Mengabdi dan Melayani Desa "Mutiara Pembelajaran Pengabdian Kepada Masyarakat dari Kampus Desa"

Page 1


$30' 3UHVV

0HQJDEGL GDQ 0HOD\DQL 'HVD 0XWLDUD 3HPEHODMDUDQ 3HQJDEGLDQ .HSDGD 0DV\DUDNDW GDUL .DPSXV 'HVD

3URORJ

6XWRUR (NR

(GLWRU

)DWLK *DPD $ELVRQR


MENGABDI DAN MELAYANI DESA Mutiara Pembelajaran Pengabdian Kepada Masyarakat dari Kampus Desa Penulis: Yonatan Hans Luter Lopo, Mohamad Firdaus, Irsasri, Fatih Gama Abisono Reiki Nauli Harahap, Siti Sumaryatiningsih, Rema Marina, Aulia Widya Sakina Hery Purnomo, Minardi, Kanita Khoirun Nisa Prolog: Sutoro Eko Editor: Fatih Gama Abisono Co-editor: Yonatan Luther Lopo Epilog: Gregorius Sahdan Editor Bahasa: Irsasri Desain Sampul: Reiki Nauli Harahap Penerbit: APMD Press Jln. Timoho 317 Yogyakarta 55225 Cetakan Pertama 2020 xiv+194 hlm., 14,8 x 21 cm ISBN: 978-623-91597-1-9 Hak cipta dilindungi undang-undang (all rights reserved)


KATA PENGANTAR EDITOR

Sebagai komunitas akademik yang corncern pada Desa, STPMD “APMD” telah meniti perjalanan sangat panjang di bidang pengabdian kepada masyarakat, terutama Desa. Sayangnya, karya-karya pengabdian yang telah dihadirkan belum terarsip, belum terdokumentasi dengan memadai. Banyak karya-karya pengabdian hanya menjadi laporan pengabdian dan hanya menghuni sudut-sudut perpustakaan tanpa makna. Ringkasnya, karya-karya pengabdian tersebut belum sepenuhnya ditempatkan menjadi kekayaan lembaga. Padahal, karya-karya pengabdian tersebut mengandung khazanah pengetahuan bagi transformasi sosial. Buku yang ada di hadapan sidang pembaca adalah hasil dari ikhtiar kami, civitas akademika STPMD “APMD”, untuk mendokumentasikan karya-karya pengabdian kepada masyarakat. Upaya mendokumentasi atau mengarsip karya-karya pengabdian ini memuat misi melakukan penelusuran: telah sejauh mana pengabdian masyarakat oleh komunitas STPMD “APMD” memberikan dampak perubahan bermakna bagi masyarakat dan Desa. Dari penelusuran yang telah dilakukan oleh tim penulis, ternyata aktivitas pengabdian oleh komunitas STPMD “APMD” banyak memberikan warna terhadap perubahan sosial masyarakat, terutama Desa.

55 TAHUN STPMD “APMD”

iii


Melalui berbagai tema dan isu, karya-karya pengabdian masyarakat dari kampus desa telah merambah pada berbagai aras. Karya-karya tersebut telah menjangkau baik menghasilkan ilmu transformatif, mengkonsolidasi advokasi kebijakan, serta mendorong gerakan atau aksi kolektif warga bagi tata kehidupan publik yang lebih adil, sejahtera dan demokratis. Di samping itu, karya-karya pengabdian komunitas akademik STPMD “APMD” juga menghasilkan abstraksi tentang pengetahuan yang bukan saja ilmiah namun juga amaliyah. Tidak ditemukan gagasan dalam karya-karya pengabdian tersebut yang memisahkan antara teori dan praktik, ilmu dan amal. Seluruhnya jumbuh dalam praktikpraktik pengabdian kepada masyarakat. Lahirnya buku ini sekaligus juga menerbitkan harapan, agar upaya dokumentasi karya pengabdian menjadi tradisi pada tahuntahun mendatang. Melalui dolumentasi, tentu dapat menarik mutiara pembelajaran dari setiap langkah pengabdian yang telah kami lakukan. Lahir dari proses “hiruk-pikuk” di tengah menyiapkan perayaan Dies Natalis STPMD “APMD” ke-55, buku ini diharapkan menjadi tonggak bagi kampus desa untuk terus menegaskan posisinya membela desa, lokal, dan pinggiran. Proses penerbitan buku ini juga tidak lepas dari kerja keras energi muda, para dosen muda di lingkungan STPMD “APMD”. Dari tangan merekalah, berbagai bahan penulisan buku ini diracik, diramu, dan disajikan. Mengumpulkan cerita dari para pelaku pengabdian, mewawancarai para mitra dan jejaring kerja, membaca laporan karya-karya pengabdian adalah bagian dinamika penyusunan buku ini. Dalam kurun waktu kurang dari tiga minggu, naskah final buku ini pun siap untuk diterbitkan menjadi publikasi. Untuk itu kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada tim penulis buku. Apresiasi secara khusus, kami haturkan pada dua orang penulis yakni Yonatan Luther Lopo yang telah bersedia menjadi co-editor dan Dr Irsasri sebagai editor bahasa

iv

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


dalam penerbitan buku ini. Kami ucapkan terima kasih yang mendalam pada Dr Sutoro Eko, selaku ketua sekolah tinggi yang bersedia menuliskan prolog buku ini. Tak lupa pada Gregorius Sahdan yang ditengah kesibukannnya menempuh studi doktoral masih menyempatkan menyiapkan epilog dari buku ini. Apresiasi juga kami sampaikan kepada para narasumber yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu yang meluangkan waktu untuk menyampaikan cerita dan kisah pengabdian. Kami haturkan pula terima kasih pada segenap pimpinan STPMD “APMD�, yang memberikan dukungan penuh atas penerbitan buku ini. Semoga dengan terbitnya buku ini, menjadi lonceng pengingat tentang makna dan pembelajaran penting tentang pengabdian kepada masyarakat yang bermartabat. Selamat membaca! Fatih Gama Abisono

55 TAHUN STPMD “APMD�

v


vi

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


PROLOG “APMD” ADALAH “LSM BESAR” Sutoro Eko

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak memiliki kantor yang jelas, tetapi memiliki dunia yang luas. Perguruan tinggi memiliki kantor dan kampus yang luas tetapi hanya memiliki dunia yang terbatas, hanya dalam lingkup internal. Itulah ledekan menyegarkan dan menantang yang mengemuka ketika kami bergaul dengan aktivis dan profesional LSM – yang tengah booming dan menikmati “tahun madu” – dua puluh tahun silam. Di ruang bersama (common room) kami mendiskusikan “kampus vs LSM” dalam memandang dan memperlakukan desa, yang kemudian di tahun 2002, senior M. Barori berujar: “APMD” adalah “LSM Besar”. Frasa “LSM Besar” adalah pendekatan dan spirit yang kami kedepankan, untuk melampaui kampus dan LSM. Tridarma (pengajaran, penelitian, dan pengabdian) yang kami rajut dengan trinitas (pemikiran, gerakan, dan kebijakan) adalah fitur utama “LSM Besar”. Apa maknanya? Makna dasarnya: “APMD” mempunyai kampus yang jelas dan luas, sekaligus memiliki dunia kehidupan yang luas. Kami adalah kampus yang tidak pernah membentuk dan mengawetkan “menara gading”. Kepekaan lokal dan spirit kedesaan-kemasyarakatan sudah lama menjadi tradisi “APMD”, jauh sebelum Robert Chamber (1987) mengritik “orang luar” (ilmuwan dan pelaksana profesional) yang suka melakukan wisata pembangunan desa. Meski pada dekade 1980-an, “APMD” menjadi “pelaksana kebijakan” Departemen Dalam Negeri, tetapi 55 TAHUN STPMD “APMD”

vii


kami tidak bertindak secara birokratik terhadap desa, melainkan bertindak secara kontekstual, tetap memegang spirit kedesaan dan kemasyarakatan. Berbeda dengan kampus “menara gading” yang memiliki “desa binaan” untuk disuluh dengan induksi modernisasi, “APMD” datang ke desa, jajah desa milang kori, tidak membawa “modal, model, dan modul” yang terlalu ilmiah. Kami bergaul (srawung) dengan orang desa dengan cair (manjing ajur ajer), sembari merajut cara berpikir tentang pemerintahan dan pembangunan dari sudut desa. Tetapi bukan berarti kami hadir sempurna, tanpa cacat. Kami memiliki spirit kedesaan yang kuat, tetapi kami tidak memiliki pengetahuan dan pemikiran besar untuk menandingi paradigma “desa ilmiah” yang datang dari kampus “menara gading”. Kami hanya menjadi konsumen (pembaca) atas karya-karya para “ilmuwan negatif” seperti Jan Breman, Ben White, Frans Husken, dan lain-lain, yang membombardir desa dari sudut Eropa. Kelak, sekian tahun kemudian, kami tahu bahwa karya-karya para “ilmuwan negatif”, yang menyukai konsep “kekuasaan elite”, tidak memberi sumbangan perubahan, atau bukan “ilmu alamiah”, kecuali hanya membenarkan kolonialisasi, teknokratisasi dan birokratisasi atas desa. Di sisi lain, kami tidak memiliki “keahlian teknikal” seperti “ilmuwan positif” (modernis) yang membikin model untuk teknokratisasi pembangunan desa oleh negara. Kelak, kami tahu bahwa karya-karya teknokratik “ilmuwan positif” seperti pembangunan berbasis masyarakat, penanggulangan kemiskinan, maupun community driven development, yang dipakai negara untuk “mengatur desa dengan proyek”, hanya membuahkan istana pasir. LSM adalah dunia lain yang menarik bagi kami. Mereka juga memiliki “tridarma” seperti kampus, yang mereka padukan dengan trinitas “gerakan, pemikiran, dan kebijakan”. Gerakan adalah basis eksistensi mereka. Meskipun kecil, LSM memiliki kampus luas dalam kehidupan rakyat, komunitas, desa, bahkan masuk ke seluruh pelosok negeri. Mereka juga melakukan connecting people

viii

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


dari satu tempat ke tempat lain di seluruh penjuru negeri Indonesia yang beragam. Mereka melakukan gerakan yang lebih dalam ketimbang pengabdian kepada masyarakat yang diselanggarakan kampus. Gerakan menjadi basis untuk merumuskan pengetahuan sekaligus advokasi kebijakan. Menghadirkan pengetahuan lokal menjadi ciri khas menonjol bagi LSM, yang tidak dimiliki oleh kampus menara gading. Di dunia LSM tentu juga hadir banyak aktivis-pemikir yang berpengaruh. Mansoer Fakih adalah seorang doktor yang banyak bicara tentang masyarakat sipil, sekaligus juga sebagai aktivispemikir dan pemikir-aktivis yang menjadi kiblat bagi pemikiran dan gerakan LSM. Yando Zakaria, yang tidak bergelar tinggi dan banyak, adalah praktisi antropologi dan pegiat LSM, secara seksama meneliti dengan mengorganisir dan mengorganisir dengan meneliti masyarakat adat dan desa di penjuru negeri. Karya Yando Zakaria, Abih Tandeh (2000), yang menjadi santapan kami 20 tahun silam, memandang desa bukan dari Jakarta maupun Eropa, tetapi dari desa, bahkan ia melakukan pembelaan desa dari penindasan negara. Dadang Juliantara, jebolan mahasiswa fisika, adalah pemikir, ideolog dan provokator yang banyak bicara tentang demokrasi, otonomi, dan pembaruan desa. Demikian juga dengan Lilis Nurul Husna, pegiat LAKPESDAM NU, yang pada tahun 2003, mengedepankan spirit “dialog antara narasi besar dan narasi kecil” dalam pembentukan pengetahuan dan gerakan. Dengan begitu, LSM yang berkiprah pada trinitas “pemikiran, gerakan dan kebijakan”, tidak kalah bertanding berhadapan ilmuwan dan teknokrat ketika berbicara tentang pengetahuan dan kebijakan. Tidak semua LSM mempunyai keluasan pemikiran, gerakan dan kebijakan. Tentu lebih banyak LSM yang menekuni kedalaman gerakan lokal melalui pendampingan dari desa ke desa, serupa dengan pendekatan “desa binaan” yang ditempuh oleh kampus. Namun saya berkeyakinan bahwa kerja lapangan yang dilakukan oleh LSM jauh lebih dalam ketimbang yang dikerjakan oleh 55 TAHUN STPMD “APMD”

ix


kampus. Pandangan ini bukan berarti LSM sangat hebat. LSM – yang memiliki spirit kuat dalam gerakan – bukan tanpa kelemahan, meskipun dedengkot LSM seperti Soekirman – yang kemudian menjadi Bupati Serdang Bedagai – memiliki klaim bahwa teknologi tepat guna karya Bitra Indonesia di banyak desa tetap terawat awet, yang jauh lebih baik ketimbang dengan proyek negara. Robert Chamber adalah satu “dewa” bagi LSM yang bergerak dalam pembangunan desa, serupa dengan Muhammad Yunus sebagai “dewa” bagi LSM yang bergerak di sektor credit union. Dalam melakukan pendampingan desa, LSM memakai model sustainable rural livelihood (SRL) karya Robert Chamber bersama tim Institute of Development Studies, yang juga ditebarkan oleh DFID dan OXFAM Inggris Raya. Kerja-kerja lokal LSM penuh dengan narasi menarik, yang menyuntikkan pengalaman, pengetahuan dan spirit kepada kami. Tetapi pada tahun 2002, sahabat Hans Antlov menyampaikan kritik: “Kalau STPMD akan melakukan pendampingan pada desadesa binaan seperti dilakukan NGOs, maka akan terjebak pada pendekatan tradisional yang anti-politik”. Kritik Hans, sebagai teman diskusi yang menarik, sungguh menjadi pelajaran berharga bagi LSM dan kampus. Kelak, tahun 2009, saya membaca karya Ian Scoones (salah satu anggota tim IDS yang merancang SRL tahun 1992/93) yang melakukan otokritik terhadap SRL: lokalisme naif dan anti-politik, tidak terhubung dengan kebijakan, governance, dan dunia global yang berpengaruh terhadap kehidupan desa. Dengan begitu, pendekatan pendampingan desa, baik ala LSM maupun ala kampus, memberdayakan desa sekaligus mengisolasi desa dari pergaulan sosial dan ekonomi-politik yang lebih luas. Mengisolasi (mengurung) desa sama dengan mengawetkan ketidakberdayaan desa. Diskusi pembelajaran antara kami dengan dunia LSM selama dua puluh tahun merefleksikan tentang relevansi perubahan dari sekadar kedalaman menjadi keluasaan, yang memperdalam sekaligus memperluas pemikiran, gerakan dan kebijakan.

x

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Pengetahuan lokal, pengalaman lokal, maupun narasi kecil kami hadirkan (representasi) untuk menantang, menandingi, dan mempengaruhi pengetahuan, pemikiran dan kebijakan besar yang datang dari tradisi “desa ilmiah”. Para ilmuwan “desa ilmiah” barangkali menuding pengetahuan lokal sebagai barang jadul, kolot, dan tahayul, sehingga mereka secara gencar menginduksi merk dagang, yang mereka klaim ilmiah (seperti smart village, digital village, global village), ke dalam tubuh proyek-proyek negara dan masuk ke dalam desa. Apa yang disebut ilmiah itu, di mata kami, adalah barang tahayul, sebab tidak relevan dengan denyut kehidupan orang desa. Sebaliknya pengetahuan lokal – seperti sasanti “desa mawa cara, negara mawa tata” – merupakan karya ilmiah yang bermakna untuk emansipasi desa berdikari. Kelak di kemudian hari, representasi dan emansipasi pengetahuan lokal, yang kami yakini itu, bertemu dengan tradisi studi budaya, pospositivisme, pasca-struktural, dan pasca-kolonial yang melawan ilmu pengetahuan kolonial, modernis, dan positivis. Jika para ilmuwan negatif sibuk memproduksi pengetahuan yang anti-desa, jika para ahli profesional sibuk menjadi perantara penjualan berbagai merk dagang kepada pemerintah dan desa, kami membentuk Mazhab Timoho, untuk memperjuangkan perubahan desa dengan memuliakan desa, melalui jalur pemikiran, gerakan dan kebijakan. Kami melakukan kerja pengetahuan, kerja gerakan, dan kerja politik melahirkan UU Desa, sekaligus juga memberikan sentuhan untuk perubahan desa pada level akar-rumput. Tahun 2020 menandai 55 tahun “APMD” sekaligus menyaksikan perjalanan 20 tahun kami melakukan putar haluan menjadi “LSM Besar” yang merajut tridama (pengajaran, penelitian, dan pengabdian) dengan trinitas (pemikiran, gerakan, dan kebijakan). Dua momen berbeda, lima puluh lima tahun dan dua puluh tahun, yang telah kami lalui, sekaligus hari-hari ke depan, merupakan kesempatan bermakna bagi kami untuk terus-menerus becoming “kampus ber-LSM, LSM berkampus” melalui proses refleksi 55 TAHUN STPMD “APMD”

xi


dan aksi maupun falsifikasi dan akumulasi. Di tengah perayaan 55 tahun “APMD”, kami menghadirkan buku “Mengabdi dan Melayani Desa”, sebagai sebuah serpihan dari tridarma dan trinitas yang telah kami jalani selama dua puluh tahun. Kami menulis dengan gotong-royong. Para dosen senior, para alumni, mahasiswa, dan para sahabat, bertindak sebagai narasumber yang bertutur tentang gagasan dan pengalaman dalam kiprah pengabdian kami. Para dosen muda, dipimpin oleh Fatih Gama Abisono Nasution, berjibaku menulis bab demi bab buku ini. Sebelas bab buku ini mencerminkan gagasan-pengalaman trinitas “pemikiran, gerakan, dan kebijakan” yang luas, beragam, dan bermakna, yang paling tidak, berguna untuk memperkaya tridama kami dalam memuliakan desa dan mempersatukan Indonesia.

xii

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR EDITOR ......................................................... iii PROLOG “APMD” ADALAH “LSM BESAR” .............................. vii DAFTAR ISI ....................................................................................... xiii MELAHIRKAN DAN MENGAWAL UU DESA Oleh: Yonatan Hans Luter Lopo .........................................................1 ADVOKASI DAN ASISTENSI KEBIJAKAN Oleh: Mohamad Firdaus ....................................................................17 MENJELAJAHI DESA MENGANGKAT KHAZANAH LOKAL Oleh: Irsasri ..........................................................................................33 KKN: BERGAUL, BELAJAR, BEKERJA DAN BERDESA Oleh: Fatih Gama Abisono Nst .........................................................57 KEMITRAAN CSR UNTUK KEMAJUAN DESA Oleh: Reiki Nauli Harahap ................................................................75 JARINGAN, GERAKAN & PEMBELAJARAN BERDESA MULAI DARI PIKIRAN, PEMBELAJARAN, JARINGAN DAN GERAKAN Oleh: Siti Sumaryatiningsih ...............................................................91

55 TAHUN STPMD “APMD”

xiii


MENDAMPINGI BUMDESA, MERAJUT KORPORASI RAKYAT Oleh: Rema Marina ...........................................................................107 AKSI PEDULI DESA: MENGAMALKAN TRADISI “MUDA BERDESA” Oleh: Aulia Widya Sakina ...............................................................123 EDUKASI DAN MEMAMPUKAN DESA Oleh: Hery Purnomo ........................................................................135 MENDAMPINGI SELEKSI PERANGKAT DESA YANG BERMARTABAT Oleh: Minardi.....................................................................................149 MENYIAPKAN KADER PERUBAHAN DESA Oleh: Kanita Khoirun Nisa ..............................................................163 EPILOG JALAN PANJANG MAHZAB TIMOHO: MELAYANI DAN MENGABDI PADA DESA Gregorius Sahdan..............................................................................177 BIOGRAFI PENULIS ........................................................................183

xiv

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 1 MELAHIRKAN DAN MENGAWAL UU DESA1 Oleh: Yonatan Hans Luter Lopo2

