisan atas yang tidak atau kurang memenuhi syarat sebagai media penyapihan kecambah perlu ditingkatkan kualitasnya dengan beberapa cara, antara lain: dengan memberi bahan campuran dan/atau melakukan sterilisasi media tumbuh kecambah/semai. Bahan campuran yang dapat dan layak dicampurkan pada tanah untuk media tumbuh semai adalah pasir dan bahan organik. Bahan campuran ini digunakan karena masing-masing memiliki peranan dalam memperbaiki kualitas tanah agar memenuhi kualifikasi untuk media tumbuh semai, khususnya untuk media penyapihan kecambah. a. Pasir bisa dicampurkan pada tanah dengan tujuan untuk memperbaiki sifat fisik tanah, misalnya memperbaiki kondisi drainase dan aerasi tanah. Sesuai dengan tujuannya, maka banyaknya pasir yang akan dicampurkan pada tanah disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk media penyapihan kecambah dengan campuran tanah dengan pasir, maka perbandingan tanah : pasir adalah 4 : 1. Akan tetapi, jika tanah selain ditambah pasir juga

Indriyanto

75

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 4. MEDIA TUMBUH SEMAI


BAB 4. MEDIA TUMBUH SEMAI

b.

ditambah bahan organik, maka perbandingan ketiga komponen tersebut adalah tanah : pasir : bahan organik yaitu 3 : 1 : 1. Bahan organik bisa dicampurkan pada tanah dengan tujuan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan sifat biologis tanah.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

C. Penggunaan Bahan Organik untuk Media Tumbuh Semai

Bahan organik adalah bahan yang berasal dari organisme yang telah mati dan dari kotoran organisme tersebut, misalnya sisa-sisa tanaman atau binatang yang telah mati dan kotoran binatang atau ternak. Sumber bahan organik yang dapat dimanfaatkan sebagai campuran tanah untuk media penyapihan kecambah/semai antara lain sebagai berikut. a. Limbah atau sisa tanaman, misalnya jerami, sekam padi, rumput, batang jagung, sabut kelapa, kulit kopi, dan serasah. b. Limbah atau sisa-sisa ternak, misalnya kotoran ternak dan sisa pakan ternak. c. Limbah industri, misalnya serbuk kayu gergajian, ampas tebu, dan limbah kelapa sawit. d. Limbah rumah tangga, misalnya kotoran manusia dan sampah rumah tangga. Menggunakan bahan organik untuk media tumbuh semai (media penyapihan kecambah/semai) sebaiknya memperhatikan beberapa hal sebagai berikut. a. Menggunakan bahan organik sebaiknya untuk bahan pencampur tanah dengan perbandingan tertentu, misalnya tanah : bahan organik adalah 4 : 1, 3 : 1, atau 2 : 1. b. Jangan menggunakan bahan organik sebagai media penyapihan kecambah dalam jumlah 100%. c. Jangan menggunakan bahan organik yang masih segar (baru), atau bahan organik yang belum mengalami dekomposisi atau pelapukan. d. Sangat dianjurkan menggunakan bahan organik yang telah lama atau sudah mengalami dekomposisi.

76

Indriyanto


BAB 4. MEDIA TUMBUH SEMAI

Kompos adalah salah satu bentuk pupuk organik yang dibuat dari bahan Organik, misalnya daun-daun tanaman, jerami, sekam padi, serbuk kayu gergajian, sisa pakan ternak, atau bahan berupa kotoran ternak. Kompos merupakan hasil fermentasi (peragian) dan dekomposisi (pelapukan dan penguraian) bahan-bahan organik seperti yang telah disebutkan di atas (Brunt et al., 1985). Proses peragian dan dekomposisi bahan organik tersebut dapat dipercepat dengan menggunakan bahan aktivator. Bahan aktivator adalah bahan pengaktif untuk mempercepat proses peragian dan dekomposisi bahan-bahan organik agar zat hara yang dikandungnya cepat tersedia bagi tanaman. Beberapa contoh bahan aktivator antara lain: Orgadec (organic decomposer), Stardec (starbio decomposer), Harmony BS, Fix-Up Plus, EM4 (effective microorganisms 4), dan BeKa. Kompos yang dibuat dengan menggunakan salah satu bahan activator tersebut dinamakan bokashi (Indriani, 2001). Prinsip pengomposan bahan organik yang dilakukan tanpa maupun dengan menggunakan bahan aktivator adalah mencakup beberapa hal sebagai berikut (Brunt et al., 1985, Sumarna et al., 1998, dan Indriani, 2001). a. Membantu proses dekomposisi bahan organik supaya menjadi unsur hara yang tersedia pada tanah dan dapat dimanfaatkan oleh tanaman. b. Menurunkan C/N (rasio C dan N) bahan organik hingga mendekati atau sama dengan C/N tanah yaitu sebesar < 20. c. Dekomposisi bahan organik terjadi secara biologis dalam temperatur tinggi atau dalam kondisi temperatur termofilik, dalam kondisi kelembaban dan kondisi aerasi (sirkulasi udara) tertentu. d. Dekomposisi bahan organik terjadi baik pada kondisi aerobik

Indriyanto

77

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

e. Bahan organik yang telah terdekomposisi di alam bisa langsung digunakan, misalnya bahan yang berupa pupuk kandang dan pupuk hijau. f. Menggunakan bahan organik akan lebih bagus apabila bahan tersebut dibuat kompos terlebih dahulu.


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 4. MEDIA TUMBUH SEMAI (keadaan ada oksigen) maupun kondisi an-aerobik (keadaan tanpa ada oksigen). e. Dekomposisi bahan organik dapat berjalan cepat atau lancar apabila kondisi lingkungan yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk melakukan proses dekomposisi dapat dikendalikan pada kondisi yang ideal. Kondisi lingkungan yang ideal untuk proses dekomposisi bahan organik dalam kaitannya dengan pengomposan bahan organik antara lain: 1) temperatur selama proses dekomposisi lebih kurang 400 C—500 C, 2) kadar air dari campuran bahan organik lebih kurang 30%—40 %, dan 3) dilakukan pemberian aerasi secukupnya. f. Perubahan-perubahan yang terjadi pada bahan organik selama proses dekomposisi antara lain: 1) karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak, lilin akan berubah menjadi karbondioksida (CO2) dan air (H2O), 2) berbagai jenis protein dibongkar menjadi amonia (NH3), karbondioksida, dan air, 3) terjadi penguraian bahan senyawa organik sederhana menjadi senyawa anorganik (mineral) yang tersedia dan dapat diserap oleh akar tanaman. g. Bahan yang diperlukan dan harus tersedia untuk membuat kompos atau bokashi antara lain sebagai berikut. 1) Bahan organik yang merupakan bahan baku utama untuk kompos atau bokashi. Bahan organik yang bisa dimanfaatkan antara lain: jerami, sekam padi, rumput, batang jagung, sabut kelapa, serasah, kulit kopi, serbuk kayu gergajian, sisa pakan ternak, kotoran hewan ternak. 2) Bahan energi fermentasi yaitu bahan yang mengandung karbohidrat tinggi atau berkadar gula tinggi yang berguna sebagai sumber energi bagi mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik. Bahan yang mengandung karbohidrat tinggi antara lain: dedak, tepung sagu, atau tepung tapioka. Sedangkan bahan yang berkadar gula tinggi antara 78

Indriyanto


BAB 4. MEDIA TUMBUH SEMAI

D. Peran dan Manfaat Bahan Organik Peran dan manfaat bahan organik terhadap tanah maupun terhadap media tumbuh semai sangat banyak, di antaranya adalah sebagai gudang nutrisi (zat hara) bagi tanaman, dapat memperbaiki sifat fisik tanah, dapat memperbaiki sifat kimia tanah, dapat memperbaiki sifat biologis tanah, serta berpengaruh positif terhadap pertumbuhan semai. Peran dan manfaat bahan organik tersebut diuraikan sebagai berikut. 1. Bahan Organik sebagai Gudang Nutrisi. Bahan organik merupakan bahan alamiah yang memiliki potensi besar sebagai gudang nutrisi yang bermanfaat bagi hidup dan pertumbuhan tanaman. Dekomposisi bahan organik oleh berbagai jenis organisme mikro tanah yang berstatus sebagai dekomposer akan berlangsung walaupun prosesnya terjadi secara perlahan-lahan akan tetapi proses ini berjalan terus sepanjang keberadaan organime dekomposer itu ditunjang oleh kondisi lingkungan yang ideal untuk proses dekomposisi. Dengan demikian, secara berangsur-angsur terbebaslah zat hara (nutrisi) yang esensial bagi pertumbuhan tanaman. Bahan organik yang telah terdekomposisi akan membebaskan zat hara secara lengkap mencakup zat hara makro maupun zat hara mikro yang jumlahnya tidak selalu banyak, namun secara berangsurangsur tersedia zat hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman. Kandungan zat hara pada bahan organik berbeda-beda bergantung pada jenis bahan organiknya.

Indriyanto

79

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

lain: gula tetes tebu atau molase, gula kelapa, gula nipah, dan gula aren. 3) Aktivator (bahan pengaktif) yaitu bahan yang terbuat dari isolasi berbagai jenis organisme mikro berstatus sebagai dekomposer yang dapat dimanfaatkan untuk mempercepat proses pengomposan bahan organik. Berbagai produk aktivator yang tersedia di pasaran antara lain: Star-dec, Orga-dec, Harmony, Fix-Up, EM4, dan BeKa.


BAB 4. MEDIA TUMBUH SEMAI Pada Tabel 4 disajikan kandungan unsur hara kompos dari berbagai jenis bahan organiknya.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Tabel 4. Kandungan unsur hara (nutrisi) kompos dari berbagai jenis bahan organik Unsur Hara (%) P K Ca

Mg

Rasio C dan N (C/N)

0,23

0,24

20,60

0,26

0,24

0,23

20,80

0,21

0,19

0,24

0,19

21,50

1,30

0,22

0,18

0,24

0,22

26,70

Serasah Tusam + serbuk kayu gergajian

1,37

0,21

0,23

0,25

0,19

21,60

6.

Serah A. mangium + serbuk kayu gergajian

1,49

0,22

0,22

0,24

0,15

21,40

7.

Serasah Shorea spp. + serbuk kayu gergajian

1,57

0,24

0,25

0,25

0,21

21,30

8.

Serasah Tusam + limbah kertas

1,39

0,18

0,23

0,26

0,19

21,60

9.

Serasah A. mangium + limbah kertas

1,51

0,26

0,21

0,32

0,20

20,60

10.

Limbah kertas

1,51

0,28

0,24

0,32

0,30

24,70

No.

Jenis Bahan Organik

1.

Serasah Shorea spp.

1,33

0,24

0,22

2.

Serasah Acacia mangium

1,48

0,19

3.

Serasah Tusam (Pinus spp.)

1,40

4.

Serbuk kayu gergajian

5.

N

Sumber: Mindawati et al. (1997 dalam Sumarna et al., 1998).

80

Indriyanto


2. Bahan Organik Berpengaruh Positif terhadap Sifat Fisik Tanah Bahan organik yang sudah terdekomposisi terutama sudah dalam bentuk kompos atau bokashi, jika diberikan pada tanah atau dicampurkan pada media tumbuh semai, maka dapat berfungsi memperbaiki struktur tanah atau membuat tanah menjadi gembur. Kondisi tanah dengan struktur yang terperbaiki atau menjadi gembur, akan memiliki aerasi dan drainase yang lebih baik, dapat meningkatkan daya serap dan daya ikat air, serta memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengikat partikel-partikel tanah. 3. Bahan Organik Berpengaruh Positif terhadap Sifat Kimia Tanah Penggunaan bahan organik pada tanah atau sebagai campuran media tumbuh semai akan membuat kondisi tanah atau media tumbuh tersebut memiliki zat hara tanah (baik Posfor maupun zat hara lainnya) yang lebih mudah melarut. Selain itu, pemberian bahan organik pada tanah atau pada media tumbuh semai dapat menetralkan substansi yang bersifat racun (toksik) bagi tanaman, serta dapat mencegah meningkatnya keasaman dan alkalinitas tanah. 4. Bahan Organik Berpengaruh Positif terhadap Sifat Biologis Tanah Bahan organik yang diberikan pada tanah atau dicampurkan pada media tumbuh semai akan menjadikan tanah tersebut sebagai media tumbuh yang lebih baik (favourable) bagi perkembangan sistem perakaran tanaman. Selain itu, tanah atau media tumbuh semai yang diberi bahan organik dapat menjadi habitat yang sangat baik bagi perkembangbiakan mikroorganisme tanah, terutama mikroorganisme yang memiliki peran sebagai pendekomposisi bahan organik atau mikroorganisme yang menjadi simbion mikoriza maupun bintil akar. Dengan demikian, tanah maupun media tumbuh semai yang telah diberi bahan organik akan kaya tentang mikroorganisme yang menjadi komponen sifat biologis tanah. 5. Bahan Organik Berpengaruh terhadap Pertumbuhan Semai Berkaitan dengan penggunaan bahan organik untuk media tumbuh semai ini, diperlukan upaya penanganan bahan organik Indriyanto

81

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 4. MEDIA TUMBUH SEMAI


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 4. MEDIA TUMBUH SEMAI menjadi kompos. Beberapa bahan organik telah banyak dicoba untuk campuran media tumbuh semai agar kualitas pertumbuhan semai menjadi lebih baik, dan sudah barang tentu dipilih bahan yang murah dan mudah diperoleh agar penggunaan media tumbuh tetap lebih efisien. Yahya dan Setiadi (1990) telah mencoba menggunakan bahan organik berupa serbuk gergaji (dari kayu Pinus, Agathis, dan Shorea) dan kotoran ternak (dari ternak ayam dan ternak sapi) untuk media pertumbuhan semai antara lain semai pohon Paraserianthes falcatarian, Acacia mangium, Eucalyptus urophylla, Gmelina arborea, dan Swietenia macrophylla. Penggunaan bahan organik tersebut berpengaruh baik dan lebih baik dibandingkan hanya menggunakan tanah (top soil) terhadap pertumbuhan semai pohon Paraserianthes falcatarian, Acacia mangium, Eucalyptus urophylla, Gmelina arborea, dan Swietenia macrophylla. Berdasarkan penelitian tersebut, komposisi media yang paling baik untuk semai pohon Paraserianthes falcatarian adalah serbuk gergaji ditambah kotoran ayam dengan perbandingan 3 : 2. Komposisi media yang paling baik untuk semai pohon Acacia mangium adalah serbuk gergaji ditambah kotoran sapi dengan perbandingan 3 : 2. Komposisi media yang paling baik untuk semai pohon Eucalyptus urophylla adalah serbuk gergaji ditambah kotoran ayam dengan perbandingan 3 : 1. Komposisi media tumbuh yang paling baik untuk semai pohon Gmelina arborea adalah serbuk gergaji ditambah kotoran ayam dan tanah dengan perbandingan 17 : 1: 2. Sedangkan komposisi media tumbuh yang paling baik untuk semai pohon Swietenia macrophylla adalah serbuk gergaji ditambah kotoran ayam dan tanah dengan perbandingan 6 : 3 : 1. Indriyanto (1999) telah mencoba menggunakan bahan organik berupa serbuk gergaji dan sekam padi untuk media pertumbuhan semai pohon Swietenia macrophylla. Penggunaan sekam padi sebagai campuran media tumbuh semai pohon Swietenia macrophylla berpengaruh baik terhadap pertumbuhannya. Komposisi media tumbuh yang paling baik untuk semai pohon Swietenia macrophylla adalah tanah ditambah pasir dan sekam padi dengan perbandingan

82

Indriyanto


BAB 4. MEDIA TUMBUH SEMAI

2002). Harist (2000) mencoba menggunakan bahan organik berupa serbuk gergaji dan sekam padi yang telah dibuat bokashi dengan aktivator EM-4 kemudian dipakai sebagai media tumbuh semai Acacia mangium. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, bokashi serbuk gergaji maupun sekam padi berpengaruh baik terhadap pertumbuhan semai pohon Acacia mangium. Penggunaan bokashi serbuk gergaji sebagai media tumbuh semai berpengaruh paling baik dibandingkan menggunakan tanah maupun tanah ditambah bokashi. Sedangkan penggunaan bokashi sekam padi yang berpengaruh paling baik terhadap pertumbuhan semai adalah dengan komposisi tanah ditambah bokashi sekam padi dengan perbandingan 2:1. Penggunaan kulit kopi sebagai pencampur media tumbuh semai juga telah dicoba oleh Okfriansyah untuk menyapih semai alpukat, lengkeng, dan duku. Percobaan yang dilakukan oleh Okfriansyah (2003) membuktikan bahwa media tumbuh semai yang dibuat dari campuran tanah dengan bokashi kulit kopi berpengaruh lebih baik terhadap pertumbuhan semai alpukat, lengkeng, dan duku dibandingkan dengan media tumbuh yang hanya berupa tanah. Berdasarkan percobaan tersebut, komposisi media tumbuh semai yang berpengaruh paling baik terhadap pertumbuhan semai alpukat, lengkeng, dan duku adalah tanah dicampur bokashi kulit kopi dengan perbandingan tanah : bokashi kulit kopi yaitu 3 : 2. Dengan demikian dapat diyakini bahwa penggunaan bahan organik mentah ataupun yang telah dibuat kompos (bokashi) sebagai media tumbuh semai akan lebih baik dibandingkan dengan hanya menggunakan tanah.

Indriyanto

83

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

3:1:1. Sekam padi yang telah dibuat bokashi juga berpengaruh baik terhadap pertumbuhan semai pohon cengal (Hopea sangal), hal ini telah dicoba oleh Indriyanto (2004) dengan komposisi media tumbuh tanah ditambah bokashi sekam padi dengan perbandingan 1:2. Adapun untuk semai pohon rukam, ketupak, dan salam, media tumbuh semai yang baik adalah campuran tanah dengan bokasi sekam padi atau tanah dengan bokashi kulit kopi dengan perbandingan 1:1 (Indriyanto,


BAB 4. MEDIA TUMBUH SEMAI

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Ringkasan Media tumbuh semai merupakan suatu bahan yang berguna sebagai tempat berdiri tegaknya semai, sebagai tempat berkembangnya akar semai, sebagai tempat menyimpan air, gas, dan zat hara, sekaligus sebagai tempat penyediaan zat hara, air, dan gas yang diperlukan untuk pertumbuhan semai. Media tumbuh di pesemaian digolongkan menjadi dua golongan berdasarkan atas fungsi utama dalam proses pertumbuhan semai, yaitu media perkecambahan benih dan media penyapihan semai. Media tumbuh untuk perkecambahan benih harus memiliki kualifikasi yang baik, antara lain: mampu menyimpan air yang dibutuhkan untuk perkecambahan benih, mempunyai drainase dan aerasi yang baik, mampu mempertahankan kelembabannya, tidak mengandung racun atau zat pencemar yang dapat meracuni benih dan menghambat proses perkecambahan benih, tidak menjadi sumber penyakit bagi benih, serta berupa bahan yang mudah didapatkan dan harganya murah. Adapun media tumbuh untuk penyapihan semai, selain harus memiliki kualifikasi seperti tersebut juga harus subur, yaitu mengandung zat hara yang cukup bagi pertumbuhan semai, serta memiliki sifat-sifat kimia lainnya yang memungkinkan hara dapat tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh semai untuk pertumbuhannya. Bahan baku utama media penyapihan adalah tanah lapisan atas (top soil) yang dapat diberi bahan campuran berupa pasir dan bahan organik (misalnya pupuk kandang, kompos, bokashi). Peran dan manfaat bahan organik terhadap tanah maupun terhadap media tumbuh semai sangat banyak, di antaranya adalah sebagai gudang nutrisi (zat hara) bagi tanaman, dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan sifat biologis tanah, serta berpengaruh positif terhadap pertumbuhan semai.

84

Indriyanto


BAB 4. MEDIA TUMBUH SEMAI Latihan

4. 5. 6. 7. 8. 9.

tanah untuk media tumbuh semai. Jelaskan mengapa bahan organik dapat dipergunakan untuk memperbaiki sifat kiamia dan biologis media tumbuh semai. Berilah beberapa contoh bahan organik yang siap/dapat digunakan sebagai campuran tanah untuk media tumbuh semai. Jelaskan apa yang disebut kompos? Sebutkan prinsip-prinsip pengomposan bahan organik. Sebutkan jenis-jenis aktivator (pengaktif) yang dapat digunakan dalam pembuatan kompos. Jelaskan apa fungsi/peranan aktivator tersebut.

Indriyanto

85

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

1. Sebutkan dan jelaskan dua jenis media tumbuh di pesemaian berdasarkan fungsi utamanya. 2. Sebutkan dan jelaskan kualifikasi yang harus dimiliki oleh media tumbuh yang akan dipakai untuk pesemaian. 3. Jelaskan mengapa pasir dapat dipakai sebagai bahan campuran



NAUNGAN ATAU ATAP PESEMAIAN

A. Pendahuluan Pada setiap bedengan pesemaian baik bedengan untuk penaburan benih maupun bedengan untuk penyapihan semai harus diberi naungan atau atap yang sesuai dengan tujuan memberi naungan dan sesuai kebutuhan setiap jenis pohon yang disemai. Naungan pesemaian dibuat dengan tujuan untuk mengurangi intensitas cahaya matahari dan mengurangi besarnya curah hujan yang jatuh di atas bedengan pesemaian. Naungan pesemaian berguna untuk melindungi benih, kecambah, maupun bibit yang ada di pesemaian dari pengaruh intensitas matahari yang besar karena setiap jenis pohon memiliki sifat toleransi yang berbeda terhadap besarnya intensitas cahaya matahari. Di samping itu, naungan pesemaian berguna untuk mengendalikan kelembapan udara dan suhu udara yang ada di bedengan pesemaian. Berdasarkan sifat toleransi jenis pohon terhadap besarnya intensitas cahaya matahari, maka intensitas cahaya matahari yang sampai pada bedengan pesemaian harus diupayakan sesuai dengan kebutuhan setiap jenis pohon untuk pertumbuhan optimalnya. Naungan pesemaian juga berguna untuk melindungi benih, kecambah, bibit, maupun media tumbuhnya dari tetesan langsung curah hujan yang kemungkinan besar dapat merusak. Tetesan langsung curah hujan menyebabkan benih yang dikecambahkan bisa terbuka dari penutupan lapisan media tumbuhnya dan mengakibatkan Indriyanto

87

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

5


BAB 5. NAUNGAN ATAU ATAP PESEMAIAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

benih yang disemai berserakan, serta tidak berkecambah secara normal. Selain itu, tetesan curah hujan dapat mengakibatkan kecambah patah batangnya, serta dapat mengakibatkan rusaknya tajuk semai. Oleh karena itu, pembuatan naungan pesemaian dilakukan dengan sebaik-baiknya untuk mengupayakan kondisi lingkungan yang layak sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dalam fase perkecambahan maupun dalam fase pertumbuhan kecambah/semai hingga menjadi bibit yang siap ditanam di areal penanaman. Kompetensi dasar dalam mempelajari bab 5 adalah agar mahasiswa dan para pembaca lainnya mampu memahami peranan naungan di areal pesemaian, memahami sifat-sifat toleransi jenis pohon terhadap intensitas radiasi matahari, dan mampu menerapkan prinsip pembuatan naungan untuk menciptakan kondisi lingkungan pesemaian yang ideal bagi pertumbuhan semai.

B. Sifat Toleransi Spesies Pohon terhadap Intensitas Radiasi Matahari Sifat toleransi spesies pohon terhadap intensitas radiasi matahari merupakan sifat yang dimiliki oleh setiap spesies pohon berkenaan dengan kisaran toleransi nisbi terhadap intensitas radiasi matahari untuk pertumbuhan optimalnya. Sifat toleransi yaitu suatu kemampuan relatif bagi setiap spesies pohon untuk bertahan hidup di bawah naungan (Kadri et al., 1992). Berkaitan dengan sifat tersebut, maka spesies pohon yang mempunyai kemampuan hidup dan tumbuh dengan baik di bawah naungan tajuk pohon lainnya dinamakan pohon toleran, sedangkan spesies pohon yang tidak mempunyai kemampuan hidup dan tumbuh dengan baik di bawah naungan tajuk pohon lainnya dinamakan pohon intoleran. Intoleran berarti juga suatu sifat pohon yang menghendaki intensitas radiasi matahari besar. Setiap spesies pohon yang termasuk toleran, di pesemaian harus diberi naungan yang rapat agar intensitas radiasi matahari yang diterima oleh benih dan semai sesuai dengan kebutuhannya. 88

Indriyanto


Sebaliknya setiap spesies pohon yang termasuk intoleran, di pesemaian harus diberi naungan yang jarang (naungan ringan) agar intensitas radiasi matahari yang diterima oleh benih dan semai cukup besar dan sesuai dengan kebutuhannya. Berdasarkan sifat toleransi terhadap intensitas radiasi matahari, maka jenis pohon dikelompokkan ke dalam 5 golongan sebagai berikut (Baker et al., 1979; Darjadi dan Hardjono, 1976). (1) Jenis pohon yang sangat membutuhkan radiasi matahari untuk pertumbuhannya, misalnya Adina cordifolia, Bombax malabaricum, Gmelina arborea, G. moluccana, Tectona grandis, Casuarina equisetifolia, Grewia celtidifolia, Pinus merkusii, P. insularis, P. caribaea, P. oocarpa, P. palustris, P. banksiana, P. longaeva, P. sabiniana, Larix laricina, L. occidentalis, Populus grandidentata, Populus tremuloides, Betula populifolia, dan Robinia pseudoacacia. (2) Jenis pohon yang membutuhkan radiasi matahari untuk pertumbuhannya, misalnya Acacia leucophloea, Bauhinia malabarica, Eugenia jambolana, Melia indica, Spondias mangifera, Spondias cytherea, Pinus resinosa, P. rigida, P. echinata, P. taeda, P. virginiana, P. flexilis, P. edulis, P. ponderosa, P. contorta, P. coulteri, P. attenuata, Juglans nigra, J. cinerea, Betula papyrifera, Liriodendron tulipifera, Prunus serotina, Catalpa diomonioides, Abies procera, dan Juniperus speciosa. (3) Jenis pohon yang membutuhkan radiasi matahari sedang atau membutuhkan setengah cahaya (membutuhkan naungan ringan) untuk pertumbuhannya, misalnya Albizzia lebbeck, Albizzia procera, Paraserianthes falcataria, Dalbergia latifolia, Pterocarpus indicus, Lagerstroemia speciosa, Vitex pubescens, Pinus strobus, P. elliottii, P. monticola, Betula alleghaniensis, B. lenta, Castanea dentata, Quercus alba, Q. velutina, Q. rubra, Ulmus americana, Celtis occidentalis, Fraxinus americana, F. pennsylvanica, F. nigra, dan Picea mariana. (4) Jenis pohon yang membutuhkan sedikit radiasi matahari atau memerlukan naungan selama proses pertumbuhannya,

Indriyanto

89

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 5. NAUNGAN ATAU ATAP PESEMAIAN


BAB 5. NAUNGAN ATAU ATAP PESEMAIAN misalnya Butea frondosa, Mangifera indica, Mimusops elengi, Garcinia indica, G. amboinensis, Schleichera trijuga, Schleicera oleosa, Picea rubens, Picea mariana, Picea glauca, Picea sitchensis, Picea engelmannii, Thuja occidentalis, Acer rubrum, A. saccharinum, A. macrophyllum, Tilia americana, Abies amabilis, Abies grandis, Abies concolor, Sequoia sempervirens, Callocedrus decurrens, Quercus virginiana, dan jenis-jenis pohon anggota

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

famili Dipterocarpacea antara lain Shorea spp., Hopea spp., Dipterocarpus spp., Dryobalanops spp., Anisoptera spp.. (5) Jenis pohon yang membutuhkan sangat sedikit radiasi matahari atau memerlukan naungan berat selama proses pertumbuhannya, misalnya Aegle marmelos, Pongamia glabra, Tsuga canadensis, T. heterophylla, Abies balsamea, Abies lasiocarpa, Ostrya virginiana, Carpinus caroliniana, Fagus grandifolia, Cornus florida, Thuja plicata. Jika intensitas radiasi matahari di tempat terbuka (tanpa naungan) rata-rata sebesar 47.000 Lux dengan intensitas maksimum sebesar 56.000 Lux, dan rata-rata intensitas radiasi matahari di bawah naungan berat adalah 1.900 Lux dengan intensitas minimum sebesar 1.600 Lux (Sastrawinata, 1984), maka kebutuhan intensitas radiasi matahari untuk kelima golongan jenis pohon yang telah dikemukakan tersebut dapat diperkirakan dengan membuat kisaran intensitas radiasi matahari dalam lima kelas. 56.000 – 1.600 Interval kelas = ---------------------= 10.880 Lux 5 Dengan demikian, intensitas radiasi matahari yang diperlukan bagi setiap golongan pohon adalah sebagai berikut. (1) Intensitas radiasi matahari bagi jenis pohon yang sangat membutuhkan radiasi matahari untuk pertumbuhannya yaitu sebesar 45.120 Lux—56.000 Lux. (2) Intensitas radiasi matahari bagi jenis pohon yang membutuhkan radiasi matahari untuk pertumbuhannya yaitu sebesar 34.240 Lux—45.120 Lux. 90

Indriyanto


BAB 5. NAUNGAN ATAU ATAP PESEMAIAN

Lux. (5) Intensitas radiasi matahari bagi jenis pohon yang membutuhkan sangat sedikit radiasi matahari atau memerlukan naungan berat selama proses pertumbuhannya yaitu sebesar 1.600 Lux—12.480 Lux. Berdasarkan besarnya intensitas radiasi matahari yang diperlukan untuk sesuatu jenis pohon, maka pembuatan atap atau nauangan pesemaian harus disesuaikan dengan besarnya kebutuhan akan intensitas radiasi matahari, apapun bahan yang dipergunakan untuk naungan. Berkaitan dengan besarnya intensitas radiasi matahari yang diperlukan oleh suatu jenis pohon, maka pemberian naungan pada pesemaian berpengaruh terhadap pertumbuhan semai. Hasil penelitian Sastrawinata (1984) memberikan informasi bahwa pesemaian Shorea laevis memerlukan naungan ringan dengan intensitas radiasi matahari yang diterima semai rata-rata sebesar 11.300 Lux dengan fluktuasi antara 9.900 Lux sampai 14.400 Lux. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan bahwa perlakuan naungan ringan menghasilkan pertumbuhan tinggi dan diameter bibit yang terbesar. Tinggi bibit Shorea laevis pada umur 6 bulan setelah benih disemai adalah 17,04 cm, dan diameter batang bibit adalah 2,24 mm. Adapun persentase hidup bibit Shorea laevis tersebut adalah 100%. Pemberian naungan pada setek Shorea javanica juga berpengaruh terhadap persentase keberhasilannya. Percobaan yang dilakukan oleh Hendromono (1998) memberikan informasi

Indriyanto

91

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

(3) Intensitas radiasi matahari bagi jenis pohon yang membutuhkan radiasi matahari sedang atau membutuhkan setengah cahaya (membutuhkan naungan ringan) untuk pertumbuhannya yaitu sebesar 23.360 Lux—34.240 Lux. (4) Intensitas radiasi matahari bagi jenis pohon yang membutuhkan sedikit radiasi matahari atau memerlukan naungan selama proses pertumbuhannya yaitu sebesar 12.480 Lux—23.360


BAB 5. NAUNGAN ATAU ATAP PESEMAIAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

bahwa naungan berpengaruh sangat nyata terhadap persentase setek Shorea javanica yang berakar. Bahan setek Shorea javanica yang dipergunakan untuk penelitian tersebut diperoleh dari Kebun Pangkas milik Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. Setek yang diberi naungan 50% memiliki kemampuan berakar yang lebih baik dibandingkan dengan setek yang diletakkan pada tempat yang terbuka atau tanpa naungan. Setek cabang Shorea javanica yang diberi naungan 50% (intensitas radiasi matahari lebih kurang 5.380 Lux) menghasilkan persentase setek yang berakar sebanyak 20,83%, sedangkan yang tanpa naungan (di tempat terbuka) menghasilkan persentase setek berakar sebanyak 5% setelah berumur 3 bulan di pesemaian. Kondisi lingkungan tempat menyemai setek cabang tersebut adalah suhu sebesar 360 C, kelembapan relatif udara sebesar 81%, dan intensitas radiasi matahari sebesar 5.380 Lux. Keberhasilan perbanyakan tanaman dengan setek sangat bergantung kepada kemampuan setek untuk membentuk akar, sebab apabila akar setek cepat terbentuk maka setek dapat memanfaatkan zat hara, air, dan gas yang tersedia pada media tumbuhnya untuk memenuhi kebutuhan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan setek cabang.

C. Jenis Bahan untuk Naungan Pesemaian Naungan pesemaian dapat dibuat dari berbagai bahan, antara lain daun kelapa, daun nipah, alang-alang, anyaman batang bambu, shading net atau sarlon shade (lihat Gambar 11, Gambar 12, dan Gambar 13) . Untuk membuat naungan berat, lebih mudah dan murah jika menggunakan daun kelapa, daun nipah, atau alangalang. Sedangkan untuk membuat naungan ringan, lebih mudah menggunakan anyaman batang bambu atau sarlon shade. Di tokotoko plastik telah tersedia sarlon shade dengan berbagai ukuran jaring (net), ada yang 25%, 50%, dan 75%. Naungan berat yang dibuat dengan bahan daun kelapa, daun nipah, atau alang-alang, harus dibuat miring dengan sisi naungan bagian timur lebih tinggi dibandingkan dengan sisi naungan bagian

92

Indriyanto


barat. Naungan yang dibuat miring tersebut bertujuan agar apabila terjadi hujan, maka air hujan yang tertampung pada naungan dapat mengalir dengan lancar. Di samping itu, naungan yang miring seperti tersebut pada saat pagi hari memberi kemungkinan pada intensitas radiasi matahari dapat masuk hingga sampai pada semaisemai yang dibangun di pesemaian. Adapun apabila naungan menggunakan bahan dari sarlon shade, maka naung an ini dibuat dengan sisi tengah lebih tinggi dibandingkan dengan dua sisi pinggir naungan, dan diupayakan diatur secara simetris agar tampak rapi. Bahan untuk tiang naungan bisa berupa kayu, bambu, atau besi. Akan tetapi yang paling murah dan mudah digunakan adalah kayu dan bambu. Kayu dan bambu yang digunakan untuk tiang naungan harus kayu dan bambu yang tua, agar bahan ini kuat dan awet. Tinggi naungan yang umumnya dibuat adalah 1m—2 m. Tinggi naungan ini cukup layak karena memudahkan para pekerja untuk melakukan semua pekerjaan yang berupa pengelolaan pesemaian seperti pada saat mengecambahkan benih, menyapih kecambah, menyiram semai, menyiang gulma, mengendalikan hama dan penyakit pesemaian, melakukan pemupukan, dan lain-lain. Kondisi tinggi naungan seperti ini juga cukup efisien penggunaan bahan untuk tiang, mudah pengerjaannya, dan berpengaruh positip dalam mengendalikan kondisi cuaca di pesemaian.

Gambar 11. Naungan atau atap pesemaian terbuat dari alang-alang (foto diambil Indriyanto pada tahun 2002 di lokasi pesemaian KPPH Sumberagung, Bandar Lampung)

Indriyanto

93

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 5. NAUNGAN ATAU ATAP PESEMAIAN


BAB 5. NAUNGAN ATAU ATAP PESEMAIAN

Gambar 12. Naungan atau atap pesemaian terbuat dari daun kelapa (foto diambil Indriyanto pada tahun 2004 di lokasi

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

pesemaian masyarakat Lampung Tengah)

Gambar 13.

Naungan atau atap pesemaian terbuat dari sarlon/ paranet (foto diambil Indriyanto pada tahun 2000 di lokasi pesemaian PT Inhutani

V Way Hanako,

Lampung Utara)

Ringkasan Naungan pesemaian dibuat dengan tujuan untuk mengurangi intensitas cahaya matahari dan mengurangi besarnya curah hujan yang jatuh di atas bedengan pesemaian. Naungan pesemaian berguna untuk melindungi benih, kecambah, maupun bibit yang ada di pesemaian dari pengaruh intensitas matahari, berguna untuk mengendalikan kelembapan udara dan suhu udara yang

94

Indriyanto


ada di areal pesemaian, untuk melindungi benih, kecambah, bibit, maupun media tumbuhnya dari tetesan langsung curah hujan yang kemungkinan besar dapat merusak. Naungan yang fungsinya untuk mereduksi intensitas radiasi matahari harus disesuaikan dengan sifat toleransi setiap jenis pohon yang akan disemai. Berdasarkan sifat toleransi terhadap intensitas radiasi matahari, maka jenis pohon dikelompokkan ke dalam 5 golongan, yaitu jenis pohon yang sangat membutuhkan radiasi matahari, jenis pohon yang membutuhkan radiasi matahari, jenis pohon yang membutuhkan radiasi matahari sedang, jenis pohon yang membutuhkan sedikit radiasi matahari, dan jenis pohon yang membutuhkan sangat sedikit radiasi matahari. Naungan pesemaian dapat dibuat dari berbagai bahan, misalnya menggunakan daun kelapa, daun nipah, alang-alang, anyaman batang bambu, dan shading net atau sarlon shade. Latihan 1. Jelaskan apa fungsi/peranan naungan pada areal pesemaian. 2. Sebutkan lima golongan sifat pohon berdasarkan toleransinya terhadap intensitas radiasi matahari. 3. Berilah contoh jenis pohon yang bersifat sangat toleran. 4. Berilah contoh jenis pohon yang bersifat sangat intoleran. 5. Berilah contoh jenis pohon yang bersifat semi-toleran. 6. Sebutkan jenis bahan yang dapat digunakan untuk membuat naungan pesemaian.

Indriyanto

95

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 5. NAUNGAN ATAU ATAP PESEMAIAN



HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN

A. Pendahuluan Hama dan penyakit merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bibit di pesemaian, bahkan seringkali mempengaruhi proses perkecambahan benih yang sedang dikecambahkan. Hama dan penyakit adalah faktor yang berpengaruh negatif, baik pada proses perkecambahan benih maupun pada proses pertumbuhan kecambah hingga menjadi bibit yang siap ditanam di areal penanaman, bahkan pertumbuhan pohon di areal penanaman juga tidak lepas dari kemungkinan adanya serangan hama dan penyakit. Pada kondisi populasi organisme penyebab hama dan penyakit yang meningkat drastis pada suatu habitat atau tempat pada umumnya dapat menimbulkan serangan yang sangat berarti bagi pertumbuhan tanaman di pesemaian dan di areal penanaman. Pada saat kondisi yang demikian itu, maka organisme penyebab hama dan penyakit menjadi kendala yang harus diatasi secara bijaksana agar populasinya dapat ditekan dan tidak menimbulkan serangan yang merugikan bagi tanaman. Dalam upaya untuk menanam spesies-spesies pohon yang kita pilih atau spesies-spesies yang memiliki sifat yang kita kehendaki, seringkali kita mengambil bahan tanaman dari sumber bahan tanaman yang berada di tempat lain (di luar daerah yang akan ditanami atau bahkan dari negara lain). Bersamaan dengan tindakan seperti ini, secara tidak sadar sering terbawa hama dan penyakit yang di tempat asalnya tidak Indriyanto

97

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

6


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN tampak adanya kerugian yang ditimbulkan, akan tetapi di daerah yang baru dapat menimbulkan serangan yang sangat berarti bagi pertumbuhan tanaman, sehingga menjadi bencana yang sangat merugikan dalam pengelolaan tanaman termasuk dalam pengelolaan tanaman kehutanan. Timbulnya hanya dan penyakit tanaman kehutanan dapat terjadi pada spesies pohon yang kita datangkan maupun pada spesies pohon asli yang ada di daerah yang dijadikan lokasi pembudidayaan tanaman. Akan tetapi, kadangkala organisme penyebab hama dan penyakit yang sudah lama berada di suatu daerah tidak dapat berkembang karena tidak ada inang yang sesuai. Oleh karena itu, kedatangan spesies pohon baik dalam bentuk benih maupun bibit yang kemudian ditanam di suatu tempat tumbuh memungkinkan organisme penyebab hama dan penyakit dapat menemukan inang yang sesuai/cocok, sehingga organisme tersebut berkembang dengan pesat dan menimbulkan kerugian yang cukup berarti pada spesies pohon yang ditanam atau didatangkan di daerah tersebut. Perlu diperhatikan bahwa semua bagian tanaman hutan, baik yang masih berupa biji (benih), berupa tanaman muda (anakan/seedling), maupun yang sudah tua secara individu atau dalam tegakan di suatu tempat tumbuh dapat diserang oleh hama dan penyakit. Demikian pula di pesemaian, bagian tanaman hutan yang masih berupa biji (benih), kecambah, maupun berupa bibit yang siap ditanam di areal penanaman dapat juga terserang oleh hama dan penyakit. Pendek kata, masalah hama dan penyakit tanaman hutan dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, sehingga di lokasi pesemaianpun hama dan penyakit tanaman seringkali menjadi kendala yang perlu ditangani agar pengadaan bibit di pesemaian dapat berhasil dengan baik. Mengingat organisme penyebab hama dan penyakit tanaman hutan dapat menyerang tanaman sesuai dengan bagian tanaman yang disukai dan juga dapat menyerang pada berbagai tingkat pertumbuhan tanaman, sehingga dapat dijumpai ada hama dan penyakit buah dan biji, hama dan penyakit pesemaian atau tanaman muda, hama dan penyakit daun, hama dan penyakit pada batang, hama pucuk dan cabang, serta hama dan penyakit akar.

98

Indriyanto


Berbagai organisme yang menjadi hama penting dan menyerang tanaman hutan di pesemaian antara lain: ulat tanah (Agrotis spp., Prodenia spp., Leucania spp.), uret tanah (Apogonia spp., Exopholis spp., Holotrichia spp.), jangkrik dan gangsir (Gryllus spp., Brachytrypes spp.), rayap (Macrotermes gilvus, Odontotermes spp., Microtermes spp., Coptotermes spp.), semut, belalang, ulat hijau (Eurema spp.), siput, bekicot, dan tikus. Adapun penyakit penting di pesemaian pohon hutan antara lain: penyakit lodoh yaitu penyakit di pesemaian yang disebabkan oleh berbagai jenis jamur dalam tanah seperti Rhizoctonia spp., Pythium spp., Phytopthora spp., dan Fusarium spp.. Selain itu terdapat juga penyakit Embun Tepung (disebabkan oleh jamur Oidium sp.), penyakit bercak daun (disebabkan oleh jamur Cercospora sp., Pestalotia sp., Phomo sp.), dan penyakit layu (disebabkan oleh bakteri). Berbagai hama dan penyakit tanaman hutan di pesemaian tersebut perlu dipahami karakteristik organisme penyebabknya agar pencegahan dan penanggulangannya dapat dilakukan secara efektif dan efisien tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Pendekatan ekologi dalam pengendalian hama dan penyakit perlu diutamakan, walaupun dalam kondisi tertentu pengendalian hama dan penyakit tanaman di pesemaian dilakukan secara kimiawi menggunakan pestisida, akan tetapi penggunaan bahan kimia ini harus dilakukan secara hati-hati. Kompetensi dasar dalam mempelajari bab 6 adalah agar mahasiswa dan para pembaca lainnya mampu memahami organisme yang menjadi hama dan penyebab penyakit di pesemaian, mampu mengidentifikasi tanda dan gejala serangan hama dan penyakit, serta mampu menaggulangi terjadinya serangan hama dan penyakit di pesemaian

B. Hama Tanaman di Pesemaian Hama adalah semua binatang yang dalam aktivitas hidupnya menimbulkan kerusakan bahkan bisa mengakibatkan tanaman mati (Yasman et al., 2002). Binatang yang bisa menjadi hama tanaman seperti yang dimaksudkan pada pernyataan tersebut antara lain

Indriyanto

99

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN berbagai spesies serangga, bajing, tikus, cacing, dan berbagai spesies binatang/satwa liar (Suratmo, 1982; Hadi, 2001). Berdasarkan atas bagian tanaman yang diserang atau dirusak oleh organisme penyebab hama, maka hama tanaman hutan dikelompokkan menjadi beberapa golongan, antara lain: hama penggerek batang/cabang, hama penggerek pucuk, hama pengebor kulit batang/cabang, hama perusak daun, hama perusak akar, hama pengisap cairan tanaman (Suratmo, 1982). Hama penggerek batang/cabang yaitu serangga yang mengebor batang tanaman, dan kerusakannya berupa lubang-lubang yang mempunyai bermacam-macam ukuran dan bentuk. Hama penggerek pucuk yaitu serangga yang mengebor pucuk tanaman, dan kerusakannya berupa lubang-lubang pada bagian pucuk yang seringkali bagian pucuk yang diserang menjadi patah. Mengingat pucuk adalah tempat pertumbuhan meninggi (tempat meristem apikal), maka serangga perusak pucuk sangat merugikan. Hama pengebor kulit batang yaitu serangga yang merusak kulit batang bagian dalam sampai ke bagian kambium, sehingga lubang gerekan serangga dapat merusak sistem pengangkutan hasil fotosintesis yang ditranslokasikan dari daun ke bagian bawah (batang dan akar). Hama perusak daun yaitu serangga dan Mollusca (bekicot, siput/ keyong) yang merusak helai daun dan pada umumnya menyerang daging daun sehingga mengakibatkan sebagian atau seluruh bagian daun rusak karena dimakan serangga. Serangan hama perusak daun pada tanaman sangat merugikan karena daun merupakan organ yang berfungsi untuk melakukan proses fotosintesis. Hama perusak akar yaitu serangga yang merusak akar bagian ujung dari tanaman muda (semai), sehingga mengganggu pertumbuhan akar dan mengganggu fungsi akar. Adapun hama pengisap cairan tanaman yaitu serangga yang mengisap cairan yang terdapat pada daun dan cabang-cabang muda dari suatu tanaman. Kerusakan yang ditimbulkan oleh hama pengisap cairan tanaman adalah berupa noda-noda atau perubahan warna, timbulnya bentuk membesar dari bagian organ yang diserang, serta berakibat pada penghambatan pertumbuhan. 100

Indriyanto


BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN

1. Hama Penggerek Batang/Cabang Beberapa spesies organisme yang menjadi hama penggerek batang/cabang pada tanaman atau bibit di pesemaian antara lain adalah Zeuzera coffeae, Xyleborus morigerus, Xyleborus compactus, dan Xystrocera festiva (Asmaliyah dan Suharti, 1998). Selain itu, Xyleborus morstatii juga menjadi hama pada bibit Mahoni di pesemaian (Hadi, 2001). Spesies tanaman yang disukai, gejala serangan dan kerusakan yang ditimbulkan, serta cara pengendaliannya, masing-masing diuraikan sebagai berikut. a. Zeuzera coffeae Zeuzera coffeae adalah salah satu spesies serangga yang menjadi hama pesemaian tanaman hutan. Zeuzera coffeae termasuk anggota famili Cossidae yang daerah penyebaran alamiahnya meliputi daerah Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Spesies serangga ini biasa disebut penggerek cabang merah yang ulatnya menyerang beberapa spesies pohon berdaun lebar (Hadi, 2001). Menurut Asmaliyah dan Suharti (1998), tanaman inang untuk Zeuzera coffeae antara lain: berbagai spesies pohon Leda (Eucalyptus spp.), Jati (Tectona grandis), dan Mahoni daun kecil (Swietenia mahagoni). Spesies pohon di pesemaian yang sering diserang oleh Zeuzera coffeae adalah Eucalyptus spp.. Meskipun demikian, ada kemungkinan hama Zeuzera coffeae menyerang bibit Sengon (Paraserianthes falcataria), Cemara (Casuarina spp.), dan Mahoni daun besar (Swietenia macrophylla) di pesemaian, sebab pohon-pohon tersebut pada saat dewasa diserangnya (Suratmo,1982). Zeuzera coffeae yang menjadi hama tanaman adalah pada stadium larva. Larva serangga ini pada waktu dewasa berukuran panjang 4 cm, punggungnya berwarna kemerahan, perutnya berwarna kekuningan, dan kepalanya berwarna coklat. Indriyanto

101

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Beberapa hama penting tanaman hutan di pesemaian diuraikan satu demi satu berdasarkan atas bagian organ bibit yang diserang di pesemaian, serta spesies serangga sebagai hama dan spesies pohon yang disukai pada fase bibit di pesemaian.


