ISSN 1829-8079
INOVASI JURNAL POLITIK DAN KEBIJAKAN
Vol. 9 No. 4, Desember 2012
Pengar uh Kepemimpinan Tr ansfor masional Ter hadap Budaya Or ganisasi Dan Kiner ja Pegawai Neger i Sipil (Studi Kasus: Pemer intah Daer ah Kabupaten Nias Selatan) (Sorni Paskah Daeli) Analisis Kemampuan Satuan Ker ja Per angkat Daer ah Dalam Pener apan Sistem Keuangan Yang Akuntabel (M Ikhsan, Porman Juanda Mar pomari Mahulae) Analisis Modal Sosial Dalam Pengembangan Usaha Hutan Rakyat (Eva Fauziyah, San Afri Awang) Pendekatan Sistem Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Ber sama Pondok Pesantr en (Sanudin dan Eva Fauziyah) Pengar uh Pember ian Mie Instan For tifikasi Pada Ibu Menyusui Ter hadap Kadar Zink Dan Besi ASI (Evawany Aritonang) Hubungan Faktor Pendukung Dan Faktor Penguat Peker jaan Seks Komer sil Dengan Pemanfaatan Pelayanan Klinik VCT Di Lokasi Bandar Bar u, Deli Ser dang (Darwita Juniwati Barus) Kebijakan Strategis Potensi UKM Ber basis Ekonomi Kr eatif Di Sumater a Utar a (Nobrya Husni) Pengembangan Industr i Batik Sumater a Utar a (Frida Ramadini, Raina Linda Sari)
Diterbitkan oleh :
Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Inovasi
Vol. 9
No. 4
Medan Hal. ISSN 230-306 Desember 2012 1829 - 8079
Terakreditasi sebagai Majalah Berkala Ilmiah dengan Nomor Akreditasi: 334/AU1/P2MBI/04/2011
Volume 10, Nomor 1
Maret 2013
ISSN 1829-8079
Jurnal INOVASI adalah jurnal ilmiah bidang ilmu politik dan kebijakan yang terakreditasi dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor : 377/E/2013 tanggal 16 April 2013 Jurnal INOVASI sebagai media litbang Provinsi Sumatera Utara memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik yang terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.
Penasehat Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi Dewan Redaksi
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA (Kebijakan Publik, Universitas Sumatera Utara) Prof. Dr. Badaruddin, M.Si (Sosial dan Politik, Universitas Sumatera Utara) Prof. Dr. Ir. Nurhayati, MP (Pertanian, Universitas Islam Sumatera Utara) Prof. Dr. H. Syaiful Sagala, S.Sos, M.Pd (Pendidikan, Universitas Negeri Medan) Dr. Ir. Zahari Zein, M.Sc (Kesejahteraan Sosial, Universitas Sumatera Utara) Ir. E. Harso Kardhinata, M.Sc (Ekonomi Pertanian, Universitas Medan Area) Iskandar Muda, SE, M.Si., Ak (Ekonomi, Universitas Sumatera Utara) Fotarisman Zaluchu, SKM, MSi, MPH (Kesehatan, BPP Provinsi Sumut)
Redaksi Pelaksana
Drs. Darwin Lubis, MM Nobrya Husni, ST Silvia Darina, SP
Tata Usaha dan Sirkulasi
Jonni Sitorus, ST, M.Pd Dumora Jenny Margaretha Siagian, ST Porman Juanda Marpomari Mahulae, ST Anton Parlindungan Sinaga, ST
Mitra Bestari Volume 9, Nomor 4, Desember 2012 Azizul Kholis (Ekonomi dan Pembangunan, Universitas Negeri Medan) Ida Yustina (Kesehatan, Universitas Sumatera Utara) Ritha F Dalimunthe (Usaha Kecil dan Ekonomi Kerakyatan, Universitas Sumatera Utara) Zulkifli Nasution (Pertanian, Universitas Sumatera Utara)
Alamat Penerbit : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016 - Fax. (061) 7866248 Website : http://balitbang.sumutprov.go.id Email : inovasibpp@gmail.com
PENGANTAR REDAKSI Pembaca yang terhormat, Jurnal Inovasi Edisi terakhir di tahun 2012 kembali hadir menjumpai anda sekalian. Edisi ini kami mengangkat seluruh artikel dari hasil penelitian. Pada bagian awal kami menyajikan bahasan mengenai otonomi daerah, kemudian disusul oleh artikel mengenai pengembangan kemandirian kehutanan. Tidak lupa kami menyertakan dua artikel dalam bidang kesehatan, sebelum kemudian ditutup dengan artikel mengenai pengembangan ekonomi lokal. Untuk perbaikan, maka kami melakukan beberapa pembenahan agar Inovasi semakin lebih baik dan sesuai dengan panduan mutu jurnal terakreditasi. Mulai edisi ini, kami menyesuaikan diri dengan Pedoman Karya Tulis Ilmiah yang dikeluarkan oleh Kepala LIPI melalui Peraturan Kepala LIPI Nomor 04/E/ 2012 perihal Pedoman Kerya Tulis Ilmiah. Untuk kedepannya kami berharap para penulis dapat memperhatikan pedoman tersebut dan perubahan yang kami sajikan dalam Panduan Penulisan. Harapan kami, seluruh pembaca akan dapat menggali manfaat dari informasi dan pengetahuan baru dari tulisan yang disajikan pada volume ke-9 nomor 4 ini. Terima kasih dan selamat membaca. -Dewan Redaksi-
Ucapan Terima Kasih Pada Volume 9 ini, Redaksi mendapatkan masukan yang sangat berharga dari Mitra Bestari. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Mitra Bestari yang telah terlibat di dalam seleksi dan review pada naskah yang masuk. Mitra Bestari Volume 9: Azizul Kholis (Ekonomi dan Pembangunan, Universitas Negeri Medan) Djanius Djamin (Pendidikan dan Hukum, Universitas Negeri Medan) Ida Yustina (Kesehatan, Universitas Sumatera Utara) Gunarto (Permasalahan Sosial, B2P3KS Jogjakarta) Ritha F Dalimunthe (Usaha Kecil dan Ekonomi Kerakyatan, Universitas Sumatera Utara) Sabam Malau (Teknik Sipil, Universitas HKBP Nomensen) Suharta (Pendidikan, Universitas Negeri Medan) Zulkifli Nasution (Pertanian, Universitas Sumatera Utara)
Volume 9, Nomor 4
Desember 2012
ISSN 1829-8079
bebas.. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/dicopy Kata kunci yang ddiicantumkan adalah istilah bebas tanpa ijin dan biaya. Sorni Paskah Daeli Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Budaya Organisasi Dan Kinerja Pegawai Negeri Sipil (Studi Kasus: Pemerintah Daerah Kabupaten Nias Selatan) Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 9, Nomor 4, hal 230239 Gaya kepemimpinan dipandang sebagai salah satu prediktor penting yang mempengaruhi kinerja pegawai. Kesuksesan organisasi, khususnya pemerintah daerah dalam mencapai tujuan dan sasarannya tergantung pada pemimpin dan gaya kepemimpinannya. Disamping itu, kemampuan pemimpin dalam menggerakkan dan memberdayakan pegawai akan mempengaruhi kinerja pegawai. Perilaku pemimpin memiliki dampak signifikan terhadap sikap, perilaku dan kinerja pegawai. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kinerja pegawai melalui budaya organisasi pada organisasi pemerintahan daerah. Lokasi penelitian adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Nias Selatan. Penelitian ini menggunakan teknik analisis Structural Equation Model (SEM), dengan responden sebanyak 139 orang yang penarikan sampelnya menggunakan Simple Random Sampling. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai, kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan terhadap budaya organisasi, budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai, dan kepemimpinan transformasional melalui budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai. Direkomendasikan bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan, Bupati Nias Selatan perlu mengoptimalkan dan memberikan inspirasi kepada para pegawai, agar diperoleh kinerja yang optimal dan berkualitas, yang pada gilirannya akan meningkatkan kinerja pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan. Selain itu, Bupati diharapkan dapat meningkatkan kinerja melalui survei kepemimpinan ideal kepada para stafnya sehingga didapatkan persepsi para staf. Bupati juga dapat melakukan pengukuran kinerja dalam waktu yang berbeda-beda. Kata kunci: Pemerintah daerah, kepemimpinan, kinerja pegawai M Ikhsan, Porman Juanda Marpomari Mahulae Analisis Kemampuan Satuan Kerja Perangkat Daerah Dalam Penerapan Sistem Keuangan Yang Akuntabel Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 9, Nomor 4, hal 240248 Akuntabilitas adalah suatu perwujudan dari kewajiban pada level manajerial untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan pelaksanaan organisasi dalam mencapai tujuan-
tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui alat pertanggungjawaban secara periodik. Akuntabilitas kinerja pada hakekatnya merupakan sinergi dari akuntabilitas manajerial, akuntabilitas kegiatan dan program yang saling mendukung dan saling terkait satu sama lain. Akuntabilitas manajerial menitikberatkan pada efisiensi dan kehematan dalam penggunaan harta kekayaan, sumber daya manusia dan sumber-sumber daya lainnya. Akuntabilitas ini mempersyaratkan agar pegawai dan pejabat tidak hanya menjawab yang berkaitan dengan peraturan yang ada, akan tetapi juga untuk menetapkan suatu proses yang berkelanjutan seperti perencanaan dan penganggaran, sehingga memungkinkan penyelenggaraan pelayanan terbaik. Kajian ini diarahkan untuk mengetahui kemampuan bagian keuangan diseluruh SKPD Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara dalam menerapkan sistem keuangan yang akuntabel dengan mengukur : Pengaruh kemampuan akutansi (X1) ; Pengaruh komitmen (X2); Pengaruh sistem informasi teknologi (X3); Pengaruh struktur organisasi(X4); Pengaruh Budaya Kerja(X5) dan Pengaruh Transparansi (X6) terhadap kemampuan SKPD dalam penerapan sistem keuangan yang akuntabel (Y). Dengan menggunakan teknik analisis Structural Equation Model (SEM) disimpulkan bahwa kemampuan SKPD di Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara dalam penerapan Sistem Keuangan yang Akuntabel dibentuk oleh empat dimensi yaitu Komitmen (X2), Struktur Organisasi (X4), Budaya Kerja (X5) dan Transparansi (X6). Sementara dimensi atau variable Kemampuan akuntansi dan sistem informasi tidak berpengaruh. Direkomendasikan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk melakukan beberapa perubahan, diantaranya membuat formasi baru pada penerimaan pegawai negeri baru dengan menambah kebutuhan pegawai yang memiliki latar belakang sarjana akuntansi. Disamping itu Pemerintah Provinsi Sumatera Utara perlu mengirimkan pegawai-pegawai bagian keuangan untuk magang di daerahdaerah yang telah memiliki nilai Laporan Keuangan Daerah (LKD) Provinsi, Kabupaten / Kota dengan opini wajar tanpa pengecualian (WDP) yang diperoleh dari Badan Pemeriksa Keuangan Kata Kunci: Sistem, Keuangan, Akuntabel Eva Fauziyah, San Afri Awang Analisis Modal Sosial Dalam Pengembangan Usaha Hutan Rakyat Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 9, Nomor 4, hal 249260 Permasalahan utama dalam pengembangan usaha hutan rakyat saat ini adalah keterbatasan modal dan akses yang dimiliki petani. Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk pengembangan hutan rakyat adalah melalui pendanaan (pemberian kredit usaha hutan rakyat). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi modal sosial dalam pengembangan usaha hutan rakyat dan
kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi dan kondisi hutan rakyat. Penelitian ini dilakukan di Desa Sirnabaya Kecamatan Rajadesa dan Desa Sidamulih Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Unit analisis dalam penelitian ini adalah petani hutan rakyat sebanyak 30 responden setiap desa yang dipilih secara acak. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara menggunakan instrumen Social Capital Assessment Tool (SOCAT). Data yang terkait modal sosial diolah menggunakan program SPSS versi 12.0 for Windows dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecukupan modal sosial di Desa Sidamulih lebih baik dibandingkan dengan kondisi modal sosial di Desa Sirnabaya, dengan skor masing-masing 60,96 yang berarti sedang dan 54,63 yang berarti rendah. Kondisi modal sosial ini terlihat berbanding lurus dengan kondisi sosial ekonomi dan kondisi hutan rakyatnya. Masyarakat yang kondisi modal sosialnya baik maka kondisi sosial ekonomi dan kondisi hutan rakyatnya juga baik dan sebaliknya pada masyarakat yang kondisi modal sosialnya rendah memiliki kondisi sosial ekonomi dan kondisi hutan rakyatnya yang kurang baik. Oleh karena itu pelaksanaan program-program pemerintah termasuk dalam pengembangan usaha hutan rakyat, hendaknya tidak mengabaikan dan mematikan potensi modal sosial yang ada dalam masyarakat, karena potensi modal sosial masyarakat merupakan kekuatan lokal yang dapat diandalkan untuk memperbaiki kehidupannya. Kata kunci: hutan rakyat, modal sosial, petani, kondisi sosial ekonomi Sanudin dan Eva Fauziyah Pendekatan Sistem Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Bersama Pondok Pesantren Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 9, Nomor 4, hal 261271 Dalam rangka mengembangkan hutan rakyat, Departemen Kehutanan telah meluncurkan berbagai program kerjasama atau kemitraan dengan beragam lembaga baik lembaga formal maupun non formal, salah satunya adalah Pondok Pesantren (Pontren). Terdapat beberapa pola kerjasama yang didalamnya melibatkan pontren, namun peranan pontren dalam pola-pola kerjasama dengan pemerintah, swasta maupun petani/masyarakat belum maksimal. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) membangun model pengelolaan hutan rakyat bersama pontren berdasarkan pendekatan sistem dan 2) mensimulasikan berbagai skenario pengelolaan hutan rakyat bersama pontren untuk memperoleh alternatif kerjasama pengelolaan hutan rakyat bersama pontren. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya pada Bulan Maret sampai September 2009. Metode yang digunakan adalah metode wawancara dengan menggunakan kuesioner yang dipersiapkan terlebih dahulu. Data yang dikumpulkan dari hasil wawancara tersebut diolah dengan menggunakan software Stella 8.0.2, kemudian dianalisis secara deskriptif. Dalam membangun suatu model diperlukan 5 (lima) tahap yaitu identifikasi isu, tujuan dan batasan, konseptualisasi model, spesifikasi model, evaluasi model dan penggunaan model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model sistem yang dibangun menjelaskan dinamika pengembangan hutan rakyat bersama pontren yang melibatkan pemerintah, swasta, pontren, dan masyarakat berdasarkan parameter kondisi sosial ekonomi, jenis insentif berupa bantuan dan penyuluhan, kondisi modal sosial, tingkat partisipasi masyarakat dan kondisi tanaman/tegakan, dengan asumsi partisipasi masyarakat berbanding lurus dengan kondisi tegakan. Skenario dengan peningkatan insentif bantuan maupun penyuluhan sebesar 50% sudah dapat meningkatkan partisipasi petani sehingga akan meningkatkan kualitas tegakan. Kata kunci: hutan rakyat, kerjasama, pondok pesantren, model, skenario
Evawany Aritonang Pengaruh Pemberian Mie Instan Fortifikasi Pada Ibu Menyusui Terhadap Kadar Zink Dan Besi ASI Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 9, Nomor 4, hal 272278 Masalah defisiensi zink dan besi yang banyak dialami oleh ibu menyusui dan bayi. Keadaan ini merupakan masalah kesehatan masyarakat di banyak negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan, prevalensi masalah ini di Indonesia masih cukup tinggi. Sampai saat ini, defisiensi zink dan besi pada ibu menyusui masih tinggi di Indonesia dan belum ada program perbaikan gizi secara khusus. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh mie instan fortifikasi terhadap kadar zink dan besi ASI. Disain penelitian adalah doble blind randomized control trial dengan 60 sampel terdiri dari 30 ibu menyusui sebagai kelompok perlakuan (mendapat mie instan yang difortifikasi zink, besi, kalsium, iodium, selenium, folat, vitamin A, D, E, B6 dan B12 yang didisain WFP dan diproduksi PT Indofood) dan 30 ibu menyusui sebagai kelompok kontrol (mendapat mie instan tanpa fortifikasi). Intervensi dilakukan 4 bulan. Analisis kadar zink dan besi ASI dilakukan dengan metode AAS (Atomic Absorption Spectrofotometer) sebelum dan setelah intervensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kadar zink ASI pada kelompok kontrol 2,09 ± 3,24 µg/L dan kelompok perlakuan 1,62 ± 2,87 µg/L. Peningkatan kadar besi ASI pada kelompok perlakuan 2,81 ± 4,39 µg/L dan kelompok kontrol 0,75 ± 7,19 µg/L. Kadar zink ASI secara nyata dipengaruhi oleh konsumsi protein. Sedangkan kadar besi ASI secara nyata dipengaruhi oleh konsumsi mie instan fortifikasi dan kadar feritin darah ibu (p<0,05). Disarankan dilakukannya upaya perbaikan masalah gizi ini secara holistik, dimana perbaikan konsumsi gizi mikro ibu dan anak sebaiknya tidak hanya mengandalkan peningkatan atau pengayaan zat gizi secara tunggal. Selain itu, kecenderungan zink dan besi dalam menurunkan morbiditas ibu dan bayi perlu kiranya dikaji lebih lanjut dalam penelitian epidemiologi masyarakat terhadap penyakit-penyakit spesifik seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), diare, batuk, dan lain-lain guna membuktikan peran zink dan besi dalam durasi dan beratnya penyakit. Kata Kunci : Mie Instan, Fortifikasi, Kadar Zink Dan Besi ASI, Ibu Menyusui Darwita Juniwati Barus Hubungan Faktor Pendukung Dan Faktor Penguat Pekerjaan Seks Komersil Dengan Pemanfaatan Pelayanan Klinik VCT Di Lokasi Bandar Baru, Deli Serdang Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 9, Nomor 4, hal 279286 Tercatat hingga Desember 2010 tercatat sebanyak 24.131 yang terinfeksi HIV dan 17.998 yang positif AIDS di Indonesia. Untuk mencapai target pengendalian penyebaran dan penurunan angka prevalensi penyakit HIV/AIDS hingga tahun 2015 menjadi 0,2 %, dilaksanakan kegiatan antara lain mengembangkan infrastruktur pelayanan kesehatan, pelayanan konseling dan testing secara sukarela melalui Voluntary Conselling Testing (VCT). Masyarakat dan khususnya kelompok resiko tinggi terkena HIV/AIDS yang berada diwilayah kerja Puskesmas tersebut kurang mengetahui keberadaan dan manfaat dari klinik VCT yang sudah lama berdiri, ini terlihat dari data pada tahun 2010 dengan jumlah kunjungan saja. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan faktor pendukung (predisposing) dan faktor penguat (Reinforcing) dengan pemanfaatan klinik VCT (Voluntary Conselling and Testing) di wilayah kerja Puskesmas Wisata Bandar Baru Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Sampel adalah seluruh PSK yang berjumlah 84 orang.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara total sampling. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Square dan uji Regresi Logistik. Distribusi frekuensi PSK tertinggi pada usia produktif 57,1%, tingkat pendidikan SMP 59,5%, masa kerja sebagai PSK > 6 bulan 65,5%, pendapatan > Rp 2 juta/ bulan 84,5%, pengetahuan yang buruk tentang penyakit HIV/AIDS 57,1%, pengetahuan yang baik tentang faktor resiko 65,5%, pengetahuan buruk tentang pelayanan klinik VCT 70,2%, sikap negatif 60,7%, dukungan buruk dari teman seprofesi 54,8%, dukungan buruk dari mucikari 61,9%, dukungan baik dari petugas kesehatan 58,3%, memanfaatkan klinik VCT 63,1%. Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang pelayanan klinik VCT, dukungan teman seprofesi, dukungan petugas kesehatan dengan pemanfaatan klinik VCT di Puskesmas Wisata Bandar Baru (Îą < 0,05). Dengan uji regresi logistik ditemukan yang sangat berhubungan adalah pengetahuan tentang klinik VCT (Exp B = 3,93). Diharapkan agar petugas kesehatan lebih meningkatkan upaya promotif maupun preventif memberikan penyuluhan/ sosialisasi, melaksanakan pemeriksaan secara berkala sehubungan dengan perilaku beresiko dari pekerja seks komersil. Kata Kunci: klinik VCT, PSK, pemanfaatan Nobrya Husni Kebijakan Strategis Potensi UKM Berbasis Ekonomi Kreatif Di Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 9, Nomor 4, hal 287297 Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dari perkembangan ekonomi di Sumatera Utara, dimana struktur perekonomian daerah pada dasarnya didominasi oleh Usaha Kecil dan Menengah. UKM menunjukkan tendensi peningkatan jumlah serta kontribusi. Karena itu sudah seharusnya UKM dikembangkan dalam sebuah model perencanaan pengembangan yang lebih terarah dan berciri khas. Sampai dengan saat ini, belum ada sebuah perencanaan yang strategis mengenai arah pengembangan UKM di Provinsi Sumatera Utara meski jumlah dan peran UKM semakin meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun arah pengembangan UKM berbasis ekonomi kreatif di Sumatera Utara, menyusun kerangka kerja pengembangan UKM kreatif di Sumatera Utara, serta menyusun sasaran, strategi, rencana program dan kegiatan pengembangan kebijakan strategis UKM berbasis ekonomi kreatif di Sumatera Utara. Penelitian dilakukan dengan pendekatan deskriptif dengan menggunakan data primer dan sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pengembangan UKM berbasis ekonomi kreatif, pemerintah berperan sebagai dan sebagai katalisator dalam mempercepat perkembangan UKM berbasis ekonomi kreatif. Hal ini dapat diwujudkan dengan melakukan pengembangan ekonomi kreatif yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi, serta melalui kerjasama antar daerah. Selain itu, perlu dimaksimalkan peran dari cendekiawan, pelaku bisnis dan pemerintah. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara direkomendasikan untuk mengembangkan UKM ini dengan memberikan kesempatan dan partisipasi yang lebih luas melalui iklim usaha yang kondusif. Kata kunci: Ekonomi kreatif, pemerintah, UKM Frida Ramadini, Raina Linda Sari Pengembangan Industri Batik Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 9, Nomor 4, hal 298306 Usaha Kecil dan Menengah (UKM) memegang peranan penting dalam pembangunan dan perekonomian nasional. Sektor UKM di negara berkembang menjadi salah satu tumpuan tumbuhnya
perekonomian nasional. UKM di negara berkembang dapat memberikan solusi dalam mengatasi berbagai masalah ekonomi dan sosial seperti mengurangi pengangguran,pembatasan kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan, peluang dan tantangan pengembangan industri batik Sumatera Utara (batik Sumut). Dalam penelitian yang dilakukan digunakan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden atau informan pada lokasi penelitian. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi dokumen dengan mempelajari berbagai tulisan melalui buku,jurnal dan artikel untuk mendukung penelitian. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan pengamatan langsung (observation), wawancara mendalam (depth interview), daftar pertanyaan (questionnaire) dan studi dokumentasi pada responden yang dipilih secara purposif. Dalam menganalisis data penelitian digunakan metode analisis deskriptif. Informan penelitian ini adalah individu-individu yang berkaitan langsung dengan usaha batik yang terdiri dari pemilik usaha batik, yaitu sebanyak 5 orang. Hasil dari penelitian ini menunjukkan industri batik Sumut mengalami perkembangan yang cukup baik. Hambatan pengembangan industri batik Sumut adalah terletak pada permasalahan ketersediaan bahan baku, keterbatasan sumber daya manusia dan persaingan dengan batik Jawa. Pemberdayaan masyarakat lokal dan motif batik Sumut yang khas dan unik dapat dijadikan sebagai keunggulan produk untuk dapat merebut pasar yang lebih luas merupakan peluang yang bisa didapatkan dalam pengembangan industri batik Sumut. Batik Sumut berpotensi untuk dapat dikembangkan karena dapat melestarikan dan mengangkat budaya lokal dan menjadi alternatif pilihan batik nasional. Pengembangan dapat dilakukan dengan perbaikan dalam manajemen produksi dan manajemen pemasaran yang baik dan kerja sama dengan berbagai lembaga terkait secara lebih intensif. Kata kunci: Batik, Sumatera pemberdayaan masyarakat
Utara,
budaya
lokal,
Volume 9, Number 4
Desember 2012
ISSN 1829-8079
The discriptors given are keywords. The abstrack sheet may by reproduced/ copied without permission or charge Sorni Paskah Daeli Effect Of Transformational Leadershiporganizational Culture And Performance Of Civil Servants (Case Study: South Nias District Government) Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 9, No. 1, p. 230-239 Leadership style is an important predictor for staffs’ performance. Organization successes, especially local government to reach its goals and targets depend on the leader style and its leadership style. Besides, leadership ability of the leader to encourage staffs’ and improvement staffs’ ability influences staffs’ performance as well. Leader behavior has significant impact to the attitude, behavior and staffs’ performance. The purpose of this study was to determine the effect of transformational leadership on employee performance with organizational culture on organizational governance. The research location is South Nias District Government. This study used analytical techniques Structural Equation Model (SEM), with 139 respondents who recall sampled using Simple Random Sampling. The results of statistical analysis showed that transformational leadership had no significant effect on employee performance, transformational leadership significantly influence the organizational culture, organizational culture have a significant effect on employee performance and transformational leadership through organizational culture have a significant effect on employee performance. It is recommended that Bupati should optimize staffs’ performance and to give inspiration to them, to get maximum and the highest level of quality, for improving local government at South Nias District performance. Bupati may make survey about staff’s perception on his leadership style. Bupati also could make an regular assesment to measure staff’s performance. Keywords: Government, leadership, staff performance M Ikhsan, Porman Juanda Marpomari Mahulae Capability Analysis Of SKPD On The Implementation Of Accountable Financial System Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 9, No. 1, p. 240-248 Accountability is an embodiment of the obligation at managerial level to account for the successful implementation of the organization in achieving its goals and objectives that have been established, through periodical accountability system. Performance accountability is essential synergy of managerial accountability, accountability of activities and programs that support and cooperation each other. Managerial accountability focuses on efficiency and effectiveness in the use of assets, human resources and other resources. This accountability requires that employees and officials not only address the existing rules, but also to establish a continuous process such as planning and budgeting, in order to implement the best public service. This study aimed to determine the ability from every financial departement of North Sumatra Provincial Government SKPD in
implementing accountable financial systems by measuring: Effect of accounting skills (X1); influence commitment (X2); influence of information technology systems (X3); influence of organizational structure (X4) ; influence Work Culture (X5) and Transparency Effects (X6) to applicate accountable financial system (Y). Using Structural Equation Model (SEM) analysis techniques concluded that the ability of the North Sumatra Provincial Government financial departement in every SKPD to implementate the Accountable Financial System formed by four dimensions, that is Commitments (X2), Organizational Structure (X4), Work Culture (X5) and Transparency (X6). While the dimension or variable accounting and information systems ability has no effect. It is recommended to the Government of North Sumatra Province to make some changes, including making the new formation on the recruitment of new civil servants especially those who have an accounting degree background. Besides, the North Sumatra Provincial Government needs to send officials to the finance internships in local government that already have a Financial Statements (LKD) provincial, district / city with WDP mark obtained from the Supreme Audit Agency. Keywords: Systems, Finance, Accountable Eva Fauziyah, San Afri Awang The Analysis Of Social Capital In Development Of Privately Owned Forest Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 9, No. 1, p. 249-260 The main problem in business development of privately owned forest is capital and access limited by farmers. One needed effort to development of privately owned forest is through funding (credit of privately owned forest). The aims of this research were to get information about the conditions of social capital in privately owned forest development and the relations between social economy and privately owned forest condition. The research was conducted in Sirnabaya Village, Rajadesa SubDistrict and Sidamulih Village, Pamarican Sub-District, Ciamis Regency, West Java. The unit of analysis of this research was privately owned forest with 30 respondents every village who was selected by random method. Data were collected through interview technique using instruments Social Capital Assessment Tool (SOCAT). Data processed using SPSS version 12.0 for Windows and then analyzed descriptively. The result indicated that the sufficiency level social capital in Sidamulih Village was higher than the one in Sirnabaya Village having 60,96 (moderate) and 54,63 (low) in score respectively. The condition of social capital significantly related to the condition of socioeconomic of community and privately owned forest. If the condition of social capital of community were good, then the condition of socio-economic and privately owned forest were also good, otherwise if the condition of social capital is bad, then the condition of socio-economic and privately owned forest are also bad. Therefore the implementation of government programs, including development of privately owned forest, should not be ignor the potential of social capital in the community, because
the potential of social capital in the community is a local power that can be relied to improve their lives. Keywords: privately owned forest, social capital, farmer, socioeconomic condition Sanudin dan Eva Fauziyah System Approach In Privately Owned Forest Management With Pesantren Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 9, No. 1, p. 261-271 In order to development privately owned forest, the Ministry of Forestry has launched various programs, coorporated with either institutions both formal and non-formal, one of which is a religious boarding school (Pesantren). There are several patterns of privately owned forest management cooperation with Pesantren namely government, private sector and farmer/community, but Pesantren role is not maximized. The research objectives are: 1) to develop model privately owned forest management with Pesantren based system approach and 2) to simulate scenario of privately owned forest management with Pesantren to obtain alternative privately owned forest management with Pesantren. The research was conducted in March to September 2009 in Garut and Tasikmalaya Regency, West Java. This research was conducted with an interview and processed using Stella 8.0.2 software. In building a model was required 5 (five) stages: identification of issues, objectives and constraints, model conceptualization, model specification, model evaluation and the use of models. The results showed that the model which built can describe privately owned forest management with Pesantren dynamic based on socio-economic parameters, incentives type, assistance and counseling, social capital, and farmer participation. Scenario with increased incentives and counseling by 50% is to increase farmer participation, so will improve the quality of stand. Keywords: private forest, cooperation, a religious boarding school (Pesantren), model, scenario. Evawany Aritonang The Influence Of Instant Noodle Fortified For Lactating Mother On The Concentration Of Zinc And Iron Milk Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 9, No. 1, p. 272-278 Zinc and iron deficiencies are widely experienced by breastfeeding mothers and babies. This condition is a public health problem in many developing countries including Indonesia. The prevalence of this problem in Indonesia is assumed still high. Currently, the pprevalence of zinc and iron deficiency in lactating mother is still high in Indonesia and there is no adequate program to solve this problem. The objective of this study is to analyze the effect of fortified instant noodle in lactating mother on milk zinc and milk iron concentration. The nutrients in fortified instant noodle are zinc, iron calcium, iodium, vitamin A, D, E, B6, and B12. Design of study is double blind randomized controlled trial for 30 lactating mother (LM) as an intervention group and 30 LM as a control group. The instant noodle had given during 16 weeks. Milk zinc and milk iron concentration analyzed using AAS method (Atomic Absorption Spectrofotometer) at pre and post intervention. The result showed that changes of milk zinc concentration in intervention group was 1,62 ± 2,87 µg/L and in control group was 2,09 ± 3,24 µg/L. The changes of milk iron consentration in intervention group was 2,81 ± 4,39 µg/L and in control group was is 0,75 ± 7,19 µg/L. Milk zinc concentration was influenced significantly by fortified instant noodle and serum feritin level. It is suggested to improve efforts to overcome this nutritional problem holistically, where improved micronutrient intake of mothers and children should not only rely on single nutrient increasing or enrichment. In addition, the tendency of zinc and iron in reducing maternal and infant morbidity is needed to be studied further in the epidemiological studies area on specific
diseases such as upper respiratory infections, diarrhea, cough, and other diseases in order to prove the role of zinc and iron into the duration and severity of the disease. Keywords: instant noodle, fortified, milk zinc and milk iron concentration, lactating mother Darwita Juniwati Barus The Relationship Between The Predisposing And Reinforcing Factors Of Commercial Sex Working Area Of Bandar Baru Sibolangit, Deli Serdang Inovasi, Journal of Politics and Policy, Vol 9, No. 1, p. 279-286 HIV/AIDS is a dangerous sexual contagious disease for human being and can cause death to the sufferer and up to now there is no medicine that can cure it. Up to December 2010, in Indonesia, it is recorded that there were 24,131 persons who were infected by HIV and 17,998 who were positively suffering from AIDS. The purpose of this study with cross-sectional approach was to analyze the relationship between predisposing and reinforcing factors and the utilization of VCT (Voluntary Counseling and Testing) clinic service in the working area of Puskesmas Wisata Bandar Baru, Sibolangit Subdistrict, Deli Serdang District. The samples for this study were 84 commercial sex workers. The data obtained were analyzed through Chi-square and Logistic Regression tests. The highest commercial sex worker frequency distribution was at the age of 20-35 years (57,1%), Senior High School (59,5%), working as commercial sex worker for >6months (64,3%), income > Rp. 2 million/month (84,5%), having poor knowledge on HIV/AIDS (57,1%), of them had good knowledge on risk factor (65,5%), having poor knowledge on VCT clinic service (70,2%), having negative attitude (60,7%), having poor support from co-workers (54,8%), having poor support from the pimp (61,9%), having good support from health workers (58,3%), utilizing VCT clinic (63,1%). There was a significant relationship between knowledge on VCT clinic service, support from co-workers, support from health workers and the utilization of VCT clinic (α < 0,05). The result of logistic regression test showed that support from knowledge on VCT clinic service is the most influencing factor (Exp β = 3,939). The health workers are expected to increase their promotive or preventive attemps in providing extension/socialization, to periodecally do the examination in relation to the risk behavior of the commercial sex workers. Keywords : VCT Clinic, Commercial Sex Worker, Utilization Nobrya Husni Strategic Policy Of Potential Smes Based On Creative Economy In North Sumatra Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 9, Nomor 4, hal 287-297 Small and Medium Enterprises (SMEs) are an important part of economic development in North Sumatra, where the structure of the regional economy is basically dominated by Small and Medium Enterprises. SMEs’ tend to increase in number and its contribution. Therefore, SMEs’ should be developed in to a strategic planning consist of its focus and specification. Currently, there is no strategic planning of SMEs’ in North Sumatra Province although the number and its functions are increasing. This study aimed to develop towards the development of SMEs based creative economy in North Sumatra, preparing creative framework for SME development in North Sumatra, and to develop goals, strategies, plans and programs of strategic policy development activities of SMEs based creative economy in North Sumatra. The study was conducted with a descriptive approach using primary and secondary data. The results showed that the development of SMEs based creative economy, and the government has a role as a catalyst in accelerating the development of SMEs based creative economy. This is achieved by developing the creative economy based on science and technology, and through the Inter-Regional Cooperation. Besides,
it is important to maximize the role of intellectual groups, businessman and government. It is recommended for North Sumatra Government to develop SMEs’ by giving bigger opportunity and wider participation trough appropriate climate for business. Keywords: creative economy, government, SME Frida Ramadini, Raina Linda Sari North Sumatra Batik Industry Development Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan Vol 9, Nomor 4, hal 298-306 Small and Medium Entrepreneurs (SME’s) plays an important role in development of national economic. SME’s in developing countries is a essential for national economic growth. SME’s give way out for solving economic and social problems like jobless, poverty and equity issues. The objective of this research is to identify the constraints, opportunities and challenges on the development of Batik Industry in North Sumatera. In this research, primary and secondary data were used. Primary data was directly asses from informant. Secondary data sources are book, journal and articles to support this research. Data collection techniques were observation, in-depth interview and questionnaire and documentation from selected informants. Data analyzed by using descriptive techniques. Informants were the owners of batik industries in total 5 persons. The result showed that the Batik Industries in North Sumatera need a lot of efforts in improving the manageria of business. Constraints founded in this research were the scarcity of materials, un-skilled human resources, and competition with Java Batik. The specialty and the uniqueness of local design also the empowerment of local community are the opportunities to be developed because it can lead to preservation and promotion of local culture. It also can be an alternative of the various batik nationally. The development can be conducted through the improvement of production and marketing management which is intregrated with various related institutions intensively. Keywords : Batik, North Sumatera, local culture, community empowerment
Volume 9, Nomor 4
Desember 2012
ISSN 1829-8079
DAFTAR ISI Halaman Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Budaya Organisasi Dan Kinerja Pegawai Negeri Sipil (Studi Kasus: Pemerintah Daerah Kabupaten Nias Selatan)
(Sorni Paskah Daeli)
230-239
Analisis Kemampuan Satuan Kerja Perangkat Daerah Dalam Penerapan Sistem Keuangan Yang Akuntabel
(M Ikhsan, Porman Juanda Marpomari Mahulae)
240-248
Analisis Modal Sosial Dalam Pengembangan Usaha Hutan Rakyat
(Eva Fauziyah, San Afri Awang)
249-260
Pendekatan Sistem Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Bersama Pondok Pesantren
(Sanudin dan Eva Fauziyah)
261-271
Pengaruh Pemberian Mie Instan Fortifikasi Pada Ibu Menyusui Terhadap Kadar Zink Dan Besi ASI
(Evawany Aritonang)
272-278
Hubungan Faktor Pendukung Dan Faktor Penguat Pekerjaan Seks Komersil Dengan Pemanfaatan Pelayanan Klinik VCT Di Lokasi Bandar Baru, Deli Serdang
(Darwita Juniwati Barus)
279-286
Kebijakan Strategis Potensi UKM Berbasis Ekonomi Kreatif Di Sumatera Utara
(Nobrya Husni)
287-297
Pengembangan Industri Batik Sumatera Utara
(Frida Ramadini, Raina Linda Sari)
298-306
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 230-239
Hasil Penelitian PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL TERHADAP BUDAYA ORGANISASI DAN KINERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL (STUDI KASUS: PEMERINTAH PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN NIAS SELATAN
(EFFECT OF TRANSFORMATIONAL LEADERSHIP ORGANIZATIONAL CULTURE AND PERFORMANCE OF CIVIL SERVANTS) SERVANTS) (CASE STUDY: SOUTH NIAS DISTRICT GOVERNMENT) Sorni Paskah Daeli Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jalan Kramat Raya No.132 Jakarta Pusat Email: sornipaskah@yahoo.com Diterima: 20 Juli 2012; Direvisi: 11 Oktober 2012; Disetujui: 15 November 2012
ABSTRAK Gaya kepemimpinan dipandang sebagai salah satu prediktor penting yang mempengaruhi kinerja pegawai. Kesuksesan organisasi, khususnya pemerintah daerah dalam mencapai tujuan dan sasarannya tergantung pada pemimpin dan gaya kepemimpinannya. Disamping itu, kemampuan pemimpin dalam menggerakkan dan memberdayakan pegawai akan mempengaruhi kinerja pegawai. Perilaku pemimpin memiliki dampak signifikan terhadap sikap, perilaku dan kinerja pegawai. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kinerja pegawai melalui budaya organisasi pada organisasi pemerintahan daerah. Lokasi penelitian adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Nias Selatan. Penelitian ini menggunakan teknik analisis Structural Equation Model (SEM), dengan responden sebanyak 139 orang yang penarikan sampelnya menggunakan Simple Random Sampling. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai, kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan terhadap budaya organisasi, budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai, dan kepemimpinan transformasional melalui budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai. Direkomendasikan bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan, Bupati Nias Selatan perlu mengoptimalkan dan memberikan inspirasi kepada para pegawai, agar diperoleh kinerja yang optimal dan berkualitas, yang pada gilirannya akan meningkatkan kinerja pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan. Selain itu, Bupati diharapkan dapat meningkatkan kinerja melalui survei kepemimpinan ideal kepada para stafnya sehingga didapatkan persepsi para staf. Bupati juga dapat melakukan pengukuran kinerja dalam waktu yang berbeda-beda. Kata kunci: Pemerintah daerah, kepemimpinan, kinerja pegawai.
ABSTRACT Leadership style is an important predictor for staffs’ performance. Organization successes, especially local government to reach its goals and targets depend on the leader style and its leadership style. Besides, leadership ability of the leader to encourage staffs’ and improvement staffs’ ability influences staffs’ performance as well. Leader behavior has significant impact to the attitude, behavior and staffs’ performance. The purpose of this study was to determine the effect of transformational leadership on employee performance with organizational culture on organizational governance. The research location is South Nias District Government. This study used analytical techniques Structural Equation Model (SEM), with 139 respondents who recall sampled using Simple Random Sampling. The results of statistical analysis showed that transformational leadership had no significant effect on employee performance, transformational
230
Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Budaya Organisasi dan Kinerja Pegawai Negeri Sipil (Studi Kasus: Pemerintah Daerah Kabupaten Nias Selatan) (Sorni Paskah Daeli) leadership significantly influence the organizational culture, organizational culture have a significant effect on employee performance and transformational leadership through organizational culture have a significant effect on employee performance. It is recommended that Bupati should optimize staffsâ&#x20AC;&#x2122; performance and to give inspiration to them, to get maximum and the highest level of quality, for improving local government at South Nias District performance. Bupati may make survey about staffâ&#x20AC;&#x2122;s perception on his leadership style. Bupati also could make an regular assesment to measure staffâ&#x20AC;&#x2122;s performance. Keywords: Government, leadership, staff performance
peningkatan dengan adanya transformasi di segala bidang pembangunan, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja pegawai, khususnya kepemimpinan transformasional, terhadap budaya organisasi dan kinerja pegawai yang pada akhirnya akan berdampak pada kinerja pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan.
PENDAHULUAN Otonomi daerah sebagai wujud azas desentralisasi yang saat ini dianut, memberikan kewenangan penuh kepada daerah untuk mengelola dan membangun daerahnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Daerah sebagai ujung tombak pembangunan nasional, memegang peranan penting dan strategis, yaitu sebagai katalisator pembangunan nasional yang dapat berfungsi sebagai pelayan terdekat terhadap masyarakat di daerah. Dalam melaksanakan fungsi pelayanan tersebut, pemerintah daerah sebagai sebuah organisasi harus mampu membangun kredibilitas dan kinerjanya agar sesuai dengan harapan masyarakat. Hal tersebut ditentukan oleh kinerja pegawai dalam melaksanakan tugas, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam mencapai tujuan otonomi daerah. Selain pelaksanaan tugas dan pekerjaannya, kinerja pegawai juga ditentukan oleh antara lain faktor kepemimpinan dan budaya organisasi yang berlaku dan berjalan selama ini di lingkungan pemerintah daerah. Gaya kepemimpinan dipandang sebagai salah satu prediktor penting yang mempengaruhi kinerja pegawai. Kesuksesan organisasi, khususnya pemerintah daerah dalam mencapai tujuan dan sasarannya tergantung pada pemimpin dan gaya kepemimpinannya. Disamping itu, kemampuan pemimpin dalam menggerakkan dan memberdayakan pegawai akan mempengaruhi kinerja pegawai. Perilaku pemimpin memiliki dampak signifikan terhadap sikap, perilaku dan kinerja pegawai. Sebagai sebuah organisasi, pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan yang merupakan salah satu daerah otonomi baru dan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2003 dihadapkan pada situasi kompetisi dan persaingan global yang tinggi serta senantiasa menghadapi lingkungan yang selalu berubah. Menghadapi situasi itu, pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan harus senantiasa melakukan transformasi agar dapat menjadi daerah otonom yang mandiri dan berdaya saing tinggi. Melihat kondisi obyektif bahwa kinerja pegawai di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan, saat ini menunjukkan
METODE Kepemimpinan transformasional secara empirik maupun pustaka mendukung pencapaian kinerja pegawai secara optimal dan mempengaruhi berjalannya budaya didalam suatu organisasi pemerintah, khususnya di daerah. Selain itu, bahwa dalam kepemimpinan untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang profesional dengan integritas dan kinerja tinggi, diperlukan budaya organisasi yang secara sistematis menuntun para pegawai untuk meningkatkan komitmen dan kinerjanya. Untuk lebih jelasnya, kerangka konseptual tersebut dapat dilihat dalam Gambar 1. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang nyata tentang pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap budaya organisasi dan kinerja pegawai di pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan. Hal ini sangat dibutuhkan, karena kabupaten ini termasuk daerah otonomi baru hasil pemekaran, yang membutuhkan percepatan pembangunan, dan hal itu dimulai dari kondisi sumberdaya manusia aparatur. Tempat penelitian adalah lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan, pada periode waktu Juli sampai Agustus 2012. Berdasarkan hal tersebut, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H_1 Kepemimpinan Transformasional berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Pegawai pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan. H_2 Kepemimpinan Transformasional berpengaruh signifikan terhadap Budaya Organisasi. H_3 Budaya Organisasi berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Pegawai pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan.