Pembuka “Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta, Indonesia baru akan bercahaya karena lilin-lilin kecil di desa-desa”. Begitulah ungkapan tersohor dari salah satu founding fathers Republik Indonesia, Mohammad Hatta. Ungkapan tersebut bukan sebatas jargon politik, melainkan mengandung spirit, cita-cita, ideologi, serta visi dan misi masa depan Republik. Visi masa depan tersebut dimaknai, diterjemahkan, dan dikerjakan oleh setiap rezim politik yang pernah berkuasa dan diberi mandat untuk mengurus desa dengan beragam cara berikut pilihan rute yang berbeda pula. Musim berlalu, rezim berganti. Negara selalu mengatur desa, tetapi selalu gagal mengurus desa. Akibatnya konkrit: kemiskinan, ketimpangan, ketertinggalan, kelaparan, dan kebodohan serta masih banyak label yang diberikan oleh para cerdik pandai untuk menjelaskan situasi desa. Diagnosis para ahli tersebut belum tentu benar, tetapi tidak berarti salah. Para pihak perlu menyadari kenyataan yang ada di desa, sekaligus melampaui realitas desa, dengan mempelopori gerakan pembaharuan desa, melalui ber1

2

Tulisan ini merupakan hasil diskusi dengan Dr. Sutoro Eko, M.Si., Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta, yang pernah menjadi Tenaga Ahli Kemendagri dan DPR RI dan menjadi perancang UU Desa, serta Ir. Muhammad Barori, M.Si., dan Drs. Hastowiyono, M.S. Keduanya memainkan fungsi backstop dengan menyediakan berbagai data yang dibutuhkan oleh Sutoro Eko untuk dibawa ke Senayan. Staf pengajar pada Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” sekaligus Peneliti pada Research Centre for Politics and Government (PoLGov), FISIPOL UGM 55 TAHUN STPMD “APMD”

1


bagai rute, mulai dari, kerja ilmu pengetahuan yang bersifat transformatif, kerja pengorganisasian masyarakat desa, hingga kerja politik kebijakan, termasuk di dalamnya meperjuangkan UU Desa. Persis di titik itulah, spirit, misi, semangat, dan positioning STPMD “APMD” mengada secara kelembagaan. Panggilan (vocation) untuk mempelopori gerakan pembaharuan desa merupakan komitmen moral, etik, dan akademik dari segenap sivitas akademika STPMD “APMD”. Panggilan tersebut ditunaikan lewat serangkaian kerja keilmuan dan kerja pengabdian masyarakat yang dihubungkan dengan perubahan kebijakan baik di level lokal maupun nasional. Selain mempelopori pembaharuan desa dalam bentuk riset dan advokasi kebijakan, kampus juga turut serta mempromosikan sejumlah tokoh pembaharu desa, melahirkan banyak kader, birokrat dan politisi yang transformatif dan penuh dedikasi untuk memajukan desa di seluruh penjuru tanah air. Pada tahun 1999, tidak terlepas dari reformasi 1998, merupakan tonggak penting bagi perubahan STPMD “APMD” secara kelembagaan dalam memasuki babak baru aktivitas Tri Dharma Perguruan Tinggi, termasuk pengabdian masyarakat. Kebaruan tersebut ditandai dengan keterbukaan kampus secara kelembagaan untuk membangun jaringan dan kerjasama dengan multi stakeholder, seperti kelompok Non-Government Organization (NGO), pemerintah daerah, pemerintah desa, dan berbagai kelompok masyarakat adat di berbagai daerah di Indonesia. Selain itu, aktivitas pengabdian masyarakat juga tidak lagi terisolasi dalam berbagai bentuk kegiatan pengabdian yang bersifat konvensional, seperti penyuluhan dan pelatihan. Kampus mulai terbuka dengan berbagai bentuk aktvitas pengabdian yang berdimensi politik, seperti advokasi kebijakan dan perundang-undangan. Sejak saat itu, sampai pada akhirnya terbit UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, merupakan sebuah perjalanan yang panjang dan melelahkan tetapi penuh makna. Narasi berikut adalah true story kelahiran UU

2

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Desa, yang mana STPMD “APMD” turut serta membidani proses kelahirannya. Merajut UU Desa Kelahiran UU No 22/1999 juga menjadi salah satu tonggak penting bagi STPMD “APMD” dalam memulai wacana baru tentang spirit demokrasi, otonomi, dan keberagaman desa di seluruh Indonesia. Semenjak lahirnya UU 22/1999, para pegiat desa di Yogyakarta menyambut baik UU tersebut, sembari membicarakan isu otonomi dan demokratisasi desa. Pada bulan September 2001, Sutoro Eko menghadiri sebuah forum yang bertempat di Hotel Garuda Yogyakarta, yang dihadiri pula Prof. M. Ryaas Rasyid. Pada pertemuan tersebut Ryaas Rasyid berujar bahwa sebenarnya pada tahun 1999 pemerintah berkehendak untuk mengatur desa secara terpisah dari pengaturan tentang pemerintahan daerah. Tetapi karena debat yang panjang dan waktu yang terbatas, desa diatur bersamaan dalam UU No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah. Paska forum tersebut, para pegiat desa di Yogyakarta terus melakukan diskusi dan kajian serta mulai menggagas pengaturan desa dalam UU tersendiri. Pada bulan November 2002, terjadi perubahan kepemimpinan di STPMD “APMD” yang mengantarkan Sutoro Eko menjadi Ketua Sekolah Tinggi. Sutoro Eko mengusung semangat besar untuk menjadikan kampus sebagai sumur pengetahuan tentang desa. Komitmen tersebut dikerjakan lewat berbagai rute yang dipilih sebagai cara mewujudkan pembaharuan desa yaitu melalui kerja pengetahuan, gerakan sosial,, dan juga kerja politik kebijakan. Dalam hal gerakan sosial, STPMD “APMD” membangun kolaborasi dengan jejaring NGO, semisal Institute for Research and Empowernment (IRE), Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), Lapera Indonesia, dan lain sebagainya yang mengusung visi dan semangat yang sama tentang desa. Diskusi, pembelajaran, jaringan dan aksi para pegiat desa Yogyakarta ini terus bergulir. 55 TAHUN STPMD “APMD”

3


Pertemuan antara pegiat desa dengan para kepala desa, Badan Perwakilan Desa, dan lain-lain sudah biasa dilakukan, termasuk bertempat di Ruang Seminar STPMD “APMD”.3 Ruang Seminar menjadi melting pot, yang mana para pegiat desa dari berbagai penjuru seringkali berjumpa dan mendiskusikan banyak gagasan tentang pembaharuan desa. Berbagai gerakan yang terus dirajut antara kampus, NGO, dan para aparat desa tersebut berlangsung perlahan namun pasti. Pada tahun 2003 lahirlah Asosiasi Badan Perwakilan Desa Seluruh Indonesia yang memperjuangkan otonomi, demokrasi dan kesejahteraan desa, dengan UU tersendiri. Pada saat yang sama, di banyak kabupaten telah lahir asosiasi desa yang memperjuangkan kepentingan desa di hadapan negara. Sementara itu, pada tahun 2005, STPMD “APMD” menerbitkan dua (2) buku yang secara serius menjadi penanda dimulainya gerakan pembaharuan desa melalui kerja akademik. Pertama adalah sebuah buku bertitel Manifesto Pembaharuan Desa (Eko, 2005) dan yang kedua berjudul Transformasi ekonomi Politik desa (Sahdan, 2005). Kedua karya ini secara substansial mengusung tema Desa Membangun Indonesia. Jargon Desa Membangun Indonesia merupakan abstraksi teoritik dan kristalisasi pengalaman panjang komunitas STPMD “APMD” dalam bergaul, belajar, bermasyarakat, dan berdesa. Konsep Desa Membangun merupakan kontribusi pemikiran komunitas STPMD “APMD” yang berbeda secara diametral dengan konsep Membangun Desa. Konsep Desa Membangun menempatkan desa sebagai aktor utama dalam perencanaan, pembiayaan, dan pelaksanaan pembangunan desa. Sementara itu, konsep Membangun Desa menempatkan desa sebatas sebagai lokasi proyek, yang mana desa hanya berperan sebagai partisipan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, tetapi kendali utamanya ada pada pemerintah supra desa, terutama pemerintah daerah. Belakangan gagasan Desa membangun Indonesia inilah yang menjadi jiwa, spirit, dan roh UU Desa. (Eko, 2014) 3

4

Saat ini Ruang Seminar berubah nama menjadi Ruang M. Soetopo MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Pada saat yang bersamaaan di tahun 2005, pemerintah dan DPR RI, sepakat memecah UU No 32/2004, yang pelaksanaanya baru seumur jagung, menjadi tiga (3) UU, yaitu UU tentang Pemerintahan Daerah, UU tentang pemilihan Kepala Daerah, dan UU tentang Desa. Momentum ini menjadi pintu masuk bagi STPMD “APMD” untuk terus melakukan kajian akademis tentang RUU Desa, secara khusus tentang kedudukan desa, serta secara intensif mulai menjalin komunikasi dengan Ditjen PMD, Kementerian Dalam Negeri. Pada awal tahun 2006, Kementerian Dalam Negeri menyelenggarakan lokakarya di Jakarta yang membahas tentang kewenangan desa, yang melibatkan para akademisi dari STPMD “APMD”. Dari forum tersebutlah dibuat pemetaan tentang kedudukan desa yang menjadi tiga (3) bagian yaitu desa sebagai self-governing community, desa sebagai local state government, dan desa sebagai local self-government (Eko, 2015) . Ketiga azas dan kedudukan desa inilah yang menjadi discourse hangat di antara para pegiat desa, dalam merumuskan UU Desa. Sejak tahun 2006, pemerintah melalui Direktorat Jenderal PMD Kementerian Dalam Negeri secara resmi mulai membahas secara serius Rancangan Undang-Undang tentang Desa, yang mana sivitas akademika STPMD “APMD” terlibat langsung dalam proses perumusan UU Desa. Pada saat itu Ditjen PMD Kementerian Dalam Negeri bekerjasama dengan Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) yang merupakan forum gabungan antara STPMD “APMD”, IRE Yogyakarta, Gita Pertiwi, dan lainlain, serta melibatkan para pegiat desa seperti seperti Sutoro Eko dan Widyo Hari Murdiyanto (STPMD “APMD”), Arie Sudjito, Bambang Hudayana (IRE Yogyakarta), Haryo Habirona, Diah Y. Suradiredja, dan Rossana Dewi, melakukan diskusi dan kajian rutin, yang secara resmi mulai menyusun Naskah Akademik RUU Desa pada bulan Januari 2007. Sutoro Eko secara resmi terlibat langsung sebagai Tenaga Ahli Kementerian Dalam Negeri, yang bertugas menyiapkan dan merumuskan UU Desa. Peluang dan 55 TAHUN STPMD “APMD”

5


kesempatan ini dimanfaatkan untuk menyerap banyak cerita lokal saat berkunjung ke banyak daerah dan desa seperti di NTT (Kabupaten Timor Tengah Selatan), Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat (Kabupaten Landak), Sulawesi Utara, NTB, Bali, Aceh, dan masih banyak daerah yang lain. Pengalaman berkunjung ke banyak daerah tersebut membuat Sutoro Eko memiliki pandangan yang kaya dan luas tentang desa-desa di Indonesia, dan mendorongnya untuk berusaha menjembatani dunia teori dengan praktik sosial di desa, serta dunia kebijakan di level negara dengan proses advokasi yang dilakukan oleh kalangan kampus dan NGO. Pengalaman ini menjadi ajang pemurnian gagasan tentang Desa membangun Indonesia, yang belakangan dikristalisasi menjadi asas subsidiaritas dalam rancangan RUU Desa. Asas Subsidiaritas tersebut kemudian di-breakdown dalam UU Desa menjadi pasal tentang kewenangan lokal berskala desa. Kewenangan lokal bersakala desa berarti bahwa semua hal yang bisa diurus dan diselesaikan oleh desa, maka kewenangan tersebut dimandatkan lewat UU untuk dituntaskan di level desa. Secara resmi Naskah Akademik UU Desa mulai disusun pada tahun 2007. Dalam proses penyusunan Naskah Akademik, STPMD “APMD� secara konsisten mengusung konsep Desa membangun Indonesia, yang dikonkritkan dengan jargon “satu desa satu rencana, dan satu anggaran�. Naskah Akademik tersebut didiskusikan dengan multi pihak, baik pegiat maupun Asosiasi Desa, di banyak kota dan pelosok, yang mana draf awalnya diselesaikan pada bulan Agustus 2007, dan disusul dengan drafting RUU Desa. Sejak saat itu pembahasan RUU Desa di tubuh pemerintah berlangsung alot dan panjang. Debat substantif mengenai RUU Desa yang paling hangat adalah terkait kedudukan desa. Pada saat itu, debat mengenai kedudukan desa dipetakan menjadi dua (2) aliran besar yaitu aliran realis, dan formalis. Kelompok beraliran realis memandang

6

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


desa dari kacamata empirik, yaitu apa yang sedang terjadi di desa, dan bagaimana seharusnya negara bersikap atau berposisi terhadap desa. Sementara itu kelompok beraliran formalis terus mencari formula kedudukan desa dengan menafsirkan konstitusi, serta menyesuaikan kedudukan desa sesuai kaidah hukum tata negara. Diskusi dan debat mengenai kedudukan desa ini berjalan alot bahkan panas. Akan tetapi, para ahli sepakat untuk melampaui (beyond) aspek legal-formal tersebut dengan melihat berbagai aspek-aspek lain seperti ekonomi politik, serta mempertegas posisi negara terhadap desa. Semua upaya untuk melampaui urusan legal-formal tersebut tidak terlepas dari inspirasi dan pengalaman yang diperoleh dari Selo Soemardjan, Bapak Sosiologi Indonesia, yang merupakan salah satu guru dan pelaku sejarah yang ikut memperjuangkan otonomi desa di Indonesia. Selo Soemardjan muda menyiapkan rancangan otonomi dan demokrasi desa di Daerah Istimewa Yogyakarta, antara lain menelorkan kebijakan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang melakukan penggabungan (blengketan) sejumlah desa menjadi satu desa yang lebih besar, sekaligus juga mendistribusikan tanah Sultan ground menjadi tanah milik desa. Pendistribusian tanah tersebut yakni titi soro untuk orang miskin, paguron untuk gaji para guru, pangonan untuk gembala ternak, sengkeran untuk pelestarian tanaman langka, segahan untuk jamuan tamu dari luar yang datang ke desa, dan palungguh atau bengkok untuk penghasilan kepala desa dan pamong desa (Eko, 2015). Penggabungan desa, redistribusi aset dan mandat merupakan tiga isu penting yang pernah ditorehkan oleh Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk memuliakan dan memperkuat desa. Namun kisah sukses DIY tidak terjadi secara nasional. Pada tahun 1956, Selo Soemarjan berujar bahwa sikap politik pemerintah terhadap desa tidak jelas. Pada tahun 1979, ketika lahir UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa, Selo juga menyampaikan kekecewaannya karena substansi UU itu jauh dari spirit otonomi 55 TAHUN STPMD “APMD�

7


desa dan demokrasi desa. Pengalaman, spirit, dan inspirasi dari Selo Soemarjan ini juga sangat berpengaruh dalam proses penyusunan UU Desa, terutama untuk mempertegas sikap negara terhadap desa. Dalam konstruksi UU No 6 2014, terdapat pengakuan dan penghormatan negara kepada desa, negara memberikan mandat kewenangan dan pembangunan kepada desa, serta redistribusi sumberdaya negara kepada desa. Akan tetapi, upaya untuk menghasilkan UU yang mempertegas sikap negara terhadap desa, yang mengandung spirit otonomi, serta pengakuan dan penghormatan kepada desa, tidaklah mudah. Salah satu tantangan yang dihadapi misalnya masifnya program PNPM Mandiri yang menjadikan desa sebagai lokasi proyek, sepanjang tahun 2008 dan 2009. Program PNPM diniatkan untuk tujuan yang baik, akan tetapi mendapatkan kritik dan perlawanan dari berbagai pihak karena prosesnya yang mulai dari perencanaan sampai eksekusi kebijakan mengeksklusi peran institusi desa. Hal ini menjadi diskursus hangat di kalangan pegiat desa yang memperjuangkan otonomi desa, karena program PNPM dianggap tidak masuk dalam sistem desa. Program PNPM masuk ke desa, melalui desa, tetapi tanpa desa. Oleh karena itu para pegiat desa yang mengusung semangat otonomi melakukan ‘perlawanan’ dengan terus menerus menggaungkan jargon “satu desa, satu rencana, satu anggaran”. Pada tahun 2009, para pegiat desa menambah haluan baru dalam upaya menghasilkan UU Desa, yang tidak hanya melalui rute gerakan sosial dan kajian akademik, tetapi juga masuk ke ranah politik. Para pegiat desa sadar bahwa isu desa perlu “dipolitisisasi” di Senayan. Oleh karenanya jalur politik ditempuh dengan mendukung caleg Budiman Sudjatmiko (PDI Perjuangan) di Dapil Cilacap-Banyumas, yang mengusung RUU Desa sebagai isu kampanye. Setelah masuk ke Senayan, Budiman Sudjatmiko menjadi jangkar politik bagi para pegiat desa, misalnya dengan mempertemukan para pegiat desa dengan Komisi II baik secara

8

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


institusional dan informal. Sejak tahun 2010, para pegiat desa diberikan ruang bertemu dengan banyak tokoh-tokoh di Komisi II DPR RI seperti Ganjar Pranowo, Nurul Arifin, dan lain-lain. Budiman Sudjatmiko merupakan politisi yang punya peran untuk memindahkan isu desa dari pinggiran ke pusat kekuasaan di Senayan. Perjuangan RUU Desa bertambah kencang setelah lahir forum Persatuan Aparat Desa (PARADE) Nusantara pada tahun 2009, di bawah pimpinan Sudir Santosa, dan Budiman Sudjatmiko yang juga berperan sebagai pembinanya. Parade Nusantara terus menerus melakukan desakan kepada Pemerintah agar menyelesaikan pembahasan RUU Desa. Desakan paling seru terjadi di antara bulan September hingga Desember 2011, yang kemudian mendorong Presiden SBY mengeluarkan amanat Presiden tentang RUU Desa pada bulan Januari 2012. Setelah itu DPR RI membentuk Pansus RUU Desa yang dipimpin oleh Ketua Akhmad Muqowam (PPP), serta wakil ketua Budiman Sudjatmiko (PDI Perjuangan), Khatibul Umam Wiranu (Demokrat), dan Ibnu Mundzir (Golkar). Ketua Pansus Akhmad Muqowam begitu piawai, hingga sanggup melakukan konsolidasi yang solid terhadap 30 anggota Pansus RUU Desa. Mereka semua bersepakat bahwa RUU Desa harus ditempuh dengan cara menanggalkan politik kepartaian, sembari mengutamakan politik kenegaraan dan politik kerakyatan. Sepanjang tahun 2012, Pansus menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), serta melakukan studi banding dan kunjungan lapangan. Pada periode ini STPMD “APMD” menjadi mitra Pansus yang diundang terlibat dalam RDPU, yang pada saat itu diwakili oleh Habib Muhsin dan Hastowiyono, yang tetap konsisten dengan semangat Desa Membangun Indonesia. Sementara Sutoro Eko secara resmi menjadi Tenaga Ahli DPR RI untuk menyusun UU Desa. Sutoro Eko berkesempatan berkunjung ke banyak tempat dan daerah, untuk melihat desa dari dekat. Hal ini semakin memperkaya bahan dan data dalam merancang UU Desa, 55 TAHUN STPMD “APMD”

