Balkon 141

Page 1

balkon Edisi 141, Desember 2013

Belenggu

Desember2013

www.balairungpress.com

Sistem Penelitian

1


2

balkon


Desember2013

3


balkon

Laporan Utama

Koordinator Yuliana Ratnasari

Laporan Utama

Editor Ahmad, Dian, Dias, Dimas, Faisol, Ibnu, Linggar, Ninis, Ratna, Yoga Redaksi Anggun, Deddy, Desinta, Dessy, Fikri, Inda, Rahma, Shiane, Tya, Tyo, Ucig Riset Aryo, Maya, Rifki, Sofiyah, Taufiq Perusahaan Alief, Amanda, Arul, Dody, Lilo, Mila Produksi dan Artistik Ardi, Anung, Ben, Berliana, Boti, Elvia, Fifin, Morinka, Nabil, Nurokhman, Umar, Syafiq, Yesika, Yoel Cover Boti ALAMAT REDAKSI, SIRKULASI, IKLAN DAN PROMOSI: Bulaksumur B-21, Yogyakarta 55281 Facebook: Bppm Balairung Twitter: @bppmbalairung Website: www.balairungpress.com Email: balairungpress@gmail.com Kontak: Ummi (085221715181) Rekening BNI Yogyakarta 0258228557 a.n. Wiwit Endri Nuryaningsih Redaksi menerima tanggapan, kesan, kritik, maupun saran pembaca sekalian yang berkaitan dengan lingkungan UGM melalui email, atau sms ke 081916311792 atau juga dapat disampaikan langsung ke Redaksi Balairung di Bulaksumur B-21

balkon

Editorial 5

Penanggungjawab M. Mishbahul Ulum

Tim Kreatif Hamzah Zhafiri, Rindiawan, Ummi Khaltsum, Yoga Darmawan

4

Daftar Isi Proyek Penelitian Minim Pengawasan 6

Belenggu Sistem Penelitian 7

Sisi Lain Dharmabakti Petani di Pesisir Kulonprogo11

Statistik Inkonsistensi Penelitian UGM 13

Dialektika Menelisik Polemik Manajemen Trans Jogja 14

Apresiasi Semangat Perlawanan dalam Poster Aksi 16

Potret Dari NOL 18

Komunitas Lestarikan Budaya lewat Wayang Kontemporer 20

Sosok Bangun Bisnis Berbekal Cerita Komik 22

Rehal Propaganda Anti Tembakau Mematikan Industri Rokok 24

Eureka Nyalap-Nyaur Sebagai Pelestari Jekdong 26

Siasat Minimnya Riset di Kalangan Mahasiswa 28

Opini Ironi Akreditasi Internasional 29 Dari Bloomsbury untuk Lembah UGM 30

Gores 32 Interupsi Totem Pro Parte 33

Si Iyik 33


Editorial

Kepada siapa ilmu berpihak? Kata sebagian orang, ia netral, bebas nilai, juga bukan sebuah subjek yang memiliki kehendak, lantas tak mungkin berpihak kepada (si)apapun. Kita juga tak perlu memikirkan hal lain di luar sana, sebab ilmu ada untuk ilmu itu sendiri. Tapi, bukankah ilmu tidak berdiri di ruang hampa? Sebagai sebuah pencapaian manusia, ia bersinggungan dengan berbagai aspek, mulai dari sosial, kultural, ekonomi, politik, dan berbagai kepentingan lain di luar sana. Kita pun paham, berbagai pencapaian di bidang keilmuan memiliki implikasi sosial, sebab ia mengada di tengah-tengah—dan berangkat dari—ruang interpretasi manusia. Tak perlu khatam filsafat ilmu untuk paham soal ini. Ilmu memang bukan subjek yang memiliki kehendak, lantas tak bisa dipersalahkan atas dampak—baik negatif maupun positif—yang ditimbulkannya. Maka, pertanyaan di awal bisa kita perdalam: kepada siapa kaum intelektual berpihak? Ada yang bilang, mereka tak berpihak kepada siapasiapa, sebab bagi segolongan orang ini hidup tak lebih dari pengabdian kepada ilmu pengetahuan. Lantas, mereka juga tak bisa dipersalahkan atas dampak dari aktivitas intelektual mereka. Jika benar demikian, tentu Alfred Nobel tak perlu dihantui penyesalan seumur hidup atas hasil penemuannya. Galileo pun tak perlu dihukum—bahkan konon dipenggal—hanya gara-gara bersikukuh menegaskan bahwa matahari adalah pusat tata surya, bukan bumi sebagaimana diyakini kaum gerejawan. Ketika zaman kegelapan (the dark ages), otoritas institusi keagamaan memegang kendali atas segala sendi kehidupan masyarakat. Kaum intelektual harus berhadapan dengan ancaman pengucilan, tuduhan melawan Tuhan, lantas sah untuk dibunuh jika penemuannya dianggap menentang apa yang telah mapan diterangkan oleh institusi keagamaan. Zaman kegelapan sudah berakhir. Kini, kekuasaan berada di tangan nergara yang dijalankan oleh institusi formal bernama pemerintah. Kaum intelektual di era modern ini pun tak lepas dari ancaman serupa zaman kegelapan. Dalam kekuasaan rezim otoriter, intelektual yang bertentangan dengan pemerintah harus berhadapan dengan tangan-tangan kekuasaan. Ketika rezim orde baru, misalnya, siapa intelektual yang berani melakukan riset untuk menelusuri pelaku Gerakan 30 September? Siapa pula yang berani bertaruh nyawa membeberkan kebobrokan perekonomian atau sistem demokrasi di era itu? Ketika rezim otoriter runtuh, aktivitas kaum

intelektual tak serta-merta bebas kepentingan. Kekuasaan negara--mengutip Noreena Hertz-tergantikan oleh kekuasaan pasar dan korporasi. Lantas bagaimana memandang posisi kaum intelektual? Mungkin penjelasan Nicos Poulantzas bisa kita pakai. Ia mengeluarkan ide membedakan posisi intelektual dengan mengukur jarak kepentingannya dengan pemilik modal. Hal tersebut bisa kita terapkan dengan mengeluarkan sebuah pertanyaan sederhana: darimana sumber penghasilan golongan intelektual berasal? Pada titik ini, independensi dalam kerja-kerja intelektual seperti penelitian bertumpu pada diri si cendikiawan sendiri. Pembaca, kali ini Balkon mengulas pengelolaan penelitian di UGM. Kita beranjak dari fakta bahwa beberapa penelitian sempat menuai kecaman dari elemen masyarakat, mulai dari petani di Kulon Progo sampai kaum pengamat media di Jakarta. Kita pun layak bertanya: bagaimana UGM mengawasi kerja-kerja penelitian? Adakah kode etik dan standar akademis untuk mencegah agar hasil penelitian tak dipesan dan digunakan demi kepentingan pihak-pihak tertentu? Kita lantas mempertanyakan, bagaimana UGM mengembangkan budaya risetnya, bukan hanya dari penelitian-penelitian yang dipesan dan didanai lembaga swasta, melainkan penelitian yang murni digagas, dikerjakan, dan didanai sendiri untuk kepentingan masyarakat. Tak kalah penting, berbagai persoalan terkait riset yang digagas dan dikerjakan oleh mahasiswa. Ketika kerja-kerja itu membawa nama dan atribut UGM, maka pihak UGM tentunya berkewajiban melakukan pengawasan. Apa guna mempersoalkan kerja-kerja intelektual ini? Tentu saja karena kaum intelektual punya tanggung jawab sosial. Seperti diungkap Gramsci, golongan intelektual memiliki fungsi penting untuk memproduksi ideologi dan pengetahuan yang menjadi basis pembenaran bagi keberadaan kelas sosial tertentu. Persoalannya tinggal bagi kelas sosial yang mana kerja-kerja itu berguna. Lantas kita boleh bertanya, apakah ilmu-ilmu yang mereka kembangkan--mengutip Rendra--akan menjadi alat pembebasan, ataukah justru menjadi alat penindasan. Akhirnya, selamat membaca dan berdialektika!

Redaksi

Desember2013

5


Laporan Utama

Proyek Penelitian Minim Pengawasan

P

“Pengawasan penelitian seharusnya diterapkan sejak awal, terutama jika pemberi dana adalah pihak luar,� tegas Kuskridho Ambardi

ertengahan 2008 silam, puluhan truk berisi ribuan petani dari Kulon Progo mendatangi gedung rektorat UGM. Mereka menuntut penghentian kerjasama penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan UGM dengan PT Jogja Magasa Minning (JMM). Penelitian tersebut berisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan(Amdal) atas pertambangan pasir besi yang hendak dilakukan JMM di Kulon Progo. Para petani khawatir penelitian tersebut mengakibatkan perluasan wilayah tambang yang akan merugikan mata pencaharian dan wilayah huni mereka. Akhirnya atas desakan para petani, UGM memutuskan untuk mundur dari penelitian tersebut. Tidak hanya sekali itu penelitian atas nama UGM menuai kecaman. Pada 2007, suasana Jurusan Ilmu Komunikasi (JIK) UGM sempat memanas. Penyebabnya adalah penelitian yang dilakukan beberapa dosen JIK. Penelitian terkait pemberitaan Tempo mengenai korupsi dalam tubuh PT Asianagri. Merasa dipojokkan, PT Asian Agri meminta JIK

6

balkon

melakukan penelitian terkait pemberitaan tersebut. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat bias dalam pemberitaan Tempo mengenai korupsi PT Asian Agri. Beberapa pihak menganggap hasil penelitian ini menguntungkan PT Asian Agri dalam kasus hukum melawan Tempo. Nama JIK UGM pun ikut terseret dalam kasus itu. Apalagi, disebut-sebut bahwa JIK mendapat imbalan yang besar untuk pelaksanaan penelitian. Bahkan, Koran Tempo (2008) menuliskan bahwa salah satu dosen JIK, Budi Irawanto, meminta senat akademik mengadakan pertemuan khusus guna membahas penelitian yang dianggap melanggar etika tersebut. Pengelolaan proyek penelitian berada di bawah Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakan(LPPM). Pihak LPPM pun mengakui, penelitian bermasalah memang kerap ditemukan. Widodo, S.T.P, M.Sc, mantan pengurus LPPM Bidang Penelitian Pengelolaan dan Penjaminan Mutu Penelitian menerangkan, biasanya penyelesaian


permasalahan penelitian ditangani secara internal. Ia menolak memberikan keterangan lebih lanjut soal jenis kasus yang sering terjadi. “Kalau ada masalah memang tidak dipublikasikan, tidak boleh mencuat keluar, semuanya selama ini bisa diselesaikan,” ujarnya. Terjadinya penelitian bermasalah tak lepas dari pengawasan alur kerja yang seharusnya diterapkan oleh UGM. Selama ini, UGM masih mengikuti alur penelitian secara umum, yaitu mencari topik, mengajukan dana, dan mencari tim peneliti. Widodo mengatakan bahwa UGM memang tidak memiliki peraturan khusus mengenai penelitian, termasuk alur penerimaan proyek dari luar yang masuk ke fakultasfakultas. Menurut Widodo, dosen yang menerima proyek langsung dari pihak luar tidak harus melapor, meski secara otomatis membawa nama UGM. “Kalau terima proyek, tidak perlu melapor tidak apa, memang belum ada peraturan,” jelasnya. Senada dengan hal tersebut, Derajad S. Widhyarto, dosen Sosiologi mengatakan bahwa penerimaan proyek memang hanya kesepakatan peneliti dan pemberi proyek. “Peraturan dari UGM tidak ada, hanya dari kesepakatan saya dan pihak pemberi hibah atau proyek,” terangnya. Ia menambahkan, pertanggungjawaban hasil laporan penelitian juga hanya diberikan pada pemberi hibah. “UGM tidak pernah meminta hasil laporan penelitiannya,” tururnya. Kasus penerimaan proyek penelitian yang melibatkan JIK dan Fakultas Kehutanan beberapa tahun silam sempat dianggap merugikan masyarakat. Hal tersebut tidak akan terjadi jika kode etik penelitian benar-benar ditegakkan. Kuskridho Ambardi, Dosen di JIK sekaligus Ketua Lembaga Survei Indonesia mengatakan bahwa sebenarnya UGM memiliki panduan akademik berupa buku biru. “Kode etik penerimaan proyek memang tidak ada, tapi buku itu sepertinya sudah termasuk kode etik penelitian,” ujarnya. Ia menambahkan, kode etik penelitian di UGM saat ini masih menjadi tanggung jawab individual, meskipun penelitian yang dilakukan akan tetap membawa nama UGM. Kuskridho menuturkan bahwa salah satu bentuk tanggung jawab peneliti adalah selektif dalam menerima penelitian. Terutama jika dari awal, pihak pemberi proyek sudah berkonflik. ”Kehati-hatian harus maksimal jika penelitian dibiayai pihak yang sedang bermasalah. Kesimpulan penelitian harus tetap berasal dari lapangan, bukan hasil pesanan,” tuturnya. Perihal pengelolaan penelitian tidak terlepas dari visi UGM menjadi World Class Reseach University (WCRU) yang sudah diusung lebih dari 10 tahun belakangan. Untuk memenuhi visi tesebut, UGM berusaha berbenah soal penelitiannya. Widodo menerangkan bahwa pelaksanaan program WCRU masih relatif lambat. “Itu membuat konsep ini semakin hari makin tidak jelas,” ungkapnya.

