COMMUNICATION
ISSN 2086 - 5708
Volume 4, Nomor 1 April 2013 Diterbitkan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Budi Luhur, dua kali dalam setahun. Penerbitan jurnal ini dimaksudkan sebagai media pertukaran informasi, pengetahuan yang berlandaskan perkembangan, dan kajian Ilmu Komunikasi serta keterkaitannya dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan lainnya.
Penasehat
: Direktur Biro Riset dan Penjaminan Mutu Eko Polosoro, MT, MM.
Penanggung Jawab
: Dr. Hadiono Afdjani, MM, M.Si.
Pemimpin Redaksi
: Dr. Umaimah Wahid, M.Si.
Ketua Editor
: Nawiroh Vera, M.Si.
Dewan Editor
: Indah Suryawati, M.Si. Ahmad Toni, M.Ikom. Denada Faraswacyen. L.Gaol, M.Si. Ni Gusti Ayu Ketut Kurniasari, M.Si.
Tata Letak
: Arief Ruslan, S.Kom.
Sekretaris
: Armaini Lubis, MM.
Alamat Redaksi Lembaga Riset, Universitas Budi Luhur, Jl. Ciledug Raya, Petukangan Utara, Jakarta Selatan 12260. Tel. 021-5853753, Fax. 021-7371164, 5853752 Website : http://www.budiluhur.ac.id
DAFTAR ISI
COMMUNICATION
ISSN 2086 - 5708
Volume 4, Nomor 1 April 2013 BODY LANGUAGE IN THERAPEUTIC COMMUNICATION: A CROSS-CULTURAL PERSPECTIVE Deddy Mulyana KONSTRUKSI KEKERASAN DALAM POTRET PEMBERITAAN ISLAM DI KANAL INFORMASI INTERNET (Analisis Framing terhadap Website dan Portal Informasi Bergender Islam) Ilham Prisgunanto BUDAYA PERUSAHAAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI PT. MUSTIKA RATU, TBK Gayatri Atmadi. DISKURSUS KORUPTOR DALAM MEDIA MASSA: (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Karakter Koruptor Kader Partai Di Kompas Online ‘kompas.com’) Ahmad Toni dan Rocky Prasetyo Jati HUBUNGAN PERTEMANAN PADA KOMUNITAS MISKIN PERKOTAAN (Studi Komunikasi Antar Pribadi Pada Komunitas Miskin Di Babakan Hantap, Kecamatan Kiaracondong, Kota Bandung) Itsna Nurhayati Effendie MAKNA IDEOLOGI DAN BENTUK PROPAGANDA MEDIA ( Studi Semiotika Barthes media Eramuslim dan National Israel Terhadap Kasus Mavi Marmara ) Mariko Rizkiansyah PEMASARAN IDEOLOGI POLITIK ISLAM : ANTARA TUJUAN DAN KENYATAAN Fathurin Zen
1
17
36
48
67
83
96
Communication
ISSN 2086-5708 Volume 4 Nomor 1, April 2013 Terbit dua kali setahun bulan April, Oktober berisi tulisan yang diangkut dari bidang Ilmu Komunikasi
EDITORIAL Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menerbitkan lagi jurnal “Communication� Volume 3 nomor 1 April 2013. Perspektif kajian ilmu komunikasi merupakan kajian yang kompleks yang menyangkut gagasan, ide, pemikiran, media baik cetak, elektronik, luar ruang, dan internet, dan juga efek yang ditimbulkan sebagai akibat dari pertukaran makna yang menyertai pola komunikasi. Implikasi dari proses komunikasi melebur kedalam kondisi psikologis, sosiologis serta ruang-ruang antropologis lainnya yang menjadikan kajian komunikasi merupakan kajian yang plural dan bersifat dinamis. Banyak ilmuan yang meragukan originalitas ilmu komunikasi sebagai ilmu yang berdiri atas konsep-konsep manifestasinya sendiri tanpa bantuan kajian keilmuan lain. Dengan terbitnya journal ini diharapkan kajian ilmu komunikasi menjadi titik tolak dan tolak ukur konsep-konsep kajian yang mendukung berdirinya ilmu komunikasi sebagai instrument keilmuan yang mandiri secara holistik sebagai sebuah konsepsi dasar guna menjawab persoalan-persoalan mendasar kehidupan manusia. Komunikasi merupakan terapan solusi dan terapan teknologi yang menjembatani antara ilmu sosial dan ilmu teknologi yang dibuktikan untuk menjawab persoalan mendasar manusia. Merupakan suatu kehormatan sangat tinggi, journal ini diisi oleh pakar-pakar komunikasi Indonesia sebagai indikator kualitas dan sumbangan pemikiran ahli komunikasi untuk mentransformasi pegetahuan kepada segenap civitas akademika univeritas Budi Luhur. Terima kasih sebesar-besarnya kepada dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Dr. Hadiono Afdjani dan Wakil Dekan Dr. Umaimah Wahid dan segenap pimpinan lainnya. Tak lupa kami redaktur mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari yang meluangkan waktunya di tengah-tengah kesibukan, Prof. Dr Deddy Mulyana, Prof. Dr. Sihabudin, Dr. Eriyanto, M.Si, Dr. Turnomo Rahardjo, Dr. Eko Harry Susanto.
Communication
ISSN 2086-5708 Volume 4 Nomor 1, April 2013 Terbit dua kali setahun bulan April, Oktober berisi tulisan yang diangkut dari bidang Ilmu Komunikasi
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan kepada para pakar selaku mitra bestari yang telah bersedia menjadi reviewer dalam jurnal Communication Volume 4 Nomor 1, Oktober 2012 Daftar mitra bestari tersebut yaitu : Prof. H. Deddy Mulyana, Ph.D. M.A. (Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung) Prof. Dr. Ahmad Sihabudin, M.Si. (Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten) Dr. Eriyanto, M.Si (Peneliti Senior dan pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia) Dr. Turnomo Rahardjo (Pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro) Dr. Eko Harry Susanto (Pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Taruma Negara)
BODY LANGUAGE IN THERAPEUTIC COMMUNICATION A CROSSCULTURAL PERSPECTIVE Oleh: Deddy Mulyana Professor and Dean – Faculty of Communication Science Padjadjaran University
ABSTRAKSI Komunikasi nonverbal sama pentingnya dengan komunikasi verbal, kalaupun tidak lebih penting. Sementara komunikasi verbal bersifat diskret, komunikasi nonverbal berkesinambungan. Salah satu aspek utama dalam komunikasi nonverbal adalah bahasa tubuh yang mencakup isyarat tangan, sentuhan, anggukan kepala, ekspresi wajah dan kontak mata. Untuk menjalani kehidupan dan bidang pekerjaan dengan sukses, di era global ini kita perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan berkomunikasi lintasbudaya dengan orang yang berasal dari budaya lain. Tak terkecuali para profesional medis, termasuk dokter dan perawat, perlu mempelajari dan menguasai komunikasi nonverbal terapeutik yang bersifat lintas budaya, agar mereka sukses dalam bidang pekerjaan mereka. Kata kunci: Komunikasi Lintas Budaya, komunikasi verbal, komunikasi nonverbal,
INTRODUCTION In this article I will discuss the importance of body language for health care providers (physicians, nurses, pharmacists, hospital managers, etc.) to communicate with people around them in their working environment, especially their patients. In fact, body language as part of nonverbal communication is as important as, if not more important than, verbal communication. Human communication involves verbal and nonverbal messages. Although in theory nonverbal communication is discussed as a separate subject, in practice
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
nonverbal communication is often inseparable from verbal communication. You cannot simply communicate verbally with others without giving nonverbal cues. The main difference between verbal communication and nonverbal communication is that while the former is discrete, the latter is continuous. One stops communicating verbally when he or she does not utter any words, but one will continue giving nonverbal messages whatever he or she does, event when the person is silent, as long as he or she is in the presence of others who interpret his or her behavior. So any behavior is a potential message. One simply cannot not communicate, at least nonverbally.
1
The Significance of Nonverbal Communication for Health Providers Simply put, nonverbal communication is “communication without words,” including how we look, how we move, how we sound, and how we smell (Singelis, 1994:274). According to Knapp, nonverbal communication designates all those human responses which are not described as overtly manifested words (either spoken or written) (Harper et al, 1978:2). “Nonverbal communication is defined as the nonlinguistic behaviors (or attributes) that consciously or unconsciously encoded and decoded via multiple communication channels (Ting-Tomey, 1999:115). It is widely accepted that nonverbal communication is broader in scope than verbal behavior, since nonverbal communication can also include environmental cues, including clothes, pictures, traffic lights, dances, music, space, colors, time, etc. Nonverbal communication is important because what we do is often more meaningful than what we say. According to Mehrabian, 93 percent of emotional influence stems from nonverbal messages, while seven percent from verbal source (Adler et al, 2004:113). The importance of nonverbal communication is even recognized by Arthur Conan Doyle who places the following words in the mouth of the great sleuth in his the Adventures of Sherlock Holmes: “By a man’s finger-nails, by his coat-sleeve, by his boot, by his trouser-knees, by the callosities of his forefinger and thumb, by his expression, by his shirt-cuffs---by each of these things a man’s calling is plainly revealed” (Hargie & Dickson, 2004:45).
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
There is a vast consensus among communication scholars that nonverbal communication is more influential than verbal communication. Most researchers maintain that a larger part of the meaning of a message is conveyed nonverbally, particularly that containing emotional tones. It is estimated we send more than a half of all our messages through nonverbal channels: 65 % according to Birdwhistell (1955) and 93 % according to Mehrabian and Ferris (1967). (Singelis,1994:275). This quantity of nonverbal messages partly depends on the culture of the people involved. People from Eastern cultures typically use more nonverbal messages than their Western counterparts. Scholars indicate that nonverbal communication is more dominant than verbal communication, ranging from some 60 percent (in the low-context culture) to some 90 percent (in the high-context culture). Some research shows that at least 75 percent of all communication is nonverbal (Trompenaars & HampdenTurner, 1999:76). Research conducted by Mehrabian and his colleagues indicate that total liking is indicated by 7 % verbal, 38 % vocal + 55 % facial expression (Mehrabian, 1972:182). This means that nonverbal behavior is far more important than verbal behavior as a source of our emotion. In general we trust nonverbal sources more than verbal sources, since people are more spontaneous when behaving nonverbally. Put differently, nonverbal behavior is more natural than verbal behavior. It is easier for us to control our verbal behavior than our nonverbal behavior; so we are more able to manipulate our verbal behavior than our nonverbal behavior. 2
As Samovar et al. (2007:304) argue, “Cultural diversity in nonverbal behavior may seriously affect health care communication. Both health care practitioners and clients frequently express beliefs, feelings, and attitudes about illness and treatment nonverbally.” To be competent, health care providers must be aware of the meanings of not only their verbal messages but also their nonverbal messages conveyed to their patients which are often very subtle. People from different cultures may use their nonverbal messages differently. One way to predict the meaning of the patient’s nonverbal behavior is to ascertain whether the patient is a member of high-context culture or a low-context culture. According to anthropologist Edward T. Hall (1976), high-context culture is characterized by high-context communication (messages) and lowcontext culture is characterized by lowcontext communication (messages). People living in high context-cultures (most countries in Asia, Africa, and Latin America and some countries in Southern Europe) often communicate indirectly, relying much on nonverbal symbols and behaviors, including facial expression, tone of voice, and even silence. They often hide their feelings to maintain rapport with others. In contrast, people living in lowcontext cultures (North America, North Europe, Australia, New Zealand) are blunt and straightforward to make statements. They say what they mean and mean what they say. Consequently, health care providers who come from low-context cultures may often find patients coming from high-context cultures as unreliable, defensive, and tricky. Mutual trust can
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
hardly develop if the medical professionals ignore these differences. When people come different cultures, it is easy for them to create misunderstanding due to the different attention to and the different interpretation of nonverbal messages. In fact, in medical settings, even when the medical professional and the client come from the same low-context culture, attention to nonverbal behavior is no less important. For example, if general practitioners, dentists, or nurses see some discomfort or some pain as indicated in the patient’s facial expression or the patient’s hand tremble, the health care providers can act accordingly to ease the patient’s suffering. Specifically, there are some reasons why it is important to understand nonverbal communication in doctor-patient communication: •
•
•
•
The patient’s condition may interfere with their ability to communicate verbally Patients feel they have a subordinate role during consultations and so are less verbal: for example they ask fewer questions. Fear and uncertainty make patients inclined to interpret, or overinterpret, the non-verbal behavior of those they assume know more than they are telling. Patients may not fully understand or believe verbal messages, so they look for further cues in non-verbal behavior (D.B. Buller & R.L. Street, 1992, as quoted by Guirdham, 1999:85).
3
Part of nonverbal communication is related to body language. We will now discuss some of its aspects and its relevance to therapeutic communication. Hand Gestures Some scholars maintain that body language or the language of gestures was the first form of human communication, preceding verbal communication by tens of thousands of years (Corballis cited in Adler 2004:123). Some cultures use a lot of body language, while others do not. Italians are considered as people who use a lot of hand gestures while speaking so that they are regarded as too emotional by Americans and North Europeans. Native Americans, Finns, and Japanese are peoples who use a relatively small amount of body language. Indeed gestures and their meanings vary from culture to culture. In the US, number one is indicated by raising an index finger, but in some parts of Europe it is indicated by raising a thumb, and two by raising an index finger and a thumb (Jandt, 2004:131). To summon somebody, people use different hand waves. In many Western countries, such as the United States, England, Germany, Belgium, France, and the Netherlands, one call others to come forward by waving one’s hand with one’s palm upward and fingers moving toward the summoner. A Dutch medical doctor waving her hand this way will make an Indonesian patient upset in a hospital waiting room in Amsterdam since he cannot grasp the meaning of the waving hand. In many other countries in Asia (for instance the Philippines, Indonesia, China, Japan), Africa (Ghana), and Latin America (Peru), in South Europe (some Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
areas in Italy, Spain, Portugal) and in several Arab countries, one summons others by the hand with the palm downward and the fingers moving toward the summoner, even though the hand wave varies a little from one country to another. A member of the Peace Corps was called to come to the city to settle a problem indicating that a volunteer treated an Ethiopian like a dog. He found the volunteer working in a health center. He observed that the volunteer pointing and calling patients one by one using his finger to come to the examination room. The hand gesture was a big mistake since in Ethiopia, such a pointing was suitable for children, and his summoning was suitable for dogs. In Ethiopia, one points to others by extending one’s arm and hand, and summons others by extending one’s hand, with one’s palm downward, and close it repeatedly (Calloway-Thomas et al., 1999:137). The following is a similar faulty incidence: A Dutch nurse is working in a field hospital somewhere in East Africa. Her task consists, quite simply, of showing the patients in: they are all sitting on the floor in a tent, and she needs to signal to each of them that it is his/her turn to go into the doctor’s cabinet. Although the nurse’s task is apparently simple and straightforward, the local people seem to hate her, and do not want to have anything to do with her. They say: ‘She treats us like dogs.’ At first glance, there is nothing in the nurse’s behaviour that could cause such a strong reaction. Until it is discovered that 4
she indicates the next person to be seen by the doctor by pointing with the finger. This simple gesture was the cause of the local people’s reaction: in many countries you can point at animals, but it is extremely rude to point at people with your finger (Pinto, 1990: 112, quoted by Verluyten, 2000:62) We often wave our hands to greet others. In France, however, greeting through waving hands is personal and individual. General hand wave to all people present in an office as found in the US is deemed insulting to French colleagues. Instead, we should greet each French colleague individually while mentioning their names, such as, “Bonjour Nathalie,” shake her hand and see straight in her eyes (Schneider & Barsoux, 1997:24). The raised thumb seems to be common in many cultures. But its meaning varies from culture to culture, with the most common meaning being “approval.” In Germany it means “Good!” or “OK”, but it also means “one,” usually used to order something, for example, “One more glass of beer” in a bar. In Australia, the raised thumb also means OK, but it is an insult when it is done abruptly upward, but in Japan the raised thumb means “a male” or number five. In the US “Okay (OK)” is commonly indicated by forming a circle by a thumb and a forefinger while three other fingers stand. In Ireland, however, this sign is vulgar and it is rude in some Latin American countries such as Brazil, Colombia, and Mexico. It is comparable to or even worse than the middle finger gesture which means “Fuck you!” in the US. In Malta, the raised thumb means “a homosexual male” (Ferraro, 2002:81). In Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Morocco, Belgium and in some parts in France (including Paris) the sign means “zero.” The same sign means money in Japan, Korea, and the Philippines. The gesture is often used to warn or to threat others in several Arab countries, for example in Syria. In Turkey as well as in Greece, it is an obscene gesture. Imagine an American male doctor who gives the OK sign to a Turkish female patient, a Greek female patient, or a Brazilian patient in an American hospital. This may result in a deteriorating relationship between the two parties. The fig gesture (the thumb protruding between the index finger and the middle finger while the fist is close) is vulgar in several European countries, in Guatemala, and in Indonesia. But in Portugal and Brazil, it means “Good Luck!” The same sign means “Nothing. You will get nothing” in Ukraine (for children who ask too much). It is worthy of note that while the V sign (with the palm facing outside) means victory in most Western countries, in Britain, the same sign (but with the palm facing inside) is insulting, its meaning being equal to the middle finger sign in the US. Using the left hand when pointing, giving or receiving something is considered rude in Muslim countries, especially in the Middle East, because that hand is dirty for them as it is often used in the toilet. Indonesians or Muslims from Saudi Arabia will feel insulted if their communication partners use their left hands to give them a pen, a name card, a passport, or a drug prescription. The use of the left hand is considered worse during meals. Medical professionals, whether they are doctors, nurses, hospital 5
managers, clinical psychologists or social workers, have to take care of their body language. They should not cross their arms in front of their chests, since such a gesture indicates defensiveness, suspiciousness, or even hostility. They should avoid making too many gestures, since such behavior indicates anxiety or nervousness. Washburn and Hakel found that interviewers using a lot of gestures were considered as liking their jobs, being more enthusiastic, easier to be approached, and more friendly. In general expressive subjects are viewed as more attractive and likeable than less expressive ones (Druckman et al., 1982:72). Simply put, in health care context, better communication with patients requires that health care providers also understand the meaning of their nonverbal behaviors (Taylor, 1999:289). Touch The study of touch is called Haptics. Touching in the forms of handshake, embrace, and kiss is often used in greeting. Hand shake, albeit being widely practiced all over the world, varies from culture to culture. An American hand shake is too firm for a French. But Europeans, particularly Germans, shake others’ hands more frequently than Americans. Germans may shake their colleagues twice or three times a day. A German host may even shake his guests before going to bed. According to Verluyten (2000:136), in Belgium and in Germany, an employee coming to the office in the morning will shake hands with all others present, while in US two people may shake hands when being introduced but will never shake hands again. Meanwhile, according to Gochenour, Filipinos usually shake hands Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
and are engaged in small talk when they meet in their working place, but in the afternoon, they just move their eyebrows upward without saying a word. Without the eyebrow movement or a little hand wave, people will be considered unfriendly (cited in Toomey, 1999:24). Some cultural groups in Asia (including Indonesia, Malaysia), the Middle-East (Saudi Arabia, Syria, Kuwait) and Latin America (Mexico, Puerto Rico, Venezuela, Cuba, Bolivia, Ecuador, El Salvador, Paraguay), and South Europe (Turkey, Italy, France) often touch people of the same sex (see also Guirdham, 2005:93). A study by John Graham found that during negotiation Brazilians touched others on average once in every six minutes, whereas Japanese and Americans did not touch at all (Druckman et al, 1982:133). Walking hand in hand between the same sex is acceptable in many cultures, such as in Mediterranean countries and in some Asian countries, including Malaysia and Indonesia, while this behavior is perceived as too intimate in North America and North Europe. It can only be accepted if the people are from the opposite sex. It is common among Mexican men to embrace each other when they meet. Arab men even kiss each other on the cheek in their encounters. However, touching among the same sex is avoided by most Anglo-celtic Americans and Europeans. Germans are especially worthy of note. They are considered as “cold” in most Asians’ perception. North Americans, North Europeans, Australians, New Zealanders, Chinese and Japanese consider touching and embracing people of the same sex as too intimate; it may connote sexual attraction (among homosexuals or among 6
lesbians). For Romanians who like embracing others, including people of the same sex in their encounters, Germans are distant. Even a Japanese will not be comfortable when his Romanian friend insists on kissing him on the cheek as an expression of hello or good bye. Meanwhile, a Brazilian executive may miss the abruca (embrace with two arms) indicating intimacy and comradery when his German colleague in a farewell party after a seven week international seminar only shakes his hands (see also Schneider & Barsoux, 1997:24). Imagine the communication performance of an Arab before a North American or a North European. He touches his communication partner a lot, stands too close, speaks loud with the breath sweeping the face of his communication partner, and maintains sharp eye contact. Chances are that the North American or the North European feels uncomfortable with this Arab man. This informs us how the North American or the North European differs from the Arab in interpreting nonverbal messages. The physical distance regarded normal by the Arab is too intimate for the North American, while the Arab’s loud voice indicates his sincerity and liking, not his rudeness. As a medical professional, no matter where you come from, it will be your advantage if you touch your Arab patient more often, as long as you and the patient are of the same sex. The Arab patient will be socially deprived if he is not often touched; this may increase his suffering. Based on their culture, Mexican patients, like Arab patients, expect their American doctors to touch them, at least when the patients stay in bed. Without understanding the Mexican culture, Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
American doctors may be reluctant to touch their Latin American patients. Touching is so commonplace in Mexico that if you like Mexican babies, you must show your liking by touching them. In that country admiration or love to a baby without a touch is believed to invite the “evil eye” and harm the child. In contrast, in the US American mothers discourage others to touch their babies; they assume that hands used to touch their babies might contain germs and thus will harm the babies. Although people in some Eastern cultures touch each other intensively, even among the same sex, there are certain parts of the body that are not to be touched. In India, Thailand, Laos, Malaysia, and Indonesia, the head is considered as the sacred part of the body, so it is a taboo to touch it, while in Western countries this behavior is not a problem. In some subcultures, sports for example, one player innocently touches the head of his counterpart who has successfully made a score. The most sensitive part of an Arab man’s body that should not be touched by other men is his bottom rather than his head. Touching it is considered insulting. In Saudi Arabia, unless you are nuclear family members, it is rude to touch women. Indeed, among Muslims touching people of the different sex other than their immediate relatives without adequate reason can be detrimental as this is not unlawful according to Islam. Health care providers must consider whether their touching behaviors will make their patients comfortable or not. Jones and Varbrough (1985:139) who conducted the first comprehensive study of communication through touching in US found 12 meanings associated with 7
touch: affection, announcing a response, appreciation, attention getting, compliance, departures, greetings inclusion, playful affection, playful aggression, sexual interest or intent, and support as well as hybrid meanings such as departure/affection and greeting/affection. Research in Western cultures has indicated that people touched are more likely to comply with the giver of the touch. Certainly the touch must be proper in terms of the parts of the body to be touched and the frequency of touching. In the study of Whitcher and Fisher (1979), patients were touched by female nurses during explanation of procedure before the surgery. They found that female patients reacted more positively, while male patients reacted less positively. Similarly Lewis et al. (1995) found that male patients rated the nurses (both male and female) as more supportive if they did not touch the patient, while female patients viewed the nurses were more supportive if they did touch the patient (cited in Knapp & Hall, 2002:289). Research in health communication has indicated that patients’ needs for touching behaviors are not sufficiently met by their health care providers (Kreps & Thorton, 1992:33). In general touching behavior is important in health care. At least, massage and touching by physicians and nurses have yielded positive effects on hospitalized patients, although physiological, behavioral, and attitudinal effects are not always positive (Knapp & Hall, 2002:273). Unless patients indicate some cues that they do not want to be touched, in general medical health providers are recommended to touch their patients more often to give a sense of caring and empathy, not only for Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
instrumental purposes. This will make the healing process faster as the patients feel some support from their care givers. However, health care providers must be careful with the type, frequency, and location of the touch, otherwise patients will resist the touch. Compared with other cultures, people in the United States are one of the cultural groups who have the lowest rates of casual touch. In contrast with French people who might touch each other dozens of times an hour when they are talking in a Parisian cafe, American people might touch each other once or twice an hour in a coffee shop in the United States when they are talking as friends, while in a London coffee shop in Britain, friends do not each other at all (Jandt, 2013:124). The film Life as a House starring Kevin Kline illustrates the power of touch in the healing process. In the story George Monroe (Kevin Kline) is a failure. While he has a bad relationship with his son, he is also jobless. Worst of all, he suffers from a terminal cancer. While being hospitalized, he is often touched tenderly by his nurse. The touch is so meaningful to him since he has not been touched for years. The nurse’s touch makes him realize that he has lost his intimate relationships with people around him, especially his son. Sam, his son, is also a touch-deprived person, like himself. He and his son learn again to make a physical contact with each other. The film has a happy ending. The relationship between George and Sam and with others: his other children, his ex-wife, and his neighbors are restored (see also Adler et al., 2004:125). Recent research conducted at the Miami’s School of Medicine supports the importance of touching babies. Premature 8
babies grow faster and gain more weight if they are massaged. The same research also indicates that massage can make colicky children sleep better and boost the immune function of cancer and HIV patients. Massage also helps new infants thrive and enables depressed mothers of new babies to feel better and to ease the delivery process. Patients with dementia who were given hand massage had less anxiety and dysfunctional behavior (see Adler et al., 2004:124-125). The touch of the healer can be very important to cure uncertain aches and pains (especially in people undergoing stressful situations) and sicknesses such as asthma, hiccups, indigestion, stomach ulcers, migraine headaches, and even warts (Werner, 1993:2). Head Nod People from the high-context culture use more nonverbal messages than those from the low-context culture. However, the meaning of the messages may be ambiguous. In many parts in Indonesia, especially in Java, like in China, and Japan, the head nod does not always mean “Yes.” It may mean that he or she understands what is being said by his or her communication partner. One may even be silent to mean agreement. In those cultures, to say “No” or to shake one’s head as a sign of “No” is considered as rudeness. It is just unthinkable to do so to respect the authority figure (see also Begley & Ockey, 2012:375). Medical practitioners unaware of this cultural attitude may find difficulties when facing Asian patients, as illustrated by the following case. Linh Lee, a sixty-four-year old Chinese woman [was] hospitalized Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
for an acute evolving heart attack. At discharge, her physician suggested that she come back in two weeks for a follow-up examination. She agreed to do so, but never returned. It is likely that she never intended to do so but agreed because he was an authority figure. Chinese are taught to value accommodation. Rather than refuse to the physician’s face and cause him dishonor, Mrs. Lee agreed. She simply did not follow through, sparing everyone embarrassment. When Nancy, her ChineseAmerican nurse, saw her in Chinatown several weeks later, Mrs. Lee was very cordial and said she was feeling fine (Galanti, as cited by Geist, 2000:349). As for the head movement, even a head nod taken as agreement in Anglo-celtic cultures is not universal. Sri Lankans, for instance, shake the head from side to side (like metronome) to mean agreement (Singelis, 1994:279). For Bulgarians, Albanians and South Indians, a head nod means “No,” while shaking head means “Yes.” Again, an American doctor who asks a question to a Bulgarian patient or a South Indian patient will misinterpret the patient’s head shaking which means agreement rather than disagreement. We often think that shaking head from side to side is the most natural way to say “No,” as in the US, the Netherlands, Germany, Japan, and some Asian countries, including Indonesia. Yet, in Greece “No” is nonverbally indicated by moving the head upward quickly, and in Turkey by raising the eye brows and moving the head backward and making the clucking noise 9
with their tongue. The inhabitants of the Admiralty islands say “No” by stroking the tongue quickly with a finger (Zanden, 1988:62-63). In Ceylon, a head nod is done to answer “Yes” for a specific question, but general agreement is indicated by a slow sideways swaying of the head (Jandt, 2013:117). Facial Expression Phisiology experts predict that the human face can produce 20.000 expressions. A researcher noted 7,777 different expressions in research on behavior in a classroom (Taylor et al., 1992:96). Of all nonverbal behaviors, facial expression (including smiles and eye behavior) is the most important one. The real message is often contained in facial expression, no matter what the person says. Most of the messages conveyed through facial expression are emotional. In doctor-patient relationships, facial expression is also important. Knapp and Hall (2002:4) suggests, although “a doctor tries to act professionally neutral by being somewhat blank and unexpressive, the patient is likely to read the lack of cues as aloofness or disinterest, perhaps even suspecting the doctor of with-holding important information.” There are seven facial expressions considered universal, namely, those that show: happiness, surprise, anger, fear, disgust, sadness, and contempt However, these expressions have culturally been molded. Except for happiness and surprise, other facial expressions can be different from culture to culture. For instance, these facial expressions are not always well recognized by people in Japan and the United states (Jandt, 2013:107). So, there are cultural rules that dictate the way Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
people express their emotions. These rules of displaying emotions are socially learned: “who can show which emotion to whom and when they can do so” (Ekman, 2003:4). Feelings of people from certain cultures cannot be predicted based on their physical appearance alone. Hall’s argument (1959) is still relevant today that in general Asians are more ready to smile and laugh than Westerners when they are in difficult situations or when they are shy. This is often misinterpreted by Westerners as a normal pleasure or agreement. However, the extent to which Westerners smile also vary across cultures. For instance, Germans smile less than Americans, but it does not mean that Germans are less friendly. They just have different ideas as to when it is proper for them to smile (Jandt, 2013:109). The degree of smiles, laugh and facial expression and their meanings also vary from culture to culture. Americans are more likely to smile in situations where Poles do not smile. For Poles, Americans smile too quickly to strangers. In the observation of an American woman married to a Pole living in Warsaw: In everyday life, the approach to fleeting interactions in Poland is often take-me-seriously. Rather than the cursory smile, surface courtesy means a slight nod of the head. And some Poles may not feel like masking their everyday preoccupations. From this perspective, the smile would be fake. In American culture, you don’t advertise your daily headaches; it’s a bad form; so you turn up the corners of the mouth--10
or at least try---according to the Smile code (Klos Sokol cited in Goddard, 2002:38). Some cultural groups are known of expressing themselves more freely as can be seen in their faces. The Arabs can weep in the presence of others, without being worried that they are regarded as effeminate. Latin American people often show similar expression. Others like the Japanese, the British and Americans are more likely to repress their feelings, especially feelings which give the impression of vulnerability. Friedman and his colleagues found that, as predicted, a repressed style of expression is associated with symptoms of coronary disease and even with the actual heart attack. Similarly Malatesta, Jonas, and Izaard found that women were less expressive on their face when being angry, were more likely to suffer from arthritis, and women who were less expressive when being sad were more likely to suffer from skin problems. Buck supported the previous findings by showing that patients who were less expressive on their face were more likely to suffer from more psychosomatic ailments (cited in Knapp & Hall, 2002:331-332). The facial expression of people from Eastern cultures often misleads Westerners. The Japanese are well-known for their ambiguous facial expression. They never show their deep feeling outwardly. We do not even know whether they are happy or sad when they are smiling. They can hide shyness or nervousness behind a smile or a laugh; their crying does not always mean sadness (see also Hall, 1973:123). A Japanese
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
woman may smile and say, “My son passed away a few days ago.” Although the smile is almost a universal gesture of friendliness, in some Latin cultures, the same gesture may indicate “Excuse me” or “Please”, while in parts of Southeast Asia, a person may hide embarrassment by smiling (Jandt, 2013:108). One noteworthy example is the frequent smile of the former president of Indonesia, Soeharto. There is even a book about him entitled The Smiling General (Roeder, 1969). For many Indonesians, Soeharto was in fact a cold-blooded tyrant who had instructed his army troops to murder thousands of his opponents and other innocent people challenging his power throughout his presidency. Another intriguing example is the smile of Amrozi, one of the well-known Bali bombing that killed over 200 people in 2002, mainly Australians. Being interviewed by the Chief of the Indonesian Police squad, Da’i Bachtiar, Amrozi was smiling. His smiling face disseminated through the newspaper and TV made Australian readers, including the Australian Minister of Foreign Affairs, Alexander Downer, angered. They could not understand why the murderer was smiling while talking about his murderous behavior. Yet, it is common for Javanese to smile when they are sad, frustrated, nervous or shy to mask their true feelings. Health care providers from the low-context cultures should not be puzzled with this peculiar behavior. They must just be alert and learn to take out the most appropriate meaning of all possible meanings shown by their clients from such cultures. On the other hand, they must carefully guard their own facial expression so that they will not make their clients unhappy, nervous, or 11
scared. A pleasant smile on the medical professional’s face is always helpful to create a warm atmosphere of relationship with the patient. Even when the medical professional and the patient are from the same culture, the medical professional must be sensitive to any feeling possibly shown by the patient through his or her facial expression. The patient might feel some pain when he or she is being examined but probably he or she is too nervous to express it. As much as possible, the nurse or the doctor must ease any tension or any pain felt by the patient. Eye Contact Due to its significance, eye contact can be regarded as a separate aspect of nonverbal communication that is different from facial expression. The study of eye behavior is termed Oculesics. To show respect, most people in Asia, Africa, Latin America, Pacific Islands, and people with American Indian backgrounds do not maintain eye contact when they communicate with older people or people who have higher status (see also Jandt, 2013:120). However, this behavior is often misinterpreted by North Americans, North Europeans, Australians and New Zealanders. For these Westerners, eye contact means a window to see the soul of the eye beholder. They mistrust those who lower their gaze. As Jandt (2013:119) contend, patterns of eye contact learned in early childhood relatively affect adult experiences. Duration of eye contact varies from one culture to culture. In many countries this duration is less than two seconds. Those who maintain eye contact more than two seconds seem to indicate interest, dominance, or aggressiveness. On Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
the other hand, those who often avoid eye contact are considered as shy, modest, and dishonest in some cases. In many Arab countries physical contact and even eye contact between adults of different sexes are governed by strict rules. Druckman et al. (1982:133) illustrates, an American journalist once interviewed Colonel Qaddafi, the leader of Libya. Because avoiding eye contact, Qaddafi was thought to be dishonest and lying. The most possible interpretation is that Qaddafi as a Muslim man sitting before a woman uncovered other than his wife avoided eye contact to respect her. Japanese may even close their eyes, like falling asleep, while listening to a public speaker, implying that they are paying their full attention to the speaker (Singelis, 1994:285). Nevertheless, eye contact varies even among Europeans. An American in Paris may feel uneasy when being stared at, while in London he may feel being ignored (Schneider and Barsoux,1997:20). However, for the Arabs, both the American and British eye contact is deemed too short, thus being interpreted as a lack of interest. Novinger illustrates, a French assumes an American trying to make eye contact, smile, and nod his head when passing by as a stranger in a secure neighborhood as flirtatious rather than friendly (Burgoon & Hubbard, 2005:157). Caucasians often see straight the eyes of their communication partners to show their goodwill and sincerity. This behavior has been learned early in life in their families. However, their behavior is often perceived as dominance by those people accustomed to lowering their gaze. Misunderstanding may take place between Black Americans or American Indians who lower their gaze in their communication 12
with their White superiors who maintain eye contact. White Americans will consider the behavior of the Black Americans and American Indians as dishonesty, shyness, or inferiority. In Asia, women are not supposed to see men straight in the eye, as women’s stare might be interpreted as sexual attraction or otherwise impolite. On the other hand, men do not stare at women either. However, French men accepted other people’s stare as a cultural norm, therefore they also stare at women in public (Tischler, 1999:146). In general in Asia blinking has a derogatory meaning, also in Australia (Jandt, 2013:119). If a male blinks his eye to a woman, it is likely that the woman will be angry or shy. Even in Taiwan, blinking while another person is talking is impolite (Adler & Rodman, 2000:36). In the West, it is common for a man to blink his eye to an attractive woman to lavish amorous attention (Sitaram & Cogdell, 1976:132). Without this cultural awareness related to eye contact, White American and European medical doctors may dislike Black, African, or Asian subordinates or their clients who lower their gaze, although their behavior is intended to show respect to them. They may also smile to Muslim women, especially from Arab countries to show their kindness or politeness, but they face the risk that their smile may be interpreted as flirtatious or even seductive.
Concluding Remarks In this article I have highlighted how nonverbal communication, particularly body language incorporating hand gestures, touch, head nod, facial Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
expression, and eye contact have significant roles to in creating effective communication. Health care providers must consider the body language of their patients to cultivate mutual understanding and trust. It is suggested that body language as part of nonverbal communication is as important as verbal communication involving the use of language.
