Buletin Sastra Pawon

Page 1

Pawon #35 tahun V/2012 - 1


Buletin sastra Pawon adalah buletin sastra yang dicetak di kota solo dan dibagikan secara

GRATIS di setiap acara sastra di kota Solo. Dana penerbitan buletin di dapat dari saweran temanteman redaksi ditambah beberapa donasi Memasuki tahun kelima berdirinya, buletin sastra pawon merilis edisi ebooknya. Semoga bermanfaat.

Ukara Geni - 2


editor | Bandung Mawardi cover dan layout isi | Yudhi Herwibowo

Koordinator Redaksi Yudhi Herwibowo Redaksi Bandung Mawardi, Puitri Hati Ningsih, Indah Darmastuti, Fanny Chotimah, Yunanto Sutyastomo, Han Gagas Lasinta Ari Nendra, Anton WP (Kalimantan) Desain Cover & Layout Yudhi Herwibowo Alamat Vila Bukit Cemara No. 1 Mojosongo Solo 57127 Kontak 08122640769 (Yudhi), 08122623048 (Puitri) E-mail pawonsastra@yahoo.co.id Blog pawonsastra.blogspot.com

Pawon #35 tahun V/2012 - 3


Pengisi Maulina - 5 | Ekohm Abiyasa - 6 | Hans Gagas - 7 | Arif Saifudin Yudistira - 9 | Pradita Nurmalia - 10 | Atmo Kanjeng - 11 | Sartika Dian Nuraini - 12 | Imaniar Yordan Christy - 13 | Aji Wicaksono - 14 | Eka Safitri - 15 | Fatimah Sundari - 16 | Nashita Zayn - 17 | Lasinta Ari Nendra Wibawa - 18 | Rere Croft - 20 | Lukas Yono - 21 | Desi Liana Djie - 22 | Riza Handoko - 23 | Istikharoh - 24 | Meilan Arsanti - 25 | Gunawan Tri Atmodjo - 26 | Setyaningsih - 27 | Budiawan Dwi Santoso - 28 | Pena Tumpul - 30 | Sofyan Adrimen - 31 | Santi Almufaroh - 33 | Maftukhatun Ni’mah - 34 | Mujadi Tani - 35 | Kurniasih Fajarwati - 36 | Sari Maras Dika - 37 | Gendut Pujianto - 38 | Yudhi Herwibowo - 39 | Bayu Prihantoro Sutarto - 41 | Muhammad Aprianto - 42 | Pramudyah Jana - 43 | Onnie Cahyo - 44 | Miftahul Abrori - 45 | Irfan Ruswandi - 46 | Rahmah Purwahida - 47 | Seruni - 48 | Akhdiyan Setiyorini - 49 | Sukarno - 50 | Prihatin Dwi Christina - 51 | Istikharoh - 52 | Aryani Kususmastuti Wahyu Lestari - 55 | Anna Subekti - 56 | Sulistyorini - 57 | Avan Putra - 58 | Bandung Mawardi - 60 |Fanny Chotimah - 61 | Puitri Hati Ningsih - 62 | Indah Darmastuti - 64 |

Buletin Sastra Pawon menerima tulisan berupa cerpen, puisi, esai, kisah buku dan novelet. Tulisan dapat dikirim melalui email : hutan_cemara2000@yahoo.com (cerpen); puitrihati@yahoo.com (puisi) ; bandungmawardi@yahoo.co.id (esai), fannychotimah@ymail.com (kisah buku). Cc-kan ke pawonsastra@ yahoo.co.id Naskah yang dimuat akan diberikan 2 eks pawon sebagai bukti pemuatan.

Ukara Geni - 4


Perayaan Kata untuk Ukara Geni Bermula dari sebuah rapat kecil untuk merancang acara sastra di Solo, maka Ukara Geni dihadirkan. Dalam bahasa Jawa, ukara adalah kata, dan geni adalah api. Ini sebuah perayaan ringkas saja sebenarnya. Perayaan untuk kata-kata dengan format yang berbeda. Mungkin sebuah perayaan yang modelnya baru pertama kali digelar di seluruh jagat. Dimana siapa pun pesertanya, amatir atau profesional, tua atau muda, jelek atau keren, tinggi atau pendek, menyebalkan atau menyenangkan, penyuka korea atau pun pembenci korea, dapat terlibat di sini tanpa seleksi. Setiap peserta hanya diminta untuk mengirimkan: 1 puisi terbaik. 1 kehadiran. 1 kelayakan. Seperti yang ditulis pada poster acara yang dirilis sebelumnya. Untuk itu redaksi menyediakan hadiah senilai Rp. 500.000, vandel (yang dibatasi nilainya Rp. 50.000) dan paket buku dari sponsor. Lebih dari 70 email redaksi terima. Namun sayang tak semuanya dapat dimasukkan. Banyak peserta yang mengirimkan lebih dari 1 puisi, bahkan ada yang mengirimkan 10 puisi. Ada juga yang ragu, hingga mengirimkan 2 sampai 3 kali puisi yang sama. Alhasil, hanya 53 puisi yang kemudian diikutkan dalam Ukara Geni. Acara cukup meriah. Walau tanpa publisitas yang berlebihan. Suasana lebih hening dari acara-acara biasanya. Sebagian membaca, sebagian merenung, dan sebagian yang lain seperti biasa: tetap bercanda. Setidaknya para penulis puisi ini kemudian memiliki hak untuk memilih puisi terbaik. Mereka dapat memilih 2 puisi berbeda, dimana 1 pilihan bisa puisi mereka sendiri, itu bila mereka cukup pecaya diri. Sebagai tambahan, sebuah toples kuno dibuka untuk saweran. Semua yang hadir Pawon #35 tahun V/2012 - 5


diminta menyumbangkan uang ala kadarnya, yang nantinya akan diperuntukkan untuk Sang Ukara Geni. Maka hanya butuh beberapa menit saja uang sebesar Rp. 205.000 terkumpul. Uang ini kemudian dijumlahkan untuk sang pemenang, sehingga total uang yang akan dibawa Sang Ukara Geni adalah Rp. 705.000. Maka setelah proses hitung layaknya pilkada DKI, namun tanpa perlu adanya putaran kedua, terpilihlah Wuyung Kethundung, puisi milik Miftahul Abrori sebagai Sang Ukara Geni 2012. Selamat! Selamat Selamat! Malam ini adalah malam yang sempurna bagi Sang Ukara Geni. Namun walau begitu, peserta lain yang tak terpilih sekali pun, tetap kami yakini akan membawa pulang kisah malam ini sebagai salah satu malam yang menciptakan acara paling dikenang di hari-hari depan :) Mungkin, dengan tambahan sedikit pengharapan: bila tahun depan perayaan Ukara Geni ini akan dapat kembali diulang, tentu dengan hadiah yang lebih dasyat. Hmm, siapa tahu? Buletin Sastra Pawon

Ukara Geni - 6


1 Puisi Maulina

Aku tak dapat membaca makna. Walau mataku tak lagi terpejam. Dapatkah kau menjelaskannya?