231
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 230-239
Budaya Organisasi = X2 • Inovatif; • Birokrasi;
Kepemimpinan Transformasional = X1 • • • •
Pengaruh ideal/kharisma; Motivasi inspirasi; Rangsangan intelektual; Pertimbangan individu.
• Kompetitif; • Komunikasi.
Kinerja Pegawai = X3 • Hasil kerja; • Kemampuan; • Sikap.
Gambar 1. Kerangka konsep hubungan antar variabel
H_4
Kepemimpinan Transformasional melalui Budaya Organisasi berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Pegawai pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan.
dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Pakpak Bharat dan Humbang Hasundutan di Provinsi Sumatera Utara, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Nias dan Nias Barat; Sebelah Selatan berbatasan dengan Pulau-pulau Mentawai Provinsi Sumatera Barat; Sebelah Timur berbatasan dengan Pulau Mursala Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Mandailing Natal; Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia (Samudera Indonesia). Luas wilayah Kabupaten Nias Selatan adalah 1.825,20 km2 yang terdiri dari 104 buah gugusan pulau-pulau yang terletak di daerah khatulistiwa dan mempunyai curah hujan yang tinggi. Wilayah administrasi Kabupaten Nias Selatan, terdiri dari 18 kecamatan dengan 2 kelurahan dan 354 desa. Menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk 2010 penduduk Nias Selatan berjumlah 289.708 jiwa dengan 60.178 rumah tangga. Adapun jumlah PNS sebanyak 3989 orang dengan komposisi pendidikan, yakni lulusan SD 20, SLTP 35, SLTA 2965, dan PT 969. Sesuai dengan teknik pemilihan sampel, secara proporsional 200 kuesioner diedarkan kepada para pegawai di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan, namun jawaban responden yang kembali dan layak analisis sebanyak 139 sampel. Meskipun dalam kuesioner yangdiajukan melibatkan karakteristik responden seperti jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, jabatan dan masa kerja, tetapi dalam pembahasannya tidak dianalisis berdasarkan kelompok-kelompok tersebut. Hal ini dilakukan untuk memperoleh hasil yang tidak ekslusif dan bersifat universal, sehingga
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan pendekatan korelasional, dan pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada pegawai yang ada di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan. Teknik analisis yang digunakan adalah Structural Equation Modelling (SEM), yaitu untuk mengetahui pola hubungan antara variabel endogen dan eksogen. Dalam SEM, Solimun (2002) menyatakan bahwa ketepatan model dapat diperoleh dari hasil goodness of fit measurement model dengan bantuan software AMOS maupun Lisrell. Populasi target adalah seluruh PNS di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan. Adapun populasi terjangkau yang menjadi target penelitian adalah PNS di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan dengan syarat: pendidikan minimal SMU; golongan minimal II/a; dan lama kerja di atas 2 tahun. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan sampel acak sederhana (simple random sampling), karena populasi target homogen, yaitu PNS. Jumlah sampel menurut Solimun (2002) yang dipersyaratkan dalam SEM untuk penelitian adalah antara 100-200. Oleh karena itu, ditetapkan jumlah responden maksimal sebanyak 200, sehingga diharapkan dapat memperoleh hasil yang lebih baik (better fit). HASIL DAN PEMBAHASAN Kabupaten Nias Selatan dengan Ibukota Teluk dalam merupakan salah satu kabupaten
232
Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Budaya Organisasi dan Kinerja Pegawai Negeri Sipil (Studi Kasus: Pemerintah Daerah Kabupaten Nias Selatan) (Sorni Paskah Daeli)
dapat di generalisasi tanpa adanya pembatasan usia, gender dan sebagainya. Untuk memberikan gambaran umum mengenai hasil pengukuran tersebut, disajikan dalam Tabel 1. Tahap berikutnya adalah melakukan pengujian validitas dengan korelasi Person dan reliabilitas dengan Alpha Cronbach. Adapun ringkasan hasil pengujian disajikan pada Tabel 2 dan 3. Selanjutnya untuk menganalisis, mengevaluasi validitas dan kausalitas antar konstruk dari model ini digunakan software AMOS versi 16.00, yang kemudian menghasilkan indeks-indeks kesesuaian model (goodness of fit) yang disajikan pada Tabel 4. Tabel 5 menunjukkan ringkasan hasil yang diperoleh dalam analisis dan nilai yang direkomendasikan untuk mengukur kelayakan model. Seluruh kriteria telah mencapai batas nilai yang diharapkan, sehingga hasil permodelan ini dapat diterima. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pengujian ini menghasilkan konfirmasi yang baik atas konstruk serta hubungan kausalitas antar konstruk. Probabilita atau tingkat signifikansi melebihi 0,05 mengindikasikan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara matriks kovarians data dengan matriks kovarians yang diestimasi, sehingga model tersebut dapat diterima dan mengindikasikan model tersebut tidak berbeda seperti fakta di pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan. Dari hasil model analisis SEM untuk melihat konsep variabel endogen dan eksogen, maka model struktural yang diperoleh dari analisis tersebut adalah:
1) Budaya Organisasi=0.75 (Kepemimpinan Transformasional) 2) Kinerja Pegawai=0.12 (Kepemimpinan Transformasional) 3) Kinerja Pegawai=0.47 (Budaya Organisasi) 4) Kinerja Pegawai=0.75 (Kepemimpinan Transformasional) 5) Kinerja Pegawai=0.47 (Budaya Organisasi) Hasil analisis model struktural koefisien pembangun konstruk variabel oleh masingmasing indikator dijelaskan oleh koefisien masing-masing indikator seperti tersaji pada Tabel 5. Pengaruh masing-masing indikator kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan kinerja pegawai adalah kuat (standardizediest > 0,05). Bobot ini menjelaskan bahwa pengaruh kepemimpinan transformasional bersumber dari pengaruh perubahan indikatornya secara merata antara 0,742-0,832. Pengaruh budaya organisasi bersumber dari pengaruh perubahan indikatornya secara merata antara 0,647-0,744. Begitu pula pengaruh kinerja pegawai bersumber dari perubahan indikatornya secara merata antara 0,656-0,897. Dengan demikian, persamaan yang terbentuk untuk masingmasing konstruk variabel adalah: 1) Kepemimpinan Transformasional=0.751+ 0,832 + 0,763 + 0,742 2) Budaya Organisasi =0.691 + 0.647 + 0.702 + 0.744 3) Kinerja Pegawai=0.897 + 0.762 + 0.656 Tahap berikutnya adalah melakukan pengujian hipotesis nol untuk mengetahui hubungan kausalitas di antara variabel. Hasil pengujian hipotesis dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 1. Ringkasan deskripsi data Variabel KepemimpinanTransformasional: X_1.1 X_1.2 X_1.3 X_1.4 Budaya Organisasi: Y_1.1 Y_1.2 Y_1.3 Y_1.4 Kinerja Pegawai: Y_2.1 Y_2.2
N
Minimum Maximum
Mean
Standard Deviation
Variance
139 139 139 139
2.25 2.00 2.00 2.75
5.00 5.00 5.00 5.00
4.2482 4.3129 4.0827 3.9712
.4959 .5117 .6244 .4882
.246 .262 .390 .238
139 139 139 139
2.30 2.00 3.00 3.00
5.00 5.00 5.00 6.00
4.0163 4.2952 4.2655 4.1909
.5354 .5030 .5385 .4622
.287 .253 .290 .214
139 139
3.00 3.00
5.00 5.00
4.0995 4.0432
.4251 .4981
.181 .219
233
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 230-239
Variabel
N
KepemimpinanTransformasional: X_1.1 X_1.2 X_1.3 X_1.4 Budaya Organisasi: Y_1.1 Y_1.2 Y_1.3 Y_1.4 Kinerja Pegawai: Y_2.1 Y_2.2 Y_2.3 Valid N (listwise)
Variabel Kepemimpinan Transformasional (X_1) Budaya Organisasi (Y_1) Kinerja Pegawai (Y_2)
Minimum Maximum
Mean
Standard Deviation
Variance
139 139 139 139
2.25 2.00 2.00 2.75
5.00 5.00 5.00 5.00
4.2482 4.3129 4.0827 3.9712
.4959 .5117 .6244 .4882
.246 .262 .390 .238
139 139 139 139
2.30 2.00 3.00 3.00
5.00 5.00 5.00 6.00
4.0163 4.2952 4.2655 4.1909
.5354 .5030 .5385 .4622
.287 .253 .290 .214
139 139 139 139
3.00 3.00 3.00
5.00 5.00 5.00
4.0995 4.0432 4.1974
.4251 .4981 .4670
.181 .219 .218
Tabel 2. Ringkasan hasil pengujian validitas Item Koefisien Korelasi Sig. X_1.1 0.576 0.000 X_1.2 0.641 0.000 X_1.3 0.944 0.000 X_1.4 0.518 0.000 Y_1.1 0.742 0.000 Y_1.2 0.682 0.000 Y_1.3 0.644 0.000 Y_1.4 0.690 0.000 Y_2.1 0.842 0.000 Y_2.2 0.844 0.000 Y_2.3 0.788 0.000
Tabel 3. Ringkasan hasil pengujian reliabilitas Item Koefisien Reliabilitas (Alpha) X_1.1 Kepemimpinan X_1.2 Transformasional 0.5441 X_1.3 (X_1) X_1.4 Y_1.1 Budaya Organisasi Y_1.2 0.6147 (Y_1) Y_1.3 Y_1.4 Y_2.1 Kinerja Pegawai Y_2.2 0.7598 (Y_2) Y_2.3 Variabel
234
Keterangan Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Keterangan
Reliabilitas Baik
Reliabilitas Baik Reliabilitas Baik
Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Budaya Organisasi dan Kinerja Pegawai Negeri Sipil (Studi Kasus: Pemerintah Daerah Kabupaten Nias Selatan) (Sorni Paskah Daeli)
Tabel 4. Evaluasi Kriteria Indeks-Indeks Kesesuaian Model Kriteria Goodness of fit index Nilai Kritis Hasil Cut-off Value Model Chi-square (Ď&#x2021;2) Diharapkan kecil 45,049 Probabilitas > 0,05 0,234 Derajat bebas 39 CMIN/DF < 2,00 1,155 GFI > 0,90 0,947 AGFI > 0,90 0,911 TLI > 0,95 0,987 CFI > 0,95 0,991 RMSEA < 0,08 0,034
Arah Jalur
Tabel 5. Hasil uji indikator konstruk variabel Standardized Estimate Keterangan Est.
X_1.1 (Pengaruh Ideal/Kharisma) Kepemimpinan Transformasional X_1.2 (Motivasi Inspirasi) Kepemimpinan Transformasional X_1.1 (Rangsangan Intelektual) Kepemimpinan Transformasional X_1.1 (Pertimbangan Individu) Kepemimpinan Transformasional Y_1.1 (Inovatif) Budaya Organisasi Y_1.2 (Kompetitif) Budaya Organisasi Y_1.3 (Birokrasi) Budaya Organisasi Y_1.4 (Komunitas) Budaya Organisasi Y_2.1 (Hasil Kerja) Kinerja Pegawai Y_2.2 (Kemampuan) Kinerja Pegawai Y_2.3 (Sikap) Kinerja Pegawai
Keterangan Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik
C.R
p-value
1.028
0.751
Signifikan
8.424
0.000
1.167
0.832
Signifikan
9.281
0.000
1.315
0.763
Signifikan
8.551
0.000
1.000
0.742
Signifikan
1.000
0.691
Signifikan
0.880
0.647
Signifikan
6.427
0.000
1.023
0.702
Signifikan
6.250
0.000
0.931
0.744
Signifikan
7.131
0.000
1.000
0.897
Signifikan
0.936
0.762
Signifikan
8.827
0.000
0.803
0.656
Signifikan
7.681
0.000
Tabel 6. Ringkasan hasil pengujian hipotesis Standardized Hipotesis p-value Est. Kepemimpinan Transformasional berpengaruh terhadap Kinerja Pegawai Kepemimpinan Transformasional berpengaruh terhadap Budaya Organisasi Budaya Organisasi berpengaruh terhadap Kinerja Pegawai Kepemimpinan Transformasional melalui Budaya Organisasi berpengaruh terhadap Kinerja Pegawai
235
0.119
0.449
0.753
0.000
0.468
0.005
0.753 0.468
0.000 0.005
Kesimpulan Tidak berpengaruh signifikan Berpengaruh signifikan Berpengaruh signifikan Berpengaruh signifikan
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 230-239
Kepemimpinan transaksional didefenisikan sebagai kepemimpinan yang menekankan pada suatu proses pertukaran (exchange process) antara pemimpin dan bawahan, di mana para pengikut mendapat imbalan yang segera dan nyata untuk melaksanakan perintah-perintah pemimpin. Oleh Robbins (2003), pemimpin transaksional adalah pemimpin yang memandu atau memotivasi para pengikutnya menuju sasaran yang ditetapkan dengan memperjelas persyaratan peran dan tugas. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi, dan cenderung memfokuskan diri pada tugas-tugas organisasi. Untuk memotivasi bawahan, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan (reward) dan hukuman (punishment). Di sisi lain, kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang dipertentangkan dengan kepemimpinan yang memelihara status quo. Kepemimpinan transformasional inilah yang diartikan sebagai kepemimpinan sejati, karena kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju sasaran pada tingkatan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya (Locke, dalam Pidekso, 2001). Burns (1998) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefenisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya. Dimensi perilaku kepemimpinan transformasional menuntut kesadaran pemimpin tentang visi, kepercayaan diri, dan kekuatan untuk bertahan terhadap sesuatu yang diyakini sebagai benar dan baik, bukan sekedar untuk mendapatkan popularitas dan kemapanan. Dari aspek intelektual, pemimpin transformasional tidak puas hanya dengan pemecahan masalah yang bersifat parsial atau menerima keadaan status quo atau melakukan seperti yang biasa dilakukan. Mereka suka mencari cara-cara baru untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dan peluang meskipun dengan resiko tinggi atau berat. Dalam berpikir, mereka lebih proaktif dibanding reaktif, dalam gagasan mereka lebih inovatif dan kreatif, dalam ideologi mereka lebih radikal dan reaksioner dibanding konservatif, serta mereka tidak mengalami hambatan berpikir dalam upayanya mencari pemecahan masalah.
Bass dan Avolio (1993) mengemukakan bahwa pemimpin transformasional mempunyai empat aspek, yaitu: 1) pengaruh ideal-kharisma (idealized influence-charisma): pemimpin mendahulukan kepentingan organisasi dan kepentingan orang lain daripada kepentingan sendiri; 2) motivasi inspirasi (inspiration motivation): pemimpin mampu menimbulkan inspirasi pada bawahannya, antara lain dengan menentukan standar-standar tinggi, memberikan keyakinan bahwa tujuan dapat dicapai; 3) rangsangan intelektual (intellectual stimulation): Pemimpin mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi untuk mencari pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas organisasi; dan 4) pertimbangan individu (individual consideration): Pemimpin mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karier. Secara operasional, kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang memotivasi para pegawai untuk berupaya mencapai kinerja yang tinggi dan bermutu, serta dapat menginspirasi para pegawainya untuk melampaui kepentingan individu pegawai dan mampu membawa pengaruh yang mendalam dan luar biasa pada pegawainya. Adapaun indikator kepemimpinan transformasional adalah pengaruh ideal/kharisma, motivasi inspirasi, rangsangan intelektual dan pertimbangan individu. Pada pengujian hipotesis satu, pengaruh positif dari kepemimpinan transformasional terhadap kinerja pegawai tidak dapat diterima pada taraf signifikansi 0,05. Secara umum, hal ini menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional tidak signifikan berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai. Hal ini berarti pada kondisi pengaruh ideal/karisma, motivasi inspirasi, rangsangan intelektual, dan pertimbangan individu yang tinggi, tidak berakibat langsung pada naiknya kinerja pegawai. Dengan demikian, hipotesis satu tentang adanya pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kinerja pegawai ini tidak dapat diterima. Tidak diterimanya hipotesis satu penelitian ini menunjukkan gambaran bahwa model kepemimpinan transformasional pada pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan tidak mempunyai kontribusi dalam membentuk kinerja pegawai disana. Temuan ini tidak sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya, seperti Haryadi dkk (2004), Sarosa (2004) dan Udiati
236
Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Budaya Organisasi dan Kinerja Pegawai Negeri Sipil (Studi Kasus: Pemerintah Daerah Kabupaten Nias Selatan) (Sorni Paskah Daeli)
(2005). Dalam observasi peneliti, tidak diterimanya hipotesis ini dapat dijelaskan pada kondisi obyektif yang ada, yaitu (1) meskipun pendekatan kepemimpinan terarah pada kepemimpinan transformasional, di mana peran pemimpin yang memberikan perhatian terhadap individu, mengarah pada visi dan misi pemerintah daerah, memberikan dukungan motivasi, dan menciptakan cara-cara baru dalam bekerja, namun gaya dan karakter kepemimpinan masa lalu dengan nuansa birokrasi dan penguasa masih ada dan melekat, sehingga tidak menstimulus motivasi pegawai untuk meningkatkan kinerjanya; (2) seiring dengan reformasi birokrasi, setiap SKPD dan individu pegawai diberi beban target hasil kerja yang ditentukan secara kuantitatif, membuat pegawai harus mulai mampu mengatur dirinya sendiri dalam pemenuhan target SKPD, sehingga unsur kepemimpinan tidak terlalu berperan dalam proses tersebut, kalaupun ada hanya sebatas fasilitasi dan konsultasi saja. Namun demikian, gaya kepemimpinan transformasional di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan harus tetap berjalan, hal ini tidak terlepas dari masuknya unsur-unsur profesional dari kalangan nonbirokrat menjadi pemimpin (Bupati) yang kemudian membawa corak dan warna baru dalam gaya kepemimpinan yang lebih demokratis, inovatif dan visioner. Warna kepemimpinan tersebut juga sangat mempengaruhi pola kepemimpinan di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan yang dituntut untuk lebih mampu memberdayakan dan meningkatkan motivasi para pegawainya serta mampu mempengaruhi cara berpikir baru (new mindset) para pegawainya, sehingga para pegawai pemda tersebut mampu bekerja dengan penuh semangat, penuh tanggungjawab, kreatif dan visioner serta peduli pada kualitas hasil pekerjaannya. Kepemimpinan transformasional yang diusung oleh Bupati yang berasal dari nonbirokrasi tersebut sungguh-sungguh dapat mentransformasi pegawai dengan mendorong mereka melihat tujuan yang lebih tinggi dan mendorong pencapaian kinerja yang lebih baik. Pada pengujian hipotesis dua, pengaruh positif dari kepemimpinan transformasional terhadap budaya organisasi ini dapat diterima pada taraf signifikansi 0,05. Secara umum, hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi nilai budaya organisasi disebabkan oleh semakin tingginya kepemimpinan transformasional yang terjadi. Koefisien regresi dalam bentuk baku (standardized beta) pada jalur ini adalah sebesar 0,753 (positif) yang berarti setiap perubahan kepemimpinan transformasional 75,3% secara
signifikan berpengaruh terhadap perubahan budaya organisasi dengan arah yang sama. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa hipotesis dua tentang adanya pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap budaya organisasi dapat diterima. Diterimanya hipotesis dua konsisten dengan hasil penelitian Kirana (2005) bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai pengaruh dominan dalam membentuk budaya organisasi menunjukkan bahwa semakin besar penerapan kepemimpinan transformasional ini mempunyai peranan yang semakin besar dalam membentuk budaya organisasi. Hal yang sama dikemukakan oleh Bass dan Avolio (1993) bahwa kepemimpinan transformasional membawa organisasinya mengikuti transformasi pada budaya, sehingga dikatakan kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh langsung terhadap budaya. Dalam tatanan operasional terlihat bahwa dengan karakteristik kepemimpinan transformasional yang diterapkan oleh Bupati dari non-birokrat, mampu mendorong semangat dan antusiasme para karyawan untuk merasakan budaya organisasi sebagai bagian untuk beradaptasi, berintegrasi dan memperoleh kejelasan dalam misinya untuk melayani masyarakat. Dengan posisi dan perannya, Bupati secara langsung terlibat dalam melahirkan, mengawal dan mengembangkan budaya organisasi birokrasi yang lebih dinamis sesuai kebutuhan terhadap pelayanan masyarakat. Hal ini nampak pada reorientasi pada value pada visi pemerintah daerah, yakni â&#x20AC;&#x153;Mewujudkan Masyarakat Sejahtera Lahir Dan Bathin Secara Berkesinambungan, Berkembang, Maju, Mantap Dan Mandiriâ&#x20AC;? yang disampaikan kepada stakeholders-nya di Pusat. Perubahan cara pandang pemimpin (Bupati) mampu mendorong terciptanya tata kelola pemerintahan (Good Governance) yang baik dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip manajemen modern dan berorientasi pada pelayanan optimal kepada masyarakat. Hal itu dapat dipenuhi oleh Bupati dengan menanamkan dan memperkuat aspek-aspek budaya organisasi yang ada. Peran itu pula yang selama satu tahun ini dilakukan oleh kepemimpinan transformasional di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan, sehingga mampu memberikan inspirasi bagi para pegawainya untuk mengadopsi goals dan values secara konsisten dengan visi yang dimiliki Bupati-nya. Pada pengujian hipotesis tiga, pengaruh positif dari budaya organisasi terhadap kinerja pegawai ini dapat diterima pada taraf signifikansi 0,05. Secara umum, hal ini 237
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 230-239
menjelaskan bahwa semakin tinggi nilai budaya organisasi mengakibatkan semakin tingginya kinerja pegawai. Koefisien regresi dalam bentuk baku (standardized beta) pada jalur ini adalah sebesar 0,468 (positif) yang berarti setiap perubahan kinerja pegawai 46,8% secara signifikan dipengaruhi oleh perubahan budaya organisasi. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa hipotesis tiga tentang adanya pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja pegawai dapat diterima. Diterimanya hipotesis tiga ini sesuai atau konsisten dengan Kotter (1992). Budaya organisasi yang berorientasi pada pelayanan kepada masyarakat mampu menarik simpati publik dan menjadi faktor kunci untuk menentukan sukses atau gagalnya pemerintah daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Hasil ini juga konsisten dengan Zaman (2002). Dalam tatanan operasional menunjukkan bahwa dengan adanya reorientasi budaya organisasi birokrat melalui program reformasi birokrasi di daerah, membuat para pegawai di pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan bersemangat dan penuh percaya diri dalam merefleksikan values tersebut dalam perilaku dan tugasnya, sehingga mampu meningkatkan kualitas dan kinerja hasil pekerjaan. Merasakan betapa pentingnya budaya organisasi dalam meningkatkan kinerja pegawai, membuat Bupati menata khusus program budaya organisasi dalam Biro Organisasi & Tatalaksana Setda. Pengujian hipotesis empat, didasarkan dari hasil pengujian hipotesis satu dan dua yang menyimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional melalui budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai ini pada taraf signifikansi 0,05. Diterimanya hipotesis empat menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional dengan melalui pembentukan budaya organisasi yang semakin baik mempunyai kemampuan yang baik untuk meningkatkan kinerja pegawai. Artinya bahwa semakin besar penerapan gaya kepemimpinan transformasional di lingkup pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan, maka semakin baik budaya organisasinya, dan semakin baik budaya organisasi ini, maka semakin baik pula kinerja pegawainya. Hal yang sama dikemukakan Ogbonna (2000) yang mengemukakan bahwa hubungan antara kepemimpinan transformasional dan kinerja dimediasi oleh budaya organisasi. Juga diungkapkan bahwa budaya organisasi merupakan filter yang dilalui oleh kepemimpinan dalam mempengaruhi kinerja pegawai sekaligus kinerja pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan.
Beberapa keterbatasan penelitian, antara lain: a) hanya membahas dua variabel yang berpengaruh terhadap kinerja pegawai, yaitu: kepemimpinan transformasional dan budaya organisasi; b) instrumen yang diajukan dalam penelitian sifatnya tertutup tanpa memberi kesempatan kepada responden untuk mengungkapkan alasan, kritik dan saran; c) instrumen yang digunakan berupa kuesioner berbentuk skala pengukuran tanpa dilengkapi dengan pedoman wawancara; dan d) terbatas pada satu pemerintah daerah, bukan pada semua pemerintah daerah, sehingga belum mewakili pemerintah daerah secara keseluruhan. KESIMPULAN Kinerja pegawai di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan dipengaruhi oleh kepemimpinan transformasional dari Bupati saat ini dan budaya organisasi yang telah ada. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan kinerja pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan, Bupati Nias Selatan perlu mengoptimalkan dan memberikan inspirasi kepada para pegawai, agar diperoleh kinerja yang optimal dan berkualitas, yang pada gilirannya akan meningkatkan kinerja pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan. REKOMENDASI Bupati dapat menindaklanjuti penelitian ini dengan melakukan assessment terhadap kinerja staf yang ada di jajaran pemerintahannya, kemudian melakukan perubahan kepemimpinan sebagaimana disarankan untuk kemudian memantau kembali perubahan kinerja pada waktu tertentu. Selain itu, Bupati Nias Selatan juga dapat meminta supaya para staf dapat mengusulkan kinerja kepemimpinan yang diharapkan diterapkan di dalam pemerintah untuk menjadi salah satu pertimbangan kepada Bupati. DAFTAR PUSTAKA Bass B.M. dan Avolio, B.J. 1993. Transformational Leadership and Organizational Culture, Public Administration Quarterly, Vol.17, pp.112-121. Burns, J.M. 1998. Empowerment for Change. Working Papers: Rethinking Leadership, Academy of Leadership Press, January 2004. Despande R., John U. Farley dan Federick E.W. Jr. 1993. Corporate Culture, Customer Orientation, and Innovativeness in Japan Firms: A Quard Analysis, Journal of Marketing, Vol.57, pp.23-27. Haryadi, Yadi, Bambang Swasto dan Achmad Sudiro. 2004. Pengaruh Kepemimpinan Transformasional, Kepemimpinan Transaksional, dan Komitmen Kerja
238
Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Budaya Organisasi dan Kinerja Pegawai Negeri Sipil (Studi Kasus: Pemerintah Daerah Kabupaten Nias Selatan) (Sorni Paskah Daeli)
Karyawan Terhadap Kinerja Karyawan (Persepsi Karyawan Bank BTN Jawa Timur, Jurnal Aplikasi Manajemen, Vol.2, No.2, Pasca Sarjana, Universitas Brawijaya, Malang.
Zaman, Kamar. 2002. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Pada Universitas Islam Riau), Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang.
Kirana, Widya Citra. 2006. Pengaruh Kepemimpinan Transaksional-Transformasional Terhadap Budaya Organisasi Pada PT. Gresik Cipta Sejahtera di Gresik, Tesis, Universitas Airlangga, Surabaya. Kotter P. John dan James L. Heskett. 1992. Corporate Culture and Performance. New York: The Free Press Luthans, Fred. 2005. Organizational Behavior, 10th, McGraw-Hill Companies, Inc. Mangkunegara. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Ogbonna, E dan Haris, L.C. 2000. Leadership Style, Organizational Culture and Performance: Empirical Evidance from UK Companies, International Journal of Human Resources Management, Vol.11, pp.766-788. Owens, Robert G. 1991. Organizational Behaviour in Education, Boston: Little Brow and Company. Pidekso, YS dan Th. Agung M. Harsiwi. 2001, Hubungan Kepemimpinan Transformasional dan Karakteristik Personal Pemimpin, Jurnal Kinerja, Vol.5, No.1, Hal.70-81. Rahma, Yusnia. 2005. Pengaruh Karakteristik Individu, Komunikasi Efektif dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang. Robbins, Stephen P. 2003. Organizational Behavior, Tenth Edition, Prentice Hall. Russell, J.E.A. dan Benardin, H.J. 1998. Human Resources Management. New York: McGraw-Hill.Co. Sarosa, A., 2004, Hubungan Antara Tipe Kepemimpinan Transaksional Dengan Pemberdayaan Psikologis Karyawan Divisi Redaksi Media Cetak di PT. Kompas Media Nusantara Jakarta, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Schein, E.H. 1992. Organizational Culture and Leadership: A Dynamic View. San Fransisco: JosseyBass Publisher Soeprihanto, John. 2001. Penilaian Kinerja dan Pengembangan Karyawan. Yogjakarta: BPFE Solimun. 2002. Structural Equation Modelling (SEM) Lisrel dan Amos, Fakultas MIPA Universitas Brawijaya. Udiati. 2005. Pengaruh Kompensasi dan Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja Karyawan, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang.
239
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 240-248
Hasil Penelitian ANALISIS KEMAMPUAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH DALAM PENERAPAN SISTEM KEUANGAN YANG AKUNTABEL
(CAPABILITY ANALYSIS OF SKPD ON THE IMPLEMENTATION OF ACCOUNTABLE FINANCIAL SYSTEM) M Ikhsan Ikhsan**, Porman Juanda Marpomari Mahulae** Mahulae** *Fakultas Ekonomi, Universitas Sumatera Utara Kampus USU, Medan Email: ikhsanm@gmail.com ** Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl SM Raja No. 198 Medan Diterima: 25 Agustus 2012; Direvisi: 28 September 2012; Disetujui: 15 November 2012
ABSTRAK Akuntabilitas adalah suatu perwujudan dari kewajiban pada level manajerial untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan pelaksanaan organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui alat pertanggungjawaban secara periodik. Akuntabilitas kinerja pada hakekatnya merupakan sinergi dari akuntabilitas manajerial, akuntabilitas kegiatan dan program yang saling mendukung dan saling terkait satu sama lain. Akuntabilitas manajerial menitikberatkan pada efisiensi dan kehematan dalam penggunaan harta kekayaan, sumber daya manusia dan sumber-sumber daya lainnya. Akuntabilitas ini mempersyaratkan agar pegawai dan pejabat tidak hanya menjawab yang berkaitan dengan peraturan yang ada, akan tetapi juga untuk menetapkan suatu proses yang berkelanjutan seperti perencanaan dan penganggaran, sehingga memungkinkan penyelenggaraan pelayanan terbaik. Kajian ini diarahkan untuk mengetahui kemampuan bagian keuangan diseluruh SKPD Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara dalam menerapkan sistem keuangan yang akuntabel dengan mengukur : Pengaruh kemampuan akutansi (X1) ; Pengaruh komitmen (X2); Pengaruh sistem informasi teknologi (X3); Pengaruh struktur organisasi(X4); Pengaruh Budaya Kerja(X5) dan Pengaruh Transparansi (X6) terhadap kemampuan SKPD dalam penerapan sistem keuangan yang akuntabel (Y). Dengan menggunakan teknik analisis Structural Equation Model (SEM) disimpulkan bahwa kemampuan SKPD di Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara dalam penerapan Sistem Keuangan yang Akuntabel dibentuk oleh empat dimensi yaitu Komitmen (X2), Struktur Organisasi (X4), Budaya Kerja (X5) dan Transparansi (X6). Sementara dimensi atau variable Kemampuan akuntansi dan sistem informasi tidak berpengaruh. Direkomendasikan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk melakukan beberapa perubahan, diantaranya membuat formasi baru pada penerimaan pegawai negeri baru dengan menambah kebutuhan pegawai yang memiliki latar belakang sarjana akuntansi. Disamping itu Pemerintah Provinsi Sumatera Utara perlu mengirimkan pegawai-pegawai bagian keuangan untuk magang di daerahdaerah yang telah memiliki nilai Laporan Keuangan Daerah (LKD) Provinsi, Kabupaten / Kota dengan opini wajar tanpa pengecualian (WDP) yang diperoleh dari Badan Pemeriksa Keuangan Kata Kunci: Sistem, Keuangan, Akuntabel
ABSTRACT Accountability is an embodiment of the obligation at managerial level to account for the successful implementation of the organization in achieving its goals and objectives that have been established, through periodical accountability system. Performance accountability is essential synergy of managerial accountability, accountability of activities and programs that support and cooperation each other. Managerial accountability focuses on efficiency and effectiveness in the use of assets, human resources and other resources. This accountability requires that employees and officials not only address the existing rules, but also to establish a continuous process such as planning and budgeting, in order to implement the best public
240
Analisis Kemampuan SKPD dalam Penerapan Sistem Keuangan yang Akuntabel (M Ikhsan dan Porman J M Mahulae)
service. This study aimed to determine the ability from every financial departement of North Sumatra Provincial Government SKPD in implementing accountable financial systems by measuring: Effect of accounting skills (X1); influence commitment (X2); influence of information technology systems (X3); influence of organizational structure (X4) ; influence Work Culture (X5) and Transparency Effects (X6) to applicate accountable financial system (Y). Using Structural Equation Model (SEM) analysis techniques concluded that the ability of the North Sumatra Provincial Government financial departement in every SKPD to implementate the Accountable Financial System formed by four dimensions, that is Commitments (X2), Organizational Structure (X4), Work Culture (X5) and Transparency (X6). While the dimension or variable accounting and information systems ability has no effect. It is recommended to the Government of North Sumatra Province to make some changes, including making the new formation on the recruitment of new civil servants especially those who have an accounting degree background. Besides, the North Sumatra Provincial Government needs to send officials to the finance internships in local government that already have a Financial Statements (LKD) provincial, district / city with WDP mark obtained from the Supreme Audit Agency. Keywords: Systems, Finance, Accountable
BPK menolak memberikan pendapat. Berdasarkan data tersebut, memperlihatkan masih adanya kelemahan dalam akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, seperti penyerapan dan penggunaan anggaran negara yang tidak optimal dan tidak tepat sasaran, adanya kebocoran keuangan negara (tidak efisien), masih belum efektifnya sistem pengedalian internal di lingkungan instansi pemerintah, dan masih rendahnya kualitas penyajian laporan keuangan sehingga menyebabkan disclaimer. Dalam laporan tersebut menunjukkan SDM Aparatur masih dianggap belum memiliki kemampuan untuk memenuhi amanat beberapa peraturan perundangan lainnya, antara lain PP No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah; PP No 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga; dan Permendagri No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, serta peraturan terkait lainnya. Sejalan dengan peraturan perundangan tersebut, peningkatan kompetensi SDM aparatur yang bertugas dalam pengelolaan keuangan negara dan pelaksanaan pembangunan sangat diperlukan, khususnya untuk mendukung pencapaian akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Terlebih lagi, saat ini pemerintah telah menerapkan anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting). Di samping permasalahan kompetensi tersebut, realitas memperlihatkan bahwa jumlah SDM Aparatur yang berlatar belakang pendidikan akuntansi pada satuan kerja pengelola keuangan baik di pusat maupun daerah, jumlahnya sangat terbatas. Kondisi ini berdampak pada ketidakakuratan proses pencatatan, keterbatasan dalam penyajian laporan dan penerapan sistem akuntansi yang benar. Pemerintahan provinsi Sumatera Utara terus menerus memperbaiki sistem keuangan yang akuntabel. Setiap SKPD diminta untuk
PENDAHULUAN Akuntabilitas adalah perwujudan kewajiban suatu manajemen dalam mempertanggungjawabkan keberhasilan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui alat pertanggungjawaban secara periodik. Akuntabilitas kinerja pada hakekatnya merupakan sinergi dari Akuntabilitas manajerial, akuntabilitas kegiatan dan program yang saling mendukung dan saling terkait satu sama lain. Akuntabilitas manajerial menitikberatkan pada efisiensi dan kehematan dalam penggunaan harta kekayaan, sumber daya manusia dan sumber-sumber daya lainnya. Akuntabilitas ini mempersyaratkan agar pegawai dan pejabat tidak hanya menjawab yang berkaitan dengan peraturan yang ada, akan tetapi juga untuk menetapkan suatu proses yang berkelanjutan seperti perencanaan dan penganggaran, sehingga memungkinkan penyelenggaraan pelayanan terbaik. Akuntabilitas kegiatan menitikberatkan pada apakah kebijakan dan kegiatan mendukung pencapaian misi organisasi. Sedangkan akuntabilitas program pada dasarnya memberikan perhatian yang besar pada pencapaian hasil kegiatan manajemen. Berdasarkan hasil Pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Instansi Pemerintah Tahun 2006 atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) menemukan 2.260 rekening senilai Rp. 11,54 triliun yang perlu ditertibkan. Sedangkan pemeriksaan atas Laporan Keuangan Daerah (LKD) Provinsi, Kabupaten/Kota menemukan terdapat aset senilai Rp. 17,06 triliun yang pengelolaannya tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Selanjutanya, berdasarkan hasil pemeriksaan sementara yang dilakukan BPK pada Semester I Tahun Anggaran 2007, terhadap 76 departemen, lembaga negara, dan badan yang diperiksa BPK, memperlihatkan sebanyak 31 yang dinyatakan disclaimer atau 241
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 240-248
memperbaiki laporan keuangan mereka masing untuk memenuhi standar yang telah ditetapkan. Untuk itu kajian ini diarahkan untuk mengetahui kemampuan SKPD dalam menerapkan sistem keuangan yang akuntabel dengan mengukur (1) Pengaruh kemampuan akutansi; (2) Pengaruh komitmen; (3) Pengaruh sistem informasi teknologi; (4) Pengaruh struktur organisasi; (5) Pengaruh Budaya Kerja dan (6) Pengaruh Transparansi, terhadap kemampuan SKPD dalam penerapan sistem keuangan yang akuntabel.
Listrel. Penggunaan SEM memungkinkan peneliti untuk menguji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian, mengkonfirmasi ketepatan model sekaligus menguji pengaruh suatu variabel terhadap variabel lain. Untuk mengukur Validitas dan Reliabilitas adalah evaluasi atau uji kecocokan model pengukuran. Evaluasi ini dilakukan terhadap setiap konstruk atau model pengukuran (hubungan antara sebuah variable laten dengan beberapa variabe yang teramati secara terpisah melalui evaluasi terhadap validitas dari model pengukuran dan evaluasi terhadap reliabilitas dari model pengukuran. Structural Equation Model (SEM) dalam penelitian ini merupakan sekumpulan teknik statistika yang menjelaskan pengaruh dari dimensi-dimensi penerapan sistem keuangan yang akuntabel memungkinkan suatu pengujian rangkaian hubungan yang relatif rumit secara simultan . Model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan model hasil dari penggunaan software listrel 8.8 student version. Penggunaan software ini disebabkan sedikitnya jumlah responden yang akan diperoleh yang diperkirakan tidak sampai 200 responden.
METODE Kegiatan penelitian ini dilakukan di seluruh bagian keuangan SKPD di lingkungan Provinsi Sumatera Utara pada bulan Juni sampai Agustus 2011. Populasi dalam penelitian ini adalah pegawai yang bekerja di bagian keuangan di seluruh SKPD di lingkungan Pemerintahan Provinsi Sumatra Utara. Jumlah Populasi dalam penelitian ini sebesar 232 orang yang tersebar diseluruh SKPD. Maka sampel yang digunakan adalah dengan metode sensus yaitu mengambil seluruh populasi untuk dijadikan responden. Pada penelitian ini variabel eksogen yang digunakan adalah Akuntansi (X1), Komitmen (X2), Sistem Informasi Teknologi (X3), Struktur Organisasi (X4), Budaya Kerja (X5) dan Transparansi (X6). Variabel eksogen ini digunakan untuk menduga konstruk endogen atau variabel tak bebas. Konstruk endogen atau variabel tak bebas dalam penelitian ini adalah kemampuan SKPD dalam penerapan sistem keuangan yang akuntabel (Ρ). Variabel laten endogen diukur dengan membangkitkan variabel-variabel indikator Y1, Y2, ,dan Y3. Variabel laten eksogen Akuntansi (X1) diukur dengan membangkitkan X11 dan X12, Variabel laten eksogen Komitmen (X2) diukur dengan membangkitkan X21 dan X22, Variabel laten eksogen Sistem Informasi Teknologi (X3) diukur dengan membangkitkan X31 dan X32, Variabel laten eksogen Struktur Organisasi (X4) diukur dengan membangkitkan X41 dan X42, Variabel laten eksogen Budaya Kerja (X5) diukur dengan membangkitkan X51 dan X52, dan Variabel laten eksogen Transparansi (X6) diukur dengan membangkitkan X61 dan X62. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan dan menganalisis pengaruh variabel eksogen terhadap variabel endogen. Pengaruh tersebut sangat kompleks, dimana terdapat variabel bebas, dan variabel terikat. Variabel-variabel tersebut merupakan variable laten yang dibentuk oleh beberapa indikator. Oleh karena itu untuk menganalisis data pada penelitian ini digunakan teknik analisis SEM (structural Equation Model) dengan menggunakan program
HASIL DAN PEMBAHASAN Seluruh responden yang dapat yang dapat dijaring dalam penelitian ini berjumlah 128 orang dengan metode sensus. Kuesioner disebarkan ke seluruh bagian keuangan di seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang berjumlah 245 orang. Adapun jumlah responden yang berhasil dijaring berjumlah 128 orang pegawai bagian keuangan atau lebih dari setengah dari jumlah populasi yang ada. Ternyata masih ada pegawai bagian keuangan yang hanya memiliki pendidikan Sekolah Menengah Atas yaitu sebesar 11%. Padahal yang dibutuhkan dalam pembuatan laporan keuangan yang baik dibutuhkan minimal pendidikan sarjana. Pegawai yang berpendidikan SMA lebih banyak yang sudah berumur 45 tahun keatas. Responden yang berpendidikan (D3) sebesar 67%. Responden yang berpendidikan sarjana (S1) sebesar 67%, sedangkan yang berpendidikan magister (S2) sebesar 5%. Tidak semua pegawai yang berpendidikan sarjana berasal dari jurusan akuntansi. Dalam lima tahun terakhir banyak sarjana akuntansi yang telah ditempatkan dibagian keuangan dari hasil penerimaan Pegawai Negeri Sipil di Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara. Hanya 23% daripada sarjana memiliki kesarjanaan akuntansi atau hanya 15% dari keseluruhan responden yang memiliki kesarjanaan akuntansi. Tentunya hal ini sangat
242
Analisis Kemampuan SKPD dalam Penerapan Sistem Keuangan yang Akuntabel (M Ikhsan dan Porman J M Mahulae)
sedikit dibandingkan dengan keseluruhan total dari respoden. Prosentase umur responden terbesar adalah berumur antara 26-30 tahun sebesar 23%, diikuti oleh responden dengan umur antara 4650 tahun sebesar 21%. Responden yang berumur 31-35 tahun dan 41-45 tahun masingmasing memiliki prosentase sebesar 15%. Responden yang memiliki prosentase terkecil adalah berumur 20-25 tahun sebesar 15%. Sedangkan yang mendekati umur pensiun (umur 51-55 tahun) sebesar 7%. Pada umur 20 hingga 30 tahun kebanyakan responden merupakan pegawai negeri sipil yang masa kerjanya belum mencapai 5 tahun atau lebih. Mereka yang diangkat sebagian besar merupakan sarjana akuntansi. Setiap SKPD terus berusaha untuk mendapatkan pegawai-pegawai muda yang memiliki kemampuan dibidang
keuangan dan akuntansi untuk menghasilkan kinerja keuangan yang baik. Untuk menghasilkan model sesuai dengan tujuan penelitian maka peneliti melaksanakan uji terhadap variabel untuk melihat reliabilitasnya (Tabel 1). Hasil perhitungan reliabilitas memperlihatkan bahwa semua nilai Construct Reliability ( CR) â&#x2030;Ľ 0.70 dan VE lebih besar dari 0.5 Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa reliabilitas model pengukuran (konstruk) adalah baik. Evaluasi terhadap validitas (validity) dari model pengukuran dapat dilihat pada Tabel 2 dimana dapat menunjukkan muatan faktor standar (Standard Loading Factor, SLF). Dari Tabel 2 tersebut dapat dikatakan konstruk atau model pengukuran mempunyai validitas yang baik karena Standar Loading Faktor SLF > 0.5 (Igbaria, dalam Setyo, 2008).