Terkait hal tersebut, Wijayanti selaku Humas UGM justru menerangkan bahwa mulai tahun ini, konsep WCRU berubah menjadi World Class University (WCU), menghilangkan kata Research di dalamnya. Hal tersebut bertujuan agar UGM tidak hanya fokus pada penelitian, tetapi juga tri dharma perguruan tinggi lainnya, yaitu pendidikan dan pengabdian masyarakat. Ia menegaskan bahwa perubahan status tersebut tidak mempengaruhi iklim penelitian di UGM. “Tidak akan ada perubahan pada budaya riset yang selama ini telah dibangun,“ terangnya. Mengenai perkembangan riset yang selama ini ada di UGM, Derajad mengatakan bahwa budaya riset masih kurang terfasilitasi. “Padahal mahasiswanya selama ini cukup banyak yang berminat melakukan penelitian. Namun sangat sulit mengajukan proposal,” tuturnya. Rumitnya pengajuan proposal penelitian di UGM membuat beberapa dosen merasa kesulitan dalam melakukan penelitian. Arie Sujito, Dosen Fisipol UGM, justru mengatakan bahwa ia lebih senang mengajukan proposal penelitian pada pihak luar. “Saya lebih sering mengajukan penelitian pada lembaga donor internasional,” ungkapnya. Menurut ketua Institute of Research and Empowerment tersebut, pengajuan proposal dan administrasi ke UGM cenderung berbelit-belit. Penelitian tidak hanya dilakukan oleh dosen dan mahasiswa, tetapi juga Pusat Studi (PS). PS sengaja didirikan UGM sejak 2008 sebagai etalase penelitian dan pengabdian masyarakat. Menurut Suprapto, ketua Pusat Studi Wanita (PSW), bentuk tanggung jawab UGM terhadap PS hanya sebatas menyediakan tempat, fasilitas, dan karyawan. “Selain dari hal tersebut PS harus memenuhi sendiri kebutuhannya, seperti hal pendanaan UGM tidak menyediakan,” ujarnya. PS diharuskan mencari dana sendiri dari berbagai lembaga donor baik nasional maupun internsional. “Memang dalam hal keuangan PS diwajibkan untuk mandiri,” tambahnya. Pengawasan UGM kepada PS saat ini hanya terbatas pada standardisasi penelitian di bawah wewenang LPPM. “Tapi, penelitian yang dilakukan PS tidak diatur oleh LPPM, memang bukan menjadi urusan LPPM,” ujar Widodo. PS dan LPPM hanya sekedar berkoordinasi tanpa membahas lebih lanjut mengenai penelitian. UGM kini memang tidak lagi menjadi WCRU dan memilih fokus pada bidang lainnya. Namun hingga saat ini, belum ada upaya pengawasan terhadap proyek penelitian. Kusridho menjelaskan bahwa pengawasan penelitian seharusnya diberikan sejak awal, ketika tujuan penelitian ditentukan, terutama jika pemberi dana adalah pihak luar. Ia menambahkan, ketika melakukan persetujuan penelitian, harus sesuai dengan standar akademis yang diterima umum. “Sebab penelitian haruslah bersifat netral, tidak memihak kepentingan pihak tertentu,” pungkasnya. [Shiane, Inda]

Desember2013

7


Laporan Utama

Belenggu Sistem Penelitian

Beberapa penelitian yang dilakukan mahasiswa memenangi kompetisi. Namun sistem justru menghambat keberlanjutannya.

sapi bisa menghasilkan BCP, bahan alternatif implan tulang yang lebih terjangkau. Penelitian yang turut dalam Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) ini pun berhasil lolos Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional

T

erik matahari tak begitu dihiraukan Diah Budiasih. Siang itu, Kamis (10/10), mahasiswi semester akhir Program Studi Pendiidikan Dokter ini melangkah mantap menuju Gedung Radio Poetro, Fakultas Kedokteran. Setibanya di aula ia mulai mengisahkan pengalamannya meneliti bahan implan tulang dari Bipashic Calcium Phosphate (BCP). Bahan implan ini terbukti lebih terjangkau harganya dan lebih cepat memulihkan cedera patah tulang dari bahan yang selama ini lazim digunakan. Sebelumnya, bahan hidroksiapatit (HA) menjadi bahan utama implan tulang. Selain mahal, proses pemulihan dengan bahan implan ini memakan waktu cukup lama. Diah bersama ketiga rekannya pun berinisiatif untuk mencari bahan implan tulang alternatif yang lebih terjangkau. Limbah tulang sapi menjadi objek penelitian mereka. Ternyata setelah melalui serangkaian proses, limbah tulang

8

balkon

(Pimnas) dan menyabet medali perak kategori presentasi. Implan BCP ini sangat bermanfaat mengingat maraknya cedera patah tulang di Indonesia. Bahkan PT. Kalbe Farma Tbk sempat menawarkan adanya kerja sama. Namun tawaran itu tidak dapat ditindaklanjuti. Pasalnya hasil penelitian ini belum pernah diujikan pada manusia. Pengujian pada manusia diperlukan untuk mengetahui reaksi imunitas tubuh. “Terbatasnya biaya membuat kami hanya bisa menggunakan tikus sebagai binatang uji,� terang


Diah. Penelitian Diah bersama ketiga rekannya hanya satu dari sekian banyak penelitian PKM yang kurang berkembang karena terbatasnya dana. Kondisi ini diakui oleh Sidiq Purnomo, S.IP, M.Si., Kepala Sub Direktorat Kelembagaan dan Kegiatan Mahasiswa. Ia memaparkan, dana hibah penelitian yang bersumber dari Dikti berkisar Rp 3.000.000,00 hingga Rp 12.500.000,00. Terbatasnya dana membuat penelitian ini belum bisa diujikan pada manusia. Pendanaan PKM memang hanya tanggung jawab Dinas Pendidikan Tinggi (Dikti) bersama Direktorat Kemahasiswaan (Dirmawa). Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) tidak ikut menaunginya. Menurut Dr. Amir Husni, S.Pi., M.P., Kepala Bagian Pengelolaan dan Penjaminan Mutu Penelitian LPPM, ini karena mereka tidak berada dalam satu garis koordinasi. “PKM seutuhnya menjadi tanggung jawab Dirmawa, bukan kami,” tegasnya. Hal ini membuat kegiatan penelitian terganjal masalah pendanaan. Terbatasnya dana membuat produktivitas penelitian tidak mencapai rentang angka 60%-70% dari seluruh kegiatan UGM. Angka itu merupakan syarat menjadi World Class Riset University (WCRU). Meski WCRU menjadi cita-cita yang gagal terwujud, Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc, Ph.D., Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan masih tetap optimis. Ia menegaskan, produktivitas penelitian menjadi investasi UGM mewujudkan World Class University. “Supaya penelitian lebih produktif, kami dorong lewat hibah riset,” ujarnya. Secara umum, hibah riset bersumber dari berbagai pihak, baik dari luar maupun dari dalam UGM. Dari luar UGM, misalnya Dikti, dibedakan menjadi dua jenis, kompetisi nasional dan desentralisasi. Pada hibah kompetisi nasional, proposal diajukan dan diseleksi langsung oleh Dikti. Sebaliknya, pada hibah desentralisasi proposal diajukan dan diteliti oleh UGM sendiri. Ditambah lagi pemberian hibah riset dari dalam UGM berupa hibah penelitian dosen muda. Di samping itu, memasukkan penelitian ke dalam rencana fakultas juga menjadi usaha dalam menambah kuota hibah riset. “Tiap fakultas memiliki otonomi untuk menentukan berapa anggaran hibah sesuai Rencana Kegiatan dan Anggaran Tahunan (RKAT)-nya,” beber Amir. Akan tetapi, jika dana bagi tiap fakultas berbeda-beda, produktivitasnya pun berbeda. Akibatnya terjadi kesenjangan produktivitas penelitian antarfakultas. Sistem otonomi fakultas ini juga membuat pengawasan penelitian berkurang karena tidak ada koordinasi dengan LPPM. Sistem monitoring, penjaminan mutu, sampai model penelitian diatur oleh masing-masing fakultas. “Itu semua sudah diatur oleh masing-masing fakultas, kami tidak mencampuri,” tegas Amir. Kepala Bagian Pengelolaan dan Penjaminan Mutu Penelitian LPPM

itu menambahkan, pihak fakultas hanya wajib melaporkan apa saja penelitian yang telah dilakukan. Setiap fakultas memiliki enumerator sebagai pelapor data penelitiannya tiap tahun. Terbatasnya kemampuan universitas mendanai penelitian membuat pihak peneliti harus bekerja sama dengan pihak luar, baik pemerintah maupun industri. “Umumnya pihak industri baru mengajak kerjasama setelah penelitian berhasil,” ungkap Prof. Dr. Suratman, M.Sc., Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Namun tahun 2008 lalu, penelitian yang diadakan Jurusan Ilmu Komunikasi justru diinisiasi oleh Perusahaan Asian Agri. Penelitian itu menimbulkan kecaman dari pihak Tempo karena dianggap merugikan dan berpihak pada kepentingan Asian Agri (Balkon, 4 Februari 2008). Kejadian itu bahkan sempat menjadi perhatian pihak luas. Sebenarnya UGM telah mengeluarkan kebijakan yang mengatur standar mutu dan hubungan kerja sama dalam proyek penelitian. “Salah satunya tidak boleh bekerja sama dengan perusahaan dengan muatan politik dan rokok,” terang Amir. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, tidak ada mekanisme yang jelas untuk menjalankan kebijakan tersebut. Pelaporan kepada LPPM sebelum menyepakati kerja sama proyek penelitian dengan pihak luar hanya dipasrahkan pada kesadaran masing-masing fakultas. “Kami tidak tahu-menahu akan penelitian fakultas sebelum dilaporkan hasilnya,” kilahnya. Tak hanya lemahnya pengawasan dalam pengadaan penelitian, keprihatinan pun muncul dalam pengawasan mutu. PKM misalnya, hanya diawasi oleh dosen pembimbing dan melalui hasil evaluasi laporan pertanggungjawaban. Belum lagi, tiap penelitian hanya diaudit secara internal oleh kampus. “Audit dilakukan secara berkala oleh Kantor Jaminan Mutu,” papar Iwan. Parameter mutu tersebut ditetapkan oleh universitas. Pengawasan internal menjadi usaha UGM menjadi universitas yang melangkah ke arah budaya penelitian yang lebih baik. Namun pelaksanaannya juga perlu peran berbagai pihak. “Semakin besar usaha, semakin besar peran yang dimiliki,” kata Iwan. Untuk itu ia menambahkan, perlu adanya penghargaan khusus untuk mahasiswa yang melakukan penelitian supaya peran mahasiswa dapat lebih optimal. Menanggapi hal itu, Suratman membeberkan, akan rencana riset yang melibatkan mahasiswa D3, S1, S2 dan S3. Mereka dapat mengolah data hasil penelitian untuk memenuhi tugas akhirnya. Selain itu mereka juga mendapat nilai A pada setiap mata kuliah yang berkaitan dengan penelitiannya. “Jangan sampai terjadi lagi seperti dulu, ada mahasiswa yang menang kompetisi penelitian di luar negeri tapi nilai mata kuliah yang berkaitan dengan penelitian malah jeblok,” kritiknya. [Tya]

Desember2013

9


Sisi Lain

Jejak Dharmabakti di Pesisir Kulonprogo “Karena yang dapat saya lakukan hanya dengan meneliti keadaan tanahnya itu, agar dapat hasil lebih baik,” kata Dja’far

P

etak-petak perkebunan melon, cabai, semangka, terong, bawang merah, dan sawi terhampar di sepanjang sisi jalan pesisir pantai desa Bugel, Kulon Progo. Teriknya matahari tidak membuat para petani menunda pekerjaannya. Hafidz, salah seorang petani, terlihat sedang menyirami tanamannya. Setelah selesai, Hafidz beristirahat sambil bercerita mengenai pekerjaannya sebagai petani gumuk pasir. “Pada awalnya saya bekerja sebagai buruh serabutan yang tidak menentu, dan gajinya sedikit,” kata Hafidz membuka percakapan. Petani muda ini menyewa seperempat hektar lahan untuk ditanami buah melon. “Ya daripada jadi buruh, jadi petani penghasilannya lebih lumayan,” selorohnya. Pertanian di desa Bugel sudah berkembang dengan sangat baik sehingga sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidup sebagai petani sayur dan buah. ”Untungnya lebih banyak,” ujarnya. Perkembangan pertanian di Desa Bugel tidak lepas dari hasil penelitian Dr. Ir. Dja’far Shiddieq, dosen Fakutas Pertanian UGM, yang sudah berlangsung sejak 1996 hingga sekarang. Keinginan untuk membantu meningkatkan hasil pertanian masyarakat menjadi motif utamanya mengadakan penelitian di sana. “Karena yang dapat saya lakukan hanya dengan meneliti keadaan tanahnya itu, agar