Pawon #35 tahun V/2012 - 7


2 Puisi Ekohm Abiyasa

Aku Ingin Hidup Seribu Tahun yang Lalu kebohongan adalah hal biasa bagi mereka yang suka menyembunyikan petaka tanpa disadari ada hal lain yang mengganjal kepala kemudian menyulut api menyala membakar kota hangus menjadi kebusukan yang memenuhi dunia tua ini kebodohan adalah hal lumrah saja bagi mereka yang tercuci otaknya pada televisi mengagungkan keindahan semu pada layar dan fenomena tanpa mereka sadari menciptakan bara senyala neraka tiada diperhitungkan olehnya kemudian membakar habis sampai sisasisa mulut mereka dunia tua ini siapa yang peduli lagi nasib orang lain yang mereka tahu adalah bagaimana mengenyangkan perut dan nafsu kepuasan diri o mengapa aku hidup pada dunia yang mengerikan ini? Jakal KM 14 Jogja, 03 Juni 2012

Ukara Geni - 8


3 Puisi Hans Gagas

Siapa Sebenarnya Mati dalam kepala. Pisau menancapi ingatan. Matahari lumer di malam pekat, menyusur tirai duniaku. O Duniaku duniamu, pecah berhamburan. Menusuk jantungku berkali-kali. Apakah yang sedang terjadi? Dadaku ringan, kepalaku berat, menyibak yang tersayatsayat di benak. Imajiku terlempar busa-busa kardus, kulkas, dan burung yang terkapar bersimbah darah. Menetes menganak sungai di pipi, tersayat belati masa lalu. O kamu dimana nanti, aku dimana, kalian dimana, kita di mana nanti. Oh masa depan, o masa lalu sungguh kebak penyakit. Penyakit? Suka malang , suka suka. Amboi pikiranku, pikiranmu. “Lupakan saja,” “Kebun terlalu pahit, lupakan gang-gang itu, rumah itu, toko terbakar itu, baliho yang membara, bata-bata rubuh, dan tubuh adikmu yang gosong.” “Tuhan, lari kemana lagi dirimu?” Tak ada Tuhan di tempat ini! Hidup dalam mati. Mati dalam hidup . Hidup di sini bukan hidup karena mati menggantungnya menjadi abu. Tapi jiwa terus melayang-layang, perih, tipis, rapuh, gentayangan tak tahu rumah. Tak tahu setitik air. Telaga. Panas terik. Perutku mulas oleh berita itu, oleh kabar mengerikan, malam purnama diserang oleh halo sinarnya sendiri. Tubuh perkasanya lunglai diserbu panah Kurawa. O, gelap, o, pekat, o buntu, o, jurang, O, curam, o, terjal, o lubang, o api matahari, O, pancamaya! Jalan kematianmu telah dekat, belatung-belatung menggerogoti. O, lekatnya tubuhku pada dunia terperi hilang musnah dihantam beliung. Pawon #35 tahun V/2012 - 9


Bumi mengamuk, air panas menyembur, alirannya masuk ke ac-ac apartemen, ke Sungai Gendhol, ke Dieng, Merapi, Pantai Utara Jakarta, ke Aceh, Sumbawa, Porong Sidoarjo, Banten, dan Merak. O berita, surat kabar, o surat , o televisi, o telepon, o kata-kata. Siapakah kalian ini sebenarnya?

Ukara Geni - 10


4 Puisi Arif Saifudin Yudistira

Ibu Yang Baik Di desa yang penuh kaca, dan suara lolongan anjing, bulan menari-nari tak berhenti sampai disini. Hingga ku usia kanak-kanak, iblis masih tertawa, genit mendekatiku, dengan berbagai riuh di masa lalu. Wajah ibu menutupiku dari lubang gelisah, dari tirai keterpurukan. Dan, malam adalah tempat lagu indah yang bernaung. Di pangkuan dan gendongannya aku menyanyikan sendiri laguku, bersama masa lalu yang tak terbaca. Masa laluku jadi masa depanku. Dan biografi mati di selembar kertas. Saat itu aku mulai mengenal ibuku benar-benar baik hati. Melahirkan sapi, menetek air susu, memberiku kisah yang tak habis hingga hari ini. Ibuku yang baik adalah kisahku di ujung barat, meski ku sekarang disisi timur, aku tak lupa biografi. Entah kapan aku kembali, menjawab panggilanmu yang lama merindu. Solo,Oktober 2011

Pawon #35 tahun V/2012 - 11


5 Puisi Pradita Nurmalia

‌‌..? Pagi melahirkan sunyi di hatiku Meninggikan timbunan resah yang semakin basah Mengendap di paru-paru, seperti asap rokok Daun-daun jatuh di permukaan, namun ulat tak kunjung beruban Melubangi hasratku untuk bercumbu dan merayu Akankah ada sebentuk takdir terbaca Dari kuncup-kuncup rindu yang mengangkara Akankah kau kembali Saat musim menggetarkan dawai pelangi Kuncup bermekaran, warna-warni Bergandengan walau titik-titik tak terbatik Matahari menciptakan jarak seperti bui Kita di dalamnya namun pada sisi yang berbeda Aku berharap malam datang lebih awal Menjemput nafasmu Agar aku lebih leluasa menghirupnya Karanganyar, 19-06-12

Ukara Geni - 12


6 Puisi Atmo Kanjeng

Kabar Minggu Pagi Ketika kereta kuda berlalu pada minggu pagi Ada cerita yang tertinggal pada debunya sepanjang jalan menuju ibukota Mulut-mulut bersengketa siapakah tamu yang melintas dini hari tadi apakah pangeran atau pencuri yang sedang melarikan diri gadis-gadis juga sama herannya, seakan membayangkan pangeran tampan atau pencuri gagah nan dermawan yang akan singgah ke rumah mereka lantas orang-orang berduyun meminta fatwa pada sang hakim apa sebenarnya yang telah terjadi pada negeri pertanda apakah sebuah kepergian kereta kuda dan penumpangnya menjadi berita besar di seantero kota si hakim lalu berfatwa, bahwa telah terjadi ontran-ontran memalukan di istana para raja sedang berebut tahta dan nafsu ketamakan membuat para pangeran yang semula gagah rupawan menjelma sekawanan maling berwajah babi demi seonggok mahkota dari kayu berduri Karanganyar, 23 Juni 2012