9


terutama mendialogkan dunia teori dan konsep dengan dunia empirik. Sementara itu, Pansus RUU Desa juga melakukan studi banding, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Misalnya Pansus RUU Desa pernah melakukan studi banding ke Desa Huaxi di China. Desa Huaxi adalah desa kaya raya yang diklaim sebagai desa terbaik di dunia, yang merupakan hasil penggabungan sejumlah desa, yang semula hanya 3 Km persegi menjadi 32 Km persegi (seluas wilayah Kota Yogyakarta). Pansus RUU Desa juga melakukan kunjungan lapangan dalam negeri, yang difasilitasi oleh para pegiat desa. Beberapa pegiat desa yang terlibat seperti Sutoro Eko, Arie Sudjito Abdur Rozaki, Sunazi Zamroni, Titok Hariyanto, Farid Hadi, bersama Prof Nurdin Abdullah yang saat itu menjabat sebagai Bupati Bantaeng. Salah satu pertemuan antara pimpinan Pansus dengan para pelaku dan pegiat desa dalam acara Festival Kemandirian Desa, bertempat di Desa Rappoa, Bantaeng, awal November 2012. Pada awal tahun 2013, Pemerintah dan DPR RI membentuk panitia kerja (Panja) yang terus melakukan rapat kerja untuk membahas UU Desa. Saat itu Sutoro Eko sudah menjadi Tenaga Ahli DPR RI, bersama dengan Yando Zakaria dan Suhirman, serta Bito Wakantosa yang merupakan perwakilan pemerintah. Mereka menjalin kolaborasi dan kerjasama yang apik untuk membahasa UU Desa bersama dengan Akhmad Muqowam dan Budiman Sudjatmiko (DPR RI), serta dari luar arena mereka dibantu oleh Arie Sudjito dan kawan-kawan. Bahkan Budiman Sudjatmiko pernah berceloteh soal kolaborasi mereka yang seperti kesebelasan sepakbola: “Yando Zakaria itu seperti kiper, Sutoro Eko itu playmaker, Akhmad Muqowam itu Kapten, Budiman ibarat striker, dan Arie Sudjito ibarat official di pinggir lapangan�. Posisi sebagai Tenaga Ahli DPR RI ini dimaksimalkan oleh Sutoro Eko untuk mejadi policy transformer, dengan menyerap aspirasi dan masukan dari banyak pihak

10

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


termasuk STPMD “APMD”, IRE, FPPD, Parade Nusantara, serta berbagai asosiasi kepala desa dan perangkat desa. Pada saat itu juga muncul Forum Pembaruan Desa (FPD), yang dipimpin oleh Agus Tri Raharjo, Kepala Desa Gedangan, Kabupaten Sukoharjo, yang terus-menerus melakukan kunjungan massal ke Senayan untuk mendesak pemerintah dan Pansus untuk segera mengesahkan RUU Desa. Ada beberapa isu kunci yang menjadi pokok pembahasan yang hangat, yaitu azas dan kedudukan desa, azas demokrasi dalam UU Desa, BUMDesa, dan terutama adalah dana desa. Dalam pembahasan RUU Desa, Dana Desa (DD) memang yang paling panjang dan seru, serta mengundang pro dan kontra. DPR pernah meminta kepada pemerintah tentang data mikro jumlah uang negara yang masuk ke desa. Tetapi pemerintah (Bappenas dan Kementerian Keuangan) tidak sanggup menyediakan data yang dibutuhkan. Oleh karena itu Ganjar Pranowo meminta Sutoro Eko, dalam kapasitas sebagai tenaga ahli DPR RI, untuk mengumpulkan data mikro jumlah uang yang masuk ke desa. Sutoro Eko bersama tim STPMD “APMD”, yakni M. Barori dan Hastowiyono beserta jaringan bergerak melakukan pengumpulan data dengan survei. Peran M. Barori yakni menggerakkan jaringan kerjasama STPMD “APMD” di berbagai daerah untuk mengumpulkan data Sedangkan Hastowiyono dengan tekun dan sukarela melakukan entry data survei sekaligus menyajikan peta dan analisis tentang data uang masuk ke desa. Berdasarkan basis data tahun 2011, survei menunjukkan bahwa rata-rata desa menerima uang sebesar 1,040 M pe tahun, tentu dengan sumber yang bermacam-macam, dan 76% di antaranya dari pemerintah pusat. Hasil pekerjaan ini dibawa oleh Sutoro Eko ke senayan, yang secara resmi digunakan oleh Pansus sebagai basis pembahasan keuangan desa. Pembicaraan tentang dana desa memang dinamis. Ada anggota Pansus yang hanya bicara “satu desa, satu milyar”. 55 TAHUN STPMD “APMD”

11


Budiman Sudjatmiko selalu bicara soal “kombinasi cash transfer dan demokrasi lokal akan memperbanyak kelas menengah desa”. Pihak Kementerian Keuangan dan Bappenas selalu keberatan dengan dana desa. Pada tanggal 30 September 2013, terjadi diskusi yang menarik di ruang meeting Ketua DPR RI. Dalam pertemuan itu hadir 9 anggota Pansus/Panja, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, pejabat Bappenas, dan rapat dipimpin oleh Ketua DPR Marzuki Alie (Demokrat). Kemenkeu dan Bappenas keberatan dengan dana desa. Menteri Dalam Negeri dan Ketua Akhmad Muqowam bermain cantik untuk meng-goal-kan Dana Desa. Mendagri Gamawan Fauzi berujar: “Saya setuju dana desa, asalkan satu pintu, tidak ada lagi bantuan langsung ke masyarakat”. Ketua DPR dengan sangat tegas “marah” pada menteri yang menolak dana desa, sembari mengatakan bahwa “kalau untuk rakyat kita harus wujudkan, Presiden SBY sudah setuju”. Sutoro Eko Bersama Yando Zakaria dan Suhirman yang menyaksikan langsung pertemuan itu, memandang bahwa pertemuan itu adalah keputusan politik yang cantik dan tegas. Selesai rapat, Sutoro Eko mengacungkan dua jempol dan pujian kepada Ketua DPR RI. Hari-hari berikutnya yang masih panjang adalah mendiskusikan formula dana desa. Formula ini memang susah ditemukan. Para tenaga ahli (Sutoro Eko, dkk) melakukan exersice sejumlah formula tetapi belum disepakati. Setelah melewati proses diskusi dan perdebatan yang panjang, maka pada tanggal 12 malam hingga 13 Desember 2013 pagi, Rapat kerja Mendagri bersama Pansus sungguh bersejarah. Dari berbagai gagasan yang diperdebatkan, muncul usulan rumusan dari Dr. A.W Thalib (PPP), sebagai berikut: “Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap. Usulan ini diterima oleh sidang dan dijadikan penjelasan Pasal 72 ayat (2) tentang dana desa. Pertemuan itu juga menyepakati untuk

12

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


menyudahi pembahasan RUU Desa dan 18 Desember 2013 untuk Sidang Paripurna. Alhamdulillah, pada 18 Desember 2013, Sidang Paripurna DPR RI yang dipimpin oleh Priyo Budi Santosa, menetapkan UU Desa. Pada sidang ini, FPD pimpinan Agus Tri Raharjo mengerahkan sekitar 3000 pamong desa. Sebagian besar di Fraksi balkon, sebagian besar di jalan depan gedung DPR RI. Mereka sujud syukur begitu Sidang Paripurna menetapkan UU Desa, dan kemudian disahkan oleh Presiden SBY menjadi UU No. 6/2014 pada 15 Januari 2014. UU Desa disambut dengan sukacita dan dirayakan di berbagai tempat, dengan beragam acara atau kegiatan. Di Kabupaten Sukoharjo, ada syukuran yang besar pada bulan Januari 2014 yang menghadirkan Akhmad Muqowam, Budiman Sudjatmiko, dan lain-lain. Hari-hari berikutnya, UU Desa juga dirayakan di berbagai tempat seperti Magelang, bahkan di luar Jawa seperti Sulawesi Selatan, Selawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan lain sebagainya. Memberdayakan Masyarakat, Memampukan Desa UU Desa disambut dengan banyak pujian sekaligus kritik. Pujian datang dari banyak pihak, terutama dari para pemerhati desa yang sejak lama menginginkan otonomi desa. Para aparat dan perangkat desa menggelar syukuran di banyak daerah untuk menyambut UU Desa. Pada saat yang sama, kritik datang dari para ahli dan teknokrat yang meragukan kemampuan desa dalam mengelola dana sekitar 1 Milyar per tahun. Ada pula yang mengkritik bahwa dana desa hanya memperkaya segelintir orang, terutama aparat desa dan para konsultan yang menjadikan dana desa sebagai proyek yang menguntungkan. Jika pemerintah memberikan power, maka kampus melakukan empowernment. Negara memberikan power kepada desa lewat rekognisi, subsidiaritas, dan redistribusi anggaran kepada desa. 55 TAHUN STPMD “APMD�

13


Sementara itu, sebagai institusi yang ikut membidani kelahiran UU Desa, STPMD “APMD” melakuan empowering kepada masyarakat dan pemerintah desa dalam kerangka memampukan desa (to give ability). Agar Desa siap dan sanggup menjawab harapan dan tantangan yang dimandatkan oleh UU Desa, yakni pemberian kewenangan lokal bersakal desa. Berbagai aktivitas yang bertujuan memberdayakan (empowering) dan memampukan desa (to give ability) tersebut dilakukan lewat berbagai cara, misalnya sebagai berikut. Pertama, STPMD “APMD” secara aktif terus melakukan sosialisasi, training, dan advokasi kepada para perangkat desa, para kader pendamping desa, dan masyarakat terkait substansi UU Desa. Para pihak tersebut didorong untuk memaksimalkan peran, fungsi, dan kewenangan yang dimandatkan oleh UU Desa. Misalnya lewat fasilitasi rekrutmen perangkat desa, pelatihan kader pendamping desa, Bimtek RPJMDes dan RKPDes, pelatihan, pemberdayaan, dan pendampingan BUMDesa dan lain sebagainya. Semua aktivitas ini bertujuan memberdayakan masyarakat sekaligus memampukan aparat desa dalam mengurus dan mengelola desa. Upaya untuk mentransformasi (transforming) perubahan sesuai mandat UU Desa tersebut tidak hanya dilakukan lewat intervensi terhadap masyarakat desa, tetapi juga terhadap aparat, perangkat, maupun pemerintah supra desa. Kedua, STPMD “APMD” secara konsisten mengawal implementasi UU Desa, misalnya dengan mendorong mahasiswa dan semua civitas akademika untuk memperbanyak kajian, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat desa, khususnya terkait implementasi UU Desa. Para mahasiswa dididik dan dipersiapkan untuk menjadi kader penggerak di desanya kelak. Para dosen didorong untuk terlibat aktif melakukan penelitian dan pengabdian lewat berbagai skema Kerjasama, baik dengan pemerintah desa, pemerintah daerah, maupun dengan pihak swasta dan NGO, yang memiliki semangat dan visi yang sama dengan STPMD “APMD” dalam menggerakkan perubahan desa.

14

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Ketiga, STPMD “APMD” juga secara kritis melakukan evaluasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap berbagai peraturan turunan dari UU Desa, yang justru banyak menghambat dan mengerdilkan UU Desa. Dalam konteks ini, kampus baik secara personal maupun kelembagaan menyampaikan kritik dan masukan kepada pemerintah. Kritik dan masukan dialamatkan terutama pada kementerian desa, kementerian keuangan, dan kementerian dalam negeri. Kritik yang disampaikan terkait mekanisme laporan pertanggungjawaban dana desa yang justru memperberat dan menyita banyak waktu para aparat desa sehingga lalai menjalankan program kerjanya. Penutup Sebagai bagian dari Tri Dharma Pendidikan Tinggi, maka pengabdian kepada masyarakat, dalam bentuk keterlibatan langsung dalam membidani kelahiran UU Desa yang diperankan oleh STPMD “APMD” selama ini, merefleksikan beberapa hal. Pertama, kampus memainkan peran menghubungkan (connecting) berbagai pihak yang punya interest yang sama terhadap desa, yaitu desa yang demokratis, berdaulat, mandiri, dan bermartabat. Kampus STPMD ‘APMD” juga menjadi ruang perjumpaan (melting pot) berbagai pihak seperti aparat dan perangkat desa, BPD, masyarakat desa, pegiat NGO, dan pemerintah supra desa yang berurusan langsung dengan desa. Kedua, perjumpaan para pihak yang berkepentingan terhadap otonomi dan demokratisasi desa tersebut selanjutnya dirajut dengan narasi ilmiah, menjadi ilmu pengetahuan yang amaliah bagi masyarakat desa. UU Desa dirajut (crafting) dengan kacamata realisme, yang berangkat dari realitas empirik yang ada di desa, sembari melampaui (beyond) kacamata legal-formal, serta mempertegas posisi negara terhadap desa. Perjuangan merajut UU Desa juga tidak hanya ditempuh dengan kajian akademis, tetapi juga lewat advokasi, gerakan sosial, dan politik kebijakan. 55 TAHUN STPMD “APMD”

15


Ketiga, segala upaya dan komitmen pengabdian kepada desa melalui perjuangan UU Desa merupakan bagian dari ikhtiar STPMD “APMD’ dalam rangka proses transformasi (transforming) kehidupan masyarakat desa secara utuh, menyeluruh, untuk kehidupan desa yang lebih bermartabat, berdaulat, mandiri, dan demokratis. Dalam proses ini STPMD “APMD” secara konsisten dan teguh memperjuangkan banyak gagasan-gagasan kunci yang menjadi ruh UU Desa. Antara lain misalnya spirit desa membangun Indonesia yang menjadi roh dari UU Desa. Gagasan pokok lainnya yang berhasil dipromosikan yaitu azas subsidiaritas, yang merupakan kristalisasi dari pengalaman panjang komunitas STPMD “APMD” dalam belajar, bergaul, bermasyarakat, dan berdesa. Azas subsidiaritas inilah yang kemudian diterjemahkan dalam pasal UU Desa mengenai kewenangan lokal berskala desa. Pada akhirnya, segala upaya tersebut di atas adalah bagian dari ikhtiar serta komitmen moral, akademik, dan etik dari STPMD “APMD” untuk memuliakan desa-desa di seluruh Indonesia Daftar Pustaka Eko, S. (ed). (2005). Manifesto pembaharuan Desa. Yogyakarta: APMD Press. Eko, S. 2014. Desa Membangun Indonesia. Yogyakarta: Forum Pengmbangan Pembaharuan Desa. Eko, S. (2015). Desa Baru Negara Lama. Yogyakarta: APMD Press. Eko, S. (2015). Regulasi Baru, Desa Baru. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI. Sahdan, Gregorius. (ed). (2005). Transformasi Ekonomi politik Desa. Yogyakarta: APMD Press.

16

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 2 ADVOKASI DAN ASISTENSI KEBIJAKAN Oleh: Mohamad Firdaus4

Abdi Yang Abadi Sejak Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta berdiri pada 55 tahun silam, para sivitas akademika terus berupaya memberikan pengabdian kepada masyarakat di pedesaan terutama dalam advokasi dan asistensi kebijakankebijakan di tingkat kabupaten dan desa. Dalam kaitannya dengan pengabdian, maka pihak-pihak yang bersangkutan terutama dari sivitas akademika APMD sejatinya bekerja setulus hati untuk mencapai kebaikan bersama. Pelatihan pembuatan Peraturan desa (Perdes), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), upaya optimalisasi potensi desa serta pendidikan dan pelatihan para perangkat desa sudah dilakukan dari tahun ke tahun sampai dengan tulisan ini dibuat dan diharapkan terus berlanjut. Pengabdian dapat diartikan sebagai langkah untuk memberikan empowerment untuk membuat pemerintah desa dan masyarakat desa bisa lebih mandiri. STPMD “APMD” pada tahun 1980 sangat terkenal sebagai sekolah calon pegawai negeri, hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan APMD yang menjadi PNS di daerah Banjarnegara, Wonosobo, Purworejo, dan Temanggung. 4

Staf Pengajar Prodi Ilmu Pemerintahan, Penulis memberikan apresiasi sebesarbesarnya dan ucapan terima kasih kepada nara sumber yang telah meluangkan waktunya: Dr. Sutoro Eko Yunanto, Dr. Widodo Triputro, Ir. Muhammad Barori, M.Si, Drs. Hastowiyono, M.Si. 55 TAHUN STPMD “APMD”

17


Mahasiswa yang ditanya kenapa bersekolah di APMD pasti jawabannya ingin jadi PNS. Jawaban tersebut tidaklah salah karena pasti semua manusia ingin mendapatkan kehidupan dan penghidupan yang lebih baik lagi, sehingga menurut mereka PNS adalah jawaban terbaik. Namun sebelum menjadi kampus yang mencetak banyak PNS, pengabdian APMD ke desa sudah jauh lebih dulu dikenal oleh banyak orang. Salah satu jurusan yang betul-betul concern terhadap desa adalah prodi Pembangunan Masyarakat Desa (PMD), dan sampai saat ini prodi tersebut tetap eksis dalam melakukan pengabdian ke desa. Bersama prodi lain seperti Ilmu Pemerintahan, Ilmu Komunikasi, Ilmu Pembangunan Sosial, PMD dapat dikatakan cukup banyak membawa perubahan kepada desa. Pengabdian yang dilakukan STPMD “APMD� Yogyakarta yang tiada henti salah satunya meningkatkan kapasitas seperti advokasi dan asistensi sebuah kebijakan. Kebijakan dapat diartikan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever govenments choose to do or not to do) (Thomas Dye:1972). Meskipun kebijakan dapat diartikan pemerintah tidak melakukan suatu tindakan, namun dalam hal pengabdian ini kebijakan diartikan dengan upaya pembuatan sebuah kebijakan publik yang tertuang dalam naskah dan nantinya akan disahkan oleh pemerintah daerah atau pemerintah desa. Adapun Anderson et. all (1984) mencoba menjelaskan ciri dari kebijakan: 1) Public Policy is purposive, Goaloriented behaviour rather than random or chace behaviour. Setiap Kebijakan harus ada tujuannya. Artinya, pembuatan suatu kebijakan tidak boleh sekadar asal buat atau karena kebetulan ada kesempatan membuatnya. Tanpa ada tujuan tidak perlu ada kebijakan. 2) public policy consists of course of action rather than separate, discrete decision, or action performed by government official. Artinya suatu kebijakan tidak berdiri sendiri, terpisah dari kebijakan yang lain. Namun, ia berkaitan dengan berbagai kebijakan dalam masyarakat dan berorientasi pada implementasi,