REFERNCES
Adler, Ronald B. and George Rodman. Understanding Human Communication. Seventh Edition. Forth Worth: Harcourt College, 2000. Adler, Ronald B., Lawrence B. Rosenfeld, and Russell F. Proctor II. Interplay: The Process of Interpersonal Communication. Ninth Edition. New York: Oxford University Press, 2004. Begley, Polly A. and Debbie A. Ockey. “Health Jouneys: Intersections between Ancient Healing and Modern Medicine.” In Larry A. Samovar, Richard L. Porter, and Edwin R. McDaniel, eds. Intercultural Communication: A Reader. International Edition. Australia: Wadsworth, 2012, pp. 366-380. Birdwhistell, Ray L. “Toward Analyzing American Movement.” In Shirley Weitz, ed. Nonverbal 13
Communication: Readings with Commentary. New York: Oxford University Press, 1974, pp. 134143. Burgoon, Judy K. and Amy S. Ebesu Hubbard. “Cross-Cultural and Intercultural Applications of Expectancy Theory and Interaction Adaptation Theory.” In William B. Gudykunst, ed. Theorizing About Intercultural Communication. Thousand Oaks: sage, 2005, pp. 149-171. Calloway-Thomas, Carolyn, Pamela J. Cooper, and Cecil Blake. Intercultural Communication: Roots and Routes. Boston: Allyn & Bacon,1999. Darley, Mark and Fiona McGreuer. “Oneto-One Communication.” In Mark Darley, ed. Managing Communication in Health Care. Foreword by Christina Edwards. Edinburg: Bailliere Tindall, 2002, pp. 25-41. Druckman, Daniel, Richard M. Rozelle, and James C. Baxter. Nonverbal Communication: Survey, Theory, and Research. Beverly Hills: Sage, 1982. Ekman, Paul. Emotions Revealed: Understanding Faces and Feelings. London: Weidenfeld & Nicolson, 2003. Ferraro, Gary P. The Cultural Dimension of International Business. Fourth Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Edition. Upper Saddle Prentice-Hall, 2002
River:
Geist, Patricia. “Communicating Health and Understanding in the Borderlands of Co-Cultures.” In Larry A. Samovar and Richard E. Porter, eds. Intercultural Communication: A Reader. Ninth Edition. Belmont: Wadsworth, 2000, pp. 341-354. Goddard, Cliff. “Explicating Emotions Across languages and Cultures: A Semantic Approach.” In Susan R. Fussell, ed. The Verbal Communication of Emotions: Interdiciplinary Perspectives. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum, 2002, pp. 19-53. Guirdham, Maureen. Communicating across Cultures. Hampshire: Macmillan Pess, 1999. Guirdham, Maureen. Communicating Across Cultures at Work. Second Edition. Hampshire: Palgrave Macmillan, 2005. Hall, Edward T. The Silent Language. Garden City, NY: Anchor Books, [1959] 1973. Hall, Edward T. Beyond Culture. New York: Doubleday, 1976. Hargie, Owen and David Dickson. Skilled Interpersonal Communication: Research, Theory and Practice. London: Routledge, 2004.
14
Harper, Robert G. Harper, Arthur N. Wiens, and Joseph D. Matarazzo. Nonverbal Communication: The State of the Art. New York: John Wiley & Sons, 1978. Jandt,
Fred E. An Introduction to Intercultural Communication: Identities in a Global Community. Fourth Edition. Thousand Oaks: Sage, 2004.
Jandt,
Fred E. An Introduction to Intercultural Communication: Identities in a Global Community. Seventh Edition. Los Angeles: Sage, 2013.
Knapp, Mark L. and Judith A. Hall. Nonverbal Communication in Human Interaction. Fifth Edition. South Melbourne: Thomson Learning, 2002. Kreps, Gary L. and Barbara C. Thornton. Health Communication: Theory & Practice. Prospect Heights, Illinois: Waveland Press, 1992. Mehrabian, Albert. Nonverbal Communication. Chicago: AldineAterton, 1972. Roeder, O.G. The Smiling General: President Soeharto of Indonesia. Djakarta: Gunung Agung, 1969. Samovar, Larry A., Richard E. Porter, and Edwin Mc. Daniel. Communication between Cultures. Sixth Edition. Belmot, CA: Thomson, 2007.
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Schneider, Susan C. and Jean-Louis Barsoux. Managing Across Cultures. Harlow: Pearson Education, 1997. Singelis, Ted. “Nonverbal Communication in Intercultural Interactions.� In Richard W. Brislin and Tomoko Yoshida, eds. Improving Intercultural Communication: Modules for Cross-Cultural Training Programs. Thousand Oaks: Sage, 1994. Sitaram, K.S. and Roy T. Cogdell. Foundations of Intercultural Communication. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill, 1976. Taylor, Anita, Arthur C.Meyer, Teresa Rosegrant, and B. Thomas Samples. Communicating. Sixth Edition. Englewood Cliffs, NJ, 1992. Taylor,
Shelley E. Health Psychology.Fourth Edition.Boston: McGraw-Hill, 1999.
Tischler, Henry L. Introduction to Sociology. Sixth Edition. Forth Worth: Harcourt Brace College, 1999. Ting-Tomey, Stella. Communicating Across Cultures. New York: The Guilford Press, 1999. Trompenaars, Fons, and Charles Hampden-Turner. Riding the Waves of Culture. London: Nicholas Brealey, 1999. 15
Verluyten, S. Paul. Intercultural Communication in Business and Organisations: An Introduction. Leuven: Uitgeverij Acco, 2000. Werner, David, with Carol Thuman and Jane Maxwell. Where There is No Doctor: A Village Health Care
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Handbook. 1993.
London:
Macmillan,
Zanden, James W. Vander. The Social Experience: An Introduction to Sociology. New York: Random House, 1988.
16
KONSTRUKSI KEKERASAN DALAM POTRET PEMBERITAAN ISLAM DI KANAL INFORMASI INTERNET (Analisis Framing terhadap Website dan Portal Informasi Bergender Islam) Ilham Prisgunanto Pengajar Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur, Email: prisgunanto@gmail.com
ABSTRACT Media are window that enable us to see beyond our immediate surroundings, intepreters that helps us make sense of experience that screen our parts of experience and focus on others, mirrors that reflect ourselves block the truth. Any media always talk about gap political ideology behind messages from the text. Because of that this research talk about agenda of Moslem and any related issues in digital media (social media). the Umberella of theories come from content analysis, agenda setting mass media. This research mix two research models that quantitative model of conventional content analysis and qualitative model and for framing analysis Gamson and Modigliani model. The frame work of this research at sociocultural tradition which focus for interaction between people. Collecting data come from google search engine with keyword ISLAM and KEKERASAN and find 5,620,000. After editing process just 100 reporting news from websites and information portal had used for this research. Finding research exactly the same from the research before, that moslem get always bad image in people head. Beside it, Islamic scholar reinforce that perceptions and more over create the new construction of bad perception's moslem because they follow the media agenda mainstream internasional mass media. And the bad perception of moslem would be impact to role's of political especially for leadearships profile of moslem. Keywords : Content analysis, violence news, agenda media, internet,
PENDAHULUAN Islam adalah agama terbanyak yang dipeluk oleh orang Indonesia. Tercatat bahwa Indonesia masuk dalam sepuluh negara terbesar pemeluk agama Islamnya, di samping Pakistan, India, Bangladesh, Turki, Iran, Mesir, Nigeria, Aljazair dan Maroko. Dari salah satu laman di jejaringan internet dengan lugas disebutkan
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
bahwa jumlah pemeluk agama Islam di Indonesia sudah mencapai jumlah yang cukup besar, yakni 182. 570.000 orang. (http://mylaboratorium.blogspot.com/2012/ 01/10-negara-berpopulasi-muslimterbanyak). Jumlah ini cukup besar dan potensial memengaruhi berbagai sektor kehidupan bangsa di sana. Asumsi mudahnya, bahwa seharus Islam sangat
17
menjiwai kehidupan sehari-hari manusianya. Disadari atau tidak, Islam ikut mewarnai dan mempengaruhi konstelansi kehidupan bangsa Indonesia, mulai dari sektor ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, teknologi, dan lain-lain. Apalagi bila dipandang dari sisi lintasan sejarah, Islam masuk ke Indonesia tanpa kekerasan dan permusuhan malah penuh kedamaian dan penuh kasih sayang. Warna inilah yang menyebabkan orang Indonesia dengan serta merta mau memeluk agama yang disebarkan oleh Nabi Muhammad, sebagai Rasul utusan Allah SWT pada tahun 651 Masehi itu. Sejarah mencatat bahwa diyakini, Islam masuk Indonesia melalui kelompok tarekat yang penuh dengan kehidupan religi tinggi dan menjiwai kehidupan sufi orang Indonesia yang bertitik sentral pada kehidupan raja dan keraton. Masuknya Islam ke kalangan kerajaan dan istana dengan perlahan, luwes dan bisa mengubah kebiasaan di sana. Semua atas kegigihan penyebar agama Islam yang waktu itu yang bisa lentur (fleksibel) memahami kultur dan kebiasaan masyarakat. Tidak adanya pertentangan yang keras, bahkan para Wali sebagai penyebar agama di pulau Jawa ini begitu bisa masuk dan menjiwai kehidupan masyarakat Jawa yang penuh dengan unsur sinkretisme dan ‘klenik’. Para Wali yang begitu meneladani Rasulullah mampu menunjukkan bahwa Islam adalah agama Rahmatan Lil Al-Amin, atau agama untuk keselamatan dan berkah rahmat untuk seluruh umat manusia. Agama yang memberikan kesejukkan bukan kebencian dan pertengkaran, agama yang pasrah menyerahkan diri kepada Tuhannya dan menjunjung tinggi rukun dan iman yang ada di dalamnya.
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Islam begitu indah, menyejukkan dan memberikan makna kehidupan yang hakiki bagi semua orang. Penuh dengan rasa toleransi, memahami semua pemeluk agama dan berkasih sayang dengan tidak ada batasan umur, strata sosial dan golongan. Nilai-nilai luhur inilah yang masuk dan diterima karena ada dalam setiap tatanan kehidupan peradaban manusia yang seutuhnya dan merupakan nilai-nilai kodrati peradaban manusia yang tertinggi. Sayangnya semua itu saat ini seolah-olah luntur dengan begitu maraknya penyimpangan yang ada akan gambaran Islam di mata semua orang. Pemeluk agama Islam adalah jamaah yang penuh dengan tudingan miring, seperti; tukang berkelahi, arogan, mau menang sendiri, suka berperang, memaksakan kehendak, miskin, teroris dan penuh dengan mistik, bahkan masih banyak lagi. Satu yang dikenal adalah istilah Islam radikal yang masuk dalam model dakwah Islam saat ini yang dikenal keras dan arogan. Islam radikal inilah yang diperkirakan memunculkan tindakan terorisme yang marak saat ini di seluruh dunia. Serangkaian pengeboman daerah obyek vital diyakini dilakukan oleh kelompok Islam radikal ini. Peristiwa pengeboman di depan Kedutaan Australia, Poso, J.W. Marriot di Kuningan - Jakarta dan sejumlah tempat peribadatan non muslim seperti; Gereja, Katedral dan Wihara kerap terjadi. Kegerahankegerahan inilah yang menimbulkan konflik horizontal di beberapa wilayah di Indonesia ini, seperti sebut saja kasus Ambon, Poso dan lain-lain. Akhirnya Islam dicap jauh daru gambaran masa lalu seperti lintasan sejarah apa yang diketahui orang. Satu yang menjadi pertanyaan benar yang mana, catatan sejarah atau saat ini 18
yang benar? Gambaran buruk ini jelas mencoreng gambaran Islam di mata dunia. Satu yang diyakini orang adalah media massa memiliki andil besar dalam pembentukkan citra dan gambaran yang ada dibenak orang. Dari media massa orang bisa memahami dunia karena sesuai dengan sifatnya media adalah sumber informasi, pengawasan masyarakat dan menjadi tempat pelestarian budaya (Lasswell dalam Boyd-Barret, 1995). Dengan kemampuan kultivasinya media massa bisa mengarahkan apa yang harus dipikirkan oleh seseorang sehingga di sinilah letak begitu berdayanya (powerful) media massa itu. Penelitian ini lebih menyoroti representasi isi berita yang dilangsir oleh beberapa jejaringan internet sebagai media elektronik yang mampu mewujudkan dunia digital dengan kemampuan konvergensinya (Straubhaar and La Rose, 2004). Jejaringan internet memunculkan semangat demokratisasi dalam pemberitaan, apalagi dengan adanya aplikasi konsep citizen jurnalisme yang membuat media massa di internet begitu khusus (private) dan menyentuh kelompok tertentu dalam konsep komunitas (Prisgunanto, 2004). Sudah diketahui bahwa internet memiliki keandalan dalam menerobos masuk ke semua tempat, tanpa ada kendala oleh kekuatan hukum, politik, ekonomi atau alasan klasik ‘penyortiran’ dan ‘pemberangusan’. Orang bebas berbicara apa saja dengan tidak ada rasa takut dan intimidasi dari pihak-pihak berkuasa. Satu pertanyaan yang menjadi permasalahan penelitian ini adalah, apa agenda media dalam konteks gambaran Islam pada pengelola media elektronik di dunia internet? Apa imbas yang akan dimunculkan dengan konstruksi berita Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
sedemikian dalam kehidupan dunia Islam saat ini? Dengan penelitian ini diharapkan orang memahami peran dan kerja media massa secara seutuhnya. Penelitian ini bisa digunakan sebagai upaya melek internet (internet literate) bagi semua orang baik untuk jamaah Islam atau orang lain yang ingin memahami Islam secara mendalam. KERANGKA TEORI Para ahli media massa pada tahun 1980-an memulai mempertanyakan, siapa yang menyetting media massa itu? Pada jajaran pencarian kebenaran ini, para peneliti mulai menggali bermacam-macam faktor yang mempertajam agenda media. Agenda media menjadi variabel dependen dimana tradisi penelitian agenda setting, agenda media biasanya berkedudukan sebagai independen variabel. Kunci faktor penyebab adalah mempertajam agenda publik. Kiasan yang berlaku dalam hal ini adalah ‘Pelling on Onion’ (lapisan kulit bawang) digunakan untuk mengerti hubungan antara faktor-faktor dan bermacam-macam pengaruh pada agenda media massa. Susunan konsentris dari kulit bawang mempresentasikan sejumlah gambaran pengaruh yang mempertajam agenda media yang dianggap sebagai inti dari bawang. Seperti kulit dari bawang, pengaruh dari lapisan luar akan berpengaruh pada lapisan dalam yang terdekat dengan inti bawang. Elaborasi terperinci tertinggi pada kiasan bawang berisi banyak lapisan, berjarak dari yang berlaku, ideologi sosial pada kepercayaan dan psikologis individualis journalis (Shoemaker & S. D. Reese, 1991).
19
Gb. 1 窶的deologi Level Media Massa Teori tentang bawang ini apa yang kemudian disebutkan oleh Shoemaker dan Reese sebagai tingkatan extramedia sebagai kunci eksternal sumber-sumber berita. Mereka termasuk di dalamnya; para politisi, petugas publik, praktisi yang berhubungan langsung dengan publik dan beberapa individu, seperti; presiden Amerika yang berpengaruh pada khalayak. Presiden sangat mempengaruhi isi media, seperti contoh studi isu negara serikat oleh Nixon tahun 1970 yang ditemukan bahwa agenda 15 isu yang ditujukan berpengaruh selanjutnya pada peliputan berita dalam sebulan di New York Times, the Washington Post dan dua dari 3 jaringan TV nasional (McCombs, Gilbert & C.H. Eyals, 1982). Tidak ada fakta yang ditemukan mendukung media memiliki pengaruh pada presiden. Sigal menguji New York Times dan Washington Post selama periode waktu 20 tahun dan ditemukan bahwa mendekati setengah cerita pemberitaan media berdasarkan substansial press release atau subsidi informasi sejenis. Kira-kira 17,5 % dari jumlah total cerita pemberitaan berdasarkan sekurang-kurangnya press release, konferensi pers dan penjelasan dari institusi terhitung adalah 32 % (Sigal, L, 1973). Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Melihat lebih dalam konsep extramedia dalam sosiologi media ini adalah interaksi dan pengaruh media massa juga terjadi pada sumber-sumber lain. Fenomena tersebut sering disebut sebagai intermedia agenda setting. Sedapat mungkin tingkat interaksi ditekan dan validasi norma sosial dan tradisional jurnalis diangkat. Nilai profesional adalah lapisan bawang yang lebih mendekati pusat, lapisan yang dapat mendefinisikan aturan dasar untuk mencapai tujuan akhir. Dan mempertajam agenda media. Kurang memadainya proses pemberitaan dan pemberian informasi juga menjadi sasaran kritik Lippman (Lippman, 1922). Curtis mengkritik para wartawan karena pemberitaannya tidak lengkap dan dipercaya, juga pemilik surat kabar yang sebagian besar hanya memperjuangkan kepentingan mereka sendiri, dalam hal ideologi yang diminati dan keuntungan bisnis bukan penyajian obyektif kepada publik. Di lain sisi Lippman mengakui bahwa harus dibedakan kebenaran dengan berita, bukanlah cerminan situasi dan kondisi sosial. Namun sering orang meyakini berita sebagai gambaran yang benar, orang memperlakukan seolah itu realitas. Peran pers adalah menyediakan pandangan tentang dunia luar yang membantu membentuk gambaran yang dipikirkan orang (Lowery dan De Fleur, 1995). Persoalan kritis yang muncul adalah apakah topik yang diseleksi pers untuk mempresentasikan dunia luar (pseudoenviroment). Menentukan intepretasi tentang apa yang sedang terjadi (hal ini berkaitan dengan konsepsi berita selektif atau subyektif daripada obyektif). Penyelidikan ini muncul pada tahun 1980-an setelah terjadi pembalikkan peran 20
agenda media dari variable independen menjadi variable dependen, dari siapa yang menata agenda publik menjadi siapa yang menata agenda media. Dengan demikian mengembalikan fokus dari efek media ke bidang jurnalis, khususnya gate keeping. New York Times sering memainkan peranan utama dalam intermedia agenda setter. Hal ini disinyalir karena kedekatannya dengan misi yang dibawa di halaman muka dari waktu (time) dapat melegitimasikan topik yang dianggap patut dijadikan berita. Kontaminasi love canal pada isu negara bagian New York dan Radon Threat di Pennsylvania tidak didapati menonjol, daripada ulasan intensif media lokal, sehingga isu-isu yang ada lebih mendekati agenda majalah Times (Mazur, 1987). Sebelumnya disebutkan Times mengulas masalah-masalah drug, studi tersebut menunjukkan bahwa ketika New York Times menemukan masalah drug negara pada akhir tahun 1985, jaringan berita dan surat kabar utama juga meliput isu yang sama secepatnya mengikuti. Akhirnya dalam penelitian laboratorium ditemukan bahwa penggalian fungsi agenda setting dari asosiasi pers. Peneliti menemukan tingginya tingkat korespondensi (0,62) di antara topik-topik di antara proporsi cerita berita pada wire file (file kawat) dan sampel kecil terpilih oleh subyek-subyek, Subyek diambil dari wire editor surat kabar dan televisi (Whitney & Becker, 1982). Studi inlah yang akhirnya menghubungkan antara teori agenda setting dengan penelitian gate keeping. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini berada pada kajiankajian teoritik ilmu komunikasi khususnya Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
dalam konteks penciptaan teks oleh media massa dalam kajian komunikasi massa. Dengan lugas penelitian yang diadakan lebih pada model analisis isi suatu media massa saja yang dalam hal ini adalah laman dalam jejaringan internet. Dipahami bahwa melalui analisis isi ini akan dipahami konstruksi realitas yang hendak dibentuk oleh si pembuat berita secara nyata dalam dunia internet. Analisis media massa sudah dikenal sebagai cara sistematik mengukur media massa sejak era tahun 1960-an (Glaser and Strauss, 1967). Penelitian ini menggunakan model triangulansi analisis data, atau penelitian yang dilakukan dua tahap, yakni baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Tentu saja ini dilakukan agar kedua metodologi itu dapat saling melengkapi satu dengan yang lain dalam upaya menafsirkan fenomena kehidupan yang ada. Meski diakui bahwa dua model penelitian sedemikian sangat bertolakbelakang dalam tradisi baik dalam tataran epistemologi, aksiologi, ontologi apalagi metodologi. Analisis pengolahan penelitian ini diawali dengan analisis isi konvensional model kuantitatif yang kemudian dilanjutkan dengan penelitian analisis data kualitatif agar didapat hasil penelitian lebih mendalam dan komprehensif. Dalam penelitian ini akan ditelusuri bagaimana si pembuat berita membingkai (frame) pemberitaan atau isi cerita tentang kekerasan dalam agama Islam dalam makna yang terkandung di dalamnya. Analisis isi yang digunakan adalah model framing dengan menggunakan kelompok metode analisis teks dan bahasa, khususnya metode analisis framing. Dijelaskan bahwa analisis framing merupakan metode penyajian realitas di mana kebenaran tentang suatu kejadian 21
tidak dapat diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus dengan memberikan penonjollan terhadap aspekaspek tertentu melalui istilah-istilah yang dikonotasikan, baik dalam bentuk foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya. Dengan kata lain, bagaimana realitas dibingkai, dikonstruksi dan dimaknai oleh media massa. Menurut William A. Gamson dan Andre Modigliani bahwa wacana media adalah elemen yang penting untuk memahami dan mengerti pendapat umum yang berkembang atas suatu isu atau peristiwa di masyarakat (Eriyanto, 2008, 21). Dengan jelas disebutkan bahwa paradigma penelitian ini lebih berada dalam paradigma intepretif yang konstruktivistik dan merupakan hasil berinteraksi antar satu manusia dengan manusia yang lain dalam suatu peristiwa (Mulyana, 2004). Interaksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah interaksi tidak langsung antar si pembuat isi berita dengan pembaca atau netter-nya. Pengumpulan data dalam penelitian menggunakan gawai penelusuran (SEARCH ENGINE) “google.co.id� dengan kata kunci ISLAM dan KEKERASAN. Pemilihan laman, blog, portal atau situs di jejaringan intermet sampai saat ini masih belum diminati orang karena begitu cair bebas dan demokratis. Pemilihan blog, portal atau situs di jejaringan intermet dimaksudkan untuk mengetahui warna terjadinya isi pemberitaan di sana. Apakah dengan minim campurtangan pihak manajemen kekuatan organisasi besar (jaringan berita) warna isi berita sama atau berbeda? Sesuai pendapat Shoemaker and Reese bahwa media massa tidak lepas pada pengaruh ideologi level dalam analogi siung kulit bawang (1996, 35). Dalam penelusuran Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
didapat temuan sebanyak 5,620,000 temuan isi berita dan informasi yang dianggap cukup memberikan warna terhadap isu kekerasan dan Islam. Alasan penggunaan kata kunci ISLAM dan KEKERASAN juga atas dasar penelitian ini ingin melihat konstruksi berpikir pembuat berita yang berorientasi pada citizen jurnalisme yang ada di Indonesia atau kekhususan target audiensnya adalah orang Indonesia. Dengan demikian akan dipahami cara berpikir mereka terhadap Islam dan kekerasan itu sendiri. Penelitian ini menggunakan dua analisis, yakni; analisis kuantitatif (analisis isi konvensional) dan kualitatif (analisis framing Gamson and Modigliani). Dalam penelitian analisis data kuantitatif penelitian ini menggunakan model penelitian univariat dengan beberapa variabel penelitian, seperti; JENIS BERITA (Websites, Blog, Portal atau eNews), TONE isi berita (Positif, Negatif dan Netral), Isi Berita (Narasi, Kejadian/berita atau opini), NARASUMBER (Ahli agama Islam, LSM, Ahli agama non muslim, Pemerintah, lain-lain), ASAL BERITA (Berita Lokal, Internasional dan Nasional). Data yang akan dihasilkan dalam penelitian ini berjenis ordinal dengan analisis data menggunakan distribusi frekuensi biasa dan operasi rata-rata (mean). Dari temuan ini akan dikonfirmasikan dengan analisis kedua yang lebih tajam secara kualitatif. Analisis isi framing menggunakan model Gamson and Modigliani lebih menekankan pada penggunaan kiasan dan kekuatan kata dalam menerangkan maksud dari pelangsiran berita yang ada di jejaringan internet. Analisis isi media massa secara 22
kualitatif agar analisis isi lebih mendalam dan detail untuk memahami produk isi berita media yang mampu menghubungkannya antara konteks sosial/realitas yang terjadi sewaktu pesan dibuat dengan nuansa keberpihakan yang ada. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menggunakan latar ilmiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dengan penyusunan berdasarkan analisis teori-teori, prinsipprinsip serta asumsi-asumsi dasar ilmu pengetahuan dengan menggunakan penalaran deduktif-deduktif serta prosedur teknik sistematik. Penelitian dilakukan secara ilmiah dengan menggunakan metode dan teknik tertentu sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Dalam suatu penelitian ilmiah diperlukan suatu metode penelitian yang sesuai dengan pokok permasalahan yang akan diteliti. Kegiatan penelitian ilmiah mencakup; mencari, mencatat, merumuskan, menganalisa, sampai menyusun laporan berdasarkan fakta-fakta secara ilmiah. Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut Loftand dalam buku Moleong sumber data utama penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah tambahan seperti dokumen dan lain-lain (Moleong, 2004, 154). Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya; perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang tidak mengandalkan bukti Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
berdasarkan logika, sistematis, prinsip angka atau metode statistik. Pembicaraan sebenarnya, isyarat dan tindakan sosial lainnya adalah bahan mentah untuk analisis kualitatif (Mulyana, 2004,150). Fokus penelitian ini adalah konstruksi makna yang ada dalam konteks Islam dan kekerasan. Dalam kajian ilmu komunikasi segala macam tanda adalah teks yang ada di dalamnya adalah simbol-simbol yang sengaja dipilih, disusun dan disampaikan akan memunculkan makna tertentu. Misalnya, teks iklan, teks wacana, film sebagai teks, lagu sebagai teks, dan lainnya. Jenis riset yang termaksud dalam kelompok ini adalah analisis semiotik, wacana atau framing. Data primer dalam penelitian ini berupa pendapat seseorang atau kelompok, serta hasil pengamatan terhadap benda, kejadian dan hasil suatu pengujian tertentu. Metode analisis data yang digunakan adalah framing dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini menggunakan kelompok metode analisis teks dan bahasa, khususnya metode analisis framing. Dijelaskan bahwa analisis framing merupakan metode penyajian realitas di mana kebenaran tentang suatu kejadian tidak dapat diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus dengan memberikan penonjollan terhadap aspekaspek tertentu dengan menggunakan istilah-istilah yang memiliki konotasi tertentu dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya. Dengan kata lain bagaimana realitas dibingkai, dikonstruksi dan dimaknai oleh media. Menurut William A. Gamson dan Andre Modigliani dalam wacana media adalah elemen yang penting untuk memahami dan mengerti pendapat umum 23
yang berkembang atas suatu isu atau peristiwa (Eriyanto, 2008, 112). Bagaimana media menyajikan suatu isu dan menentukan bagaimana khalayak memahami dan mengerti suatu isu. Wacana media adalah saluran individu mengkonstruksi makna, dan pendapat umum adalah bagian dari proses melalui mana wartawan dan pekerja media membangun dan mengkonstruksi realitas yang disajikannya ke dalam berita. Frame menunjuk pada skema pemahaman individu sehingga seseorang dapat menempatkan, mempersepsi, mengidentifikasi, dan memberi label peristiwa dalam pemahaman tertentu. Gamson menjelaskan, bahwa keberhasilan dari gerakan sosial terletak pada bagaimana peristiwa dibingkai, sehingga menimbulkan tindakan kolektif. Guna memunculkan tindakan kolektif tersebut dibutuhkan penafsiran dan pemaknaan simbol yang bisa diterima secara kolektif. Tujuan untuk memunculkan gerakan sosial dan memenangkan simpati khalayak. Framing digunakan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh pembuatan berita ketika menyeleksi isu atau berita. Frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwaperistiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana.
menjadi dua analisis, yakni analisis isi kuantitatif dan kualitatif dengan framing. Analisis Kuantitatif Penelitian ini memilih 100 (seratus) isi berita atau informasi dengan merawak (penelusuran) menggunakan search engine adalah “google.co.id� melalui kata kunci KEKERASAN dan ISLAM dari sebanyak 5,620,000 temuan isi berita dan informasi yang dianggap memenuhi syarat. Dari 100 (seratus) isi berita itu (data terlampir) dapat dijelaskan secara deskriptif analisis kuantitatif sebagai berikut: Jenis berita Jenis berita yang digunakan dalam penelitian ini adalah kategori terhadap isi berita yang dimasukkan di jejaringan internet, yang dapat dikategorikan menurut sifat dan jenisnya. Penelitian ini dengan jelas mengikuti kategorisasi yang digunakan oleh Straubhaar dan La Rose (2004) terhadap model isi berita, yakni; website, portal, blog (zines) dan eNews papers. jenis berita
Website Blog Portal enewspapers 16
19 57
PEMBAHASAN Dari hasil Penelitian yang menggunakan analisis triangulansi (dua model analisis kuantitatif dan kualitatif) ini akan dibahas secara mendalam sehingga analisisnya lebih komprehensif dalam temuan. Dengan jelasnya akan dibagi
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
8
Gambar 2 – Kategori Jenis Berita Dari Gambar 2 diketahui bahwa jenis berita yang paling banyak dalam 24
penelitian ini adalah yang berasal dari website sebanyak 57% sedangkan yang paling sedikit adalah dari blog sebanyak 8 %. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa isi berita yang terpilih termasuk yang memiliki keakuratan tinggi karena diketahui bahwa website banyak yang dikelola secara profesional dengan pilihan isi informasi yang sudah melalui proses sortir dan penyuntingan.
Tone Berita Penelitian ini menggunakan model analisis isi konvensional pada umumnya yakni dengan menggunakan tiga model tone pemberitaan, yaitu; tone positif, netral dan negatif.
secara eksplisit maupun implisit, dengan demikian dapat dikatakan bahwa isu-isu di jejaringan internet masih mengekor pada isu-isu di media cetak. Apalgi bila dilihat dari pilihan kata dan agenda yang akan diciptakan seperti mencari yang sifatnya populer. Isi Dalam hal isi berita penelitian ini menggunakan isi yaitu model dari isi berita yang ada, apakah hasil dari narasi (bercerita si pembuat berita saja mendongeng), atau kejadian nyata/berita atau sebuah peristiwa bahkan dalam kategori sebuah ulasan (opini) dari si pembuat berita itu sendiri.
keberpihakan
Isi informasi
Negatif kepada Islam
60
Netral Positif kepada Islam
50
23
Percent
40
30 51
12
65
20
38
10 11
0 Narasi/cerita pribadi
Kejadian/berita
Ulasan/opini
Isi informasi
Gambar 4 – Isi Berita Gambar 3 – Tone Berita Dari Gambar 3 diketahui bahwa Tone Berita yang paling banyak dalam penelitian ini adalah yang negatif kepada Islam ada 65% isi berita, sedangkan yang paling kecil adalah tone netral sebanyak 12%. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa berita di jejaringan internet kebanyakan menyudutkan Islam baik Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Dari Gambar 4 diketahui bahwa Isi berita yang terbanyak dalam penelitian ini adalah yang berjenis Kejadian/Berita atau sebuah peristiwa yang sedang terjadi, ada 51% yang menggunakan model ini. Sedangkan jenis isi berita yang paling kecil adalah yang berbicara tentang narasi atau cerita yang sifatnya pribadi hanya 11%. Dengan demikian jelas, bahwa penelitian 25
menunjukkan masih ada kurang kegadrungan menggunakan blog sebagai media perjuangan Islam dalam upaya menyaingi berita negatif tentang isu kekerasan. Narasumber Narasumber berita adalah inti dari pemberitaan, apakah berita itu otentitk atau hanya sebuah cerita (kisah) isapan jempol saja. Dalam hal ini narasumber berita bisa digunakan siapa saja, baik tokoh, pemimpin atau siapa saja. Pada penelitian ini narasumber dikategorikan dalam ahli agama Islam, ahli agama non Islam, LSM atau kalangan kampus, Pemerintah, tidak dikenal.
kekerasan dalam Islam tidak dimasukkan dalam ranah akademisi yang netral dan bebas nilai. Asal Berita Asal berita di sini adalah model jaringan yang digunakan mencakup lingkup (coverage) dari berita itu sendiri. Isu-isu yang digunakan apakah mencakup lingkup Internasional, Nasional atau Lokal. Dengan demikian jelas terlihat apa yang menjadi bahasan penting yang dibicarakannya.