10

balkon

dapat hasil lebih baik,” kata Dja’far. Awalnya, salah satu penduduk Bugel menemukan tanaman cabai yang tumbuh begitu saja di gumuk pasir. “Setelah itu, gumuk pasir mulai dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menanam cabai,” ujar Harjoso. Ia menambahkan, penanaman kala itu masih menghadapi kesulitan. Dja’far menerangkan dalam makalahnya, lahan gumuk pasir memang lebih sulit dikelola daripada lahan biasa. Sebab, lahan di antara pertemuan daratan dan lautan ini memiliki tingkat ketersediaan unsur hara yang rendah. Selain itu, lahan pasir merupakan gumuk-gumuk pasir yang terbentuk secara alamiah antara endapan pasir dan hempasan ombak laut, sehingga berpotensi membentuk gumukgumuk baru. Selain lahan yang sulit dikelola, angin laut yang mengandung kadar garam tinggi menjadi salah satu hambatan. Ia menjelaskan, tanaman yang meyerap kadar garam terlalu tinggi akan membusuk karena kelebihan mineral. Untuk mengatasi permasalahan ini, awalnya petani membuat anyaman dari daun kelapa sebagai penahan angin laut. Dja’far menyarankan untuk menanam cemara udang. Tanaman ini memiliki batang dan akar yang kuat sehingga mampu menghalau angin laut. Jika dibandingkan dengan anyaman dari daun kelapa,


tanaman ini lebih efisien. Tanaman lini ebih efektif menghalau angin setelah berumur 4-5 tahun. Selain angin laut, Dja’far menerangkan, sulitnya pasir mengikat air juga menjadi masalah. Hal ini disebabkan tingkat penguapan dan penyerapan air yang cukup tinggi. Petani berupaya mengatasinya dengan mencampurkan pasir dengan pupuk kandang. Dja’far menyarankan untuk menambah tanah liat dan jerami. “Tanah liat dan jerami sangat efisien untuk meningkatkan pengikatan air,” ujar Dja’far. Selain itu,bahan-bahan itu mudah didapatkan. Dampaknya, penggunaan air lebih hemat 30% dari sebelumnya. Dja’far menerangkan, tidak semua tanaman dapat tumbuh dengan baik di lahan pasir. Pemilihan tanaman yang tepat menjadi tantangan lain yang harus dihadapi oleh petani. “Tanaman terong, sawi, dan semangka bisa tumbuh cukup baik di gumuk pasir. Ketiga tanaman ini tidak memiliki batang yang tinggi sehingga tidak mudah tumbang oleh tiupan angin laut,” paparnya. Ia juga menawarkan beberapa tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi.“Melon dan bawang merah sama-sama bernilai jual tinggi, apalagi tanaman ini juga punya ketahanan terhadap alam pesisir pantai yang tidak menentu,” imbuhnya. Berbagai upaya yang dilakukan membuat petani bisa merasakan peningkatan produktivitas. “Agak lumayan hasilnya setelah menggunakan saran dari bapak Dja’far,” cerita Teguh. Tanaman bawang merah yang awalnya mendapat keuntungan Rp.7.700.000,00 bisa menjadi Rp.13.600.000,00 dalam satu musim dengan luas lahan 0,1 hektar. Senada dengan Teguh, Hafidz menjelaskan tanaman cabai yang awalnya hanya mendapat keuntungan Rp.9.500.000,00 bisa menjadi Rp.14.000.000,00

dalam satu musim panen dengan luas lahan 0,15 hektar. Namun demikian, ada persoalan yang cukup sulit untuk diprediksi secara ilmiah. “Kondisi cuaca saat ini semakin tidak menentu,” kata Dja’far. Cabai yang ditanam Hafidz pernah busuk akibat terlalu banyak terkena hujan. Prediksi awal para petani meleset. “Kerugian saya waktu itu sampai Rp.3.000.000,00 karena enggak panen,” terang Hafidz. Meskipun bermanfaat bagi para petani, bukan berarti penelitian Dja’far tak menghadapi kendala. Dana yang terlambat tak jarang menjadi hambatan. Dja’far pun tak segan merogoh kocek pribadinya demi kelancaran penelitian. “Biasanya penelitian sudah selesai, uang baru turun, jadi saya pakai uang sendiri dulu,” katanya. Widodo Usman, salah satu staf LPPM mengakui lambannya aliran dana dari pemerintah. Hal ini disebabkan proses persetujuan DPR yang memakan waktu lama. “Inilah keadaan sistem birokrasi yang dimiliki negeri ini,” keluhnya. Ia menambahkan, pihak LPPM sebenarnya sudah mengusahakan agar dana bisa turun cepat. “Surat kepada pemerintah untuk segera mencairkan dana penelitian selalu dikirim oleh LPPM,” terangnya. Di tengah kondisi seperti ini, Dja’far memiliki harapan besar terhadap pertanian Indonesia. Dosen Fakultas Pertanahan ini berharap dapat memajukan pertanian sebagai komoditi pangan nasional. Akan tetapi, untuk mewujudkan harapan ini, diperlukan dukungan dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat , akdemisi, dan pemerintah. “Jadi pertanian Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan tidak perlu melakukan impor lagi,” pungkasnya. [Fikri,Ucig]

Desember2013

11


Statistik

Inkonsistensi Penelitian UGM Penurunan jumlah penelitian tiga tahun terakhir membuktikan ketidaksiapan UGM untuk menyandang World Class University.

S

ebagai salah satu lembaga pendidikan, Universitas Gadjah Mada (UGM) merupakan perguruan tinggi yang tak jarang melakukan kegiatan penelitian. Hal tersebut dilakukan salah satunya untuk memenuhi tuntutan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam hal penelitian dan pengembangan. Penelitian dilakukan guna mendukung UGM dalam mewujudkan World Class University (WCU). Upaya untuk mewujudkan universitas kelas dunia termaktub dalam visinya. Universitas ini bertekad menjadi universitas riset kelas dunia yang unggul, mandiri, bermartabat, dan dengan dijiwai Pancasila mengabdi kepada kepentingan dan kemakmuran bangsa. Ditambah, UGM memiliki misi khusus meningkatkan kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat berkelas dunia, beridentitas kerakyatan serta membangun sosio-budaya Indonesia, menuntaskan transisi UGM menjadi universitas yang mandiri dan mempunyai tata kelola yang baik. Maka dari itu dalam praktiknya, riset telah dianggap menjadi kegiatan wajib di UGM. Namun dalam tiga tahun terakhir kegiatan penelitian mengalami penurunan dalam produktivitas jumlah riset. Ditambah lagi, beberapa fakultas dan pusat studi di UGM tidak memiliki pengarsipan yang

12

balkon

baik. Buktinya ketika dimintai data terkait jumlah penelitian beberapa dari mereka hanya memberi informasi jumlah hasil riset melalui selebaran berisi diagram, tanpa menyertakan judul dan dana yang diperoleh dalam melakukan riset. Dalam tulisan ini, analisis data hasil riset melibatkan beberapa fakultas, pusat studi dan LPPM untuk mendukung kelengkapan analisis dan penulisan. Banyaknya fakultas di UGM menimbulkan kendala dalam pengambilan dan analisis data. Pemilihan beberapa fakultas di mana berasal dari 4 klaster yang bisa merepresentasikan UGM. Tiap klaster diwakili oleh dua fakultas. Fakultas-fakultas tersebut yakni : Fakultas Pertanian, Fakultas Peternakan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Fakultas Psikologi, Fakultas Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Teknik. Kemudian, grafik yang tersaji juga menggunakan data yang berasal dari Pusat Studi Pancasila (PSP), Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK), Pusat Studi Wanita (PSW) dan lain-lain. Pada 2010 jumlah penelitian memiliki angka tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Menurut pengolahan data dari delapan fakultas, penelitian yang dihasilkan sebanyak 720. Pada tahun


2010 Fakultas Kedokteran (FK) menghasilkan jumlah penelitian paling tinggi dibandingkan kedelapan fakultas yang lain. Pada tahun tersebut FK menghasilkan 213 riset. Jumlah tersebut menyumbang 29,6% dari jumlah keseluruhan riset. Pada tahun yang sama Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) menghasilkan jumlah penelitian paling sedikit dibanding kedelapan fakultas lainya. Fakultas tersebut menghasilkan 22 penelitian pada tahun 2010, dengan persentase sebesar 0,03%. Pada 2011, produktivitas penelitian ternyata mengalami penurunan. Berdasarkan hasil analisis, total penelitian yang dilakukan ada 693. Artinya, ada penurunan sejumlah 27 penelitian pada 2011. Pada tahun tersebut, FK masih menjadi fakultas paling produktif. Meskipun begitu, jumlah penelitian FK juga mengalami penurunan dari 2010. Pada 2011 FK menghasilkan 211 penelitian sedangkan pada 2010 menghasilkan 213. Di samping itu, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) menempati peringkat paling bawah dengan 10 penelitian. Fisipol mengalami penurunan produktifitas yang cukup signfikan apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2010, 31 judul penelitian mampu dihasilkan. Sedangkan FKG mengalami peningkatan produktivitas riset dari tahun 2010 sebanyak satu judul sehingga totalnya menjadi 23 riset. Jumlah penelitian tersebut bertambah satu judul daripada tahun sebelumnya. Produktivitas riset mengalami tingkat paling buruk di tahun 2012. Dalam periode ini jumlah riset yang dilakukan sebesar 197. Dibandingkan dua tahun sebelumnya, jumlah riset tahun ini lebih sedikit. Hampir semua fakultas mengalami penurunan dari dua tahun terakhir. Jumlah riset paling banyak hanya 61 judul yang dilakukan oleh Fakultas Teknik. Produktivitas riset yang ada di pusat studi pun tak jauh berbeda. Sebagai lembaga pengembangan pengetahuan, pusat studi masih belum melakukan fungsinya secara maksimal. Dapat dilihat dari

beberapa pusat studi mengalami kemacetan riset pada tiga tahun terakhir. Dari 28 pusat sudi di UGM hanya 15 yang produktif dalam tiga tahun terakhir. Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa Pusat Studi Kebudayaan yang paling sedikit melakukan riset. Pusat studi itu hanya menghasilkan tiga penelitian pada tiga tahun terakhir. Satu penelitian dilakukan pada 2012 dan dua penelitian pada 2011. Dalam penelitian tersebut Pusat Studi Kebudayaan memberikan kontribusi 1,4% dari jumlah total. Di lain sisi, Pusat Studi Bencana dan Pusat Studi Ekonomi Kebijakan Publik menyumbang paling banyak penelitian dalam tiga tahun terakhir. Keduanya, masing-masing menyumbang 29 judul penelitian dan jumlah menyumbang 24% dari total jumlah penelitian. Berdasarkan data yang diolah, dapat dilihat jumlah penelitian tahun 2010-2012 di delapan fakultas dan pusat studi mengalami fluktuasi. Bahkan pada 2012 jumlah penelitian dari delapan fakultas tersebut menurun. Dalam penelitian yang dilakukan oleh delapan fakultas pada periode 20102012 sumber pendanaan yang digunakan bervariasi. Sumber tersebut di antaranya, didapat dari dana Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), dana fakultas, dana masayarakat, mandiri, hibah, dan kerjasama dengan pihak tertentu.

Melihat hal itu, UGM masih harus berusaha keras untuk mencapai World Class University. Terlihat tidak ada konsistensi khususnya, dalam produktivitas penelitian yang dilakukan oleh UGM. Masalah lain yang perlu dibenahi adalah pengarsipan hasil riset. Dalam hal ini masih ada beberapa fakultas yang masih merujuk LPPM untuk pengambilan data hasil penelitian yang dilakukan. Oleh karena itu, UGM harus melakukan pembenahan dalam produktivitas baik kuantitas maupun kualitas, hingga pengarsipan hasil penelitian. [Aryo, Sofiyah, Rifki]

Desember2013

13


Dialetika

Menelisik Polemik Manajemen Trans Jogja

“Ibarat penyakit, ini sudah stadium tiga,” ungkap Paino, mantan supir bus Trans Jogja terkait berbagai masalah di PT JTT.