18

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


interpretasi, dan penegakan hukum. 3) policy is what government do, not what they say will do or what thei intend to do. Kebijakan adalah apa yang dilakukan oleh pemerintah, bukan apa yang masih ingin atau dikehendaki untuk dilakukan pemerintah. 4) public policy may either negative or positive. Kebijakan dapat berbentuk negatif atau melarang dan juga dapat berupa pengarahan untuk melaksanakan atau menganjurkan. 5) public policy is based on law and is authoritative. Kebijaksanaan harus berdasarkan hukum, sehingga mempunyai kewenangan untuk memaksa masyarakat untuk mengikutinya. Berbicara tentang APMD maka juga akan berbicara tentang desa, penulis mencoba menjelaskan fungsi desa bagi masyarakat menurut Buku Persembahan 40 tahun STPMD “APMD� Yogyakarta. Sutoro Eko et, all (2005) menjelaskan bahwa jauh sebelum terjadi negaranisasi dan kapitalisasi, desa merupakan sebuah entitas yang berfungsi sebagai basis penghidupan dalam kerangka self governing community. Pada awalnya kesatuan masyarakat lokal/ adat (desa, nagari, binua, kampung, gampong, negeri, huta, sosor, marga, lembang, kuwu, pemusungan, yo, paraingu, lumban, dan lain-lain) yang tersebar di penjuru nusantara mempunyai karakter yang sama. Desa, atau nama lain adalah kesatuan masyarakat yang tergabung berdasarkan garis keturunan (genealogi) yang mendiami wilayah (teritori) tertentu. Orang tidak bisa mengukur berapa luas wilayah yang mereka diami, tetapi selalu ada kearifan lokal untuk mengukur batas-batas wilayah berdasarkan prinsip sejauh mata memandang atau sejauh batu dilempar. Semuanya merupakan organisasi masyarakat lokal yang mempunyai kepemerintahan atau kepengurusan sendiri (self governing community) yang berdasarkan pada adat istiadat setempat. Adat mengandung jati diri, norma, nilai dan tata aturan untuk mengelola tanah, sumber daya alam, warga maupun hubungan-hubungan sosial (pernikahan, kematian, sengketa, pembagian tanah, dan sebagainya). Setiap masyarakat adat mempunyai tata cara adat untuk mengelola (merawat dan membagi) tanah (kekayaan) secara komunal (bersama) 55 TAHUN STPMD “APMD�

19


dengan prinsip kesejahteraan (welfare society), keseimbangan dan berkelanjutan. Pemimpin adat ditentukan secara turun-temurun melalui jalan musyawarah tanpa pergolakan keuasaan (politik) di dalam lingkup keluarga dan masyarakat. Pemimpin adat atau ketua desa bukanlah jabatan yang sarat dengan kekuasaan dan kekayaan, tetapi posisi kehormatan yang sarat tanggung jawab untuk mengurus dan melindungi tanah, penduduk, keamanan, hubungan-hubungan sosial dan sebagainya. Kondisi tersebut yang menjadi cita-cita oleh banyak kalangan baik akademisi, praktisi dan pegiat desa agar supaya desa kembali lagi ke marwah awal di mana desa itu mandiri dan memiliki penghidupan yang berkelanjutan bagi masyarakatnya. Desa bukan lagi menjadi sebuah objek seperti sekarang ini. Desa menjadi entitas di mana kehidupan masyarakat bisa damai, tentram dan sejahtera sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat desa bukan konsep pembangunan yang diinginkan oleh negara. Memang pada masa sekarang ini pembangunan bisa dikatakan sangat berperan dalam memberikan pelayanan publik bagi kehidupan masyarakat, namun di sisi lain desa juga harus menjadi aktor yang bisa mengelola dirinya sendiri dan bukan hanya menjadi boneka dari negara. Sehingga upaya yang harus dilakukan adalah to give power and to give abillity, desa harus diberikan kekuatan dan dimampukan sehingga bisa berdaya dan mandiri. Upaya to give power and to give ability diterjemahkan oleh para akademisi, pegiat desa dan mendapat dukungan dari pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Berawal dari berdirinya STPMD “APMD� yang memiliki fokus untuk memuliakan masyarakat desa, lalu banyak akademisi dan aktivis yang juga lambat laun peduli dengan desa. Pengabdian abadi yang dilakukan oleh kampus tercinta kepada desa memang sudah semenjak berdirinya APMD. Desa selalu dibimbing, diberikan arahan, disupport agar lebih berdaya dan dibimbing menjadi desa yang mandiri. Puncaknya adalah saat lahirnya UU

20

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


desa, ada sekitar 3 kali pembahasan terkait masa depan masyarakat desa dilakukan di kampus tercinta. Sehingga bisa dikatakan bahwa APMD adalah salah satu lembaga yang memprakarsai lahirnya UU tersebut. Dan APMD juga menjadi inisiator terkait besaran Dana Desa, di mana Hastowiyono bersama dengan tim mengumpulkan data terkait uang yang masuk ke desa dari beberapa kabupaten sehingga bisa ketemu kira-kira besaran uang tersebut adalah sekitar 1,041 miliar rupiah. Namun perjuangan tidak hanya sampai disitu, dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014, APMD harus tetap selalu mengawal implementasinya agar cita-cita yang diharapkan yaitu desa yang mandiri bisa terwujud. Pengabdian kepada desa akan memerlukan waktu yang panjang, penulis menyadari bahwa tantangan ke depan untuk memperkuat desa memang tidak mudah. Oleh karena itu, perlu ada spirit yang kuat untuk bersama-sama menjadikan tantangan tersebut sebagai motivasi bersama. Arti pengabdian yang abadi adalah proses panjang pengabdian yang dilakukan oleh APMD untuk selalu memperkuat desa ditengah badai kapitalisasi dan negaranisasi. Kebijakan Ke Arah Yang Lebih Baik Proses sebuah kebijakan diawali dari Agenda Setting, Formulasi Kebijakan, Implementasi Kebijakan, Monitoring Kebijakan dan Evaluasi Kebijakan. Dalam setiap proses tersebut terdapat dinamikanya masing-masing, dampak dari dinamika kebijakan tersebut yang nantinya bisa menilai apakah kebijakan publik dapat dikatakan sudah baik atau belum baik. Dalam proses agenda setting dan formulasi kebijakan APMD telah berkontribusi dalam pembuatan Naskah Akademik dan Raperda (Rancangan Peraturan Daerah). Kerjasama dengan Kabupaten Demak tahun 2018, menyusun dan memperbaiki perda tentang pilkades, raperda tentang perangkat desa, tentang aset desa. Bekerjasama dengan Kabupaten Sleman tahun 2019 tentang peraturan perangkat desa dan Peraturan Bupati tentang kewenangan desa. Gunungkidul 55 TAHUN STPMD “APMD�

21


tahun 2019, perda tentang Kapanewon dan Kalurahan. Kabupaten Barito Timur tentang perangkat desa dan susunan organisasi dan tatakerja pemerintah desa. Dalam pembuatan Peraturan Daerah diawali dengan pembuatan naskah akademik dan Raperda, sedangkan peraturan bupati langsung Raperbup dan tidak memerlukan naskah akademik. Pembuatan naskah akademik dan Raperda tentang perangkat desa di Sleman pada tahun 2019 menjadi salah satu langkah APMD dalam upaya transfer pengetahuan pemerintah daerah. Pengabdian APMD yang diketuai oleh R. Widodo Tri Putro sudah menyusun secara lengkap terkait naskah akademik dan Raperda sebagai upaya untuk menerjemahkan apa yang telah tertuang di UU desa terkait dengan perangkat desa. Namun, dalam implementasinya terjadi tarik-menarik kepentingan antara DPRD dan eksekutif sehingga banyak modifikasi terkait Raperda yang sudah disusun. Kondisi tersebut menyebabkan Raperda yang sudah disahkan menjadi perda sulit di implementasikan, sehingga diubah lagi dikarenakan mereka memiliki kepentingan sendiri. Advokasi sebuah kebijakan sudah dijalankan oleh APMD dengan upaya seideal mungkin, namun seringkali para stakeholders memiliki kepentingan sendiri dalam pembuatan sebuah kebijakan. Dalam raperda yang dibuat pemerintah Kabupaten Sleman melakukan intervensi terkait rekrutmen perangkat desa dengan membuat musyawarah pemilihan perangkat desa, seperti diketahui sejatinya rekrutmen perangkat desa adalah kewenangan dari pemerintah desa. Seperti dijelaskan oleh Sahya Anggara (2014), setiap individu memiliki kepentingan yang berbeda-beda dan kepentingan yang berbeda tersebut membuat pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) bersuara dan ikut menitipkan suaranya. Proses tawar-menawar (bargaining) antar aktor pembuat kebijakan dengan menggunakan kebebasan dan kewenangannya, sering disalahgunakan bukan untuk menyinkronkan kepentingan rakyat, melainkan untuk kekuasaan (power). Seringkali perda yang

22

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


sarat dengan kepentingan juga memberikan dampak yang buruk dalam implementasinya, dimana yang terjadi di Sleman atas dalih ketidakpercayaan terhadap desa maka seleksi perangkat desa pernah dipusatkan dikabupaten. Namun dalam pelaksanaannya, soal-soal untuk ujian perangkat desa dibuat oleh kabupaten dan prosedurnya juga terlalu rumit sehingga kesulitan dan banyak masalah. Untuk itu akhirnya perda dirubah lagi dalam rangka memudahkan rekrutmen perangkat desa yang diserahkan kepada desa. Kontribusi APMD sebagai lembaga pendidikan, penelitian dan pengabdian bisa dikatakan cukup besar di beberapa daerah dalam rangka pembuatan perda kabupaten. Proses agenda setting dan formulasi kebijakan merupakan tahapan yang dimana APMD memiliki andil besar, yaitu pembuatan naskah akademik dan Raperda. Dalam pembuatan Raperda harus sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu tidak boleh berseberangan dengan peraturan di atasnya dan harus melihat kondisi di daerah. Kearifan lokal adalah bagian yang penting dalam pembuatan naskah akademik dan Raperda tersebut, karena kearifan lokal harus berpegang terhadap nilai-nilai yang ada di masyarakat sekitar. Seringkali memang karena ada kepentingan-kepentingan oleh para stakeholders Raperda yang telah dibuat oleh tim dari APMD dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan mereka. Namun perda yang baik adalah jika memang terdapat modifikasi karena ada kepentingan dari berbagai pihak namun tidak merubah substansi besarnya. Kabupaten Demak juga melibatkan tim dari APMD dalam rangka pembuatan Raperda tentang pilkades pada tahun 2018. Ada konflik di kabupaten Demak antara desa dengan kabupaten, selanjutnya desa mengadvokasikan kepentingannya ke DPRD sehingga konflik beralih antara DPRD dengan eksekutif. Sumber konflik tersebut adalah terkait dengan masa jabatan kepala desa, yakni di salah satu pasal mengatakan syarat pencalonan kepala 55 TAHUN STPMD “APMD�

23


desa adalah belum pernah menjabat sampai 3 (tiga) kali masa jabatan atau 18 tahun. Sementara UU desa hanya menyebut untuk pencalonan kepala desa, di mana yang akan mencalonkan diri belum pernah menjabat sampai dengan 3 kali masa jabatan. Masa jabatan kepala desa sebelumnya ada yang menjabat selama 10 tahun, 8 tahun dan 6 tahun, hal tersebut yang menyebabkan konflik berlangsung lama. Selanjutnya tim APMD dimintai bantuan untuk menyelesaikan konflik tertait perda pilkades tersebut. Pihak eksekutif dan legislatif kemudian dipertemukan untuk membahas perda tersebut dengan tim APMD selama kurang lebih 2 hari, dan konflik tersebut dapat diselesaikan dengan mencoret 1 ayat, yaitu sesuai dengan UU desa di mana tidak menyebutkan tahun namun hanya 3 kali masa jabatan. Selain masa jabatan yang menjadi sumber konflik, persyaratan calon juga menjadi perdebatan yang panjang. Seseorang yang berasal dari desa lain boleh mencalonkan diri di desa tersebut menyebabkan perdebatan dikarenakan kedekatan dengan masyarakat setempat dipertanyakan. Akhirnya dibuatkan strategi yang tidak menyalahi UU desa yaitu warga luar desa boleh mencalonkan sebagai kepala desa dengan syarat mendapatkan dukungan dari masyarakat sebanyak 150 dukungan atau KTP.5 Pembuatan naskah akademik tentang Kapanewon dan Kalurahan merupakan kerjasama antara APMD dengan Kabupaten Gunungkidul yang mendapatkan banyak pujian dan apresiasi pemerintah DIY. Hal tersebut didasari oleh naskah akademik yang sangat lengkap terutama berlandaskan unsur teoritis, historis, empiris, yuridis, sosiologis dan filosofis. Dibandingkan dengan 3 kabupaten lainnya di DIY yaitu Sleman, Bantul dan Kulonprogo, Gunungkidul mendapatkan apresiasi dan lebih baik Raperdanya dibanding kabupaten yang lain. Dalam pembuatan sebuah kebijakan di tahap pembuatan Raperda memang harus 5

24

Upaya APMD dalam menyelesaikan sengketa perda tentang pilkades di Kabupaten Demak (Problem Solver, R Widodo Tri Putro) MENGABDI DAN MELAYANI DESA


memiliki unsur teoritis yang kuat, teori tentang kelembagaan (institusionalism), contohnya akan menjelaskan terkait dengan hakikat lembaga, asal-muasal lembaga, fungi lembaga dan outcome yang akan didapatkan. Selanjutnya aspek historis, unsur ini akan lebih banyak berbicara terkait sejarah kelembagaan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Sampai dengan unsur filosofis, dimaknai sebagai pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia. APMD juga mendapatkan kesempatan dalam bentuk pengabdian dan kerjasama dengan Pemprov DIY pada tahun 2020 untuk membuat Rapergub, yang kemudian telah disahkan menjadi Peraturan Gubernur tentang Pedoman Pemerintahan Kalurahan.6 Dalam tahap implementasi APMD juga pernah dimintai bantuan untuk sosialisasi tupoksi dari BPD di Sleman, sehingga pemerintah desa mendapatkan pengetahuan yang baru terkait apa saja yang harus kerjakan oleh BPD. Untuk mengubah keadaan mayarakat dan pemerintah desa menjadi lebih baik lagi APMD juga pernah bekerjasama dengan PT Agincourt Resources Martabe Gold Mine di Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 2019. Kerjasama tersebut dalam rangka mengimplementasikan UU desa dengan pembuatan beberapa perbup, yaitu Perbup tentang Kewenangan Desa, Perbup Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa, Perbup tentang Penghasilan Tetap Pemerintah Desa, Perbup tentang Perangkat Desa, dan Perbup tentang BUMDes7. 6

DIY yang memiliki keistimewaan, yaitu kedudukan hukum berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa, sehingga dapat membuat pedoman pemerintahan sesuai dengan kewenangan istimewa (kerjasama pembuatan rapergub dari tim APMD yakni Sutoro Eko Yunanto dan Fatih Gama Abisono Nst).

7

Pengalaman dan pengabdian Hastowiyono bersama tim dari Pusat Pengembangan Kapasitas Aparatur Pemerintah Desa (PPK APD) STPMD “APMD” (Suharyanto dan Muhammad Barori) dalam pengabdian didesa-desa lingkar tambang yang kerjasama dengan PT Agincourt Resources di Kabupaten Tapanuli Selatan. 55 TAHUN STPMD “APMD”

25


Kebijakan Diterjemahkan Secara Teknis Kebijakan Publik dapat dipahami dan dijelaskan dengan pembuatan strata dalam sebuah kebijakan. Di mana ada kebijakan yang besifat umum, bersifat pelaksana, dan operasional. Kebijakan yang bersifat umum adalah kebijakan yang membahas hal-hal umum dan substansial saja, sedangkan kebijakan pelaksana dan operasional adalah kebijakan yang dibuat untuk menjelaskan dan menjabarkan sampai dengan hal yang sangat teknis. Advokasi dilakukan dalam rangka menjadi sebuah check and balances dari sebuah kebijakan di setiap tahapan di dalam sebuah kebijakan. Sebuah kebijakan juga perlu disoroti secara tajam dari bebagai aktor dan lapisan masyarakat agar kebijakan tersebut bisa berjalan sesuai dengan rute yang telah ditetapkan. Dalam rangka mengadvokasi sebuah kebijakan, terdapat pengalaman yang berbeda dari setiap aktor yang terlibat, di mana advokasi tersebut bisa berjalan sesuai dengan harapan ataupun masih jauh dari harapan. Sebagai salah satu upaya untuk menerjemahkan sebuah kebijakan, APMD telah melakukan kerjasama dalam penyusunan RPJMDes dengan Kabupaten Kutai Timur bersama PT Kaltim Prima Coal. Sebelum UU desa dan masih menggunakan UU 32 tahun 2004 dan PP 72 tahun 2005 tentang desa. Pengalaman Muhammad Barori selaku Akademisi dari APMD pada tahun 2011 yaitu menemani dan mendampingi desa di sekitar tambang terkait proses Musyawarah Desa, untuk penyusunan RPJMDes yang bersifat tematik sesuai dengan potensi desa tersebut. Di mana saat ini kemandirian desa diterjemahkan sebagai sebuah upaya desa yang mampu menghasilkan produk unggulan dan dari hasil itu mampu menjamin penghidupan yang berkelanjutan (suistainable livelihood) bagi warganya dalam tata kelola pemerintah desa yang baik dan lokal demokrasi.8 Dalam rangka mengembangkan visi 8

26

Kemandirian desa diterjemahkan sebagai substainable livelihood, pengalaman Muhammad Barori di Kabupaten Kutai Timur bersama tim PPDB (Pusat Pembaharuan Desa Berkelanjutan) yakni Sutoro Eko, Suharyanto, Hastowiyono dan Widyohari Murdianto. MENGABDI DAN MELAYANI DESA


desa ke depan, Musyawarah desa dilakukan dan menjabarkan RPJMDes dengan cara mengidentifikasi terlebih dahulu potensi desa terutama yang berkaitan dengan potensi ekonomi. Upaya mengidentifikasi potensi desa sehingga terbentuk sebuah visi yaitu “Terwujudnya Desa Mandiri Rantau Makmur berbasis Agribisnis�. Program-program yang tertuang di RPJMDes mengupayakan pertanian desa maju dan mandiri, di mana kelompok tani diperkuat, pengunakan kelompok masyarakat yang mengolah bahan pangan, membuat kelompok ternak, dan pembukaan lahan yang masih kosong untuk pertanian. Kemudian, RPJMDes tersebut dipresentasikan di tingkat Kabupaten dengan maksud adanya atensi atau perhatian dengan dinas-dinas terkait. Dengan adanya rancangan RPJMDes tersebut, maka Dinas Pertanian dan Dinas Kehutanan mengetahui terhadap apa yang dibutuhkan masyarakat desa Rantau Makmur dan hal tersebut merupakan aspirasi dari masyarakat sehingga model Buttom Up yang dilakukan bukan model Top Down. Kebijakan yang bersifat Buttom Up adalah kebijakan yang dibuat berdasarkan aspirasi dari masyarakat. Kebijakan tersebut cenderung bisa menjadi cara untuk memecahkan persoalan yang ada di masyarakat, karena masyarakatlah yang mengetahui apa kebutuhannya, apa keinginannya dan apa harapan ke depan terkait kehidupannya. Dengan menggunakan kebijakan Buttom Up artinya semua pihak sudah dilibatkan dari awal proses pembuatan kebijakan sampai dengan implemantasi, sehingga semua pihak diharapkan dengan sungguh-sungguh bekerja sesuai apa yang telah disepakati dan ditetapkan. Berbeda dengan pendekatan Top Down, di mana kebijakan dibuat dari atas sehingga masyarakat terutama di desa hanya diberikan aturan untuk mengimplementasikannya. Sedangkan kondisi dan keadaan di masyarakat sering berbeda dengan kebijakan yang dibuat sehingga masyarakat tidak mendapat dampak yang positif.