Pawon #35 tahun V/2012 - 13


7 Puisi Sartika Dian Nuraini

KERINDUAN BUTA Kita menyulam kerinduan buta dalam kaos itu, segelas es di siang bolong dan jembatan yang selalu dilewati jutaan mesin tiap hari. Pada saat itu kau membaca bahwa jiwaku menggigil. Dan aku bertanya, apa itu? Apa yang salah? Dan apa yang harus dilakukan? Dan apa yang menjadi? Bagaimana menjawab, aku bertanya dengan suara tergetar berliku. Di waktu lain, ada keraguan di wajahmu dan ia berubah begitu biru dan menyamar. Aku tak bisa membacanya, hanya bekas luka yang jengkel. Dan saat itu, aku seperti masuk sebuah rumah biru yang memiliki banyak batas di antara batas, jarak seperti menepuk-nepuk, ruang yang berbeda yang kusut tak tertata, yang kian buat kita buta. Dan kita hanya bisa menutup mata. Lalu kita berhenti. Aku tidak bisa melihat batas-batas itu, invissible!, kataku. Lalu batu-dingin jiwaku terluka membentur dinding yang tak terlihat itu, yang membuatku dan kamu terpisah. Mungkin dengan jiwa yang sama, kita memiliki sungai. Sebuah sungai panjang nantinya....tapi harapan hanyalah batu-batu rajam. Aku akan tumbuh. Bangun. Menyangga kepalaku sendiri agar dapat melihat hatimu yang biru dan tubuhmu yang marah. Licin, menggigil, tergetar dalam kerinduan. Karena aku melihat keinginan kita telah kering. Tapi di atasnya aku merindukan senyum itu. Senyum yang selalu kudamba.

Ukara Geni - 14


8 Puisi Imaniar Yordan Christy

DI MANA MATAHARI Aku bertanya pada matahari; Hai matahari! Di mana kau sembunyi? Di balik awan? Di balik bintang? Atau kau sembunyi di bawah kolong tempat tidurku? Kolong tempat tidurku tempatku menyimpan lelakiku kala suamiku datang mengetuk pintu. Matahari, kau yang bakar gairahku bercumbu dengan pucuk kering pohon jati yang tak lebih besar dari batang suamiku. Kau sulut perselingkuhanku dengan timah, aspal, minyak yang memberikanku siraman kenikmatan birahi. Lalu sekarang kau dimana? Kau di mana matahari!! Kau sembunyi, tak berani tampak, tak membelaku Padahal kau membujukku dan menjadi saksi persetubuhanku; Kala suamiku menyeretku ke depan api yang suci. Semarang, 26 juni 2012

Pawon #35 tahun V/2012 - 15


9 Puisi Aji Wicaksono

Nasihat Umur Sejak nyawa hadir dalam diri Kita harus menjaga sampai nanti rambut memutih Mata tak mampu lagi menikmati aksara dalam puisi Berjalan dengan tiga kaki Tubuh membungkuk batuk-batuk sesekali Dan tersungkur kaku ditimbun tanah dengan rapi, mati Kapan kita ke surga Setiap hari kita mengulang sesuatu yang sama Dalam sajak kehidupan fana

Ukara Geni - 16


10 Puisi Eka Safitri

Sawung Mas, Muara Cinta Teruntuk: Sang Penjaga Hati

Ingatkah engkau, bambubambu persaksian Saat kau sentuh jari jemari ini Penuh keraguan Kini kali pertama kutatap matamu, bersama angin dalam remang lampu Wajah manismu, menebarkan cahaya dalam sirat mataku Kau yang bersama malam Bersiap mengejar keraguan, hingga Kau cumbu malam ini dengan senyuman Sawung Mas, Muara Cinta Kau gapai hatiku yang kini sepi Kau menyambutku, dengan keabadian Maka kau bersiap Kau cumbu malam ini dengan senyuman gadisembun, 2012

Pawon #35 tahun V/2012 - 17


11 Puisi Fatimah Sundari

Tak Lagi Aku hanya abu yang berdebu Tak ingin syahdu Tak ingin sendu Aku hanya butir yang mengalir Tak bersyair Tak menyingkir Satu bait saja aku bersajak Menginginkanku untuk beranjak Tak beranak Sendiri tak menepi Bersama tak bersua Kita adalah jahanam Yang tertanam

Ukara Geni - 18


12 Puisi Nashita Zayn

Detak Aku Gerak susur bergurindam Serasa asing, serasa kenal Tenaga hidup, pagi terang malam kelam Aninggalke rasa susah lan sedih Sakwise prasetya marang gusti Kadang wujud, kadang menghilang Detakku makin luruh tenang Setinggi julang yang cemerlang Meskipun jadi vitalis1 tak mudah Bergerak dinamis hadirkan cerah Agar makna tetap darah Menyala dihampiri cinta Ranggas ditempa dera Semua koma di saat cinta menghampa Aku dalam detak Bertapa tak ingin lantak Memaknai jalan tanpa sentak

2

Seorang vitalis: pemilik keuletan & semangat berkobar dalam menempuh hidup

Pawon #35 tahun V/2012 - 19


13 Puisi Lasinta Ari Nendra Wibawa

KEPADA PAWON, KEPADA KENANGAN-KEMENANGAN YANG TAK BISA DITUKAR selalu ada mata air yang mengalir, tiap kemenangan demi kemenangan aku ukir. sebab berulangkali kaki mendaki, kau setia mendirikan fondasi tangga ini. sampai aku ragu menyebutmu guru, sahabat, kekasih atau orangtua ah, ternyata benar, kau mewarisi wajah mereka semua! keluarlah, kau tak mahir terbang di kamar dengan sinar lampu sudah saatnya kau berkeliling di halaman sebagai kupu-kupu adalah suara yang terdengar saat pertama menjabat tanganmu kuterjemahkan itu sebagai musim baik untuk berguru-berburu dan sejak itulah aku mengasah tombak dan membuat busur baru sejauh-jauhnya langkahku memburu adalah sekuat-kuatnya aku menyusu padamu kurapal asa pagi tiap kali membuka lebar pintu-jendela senja kembali dengan memanggul piagam dan piala menjelang malam kau mengajakku meneruskan perburuan berbekal pena-buku sebagai tiang dan atap perkemahan tempat menginap rasa ingin tahu dan gigil penasaran yang tersebar di penjuru rimba pengetahuan. sementara, otoritas menakar peradaban dari tinggi menara awan maka, kini saatnya kita merelakan chairil anwar pergi Ukara Geni - 20


setelah harapan dan doanya kita pindahkan di bulan juli dengan sedikit sentuhan, revisi, dan modifikasi: semoga pawon bisa memasak literasi sampai seribu tahun lagi! Surakarta, 4-9 Juni 2012

Pawon #35 tahun V/2012 - 21


14 Puisi Rere Croft

Bangsaku (!!) 1+1=4 2+2=8 3 + 3 = 12 4 + 4 = 16 5 + 5 = 20 6 + 6 = 24 7 + 7 = 28 8 + 8 = 32 9 + 9 = 36 10 + 10 = 40 Besok makan siapa ya?