Tabel 1. Construct reliability, variance extracted, reliability model stability alienation Variable
CR
X1 Akuntansi X2 Komitmen X3 SIT X4 Struktur organisasi X5 Budaya Kerja X6 Transparansi Y Akuntabilitas
VE 0.74 0.76 0.71 0.80 0.81 0.85 0.78
Kesimpulan Reabilitas 0.58 0.64 0.55 0.68 0.70 0.74 0.50
Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik
Tabel 2. Standar loading faktor (SLF)
Variabel Laten
X11 X12 X21 X22 X31 X32 X41 X42 X51 X52 X61 X62 Y1 Y2 Y3
X1 Akuntansi
X2 Komitmen
X3 SIT
X4 Struktur organisasi
X5 Budaya Kerja
X6 Transparansi
Y Akuntabilitas
SLF
SLF
SLF
SLF
SLF
SLF
SLF
0.69 0.69 1.05 0.54 0.78 0.71 0.94 0.68 0.99 0.51 0.9 0.68 0.8 0.78 0.62 243
Kesimpulan
Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 240-248
Tabel 3. Goodness of fit index (GOFI) model struktural model pertama Nilai Standar Untuk GOFI Nilai Hasil Hitung Kesimpulan Kecocokan Baik p-value 0.00 p-value ≥ 0.05 Kurang baik RMSEA 0.181 RMSEA ≤ 0.08 Kurang baik NFI 0.87 NFI≥ 0.90 Marginal NNFI 0.83 NNFI ≥ 0.90 Marginal CFI 0.89 CFI ≥ 0.90 Marginal IFI 0.89 IFI ≥ 0.90 Marginal RFI 0.81 RFI ≥ 0.90 Marginal Std. RMR 0.11 Std. RMR ≤ 0.05 kurang baik GFI 0.84 GFI ≥ 0.90 Marginal Tabel 4. Hasil uji signifikansi model struktural penelitian Pengaruh Antar Variabel Laten Nilai Faktor Kesimpulan Hasil Uji Signifikansi t hitung Muatan (γ atau Gamma) H1: pengaruh kemampuan Akuntansi 0.62 0,11 H1 ditolak, data mendukung model terhadap kemampuan SKPD dalam penerapan sistem keuangan yang penelitian akuntabel H2: Pengaruh Komitmen terhadap 3,59 0,31 H2 diterima, data kemampuan SKPD dalam penerapan mendukung model sistem keuangan yang akuntabel penelitian H3: Pengaruh SIT terhadap 1,88 0,17 H3 ditolak, data kemampuan SKPD dalam penerapan mendukung model sistem keuangan yang akuntabel penelitian H4. Pengaruh Struktur Organisasi 1,99 0,35 H4 diterima, data terhadap kemampuan SKPD dalam mendukung model penerapan sistem keuangan yang penelitian akuntabel H5 Pengaruh Budaya Kerja terhadap 2,97 0,34 H5 diterima, data kemampuan SKPD dalam penerapan mendukung model sistem keuangan yang akuntabel penelitian H6 Pengaruh Transparansi terhadap 2,80 0,39 H6 diterima, data kemampuan SKPD dalam penerapan mendukung model sistem keuangan yang akuntabel penelitian
GOFI p-value RMSEA NFI NNFI CFI IFI RFI Std. RMR GFI
Tabel 5. Goodness of fit index (GOFI) model struktural kedua Nilai Standar Untuk Nilai Hasil Hitung Kesimpulan Kecocokan Baik 0.00 p-value ≥ 0.05 Kurang baik 0.203 RMSEA ≤ 0.08 Kurang baik 0.87 NFI≥ 0.90 Marginal 0.82 NNFI ≥ 0.90 Marginal 0.89 CFI ≥ 0.90 Marginal 0.89 IFI ≥ 0.90 Marginal 0.80 RFI ≥ 0.90 Marginal 0.11 Std. RMR ≤ 0.05 Marginal 0.87 GFI ≥ 0.90 Marginal
Dari hasil uji kecocokan model yang dapat dilihat pada Tabel 3 , secara keseluruhan model memiliki kesimpulan marginal. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) sebesar 0.181 kurang baik. Nilai Goodness of Fit Index juga
menunjukkan nilai yang cukup baik yaitu 0.84. Untuk Comparative Fit Index (CFI) uji kecocokan model menunjukkan nilai 0.89 yang mengindikasikan tingkat fit yang cukup baik karena hampir mendekati 1.
244
Analisis Kemampuan SKPD dalam Penerapan Sistem Keuangan yang Akuntabel (M Ikhsan dan Porman J M Mahulae)
Tabel 6. Hasil uji signifikansi model struktural penelitian (kedua) Faktor Nilai Muatan Kesimpulan Hasil Uji Signifikansi Pengaruh Antar Variabel Laten t hitung (Îł atau Gamma) H2: Pengaruh Komitmen terhadap 4,14 0,37 H2 diterima, data mendukung kemampuan SKPD dalam penerapan model penelitian sistem keuangan yang akuntabel 3,61 0,28 H4 diterima, data H4. Pengaruh Struktur Organisasi terhadap kemampuan SKPD dalam mendukung model penelitian penerapan sistem keuangan yang akuntabel H5 Pengaruh Budaya Kerja terhadap 3,91 0,28 H5 diterima, data kemampuan SKPD dalam penerapan mendukung model penelitian sistem keuangan yang akuntabel H6 Pengaruh Transparansi terhadap 5,76 0,31 H6 diterima, data kemampuan SKPD dalam penerapan mendukung model penelitian sistem keuangan yang akuntabel
H1 H2 H3
H1
H4 H5
H6
Gambar 1. Hasil perhitungan Lisrel Standardized Solution (model penelitian pertama) diukur dengan membangkitkan X51 dan X52, dan Variabel laten eksogen Transparansi (X6) diukur dengan membangkitkan X61 dan X62. Setelah model pengukuran dari model penelitian yang valid dan reliabel diperoleh, langkah berikutnya adalah melakukan analisis model struktural dari model penelitian. Analisis ini berkaitan dengan uji hipotesis-hipotesis penelitian. Hipotesis penelitian diterima jika angka absolut nilai t â&#x2030;Ľ 1,96 dengan tanda koefisien sesuai dengan hipotesis penelitian yang diajukan (positif atau negatif). Hasil analisis Stuctural Equation Modelling (SEM) yang ditunjukkan oleh Tabel 5 dan Tabel 6 menunjukkan bahwa model hipotesis atau
Konstruk endogen atau variabel tak bebas dalam penelitian ini adalah kemampuan SKPD dalam penerapan sistem keuangan yang akuntabel. Variabel laten endogen diukur dengan membangkitkan variabel-variabel indikator Y1, Y2, ,dan Y3. Variabel laten eksogen Kemampuan Akuntansi (X1) diukur dengan membangkitkan X11 dan X12, Variabel laten eksogen Komitmen (X2) diukur dengan membangkitkan X21 dan X22, Variabel laten eksogen Sistem Informasi Teknologi (X3) diukur dengan membangkitkan X31 dan X32, Variabel laten eksogen Struktur Organisasi (X4) diukur dengan membangkitkan X41 dan X42, Variabel laten eksogen Budaya Kerja (X5) 245
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 240-248
model teori sudah mampu menjelaskan fakta empiris yang ada di lapangan walaupun masih ada variabel yang memiliki nilai faktor muatan < 1,96. Namun, model tersebut merupakan model yang paling optimal. Kemampuan SKPD dalam menerapkan sistem keuangan yng akuntabel dibentuk oleh empat dimensi yaitu Komitmen (X2), Struktur Organisasi (X4), Budaya Kerja (X5) dan Transparansi (X6). Dengan kata lain pengaruh kemampuan Akuntansi dan Sistem Informasi Teknologi tidak mempunyai kontribusi terhadap kemampuan SKPD dalam penerapan sistem keuangan yang akuntabel dan tidak signifikan. Sementara Komitmen, Struktur Organisasi, Budaya Kerja dan Transparansi mempunyai kontribusi terhadap kemampuan SKPD dalam penerapan sistem keuangan yang akuntabel. Untuk itu dibuat model kedua sebagai model akhir dari penelitian. Untuk model kedua juga dilakukan Uji Kecocokan model atau overall fit berkaitan dengan analisis terhadap Goodness of fit (GOF) statistik yang dihasilkan oleh program Lisrel. Dengan model penelitian kedua ini maka diharapkan dapat menghasilkan model struktur yang lebih baik. Adapun Goodness of fit (GOF) dari model kedua ini adalah sebagai berikut :
Diperoleh hasil bahwa secara keseluruhan model dapat diterima. Hal tersebut pertamatama dapat dilihat dari nilai Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) sebesar 0.181 kurang baik. Nilai Goodness of Fit Index juga menunjukkan nilai yang cukup baik yaitu 0.74. Untuk Comparative Fit Index (CFI) uji kecocokan model menunjukkan nilai 0.89 yang mengindikasikan tingkat fit yang cukup baik karena hampir mendekati 1. Hal tersebut menunjukkan bahwa model dapat diterima (acceptable fit). Dari model struktur kedua sama dengan model pertama dimana hipotesis penelitian diterima jika angka absolut nilai t > 1.96 dengan tanda koefisien sesuai dengan hipotesis penelitian yang diajukan (positif atau negatif). Hasil analisis Structural Equation Modeling (SEM) kedua menunjukkan bahwa model hipotesis atau model teori sudah mampu menjelaskan fakta empiris yang ada di lapangan dimana tidak ada variabel yang memiliki nilai faktor muatan <1,96. Dari model struktur kedua kemampuan SKPD dalam penerapan Sistem Keuangan yang Akuntabel dibentuk oleh empat dimensi yaitu Komitmen (X2), Struktur Organisasi (X4), Budaya Kerja (X5) dan Transparansi (X6).
H1 H2 H3 H4 H5
H6
Gambar 2. Hasil perhitungan Lisrel T-Value (model penelitian pertama)
246
Analisis Kemampuan SKPD dalam Penerapan Sistem Keuangan yang Akuntabel (M Ikhsan dan Porman J M Mahulae)
H2
H4
H5
H6
Gambar 3. Hasil perhitungan Lisrel Standardized Solution (model penelitian kedua)
H2
H4
H5
H6
Gambar 4. Hasil perhitungan Lisrel T-Value (model penelitian kedua) Keuangan yang Akuntabel dibentuk oleh empat dimensi yaitu Komitmen (X2), Struktur Organisasi (X4), Budaya Kerja (X5) dan Transparansi (X6). Sementara dimensi kemampuan akuntansi dan sistem informasi tidak berpengaruh.
KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa tidak ada pengaruh kemampuan Akuntansi dan SIT terhadap kemampuan SKPD dalam penerapan sistem keuangan yang akuntabel. Sebaliknya, ada pengaruh Komitmen terhadap kemampuan SKPD, struktur organisasi, budaya kerja dan transparansi dalam penerapan sistem keuangan yang akuntabel. Dari hasil perhitungan menggunakan SEM maka kemampuan SKPD dalam penerapan Sistem
REKOMENDASI Direkomendasikan kepada pemerintah dalam pengelolan keuangan negara agar perlu mempertegas pemanfaatan tenaga-tenaga 247
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 240-248
Daeng, M. Nazier. 2009. Kesiapan SDMPemerintah Menuju Tata Kelola Keuangan Negara Yang Akuntabel dan Transparan, Paper Seminar Seminar tentang Tata Kelola Keuangan Negara Yang Akuntabel Dan Transparan.
akuntansi yang tersedia di setiap SKPD dapat bekerja efektif. Demikian juga denganPNS yang bersangkutan perlu ada komitmen dalam peningkatan kinerja sehingga ada keharmonisan antara kebijakan pemerintah dengan pencapaian keberhasilan pengelolaan keuangan yang akuntabel. Selain itu, untuk mencapai sistem keuangan yang akuntabel Pemerintah Provinsi Sumatera Utara perlu mereposisi struktur pegawai di setiap SKPD dengan menperbanyak atau menambah tenaga akuntansi atau sarjana ekonomi, jurusan akuntansi. Untuk itu Pemerintah Provinsi Sumatera Utara perlu membuat formasi baru pada penerimaan pegawai negeri baru dengan menambah kebutuhan pegawai yang memiliki latar belakang sarjana akuntansi. Disamping itu Pemerintah Provinsi Sumatera Utara perlu mengirimkan pegawai-pegawai bagian keuangan untuk magang di daerah-daerah yang telah memiliki nilai Laporan Keuangan Daerah (LKD) Provinsi, Kabupaten / Kota dengan opini wajar tanpa pengecualian (WDP) yang diperoleh dari Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam Sistem Akuntansi Keuangan Daerah jejaring teknologi informasi dalam suatu organisasi penting untuk mempersatukan berbagai komponen yang membentuk organisasi/berbagai orgnisasi dalan jejaring organisasi (organization network). Dari beberapa SKPD yang diteliti pada umumnya belum memanfaatkan jejaring Teknologi informasi secara interaktif, sementara website daerah yang ada kebanyakan hanya bersifat informasi satu arah dan belum interaktif. Untuk itu kepada pemerintah daerah up. Kepala SKPD dihimbau kiranya dapat segera memanfaatkan jejaring teknologi informasi yang ada untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah. Dan terakhir, dalam sistem akuntabilitas keuangan daerah ini, setiap tingkatan pada hierarki organisasi diwajibkan untuk akuntabel kepada atasannya. Untuk itu diperlukan komitmen secara menyeluruh dari setiap tingkatan hierarki. Mengutamakan komitmen untuk bekerja secara akuntabel lebih penting disamping pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk suatu jabatan sebelum pejabat yang bersangkutan memangki jabatannya.
Ellwood. 1993. Di dalam Mahsun, M. 2006. www.google.co.id, (11 April 2011) Gomez Meija, Luis R. David B. Balkin, dan Robert L. Cardy. 2004 .Managing Human Resources, Edisi ke-4. Pearson Prentice Hall IFAC, International Federation of Accountants. 2003. Transition to the Accrual basis of Accounting: Guidance for Government and Government Entities. Mardismo. 2002. New Public Management (NPM): Pendekatan Baru Manajemen Sektor Publik, Jurnal SINERGI Vol. 6 No. 1 Mega, Anjasmoro, 2000, Adopsi International Financial Report Standard: â&#x20AC;&#x153;Kebutuhan Atau Paksaan?â&#x20AC;? Studi Kasus Pada Pt. Garuda Airlines Indonesia, thesis Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang (tidak dipublikasi) Nasution, Anwar, 2004. BPK dan Transparansi Fiskal ,http://www.antikorupsi.\ org/mod. php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=6&artid=2 753 (diakses tanggal 22 April 2011) Nasution, Anwar, 2004.BPK dan Transparansi Fiskal ,http://www.antikorupsi. org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=6 &artid=2753 (diakses tanggal 22 Februari 2009) Pramono, Agus H., 2002, Pengawasan Legislative terhadap Ekesekutif dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Tesis S2 Tidak di Publikasikan, Program Pasca Sarjana Ilmu Administrasi Negara, Universitas Brawijaya Malang. Rasul, Sjahruddin, 2003. Pengintegrasian Sistem Akuntabilitas Kinerja dan Anggaran Dalam Perspektif UU No. 17/2003 Tentang Keuangan Negara, Perum Percetakan Negara Indonesia, Jakarta, Schermerhorn, Hunt, Osborn. 2003. Organizational Behavior, edisi ke-8 (Jhon Wiley & Sons, Inc,) Schik, Allen. 2002. Opportunity, Strategy and Tactics in Reforming Public Managementâ&#x20AC;?, OECD Journal on Budgeting 2 Solihin, Dadang. 2007. Mewujudkan Keuangan Negara yang transparan, Partisipatif dan Akuntabel, http://www.slideshare.net/Dadang Solihin/ mewujudkan-keuangan-negara-yang-transparanpartisipatif-dan-akuntabel (diakses tanggal22 Februari 2011)
DAFTAR PUSTAKA
Agam Fatchurrochman. 2002. Manajemen Keuangan Publik. Materi Pelatihan Anti Korupsi. Indonesia Corruption Watch.23-25 Jakarta. Arif, Bachtiar dan Muchlis, Iskandar. 2002. Akuntansi Pemerintahan. Jakarta, Penerbit Salemba Empat,.
Sulistoni, G. 2003. Fiqh korupsi: Amanah Vs Kekuasaan, SOMASI, Nusa Tenggara Barat.
Baswir, Revrisond. 2003. Akuntansi Pemerintahan Indonesia, Yogyakarta: BPFE.BPKP. 2003.
248
Analisis Modal Sosial Dalam Pengembangan Usaha Hutan Rakyat (Eva Fauzia dan San Afri Awang)
Hasil Penelitian ANALISIS MODAL SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN USAHA HUTAN RAKYAT
(THE ANALYSIS OF SOCIAL CAPITAL IN DEVELOPMENT OF PRIVATELY OWNED FOREST) Fauziyahh*, San Afri Awang** Eva Fauziya * Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Ciamis Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 Ciamis, 46201 Telp. (0265) 771352 e-mail: fauziyah_eva@yahoo.com ** Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Diterima: 15 Juli 2012; Direvisi: 5 Oktober 2012; Disetujui: 15 November 2012
ABSTRAK Permasalahan utama dalam pengembangan usaha hutan rakyat saat ini adalah keterbatasan modal dan akses yang dimiliki petani. Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk pengembangan hutan rakyat adalah melalui pendanaan (pemberian kredit usaha hutan rakyat). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi modal sosial dalam pengembangan usaha hutan rakyat dan kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi dan kondisi hutan rakyat. Penelitian ini dilakukan di Desa Sirnabaya Kecamatan Rajadesa dan Desa Sidamulih Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Unit analisis dalam penelitian ini adalah petani hutan rakyat sebanyak 30 responden setiap desa yang dipilih secara acak. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara menggunakan instrumen Social Capital Assessment Tool (SOCAT). Data yang terkait modal sosial diolah menggunakan program SPSS versi 12.0 for Windows dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecukupan modal sosial di Desa Sidamulih lebih baik dibandingkan dengan kondisi modal sosial di Desa Sirnabaya, dengan skor masing-masing 60,96 yang berarti sedang dan 54,63 yang berarti rendah. Kondisi modal sosial ini terlihat berbanding lurus dengan kondisi sosial ekonomi dan kondisi hutan rakyatnya. Masyarakat yang kondisi modal sosialnya baik maka kondisi sosial ekonomi dan kondisi hutan rakyatnya juga baik dan sebaliknya pada masyarakat yang kondisi modal sosialnya rendah memiliki kondisi sosial ekonomi dan kondisi hutan rakyatnya yang kurang baik. Oleh karena itu pelaksanaan program-program pemerintah termasuk dalam pengembangan usaha hutan rakyat, hendaknya tidak mengabaikan dan mematikan potensi modal sosial yang ada dalam masyarakat, karena potensi modal sosial masyarakat merupakan kekuatan lokal yang dapat diandalkan untuk memperbaiki kehidupannya. Kata kunci: hutan rakyat, modal sosial, petani, kondisi sosial ekonomi
ABSTRACT The main problem in business development of privately owned forest is capital and access limited by farmers. One needed effort to development of privately owned forest is through funding (credit of privately owned forest). The aims of this research were to get information about the conditions of social capital in privately owned forest development and the relations between social economy and privately owned forest condition. The research was conducted in Sirnabaya Village, Rajadesa Sub-District and Sidamulih Village, Pamarican Sub-District, Ciamis Regency, West Java. The unit of analysis of this research was privately owned forest with 30 respondents every village who was selected by random method. Data were collected through interview technique using instruments Social Capital Assessment Tool (SOCAT). Data processed using SPSS version 12.0 for Windows and then analyzed descriptively. The result indicated that the sufficiency level social capital in Sidamulih Village was higher than the one in Sirnabaya Village having 60,96 (moderate) and 54,63 (low) in score respectively. The condition of social capital significantly related to the condition of socio-economic of community and privately owned forest. If the condition of social capital of community were good, then the condition of socio-economic
249
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 249-260
and privately owned forest were also good, otherwise if the condition of social capital is bad, then the condition of socio-economic and privately owned forest are also bad. Therefore the implementation of government programs, including development of privately owned forest, should not be ignor the potential of social capital in the community, because the potential of social capital in the community is a local power that can be relied to improve their lives. Keywords: privately owned forest, social capital, farmer, socio-economic condition
PENDAHULUAN Permasalahan utama dalam pengembangan usaha hutan rakyat saat ini adalah keterbatasan modal dan akses yang dimiliki petani. Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk pengembangan hutan rakyat adalah melalui pendanaan (pemberian kredit usaha hutan rakyat). Dalam rangka mengembangkan hutan rakyat, pada tahun 1997 Departemen Kehutanan telah meluncurkan skema pendanaan yang disebut Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR) dengan pola kemitraan antara petani dengan BUMN, BUMS, maupun koperasi. Namun dalam pelaksanaannya KUHR mengalami berbagai kendala, sehingga program kredit ini dihentikan sebelum jatuh tempo. Keberhasilan dalam pengelolaan hutan rakyat dipengaruhi oleh banyak faktor. Sekalipun sudah ada dukungan berupa program kredit untuk hutan rakyat, tidak secara otomatis hutan rakyat berkembang dengan baik. Dalam rangka mencapai keberhasilan pengembangan usaha hutan rakyat melalui pemberian kredit sangat diperlukan perpaduan yang sinergis antara modal yang bersifat materi dan non materi. Menurut Kartodihardjo dkk (dalam Fauziyah, 2008), kinerja sebuah pembangunan dipengaruhi oleh empat faktor kunci yaitu sumberdaya alam (natural capital), sumberdaya manusia (human capital), sumberdaya buatan manusia (man made capital), serta pranata institusi formal maupun informal masyarakat/modal sosial (social capital). Modal materi baik berupa uang maupun sarana parasarana perlu dipadukan dengan modal non materi seperti modal sosial masyarakat sehingga upaya pengembangan hutan rakyat melalui pemberian kredit dapat lebih efektif. Pelaksanaan program pengembangan usaha hutan rakyat yang tepat diantaranya juga perlu memperhatikan karakter masyarakat, dimana karakter masyarakat ini dapat pula dibentuk oleh interaksi antara nilai-nilai dan komponen modal sosial yang dimiliki oleh komunitas atau masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi modal sosial dalam pengembangan hutan rakyat dan kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi dan kondisi hutan rakyat.
METODE Penelitian ini dilakukan di Desa Sirnabaya Kecamatan Rajadesa dan Desa Sidamulih Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Unit analisis dalam penelitian ini adalah petani yang mengelola hutan rakyat dan tergabung dalam kelompok tani sebanyak 30 responden setiap desa. Pemilihan responden dilakukan secara acak (simple random sampling). Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Jenis data primer yang dikumpulkan adalah data mengenai kondisi modal sosial masyarakat/komunitas petani hutan rakyat yang meliputi: tingkat kepercayaan, jaringan sosial, dan norma sosial. Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini diantaranya adalah data dan informasi mengenai kondisi umum desa-desa yang menjadi lokasi penelitian dan laporan-laporan/hasil penelitian yang terkait, yang diperoleh dari berbagai instansi dan perguruan tinggi. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth interview) dengan menggunakan kuesioner dan intervieuw guide. Kuesioner untuk pengumpulan data modal sosial dari petani disusun dengan menggunakan instrumen Social Capital Assessment Tool (SOCAT) menurut Grootaert dan Bastelaer (2002) yang dimodifikasi sesuai dengan tujuan penelitian. Menurut Grootaert (2002), SOCAT adalah instrumen yang didesain untuk mengumpulkan data modal sosial baik pada tingkat rumah tangga, komunitas, maupun lembaga. Berdasarkan kerangka pemikiran yang dibangun dalam penelitian ini maka beberapa variabel (komponen) modal sosial digunakan sebagai instrumen pengukuran. Komponen modal sosial dalam penelitian ini meliputi kepercayaan, jaringan sosial, dan norma sosial. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif (deskriptif) dan kuantitatif. Analisis data kualitatif dilakukan dengan menguraikan gambaran fenomena yang ditemui di lapangan. Data yang terkait modal sosial diolah menggunakan program Microsoft Excell dan SPSS versi 12.0 for Windows. HASIL DAN PEMBAHASAN Secara geografis wilayah Kabupaten Ciamis berada pada 108°20’ sampai dengan 108°40’ Bujur Timur dan 7°40’20” Lintang Selatan. 250
Analisis Modal Sosial Dalam Pengembangan Usaha Hutan Rakyat (Eva Fauzia dan San Afri Awang)
Hutan produksi di Kabupaten Ciamis yang dikelola oleh Perhutani terdiri dari kelas perusahaan jati, mahoni dan pinus Pengelolaan hutan yang hanya 14,32 % masih belum mampu menjamin asas kelestarian (ekologi, produksi, dan sosial), apalagi pada situasi saat ini kondisi hutan yang ada mengalami banyak tekanan akibat penyerobotan lahan, pencurian kayu dan berbagai kepentingan pembangunan sektor lain yang mendesak keberadaan hutan, sehingga berakibat semakin meluasnya kawasan-kawasan hutan yang rusak (Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis, 2004). Oleh karena itu keberadaan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis menjadi sangat penting dan banyak dikembangkan. Hutan rakyat di Kabupaten Ciamis telah dikembangkan secara intensif sejak tahun 1976 (Inpres Penghijauan) baik melalui bantuan pemerintah maupun swadaya masyarakat. Jenis tanaman yang banyak dikembangkan adalah sengon, jati, mahoni dan jenis buah-buahan seperti durian, rambutan, duku dan lain-lain. Pada saat ini, hutan rakyat di Kabupaten Ciamis mempunyai potensi hutan rakyat paling besar di Jawa Barat dengan potensi mencapai 71,60 m3/ha. Potensi yang besar tersebut bisa dijadikan sebagai salah satu modal untuk menjadikan Ciamis sebagai sentra penghasil kayu rakyat se-Jawa Barat, disamping potensi unggulan lainnya dari sektor kehutanan. Luas dan produksi hutan rakyat di Kabupaten Ciamis disajikan pada Tabel 1.
Secara administratif pemerintahan Kabupaten Ciamis terdiri dari 36 Kecamatan, dengan luas wilayah 244.479 ha dengan batas-batas sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Kuningan, sebelah barat dengan Kabupaten/Kota Tasikmalaya, sebelah timur dengan Kota Banjar dan Propinsi Jawa Tengah, dan sebelah selatan dengan Samudra Indonesia. Secara garis besar topografi permukaan wilayah Kabupaten Ciamis dibedakan menjadi wilayah Ciamis bagian utara dan Wilayah Ciamis bagian tengah dan selatan. Wilayah Ciamis bagian utara merupakan dataran tinggi pegunungan dan berbukit terutama di wilayah Gunung Sawal, dengan ketinggian antara 6001000 m di atas permukaan laut, kemiringan lereng antara 15-40% dan di atas 40% yang didominasi oleh kebun campuran, perkebunan, dan hutan. Adapun wilayah Ciamis bagian tengah dan selatan merupakan dataran rendah yang sebagian bergelombang dengan ketinggian antara 25-500 m di atas permukaan laut, sebagian kecil dengan kemiringan lereng antara 15-40%, serta wilayah dataran rendah di pesisir pantai yang landai dengan ketinggian antara 025 m dari permukaan laut dan kemiringan lereng 0-15%. Pola penggunaan lahan di Kabupaten Ciamis pada umumnya dibedakan menjadi pemukiman, sawah, perkebunan, tegal/kebun/ladang/huma, penggembalaan padang rumput, hutan, kolam ikan/empang, tambak, dan lain-lain. Hutan dibedakan atas hutan dan kebun milik negara dan perkebunan rakyat. Tetapi karena pada kenyataan di lapangan sulit membedakan antara tegal/kebun/ladang/huma dengan hutan rakyat, maka penggunaan lahan untuk kedua jenis penggunaan lahan tersebut digabung menjadi satu fungsi penggunaan lahan. Potensi lahan pertanian di Kabupaten Ciamis pada tahun 2007 terdiri atas 20,92% sawah dan hutan sebesar 54,24%. Masih luasnya lahan hutan, bermanfaat sebagai kawasan yang dapat menjaga siklus hidrologis guna memenuhi ketersediaan air bagi kepentingan rumah tangga, industri, dan pertanian. Hutan di Kabupaten Ciamis berdasarkan status kepemilikannya terdiri dari hutan negara dan hutan rakyat, sedangkan menurut fungsinya terdiri dari hutan lindung, hutan produksi, cagar alam, suaka margasatwa, dan kawasan wisata alam. Luas kawasan hutan di wilayah Kabupaten Ciamis hanya mencakup 14,32% dari luas wilayah kabupaten yaitu Âą 35.007,88 ha yang terdiri dari 28.8913,13 ha termasuk ke dalam hutan produksi yang dikelola oleh Perhutani dan 6.114,75 ha dikelola oleh BKSDA Jabar II termasuk kedalam kawasan konservasi.
Tabel 1. Luas dan produksi hutan rakyat di Kabupaten Ciamis No. Tahun Luas (ha) Produksi (m3) 1. 2003 28.830,00 110. 878,15 2. 2004 23.806,44 214.070,24 3. 2005 28.945,50 326.723,60 4. 2006 23.806.44 447.319,94 5. 2007 23.806.44 316.151,04 Sumber : Dishut Kab. Ciamis ( 2004), BPS dan Bapeda Kabupaten Ciamis (2007) Modal sosial yang diamati dalam penelitian ini meliputi kepercayaan, jaringan sosial, dan norma sosial. Potensi produksi kayu rakyat sangat dipengaruhi oleh perkembangan pasar kayu lokal maupun pasar regional dan merebaknya industri-industri penggergajian kayu milik masyarakat. Di Kabupaten Ciamis diketahui terdapat sekitar 800 â&#x20AC;&#x201C; 900 unit penggergajian kayu yang tersebar di desa-desa yang ada di Kabupaten Ciamis. Namun demikian diakui bahwa upaya pelaksanaan pembangunan hutan rakyat saat ini belum dilakukan secara optimal.
251
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 249-260
Tabel 2. Kondisi sosial ekonomi dan kondisi hutan rakyat di lokasi penelitian Kondisi sosial ekonomi dan Desa Sirnabaya Desa Sidamulih kondisi hutan rakyat 1. Umur produktif (15-64) 90% 100% 2. Pekerjaan utama Petani (66,67%) Petani (86,67%) 3. Pendidikan SD (76,67%) SD (80%) 4. Kepemilikan lahan (rata-rata) 0,68 ha 1,41 ha 5. Pendapatan per bulan Rp 1.015.476 Rp 1.604.815 6. Kondisi hutan rakyat HR lebih dari 400 HR lebih dari 400 pohon/ha(46,47%) pohon/ha(83,33%) 7. Kepemilikan lahan HR 0,51 ha (75,91%) 0,94 ha (66,62%) 8. Pola hutan rakyat dominan Agroforestry Agroforestry 10 Pengelolaan Tidak intensif intensif 11. Kontribusi hutan rakyat 20,91% 43,61% Sumber: Fauziyah, 2010 No.
Tabel 3. Beberapa hasil penelitian modal sosial yang telah dilakukan Penulis Hasil Knack dan Trust dan civic cooperation memiliki dampak yang kuat pada aktivitas Keefe (1997) ekonomi Grootaert - Kekuatan pengaruh modal sosial hampir sama dengan modal kapital (1999) - Rumah tangga dengan modal sosial yang lebih tinggi memiliki kemampuan mengakumulasi aset fisik dan tabungan - Mobilitas memperlemah modal sosial Glaeser, - Return to social skill yang lebih besar meningkatkan investasi modal sosial Laibson, Sacerdote - Pemilikan rumah meningkatkan modal sosial (2001) - Jarak fisik memperlemah modal sosial - Investasi human capital berarti juga investasi dalam modal sosial - Modal sosial memiliki komplementaritas interpersonal Iyer, Kitson, - Modal sosial memberi peran penting bagi pertumbuhan ekonomi dan Toh (2005) pembangunan wilayah - Modal sosial tidak dapat berdiri sendiri, hanya berperan bila dikombinasikan dengan modal lainnya Saputro - Kepercayaan yang terjalin dalam masyarakat adat terhadap masyarakat (2006) lain dan terhadap aturan adat di Kasepuhan Banten Kidul dalam pengelolaan sumberdaya hutan telah menjadikan hutannya relatif lestari - Norma-norma yang telah mengikat antar mereka juga memberikan kesempatan luas bagi masyarakat luas untuk mengelola hutan mereka secara lestari - Jaringan yang terbentuk dari hubungan interpersonal maupun jejaring yang dilakukan dengan pihak luar juga memberikan kontribusi positif dalam menjaga kelestarian hutan Alfiasari - Komponen modal sosial seperti kepercayaan rumah tangga dalam menjalin (2007) hubungan tanpa rasa saling curiga, jumlah hubungan sosial yang dimiliki rumah tangga memberikan pengaruh yang signifikan dalam ketahanan pangan rumah tangga. Sumber: Alfiasari (2007), Saputro (2006), dan Vipriyanti (2007) dalam Fauziyah (2008) 207 ha termasuk di dalamnya hutan rakyat dengan luas 25 ha. Jumlah penduduk Desa Sirnabaya pada tahun 2007 adalah 3.868 orang yang terdiri dari 1.949 laki-laki dan 1.919 perempuan dengan persentase keluarga pertanian sebanyak 73% dimana sebanyak 250 orang bekerja sebagai buruh tani. Letak desa ini adalah sekitar 0,4 km dari ibukota kecamatan, 32,6 km dari ibukota kabupaten (Desa Sirnabaya, 2007).
Hal ini diantaranya disebabkan oleh kurang tersedianya data dan informasi tentang potensi hutan rakyat sehingga perencanaan pengelolaan dan pengembangan hutan rakyat masih belum akurat. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Desa Sirnabaya Kecamatan Rajadesa dan Desa Sidamulih Kecamatan Pamarican. Luas desa Sirnabaya adalah 260 ha dengan penggunaan lahan terdiri dari sawah 60 ha dan lahan kering 252
Analisis Modal Sosial Dalam Pengembangan Usaha Hutan Rakyat (Eva Fauzia dan San Afri Awang)
Luas wilayah Desa Sidamulih adalah 2.562,219 ha yang terdiri dari sawah seluas 351 ha dan lahan darat 2.211,219 ha. Lahan darat yang diusahakan untuk hutan rakyat 1.473 ha. Selain itu di desa ini terdapat hutan lindung seluas 13,05 ha dan luas hutan produksi Perhutani, seluas 41,35 ha. Jarak dari desa ini ke ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten berturut-turut adalah 12 km dan 52 km (Desa Sidamulih, 2007). Penduduk Desa Sidamulih Kecamatan Pamarican pada tahun 2007 berjumlah 6708 orang (2217 KK), dengan komposisi jumlah penduduk laki-laki 3311 orang dan jumlah penduduk perempuan 3397 orang. Sebagian besar penduduk memiliki mata pencaharian sebagai petani dengan persentase keluarga pertanian sebanyak 80% dimana sebanyak 174 orang bekerja sebagai buruh tani. Keberhasilan pengembangan hutan rakyat dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik faktor internal maupun eksternal. Kondisi sosial ekonomi merupakan salah satu faktor internal yang dapat mempengaruhi kondisi hutan rakyat
yang dimiliki petani. Sementara faktor eksternal diantaranya adalah dukungan pendanaan dari pihak luar termasuk pemerintah yakni dalam bentuk kredit. Namun demikian Fauziyah (2010) menyebutkan kondisi sosial ekonomi dan kondisi hutan rakyat di Desa Sidamulih cenderung lebih baik dibandingkan kondisi di Desa Sirnabaya, padahal petani di Desa Sirnabaya pernah mendapatkan bantuan kredit untuk pengembangan usaha hutan rakyat. Sementara petani di Desa Sidamulih belum pernah memperoleh bantuan untuk pengembangan usaha hutan rakyat. Ini menunjukkan ada faktor lain yang mungkin mempengaruhi kondisi tersebut diantaranya adalah modal sosial masyarakatnya. Modal sosial yang kuat baik kepercayaan, jaringan dan norma antar anggota masyarakat dalam kelompoknya akan menjadi pendukung dalam menyukseskan pembangunan hutan rakyat. Kondisi sosial ekonomi dan kondisi hutan rakyat di kedua lokasi penelitian terlihat pada Tabel 2.
Tabel 4. Sebaran tingkat kepercayaan Komponen Kepercayaan Kepercayaan responden dalam menjalin hubungan sosial dengan warga lain dalam komunitas Skor Kepercayaan responden dalam menjalin hubungan sosial dengan komunitas lain Skor Kepercayaan responden untuk menjalin kerjasama dengan orang lain tanpa saling curiga Skor Kepercayaan responden bahwa pinjam meminjam akan membantu meningkatkan produktivitas/hasil dari hutan rakyat
Desa Sirnabaya Jumlah (%) Rendah Sedang Tinggi
0
83,33 16,67 55,36 (rendah)
50
36,67
0
0 100 (tinggi)
100
26,67
70
3,33
28,57 (rendah)
30
63,33
36,21 (rendah)
6,67
46,67
33,92 (rendah)
0
93,33
Skor Kepercayaan responden bahwa lingkungannya akan menciptakan kedamaian dan meredam kekacauan social Skor Kepercayaan responden bahwa menjaga keeratan hubungan dalam lingkungannya adalah penting Skor Kepercayaan terhadap perbankan / lembaga keuangan Skor Rata-rata skor kepercayaan
13,33
Desa Sidamulih Jumlah (%) Rendah Sedang Tinggi
0
6,67
0
80
20 0 (rendah) 51,27 (rendah)
253
0
100
100 (tinggi)
16,67 83,33 91,07 (tinggi)
0 100 (tinggi)
10
29,31 (rendah)
50 (rendah)
0
43,33
100 0
0
0 93,33
13,33 86,67 91,38 (tinggi)
0 100 (tinggi)
100
6,67
0
0 (rendah) 65,27 (sedang)
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 249-260
Tabel 5. Sebaran jaringan sosial Desa Sirnabaya Komponen Jaringan Sosial Jumlah % 1. Bentuk/basis jaringan sosial dengan komunitasnya a. kekerabatan 20 66,67 b. pertetanggaan 8 26,67 c. asal daerah 0 0 d. kekerabatan dan pertetanggaan 2 6,67 Skor 31,11 (rendah) 2. Bentuk/basis jaringan sosial dengan luar komunitasnya a. kekerabatan 10 33,33 b. pertetanggan 14 46,67 c. asal daerah 6 20 d.kekerabatan dan pertetanggaan 0 Skor 60 (sedang) 3. Sifat jaringan sosial a. informal 0 0 b. formal 27 90 c. keduanya 3 10 Skor 73,33 (sedang) 4. Luas jaringan sosial a. sempit 5 16,67 b. sedang 5 16,67 c. luas 20 66,67 Skor 100 (tinggi) 5. Kedalaman jaringan sosial a. rendah 12 40 b. sedang 14 46,67 c. tinggi 4 13,33 Skor 48,89 (rendah) 6. Keterbukaan jaringan sosial a. tidak terbuka 0 0 b. terbuka 30 100 Skor 66,67 (sedang) 7. Permanency jaringan sosial a. termporal 30 100 b. permanen 0 0 Skor 0 (rendah) Rata-rata skor jaringan sosial 54,29 (rendah)
Komponen Norma Sosial 1. Norma tertulis Skor 2. Norma tidak tertulis Skor 3. Norma agama Skor Rata-rata skor norma social
Tabel 6. Sebaran norma sosial Desa Sirnabaya Jumlah (%) Rendah Sedang Tinggi 83,33 16,67 0 0,00 (rendah) 0 100 0 89,29 (tinggi) 3,33 96,67 0 85,71 (tinggi) 58,33 (rendah)
254
Desa Sidamulih Jumlah %
6 20 17 56,67 0 0 7 23,33 63,33 (sedang)
2 6,67 13 43,33 12 40 3 10 76,67 (sedang) 0 0 0 0 30 100 100 (tinggi) 2 2 26
6,67 6,67 86,67 90 (tinggi)
4 13,33 26 86,67 0 0 43,33 (rendah) 0 0 30 100 50 (rendah) 30 0
100 0
0 (rendah) 60,48 (sedang)
Desa Sidamulih Jumlah (%) Rendah Sedang Tinggi 66,67 33,33 0 0,00 (rendah) 33,33 66,67 0 100 (tinggi) 40 60 0 71,14 (tinggi) 57,14 (rendah))
Analisis Modal Sosial Dalam Pengembangan Usaha Hutan Rakyat (Eva Fauzia dan San Afri Awang)
Tabel 7. Skor komponen modal sosial di Desa Sirnabaya dan Desa Sidamulih Desa No. Komponen Modal Sosial Sirnabaya Sidamulih 1. Kepercayaan 51.27 65.27 2. Jaringan sosial 54.29 60.48 3. Norma sosial 58.33 57.14 Skor modal sosial total 54.63 60.96
menciptakan tatanan sosial yang teratur, tertib, dan beradab; 5) pemelihara kohesivitas sosial yang membantu merekatkan setiap komponen sosial yang hidup dalam komunitas menjadi kesatuan; dan 6) trust sebagai modal sosial yang menjamin struktur sosial berdiri secara utuh dan berfungsi secara operasional serta efisien. Tabel 4 menyajikan sebaran tingkat kepercayaan responden dengan mengacu pada pendapat Mollering tersebut. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa skor kepercayaan responden untuk menjalin hubungan sosial di dalam komunitasnya di Desa Sirnabaya tergolong rendah dan di Desa Sidamulih tergolong tinggi. Sementara kepercayaan untuk menjalin hubungan sosial dengan komunitas luar termasuk katagori rendah untuk masyarakat di kedua desa. Kepercayaan responden untuk menjalin kerjasama dengan orang lain tanpa saling curiga pada kedua desa tergolong rendah dengan skor kepercayaan 33,92 untuk Desa Sirnabaya dan 29,31 untuk Desa Sidamulih. Kondisi tersebut kurang mendukung bila dikaitkan dengan kemungkinan keberadaan suatu program dari pihak luar, karena keberhasilan dari suatu program salah satunya disebabkan kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran dari suatu program dan lembaga yang menaunginya. Adanya kepercayaan yang tinggi terhadap anggota masyarakat lain dalam komunitas akan mendorong setiap individu untuk berinteraksi dan bekerjasama mencapai tujuan yang diinginkan. Interaksi yang terjadi antar anggota dalam komunitas dalam bentuk kerjasama diawali oleh adanya rasa saling percaya pada tingkat individu dalam suatu komunitas dan selanjutnya membentuk hubungan-hubungan sosial. Secara keseluruhan skor kepercayaan pada komunitas petani hutan rakyat di Desa Sirnabaya adalah sebesar 51,27 (rendah), sedangkan skor kepercayaan di Desa Sidamulih sebesar 65,27 (sedang). Hal ini menunjukkan bahwa dilihat dari tingkat kepercayaan, masyarakat di Desa Sidamulih relatif lebih baik dibandingkan kepercayaan masyarakat di Desa Sirnabaya.