55 TAHUN STPMD “APMD�

27


Kerjasama yang dilakukan oleh APMD bersama PT Kaltim Prima Coal di Kabupaten Kutai Timur tersebut merupakan sebuah upaya untuk mengadvokasi kebijakan, namun karena memang dari sisi monitoring kurang maksimal maka gerakan tersebut mengalami pasang surut. Alumni APMD yang berada di lokasi tersebut berkontribusi untuk memonitoring desa-desa tersebut, dalam rangka mengawal dan mendampingi RPJMDes. Alumni tersebut merupakan hasil kerjasama perusahaan tersebut yang disekolahkan dari tahun 2005 sampai tahun 2009 yang tergabung dalam kelompok Gapura. Namun juga tidak selalu monitoring dari sebuah kebijakan bisa berjalan baik, hal tersebut dikarenakan soliditas para stakeholders kurang baik. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana pemerintah desa tersebut bekerja, apakah dari kepala desa sentris atau sekretaris desa sentris, dan ini sangat berkaitan dengan individu masing-masing. Banyak fenomena secara empiris memperlihatkan peran kepala desa yang terlalu kuat sehingga menjadi single player dalam setiap kebijakan yang dibuat pemerintah desa. Dominasi yang terlalu kuat oleh kepala desa nantinya akan menciptakan abuse of power (kekuasaan yang sewenang-wenang) sehingga memprioritaskan kepentingan sendiri dan kelompoknya serta cenderung merugikan masyarakat desa. Salah satu upaya untuk mencegah praktik dominasi kekuasaan adalah filsafat Jawa yaitu “ngono yo ngono ning ojo ngono� (boleh saja berperilaku sesuai dengan kehendakmu namun jangan sampai merugikan orang lain). Kekuasaan kepala desa perlu didampingi oleh BPD dan lembaga kemasyarakatan sebagai upaya check and balances. Hal tersebut dilakukan untuk mendampingi pemerintah desa, khususnya kepala desa untuk bertindak dan berperilaku sesuai dengan norma, nilai, dan budaya yang berlaku. Dalam menjelaskan sebuah kebijakan umum, maka kebijakan yang bersifat umum tersebut harus dijelaskan sampai dengan ke unsur yang paling teknis. APMD yang dalam hal ini merupakan pengalaman dan pengabdian dari Hastowiyono pernah beberapa

28

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


kali membantu dan memberikan transfer pengetahuan ke beberapa daerah seperti kabupaten Sleman, Magelang dan Bantul. Sebelum adanya UU Desa, sistem perencanaan pembangunan nasional yang ada di UU No 5 Tahun 2005 hanya menjelaskan perencanaan pembangunan sampai ketingkat kabupaten dan tidak sampai ke tingkat desa. Pengalaman bermula mengenai sikap terkait PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri yang menjadi program Nasional dan APMD tidak sepakat denga adanya PNPM. Hal tersebut karena PNPM mandiri dianggap tidak efektif yaitu lebih banyak melemahkan desa dari pada memperkuat desa. Desa dipecah-pecah, seperti ada sekat antara masyarakat dengan pemerintah desa, dan program ini banyak tertuju ke masyarakat tanpa pemerintah desa. PNPM yang bersifat ad hoc di mana suatu saat nanti berakhir dan hanya akan menjalankan tugas jika ada program serta tidak ada pemikiran exit strategi sehingga PNPM dianggap banyak memiliki kelemahan. Di akhir program terjadi banyak kericuhan terutama sisa dari program PNPM terutama berupa infrastruktur maupun finansial yang dikelola oleh Unit Pengelola Kegiatan. Namun atas prakarsa PNPM, APMD juga sering bekerjasama untuk membahas RPJMDes dengan harapan pembangunan di desa menjadi lebih baik lagi. Setelah hadir UU Nomor 6 tentang Desa Tahun 2014, STPMD “APMD� Yogyakarta sebagai lembaga yang memprakarsai lahirnya UU tersebut terlibat banyak dalam menjabarkannya ke beberapa daerah. Pengalaman menarik juga pernah dilakukan di kabupaten Pegunungan Bintang, yang difasilitas oleh alumni APMD yang memiliki lembaga yang concern tentang desa yaitu Syarief Aryfaid pada tahun 2016. Dalam pembuatan sebuah kebijakan harus mempertimbangkan unsur sosiologis. Hal tersebut adalah bekal utama bagi para sivitas akademika untuk mengetahui keadaan sosial di masyarakat. Kejadian yang menarik salah satunya yaitu ada peserta yang kurang lancar dalam penggunaan bahasa Indonesia sehingga dalam berkomunikasi sering terkendala. 55 TAHUN STPMD “APMD�

29


Memang bahasa Indonesia adalah bahasa yang wajib digunakan untuk semua warga Indonesia, namun bahasa tersebut adalah bahasa kedua setelah bahasa Ibu sehingga seringkali memang di daerah tertentu bahasa Indonesia masih kurang familiar untuk digunakan. Kemudian kehadiran Tim APMD di Pegunungan Bintang dicurigai, “orang Jawa� dianggap datang ke daerah Papua hanya mau mencari kejelekan Papua saja. Setelah meminta bantuan kepada Kepala Kampung untuk menjelaskan kedatangan tim dari APMD, maka kegiatan di kabupaten Pegunungan Bintang berjalan lancar dalam rangka memberikan transfer pengetahuan terkait pembuatan RPJMdes. Cita-Cita Dan Harapan (Lesson Learn) Sebuah kebijakan dapat diartikan sebagai sebuah bangunan utuh, di mana terdapat fondasi, atap, dinding, pintu, jendela dan bagian lain dari bangunan. Sebuah sistem selalu terhubung satu sama lain, sehingga setiap fungsi dari bagian-bagiannya harus bisa dijalankan sebagai upaya untuk membuat cita-cita dan harapan bisa terwujud. Kapal besar harus dipimpin oleh seseorang yang memiliki kompetensi hebat sebagai nahkodanya. Seseorang pemimpin harus mampu memberikan arah tujuan, mampu menurunkan jangkar dan tahu kapan waktunya dalam mengibarkan layar. Cita-cita harus dipandang sebagai bintang-bintang di angkasa yang tidak berubah dengan keadaan dan jangan tergoda dengan adanya lampu lalu-lalang yang bisa mengaburkan sebuah cita-cita besar (Aburizal Bakrie, pidato Munas Golkar tahun 2016). Pada prinsipnya sebuah kebijakan yang dibuat adalah untuk memberikan kebaikan kepada pemerintah desa dan masyarakat desa. Dari UU tentang desa, peraturan menteri, perda provinsi, perda kabupaten dan perdes dibuat untuk menjadikan desa mandiri. Mandiri dalam politik, mandiri dalam ekonomi dan mandiri dalam kebudayaan. Gemah ripah loh jinawi adalah salah satu slogan yang sering digaungkan untuk melihat kekayaan yang melimpah ruah di

30

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Indonesia, di mana tanahnya subur, masyarakatnya tentram dan kehidupan yang bahagia. Seperti halnya pandangan terkait adanya politik oleh Plato dan Aristoteles yaitu untuk menciptakan kebaikan bersama. Potensi sumberdaya alam yang melimpah di berbagai desa di Indonesia seharusnya mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Potensi pertanian, perikanan dan kelautan, tambang dan industri lokal harus bisa dikembangkan dengan baik. Untuk itu perlu adanya sebuah regulasi yang dibuat oleh pemerintah untuk memperkuat msayarakat desa. Tetapi tidak hanya regulasi yang dibuat saja, namun harus sampai tingkat pengawalan yang ketat agar regulasi tersebut tidak lari dari substansi awalnya pada saat diimplementasikan. Ngeli ning ojo keli, setelah adanya UU desa yang menguatkan desa, ditambah dengan adanya Dana Desa dan Dana perimbangan dari daerah maka pemerintah desa jangan sampai terlena. Pembangunan infrastruktur yang dikebut dari dana tersebut namun justru melupakan tugas utamanya yaitu memberikan kesejahteraan dan kemandirian pada rakyatnya. Jika sudah berhubungan dengan uang, banyak fenomena (menilep uang dalam saku) sehingga banyak kepala desa yang ditangkap karena menyelewengkan kekuasaan. Administrasi yang belibet membuat desa menjadi seperti macam dalam kandang, disisi lain memiliki kekuatan dan garang tetapi disisi lainnya lagi mereka tidak bebas dalam mengembangkan dirinya sendiri. Maraknya wisata di desa yang dijadikan prioritas dalam pembuatan BUMDES menjadikan desa hanyut dalam ruang lingkup ekonomi. Tetapi desa lupa bahwa masyarakat kesusahan untuk menjual hasil buminya, dan seringkali dihargai dengan tidak layak. Untuk itu pemerintah desa harus bisa hadir dalam rangka memberikan protecting kepada masyarakatnya. Tata titi tentrem kertaraharjo, dalam kehidupan bernegara dan berdesa maka harus dibuatkan sebuah aturan yang jelas untuk menata masyarakatnya. Hal tersebut untuk membuat kehidupan 55 TAHUN STPMD “APMD�

31


di desa menjadi lebih harmonis dan mengurangi konflik antar anggota masyarakat. Adanya beberapa konflik di desa sebagai contoh perebutan lahan, adalah dampak dari unsur tata tidak dijalankan dengan baik dan tegak. Selain itu konsep titi diartikan sebagai upaya untuk membuat tatanan berjalan dengan baik dalam melakukan segala sesuatunya dengan teliti. Untuk menjalankan tatanan kehidupan dengan baik perlu adanya punishment bagi anggota masyarakat agar tidak merusak tatanan tersebut. Punishment dalam hal ini juga diberikan oleh pemerintah desa kepada para tengkulak yang memainkan harga pertanian, dimana perlu ada regulasi yang jelas agar para tengkulak tidak seenaknya sendiri dan regulasi tersebut dibuat dalam rangka memutus rantai distribusi yang terlampau panjang. Tentrem yaitu suatu kondisi kedamaian dan ketentraman dimana unsur tata dan titi sudah terpenuhi. Dan kertaraharja adalah kehidupan masyarakat yang damai, seseorang bekerja tidak hanya ingin mendapatkan keuntungan material semata tatapi keraharjan atau kemakmuran secara lahir batin. Daftar Pustaka Anderson, James E. dan Davis W. Brady et. all. (1984), Public Policy and politics in America, Monterey. California: Brooks/Cole Publishing Company. Anggara, Sahya (2014), Kebijakan Publik, Bandung: Pustaka Setia. Dye, Thomas R. (1972), Understanding Public Policy. Englewood Cliffs, N.J: Printice Hall, Inc. Eko, Sutoro et, all (2005), Manifesto Pembaharuan Desa, Yogyakarta: APMD Press.

32

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 3 MENJELAJAHI DESA MENGANGKAT KHAZANAH LOKAL9 Oleh: Irsasri10

Desa kian menarik untuk dibicarakan tidak melulu tentang kebijakan lokal serta dana desanya saja. Khazanah lokal yang terkandung di dalamnya dan perkembangan masyarakat patut pula diperhatikan. Ada banyak potensi-potensi desa di Indonesia menarik untuk ditelusuri. Menjelajahi desa untuk menggali, menyibak, dan mengangkat segala hal yang terkandung dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dalam konteks khazanah lokal tentu memiliki upaya dan makna tersendiri. Desa memang memiliki tempat istimewa dalam ruang kehidupan berbangsa dan bernegara. Desa harus mampu mengidentifikasi potensi dan kearifan lokal guna mewujudkan kemandirian di tengah gempuran modernisasi dan teknologi yang berkembang sangat pesat. Potensi maupun kearifan lokal mulai dari ekonomi, sosial, hingga budaya haruslah dikembangkan dengan kemauan dan usaha yang sungguh-sungguh. Menjelajah desa untuk mengangkat khazanah lokal betul-betul mendukung upaya dalam membangun potensi khususnya menghadapi tantangan perubahan. 9

Tulisan ini diolah berdasarkan wawancara dan kajian dari narasumber: Drs. Nikson Nababan, M.Si. (Bupati Tapanuli Utara), Yakobus Dumupa, S.IP. (Bupati Dogiyai), Dr. Yuli Setyawati, M.Si., Habib Muhsin, S.Sos., M.Si., Fadjarini Sulistyowati, S.IP., M.Si., (Dosen Prodi Ilmu Komunikasi), Bahrul Ulum (kontributor tulisan) & Tony Tokan (Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi)

10

Staf Pengajar Prodi Ilmu Komunikasi, 55 TAHUN STPMD “APMD�

33


Pengarusutamaan Desa dan Perkembangan Teknologi Informasi Njajah desa milang kori, ungkapan peribahasa dalam bahasa Jawa yang bermakna melakukan perjalanan ke berbagai wilayah (desa) untuk mengenal, menggali, menyelami, dan memahami kehidupan penduduk di suatu wilayah. Peribahasa ini salah satu nuansa khazanah lokal yang diresapi masyarakat desa khususnya di Jawa. Khazanah lokal lain yang bermakna tidak jauh berbeda dari Njajah desa milang kori, yaitu istilah Blusukan. Dalam bahasa kekinian, terma blusukan sering menjadi tagline para pejabat maupun dalam kontestasi politik di Indonesia yang sangat akrab di telinga kita. Njajah desa milang kori maupun blusukan merupakan sebuah spirit kearifan lokal yang sering kali dipakai untuk menggali potensi yang ada guna kepentingan pemberdayaan desa. STPMD “APMD” Yogyakarta pun sejak dulu menanamkan prinsip ini bagi segenap sivitas akademika maupun dalam konteks syiar khalayak. Njajah desa milang kori memiliki spirit “berangkat dengan manfaat, membaur/bersama menambah manfaat, kembali pulang membawa manfaat”. Semangat semacam itu pulalah yang dipegang teguh oleh mahasiswa maupun dosen selama melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Para alumni STPMD “APMD” Yogyakarta pun tak mau kalah, alumni yang berkiprah di level eksekutif maupun legislatif tersebar di seluruh Indonesia saling berlomba memberikan sumbangsih nyata bagi masyarakat yang dipimpinnya terutama dalam memberdayakan dan mengangkat potensi-potensi lokal. Banyak prestasi yang telah ditorehkan melalui kegiatan jelajah desa untuk mengangkat khazanah lokal ini. Tentu hal ini merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi keluarga besar STPMD”APMD” Yogyakarta. STPMD ”APMD” Yogyakarta secara periodik dengan daya dukung yang mumpuni banyak melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Secara terstrukur dan sistematis, kegiatan ini memiliki manfaat yang sangat lengkap. Semangat yang dicanangkan yaitu “Desa Membangun Indonesia” tentu

34

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


bukanlah sebuah jargon semata. Upaya nyata terus dilakukan untuk mewujudkan semangat memuliakan desa. Kegiatan pengabdian pada masyarakat yang bernapaskan njajah desa milang kori menyajikan banyak temuan berupa keunikan yang merupakan kekayaan khazanah lokal. Desa menjadi pusat orientasi pemikiran dan permenungan demi mewujudkan semangat memuliakan desa tersebut. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dikenal bertaburan desa yang bernapaskan desa wisata maupun desa budaya. Hal ini merupakan kredit tersendiri mengingat DIY biasa disebut Indonesia mini. Berbagai latar belakang suku, agama, dan budaya dari para pendatang bahkan pengaruh teknologi informasi tentu memberikan tantangan tersendiri bagi eksistensi desa dalam menunjukkan dan mempertahankan kelokalannya. Tidak kurang puluhan bahkan lebih desa maupun kampung yang tersebar di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunungkidul, dan Kabupaten Kulon Progo memiliki potensi lokal yang variatif. Aspek adat, tradisi sosial kemasyarakatan, budaya, ekonomi, pariwisata, hasil kerajinan, dan lain sebagainya merupakan kekayaan yang murni dimiliki desa. Tentu tidak hanya di wilayah DIY saja, desa yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia mempunyai khazanah lokal yang beragam pula. Desa sedari dulu mudah dikenali dari ciri masyarakatnya antara lain: (1) Antar warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam, (2) sistem kehidupannya berkelompok dengan dasar sistem kekeluargaan, (3) sebagian besar masyarakat pedesaan hidup bertani, (4) Masyarakat pedesaan bersifat homogen baik dalam hal agama, mata pencaharian, adat kebiasaan dan atau kebudayaan. Masyarakat awam pun dahulu memandang klasifikasi antara desa kota tak hanya ada pada kemajuan pembangunannya saja, tapi juga ada pada gaya hidup masyarakatnya yang sangat mudah dikenali. Pengkotak-kotakan semacam itu hari ini sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang mutlak untuk membedakan antara desa 55 TAHUN STPMD “APMD�

35


dan kota. Sebab masyarakat desa kini mampu menyamakan diri dengan kota dalam hal perkembangan gaya hidup. Misalnya saja konsumsi teknologi informasi berupa ponsel pintar, kini pengguna ponsel pintar tidak hanya terbatas pada masyarakat perkotaan saja, melainkan masyarakat desa juga kini ikut menggunakan ponsel pintar terkait kebutuhan informasi dan sarana komunikasi yang kini menjadi kebutuhan pokok. Begitupun sebaliknya, banyak juga warga kota yang masih kental menjunjung norma-norma sosial dan tidak bersikap individualis di tengah-tengah manisnya kehidupan perkotaan. Sejalan dengan makin majunya teknologi yang memudahkan antar individu untuk saling berkomunikasi jarak dekat. Melihat lagi ciri khas masyarakat pedesaan dari segi relasi dan komunikasi tentu sangat bertolak belakang dibandingkan dengan pola komunikasi bermedium teknologi saat ini. Di Yogyakarta khususnya masih banyak perkampungan di wilayah kota yang eksis menerapkan kearifan lokal relasi secara langsung tanpa sekat, berbincang langsung tanpa perantara ponsel pintar, interaksi yang luwes dan dinamis serta semangat hidup gotong-royong dan sebagainya. Keunikan-keunikan yang ada di desa menarik untuk diangkat, batas-batas yang ditembus oleh masyarakat desa dan kota kini bisa disebut sebagai penyulut terjadinya sebuah perubahan. Dorongan-dorongan dari masyarakat sendirilah yang lebih ampuh untuk membuat suatu wilayah menjadi berkembang dan maju. Kemajuan ini bisa dimulai dari adanya pembaharuan teknologi yang masuk ke wilayah atau justru kesadaran yang timbul karena ketidaknyamanan masyarakat terhadap kondisi yang mereka alami. Pembaruan teknologi yang masuk bisa berupa teknologi pertanian, industri, pangan, hingga teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi informasi dan komunikasi merupakan suatu bagian penting dalam hidup hari ini, ia tidak lagi menjadi sebuah barang mewah melainkan sudah bergeser menjadi kebutuhan pokok.

