2 minute read

ARSIP Era Baru Pers Mahasiswa

Era Baru Pers Mahasiswa

Menjelang Reformasi, Asip Agus Hasani memandang karakteristik pers mahasiswa sebagai “jurnalisme caci-maki” mulai tak relevan. Bertolak dari pandangan tersebut, pers mahasiswa perlu memperkuat kemampuan teknis di samping idealisme untuk “mengejawantahkan zamannya sendiri”. Berikut catatan kegelisahannya tentang kondisi pers mahasiswa pra-Reformasi seperti dimuat BALAIRUNG No. 25/Th. XII/1997.

Advertisement

Kedekatan pers mahasiswa dengan masyarakat luas telah memiliki akar historis sejak masa praKemerdekaan. Waktu itu, pers mahasiswa— biarpun masih dalam bentuk yang sederhana— tidak bisa dipisahkan dengan gerakan kepemudaan dan pelajar. Secara ideologis, ia selalu bergayut dengan gerakan kepemudaan pada zamannya.

Pada masa awal Kemerdekaan, pers mahasiswa adalah lembaga yang disegani tak hanya oleh komunitas kampus tetapi juga masyarakat luas. Pada 1950an hingga 1970-an, eksistensi pers mahasiswa menempati posisi yang terhormat. Kejayaan pers mahasiswa berlanjut pada era bulan madu Orde Baru. Mahasiswa Indonesia dan Harian KAMI adalah sebagian contoh prasasti sejarah kejayaan tersebut.

Faktor sejarah menjadi penting ketika belum lama ini beberapa pengamat pers melontarkan kritikan yang tajam terhadap perkembangan pers mahasiswa. Sebagian besar pers mahasiswa saat ini ditengarai tengah mengembangkan apa yang disebut sebagai “jurnalisme caci maki”. Alasannya, pers mahasiswa selalu memajang judul-judul yang angker, keras, atau bombastis. Sementara, bila diukur dengan kaidah jurnalisme, isinya tidak berbobot.

Sejarah pers mahasiswa, seperti pernah disampaikan oleh Ahmad Zaini Abar dan Ashadi Siregar, masih relevan karena idealisme pers mahasiswa pada masa lampau relatif terjaga sampai generasi sekarang. Namun, kenyataan ini tidak diimbangi oleh kemampuan teknis di bidang jurnalisme.

Akhirnya, muncul semacam kesenjangan antara perangkat lunak dan perangkat keras. Perangkat lunak yang merupakan bagian dari manifestasi sejarah ini perlu mendapat perhatian. Sebab, jangan-jangan ada semacam “romantisme” sejarah di kalangan pegiat pers mahasiswa yang bersifat kontraproduktif. ****

Sejarah pers mahasiswa memang penuh warnawarni perjuangan. Perannya dalam proses nation building besar sekali. Diakui atau tidak, kini keadaannya telah jauh berbeda. Setelah Orde Baru menguat, perangkat negara mulai memisahkan mahasiswa, termasuk di dalamnya pers mahasiswa dari masyarakat. Pada pers umum dan pers mahasiswa, dikenakan Permenpen tahun 1975 dan NKK/BKK yang telah memberangus hak-hak politik mahasiswa.

Di lain pihak, pers umum sekarang telah berkembang pesat. Taraf pendidikan wartawan sudah jauh lebih tinggi. Dari sisi modal, hanya pengusaha kaya atau konglomerat yang mampu memperoleh Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Artinya, pers kini telah berkembang menjadi sebuah industri. Melihat kondisi objektif ini, pers mahasiswa tidak bisa lagi selalu membayangkan peran yang pernah diembannya di masa lalu. Diperlukan kearifan dalam memaknai sejarahnya, juga kebesaran jiwa untuk menghadapi kenyataan yang telah berubah. Pers mahasiswa harus mentransformasikan “inspirasi sejarahnya” dalam mengejawantahkan zamannya sendiri. Ide “pers alternatif” barangkali merupakan usaha melawan kejumudan pers mahasiswa. Ahmad Zaini Abar adalah salah satu dari banyak pemerhati yang pesimis dengan ide ini. Menurutnya, pers mahasiswa lebih dulu harus menyelesaikan persoalan teknis seperti menjaga rutinitas terbit dan konsistensi politik redaksionalnya. Pers mahasiswa harus jeli dalam mencari dan menggali ceruk yang masih tersisa, bukan malah mencoba bersaing dengan pers umum.

Di tengah kondisi semacam ini, kemunculan Institut Studi Arus Informasi yang telah ikut berupaya membantu meningkatkan kemampuan teknis pengelola pers mahasiswa patut kita terima dengan tangan terbuka. Sepanjang tidak mengikat secara institusional, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia sebagai wadah komunikasi antarpers mahasiswa di Indonesia juga makin dibutuhkan kehadirannya secara nyata.

Di balik kejumudan ini, saat pers mahasiswa ditinggalkan pembaca dan kehilangan orientasinya, siapa tahu hal ini bisa menjadi bahan bakar bagi “era baru” pers mahasiswa Indonesia pada penghujung rezim Orde Baru yang makin uzur ini.

Asip Agus Hasani

Kepala Penelitian dan Pengembangan Majalah Mahasiswa BALAIRUNG, 1996—1997.

This article is from: