BALAIRUNG
Melawan Perampasan, Merebut Hak Atas Tanah EDISI 55/TH. XXXIV/2019
MAJALAH BALAIRUNG
1
@bppmbalairung
2
MAJALAH BALAIRUNG
/bppmbalairungugm
@bppmbalairung
@GSJ9240C
/balairungpress.com
selamat datang mahasiswa biasa di kampus yang biasa-biasa saja
MAJALAH BALAIRUNG
3
Lincak
M
elalui berbagai tahap pemilihan tema yang dikerjakan secara kolektif, pengurus BPPM Balairung sepakat bahwa problematika agraria di Yogyakarta merupakan tema yang patut diangkat. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh hak-hak istimewa atas kepemilikan tanah yang masih dikuasai oleh pemerintah daerah dan diklaim sebagai Sultan Ground dan Pakualaman Ground. Dari sana, lahir berbagai isu penggusuran hingga pelarangan kepemilikan tanah bagi etnis tertentu. Mari sebut kasus lahan Gumuk Pasir, Bantul, dan konflik agraria berkepanjangan atas pembangunan bandara Yogyakarta International Airport (YIA). Polemik mengenai sejauh mana pemerintah memiliki kuasa tanah dan wacana atas kepemilikan tanah masih terus relevan untuk dibahas. Akibatnya, lahir berbagai wacana alternatif untuk membendung ketidakadilan yang muncul dari sana. Wacana alternatif tersebut muncul dari berbagai gerakan berbasis masyarakat sipil yang berbondong-bondong mengadvokasi kelompok masyarakat terdampak konflik agraria. Sudah bertahun-tahun lamanya narasi perjuangan atas kepemilikan tanah di Yogyakarta dilayangkan. Berbagai laporan dan analisis telah diluncurkan sebagai produk jurnalistik. Namun, evaluasi mendalam dari gerakan-gerakan agraria sebagai titik
tolak untuk berefleksi tentang arah perjuangan agraria selanjutnya masih perlu untuk dihadirkan. Proses penggarapan majalah edisi ke-55 ini, mulai dari pemilihan tema hingga pendistribusian, merupakan kerja sama antara empat divisi: Redaksi, Penelitian dan Pengembangan (Litbang), Perusahaan, dan Produksi dan Artistik (PdA). Majalah ini diisi dengan empat rubrik tematik: dua Laporan Utama, Sisi Lain, dan Kajian. Dua artikel Laporan Utama mengupas problematika agraria di Yogyakarta serta berbagai gerakan yang turut mengadvokasinya. Sisi Lain mengevaluasi gerakan-gerakan tersebut dari sudut pandang masyarakat yang diadvokasi. Sementara, kajian memberikan analisis lebih jauh terhadap reforma agraria. Selain keempat artikel tersebut, artikel-artikel nontematik lainnya juga mengusung topik-topik yang dekat dengan mahasiswa. Terakhir, melalui Majalah Edisi 55/ TH. XXXIV/ 2019 ini, BALAIRAUNG berupaya untuk menggugah nalar kritis pembaca, khususnya mahasiswa di Yogyakarta, dan kepekaan terhadap isu-isu yang berlangsung di sekelilingnya. BALAIRUNG berharap majalah ini dapat membantu pembaca untuk mulai menentukan keberpihakannya. Selamat membaca dan mengkritisi, mahasiswa!
Pembina drg. Ika Dewi Ana, M. Kes., Ph.D Pemimpin Umum Citra Maudy Mahanani Koordinator Majalah Marcelinus Justian Tim Kreatif Fitra Anas, Muhammad Hasbul Wafi, Widya Rafifa Salsabila, Zarah Lintang Astity Pemimpin Redaksi Cintya Faliana Editor Andara Rose Kharismanah, Ayu Nurfaizah, Fahmi Sirma Pelu, Fatima Gita Elhasni, Nabila Rieska Maulani, Noor Rasya, Rizal Zulfiqri Ahmad Penulis Afifah Fauziah Setyaningrum, Anis Nurul Ngadzimah, Deatry Kharisma Karim, Dewinta Lukita Sari, Elvinda Farhaniyatus Saffana, Hanifatun Nida, Harsya Kurnia Ardha, Maghvira Arzaq Karima, Muhammad Fadhilah Pradana, Muhammad Fakhri Afdhal, Muhammad Rizki Akbar, Muhammad Attoriq Zayda, Nadia Intan Fajarlie, Rizqansyah Fitramadhana, William Calvin Pontoh Kepala Litbang Alnick Muhammad Nathan Editor Beby Putri, Luqman Abdul Malik, Wida Dhelweis Penulis Aditya Satria Ramadhan, I Made Adi Prema Nanda, Kelvin Ramadhan H., Restia Cahyani, Rizky Murdiana, Safira Rizky Mayla Aziz, Zeina Rahmah Syam Kepala Perusahaan Salsabila Amjad Staf Perushaan Siti Nurul Mahmudah, Tiara Putri M. Kepala Produksi dan Artistik Maulidya Rahmania Atikah Kurator Ananta Widi Raihan, Andrea N. Khalis, Antonius Harya Febru Widodo, Arjun Pratiq Zamzamy Subarkah, Fitria Dewi Sartika, Gilang Septa Mulya, Maulidya Rahmani Atikah, Muhammad Rusmul Khandiq, Rizky Ramadhika, Upavasa Cyadzidananda Fotografer Dionisius Dany Putranto, Fata Nur Fauzi, Satrio Adil Pamungkas, Thalia Mutiara Fikri, Valentino Mayong A. Ilustrator Deardra Nurriel, Pitaloka Ainun Yasmin, Stanislaus Axel Paskalis Penata Letak Dzikrika Rahmatu Hayati, Fitra Anas, Linus Randu Danardya, Nadira Amelia Ilustrasi dan Konsep Kulit Muka Deardra Nurriel
Alamat Redaksi, Sirkulasi, Iklan dan Promosi Kompleks Perumahan Dosen UGM, Bulaksumur B-21, Kec. Depok, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281, Indonesia, Yogyakarta 55281
@bppmbalairung
4
/bppmbalairungugm
MAJALAH BALAIRUNG
@bppmbalairung
@GSJ9240C
/balairungpress.com
/jurnal.ugm.ac.id/balairung
Daftar Isi
DAFTAR ISI ISU Risalah Panjang Perebutan Tanah LAPORAN UTAMA 1 Gelagat Politik di Balik Kebijakan Pertanahan LAPORAN UTAMA 2 Melawan Perampasan, Merebut Hak Atas Tanah SISI LAIN Menilik Realitas Interaksi LSM dan Masyarakat dalam Sengketa Agraria KAJIAN Tanah dan Asa Kesejahteraan KOLOM PAKAR Katakan Saja Kebijakan Agraria, Bukan Reforma Agraria OPINI Awas! Di Negeri Ini Aktivis Pejuangan Lingkungan Pasti Dikriminalisasi SOSOK Arif dalam Memuliakan dan Menanam Padi TTS Teka-teki Silang
POTRET Mural: Ekspresi Realitas Sosial
06
32
WAWASAN
08
34
REHAL
10
36
INSAN WAWASAN
12
38
KOMUNITAS
14
40
ALMAMATER
20
42
CERPEN
22
46
INTERUPSI
24
48
DAPUR
26
50
Tempo Doeloe
27
52
GORES
Sinestesia: Sensasi Ganda dan Efeknya pada Seniman
Berjuang untuk Perhutanan Sosial
Kala Oligarki Tambang Bersua dengan Politik Elektoral
Jelajah Museum Kala Malam
Menyoal Sistem Kepegawaian Tidak Tetap di UGM
Ola dan Oli
Kamuflase Perusahaan Melalui CSR
Menjaga Nyala Api Pers Mahasiswa
Perjuangan Mahasiswa
Sengketa
MAJALAH BALAIRUNG
5
Isu
© Linus/BAL
Risalah Panjang Perebutan Tanah
M
usa tak begitu mahir berbicara ketika ia menerima wahyu dari Tuhan. Musa diminta mengajak Bani Israil yang diperbudak Firaun untuk meninggalkan Mesir menuju Tanah Yang Dijanjikan. Firaun tak begitu saja melepas mereka. Meski pada akhirnya Firauan dan bala tentaranya tenggelam di Laut Merah, perjalanan Bani Israil menuju Tanah Yang Dijanjikan membutuhkan waktu hingga 40 tahun. Selama itu pula, Musa dan pengikutnya tinggal di Gurun Sahara sebelum sampai ke Kanaan, Tanah Yang Dijanjikan. Kanaan, membentang dari Lebanon hingga “Sungai Mesir” dan mencakup Palestina, yang memiliki sejarah dan kepercayaannya sendiri. Hingga kini, perebutan tanah tersebut tidak juga usai. Tanah kerap menjadi rebutan dengan alasan yang beragam: agama, kekuasaan, dan/atau pembangunan. Padahal pembangunan selalu harus dibayar mahal, terlebih bagi mereka yang tidak punya kekuasaan. Pesan tersebut muncul tak terelakkan di balik pembangunan yang sudah dan sedang berjalan saat ini. Pada 1937, Brasil di bawah kediktatoran Getulio Vargas menginisiasi March to the West, kampanye untuk ‘memodernkan’ daerah Brasil Selatan, di mana area urban terpusat seperti Rio de Janeiro dan Sao Paulo berada. Konsekuensinya, pemerintah Brasil harus membelah Hutan Amazon dan membangun komunikasi dengan penduduk asli di dalamnya, termasuk 40 ribu Suku Guarani yang ada di Brasil. Upaya modernisasi area urban tersebut bukannya tanpa konflik. Suku Guarani terus didesak oleh negara, hingga kehilangan tempat tingal, tanah adat, hutan, dan bahkan ritual adat mereka. Sejak itu, berbekal Konstitusi Brasil, Suku Guarani terus berusaha melawan para pengembang dan negara demi mempertahankan tanah adat mereka melalui jalur hukum . Sayangnya, konstitusi pun tidak mampu menjamin keberadaan dan hak-hak mereka. Suku Guarani merespon kegagalan memperoleh pemulihan hukum yang layak dengan cara tak terduga: jejavy atau bunuh diri. Tingkat bunuh diri Suku Guarani mencapai 22 kali lipat lebih tinggi ketimbang bukan Suku Guarani atau 34 kali lipat lebih tinggi dibanding rataan nasional Brasil. Dalam World Resources Institute Indonesia, beberapa antropolog mengaitkan 1
2
6
MAJALAH BALAIRUNG
Isu tingginya angka bunuh diri masyarakat adat tertentu dengan hilangnya sejumlah lahan asli. Di Australia, masyarakat adat yang tinggal di lahan mereka sendiri memiliki tingkat harapan hidup 10 tahun lebih lama dibandingkan mereka yang direlokasi. Sementara di Ekuador, setelah tentara militer berhasil menggusur paksa sebuah desa untuk lahan tambang, para psikiater mencatat permasalahan kesehatan mental pada 42 persen penduduk desa, terutama anak-anak yang mengalami trauma akibat suara helikopter militer. Namun, pada akhirnya, mereka hanya menjadi angka dan statistik bagi pemerintah. Gren Albrecht mengenalkan konsep Solastalgia. Berasal dari kata Latin solacium (ketenteraman, kedamaian) dan akhiran Yunani –algia (lara, duka), yang menggambarkan kondisi psikis seseorang akibat kehilangan rasa tenteramnya di lingkungan yang ditempati. Solastalgia, di sisi lain, terkait dengan melankolia atau rasa sakit yang dialami kala menyaksikan tempat yang dihuni mengalami perubahan atau rusak. Solastalgia merupakan rasa sakit atau penyakit, disebabkan kehilangan terus-menerus, duka mendalam terhadap pengerusakan atas rumah atau kawasan teritorialnya. Perasaan itu merupakan pengalaman hidup atas perubahan buruk pada lingkungan dipahami sebagai serangan atas tempat hidup seseorang. Pembangunan kerap melihat tanah dari sudut pandang politik-ekonomi saja dan dihitung hanya dengan angka. Kerap kali penggusuran yang dilakukan pemerintah hanya melihat tanah sebagai tempat tinggal, atau sumber mata pencaharian. Padahal, tanah adalah warisan budaya benda dan tak benda sekaligus. Terdapat gagasan, makna, ingatan, tradisi, dan praktikpraktik sosial di dalamnya yang menjadi warisan budaya, sehingga banyak aspek di dalamnya tidak bisa diabaikan begitu saja. Tanah tidak sama dengan rempah-rempah, mobil, atau barang-barang lain yang biasa diperjualbelikan. Tanah tidak semestinya dijadikan komoditas karena jumlahnya terbatas, sedang populasi manusia terus bertambah. Ketika tanah dijadikan komoditas oleh pemerintah atau korporasi besar, maka kesempatan memiliki tanah untuk tiap individu dan komunitas akan semakin kecil. Makin tahun, tanah milik komunitas warga semakin banyak direnggut untuk kepentingan pembangunan. Pada titik itu, relasi-relasi sosial, kebudayaan masyarakat, dan memori kolektif yang hadir dari beratus tahun pengalaman terus digerus. Suku Mentawai berulang kali menjadi korban pembangunan. Mereka mulai dipaksa meninggalkan uma–rumah asli Suku Mentawai–di tengah hutan sejak pertengahan 1970. Orde Baru membangunkan pemukiman di dekat pesisir dan pinggir sungai yang jauh dari hutan. Padahal, bagi mereka, uma adalah simbol adat dan tempat ibadah. Setelah jauh dari 3
4
hutan, Suku Mentawai yang biasa menggantungkan penghidupan pada hutan mesti bergantung uluran tangan pemerintah. Beratus hektar tanah di Kepulauan Mentawai dibabat untuk dijadikan lahan persawahan. Pemerintah berusaha mengimplan paksa tradisi agraris pada tradisi berburu-meramu. Namun, kondisi tanah gambut yang ada menyebabkan warga mengalami gagal panen berkali-kali. Peralihan dari pangan lokal seperti sagu dan ubi-ubian ke beras justru mengancam kemampuan Suku Mentawai dalam memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Pergantian pemerintahan tak mengakhiri pembangunan dan Suku Mentawai kembali dilukai. Akhir tahun 2017, Kirekat–pohon tanda kenangan bagi anggota keluarga yang meninggal–digusur secara sepihak untuk pembangunan Transmentawai. Pohon Kirekat merupakan salah satu lambang kehormatan, harkat dan martabat anggota suku, juga alak toga atau mas kawin untuk perempuan. Dulu, menebang Kirekat berarti menabuh genderang perang antarsuku. Penggusuran dituntaskan oleh Pemerintah Kabupaten Mentawai melalui mediasi antara anggota Suku Mentawai dan pengembang. Kesepakatan yang bisa dicapai hanya pembayaran tulou atau denda sebesar dua juta sebagai biaya ritual adat Pesinenei Mone, ritual meminta maaf kepada pohon Kirekat karena ditebang. Padahal, Kirekat dianggap seolah-olah jelmaan nenek moyang. Ia diukir menyerupai bentuk tubuh manusia lengkap dengan ukiran telapak kaki dan telapak tangan. Menebang Kirekat berarti membunuh orang tersebut dua kali. Sepadankah tulou yang dibayarkan pembangunan untuk menggusur kesakralan Kirekat? Nyatanya, paradigma pembangunan warisan Orde Baru masih digunakan hingga kini. Masyarakat Indonesia dibuat percaya bahwa pembangunan adalah segala yang berbentuk dan mempunyai rupa. Pembangunan adalah segala hal terkait infrastruktur, dan menurut pemerintah dibangun untuk kemajuan masyarakat. Namun, pertanyaan lapuk ini harus terus menerus diulang, masyarakat mana yang akan menikmati dan dimajukan dari pembangunan tersebut? Layakkah pembangunan menihilkan keberadaan masyarakat itu sendiri, juga nilai-nilai budaya, ekologi, psikis, dan banyak hal lainnya? Perebutan dan perdebatan tentang tanah tampaknya tidak akan pernah berakhir. Seperti kisah para nabi, isu tanah menjadi perenial dan diceritakan turun menurun. Sebab, tanah tak hanya tentang tempat tinggal, tetapi juga tentang memori dan relasi manusia dengan alam sekitarnya. Ketika dicerabut paksa, maka luka atas kehilangan tanah akan terus dirasakan antargenerasi meski perjuangannya tidak tercatat dalam sejarah. [Pemimpin Redaksi] Akhirnya, selamat membaca dan berdialektika!
Catatan Akhir [1] Suzanne Oakdale, “Brazil’s “March to the West”: Memories of an Indigenous Shaman and other “Moderns”,” Journal of Anthropological Research 74, no. 1 (Spring 2018), pp. 54-73. [2] Selengkapnya lihat di https://www.theglobeandmail.com/news/world/canada-indigenous-suicide-crisis-in-brazil/article34199700/ [3] Selengkapnya lihat di https://news.vice.com/article/suicides-and-shorter-bleaker-lives-plague-indigenous-groups-around-the-world [4] Albrecht, Glenn, et al. “Solastalgia: The Distress Caused by Environmental Change.” Australasian Psychiatry, vol. 15, no. 1 (Feb. 2007), pp. S95–S98.
MAJALAH BALAIRUNG
7
Laporan Utama 1
Gelagat Politik di Balik Kebijakan Pertanahan
ISU COK
© Deardra/BAL
Persoalan penguasaan tanah di Indonesia masih menjadi masalah yang berkepanjangan. Undang-Undang Pokok Agraria yang berupaya menyelesaikan masalah tanah ditindih oleh aturan-aturan baru pemerintah. Terlebih, aturan tersebut kental dengan kepentingan politik penguasa.
D
aerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai wilayah berdirinya Kasultanan Yogyakarta telah mengalami sejarah panjang dalam menerapkan peraturan pengelolaan tanah. Menurut Kus Sri Antoro, peneliti di Pusat Studi Keistimewaan DIY, Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, Kasultanan Yogyakarta dulunya merupakan pecahan dari Kerajaan Mataram Islam. Tahun 1749, kerajaan yang saat itu dipimpin oleh Pakubuwono II menyerahkan seluruh wilayah dan kekuasaannya kepada serikat dagang Belanda, VOC. Sejak saat itu, VOC secara resmi menjadi pemilik atas tanah di wilayah kerajaan Mataram Islam. Lebih dari dua abad kemudian, Sri Sultan Hamengku Buwono VII sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Hindia Belanda, mengeluarkan kebijakan berupa lembar kerajaan atau Rijksblad Nomor 16 Tahun 1918. Di dalam lembar kerajaan itu dikatakan bahwa: “Semua tanah yang tidak disertai bukti kepemilikan
8
MAJALAH BALAIRUNG
menjadi milik kerajaan.” Menurut Kus, untuk menghemat keuangan, Pemerintah Hindia Belanda memberi Sultan hak membuat Domein verklaring. “Itu menjadi dasar kebijakan pertanahan dalam bentuk pajak tanah yang menganggap rakyat menyewa tanah milik negara,” jelas Kus. Jadi pada waktu itu, jelas Kus, menurut Undang-Undang Agraria Belanda, tanah tanpa sertifikat hak milik penduduk termasuk Sultanaat Ground (SG) ataupun Paku Alamanaat Ground (PAG). Kus menambahkan, setelah Belanda hengkang, terjadi perubahan politik pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan yang kerap disebut Sultan HB IX ini bersama Pakualam VIII membuat Amanat 5 September 1945 yang mengakui Yogyakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia. Dengan begitu, Sultan HB IX mengakhiri era swapraja dengan memutus kontrak Kesultanan Yogyakarta sekaligus Belanda menjadikan DIY sebagai daerah istimewa.
Laporan Utama 1 Keputusan Sultan HB IX tersebut juga didukung oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan melahirkan UU No. 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam Undang-Undang tersebut, Pemerintah DIY diberi hak otonom untuk mengatur persoalan agraria di DIY. Sementara itu, pada tahun 1960, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan UUNo. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Keagrariaan (UUPA) untuk mengatur pertanahan nasional. “Penerapan Undang-Undang ini terbentur UU No. 3 Tahun 1950 yang dalam ketentuannya menyebutkan bahwa masalah agraria menjadi urusan otonomi DIY sendiri,” tulis surat kabar Kedaulatan Rakyat (28-05-1984). Menyadari hal tersebut, Sultan HB IX meminta pemerintah pusat untuk menerapkan UUPA di DIY secara penuh. Akhirnya, pada tahun 1984 Presiden Suharto membuat Keppres No 33 tahun 1984 tentang pemberlakuan UUPA secara penuh di DIY. “Ini berarti sejak saat itu tidak ada lagi tanah SG/PAG di DIY,” jelas Kus. Sehingga, imbuh Kus, pada waktu itu, terdapat kesempatan bagi warga yang menempati tanah SG/ PAG untuk membuat sertifikat hak milik. Empat tahun kemudian, Sri Sultan HB IX menghembuskan napas terakhir. Jabatan Sultan pun dilanjutkan oleh putranya, Bendara Raden Mas Herjuno Darpito, yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono X atau yang kerap disapa Sultan HB X. Pada masa kepemimpinan ini, Sutaryono, Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), menilai mayoritas masyarakat DIY masih menganggap Sultan HB X sebagai raja. Meski begitu, peneliti agraria di Master of Public Administration (MAP) UGM, Arif Novianto, mengatakan bahwa masyarakat yang bersengketa lahan dengan Kasultanan menyadari ambisi ekonomi dan politik Sultan. “Mereka sadar, ternyata Sultan yang sekarang tidak seperti yang mereka kira sebelumnya,” ucapnya. Hal tersebut dipertegas Bayu Dardias, Peneliti Keistimewaan DIY dari FISIPOL UGM. Pada tahun 2011, Bayu menyatakan bahwa terjadi kesepakatan antara Sultan HB X dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Kala itu, SBY menghendaki pemilihan gubernur di DIY, sedangkan Sultan HB X menghendaki penetapan,” jelas Bayu. Namun, pada akhirnya kehendak Sultan HB X yang disepakati. Bersamaan dengan itu, Ahmad Nashih Luthfi, Peneliti Keistimewaan Yogyakarta, mengatakan terjadi negosiasi politik antara Sultan HB X dan SBY. Negosiasi ini, jelas Luthfi, disinyalir menghasilkan kesepakatan untuk memberlakukan Undang-Undang Keistimewaan (UUK) di DIY. Pada tahun 2012, Pemerintah DIY memberlakukan Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan DIY. “UUK menjadikan Yogyakarta seperti negara di dalam negara,” tegas Kus. Hal tersebut diperjelas dengan Sabdatama yang dikeluarkan Sultan HB X pada tahun 2012, yang berbunyi: “Mataram adalah negeri yang merdeka dan mempunyai hukum dan tata pemerintahan sendiri.” Luthfi menafsirkan bahwa ambisi tersebut merupakan awal mula Sultan HB X menghilangkan nilai-nilai kebudayaan Yogyakarta. Sejalan dengan Luthfi, menurut Arif, Sultan HB X juga berupaya untuk menghidupkan kembali feodalisme tanah melalui UUK. Seperti ditulis dalam situs berita Tempo (15-09-2015), Sultan HB X menegaskan bahwa tidak ada tanah negara di Yogyakarta. Hal tersebut, menurut Luthfi, memiliki arti bahwa Kasultanan menguasai serta memiliki seluruh tanah di DIY.