Ukara Geni - 22


15 Puisi Agus Budi Wahyudi

DAUN TELINGA KOTA Bila aku daun, aku daun telinga kota Yang bisa mendengar jerit Yang bisa mendengar jeritan Jeritan ranting-ranting di kota Jeritan warga-warga di ranting kota Aku daun telinga kota Mendengar lenguh suara Jerit ranting-reranting pohon terdengar Suara mesin meraung memotong rimbun dedaun Panas dan gundul kotaku Daun telinga kota memerah darah Mendengar dentuman beton tertancap ke tanah Kotaku telah dicacah! Kotaku telah kauporak! Jerit warga-warga di kotaku menjauhi laku luhur, laku pekerti, laku santun, laku bijak, laku berbudi, laku berjati diri, dan laku berpijak bumi. Laku penguasa berakhir ke bui, laku raja berakhir ke hina, laku diri jauh kendali! Daun telinga kota memerah, merah darah. Jeritan-jeritan mulia menghilang di balai kotaku. Solo, 30 Juni 2012 Pawon #35 tahun V/2012 - 23


16 Puisi Lukas Yono

Rabu Pagi Udara bertumpuk dengan embun Burung-burung berkicau kesana-kemari Jalan-jalan tempat tumpukkan kendaraan Hirup-pikuk kota mulai menghardik semua orang Tak ada tempat aku untuk singgah sebentar Banyak orang lalu-lalang untuk mencari nafkah Para satpam jalanan mulai mengatur kemacetan Ada yang tilang, adapun yang memberi pengarahan pada pengguna jalan Makin siang udara tidak sejuk lagi

Ukara Geni - 24


17 Puisi Desi Liana Djie

Satu Harmoni Suara-suara menggerakkanku Mengusik nurani yang tergelitik Mencoba mencari pengertian Dan melepaskan sedikit kepenatan Tulisan-tulisan memesonaku Memaksa akal yang tiada terguna Menghibur dalam suatu gairah Menjawab dalam sebuah bias Dentingan-dentingan membuatku terpaku Merasakan getaran yang tak tentu Membisikkan sesuatu ke dalam kalbu Ke alam bawah sadarku Dan aku hanyut ke dalam kemasgyulan Terkoyak semua kemunafikan Terbawa dalam alunan melodi tak bertepi Dan tak ada kata berhenti Tak ada aku kamu Dan kita pun menyatu Karena dari awal semua adalah satu Debaran jantung sang pencipta Yang diwujudkan dalam sebuah harmoni indah

Pawon #35 tahun V/2012 - 25


18 Puisi Riza Handoko

ISTANA CINTA Merekahlah kini bunga asmara Begitu indah alur kisahnya Seakan surga dunia menghampiri Begitu indah istana cinta tecipta Ku tahu engkau pasti setia Menemani dalam jalani hidup Bahagia hati asmara ini Telah temukan pijakan hati Semoga abadi dan sejati cinta ini Tak akan terpisahkan walau godaan menghadang Kemesraan yang kita jalani Bukanlah karena nafsu dan ambisiku Jadikanlah semata karena bukti cinta Yang kita tunjukan dalam kemesraan Tak ada paksa dalam cinta Dapat menerima apa adanya

Ukara Geni - 26


19 Puisi Meilan Arsanti

Pengabdianku Ketika mentari tak lagi bersembunyi Kurelakan mimpiku terhenti Kuawali pagi dengan keki Kusambut hari dengan abdi Garuda kini bertengger Pancasila kini berkaliber Merah putih kini berkibar UUD 1945 kini bersumbar Jiwa raga kuabdikan Tumpah darah kusembahkan Padamu negeriku Padamu bangsaku Kututup hariku dengan ikhlas Kuakhiri waktuku dengan berkas Kuhabiskan nyawaku untukmu negeriku Kuserahkan semua untukmu bangsaku Padamu negeri padamu berbakti Padamu bangsa padamu bersahaja Indonesiaku Indonesia

Pawon #35 tahun V/2012 - 27


20 Puisi Gunawan Tri Atmodjo

Sajak Berparak seperti cenayang yang tak pernah kehilangan jejak seperti penebang kayu yang memercayakan takdir pada mata kapak ibu tak pernah lelah menjahit metafora yang koyak seperti siluman yang ingin tampak seperti bocah yang tak henti mengagumi sihir bedak aku terus bergerilya menulis sajak kami memang telah lama berparak ibu adalah semesta bahasa yang bijak sedang aku hanyalah gerak kata pada puisi yang retak Solo, 2009

Ukara Geni - 28


21 Puisi Setyaningsih

Biarkan Aku Singgah Sejenak Biarkan aku singgah sejenak Melebur bersama angin yang bertiup nyenyak Biarkan aku berbaring bersama rerumputan Menikmati wangi hutan dan membicarakan arti sebuah kelapangan Hatiku penat menyaksikan suara-suara rusuh Jiwaku berkarat melihat mesin-mesin bergemuruh Biarkah aku berbaur dengan hujan dan debu Menikmati lagu yang bisa didengar olehku yang sedang merindu

Pawon #35 tahun V/2012 - 29


22 Puisi Budiawan Dwi Santoso

Kisah yang Resah Satu, cepat-cepat aku mencari waktu Dua, mereka kini kehilangan arti— Diri Tiga, di ruang kamar tunggu aku menemui kekosongan Empat, pagi menunggu malam. malam menunggu, Kamu Lima, Pagi melarikan diri menuju ke lorong sunyi Enam, aku menanti cerita. cerita yang mencari -cari dirinya. Ukara Geni - 30


Tujuh, Di sini, seorang isteri melukis bunuh diri si suami Delapan, aku kembali ke rumah yang selalu resah

Pawon #35 tahun V/2012 - 31


23 Puisi Pena Tumpul

Wahai Wahai yang diselubungi darah Wahai yang mengendap seperti maling Wahai yang terus bersenandung dengan nada sumbang Wahai yang merindukan seseorang Tunggulah Dengan langit yang diselimuti mendung Lampu redup Tak ada malaikat Hanya ada seorang wanita Semi belum juga singgah Daun belum berguguran di atap sebelah rumah Kayu bertumpuk Sebuah gereja Sebuah masjid Sebuah pura Sebuah wihara Sebuah kelenteng Sembahyang dan bercinta Seperti sebuah kalam yang berserakan Kudus, 30 - Juni - 2012