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN Larva Zeuzera coffeae menggerek batang atau cabang pohon membentuk terowongan yang mengelilingi batang atau cabang sehingga terowongan ini menyerupai gelang pada batang atau cabang. Dalam kondisi serangan yang berat, terowongan-terowongan lubang gerek yang mengelilingi batang atau cabang itu bisa saling sambungmenyambung pada seluruh bagian batang hingga mencapai akar. Pada jarak tertentu sepanjang lubang gerek terdapat lubang-lubang tempat membuang kotoran larva, sehingga pada lubang tersebut tampak kotoran berupa pelet yang lengket berwarna coklat kemerahan. Akibat dari serangan larva ini, maka batang atau cabang tanaman akan membengkak dan keropos sehingga mudah patah. Cara pengendalian yang selama ini dilakukan jika terjadi serangan hama Zeuzera coffeae antara lain adalah sebagai berikut. (1) Pengendalian secara kimiawi menggunakan insektisida misalnya Furadan 3-G atau Darmafur 3-G dengan dosis 2 kg/ha yang dilakukan dengan cara penyemprotan. (2) Pengendalian secara biologi dilakukan menggunakan musuh alami yaitu spesies Bracon zeuzera, Isosturmia chatterjeeana dan Carcelia kockiana. b. Xyleborus morigerus Xyleborus morigerus dikenal dengan nama hama bubuk coklat atau kumbang ranting coklat atau penggerek bubuk coklat yang merupakan serangga anggota famili Scolytidae. Daerah penyebaran hama ini mencakup daerah Jawa, Asia Tenggara, dan Afrika Timur. Serangga ini merupakan hama utama (hama primer) pada tanaman mahoni daun besar (Swietenia macrophylla), dan sengon laut (Paraserianthes falcataria). Bibit di pesemaian yang kemungkinan besar diserang oleh Xyleborus morigerus adalah sengon laut. Hama ini menggerek cabang/ranting dan akar bibit sengon laut di pesemaian. Lubang-lubang gerek pada cabang/ranting dan akar bibit disebabkan oleh serangga betina dengan cara membuat terowongan pendek yang tegak lurus terhadap sumbu memanjang batang/cabang/ranting yang diserang. Serangan hama bubuk coklat yang sangat berat/hebat dapat menyebabkan bibit 102

Indriyanto


terhenti pertumbuhannya. Waktu serangan pada umumnya terjadi pada musim hujan. Cara pengendalian hama Xyleborus morigerus yang selama ini dipraktekkan antara lain sebagai berikut. (1) Memperbaiki sanitasi lingkungan pesemaian, dan mengupayakan kondisi kelembapan udara di pesemaian turun. (2) Memusnahkan bibit yang sedang terserang oleh hama Xyleborus morigerus. (3) Pengendalian secara hama secara biologis dengan menggunakan musuh alami berupa parasit yaitu Tetranichus xylebororum. c. Xyleborus compactus Xyleborus compactus adalah serangga anggota famili Scolytidae yang menjadi hama penggerek batang pohon maupun bibit di pesemaian berupa kumbang yang terkenal dengan nama penggerek bubuk hitam. Daerah penyebaran alamiah Xyleborus compactus meliputi daerah Sumatera, Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi, terdapat juga di Vietnam dan Afrika. Spesies pohon yang menjadi inang bagi penggerek bubuk hitam adalah mahoni daun lebar (Swietenia macrophylla) dan berbagai spesies pohon akasia (Acacia spp.), misalnya Acacia auriculiformis, Acacia mangium, Acacia decuren, Acacia leucophloea, Acacia crassicarpa, Acacia siamensis, dan Acacia tomentosa. Hama yang sangat sering menimbulkan masalah di pesemaian mahoni dan akasia adalah kumbang Xyleborus compactus ini. Di pesemaian, penggerek bubuk hitam menyerang bibit pada batangnya, cabang, dan rantingnya. Waktu penyerangan hama pada bibit terjadi pada musim dingin atau musim penghujan. Gejala serangan hama ini adalah terdapat lubang-lubang gerek pada cabang/ranting dan akar bibit disebabkan oleh serangga betina dengan cara membuat terowongan pendek yang tegak lurus terhadap sumbu memanjang batang/cabang/ranting yang diserang. Serangan yang sangat berat/ hebat dapat menyebabkan bibit berhentinya pertumbuhan bibit. Cara pengendalian hama Xyleborus compactus yang selama ini dipraktekkan antara lain sebagai berikut.

Indriyanto

103

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN


BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN (1) Memperbaiki sanitasi lingkungan pesemaian, dan mengupayakan kondisi kelembapan udara di pesemaian turun. (2) Memusnahkan bibit yang sedang terserang oleh hama Xyleborus compactus. (3) Pengendalian secara hama secara biologis dengan menggunakan musuh alami berupa parasit yaitu Tetranichus xylebororum.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

2. Hama Penggerek Pucuk Spesies serangga yang menjadi hama penggerek pucuk pada pesemaian tanaman hutan antara lain: spesies Dioryctria rubella dan Hypsipyla robusta. Kedua spesies serangga tersebut merupakan anggota famili Pyralidae. Penyebaran alamiah dari masing-masing spesies serangga tersebut, kemudian spesies tanaman hutan yang disukai, dan gejala-gejalanya diuraikan di bawah ini. a. Dyorictria rubella Dyorictria rubella merupakan salah satu spesies serangga yang menjadi hama penggerek pucuk pada pesemaian tusam (Pinus merkusii). Sebenarnya serangga ini juga menjadi hama tanaman tusam yang masih muda yaitu tanaman yang berumur 2—3 tahun. Serangga yang menjadi hama ini adalah stadium larva. Tubuh larva serangga Dyorictria rubella pada saat masih muda berwarna putih kotor dan kepalanya berwarna hitam. Larva dewasa berwarna abu-abu kehitaman dan kepalanya berwarna hitam. Pada setiap segmen tubuh larva terdapat bercak-bercak berwarna coklat tua, pada bercak ini tumbuh 1—2 helai bulu berwarna putih yang panjangnya 0,5—1 mm. Panjang tubuh larva 2 cm dan lebarnya 3 mm. Gejala yang tampak pada bibit ataupun tanaman muda tusam yang terserang oleh hama ini yaitu tajuk tanaman mengalami perubahan warna daunnya menjadi kuning dan selanjutnya berubah lagi menjadi berwarna coklat seperti terbakar. Akibat serangan penggerek pucuk pada bibit tusam, maka pucuk atau ujung batang bibit menjadi patah, sehingga pertumbuhan tinggi bibit terhambat dan kadangkala bibit

104

Indriyanto


menjadi mati. Andaikata bibit yang terserang masih bertahan hidup, maka bagian pucuk yang patah akan tumbuh bercabang. Pengetahuan mengenai cara pengendalian hama ini masih sangat kurang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mengenai aspek bio-ekologi dari Dyorictria rubella itu sendiri. Akan tetapi, upaya yang perlu dilakukan dalam mencegah maupun menanggulangi terjadinya serangan hama ini adalah memperbaiki kondisi sanitasi lingkungan pesemaian dengan membersihkan semua kotoran atau sisa-sisa bahan organik yang kemungkinan bisa menjadi sarang hama. Bagi bibit yang terserang hama dan masih bertahan hidup, sebaiknya dipotong atau dipangkas bagian sebelah bawah serangan agar memacu pertumbuhan tunas secara baik dan sempurna, kemudian jika tunas tumbuh lebih dari satu maka tunas dipangkas dan disisakan satu tunas yang pertumbuhannya bagus. b. Hypsipyla robusta Hama ini merupakan salah satu jenis hama yang paling sering menjadi masalah pada pembangunan pesemaian pohon mahoni daun lebar (Swietenia macrophylla). Di setiap pesemaian Mahoni daun lebar di Indonesia, baik di Jawa maupun di luar Jawa seringkali dijumpai adanya serangan hama penggerek pucuk dari spesies serangga Hypsipyla robusta. Menurut Hadi (2001), spesies pohon di pesemaian selain Mahoni daun lebar yang seringkali diserang oleh penggerek pucuk Hypsipyla robusta adalah suren (Toona sureni) dan kaya (Khaya anthotheca). Selain di Indonesia, hama penggerek pucuk Hypsipyla robusta juga dijumpai di negara lain seperti di India, Costarica, Afrika, Papua Nugini, Fiji, dan Australia (Asmaliyah dan Suharti, 1998). Serangga Hypsipyla robusta yang menjadi hama penggerek pucuk adalah pada stadium larva. Larva memiliki warna tubuh bervariasi, pada punggungnya terdapat barisan bercak hitam yang berbulu, dan panjang tubuh larva dewasa 2—3 cm. Sebelum menyerang pucuk bibit maupun pucuk tanaman muda, larva serangga ini makan daun muda dan kuncup daun. Setelah daun muda dan kuncup bibit habis dimakan, kemudian larva menggerek

Indriyanto

105

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN pucuk batang yang masih muda melalui ketiak daun. Selama menggerek pucuk batang, larva ini makan jaringan tanaman sambil terus menggerek masuk ke bagian dalam sampai sepanjang lebih kurang 15 cm. Akibat gerekan larva serangga ini, maka pucuk bibit maupun pucuk tanaman muda menjadi patah dan layu. Sebelum pucuk patah, tampak kotoran berwarna coklat muda hingga coklat tua yang keluar dari lubang-lubang gerek dan menempel di bawah lubang gerek. Pucuk bibit yang patah akibat penggerek pucuk ini tentunya menghambat pertumbuhan bibit maupun pertumbuhan tanaman muda. Walaupun demikian, bagi bibit yang mampu bertahan hidup dengan daya hidup yang tinggi akan bertunas pada bagian bawah pucuk yang patah, sehingga terbentuklah cabang majemuk (witches broom) yaitu cabang-cabang yang dihasilkan dari tunas yang banyak. Munculnya cabang majemuk dapat menghambat petumbuhan tinggi bibit dan tanaman muda, serta menghasilkan bentuk batang yang bengkok dan jelek. Perlu diketahui bahwa tunas-tunas baru yang terbentuk itupun tidak luput dari serangan hama ini. Bila serangan terjadi berulang-ulang, maka bibit dan tanaman muda bisa mati. Usaha-usaha yang perlu dilakukan untuk mengendalikan hama Hypsipyla robusta antara lain sebagai berikut. (1) Untuk menghindari agar bibit di pesemaian tidak diserang hama ini, sebaiknya dilakukan penyemprotan dengan insektisida sistemik misalnya Dimecron, Nuvacron, Perfektion, atau insektisida sistemik yang lainnya dengan dosis 2—4 cc/liter air. Penyemprotan dengan insektisida sistemik seperti tersebut, dilakukan menjelang musim hujan yang penyemprotannya diulang 3 kali dengan interval waktu 10 hari sekali. (2) Pengamatan secara intensif perlu dilakukan di pesemaian untuk mengetahui secara dini ada tidaknya larva Hypsipyla robusta yang menyerang bibit. Jika terdapat larva yang menyerang bibit, maka larva tersebut segera dimusnahkan baik secara mekanik maupun secara kimiawi bergantung banyak sedikitnya larva yang menyerang.

106

Indriyanto


3. Hama Pemakan Daun Hama pemakan daun adalah golongan serangga yang menyerang daun tanaman dan memakannya hingga hampir habis atau bahkan sampai daging daun tanaman yang diserang itu habis. Beberapa organisme serangga yang menjadi hama pemakan daun di pesemaian yaitu Eurema spp., Agrotis spp., Prodenia litura, dan serangga anggota genus Chaetoctema. Adapun hama tanaman muda yang kemungkinan bisa menjadi hama pemakan daun pada bibit di pesemaian adalah Milionia basalis dan serangga anggota genus Acanthopsiche. Spesies tanaman yang diserang oleh hama ini dan gejala serangan, serta upaya penanggulangannya diuraikan sebagai berikut. a. Eurema spp. Spesies organisme anggota genus Eurema yang menjadi hama daun tanaman di pesemaian adalah Eurema hecabe dan Eurema blanda. Kedua spesies organisme tersebut adalah anggota famili Pieridae yang dikenal dengan nama nasional kupu kuning. Serangga Eurema spp. pada stadium larva yang menjadi hama dan menyerang tanaman sengon laut (Paraserianthes falcataria) baik di pesemaian maupun tanaman muda di areal penanaman (Asmaliyah dan Suharti, 1998). Di Indonesia, Eurema spp. ini menjadi hama yang sangat penting bagi bibit sengon laut di pesemaian. Menurut Suratmo (1982) hama tersebut selain menyerang sengon laut, juga menyerang spesies pohon lainya antara lain dadap (Erythrina variegata), johar (Cassia siamea), turi bunga merah (Sesbania grandiflora), jengkol (Pithecellobium lobatum), petai (Parkia speciosa), dan bahkan menyerang jati (Tectona grandis). Daerah penyebaran alamiah Eurema spp. sangat luas antara lain di Afrika, Tiongkok, Jepang, Korea, Pilipina, Australia, dan Asia Tenggara termasuk di Indonesia (Suratmo, 1982). Penyebaran Eurema spp. di Indonesia meliputi wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan (Asmaliyah dan Suharti, 1998). Larva Eurema spp. yang baru saja menetas dari telur segera makan daun tanaman (bibit maupun tanaman muda), sehingga gejala yang tampak adalah daun-daun yang terserang larva menjadi berlubang-

Indriyanto

107

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN


BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

lubang atau terkikis. Pada serangan yang berat, maka daging daun bibit akan termakan habis hingga tampak tulang daun primer. Akibat serangan yang berat seperti tersebut, maka pertumbuhan bibit atau tanaman muda sangat terganggu karena tanaman tidak bisa lagi melakukan proses fotosintesis. Morfus dari larva Eurema spp. yaitu ketika larva ini dewasa berwarna hijau dengan garis putih yang memanjang pada sisi badannya, kepala berwarna hitam, dan panjang tubuhnya lebih kurang 25 mm. Teknik pengendalian hama belum dilaporkan walaupun secara teori dapat dikendalikan secara kimiawi dengan insektisida. Sedangkan pengendalian secara bio-ekologis yaitu secara alamiah dengan parasit yang menyerang pupa antara lain Brachimeria femorata, Brachimeria euploeae, Theronia zebbra, Palexorista incospicuoides, dan Argyrophylax fransseni (Asmaliyah dan Suharti, 1998) b. Agrotis spp. Agrotis spp. adalah berbagai spesies organisme serangga anggota famili Noctuidae yang menjadi hama tanaman hutan baik pada bibit di pesemaian maupun tanaman muda di areal penanaman. Beberapa spesies organisme yang dimaksudkan tersebut antara lain Agrotis ipsilon, Agrotis segetum, dan Agrotis interjectionis (Suratmo, 1982). Hama ini dikenal dengan ulat tanah karena pada siang hari bersembunyi di dalam tanah, terutama pada stadium pupa. Pada stadium larva aktif malam hari dan menyerang daun tanaman, sedangkan pada siang hari bersembunyi dalam liang di tanah (Asmaliyah dan Suharti, 1998). Menurut Hadi (2001), ulat tanah Agrotis spp. ini menyerang juga akar dan batang semai. Tanaman inang serangga Agrotis spp. adalah pohon leda (Eucalyptus deglupta.). Hama Agrotis spp. menyerang daun bibit dan tanaman muda, sehingga gejala yang tampak adalah pada daun tanaman lubanglubang atau terkikis, bahkan pada serangan yang hebat menyebabkan daun bibit dan tanaman muda menjadi gundul. Serangan hama pada bibit maupun pada tanaman muda yang terjadi berulang-ulang dapat menghambat pertumbuhan tanaman tersebut. Menurut Asmaliyah dan Suharti (1998), serangan yang hebat pada bibit oleh hama Agrotis 108

Indriyanto


spp. lebih banyak terjadi di daerah pegunungan daripada di daerah dataran rendah. Waktu yang seringkali terjadi serangan hama ulat tanah Agrotis spp. pada bibit di pesemaian maupun tanaman muda di areal penanaman adalah pada masa transisi dari musim hujan ke musim kemarau, juga terjadi pada saat musim hujan. Hal ini disebabkan pada masa yang demikian, kelembapan udara meningkat, dan kondisi komponen cuaca yang lainnya sangat mendukung berkembangnya populasi hama ulat tanah. Ciri morfologi larva Agrotis ipsilon yaitu tubuhnya berwarna coklat kehitaman agak mengkilap, pada kedua sisi tubuhnya terdapat garis berwarna coklat, di punggungnya terdapat kutil-kutil kecil yang dikelilingi bercak berwarna coklat muda. Ciri morfologi larva Agrotis segetum yaitu tubuhnya berwarna coklat muda atau coklat kehitaman, kulitnya agak kasar dan suram , di punggungnya terdapat kutil-kutil kecil tanpa bercak di sekitarnya. Adapun ciri morfologi larva Agrotis interjectionis yaitu tubuh berwarna coklat muda dengan garis-garis berwarna lebih tua dari warna tubuhnya. Cara-cara yang bisa dilakukan untuk pengendalian hama ulat tanah Agrotis spp. di pesemaian antara lain diuraikan sebagai berikut. (1) Pengendalian secara mekanis dapat dilakukan dengan cara mensteril media tumbuh bibit melalui pembakaran. (2) Pengendalian secara kimiawi dapat dilakukan menggunakan insektisida sistemik antara lain Azodrin 15 WSC, Hostthation 40 EC, dan Tokuthion 500 EC yang masing-masing dapat diterapkan dengan dosis 3—4 ml/liter air. (3) Pengendalian secara bio-ekologi dapat dilakukan menggunakan musuh alamiah berupa parasit larva antara lain Apanteles suficrus, Tritaxys braueri, dan Cuphocera varia. c. Prodenia litura Prodenia litura di Indonesia dikenal dengan nama nasional ulat tanah seperti juga nama nasional bagi Agrotis spp. yaitu ulat tanah karena larvanya pada siang hari lebih suka bersembunyi dalam liang tanah, sedangkan pada malam harinya aktif mencari makan. Prodenia litura merupakan serangga anggota famili Noctuidae. Tanaman inang Indriyanto

109

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN bagi Prodenia litura adalah berbagai spesies anggota genus Eucalyptus (Eucalyptus spp.) dan berbagai spesies meranti (Shorea spp.). Daerah penyebaran hama ini sangat luas, sehingga hama ini disebut hama yang kosmopolit (Asmaliyah dan Suharti, 1998). Beberapa wilayah penyebaran hama ini antara lain di Afrika, Eropa, Asia, Pasifik, Australia, dan di seluruh wilayah Indonesia. Gejala serangan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh hama Prodenia litura sama dengan yang ditimbulkan oleh hama Agrotis spp., mengingat hama ini terutama menyerang daun maka daun tanaman di pesemaian yang diserang berlubang, tergores, bahkan pada serangan berat semua daging daun habis tinggal tulang primernya, sehingga tanaman tampak gundul. Jika daun telah habis, larva Prodenia litura juga merusak akar dan batang semai. Menurut Hadi (2001), Prodenia litura adalah salah satu serangga yang di Indonesia dikenal dengan ulat tanah sebagai hama pesemaian dan tanaman muda yang merusak akar dan batang semai. Serangan hama yang berat dan berulang-ulang dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Hama ini menyerang tanaman pada waktu musim hujan. Morfologi larva Prodenia litura yaitu warna tubuhnya hijau kehitaman, pada punggungnya terdapat dua baris bercak berbentuk bulan sabit dan berwarna lebih tua dari pada warna tubuhnya. Larva ini suka pada tempat yang lembab, dan hidup berkelompok. Cara-cara yang dapat dilakukan untuk pengendalian hama ulat tanah Prodenia litura antara lain sebagai berikut. (1) Pengendalian secara mekanis dilakukan dengan cara memungut telur sebelum menetas yang diletakkan di celah-celah tulang daun. (2) Pengendalian secara kimiawi dilakukan menggunakan insektisida sistemik misalnya Azodrin 15 WSC, Hostthation 40 EC, dan Tokuthion 500 EC dengan dosis 3—4 ml/liter air. (3) Pengendalian secara bio-ekologi menggunakan musuh alamiahnya berupa virus Borrelinavirus litura dan bakteri Bacillus thuringiensis yang disemprotkan dalam bentuk cairan pada daun yang terserang hama.

110

Indriyanto


d. Chaetoctena sp. Chaetocnema sp. adalah salah satu hama pemakan daun pada tanaman berbagai spesies tancang (Bruguiera spp.) di pesemaian. Serangga ini adalah anggota famili Chrysomellidae yang pada stadium imago (kumbang) menjadi hama tanaman hutan. Daerah penyebaran hama ini adalah di Kalimantan dan Jawa Tengah. Kumbang dari serangga ini menyukai jaringan yang masih muda terutama jaringan daun dan pucuk. Bagian yang disukai dari jaringan tersebut adalah sel-sel parenchima daun, terutama daun yang masih muda dan pucuk. Serangan kumbang Chaetocnema sp. pada daun dan pucuk tanaman menyebabkan daun dan pucuk tampak berlubanglubang kecil, kemudian dapat menyebabkan daun mengkerut dan pertumbuhannya tidak normal yang akhirnya daun menguning dan gugur. Jika serangan cukup berat dan setelah daun gugur, maka bibit tanaman akan mati. Morfologi kumbang Chaetocnema sp. yaitu tubuhnya berwarna hitam mengkilap, panjang tubuhnya 3—4 mm, sayap seludang berwarna hitam kecoklatan dengan alur memanjang, bentuk tubuhnya oval, dan kakinya berwarna terang (Asmaliyah dan Suharti, 1998). Cara pengendalian hama ini dilakukan secara kimiawi dengan insektisida Basazinon dengan dosis 1,5% yang disemprotkan pada daun sebelum diserang hama maupun pada saat diserang hama. Banyaknya insektisida yang diperlukan untuk pengendalian hama ini diprakirakan sebanyak 15 cc per bibit dengan dosis 1,5%. 4. Hama Penyerang Akar Hama penyerang akar adalah serangga yang pada umumnya merusak akar tanaman, meskipun demikian hama ini seringkali juga merusak bagian pangkal batang semai. Beberapa spesies serangga yang menjadi hama pada akar tanaman hutan antara lain Lepidiota stigma, Holotrichia helleri, Leucopholia rorida (Asmaliyah dan Suharti, 1998). Selain spesies serangga tersebut, binatang lain yang seringkali menjadi hama pada pesemaian tanaman hutan, khususnya yang menyerang akar semai antara lain berbagai jenis uret tanah seperti Apogonia spp., Exopholis spp., Holotrichia spp., jangkrik (Gryllus spp.), gangsir Indriyanto

111

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN


BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

(Brachytrypes spp., berbagai jenis rayap subteran seperti Macrotermes gilvus, Odontotermes spp., Microtermes spp., dan Coptotermes spp. (Hadi, 2001). Beberapa di antara hama ini akan diuraikan sebagai berikut. a. Lepidiota stigma Hama tanaman yang disebabkan oleh Lepidiota stigma ini dengan nama Uret atau Ampal atau Lege. Di Indonesia, hama uret ini menyebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali. Tanaman inang yang disukai adalah jati (Tectona grandis) dan tusam (Pinus merkusii). Uret merupakan serangga pemakan akar yang menyerang sebagian atau seluruh akar tanaman sampai pada kolet (leher akar). Akar bibit yang diserang oleh uret ini bisa membuat kulit akar di daerah kolet terkelupas dan kolet putus, akibatnya pertumbuhan bibit terhambat bahkan bisa mati, namun demikian gejala awal ketika akar bibit diserang hama uret tampak pada perubahan warna pada daun hingga menjadi kering. Hama ini menyerang bibit tanaman hutan khususnya bibit Jati dan bibit Tusam di pesemaian pada saat musim hujan. Morfologi hama uret yaitu stadium larva yang baru saja menetas berwarna putih dan kepala berwarna coklat yang terletak di dalam tanah. Larva dewasa berwarna kuning agak mengkilap, panjang tubuhnya 7 cm, terdapat di dalam lapisan tanah yang lebih dalam. Stadium larva ini cukup lama usianya yaitu 9 bulan. Serangga dewasa berbentuk kumbang berwarna coklat keabu-abuan, tubuhnya bersisik halus dengan warna kuning atau putih kekuningan, pada ujung sayap seludang (elytra) terdapat bercak putih yang berukuran lebih kurang 1,5 mm. Kumbang ini berukuran panjang 4,2—5,4 cm dan lebarnya 2,0—2,6 cm yang muncul di atas permukaan tanah. Cara-cara yang dapat dilakukan dalam pengendalian hama uret Lepidiota stigma antara lain sebagai berikut. (1) Pengendalian cara mekanis dilakukan dengan mengumpulkan uret pada saat mengolah tanah kemudian uret tersebut dibakar. Cara mekanis lainnya adalah dengan menangkap kumbang ketika sedang keluar dari dalam tanah yang biasanya terjadi pada musim pukul 17.00—19.00. Kumbang dapat dikumpulkan dengan

112

Indriyanto


BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN

kg/hektar, sedangkan dalam bentuk granular dapat dicampurkan pada media tumbuh dengan dosis 2 kg/hektar. Jenis insektisida lainnya antara lain Chlordane, Diazinon, Sevin, dan Sevidol. b. Holotrichia helerii Hama ini dikenala dengan nama Pintul atau Gambrangan atau Katimumul. Tanaman inangnya adalah Jati. Adapun daerah penyebaran alamiahnya di Indonesia meliputi Jawa Timur dan Jawa Barat. Holotrichia helerii atau Pintul merupakan serangga pemakan akar yang menyerang sebagian atau seluruh akar tanaman sampai pada kolet (leher akar). Akar bibit yang diserang oleh Pintul ini bisa membuat kulit akar di daerah kolet terkelupas dan kolet putus, akibatnya pertumbuhan bibit terhambat bahkan bisa mati, namun demikian gejala awal ketika akar bibit diserang hama Pintul tampak pada perubahan warna pada daun hingga menjadi kering. Hama ini menyerang bibit tanaman hutan khususnya bibit Jati di pesemaian pada saat musim hujan. Larva Holotrichia helerii ditemukan pada berbagai jenis tanah, walaupun pada umumnya banyak ditemukan pada tanah yang mengandung pasir atau pada tanah yang diberi pupuk organik misalnya pupuk kandang atau pupuk hijau. Stadium larva ini memiliki masa hidup selama 7 bulan. Stadium kumbang juga hidup di dalam tanah selama lebih kurang 5 minggu pada kedalaman 30—50 cm. Kumbang berwarna coklat, kepalanya berwarna coklat tua sampai hitam, dan perutnya berwarna merah kecoklatan. Cara-cara yang dapat dilakukan dalam pengendalian hama Holotrichia helerii antara lain sebagai berikut.

Indriyanto

113

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

menggunakan lampu karena jika ada sinar lampu maka kumbang akan datang mengerumuninya. Pada saat kumbang datang, lalu ditangkap dan dimusnahkan. (2) Pengendalian cara kimiawi dilakukan menggunakan insektisida yang dicampur dengan media tumbuh bibit. Jenis insektisida yang bisa digunakan adalah Heptachlor yang dicampurkan dengan media tumbuh bibit melalui hembusan dengan dosis 112


BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

(1) Pengendalian cara mekanis dilakukan dengan mengumpulkan larva pada saat mengolah tanah kemudian larva tersebut dibakar. Cara mekanis lainnya adalah dengan menangkap kumbang ketika sedang keluar dari dalam tanah yang biasanya terjadi pada musim pukul 17.00—19.00. Kumbang dapat dikumpulkan dengan menggunakan lampu karena jika ada sinar lampu maka kumbang akan datang mengerumuninya. Pada saat kumbang datang, lalu ditangkap dan dimusnahkan. (2) Pengendalian cara kimiawi dilakukan menggunakan insektisida yang dicampur dengan media tumbuh bibit. Jenis insektisida yang bisa digunakan adalah Heptachlor yang dicampurkan dengan media tumbuh bibit melalui hembusan dengan dosis 112 kg/hektar, sedangkan dalam bentuk granular dapat dicampurkan pada media tumbuh dengan dosis 2 kg/hektar. Jenis insektisida lainnya antara lain Chlordane, Diazinon, Sevin, dan Sevidol. c. Leucopholia rorida Hama Leucopholia rorida dikenal dengan nama Lonte (nama di Jawa Timur) adalah serangga anggota Famili Scarabaeidae. Serangga ini hidup di wilayah Malaysia dan Indonesia. Daerah penyebaran Lonte di Indonesia meliputi di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera. Spesies pohon yang menjadi inang hama Lonte antara lain jati, tusam, sengon laut, dan kelampayan (Anthocephalus cadamba). Leucopholia rorida atau Lonte merupakan serangga pemakan akar yang menyerang sebagian atau seluruh akar tanaman sampai pada kolet (leher akar). Akar bibit yang diserang oleh Lonte ini bisa membuat kulit akar di daerah kolet terkelupas dan kolet putus, akibatnya pertumbuhan bibit terhambat bahkan bisa mati, namun demikian gejala awal ketika akar bibit diserang hama Lonte tampak pada perubahan warna pada daun hingga menjadi kering. Hama ini menyerang bibit tanaman hutan khususnya bibit jati, tusam, sengon laut, dan kelampayan di pesemaian pada saat musim hujan. Larva Leucopholia rorida dewasa berukuran 3 cm terdapat di dalam tanah pada kedalaman 20—80 cm. Kumbang berwarna coklat tua, panjangnya 20—27 cm. 114

Indriyanto


BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN

menggunakan lampu karena jika ada sinar lampu maka kumbang akan datang mengerumuninya. Pada saat kumbang datang, lalu ditangkap dan dimusnahkan. (2) Pengendalian cara kimiawi dilakukan menggunakan insektisida yang dicampur dengan media tumbuh bibit. Jenis insektisida yang bisa digunakan adalah Heptachlor yang dicampurkan dengan media tumbuh bibit melalui hembusan dengan dosis 112 kg/hektar, sedangkan dalam bentuk granular dapat dicampurkan pada media tumbuh dengan dosis 2 kg/hektar. Jenis insektisida lainnya antara lain Chlordane, Diazinon, Sevin, dan Sevidol. 5. Hama Lainnya di Pesemaian Selain beberapa jenis hama yang telah diuraikan tersebut, masih terdapat jenis hama lainnya yang bisa menyerang bibit di pesemaian. Beberapa hama lain yang dimaksudkan antara lain sebagai berikut (Hadi, 2001) a. Jangkrik (Gryllus spp.) dan gangsir (Brachytrypes spp.) adalah binatang yang merusak perakaran bibit tanaman hutan di pesemaian. Binatang ini merupakan anggota dari famili Gryllidae. b. Berbagai spesies rayap yang merupakan hama perusak akar dan batang bibit, seringkali juga menggerek kolet (leher akar), sehingga bisa mengakibatkan bibit mati. Beberapa spesies rayap yang dimaksudkan antara lain: Macrotermes gilvus, Odontotermes spp., Microtermes spp., dan Coptotermes spp.. c. Berbagai spesies semut, yaitu serangga anggota famili Formicidae yang dapat merusak akar dan kotiledon (daun lembaga) bibit tanaman hutan di pesemaian.

Indriyanto

115

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Cara-cara yang dapat dilakukan dalam pengendalian hama Leucopholia rorida antara lain sebagai berikut. (1) Pengendalian cara mekanis dilakukan dengan mengumpulkan larva pada saat mengolah tanah kemudian larva tersebut dibakar. Cara mekanis lainnya adalah dengan menangkap kumbang ketika sedang keluar dari dalam tanah yang biasanya terjadi pada musim pukul 17.00—19.00. Kumbang dapat dikumpulkan dengan


BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

d. Berbagai spesies belalang, yaitu serangga anggota famili Acridiidae yang seringkali merusak daun bibit tanaman hutan di pesemaian. e. Siput atau bekicot atau keong (Achatina fulica), yaitu binatang anggota famili Mollusca yang seringkali menyerang daun bibit tanaman hutan di pesemaian. f. Berbagai spesies tikus misalnya Rattus spp. dan Epimys spp. yang seringkali makan daun bibit dan benih.

C. Penyakit Tanaman di Pesemaian Penyakit tanaman adalah seri tanggapan sel dan jaringan tanaman yang tampak atau tidak terhadap faktor mikroba patogen atau lingkungan yang menyebabkan beragam perubahan dalam bentuk, fungsi, atau keterpaduan tanaman dan menuju perusakan atau kematian tanaman atau bagiannya (Soesanto, 2012). Menurut Pusat Bahasa (2002), penyakit adalah gangguan kesehatan yang disebabkan oleh bakteri, virus, cendawan, dan oleh faktor lingkungan lainnya, atau kelainan sistem faal pada organ tubuh makhluk hidup. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa penyakit tanaman adalah gangguan kesehatan tanaman yang disebabkan oleh bakteri, virus, cendawan, dan oleh faktor lingkungan lainnya, atau kelainan sistem faal pada organ tubuh tanaman. Berdasarkan definisi tentang penyakit tanaman tersebut, bahwa faktor penyebab penyakit tanaman bisa faktor biotik (berupa organisme) dan faktor abiotik (lingkungan fisik). Organisme yang dapat menyebabkan tanaman sakit disebut organisme patogen, misalnya golongan virus, bakteri, dan cendawan. Bahkan menurut Hadi (2001), tumbuhan liar juga bisa menjadi penyebab timbulnya penyakit pada tanaman. Selain itu, penyakit tanaman ada yang disebabkan oleh faktor abiotik seperti temperatur, hujan, angin, api, cahaya, dan kekurangan zat hara tertentu dalam tanah, sehingga penyakitnya disebut penyakit bukan parasit (nonparasitic diseases) (Suratmo, 1982). Tanaman hutan dikatakan sakit apabila pada tanaman terjadi penyimpangan dalam proses fisiologi yang disebabkan oleh faktorfaktor yang bekerja secara terus-menerus hingga timbul gejala yang dapat dilihat (Hadi, 2001). Gejala (symptoms) adalah kelainan atau 116

Indriyanto


penyimpangan dari keadaan normal yang ditunjukkan oleh tanaman yang sedang sakit (Suratmo, 1982). Gejala yang diperlihatkan oleh tanaman yang sedang sakit bisa berupa gejala lokal maupun gejala sistemik. Gejala lokal yaitu gejala yang timbul hanya terbatas pada bagian-bagian tanaman tertentu yang sedang terserang penyakit. Gejala sistemik yaitu gejala yang tampak pada seluruh organ tanaman, walaupun tempat infeksinya terjadi pada bagian tertentu saja. Penyakit tanaman hutan tidak hanya terjadi pada tanaman yang menyusun tegakan hutan, tetapi juga terjadi pada bibit di pesemaian, bahkan terjadi pada benih yang disimpan maupun yang sedang disemai di pesemaian. Oleh karena itu, pemahaman terhadap berbagai jenis penyakit yang seringkali menyerang bibit di pesemaian dirasakan sangat penting, agar pencegahan maupun penanggulangan terhadap penyakit yang sedang menyerang bibit di pesemaian dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Beberapa jenis penyakit yang seringkali menjadi masalah di pesemaian tanaman hutan antara lain penyakit lodoh, penyakit embun tepung, penyakit bercak daun, penyakit layu, dan penyakit mati pucuk (Rahayu, 2004). Masing-masing jenis penyakit tanaman hutan di pesemaian diuraikan sebagai berikut. 1. Penyakit Lodoh Penyakit lodoh disebut juga penyakit rebah semai atau wedangan atau kaleob atau damping off. Penyakit ini disebut penyakit lodoh atau wedangan karena bibit tanaman yang terserang oleh cendawan penyebab penyakit lodoh tampak layu seperti habis tersiram air panas, kemudian batang dan kolet (leher akar) tampak gosong dan busuk (Suratmo, 1982). Penyakit lodoh bisa terjadi pada semua spesies pohon di pesemaian, baik dari golongan spesies pohon daun jarum maupun spesies pohon daun lebar, dapat menyerang benih yang baru saja berkecambah maupun yang sudah menjadi semai. Di Indonesia, penyakit lodoh merupakan penyakit yang sering terjadi di pesemaian pohon tusam (Pinus spp.) (Suratmo, 1982). Selain tusam, spesies pohon lainnya yang

Indriyanto

117

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN


BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

seringkali menderita penyakit lodoh yaitu mangium (Acacia mangium) dan sengon laut (Paraserianthes falcataria) (Hadi, 2001). Menurut Suratmo (1982), penyakit lodoh terdiri atas dua macam yaitu sebagai berikut. a. Pre-emergence damping off yaitu benih mati sebelum berkecambah atau kecambah mati sebelum muncul di atas. Pada kondisi seperti ini, patogen sudah merusak dan membusukkan benih atau kecambah yang belum sempat muncul di atas permukaan tanah. b. Post-emergence damping off yaitu patogen menyerang semai atau kecambah yang telah muncul di atas permukaan tanah. Bagian semai yang diserang patogen adalah akar dan batang bawah, sehingga umumnya disebut tipe infeksi tanah (soil infection type). Berdasarkan tingkatan proses pertumbuhan bahan tanaman yang diserang, maka penyakit lodoh dibedakan menjadi tiga macam, sebagai berikut (Yasman et al., 2002). a. Pre-emergence damping off yaitu benih mati sebelum berkecambah atau kecambah mati sebelum muncul di atas. Penyakit seperti ini disebut penyakit lodoh dini. b. Post-emergence damping off yaitu patogen menyerang semai atau kecambah yang telah muncul di atas permukaan tanah. Bagian semai yang diserang adalah pangkal batang, kemudian batang semai membusuk, daun layu, dan bibit rebah. Penyakit seperti ini disebut penyakit lodoh batang. c. Root-decay yaitu patogen menyerang semai atau kecambah yang telah muncul di atas permukaan tanah. Bagian semai yang diserang adalah akarnya, kemudian akar membusuk dan daunnya layu, tetapi semai/bibit tidak rebah. Penyebab penyakit lodoh adalah cendawan yang hidupnya di dalam tanah sebagai saprofit di lapisan tanah atas. Apabila terdapat inang yang cocok dan kondisi lingkungan memungkinkan, maka cendawan penyebab penyakit lodoh berperan sebagai parasit dan menjadi patogen semai, sehingga cendawannya digolongkan sebagai parasit fakultatif. Beberapa cendawan yang penting sebagai penyebab penyakit lodoh adalah Pythium spp., dan Rhizoctonia spp., kumudian 118

Indriyanto


juga Phytopthora spp., Diplodia spp., dan Fusarium spp.. Sesungguhnya, cara pengendalian terhadap populasi cendawan penyebab penyakit lodoh ini sangat sulit untuk mencapai tujuannya, namun beberapa langkah yang dianjurkan antara lain sebagai berikut (Yasman et al., 2002; Rahayu, 2004). a. Menggunakan benih yang baik dan sehat. b. Sebelum benih disemai, harus direndam dulu ke dalam fungisida misalnya menggunakan jenis fungisida Copper oxychloride 50% dengan perendaman selama satu jam. c. Bak kecambah sebelum diisi media tumbuh supaya dicuci terlebih dahulu, kemudian disemprot dengan fungisida, misalnya dengan Captan, Tetraclor, dan Ceresan. d. Media tumbuh disteril dengan fungisida atau dengan pemanasan pada alat penyeteril tanah (soil sterilizer) agar media tumbuh bebas dari pathogen. e. Apabila ditemukan semai yang diserang penyakit lodoh, maka semai tersebut supaya segera disingkirkan, kemudian dibakar, dan bekas tempat semai disemprot dengan fungisida. Selain itu, penyiraman terhadap bibit dikurangi agar media tumbuh tidak terlalu basah dan lembab, serta mengurangi naungan agar radiasi matahari bisa masuk ke bedeng pesemaian. f. Menggunakan media tumbuh yang memiliki aerasi dan drainase bagus. Kondisi media tumbuh seperti ini dapat dibuat dengan mencampur tanah, bahan organik, dan pasir dengan komposisi yang sesuai, misalnya tanah : bahan organik : pasir= 3 : 1 : 1. g. Menggunakan air bersih dan selalu menjaga kebersihan air untuk penyiraman bibit/semai. 2. Penyakit Bercak Daun Penyakit bercak daun (leaf spot disease) adalah penyakit pada bibit tanaman hutan yang disebabkan oleh cendawan yang menyerang daun. Disebut penyakit bercak daun karena bibit yang terserang penyakit ini, pada daunnya mengalami bercak-bercak atau noda berbentuk bulat atau lonjong atau seringkali noda ini berbentuk tidak beraturan. Indriyanto

119

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN Bercak-bercak pada daun merupakan kematian jaringan yang mempunyai batas-batas tegas dan merupakan akibat dari adanya infeksi lokal pada daun oleh patogen. Bercak-bercak pada daun yang ukurannya sangat kecil dinamakan bintik (flecks), dan apabila bercakbercak daun ini menjadi berukuran lebih besar maka dinamakan noda (blotch) (Rahyu, 2004). Oleh karena itu, gejala yang tampak pada bibit yang terserang oleh penyakit bercak daun yaitu pada daunnya terdapat bercak-bercak (noda) berukuran diameter 1mm—1,5mm dan berwarna kuning kecoklatan (Suratmo, 1982). Bercak daun pada bibit pohon anggota famili Dipterocarpaceae pada umumnya ada yang berwarna kuning, coklat, coklat kemerahan, coklat kehitaman (Yasman et al., 2002). Jika seluruh bagian helai daun terserang bercak daun, maka daun mati dan gugur. Serangan cendawan penyebab penyakit bercak daun pada bibit/semai tanaman dapat menghambat pertumbuhan bibit, bahkan bisa mengakibatkan kematian bibit/semai di pesemaian. Penyebab penyakit bercak daun adalah berbagai spesies cendawan, misalnya Cercospora sp., Pestalotia sp., Poma sp., Cylindrocladium sp., Alternaria sp., Phyllachlora sp., Colletotrichum gloeosporioides, dan lainlain (Rahayu, 2004). Selain spesies cendawan tersebut, cendawan lainnya yang menimbulkan penyakit bercak daun adalah Humicola sp., Dydymosphaera sp. (Yasman et al., 2002). Masih ada spesies cendawan lainnya yang seringkali menimbulkan penyakit bercak-bercak daun berwarna kuning coklat pada bibit sengon laut (Paraserianthes falcataria) yaitu Pleiochaeta albizziae atau dikenal dengan sinonim nama Ceratopphorum albizziae (Suratmo, 1982). Spesies-spesies cendawan tersebut merupakan golongan parasit fakultatif karena mereka dapat bertahan hidup sebagai saprofit pada serasah, akan tetapi apabila terdapat inang (tanaman) yang cocok dan kondisi lingkungannya memungkinkan, maka mereka akan menginfeksi bibit/semai (Rahayu, 2004). Cara-cara pencegahan dan pengendalian terhadap populasi cendawan penyebab penyakit bercak daun antara lain adalah sebagai berikut. a. Menjaga kelembaban udara di pesemaian agar tidak terlalu tinggi dengan cara mengurangi kerapatan semai. 120

Indriyanto


BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN

pada periode dua minggu berikutnya, artinya penyemprotan bisa dilakukan dua kali dalam sebulan. d. Untuk pencegahan, semai muda segera disemprot dengan fungsisida seperti Vitigran Blue, Cupravit, Zineb, dan Antracol. e. Menyingkirkan bibit yang terserang bercak daun, kemudian membakarnya. 3. Penyakit Layu Penyakit layu merupakan salah satu penyakit yang diderita oleh tanaman hutan disebabkan oleh faktor abiotik maupun faktor biotik. Penyakit ini dinamakan penyakit layu karena tanaman yang menderita penyakit tampak layu dan mengerut daunnya. Jika bibit tanaman hutan menderita penyakit layu pada umumnya menjadi mati. Penyakit ini dapat diderita oleh berbagai spesies pohon yang ada di pesemaian. Di Indonesia, penyakit layu seringkali terjadi pada tanaman jati (Tectona grandis), cemara laut (Casuarina equisetifolia), dan tusam (Pinus caribaea) di pesemaian (Suratmo, 1982). Faktor penyebab terjadinya penyakit layu adalah karena faktor abiotik misalnya kekurangan air (kekeringan), intensitas radiasi matahari yang terlalu tinggi, dan suhu yang terlalu tinggi. Penyakit layu dapat juga disebabkan oleh faktor biotik misalnya akibat dari serangan hama uret, rayap, dan bakteri (Rahayu, 2004). Menurut Suratmo (1982), penyakit layu disebabkan oleh bakteri yang bernama Pseudomonas solanacearum. Gejala yang tampak jika tanaman menderita penyakit layu yaitu daunnya layu dan mengerut, kemudian akarnya berwarna coklat, dan pada serangan yang berat tampak bahwa akar dan batang bagian bawah menjadi berwarna hitam dan busuk (Suratmo, 1982). Pada Indriyanto

121

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

b. Melakukan pencampuran berbagai spesies pohon yang disemai pada suatu lokasi pesemaian untuk mengurangi terjadinya kerusakan yang terlalu besar pada satu spesies yang diserang oleh penyakit bercak daun. c. Semai/bibit yang terserang oleh penyakit bercak daun supaya segera disemprot dengan fungisida, seperti Bordeaux mixture atau Maneb Dithane dengan dosis 5—6 g/liter air. Penyemprotan diulangi lagi


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN kondisi serangan yang demikian, maka pada umumnya bibit terhambat pertumbuhannya dan tidak mampu lagi bertahan hidup. Untuk penyakit layu yang disebabkan oleh faktor abiotik, misalnya terjadinya defisit air di dalam tubuh tanaman akibat terkena panas dari terik matahari, maka gejala yang tampak adalah pucuk tanaman terkulai, daunnya menggulung karena evapotranspirasi yang berlebihan dan menurunnya turgor pada daun. Cara-cara pengendalian populasi bakteri penyebab penyakit layu sangat bergantung kepada penyebabnya, sehingga perlu dilakukan diagnosis penyakit secara tepat agar langkah yang ditempuh dalam pengendaliannya pun menjadi tepat. Beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit layu pada bibit tanaman antara lain sebagai berikut. a. Pemeliharaan bibit tanaman supaya dilakukan secara teratur dan sesuai kebutuhan, agar pertumbuhannya baik dan daya tahannya besar. b. Menggunakan media tumbuh yang memiliki drainase yang baik, agar kondisi media tumbuhnya tidak terlalu basah atau menggenang pada saat disiram air. 4. Penyakit Mati Pucuk Penyakit mati pucuk (die back) adalah penyakit tanaman hutan yang disebabkan oleh berbagai cendawan. Penyakit ini disebut penyakit mati pucuk karena tanaman yang menderita penyakit ini pasti mengalami kematian yang dimulai dari pucuk atau ujung tanaman. Gejala yang tampak pada tanaman yang menderita penyakit mati pucuk adalah semua organ tanaman bagian ujung/pucuk mati, kulit batang bagian ujung yang mati berwarna coklat tua, dan batas antara bagian organ yang mati dan yang sehat tampak jelas. Organ tanaman yang terserang pada umumnya yang masih muda, khususnya ujung batang, ujung cabang, ujung ranting, dan ujung akar, sehingga bagian yang jaringannya telah tua tidak terserang oleh cendawan penyebab penyakit ini. Cara pengendalian populasi cendawan penyebab penyakit mati pucuk yaitu menyemprot tanaman yang sakit dengan fungisida, 122

Indriyanto


BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN misalnya menggunakan Thiram dengan dosis 5 g/liter air, atau menggunakan Benomyl dengan dosis 10 g/liter air.

di pesemaian maupun di areal penanaman. Spesies pohon yang seringkali menderita penyakit embun tepung yaitu mangium (Acacia mangium) dan akasia (Acacia auriculiformis). Penyebab penyakit embun tepung adalah cendawan anggota genus Oidium. Cendawan ini membentuk miselium tidak berwarna yang menjalar di permukaan epidermis daun, kemudian membentuk haustorium yang menembus epidermis dan mengisap makanan yang ada dalam sel-sel jaringan di bawahnya (Rahayu, 2004) Cara-cara pengendalian populasi cendawan yang bisa dilakukan apabila bibit tanaman menderita penyakit embun tepung, antara lain sebagai berikut. a. Semai yang sudah tumbuh dengan baik supaya diberi radiasi matahari yang cukup. b. Penyiraman bibit diupayakan tidak hanya pada media tumbuhnya saja, akan tetapi harus membasahi permukaan daun agar dapat menghambat perkecambahan spora dan infeksi cendawan anggota genus Oidium. c. Menjaga kebersihan lingkungan pesemaian dan menyingkirkan serta memusnahkan bibit yang menderita penyakit embun tepung. d. Pengendalian secara kimiawi menggunakan fungisida, misalnya Benomil, Klorotalonil, Dinokap, Maneb, Prokloraz, Triadimefon, dan Zineb.