Konsep modal sosial telah dipopulerkan oleh Putnam pada tahun 1993 walaupun sebelumnya terlebih dahulu telah dikembangkan oleh Coleman pada tahun 1988. Putnam (1993) dalam Productivity Commision (2003) mendefinisikan modal sosial sebagai gambaran kehidupan sosial yang memungkinkan para partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan bersama. Sementara itu, secara sederhana Fukuyama (2007) mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Preity dan Ward (2001) dalam Rustiadi, et al. (2004) menyebutkan bahwa modal sosial terdiri dari empat aspek utama yakni: hubungan saling percaya (relations of trust), adanya pertukaran (reciprocity and exchange), aturan umum (common rules), norma-norma (norms), dan sanksi-sanksi (sanctions), dan keterkaitan (connectedness), jaringan (networks) dan kelompok-kelompok (groups). Beberapa hasil penelitian sebelumnya memperlihatkan modal sosial dapat berperan penting dalam berbagai sektor seperti dalam peningkatan aktivitas ekonomi, pembangunan wilayah, pengelolaan sumber daya hutan, ketahanan pangan dan lain-lain seperti terlihat pada Tabel 3. Mollering (2001) dalam Dharmawan (2002) menyebutkan bahwa modal sosial mempunyai enam fungsi penting yaitu: 1) kepercayaan dalam arti confidence yang merupakan ranah psikologis individual sebagai sikap yang akan mendorong seseorang mengambil keputusan setelah menimbang resiko yang akan diterima; 2) kerjasama yang menempatkan trust sebagai dasar hubungan antar individu tanpa rasa saling curiga; 3) penyederhanaan pekerjaan yang memfungsikan trust sebagai sumber untuk membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja kelembagaan-kelembagaan sosial; 4) ketertiban dimana trust sebagai inducing behaviour setiap individu untuk menciptakan kedamaian dan meredam kekacauan sosial, sehingga trust membantu 255
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 249-260
Tabel 8. Hasil uji korelasi antara komponen modal sosial dengan karakteristik sosial ekonomi responden No.
Komponen Modal Sosial
Desa Sirnabaya 1. Kepercayaan responden bahwa pinjam meminjam akan membantu meningkatkan produktivitas/hasil dari hutan rakyat 2. Bentuk/basis jaringan sosial dengan luar komunitasnya 3. Sifat jaringan sosial 4. Kedalaman jaringan sosial Desa Sidamulih 1. Kepercayaan responden dalam menjalin hubungan sosial dengan warga lain dalam komunitas 2. Kepercayaan responden dalam menjalin hubungan dengan komunitas lain 3. Kepercayaan responden dalam pinjam meminjam akan membantu meningkatkan produktivitas/hasil dari hutan rakyat 4. Bentuk/basis jaringan sosial dengan komunitasnya 5. Sifat jaringan sosial 6. Permanency jaringan sosial 7. Norma agama
Karakteristik Sosial Ekonomi Respoden Umur
Pendidikan
Pengalaman usahatani
Lama tinggal
0,418*
0,433*
0,433*
Pekerjaan utama
Pekerjaan sampingan
Luas lahan
Pendapatan
0,386*
0,403* 0,379* 0,631**
0,391*
0,389*
0,386*
-0,460*
0,394* -0,390* 0,543** -0,405*
Keterangan: * = siginifikan pada taraf nyata 0,05 ** = signifikan pada taraf nyata 0,01 keperluan lainnya untuk menanami lahannya. Casson dan Godley (2000) dalam Vipriyanti (2007) mendefinisikan rasa percaya sebagai menerima dan mengabaikan kemungkinan bahwa sesuatu akan tidak benar. Rasa percaya memudahkan terjalinnya kerjasama dan semakin tebal rasa saling percaya semakin kuat kerjasama yang terbangun antar individu sehingga hal ini akan menekan biaya transaksi dan dapat menghemat penggunaan sumberdaya. Menurut Stones dan Hughes (2002) dalam Alfiasari (2007) modal sosial mempunyai dua ukuran utama yaitu jaringan sosial (networks) dan karakterisktik jaringan sosial (network characteristic).
Tingkat kepercayaan yang rendah antar anggota komunitas dapat menjadi penghambat upaya-upaya dari pihak manapun untuk mengembangkan usaha hutan rakyat. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila masyarakat di Desa Sirnabaya mengalami kesulitan untuk bekerjasama dalam mengembangkan usaha hutan rakyatnya. Bahkan ada kecenderungan program pemerintah mengalami kegagalan di desa ini karena adanya ketidakpercayaan terhadap anggota komunitas lain (pengurusnya). Kondisi modal sosial yang tergolong sedang di Desa Sidamulih berbanding lurus dengan kondisi sosial ekonomi dan kondisi hutan rakyatnya yang juga dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi di Desa Sirnabaya. Kepercayaan antar petani akan menjadi perekat kuat antar mereka untuk bersama-sama meningkatkan usaha hutan rakyat. Sebagai contoh bentuk kepercayaan antar petani diantaranya adalah percaya ketika memberikan pinjaman uang untuk membeli bibit atau 256
Analisis Modal Sosial Dalam Pengembangan Usaha Hutan Rakyat (Eva Fauzia dan San Afri Awang)
Gambar 1. Peta lokasi penelitian Desa Sirnabaya Kecamatan Rajadesa
Gambar 2. Peta lokasi penelitian Desa Sidamulih Kecamatan Pamarican
Jaringan sosial dilihat dengan menggunakan beberapa ukuran yaitu: a) ikatan informal yang dikarakteristikkan dengan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang lebih familiar dan bersifat personal seperti ikatan pada keluarga, pertemanan, dan pertetanggaan; b) ikatan yang sifatnya lebih umum seperti ikatan pada masyarakat setempat, masyarakat umum,
masyarakat dalam kesatuan kewarganegaraan. Ikatan ini dikarakteristikkan dengan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang sifatnya umum; dan c) ikatan kelembagaan yang dikarakteristikkan dengan adanya kepercayaan dalam kelembagaan yang ada. Sementara itu, karakteristik jaringan sosial (network characteristic) dapat dilihat dari tiga 257
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 249-260
Secara umum semua norma ada di masyarakat, namun dari hasil perhitungan secara keseluruhan diketahui bahwa norma sosial masyarakat di kedua desa mempunyai skor yang termasuk rendah, dengan skor sebesar 58,33 di Desa Sirnabaya dan dengan skor 57, 14 di Desa Sidamulih. Hal tersebut karena ada kecenderungan dalam berhubungan sosial termasuk dalam upaya mengembangkan hutan rakyat dilakukan tanpa ada ikatan yang formal. Norma informal maupun formal yang disepakati dan dipercayai oleh semua anggota masyarakat baik yang berkaitan dengan kegiatan hutan rakyat secara langsung ataupun tidak, akan menjadi acuan bagi masing-masing individu dalam berinteraksi sehingga tidak menimbulkan permasalahan, yang akan mendorong ketidakharmonisan dalam masyarakat/kelompok tersebut. Keharmonisan dalam sebuah masyarakat atau kelompok tentu akan berpengaruh terhadap kinerja masyarakat/kelompok. Masyarakat di pedesaan biasanya mempunyai ikatan kekeluargaan yang masih cukup tinggi dan masih memegang teguh nilai-nilai tradisional dalam kehidupan seharihari seperti kejujuran, sikap menjaga komitmen, pemenuhan kewajiban, ikatan timbal balik dan yang lainnya masih kuat dipegang teguh. Dalam konteks pengembangan hutan rakyat, hal ini bisa dimanfaatkan diantaranya terkait dengan nilai kepercayaan dalam sharing permodalan sesama petani hutan rakyat. Kondisi kepercayaan, jaringan sosial, dan norma sosial dalam komunitas petani hutan rakyat memberikan gambaran bahwa masyarakat di kedua desa memiliki karakter mendasar yang masih memiliki rasa saling percaya yang cukup tinggi, jaringan sosial yang cukup kuat dan bisa membangun norma untuk menjaga dan memperkuat rasa saling percaya itu, meskipun rendah. Tetapi secara keseluruhan kondisi kecukupan modal sosial masyarakat di Desa Sidamulih lebih baik dibandingkan dengan masyarakat di Desa Sirnabaya. Pada Tabel 7, secara keseluruhan nilai modal sosial di Desa Sirnabaya adalah 54,63 yang berarti kecukupan modal sosialnya rendah, dan di Desa Sidamulih skor modal sosialnya adalah 60,96, yang berarti kecukupan modal sosialnya sedang. Kondisi tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan bahwa masyarakat yang kondisi sosial ekonomi lebih baik dan hutan rakyatnya baik seperti di Desa Sidamulih memiliki tingkat kecukupan modal sosial yang baik (sedang/tinggi), sebaliknya dengan kondisi sosial ekonomi dan hutan rakyat yang kurang baik, modal sosialnya juga rendah seperti di
karakteristik yaitu bentuk dan luas (size and extensiveness), kerapatan dan ketertutupan (density dan closure), dan keragaman (diversity). Karakteristik jaringan di kedua desa dapat dilihat pada Tabel 5. Tidak berbeda dengan kondisi kepercayaan, diketahui skor rata-rata jaringan sosial secara keseluruhan adalah sebesar 54,29 (rendah) untuk Desa Sirnabaya dan sebesar 60,48 (sedang) untuk Desa Sidamulih. Dengan demikian kondisi jaringan sosial masyarakat di Desa Sidamulih lebih baik dibandingkan dengan kondisi jaringan sosial masyarakat di Desa Sirnabaya. Kondisi jaringan sosial yang kuat juga dapat mempengaruhi mudah tidaknya seseorang/sekelompok masyarakat membangun kerjasama satu sama lain dalam mengelola pendanaan untuk pengembangan usaha hutan rakyat atau memperoleh pendanaan itu sendiri. Tidak jarang karena adanya jaringan sosial petani bisa memperoleh informasi yang mendorong berkembangnya hutan rakyat, seperti informasi bibit yang murah atau kerjasama dengan pihak lain terutama dalam pendanaannya. Kerjasama juga dapat dibangun oleh kekuatan jaringan sosial. Jaringan sosial yang kuat akan memudahkan petani memperoleh bantuan dari teman atau tetangganya atau lebih jauh lagi memperoleh bantuan/ perhatian dari instansi terkait. Masyarakat yang tingkat modal sosialnya tinggi cenderung akan bekerjasama, gotong rotong dan saling menghargai satu dengan lainnya, sehingga tanpa menunggu uang yang banyak petani juga bisa membangun dan mengembangkan hutan rakyat. Dalam penelitian ini keberadaan norma sosial yang dilihat meliputi norma tertulis, norma tidak tertulis, dan norma agama yang ada pada masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan dalam berhubungan sosial sebagian responden tidak banyak menggunakan norma/aturan tertulis, sehingga keberadaan norma tertulis ini dinilai rendah. Aturan tertulis dalam masyarakat hanya ditemui dalam kelompokkelompok formal seperti kelompok tani, paguyuban/kelompok simpan pinjam, karang taruna dan lain-lain. Sebaran norma sosial di kedua desa disajikan pada Tabel 6. Sebagian masyarakat menilai dengan banyaknya aturan tertulis seperti dalam pinjam meminjam uang ke bank komersial, justru merepotkan dan dianggap meminjam uang ke bank semakin tidak menarik. Oleh karena itu urusan pinjam meminjam uang lebih banyak dilakukan antar angggota masyarakat dengan mengandalkan kepercayaan dan jaringan sosial yang dimiliki.
258
Analisis Modal Sosial Dalam Pengembangan Usaha Hutan Rakyat (Eva Fauzia dan San Afri Awang)
Tesis Sekolah diterbitkan.
Desa Sirnabaya. Hal tersebut karena petani di Desa Sirnabaya memiliki pendapatan lebih rendah dan persentase pemenuhan kebutuhan dasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden di Desa Sidamulih. Hal itu sejalan dengan Pranadji (2006) yang menyatakan bahwa semakin kecil alokasi pendapatan keluarga untuk kebutuhan dasar menunjukkan semakin besar proporsi alokasi untuk penguatan modal sosialnya. Hal tersebut mengindikasikan adanya pengaruh karakteristik sosial ekonomi responden terhadap kondisi modal sosial masyarakat seperti terlihat pada Tabel 8. Kondisi sosial ekonomi dapat membentuk karakter modal sosial masyarakat dan sebaliknya modal sosial akan memberi pengaruh pula pada peningkatan hidup masyarakat tersebut.
Pascasarjana
IPB.
Bogor.
Tidak
BPS dan Bapeda Kabupaten Ciamis. 2007. Ciamis dalam Angka 2007. Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Ciamis dengan Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Ciamis. Ciamis. Desa Sidamulih. 2007. Format Laporan Profil Desa dan Kelurahan. Tingkat Desa dan Kelurahan. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. Departemen Dalam Negeri. Desa Sirnabaya. 2007. Format Laporan Profil Desa dan Kelurahan. Tingkat Desa dan Kelurahan. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. Departemen Dalam Negeri. Dharmawan, A.H. 2002. Kemiskinan Kepercayaan (The Poverty of Trust), Stok Modal Sosial dan Disintegrasi Sosial.
KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa kondisi modal sosial di Desa Sidamulih lebih baik dibandingkan dengan kondisi modal sosial di Desa Sirnabaya, dengan skor masing-masing 60,96 yang berarti sedang dan 54,63 yang berarti rendah. Kondisi modal sosial ini berbanding lurus dengan kondisi sosial ekonomi dan kondisi hutan rakyatnya, dimana pada masyarakat yang kondisi modal sosialnya baik maka kondisi sosial ekonomi dan kondisi hutan rakyatnya juga lebih baik dan sebaliknya pada masyarakat yang kondisi modal sosialnya rendah memiliki kondisi sosial ekonomi dan kondisi hutan rakyatnya yang kurang baik.
Dinas Kehutanan Ciamis. 2004. Rencana Strategis Bidang Kehutanan Periode Tahun 2004 s/d 2009. Dinas Kehutanan Ciamis. Ciamis. Fauziyah, E. 2008. Modal Sosial: Salah satu aset penting dalam pengembangan hutan rakyat. Buletin Albasia Volume 5 No.1 Desember 2008 hal 29-40. Fauziyah, E. 2010. Analisis Skema Kredit dalam Pengembangan Usaha Hutan Rakyat. Makalah dalam Prosiding Seminar Nasional Kontribusi Litbang dalam Peningkatan Produktivitas Hutan hal 423-428. Bogor, 29 November 2010. Grootaert, C. 2002. â&#x20AC;&#x153;Quantitatif Analysis of Social Capital Dataâ&#x20AC;? dalam Understanding and Measuring Social Capital. Editor Christiaan Grootaert dan Thierry van Bastelaer. The Word Bank.
REKOMENDASI Oleh karena itu saran yang ingin disampaikan adalah bahwa dalam pelaksanaan program-program pemerintah termasuk dalam pengembangan usaha hutan rakyat, hendaknya tidak mengabaikan dan mematikan potensipotensi modal sosial yang ada dalam masyarakat, karena sebenarnya potensi-potensi modal sosial yang dimiliki masyarakat merupakan kekuatan lokal yang dapat diandalkan untuk memperbaiki kehidupannya, salah satunya melalui pengembangan hutan rakyat.
Washington, D.C. Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, H. Pasaribu, U. Sudadi, dan N. Nuryantono. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah. Kelompok Pengkajian Pengelolaan Sumberdaya Berkelanjutan (K3SB). Bogor. Pranadji, T. 2006. Penguatan Modal Sosial untuk Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan dalam Pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering (Studi Kasus di Desa-desa (Hulu DAS) Ex Proyek Bangun Desa, Kabupaten Gunungkidul dan Ex Pertanian Lahan Kering, Kabupaten Boyolali. Jurnal Agro Ekonomi Volume 24 No. 2, Edisi Oktober 2006:178206. Bogor.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. http://www.psp3ipb.or.id/uploaded/Trust_Society_M imbar_Sosek_Arya_final_2006.pdf. Diakses pada tanggal 1 Maret 2009.
Productivity Commission. 2003. Social Capital: Reviewing the Concept and its Policy Implications. Research Paper. AusInfo.Canberra.
Alfiasari. 2007. Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin dan Peranan Modal Sosial (Studi Kasus pada Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Tanah Sareal dan Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor).
Rustiadi, E., S. Saefulhakim, dan D.R. Panuju. 2004. Social Capital dan Pengembangannya (Suatu Telaah Teoritis) dalam Diktat Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
259
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 249-260
Saputro, EG. 2006. Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan pada Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul. Skripsi Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tidak diterbitkan. Vipriyanti, NU. 2007. Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi Wilayah. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan.
260
Pendekatan Sistem Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Bersama Pondok Pesantren (Sanudin dan Eva Fauziyah)
Hasil Penelitian PENDEKATAN SISTEM DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT BERSAMA PONDOK PESANTREN
(SYSTEM APPROACH IN PRIVATELY OWNED FOREST MANAGEMENT WITH PESANTREN) Sanudin* dan Eva Fauziyah* * Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Ciamis Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 Ciamis, 46201 Telp. (0265) 771352 Email: sanevafa@yahoo.com Diterima: 2 Juli 2012; Direvisi: 9 Oktober 2012; Disetujui: 15 November 2012
ABSTRAK Departemen Kehutanan telah meluncurkan berbagai program kerjasama atau kemitraan dengan beragam lembaga baik lembaga formal maupun non formal, salah satunya adalah Pondok Pesantren (Pontren). Terdapat beberapa pola kerjasama yang didalamnya melibatkan pontren, namun peranan pontren dalam pola-pola kerjasama dengan pemerintah, swasta maupun petani/masyarakat belum maksimal. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) membangun model pengelolaan hutan rakyat bersama pontren berdasarkan pendekatan sistem dan 2) mensimulasikan berbagai skenario pengelolaan hutan rakyat bersama pontren untuk memperoleh alternatif kerjasama pengelolaan hutan rakyat bersama pontren. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya pada Bulan Maret sampai September 2009. Metode yang digunakan adalah metode wawancara dengan menggunakan kuesioner yang dipersiapkan terlebih dahulu. Data yang dikumpulkan dari hasil wawancara tersebut diolah dengan menggunakan software Stella 8.0.2, kemudian dianalisis secara deskriptif. Dalam membangun suatu model diperlukan 5 (lima) tahap yaitu identifikasi isu, tujuan dan batasan, konseptualisasi model, spesifikasi model, evaluasi model dan penggunaan model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model sistem yang dibangun menjelaskan dinamika pengembangan hutan rakyat bersama pontren yang melibatkan pemerintah, swasta, pontren, dan masyarakat berdasarkan parameter kondisi sosial ekonomi, jenis insentif berupa bantuan dan penyuluhan, kondisi modal sosial, tingkat partisipasi masyarakat dan kondisi tanaman/tegakan, dengan asumsi partisipasi masyarakat berbanding lurus dengan kondisi tegakan. Skenario dengan peningkatan insentif bantuan maupun penyuluhan sebesar 50% sudah dapat meningkatkan partisipasi petani sehingga akan meningkatkan kualitas tegakan. Kata kunci: hutan rakyat, kerjasama, pondok pesantren, model, skenario.
ABSTRACT The Ministry of Forestry has launched various programs, coorporated with either institutions both formal and non-formal, one of which is a religious boarding school (Pesantren). There are several patterns of privately owned forest management cooperation with Pesantren namely government, private sector and farmer/community, but Pesantren role is not maximized. The research objectives are: 1) to develop model privately owned forest management with Pesantren based system approach and 2) to simulate scenario of privately owned forest management with Pesantren to obtain alternative privately owned forest management with Pesantren. The research conducted in March to September 2009 in Garut and Tasikmalaya Regency, West Java. This research conducted with an interview and processed using Stella 8.0.2 software. In building a model required 5 (five) stages: identification of issues, objectives and constraints, model conceptualization, model specification, model evaluation and the use of models. The results showed that the model which built can describe privately owned forest management with Pesantren dynamic based on socio-economic parameters, incentives type, assistance and counseling, social capital, and farmer participation. Scenario with increased incentives and counseling by 50% is to increase farmer participation, so will improve the quality of stand. Keywords: private forest, cooperation, a religious boarding school (Pesantren), model, scenario.
261
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 261-271
skenario pengelolaan hutan rakyat bersama pontren untuk memperoleh alternatif kerjasama pengelolaan hutan rakyat bersama pontren.
PENDAHULUAN Seiring dengan kondisi hutan alam yang semakin berkurang kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan kayu, hutan rakyat mulai banyak dikembangkan baik secara swadaya maupun inisiatif dari pemerintah. Dalam rangka mengembangkan hutan rakyat tersebut, Departemen Kehutanan telah meluncurkan berbagai program kerjasama atau kemitraan dan dengan beragam lembaga baik lembaga formal maupun non formal. Salah satu lembaga non formal yang beberapa tahun ke belakang sudah mulai dilibatkan adalah Pondok Pesantren (Pontren). Di Jawa Barat khususnya cukup banyak pontren yang dilibatkan dalam pengembangan hutan rakyat secara khusus maupun dalam penghijauan lingkungan secara umum. Pontren merupakan lembaga non formal yang memiliki karakteristik unik dibandingkan dengan lembaga non formal lainnya. Pontren memiliki kekuatan tersendiri untuk terlibat dalam kegiatan kehutanan khususnya hutan rakyat, meskipun juga mempunyai sejumlah kelemahan yang harus diminimalkan. Pontren juga diyakini mempunyai peluang yang sangat besar dalam pengelolaan hutan, karena pontren rata-rata berada di pedesaan dengan kyai yang memiliki karisma baik di mata masyarakat sehingga pontren mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam memberdayakan masyarakat (Benda, 1958 dalam Oâ&#x20AC;&#x2122;Hanlon, 2006; Qamarudin, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya pontren mempunyai modal sosial untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan kehutanan. Fauziyah (2010) menyebutkan bahwa sejauh ini kontribusi dan partisipasi pontren belum terlihat nyata, terutama dalam sisi teknis dan penguatan kelembagaannya. Selain karena pengalaman pontren yang masih terbatas juga karena pontren belum sepenuhnya dilibatkan dalam kegiatan pengembangan hutan rakyat atau penghijauan. Peranan pontren dalam polapola kerjasama pontren dengan pemerintah, swasta maupun petani/masyarakat yang sudah ada terlihat belum maksimal, baik pada kontribusinya maupun partisipasinya sebagai lembaga Pontren maupun dari aspek mustamenya. Dalam upaya memaksimalkan peranan pontren dalam kerjasama tersebut, diperlukan sinergisitas baik dari sisi pontrennya sendiri maupun dari pihak-pihak/lembaga lain yang terlibat, sesuai dengan kondisi yang dimiliki oleh masing-masing stakeholder itu sendiri. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengetahui : 1) model pengelolaan hutan rakyat bersama pontren berdasarkan pendekatan sistem; dan 2) mensimulasikan berbagai
METODE Penelitian ini dilakukan di Desa Cilolohan Kecamatan Tanjungjaya Kabupaten Tasikmalaya dan Desa Majasari Kecamatan Cibiuk Kabupaten Garut pada Bulan April sampai Desember 2009. Unit penelitian ini adalah petani hutan rakyat yang telah menjadi anggota pesantren dan terlibat dalam kegiatan pengembangan hutan rakyat bersama pontren. Jumlah responden terdiri dari 16 orang untuk Desa Cilolohan dan 13 orang untuk Desa Majasari. Populasi dalam penelitian ini merupakan keseluruhan anggota kelompok tani yang terlibat dalam pengembangan hutan rakyat bersama pontren. Penentuan jumlah sampel tersebut berdasarkan pendapat Arikunto (1997) yang menyatakan bahwa apabila jumlah subjek (populasi) kurang dari 100 lebih baik diambil semuanya, namun jika subjeknya lebih besar dari 100 dapat diambil 10-15 % atau 20-25% dari total populasi. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sejumlah instrumen penelitian dianalisis secara deskriptif. Untuk memperoleh model (permodelan) kerjasama pengelolaan hutan rakyat bersama pontren diperlukan datadata (input) yang terkait dengan pembentukan model pengelolaan hutan rakyat bersama pontren. Kerjasama dalam pengelolaan hutan rakyat ini melibatkan beberapa pihak yaitu pemerintah, swasta, LSM, pontren itu sendiri dan masyarakat/petani. Untuk menyusun nilai input model pengembangan hutan rakyat bersama pontren dalam menjawab permasalahan yang menjadi fokus penelitian, data yang dikumpulkan secara garis besar dikelompokkan atas: data kondisi sosial ekonomi masyarakat, data tingkat modal sosial masyarakat, data pengelolaan bantuan dan manfaat yang dirasakan (insentif), data tingkat partisipasi masyarakat, dan data kondisi tanaman/tegakan. Data-data yang diperoleh kemudian dijabarkan menjadi data berikut: faktor/variabel yang ada pada pemerintah (meliputi: program pengembangan hutan rakyat/HR, pengembangan kelembagaan masyarakat, dan insentif), swasta (program pengembangan HR, pengembangan kelembagaan masyarakat, dan insentif), LSM (program LSM, jumlah tenaga kerja), pontren (program pontren, jumlah santri/mustame/petani, luas lahan, kondisi sosial pontren dan peran), masyarakat/petani (luas lahan, kondisi sosial ekonomi petani, modal sosial) dan hutan rakyat (luas lahan,
262
Pendekatan Sistem Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Bersama Pondok Pesantren (Sanudin dan Eva Fauziyah)
jumlah tanaman, jenis tanaman). Data-data tersebut diperoleh melalui hasil wawancara mendalam, wawancara terstruktur, dan pengumpulan data sekunder dari instansi terkait. Pemodelan dalam penelitian ini menggunakan software Stella 8.0.2. Tahapan membangun model tersebut sesuai dengan yang disarankan oleh Purnomo (2005) meliputi: 1) identifikasi isu, tujuan, dan batasan; 2) konseptualisasi model dengan menggunakan ragam metode seperti diagram kotak dan panah, diagram sebab akibat, diagram stok (stock) dan aliran (flow), diagram case, diagram kelas dan diagram sekuens; 3) spesifikasi model, yaitu merumuskan makna diagram, kuantifikasi dan atau kualifikasi komponen model; 4) evaluasi model, yaitu mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan dunia nyata atau model andal yang serupa jika ada; dan 5) penggunaan model, yaitu membuat skenario-skenario ke depan atau alternatif kebijakan, mengevaluasi ragam skenario atau kebijakan tersebut dan perencanaan dan agenda bersama.
yakni: 1) Pemerintah/Dephut + Ormas/NU + Pontren + Desa Masyarakat 2) Swasta/BKL + Pontren + Desa/Masyarakat, dimana fungsi pesantren sebagai fasilitator dan sistem yang digunakan adalah bagi hasil. Setiap sub sistem (stakeholder) baik pemerintah, swasta, pontren, maupun masyarakat mempunyai peran yang berbeda sesuai dengan kapasitasnya. Berdasarkan kondisi yang ada pada setiap sub sistem tersebut dapat dibangun sebuah model pengembangan hutan rakyat di kedua lokasi penelitian. Menurut Purnomo (2005), tujuan konseptualisasi model adalah untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh terhadap model yang akan dibuat. Konseptualisasi model dilakukan dengan mengidentifikasikan semua komponen yang terlibat ke dalam permodelan dan mengelompokkannya ke dalam beberapa bagian. Langkah-langkah untuk memenuhi tujuan tersebut adalah: a) kategorisasi komponen dalam sistem, b) pengidentifikasian hubungan antar komponen, c) menyatakan komponen dari hubungannya dalam model yang lazim, d) menggambarkan pola yang diharapkan dari perilaku model, serta menentukan pola perilaku model sesuai dengan pengetahuan dan teori.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan hasil studi literatur diketahui secara umum terdapat dua pola utama yang melibatkan Pontren dalam pengembangan hutan rakyat,
Gambar 1. Keterkaitan antar sub model penyusun model pengelolaan hutan rakyat bersama pontren
263
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 261-271
Model yang dibangun terdiri atas 5 (lima) sub model yakni: (i) sub model kondisi sosial yang menggambarkan kondisi sosial masyarakat seperti rata-rata kelas umur penduduk, jenis pekerjaan, status kepemilikan lahan, pendapatan dan tingkat pendidikan penduduk; (ii) sub model modal sosial yang menggambarkan modal sosial masyarakat seperti kepercayaan, jaringan sosial dan norma sosial; (iii) sub model Insentif/Penyuluhan yang menggambarkan pengaruh intensitas penyuluhan ataupun intensif yang diberikan dari kedua pola yang diujikan yakni pola HR Pemerintah â&#x20AC;&#x201C; Pondok Pesantren â&#x20AC;&#x201C; Masyarakat dan pola Swasta â&#x20AC;&#x201C; Pondok Pesantren â&#x20AC;&#x201C; Masyarakat; (iv) sub model partisipasi yang terdiri tas partisipasi masyarakat dalam bidang perencanaan kegiatan, partisipasi dalam bidang produksi, partisipasi dalam kelembagaan dan partisipasi dalam pemasarannya; dan (v) sub model tegakan yang menggambarkan pengaruh tingkat partisipasi masyarakat terhadap luas penanaman dan nilai tegakan. Keterkaitan antar masing-masing sub model tersaji pada Gambar 1. Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa sub model partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat bersama Pontren dipengaruhi oleh sub model kondisi sosial ekonomi masyarakat, sub model modal sosial, dan sub model insentif penyuluhan. Sub model modal sosial sendiri dipengaruhi oleh sub model kondisi sosial ekonomi, sementara sub model tegakan dipengaruhi oleh sub model partisipasi masyarakat. Konseptual model pengelolaan hutan rakyat bersama pontren disajikan pada Gambar 2. Penelitian ini membuat model. Untuk membentuk sub sistem kondisi sosek dalam model, data yang diperlukan adalah sebagai berikut: - Rata-rata kelas umur: rata-rata kelas umur dominan penduduk. Diberikan dengan nilai nominal nilai 25 jika didominasi anak-anak (015 tahun), nilai 75 jika didominasi anak remaja produktif (15-25 tahun), nilai 100 untuk kelas umur didominasi usia dewasa produktif (25-50 tahun) dan nilai 50 untuk dominansi usia tua (> 50 tahun); - Rata-rata kelas pekerjaan: rata-rata jenis pekerjaan dominan penduduk. Diberikan dengan nilai nominal nilai 100 jika didominasi jenis pekerjaan petani, nilai 50 jika didominasi PNS atau nelayan atau pedagang, serta nilai 25 jika dominan jenis pekerjaan penduduk desa didominasi oleh pekerjaan yang tidak berhubungan dengan sektor pertanian; - Rata-rata kepemilikan lahan: rata-rata kepemilikan lahan penduduk. Diberikan dengan nilai nominal nilai 75-100 jika lahan
merupakan milik sendiri, nilai 50-75 jika lahan bukan merupakan milik sendiri melainkan disewa dan nilai 0-25 jika tidak memiliki lahan sendiri maupun disewa. - Pendapatan: rata-rata kelas pendapatan penduduk. Diberikan dengan nilai nominal nilai 0-25 jika pendapatan penduduk dibawah UMR, nilai 25-50 jika pendapatan penduduk sama dengan UMR, nilai 50-75 jika pendapatan penduduk diatas UMR dan nilai 75-100 jika pendapatannya telah termasuk golongan keluarga sejahtera. - Pendidikan: Rata-rata tingkat pendidikan penduduk. Diberikan dengan nilai Nominal nilai 0-25 jika dominan penduduk berpendidikan tidak bersekolah hingga SD, nilai 25-50 jika penduduk berpendidikan SLTP, nilai 50-75 jika pendidikan penduduk rata-rata tingkat SLTA dan nilai 75-100 jika rata-rata pendidikan penduduk Sarjana/D3. - Jumlah penduduk dipengaruhi oleh laju kelahiran dan laju kematian (termasuk migrasi) penduduk desa. Jumlah penduduk ini akan mempengaruhi tingkat partisipasi penduduk dalam pengembangan hutan rakyat. Selain model sosek, sub model modal sosial menggambarkan modal sosial masyarakat seperti kepercayaan, jaringan sosial dan norma sosial. Konsep modal sosial telah dipopulerkan oleh Putnam pada tahun 1993 walaupun sebelumnya terlebih dahulu telah dikembangkan oleh Coleman pada tahun 1988. Putnam (1993) dalam Productivity Commision (2003) mendefinisikan modal sosial sebagai gambaran kehidupan sosial yang memungkinkan para partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan bersama. Secara sederhana Fukuyama (2007) mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Menurut Putnam (1993), Fukuyama (1995), Knack dan Keefer (1997) dalam Productivity Commision (2003), komponen kunci modal sosial terdiri dari jaringan pertemuan/dialog masyarakat (networks of civic engagement), norma-norma yang saling berinteraksi (norms of generalized reciprocity), dan social trust. Modal sosial dapat diartikan sebagai sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam suatu komunitas.
264
Pendekatan Sistem Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Bersama Pondok Pesantren (Sanudin dan Eva Fauziyah)
Gambar 2. Konseptual model pengelolaan hutan rakyat bersama pontren
265
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 261-271
Namun demikian pengukuran modal sosial jarang melibatkan pengukuran terhadap interaksi itu sendiri, melainkan hasil dari interaksi tersebut, seperti terciptanya atau terpeliharanya kepercayaan antar warga individu. Model sosial ini dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat. Dalam penyusunan model, hubungan antara kondisi sosial ekonomi masyarakat berbanding lurus dengan modal sosialnya, semakin tinggi nilai yang diberikan pada variabel kondisi sosial ekonomi maka modal sosialnya akan semakin tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi modal sosial masyarakat pontren disajikan pada Tabel 1. Kondisi kepercayaan, jaringan sosial, dan norma sosial dalam komunitas petani hutan rakyat memberikan gambaran bahwa masyarakat di kedua desa memiliki karakter mendasar yang masih memiliki rasa saling percaya yang tinggi, namun memliki jaringan sosial dan norma yang rendah. Tetapi secara keseluruhan kondisi kecukupan modal sosial masyarakat di kedua desa hampir sama yakni termasuk kategori rendah dengan skor keseluruhan 57,52 untuk Desa Cilolohan dan 58,48 untuk Desa Majasari. Penjumlahan (total) skor modal sosial ini tidak selalu bisa menggambarkan kondisi modal sosial dari seluruh komponen modal sosial. Hal itu disebabkan karena bisa saja dalam sebuah masyarakat meskipun secara keseluruhan rendah, namun untuk beberapa hal memiliki skor nilai yang tinggi. Skor modal sosial total ini juga tidak selalu berarti bahwa masyarakat di setiap dusun memiliki modal sosial yang sama. Namun demikian skor nilai total ini dapat memberikan gambaran kondisi/ tingkat kecukupan modal sosial secara umum masyarakat di kedua desa dan memudahkan membandingkan kondisi modal sosial di kedua desa tersebut. Sub model insentif penyuluhan juga disusun untuk menggambarkan pengaruh intensitas penyuluhan ataupun intensif yang diberikan dari kedua pola yang diujikan yakni pola Hutan Rakyat Pemerintah â&#x20AC;&#x201C; Pondok Pesantren â&#x20AC;&#x201C; Masyarakat dan pola Swasta â&#x20AC;&#x201C; Pondok Pesantren â&#x20AC;&#x201C; Masyarakat. Sub model ini terdiri atas variable: i) intensitas program pemerintah, ii) intensitas program swasta; iii) pondok pesantren; dan iv) variabel intensitas dan penyuluhan. Variabel
insentif dan intensitas penyuluhan akan mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam perencanaan kegiatan, produksi, kelembagaan dan pemasaran. Hubungan antara variabel insentif dan intensitas penyuluhan berbanding lurus variabel tingkat partisipasi, semakin tinggi insentif dan intensitas penyuluhan maka tingkat partisipasi masyarakat juga akan semakin tinggi. Seterusnya, sub model partisipasi menggambarkan pengaruh modal sosial serta insentif dan intensitas penyuluhan terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam pengembangan hutan rakyat. Variable partisipasi yang diukur adalah partisipasi masyarakat dalam bidang perencanaan kegiatan, partisipasi dalam bidang produksi, partisipasi dalam kelembagaan dan partisipasi dalam pemasarannya. Masing-masing pengaruh modal sosial serta insentif dan intensitas penyuluhan terhadap masing-masing variable partisipasi dibuat secara terpisah. Variabel Rata-rata partisipasi merupakan jumlah rata-rata dari masing-masing variabel partisipasi. Besar kecilnya nilai rata-rata partisipasi ini akan mempengaruhi persen partisipasi penduduk. Jumlah partisipasi penduduk (menggambarkan jumlah penduduk desa yang ikut program pengembangan hutan rakyat) merupakan pengkalian besarnya persen partisipasi masyarakat terhadap jumlah penduduk desa. Rata-rata partisipasi juga berpengaruh positif terhadap kualitas tegakan. Semakin tinggi nilai rata-rata partisipasi maka kualitas tegakan akan semakin baik. Nilai partisipasi berdasarkan hasil penelitian Fauziyah (2010) disajikan pada Tabel 2. Dari perhitungan secara keseluruhan tingkat partisipasi petani terhadap program pengembangan hutan rakyat bersama pontren tergolong sedang dengan skor masing-masing adalah 49,09 untuk Desa Cilolohan dan 46,35 untuk Desa Majasari. Kondisi ini menggambarkan sebenarnya masyarakat pontren terlibat cukup baik dalam pelaksanaan pengembangan hutan rakyat bersama pontren. Namun karena keberlanjutan program yang saat ini kurang jelas dan tidak adanya monitoring dan evaluasi, menyebabkan sebagian besar petani yang terlibat tidak lagi fokus dalam melanjutan kegiatan ini. Kalaupun ada
266
Pendekatan Sistem Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Bersama Pondok Pesantren (Sanudin dan Eva Fauziyah)
hanya responden yang sudah memahami pentingnya pengembangan hutan rakyat dengan motivasi sendiri. Yang berikutnya adalah sub model tegakan. Sub model ini menggambarkan pengaruh tingkat partisipasi masyarakat terhadap luas penanaman dan nilai tegakan. Terdiri atas state variable luas tanaman dengan inflow penanaman serta outflow pemanenan dan deforestasi. Besarnya deforestasi dipengaruhi oleh laju deforestasi yang diasumsikan lajunya dipengaruhi oleh jumlah penduduk dimana semakin besar jumlah penduduk maka tekanan terhadap hutan semakin tinggi. Laju inflow penanaman dipengaruhi oleh jumlah partisipasi penduduk, luas lahan rata-rata yang ditanami untuk hutan rakyat dan panjang rotasi penanaman. Sementara outflow pemanenan (luas pemanenan) besarnya dipengaruhi oleh panjang rotasi. Volume produksi hutan rakyat merupakan pengkalian antara volume rata-rata meter kubik per hektar terhadap luas pemanenan. Nilai tegakan merupakan perkalian antara volume produksi terhadap kualitas tegakan yang dihasilkannya. Pengembangan hutan rakyat bersama pontren dimana program berasal dari kerjasama dengan pemerintah dan atau
No. 1. 2. 3.
swasta dan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat serta memperbaiki kualitas lingkungan. Kerjasama pengembangan hutan rakyat tersebut melibatkan empat stakeholder yakni pemerintah, swasta, pontren, dan masyarakat dengan lima komponen utama penyusun model sistem yaitu kondisi sosial ekonomi, modal sosial, insentif penyuluhan, partisipasi masyarakat dan kondisi masyarakat. Dalam hal ini pontren merupakan mitra dari pemerintah ataupun swasta dimana masing-masing pihak akan mendapatkan manfaat sesuai dengan porsi dan posisinya. Sebagai pemilik program (misalnya GERHAN dari pemerintah maupun pola kemitraan dari swasta) untuk menyukseskan program tersebut biasanya sudah disiapkan berbagai hal diantaranya insentif atau bantuan yang diperoleh oleh mitra baik langsung seperti bantuan bibit atau upah, tidak langsung seperti penyuluhan. Pontren sendiri dapat berperan sebagai penggerak santri atau masyarakat sekitar untuk terlibat di dalamnya dengan menyediakan tenaga dan atau lahan sehingga hal ini akan terkait dengan partisipasi masyarakat.
Tabel 1. Skor komponen modal sosial di Desa Cilolohan dan Desa Majasari Desa Komponen Modal Sosial Desa Cilolohan Desa Majasari Kepercayaan 79,05 71,43 Jaringan sosial 40,18 44,76 Norma sosial 53,33 59,26 Skor modal sosial total 57,52 58,48
Tabel 2. Tingkat partisipasi petani terhadap kegiatan pengembangan hutan rakyat bersama Pontren Desa Cilolohan Desa Majasari No. Partisipasi pada Skor Kategori Skor Kategori 1. Perencanaan 60,125 Sedang 57,69 Sedang 2. Produksi 35,625 Sedang 32,31 Rendah 3. Kelembagaan 45 Sedang 71,54 Tinggi 4. Pemasaran 55,625 Sedang 23,85 Rendah Skor total 49,09 Sedang 46,35 Sedang
267
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 261-271
0.54
0.27
0.00 Kualitas Tegakan SPM
Kualitas Tegakan PPM
Gambar 3. Kondisi tegakan pada saat insentif dan penyuluhan yang berlangsung
Menurut Ndraha (1982), salah satu unsur pokok dalam pelaksanaan program pembangunan masyarakat desa adalah partisipasi masyarakat itu sendiri, dan apabila diterapkan dalam bidang pembangunan, partisipasi meliputi tiga hal yakni: adanya keterlibatan mental dan emosional dari seseorang yang berpartisipasi, adanya kesediaan dari masyarakat untuk memberikan sumbangan materi, tenaga maupun pikiran untuk ikut dalam suatu kegiatan bersama demi mencapai tujuan bersama, dan adanya rasa tanggung jawab terhadap aktivitas yang dilakukan oleh seseorang. Dari kondisi yang ada faktor insentif dan intensitas penyuluhan merupakan varibel eksternal yang lebih dinamis dibandingkan faktor lainnya, yang kemungkinan akan meningkatkan partisipasi masyarakat. Menurut Pangesti (1995), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang meliputi dua hal yakni faktor internal yang mencakup ciri-ciri atau karakter individu meliputi umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, luas lahan garapan, pendapatan, pengalaman berusaha, dan kekosmopolitan, serta faktor eksternal yang merupakan faktor di luar karaktersitik individu yakni hubungan antara pengelola dengan petani penggarap, pelayanan pengelola, dan penyuluhan. Dalam kenyataan di lapangan, partisipasi masyarakat juga sebenarnya dipengaruhi oleh modal sosial seperti kepercayaan masyarakat terhadap suatu
program. Selanjutnya dengan meningkatnya partisipasi masyarakat diharapkan akan meningkatkan kondisi tegakan yang dimilikinya. Model yang telah terbentuk digunakan untuk menjabarkan beberapa skenario pengembangan hutan rakyat bersama pontren. Skenario yang diujikan diantaranya adalah program pengembangan hutan rakyat bersama pemerintah (PPM) atau masyarakat dengan swasta (SPM) dengan membandingkan kondisi sosial ekonomi, jenis insentif, modal sosial, partisipasi masyarakat dan kondisi tegakan dan berdasarkan keberadaan pihak mitra (pemerintah, swasta) dan manfaat yang diperoleh dalam rangka meningkatkan pendapatan (nilai tegakan). Skenario berdasarkan model jika insentif dan intensitas penyuluhan yang berlangsung terlihat pada Gambar 3. Sementara itu, jika insentif dan intensitas penyuluhan dinaikkan sebesar masingmasing 25%, 50%, dan 100% dari kondisi sekarang, tersaji pada Gambar 4, Gambar dan Gambar 6. Hal yang penting diperhatikan untuk meningkatkan keberhasilan kerjasama pengelolaan hutan rakyat berbasis Pontren adalah partisipasi semua stakeholder terutama masyarakatnya. Pada skenario peningkatan insentif dan intensitas penyuluhan 50% diperkirakan sudah dapat meningkatkan partisipasi dan pada akhirnya akan memperbaiki kondisi tegakan hutan rakyatnya.