Ukara Geni - 32


24 Puisi Sofyan Adrimen

KUNGE DAN SEPETAK MEJA TUA : Kunge

di sepetak meja tua ini aku membaca, entah sudah berapa banyak tangan yang menopang dagu menyangga cerita dan ceria bertahun-tahun kadang aku melihat kakinya yang gemetar, tapi ia bertahan setia mendengar segala perubahan yang sering menyiratkan kepergian, meskipun ia tak pernah sanggup menolak berkelok bahak kedatangan ia tak peduli seberapa tipis keriput di petak garis wajahnya mengikis ingatan sebab senyum itu telah bermutasi bersama waktu di seperangkat wajah yang selalu memayungkan keteduhan lalu aku menelusuri peta air mata di meja ini sepanjang suaramu, yang mulai parau, yang tak juga pernah menggariskan ketersesatan kunge, di sepetak meja tua ini, aku juga membaca, tak selalu keteguhan yang menegakkan serumpun bambu di belakang rumah kokok ayam jantan, cericit burung, gemericik, air alir sungai yang dari merapi itu seperti bersekutu dalam setuju membelenggu gemetar bibirmu ketika senyum itu terkekeh

Pawon #35 tahun V/2012 - 33


dan ketika mereka pulang dengan berkarung senyum yang kau tanam di sepelataran itu sepetak meja tua itu tak pernah sepi bercerita menawarkan gigil di tiap senyum yang kau pahatkan ke wajah uti setiap kali sujud menawarkan pilihan dalam kehidupan ini Bangak, Sendutan, 12 Mei 012

Ukara Geni - 34


25 Puisi Santi Almufaroh

Meski kau tak pernah tahu, hujan itu di matamu ;wid

Sekedar menatap matamu merupakan penghapus kerinduan yang pekat oleh waktu Karena selegam rambutmu mengharumkan sekitarku Benarkah telah larut ke dalammu? Masih ingat percakapan kita tentang kematian, sebelum dipertemukan Bahwa kau tak ingin mati Padahal kematian yang kau tolak serupa setengah gelas kopi yang pernah kau cicip Pekat tapi nikmat Lalu menandai hujan yang kita cobakan untuk melentikkan waktu Meski kau tak pernah tahu, hujan itu di matamu. Malukuraya 190111

Pawon #35 tahun V/2012 - 35


26 Puisi Maftukhatun Ni’mah

Cintai aku, Tuhan Dosakah aku, Tuhan? Meninggalkan rumah kala jingga senja-Mu beranjak Terlaknatkah aku, Tuhan? Melangkahkan kaki menjauh dari ayah bunda saat adzan-Mu baru saja berkumandang Tuhan, apakah aku golongan orang yang ingkar? Jika aku harus menempuh jarak tempat ini sendirian sedangkan temanteman sebayaku sedang merasakan kebersamaan keluarga mereka Tuhan, bodohkah aku? Meninggalkan waktuku bersama keluarga kala Kau balikkan langit biruMu menjadi gelap Tuhan, jangan murkai aku Jangan laknati aku Ridloiibadahku Dan ampunilah aku, Tuhan Semua kulakukan untuk agama-Mu, mempelajari tauhid-Mu, mengenal Kekasih-Mu dan mencari ridlo-Mu Agar aku benar-benar menjadi hamba yang Engkau cintai sebagaimana Engkau mencintai Muhammad yang terpilih… Tuhan, maafkan aku yang menyebut tempat ini sebagai “Penjara Suci” Kendal, 29 Mei 2012

Ukara Geni - 36


27 Puisi Mujadi Tani

aku dan muhammad khadijah melamar muhammad itulah yang terjadi tapi aku bukan muhammad dan kau bukan khadijah maka ijinkan aku melamarmu, khadijahku

Pawon #35 tahun V/2012 - 37


28 Puis Kurniasih Fajarwati

Di Penghujung Mei tak ada yang bisa ditulis malam ini hanya lembar kosong berserak di lantai matapun sudah terlampau lelah untuk terjaga jemari sudah begitu gemetar untuk memegang pena biarkan saja angan berkelana pada masa lalu menjumpai sosok yang tak lagi bisa disentuh menyematkan doa pada nisan yang setia mengeja waktu memahat kesepian di ruang sempit tak berpintu tunggu aku di tamanmu...... #saat doa menunggu dijawab (25 Mei)

Ukara Geni - 38


29 Puisi Sari Maras Dika

Liarkah Aku? Setiap hari aku melihat kamu bersembunyi Mengarah tak bergeming menyusuri tembok kesengsaraan Hinakah aku yang selalu mencerocos tentang kebusukan dunia? Tentang para penjahat yang masih bebas berkeliaran Ah, mengapa juga aku terus menyusupi detil demi detil kerusakan? Sedangkan aku sendiri juga tidak tahu ada di mana? Hak mereka dirampas total oleh para petinggi yang rakus Hak mereka dikebiri oleh bangsa mereka sendiri Akankah aku juga ikut menjadi mayoritas yang berkuasa itu? Akankah aku tetap menjaga kepelikan minoritas yang selama ini aku pijak? Nah, rupanya gadis penjaja segala kenikmatan mulai terkena virus kesenangan Virus yang membutakan mata hati dan menghanguskan sanubari Akhirnya para penerus bangsa mulai tercemar oleh semua kaca semu kehidupan Mau diapakan bumiku ini? Bila semua yang mendiaminya sudah menjadi robot berjubah manusia

Pawon #35 tahun V/2012 - 39


30 Puisi Gendut Pujianto

PEMBACA PETA BUTA Aku hilang arah, Penyair Batas dan kelok yang aku tandai telah tercuri Plang jalan dan tukang parkir sembunyi, tak ada tempat aku bertanya Tentu tukang rokok tak mau tahu, sebab aku hanya membeli sebatang. Meminjam korek, mencuri api, dan membakar mimpi sendiri sejak subuh. Sampai mataku menjadi biru, sebiru laut yang kehilangan matahari. Dan matahari juga hilang. Hilangnya serupa cacing yang mengebor tanah, dan (aku rasa) ditiupkan di dadaku pagi tadi. Sampai gelap menyeretku ke sekian arah, ke segenap arah: kanan, kiri, selatan, barat, timur. Yang pasti bukan arah utara. Arah di mana punggungku menatap yang lewat, yang menjadi seteru, sekaligus menjadi rahasia sang arah: arah waktu. Siapa yang aku ikuti, penyair Jalan-jalan berjalan, gedung berlarian, motor mobil menyumpah. Asap mengirim petaka yang entah kapan sampai. Dan aku masih menuju ke jalan itu. Jalan pulang dan bertandang. Jalan yang menuju, dan mengganggu hari-hari yang melingkar, tak berujung pangkal. Hingga satu meriam menodong di depan mata, satu mili siap diledakkan. Seperti ledakan si pembaca peta yang buta, yang merasa mampu menghikmat rahasia. Padahal rahasia telah terkabar di syair-syair Omah gedhek 2011