D. Prinsip Pengendalian Hama dan Penyakit Pengendalian hama dan penyakit tanaman hutan pada dasarnya adalah tindakan untuk mengatur populasi organisme yang menjadi hama tanaman hutan (misalnya serangga dan binatang lainnya Indriyanto

123

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

5. Penyakit Embun Tepung Penyakit embun tepung adalah salah satu penyakit yang diderita oleh bibit tanaman di pesemaian maupun tanaman muda di areal penanaman karena cendawan menyerang daun-daun tanaman baik


BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

yang merusak) dan patogen (misalnya virus, bakteri, cendawan, dan nematoda) pada tanaman hutan agar tidak menimbulkan kerusakan yang berarti bila ditinjau secara ekonomis (Kosasih et al., 2002). Cara apapun yang diterapkan hendaknya memiliki sasaran yang jelas yaitu menekan atau mencegah naiknya populasi organisme yang menjadi hama tanaman dan patogen pada tanaman hutan, sehingga populasinya selalu dalam kondisi di bawah ambang batas kerusakan. Hal-hal yang perlu diperhatikan agar pengendalian hama dan penyakit dapat dilakukan secara efektif dan efisien antara lain: mengetahui waktu yang tepat untuk pengendalian hama dan penyakit, serta cara yang diterapkan dalam pengendalian hama dan penyakit (Kosasih et al., 2002). 1. Waktu Pengendalian Hama dan Penyakit a. Pengendalian hama dan penyakit tanaman yang bersifat pencegahan terhadap kemungkinan munculnya hama dan penyakit harus dilakukan sejak mulai melakukan kegiatan pembuatan pesemaian. Beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain: pengawasan secara intensif, pemupukan, pengaturan drainase secara baik, memilih spesies pohon yang resisten terhadap hama dan penyakit, memilih spesies pohon yang sesuai dengan kondisi tempat tumbuhnya, dan menerapkan pengendalian silvikultur. b. Pengendalian hama dan penyakit harus dilakukan sedini mungkin yaitu pada saat populasi organisme penyebab hama dan penyakit masih rendah atau masih jauh di bawah ambang kerusakan secara ekonomi. Hal ini perlu diperhatikan secara seksama terutama untuk tipe hama penyakit yang memerlukan pengendalian secara intensif, serta tipe hama dan penyakit yang populasinya cenderung memuncak ke arah ambang batas ekonomi. 2. Cara Pengendalian Hama dan Penyakit Perlu diingat lagi bahwa pengendalian hama dan penyakit hutan merupakan tindakan mengatur populasi hama dan patogen agar tidak menimbulkan kerusakan yang dinilai secara ekonomi merugikan

124

Indriyanto


BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN

a. Pengendalian hama dan penyakit tanaman hutan secara alamiah Pengendalian hama dan penyakit tanaman hutan secara alamiah merupakan cara pengendalian populasi hama dan patogen yang dilakukan dengan menekan populasi hama dan patogen melalui faktor ekologinya tanpa keterlibatan secara penuh dari campur tangan manusia. Kendatipun manusia terlibat dalam pengendalian secara alamiah ini, sesuatu tindakan yang dilakukannya masih dalam tingkatan yang sangat terbatas karena proses penekanan populasi hama dan patogen tetap terjadi secara alamiah. Proses pengendalian populasi hama dan patogen tersebut dilakukan oleh musuh-musuh alamiah, baik berstatus sebagai predator/ pemangsa maupun sebagai parasit. b. Pengendalian hama dan penyakit tanaman hutan secara buatan Pengendalian hama dan penyakit tanaman hutan secara buatan dikelompokkan menjadi beberapa cara yang diuraikan satu demi satu sebagai berikut. (1) Pengendalian secara silvikultur, yaitu dilakukan dengan cara mengatur kerapatan di setiap bedengan di pesemaian, menggunakan media tumbuh yang memiliki aerasi dan drainase baik, mengatur drainase yang ada di sekitar bedengan pesemaian, serta mencampur bibit dari berbagai spesies pohon dalam satu bangunan pesemaian. (2) Pengendalian secara fisik/mekanis, yaitu dilakukan dengan cara menangkap organisme yang menjadi hama menggunakan tangan atau menggunakan perangkap hama. Kemudian juga dapat dilakukan dengan menyingkirkan bibit yang terserang hama dan penyakit, serta menjaga kondisi lingkungan pesemaian tetap bersih termasuk membersihkan tempat-tempat yang menjadi sarang hama dan patogen pada tanaman hutan.

Indriyanto

125

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

(Suratmo, 1979; Suratmo, 1982). Secara umum diketahui bahwa cara pengendalian hama hutan dibagi menjadi dua, yaitu pengendalian secara alamiah dan pengendalian secara buatan.


BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

(3) Pengendalian secara kimiawi, yaitu dilakukan dengan menggunakan pestisida, misalnya pestisida golongan insektisida, rodentisida, nematosida, fungisida, bakterisida, dan virosida dengan dosis atau takaran serta frekuensi penggunaannya disesuaikan dengan aturan yang tertera pada labelnya. c. Pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya serangan hama dan penyakit Hal-hal yang perlu diperhatikan dan dipraktekkan dalam mencegah kemungkinan terjadinya serangan hama dan timbulnya penyakit pada tanaman hutan di pesemaian, antara lain sebagai berikut. (1) Melakukan pengawasan secara teratur dan teliti pada bibit/semai di pesemaian. (2) Menjaga dan memperbaiki kondisi sanitasi lingkungan di pesemaian. (3) Melakukan karantina terhadap benih atau bibit yang berasal dari daerah tempat berjangkitnya hama dan penyakit tanaman hutan. (4) Menerapkan teknis silvikultur secara tertib, misalnya meningkatkan kesehatan bibit melalui pemupukan sesuai zat hara yang dibutuhkan, penyiraman secara teratur sesuai dengan kebutuhan air, penyiangan gulma, mencampur bibit dari berbagai spesies pohon, serta memilih spesies pohon yang resisten terhadap hama dan penyakit. Ringkasan Hama dan penyakit merupakan salah satu faktor yang berpengaruh negatif, baik pada proses perkecambahan benih maupun pada proses pertumbuhan kecambah hingga menjadi bibit yang siap ditanam di areal penanaman, bahkan pohon di areal penanaman juga tidak lepas dari kemungkinan diserang oleh hama dan penyakit. Hama tanaman adalah semua binatang yang dalam aktivitas hidupnya menimbulkan kerusakan bahkan bisa mengakibatkan tanaman mati, misalnya berbagai spesies serangga, bajing, tikus, cacing, dan berbagai spesies binatang liar yang menyerang tanaman. Hama

126

Indriyanto


hama tanaman hutan dikelompokkan menjadi beberapa golongan, antara lain: hama penggerek batang, hama penggerek pucuk, hama pengebor kulit batang, hama perusak daun, hama perusak akar, dan hama pengisap cairan tanaman. Penyakit tanaman adalah gangguan kesehatan tanaman yang disebabkan oleh bakteri, virus, cendawan, dan oleh faktor lingkungan lainnya, atau kelainan sistem faal pada organ tubuh tanaman. Organisme yang dapat menyebabkan tanaman sakit disebut organisme patogen. Faktor abiotik seperti temperatur, hujan, angin, api, cahaya, dan kekurangan zat hara tertentu dalam tanah, juga bisa menimbulkan penyakit tanaman yang disebut penyakit bukan parasit (nonparasitic diseases). Beberapa jenis penyakit yang seringkali menjadi masalah di pesemaian tanaman hutan antara lain penyakit lodoh, penyakit embun tepung, penyakit bercak daun, penyakit layu, dan penyakit mati pucuk. Gejala maupun tanda serangan hama dan penyakit pada tanaman sangat bervariasi sesuai dengan jenis organisme dan perilaku dalam hidupnya, oleh karenanya perlu mengenal karakteristik organisme, tanda dan gejala serangannya, perilaku dan sifat ekologis lainnya agar dapat melakukan pengendalian secara efektif. Secara umum diketahui bahwa cara pengendalian hama hutan dibagi menjadi dua, yaitu pengendalian secara alamiah dan pengendalian secara buatan. Latihan 1. Jelaskan apa yang disebut hama pesemaian? 2. Jelaskan apa yang Anda ketahui tentang kumbang ranting (Xyleborus morigerus) di pesemaian? 3. Jelaskan apa yang Anda ketahui tentang hama penggerek pucuk (Hypsipyla robusta) di pesemaian? 4. Jelaskan apa yang Anda ketahui tentang hama daun Eurema spp.? 5. Jelaskan apa yang Anda ketahui tentang hama ulat tanah (Prodenia litura)?

Indriyanto

127

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 6. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DI PESEMAIAN 6. Jelaskan apa yang Anda ketahui tentang hama pintul atau gambrangan (Holotrichia helerii)? 7. Jelaskan apa yang Anda ketahui tentang hama Leucopholia rorida dikenal dengan nama Lonte? 8. Jelaskan apa yang disebut penyakit lodoh. 9. Sebutkan tiga macam penyakit lodoh berdasarkan tingkatan proses pertumbuhan bahan tanaman yang diserang. 10. Jelaskan apa yang disebut penyakit bercak daun di pesemaian, kemudian bagaimana cara pencegahan dan pengendalian populasi organisme penyebab penyakit bercak daun di pesemaian 11. Jelaskan apa yang disebut penyakit layu, apa penyebab terjadinya penyakit layu. 12. Jelaskan apa yang disebut penyakit embun tepung, kemudian jelaskan bagaimana cara pengendaliannya jika penyakit ini menyerang pesemaian. 13. Sebutkan apa saja yang perlu diperhatikan agar dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman dapat dilakukan secara efektif dan efisien. 14. Jelaskan bagaimana prinsip pengendalian hama dan penyakit tanaman yang dilakukan secara alamiah atau secara biologis. 15. Sebutkan tiga kelompok cara pengendalian hama dan penyakit di pesemaian secara buatan. 16. Sebutkan beberapa kegiatan yang harus dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya serangan hama dan penyakit di pesemaian.

128

Indriyanto


PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN

A. Pendahuluan Di dalam pelaksanaan penghutanan kembali atau reboisasi dalam kawasan hutan baik untuk rehabilitasi area bekas penebangan, untuk pembangunan hutan tanaman industri (HTI), maupun untuk rehabilitasi lahan kritis lainnya selalu dijumpai kendala berupa rendahnya keberhasilan hidup tanaman dan pertumbuhan semai (anakan pohon) di lokasi penanaman. Hal ini disebabkan oleh banyak penyebab yang di antaranya adalah kualitas bibit kurang memadai dan kondisi lahannya sendiri yang memiliki banyak faktor pembatas. Perlu diketahui bahwa lahan-lahan sasaran reboisasi tersebut pada umumnya diprioritaskan pada lahan-lahan kritis yang ditandai oleh sifat tanah, iklim, dan faktor biotik yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan semai. Kandungan unsur hara yang rendah pada lahan, pH tanah yang rendah, persediaan air tanah yang rendah pada musim kemarau, intensitas penyinaran matahari yang tinggi, dan persaingan antarkomponen biotik yang kuat yang semuanya menjadi kendala bagi pertumbuhan semai. Kondisi lahan yang seperti tersebut dianggap dapat mengkhawatirkan bagi keberhasilan kegiatan reboisasi, khususnya reboisasi dalam rangka pembangunan hutan tanaman industri. Oleh karena itu, diperlukan upaya pemanfaatan mikroba tanah seperti mikroba pembentuk mikoriza ataupun mikroba tanah lainnya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas bibit di pesemaian dan untuk memperbaiki kondisi tanah di lokasi penanaman, Indriyanto

129

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

7


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN mempertinggi daya hidup semai, serta memperbaiki kualitas dan laju pertumbuhan semai di lokasi penanaman. Terbentuknya simbiose mutualisme antara cendawan pembentuk mikoriza dengan akar tanaman dapat dimanfaatkan peranannya untuk memperbaiki kondisi tanah dan pertumbuhan tanaman. Bahkan bagian tubuh cendawan pembentuk mikoriza telah dimanfaatkan juga untuk pupuk hayati dalam pembangunan hutan tanaman. Penggunaan mikoriza pada kegiatan budidaya hutan selain untuk memacu pertumbuhan tanaman juga merupakan upaya melestarikan keanekaragaman hayati dalam ekosistem hutan, sehingga dalam prakteknya diperlukan cara inokulasi (penularan). Inokulasi cendawan pembentuk mikoriza pada akar tanaman bisa dilakukan dengan berbagai cara, baik secara alamiah maupun secara buatan dengan menggunakan spora dan miselium, meskipun demikian inokulasi yang efektif dan efisien sangat bergantung kepada bentuk dan ketersediaan inokulan. Kompetensi dasar dalam mempelajari bab 7 adalah agar mahasiswa dan para pembaca lainnya mampu memahami peranan mikoriza, kemudian mampu melakukan cara inokulasi mikoriza di pesemaian.

B. Mengenal Mikoriza Mikoriza adalah bentuk simbiosis mutualisme antara akar tanaman dengan cendawan pembentuk mikoriza (Killham, 1996). Asosiasi tersebut merupakan interaksi simbiosis mutualisme antara cendawan pembentuk mikoriza dengan akar tanaman. Simbiosis mutualisme akan terjadi apabila cendawan pembentuk mikoriza dan akar tanaman merupakan pasangan yang sesuai (compatible). Dalam bentuk simbiosis mutualisme tersebut, mikoriza mempunyai peranan besar bagi pertumbuhan tanaman dan sebaliknya cendawan pembentuk mikoriza akan memperoleh sumber makanan dan tempat berkembangbiak dari tanaman yang berasosiasi, sehingga sifat saling menguntungkan dalam berasosiai inilah ciri dari simbiosis mutualisme. Perlu diketahui bahwa cendawan merupakan suatu kelompok organisme mikro yang bentuknya beragam dan tubuhnya terdiri

130

Indriyanto


atas satu hingga banyak sel (Turjaman et al., 2002). Cendawan yang tubuhnya terdiri atas banyak sel, maka sel-sel itu tersusun menjadi benang-benang yang disebut hifa, sedangkan kumpulan hifa disebut miselium. Besarnya diameter satu hifa adalah 2—3 mm. Mengingat ukuran hifa yang kecil, maka yang kemungkinan dapat dilihat oleh mata manusia tanpa bantuan kaca pembesar adalah miseliumnya. Tubuh cendawan dapat dibedakan menjadi struktur vegetatif dan struktur reproduktif. Berbagai jenis cendawan dikenali berdasarkan atas bentuk struktur reproduktifnya karena antarjenis cendawan sukar dibedakan berdasarkan struktur vegetatifnya. Cendawan termasuk organisme golongan heterotrof yaitu organisme yang hidupnya bergantung pada organisme lain atau bergantung pada bahan organik yang tersedia di sekitarnya karena tidak memiliki khlorofil sehingga tidak bisa melakukan sintesis karbohidrat sendiri. Berdasarkan atas ketergantungannya terhadap bahan organik yang diperlukan untuk hidup, maka cendawan dikelompokkan menjadi 7 golongan sebagai berikut (Sutedjo et al., 1996). a. Golongan humicolous yaitu cendawan yang hidup dan berkembang pada humus atau bahan organik yang hampir menjadi humus. b. Golongan terricolous atau geophilic yaitu cendawan yang hidup dan berkembang dalam tanah yang mengandung sedikit ataupun banyak bahan organik. c. Golongan fumicolous atau coprophilic yaitu cendawan yang hidup dan berkembang dalam tumpukan pupuk organik. d. Golongan hypogenous yaitu cendawan yang hidup dan berkembang di bawah permukaan tanah. e. Golongan lignicolous yaitu cendawan yang hidup dan berkembang organ-organ tanaman yang baru mati. f. Golongan pseudoparasitic yaitu cendawan yang hidup dan berkembang sebagai parasit fakultatif, dan ada juga yang membentuk asosiasi dengan akar tanaman yang disebut mikoriza. g. Golongan parasitic yaitu cendawan yang hidup dan berkembang sebagai parasit pada organisme lainnya.

Indriyanto

131

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN


BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Cendawan mikoriza merupakan golongan cendawan yang berkemampuan menyerang organ tanaman di bawah tanah dan mampu bertahan hidup dengan memanfaatkan unsur-unsur oganik tanaman. Cendawan mikoriza mampu menginfeksi perakaran tanaman tanpa menimbulkan gejala penyakit pada tanaman, bahkan sebaliknya justru cendawan ini menguntungkan tanaman yang diinfeksi. Adapun mikoriza adalah suatu struktur yang terbentuk sebagai akibat kerjasama yang saling menguntungkan antara cendawan dan akar tanaman. Dalam hal kerjasama seperti tersebut, akar tanaman memperoleh makanan berbentuk bahan organik dari proses sintesis daun, sedangkan cendawan membantu akar tanaman dalam menyerap unsur hara dan air dari dalam tanah. Di samping itu, cendawan mikoriza dapat menyerap unsur hara yang terdapat dalam bentuk tidak dapat diserap oleh akar tanaman, juga membantu melindungi akar tanaman dari serangan organisme mikro lainnya yang dapat menimbulkan penyakit pada tanaman. Dengan demikian, perlu dibedakan antara mikoriza dengan cendawan pembentuk mikoriza (cendawan mikoriza).

C. Jenis-Jenis Mikoriza Berdasarkan atas terbentuk atau tidak terbentuknya selubung jalinan hifa cendawan pada akar, maka pada umumnya mikoriza dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu ektomikoriza, endomikoriza, dan ektendomikoriza (Baker et al., 1979; Hadi, 2001; Turjaman et al., 2002). Ektomikoriza disebut juga mikoriza ektotropik. Endomikoriza disebut juga mikoriza endotropik. Sedangkan ektendomikoriza disebut juga mikoriza ektendotropik (Manan, 1976). Di samping itu, kadangkala dijumpai struktur yang disebut pseudomikoriza yaitu struktur yang terjadi pada akar tumbuhan oleh infeksi cendawan dalam tanah yang berkembang dalam sel-sel korteks dan saluran pembuluh akar, sehingga dapat menyebabkan pertumbuhan inang (simbion tumbuhan) terganggu (Hadi, 2001).

132

Indriyanto


1. Ektomikoriza Ektomikoriza (mikoriza ektotropik) yaitu struktur yang terjadi karena persekutuan hidup dalam bentuk simbiosis mutualisme antara cendawan mikoriza dengan akar tumbuhan, sehingga pada permukaan akar tumbuhan terbentuk selubung jalinan hifa cendawan. Hifa pada cendawan pada tipe Ektomikoriza membentuk jaringan mantel (selubung) secara sempurna dan menutupi akar. Hampir semua akar tumbuhan yang terinfeksi cendawan pembentuk ektomikoriza membengkak dan bercabang-cabang seperti karang dengan warna putih hingga coklat. Percabangan akar tersebut berbentuk dikhotom atau seperti bulu burung. Hifa cendawan masuk ke dalam akar dan pada umumnya hanya terdapat di antara dinding sel dalam sel-sel korteks primer dan membentuk anyaman interseluler yang disebut Jaringan Hartig di dalam dan sekitar akar, sedangkan pada sel-sel epidermis akar terbungkus mantel dari miselium hingga menutupi seluruh permukaan akar tumbuhan. Ektomikoriza pada umumnya terdapat pada pohon-pohon hutan kelas Coniferae. Menurut Killham (1996), simbion cendawan dari Ektomikoriza pada umumnya anggota dari genus Lactarius, Laccaria, Pisolithus, Boletus, Suillus, Rhizopogon, dan Scleroderma yang bersimbiosis dengan berbagai jenis pohon maupun tumbuhan berkayu lainnya. Menurut Hadi (2001), banyak spesies pohon dari berbagai suku yang dapat bersimbiosis dengan ektomikoriza, termasuk di antaranya spesies pohon dari suku Pinaceae, Dipterocarpaceae, Fagaceae, dan Myrtaceae. Lebih lanjut Hadi (2001) mengemukakan bahwa ektomikoriza terbentuk pada akar-akar pendek yang biasanya berumur pendek yang biasanya disebut bulu akar, yaitu akar yang berfungsi untuk menyerap air dan hara dari dalam tanah. Akar-akar tumbuhan setelah terinfeksi oleh cendawan pembentuk ektomikoriza, kemudian terbungkus oleh selubung/mantel cendawan tersebut. Morfologi suatu ektomikoriza biasanya khas baik dalam percabangan, diameter, maupun panjangnya. Pada sayatan melintang dapat dilihat adanya selubung susunan hifa yang teratur setebal lebih kurang 20—40 ¾m.

Indriyanto

133

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN


BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

2. Endomikoriza Endomikoriza (mikoriza endotropik) yaitu struktur yang terjadi karena persekutuan hidup dalam bentuk simbiosis mutualisme antara cendawan mikoriza dengan akar tumbuhan, dan cendawannya berkembang hanya di dalam sel-sel korteks akar serta tidak terbentuk selubung jalinan hifa cendawan pada akar. Cendawan jarang sekali dapat menembus sel-sel endodermis menuju ke silinder pusat (stele). Di dalam sel-sel korteks akar dapat dibedakan adanya pembengkakan miselium yang disebut vesiculus dan arbuculus yang sebagian atau seluruhnya bisa lenyap karena dicernak oleh sel-sel yang dimasukinya. Pada tipe endomikoriza tidak terdapat selubung jalinan hifa dan tidak terjadi pembengkakan pada permukaan akar tumbuhan. Berdasarkan morfus (bentuk) struktur vegetatif cendawan yang ada di dalam sel-sel korteks akar tumbuhan, maka endomikoriza disebut mikoriza vesikular-arbuskular (Russell, 1973). Ciri-ciri yang dimiliki mikoriza vesikular-arbuskular (MVA) yaitu adanya struktur khusus berbentuk oval yang disebut vesikel dan sistem percabangan hifa yang disebut arbuskulus, hifa cendawan ini bisa masuk ke dalam individu sel pada jaringan korteks akar, dan akar tumbuhan yang terkena infeksi tidak membengkak/membesar. Vesikel merupakan organ berbentuk oval seperti kantong karena adanya pengelembungan bagian ujung hifa. Oleh karena itu, jika pada endomikoriza terbentuk hifa yang menggelembung di dalam sel-sel korteks akar, maka endomikoriza itu disebut vesikular. Vesikel berfungsi sebagai penyimpan berbagai zat yang telah diambil dari akar tumbuhan misalnya karbohidrat, lemak, tannin, maupun zat yang telah diambil dari lingkungan misalnya asam amino, nitrat, amonium, dan sejumlah unsur phospor dan kalium yang kemudian ditransfer ke dalam sel-sel tumbuhan inang. Adapun arbuskulus merupakan sistem percabangan hifa yang terdapat di dalam sel korteks akar tumbuhan inang. Jika pada endomikoriza terbentuk percabangan hifa di dalam sel-sel korteks akar, maka endomikoriza itu disebut arbuskular. Hifa cendawan yang masuk ke dalam sel-sel korteks akar tumbuhan inang akan berkembang membentuk cabang-cabang secara dikotom, sehingga sebagian besar volume sel korteks akar terisi oleh system percabangan hifa tersebut. 134

Indriyanto


BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN

jenis tanaman pertanian, akan tetapi beberapa jenis pohon hutan juga berasosiasi dengan cendawan pembentuk endomikoriza, misalnya jati (Tectona grandis), sengon laut (Paraserianthes falcataria), mangium (Acacia mangium), mahoni daun besar (Swietenia macrophylla), mindi (Melia azedarach), lamtorogung (Leucaena leucocephala), araukaria (Araucaria cuninghamii), berbagai jenis pohon damar (Agathis spp.), dan berbagai jenis pohon kemiri (Aleurites spp.). Menurut Killham (1996), simbion cendawan dari Endomikoriza pada umumnya anggota dari genus Glomus, Gigaspora, Acaulospora, dan Sclerocystis yang pada umumnya bersimbiosis dengan berbagai jenis tumbuhan herba, meskipun demikian juga bersimbiosis dengan jenis tumbuhan selain herba. 3. Ektendomikoriza Ektendomikoriza (mikoriza ektendotropik) yaitu struktur yang terjadi karena persekutuan hidup dalam bentuk simbiosis mutualisme antara cendawan mikoriza dengan akar tumbuhan, sehingga pada permukaan akar tumbuhan terbentuk selubung jalinan hifa cendawan, selain itu cendawannya juga berkembang hingga di dalam sel-sel korteks akar tumbuhan. Ini berarti bahwa pada ektendomikoriza strukturnya memiliki ciri dari kedua tipe mikoriza terdahulu (ektomikoriza dan endomikoriza), oleh karena itu infeksi oleh hifa cendawan pada sel-sel akar tumbuhan bersifat interseluler dan intraseluler. Mikoriza tipe ektendomikoriza pada umumnya hanya terjadi pada jenis-jenis pohon yang memiliki asosiasi tipe ektomikoriza (Baker et al., 1979). Simbion cendawan pembentuk ektendomikoriza pada umumnya adalah cendawan anggota genus Amanita, Boletus, Cortinarius, Pezizella, Rhizoctonia, dan Ceratobasidium. Indriyanto

135

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Dengan cara demikian memungkinkan terjadi pertukaran hara antara tumbuhan inang dengan cendawan pembentuk mikoriza (Russell, 1973). Endomikoriza merupakan salah satu tipe mikoriza yang umum terjadi pada banyak jenis tumbuhan berkayu mulai dari golongan herba hingga pepohonan yang termasuk anggota Angiospermae. Kuswanto (1990) menyatakan bahwa endomikoriza banyak terbentuk pada jenis-


BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN D. Peranan dan Kegunaan Mikoriza dalam Budidaya Hutan

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Simbiosis antara cendawan pembentuk mikoriza dengan akar tumbuhan sangat umum terjadi, bahkan keberadaannya merupakan syarat penting untuk pertumbuhan secara normal bagi banyak pohon hutan. Misalnya saja jenis-jenis pohon tusam (Pinus spp.) wajib bersimbiosis dengan cendawan pembentuk ektomikoriza dan tidak bisa tumbuh secara normal jika tidak terbentuk ektomikoriza pada akarnya. Pada kenyataannya banyak jenis pohon lainnya seperti yang telah disebutkan di atas yang pada umunya bersimbiosis dengan cendawan mikoriza, kualitas dan kuantitas pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh keberadaan mikoriza. Oleh karena itu, dalam kegiatan penghutanan kembali suatu kawasan hutan mikoriza memiliki peranan yang sangat penting untuk meningkatkan keberhasilan tanaman di area tanam. Menurut Turjaman et al. (2002), bahwa di pada mikoriza akan terjadi keseimbangan dalam interaksi antara simbion cendawan dengan simbion pohon dalam ekosistem hutan. Simbion cendawan memperoleh keuntungan karena tersedia bahan organik yang dihasilkan pohon melalui proses fotosintesis dan sebagian dapat dimanfaatkan oleh cendawan untuk pertumbuhannya, sebaliknya simbion pohon memperoleh keuntungan karena dibantu oleh cendawan dalam menyerap unsur hara dan air. Dengan demikian, peranan mikoriza dalam ekosistem hutan adalah membantu pohon dalam menyerap unsur hara dan air dalam tanah, sehingga memacu pertumbuhan pohon. Bila ditelusuri secara seksama, sesungguhnya banyak sekali peranan mikoriza dalam budidaya hutan. Di antara peranan mikoriza yang dimaksud antara lain: dapat meningkatkan penyerapan unsur hara oleh akar tanaman, dapat menahan serangan patogen akar, meningkatkan daya tahan tanaman dari kekeringan, dapat menghasilkan zat pengatur tumbuh nabati, dan dapat memperbaiki struktur tanah (Kuswanto, 1990). Masing-masing peranan mikoriza itu diuraikan sebagai berikut. a. Mikoriza berperan dalam meningkatkan penyerapan unsur hara. Pertumbuhan tanaman yang terinfeksi oleh cendawan pembentuk

136

Indriyanto


mikoriza akan lebih baik dibandingkan dengan tanaman yang tidak terinfeksi oleh cendawan pembentuk mikoriza, hal ini disebabkan oleh struktur mikoriza yang membentuk luaspermukaan akar lebih besar sehingga akar tanaman mempunyai kemampuan menyerap unsur hara lebih tinggi. Hadi (2001) mengemukakan bahwa permukaan akar yang bermikoriza menjadi lebih luas daripada permukaan akar tanaman tanpa mikoriza, hal ini disebabkan karena terbentuknya selubung hifa, percabangan bertambah, diameter akar bertambah besar, dan umur akar lebihpanjang. Akibat terjadinya perubahan bentuk dan pembesaran diamater akar yang bermikoriza, maka luas permukaan akar menjadi besar, sehingga kemampuan akar untuk menyerap air dan hara menjadi lebih besar. b.

Mikoriza berperan dalam meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan patogen akar. Tanaman yang bermikoriza lebih tahan terhadap serangan patogen akar disebabkan oleh antibiotik yang dihasilkan cendawan selama bersimbiosis dengan akar tanaman dapat melemahkan bahkan mematikan bakteri, virus, dan cendawan yang bersifat patogen. Sebenarnya meningkatnya daya tahan tanaman terhadap serangan patogen akar itu terjadi melalui berbagai cara yang diperankan oleh mikoriza, antara lain: (1) dengan memanfaatkan sebanyak mungkin karbohidrat dan zat kimia lainnya yang terdapat dalam akar sehingga mampu menghambat perkembangan organisme yang bersifat patogen, (2) dengan mengeluarkan zat antibiotik untuk melemahkan pertumbuhan dan mematikan patogen, (3) dengan memacu sel-sel akar tanaman untuk menghasilkan zat kimia yang bersifat menghambat pertumbuhan dan perkembangan organisme yang bersifat patogen, (4) adanya perlindungan secara mekanis yang dilakukan oleh selubung hifa, (5) adanya pelepasan eksudat akar bermikoriza yang berbeda

Indriyanto

137

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN


BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN dari akar tanpa mikoriza yang dapat memacu perkembangan antagonis patogen dalam rhizosfer, (6) terjadinya persaingan dalam hal mendapatkan makanan antara cendawan pembentuk mikoriza dengan patogen. c.

Mikoriza berperan dalam meningkatkan daya tahan tanaman terhadap kekeringan atau kekurangan air pada musim kemarau.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Tanaman yang bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan daripada tanaman tanpa mikoriza, karena tanaman bermikoriza itu pada akarnya memiliki miselium yang dapat menjangkau air tanah yang persediaannya sangat terbatas. d.

Mikoriza berperan dalam menghasilkan zat pengatur tumbuh nabati. Cendawan pembentuk mikoriza dapat menghasilkan hormone nabati seperti auksin, sitokinin, dan giberelin, serta menghasilkan vitamin yang dapat mempercepat pertumbuhan organ-organ tanaman. Selain itu, dengan dihasilkannya hormonhormon tumbuh nabati menyebabkan akar tidak cepat mengalami penuaan sehingga fungsinya dalam penyerapan unsur hara dan zat-zat terlarut lainnya dapat berjalan terus.

e.

Mikoriza berperan dalam memperbaiki struktur tanah. Mikoriza dapat berperan meningkatkan struktur tanah karena miselium yang ada di bagian luar akar tanaman dapat menyelimuti butirbutir tanah. Miselium yang menyelimuti butir-butir tanah menghasilkan gel polisakarida sehingga dapat meningkatkan stabilitas agregat tanah.

Mengingat peranan mikoriza sangat banyak dan menyangkut proses-proses yang sangat penting, maka kegunaannya juga sangat penting dalam meningkatkan keberhasilan penanaman pohon. Oleh karena itu, upaya pemanfaatan mikoriza dalam budidaya hutan sangat diperlukan, dan upaya pemanfaatannya dilakukan agar setiap tanaman yang ditanam segera membentuk mikoriza.

138

Indriyanto


BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN

akar dalam menyerap unsur hara, meningkatkan daya tahan terhadap kekeringan, meningkatkan hormon perangsang pertumbuhan yang semuanya ini akan meningkatkan kualitas pertumbuhan tanaman. Kemampuan cendawan pembentuk mikoriza untuk bersimbiosis dengan akar tumbuhan sangat berbeda dan bergantung kepada kecocokannya. Kecocokan cendawan dengan inang merupakan tingkat simbiosis yang dapat terjadi pada mikoriza, sehingga simbiosis itu kemungkinan bisa khusus pada suatu inang, atau bersimbiosis pada berbagai jenis inang. Telah diketahui bahwa jenis cendawan pembentuk ektomikoriza misalnya Pisolithus tinctorius dan Scleroderma sp. dapat bersimbiosis dengan pohon tusam (Pinus merkusii), leda (Eucalyptus deglupta), cemara laut (Casuarina equisetifolia), tengkawang tungkul (Shorea stenoptera), tengkawang majau (Shorea palembanica), dan tengkawang biasa (Shorea pinanga). Simbiosis yang sangat kuat (50%) terjadi antara Pisolithus tinctorius dengan tusam. Jenis cendawan Rhizopogon sp. juga dapat berasosiasi dengan pohon tusam, cemara laut, tengkawang tungkul, tengkawang majau, dan tengkawang biasa, tetapi tidak berasosiasi dengan pohon leda (Fakuara Ts dan Setiadi, 1990). Banyak spesies pohon yang bersimbiosis dengan cendawan pembentuk ektomikoriza dari genus Russula, Boletus, Amanita, Scleroderma, Lactarius, dan lain-lain seperti yang disajikan pada Tabel 5. E. Pengaruh Mikoriza terhadap Kualitas Pertumbuhan Bibit

Percobaan yang dilakukan oleh Fakuara dan Setiadi (1990) menghasilkan informasi bahwa inokulasi beberapa cendawan

Indriyanto

139

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Bagi cendawan pembentuk mikoriza, indikasi awal terjadinya simbiosis dengan akar tanaman adalah adanya infeksi akar. Infeksi akar yang makin bertambah menunjukkan pertumbuhan cendawan semakin baik. Pertumbuhan cendawan yang semakin baik mengakibatkan simbiosis yang terjadi akan semakin baik. Dengan demikian adanya simbiosis cendawan pembentuk mikoriza dengan akar tanaman tentu akan berpengaruh baik terhadap kemampuan


BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN pembentuk mikoriza berpengaruh lebih baik terhadap pertumbuhan tinggi, diameter, dan bobot kering bibit tusam (Pinus merkusii) umur 6 bulan dibandingkan dengan tanpa inokulasi cendawan pembentuk mikoriza (lihat Tabel 5) . Inokulasi dilakukan dengan suspensi spora dari tiga jenis cendawan pembentuk mikoriza yang memiliki sifat asosiasi secara kuat dengan tusam. Beberpara jenis cendawan yang diinokulasikan pada akar semai tusam tersebut antara lain Pisolithus tinctorius, Rhizopogon sp., dan Scleroderma sp.. Akan tetapi, setelah bibit tusam berumur 13 bulan, hanya Pisolithus tinctorius dan Scleroderma sp. yang berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan tinggi bibit, diameter batang bibit, dan bobot kering bibit tusam, hal ini berarti bahwa tingkat efektivitas mikoriza berbeda-beda dalam peranannya untuk meningkatkan pertumbuhan bibit (lihat Tabel 6 dan Tabel 7).

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Tabel 5. Beberapa spesies pohon yang bersimbiosis dengan beberapa spesies cendawan pembentuk ektomikoriza No. 1. 2.

Simbion pohon Dipterocarpus grandiflorus Dryobalanops lanceolata

Simbion cendawan

3.

Hopea bancana

4.

Hopea sangal

Russula Russula delica Russula delica, Boletus, dan Catharellus sp. Boletus

5.

Hopea dryobalanoides

Amanita hemibapha, Russula delica

6.

Hopea mengarawan

7.

Hopea odorata

8.

Shorea chrysophylla

Amanita hemibapha, Boletus Amanita hemibapha, Boletus, Russula spp., Scleroderma sp. Lactarius sp., Russula, dan Scleroderma

9.

Shorea compressa

Amanita hemibapha, Russula delica

10.

Shorea leprosula

Amanita hemibapha, Lactarius sp., Russula delica, Calvatia sp., Boletus, dan Scleroderma columnare.

11.

Shorea guiso

12.

Shorea martiniana

13.

Shorea mecistopteyx

140

Amanita hemibapha, Russula delica, dan Scleroderma Boletus Scleroderma columnare dan Scleroderma dictyosporum.

Indriyanto


BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN Shorea multiflora

Amanita hemibapha, Agaricus Amanita hemibapha, Boletus, dan Russula Geastrum fimbriatum, Boletus, dan Scleroderma Russula delica, Boletus, dan Scleroderma columnare.

15.

Shorea palembanica

16.

Shorea parvifolia

17.

Shorea pinanga

18.

Shorea selanica

Russula, Boletus, Pisolithus arrhizus, dan Scleroderma dictyosporum.

19.

Shorea seminis

20.

Shorea stenoptera

21. 22 23. 24.

Shorea ovalis Parashorea lucida Vatica sumatrana Eucalyprtus pellita

25.

Pinus merkusii

Centharellus sp., Inocybe sp., dan Russula delica Amanita hemibapha, Lactarius sp., Russula delica, Scleroderma columnare, Centharellus sp., Boletus, dan Scleroderma Scleroderma sp. Scleroderma columnare Russula, Boletus sp. Pisolithus tinctorius Suillus bovinus, Suillus granulatus, Russula cinnabarina, Scleroderma dictyosporum.

26.

Eucalyptus urophylla

Laccaria loccata, Russula cyanoxantha, Pisolithus sp., dan Laccaria sp.

27.

Acacia crassicarpa

Scleroderma columnare

Sumber: Hadi (2001); Nuhamara, Hadi, dan Bimaatmadja (2001)

Efektivitas mikoriza dalam peranannya untuk meningkatkan pertumbuhan sangat bergantung kepada tingkat simbiosis cendawan pembentuk mikoriza dengan akar tanaman. Jika tingkat simbiosis makin tinggi, maka perkembangan mikoriza pada akar tanaman akan semakin tinggi, dan bisa dipastikan peranannya dalam memacu pertumbuhan tanaman juga semakin baik.

Indriyanto

141

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

14.


BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN Tabel 6. Pertumbuhan semai tusam (Pinus merkusii) pada umur 6 bulan yang telah diinokulasi tiga jenis cendawan pembentuk mikoriza Pertumbuhan semai Jenis cendawan pembentuk mikoriza Pisolithus tinctorius Rhizopogon sp. Scleroderma sp. Tanpa inokulasi

Tinggi semai (cm) 10,63 10,92 10,68 9,18

Diameter batang semai (mm)

a a a b

1,70 1,75 1,74 1,43

a a a b

Bobot kering semai (g) 0,76 0,79 0,74 0,69

a a a b

Persentase mikoriza (%) 40 29 17 0

Sumber: Fakuara Ts dan Setiadi (1990) Keterangan: angka pada setiap kolom yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Tabel 7. Pertumbuhan semai tusam (Pinus merkusii) pada umur 13 bulan yang telah diinokulasi tiga jenis cendawan pembentuk mikoriza Pertumbuhan semai Jenis cendawan pembentuk mikoriza Pisolithus tinctorius Rhizopogon sp. Scleroderma sp. Tanpa inokulasi

Tinggi semai (cm) 17,61 14,44 16,97 12,42

a b a b

Diameter batang semai (mm) 4,96 a 2,96 b 4,81 a 2,33 b

Bobot kering semai (g) 2,98 a 1,99 b 2,16 a 1,84 b

Persentase mikoriza (%) 70 31 57 0

Sumber: Fakuara Ts dan Setiadi (1990) Keterangan: angka pada setiap kolom yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata.

Cendawan pembentuk endomikoriza (mikoriza vesikular arbuskular atau MVA) dapat bersimbiosis dengan pohon sengon laut (Paraserianthes falcataria), wareng (Gmelina arborea), lamtorogung (Leucaena leucocephala), merbau darat (Intsia palembanica), dan

142

Indriyanto


BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN

mm, sedangkan yang tidak diinokulasi tingginya 4,0 cm dan diameter batangnya 1,77 cm. Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan Kuswanto (1990) dapat disimpulkan bahwa tinggi bibit sengon yang diinokulasi MVA ternyata lebih baik dibandingan dengan tanpa inokulasi MVA. Beberapa jenis cendawan pembentuk MVA yang dapat bersimbiosis dengan pohon sengon antara lain Gigaspora margarita, Gigaspora calospora, Glomus macrocarpum, Glomus calodonium, Glomus merridium, Glomus mosseae, Glomus velum, dan Indigenous sp.. Berhasilnya suatu inokulasi MVA pada akar tanaman pada dasarnya harus terbentuk simbiosis yang peranannya tampak pada efek simbiosis itu sendiri yaitu pada pertumbuhan tanaman. Penelitian yang telah dilakukan oleh Yurika (1997) mengenai pemberian inokulum tanah yang mengandung MVA asal beberapa lokasi diperoleh data bobot kering (biomassa) bibit sengon umur 2 bulan yang besarnya bervariasi bergantung kepada asal inokulum tanah dan dosis inokulum tanah yang diberikan. Namun demikian dilihat dari dosis inokulum tanah yang digunakan, dapat dikemukakan bahwa makin tinggi dosis inokulum tanah yang diberikan, maka bobot kering semakin tinggi dan bobot kering tersebut lebih besar dibandingkan bobot kering bibit sengon tanpa inokulasi MVA. Ini berarti bahwa MVA mampu meningkatkan pertumbuhan bibit sengon yang dalam hal ini dinyatakan dengan meningkatnya biomassa tanaman (lihat Tabel 8).

Indriyanto

143

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

mangium (Acacia mangium). Pengaruh MVA terhadap pertumbuhan bibit sengon jelas lebih baik dibandingkan tanpa MVA, sebagaimana hasil percobaan yang dikemukakan oleh Fakuara Ts dan Setiadi (1990) bahwa tinggi bibit dan diameter batang bibit sengon pada umur 3 bulan yang diinokulasi MVA lebih baik dibandingkan dengan tanpa inokulasi MVA. Bibit sengon yang diinokulasi MVA jenis Gigaspora margarita, pada umur 3 bulan tingginya 6,7 cm dan diameternya 2,43


BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN Tabel 8. Bobot kering (biomassa) bibit sengon laut (Paraserianthes falcataria) pada umur 2 bulan di pesemaian yang telah diinokulasi dengan inokulum tanah yang mengandung MVA

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Perlakuan

Bobot kering per bibit (g)

Inokulum tanah berasal dari hutan primer: a. Dosis 0 g (tanpa inokulum) b. Dosis 50 g c. Dosis 100 g d. Dosis 150 g e. Dosis 200 g

0,52 0,86 0,89 0,89 1,36

Inokulum tanah berasal dari hutan sekunder: a. Dosis 0 g (tanpa inokulum) b. Dosis 50 g c. Dosis 100 g d. Dosis 150 g e. Dosis 200 g

0,30 0,90 0,77 2,85 1,14

Inokulum tanah berasal dari lahan alang-alang: a. Dosis 0 g (tanpa inokulum) b. Dosis 50 g c. Dosis 100 g d. Dosis 150 g e. Dosis 200 g

0,66 1,49 1,14 1,66 1,52

Inokulum tanah berasal dari lahan kopi a. Dosis 0 g (tanpa inokulum) b. Dosis 50 g c. Dosis 100 g d. Dosis 150 g e. Dosis 200 g

0,47 1,06 1,06 1,12 1,31

Sumber: Yurika (1997)

Tampaknya peranan MVA yang diinokulasikan pada bibit sengon di pesemaian juga bergantung kepada periode penyapihan bibit yang bersangkutan. Dilihat dari periode penyapihan bibit yang dilakukan, dapat dikemukakan bahwa pengaruh MVA pada bibit sengon yang disapih 4 minggu setelah benih berkecambah memiliki bobot kering maupun indeks mutu bibit yang tertinggi dibandingkan dengan pengaruh MVA pada bibit yang disapih 3 minggu, 2 minggu, 1 minggu setelah benih berkecambah, maupun disapih saat benih berkecambah (lihat Tabel 9).

144

Indriyanto


   BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN

 Tabel 9. Bobot kering (biomassa) dan indeks mutu bbibit sengon laut  (Para-serianthes falcataria) pada umur 3 bulan di pesemaian  yang telah diinokulasi dengan inokulum tanah yang   mengandung MVA  Bobot

Perlakuan

Perlakuan

Bobot Indeks kering Indeks mutu kering per bibit mutu per bibit bibit (g) bibit (g)

0,91 0,91 0,95 0,95 0,92 0,92 1,26 1,26 1,40

0,0320 0,0320 0,0357 0,0357 0,0317 0,0317 0,0413 0,0413 0,0457

Inokulasi dengan inokulum tanah berasal dari hutan sekunder a. Penyapihan semai saat benih berkecambah b. b. Penyapihan Penyapihan semai semai 11 minggu minggu setelah setelah benih benih berkecambah berkecambah c. Penyapihan semai 2 minggu setelah benih c. Penyapihan semai 2 minggu setelah benih berkecambah berkecambah d. d. Penyapihan Penyapihan semai semai 33 minggu minggu setelah setelah benih benih berkecambah berkecambah e. Penyapihan semai 4 minggu setelah benih berkecambah e. Penyapihan semai 4 minggu setelah benih berkecambah

0,91 0,84 0,84 0,85 0,85 1,07 1,07 1,18 1,18

0,0320 0,0327 0,0327 0,0270 0,0270 0,0353 0,0353 0,0397 0,0397

Sumber: Permana (1997) 

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Inokulasi dengan inokulum tanah berasal dari hutan primer

Inokulasi dengan inokulum tanah berasal dari hutan primer a. Penyapihan Penyapihan semai semai saat saat benih benih berkecambah berkecambah a. b. Penyapihan semai 1 minggu setelah benih berkecambah berkecambah b. Penyapihan semai 1 minggu setelah benih c. Penyapihan Penyapihan semai semai 22 minggu minggu setelah setelah benih benih berkecambah berkecambah c. d. Penyapihan Penyapihan semai semai 33 minggu minggu setelah setelah benih benih berkecambah berkecambah d. e. Penyapihan semai 4 minggu setelah benih berkecambah



Pada Tabel 9 tampak bahwa bobot kering yang terbaik (1,40 g/bibit) 

 diperoleh pada perlakuan inokulasi dengan MVA berasal dari hutan  primer  pada bibit yang disapih 4 minggu setelah benih berkecambah.  Bobot kering yang tinggi mengindikasikan tingginya nilai fotosintesis  dan hal ini disebabkan oleh adanya efek MVA yang menguntungkan   bagi bibit sengon dalam meningkatkan efektivitas pemanfaatan unsur  hara yang ada. Jika diperhatikan pada perlakuan inokulasi seperti  ini ternyata kualitas bibit juga paling baik dengan indeks mutu bibit   0,0457. Indeks mutu bibit yang tinggi mengindikasikan adanya suatu   keseimbangan translokasi hasil fotosintesis ke organ tanaman bagian tajuk (batang dan daun) maupun ke bagian akar.   Percobaan yang pernah dilakukan oleh Manan (1961 dalam Hadi,   2001) menempatkan bedengan semai tusam (Pinus merkusii) di dekitar pohon induk yang bermikoriza dan menempatkan bedengan semai     Indriyanto 

145


BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

tanpa pohon induk memberikan informasi bahwa penggunaan pohon induks bermikoriza berpengaruh lebih baik terhadap pertumbuhan bibit tusam di pesemaian (lihat Tabel 10). Hal ini diduga bahwa bibit yang berada di bedengan dekat dengan pohon induk yang bermikoriza mampu berasosiasi dengan mikoriza yang bersumber dari perakaran pohon induk di dekatnya. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan oleh Manan (1961 dalam Hadi, 1999) kemudian dikemukakan bahwa pada perakaran bibit tusam di bedengan sekitar pohon induk yang bermikoriza ternyata terbentuk banyak ektomikoriza, sedangkan bibit di bedengan tanpa pohon induk ternyata tidak dijumpai adanya pembentukan mikoriza. Ini berarti bahwa penularan mikoriza dapat dilakukan melalui cara penempatan bedengan pesemaian dekat dengan pohon induk yang bermikoriza, dan berdasarkan percobaan tersebut asosisasi mikoriza yang terbentuk berpengaruh positif terhadap pertumbuhan bibit. Tabel 10. Pertumbuhan bibit tusam (Pinus merkusii) pada bedengan sekitar pohon induk yang bermikoriza dan pada bedengan tanpa pohon induk Variabel pertumbuhan bibit 1. 2. 3. 4.