Model berita
50
40
Tidak dikenal Ahli agama non Islam
Percent
Narasumber
30
47
20
Kalangan LSM/Kampus Pemerintah 23
Ahli Agama Islam
28 25
10
0 Berita Lokal 47
Berita Nasional
Berita Luar Negeri
Model berita
18
5 7
Gambar 5 – Narasumber Berita Dari gambar 5 di atas diketahui bahwa yang terbanyak tersaring adalah narasumber yang digunakan dalam berita yang diteliti adalah pihak ahli agama Islam ada 47%, sedangkan narasumber yang paling sedikit digunakan adalah Kalangan LSM/Kampus hanya 5%. Dengan demikian maka dapat diketahui dari penelitian ini didapat bahwa banyak isu-isu Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Gambar 6 – Asal berita Dari Gambar 6 diketahui bahwa jaringan lingkup pemberitaan dalam penelitian ini yang paling banyak adalah berita yang berisi isu-isu luar negeri ada 47%, sedangkan berita yang paling kecil adalah berita nasional hanya 25%. Hal ini sesuai dengan sikap jejaringan sosial seharusnya informasi yang diberikan memang Lokal dan berita Luar Negeri. Dengan demikian peruntukkan jejaringan sosial memamg sudah sesuai dengan fungsinya mengangkat kelokalan juga hubungan internasioal. 26
Dari analisis data kuantitatif jelas terlihat bahwa isi informasi dan berita tentang Kekerasan dan Islam sangat rentang dan riskan, kebanyakan penilaian terhadap Islam sangat menyimpang, padahal narasumber berita adalah pihak ahli agama Islam, tetapi itu tidak berpengaruh pada berita negatif. Kebanyakan muslim sangat minim menggunakan blog yang bisa menyuarakan aspirasi dan kejujuran terhadap gambaran Islam secara bebas tanpa ada intimidasi dan pengaruh ekonomi politik media massa. Dari temuan ini jelas dapat diketahui bahwa informasi yang ada di jejaringan internet ternyata terimbas dari pemberitaan media cetak nasional. Sepertinya apa yang dibicarakan dalam media cetak nasional akan dibicarakan juga dan menjadi isu penting di laman di jejaringan internet. Namun sayangnya isuisu yang dibawa dan bergulir di media cetak lebih menyukai isu tentang konteks kekerasan dalam Islam, seperti kasus di Mesir, Turki dan Palestina, dll. Beritaberita dilangsir karena dibalut oleh kepentingan-kepentingan ideologis di dalamnya dan sepertinya semua jejaringan dalam internet mengekor pada isu-isu yang ada di dalam pemberitaan media cetak. Temuan ini jelas menyebutkan bahwa konseptualisasi kulit bawang oleh Shoemaker and Reese (1996) masih berlaku pada media jejaringan internet. Dengan demikian jelas bahwa laman di jejaringan internet masih tunduk pada homogenitas isu yang dilangsir oleh konstruksi relitas industri media dalam konteks ekonomi politik media massa. Padahal kemampuan laman dan jejaringan internet adalah keleluasaan orang bercerita dan mengambil makna Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
naratif dari kehidupan sehari-hari. Dari sana akan dibahas isu-isu dalam ranah publik yang masih tidak terangkat dalam upaya mengisi kekosongan isu dan kemuakan akan pengendalian isu-isu yang ada lewat media massa. Dengan tidak adanya penyortiran dan proses keputusan pemuatan menjadikan media jejaringan internet memiliki kemampuan luar biasa dalam mewujudkan demokratisasi sesungguhnya dalam dunia pers dan informasi. Namun kenyatannya semua itu hanyalah isapan jempol belaka, dan masih saja orang mengekor apa yang menjadi isu penting di dalam media massa. Temuan penelitian ini jelas menyebutkan itu dalam analisis kuantitatif. Analisis Data Kualitatif Penelitian ini melakukan penelitian dua tahap, yakni; secara analisis data kuantitatif dan kualitatif. Dalam pemahaman triangulasi tetap saja bahwa penelitian akan lebih condong pada penelitian kualitatif, sedangkan analisis data kuantitatif hanya sebagai pelengkap atau pada banyak literatur disebutkan sebagai sarana konfirmasi (confirmatory) saja. Penelitian ini melakukan analisis isi kualitatif menurut model Gamson dan Modigliani. Dengan jelas bahwa model framing yang digunakan lebih menggunakan istilah-istilah atau majas perumpamaan yang digunakan sehingga terlihat akan ke arah mana isu dan isi berita diarahkan. Dari struktur analisis data framing ada beberapa cara menganalisis yang dikenal dengan istilah Framing devices dan Reasoning Devices. Namun pada dasarnya analisis terpenting terletak pada hubungan sebab akibat yang tidak terbantahkan di dalam reasoning devices. 27
Di sini terjadi pembenaran atas makna teks pada konteks sosial si pembacanya. Framing Devices Methapors Metafora adalah perumpamaan yang kerap digunakan dalam menafsirkan pilihan kata yang dijadikan simbol untuk mewakili sesuatu fenomena yang ada. “Di sini konsep jihad dalam Islam kerap diidentikkan sebagai akar ideologis dari tindak kekerasan dalam terorisme. Dengan demikian, lokus untuk menemukan kemungkinan tindak kekerasan dalam terorisme itu dapat ditemukan dalam muatan epistemik dan isi kognitif dari ajaran-ajaran agama. Dalam konteks ini, doktrin-doktrin objektif dan ajaran-ajaran sistematik yang dikembangkan oleh suatu komunitas keagamaan yang ekslusif kerap diberdayakan untuk memotivasi tindakan terorisme,� (tersedia di http://www.psikindonesia.org/home.php?page=fullnews &id=191) Kekerasan dalam konteks teks yang ada di dalam jejaringan internet begitu kental untuk isu-isu Islam yang selalu dikaitkan dengan terorisme. Tentu saja teroris adalah sesuatu yang momok yang perlu dihindari dan tidak disukai oleh umat manusia. Namun banyak orang diarahkan bahwa permasalahan bukan pada Islamnya, tetapi penyaluran doktrin keliru yang menyebabkan agama tersebut menjadi sesuatu yang ekslusif. Penularan doktrin tersebut bisa menjerumuskan orang kepada terorisme. Dalam artian mudahnya berarti Islam dekat dengan teroris, bisa terjadi semakin fanatik bisa menjadi semakin ekstrim. Oleh sebab itu memeluk agama Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Islam jangan terlalu fanatik nanti bisa menjadi ekstrim dan itu adalah akar dari terorisme. Demikian kira-kira anggapan yang sekarang muncul sehubungan dengan muncul ketakutan orang terhadap teroris itu sendiri. Exemplar Exemplar adalah kata yang kerap diulang-ulang dan dijadikan contoh pembenaran yang menyesatkan. Pilihan exemplar juga ada alasan di balik pilihan katanya. “Ketika umat Islam marah lalu dituduh teroris, ekstrimis, fundamentalis,� tandasnya. (tersedia di http://www.voaislam.com/news/indonesiana/2012/08/3 0/20402/aliran-syiah-nodai-islam-umatmarah-kok-malah-dimusuhi/) Jenis exemplar ini kerap muncul dalam konteks teks yang ada di jejaringan internet, baik di website, blog atau enewspapers. Selalu digambarkan bahwa umat agama Islam mudah tersundut marah, arogan, fundamentalis dan berwajah garang. Gambaran ini menyebabkan orang gentar bila berbicara Islam karena sosoknya yang menakutkan dan tidak bersahabat. Istilah Islam marah, mengamuk atau bangkit dan menghancurkan kebatilan adalah pilihan kata yang sangat ditafsirkan berbeda bila lepas dari makna keseluruhan kalimat teks yang ada. Dengan demikian secara implisit ini memunculkan anggapan keliru bahwa Islam itu mudah disulut dan bermain keras. Padahal bila lihat kehidupan sang Rasulullah tidak seperti itu, beliau begitu lembut, humanistik dan tenggang rasa 28
dengan orang lain dalam upaya menjaga perasaan dan membina hubungan baik antar manusia. Biasanya exemplar ini diulang-ulang sehingga menempel erat di benak (kognitif) orang yang membaca atau mengkonsumsinya. Artinya semakin kuat anggapan bahwa Islam sedemikian yang disebutkan dalam informasi di jejaringan internet.
Cathprases Cathprases adalah majas pertautan yang menunjukkan hubungan antara satu dengan yang lain. Majas pertautan ini seolah-olah ada perbandingan yang membenarkan orang yang membaca atau mengkonsumsinya. “Walaupun negara melarang, kalau syariat Islam mengizinkan, ya tidak masalah,” kata juru bicara JAT, Son Hadi, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu, 8 September 2012. Semua aturan yang dilakukan di zaman Nabi Muhammad, kata Son Hadi, boleh diterapkan pada masa kini. “Kalau tindakan kekerasan sebagai hukuman atas kesalahan dilakukan Nabi, bisa diterapkan sekarang,” kata Son Hadi ringan. (tersedia di http://indonesia.faithfreedom.org/forum /jat-kekerasan-atas-nama-syariat-islamhalal-t50013/) Pada majas pertautan di atas jelas bahwa ada pembenaran yang menyesatkan bahwa kekerasan di Islam itu adalah sesuatu yang dibenarkan dan memang sudah menjadi sesuatu yang biasa di agama Islam. Dalam kasus di atas jelas bahwa segala aturan yang dilakukan Rasulullah bisa diterapkan karena dahulu dilakukan seperti itu. Di sini jelas bahwa tidak ada aturan dan dasar hukum yang jelas, tetapi Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
istilah ini selalu dilakukan oleh produsen isi pesan dalam jejaringan internet. Tentu saja internet yang dilihat dan dikonsumsi oleh orang banyak bisa menimbulkan kebingungan dan menyesatkan, apalagi bagi mereka yang tidak memahami Islam secara menyeluruh. Lambat laun akan terjadi pembenaran terhadap isu bahwa Islam erat dengan kekerasan seperti yang disebutkan dalam informasi yang disebutkan oleh laman-laman jejaringan berita di internet. Depictions Depictons adalah penggambaran suatu obyek, isu, peristiwa dan fakta atau orang yang bersifat konotatif. Adanya penggunaan kata khusus untuk membangkitkan prasangka yang menyesatkan. Biasanya berbentuk eufisme, stigmatisasi, akronimisasi. Pada penelitian ini dijelaskan sebagai berikut; “Siapa tak yang tak mengenal FPI? Tiga huruf itu adalah singkatan dari Front Pembela Islam. Ormas Islam yang sering dikait-kaitkan dengan ‘tradisi' kekerasan. Pada dasarnya prinsip utama FPI adalah menegakkan Amar Maruf Nahi Mungkar [mengajak kebaikan dan memerangi kejahatan] tapi apa boleh buat, media sudah ‘berhasil' mengekspos FPI dengan ‘budaya' kekerasannya dan (kebanyakan) orang Indonesia sudah memberi nilai buruk terhadap FPI. Saya sebagai seorang Kristiani (penganut Katholik) sedikit miris ketika media memberitakan kekerasan-kekerasan yang dilakukan FPI. Dan saya pun sempat merasa tidak suka dengan keberadaan FPI di Indonesia. Mulai dari tragedi Monas, penutupan bar, demo anti miras, dll. Saya merasa bosan dengan kekerasan29
kekerasan yang dilakukan FPI. Dan masyarakat pun seakan juga tak setuju jika FPI memakai ‘embel-embel' Islam. Karena menurut mereka, Islam itu damai, mencintai perbedaan dan bukan kekerasan……… (tersedia di http://arrahmah.com/read/2012/02/19/1 8199-orang-kristen-aja-dukung-fpisaya-seorang-kristiani-yangmendukung-fpi.html#) Dari teks ini jelas terlihat bahwa FPI identik dengan Islam dan sudah diketahui bahwa adanyan penyimpangan dan penghalusan kepada kekerasan adalah memang milik orang Islam. Bahkan dalam banyak teks disebutkan berulang-ulang bahwa semangat yang ada di Islam sebagai alasan dasar FPI melakukan kekerasan adalah jiwa perjuangan ; “Amar Maruf Nahi Mungkar” . Kondisi ini semakin menguatkan pandangan banhwa tindak kekerasan oleh komunitas atau sekelompok umat Islam dibenarkan karena memang istilah “Amar Maruf Nahi Mungkar” ada dan tertera pada ayat Al Quran. Apalagi ditambahkan bahwa banyak dalam laman-laman informasi yang menyatakan bahwa ada pembenaran dari umat non muslim tentang tindakan yang dilakukan oleh FPI yang berisi kekerasan. Bahkan dalam laman tersebut kerap mengucilkan dan menyudutkan pendapat yang cenderung melecehkan Islam sehingga menggiring orang kepada pembenaran Islam adalah agama yang erat dengan kegiatan kekerasan atau sejenisnya yang identik dengan agama tidak humanis. Visual Image Visual image adalah majas yang menggambarkan perumpamaan potret tentang sesuatu yang disebutkan berulangJurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
ulang yang akan menyesatkan orang dalam berpikir sesuatu “Fenomena itu terlihat dalam kasus konflik antara umat Islam dengan pengikut aliran sesat Syiah di Sampang, Madura. Umat Islam yang resah lalu melakukan perlawanan lantaran keyakinannya dilecehkan justru dianggap sebagai kekerasan dan harus ditindak..” (Tersedia di http://www.voaislam.com/news/indonesiana/2012/08/3 0/20402/aliran-syiah-nodai-islam-umatmarah-kok-malah-dimusuhi) Gambaran yang ada dalam penelitian ini jelas bahwa konflik dan kekerasan yang ada di Islam bukan hanya menyoal Islam dengan pihak luar melainkan antar Islam juga terjadi kekerasan dan konflik. Dengan mudah dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang penuh dengan konflik dan dalam konteks internal saja sudah konflik dan bertarung antara satu dengan yang lain. Gambaran berulang ini semakin membenarkan orang bahwa Islam dari sananya memang sudah penuh dengan konflik dan kekerasan sehingga sulit untuk menghilangkan stigma itu dari Islam. Banyaknya aliran di Islam semakin membenarkan bahwa Islam memang agama berperang dan penuh dengan kekerasan dan konflik secara konteks sosial. Reasoning Devices Roots Roots adalah majas pertautan yang membenarkan secara logika yang ada kepada si pembaca. Orang yang membaca akan dibawa kepada hubungan sebab akibat yang masuk akal (logis) terhadap sesuatu hal. 30
“Faktor ketiga dijelaskan oleh Ajie penurunan suara partai Islam diakibatkan munculnya aksi brutal yang mengatasnamakan kelompok Islam. "Adanya anarkisme yang dilakukan oleh suatu kelompok yang mengatasnamakan Islam dan hal ini berdampak munculnya kecemasan kolektif masyarakat Indonesia,"imbuhnya….,”(tersedia di http://news.okezone.com/read/2012/10/ 14/339/703767/redirect) Salah satu imbas dari Islam sebagai agama kekerasan dan brutal adalah berkurangnya dukungan politik kepada partai Islam. Dalam banyak laman hanya masalah ekonomi dan politik saja imbas dari kekerasan dalam agama Islam. Padahal pengaruhnya lebih luas dan berimbas sangat berbahaya bagi orang Islam. Tentu saja konteksnya bukan hanya menyoal dua hal itu, melainkan lebih luas terutama kepada sikap mental dan kebanggaan sebagai seorang muslim. Satu hal yang akan melekat di kepala orang adalah orang Islam tidak bisa memimpin dan mengatur orang lain, karena mengatur diri sendirinya saja sudah kerepotan. Tidak pantas memimpin karena suka kekerasan, brutal dan penuh dengan intrik konflik. Pemikiran inilah yang akan menancap kuat pada keyakinan generasi penerus yang bisa menyebabkan salah intepretasi (miss intepretation) terhadap Islam sebagai agama yang memberikan rahmat kepada setiap insan manusia. Appeal to Principle Majas ini sama dengan roots, namun yang berbeda adalah pada majas ini tidak menggunakan hubungan sebab akibat Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
dengan logika berpikir melainkan sesuatu yang sangat tidak logis dan membuat orang membenarkan dalam konteks naratif. “Kemunafikan pemerintah dapat terlihat pada kebijakan tentang toleransi, inklusivitas, dan promosi Islam moderat di dunia internasional. Sedangkan di sisi lain, respon pemerintah pusat tampaknya biasa-biasa saja terhadap kasus kekerasan seperti Syi’ah Sampang. Bagi pemerintah pusat, kasus brutalisme dan anarkisme Syi’ah Sampang adalah fenomena alamiah antar keluarga. Jadi di saat Indonesia mempromosikan toleransi, pemerintah Indonesia juga membiarkan tindak kekerasan terhadap minoritas Syi’ah Sampang,” (tersedia di http://thepresidentpostindonesia.com/?p =137) Satu yang perlu dicermati dan menarik adalah pada akhir cerita tentang kekerasan dengan Islam selalu yang disalahkan adalah ketidaktegasan Pemerintah. Ada pelencengan isu yang ada dalam konteks politik bukan konteks yang lain. Ada pembenaran yang diarahkan bahwa kesalahan kekerasan dalam agama Islam bukan menyoal pada konteks pendidikan atau sumber daya manusianya, tetapi pada penegakkan hukum dan pengawasan atau fungsi kontrol dari Negara. Dengan demikian jelas bahwa pemberitaan informasi yang ada di dalam jejaringan internet hanya terpaku pada masalah itu. Hal ini semakin membenarkan bahwa pemberitaan dalam laman internet hanya membahas pada konteks politik dalam keperluan menggaet dan mendapatkan simpatik untuk tidak 31
menjadikan umat Islam menjadi pemimpin politik. Oleh sebab itu isu-isu kekerasan digulirkan dengan upaya direspon oleh ahli agam Islam sendiri dan meyakini apa yang terjadi di lapangan adalah memang Islam adalah agama brutal, penuh dengan kekerasan dan penuh konflik. PEMBAHASAN Dari analisis data kuantitatif dipahami bahwa berita yang terjaring adalah laman (website) dan memang laman tersebut sudah banyak dikelola layaknya media massa yang profesional. Dengan demikian ada proses penyuntingan yang ketat dalam operasi kerja mereka. Dengan demikian ada anggapan bahwa informasi berita dari jejaringan internet juga pasti disaring dan dijaga dengan ketat karena ada kepentingan ideologi finansial di dalamnya. Pada sisi tone terlihat bahwa berita yang ada kebanyakan mengarah negatif pada konstruksi realitas Islam. Informasi yang disajikan juga kebanyakan adalah sebuah kejadian atau berita, bukan ulasan pendapat atau cerita-cerita pribadi yang bukan olahan dari jurnalistik. Di sini sangat terlihat bahwa isi informasi di jejaringan internet masih mengekor pada tradisi pemberitaan yang ada. Satu yang menjadi kontroversi bahwa narasumber berita bukanlah mereka anti agama atau kelompok yang menentang Islam, melainkan ahli dan pemikir agama Islam sendiri. Dengan demikian jelas bahwa ahli Islam malah larut dalam isu-isu miring tentang Islam dan mereka tidak menyadari hal itu sama sekali. Temuan mengekor pada berita media konvesional terlihat bahwa berita yang terjaring dalam laman website yang berbicara Islam ternyata lebih memuat isu-isu berita internasional daripada nasional bahkan Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
lokal sedikitpun. Sentuhan-sentuhan berita lokal Islam yang sampai saat ini tidak tersentuh sama sekali tidak diupayakan oleh jejaringan informasi internet yang ada. Alhasil ketika orang melihat informasi dari internet seperti tidak ada bedanya dengan pemberitaan surat kabar atau televisi nasional. Kondisi ini akan membuat kemuakan pada netter selaku pembaca dan pemirsa di dalam media jejaringan internet. Dari analisis isi framing yang berusaha membongkar dan memahami cara membingkai (frame) suatu fenomena yang ada di masyarakat oleh si pembuat berita. Dengan demikian orang bisa memahami alur cerita dan cara berpikir dari si pembuat berita. Pada banyak literatur disebutkan dengan istilah paradigma atau cara pandang di pembuat berita. Temuan menarik yang menjadi pengerucutan makna yang ada adalah Islam selalu erat dengan gambaran kekerasan. Nuansa penularan doktrin dan terorisme menjadikan Islam adalah kelompok ekslusif yang fanatik dan cenderung ekstrim. Ini menunjukkan bahwa Islam menyeramkan dan menakutkan karena berbicara tentang kelompok ekstrim. Istilah fundamentalis, teroris dan ekstrimis kerap ada dalam laman informasi jejaringan internet yang ada. Pengulangan yang merupakan proses kultivasi dalam pembentukan cara berpikir manusia dan makin membenarkan apa yang dikonstruksikan oleh jaringan informasi yang ada. Islam mudah marah, mengamuk dan arogan begitu kental dalam penafisran Islam dalam gambaran pemberitaan yang ada. Ini adalah sebuah propaganda terselubung yang menggulir secara perlahan. Islam cenderung pelanggar hukum dan aturan Negara, mereka hanya 32
tunduk pada aturan agama mereka saja. Pemahaman ini semakin menyesatkan bahwa Islam adalah para pengacau, pelanggar dan anti pada kemapanan Negara, tak heran kemudian mereka banyak yang menjadi teroris karena anti pada aturan Negara dan dunia yang dianggap lalim dan kafir. Istilah Islam pergerakan makin dibenarkan dengan masukkan pendapat dari orang di luar Islam yang seakan-akan membenarkan apa yang disebutkan media massa. Seperti ada legitimasi kuat bahwa Islam erat denagn kekerasan dan itu bisa ditolerir karena Islam ingin melakukan perjuangan mereka yang nyata, yakni; “Amar Maruf Nahi Mungkar� dan itu tertuang dalam ayat Al-Quran. Namun menjadi kontroversi karena dalam penanganan internal dengan sesama umatnya, orang islam juga melakukan kekerasan terutama menyoal kasus aliran Syiah di beberapa tempat di Indonesia. Kondisi ini makin meyakinkan bahwa orang Islam memang suka dan erat dengan kehidupan yang keras dan penuh dengan kekerasan. Logika mudah yang dibuat dalam pemberitaan dari laman jejaringan sosial jelas bahwa dengan eratnya aksi fanatisme, anarkisme dan fundemantalisme dalam Islam imbas yang sangat nyata adalah penurunan jumlah dukungan suara akan partai Islam sendiri. Seolah-olah ada rasa malu dan hilangnya kebanggaan seorang muslim akan Islam itu sendiri. Pemimpin Islam tidak pantas dalam politik karena penuh kekerasan, brutal dan penuh dengan intrik konflik. Sedemikianlah logika berpikir dalam laman jejaringan internet yang akhirnya bermuara pada penyudutan kekuatan Islam pada sektor politik dan kenegaraan. Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Ketiadaan untuk menindak dan melawan apa yang dilakukan kelompokkelompok Islam akan kekerasan, penindasan, fundamantalisme bahwa teroris semakin melegitimasi bahwa Negara tidak mampu mengarahkan apa yang ada tentang nilai Islam. Dengan istilah bahwa memang sedemikianlah gambaran Islam yang ada atau labelisasi tentang Islam dalam konteks komunikasi. Tidak ada kesimpatikan pemimpin Negara ketika mereka berbicara Islam, bagi mereka Islam adalah nama yang harus dihindari karena penuh dengan kekerasan, kerusakan dan sikap arogan yang melekat erat di dalamnya. Isu klasik dalam tataran jejaringan pemberitaan media massa maupun jejaringan internet tataran internasional ini ternyata berimbas pada mengekornya isu pilihan pada jejaringan dan laman informasi internet di Indonesia. Representasi pemberitaan dalam jejaringan dan laman informasi internet lokal tidak melakukan pengalihan dan perlawanan terhadap pelangsiran isu yang diajukan oleh pengelola media massa. Mereka malam ikut larut dan menari dalam genderang alunan perang yang dilancarkan oleh media massa luar negeri. Seolah-olah sudah terjadi homogenitas terhadap pilihan isu yang ada, dan dalam keterpurukannya mereka akan gambaran Islam yang keliru membuat mereka menjadi ‘bungkam’. Islam bukan saja penuh kekerasan tetapi juga pelanggar aturan pada ketentuan Negara. Pengguliran isu masuk dalam bayang-bayang ketidakbecusan Negara dalam mengatur agama di situlah pembenaran bahwa umat Islam tidak bersalah. Lambat laun ada stigmatisasi bahwa Islam arogan, apriori, eksklusif dan jauh dari humanistik. Dengan demikian 33
jelas gambaran ini membelokkan pemahaman orang dan jelas media massa begitu berperan penting dalam membentuk apa yang akan dipikirkan dan pembenaran atas suatu hal oleh manusia. Tentu saja semua tidak lepas dari pengaruh lingkungan yang membentuk alam berpikir nmanusia. Tapi tetap saja media massa dianggap sebagai pemicu terhadap pembenaran (reinforce) terhadap sesuatu. KESIMPULAN DAN SARAN Islam digambarkan negatif dan erat dengan tindakan kekerasan, radikal dan pelaku teroris oleh laman informasi di jejaringan internet. Semua berangkat dari pengguliran isu mengekor dari agenda media konvensional (mainstream) dari jejaringan media massa asing yang diikuti oleh penggiat laman informasi di jejaringan internet. Imbas dari informasi negatif adalah penggerogotan kepercayaan Pemerintah dan lebih lanjut kepada kepemimpinan politik dari umat Islam dengan melorotnya dukungan terhadap partai politik Islam. Dari penelitian ini disarankan seharusnya ada upaya penguatan dan perbaikan konstruksi makna terhadap Islam sendiri dari penggiat informasi di jejaringan internet dalam memahami bahwa informasi di internet harus berbeda dan menjadi lawan (counter) terhadap informasi media massa konvensional (mainstream). Penyadaran bahwa mereka harus mewaspadai agenda media makro dari jejaringan media massa internasional sepertinya tidak ada. Tokoh agama seharusnya memberikan pemikiran baru yang mencerahkan bukan hanya mengekor pada isu-isu yang bisa memecahbelahkan umat beragama di Indonesia. Partai politik Islam harus Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
banyak memberikan sosialisasi yang sebenarnya untuk meluruskan informasi yang melenceng terhadap gambaran Islam yang penuh kekerasan, konflik, radikal dan teroris. Bukan malah sibuk sendiri dan mengkotak-kotak atas nama partai yang malah makin memecahbelahkan Islam.
****
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku Boyd-Barret, Oliver and Chris Newbold (eds) (1995). Approaches to media reader. London: Arnold. Eriyanto (2008). Analisis framing: konstruksi, ideologi dan politik media. Yogyakarta: LKiS. Glaser, Barney G & Strauss, Anselm L. (1967). The Discovery of Grounded Theory: Strategies for Qualitative Research, Chicago, Aldine Publishing Company Lippman, Walter (1922). Public opinion with new introduction by Michael Curtis. New Jersey: Transaction Publisher, 1991, diterjemahkan oleh S. Maimoen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1999. Lowery, Shearon A & Melvin L De Fleur (1995). Milestone in mass communication research: media effect, 3rd.ed. New York: Longman publication. 34
Mazur, A. (1987). Putting radon on the public risk agenda. Science, Technology and Human Values, 12. Moleong, Rexy (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya offset. Mulyana, Deddy(2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo. Prisgunanto, Ilham (2004). Praktik Ilmu Komunikasi Dalam Kehidupan SehariHari. Jakarta: Teraju-Mizan. Shoemaker, Pamela J and Stephen D. Reese (1996). Mediating the message: theories of influences on mass media content. London: Longman Publishers. Sigal, L (1973). Reporters and officials: the organization and politics of news making.Lexington, MA: D.C.Heath. Straubhaar, Joseph & Robert La Rose (2004). Media now: understanding media, culture, and technology.4th.ed. Belmont, C.A: Wodsworth. Whitney, D.C. & L. Becker (1982). “Keeping the Gates” for gatekeepers; the effects of wire news. Journalism Quarterly, 59.
Websites/Blog/Portal
30/20402/aliran-syiah-nodai-islamumat-marah-kok-malah-dimusuhi/) "JAT: Kekerasan Atas Nama Syariat Islam, Halal,"(tersedia di http://indonesia.faithfreedom.org/foru m/jat-kekerasan-atas-nama-syariatislam-halal-t50013/) "Kekerasan Atas Nama Agama Picu Penurunan Suara Parpol Islam," (tersedia di http://news.okezone.com/read/2012/10 /14/339/703767/redirect) "Lagi, Kekerasan Agama dan Pemerintah Yang Mandul,"(tersedia di http://thepresidentpostindonesia.com/? p=137) “Orang Kristen aja dukung FPI: "Saya, seorang Kristiani yang mendukung FPI" (tersedia di http://arrahmah.com/read/2012/02/19/ 18199-orang-kristen-aja-dukung-fpisaya-seorang-kristiani-yangmendukung-fpi.html#) “Sepuluh Negara Berpopulasi Muslim Terbanyak di Dunia” (tersedia di http://mylaboratorium.blogspot.com/2 012/01/10-negara-berpopulasimuslim-terbanyak.html) http://www.psikindonesia.org/home.php?page=fullne ws&id=191.
“Aliran Syiah Nodai Islam, Umat Islam Marah kok malah Dimusuhi?,” (tersedia di http://www.voaislam.com/news/indonesiana/2012/08/
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
35
BUDAYA PERUSAHAAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI PT. MUSTIKA RATU, TBK Oleh: Gayatri Atmadi Dosen Prodi. Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Al Azhar Indonesia Komplek Masjid Agung Al Azhar, Jl. Sisingamangaraja, Jakarta 12110 Telp : 021 72792753, e-mail : gayatri@uai.ac.id
ABSTRACT Competition in the business world today feels increasingly strengthened demands every company to always produce the best quality products. For the cosmetic company in Indonesia, the onslaught of import products from Japan, China, United Kingdom, France and the United States are flooding the market need serious handling so that Indonesian can appreciate their products of their own nation. With the foundation of a corporate culture that is rooted on the philosophy of Javanese culture, such as : toto, titi, titis, tatag, tetep, tanggap, teguh and trengginas, The leadership on PT. Mustika Ratu Tbk. was able to make and develop a good corporate communication. Understanding corporate culture includes efforts to increase customer satisfaction, working with family and cultural familiarity, respect for integrity and professionalism is high as well as mutual support and cooperation in achieving the corporate goal.Using the approach of qualitative and descriptive method, this study seeks to be an interesting article about understanding the implementation of corporate culture based on the philosophies of Javanese culture. The collection of data obtained through the source text, such as: books and articles from some of the media on line that is circulating in the community. Keywords: corporate culture, leadership, corporate communication
PENDAHULUAN Perkembangan dunia bisnis yang semakin kompleks, persaingan usaha yang semakin ketat, tuntutan konsumen yang semakin beragam dan loyalitas pelanggan yang perlu dipertahankan merupakan beberapa contoh tantangan serius bagi para pemimpin perusahaan dalam mengelola perusahaannya. Kemampuan perusahaan dalam menghadapi perkembangan bisnis Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
saat ini perlu didasari dengan adanya kesadaran bahwa suatu perusahaan perlu membangun budaya perusahaan (corporate culture) yang kokoh sehingga mampu bertahan menghadapi berbagai bentuk persaingan. Sukses tidaknya suatu perusahaan dalam menjalankan usahanya tidak terlepas dari budaya perusahaan yang dimilikinya. 36
Pemahaman tentang pentingnya budaya perusahaan diberikan dari seorang pemimpin perusahaan kepada seluruh anggota perusahaan. Hal ini bertujuan untuk memberikan manfaat bagi seluruh anggota perusahaan sehingga bisa menciptakan kesesuaian atau kesamaan nilai yang nantinya akan dapat mempermudah menggerakkan sumber daya manusia untuk mencapai kemajuan dari suatu perusahaan. Pendiri perusahaan adalah salah satu pilar penting dalam perumusan budaya korporasi. Jika sebuah perusahaan dianggap mencapai suatu kesuksesan, falsafah pendiri lah yang dipandang sebagai faktor utama penentu keberhasilan tersebut. Pada titik itu seluruh kepribadian para pendiri akan berbaur dan melekat dalam budaya korporasi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sri Mulyani ( 2007 ), Bank Negara Indonesia ( BNI ) memiliki budaya korporat yang baik. BNI mempunyai nilai pokok budaya korporat yang fleksibel, yaitu nilai loyalitas tinggi yang diwujudkan dalam menjalankan aktivitas perusahaan dan menjalankan kewajiban sebagai karyawan perusahaan. BNI juga menghargai para karyawannya dengan proses yang dapat menciptakan perubahan yang sangat berguna, misalnya: leadership yang berkaitan dan pengelolaan hierarki. Hal ini berhubungan dengan proses komunikasi perusahaan dimana para pimpinan senantiasa memperhatikan segenap mitra usahanya dan mempelopori perubahan bila diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang logis. PT. Mustika Ratu, Tbk. adalah salah satu perusahaan besar di negeri ini yang sukses memproduksi jamu dan kosmetik tradisional yang menggunakan Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
bahan-bahan alami Indonesia dengan pengolahan yang modern namun tidak meninggalkan akar budaya bangsa. Sebagai perusahaan yang telah go international, Mustika Ratu tetap konsisten untuk terus menjaga nilai-nilai luhur budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Pada bulan September 2012 yang lalu, perusahaan berhasil mendapatkan penghargaan Indonesia’s Best Brand Award (IBBA) untuk 4 kategori produk sekaligus, yaitu: Best Brand Platinum Award untuk Slimimg Tea (7 kali berturut ) Best Brand Golden Award untuk Masker Bengkoang ( 4 kali berturut), dan 2 kali Best Brand untuk MInyak Zaitun yang diselenggarakan oleh Majalah SWA, MARS dan Metro TV. di Jakarta. Selain itu, pada bulan November 2012, perusahaan telah berhasil meraih Indonesian Customer Satisfaction Award (ICSA) untuk kategori produk bedak tabur. Penghargaan yang berdasarkan atas survey kepuasan pelangan atau Indonesian Customer Satisfaction Index (ICSI) ini dilakukan oleh Frontier Consulting Group bekerja sama dengan majalah SWA. Perolehan penghargaan ICSA 2012 merupakan suatu kebanggaan bagi PT. Mustika Ratu, Tbk dan sekaligus sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada konsumen yang selama ini telah mempercayai pelayanan dan kualitas produk bedak tabur Mustika Ratu. Sang pendiri perusahaan, Ibu Mooryati Soedibyo juga telah menerima penghargaan sebagai tokoh penggerak kewirausahaan kategori akademisi dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, ia telah berjuang untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas dan kemampuan perempuan 37
Indonesia di bidang kewirausahaan sejak 40 tahun silam. Tahun lalu, ia mendirikan Women Entrepreneurship Academy (WEA). WEA merupakan suatu sarana pendidikan non gelar bagi kaum perempuan yang ingin mengembangkan diri menjadi pelaku usaha. Berdasarkan laporan keuangan hingga Juni 2011, jumlah aset perusahaan mencapai Rp 409 miliar. Perusahaan mencatatkan penjualan bersih mencapai Rp 167 miliar dan laba usaha Rp 18,7 miliar. Beberapa penghargaan yang telah diterima perusahaan bisa jadi bukti yang jelas bahwa perusahaan telah mampu menerapkan budaya perusahaan dengan baik. Sang pendiri perusahaan adalah puteri keraton di Jawa Tengah yang senantiasa berpegang teguh pada falsafah budaya Jawa dalam menjalani kehidupan dan memimpin perusahaannya. Dengan berlandaskan pada falsafah budaya Jawa sebagai budaya perusahaan dalam perusahaan, Putri K. Wardani, salah satu puteri Ibu Mooryati Soedibyo, kini menjadi penerus bisnis yang memimpin laju usaha perusahaan. KERANGKA PEMIKIRAN Budaya Perusahaan Budaya perusahaan atau corporate culture adalah seperangkat asumsi yang dibangun dan dianut bersama oleh organisasi sebagai modal dalam beradaptasi dengan lingkungan eksternal. Maksud dari pengertian seperangkat asumsi adalah falsafah, nilai-nilai, normanorma, keyakinan, ide mitos dan karya yang terintegrasi untuk mengarahkan perilaku organisasional. Seperangkat asumsi tersebut merupakan isi budaya perusahaan yang berkaitan dengan apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
oleh semua karyawan. Isi budaya adalah moral yaitu watak organisasi yang mengutamakan nilai-nilai kebaikan yang harus diterima dan disepakati untuk menjadi roh kehidupan organisasi. Sebagai moral, bentuk dari budaya dapat berupa pemikiran, tindakan dan atau hasil kerja yang didasari oleh nilai-nilai baik untuk menjadi ciri perusahaan. Budaya perusahaan biasa disebut corporate culture adalah suatu kepercayaan dan nilai yang menjadi falsafah utama yang dipegang teguh oleh anggota organisasi dalam menjalankan atau mengoperasionalkan kegiatan organisasi. Budaya perusahan ini (Nawawi, 2003:283; Widuri dan Asteria Paramita, 2007:128) merupakan suatu sistem penyebaran keyakinan dan nilai yang dikembangkan dalam suatu perusahaan sebagai pedoman perilaku anggotanya. Budaya perusahaan pada hakikatnya adalah penjelmaan dari visi perusahaan. Ia berfungsi sebagai pemersatu langkah karyawan dalam mewujudkan citacita dan tujuan perusahaan. Jika budaya perusahaan dapat terpelihara secara baik maka citra perusahaan juga akan senantiasa terjaga dengan baik pula. Budaya perusahaan adalah bagian dari strategi perusahaan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan yang terdiri atas unsur nilai-nilai dasar yang dapat dilihat ( logo, merek, cara berpakaian ) dan yang tidak dapat dilihat ( keyakinan, asumsi, kepercayaan, sikap, dan perasaan ). Budaya perusahaan bisa dicermati lewat identitas korporat atau corporate identity. Menurut pendapat Birkigt & Stadler dalam Joep Cornelissen, 2009 : 66, “ the concept of corporate identity consist of the following attributes : symbolism : corporate logos and the company house 38
style ; communication : all planned forms of communication including corporate advertising, events, sponsorship, publicity and promotions ; behaviour : behaviour of employees that leaves an impression on stakeholders. Komunikasi Perusahaan Menurut pendapat Joep Cornelissen, 2009 : 5, “ Corporate communication is a management function that offers a framework for the effective coordination of all internal and external communication with the overall purpose of establishing and maintaining favourable reputations with stakeholder groups upon which the organization is dependent. “ Dengan demikian komunikasi perusahaan memerlukan pendekatan yang terintegrasi dalam mengelola komunikasi sehingga diperlukan pengaturan kerjasama yang baik antar bidang dalam suatu perusahaan, misalnya antara pimpinan perusahaan dengan para manajer atau karyawan di bidang keuangan, hubungan masyarakat, hubungan dengan pelanggan atau dengan bidang periklanan. Komunikasi yang terjadi di dalam suatu perusahaan terdiri atas dua macam arah, yaitu : vertikal dan horizontal. Komunikasi horizontal ( mendatar ) adalah komunikasi yang terjadi antar karyawan setingkat. Bila komunikasi mendatar lebih dominant dalam perusahaan maka pemimpin perusahaan akan mendapat saingan karena secara sengaja atau tidak informasi banyak yang tidak sampai kepadanya. Hal ini juga dapat menyebabkan keputusan yang diambil menjadi kurang tepat atau bijaksana. Komunikasi yang paling banyak terjadi adalah komunikasi vertikal dari atas ke bawah, dimana atasan selalu memerintah bawahannya untuk melakukan Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
pekerjaan. Namun seharusnya, terjadi pula arah yang sebaliknya, yaitu dari bawah ke atas, sehingga informasi dari bawahan dapat menjadi bahan pertimbangan atasan untuk membuat keputusan. Isi komunikasi vertika daril atas ke bawah, biasanya mengandung pengarahan arau kritik terhadap kinerja bawahan. Apakah hal ini hanya perintah semata atau terjadi pertukaran informasi, itu tergantung dari informasi dan hubungannya dengan pekerjaan. Hubungan antara komunikasi dan konflik itu sangat dominan. Di dalam perusahaan peranan komunikasi itu sangat penting sekali, karena jika komunikasi tidak berjalan dengan baik akan mengakibatkan banyak terjadi konflik. Sebaliknya, jika komunikasi dua arah antara pihak manajemen dengan karyawan itu dapat berjalan dengan baik maka akan dapat mengurangi terjadinya konflik. Kepemimpinan Kepemimpinan adalah sebuah hubungan yang saling mempengaruhi antara pemimpin dan para pengikut / bawahan yang menginginkan suatu perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersama. Kepemimpinan melibatkan hubungan pengaruh yang mendalam, yang terjadi di antara orangorang yang menginginkan perubahan signifikan dan perubahan tersebut mencerminkan tujuan yang dimiliki bersama. Pengaruh dalam hal ini berarti hubungan timbal balik antara pemimpin dan pengikut yang bersifat aktif. Kepemimpinan selalu merupakan proses komunikasi dua arah, yaitu interaksi antara pemimpin dan orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin adalah orang yang bekerja untuk melayani orang-orang atau 39
bawahan yang ia pimpin dengan cara menyediakan saluran komunikasi dengan para bawahannya untuk mewujudkan kepentingan bersama dalam suasana kompetisi bisnis yang sehat. R.Wayne Pace & Don F. Faules, 2001: 276, menjelaskan tujuan kepemimpinan adalah membantu orang untuk menegakkan kembali, mempertahankan dan meningkatkan motivasi mereka. Jadi, pemimpin adalah orang yang membantu orang lain untuk memperoleh hasil-hasil yang diinginkan. Pemimpin bertindak dengan cara-cara yang memperlancar produktivitas, moral tinggi, respon yang energik, kecakapan kerja yang berkualitas, komitmen, efisiensi, sedikit kelemahan, kepuasan, kehadiran dan kesinambungan dalam organisasi. Kepemimpinan diwujudkan melalui gaya kerja atau cara bekerja sama dengan orang lain yang konsisten.
fenomena yang satu dengan fenomena lainnya. Penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama, yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan subjek yang diteliti secara tepat. Penelitian deskriptif dalam kajian ini berupaya untuk memperoleh gambaran secara sistematis tentang fakta budaya perusahaan di suatu perusahaan kosmetik di Indonesia yang berbasis pada kearifan lokal budaya Jawa, khususnya tradisi leluhur yang berasal dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Ada pun metode pengumpulan data yang digunakan dalam kajian ini diperoleh dengan cara menggali informasi dari sumber yang berbentuk tulisan, seperti : buku, dan artikel-artikel dari beberapa situs, mulai dari situs perusahaan kosmetik itu sendiri dan beberapa situs media cetak on line yang beredar di masyarakat.