Menurut Kus, jika mengacu pada UUPA, subjek hukum yang bisa diberi hak milik hanya individu atau badan hukum yang ditunjuk. Akan tetapi, meski dalam UUK disebut sebagai badan hukum, Kasultanan dan Kadipaten tidak memiliki akta pendirian yang menjadi syarat badan hukum. “Maka keduanya bukanlah badan hukum yang terdaftar,” jelas Kus. Selain itu, Sutaryono membenarkan bahwa UUK menjadi regulasi baru yang mengatur tanah Kasultanan dan Kadipaten. Ia mengatakan bahwa tanah Kasultanan yang dipakai oleh masyarakat atau institusi pemerintah saat ini menggunakan hak pakai bukan lagi Hak Guna Bangunan (HGB). “HGB tidak harus terikat dengan tanah kasultanan, sedangkan hak pakai terikat,” terang Sutaryono. Disamping itu, Arif menuturkan bahwa tidak ada peta mengenai tanah SG/PAG. “Kasultanan berusaha mencari tanah yang tidak bersertifikat hak milik sampai tingkat desa,” terang Arif. Ia menambahkan bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk kekuatan ekonomi keraton. Sependapat dengan Arif, Luthfi menyatakan bila pihak yang mendapat keuntungan dari status keistimewaan Yogyakarta adalah Kasultanan dan Kadipaten.
“tanah Kasultanan yang dipakai oleh masyarakat atau institusi pemerintah saat ini menggunakan hak pakai bukan lagi Hak Guna Bangunan (HGB).”
Apabila warga ingin menggunakan tanah SG/PAG, warga tersebut harus memiliki Surat Kekancingan yang dikeluarkan Kasultanan. Surat tersebut digunakan sebagai surat izin menggunakan tanah Kasultanan. Dalam hal ini, menurut Kus, Sultan HB X menggunakan ketidaktahuan masyarakat tentang perkembangan hukum agraria DIY untuk melakukan klaim dan akuisisi tanah. Kus berpendapat, hal tersebut menyebabkan warga enggan membuat Surat Kekancingan. Sebab, berkaca dari fenomena Dipoyudan, terlihat inkonsistensi Kasultanan pada konflik sengketa tanah antara militer dan warga. Menurutnya, status tanah Dipoyudan seharusnya milik Kasultanan yang ditandai dengan terbitnya Surat Kekancingan. “Namun, anggota militer berani bertindak represif setelah mengantongi surat dari Kasultanan yang menyatakan bahwa tanah Dipoyudan adalah tanah mereka,” jelas Kus. Sejumlah aksi demonstrasi pun pernah dilancarkan warga terdampak pengusiran. Meski begitu, Luthfi menerangkan bahwa perlawanan masyarakat selama ini belum menyentuh hal mendasar, yakni politik kepentingan Sultan HB X di balik terbitnya UUK. Selaras dengan Luthfi, Arif berpendapat bahwa hal itu dikarenakan kuatnya sumber daya Kasultanan dalam mempengaruhi media massa, akademisi, peneliti, maupun institusi pendidikan. Menurut Arif, gerakan masyarakat saat ini masih berjalan sporadis. “Disamping itu, siapa yang punya kuasa, dialah yang menang,” pungkas Arif. [Nadia, Fadhil, Afifah] MAJALAH BALAIRUNG
9
Laporan Utama 2
Melawan Perampasan, Merebut Hak Atas Tanah
Š Tata/BAL
Penggusuran tanah demi percepatan pembangunan tidak jarang memicu perlawanan dari warga terdampak dan kelompok gerakan penolakan. Lantas, bagaimana warga terdampak dan kelompok gerakan mengorganisir perlawanannya merebut hak-haknya atas tanah?
J
ogja Darurat Agraria (JDA) mencatat terdapat sekitar 20 titik konflik agraria dan tata ruang yang tersebar di DIY. Beberapa di antaranya adalah pertambangan pasir besi di Kulon Progo yang berlangsung sejak tahun 2006, penggusuran pemukiman warga di Parangkusumo sejak tahun 2007 dan pembangunan New Yogyakarta International Airport di Kulon Progo sejak tahun 2012. Ditambah lagi, puluhan kasus lain yang berkaitan dengan klaim Sultanaat Ground (SG) dan Paku Alamanaat Ground (PAG). Masing-masing kasus memicu perlawanan dari warga yang terdampak. Dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, dinyatakan bahwa DIY adalah negeri yang merdeka dan memiliki tatanan sendiri. Dalam mengatur pertanahan, alih-alih memberlakukan Undang-undang Pokok Agraria 1960, Sultan sebagai kepala daerah menerapkan SG/PAG yang sebenarnya sudah tidak berlaku. Seperti yang tertera dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria, ‘Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya undang-undang ini hapus dan beralih kepada negara’. Sehingga, masyarakat pengguna lahan yang diklaim sebagai SG/PAG tidak memiliki hak guna penuh atas lahan tersebut. Restu, anggota dari JDA, mengatakan bahwa SG/PAG seolah-olah telah menjadi badan hukum privat. Ia melihat bahwa tidak adanya rilis peta SG/PAG secara paten juga menimbulkan masalah sendiri. Misalnya, pemerintah DIY menjadi semakin
10
MAJALAH BALAIRUNG
Laporan Utama 2 mudah melakukan eksekusi lahan dengan dalih SG/ PAG tersebut. “Bahkan, Badan Pertanahan Negara DIY sampai sekarang juga tidak pernah mengeluarkan peta SG/PAG,” tutur Restu. Berangkat dari klaim tersebut, percepatan proyek infrastruktur yang berakhir ke penggusuran ruang hidup terus bertambah. Menurut Restu, selama ini pemerintah hanya melakukan sosialisasi rencana pembangunan. “Masalahnya, pemerintah tidak memberi kesempatan warga dalam pengambilan keputusan mengenai rencana yang berdampak terhadap kehidupan mereka,” jelas Restu. Tukijo, petani sekaligus anggota Paguyuban Petani Lahan Pesisir Kulon Progo (PPLP-KP) mengatakan bahwa Undang-undang Keistimewaan (UUK) tidak dibuat untuk kepentingan rakyat. Justru, dengan adanya UUK, klaim Sultan dan Paku Alam atas sebagian besar tanah di DIY tetap berlaku. “Tanah yang dimiliki rakyat belum cukup untuk menghidupi, malah mau dirampas,” tambah Tukijo. Tukijo bersama kawan-kawannya yang tergabung dalam PPLP-KP menolak penambangan pasir besi di Karang Sewu, Kulon Progo. PPLP-KP memblokir jalan menuju lokasi proyek pada saat adanya pengangkutan material oleh PT Jogja Magasa Iron. Beragam aksi protes, seperti blokade jalan raya dan pengibaran bendera PPLP-KP di lapangan Pancasila UGM, telah dilakukan oleh PPLP-KP sejak tahun 2006. “Akhirnya, hingga saat ini, kegiatan penambangan di Karangsewu masih vakum,” tutur Tukijo. Meskipun aktivitas penambangan dinyatakan vakum dalam jangka waktu tidak pasti, Tukijo menjelaskan bahwa sejauh ini penolakan yang dilakukan
“...yang terpenting adalah warga dapat memiliki kesadaran bersama perihal betapa mendesaknya kebutuhan masyarakat atas tanah, utamanya lahan pertanian.” oleh mereka dapat dikatakan berhasil. Menurut Tukijo, keberhasilan yang mereka capai bukan tanpa proses panjang. Dirinya sendiri aktif berdiskusi dan berbagi pandangan terkait permasalahan tanah kepada setiap warga yang ia temui di ladang. “Jadi, yang belum tahu jadi paham, yang semula tidak mau berjuang jadi berjuang. Karena bila pengetahuan hanya dimiliki sendiri, kekuatan tidak akan penuh,” jelas Tukijo. Tukijo menambahkan bahwa warga sempat mengalami kemerosotan semangat. Masalah ini muncul setelah sebagian besar warga lebih mendukung rencana penambangan pasir besi. Hal ini diakibatkan oleh pengaruh tokoh masayarakat yang dekat dengan pemerintah dan pihak investor. “Saya sendiri menanggapi masalah ini dengan aktif bermusyarawarah dari rumah ke rumah,” tutur Tukijo. Tukijo memaparkan bahwa secara umum warga kekurangan pengetahuan secara umum mengenai hak dan pengaturan tanah di DIY. Dengan demikian, pemerintah menjadi lebih mudah mengklaim dan mengalih-fungsikan lahan warga. “Menjadi tugas kita semua untuk membangkitkan kesadaran dan
memberikan pemahaman kepada masyarakat yang telah dan akan dirampas haknya,” ucap Tukijo. Tukijo melihat bahwa yang terpenting adalah warga dapat memiliki kesadaran bersama perihal betapa mendesaknya kebutuhan masyarakat atas tanah, utamanya lahan pertanian. Menurut data yang dirilis oleh Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, jumlah petani di Kabupaten Kulon Progo sendiri mencapai 119.402 jiwa. Tukijo menambahkan bahwa sebagian besar warga Karangsewu adalah petani. “Dengan lahan yang makin menipis dan jumlah petani yang sangat banyak, kesejahteraan warga makin terancam,” tuturnya. Sementara itu, meskipun sudah mendapatkan kekancingan atau izin tinggal dari Keraton, warga Dipoyudan terlibat sengketa tanah dengan TNI AD. “Masalah tanah makin rumit karena ada pihak ketiga yang memiliki kepentingan atas lahan yang ada di Jogja,” jelas Subiantoro, juru kunci kampung Dipoyudan. Subiantoro menguraikan bahwa kasus ini dimulai sekitar Februari 2018 antara Keraton dan Komando Resimen Militer (Korem) 072 Kota Yogyakarta. Keraton mengeluarkan surat yang dianggap Korem sebagai pencabutan hak milik tanah warga Dipoyudan. “Keputusan tersebut diambil tanpa adanya konsultasi terhadap warga yang bersangkutan,” papar Subiantoro. Korem kemudian menjadikan surat tersebut sebagai basis legal mereka untuk merebut rumahrumah warga Dipoyudan. Mereka mengeluarkan surat somasi berisikan peringatan bagi warga untuk meninggalkan tanah mereka. Warga Dipoyudan sempat bergerak ke Keraton namun tidak dapat izin masuk. Pihak Keraton berdalih bahwa sengketa ini bukan lagi urusan mereka. “Pihak Keraton menganggap bahwa sengketa ini hanya melibatkan warga dengan Korem,” jelas Subiantoro. Menurut Restu, masyarakat yang tidak dapat menunjukkan Sertifikat Hak Milik (SHM) sangat rentan tanahnya diklaim sebagai bagian dari SG/PAG. “Bahkan, tanah kas desa saat ini banyak yang diklaim sebagai SG/PAG,” tutur Restu. Laksmi Savitri, peneliti agraria sekaligus dosen Antropologi UGM, memaparkan bahwa penggusuran tidaklah muncul karena diinginkan melainkan sebuah strategi ekonomi. Sebagian besar lahan yang digusur di DIY merupakan lahan pertanian. Sebab, penggusuran lahan pertanian tidak membutuhkan ongkos yang besar. Menurutnya, penggusuran bukanlah tindakan langsung. “Hal ini lebih berupa respon atas keinginan mengambil tanah yang berbenturan dengan gerakan penolakan,” terang Laksmi. Laksmi menambahkan bahwa keberhasilan gerakan penolakan atas penggusuran juga bergantung pada pola strategi pergerakan. Laksmi memberi contoh seperti peristiwa yang terjadi di Temon, Kulon Progo. Ketika tiang-tiang listrik ditumbangkan oleh aparat, warga mencari sumber listrik lain, salah satunya dengan menggunakan genset. “Selain itu, terdapat pola strategi yang bersifat lebih ofensif dapat kita lihat dengan adanya tuntutan warga kepada Presiden melalui pengacara,” jelas Laksmi. Sementara itu, Restu melihat bahwa gerakan penolakan yang dibangun oleh masyarakat terdampak maupun oleh para akademisi perlu menyimpul jaringan lebih kokoh satu sama lain. Pasalnya, sengketa lahan yang terjadi di DIY selalu berkaitan dengan kepentingan pemerintah. Oleh karena itu, kekuatan gerakan warga tidak dapat berdiri sendiri. “Hal ini harus dilakukan demi memperkokoh kekuatan penolakan dari berbagai kelompok,” pungkas Restu. [Thoriq, Elvinda, Harsya] MAJALAH BALAIRUNG
11
Sisi Lain
Menilik Realitas Interaksi LSM dan Masyarakat dalam Sengketa Agraria
Š Axel/BAL
Pasang surut perjuangan LSM di tengah permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat menjadi keutamaan tersendiri. Kendati demikian, perjuangan LSM kerap dinegasikan oleh masyarakat. Nyatanya, perjuangan tersebut tidak akan berjalan efektif tanpa adanya keselarasan di antara keduanya.
E
ksistensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam mendampingi, memberdayakan, dan mengadvokasi masyarakat untuk menghadapi permasalahan sosial, politik, ekonomi, hukum, maupun lingkungan hidup, telah berjalan sejak era awal pemerintahan Orde Baru hingga Reformasi. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta merupakan salah satu LSM yang berdiri sejak tahun 1981. LBH Yogyakarta memiliki beberapa fungsi, diantaranya memberikan bantuan hukum dan menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat. Rekam jejak perjuangan advokasi LBH Yogyakarta bersama masyarakat tertulis dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) LBH Yogyakarta yang diterbitkan setiap 3 tahun sekali. Meninjau Catahu 2016, terdapat beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi, salah satunya pelanggaran hak atas tanah. Ditemukan empat kasus yang ditangani oleh LBH Yogyakarta pada rentang waktu 2014-2016, dua di antaranya penggusuran warga pesisir Watu Kodok dan pembangunan bandara baru di Kulon Progo.
12
MAJALAH BALAIRUNG
Sisi Lain
Sisi Lain Sengketa tanah di Watu Kodok bermula sejak dikeluarkannya somasi oleh investor pada tahun 2015. Suradi, anggota Karang Taruna dari Dusun Kelor Kidul Desa Kemadang, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunung Kidul, mengatakan bahwa somasi tersebut mewajibkan warga pesisir Watu Kodok untuk mengosongkan kawasan Watu Kodok, termasuk membongkar lapak-lapak jualan mereka. Kabar somasi tersebut dengan cepat terdengar oleh warga Dusun Kelor Kidul. Demi mencegah situasi semakin parah, Suradi akhirnya mengumpulkan warga di balai dusun untuk berdiskusi dan menghasilkan sebuah kesepakatan agar tetap mempertahankan Watu Kodok. Upaya lain yang dilakukan Suradi dan warga Watu Kodok dalam mempertahankan kawasannya yakni mendatangi LBH Yogyakarta untuk meminta pendampingan atas sengketa tanah di wilayahnya. “Untuk mempertahankan tanah Watu Kodok, LBH menyarankan warga agar tetap solid dalam berorganisasi,” ucap Suradi. Hal tersebut menyadarkan Suradi akan pentingnya menjaga persatuan antar warga sebagai upaya mendapatkan hak-haknya. Sehingga dibentuklah Paguyuban Kawula Pesisir Mataram sebagai wadah perjuangan warga mempertahankan hak atas tanahnya. Seiring berjalannya upaya warga dalam mengatasi persoalan tanah, Suradi menuturkan bahwa LBH sangat membantu dalam memberikan pemahaman kepada warga mengenai regulasi Sultanaad Ground dan Paku Alamanaad Ground. Beberapa warga, termasuk Suradi, direkrut untuk mengikuti Sekolah Paralegal bentukan LBH Yogyakarta. Melalui Sekolah Paralegal, warga dibekali pengetahuan hukum, diantaranya hukum perdata dan hukum pidana. “Melalui LBH Yogyakarta, persoalan apapun bisa kita sampaikan setiap hari. LBH selalu memberi tahu kami jika ada informasi mengenai peraturan baru,” ujar Suradi. Bertentangan dengan Supriyadi, Sigit Supriyanto, Kepala Dukuh Kretek, Desa Glagah, Kecamatan Temon, mendukung penuh pembangunan Yogyakarta International Airport (YIA) walaupun lahan pertaniannya ikut tergusur. “Saya pribadi setuju atas pembangunan bandara karena dapat membuka perekonomian di sini. Bandara Adisucipto kan sudah terlalu penuh,” ungkap Sigit. Isu mengenai pembangunan YIA di Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, telah tersiar sejak 2011. Pada tahun 2012, terbit Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kulon Progo Nomor 1 Tahun 2012 tentang Perencanaan Lokasi Pembangunan YIA. Mayoritas warga yang menolak pembangunan tersebut khawatir lahan pertanian yang menjadi tempat mata pencaharian mereka ikut tergusur. Warga yang kontra dengan pembangunan bandara tersebut pun meminta pendampingan hukum dari LBH Yogyakarta. Abdul Malik, Wakil Kepala Divisi Advokasi LBH Yogyakarta, memaparkan bahwa timnya telah mendampingi warga Kecamatan Temon sejak tahun 2014. Pendampingan dilakukan dengan prosedur litigasi maupun non-litigasi. Upaya litigasi yang dilakukan LBH ialah menggugat Keputusan Gubernur DIY No.68/ KEP/2015 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Pengembangan Bandara Baru di DIY yang diterbitkan pada 31 Maret 2015. Keputusan tersebut bertentangan dengan pasal 39 ayat (7) Perda RTRW Kulon Progo Nomor 1 Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa Kecamatan Temon termasuk kawasan rawan tsunami, yang merupakan kawasan lindung. “Tiap proyek strategis nasional tidak boleh melanggar tata
ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya,” jelas Abdul Malik. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan gugatan tersebut. Namun, Gubernur DIY segera mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan PTUN dan berakhir menang. Alhasil, pembangunan bandara pun dilanjutkan. Sigit menjabarkan lebih lanjut bahwa warga Dukuh Kretek yang bersinggungan langsung dengan LSM merupakan warga yang kontra terhadap pembangunan YIA. “Banyak warga yang akhirnya jarang mematuhi peraturan pemerintah dan desa. Program-program yang kita buat saja jarang mereka ikuti,” ungkap Sigit. Ia mengaku kecewa atas kinerja LSM yang menurutnya tidak menghasilkan sesuatu yang diharapkan warga, bahkan LSM dianggap bergerak secara musiman. “Ada beberapa lembaga yang membantu, tapi rasanya tidak semua benar-benar memperjuangkan. Setelah itu warga ditinggal begitu saja karena mereka belum dapat menyelesaikan persoalan, jadi warga pun kebingungan,” jelas Sigit. Menanggapi realita dinamika hubungan LSM dengan masyarakat, AB, dosen Sosiologi Fisipol UGM, mengemukakan perspektif yang berbeda. Menurutnya, secara konseptual, masyarakat sipil memiliki batasan yang samar karena kurangnya pemahaman dalam memisahkan antara sektor masyarakat sipil, negara, pasar, dan keluarga. Hal tersebut menimbulkan adanya pergerakan dinamis antara usaha LSM dengan reaksi masyarakat sehingga tidak banyak LSM yang mampu bertahan. Ia menambahkan bahwa di zaman individualistik-kapitalistik ini, dedikasi LSM merupakan keutamaan langka. “Sejauh yang saya pahami, LBH Yogyakarta adalah salah satu lembaga yang masih konsisten dan menjadi tumpuan warga untuk mengakomodasi hak-hak mereka,” tambah AB. Gerakan LSM telah berlangsung selama lima dekade terakhir dan mengalami perubahan yang dinamis. Pada era 1990-an, relasi LSM dengan warga tampak semakin menguat. “Penguatan gerakan prodemokrasi tersebut timbul dari krisis dan kebuntuan politik. Menjamurnya LSM disebabkan oleh fasilitas donasi dari berbagai lembaga donor internasional, seperti UNDP dan World Bank. Sehingga partisipasi warga dalam kerja bersama LSM semakin artifisial,” imbuhnya. Konstelasi politik setelah reformasi mengubah pola relasi LSM dan warga. Alih-alih semakin kukuh, relasi tersebut menjadi tersegregasi dan terfragmentasi. Perubahan tersebut terjadi akibat bergesernya haluan LSM dari pengusung integrasi masyarakat dalam pembangunan negara menjadi kaderkader politisi, komisioner, maupun konsultan. Sementara itu, AB menilai pernyataan Sigit atas kekecewaannya terhadap LSM hanya memosisikan Sigit sebagai korban untuk kedua kalinya akibat perjuangan LSM di luar ekspektasinya. “Penarikan kesimpulan prematur berupa penghakiman moral demikian hanya akan melimpahkan kesalahan kepada pihak lain tanpa berusaha mengoreksi diri,” jelas AB. Ia melanjutkan, sepatutnya persoalan antara LSM dan warga menjadi pekerjaan rumah bersama untuk menghidupkan berbagai gerakan sosial di masa depan. Oleh karena itu, refleksi diri bukan hanya berlaku bagi representasi warga, melainkan pula bagi masing-masing anggota dari entitas gerakan. “Hal terpenting adalah kemauan untuk belajar bersama dari kegagalan dan menghidupkan lagi gerakan melalui cara berpikir yang lebih radikal, hegemonik, dan etis,” tuturnya. [Deatry, Akbar, Nida]
MAJALAH BALAIRUNG
Sisi Lain
13
Kajian
Tanah dan Asa Kesejahteraan
Š Linus/BAL
Konflik agraria terus menjadi tontonan pilu yang tidak kunjung berlalu. Reforma agraria tidak kunjung direalisasikan kendati telah dibentuk peraturan yang menegaskan urgensi dari reforma agraria tersebut. Keberhasilan negara lain dalam melaksanakannya mestinya mampu membuat kita berkaca dan memahami penyelesaian momok di negeri ini.
14
MAJALAH BALAIRUNG
Kajian
T
impangnya kepemilikan tanah di Indonesia masih belum dapat diselesaikan oleh pemerintahan yang berkuasa hingga saat ini. Desakan solusi berupa reformasi agraria terus digaungkan oleh pihak-pihak yang peduli dengan permasalahan agraria. Reforma agraria sendiri didefinisikan sebagai legislasi yang diniatkan untuk meredistribusi kepemilikan, mewujudkan klaim atas tanah pertanian, dan dijalankan untuk memberi manfaat pada kaum marjinal (miskin) dengan cara meningkatkan status, kekuasaan, dan pendapatan absolut maupun relatif mereka, berbanding dengan situasi tanpa perundang-undangan (Lipton, 2009). Dengan kata lain, reforma agraria adalah upaya restrukturisasi kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang timpang melalui legislasi dan program yang terencana demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Reforma agraria bagi sejarah Indonesia mungkin merupakan utopia yang pernah dibawakan Soekarno. Dengan dibuatnya legislasi yang mengatur tentang kepemilikan tanah saat itu, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 menjadi tonggak angan kesejahteraan masyarakat kita. Meski masih berlaku, keberlanjutan reforma agraria di Indonesia tenggelam dalam agenda besar lain. Setelah semangat reforma agraria di masa Soekarno memudar, siapapun yang berkapasitas menuntaskan ketimpangan tanah seakan tutup mata dengan masalah dan manfaat keberhasilan reforma agraria serta lupa betapa hal ini merupakan kunci kemajuan ekonomi.