M

ulanya, pengadaan bus Trans Jogja diharapkan mampu mengatasi persoalan transportasi, termasuk menurunkan tingkat kemacetan di Yogyakarta. Namun kenyataannya, setelah lebih dari lima tahun beroperasi kemacetan belum juga teratasi. Belum lagi berbagai persoalan yang mencuat, mulai dari ketenagakerjaan hingga indikasi korupsi di tubuh manajemen PT Jogja Tugu Trans (JTT), perusahaan rekanan pemerintah dalam menjalankan operasional Bus Trans Jogja. Berbagai persoalan tersebut didedah dalam diskusi “Menyoal Transportasi Publik di DIY” pada Jumat (20/9) lalu. Acara yang diselenggarakan di sekretariat BPPM BALAIRUNG, komplek perumahan dosen UGM, B-21, Bulaksumur, Yogyakarta ini menghadirkan Hendra Edi Gunawan, peneliti dari Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM. Perwakilan pekerja PT JTT pun hadir sebagai narasumber. Mengawali diskusi, Arsiko Aldebarant, salah satu korban PHK sepihak, memaparkan berbagai persoalan di bidang ketenagakerjaan, termasuk yang dialaminya sendiri. Pertama, ia membeberkan pemotongan gaji dan pendapatan karyawan. Selama ini, hak yang diterima karyawan tidak sesuai dengan Biaya Operasional Kendaraan (BOK) yang tercantum dalam tercantum dalam perjanjian kerja sama antara Pemda DIY dengan PT JTT. Dia mengakatakan, gaji seorang sopir bus Trans Jogja seharusnya Rp 2.339.247,00. Namun, selama ini Arsiko dan pekerja lainnya hanya menerima upah sebesar Rp 1.554.000,00 tiap bulan. Begitu juga pada pemberian uang Tunjangan Hari Raya (THR). Ia juga memaparkan indikasi korupsi yang

14

balkon

BALAIRUNG/Yesika

merugikan masyarakat pengguna Trans Jogja. Arsiko menyatakan, keadaan bus Trans Jogja memang sangatlah buruk. Mulai dari pintu masuk yang rusak, wiper macet, lampu besar bus rusak, rem tidak pakem, hingga handrem blong. Menurut Arsiko, kerusakan pada fasilitas di bus Trans Jogja membuat para penumpang tidak nyaman. Terlebih, dengan keadaan seperti itu, bus Trans Jogja tetaplah lolos uji kelayakan oleh Dishub. Melihat keadaan di PT JTT saat ini, Arsiko menyimpulkan bahwa menejemen PT JTT itu diisi oleh orang-orang yang tidak kompeten. Hal tersebut menyebabkan berbagai masalah muncul di PTT JTT. Selain gaji pegawai yang tidak dibayarkan dan bus yang dibiarkan rusak parah, menejemen PT JTT juga melakukan intimidasi dan ancaman PHK kepada beberapa pegawainya yang menuntut haknya. Intimidasi tersebut diterima dalam bentuk pesan singkat dan telepon. Para pegawai PT JTT tidak berani melawan karena menejemen PT JTT sendiri telah mempekerjakan satpam non-struktural untuk mengawasi kerja para pegawai. Tak hanya sampai di situ, PT JTT juga melakukan ancaman PHK dengan mengirim sms atau telepon kepada pekerja agar tidak ikut aksi protes, serta melarang pekerja membuat serikat pekerja. masih ada lagi pelanggaran lain terhadap hak pekerja. Zainul, mantan pengemudi bus Trans Jogja, menyatakan bahwa pekerja perempuan tidak boleh hamil. Jika hamil, mereka tidak mendapatkan cuti hamil dan diberhentikan sementara. “Salah satu korbannya adalah mbak Rina,” Zainul menceritakan pengalaman temannya. “Dia dua kali hamil, dan dua kali dikeluarkan dari JTT” katanya. Pria korban PHK sepihak ini juga


mengungkapkan bahwa pembentukan serikat pekerja dilatarbelakangi oleh masalah yang menggunung di PT JTT. Salah satunya kecelakaan yang menimpa seorang pegawai PT JTT. “Pada saat itu, teman kami ada yang mengalamai kecelakaan kerja dan butuh dana sembilan belas juta untuk berobat, tetapi menejemen PT JTT hanya memberikan dana santunan sosial saja,” katanya. Puncak aksi serikat pekerja dimulai pada awal bulan September 2013. Pegawai yang tergabung dalam serikat pekerja melakukan demo di depan garasi PT JTT. Aksi demo dilakukan dengan mendirikan tenda dan menginap selama beberapa hari. Seminggu berselang, para pengemudi yang tergabung dalam serikat pekerja melakukan aksi mogok kerja selama 4 jam. Mereka memarkirkan bus di sepanjang jalan malioboro dan di Alun-Alun utara. Kemudian melakukan unjuk rasa di depan DPRD. “Kita ke DPRD cuman ditanggapi dingin, diiyakan saja. Lalu siapa yang bertanggung jawab dengan nasib kami?” seloroh Zainul. Aksi protes yang dilakukan oleh serikat pekerja tersebut juga yang mengantarkan para anggotanya pada PHK sepihak oleh PT JTT. “Saya tidak salah, tapi saya di-PHK. Alasannya saya provokator di serikat pekerja,” tutur Arsiko. Karena ancaman PHK itulah, ia mengungkapkan, tidak semua pegawai PT JTT berani masuk dalam serikat pekerja. Korban PHK sepihak lainnya adalah Paino. Dia mengungkapkan bahwa niatnya ingin membangun PT JTT agar lebih baik, namun malah terkena PHK sepihak oleh perusahaan. Hingga saat ini, sekitar 20 orang pekerja PT JTT telah resmi di PHK secara sepihak. “Ibarat penyakit, ini sudah stadium tiga”, ungkap Paino, seorang mantan sopir bus Trans Jogja. Paino mengungkapkan, Bus Trans Jogja sebagai transportasi umum merupakan garda kedua dalam pariwisata Jogja. Karena itu, sudah seharusnya dibenahi dan dikelola secara baik. Eka salah seorang peserta diskusi yang juga anggota Dewan Mahasiswa Justicia, memberikan pandangannya terkait permasalahantersebut. Menurutnya, pemotongan upah memang bisa terjadi, jika upah tersebut terkena pajak penghasilan, jamsostek, dan ganti rugi. Dia mengungkapkan bahwa pekerja yang sudah bekerja minimal selama tiga tahun sudah seharusnya menjadi pegawai tetap. Namun kenyataannya banyak dari pegawai PT JTT yang bekerja lebih dari lima tahun dan belum diangkat menjadi pegawai tetap. Terakhir, Eka mengatakan bahwa PHK seharusnya ditetapkan dengan cara dirundingkan dengan beberapa pihak terkait. “PHK tanpa peringatan sebelumnya itu batal secara hukum, ” tambahnya. PHK sepihak yang dilakukan oleh PT JTT sudah melanggar aturan. Pemotongan upah yang dilakukan PT JTT telah melanggar UU nomor 36 pasal 21 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Pelanggaran lain yang

dilakukan oleh PTT BALAIRUNG/Yesika JTT mengenai status kerja kontrak juga melanggar beberapa aturan, antara lain, UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. “Alasan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan bukan menjadi penyelesaian atas kebohongan yang ditutupi,” papar Eka. Serikat pekerja juga sudah melaporkan kasus ini kepada beberapa pihak terkait. Seperti Kementerian Hukum dan HAM, Dinas Tenaga Kerja Provinsi DIY, komisi Nasional Hak Asasi Manusia, DPRD Yogyakarta, hingga audiensi untuk bertemu dengan Gubernur DIY. Namun sampai saat ini belum ada tindakan nyata dari lembaga-lembaga tersebut dalam merespon permasalahan ini. “Kami hanya mohon perhatian masyarakat untuk bela kaum pekerja,” ungkap Arsiko. Hani, salah satu peserta diskusi, bertanya kepada Hendra selaku pakar transportasi dan perwakilan Pustral. “Kajian yang dilakukan Pustral ini masuk dalam bagian mana dalam kaitannya dengan persoalan dari kawan-kawan buruh?” Hendra menjelaskan bahwa PUSTRAL seringkali memberi solusi tentang konsep kelembagaan dan konsep manajemen. “Harapan sebenarnya agar angkutan umum bisa berjaya jika dibandingkan dengan kendaraan pribadi,” papar Hendra. Diskusi yang berlangsung hingga petang ditutup oleh pernyataan dari salah satu peserta diskusi, Marsen. Menurutnya, pihak PT JTT terlihat arogan dengan melakukan tindakan sewenang-wenang kepada para pekerjanya. Ada dua pihak yang dirugikan PT JTT terkait masalah yang sedang terjadi ini. Pertama adalah para pekerja. Kedua adalah masyarakat pengguna Trans Jogja yang memang dibahayakan hidupnya oleh pengelola dari PT JTT yang korup. Arsen menyampaikan peran masyarakat sangat penting untuk membenahi kebobrokan dalam tubuh PT JTT. “Saya pikir namanya itu Gerakan Ketidakpercayaan Publik Terhadap Otoritas Pengelola Transportasi Publik Di Jogja,” pungkasnya. [Desinta, Tyo]

Desember2013

15


Apresiasi

Semangat Perlawanan dalam Poster Aksi BALAIRUNG/Anung

Tragedi kemanusiaan yang tidak terselesaikan mengusik Alit Ambara. Desain poster jadi senjatanya menyampaikan pesan perlawanan.

R

atusan poster tersusun rapi, menggantung pada dinding-dinding ruangan. Warna-warna cerah menyala dan tulisan kapital bernada kritik menarik pandangan. Di salah satu sisi dinding, terpajang poster bergambar wajah wanita dengan pedang terbenam di lehernya. Pedang itu seakan siap memenggalnya. Wanita tersebut digambarkan sebagai seorang buruh migran yang dipancung. “Ruyati”, begitu kata yang tertulis pada poster. Sosok perempuan ini mulai dikenal publik sekitar tiga tahun yang lalu. Ruyati binti Satubi adalah seorang TKW yang dihukum pancung di Arab Saudi. Ia dituduh membunuh majikannya, Khairiya Hamid binti Mijlid dengan pisau dapur. Pengadilan Arab Saudi memvonis bersalah dan menjatuhkan hukuman pancung pada wanita asal Bekasi ini. Saat hukuman qisas tersebut berlangsung, keluarga korban tidak tahu-menahu tentang hal itu. Mereka merasa diperlakukan tidak adil. Pemerintah dianggap tidak berusaha mambantu kasus Ruyati ini. Ironisnya lagi, pemancungan yang dialami Ruyati terjadi sesaat setelah Presiden memberikan pidatonya tentang perlindungan buruh migran yang berlangsung di Jenewa, Swiss. Terkait hukuman tersebut, keluarga korban hanya bisa pasrah dan meminta jenazah Ruyati bisa dipulangkan ke kampung halaman.

16

balkon

Sebelum divonis hukuman pancung, Ruyati sempat diadili. Wanita itu tidak diberi kesempatan untuk membela dirinya di pengadilan. Hal ini karena pihak keluarga majikan tidak memberi ampunan pada Ruyati. Sehingga, ia langsung dijatuhi hukuman mati. Kasus Ruyati ini merupakan salah satu pelanggaran HAM dan diskriminasi terhadap buruh migran, khususnya perempuan. Ruyati hanyalah contoh dari segelintir kasus buruh migran yang dihukum mati. Masih banyak Ruyati lainnya yang sedang menunggu hukuman pancung di luar negeri. Poster-poster provokatif yang sarat isu-isu sosial ini diilustrasikan dengan baik oleh Alit Ambara, seorang seniman asal Singaraja, Bali. Begitu lulus kuliah, Alit mendirikan studio desain grafis Nobodycorp Internationale Unlimited. Sekitar 180 poster karyanya berukuran 80 x 100 cm dipajang dalam pameran bertajuk “Posteraksi” pada 16-24 Oktober lalu. Poster-poster yang dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta ini mengangkat tema sosial, politik, konflik agraria, dan HAM. Poster yang banyak menyinggung kejadian kemanusiaan ini dibuat Alit mulai tahun 2010-2013. Gambar-gambar hasil cetak digital ini menjadi sarana penyampaian pesan yang efektif bagi Alit. Ia berniat mengutarakan kegelisahan dirinya terhadap masalahmasalah yang terjadi di Indonesia. Isu-isu tersebut diusung oleh desainer yang juga aktivis HAM tahun 1998 ini karena kasus-kasusnya sering menggantung dan beritanya hilang begitu saja. Alit mempresentasikan salah satu kasus yang terabaikan itu dengan menampilkan gambar seorang ibu sedang menggendong anaknya. Dalam poster terselip tulisan “Sampang”, yang berpadu dengan


latar berwarna merah menyala dan ilusi percikan api. Propaganda berbentuk teks ini bertuliskan: ‘Galang solidaritas, menuntut negara melindungi Republik Indonesia dari fasisme yang menamakan agama’. Rupanya Alit ingin mengingatkan pengunjung tentang kejadian penyerangan terhadap penganut Syiah di Sampang, Madura. Tragedi Sampang ini telah melanggar kebebasan beragama. Masyarakat yang beragama minoritas dipaksa meninggalkan kampung halamannya. Tempat tinggal mereka dibakar. Mereka tidak lagi diterima sebagai warga Sampang. Anehnya, kejadian seperti ini sering diabaikan oleh aparat keamanan maupun pemerintah. Pemerintah terkesan tak peduli pada masalahmasalah sosial seperti itu. Oleh karenanya, Alit merasa tergerak untuk mengangkat isu kemanusiaan tersebut dalam poster. Peristiwa yang terjadi di Kulon Progo, misalnya. Petani harus merelakan lahannya untuk dijadikan tambang pasir. Konflik agraria ini membuat petani kehilangan mata pencahariannya. Lahan mereka dibeli paksa oleh para pengusaha. Perusahaan-perusahaan besar sangat agresif ingin menguasai lahan yang luas. Lahan-lahan itu kebanyakan digunakan untuk ekspansi bisnis. Kasus tersebut divisualisasikan oleh Alit melalui poster yang menampakkan guratan tangan petani sedang bercocok tanam. Di samping gambar padi yang ditanam terdapat tangan yang sedang mengepal. Kepalan tangan itu mengisyaratkan perlawanan petani terhadap penguasa. Tak lupa