36

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Bahkan hari ini, di beberapa daerah. Kita tidak lagi melihat adanya sekat dalam penyebaran teknologi informasi dan komunikasi. Hampir semua masyarakat sudah menjadi pengguna teknologi informasi dan komunikasi modern khususnya ponsel pintar. Ketiadaan sekat ini bisa kita rasakan contohnya di Desa Trimulyo, Kretek, Bantul dan Gilangharjo, Pandak, Bantul. Penggunaan ponsel pintar, sama halnya media informasi lain. Gawai ini tentu memiliki banyak sekali fungsi, mula dari hiburan, pendidikan, hingga komersil. Namun, kurangnya literasi dalam penggunaan ponsel pintar khususnya literasi dalam mengakses media sosial sangat kurang. Sebagai penggambaran, sepuluh orang remaja di Desa Trimulyo yang sudah mengakses media sosial masih belum memanfaatkannya secara maksimal. Penyelenggaraan sosialisasi mengenai literasi media sosial di kedua desa tersebut oleh STPMD “APMD� Yogyakarta yang digawangi oleh Habib Muhsin, Fadjarini, dan Yuli Setyowati dalam rangka kegiatan pengabdian pada masyarakat mendapat sambutan yang baik dari warga desa. Ada beberapa fakta menarik

Gambar 1. Sosialisasi Literasi Media 55 TAHUN STPMD “APMD�

37


mengenai penggunaan media sosial di Desa Trimulyo. Di sana ditemukan bahwa para remaja hanya menggunakan media sosial sebatas untuk media hiburan saja, tanpa memperhatikan fungsi informasi maupun komersial. Lain halnya dengan masyarakat Desa Gilangharjo, yang dalam hal ini berfokus pada ibu-ibu PKK. Saat digali informasi mengenai penggunaan media sosial, ibu-ibu Desa Gilangharjo cenderung menggunakan media sosial sebagai ladang informasi. Mereka “memanen� informasi yang ada di sana serta “menabur� kembali informasi-informasi yang mereka ketahui. Meski demikian masyarakat di tingkat desa, dalam hal ini baik Desa Trimulyo maupun Gilangharjo masih sangat kurang untuk pengetahuan dan literasi terhadap media sosial. Media sosial yang kini sudah ada dalam genggaman tangan kita, dalam ponsel pintar kita menjelma sebagai pedang bermata dua. Satu sisi bersifat positif dan sisi lain bersifat negatif. Sayangnya, resiko-resiko semacam ini kurang diketahui oleh masyarakat desa Trimulyo maupun Gilangharjo. Saat ditanya tentang apakah mereka mengetahui tentang adanya UU ITE, mereka menjawab tahu dan pernah dengar, namun tidak begitu paham perihal isinya apa saja, baik batasan-batasan dalam penggunaan media sosial maupun sanksi yang bakal mereka dapat jika melanggar aturanaturan yang ada. Tentu saja ini harusnya menjadi keprihatinan kita semua, mengingat literasi media sosial tidak hanya untuk masyarakat kota saja, melainkan untuk semua kalangan masyarakat tanpa menimbang zonasi wilayah. Resistensi kultur sosial kemasyarakatan desa khususnya di DIY masih sangat kuat. Meskipun pengaruh teknologi sudah secara nyata masuk di setiap lini kehidupan masyarakat desa namun tidak mengurangi rasa budaya dan adat istiadat khususnya dalam tatanan pola komunikasi desa. Dapat ditemui di berbagai desa kegiatan seperti keberadaan kentongan yang masih eksis sebagai media komunikasi warga. Tradisi rembug atau musyawarah

38

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


warga atau kampung sebagai salah satu forum komunikasi yang sebenarnya pada era teknologi saat ini sudah fasih ditemui dan digunakan media pertemuan menggunakan internet secara live streaming dengan aplikasi whatsapp video call grup, zoom meeting, dan lain sebagainya. Melihat fenomena temuan dari salah satu kegiatan pengabdian tersebut, kita melihat kembali bagaimana eksistensi diri identitas desa tetap dipertahankan dengan tidak menutup mata dari hadirnya teknologi informasi yang berkembang saat ini. Terjadi banyak perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat desa dengan adanya pengaruh teknologi informasi. Perubahanperubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, normanorma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya. Perubahan itu terjadi sebagai akibat karena masyarakat mengalami proses perubahan dalam bermasyarakat (Soekanto 2001, 259). Maka tak pelak, khazanah lokal berupa forum-forum musyawarah warga desa atau pun rembug desa dalam balutan tradisi adat dan budaya lokal tetap terus dijaga dan dilestarikan sampai saat ini dan tidak menutup mata dengan hadirnya teknologi informasi. Layaknya teknologi yang lain di mana harus ada pengetahuan tentang cara dan batasan-batasan dalam pemakaian, teknologi informasi dan komunikasi yang masuk ke suatu wilayah tentu harus dibarengi dengan literasi yang sepadan, agar tidak terjadi penyalahgunaan dan tidak bijaknya penggunaan teknologi tersebut. Penggunaan teknologi yang tepat tentunya mampu membuat sebuah perubahan yang signifikan dalam diri masyarakat, baik pada masing-masing individu maupun skala wilayah. Arus informasi yang dikelola secara baik oleh masyarakat dapat berperan besar dalam pemberdayaan wilayah. Perjalanan STPMD “APMD� Yogyakarta tidak hanya sebatas mengkaji 55 TAHUN STPMD “APMD�

39


kualitas sebuah kebijakan, keputusan, dan pengembangan skills pemerintah desa saja. Membenahi kualitas komunikasi serta meningkatkan literasi masyarakat dalam bermedia merupakan salah satu langkah yang menjadikan STPMD“APMD” berbeda dari lembaga lainnya dalam bidang pemberdayaan. Pemberdayaan dalam suatu wilayah tidak hanya terjadi melalui pihak eksternal saja, pemberdayaan masyarakat tentu saja harus dimulai dari dalam diri masyarakat bersangkutan. Karena sebanyak apapun stimulus maupun program yang ditawarkan oleh pihak eksternal, jika tidak dibarengi dengan spirit masyarakat untuk berubah ke arah yang lebih baik, tentu saja langkah pemberdayaan ini akan menjadi siasia. Seperti yang terjadi pada masyarakat Kampung Preman. Warga kota Yogyakarta tentu tidak asing dengan nama Kampung Preman atau yang sekarang ini disebut dengan Kampung Badran. Badran sendiri bukanlah sebuah desa secara administratif, melainkan kumpulan rukun warga (RW) yang membentuk sebuah kampung. Tentu saja akan muncul di benak kita bayang-bayang

Gambar 2. Pemuda kampung “preman” Badran

40

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


ngeri jika mendengar kata Kampung Preman, mulai dari warganya yang memiliki tato-tato sangar atau bayangan bahwa jika sekali saja masuk ke sana tidak ada jaminan kalau kita akan pulang dengan selamat. Label negatif yang didapat Badran yang berupa nama Kampung Preman dikarenakan memang dahulu setidaknya terdapat 30% warga yang berprofesi sebagai preman. Bahkan, konon Badran merupakan kampung “menangan” yaitu kampung yang selalu menjadi juara bertahan dalam tawuran antar warga. Citra menyeramkan inilah yang menjadikan Badran sebagai “kampung hitam” dalam masyarakat Yogyakarta. Pengalaman dua tahun melakukan penelitian di Badran merupakan waktu yang tidak sebentar bagi Yuli Setyowati untuk mengenal Badran dan menguak apa sebenarnya yang membuat Badran mampu berubah secara cepat dari yang awalnya menjadi “Kampung Hitam” hingga kini yang menjadi sebuah kampung yang begitu inspiratif. Pasalnya, mengubah citra preman yang sudah melekat di masyarakat merupakan hal yang cukup sulit di lakukan. Layaknya seorang penjahat yang ingin menebus segala dosa-dosa masa lalu mereka kepada masyarakat. Namun ajaibnya perubahan itu benar-benar terjadi di Kampung Badran. Masyarakat Kampung Badran memulai langkah perubahan mereka dengan menanamkan budaya malu pada seluruh warganya. Malu jika kepala keluarga tidak memiliki pekerjaan, malu berhutang kepada rentenir hingga terlilit hutang yang tidak berkesudahan, hingga malu jika anak-anak mereka tidak mengenyam pendidikan yang layak. Budaya malu yang dibangun di Kampung Badran dimulai dan digerakkan oleh para kader yang terdiri dari para perempuan di Badran. Berangkat dari keinginan kuat bahwa mereka bisa berubah dan keluar dari citra buruk sebagai Kampung Preman. Para pegiat atau para kader tidak segan-segan untuk mengingatkan dan serta memberi semangat untuk bangkit dan percaya bahwa mereka bisa berubah pada setiap kesempatan dan forum warga. Pesan-pesan yang diberikan secara 55 TAHUN STPMD “APMD”

41


terus menerus ini sukses membentuk kesadaran akan budaya malu tersebut. Para kepala keluarga yang dulunya betah menjadi preman dan tidak memiliki pekerjaan kini berubah dan memiliki pekerjaan, bahkan beberapa dari mereka sudah menikmati masa tuanya. Percepatan perubahan ini juga didukung oleh adanya CSR dari PT. Sari Husada yang berlangsung kurang lebih selama 10 tahun, melalui program Rumah Srikandi melakukan pendampinganpendampingan yang diberikan kepada para perempuan di Kampung Badran dan sekitarnya. Selain itu, adanya dinamika masyarakat internal yang menginisiasi perubahan di masyarakat. Dinamika masyarakat internal ini lahir karena adanya model kepemimpinan partisipatif dari para tokoh masyarakat yang ada. Mereka membuktikan bahwa sosok pemimpin bukan hanya menjadi seseorang yang memimpin rapat lalu mengurus surat menyurat. Namun mereka betul-betul mengoordinasikan kegiatan dan ikut serta dalam pelaksanaan kegiatan berjalan. Dengan

Gambar 3. Pendampingan perempuan Badran

42

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


demikian Badran mampu mematahkan pandangan umum yang menyatakan bahwa masyarakat kota merupakan masyarakat yang individualis. Badran sebagai masyarakat yang berada di wilayah kota justru merupakan model masyarakat yang sangat guyub dan komunikatif layaknya masyarakat di wilayah desa pada umumnya. Keunikan semacam ini tentu jarang dapat ditemukan di desa-kota di daerah lain. “Tidak ada masyarakat yang tidak bisa berubah.” Kira-kira begitu kalimat yang bisa kita ambil sebagai pembelajaran dari apa yang telah dilakukan oleh masyarakat Badran. Seburuk apapun masyarakat, mereka akan mampu berubah menjadi lebih baik jika ada dorongan dari dalam diri masyarakat itu sendiri. Badran memiliki spirit yang unik dalam melakukan perubahan selain adanya budaya malu, yaitu semangat belajar atau mengetahui halhal baru yang nantinya bakal membawa perubahan positif dalam masyarakat. Masyarakat Badran merupakan masyarakat yang tidak pernah menolak jika ada kegiatan yang bersifat inovatif yang ditawarkan kepada mereka. Tentunya hal ini akan menjadi lebih efektif jika didukung secara maksimal oleh dorongan eksternal dari pihak-pihak luar seperti pemerintah maupun pihak swasta. Pemicu-pemicu gerakan masyarakat yang inovatif dan bisa dikatakan ekstrim tidak hanya bisa kita temukan di kampung Badran saja. Beralih ke Pulau Belitung misalnya, di Desa Balok, Kecamatan Dendang bisa kita lihat hasil-hasil nyata dari kontribusi pihak eksternal yang menjadi pemantik semangat warga dalam pemberdayaan masyarakat. Spirit pemberdayaan STPMD “APMD” Yogyakarta yang memang sedari dulu menjunjung tinggi prinsip “dari, oleh dan untuk masyarakat” tentunya selaras dengan hal tersebut. Masyarakat Desa Balok mengembangkan potensi wisata Sungai Balok menjadi objek wisata Keretak Nibong. Pembangunan objek wisata ini diawali oleh program kerja Mahasiswa asal Pulau Belitung yang mengajak warga setempat untuk mengembangkan potensi-potensi wisata yang ada di Desa Balok. Beberapa mahasiswa 55 TAHUN STPMD “APMD”

43


yang merupakan perwakilan STPMD “APMD� Yogyakarta ikut serta dalam gerakan tersebut. Keinginan yang besar dari masyarakat ditambah inisiasi dari mahasiswa membawa perkembangan yang nampak jelas, Sungai Balok yang dulunya hanya sebagai dermaga nelayan untuk melaut, kini sudah menjadi objek wisata yang ramai dikunjungi oleh wisatawan lokal, domestik maupun mancanegara. Hakikat sifat masyarakat pedesaan memang banyak bergotong-royong dan tolong menolong, suka bekerja dan memiliki nilai tinggi terhadap kegiatan bekerja, maka tidak perlu adanya motivasi untuk menambah semangat kegiatan bekerja bagi masyarakat pedesaan. Namun inisiatif dan inspirasi eksternal sangat dibutuhkan karena pandangan dari pihak luar desa mampu mengembangkan potensipotensi yang ada di desa tersebut. Desa Balok sendiri jika dilihat dari letak wilayah, termasuk dalam Desa terluar di Belitung Timur, wilayahnya pun masih didominasi hutan dan perkebunan. Namun, seperti yang sudah disampaikan di awal, sekat antara desa dan kota tidak bisa dilihat melalui perkembangan teknologi, sosial budaya, perekonomian maupun gaya hidup.

Gambar 4. Tradisi lokal nirok nanggok (menombak ikan)

44

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Meski lokasi yang nampak jelas bahwa Desa Balok merupakan wilayah pedesaan bukaannya kota, namun kemajuan pengetahuan warga yang mumpuni patut diapresiasi. Sebab dalam mengembangkan objek wisata Keretak Nibong, masyarakat Desa Balok menggunakan refrensi wisata mangrove di luar daerah dengan mengakses media sosial Instagram. Kemampuan akses ini bukan semata-mata bergantung pada kemampuan berpikir masyarakat saja, karena jika mengagumi warga desa yang mampu mengakses internet hanya berdasarkan kecerdasan warga, ini agaknya terlalu mengerdilkan masyarakat desa. Namun, kemampuan dalam mengakses internet hingga media sosial ini bermaksud pada fasilitas jaringan internet yang sudah menjangkau wilayah tersebut. Jangan jarak yang cukup jauh, sekitar 80 km dari pusat kota, Desa Balok terbukti tidak menjadi daerah terisolir dengan masuknya akses internet. Dengan demikian, khazanah lokal yang berupa gotong-royong warga dengan membuka diri dan sadar tentang pentingnya mengangkat potensi wisata lokal menjadi kekuatan yang luar biasa dalam menjaga desa tetap berdiri tegak.

Gambar 5. Tradisi adat Maras Taun Desa Balok 55 TAHUN STPMD “APMD�

45


Khazanah Lokal Yang Mengglobal Semangat jelajah desa berlanjut ke kawasan pulau Sumatra bagian utara. Salah satu alumni STPMD �APMD� Yogyakarta yang berprestasi dan memiliki kiprah luar biasa sebagai kepala daerah yaitu Nikson Nababan. Sebagai bupati Tapanuli Utara tentu memiliki pengalaman tersendiri dalam memimpin daerah yang banyak memiliki potensi-potensi yang beragam. Tapanuli Utara dikenal karena keindahan alam, budaya, dan potensi agraris yang terus berkembang. Pakaian adat Ulos, wisata danau Toba, dan potensi agrarisnya yang sangat kuat menjadi ciri khas khazanah lokal yang dimiliki kabupaten Tapanuli Utara. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa pakaian adat Ulos merupakan jenis pakaian adat yang digunakan dalam kegiatan khusus adat saja namun saat ini dengan upaya pemberdayaan dan mengangkat potensi lokal, kain Ulos saat ini sudah menembus ke mancanegara dibuktikan dengan adanya fashion show menampilkan busana berupa jas, jaket, kemeja yang berbahan dasar kain Ulos. Semangat membangun Tapanuli Utara dari desa menjadikan sebuah inspirasi tersendiri bagi Nikson Nababan. Sebagaimana

Gambar 6. Nikson Nababan blusukan ke lahan pertanian Sumber : Facebook Nikson Nababan

46

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


desa berperan, inspirasi desa kuat maka Indonesia juga kuat merasuki prinsip kerja bupati untuk mewujudkannya. Sebagai bupati yang sangat memahami rakyatnya, Nikson Nababan berupaya melalui program-program kerjanya menjadikan Tapanuli utara lumbung pangan, lumbung sumber daya manusia yang berkualitas, dan tujuan wisata. Guna mewujudkan impian yang mulia tersebut, Nikson Nababan memulai dengan langkah menjelajah desa-desa yang masih terisolir. Dengan mengupayakan akses baik sarana prasarana infrastruktur jalan, jembatan, listrik, teknologi komunikasi, dan transportasi maka diharapkan hasilhasil pertanian yang memang menjadi sumber potensi agraris lokal bisa sampai ke kota. Selama ini ada hal menarik dari tradisi masyarakat setempat ketika akan menjual hasil pertaniannya selalu menggunakan transportasi kuda karena belum tersedianya infrastruktur jalan dan terisolir. Selain menyediakan alat-alat berat untuk membangun infrastruktur jalan, Nikson Nababan juga memberikan pelatihanpelatihan bagi masyarakat desa-desa yang masih terisolir dengan membekali mereka keterampilan berwirausaha. Mengingat

Gambar 7. Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan Sumber : Facebook Nikson Nababan 55 TAHUN STPMD “APMD�

47


banyak sekali sumber daya alam dan potensi-potensi lain yang ada di setiap desa tersebut akan sangat sayang sekali apabila tidak dimaksimalkan. Melalui upaya akses teknologi informasi, mulailah internet terhubung ke daerah-daerah tersebut. Akses internet yang sudah masuk berarti arus informasi di sana juga ikut sebanding dengan arus informasi yang ada di kota. Karena beberapa daerah hingga hari ini masih kita temui belum mendapat akses internet sehingga arus informasi tidak bisa mereka dapatkan. Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan yang mewarisi spirit berdesa dari STPMD “APMD� Yogyakarta terus menerus berikhtiar untuk membuka jalur agar desa tersebut mudah diakses. Kesulitan fasilitas internet masuk ke sana juga disebabkan karena sulitnya jalan masuk ke desa tersebut. Karenanya Nikson Nababan memulai langkahnya dengan cara membuka jalur agak siapapun mudah untuk mengunjungi desa tersebut. Nikson Nababan semenjak menjabat menjadi bupati Tapanuli Utara sudah menjelajahi desa-desa pelosok di Tapanuli Utara serta menggali potensi-potensi luar biasa dari desa-desa tersebut. Tindakan yang dirasa tepat ini berlandaskan pada visinya secara pribadi yang ingin membangun daerah dari desa (bottom-up) bukan menerapkan sistem menetes dari atas (top-down). Membangun desa tentu saja harus dibarengi dengan mengangkat potensi-potensi lokal yang ada di desa tersebut, baik itu sumber daya alam, budaya maupun sumber daya manusia yang unggul. Falsafah njajah desa milang kori atau menelusuri potensi desa satu persatu seperti ini tentu sangat penting, mengingat garda terdepan pembangunan sebuah daerah dan negara adalah desa. Membangkitkan potensi-potensi lokal yang ada guna meningkatkan mutu masyarakatnya bakal menjadi jalan pemberdayaan yang amat berarti. Khazanah lokal desa-desa di Indonesia tentu tidak mungkin seragam, mengingat kekayaan ragam budaya, masyarakat hingga kondisi alam Indonesia yang heterogen. Desa-desa yang terisolir bisa kita sebut sebagai desa yang kehilangan hubungan dengan

48

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


desa-desa lainnya. Sehingga langkah membuka akses masuk ke desa tersebut merupakan gerbang emas bagi pemberdayaan desa dalam usaha mengangkat khazanah lokal. Setelah membuka akses masuk menuju desa, langkah paling utama selanjutnya ialah menyiapkan amunisi untuk menyambut perubahan. Amunisi yang harus disiapkan tentu bukan hanya pasokan sumber daya alam yang melimpah, persiapan pada sumber daya manusianya (SDM) juga musti mumpuni. Inilah yang dilakukan Bupati Dogiyai Papua, Yakobus Dumupa yang juga seorang alumni STPMD “APMD” Yogyakarta. Yakobus Dumupa dengan optimis membina pemuda-pemuda desa di Kabupaten Dogiyai. Sebagai bupati tidak sedetik pun Yakobus Dumupa menduduki kursinya yang empuk di kantor dinas. Dengan semangat jelajah desa dan tentu saja gaya blusukan menembus desa-desa yang terisolir, menapaki bentang alam yang masih belum banyak terjamah tangan-tangan asing, menerobos iklim dan cuaca yang tidak bisa ditebak. Sebuah pengalaman tersendiri bagi

Gambar 8. Yakobus Dumupa mendampingi pemuda desa Sumber : http://www.yakobusdumupa.com/ 55 TAHUN STPMD “APMD”