Perjalanan Reforma Agraria di Indonesia
Reforma agraria di Indonesia diperkenalkan oleh Presiden Soekarno 59 tahun silam, tepatnya 13 januari 1960. Soekarno percaya bahwa petani yang memiliki tanah sendiri akan menggarapnya dengan lebih intensif (Utrecht, 1969). Soekarno menganggap reforma agraria dapat menyelesaikan masalah agraria sisa kolonial dan feodalisme, sekaligus meletakkan fondasi ekonomi nasional. Adanya gelombang reforma agraria dilakukan berbagai negara yang baru saja merdeka dari jajahan negara kolonial juga turut mempengaruhi pemikiran Soekarno. Pemikiran Soekarno itu ditindaklanjuti Menteri Pertanian, Soenaryo, yang bekerja sama dengan akademisi dari Universitas Gadjah Mada dalam membuat rancangan Undang-Undang (RUU) Agraria. RUU tersebut akhirnya disetujui dan diberlakukan untuk pertama kalinya pada tanggal 24 September 1960 sebagai Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. Undang-undang ini mengandung enam unsur pokok program Reformasi Agraria, yaitu (1) pembatasan pemilikan maksimum, (2) larangan pemilikan tanah absentee, (3) redistribusi tanah yang melampaui batas maksimum, tanah absentee, tanah bekas swapraja dan tanah negara lainnya, (4) pengaturan pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan, (5) pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, (6) penetapan batas maksimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan kepemilikan tanah pertanian menjadi bagian yang terlampau kecil (Supriadi, 2007). Adanya legitimasi dari pemerintah kala itu serta tindak lanjut melalui UU No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan PP No. 224 Tahun 1961 yang membahas pembagian tanah, program reformasi agraria diharapkan oleh masyarakat,
terutama petani kecil, dapat dilaksanakan sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Namun, penerapan reforma agraria tersebut tidak berjalan lancar akibat terganjal berbagai gejolak politik dalam negeri (Rajagukguk, 1995). Alhasil, meski berhasil meredistribusikan tanah seluas 450.000 ha kepada penyakap (petani penggarap yang tidak memiliki tanah), “aksi sepihak” oleh simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) untuk menduduki tanah-tanah yang tak kunjung dibagikan kepada petani (Utrecht, 1969) memunculkan ketegangan dan kerusuhan di berbagai daerah antar pemerintah bersama tuan tanah dengan para petani. Solidaritas antara PKI dan BTI dapat dipahami karena adanya kesamaan ideologi komunis yang sangat dekat relasinya dengan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia.
“Untuk menghindari reforma agraria sejati yang distigmakan sebagai agenda komunis, pemerintah Orba berusaha melakukan reforma agraria dalam bentuk yang berbeda dari sebelumnya.” Mengingat kekuasaan PKI hanya berlangsung singkat (1962-1965) bersama dengan runtuhnya era Demokrasi Terpimpin Soekarno, terjadilah peralihan kekuasaan ke era Orde Baru (Orba) yang hanya setengah hati dalam mengatasi permasalahan agraria. Hal tersebut terjadi karena pemerintahan Soeharto menghindari segala sesuatu yang identik dengan PKI semenjak peristiwa 30 September 1965. Untuk menghindari reforma agraria sejati yang distigmakan sebagai agenda komunis, pemerintah Orba berusaha melakukan reforma agraria dalam bentuk yang berbeda dari sebelumnya. Hal ini membuat UUPA 1960 pada masa Orde Baru (Orba) seolah-olah “mati suri”: hidup di dalam konstitusi namun mati dalam penerapannya. Menurut Wiradi (2009) pemerintahan Orde Baru waktu itu menggunakan pendekatan bypass atau “jalan pintas”, problematika agraria diinterpretasikan hanya sebagai masalah pangan. Interpretasi tersebut membuat pemerintah Orde Baru dengan dana hutang dan bantuanteknis internasional melakukan program Revolusi Hijau melalui penggunaan teknologi pertanian sehingga terjadi peningkatan produksi beras yang cukup signifikan (Rachman, 2012). Alih-alih menyelesaikan permasalahan penguasaan tanah dan melakukan restrukturisasi, revolusi hijau pada akhirnya justru merusak ekosistem tanah akibat penggunaan obat kimia dan mengubah budaya pertanian di desa (Aprianto, 2016) Pasca Revolusi Hijau, kebijakan pembangunan ekonomi berfokus pada persaingan global dan lupa memproteksi ekosistem agrikultur negeri sendiri. Meski begitu, beberapa kebijakan pasca reformasi menyentuh dimensi restrukturisasi tanah melalui PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang merupakan kebijakan pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga merupakan bagian dari Program Pembaruan Agraria Nasional. Namun, MAJALAH BALAIRUNG
15
Kajian dalam pelaksanaannya redistribusi terbatas ini justru menciptakan pasar tanah melalui sertifikasi dan berpotensi memperkuat rekonsentrasi penguasaan tanah lantaran tidak menyasar pembatasan penguasaan. Hal serupa diulangi di era Presiden Joko Widodo yang sempat memasukkan agenda redistribusi sembilan juta hektar tanah ke dalam Nawacita, namun sebagaimana kebijakan SBY, program ini berakhir dengan sebatas program legalisasi aset melalui pembagian sertifikat tanah (SPI, 2017). Program ini dilaksanakan tanpa adanya kajian yang matang terkait proporsi penguasaan tanah orang per orang maupun korporasi. Data Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) pada tahun 2017 menyebutkan bahwa kurang lebih 71% tanah di Indonesia dikuasai oleh korporasi kehutanan, 16% oleh korporasi perkebunan, 7% dikuasai oleh para konglomerat, baru sisanya sekitar 6% dikuasai oleh rakyat kecil. Alih-alih mendongkrak produktivitas, sertifikasi justru membuat petani kecil rentan dengan legitimasi kepemilikan berskala besar oleh korporasi maupun para tuan tanah (Gifariadi, 2018). Timbul ancaman komersialisasi sertifikat tanah rakyat kecil yang dengan mudahnya diambil alih oleh para pemodal besar. Walhasil, legalisasi tersebut ditakutkan menjadi bingkai kebijakan neoliberal yang hanya menguntungkan korporasi dan tuan tanah.
“Hal penting yang menyebabkan Taiwan dan Korea Selatan mampu melaksanakan reforma agraria adalah kebijakan yang mengutamakan sinergitas antara agrikultur dan industri�
Reforma Agraria Asia Timur dan Amerika Latin
Reforma agraria kerap menjadi tuntutan bagi negara yang baru merdeka, termasuk sejumlah negara di Asia Timur. Salah satunya Korea Selatan yang melaksanakan reforma agraria setelah kemerdekaannya dari cengkraman kolonialisme Jepang pada tahun 1948. Didukung birokrasi yang kompeten, pada akhir 1965 kepemilikan tanah privat di negara baru tersebut mencapai 70% dari seluruh luas lahan pertanian. Selain itu, usaha Korea Selatan menjaga negaranya dari pengaruh komunis selama proses pemindahan kepemilikan tanah berhasil meredakan konflik kelas sekaligus menciptakan kestabilan politik. Alhasil, sektor agrikultur Korea Selatan berkontribusi besar dalam surplus agrikultur berupa lumbung persediaan bahan mentah yang murah untuk perkotaan. Transformasi kepemilikan tanah menjadi lahan privat menciptakan peningkatan produktivitas dan efisiensi petani. Hal tersebut diiringi dengan pengerukan surplus pertanian dengan menetapkan sebagian harga bahan pokok di bawah harga
16
MAJALAH BALAIRUNG
produksinya sehingga harga konsumsi tetap murah. Bahkan, sektor pedesaan juga memberikan pasokan tenaga kerja kepada sektor perkotaan untuk menopang proses industrialisasi di Korea Selatan. Kontrol negara pada sektor pedesaan secara tidak langsung mampu menciptakan sistem pertanian dan sosio-ekonomi yang egaliter. Tidak ada petani yang tidak memiliki tanah dan harga produk agrikultur yang ditawarkan pun relatif setara. Meski begitu, pada kenyataannya negara begitu membebankan tercapainya industrialisasi pada sektor pedesaan sehingga tidak mengherankan terjadi urbanisasi besar-besaran kaum tani untuk menyediakan tenaga kerja murah bagi pertumbuhan industri padat karya. Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kaum tani menjadi sektor penyokong kesuksesan ekonomi Korea Selatan. Begitu pula dengan Taiwan, reforma agraria yang dilakukan seusai perang saudara dengan China ini dilaksanakan bertahap selama tiga fase: penurunan persewaan lahan, penjualan seluruh tanah milik warga negara Jepang, dan pembelian seluruh lahan milik tuan tanah serta distribusi ke penyakap. Taiwan pun mencapai dua hasil sekaligus, lebih dari 80% petani memiliki lahannya sendiri dan keberadaan tuan tanah yang semula menguasai lahan bertransformasi menjadi pengusaha setelah lahannya ditukar dengan saham maupun obligasi. Penanaman intensif di Taiwan sendiri sudah berlangsung sejak pertengahan 1920 saat negara tersebut masih merupakan negara jajahan Jepang, begitu pula irigasi dan drainase yang terus dijaga. Inovasi dan peningkatan metode pertanian dilakukan dengan kombinasi varietas unggul dan agrokimia yang digalakkan melalui penyuluhan pemerintah. Negara tersebut juga menerapkan sistem kredit yang efektif dalam penggunaan input pertanian serta membantu perluasan pasar hasil pertanian. Namun di sisi lain, negara kecil ini menggerakkan sistem penyuluhan pertanian dengan cukup agresif, yakni menggunakan polisi sebagai penyuluh dan memaksa petani untuk mengadopsi teknologi. Surplus pertanian menjadi pemasok terbesar industrialisasi dan pembangunan negara setelah Perang Dunia II semenjak setelah sebelumnya disokong oleh pajak tanah. Setelah perang, pemerintah benar-benar mengandalkan sektor pertanian untuk menyokong belanja negara, walau dengan berbagai paksaaan. Hal ini terlihat dari petani yang perlu membayar mahal untuk pupuk dan agrokimia dan memenuhi kuota produksi selagi mereka menerima harga penjualan yang rendah. Meski begitu, eksploitasi pertanian ini tidak berlangsung lama. Semua hal tersebut tentu diawali oleh reforma agraria yang menitikberatkan pada kesejahteraan petani kecil yang diperhatikan dengan baik. Hal penting yang menyebabkan Taiwan dan Korea Selatan mampu melaksanakan reforma agraria adalah kebijakan yang mengutamakan sinergitas antara agrikultur dan industri serta komitmen yang kuat dari pemerintah dalam menjaga keberlangsungan reforma agraria melalui kontrol institusi keagrariaan. Namun, hal tersebut gagal dilakukan oleh sejumlah negara di Amerika Latin. Sejak kemerdekaan yang dicapai seabad hingga satu setengah abad sebelum Asia Timur, rezim populis saat itu cenderung memaksakan pembangunan infrastruktur, urbanisasi, dan industrialisasi. Reforma agraria pun dilaksanakan setelah melihat kesuksesan Asia Timur. Dalam pelaksanaannya, pemerintah yang berpandangan industrialis banyak memanjakan para
Kajian tuan tanah melalui pemberian subsidi yang tidak penting dan bersikap protektif terhadap komoditas industri. Hal ini menyebabkan pemerintah tidak mampu mengeruk surplus pertanian yang masif sebagaimana Korea Selatan dan Taiwan karena tekanan yang kuat dari tuan tanah serta menurunnya persaingan industrinya. Kebijakan-kebijakan Amerika Latin juga tidak menunjukkan adanya sinergi antara pertanian dan industri. Padahal, Asia Timur mampu menunjukkan bahwa kekuatan fondasi agrikultur memudahkan fase industrialisasi. Transformasi pertanian ke industri mampu menciptakan surplus tenaga kerja dengan upah rendah, begitu pula dengan nihilnya subsidi yang diberikan membuat pertanian mampu berkembang pesat dan mandiri sehingga swasembada pangan berkelanjutan tetap terjaga. Swasembada tersebut membuat surplus pangan sehingga harga pangan relatif murah dan tekanan kenaikan upah industri jangka pendek dapat dihindari. Pada akhirnya, Korea Selatan dan Taiwan termasuk negara dengan ketimpangan pendapatan terendah di dunia yang mana juga bermuara pada stabilitas politik dan tersedianya fondasi industri yang kuat (Kay, 2002). Singkatnya, menurut Kay (2009) terdapat tiga faktor kunci yang membuat penerapan reforma agraria di Asia Timur dan Amerika Latin menghasilkan dampak yang berbeda. Pertama, pemerintahan di Asia Timur memiliki kapasitas yang mumpuni dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya, berbanding terbalik dengan apa yang ada di Amerika Latin. Kedua, kegagalan pemerintahan Amerika Latin untuk menciptakan struktur pertanian yang berkelanjutan dan merata. Ketiga, Asia Timur lebih terampil dalam mendesain sebuah kebijakan yang mampu mensinergikan bidang pertanian dengan industri yang sayangnya Amerika Latin mengabaikan sektor pertaniannya dalam upaya mengembangkan industrinya.
berkeadilan, Serikat Petani Indonesia memiliki sikap senada mengenai pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Hal tersebut dicantumkan dalam Pandangan dan Sikap Dasar Federasi Serikat Petani Indonesia tahun 2003 yang menyatakan desakan petani atas reforma agraria. Selain mendesak pelaksanaan, FSPI menempatkan diri sebagai pelopor upaya pelaksanaan agenda tersebut. Hal ini menunjukkan kesiapan organisasi petani yang kuat sebagai salah satu instrumen pelaksanaan restrukturisasi ketimpangan tanah. Hingga saat ini ketimpangan tanah di Indonesia masih cukup tinggi. Di Indonesia sendiri terdapat 25 juta rumah tangga pertanian pengguna lahan, namun 14 juta dari mereka merupakan petani gurem (petani yang menguasai lahan dibawah 0,5 ha). Petani kecil ini lah yang selalu berhadapan dengan resiko hasil panen yang tidak sebanding, kerentanan terhadap harga dan iklim, dan terbatasnya kesempatan mendongkrak produktivitas produksi karena lahannya yang kecil (Gifariadi, 2018). Tak hanya itu, sektor yang menjadi sumber pangan negara ini dihadapkan dengan fenomena menurunnya jumlah Rumah Tangga Pertanian (RTP).
Relevansi dan Urgensi
sebagai instrumen perubahan sosial menjadi salah satu hambatan pelaksanaan reforma agraria tahun 19611964. Banyak dari komite pelaksana yang menginginkan kegagalan pelaksanaan reforma agraria itu sendiri. Begitu pula dengan organisasi petani yang semestinya bisa memberikan dukungan dan pengawasan, mereka masih tunduk kepada para pemilik tanah. Upaya penghilangan akses dan aset para penguasa tanah pun terasa nihil. Hal ini menunjukkan bahwa program reformasi agraria tidak hanya memerlukan political will dari badan-badan pemerintah, tetapi juga diperlukan elemen paksaan dari pemerintah (government compulsion). Semangat restrukturisasi kepemilikan tanah secara menyeluruh di Indonesia yang tidak dilanjutkan Orde Baru tidak menjadikan masalah tersebut dianggap selesai dan berhenti disuarakan. Ketimpangan tanah hingga saat ini masih menjadi tuntutan masyarakat marjinal khususnya petani. Serikat Petani Indonesia bersama La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) mengupayakan haknya yang selama ini belum pernah diakui, termasuk hak atas tanah. Setelah tujuh belas tahun, perjuangan ini menghasilkan perlindungan hukum pertama yang mengakui hakhak petani yang dirumuskan dalam United Nation Declaration on the Rights of Peasant and the Other People Working in Rural Areas (UNDROP) yang baru dideklarasikan Januari 2019 lalu. Sebagaimana UNDROP mengakui bahwa negara perlu melakukan reforma agraria untuk akses tanah
Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah penguasaan lahan di Indonesia masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Padahal, ketimpangan tanah, modal, dan aset di pedesaan, serta produktivitas agrikultur dibanding industri merupakan akar permasalahan dari kemiskinan (Kay, 2009). Berakhirnya upaya restrukturisasi tanah hanya akan membuat perjuangan pengentasan ketimpangan Soekarno berakhir sia-sia, begitu pula dengan angan kemandirian ekonomi Indonesia di masa mendatang. Pencapaian Korea Selatan, Taiwan, Jepang, Mesir, dan negara lain yang menempatkan reforma agraria sebagai dasar pembangunan ekonomi semestinya menjadi inspirasi keberlanjutan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Perbedaan reforma agraria yang paling mencolok antara Asia Timur dan Amerika Latin memang terletak pada waktu pelaksanaannya. Reforma Agraria di Asia Timur seakan dilaksanakan pada momen yang tepat, yakni segera setelah kemerdekaan. Namun, bukan berarti kegagalan reforma agraria Amerika Latin sertamerta hanya terletak pada momentum saja, komitmen dan kebijakan pemerintah yang tidak sepenuhnya menganggap penting reforma agraria sendiri menjadi elemen kunci kegagalan tersebut. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia semenjak UUPA 1960 dibuat. Saat itu, kurangnya pemahaman komite pelaksana mengenai urgensi reforma agraria
“Program reformasi agraria tidak hanya memerlukan political will dari badan-badan pemerintah, tetapi juga diperlukan elemen paksaan dari pemerintah ‘‘
MAJALAH BALAIRUNG
17
Kajian
Presentase Penguasaan Lahan
Sensus pertanian 2013 menunjukkan penurunan jumlah RTP sebanyak 15,35% dibandingkan sensus tahun 2003. Alasan dibaliknya tentu bukan berakar dari sudah kuatnya fondasi agrikultur. Pendapatan RTP di Indonesia dalam sensus yang sama menyatakan jumlah yang memprihatinkan, rata-rata hanya berkisar 2 juta tiap bulannya. Rendahnya kesejahteraan yang disertai menurunnya jumlah pemberi kehidupan negara agraris ini merupakan fenomena buruk di tengah derasnya hantaman perdagangan bebas. Bersikap abai terhadap lemahnya agrikultur tentu bukan sikap yang bijak. Pertanian sebagai sumber pangan dan fondasi perkembangan industri semestinya menjadi sektor pertama yang mandiri.
Betapapun masalah yang timbul dari ketimpangan tanah hingga saat ini tidak menjadikan reforma agraria mustahil dilakukan. Ketimpangan tanah merupakan akar kemiskinan yang apabila tidak segera diselesaikan hanya akan menyebar dan mengendap lebih dalam di dasar kehidupan masyarakat (Bachradi & Wiradi, 2011). Reforma agraria merupakan jalan yang perlu ditempuh untuk menyelesaikan penindasan serta menciptakan kesejahteraan ekonomi. Pelaksanaan reforma agraria selanjutnya perlu untuk memenuhi setidaknya lima prasyarat: kemauan politik, data keagrariaan yang lengkap, organisasi tani yang kuat, terpisahnya elit politik dan bisnis, dan dukungan angkatan bersenjata (Bachriadi, 2017). Setelah reforma agraria dilaksanakan pun perlu disusul dengan program pendukung produktivitas petani dan perlindungan untuk memperkuat unit produksi ekonominya. Tanpa elemen-elemen ini, negara hanya akan mengulang kesalahan dan berakhir seperti yang terjadi di Amerika Latin. Menuntaskan masalah ketimpangan tidak memiliki kata terlambat, namun negara ini juga tidak punya waktu untuk mengulang kegagalan. Reforma agraria merupakan kebutuhan dasar agrikultur maupun industri dan akan mengantarkan pada pemberantasan kemiskinan serta terciptanya keadilan dan kesejahteraan. Namun, reforma agraria tidak akan berhasil hanya dengan kesadaran segelintir golongan: ia butuh kemauan dan kesiapan seluruh elemen negara. [Kelvin, Pia, Diana]
Daftar Pustaka Aprianto, Tri Chandra. (2016). Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan Partisipasi Politik, Klaim, dan Konflik Agraria di Jember. Yogyakarta: STPN Press Bachriadi, D., Wiradi, Gunawan. (2011). Enam dekade ketimpangan tanah. Bandung: Agrarian Resource Centre, Bina Desa & KPA. Bachriadi, D. (2017). Reforma agraria untuk indonesia: Kritik atas reforma agraria ala SBY. Working Paper Agrarian Resources Center, 1, 7/WP-KAPPOB/1/2017 Gifariadi, Muhammad Adrian. (2018). Menerka Logika “Reforma Agraria� ala Jokowi. Harian Indoprogress. Dapat dilihat di: https://indoprogress.com/2018/04/menerka-logika-reforma-agraria-ala-jokowi/. Diakses pada 30 Mei 2019, Pukul 10.43 WIB. Kay, Cristobal. (2002). Why east asia overtook latin america: agrarian reform, industrialisation and development. Third World Quarterly, 23, 6, 1073-1102. Kay, Cristobal. (2009). Development strategies and rural development: Exploring synergies, eradicating poverty. The Journal of Peasant Studies, 36, 1, 103-137. Konsorsium Pembaruan Agraria. (2017). Siaran Pers: Peringatan Hari Tani Nasional 2017 Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA). Dapat dilihat di https://www.kpa.or.id/news/blog/siaran-pers-peringatan-hari-tani-nasional-2017-komite-nasionalpembaruan-agraria-knpa/. Diakses pada 24 Mei 2019, Pukul 17.04 WIB Lipton, M. (2009) Land reform in developing countries: Property rights and property wrongs. London. Routledge. Rachman, Noer Fauzi. (2012). Land Reform Dari Masa Ke Masa. Yogyakarta: KPA Rajagukguk. (1995). Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah, dan Kebutuhan Hidup. Jakarta. Chandra Pratama. Serikat Petani Indonesia (SPI) (2017). Hari Tani Nasional 2017: Indonesia darurat agraria, segera laksanakan reforma agraria sejati untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Dapat dilihat di https://spi.or.id/hari-tani-nasional-2017-indonesia-darurat-agrariasegera-laksanakan-reforma-agraria-sejati-untuk-mewujudkan-kedaulatan-pangan/. Diakses pada 29 Mei 2019, Pukul 16.32 WIB. Supriadi. (2007). Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Utrecht, E. (1969). Land reform in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 5, 3, 71-88. Widodo, Slamet. (2017). A critical review of indonesia’s agrarian reform policy. Journal of Regional and City Planning, 28, 3, 204218. Wiradi, Gunawan. (2009). Reforma Agraria: Perjalanan yang belum berakhir. Bandung: Akatiga. Wiradi, Gunawan. (2009). Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria, Penelitian Agraria. Yogyakarta. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN).
18
MAJALAH BALAIRUNG
Semua Rakyat Berhak Atas Tanah
© Arjun/BAL
MAJALAH BALAIRUNG
19
Kolom Pakar
Katakan Saja Kebijakan Agraria, Bukan Reforma Agraria © Anas/BAL
K
“
ebijakan Reforma Agraria Jokowi bukanlah Reforma Agraria. Jadi tak ada Reforma Agraria, yang ada hanyalah kebijakan agraria. Karena itu jangan menyebut kebijakan agraria Jokowi sebagai Reforma Agraria. Ini menyesatkan. Land Reform saja bukan, apalagi Agrarian reform.” Demikian pernyataan Gunawan Wiradi, pemikir agraria kenamaan, yang disampaikan berulangkali dalam berbagai kesempatan diskusi mengenai Reforma Agraria (RA).1 Tidak bisa dipungkiri kini terminologi RA telah menjadi pembicaraan hangat tak hanya di kalangan para peneliti dan pegiat agraria, tapi juga di masyarakat luas. Terlebih lagi setelah diadopsinya terminologi RA ke dalam nomenklatur kebijakan agraria di era pemerintahan Jokowi. Di kalangan para peneliti dan pegiat agraria sendiri, sejak semula telah terjadi perdebatan yang cukup keras mengenai hal ini. Sebagian menganggapnya sebagai berkah, namun ada pula yang menganggapnya sebagai musibah. Pihak pertama melihat pengadopsian terminologi RA ke dalam kebijakan pertanahan pemerintah sebagai langkah maju, terutama setelah sekian lama RA gagal dilaksanakan di Indonesia. Mereka melihatnya sebagai kesempatan politik yang harus didukung, seartifisal apapun pelaksanaannya. Sementara itu, pihak kedua melihatnya sebagai upaya mereduksi pengertian RA yang sejati. Alih-alih menjawab persoalan ketimpangan struktur agraria dan konflik di sektor agraria, pelaksanaannya yang artifisial justru memberi peluang penguasaan tanah untuk kepentingan modal melalui sertifikasi tanah. Mengingat banyak kejanggalan dalam pelaksanannnya, apakah tepat jika kebijakan agraria Jokowi disebut RA? Di sinilah letak persoalannya. Perlu adanya pendiskusian kebijakan agraria dengan kembali
20
MAJALAH BALAIRUNG
Roy Murtadho (Koordinator Nasional Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam/FNKSDA, & Peneliti Sajogyo Institute Bogor)
merujuk pada semangat dan tujuan RA dalam UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 yang biasa disebut sebagai RA sejati.
Reforma Agraria Sejati
Tujuan utama dari Reforma Agraria sejati adalah melakukan penataan kembali atau perombakan struktur kepemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria (utamanya tanah) untuk kepentingan rakyat kecil, yakni petani kecil, buruh tani, tunakisma secara menyeluruh dan komprehensif. Ia sekurangnya mempunyai tiga ciri utama: bersifat tegas dan dijalankan dengan kerangka waktu tertentu seperti di Jepang 4 tahun, di India 5 tahun, di Mesir 7 tahun, dsb; lembaga pelaksananya bersifat sesuai kerangka waktu yang telah ditetapkan dan dikerjakan dengan cepat. Ketiga hal tadi, secara teknis dikerjakan oleh sebuah badan khusus yang mempunyai otoritas penuh dalam menyelenggarakan RA dan bertugas untuk mengkoordinir semua sektor terkait demi mempercepat proses pelaksanaan serta menangani konflik kepentingan yang kemungkinan besar terjadi. Karena itu terdapat sejumlah prinsip yang harus dipegang agar pelaksanaan RA sesuai dengan tujuannya, yakni memberikan tanah bukan kepada mereka yang “ongkang-ongkang kaki” melainkan kepada para penggarap yang benar-benar mengerjakannya. Selain itu, RA juga bertujuan untuk mengarusutamakan tanah sebagai fungsi sosial. Dengan demikian, tidak menjadikan tanah sebagai komoditas komersial, apalagi untuk kepentingan modal besar. Secara teoritis, pelakasanaan RA di Indonesia dijalankan secara neo-populis (bukan komunis atau kapitalis), meski Bung Karno sendiri kerap memakai istilah “sosialisme Indonesia.” Tanah diredistribusikan kepada petani penggarap dan bukan dikolektivisasi oleh negara seperti di negara-negara sosialis. Secara historis
Kolom Pakar RA tak bisa dipisahkan dari cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia oleh para pendiri bangsa di masa awal kemerdakaan untuk mewujudkan kehidupan yang adil dan sejahtera bagi rakyat Indonesia dengan cara mengikis sisa-sisa feodalisme dan kolonialisme. Maka belumlah bisa dikatakan sebagai merdeka, meski mempunyai pemerintahan sendiri, oleh bangsa sendiri, sebelum terwujudnya keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan, para pemimpin bangsa telah memikirkan dan mencanangkan untuk merumuskan undang-undang agraria baru demi mengganti undang-undang agraria kolonial tahun 1870. Disebabkan oleh kondisi politik yang belum stabil, pembentukan panitia agraria berlangsung silih berganti selama 12 tahun, mulai dari panitia agraria Yogyakarta 1948; panitia agraria Jakarta 1952; panitia Suwahyo 1956; panitia Sunaryo 1958; dan rancangan Sujarwo 1960. Di Indonesia RA sejati pernah dicoba untuk dilaksanakan melalui UUPA tahun 1960 namun gagal sejak peristiwa 1965 dan bergantinya pemerintahan. Sebagaimana dikatakan oleh Gunawan Wiradi, tidak hanya pelaksanannya yang belum usai, bahkan rancangan programnya pun juga belum tuntas. Penjabaran UUPA 1960 melalui UU No. 56/1960 yang dikenal sebagai land reform baru sebatas menyangkut pertanian rakyat. Sedangkan sektor-sektor lain seperti perkebunan, pertambangan, kelautan, kehutanan belum sempat tergarap.
Salah Kaprah Kebijakan Agraria
Di masa reformasi, gagasan land reform muncul kembali di tahun 2001 dengan lahirnya TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan ditindaklanjuti dengan Keppres No. 34/2003 yang memberi mandat kepada BPN (Badan Pertanahan Nasional) untuk melakukan penyempurnaan terhadap UUPA 1960. Namun, Rancangan Undang-Undang (RUU) Agraria sebagai pelaksanaan Keppres No. 34/2003 ternyata bukan menyempurnakan tetapi malah mengubah UUPA 1960. Sekarang di era pemerintahan Jokowi, RA mulai digulirkan kembali sebagai prioritas nasional yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015 – 2019, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden No. 45/ 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017 dan disusul dengan Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria. Fokus kebijakan agraria Jokowi adalah legalisasi dan redistribusi aset yang disebut Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) seluas 9 juta ha. Dari luasan tersebut, ditargetkan 4,5 juta ha untuk legalisasi aset yang terdiri dari 3,9 juta ha untuk sertifikasi tanah-tanah warga dan 0,6 juta ha untuk lahan transmigrasi. Sisanya seluas 4,5 juta ha dialokasikan untuk redistribusi aset yang terdiri dari 0,4 juta ha dari lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang telah habis masa berlakunya dan yang ditelantarkan, dan 4,1 juta ha dari pelepasan kawasan hutan negara. Bila tujuan minimalnya untuk mengurangi konflik pertanahan yang angkanya tiap tahun terus meningkat, maka kebijakan agraria Jokowi telah gagal sejak dalam pikiran. RA diterjemahkan sebatas bagi-bagi sertifikat pada tanah yang berstatus jelas dan pasti. Padahal, semua konflik tanah yang terjadi justru statusnya masih sengketa, umumnya antara petani penggarap atau petani kecil dengan korporasi dan perhutani. Obral sertifikat juga bisa dibaca sebagai upaya memfasilitasi kepentingan modal besar agar tanah lebih mudah
beralih tangan. Tak heran, berulangkali dalam berbagai kesempatan membagi sertifikat, presiden mengatakan bahwa tanah yang sudah dapat sertifikat bisa digunakan sebagai modal usaha. Kalaupun dikatakan sebagai reform, maka kebijakan agraria Jokowi bukan dipimpin oleh negara, melainkan oleh pasar (market-led reform) yang menguntungkan korporasi. Beberapa dalil market-led reform adalah menempatkan tanah sebagai komoditas, jual beli tanah harus bebas dan legitimasi hak pemilikan harus diprioritaskan. Karena itu, pembagian sertifikat diutamakan dan dibanggakan sebagai keberhasilan pelaksanaan RA. Sedangkan mengenai tanah-tanah HGU, hingga kini datanya tak pernah dibuka oleh kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dengan alasan melindungi pengusaha sawit. Padahal Forest Watch Indonesia telah memenangkan gugatan di MA pada ATR/BPN untuk membuka data kepemilikan HGU. Sehingga wajar bila penguasaan tanah secara luas seperti Prabowo maupun orangorang dekat presiden tidak tersentuh oleh kebijakan agraria Jokowi. Selain dianggap legal, mereka juga tidak masuk ke dalam TORA. Kebijakan agraria presiden Jokowi secara umum memunggungi semangat dan prinsip UUPA 1960. Di satu sisi mengatakan hendak mengikis ketimpangan agraria dan konflik agraria, namun di sisi lainnya kebijakan-kebijakan pembangunan pemerintah justru makin memperkeras konflik agraria di berbagai tempat di Indonesia, khususnya perampasan tanah untuk infrastruktur jaringan transportasi dan energi. Dengan demikian, pernyataan Jokowi bahwa “dalam empat setengah tahun ini, hampir tidak terjadi konflik pembebasan lahan untuk infrastruktur, karena tidak ada ganti rugi, yang ada adalah ganti untung,� tidak sesuai dengan kondisi konkret di lapangan di mana banyak masyarakat yang menolak pembangunan infrastruktur mendapatkan berbagai ancaman bahkan kriminalisasi.
Penutup
Berdasarkan kondisi konkretnya, Indonesia dapat dikatakan belum mengalami transisi dari agraris ke industri. Meskipun industrialisasi telah berjalan sejak lama, RA belum pernah dilakukan secara tuntas. RA semestinya dilakukan sebelum berlangsungnya proses industrialisasi sebagai landasan pembangunan yang lebih kokoh. Reforma Agraria perlu diperjuangkan melalui land reform by leverage. Artinya, rakyat sendirilah yang berupaya mendongkraknya. Dengan demikian, dibutuhkan kader-kader penggerak RA yang berbasis pada organisasiorganisasi tani lokal, terutama para petani gurem dan buruh tani, untuk memperjuangkan terwujudnya RA sejati di Indonesia sebagaimana seharusnya. Dengan tegas harus kita katakan bahwa kebijakan agraria Jokowi adalah reforma yang pura-pura (quasireform) atau reforma gadungan (pseudo-reform): suatu kebijakan yang seolah-olah melakukan pembaruan, tapi hakikatnya bukan pembaruan. Kebijakan agraria Jokowi tidak lain adalah pendomplengan terhadap terminologi RA. Maka dari itu, sudah menjadi tugas dan tanggungjawab kita semua untuk meluruskannya.
Lihat misalnya, Gunawan Wiradi, Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir (Bogor: Sajogyo Institute, 2009). 1
MAJALAH BALAIRUNG
21
Opini
Š Linus/BAL
Awas! Di Negeri Ini Aktivis Pejuangan Lingkungan Pasti Dikriminalisasi Tommy Apriando Kontributor Mongabay Indonesia di Yogyakarta
S
eorang Petani bernama Joko Prianto, dari Desa Tegaldowo, Kabupaten Rembang dikriminalisasi karena membela petani dan mempertahankan Pegunungan Kendeng yang menjadi sumber air bersih. Di Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal, Kiai Aziz dan Rusmin diputus 8 tahun penjara dan denda 10 miliar rupiah karena membela petani hutan, walau kini sudah diberikan grasi pembebasannya. Di Banyuwangi, Budi Pego dituduh menyebarkan komunisme karena mempertahankan pegunungan Tumpang Pitu dari
22
MAJALAH BALAIRUNG
ancaman pertambangan emas. Ketiga pejuang lingkungan ini hanya tiga di antara ribuan lain yang mengalami hal serupa. Kriminalisasi pejuang dan aktivis lingkungan akan terus bertambah setiap rezim kekuasaan, selama watak pemimpin dan kebijakannya terus bersifat ekstraktif. Negara ini terus diancam kerusakan lingkungan dari kebijakan rezim pemerintahan. Penyebabnya, kepentingan oligarki penguasa ekstraktif masih kuat di sekitar kekuasaan bahkan mereka menjadi pemain. Mereka pula yang
Opini menjadi pemodal kampanye para kepala daerah hingga pemilihan presiden. Fakta terbarunya, Presiden Joko Widodo secara tegas mengatakan, tidak perlu izin untuk investasi di republik ini. Maka petani, nelayan, masyarakat adat dan kaum termarjinalkan lainnya, pasti dikriminalisasi jika menolak dan melawannya. Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), ada 723 kasus kriminalisasi pejuang lingkungan hidup yang muncul selama pemerintahan Joko Widodo. Kriminalisasi yang paling menarik perhatian adalah Budi Pego. Ia menolak tambang emas Tumpang Pitu yang berdampak buruk bagi lingkungan dan manusia sebelum akhirnya dijerat dengan tudingan menyebarkan komunisme. Tentu ini di luar nalar, bagaimana bisa seorang yang tak pernah melihat lambang bahkan tak tahu komunisme dipidana karena menyebarkan komunisme?. Akar masalah kriminalisasi ialah percepatan pembangunan yang digenjot di era Jokowi dan bernuansa “orde baru�. Salah satu alasan maraknya proyek mangkrak di era Susilo Bambang Yudhoyono adalah penolakan masyarakat terkait dampak sosial dan lingkungan. Hambatan ini yang kemudian ingin dituntaskan oleh pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Maka tidak sulit menerka siapa yang bertanggung jawab atas gelombang kriminalisasi pegiat lingkungan. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menerbitkan laporkan, 88 % pelaku kriminalisasi dan ancaman kekerasan terhadap aktivis sosial berasal dari elemen negara, yakni Polri, TNI, Kejaksaan, pejabat negara, badan otoritas hingga Satuan Polisi Pamong Praja. Interkoneksi antara pemerintah dan swasta inilah diyakini mempersulit upaya penghentian kriminalisasi aktivis. Meski kesadaraan masyarakat meningkat untuk melindungi lingkungan sendiri, ketiadaan hukuman atau impunitas terhadap para pelaku akan berdampak pada semakin maraknya kriminalisasi atau ancaman kekerasan fisik. Bahkan, dalam kasus lingkungan atau korupsi, beberapa serangan yang sangat serius tidak pernah berakhir dengan pemberian hukuman. Sehingga, serangan-serangan berikutnya bisa terulang tanpa pelakunya harus khawatir bahwa negara akan menangkap mereka. Dalam tinjauan Lingkungan Hidup 2019 yang diterbitkan Walhi, Indonesia dinilai masih menjadi ruang nyaman bagi penyelenggara negara dan korporasi dalam pertarungan penyelamatan lingkungan. Salah satu buktinya, gugatan kerugian dan pemulihan lingkungan hidup terhadap perusahaan sebesar Rp18 triliun sudah dikantongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, namun belum ada satupun putusan yang dieksekusi. Data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mencatat, jumlah masyarakat yang dikriminalisasikan hanya dengan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan selama tahun 2015-2017 berjumlah 16 orang. Sedangkan selama rentang 2017 saja, para pejuang lingkungan dan hak atas tanah yang dikriminalisasi jumlahnya mencapai 50 orang. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa dari 659 kejadian konflik agraria sepanjang tahun 2017 di berbagai sektor pertanahan, perkebunan, kehutanan, infrastruktur, sebanyak
612 warga terutama petani telah menjadi korban. Sebanyak 369 orang di antaranya dikriminalisasi, 230 dianiaya/tertembak dan 13 lainnya harus tewas karena memperjuangkan hak atas tanahnya. Dari 612 korban kekerasan dan kriminalisasi tersebut, 520 adalah laki-laki dan 72 perempuan. Sementara pelaku kekerasan konflik agraria tertinggi masih pihak polisi (21 kasus), preman bayaran/security (15) dan TNI (11). Sepanjang tahun 2017, WALHI baik di tingkat nasional maupun daerah melakukan advokasi terhadap 148 kasus-kasus lingkungan hidup dan agraria di seluruh Indonesia. Dari 148 kasus tersebut, komposisinya antara lain kasus alih fungsi kawasan hutan, pencemaran, tambang, reklamasi, kejahatan laten perizinan dan kasus di pulau-pulau kecil. Sementara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat hingga saat ini setidaknya ada 262 masyarakat adat dikriminalisasi karena mempertahankan wilayah adatnya dari gempuran investasi dan kawasan hutan negara yang berstatus konservasi. Klaim sepihak negara atas wilayah masyarakat adat menyebabkan angka kriminalisasi ini terus bertambah, Terlebihh lagi ada kekosongan payung hukum khusus yang mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat. Maka, perlu ada langkah jelas, terukur, dan masif untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban kriminalisasi karena minimnya keberpihakan serta rendahnya pemahaman pemerintah akan permasalahan yang dihadapi publik sehari-hari. Tak layak seorang perempuan berusia lebih dari 90 tahun dijatuhi hukuman penjara karena menebang pohon, sebagaimana tak pantas petani yang lahir dan mencari nafkah di hutan kemudian ditahan karena tindakannya tersebut. Pemerintah sepatutnya malu apabila perempuan korban kekerasan alih-alih terpulihkan haknya sebagai korban justru terjerumus dipidana karena dianggap bersalah. Negara ini punya Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), yang tegas menjamin perlindungan hukum bagi aktivis lingkungan hidup. Peraturan tersebut berbunyi bahwa (1) setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata; (2) tidak ada seorang pun dapat ditangkap, ditahan serta ditetapkan sebagai tersangka secara sewenang-wenang; (3) tidak ada seorangpun dapat dilanggar hak asasinya. Maka dari itu, negara Wajib memberikan perlindungan bagi aktivis lingkungan sesuai dengan asal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Pasal tersebut menjamin setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana atau digugat secara perdata. Langkah konkret lainnya adalah dengan segera menurunkan pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup ke dalam bentuk Peraturan Presiden. Jika ini tidak dilakukan, maka seperti kata petani di Pegunungan Kendeng, “Ibu Bumi Wes Maringi, Ibu Bumi Dilarani, Ibu Bumi Kang Ngadili�. Makna mendalamnya, bumi sudah berikan semua yang manusia perlukan untuk keseimbangan ekosistem, jika bumi dirusak, maka ia akan membalasnya lewat bencana. MAJALAH BALAIRUNG
23
Sosok
© Fauzi/BAL
Arif dalam Memuliakan dan Menanam Padi Melihat potensi yang besar di dunia pertanian, Arif memutuskan untuk beralih menjadi pemulia padi. Dengan menciptakan varietas baru yang unggul, Arif berhasil meningkatkan produksi petani sampai 13 ton per hektar, melebihi rata-rata produksi petani pada umumnya.
M
inggu siang (12-05), BALAIRUNG mengunjungi kediaman Arif Budiman di Sleman. Ia menyambut kedatangan kami dengan ramah. Rumah kaca seluas 4x9 meter yang berisi pot-pot tanaman menghiasi pekarangan rumahnya. Pot-pot berjumlah 75 banyaknya itu digunakan Arif sebagai senjata dalam melakukan pemuliaan tanaman padi. Pria yang dikenal sebagai “Arif Kentang” ini tidak mengawali karirnya di dunia pertanian melalui padi. Sesuai julukannya, ia sempat bekerja di Agro Department PT Indofood Fritolay Corporation sebagai Agro Manager, di mana ia bertugas untuk menjamin kuantitas, kualitas, dan kontinuitas persediaan kentang. Setelah sepuluh tahun, ia beralih ke dunia padi karena kesadaran akan adanya potensi besar di bidang tersebut. “Untuk menanam kentang satu hektar saat ini membutuhkan uang seratus juta rupiah. Tenaga kerja sekitar sepuluh sampai lima belas orang per hektar. Sedangkan menanam padi dengan uang seratus juta bisa untuk menanam sepuluh hektar. Bayangkan berapa banyak yang bisa bekerja disitu?” tutur alumnus Pertanian UGM ini. Arif menyatakan bahwa potensi besar yang ada di bidang padi masih belum terwujud karena banyaknya hambatan. Hambatan itu bervariasi mulai dari sedikitnya teknik budi daya penanaman yang inovatif sampai dengan rendahnya kualitas bibit padi bersertifikat dari pemerintah. “Setelah ditanam dengan bibit pemerintah,
24
MAJALAH BALAIRUNG
Sosok ternyata padi terserang hama penyakit. Padahal di sertifikatnya dikatakan tahan terhadap hama. Tetapi apakah pemerintah bertanggung jawab mengganti?” ucap Arif. Hal inilah yang membuatnya berpikir bahwa harus ada terobosan baru sampai akhirnya ia memutuskan untuk bertolak ke dunia padi. Memasuki dunia padi, Arif memulainya dengan mengembangkan teknik budi daya tanam padi yang ia namakan Sistem Penanaman Padi Organik Intensif (Simponi). Sistem ini berfungsi untuk meningkatkan produksi panen dengan melakukan pelebaran secara ekstrem pada jarak tanam antar padi. “Saya berpikir padi itu tidak hanya butuh air, tapi butuh angin supaya pertumbuhannya maksimal,” ujarnya. Budi daya ini disempurnakan kembali menjadi teknologi yang sekarang dikenal sebagai Tapak Macan. Nama teknologi budi daya ini diberikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X karena terdapat tiga lubang yang mirip seperti jejak kaki macan. Pembuatan teknik budi daya yang inovatif masih belum cukup untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Pikiran inilah yang mendorong Arif untuk mulai melakukan terobosan baru seperti pemuliaan padi. Prinsip Arif dalam memuliakan padi adalah bibit yang dihasilkan harus berkualitas tinggi. Berkualitas tinggi bukan hanya tinggi dalam hasil produksi secara kuantitas, tetapi juga mempunyai kualitas tinggi dalam rasa dan aroma. Kualitas ini akan menjadi nilai jual tambahan yang dapat membantu kesejahteraan petani kelak. Beberapa varietas baru hasil persilangannya sudah cukup terkenal di daerah Yogyakarta. Salah satu hasil kreasinya adalah Padi Menur yang secara khusus berhasil mendongkrak produktivitas petani di Kulon Progo. Arif sempat menggemparkan media lokal dengan pencapaiannya memproduksi 13 ton panen padi per hektar menggunakan varietas ini. Sebagai catatan, rata-rata produksi padi biasanya hanya lima ton per hektar. Hasil kreasi lainnya yang terkenal adalah Beras Merah Wangi. Sesuai dengan namanya, beras ini cukup terkenal akan rasa yang pulen dan aroma yang wangi. Kesuksesan varietas ciptaannya tidak membuat Arif cepat berpuas diri. Sampai sekarang Arif masih terus melakukan pemuliaan untuk menciptakan varietas yang baru. Varietas padi hasil persilangan tersebut sekarang sedang pada tahap pengembangbiakan dan pemantauan. Setelah mengembangbiakkan sampai generasi ke-12, Arif akan memutuskan apakah varietas padi layak dirilis ke umum dengan menilai kualitas bibit selama proses pengembangbiakan. Arif menyatakan bahwa kerja keras, tekun, dan ulet merupakan alasan dibalik kesuksesannya. “Kalau saya sudah menggeluti satu bidang, biasanya saya harus tahu dari A sampai Z,” ucap Arif. Ketekunannya dalam mencari pengetahuan melatih dirinya untuk tidak berpikir secara pragmatis, melainkan memperhatikan proses. “Tidak bisa masing-masing varietas diperlakukan secara sama, baik dosis pupuk, cara jemur, cara giling, dan lainnya,” tutur Arif. Hal ini menjadi kuncinya baik dalam menciptakan varietas baru ataupun memelihara varietas padi hasil silangannya. Sinopsis cerita kesuksesan Arif tentu tidak terhindar dari hambatan. Pekerjaannya sebagai pemulia padi nonpemerintah terhambat oleh peraturan yang membatasi penyebaran bibit hasil persilangannya kepada khalayak umum. Untuk bisa disebarkan, Arif harus melakukan uji terhadap bibit hasil persilangannya ke delapan belas provinsi di seluruh Indonesia terlebih
dahulu. “Nah itu duitnya akan menghabiskan miliaran rupiah dan tidak mungkin saya lakukan,” ujarnya. Undang-undang itu mengundang protes dari pemuliapemulia non-pemerintah lainnya. Mahkamah Konstitusi meringankan undang-undang tersebut dengan memperbolehkan pemulia untuk menyebarkan bibit kepada kalangan organisasinya sendiri. Hal itu yang dilakukan Arif sampai sekarang dalam menyebarkan bibit hasil silangannya. Perjalanan karya Arif dalam bidang pertanian di Yogyakarta tidak pernah berhenti karena ia selalu berpegang pada misinya. “Saya mau membuat sesuatu yang istimewa untuk Yogyakarta dalam bidang padi,” jelasnya. Ia mau mewujudkan tujuannya ini dengan menciptakan varietas-varietas padi spesifik dari Yogyakarta menggunakan ilmu dan keterampilannya dalam pemuliaan padi. “Sudah 74 tahun kita merdeka, masa tidak ada ahli satupun bisa menghasilkan varietas padi yang setara dengan Rojolele,” lanjut Arif. Hal ini menjadi suatu misi ambisius sekaligus menantang baginya. Salah satu langkah signifikan Arif dalam melaksanakan misinya adalah mendirikan organisasi Agriculture Entrepreneur Clinic (AEC). Organisasi ini didirikan pada tahun 2014 atas mandat Sri Sultan Hamengkubuwono X ketika Arif diundang untuk bertemu pemangku kedudukan tertinggi di Yogyakarta tersebut. Selain sebagai wadah perwujudan misinya, organisasi ini juga menjadi wadah Arif untuk memenuhi tujuan awalnya memasuki dunia pertanian, yaitu meningkatkan kesejahteraan petani. Organisasi ini memberikan pelatihan, riset, dan benih hasil pemuliaan sendiri kepada petani-petani yang membutuhkan.