BALAIRUNG/Anung

lambang-lambang perusahaan minyak terkenal dicantumkan di pojok kanan bawah poster. Simbol penguasa itu diberi ultimatum: ‘Bertani atau mati, menanam adalah melawan’. Keseluruhan tema poster yang diusung Alit menciptakan kesan perlawanan dan pergerakan. Hal inilah yang membuat pengunjung merasa dekat dengan isu-isu yang diangkat dalam poster. Mereka yang datang nampak antusias mencermati seluruh detail gambar pada poster. Sholahuddin salah satunya, ia mengaku sangat terkesan dengan poster bergambar Wiji Thukul, seorang seniman yang hilang karena menyuarakan kritik keras terhadap rezim orde baru. “Posternya sangat bagus dan mengena bagi orang yang melihatnya,” ujarnya. Berbeda dengan Sholahuddin, Yuli Rukmini yang juga pengunjung pameran mengungkapkan ketertarikannya pada poster bergambar Soeharto. Presiden era 1966-1998 ini digambarkan sedang mencekik seseorang. ‘Piye kabare? Iseh kepenak jamanku toh, apa-apa murah termasuk nyawamu!’ begitu teks yang tertulis Alit dalam posternya. “Poster Soeharto ini sangat kontroversial, sarat dengan sindiran,” tutur wanita ini. Alit menjelaskan bahwa poster-poster yang dipamerkan bertujuan untuk mengkontruksi realitas yang ada di Indonesia sekarang ini. Harapannya, akan muncul makna baru yang cepat menggugah kesadaran seseorang dibandingkan lewat tulisan. “Poster ini merupakan bentuk presentasi yang berbeda dari masalah yang sudah terjadi,” tutur alumni Institut Kesenian Jakarta ini. Sejak tahun 1993, Alit telah menghasilkan lebih dari 1000 poster yang dimuat di website Posteraksi dan Nobodycorp Internationale Unlimited. Seluruh posternya disebarluaskan melalui jejaring sosial media dan berbasis lisensi Creative Commons (BY-NC-ND 3.0). Artinya, semua orang dapat mengunduh posternya melalui website secara gratis dengan mencantumkan sumbernya. “Dengan tersebarluasnya poster-poster itu diharapkan dapat menggugah rasa simpatik banyak orang,” tutup Alit. [Dessy]

Desember2013

17


Potret

Dari NOL Foto dan teks : Yesika Theresia Sinaga Malam itu (21/9), seperti malam biasanya di Malioboro. Pedagang kaki lima, musisi jalanan, komunitas-komunitas, dan wisatawan ikut meramaikan dari ujung ke ujung jalan Malioboro. Menyusuri jalan sampai Nol Km ada sesuatu yang tak bisa dilewatkan. Sekumpulan orang berkostum layaknya Hantu tepat berada di bawah Tropic Effect. Terdiri dari berbagai kalangan yang prihatin melihat para wisatawan yang kebingungan mencari tempat sampah di sepanjang jalan Malioboro, mereka membentuk komunitas Hantu Nol Km. Maka, komunitas yang berdiri sejak Desember 2012 ini pun bertujuan untuk menyediakan tempat sampah di sepanjang jalan Malioboro. Penghasilan dari ketertarikan para pengguna jalan yang berfoto bersama, nantinya akan digunakan untuk pembuatan tempat sampah di sepanjang jalan Malioboro. Lokasi Nol Km dipilih sebab merupakan titik awal dari segala perubahan ke arah yang lebih baik. Banyak kendala yang menghadang, seperti susah izin peletakan tempat sampah serta kerugian untuk biaya make-up dan kostum. Meski demikian, para “Hantu� ini masih berharap untuk dapat mewujudkan Jogja yang bersih dan nyaman.

18

balkon


Desember2013

19


Komunitas

Lestarikan Budaya lewat Wayang Kontemporer Pertunjukkan wayang tidak selamanya terkesan kaku. Sekumpulan mahasiswa ini mampu menampilkannya secara atraktif dalam balutan modern.

S

uasana panggung di dalam ruangan tampak gelap. Seberkas cahaya datang dari lampu di balik kelir pewayangan. Tepat di tengahnya, wayang berbentuk gunungan tegak mematung. Sejenak kemudian, musik berirama khas Timur Tengah mengalun. Gunungan wayang meliukliuk mengikuti alunan musik, lalu berganti dengan suara riuh hiruk-pikuk suasana pasar. Sesosok wayang berbusana Timur Tengah tampak berjalan mengendap-endap sambil membawa sebuah apel. “Wah, lumayan dapat apel nih. Tapi kok setengahnya busuk?” ujar wayang berpeci. Tiba-tiba dari balik gunungan, sesosok wayang berjanggut datang. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah wayang berpeci yang ternyata adalah Aladin. “Woi! Dasar bocah pencuri! Kembalikan apelku! Dasar kau ini bocah nakal!” teriaknya pada Aladin yang tertangkap basah mencuri apel dagangannya. “Yaelah, pak, cuma sebuah apel, setengahnya juga busuk,” ujar Aladin. “Lagipula Bapak kan sudah kaya, bagilah apel ini kepada kami yang miskin ini sedikit,” kata Aladin menasihati. Sepenggal dialog dalam lakon berjudul ‘Aladin dan Lampu Ajaib’ tersebut dipentaskan Komunitas Semata Wayang dalam acara Art for Charity Juni lalu. Bertempat di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya UGM, komunitas ini menampilkan pementasan wayang yang berbeda. Dalam pementasan tersebut, Semata Wayang mementaskan pertunjukan wayang kontemporer. Nama Semata Wayang sendiri adalah

20

balkon

BALAIRUNG/Yesika

akronim dari frasa ‘Sekumpulan Mahasiswa Pecinta Wayang’. Berdirinya Semata Wayang digagas sekumpulan mahasiswa Sastra Inggris yang hendak mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN). Ketika itu, mereka meminta pendapat Drs. Eddy Pursurbayanto, M.Hum., dosen jurusan Sastra Inggris tentang alternatif program KKN. “Apakah program KKN mahasiswa Sastra Inggris hanya mengajar bahasa Inggris? Apa tidak bisa yang lain?” ungkap Eddy. Ia ingat pada 2008, pertanyaan tersebut muncul dari sekumpulan mahasiswa Sastra Inggris ’07. Ashika Prajnya Paramita adalah salah satu penggagasnya. Ashika dan kawan-kawannya ingin mengadakan pelatihan pembuatan wayang waktu itu. Gagasan tersebut bermula dari tugas pengamatan langsung terhadap pertunjukkan wayang pada mata kuliah Dasar-Dasar Ilmu Budaya. Setelah tugas pengamatan usai, ide pembuatan wayang muncul. Namun wayang yang akan mereka buat bukanlah wayang kulit klasik, tetapi wayang kontemporer. “Wayang yang kami buat sederhana dengan lakon cerita rakyat, agar lebih mudah diterima penonton,” tutur Ashika Sekumpulan mahasiswa Sastra Inggris tersebut akhirnya merencanakan program pelatihan pembuatan wayang, yang menyasar anak-anak di daerah tujuan KKN. Selama proses perencanaan, mereka dibimbing Eddy, dosen pengampu mata kuliah Dasar-Dasar Ilmu Budaya yang juga dalang wayang kancil. Sebagai permulaan, mereka membuat wayang yang bentuknya sederhana, seperti wayang binatang. Eddy kemudian mengajari mereka teknis pementasan wayang. “Saya kasih tahu mereka polanya, cara pegang wayang, tata letak panggung,


dan pencahayaan,” ujarnya. Ada keunikan dari setiap pertunjukan komunitas ini. Wayang yang mereka tampilkan adalah wayang kontemporer. Lakon yang dipentaskan biasanya berasal dari cerita rakyat di Indonesia. “Bentuk wayangnya pun bermacam-macam, menyesuaikan dengan cerita yang dipentaskan,” ujar Sinatrya Haryo Wicaksono, ketua Semata Wayang yang akrab disapa Boyo. Mahasiswa Sastra Inggris ’10 ini juga menuturkan, bahan baku pembuatan wayang mereka bukanlah kulit, tetapi kertas marga. “Bahannya mudah didapat, jadi semua orang pun bisa membuatnya,” ucap Boyo. Jalan cerita lakon yang dibawakan komunitas ini amat sederhana. “Kita berusaha agar cerita rakyat yang dipentaskan mudah dipahami penonton,” ungkapnya. Tidak jarang humor disisipkan dalam setiap pementasan. Boyo menuturkan, hal ini dilakukan agar penonton tertarik menyimak pementasan mereka. Selain itu keunikan lainnya adalah Semata Wayang mementaskan wayang dwibahasa. Mereka menggunakan bahasa asli dari daerah cerita rakyat yang dipentaskan serta bahasa Inggris sebagai terjemahannya. Alasan dipakainya terjemahan bahasa Inggris lebih sebagai identitas bahwa para pecinta wayang ini berasal dari jurusan Sastra Inggris. “Itu juga jadi ajang latihan alih bahasa untuk kami,” lanjutnya. Bahasa daerah yang mereka gunakan dalam

BALAIRUNG/Yesika

setiap pementasan, membuat pegiat komunitas ini belajar kultur dari daerah asal cerita rakyat yang mereka bawakan. Boyo mencontohkan, ketika mereka mementaskan lakon dari daerah Lombok, pegiat Semata Wayang harus mempelajari logat dari daerah ini. “Kami sampai mengundang teman asal Lombok karena logatnya susah sekali ditirukan,” tuturnya. Kesulitan untuk menyuarakan berbagai karakter suara yang berbeda membuat pegiat komunitas ini melakukan terobosan. “Kami paham untuk jadi dalang yang mampu menyuarakan berbagai karakter suara yang berbeda itu susah,” ungkap Boyo. Sadar akan keterbatasan ini, komunitas Semata Wayang pun menggunakan pengisi suara. Boyo menuturkan,

banyaknya pengisi suara disesuaikan dengan jumlah karakter yang dipentaskan. Selain itu, mereka juga tidak menggunakan gamelan sebagai musik pengiring. “Digunakannya efek audio, selain menarik juga fleksibel untuk membangun suasana yang pas,” ujarnya. Keunikan tersebut telah membuat komunitas ini beberapa kali mendapatkan penghargaan. Salah satunya adalah pemecahan rekor wayang dwibahasa di Semarang pada 2008 lalu. Rekor ini dipecahkan beberapa komunitas wayang asal Semarang dan juga Semata Wayang. “Kita pentas dengan lima bahasa waktu itu,” ucap Ashika yang saat itu terlibat dalam pementasan. Komunitas tersebut juga masuk dalam ajang nominasi film dokumenter Eagle Award di salah satu stasiun TV swasta. “Profil kami diliput ketika kami pentas di Cangkringan sebagai bentuk pengabdian masyarakat,” jelas Boyo. Dalam film dokumenter ini, Eddy yang menjadi pembimbing di awal pembentukan Semata Wayang juga mengapresiasi komunitas tersebut. Ia berujar, kegiatan komunitas ini sebenarnya penyegaran bentuk cerita rakyat dalam seni pertunjukan. Melalui Semata Wayang, ia juga berharap agar jangan sampai orang Indonesia asing dengan budaya daerahnya. “Aneh kalau mengaku orang Indonesia tetapi kaget dengan budayanya sendiri,” tuturnya. Baginya, sebagai orang Indonesia wajar jika mereka mengapresiasi kearifan lokal melalui wayang walaupun pegiatnya sendiri adalah mahasiswa Sastra Inggris. “Yang tidak wajar itu jika orang asli Inggris yang mengapresiasi budaya Indonesia,” ujarnya. Semenjak berdiri hingga kini, generasi keempat, Semata Wayang tetap mempertahankan bentuk pertunjukan wayang kontemporer. Namun yang membedakan adalah keanggotaannya yang dulu fleksibel, kini telah terstruktur. Pada awalnya, siapapun mahasiswa yang tertarik dengan Semata Wayang bisa langsung bergabung dengan komunitas ini. Namun kini, ada beberapa tahapan tes yang harus dilewati, seperti tes wawancara dan tes tertulis layaknya organisasi. “Aku sebenarnya lebih suka ketika masih menjadi komunitas terbuka, kekerabatannya dekat,” ujar Ashika. Meski demikian, Ashika berharap agar Semata Wayang generasi keempat ini dapat aktif pentas di luar kampus. Ia mengatakan penting untuk membangun jaringan tidak hanya di lingkungan fakultas. “Kalau bisa tunjukkan keberadaan Semata Wayang ke universitas lain,” tuturnya. Sebagai ketua komunitas Semata Wayang, Boyo pun berharap agar komunitas ini dapat tetap memperkenalkan wayang dengan cara yang menyenangkan. Baginya hal ini penting karena zaman sekarang anak-anak lebih akrab dengan gadget ketimbang wayang. “Padahal wayang adalah budaya bangsa, kalau bukan kita yang melestarikannya, lantas siapa lagi,” tegas Boyo. [Anggun, Rahma]

Desember2013

21


Sosok

Bangun Bisnis Berbekal Cerita Komik Kartun Ngampus telah berhasil melejitkan bisnis Shiro. Kini, hasil tetes keringat pemuda itu telah jadi sumber penghidupannya.