Tinggi bibit (cm) Bobot segar bibit (g) Jumlah helai daun (pasang) Panjang daun (cm)

5. Warna daun

Pada bedengan dengan pohon induk 10,5 1,94 43 6 Hijau tua

Pada bedengan tanpa pohon induk 5,7 0,48 12 3,5 Kuning pucat

Sumber: Hadi (1999)

Pengaruh inokulasi mikoriza juga tampak nyata pada pertumbuhan bibit/semai leda (Eucalyptus pellita) yang pernah dicoba oleh Mulyadi (1996 dalam Hadi, 1999) menggunakan bahan inokulum berupa tablet spora, kapsul spora, dan suspensi spora Pisolithus tinctorius. Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan oleh Mulyadi (1996 dalam Hadi, 1999) dapat dikemukakan bahwa inokulasi spora dalam bentuk tablet, kapsul,

146

Indriyanto


BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN maupun dalam bentuk suspensi spora berpengaruh positif terhadap pertumbuhan bibit leda (Eucalyptus pellita) dan pengaruh terhadap pertumbuhan ini lebih baik dibandingkan dengan kontrol atau tanpa inokulasi (lihat Tabel 11).

Variabel pertumbuhan bibit Tinggi (cm)

Diameter (cm)

Bobot kering total (g)

Persentase akar bermikoriza (%)

Tablet spora Kapsul spora Suspensi spora

27,3 a 21,4 b 21,7 b

1,96 a 1,59 b 1,48 b

1,75 a 1,34 ab 0,91 b

67,2 a 65,0 a 65,1 a

Kontrol (tanpa diinokulasi)

13,1 c

1,12 c

0,27 c

0,0 b

Bentuk inokulum

Sumber: Mulyadi (1996 dalam Hadi, 1999) Keterangan: Angka dalam setiap kolom yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan.

Pembentukan mikoriza atau terjadinya simbiosis antara cendawan pembentuk mikoriza dengan akar tanaman dikendalikan oleh faktor yang sangat kompleks, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Selain adanya kecocokan antara cendawan dengan inang, ternyata mikoriza dapat terbentuk karena adanya pengaruh positif dari kondisi fisiologis akar, sehingga pada umumnya mikoriza terbentuk pada akarakar bagian ujung yang masih muda. Oleh sebab itu, dalam inokulasi cendawan pembentuk mikoriza lebih baik dilakukan pada saat pohon dalam fase semai (fase anakan) karena dalam fase semai hampir seluruh bagian akar dapat bersimbiosis dengan cendawan pembentuk mikoriza. Faktor eksternal yang mempengaruhi terbentuknya dan perkembangan mikoriza adalah kondisi lingkungan. Suhu lingkungan Indriyanto

147

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Tabel 11. Pertumbuhan bibit leda (Eucalyptus pellita) yang diinokulasi spora Pisolithus tinctorius dalam bentuk tablet, kapsul, suspensi spora, dan kontrol (tanpa diinokulasi)


BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN yang optimal bagi perkembangan mikoriza adalah 180—270 C (Turjaman dan Santoso, 2001). Kondisi lingkungan yang tidak terlalu basah dengan aerasi dan drainase yang baik juga merupakan kondisi lingkungan yang mendukung terbentuknya mikoriza. Faktor eksternal lainnya adalah adanya mikroba tanah yang hidup di rhizosfer dan dapat hidup berdampingan dengan cendawan pembentuk mikoriza akan berpengaruh terhadap proses pembentukan mikoriza. Beberapa

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

jenis bakteri yang dikenal sebagai bakteri pembantu dalam proses pembentukan dan pertumbuhan mikoriza antara lain Pseudomonas sp., Agrobacterium spp., Bacillus circulans, Aspergilus niger, dan Penicillium funiculosum (Sieverding, 1991 dalam Turjaman dan Santoso, 2001).

F. Teknik Inokulasi Mikoriza Teknik inokulasi mikoriza yang efektif dan efisien ditentukan oleh banyak faktor, di antaranya adalah tingkat kecocokan cendawan dengan inang, kondisi lingkungan, jenis inokulan, dan ketersediaan inokulan yang akan digunakan. Menurut Turjaman et al. (2002), teknik inokulasi mikoriza pada dasarnya dapat terjadi secara alamiah maupun secara buatan. Masing-masing teknik inokulasi mikoriza diuraikan sebagai berikut. 1. Inokulasi mikoriza secara alamiah Inokulasi mikoriza secara alamiah yaitu inokulasi yang diharapkan terjadi melalui inokulum tanah yang bermikoriza ataupun terjadi secara alamiah pada tanah di bawah tegakan hutan dan pada tanah di bedeng pesemaian. Inokulasi mikoriza semacam ini dikatakan secara alamiah karena terjadinya penularan cendawan dan/atau penginfeksian cendawan pada akar tanaman merupakan kemungkinan yang disebabkan proses alamiah dari keberadaan dan perkembangan mikoriza pada inokulum tanah maupun pada tanah di bedeng pesemaian dan di bawah tegakan hutan. Teknik inokulasi mikoriza secara alamiah disebut juga teknik klasik karena secara sederhana dengan biaya yang murah dapat dilakukan dan diterapkan untuk budidaya hutan.

148

Indriyanto


a. Inokulasi mikoriza menggunakan inokulum tanah. Inokulum tanah bermikoriza adalah tanah yang diambil di bawah tegakan inang yang bermikoriza sedalam 0—20cm dari permukaan tanah atau tanah diambil dari lokasi pesemaian tua yang telah diketahui bermikoriza. Tanah ini dapat digunakan untuk media sapih bibit atau hanya untuk campuran media sapih bibit, sehingga diharapkan secara alamiah cendawan pembentuk mikoriza yang ada pada inokulum tanah akan menginfeksi akar bibit dan berkembang membentuk mikoriza. Perlu diketahui bahwa inokulum tanah harus digunakan secepat mungkin dan jangan disimpan lebih dari satu bulan. Untuk menjamin kehidupan bibit dan pertumbuhannya secara baik, maka media sapih bibit yang diberi inokulum tanah tersebut perlu ditambah pupuk NPK dengan dosis 0,5 g per kg media sapih setiap dua minggu. Cara inokulasi seperti ini sangat efektif apabila produksi bibit dilakukan dalam kontiner atau kantong-kantong plastik, sehingga penggunaan inokulum tanah juga bisa dihemat sesuai dengan keperluan dan efektivitas terjadinya asosiasi mikoriza dengan sistem perakaran bibit yang ada di pesemaian. Mengingat pengambilan tanah secara besar-besaran dari bawah tegakan hutan dapat merusak lahan hutan yang bersangkutan, selain itu tanah yang digunakan untuk inokulum seringkali harus diangkut dari tempat yang cukup jauh, maka tanah tersebut sebaiknya tidak semua digunakan sebagai media sapih bibit, akan tetapi hanya digunakan sebagai campuran media sapih bibit. Adapun banyaknya inokulum tanah yang digunakan bisa bervariasi. Misalnya percobaan yang pernah dilakukan oleh Zanzibar (1986 dalam Hadi, 1999) pada bibit tusam menggunakan inokulum tanah sebanyak 5 g, 10 g, 15 g, dan 20 g yang masing-masing dicampurkan pada tanah (media sapih bibit) sebanyak 2.600 g per bibit. b. Membuat pesemaian di bawah tegakan inang yang bermikoriza. Pesemaian dibuat di bawah tegakan inang yang bermikoriza dengan harapan bahwa benih yang dikecambahkan dan/atau disapih

Indriyanto

149

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN


BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

pada bedengan tanah di bawah tegakan akan terinfeksi cendawan pembentuk mikoriza secara alamiah. Oleh karena itu, bedeng penaburan atau bedeng sapih (jika penyapihan pada bedengan tanah) dibuat sedekat mungkin dengan pohon-pohon inang. Cara inokulasi seperti ini dapat disebut sebagai inokulasi mikoriza pada bibit di pesemaian menggunakan inokulum pohon inang. c. Menanam pohon induk (mother trees) bermikoriza. Di lokasi pesemaian dapat ditanam bibit yang pada perakarannya telah bermikoriza, sehingga setelah besar pohon ini bisa menjadi pohon induk bermikoriza sebagai sumber cendawan pembentuk mikoriza yang diharapkan dapat menginfeksi akar-akar bibit secara alamiah pada bedengan yang dibuat berdekatan dengannya. Pendekatan cara inokulasi seperti tersebut menurut Hadi (1999) disebut inokulasi mikoriza menggunakan inokulum pohon induk. Metode inokulasi menggunakan inokulum pohon induk merupakan metode yang pertama kali dikembangkan oleh Roeloffs pada tahun 1930 sebagai cara dalam memproduksi bibit tusam (Pinus merkusii). Menurut Roeloffs (1930 dalam Hadi, 1999), bibit tusam yang terletak lebih dekat dengan pohon induk pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan dengan bibit yang terletak jauh dari pohon induk. Hal tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh keterjangkauan miselium dari cendawan pembentuk mikoriza yang terdapat di perakaran pohon induk untuk menginfeksi pada akar bibit-bibit yang ada di sekitarnya. Semakin dekat bibit Tusam dengan pohon induk yang bermikoriza, akan semakin besar keterjangkauan dan makin banyak miselium untuk dapat menginfeksi akar bibit yang ada di sekitarnya. d. Inokulasi mikoriza menggunakan inokulum akar Inokulum akar adalah inokulum yang berupa akar bermikoriza, yaitu akar dari pohon yang telah berasosiasi dengan cendawan pembentuk mikoriza. Akar yang digunakan untuk inokulum akar sebaiknya berasal dari pohon yang berspesies sama dengan bibit yang akan diinokulasi.

150

Indriyanto


Panjang akar yang digunakan untuk inokulum adalah 2 cm. Potongan akar tersebut bisa langsung digunakan untuk inokulasi, atau disimpan terlebih dahulu beberapa hari dalam lemari es. Inokulum akar bisa disimpan hingga 15 hari dalam lemari es (Hadi, 1999). Dalam inokulasi dengan cara ini, inokulum akar diletakkan di dasar kantong/konriner yang digunakan untuk wadah media sapih bibit, lalu kontiner diisi media tumbuh, kemudian semai disapih pada media tersebut. Percobaan yang telah dilakukan oleh Kuspito (1986 dalam Hadi, 1999) memberi informasi bahwa dua potong akar tusam yang berektomikoriza masing-masing sepanjang 2 cm dapat mempercepat pertumbuhan tinggi bibit tusam. Inokulum akar berektomikoriza yang disimpan dalam lemari es selama 15 hari memiliki kemampuan yang sama dengan inokulum akar berektomikoriza yang tidak disimpan (langsung digunakan) dalam memacu pertumbuhan bibit. Akan tetapi, bila dibandingkan dengan inokulum tanah, maka inokulum tanah lebih baih dilihat dari respon pertumbuhan bibit yang diinokulasi tersebut. e. Inokulasi sisipan Inokulasi sisipan adalah cara inokulasi mikoriza pada bibit di pesemaian yang dilakukan dengan menempatkan (menyisipkan) bibit yang belum mermikoriza di antara bibit yang sudah bermikoriza dalam sebuah bedeng penyapihan (Omon dan Noor, dalam Yasman et al., 2002). Dengan cara demikian itu diharapkan miselium cendawan dari bibit yang bermikoriza berkembang ke luar kontiner bersamaan keluarnya akar ataupun tidak, kemudian masuk ke dalam media tumbuh dan menginfeksi bibit yang disisipkan. Sesungguhnya cara ini mudah diterapkan, akan tetapi kesulitannya adalah harus tersedia bibit yang telah bermikoriza dalam setiap bedengan yang akan disisipi bibit. 2. Inokulasi mikoriza secara buatan Inokulasi mikoriza secara buatan yaitu inokulasi yang dilakukan dengan cara sebaik-baiknya oleh manusia menggunakan spora

Indriyanto

151

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN maupun miselium cendawan pembentuk mikoriza. Inokulum yang digunakan dalam inokulasi mikoriza secara buatan ini adalah organ generatif dan organ vegetatif yang secara pasti merupakan organ perkembangbiakan cendawan pembentuk mikoriza. Teknik inokulasinya dapat menggunakan suspensi spora, spora dalam sistem irigasi, tablet spora, kapsul spora, maupun menggunakan miselium (Turjaman et al., 2002; Kuswanto, 1990). Penggunaan inokulum spora untuk inokulasi cendawan pembentuk mikoriza pada tanaman hutan merupakan cara yang praktis untuk diterapkan di lapangan. Untuk memenuhi kebutuhan inokulum spora pada umumnya masih mengandalkan kepada tubuh buah cendawan yang ada di alam, meskipun kemudi-an sporanya dapat dikemas dalam bentuk tablet, kapsul, ataupun serbuk spora. Banyak cendawan pembentuk mikoriza yang memiliki kapasitas produksi spora yang besar misalnya jenis cendawan anggota genus Pisolithus, Scleroderma, dan anggota genus Rhizopogon. Cendawan tersebut sangat potensial sebagai persediaan spora di alam. Tubuh buah cendawan yang telah masak fisiologis dengan ciri tubuh buah lunak dan sporanya berwarna coklat dapat dikumpulkan, kemudian dikeringkan di dalam oven dengan suhu 370—400 C selama tiga hari. Tubuh buah yang sudah kering lalu dihancurkan menggunakan blender hingga halus dan berbentuk serbuk. Serbuk spora tersebut dapat dikemas dalam bentuk tablet, kapsul, atau disimpan dalam bentuk serbuk dalam botol dan disimpan dalam kultas pada suhu 50 C. Persediaan spora cendawan pembentuk mikoriza dapat digunakan pada saat dibutuhkan. a. Penggunaan suspensi spora. Spora cendawan pembentuk mikoriza yang telah tersedia dapat dibuat suspensi dengan cara mencampur 5 g spora dengan 10 liter aquades kemudian diaduk sampai tercampur merata. Sebaiknya suspensi spora ditambah dengan bahan perekat yaitu larutan tween 20 sebanyak 2—3 tetes yang akan berguna agar spora mudah menempel di akar dan untuk menghindari agar spora tidak larut atau terbawa air. Suspensi spora ini dapat digunakan untuk menginokulasi cendawan 152

Indriyanto


BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN pada bibit tanaman kehutanan. Suspensi spora dengan konsentrasi tersebut (5 g spora dalam 10 liter aquades) bisa digunakan untuk inokulasi pada bibit sebanyak lebih kurang 5.000 batang bibit dengan cara menyiramkan suspensi spora pada media tumbuh bibit pada daerah perakaran.

Sistem irigasi dapat digunakan sebagai salah satu cara menginokulasi cedawan pembentuk mikoriza pada akar tanaman. Inokulasi semacam ini dilakukan dengan menaburkan spora ektomikoriza (Pisolithus sp., Scleroderma sp., dan Rhizopogon sp.) pada bak penampungan air sentral dalam sistem irigasi di pesemaian. Penaburan spora pada bak penampungan air tersebut dilakukan setelah kecambah disapih pada media tumbuh dalam wadah (kontiner) dan pada minggu ke empat setelah kecambah disapih. c. Penggunaan tablet spora. Tablet spora dapat diinokulasikan pada saat kecambah disapih dalam media tumbuh dalam kontiner. Satu tablet spora diberikan kepada satu bibit yang dilakukan dengan cara membenamkan tablet dekat dengan sistem perakaran. Pada saat memberikan tablet spora diusahakan agar media tumbuh bibit tidak terlalu lembab. d. Penggunaan kapsul spora. Teknik penggunaan kapsul spora sama dengan penggunaan tablet spora, dan tingkat efektivitas cendawan pembentuk mikoriza juga sama antara kapsulspora dengan tablet spora. e. Inokulasi dengan miselium. Cendawan pembentuk ektomikoriza memiliki keragaman dalam hal mudah atau sulitnya diisolasi, ada cendawan yang sulit tumbuh dalam biakan murni, ada yang tumbuh tetapi mudah mati setelah beberapa bulan, namun demikian ada juga yang dapat tumbuh jika diberi penambahan nutrisi seperti thiamin dan biotin pada media biakan miselium. Pada skala laboratorium telah dikenal media biakan Indriyanto

153

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

b. Penggunaan spora pada sistem irigasi.


BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN miselium dalam bentuk cair, misalnya Modified Melin Norkran (MMN), Emeron Media (YpSs), Hagem, dan Palmer. Adapun media biakan miselium secara alamiah misalnya kompos sabut kelapa, sekam padi, kulit kopi, serbuk kayu gergajian, gambut, dan sebagainya. Beberapa jenisektomikoriza yang telah diketahui dapat dibiakkan dalam skala besar antara lain Scleroderma sp., Pisolithus sp., Rhizopogon sp., Laccaria sp., Hebeloma sp., Tricholoma sp., dan Suillus sp.. Miselium ektomikoriza

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

yang telah dibiakkan atau diperbanyak kemudian dihancurkan dengan blender, kemudiandicampur dengan aquades dengan konsentrasi yang lebih kurang sama dengan suspensi spora (5 g miselium per 10 liter aquades). Suspensi miselium ini siap untuk diinokulasikan pada kecambah yang baru disapih pada media tumbuh dalam kontiner. Selain dibuat suspensi, miselium bisa juga dibuat dalam bentuk butiran agar dengan cara mengemas miselium ke dalam bahan agar laut (Calcium alginate), kemudian siap untuk diinokulasikan kepada akar bibit tanaman di pesemaian. f. Inokulasi dengan tubuh buah Sebagian spesies cendawan pembentuk ektomikoriza memiliki tubuh buah yang menghasilkan spora, namun sporanya hanya dapat bertahan hidup dalam waktu yang sangat singkat. Cendawan tersebut pada umumnya adalah golongan Hymenomycetes, misalnya Russula spp., Tricholoma spp., Boletus spp, dan Suillus spp.. Oleh karena itu, salah satu cara inokulasi yang dapat dilakukan pada bibit bagi cendawan pembentuk mikoriza seperti tersebut adalah dengan inokulum tubuh buah. Tubuh buah yang digunakan untuk inokulum adalah tubuh buah yang telah masak fisiologis. Tubuh buah dihancurkan, kemudian ditempatkan di permukaan media sapih yaitu tepat di sekitar pangkal batang semai, atau tubuh buah dihancurkan lalu disuspensikan dalam air, kemudian disiramkan pada permukaan media sapih semai. Percobaan yang telah dilakukan oleh Paridy (1987 dalam Hadi, 1999) memberi informasi penting bahwa penggunaan tubuh buah yang dihancurkan dan disuspensikan dalam air sebagai inokulum mampu mempercepat pertumbuhan bibit Pinus caribaea. Spesies cendawan pembentuk mikoriza yang paling kuat memacu pertumbuhan bibit 154

Indriyanto


BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN tersebut adalah Pisolithus sp.. Sedangkan Suillus sp., Scleroderma sp., dan Tricholoma sp. masing-masing memiliki kemampuan yang sama dalam memacu pertumbuhan bibit Pinus caribaea, akan tetapi kemampuannya masih di bawah Pisolithus sp..

kritis yang secara ekologis memiliki banyak keterbatasan termasuk keterbatasan persediaan air dan hara bagi pertumbuhan semai. Oleh karena itu, diperlukan upaya pemanfaatan mikroba tanah seperti mikroba pembentuk mikoriza ataupun mikroba tanah lainnya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas bibit di pesemaian dan untuk memperbaiki kondisi tanah di lokasi penanaman, untuk mempertinggi daya hidup semai, serta untuk memperbaiki kualitas dan laju pertumbuhan semai di lokasi penanaman. Mikoriza adalah bentuk simbiose mutualisme antara akar tanaman dengan cendawan pembentuk mikoriza. Berdasarkan atas terbentuk atau tidak terbentuknya selubung jalinan hifa cendawan pada akar, maka pada umumnya mikoriza dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu ektomikoriza, endomikoriza, dan ektendomikoriza. Ektomikoriza yaitu struktur yang terjadi karena persekutuan hidup dalam bentuk simbiosis mutualisme antara cendawan mikoriza dengan akar tumbuhan, sehingga pada permukaan akar tumbuhan terbentuk selubung jalinan hifa cendawan. Endomikoriza yaitu struktur yang terjadi karena persekutuan hidup dalam bentuk simbiosis mutualisme antara cendawan mikoriza dengan akar tumbuhan, dan cendawannya berkembang hanya di dalam sel-sel korteks akar serta tidak terbentuk selubung jalinan hifa cendawan pada akar. Adapun Ektendomikoriza yaitu struktur yang terjadi karena persekutuan hidup dalam bentuk simbiosis mutualisme antara cendawan mikoriza dengan akar tumbuhan, sehingga pada permukaan akar tumbuhan terbentuk selubung jalinan hifa cendawan, selain itu cendawannya juga berkembang hingga di dalam sel-sel korteks akar tumbuhan. Peranan mikoriza dalam budidaya hutan sangat banyak, antara lain: dapat meningkatkan penyerapan unsur hara oleh akar tanaman, dapat Indriyanto

155

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Ringkasan Lahan-lahan sasaran reboisasi pada umumnya merupakan lahan


BAB 7. PENGGUNAAN MIKORIZA DI PESEMAIAN menahan serangan patogen akar, meningkatkan daya tahan tanaman dari kekeringan, dapat menghasilkan zat pengatur tumbuh nabati, dan dapat memperbaiki struktur tanah. Oleh karena itu, inokulasi mikoriza pada semai diharapkan dapat menghasilkan bibit yang kualitas pertumbuhannya baik. Teknik inokulasi mikoriza pada dasarnya dapat terjadi secara alamiah maupun secara buatan. Inokulasi mikoriza secara alamiah yaitu inokulasi yang diharapkan terjadi melalui inokulum tanah yang bermikoriza ataupun terjadi secara alamiah pada tanah di bawah tegakan hutan dan pada tanah di bedeng pesemaian. Inokulasi mikoriza secara buatan yaitu inokulasi yang dilakukan dengan cara sebaik-baiknya oleh manusia menggunakan spora maupun miselium cendawan pembentuk mikoriza.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Latihan 1. Jelaskan apa yang disebut mikoriza? 2. Sebutkan jenis mikoriza berdasarkan atas terbentuk atau tidak terbentuknya selubung jalinan hifa cendawan pada akar, kemudian jelaskan ciri-ciri dari setiap jenis mikoriza tersebut. 3. Sebutkan dan jelaskan masing-masing peranan mikoriza dalam budidaya hutan. 4. Jelaskan bagaimana pengaruh mikoriza terhadap pertumbuhan bibit pohon hutan. Berilah contoh ilustrasi pengaruh inokulasi mikoriza pada semai pohon hutan. 5. Jelaskan teknik inokulasi mikoriza di pesemaian dengan menggunakan inokulum tanah. 6. Jelaskan teknik inokulasi mikoriza di pesemaian dengan menggunakan inokulum akar. 7. Jelaskan teknik inokulasi mikoriza di pesemaian dengan sistem inokulasi sisipan. 8. Sebutkan beberapa alternatif teknik inokulasi mikoriza secara buatan yang dapat diterapkan di pesemaian.

156

Indriyanto


TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

A. Pendahuluan Penguasaan teknologi pembibitan tanaman hutan sangat diperlukan untuk menunjang penyediaan bahan tanaman berupa bibit yang kualitasnya memadai serta jumlahnya mencukupi kebutuhan untuk pelaksanaan penghutanan baik berupa reboisasi (reforestasi) maupun penghijauan (afforestasi). Apalagi di saat seperti sekarang ini, kerusakan hutan yang semakin parah dan bertambahnya lahan kritis baik di dalam maupun di luar kawasan hutan yang dengan segera memerlukan upaya rehabilitasi kondisi vegetasinya, maka keberhasilan kegiatan reboisasi dan penghijauan salah satu di antaranya sangat bergantung kepada penyediaan bibit yang diperlukan. Keberhasilan kegiatan penghutanan suatu daerah, baik dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan dapat dilihat dari persentase hidup bibit yang ditanam di areal penanaman. Keberhasilan kegiatan penghutanan juga dapat dilihat dari terpenuhinya kebutuhan konsumen dari produk hasil penanaman yang memenuhi syarat-syarat kegunaan hasil hutan kayu dan nir-kayu. Dengan demikian, diperlukan ketepatan dalam pemilihan spesies pohon yang akan ditanam, jumlah bibit yang harus dipenuhi sesuai dengan kebutuhan penanaman, dan diperlukan bibit yang memiliki kualitas genetik dan pertumbuhan yang baik. Pengalaman setiap orang ataupun setiap pengelola hutan dalam hal pembangunan pesemaian pohon hutan perlu dijadikan pelajaran Indriyanto

157

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

8


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN dan perlu dipelajari dengan baik untuk memperkaya teknologi pembibitan itu sendiri. Kedatipun setiap pengalaman dalam hal pembangunan pesemaian belum tentu merupakan sesuatu cara yang terbaik dalam pengadaan bibit, namun dalam meningkatkan khazanah ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni (IPTEKS) dalam bidang kehutanan diperlukan suatu pengetahuan dan pengalaman tentang pembibitan tanaman hutan. Oleh karena itu, dalam bab ini akan disampaikan teknik pembibitan beberapa spesies pohon hutan yang dikaji dari beberapa sumber pustaka yang sangat relevan. Kompetensi dasar dalam mempelajari bab 8 adalah agar mahasiswa dan para pembaca lainnya mampu memahami teknik pembibitan pohon dan pemeliharaannya, kemudian mampu menerapkan dalam pembuatan pesemaian pohon hutan.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

B. Pembibitan Pterigota (Pterygota alata) 1. Pengadaan Benih Pterigota Pohon Pterygota alata pada umumnya berbuah setiap tahun dan musim buahnya terjadi pada bulan Juli sampai September. Buah Pterigota berukuran besar dan berbentuk agak bulat dengan ratarata diameter 8,7 cm. Buah yang sudah masak sifiologis berwarna coklat kemerahan dan keras. Benih berbentuk pipih dan bersayap yang panjangnya antara 2,5 cm dan 4 cm. Rata-rata jumlah benih tiap kilogram dalam kondisi kering udara adalah 1.250 benih (Masano, 1998). Pengumpulan benih dapat dilakukan dengan cara memungut buah yang jatuh atau dengan cara memanjat pohon lalu memungut buah yang sudah masak fisiologis. 2. Penaburan Benih Pterigota Penaburan benih adalah kegiatan mengecambahkan benih dalam bedeng penaburan atau dalam bedeng pengecambahan. Bedeng penaburan dibuat dengan ukuran 5 m x 1 m atau 10 m x 1 m disesuaikan dengan kondisi areal pesemaian. Setiap bedeng penaburan dibuat

158

Indriyanto


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

(disangrai) maupun dipanaskan dengan listrik dalam alat penyeteril tanah (soil sterilizer). Benih Pterigota bisa langsung dikecambahkan pada bedeng penaburan tanpa perlakuan pendahuluan sebelumnya. Sembilan hari setelah benih dikecambahkan, benih tersebut mulai berkecambah, dan pada hari ke-28 pada umumnya benih telah berkecambah sebanyak 80% atau lebih (Masano, 1998). 3. Penyapihan Semai Pterigota Penyapihan semai yaitu memindahkan semai/kecambah dari bedeng penaburan ke bedeng penyapihan. Bedeng penyapihan terdiri atas kantong-kantong plastik atau polybag atau jenis wadah lainnya dengan ukuran diameter lingkaran kantong lebih kurang 10 cm, dan tingginya 15 cm yang telah diisi dengan campuran tanah, pasir, dan kompos dengan perbandingan 7:2:1. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menyapih semai Pterygota alata, antara lain sebagai berikut. a. Penyapihan dilakukan setelah semai berdaun dua helai; lebih kurang berumur satu bulan. b. Pada saat menyapih semai, tidak boleh ada akar yang terlipat atau patah. c. Semai yang disapih hanya yang semai yang sehat (tidak terserang hama atau penyakit). 4. Pemeliharaan Bibit Pterigota Pemeliharaan secara benar dan teratur sangat diperlukan agar semai dapat tumbuh sehat dan kualitas pertumbuhannya baik.

Indriyanto

159

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

dengan arah utara selatan, kemudian diberi atap/naungan dari bahan alang-alang atau rumbia. Bagian atap/naungan sebelah timur harus lebih tinggi dibandingkan bagian barat agar radiasi matahari pagi bisa masuk ke bedengan. Media tumbuh yang dipergunakan untuk penaburan atau pengecambahan benih yaitu campuran tanah dengan pasir dengan perbandingan 1:1 yang disteril dengan cara pemanasan baik disangan


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN Pemeliharaan yang dimaksud meliputi penyiraman, pemupukan, pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman bibit harus dilakukan sekali dalam sehari dengan air tawar secukupnya. Apabila kondisi cuaca panas, maka sebaiknya penyiraman dilakukan dua kali sehari yaitu pagi dan sore. Alat penyiraman yang digunakan sebaiknya berupa semprotan (sprayer atau sprinkler) yang dengan semburan air yang halus. Pemupukan dilakukan apabila pertumbuhan bibit kurang baik. Pemupukan menggunakan TSP dengan dosis 2—3 g per kantong. Adapun pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan menyabut gulma di setiap kantong yang berisi bibit. Apabila tampak adanya gejala ataupun tanda bahwa bibit terserang oleh hama dan penyakit, maka harus sesegera mungkin dilakukan pengendalian hama atau penyakit tersebut. Cara pengendalian yang dapat dilakukan antara lain secara kimiawi menggunakan pestisida (insektisida atau fungsisida), dan mengurangi kelembaban udara di pesemaian dengan cara mengurangi naungan dan mengurangi kerapatan bibit. Perlu diperhatikan bahwa bibit yang betul-betul terserang hama dan penyakit sebaiknya dipisahkan, dan jika kondisinya sangat parah sebaiknya bibit dimusnahkan saja. Bibit yang telah berumur 4—5 bulan setelah penyapihan dapat ditanam di lokasi penanaman. Penampakan bibit yang siap ditanam di lokasi penanaman dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Bibit pterigota yang siap untuk ditanam (Masano, 1998)

160

Indriyanto


C. Pembibitan Gaharu (Aquilaria malaccensis) Proses pembibitan gaharu secara umum dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu cara generatif dan cara vegetatif (Sumarna et al., 2001). Pembibitan cara generatif yaitu pembibitan yang menggunakan bahan tanaman berupa organ generatif, misalnya biji. Pembibitan cara vegetatif yaitu pembibitan yang menggunakan bahan tanaman berupa organ vegetatif, misalnya cabang, ranting, dan pucuk. Pada bagian ini akan ditekankan pada pembibitan cara generatif, mengingat ketersediaan organ generatif sebagai bahan tanaman sangat banyak, dan penggunaan biji sebagai bahan tanaman tidak mengalami banyak kendala. 1. Pengadaan Benih Gaharu Benih gaharu yang akan digunakan untuk pembibitan harus diambil dari sumber benih yang layak. Menurut Sumarna et al. (2001), untuk memperoleh biji yang baik sebagai bahan tanaman sebaiknya biji tersebut diambil dari pohon induk yang memiliki kriteria antara lain: pohon berbatang lurus, tinggi batang bebas cabang berkisar 6m dan 8m, diameter batang minimal 15 cm, pohon dalam kondisi sehat (tidak terserang oleh hama dan penyakit), dan tajuknya lebat. Pengumpulan biji/buah dilakukan terhadap buah yang telah masak fisiologis. Pohon gaharu pada umumnya berbuah dan buahnya masak fisiologis terjadi pada bulan Agustus sampai bulan Desember. Buah yang masak fisiologis memiliki kulit buah berwarna coklat kehitaman (Sumarna et al., 2001). Buah yang baik adalah buah yang sehat dan mengandung biji di dalamnya sebanyak 1—3 butir. Biji yang diperoleh dari buah yang masak fisiologis pada umumnya juga telah masak fisiologis. Biji yang masak fisiologis ditandai dengan warna kulit coklat hitam dan bertekstur keras (Sumarna, 2002). Proses dan cara pengumpulan buahnya antara lain: mengunduh buah atau memungutnya di bawah pohon induk, memilih buah yang masak fisiologis, memisahkan biji dari daging buahnya dengan cara menjemur buah hingga buah pecah, dan menyeleksi biji dengan cara perendaman dalam air. Biji yang baik dalam seleksi perendaman adalah biji yang tenggelam, sedangkan biji yang terapung harus dibuang. Indriyanto

161

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

2. Penaburan Benih Gaharu Secara teknis, benih yang masih baru (kurang dari satu bulan setelah pemungutan) dapat langsung dikecambahkan. Namun, bagi benih yang telah mengalami penyimpanan sebaiknya diskarifikasi terlebih dahulu dengan cara merendam di dalam air bersih selama 48 jam, atau direndam dalam air kelapa tua selama 24 jam. Setelah itu, benih dikecambahkan dalam media tumbuh yang tersedia. Benih gaharu dapat dikecambahkan atau disemai dengan tiga cara, antara lain: mengecambahkan/menyemai dalam bedeng tabur, menyemai langsung dalam media tumbuh di kontiner (wadah), disekap dalam kantong plastik putih. a. Menyemai dalam bedeng tabur Bedeng tabur dibuat dalam bentuk bak-bak kecambah yang terbuat dari papan kayu atau dari lembaran plastik berukuran lebar 1m dan panjangnya 2—3 meter atau disesuaikan dengan kondisi areal pesemaian. Bak kecambah yang digunakan harus diberi lubanglubang aerasi atau lubang drainase pada bagian bawahnya. Kemudian, bak kecambah diisi media kecambah yang berupa campuran tanah, kompos, dan arang sekam dengan perbandingan 1:1:1 (Sumarna et al., 2001) atau campuran tanah, kompos, dan arang sekam dengan perbandingan 2:2:1 (Sumarna, 2002). Benih diletakkan secara merata di atas media kecambah, lalu ditutup kompos halus setebal 1—2 cm, kemudian disiram air secukupnya. Untuk mempertahankan kelembaban dapat dilakukan dengan menutup bedeng tabur dengan sungkup plastik atau dilakukan dengan cara memberi naungan. Bedengan yang ditutup sungkup plastik dibuka setelah benih berkecambah dan akan disapih. Sedangkan bedengan yang di bawah naungan, supaya disiram dengan air bersih 1 kali dalam sehari. b. Menyemai dalam kantong/kontiner Media tumbuh yang digunakan untuk menyemai benih gaharu secara langsung di dalam kantong/kontiner adalah campuran tanah,

162

Indriyanto


kompos, dan arang sekam dengan perbandingan 2:2:1. Sebelum benih disemai, media tumbuhnya disiram air bersih secukupnya hingga jenuh. Benih yang telah diberi perlakuan skarifikasi seperti tersebut terdahulu kemudian disemai langsung dalam media tumbuh. Banyaknya benih yang disemai dalam media tumbuh adalah 1—2 butir per kantong. Seperti cara terdahulu, untuk mempertahankan kondisi kelembaban udara dan media tumbuh maka setiap kantong yang berisi benih bisa disungkup atau diberi naungan. Bedengan yang ditutup sungkup plastik dibuka setelah benih berkecambah dan akan disapih. Sedangkan bedengan yang di bawah naungan, supaya disiram dengan air bersih 1 kali dalam sehari. c. Menyemai benih dengan cara menyekap dalam kantong plastik putih. Benih gaharu yang telah diskarifikasi dan telah ditiriskan lalu dimasukkan dalam kantong plastik putih. Kemudian plastik yang berisi benih tersebut ditutup rapat-rapat agar udara tidak dapat masuk ke dalamnya, sehingga benih dapat terhindar dari kontaminasi dengan udara luar. Agar plastik dapat benar-benar tertutup secara rapat, sebaiknya digunakan silk platik atau dengan cara dipanaskan menggunakan lilin. Setiap kantong plastik yang berisi benih diletakkan dalam kotak inkubasi selama 1 minggu. Kotak inkubasi dapat dibuat sendiri ddengan bahan dari papan kayu yang ukurannya disesuaikan dengan kapasitas yang dikehendaki. Benih yang telah berkecambah dapat langsung disapih dalam media sapih pada kontiner. 3. Penyapihan Semai Gaharu Benih yang disemai langsung di polybag tidak perlu dilakukan penyapihan karena polybag dan media tumbuh yang digunakan layak untuk tempat tumbuh semai hingga menjadi bibit yang siap ditanam di areal penanaman. Sedangkan benih yang disemai/dikecambahkan dalam bedeng kecambah, harus disapih ke media penyapihan agar

Indriyanto

163

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

pertumbuhannya sempurna. Sesungguhnya penyapihan semai dilakukan dengan tujuan: untuk memberi kesempatan yang baik bagi pertumbuhan akar, untuk mengurangi persaingan, dan memberi kesempatan akar untuk dapat memanfaatkan unsur hara, gas, maupun air yang tersedia dalam media tumbuh untuk pertumbuhan bibit. Penyapihan semai gaharu dari bedeng penaburan ke bedeng penyapihan dilakukan ketika semai telah memiliki 2—3 pasang daun dan tingginya 8—10 cm. Kondisi semai seperti ini diperkirakan telah berumur 35—40 hari (Sumarna, 2002). Namun demikian, adakalanya semai gaharu memiliki daun sebanyak 3 pasang itu terjadi ketika semai berumur 3 bulan, dimana kondisi seperti ini sudah seharusnya semai disapih ke bedenga penyapihan (Sumarna et al., 2001). Media untuk penyapihan adalah campuran tanah, kompos, dan arang sekam dengan perbandingan 2:2:1. Media tumbuh ini dimasukkan ke dalam polybag kemudian disiram air hingga jenuh. Setelah itu, semai gaharu dipindahkan secara hati-hati ke media tumbuh dalam polybag, dan setiap polybag diisi satu semai. Semai yang disapih diletakkan di bawah atap/naungan, setelah daun menghijau dan telah tumbuh pucuk baru, naungan dapat dibuka secara bertahap. 4. Pemeliharaan Bibit Gaharu Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya bahwa pemeliharaan secara benar dan teratur sangat diperlukan agar semai dapat tumbuh sehat dan kualitas pertumbuhannya baik. Pemeliharaan yang dimaksud meliputi penyiraman, pemupukan, pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman bibit harus dilakukan sekali dalam sehari dengan air tawar secukupnya jika lokasi pembibitan adalah daerah berkelembaban rendah (kurang dari 80%). Apabila lokasi pembibitan adalah daerah berkelembaban tinggi (80—90%), maka sebaiknya penyiraman dilakukan dua kali sehari yaitu pagi dan sore. Kegiatan penyiraman ini harus tetap dilakukan walaupun kondisi cuaca sedang hujan karena bibit terletak di bawah naungan. Alat penyiraman yang digunakan sebaiknya berupa semprotan (sprayer atau sprinkler) yang dengan

164

Indriyanto


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

pengendalian hama atau penyakit tersebut. Cara pengendalian yang dapat dilakukan antara lain secara kimiawi menggunakan pestisida (insektisida atau fungsisida), dan mengurangi kelembaban udara di pesemaian dengan cara mengurangi naungan dan mengurangi kerapatan bibit. Perlu diperhatikan bahwa bibit yang betul-betul terserang hama dan penyakit sebaiknya dipisahkan, dan jika kondisinya sangat parah sebaiknya bibit dimusnahkan saja. Bibit yang berumur 6—12 bulan setelah penyapihan dapat ditanam di lokasi penanaman. Pada Gambar 15 disajikan penampakan bibit gaharu yang sudah bisa ditanam di lokasi penanaman.

Gambar 15. Bibit gaharu yang siap untuk ditanam (foto diambil Indriyanto tahun 2004 di lokasi pesemaian masyarakat Way Jepara, Lampung Timur)

D. Pembibitan Mangium (Acacia mangium) 1. Pengadaan Benih Mangium Mangium (Acacia mangium Wild.) mulai berbunga pada umur lebih kurang 2 tahun. Pada umumnya pohon mangium berbunga menjelang berakhirnya musim hujan, yaitu antara bulan Maret dan April, dan buah masak fisiologis terjadi antara bulan September dan Oktober. Namun, Indriyanto

165

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

semburan air yang halus. Pemupukan dilakukan apabila pertumbuhan bibit kurang baik. Pemupukan menggunakan TSP dengan dosis 2—3 g per kantong. Adapun pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan menyabut gulma di setiap kantong yang berisi bibit. Apabila tampak adanya gejala ataupun tanda bahwa bibit terserang oleh hama dan penyakit, maka harus sesegera mungkin dilakukan


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

kadangkala di suatu tempat tertentu mangium ini berbunga sepanjang tahun, sehingga dapat diharapkan untuk memperoleh benih kapan saja diperlukan. Buah mangium yang masak fisiologis berwarna coklat tua yang di dalamnya juga terdapat biji yang masak fisiologis dengan warna hitam (Adisubroto dan Priasukmana, 1985). Buah mangium yang telah masak fisiologis dipungut lalu dikeringkan dengan cara menjemur di bawah terik matahari sampai kulitnya membuka, dan kemudian ditumbuk dengan kayu agar biji bisa lepas dan keluar dari buahnya. Setelah itu, biji ditampi untuk memisahkan biji dengan bagian-bagian kulit buah dan kotoran lainnya. Biji yang akan disemai diseleksi terlebih dahulu. Cara menyeleksi biji dapat dilakukan dengan merendam biji ke dalam air sehingga biji yang baik akan tenggelam sedangkan biji yang buruk (tidak berisi) akan terapung. Biji yang buruk dibuang, sedangkan biji yang baik diskarifikasi dengan cara merendam ke dalam air bersuhu awal 650 C dan dibiarkan sampai airnya dingin selama 24 jam, kemudian biji ditiriskan untuk disemai/ dikecambahkan di bedeng penaburan. 2. Penaburan Benih Mangium Bedeng penaburan terdiri atas bak-bak kecambah yang bisa dibuat dari papan dengan ukuran bak kecambah masing-masing 60 cm x 60 cm atau 50 cm x 50 cm, dan tingginya 20 cm. Bagian bawah bak kecambah diberi lubang-lubang drainase secukupnya agar kelebihan air yang diberikan pada media perkecambahan bisa keluar dari bak kecambah sehingga tidak menggenang. Bak kecambah ditata secara rapi di atas rak dan diletakkan di bawah naungan/atap. Setiap bak kecambah diisi media perkecambahan yang terbuat dari campuran tanah subur (top soil) dan pasir dengan perbandingan 1:1. Campuran tanah dengan pasir tersebut diayak dengan ukuran ayakan 3—4 mm agar menghasilkan campuran yang halus dan homogen, kemudian disteril baik dengan pemanasan dalam alat pensteril tanah (soil sterilizer) maupun disemprot dengan pestisida. Tebal media perkecambahan yang dimasukkan ke dalam tiap bak kecambah adalah 5—7 cm.

166

Indriyanto


Untuk setiap bak perkecambahan dengan ukuran seperti tersebut ditaburi biji sebanyak 10 g. Biji ditaburkan secara merata di atas permukaan media perkecambahan, kemudian ditutup dengan pasir halus setebal 2—3 mm dengan tujuan agar biji tidak hanyut pada saat disiram dengan air. Setelah biji ditutup dengan pasir/media halus, lalu disemprot dengan fungisida untuk menghindari serangan dumping off. Benih yang dikecambahkan harus disiram air secara teratur sesuai dengan kebutuhan, pada umumnya untuk perkecambahan mangium dilakukan penyiraman dengan air bersih dengan intensitas penyiraman 2 kali sehari (Adisubroto dan Priasukmana, 1985). Kecambah yang telah berumur 14 hari bisa disapih ke media penyapihan. 3. Penyapihan Semai Mangium Penyapihan semai mangium dilakukan dengan sistem pot/kontiner. Kontiner yang digunakan berupa kantong plastik atau polybag dengan ukuran diameter lubang kantong 5 cm dan tinggi kantong 12 cm. Bagian bawah dan samping kontiner harus diberi lubang-lubang drainase/aerasi. Setiap kontiner diisi media sapih berupa campuran tanah dan pasir dengan perbandingan 1:1. Pengisian kontiner dilakukan sampai kontiner berisi media tumbuh pada posisi 2 cm dari lubang atas. Dengan ukuran kontiner seperti tersebut, maka setiap m3 media sapih bisa digunakan untuk mengisi kontiner sebanyak 4.244 buah (Adisubroto dan Priasukmana, 1985). Kontiner diletakkan pada bedengan penyapihan berukuran 1 m x 4 m dan diberi naungan dari sarlon shade 40—50%. Sebelum semai disapih, media sapihnya disiram air bersih terlebih dahulu hingga jenuh dengan air. Pencabutan kecambah dari bedeng tabur atau dari bak kecambah harus dilakukan secara hati-hati agar akar tidak rusak dan patah. Untuk memudahkan pencabutan kecambah dan menghindari kerusakan akar, maka pencabutannya dapat menggunakan alat bantu berupa sudip bambu untuk mencongkel kecambah. Kecambah yang akarnya terlalu panjang supaya dipotong hingga panjangnya lebih kurang 5 cm, kemudian dimasukkan dalam cawan plastik yang berisi air bersih

Indriyanto

167

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

hingga semua bagian akar terendam dalam air untuk menanggulangi agar bibit tidak layu. Kecambah disapih dalam media penyapihan dengan cara menanam setiap kecambah ke dalam media sapih dalam kontiner. Media sapih dilubangi sedalam lebih kurang 7 cm atau disesuaikan dengan panjang akar kecambah agar akarnya tidak terlipat pada saat disapih. Lubang tempat penyapihan dibuat dengan kayu sebesar pensil yang ujungnya lancip. Setiap kontiner diisi satu kecambah. Penyapihan kecambah ke dalam media sapih dilakukan sedalam lebih kurang 7 cm atau disesuaikan dengan panjang akar kecambah agar akarnya tidak terlipat. Media sapih di sekitar batang kecambah ditekan ke tengah supaya media tersebut agak padat dan kecambah bisa berdiri kokoh. Selesai penyapihan, segera dilakukan penyiraman dengan air bersoih menggunakan nozzle sprayer agar air yang disiramkan berbentuk butiran halus sehingga tidak merusak kecambah yang baru disapih ke dalam media penyapihan. 4. Pemeliharaan Bibit Mangium Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiraman, pemupukan, pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan satu kali dalam sehari, namun pada waktu kondisi cuaca sangat kering dan berangin kencang sebaiknya penyiraman dilakukan dua kali dalam sehari. Alat untuk penyiraman bisa menggunakan sprinkler ataupun gembor. Jika pada setiap media sapih terdapat gulma yang tumbuh, maka gulma tersebut harus dicabut agar tidak menjadi pesaing bagi kecambah. Pengendalian terhadap gulma harus dilakukan secara rutin agar bibit bisa tumbuh dengan baik. Selain itu, untuk mencapai pertumbuhan yang baik perlu penambahan zat hara (nutrien) ke dalam media tumbuh bibit yang dapat dilakukan dengan pemupukan. Pemupukan pada masa pertumbuhan dilakukan pada saat bibit berumur 4 minggu setelah disapih. Pupuk yang digunakan adalah NPK dalam bentuk larutan dengan dosis 1kg/200 liter air yang diberikan ke bibit dengan cara penyiraman langsung ke media tumbuhnya.