“Sudah 74 tahun kita merdeka, masa tidak ada ahli satupun yang bisa menghasilkan varietas padi yang setara dengan Rojolele?”
Salah satu petani binaan Arif melalui organisasi ini adalah Sigit. “Pak Arif adalah orang yang rendah hati dan sederhana,” jawab Sigit ketika mendeskripsikan Arif. “Beliau itu seorang penemu tetapi tidak meninggikan diri sebagai intelektual dan mau terjun langsung bersama petani lainnya,” lanjut petani sekaligus Lurah Desa Tawangsari ini. Sigit juga menyebutkan bahwa sifat terbuka Arif terhadap kolaborasi membuat dirinya semakin terdorong untuk bekerja sama dengan Arif. Namun, dari kesuksesannya membuat varietas padi unggul, Arif masih memiliki kekhawatiran. Arif merasa jumlah penerus dari kaum muda dalam bidang pekerjaannya masih kurang. “Kita masih punya tantangan, kita harus selesaikan bareng-bareng, saya tidak bisa sendiri,” jelas Arif. Ia mengajak kaum muda yang tertarik tetapi tidak berlatar belakang pertanian untuk berani mencoba dan belajar bertani. “Tidak usah takut mau belajar pertanian, kuncinya ada niat dulu dan menyenangi dengan fokus,” ujar Arif. Ia berharap bahwa ceritanya dapat memberi inspirasi kepada kaum muda untuk terus berkontribusi meningkatkan pertanian Indonesia. [William]
MAJALAH BALAIRUNG
25
Teka Teki Silang 1 1
2
2
3
6
3
5 4
7
10
5
8
9
7
11
12
13
8
9 15
14
6
11
16 12 17
27
19
13
35
14
21
15
16
22
23
17 24 18
25
19
29 21
26
28 20
31
22
23
32
24 33
25
26
34
28
29
30
31
32
33
27 35
Foto/tulis jawaban anda dan kirimkan ke balairungpress@gmail.com sebelum tanggal 30 September 2019
Mendatar 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36.
Nada lagu Galangan kapal Batu (Jepang) Pusat Kajian Anti Korupsi UGM Hari sesudah sabtu Lampu kecil bertutup kaca Tuna rungu Wreda (antonim) Setimbang Pendapatan atas investasi modal Nama benua Ukuran jumlah kertas Kelas dalam tinju Disparitas Organisasi di bawah PBB yang mengurus Hak atas Kekayaan Intelektual Penyair pelopor angkatan 45 Penyediaan perlengkapan Buruh Indonesia yang hilang dan dibunuh tahun 1993 Nama Kabupaten tempat bandara YIA Suami Dewi Sinta Ibu kota Austria Jenis rokok khas Indonesia Pembuluh nadi besar Maskapai penerbangan Singapura Didengar oleh telinga Penemu Calcusol Gambar peta Tangan (Arab) Lagu John Lennon Gundul (sinonim) Pariwara Rasional (antonim) Selamat malam (Perancis) Pasangan baut Tempat tinggal raja Suara antara sopran dan tenor
26
MAJALAH BALAIRUNG
36
36
Menurun 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36.
Kontinental Tongkat pemukul bola biliar Jenis ujian masuk perguruan tinggi Pusat Jajanan Lembah Mengeluh (Jawa) Lipstik Alat pencetus api dalam motor Nanggroe Aceh Darussalam Jam (jerman) Satu genus dengan komodo Akar yang membesar dan dapat dimakan Kota Kelahiran R.A. Kartini “kota udang” di Jawa Barat Perahu Fakultas di UGM Sendiri Rambut di atas mata Sebutan hari buruh (inggris) Swasta Penyakit Anjing gila Universitas (Latin) Nama stadion di Kota Yogyakarta Kepala kereta api Kesatuan dalam angkatan bersenjata Gelar golongan brahmana Nenek (Belanda) Orang yang mengabdikan dirinya untuk Sultan Klub sepak bola berjulukan “The Blues” Pulau di Barat Sumatera Hewan bercula kepercayaan kepada Tuhan Mantan Menteri Dalam Negeri Kabinet Pembangunan V (Alm.) Kantor Urusan Agama Motif batik Marah-marah (sinonim) Website
Potret
Mural: Ekspresi Realitas Sosial
© Dany/BAL
MAJALAH BALAIRUNG
27
Potret
Mural unik itu terpampang di sebuah Gang Kelapa Gading, Caturtunggal yang tepat berada di sebelah Apartemen Uttara The Icon.
B
erbicara mengenai seni, sebuah mural unik terpampang di Gang Kelapa Gading, Caturtunggal. Mural tersebut berada tepat di sebelah Apartemen Uttara The Icon. Mural dengan tema “Selamat Hari Air Sedunia” dibuat pada tanggal 22 Maret 2015 sebagai bentuk penolakan terhadap adanya pembangunan apartemen. Hadirnya Apartemen Uttara yang menjulang tinggi memberi kesan kontradiktif dengan dominasi rumah penduduk di lingkungan sekitar. Ini bukan hal yang baru, mengingat berbagai pembangunan hotel serta apartemen gencar dilakukan di Yogyakarta sebagai daerah wisata. Proses pembuatan mural yang memakan waktu tiga hari dua malam juga melibatkan berbagai seniman dan warga. Mereka tergabung dalam Paguyuban Warga Karangwuni Tolak Apartemen Uttara (PWKTAU). “PWKTAU menolak adanya pembangunan apartemen, karena kami mengkhawatirkan soal air, jadi kami suarakan melalui mural tersebut,” ujar Rita Dharani selaku koordinator lapangan. Mural tersebut tidak terlepas dari sosok Adnan Aditya selaku seniman dalam pembuatannya. Adnan terdorong untuk menuangkannya dalam bentuk seni karena merasa kesulitan untuk memberikan kritik secara langsung. “Hari air menjadi sangat kontekstual untuk menolak adanya pembangunan apartemen, sehingga kami mencoba melihat permasalahan dari sudut pandang seni,”ujar Adnan. Adanya mural hari air sebagai bentuk protes pembangunan apartemen tidak terlepas dari karya seni yang dibuat sebelumnya, yaitu “Tarian Air”. “Tarian Air” menjadi karya pertama Adnan Aditya untuk menyuarakan pentingnya kedaulatan air. Keresahan terkait sumur kering di berbagai tempat menimbulkan rasa kepedulian yang kemudian diekspresikan melalui mural. Mural tersebut juga menggambarkan keadaan yang dihadapi mayoritas warga Jogja pada pada tahun 2015. Menyuarakan berbagai tuntutan melalui mural tersebut merupakan salah satu cara untuk mencairkan ketegangan yang dihadapi. “Meskipun berbagai kriminalisasi
28
MAJALAH BALAIRUNG
datang kepada warga yang menyuarakan penolakan, adanya mural tersebut semakin menguatkan solidaritas satu sama lain,” ujar Rita. Solidaritas yang semakin kuat justru dibutuhkan dalam menghadapi situasi tersebut. Eksistensi mural yang sudah ada sejak 2015 menandai bahwa perjuangan akan lingkungan hidup masih
dan akan terus ada. Masalah lingkungan hidup terkait sinar matahari sebagai implikasi adanya apartemen juga belum dapat terselesaikan. Sebagai seorang seniman, ketika berbagai keresahan menghampiri dan menggugah jiwa seninya, Adnan akan ikut terlibat untuk menyuarakan keresahan tersebut. [Dionisius]
MAJALAH BALAIRUNG
29
30
MAJALAH BALAIRUNG
@bppmbalairung
/bppmbalairungugm
@bppmbalairung
@GSJ9240C
/balairungpress.com
Akan Segera Terbit! “Masyarakat Pesisir” Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Indonesia
© Ananta/BAL
Vol. 2 No. 1 Tahun 2019
MAJALAH BALAIRUNG
31
Wawasan
Sinestesia: Sensasi Ganda dan Efeknya pada Seniman
ŠRusmul/BAL
Sinestesia menyebabkan pengidapnya dapat merasakan lebih dari satu sensasi pada satu rangsangan. Keadaan ini memunculkan berbagai persepsi dan karya segar dalam dunia seni.
K
emunculan rangsangan dan persepsi secara bersamaan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Kerekatan hubungan mereka dapat ditelusuri dengan melihat hubungannya dalam sistem tubuh manusia. Gregory dalam bukunya “Stimulus� mendefinisikan rangsangan sebagai suatu perubahan energi dari luar yang dideteksi panca indra dan digunakan untuk membentuk persepsi manusia sebagai tanggapan. Sementara itu, persepsi adalah sebuah perasaan yang didapat setelah mendapat rangsangan. Sifat tersebut merujuk dari urutan kemunculan mereka; manusia akan mendapat suatu persepsi setelah terekspos suatu rangsangan. Misalnya, kita akan merasa kepanasan jika berdiri di bawah sinar matahari.
32
MAJALAH BALAIRUNG
Namun, apakah sistem saraf kita hanya dapat menampung satu rangsangan pada setiap waktu? Pada kenyataannya, ada suatu golongan pengecualian dalam hal ini. Golongan kecil ini bisa mendapatkan lebih dari satu sensasi saat mereka terekspos satu rangsangan. Kelainan neurologis tersebut yang dimiliki oleh kelompok ini biasa disebut sinestesia.
Apa itu Sinestesia?
Hochel (2009) mendefinisikan sinestesia sebagai munculnya perasaan pada suatu indra saat indra lain yang sebenarnya mendapat eksposur langsung terhadap rangsangan. Hal ini berarti sinestesia memiliki kaitan dengan perasaan tambahan dari indra lain yang tidak berhubungan dengan rangsangan
Wawasan yang didapat. Dalam hal ini, contohnya adalah orang yang mengasosiasikan angka dengan warna tertentu. Synaesthete—orang yang mendapat kelainan sinestesia—dapat membayangkan warna biru saat melihat angka delapan. Namun, apa sebenarnya yang menyebabkan sinestesia pada umumnya? Dalam ranah neurologi sendiri, ada dua teori utama yang menjelaskan pemicu sinestesia (Ramachandran dan Hubbard, 2005: 513). Kedua teori tersebut terdiri dari teori aktivasi silang (cross-activation theory) dan teori pencegahan yang lemah (disinhibited feedback theory). Kedua teori tersebut memiliki persamaan, di mana akar masalahnya terletak pada sistematika reseptor di otak sang penderita. Sementara itu, yang menjadi perbedaan antar kedua teori ini terletak pada mekanisme penyebabnya. Teori aktivasi silang menjelaskan bahwa sinestesia disebabkan oleh adanya aktivasi silang dari dua reseptor berbeda di otak manusia. Hal ini terjadi karena kegagalan proses penanggalan hubungan neuron yang lemah (Hubbard, 2007: 194). Hubbard juga mengatakan bahwa seharusnya, sembari otak manusia bertumbuh, otak akan menanggalkan hubunganhubungan di atas untuk mengubah struktur otak itu sendiri. Akan tetapi, penanggalan tersebut bisa gagal karena faktor genetis yang mempengaruhi penyusunan struktur otak. Kegagalan tersebut akan menyebabkan koneksi berlebihan antara dua reseptor yang berbeda dalam menangani satu respons dari luar. Koneksi itu akan memunculkan dua sensasi secara bersamaan dari satu rangsangan. Sementara itu, Grossenbacher dan Lovelace (2001) berpendapat bahwa teori pencegahan yang lemah memiliki mekanisme penyebab yang berbeda. Teori ini tidak menekankan bahwa sinestesia terjadi karena kesalahan genetis, melainkan hadir karena kegagalan dalam hubungan neural yang ada dalam otak manusia. Kegagalan ini terletak dari adanya aktivasi bagian otak yang berkaitan secara bersamaan. Aktivasi ini terjadi akibat kegagalan penghambatan umpan balik rangsangan dari area otak penghubung yang bersifat multisensoris. Seharusnya, dalam penyebaran sinyal rangsangan, ada beberapa rangsangan yang dihalangi oleh otak untuk mencegah terjadinya keadaan sinestesia. Namun, dikarenakan suatu hal, otak gagal menghalangi rangsangan ini. Akibatnya, rangsangan yang seharusnya ditujukan kepada satu indra akan
mempengaruhi indra lainnya.
Sinestesia pada Seniman
Meskipun dianggap sebagai kelainan genetis secara ilmiah, sinestesia dapat memberi banyak manfaat dalam kehidupan. Kelainan ini dapat memberi banyak manfaat dalam kehidupan synaesthete. Mayoritas studi mengenai penderita sinestesia mengatakan bahwa penderita sinestesia memiliki keunggulan dari segi memori dan ingatan (Watson et al, 2014). Di samping keunggulan memori, sinestesia juga memberi corak baru pada ekspresi seni. Setiap seniman synaesthete memiliki sistem sinestesia mereka masingmasing. Ungkapan ‘sinestesia pada seniman’ mengacu pada pengalaman artistik yang dipengaruhi sinestesia dari berbagai disiplin ilmu seni. Salah satu seniman synaesthete yaitu Billy Joel, musisi yang terkenal dengan lagu “Just The Way You Are” dan “Uptown Girl”. Karya-karya Joel ternyata dipengaruhi oleh sinestesia. Ia bisa menyebut suatu genre musik sebagai warna spesifik. Contohnya lagu-lagu Billy Joel dengan tipe melodi berbeda-beda seperti lagu “Vienna”, “And So It Goes”, dan “Summer” merupakan warna biru atau hijau. Sebaliknya, lagu beritme cepat seperti “We Didn’t Start The Fire” dan “It’s Still Rock n Roll to me” disebut merah kekuningan. Billy Joel dalam Tasting The Universe (2011) mengisahkan bahwa sinestesia pada dirinya telah muncul sejak kecil. Saat tidur, ia kerap bermimpi tentang nada, melodi, atau fragmen simfoni suatu lagu. Musik tersebut berwujud bentuk geometri, tidak berbentuk, atau bentuk tak beraturan namun diketahui objeknya seperti bentuk protoplasma dan amoeba. Antar bentuk tidak terangkai dalam pola yang logis. Hal tersebut terjadi berulang kali, bahkan ketika Billy Joel dalam keadaan sadar. Keberhasilan para seniman synaesthete dalam berkarya membuktikan bahwa kelainan pada manusia tidak menjadi halangan. Fokus yang harus dilihat adalah bagaimana manusia dapat beradaptasi dan menggunakan kelainan mereka sebagai kekuatan, seperti para synaesthete. Meskipun sinestesia didefinisikan sebagai kelainan sistem saraf, para synaesthete masih bisa melahirkan kolaborasi dan karya seni yang beragam. Karya seperti film layar lebar, buku, dan musik pun diluncurkan dengan menggunakan dampak dan jenis sinestesia yang didapat sebagai inspirasi. [Aditya, Restia]
Daftar Pustaka Day S. A. (2013). Synesthesia: A first-person perspective, in The Oxford Handbook of Synesthesia, Chapter 44, eds Simner J., Hubbard E. M., editors. (Oxford: University Press; ), 903–923. Grossenbacher PG, Lovelace CT: Mechanisms of synesthesia: cognitive and physiological constraints. Trends Cogn Sci 2001, 5:36–41. Hochel M., Milan, E.G., Martın, JLM. (2009). Congruence or coherence? Emotional and physiological responses to colours in synaesthesia. European Journal of Cognitive Psychology, (21), 703–723. Hubbard EM, Ramachandran VS: Neurocognitive mechanisms of synesthesia. Neuron 2005, 48:509–520. Hubbard EM: Neurophysiology of Synesthesia. Current Psychiatry Reports 2007, 194. Neufeld, J., Sinke, C., Zedler, M., Dillo, W., Emrich, H. M., Bleich, S., & Szycik, G. R. (2012). Disinhibited feedback as a cause of synesthesia: Evidence from a functional connectivity study on auditory-visual synesthetes. Neuropsychologia, 50(7), 1471–1477. Richard L. Gregory (ed.). “rangsangan”. The Oxford Companion to the Mind. Oxford, N.Y.: Oxford University Press. Seaberg, Maureen. 2011. Tasting the Universe: People Who See Colors in Words and Rainbows in Symphonies. New York : New Page Books. Watson, Marcus R., Spiker, Chris., Crawford, Lyle., & Enns, James T. (2014). Synesthesia and Learning: A Critical Review and Novel Theory. Frontiers in Human Neuroscience, 98(8), 1-12.
MAJALAH BALAIRUNG
33
Rehal
Berjuang untuk Perhutanan Sosial Perhutanan sosial hadir untuk melindungi hutan sekaligus memberikan manfaat kepada masyarakat yang hidup di sekitarnya. Buku Syafrizal Jpang menceritakan upaya yang dilakukan masyarakat dalam mengelola dan mengembangkan perhutanan sosial.
I Judul Buku
Langkas Jenggala
Penulis
Syafrizaldi Jpang Penerbit
Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku
250 hlm.