Ukara Geni - 40


31 Puisi Yudhi Herwibowo

Usai Kata bila tiba waktuku menyemai kamboja pada pusaraku kutak ingin lagi ada kata yang menelisip biar aku pergi diam-diam, tanpa kau menyadari seperti akar beringin yang menggeliat teguh, tanpa pernah utuh terlihat usai: kelak adalah perjamuan terakhirku tanpa gelas anggur bekas bibirmu di sana tanpa harapan hidup 1000 tahun lagi tanpa pernah takut kata mengkhianati diri tanpa perlu kau menyimpan foto muramku yang semakin kasat hanya cukup dengan mengeja namaku dalam batin, tanda ikatan kita dulu, engkau pernah bertanya; kenapa aku tak membuat perayaan bagi diriku? perayaan terakhir yang sederhana saja, mungkin seperti penyair haus pentas yang mencari cara kekal bagi dirinya dan aku enggan menjawab pertanyaan tak penting itu biarkan saja aku pergi dalam hening, dengan kata yang masih tersisa mengikuti seperti dulu, ketika aku menemui mereka, kala jemariku masih terlalu rentan menulisnya dan nanti, bila engkau sempat hadir di sana kau pun tak perlu menyemai kembang pada pusaraku tak perlu pula: mengucap kata, walau itu belasungkawamu cukup diamlah!

Pawon #35 tahun V/2012 - 41


anggap saja aku sudah bisa membaca hatimu tak ada lagi kata! tak ada lagi kata! karena aku telah puas bersamanya sepanjang hidupku

Ukara Geni - 42


32 Puisi Bayu Prihantoro Sutarto

PLUS MINUS Mereka tawa yang saling mentertawakan Mereka tangis yang saling menangisi Adanya mereka saling melengkapi Tak adanya mereka adalah pencarian ke setiap sudut mata melihat Mereka dua yang tak pernah menjadi satu jiwa mereka lenyap tanpa salam halus....halus....halus sekali, tanpa suara

Pawon #35 tahun V/2012 - 43


33 Puisi Muhammad Aprianto

Tangisan Sungai Dulu aku tak seburuk ini, dulu aku cantik Dipuja, dimanfaatkan.. Berbagai kehidupan mendampingiku Suara gemericik yang menenangkan Namun bajuku tak seindah dulu Bajuku kusam, bahkan robek oleh ketamakan Ketamakan manusia merenggut keindahanku Aku menangis, menangis tersendu dengan keadaanku yang sekarang Sampah-sampah ini mengotoriku Aku tidak bisa berbuat banyak, aku butuh perawatan Airku mulai keruh, kejernihan mungkin hanya mimpi buatku Pohon-pohon rindang, udara segar, temanku menghabiskan waktu Namun berbeda keadaan denganku yang saat ini Mereka semua berubah menjadi tembok, tumpukan beton dan bangunan Aku hanya berdiam diri tak berdaya Hingga waktu membunuhku

Ukara Geni - 44


34 Puisi Pramudyah Jana

Ukara Geni Buang aku jika kau tabah sebab malaikat telah memugar gubuk sebelum ada kebebasan di pojok ruang. Perempuan merendah laki-laki melupakan bersama-sama membungkus sajak untuk tegar. Malaikat sudah menghidupkan sajak berani sajak bersemi. Perempuan membongkar kata untuk aib yang membeku. Laki-laki membunuh pagi untuk aib yang salah. Jujur dari rantau jujur sampai ke bumi. Namun peluk aku jika kau terpuruk sebab namaku ukara geni. Solo, 9 Juli 2012

Pawon #35 tahun V/2012 - 45


35 Puisi Onnie Cahyo

BAKA dalam cahaya-Mu ku mengetuk dalam lembar-lembar malam aku tenggelam dalam laut-Mu yang teduh .... jauh mengupas segala bilur lebam hariku yang kian baka... ..... Tuhan... bacakanlah untuk ku sepenggal syair saja dari gelas arak itu .........

Ukara Geni - 46


36 Puisi Miftahul Abrori

Wuyung Ketundhung Kita ini pejalan kaki Merampas tikungan senja buta Melewati puluhan lampu pemberhentian Menyesali jejak kilometer di trotoar Kau tak pernah peduli Jika garis tangan hanya sebuah jalan Yang berujung pada gang buntu Simpang jalan mengutukku tersisih Meratapi kendaraan berjejalan Kita sepakat menunda sungkawa Di perlintasan tahun kemarin Ini bukan perempatan musim yang tergelincir Gendhing asmara di resepsi pernikahan menyahut Meminang malam pertama, memiting lingga yoni Kita saling menatap pandang Seperti itukah pesta kita nanti? Suaramu menikung di gapura batas kota Selajur dengan lorong yang gagal menemu rel kereta Langkah kaki kita tikam-menikam Menuju kota yang kini menjadi arca Kita sedang memainkan lakon tanpa naskah Mempermainkan dialog sebuah drama Di episode tahun kedua, purna cerita Wuyung ketundhung Mangkuyudan-Palur, 2011-2012 Pawon #35 tahun V/2012 - 47


37 Puisi

irfan ruswandi

LUKA HIDUPKU hidupku tak indah, seperti karang terbelah ombak, namun hatiku membeku, tanpamu kekasih rinduku kini telah sirna, tertutup oleh luka yang kau berikan, bumi dan langit tak bersatu, seperti jiwaku tak menyatu denganmu hidupku telah abadi, kini jangan pernah kau ganggu aku, Dia yang membuat ku sadar, atas apa yang kau lakukan

Ukara Geni - 48


38 Puisi Rahmah Purwahida

Perempun Pembunuh Kata siapa perempuan hanya bisa melahirkan Sebab ia juga bisa membunuh membunuh janin-janin dalam pikirmu Dan kau akan depresi sebab selalu dengar rintihannya Selalu ingat wajahnya Sebab ingat aroma parfumnya Kata siapa perempuan hanya bisa menangis Sebab ia bisa membunuh tangismu Dengan senyum dan belainya Dekap hangat dan perlindungannya Kata siapa perempuan hanya bisa mengeluh Sebab ia bisa membunuh peluh Demi cinta kepadaNya Demi cita-cita dan cintanya Demi rindu pada anak-anaknya Pabelan, 070510

Pawon #35 tahun V/2012 - 49


39 Puisi Seruni

Putus 1/ Seperti kau, aku pun tak lagi menggadang pertemuan Meski perasaan ganjil yang di sebut rindu mengintai, membidikkan peristiwa dalam gelas Sungguh ‌ gairah untuk menangkap kerlingmu Telah lama ku raibkan, seiring hujan, agar tak menjadi percakapan di perjamuan Aku sudah bosan, mengukur perjalanan yang kerap menelikung Dalam terik — arloji masgul Lalu tersimpan dalam gerumbul ilalang Jauh, sebelum pemahaman tumbuh Bahwa jiwa tak saling merengkuh 2/ Lalu aku menepi, menidurkan kerinduan pada sepi tanpa durasi beranjak dari tegur sapa dan mengunci pertemuan dengan puisi : serupa deklarasi, langkah undur diri ...