168

Indriyanto


Pemberian pupuk untuk setiap bibit lebih kurang 50 cc, sehingga NPK 1kg/liter air diperkirakan dapat digunakan untuk memupuk bibit sebanyak 4.000 bibit (Adisubroto dan Priasukmana, 1985). Pemupukan seperti tersebut dilakukan setiap 2 minggu sekali sampai bibit berumur 8 minggu. Kegiatan pemeliharaan bibit yang juga sangat penting adalah pencegahan hama dan penyakit. Pencegahan hama dan penyakit telah dilakukan pada saat penaburan dan penyapihan yaitu dengan menyeteril media kecambah dan media penyapihan baik dengan cara pemanasan maupun dengan menggunakan pestisida. Namun demikian, jika dalam waktu proses pertumbuhan bibit masih terdapat serangan hama maupun penyakit, maka pengendalian hama dan penyakit harus segera dilakukan baik secara kimiawi dengan pestisida maupun secara fisik dengan memperbaiki kondisi sanitasi lingkungan. Untuk bibit yang terserang hama dan penyakit cukup parah supaya disingkirkan dari bedengan dan bila perlu dimusnahkan. Setelah bibit berumur 3—4 bulan sudah dapat ditanam di areal penanaman (Rahayu et al., 1991). Penampakan bibit mangium yang sudah dapat ditanam di lokasi penanaman dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Bibit mangium umur 4 bulan setelah penyapihan (foto diambil Indriyanto tahun 2004 di lokasi pesemaian Lampung Utara)

Indriyanto

169

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

E. Pembibitan Jati (Tectona grandis) Pembibitan jati pada umumnya dilakukan secara generatif yaitu menggunakan organ generatif berupa buah yang di dalamnya mengandung biji, meskipun demikian sesuai dengan perkembangan teknologi pembibitan dapat juga dilakukan secara vegetatif yaitu menggunakan organ vegetatif berupa tunas yang ditumbuhkan melalui kultur jaringan atau kultur tunas. Namun, pada tulisan ini difokuskan mengenai pembibitan jati secara generatif, meskipun juga disajikan secara garis besar tentang pembibitan secara vegetatif. Sebagaimana yang telah diuraikan pada tahap kegiatan pembibitan pohon di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pembibitan jati, antara lain adalah kegiatan pengadaan benih, penaburan benih, penyapihan semai, dan kegiatan pemeliharaan bibit. Masing-masing tahap kegiatan dalam pembibitan jati diuraikan sebagai berikut. 1. Pengadaan Benih Jati Benih jati untuk bahan pembibitan secara generatif harus diambil dari sumber benih yang layak, antara lain bisa diambil dari pohon plus, tegakan benih, areal pengumpulan benih, atau dari kebun benih semai. Dari berbagai sumber benih tersebut, sudah barang tentu yang kemungkinan besar memiliki mutu benih yang paling baik adalah kebun benih semai (seedling seed orchard), oleh karena itu perlu dibangun kebun benih semai untuk menunjang persediaan benih yang berkualitas dan jumlahnya mencukupi kebutuhan untuk pembibitan. Langkah seperti ini, sebenarnya secara tidak langsung juga mengupayakan tersedianya bibit yang berkualitas dan jumlahnya mencukupi kebutuhan untuk penanaman. Bahan tanaman jati yang digunakan untuk benih adalah buahnya, karena biji terdapat di dalam buah yang kulit bagian dalamnya (endocarpium) keras sehingga tidak memungkinkan untuk mengekstraksi buah tersebut. Oleh karena itu, buah jati inilah yang dikecambahkan atau disemai di pesemaian. Secara fisiologis, kualitas buah dari masing-masing sumber benih tersebut ditentukan oleh sifat masing-masing pohon dan kematangan 170

Indriyanto


pertumbuhannya. Kematangan pertumbuhan pohon secara fisik ditunjukkan oleh sifat atau karakter dan kenampakan habitusnya, misalnya batang pohon yang lurus, bentuk lingkar batang silindris, batang bebas cabang yang tinggi (lebih dari 4 m), tajuk simetris, dan tahan terhadap serangan hama dan penyakit (Sumarna, 2003). Buah jati yang masak fisiologis dicirikan oleh perubahan warna kulit pembungkus buah menjadi coklat. Buah jati terbungkus oleh kelopak bunga yang menyertai perkembangan buah setelah proses pembuahan. Kelopak pembungkus buah tersebut saat buah masih muda berwarna hijau, setelah buah tua (masak fisiologis) berwarna coklat (Balai Perbenihan Tanaman Hutan, 2000). Pengumpulan benih yang paling baik adalah dengan cara memanen buah tua (masak fisiologis) yang masih ada di atas pohon. Walaupun demikian, pengumpulan benih dapat juga dilakukan dengan cara memungut buah yang telah jatuh di bawah pohon induknya. Jika buah akan disimpan, maka sebaiknya dikeringkan terlebih dahulu dengan cara menjemur di bawah terik matahari, sedangkan buah yang akan segera disemai tidak perlu dijemur terlebih dahulu. Buah yang telah terkumpul kelopak pembungkus buahnya dilepas atau dibersihkan, kemudian diseleksi dan dipilih yang ukurannya besar, bentuknya sempurna, dan telah berwarna coklat. Sebelum buah dikecambahkan harus diskarifikasi terlebih dahulu. Di antara cara skarifikasi buah jati adalah merendam buah pada air mengalir selama 48 jam (Balai Perbenihan Tanaman Hutan, 2000). Cara skarifikasi yang lain untuk buah jati adalah merendam buah dalam air biasa selama 72 jam atau merendam buah dalam air panas (suhu awal 650 C) selama 42 jam, atau merendam benih dalam asan sulfat (H2SO4) selama 20 menit lalu dicuci dengan air bersih dan siap untuk dikecambahkan (Sumarna, 2003). Menurut Octaviana (2005), skarifikasi buah Jati yang dilakukan di RPH Pasar Sore KPH Cepu adalah dengan mengemas buah jati dalam karung goni dan direndam dalam air mengalir selama 72 jam, kemudian diangkat dan ditiriskan selama 24 jam, lalu dikecambahkan atau ditabur di bedeng penaburan.

Indriyanto

171

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

2. Penaburan Benih Jati Media penaburan (media perkecambahan) yang digunakan untuk mengecambahkan benih jati adalah campuran tanah, pupuk kandang, dan pasir dengan perbandingan 2 : 2 : 1, kemudian ditambah pupuk dasar (TSP) sebanyak 1 kg tiap bedengan penaburan. Media tersebut dicampur secara merata dan ditaruh dalam bedengan penaburan yang berukuran 5m x 1m dengan ketebalan media penaburan lebih kurang 8 cm. Benih jati diletakkan dalam bedengan penaburan dengan posisi bekas tangkai buah terletak di bagian bawah, dan jarak antarbenih 7,5 cm x 7,5 cm, sehingga jumlah benih yang dikecambahkan dalam setiap bedengan penaburan adalah 888 butir atau lebih kurang 2,05 kg. Kemudian benih tersebut ditutup pasir setebal 1—2 cm, lalu disiram dengan air bersih secukupnya secara merata. Setelah itu, setiap bedengan penaburan ditutup secara rapat dengan sungkup plastik setinggi 50 cm yang tanpa diberi atap atau naungan. Penaburan benih tersebut pada umumnya dilakukan bulan Januari—Februari. Benih yang daya kecambahnya bagus, pada umumnya mampu berkecambah pada hari ke-30 setelah dikecambahkan. Benih yang telah berkecambah sebaiknya segera disapih atau dipindahkan ke dalam media penyapihan. Sesungguhnya pengecambahan benih jati dapat dilakukan langsung pada media tumbuh yang terdapat dalam kontiner (polybag). Pengecambahan benih dalam media tumbuh di polybag tidak memerlukan lagi kegiatan penyapihan kecambah karena media tumbuhnya telah dibuat sedemikian rupa sehingga dapat langsung digunakan sampai bibit siap ditanam. Media tumbuh yang digunakan untuk menyemai benih Jati langsung dalam kontiner adalah campuran tanah, kompos, dan arang sekam dengan perbandingan 1 : 1 : 1. Setiap kontiner diisi satu butir benih dan disusun dalam bedengan tanpa atap/naungan. Dengan cara demikian, pada umumnya dihasilkan bibit yang siap untuk ditanam pada umur 8—9 bulan. Cara pembibitan seperti ini memang secara teknis mudah dilakukan, akan tetapi bibit yang dihasilkan tidak seragam (Sumarna, 2003).

172

Indriyanto


3. Penyapihan Semai Jati Media tumbuh untuk penyapihan semai jati bisa berupa campuran tanah, kompos, dan arang sekam dengan perbandingan 1 : 1 : 1 yang dimasukkan ke dalam kontiner/wadah (polybag). Polybag yang digunakan jangan terlalu besar dan jangan terlalu kecil. Ukuran polybag yang seringkali digunakan adalah tinggi 15 cm dan diameter 5 cm. Setiap polybag diisi media tumbuh hingga batas 2 cm dari lubang atas polybag, kemudian disusun dalam bedengan penyapihan yang berukuran 5m x 1m dan tanpa atap/naungan. Sebelum semai disapih ke dalam polybag, media tumbuh dalam polybag disiram air bersih hingga jenuh. Media tumbuh lainnya yang dapat digunakan untuk penyapihan semai Jati adalah campuran tanah dan kompos dengan perbandingan 3 : 1 yaitu tiga bagian tanah, dan satu bagian kompos. Semai yang tumbuh normal, sehat, dan minimal telah berdaun dua dapat segera dipindahkan ke media penyapihan. Pengambilan semai dari bedeng penaburan harus dilakukan dengan mencongkel semai secara hati-hati menggunakan sudip agar semai tidak patah dan akarnya tidak rusak. Pada setiap media sapih dalam polybag diberi lubang dengan kayu sebesar jari telunjuk, kemudian semai dimasukkan dalam media tumbuh hingga semua bagian akar sampai sedikit di atas leher akar masuk ke dalam media tumbuh, lalu tanah di sekitarnya ditekan atau dipadatkan agar semai tidak goyang. Setelah semua semai dipindahkan ke dalam media penyapihan, lalu disiram dengan air bersih secara merata. 4. Pemeliharaan Bibit Jati Pemeliharaan secara benar dan teratur sangat diperlukan agar semai dapat tumbuh sehat dan kualitas pertumbuhannya baik. Pemeliharaan yang dimaksud meliputi penyiraman, pemupukan, pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman bibit harus dilakukan sekali dalam sehari dengan air tawar secukupnya. Penyiraman bibit pada pagi hari dilakukan sebelum pukul 9. Alat penyiraman yang digunakan sebaiknya berupa semprotan (sprayer atau sprinkler) atau menggunakan gembor.

Indriyanto

173

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Pemupukan dilakukan apabila pertumbuhan bibit kurang baik. Pemupukan menggunakan TSP dengan dosis 2—3 g per kantong, jika pertumbuhan bibit tampak bagus maka tidak perlu dipupuk lagi karena media tumbuh untuk penyapihan sudah mengandung bahan organik yang kaya zat hara untuk pertumbuhan bibit. Adapun pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan menyabut gulma di setiap kantong yang berisi bibit. Apabila tampak adanya gejala ataupun tanda bahwa bibit terserang oleh hama dan penyakit, maka harus sesegera mungkin dilakukan pengendalian hama atau penyakit tersebut. Cara pengendalian yang dapat dilakukan antara lain secara kimiawi menggunakan pestisida (insektisida atau fungsisida), dan mengurangi kelembaban udara di pesemaian dengan cara membersihkan lingkungan pesemaian dari kotoran atau tumpukan sisa-sisa tanaman yang ada dan mengurangi kerapatan bibit. Perlu diperhatikan bahwa bibit yang betul-betul terserang hama dan penyakit sebaiknya dipisahkan, dan jika kondisinya sangat parah sebaiknya bibit dimusnahkan saja. 5. Pembibitan Jati dengan Kultur Jaringan Teknik kultur jaringan untuk perbanyakan tanaman terdiri atas berbagai macam yang semuanya sangat memungkinkan untuk diterapkan dalam pengadaan bibit tanaman kehutanan. Teknik perbanyakan tanaman seperti ini harus dilakukan di dalam laboratorium secara aseptik (dalam kondisi ruang yang steril), dan menggunakan media tumbuh dalam bentuk cair dan/atau padat (berupa agar bakto) yang ditempatkan dalam botol atau tabung gelas. Teknik-teknik kultur jaringan yang telah dikenal untuk perbanyakan tanaman antara lain sebagai berikut (Nugroho dan Sugito, 2001). a. Kultur meristem atau kultur tunas, yaitu teknik kultur jaringan menggunakan bahan tanaman (eksplan) yang berupa jaringan muda atau jaringan meristem. Jaringan tanaman yang dapat digunakan untuk penerapan teknik kultur meristem, misalnya pucuk/tunas, ujung akar, embrio dalam biji, dan bunga. b. Kultur tepung sari atau kultur kepala sari ( pollen/anther culture), yaitu

174

Indriyanto


teknik kultur jaringan menggunakan bahan tanaman (eksplan) yang berasal dari serbuk sari atau kepala sari. c. Kultur protoplas ( protoplast culture), yaitu teknik kultur jaringan menggunakan bahan tanaman (eksplan) dari protoplasma (sel hidup tanaman yang telah dihilangkan dinding selnya). d. Kultur kloroplas (chloroplast culture), yaitu teknik kultur jaringan menggunakan bahan tanaman (eksplan) berupa kloroplas untuk memperbaiki sifat tanaman dengan cara membuat varietas baru. e. Kultur silangan protoplasma ( protoplast/somatic cross), yaitu teknik kultur jaringan menggunakan eksplan dari hasil penyilangan dua macam protoplasma menjadi satu yang kemudian dibiakkan hingga menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat baru dan lebih baik dari tanaman sumber protoplasma. Dari berbagai teknik kultur jaringan yang diuraikan tersebut, maka teknik yang paling digemari dan diterapkan oleh banyak kalangan terutama kalangan wirausaha adalah teknik kultur meristem karena prosesnya lebih sederhana dan mudah dilaksanakan. Oleh karena itu, pada bagian inipun akan disampaikan pembibitan jati dengan teknik kultur jaringan meristem dengan bahan eksplan dari tunas, sehingga disebut kultur tunas. Dalam pelaksanaan pembuatan bibit dengan teknik kultur tunas diperlukan peralatan dan bahan-bahan yang harus dipenuhi, misalnya lemari aliran udara steril (laminar air flow), lemari pertumbuhan (inkubator), mikroskop dengan lampu luar), sepasang pinset kecil atau pinset arloji, sepasang jarum runcing, pisau bedah atau silet (cutter), tabung pirex (12 x 100 mm), kertas saring steril, etanol 70%, dan larutan natrium hypokhlorit. Selain itu, perlu juga disiapkan bahanbahan yang lainnya, antara lain: bahan tanaman (planlet) dari tunas Jati, hormon tumbuh Kinetin atau Benziladenin, hormon Auksin (NAA) berkonsentrasi 10; 5; 0,5; dan 0,1 ¾M, serta hormon Giberelat (GA3) berkonsentrasi 1—0,001 ¾M. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan kultur jaringan adalah penggunaan media tumbuh yang cocok, oleh karena itu dalam

Indriyanto

175

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

kultur tunas Jati ini dipergunakan media tumbuh standar yaitu media tumbuh yang disebut Murashige and Skoog (MS). Murashige and Skoog dibuat dengan formula: Inositol (100 mg/lt), Asam Nikotinat (0,5 mg/lt), Piridoksin HCl (0,5 mg/lt), Thiamin HCl (0,1 mg/lt), NAA atau IAA (1—30 mg/lt), Kinetin (0,04—10 mg/lt). Kemudian langkah proses pembuatan media tumbuh adalah sebagai berikut (Sumarna, 2003). a. Memanaskan air sesuai kebutuhan, lalu memasukkan Agar Bakto sebanyak 60% dari volume air tersebut, kemudian tambahkan hormon NAA sesuai kebutuhan, dan biarkan semua bahan tersebut larut. b. Memasukkan bahan-bahan media tumbuh (MS) ke dalam tabung reaksi, diusahakan pH sebesar 5,7 dengan cara menambahkan KOH atau HCl. c. Menyeteril media tumbuh dengan Autoklaf pada tekanan 20 psi (pound square inchi) selama 20 menit. d. Media tumbuh didinginkan dalam tabung reaksi pada suhu kamar, kemudian dapat disimpan pada suhu 40 C selama 6—8 minggu. Adapun prosedur pelaksanaan pembuatan kultur tunas jati adalah sebagai berikut. a. Memotong tunas jati dengan pisau yang steril dalam ruang aliran udara. Menyeteril pisau dilakukan dengan cara mencuci pisau tersebut dengan etanol 70% kemudian dibilas dengan aquades. b. Potongan tunas jati disteril dengan etanol 70%, lalu dimasukkan ke dalam Natrium Hipoklorit 70% selama 5—6 menit, kemudian dicuci dengan aquades berulang-ulang (5—6 kali). c. Potongan tunas jati disemai dalam media tumbuh kultur tunas dan disimpan dalam lemari pertumbuhan atau inkubator. Pada umumnya setelah 4—6 minggu sejak tunas disemai, kultur tunas jati telah tumbuh, sehingga semai jati sudah bisa dikeluarkan dari tabung reaksi untuk disapih pertama kali pada pot-pot yang berisi media sapih berupa Vermikulit atau Perlit. Apabila pada semai jati yang akan disapih masih terdapat media Agar yang menempel, maka harus

176

Indriyanto


dibersihkan dengan air bersih yang mengalir. Pot-pot penyapihan semai harus diletakkan dalam sungkup plastik, dan perlu dilakukan pemeliharaan secara teratur. Penyiraman semai harus dilakukan menggunakan larutan Hoagland. Tunas jati yang telah tumbuh dengan baik dan sempurna dapat dipindahkan untuk penyapihan yang ke dua ke dalam polybag yang berisi campuran tanah dan kompos dengan perbandingan 1 : 1. Bibit dalam polybag ini diberi naungan paranet (sarlon shade) 60%. Bibit yang telah berumur 6 bulan dapat ditanam di areal penanaman. Bibit jati yang telah berumur lebih dari 6 bulan di pesemaian (lihat Gambar 17).

Gambar 17. Bibit jati yang siap untuk ditanam (Sumarna, 2003)

F. Pembibitan Khaya (Khaya anthotheca) 1. Pengadaan Benih Khaya Pohon khaya berbuah setiap tahun terutama terjadi pada bulan Mei—September, dan buahnya mulai masak fisiologis pada bulan Oktober—Desember, kadang-kadang sampai bulan Januari tahun berikutnya (Masano, 1997). Buah khaya berbentuk bulat dengan ukuran lebih kurang sebesar telur bebek. Biji bersayap sangat pendek, banyaknya biji dalam satu kilogram lebih kurang 2.700 butir. Pengumpulan benih dilakukan dengan cara mengunduh buah masak yang masih ada di atas pohon, dapat juga dengan cara mengumpulkan biji yang baru jatuh dari pohonnya, sedangkan biji

Indriyanto

177

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN yang sudah lama jatuh tidak baik untuk bahan tanaman. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengumpulan benih khaya, antara lain adalah sebagai berikut. a. Benih yang dikumpulkan harus benih yang berasal dari buah yang masak, dan benih yang baru jatuh. b. Benih yang digunakan harus benih yang sehat atau tidak terserang hama dan penyakit. c. Benih berasal dari pohon yang layak sebagai sumber benih, misalnya pohon plus, pohon-pohon dalam tegakan benih, areal pengumpulan benih, dan kebun benih.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Benih yang telah terkumpul sebaiknya diseleksi dengan kriteria yaitu berukuran besar, bentuknya ideal, dan berisi. Benih yang ukurannya terlalu kecil dibandingkan dengan ukuran benih-benih lainnya supaya disingkirkan. Benih khaya dapat langsung dikecambahkan tanpa perlakukan pendahuluan. 2. Penaburan Benih Khaya Penaburan benih dilakukan pada pedengan penaburan yang umumnya berukuran 5 m x 1 m atau 10 m x 1 m. Bedengan penaburan tersebut dibuat membujur arah Utara—Selatan dan diberi atap/ naungan. Atap/naungan bagian sebelah Timur dibuat lebih tinggi daripada bagian Barat agar radiasi matahari pagi bisa masuk sampai ke setiap bedengan. Media tumbuh pada bedengan penaburan berupa campuran tanah lapisan atas (top soil) dan pasir dengan perbandingan 1 : 2. Campuran tanah dan pasir tersebut diayak dengan ayakan 2 mm agar ukurannya mendekati seragam, kemudian disteril dengan menggoreng sampai berwarna merah. Media penaburan ini diletakkan di atas setiap bedengan penaburan setinggi 10—15 cm. Benih khaya bisa langsung dikecambahkan pada bedengan penaburan tanpa perlakuan pendahuluan (tanpa skarifikasi terlebih dahulu). Benih dikecambahkan dengan jarak tabur secara teratur 5 cm x 5 cm, sehingga dalam setiap bedengan penaburan yang berukuran 5

178

Indriyanto


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN m x 1 m berisi benih lebih kurang sebanyak 2.000 benih (lebih kurang 1 kg). Pada umumnya benih mulai berkecambah pada hari ke-10 setelah dikecambahkan.

hari. Penyapihan semai dilakukan dalam kontiner/wadah (bisa menggunakan polybag atau kantong plastik gula) berukuran tinggi 12—15 cm, dan diameter 8—10 cm. Media tumbuh yang digunakan dalam penyapihan semai adalah campuran tanah, pasir, dan kompos dengan perbandingan 7 : 2 : 1. Pada saat menyapih semai perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut. a. Pengambilan semai di bedenga penaburan harus dilakukan secara hati-hati dengan bantuan sudip agar semai dapat terangkat tanpa mengalami kerusakan akar, batang, dan daunnya. b. Pada saat menyapih semai diusahakan agar akar semai tidak patah dan terlipat. c. Pelaksanaan penyapihan sebaiknya dilakukan pada pagi hari agar pekerjaan dapat diselesaikan hati-hati dengan waktu yang longgar. d. Bedengan penyapihan juga diberi atap/naungan seperti pada bedengan penaburan. 4. Pemeliharaan Bibit Khaya Kegiatan dalam pemeliharaan bibit yang perlu diperhatikan adalah penyiraman, pemupukan, pengendalian gulma, serta pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman bibit di pesemaian harus dilakukan secara teratur setiap hari yaitu pada pagi hari dengan air bersih, namun apabila kondisi cuaca sedang panas sebaiknya penyiraman dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pagi dan sore hari. Alat untuk penyiraman bibit bisa berupa sprayer, sprinkler, atau dengan gembor.

Indriyanto

179

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

3. Penyapihan Semai Khaya Penyapihan semai khaya dilakukan jika semai telah berdaun 2 helai, kondisi semai seperti ini umumnya semai berumur 25—30


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN Pemupukan dilakukan apabila ada tanda-tanda pertumbuhan bibit kurang sempurna akibat persediaan hara dalam media tumbuhnya tidak mencukupi kebutuhan pertumbuhan bibit. Dengan kata lain, pemupukan dilakukan apabila betul-betul diperlukan untuk menambah zat hara dalam media tumbuhnya, hal ini jadi pertimbangan penting karena media penyapihan bibit telah diberi kompos sebanyak 0,1 bagian media tumbuh. Namun jika ternyata diperlukan penambahan zat hara, dapat dilakukan dengan menggunakan TSP dengan dosis 1—2 gram setiap kontiner. Pengendalian gulma dilakukan setiap saat ada gulma yang tumbuh dengan cara manual yaitu menyabut gulma secara hati-hati hingga bersih tanpa mengganggu semai. Demikian pula pengendalian hama dan penyakit harus segera dilakukan jika terdapat tanda dan gejala adanya serangan hama dan penyakit pada semai di pesemaian. Hama dan penyakit yang umumnya penjadi masalah pada pembibitan khaya antara lain: tikus, jangkrik, belalang, dan penyakit busuk akar. Pengendalian hama dan penyakit tersebut dilakukan secara kimiawi menggunakan pestisida (insektisida dan fungisida) sesuai dengan dosis yang dianjurkan pada setiap jenis pestisida tersebut. Untuk bibit yang terserang hama dan penyakit cukup parah, sebaiknya disingkirkan atau dikeluarkan dari pesemaian dan dimusnahkan.

G. Pembibitan Mimba (Azadirachta indica) Pada bagian ini diuraikan cara pembibitan mimba secara generatif dengan biji, mengingat pohonnya dapat berbuah secara teratur pada musim buah dengan produksi buah yang cukup banyak, serta tidak ada masalah dalam hal perbenihan. 1. Pengadaan Benih Mimba Sebagaimana cara budidaya tanaman secara benar, pengadaan benih harus dilakukan secara benar dan berasal dari sumber benih yang layak dari aspek budidaya pohon. Seperti telah diuraikan terdahulu bahwa ada beberapa sumber benih yang layak sebagai

180

Indriyanto


tempat pengumpulan benih, antara lain: pohon plus, tegakan benih, areal pengumpulan benih, dan kebun benih. Jika ada kebun benih, maka pengadaan benih harus berasal dari kebun benih. Akan tetapi, jika kebun benih tidak ada, maka pengadaan benih dapat berasal dari areal pengumpulan benih, atau dari tegakan benih, atau dari pohon plus. Walaupun demikian, benih yang dikumpulkan harus berasal dari buah yang telah masak (matang). Untuk mimba, buah yang masak fisiologis ditandai dengan perubahan warna kulit buah dari warna hijau menjadi coklat atau kuning kecoklatan. Buah yang telah masak dipanen langsung dengan memungut buah yang masih di atas pohon, kemudian dikumpulkan dan dilakukan penanganan buah secara baik. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam penanganan buah, antara lain adalah sebagai berikut. a. Buah dicuci dengan air tawar hingga bersih. b. Biji dijemur di bawah penyinaran matahari hingga kering benar. c. Biji yang telah kering dapat disimpan dalam karung atau dalam kaleng untuk disemai pada beberapa bulan berikutnya. d. Penyemaian sesegera mungkin untuk biji yang telah kering akan lebih baik karena daya kecambahnya masih tinggi. 2. Penaburan Benih Mimba Benih yang telah dikeringkan dapat langsung dikecambahkan dalam bedengan penaburan maupun dikecambahkan langsung dalam kontiner yang berisi media tumbuh bibit. Bedengan penaburan dibuat dengan ukuran 5 m x 1 m disusun membujur arah Utara—Selatan dan diberi atap/naungan dari bahan daun kelapa, atau alang-alang, atau daun nipah. Sisi atap bagian Timur dibuat lebih tinggi daripada sisi atap bagian Barat dengan tujuan agar pada pagi hari radiasi matahari bisa masuk mengenai seluruh semai yang ada di bedengan penaburan, serta bertujuan agar air hujan yang tertampung pada atap/naungan dapat mengalir dengan lancar tidak ada yang masuk dalam bedengan dan menimbulkan kerusakan pada semai. Media penaburan benih bisa menggunakan campuran tanah dan

Indriyanto

181

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

pasir dengan perbandingan 2 : 1. Pada media penaburan ini tidak perlu menggunakan bahan organik karena benih untuk berkecambah belum memerlukan zat hara dari media tumbuhnya. Kondisi media penaburan yang perlu diperhatikan antara lain: memiliki aerasi dan drainase yang baik, tidak mengandung polutan yang bersifat toksik (meracuni) maupun menjadi penghambat (inhibitor) bagi proses perkecambahan benih, dan tidak mengandung organisme penyebab hama dan penyakit. Untuk menghindari organisme penyebab hama dan penyakit, maka media penaburan dapat disteril dengan cara menggoreng atau secara kimiawi penggunakan pestisida (insektisida, nematisida, dan fungisida). Penaburan benih dilakukan dengan jarak yang teratur yaitu 5 cm x 5 cm agar proses penyapihan semai dapat dilakukan secara mudah. Benih dibenamkan dan pada bagian atas ditutup pasir halus setebal lebih kurang 0,5—1 cm. Penyiraman dilakukan secara teratur pagi dan sore dengan semprotan halus agar tidak merusak media penaburan benih. Benih yang telah berkecambah dan memiliki 2—3 helai daun dapat dipindahkan ke dalam kontiner yang berisi media tumbuh bibit. 3. Penyapihan Semai Mimba Penyapihan semai dari bedengan penaburan ke bedengan penyapihan harus segera dilakukan ketika semai telah menunjukkan ciriciri layak untuk disapih dengan tujuan agar memberikan kesempatan pada pertumbuhan akar cabang yang lebih baik, menghindari terjadinya persaingan antarsemai terhadap faktor tempat tumbuh, dan memberikan suplai zat hara, air, dan gas yang sudah waktunya diperlukan oleh semai untuk pertumbuhan selanjutnya. Adapun ciri-ciri semai yang layak untuk segera disapih antara lain: telah tumbuh akar cabang, batang semai mengayu, dan telah tumbuh daun 2—3 helai. Penyapihan semai harus dilakukan pada media tumbuh yang lebih baik dibandingkan dengan media tumbuh untuk penaburan ditinjau dari sifat fisik, kimia (kesuburan), dan sifat biologinya. Media tumbuh untuk penyapihan semai mimba pada umumnya berupa campuran

182

Indriyanto


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

Sebelum semai dipindahkan, media penyapihannya disiram air bersih hingga jenuh. Dalam penyapihan, setiap kontiner diisi satu semai yang telah layak untuk disapih. Pencabutan semai di bedengan penaburan harus dilakukan secara hati-hati agar semai tidak rusak, yaitu akarnya tidak putus, demikian juga batang dan daunnya tidak rusak. Untuk melakukan pencabutan semai secara mudah dan aman diperlukan sudip yang terbuat dari bambu yang dibelah dengan ukuran panjang 20 cm, lebar 1,5 cm, dan tebalnya 0,5 cm. Kemudian semai ditanam dalam kontiner dengan kedalaman hingga sedikit di atas kolet (batas akar dengan batang), penyapihan ini diusahakan agar akar tidak patah dan terlipat, lalu bagian dekat batang ditekan hingga padat agar semai dapat berdiri kokoh. Setelah itu, dilakukan penyiraman dengan air bersih menggunakan spayer atau sprinkler atau menggunakan gembor. 4. Pemeliharaan Bibit Mimba Pemeliharaan bibit merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam pengelolaan bibit di pesemaian dengan tujuan agar persentase hidup bibit besar, sehat, dan pertumbuhannya bagus. Beberapa kegiatan yang harus dilakukan pada aspek pemeliharaan bibit antara lain: penyiraman, pemupukan jika diperlukan, penyiangan, serta pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman bibit harus dilakukan secara tertur agar bibit tidak mengalami kekurangan air atau tidak mengalami kekeringan karena air mutlak diperlukan untuk berbagai proses fisiologi dalam pertumbuhan tanaman. Penyiraman bibit dilakukan sekali dalam sehari yaitu pada pagi hari sebelum pukul 9, akan tetapi jika kondisi cuaca sangat panas

Indriyanto

183

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

tanah lapisan atas (top soil) dan pupuk kandang dengan perbandingan 2 : 1. Media tumbuh tersebut dimasukkan ke dalam kontiner/wadah bisa berupa keranjang bambu, kantong plastik putih, atau polybag berukuran diameter 8—10 cm dan tinggi 12—15 cm, kemudian diletakkan dalam bedengan di bawah atap/naungan agar terhindar dari tetesan langsung air hujan dan terhindar dari radiasi matahari yang berlebihan pada siang hari.


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN penyiraman dilakukan dua kali yaitu pagi dan sore hari. Pemupukan hanya dilakukan jika benar-benar terdapat tanda-tanda pertumbuhan bibit terhambat, sehingga diperlukan suplai zat hara untuk meningkatkan pertumbuhannya. Hal ini perlu dipertimbangkan dengan seksama mengingat media tumbuh yang digunakan untuk penyapihan telah diberi pupuk kandang sebanyak 1/3 bagian dari volume media tumbuh. Namun demikian, jika memang betul-betul diperlukan suplai zat hara untuk meningkatkan pertumbuhan bibit dapat digunakan pupuk daun, yaitu pupuk majemuk yang diberikan melalui daun dengan cara disemprotkan pada daun. Pupuk daun ini misalnya Gandasil D dan Bayfolan yang penggunaannya harus disesuaikan dengan dosis yang tertera pada label pupuk. Menurut Kardinan dan Ruhnayat (2003), pemupukan bibit Mimba menggunakan Gandasil D dapat dilakukan setiap seminggu sekali dengan dosis 0,4%. Penyiangan yaitu kegiatan pengendalian gulma yang tumbuh dalam media tumbuh bibit. Gulma yang tumbuh akan menjadi pesaing bagi bibit dalam media tumbuh sehingga dapat mengganggu pertumbuhan bibit, oleh karena itu penyiangan harus dilakukan dengan cara menyabut setiap gulma yang ada di media tumbuh bibit, dan kegiatan demikian harus dilakukan setiap saat terdapat gulma. Pengendalian hama dan penyakit juga merupakan kegiatan penting untuk menjaga agar bibit dapat tumbuh dengan sehat. Namun hingga saat ini belum ada laporan tentang hama dan penyakit penting yang menyerang tanaman Mimba. Hal ini kemungkinan Mimba merupakan salah satu tanaman yang resisten mengingat jenis tanaman ini mengandung zat ekstraktif bernama Azadirachtin yang bersifat toksik (berdaya racun) bagi organisme penyebab hama dan penyakit tanaman. Bibit mimba yang telah berumur 3—4 bulan setelah penyapihan dapat ditanam di lokasi penanaman (lihat Gambar 18).

184

Indriyanto


Gambar 18. Bibit mimba berumur 3—4 bulan (Kardinan dan Ruhnayat, 2003)

H. Pembibitan Berbagai Spesies Pohon Anggota Famili Dipterocarpaceae Jenis pohon yang termasuk anggota famili Dipterocarpaceae sangat banyak di antaranya adalah kelompok jenis meranti (genus Shorea), merawan (genus Hopea), kapur (genus Dryobalanops), keruing (genus Dipterocarpus), mersawa (genus Anisoptera), resak (genus Vatica), dan genus Parashorea yang setiap jenis memiliki sifat pertumbuhan yang berbeda-beda (ada yang tumbuh cepat, ada yang lambat, bahkan ada yang tumbuh sangat lambat). Dalam pengadaan bibit jenis-jenis pohon tersebut pada umumnya digunakan cara generatif dengan buah, walaupun ada sebagian pembibitan yang sudah dikembangkan dengan cara stek cabang atau stek pucuk. 1. Pengadaan Benih Jenis Pohon Anggota Dipterocarpaceae Benih untuk pembibitan secara generatif adalah berupa buah yang telah masak fisiologis. Benih tersebut harus diambil dari sumber benih seperti pohon plus, tegakan benih, areal pengumpulan benih, dan kebun benih semai. Ciri-ciri buah yang baik antara lain sebagai berikut (Yasman et al., 2002).

Indriyanto

185

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN a. Buah yang diambil harus berukuran besar dibandingkan dengan buah lainnya dalam satu tajuk pohon. Buah yang berukuran besar akan memiliki daya kecambah yang besar karena pada buah yang besar di dalamnya terdapat biji yang besar dengan berbagai komponen yang lebih baik dibandingkan biji yang kecil. Biji yang besar pada umumnya mengandung embrio yang besar dan jumlah cadangan makanan yang lebih banyak, sehingga daya kecambahnya

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

juga besar. b. Buah yang diambil harus telah masak fisiologis. Ciri buah yang masak fisiologis adalah sayapnya melengkung, dan warna sayap maupun warna kulit buahnya coklat atau coklat tua. c. Buah yang diambil harus sehat, yaitu buah yang tidak sedang terserang oleh hama dan penyakit. Pengumpulan buah dapat dilakukan dengan berbagai cara sebagai berikut. a. Mengumpulkan buah yang jatuh di bawah pohon induk atau di bawah tegakan yang harus dilakukan setiap hari. Cara demikian ini umumnya dilakukan dalam skala kecil. Kelebihan cara ini adalah tidak memerlukan alat khusus, biaya pengumpulan murah (rendah), dan tidak merusak pohon induk. Namun kelemahannya antara lain: banyak benih yang rusak karena diserang hama dan penyakit, daya kecambahnya telah menurun. b. Membuat jaring di bawah pohon induk untuk menampung buah yang jatuh yang pengumpulannya harus dilakukan setiap hari. Kelebihan cara ini adalah tidak merusak pohon induknya, dan buah tidak banyak yang rusak. Sedangkan kelemahannya adalah memerlukan biaya untuk membuat jaring/kain penampung buah yang jatuh. c. Mengumpulkan buah dengan cara mengguncang dahan agar buah yang masak jatuh. Cara ini sangat dianjurkan karena tidak menimbulkan kerusakan pada pohon induk, serta buah yang diperoleh merupakan buah masak dan masih baru sehingga daya kecambahnya juga masih besar. Untuk mempermudah

186

Indriyanto


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN pengumpulan buah yang jatuh, maka tanah di bawah pohon induk harus dibersihkan. d. Memanen buah dengan cara memanjat dan memotong dahan yang mengandung buah masak. Cara seperti ini memiliki kelemahan yaitu pohon induk mengalami kerusakan karena setiap kali memanen buah dilakukan pemotongan dahan, meskipun demikian akan diperoleh buah baru dan masak fisiologis, sehingga

Buah yang telah terkumpul lalu dilakukan penanganan lebih lanjut, antara lain diseleksi (dipilih) buah yang bentuk normal, ukurannya besar, dan sehat. Setelah itu, buah dipotong sayapnya dan lebih baik segera disemai karena buah pohon anggota Dipterocarpaceae pada umumnya mudah menurun daya kecambahnya, sehingga kurang baik jika disimpan lebih dari 3 minggu. 2. Penaburan Benih Jenis Pohon Anggota Dipterocarpaceae Penaburan benih dalam rangka mengecambahkan benih dapat dilakukan pada bak-bak kecambah atau dalam kontiner (kantong plastik). Bedengan penaburan diberi atap/naungan, dan untuk pembibitan dengan cara stek selain diberi atap/naungan juga harus disungkup dengan plastik bening agar kelembaban udara dapat dipertahankan tinggi (lebih dari 90%). Penaburan benih dalam bak kecambah menggunakan media kecambah berupa pasir yang disteril terlebih dahulu kemudian dimasukkan dalam bak-bak kecambah dan diletakkan di bawah naungan pesemaian. Media perkecambahan disiram air besih menggunakan sprayer, lalu benih dikecambahkan dengan jarak antarbenih yang dikecambahkan 5 cm x 5 cm. Benih dibenamkan setengahnya pada media perkecambahan dengan posisi bekas sayap di bagian atas, kemudian disiram lagi dengan air bersih menggunakan sprayer. Penyiraman selanjutnya terhadap benih yang sedang dikecambahkan harus dilakukan secara teratur pada pagi hari agar kebutuhan air untuk proses perkecambahan benih terpenuhi.

Indriyanto

187

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

daya kecambahnya masih besar.


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN Penaburan benih dalam kontiner (kantong plastik) menggunakan media tumbuh yang sama dengan media tumbuh yang digunakan untuk penyapihan semai yaitu berupa campuran tanah, pasir, dan pupuk kandang dengan perbandingan 3 : 1 : 1. Kontiner (kantong plastik/ polybag) yang digunakan pada umumnya berukuran diameter 5—8 cm, dan tingginya 12—15 cm. Kontiner harus diberi lubang aerasi dan drainase pada bagian samping bawah, kemudian diisi media tumbuh

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

dan diletakkan di bawah naungan pesemaian. Media tumbuh dalam kontiner disiram dengan air bersih hingga jenuh air, lalu setiap kontiner diisi dengan satu benih dengan cara membenamkan benih setengah bagian dengan posisi bekas sayap di bagian atas, setelah itu disiram lagi dengan air bersih menggunakan sprayer. Penyiraman selanjutnya terhadap benih yang sedang dikecambahkan harus dilakukan secara teratur pada pagi hari agar kebutuhan air untuk proses perkecambahan benih terpenuhi. Untuk penaburan benih langsung ke dalam media tumbuh dalam kontiner, untuk selanjutnya tidak perlu dilakukan penyapihan, namun semai terus dipelihara hingga siap dipindah ke lokasi penanaman. 3. Penyapihan Semai Jenis Pohon Anggota Dipterocarpaceae Benih yang telah berkecambah di bak-bak kecambah harus disapih pada media penyapihan dalam kontiner. Penyapihan semai ini dilakukan ketika kecambah memiliki sepasang daun yang cukup mengeras dan kotiledonnya belum lepas. Kondisi semai seperti ini pada umumnya berumur lebih kurang 3—4 minggu sejak benih dikecambahkan di bedengan penaburan. Penyapihan semai dilakukan dalam kontiner (kantong plastik) menggunakan media tumbuh yang sama dengan media tumbuh yang digunakan untuk penyapihan semai yaitu berupa campuran tanah, pasir, dan pupuk kandang dengan perbandingan 3 : 1 : 1. Kontiner (kantong plastik/polybag) yang digunakan pada umumnya berukuran diameter 5—8 cm, dan tingginya 12—15 cm. Kontiner harus diberi lubang aerasi dan drainase pada bagian samping bawah, kemudian diisi media tumbuh dan diletakkan di bawah naungan pesemaian. Media tumbuh

188

Indriyanto


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

dan batang). Media tumbuh di sekitar semai yang baru saja disapih ini lalu ditekan supaya padat dan supaya semai dapat berdiri kokoh (tidak goyang). Setelah semai disapih, kemudian disiram lagi dengan air bersih. Untuk penyiraman berikutnya dilakukan secara rutin sebagai bagian dalam kegiatan pemeliharaan bibit di pesemaian. 4. Pemeliharaan Bibit Jenis Pohon Anggota Dipterocarpaceae Kegiatan pemeliharaan bibit yang pertama adalah penyiraman bibit secara rutin dengan air bersih dan secukupnya untuk proses pertumbuhan bibit di pesemaian. Penyiraman dilakukan setiap hari sekali, yaitu pada pagi hari sebelum pukul 9, namun jika kondisi cuaca sangat panas sehingga penguapan air dari media tumbuh maupun evapotranspirasi dari bibit sendiri besar maka jika memang diperlukan suplai air sebaiknya penyiraman dilakukan dua kali sehari, yaitu pagi dan sore hari. Kegiatan pemeliharaan bibit yang ke dua adalah pengendalian gulma. Jika media tumbuh disteril dengan pemanasan, pada umumnya gulma tidak ada yang tumbuh. Akan tetapi, apabila pada media tumbuh bibit masih terdapat gulma yang tumbuh, maka harus gulma tersebut harus segera dibersihkan supaya tidak mengganggu proses pertumbuhan bibit di pesemaian. Kegiatan pemeliharaan bibit yang ke tiga adalah penambahan zat hara dengan pupuk apabila terlihat adanya tanda-tanda kekurangan zat hara. Walaupun media tumbuh bibit telah dicampur dengan pupuk kandang sebanyak 0,2 bagian (seperlima bagian), namun tidak menjamin bahwa semua zat hara yang diperlukan untuk pertumbuhan bibit telah dalam kondisi tersedia dan dapat dimanfaatkan tanaman.

Indriyanto

189

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

dalam kontiner disiram dengan air bersih hingga jenuh air. Kemudian semai dicabut dari bak kecambah secara hati-hati dengan alat sudip dan dikumpulkan ke baskom yang berisi air bersih untuk merendam akar semai, lalu dibawa ke bedengan penyapihan. Setiap kontiner di bedengan penyapihan diisi satu semai dengan cara melubangi media tumbuh menggunakan sudip, lalu memasukkan bagian akar semai ke dalam lubang secara hati-hati hingga sedikit di atas kolet (batas akar


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN Oleh karena itu, apabila betul-betul diperlukan suplai zat hara melalui pemupukan sebaiknya digunakan pupuk buatan berupa pupuk majemuk (NPK). Pemupukan pertama pada umur 2—3 bulan setelah disapih, menggunakan NPK dengan dosis 0,5 gram per kontiner bibit. Pemupukan ke dua pada umur 4—5 bulan setelah disapih, menggunakan NPK dengan dosis 0,5 gram per kontiner bibit, sedangkan pada bulan-bulan berikutnya sampai bibit siap ditanam tidak perlu dilakukan pemupukan. Kegiatan pemeliharaan bibit yang ke empat adalah pengendalian hama dan penyakit. Kegiatan pemeliharaan ini mencakup usaha pencegahan dan pemberantasan hama dan penyakit. Pencegahan hama dan penyakit artinya menjaga agar bibit tidak terserang oleh hama dan penyakit. Sedangkan pemberantasan hama dan penyakit artinya tindakan yang dilakukan dengan tujuan agar hama dan penyakit tersebut berhenti menyerang. Oleh karena itu, ada beberapa langkah yang perlu diketahui dalam pengendalian hama dan penyakit, antara lain: mengenali gejala serangan hama dan penyakit, mengenali penyebabnya, dan melakukan tindakan sesuai dengan penyebabnya dan kondisi serangannya. Beberapa kegiatan pencegahan hama dan penyakit di pesemaian yang harus dilakukan antara lain adalah sebagai berikut. a. Menggunakan benih yang baik dan sehat. b. Menyeteril media tumbuh dan peralatan yang digunakan. c. Menggunakan media tumbuh yang kondisi aerasi dandrainasenya baik. d. Menjaga kebersihan lingkungan pesemaian. Adapun beberapa kegiatan pemberantasan hama dan penyakit di pesemaian yang harus dilakukan antara lain adalah sebagai berikut. a. Menangkap organisme penyebab hama, lalu membunuhnya. b. Mengatur kerapatan bibit (mengurangi kerapatan bibit) di bedengan. c. Menurunkan kelembapan udara dan meningkatkan suhu udara dengan pembukaan sebagian naungan pesemaian agar radiasi matahari dapat menembus sapai ke bedengan penyapihan. 190

Indriyanto


d. Menggunakan pestisida yang sesuai untuk pengendalian organisme penyebab hama dan penyakit. e. Menyingkirkan dan bila perlu memusnahkan bibit yang terserang hama atau penyakit sangat parah. Semua kegiatan pemeliharaan tersebut terus dilakukan sampai bibit siap untuk ditanam di areal penanaman. Pada umumnya bibit pohon anggota famili Dipterocarpaceae siap ditanam di areal penanaman jika tingginya telah mencapai 30—50 cm (Sabaruddin dan Iswahyudi, 1986; Yasman et al., 2002). Bibit mencapai tinggi seperti tersebut memerlukan waktu yang berbeda-beda, yaitu 6—12 bulan sejak semai disapih.