Waktu Terbit
2018
34
MAJALAH BALAIRUNG
ndonesia memiliki hutan tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati dan memiliki beragam fungsi. Hutan berfungsi sebagai penghasil komoditas bernilai ekonomi tinggi seperti kayu gelondongan, rotan, dan buah-buahan hasil hutan. Selain itu, hutan juga merupakan tempat mencari penghidupan bagi suku pedalaman maupun masyarakat di sekitar hutan. Meski memiliki banyak peran, eksploitasi hutan secara berlebihan masih terjadi di Indonesia hingga kini. Eksploitasi hutan dapat mengancam kelestarian organisme yang berhabitat di sana. Selain itu, hilangnya hutan akibat eksploitasi juga merusak siklus air sehingga lebih rentan mengalami kekeringan parah ketika kemarau berlangsung dan ketika musim penghujan dapat terjadi banjir bandang. Melihat kerusakan yang ditimbulkan oleh eksploitasi hutan, maka dibutuhkan suatu metode untuk menjaga kelestarian hutan sekaligus menangkap manfaat ekonominya melalui korporasi privat, kerjasama, maupun sosial masyarakat. Menurut Szulecka dkk. (2016), metode berbasis sosial masyarakat perhutanan sosial adalah metode pengelolaan hutan yang relatif lebih baik karena paling menguntungkan masyarakat sekitar hutan. Sejak tahun 2016, pemerintah mulai fokus mengembangkan perhutanan sosial. Peraturan Menteri LHK tentang Perhutanan Sosial yang diluncurkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya di tahun 2016 memberi ruang bagi masyarakat agar mampu berperan lebih besar dalam pengelolaan hutan untuk memperoleh manfaat ekonominya. Masyarakat sekitar hutan yang dahulu kerap menjadi korban eksploitasi hutan kini memiliki hak penuh untuk menjaga dan mengelola hutannya. Syafrizaldi Jpang dalam buku Langkas Jenggala mencoba menceritakan proses dan perjuangan masyarakat untuk mengelola hutan dengan konsep perhutanan sosial. Judul buku diambil dari nama dua orang tokoh yang bercerita sembari mendaki Gunung Kerinci. Cerita, diskusi, dan celotehan kedua tokoh tersebut perkembangan perhutanan sosial beserta permasalahannya di Indonesia. Dalam tulisannya, Syafrizaldi Jpang menggunakan gaya penulisan layaknya novel untuk menarik minat pembaca yang awam tentang perhutanan sehingga tertarik dengan isu perhutanan sosial. Buku ini tidak mengangkat masalah perhutanan sosial secara teoretis, melainkan dengan pendekatan yang lebih praktis melalui contoh-contoh kasus di beberapa daerah di Indonesia. Kasus yang diangkat pun cenderung berlokasi di daerah luar Pulau Jawa yang memang memerlukan pengembangan ekonomi. Buku ini menyampaikan bahwa keterlambatan adalah penyebab dari permasalahan perhutanan di Indonesia. Secara internasional, gagasan tentang perhutanan sosial muncul pada Kongres Kehutanan Dunia VIII tahun 1978 di Jakarta. Kongres ini mengusung tema Forest for People yang diwujudkan dalam perubahan paradigma pengelolaan hutan dari konvensional menjadi kehutanan sosial berbasis masyarakat. Namun, Indonesia merespon kesepakatan dunia ini dengan sangat lamban sebagai tuan rumah kongres. Indonesia baru menerapkan
Rehal hasil kongres tersebut tahun 1995 dan masih sangat prematur sebagai sebuah kebijakan sehingga dalam perjalanannya mengalami banyak perubahan hingga kebijakan terbaru tahun 2016. Keterlambatan untuk menerapkan perhutanan sosial selama dua puluh tahun ini justru memberi keuntungan yang sangat besar bagi perusahaan perhutanan. Adanya Hak Pengusahaan Hutan kepada pihak swasta membuat eksploitasi hutan Indonesia menjadi sangat masif. Didukung pula dengan adanya Undang Undang Penanaman Modal Asing tahun 1966 yang membuat banyak perusahaan asing masuk mengeksploitasi hutan tanpa memperhatikan konservasi. Lemahnya kualitas sumber daya manusia pada masyarakat Indonesia yang baru saja merdeka ini
berprinsip wanatani di Indonesia. Berkembangnya perhutanan sosial di berbagai daerah memang menunjukkan bahwa program ini layak diperjuangkan. Kerja sama LSM dan masyarakat telah membuahkan hasil positif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang awalnya tidak mengerti tentang pengelolaan hutan kini telah mampu mengelola hutannya sendiri. Semakin eratnya hubungan masyarakat dengan hutan inilah yang membuat kelestarian hutan semakin terjaga dan semakin banyak memberikan manfaat. Penulis menunjukkan bahwa inisiatif masyarakat yang telah terlaksana dengan baik ini seharusnya didukung secara maksimal oleh pemerintah. Dukungan pemerintah dalam hal administrasi sangat dibutuhkan
menjadikannya tidak berdaya menghadapi eksploitasi hutan. Keterlambatan ini memang harus segera ditanggulangi. Maka dari itu, program perhutanan sosial perlu dipercepat dengan peningkatan partisipasi masyarakat dan dukungan berbagai LSM. Dalam menceritakan pengembangan perhutanan sosial di berbagai daerah, penulis menyampaikan betapa pentingnya prinsip wanatani atau agroforestri. Prinsip ini merupakan perpaduan simultan antara pertanian dengan kehutanan pada lokasi dan waktu yang bersamaan. Prinsip wanatani ini membuat hutan tidak hanya sebagai lahan konservasi, melainkan juga lahan produktif yang menghasilkan komoditas unggulan seperti kopi, karet, rotan, jernang, jahe, talas dan obat-obatan. Dengan dukungan LSM, komoditas ini sudah mulai diolah dan memiliki brand sendiri di bawah naungan koperasi yang dibentuk masyarakat. Buku ini memang mampu mengedukasi masyarakat tentang pengembangan perhutanan sosial
oleh masyarakat untuk menjamin legalitas kegiatannya. Bantuan peralatan dan pelatihan juga sangat dibutuhkan, terutama dalam pengelolaan komoditas hasil hutan guna meningkatkan nilai ekonominya. Dukungan ini sudah pasti akan mengakselerasi pengembangan perhutanan sosial yang telah terlambat dua puluh tahunan. Buku ini sangat bermanfaat untuk dibaca karena memberikan pemahaman terhadap perhutanan sosial serta perkembangan terbarunya di Indonesia. Namun, buku ini kurang berurutan dalam menyampaikan informasi sehingga cukup membingungkan pembaca. Cerita pengembangan perhutanan sosial dari berbagai daerah tidak diselesaikan satu persatu, melainkan berpindah-pindah antar daerah sesuai topik bab. Cara penulis menyampaikan informasi juga kurang tertata rapi dan pemakaian gaya bahasa seperti cerita fiksi membuat pembaca agak kesulitan menemukan informasi utama buku dengan cepat. [Prema, Zeina]
Š Mayong/BAL
MAJALAH BALAIRUNG
35
Insan Wawasan
© Istimewa
Kala Oligarki Tambang Bersua dengan Politik Elektoral
P
“
ada rentang tahun 2011 hingga 2018 terdapat 32 orang meninggal akibat tenggelam di lubang bekas tambang. Hingga kini diperkirakan terdapat 3.500 lubang bekas tambang yang belum direklamasi. Padahal menurut aturan, 8 juta hektar lahan bekas tambang ini seharusnya ditimbun kembali.” Potongan narasi dari film ““Sexy Killers”” ini menggambarkan satu dari sekian banyak aktivitas perusahaan tambang batu bara yang merugikan masyarakat dan lingkungan alam. Film dokumenter berdurasi 88 menit ini tidak hanya menyajikan data mengenai kerusakan akibat tambang, tetapi juga para penerima manfaat dari berbagai perusahaan tersebut. Lebih jauh, film yang diunggah di laman Youtube mendekati gelaran pemilu ini turut membawa wacana oligarki tambang. Aktivitas oligarki tambang itu digambarkan melalui keterkaitan antara penguasaan tambang batu bara dan elite politik. Informasi tersebut berdasarkan data yang menunjukkan adanya hubungan antara perusahaan tambang dengan para tokoh yang sedang bertarung di kancah elektoral. Data-data yang ada di ““Sexy Killers”” ini didapat dari berbagai pihak, salah satunya adalah Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). JATAM adalah
36
MAJALAH BALAIRUNG
organisasi nonpemerintah yang memiliki kepedulian terkait dengan masalah HAM, lingkungan hidup, masyarakat adat, dan isu keadilan sosial dalam industri pertambangan dan migas. Peran mereka adalah menjadi wadah aspirasi masyarakat yang ada di wilayah terdampak aktivitas pertambangan. BALAIRUNG berkesempatan mewawancarai Merah Johansyah selaku koordinator nasional JATAM yang telah menjabat sejak tahun 2016. Wawancara dengan pria asal Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur ini dilakukan melalui daring. Wawancara dilakukan untuk membahas beberapa hal mengenai JATAM, film ““Sexy Killers””, serta praktik oligarki tambang yang ada di Indonesia. Bagaimana latar belakang berdirinya JATAM? Latar belakang berdirinya JATAM bermula saat pertemuan antara korban terdampak industri tambang di Kalimantan Selatan pada tahun 1995. Sampai sekarang konstituen JATAM masih berasal dari masyarakat yang terdampak oleh industri tambang. Persebarannya ada pada 30 simpul di berbagai daerah seperti Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Dalam
Insan Wawasan menjalankan kerja-kerjanya, JATAM memiliki beberapa mandat. Inti dari mandat tersebut adalah melawan penghancuran dengan membangun produksi konsumsi tanding yang berkeadilan dan berdaya pulih. Apa kasus yang sedang fokus dikerjakan JATAM saat ini? Fokus kita tidak terlepas dari mandat utama JATAM, tahun ini kami punya tiga mandat khusus yang harus dijalankan. Tiga mandat itu secara garis besar berupa aktivitas tambang di pulau kecil, fokus isu tambang yang menunggangi politik, dan isu batu bara. Dalam pelaksanaannya, JATAM berupaya mengurangi laju kerusakan akibat tambang, memperkuat hak veto masyarakat dan mendorong produktivitas masyarakat untuk memastikan ekosistem berjalan dengan lancar. Dari mana JATAM mendapatkan informasi mengenai kerusakan tambang? Guna mewujudkan mandat untuk menekan laju operasi tambang terkait investasi dan mengurangi daya rusak tambang, kami harus menyiapkan argumen dalam bentuk riset. Selain riset yang dilakukan JATAM sendiri, ada juga yang bekerjasama dengan banyak pihak, misalnya jaringan di lapangan, jurnalis, akademisi, maupun para ahli. Semua kasus, riset, dan investigasi yang kita kerjakan mengarah kepada tiga isu besar yang menjadi mandat kami tahun ini. JATAM merupakan salah satu sumber informasi dalam ““Sexy Killers””, dari mana data-data tersebut didapatkan? Dari berbagai macam sumber. Sebagian dikerjakan oleh jurnalis investigasi, Tommy Apriando. Selain dari Tommy, JATAM juga menyediakan data dari hasil investigasi kami sendiri selama ini. Untuk data tentang oligarki yang juga muncul di ““Sexy Killers”” itu sudah dikeluarkan oleh JATAM sejak Februari lalu. Beberapa data diambil dengan cara mengakses situs berbayar dari Dirjen Kementerian Hukum dan HAM sehingga kami punya data tentang pemilik manfaat (beneficial ownership). Sebenarnya masih banyak nama lain yang belum disebut, tapi dalam film ini kita menggunakan metode TKN-BPN. Metode TKN-BPN yang kami maksud adalah dengan melihat komposisi orang yang mendukung masing-masing calon presiden dan wakil presiden serta berkaitan dengan perusahaan tambang batu bara khususnya. Sejak kapan isu oligarki tambang ini ada? Isu ini sudah bergulir sejak lama. Oligarki seperti ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Orde Baru dimana ketika itu masih terpusat di kalangan pemerintah pusat. Seiring berjalannya waktu praktikpraktik oligarki dijalankan oleh berbagai kelompok seperti dinasti keluarga, jaringan bisnis, atau pula purnawirawan TNI. Apakah ada pergeseran pola-pola oligarki tambang dari era Orde Baru sampai ke Masa Reformasi ini? Ada, kalau pada masa Orde Baru itu oligarki tambang masih terpusat pada rezim pemerintahan Soeharto dan kroni-kroninya. Ketika terjadi reformasi dan desentralisasi daerah, banyak dinasti politik muncul di daerah. Dinasti politik ini punya kekuatan untuk mengonsolidasikan kepentingannya, termasuk soal isu tambang. Intinya, desentralisasi politik itu juga berhubungan dengan desentralisasi oligarki.
Pada pemilu terdahulu isu oligarki tambang ini tidak dapat panggung dan kalah dengan isu-isu lain seperti isu Hak Asasi Manusia (HAM). Nah, baru dalam edisi pemilu tahun ini isu lingkungan dan tambang mulai dilirik banyak orang. Opini kita dari dulu selalu digiring kepada politik identitas, di mana politik identitas ini sebenarnya hanya sebuah permainan saja. Kita disibukkan dengan konflik tentang suku, ras, dan agama, kemudian isu LGBT dan PKI agar masyarakat tidak mengetahui masalah sesungguhnya yaitu tentang lingkungan hidup. Apa hubungan antara oligarki tambang dengan pemilu tahun ini? Pemilu kali ini melibatkan dua kubu yang memiliki andil dalam oligarki di Indonesia. Sumber pendanaan kampanye yang ada itu dari oligarki ekstraktif. Oligarki ekstraktif maksudnya didapatkan dari proses ekstraksi seperti pertambangan, sawit, bisnis properti, dan sebagainya. Jadi, uang yang didapat itu adalah hasil dari merusak bumi. Para pelakunya merambah ke dunia politik dengan tujuan untuk memiliki kontrol dan akses kepada kebijakan publik sehingga bisnis yang dijalankan dapat dilegalkan secara hukum. Hal ini sangat merugikan masyarakat sekitar tempat pertambangan karena mereka hanya merasakan kerusakan alam yang dihasilkan sementara keuntungannya mengalir kepada para pebisnis tersebut.
‘‘Para pelakunya merambah ke dunia politik dengan tujuan untuk memiliki kontrol dan akses kepada kebijakan publik sehingga bisnis yang dijalankan dapat dilegalkan secara hukum.’’ Bagaimana upaya JATAM selama ini dalam mengadvokasi masyarakat terdampak kerusakan tambang? JATAM mendorong masyarakat untuk mempertahankan lahannya, bukan untuk menuntut ganti rugi. Kami hanya membantu masyarakat yang menolak ekonomisasi lahan. Strateginya macammacam seperti strategi hukum, litigasi, nonlitigasi, investigasi, ekspos, dan kampanye. Di sisi lain, JATAM juga mendorong masyarakat untuk mengembangkan lahan mereka dalam bidang lain seperti pertanian. Hal ini bertujuan untuk menguatkan kapasitas ekonomi sehingga apabila ada perusahaan tambang yang ingin masuk dapat ditolak dengan alasan yang jelas karena masyarakat lebih berdaya. Bagaimana respon masyarakat terhadap advokasi yang dilakukan? Respon yang diberikan bermacam-macam tergantung ikatan masyarakat yang ada di sana. Di beberapa daerah yang masyarakatnya memiliki ikatan kuat dengan tanah airnya akan lebih solid untuk melawan pertambangan di daerahnya. Karena mereka punya hubungan sakral dengan ruang hidupnya. [Fakhri, Rizqyansah] MAJALAH BALAIRUNG
37
Komunitas
Jelajah Museum Kala Malam
Š Adil/BAL
Perlahan tetapi pasti, stigma museum sebagai gudang barang tempo dulu mulai memudar. Komunitas Malam Museum inilah yang muncul sebagai wadah untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap museum.
38
MAJALAH BALAIRUNG
A
da yang berbeda dengan suasana di Museum Benteng Vredeburg pada malam itu. Museum yang biasanya tutup pada pukul 17.00 WIB justru ramai oleh kerumunan orang. Mereka sibuk mengamati seisi museum di tengah-tengah gelapnya malam dengan modal penerangan berupa cahaya lampu. Mereka adalah para peserta yang mengikuti Jelajah Malam Museum, salah satu program dari Komunitas Malam Museum. Sesuai namanya, program tersebut mengajak peserta untuk melakukan jelajah museum pada malam hari. Terdapat salah satu pemuda yang berbaur dengan mereka. Ia adalah Erwin Djunaedi, pendiri Komunitas Malam Museum. Erwin, begitu panggilan akrabnya, menyebutkan bahwa sebelumnya komunitas ini merupakan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan. “Seiring berjalannya waktu, saya kemudian menginisiasi PKM ini menjadi komunitas yang bergerak di bidang sejarah, museum, dan cagar budaya,� lanjutnya. Selama tahun 2012 Komunitas Malam Museum masih merupakan PKM bidang Kewirausahaan. Dana dari PKM tersebut diberikan setelah usulan proposal ke Direktorat Kemahasiswaan UGM diterima dan diteruskan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Kementerian mendanai berlangsungnya kegiatan PKM berupa paket wisata edukasi malam hari di museum. Program selesai
Komunitas di tahun 2013, dan setelah diteruskan secara mandiri, dibentuklah Komunitas Malam Museum pada 2014. Komunitas ini selanjutnya menyelenggarakan kegiatankegiatan untuk menarik animo masyarakat. “Bisa dikatakan, posisi kami ini sebagai mitra pemerintah,” kata Erwin. Posisi sebagai mitra pemerintah terwujud dalam kerja sama yang telah dilakukan Komunitas Malam Museum dengan lembaga-lembaga pemerintah. Erwin menyebutkan, lembaga pemerintah yang tercatat pernah bekerja sama dengan komunitasnya yakni Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Balai Konservasi Borobudur, Balai Arkeologi Yogyakarta, Dinas Kebudayaan DIY, dan Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta. Berbeda dengan sumber pendanaan yang diberikan Kemdikbud, kerja sama dengan lembaga pemerintahan yakni berupa fasilitasfasilitas. “Misalnya, Balai Konservasi Borobudur memfasilitasi kegiatan jelajah di Candi Borobudur, atau Dinas Kebudayaan DIY memfasilitasi kami dengan program seminar kesejarahan,” jelas Erwin. Ia menuturkan, konsep awal munculnya komunitas ini hanyalah sekadar konsep jelajah museum di malam hari saja. “Gagasan itu pun mencuat dari menonton film “Night at the Museum”,” tambah Erwin. Begitu PKM berubah menjadi sebuah komunitas nonprofit, ada banyak program kerja lagi yang ditambahkan ke dalam komunitas ini. Erwin memaparkan bahwa, secara umum, terdapat tiga kegiatan besar dari Komunitas Malam Museum yang diwujudkan dalam bentuk divisi-divisi yang ada di dalam komunitas. Divisi yang pertama adalah Divisi Amazing Race “Night at the Museum”. Program kerja divisi tersebut adalah membuat konsep kegiatan menjelajahi museum di malam hari yang terwujud dalam Jelajah Malam Museum. Berdasarkan penjelasan Erwin, Museum Benteng Vredeburg merupakan museum yang telah lama bekerja sama dengan mereka. “Kerja samanya sudah selama dua tahun, dan di tahun 2018 kemarin telah dilaksanakan sepuluh kali jelajah malam gratis yang difasilitasi mereka,” tutur Erwin. Sebagai varian dari kegiatan jelajah malam, terdapat pula Divisi Kids at the Museum. “Divisi ini memberikan wadah bagi orang tua dan anak-anak berusia 6—12 tahun,” jelasnya. Tujuan dari kegiatan itu, sambung Erwin, adalah untuk membuat anak-anak tertarik mengunjungi museum. Selama rentang tahun 2018 lalu, penyelenggaraan ini telah dihelat sebanyak dua kali di Museum Taman Tinosidin dan Museum Gerakan Wanitatama. Terdapat pula divisi yang menyelenggarakan kegiatan di luar museum, yakni Divisi Kelas Heritage. Menurut Erwin, divisi inilah yang cenderung serius karena harus melakukan riset situs-situs bersejarah terlebih dahulu, sebelum menjadikan situs itu sebagai lokasi. “Semisal kegiatan yang diselenggarakan di Kampung Kauman, nah, teman-teman di divisi ini pergi ke sana untuk melakukan penelitian, wawancara, dan mengumpulkan data,” paparnya. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa kepengurusan ini juga menyelenggarakan diskusi-diskusi kesejarahan, pemutaran film sejarah, bedah buku, dan lain-lain. Program-program itulah, tuturnya, yang bisa diakses masyarakat dan dinikmati generasi muda. Di antara ketiga kegiatan besar itu, Erwin mengakui bahwa Jelajah Malam Museum merupakan kegiatan yang mendapatkan antusiasme terbesar. Lebih lanjut ia mengatakan, hal ini pun telah diprediksi
karena program Jelajah Malam Museum adalah program yang paling diseriusi untuk menarik minat masyarakat terhadap Komunitas Malam Museum. “Nama komunitas ini dipakai untuk gimik agar orangorang tertarik, di Jelajah Malam Museum nantilah diberitahukan mengenai program-program lainnya,” ungkapnya. Erwin menyebutkan, pendaftaran Jelajah Malam Museum untuk seratus peserta dapat tutup dalam jangka waktu kurang dari dua jam bahkan daftar tunggunya pun mencapai angka dua ratus. Pemandu Museum Benteng Vredeburg, Gunawan Haji, membenarkan adanya penyelenggaraan Jelajah Museum yang dilakukan oleh komunitas tersebut. Sejak bekerja sama dengan Museum Benteng Vredeburg, Jelajah Malam Museum memang hanya dilaksanakan di museum itu saja. Selain sebanyak sepuluh kali di tahun lalu, penyelenggaraan di tahun 2019 semuanya dihelat di Museum Benteng Vredeburg. “Acaranya jam lima sampai jam sembilan malam, diharapkan dapat menghilangkan rasa seram atau kesan angker terhadap museum ini,” ujar Gunawan. Jelajah Museum yang dilakukan oleh Komunitas Malam Museum di Benteng Vredeburg memberikan pertimbangan baru bagi pengurus Museum Benteng Vredeburg untuk memperpanjang jam buka museum. Gunawan mengakui bahwa hal tersebut merupakan tantangan bagi pihak museum karena inovasi itu perlu diimbangi dengan sumber daya manusia yang cukup. “Mungkin memperpanjang jam buka itu bisa dilakukan, tapi untuk sekarang memang masih perlu diboncengi dengan kegiatan-kegiatan lain,” ujarnya. Gunawan membenarkan bahwa hal yang dijual dalam Jelajah Malam Museum ini memanglah suasana malam saat menjelajahi suatu museum. Padahal, menurutnya, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Komunitas Malam Museum di Museum Benteng Vredeburg dapat dikemas dengan lebih menarik lagi. Misalnya, kegiatan menjelajahi museum yang dilakukan Komunitas Malam Museum dapat diperluas, tidak hanya mengelilingi Benteng Vredeburg saja. “Di titik nol kilometer ini kan, ada cagar budaya seperti Kantor Pos, Gedung Agung, BNI 45 yang juga merupakan satu kesatuan bangunan perjuangan bangsa,” sebut Gunawan. Gunawan menegaskan bentuk dukungannya terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan Komunitas Malam Museum. Hal itu sejalan dengan pengembangan di bidang pendidikan yang menyebutkan bahwa pembelajaran dapat dilakukan di luar kelas, dengan museum menjadi salah satu contohnya. Museum pun perlu menjalin relasi dengan komunitas agar tidak terpaku pada benda-benda koleksinya saja. Harapannya, museum dapat menjadi pemberi fasilitas terhadap kegiatan-kegiatan publik. “Supaya museum yang sebelumnya hanya dianggap gudang barangbarang tempo dulu saja, sekarang dapat menjadi kebutuhan,” kata Gunawan. Erwin pun mendukung pernyataan Gunawan. Menurut Erwin, mengenal lebih dekat dengan museum dapat menumbuhkan keinginan untuk ikut merawat dan melestarikan museum. Komunitas Malam Museum pun memiliki harapan untuk mewujudkan hal itu. Konsep dalam program-program Komunitas Malam Museum bertujuan untuk mengenalkan museum dan cagar budaya dengan kegiatan-kegiatan positif. “Dengan mengikuti komunitas ini, pembelajaran sejarah akan jadi menyenangkan,” tutup Erwin. [Noor Rasya Swanasta] MAJALAH BALAIRUNG
39
Almamater
Menyoal Sistem Kepegawaian Tidak Tetap di UGM Nasib pegawai tidak tetap di UGM belum sepenuhnya terjamin. Masih ada beberapa kesalahpahaman antara lembaga dan pegawai dalam menjalankan peraturan yang berlaku. Salah satunya soal pengangkatan status dari tidak tetap menjadi tetap.
“
K
amu seakan-akan menjual jiwa ragamu,” ujar Ulya Niami Efrina Jamson, dosen pengampu Mata Kuliah Politik Perburuhan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, sebagai penggambaran hasil kajian tentang bagaimana beratnya pekerjaan teman-teman peneliti maupun asisten peneliti yang terikat hubungan kerja tidak tetap dengan beberapa universitas di Yogyakarta. Dosen yang akrab disapa Pipin ini mendapat banyak cerita tentang tekanan kerja hingga dapat memengaruhi kesehatan mereka. Misalnya, dalam beberapa kasus, pekerja kontrak pun wajib mengikuti kebijakan finger print yang mengharuskan mereka menetap di kampus dari jam 08.00-16.00 hingga peraturan potong gaji jika telat mengabsen. Padahal secara faktual, jam kerja mereka lebih dari 8 jam sehari ketika harus menyelesaikan pekerjaan di luar jam kerja resmi tanpa ada kejelasan penghitungan lembur. Tuntutan profesi di atas juga diikuti oleh tingginya resiko kesehatan yang timbul akibat bekerja. Dari berbagai diskusi, Pipin seringkali mendengar keluhan para asisten peneliti di beberapa universitas di Yogyakarta mengalami berbagai gangguan kesehatan misalnya cedera punggung karena terlalu banyak duduk, mengejar tenggat waktu tanpa diimbangi gaya hidup sehat, bahkan juga mengalami anxiety atau gangguan kecemasan selama bekerja di lingkungan kampus. Namun, kebanyakan dari mereka hanya diam karena takut tidak diperpanjang kontraknya, tidak diberikan rekomendasi untuk menjadi pegawai tetap, ataupun khawatir tidak mendapat rekomendasi untuk mencari beasiswa. “Seolah-olah kita harus berkelakuan baik dengan cara tidak memprotes gaji kita dan harus bisa 24 jam non stop bersedia mengemban tugas yang beresiko untuk kesehatan kita,” lanjutnya. Menanggapi keluhan yang disampaikan Pipin, Ratminto sebagai Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) UGM meyakini bahwa semua keluhan yang masuk akan ditanggapi. “Meski pun kadang-kadang agak bau-bau surat kaleng, tetap kami tanggapi,” tuturnya. Direktorat SDM UGM juga memiliki data keluhan masuk hingga keluhan yang sudah terselesaikan. Lebih lanjut Ratminto menyampaikan bahwa UGM telah memberikan fasilitas yang lebih dari cukup. UGM juga telah memberikan fasilitas pengembangan diri dan kesehataan seperti GMC dan RSA yang bisa digunakan pegawai. Namun, Ratminto juga menyampaikan bahwa UGM memiliki aturan yang wajib ditaati yaitu tidak boleh kerja kurang dari jam kerja. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut atas aturan tersebut UGM menggunakan kebijakan finger print.