49


Yakobus Dumupa dalam melayani dan senantiasa dekat dengan warganya. Kabupaten Dogiyai memiliki satu suku besar yaitu suku Mee. Tiap suku bangsa memiliki lembaga adat istiadat dan budaya sendiri. Warga suku Mee bercirikan hidup berkelompok dan berpencar berdasarkan sukunya serta bergantung pada alam sehingga sering berpindah tempat. Segi sistem kekerabatan masyarakat, suku Mee memiliki tali persaudaraan sesama suku yang sangat kuat. Warga pedesaan di wilayah Dogiyai bergantung pada potensi lokal dari sumber-sumber daya yang merupakan anugerah istimewa. Lahan pertanian yang subur, perkebunan terhampar luas, hasil hutan berupa kayu masohi, rotan, damar, gaharu yang sangat langka, tambang emas yang berserakan, peternakan dan perikanan yang melimpah, juga penghasil kopi Arabica (Mowanemani) yang tersohor bahkan sampai mancanegara. Semua potensi istimewa tersebut merupakan kekayaan lokal kabupaten Dogiyai yang harus terus dilestarikan dan dipromosikan. Kekayaan sumber daya di kabupaten Dogiyai tentu harus dikelola dan dikembangkan dengan sistem yang baik. Pemberdayaan aset lokal yang terdiri dari pemuda desa yang potensial dan masih murni belum terpengaruh globalisasi merupakan strategi yang jitu dalam mengangkat khasanah lokal Dogiyai. Maka pembinaan berbasis kemampuan kerja untuk warga Dogiyai dilakukan Yakobus Dumupa secara berkala, setahun sekali. Program ini diprioritaskan agar nantinya sedikit demi sedikit, orang asli Kabupaten Dogiyai menjadi orang-orang yang produktif dalam berwirausaha dan memiliki kemampuan kerja yang mumpuni. Pembinaan ini tak hanya sebatas memberikan ilmu lalu selesai, model seperti itu tentu hanya akan membuat program pemberdayaan ini menjadi bersifat karikatif saja. Yakobus Dumupa berkomitmen terus mendukung para pemuda desa sampai mereka menjadi pengusaha yang mandiri. Ketika potensi SDM mumpuni maka selanjutnya dibekali modal usaha. Setiap pemuda Dogiyai

50

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


dengan daya kreativitas dan proyeksi usaha yang dimiliki akan terus didampingi dan dibina hingga mereka mampu mandiri. Giat jelajah desa menyibak khazanah lokal yang bermuara pada temuan menarik dan khas. Temuan-temuan berupa potensi sumber daya alam dan manusia ini tentunya merupakan hal penting untuk dikaji dan diangkat lebih kuat lagi, mengingat ketahanan sumber daya manusia jauh lebih efektif dan efisien tidak hanya mengandalkan potensi sumber daya alam saja. Karena hakikatnya sumber daya alam jenis apapun tidak akan menjadi berguna bagi sebuah daerah jika tidak diolah oleh sumber daya manusia yang mumpuni. Tentu saja ini sejalan dengan kemajuan desa, para pemuda yang diberdayakan merupakan tonggak utama atau garda terdepan desa untuk berkembang dan maju. Semangat penguatan dan pemberdayaan potensi lokal dari para pemuda sangat penting bagi kemajuan desa. Pemuda-pemuda yang telah dibina dan memiliki kemampuan inilah yang nantinya membuka usaha-usaha mereka secara mandiri, kemudian membuka lapangan pekerjaan di tingkat desa, dan dengan demikian kualitas kehidupan di desa tersebut akan semakin maju dan berkualitas tanpa kehilangan identitas. Jelajah desa nusantara tentu menjadi istilah yang tepat dalam mengingatkan kembali memori bahwa Indonesia dengan bentang alam yang sangat luas bersemi keanekaragaman budaya tersebar segala penjuru pulau. Menyibak khazanah Adonara, sebuah pulau yang ada di Kabupaten Flores Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dikenal secara global dengan cerita perang tanding yang ada di Adonara menjadi suatu perdebatan yang terus-menerus ada di tingkatan masyarakat lokal, nasional sampai pada internasional. Beberapa jurnal dari Eropa pernah menulis tentang perang yang ada di Adonara. Khazanah lokal yang bisa dikatakan unik sekaligus membuat fenomena tersendiri cerita di Adonara ini. Bagaimana melihat Adonara sebagai sebuah pulau yang selalu saja terjadi perang. Perang itu sendiri memiliki dua faktor pemantik yaitu (1) 55 TAHUN STPMD “APMD�

51


Perang itu terjadi itu karena berhubungan dengan tanah sehingga terjadi perebutan tanah, sengketa tanah dan sebagainya. Kemudian orang turun untuk melakukan negosiasi dan jika kesepakatan adatnya tidak jalan, tidak sampai pada hasil bicara, kemudian mereka memutuskan untuk melakukan perang. Perang dalam masyarakat Adonara pun ada tradisi-tradisi seni di dalam perang itu. Terdapat kesepakatan sebelum perang itu terjadi, biasanya terkait dengan waktu, kemudian alat-alat yang digunakan dan jarak-jarak antar kedua suku serta lain sebagainya. Itu semua disepakati terlebih dulu dan kalau masih ada yang melanggar kesepakatan itu tanpa sebab, pasti orang tersebut akan mati tanpa sebab yang jelas. Karenanya nilai-nilai tersebut sudah menjadi kepercayaan adat lokal dan orang-orang kemudian mempercayai hal tersebut sebagai sebuah tradisi. Memang menjadi suatu problematika ketika dilihat situasi dengan perspektif hak asasi manusia, poin penting bahwa kemanusiaan itu menjadi jauh lebih utama dari pada perang itu sendiri, tetapi menjadikan hal lain lagi bila ini merupakan budaya masyarakat lokal. Artinya perang dalam konteks budaya masyarakat tersebut itu bersifat natural. Hal ini kemudian menjadi pertanyaan khusus. Bagaimana cara agar khalayak memahami perang di Adonara dalam perspektif yang lebih kontekstual bagi masyarakat Adonara dan bagi khalayak yang menggeluti komunikasi pemberdayaan serta varian-varian disiplin komunikasi lainnya sebagai sebuah kekuatan bagi masyarakat lokal untuk melihat potensi dalam dirinya sendiri. Perang di Adonara sendiri sejauh pengamatan, merupakan perang yang bersifat natural sehingga ada istilah-istilah kedaerahan yang digunakan. Misalnya secara harafiah dalam bahasa Indonesia ada sebutan yang menyatakan “tanah kita sedang bengkok� saat istilah ini sudah dinyatakan, mau tidak mau, suka tidak suka, darah itu harus jatuh. Orang awam akan melihat tanah sebagai sebuah benda, tetapi lain dengan orang Adonara, mereka melihat tanah itu

52

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


sebagai seorang ibu. Ini merupakan bentuk pelampauan terhadap nilai, misalnya di dalam ilmu komunikasi bisa dilihat sebagai perspektif semiotika maka akan dapat secara jelas terlihat bahwa ternyata ada jenis penanda-penanda lain yang harus dipahami lebih jauh. Kelompok masyarakat ini merasa perlu ada kestabilan ekosistem. Bagi orang-orang lokal, mereka merasa bahwa perang itu terasa biasa saja, karena mereka merasa sudah menjadi bagian dari perang itu selama bertahun-tahun. Tetapi, karena adanya standarisasi nasional yang mengedepankan hak asasi manusia, menyebabkan pandangan awam terhadap perang menjadi berbeda dengan kacamata orang lokal Adonara. Desa, dalam hal ini memiliki pola penyelesaian masalah yang sangat berbeda dengan yang selama ini terlihat. Di dunia akademi menggunakan perspektif teoritis untuk melihat segala persoalan, tetapi problemnya adalah wilayah kontekstual dalam perspektif teoritis ternyata tidak bisa selamanya menyelesaikan problem yang ada di suatu wilayah. Menjadi temuan tersendiri berupa varian komunikasi yang ada di setiap daerah menjadi semacam komunikasi yang kompleks. Tidak hanya sekadar pesan dari komunikator ke komunikan yang menciptakan understanding. Justru komunikasi yang baik itu merupakan bagian dari bagaimana orang-orang merasa kepuasan terhadap apa yang akan disampaikan dan itu semua berupa penanda-penanda. Sehingga dalam hal ini muncul spekulasi bahwa komunikasi yang baik itu adalah komunikasi yang tidak diucapkan secara verbal. Perihal metode komunikasi yang dapat dipahami pada desadesa di Indonesia Timur khususnya adalah bagaimana orang menyelesaikan perang di Adonara. Barangkali solusi alternatifnya memang kita perlu satu konstitusi lokal, semcam dewan komunal dan lain sebagainya untuk untuk bicara tentang bagaimana menghubungkan banyak konflik ini dan itu agar mampu diselesaikan oleh orang lokal. Sayangnya, problem hukum di Indonesia 55 TAHUN STPMD “APMD�

53


selalu menyelesaikan masalah menggunakan perspektif “apa yang diajukan oleh negara�. Tidak pernah melihat dari bawah, bagaimana perspektif kontekstual itu bekerja pada problem perang di Adonara sehingga ini bakal menjadi problem yang sangat khas. Maka seiring dengan itu problem ini juga membutuhkan solusi yang memang hanya bisa diselesaikan oleh orang lokal sendiri, artinya memang campur tangan negara dalam urusan hukum formal itu hanya menjadi penambah masalah, karena di lapangan beberapa kali sudah dilakukan usaha semacam ini Misalnya beberapa perang yang sudah dilakukan di Adonara kemudian diselesaikan dengan jalur hukum dan justru membuat dampaknya dirasa ke mana-mana. Dampaknya sampai kepada bagaimana relasi sosial masyarakat, kemudian hubungan komunikasi mereka menjadi makin bermasalah. Ini artinya memang bukan dengan cara itu untuk menyelesaikan perang lokal. Menjadikan khazanah tersendiri bagaimana kemudian dibentuk varian-varian menjadi suatu institusi lokal kemudian bisa memunculkan ide tentang penyelesaian perang ini. Kehidupan masyarakat di desa yang terkemas apik dalam bingkai khazanah lokal patutlah dilestarikan lebih-lebih dikenalkan khalayak ramai. Njajah desa milang kori, menjelajahi desa mengangkat khazanah lokal dari perspektif sosial budaya tentu saja menyajikan kekayaan adat, tradisi, dan pola kehidupan masyarakat lokal yang beragam. Etalase khazanah lokal semakin menguatkan Indonesia yang dikenal dengan budaya dan tradisi yang masih natural. Njajah desa milang kori dari perspektif politik merupakan sebuah laku blusukan yang mengandung makna salah satu konsep dalam kepemimpinan. Pemimpin yang tidak hanya “ngendon� atau berkantor di tempatnya bekerja tetapi pemimpin yang harus terus belajar, mengamati, menyelami, dan memahami langsung dari rakyat dan bekerja secara nyata bagi rakyat yang dipimpinnya karena pemimpin itu bagian yang tidak terpisahkan dari rakyat.

54

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Daftar Pustaka Altinay L dan Paraskevas A. 2008. Planning Research in Hospitality and Tourism. Burlington (US): Butterworth-Heinemann. Fajarini U. 2014. Peranan kearifan lokal dalam pendidikan karakter. Sosio Didaktika.1(2): 123130. Liliweri A. 2014. Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung (ID): Nusa Media. Soerjono Soekanto. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada,.

55 TAHUN STPMD “APMD�

55


56

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 4 KKN: BERGAUL, BELAJAR, BEKERJA DAN BERDESA Oleh: Fatih Gama Abisono Nst11

Imam Sutrisno tidak pernah menyangka, apa yang dilakukan saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) lima tahun lalu, ternyata meninggalkan jejak-jejak perubahan bagi warga Dusun Gayam, Desa Jatimulyo, Kabupaten Bantul, DIY. Saat itu, Imam tengah terlibat dalam Program KKN Tematik pada tahun 2015 lalu. Salah satu peninggalan yang terus diingat warga Gayam adalah tentang upaya Imam dan kawan-kawan menyelamatkan sejarah asalusul mereka. Cerita lokal Cokro Joyo berhasil membangkitkan memori kolektif warga tentang identitas mereka dan nilai-nilai hidup bersama. Identitas kolektif mampu menghidupkan kembali kepercayaan diri mereka terhadap jati diri sebagai orang desa. Cerita serupa juga disampaikan Lintang Noor Khaliq. Tahun 2017 lalu, Lintang mengikuti program KKN Reguler Periode 51 Tahun 2017 di Dusun Mendolo, Desa Pagerharjo, Kulon Progo. Bersama kelompok, Lintang mengusulkan sensus makam sebagai program kerja kelompok. Program sensus dilakukan dengan 11

Staf Pengajar Prodi Ilmu Pemerintahan, Penulis memberikan apresiasi mendalam pada Drs. Jaka Triwidaryanta, M.Si (Dosen Pembimbing Lapangan), yang telah memberikan kontribusi berupa tulisan pendek tentang pengalaman mendampingi mahasiswa KKN Peduli Covid-19 di kelurahan Sorosutan, Kota Yogyakarta. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada nara sumber yang telah meluangkan waktu: Imam Sutrisno (Alumni Prodi Pembangunan Sosial 2012), Lintang Noor Choliq (Alumni Prodi Ilmu Pemerintahan 2014), Agustinus Sakro (Mahasiswa Ilmu Pemerintahan 2016), Badarudin (Dukuh Gayam, Desa Jatimulyo, Bantul), Widayat (Lurah Desa Pagerharjo, Kulon Prpgo) dan Suhardi (Lurah Desa Pacarejo, Gunung Kidul), serta Drs. RY. Gatot Raditya, M.Si (Kepala P3M STPMD ‘APMD”). 55 TAHUN STPMD “APMD”

57


melacak asal-usul makam yang ada di Dusun Mendolo pada ahli waris. Tak kurang 200 makam berhasil diidentifikasi, diarsipkan serta kemudian dibuatkan tanda yang memuat identitas jenazah. Dua tahun kemudian, arsip yang dikumpulkan bermanfaat saat warga mengurus hak-hak waris warga berupa sertifikat tanah. Bahkan upaya untuk memperbaharui dan mendigitalkan arsip dilanjutkan oleh kelompok pemuda dusun setempat. Dua kisah tersebut mewakili spirit penghayatan tentang cara memahami persoalan kemasyarakatan yang berlangsung melalui program pembelajaran KKN di Kampus Desa STPMD “APMD” Yogyakarta. Sebagai mata kuliah wajib bagi program studi S-1 (Strata Satu), KKN STPMD “APMD” dibangun dari empat prinsip dasar yakni: Bergaul, Belajar, Bekerja, dan Berdesa. Bagaimana keempat prinsip dasar tersebut mengejawantah dalam praktik KKN? Bab ini secara khusus akan memaparkan capaian-capaian dan refleksi pembelajaran atas KKN STPMD “APMD” yang dilandasi keempat prinsip tersebut dalam pengabdian kepada masyarakat. Komunikasi Antar Budaya: Srawung Sejak diterjunkan ke lokasi KKN, mahasiswa peserta KKN selalu didorong untuk beradaptasi dengan ritme kehidupan masyarakat setempat. Tentu perkara ini tidak mudah dilakukan, di tengah tantangan KKN acapkali diidentikkan dengan bantuan mahasiswa berupa program-program fisik. Program-program seperti plangisasi, pembuatan gapura, hingga neonisasi kerap kali memenuhi daftar permintaan warga kepada mahasiswa KKN. Padahal, sejak pembekalan, peserta KKN telah ditanamkan nilainilai pemberdayaan masyarakat. Tantangan ini jika tidak dikelola dapat menjadi bumerang bagi mahasiswa, sebab mereka tengah berupaya meraih kepercayaan warga. Sejak sosialiasi pada warga di lokasi KKN, Pusat Penelitian dan pengabdian Kepada Masayarakat (P3M) telah membangun

58

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


pemahaman bahwa KKN adalah arena pembelajaran baik bagi warga maupun mahasiswa KKN. Spirit saling belajar inilah yang coba dibangun sehingga antara mahasiswa dan warga terjalin hubungan yang hangat dan guyub. Saat diterjunkan mahasiswa memperkenalkan diri dan pelaksanaan mahasiswa dituntut dapat beradaptasi dengan baik bisa manjing ajur ajer. Beragam strategi pendekatan ke masyarakat pun digunakan untuk mengenali dengan lebih baik apa yang menjadi persoalan, kebutuhan dan kepentingan warga. Strategi umum yang ditempuh dengan mengikuti beragam kegiatan keseharian hingga aktivitas sosial warga. Sejak hari pertama mereka mengikuti induk semang dari membantu pekerjaan rumah hingga ke ladang atau kebun. Mereka juga turut dalam berbagai kegiatan rutin seperti arisan, pengajian, pertemuan rutin di tingkat RT hingga dusun, hingga ikut dalam kegiatan ronda. Bahkan mereka juga terlibat dalam kegiatan sambatan atau rewang manakala ada warga yang sedang menggelar hajatan seperti membangun rumah atau pernikahan. Lebih jauh, mahasiswa berupaya memperpendek jarak dengan warga. Mereka berusaha untuk melepaskan identitas sebagai mahasiswa. Bahkan Imam menuturkan, saat berada di tengah masyarakat, mereka berupaya tampil bukan sebagai mahasiswa tetapi menjadi bagian dari masyarakat setempat. Ungkapan serupa juga disampaikan oleh Agustinus Sakro, mahasiswa asal Kalimantan Barat. Sakro menyatakan pentingnya melepaskan identitas sebagai mahasiswa atau identitas asal daerah agar lebih cair. Forum-forum informal menjadi medium pertukaran khazanah kebudayaan lokal. Forum informal menjadi arena saling mengenal antara mahasiswa KKN dengan masyarakat setempat yang berbeda latar budaya. Upaya mengenal budaya setempat dilakukan dengan menempatkan diri dengan menerima adat lokal dan mengikuti semua mekanisme sosial yang ada. “Saya merasa bukan sebagai orang Dayak, tetapi saya adalah bagian dari masyarakat setempat�, ujar Sakro. 55 TAHUN STPMD “APMD�

59


Komunikasi antar budaya semacam itu juga dirasakan warga. Kedatangan KKN telah memberi nuansa atau warna baru bagi masyarakat. Lurah Desa Pagerharjo, Widayat, menuturkan masyarakat melihat perbedaan dan keberagaman menjadi daya tarik. Warga berupaya mengenalkan adat setempat. Mereka mengenalkan nilai-nilai yang perlu ditularkan, misalkan etika pergaulan dalam budaya Jawa. Di samping mengenalkan adat setempat, warga juga berupaya memahami karakter mahasiswa asal luar daerah. “ Ada hal-hal yang membuat kaget masyarakat. Misal terkait dengan gaya bicara keras, jelas ada penyesuaian, mengingat kebanyakan dari Indonesia Timur,” kata Widayat. Peristiwa-peristiwa tersebut sekaligus menjadi ruang perjumpaan untuk membincangkan berbagai ragam persoalan warga. Lintang menyatakan saat ber-KKN dia dan kawan-kawan berusaha hadir di setiap kegiatan warga entah kegiatan pemuda, kegiatan para ibu, hingga anak-anak agar dapat menangkap pesanpesan warga tentang berbagai keluhan, masalah, dan kebutuhan warga. “Yang kami lakukan adalah srawung, kita datang, menarik perhatian mereka. Pas lagi di pos ronda kita datangi, kita ajak ngobrol, dan diskusi untuk mengurai masalah-masalah warga. Dan tanggapan mereka sangat baik”, ujar Lintang. Jika kisah-kisah terdahulu merujuk situasi normal saat KKN, kisah berikut menujunkkan tantangan ekstrim terkait penerimaan warga terhadap KKN STPMD “APMD”. Ditengah Pandemi COVID-19, STPMD “APMD” tetap menggelar KKN Reguler Periode 53 tahun 2020. Dengan Tema KKN Peduli Pandemi COVID-19, STPMD “APMD” menerjunkan 158 mahasiswa di lima kelurahan Kota Yogyakarta. KKN Reguler ini memang agak berbeda dengan KKN reguler yang biasa mengambil lokasi di suatu Desa saja. Pilihan menggelar KKN di kota bukan tanpa alasan. Pertimbangan berKKN di kota agar mahasiswa yang kebanyakan dari luar DIY, tetap terpantau dalam rangka pencegahan COVID-19. Lima kelurahan yang dipilih juga kelurahan yang paling dekat dengan kampus.