268
Pendekatan Sistem Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Bersama Pondok Pesantren (Sanudin dan Eva Fauziyah)
0.62
0.31
0.00 Kualitas Tegakan SPM
Kualitas Tegakan PPM
Gambar 4. Kondisi tegakan apabila insentif dan intensitas penyuluhan dinaikkan masingmasing 25% dari kondisi sekarang
0.83
0.42
0.00 Kualitas Tegakan SPM
Kualitas Tegakan PPM
Gambar 5. Kondisi tegakan apabila insentif dan intensitas penyuluhan dinaikkan masingmasing 50% dari kondisi sekarang
kondisi sosial ekonomi, jenis insentif berupa bantuan dan penyuluhan, modal sosial, partisipasi masyarakat dan kondisi tanaman/tegakan, dengan asumsi partisipasi masyarakat berbanding lurus dengan kondisi tegakan. Selain itu, skenario model pengelolaan hutan rakyat diarahkan untuk peningkatan partisipasi sehingga meningkatkan kondisi tegakan.
Dari ketiga gambar skenario diatas dapat dilihat bahwa untuk meningkatkan tegakan melalui peningkatan partisipasi diperlukan adanya peningkatan insentif dan juga intensitas penyuluhan. KESIMPULAN Model sistem yang dibangun menjelaskan dinamika pengembangan hutan rakyat bersama pontren yang melibatkan pemerintah, swasta, pontren, dan masyarakat berdasarkan parameter
269
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 261-271
1.00
0.50
0.00 Kualitas Tegakan SPM
Kualitas Tegakan PPM
Gambar 6. Kondisi tegakan apabila insentif dan intensitas penyuluhan dinaikkan masingmasing 100% dari kondisi sekarang Keterangan terhadap Gambar 3 sd Gambar 6. Pengaruh insentif dan intensitas penyuluhan yang berlangsung terhadap kualitas tegakan (SPM: kualitas tegakan pada program HR Pola Swasta – Pontren – Masyarakat; PPM : Pola Pemerintah – Swasta – Masyarakat).
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 1997. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta. Jakarta.
Skenario yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan insentif baik berupa bantuan bibit/dana dan penyuluhan dari pihak swasta/pemerintah baik langsung maupun melalui Pontren, karena faktor insentif merupakan faktor luar yang dinamis dan dapat mempengaruhi partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat. Skenario dengan peningkatan insentif finansial maupun penyuluhan sebesar 50% sudah dapat meningkatkan partisipasi petani sehingga akan meningkatkan kualitas tegakan.
Fauziyah, E. 2010. Tingkat Partisipasi Masyarakat Pontren dalam Program Pengembangan Hutan Rakyat. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor dan Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan. 2010. Fukuyama, F. 2007. The Great Discruptions, Hakekat Manusia dan Rekonstitusi Tatanan Sosial (Terjemahan). Penerbit Qalam. Jakarta.
REKOMENDASI Untuk meningkatkan keberhasilan program pengembangan hutan rakyat, perlu diberikan insentif yang jelas dari pemerintah/stakeholder terkait dan pendampingan yang intensif, dan pontren dapat memaksimalkan perannya sebagai pendamping dalam kegiatan tersebut, tidak hanya sebagai perantara (turut serta memberi penyuluhan) pada awal kegiatan saja.
Ndraha, T. 1982. Metodologi Penelitian Pembangunan Desa. Bina Aksara. Jakarta. O’Hanlon, M.G. 2006. Pesantren dan Dunia Pemikiran Santri: Problematika Metodologi Penelitian yang Dihadapi Orang Asing. Program ACICIS Angkatan XXI, 2005-2006. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang. Malang. Pangesti, M.H.T. 1995. Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Kegiatan Perhutanan Sosial
270
Pendekatan Sistem Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Bersama Pondok Pesantren (Sanudin dan Eva Fauziyah)
(Studi Kasus di KPH Cianjur, Jawa Barat). Tesis Program Pascasarjana Insititut Pertanian Bogor. Bogor. Productivity Commission. 2003. Social Capital: Reviewing the Concept and its Policy Implications. Research Paper. AusInfo.Canberra. Purnomo H. 2005. Teori Sistem Kompleks, Pemodelan Dan Manajemen Sumber Daya Alam Secara Kolaboratif dan Adatif (Lecture Notes). Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Subarudi. 2007. Desa Sebagai Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Pulau Jawa. Prosiding Workshop â&#x20AC;&#x2DC;Perencanaan RHL Berbasis Pemberdayaan Kelompok Tani dalam Suatu Kerangka Sistem Informasi Manajemen Kehutanan yang Akurat dan Tepat di Kabupaten Ciamis. Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis dan ITTO. Ciamis. Qamarudin. 2005. Pendidikan Lingkungan Berbasis Pontren. http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0305/22/1101.htm. Diakses tanggal 25 September 2007.
271
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 272-278
Hasil Penelitian PENGARUH PEMBERIAN MIE INSTAN FORTIFIKASI PADA IBU MENYUSUI TERHADAP KADAR ZINK DAN BESI ASI
(THE INFLUENCE OF INSTANT NOODLE FORTIFIED FOR LACTATING MOTHER ON THE CONCENTRATION OF ZINC AND IRON MILK)) MILK Evawany Aritonang Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara Jl. Universitas No. 21, Medan Email: evawany@gmail.com Diterima: 25 Agustus 2012; Direvisi: 28 September 2012; Disetujui: 15 November 2012
ABSTRAK Masalah defisiensi zink dan besi yang banyak dialami oleh ibu menyusui dan bayi. Keadaan ini merupakan masalah kesehatan masyarakat di banyak negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan, prevalensi masalah ini di Indonesia masih cukup tinggi. Sampai saat ini, defisiensi zink dan besi pada ibu menyusui masih tinggi di Indonesia dan belum ada program perbaikan gizi secara khusus. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh mie instan fortifikasi terhadap kadar zink dan besi ASI. Disain penelitian adalah doble blind randomized control trial dengan 60 sampel terdiri dari 30 ibu menyusui sebagai kelompok perlakuan (mendapat mie instan yang difortifikasi zink, besi, kalsium, iodium, selenium, folat, vitamin A, D, E, B6 dan B12 yang didisain WFP dan diproduksi PT Indofood) dan 30 ibu menyusui sebagai kelompok kontrol (mendapat mie instan tanpa fortifikasi). Intervensi dilakukan 4 bulan. Analisis kadar zink dan besi ASI dilakukan dengan metode AAS (Atomic Absorption Spectrofotometer) sebelum dan setelah intervensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kadar zink ASI pada kelompok kontrol 2,09 ± 3,24 µg/L dan kelompok perlakuan 1,62 ± 2,87 µg/L. Peningkatan kadar besi ASI pada kelompok perlakuan 2,81 ± 4,39 µg/L dan kelompok kontrol 0,75 ± 7,19 µg/L. Kadar zink ASI secara nyata dipengaruhi oleh konsumsi protein. Sedangkan kadar besi ASI secara nyata dipengaruhi oleh konsumsi mie instan fortifikasi dan kadar feritin darah ibu (p<0,05). Disarankan dilakukannya upaya perbaikan masalah gizi ini secara holistik, dimana perbaikan konsumsi gizi mikro ibu dan anak sebaiknya tidak hanya mengandalkan peningkatan atau pengayaan zat gizi secara tunggal. Selain itu, kecenderungan zink dan besi dalam menurunkan morbiditas ibu dan bayi perlu kiranya dikaji lebih lanjut dalam penelitian epidemiologi masyarakat terhadap penyakit-penyakit spesifik seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), diare, batuk, dan lain-lain guna membuktikan peran zink dan besi dalam durasi dan beratnya penyakit. Kata Kunci : Mie Instan, Fortifikasi, Kadar Zink Dan Besi ASI, Ibu Menyusui
ABSTRACT Zinc and iron deficiencies are widely experienced by breastfeeding mothers and babies. This condition is a public health problem in many developing countries including Indonesia. The prevalence of this problem in Indonesia is assumed still high. Currently, the pprevalence of zinc and iron deficiency in lactating mother is still high in Indonesia and there is no adequate program to solve this problem. The objective of this study is to analyze the effect of fortified instant noodle in lactating mother on milk zinc and milk iron concentration. The nutrients in fortified instant noodle are zinc, iron calcium, iodium, vitamin A, D, E, B6, and B12. Design of study is double blind randomized controlled trial for 30 lactating mother (LM) as an intervention group and 30 LM as a control group. The instant noodle had given during 16 weeks. Milk zinc and milk iron concentration analyzed using AAS method (Atomic Absorption Spectrofotometer) at pre and post intervention.
272
Pengaruh Pemberian Mie Instan Fortifikasi Pada Ibu Menyusui Terhadap Kadar Zink dan Besi Asi (Evawany Aritonang)
The result showed that changes of milk zinc concentration in intervention group was 1,62 ± 2,87 µg/L and in control group was 2,09 ± 3,24 µg/L. The changes of milk iron consentration in intervention group was 2,81 ± 4,39 µg/L and in control group was is 0,75 ± 7,19 µg/L. Milk zinc concentration was influenced significantly by fortified instant noodle and serum feritin level. It is suggested to improve efforts to overcome this nutritional problem holistically, where improved micronutrient intake of mothers and children should not only rely on single nutrient increasing or enrichment. In addition, the tendency of zinc and iron in reducing maternal and infant morbidity is needed to be studied further in the epidemiological studies area on specific diseases such as upper respiratory infections, diarrhea, cough, and other diseases in order to prove the role of zinc and iron into the duration and severity of the disease.
Keywords: instant noodle, fortified, milk zinc and milk iron concentration, lactating mother
hamil. Anemia yang terjadi pada ibu menyusui akan berdampak terhadap kemampuan untuk memproduksi ASI yang cukup dimana cadangan atau jaringan ibu akan dipakai untuk memproduksi ASI sehingga ibu sangat berisiko terhadap terjadinya gizi kurang dan anemia yang lebih berat. Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk menanggulangi masalah defisiensi gizi seperti penyuluhan gizi, pemberian pangan, suplementasi gizi, diversifikasi, dan fortifikasi pangan. Fortifikasi zink dan besi pada ibu menyusui melalui makanan bertujuan memperbaiki status gizi ibu menyusui agar menghasilkan ASI optimal untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi. Oleh karena prevalensi anemia pada bayi usia dibawah 6 bulan dan ibu menyusui masih tinggi, serta peranan zink dan besi dalam pertumbuhan bayi, maka dilakukanlah penelitian ini, dengan tujuan: 1) menganalisis kadar zink dan besi dalam ASI ibu menyusui; 2) menganalisis intik gizi (energy, protein, zink, besi) dari pangan dan mie instan fortifikasi pada ibu menyusui; dan 3) menganalisis pengaruh mie instan fortifikasi terhadap kadar zink dan besi dalam ASI.
PENDAHULUAN Intik gizi yang tidak cukup dan infeksi merupakan penyebab langsung gizi kurang pada bayi dan anak (UNICEF, 1999). Hal ini berdampak tidak saja terhadap kekurangan gizi makro tetapi juga gizi mikro yang sangat perlu untuk pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini. Pemenuhan kebutuhan gizi bayi usia 06 bulan mutlak diperoleh melalui Air Susu Ibu (ASI) bagi bayi dengan ASI Eksklusif (Butte et al, 2002; Kramer dan Kakuma, 2002; WHO, 2002). Berdasarkan hal ini maka upaya perbaikan gizi bayi 0-6 bulan dilakukan melalui perbaikan gizi ibu sebelum dan pada masa pemberian ASI eksklusif. Selain itu Bank Dunia (World Bank, 2006) mengemukakan bahwa upaya perbaikan gizi bayi 0-6 bulan didasarkan bahwa gizi kurang pada usia kurang dari 2 tahun akan berdampak terhadap penurunan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kecerdasan, dan produktivitas; dimana dampak ini sebagian besar tidak dapat diperbaiki (irreversible). Masalah defisiensi zink dan besi merupakan masalah kesehatan masyarakat di banyak Negara berkembang termasuk Indonesia yang banyak dialami oleh ibu menyusui dan bayi (ACC/SCN, 2001). Bank Dunia menyatakan bahwa 40% masyarakat (anak dan ibu hamil) di Negara berkembang defisiensi besi. Prevalensi defisiensi zink secara menyeluruh di Indonesia belum diketahui, hanya berdasar penelitian diberbagai tempat seperti riset Dijkhuizen et al (2001) menemukan 25% ibu menyusui dan 17% bayi defisiensi zink, sedangkan Lind et al (2003) mengungkap defisiensi zink pada bayi 6-12 bulan 78%. Tingginya prevalensi anemia maupun defisiensi zink pada anak dan ibu menyusui harus ditindak lanjuti berdasarkan kajian yang dilakukan WHO (2002) yang mengemukakan bahwa 54% penyebab kematian balita dipengaruhi factor gizi. Prevalensi anemia pada ibu menyusui secara menyeluruh belum diketahui tetapi diduga hampir sama dengan prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil dengan asumsi ibu hamil akan menjadi ibu menyusui dan tidak adanya program pemberian tablet besi pada ibu menyusui seperti pada ibu
METODE Penelitian dilakukan pada 8 desa yaitu desa Cikarawang, Babakan, Darmaga, Ciherang, Sinarsari, Neglasari, Petir, dan Sukawening kecamatan Darmaga kabupaten Bogor propinsi Jawa Barat berdasarkan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita yang relative tinggi di Jawa Barat yaitu 20,5% (Depkes, 2003). Penelitian dilakukan selama 12 bulan mulai Juli 2004 sampai Juli 2005. Rancangan penelitian adalah “double blind randomized controlled trial” . Sampel adalah ibu menyusui dengan anak berusia 1 - 4 bulan. Sampel dalam penelitian ini adalah semua sampel ibu menyusui dari penelitian payung “Efikasi Biskuit dan Mie yang Difortifikasi terhadap Status Gizi Mikro Ibu dan Anak” yang dilakukan Hardinsyah dkk (2005). Perhitungan sampel adalah 22 dan diperbesar menjadi 30 untuk menghindari drop out. Rumus perhitungan jumlah sampel adalah : N ≥ (2S 2 (Zβ + Zα) 2 / d 2 273
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 272-278
Bahan yang digunakan untuk fortifikasi zat gizi adalah mie instan berdasarkan analisis SUSENAS tahun 2002 yang menyatakan bahwa mie instan adalah pangan yang paling banyak dikonsumsi penduduk Indonesia yaitu 6,4 gr/kapita/hari karena praktis, rasanya sesuai dengan selera masyarakat, mudah diperoleh, dan harganya terjangkau (Hardinsyah, 2003) sehingga diharapkan tingkat kepatuhan (compliance) ibu mengkonsumsi mie instan tinggi. Mie instan baik yang difortifikasi maupun plasebo didisain WFP, IPB, Depkes, dan BPOM yang diproduksi oleh P.T Indo Food. Mie instan dikirim oleh WFP ke IPB. Setiap minggu petugas gudang mengkemas mie instan dan didistribusikan kepada sampel melalui kader di delapan desa. Setiap kader membagikan mie instan satu kali dalam seminggu sebanyak 8 bungkus mie instan kepada masing-masing ibu dimana setiap ibu menyusui mengkonsumsi 1 bungkus mie instan setiap hari (@ 75 gr) selama 4 bulan. Selain itu dua kali dalam seminggu kader mencatat jumlah mie instan yang dikonsumsi, jumlah yang tidak dikonsumsi, alasan tidak mengkonsumsi, dan keluhankeluhan ibu. Data yang diambil meliputi data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari karakteristik ibu menyusui (besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengeluaran pangan dan non pangan), dan konsumsi gizi ibu
Parameter Umur Ibu (th) Umur Bapak (th) Pendidikan Ibu (th) Pendidikan Bapak (th) Pendapatan Kel (Rp/bln) Pengeluaran Pgn (%) Pengeluaran Non Pgn (%)
Status Gizi
menyusui yang diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner. Kadar zink dan besi ASI diperoleh dengan pengambilan ASI sebanyak dua kali yaitu sebelum dan setelah intervensi. Analisis kadar zink dan besi ASI menggunakan metode AAS (Atomic Absorption Spectrofotometer). Konsumsi mie instan yang diberikan diperoleh dengan pemantauan. Data sekunder meliputi data demografi, geografi, dan fasilitas pelayanan kesehatan di lokasi penelitian. Data karakteristik ibu menyusui, anthropometri bayi, pengeluaran pangan dan non pangan keluarga dianalisis secara deskriptif dan kategorikal. Untuk mengetahui pengaruh pemberian mie instan fortifikasi terhadap kadar zink dan besi ASI digunakan uji regresi berganda. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik sosial ekonomi keluarga yang terdiri dari umur ibu, umur bapak, pendidikan ibu, pendidikan bapak, pekerjaan ibu, pekerjaan bapak, pengeluaran pangan dan non pangan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol relatif sama (Tabel 1). Uji statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata karakteristik sosial ekonomi keluarga antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. (p<0,05).
Tabel 1. Karakteristik keluarga contoh Perlakuan (n : 27) 25,74 ± 4,77 31,15 ± 6,49 6,89 ± 2,44 7,70 ± 2,87 742851 ± 469752 69,1 ± 28,8 30,9 ± 28,8
Kontrol (n : 29) 25,86 ± 5,36 31,83 ± 6,65 6,17 ± 2,12 7,07 ± 2,84 628965 ± 325152 80,6 ± 20,4 19,4 ± 20,4
Tabel 2. Status gizi ibu berdasarkan indeks massa tubuh Perlakuan (n : 27) Kontrol (n : 29) N % N %
Sebelum Kurang (IMT < 18)
0
0,0
0
0,0
Normal (18< IMT < 25)
25
92,6
24
82,8
Lebih (IMT > 25)
2
7,4
5
17,2
Rataan IMT ± SD
21,89 ± 2,76
22,93 ± 2,17
Setelah Kurang (IMT < 18)
0
0,0
0
0,0
Normal (18< IMT < 25)
25
92,6
21
72,4
Lebih (IMT > 25)
2
7,4
8
27,6
Rataan IMT ± SD
21,22 ± 2,53 274
23,93 ± 2,73
Pengaruh Pemberian Mie Instan Fortifikasi Pada Ibu Menyusui Terhadap Kadar Zink dan Besi Asi (Evawany Aritonang)
Waktu Pengamatan Sebelum Setelah Selisih
Waktu Pengamatan Sebelum Setelah Selisih
Zat Gizi Energy Protein Zink Besi Vit A Vit C Kalsium Fosfor
Zat Gizi Energy (kal) Protein (gr) Zink (mg) Besi (mg) Vit A(RE) Kalsium (mg)
Tabel 3. Kadar zink ASI Perlakuan (n : 27) Kontrol (n : 29) 2,19 ± 1,44 2,32 ± 1,75 3,81 ± 1,95 4,41 ± 2,74 1,62 ± 2,87 2,09 ± 3,24
Total (n:56) 2,26 ± 1,59 4,12 ± 2,39 1,86 ± 3,05
Tabel 4. Kadar besi ASI pada ibu menyusui (mg/L) Perlakuan (n : 27) Kontrol (n : 29) Total (n:56) 3,95 ± 2,55 5,82 ± 2,96 4,92 ± 2,90 6,76 ± 4,25 6,57 ± 6,21 6,66 ± 5,31 2,81 ± 4,39 0,75 ± 7,19 1,74 ± 6,04
Sig 0,75 0,35 0,57
Sig 0,20 0,02 0,71
Tabel 5. Tingkat kecukupan gizi dari pangan ibu menyusui Perlakuan (n : 27) Kontrol (n : 29) Sebelum Setelah Sebelum Setelah 77,5 ± 23,7 92,4 ± 30,3 64, 5 ± 24,6 86,8 ± 26,2 79 ± 29,7 97,9 ± 43,6 74, 6 ± 37,8 100,6 ± 45,4 34,4 ± 11,4 45 ± 9, 9 42,3 ± 50,1 47,8 ± 14,2 42,8 ± 15,2 59,5 ± 23,8 42,4 ± 19,6 60,2 ± 23,3 54,1 ± 35,6 90,4 ± 66,2 49,9 ± 27,7 82,7 ± 47,4 24,6 ± 27,1 44,1 ± 46,8 23,7 ± 19,3 42,9 ± 40,6 32,6 ± 19,8 81,0 ± 47,2 33,9 ± 15,6 76,2 ± 46,2 71,8 ± 28,0 150,1 ± 79,9 72,8 ± 30 157,3 ± 87,6
Tabel 6. Konsumsi Zat Gizi dari Mie Instan menurut Kelompok Perlakuan (n : 27) Kontrol (n : 29) Total (n : 56) 295 ± 47 301 ± 19,2 296 ± 35,2 7,5 ± 1,2 7,6 ± 0,5 7,5 ± 0,9 5,5 ± 0,9 0,4 ± 0,03 3,5 ± 0,4 6,2 ± 0,9 1,03 ± 0,01 2,7 ± 0,3 209,9 ± 33,4 58,3 ± 3,7 128,5 ± 27,2 233,1 ± 37,1 85,3 ± 43,4 169 ± 30,9
(1989) dan Butte et al (1984) dalam ACC/SCN (1991) menunjukkan adanya defisit energi 110343 kkal/hari pada ibu menyusui 4-6 bulan yang tinggal di rumah dengan gizi baik, setara dengan penurunan berat badan 2,6 – 7,9 kg selama 6 bulan. Pada studi ini terlihat penurunan berat badan ibu relatif kecil yang berarti ada pengaruh mie instan fortifikasi sehingga defisit energi yang biasa terjadi saat menyusui dapat diperkecil dan penurunan berat badan relatif rendah. Pada Tabel 3 terlihat kadar zink ASI sebelum intervensi relatif sama antara kelompok perlakuan dan kontrol yaitu berada pada kisaran 2,19 ± 1,44 mg/L sampai dengan 2,32 ± 1,75 mg/L. Hasil uji statistik kadar zink ASI sebelum dan setelah intervensi menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna (p<0,05). Kenaikan kadar zink ASI lebih tinggi pada kelompok kontrol daripada kelompok
Sementara itu, Tabel 2 menunjukkan penurunan berat badan pada ibu menyusui biasa terjadi karena besarnya energi yang dibutuhkan untuk produksi ASI sehingga jaringan lemak pada adiposa akan cepat diurai untuk memenuhi kebutuhan energi ibu menyusui yang mempercepat penurunan berat badan terutama bila asupan makanan tidak mencukupi kebutuhan dan aktivitas yang berat pada ibu menyusui. Asupan makanan dan aktivitas fisik merupakan faktor penting yang menentukan terhadap berat badan. Hal ini ditegaskan dalam studi jaringan adiposa pada ibu menyusui (Lafontan et al, 1979; Rebuffe Service et. 1985 dalam ACC/SCN, 1991) yang menunjukkan adanya perubahan spesifik dalam metabolisme simpanan energi selama menyusui. Lipolisis (penguraian lemak) jaringan adiposa di perut secara nyata lebih besar pada ibu yang menyusui daripada ibu yang tidak menyusui. Brewer et al 275
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 272-278
perlakuan. Kenaikan kadar zink ASI lebih tinggi pada kelompok kontrol daripada kelompok perlakuan disebabkan lebih baiknya konsumsi pangan sumber protein dan zink pada kelompok kontrol. Selain itu konsumsi pitat yang menghambat absorpsi zink juga lebih tinggi pada kelompok perlakuan sehingga jumlah zink terabsorpsi dari pangan diluar mie instan lebih tinggi pada kelompok kontrol. Bentuk kimia senyawa zink dalam mie instan adalah zink oksida yang bersifat tidak larut dalam air sehingga bioavailabilitas dan absorpsinya rendah. Dalam penelitian ini terlihat tidak ada pengaruh mie instan fortifikasi terhadap kadar zink ASI. Berdasarkan konsumsi zink pangan, zink terabsorpsi, konsumsi protein yang lebih tinggi pada kelompok kontrol dan bentuk kimia senyawa zink dalam mie instan maka jelas mengapa kadar zink ASI pada kelompok kontrol lebih tinggi. Kadar besi ASI pada Tabel 4 menunjukkan bahwa setelah intervensi kadar besi ASI meningkat pada kedua kelompok namun peningkatan terbesar terdapat pada kelompok perlakuan yaitu 71,14% sedangkan pada kelompok kontrol 12,89%. Hal ini disebabkan adanya mie instan yang difortifikasi dengan zat besi pada kelompok perlakuan sehingga konsumsi besi pada kelompok perlakuan lebih tinggi. Rata-rata konsumsi besi dari mie instan pada kelompok perlakuan adalah 6,2 Âą 0,9 mg (19% AKG) sedangkan pada kelompok kontrol 4,1 Âą 0,3 mg (13% AKG). Sebaliknya konsumsi besi yang berasal dari pangan diluar mie relative sama pada kedua kelompok. Selain itu konsumsi protein yang berasal dari pangan di luar mie cukup baik dengan tingkat kecukupan 110% yang berperan dalam mengangkut besi ke kelenjar payudara. Selain itu bentuk kimia besi dalam mie adalah ferosulfat dengan bioavailabilitas relative 100 yang artinya paling baik diabsorpsi sehingga besi yang diabsorpsi lebih banyak. Uji statistik kadar besi ASI sebelum intervensi menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna, sedangkan setelah
intervensi menunjukkan adanya perbedaan bermakna kadar besi ASI (p<0,05). Hal ini berarti ada pengaruh mie intan fortifikasi terhadap kadar besi ASI. Pada tabel 5 terlihat bahwa konsumsi zat gizi setelah intervensi cenderung meningkat dibanding sebelum intervensi. Uji beda konsumsi pangan menunjukkan tidak ada perbedaan nyata baik sebelum dan setelah intervensi. Kenaikan konsumsi energi dan protein lebih tinggi pada kelompok kontrol daripada perlakuan. Secara umum tingkat kecukupan gizi pada akhir intervensi cenderung lebih tinggi dibanding pada awal intervensi. Sebaliknya tingkat kecukupan zat gizi mikro zink dan besi juga masih dibawah 70%. Hal ini berarti bahwa pangan yang dikonsumsi ibu menyusui sangat rendah kandungan gizi mikronya. Keadaan ini lebih disebabkan karena faktor ekonomi yaitu ketidakmampuan ibu untuk membeli pangan sumber gizi zink dan besi yang harganya mahal. Ibu menyusui dalam penelitian ini umumnya berasal dari keluarga miskin. Pada keadaan fisiologis menyusui kebutuhan gizi ibu meningkat karena kebutuhan untuk memproduksi ASI sehingga rawan terhadap terjadinya gizi kurang (World Bank, 2006). Rendahnya gizi mikro yang dikonsumsi ibu menyusui akan mempengaruhi kemampuan untuk menyediakan gizi mikro yang cukup untuk pertumbuhan bayi. Bila setiap hari ibu menyusui mengkonsumsi satu bungkus mie instan maka selama 16 minggu intervensi diharapkan ibu menyusui mengkoonsumsi 112 bungkus mie instan. Berdasarkan pemantauan dan pengecekan yang dilakukan oleh kader, petugas lapang dan peneliti, tingkat kepatuhan konsumsi mie instan cukup tinggi dan relatif sama antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yaitu 91 Âą 14% pada kelompok perlakuan dan 92 Âą 6% pada kelompok kontrol. Hal tersebut tersaji pada Tabel 6.
Tabel 7. Hasil uji regresi logistik terhadap kadar zink ASI Variable B Exp (B) Konstanta -33,617 0,000 Mie Instan Fortifikasi 2,095 8,124 Konsumsi Protein (gr) 2,801 16,465 Tingkat Kecukupan Besi (%) 0,042 1,042 IMT 0,000 1,000 Konsumsi Zink (mg) 0,145 1,156
276
Sig 0,022 0,089 0,010 0,091 0,907 0,240
Pengaruh Pemberian Mie Instan Fortifikasi Pada Ibu Menyusui Terhadap Kadar Zink dan Besi Asi (Evawany Aritonang)
Tabel 8. Hasil uji regresi logistik terhadap kadar besi ASI Variable B Exp (B) Konstanta -5,964 0,003 Mie Instan Fortifikasi 1,485 4,416 Konsumsi Protein (gr) 0,166 1,180 Konsumsi Zink (mg) 0,004 1,004 IMT 0,000 1,000 Konsumsi Besi (mg) 0,007 1,007
Sig 0,127 0,027 0,319 0,953 0,729 0,598
Tabel 7 menyajikan hasil regresi logistik yang menunjukkan bahwa konsumsi protein secara bermakna (p<0,05) mempengaruhi kadar zink ASI. Nilai OR untuk konsumsi protein adalah 16,5. Hal ini berarti ibu yang mempunyai konsumsi protein lebih tinggi mempunyai peluang 16,5 kalo lebih tinggi kadar zink ASI dibanding ibu yang mempunyai konsumsi protein rendah. Konsumsi mie instan fortifikasi pada penelitian ini tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar zink ASI. Hasil uji beda tingkat kecukupan besi pada ibu tersaji pada Tabel 8. Tabel tersebut menunjukkan sebelum intervensi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. Hal ini berarti bahwa perbedaan kadar besi ASI disebabkan oleh mie intan fortifikasi. Analisa regresi logistik menunjukkan bahwa konsumsi mie instan fortifikasi secara bermakna mempengaruhi kadar besi ASI dengan nilai OR 4,4. Hal ini berarti bahwa ibu yang mengkonsumsi mie instan fortifikasi berpeluang 4,4 kali lebih tinggi kadar besi ASI nya dibandingkan ibu yang tidak mengkonsumsi mie instan fortifikasi. Konsumsi protein, zink, besi, dan volume ASI berpeluang meningkatkan kadar besi ASI tetapi tidak nyata secara statistik.
masalah gizi ini secara holistik. Artinya perbaikan konsumsi gizi mikro ibu dan anak sebaiknya tidak hanya mengandalkan peningkatan atau pengayaan zat gizi secara tunggal. Selain itu, kecenderungan zink dan besi dalam menurunkan morbiditas ibu dan bayi perlu kiranya dikaji lebih lanjut dalam penelitian epidemiologi masyarakat terhadap penyakitpenyakit spesifik seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), diare, batuk, dan lainlain guna membuktikan peran zink dan besi dalam durasi dan beratnya penyakit. Diperlukan jugua program perbaikan gizi pada ibu menyusui yaitu program fortifikasi makanan dengan multi gizi mikro. Hal ini bisa dilakukan dengan pemberian mie instan fortifikasi ataupun melalui pangan fortifikasi lainnya yang ditujukan untuk ibu menyusui untuk meningkatkan kualitas ASI. Berdasarkan kontribusi mie instan fortifikasi terhadap kecukupan zink dan besi hanya sekitar 20% maka perlu didisain produk mie instant bagi ibu menyusui dengan kandungan besi dan zink yang lebih tinggi. Perlu digagas juga perlunya pendidikan gizi pada ibu menyusui tentang sumber-sumber makanan yang mengandung zink dan besi tinggi sehingga kualitas ASI lebih baik.
KESIMPULAN Mie instant yang diperkaya vitamin dan mineral berkontribusi pada tingkat kecukupan vitamin A 24.7%, tingkat kecukupan kalsium 24.6%, tingkat kecukupan zink 19.1%, dan kecukupan besi 19.4%. Selain itu, pemberian mie instan yang difortifikasi tidak meningkatkan kadar zink ASI, tetapi meningkatkan kadar besi ASI. Kadar zink ASI secara nyata dipengaruhi oleh konsumsi protein, sedangkan kadar besi ASI secara nyata dipengaruhi oleh konsumsi mie instan fortifikasi dan kadar feritin ibu (p<0,05).
DAFTAR PUSTAKA Butte. N.F, Lopez. A, Garza. C. 2002 Nutrient Adequacy of Exclusive Breastfeeding for The Term Infant during The First Six Months of Live. dalam WHO. 2003. Community Based Strategies for Breastfeeding Promotion and Support in Developing Countries Dallman. 1986. Iron Defficiency in The Weaning : A Nutritional Problem on The Way to Resolution. Acta Pediatric Supplemen 323 ; 59-67 Dewey. K, Magnus Domellof, Roberta J.Cohen, Rivera L, Hernell O, and Lonnerdal. 2002. Supplementation Affects Growth and Morbidity of Breast Fed Infants : Results of Randomized Trial in Sweden and Honduras. J Nutr Vol 132 : 3249-3255
REKOMENDASI Mengingat kekurangan vitamin dan mineral, terutama vitamin A, vitamin B6 dan Vitamin B12 serta mineral besi, zink dan kalsium, pada ibu menyusui dan anak di Indonesia masih bermasalah, diperlukan upaya perbaikan
Dijkhuizen. M.A, Wieringa. F, West. C, Muherdiyantiningsih, Muhilal. 2001. Concurrent Micronutrient Deficiencies in Lactating Mothers and
277
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 272-278
Their Infants in Indonesia. Am.J.Clin.Nutr. 2001. Vol. 73: 786-791
Salgueiro M, Zubillaga M, Alexis, Lysionek, Cara R, Weill R, Eng, and Boccio. 2002. The Role of Zinc in The Growth and Development of Children. J Nutr 18 : 510519
Domeklof., M. 2004. Iron, Zinc and Copper Interactions in Breast Milk are Independent of Maternal Mineral Status. Am.J.Clin.Nutr. 2004. Vol. 79 No 1
Salvador. V and Latulippe. M. 2003. Milk folate but not milk iron concentrations may be inadequate for some infants in a rural farming community in San Mateo Capulhuac, Mexico. Am.J.Clin.Nutr. 2003; vol 78: 782789
Fransson. G.B, Agarwal. K.N, Gebre. M, Hambraeus. L. Increased Breastmilk Iron n Severe Maternal Anemia : Physiological “Trapping or Lackage?”. Acta Paediatr Scand 1985; 74 : 290-1 dalam Lonnerdal. B. 2000. Regulation of Mineral and Trace Elements in Human Milk : Exogenous and Endogenous Factors. Nutr Rev Vol 58 No 8 August 2000: 223-229
Sinclair, D. 1991. Human growth after birth. Fifth edition. Oxford University Press. New York
Hardinsyah dan Leily Amalia. 2003. Perkembangan Konsumsi Terigu dan Pangan Olahannya di Indonesia. Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan PATPI “Peranan Industri dalam Pengembangan Produk Pangan di Indonesia”. Jogjakarta 22-23 Juli 2003
Stoltzfus, R.J. 2003. Iron Defficiency: Global Prevalence and Consequences. Food and Nutrition Bulletin Supplement Vol 24 No 4, 2003 : Proceedings of The Colloquium “Unlocking The Potential of The Worlds Children through Sustainable Fortification and Public-Private Partnership” Cincinnati,Ohio, USA 10-11 October 2002
Karra. 1989. Effect of Short Term Oral Zinc Supplementation on The Concentration of Zinc in Milk from American and Egyptian Women. Nutr Res. 9 : 471-478. dalam ACC/SCN. 1991. Nutrition During Lactation. National Academy Press. Washington, D.C
Thu. Bu. 1999. Weekly Compared to Daily Multi Supplementation of Iron, Vitamin A and Zinc in Vietnamese Children of 6-24 Months. Tesis yang tidak dipublikasikan. Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta
Kramer. M.S, Kakuma. R. Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2002 dalam WHO (2003) Community Based Strategies for Breastfeeding Promotion and Support in Developing Countries
UNICEF. 1999. Strategy for Improved Nutrition of Children and Women in Developing Countries. dalam Asian Development Review Volume 17 No 1,2 1999. Asian Development Bank Walter Thomas. 2003. Effect of Iron Defficiency Anemia on Cognitive Skills and Neuromaturation in Infancy and Childhood. Food and Nutrition Bulletin 2004 Vol 24 Supplement. United Nation Universty
Krebs. 1985. The Effect of Dietary Zinc Supllement during Lactation on Longitudinal Changes in Maternal Zinc Status and Milk Zinc Concentration. Am.J.Clin.Nutr 41 : 560-570
Widdowson. 1985. Growth and Body Composition in Childhood. Clinical Nutrition of The Young Child. 1 st Ed. Raven Press New York dalam Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Lonnerdal. 2000. Regulation of Mineral and Trace Elements in Human Milk : Exogenous and Endogenous Factors. Nutr Rev Vol 58 No 8 August 2000: 223-229 Lonnerdal. B, Domeklof. M, Dewey. K, Cohen. R, Hernell. O. 2004. Iron, Zinc, and Copper Concentration in Breastmilk are Independent of Maternal Mineral Status. Am. J. Clin. Nutr. 2004; 79: 111-5
Wijaya. M. 2001. Efficacy of Multi Micronutrient and Single Iron Supplementation on Iron Status of Indonesian Infants Aged 6-12 Month Old. Tesis yang tidak dipublikasikan. Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta
Murray. 1978. The Effect of Iron Status of Nigerian Mothers on That of Their Infants at Birth and 6Months and on The Concentration of Fe in Breast Milk. British J Nutr 39 : 627-630
World Health Organization. (WHO). 2002. The Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding : A Systematic Review. Geneva
Nasution Amini. 2003. Pengaruh Suplementasi Formula Biskuit Multigizi pada Ibu Hamil terhadap Kualitas Air Susu Ibu (ASI) dengan Pokok Bahasan Utama Mineral Seng (Zn). Disertasi yang Tidak Dipublikasikan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
World Health Organization. (WHO). 2003. Community Based Strategies for Breastfeeding Promotion and Support in Developing Countries. Department of Child and Adolescent Health and Development
Riyadi. H. 2002. Pengaruh Suplementasi Zn dan Fe terhadap Status Anemia, Status Seng dan Pertumbuhan Anak Usia 6-24 bulan. Disertasi yang Tidak Dipublikasikan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
278
Hubungan Faktor Pendukung dan Faktor Penguat Pekerjaan Seks Komersil dengan Pemanfaatan Pelayanan Klinik VCT Di Lokasi Bandar Baru, Deli Serdang (Darwita Juniwati B)
Hasil Penelitian HUBUNGAN FAKTOR PENDUKUNG DAN FAKTOR PENGUAT PEKERJAAN SEKS KOMERSIL DENGAN PEMANFAATAN PELAYANAN KLINIK KLINIK VCT DI LOKASI BANDAR BARU, DELI SERDANG
(THE RELATIONSHIP BETWEEN THE PREDISPOSING AND REINFORCING FACTORS OF COMMERCIAL SEX WORKING AREA OF SERDANG)) BANDAR BARU SIBOLANGIT, DELI SERDANG Darwita Juniwati Barus Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat STIKes SUmut, Medan E-mail: dar_wita@ymail.com Diterima: 1 September 2012; Direvisi: 2 November 2012; Disetujui: 15 November 2012
ABSTRAK Tercatat hingga Desember 2010 tercatat sebanyak 24.131 yang terinfeksi HIV dan 17.998 yang positif AIDS di Indonesia. Untuk mencapai target pengendalian penyebaran dan penurunan angka prevalensi penyakit HIV/AIDS hingga tahun 2015 menjadi 0,2 %, dilaksanakan kegiatan antara lain mengembangkan infrastruktur pelayanan kesehatan, pelayanan konseling dan testing secara sukarela melalui Voluntary Conselling Testing (VCT). Masyarakat dan khususnya kelompok resiko tinggi terkena HIV/AIDS yang berada diwilayah kerja Puskesmas tersebut kurang mengetahui keberadaan dan manfaat dari klinik VCT yang sudah lama berdiri, ini terlihat dari data pada tahun 2010 dengan jumlah kunjungan saja. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan faktor pendukung (predisposing) dan faktor penguat (Reinforcing) dengan pemanfaatan klinik VCT (Voluntary Conselling and Testing) di wilayah kerja Puskesmas Wisata Bandar Baru Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Sampel adalah seluruh PSK yang berjumlah 84 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara total sampling. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Square dan uji Regresi Logistik. Distribusi frekuensi PSK tertinggi pada usia produktif 57,1%, tingkat pendidikan SMP 59,5%, masa kerja sebagai PSK > 6 bulan 65,5%, pendapatan > Rp 2 juta/ bulan 84,5%, pengetahuan yang buruk tentang penyakit HIV/AIDS 57,1%, pengetahuan yang baik tentang faktor resiko 65,5%, pengetahuan buruk tentang pelayanan klinik VCT 70,2%, sikap negatif 60,7%, dukungan buruk dari teman seprofesi 54,8%, dukungan buruk dari mucikari 61,9%, dukungan baik dari petugas kesehatan 58,3%, memanfaatkan klinik VCT 63,1%. Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang pelayanan klinik VCT, dukungan teman seprofesi, dukungan petugas kesehatan dengan pemanfaatan klinik VCT di Puskesmas Wisata Bandar Baru (Îą < 0,05). Dengan uji regresi logistik ditemukan yang sangat berhubungan adalah pengetahuan tentang klinik VCT (Exp B = 3,93). Diharapkan agar petugas kesehatan lebih meningkatkan upaya promotif maupun preventif memberikan penyuluhan/ sosialisasi, melaksanakan pemeriksaan secara berkala sehubungan dengan perilaku beresiko dari pekerja seks komersil. Kata Kunci: klinik VCT, PSK, pemanfaatan
ABSTRACT HIV/AIDS is a dangerous sexual contagious disease for human being and can cause death to the sufferer and up to now there is no medicine that can cure it. Up to December 2010, in Indonesia, it is recorded that there were 24,131 persons who were infected by HIV and 17,998 who were positively suffering from AIDS. The purpose of this study with cross-sectional approach was to analyze the relationship between predisposing and reinforcing factors and the utilization of VCT (Voluntary Counseling and Testing) clinic service in the working area of Puskesmas Wisata Bandar Baru, Sibolangit Subdistrict, Deli Serdang District. The samples for this study were 84
279
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 279-286
commercial sex workers. The data obtained were analyzed through Chi-square and Logistic Regression tests. The highest commercial sex worker frequency distribution was at the age of 2035 years (57,1%), Senior High School (59,5%), working as commercial sex worker for >6months (64,3%), income > Rp. 2 million/month (84,5%), having poor knowledge on HIV/AIDS (57,1%), of them had good knowledge on risk factor (65,5%), having poor knowledge on VCT clinic service (70,2%), having negative attitude (60,7%), having poor support from co-workers (54,8%), having poor support from the pimp (61,9%), having good support from health workers (58,3%), utilizing VCT clinic (63,1%). There was a significant relationship between knowledge on VCT clinic service, support from co-workers, support from health workers and the utilization of VCT clinic (ι < 0,05). The result of logistic regression test showed that support from knowledge on VCT clinic service is the most influencing factor (Exp β = 3,939). The health workers are expected to increase their promotive or preventive attemps in providing extension/socialization, to periodecally do the examination in relation to the risk behavior of the commercial sex workers. Keywords : VCT Clinic, Commercial Sex Worker, Utilization
Homoseksual 3,3 %. Proporsi kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 15-29 tahun (40,78%), kelompok umur 30-39 tahun (37,32%) dan kelompok umur 40-49 tahun (11,9%) (Dirjen P2M-PL, 2010). Di Sumatera Utara, kasus HIV/ AIDS dari tahun ke tahun juga terus menunjukkan peningkatan. Hingga Desember tahun 2010 jumlah penderita orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sebanyak 1.195 jiwa dan 2.917 jiwa terinfeksi HIV (+) yang baru. Sebagian besar kumulatif kasus AIDS ditemukan di Kabupaten Deli Serdang yaitu mencapai 242 kasus dengan pencapaian indikator sebesar (85,54 %), sebesar 5,85% pada Pekerja Seks Komersial, Berdasarkan hasil sero survey Dinas Kesehatan Kabupaten Deliserdang tahun 2009 di lokasi Bandarbaru, dari 170 sampel darah PSK yang pernah diperiksa ditemukan 10 kasus (6,9%) positif HIV dan 30 kasus (17,1%) IMS. Angka ini mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.Peningkatan insiden ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti perubahan demografi, fasilitas kesehatan yang tersedia kurang memadai, pendidikan kesehatan tentang seksual kurang tersebar luas, kontrol HIV/AIDS yang paling menonjol adalah melalui hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan. Untuk mencapai target pengendalian penyebaran dan penurunan angka prevalensi penyakit HIV/AIDS hingga tahun 2015 menjadi 0,2 %, dilaksanakan kegiatan antara lain mengembangkan infrastruktur pelayanan kesehatan, pelayanan konseling dan testing secara sukarela melalui Voluntary Conselling Testing (VCT). Target sasaran layanan VCT sangat luas yaitu pada kelompok beresiko tertular dan kelompok rentan, yaitu kelompok masyarakat yang karena ruang lingkup pekerjaan, lingkungan, rendahnya ketahanan keluarga dan rendahnya kesejahteraan keluarga, status kesehatan, sehingga mudah tertular HIV. VCT merupakan salah satu model untuk memberikan informasi secara menyeluruh dan dukungan untuk merubah perilaku beresiko
PENDAHULUAN Salah satu penyakit yang menjadi masalah di dunia adalah penyebaran penyakit HIV/ AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acguired Immun Deficiency Syndrome). Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir saja, permasalahan HIV dan AIDS telah menjadi pandemik di hampir 190 negara. Hampir di setiap negara HIV/AIDS menjadi masalah nasional, yang perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak (pemerintah, masyarakat, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat) (Depkes, 2009). Menurut data dari Badan Kesehatan Dunia pada tahun 2009 terjadi peningkatan yang sangat cepat, terdapat 38 juta orang meninggal akibat AIDS, sebanyak 60 juta jiwa terinfeksi HIV baru dan sebanyak 50,3 juta jiwa sebagai ODHA. Para penderita ini rata rata terkena melalui sex bebas dengan lebih dari satu pasangan, melalui obat obatan narkotika pada saat pemakain jarum suntik secara bersamaan.Penderita HIV AIDS ini rata rata mengenai usia 15-24 tahun , setiap 14 detik terdapat satu terjangkit HIV AIDS di dunia, setiap hari sekitar 6000 orang remaja tercatat sebagai penderita baru HIV AIDS. 87 % penderita hidup di daerah miskin dan berkembang. Menurut MDGs (Millenium Development Goals) di tingkat ASEAN, penyakit HIV/AIDS di Indonesia merupakan salah satu penyakit menular seksual yang menjadi permasalahan kesehatan yang harus mendapatkan perhatian yang lebih serius oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat. Pada akhir tahun 2009 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah 1.371 kasus, dengan jumlah kasus HIV positif menjadi 2.720 kasus.Angka kasus HIV/AIDS di Indonesia terus mengalami peningkatan, sampai Desember 2010 terdapat 24.131 kasus HIV dan 17.998 kasus AIDS, dengan jumlah kematian 1.994 ODHA (37,8 %). Proporsi kasus AIDS pada jenis kelamin laki-laki mencapai 62,7% dan perempuan adalah 37,3 %. Cara penularan kumulatif kasus HIV/AIDS yang lebih dominan melalui Heteroseksual sebanyak 78,22 %, IDU 16,30 %, Perinatal 2,6 %, 280
Hubungan Faktor Pendukung dan Faktor Penguat Pekerjaan Seks Komersil dengan Pemanfaatan Pelayanan Klinik VCT Di Lokasi Bandar Baru, Deli Serdang (Darwita Juniwati B)
serta mencegah penularan HIV/AIDS.Perubahan perilaku seseorang dari beresiko menjadi kurang beresiko terhadap kemungkinan tertular HIV memerlukan bantuan perubahan emosional dan pengetahuan yang mendorong nurani dan logika yang membutuhkan pendekatan individual. Konseling merupakan salah satu pendekatan yang harus dikembangkan untuk mengelola kejiwaan dan proses menggunakan pikiran secara mandiri. Puskesmas Bandar Baru Kecamatan Sibolangit merupakan salah satu puskesmas yang sudah memiliki klinik VCT yang lokasinya cukup jauh dari RSU.H. Adam Malik Medan. Lokasi ini merupakan daerah perbatasan antara Kecamatan Sibolangit dengan Kabupaten Tanah Karo merupakan lokasi yang cukup besar di Kabupaten Deli Serdang dan banyak mempekerjakan PSK yaitu sebanyak 84 PSK. Masyarakat dan khususnya kelompok resiko tinggi terkena HIV/AIDS yang berada diwilayah kerja Puskesmas tersebut kurang mengetahui keberadaan dan manfaat dari klinik tersebut, ini terlihat dari data yang disampaikan oleh petugas menunjukkan hanya 10 orang saja di tahun 2010 yang melakukan kunjungan ke VCT. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis hubungan faktor pendukung (umur, pendidikan, lama kerja, pendapatan, penegtahuan tentang penyakit HIV/AIDS, pengetahuan tentang faktor resiko, pengetahuan tentang pelayanan klinik VCT dan sikap) dan faktor penguat (dukungan teman seprofesi, dukungan mucikari dan dukungan petugas kesehatan) dengan pemanfaatan klinik VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Wisata Bandar Baru Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang.