40
MAJALAH BALAIRUNG
© Axel/BAL
Evi Noor Widyaningsih, Sub Direktorat Assesmen dan Pengembangan SDM UGM, menjelaskan “UGM pun mengeluarkan Peraturan Rektor Nomor 18 Tahun 2016 untuk menaungi pegawai non-PNS dan PNS yang tidak diatur oleh pemerintah.” Salah satu hak yang mereka dapatkan adalah Insentif Berbasis Kinerja (IBK) dengan besaran sesuai penilaian yang dilakukan. Besaran IBK tersebut mengacu pada aspek kedisiplinan dan aspek kinerja. Aspek kedisiplinan ini memiliki empat tingkatan dimulai dari tingkat A dengan mendapat 100% insentif kedisiplinan bisa didapat oleh pekerja yang rajin hingga tingkatan terakhir yaitu D diperuntukkan bagi pegawai yang sudah tidak masuk tanpa izin, dihitung minus 10% setiap satu harinya. Tidak hanya tendik, dosen pun juga memiliki status sebagai dosen tetap dan tidak tetap. Di dalam peraturan yang sama, dijelaskan bahwa dosen tetap adalah dosen yang diangkat sampai batas usia pensiun dan dapat diusulkan untuk mendapatkan Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN). Sedangkan, dosen tidak tetap adalah mereka yang diangkat dalam jangka waktu tertentu dan dapat diusulkan untuk mendapatkan Nomor Urut Pendidik. Untuk dapat diangkat menjadi dosen tetap, pegawai harus memenuhi persyaratan administrasi maupun penilaian individu. Walaupun sudah memenuhi persyaratan, masalah perubahan status dari tetap ke tidak tetap pun bisa saja
Almamater terjadi. Salah satu yang mengalaminya adalah Jajang Agus Sonjaya, mantan dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM. Sejak tahun 1999, Jajang diangkat sebagai dosen tidak tetap berdasarkan SK Dekan FIB hingga kemudian menjadi SK Rektor yang keluar setiap tahunnya dari 1999-2008. Selama itu, Jajang hanya menerima honor mengajar Rp400.000 - Rp600.000 per mata kuliah per semester. Dalam satu semester, Jajang mengajar 3-4 mata kuliah dan jika dirata-rata honornya tak lebih dari Rp350.000. Padahal, beban pekerjaan seperti tugas mengajar relatif sama seperti dosen tetap. Pada Maret 2008, Jajang mengikuti tes seleksi dosen tetap non PNS. Jajang pun lolos dengan SK Rektor UGM dan mendapat NIDN bernomor 0525067401. “Dengan itu, saya bisa mengakses dana penelitian dari Dikti dan sumber lain,” tuturnya. Dengan status dosen tetap, sejak tahun 2008 Jajang bisa menjadi dosen pembimbing akademik, membimbing skripsi, dan juga berhak memilih/dipilih dalam kontestasi pengurus jurusan, sama seperti dosen PNS. Dia juga mendapat gaji sekitar Rp1.600.000 per bulan yang sumbernya berasal dari YKHD yang sekarang berubah nama menjadi Yayasan Ashari. Namun, hal janggal terjadi pada awal tahun 2014. Jajang diundang kembali untuk mengikuti tes dosen tetap UGM. “Sudah menjadi dosen tetap sejak 2008 tetapi kok dites lagi jadi dosen tetap? Bagi saya ini aneh,” jelasnya. Karena belum juga ada kejelasan dari fakultas, Jajang akhirnya mengikuti saran Sumijati Atmosudiro sebagai seniornya untuk melakukan tes mengajar. “Bayangin ya, saya sudah mengajar 15 tahun, bahkan mengajar S2, masih harus dites mengajar,” kata Jajang sambil tertawa masam. Keluar dari ruangan tes, Jajang menangis karena merasa tidak dianggap oleh UGM. Kekecewaan itu bertambah ketika Jajang mengetahui dirinya tidak lolos tes karena tidak memenuhi salah satu syarat. Mereka menjelaskan mengenai syarat menjadi dosen salah satunya harus menyelesaikan pendidikan S3. “Lah kok gak ngomong dari awal, saya kan masih S2 ngapain ikut tes itu kalau sudah jelas yang diterima S3,” keluhnya. Kejanggalan lain muncul ketika mahasiswa bimbingan KKN Jajang tidak menemukan NIDN-nya di Forlap DIKTI untuk mengakses hibah dari DIKTI. Jajang biasa membimbing KKN yang jauh seperti di NTT dan Bali, sehingga butuh dana operasional KKN agar tidak terlalu membebani mahasiswa. Padahal, sebelumnya Jajang telah membimbing KKN dua kali berturut-turut dan bisa akses dana hibah karena NIDN itu. “Jadi, saya baru tahu bahwa NIDN saya tidak ada/hilang/dicabut dari mahasiswa KKN tahun 2014 itu,” katanya. Untuk mengonfirmasi hal ini, Balairung pun kembali meminta konfirmasi dari Dr. Ratminto. Pernyataan berbeda disampaikan beliau bahwa NIDN yang dimiliki Jajang tidak pernah tercantum dalam data mereka. Oleh karena itu, beliau juga tidak dapat menanggapi alasan pencabutan NIDN seperti apa yang dikemukakan Jajang. Ditelusuri lebih lanjut, pernyataan tersebut diperkuat dengan tidak adanya NIDN Jajang di data Dikti (https://forlap.ristekdikti.go.id/dosen), dengan kata lain Jajang tidak pernah menjadi dosen tetap dan memiliki NIDN. Apabila pernyataan Ratminto benar Jajang merasa apa yang telah UGM lakukan kepadanya selama 20082014 tidak benar. Dalam artian, UGM memberikan tugas di luar kewajibannya. “UGM memberi tugas pada saya membimbing akademik, bimbing skripsi, milih ketua dan sekretaris jurusan, mengajar 12-16 SKS per
minggu, masuk tiap hari kerja dari jam 08.00 - 16.00. Itu namanya eksploitasi!” lanjutnya. “Ya, sejak tahun 2014 NIDN saya memang tidak ada lagi di forlap Dikti,” Jajang menegaskan, “sebelumnya saya ber-NIDN, jika tidak ber-NIDN, mana bisa dan mau saya menjalani kewajiban seperti dosen tetap lainnya dari tahun 2008 – 2014.” Musadad sebagai sekretaris Jurusan Arkeologi UGM saat itu sempat mengajak Jajang untuk mengunjungi kantor Direktorat SDM UGM pada September 2014. Menurut Sekretaris SDM UGM saat itu, FIB tidak pernah mengusulkan Jajang menjadi dosen tetap sehingga NIDN-nya dicabut. Menurut mereka, keputusan mengangkat dosen tetap tergantung fakultas, universitas hanya melegalkan dengan SK Rektor. “Saya sangat kecewa karena FIB dan UGM tidak pernah memberitahu soal NIDN itu kepada saya,” tutur Jajang. Sepulang dari Direktorat SDM UGM, Jajang menulis surat pengunduran diri yang kemudian ia serahkan kepada Dekan FIB dengan tembusan ke rektor. Setelah mengundurkan diri, Jajang merasa sistem kepegawaian di UGM tidak beres. Selain soal NIDN, juga soal gajinya yang dipotong setiap bulan dengan dalih sebagai uang pensiun. Dari sejak Jajang keluar dari UGM hingga saat ini, tidak ada tindak lanjut penyelesaian dana tersebut dari pihak administrasi. “Bukan masalah uangnya, tapi sistemnya karena tidak ada pihak kepegawaian dan keuangan yang berusaha menjelaskan masalah potongan uang itu,” tutur Jajang. Sebenarnya, mengajar bagi Jajang bukan hanya sekadar bekerja, tetapi juga bagian dari kehidupannya. Namun, karena ketidakjelasan status kepegawaian ini, dia jadi merasa tidak dianggap. Kejadian-kejadian sebelum pencabutan NIDN itu memang membangun niatnya untuk mengundurkan diri, namun karena ada kewajiban membimbing akademik dan skripsi yang belum selesai, Jajang berusaha bertahan sampai semua bimbingannya bisa lulus. “Dari tujuh mahasiswa bimbingan saya, lima di antaranya lulus cumlaude,” kata Jajang bangga, “inilah yang membuat saya mantap untuk resign tanpa ada beban.” Problematika status kepegawaian seperti di atas pun dipandang Ari Hernawan, Dosen Hukum UGM, sebagai ketidakjelasan atas pengaturan yang bersifat teknis. “UGM perlu membuat aturan internal agar para dosen ini mengerti soal status kerjanya jika diangkat, termasuk tentang NIDN,” jelasnya. Aturan internal ini pun harus jelas dan memperhatikan fakta-fakta empiris yang dilihat sebagai bahan evaluasi. Beliau menuturkan bahwa peraturan ini nantinya harus mampu mengakomodasi kelompok yang diatur. Pengalamanpengalaman ketika mereka menjadi dosen itulah yang harus diserap sebagai bahan untuk membuat aturan. “Tetapi, jika aturan tersebut dibuat oleh mereka yang tidak pernah mendengar keluhan dari dosen, ya sama saja,” lanjutnya. Sehingga, aturan-aturan yang ada tidak mengurusi hal-hal yang penting. Menutup tanggapannya, Ari menegaskan pentingnya UGM memperhatikan mana aturan yang belum lengkap, mana aturan yang menimbulkan persoalan, serta apakah aturan tersebut sudah diikuti dengan Standar Operasional Prosedur. “Kalau itu semua sudah terjawab, artinya hukum benar-benar menjadi alat yang bisa menyelesaikan masalah,” tutur Ari. Dengan aturan yang lengkap, memungkinkan adanya penyelesaian yang jelas dan transparan sehingga mereka terlindungi oleh hukum yang dibuat. [Anis, Vira] MAJALAH BALAIRUNG
41
Cerpen
© Rusmul/BAL
42
MAJALAH BALAIRUNG
Cerpen
Ola
&
Oli
O
li tidak bisa tidur setiap malam, sudah hampir satu minggu. Kantong bawah matanya semakin besar dan kalau kita tidak tahu usianya 12 tahun, pada dahinya nampak tumbuh lipatan. Kurang tidur membuat dahinya mengerut. Ia seperti terus berpikir ketika seharusnya tidur. Ia cemas memikirkan Ola, yang di luar sana tidak bisa tidur juga, menghadapi tatapan-tatapan dan napas-napas bernafsu yang merongrongnya. Agresi berahi musiman yang mencekam Oli -asing, bergelora, mengancam- mengganggu ketenangan jiwa dan menggetarkan tubuh lugunya yang sedang tumbuh. Jangankan gairah, merasakan ketertarikan fisik saja ia belum pernah, berbeda dengan teman-temannya di sekolah yang seharian kasak-kusuk mengintai yang keren, ganteng, jangkung, dan atletis. Malam-malam itu, Oli tersiksa mendengar lolongan, lengkingan, geraman yang mengiringi derap-derap kaki berlarian ke sanasini bagai sedang berlangsungnya serangan rahasia. Ketika masih mendengar gonggongan Ola yang ia kenal betul -tinggi, tipis, jernih- atau pekikannya yang centil dan renyah, Oli sedikit lega; ketika ia diam saja, Oli sangat cemas membayangkan ia sedang tidak berdaya. Sebuah peristiwa tahun lalu masih menjajah ingatannya. Sepulang sekolah ia gembira hendak menghadiahi Ola seiris daging babi panggang yang menjadi jatah ibunya dari restoran tempat ia bekerja. Ola yang biasanya cuma makan nasi kuah tanpa daging sudah bisa menciumnya dari jarak 10 meter, lari menghampiri dan melompat-lompat dengan mata membulat. Betapa menggemaskan Ola yang lincah dan kelaparan. Oli pun akan menyuruhnya duduk dan ia patuh. Matanya berharap tanpa kedip, bulu ekornya yang tebal indah seperti kemoceng rumbai bergoyang-goyang tak sabar. Tapi yang Oli temukan pada saat itu adalah Ola yang pasrah. Bukan Ola-nya. Ia terpaku telentang seperti ditubruk dan terjengkang, kaki depan dan belakang terjepit menyerah pada lantai bagai tersandera, keenam anak menindihnya tiga di kanan tiga di kiri, menghisap keenam puting, bergantian mencari yang masih banyak susunya. Matanya tertutup. Ia seperti sedang menahan napas. Tidak biasanya anak-anak itu seberingas ini. Biasanya bila Ola menyusui, ia melakukannya dengan berbaring menyamping. Anakanaknya bertumpuk-tumpukkan dan berdesak-desakkan menyusu di depannya. Ia masih leluasa menundukkan wajah untuk mencium atau kaki depan mengelus mereka. Pemandangan yang membuat Oli bangga dan kagum pada Ola. Ola sedang menyusui, bukan sedang dikuras. Itu sudah ketiga kali Ola punya anak. Yang pertama ada empat, semua dijual. Yang kedua, ia keguguran karena terpeleset jatuh di tangga basah, dua gumpalan lendir keluar dari kelaminnya. Yang ketiga ini, anaknya yang terbanyak. Oli menyaksikan kewalahan dan kelelahan Ola namun ia ibu yang sangat protektif. Ketika anak-anaknya sedang menghangatkan diri pada tubuhnya, ia tak akan mengizinkan orang lain menyentuh mereka. Gonggongannya menjadi galak. Tak pernah Oli menyangka Ola bisa dikuasai anak-anaknya seperti itu, dikerubungi sampai tak bisa bergerak. Tentu Oli sangat menyayangi anak-anak Ola, siapa yang tidak suka melihat kelucuan wajah dan tingkah bayi anjing? Tapi saat itu, Oli merasa jengah dan takut. Ia merasai dadanya yang membesar dan membayangkan ngilu. Ia sangat iba pada Ola, yang bahkan tak bisa lagi membaui daging babi kesukaannya. Ia MAJALAH BALAIRUNG
43
Cerpen tak mengendus, tak berjingkat bangun. Tak sanggup menyaksikan lebih lama, Oli membawa pulang kembali daging tersebut dan memakannya sendiri sambil memikirkan apakah Ola bahagia memiliki anak sedemikian banyak. Anak-anak yang Oli tahu tak akan selamanya Ola miliki karena akan diserahkan kepada orang lain. Pak Suta dan istrinya, pemilik resmi Ola hanya mampu mengurus satu anjing dan mereka tak mampu mengebiri Ola di klinik hewan yang biayanya bisa sampai 700 ribu rupiah. Oli sudah bertanya-tanya kepada ibunya mengenai urusan pengebirian ini dan ia bergidik membayangkan operasi yang mengeluarkan sesuatu dari perut Ola. Segumpal daging berongga, layaknya gua yang hangat di sebuah hutan hujan, tempat seorang bayi diciptakan dan tumbuh. Sesuatu yang kedengaran sakral dan sangat berharga, tapi mengaduk-aduk isi perutnya, ingin muntah. Jadi supaya Ola nggak hamil, rahimnya dibuang? Iya, tapi nggak sakit kok. Ola dibius. Terus tanpa rahim, Ola akan baik-baik saja, Ibu? Tentu, dia nggak berasa punya rahim atau tidak. Kita semua nggak akan khawatir lagi. Dia bebas kawin tapi nggak hamil. Oli berpikir sebentar. Ia kembali mendengar suara-suara binatang itu, yang selalu menghantuinya. Seruan, jeritan, dan bujukan yang tak sabar ingin kawin, memecah ketenangan malam, menggigilkan Oli. Dengus-dengus dan derap-derap kaki yang berkejarkejaran minta dipuaskan membuat Oli berkeringat dan meringkuk lebih dalam ke bawah selimut. Tapi, Ola? Bersembunyi di mana? Ia tidur di teras rumah Pak Suta, di bawah meja. Bila Ola sedang tidak berahi, apakah ia harus melayani semua pejantan itu? Jantan-jantan itu tergila-gila pada Ola. Siang malam mengincar. Mungkin diiming-imingi daging babi pun bergeming, lebih suka tubuh Ola. Mereka yang mengejar-ngejar, mengapa Ola yang harus dikebiri? Oli menatap wajah ibunya. Apakah anjing lelaki juga bisa dikebiri, Bu? Bisa, testisnya yang diangkat. Oli tersenyum. Ia membayangkan bila semua anjing lelaki dikebiri, Ola akan aman. Anjing-anjing perempuan akan aman. Tapi, tunggu dulu, berarti tidak akan ada lagi bayi-bayi anjing yang lucu. Ia menarik napas dan kembali menyeimbangkan beban pikirannya. Oli senang Ola punya anak tapi mungkin tidak berlebihan sehingga Ola kelelahan, menjadi sakit dan akhirnya mati. Ola sudah dua kali pernah punya anak. Cukup. Yang adil menurut Oli adalah setelah anjing betina dan jantan membuahkan anak-anak, sekali atau dua kali, sebaiknya dua-duanya dikebiri. Yang tidak adil adalah pada anjing jantan tidak ada bekasnya ia telah mencoba membuahi anjing betina. Ia bisa menyebar benih di mana saja, tidak perlu bertanggung jawab karena tak ada konsekuensi padanya. Tubuhnya tidak berubah. Pertama kali melihat Ola, Oli langsung jatuh hati. Ia dinamai seperti Ola Ramlan, artis paling cantik menurut Pak Suta dan memang merupakan betina paling kenes berhidung mungil bermata besar, pomeranian madu yang kecil, lincah, berbulu seindah anggora, di komplek perumahan tanpa pagar ini. Ibunya menyewa paviliun dari Pak Suta, yang dulu ditempati anak tunggalnya yang kemudian mendapat pekerjaan di kota lain. Hampir semua pemilik rumah di komplek ini punya anjing. Kemungkinan besar untuk menggantikan pagar, menjaga rumah. Jangan dikira Ola yang primadona itu hanya bisa nampang, membelalakkan mata dan menggoda dengan menggoyang-goyangkan bulu ekornya. Ia galak dan pemberani. Paling rajin
44
MAJALAH BALAIRUNG
menggonggong bila ada orang tak dikenal memasuki perumahan. Ia juga tak cepat percaya pada orang. Orang baru tak akan ia biarkan menyentuhnya. Ola hampir menggigit Oli pertama kali ia mencoba menyentuh kepalanya. Tapi kemudian Ola sering mampir ke paviliun. Tidak mencari Oli, tapi berjaga-jaga di sana. Oli pun pura-pura tak acuh, membiarkan Ola terbiasa dengan kehadirannya. Oli akan duduk dekat di mana Ola duduk tapi tidak menyentuhnya. Lamalama Ola melembut dan tatapannya menjadi ramah. Ia tak lagi menggonggong pada Oli. Ia menjilat, mengajak berteman. Sejak itu, Ola dan Oli selalu menghabiskan sore bersama, jalan-jalan di komplek, jajan bareng, saling gelitik atau tenggelam dalam pikiran masingmasing. Ibu Oli senang ada yang menjaga anaknya ketika ia harus pulang kemalaman dari restoran. Ola tak selalu ceria. Yang Oli perhatikan, ia menjadi murung, cepat tersinggung ketika sedang datang bulan. Matanya tambah berair, menciptakan kesenduan di wajahnya. Yang biasanya kesenangan digelitik di leher, ia menepis keras, menyalak kaget seperti terinjak ekornya. Ia akan datang ke paviliun tapi hanya berbaring dan tidur. Lesu untuk main. Oli tidak mengusiknya. Apakah ia juga akan menyebalkan seperti itu ketika waktunya datang bulan? Ibunya hanya mengangkat bahu ketika ditanya. Di kala datang bulan itu pula, Oli merasakan keresahan Ola. Pekarangan rumah dan paviliun Pak Suta yang kecil akan didatangi tamu-tamu tak diundang sepanjang hari seperti sedang ada hajatan. Oli tahu siapa saja mereka. Yang gonggongannya paling berat adalah Bruno, hitam besar, berbulu pendek, berbekas luka di hidungnya; Gondrong, hitam pendek, gemuk, berbulu seperti keset lapuk yang kumal dan lembab, baunya menyengat, ia tidak menggonggong tapi memekik seperti sedang tergencet; Romeo, putih, agak pincang, bersih kulitnya, gonggongannya serak seperti perokok; Pitung, kecil, pendek, tapi melolong seperti serigala; Max, berbulu tebal, nafasnya selalu terengah, gonggongannya terputus-putus; dan Judo, melengking seperti peluit. Kepribadian mereka hilang sama sekali ketika sedang berahi. Yang dihajati malah pasang muka kereng. Tersudut di teras, Ola akan maju perlahan-lahan, mata waspada, menemui tamu-tamunya dan mengendus bokong mereka. Tapi Ola tak sempat mengendus setiap bokong -mencari bau mana yang mungkin disukainya untuk diajak kawin- karena mereka akan saling berebutan mencium bokong Ola, sikut-sikutan, dorong-dorongan dan akhirnya berantem bersama. Banyak yang langsung mencoba menomplok Ola, ini membuat marah yang lainnya. Pada akhirnya mereka saling serang dan Ola ketakutan mencoba lari dari arena pertarungan. Ia akan menjerit-jerit dan mencari tempat persembunyian yang sebenarnya tidak ada. Oli sering membayangkan apa yang dirasakan Ola, takut, bingung, atau tersanjung? Tampak semuanya bercampur dan teraduk tidak rata sehingga yang keluar adalah Ola yang resah justru ketika sedang merayakan keajaiban tubuhnya sebab ia tidak bisa bebas memilih kapan dan dengan siapa ia mau kawin. Pejantan-pejantan itu akan selalu menemukan Ola bahkan dari kejauhan 1 km. Ketika Ola sedang datang bulan, ia sedang mekar-mekarnya dan sangat wangi. Dari ibunya Oli tahu bahwa ketika sedang datang bulan selama hampir empat minggu, hanya dua kali dalam setahun, Ola merasakan berahi, desakan untuk kawin. Oli membayangkan bedanya dengan bulan yang mendatangi perempuan manusia. Kata ibu, setiap bulan selama seminggu, perempuan manusia merasakan
Cerpen berahi, tapi sebelum datang bulan. Masa suburnya ketika sedang tidak berdarah. Oli belum mengalaminya walaupun usianya sudah tepat. Tapi ia belum juga datang. Menurut Pak Suta, Ola berdarah pertama kali ketika usianya kurang dari setahun, sudah remaja dalam dunia anjing, tepatnya 13-15 tahun, mirip dengan Oli sekarang. Ada dua Olivia di sekolah, yang satu dipanggil lengkap Olivia, sudah datang bulan. Entah kenapa, cara jalannya jadi berbeda, juga gerak-geriknya. Lebih dewasa dan kalem? Tidak juga, malah canggung dan waspada. Mungkin karena sekarang ia sadar, bisa ditomplok dari belakang, dibuat tak berkutik. Oli sendiri sangat terganggu ketika para pelamar Ola mengerubungi depan paviliunnya ketika Ola sedang ada di sana. Mereka bau sekali. Anjing-anjing yang Ola dan Oli selalu hindari ketika sedang jalanjalan di komplek. Sekarang mereka berkumpul untuk memuaskan nafsu membuat Oli kecut. Ia sering melihat anjing kawin dan tidak pernah menjadi biasa. Ia akan selalu membuang muka. Ia berharap tak akan pernah melihat Ola kawin dengan salah satu anjing-anjing ini sebab tak tega melihat Ola ditunggangi anjing-anjing besar. Menahan beban sampai tertindih dan tidak bisa bergerak. Mungkin Ola menyukainya tapi Oli tidak sudi melihat. Bisakah Ola yang menunggangi? Oli sungkan menanyakan ini kepada ibunya. Mengenai malam-malam yang menggelisahkan Oli dan Ola, Oli hanya ingin Ola merasa aman. Ia berencana akan mulai menyisihkan uang untuk biaya kebiri walaupun berkecil hati entah kapan akan terkumpul. Dan selama itu Ola akan sudah melahirkan puluhan anak yang tersia-siakan, korban pemuasan berahi para pejantan yang segera lupa apa yang sudah mereka lakukan ketika selesai. Maka bagi Oli yang paling mendesak adalah bagaimana ia bisa mengusir anjing-anjing lelaki itu dari pekarangan rumah dan paviliun Pak Suta supaya Ola bisa tidur dengan tenang. Oli memutuskan: dengan ijin ibunya dan Pak Suta, ia mengamankan Ola di dalam paviliun mereka sampai masa suburnya berakhir, paling lama dua minggu lagi. Setelah pulang sekolah, ia berjanji akan membersihkan paviliun dari kotoran Ola. Ia akan buat PR ditemani Ola, bermain petak umpet bersama Ola dan tidur ditemani Ola. Oli akan bisa tidur dengan nyenyak, begitu pula Ola. Ibunya sudah memperingatkan bahwa anjinganjing lelaki itu akan tetap menunggu di depan paviliun, tapi Oli terlalu naif menyimpulkan bahwa mereka akan bosan dan pergi bila tidak melihat Ola lagi. Ibunya Oli benar. Setiap malam keenam anjing itu ngotot duduk berbaris di depan pintu paviliun seperti ngantri dokter. Ola memang dokter yang akan menyembuhkan derita mereka. Bruno tepat di atas keset welcome diikuti Gondrong, Romeo, Pitung, Max, dan Judo. Bergantian sepanjang malam mereka memanggil-manggil Ola dalam paduan suara yang mencicitkan tikus-tikus. Oli tidak yakin apakah Ola menyukainya, sebab dari posisi berbaring tiba-tiba ia berdiri tegang, kemudian rebah lagi sambil menguik-nguik. Oli akan mengusap kepala Ola dan Ola membiarkannya. Sesekali ia mendekati pintu kamar Oli dan mengais-ngaisnya seakan minta keluar. Oli juga tidak yakin apakah itu karena Ola ingin kawin atau bosan di kamar. Bila Ola ingin kawin dengan jantan yang ia sukai, Oli rela membiarkannya keluar paviliun. Tapi sudah terbukti sebelumnya ia tidak bisa memilih. Oli tidak akan membiarkan Ola digilir di depan paviliunnya. Terbersit pikiran bahwa Ola kan binatang, mungkin ia suka. Tapi Ola kan perempuan, yang tubuhnya akan selalu menjadi tumpuan, merasakan dan menanggung berat. Bila ia keberatan, apakah akan ada
yang mendengar dan menghormatinya? Manusia belum tentu, apalagi binatang. Karena yakin dengan apa yang ia lakukan benar, Oli tidak pernah membuka pintu. Lama-lama ia bisa tidur walaupun anjing-anjing di luar berisik sebab Ola aman di sampingnya. Suatu siang pulang sekolah, Oli membuka pintu paviliun tergesa-gesa -ia harus menggebah anjing-anjing di depannya, yang memberinya jalan kemudian ngantri lagi- dan menutupnya kembali cepat-cepat. Seperti biasa, ia berseru memanggil Ola. Ola meringkuk di bawah meja makan. Oli menyentuh kepalanya tapi Ola tak membuka mata. Tidak mungkin. Bukan Ola-nya. Tapi Ola memang sudah tidak ada. Oli menjerit meraung-raung. Perasaan amat bersalah memeras seluruh air mata yang ia punya, mengguncangkan badannya. Apakah Ola kesepian sepanjang hari terkurung di dalam? Apakah ia menelan sesuatu yang beracun? Apakah karena ia dilarang kawin? Atau ia sudah lama sakit? Apakah ia sempat dikeroyok sebelum diamankan? Hanya Ola yang tahu. Oli menggendong dan mendekap erat tubuh Ola. Tubuh sesama perempuan menghangatkan dadanya. Ola mati walaupun Oli sudah berusaha untuk melindunginya. Dengan cara kemanusiaannya yang belum tentu tepat. Oli merasai tubuhnya sendiri yang mulai mekar sementara hatinya ciut. Darah mengalir dari kelaminnya. Yang pertama. Ia gelisah. Bagaimana ia bisa melindungi dirinya sendiri? Apalagi ketika sendirian di luar sana? Apakah akan ada manusia lelaki yang tertarik padanya? Ia tahu ia tidak secantik Ola. Belum pernah ada anak lelaki yang memperhatikan apalagi mendekatinya. Kalaupun nanti ada, apa yang diinginkan orang itu darinya? Apakah sama dengan yang diinginkan anjing lelaki dari Ola? Oli gentar. Ia menyaksikan ketegaran Ola. Ia juga melihat ketidakberdayaannya. Ibunya yang juga tak berhenti menangis, berusaha menghibur. Sudahlah Oli, kita semua bermaksud baik. Pak Suta sudah rela. Ia akan mengajakmu mencari anjing baru. Aku tak mau anjing baru. Bu? Ya, Sayang? Kalau aku datang bulan, biar aman, aku dikebiri saja? Napas ibu tertahan, menatap Oli seperti bukan Oli-nya. Memang Oli sudah berubah. Ia baru mekar, mengeluarkan wangi. Anak-anak lelaki tak dikenal lebih dari jarak 1 km akan mencarinya. Sayang, kembang yang mekar itu tak berduri, sekedar untuk melindungi diri. Pada rok seragam Oli, bagian depan meresap noda merah yang makin lama semakin membesar.