METODOLOGI Kajian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Menurut pendapat John W. Cresswell, 2003:1, penelitian kualitatif didefinisikan sebagai sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan pada penciptaan gambaran holistik lengkap yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci dan disusun dalam sebuah latar alamiah. Pengertian metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Perusahaan Sejak zaman dahulu keraton merupakan kiblat budaya dan sumber ilmu pengetahuan masyarakat. Pada perkembangannya, keraton tetap memiliki pamor yang kuat dan tak terhapuskan di tengah arus kemajuan masyarakat Indonesia modern. Dibalik peranannya yang dominan, keraton ternyata juga menyimpan misteri dan falsafah yang memiliki arti simbolis bagi masyarakat luas, yang belum sepenuhnya terungkap. Misalnya tradisi perawatan kesehatan dan kecantikan puteri keraton Jawa yang telah menjadi legenda itu. Ibu Mooryati, salah seorang puteri keraton S o l o yang menguasai tradisi budaya Jawa telah membagi tradisi ini kepada jutaan konsumen melalui berbagai produk dengan
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
40
merek Mustika Ratu. Pada tahun 1973, BRA. Mooryati Soedibyo mulai berkonsentrasi membuat jamu di rumah, seperti ramuan beras kencur yang kemudian dapat menarik pelanggan tetap yang mengambilnya sendiri ke rumah secara teratur. Dengan berlogokan sepasang pengantin menyiratkan bahwa kebahagiaan masyarakat berawal dari kehidupan keluarga harmonis, dimana seluruh anggotanya hidup berdampingan dengan alam dan sosial budaya secara seimbang. Sementara itu, keharmonisan dapat diciptakan malalui perawatan kesehatan dan kecantikan paripurna dimana kecantikan fisik sama pentingnya dengan kecantikan batin. Pada tahun 1978, produk-produk perusahaan mulai didistribusikan ke tokotoko melalui salon-salon kecantikan yang meminta menjadi agen. Dimulai dari Jakarta, Semarang, Surabaya, Bandung dan Medan. Masyarakat makin mengenal produk-produk kecantikan perusahaan melalui artikel dan konsultasi kecantikan di majalah, serta melalui kegiatan periklanan di media cetak dan elektronik. Dalam waktu singkat berdirilah bangunan semi permanen dari kayu di Ciracas, Pasar Rebo, Jakarta Timur yang sampai saat ini digunakan sebagai lokasi pabrik. Kemudian, modal yang terkumpul dari keuntungan usaha digunakan untuk mendirikan dua jalur produksi baru dengan luas masing-masing 2.000 meter persegi. Tanggal 8 April 1981, pabrik PT. Mustika Ratu diresmikan oleh Menteri Kesehatan RI pada waktu itu Bapak Dr. Soewardjono Soeryaningrat, dengan jumlah karyawan 150 orang. Perusahaan memproduksi lebih dari 500 produk kosmetik, yang memberi kontribusi Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
terbesar dalam omset penjualan dan keuntungan perusahaan, terdiri dari beberapa kategori produk, yaitu produk perawatan wajah, tata rias dasar, tata rias dekoratif, perawatan rambut dan perawatan tubuh. Produk kosmetik terdiri dari beberapa merek untuk segmen pasar yang berbeda. Setelah memasyarakat dan semakin mendapat tanggapan positif di dalam negeri, perusahaan mencoba melangkah ke manca negara. Di tengah persaingan yang semakin ketat dan kompetitif untuk menembus pasar internasional, perusahaan melakukan ekspor ke sejumlah negara. Pasar terbesar perusahaan di luar negeri adalah Malaysia, menyusul Brunei dan Singapura. Selain itu, produk perusahaan juga sudah diekspor ke Filipina, Taiwan, Korea, Jepang, Timur Tengah, Rusia dan Belanda. Dengan ekspor bernilai 15% dari total penjualan perusahaan, perusahaan makin mengukuhkan diri sebagai pemasok jamu dan kosmetika tradisional yang leluasa untuk membuka jaringan distribusi baru keseluruh penjuru dunia. Produk-produk kosmetik dari perusahaan sudah diakui kualitasnya di Perancis, karena dalam membuat produk kosmetik, yang menjadi pertimbangkan utama adalah kesehatan dari pengguna. Semua produk dari perusahaan terbuat dari bahan-bahan alami asli Indonesia yang sudah diregistrasi oleh Badan Pengawasan Obat & Makanan. Produk Mustika Ratu juga sering digunakan para wanita Indonesia pada ajang Pemilihan Putri Indonesia. Pemberian nama untuk tema rangkaian produk kosmetik terlihat memiliki nuansa budaya Jawa sebagai bentuk komunikasi perusahaan untuk mempromosikan produk 41
kecantikannya. Pada kegiatan periklanan dan promosi tahun 2011, perusahaan mengusung tema “ Paras Swarnanindya “ sebagai Tren Warna 2011 yang mengandung pengertian bahwa warna cantik keemasan pancarkan nuansa teduh nan sempurna. Sementara pada tahun lalu, tema Tren Warna 2012 Mustika Ratu yang diusung adalah “ Amuspa Buketan “ yang berarti rangkaian bunga nan dipuja. Dalam rangka memperkokoh struktur permodalan serta mewujudkan visinya sebagai perusahaan kosmetika dan jamu alami berteknologi tinggi terbaik di Indonesia, perusahaan melakukan penawaran umum perdana dan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta pada tahun 1995. Perusahaan mulai menerapkan standar internasional ISO 9002 tentang Sistem Manajemen Mutu serta ISO 14001 tentang Sistem Manajemen Lingkungan. Sejak tahun 1996. PT. Mustika Ratu berdomisili di Mustika Ratu Center, Jalan Gatot Subroto Kav. 74 – 75, Jakarta Selatan. Setelah berkiprah selama 36 tahun mendirikan, merintis, dan mengenalkan perusahaan hingga tingkat dunia, Dr. BRA. Mooryati Soedibyo pada awal 2011 secara resmi menyerahkan pucuk pimpinan kepada Putri Kuswisnu Wardani, MBA., puteri kedua Mooryati, sebagai Presiden Direktur Mustika Ratu. Budaya Perusahaan Berbasis Falsafah Jawa Budaya perusahaan sebagai bagian dari strategi perusahaan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan terdiri atas beberapa unsur nilai-nilai dasar yang dapat terlihat mau pun yang tidak dapat terlihat. Erat kaitannya dengan sejarah perusahaan, sang pendiri perusahaan, Mooryati Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Soedibyo menjelaskan arti filosofi warisan budaya Jawa yang diyakininya, yaitu “ Memayu Hayuming Bawana ” yang artinya : Penting untuk mempercantik diri secara vertikal, yakni selalu mendekatkan diri kepada Tuhan YME dan secara horizontal senantiasa berinteraksi dengan baik di tengah lingkungan masyarakat, terutama dengan pihak keluarga sebagai bagian dengan orang-orang yang paling dekat. Pengertian budaya perusahaan yang dikembangkan di perusahaan kosmetik ini mencakup upaya meningkatkan kepuasan pelanggan, bekerja dengan budaya kekeluargaan dan keakraban, menghargai integritas dan profesionalisme yang tinggi serta menunjang kerjasama dan gotong royong dalam mencapai tujuan bersama. Selanjutnya tentang beberapa nilai dasar dalam budaya perusahaan Mustika Ratu yang dapat diketahui secara umum, yaitu : Logo Perusahaan Mustika Ratu memiliki falsafah kecantikan paripurna, yaitu falsafah merawat kecantikan secara jasmani dan rohani. Logo perusahaan adalah simbol dari identitas perusahaan ( corporate identity ) yang berupa gambar sepasang pengantin dalam balutan tradisi Jawa Tengah yang menyiratkan makna bahwa kebahagiaan seseorang berawal dari kehidupan keluarga yang harmonis, di mana seluruh anggotanya mampu hidup berdampingan dengan rukun dan damai di tengah lingkungan alam dan sosial budaya secara seimbang.
42
Gambar logo PT. Mustika Ratu, Tbk. Penggunaan nama untuk produk Mustika Ratu sesungguhnya memiliki nilai & filosofi yang sangat dalam pengertiannya, yaitu : Turuning Sinatryo, Rembesing Madu, Tedak ing Wong Amorotopo, Mustikaning Ratu. Pengertian tersebut memiliki makna, yaitu : Dari keturunan ksatria yang tersaring ketat, yang berperilaku penuh prihatin dan kesadaran, terlahirlah peninggalan berharga raja. Filosofi ini merupakan panduan dalam beroperasi, berproduksi dan berusaha. Perusahaan membawa misi yang punya komitmen untuk memberikan buah pikiran dan buah kerja yang terbaik yang berasal dari peninggalan tradisi leluhur yang berasal dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Kepercayaan dan integritas adalah sesuatu yang harus senantiasa dijaga dengan baik di dalam menjalankan usaha. Falsafah Kepemimpinan Suatu organisasi yang ingin terus bertambah dan memperoleh kesuksesan harus memiliki keyakinan ( falsafah ) yang kuat untuk menjalankan kebijakan dan kegiatan usahanya karena falsafah merupakan pandangan dasar tujuan dan Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
nilai-nilai pokok dari perusahaan. Falsafah mengilhami kehidupan atau perjalanan Ibu Mooryati Soedibyo yang bercita-cita melestarikan nilai-nilai budaya tradisional warisan leluhur bangsa Indonesia. Ia berpegang teguh pada falsafah Jawa dalam mengembangkan wirausahanya, yakni delapan prinsip yang harus dimiliki seorang pimpinan, yaitu : toto, titi, titis, tatag, tetep, tanggap, teguh dan trengginas. Toto (terencana), titi (akurat), titis (mengena), tatag (berani), tetep (konsisten), tanggap (responsif), teguh (berpendirian) dan trengginas (aktif dan produktif). Pengertian toto, titi, dan titis merupakan suatu ketrampilan (skills), yang juga dipengaruhi oleh kecerdasan seorang pemimpin. Makna dari kata toto itu teratur, titi itu teliti dan titis itu tepat direalisasikan dalam sikap seorang pemimpin yang dituntut untuk berpikir, berbicara dan bekerja secara teratur terencana atau sistematis. Dengan demikian, pemimpin harus mampu menciptakan standard operating procedures (SOP) sebagai panduan kerja untuk para bawahannya. Kemudian, pengertian tatag, tetep dan tanggap merupakan suatu sikap atau tekad yang diwujudkan dalam bentuk perilaku yang diiringi dengan suatu kegiatan atau action. Makna dari kata tatag itu berani, tetep itu konsisten dan tanggap itu responsif merupakan komitmen atau niat yang harus terwujud pada perilaku atau sikap pemimpin sehari-hari dalam memimpin perusahaan yang dikelola. Sedangkan makna dari kata teguh itu dalam arti memegang prinsip secara kuat suatu komitmen, misalnya soal kewirausahaan yang dilandasi oleh semangat pengabdian pada kepentingan masyarakat. Prinsip terakhir, yaitu kata 43
trengginas merupakan suatu tindakan aktif dan produktif dalam melakukan kegiatan kerja sehari-hari secara profesional. Secara umum, kedelapan prinsip tersebut mengandung makna bahwa orang yang mampu menata diri dan orang lain, mampu menjalankan komunikasi dua arah yang berujung pada saling pengertian, mampu fokus dalam berusaha, berani dan jelas dalam mengambil risiko dalam setiap usaha, bersikap tanggap dan selalu berinovasi sesuai kebutuhan pasar maka orang tersebut akan berhasil dalam mengembangkan usahanya. Falsafah tersebut selanjutnya dikembangkan menjadi panduan umum bagi seluruh personil yang bekerja di perusahaan, yaitu: 1. Perusahaan dilandasi oleh semangat pengabdian untuk turut serta melestarikan nilai-nilai budaya tradisional warisan leluhur bangsa Indonesia, khususnya di bidang sarana perawatan tubuh manusia dalam bentuk produk jamu dan kosmetik tradisional. Sejak tahun 1975, pendiri perusahaan mengajarkan ilmu kecantikan secara tradisional kepada para ahli kecantikan, pemilik salon dan sanggar. Selain itu, perusahaan turut berkontribusi mendukung ASEAN Skills Competition (ASC) ke-9 yang dilaksanakan pada 15 – 17 November 2012 di Jakarta dengan menyediakan sepenuhnya peralatan dan produk untuk kompetisi terapi kecantikan yang menggunakan produk unggulan dari Taman Sari Royal Heritage Spa. Disamping itu, perusahaan diberi kepercayaan sebagai tim penguji utama dalam kompetisi terapi kecantikan bidang perawatan tubuh. Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
2.
Perusahaan turut membantu program pemerintah dalam pembangunan pelayanan kesehatan di seluruh pelosok nusantara. Pada tanggal 28 November 2012 hingga 1 Desember 2012, perusahaan mendukung International Health Tourism Conference yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan. International Health Tourism Conference merupakan kegiatan yang dilaksanakan dengan tujuan untuk memperkenalkan potensi pengembangan Health Tourism di Indonesia, membangun dan mempromosikan sistem kesehatan di Indonesia menuju World Class Health Care serta mengetahui upaya pengembangan Health Tourism di negara yang sudah berhasil. Health Tourism di Indonesia meliputi dua bidang, yakni : Medical Tourism yang meliputi tindakan medik pengobatan, contoh: operasi kecantikan (cosmetic surgery), transplantasi organ, khemoterapi, fisioterapi, pijat reflexi, tusuk jarum ( akupunktur ). Selain itu, Wellness Healthy Life meliputi pemulihan / rejuvenating, kebugaran / wellnes, pemeliharaan kecantikan dan berat badan. Salah satu bidang wellness tourism yang telah berkembang dengan baik adalah Spa. Selama 10 tahun terkahir, spa dan wellness berkembang sangat cepat di Indonesia, bahkan banyak spa Indonesia yang terkenal di manca negara. Selain memberi dukungan dalam konferensi internasional, pihak Mustika Ratu juga memberikan santunan untuk penderita kanker, 44
Edelwis Alam Pratama ( 9 tahun) yang bertempat tinggal di Jakarta. Alam yang sekarang murid SD ini menderita kanker tulang dan kanker darah sejak usia 4 tahun. Kedua orang tua Alam meninggal dunia sejak ia masih berusia 5 tahun, kemudian Alam dibesarkan oleh nenek dan pamannya. Bantuan yang diberikan berupa uang tunai, produk kesehatan dan sejumlah buku yang diserahkan oleh Puteri Indonesia 2013 Whulandari. 3. Perusahaan memegang teguh komitmen kemitraan sosial, khususnya komitmen kewirausahaan yang dilandasi oleh semangat pengabdian kepada kepentingan masyarakat. Dalam World Export Development Forum (WEDF) 2012, Putri K. Wardani mempresentasikan tentang Women’s Role in Indonesia’s Business. Dalam presentasinya, Putri K. Wardani menyerukan agar perempuan Indonesia turut aktif berperan serta untuk mendorong perekonomian bangsa. Forum yang bertema Linking Growth Markets: New dynamics in global trade ini dihadiri oleh 500 delegasi dari 50 negara. Penyelenggaraan WEDF bertujuan untuk mengidentifikasi peluang pertumbuhan inter-regional trade ( perdagangan Selatan-Selatan ) yang berkelanjutan, seperti investasi, fasilitasi perdagangan, infrastruktur, dan pembiayaan perdagangan, serta mengatasi hambatan perdagangan dengan tepat dan efektif sehingga dapat menciptakan hubungan perdagangan global yang semakin kompetitif. WEDF menilai forum ini sangat strategis terutama karena membuka Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
peluang jalinan kerja sama perdagangan antara negara-negara di kawasan ASEAN dan Amerika Latin, Afrika dan negara-negara maju lainnya. Indonesia, yang diramalkan akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar nomor tujuh pada tahun 2025, tentunya akan memetik banyak pelajaran berharga dari perannya sebagai tuan rumah. Ini karena Indonesia memiliki peran utama dalam membentuk masa depan perdagangan global. Sebagai perusahaan keluarga, pembagian peran dan posisi jabatan di dalam perusahaan disesuaikan dengan kemampuan dan ketertarikan setiap anggota keluarga. Dalam proses ini biasanya terjalin komunikasi yang cukup intens antara pendiri dan penerus. Dari lima anak pendiri, nyatanya hanya tiga orang yang secara konsisten mampu membangun bisnis keluarga. Ini membuktikan bahwa pendiri tidak secara keras memaksa anak-anaknya untuk serius berkecimpung dibisnis orang tuanya. Ketika memangku jabatan, para saudarasaudara membagi wewenang sesuai dengan keahlian dan minat yang ingin ditekuni sehingga jalinan komunikasi perusahaan bisa berlangsung dengan baik dan dipahami oleh berbagai pihak. Selain itu, pimpinan perusahaan berpegang teguh pada tujuh pedoman kepemimpinan. Pertama adalah persiapan, pengalaman dan pembelajaran dalam sistem perusahaan. Kedua, perlunya interaksi aktif antara pendiri dan penerus perusahaan. Ketiga adalah pemetaan wewenang, Keempat adalah pemahaman dan merinci impian pendiri. Kelima adalah pengembangan diri penerus melalui adaptasi internal maupun eksternal. 45
Keenam adalah penyamaan pemahaman dan nilai. Ketujuh adalah suksesi penuh. Ketujuh pedoman kepemimpinan tersebut terlihat dalam implementasi budaya perusahaan yang mencakup upaya perusahaan dalam meningkatkan kepuasan pelanggan, seperti dengan membuka saluran komunikasi lewat Hotline Service dengan nomer : +62 21 8312323 atau lewat media telepon dengan nomer : 0800-1-888555 maka pihak Customer Service Center akan siap menerima segala pertanyaan dan keluhan pelanggannya. Mereka senantiasa memberikan solusi yang terbaik bagi setiap keluhan pelanggan yaang mengadu. Untuk menciptakan iklim perusahaan yang akrab dalam nuansa rasa persaudaraan, pimpinan perusahaan senantiasa berusaha untuk melakukan interaksi aktif dengan para bawahannya sehingga berlanjut pada upaya untuk menghargai integritas dan profesionalisme kerja yang tinggi di masing-masing unit usaha. Kondisi tempat kerja yang kondusif mampu untuk menunjang kerjasama yang solid dan semangat gotong royong saling membantu dalam mencapai tujuan bersama. Dalam menjalankan laju usaha hingga meraih kesuksesan yang membanggakan, terlihat bahwa pimpinan perusahaan memegang teguh falsafah budaya Jawa pada umumnya, yaitu : “ Jer basuki mawa beya “ : Agar dapat mencapai segala sesuatu yang dicita-citakan maka harus disertai dengan usaha yang sungguhsungguh dan penuh semangat disamping terkadang diperlukan juga pengorbanan materi, waktu atau perasaan. Sang pendiri perusahaan juga dikenal sebagai tokoh penggerak kewirausahaan. Ia telah berjuang puluhan tahun untuk meningkatkan dan mengembangkan Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
kualitas dan kemampuan perempuan Indonesia melalui Women Entrepreneurship Academy ( WEA ) yang merupakan sarana pendidikan non gelar bagi kaum perempuan yang ingin mengembangkan diri menjadi pelaku usaha. Hal ini merupakan realisasi dari falsafah budaya Jawa yang dikenal dengan ungkapan “jagat ora mung sagodhong kelor “(dunia bukan hanya sebatas daun kelor). Ungkapan ini mengandung nilai pendidikan kearah berpikir yang lebih luas sehingga manusia bisa memiliki wawasan pengetahuan yang beragam dan mampu menjadi manusia yang mandiri. Bagi masyarakat Jawa ada suatu ungkapan yang mengandung nilai akan pentingnya pendidikan, yaitu “wong bodho dadi pangane wong bisa “(orang bodoh jadi sasaran orang pintar). Ungkapan ini mengingatkan seseorang agar senantiasa menuntut ilmu agar tidak diperalat oleh orang lain yang lebih pintar. Dalam membina hubungan baik dengan pelanggan ( customer relations ) sebagai salah satu elemen dalam budaya perusahaan, pihak Mustika Ratu berupaya menerapkan falsafah “ tepa selira “ atau tenggang rasa. Hal ini merupakan salah satu bentuk penghormatan pada sesama manusia yang mengandung pengertian bahwa antar sesama rekan kerja harus saling membantu, khususnya ketika harus berhadapan dengan keluhan pelanggan. Sikap empati perlu ditumbuhkan agar tercapai sikap tenggang rasa sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. KESIMPULAN Di tengah arus globalisasi yang semakin kuat menerjang setiap belahan di dunia, PT. Mustika Ratu, Tbk. sebagai 46
perusahaan jamu dan kosmetik tradisional Indonesia tetap berpegang teguh pada akar budaya Jawa dan telah mampu menumbuh kembangkan budaya perusahaan yang berbasis pada filosofi Jawa. Lewat kepemimpinan sang pendiri perusahaan, ia menerapkan falsafah “Memayu Hayuming Bawana” sebagai pemikiran awal dalam mengembangkan usahanya. Falsafah tersebut mengandung pengertian bahwa dalam mempercantik diri penting sekali diperhatikan upaya untuk selalu mendekatkan diri kepada Tuhan YME sebagai perwujudan hubungan secara vertikal, sementara secara horizontal, seseorang harus mampu berinteraksi dengan baik di tengah lingkungan masyarakat, terutama dengan pihak keluarga. Sebagai pemimpin perusahaan, baik Ibu Mooryati mau pun Putri K. Wardani senantisa berpegang teguh pada falsafah “toto, titi, titis, tatag, tetep, tanggap, teguh dan trengginas “yang menjadi panduan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, termasuk didalamnya menciptakan komunikasi perusahaan sebaik mungkin sehingga dapat dipahami oleh berbagai pihak secara profesional. Dalam menjalankan roda bisnis perusahaan sehingga mampu meraih kesuksesan yang membanggakan, terlihat dengan jelas bahwa pimpinan perusahaan memegang teguh falsafah “ Jer basuki mawa beya “ : Agar dapat mencapai segala sesuatu yang dicita-citakan maka harus disertai dengan usaha yang sungguhsungguh dan penuh semangat disamping terkadang diperlukan juga pengorbanan materi, waktu atau perasaan.
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
DAFTAR PUSTAKA Denzin, Norman. K. & Yvonna J. Lincoln, 1994. Handbook of Qualitative Research, London: Sage Publication Gauthama, Margaret P. & Alkadri (Penyunting), 2003, Budaya Jawa Dan Masyarakat Modern, Jakarta: PP KT Pengembangan Wilayah, Badan Pengkajian dan PenerapanTeknologi. Moeljono, D., 2005, Good Corparate Culture Sebagai Inti dari Good Corporate Governance. Jakarta: Elex Komputindo. Nawawi, H. 2003. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. Pace, R.Wayne & Don F. Faules, 2001, Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Widuri, Rindang dan Asteria Paramita. 2007, “Analisis Hubungan Peranan Budaya Perusahaan terhadap Penerapan Good Corporate Governance di PT Aneka Tambang Tbk., dalam Journal the Winners. Vol. 8 No.2, September 2007:126-138. TT.
Situs Internet: http://www.swa.co.id/listed-articles/tujuhrahasia-generasi-kedua-mustika-ratu,diakses 23/12/12, jam 15.00 http://www.bumn.go.id/72938/publikasi/beri ta/dirut-telkom-dan-pendiri-mustika-raturaih-penghargaan-wirausaha/diakses Senin, 28 Januari 2012, pukul 0:34 www.mustika-ratu.co.id www.mediaindonesia.com www.kompas.com 47
DISKURSUS KORUPTOR DALAM MEDIA MASSA: (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Karakter Koruptor Kader Partai Di Kompas Online ‘kompas.com’) Oleh: Ahmad Toni dan Rocky Prasetyo Jati Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur Email : tonianthonovubl@gmail.com rocky.pj@gmail.com
ABSTRACT This study of the discourse in the news framing perspective character kompas.com corrupt party cadres in the online media in Asia, aims to do construction and mapping of a number of news character corrupt major parties. Well, the character of the ruling party cadres that currently, many Democratic party cadres entangled in corruption cases, the pro-government party cadres PKB, PKS and PAN, to party cadres themselves as the party of opposition voiced SBY administration, the PDI-P. Keywords: Discourse, Character, Party cadres, Kompas.com
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karakter politik dan ekonomi tersebut tidak bisa dipisahkan karena realitas manajemen media yang identik dengan ketidakpastian yang bisa disebabkan beberapa hal, antara lain perubahan regulasi, depresi ekonomi dan sistem permodalan, perkembangan teknologi, peningkatan tuntutan dan kesadaran publik, keterbatasan sumberdaya manusia yang berkualitas, serta pergeseran minat konsumen media. Tentu manajemen media harus mampu mengantisipasi dan mengatasi semua faktor ketidakpastian tersebut. Pada akhirnya media berkembang
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
menjadi industri dengan salah satu ciri utama operasi bisnis yang meliputi “dual product marketplace” Industri media memproduksi konten untuk dijual kepada khalayak, dan ‘menjual’ khalayak kepada pengiklan. Berdasarkan karakteristik tersebut, di dalam industri media terdapat “contentmarket” dan “audience-market”. Dimana produk media terutama konten seperti disampaikan seperti asumsi umum para ekonom yang dapat dengan mudah distandarisasi. Setiap produk media jelas menuntut kreatifitas dan keahlian spesifik. 48
Namun pada saat bersamaan harus memenuhi selera konsumen yang bervariasi dan mematuhi peraturan perundangan yang berlaku. Kreatifitas produk media diperlukan untuk memberikan suatu pengalaman pada khalayak. Produk media juga dicirikan oleh tuntutan yang tinggi terhadap originalitas gagasan, sehingga menyebabkan isu tentang kekayaan dan hak intelektual sangat sensitif. Di samping itu, produk media juga merupakan creative services yang memfasilitasi kepentingan industri. Kreatifitas konten media online yang tidak bisa dipisahkan dari dinamika ekonomi, politik, sosial, bahkan ideologi adalah sajian konten yang berkaitan dengan kepemimpinan bangsa. Sajian ini sering muncul hadir di ruang publik dalam momentum peringatan momentum sejarah bangsa atau momentum pemilihan kepala negara hingga kepala daerah. Berkaitan dengan hal itu, isi media tentang diskursus koruptor yang berasal dari partai demokrat, mempengaruhi content pemberitaan Kompas.com. B. Kajian Pustaka Penelitian yang dilakukan oleh Dewi Sad Tanti guna menyelesaikan studi pascasarjana di universitas Mercubuana mengenai framing terhadap pemberitaan kepemimpinan nasional di Harian Umum Kompas menempatkan segenap tokoh bangsa yang mempunyai visi dan misi membangun karakter bangsa lewat berbagai macam ide dan gagasan yang menyangkut pendidikan, ekonomi, social, budaya dan sebagainya. Sementara penelitian tentang korupsi dilakukan di oleh Aulia dari Universitas Brawijaya yang memetakan Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
bagaimana penjatuhan sanksi pidana yang dilakukan oleh para pejabat Negara menempatkan korupsi sebagai kejatahan yang harus disanksi dengan pidana pemberatan dalam vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan tipikor, yang diberikan kepada legislative, yudikatif dan eksekutif. C. Kerangka Teoritis Kekuasaan, Media, Korupsi Dan Moralitas Kekuasaan global ialah isu kunci dikreasikan pada level yang menempatkan sebagian kekuasaan berada di luar batas dan kontrol pemerintah. McQual (Burton, 2008: 68) mengemukakan bahwa terdapat tiga hal tentang kekuasaan media, antara lain: 1. Keefektifan media sebagai instrument untuk mencapai tujuantujuan kekuasaan yang ada. 2. Pertanyaan tentang kepentingan kekuasaan siapa yang diterapkan (kepentingan kekuasaan kelas sosial, masyarakat, atau individuindividu) 3. Apakah media menambah, mempertahankan, atau mengurangi ketidaksetaraan kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Dalam batas yang luas, media memandang kekuasaan berimbas pada efek melalui tindakan institusional media, penghilangan atas sejumlah kepentingan dan memunculkan kepentingan yang lain. Efektifitas media dalam pandangan konstruktivis ialah sebuah agenda besar, setting media dan kekuasaan ekonomi politik yang melingkupinya. Media berpengaruh besar terhadap sistem sosial melalui produk-produknya yang termanifestasikan dalam bentuk konstruksi isi atau content media, ide yang dimuat 49
dalam produk-produk media memposisikan diri pada dunia realitas. Konstruks isi media yang memuat sejumlah masalah korupsi memposisikan media pada level keberpihakannya terhadap kondisi sosial tertentu dari sistem sosial politik yang sedang berjalan. Ada pengharapan media yang mewakili sistem sosialnya dengan sebuah perubahan yang diagendakan oleh masyarakat, bentuk yang demikian merupakan representasi terhadap kebutuhan media sebagai indikator moralitas pada kondisi yang melatarbelakanginya. Definisi korupsi dalam perspektif hukum (Widoyoko, 2002: 10) adalah “penyalahgunaan kekuasaan kekuasaan dan menimbulkan kerugian negara karena mengalihkan sumberdaya public untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. selanjutnya Widoyoko (2002: 11) “Dengan demikian, yang bisa melakukan korupsi adalah mereka yang memiliki kekuasaan, terutama kekuasaan di sektor publik yang berwenang mengalokasikan dan mendistribusikan sumberdaya public”. Lickona (Alfikalia, 2012: 78) menyatakan bahwa “pembentukan karakter generasi muda pada dasarnya dibagi bersama oleh tiga institusi: yaitu rumah (keluarga), agama dan sekolah”. Selanjutnya Lickona menjelaskan “pendidikan karakter sebagai usaha yang disengaja untuk mengembangkan kebaikan (virtue) yang merupakan kualitas manusia yang secara obyektif baik, bagi individu sendiri dan bagi masyarakat. Kebaikan diajarkan oleh hampir seluruh tradisi filsafat, agama dan budaya”. Teori Konstruksi Realitas Representasi ruang publik yang paling jelas sebagai wahana bagi diskusi Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
publik adalah media massa. Oleh karena itu, media massa, tidak hanya terbatas sebagai sarana untuk meraup keuntungan ekonomis, melainkan dalam fungsi editorialnya ia menjadi medium bagi ruang publik. Media massa, dengan demikian, bisa berperan dalam memperjuangkan terciptanya ruang kebebasan untuk menyatakan dan menampung opini publik (public opinion) atau untuk membentuk wacana publik (public discourse) (Ibrahim, 2004 :5). Pembedaan tersebut dinyatakan oleh James P. Gee (Eriyanto, 2005 : 26). Gee membedakan discourse dalam dua jenis yaitu (1) “discourse” (d- kecil) yang melihat bagaimana bahasa digunakan pada tempatnya (“on site”) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas atas dasar-dasar linguistik. (2) “Discourse” (D besar) yang merangkaikan unsur linguistik pada “discourse” (dengan d kecil) bersama-sama unsur non-linguistik (nonlanguage “stuff”) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas. Bentuk non-language “stuff” ini dapat berupa kepentingan ideologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Komponen non-language “stuff” itu juga yang membedakan cara beraksi, berinteraksi, berperasaan, kepercayaan, penilaian satu komunikator dari komunikator lainnnya dalam mengenali atau mengakui diri sendiri dan orang lain. Pendapat senada juga disampaikan oleh William L. Rivers dan kawan-kawan (Eriyanto, 2003:307) bahwa secara umum, berdasarkan kesimpulan dari berbagai studi, orang berpendidikan tinggi lebih menyukai media cetak atau media bacaan dibandingkan dengan media siaran; sedangkan mereka yang berpendidikan menengah lebih menyukai televisi dan radio. Bagi kaum konstruksionis, realitas 50
itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir, karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan. Di sini tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda (Eriyanto, 2002:19). Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistimologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan reproduksi kenyataan. Dengan demikian dunia muncul dalam pengalaman manusia secara terorganisasi dan bermakna. Keberagaman pola konseptual (kognitif) merupakan hasil dari lingkungan historis, kultural, dan personal yang digali secara terus-menerus. Bagi kaum konstruktivis, semesta adalah suatu konstruksi, artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom, akan tetapi dikonstruksi secara sosial, dan karenannya plural. Konstruktivisme menolak pengertian ilmu sebagai yang “terberi� dari objek pada subjek yang mengetahui. Unsur subjek dan objek sama-sama berperan dalam mengonstruksi ilmu pengetahuan. Konstruksi membuat cakrawala baru dengan mengakui adanya hubungan antara pikiran yang membentuk ilmu pengetahuan dengan objek atau eksistensi manusia. Dengan demikian paradigm konstruktivis mencoba menjembatani dualism objektivisme-subjektivisme dengan mengafirmasi peran subjek dan Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
objek dalam konstruksi ilmu pengetahuan (Ardianto&Qness, 2002: 151-152). Diskursus, Ideologi, dan Produksi Media Terjemahan bebas kutipan itu bahwa kandungan media adalah komoditas yang dijual di pasar, penyebarluasan informasi dikendalikan oleh apa yang pasar akan tanggung. Sistem ini membawa implikasi mekanisme pasar yang tidak ambil resiko, yang membuat program dan media tertentu mendominasi wacana publik sementara ada pula yang terpinggirkan. Peter Golding dan Graham Murdock (Eriyanto, 2000: 70) berpendapat bahwa media massa adalah produsen budaya, yang lebih berperan sebagai mesin bisnis pencari keuntungan. Ideologi kapitalisme telah meresap dalam institusi media, termasuk hubungan antara pemilik dengan para pekerjanya. Isi media lebih diarahkan untuk melayani kepentingan atau kebutuhan orang alias pasar. Ideologi adalah praktik atau gagasan yang menyiratkan adanya penopengan, penyimpangan, atau penyembunyian realitas tertentu, di sini ideologi merupakan khas perspektif teori kritis, juga ketika perspektif ini digunakan untuk menganalisis wacana (Eriyanto 2001:50-51 dalam Ardianto 2007:176-177 ). Raymond William (dalam Eriyanto, 2001: 87-88) mengklasifikasikan penggunaan ideologi tersebut dalam tiga ranah yaitu (1) sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu; (2) sistem kepercayaan yang dibuat –ide palsu atau kesadaran palsu- yang biasa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang 51
berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain; (3) proses umum produksi makna dan ide. Teori Framing (Entman) Dan Pemberitaan Koruptor di Media Dalam artian Teori framing berbicara tentang seleksi isu yang dimasukkan ke atau dikeluarkan dari wacana. Menurut framing, dalam wacana berlangsung proses pemilihan fakta mana yang mau diangkat, fakta mana yang mau disembunyikan, atau fakta mana dihilangkan sama sekali. Wacana menurut framing terdiri dari sejumlah komponen yang diisi dengan fakta-fakta pilihan itu. Entman (1993a) menyebut framing sebagai: as a fractured paradigm, but like the communication field itself its interdisciplinary nature makes it attractive. When viewed as the interplay of media practices, culture, audiences, and producers, the framing approach guards against unduly compartmentalizing components of communication (sender, content, audience). As with any theoretical formulation, we must consider what aspects of the social world are better explained with its and which are obscured Framing is concerned with the way interests, communicators, sources, and culture combine to yield coherent ways of understanding the world, which are developed using all of the available verbal and visual symbolic resources. Before proceeding further, it will be helpful to propose my own working definition of framing, one that suggests a series of research
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
questions out of components.(Reese:2001:8).