METODE Penelitian ini merupakan penelitian survei yang bersifat analitik dengan menggunakan desain sekat silang (cross sectional study) dengan jenis explanatory yaitu untuk menganalisis hubungan faktor pendukung dan faktor penguat pekerja seks komersil dengan pemanfaatan pelayanan klinik VCT. Pengamatan pada subjek diamati hanya sesaat atau satu kali. Untuk memperoleh informasi tentang variabel dependen dan variabel independen maka pengukurannya dilakukan bersama-sama pada saat penelitian dengan menggunakan kuesioner secara kuantitatif (Sugiyono, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja seks komersil yang ada di lokasi Bandar Baru Kecamatan Sibolangit, yang berjumlah 84 orang. Sampel diambil dari seluruh populasi yang memiliki kriteria inklusi: bersedia dan mampu diwawancarai (mengerti dan memahami apa yang ditanyakan oleh peneliti serta memberikan jawaban atau penjelasan sesuai kepentingan penelitian). Sampel adalah seluruh total populasi yaitu sebanyak 84 orang. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1 menyajikan bahwa jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 84 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang berumur 20-35 tahun ada sebanyak 48 orang (57,1 %) yang lebih banyak dari pada yang berumur <20 dan >35 tahun yaitu sebanyak 36 orang (42,9 %). Berdasarkan tingkat pendidikan responden, yang memiliki tingkat pendidikan SMP ada sebanyak 50 orang (59,5 %) dan yang memiliki tingkat pendidikan SD ada sebanyak 4 orang (4,8 %).
Tabel 1. Gambaran umum responden Variabel No 1. Umur Usia reproduksi (20-35 tahun) Usia tidak reproduksi (<20 dan >35 tahun) Total 2. Tingkat Pendidikan SD SMP SMA Total 3. Masa Bekerja Sebagai PSK <6 bulan > 6 bulan Total 4. Pendapatan < Rp. 2.000.000 > Rp. 2.000.000 Total 281
f
%
48 36 84
57,1 42,9 100
4 50 30 84
4,8 59,5 35,7 100
30 54 84
35,7 64,3 100
13 71 84
15,5 84,5 100
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 279-286
No 1. 2 Total
Tabel 2. Pemanfaatan klinik VCT oleh responden Kategori Pemanfaatan Klinik f VCT Ya (Pernah) 31 Tidak 53 84
Dilihat dari lama bekerja sebagai PSK sangatlah bervariasi, namun sebagai PSK dengan lama kerja >6 bulan ada sebanyak 54 orang (64,3 %) dan responden yang bekerja sebagai PSK < 6 bulan ada sebanyak 30 orang (35,7 %). Pendapatan responden dari hasil pekerjaannya sebagai PSK dikategorikan mencukupi kebutuhannya. Hal ini terlihat dari besarnya pendapatan responden, yaitu yang memiliki pendapatan > Rp. 2 juta ada sebanyak 71 orang (84,5 %) dan yang mempunyai pendapatan < Rp. 2 juta hanya sebanyak 13 orang (15,5 %). Dari Tabel 2 terlihat bahwa distribusi responden berdasarkan pemanfaatan klinik VCT, lebih banyak berada pada kategori ya (pernah) yaitu 31 orang (36,9 %), sedangkan yang tidak pernah memanfaatkan klinik VCT ada sebanyak 53 orang (63,1 %). Uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan umur dengan pemanfaatan klinik VCT. Mengacu pada hal tersebut dapat dijelaskan bahwa pada umur produktif akan lebih memperhatikan masalah-masalah kesehatannya dan lebih memanfaatkan pelayanan klinik VCT dalam pencegahan penyakit HIV/AIDS, karena pada usia produktif PSK tersebut lebih banyak frekuensinya untuk melakukan pekerjaan yang memiliki resiko besar terkena HIV/AIDS. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa proporsi PSK yang tidak memanfaatkan klinik VCT dengan tingkat pendidikan SMP s/d SMA yaitu 63,8 %. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan pemanfaatan klinik VCT. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan SD beresiko untuk tidak memanfaatkan klinik VCT pada PSK sebesar 0,7 kali lebih besar dibandingkan PSK yang berpendidikan SMP s/d SMA. Secara teori pendidikan mempunyai hubungan dengan pengetahuan dan sikap, tetapi dari hasil penelitian tidak demikian.Hal ini dapat disebabkan pendidikan kesehatan reproduksi dan juga penyakit menular seksual masih dirasakan kurang diajarkan pada pendidikan formal, hanya berupa materi sisipan untuk topik mata pelajaran Biologi.
% 36,9 63,1 100
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa PSK dengan tingkat pendidikan SMP s/d SMA lebih banyak dan kurang memanfaatkan pelayanan klinik VCT sebagai tindakan pencegahan penularan menular seksual dan infeksi HIV. Hal ini dipengaruhi karena pengetahuan tentang klinik VCT dan penyakit HIV/AIDS tidak pernah disrtakan dalam pendidikan ekstra kurikuler sekolah sehingga masih minimnya pengetahuan tentang klinik VCT tersebut.Berdasarkan survey SDKI tahun 2009 bahwa pendidikan seks secara komprehensif di sekolah efektif menghindari kehamilan dini para remaja dan penyakit menular seksual lainnya.Untuk itu pendidikan perlu ditingkatkan yang sangat diperlukan dalam pengelolaan HIV yang cepat, terpadu dan komprehensif.Pendidikan perilaku sehat sudah waktunya dilakukan di semua lini termasuk dunia kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang tidak memanfaatkan klinik VCT yang paling banyak pada PSK dengan masa kerja sebagai PSK > 6 bulan yaitu 31 orang (57,4 %). Akan tetapi Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan pemanfaatan klinik VCT. Masa kerja sangat mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap pekerjaan dan lingkungan dimana ia bekerja. Semakin lama ia bekerja maka semakin banyak pengalamannya dan termasuk juga dalam memilih alternatif tempat pengobatan dan pelayanan klinik VCT. Namun hasil penelitian mengatakan masa kerja tidak ada hubungan dengan pemanfaatan klinik VCT hal tersebut juga dipengaruhi oleh tuntutan ekonomi dan kemudahan dalam memperoleh penghasilan yang besar,tanpa harus bekerja ekstra keras yang mengeluarkan tenaga maupun pikiran. Semakin lama responden bekerja sebagai pekerja seks komersil maka akan memberikan pengaruh yang besar untuk kesehatannya khusunya terhadap ancaman tertular penyakit menular seksual dan HIV/AIDS, untuk itu PSK sebaiknya rajin memeriksakan kesehatannya walaupun belum tampak gejalanya, yaitu dengan semakin rutinnya mengunjungi dan memanfaatkan pelayanan klinik VCT.
282
Hubungan Faktor Pendukung dan Faktor Penguat Pekerjaan Seks Komersil dengan Pemanfaatan Pelayanan Klinik VCT Di Lokasi Bandar Baru, Deli Serdang (Darwita Juniwati B)
Jika diuji menurut pendapatannya, maka hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pendapatan > Rp. 2 juta dengan pemanfaatan klinik VCT. Desakan ekonomi dan minimnya lapangan pekerjaan yang menyebabkan banyak perempuan miskin terjerumus dalam dunia prostitusi, demi memenuhi kebutuhan keluarganya.Tubuh dan daya tarik seksual yang mereka miliki merupakan satu-satunya modal yang dimanfaatkan dalam mendapatkan uang dan memenuhi kebutuhannya. Kehidupan prostitusi seperti ini yang akan semakin mempersulit PSK untuk terhindar dari bahaya dan ancaman tertular penyakit menular seksual dan HIV/AIDS. Tingginya pendapatan PSK juga tidak memberikan dampak dalam memanfaatkan klinik VCT, hal tersebut dikarenakan para PSK tersebut banyak yang mencari pengobatan atau berkonsultasi ke petugas yang bukan dari puskesmas tersebut. Hal ini mungkin disebabkan oleh keengganan PSK yang tidak mau diketahui orang lain tentang kondisi kesehatannya (bersifat rahasia). Untuk itu kepada para petugas dimintakan agar menjaga kerahasiaan identitas atau keberadaan PSK agar PSK tersebut mau memanfaatkan klinik VCT. Penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi PSK yang tidak memanfaatkan klinik VCT yang memiliki pengetahuan yang buruk tentang penyakit HIV/AIDS yaitu 57,1 %. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang penyakit HIV/AIDS dengan pemanfaatan klinik VCT. Para PSK takut tertular penyakit HIV/AIDS namun mereka tidak tau harus pergi kemana untuk mendapatkan informasi dalam mencegahnya dan belum mengetahui benar manfaat dari klinik VCT.Akses informasi dan sosialisasi tentang penyakit HIV/AIDS banyak tersedia dan mudah diakses oleh siapa saja, hal ini akan memberikan pengaruh yang baik terhadap pengetahuan tentang penyakit. Namun masih ada stigma di masyarakat yang memberikan penilaian yang buruk terhadap penderita HIV/AIDS khususnya kepada PSK sebagai orang yang beresiko menjadi penghambat dalam memanfaatkan klinik VCT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi PSK yang tidak memanfaatkan klinik VCT yang memiliki pengetahuan yang baik tentang faktor resiko yaitu 63,7%. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang faktor resiko dengan pemanfaatan klinik VCT. Faktor resiko merupakan variabel penting yang mempengaruhi seseorang untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan. Semakin
besar resiko untuk tertular penyakit, semakin tinggi tingkat pemanfaatan fasilitas kesehatan yang dianggap mampu mengatasi masalah kesehatan tersebut. Penularan penyakit HIV/AIDS lebih besar melalui proses hubungan seksual. Hal ini mengakibatkan tingginya pemanfaatan klinik VCT bagi responden yang melakukan hubungan seksual seperti PSK yang dianggap memungkinkan untuk menularkan penyakit HIV/AIDS.Oleh karena itu perlu meningkatkan pengetahuan dengan mengadakan penyuluhan terhadap orang yang beresiko, melalui penyebaran lefleat atau brosur dan juga dengan upaya konseling yang diberikan oleh tenaga-tenaga kesehatan.Klinik VCT bukan hanya digunakan oleh sipenderita HIV/AIDS namun dapat juga dimanfaatkan oleh orang yang sehat tapi beresiko terkena penyakit HIV/AIDS yaitu pada PSK. Namun apa yang ditemukan dilapangan berbicara lain, justru para PSK yang berpengetahuan baik tentang faktor resiko dan belum mengetahui manfaat klinik VCT, kemungkinan hal dipengaruhi oleh niat PSK dalam mencari informasi tempat untuk memeriksakan dan berkonsultasi lebih dini guna mendeteksi secara dini apakah PSK terkena HIV/AIDS atau tidak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi PSK yang tidak memanfaatkan klinik VCT yang memiliki pengetahuan yang buruk tentang pelayanan klinik VCT yaitu 71,2%. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang pelayanan klinik VCT dengan pemanfaatan klinik VCT. Pengetahuan tentang pelayanan kesehatan klinik VCT memiliki hubungan yang berasal dari dukungan petugas kesehatan juga.Pelayanan kesehatan adalah ujung tombak layanan terhadap PSK. Kemampuan, pengetahuan yang memadai, sikap ramah, mudah ditemui, kepedulian dan kemauan untuk mendengar oleg sipetugas sangatlah dihargai para PSK.. Pengetahuan yang baik akan mempengaruhi pemanfaatan klinik VCT. Untuk itu perlu kiranya meningkatkan kualitas perawatan dan pengobatan oleh petugas saat memberikan pelayanan kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi PSK yang tidak memanfaatkan klinik VCT dengan sikap negatif yaitu 64,8%. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan pemanfaatan klinik VCT. Sikap dipengaruhi oleh pengetahuan, karena pengetahuan yang tinggi tentang besarnya manfaat pelayanan klinik VCT cukup untuk merubah sikap dan tindakan PSK dalam memanfaatkan klinik VCT.Sikap diawali dari niat, kesadaran sendiri dan adanya pengetahuan yang dimiliki oleh orang yang 283
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 279-286
bersangkutan.Sesuai dengan pendapat Ajzen dan Fishbein yang dikutip Smet (1994), bahwa sikap mempengaruhi perilaku seseorang.Penularan penyakit menular seksual dan HIV/AIDS yang paling menonjol adalah melalui hubungan seksual promiskuitas. Peningkatan kasus HIV/AIDS dari waktu ke waktu dan masih jarangnya upaya pencegahan yang transparan, memungkinkan terjadinya penularan penyakit menular seksual dan HIV/AIDS terutama dikelompok beresiko tinggi. Dan apabila tidak selalu dimonitoring, maka akan terjadi penularan berantai dimulai dari PSK, pelanggan PSK dan merambah luas ke masyarakat umum. Sikap positif PSK harus dibarengi oleh tindakan mereka memanfaatkan klinik VCT agar dapat mendeteksi penyakit atau keluhan yang dirasakan sehingga tercipta pencegahan penyakit HIV/AIDS yang lebih efektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi PSK yang tidak memanfaatkan klinik VCT yang mendapat dukungan yang buruk dari teman seprofesi yaitu 76,1%. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara dukungan teman seprofesi dengan pemanfaatan klinik VCT. Dari hasil pengamatan, ditemukan bahwa teman seprofesi dengan PSK yang lainnya saling bersaing untuk mendapatkan pelanggan, tidak ada keinginan untuk saling memberikan informasi. Mereka hanya berpikir bagaimana cara untuk mendapatkan pelanggan sebanyakbanyaknya. Para PSK merasa bersyukur jika ada PSK yang lainnya memiliki masalah tentang kesehatannya, hal ini dimanfaatkan untuk mencari dan merebut pelanggan yang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi PSK yang tidak memanfaatkan klinik VCT yang mendapat dukungan yang baik dari mucikari yaitu 75,0%. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara dukungan mucikari dengan pemanfaatan klinik VCT. Dari hasil pengamatan, bahwa mucikari tidak secara langsung dan tidak aktif dalam penyampaian informasi untuk menggunakan kondom kepada PSK, sebab yang dilakukan oleh mucikari hanya menyediakan tempat tinggal dan memimpin serta mengatur tempat lokalisasi, namun dalam memperhatikan kesehatan dan alternative tempat pelayanan kesehatan tidak diinformasikan dengan baik, para PSK lebih banyak melakukan pengobatan sendiri-sendiri dalam mengatasi masalah kesehatannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi PSK yang tidak memanfaatkan klinik VCT yang mendapat dukungan yang buruk dari petugas kesehatan yaitu 80,0%. Hasil analisis
statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara dukungan petugas kesehatan dengan pemanfaatan klinik VCT. Dengan melakukan kegiatan penyuluhan tentang manfaat klinik VCT secara berkala dan terus-menerus oleh petugas kesehatan kepada PSK dan dibarengi dengan memberikan kondom kepada PSK sehingga membuat mereka mau melakukan tindakan untuk memanfaatkan klinik VCT seperti yang dianjurkan oleh petugas kesehatan tersebut sehingg upaya preventif, promotif dan rehabilitative dapat lebih efektif dilakukan. KESIMPULAN Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang pelayanan klinik VCT, dukungan teman seprofesi, dukungan petugas kesehatan dengan pemanfaatan klinik VCT oleh PSK (Îą < 0,05) dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara hubungan umur, pendidikan, masa kerja, pendapatan, pengetahuan tentang penyakit HIV/AIDS, pengetahuan tentang faktor resiko, sikap dan dukungan mucikari dengan pemanfaatan klinik VCT Puskesmas Wisata Bandar Baru ( Îą > 0,05). Selain itu, variabel yang paling berhubungan secara signifikan adalah pengetahuan tentang pelayanan klinik VCT dengan pemanfaatan klinik VCT di Puskesmas Wisata Bandar Baru Kecamatan Sibolangit (exp B = 3,939). REKOMENDASI 1. Dinas Kesehatan diharapkan membantu menyediakan fasilitas di klinik IMS/HIVAIDS seperti peralatan papsmear dalam mendukung pelayanan kesehatan klinik IMS/HIV-AIDS dan melakukan pelatihan kepada petugas kesehatan puskesmas khususnya pelatihan IMS dan VCT sehingga kesehatan reproduksi PSK dapat dideteksi dini dalam mencegah penyakit menular seksual dan HIV/AIDS serta memberikan jaminan perlindungan kepada petugas kesehatan yang kontak langsung dengan PSK 2. Petugas kesehatan puskesmas melakukan penyuluhan tentang IMS/HIV-AIDS kepada PSK dengan mengaktifkan program pelayanan klinik VCT terutama untuk mencegah penyakit menular seksual dan HIV/AIDS. 3. Peningkatan kinerja petugas kesehatan dalam hal Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) tentang pemanfaatan klinik VCT untuk penanggulangan HIV/AIDS agar dapat memberikan penyuluhan dan pendekatan kepada PSK yang efektif 284
Hubungan Faktor Pendukung dan Faktor Penguat Pekerjaan Seks Komersil dengan Pemanfaatan Pelayanan Klinik VCT Di Lokasi Bandar Baru, Deli Serdang (Darwita Juniwati B)
4.
Depkes. 2008. Statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia, Ditjen PPM &PL diakses pada tanggal 12 September 2011 dari hhtp://www.aidsina.org/files/datakasus/des07.pdf
dengan mendatangi tempat-tempat lokalisasi. Pekerja Seks Komersil dapat lebih mengetahui tentang pentingnya pencegahan sedini mungkin terhadap penyakit IMS/HIV-AIDS dengan secara aktif mencari informasi, berperilaku yang baik untuk menghindari faktor risiko dalam penularan penyakit IMS/HIV-AIDS seperti menggunakan kondom dan memanfaatan klinik IMS/HIV-AIDS secara rutin.
Dinkes Propinsi Sumatera Utara. 2007. Pertanyaan Seputar HIV/AIDS Yang Perlu Anda Ketahui. USU Press, Medan. Green, W., and Kreuter, M.W. 2005. Health Program Planning; An Educational and Ecological Approach Four Edition. New York: McGraw-Hill Herowati. 2004. Pengetahuan dan Perilaku Pekerja Seks Komersial terhadap Infeksi Menular Seksual di Parangkusumo Kretek Bantul Yogyakarta.Program Pascsarjana. Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada
DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Umar Fahmi. 2008. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: UI-Press. Aditama, Tjandra Yoga. 2007. Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) terkait Prevalensi HIV di Indonesia tahun 2007 di Medan, Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan.
Hutapea, Ronald. 2003. AIDS dan Penyakit Menular Seksual dan Perkosaan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta Lameshow, S., Hosmer. D.W., Klar.J., Lwanga.SK. 1997. Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan (Terjemahan Dibyo Pramono), Cetakan pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian, Edisi Revisi VI. Jakarta: Rineka Cipta
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2006. Buku Pedoman Pelaksanaan Akselerasi Penanggulangan HIV/AIDS di 100 Kabupaten/Kota.
Bangun, R.H. 2008. Persepsi Kelompok Risiko Tinggi Tertular HIV-AIDS tentang Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Puskesmas Padang Bulan Medan. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2007. Strategi nasional penanggulangan HIV dan AIDS 2007 â&#x20AC;&#x201C; 2010. Maranis, W.F. 2006. Ilmu Perilaku Dalam Pelayanan Kesehatan, Cetakan Pertama. Surabaya: Air Langga University Press.
Budiarto, E. 2001. Biostatistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Muliawan, P. 2003. Prostitusi, Lahan Subur Penyebaran HIV/AIDS di Bali. Denpasar: Dinsos Bali.
Depkes RI, 2003. Data Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI
Muninjaya, Gde A.A. 1998. AIDS di Indonesia Masalah dan Kebijakan Penanggulangannya. Jakarta: Penerbit EGC
Depkes. 2004. Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV. Dirjen Pelayanan Medik. Jakarta: Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Murti, Bhisma. 2003. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Edisi kedua, jilid pertama. Jogjakarta: Gadjah Mada University
Depkes. 2004. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Ditjen PPM dan PL diakases 17 September 2011 dari http://www.aids-ina.org
Murni, Bhisma. 2009. Hidup dengan HIV/AIDS. Jakarta: Yayasan Spiritia
Depkes. 2004. Situasi Perilaku Beresiko Tertular HIV di Sumatera Utara, Medan.
Murni, Bhisma. 2010. Desain dan Ukuran Sampel Untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan edisi ke-2. Yogjakarta: Gajah Mada University Press
Depkes. 2006. Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS secara sukarela (Voluntary Counselling and Testing) Ditjen PP dan PLdiakases 17 September 2011.http://www.aidsina.org/files/publikasi/panduanvct.pdf
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan, Cetakan Pertama. Jakarta: Rineka Cipta Notoatmodjo, S. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Depkes. 2007. Lampiran, KepMenKes RI no.567/Menkes/SK/VIII/2006 tentang Pedoman pelaksanaan pengurangan dampak buruk narkotika, psikotropika dan zat adiktif, Jakarta
Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT Rineka Cipta.
285
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 279-286
Purwanto, Edy. 2007. Situasi dan Kebijakan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Tengah, Seminar HIV dan AIDS di Blora. Jawa Tengah. Rumaseuw RI., Program Promosi Pencegahan HIV/AIDS Menurut KPAD (Komisi Penanggulangan AIDS Daerah) Dan PSK (Pekerja Seks Komersial) Di Kabupaten Mimika, Tesis Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Smet, Bart. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia Sarwono, S. 2004. Sosiologi Kesehatan, Cetakan ketiga. Yogjakarta: Penerbit Gajah Mada University Press. Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Administrasi, Edisi ke-14. Bandung: Penerbit Alfabeta Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit Alfabeta.
286
Kebiijakan Strategis Potensi UKM Berbasis Ekonomi Kreatif di Sumatera Utara (Nobrya Husni)
Hasil Penelitian KEBIJAKAN STRATEGIS POTENSI UKM BERBASIS EKONOMI KREATIF DI SUMATERA UTARA
(STRATEGIC POLICY OF POTENTIAL SMES BASED ON CREATIVE ECONOMY IN NORTH SUMATRA) Nobrya Husni Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan Email: nobrya@gmail.com Diterima: 5 Agustus 2012; Direvisi: 23 Oktober 2012; Disetujui: 15 November 2012
ABSTRAK Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dari perkembangan ekonomi di Sumatera Utara, dimana struktur perekonomian daerah pada dasarnya didominasi oleh Usaha Kecil dan Menengah. UKM menunjukkan tendensi peningkatan jumlah serta kontribusi. Karena itu sudah seharusnya UKM dikembangkan dalam sebuah model perencanaan pengembangan yang lebih terarah dan berciri khas. Sampai dengan saat ini, belum ada sebuah perencanaan yang strategis mengenai arah pengembangan UKM di Provinsi Sumatera Utara meski jumlah dan peran UKM semakin meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun arah pengembangan UKM berbasis ekonomi kreatif di Sumatera Utara, menyusun kerangka kerja pengembangan UKM kreatif di Sumatera Utara, serta menyusun sasaran, strategi, rencana program dan kegiatan pengembangan kebijakan strategis UKM berbasis ekonomi kreatif di Sumatera Utara. Penelitian dilakukan dengan pendekatan deskriptif dengan menggunakan data primer dan sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pengembangan UKM berbasis ekonomi kreatif, pemerintah berperan sebagai dan sebagai katalisator dalam mempercepat perkembangan UKM berbasis ekonomi kreatif. Hal ini dapat diwujudkan dengan melakukan pengembangan ekonomi kreatif yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi, serta melalui kerjasama antar daerah. Selain itu, perlu dimaksimalkan peran dari cendekiawan, pelaku bisnis dan pemerintah. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara direkomendasikan untuk mengembangkan UKM ini dengan memberikan kesempatan dan partisipasi yang lebih luas melalui iklim usaha yang kondusif. Kata kunci: Ekonomi kreatif, pemerintah, UKM
ABSTRACT Small and Medium Enterprises (SMEs) are an important part of economic development in North Sumatra, where the structure of the regional economy is basically dominated by Small and Medium Enterprises. SMEs’ tend to increase in number and its contribution. Therefore, SMEs’ should be developed in to a strategic planning consist of its focus and specification. Currently, there is no strategic planning of SMEs’ in North Sumatra Province although the number and its functions are increasing. This study aimed to develop towards the development of SMEs based creative economy in North Sumatra, preparing creative framework for SME development in North Sumatra, and to develop goals, strategies, plans and programs of strategic policy development activities of SMEs based creative economy in North Sumatra. The study was conducted with a descriptive approach using primary and secondary data. The results showed that the development of SMEs based creative economy, and the government has a role as a catalyst in accelerating the development of SMEs based creative economy. This is achieved by developing the creative economy based on science and technology, and through the Inter-Regional Cooperation. Besides, it is important to maximize the role of intellectual groups, businessman and government. It is recommended for North Sumatra Government to develop SMEs’ by giving bigger opportunity and wider participation trough appropriate climate for business. Keywords: creative economy, government, SME
287
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 287-297
PENDAHULUAN Perdagangan bebas dan krisis ekonomi global mengharuskan setiap negara, termasuk Indonesia berupaya keras untuk dapat bersaing baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Kondisi tersebut dapat dilaksanakan dengan mendorong suatu bentuk perekonomian yang lebih berdaya saing, sumber daya yang terbarukan dan berkesinambungan berbasis kreatifitas, dimana ide atau gagasan dapat memberikan kesejahteraan secara ekonomi dan sosial bagi masyarakat. Pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia diperlukan agar siap memanfaatkan dan merebut peluang pasar yang semakin kompetitif. Walaupun terdapat kecenderungan perbaikan perekonomian Indonesia di masa mendatang sebagai dampak dari kondisi ekonomi global, regional dan adanya perbaikan sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan ekonomi domestik, tampaknya perlu diwaspadai kemungkinan adanya beberapa isu kritis yang sering menghambat pertumbuhan ekonomi suatu negara, diantaranya adalah : (1) tingginya pengangguran, (2) rendahnya investasi, dan (3) biaya ekonomi tinggi. Isu tingginya penganguran dan ekonomi biaya tinggi merupakan isu lama dan klasik yang selama ini belum dapat diatasi dengan baik. Kemudian isu rendahnya investasi merupakan produk dari kekurangpercayaan investor terhadap kondisi perekonomian Indonesia, termasuk di dalamnya masalah politik dan keamanan. Kemungkinan isu kritis tersebut berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi Indonesia ke depan. Oleh karena itu harus cepat direspon oleh semua pihak, terutama pihak pemerintah khususnya dalam menentukan kebijakan pengembangan ekonomi nasional. Pengembangan ekonomi kreatif merupakan pilihan tepat untuk menjaga ketahanan ekonomi dalam kondisi krisis global. Ekonomi kreatif perlu dikembangkan karena berpotensi besar dalam memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan; menciptakan iklim bisnis yang positif; membangun citra dan identitas bangsa, berbasis pada sumberdaya yang terbarukan; menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa; dan memberikan dampak sosial yang positif. Istilah ekonomi kreatif dan industri kreatif di Indonesia mulai marak diperbincangkan sejak tahun 2006. Kedua istilah tersebut sebenarnya saling terkait, dimana industri kreatif merupakan jantung ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif adalah kegiatan ekonomi, dimana input dan output utamanya adalah gagasan (Howkins, 2001). Gagasan merupakan esensi utama dari kreatifitas, dimana gagasan dapat menciptakan
sebuah produk dan jasa yang memiliki nilai ekonomi tinggi sehingga bisa memengaruhi perekonomian agregat suatu negara. Gagasan yang menjadi pendorong ekonomi kreatif adalah gagasan yang orisinil dan dilindungi oleh Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Gagasan ini bisa berada diberbagai sektor, diantaranya peneliti yang menemukan vaksin penyakit yang belum ada obatnya, pencipta lagu, desainer pakaian, desainer interior, desainer grafis, pemain film, pengrajin dan sebagainya. Di Indonesia selama periode 2002-2006 industri kreatif menempati urutan ke 7 dari 10 sektor lapangan usaha yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PDB, yakni sebesar 6,28% (104,6 triliun rupiah). Pada periode yang sama, industri kreatif mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 5,4 juga orang dengan tingkat partisipasi sebesar 5,8% serta bisa mengurangi angka kemiskinan dan memberdayakan UKM meskipun belum ada angka yang pasti untuk kedua hal terakhir ini. Produktifitas pekerja di industri kreatif mencapai Rp.19,5 juta/pekerja/tahun melebihi produktifitas nasional yang kurang dari Rp.18 juta/pekerja/tahun (Kementerian Perdagangan, 2008). Menyadari peran penting ekonomi, Presiden RI telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional yang mulai berlaku sejak tanggal 7 Mei 2008. pemerintah juga telah mencanangkan tahun 2009 sebagai Tahun Indonesia Kreatif (TIK). Tujuan dari program ini adalah terbukanya wawasan seluruh pemangku kepentingan akan kontribusi ekonomi kreatif terhadap ekonomi Indonesia dan terciptanya citra bangsa yang positif. Presiden Republik Indonesia juga telah memerintahkan kepada 28 instansi baik pemerintah pusat maupun daerah untuk mendukung kebijakan pengembangan ekonomi kreatif tahun 2009-2015 melalui Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif. Usaha Kecil Menengah (UKM) adalah usaha perorangan atau badan usaha yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan tempat bangunan dengan jumlah tenaga kerja antara 199 orang. Pada prinsipnya definisi dan kriteria UKM di negara-negara asing didasarkan pada aspek-aspek jumlah tenaga kerja, pendapatan, dan jumlah aset. Di Indonesia, peran industri kreatif dalam ekonomi Indonesia cukup signifikan dengan besar kontribusi terhadap PDB rata-rata tahun 2002-2006 adalah sebesar 63% atau setara dengan 104,6 Triliun rupiah (nilai konstan) dan 152,5 Triliun rupiah (nilai 288
Kebiijakan Strategis Potensi UKM Berbasis Ekonomi Kreatif di Sumatera Utara (Nobrya Husni)
nominal). Industri ini telah mampu menyerap tenaga kerja rata-rata tahun 2002-2006 adalah sebesar 5,4 juta dengan tingkat partisipasi sebesar 5,8%. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dari perkembangan ekonomi di Sumatera Utara, dimana struktur perekonomian daerah pada dasarnya didominasi oleh Usaha Kecil dan Menengah. Peran strategis UKM dalam perekonomian Sumatera Utara dapat dilihat dari konstribusinya dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Selain itu pada masa krisis usaha kecil dan menengah telah terbukti tangguh sebagai jaring pengaman perekonomian Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun arah pengembangan UKM berbasis ekonomi kreatif di Sumatera Utara, menyusun kerangka kerja pengembangan UKM kreatif di Sumatera Utara, serta menyusun sasaran, strategi, rencana program dan kegiatan pengembangan kebijakan strategis UKM berbasis ekonomi kreatif di Sumatera Utara. Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat, antara lain; tersusunnya arah pengembangan UKM berbasis ekonomi kreatif di Sumatera Utara sebagai pedoman bagi SKPD terkait dalam pengambilan kebijakan pembangunan UKM di daerah; tersusunnya kerangka kerja pengembangan UKM kreatif untuk meningkatkan partisipasi aparatur pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengembangan ekonomi kreatif di Sumatera Utara; serta tersusunnya strategi, rencana program dan kegiatan pengembangan UKM kreatif di Sumatera Utara sebagai pedoman dalam penyusunan program dan kegiatan di SKPD terkait sehingga terjadi kolaborasi dan sinergi yang positif.
judgment, berupa pakar yang mengerti dan memahami masalah ini. HASIL DAN PEMBAHASAN Provinsi Sumatera Utara mempunyai luas sekitar 71.680 km² didiami oleh 12.985.075 jiwa, maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk di Provinsi Sumatera Utara adalah sebanyak 181 jiwa/km². Kabupaten/Kota yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kota Medan yakni sebanyak 7.957 jiwa/km², sedangkan yang paling rendah adalah Kabupaten Pakpak Bharat yakni sebanyak 33 jiwa/km². Dengan pertumbuhan penduduk di Kota Medan rata-rata pertahun 0,75% tentunya berpengaruh juga terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan penduduk jika tidak dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi, akan menimbulkan berbagai masalah seperti menambah angka kemiskinan maupun menambah jumlah penganguran. Struktur perekonomian di Provinsi Sumatera Utara pada dasarnya didominasi Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Peran strategis UKM dalam perekonomian Sumatera Utara dapat dilihat dari konstribusinya dalam pembentukan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Selain itu pada masa krisis usaha kecil dan menengah telah terbukti tangguh sebagai jaring pengaman perekonomian Sumatera Utara. Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi 1996 di Sumatera Utara tercatat ada sebanyak 1.816.130 usaha kecil dan Informal yang mencakup 662.159 usaha di luar usaha pertanian dan 1.153.971 usaha pertanian. Dalam kurun waktu 10 tahun, jumlah UKM berkembang begitu pesat adari 317.656 unit usaha pada tahun 1986 meningkat tajam sekitar 108,45 % atau tumbuh rata-rata 10,8 % setiap tahunnya. Setelah krisis melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 jumlah UKM pada tahun 1998 berkurang menjadi 598.031 usaha atau berkurang sebanyak 64.128 usaha, keadaan ini sampai dengan tahun 1999 tidak menguntungkan bagi dunia usaha termasuk UKM. Namun selama periode tahun 2000-2001, jumlah UKM mulai bertambah dari 593.615 unit usaha menjadi 618.670 unit usaha. Sejak tahun 1996 pergeseran sektor-sektor pada Usaha Kecil Menengah tidak terjadi sehingga sebaran unit usaha menurut sektor identik dari tahun ke tahun. Sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan dan akomodasi umumnya menjadi pilihan pengusaha kecil menengah untuk mencari nafkah. Kecenderungan masyarakat memilih usaha di sektor ini erat kaitannya dengan karakter usaha jenis ini yang relatif mudah karena dapat dilakukan oleh orang yang
METODE Penelitian dilakukan di 33 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara selama 4 (empat) bulan dari bulan Mei hingga September 2011. Penelitian dilakukan dengan pendekatan deskriptif. Data yang digunakan merupakan data primer dan sekunder yang diperoleh dari berbagai publikasi yang berasal dari stakeholders dan berbagai informasi yang terkait dengan UKM dan Industri Kreatif. Data lainnya yang dikumpulkan merupakan data dan informasi yang diperoleh langsung dari lapangan dan hasil koordinasi dengan instansi terkait serta melalui studi literatur. Teknik analisis yang digunakan dalam kegiatan kajian ini adalah deskriptif dengan tabulasi. Untuk menghasilkan sebuah rencana strategis, maka dilakukan analisis dengan menggunakan expert 289
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 287-297
apabila ditinjau dari aspek hukum Hak Kekayaan Intelektual termasuk dalam kategori Hak Cipta (Copy right) sebagaimana diatur dalam Undangundang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Hak Desain Industri sebagaimana diatur dalam Undang-undang 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri serta sangat terkait dengan Merek sebagaimana diatur dalam Undangundang 15 Tahun 2001 tentang Merek. Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi 1996 di Sumatera Utara tercatat ada sebanyak 1.816.130 usaha kecil dan informal yang mencakup 662.159 usaha di luar usaha pertanian serta 1.153.971 usaha pertanian. Dalam kurun waktu 10 tahun, jumlah UKM berkembang begitu pesat dari 317.656 unit usaha pada tahun 1986 meningkat tajam menjadi sekitar 108,45 % pada tahun 1996, atau tumbuh rata-rata 10,8 % setiap tahunnya. Setelah krisis melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, jumlah UKM pada tahun 1998 berkurang menjadi 598.031 usaha atau berkurang sebanyak 64.128 usaha karena sampai dengan tahun 1999 keadaan tidak menguntungkan bagi dunia usaha termasuk UKM untuk berkembang. Hal ini tercermin dari menurunnya jumlah UKM menjadi 580.227 usaha atau berkurang 17.804 unit usaha dibandingkan tahun 1998 sebelumnya. Jumah UKM ini terus berkurang selama kurun waktu tahun 1999 hingga mencapai 4.416 unit usaha, namun pada tahun 2000 dan tahun 2001 jumlah UKM mulai bertambah menjadi 593.615 unit usaha dan 618.670 unit usaha. Pergeseran sektor-sektor pada Usaha Kecil Menengah sejak tahun 1996 tidak terjadi sehingga sebaran unit usaha menurut sektor hampir sama setiap tahunnya. Sektor perdagangan besar, eceran dan rumah makan dan akomodasi umumnya menjadi pilihan pengusaha kecil menengah untuk mencari nafkah. Kecenderungan masyarakat memilih usaha di sektor ini erat kaitannya dengan karakter jenis usaha yang relatif mudah karena dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kurang skill dan modal yang dibutuhkan kecil.
kurang skill dan modal yang dibutuhkan juga kecil. Berdasarkan hasil survey ekonomi yang dilakukan Badan Pusat Statistik tahun 2006 , Kota Medan dan Deli Serdang merupakan dua daerah yang mempunyai usaha nonpertanian yang terbesar di Provinsi Sumatera Utara dengan jumlah UKM 88.675 dan 57.076 unit usaha. Sedangkan pada peringkat ketiga ditempati oleh Kabupaten Langkat dengan jumlah UKM 44.311 unit usaha. Jumlah pelaku UMKM di Sumatera Utara terus mengalami peningkatan setiap tahunnya selama periode 2006-2010 mengalami peningkatan dari 1.656.573 menjadi 2.288.304 atau mengalami peningkatan sebesar 78,88%. Usaha mikro mengalami perkembangan dari 1.076.892 unit pada tahun 2006 menjadi 1.453.06 unit pada tahun 2010 atau mengalami kenaikan sebesar 76,87% per tahun. Usaha kecil mengalami perkembangan dari 483.051 unit pada tahun 2006 menjadi 698.665 unit pada tahun 2010 atau mengalami kenaikan sebesar 81,74% per tahun. Sedangkan usaha menengah mengalami perkembangan dari 96.630 unit pada tahun 2006 menjadi 136.575 unit pada tahun 2010 atau mengalami kenaikan sebesar 80,18 % per tahun. Adapun jumlah pelaku UMKM di Sumatera Utara selengkapnya selama periode 2006-2010 sebagaimana pada Tabel 1. Provinsi Sumatera Utara sebagai salah satu daerah terbesar di wilayah Sumatera memiliki potensi untuk mengembangkan ekonomi kreatif bagi perkembangan perekonomian daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan inventarisasi, terdapat 14 (empat belas) subsektor ekonomi kreatif yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai fokus pengembangan ekonomi kreatif hingga tahun 2025, meliputi: periklanan; arsitektur; pasar barang seni; kerajinan; desain; fesyen (fashion); video, film dan fotografi; permainan interaktif (interactive games); musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan piranti lunak; televisi dan radio; riset dan pengembangan; serta, industri /UKM kreatif. Berdasarkan bidang-bidang yang termasuk dalam kelompok industri kreatif tersebut,
Jenis Usaha
Tabel 1. Jumlah UMKM di Provinsi Sumatera Utara tahun 2006 â&#x20AC;&#x201C; 2010 2006 2007 2008 2009 2010
Usaha Mikro 1.076.892 1.196.544 1.329.494 1.320.967 Usaha Kecil 483.051 536.721 596.357 635.150 Usaha 96.630 109.589 121.775 124.159 Menengah Jumlah 1.656.573 1.842.854 2.047.626 2.080.276 Sumber : Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Sumatera Utara, 2011.