Cyntha Hariadi lahir di Tangerang, Banten, 1973. Menyelesaikan pendidikan Hubungan Internasional di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung dan Kajian Media di New School for Social Research, AS. Bekerja sebagai jurnalis dan penulis iklan sebelum menulis fiksi. Buku puisinya Ibu Mendulang Anak Berlari adalah salah satu pemenang Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015 & finalis Kusala Sastra Katulistiwa 2016. Buku kumpulan cerpennya Manifesto Flora adalah finalis Kusala Sastra Katulistiwa 2018. Ia tinggal di Jakarta & Bali dan sedang menyelesaikan novel perdananya. MAJALAH BALAIRUNG
45
Interupsi
Kamuflase Perusahaan Melalui CSR
P
eningkatan kerja sama pemerintah dan sektor swasta yang sistematis dan berkelanjutan perlu dikembangkan dan dioptimalkan. Salah satunya adalah melalui skema pemanfaatan program tanggung jawab sosial perusahaan yang dapat mencakup berbagai bidang penyokong kesejahteraan. Apabila hanya mengandalkan sokongan dari pemerintah, prosesnya membutuhkan prosedur birokrasi yang tidak sederhana dan realisasinya relatif lama. Mengingat tanggung jawab urusan pemerintah terhadap pengelolaan aset dan sumber daya pun tidak sedikit. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) serta Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 mengatur tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (TJSL) atau umum dikenal dengan sebutan CSR (Corporate Social Responsibility). Upaya mengoptimalkan sumber pendanaan non-APBD dan non-APBN melalui CSR adalah solusi potensial untuk mempercepat perbaikan kesejahteraan masyarakat. Namun belakangan, kredibilitas dan relevansi CSR melemah karena kekurangannya dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Terlepas dari popularitas praktik-praktik CSR yang belakangan meluas, muncul kekhawatiran apakah pengembangan CSR dirancang hanya untuk menciptakan citra positif organisasi. Belakangan ini, mulai dikenal istilah CSR washing yang mana perusahaan berupaya memoles citra mereka melalui program dan aktivitas CSR. Alih-alih menjadi salah satu cara bagi perusahaan untuk menanggulangi dampak sosial dari aktivitas mereka dan berkontribusi secara positif
46
MAJALAH BALAIRUNG
Š Deardra/BAL
Interupsi bagi masyarakat, CSR kerap dimanfaatkan sebagai ‘kamuflase’ untuk menutup-nutupi kerusakan dan dampak negatif perusahaan. Ibarat ekosistem dalam rantai makanan, korporasi adalah serangga yang sedang berkamuflase untuk menghindari predator maupun mengincar mangsa. Mangsanya adalah klien, publik, dan masyarakat sekitar. Predator bagi korporasi adalah negara yang memberlakukan sistem perpajakan serta undang-undang TJSL karena dapat memperkecil keuntungan perusahaan. Sedangkan CSR merupakan sarana kamuflasenya. Sejumlah korporasi mencanangkan CSR dalam rangka mendapatkan akses politik demi kepentingan bisnis, menghindari pajak, dan menarik simpati klien maupun masyarakat. Salah satu kasus ‘kamuflase’ CSR atau CSR washing dilakukan oleh berbagai perusahaan rokok. Semestinya CSR merupakan bentuk pertanggungjawaban perusahaan atas dampak yang ditimbulkannya, seperti dampak kesehatan masyarakat, dampak limbah akibat sampah puntung rokok, dsb. Namun CSR yang kerap dilakukan selama ini adalah kegiatan kepemudaan yang sekaligus menjadi sarana strategis pemasaran yang menyasar anak-anak muda dan generasi penerus. UNDP bersama WHO telah mengeluarkan dokumen Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang menyebutkan bahwa “taktik utama yang dilakukan industri rokok adalah melakukan kegiatan CSR untuk menjauhkan citra industri rokok dari dampak kerusakan rokok itu sendiri”. Hal ini berkaitan erat dengan bagaimana perusahaan berupaya untuk membangun legitimasi di mata masyarakat. Salah satu pendekatan yang digunakan oleh perusahaan untuk mencari legitimasi adalah dengan menggunakan manajemen simbolik. Manajemen simbolik bertujuan untuk mempengaruhi pandangan para pemangku kepentingan, terutama masyarakat, menjadi lebih positif terhadap perusahaan melalui tindakan-tindakan simbolis. Dengan demikian, tujuan manajemen simbolik adalah untuk memberi kesan bahwa perusahaan adalah pihak yang bertanggung jawab secara sosial, terlepas dari apakah tindakan-tindakan perusahaan itu dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Praktik CSR yang dilakukan oleh sejumlah industri rokok di atas adalah salah satu bentuk CSR washing melalui manajemen simbolik. Tidak hanya itu, praktik manajemen simbolik juga bisa dilakukan dengan cara melaporkan aktivitas dan kegiatan CSR. Dalam beberapa kasus tertentu, laporan atas aktivitas dan kegiatan CSR dimanfaatkan sebagai peluang untuk menyamarkan kegiatan perusahaan yang bersifat merusak, Misalnya dengan mencemari dan merusak lingkungan atau merugikan masyarakat, mengaburkan kinerja negatif, dan memproyeksikan citra perusahaan yang baik. Jika hal ini dibiarkan begitu saja, laporan pertanggungjawaban CSR malah menjadi upaya mempengaruhi pandangan masyarakat untuk mempertahankan legitimasi perusahaan beroperasi tanpa gangguan. Misalnya saja pada contoh kasus CSR dari perusahaan industri emas hitam di Kalimantan. Jaringan Muda Pembaharu saat berunjuk rasa di Kejaksaan Tinggi Kaltim akhir tahun 2018 lalu menyatakan bahwa Forum CSR Kalimantan Timur tidak transparan terhadap publikasi dana CSR perusahaanperusahaan batu bara. Tidak ada perkembangan signifikan pada kontribusi pembangunan daerah, serta dana CSR belum mampu menyentuh permasalahan
yang ada secara konkret. Padahal, Kalimantan Timur menggantungkan 50 % ekonominya pada industri batu bara. Angka yang cukup masif apabila pengelolaan CSR benar-benar optimal. Salah satu cara lain dari CSR washing adalah dengan sengaja melakukan markup anggaran CSR. Hal ini dilakukan sebagai salah satu strategi untuk menghindari atau mengurangi tanggungan pajak perusahaan. Semakin besar klaim anggaran program dan aktivitas CSR suatu perusahaan, semakin sedikit besaran pajak yang akan ditanggungkan. markup ini pernah menjerat kasus CSR Pertamina Foundation. Bareskrim sempat menyelidiki kasus penyelewengan anggaran di tubuh lembaga pengelola dana CSR Pertamina ini berdasarkan laporan masyarakat sepanjang 2012-2014. Pertamina Foundation menggagas proyek Gerakan Menabung 100 Juta Pohon yang dananya digelembungkan sebesar Rp. 126 miliar dengan tameng laporan CSR yang disusun dengan rapi. Beberapa kasus-kasus yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa praktik CSR yang sering kali dilakukan oleh perusahaan memiliki beberapa permasalahan. Praktik CSR perusahaan seharusnya menjadi cara bagi perusahaan untuk berkontribusi lebih kepada masyarakat dan bertanggung jawab serta menanggulangi dampak negatif, sosial atau lingkungan, yang timbul. Namun, CSR justru menjadi bentuk CSR washing atau cara bagi perusahaan untuk memoles citra dan melegitimasi aktivitas mereka di mata masyarakat. Praktik CSR menjadi ‘kamuflase’ bagi perusahaan untuk menyamarkan aktivitas yang membawa dampak negatif bagi masyarakat.
“Bukan berarti bahwa semua bentuk CSR itu selalu buruk dan tidak pernah membawa manfaat bagi masyarakat. Namun, masyarakat perlu menjaga sikap kritis demi mengawasi aktivitas CSR perusahaan.”
Maka dari itu, praktik CSR di lapangan perlu ditanggapi dengan lebih kritis. Bukan berarti bahwa semua bentuk CSR itu selalu buruk dan tidak pernah membawa manfaat bagi masyarakat. Namun, masyarakat perlu menjaga sikap kritis demi mengawasi aktivitas CSR perusahaan. Di satu sisi, masyarakat sipil perlu turut berperan aktif dan terus mengadvokasi kepentingan masyarakat dalam praktik CSR yang telah atau sedang dilaksanakan. Di sisi lain, negara juga berperan untuk menindaklanjuti penyelewengan CSR oleh perusahaan. Ke depannya, dalam ekosistem ini tidak ada lagi perusahaan yang mencoba berkamuflase. Ketepatan Kontribusi CSR dapat menjadi upaya melepaskan diri dari belenggu ekosistem rantai makanan yang menempatkan rakyat di posisi terbawah. [penginterupsi] MAJALAH BALAIRUNG
47
Dapur
Menjaga Nyala Api Pers Mahasiswa
P
ada penghujung tahun 2018, Balairung menerbitkan laporan mengenai kekerasan seksual yang dialami oleh mahasiswa bernama samaran Agni. Laporan tersebut diterbitkan di laman balairungpress.com, dengan judul “Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan”. Namun, Agni bukanlah korban kekerasan seksual pertama yang pernah dituliskan Balairung. Pada tahun yang sama, Balairung pernah memuat berita berjudul “Malang Melintang Penanganan Pelecehan Seksual di Kampus” (Majalah
48
MAJALAH BALAIRUNG
© Axel/BAL
Balairung Edisi 54/TH. XXXIII/2018). Artikel tersebut melaporkan dinamika penanganan kasus pelecehan seksual yang terjadi di banyak kegiatan mahasiswa. Bertolak dari pengalaman itu, kami sadar bahwa pers mahasiswa (persma) dapat berkontribusi lebih dalam perannya sebagai media komunitas. Sejak keluarnya laporan tersebut, kasus Agni mendapat atensi yang cukup besar dari para pembaca. Dukungan terus mengalir demi penyelesaian kasus Agni yang adil. Tuntutan pembenahan
Dapur mekanisme dan peraturan mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus juga sedikit demi sedikit dipenuhi. Pada tanggal 28 Mei 2019 lalu, Humas UGM merilis berita bahwa usulan peraturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual telah disampaikan kepada rektor. Selanjutnya, usulan tersebut akan dibahas dalam rapat Senat UGM. Hal ini tentu sedikit melegakan semua pihak yang menanti mekanisme dan peraturan yang jelas mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. Kasus kekerasan seksual harus menjadi agenda advokasi bersama yang perlu mendapat pengawalan terus-menerus. Berkaca dari dinamika penyelesaian kasus Agni, ada hal yang patut mendapat perhatian bersama yaitu perlindungan hukum bagi persma. Pada tanggal 26 Desember 2018, wartawan kami, Citra Maudy dipanggil oleh pihak kepolisian sebagai saksi. Pemanggilan tersebut dilakukan lantaran Citra adalah penulis dari laporan mendalam mengenai kekerasan seksual yang dialami Agni. Tak lama setelah itu, penyunting laporan tersebut, Thovan Sugandi, juga turut dipanggil pada tanggal 17 Januari 2019. Pemanggilan kedua awak kami ini terasa janggal, lantaran beberapa pertanyaan yang diberikan pihak kepolisian tidak substantif. Dalam hal ini, kepolisian cenderung mempermasalahkan kebenaran berita yang diterbitkan Balairung. Dilansir dari Kumparan.com, Direktur Direktorat Reserse dan Kriminal Umum Polda DIY, Komisaris Besar Polisi Hadi Utomo mempertanyakan nomenklatur pemerkosaan yang digunakan dalam tulisan. Pusat Studi Media dan Komunikasi Remotivi pernah menerbitkan artikel berjudul “Pers Kampus Di Tengah Ketidakpastian Hukum”. Dalam artikel tersebut, Arrizal Fathurohman Nursalim menjelaskan bahwa banyak kasus sengketa yang melibatkan persma karena tidak ada payung hukum yang melindunginya. Dalam Pasal 18 ayat 1 UU Pers, perlindungan yang disebutkan diperuntukan bagi perusahaan pers. Sementara pada Pasal 1 ayat 2 UU Pers dijelaskan bahwa perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers mulai dari cetak, elektronik, kantor berita yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi. Kedudukan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa tentunya mempersulit kami dalam memperoleh status badan hukum tersebut. Hal ini membuat produk dan kerja-kerja persma rentan dikriminalisasi karena pasal tersebut belum mengakomodasi perlindungan bagi persma. Kriminalisasi dan pembredelan terhadap persma tidak terjadi sekali dua kali. Berdasarkan laporan Tirto. id yang berjudul “Membredel Pers Mahasiswa”, ada empat kasus pembredelan persma dalam kurun waktu 2014 hingga 2016. Tidak hanya itu, pada Mei 2016, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) juga pernah melakukan riset bertajuk “Media dan Kekerasan terhadap Pers Mahasiswa di Indonesia” sepanjang periode 2013--2016. Hasil riset menunjukan, dari 64 persma di Indonesia, 47 di antaranya pernah mengalami kekerasan. Sebanyak 11 kasus dari 47 peristiwa kekerasan tersebut dilakukan oleh pihak kampus. Bahkan, baru-baru ini Persma Suara USU dinonaktifkan oleh rektornya sendiri setelah dianggap menerbitkan cerita pendek yang dinilai berbau LGBTQ. Kerentanan ini tentu perlu mendapat perhatian bersama, sebab kerja persma merupakan usaha untuk menghidupi komunitasnya. Ia adalah media yang paling
dekat dengan mahasiswa, dosen, karyawan, dan seluruh civitas academica yang ada di kampus. Bila ditelusuri melalui sejarahnya, persma juga pernah memainkan peran yang cukup heroik bagi isu-isu politik, sosial, dan ekonomi di tingkat nasional. Sebut saja pada masa Orde Baru, persma kerap muncul sebagai media alternatif yang berani mengkritik pejabat-pejabat korup. Bahkan, pada tahun 1999, Kompas pernah menerbitkan artikel yang menyebutkan bahwa media alternatif yang berbasis di kampus lebih konsisten pada idealisme pers dibandingkan media lainnya. Sepanjang sejarah, peran-peran yang pernah dimainkan oleh persma tercatat relatif banyak. Meskipun kini mahasiswa dan pemerintah tidak berhadapan secara langsung seperti ketika Orde Baru, persma setidaknya dapat menjalankan fungsi kontrolnya terhadap pemimpin universitas. Seperti misalnya ketika Rektor UIN Sunan Kalijaga mengeluarkan surat dengan nomor B-1031/Un.02/R/ AK.00.3/02/2018 tentang larangan penggunaan cadar di kampus. Surat tersebut mengatur tentang pembinaan mahasiswi bercadar. Meski sempat ramai dimuat di media arus utama, LPM Arena termasuk salah satu yang mengangkat isu ini pertama kali. Hingga akhirnya, kebijakan yang dianggap diskriminatif ini dicabut berdasarkan hasil rapat koordinasi universitas. Tidak hanya itu, persma juga dapat memberitakan kondisi atau permasalahan yang ada di dalam komunitasnya. Pada tahun 2018, LPM Suaka UIN Sunan Gunung Djati juga pernah menerbitkan laporan mengenai kekerasan seksual terhadap beberapa mahasiswa. Kejadian yang terjadi dalam rentang waktu 2016 hingga 2018 tersebut dituliskan pada tabloid Suaka edisi April 2018. Terkuaknya kasus dugaan kekerasan seksual itu mendorong pihak kampus membentuk tim khusus untuk memeriksanya. Beberapa kontribusi tersebut menunjukkan bahwa meski masih dianggap “ilegal”, persma tetap menjalankan fungsinya sebagai media komunitas. Dengan demikian, persma tidak bisa selalu mengenang peran yang pernah diembannya di masa lalu. Apalagi pesimis dengan regulasi yang tidak kunjung memihak. Perlu kearifan dalam memaknai sejarah persma dan kebesaran jiwa untuk melanjutkan tugas. Persma harus mentransformasikan “inspirasi sejarahnya” dalam mengejawantahkan jamannya sendiri. Ditambah lagi, beberapa tahun terakhir kita menyaksikan kemunculan situs-situs informasi baru yang lebih bermutu daripada sebagian media massa komersial seperti Remotivi, BaleBengong, Suara Komunitas, dan sebagainya. Situssitus tersebut bisa dijadikan inspirasi bagi persma
“Perlu kearifan dalam memaknai sejarah persma dan kebesaran jiwa untuk melanjutkan tugasi” untuk membuat masyarakat menjadi melek media seoptimal mungkin. Keberdayaan media komunitas merupakan sebuah bentuk usaha dalam kemandirian informasi. Kemandirian akan informasi dapat membuat warga komunitas mampu mengorganisasi diri untuk bergerak menuntut perubahan yang lebih baik. Maka, di balik ketiadaan perlindungan ini siapa tahu justru menjadi bahan bakar bagi kerja-kerja jurnalistik yang konstruktif dari persma. [Penjaga Dapur] MAJALAH BALAIRUNG
49
Arsip
Sumber Foto : Arsip Foto BPPM Balairung
50
MAJALAH BALAIRUNG
Almamater
“Dekat di Manapun dan Kapanpun” Balairungpress.com
MAJALAH BALAIRUNG
51
© Axel/BAL
52
MAJALAH BALAIRUNG
@bppmbalairung
/bppmbalairungugm
@bppmbalairung
@GSJ9240C
/balairungpress.com
MAJALAH BALAIRUNG
53
54
MAJALAH BALAIRUNG @bppmbalairung
/bppmbalairungugm
@bppmbalairung
@GSJ9240C
/balairungpress.com