its
Media memiliki peran aktif dalam menentukan isu sosial di tengah masyarakat untuk diangkat dalam meja redaksi kemudian menjadi produk jurnalistik surat kabar. Produk baca berupa informasi inilah yang berpotensi menjadi opini publik di tengah masyarakat, akan menjadi topik perbincangan hangat pada struktur masyarakat. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (Eriyanto, 2001:183), memandang bahwa telah terjadi pertarungan dalam memaknai realitas dalam isi media. Terjemahan bebas sebagai berikut, pertarungan itu disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu: 1. Latar belakang awak media (wartawan, editor, kamerawan, dan lainnya). 2. Rutinitas media (media routine), yaitu mekanisme dan proses penentuan berita. Misalnya, berita hasil investigasi langsung akan berbeda dengan berita yang di beli dari kantor berita. 3. Struktur organisasi, bahwa media adalah kumpulan berbagai jobdescriptions. Misalnya bagian marketing dapat memengaruhi agar diproduksi isi media yang dapat di jual ke pasar. 4. Kekuatan ekstramedia, yaitu lingkungan di luar media (sosial, budaya, politik, hukum, kebutuhan khalayak, agama, dan lain-lainnya). Termasuk didalamnya sumber berita, pengiklan, pemerintah dan lingkungan bisnis 5. Ideologi (misalnya ideologi negara), yaitu kerangka berpikir atau referensi tertentu. 52
Pippa Norris dkk. menawarkan model untuk menjelaskan bagaimana seperangkat asumsi budaya seperti sistem nilai dan norma dalam masyarakat sangat berpengaruh bagi media, dengan perannya dalam menentukan bagaimana media melakukan framing pemberitaan. Model ini digunakan Norris dalam melihat bagaimana media melakukan news framing terhadap isu terorisme : (Eriyanto, 2003: 12)
Matrik 1 Konstruksi Berita Dalam Framing Entman 1
Framing Entman
Define Problems (Pendefinis ian Masalah)
Sumber: Pippa Norris dalam Dibyantari, 2003: 12 Bagan 1 Model Proses Framing D. Hasil Analisis Konstruks Umum Berita Kader Partai (Demokrat, PAN, PDIP, PKS, PKB dan Golkar) Berikut adalah konstruks secara umum dari para kader partai yang diberitakan oleh kompas.com dalam kerangka framing Entman berdasarkan pada penjelasan yang telah dikemukan diatas. Adapun tolak ukur nilai-nilai yang diwarisi tradisi berbagai macam pemikiran dan konsepsi berbangsa dan bernegara. Artinya situasi Indonesia saat ini dengan maraknya korupsi yang dilakukan oleh kader partai memerlukan langkah-langkah konkret serta penegakan hukum yang sesuai dengan semangat Indonesia terbebas dari praktik-praktik korupsi, adalah: Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Diagnose Causes (Memperki rakan masalah atau sumber masalah)
Uraian Berikut adalah uraian konstruks terhadap nilai apa yang terkandung di dalam pemberitaan kader partai demokrat. a. Angie tidak jujur, malakukan pencucian uang b. Nazarudin terlibat 32 kasus korupsi c. Andi Malarangeng mengundurkan diri d. Hartanti Murdaya tidak korporatif dan berbohong. Konstruks terhadap siapa actor dibalik permasalahan yang melibatkan kader partai Demokrat dengan segala keterkaitannya dengan pihak-pihak lain. a. Dalam kasus Angie terdapat mekanisme hubungan yang rumit diantara para kader partai demokrat. hubungan tindak pidana korupsi dilakukan bukan hanya perseorangan tetapi sudah dilakukan secara korporasi (bersamasama). angie merupakan manta puteri indonesia yang merepresentasikan 53
perempuan indonesia secara utuh. angie adalah pejabat dipartai demokrat sehingga ia lebih leluasa untuk melakukan loby dan sejumlah pendekatan persuasive dengan kader-kader partai demokrat maupun kader dari partai lain. kedekatannya dengan kekuasaan partai dan kedudukannya yang strategis di parlemen, angie melakukan penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri, kelompok atau golongan serta lembaga partai politiknya. b. Muhammad Nazarudin yang berkedudukan di partai sebagai bendahara umum memaksa kader partai demakorat ini melakukan segalan tindak kejahatan korupsi dengan puluhan kasus yang menjeratnya. kekuasaan yang dekat dan kedudukan yang menyertainya Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
sebagai kader partai demokrat memberikan jalan, serta kemudahan untuk memperkaya diri, keluarga serta koleganya. praktikpraktik korupsi yang dilakukan oleh kader ini memberikan jalan dan ruang untuk pembertantasan korupsi. dikarenakan praktik korupsi yang dilakukan oleh Nazarudin mampu menyeret sejumlah kader partainya untuk ikut serta dalam proses peradilan negeri ini. Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama menempatkan karakter kader partai Demokrat pada level yang kritis dalam hal moralitas dan ketidak konsistenan serta usaha kabur ke luar negeri untuk menghindari masalah dan proses hukum. c. Ruang pembelaan Andi Malarangeng masih terbuka dengan ststusnya yang menjadi 54
tersangka dalam tindak pemberantasan korupsi. Dengan percaya diri kader partai Demokrat ini mengundurkan diri dari ruang kekuasaan. Dengan demikian Andi menjadi satusatunya kader partai, baik partai demokrat maupun partai lain yang dengan lapang dada mundur dari jabatannya setelah ditetapkan sebagai tersangka. Konsekuensi logis dalam mengambil keputusan ini memang memberikan segi positif bagi citra partai Demokrat. d. Konstruks atas kebohongan hartanti dan sikap tidak korporatifnya dalam pemberantasan korupsi menjadi identitas kader partai yang dekat dengan kekuasaan. Kekuasaan dimana ia mampu mepengarhui, memaksa kepala daerah dalam proses Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Make Moral judgement (membuat keputusan moral)
kebijakannya. Bahkan sikap kader partai ini justeru mencerminkan bahwa kekuasaan dan pengelolaan bernegara ialah dengan sistem kolegial. Penilaian atas penyebab masalah dalam kontruks pemberitaan kader partai Demokrat adalah: a. Angie dalam konstruks media dianggap tidak mempunyai itikad dan integritas untuk mendukung pemberantasan korupsi. Angie terlalu mendramatisir keadaan hukum yang menjeratnya, ia mengedepankan keluhan yang berisi seakan-akan ia bersih dari segala tindak pidana korupsi. Dikarenakan terdapat tekanan politis yang menjadikan Angie tetap mempertahankan kebohongannya di depan persidangan. b. Muhammad Nazarudin dikonstruks oleh media sebagai 55
Treatment Recommen dation
orang yang tidak mempunyai itikad dan kemaupuan serta integritas yang tinggi dalam pemberantasan korupsi. Bahkan kader partai demokrat ini adalah kader yang tidak menjunjung tinggi aturan dan moralitas ia sebagai warga negara dan sebagai orang yang beragama. c. Andi Malarangeng dikonstruks oleh media sebagai kader partai yang kesatria. Ia lapang dada dengan ststusnya sebagai tersangka dalam kasus Hambalang namun ia dengan berani untuk mengundurkan diri dari kekuasaan yang dimilikinya. d. Hartanti adalah kader partai yang dengan kekuasaan, dan kedekatan dengan kekuasaan ia menjadikan korupsi, suap menyuap ialah hal yang lazim dilakukan. Penanggulangan permasalahan yang terkonstruks dalam
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
(menekank pemberitaan kader partai an Demokrat ialah: penyelesaia a. Angie, harus n) menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan dihimbau untuk membuka kasus dan pelaku korupsi yang melibatkan dirinya. b. Nazarudin harus menghormati segala keputusan dan vonis serta pertanggung jawabannya pada kasus-kasus lain. Ia juga dihimbau untuk terus membongkar keterlibatan kader dari partai lain dalam kasus korupsi yang menjeratnya. c. Andi Malarangeng dihimbau untuk jujur dan menaati segala proses hukum yang menjeratnya. d. Hartati diharapkan bisa mengungkapkan semua kegiatannya dalam bertransaski politik untuk penyuapan yang dilakukannya dengan berpegang pada aturan dan hukum yang berlaku. Matrik 2 Konstruksi Berita Dalam Framing Etman 2
Framing Entman Define
Uraian Konstruksi
nilai
yang 56
Problems (Pendefinis ian Masalah)
Diagnose Causes (Memperki rakan masalah atau sumber masalah)
terkadung dalam pemberitaan kader partai pendukung pemerintah ialah: a. Wa Ode Nurhayati kader partai Islam (PAN) korupsi atau tidak bersih. b. Anis Matta dan Misbakhun kader partai Islam (PKS) korupsi atau tidak bersih. c. Muhaimain iskandar kader partai Islam (PKB) korupsi atau tidak bersih. Konstruks penyebab masalah yang termuat dalam bingkai pemberitaan kader partai pendukung pemerintah ialah sebagai berikut: a. Wa Ode Nurhayati menduduki posisi strategis dalam bidang penentuan anggaran untuk pembangunan daerah. Posisi yang demikian dimanfaatkan secara pribadi maupun kelompok untuk memperkaya dan menyalahgunakan wewenang. Artinya tidak meenjamin seseorang yang berkendaraan politik Islam pun
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
kadernya melakukan tindak pidana korupsi. b. Anis Matta dan Misbakhun dengan kekuasaan yang dipegang di partai maupun parlemen DPR-RI. Kedua orang penting dan kader partai Islam (PKS) dihadapkan pada persoalan korupsi. Bahkan PKS yang begitu menggebu-gebu menyuarakan diri sebagai partai bersih akhirnya menempatkan beberapa kadernya dalam pusaran kasus korupsi. c. PKB sebagai representasi dari kaum naahdiyin sebagai organisasi massa terbesar menempatkan Muhaimin sebagai kader dari partai Islam yang terjerat kasus korupsi. Sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang dekat dengan kekuasaan ia bahkan menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya untuk memperkaya 57
diri sendiri. Proses pembingkaian atas penilaian penyebab masalah adalah terdapat dalam pemberitaan dengan penemuan sebagai berikut: a. Partai agama (Islam-PAN) belum tentu bersih dari kepentingankepentingan yang mengarah pada tindak pidana Make korupsi. Moral b. Partai agama judgement (Islam-PKS) belum (membuat tentu bersih dari keputusan kepentinganmoral) kepentingan yang mengarah pada tindak pidana korupsi. c. Partai agama (Islam-PKB) belum tentu bersih dari kepentingankepentingan yang mengarah pada tindak pidana korupsi. Penanggulangan masalah yang ditawarkan dalam konstruksi para kader partai pendukung Treatment Recommen pemerintah ialah: a. Kader partai PAN, dation (menekank Wa Ode Nurhayati an harus menghormati penyelesaia keputusan hukum n) yang berlaku. b. Kader partai PKS berusaha menjelaskan dan Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
menggiring public pada konsidi persepsi masyarakat sebagai partai yang bersih. c. Kader PKB tidak punya ketegasan dalam menghadapi kasus korupsi dan menaati tuntutan kasus korupsi yang menjeratnya Matrik 3 Konstruksi Berita Dalam Framing Etman 3
Framing Entman
Uraian
Konstruksi pemberitaan yang mengandung nilai ialah: Pembelaan partai terhadap para kadernya Pembingkaian penyebab kader partai oposisi korupsi yang termuat dalam pemberitaan ialah: Pembelaan terhadap kader partai dikarenakan ada Diagnose beberapa kader partai Causes (Memperkir PDI-P yang disebut-sebut akan terlibat dalam kasus yang masalah dilakukan oleh kader atau sumber partai lain (Demokrat) masalah) sehingga diperlukan pembelaan terhadap kader partai oposisi ini sebagai partai yang bersih yang memberikan nilai positif terhadap para kadernya. Make Moral PDI-P sebagai partai yang bersih termasuk juga judgement (membuat moralitas atau karakter keputusan para kadernya. Define Problems (Pendefinisi an Masalah)
58
moral) Treatment Recommend ation (menekanka n penyelesaia n)
Pembukatian secara hukum keterlibatan dari kader partai PDI-P.
Matrik 4 Konstruksi Berita Dalam Framing Etman 4
Framing Entman
Uraian
Konstruksi terhadap pemberitaan dan nilai yang di Define Problems terkandung (Pendefinisian dalamnya ialah Masalah) sebagai berikut: Kader Golkar napi (narapidana) korupsi Proses pembingkaian siapa dan pihak mana yang menjadi penyebab terjadinya korupsi adalah: Sejarah Golkar sebagai partai yang berkuasa selama Diagnose Causes negeri ini merdeka (Memperkirakan menjadikan Golkar masalah atau pada penilaian sumber masalah) negatif keberadaan partai di negeri ini. Hal inilah yang memunculkan sentiment negatif terhadap kaderkadernya yang telah banyak mewarnai dinamika Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
perpolitikan dan kasus korupsi di negeri ini. Generasi tua di Golkar ialah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kasus korupsi Pemberitaan terhadap kader partai Golkar dalam penilaian penyebab permaslahan Make Moral korupsi terbingkai judgement dalam: (membuat Pembelaan terhadap keputusan moral) kader dan sejumlah organisasi dibawah Golkar sebagai kader dan organisasi yang bersih. Konstruk terhadap penanggulangan masalah dalam Treatment pembritaan ialah: Recommendation (menekankan Pembuktian secara penyelesaian) hukum keterlibatan kader dan aliran uang negara. Konstruksi Karakter Koruptor Kader Partai Karakteristik dalam konsepsi framing Entman ialah termuat dalam pelaku knstruks pemberitaan media, karena menyangkut siapa yang dianggap penyebab masalah yang kemudian melahirkan nilai positif atau nilai negatif yang dibawa oleh seseorang baik untuk landasan bertindak untuk dirinya sendiri maupun bertindak untuk orang lain dan atau bertindak untuk kepentingan bersamasama. Landasan yang demikian 59
menentukan sikap dan perliaku sebagai kepribadian, karakter diri seseorang dalam bersosial, berbangsa dan bernegara. Wacana kader partai dalam konteks framing melahirkan segenap interpretasi yang beragam, mengingat dasar wacana ialah sesuatu yang berpijakan pada kekuatan ide, ide yang tertuang dan belum terjadi pembuktian realitas. Wacana dalam perspektif framing sebagaimana yang dinyatakan oleh Gamson (Eriyanto, 2006: 172) ialah “frame dapat dimaknai sebagai batasan-batasan wacana serta elemenelemen konstitutif yang tersebar dalam konstruksi wacana�. Istilah yang prgamatis tentang karakter yang dikemukakan oleh Alfikalia (2012: 78) “fokus pencegahan paling mendasar adalah membina individuindividu untuk menjadi pribadi yang memiliki karakter-karakter pendukung anti korupsi�. Selanjutnya menurut Lickona (Alfikalia, 2012: 78) terdapat sepuluh element untuk mengembangkan pribadi yang kuat berkarakter, antara lain: kebijaksanaan, keadilan, ketabahan, kontrol diri, cinta, sikap positif, kerja keras, integritas, rasa syukur dan rendah hati�. Sebagaimana Angelina Sondahk yang dalam perjalanan hidupnya pernah menjadi Puteri Indonesia yang mewakili kecerdasan, kecantikan perempuan Indonesia dengan bekal pendidikan tinggi tidak mampu mempertahankan diri dari pergaulan politiknya. Ada semecam pembiaran masa lalu seseorang yang dibuat begitu saja setelah memasuki ranah kehidupan berpolitik di negeri ini. Tentunya ada indikator mekanisme dan sistem perpolitikan yang keliru bahkan lebih dari seebuah kesalahan yang biasa. Adapun indikatir tersebut ialah: Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
1. Pola rekruitmen partai menjadi ukuran dan titik tolak dan tolak ukur dalam proses pengkaderan wakilwakil rakyat yang dipilih oleh rakyat untuk memperjuangkan nasib dan cita-cita bersama menuju negara yang makmur. 2. Sistem hukum dan aturan lembaga negara yang terlalu lemah, sehingga memungkinkan seseorang mengakali celah tersebut untuk menggunakan wewenangnya. 3. Pergaulan kader partai yang meemungkinkan adalah deal-deal politik dalam sistem perpolitikan. 4. Kekuasaan dan wewenang legislatif yang terlalu besar sehingga memungkinkan penyelahgunaan kekuasaan tersebut. 5. Sistem pendidikan yang memunculkan seseorang atau generasi yang tidak berkarakter kuat dan mempunyai integritas terhadap bangsa dan negaranya. 6. Lemahnya pengawasan lingkungan terutama peran orang tua dalam meembentuk karakter anaknya. Ada sejumlah hal penting dalam konstruks karakter partai yang terjerat kasus korupsi yang melibatkan kolega kepartaiannya serta pihak-pihak lain yang terlibat sebagai penyuap dengan kesalahan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Istilah rekanan wakil rakyat dalam proyek yang ditangani oleh mereka, adapun konstruks kader partai Demokrat tersebut adalah: 1. Kader partai demokrat tidak jujur (bohong) sejumlah pemberitaan yang mengkonstruks Angelina Sondakh, Muhammad Nazarudin, Hartati Murdaya dan Andi Malarangeng menunjukan sikap yang berbelit-belit 60
dalam memberikan keterangan kepada lembaga hukum atas sejumlah kasus yang menimpanya. Dengan demikian maka, ada generalisasi bahwa kader partai Demokrat secara umum memiliki sikap, karakter yang tidak jujur dalam hal kebenaran, inilah indikator mereka tidak mempunyai virtue. 2. Kader partai Demokrat memiliki karakter tidak korporatif, sikap inilah sebagai elemen penting seseorang yang tidak memiliki nilai luhur, yakni integritas. Makna integritas ialah ia mendedikasikan diri kepada kepentingan bangsa dan negara, diatas kepentingan lain yang menyertainya, baik kepentingan pribadi, golongan, partai dan sebagainya. Seseorang dikatakan sebagai seorang yang tidak konsisten dengan tindakan yang dilakukannya adalah individu yang tidak memiliki sikap positif. Individu yang memiliki sikap negatif terhadap kehidupan menjadi beban bagi dirinya sendiri dan orang lain. 3. Kader partai demokrat memiliki karakter tidak mampu mengontrol diri. Sikap kontrol diri merupakan kemampuan seseorang yang lahir dari dalam jiwa dan kepribadiannya, jika seseorang memeiliki karakter yang kuat, maka ia tidak akan tergoda dengan persuasive yang datang dari luar. Ia mempunyai prinsip dalam hidupnya, kontrol diri akan mampu untuk mengendalikan amarah, mengatur selera atau syahwat indrawi, kesenangan, godaan, menunda pemuasan dari hal-hal yang merugikan orang lain. 4. Kader partai Demokrat tidak memiliki karakter dan sikap Bijak. Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Kebijaksanaan ialah bentuk kebaikaan yang dimiliki oleh seseorang yang mengarahkannya kepada bentukbentuk nilai kebaikan yang lain. Kebijaksanaan ialah pondasi setiap individu dalam menerapkan, mengimplementasikan, menanamkan nilai-nilai kebaikan, dan kapan harus bertindak, cara bertindak serta penyeimbangan antara kebaikankebaikan lainnya. Ada rasa simpati dan empati dalam diri seseorang yang memiliki sikap dan karakter bijak untuk tidak melakukan atau menyakiti orang lain. 5. Kader partai Demokrat tidak adil. Keadilan yang dimaksudkan ialah menghormati hak-hak orang lain, termasuk hak kesejahteraan hidup rakyat. Kader partai yang seharusnya membawa perubahan dalam sistem sosial politik suatu bangsa justeru menjadi momok bagi rakyat. Sikap keadilan yang dimiliki oleh seseorang akan hadir dalam karakter dirinya yang menghormati diri sendiri (selfrespect) untuk tidak melakukan tindak merugikan siapapun, termasuk dalam tindak korupsi. 6. Kader partai Demokrat tidak memiliki sikap dan karakter integritas. Integritas ialah kemampuan seseorang dalam menaati hukum, aturan dan moral yang berlaku, setia terhadap hati nurani, melaksanakan janji. Dengan demikian seorang kader partai memiliki konsistensi diri untuk berpegang teguh terhadap aturan dan hukum yang berlaku dan tidak pernah bertentangan atau berlawanan dengan prinsip-prinsip berkeadilan. Seorang kader partai yang tidak memiliki 61
integritas pada dirinya berarti kader partai tersebut tidak bermoral. Selanjutnya konstruksi media terhadap karakter kader partai pendukung pemerintah (SBY), yakni PAN, PKB, PKS dan Golkar mengenai kader-kader partai tersebut yang berhubungan dengan kasus korupsi. Berikut adalah dua elemen konstruks karakter kader partai penyokong pemerintah adalah: 1) Konstruks karakter kader partai PAN, PKS dan PKB serta Golkar ialah korup, adapun korup terwujud alam sikap berikut ini: a. Religius, yang menempatkan segala sesuatu pada pusaran keimanan dan ideologi agama dari partainya. b. Tidak bijaksana, tidak mampu mengarahkan diri pada kebaikan dan tindakan atau perilakunya sebagai wakil rakyat. c. Tidak adil, tidak mampu menghormati diri, sebagai penghargaan terhadap hak dan harga dirinya. d. Tidak mampu mengontrol diri, tidak mampu mengontrol diri dari syahwat kesenangan termasuk kekuasaan yang dimilikinya. e. Tidak memiliki cinta, tidak memiliki kesediaan untuk mengorbankan kepentingan diri untuk kepentingan rakyat. f. Tidak memiliki sikap positif, sikap ini merupakan pilihan yang berkonsekuensi, artinya kader partai hanya menjadi beban rakyat bukan orang yang diharapkan mampu membawa dan memperjuangkan kepentingan rakyat. g. Tidak memiliki inetgritas, sama juga tidak bermoral karena kader partai tidak memiliki hati nurani, Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
bertentangan dengan prinsip aturan, hukum yang berlaku. 2) Konstruks karakter kader partai PDIP (Partai Oposisi) a. Sikap dan karakter sombong, dengan melakukan pembelaan diri terhadap para kadernya dengan alasan PDI-P adalah partai oposisi yang konsisten untuk tidak ikut serta dengan bentukbentuk kebijakan pemerintah. b. Tidak memiliki inetgritas, sama juga tidak bermoral karena kader partai tidak memiliki hati nurani, bertentangan dengan prinsip aturan, hukum yang berlaku. c. Tidak memiliki sikap positif, sikap ini merupakan pilihan yang berkonsekuensi, artinya kader partai hanya menjadi beban rakyat bukan orang yang diharapkan mampu membawa dan memperjuangkan kepentingan rakyat. d. Tidak memiliki cinta, tidak memiliki kesediaan untuk mengorbankan kepentingan diri untuk kepentingan rakyat. e. Tidak bijaksana, tidak mampu mengarahkan diri pada kebaikan dan tindakan atau perilakunya sebagai wakil rakyat. f. Tidak adil, tidak mampu menghormati diri, sebagai penghargaan terhadap hak dan harga dirinya. g. Tidak mampu mengontrol diri, tidak mampu mengontrol diri dari syahwat kesenangan termasuk kekuasaan yang dimilikinya. Berikut adalah matriks konstruksi media kompas.com dalam pemberitaan karakter kader partai: Matrik 5 62
Konstruksi Karakter Kader-Kader Partai Konstruksi Konstruksi Konstruksi karakter karakter karakter kader kader kader partai partai partai Demokrat pendukung oposisi pemerintah (PDI-P) (PAN, PKB, PKS dan Golkar) Tidak jujur Religious Sombong Suka Tidak Tidak bohong bijaksana memiliki integritas Tidak Tidak adil Tidak korporatif memiliki sikap positif Tidak Tidak Tidak mampu mampu memiliki kontrol diri kontrol diri cinta/kasih Tidak Tidak Tidak bijaksana mempunyai bijaksana cinta/kasih Tidak adil Tidak Tidak adil memiliki sikap positif Tidak Tidak Tidak memiliki meiliki mampu integritas integritas kontrol diri E. Pembahasan Rekonstruksi Wacana Karakter Koruptor Dalam Perspektif Komunikasi Politik Macridis menyatakan bahwa (2012: 21) “partai politik sering dianggap sebagai faksi (kelompok-kelompok yang saling bertentangan dalam partai) dan tidak dapat dipercaya”. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wakil Redaksi Kompas.com Margianto “karier dalam berpolitik membutuhkan banyak sekali biaya dalam Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
pelaksanaan pemilu atau pesta demokrasi. Sehingga para politisi lebih memilih jalur cepat dalam pembiayaan politik daripada sistem pendidikan politik yang sehat yang diterapkan sebagai landasan berkampanye”. Sementara dalam berkehidupan politik Lily Wahid menyatakan bahwa “bukan rahasia lagi mereka (kader partai) terlibat korupsi dikarenakan ada beban setiap kader partai yang duduk sebagai anggota dewan (DPR) akan melakukan segala cara untuk melakukan korupsi” Hal senada juga dinyatakan oleh Herdiansyah sebagai anggota gerakan anti korupsi “partai politik seharusnya awareness terhadap permaslahan korupsi dan bentukbentuk konsekuensinya. Partai dan kader partai harusnya sadar dengan segala tindakan yang merugikan orang banyak. Sistem yang demikian hendaknya dilakukan oleh partai politik dan ditanamkan kepada seluruh kadernya. Proses rekruitmen dan karakter kader partai politik memberikan keleluasaan kepada kader untuk melakukan tindak yang merugikan rakyat, dikarenakan adanya mekanisme instanisasi rekruitmen, celah yang demikian dimanfaatkan oleh beberapa kader yang saling silih berganti berganti partai sebagai kendaraan politiknya menuju kekuasaan. Korupsi sebagai bahaya laten yang dibuka oleh sistem kekuasaan yang besar yang dimiliki oleh lembaga tinggi negara (legislatif). Cara dan mekanisme partai politik yang membebankan kadernya untuk memberikan dana storan sebagai wujud loyalitas terhadap partai mengarahkan mereka pada penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya. Sistem perpolitikan seperti inilah yang memungkinkan setiap kader partai, apakah 63
ia seorang yang religious, nasionalis, apakah ia bermoral atau tidak, tetapi dengan sistem yang demikian yang mengakibatkan tindakan kader partai kepada jalan yang dikehendaki oleh partainya. “Moral kekuasaan ialah sebagai akibat seseorang melakukan tindak pidana korupsi, dimana moral kekuasaan sebagai jalan untuk melakukan berbagai bentuk penyimpangan-penyimpangan”. Artinya jika seseorang berada pada lingkungan moral kekuasaan maka secara individual, maupun secara kultural akan menggunakan kekuasaan sebagai alat atau instrument tindakan korupsi. Hal ini senada dengan konsep wacana dalam kerangka Gamson yang menawarkan konsep wacana kultural akan mempengaruhi konsep wacana individual. Konsep wacana seseorang dikatakan sebagai koruptor dilahirkan sebagai akibat dari konsep wacana kultural yang membentuk dirinya pada karakter yang demikian. Pada prinsipnya setiap orang mempunyai kontrol diri, integritas, dan sikap positif untuk mengarahkan mereka pada tindakan yang posistif. Namun sistem perpolitikan dan internal politik dalam suatu partai dan mekanismemekanisme komunikasi politik partai mempengaruhi, sikap dan tindakan seseorang pada wilayah tindakan yang merugikan orang lain. Selanjutnya Wahid menyatakan bahwah “Saya tidak pernah melihat bentuk-bentuk pencegahan partai politik terhadap kegiatan korupsi. Dengan demikian akan berimbas kepada kader partai, seperti yang saya coba, bertentangan dengan mekanisme partai dalam mengupayakan deal-deal politik untuk memenuhi keuangan partai. Kader yang menentang akan diberhentikan dan Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
dianggap sebagai kendala dalam mengumpulkan dana bagi partai”. Pembiaran terhadap pola kehidupan berpolitik kader partai yang mengarah pada pembiaran dan kebebasan dalam melakukan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan adalah bentuk ketidak mampun partai politik dalam membina, mengkader dan mengarahkan kader kepada kehidupan berpolitik yang baik. Memang sulit tolak ukur berkehidupan politik yang baik, namun pendidikan politik kader partai harusnya diutamakan dengan mekanisme yang dibuat sebenar-benarnya. Sistem dan moralitas kader sebenarnya dibawa sejak ia berada pada lingkung keluarga atau lingkungan yang membentuknya. Rekonstruksi Wacana Karakter Koruptor Dalam Perspektif Gender dan Psikologi Komunikasi Dalam perspektif gender, keterwakilan perempuan dalam parlemen dan apartur negara banyak pihak menilai sudah pada tahap porposional, dan tahap professional. Bahkan aturan dalam kepartaian pun keterwakilan perempuan dalam mekanisme, syarat dan sistem verfikasi partai menempatkan perempuan dalam posisi yang harus diperhatikan, dengan alasan-alasan yang menunjung tinggi perempuan. Sebagaimana dinyatakan oleh Wahid “Angelina Sondakh, hanya bagian terkecil kader partai (Demokrat) yang ketahuan, hampir semua kader partai Demokrat akan bisa dijadikan tersangka kasus tersebut. Angelina Sondakh dengan gaya berpakaian, perhiasan dan sebagainya ialah gaya orang berduit (uang). Ia mendapatkan itu semua dari korupsi yang dilakukan”. Hal senada juga dinyatakan oleh Margianto “Dalam kasus Angelina 64
Sondakh, keterwakilan perempuan di parlemen memang dibutuhkan untuk bisa mewujudkan hak-hak perempuan dalam parlemen”. Lebih jauh lagi “pendidikan karakter dan moral yang diperoleh seorang wakil rakyat yang duduk di parlemen akan menjadi bekal hidup, sebagai filter terhadap tindakan individual orang tersebut (yang bersangkutan) untuk menjaga integritasnya. Integritas secara personalitas, keluarga, negara serta menggunakan kekuasaan sebagai amanah yang harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan”. “Dalam pandangan developmentalisme menjadikan negara industri sebagai model proses politik, ekonomi, sosial, kultural. Menurut mereka demokrasi dan pembangunan akan berjalan saling mendukung” (Fakih, 2008: 118). Proses demokratisasi menjadikan perempuan sebagai kelas yang perlu diperjuangkan dalam sistem pembangunan dewasa ini yang berorientasi pada sistem insudtri negara Dunia Ketiga. Proses yang demikian menempatkan perempuan pada level kaum yang berusaha untuk merubah paradigm dan perspektifnya sendiri. Namun ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan dalaam sistem demokrasi modern yang harus dimiliki oleh perempuan, diantaranya dalah: a. Moralitas, yang bersumber pada sistem nilai-nilai yang melingkupinya, baik agama, keluarga, lingkungan dan lain-lain. b. Integritas, sikap penuh tanggung jawab terhadap apapun tugas yang diemban untuk kepentingan bangsa dan negara. c. Amanah, dimana sifat ini ialah menjunjung tinggi kepercayaan yang diberikan oleh rakyat untuk
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
bisa dibawa dan diperjuangkan sesuai dengan aspirasi. F. KESIMPULAN Pada dasarnya media mencoba untuk konsisten terhadap ketidakberpihakan yang dimilikinya sebagai sebuah proses independensi media dengan berbagai macam kasus korrupsi yang melibatkan berbagai pihak kader partai demokrat. Realitas yang terkonstruksi dalam wacana pemberitaan media kompas.com sebagai media online terbaik di Indonesia dan di Asia mampu dan terus konsisten dengan fungsi dan tujuan media sebagai pihak yang mengawal proses demokrasi di Indonesia. Kompas.com mampu memposisikan diri sebagai media yang mengusung nilai-nilai berbangsa dan bernegara dengan mengkedepankan sisi moralitas elemen bangsa dengan tidak melakukan hal-hal yang menyimpang dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya. Berikut adalah wacana dalam konsepsi framing Entman dalam pemberitaan karakter koruptor partai di kompas.com, dimana konstruksi ini meliputi kader-kader partai yang terjerat kasus korupsi, baik yang sudah divonis, tersangka maupun terduga, ialah sebagai berikut: a. Konstruksi Karakter Kader Partai “tidak jujur”. b. Konstruksi Karakter Kader Partai “suka berbohong”. c. Konstruksi karakter kader partai “tidak korporatif”. d. Konstruksi karakter kader partai “tidak mampu mengkontrol diri”. e. Konstruksi karakter kader partai “tidak bijaksana”. 65
f. Konstruksi karakter kader partai “tidak adil”. g. Konstruksi karakter kader partai “tidak memiliki cinta/kasih”. h. Konstruksi karakter kader partai “tidak memiliki integritas”.
DAFTAR PUSTAKA Alfikaila, 2011. Moral dan Konsep Integritas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ardianto, Elvinaro dan Bambang QAnees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi, Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Burton, Graeme. 2008. Media dan Budaya Populer, Yogyakarta: Jalasutera.
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Eriyanto. 2003. Analisis Wacana Suatu Pengantar. Yogyakarta. LkiS. _______.2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta:LKiS . Ibrahim, Idi Subandy. 2010. Kritik Budaya Komunikasi, Yogyakarta: Jalasutera. McQuail, Dennis. 2000. Mass Communication Theory, London: Sage Publication. __________. 1991. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Penerbit Airlangga. ___________. 1987. Mass Communication Theory: An Introduction. Beverly Hill, California : Sage Publication.