290
1.453.064 698.665 136.575
Pertumbuhan (%) 76,87 81,74 80,18
2.288.304
78,58
Kebiijakan Strategis Potensi UKM Berbasis Ekonomi Kreatif di Sumatera Utara (Nobrya Husni)
Berdasarkan hasil survey ekonomi yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, Kota Medan dan Deli Serdang merupakan dua daerah yang mempunyai usaha nonpertanian yang terbesar di Provinsi Sumatera Utara dengan jumlah UKM 88.675 dan 57.076 unit usaha, sedangkan pada peringkat ketiga ditempati oleh Kabupaten Langkat dengan jumlah UKM 44.311 unit usaha. Sedangkan perkembangan jumlah UKM selama 5 (lima) tahun terakhir yang mulai dari tahun 2006- 2010 di Sumatera Utara menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Jumlah pelaku UMKM di Sumatera Utara terus mengalami peningkatan setiap tahunnya selama periode 2006-2010 mengalami peningkatan dari 1.656.573 menjadi 2.288.304 atau mengalami peningkatan sebesar 78,88%. Usaha mikro mengalami perkembangan dari 1.076.892 unit pada tahun 2006 menjadi 1.453.06 unit pada tahun 2010 atau mengalami kenaikan sebesar 76,87% per tahun. Usaha kecil mengalami perkembangan dari 483.051 unit pada tahun 2006 menjadi 698.665 unit pada tahun 2010 atau mengalami kenaikan sebesar 81,74% per tahun. Sedangkan usaha menengah mengalami perkembangan dari 96.630 unit pada tahun 2006 menjadi 136.575 unit pada tahun 2010 atau mengalami kenaikan sebesar 80,18% per tahun. Potensi UKM/industri kreatif di Sumatera Utara perlu terus dikaji lebih lanjut dalam rangka pengembangan ekonomi kreatif di daerah ini. Potensi UKM Sumatera Utara telah
dikaji oleh banyak institusi baik itu oleh pemerintah daerah, swasta, LSM dan institusi pendidikan tinggi baik yang berasal dari PTN maupun PTS. Penelitian dan pengembangan ini perlu dilakukan untuk mendapatkan jenis UKM/industri kreatif sebenarnya yang dimiliki oleh Provinsi Sumatera Utara yang tentunya harus merupakan ciri khas daerah. Indikator kontribusi ekonomi industri kreatif dalam menunjang pembangunan suatu negara atau daerah berbasis kepada tiga indikator utama yang ada, yaitu: berbasis nilai PDB; berbasis ketenagakerjaan; dan, berbasis aktivitas perusahaan. Ekonomi kreatif Provinsi Sumatera Utara dikembangkan dengan model layaknya sebuah bangunan, yang terdiri dari elemen-elemen berupa pondasi (landasan), bangunan (pilar) dan atap (aktor utama). Tampilan pondasi dan pilar pengembangan UKM kreatif di Sumatera Utara ditampilkan pada Gambar 1. Fondasi pengembangan industri kreatif daerah Provinsi Sumatera Utara yang utama sebenarnya adalah sumberdaya manusia (insan kreatif). Insan kreatif memiliki peran sentral dalam pengembangan berbagai aktivitas ekonomi kreatif di Provinsi Sumatera Utara sebagai faktor produksi utama did alam ekonomi kreatif. Oleh karena itu untuk menunjang pengembangan industri kreatif di daerah ini perlu dilakukan pembangunan SDM yang terampil untuk meningkatkan pengetahuan dan kreatifitas.
Gambar 1. Model pengembangan ekonomi kreatif
291
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 287-297
Pilar utama dalam pengembangan ekonomi kreatif di Provinsi Sumatera Utara meliputi; industri, teknologi, sumberdaya alam, kelembagaan, dan lembaga keuangan. Perkembangan ekonomi kreatif di Provinsi Sumatera Utara tidak terlepas dari peran ketiga aktor utama penggerak ekonomi kreatif yang ada di daerah, yaitu cendikiawan, pelaku bisnis dan pemerintah. Peran yang dimiliki kaum cendikiawan antara lain sebagai agen penyebarluasan dan pengimplementasian ilmu pengetahuan, seni dan teknologi serta membentuk nilai-nilai yang konstruktif bagi pengembangan ekonomi kreatif di masyarakat Provinsi Sumatera Utara. Dalam hal pendidikan para cendikiawan berperan untuk mendorong lahirnya generasi-generasi yang memiliki pola pikir kreatif untuk mendukung tumbuhnya karsa dan karya ekonomi kreatif. Dalam hal penelitian para cendikiawan berperan sebagai pemberi masukan tentang kebijakan-kebijakan pengembangan ekonomi kreatif dan menghasilkan teknologi yang dapat mendukung cara kerja dan penggunaan sumberdaya yang efisien, serta menjadikan usaha ekonomi kreatif yang kompetitif. Dalam hal pengabdian masyarakat, para cendikiawan berperan untuk membentuk tatanan sosial yang mendukung tumbuh suburnya ekonomi kreatif di daerah ini. Pelaku bisnis mencakup pelaku usaha, investor, dan pencipta teknologi-teknologi baru. Pelaku bisnis memiliki peranan dalam hal penciptaan produk dan jasa kreatif, pasar baru yang dapat menyerap produk dan jasa yang dihasilkan serta penciptaan lapangan kerja bagi individu-individu kreatif dan tenaga kerja pendukung lainnya. Pelaku bisnis juga memiliki peranan dalam membentuk komunitas dan
enterpreneur kreatif, yaitu sebagai motor penggerak dalam sharing pemikiran, alih pengetahuan, bimbingan bisnis dan pelatihan menajemen pengelolaan usaha di bidang ekonomi kreatif. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara harus dapat berperan dalam memberi rangsangan, tantangan dan dorongan agar ide-ide bisnis ekonomi kreatif terus berkembang. Sebagai katalisator pemerintah daerah diharapkan berperan memberdayakan komunitas kreatif untuk lebih produktif tidak hanya konsumtif, memberikan penghargaan bagi individu maupun kelompok kreatif, prasarana intelektual (perlindungan hak kekayaan intelektual, internet cepat dan lain-lain), dan permodalan termasuk modal ventura atau modal bergulir (revolving capital) dengan cara merintis hubungan dengan kalangan perbankan dan lembaga keuangan non bank. Sebagai fasilitator pemerintah daerah melakukan fasilitasi pembentukan forum ekonomi kreatif, penyediaan database dan homepage ekonomi kreatif, fasilitasi pengembangan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan kreatif, dan penyediaan ruang publik sebagai media bagi masyarakat untuk berkumpul, alih pengetahuan, tukar informasi dan menyalurkan kreatifitas. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara berperan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan ekonomi kreatif terutama kebijakan yang terkait dengan sumberdaya manusia, industri, sumberdaya alam, dan teknologi. Rencana aksi pengembangan kebijakan strategis UKM berbasis ekonomi kreatif Sumatera Utara tahun 2011-2015 secara rinci tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Matrik rencana aksi pengembangan kebijakan strategis UKM berbasis ekonomi kreatif Sumatera Utara tahun 2011-2015 NO TUJUAN DAN STRATEGI RENCANA AKSI SKPD UTAMA SASARAN A Penciptaan iklim yang mendorong kreativitas masyarakat a. Memberikan dukungan a. Fasilitasi partisipasi a. Dinas 1 Peningkatan insan UKM kreatif Pendidikan kepada insan UKM kreatif penghargaan berprestasi pada b. Dinas berbakat yang mendapat kepada insan lomba tingkat proPemuda & kesempatan di tingkat UKM kreatif di vinsi, nasional dan Olah Raga provinsi, nasional dan Sumatera Utara internasional c. Disperininternasional. b. Penyelenggaraan dag b. Memberikan event-event UKM d. Diskop & apresiasi/penghargaan berbasis ekonomi UKM kepada insan UKM kreatif kreatif Suma tera Sumatera Utara. c. Memberikan dukungan Utara . penyelenggaraan kegiatan masyarakat UKM yang terkait 14 subsektor 292
Kebiijakan Strategis Potensi UKM Berbasis Ekonomi Kreatif di Sumatera Utara (Nobrya Husni)
2
3
4
5
6
ekonomi kreatif. Penciptaan data a. Membangun data base dan cerita sukses insan kreatif base dan jejaring dan produk kreatif Sumatera insan kreatif Utara. UKM di dalam b. Memfasilitasi pengembangan negeri jeja ring dan mendorong kerja sama antar insan UKM kreatif Sumatera Utara dengan insan kreatif daerah lain. c. Mendorong dan memfasilitasi insan UKM kreatif dari daerah lain datang ke Sumatera Utara untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan serta membangun jejaring bisnis di bidang ekonomi kreatif. Penguatan iklim a. Memperbaiki regulasi, usaha kondusif pelayanan dan fasilitasi bagi investasi kemudahan perijinan usaha teknologi UKM UKM/ekonomi kreatif. pendukung b. Melakukan sosialisasi ekonomi kreatif kebijakan perijinan usaha industri di bidang UKM/ ekonomi kreatif. Penciptaan a. Mengkampanyekan penghargaan pentingnya kreatifitas dan terhadap HKI HKI sebagai modal utama dan sosialisasi keunggulan bersaing UKM pentingnya HKI dalam era ekonomi kreatif. b. Memberikan layanan pengabdian masyarakat UKM berupa edukasi dan layanan informasi HKI. Peningkatan a. Kampanye penggunaan apresiasi produk UKM kreatif terhadap budaya Sumatera Utara sebagai daerah dan upaya penciptaan pasar bagi kearifan lokal produk kreatif di luar daerah melalui pemanfaatan event atau kegiatan masyarakat sebagai media bagi pengembangan ekonomi kreatif. b. Mendorong penciptaan produk UKM kreatif yang mengintegrasikan budaya lokal dan kecenderungan yang diminati oleh pasar di dalam daerah dan luar daerah. a. Memfasilitasi dan Penciptaan mendorong terciptanya masyarakat komunitas insan UKM kreatif kreatif yang di Sumatera Utara saling menghargai dan saling b. Memberdayakan masyarakat 293
a. Pemetaan potensi a. Disperindag produk UKM berbasis ekonomi kreatif b. Diskop & Sumatera Utara. UKM b. Penyusunan portal/ data base pusat informasi UKM berbasis ekonomi kreatif Sumatera Utara. c. Fasilitasi pengembangan jejaring antar insan UKM kreatif
a. Penyusunan standar a. Badan operasional prosedur Pelayanan pelayanan perinijan Perijinan usaha UKM. Terpadu. b. Sosialisasi regulasi di b. Disperin bidang perijinan bagi dag pelaku usaha c. Diskop & UKM/ekonomi kratif. UKM Sosialisasi HKI kepada a. Disperinmasyarakat UKM. dag b. Diskop & UKM
a. Penyelenggaraan a. Diskomevent budaya info daerah. b. Disparbud b. Penganugerahan penghargaan bagi kelompok seni UKM berprestasi.
a. Pembentukan forum a. Disperinpengembangan dag UKM/ekonomi kreatif b. Diskop & Sumatera Utara. UKM b. Pembinaan komunic. BLH
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 287-297
bertukar pengeta huan
7
8
B 1
2
tas UKM kreatif untuk dapat berpartisipasi Sumatera Utara. aktif dalam komunitas UKM kreatif baik secara formal c. Pembangunan taman UKM kreatif Sumamaupun non formal. tera Utara. a. Mendorong dan memfasilitasi a. Fasilitasi kerjasama terciptanya skema penyediaan skema pembiayaan yang sesuai bagi pembiayaan bagi industri UKM/ekonomi industri UKM kreatif kreatif. dengan lembaga b. Mengembangkan lembaga perbankan. pembiayaan keuangan non b. Pembentukan kopebank di sentra-sentra rasi simpan pinjam di industri UKM kreatif. sentra-sentra UKM/industri kreatif. permodalan Memfasilitasi pertemuan antar Fasilitasi bagi pelaku pelaku industri UKM di bidang usaha ekonomi kreatif yang UKM/industri kreatif. membutuhkan biaya dengan lembaga pembiayaan.
Penciptaan skema dan lembaga pem biayaan yang mendukung tumbuh kembangnya industri UKM di bidang eko nomi kreatif Penguatan hubungan antara pelaku bisnis UKM & pemerintah dengan lembaga keuangan. Pengembangan kemampuan penciptaan nilai kreatif Peningkatan a. Mengembangkan kurikulum a. Jumlah Sumber pendidikan dan pelatihan, Daya Manusia dan kegiatan ekstrakurikuler (SDM) UKM di sekolah yang berorientasi kreatif yang pada pembentukan kreativitas dan berkualitas di kewirausahaan UKM pada b. Sumatera Utara anak didik sedini mungkin. b. Memperkuat akses pertukaran informasi dan pengetahuan ekonomi kreatif dalam masyarakat.
Pengembangan jurusan SMK berbasis UKM/ekonomi kreatif (misalnya komputer, desain grafis, fotografi, dll). Pengembangan ekstrakurikuler sekolah yang telah ada (misalnya seni pertunjukan, musik) dan penyediaan eks trakurikuler baru (misalnya pengem bangan desain, fotografi, kerajinan, permainan interaktif). c. Penyelenggaraan pelatihan usaha ekonomi kreatif. Peningkatan a. Mendorong pihak swasta a. Koordinasi pengemjumlah lembaga untuk membangun lembaga bangan lembaga pendidikan, pendidikan dan pelatihan pendidikan dan pelapelatihan formal yang berkualitas dengan tihan berbasis eko dan non formal biaya terjangkau dalam nomi kreatif dengan bermutu yang bidang UKM/ekonomi pengusaha. mendukung kreatif. b. Fasilitasi pengempenciptaan insan b. Penyediaan sarana dan bangan dan penyedia UKM kreatif. prasarana pendidikan non an sarana dan prasarana lembaga formal berbasis pendidikan non UKM/ekonomi kreatif. formal berbasis UKM/ ekonomi kreatif.
294
a. Disperindag b. Diskop & UKM
a. Disperindag b. Diskop & UKM
a. Dinas Pendidikan b. Dinas Pemuda & Olah Raga c. Disperindag d. Diskop & UKM
a. Dinas Pendidikan b. Dinas Pemuda & Olah Raga
Kebiijakan Strategis Potensi UKM Berbasis Ekonomi Kreatif di Sumatera Utara (Nobrya Husni)
3
Peningkatan jumlah wirausahawan dibidang UKM/ekonomi kreatif.
4
Penguatan kapasitas penguasaan teknologi dan kemampuan pemanfaatan komputer di bidang UKM/ekonomi kreatif
5
Peningkatan daya tarik industri di bidang UKM/ekonomi kreatif
C 1
2
3
a. Memberikan kemudahan dalam memulai dan menjalankan usaha bagi para wirausahawan baru di bidang UKM/ekonomi kreatif. b. Mendorong wirausahawan sukses berbagi pengalaman dan keahlian kepada masyarakat untuk menciptakan wirausahawan UKM kreatif baru. a. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan dan pelatihan teknologi informasi dan komunikasi di bidang UKM/ekonomi kreatif. b. Mengintensifkan kerjasama riset dan teknologi di bidang UKM/ekonomi kreatif multidisiplin antar institusi pendidikan terutama perguruan tinggi berbasis teknologi informasi. a. Memperluas jangkauan distribusi pemasaran produk UKM kreatif Sumatera Utara di luar daerah. b. Meningkatkan apresiasi pasar di luar daerah terhadap produk UKM kreatif Sumatera Utara.
a. Fasilitasi perijinan d. Badan usaha bagi Pelayanan wirausahawan baru Perijinan UKM di bidang Terpadu. ekonomi kreatif. e. Disperin b. Seminar dag enterpreunership f. Diskop & UKM/ekonomi kreatif UKM c. Temu bisnis UKM/ ekonomi kreatif Sumatera Utara b. Pelatihan teknologi informasi dan komputer bagi tenaga pengajar lembaga pendidikan dan pelatihan. c. Koordinasi pengembangan kerjasama riset dan teknologi di bidang UKM/ekonomi kreatif.
a. Penyusunan database pemasaran produk dan jasa ekonomi UKM kreatif Sumatera Utara. b. Fasilitasi promosi produk UKM dan industri kreatif Sumatera Utara secara online. c. Fasilitasi UKM dan industri kreatif pada pameran di luar daerah. Peningkatan peluang atau permintaan terhadap produk kreatif Mempromosikan produk UKM Peningkatan Penyelenggaraan kesadaran dan kreatif yang memiliki nilai pameran produk penghargaan UKM/ekonomi kreatif ekonomis dan membawa ciri daerah lain khas Sumatera Utara ke tingkat Sumatera Utara. terhadap produk provinsi dan nasional. UKM kreatif Sumatera Utara a. Melakukan penataan industri a. Pengembangan Peningkatan cluster industri UKM pendukung terhadap efisiensi serta kreatif Sumatera industri UKM/ekonomi produktivitas Utara. kreatif. industri UKM b. Melakukan penataan sebaran b. Penataan sentra untuk industri UKM kreatif industri yang mendukung meningkatkan keunggulan Sumatera Utara. penciptaan klaster industri komparatif UKM/ekonomi kreatif. Peningkatan Melakukan sosialisasi tentang Sosialisasi tentang pasar, inovasi pasar, desain, hasil penelitian, desain, hasil penelitian, bermuatan lokal, dan perkembangan teknologi dan perkembangan untuk yang terkait dengan teknologi UKM/ 295
a. Dinas Pendidikan b. Dinas Pemuda & Olah Raga c. Disperindag d. Diskop & UKM
a. Disperindag b. Diskop & UKM
a. Disperindag b. Diskop & UKM
a. Disperindag b. Diskop & UKM
a. Disperindag b. Diskop & UKM
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 287-297
4
menciptakan pengembangan industri UKM di ekonomi kreatif. keunggulan bidang ekonomi kreatif. kompetitif UKM Pembentukan a. Mengoptimalisasikan peran a. Kajian tentang basis a. Disperinbasis-basis lembaga penelitian, LSM dan teknologi pendukung dag teknologi perguruan tinggi untuk UKM/ekonomi kreatif b. Diskop & pendukung mengembangkan teknologi Sumatera Utara. UKM industri di yang mendukung pengem- b. Fasilitasi kerjasama bidang bangan industri UKM di pengembangan UKM/ekonomi bidang ekonomi kreatif. teknologi pendukung kreatif menuju b. Mengembangkan inkubatorindustri klaster teknologi inkubator teknologi untuk UKM/ekonomi mendukung pengembangan kreatif. UKM/ekonomi kreatif.
Pengembangan kebijakan strategis UKM berbasis ekonomi kreatif Sumatera Utara merupakan sebagai pilihan kebijakan yang bersifat strategis dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat di era otonomi daerah. Potensi UKM berbasis industri kreatif di Sumatera Utara termasuk cukup baik dan beragam. Di pihak lain berbagai potensi UKM berbasis industri kreatif di Sumatera Utara tersebut masih belum tergambarkan secara jelas guna untuk menyusun kebijakan pengembangan UKM di masa mendatang, dimana nantinya setiap daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara harus memiliki industri kreatif yang berbasis potensi sumberdaya lokal yang selama ini telah ada hanya belum tergali secara optimal. Untuk itu diperlukan dukungan dan fasilitasi dari Pemerintah Sumatera Utara dan kalangan dunia usaha untuk mengembangkan industri kreatif tersebut agar dapat menjadi pendorong bagi perkembangan ekonomi masyarakat di daerah. Hal ini mengingat bahwa pengembangan UKM berbasis industri kreatif sangat penting, karena kegiatan ini dapat menurunkan angka pengangguran dan membuka peluang usaha baru bagi masyarakat di Sumatera Utara.
pengetahuan dan Iptek, antara lain melalui; peningkatan lapangan pekerjaan baru bagi kelompok usia produktif yang memasuki lapangan kerja; peningkatan keterbukaan bagi datangnya pekerja kreatif dari daerah lain; dan pengembangkan industri/UKM kreatif antar daerah dilakukan melalui Kerjasama Antar Daerah (KAD). Untuk itu, pengembangan UKM berbasis ekonomi kreatif di Sumatera Utara dapat dilakukan melalui pelatihan dan peningkatan kapasitas SDM, pemagangan dan studi banding dan lain-lain serta untuk meningkatkan kerjasama dengan kalangan dunia usaha dalam memfasilitasi pengembangan industri/UKM kreatif dapat dilakukan melalui perintisan usaha, fasilitasi melalui Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan negara dan swasta. REKOMENDASI 1. Pengembangan ekonomi kreatif hendaknya tercantum dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan RPJMD Sumatera Utara. 2. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara diharapkan dapat menyediakan ruang publik agar kelompokkelompok masyarakat dapat berkreasi bagi pengembangan ekonomi kreatif, misalnya saja : fasilitasi gedung kesenian, ruang pamer, fasilitas website untuk promosi dan lain-lain. 3. Guna untuk pengembangan usaha dan merintis kegiatan kewirausahaan dalam industri/UKM kreatif serta untuk fasilitasi pengembangan ekonomi kreatif di Sumatera Utara, maka Pemerintah Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota agar dapat dialokasikan sumber pendanaan dari Koperasi dan UKM.
KESIMPULAN Berdasarkan penelitian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara perlu mengembangkan UKM berbasis ekonomi kreatif sehingga mempunyai peran penting, yaitu; sebagai fasilitator sosial melalui penyiapan sarana pendukung terkait dengan ekonomi kreatif; dan sebagai katalisator dalam mempercepat perkembangan UKM berbasis ekonomi kreatif. Selain itu, pengembangan iklim usaha UKM berbasis ekonomi kreatif dalam upaya peningkatan kerjasama kegiatan usaha dalam masyarakat harus berbasis pada ilmu 296
Kebiijakan Strategis Potensi UKM Berbasis Ekonomi Kreatif di Sumatera Utara (Nobrya Husni)
4.
5.
6.
Prosiding Seminar Nasional Program Studi Teknik Busana.
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara agar dapat memfasilitasi dengan menyediakan insentif pajak atau membebaskan biaya perijinan usaha (UMKM) sebagai insentif bagi berkembangnya industri/UKM kreatif di daerah. Potensi budaya dan sumberdaya lokal yang banyak dimiliki daerah Provinsi Sumatera Utara yang heterogen dapat bernilai kreatif, apabila dilakukan penataan dan pembinaan oleh stakeholders terkait dengan menggunakan teknologi dan inovasi yang sudah cukup berkembang saat ini. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara agar dapat melibatkan universitas dalam mengkaji dan mengembangkan ekonomi kreatif Sumatera Utara untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kusumaningsih, Ratih Estie dan Dinie Suryani. 2008. Potret Industri Kreatif Indonesia. Economic Review No. 212. Juni. Maulana, Insan Budi. 2000. Peran Serta LSM dalam Pemberdayaan KPKM di Bidang HaKI khususnya Merek Dagang. Disampaikan dalam Workshop Pemberdayaan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Melalui Kebijakan Merek Dagang dalam Menghadapi Diberlakukannya Kesepakatan Ketentuan TRIP’s. Jakarta. Rahimi, Nahar. 2000. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas Merek di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Santoso, Singgih. 2000. Buku Latihan SPSS Statistik Paramatrik. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfa Beta.
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Anggito. 1994. "Orientasi Usaha dan Kinerja Bisnis Konglomerat". Makalah dalam Seminar Nasional "Mencari Keseimbangan Antara Konglomerat dan Pengusaha Kecil-Menengah di Indonesia: Permasalahan dan Strategi", Dies Natalis STIE Widya Wiwaha, Yogyakarta, 30 April.
Suharto, Tata Iryanto. 1996. Kamus Bahasa Indonesia Terbaru. Surabaya: Penerbit Indah. Umar, Achmad Zen P. 2000. Sosialisasi dan Penegak Hukum di Bidang HaKI Khususnya yang Berkaitan dengan Merek Dagang. Disampaikan dalam Workshop Pemberdayaan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Melalui Kebijakan Merek Dagang dalam Menghadapi Diberlakukannya Kesepakatan Ketentuan TRIP’s. Jakarta.
Assauri, Sofjan. 1993. Interorganizational Process Dalam Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah. Manajemen dan Usahawan indonesia No.6, tahun XXII, Juni, h. 21-26. Research.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Departemen Koperasi, Direktorat Jenderal Bina Lembaga Koperasi.
Bachruddin, Zaenal, dkk. 1996. Kajian Pengembangan Pola Industri Pedesaan Melalui Koperasi dan Usaha Kecil. LPM UGM dan Balitbang Departemen Koperasi & PPK.Yogyakarta.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1995 Tentang Usaha Kecil Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Direktorat Jenderal Pembinaan Koperasi Perkotaan.
Sutrisno, Hadi. 1993. Yogyakarta: Andi Offset.
Metodologi
Badan Pusat Statistik. 1999. Statistical Yearbook of Indonesia 1998. Jakarta: BPS. Dicken, Peter. 1992. Global Shift: The Internationalization of Economic Activity edisi ke-2. London: Paul Chapman Publishing Ltd. Harianto, Farid. 1996. Study on Subcontracting in Indonesian Domestic Firms, dalam Mari Pangestu (ed.), Small-Scale Business Development and Competition Policy. Jakarta: CSIS. Hidayat, Anas. 1994. Analisis Perkembangan Industri kecil Berdasarkan Penyusunan Indeks Produktivitas dan Tingkat Efisiensinya di Daerah Istimewa Yogyakarta", Jurnal Ekonomi, vol.3, Juni, h. 36-51. Jerusalem, Mohammad Adam. 2009. Perancangan Industri Kreatif Bidang Fashion dengan Pendekatan Benchmarking pada Queensland’s Creative Industry.
297
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 298-306
Hasil Penelitian PENGEMBANGAN INDUSTRI BATIK SUMATERA UTARA
(NORTH SUMATRA BATIK INDUSTRY DEVELOPMENT) Frida Ramadini* Ramadini*, Raina Linda Sari* Sari* *Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara Kampus USU Padang Bulan, Medan Email: ramadani_f@yahoo.com Diterima: 15 Agustus 2012; Direvisi: 15 Oktober 2012; Disetujui: 15 November 2012
ABSTRAK Usaha Kecil dan Menengah (UKM) memegang peranan penting dalam pembangunan dan perekonomian nasional. Sektor UKM di negara berkembang menjadi salah satu tumpuan tumbuhnya perekonomian nasional. UKM di negara berkembang dapat memberikan solusi dalam mengatasi berbagai masalah ekonomi dan sosial seperti mengurangi pengangguran,pembatasan kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan, peluang dan tantangan pengembangan industri batik Sumatera Utara (batik Sumut). Dalam penelitian yang dilakukan digunakan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden atau informan pada lokasi penelitian. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi dokumen dengan mempelajari berbagai tulisan melalui buku,jurnal dan artikel untuk mendukung penelitian. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan pengamatan langsung (observation), wawancara mendalam (depth interview), daftar pertanyaan (questionnaire) dan studi dokumentasi pada responden yang dipilih secara purposif. Dalam menganalisis data penelitian digunakan metode analisis deskriptif. Informan penelitian ini adalah individu-individu yang berkaitan langsung dengan usaha batik yang terdiri dari pemilik usaha batik, yaitu sebanyak 5 orang. Hasil dari penelitian ini menunjukkan industri batik Sumut mengalami perkembangan yang cukup baik. Hambatan pengembangan industri batik Sumut adalah terletak pada permasalahan ketersediaan bahan baku, keterbatasan sumber daya manusia dan persaingan dengan batik Jawa. Pemberdayaan masyarakat lokal dan motif batik Sumut yang khas dan unik dapat dijadikan sebagai keunggulan produk untuk dapat merebut pasar yang lebih luas merupakan peluang yang bisa didapatkan dalam pengembangan industri batik Sumut. Batik Sumut berpotensi untuk dapat dikembangkan karena dapat melestarikan dan mengangkat budaya lokal dan menjadi alternatif pilihan batik nasional. Pengembangan dapat dilakukan dengan perbaikan dalam manajemen produksi dan manajemen pemasaran yang baik dan kerja sama dengan berbagai lembaga terkait secara lebih intensif. Kata kunci: Batik, Sumatera Utara, budaya lokal, pemberdayaan masyarakat
ABSTRACT Small and Medium Entrepreneurs (SMEâ&#x20AC;&#x2122;s) plays an important role in development of national economic. SMEâ&#x20AC;&#x2122;s in developing countries is a essential for national economic growth. SMEâ&#x20AC;&#x2122;s give way out for solving economic and social problems like jobless, poverty and equity issues. The objective of this research is to identify the constraints, opportunities and challenges on the development of Batik Industry in North Sumatera. In this research, primary and secondary data were used. Primary data was directly asses from informant. Secondary data sources are book, journal and articles to support this research. Data collection techniques were observation, indepth interview and questionnaire and documentation from selected informants. Data analyzed by using descriptive techniques. Informants were the owners of batik industries in total 5 persons. The result showed that the Batik Industries in North Sumatera need a lot of efforts in improving the manageria of business. Constraints founded in this research were the scarcity of materials, un-skilled human resources, and competition with Java Batik. The specialty and the uniqueness of local design also the empowerment of local community are the opportunities to be developed because it can lead to preservation and promotion of local culture. It also can be an alternative of the various batik nationally. The development can be conducted through the improvement of
298
Pengembangan Industri Batik Sumatera Utara (Frida Ramadini dan Raina Linda Sari)
production and marketing management which is intregrated with various related institutions intensively. Keywords : Batik, North Sumatera, local culture, community empowerment
digemari. Pada masa kini batik tidak hanya ditampilkan dalam bentuk helaian dan dengan bahan yang ringan dan warna yang natural batik bisa dikemas menjadi bentuk apa saja yang diinginkan dan batik dapat dimodifikasi menjadi pakaian dengan model-model terbaru atau tren fashion masa kini. Tidak hanya pakaian resmi dan kasual, batik juga bisa dikenakan sebagai hiasan interior rumah seperti gorden, taplak meja, dan lain sebagainya. Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad ke-17 yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corakcorak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang. Jenis dan corak batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam (http://uripsantoso.wordpress.com/tag/batik). Batik merupakan potensi aset pada perekonomian Indonesia karena berbasis kekayaan warisan budaya bangsa Indonesia. Pengembangan industri batik yang termasuk sub kelompok industri kreatif memberikan kontribusi ke angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) baik dari aspek produksi nasional maupun dari peningkatan pendapatan masyarakat karena lapangan pekerjaaan yaang diciptakaan oleh industi batik tersebut maupun oleh sektorâ&#x20AC;&#x201C;sektor terkait. Landasan dasar konsep industri kreatif adalah menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai input utama untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi berbasis kesejahteraan. Khasanah budaya bangsa Indonesia yang beragam telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik dengan kekhususannya tersendiri. Hal ini menjadikan Indonesia memilki banyak jenis batik. Batik cukup mengalami perkembangan,tidak hanya berkembang di pulau Jawa bahkan pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua juga memiliki batik (http://tutorialite.wordpress.com/2011/03/25
PENDAHULUAN Usaha Kecil dan Menengah (UKM) memegang peranan penting dalam pembangunan dan perekonomian nasional. Sektor UKM di negara berkembang menjadi salah satu tumpuan tumbuhnya perekonomian nasional. UKM di negara berkembang dapat memberikan solusi dalam mengatasi berbagai masalah ekonomi dan sosial seperti mengurangi pengangguran, pembatasan kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Pentingnya UKM di Indonesia terkait dengan posisinya yang strategis dalam beberapa aspek seperti aspek permodalan dimana UKM tidak memerlukan modal usaha yang besar, aspek tenaga kerja pada UKM yang tidak menuntut pendidikan formal tertentu, dan dilihat dari aspek lokasi sebagian besar UKM tidak memerlukan infrastruktur yang kompleks seperti perusahaan besar. Dalam menjaga kelangsungan usahanya UKM juga memilki ketangguhan dan ketahanan dalam usaha. Dalam rangka pengembangan ekonomi daerah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka pengembangan ekonomi lokal sesuai potensinya menjadi sangat penting. Dengan keunggulan yang dimiliki, UKM memiliki posisi yang strategis bagi pengembangan ekonomi regional. Sejalan dengan implementasi otonomi daerah, penggalian potensi daerah menuju spesialisasi regional penting mendapat perhatian.UKM didaerah tentunya sangat diperlukan untuk menciptakan iklim berusaha/bersaing didaerah. Hal ini menjadikan posisi UKM sangat penting untuk mewujudkan pengembangan perekonomian daerah dan pemberdayaan masyarakat (Sulistyastuti, 2004). Pengembangan industri kreatif sebagai bagian dari usaha kecil dan menengah merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan dalam rangka mewujudkan program pengembangan ekonomi daerah dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini dilakukan guna mengembangkan potensi daerah dan kreativitas masyarakat di suatu wilayah untuk dapat menghasilkan produk yang mempunyai keunggulan bersaing (competitive advantage). Salah satu industri kreatif yang cukup berkembang di Indonesia adalah industri batik. Sejak UNESCO menetapkan batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia (world heritage) batik semakin berkembang. Fleksibilitas kain tradisional Indonesia ini membuat batik 299
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 298-306
/karya-ilmiah-batik-jambi). Batik Sumatera Utara (batik Sumut) adalah salah satu jenis batik yang ada di Indonesia. Batik ini hadir dengan motif yang berbeda dengan batik Jawa. Batik Sumatera Utara (batik Sumut) hadir dengan beragam motif etnik khas Sumatera Utara yang tampil atraktif dengan motif ornamen dari berbagai macam suku yang ada di provinsi ini, seperti ornamen Tapanuli Utara (Batak Toba), Mandailing, Tapanuli Tengah, Simalungun, Pakpak Dairi, Karo, Melayu Deli dan Nias. Perkembangan batik Sumut menjadi suatu hal yang menarik untuk diperhatikan. Kondisi saat ini batik khas Sumatera Utara dengan skala usaha kecil (kurang dari sepuluh industri batik) mulai mengalami pertumbuhan. Meskipun pada saat ini produk yang dihasilkan masih hanya merambah pasar lokal, industri ini sangat berpotensi untuk dapat dikembangkan karena dapat mengangkat budaya lokal dan menjadi alternatif pilihan di tengah-tengah tren batik yang kini sedang booming. Komponen input produksi merupakan komponen yang perlu diperhatikan untuk mengembangkan industri batik Sumut. Dalam teori produksi ada beberapa komponen input produksi yang diproses untuk menciptakan produktivitas yakni modal (capital), lahan (land), tenaga kerja (labor) dan teknologi (technology). Input â&#x20AC;&#x201C; input tersebut harus didayagunakan dan di alokasikan sedemikian rupa untuk mendorong penciptaan produktivitas. Industri kreatif merubah paradigma pembangunan ekonomi global yang menganut prinsip bahwa kekayaan alam merupakan kunci bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa dan menjadikan pemanfaatan sumber daya manusia sebagai kekuatan untuk mencapainya. Sumber daya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menghasilkan inovasi dan produktivitas yang tinggi sehingga ekonomi dapat tumbuh dan kesejahteraan masyarakat dapat dicapai. Aspek produksi dan pemasaran merupakan aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam bisnis. Menurut Suryana (2006) terdapat beberapa unsur dalam aspek produksi yaitu lokasi operasi, volume operasi, mesin dan peralatan, bahan baku dan bahan penolong, tenaga kerja dan tata letak. Lokasi operasi sebaiknya adalah lokasi yang paling strategis dan efisien dengan volume operasi harus relevan dengan potensi pasar dan prediksi permintaan, sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan kapasitas. Mesin dan peralatan harus sesuai dengan teknologi masa kini dan yang akan datang serta disesuaikan dengan luas produksi. Bahan baku dan bahan penolong yang
diperlukan harus cukup tersedia dengan jumlah dan kualifikasi tenaga kerja yang disesuaikan dengan keperluan jam kerja dan kualifikasi pekerjaan untuk menyelesaikannya. Tata ruang atau tata letak berbagai fasilitas operasi harus tepat dan prosesnya praktis sehingga dapat mendukung proses produksi. Dalam aspek pemasaran beberapa komponen yang harus dicermati adalah kebutuhan dan keinginan konsumen, segmentasi pasar, target pasar, nilai tambah, masa hidup produk, struktur pasar, persaingan dan strategi pesaing, ukuran pasar, pertumbuhan pasar, laba kotor dan pangsa pasar. Untuk mengetahui kebutuhan dan keinginan konsumen harus dilakukan penelitian pasar untuk menentukan segmen pasar, karakteristik konsumen yang dituju dan menentukan target pasar (Suryana, 2006). Pemasaran merupakan kegiatan meneliti kebutuhan dan keinginan konsumen, menghasilkan barang dan jasa sesuai dengan keinginan konsumen (product), menentukan tingkat harga (price), mendistribusikan produk ke tempat konsumen (place) dan mempromosikan agar produk dikenal konsumen (promotion). Produk merupakan instrumen untuk memuaskan konsumen dengan atribut yang terdiri dari desain produk, kualitas produk, kemasan produk, warna produk dan label produk. Penentuan harga juga merupakan hal yang paling penting dalam pemasaran sebagai sejumlah nilai yang harus dibayar konsumen. Pemilihan saluran distribusi untuk menyampaikan produk sampai ke tangan konsumen perlu dilakukan dengan memilih saluran distribusi. Promosi yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada pasar perlu dilakukan untuk menimbulkan pembelian dan hubungan konsumen. Sumatera Utara memiliki berbagai sentra pengembangan batik yang potensial untuk dikembangkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hambatan, peluang dan tantangan pengembangan industri batik Sumatera Utara. METODE Penelitian dilakukan pada industri batik Sumut yang berada di kota Medan dan sekitarnya. Dalam penelitian yang dilakukan digunakan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden atau informan pada lokasi penelitian yaitu di sentra industri batik di Kota Medan. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi dokumen dengan mempelajari berbagai tulisan melalui buku,jurnal dan artikel untuk mendukung penelitian.
300
Pengembangan Industri Batik Sumatera Utara (Frida Ramadini dan Raina Linda Sari)
merupakan potensi ekonomi yang dapat memberikan kontribusi kepada angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sumut melalui kiprahnya dalam produksi batik serta penyerapan tenaga kerja yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Bagi masyarakat Sumut kehadiran batik Sumut dapat memperkaya pilihan di bidang fashion karena dari segi motif dan warna batik Sumut ini cukup menarik. Motif etnik yang ada di daerah Sumut yang biasanya merupakan ornamen pada rumah-rumah adat dimodifikasi menjadi corak Batik Sumut ini dalam kombinasi warna yang kontras. Nurcahaya Nasution adalah pelopor pengrajin batik Sumut di kota Medan. Semua berawal dari keikutsertaan Nurcahaya pada pelatihan membatik yang diselenggarakan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Medan. Beliau berkesempatan belajar membatik di Pekalongan dan memulai usaha ini pada tahun 2009 dengan mendirikan sanggar batik untuk memberdayakan masyarakat yang ada di sekitar tempat tinggalnya untuk membatik. Saat ini di Provinsi Sumatera Utara khususnya di kota Medan terdapat 5 (lima) orang pengusaha batik yang memproduksi sendiri produknya. Secara umum para pengusaha masih memasok berbagai keperluan membatik dari Yogyakarta dan Solo seperti bahan dasar kain katun, canting, cap dan peralatan lainnya. Dari penelitian yang dilakukan dapat terlihat karakteristik informan berdasarkan demografi pada Tabel 1.
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan pengamatan langsung (observation), wawancara mendalam (depth interview), daftar pertanyaan (questionnaire) dan studi dokumentasi. Dalam menganalisis data penelitian digunakan metode analisis deskriptif. Informan penelitian ini adalah individu-individu yang berkaitan langsung dengan usaha batik yang terdiri dari pemilik usaha batik, karyawan dan beberapa konsumen yang membeli produk tersebut. HASIL DAN PEMBAHASAN Indonesia kaya dengan batik, tidak hanya di pulau Jawa, tradisi membatik di sejumlah daerah seperti Sumatera Utara khususnya kota Medan yang memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi juga perlahan mulai memiliki batik. Meskipun tidak ada catatan resmi kapan batik mulai dikenal di Sumatera Utara, namun menurut perkiraan batik sudah ada di Sumatera Utara sekitar tahun 2009. Perbedaan antara Batik Sumut dengan batik Jawa, terletak pada motifnya. Batik Sumut mempunyai keunikan pada warna dan motif yang khas yang diambil dari motif ulos batak dan motif ornamen dari berbagai macam suku yang ada di propinsi ini, seperti ornamen Tapanuli Utara (Batak Toba), Mandailing, Tapanuli Tengah, Simalungun, Pakpak Dairi, Karo, Melayu Deli dan Nias. Hingga kini, pembuatan batik Sumut masih tradisional, jauh dari sentuhan teknologi. Seluruh proses dilakukan secara manual dan sederhana dengan keterampilan dan kreativitas para pembatik. Batik Sumut memperkaya khasanah batik Indonesia. Dengan berkembangnya batik Sumut
Tabel 1. Karakteristik informan berdasarkan demografi Nama Umur Jenis Kelamin
No. 1 2 3 4 5
Nurcahaya Nasution/Batik Sumut Nurma/Batik Kreasi Medan R.Edy Gunawan/Batik Motif Medan Hj.Anna Sulmi/Pelopor Jaya Toto Heru Saputra/Art Batik
No.