D

elapan belas tahun yang lalu, seorang anak SD telah belajar menghasilkan uang dari jerih payahnya. Disaat bocah lain sibuk belajar, ia malah memilih untuk menggambar tokoh kartun. Gambar itu lalu ia jual ke teman-temannya. Kebiasaan ini masih berlanjut sampai sekarang. Berawal dari kebiasaan tersebut, pemuda bernama Muhammad Sirojuddin ini mampu berbisnis kaos. Sore itu (4/10), dikamar kos yang beralamat di Jalan Kh. Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta, Shiro, panggilan akrab pemuda itu, mulai bertutur. Bisnis kaos coba-coba ini berawal pada 2010, sesaat setelah Shiro merampungkan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Berbekal media sosial, dia pun mempromosikan produknya yang mengusung

22

balkon

BALAIRUNG/Yesika

tema mahasiswa dan komunitas pecinta musik metal. Sayangnya, setelah berjalan setahun kaos mahasiswanya mandek karena keterbatasan media promosi. Tak jauh berbeda, kaos metalnya pun susah laku. Jarang berkumpul bersama komunitas pecinta musik metal menjadi penyebabnya. Saat promosi mandek, Shiro tetap berusaha mempertahankan usaha kaosnya. Pasar bisnis yang didominasi mahasiswa membuatnya memilih menghentikan produksi kaos metal. Mahasiswa baru yang selalu ada setiap tahun menjadi salah satu alasan. Tak lama kemudian, dibuatlah olehnya produk gratisan berupa komik mahasiswa. “Konsepnya adalah untuk menghibur mahasiswa melalui komik. Karena sesusah apapun mahasiswa, mereka harus tetap bahagia,� cerita pemuda


kelahiran Pekalongan ini. Kartun Ngampus juga menjadi sarana promosi untuk kaosnya. Iklan Kaos Ngampus dicantumkan dalam setiap komik ciptaannya. Sejak saat itu Shiro mulai menekuni bisnis dengan serius. Meski berawal coba-coba, saat ini bisnisnya telah memiliki visi, yaitu sebagai tempat curhat. Desain kaos yang dibuat sebagian besar bercerita mengenai pengalamannya semasa kuliah. Mulai dari titip absen, skripsi, tugas kuliah, jadi objek kreativitasnya. Ia pun tak lupa menghimbau para konsumen untuk memilih produknya sesuai dengan hati. “Kalau ada pengalaman yang sama ya silahkan beli. Jadi tidak pernah ada pemaksaan,” ucapnya santai. Saat ini, Shiro tidak lagi sendiri mengelola bisnisnya. Sudah setahun ini dia dibantu oleh Adnan El-Magribi. Mengurusi produksi kaos, pesanan dan pengiriman merupakan tugas Adnan, sementara Shiro sebagai pembuat desain. Kemudian, Kaos Ngampus itu dipasarkan melalui internet dan reseller. Dalam satu bulan, penjualannya mencapai 200 hingga 300 buah. Sementara permintaan kaos meningkat, Kartun Ngampus pun mendapat respon positif. Dalam kurun waktu satu setengah tahun, fans page kartun dengan kepala botak berbadan lurus ini telah ‘disukai’ oleh lebih dari 200 ribu pengguna Facebook. Sampai sekarang pun kartun ngampus tetap dinanti penggemarnya. Ketenaran kartun ngampus tak lepas dari karakternya yang mudah dikenal dan diingat. Ada yang digambarkan dengan senyum manis dan muka polos. Si Polos namanya. Karena kepolosannya, karakter ini dapat digunakan dalam banyak percakapan. Ada juga karakter yang digambarkan dengan kumis tebal, alis mata lebat dan tatapan mata tajam. Karakter yang terkesan sangar ini diberi nama Dosen Killer. Selain itu, ada Si Muke Gile yang digambar dengan mulut menganga seperti orang kaget. “Itu terinspirasi karena saya orang yang kagetan,” celetuk pemuda berambut ikal ini. Tiga karakter itulah yang ditonjolkan oleh Shiro, sementara karakter lain hanyalah pelengkap cerita kartun ngampus. Melalui karakter-karakter itu, Shiro telah berhasil membuat sekitar 300 komik. Sayangnya, ia kadang masih menemui kendala dalam menciptakan cerita kartun ngampus. Seringkali pikirannya kosong di saat hasrat menciptakan komik sedang menggebu-gebu. Selain itu, pengalaman Shiro yang menjadi dasar cerita pun terkadang berbeda dengan orang lain. Hal itu menyebabkan penggemar kadang tidak mengerti apa yang sebenarnya ingin disampaikan Shiro. Menangani hal tersebut, mahasiswa Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota ’07 ini lantas membuat kartun ngampus menjadi open source. Tujuannya agar para penggemar dapat membuat komik sendiri. Asal bisa mengoperasikan aplikasi

pengolah gambar,mereka bisa menciptakan komik dengan bekal karakter yang telah ada. ”Jadi kadang kalau baca komik bikinan fans itu malah senyumsenyum sendiri,” ungkap Shiro sambil tertawa. Dia juga menambahkan bahwa membaca komik buatan penggemar bisa menambah inspirasinya. Tak kalah penting, keluh kesah mahasiswa seputar masalah kampus juga membantunya dalam pembuatan komik. Meski telah diberi kebebasan membuat komik, para penggemar kartun ngampus seringkali bertindak usil. Peraturan dalam fans page miliknya sudah jelas, karakter kartun ngampus hanya boleh digunakan untuk membuat komik dan foto profil. Bukan untuk digunakan untuk kepentingan komersial. Namun, para pelaku itu tak menggubris peraturan yang ada. Mereka mencetak kaos dengan menggunakan karakter kartun ngampus, lalu menjualnya. Hal yang tentunya dilakukan tanpa perizinan dari Shiro. Meladeni hal itu, Shiro mengaku akan langsung menindak keras para pelaku tersebut. Biasanya dia akan mencari data lengkap sang pelaku dan mengirimi mereka pesan melalui sms atau media sosial. Isi dari itu adalah menyuruh si pelaku untuk segera menghentikan perbuatannya. Jika pesan itu tidak diindahkan, maka Shiro tak segan untuk datang langsung menemui pelaku. ”Saya baik-baik saja kalau gak diganggu,” tegasnya. Di sisi lain, berkat kartun ngampus, beberarapa bulan yang lalu Elex Media Komputindo menawarkan Shiro untuk kerja sebagai pembuat komik di sana. “Tapi aku bingung, nanti kalau wajahku dipublikasi gimana?” tutur Shiro. Pemuda berkulit sawo matang ini memang tidak mau mempubikasikan wajahnya. Ia beranggapan menjadi sosok yang misterius itu lebih seru. Akhirnya, sampai sekarang ia masih belum menyanggupi tawaran itu dan memilih fokus kepada bisnisnya. Kini, Shiro menceritakan bahwa ia sanggup menanggung biaya hidup tanpa kiriman uang dari orang tua. Keberhasilan ini pun tak bisa lepas dari kesuksesan bisnisnya. Baginya, rahasia meraup untung di dunia bisnis adalah dengan tak menghiraukan para pesaing. “Kompetitorku ya aku sendiri, kalau aku gak ngapa-ngapain ya aku yang rugi,” ungkapnya. Namun kesuksesannya berseberangan dengan urusan kuliahnya yang tak kunjung rampung. Memang banyak teman dan anggota keluarganya tidak setuju dengan keputusan Shiro memilih dunia bisnis. Di tengah kebimbangannya memilih antara bisnis dan kuliah, secarik kertas dari sebuah seminar bisnis berhasil memotivasinya. “Apa yang ingin orang kenal setelah kamu meninggal?” tulisan di kertas itu. Hal itulah yang memantapkan Shiro memilih jalan berbeda ketimbang teman-temannya. “Aku ingin dikenal sebagai pembuat kartun ngampus. Biar suatu saat nanti ketika aku meninggal banyak yang mendoakan,” ucapnya.[Deddy]

Desember2013

23


Rehal

Propaganda Anti Tembakau Mematikan Industri Rokok

Judul : Dampak Pengendalian Tembakau Terhadap Hak – Hak Ekonomi Sosial dan Budaya Penulis : Suryadi Radjab Penerbit : Serikat Kerakyatan Indoensia (SAKTI) dan Center For Law and Order Studies (CLOS) Tebal Buku : iii + 261 Waktu Terbit : Mei 2013 BALAIRUNG/Nurrokhman

Kampanye anti rokok atas nama kesehatan membuat rokok dipandang sebagai musibah. Namun dari kacamata ekonomi, sosial dan budaya rokok dianggap membawa berkah

24

balkon

K

ebanyakan dari kita belum mengetahui awal mula kemunculan rokok di Indonesia. Konon, lintingan tembakau sembilan senti itu awalnya justru digunakan sebagai obat. Berawal dari Haji Djamari, yang dipercaya sebagai penemu kretek, pada abad ke-19 yang membuat ramuan dari tembakau dan cengkeh yang dibalut kulit jagung yang disebut klobot sebagai obat penyakit asmanya. Seiring perkembangan zaman, penggunaan kulit jagung mulai diganti dengan kertas. Klobot lintingan tembakau dan cengkeh tersebut berubah menjadi rokok, tidak lagi berfungsi sebagai obat asma. Selama ini, rokok dianggap zat racun oleh para praktisi kesehatan. Mereka menyatakan bahwa seluruh komponen rokok merugikan banyak pihak. Hal ini dikarenakan asap rokok tidak hanya dihirup sang perokok, tetapi juga orang-orang di sekitarnya (perokok pasif).Perokok pasiflah yang disebut-sebut sebagai pihak yang dianggap paling dirugikan. Sebab, menurut mereka, perokok pasif lebih berisiko terkena serangan jantung, kanker, dan gangguan sistem reproduksi, dibandingkan perokok aktif. Dilatarbelakangi oleh munculnya berbagai gangguan kesehatan, kampanye anti rokok pun gencar dilakukan. Salah satunya dengan membuat Hari Anti Tembakau pada 31 Mei. Kampanye tesebut dibuat dengan alasan untuk menyelamatkan tubuh


manusia dari ancaman bahaya rokok. Kampanye itu mencitrakan rokok sebagai “mesin pembunuh” paling berbahaya. Rokok dipandang sebagai penyebab candu, sumber penyakit, bahkan kematian. Dengan tujuan mempropagandakan ancaman rokok, akan menekan jumlah perokok. Sebagai informasi, propaganda tersebut dilatarbelakangi data jumlah kematian akibat rokok setiap tahunnya yang mencapai 300.000 jiwa. Data tersebut semakin membuat rokok dipandang sebagai hal yang tidak memiliki manfaat. Padahal, tidak semua hal menyangkut rokok bersifat merugikan. Hal ini diceritakan dalam buku karangan Suryadi Radjab yang berjudul Dampak Pengendalian Tembakau Terhadap Hak – Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Buku ini menjelaskan tentang sisi positif rokok ditinjau dari sisi ekonomi, sosial dan budaya. Buku ini menghadirkan data dan argumen yang memutarbalikkan citra sang “mesin pembunuh” itu. Salah satunya melalui data mengenai sumbangsih rokok terhadap ekonomi nasional. Rokok ternyata merupakan sumber kehidupan bagi 30,5 juta orang (hal.162). Petani tembakau, buruh dan penjual rokok bahkan negara mengandalkan rokok sebagai sumber pendapatan. Rokok, cukup berperan dalam menyokong perekonomian nasional. Secara tidak langsung perekonomian negara bergantung pada pajak dan cukai rokok. Di tahun 2013 pemasukan cukai dan pajak rokok untuk negara sebesar 88,2 triliun melebihi minyak bumi dan gas yang hanya 71,38 triliun (hal. 208). Sementara pada 2012, tarif cukai rokok mencapai 16%. Industri ini berperan stategis dalam menyokong pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satunya dengan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar yang dibutuhkan dalam proses produksi hingga distribusi. Dengan begitu industri rokok turut menekan jumlah pengangguran sehingga menjaga kestabilan ekonomi nasional. Industri rokok mampu bersaing di area domestik maupun internasional. Terbukti dengan ekspansi rokok nasional ke luar negeri. Rokok yang kaya akan rempah–rempah disukai konsumen internasional. Sebab, rokok yang diproduksi berbeda dengan yang dibuat di negara lain. Aroma cengkeh menjadi daya tarik dalam menarik konsumen. Alhasil, rokok juga mempengaruhi devisa negara sebagai sumber pendapatan disebabkan adanya kegiatan ekspor. Sejak awal produksi rokok selalu menimbulkan pro dan kontra. Pertentangan tersebut muncul dari berbagai pihak, mulai dari praktisi kesehatan hingga organisasi keagamaan. Bentuknya pun beragam. Beberapa di antaranya adalah Hari Anti Tembakau dan wacana fatwa haram merokok. Namun, yang paling membuat resah adalah wacana fatwa haram merokok yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 2009. Wacana tersebut langsung menjadi ancaman bagi petani tembakau, buruh rokok