66
HUBUNGAN PERTEMANAN PADA KOMUNITAS MISKIN PERKOTAAN (Studi Komunikasi Antar Pribadi Pada Komunitas Miskin Di Babakan Hantap, Kecamatan Kiaracondong, Kota Bandung) ITSNA NURHAYAT EFFENDIE Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur Jl. Raya Ciledug, Petukangan Utara, Kebayoran Lama, Jakarta 12260 e-mail: itsna.aqila@gmail.com
ABSTRACT This research aims at finding out an understanding of social relations, i.e. friendships, which are formed and developed by urban society, especially by those who are in poor social stratum in relation to their survival process. The main research questions are how meaning and definition of friends are defined by the urban poor community, and how friendships are formed and implemented in their daily lives. This research employs Herbert Blumer’s symbolic interaction approach that believes that understanding of a meaning or definition will emerge from communication processes that are performed by each individual towards other individuals. Techniques used in this research to collect the data are in-depth interview, participant observer and documentation analysis. This research has been intensively conducted at Babakan Hantap, Kecamatan Kiaracondong, Kota Bandung. Keywords: Symbolic interaction, Friendships, interpersonal communication
PENDAHULUAN Louis Wirth (1938:37) mendefinisikan kota sebagai “… a relatively large, dense, and permanent settlement of socially heterogenous individuals”, yaitu suatu pemukiman yang relatif besar, padat, dan permanen, yang dihuni oleh individu-individu yang secara sosial adalah heterogen. Dari berbagai sudut pandang disiplin ilmu yang mendefinisikan kota, pendekatan Wirth ini lebih memperhatikan pada hubungan diantara idividu-individu itu sendiri dengan Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
penekanannya pada karakter khas kota sebagai bentuk khusus dari kumpulan manusia dan berusaha untuk menyeleksi unsur-unsur cara hidup perkotaan (urbanisme) dan menandai unsur tersebut sebagai cara hidup kelompok manusia yang berbeda. Pertambahan jumlah penduduk dalam suatu pemukiman yang melebihi batas akan mempengaruhi hubungan yang ada di antara mereka dan berpengaruh juga pada karakter atau sifat kota (Wirth, 67
1938:45). Besarnya jumlah penduduk menyebabkan besarnya tingkat keberagaman secara individu; karena semakin besar jumlah individu yang terlibat dalam proses komunikasi, maka semakin besar pula potensi perbedaan di antara mereka, sehingga akan membatasi kemungkinan tiap anggota masyarakat untuk saling mengenal satu sama lain. Dengan demikian, sifat-sifat individu, pekerjaan, budaya, dan ide-ide anggota masyarakat kota akan lebih luas tingkat perbedaannya dibandingkan dengan mereka yang tinggal di desa. Pada kebanyakan kota, jumlah dan kepadatan penduduknya mampu mendukung banyak ragam kegiatan ekonomi yang pada akhirnya menimbulkan diferensiasi pekerjaan, bermacam-macam tingkat kehidupan, dan juga stratifikasi sosial, yang tentunya akan mempengaruhi pola-pola interaksi sosial, Parsudi Suparlan (1988:14) mengemukakan bahwa ada satu hal yang menjadi ciri dari masyarakat dan kebudayaan kota yaitu penduduknya yang relatif padat dan kompleks. Kompleksitas tersebut tercermin dari berbagai sistem organisasi, struktur sosial, dan berbagai wujud interaksi sosial. Selain itu, kota pun merupakan pusat berbagai macam aktivitas seperti ekonomi, pendidikan, hiburan, dan lain-lain. Fenomena lain yang menonjol pada masyarakat kota adalah dikotomi dalam struktur sosialnya, yaitu adanya lapisan atas dan lapisan bawah dalam stratifikasi sosialnya yang bersifat lebih heterogen daripada masyarakat pedesaan yang homogen. Perilaku sosial sangat ditentukan oleh keanggotaan dalam kelas sosial tertentu. Perbedaan-perbedaan kelas itu tampak dalam cara-cara berperilaku, berbicara, dan berpakaian. Perbedaan itu Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
pula tampak pada pola hubungan sosial yang mereka kembangkan satu sama lain, baik itu hubungan yang terjalin dengan tetangganya, teman-temannya, maupun kerabatnya. Apabila kita berbicara tentang masyarakat lapisan bawah di perkotaan, secara tidak langsung akan berhubungan dengan masyarakat yang tergolong miskin atau dengan kata lain, kemiskinan di perkotaan. Bagi kebanyakan orang miskin, jaringan kerabat luas atau teman dekat yang bertindak sebagai kerabat merupakan sumber bagi uang, barang, dan jasa dalam jumlah besar, serta dukungan sosial. Walaupun teman tersebut biasanya ada juga dalam kondisi yang sama sulitnya, namun dukungan mereka bersama-sama menjadi unsur terpenting dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kebiasaan untuk saling membantu dalam keadaan darurat adalah salah satu bentuk contoh bantuan yang dapat disediakan oleh teman. Selain itu, seringkali sandang, pangan, dan pakaian yang diperlukan untuk kelangsungan hidup masing-masing individu juga bergantung pada ikatanikatan pertemanan yang kuat. Untuk lebih memahami arti hubungan pertemanan dalam kehidupan sosialnya, maka penting kiranya untuk mendalami arti dan makna hubungan pertemanan tersebut. Beberapa pertimbangan yang mendorong peneliti melakukan penelitian adalah, pertama ; hubungan pertemanan lebih meluas dan lebih terbuka. Maksudnya, upaya pengembangan hubungan tersebut relatif lebih leluasa dibandingkan dengan hubungan ketetanggaan yang lebih terbatas secara geografis. Walau sebenarnya, hubungan ketetanggaan tidak dapat diabaikan begitu saja, dalam arti keberadaannya dianggap 68
penting dalam kehidupan sosial seseorang, namun setidaknya hubungan ketetanggaan dapat menjadi bagian dari (termasuk dalam) hubungan pertemanan. Kedua, ikatan hubungan pertemanan yang merupakan hubungan yang cenderung seimbang akan memberikan peluang bagi individu untuk membangun ikatan-ikatan yang longgar atau mengkristal, sehingga memungkinkan individu untuk mengatur dan mengembangkan proses survivalnya di perkotaan. Penelitian ini akan meneliti bagaimana komunikasi yang terjadi di antara mereka membentuk suatu hubungan, dalam hal ini pergaulan yang dijalankan oleh komunitas miskin di perkotaan. Yaitu pada komunitas miskin di Babakan Hantap. Kiaracondong, Bandung. Babakan Hantap termasuk ke dalam wilayah Kota Bandung yang memiliki jumlah penduduk yang sangat padat. Sebagian besar dari penduduk yang bertempat tinggal disana dikategorikan sebagai penduduk “miskin� (berdasarkan data dari BKKBN Kota Bandung), adapun indikator yang dianggap “miskin� tersebut adalah melalui pentahapan keluarga sejahtera yang dibagi menjadi lima tahap, yaitu: Keluarga Pra Sejahtera (sangat miskin), Keluarga Sejahtera 1 (miskin), Keluarga Sejahtera II, Keluarga Sejahtera III, Keluarga Sejahtera III plus. Dari pentahapan kemudian didapatkan jumlah keluarga miskin dari mulai tingkat RT, RW, Kecamatan, Propinsi, sampai dengan tingkat nasional. Adapun Pra Sejahtera (sangat miskin) diartikan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan pangan, sandang, papan, dan kesehatan. Sejahtera tahap I (miskin) diartikan sebagai keluarga Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
yang mampu memenuhi kebutuhan dasarnya tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya yang berupa kebutuhan pendidikan, keluarga berencana, komunikasi dalam keluarga, komunikasi dengan lingkungan tempat tinggal dan transportasi. Penelitian ini juga akan meneliti hubungan sosial yang mereka miliki, hubungan pertemanan khususnya, mencakup arti dan definisi yang diletakkan oleh pelaku komunikasi itu sendiri terhadap hubungan tersebut. Argumentasi yang mendasari kajian ini adalah, bahwa hubungan tidak terbentuk begitu saja, melainkan akan terbentuk dan terstruktur melalui prinsip-prinsip yang merupakan akibat dari definisi-definisi yang mereka berikan terhadap hubungan yang dimilikinya (Allan, 1979:18). Oleh karena itu, perspektif teoritis yang dirasa tepat untuk menjelaskan gejala ini adalah teori interaksionisme simbolik, khususnya dari Herbert Blumer, yang menekankan pada pentingnya pemahaman individu dalam kehidupan sosialnya. Teori ini memandang bahwa suatu pemahaman atau makna/definisi akan muncul dari proses komunikasi antar manusia, dalam pengertian ini suatu makna/definisi akan muncul dalam hubungan pertemanan yang dijalankannya selama ini. Berdasarkan perspektif Blumer dan Allan tersebut, maka penelitian ini secara keseluruhan mencoba mendeskripsikan suatu pemahaman tentang hubunganhubungan sosial yang dibangun oleh masing-masing individu pada komunitas miskin di perkotaan yaitu hubungan dengan individu-individu lain yang mereka anggap teman, apa dan siapakah yang didefinisikan sebagai teman menurut masyarakat kelas bawah tersebut, dan 69
bagaimanakah mereka menjalankan dan membentuk hubungan tersebut, serta model pertemanan seperti apakah yang mereka kembangkan dalam kehidupannya sehari-hari. TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK Teori Interaksionisme Simbolik memandang bahwa kehidupan kelompok manusia atau kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar individu dan antar kelompok dengan menggunakan simbolsimbol yang dipakai, yang pemaknaannya melalui proses belajar. Menurut teori ini individu, interaksi, dan interpretasi merupakan terminologi kunci dalam memahami kehidupan sosial. Tindakan seseorang dalam proses interaksi bukan semata-mata merupakan tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau dari luar dirinya, tapi tindakan itu merupakan hasil dari pada proses interpretasi terhadap stimulus. Jadi merupakan proses belajar, dalam arti memahami simbol-simbol dan saling menyesuaikan makna dari symbolsimbol itu. Meskipun norma-norma, nilainilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasannya terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berfikir yang dimilikinya, manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya. Dalam kajian ini akan lebih difokuskan pada uraian Teori Interaksionisme Simbolik menurut Herbert Blumer, dalam bukunya yang berjudul “Symbolic Inteacsionism Perspective and Method� (1969:88), menunjuk kepada sifat khas dari interaksi antar manusia. Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Kekhasannya adalah manusia saling menterjemahkan dan saling mendefinisikan tindakannya. Bukan hanya sekedar reaksi belaka dari tindakan seseorang terhadap orang lain, tetapi didasarkan atas “makna� (pemaknaan) yang diberikan terhadap tindakan orang lain. Interaksi antar individu diantarai oleh penggunaan simbol-simbol, interpretasi, atau dengan saling berusaha untuk saling memahami maksud dari tindakan masingmasing. Bagi Blumer, interaksionisme simbolik bertumpu pada tiga premis dasar, yaitu : manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu; makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan yang lainnya; dan makna tersebut disempurnakan melalui proses interpretatif (penafsiran) yang digunakan seseorang dalam berhubungan dengan sesuatu yang mereka temui. Pendapatnya ini dianggap sebagai suatu hal dalam mempelajari perilaku manusia, dan perilakunya ini merupakan hasil dari hubungan. Interaksionisme Simbolik memandang suatu makna itu muncul dari proses interaksi antar manusia. Makna dari sesuatu bagi seseorang muncul berdasarkan cara-cara ketika seseorang bertindak terhadap orang lain yang memperhatikan sesuatu itu. Tindakan memberikan definisi tentang sesuatu bagi seseorang. Jadi interaksionisme simbolik ini melihat makna-makna sebagai produk sosial, kreasi yang terbentuk melalui pendefinisian aktifitas seseorang saat melakukan interaksi Menurut perspektif Blumer, tindakan sosial mengemukakan bahwa individu-individu yang melakukan tindakan bersama, masing-masing saling 70
bertindak satu sama lain melalui proses interpretasi; tindakan kelompok merupakan tindakan kolektif/bersama dari individu-individu tersebut. Beberapa konsep memperlakukan masyarakat atau kelompok manusia sebagai “sistem sosial� yang menganggap tindakan kelompok sebagai ekspresi dari suatu sistem dalam mencapai keseimbangan. Masyarakat dilihat sebagai susunan dari tindakan orang-orang, dan kehidupan masyarakat dilihatnya sebagai susunan tindakan mereka. Penafsiran pelaku menempatkan individu untuk menuntut tindakannya; artinya dalam kebersamaan (kolektivitas) berlangsung melalui proses interpretasi, individu dituntut untuk melakukan tindakan bersama-sama dengan pemahamannya masing-masing, untuk keperluan kelompok atau organisasinya. Kehidupan kelompok terdiri dari unit-unit tindakan yang mengembangkan tindakan dari masing-masing individu untuk menghadapi situasi dimana mereka ditempatkan. Blumer melihat bahwa organisasi sosial merupakan kerangka utama (struktur) unit-unit tindakan yang mengarahkan tindakan-tindakan mereka. Ciri-ciri struktural, seperti kebudayaan, sistem sosial, stratifikasi sosial, atau pesanpesan sosial, merupakan situasi yang menentukan tindakan mereka, tapi bukan faktor yang menentukan tindakan mereka. Orang-orang –yang merupakan unit-unit tindakan- tidak bertindak terhadap kebudayaan, struktur sosial atau sejenisnya, tapi mereka bertindak terhadap situasi-situasi. Organisasi sosial merupakan bagian tindakan untuk membentuk situasi-situasi dimana orangorang melakukan tindakan, juga untuk memberikan kumpulan simbol-simbol Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
yang digunakan seseorang dalam menginterpretasi situasi-situasi yang terbentuk. Simbol-simbol atau alat interpretasi digunakan oleh unit-unit tindakan dalam situasi sedemikian rupa yang dapat berbeda-beda dan berubah. Misalnya pada masyarakat sederhana akan berbeda halnya dengan masyarakat petani ataupun pada masyarakat modern, yaitu dalam mengartikan suatu simbol yang memiliki makna tertentu tergantung pemahaman dari masing-masing anggota (individu) masyarakatnya. KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI De Vito (1989:5) menyajikan model komunikasi antar pribadi yang dimulai dengan adanya proses berjalannya komunikasi dari sumber yang merumuskan tujuan, gagasan, atau ide ke dalam bentuk pesan-pesan untuk disampaikan kepada penerima. Penerima lalu mengolah pesan tersebut untuk kemudian memberi efekefek tertentu. Efek atau perubahan yang terjadi pada komunikan setelah pesan diterima dan komunikator sekaligus merupakan umpan balik bai komunikator. Umpan balik yang terjadi pada komunikasi antar pribadi bersifat langsung, karena itu disebut “immediate feedback�, artinya komunikator mengetahui umpan balik pada saat komunikasi berlangsung. Umpan balik juga seperti penyampaian pesan, bisa dalam bentuk verbal yaitu dalam bentuk kata-kata, maupun secara non-verbal dalam bentuk isyarat, gerak gerik atau ekspresi muka. Umpan balik dapat bersifat positif dan negatif. Umpan balik positif merupakan informasi bagi komunikator bahwa komunikasinya dapat dilanjutkan, sedangkan umpan balik negatif merupakan informasi bahwa komunikasinya tidak 71
mungkin atau mengalami kesulitan untuk dilanjutkan. Pada proses komunikasi antar pribadi harus diperhatikan tiga macam konteks, yaitu: konteks fisik, konteks dimensi sosial-psikologis, dan dimensi waktu. Konteks fisik meliputi lingkungan nyata seperti ruangan, sarana tempat komunikasi berlangsung sangat mempengaruhi lancar tidaknya komunikasi. Dimensi sosial-psikologis yaitu sesuatu yang meliputi norma, nilai, kepercayaan masyarakat, tempat berlangsungnya komunikasi, juga mengenai nilai dan para peserta komunikasi. Sedangkan dimensi waktu berhubungan dengan kapan komunikasi berlangsung, artinya tepat tidaknya waktu yang digunakan untuk melakukan komunikasi. Pada situasi informal, waktu komunikasi tergantung pada masingmasing individu sesuai dengan kesepakatannya, sedangkan pada situasi formal, maka ada saat tertentu bila komunikasi dilaksanakan. Mencermati apa yang dikemukakan Devito, maka seorang komunikator yang hendak mempengaruhi dan mengubah sikap, pendapat, dan perilaku komunikan harus mengindahkan aspek lingkungan, sosial-psikologis, ketepatan waktu,kepentingan, watak, sifat, dan kebiasaan komunikan. Komunikasi antar pribadi biasa terjadi karena umpan balik yang langsung diterima oleh komunikator, sehingga segera dapat diketahui tanggapan komunikan baik secara verbal maupun non-verbal, hal tersebut akan berakibat komunikator bisa memperbaiki, meyakinkan, atau mengulangi pesannya. Keunggulan komunikasi antar pribadi hakekatnya adalah ketika terjadi kontak pribadi yang memungkinkan komunikator Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
mengetahui secara menyeluruh kerangka acuan komunikan. Kerangka acuan ini meliputi nilai-nilai keagamaan, pendidikan, kebudayaan, dan sebagainya yang pernah dialami komunikan. Jika bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang pengalaman komunikan, maka komunikasi akan berjalan lancar. Selain paduan pengalaman, suatu komunikasi antar pribadi akan berlangsung efektif apabila mempetimbangkan; keterbukaan, empati,dukungan, sikap positif, dan kesamaan yang dimiliki oleh individu-individu yang terlibat dalam suatu komunikasi. KONSEP PERTEMANAN Konsep pertemanan dapat kita gunakan dalam mengenali seseorang yang sangat dekat dengan kita atau sering disebut teman sejati, namun bisa juga untuk mengenali seseorang yang berinteraksi dengan kita hanya pada situasi sosial tertentu. Karena itu, Allan (1979:45) mengatakan bahwa meskipun konsep pertemanan merujuk pada jenis khusus dari hubungan sosial, namun jumlah hubungan yang dapat dipenuhi oleh konsep tersebut sangat banyak. Pertemanan sifatnya menerima. Sama halnya seperti yang dikemukakan Parsudi Suparlan (1991:38) dan Stack (1974:55) yang menganggap hubungan sosial termasuk pertemanan, perantaraan, dan patron klien ada dalam kehidupan setiap masyarakat. Lebih khusus lagi bentuk hubungan tersebut ada dan penting perantaraannya untuk eksistensi dan survival dalam kehidupan masyarakat miskin. Parsudi Suparlan mengkategorikan pertemanan sebagai suatu hubungan sosial dengan ciri-ciri bersifat spontan dan 72
pribadi yang penuh dengan muatan perasaan dan emosi; adanya interaksi tatap muka diantara pelaku yang bersangkutan; adanya pertukaran benda dan jasa yang relatif tetap diantara pelaku tersebut. Menurutnya, pertemanan merupakan jenis hubungan sosial yang labil, goyah dan bersifat informal. Karenanya tingkat kedekatan atau efektivitas dari hasil-hasil hubungan di antara para pelaku tergantung pada corak dan tingkat muatan emosi, perasaan dan kepentingan, serta corak dan frekuensi dari tatap muka dan intensitas tukar menukar jasa dan benda diantara pelaku yang bersangkutan. Hubungan pertemanan juga operasional dan efektif untuk memperoleh kerja. Melalui pertemanan, seorang teman dapat menghubungkan seseorang dengan orang lain yang mempunyai relasi atau koneksi. Sementara itu Allan (1979:53) menyebutkan bahwa terdapat sejumlah karakteristik dala hubungan pertemanan, yaitu adanya perasaan emosional yang kuat, rasa empati, simpati bersama antara satu sama lain dan adanya saling pengertian. Selanjutnya Allan mengemukakan pula karakteristik lain mengenai pertemanan, yaitu: sebagai hubungan antar individu merupakan hubungan yang bersifat pribadi, melibatkan seseorang seperti apa adanya, dan bersifat sukarela. Wolf membedakan pertemanan menjadi dua jenis, yaitu: pertama, pertemanan secara emosional atau ekspresif, dan kedua adalah pertemanan sebagai instrumen (alat). Beranjak dari sudut pandang pertemanan, jenis pertemanan secara emosional melibatkan hubungan antara ego pertama dan ego kedua yang masing-masing saling
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
memenuhi kebutuha emosionalnya. Inilah aspek psiklogis hubungan yang nyata. Pertemanan sebagai instrumen (alat) tidak dapat digunakan untuk tujuan mendapatkan akses terhadap sumberdaya alam dan sosial, namun usaha untuk akses semacam itu menjadi vital di dalamnya. Kebalikan dari pertemanan secara emosional, hubungan pertemanan tertentu membatasi hubungan hanya dengan mereka yang termasuk didalamnya. Setiap anggota dalam pertemanan jenis ini berperan sebagai jaringan penghubung potensial dengan orang lain diluar kelompoknya. Masing-masing partisipan merupakan sponsor bagi yang lain. Jika pertemanan secara emosional dihubungkan dengan penutupan siklus sosial, maka pertemanan sebagai instrumen melewati batas kumpulan yang ada dan mencoba untuk membentuk kelompok baru. Pertemanan sebagai alat akan tumbuh dengan baik dalam situasi sosial yang relatif terbuka, dan teman dapat berperan sebagai pendukung satu sama lain dalam usahanya untuk memperluas ruang lingkup atau jaringan sosialnya METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis, yangbertujuan untuk menggambarkan secara detail mengenai situasi-situasi sosial atau hubunganhubungan antara satu gejala dengan gejala lainnya dalam suatu masyarakat, dan memfokuskan pada pertanyaan tentang “siapa� yang terlibat dan “bagaimana� suatu gejala terjadi. Deskriptif analitis disini digunakan untuk menggambarkan hubungan pertemanan yang dibentuk dan dijalankan komunitas miskin perkotaan, khususnya di Babakan Hantap, Kota 73
Bandung, beserta makna yang terdapat didalam hubungan-hubungan tersebut berdasarkan interpretasi mereka, dan juga bagaimana wujud dari hubungan-hubungan tersebut terpolakan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan yang bersifat kualitatif atau sering disebut sebagai pendekatan humanistik, yaitu pendekatan yang melihat cara-cara hidup, cara-cara pandang ataupun ungkapan-ungkapan emosi dari warga masyarakat yang diteliti mengenai suatu pemahaman yang ada dalam kehidupan mereka. Dengan menggunakan pendekatan ini, akan terlihat gambaran suatu gejala pada masyarakat secara kompleks, holistik, dan bersifat subjektif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap informan, baik itu informan pangkal maupun informal pokok. Untuk melengkapi data, peneliti juga melakukan observasi mendalam (participant observation) dan penggunaan dokumen (document used) terhadap hal-hal yang terkait dengan masalah penelitian. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada komunitas miskin di Babakan Hantap, aktivitas sosial individu dalam bergaul dengan individu lainnya hanya terbatas di lingkungan sosial yang sudah dikenalnya. Kecenderungan ini disebabkan oleh terbatasnya kondisi ekonomi yang dimilikinya serta adanya perasan rendah diri. Kalaupun berteman atau bergaul dengan orang lain, mereka lebih suka berhubungan dengan orangorang yang berada di sekitarnya, yang biasanya merupakan tetangga sebelah Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
rumah, teman satu RT/RW, teman kegiatan satu RT/RW, teman pengajian, ataupun kerabatnya sendiri yang tinggalnya berdekatan pula. Mereka lebih senang bila bergaul dengan orang-orang yang dianggap sama dengan dirinya, dalam arti berada di dalam lingkungan sosial ekonomi yang sama. Walaupun ada di antara mereka yang dapat bergaul dengan orang-orang yang menurutnya ‘lebih’. Tetapi kelebihan itu jarang sekali mereka kembangkan, meskipun mereka menyadari bahwa hubungan tersebut akan membuka akses dalam mencari pinjaman modal, barang, atau jasa lainnya. Keseganannya untuk mengembangkan hubungan tersebut karena adanya rasa kurang percaya diri (malu) jika harus berteman dengan seseorang yang lebih tinggi kelas sosialnya. Mereka juga tidak yakin apakah temannya yang memiliki kelebihan itu benar-benar mau berteman dengan seseorang yang berada di“bawah�nya. Seperti yang diungkapkan Bapak Karim (42 tahun) yang sehariharinya berprofesi sebagai tukang gorengan di daerah itu. “Bapak mah asa malu kalau bergaul dengan mereka. Dari dulu bapak ngga pernah temenan sama orang kaya, lagian kalo ngobrol juga omongannya kan pasti beda, suka g ngerti obrolannya, mending ngobrol sama orang-orang yang sama seperti bapa, yang sama-sama kurang, tapi bisa tuker pikiran. Lagian dianya juga (orang kaya, red) juga apa mau temenan sama bapak yang kaya begini. Terus kalo harus minjem duit atau minta bantuan ah suka malu kalo minjem sama orang kaya mah,kesannya teh temenan sama dia karena dia orang kaya. 74
Mendingan mah ke sodara atau ke temen yang deket aja kalau punya kabutuh mah, walaupun memang dia juga suka lagi g punya, tapi kalo lagi pas bisa minjemin, sama dia mah kitanya bebas kapan aja mau ngembaliinnya, yang penting kalau dia lagi butuh saya juga seengganya bisa ngebantu dia�. Berdasarkan pernyataan tersebut, hubungan pertemanan yang dijalin antara dua orang dengan status sosial yang berbeda, memperlihatkan adanya ketidakseimbangan dalam berkomunikasi. Mengacu pada teori Blumer, hal ini dikarenakan dalam setiap berinteraksi dengan sesuatu (dalam hal ini dengan orang lain), tahap awal yang terjadi adalah bagaimana diri kita mempersepsikan sama terhadap sesuatu (obyek) dengan individu lainnya. Proses ini diistilahkan oleh Blumer sebagai proses ‘indikasi diri’. Artinya proses ini terjadi pada individu ketika dirinya menghadapi sesuatu (bagaimana ia memaknai dan menginterpretasi obyek-obyek yang dihadapinya). Dengan kata lain, setiap individu akan memiliki makna tersendiri terhadap obyek tertentu. Bilamana maknamakna yang diintrepretasikannya tidak sama dengan individu lain atau terdapat kesalahpahaman, maka di antara mereka akan terjadi komunikasi yang tidak efektif, interaksi terganggu, dan menghambat tindakan bersama (Blumer, 1969:9). Dalam kaitannya dengan konsep tersebut,artinya seseorang memiliki status sosial tertentu, tingkat pemahaman dan pengetahuan yang dimilikinya akan mempengaruhi interpretasi yang berbeda tentang dunia sekitarnya dengan orang lain dalam memahami obyek-obyek tertentu Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
yang terdapat di masyarakat. Apabila obek-obyek tersebut tidak diinterpretasikan sama oleh individu yang bersangkutan, maka akan menjadi kendala berlangsungnya komunikasi yang efektif dan seimbang di antara keduanya. Seperti yang dinyatakan informan di atas, di kalangan orang miskin babakan Hantap cenderung untuk tidak atau jarang bergaul atau berteman dengan mereka yang statusnya lebih tinggi, karena interaksi dengan mereka, tidak akan menumbuhkan komunikasi yang seimbang. Ia merasa seseorang dengan status sosial yang tinggi akan mempunyai pemahaman yang lebih rumit (kompleks) dalam menanggapi segala sesuatunya. Artinya, status sosial yang dimiliki dan persepsi tentang seperangkat peran (role-set) yang dimiliki pihak lain pada akhirnya akan menentukan dalam memutuskan untuk mengembangkan hubungan pertemanannya dengan orang-orang yang berada dalam lingkungan sosial yang sama. Selain dari itu, alasan atau pertimbangan kondisi ekonomi mereka pun turut mempengaruhi keputusan untuk mengembangkan hubungan pertemanan dengan orang-orang yang berada di luar domisili dimana mereka tinggal. Ini artinya orang miskin cenderung lebih membatasi ruang-gerak pergaulannya karena pertimbangan/perhitungan ekonomi. Menurut mereka, daripada harus mengeluarkan biaya hanya untuk berteman/bergaul dengan orang lain di tempat lain, lebih baik biaya tersebut dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang lebih pokok. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, seluruh informan yang berjumlah 30 orang ini mengatakan orangorang yang tinggalnya bersebelahan 75
dengan rumahnya setidaknya dapat dianggap sebagai temannya, hanya saja kualitas kedekatan hubungan diantara mereka tidak akan sama pada masingmasing individu. Seperti yang disebutkan oleh 20 orang dari mereka, mengatakan tetangganya merupakan teman. Akan tetapi hubungan pertemanan yang dijalinnya itu tidak dianggapnya istimewa atau khusus. Sedangkan 10 orang lainnya memiliki hubungan pertemanan yang lebih bervariasi dengan berbagai orang atau dapat dikatakan memiliki bentuk hubungan yang lebih khusus sesuai dengan setting sosial yang membentuknya, sehingga menjadi teman yang sangat berarti di dalam kehidupan mereka, baik itu tetangganya ataupun orang lain yang dianggapnya spesial di lain tempat/aktivitas, seperti teman di tempat kerja, teman di kelompok arisan, teman di kelompok pengajian, dan teman dari/di kampung asalnya. Hal ini dapat diartikan bahwa hubungan pertemanan yang terbentuk di antara mereka dapat disebabkan oleh karena kedekatan rumah tinggal, kesamaan pekerjaan/tujuan/kepentingan,kesamaan asal daerah (perasaan senasib), serta aktivitas sosial yang dilakukannya. Artinya, faktor kunci dalam pembentukan pertemanan ini adalah adanya intensitas hubungan (kontak sosial) yang tetap di antara kedua belah pihak. Allan dalam ‘Sociology of Friendship and Kinship’ (1979:78) menyebutkan bahwa pertemanan pada kelas menengah terlihat membentuk pertemanan dengan orang lain yang bukan kerabat dalam konteks yang lebih luas. Konsep pertemanan merujuk pada jenis hubungan khusus dalam pengelompokkan sosial, tetapi jenis hubungan yang Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
terbentuk dalam konsep ini dapat berbagai macam. Artinya hubungan pertemanan yang dijalankan pada sekelompok orang tertentu akan berlainan dengan sekelompok orang lain. Demikian pula halnya pada orang-orang (komunitas) miskin di Babakan Hantap. Konsep ‘teman’ biasanya hanya diterapkan pada orang-orang/sekelompok orang yang memiliki hubungan personal yang secara kualitatif merupakan hubungan khusus (berbeda dari yang lainnya). Kategori tersebut merupakan hubungan yang nyata yang menjadi faktor terpenting dalam menentukan apakah seseorang dapat dikatakan sebagai teman ataukah tidak. Hubungan ini didasarkan pada hubungan yang secara pribadi/personal dirasa lebih dekat atau lebih bermakna (berkualitas) daripada orang lain yang bukan dianggap sebagai teman. Seperti halnya menempatkan seseorang dalam struktur sosial, konsep teman secara tidak langsung menyatakan sesuatu tentang hubungan antara seseorang dengan orang yang lainnya yang kemudian diberi label tertentu. Penempatan tersebut merupakan kategori hubungan bentukan daripada hubungan kategoris. Untuk lebih jelasnya apabila seseorang menggambarkan kumpulan individu seluruh anggota kerabat/tetangga/kolega, maka tidak ada konsep khusus untuk menjelaskan apa tipe hubungan yang dikembangkan dengan salah satu di antara mereka. Berbeda halnya apabila seseorang dan semua temannya berkumpul bersama, asumsi-asumsi umum dan khusus dapat dibuat terhadap hubungan yang dibangun di antara mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar informan mengartikan hubungan atau ikatan 76
pertemanan sebagai hubungan seseorang yang tinggalnya berdekatan. Intensitas pertemuan diantara mereka yang dilakukan setiap saat pada akhirnya dapat mengenal siapa tetangganya itu. Secara umum, mereka menganggap tetangga sebagai teman. Teman dimaknai oleh mereka sebatas teman biasa, teman yang hubungannya harus tetap dipelihara karena tinggal/hidup berdampingan, akan tetapi dalam pertemanannya tersebut tidak selalu seperti yang dicirikan oleh Allan (1979:89) yaitu adanya perasaan emosional yang kuat atau teman yang dikatakan teman dekat/sejati (sahabat). Menurut mereka, seseorang dapat dianggap sebagai teman oleh karena seringkali menghabiskan waktu (luang) bersama. Pertemanan pada dasarnya menuntut sejumlah tingkat pengetahuan personal, dengan ditandai oleh adanya perasaan hubungan yang erat satu sama lain. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Blumer, bahwa suatu konsep atau pemahaman (makna dari sesuatu) muncul dari proses interaksi seseorang dengan orang lain seperti halnya dalam hubungan pertemanan. Artinya dalam menjalankan hubungan/berinteraksi dengan orang lain, setiap orang pada akhirnya akan mempunyai pemahaman tersendiri mengenai apakah teman itu. Dan para informan sebagian besar mengkonsepsikan bahwa seseorang yang sering bertemu dan berinteraksi dapat dikategorikan sebagai teman. Seringkali bentuk pertemanan yang paling intens meliputi hubungan seperti teman dekat, teman sejati, dan teman akrab yang biasanya dinyatakan sebagai teman. Dalam bukunya, Allan menyatakan bahwa pertemanan yang seutuhnya itu hubungannya dikarakteristikan oleh Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
perasaan cinta/kasih sayang yang kuat, perasaan empati, saling simpati dan penuh pengertian.
Bentuk bentuk Pertemanan Pada Komunitas Miskin Babakan Hantap Penelitian pada komunitas miskin Babakan Hantap, menunjukkan adanya berbagai istilah yang dipergunakan untuk mengidentifikasikan temannya. 1. Teman Biasa, seseorang yang berhubungan atau bergaul hanya sesekali saja, dan tidak adanya unsur kesukaan/kepercayaan yang dilibatkan dalam hubungan yang dijalaninya. 2. Teman Akrab, seseorang yang senantiasa melakukan kegiatan bersama, dan dicirikan dalam hubungan yang dijalani mereka sudah tanpa ada ‘basa-basi’ lagi. 3. Teman Baik, seseorang yang dapat diandalkan menjadi penolong dalam kehidupannya / seseorang yang selama berhubungan dengannya tidak pernah merasa disakiti atau menyinggung perasaannya. 4. Teman Dekat, seseorang yang biasa dijadikan tempat untuk mencurahkan keluh-kesahnya di saat menghadapi berbagai macam persoalan hidup, terutama dalam masalah yang bersifat pribadi. Jenis pertemanan ini biasanya melibatkan perasaan (emosional) untuk saling pengertian dan adanya unsur kepercayaan satu sama lain, dan juga termasuk kecocokan dan kesukaan satu sama lain. 5. Teman Jauh, seseorang yang pernah berhubungan dengannya karena dikenalkan oleh temannya pada suatu 77
waktu, komunikasi terjadi karena adanya suatu keperluan. 6.Teman Lama, mereka yang pernah berhubungan dengan baik satu sama lain (biasanya terjadi karena dahulu pernah terlibat dalam suatu kegiatan yang sama) Dari sekian banyaknya hubungan pertemanan yang dijalankan dan dikembangkan oleh komunitas miskin di Babakan Hantap, ditemukan adanya 2 bentuk pertemanan yang berbeda, yaitu teman dalam arti khusus (teman dekat, teman baik, teman akrab, teman jauh, teman lama) dan teman yang dikategorikan teman biasa. Perbedaan jenis pertemanan ini ditentukan oleh: 1. Tinggi rendahnya derajat kepentingan/kebutuhan seseorang dalam berhubungan dengan temannya tersebut. Artinya, semakin tinggi derajat kepentingan yang dilibatkan dalam hubungan mereka, maka semakin dalam pula kedekatan hubungan pertemanan yang mereka bentuk/jalankan 2. Wujud dari bentuk/jenis pertemanan ini dapat pula ditentukan atas dasar situasi-situasi sosial yang melibatkan/mempertemukan mereka. Artinya, jenis pertemanan tersebut akan terbentuk berdasarkan aktivitas/kegiatan yang dilakukannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertemanan pada komunitas miskin di Babakan Hantap dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: • Kedekatan rumah tinggal (faktor tempat/letak geografis) • Lamanya tinggal (faktor waktu) • Aktivitas sosial Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
• • • •
Hubungan yang intensif Kesamaan pekerjaan/tujuan/kepentingan Jenis pekerjaan yang ditekuni seseorang Kesamaan asal daerah dan perasaan senasib • Umur/jenjang kehidupan • Perbedaan jenis kelamin Lebih lanjut, faktor-faktor tersebut setidaknya akan menentukan model pertemanan yang dikembangkan seseorang dalam menjalankan hubungan pertemanannya, khususnya dalam kaitannya dengan proses survivalnya di kota. Apabila dikaitkan dengan konsep Wolf, yang mengatakan bahwa pertemanan dibedakan atas dua jenis, yaitu pertemanan secara emosional (ekspresif), dan pertemanan sebagai instrumen (alat), maka dalam kaitannya dengan uraian tersebut di atas bahwa pertemanan yang terbentuk atas adanya kualitas kedekatan hubungan, dapat dikatakan sebagai model pertemanan secara emosional; sedangkan pertemanan yang terbentuk karena adanya kepentingan (materi maupun non-materi) dapat dikatakan sebagai model pertemanan instrumen (alat). Dalam sudut pandang Wolf tersebut, jenis pertemanan secara emosioal melibatkan hubungan antara satu ego dengan ego lainnya ketika masing-masing saling memenuhi kebutuhan emosionalnya, ini artinya bahwa hubungan tersebut cenderung melibatkan aspek psikologis. Pertemanan secara emosional dapat ditemukan dalam situasi sosial tertentu, terutama ketika seseorang terikat dalam solidaritas kelompok suatu komunitas, dan juga ketika seperangkat struktur sosial menghambat mobilitas geografis dan sosialnya. Seperti yang terjadi pada komunitas miskin di Babakan Hantap, berbagai pertimbangan ekonomis dan 78
kondisi sosial budaya (rendah diri, persepsi role-set yang dimiliki orang lain, ketidaksesuaian budaya) menyebabkan mereka cenderung membentuk dan mengaktifkan hubungan-hubungan pertemanan di kalangan masyarakat sekitarnya, yang secara umum telah dikenalnya, dan dengan orang-orang yang berstatus sosial sama. Dalam keadaan demikian, persepsi ‘perasaan senasib’ dan satu lingkungan sosial yang sama, dapat menciptakan dan mengembangkan suatu hubungan yang dekat secara emosional, terutama jika didukung oleh adanya kepentingan yang sama. Begitu pula halnya jika suatu hubungan yang sudah terjalin lama dan akrab dan diperlukan seperti keluarganya sendiri, cenderung akan menciptakan/mengembangkan model pertemanan secara emosional. Ini artinya, pertemanan dapat memberikan pelepasan emosional terbaik dan menghilangkan tekanan ‘permainan’ peran. Maksudnya adalah, ketika seseorang berteman secara akrab dengan seseorang lainnya, maka perangkat peran yang dimilikinya sementara (waktu) tidak dimunculkan atau ‘ditutupi’ dahulu, yang terpenting adalah ketika komunikasi berlangsung, mereka (hendaknya) samasama memposisikan dirinya sebagai (seorang) teman seperti yang diharapkannya, atau dengan kata lain, kedudukannya setara. Sehingga dalam kedudukan yang setara satu sama lain akan mudah saling ‘membuka’ atau ‘mendekatkan’ diri, terutama untuk kepentingan/kebutuhan emosinya, yang akan menjadi pertemanan bersifat akrab/dekat. Kelemahan dalam pertemanan emosional cenderung membatasi hubungan hanya dengan orang-orang yang termasuk Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
di dalamnya. Maksudnya, mereka akan sangat hati-hati untuk menentukan/memilih orang-orang yang dianggap ‘dekat’ secara emosional. Tentunya dalam hal ini unsur kepercayaan dilibatkan, sehingga tidak mudah baginya untuk menentukan seseorang hanya memiliki teman (yang dekat secara emosional) sedikit, karena seseorang yang terpilih sebagai teman dekat biasanya dianggap paling spesial/istimewa di antara teman-teman yang lainnya. Kebalikan dari model pertemanan secara emosional, setiap anggota dalam model pertemanan instrumen (alat) ini, berperan sebagai jaringan penghubung potensial dengan orang lain di luar kelompoknya. Masing-masing partisipan merupakan ‘sponsor’ bagi yang lain. Dalam model pertemanan ini, seseorang cenderung mencoba untuk membentuk keomok pertemanan baru. Hal ini dapat terjadi ketika pertemanan dihubungkan karena suatu kepentingan, terutama yang menyangkut usahanya untuk mendapatkan akses ke sumber daya. Pertemanan model instrumen akan tumbuh baik dalam situasi sosial yang relatif terbuka, juga ketika teman dapat berperan sebagai pendukung satu sama lan dalam usaha untuk memperluas ruang lingkup sosialnya. Keadaan ini menunjukkan bahwa pertemanan instrumen diartikan sebagai hubungan timbal balik yang simetris, yaitu hubungan timbal balik yang terbangun di antara orang-orang yang setara, yaitu bilamana salah satu berada dalam posisi yang lemah, maka yang satu akan membangun posisi yang kuat, tapi bukan berarti hubungan bersifat tidak seimbang. Beranjak pada uraian-uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa model pertemanan yang dikembangkan komuntas 79
miskin di Babakan Hantap, cenderung membentuk model seperti yang digambarkan Wolf, yaitu pertemanan model emosional (ekspresif) dan pertemanan model instrumen. Dan, di antara kedua model pertemanan tersebut, secara keseluruhan komunitas miskin di Babakan Hantap lebih menjalankan dan mengembangkan model yang bersifat instrumen dengan lebih kuat, karena terlihat dari banyaknya informan (sebagian besar warga setempat) yang mengembangkan pertemanan dalam arti teman biasa saja. Hal ini terutama terjadi ketika pertemanan hanya dimaknai/diartikan untuk kepentingan belaka, atau dikatakan ‘asas guna’, tidak untuk membina/mencapai suatu hubungan yang dekat secara emosional. Artinya, ketika tidak ada kepentingan yang mengikat hubungan personal mereka, maka pertemanan pun tidak akan terbentuk, atau kalaupun sudah berteman, maka hubungannya akan mudah terputus. Jika dilihat dari kebertahanan atau kelanggengan dua model pertemanan ini, maka model pertemanan emosional akan lebih kuat bertahan dibandingkan model instrumen karena hubungan personal yang didasarkan atas adanya unsur afeksi dan emosional, sifatnya akan lebih langgeng dan sulit untuk dihapus. Sedangkan hubungan yang didasarkan atas adanya kepentingan seperti model instrumen, hubungannya akan lebih mudah dihentikan, terutama ketika tidak ada kepentingan lagi dan tejadi konflik yang memutuskan hubungan mereka.