Ukara Geni - 50


40 Puisi Akhdiyan Setiyorini

LEBIH DARI HIDUP Mungkin lama sekali aku tak mengenangnya Aku bahkan hampir lupa kenangan itu Masa itu, kurasa aku telah mati Tak seorangpun menatapku saat kulewati Bahkan menyentuh mereka pun aku tak bisa Sampai pada suatu waktu, Seseorang mendekatiku Ia mengajakku berjalan-jalan kala itu Aku takut, aku takut aku tak bisa berjalan Karena kenyataannya aku memang tak bisa berjalan Aku tak pernah berjalan selama ini Yang kulakukan hanya melayang atau menghilang Aku takut ia akan takut padaku Aku hanya berjalan lebih tinggi dari tanah di belakangnya Sempat ia bertanya padaku, Kenapa aku melompat-lompat diatas tanah seperti itu ? Aku bukan melompat,aku hanya melayang Aku ingin menjawab pertanyaan itu, tapi tak bisa Seseorang yang menyayangiku, Bahkan tak pernah menginginkan aku menjawab pertanyaan seperti itu

Pawon #35 tahun V/2012 - 51


41 Puisi Sukarno

PEMUDA BANGSA Parasmu rupawan memikat perhatian mata pengamat Tubuh sempurnamu mempesona pasangan mata yang memandang Gagah langkahmu menapaki jalan hidup nanmegah Menikmati bayangan-bayangan indah dalam pikiran Makan lezat, tidur nyenyak, mandi bersih, dan hidup sehat Mobil keren, hp canggih, fasilitas lengkap dan bagus, pendidikan tinggi dan mewah Kecerdasanmu memukau pikiran manusia Wahai pemuda bangsa....tapi di mana engkau? Saat bangsa ini berselimut kemiskinan Manusia mengemis untuk sebutir beras Wahai pemuda bangsa....di mana engkau? Saat adik-adikmu bermain dengan kebodohan Menjadi budak untuk mendapat sedikit cahaya pendidikan Wahai pemuda bangsa.....di mana engkau? Saat tikus-tikus itu menggerogoti penghidupan bangsa Manusia menjadi penghisap darah manusia lainnya Wahai pemuda bangsa....mana pengabdian pada tanah hidupmu? Bangsa ini carut marut dengan segala isinya Bangsa ini berdiri dengan sebatang lidi yang menopangnya Patah...lidi itu akan patah saat tangan-tangan sempurnamu tak peduli dengannya Saat pikiran-pikiran cerdasmu engkau nina bobokkan Tak akan ada gunanya semua yang engkau miliki Tak akan ada gunanya semua yang kau dapatkan Tak akan ada gunanya paras dan cerdasmu Jika dibelakang suksesmu terlukis bangsamu yang hancur luluh lantak

Ukara Geni - 52


42 Puisi Prihatin Dwi Christina

CERITA DI NEGERI IMPIAN Jika kini wangi kembang dan harum tanah basah tak sesegar dulu.. di mana harus kucari lagi..?? Jika embun yang dulu berlama-lama bermanja di ujung daun-daun..kini kilaunya hanya sesaat bergegas pergi, seakan enggan berjumpa surya Ke mana juga burung-burung pagi yang sejukkan rasa..jika pepohonan tinggi rimbun bak tinggal cerita Kala ibuku kisahkan sebuah negeri,di mana bangsa-bangsa lain tergopoh datang dalam cemburu.. karena nian elok bak untaian mutiara hijau.. Negeri dongeng dalam khayal kecilku ... Mengapa kini yang kudapati bagai gempita tangisan alam kian meradang, yang suaranya pun parau ditelan gelombang bencana demi bencana Kulempar kerikil kecil di pantai yang tak sewangi laut macam kisah ibuku. Berserak sampah dan cemaran limbah.. Tanyakan pada ombak ke mana juga bukit hijau yang dulu disandingnya menahan tanah larut.. Duh... Hanya sesal inikah yang kubuat? saat segalanya tak bisa kembali teduh dengan sekadar kesedihan... (Bergegas kubawa tunas kecil yang kugenggam,

Pawon #35 tahun V/2012 - 53


serasa kulepas di pulau tak bertuan, seakan dingin dan kering matikan rasa.. pelan kutaruh dalam tanah berpeluk lembab humus... karena sebenarnya lah di sana semula dia tinggal...dalam dekapan kesuburan pertiwiku Ayolah tumbuh permata hijauku.. buatlah gigir gunung kembali berselimut perdu dan hutan, lalu undang juga banyak sahabat alam datang tingkahi malam disinari kunang-kunang) Kemudian akan lanjut kutabur sejuta hijau, bersama para pemilik negeri bak tanah surga.. Hingga kelak saat kutimang cucu....mereka akan bangga karena moyangnya hijaukan bumi ini kembali... bermula dari Pertiwi (kittin-juli 2012)

Ukara Geni - 54


43 Puisi Istikharoh

Bukan Rumahku : .... Pada cadas mulai lepuk. Aku datang. Memberontak dan bernaung. Berselimut dari api beku, mencekam tulang. Gemuruh gempa merambat akrab sampai ujung nyawa. Di labuh pijak yang ramai, kicau kehangatan tersemai lebih awal Hingga, para manusia rimba mengkultus : tanah ini adalah jantung. Pada akhirnya, kusematkan jua nama : rumah Padamu, jejak berpijak Sebagai gubug berteduh dari arus koar merah, yang memenggal Juga alas tidur saat keram mengeram. Kini, di medan pra polusi, denyut terjarah. Terbengkalai. Terbantai para algojo abu-abu Hanya pasang mata yang mulai mengawan : mengharap hembusan gemulai tertambat pada tiang bandar Yang bernama KOTA

Pawon #35 tahun V/2012 - 55


44 Puisi Aryani Kususmastuti Wahyu Lestari

Perempuan Terindahku Menjadi kakiku sebelum aku kuat untuk melangkah Ada ketika perut ini menggeliat dan berteriak Bersama saat dinginnya malam membuatku terjaga Wajah indah pertama tatkala mata ini terbuka Maha Besar Kau kirimkan perempuan ini kepadaku Dia segalanya bagiku Dia terbaik tak ada celah cacat dimataku Membuatku merasa ada, merasa hidup Memanjakanku dengan segala kasihnya Melihatmu menitikkan air mata Tak ada yang bisa kubuat ketika sakit itu mulai menderamu Menjajah ke seluruh tubuhmu yang renta Ingin kuberikan tubuh ini untuk menggantikan jarum tajam itu menusukmu Remuk hatiku melihatmu tersiksa Serasa nyawa meninggalkan raga ini tatkala detik nafas terakhirmu Aku belum bisa menjadi anak kebanggaanmu Rindu kau menyisir membelai rambutku Memijat pundakku Mengusap dahiku Suara tawa kelakarmu ketika menggodaku