Nama
1
Nurcahaya Nasution/Batik Sumut
67 tahun 22 tahun 42 tahun
Perempuan Perempuan Laki-laki
Pendidikan Terakhir Sarjana SMA Sarjana
66 tahun 45 tahun
Perempuan Laki-laki
SMA Sarjana
Tabel 2. Karakteristik informan berdasarkan aktivitas usaha Lama Jumlah Sumber Lama Jumlah Usaha Modal Modal Pengembalian Karyawan (Dalam Modal rupiah) >3 tahun
10.000.000,-
Sendiri
301
1 tahun
12 orang
Omzet Penjualan Per Bulan (Dalam rupiah) 60.000.000, -
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 298-306
2 3
4
5
No.
1
2
3
4
5
No.
Nurma/Batik Kreasi Medan R.Edy Gunawan/Bati k Motif Medan Hj.Anna Sulmi/Pelopor Jaya Toto Heru Saputra/Art Batik
1 tahun
5.000.000,-
Sendiri
1 tahun
1 orang
7.000.000,-
>3 tahun
10.000.000,-
Sendiri
1 tahun
7 orang
60.000.000, -
2 tahun
15.000.000
Sendiri
3 bulan
4 orang
18.000.000, -
4 bulan
5.000.000,-
Sendiri
Modal belum kembali
-
2.000.000,-
Tabel 3. Karakteristik informan berdasarkan aspek produksi Jenis Variasi Jumlah Jumlah Bahan Produk Produk Produksi Baku Per Bulan Per Bulan Nurcahaya Batik Kain, 300 s/d 20 rol kain,300 baju, kg malem,6 kg Nasution/Batik tulis,batik 500 helai mukena, pewarna, Sumut cap kain hiasan canting dinding Nurma/Batik Batik Kain, 45 helai 1 rol kain,20 kg Kreasi Medan tulis,batik baju kain malem,1/2 kg suntik pewarna, canting R.Edy Batik Kain, 200 s/d 10 rol kain,100 Gunawan/Batik tulis,batik baju 300 helai kg malem,3 kg Motif Medan cap kain pewarna, canting Hj.Anna Batik Kain, 180 helai 10 rol kain,100 Sulmi/Pelopor tulis,batik baju kain kg malem,3 kg Jaya cap pewarna, canting Toto Heru Batik cap Kain, 10 helai 20 helai kain Saputra/Art baju kain batik Batik 10 buah baju Nama
Sumber Bahan Baku Solo
Standar Kualitas
Yogyakarta
Tidak luntur
Yogyakarta & Solo
Tidak Luntur
Yogyakarta & Solo
Tidak Luntur
Yogyakarta & Solo
Tidak Luntur
Tabel 4. Karakteristik responden berdasarkan aspek pemasaran Nama/Merek Target Pasar Harga Produk Distribusi Promosi Dagang (Ribuan Rupiah)
1
Nurcahaya Nasution/Batik Sumut
2
Nurma/Batik Kreasi Medan
3
R.Edy Gunawan/Batik Motif Medan
4
Hj.Anna Sulmi/Pelopor
Instansi pemerintah,p erusahaan,org anisasi, pribadi Instansi pemerintah,p erusahaan,org anisasi, pribadi Instansi pemerintah,p erusahaan,org anisasi, pribadi Instansi pemerintah,p
Tidak luntur
Hak Paten
Batik cap 100-125 per helai kain Batik tulis > 200 per helai kain
Langsung
Pameran, pemasaran on-line
Masih dalam pengurusan
Batik tulis 200 per helai kain Batik suntik 90-150 per baju
Langsung
Pameran, pemasaran on-line
Masih dalam pengurusan
Batik cap 100-125 per helai kain Batik tulis >200 per helai kain
Langsung
Pameran, pemasaran on-line
Masih dalam pengurusan
Batik cap 100-125 per helai kain
Langsung
Pameran
Pernah mengurus
302
Pengembangan Industri Batik Sumatera Utara (Frida Ramadini dan Raina Linda Sari)
Jaya
5
Toto Heru Saputra/Art Batik
erusahaan,org anisasi, pribadi Instansi pemerintah,p erusahaan,org anisasi, pribadi
Batik tulis > 200 per helai kain Batik cap150 per baju Batik tulis Rp.250.000,- per baju
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terdapat 5 (lima) orang pengusaha batik yang terdapat di Propinsi Sumatera Utara khususnya di kota Medan, diperoleh informasi bahwa para pengusaha yang sekaligus pengrajin batik ini berumur antara 22 tahun s/d 67 tahun, 3 (tiga) orang berjenis kelamin perempuan dan 2 (dua) orang berjenis kelamin laki-laki. Pendidikan terakhir yang dimiliki para pengusaha ini terdiri dari 3 (tiga) orang berpendidikan sarjana, dan 2 (dua) orang berpendidikan SMA. Karakteristik informan berdasarkan aktivitas usaha dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil penelitian menunjukkan lamanya waktu berusaha para pengusaha batik ini terdiri dari 2 (dua) orang mempunyai lama usaha lebih dari 3 (tiga) tahun, 1 (satu) orang mempunyai lama usaha 2 (dua) tahun, 1 (satu) orang mempunyai lama usaha 1 tahun dan 1 (satu) orang mempunyai lama usaha 4 (empat) bulan. Dilihat dari jumlah modal usaha, adapun modal yang digunakan pada awal usaha oleh para pengusaha berkisar antara Rp.5.000.000,- s/d Rp.15.000.000,dan semua pengusaha menggunakan modal sendiri sebagai modal awal usaha. Dilihat dari lama pengembalian modal, 3 (tiga) orang mendapatkan pengembalian modal dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, 1 (satu) orang mendapatkan pengembalian modal dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan dan 1 (satu) orang hingga kini belum mendapatkan pengembalian modal karena jangka waktu berusaha yang masih relatif singkat. Dilihat dari omzet penjualan, 2 (dua) orang pengusaha mampu memperoleh omzet sebesar Rp.60.000.000,-, 1 (satu) orang pengusaha mampu memperoleh omzet sebesar Rp.18.000.000,- sedangkan 2 (dua) orang pengusaha lainnya memperoleh omzet penjualan di bawah Rp. 10.000.000,dikarenakan masih pada tahap merintis usaha. Dari Tabel 2 juga terlihat para pengusaha batik memberdayakan karyawan untuk membantu aktivitas usahanya dengan jumlah karyawan yang berkisar antara 1 s/d 12 orang karyawan. Karakteristik informan berdasarkan aspek produksi dapat dilihat pada Tabel 3.
303
Langsung
Pameran
tetapi tidak dilanjutkan lagi Belum
Usaha Batik Sumut, Batik Motif Medan dan Pelopor Jaya menghasilkan 2 (dua) jenis batik yaitu batik tulis dan batik cap. Kreativitasnya dituangkan dengan membuat batik bermotif ornamen dari berbagai macam suku yang ada di propinsi Sumatera Utara, seperti ornamen Tapanuli Utara (Batak Toba), Mandailing, Tapanuli Tengah, Simalungun, Pakpak Dairi, Karo, Melayu Deli dan Nias. Motif Gorga dan boneka Sigale-Gale yang berasal dari Batak Toba merupakan produk yang paling banyak digemari konsumen. Motif Pani Patunda dari Simalungun, motif Pangeret-eret dari tanah Karo, motif Pucuk Rebung dan Pelana Kuda yang identik dengan budaya Melayu Deli juga merupakan motif yang cukup diminati konsumen. Ketiga usaha batik ini selalu berupaya untuk selalu kreatif dalam memadukan motif dengan aneka warna yang memiliki nilai estetika yang cukup tinggi. Selain memproduksi batik dalam bentuk helaian kain dan baju kini usaha Batik Sumut juga mencoba melakukan diversifikasi produk dengan cara memproduksi mukena dan hiasan dinding dengan bahan dasar batik motif khas Sumut. Usaha batik lainnya masih hanya memproduksi batik dalam bentuk helaian kain dan baju saja. Hingga saat ini Batik Motif Medan selain memproduksi batik tulis,juga memproduksi batik suntik. Sedangkan Art Batik hanya memproduksi batik cap saja dan dalam produksinya bekerjasama dengan Batik Sumut, Batik Motif Medan dan Pelopor Jaya. Dalam penggunaan bahan baku semua usaha batik seratus persen (100%) menggunakan bahan baku utama yang berasal dari Yogjakarta dan Solo. Begitu juga bahan baku pendukung seperti canting, lilin (malem), dan pewarna. Hal ini dikarenakan tidak tersedianya bahan baku yang berkualitas di wilayah provinsi ini. Jumlah bahan baku yang digunakan cukup bervariasi. Usaha Batik Sumut dan Batik Motif Medan menggunakan jumlah bahan baku yang lebih banyak dibandingkan dengan usaha Batik Kreasi Medan, Pelopor Jaya dan Art Batik. Proses pembuatan batik Sumut tidak berbeda jauh dengan pembuatan batik dari Pulau Jawa. Proses pembuatan batik tulis
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 298-306
dimulai dari pemotongan kain, perebusan kain, kemudian dengan menggunakan canting setiap motif yang telah terlebih dahulu digambar di atas kertas, ditulis (decanting) pada kain polos yang berukuran 2,5 meter x 1,3 meter. Lalu diwarnai, ditembok, dan diwarnai kembali Kemudian, batik direbus beberapa kali sebagai proses pewarnaan. Setelah beberapa jam direbus, kain batik langsung dibilas dengan air bersih dan dijemur hingga kering. Proses pembuatan batik cap juga dimulai dengan pemotongan kain, kemudian kain dicap, diwarnai, ditembok, diwarnai kembali, direbus, dibilas dan dijemur hingga kering. Produk batik yang dihasilkan secara umum mempunyai standar kualitas yang tidak luntur. Dilihat dari jumlah produksi per bulan, usaha Batik Sumut mempunyai jumlah produksi yang paling tinggi dibanding dengan usaha batik lainnya. Usaha Batik Sumut mampu memproduksi 300 s/d 500 helai kain per bulan. Usaha Batik Kreasi Medan memproduksi 45 helai kain per bulan. Usaha Batik Motif Medan memproduksi 200 s/d 300 helai kain per bulan. Usaha Pelopor Jaya memproduksi 180 helai kain per bulan. Usaha Art Batik memproduksi 10 helai kain dan 10 helai baju per bulan. Masyarakat di Propinsi Sumatera Utara sudah mengenal batik Sumut tetapi belum meluas dan batik Sumut belum mendapatkan porsi yang besar dibandingkan dengan batik Jawa. Biaya produksi batik terdiri dari biaya pembelian bahan baku kain dengan harga Rp.1.600.000,- per rol kain, pembelian lilin/malem Rp.20.000,- s/d Rp.30.000,- per kilogram, pembelian canting Rp.10.000,- per buah, pembelian pewarna Rp.10.000,- per kilogram dan pembelian cap dengan variasi harga mulai dari Rp.400.000,- s/d rp.1.000.000,per buah. Selain biaya pembelian bahan baku, upah pekerja juga diperhitungkan, terdiri dari upah mencap Rp.5.000,- per helai kain,upah mewarnai Rp.4.000,- per helai kain, upah merebus R.4.000,- per helai kain, upah mencanting Rp.20.000,- per helai kain dan upah menembok Rp.5.000,- s/d Rp.10.000,- per helai kain. Karakteristik informan berdasarkan aspek produksi dapat dilihat pada Tabel 4. Dari Tabel 4 dapat terlihat semua usaha batik menjadikan instansi pemerintah, perusahaan, organisasi dan pembeli pribadi sebagai target pasar. Rata-rata usaha batik menjual produknya dalam bentuk helaian kain berukuran 2 meter dengan harga jual mulai dari Rp.100.000 s/d Rp.150.000,- per buah untuk jenis batik cap. Sedangkan batik tulis dijual dengan harga mulai dari Rp.200.000,- s/d Rp.250.000,- per helai kain. Dibandingkan dengan batik Jawa, harga jual batik Sumut relatif
lebih mahal dikarenakan biaya produksi yang cukup tinggi. Dalam hal pendistribusian produk setiap usaha batik menggunakan sistem distribusi langsung kepada konsumen, dengan cara membuka outlet penjualan di rumah, belum mendistribusikan produk kepada pengecer. Untuk mempromosikan produk ke lingkup yang lebih luas umumnya menggunakan pameran sebagai sarana promosi dengan frekuensi waktu lebih dari 2 (dua) kali dalam setahun. Dalam melaksanakan pameran, para pengusaha batik ini biasanya bekerjasama dengan Dinas Koperasi, Dinas Perindustrian Pemerintah Kota Medan dan beberapa instansi lainnya seperti Cikal Usu dan Bank Sumut. Usaha Batik Sumut, Batik Kreasi Medan dan Batik Motif Medan juga telah melakukan sistem pemasaran on-line dengan mempunyai website pada media internet. Pelopor Jaya dan Art Batik belum melakukan sistem pemasaran on-line. Masing-masing usaha sudah mempunyai merek dagang dan sebagian besar sedang mengurus hak paten untuk produknya. Usaha batik Pelopor Jaya pernah mengurus hak paten tersebut, tetapi sekarang tidak dilanjutkan lagi karena pertimbangan kurangnya manfaat dari pengurusan hak paten tersebut, dimana perubahan motif relatif cepat berubah sehingga walaupun motif tersebut memiliki hak paten tetapi tidak diminati lagi oleh konsumen. Usaha Art Batik belum mengurus hak paten dikarenakan baru memulai usaha. Berdasarkan penelitian yang dilakukan adapun yang menjadi hambatan dalam pengembangan industri Batik Sumatera Utara adalah terletak pada permasalahan ketersediaan bahan baku, sumber daya manusia dan persaingan. Semua pengusaha batik di Sumut yang menjadi informan dalam penelitian ini (100%) menyatakan bahwa mereka kesulitan untuk mendapatkan bahan baku yang berkualitas di wilayah ini. Oleh karena itu para pengusaha harus mendatangkan bahan baku utama dan bahan pendukung dari Pulau Jawa yaitu dari Yogyakarta dan Solo. Selain itu pengusaha yang memproduksi batik dalam bentuk baju menghadapi dalam kualitas produk seperti hasil jahitan yang tidak rapi sehingga tidak memberikan rasa nyaman bagi konsumen yang mengenakannya. Permasalahan sumber daya manusia juga menjadi hambatan dalam pengembangan batik Sumut dikarenakan terbatasnya orang-orang yang dapat dijadikan pekerja dalam usaha ini yang cukup mempunyai kemampuan, kreasi, seni dan kreativitas yang sangat diperlukan dalam melakukan. Selain itu minimnya minat masyarakat untuk belajar membatik juga menjadi permasalahan sumber daya manusia. 304
Pengembangan Industri Batik Sumatera Utara (Frida Ramadini dan Raina Linda Sari)
belum mendapatkan porsi yang besar bagi masyarakat Sumut dan nasional. Industri batik Sumatera Utara masih memerlukan upayaupaya perbaikan usaha. Hambatan pengembangan industri batik Sumatera Utara adalah terletak pada permasalahan ketersediaan bahan baku, keterbatasan sumber daya manusia dan persaingan dengan batik Jawa. Pemberdayaan masyarakat lokal dan motif batik Sumatera Utara yang khas dan unik dapat dijadikan sebagai keunggulan produk untuk dapat merebut pasar lokal, nasional maupun internasional, merupakan peluang yang bisa didapatkan dalam pengembangan industri batik Sumut. Batik Sumatera Utara berpotensi untuk dapat dikembangkan karena dapat melestarikan dan mengangkat budaya lokal dan menjadi alternatif pilihan batik nasional.Pengembangan dapat dilakukan dengan perbaikan dalam manajemen produksi dan manajemen pemasaran yang baik dan kerja sama dengan berbagai lembaga terkait secara lebih intensif. Hal ini menjadi tantangan dalam pengembangan industri batik Sumatera Utara.
Hal lainnya yang juga menjadi hambatan dalam industri batik ini adalah masalah persaingan. Para pengusaha menyatakan pesaing utama mereka adalah batik Jawa. Kehadiran batik Sumut yang mempunyai motif berbeda dengan batik Jawa dapat dijadikan sebagai keunggulan produk ini. Dalam pengembangannya industri batik Sumatera Utara mempunyai peluang untuk dapat merebut pasar tidak hanya dalam lingkup pasar lokal dengan sistem penjualan yang masih berdasarkan pesanan, tetapi mampu merebut pasar nasional dan bersaing dengan batik Jawa dan batik dari daerah lainnya. Selain itu juga mempunyai peluang untuk merebut pasar internasional dengan cara melakukan ekspor ke luar negeri seperti ke Malaysia dan Singapura yang mempunyai lokasi geografis yang tidak jauh dari wilayah Sumatera Utara. Batik Sumut mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi komoditas unggulan daerah. Pengembangan industri batik Sumut juga dapat memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat sekaligus dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat lokal. Keberadaan batik sebagai busana nasional merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan budaya bangsa. Tak selalu acara resmi, namun batik dikenal sebagai busana fungsional yang dapat digunakan dalam berbagai kesempatan. Usaha batik di wilayah Sumatera Utara yang ada sekarang ini sangat berpotensi untuk dapat dikembangkan karena dapat melestarikan dan mengangkat budaya lokal dan menjadi alternatif pilihan di tengahtengah trend batik yang kini sedang booming. Untuk mengembangkan dan mempromosikan batik Sumut ke lingkup yang lebih luas diperlukan perbaikan dalam manajemen produksi dan manajemen pemasaran yang baik dan kerja sama dengan berbagai lembaga terkait secara lebih intensif. Batik Sumut yang mempunyai ciri khas unik dengan motif khas etnis suku yang ada di propinsi ini sebaiknya juga memperhatikan desain dan motif yang berkesan modern dan memiliki nilai seni yang tinggi sehingga lebih diminati masyarakat. Pengembangan teknologi yang digunakan juga dapat dilakukan untuk memungkinkan batik Sumut ini dapat dengan mudah menembus pasar nasional bahkan internasional. Diperlukan upaya untuk dapat meningkatkan penguasaan teknologi dengan cara mengikuti pelatihan,menjadi mitra binaan perusahaan, dsb.
REKOMENDASI Beberapa rekomendasi dalam pengembangan industri batik Sumatera Utara antara lain, pertama, untuk mengembangkan batik Sumut diperlukan sinergi yang bahu membahu antara pelaku usaha (kreasi), pemerintah (kebijakan), media (publikasi) dan masyarakat (konsumen). Dengan adanya sinergi ini diharapkan batik Sumut dapat memenuhi pasar dalam negeri dan luar negeri. Berikutnya, dalam pengembangan usaha, industri batik Sumatera Utara sangat membutuhkan dorongan dan dukungan dan iklim yang kondusif dari pemerintah daerah. Untuk memajukan industri batik Sumut Pemerintah daerah dan Dekranas diharapkan dapat melakukan pembinaan terhadap pengrajin dan program yang terarah seperti pelatihan formal,penyediaan fasilitas pendukung tempat pemasaran, bantuan alat-alat produksi, mendorong pihak perbankan dalam memberikan dukungan pendanaan guna memenuhi kebutuhan modal usaha/kredit untuk industri batik dan fasilitas pendukung lainnya. Selain itu, himbauan pemerintah daerah untuk penggunaan batik khas Sumut sebagai pakaian seragam pada hari kerja tertentu di instansi pemerintah dan juga kalangan siswa dan pelajar sekolah, juga merupakan suatu bentuk dukungan yang dapat dilakukan. Selain itu membuat sentra batik atau kampung batik Sumut seperti yang pernah dilakukan pemerintah daerah di Pulau Jawa juga dapat dijadikan sebagai dukungan yang sangat berarti. Pemerintah daerah juga perlu mengadakan
KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini antara lain bahwa industri batik Sumatera Utara masih 305
Inovasi Vol. 9 No. 4, Desember 2012: 298-306
Sejarah Batik. [Online]. http://uripsantoso.wordpress.com/tag/batik/ [Diakses: 4 Agustus 2012]
even-even yang dapat mendorong penggunaan batik Sumut seperti fashion show, festival batik, dan lain-lain. Pengembangan batik Sumut dapat mengangkat dan mempromosikan budaya lokal sehingga diharapkan dapat meningkatkan pariwisata khususnya Sumut. Batik Sumut yang mempunyai ciri khas unik dengan motif khas etnis suku yang ada di propinsi ini diharapkan dapat menjadi komoditi unggulan dan identitas daerah Sumut. Selain itu seiring berjalannya waktu kelak Sumut tidak hanya akan terkenal dengan ulos, tetapi juga dengan produksi batiknya. Yang terakhir, industri batik harus dapat meningkatkan produksi baik secara kualitas maupun kuantitas. Khusus bagi pengusaha yang memproduksi baju peningkatan kualitas melalui pemanfaatan penjahit yang mempunyai keahlian dan keterampilan yang lebih baik dan selalu menyesuaikan trend mode yang ada. DAFTAR PUSTAKA Harian Seputar Indonesia. 2012. suplemen hlm.12. Kamis 26 Juli 2012. Harian Medan Bisnis. 2012. hlm. 3. Rabu 7 Nopember 2012. Harian Tribun Medan. 2012. hlm. 3. Rabu 22 Agustus 2012. Hutagalung, Raja Bongsu, dkk. 2010. Kewirausahaan. Medan: USU Press. Lupiyoadi, Rambat. 2004. Entrepreneurship, From Mindset To Strategy. Jakarta: Salemba Empat. Ranto,Basuki. 2007. Korelasi antara Motivasi, Knowledge of Entrepreneurship dan Independensi dan The Entrepreneurâ&#x20AC;&#x2122;s Perfomance pada Kawasan Industri Kecil. Jurnal Usahawan No.10 tahun XXXVI Oktober 2007. Sukirno, Sadono. 2006. Makro Ekonomi Teori Pengantar. Jakarta: Grafindo Persada. Sulistyastuti, Dyah Ratih. 2004. Dinamika Usaha Kecil Dan Menengah (UKM) Analisis Konsentrasi Regional UKM di Indonesia 1999-2001. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol.9 No.2 Desember 2004. Sulistyarini, Imbuh, dkk. 2012. Pedoman Praktis Memulai Bisnis. Jakarta: Aksara Buana. Suryana. 2006. Kewirausahaan, Pedoman Praktis: Kiat dan Proses Menuju Sukses. Jakarta: Salemba Empat. Karya Ilmiah Batik jambi. [Online]. Dari: http://.tutorialite.wordpress.com [Diakses: 2 Agustus 2012]
306
Dari:
Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Vol 9: 1-306
Indeks Penulis A Amalia, “Peningkatan Kesempatan Kerja Sesuai Keahlian Bagi Buruh Bangunan di Kota Medan dengan Memanfaatkan Jaringan Ponsel”, 9(1):67-77 Aritonang, Evawany, “Pengaruh Pemberian Mie Instan Fortifikasi Pada Ibu Menyusui Terhadap Kadar Zink Dan Besi ASI”, 9(4):272-278 Awang, San F., lihat Fauziyah, Eva Ayu, Lodiana, lihat Gultom, Lusiana
B Bariah, Chairul, “Evaluasi Trafiking Menurut Perda Nomor 6 Tahun 2004”, 9(3):222-229 Barus, Darwita J., “Hubungan Faktor Pendukung Dan Faktor Penguat Pekerjaan Seks Komersil Dengan Pemanfaatan Pelayanan Klinik VCT Di Lokasi Bandar Baru, Deli Serdang”, 9(4):279-286 Barus, Houtman, “Strategi Peningkatan Kompetensi Melalui Supervisi Pembelajaran Pada Tutor Paket B Hasanuddin”, 9(1): 9-17
D Daeli, Sorni P., “Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Budaya Organisasi Dan Kinerja Pegawai Negeri Sipil (Studi Kasus: Pemerintah Daerah Kabupaten Nias Selatan)”, 9(4):230-239 Dalimunthe, Ritha F., lihat Gultom, Lusiana Diana, “Pengaruh Citra Tubuh Terhadap Perilaku Makan dan Status Gizi Remaja Putri di SMAN I Medan, 9(2):148-154
F Fauziyah, Eva, “Analisis Modal Sosial Dalam Pengembangan Usaha Hutan Rakyat”, 9(4):249-260 Fauziyah, Eva, lihat Sanudin Febrianty, Hastina, “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan Di Sumatera Utara”, 9(2):8592
G Ginting, Nurzainah, “Kebijakan Pendukung untuk Mensukseskan Rencana Aksi Daerah (RAD) Gas Rumah Kaca (GRK) di Sumatera Utara, 9(1): 24-40 Gultom, Lusiana, “Pengaruh Faktor Predisposisi, Pemungkin Dan Pendorong Remaja Pengguna Situs Internet Dan Televisi Terhadap Perilaku Seksual Di SMA Methodist 4 Medan”, 9(3):191-200
H Hafsah, lihat Sitorus, Masganti Halimah, Siti, “Studi Tentang Pengaruh Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Terhadap Prestasi Siswa di Sumatera Utara Berdasarkan Persepsi Guru dan Orang Tua, 9(1):59-66 Hendarman, “Kajian Terhadap Dewan Pendidikan Di Indonesia”, 9(1): 18-25 Husni, Nobrya, lihat Siagian, Dumora J. Husni, Nobrya, “Kebijakan Strategis Potensi UKM Berbasis Ekonomi Kreatif Di Sumatera Utara”, 9(4):287297
I Ikhsan, M., “Analisis Kemampuan Satuan Kerja Perangkat Daerah Dalam Penerapan Sistem Keuangan Yang Akuntabel”, 9(4):240-248
K Kuswanda, Wanda, “Karakteristik Masyarakat Dan Pemanfaatan Lahan di Daerah Penyangga Taman Nasional Batang Gadis di Sumatera Utara”, 9(2):120-130
L Latif, Sjafrul, “Pengembangan Dan Prospek Makadamia Sebagai Tanaman Asli Australia Di Indonesia”, 9(1): 35-46
Lubis, Zulhaida, lihat Diana
M Mahulae, Porman J.M., lihat Siagian, Dumora J. Mahulae, Porman J.M., lihat Ikhsan, M. Musika, Mitra, lihat Febrianty, Hastina
N Naibaho, Dameria, “Analisis Model Kepuasan Pelanggan Untuk Peningkatan Profitabilitas Pada Industri Hotel Di Sumatera Utara”, 9(2):110-119 Narutomo, Teguh, “Tinjauan Implementasi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Sebagai Prakondisi Dan Langkah Strategis Dalam Rangka Penguatan Dan Pemantapan Otonomi Daerah Ke Depan”, 9(3):167-179 Nasution, Ernawati, lihat Diana
P Purwanti, Dwi E., lihat Sagala, Syaiful
R Ramadini, Frida, “Pengembangan Industri Batik Sumatera Utara”, 9(4):298-306 Rusiadi, lihat Febrianty, Hastina
S Sagala, Syaiful, “Pemberdayaan Komite Sekolah Dalam Meningkatkan Kualitas Manajemen Sekolah”, 9(3):207-214 Saksono, Herie, “Daerah Pemekaran Di Provinsi Sumatera Utara: Bagaimana Pengelolaannya?”, 9(3):155156 Sanudin, “Pendekatan Sistem Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Bersama Pondok Pesantren”, 9(4):261271 Sari, Raina L., lihat Ramadini, Frida Siagian, Dumora J., “Kajian Pengembangan Agribisnis Komoditi Unggulan Tanaman Pangan di Sumatera Utara “, 9(2):139-147 Siagian, Dumora J., lihat Sagala, Syaiful Simanjuntak, Sahat C., lihat Siagian, Dumora J. Sihombing, Marlon, “Kajian Indeks Kepuasan Masyarakat Terhadap Kualitas Pelayanan Publik di Kabupaten Langkat”, 9(2):131-138 Sianturi, Marudut, “Pengaruh Motivasi Kerja Terhadap Komitmen Organisasi: Studi Kausal pada Dinas/Unit Pelaksana Teknis (UPT)”, 9(1): 26-33 Sianturi, Rosdiana, “Strategi Peningkatan Kualitas Pembelajaran Di PKBM Bina Warga Kecamatan Percut Sei Tuan”, 9(2):78-84 Sitorus, Jonni, “Analisis Kesesuaian Kurikulum Dengan Buku Paket Ilmu Pengetahuan Sosial SD Di Sumatra Utara”, 9 (1): 1-8 Sitorus, Jonni, “Evaluasi Kemampuan Guru SD Mengelola Pembelajaran Kooperatif di Sumatera”, 9(3):201206 Sitorus, Jonni, lihat Sagala, Syaiful Sitorus, Masganti, “Evaluasi Program Penanganan Korban KDRT dan Program Perlindungan Anak Terlantar Sumatera Utara”, 9(2):93-102 Sunandar, Ahmad D., ” Perubahan Iklim Dan Upaya Mitigasinya Melalui Pengelolaan Hutan Di Indonesia”, 9(3):180-190 Suripto, “Evaluasi Efisiensi Indeks Pembangunan Manusia Pada Kabupaten Dan Kota Di Provinsi Sumatera Utara”, 9(2):103-109
W Wijaya, Candra, lihat Halimah, Siti
Z Zaluchu, Fotarisman, “Studi Komparasi Profil Faktor Risiko Merokok Di Kota Medan Dan Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara”, 9(1):47-58
Zaluchu, Fotarisman, â&#x20AC;&#x153;Pengetahuan Dan Keperdulian Terhadap Perubahan Iklim Pada Masyarakat Di Kota Medan, Sumatera Utaraâ&#x20AC;?, 9(3):215-221
DAFTAR ISI VOLUME 9 Analisis Kesesuaian Kurikulum Dengan Buku Paket Ilmu Pengetahuan Sosial SD Di Sumatra Utara (Jonni Sitorus)
Halaman 1-8
Strategi Peningkatan Kompetensi Melalui Supervisi Pembelajaran Pada Tutor Paket B Hasanuddin (Houtman Barus)
9-17
Kajian Terhadap Dewan Pendidikan Di Indonesia (Hendarman )
18-25
Pengaruh Motivasi Kerja Terhadap Komitmen Organisasi: Studi Kausal pada Dinas/Unit Pelaksana Teknis (UPT) (Marudut Sianturi)
26-33
Kebijakan Pendukung untuk Mensukseskan Rencana Aksi Daerah (RAD) Gas Rumah Kaca (GRK) di Sumatera Utara (Nurzainah Ginting)
24-40
Pengembangan Dan Prospek Makadamia Sebagai Tanaman Asli Australia Di Indonesia (Sjafrul Latif )
35-46
Studi Komparasi Profil Faktor Risiko Merokok Di Kota Medan Dan Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara (Fotarisman Zaluchu)
47-58
Studi Tentang Pengaruh Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Terhadap Prestasi Siswa di Sumatera Utara Berdasarkan Persepsi Guru dan Orang Tua (Siti Halimah dan Candra Wijaya)
59-66
Peningkatan Kesempatan Kerja Sesuai Keahlian Bagi Buruh Bangunan di Kota Medan dengan Memanfaatkan Jaringan Ponsel (Amalia)
67-77
Strategi Peningkatan Kualitas Pembelajaran Di PKBM Bina Warga Kecamatan Percut Sei Tuan (Rosdiana Sianturi)
78-84
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan Di Sumatera Utara (Hastina Febrianty, Rusiadi, Mitra Musika)
85-92
Evaluasi Program Penanganan Korban KDRT dan Program Perlindungan Anak Terlantar Sumatera Utara (Masganti Sitorus, Hafsah)
93-102
Evaluasi Efisiensi Indeks Pembangunan Manusia Pada Kabupaten Dan Kota Di Provinsi Sumatera Utara (Suripto)
103-109
Analisis Model Kepuasan Pelanggan Untuk Peningkatan Profitabilitas Pada Industri Hotel Di Sumatera Utara (Dameria Naibaho)
110-119
Karakteristik Masyarakat Dan Pemanfaatan Lahan di Daerah Penyangga Taman Nasional Batang Gadis di Sumatera Utara (Wanda Kuswanda)
120-130
Kajian Indeks Kepuasan Masyarakat Terhadap Kualitas Pelayanan Publik di Kabupaten Langkat (Marlon Sihombing)
131-138
Kajian Pengembangan Agribisnis Komoditi Unggulan Tanaman Pangan di Sumatera Utara (Dumora Jenny Siagian, Porman Juanda Marpomari Mahulae, Sahat C Simanjuntak, Nobria Husni)
139-147
Pengaruh Citra Tubuh Terhadap Perilaku Makan dan Status Gizi Remaja Putri di SMAN I Medan (Diana , Zulhaida Lubis, Ernawati Nasution)
148-154
Daerah Pemekaran Di Provinsi Sumatera Utara: Bagaimana Pengelolaannya? (Herie Saksono)
155-166
Tinjauan Implementasi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Sebagai Prakondisi Dan Langkah Strategis Dalam Rangka Penguatan Dan Pemantapan Otonomi Daerah Ke Depan (Teguh Narutomo)
167-179
Perubahan Iklim Dan Upaya Mitigasinya Melalui Pengelolaan Hutan Di Indonesia (Ahmad Dany Sunandar)
180-190
Pengaruh Faktor Predisposisi, Pemungkin Dan Pendorong Remaja Pengguna Situs Internet Dan Televisi Terhadap Perilaku Seksual Di SMA Methodist 4 Medan (Lusiana Gultom, Ritha F. Dalimunthe , Lodiana Ayu)
191-200
Evaluasi Kemampuan Guru SD Mengelola Pembelajaran Kooperatif di Sumatera (Jonni Sitorus)
201-206
Pemberdayaan Komite Sekolah Dalam Meningkatkan Kualitas Manajemen Sekolah (Syaiful Sagala, Dwi Endah Purwanti, Dumora Jenny Siagian, Jonni Sitorus)
207-214
Pengetahuan Dan Keperdulian Terhadap Perubahan Iklim Pada Masyarakat Di Kota Medan, Sumatera Utara (Fotarisman Zaluchu)
215-221
Evaluasi Trafiking Menurut Perda Nomor 6 Tahun 2004 (Chairul Bariah)
222-229
Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Budaya Organisasi Dan Kinerja Pegawai Negeri Sipil (Studi Kasus: Pemerintah Daerah Kabupaten Nias Selatan) (Sorni Paskah Daeli)
230-239
Analisis Kemampuan Satuan Kerja Perangkat Daerah Dalam Penerapan Sistem Keuangan Yang Akuntabel (M Ikhsan, Porman Juanda Marpomari Mahulae)
240-248
Analisis Modal Sosial Dalam Pengembangan Usaha Hutan Rakyat (Eva Fauziyah, San Afri Awang)
249-260
Pendekatan Sistem Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Bersama Pondok Pesantren (Sanudin dan Eva Fauziyah)
261-271
Pengaruh Pemberian Mie Instan Fortifikasi Pada Ibu Menyusui Terhadap Kadar Zink Dan Besi ASI (Evawany Aritonang)
272-278
Hubungan Faktor Pendukung Dan Faktor Penguat Pekerjaan Seks Komersil Dengan Pemanfaatan Pelayanan Klinik VCT Di Lokasi Bandar Baru, Deli Serdang (Darwita Juniwati Barus)
279-286
Kebijakan Strategis Potensi UKM Berbasis Ekonomi Kreatif Di Sumatera Utara (Nobrya Husni)
287-297
Pengembangan Industri Batik Sumatera Utara (Frida Ramadini, Raina Linda Sari)
298-306
Pedoman Penulisan Naskah Ilmiah Jurnal INOVASI Jurnal INOVASI memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik. Jurnal INOVASI terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.
g.
h.
Naskah yang akan diterbitkan dalam Jurnal INOVASI Balitbang Provinsi Sumatera Utara, harus memenuhi ketentuan berikut : Bentuk Naskah 1. Naskah berupa karya asli yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dan tidak sedang diajukan ke tempat lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai dengan kaidah masingmasing bahasa yang digunakan. Komponen Naskah Komponen utama naskah wajib mencantumkan dan memuat hal-hal berikut: a. Judul, dalam bahasa Indonesia disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Inggris, ditulis dengan jelas menggambarkan isi tulisan. b. Identitas Penulis, dimuat di bawah judul tulisan, memuat nama, alamat korespondensi dan e-mail. c. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris beserta kata kunci sebanyak 37. Abstrak ditulis dalam 1 alinea berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, hasil, dan rekomendasi. Panjang abstrak dibatasi 200450 kata. d. Pendahuluan, tidak menggunakan subjudul, berisi penjelasan padat dan ringkas tentang latar belakang dilakukannya penelitian, studi pustaka yang mendukung dan relevan, serta tujuan penelitian. e. Metode berisikan disain penelitian yang digunakan, lokasi penelitian, populasi, sampel, sumber data, instrumen, pendekatan terhadap analisis data serta teknik analisis/ uji statistik yang digunakan. Bagian metode ditulis tanpa subjudul. f. Hasil dan Pembahasan, adalah temuan penelitian yang disajikan apa adanya tanpa pendapat penulis, kemudian dilanjutkan dengan bahasan argumentatif-interpretatif tentang jawaban terhadap hasil penelitian yang ditulis secara sistematis sesuai tujuan
i.
j.
penelitian dan relevan dengan penelitian terdahulu. Kesimpulan menjawab tujuan penelitian tanpa melampauinya. Sedapat mungkin bagian kesimpulan ditulis dalam bentuk narasi. Rekomendasi berisi usulan-usulan kebijakan yang memungkinkan dihasilkan, berisi bentuk dan telaahannya untuk dilaksanakan mengacu pada prinsip tepat-guna, logis dan relevan. Jika tidak memungkinkan dalam bentuk narasi, rekomendasi dapat dibuat dalam bentuk butir-butir rekomendasi. Daftar Pustaka menuliskan sesuai dengan acuan model Harvard (lihat contoh), berurutan sesuai abjad. Jumlah kepustakaan untuk tulisan hasil penelitian minimum 10 rujukan sementara untuk Tinjauan Kepustakaan minimum 20 rujukan. Ucapan Terima Kasih, jika ada, merupakan wujud penghargaan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian atau penulisan naskah.
Tabel dan Gambar Tabel, gambar dan grafik dapat terbaca dengan jelas serta diberi penjelasan yang memadai, mudah dipahami dan proporsional. Judul tabel diletakkan di atas tabel dan judul gambar di bawah gambar. Tabel dan atau gambar yang diacu dari sumber lain harus disebutkan, kecuali merupakan hasil penelitian penulisnya sendiri. Contoh Penulisan Daftar Pustaka Buku Abel, R. 2004. Revolusi Kesehatan Mata: Pencegahan dan Pengembalian Masalah Penglihatan. New York: Kensington Book Chaniago, A. 2010. Studi Pustaka dan Konseptualisasi Penelitian. Dalam: Zaluchu, F. Metodologi Penelitian Kesehatan. Bandung: Citapustaka Media, hal 79-92. Artikel dari Jurnal Ang, L. dan Taylor, B. 2005. Memanajemen Keuntungan Konsumen Menggunakan Matriks Portofolio. Jurnal Pemasaran dan Manajemen Konsumen Strategik 12 (5), hal 298-304 Bagian di dalam buku Ballinger, A. dan Clark, M. 2001. Nutrisi, Pengendalian Nafsu Makan dan Penyakit. Dalam: Payne-James, J. dkk. editor. Dukungan Artifisial bagi Praktik Klinik. Edisi kedua. London: Greenwich Medical, hal 225-239 Laporan Komisi Eropa. 2004. Laporan Pendahuluan terhadap Implementasi dari Strategi Pemasaran Internal 2003-2006. Luxemburg: Unit Publikasi Komisi Eropa.
Konferensi Fiedelius, H.C. 2000. Miopi dan Penurunan Visual: Aspek Global. Dalam: Lin, L.L.K. dkk. editor. Miopia Terbarukan II: Prosiding Konferensi Internasional ke-7. Taipei, 17-20 Nopember 1998. Tokyo: Springer, hal 31-37. Tesis Garcia-Sierra, A. 2000. Investigasi Penyebab Ca-Serviks pada Wanita Usia Subur di Perkotaan. Tesis PhD, Universitas Indonesia. Jurnal Artikel Elektronik (yang diunduh) Merchant, A.T. 2009. Diet dan Aktifitas Fisik pada AnakAnak di Kawasan Kumuh Perkotaan: sebuah Studi Cross Sectional. Jurnal Nutrisi [Online] Edisi 6. Dari: http://www.nutritionj.com/content/pdf/1475-28916.1.pdf [Diakses: 10 Mei 2007]. Web Page (yang dibaca) Thompson, B. 2006. Mengapa Balita Butuh ASI [Online]. Dari: http://news.bbc.co.uk/1/hi/health/459876 [Diakses: 10 Mei 2007]. Depkes RI. 2006. Panduan Imunisasi [Online]. Dari: http://www.depkes.go.id/bayi_panduan_imunisasi/2345 [Diakses: 19 Februari 2011].
Penulisan Naskah dituliskan dengan menggunakan Times New Roman 12, maksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan program komputer Microsoft Word. Prosedur Naskah Naskah yang masuk hendaknya diterima 2 (dua) bulan sebelum waktu penerbitan untuk di-review oleh anggota dewan redaksi dan reviewer (mitra bestari) yang ditunjuk oleh Dewan Redaksi. Dewan Redaksi berhak menolak naskah ilmiah yang dianggap tidak layak muat di Jurnal Inovasi. Naskah diserahkan dalam 2 (dua) media yaitu hardcopy dan softcopy yang keduanya harus memuat isi yang sama. Nama file, judul dan nama penulis naskah dituliskan pada label CD. Pengiriman naskah ke alamat redaksi melalui surat elektronik ke : inovasibpp@gmail.com atau melalui pos ke : Dewan Redaksi Jurnal INOVASI Badan Penelitian Dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Redaksi berhak menolak naskah yang isi dan formatnya tidak sesuai dengan pedoman penulisan naskah di atas dan redaksi tidak berkewajiban untuk mengembalikan naskah tersebut. Setiap penerimaan atau penolakan naskah akan disertai dengan surat resmi yang ditandatangani oleh Dewan Redaksi dan dikirimkan kepada penulis. Setiap penulis yang
karya tulisnya telah diterbitkan, akan mendapat satu buah cetak lepas dan satu buah full print. Hak Cipta Setiap penulis menyetujui untuk mengalihkan hak ciptanya ke Jurnal Inovasi jika naskahnya diterima untuk diterbitkan.
INOVASI – Vol. 9, No. 4, Desember 2012, halaman 230 - 306
Alamat Redaksi : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016; Fax. (061) 7866248 Email : inovasibpp@gmail.com