1. Pembentukkan hubungan pertemanan pada komunitas miskin Babakan Hantap dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti; • Kedekatan rumah tinggal (faktor tempat) • Lamanya tinggal (faktor waktu) • Aktivitas sosial (faktor ruang gerak seseorang) • Intensitas pertemuan • Umur / jenjang kehidupan • Perbedaan jenis kelamin • Kesamaan asal daerah • Kesamaan pekerjaan • Jenis pekerjaan yang ditekuni 2. Kelompok pertemanan yang dibentuk dan dikembangkan oleh orang-orang miskin di Babakan Hantap, terstruktur berdasarkan kesetaraan dan kepentingan yang mengikat mereka. 3. Model pertemanan yang dikembangkan komunitas miskin Babakan Hantap adalah model pertemanan secara emosional dan model pertemanan instrumen (alat). Model pertemanan yang ekspresif (berdasarkan emosional) terbentuk karena adanya faktor kualitas kedekatan dalam hubungan yang mencerminkan terciptanya suatu hubungan yang melibatkan faktor-faktor emosional, sedangkan hubungan yang bersifat sebagai instrumen (alat) terbentuk karena faktor adanya kepentingan dalam pembentukkan pertemanan yang dapat mengarah pada terciptanya atau berkembangnya suatu hubungan untuk tujuan / kepentingankepentingan tertentu.
KESIMPULAN Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian:
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
80
DAFTAR PUSTAKA Allan, A. Graham. 1979. Sociology of Friendship and Konship. London. George Allen & Unwim Ltd. Blumer, Herbert. 1969. Symbolic Interactionisme : Perspective and Method. New Jersey: Prentice hall, Inc. Englewood Cliffs. Craib, Ian. 1992. Teori-Teori Sosial Modern Dari Parsons Sampai Habermas. Terjemahan. Paul S. Baut & T Effendi. Jakarta: CV Rajawali. Cuff, E.C. dan Payhe, G.C.F. (editors). Perspective in Sociology. London.: George Allen & Unwin Ltd. Creswell, john W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design Choosing Among Five Traditions. London: Sage Publication. DeVito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antarmanusia. Terjemahan Agus Maulana. Jakarta: Professional Books. Fischer, Claude.S. 1980. Theories of Urbanism, dalam George Gmelch dan Walter P. Zenner (ed) “Urban Life: Reading in Urban Anthropology. New York: St Martin’s Press. Fisher, B. Aubrey. 1986. Teori-Teori Komunikasi Perspektif Mekanistis, Psikologis, interaksional, dan Pragmatis. Terjemahan Soejono trimo. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Johnson Doyles, Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern I. Jakarta: Gramedia ________ . 1986. Teori Sosiologi Klasik dan modern II. Jakarta: Gramedia
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Koentjaraningrat (red). 1989. MetodeMetode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia. _______ . 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Martindale, Don. 1960. The Nature and Types of Sociological Theory. Boston: Houghton Mifflin Company. Mead, George Herbert. 1934. Mind, Self, and Society, dalam “Modern Sociology (second edition)”, editor: Peter Worsley, J. Clyde Mitcell, Peter Martin, D.H.J. Morgan, Valdo pons, W.W.Sharrock, Robin Ward. 1978. Penguin Boks (hlm 45-51). Menno, S dan Alwi Mustamin. 1994. Antropologi Perkotaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Mitchell, J Clyde. 1996. Theoretical Orientation in AfricanUrban Studies. Dalam Michael Banten (ed) “The Social Anthropology of complex Societies” ASA Monograph No. 4. London: Tavistock Publication (hlm 37-68) Mulyana, Deddy & Jalaluddin Rakhmat. 2001. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi Dengan Orang Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Stack, Carol B. 1974. All Our Kins: Strategies for survival in a Black Community. New York, Hargerstown, San Francisco, London: Harper and Row. Sullivan, J. 1980. Back alley Neighbourhood, Kampung as Urban Community in Yogyakarta. 81
Kertas kerja No.18. Melbourne: Centre of South East Asian Studies. Monash University. Suparlan, Parsudi. 1984. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor _______ . 1900. Kebudayaan Kemiskinan dan Kehidupan dalam Masyarakat Luas: Pola Pengorganisasian Kehidupan Golongan Miskin di Perkotaan dalam “Kumpulan Naskah Tinjauan Aspek Sosekbud Masyarakat di Daerah Kumuh”. Jakarta: BKKBN (1993)
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Wirth Louis. 1938. Urbanism as A Way of Life, dalam “American Journal of Sociology”, XLIV: 1-24. Chicago: University of Cicago Press. Wolf, Erick. Kinship, Friendship and Patron Client in Complex Societies dalam Michael Banton (ed), “The Social Anthropology of Complex Societies” ASA Monograph No.4. London: Tavistock Pulication. Zamroni. 1992. Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
82
MAKNA IDEOLOGI DAN BENTUK PROPAGANDA MEDIA ( Studi Semiotika Barthes media Eramuslim dan National Israel Terhadap Kasus Mavi Marmara ) Oleh: Mariko Rizkiansyah Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur Email: mariko.rizkiansyah@gmail.com
ABSTRACT After many years, relationship between Turk and Israel are close. But the relation changed to bad after Turk decided to given human aid ship to Palestine. The human aid ship under arrested by Israel before docked. The raid Israel made several crew human aid died. The moment of the raid Israel known as Mavi Marmara cases. The war of propaganda between Turk against Israel have been made. One of their purpose is to created good opinion public for their activity. Eramuslim is one of all media Indonesia which is vocal to against the raid for mavi marmara. While National Israel is one of the media Israel which is consist to made news about mavi marmara. Beside the News, there some ideology hiding both of news from Eramuslim and National Israel. The Ideology become identity for news Eramuslim and National Israel,
PENDAHULUAN Simbiosis antara dunia citra dan dunia politik merupakan dua hal yang sering berjalan beriringan dalam sejarah politik. Dalam ruang politik terdapat ideologi yang menjadi fondasi setiap tindakan politik dan tidak akan bisa menemukan aktualisasinya tanpa keberadaan dunia citra sebagai kendaraan representasinya. Demikian juga ideologi dan system politik berkaitan erat dengan komunikasi politik, misalnya hubungan media massa dengan negara, hubungan media massa dengan partai politik, kebebasan menyatakan pendapat dan budaya komunikasi politik suatu bangsa. Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Dalam abad informasi dewasa ini, tanda, citra (image) dan media komunikasi tidak dapat dilihat sebagai mekanisme pasif dalam penyampaian gagasan ideologis, melainkan mekanisme aktif yang didalamnya secara aktif diproduksi ide, gagasan dan konsep-konsep ideologi tertentu untuk kepentingan kekuasan tertentu. Abad informasi-melalui kemajuan teknologi pencitraan yang ditawarkannya – adalah juga sebuah abad yang membuka lebuar peluang bagi manipulasi dan simulasi teknologis citra yang memproduksi aneka bentuk kesadaran palsu ( false consciousness). Aneka realitas 83
palsu atau distortif direproduksi untuk kepentingan reproduksi kekuasaan itu sendiri. Propaganda sebagai bagian dari komunikasi merupakan sebuah mekanisme dalam pelukisan dan pendefinisian realitas agar sesuai dengan ideologi tertentu. Propaganda politik adalah cara bagaimana pikiran masyarakat dipengaruhi melalui mekanisme representasi ideologis dan manipulasi kesadaran. Mekanisme manipulasi kesadaran inilah yang membuat propaganda selalu mempunyai persoalan ideologis, yaitu persoalan objektivitas dan kebenaran pengetahuan tentang realitas yang ditampilkan (truth) (Arifin, 2003: 72) Propaganda sudah ada semenjak awal dokumentasi manusia dibuat. Inskripsi Behistun (515 SM ) yang menggambarkan kenaikan Darius I ke tahta Persia merupakan Propaganda yang pertama kali dibuat. Arthashastra yang ditulis oleh Chanakya ( 350 – 283 SM ) professor Universitas Takshashila, membahas cara propaganda secara mendetail, termasuk bagaimana cara penggunaanya dan penyebarannya di masa perang (Boesche, 2003 : 9 ). Al-quran sendiri juga memperingatkan tentang Propaganda secara tersirat dalam surahnya Al-hujurat ayat 16: �Wahai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbatan kamu itu ( QS. Al – Hujurat ( 49 ) : 6)( Syaamil Al-quran terjemahan perkata,2010 : 846 ) Bapak Komunikasi Harold Laswell membuat buku yang meneliti teknik propaganda dalam perang dunia II berjudul
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Propaganda Techinuque in the World War. Laswell mendefinisikan propaganda dengan formulasi, propaganda semata merujuk pada kontrol opini, dengan simbol-simbol penting atau berbicara secara lebih konkrit dan kurang akurat melalui cerita, rumor berita, gambar, atau bentuk-bentuk komunikasi lainnya�( Arifin , 2010 : 73). Dari definisi Laswell maka kita dapat mengetahui bahwa tujuan dari propaganda adalah untuk mendapatkan kontrol terhadap opini publik. Anwar Arifin menjelaskan bahwa opini publik sangat berkaitan dengan ideologi, sistem politik dan kebebasan informasi suatu negara (Arifin , 2007 : 87 ). Dengan demikian ideologi suatu negara berkaitan pula dengan ideologi pada pers di negara tersebut. Pemanfaatan media massa sebagai alat propaganda dapat dilihat pada sejarah hubungan Turki dan Israel. Hal ini berkaitan dengan sikap yang diambil oleh pemerintah Israel terhadap Palestina. Semenjak Pemerintahan didominasi oleh Partai AKP yang dipimpin oleh Perdana Menteri Erdogan, sikap pemerintah Turki mulai menjaga jarak dengan Israel. Dengan alasan melindungi rakyatnya dari serangan Palestina, Israel memutuskan memblokade bahan makanan dan barang- barang ke kota Gaza. Keputusan Israel memblokade kota Gaza mengundang keprihatinan berbagai negara. Dipelopori Turki, sekitar 9 ton bahan makanan dan barang material lainnya dikirim melalui kapal Mavi Marmara. Namun pada tanggal 31 mei 2010, tentara Israel menahan dengan kekerasan hingga menimbulkan bentrokan dan berakibat tewasnya aktivis perdamaian didalam kapal Mavi Marmara. Perang mencari dukungan dan memperbaiki citra berkobar melalui media massa dengan 84
Eramuslim dan National Israel sebagai Pelopornya. Lalu bagaimanakah bentuk Ideologi dan Makna Propaganda di media Eramuslim dan National Israel dalam kasus Mavi Marmara? KERANGKA TEORI Ideologi media dan politik Setiap pemberitaan media massa tidak terlepas dari ideologi media massa yang bersangkutan. Menurut James Lull , ideologi diartikan sebagai pikiran yang terorganisasi yang saling melengkapi serta membentuk prespektif ide yang diungkap melalui komunikasi dengan media teknologi ( Lull, 1998 : 1 ). Menurut Althusser, ideologi merupakan hubungan imajiner antara individu dengan kondisi eksistensinya yang nyata (Storey 2003 : 161 ). Dunia yang dibangun oleh ideologi tidak sesuai dengan kenyataan, lebih merupakan ilusi. Hal tersebut disebabkan oleh apa yang direpresentasikan ideologi bukan kondisi eksistensi manusia melainkan hubungan manusia dengan kondisi itu. Dalam pemahaman tersebut, ideologi dimaksud sebagai sebuah sistem ilusioner. Pemahaman ketiga mengenai ideologi mencakup dua pemahaman sebelumnya. Ideologi dipahami sebagai proses umum dari proses produksi makna dan ide melalui bahasa. Bahasa yang dimaksud tidak hanya terbatas bahasa verbal namun bahasa visual termasuk pula simbol – simbol media massa. Ideologi dalam bahasa juga mendapat perhatian serius dari filsuf Rusia, Valentin N. Voloshinov. Voloshinov menyatakan, “tanpa tanda (signs) tidak ada ideologi�. Dalam pandangannya, ideologi dan tandatanda bahasa berada dalam ranah yang sama ( Takwin, 2009 : 101).
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Terdapat berbagai ideologi dalam sejarah politik dan negara di dunia ini. Diantaranya adalah: 1. Anti Semit. Merupakan suatu paham yang menunjukkan sikap permusuhan atau prasangka terhadap kaum Yahudi dalam bentuk-bentuk penganiayaan/penyiksaan terhadap agama, etnik, maupun kelompok ras, mulai dari kebencian terhadap individu hingga lembaga 2. Zionisme. Salah satu paham dari kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk berkumpul di bukit Zion, Palestina. Setelah terbentuk negara Israel, paham tersebut mengembangkan diri menjadi pembela negara Israel dan mengembangkannya untuk membentuk statanan satu dunia. 3. Ideologi Islam. Paham ini berlandaskan akidah agam Islam. Adapun ciri – cirinya yaitu mempunyai sumber landasan sekaligus pembuat hukum dari firman Allah SWT kepada Rasulullah SAW. Dalam pengembangannya, ideologi Islam mempunyai beberapa turunan, diantaranya adalah: a. Ideologi Ikhwanul Muslimin. Sebuah paham yang disebarkan oleh organisasi Ikhwanul muslimin yang berusaha untuk menyatukan umat islam dan mendirikan pemerintahan Islam melalui jalur damai (tidak menafikkan Demokrasi ) b. Ideologi Pan Islamisme. Merupakan suatu paham yang bertujuan mempersatukan umat Islam sedunia. Ideologi ini muncul berkaitan erat dengan kondisi abad ke-19 yang merupakan kemunduran dunia Islam. 85
Sementara itu, dunia Barat berada dalam kemajuan dan melakukan penjajahan terhadap negara-negara Islam, termasuk Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Pan-Islamisme merupakan suatu gerakan yang radikal dan progresif. Hal ini sangat disadari oleh kaum atau negara-negara imperialisme Barat termasuk Belanda yang menjajah Indonesia. Semangat yang terkandung dalam gerakan PanIslamisme telah membangkitkan rasa kebangsaan yang kuat dengan didasari ikatan keagamaan. Ideologi ini telah mendorong munculnya organisasi-organisasi yang berdasarkan keagamaan di wilayah Indonesia seperti Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah, dan lain-lain. Propaganda Politik dan Media .Laswell mendefinisikan propaganda sebagai berikut ‘propaganda in broadest sense is the technique of influencing human action by the manipulation of representations ( propaganda dalam arti yang luas adalah teknik untuk mempengaruhi kegiatan manusia dengan memanipulasi representasinya (representasi dalam hal ini berarti kegiatan atau berbicara untuk suatu kelompok))’( Mc Qual & Windahl, 1996:107 ). Untuk memanipulasi representasi khalayak luas dibutuhkan suatu medium yang dapat mencakup semuanya. Dalam hal propaganda, media massa dapat dikatakan sebagai media yang tepat. Media massa dapat menjangkau khalayak banyak dalam waktu yang cepat dengan pengiriman pesan yang dapat
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
dikendalikan. Propaganda kontemporer menggunakan semua saluran komunikasi – interpersonal, organisasional, dan massal– seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, film, poster, dan sebagainya. Masalahnya bukan terletak pada penentuan media mana yang akan digunakan, melainkan pada penentuan media mana yang sesuai untuk tujuan dan sasaran yang diingini. Dalam hal ini, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan ( Nurudin, 2008: 87): 1. Memilih media sesuai dengan yang digunakan orang. Setiap orang memiliki karakteristik tersendiri dalam hal mengakses informasi. Ada yang melalui televisi, ada juga yang melalui radio, ada yang sekadar membaca koran atau majalah, bahkan ada yang merasa cukup dengan Internet. Propagandis harus mengetahui kebiasaan calon sasarannya dalam mengakses informasi. Ini dilakukan agar propagandis bisa menentukan media yang tepat untuk penyebaran pesannya. 2. Memilih media yang dipercaya orang. Kurang lebih setengah dari orang Amerika menganggap televisi sebagai media yang dapat dipercaya, seperempatnya memilih surat kabar, dan sisanya terbagi hampir sama antara radio dan majalah. Jika mereka hanya boleh memiliki satu dari keempat media itu –televisi, koran, radio, dan majalah– sebagai sumber informasi yang dapat dipercaya, hampir enam puluh persen akan memilih televisi. 3. Kesesuaian media yang akan digunakan. Suatu media tertentu lebih cocok bagi tipe propaganda tertentu. Misalnya, bioskop dan hubungan interpersonal paling cocok untuk melakukan propaganda sosiologi, sementara surat kabar, radio, dan televisi, akan sangat efektif bagi propaganda politik.
86
William E. Daugherty dan Morris Janowitz dalam A Psychological Warfare Casebook mengelasifikasi pola propaganda berdasarkan sumbernya sebagai berikut (Effendi 1994 -193 ). 1. White propaganda, yaitu propaganda yang sumbernya dapat diidentifikasi secara jelas dan terbuka. White propaganda juga disebut overt propaganda alias propaganda terbuka. Dalam ajang pemilu, propaganda jenis ini mudah dijumpai. Juga dalam bidang periklanan yang sering disebut propaganda komersil (commercial propaganda). 2. Black propaganda, disebut juga covert propaganda atau propaganda terselubung, yaitu propaganda yang seolah-olah menunjukkan sumbernya, padahal bukan sumber yang sebenarnya. Dengan kata lain, ini jenis propaganda lempar batu sembunyi tangan. Karena sifatnya yang terselubung, sumber aslinya tidak diketahui, sehingga jika kegiatan propaganda itu melanggar etika atau norma tertentu, sulit untuk mengetahui kepada siapa pelanggaran itu seharusnya dialamatkan. Propaganda jenis ini biasanya digunakan untuk melancarkan tuduhan, teror, dan stigma terhadap pihak yang dimusuhinya. Jenis ini galibnya digunakan dalam perang opini. Selanjutnya, Jacques Ellul membagi propaganda dengan Berbagai pola. Ellul mendefinisikan propaganda Name calling, propaganda Transfer, propaganda Pervasif, Propaganda Defamtory dan lain-lainnya sebagai berikut ( Rachmadi, 1993 : 139) :
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
1. Propaganda Name calling memberikan label buruk pada suatu gagasan. Biasanya dipakai bila menolak atau mengutuk ide tanpa mengamati bukti. 2. Propaganda Testimonial berusaha menghadirkan kesaksian – kesaksian pada seseorang untuk memberikan komentar kepada suatu realitias atau gagasan tersebut bagus atau buruk. 3. Propaganda Revealad adalah propaganda yang secara terang – terangan atau terbuka dilakukan untuk menyingkapkan sesuatu. Propaganda Revealed berkebalikan dengan propaganda Concealed yang mengutamakan bekerja dengan sembunyi – sembunyi. Semiotika dan Studi Media Massa Dalam garis besarnya, Semiotika adalah sebuah cabang keilmuan yang memperlihatkan pengaruh semakin penting sejak empat dekade yang lalu, tidak saja sebagai metode kajian (decoding ), akan tetapi juga sebagai metode penciptaan (encoding ). Semiotika telah berkembang menjadi sebuah model atau paradigma bagi bidang keilmuan yang sangat luas, yang menciptakan cabang-cabang semiotika khusus, di antaranya adalah semiotika binatang, semiotika kedokteran, semiotika arsitektur, semiotika seni, semiotika fashion, semiotika film, semiotika sastra, semiotika televisi dan lain-lain. Dalam bukunya course in general linguistics, Ferdinand de Saussure memberikan definisi tentang semiotika. Menurutnya semiotika diartika sebagai “ ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan social� ( Pilliang 2004 : 47). Implisit dalam definisi Saussure adalah prinsip, bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main ( rule ) atau kode sosial ( social code 87
) yang hanya berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif. Meneliti dengan menggunakan teori semiotika maka penelitian tak lepas dari tanda – tanda yang terdapat dalam bahasa teks berita. Bahasa dalam pemakaiannya bersifat bidimensional. Disebut dengan demikian, karena keberadaan makna selain ditentukan oleh kehadiran dan hubungan antar -lambang kebahasaan itu sendiri, juga ditentukan oleh pemeran serta konteks sosial dan situasional yang melatarinya. Dihubungkan dengan fungsi yang dimiliki, bahasa memiliki fungsi eksternal juga fungsi internal. Oleh sebab itu selain dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dan menciptakan komunikasi, juga untuk mengolah informasi dan dialog antar -diri sendiri. Kajian bahasa sebagai suatu kode dalam pemakaian berfokus pada (1) karakteristik hubungan antara bentuk, lambang atau kata satu dengan yang lainnya, (2) hubungan antar –bentuk kebahasaan dengan dunia luar yang di acunya, (3) hubungan antara kode dengan pemakainya. Studi tentang sistem tanda sehubungan dengan ketiga butir tersebut baik berupa tanda kebahasaan maupun bentuk tanda lain yang digunakan manusia dalam komunikasi masuk dalam ruang lingkup semiotik (Aminuddin, 1988:37). Sejalan dengan adanya tiga pusat kajian kebahasaan dalam pemakaian, maka bahasa dalam sistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem. Tiga komponen tersebut adalah: (1) sintaktik, yakni komponen yang berkaitan dengan lambang atau sign serta bentuk hubungan-nya,
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
(2) semantik, yakni unsur yang ber -kaitan dengan masalah hubungan antara lambang dengan dunia luar yang diacunya, (3) pragmatik, yakni unsur ataupun bidang kajian yang berkaitan dengan hubungan antara pemakai dengan lambang dalam pemakaian. METODE PENELITIAN Semiotika Roland Barthes Kancah penelitian semiotika tak bisa terlepas begitu saja dari ahli semiotika yang bernama Roland Barthes. Tradisi semiotika pada awalanya cenderung berhenti pada sebatas pada makna- makna denotatife atau semiotika denotasi. Sementara bagi Barthes, terdapat makna lain yang justru lebih mendalam yakni pada level makna konotasi (Rusmana, 2005 : 96 ). Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifinaksi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaanya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya. Konotasi bekerja dalam tingkap subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotative. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan 88
mengatasi terjadinya salah baca ( misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda. Dibukanya medan pemaknaan konotatif dalam kajian semiotika memungkinkan pembacanya memaknai bahasa metaforik yang maknanya hanya dapat dipahami pada tataran konotatif. Dalam mitos, hubungan antara penanda dan petanda terjadi secara termotivasi. Berbeda dengan level denotasi yang tidak menampilkan makna (petanda) yang termotivasi, level konotasi menyediakan ruang bagi berlangsungnya motivasi makna ideologis. Sering dikatakan bahwa ideologi bersembunyi di balik mitos. Ungkapan ini ada benarnya, suatu mitos menyajikan serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran representator. Ketidaksadaran adalah sebentuk kerja ideologis yang memeainkan peran dalam tiap representasi. Mungkin ini bernada paradox, karena suatu tekstualisasi tentu dilakukan secara sadar, yang dibarengi dengan ketidaksadaran tentang adanya sebuah dunia lain yang sifatnya lebih imaginer. Sebagaimana halnya mitos, ideologi pun tidak selalu berwajah tunggal. Ada banyak mitos, ada banyak ideologi; kehadirannya tidak selalu kontinyu dalam teks. Mekanisme kerja mitos dalam suatu ideologi adalah apa yang disebut naturalisasi sejarah. Suatu mitos akan menampilkan gambaran dunia yang seolah terberi bergitu saja alias alamiah. Nilai ideologis dari mitos muncul ketika mitos tersebut menyediakan fungsinya untuk mengungkap dan membenarkan nilai-nilai dominan yang ada dalam masyarakat. Barthes mengemukakan lima jenis kode yang lazim beroperasi dalam sebuah teks (Barthes, 1974-18). Namun untuk makalah
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
ini, penulis menggunakan Kode semantic (semantic code) atau kode konotatif (connotative code), yaitu kode konotasi yang memberikan isyarat, petunjuk, “kilasan makna” atau kemungkinan makna yang ditawarkan oleh sebuah penanda. Misalnya, tambahan huruf “ta” dalam verba Arab ‘fa’alat’ menunjukkan verba feminin (muannats), demikian pula tambahan huruf –wati dalam wisudawati menunjukkan “feminimitas”. Pembahasan N Media o Massa 1
Eramusli m
2.
Eramusli m
3.
National Israel
4.
National Israel
Judul Berita
Tanggal penerbita n Aleg Jerman 18/06/201 : Hentikan 0 Kerja Sama dengan Negara Yahudi Israel larang 07/06/201 kunjungan 0 ke Turki Pro Israel 02/06/201 Demonstrato 0 rs in NY Fire Back at Opposing Group Video: 31/05/201 Flotilla 0 Muslim Club Navy Commando
Matrix 1. data penelitian dari media Eramuslim dan National Israel.
Dari hasil temuan lapangan, penulis menemukan dua berita yang mengindikasikan adanya propaganda dari media massa. Adapun berita tersebut yaitu
89
Aleg Jerman: Hentikan Kerja Sama Dengan Negara Yahudi Bajingan dan Israel larang kunjungan ke Turki. Kedua berita berasal dari media Eramuslim. Sementara dari National Israel, penulis mengambil dua berita yang berjudul Video: Flotilla Muslim Club Navy Commando dan Pro Israel Demonstrators in NY Fire Back at Opposing Group. Pada berita Eramuslim yang berjudul ” Aleg Jerman: Hentikan Kerja Sama Dengan Negara Yahudi Bajingan”, terdapat pencantuman kata Yahudi dalam berita tersebut. Dalam kata Yahudi mempunyai makna denotasi pada suatu agama samawi yang dibawa oleh Nabi Musa As. Kata Yahudi diambil dari nama salah satu putera keturunan Nabi Yakub yaitu Yehuda. Seluruh putera Yakub tersebut berkembang dan diberi nama Bani Israil. Setelah berabad-abad, keseluruhan penganut ajaran agam Yahudi dinamakan Yahudi pula. Termasuk negara Israel yang merupakan mayoritas penduduk dengan beragamakan Yahudi. Mitos yang berkembang di masyarakat bahwa Yahudi merupakan kaum yang harus dikasihani karena peristiwa pembantaian holocoust pada jaman Nazi dahulu. Namun dalam pemberitaan Eramuslim terdapat pergeseran pada makna Konotasi bahwa Yahudi merupakan suatu komunitas agama yang bertujuan untuk membawa kerusakan di dunia dan apa yang dilakukan oleh komunitas tersebut tidak membawa kebaikan. Pergeseran makna tersebut dapat dilihat dari kalimat Yahudi bajingan tersebut. Dari kalimat tersebut, maka bisa dimaknai bahwa Eramuslim bermaksud membuat citra buruk terhadap Israel. Eramuslim bermaksud membentuk opini pembacanya bahwa tindakan Israel merupakan tindakan terkutuk. Dengan
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
demikian Eramuslim telah membangun suatu ideologi dalam pemberitaanya yaitu ideologi antisemit. Ideologi rasis ini diperkenalkan oleh Wilhelm Marr tahun 1879. Propaganda anti-semit dieksploitasi oleh cendekiawan Yahudi sebagai sebuah sebutan terhadap anti Yahudi. Upaya tersebut berbuah sukses dalam menyesatkan opini dunia, meski sebenarnya gerakan tersebut lebih tepat sebagai ’anti-Jews’ atau ’anti-Judaisme (Beller, 2007: 28 ). Definisi dari anti semit sendiri merupakan suatu paham sikap permusuhan terhadap suatu ras atau kaum dalam hal ini adalah yahudi. Bila dilihat dari bentuk propaganda pada berita yang berjudul ” Aleg Jerman: Hentikan Kerja Sama Dengan Negara Yahudi Bajingan, Maka Eramuslim menggunakan propaganda Name Calling. Propaganda ini memberikan label buruk kepada objeknya sehingga publik akan menolak objek tersebut tanpa memeriksanya terlebih dahulu. Hal tersebut muncul pada Penulisan kalimat Yahudi Bajingan. Kalimat tersebut merupakan ungkapan penghinaan yang buruk terhadap Yahudi. Dalam beritanya yang lain berjudul ”Israel larang kunjungan ke Turki”, Eramuslim mengutip pernyataan dari Perdana Menteri Turki, Reccep Tayyeb Erdogan yang mengatakan kota Gaza merupakan kota yang bersejarah dan Turki menolak siapapun yang memaksa warga Gaza hidup dalam penjara terbuka. Pada tanda warga Gaza hidup dalam penjara terbuka, terdapat makna denotasi bahwa penjara merupakan tempat tertutup bagi para pelanggar hukum untuk ke kehidupan luar. Namun Eramuslim bertujuan membentuk kalimat tersebut untuk mengangkat bagaimana kehidupan 90
warga Gaza. Membentuk citra penderitaan pada masyarakat Gaza yang tertutup akibat adanya blokade dari Israel. maka dengan demikian makna konotasi penjara terbuka menandakan bahwa Eramuslim berkeinginan agar blokade Israel terhadap Gaza dapat diketahui oleh masyarakat dunia sehingga menciptakan upaya untuk menolak blokade tersebut dan mendukung adanya bantuan kemanusiaan. Mitos penjara pada umumnya mempunyai makna bahwa penjara merupakan tempat tertutup dan dipenuhi oleh orang-orang yang kerap melanggar hukum. Namun Eramuslim menciptakan mitos dengan makna lain dalam kalimat penjara terbuka bagi warga Gaza. Eramuslim berusaha memaknai bahwa upaya dari Israel yang memberlakukan blokade terhadap barangbarang kebutuhan untuk masuk ke kota Gaza dianggap sebagai sebuah penjara. Dalam penjara Gaza, bukan orang-orang yang melanggar hukum namun orang-orang yang ingin berjuang untuk meraih kebebasan atas kependudukan tanahnya dari negara lain. Dengan demikian telah terjadi pergeseran makna dari penjara yang mengandung makna pada umumnya sebagai tempat pendidikan orang-orang yang melanggar hukum menjadi kota yang diblokir tanpa adanya bahan makan yang masuk bagi penduduk kota yang diblokir tersebut. Pemuatan pernyataan penjara terbuka dari Perdana Menteri Turki, Reccep Tayyip Erdogan mempunyai makna bahwa Eramuslim memberi ruang bagi ideologi Pan Islam untuk bermain dalam beritanya. Paham Pan Islam sendiri mempunyai pengertian suatu paham untuk menyatukan seluruh umat Islam di bawah satu kekhalifahan Islam. Paham Pan Islam kerap bersinggungan dengan paham Pan
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Arabisme yang merupakan paham untuk menyatukan semenanjung Arab dalam satu kekuasan. Bagi Pan Islamisme, kemerdekaan umat Islam merupakan suatu hal yang mutlak dimiliki setiap orang tanpa terdapat adanya perbedaan etnis didalamnya. Masa kejayaan Pan Islamisme di Turki terdapat pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid dengan penerapan syariat Islam pada sendi – sendi pemerintahannya baik hukum, ekonomi dan lain-lain. Hingga kini ideologi Pan Islamisme masih berpengaruh pada pemerintahan Turki disamping ideologi sekularisme ( Cagaptay, 2006 : 3). Dalam berita tersebut, Eramuslim memakai propaganda testimonial. Propaganda testimonial ini diartikan sebagai propaganda yang memberi kesempatan untuk orang lain yang menyukai atau membenci gagasan tersebut untuk mengomentarinya. Eramuslim mengutip pernyataan dari aktivis kemanusiaan yang bersaksi bahwa tentara Israel yang terkenal karena kehebatannya dan mampu termasuk dalam golongan lima besar militer terkuat di dunia ternyata tidak lebih hanya propaganda saja. Kesaksian aktivis kemanusiaan tersebut menggambarkan ketakutan tentara tersebut saat ditawan oleh para aktivis kemanusian sesaat setelah bentrokan terjadi. Pada berita National Israel yang berjudul �Video: Flotilla Muslim Club Navy Commando�, National Israel memberitakan tentang latar belakang aksi penyerangan yang dilakukan oleh tentara angkatan laut Israel. menurut National Israel, umat muslim melakukan penusukan terlebih dahulu terhadap tentara Israel sehingga menimbulkan pertikaian antara aktivis kedamaian kapal Mavi Marmara dan tentara Navy Israel. 91
Makna denotasi Muslim dalam pandangan timur mempunyai makna bahwa seseorang yang berserah diri kepada Allah SWT. Muslim bisa dimaknai pula dengan orang yang menganut agama Islam. Islam sendiri mempunyai asal kata Salm yang berarti damai. Kata Salm tersebut merupakan makna dan ciri khas umat Muslim secara keseluruhan( Quran Al Anfaal 61: 271 ). Sehingga bisa diindikasikan bahwa Islam merupakan agama perdamaian sesuai dari kitab suci umat Islam tersebut. Namun National Israel berupaya untuk menciptakan Konotasi bahwa sesungguhnya Muslim menyukai aksi kekerasan. Hal tersebut didasarkan pada kalimat judul berita Video: Flotilla Muslim Club Navy Commando. Muslim diberitakan sebagai aktor kekerasan yang memulai penyerangan terhadap angkatan laut Israel dan mengawali bentorkan dapat secara jelas dicantumkan dalam berita tersebut. Dengan demikian terdapat pergeseran makna dari kalimat Muslim yang biasanya bermakna sebagai umat yang membawa kedamaian namun oleh National Israel menjadi suatu umat yang berjiwa kekerasan dan erat kaitannya dengan ideologi teroris. Dengan menempatkan pada judul berita, makna National Israel ingin memberikan pesan bahwa umat Muslim merupakan aktor utama yang terlebih dahulu memulai tindakan Israel untuk membunuh aktivis kemanusiaan di kapal Mavi Marmara. Padahal di dalam kapal Mavi Marmara sendiri juga terdapat kaum Kristiani dan Yahudi yang bersimpati pada bantuan kemanusiaan tersebut. Tanda tersebut juga memberikan makna dalam berita tersebut yakni bagaimana upaya dari National Israel untuk menjatuhkan citra
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
umat Islam dengan menganggap sebagai aktor utama penyerangan dan menyukai kekerasan daripada kedamaian. Dalam berita yang berjudul ” Pro Israel Demonstrators in NY Fire Back at Opposing Group” terdapat kalimat Jewish sebagai aktor utama dalam demonstrasi tersebut. Laporan berita ini mengetengahkan demonstrator yang mendukung kebijaksanaan Israel dan mengutuk Turki atas tindakannya yang mereka sebut sebagai aksi provokasi. Aksi demonstrasi ini terjadi di gedung konsulat Turki di New York, Amerika Serikat. Mitos Yahudi sebagai aktor kekerasan dan pelanggaran HAM kerap tersebar di kawasan Asia khususnya Indonesia dan semenanjung Arab. Yahudi seringkali melakukan pelanggaranpelanggaran hak asasi manusia melalui Israel. menurut masyarakat peradaban timur, Israel merupakan refleksi tindakan dari Yahudi karena mayoritas penganut Yahudi terdapat dalam negara tersebut. Dengan memuat berita yang berjudul ” Pro Israel Demonstrators in NY Fire Back at Opposing Group”, National Israel berupaya untuk mengalihkan mitos tersebut. Pemberitaan aksi unjuk rasa di New York yang dilakukan oleh organisasi Yahudi Rusia-Amerika dan berjalan damai membawa suatu pesan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh Yahudi tidak membawa kekerasan. Dalam kalimat yang terdapat di anak berita” any country in the world has a right to defend themselves and Israel is no different”, mempunyai makna bahwa tindakan yang dilakukan Israel diatas kapal Mavi Marmara hanyalah merupakan tindakan pembelaan diri. Pada berita tersebut muncul tanda Jewish dalam tubuh berita yang mengartikan makna denotatif bahwa 92
Jewish merupakan suatu agama yang dibawa oleh Nabi Musa As dan menjadi penganut bagi mayoritas penduduk Israel maupun sebagian penduduk di Amerika Serikat. Meski kalimat Jewish tidak dimasukkan dalam judul berita, namun penulisan kalimat yang berulang – ulang pada tubuh berita membuat berita tersebut mempunyai makna konotasi bahwa National Israel hendak memberikan citra bahwa umat Yahudi mendukung aksi yang dilakukan oleh Israel meski berada di lain negara. Makna lainnya yang muncul bila disandingkan dengan berita sebelumnya adalah umat Yahudi menyukai perdamaian sementara umat Islam menyukai kekerasan. Dari kedua berita tersebut dapat dismpulkan bahwa National Israel berusaha menampilkan ideologi Yahudi zionis. Menurut Prof Nilus, Zionis merupakan suatu gerakan mengumpulkan umat Yahudi yang tersebar di berbagai negara untuk tergabung dalam satu negara dan mewujudkan satu tatanan dunia ( Nillus, 2011: 21). Untuk menciptakan dunia tersebut, maka diciptakan konferensi yang menciptakan 24 protokol zionis yang disusun oleh Theodore Herzl. Dokumen tersebut berisi tentang strategi Yahudi internasional menguasai dunia, politik, internasional, keuangan, bisnis, media dan juga budaya ( Irawan, 2009 : 87). Usai mewujudkan suatu negara Israel raya di tanah Palestina, Israel memasukan Zionisme sebagai ideologi utamanya dan berusaha untuk mewujudkan tujuan dari zionisme tersebut. Dalam berita yang berjudul ”Video: Flotilla Muslims Club Navy Commando”, National Israel memberikan black propaganda kepada umat muslim. Black propaganda sendiri di artikan sebagai propaganda secara licik, palsu,
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
tidak jujur serta menuduh sumber lain melakukan kegiatan tersebut. National Israel menyatakan bahwa muslim menyerang tentara Israel dengan menggunakan pisau ataupun benda keras lainnya sehingga memicu penembakan terhadap awak kapal Mavi Marmara. Terdapat keanehan dengan penyebutan Muslim sebagai pelaku penyerangan terhadap tentara Israel. National Israel berusaha menyudutkan umat Muslim dengan mengatakan menyerang tentara Israel. Padahal di dalam kapal tersebut, bukan hanya umat muslim yang menjadi aktivis kemanusiaan untuk pemberian bahan bantuan ke Gaza, namun juga berasal dari negara – negara lain yang beragama non Islam. Teknik propaganda lainnya yang dipakai oleh National Israel adalah Revealed Propaganda. Teknik propaganda ini bermaksud terang-terangan atau terbuka. Melalui teknik propaganda revealed, National Israel memberikan pesan terang – terangan lewat video bahwa kaum muslimin merupakan kaum yang menyukai kekerasan. Dalam berita tersebut, terdapat dengan jelas kalimat ”An IDF video clearly documents brutal attacks with metal clubs by the flotilla’s Muslim radicals on Israeli Navy commandos. The video shows that the “peace activists” were trained in terrorism and tried to kill the soldiers before Navy officersissued an “open fire” order “. Kalimat tersebut menjadi upaya bagi National Israel untuk menyudutkan umat Muslimin sebagai pemicu penembakan
KESIMPULAN Peristiwa penembakan yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap 93
aktivis kemanusiaan di atas kapal Mavi Marmara menimbulkan gejolak opini masyarakat di dunia. Berbagai propaganda dilakukan oleh media massa pro dan kontra terhadap tindakan tentara Israel tersebut. Eramuslim dan National Israel menjadi salah satu media massa yang kerap menyuguhkan propaganda untuk menjatuhkan lawannya. Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Baik Eramuslim maupun National Israel menggunakan media sebagai media penyampaian pesan yang bertujuan membentuk opini terhadap ideologi mereka. Eramuslim berusaha menanamkan ideologi antisemit dan Pan Islamisme dalam pembacanya. Sementara National Israel berusaha memberikan pemahaman ideologi Yahudi Zionisme kepada pembacanya. 2. Baik Eramuslim dan National Israel juga menggunakan propaganda, baik bertujuan untuk memperbaiki citra ideologi mereka atau menjatuhkan ideologi lawan. Bentuk propaganda name calling dan testimonial menjadi salah satu bentuk propaganda yang dipakai oleh Eramuslim. Sementara National Israel memakai bentuk propaganda revealed dan black propaganda. SARAN Penelitian ini juga menyumbangkan saran bagi para praktisi media untuk mengembangkan pemberitaannya dalam media massa online : 1. Baik media Eramuslim dan National Israel hendaknya menulis dengan bahasa yang lebih santun dan cerdas. Karena pembaca akan lebih berminat
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
menyimak lebih jauh bila bahasa yang digunakan bisa menyenangkan hati para pembaca. 2. Pemberitaan yang dilakukan oleh kedua media massa hendaknya jangan sampai menuliskan kalimat – kalimat yang menimbulkan provokasi sehingga menyebabkan terbentuknya opini kebencian di masyarakat dan melakukan tindakan kekerasan terhadap warga suatu Negara. 3. propaganda – propaganda yang bersifat menghasut atau black propaganda hendaknya tidak perlu diambil kembali. Akan lebih baik bila propaganda yang dikeluarkan tidak memprovokasi lawan dan tidak memberikan kebohongan dalam sebuah berita.
DAFTAR PUSTAKA Arifin, Anwar, Komunikasi Politik : paradigma-teori-strategi-aplikasi dan komunikasi politik indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. 2003 Arifin, Anwar, Opini Publik, Gramata Publishing, 2010. Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi tentang Makna (Bandung: Sinar Baru, 1988) Takwin, Bagus, Akar-akar Ideologi, Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato Hingga Bourdieu, Jalasutra, Yogyakarta, 2009. Boesche, Roger. "Kautilya’s Arthasastra on War and Diplomacy in Ancient
94
India", The Journal of Military History 67. 2003. Rusmana, Dadan, 2005, Tokoh dan Pemikiran Semiotik , Tazkiya Press Daugherty & Janowitz, A Psychological warfare Casebook. Johns Hopkins University Prees, 1958 Mc Quall, Dennis & Windahl, Sven, Communication models; for the study of mass communication; NY: longman, Irawan, Aguk, 2009, Rahasia dendam Israel, Kinza book. Lull,
James, Media Komunikasi Kebudayaan: suatu pendekatan global, terjemahan A setiawan Abadi,jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1998
Storey, John, Teori Budaya dan Budaya Pop (terj.), Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2003
Effendy, Onong Uchjana, ilmu komunikasi, Teori dan Praktek, Rosda, 1999 Nilus, 2011, Protocols of The Learned Elders of The Zion, Rivercrest Nurudin, 2008. Komunikasi Propaganda, Rosdakarya, Bandung Barthes, Roland, (1976). The Pleasure of the Text. London: Jonathan Cape Rachmadi, Publik Relation dalam teori dan praktek, Gramedia, 1994 Syaamil Al-quran terjemahan perkata. Beller, Steven, (2007) Antisemitism: A Very Short Introduction: 0xford. Cagaptay, Soner, 2006, Islamic secularism and Nationalisme in Moderen Turkey: Who si Turk?, Papper, Routledge. Piliang, Yasraf Amir, Hypersemiotika: tafsir cultural studies atas matinya makna, Jalasutra, 2004. .
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
95
PEMASARAN IDEOLOGI POLITIK ISLAM : ANTARA TUJUAN DAN KENYATAAN Oleh: Fathurin Zen Dosen Pascasarjana Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta Email: faturin@yahoo.com
ABSTRACT Political issues in Indonesia today cannot be separated completely from the affairs of religion. Many politicians or political party's campaign cites religious moral messages (jargon) in performing its activities. Some of them make the Islamic ideology as the main theme and superior political product. People as voters should have a good understanding of the meaning of Islamic ideology as a jargon on the one hand, with the values of Islam on political and social in daily activities on the other hand. Fallacy would be done by the people for differentiating Islamic jargon of political commodity and practical life covered by religious values would cause the voter attitudes no respect toward the deviant politicians and will eventually turn around to blame the political parties. The question is, should the ideology of Islam as a political product is packaged and processed into commodities practical operational that useful for the voters? Key words : political marketing, political ideology, political parties- islam,
PENDAHULUAN
Sejak Pemilihan Umum tahun 1955 partai politik Indonesia memiliki beragam ideologi, baik yang berkaitan dengan paham keagamaan seperti partai-partai Islam dan partai-partai yang berasas agama non Islam, maupun yang berhubungan dengan paham politik dan budaya yang berkembang di Indonesia seperti partapartai nasionalis sekuler dan partai komunis. Perolehan suara masing-masing partai besar yang berbeda asas pada Pemilu Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
tahun 1955 menunjukkan jumlah dukungan yang cukup homogen. Saat itu Masyumi dan NU yang masing-masing mewakili paham Islam modernis dan tradisional memperoleh 20,92 % suara (57 kursi Masyumi) dan 18,41 % suara (45 kursi NU), Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mewakili paham nasionalisme sekuler memperoleh 22,32 % suara (57 kursi), sedangkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mewakili paham 96
komunisme memperoleh 16,36 % suara (39 kursi). Pada masa ini partai-partai Islam bersatu padu memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara. Perubahan orientasi ideologi parpol pada masa Orde Baru mulai tampak menyatu dan selanjutnya dalam beberapa tahun kemudian cenderung homogen. Partai-partai Islam (NU, PSII, PARMUSI dan PERTI) dipaksa meleburkan diri menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sedangkan partai-partai nasionalis dan partai-partai Kristen Protestan dan Katholik menyatu menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), suatu pemaksaan fusi yang sesungguhnya dilakukan terhadap partai-partai yang secara ideologis sangat berbeda. Dalam struktur perpolitikan Orde Baru saat itu kedua partai yang merupakan hasil fusi tersebut “dipaksa� seragam oleh Penguasa Golkar dengan satu asas tunggal, yaitu Pancasila. Kondisi ini terus berlangsung hingga kejatuhan rejim Orde Baru di awal tahun 1998. Sedangkan pada era reformasi hingga saat ini artikulasi politik partai Islam menunjukkan perbedaan yang cukup tajam, terutama tentang sifat partai dan perjuangan ideologi. Partai-partai yang berasaskan Islam seperti PPP, PBB, PKS dan partai-partai Islam kecil lainnya relatif lebih tertutup, terutama dalam hal kepemimpinan partai dibanding dengan partai yang berbasis massa Islam seperti PKB dan PAN. Walupun kedua partai yang terakhir ini mengklaim sebagai partai terbuka, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pemilih utama kedua partai tersebut adalah massa tradisional pendukung dan anggota ormas Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama.
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
ISLAM DAN POLITK Dalam literatur ilmu-ilmu keislaman telah lama dikenal Fiqh Politik (al-Fiqh as- Siyasah), yang mendasari pandangannya bahwa Shariah Islam disamping mengatur tentang ketuhanan atau hubungan antara manusia dengan Tuhannya (masalah-masalah ibadah) serta akhlak, tetapi juga mencakup hubungan individu dengan daulah (Negara dan Pemerintahan), atau hubungan pemimpin dengan rakyat, hubungan hakim dengan terdakwa, hubungan pejabat dengan penduduk yang diatur dalam al-fiqh addaulah (Al-Qardhawy: 1999). Politik menurut perspektif shariah ialah yang menjadikan shariah sebagai pangkal tolak, kembali dan bersandar kepadanya, mengaplikasikannya dimuka bumi, menancapkan ajaran-ajaran dan prinsipprinsipnya ditengah manusia, sekaligus sebagai tujuan dan sasarannya, sistem dan jalannya. Tujuannya berdasarkan shariah dan sistem yang dianut juga berdasarkan shariah. Islam adalah aqidah dan shariah, agama dan negara, kebenaran dan kekuatan, ibadah dan kepemimpinan, mushaf dan perang. ( Al-Qardhawy, 1999). Dalam kepustakaan modern bidang-bidang ini termasuk dalam bidang kenegaraan dan kebijakan publik, sedangkan hukumnya adalah masuk ke dalam bidang hukum publik, yaitu Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana dan Hukum Acara. Telah banyak para ahli hukum Islam (fuqaha) terdahulu yang membahas masalah politik dan pemerintahan ini serta memasukkannya ke dalam pembahasan fiqh secara umum. Bahkan ada yang mengupasnya dalam kitab-kitab tersendiri, 97
seperti Al-Ahkam As-Sulthaniyah [Hukumhukum Kekuasaan] karangan Al-Mawardy Asy Syafi’y (wafat 450 H), Al-Imamah Was Siyasah [Kepemimpinan dan Politik] karangan Abu Muhammad Abdullah Ad Dinury (wafat 276 H), As-Siyasah AsySyar’iyah fi Ishlahir Ra’yu war Ra’iyyah [Politik Islam dalam Memperbaiki Hubungan Kekuasaan] karangan Ibnu Taimiyah (wafat 728 H), serta karangan dari murid dan sahabat Ibnu Taimiyyah yaitu Ibnu Qayyim yang mengarang kitab Ath-Thuruq Al-Hukmiyah Fis Siyasah AsShariyah [Beberapa Ketentuan Hukum dalam Politik Islam], serta banyak lagi kitab-kitab lainnya termasuk yang ditulis pada awal abad ke-20. Sebagian pandangan dan pendapat para fuqaha dan ulama klasik tentang politik adalah sama dengan apa yang dikemukan oleh Al-Qardhawy (1999) yaitu tidak dipisahkannya politik dengan shariah Islam. Politik adalah bagian dari shariah Islam yang diatur oleh shariah dan tujuannya untuk tegaknya shariah itu sendiri. Politik dalam pandangan para ulama klasik (salaf) diartikan dalam dua makna, yaitu, dalam makna umum, yakni untuk menangani urusan manusia dan masalah kehidupan dunia mereka berdasarkan shariah Islam. Dan politik dalam makna khusus yaitu pendapat yang dinyatakan pemimpin, hukum dan ketetapan yang dikeluarkannya untuk menangkal kerusakan yang akan terjadi, mengatasi kerusakan yang telah terjadi atau untuk memecahkan masalah-masalah khusus. Politik harus didasarkan pada fiqh Islam yang berasal dari segala mazhab fiqh yang ada serta praktek para sahabat (pengikut Nabi) dan tabi’in (pengikut Sahabat). Dalam pelaksanaannya fiqh
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Islam itulah berinteraksi dengan realitas kehidupan, serta berbuat untuk memecahkan berbagai problem dengan merujuk kepada shariah. Shariah tidak menutup mata terhadap realitas kehidupan, oleh kerena itu realitas juga adalah alat untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul. Banyak contoh dan tuntunan yang diberikan Rasulullah tentang kelenturan shariah Islam yang dihadapkan dengan realitas, dan inilah bidang politik, yaitu antara lain suatu saat Rasululah pernah memerintahkan untuk memenjarakan seorang tersangka, padahal pada sisi lain Rasulullah bersabda tidak akan menghukum seseorang kecuali dengn dua saksi. Begitu juga dengan sikap Rasulullah yang meringankan hukuman bagi pencuri yang diganti dengan hukum dera karena memperhatikan kondisi kehidupan pencuri itu, serta mengambil zakat dan mengembalikan sebagian kepada mereka sebagai keringanan. Khalifar Umar Ibn Khatab juga pernah menangguhkan hukuman bagi pencuri karena kemiskinan. Setelah runtuhnya Khilafah Islamiyah di tahun 1923, mulai berkembang perbedaan pandangan diantara umat tentang hubungan Islam dan politik. Terutama dimulai dengan pandangan seorang ulama Al-Azhar yaitu Ali Abdur Raziq (1925) dalam bukunya Islam wa Ushulil Hukmi (Islam dan Persoalan Politik) yang pada pokoknya menyatakan bahwa Islam adalah agama yang tidak memiliki hubungan langsung dengan sistim ketatanegaraan. Islam adalah risalah rohani semata sedangkan politik adalah urusan duniawi. Muhammad sebagai nabi dilahirkan tidak untuk mendirikan Negara
98
dan ini tidak termasuk risalah beliau. Beliau hanyalah seorang rasul yang bertugas melaksanakan dakwah agama secara murni tidak dicampur kecenderungan terhadap kekuasaan dan seruan mendirikan Negara, karena memamng beliau tidak memliki kekuasaan dan pemerintahan. Beliau bukan raja dan bukan pula seorang pendiri daulah serta tidak mengajak kepada pembentukan Negara. (Al-Qardhawy, 1999). Pandangan Raziq ini ditentang oleh seluruh ulama AlAzhar dan putusan dalam pertemuan formal Saikh Al-Azhar (semacam sidang gurubesar) beserta 24 anggota tetap, dan memutuskan bahwa buku Raziq tersebut telah memuat berbagai masalah yang bertentangan dengan agama. Pengarangnya dianggap telah melalui jalan yang sama sekali tidak layak dilakukan seorang muslim, terlebih lagi seorang yang berilmu. Pengarangnya dikeluarkan dari ulama Al-Azhar dan dicabut kepakarannya serta diberhentikan dari jabatannya. Pandangan yang lebih moderat disampaikan oleh Haikal bahwa dalam AlQur�an dan As-Sunnah tidak ditemukan aturan-aturan yang langsung dan rinci mengenai masalah-masalah yang ada hanyalah seperangkat tatanilai etika yang dapat dijadikan pedoman bagi pengaturan tingkah laku manusia dan kehidupan dan pergaulan dengan sesamanya yang juga memadai untuk dijadikan landasan bagi pengaturan hidup kenegaraan. Bagi Haikal, Islam tidak memberikan aturan yang rinci mengenai kehidupan politik dan ketatanegaraan. Islam hanya memberikan aturan hidup bersama bagi peradaban umat manusia yang pada gilirannya akan mewarnai kehidupan politik mereka. Prinsip-prinsip itu adalah : (1) Tauhid atau
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
pengesaan Tuhan. Prinsip ini dapat dijadikan landasan bagi hubungan masyarakat dari umat yang berbeda agama. Semacam Pancasila dengan sila pertama di Indonesia. (2) Segala sesuatu di muka bumi ini berjalan sesuai dengan Hukum Allah atau Sunnatullah. Menurut Sjadzali (1993), tampaknya Haikal ingin menekankan bahwa secara alamiah komunitas manusia dimanapun memiliki watak dan tradisi yang berbeda-beda, dan karenanya prinsip Islam ini tidak membenarkan adanya pemaksaan dari satu tradisi ke tradisi lainnya. (3) Prinsip kesamaan membawa kesimpulan bahwa manusia adalah sama, tanpa harus dibedakan berdasarkan etnisitas, Arab dan bukan Arab. Karenanya Islam tidak dapat dipaksakan dengan pedang. Bagi mereka yang tetap memeluk agama lain diwajibkan membayar pajak sebagai imbalan perlindungan dan memiliki hak dan kewajiban sosial yang sama dengan pemeluk Islam. Oleh karena cara pandang Haikal yang menempatkan Islam sebagai agama yang dapat memasuki beragam sistem dan tata sosial yang berbeda, maka Islam berfungsi sebagai penyempurna dari keadaan dan kondisi yang sudah ada sebelumnya.
IDEOLOGI ISLAM PARTAI POLITIK
DAN
Dalam Encyclopedia Americana terbitan tahun 1995 Volume 14 dinyatakan bahwa : “Ideologi adalah suatu sistim kepercayaan yang praktis yang dibangun dan diberi ciri khusus oleh mereka yang menjadi pengikutnya tentang hal yang
99
menyangkut politik, ekonomi, agama dan budaya”. Sedangkan dalam The Grolier Encyclopedia of Knowlegde Volume 10 dinyatakan bahwa : “Ideologi-ideologi umumnya didasarkan atas prinsip-prinsip utama tentang hal-hal yang menyangkut masalah spiritual dan material, akan tetapi beberapa pengertian ideologi secara khusus dimaksudkan sebagai dasar dari sistem politik; seperti Ideologi Komunis, Konservatip, Demokrat, Liberal, Marxis dan Sosialis”. Menurut Shoemaker dan Reese (1980), “Ideologi diartikan sebagai mekanisme simbolik yang berfungsi sebagai kekuatan kohesif dan integratif di dalam masyarakat”. Sedangkan Raymond Williams menyatakan bahwa “ideologi sebagai sistim makna, nilai-nilai, dan kepercayaan yang secara relatif, formal, dan artikulatif merupakan suatu bentuk yang dapat diabstraksikan sebagai dunia pandang (worldview) atau kelompok pendapat (class outlook)”. Ideologi, menurut Samuel Becker “mengarahkan kita dalam cara memandang dunia dan diri kita sendiri. Ia mengontrol apa yang kita lihat sebagamana apa adanya (natural) atau jelas (obvious)”. Suatu ideologi adalah sekumpulan ide atau gambaran yang menyatu, melalui masing-masing kita memandang dunia dan menyesuakan tindakan-tindakan kita di dalamnya. (Shoemaker and Reese, 1980) Jika pengertian diatas dikaitkan dengan politik, maka dapat dikatakan bahwa ideologi politik merupakan cara pandang politik yang didasarkan kepada prinsip-prinsip, nilai-nilai dan keyakinan tertentu. Dengan demikian Islam sebagai ideologi politik dapat dipahami sebagai sekumpulan prinsip, nilai, aturan dan cara pandang atau mungkin prosedur pelaksana
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
tentang bagaimana seseorang atau sekelompok orang dalam memperoleh, menjalankan, mengatur dan mempertahankan setiap hal dan tingkatan yang berkaitan dengan kekuasaan. Bagi kelompok muslim tertentu ideologi politik Islam mungkin dimaknai hanya sebatas gagasan tentang nilai atau kepercayaan dan aturan normatif yang bersifat substansi, akan tetapi bagi kelompok muslim lainnya pemahaman ini mencakup juga metode dan prosedur serta tatacara mendapatkan dan mengelola kekuasaan yang bersifat praktis. Bagi partai politik yang berasaskan Islam seperti PBB, PPP dan PKS pemahaman ideologi sebagai produk politik yang harus dijual kepada calon pemilih lebih dipandang sebagai ideologi Islam secara menyeluruh, artinya Islam bukan hanya menyangkut esensi keadilan dan kesejahteraan, akan tetapi mereka juga lebih menganggap Islam sebagai ideologi komprehensif yang mengatur tata hubungan kekuasaan baik sebagai panduan moral maupun sebagai metode dan instrumen yang bersifat aplikatif. Sebaliknya bagi partai politik yang berbasis masa Islam atau parpol nasionalisrelijius seperti PKB, PAN, dan Partai Demokrat, Islam lebih dipandang sebagai sistim nilai-nilai yang bersifat substansial, sementara hal-hal yang berkaitan dengan persoalan metode dan instrumen merupakan wilayah inovasi (ijtihad) manusia yang tidak dicontohkan secara gamblang di dalam Islam.
MARKETING POLITIK Marketing politik merupakan ilmu yang baru dan berkembang pada beberapa dasawarsa belakangan ini. Menurut Harrop (1990), Marketing Politik tidak 100
hanya mencakup iklan politik, penyiaran politik atau kampanye politik, ia merupakan semua rangkaian yang berkaitan dengan semua urusan positioning partai yang didasarkan atas survey pasar politik. Sedangkan Kavanagh (1995) dan Scammell (1995) menyatakan bahwa Marketing Politik sebagai sekumpulan strategi dan cara dalam melacak dan mempelajari pendapat umum sebelum dan selama kampanye politik dalam rangka membangun komunikasi politik dan mendapatkan dampak positif berupa kemenangan. Salah satu model marketing politik yang dinyatakan oleh Lees Marshment (2005) adalah Model pemasaran politik Market Oriented Party (MOP). Model ini memiliki beberapa karakteristi, yaitu : Setiap partai harus melakukan identifikasi dan memahami apa yang menjadi prioritas publiknya; MOP memperhatikan apa yang sudah ada sebelumnya untuk kemudian merancang produknya; Tidak mengubah apa yang ada pada pemilihnya, tetapi menyampaikan apa yang menjadi kebutuhan & keinginan pemilihnya; Selalu dimulai dengan riset pasar politik untuk melakukan mapping keinginan dan kebutuhan pemilih; MOP tidak didorong oleh adanya pemikiran atau ideologi para pemimpinnya ; Memiliki kemampuan untuk merubah kebijakan; MOP berkeinginan to develop and deliver a set of realistic policies and structure; dan karakter terakhir adalah tujuan pemilihan dalam MOP adalah adaptasi dengan pasar. Dalam analisis MOP, Marshment (2005) menyatakan bahwa terdapat 8 (delapan) tahapan yang harus dilakukan dalam marketing politik, yaitu : market intelligence (melakukan survey pemilih), product design (melakukan disain produk
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
politik apa yang harus dijual); product adjustment (melakukan penyesuaian terhadap produk politik dengan pasar pemilih); implementation (menerapkan konsep dan disain yang telah dibuat); communication (melakukan komunikasi dengan pemilih, baik jangka panjang maupun jangka pendek); campaign (melaksanakan kampanye politik sesuai jadwal); election (mengikuti dan mengawasi pemilihan umum); dan delivery (menyampaikan dan membuktikan janjijanji politik kepada pemilih melalui Pemerintahan yang berkuasa. Pada tahap kedua analisis MOP diatas, kita dituntut untuk mampu mendisain produk politik yang hendak ditawarkan kepada pemilih. Mendisain produk politik bukan hanya memilih esensi produk yang cocok dan cara penyampaiannya yang tepat, akan tetapi kita dituntut juga untuk mampu mengoperasionalkan konsep dan gagasan �ideologi� yang masih abstrak itu ke dalam bentuk yang lebih konkrit dan aplikatif. Jika dalam ideologi yang diperjuangkan dikatakan bahwa partai menjunjung tinggi dan berupaya menerapkan keadilan sesuai ajaran Islam, maka pemilih dan (bakal) pemilih akan mempertanyakan bagaimana konsep keadilan itu diterapkan pada tataran praktis di berbagai bidang. Bagaimana kita menyatakan mau menegakkan keadilan politik apabila masih ada perlakuan istimewa kepada partai-partai besar dan mengenyampingkan keberadaan partai kecil?. Apa artinya kita berbicara tentang keadilan hukum, manakala penyelesaian berbagai kasus hukum ternyata tebang pilih dan cenderung dipolitisir?. Bagaimana pula kita berbicara lantang tentang keadilan ekonomi dan keberpihakan kepada rakyat 101
kecil akan tetapi pasar tradisional yang menjadi tempat-tempat perdagangan rakyat kecil terus digusur dan diganti oleh sindikasi dan konglomerasi ekonomi global?. Apa maksudnya kita berbicara tentang keadilan budaya dan perlindungan kepada golongan minoritas, jika ternyata Pemerintah atau parpol yang berkuasa tidak memiliki kepedulian tentang pluralisme dan keberpihakan kepada kelompok marjinal?. Pendek kata, semua produk ideologi politik Islam yang sejatinya dipasarkan dengan harapan terjadi perubahan yang positif, akan tetapi dalam kenyataannya para politisi cenderung menjadikan produk politik ini sebagai sarana untuk menjalin solidaritas semu belaka. Lebih parah lagi apabila kita beranggapan bahwa mereka yang berasal dari partai sekuler tetapi selalu membela rakyat kecil dan orang-orang tertindas dianggap tidak islami, sementara mereka yang berada pada jalur partai yang berasaskan Islam merasa dirinya lebih bersih?.
KESIMPULAN Tujuan utama pemasaran politik antara lain adalah menjual produk politik yang dipilih sebagai ”komoditi andalan”. Tentu saja pemilih yang dipandang sebagai ”pembeli” diharapkan akan membeli, tertarik atau setidaknya melirik produk tersebut. Apa artinya sebuah komoditi andalan yang tidak bisa dijamah apalagi dimakan atau dinikmati?. Pemilih cerdas tentu akan berfikir realistis, yakni memilih produk yang dapat dinikmati dan membuat kehidupan mereka lebih baik. Sudah saatnya, partai-partai yang berasas Islam Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
yang lebih sering menjual produk ideologi politik dengan label ”Islam” melakukan product adjustment sebagaimana yang ditawarkan Less Marshment. Mereka harus mampu menyesuaikan kemasan produk itu dengan para pemilih yang menjadi targetnya. Tunjukkan operasionalisasi ideologis ke dalam bentuk programprogram aktual yang mencerahkan dan mensejahterakan rakyat. Mulailah dengan menjalankan program yang berpihak kepada seluruh rakyat dan tidak bersifat parsial dan sektarian. Karena dari sudut apapun ideologi Islam merupakan ideologi pembebasan dari keterbelakangan, ideologi keadilan dan kasih sayang bagi alam semesta.
Daftar Pustaka Harrop, M. (1990) “Political Marketing” dalam Parliamentary Affairs , Vol. 43. Kavanagh, D. (1995) Election Campaigning: The New Marketing of Politics, Blackwell, Oxford Lilleker DG & Jennifer Lees-Marshment, (2005), Political Marketing : a Comparative Prespective, Manchester University Press. Qardhawy, Yusuf, (1999), Fiqih Daulah dalam Perspektif Al Qur’an dan AsSunnah, Jakarta : Pustaka Al Kautsar.
102
Raziq, Ali Abdul. (1925), Al-Islam wa Ushul al-Hukm, Cairo : Darul Hilal. Scammell, M. (1995) Designer Politics , Macmillan, Basingstoke Shoemaker, Pamela J and S D. Reese, (1980), Mediating The Massage, Theories of Influences on Mass Media Content, 2nd edition, Longman, New York.
Jurnal Communication Vol.4 No.1 April 2013
Sjadzali, Munawir (1993), Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta : UI Press. Encyclopedia Americana, Edition, Vol. 14, 1995.
International
The Grolier Encyclopedia of Knowledge, Vol. 10, 1995. http://www.kpu.org.id
103
PEDOMAN PENULISAN JURNAL Beberapa hal yang harus diperhatikan penulis dalam penulisan jurnal adalah sebagai berikut:
Maksud dan Tujuan
Jurnal Communication diterbitkan oleh Lembaga Riset Universitas Budi Luhur untuk media penyebarluasan hasil penelitian yang dilakukan para peneliti di lingkungan Universitas Budi Luhur maupun dari para peneliti lain.
Ruang Lingkup
Jurnal ini memuat tulisan hasil penelitian dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan Ilmu Komunikasi yang menunjang pengembangan ilmu pengetahuan , Teknologi dan Pembangunan Nasional. Bahasa Tulisan yang dimuat dalam jurnal ini menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baku dan baik. Penggunaan istilah hendaknya menggunakan pedoman dari lembaga Pembinaan Bahasa.
Bentuk Naskah Naskah diketik pada kertas jenis A4 putih pada satu permukaan dengan jarak 1,2 spasi. Tulisan mempunyai jarak 3 cm dari Kanan, kiri, atas dan bawah kertas berjarak 2,5cm. Panjang naskah tidak lebih dari 20 halaman dan sekurang-kurangnya 10 halaman termasuk gambar dan tabel. Tulisan menggunakan jenis font Times New Roman ukuran 12, naskah diketik dengan bentuk satu kolom.
Isi Naskah Naskah disusun dalam urutan: judul ( Bahasa Indonesia); Nama penulis: lembaga/instasi: Abstrak ( 100-150 kata) dalam bahasa Inggris berisi tujuan, metode dan hasil penelitian; Pendahuluan (berisi latar belakang; perumusan masalah; Tinjauan Pustaka; Tujuan penelitian); Metode penelitian ( alat, bahan, cara dan metode Analisis); Hasil dan pembahasan; Kesimpulan; Daftar Pustaka, lampiran ( kalau ada). Setiap Bab menggunakan angka 1 , 2 , 3 dst , sementara untuk Sub Bab menggunakan angka misalnya 1.1 , 1.2 , 2.1 2.2 dst .
Judul Tulisan dan Nama Penulis Judul karangan berupa suatu ungkapan dalam bentuk kalimat pendek mencerminkan isi dari tulisan. Nama lembaga/Instansi pengarang harus jelas dicantumkan pada halaman pertama. Bila Penulis lebih dari satu orang, maka perlu diurutkan sesuai dengan kode etik penulisan.
Tabel dan Gambar Tabel dan gambar diberi judul yang singkat dan jelas maksudnya. Judul tabel berada diatas, sedangkan judul pada gambar berada dibawah. Setiap tabel dan gambar diberi nomor urut (1,2,… dst) dengan menggunakan huruf Arial Bold ukuran 10 .
Daftar Pustaka Penulisan daftar pustaka disusun menurut pedoman APA diketik 1 spasi untuk setiap pustaka dan berjarak 2 spasi untuk pustaka yang satu dengan yang lain. Alamat Redaksi Pelaksana Naskah dikirim dalam bentuk file (copy disket, copy CD) dan 1 print out ke: Redaksi Lembaga Riset Universitas Budi Luhur, Jl. Ciledug Raya, Petukangan Utara, Jakarta Selatan 12260, Telp. (021) 5853753 Ext. 251 . Kelengkapan naskah dalam bentuk soft dan hard copy tersebut diatas harus diserahkan oleh setiap Fakultas yang bersangkutan kepada Lembaga Riset Universitas Budi Luhur sehingga dapat diketahui proses editing naskah awal hingga naskah akhir sebelum masuk ke percetakan , hal tersebut diatas dilakukan demi kelancaran proses percetakan dan terhindarkan dari terjadinya kesalahan teknis pencetakan .
Bekerja sama dengan : Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia
Asosiasi Program Studi Ilmu Komunikasi
BARCODE