Ukara Geni - 56


Aku ingin dibelaimu Aku ingin berbaring di pangkuanmu, membuatnya basah karna air tangisku Mengadu tentang penatnya hatiku menghadapi hari-hari yang berat, serta kejamnya dunia Ingin kupertanyakan kenapa di sini tak kudapati ketulusan serta keteduhan seperti tulus dan teduh kasihmu padaku Aku.... Tetap menjadi gadis kecilmu yang dulu Teriring doa kubersimpuh Aku percaya kasihNya melebihiku untuk menyayangi dan menjagamu Kau tetap menjadi Perempuan Indahku Nanti....esok...Selamanya

Pawon #35 tahun V/2012 - 57


45 Puisi Anna Subekti

Awal Mula Barangkali gurat sepiku adalah jawab dari tunggu. Barangkali kau datang. Barangkali tidak. Barangkali kau memang tak mau datang, saat di sudut lain gadis berselendang merah menunggumu. Merindukan wajah birumu. Barangkali kau akan datang, tapi tiba-tiba kereta sore tadi menabrak sepeda tuamu. Barangkali, mamakmu mengamuk hebat. Kamu lupa menelpon, lupa sms. Pada titik mana, api menjadi abu. Sedang kita selalu meragu. Hidupku dan hidupmu hanya ada di musim kemarin. Saat Rabu adalah hari kematian ibumu. Saat Jum’at adalah kiamat. Aku masih tak khatam AlQur’an.

Ukara Geni - 58


46 Puisi Sulistyorini

Patahan yang Indah Dulu kau tak serapuh ini, Walau juga tak kuat, namun kau masih tetap bisa berdiri tegap. Waktu itu kau bilang kau mampu, Manaaaa ? Bahkan untuk sekedar merangkak pun kini kau ragu. Iya, memang telah patah, Lalu kenapa? Kau masih bisa merangkainya kembali, Kau pun masih mampu menjadikannya utuh. Tidak takutkah kau terluka lagi, saat tidak sengaja menginjak serpihannya, karena kau terlalu lama membiarkan puingnya tergeletak begitu saja. Apa perlu aku ingatkan kau kawan, Dengan catatanmu yang dulu itu, Mungkin kau perlu membukanya sesekali. Teruntuk kau kawan. ..... Inilah cara Tuhan mengingatkanmu, Sederhana namun indah.

Pawon #35 tahun V/2012 - 59


47 Puisi Avan Putra

CUKUP Duh Gusti…, Aku ingin mengadu padamu. Aku rindu namun aku malu tuk mengaku. Aku cinta namun tak kuasa untuk menyapa. Engkau tak pernah memberikan apa yang sia-sia. Namun jangan begini caranya Duh Gusti…. Aku terpuruk dalam ketakutan Langkah kaki terhenti tak menentukan Nafas tersengal hanya tinggal sepenggal Aku tak sanggup Aku menyerah Aku linglung…, bingung…bagai tawanan dihukum gantung Duh gusti Tak mempankah rayuanku tuk mengubah takdirMu Sungguh engkau maha jenius. Namun tak jenuhkah engkau menguji kelemahan hambamu? Kenapa tak Kau sudahi saja permainan ini Karena aku sudah bosan dengan panggung sandiwara duniawi Duh gusti Aku jatuh cinta sebagaimana yang telah kau sandarkan Aku menerimanya sebagaimana yang telah engkau ajarkan Namun kenapa begini caranya Kenapa kau menghabisi hati kami secara diam-diam Kau gerus sampai luh kami bercucuran Sudah puaskah engkau Gusti….puaskah engkau dengan semua ini

Ukara Geni - 60


Jika sampai sejauh ini Kau masih menghalangi kami untuk mendapatkan pangestumu Aku tak tahu lagi harus bagaimana aku mengadu padamu Aku mati

Pawon #35 tahun V/2012 - 61


48 Puisi Bandung Mawardi

Bualan Marquez berahi lelaki tua membara di jalan kata sepahit nostalgia waktu mengurung ragu puisi selalu tabu rumah terus haru senja milik lelaki tua: kalimat sekarat dalam dusta

Ukara Geni - 62


49 Puisi Fanny Chotimah

Tomat Rasa Kurma hitam lonjong tanpa biji mata bisa tertipu rasa tak pernah bohong tak perlu terlihat manis kurindu dirimu yang bulat merah segar menggoda 2012

Pawon #35 tahun V/2012 - 63


50 Puiisi Puitri Hati Ningsih

DAUN -DAUN SIRSAK Daun-daun sirsak Perempuan mengisak Langit terkapak, malam tertembak Bintang-bintang teracak, berdecak Matamu berwarna kelerak, mengintip meniru biji sirsak Anjing menyalak, tergenggam di perutnya duri batang salak. Dada berombak, berwarna merah lobak terluka oleh angin yang tertolak, angin tak bergerak Burung hantu tinggalkan malam diam-diam Mencari jejak burung gagak Anggur menggelegak, hitam jadi tuak Perempuan itu meraba sesak, meraba panggulnya, benang sari koyak Kain kelopak rusak. Daun-daun sirsak Mata perempuan masih terisak, matahari mengisak Jauh di balik malam Embun menetes dari tubuh tebu tertancap tombak, rasa manis sia-sia. Pipinya, mengeras, perak Bergoyang keras di gelungnya, hijau biru bulu merak Senja berwarna rujak Ia ingat bibir itu tak berjarak dengan detak,

Ukara Geni - 64


mengecup kopi dari kotoran keluwak Sebelum menghentak Leher merpatinya yang jinak. Ia buah sirsak Yang diperas menyegarkan. Dugup dada bergolak Jiwanya mati tertimpa rumah berpasak Ia ingin rumahnya dari roti tawar Jika datang lagi gempa, ia adalah tangkai buah cheri yang tetap berdiri tegak Dalam dekap roti tawar —Juli 2012

Pawon #35 tahun V/2012 - 65


51 Puisi Indah Darmastuti

AKU BULAN Tubuhku adalah bulan yang membuat lautmu pasang Dan sepasang bulan di dadaku Adalah bulan-bulan yang akan menbuatmu Terbit dan terbenam Bulan di kanan adalah sejarah Bulan di kiri adalah legenda Tempat gelombangmu berziarah dan tereda Solo, 10 Maret 1012

Ukara Geni - 66


Buletin sastra Pawon adalah buletin sastra yang dicetak di kota solo dan dibagikan secara

GRATIS di setiap acara sastra di kota Solo. Dana penerbitan buletin di dapat dari saweran temanteman redaksi ditambah beberapa donasi Memasuki tahun kelima berdirinya, buletin sastra pawon merilis edisi ebooknya. Semoga bermanfaat.

Pawon #35 tahun V/2012 - 67


Ukara Geni - 68


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.