Gambar 19. Bibit meranti yang siap untuk ditanam (foto diambil Indriyanto tahun 2004 di pesemaian Way Jepara, Lampung Timur)

I. Pembibitan Tembesu (Fagraea fragrans) Pembibitan tembesu dapat dikerjakan secara generatif maupun secara vegetatif (Sofyan et al., 2005). Benih untuk pembibitan secara generatif tidak mengalami kesulitan persediaannya karena pohon tembesu berbuah secara teratur pada bulan Juli—November. Demikian juga bahan tanaman untuk pembibitan secara vegetatif misalnya dengan stek cabang tidak mengalami kendala atau mudah dilakukan karena tembesu termasuk jenis pohon yang cepat tumbuh, tahan api, dan mudah bersemi kembali, sehingga cabangnya pasti mudah tumbuh jika distek (Hamijoyo, 1986). Indriyanto

191

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

1. Pengadaan Benih Tembesu Benih tembesu untuk bahan pembibitan secara generatif harus diambil dari pohon plus, tegakan benih terseleksi, areal produksi benih, dan dari kebun benih. Ketersediaan benih tembesu tidak mengalami kendala karena pohonnya berbuah secara teratur setiap tahun. Benih yang digunakan harus berasal dari buah yang masak fisiologis dengan ciri bahwa buah masak berwarna merah, sedangkan buah muda berwarna hijau. Mengingat buah tembesu pada saat masak (matang) selalu gugur/jatuh, maka pengumpulan buah dapat dilakukan dengan memungut buah yang telah jatuh di bawah pohon/ tegakan. Untuk memudahkan dalam pengumpulan buah yang jatuh serta untuk keselamatan buah itu sendiri dari gangguan serangga, maka pada saat menjelang buah masak fisiologis diupayakan lantai hutan dibersihkan dari serasah. Buah yang telah terkumpul kemudian diekstraksi dengan cara merendam buah dalam air lalu diremas-remas, sehingga kulit dan daging buahnya akan hancur dan biji keluar dari dalam buah. Biji yang berkualitas bagus pada saat direndam dalam air tersebut akan tenggelam, sedangkan biji yang jelek (tidak berisi) akan terapung bersama kulit dan daging buah. Dengan demikian sangat mudah untuk memperoleh biji yang bagus yaitu dengan cara menuangkan air dari dalam wadah tempat ekstraksi secara perlahan-lahan, maka biji yang jelek serta kulit buah dan daging buahnya akan terbuang bersama dengan air yang dituangkan dari dalam ember ke luar. Langkah selanjutnya, biji diseleksi lagi berdasarkan ukuran dan bentuknya. Biji/ benih yang akan digunakan untuk bahan tanaman harus dipilih yang sehat, ukurannya besar, dan bentuknya normal. Setelah ekstraksi, benih yang akan dikecambahkan harus ditiriskan terlebih dahulu dan dibiarkan kering angin. Kemudian benih dapat dikecambahkan dalam bedengan penaburan. Benih dalam kondisi kering angin ini juga dapat disimpan di dalam toples yang kedap udara dengan masa simpan 3 bulan.

192

Indriyanto


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

perbandingan 1 : 5, yaitu satu bagian benih dan lima bagian pasir. Media tumbuh untuk mengecambahkan benih tembesu adalah pasir halus. Pasir untuk mencampur benih dan pasir untuk media perkecambahan harus disteril dengan pemanasan. Media tumbuh dimasukkan dalam bak-bak kecambah dan diletakkan di bedengan penaburan dan diberi naungan paranet (sarlon shade) 65%. Kemudian benih ditaburkan ke dalam bedengan penaburan secara merata, setelah itu ditutup dengan pasir halus setebal 1 mm, lalu disiram air bersih secara pelan-pelan dengan sprayer. Benih akan berkecambah pada hari ke-21—28 setelah benih ditabur (Sofyan et al., 2005). Namun menurut Martawijaya et al. (1992 dalam Sofyan et al., 2005) bahwa benih tembesu dapat berkecambah pada hari ke-15 sampai hari ke-25 setelah benih ditabur. Kemudian benih yang telah berkecambah harus disapih ke dalam kontiner/wadah yang berisi media penyapihan. 3. Penyapihan Semai Tembesu Umur semai yang baik untuk disapih dan berpengaruh baik terhadap pertumbuhan bibit adalah 7—8 minggu setelah benih berkecambah. Media tumbuh untuk penyapihan semai Tembesu adalah campuran tanah dan pasir dengan perbandingan 2 : 1. Media tumbuh tersebut dimasukkan dalam polybag berukuran diameter 5—8 cm dan tingginya 12—15 cm lalu diletakkan dalam bedengan penyapihan dan diberi naungan paranet 65%. Media tumbuh tersebut disiram dengan air bersih hingga jenuh, lalu penyapihan semai dilakukan. Semai dicabut dari bedengan penaburan secara hati-hati menggunakan alat bantu sudip agar semai yang dicabut tidak

Indriyanto

193

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

2. Penaburan Benih Tembesu Benih tembesu yang baru selesai diekstraksi, ditiriskan, dan dikering anginkan bisa dikecambahkan tanpa perlakuan pendahuluan, sedangkan benih yang telah lama disimpan ketika akan dikecambahkan harus direndam dulu dalam air dingin selama 12 jam. Mengingat ukuran benih tembesu sangat kecil, maka benih yang akan ditabur (dikecambahkan) harus dicampur dengan pasir halus dengan


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

mengalami kerusakan akar dan batangnya tidak cacat, kemudian dikumpulkan dalam baskom yang diisi air bersih hingga akar semai dapat terendam dalam air tersebut. Semai dibawa ke bedengan penyapihan untuk dipindahkan. Media tumbuh dalam bedengan penyapihan dilubangi dengan sudip, lalu semai dimasukkan ke dalam lubang secara hati-hati hingga semua akarnya masuk sampai sedikit di atas kolet, kemudian media tumbuh di sekitar semai ditekan supaya padat sehingga semai dapat berdiri kokoh. Setiap polybag hanya diisi satu semai. Setelah itu, media tumbuh disiram dengan air bersih. 4. Pemeliharaan Bibit Tembesu Sebagaimana biasa dalam hal pemeliharaan bibit terdapat beberapa kegiatan pemeliharaan, yaitu penyiraman, pengendalian gulma, pemupukan, dan pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap hari sekali, yaitu pada pagi hari sebelum pukul 9, namun jika kondisi cuaca sangat panas sehingga penguapan air dari media tumbuh maupun evapotranspirasi dari bibit sendiri besar maka jika memang diperlukan suplai air sebaiknya penyiraman dilakukan dua kali sehari, yaitu pagi dan sore hari. Apabila pada media tumbuh bibit terdapat gulma yang tumbuh, maka harus gulma tersebut harus segera dibersihkan supaya tidak mengganggu proses pertumbuhan bibit di pesemaian. Penambahan zat hara dengan pupuk perlu dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan bibit. Pemupukan sebaiknya digunakan pupuk buatan berupa pupuk majemuk (NPK). Pemupukan pertama pada umur 2 bulan setelah disapih, menggunakan NPK dengan dosis 0,5 gram per kontiner bibit. Pemupukan ke dua pada umur 3 bulan setelah disapih, menggunakan NPK dengan dosis 0,5 gram per kontiner bibit, sedangkan pada bulan-bulan berikutnya sampai bibit siap ditanam tidak perlu dilakukan pemupukan. Pemupukan juga bisa menggunakan pupuk daun, yaitu pupuk yang diberikan melalui daun dengan penyemprotan. Nama pupuk daun yang bisa digunakan adalah Gandasil D dan Bayfolan yang penggunaannya harus disesuaikan dengan dosis yang tertera dalam label kemasan pupuk tersebut. Hingga saat ini belum ada laporan mengenai gangguan hama dan 194

Indriyanto


penyakit penting pada pembibitan maupun pada tanaman tembesu. Meskipun demikian pemahaman tentang pengendalian hama dan penyakit mencakup usaha pencegahan dan pemberantasan hama dan penyakit tetap harus dikuasi. Pencegahan hama dan penyakit artinya menjaga agar bibit tidak terserang oleh hama dan penyakit, sedangkan pemberantasan hama dan penyakit artinya tindakan yang dilakukan dengan tujuan agar hama dan penyakit tersebut berhenti menyerang. Oleh karena itu, ada beberapa langkah yang perlu diketahui dalam pengendalian hama dan penyakit, antara lain: mengenali gejala serangan hama dan penyakit, mengenali penyebabnya, dan melakukan tindakan sesuai dengan penyebabnya dan kondisi serangannya. Beberapa kegiatan pencegahan hama dan penyakit di pesemaian yang harus dilakukan antara lain adalah sebagai berikut. a. Menggunakan benih yang baik dan sehat. b. Menyeteril media tumbuh dan peralatan yang digunakan. c. Menggunakan media tumbuh yang kondisi aerasi dan drainasenya baik. d. Menjaga kebersihan lingkungan pesemaian. Adapun beberapa kegiatan pemberantasan hama dan penyakit di pesemaian yang harus dilakukan antara lain adalah sebagai berikut. a. Menangkap organisme penyebab hama, lalu membunuhnya. b. Mengatur kerapatan bibit (mengurangi kerapatan bibit) di bedengan. c. Menurunkan kelembapan udara dan meningkatkan suhu udara dengan pembukaan sebagian naungan pesemaian agar radiasi matahari dapat menembus sapai ke bedengan penyapihan. d. Menggunakan pestisida yang sesuai untuk pengendalian organisme penyebab hama dan penyakit. e. Menyingkirkan dan bila perlu memusnahkan bibit yang terserang hama atau penyakit sangat parah. Semua kegiatan pemeliharaan tersebut terus dilakukan sampai bibit siap untuk ditanam di areal penanaman. Pada umumnya bibit pohon tembesu siap ditanam di areal penanaman setelah mencapai Indriyanto

195

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN tinggi 30—50 cm. Bibit mencapai tinggi seperti tersebut memerlukan waktu lebih kurang 3—4 bulan sejak semai disapih. Bibit yang layak untuk ditanam di areal penanaman adalah bibit yang memiliki kriteria bibit berkualitas, antara lain: a. tinggi bibit 30—50 cm, b. bentuk batang kokoh dan tegak, c. tajuk simetris,

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

d. dalam kondisi sehat, tampak segar, dan daunnya berwarna hijau, dan e. akar beserta media tumbuhnya membentuk gumpalan yang kompak.

Gambar 20. Bibit tembesu hasil perbanyakan dengan setek cabang (Sofyan et al., 2005)

J. Pembibitan Bambang Lanang (Madhuca aspera) 1. Pengadaan Benih Bambang Lanang Benih untuk pembibitan secara generatif harus diambil dari sumber yang layak, misalnya dari pohon-pohon plus, tegakan terseleksi, areal pengumpulan benih, dan dari kebun benih semai. Untuk meningkatkan mutu genetik, sebaiknya dibangun kebun benih sebagai sumber benih untuk pembangunan hutan tanaman. Benih yang dikumpulkan dari sumber-sumber benih yang ada harus berasal dari buah yang masak fisiologis, karena pada umumnya kemasakan buah sinkron dengan kemasakan benih. Buah yang masak fisiologis berwarna merah muda atau oranye, sedangkan buah yang masih muda berwarna hijau. Buah bambang lanang termasuk buah 196

Indriyanto


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

lalu dikumpulkan dan dikemas dalam kardus untuk mempermudah dalam pengangkutan. Buah harus segera diekstraksi dengan cara mengupas setiap buah hingga bijinya keluar, lalu direndam dalam air dan diremas-remas agar daging buah yang masih melekat pada biji mudah dibersihkan. Ekstraksi buah juga bisa dilakukan dengan cara merendam buah dalam air pada ember atau drum hingga daging buahnya lunak, kemudian buah diremas-remas agar biji dapat keluar dari dalam buah, dan selanjutnya air dituangkan ke luar ember supaya kulit buah dan daging buahnya terpisah dengan bijinya. Benih/biji yang sudah terpisah dengan daging buah dicuci lagi dengan air bersih, kemudian ditiriskan lalu diseleksi untuk memperoleh biji yang baik, besar, bentuk normal, dan ukurannya seragam. Benih yang telah siap sebaiknya segera dikecambahkan dalam bedengan penaburan, sebab jika benih disimpan akan terjadi penurunan viabilitas benih yang sangat besar. 2. Penaburan Benih Bambang Lanang Penaburan benih dilakukan dalam bak-bak kecambah yang diisi media perkecambahan berupa campuran tanah dan pasir dengan perbandingan 1 : 1. Media perkecambahan tersebut sebaiknya disteril dengan pemanasan (baik digoresng maupun dengan uap panas). Media perkecambahan dimasukkan ke dalam bak kecambah hingga ketebalan media 15—20 cm. Bak-bak kecambah yang telah diisi media perkecambahan lalu ditata dalam bedengan penaburan yang beratap/ bernaungan. Pengecambahan benih dilakukan dengan membenamkan benih dengan kedalaman lebih kurang ž bagian ke dalam media perkecambahan dengan jarak antarbenih 2 cm x 2 cm, lalu disiram Indriyanto

197

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

kotak yang dalam setiap buahnya mengandung 4—10 biji. Biji yang masak berwarna hitam atau coklat kehitaman, sedangkan biji yang muda berwarna hijau. Jumlah biji dalam satu kilogram lebih kurang 13.724 butir (Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, ---). Pengumpulan benih dilakukan dengan cara memanjat pohon induk kemudian memotong ranting/cabang pohon yang mengandung buah masak yang lebat, dan selanjutnya memungut buah-buah yang masak


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

dengan air bersih menggunakan sprayer atau menggunakan gembor yang semburan airnya halus. Penyiraman selanjutnya supaya dilakukan secara teratur pagi dan sore dengan jumlah air sesuai kebutuhan. 3. Penyapihan Semai Bambang Lanang Benih yang telah berkecambah dan telah tumbuh daun sebanyak 3—4 helai sudah waktunya untuk disapih atau dipindahkan ke dalam media penyapihan. Media penyapihan yang saat ini sering digunakan adalah campuran tanah dan kompos dengan perbandingan 7 : 3. Media penyapihan ini dimasukkan ke dalam kontiner/wadah berupa polybag berukuran 12 cm x 15 cm atau polybag yang diameternya 5—8 cm dan tingginya 12—15 cm. Media penyapihan dalam polybag diletakkan pada bedengan penyapihan berukuran 1 m x 5 m atau 1 m x 10 m dan diberi atap/naungan ringan. Kemudian media tumbuh tersebut disiram air bersih hingga jenuh sebelum semai dipindahkan ke dalamnya. Semai yang ada di bedeng penaburan (bak-bak kecambah) dicabut secara hati-hati dengan bantuan sudip agar akar, batang, dan daunnya tidak mengalami kerusakan. Kemudian semai yang telah dicabut dikumpulkan dan dimasukkan dalam baskom yang berisi air bersih secukupnya agar akar semai yang ada di dalam baskom dapat terendam air, hal ini dimaksudkan supaya selama semai dicabut hingga dipindahkan ke media penyapihan tidak mengalami kekeringan (kekurangan air). Semai yang terkumpul lalu dibawa ke bedengan penyapihan untuk disapih. Penyapihan dilakukan dengan cara melubangi media tumbuh dalam polybag, kemudian akar semai dimasukkan ke dalam lubang tersebut secara hati-hati jangan sampai akar terlipat ataupun patah, diusahakan agar semua bagian akar hingga sedikit di atas kolet (batas akar dan batang) terbenam dalam media tumbuh. Kemudian media tumbuh di sekitar batang semai dipadatkan dengan cara menekan secara hati-hati dengan tujuan agar semai yang disapih dapat berdiri kokoh. Setelah semua semai dipindahkan dalam polybag, kemudian disiram air bersih menggunakan sprayer atau gembor atau sprinkler.

198

Indriyanto


4. Pemeliharaan Bibit Bambang Lanang Pemeliharaan bibit yang harus dilakukan di pesemaian meliputi: penyiraman, penyiangan gulma, pemupukan, dan pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman bibit harus dilakukan secara teratur dengan air bersih. Penyiraman dilakukan pada setiap pagi hari sebelum pukul 9.00 agar kebutuhan air untuk proses fotosintesis dan untuk proses-proses fisiologis lainnya dapat terpenuhi. Jika kondisi lingkungan sangat panas, sebaiknya penyiraman dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pagi dan sore hari, hal ini dilakukan agar bibit tidak mengalami dehidrasi dan plasmolisis. Kegiatan pemeliharaan yang tidak kalah penting dibandingkan kegiatan pemeliharaan lainnya di pesemaian adalah penyiangan gulma. Penyiangan gulma adalah kegiatan pemeliharaan bibit dalam rangka mengendalikan munculnya gulma yang bisa mengganggu pertumbuhan bibit di pesemaian. Oleh karena itu, setiap saat muncul gulma di media tumbuh bibit, maka gulma tersebut harus segera dibersihkan. Cara yang paling sering diterapkan dalam penyiangan gulma di pesemaian adalah dengan mencabut satu per satu tumbuhan pengganggu yang muncul di dalam media tumbuh bibit. Penyiangan gulma ini terus dilakukan setiap saat muncul gulma di pesemaian sampai bibit siap untuk ditanam di areal penanaman. Kegiatan pemeliharaan yang berikutnya yaitu pemupukan. Mengingat media tumbuh yang digunakan untuk penyapihan bibit telah dicampur dengan kompos sebanyak 30 % dari volume media tumbuh, maka pemupukan tidak harus dilakukan apabila pertumbuhan bibit cukup baik. Namun apabila pertumbuhan bibit masih terhambat, pemupukan untuk memacu pertumbuhan bisa dilakukan menggunakan NPK dengan dosis 1 g/bibit yang diberikan sekali pada saat bibit berumur 2 bulan setelah penyapihan. Pupuk tersebut dibenamkan sedalam 1 cm pada jarak 2 cm dari batang bibit. Pemupukan dengan cara seperti tersebut memakan waktu yang sangat lama, oleh karena itu dapat dilakukan dengan cara lain yaitu pupuk NPK dilarutkan dahulu dalam air dan diberikan pada bibit saat melakukan penyiraman di padi hari. Indriyanto

199

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN Kegiatan pemeliharaan bibit selain yang telah disebutkan di atas adalah pengendalian hama dan penyakit. Hingga saat ini belum dilaporkan adanya hama dan penyakit penting yang menyerang bibit bambang lanang di pesemaian, namun demikian pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya hama dan penyakit harus tetap dilakukan. Beberapa kegiatan pencegahan yang dapat dilakukan adalah menjaga kondisi lingkungan pesemaian tetap bersih, drainase dan aerasi dijaga dengan baik, dan pemeriksaan kondisi kesehatan bibit harus dilakukan setiap saat. Apabila ada tanda ataupun gejala bibit terserang oleh hama dan penyakit, maka pengendaliannya harus segera dilakukan dengan melakukan penyemprotan pestisida (insektisida maupun fungisida) sesuai dengan dosis yang dianjurkan dalam penggunaan masing-masing pestisida tersebut. Bibit yang telah terserang hama atau penyakit cukup parah sebaiknya dikeluarkan dari bedengan penyapihan, dan bila perlu bibit yang sakit segera dimusnahkan dengan cara dibakar dan ditimbun tanah. Kegiatan pemeliharaan bibit di pesemaian dilakukan terus secara teratur sampai bibit siap untuk ditanam di areal penanaman. Bibit bambang lanang dapat ditanam di areal penanaman setelah berumur 3—4 bulan sejak semai disapih.

Gambar 21. Bibit bambang lanang umur 3 bulan di pesemaian (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan; Selebaran “Teknik Silvikultur Bambang Lanang�)

200

Indriyanto


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

Mahoni termasuk salah satu spesies pohon anggota famili Meliaceae. Berbagai spesies mahoni (Swietenia spp.) pada umumnya diperbanyak secara generatif menggunakan bijinya sebagai benih. Pohon mahoni yang telah dewasa (umur 12 tahun atau lebih) dapat berbunga dan berbuah setiap tahun (Balai Perbenihan Tanaman Hutan, 2000). Pada kondisi lingkungan tempat tumbuh yang sesuai dengan persyaratan ekologinya, pohon mahoni berbuah sangat lebat dan menghasilkan biji yang berlimpah. Biji baru yang diperoleh dari buah yang telah masak fisiologis pada umumnya mempunyai persentase kecambah yang besar (lebih dari 95%). Dengan demikian, pembibitan mahoni secara generatif tidak mengalami hambatan dari segi persediaan bahan tanaman dan dari segi teknis pembibitannya. 1. Pengadaan Benih Mahoni Sumber pengambilan benih mahoni untuk kepentingan pembibitan sebaiknya berupa pohon plus, tegakan benih (tegakan terseleksi), areal pengumpulan benih, dan kebun benih. Benih mahoni yang diperoleh dari sumber-sumber benih tersebut secara genetis memiliki mutu yang lebih baik dari pada benih yang berasal dari pohon-pohon asalan. Pohon mahoni berbunga pada bulan Juli—Agustus, sedangkan musim buah masak fisiologis terjadi pada bulan April—September. Ciri morfus buah mahoni yang telah masak adalah berwarna coklat tua, pada kulit buah bagian luar terdapat bintik-bintik putih yang menutupi hampir separuh bagian kulit luar. Untuk kepentingan pembibitan, benih harus diambil dari buah yang masak karena pada buah yang masak akan terdapat benih yang masak juga. Pengumpulan benih dilakukan dengan cara memanen buah masak yang masih ada di atas pohon. Pemanenan buah dilakukan dengan memanjat pohon lalu memetik buah masak, dapat juga dilakukan menggunakan galah yang ujungnya diberi sabit untuk memotong tangkai buah mahoni yang masak. Buah yang terkumpul dimasukkan ke dalam keranjang atau karung lalu diangkut ke tempat penanganan

Indriyanto

201

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

K. Pembibitan Berbagai Spesies Pohon Mahoni (Wietenia spp.)


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

buah. Kemudian benih/biji diekstraksi dengan cara memukul buah dengan kayu hingga garis kampuh retak dan membuka sehingga benih yang ada di dalanya dapat dikeluarkan. Benih yang telah dikeluarkan lalu sayapnya dipotong dengan gunting sepanjang 1 cm dari bijinya, kemudian diseleksi untuk memilih benih yang sehat, berukuran besar, dan ukurannya hampir seragam. 2. Penaburan Benih Mahoni Penaburan benih mahoni dilakukan pada bedengan penaburan tanpa naungan. Media tumbuh untuk penaburan benih mahoni berupa campuran tanah dan pasir dengan perbandingan 1:1. Pada media penaburan tersebut, benih mahoni dibenamkan sedalam ukuran panjang benih dengan bagian sayap terletak di atas dan tidak ikut ditimbun media tumbuh. Jarak antarbenih yang dikecambahkan pada bedengan penaburan adalah 3 cm x 3 cm. Benih yang telah dikecambahkan di bedengan penaburan lalu disiram air bersih menggunakan sprayer atau gembor. Penyiraman untuk selanjutnya harus dilakukan setiap hari yaitu pada pagi hari dengan air bersih secukupnya hingga benih berkecambah dan siap disapih di media penyapihan. Benih mahoni tersebut akan berkecambah pada hari ke-21 sejak dikecambahkan. Tiga menggu kemudian, semai bisa disapih (dipindahkan) ke media penyapihan. 3. Penyapihan Semai Mahoni Penyapihan semai dilakukan ketika semai berumur 3 minggu setelah benih berkecambah. Penyapihan 3 minggu setelah benih berkecambah merupakan saat penyapihan yang tepat karena pada saat itu akar semai mulai bercabang, batang telah berkayu, sudah berdaun minimal 2 helai. Berdasarkan hasil penelitian Indriyanto (1999), penyapihan semai mahoni pada saat semai berumur 3 minggu setelah benih berkecambah merupakan saat yang paling baik dibandingkan dengan ketika semai berumur 1 minggu, 2 minggu, 4 minggu, dan 5 minggu setelah benih berkecambah. Penyapihan semai mahoni dari bedengan penaburan ke bedengan

202

Indriyanto


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

naungan ringan terbuat dari daun kelapa atau nipah atau alangalang. Media penyapihan semai tersebut disiram air bersih hingga jenuh. Kemudian semai yang berumur 3 minggu setelah benih berkecambah dicabut secara hati-hati dengan bantuan sudip lalu dimasukkan dalam baskom yang berisi air bersih untuk merendam akar semai. Semai dibawa ke bedengan penyapihan untuk dipindahkan ke media penyapihan dalam polybag. Polybag yang berisi media tumbuh diberi lubang sebagai tempat semai yang akan disapih, kemudian akar semai dimasukkan dalam lubang hingga sedikit di atas kolet, lalu tanah di sekitar semai ditekan dengan jari tangan hingga padat agar semai dapat berdiri tegak. Setiap polybag diisi satu semai. Setelah semua semai disapih, kemudian disiram dengan air bersih secukupnya menggunakan gembor atau sprinkler. 4. Pemeliharaan Bibit Mahoni Penyiraman bibit merupakan salah satu kegiatan utama dalam pemeliharaan bibit di pesemaian. Penyiraman dilakukan secara teratur setiap hari sekali yaitu pada pagi hari, kecuali pada saat kondisi cuaca sangat panas sebaiknya penyiraman dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Penyiangan gulma juga harus dilakukan apabila pada media tumbuh bibit muncul gulma (tumbuhan pengganggu). Penyiangan gulma harus dilakukan setiap saat muncul gulma pada media tumbuh bibit. Penyiangan dilakukan secara manual dengan menyabut gulma dan mengumpulkannya pada suatu tempat di luar bedengan pesemaian.

Indriyanto

203

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

penyapihan dilakukan pada media tumbuh dalam polybag. Ukuran polybag yang digunakan berdiameter 8—10 cm dan tingginya 12—15 cm. Media tumbuh yang digunakan untuk penyapihan mahoni adalah campuran tanah, pasir, dan sekam padi dengan perbandingan 3 : 1 : 1 (Indriyanto, 1999). Campuran media tersebut dimasukkan ke dalam polybag hingga 2 cm dari bagian atas polybag, kemudian diletakkan dalam bedengan penyapihan berukuran 1 m x 5 m dan diberi atap/


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Pemupukan bibit perlu dilakukan untuk memacu pertumbuhan bibit agar bibit tumbuh sempurna dan sehat. Pemupukan dapat dilakukan menggunakan pupuk Bayfolan dengan konsentrasi 7 ml/ liter air yang diberikan 4 kali, yaitu umur 2 minggu setelah disapih, 4 minggu setelah disapih, 6 minggu setelah disapih, dan 8 minggu setelah disapih (Wartini, 2006). Pupuk Bayfolan merupakan salah satu pupuk majemuk yang penggunaannya disemprotkan pada daun tanaman yang dipupuk. Hama penting yang sering menjadi masalah pada pembibitan mahoni adalah penggerek pucuk (Hypsipyla robusta). Untuk menghindari serangan hama tersebut, sebaiknya bibit disemprot dengan insektisida sistemik misalnya Dimecron, Nuvacron, Perfektion dengan dosis 2—4 cc/liter air. Penyemprotan dilakukan 3 kali dengan interval waktu 10 hari (Asmaliyah dan Suharti, 1998).

Gambar 22. Bibit mahoni yang siap untuk ditanam (Balai Perbenihan Tanaman Hutan, 2000)

L.

Pembibitan Berbagai Spesies Pohon Kayu Putih (Melaleuca spp.)

Kayu putih terdiri atas dua spesies yaitu Melaleuca leucadendron dan Melaleuca cajuputi. Kedua spesies pohon ini termasuk anggota famili Myrtaceae. Secara teknis, pembibitan kedua spesies kayu putih tidak berbeda. Pohon kayu putih dapat diperbanyak dengan mudah baik secara generatif maupun secara vegetatif (Sunanto, 2003). Berikut ini 204

Indriyanto


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

1. Pengadaan Benih Kayu Putih Dalam kegiatan pengadaan benih pohon untuk keperluan budidaya pohon harus memperhatikan sumber bahan tanaman yang layak, baik pengadaan benih untuk perbanyakan secara generatif maupun secara vegetatif. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian pembibitan pohon-pohon sebelumnya bahwa bahan tanaman harus diambil dari sumber yang layak, antara lain: pohon plus, tegakan benih, area pengumpulan benih, dan kebun benih. Perlu dikemukakan lagi untuk mengingatkan para pembaca bahwa sangat tidak diperkenankan menggunakan bahan tanaman yang berasal dari pohon asalan (pohon belum diseleksi) karena sifat atau karakter dari pohon asalan belum teridentifikasi, sehingga tidak diketahui sifat yang bagaimana yang akan dikembangkan dalam budidaya pohon tersebut. a. Pengadaan benih kayu putih untuk pembibitan secara generatif Untuk pembiakan secara generatif pohon kayu putih diperlukan bahan tanaman berupa biji, dan biji ini diambil dari buah yang telah masak fisiologis. Pohon kayu putih berbuah secara teratur setiap tahun, yaitu pada bulan April—Agustus (Balai Perbenihan Tanaman Hutan, 2000). Buah kayu putih yang telah masak fisiologis berwarna coklat (Sunanto, 2003) atau berwarna coklat kehitaman (Balai Perbenihan Tanaman Hutan, 2000). Pemungutan buah kayu putih dilakukan dengan cara memetik buah (memetik tangkai persekutuan buah) secara langsung pada ranting-ranting pohon. Mengingat cara pemungutan seperti ini penuh resiko terhadap keselamatan bagi orang yang memanjat pohon, maka harus dilakukan ekstra hati-hati. Ranting pohon yang terdapat buah masak, dibengkokkan agar buah-buah dalam satu tangkai persekutuan buah dapat dipetik dengan mudah. Buah yang telah terkumpul lalu dikeringkan bersama dengan tangkainya selama lebih kurang dua hari, pada saat buah dikeringkan kulitnya merekah/pecah

Indriyanto

205

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

diuraikan teknis pembibitan kayu putih yang meliputi cara pengadaan benih, penaburan benih, penyapihan, dan pemeliharaan bibit.


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

dan mengeluarkan biji yang berukuran sangat kecil dan berwarna coklat. Jumlah buah kayu putih dalam satu kilogram sebanyak 120.000 buah (Balai Perbenihan Tanaman Hutan, 2000), sedangkan perkiraan jumlah biji dalam satu kilogram adalah 17.296.000 butir (Suseno dan Suginingsih, 1984). Biji yang keluar dari buah saat diekstraksi dengan cara menjemur buah, sebaiknya segera dikecambahkan karena biji tidak mengalami masa dormansi. Selain itu, mengingat ukuran biji yang sangat kecil, maka ketika biji akan dikecambahkan terlebih dahulu dicampur dengan serbuk arang halus atau dicampur dengan pasir halus agar penaburan biji mudah dilakukan. b. Pengadaan bahan tanaman kayu putih untuk pembibitan secara vegetatif Pembibitan kayu putih secara vegetatif pada umumnya dilakukan dengan tunas akar. Pembibitan kayu putih dengan cara setek maupun cangkok sulit dilakukan. Tunas-tunas akar yang tumbuh di bawah pohon atau di bawah tegakan kayu putih dapat diambil untuk bahan bibit. Dengan demikian, tunas akar pada kayu putih dapat diambil di bawah pohon plus, di bawah area pengumpulan benih, bi bawah tegakan benih, maupun di bawah kebun benih. Tunas akar yang tumbuh di bawah pohon-pohon induk tersebut bisa diambil dengan cara memotong akar yang ditumbuhi tunas secara hati, dan diusahakan agar akar cabang pada akar yang bertunas tidak mengalami kerusakan. Pemotongan akar dilakukan pada jarak tertentu (2—5 cm) di sekitar bagian yang bertunas. Tunas yang telah diambil lalu dimasukkan dalam wadah (ember) yang berisi air hingga bagian akar terendam dalam air, kemudian dibawa ke bedengan pesemaian untuk disemai. 2. Penaburan Benih Kayu Putih Penaburan benih pada dasarnya adalah kegiatan mengecambahkan bahan tanaman di bedengan penaburan. Untuk pembibitan kayu putih secara generatif, penaburan benih dilakukan pada bedengan

206

Indriyanto


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

a. Penaburan benih kayu putih untuk pembibitan secara generatif Biji kayu putih yang akan dikecambahkan atau ditabur pada bedengan penaburan, terlebih dahulu direndam dalam air tawar bersuhu normal (suhu 250 C) selama 24 jam, kemudian ditiriskan, lalu dicampur dengan pasir halus yang telah disteril atau dengan serbuk arang halus agar memudahkan dalam penaburan benih. Media penaburan yang digunakan adalah pasir yang sebelumnya disteril terlebih dahulu. Pasir steril tersebut dimasukkan ke dalam nampan atau bak kecambah hingga 4 cm dari batas atas bak kecambah. Bak-bak kecambah diletakkan pada bedengan penaburan dan diberi atap, akan tetapi tinggi atap harus dibuat sedemikian rupa agar sinar matahari pagi dapat masuk ke dalam bedengan penaburan. Biji kayu putih yang telah dipersiapkan, kemudian dikecambahkan pada bedengan penaburan dengan cara menabur biji secara merata pada permukaan media penaburan, lalu biji yang ditabur ditutup dengan pasir halus yang telah disteril, setelah itu disiram dengan air tawar menggunakan semprotan (spayer) halus. Penyiraman seperti tersebut harus dilakukan secara teratur setiap hari agar kebutuhan air untuk perkecambahan biji kayu putih terpenuhi. Pada umumnya biji akan berkecambah pada hari ke-6 setelah dikecambahkan. Kecambah yang berumur 3—4 minggu supaya segera dipindahkan ke media penyapihan. b. Penyemaian tunas akar untuk pembibitan secara vegetatif Penyemaian tunas akar kayu putih dilakukan pada media tumbuh dalam polybag. Pedia tumbuh yang digunakan untuk penyemaian tunas akar adalah campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 3 : 1. Ukuran polybag yang digunakan untuk wadah media tumbuh adalah berdiameter 8—10 cm dan tingginya 12—15 cm. Indriyanto

207

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

penegecambahan yang berisi media kecambah berupa pasir. Adapun untuk pembibitan kayu putih secara vegetatif dengan tunas akar, maka tunas-tunas yang telah dikumpulkan lalu disemai dalam polybag yang berisi media tumbuh bibit.


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN Polybag tersebut diisi media tumbuh hingga 2 cm dari sisi atas polybag, kemudian diletakkan pada bedengan pesemaian dan diberi atap. Setelah itu, media tumbuh disiram dengan air hingga jenuh. Tunas akar yang telah terkumpul kemudian disemai dalam polybag dengan cara membenamkan bagian akar tunas hingga semua bagian akar masuk dalam media tumbuh sedalam lebih kurang 3 cm, lalu media tumbuh di sekitar akar ditekan/dipadatkan agar tunas akar

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

berdiri secara kokoh. Setelah semua tunas disemai dalam polybag, lalu disiram air lagi dengan sprayer atau dengan gembor. Penyiraman selanjutnya dilakukan secara teratur setiap pagi hari. Tunas akar yang hidup dan telah berumur 3—4 bulan bisa ditanam di areal penanaman. 3. Penyapihan Semai Kayu Putih Bada bagian ini, hanya diuraikan tentang penyapihan semai kayu putih dalam pembibitan secara generatif, sedangkan pada pembibitan kayu putih secara vegetatif dengan tunas akar tidak perlu dilakukan penyapihan karena tunas akar telah disemai dalam polybag yang berisi media tumbuh bibit. Semai/kecambah kayu putih yang telah berumur 3—4 minggu supaya segera disapih pada media penyapihan. Penyapihan semai dimaksudkan agar semai dapat tumbuh lebih baik dan menghindari terjadinya persaingan di antara semai. Oleh karena itu, media tumbuh untuk penyapihan semai harus memiliki sifat baik sifat fisik, kimia, maupun sifat biologi yang dapat memenuhi faktor-faktor yang diperlukan untuk pertumbuhan semai. Media tumbuh yang digunakan untuk penyapihan semai kayu putih adalah campuran tanah, pupuk kandang, dan pasir dengan perbandingan 2 : 1 : 1. Media tumbuh tersebut dimasukkan ke dalam polybag yang berukuran diameter 8—10 cm dan tingginya 12—15 cm. Polybag diisi media tumbuh hingga 2 cm dari lubang atas polybag, lalu diletakkan pada bedengan penyapihan di pesemaian dan diberi atap/naungan. Setelah itu, media tumbuh dalam polybag disiram air hingga jenuh.

208

Indriyanto


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

ke bedengan penyapihan untuk dipindahkan. Setiap polybag yang ada di bedengan penyapihan diisi satu kecambah. Kecambah dipindahkan dengan cara membenamkan seluruh bagian akar kecambah dalam media tumbuh hingga sedikit di atas kolet. Pada saat membenamkan akar kecambah dalam media tumbuh supaya dilakukan secara hati-hati agar akar tidak patah, cacat, dan tidak melipat, serta diusahakan agar kecambah dalam posisi tegak. Setelah itu, media tumbuh di sekitar batang kecambah dipadatkan supaya kecambah yang disapih berdiri tegak dan kokoh. Kecambah yang telah disapih lalu disiram dengan air menggunakan gembor atau springkler. Penyiraman kecambah selanjutnya harus dilakukan secara teratur. 4. Pemeliharaan Bibit Kayu Putih Pemeliharaan bibit dimaksudkan agar bibit dapat tumbuh cepat, normal, dan dalam kondisi sehat (tidak terserang oleh hama dan penyakit). Beberapa kegiatan pemeliharaan yang harus dilakukan antara lain: penyiraman, penyiangan gulma, pemupukan, dan pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman bibit di pesemaian harus dilakukan secara teratur pada pagi hari sebelum pukul 9. Penyiraman harus menggunakan air yang bersih agar air yang disiramkan ke bibit tidak menjadi sumber penyakit bagi bibit. Alat yang digunakan untuk penyiraman bibit antara lain: gembor atau springkler. Penyiangan gulma di pesemaian juga harus dilakukan kapan saja, artinya harus dilakukan setiap saat tumbuh gulma di media tumbuh bibit. Penyiangan gulma dimaksudkan agar bibit bebas dari persaingan

Indriyanto

209

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Semai yang akan disapih diambil dari bak kecambah menggunakan sudip. Pengambilan kecambah harus dilakukan secara hati-hati agar akar, daun, dan batang kecambah tidak mengalami cacat atau kerusakan. Kecambah dikumpulkan dalam wadah atau ember yang berisi air untuk merendam bagian akar kecambah. Air dalam wadah tempat pengumpulan kecambah yang diambil dari bedengan penaburan dimaksudkan agar kecambah tidak layu. Kemudian kecambah dibawa


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

dengan gulma, sehingga bibit dapat memanfaatkan semua faktor lingkunganan yang ada untuk pertumbuhannya. Penyiangan gulma dilakukan secara manual dengan tangan manusia, yaitu dilakukan dengan cara menyabut gulma yang ada di media tumbuh bibit. Pemupukan bibit dimaksudkan untuk menambah zat hara ke dalam media tumbuh agar kebutuhan bibit mengenai zat hara untuk pertumbuhan dapat terpenuhi. Mengingat bahwa pada media penyapihan telah dicampur dengan pupuk kandang sebanyak 25% dari seluruh volume media penyapihan, maka pemupukan dilakukan apabila ada tanda-tanda pertumbuhan bibit terhambat akibat kekuranga zat hara. Pemupukan bibit sebaiknya menggunakan pupuk majemuk, misalnya NPK dengan dosis 1 g/polybag yang diberikan pada saat bibit berumur 3 bulan. Pupuk NPK dalam bentuk butiran ini dimasukkan ke dalam media tumbuh bibit sedalam lebih kurang 1 cm dan diletakkan agak dekat dengan akar atau berjarak lebih kurang 2 cm dari pangkal batang bibit. Pemupukkan sebaiknya diberikan pada pagi hari sebelum bibit disiram. Setelah pupuk diberikan pada setiap bibit, kemudian bibit disiram air secukupnya, dengan tujuan agar pupuk cepat larut dan zat hara yang tersedia dapat diserap oleh akar bibit. Pengendalian hama dan penyakit adalah upaya untuk menurukan populasi organisme hama dan penyakit agar bibit tidak terserang oleh hama dan penyakit. Hingga saat ini belum dilaporkan adanya hama yang mengganggu bibit kayu putih di pesemaian, akan tetapi kadang bibit terserang oleh penyakit benjol daun (gall disease) yang disebabkan oleh tungau (mites). Pengendalian penyakit benjol daun dapat dilakukan dengan penyemprotan larutan belerang dengan takaran 2,5 kg—5 kg belerang dalam 500 liter air, dapat juga disemprot dengan Parathion 0,25 kg—0,5 kg dalam 50 liter air. Kendatipun telah dilakukan pengendalian penyakit seperti tersebut, namun bibit yang benar-benar terserang oleh penyakit sebaiknya disingkirkan/ dipisahkan pada bedengan tersendiri untuk mencegah kemungkinan terjandinya penyebaran penyakit ini pada bibit yang lainnya. Upaya lain dalam hal pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya serangan

210

Indriyanto


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

Gambar 23. Semai kayu putih yang telah disapih (Sunanto, 2003)

M. Pembibitan Merbau Darat (Intsia palembanica) Merbau darat adalah salah satu spesies pohon anggota famili Caesalpiniaceae yang kayunya termasuk komersial dan berguna untuk kayu konstruksi atau bangunan. Pembudidayaan pohon merbau darat perlu diupayakan secara sungguh-sungguh karena keberadaan spesies pohon ini mulai jarang dijumpai. Kendalanya hanya terletak pada skala prioritas dalam pengembangan spesies pohon di suatu areal hutan tanaman atau areal lain yang menjadi sasaran kegiatan penghutanan kembali. Sedangkan cara pembibitan merbau darat tidak sulit karena merbau darat mudah diperbanyak secara generatif, pohon sumber bahan tanaman berbunga dan berbuah secara teratur, pemeliharaan bibit maupun tanaman sangat mudah karena tanaman jarang terserang oleh hama maupun penyakit. 1. Pengadaan Benih Merbau Darat Merbau darat diperbanyak secara generatif dengan biji. Biji merbau darat sebagai benih harus diambil dari sumber-sumber benih yang

Indriyanto

211

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

penyakit tersebut adalah dengan menjaga kondisi sanitasi lingkungan pesemaian, yaitu dengan cara membersihkan lingkungan pesemaian dari tumpukan sisa-sisa tanaman, serta membuat saluran air di sekitar pesemaian untuk menghindari genangan air.


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN layak dari segi mutu fisik, fisiologis, maupun mutu genetis. Beberapa sumber benih yang dimaksudkan antara lain: pohon plus, tegakan benih, areal pengumpulan benih, dan kebun benih semai. Semua pohon yang menyusun sumber-sumber benih tersebut merupakan pohon-pohon yang terseleksi, sehingga telah diketahui karakter atau sifat unggul yang dikehendaki. Benih atau biji merbau, selain harus diambil dari sumber benih yang layak, juga harus diambil dari buah yang masak fisiologis. Pada umumnya, buah yang masak fisiologis itu sinkron dengan biji yang ada di dalamnya, sehingga pada buah yang masak fisiologis akan diperoleh biji yang masak fisiologis. Pohon merbau darat berbunga dan berbuah pada bulan Juni—Oktober (Balai Perbenihan Tanaman Hutan, 2000). Pada umumnya buah telah masak fisiologis pada bulan September—Desember. Buah yang masak fisiologis berwarna coklat tua, biji yang ada di dalamnya berwarna coklat tua kemerahan dan mengkilap. Biji berukuran cukup besar, jumlah biji per kilogram lebih kurang 354 butir. Pengumpulan buah merbau darat yang masak fisiologis dapat dilakukan dengan cara memanjat pohon, kemudian memungut buah secara langsung menggunakan galah yang ujungnya diberi sabit. Pengumpulan buah juga bisa dilakukan dengan cara memungut buah yang telah jatuh di bawah pohon induk. Buah yang terkumpul lalu diekstraksi (dikeluarkan bijinya) dengan cara memukul buah secra hatihati pada garis kampuhnya, sehingga dengan mudah kulit buah akan membuka dan biji dapat dikeluarkan. Biji tersebut lalu dibersihkan dari selaput plasenta yang masih menempel, kemudian biji yang akan disimpan harus dikeringkan (dijemur matahari) selama 3 hari atau dikeringanginkan selama 10 hari. Biji yang akan segera digunakan tidak perlu dikeringkan, tetapi perlu diskarifikasi terlebih dahulu untuk mematahkan dormansi benih yang disebabkan oleh kulit biji yang keras. 2. Penaburan Benih Merbau Darat Sebelum benih/biji merbau darat dikecambahkan, benih harus

212

Indriyanto


diskarifikasi terlebih dahulu agar benih cepat berkecambah dan persentase kecambahnya besar. Skarifikasi yang dilakukan terhadap benih merbau darat sebelum dikecambahkan adalah merendam benih dalam air tawar suhu normal (suhu lebih kurang 250 C) selama 48 jam (Balai Perbenihan Tanaman Hutan, 2000). Skarifikasi benih merbau darat bisa juga dilakukan dengan merendam benih ke dalam air yang bersuhu awal 650 C—750 C kemudian dibiarkan dingin sampai 24 jam merupakan cara skarifikasi benih merbau darat yang paling efektif dalam meningkatkan kemampuan benih untuk berkecambah (Musradi, 2006). Cara lain untuk skarifikasi benih merbau darat adalah dengan cara merendam benih dalam larutan asam sulfat 40% selama 20 menit, kemudian benih dicuci sampai bersih dengan air tawar juga merupakan cara skarifikasi yang baik untuk mematahkan dormansi benih merbau darat (Purwani, 2006). Media tumbuh untuk penaburan atau pengecambahan benih merbau darat adalah campuran tanah dan pasir dengan perbandingan 3 : 1. Media tumbuh tersebut dimasukkan dalam bak kecambah hingga 2 cm dari sisi atas bak kecambah. Bak-bak kecambah ini disusun pada bedengan penaburan yang berukuran 5 m x 1 m, atau ukuran bedengan penaburan disesuaikan dengan kondisi area tempat pesemaian. Bedengan penaburan benih bisa diberi atap yang terbuat dari anyaman daun kelapa atau daun nipah, bisa juga diberi sungkup plastik berwarna biru. Bak kecambah yang telah berisi media tumbuh, lalu disiram air hingga jenuh menggunakan gembor. Benih merbau darat yang telah dipersiapkan, kemudian dikecambahkan pada media penaburan dengan cara membenamkan benih sedalam panjang benih dengan bagian bekas plasenta terletak di bawah. Jarak antarbenih yang dikecambahkan adalah 5 cm x 5 cm. Setelah itu, bedengan disiram lagi dengan air menggunakan gembor. Untuk penyiraman selanjutnya dilakukan secara teratur setiap hari sekali yaitu pada pagi hari sebelum pukul 9. Jika kondisi cuaca panas, sebaiknya diperhatikan kondisi media penaburan, dan apabila diperlukan penyiraman, maka bisa dilakukan penyiraman pagi dan sore hari. Benih merbau darat yang dikecambahkan tersebut akan

Indriyanto

213

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN mulai berkecambah pada hari ke-5. Benih yang berkecambah dan telah keluar daunnya dapat segera dipindahkan ke media penyapihan. Pada Gambar 24 diperlihatkan semai yang sudah waktunya untuk disapih atau dipindahkan dari bak kecambah ke media penyapihan.