bahkan negara. Hal itu disebabkan oleh pemeluk agama Islam di Indonesia merupakan kaum mayoritas. Jika fatwa tersebut disahkan, maka dampak yang akan ditimbulkan begitu luas, baik secara sosial maupun ekonomi. Keberadaan fatwa tersebut secara otomatis akan mempengaruhi jumlah produksi rokok. Perusahan rokok dalam skala kecil menengah terancam gulung tikar. Akibatnya, perusahaan harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruh. Aksi PHK akan meningkatkan jumlah pengangguran yang merupakan akar dari permasalahan sosial. Permasalahan sosial lainnya ialah aksi protes. Hal tersebut pernah terjadi ketika wacana fatwa haram dipublikasikan. Banyak petani yang melakukan aksi demo serta mengancam tidak akan berpartisipasi dalam pemilu. Padahal, tidak ikut serta dalam pemilu kala itu menjadi persoalan yang serius. Aksi lainnya berupa membakar tembakau menjadi simbol kemarahan dari pihak petani. Pasalnya, petani menganggap pemerintah tidak berpihak kepada mereka yang tahu bahwa mereka mengandalkan hidupnya dari tembakau. Aksi protes ini disebabkan oleh kerugian petani tembakau akibat wacana tersebut. Sebab, tanah yang sudah ditanami tembakau tidak dapat digunakan untuk tanaman lain. Unsur yang ada dalam tembakau membuat tanah menjadi tidak toleran. Sehingga,tanah tersebut tidak dapat digunakan kembali, kecuali untuk menanam tembakau. Dengan demikian, petani tembakau akan kehilangan fungsi tanah sebagai lahan pertanian. Buku tersebut memiliki keunggulan dalam hal menyediakan data terkait tembakau maupun rokok. Data tersebut membantu pembaca untuk menganalisis perjalanan industri rokok di Indonesia beserta dinamikanya. Isi buku dipaparkan secara sederhana sehingga layak dibaca bagi mereka yang menginginkan argumen yang berbeda dari arus utama. Namun terdapat beberapa kekurangan, diantaranya penulis tidak mengualas secara mendalam dampak sosial, ekonomi dan budaya dari larangan merokok. Lalu dari substansi justru lebih banyak mengulas aspek ekonomi saja, aspek sosial dan budaya hanya beberapa poin. Ditambah dengan penjelasan yang dipaparkan sebatas dipermukaan tanpa ada analisis lebih mendalam. Selain itu penulis tidak secara langsung menyebutkan hal-hal mengenai dampak ekonomi, sosial dan budaya. Padahal, harapan pembaca terletak pada bagaimana penulis memaparkan bentuk gejolak ekonomi, sosial maupun budaya jika benar rokok tidak diproduksi. Rokok telah menjadi budaya serta identitas bangsa Indonesia, alangkah lebih menarik jika memaparkan dampak budaya dari hilangnya rokok secara lebih mendalam.[Maya]

Desember2013

25


Eureka

Nyalap-Nyaur Sebagai Pelestari Jekdong Nyalap-nyaur adalah modal sosial masyarakat jawatimuran dalam memertahankan tradisi, dalam konteks ini pergelaran wayang kulit. Dalam misi pelestarian seni tradisi, praktik nyalap-nyaur tersebut dapat menjadi contoh yang berguna.

D

alam tradisi pagelaran wayang kulit, terdapat beragam pakeliran (gaya khas). Ada gaya Surakarta, Yogyakarta, Bali, Banyumas dan banyak lagi. Wayang Jèkdong adalah sebutan populer untuk pergelaran wayang kulit purwa gaya jawatimuran, atau sering pula disebut wayang kulit wetanan. Pakeliran Jèkdong berkembang sangat baik di sejumlah kawasan di Jawa Timur, di antaranya berpusat di Kabupaten Mojokerto, Sidoarjo, Jombang, Lamogan, Pasuruan, Malang, Gresik, dan Surabaya yang berbahasa jawa dengan dialek Arèk.

26

balkon

Pakeliran khas jawatimuran masih lestari hingga sekarang. Dalam sebulan, seorang dalang Jèkdong rata-rata tercatat masih mendalang hingga 20 kali dalam sebulan. Dari segi intensitas pertunjukkan, fenomena ini berbeda dengan yang ada di Jawa Tengah maupun Yogyakarta yang tak begitu ramai. Fenomena inilah yang kemudian diteliti oleh Wisma Nugraha Christianto Richardus. Dosen jurusan Sastra Nusantara Fakultas Ilmu Budaya UGM ini memfokuskan kajiannya pada komunitas masyarakat jawatimuran yang banyak mempergelarkan wayang kulit dalam setiap hajatan mereka. Penelitian Chris yang berjudul Nyalap-nyaur, Model Tata Kelola Pergelaran Wayang Jèkdong dalam Hajatan Tradisi Jawatimuran ini terbit di Jurnal Humaniora volume 24 nomor 2, bulan Juni 2012. Penelitian ini menelusuri pola-pola relasi dalang dengan penanggap ataupun penontonnya. Metode yang digunakan untuk memahami praktik relasi tersebut adalah dengan observasi lapangan. Peneliti terjun langsung menjadi bagian dari masyarakat untuk memahami kebiasaan komunitas pedalangan. Dalam penelitiannya, Chris menemukan bahwa masyarakat merasa terpanggil membuat pergelaran wayang kulit saat menggelar hajatan. Saat hajatan sunatan, ruwatan, dan mantenan, wayang kulit selalu menjadi pertunjukkan yang tak boleh terlewatkan. Selain merupakan wujud kesetiaan pada tradisi dan budaya, pagelaran wayang kulit membuat setiap acara yang digelar semakin meriah. Dalam pagelaran Wayang Jèkdong, lakon yang dipentaskan beragam. Peneliti menemukan bahwa lakon-lakon yang dipentaskan bersumber dari tradisi lisan yang dibakukan. Sumber-sumber lakon yang dibakukan tersebut kemudian dibukukan oleh Ki Suwerdi ke dalam Layang Kandha Kĕlir dan diterbitkan pada tahun 2007. Sumber lakon ini membagi lakon-lakon wayang ke dalam beberapa urutan naratif menurut zaman dan masing-masing penokohannya. Layang Kandha Kelir oleh sebagian besar dalang jawatimuran diakui sebagai sumber lakon utama pagelaran Wayang Jèkdong, meskipun tidak semua dalang mengetahui seluruh lakon di dalamnya. Sayangnya, dalam proses regenerasi dalang,


para calon dalang menjalankan proses nyantrik (pendidikan tradisional) dengan metode yang kurang memadai. Mereka hanya belajar melalui para dalang senior dengan cara mengikutinya dalam setiap pergelaran. Hal tersebut menjadi kekhawatiran tersendiri sebab daya ingat dari setiap calon dalang berbeda-beda. Idealnya, proses regenerasi juga disertai kegiatan membaca kitab-kitab pedalangan yang menjadi acuan para dalang terdahulu. Dalam konteks pergelaran, bagi dalang, rombongan wiyaga dan sinden, tidak dapat menampilkan wayang kulit tanpa adanya penanggap atau pengundang. Menariknya, masyarakat punya solusi untuk mengantisipasi hal tersebut. Masyarakat setempat rela menabung, baik berupa uang maupun memelihara ternak supaya pergelaran wayang tetap bisa berlangsung. Bahkan, setiap dusun maupun desa yang menjadi objek penelitian, masyarakatnya mempunyai acara arisan khusus agar bisa menggelar wayang kulit. Peneliti juga menemukan bahwa sistem balas budi menjadi salah satu faktor penting dalam kehidupan mereka. Ketika seorang anggota komunitas atau keluarga mengadakan sunatan, anggota lainnya segera memberitahu kerabat dan para tetangga. Pada saat hajatan mulai dilangsungkan, para tetangga, sanak-saudara, serta kenalan-kenalan yang diundang berdatangan untuk memberi buwuhan (sumbangan). Wujud buwuhan berupa uang kontan yang tidak ditentukan besar-kecilnya, sesuai dengan kemampuan penyumbang. Peristiwa buwuhan ini menggambarkan seberapa luas jaringan relasi sosial pemangku hajatan, serta seberapa kuat posisi sosialnya. Kelangsungan praktik hajatan dan pergelaran Wayang Jèkdong didukung oleh tradisi buwuhan dengan sistem nyalap-nyaur (memberi dan mengembalikan). Oleh karena itu, tata kelola modal sosial dan manajemen komunitas berperan strategis dalam mengembangkan kelangsungan pagelaran Wayang Jèkdong. Demikian pula halnya dengan anggota masyarakat jawatimuran yang masih melembagakan penyelenggaraan hajatan senantiasa mengelola modal sosialnya demi resiprositas dan solidaritas sosial. Sebagaimana dikutip Chris dari Bourdieu (1990), nilai sosial dan budaya sumbangan nyalap-nyaur bersifat saling bergantian. Apabila dikehendaki bersama, nilai nyalapnyaur, dapat dilipatgandakan lebih besar daripada konvensi komunitas. Sumbangan yang lebih besar status

nilainya numpangi (menumpuk) sehingga pihak penerima berstatus ketumpangan (tertumpuk). Bagi yang ketumpangan kelak wajib mengembalikan seukuran yang telah diterimanya. Pola sumbangan yang berupa modal ekonomi atau pun modal sosial dalam tradisi berhajatan tersebut tumbuh sebagai rutinitas individu dan komunitas. Praktik nyalap-nyaur yang dilakukan msyarakat secara bergantian tidak memperhitungkan untung dan rugi, tetapi bersifat kekeluargaan. Akhirnya, tradisi gotong-royong menjadi cerminan kehidupan sehari-hari mereka. Jika anggota masyarakat tengah memerlukan bantuan, seperti menggelar hajatan, anggota yang lain merasa terpanggil untuk memberikan bantuan. Kondisi demikian menciptakan relasi sosialbudaya antara masyarakat dengan kelompok dalang, wiyaga dan sinden. Sehingga, meskipun tidak semua dalang mengetahui seluruh lakon di dalamnya, Wayang Jèkdong bisa terus terjaga dan lestari dalam komunitas tersebut. Tak heran jika Wayang Jèkdong banyak digelar dan menjadi bagian penting dari identitas budaya masyarakat jawatimuran. Dalam penelitian ini, manajemen komunitas merupakan hal yang sangat penting dan strategis untuk mempertahankan tradisi apa pun, dalam hal ini pergelaran Wayang Jèkdong. [Taufiq]

Desember2013

27


Siasat

Minimnya Riset di Kalangan Mahasiswa

S

atu dasawarsa silam, UGM coba menasbihkan dirinya sebagai bagian dari World Class Research University. Dengan status ini, berarti UGM benar-benar harus mengunggulkan kecakapan riset sebagai bagian dari identitasnya. Mempertahankan status ini pun tidak mudah. Semua bagian yang dibangun dalam civitas academica haruslah mendukung berkembangnya kebiasaan riset di kampus ini, tak terkecuali mahasiswa. Kenapa mahasiswa harus dikaitkan dengan tanggung jawab untuk melakukan riset? Mau tidak mau ketika telah berstatus sebagai mahasiswa, ia menjadi salah satu bagian dari masyarakat intelektual. Dalam hal ini, status tersebut harus dipertanggung jawabkan. Riset adalah salah satu wujud nyata peran kerja seorang intelektual. Kegiatan ini juga menjadi bentuk kontribusi mashasiswa dalam menekuni bidang keilmuannya karena tidak semua orang berkesempatan melakukannya. Akan tetapi, kebiasaan riset yang seharusnya dimiliki oleh mahasiswa masih kurang mendapatkan respon yang positif. Sebagian besar mahasiswa cenderung tidak menyukai kegiatan ini. Banyak pihak menilai, kegiatan riset sebagai kemewahan akademik yang hanya dapat dilakukan oleh orangorang tertentu saja. Mengingat bahwa penelitian haruslah memperhatikan norma dan standar yang ketat, kegiatan ini terlihat berat, sulit, serta menyita banyak waktu dan tenaga. Kurangnya ketertarikan terhadap riset juga diwujudkan ketika mengikuti mata kuliah metode penelitian. Banyak keluhan dari teman-teman mahasiswa ketika mengikuti mata kuliah tersebut. Tuntutan untuk memahami teori yang banyak sekaligus metode-metode pelaksanaan yang rumit membuat jenuh para mahasiswa. Apalagi jika mahasiswa diminta untuk sekadar melakukan penelitian kecil-kecilan, alih-alih paham dengan seluk beluk dunia riset, para mahasiswa justru semakin enggan menekuni bidang ini. Kesadaran sebagian besar mahasiswa untuk melakukan riset selama ini hanya sekadar dilakukan saat mereka diharuskan

28

balkon

menyusun skripsi. Tuntutan untuk membuat karya akhir ini mau tidak mau harus dilakukan sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana. Permasalahan yang lain kemudian hadir. Sebab tidak terbiasa melakukan penelitian, sebagian besar mahasiswa kelabakan menghadapinya. Banyak yang bingung ketika diminta untuk menentukan topik atau bahkan rencana penelitian yang hendak dilakukan. Alhasil, skripsi yang pernah dibuat oleh mahasiswamahasiswa sebelumnya justru menjadi rujukan utama. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor kuat kasus plagiarisme di kalangan mahasiswa. Selain itu, maraknya bisnis jasa pembuatan skripsi di Yogyakarta juga menjadi kasus yang lain. Larisnya jasa tersebut secara tidak langsung telah menggambarkan kemandulan lembaga pendidikan tinggi kita. Proses pendidikan selama empat hingga lima tahun rupanya tidak mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang berkualitas, terutama terhadap kecakapan menganalisis masalah, mengembangkan logika, hingga melakukan sintesis. Jika hal ini terus terjadi, lantas apakah mahasiswa dan sarjana hanyalah menjadi status tanpa makna? Entahlah, yang pasti kedudukan sebagai seorang intelektual harus dipertanggung jawabkan bagaimanapun caranya.