Gambar 24. Semai merbau darat yang sudah waktunya untuk disapih

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

(Purwani, 2006)

3. Penyapihan Semai Merbau Darat Kecambah yang telah keluar daunnya supaya segera dipindah dari bedengan penaburan ke bedengan penyapihan. Pada umumnya, penyapihan semai merbau darat dilakukan pada saat kecambah berumur 3—4 minggu. Kecambah yang berumur 3—4 minggu itu, telah tumbuh daun sepasang, dan akarnya mulai bercabang. Kecambah yang terlalu lama berada di bedengan penaburan akan mengalami persaingan yang semakin keras terhadap berbagai faktor tempat tumbuh seperti ruang tumbuh, zat hara, air, dan gas. Sedangkan faktor tempat tumbuh di bedengan penaburan tidak tersedia sesuai dengan kebutuhan kecambah yang semakin lama semakin banyak untuk pertumbuhannya. Untuk memberikan kesempatan pertumbuhan kecambah secara lebih baik dan menyediakan faktor tempat tumbuh yang dapat memenuhi kebutuhan pertumbuhan kecambah selama di pesemaian, maka penyapihan kecambah harus dilakukan pada saat yang tepat dan menggunakan media tumbuh yang memenuhi kualifikasi media tumbuh yang baik. 214

Indriyanto


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

tumbuh hingga 2 cm dari lubang atas polybag, lalu diletakkan pada bedengan penyapihan di pesemaian dan diberi naungan anyaman daun kelapa atau daun nipah. Setelah itu, media tumbuh dalam polybag disiram air hingga jenuh. Semai yang akan disapih diambil secara hati-hati dari bak kecambah menggunakan sudip agar akar, daun, dan batang kecambah tidak mengalami cacat atau kerusakan. Kecambah dikumpulkan dalam wadah atau ember yang berisi air untuk merendam bagian akar kecambah dengan tujuan supaya kecambah tidak layu selama proses pengambilan. Kemudian kecambah dibawa ke bedengan penyapihan untuk disapih. Setiap polybag yang ada di bedengan penyapihan diisi satu kecambah. Kecambah dipindahkan dengan cara membenamkan seluruh bagian akar kecambah dalam media tumbuh hingga sedikit di atas kolet. Pembenaman akar kecambah dalam media tumbuh supaya dilakukan secara hati-hati agar akar tidak patah, cacat, dan tidak melipat, serta diusahakan agar kecambah dalam posisi tegak. Setelah itu, media tumbuh di sekitar batang kecambah dipadatkan supaya kecambah yang disapih berdiri tegak dan kokoh. Apabila penyapihan semai telah selesai, maka kemudian media tumbuhnya disiram dengan air menggunakan gembor atau springkler. Penyiraman kecambah selanjutnya harus dilakukan secara teratur dalam kegiatan pemeliharaan semai. 4. Pemeliharaan Bibit Merbau Darat Kegiatan pemeliharaan yang umumnya dilakukan terhadap bibit di pesemaian mencakup: penyiraman, penyiangan, pemupukan, serta pengendalian hama dan penyakit. Pada pembibitan merbau darat,

Indriyanto

215

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Media tumbuh yang digunakan untuk penyapihan semai/kecambah merbau darat adalah campuran tanah, pupuk kandang, dan pasir dengan perbandingan 3 : 1 : 1. Media tumbuh untuk penyapihan akan lebih baik bila diberi Furadan-3G sesuai dengan dosis yang dianjurkan pada label kemasannya. Media tumbuh untuk penyapihan dimasukkan ke dalam polybag atau wadah lainnya. Ukuran polybag lebih kurang berdiameter 8—10 cm dan tingginya 12—15 cm. Polybag diisi media


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN kegiatan pemeliharaan yang sangat diperlukan adalah penyiraman dan penyiangan. Sedangkan pemupukan tidak lagi dilakukan karena media tumbuh untuk penyapihan semai telah diberi pupuk kandang sebanyak 20% dari volume media tumbuh. Dengan komposisi media tumbuh penyapihan seperti yang dikemukakan di atas, dapat menghasilkan bibit merbau darat dengan pertumbuhan yang baik. Demikian pula, pengendalian hama dan penyakit pada umumnya tidak

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

dilakukan karena bibit merbau darat di pesemaian jarang terserang oleh hama maupun penyakit. Penyiraman bibit saat masih kecil dilakukan secara teratur satu kali sehari, yaitu pada pagi hari (lihat Gambar 25). Sedangkan untuk bibit yang sudah besar, penyiraman dapat dilakukan dua hari sekali.

Gambar 25. Penyiraman semai merbau darat menggunakan gembor (Musradi, 2006)

Penyiangan terhadap gulma yang tumbuh pada media tumbuh bibit harus dilakukan setiap saat terdapat gulma yang tumbuh. Hal ini dilakukan agar semai bebas dari persaingan dengan gulma, sehingga semai dapat memanfaatkan semua faktor tempat tumbuh yang tersedia secara maksimal untuk pertumbuhannya.

N. Pembibitan Kemiri (Aleurites moluccana) Kemiri merupakan salah satu spesies pohon yang memiliki banyak fungsi dan kegunaan untuk konservasi tanah dan air, serta untuk kepentingan produksi buah atau biji secara komersial, selain itu 216

Indriyanto


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

1. Pengadaan Benih Kemiri Bahan tanaman atau benih yang digunakan untuk pembibitan kemiri adalah biji. Biji kemiri untuk benih dapat dikumpulkan dengan mudah dari buah kemiri yang sudah masak fisiologis, dan jatuh di bawah pohon induknya. Tiap buah kemiri mengandung 1—3 butir biji, namun pada umumnya berisi 2 butir biji (Sunanto, 1994). Pengumpulan buah kemiri sebaiknya dilakukan setelah musim buah berakhir karena pada saat yang demikian buah kemiri sudah banyak yang jatuh, beberapa hari kemudian daging buah kemiri sudah busuk, sehingga ekstraksi mudah dilakukan, dan biji mudah dibersihkan . Selain itu, saat setelah musim buah berakhir akan diperoleh jumlah buah yang banyak (Dali dan Gintings, 1993). Biji kemiri yang akan dijadikan benih harus dipilih yang berukuran besar, kondisinya sehat, bentuknya gepeng (pipih), dan pangkalnya memiliki lekukan. Biji yang berbentuk gepeng dan memiliki lekukan di bagian pangkalnya, ketika dikecambahkan lebih cepat berkecambah dibandingkan dengan biji yang berbentuk bulat (Dali dan Gintings, 1993). 2. Penaburan Benih Kemiri Sebelum benih kemiri dikecambahkan, benih tersebut perlu diskarifikasi dengan cara yang mudah dan murah agar benih cepat berkecambah. Banyak sekali cara skarifikasi yang dapat dicoba, akan tetapi cara skarifikasi benih kemiri yang mudah dan murah dilaksanakan adalah merendam benih dalam air hangat dengan suhu awal 500 C kemudian dibiarkan terendam selama 5—10 hari. Setelah benih diskarifikasi, maka benih siap dikecambahkan.

Indriyanto

217

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

kayunya dapat dimanfaatkan untuk keperluan konstruksi ringan. Oleh karena itu, pohon kemiri ditanam pada kegiatan reboisasi maupun penghijauan. Untuk memenuhi kebutuhan bibit kemiri bagi kegiatan reboisasi maupun penghijauan, maka pada umumnya dibangun pembibitan kemiri secara generatif menggunakan biji/benih.


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Penaburan benih kemiri bisa dilakukan di bedengan penaburan, dapat juga dilakukan langsung di polybag yang berisi media tumbuh bibit. Penaburan benih yang dilakukan di bedengan penaburan, media tumbuhnya harus berupa campuran tanah dan pasir dengan perbandingan 2 : 1, agar setelah benih berkecambah mudah dipindahkan ke media penyapihan tanpa menimbulkan kerusakan pada akarnya. Bedengan penaburan supaya diberi atap/naungan. Apabila benih kemiri langsung dikecambahkan di polybag yang berisi media tumbuh, maka media tumbuhnya harus berupa campuran tanah dan kompos atau campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 2 : 1. Media tumbuh tersebut dimasukkan dalam polybag berukuran diameter lebih kurang 10 cm dan tingginya lebih kurang 15 cm. Kemudian diletakkan di bedenngan dan diberi atap anyaman daun kelapa atau anyaman daun nipah. Untuk cara pengecambahan seperti ini, semai tidak perlu disapih lagi, karena polybag dan media tumbuh yang ada di dalamnya sudah dipersiapkan untuk benih yang dikecambahkan hingga menjadi bibit yang siap ditanam. Cara mengecambahkan benih kemiri, baik di bedengan penaburan maupun langsung dalam polybag, sebaiknya benih kemiri diletakkan pada posisi tegak dengan bagian pangkal benih terletak di bawah dan ditimbun sedalam 2,5—10 cm. Kemudian, disiram air menggunakan gembor atau sprinkler. Penyiraman dilakukan setiap hari sampai kecambah dipindahkan ke media penyapihan. Benih kemiri yang dikecambahkan dengan cara seperti ini, pada umumnya berkecambah pada hari ke-25 hingga hari ke-30. 3. Penyapihan Semai Kemiri Penyapihan semai kemiri hanya dilakukan jika benih kemiri dikecambahkan pada bedengan penaburan atau pada bak-bak kecambah. Semai/kecambah yang telah berumur 2—3 minggu setelah berkecambah sudah waktunya untuk dipindahkan ke media penyapihan. Pada saat kecambah berumur 2—4 minggu, pada umumnya telah memiliki dua helai daun, dan akarnya sudah tumbuh akar cabang.

218

Indriyanto


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

Setelah itu, semai/kecambah diambil secara hati-hati dari bedengan penaburan (bedengan pengecambahan) menggunakan sudip, lalu dikumpulkan dalam ember yang berisi air sedikit untuk merendam bagian akar semai agar tidak layu selama dalam tahap penyabutan semai hingga penyapihan di bedengan penyapihan. Kemudian semai tersebut ditanam dalam polybag. Setiap polybag hanya digunakan untuk menyapih satu semai/kecambah kemiri. Cara penyapihan semai harus dilakukan secara baik dengan membenamkan semua bagian akar semai kemiri pada media tumbuh hingga sedikit di atas kolet (batas akar dan batang). Diusahakan pada saat penyapihan, posisi semai harus tegak, akar semai tidak ada yang terlipat, bengkok, atau patah, dan media tumbuh yang ada di sekitar batang semai ditekan agar semai dapat berdiri tegak dan kokoh. Apabila semua semai telah disapih, lalu media tumbuhnya disiram air. Penyiraman semai berikutnya harus dilakukan secara teratur. 4. Pemeliharaan Bibit Kemiri Kegiatan pemeliharaan yang pertama adalah penyiraman bibit secara teratur setiap hari sekali yaitu pada pagi hari, akan tetapi kalau cuaca sedang panas sebaiknya dilakukan penyiraman 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari . Sedangkan untuk bibit yang sudah besar, penyiraman bisa dilakukan 2 hari sekali. Kegiatan pemeliharaan yang ke tiga adalah penyiangan terhadap gulma yang tumbuh bersama bibit di pesemaian. Penyiangan gulma harus dilakukan setiap saat terdapat gulma dengan cara manual, yaitu menyabut gulma dengan tangan.

Indriyanto

219

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Media tumbuh untuk penyapihan semai kemiri adalah campuran tanah dan kompos atau campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 2 : 1. Media tumbuh tersebut dimasukkan dalam polybag berukuran diameter 10 cm dan tinggi 15 cm, dan diletakkan di bawah atap/naungan. Kemudian, media penyapihan yang sudah siap di dalam polybag disiram air menggunakan gembor atau sprinkler hingga jenuh air.


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Kegiatan pemupukan bibit kemiri pada umumnya tidak dilakukan lagi karena media tumbuh yang digunakan untuk penyapihan semai sudah dicampur pupuk kandang lebih kurang 33,3% (satu per tiga bagian) dari volume media tumbuh. Jumlah pupuk kandang tersebut sudah cukup banyak untuk penambahan bahan organik yang memungkinkan dapat menyuplai zat hara bagi pertumbuhan bibit di pesemaian. Kegiatan pemeliharaan yang ke empat adalah pengendalian hama dan penyakit. Kegiatan pemeliharaan kesehatan bibit yang paling baik dan murah adalah pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya hama dan penyakit di pesemaian. Kegiatan pencegahan yang dimaksudkan antara lain: menjaga kondisi sanitasi lingkungan pesemaian tetap baik dengan cara membersihkan lingkungan dari timbunan sisa-sisa tanaman atau sampah, mengusahakan agar radiasi matahari pagi dapat sepenuhnya masuk ke seluruh bedengan pesemaian walaupun bedengan diberi naungan, kemudian menyemprot bibit dengan Demikron dengan dosis 2 g per liter air. Akan tetapi, apabila bibit telah terserang oleh hama ataupun penyakit, sebaiknya bibit tersebut dikeluarkan dari bedengan dan ditaruh pada tempat terpisah lalu disemprot dengan Demikron atau pestisida lainnya sesuai dengan aturan yang tertera dalam label kemasannya. Bibit yang terserang penyakit sangat parah harus dimusnahkan dengan cara membakar atau menimbun dalam tanah. Bibit kemiri yang telah mencapai tinggi 25—40 cm sudah dapat ditanam di lokasi penanaman (lihat Gambar 26).

220

Indriyanto


Gambar 26. Bibit kemiri yang siap untuk ditanam (foto diambil Indriyanto tahun 2006 di lokasi pesemaian KPPH Citiis, Bandar Lampung)

Ringkasan Teknologi pembibitan tanaman hutan sangat diperlukan untuk menunjang penyediaan bahan tanaman berupa bibit yang kualitasnya memadai serta jumlahnya mencukupi kebutuhan untuk pelaksanaan penghutanan kembali, baik berupa reboisasi maupun penghijauan. Penguasaan teknologi pembibitan tersebut sangat membantu dalam proses pengadaan bibit, sehingga diharapkan ketersediaan bibit untuk kegiatan pembinaan hutan dapat terpenuhi secara efektif dan efisien. Beberapa aspek penting yang perlu dikuasai dalam pembibitan pohon antara lain: cara perbanyakan yang digunakan, cara pengadaan benih atau bahan tanaman, penaburan benih beserta media tumbuh yang harus digunakan, cara penyapihan semai dan media tumbuh yang harus digunakan, dan pemeliharaan bibit baik yang meliputi cara penyiraman, cara pengendalian gulma, pemupukan, dan cara pengendalian hama atau penyakit. Pembibitan pohon yang pada umumnya menggunakan teknik perbanyakan secara generatif antara lain: pohon Pterygota alata, gaharu, mangium, jati, khaya, mimba, berbagai jenis anggota famili Dipterocarpaceae, tembesu, bambang lanang, mahoni, kayu putih, merbau darat, dan mahoni. Namun demikian, untuk pembibitan pohon jati kemungkinan alternatif perbanyakan vegetatif dapat dikembangkan dengan mudah. Indriyanto

221

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN


BAB 8. TEKNIK PEMBIBITAN BEBERAPA SPESIES POHON HUTAN Pembibitan pohon jati dapat dilakukan secara generatif yaitu menggunakan organ generatif berupa buah yang di dalamnya mengandung biji, meskipun demikian sesuai dengan perkembangan teknologi pembibitan dapat juga dilakukan secara vegetatif menggunakan organ berupa tunas yang ditumbuhkan melalui cara setek dan kultur jaringan atau kultur tunas.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Latihan 1. Sebutkan aspek apa saja yang perlu diperhatikan dalam pembibitan pohon hutan. 2. Jelaskan proses pengadaan benih pohon Pterygota alata untuk kepentingan pembibitan. 3. Jelaskan proses penaburan benih pohon Pterygota alata untuk kepentingan pembibitan. 4. Jelaskan proses penyapihan semai pohon Pterygota alata di pesemaian. 5. Jelaskan proses pemeliharaan bibit pohon Pterygota alata di pesemaian. 6. Sebutkan dan jelaskan secara singkat tahap proses pembibitan pohon gaharu. 7. Sebutkan dan jelaskan secara singkat tahap proses pembibitan pohon mangium. 8. Sebutkan dan jelaskan secara singkat tahap proses pembibitan pohon jati secara generatif. 9. Sebutkan dan jelaskan secara singkat tahap proses pembibitan pohon khaya. 10. Sebutkan dan jelaskan secara singkat tahap proses pembibitan pohon mimba. 11. Sebutkan dan jelaskan secara singkat tahap proses pembibitan pohon meranti.

222

Indriyanto


PEMBIBITAN POHON OLEH PENANGKAR BIBIT LOKAL

A. Pendahuluan Bibit pohon merupakan bahan tanaman yang siap untuk ditanam. Apapun bentuknya, bibit merupakan bahan yang sangat penting dalam proses budidaya pohon karena keberhasilan kegiatan penanaman pohon bergantung kepada ketersediaan bibit yang jumlahnya mencukupi kebutuhan dan kualitasnya memadai. Ketersediaan bibit yang jumlahnya mencukupi kebutuhan menjadi salah satu faktor penentu tercapainya target luas areal yang ditanami, sedangkan kualitas bibit menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan hidup tanaman, kualitas pertumbuhan, dan kualitas produk (komoditi) yang dihasilkan. Oleh karena itu, bibit yang berkualitas tinggi dan jumlahnya mencukupi kebutuhan penanaman menjadi salah satu tujuan usaha pembibitan pohon. Kegiatan pembibitan pohon pada dasarnya telah melekat dalam diri setiap petani sejak awal kebudayaan bertani dimiliki manusia, sehingga sejak dahulu petani yang membudidayakan pohon, telah memiliki keterampilan membuat bibit berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya sendiri atau berdasarkan pengetahuan lokal mereka. Pembibitan pohon seperti yang dimaksudkan itu, pada mulanya hanya dilakukan oleh petani yang sedang membutuhkan bahan tanaman dalam proses budidaya spesies pohon tertentu yang sedang diusahakan di lahannya. Namun pada masa-masa berikutnya, pembibitan menjadi peluang usaha yang ditekuni oleh orang-orang (“tidak hanya petani Indriyanto

223

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

9


BAB 9. PEMBIBITAN POHON OLEH PENANGKAR BIBIT LOKAL

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

saja�) yang mempunyai modal dan berjiwa wirausaha. Dengan adanya peluang usaha pembibitan inilah muncul penangkar-penangkar bibit yang mencoba mengembangkan usaha pembibitan berbagai spesies pohon yang dibutuhkan oleh konsumen. Pembibitan pohon yang dilakukan oleh petani sendiri maupun yang dilakukan oleh pengusaha penangkar bibit menjadi salah satu faktor mendorong dalam upaya menyukseskan pelaksanaan reboisasi dan penghijauan. Demikian pula sebaliknya, upaya-upaya untuk menyukseskan pelaksanaan reboisasi dan penghijauan akan menjadi faktor pendorong berkembangnya kegiatan wirausaha dalam pembibitan pohon hutan. Sebagaimana layaknya kegiatan wirausaha dalam bidang apapun, bahwa usaha pembibitan pohon tidak terlepas dari panggilan jiwa para pelakunya untuk menekuni usaha tersebut. Sehingga, para penangkar bibit lokal muncul eksistensinya tidak selalu karena diawali oleh modal yang besar, akan tetapi disebabkan kecintaan dan ketekunannya pada usaha pembibitan. Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran kondisi pembibitan pohon yang dilakukan oleh para penangkar bibit lokal di Lampung. Penangkar bibit lokal yang dimaksudkan adalah seseorang atau lembaga yang memproduksi bibit sendiri secara terus menerus, baik ada proyek dari pemerintah maupun tidak ada proyek. Gambaran kondisi pembibitan pohon yang dilakukan oleh penangkar bibit lokal perlu dikemukakan karena menunjukkan aktivitas nyata yang kemurnian pengetahuan dan keterampilan (“pengetahuan dan keterampilan lokalnya�) terhadap aspek pembibitan pohon bisa dijadikan objek untuk dipelajari, diteliti, dianalisis, dan dikembangkan untuk meningkatkan teknologi pembibitan pohon. Hal-hal yang akan diuraikan lebih kurang mencakup pengalaman mereka sebagai penangkar bibit pohon, jenis-jenis pohon yang bibitnya diusahakan di pesemaian mereka, kapasitas produski bibit, dan teknik pembibitan yang dilakukan. Kompetensi dasar dalam mempelajari bab 9 adalah agar mahasiswa dan para pembaca lainnya mampu memahami teknik pembibitan yang diterapkan oleh para penangkar bibit, memahami peluang usaha 224

Indriyanto


BAB 9. PEMBIBITAN POHON OLEH PENANGKAR BIBIT LOKAL

B. Penangkar Bibit Lokal di Lampung Sebagaimana telah dikemukakan bahwa penangkar bibit lokal adalah seseorang dan/atau lembaga yang memproduksi bibit sendiri secara terus menerus, baik ada proyek pengadaan bibit dari pemerintah maupun tidak ada proyek. Penangkar bibit lokal melakukan aktivitas usaha pembibitan tidak bergantung kepada adanya proyek pengadaan bibit dari pemerintah, namun aktivitas pengadaan bibit dilakukan secara teratur untuk mencukupi kebutuhan konsumen secara umum, baik konsumen di daeral Lampung sendiri maupun di luar daerah Lampung. Jumlah penangkar bibit lokal di Lampung yang mengembangkan usaha pembibitan pohon cukup banyak, yaitu sebanyak lebih kurang 115 penangkar bibit (Sasmita, 2006). Para penangkar bibit tersebut memulai usahanya sudah cukup lama, sebagian besar dari mereka (lebih kurang 64%) memulai usahanya sejak lebih dari 10 tahun yang lalu, sehingga dilihat dari segi jangka waktu sebagai suatu proses berwirausaha sudah tentu banyak pengalaman yang dialami sebagai pelajaran mereka dalam memperbaiki segi-segi usahanya. Para penangkar bibit pohon pada umumnya melakukan usaha pembibitan di lahan mereka sendiri. Memang kepemilikan lahan mereka bervariasi luasannya, ada di antara mereka yang memiliki luas lahan 7.500 m2. Namun demikian, ada juga yang memiliki lahan seluas 110.000 m2. Penangkar bibit yang memiliki lahan luas adalah penangkar bibit yang berasal dari penduduk asli Lampung yang memang sejak lahir ada di daerah ini, mereka inilah yang sebenarnya sebagai pionir (perintis) dalam hal usaha pembibitan secara swadaya dan swadana. Kemudian, usaha pembibitan diikuti oleh penduduk pendatang yang diawali dengan cara menyewa lahan, kemudian lama kelamaan dapat memiliki lahan sendiri untuk mengembangkan usahanya. Penangkar bibit yang memiliki pengalaman yang lama pada umumnya luas lahannya lebih luas dan bibit yang diproduksi juga lebih banyak dibandingkan dengan penangkar bibit yang masih Indriyanto

225

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

yang ditempuh oleh para penangkar bibit, serta mampu menganalisis pengelolaan pesemaian.


BAB 9. PEMBIBITAN POHON OLEH PENANGKAR BIBIT LOKAL baru (kurang dari 10 tahun). Hal ini memang masuk akal, karena penangkar bibit lokal yang menjadi pionir adalah penduduk asli yang memiliki tempat usaha (lahan) yang cukup luas dan memadai untuk membangun usaha pembibitan.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

C. Spesies Pohon yang Diusahakan dalam Pembibitan Pembibitan pohon yang dikembangkan oleh penangkar bibit lokal di Lampung pada umumnya memproduksi bibit yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan/atau lembaga yang memerlukan bibit pohon untuk kegiatan reboisasi dan penghijauan. Perlu diingat kembali pengertian tentang kegiatan reboisasi dan penghijauan. Reboisasi adalah kegiatan penanaman dalam rangka penghutanan kembali lahan-lahan yang ada di dalam kawasan hutan. Penghijauan adalah kegiatan penanaman dalam rangka penghutanan pada lahan-lahan di luar kawasan hutan, misalnya pada lahan milik masyarakat. Dalam kegiatan penghijauan ini mencakup juga kegiatan membangun hutan di lahan milik masyarakat yang disebut sebagai hutan rakyat. Mengingat sebagian besar bibit diproduksi untuk memenuhi kebutuhan kegiatan reboisasi dan penghijauan, oleh karena itu spesies pohon yang diusahakan termasuk ke dalam kelompok spesies kekayuan (penghasil utama kayu) dan spesies MPTS (multipurpose trees and shrubs species). Spesies MPTS adalah spesies pohon dan perdu yang memiliki fungsi dan manfaat serbaguna, baik fungsi ekologis maupun manfaat ekonomis dari produk yang dihasilkan. Beberapa spesies pohon yang termasuk kelompok spesies kekayuan antara lain: jati, medang, cempaka, mahoni, sengon, pulai, bayur, meranti, mangium, mindi, akasia, gaharu, gmelina, sungkai, dan jelutung. Adapun spesies pohon dan perdu yang termasuk kelompok MPTS antara lain: durian, tangkil, kemiri, karet, petai, rambutan, mangga, kayu manis, pinang, alpokat, cempedak, pala, coklat, manggis, dan kelengkeng. Kapasitas produksi bibit setiap spesies pohon yang diusahakan oleh masing-masing penangkar bibit lokal di Lampung dapat dilihat pada Tabel 12. 226

Indriyanto


BAB 9. PEMBIBITAN POHON OLEH PENANGKAR BIBIT LOKAL

No.

1.

2.

3.

Nama penagkar bibit

Spesies pohon/ perdu

Kapasitas produksi (batang/ tahun) 50.000 30.000 50.000 5.000 100.000

Abah Idi Nama Usaha: Pohon Hijau Jl. Pembangunan No.8 RT:2 RW:3, Desa Sumber Agung, Kecamatan Tanjungkarang, Bandar Lampung

Meranti Mahoni Medang Duku kayu manis Jumlah

235.000

Alwi Jl. Buku Jati, Desa Gedong Gumanti, Kecamatan Natar/PWK Tegineneng, Lampung Selatan

Jati Sengon Jelutung Tangkil

120.000 2.000 2.000 2.000

Jumlah

126.000

Amir Tulus Rejo, Desa Badransari, Kecamatan Pekalongan, Lampung Timur

Medang Meranti Cempaka Mahoni Bakau Tangkil Durian Petai Rambutan Jumlah

Indriyanto

250.000 200.000 250.000 300.000 300.000 200.000 350.000 150.000 150.000 2.150.000

227

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Tabel 12. Spesies pohon/perdu dan kapasitas produksi bibit yang diusahakan oleh penangkar bibit lokal di Lampung


BAB 9. PEMBIBITAN POHON OLEH PENANGKAR BIBIT LOKAL Lanjutan Tabel 12.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

No.

Nama penagkar bibit

4.

Asep Sutioko Nama Usaha: Taring Emas Idola Jl. Pertanian No.519, Kecamatan Pekalongan, Lampung Timur

5.

Asikin Kelompok Tani Wanajaya Jl. Raya Tegineneng, Desa Bumi Agung, Kecamatan Natar, Lampung Selatan

6.

Atta Suminta Jl. Pembangunan, Desa Sumber Agung, Kecamatan Tanjungkarang, Bandar Lampung

7.

Boiman Tulus Rejo, Desa Badransari, Kecamatan Pekalongan, Lampung Timur

228

Indriyanto

Spesies pohon/ perdu Sungkai Gmelina Mahoni Rambutan Mangga tangkil/ mlinjo Durian Nangka Cempedak Alpokat Pala Kemiri Coklat Jumlah Jati Mahoni cempaka Medang Gmelina Petai Jumlah cempaka Medang Meranti Mahoni Bayur kayu manis Durian Kemiri Pinang Petai Pala Kulud Jumlah Durian rambutan Mangga Jumlah

Kapasitas produksi (batang/ tahun) 20.000 20.000 100.000 30.000 5.000 3.000 5.000 7.000 3.000 1.000 20.000 2.500 5.000 221.500 1.500.000 350.000 15.000 300.000 50.000 40.000 2.255.000 200.000 350.000 40.000 400.000 50.000 50.000 25.000 150.000 60.000 50.000 10.000 50.000 1.435.000 10.000 50.000 5.000 65.000


BAB 9. PEMBIBITAN POHON OLEH PENANGKAR BIBIT LOKAL

No.

8.

9.

10.

11.

Nama penagkar bibit

Spesies pohon/ perdu

Pulai cempaka Durian Tangkil Hari Wantoro Desa Badransari, Kecamatana Karet Pekalongan, Lampung Timur Petai rambutan Mangga Jumlah Jati Pulai Mahoni Meranti Hasan Gumanti Kelompok Tani Wanalestari cempaka Jl. Buku Jadi No.40, Desa Bayur Gedong Gumanti, Karet Kecamatan Natar/PWK Tegineneng, Lampung Mangga Selatan Petai Durian Tangkil Jumlah Jati Hasanudin Sengon Kelompok Tani Wanasejahtera Mahoni Jl. Raya Tegineneng, Desa mangium Kejadian, Kecamatan Tegineneng, Lampung Durian Selatan Jumlah Medang Pulai Joko Waluyo Mahoni Desa Purwo Asri, cempaka Kecamatan Metro Utara, Durian Kota Metro Tangkil Jumlah

Indriyanto

Kapasitas produksi (batang/ tahun) 40.000 55.000 100.000 90.000 30.000 30.000 400.000 10.000 755.000 11.000.000 250.000 250.000 50.000 200.000 50.000 80.000 100.000 250.000 100.000 50.000 12.380.000 130.000 25.000 50.000 25.000 15.000 245.000 150.000 200.000 150.000 100.000 125.000 40.000 765.000

229

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Lanjutan Tabel 12.


BAB 9. PEMBIBITAN POHON OLEH PENANGKAR BIBIT LOKAL Lanjutan Tabel 12.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

No.

Nama penagkar bibit

12.

Karya Jaya Jl. Pembangunan, Desa Sumber Agung, Kecamatan Tanjungkarang, Bandar Lampung

13.

Katino Desa Gedong Rejo, Kecamatan Pekalongan, Lampung Timur

14.

Kushaeri Desa Mandah, Kecamatan Pekalongan, Lampung Timur

15.

Mujiono Desa Margorejo, Kecamatan Metro Selatan, Kota Metro

230

Indriyanto

Spesies pohon/ perdu cempaka Medang Mahoni Bakau Durian Kemiri Petai Jumlah Durian Mangga rambutan Jumlah Jati Medang cempaka Mahoni Sengon Durian Tangkil Kemiri Jumlah Medang cempaka Jati Akasia Sengon Pulai Mahoni Sungkai Petai Durian kayu manis Jumlah

Kapasitas produksi (batang/ tahun) 300.000 100.000 100.000 70.000 70.000 100.000 100.000 840.000 10.000 35.000 90.000 135.000 200.000 200.000 20.000 200.000 200.000 20.000 1.500 20.000 861.500 100.000 100.000 120.000 50.000 40.000 110.000 300.000 120.000 200.000 100.000 80.000 1.320.000


BAB 9. PEMBIBITAN POHON OLEH PENANGKAR BIBIT LOKAL

No.

Nama penagkar bibit

16.

Ngatiman Tulus Rejo, Desa Badransari, Kecamatan Pekalongan, Lampung Timur

17.

Sabarianto Tulus Rejo, Desa Badransari, Kecamatan Pekalongan, Lampung Timur

18.

Saimin Desa Sidodadi, Kecamatan Pekalongan, Lampung Timur

19.

Sobari Tulus Rejo, Desa Badransari, Kecamatan Pekalongan, Lampung Timur

20.

Sugiri Nama Usaha: Keluarga Bersatu Jl. Pertanian, Desa Badransari, Kecamatan Pekalongan, Lampung Timur

Spesies pohon/ perdu Durian rambutan Mangga Jumlah Durian rambutan Jumlah Damar Tangkil Jumlah Durian rambutan Mangga Tangkil Jumlah Mahoni Pulai Medang cempaka Meranti Durian Tangkil Karet Manggis rambutan Mangga kelengkeng

21.

Sunanto Jl. Tempuran No. 12 C, Kota Metro

Jumlah Pulai cempaka Mahoni Bayur Gaharu Tangkil Jumlah

Indriyanto

Kapasitas produksi (batang/ tahun) 25.000 30.000 15.000 70.000 15.000 2.000 17.000 50.000 50.000 100.000 25.000 30.000 15.000 20.000 90.000 100.000 200.000 25.000 25.000 25.000 150.000 700.000 50.000 25.000 25.000 15.000 20.000 1.360.000 50.000 60.000 30.000 30.000 3.000 5.000 178.000

231

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Lanjutan Tabel 12.


BAB 9. PEMBIBITAN POHON OLEH PENANGKAR BIBIT LOKAL Lanjutan Tabel 12.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

No.

Nama penagkar bibit

22.

Tatang Nama Usaha: Tatang Tulus Rejo, Desa Badransari, Kecamatan Pekalongan, Lampung Timur

23.

Tri Wahono Nama Usaha: Tunas Jaya Tulus Rejo, Desa Badransari, Kecamatan Pekalongan, Lampung Timur

24.

Wahidin Desa Sidodadi, Kecamatan Pekalongan, Lampung Timur

25.

Yanto Tulus Rejo, Desa Badransari, Kecamatan Pekalongan, Lampung Timur

Spesies pohon/ perdu meranti/ dammar kaca Pulai Mahoni Durian Mangga rambutan Petai Tangkil Jumlah Durian rambutan Mangga Jumlah

Kapasitas produksi (batang/ tahun) 200.000 150.000 400.000 400.000 2.500 350.000 300.000 1.000.000 2.802.500 50.000 10.000 5.000 65.000

cempaka Medang Mahoni Mindi Pulai Durian Petai alpopkat Jumlah Mahoni Durian

20.000 19.000 9.000 5.000 25.000 6.000 32.000 5.000 121.000 300.000 50.000

Jumlah

350.000

Sumber: Sasmita (2006)

D. Tipe Perbanyakan Tanaman untuk Pembibitan Pohon Telah diketahui bahwa perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu cara generatif, cara vegetatif, dan gabungan cara generatif dengan vegetatif. Cara generatif adalah cara perbanyakan tanaman yang dilakukan menggunakan organ generatif

232

Indriyanto


tanaman seperti biji dan/atau buah. Cara vegetatif adalah cara perbanyakan tanaman yang dilakukan menggunakan organ vegetatif tanaman seperti akar, batang, dahan, dan ranting. Di antara cara yang termasuk ke dalam cara vegetatif adalah setek, cangkok, dan kultur jaringan. Adapun gabungan cara generatif dengan vegetatif adalah cara perbanyakan tanaman yang dilakukan secara generatif kemudian diikuti dengan cara vegetatif. Di antara yang termasuk gabungan cara generatif dengan vegetatif adalah penyambungan (grafting) dan penempelan (okulasi). Tipe perbanyakan tanaman dalam pembibitan pohon yang dilakukan oleh para penangkar bibit lokal di Lampung mencakup ketiga cara perbanyakan seperti yang dikemukakan tersebut. Cara perbanyakan tanaman yang diterapkan oleh para penangkar bibit dilakukan atas dasar pertimbangan beberapa hal, antara lain: ketersediaan sumber bahan tanaman, kemudahan cara perbanyakan bagi setiap spesies pohon, upaya pemurnian sifat-sifat unggul, dan atas dasar pesanan dari konsumen. Adapun lokasi sumber bahan tanaman untuk pembibitan pohon di Lampung dapat dilihat Tabel 13. 1. Perbanyakan Cara Generatif Perbanyakan cara generatif pada umumnya dilakukan menggunakan bahan tanaman berupa biji dan/atau buah. Beberapa spesies pohon yang dikembangkan secara generatif di lokasi pembibitan antara lain: jati, meranti, cempaka, medang, mahoni, sengon, gmelina, jelutung, bayur, gaharu, pulai, mindi, kemiri, tangkil, durian, kayu manis, petai, manggis, mangga, rambutan, dan duku. Mengenai sumber bahan tanaman untuk pengembangan bibit secara generatif adalah pohon-pohon induk dan tegakan benih, baik yang ada di Lampung maupun yang ada di luar Lampung, misalnya dari Pagar Alam (Palembang), Purwokerto (Jawa Tengah), Bogor (Jawa Barat). Beberapa spesies pohon yang sebagian benihnya diperoleh dari luar Lampung antara lain: cempaka (dari Purwokwrto), durian (dari Muara Enim, Palembang), pulai (dari Pagar Alam, Palembang), gaharu (dari Pagar Alam, Palembang), jati (dari Bogor), mahoni (dari Bogor), dan gmelina (dari Bogor). Indriyanto

233

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 9. PEMBIBITAN POHON OLEH PENANGKAR BIBIT LOKAL


BAB 9. PEMBIBITAN POHON OLEH PENANGKAR BIBIT LOKAL 2. Perbanyakan Cara Vegetatif Perbanyakan cara vegetatif dilakukan dengan setek batang maupun setek akar. Cara perbanyakan dengan setek dilakukan mengingat spesies pohon yang dikembangkan mudah diperbanyak dengan setek. Spesies pohon yang diperbanyak dengan setek oleh para penangkar bibit antara lain: pulai dan sungkai. Pulai dan sungkai diperbanyak dengan setek cabang/ranting. Tabel 13. Lokasi sumber bahan tanaman untuk pembibitan pohon di Lampung

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Jenis Tanaman

Lokasi sumber bahan tanaman Mata tunas Biji (entrijs) Desa-desa di lampung: Pekalongan, Kresno Widodo, Kalianda, Tegineneng, Metro, Sendang Pagar, Sukoharjo, Rowo Rejo, dan dari Jawa Tengah

Mahoni

--

Sengon

--

Jati

--

Wareng/ Gmelina

足--

Dinas Kehutanan Lampung Utara, dan dari Bogor (Jawa Barat).

Sungkai

--

Akasia

--

PT Inhutani V (sekarang sudah tutup) Desa-desa di Lampung: Gunung Baranti, Maringgai. PT Inhutani V (sekarang sudah tutup)

Cempaka

--

Damar kaca

--

Bayur

--

234

Dinas Kehutanan Lampung Utara, dan dari Jawa Tengah Desa-desa di Lampung: Tegineneng, Padangratu, dan Jatiharjo. Ngawi (Jawa Timur), Bogor (Jawa Barat).

Daerah di Lampung: Krui, Liwa, Pekalongan, Pagar Alam, dan Danau Ranau. Kawasan Hutan Gunung Betung. Purwokerto (Jawa Tengah), Bogor. Krui (Lmbar), Hanura (Lamsel). Hanura (Lamsel), Bandar Lampung, Padang Cermin (Lamsel). Indriyanto


BAB 9. PEMBIBITAN POHON OLEH PENANGKAR BIBIT LOKAL Tabel 13. (Lanjutan)

Rasamala Kayu Afrika Medang

Lokasi sumber bahan tanaman Mata tunas Biji (entrijs) Desa Tambak Jaya (Way Tenong, -Lampung) -Kalianda (Lamsel) Tegineneng (Lamsel), Pekalongan -(Lamtim)

Lamtorogung

--

Gunung Betung dan Kota Agung, Lampung.

Merbau

足--

Bali, Medan, dan Padang

Durian Mangga Rambutan

Sawo kecik

BBIH, Pekalongan (Lampung) BBIH, Pekalongan (Lampung) BBIH, Pekalongan (Lampung) BBIH, Pekalongan, (Lampung), dan Batu Kramat.

Pinang

--

Cengkeh

--

Karet Coklat

Sungkai Utara, dan PTPN Way Brulu --

Muara Enim (Palembang), Kebunkebun petani di Pekalongan. Medan, kebun petani di Pekalongan (Lampung) Kebun petani di Pekalongan (Lampung)

Para pengumpul biji di Lampung Krui, Pardasuka, Enggano, Tanjiung Ratu, dan Batu Raja. Kota Agung, Way Kanan (Lampung), dan Wonogiri (Jateng), PTPN Way Brulu. Mojo Pahit, Sungkai Utara, Palembang, dan Sumbawa Tanjung Raja

Kemiri

--

Wonosobo, Sendang Baru, Kedondong, Pardasuka, Sekincau.

Mindi

--

Kebun-kebun petani di Lampung

Pulai

--

Pagar Alam (Palembang), di kebunkebun petani di Lampung. Indriyanto

235

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Jenis Tanaman


BAB 9. PEMBIBITAN POHON OLEH PENANGKAR BIBIT LOKAL Tabel 13. (Lanjutan) Jenis Tanaman

Lokasi sumber bahan tanaman Mata tunas (entrijs)

Biji

Petai

--

Kebun-kebun petani di Lampung

Gaharu

--

Pagar Alam (Palembang)

Tangkil

BBIH, Pekalongan (Lampung)

Kayu manis

--

Di daerah Tanggamus, di Tegineneng, dan di kebun-kebun petani di Lampung, serta dari Purwokerto (Jawa Tengah). Padang Cermin (Lamsel), Pagar Alam (Palembang)

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Sumber: Aryani (2002), Sasmita (2006)

3. Perbanyakan Gabungan Cara generatif dengan Vegetatif Perbanyakan gabungan cara generatif dengan vegetatif pada umumnya dilakukan dalam rangka memurnikan sifat spesies pohon. Cara perbanyakan yang dimaksudkan adalah cara okulasi dan penyambungan. Beberapa spesies pohon yang pembibitannya ditempuh melalui perbanyakan gabungan cara generatif dengan vegetatif antara lain: durian, rambutan, mangga, tangkil, dan manggis. Sumber mata tunas (entrij) untuk okulasi, maupun batang atas (scion) untuk penyambungan pada umumnya diambil dari kebun benih pangkas yang ada di wilayah Lampung. Demikian pula benih yang disemai untuk batang bawah diperoleh dari pohon-pohon induk maupun pohon asalan yang ada di wilayah Lampung. E. Tahap Proses Kegiatan Pembibitan Tahap proses kegiatan pembibitan yang dilakukan oleh para penangkar bibit secara umum sama, dan perbedaan yang ada terjadi karena bentuk bibit dan cara perbanyakan tanaman yang diterapkan tidak selalu sama meskipun untuk menghasilkan bibit dari spesies yang sama. Sebagai contoh, bibit jati adakalanya diproduksi dalam bentuk tungkul (stump) oleh sebagian penangkar bibit, ada juga yang 236

Indriyanto


diproduksi dalam bentuk bibit dalam kontiner (wadah/kantong) oleh penangkar bibit lainnya. Misalnya lagi, bibit durian dan mangga ada yang diproduksi secara generatif dengan biji oleh beberapa penangkar, sedangkan penangkar lainnya ada juga yang diproduksi secara okulasi dan sambungan untuk spesies pohon yang sama, sehingga tahap proses kegiatan pembibitan akan berbeda. Proses kegiatan pembibitan yang dilakukan oleh penangkar bibit lokal di Lampung pada umumnya dapat dikelompokkan menjadi 4 jenis, antara lain sebagai berikut. 1. Jenis proses kegiatan pembibitan yang pertama dicirikan oleh kegiatan yang diawali dengan kegiatan persiapan lahan, kemudian pembuatan bedengan, penaburan biji, penyiangan gulma, pemupukan, pencabutan semai (untuk bibit dalam bentuk cabutan), pemangkasan daun dan akar (untuk bibit dalam bentuk tungkul). Untuk bibit yang berbentuk semai dalam kontiner, maka semai yang ada dalam bedengan penaburan kemudian disapih/dipindahkan ke dalam polybag/kontiner yang telah diisi media tumbuh untuk penyapihan, sehingga diperlukan pembuatan bedengan penyapihan, pembuatan atap/ naungan, dan dilakukan kegiatan penyapihan semai. Adapun kegiatan pemeliharaan pada umumnya sama, yaitu mencakup penyiraman, penyiangan, pengendalian terhadap hama dan penyakit. Tahap berikutnya adalah pemasaran bibit. 2. Jenis proses kegiatan pembibitan yang ke-2 dicirikan oleh kegiatan yang diawali dengan kegiatan persiapan lahan, kemudian pembuatan bedeng tabur, pembuatan atap/naungan, penaburan biji, pembuatan bedeng penyapihan, pengisian kontiner (polybag) dengan media tumbuh, penyapihan semai, pemeliharaan, dan pemasaran bibit. Proses kegiatan pembibitan yang demikian, pada umumnya merupakan garis besar proses pengadaan bibit berbentuk semai dalam polybag. 3. Jenis proses kegiatan pembibitan yang ke-3 dicirikan oleh kegiatan yang diawali dengan penyiapan media tumbuh bibit dalam polybag atau kontiner lainnya, kemudian pembuatan

Indriyanto

237

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 9. PEMBIBITAN POHON OLEH PENANGKAR BIBIT LOKAL


BAB 9. PEMBIBITAN POHON OLEH PENANGKAR BIBIT LOKAL

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

atap/naungan, menyemai benih langsung ke dalam polybag yang telah berisi media tumbuh bibit, pemeliharaan yang mencakup penyiraman, pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit, pemangkasan akar yang keluar dari kantong (polybag), dan tahap terakhir adalah pemasaran bibit. 4. Jenis proses kegiatan pembibitan yang ke-4 dicirikan oleh kegiatan yang diawali dengan kegiatan persiapan lahan, pembuatan bedengan penaburan untuk menyemai batang bawah, pembuatan atap/naungan, pengambilan mata tunas (entrij) atau pucuk (scion), melakukan okulasi atau penyambungan, membuka tali okulasi atau sambungan, memotong batang utama di atas bagian yang diokulasi, penyapihan/pemindahan bibit yang diokulasi atau disambung ke media penyapihan dalam kontiner (polybag/keranjang bambu), pemeliharaan, dan pemasaran bibit.

F. Pemasaran Bibit Kegiatan pemasaran bibit tampaknya bervariasi di antara para penangkar bibit berdasarkan atas rantai proses pemasaran yang terjadi secara alamiah oleh pihak-pihak yang terlibat dalam rantai pemasaran bibit. Komponen yang terlibat dalam rantai pasar bibit antara lain: penangkar bibit lokal, pemilik warung bibit, penyalur bibit, dan konsumen akhir. Dalam kegiatan pemasaran bibit, terdapat beberapa kemungkinan terjadinya proses, antara lain adalah sebagai berikut. 1. Adakalanya konsumen langsung datang ke lokasi penangkar bibit dan membeli bibit yang diperlukan. 2. Terdapat juga konsumen yang berasal dari institusi pemerintah maupun swasta yang langsung datang ke penangkar untuk memesan sejumlah tertentu bibit yang akan ditanam untuk kegiatan reboisasi maupun kegiatan penghijauan. 3. Pedagang perantara langsung datang ke lokasi penangkar bibit untuk membeli bibit yang kemudian dijual lagi ke konsumen yang membutuhkan. 4. Pedagang penyalur bibit datang ke lokasi penangkar bibit untuk mencari dan meyalurkan bibit yang telah dipesan oleh konsumen 238

Indriyanto


BAB 9. PEMBIBITAN POHON OLEH PENANGKAR BIBIT LOKAL

Garis besar rantai pemasaran bibit pohon yang ada di Lampung dapat dilukiskan seperti pada Gambar 27 sebagai berikut. Pada Gambar 27 dilukiskan rantai pemasaran bibit pohon di Lampung yang dimulai dari produsen bibit (penangkar bibit lokal) hingga sampai ke konsumen bibit (masyarakat yang siap menanam bibit). Bibit yang diproduksi oleh para penangkar bibit untuk sampai ke konsumen dapat melalui saluran pemasaran yang berbeda-beda bergantung kepada komponen rantai pemasaran yang terlibat dalam menyalurkan bibit ataupun dalam memenuhi kebutuhan konsumen terhadap bibit pohon. Konsumen bibit yang membutuhkan bibit dalam jumlah besar pada umumnya membeli bibit langsung kepada produsen bibit tanpa melewati komponen lainnya yang disebut komponen perantara, sehingga dalam proses pemasaran bibit terjadi hubungan langsung antara penangkar bibit lokal dengan konsumen bibit. Proses pemasaran bibit yang demikian memungkinkan kedua belah pihak saling memperoleh keuntungan. Pihak penangkar akan memperoleh keuntungan dari harga jual yang memadai, demikian pula konsumen bibit akan mendapatkan keuntungan karena memperoleh bibit berkualitas sesuai dengan pilihan mereka di lokasi pembibitan. Saluran dalam rantai pemasaran yang demikian termasuk saluran yang pendek.

Indriyanto

239

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

kepadanya. Mereka para penyalur bibit ini tidak punya pembibitan sendiri, akan tetapi apabila ada konsumen yang memesan bibit kepadanya pasti dicarikan bibit sesuai dengan pesanan konsumen ke lokasi-lokasi penangkar bibit. 5. Ada di antara para penangkar bibit yang mengirim bibit mereka ke warung-warung bibit untuk dipasarkan. Demikian pula sebaliknya, adakalanya pemilik warung bibit mencari dan mengambil bibit ke lokasi penangkar untuk dipasarkan di warungnya.