Khairul Arifin Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2011


Opini

Ironi Akreditasi Internasional

S

ebagai jurusan yang telah diakui secara internasional, Jurusan Kimia Fakultas MIPA sudah tentu memiliki banyak hasil penelitian, baik dari mahasiswa maupun dosen. Selain itu, fasilitas yang disediakan seperti laboratorium adalah yang terbaik. Maka, tak heran jika Jurusan Kimia telah mendapat akreditasi A dari beberapa lembaga akreditasi. Akreditasi A didapatkan dari Program Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi (AIPT) dan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BANPT). Pada 5 Maret lalu program studi S1 Kimia juga berhasil menjadi program studi pertama di UGM yang mendapatkan akreditasi internasional dari The Royal Society of Chemistry (RSC), London, England. Akreditasi dari RSC ini memperlihatkan, program studi S1 Kimia memiliki kualitas yang setara dengan universitas-universitas ternama seperti University of Oxford, University of Cambridge, dan Imperial College, London. Dengan ini pula, program studi ini telah melengkapi seluruh akreditasi yang dimungkinkan bagi sebuah program studi berstandar internasional–dari akreditasi nasional oleh AIPT dan BANPT, regional ASEAN oleh ASEAN University Network, dan internasional oleh RSC. Namun, berselang 17 hari laboratorium anorganik kimia mengalami kebakaran. Penyebabnya, keteledoran mahasiswa yang melakukan penelitian meninggalkan proses pemanasan saat malam hari. Beberapa alat praktikum dan hasil penelitian pun tidak bisa digunakan lagi. Bagaimana bisa laboratorium Jurusan Kimia yang baru saja mendapat akreditasi internasional bisa mengabaikan manajemen? Peristiwa ini membuat kita harus berpikir kembali, apakah jurusan ini sudah pantas mendapat pengakuan internasional jika manajemen laboratorium saja masih diabaikan. Manajemen laboratorium merupakan hal yang penting karena menyangkut keselamatan praktikan. Sebenarnya, pihak jurusan telah mengeluarkan peraturan dalam melakukan penelitian di laboratorium. Bahkan, sebelum masuk ke laboratorium dan berhubungan langsung dengan bahan-bahan kimia, mahasiswa Jurusan Kimia khususnya wajib mengikuti pelatihan manajemen laboratorium. Sayangnya, peraturan hanya peraturan. Hal ini tidak diimbangi dengan pengawasan yang lebih ketat. Tidak jarang, mahasiswa seenaknya masuk ke laboratorium tanpa

menggunakan jas lab. Ada juga yang saat praktikum tidak menggunakan masker, kacamata pelindung untuk praktikum, dan sarung tangan. Diabaikannya Keamanan dan Keselamatan Kerja (K3) di laboratorium ini masih saja terjadi di jurusan yang sudah terakreditasi internasional, padahal taruhannya adalah nyawa. Maka tak heran pula beberapa kali terjadi kecelakaan kerja saat praktikum di laboratorium. Contohnya saja, saat mengambil larutan asam pekat di lemari asam. Salah seorang mahasiswa tidak menggunakan kacamata pelindung. Ledakan pun terjadi dan larutan asam pekat itu mengenai mata. Untungnya, asisten praktikum cepat tanggap untuk melakukan pertolongan pertama. Jika bantuan tidak segera diberikan, praktikan bisa mengalami kebutaan. Memang sangat wajar terjadi kecelakaan kerja, namun hal itu masih dapat dicegah. Tak hanya itu, terkadang asisten praktikum pun lalai. Asisten yang seharusnya menjadi contoh justru masih mengabaikan K3. Seorang asisten memang tidak bersentuhan langsung dengan berbagai macam bahan kimia. Meski begitu, pembimbing praktikum tersebut harus pula menaati K3 secara lengkap, semisal dengan menggunakan sarung tangan, masker, jas lab, dan lain-lain. Dengan adanya peristiwa itu, manajemen Jurusan Kimia diharapkan lebih teliti. Hal penting seperti manajemen laboratorium sebaiknya tidak lagi diabaikan. Dengan menopang akreditasi internasional, jurusan ini seharusnya menjadi contoh dan meginspirasi Jurusan Kimia di universitas atau institut lain di Indonesia. Akreditasi ini dimaksudkan untuk membuat UGM bangga, bukan sebaliknya. Agus Aryawan Mahasiswa Jurusan Kimia

Desember2013

29


Opini

Dari Bloomsbury untuk Lembah UGM

D

i antara Euston Road dan Holborn ada sebuah taman yang asri. Orang-orang asyik mengobrol di bangku taman, beberapa membaca buku dan ada pula yang hanya berjalan-jalan menghabiskan waktu. Di taman ini, kata seorang kawan, banyak melahirkan nama-nama besar. Salah satunya adalah Virgina Woolf. Woolf bersama kawan-kawannya membentuk Bloomsbury Group, sebuah perkumpulan asyik yang berisi sastrawan, seniman dan pemikir kota London. Tibatiba saya jadi ingat lembah UGM. Bloomsbury membuat saya berangan-angan. Sebuah taman yang dikelola dengan baik tentu akan menciptakan sebuah ruang publik yang menarik. Mari kita telusuri lembah UGM, apakah sudah berfungsi secara maksimal? Sekarang ruang tersebut menjadi area parkir bersama dan pusat jajanan mahasiswa. Meskipun ada lahan hijau, tapi tak cukup nyaman untuk menghabiskan waktu di sana. Terlebih bila malam hari tiba, tak ada penerangan yang cukup dan seringkali dimanfaatkan oleh para pemuda-pemudi yang asyik bercumbu rayu di atas sepeda motor. Sebuah Formula Ruang publik selain menjadi sebuah wadah masyarakat untuk saling berinteraksi, ia juga berfungsi sebagai ruang untuk berekspresi. Fungsi kedua inilah yang kerap dilupakan oleh pihak yang bertanggungjawab. Ruang publik seharusnya bisa menjadi wujud kebudayaan suatu masyarakat. Ketika ruang publik disalahgunakan untuk hal-hal yang sepele, remeh-temeh, bahkan amoral, apakah bentuk kebudayaan semacam itu yang ingin ditonjolkan? Menggagas ruang publik yang menarik dan sesuai fungsinya sebenarnya cukup sederhana. Tengok saja yang dilakukan oleh para pegiat industri iklan baik di dalam maupun luar negeri. Mereka merespon ruang publik sebagai media penyampai pesan komersil mereka. Sebuah halte bus, misalnya, didesain menjadi sebuah kasir milik restoran cepat saji ternama di dunia. Hal ini membuat para

30

balkon

pengguna halte seolah-olah sedang memesan ayam goreng, bukan menunggu bus. Apa yang dilakukan para pegiat industri iklan tersebut dikenal dengan istilah ambient media. Ambient media muncul di Inggris pada tahun 1999 sebagai usaha pembaharuan atas cara-cara beriklan konvensional seperti iklan di poster dan iklan di televisi. Secara sederhana, ambient media adalah sebuah cara beriklan dengan menggunakan mediamedia yang ada di ruang publik. Iklan ini mencoba “bersetubuh� dengan apa yang menjadi medianya. Misalnya, Nike membuat brand di sebuah keranjang sampah umum, sehingga memiliki kesan bahwa keranjang sampah tersebut adalah keranjang basket. Selain mempercantik ruang publik, hal tersebut bisa menggugah kesadaran masyarakat akan kebersihan. Semangat ambient media ini yang perlu diserap untuk membuat lembah UGM semakin cantik dan nyaman. Bayangkan bila kita berada di ruang yang penuh dengan kreatifitas, misalnya tembok yang dilukis menyerupai lemari buku, lengkap dengan replika buku-buku yang berjajar rapi, jalan setapak yang dilukis menyerupai taman Getsemani yang seolah-olah muncul dari bawah tanah, lampulampu taman yang didesain seperti tongkat peniup gelembung sabun, dan bangku-bangku taman yang dibuat serupa roti bakar tentu akan melahirkan banyak gagasan-gagasan hebat dan spektakuler. Saya selalu berkhayal dari lembah UGM akan muncul sebuah perkumpulan sastrawan, seniman dan pemikir layaknya Bloomsbury Group. Khayalan saya tentu saja hanya isapan jempol belaka, bila saat ini orang-orang yang mampir di lembah UGM hanya untuk sekedar mengisi perut, menitipkan kendaraan dan merayu kekasihnya untuk saling bercumbu mesra.

Beni Satryo Mahasiswa Jurusan Filsafat UGM ’06; Pemimpin Umum Biro Pers Mahasiswa Filsafat Pijar


Desember2013

31


Gores

32

balkon


Siasat

Totem Pro Parte

P

elajaran Bahasa Indonesia dimulai. Guru kami, Ibu Dini, berjalan tenang ke depan kelas. Beliau menulis tiga buah kata di papan: Totem Pro Parte. Aih, kata yang begitu elok didengar, begitu renyah diucapkan. Kesannya sungguh mewah dan beradab. Pastilah ini istilah mutakhir hasil produksi ilmu kebahasaan nomor wahid. Tapi, apa ya artinya? “Majas adalah bentuk kekayaan bahasa. Totem Pro Parte salah satu contohnya,” Ibu Dini memulai diskusi. “Ada yang tahu apa artinya?” Seorang murid mengangkat tangan. “Totem Pro Parte, dari bahasa Latin artinya ‘keseluruhan untuk sebagian’. Seperti namanya, majas ini mengungkapkan keseluruhan suatu objek, sementara yang dimaksud hanya sebagian dari objek itu,” tutur sang murid. “Tepat sekali! Nah, ada yang bisa memberi contohnya mungkin?” tantang Ibu Dini. “Bu, saya pernah baca berita di salah satu media. Judulnya: ‘Indonesia kalah adu penalti lawan Malaysia’. Ini berita tentang final sepak bola piala AFF U-16 kemarin,” murid lain angkat bicara. “Contoh bagus! Yang bertanding sepak bola itu jelas bukan 250 juta rakyat Indonesia. Hanya sebagian saja, yaitu timnasnya. Tapi sebagian itu dianggap mewakili seluruh Indonesia. Ada lagi?” “Ada lagi bu! Saya baca berita judulnya ‘Indonesia Juara Dunia’, tentang pebulutangkis Indonesia yang berhasil juara di Guangzhou,” seru murid lain.

“Yak, bagus! Wah, Totem Pro Parte itu ternyata filosofis ya. Perbuatan sebagian orang mempengaruhi keseluruhan yang diwakilkan. Bisa membanggakan atau memalukan. Itulah tugas kalian sebagai penerus bangsa! Bawa nama baik Indonesia!” Seru Ibu Dini bersemangat. Aku pun mengangkat tangan. Tanpa dipersilahkan, aku langsung memaparkan judul berita yang dari tadi terlintas. “Ada berita berjudul ‘Asian Agri Sponsori UGM Teliti Berita Tempo. Kampus harus menjaga independensi’ (Koran Tempo, 19-12-2007). Beritanya tentang riset bermasalah yang dilakukan salah satu jurusan di UGM. Ada juga berita berjudul ‘Petani Pantai Kulon Progo Protes UGM’ (Koran Tempo 03-06-2008), lagi-lagi tentang riset pesanan bermasalah yang dilakukan segelintir orang dan diprotes masyarakat” paparku. Ibu Dini membuka mulutnya, tapi tidak kudengar. Tanpa diberitahu pun aku paham. Ketika sebagian mewakili keseluruhan, nama baik keseluruhan digantungkan pada sebagian. Tidak adil, tapi nyata. “Kamu belajar untuk SNMPTN nak?” tanya Ibu Dini. Kelas ternyata sudah bubar. Aku terlalu asik melamun dari tadi. “Tidak”, kataku seraya melipat kartu peserta SNMPTN di tangan. Jangan sampai nama univeritas yang tercantum di kartu ini terlihat orang. Malu. [Penginterupsi]

Sudut

+ Bagian penting dari Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah penelitian - Mengawasi penelitian kok gak teliti? + Penelitian dilakukan dalam rangka mengabdi untuk masyarakat - Mengabdi untuk UGM yuk! Bikin penelitian tentang kode etik penelitian

Desember2013

33


Selamat

Melanjutkan Pengabdian!

34

Ayu Budi Kusumawardhani, S.s

Ratri Kartika Sari, S. Ip

Biro Pengembangan 2012

Pemimpin Perusahaan 2011

M. Adhi Pratama, S. Psi

Linna Permatasari, S. Ip

Pemimpin Umum 2012

Koordinator Balairungpress.com 2012

Aulia Haryadi, S. Fil

Gading Gumilang Putra, S. H

Staf Redaksi 2012

Pemimpin Umum 2011

Fariz Fachrian, S. H

Anisa Ayuningtyas, S. Ip

Staf Riset 2012

Koordinator Balairungpress.com 2011

M. Khalid Kasogi, S. Psi

Ferdi Febriano, S. Ip

Ilustrator 2012

Redaktur Isu 2013

balkon


Merajut Kata, di Balik Realitas www.balairungpress.com

Desember2013

35


Telah Terbit!

Jurnal Balairung 49 “TRANSPORTASI DALAM ARUS INDUSTRIALISASI Narasi Atas Cacat Modernisasi”

Untuk pemesanan hubungi : 085729990828 (Inka) @bppmbalairung BPPM Balairung

www.balairungpress.com balkon 36


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.