  

BAB 9. PEMBIBITAN 

POHON OLEH PENANGKAR BIBIT LOKAL

      



            Gambar 27. Rantai pemasaran bibit pohon di Lampung  

(Sasmita, 2006)



TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

  Saluran yang panjang pada proses pemasaran bibit dapat terjadi  melalui  penyalur bibit dan pemilik warung bibit. Pada saluran pemasaran  bibit yang demikian, konsumen tidak pernah komunikasi ataupun  negosiasi tentang kondisi barang dan harga jual bibit. Konsumen bibit   berinteraksi sangat intensif dengan penyalur bibit atau dengan pemilik  warung bibit, sehingga harga bibit yang diketahui konsumen adalah  harga yang telah ditetapkan oleh penyalur bibit maupun oleh pemilik  warung bibit. Harga bibit yang disampaikan oleh penyalur bibit dan  pemilik warung bibit kepada konsumen sudah pasti lebih tinggi  dibandingkan harga bibit yang ditetapkan oleh penangkar. Dengan demikian, kemungkinan yang terjadi dalam proses pemasaran bibit melalui saluran pemasaran ini permainan harga dan/atau permainan kualitas bibit. Permainan harga dapat merugikan terhadap penangkar bibit maupun terhadap konsumen, sedangkan permainan kualitas bibit sangat merugikan terhadap konsumen bibit. Namun demikian, hal ini adalah suatu kemungkinan yang dalam kenyataannya bisa terjadi seperti yang dikemukakan tersebut, juga bisa tidak terjadi seperti tersebut. Saluran dalam rantai pemasaran yang demikian termasuk saluran yang panjang. Secara logika, semakin panjang saluran

240

Indriyanto


BAB 9. PEMBIBITAN POHON OLEH PENANGKAR BIBIT LOKAL

Lampung meliputi masyarakat yang ada di Lampung maupun yang ada di luar Lampung. Masyarakat konsumen bibit yang ada di luar Lampung misalnya Aceh, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jawa, Kalimantan, Bali, Irian Jaya, dan Sulawesi, walaupun konsumen bibit yang berasal dari luar Sumatera jumlahnya sangat kecil yaitu hanya 1% (Aryani, 2002). Menurut Aryani (2002), penangkar bibit lokal yang banyak relasinya dengan konsumen bibit adalah penangkar bibit yang ada di Tegineneng (Lamsel) dan di Pekalongan (Lamtim). Ringkasan Kegiatan pembibitan pohon pada dasarnya telah melekat dalam diri setiap petani sejak awal kebudayaan manusia bercocok tanam, sehingga sejak petani membudidayakan pohon telah memiliki keterampilan membuat bibit berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya sendiri. Pembibitan pohon seperti yang dimaksudkan itu, pada mulanya hanya dilakukan oleh petani yang sedang membutuhkan bahan tanaman dalam proses budidaya spesies pohon tertentu saja, namun pada masa-masa berikutnya, pembibitan menjadi peluang usaha yang ditekuni oleh banyak orang terutama mereka yang mempunyai modal dan jiwa wirausaha. Dengan adanya peluang usaha pembibitan inilah muncul penangkar-penangkar bibit yang mencoba mengembangkan usaha pembibitan berbagai spesies pohon yang dibutuhkan oleh konsumen. Pembibitan pohon yang dilakukan oleh petani sendiri maupun yang dilakukan oleh pengusaha penangkar bibit menjadi salah satu faktor mendorong dalam upaya menyukseskan pelaksanaan reboisasi dan penghijauan. Demikian pula sebaliknya, upaya-upaya

Indriyanto

241

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

pemasaran bibit, maka akan semakin besar adanya kesenjangan antara harga bibit dan kaulitas bibit yang ada pada produsen dengan yang sampai kepada konsumen. Akan tetapi, hal demikian bisa diperkecil hanya oleh setiap komponen yang mengetahui tujuan kegiatan penanaman dan memiliki moral yang baik untuk menunjang keberhasilan berbagai tujuan kegiatan penanaman pohon. Konsumen bibit yang memanfaatkan bibit dari penangkar bibit di


BAB 9. PEMBIBITAN POHON OLEH PENANGKAR BIBIT LOKAL untuk menyukseskan pelaksanaan reboisasi dan penghijauan akan menjadi faktor pendorong berkembangnya kegiatan wirausaha dalam pembibitan pohon hutan. Mengingat sebagian besar bibit yang diproduksi oleh penangkar bibit lokal (di Lampung) adalah untuk memenuhi kebutuhan kegiatan reboisasi dan penghijauan, oleh karena itu spesies pohon yang diusahakan meliputi kelompok spesies kekayuan (penghasil utama kayu) dan spesies MPTS (multipurpose trees and shrubs species). Beberapa spesies pohon yang termasuk kelompok spesies kekayuan antara lain: jati, medang, cempaka, mahoni, sengon, pulai, bayur, meranti, mangium, mindi, akasia, gaharu, gmelina, sungkai, dan jelutung. Adapun spesies pohon dan perdu yang termasuk kelompok MPTS antara lain: durian, tangkil, kemiri, karet, petai, rambutan, mangga, kayu manis, pinang, alpokat, cempedak, pala, coklat, manggis, dan kelengkeng.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Latihan 1. Jelaskan apa yang disebut penangkar bibit lokal? 2. Jelaskan apa yang disebut spesies kekayuan dan apa yang disebut spesies MPTS? 3. Berilah contoh nama tumbuhan yang termasuk kelompok spesies kekayuan. 4. Berilah contoh nama tumbuhan yang termasuk kelompok spesies MPTS. 5. Jelaskan mengapa pengalaman para penangkar bibit lokal perlu dipelajari oleh mahasiswa? 6. Jelaskan apa saja dasar pertimbangan para penangkar bibit lokal dalam menentukan atau memilih cara perbanyakan tanaman untuk pembibitan pohon? 7. Sebutkan empat jenis proses kegiatan pembibitan yang dilakukan oleh penangkar bibit lokal di Lampung? 8. Buatlah bagan alir rantai pemasaran bibit yang dilakukan oleh penangkar bibit lokal di Lampung, kemudian berilah penjelasan secara seingkat mengenai bagan tersebut. 9. Sebutkan beberapa kemungkinan yang terjadi pada proses pemasaran bibit oleh penangkar bibit. 242

Indriyanto


SERTIFIKASI MUTU BENIH A. Pendahuluan Benih yang bermutu, baik bermutu genetik maupun bermutu fisiologis sangat diperlukan dalam menghasilkan bibit dan tanaman yang bermutu. Pada umumnya untuk menghasilkan bibit yang bermutu, telah diawali dengan upaya pengadaan bahan tanaman secara baik dan benar, serta bersumber dari sumber bahan tanaman yang layak, misalnya dari pohon plus, tegakan benih, areal pengumpulan benih, kebun benih semai, kebun benih klon, maupun dari kebun benih pangkas. Jenis-jenis sumber benih yang dibangun oleh masyarakat, terutama untuk spesies pohon hutan dapat dimintakan legalisasi kepada BPTH (Balai Perbenihan Tanaman Hutan), bahkan benih (biji) yang akan dijadikan bahan tanaman untuk pembibitan dapat dimintakan legalisasi kepada BPTH agar kualitas benih dapat diverifikasi, sehingga bibit yang dihasilkan tidak diragukan dan tidak mengecewakan masyarakat konsumen. Sedangkan untuk spesies tanaman penghasil buah-buahan, legalisasi sumber benih dan sertifikasi mutu benih dapat dimintakan dan/atau dilakukan registrasi kepada BPSB (Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih). Upaya sertifikasi mutu benih perlu dilakukan agar bibit yang dihasilkan para penangkar bibit betuk-betul bibit yang berkualitas dengan sumber bahan tanaman jelas dan layak digunakan, mutu genetik dan mjutu fisiologisnya terjamin. Hal ini diharapkan agar bibit Indriyanto

243

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

10


BAB 10. SERTIFIKASI MUTU BENIH yang ditanam memiliki persentase keberhasilan hidup yang tinggi, pertumbuhannya baik, dan hasil tanamannya memuaskan konsumen. Dengan demikian, masyarakat konsumen tidak akan dirugikan, bahkan sebaliknya komsumen akan merasa puas terhadap bibit yang ditanam dan hasil dari tanamannya. Kompetensi dasar dalam mempelajari bab 10 adalah agar mahasiswa dan para pembaca lainnya mampu memahami tujuan sertifikasi mutu benih, lalu memahami prosedur sertifikasi mutu benih tanaman hutan, kemudian mampu menerapkan prosedur sertifikasi mutu benih untuk memperoleh benih yang secara resmi (legal) tidak diragukan kualitasnya.

B. Tujuan Sertifikasi Mutu Benih

1.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

2. 3. 4.

5.

Sertifikasi mutu benih ini bertujuan sebagai berikut. Untuk menjamin kelayakan sumber-sumber bahan tanaman untuk pembibitan. Untuk menjamin kebenaran bibit yang dihasilkan dari sumber bahan tanaman yang layak digunakan untuk bibit. Untuk menjamin mutu benih yang akan disemai, sehingga proses pembibitan tidak merugikan penangkar bibit Untiuk menjamin mutu genetik dan mutu fisiolis dari bibit yang diproduksi oleh para penangkar bibit, agar konsumen merasa puas atas bibit yang ditanam dan hasil dari tanamannya. Menjamin kebenaran secara hukum (yuridis) terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan kelayakan sumber benih, kualitas bahan tanaman, dan kualitas bibit yang dihasilkan oleh penangkar bibit.

Sertifikasi mutu benih merupakan suatu rangkaian kegiatan untuk memberikan legalisasi (pengesahan) terhadap sumber bahan tanaman, bahan-bahan tanaman yang digunakan, dan terhadap bibit yang dihasilkan dari proses pembibitan tanaman. Sertifikasi ini dimaksudkan agar pengada bahan tanaman dan bibit dapat menjaga

244

Indriyanto


kualitas bahan tanaman dan bibit yang diproduksi. Kualitas yang dimaksudkan terutama adalah kualitas yang mencakup kualitas genetis dan kualitas fisiologis, walaupun demikian secara realitas konsumen pasti menghendaki kualitas fisik karena bagi konsumen yang mudah dilihat adalah kualitas fisik dari barangnya (bibitnya). Kondisi fisik bibit yang tampak merupakan efek dari faktor genetis dan lingkungan, sehingga memengaruhi proses fisiologis yang terjadi pada bibit, dan ekspresi sifatnya akan tampak pada fenotipe bibit dan kondisi fisik bibit. Sertifikasi mutu benih dapat dikatakan sebagai upaya untuk mengontrol dan/atau mengawasi proses pengadaan bibit untuk berbagai tujuan penanaman pohon, agar langkah-langkah yang dilakukan penangkar bibit dalam pengadaan bibit tidak mengecewakan konsumen bibit. Adanya sertifikasi ini menandakan pengawasan dalam hal pengadaan bibit bermutu diperketat, sehingga secara moral konsumen berhak menolak untuk tidak membeli (tidak menerima) bibit yang tidak ada sertifikasinya, yaitu bibit yang sumber bahan tanamannya tidak jelas sehingga mutunya diragukan. Bahkan dengan kata lain, bibit yang tidak ada sertifikasinya dapat dikatakan sebagai bibit yang palsu. Pentingnya melakukan upaya sertifikasi mutu benih, hendaknya disosialisasikan kepada seluruh anggota masyarakat agar aspek ini dapat diketahui dan dipahami oleh mereka. Bahkan sosialisasi masalah sertifikasi mutu benih ini hendaknya diikuti oleh kegiatan penyuluhan mengenai aspek pembibitan dan langkah-langkah untuk memroduksi bibit yang berkualitas (bermutu). Upaya ini harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh seluruh anggota masyarakat yang terlibat dalam proses budidaya pohon. Demikian pula pemerintah, melalui instansi yang diberi kewenangan dalam sertifikasi mutu benih diharapkan secara tertib melaksanakan sertifikasi mutu benih secara arif dan sungguh-sungguh dalam melakukan mengawasan terhadap proses produksi bibit bermutu. Untuk dapat menghasilkan bibit bermutu, siapapun yang terlibat dalam proses budidaya pohon harus mengerti dan memahami

Indriyanto

245

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BAB 10. SERTIFIKASI MUTU BENIH


BAB 10. SERTIFIKASI MUTU BENIH pentingnya sertifikasi mutu benih, serta mengerti dan memahami manfaat dari penggunaan bibit yang bermutu terhadap tercapainya tujuan penanaman pohon.

C. Prosedur Sertifikasi Mutu Benih Tanaman Hutan Sertifikasi mutu benih tanaman hutan dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, yaitu oleh Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH). Sertifikasi mutu benih dan segala sesuatu yang berkaitan dengan registrasi dan legalisasi mutu benih untuk tanaman selain tanaman hutan dilaksanakan oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB). Kedua lembaga tersebut senantiasa bekerja dengan tujuan yang sama persis, hanya objek tanamannya saja yang berbeda. Adapun prosedur pemberian sertifikasi mutu benih tanaman hutan yang dilakukan oleh BPTH dapat dilihat pada bagan alir mengenai   tahap proses sertifikasi yang disajikan pada Gambar 28. 

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

 

 

          

      

  

   

 





Gambar 28. Bagan alir mengenai tahap proses sertifikasi mutu benih   (Balai Perbenihan Tanaman Hutan, 2002)  



Penjelasan mengenai setiap tahap proses sertifikasi mutu benih  sebagaimana tertuang pada bagan alir (Gambar 28) diuraikan sebagai   berikut.  

Indriyanto 246  


BAB 10. SERTIFIKASI MUTU BENIH

2.

3.

4.

5.

kegiatan pengadaan tanaman (benih ataupun bibit). Surat permohonan sertifikasi mutu benih yang diajukan ke BPTH harus disertai dengan contoh (sampel) benih yang akan disertifikasi, kecuali permohonan legalisasi sumber bahan tanaman (pohon induk/pohon plus, dan lain-lain). Balai Perbenihan Tanaman Hutan melakukan pengujian mutu fisik dan mutu fisiologis terhadap sampel benih. Variabel pengujian yang diamati meliputi: persentase kemurnian benih, bobot benih per 1.000 butir, kadar air benih, dan persentase kecambah benih. Khusus untuk permohonan legalisasi sumber bahan tanaman (pohon induk), maka BPTH akan melakukan pemeriksaan atau verifikasi pohon induk di lapangan atau di lokasi pohon induk tersebut. Balai Perbenihan Tanaman Hutan mengeluarkan surat keterangan hasil pengujian benih serta sertifikat mutu benih berdasarkan hasil pengujian terhadap sampel benih. Surat keterangan hasil pengujian benih maupun sertifikat mutu benih diberikan kepada pemohon. BPTH juga mempunyai kewenangan mengeluarkan surat keterangan ataupun sertifikat terhadap pohon induk atau sumber bahan tanaman lainnya berdasarkan hasil pemeriksaan dan verifikasi yang telah dilakukan. Sertifikat mutu benih dan surat keterangan hasil pengujian benih hanya berlaku untuk benih yang sampelnya diuji, dan tidak berlaku untuk benih hasil pemanenan yang lainnya. Demikian juga sertifikat dan surat keterangan tentang pohon-pohon sumber bahan tanaman hanya berlaku untuk pohon-pohon yang telah diperiksa atau diverifikasi oleh BPTH, dan tidak berlaku untuk pohon-pohon lainnya. Indriyanto

247

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

1. Pemohon mengajukan surat permohonan sertifikasi mutu benih ataupun permohonan legalisasi lainnya yang berhubungan dengan mutu benih, misalnya legalisasi pohon induk atau sumber bahan tanaman lainnya, biji (benih), dan bibit kepada Balai Perbenihan Tanaman Hutan. Pemohon dapat berupa orang secara individu (perorangan), bisa berupa koperasi, BUMN, BUMD, BUMS, dinas/ instansi pemerintah, dan lembaga yang berkecimpung dalam


BAB 10. SERTIFIKASI MUTU BENIH 6. Pemohon harus bertanggung jawab atas kualitas benih dan sumber bahan tanaman setelah penerbitan surat keterangan hasil pengujian benih dan sertifikat mutu benih, serta sertifikat pohon induk. 7. BPTH hanya bertanggung jawab atas hasil pengujian sampel benih yang dikirimkam ke BPTH, serta hasil pemeriksaan/verifikasi pohonpohon induk.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

8. BPTH dapat membatalkan sertifikat mutu benih maupun sertifikat pohon-pohon induk jika terbukti label benih yang dipasang pada benih tidak sesuai dengan sertifikat mutu benih yang dikeluarkan oleh BPTH, dan jika terbukti bahwa pohon-pohon yang digunakan untuk sumber bahan tanaman tidak sesuai dengan pohon-pohon yang telah diverifikasi oleh BPTH. Ringkasan Upaya sertifikasi mutu benih perlu dilakukan agar bibit yang dihasilkan para penangkar bibit betuk-betul bibit yang berkualitas dengan sumber bahan tanaman jelas dan layak digunakan, mutu genetik dan mjutu fisiologisnya terjamin. Sertifikasi mutu benih merupakan suatu rangkaian kegiatan untuk memberikan legalisasi terhadap sumber bahan tanaman, bahan-bahan tanaman yang digunakan, dan terhadap bibit yang dihasilkan dari proses pembibitan tanaman. Sertifikasi ini dimaksudkan agar pengada bahan tanaman dan bibit dapat menjaga kualitas bahan tanaman dan bibit yang diproduksi. Sertifikasi mutu benih tanaman hutan dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, yaitu oleh Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH). Sertifikasi mutu benih dan segala sesuatu yang berkaitan dengan registrasi dan legalisasi mutu benih untuk tanaman selain tanaman hutan dilaksanakan oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB).

248

Indriyanto


BAB 10. SERTIFIKASI MUTU BENIH

1. Jelaskan apa yang dimaksud sertifikasi mutu benih? 2. Sebutkan apa saja tujuan dilakukannya sertifikasi mutu benih. 3. Apa nama lembaga yang diberi kewenangan untuk melakukan sertifikasi mutu benih di Indonesia? 4. Gambarkan bagan alir tahap proses sertifikasi mutu benih, 5. Jelaskan masing-masing tahap proses sertifikasi mutu benih seperti yang terdapat pada bagan alir tersebut.

Indriyanto

249

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Latihan



Adisubroto, S. dan S. Priasukmana. 1985. Teknik Pembangunan Pesemaian Acacia mangium Wild. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. P. 10—17. Aritonang, F. R. 2005. Pengaruh Perendaman dengan Beberapa Suhu Awal Air terhadap Perkecambahan Benih Jati (Tectona grandis L.). Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 44 p. Aryani, D. 2002. Studi Produksi Bibit Tanaman Kayu dan Buah dari Usaha Pembibitan untuk Mendukung Kegiatan Rehabilitasi Lahan di Provinsi Lampung. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 67 p. Asmaliyah dan M. Suharti. 1998. Teknik Pengenalan Beberapa Hama di Pesemaian, Tanaman Muda dan Tua pada Hutan Tanaman Industri: Volume I. Infor Hutan No. 88. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. 20 p. Baker, F. S., T. W. Daniel, dan J. A. Helms. 1979. Principles of Silviculture. McGraw-Hill Inc. Book Co. New York. 523 p.

Indriyanto

251

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

DAFTAR PUSTAKA


DAFTAR PUSTAKA

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. ---. Teknik Silvikultur Bambang Lanang (Madhuca aspera). Selebaran. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Palembang. 6 p. Balai Perbenihan Tanaman Hutan. 2000. Deskripsi Jenis Tanaman Hutan Sumatera. Palembang. 35 p. Balai Teknologi Perbenihan. 2000. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. http:// www.indonesianforest.com/ Brunt, L. P., R. B. Dean, dan P. K. Patrick. 1985. Composting. WHO Regional Office for Europe Copenhagen, Denmark. P. 37—77. Copeland, L. O. 1995. Principles of Seed Science and Technology. Burgess Publ. Comp. Minneapolis. Minnesota. USA. Dali, J. dan A. Ng. Gintings. 1993. Cara Penanaman Kemiri. Informasi Teknis No. 38. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. 12 p. Darjadi, L. dan R. Hardjono. 1976. Sendi-Sendi Silvikultur. Direktorat Djendral Kehutanan. Departemen Pertanian. Jakarta. 97 p. Fakuara Ts., M. Y. dan Y. Setiadi. 1990. Aplikasi Mikoriza dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Makalah Seminar Bioteknologi Hutan di Wana-gama I Yogyakarta. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. P. 1—35. Ginting, E. M. N. 2005. Pengaruh Bokashi Kotoran Gajah terhjadap Pertumbuhan Stek Sungkai (Peronema canescens). Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 44 p. Hadi, S. 1999. Status Ektomikoriza pada Tanaman Hutan di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza I. Pemanfaatan Cendawan Mikoriza sebagai Agen Bioteknologi Ramah Lingkungan dalam Meningkatkan Produktivitas Lahan di Bidang Kehutanan, Perkebunan, dan Pertanian di Era Milenium Baru. Pusat Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. P. 25—32. Hadi, S. 2001. Patologi Hutan: Perkembangannya di Indonesia. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. 516 p.

252

Indriyanto


DAFTAR PUSTAKA

Hartmann, H. T., W. J. Flocker, and A. M. Kofranek. 1981. Plant Science: Growth, Development, and Utilization of Cultivated Plants. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. USA. 676 p. Hendromono. 1998. Pengaruh Bahan Tanaman dan Naungan terhadap Persentase Pertumbuhan Akar Stek Shorea javanica K. & V.. Buletin Penelitian Hutan No.: 616. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor. P. 1—11. Heriyanto, N. M. dan Sutiyono. 2001. Keragaman Ukuran Biji Diospyros celebica Bakh. dan Pengaruhnya terhadap Perkecambahan. Buletin Penelitian Hutan No. 626. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Bogor. P. 23—34. Indriani, Y. H. 2001. Membuat Kompos secara Kilat. PN Penebar Swadaya. Jakarta. 62 p. Indriyanto. 1999. Pengaruh Periode Penyapihan dan Media Penyapihan terhadap Kualitas Pertumbuhan Bibit Mahoni. Buletin Kehutanan No. 39/1999. Yogyakarta. P. 12—20. Indriyanto. 2002. Respon Semai Pohon Rukam, Ketupak, dan Salam terhadap Campuran Media Tanah, Bokashi Sekam Padi, Bokashi Serbuk Kayu Sengon, dan Bokashi Kulit Kopi. Laporan Penelitian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 31 p. Indriyanto. 2004. Respon Semai Pohon Cengal (Hopea sangal Korth.) terhadap Campuran Media Tumbuh Tanah, Bokashi Sekam Padi, dan Bokashi Serbuk Kayu Gergajian di Pesemaian. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil-Hasil Penelitian Universitas Lampung Edisi 1 Tahun 2004. P. 186—191.

Indriyanto

253

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Hamijoyo, P. 1986. Tembesu: Pohon Tahan Api yang Dilupakan. Prosiding Diskusi Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Departemen Kehutanan. Jakarta. P. 335—338. Harist, A. 2000. Pengaruh Pemberian Bokashi Serbuk Gergaji dan Bokashi Sekam Padi pada Media Tanam terhadap Pertumbuhan Bibit Mangium (Acacia mangium). Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 63 p.


DAFTAR PUSTAKA

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Indriyanto. 2005. Pengaruh Pemberian Bokashi pada Media Tumbuh terhadap Pertumbuhan Stek Cabang Damar (Shorea javanica). Laporan Penelitian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 38 p. Januansyah, M. 2007. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh AIA, AIB, dan Rootone-F terhadap Pertumbuhan Stek Pucuk Ampupu (Eucalyptus urophylla). Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 57p. Kadri, W. et al.. 1992. Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. 246 p. Kardinan, A. dan A. Ruhnayat. 2003. Mimba: Budidaya dan Pemanfaatan. PN Penebar Swadaya. Jakarta. 48 p. Khaerudin. 1994. Pembibitan Tanaman HTI. PN Penebar Swadaya. Jakarta. 110 p. Killham, K. 1996. Soil Ecology. Cambridge University Press. United Kingdom. 242 p. Kosasih, A. S., Y. Sumarna, N. Mindawati, dan I. Heriansyah. 2002. Petunjuk Teknis Pemeliharaan dan Perlindungan pada Introduksi Jenis Pohon Hutan. Info Hutan No. 151. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. 17 p. Kuswanto, 1990. Teknologi Produksi Inokulum Ektomikoriza dan Peranan Mikoriza di Kehutanan. Makalah Seminar Bioteknologi Hutan. Yogyakarta. 19 p. Manan, S. 1976. Silvikultur. Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi Institut Pertanian Bogor. Bogor. 225 p. Masano. 1997. Teknik Penanaman Khaya anthotheca. Info Hutan No. 81. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. 9 p. Masano. 1998. Teknik Penanaman Pterygota alata Roxb.. Info Hutan No. 87. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. 9 p.

254

Indriyanto


DAFTAR PUSTAKA

Tanaman Industri. Sekretariat Pengendalian Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Departemen Kehutanan. Jakarta. P. 131—147. Nugroho, A. dan H. Sugito. 2001. Pedoman Pelaksanaan Teknik Kultur Jaringan. PN Penebar Swadaya. Jakarta. 71 p. Nuhamara, S. T., S. Hadi, dan E. I. Bimaatmadja. 2001. Suspected Ectomyco-rrhizal Fungi Commonly Associated with Dipterocarp Species. Dalam Buku Patologi Hutan: Perkembangannya di Indonesia. Halaman 275—277. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Octaviana, C. 2005. Pembibitan Jati di BKPH Pasar Sore KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Laporan Praktik Umum. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 52 p. Okfriansyah. 2003. Pengaruh Media Bokashi Kulit Kopi dan Kotoran Kambing terhadap Pertumbuhan Semai Alpukat, Lengkeng, dan Duku di Desa Sumber Agung Kecamatan Kemiling, Bandar Lampung. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 51 p. Omon, R. M. 1987. Pengaruh Hormon NAA terhadap Pertumbuhan Anakan Cabutan Hopea mengarawan Miq. di Dramaga, Bogor. Buletin Penelitian Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. No. 491: 20—25. Permana, F. S. 1997. Pengaruh Waktu Penyapihan dan Inokulasi Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA) Asal Hutan Primer dan Hutan Sekunder Sumberjaya terhadap Infeksi Akar Sengon (Paraserianthes falcataria) di Pesemaian. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 53 p. Indriyanto

255

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Musradi. 2006. Pengaruh Perbedaan Suhu Awal Perendaman Air terhadap Perkecambahan Benih Merbau Darat (Intsia palembanica Miq.). Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 45 p. Napitupulu, B. dan N. Supriana. 1986. Percobaan Pendahuluan Penggunaan Hormon pada Anakan Meranti Batu di Purba Tongah, Sumatera Utara. Prosiding Diskusi Pembangunan Hutan


DAFTAR PUSTAKA

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Prastowo, N. H., J. M. Roshetko, G. E. S. Manurung, dkk. 2006. Teknik Pembibitan dan Perbanyakan Vegetatif Tanaman Buah. World Agroforestry Centre. Bogor. 92 p. Purwani, A. 2006. Pengaruh Lama Perendaman pada Berbagai Konsentrasi Larutan Asam Sulfat terhadap Perkecambahan Benih Merbau Darat (Intsia palembanica Miq.). Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 51 p. Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. 1382 p. Rahayu, M., U. Soetisna, dan N. Sumiasri. 1991. Potensi Beberapa Jenis Acacia di Indonesia dalam Hutan Tanaman Industri. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Vol VII No.1. Badan Penelitian dan Pengembangan Hutan. Departemen Kehutanan. Bogor. P.9—12. Rahayu, S. 2004. Penyakit Tanaman Hutan di Indonesia. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 112 p. Russell, E. W. 1973. Soil Conditions and Plant Growth. The English Language Book Society and Longman. Tenth Ed. Printed in Great Britain by William Clower and Sons, London. Sabaruddin, K. dan E. Iswahyudi. 1986. Teknologi Pembibitan Semi Mekanis Permanen di Benakat. Prosiding Diskusi Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Departemen Kehutanan. Jakarta. P. 178—202. Santoso, B. 1991. Program Pengadaan Benih Unggul dan Pemuliaan Pohon. Proyek Pusat Pengembangan Sumber Benih Departemen Kehutanan. Yogyakarta. 29 p. Sari, F. A. 2004. Pengaruh Pengamplasan dan Giberelin terhadap Daya Tumbuh Benih dan Vigor Bibit Jati (Tectona grandis L.). Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 73 p. Sasmita, W. 2006. Kajian Pengelolaan Bibit oleh Penangkar Bibit Lokal di Provinsi Lampung. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 87 p. Sastrawinata, H. A. 1984. Pengaruh Intensitas Cahaya Matahari terhadap Pertumbuhan Bibit Shorea laevis Ridl. di Kompleks 256

Indriyanto


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan. Bogor. P.55—60. Sitompul, L. F. 2995. Pengaruh Suhu Awal Perendaman dengan Air dan Larutan Kalium Nitrat (KNO3) terhadap Perkecambahan Benih Mahoni (Swietenia macrophylla). Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 48 p Smith, D. M. 1986. The Practice of Silviculture. Eighth Ed. Jhon Wiley & Sons. New York. 527 p. Sofyan, A., M. Rahmat, dan Kusdi. 2005. Teknik Pembibitan Tembesu. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Palembang. P. 15—19. Soesanto, L. 2012. Definisi tentang Penyakit Tanaman. Komunikasi personal. Sudradjat. 1987. Pengaruh Hormon Rootone-F terhadap Pertumbuhan Stek Morus shima. Buletin Penelitian Hutan No. 491. Pusat Penelitian Hutan dan Pengembangan Hutan. Bogor. P. 26—33. Sumarna, Y., N. Mindawati, dan A. S. Kosasih. 1998. Pedoman Pemanfaatan Efektif Mikroorganisme pada Pembangunan Hutan Tanaman. Info Hutan No. 89/1998. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. 9 p. Sumarna, Y., A. S. Kosasih, dan N. Mindawati. 2001. Pembibitan Jenis Pohon Penghasil Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.). Info Hutan No. 139. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. 6 p.

Indriyanto

257

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Wanariset, Kalimantan Timur. Laporan Hasil Penelitian No. 461. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. 9 p. Schmidt, L. 2000. Guide to Handling of Tropical and Subtropical Seed. Danida Forest Seed Centre. Denmark. 511 p. Siagian, Y. T. 1992. Pengaruh Hormon Indole 3-Butyric Acid (IBA) terhadap Persentase Jadi Stek Batang Gmelina arborea L.. Buletin Penelitian Hutan Nomor 546. Badan Penelitian dan Pengembangan Hutan,


DAFTAR PUSTAKA

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Sumarna, Y. 2002. Budidaya Gaharu. PN Penebar Swadaya. Jakarta. 80 p. Sumarna, Y. 2003. Budidaya Jati. PN Penebar Swadaya. Jakarta. 80 p. Sunanto, H. 1994. Budidaya Kemiri. PN Kanisius. Yogyakarta. 69 p. Sunanto, H. 2003. Budi Daya dan Penyulingan Kayu Putih. PN Kanisius. Yogyakarta. 76 p. Suratmo, F. G. 1982. Ilmu Perlindungan Hutan. Diktat Kuliah. Bagian Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 231 p. Suseno, O. H. dan Suginingsih. 1984. Ilmu dan Teknologi Benih Pohon Hutan. Jurusan Budidaya Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 94 p. Sutarto, I. 1994. Teknik Perbanyakan Vegetatif pada Tanaman Hias Semak, Perdu, dan Pohon. Informasi Hortikultura Vol.2 No.1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. P. 1—7. Sutedjo, M. M., A. G. Kartasapoetra, dan R. D. S. Sastroatmodjo. 1996. Mikro-biologi Tanah. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 446 p. Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih. Penerbit PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 237 p. Syafutri, R. 2002. Pengaruh Perlakuan Perendaman Benih Mahoni (Swietenia macrophylla King.) dalam Larutan KNO3 terhadap Kualitas Pertumbuhan Semai. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 56 p. Turjaman, M. dan E. Santoso. 2001. Efektivitas Tablet, Kapsul, dan Suspensi Spora Pisolithus arhizus Cendawan Ektomikoriza pada Semai Eucalyptus pellita. Bulletin Penelitian Hutan Nomor 629. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. P. 17—29. Turjaman, M., R. S. B. Irianto, dan E. Santoso. 2002. Teknik Inokulasi dan Produksi Massal Cendawan Ektomikoriza. Info Hutan Nomor 152. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. 16 p.

258

Indriyanto


DAFTAR PUSTAKA

Dipterocarpaceae. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. 105 p. Yurika, E. 1997. Pengaruh Pemberian Inokulum Tanah yang Mengandung ikoriza Vesikular Arbuskular (MVA) Asal Beberapa Lokasi di Sumberjaya terhadap Kemampuan Menginfeksi Akar Tanaman Sengon (Para-serianthes falcataria) di Pesemaian. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 56 p.

Indriyanto

259

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Wartini, N. 2006. Pengaruh Konsentrasi Pupuk Daun Bayfolan terhadap Pertumbuhan Bibit Mahoni (Swietenia macrophylla). Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 51 p. Wudianto, R. 1994. Membuat Stek, Cangkok, dan Okulasi. Seri Pertanian. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta. 172 p. Yasman, I., Hernawan, A. Priadjati, et al. 2002. Manual Persemaian



Aerasi: penyaluran udara Aforestasi: penghijauan Aktivator: pengaktif Apikal: ujung Bokashi: kompos Cabang: dahan dan ranting Daya berkecambah: kemampuan untuk berkecambah Dekomposisi: pelapukan dan penguraian Difusi: penyebaran; percampuran Dormansi: masa istirahat benih Dosis: takaran penggunaan; ukuran penggunaan Drainase: penyaluran air Ektendomikoriza: mikoriza ektendotropik Ektomikoriza: mikoriza ektotropik Embrio: lembaga; tumbuhan mini Endocarpium: kulit buah bagian dalam Endomikoriza: mikoriza endotropik Entrijs: bakal tunas untuk okulasi Exocarpium: kulit buah bagian luar

Fase: tingkat Fermentasi: peragian Heksagon: segi enam Hifa: benang-benang cendawan Infeksi: ketularan Infiltrasi: perembesan; penyusupan Inhibitor: penghambat Inokulasi: penularan Inokulum: bahan penularan Internodus: ruas Intoleran: tidak tahan keteduhan Kapasitas: daya tampung Kompos: pupuk organik Kontiner: wadah Kotiledon: keping biji Mantel: selubung Mengabsorpsi: menyerap Menstimulasi: memacu Mesocarpium: kulit buah bagian tengah Miselium: kumpulan hifa Naungan: atap; peneduh Nodus: buku-buku batang Okulasi: tempelan Onderstam: batang bawah untuk okulasi Ovarium: bakal buah Ovulum: bakal biji Indriyanto

261

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

KAMUS KECIL


KAMUS KECIL

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Pohon induk: pohon tetua Primordial tunas: bakal tunas Radikel: akar Reforestasi: reboisasi Rejuvenasi: memudakan lagi Scion: pucuk untuk penyambungan Semai: kecambah; anakan pohon Siku keluang: bentuk segi tiga sama kaki Skarifikasi: pematahan masa dormansi Stock: batang bawah untuk penyambungan Terisolasi: tersekat; terpisah letaknya Toleran: tahan keteduhan; tahan penaungan Tolok ukur: patokan; standar

262

Indriyanto


Aerasi: kondisi sirkulasi udara dalam suatu bahan. Akar: organ vegetatif tumbuhan yang berfungsi memperkuat berdirinya tumbuhan, Menyerap air, hara, dan udara dalam tempat tumbuhnya. Arbuskulus: sistem percabangan hifa yang terdapat di dalam sel korteks akar tumbuhan inang. Areal pengumpulan benih: tegakan benih yang memperoleh pemeliharaan secara intensif. Bahan organik: bahan yang berasal dari organisme yang telah mati dan dari kotoran organisme. Batang: bagian tubuh tumbuhan yang berfungsi sebagai sumbu tubuh dan sebagai jaringan pengangkutan bahan baku dan hasil fotosintesis.

Bedengan: tempat untuk mengecambahkan benih atau untuk menyapih kecambah di pesemaian. Benih: biji tumbuhan yang dipergunakan untuk bahan tanaman; semua organ tumbuhan yang berfungsi dan dimanfaatkan untuk bahan tanaman. Bibit: bahan tanaman yang siap untuk ditanam di areal penanaman. Biji: organ generatif tumbuhan yang terbentuk dari bakal biji dan berkembang setelah proses pembuahan pada bunga. Biomassa: materi dan energi yang tersimpan dalam tubuh organisme selama hidupnya; hasil fotosintesis bersih bagi tetumbuhan. Buah: organ generatif tumbuhan yang terbentuk dari bakal buah dan berkembang setelah proses pembuahan pada bunga. Indriyanto

263

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

TAKARIR


TAKARIR Buku-buku batang: tempat duduknya daun, juga sebagai tempat tumbuhnya tunas. Cabang: bagian dari batang yang tumbuh pada buku-buku batang dan pada umumnya merupakan perkembangan dari tunas yang muncul dari bagian ketiak daun pada batang. Cangkok: dahan atau ranting yang ditumbuhkan akarnya ketika masih melekat pada pohon induknya.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Dekomposisi: proses pelapukan dan penguraian bahan organik oleh organisme pengurai (bakteri dan cendawan) menjadi humus dan zat hara. Dominansi apikal: keadaan ujung/pucuk yang berpengaruh kuat terhadap pertumbuhan. Dormansi: masa istirahat bagi benih meskipun berada pada kondisi yang ideal untuk perkecambahannya. Drainase: kondisi sirkulasi air dalam suatu bahan. Edafis: hal yang berhubungan dengan tanah. Ekstraksi benih: kegiatan mengeluarkan benih dari buah atau kegiatan menghilangkan pericarpus berdaging yang menempel pada benih. Ektendomikoriza: struktur yang terbentuk akibat simbiosis antara cendawan mikoriza dengan akar tumbuhan, sehingga pada 264

Indriyanto

permukaan akar tumbuhan terbentuk selubung jalinan hifa cendawan, selain itu cendawannya berkembang hingga di dalam sel-sel korteks akar tumbuhan. Ektomikoriza: struktur yang terbentuk akibat simbiosis antara cendawan mikoriza dengan akar tumbuhan, sehingga pada permukaan akar tumbuhan terbentuk selubung jalinan hifa cendawan. Endomikoriza: struktur yang terbentuk akibat simbiosis antara cendawan mikoriza dengan akar tumbuhan, dan cendawannya berkembang hanya di dalam sel-sel korteks akar serta pada akar tersebut tidak terbentuk selubung jalinan hifa cendawan. Endosperm: jaringan yang mengandung persediaan makanan yang terbentuk di dalam kantong embrio pada tumbuhan berbiji. Epidermis: lapisan sel paling luar pada tumbuh-tumbuhan dan hewan. Fenotipe: sifat-sifat makhluk hidup yang dihasilkan karena interaksi antara susunan genetik dan lingkungan; sifat-sifat yang tampak sebagai ekspresi susunan genetik maupun interaksi antara susunan genetik dan lingkungan. Fermentasi: penguraian metabolik senyawa organik oleh mikroorganisme yang menghasilkan energi yang pada


TAKARIR umumnya berlangsung dengan kondisi anaerobik dan dengan pembebasan gas.

sifat spesies tumbuhan yang memerlukan intensitas radiasi matahari secara penuh untuk pertumbuhannya.

Fungisida: zat beracun untuk membunuh cendawan. Gejala: kelainan atau penyimpangan dari keadaan normal. Generatif: organ tumbuhan yang berupa biji, buah, dan spora.

Klimatis: hal yang berhubungan dengan iklim. Kolet: batas antara batang dengan akar tumbuhan.

Genotipe: sifat-sifat makhluk hidup yang ditentukan oleh susunan genetik; sifat yang tidak tampak dari luar.

Mikoriza: struktur yang terbentuk dari proses simbiosis mutualisme antara cendawan pembentuk mikoriza dengan akar tumbuhan.

Grafting: gabungan batang dengan tunas atau pucuk. Hama: semua binatang yang dalam aktivitas hidupnya menimbulkan kerusakan pada tanaman, bahkan bisa mengakibatkan tanaman mati. Haustorium: alat serap zat hara pada cendawan parasit yang bermacam-macam bentuk dan susunannya. Inang: organisme tempat parasit tumbuh dan makan. Inokulum: material pokok yang dipergunakan untuk inokulasi. Insektisida: zat beracun untuk membunuh serangga. Intoleran: sifat spesies tumbuhan yang tidak tahan terhadap penaungan oleh spesies tumbuhan lainnya;

Mikroorganisme: makhluk hidup sederhana yang terbentuk dari satu atau beberapa sel yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop yang biasanya hidup secara parasit atau saprofit. Mikropil: lubang kecil pada kulit benih sebagai jalan keluarnya akar. Mutualisme: saling Menguntungkan kedua belah pihak. Okulasi: gabungan batang dengan bakal tunas. Ortodoks: sifat benih dapat disimpan lama pada kadar air rendah (2—5%) dan tidak cepat menurun viabilitasnya.

Indriyanto

265

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Kebun benih: kebun/hutan yang dibangun atau ditanami pohon-pohon plus dengan maksud untuk sumber pengambilan benih.


TAKARIR Patogen: mikroorganisme sebagai parasit yang dapat menimbulkan penyakit pada inangnya; mikroorganisme penyebab penyakit. Pemupukan: kegiatan penambahan zat hara pada media tumbuh tanaman untuk menyeimbangkan ketersediaan zat hara yang diperlukan oleh tanaman untuk hidup, tumbuh, dan berkembang.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Penghijauan: penghutanan kembali lahan-lahan di luar kawasan hutan. Penyakit tanaman: gangguan kesehatan tanaman yang disebabkan oleh bakteri, virus, cendawan, dan oleh faktor lingkungan lainnya, atau kelainan sistem faal pada organ tubuh tanaman. Pesemaian: bangunan dan/ atau kegiatan dalam rangka menyediakan bibit tanaman. Pesemaian permanen: pesemaian yang berukuran besar atau berskala besar karena dibangun untuk menyediakan sejumlah bibit yang diperlukan untuk penanaman pohon di seluruh areal pengelolaan hutan. Pesemaian sementara: pesemaian yang dibangun untuk jangka waktu yang pendek, yaitu 1—3 tahun. Pohon biji: pohon yang memenuhi kriteria sebagai sumber biji atau benih.

266

Indriyanto

Pohon induk: pohon sebagai sumber pengumpulan bahan tanaman. Pohon inti: pohon berukuran diameter batang 20—49 cm; pohon yang diharapkan membentuk tegakan utama dan akan ditebang pada periode atau rotasi tebang berikutnya. Pohon plus: pohon dengan sifat-sifat unggul yang tampak pada ekspresi fenotipnya. Pohon unggul: pohon yang memiliki sifat-sifat yang bagus dan ingin dimanfaatkan karena sifat-sifatnya. Radiasi matahari: radiasi yang asalnya dari matahari. Reboisasi: penghutanan kembali lahan-lahan di dalam kawasan hutan. Rejuvenasi: kegiatan mempermuda organ vegetatif tanaman yang dilakukan dengan cara memangkas/ memotong sebagian batang atau cabang agar tumbuh bakal tunas dan cabangcabang muda. Rekalsitrans: sifat benih yang cepat menurun viabilitasnya dan memerlukan kondisi kadar air tinggi (lebih kurang 30%). Ruas: bagian batang, cabang, dan ranting yang dibatasi oleh buku-buku batang.


TAKARIR Setek: potongan dengan ukuran tertentu dari organ vegetatif untuk bahan tanaman. Simbion: organisme yang hidup bersimbiosis.

TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

Simbiosis: persekutuan hidup antara kedua organisme yang berbeda. Tegakan benih: tegakan hutan yang sebagian besar pohon penyusunnya adalah pohon plus. Toleran: sifat spesies tumbuhan yang tahan terhadap penaungan oleh spesies tumbuhan lainnya; sifat spesies tumbuhan yang tidak memerlukan intensitas radiasi matahari secara penuh untuk pertumbuhannya. Tolok ukur: sesuatu yang dipakai sebagai dasar mengukur/menilai. Vegetatif: organ tumbuhan selain biji, buah, dan spora. Vesikel: organ berbentuk oval seperti kantong karena adanya pengelembungan bagian ujung hifa. Viabilitas: kemungkinan untuk dapat hidup.

Indriyanto

267



 









Indriyanto



P





enulis dilahirkan di Rembang  (Jawa Tengah) pada tanggal 27  November 1962. Pendidikan  sekolah dasar di SD Negeri Gunem Kabupaten Rembang, tamat  pada tahun 1974. Pendidikan sekolah menengah pertama di SMP  Negeri Pamotan Kabupaten Rembang, tamat pada tahun 1977.  Pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri Rembang, tamat  pada tahun 1981. Kemudian, melanjutkan pendidikan di perguruan  tinggi, diterima melalui jalur penerimaan program perintis dua  (PP II) di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, tamat pada  tahun 1985 dalam bidang keahlian Pembinaan Hutan. Sejak tahun  1986 ia bekerja sebagai dosen pada Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Belajar pada Program  Studi Magister Agronomi Universitas Lampung tahun 2007 dan  selesai pada tahun 2009. Saat ini ia mengemban jabatan fungsional Lektor Kepala.  Beberapa mata kuliah yang dipercayakan padanya di Jurusan  Kehutanan Fakultas Pertanian  Universitas Lampung, antara lain: Dendrologi, Ekologi Hutan, Teknik dan Manajemen Pesemaian,   Silvikultur Intensif, dan Agroforestri.  Beberapa pelatihan atau penataran yang pernah diikuti, antara  lain: penataran metodologi penelitian tingkat dasar pada tahun  1989, penataran pemuliaan pohon pada tahun 1989, penataran  metodologi pengabdian kepada masyarakat pada tahun 1993,  pelatihan AA (applied approach) pada tahun 1993, penataran metodologi penelitian ting-kat  lanjut dan kaji tindak pada tahun 1997, pelatihan penulisan buku ajar di Unila pada tahun 1998,  training database evaluasi diri de-ngan access pada tahun 2001, pelatihan statistic program for social sciences (SPSS) pada tahun 2001, penataran calon penulis buku ajar perguruan tinggi ting-kat nasional pada tahun 2003.


TEKNIK DAN MANAJEMEN PESEMAIAN

BIOGRAFI PENULIS Pengalaman dalam bidang administrasi dan manajemen, antara lain: pernah mengemban tugas sebagai Pengelola Praktik Umum Jurusan Manajemen Hu-tan (1998—2001), Kepala Laboratorium Silvikultur dan Perlindungan Hutan (1997—2000), Sekretaris Jurusan Manajemen Hutan (2000—2004), Kepala Laboratorium Silvikultur dan Perlindungan Hutan (2004—2008), Anggota Senat Fakultas Pertanian Universitas Lampung (2004—2008), dan Tim Penjaminan Mutu pada Fakultas Pertanian Universitas Lampung tahun 2005. Pengalaman dalam menulis buku antara lain sebagai berikut. 1. Ekologi Hutan. Buku teks, diterbitkan oleh PT Bumi Aksara. ISBN: 979-526-253-X, cetakan pertama tahun 2006, cetakan ke-2 tahun 2008, cetakan ke-3 tahun 2010, cetakan ke-4 tahun 2012. 2. Pengantar Budidaya Hutan. Buku teks, diterbitkan oleh PT Bumi Aksara. ISBN (10): 979-010-172-4, ISBN (13): 978-979-010-172-2, cetakan pertama tahun 2008, cetakan ke-2 tahun 2010. 3. Dendrologi. Buku ajar, diterbitkan oleh Penerbit Universitas Lampung. ISBN: 979-8287-94-O, cetakan pertama tahun 2005. 4. Dendrologi: Suatu Teori dan Praktik Menyidik Pohon. Buku teks, diterbitkan oleh Penerbit Lembaga Penelitian Universitas Lampung. ISBN: 9789798510-55-7, cetakan pertama tahun 2012. Dalam mengembangkan keahlian profesional sebagai rimbawan, ia bergabung di dalam wadah organisasi profesi nasional, yaitu Persatuan Insinyur Indonesia (PII), dan Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki). Moto yang selalu dikemukakan kepada mahasiswa dalam proses belajar mengelola hutan adalah: (1)“tahu maka kenal, kenal maka sayang, sayang maka bersahabat, dan bersahabat tentu ikhlas melestarikan”, (2) “menanam pohon dan memeliharanya adalah wujud cinta tanaman dan awal dari proses melestarikan hutan”.

270

Indriyanto




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.