60

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Salah satu kelurahan yang menjadi lokasi KKN peduli COVID-19, adalah kelurahan Sorosutan. Pada awal penerjunan ke lokasi, tidak ada masalah terkait dengan mahasiswa KKN. Namun keesokan hari, beberapa RW dan RT menolak mahasiswa KKN STPMD”APMD” Yogyakarta. Dengan alasan penolakan yang kabur, pihak kelurahan setempat menyatakan warga merasa tidak nyaman dengan kehadiran KKN karena sebagian besar peserta dari luar DIY yang dapat meningkatkan resiko penyebaran COVID-19. Meski diyakinkan, bahwa seluruh mahasiswa KKN adalah yang telah tinggal 6 bulan di Yogya, warga tetap menghendaki seluruh peserta KKN dan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) harus menjalani Rapid Test bebas Covid-19. Test Rapid pun dilakukan di sebuah Rumah Sakit di Kota Yogyakarta. Namun setelah menyerahkan hasil Rapid Test, warga tetap berkeberatan. Akar persoalan bukan ada tidaknya surat bebas Covid-19. Sebab KKN dari kampus-kampus lain yang dilakukan di Kelurahan Sorosutan tidak diminta Rapid Test dan lancar tanpa hambatan. DPL kelompok KKN, Jaka Triwidaryanta memberi kesaksian kelurahan sampai menggelar rapat khusus. Rapat yang semula menghadirkan pengurus kampung, RW dan RT untuk mencari solusi pada KKN STPMD “APMD” tidak memberi ruang cukup untuk mengurai benang kusut pelaksanaan KKN STPMD “APMD”. Ada beberapa pengurus RW dan RT yang meninggalkan rapat dan menitipkan secarik kertas: mereka tetap menolak KKN APMD. Kebekuan akhirnya dapat dicairkan dengan mediasi tokoh kunci dua kampung. Nitikan dan Sorosutan. Dengan bijak mereka meminta mahasiswa untuk dapat menyesuaikan diri dan menyerap tata nilai dan kesusilaan di kampung. Ada kesepakatan bahwa agenda mahasiswa KKNtetap dapat dilaksanakan. Namun mahasiswa harus menerapkan secara ketat protokol kesehatan Pandemi Covid-19 agar memberi rasa aman dan nyaman bagi warga setempat. Mahasiswa juga harus mengindahkan norma dan kesantunan yang berlaku dalam masyarakat. 55 TAHUN STPMD “APMD”

61


Dengan menitikberatkan pemberdayaan masyarakat kampung, mahasiswa KKN mengembangkan komunikasi antar budaya yang tercermin dari sikap peduli, saling menerima dan memahami. Kejelian memetakan persoalan dengan pendekatan taktis pada program KKN, membuat mahasiswa KKN dapat diterima. Kejelian membaca persoalan tentu didapat setelah mahasiswa menghayati persoalan warga yang selama berbula-bulan dikepung oleh Pandemi. Mereka melakukan pendekatan secara tepat, baik individu, tokoh kunci dan menanyakan kebutuhan mereka untuk mengatasi dampak Pandemi covid 19. Bersama dengan masyarakat, mereka mencari solusi terhadap kesulitan yang menghadang. Sejak saat itu berbagai program KKN APMD di Kelurahan Sorosutan Kecamatan Umbulharjo berjalan dengan baik. Menariknya, saat penarikan mahasiswa KKN di Kelurahan Sorosutan, para mahasiswa KKN STPMD “APMD” tetap “digondeli” agar memperpanjang masa KKN mereka. Mereka tetap diminta membantu kegiatan administratif dan kemasyarakatan. Nilai yang dapat ditarik adalah sesuatu dapat diselesaikan dengan menemukan sense of common yang memberi pengaruh besar terhadap penerimaan mahasiswa KKN dihadapan warga. Senyatanya cara semacam itu cukup ampuh untuk meraih kepercayaan warga. Ketika mahasiswa meluruhkan identitas dan menjalin komunikasi antar budaya, hambatan budaya seperti prasangka sosial lebih mudah dicairkan. Pada saat itulah mahasiswa lebih mudah membangun pemahaman bahwa mahasiswa bukan sebagai sinterklas yang membawa bantuan fisik atau sebagai sosok asing yang anti sosial. Pada aras ini, mahasiswa KKN telah menempuh satu fase dasar sekaligus menentukan: belajar mengasah kepekaan dengan menghayati pergulatan problema masyarakat setempat. Mahasiswa KKN telah mempraktikkan sebuah ungkapan Jawa untuk manjing ajur ajer. Ajur berarti hancur dan ajer mencair. Secara harafiah

62

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


berarti masuk melebur dan mencair di dalamnya. Ungkapan tersebut bermakna orang sejauh mungkin dapat menyatu dengan lingkungan sekitar. Orang dituntut dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Srawung atau bergaul, bukan hanya berarti sekadar terlibat dalam aktivitas keseharian warga dan mengenal adat setempat. Srawung, lebih jauh lagi, bermakna membuatnya tak berjarak, meleburkan identitas, bahkan “menjadi” warga setempat. Berkebun, arisan, pengajian dan pos ronda adalah menjadi arena dimana kepekaan mahasiswa diasah sekaligus diuji. Sebab, bagi orang desa yang paling terpenting soal rasa dan soal norma. “Kalau kita mampu mengikuti rasa dan norma, kita bisa diterima secara utuh”, ujar Sakro. Mata Air Pengetahuan Aktivitas KKN sesungguhnya merupakan wahana pembelajaran yang sangat cocok untuk menghadirkan sarjana yang sujana. KKN merupakan experience based learning. KKN menyediakan ruang belajar dimana semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru. Desa menjadi ruang kelas yang baru. Cara belajar demikian sekali lagi mensyaratkan mahasiswa KKN untuk “bunuh diri kelas”, manjing ajur ajer. Dalam hal ini, desa sekaligus menawarkan perspektif alternatif dalam memahami persoalan-persoalan kemasyarakatan. Cara berfikir yang telah mapan dipertanyakan kembali manakala mahasiswa KKN terlibat dalam pergumulan keseharian masyarakat desa. Pengalaman pembelajaran semacam itu, didapatkan Imam saat KKN. Alumni prodi pembangunan sosial ini menyatakan inti pembelajaran KKN adalah berproses menjadi seperti warga yang didampinginya. Sebisa mungkin tidak berjarak. Ia pun mengaktifkan seluruh indranya untuk dapat menghayati denyut kehidupan warga yang didampinginya. Bahkan Imam mengaku melepas jaket almameter, karena apa yang dikenakannya hanya 55 TAHUN STPMD “APMD”

63


menciptakan jarak dengan warga. Upaya membangun totalitas penghayatan dimaksudkan untuk menggali perspektif warga desa tentang dunianya. Imam sendiri terinspirasi dari Buku Panduan KKN yang menekankan bahwa KKN tidak lagi dijalankan dengan pendekatan konvensional seperti pendekatan karitatif. Pada saat yang sama, Imam tengah mengikuti kelas pembelajaran informal tentang metode penelitian terlibat (partisipant observation) yang diselenggarakan salah satu dosen STPMD “APMD”. Kedua hal itu, dia ramu ke dalam KKN yang tengah dia jalani. Bahkan sebelum berinteraksi secara intensif dengan masyarakat dia telah menemukan tema yang akan diusung yakni sinergitas kampungkampus. “Harapan saya, mahasiswa KKN bisa menjadi jembatan implementasi keilmuan yang didapatkan di kampus untuk menjawab persoalan-persoalan yang ada di masyarakat,” kata Imam. Dalam hal ini, Imam mengaku memang proses pendekatan tidak dapat instan. Sebagai konsekuensi pilihan metode pembelajaran yang diambil, Imam memutuskan untuk tidak terburu-buru menentukan secara spesifik apa yang seharusnya dilakukan. Dia merasa harus berangkat dari persoalan yang benar-benar dianggap persoalan menurut kacamata masyarakat setempat. Dia membatasi diri membawa perangkat pengetahuan yang didapat dari kampus dan merasa bisa menyelesaikan persoalan dari sudut pandang diri dia. Dia memilih memastikan bahwa persoalan yang hendak diurai lahir dari definisi warga, bukan diri dia. “Saat itu saya ingin mendapatkan native’s point of view, yang saya rasa menjadi fondasi kita dalam melakukan pengabdian, “ kata Imam. Imam dan kelompok saat itu baru mencatat dan mengikuti berbagai pertemuan warga, tanpa banyak melakukan intervensi Hal itu bahkan berlangsung selama satu bulan. Namun di satu sisi, dia juga wajib melaporkan program-program KKN karena pelaksanaan KKN dibatasi waktunya. Dia melaporkan program-

64

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


program yang tidak berangkat dari pengamatan terlibatnya (partisipant observation). Beberapa program yang dilaporkan misalkan, sanggar belajar untuk anak-anak dan administrasi padukuhan. Selepas KKN, Imam dan beberapa kawannya melajutnya misi pengabdiannya. Dari hasil pengamatannya, dia dan kawan-kawan beserta kepala dusun setempat bersepakat untuk mengangkat khazanah lokal sebagai identitas bersama. Diawali dari ketertarikan Imam tentang asal-usul Dusun bahkan Desa Jatimulyo, penelurusan mulai dilakukan. Dalam penelurusan, Imam menemukan tokoh lokal Cokro Joyo atau Sunan Geseng, salah satu murid Sunan Kalijaga. Menurut Imam, ternyata tidak banyak warga setempat yang mengetahui cerita tersebut. Berbekal informasi yang terbatas, Imam menggali cerita pada para sesepuh kampung, atau orangorang yang dianggap menyimpan cerita Cokro Joyo. Dari hasil penelusurannya, bersama dengan Dukuh setempat Badarudin, Imam berhasil menggali, mengarsipkan, dan mendokumentasikan asal-usul Desa Jatimulyo. Beberapa nama tempat di Desa Jatimulyo seperti Maladan, Banyu Urip, Selo Miring, Jati Kluwih, dan Badean terkait erat dengan sang tokoh Cokro Joyo. Masing-masing tempat juga menyimpan kekayaan nilai bermakna tentang etos ketekunan, kesabaran, rendah hati, penghargaan terhadap sesama, spirit pembelajaran dan keberserahan pada Tuhan. Sejarah lokal tentang tohoh lokal kemudian didokumentasikan secara kreatif oleh Imam dan kawan-kawan dengan mengemasnya dalam pertunjukan teater yang diperankan kelompok pemuda setempat. Bersama dengan kawan-kawannya di STPMD “APMD�, Muhamad Hidayanto dan Donni Ardiansyah, Imam menggarap pementasan teater dengan tokoh Cokro Joyo sebagai simpul ceritanya. Pementasan saat itu, dilakukan di Balai Desa, dan dihadiri warga, pemerintah desa, hingga pejabat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan setempat. Pertunjukkan pun terbilang sukses 55 TAHUN STPMD “APMD�

65


karena mampu menyedot ratusan penonton. Pementasan dengan lakon yang sama kemudian juga diujicobakan pada siswa-siswa sekolah di Dusun Gayam dan juga terbilang sukses. Hal yang membuat menarik para pengunjung adalah keingintahuan warga terhadap sejarah dan identitas mereka. Pementasan tentang tokoh lokal Cokro Joyo telah membangkitkan identitas kolektif warga tentang asal-usul mereka dan merevitalisasi nilai-nilai yang menjadi dasar kehidupan bersama. Sepeninggal Imam dan kawan-kawan, aktivitas Teater masih berjalan hingga dua tahun lalu. Teater bentukan Imam masih sempat menggelar pementasan di desa mereka, namun kemudian mandeg karena tidak ada lagi yang melatih. Meski demikian, sejarah lokal yang didokumentasikan telah menumbuhkan kepercayaan diri warga, bahwa sebagai orang desa mereka memiliki mutiara berharga yang terus dirawat. Pembelajaran serupa juga didapatkan oleh Sakro. Pengalaman turun ke desa melalui KKN telah mengajarkan banyak hal. Bagi mahasiswa ilmu pemerintahan ini, aktivitas kemasyarakatan, kelembagaan, dan keluh kesah dari masyarakat sebenarnya adalah sumber pengetahuan yang luar biasa. Dalam amatan Sakro, lembaga-lembaga sosial yang hidup di masyarakat desa menjadi modal sosial yang maha dahsyat dalam mengatasi berbagai persoalan-persoalan publik. Bahkan lembaga-lembaga sosial desa memiliki daya lenting ketika menghadapi situasi-situasi sulit seperti pandemi. Lembaga-lembaga sosial desa bisa hidup justru karena tidak ada support negara tetapi karena berdikari yang dibangun dari spirit kesukarelaan (voluntarism). “Dia tumbuh karena dasar kepentingan bersama,� kata Sakro. Namun sebaliknya, lembaga-lembaga sosial bentukan negara justru sangat rentan terhadap perpecahan, mudah melakukan eksklusi, dan tidak memiliki daya tahan terhadap krisis dan tekanan yang tinggi. Dia melihat intervensi negara dalam kelembagan sosial di desa justru kontra produktif. Sakro mencontohkan program

66

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


penanggulangan kemiskinan di desa ternyata justru tidak membuat kelembagaan warga semakin kuat, tapi justru menghilangkan imaginasi kelembagaan sosial secara utuh. Pengamatan Sakro telah membawa inspirasi untuk penulisan tugas akhir dia yang membedah tragedi bersama pengelolaan sumber-sumber daya bersama karena absennya kelembagaan Desa yang kuat. Pengalaman KKN telah menghantar Sakro pada refleksi tentang cara pandang dalam melihat perlakuan terhadap desa hari ini. Pandangan di awal bahwa negara harus membangun desa, mengangkat harkat martabat desa, ternyata runtuh. Setelah belajar dari KKN, justru bekerja dengan logika terbalik. Pembangunan banyak masuk desa tetapi tidak menyelesaikan persoalan, malah melanggengkan persoalan yang ada, misalkan kemiskinan. Angkaangka kemiskinan sampai sekarang juga belum banyak berubah. KKN telah mengubah cara pandang yang sebelumnya dari atas ke bawah, menjadi dari bawah ke atas. “Ada hal yang tidak bisa kita samakan. Ternyata ada kekhasan dari masing-masing desa di tanah air,” Kata Sakro. Selain memunculkan kesadaran baru tentang cara pandang yang berpihak pada lokalitas dan desa, pembelajaran KKN ternyata menjadi bekal yang sangat berarti bagi mahasiswa KKN saat memasuki dunia kerja. Lintang yang saat ini bekerja sebagai staf Desa Ngestiharjo menuturkan, pengalaman KKN telah membantunya dalam memahami persoalan-persoalan yang dihadapi desa dan masyarakat desa. Saat berada di lokasi KKN, mereka mendapatkan kesempatan mengasah kemampuan memahami masalah, kapasitas memfasilitasi warga melalui diskusidiskusi, menyusun rencana-rencana pembangunan. “Saya di kampung. Karena terlatih berorganisasi, saat di KKN tinggal mengimplementasikan. Itu memupuk keterampilan kita ketika berhadapan dengan warga,“ ujar Lintang. Bahkan menurut Lintang, beberapa kawan seangkatan di KKN-nya mengaku mendapat pengalaman pembelajaran berharga 55 TAHUN STPMD “APMD”

67


di KKN. Sejumlah teman Lintang menjadi pegiat desa di kampung halaman masing-masing dan mereka berhimpun dalam sebuah LSM. Mereka memahami bahwa kondisi di kampung halaman mereka tidak semudah di Jogjakarta dalam menumbuhkan partisipasi warga dan memberdayakan diri untuk maju dan berkembang. Ketika mereka mendapatkan pengalaman di KKN mereka bisa merefleksikan dengan kondisi yang ada di kampung halaman mereka masing-masing. Mereka juga mereproduksi berbagai pengetahuan dan ketrampilan yang didapatkan di KKN saat mereka melakukan kerja-kerja pengabdian di kampung halaman masing-masing. Mereka juga menerima pembelajaran bermakna bahwa kehadiran mereka diterima masyarakat sejauh mereka berangkat dari perspektif masyarakat. Bagaimanapun juga, KKN telah menghadirkan pengalaman menjadi pembelajar sejati bagi mahasiswa KKN. Sejumlah alumni KKN STPMD “APMD� mengakui bahwa kKN memberi kesempatan mereka untuk memetik banyak pembelajaran. Pembelajaran di KKN menjadi bekal hidup yang berarti dalam karya-karya pengabdian mereka setelah mereka lulus kuliah. Ini berarti pembelajaran berbasis pada masalah yang hidup di masyarakat menjadi mata air pengetahuan yang demikian kaya. “Tujuan kita mencari ilmu untuk memecahkan persoalan-persoalan kemasyarakatan, tapi uniknya jawaban masalah justru tersedia pada perjumpaan dengan masyarakat sendiri, “ ujar Lintang. Pendekatan Partisipatoris dalam Kerja Pengabdian Saat menjalani proses KKN, mahasiswa mendapatkan pengalaman menuangkan gagasan dan memperagakan berbagai kecakapan dalam kerja-kerja pengabdian. Tantangan yang terentang dalam kerja pengabdian kepada masyarakat acapkali berhadapan dengan gap antara teori yang dipelajari di ruang kelas dengan praktik sosial yang hidup di masyarakat. Teori maupun konsep membutuhkan kontekstualisasi, translasi, subversi, bahkan

68

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


membuang teori. Dalam konteks itu, mahasiswa KKN dituntut menyesuaikan pendekatan yang digunakan sesuai dengan praktik sosial yang berkembang di masyarakat. “Kami kerja di sana menggunakan satu pendekatan yang bernama bermasyarakat. Menyesuaikan konteks lokal yang tidak bisa kita paksakan sesuai dengan teori di kelas,” ujar Sakro. Saat merancang program misalnya, mahasiswa dituntut sejauh mungkin dapat menghadirkan program-program yang sungguh menjadi kebutuhan dan kepentingan masyarakat setempat. Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian (P3M) STPMD “APMD” menyatakan, bahkan sejak pembekalan, mahasiswa telah ditekankan untuk menghadirkan program sesuai dengan kondisi wilayah. Saat pembekalan, P3M selalu menghadirkan Camat dan Lurah untuk memberikan deskripsi terkait profil, potensi serta tantangan di wilayah KKN. Sehingga mahasiswa KKN benarbenar memahami wilayah. Pada saat melakukan survey awal dalam kerangka merancang program mereka juga didampingi DPL. Sehingga setiap program yang direncanakan didiskusikan bersama DPL sehingga terpantau betul. Program yang telah direncanakan, lalu didiskusikan kembali dengan warga dan dimungkinkan revisi. Sehingga apa yang dikerjakan memang betul-betul berdasarkan kebutuhan masyarakat. “KKN APMD memang menyentuh pada tataran kebutuhan atas dasar perencanaan yang tepat bersama warga, “ ujar Kepala P3M STPMD “APMD”, Gatot Raditya. Hal serupa juga disampaikan Lintang yang menyatakan fokus program adalah pemberdayaan warga. Tantangan yang muncul adalah bagaimana program yang dirancang tidak sekadar berjalan di masyarakat, tapi bagaimana program berkelanjutan. Kunci menjawab tantangan adalah mengedepankan pendekatan partisipatoris, pendekatan yang melibatkan warga dalam setiap keputusan. Pendekatan itulah yang dilakukan Lintang bersama kelompok KKN. Program yang direncanakan telah didiskusikan 55 TAHUN STPMD “APMD”

69


dan dinegosiasikan dengan warga setempat, termasuk aspek pembiayaan program. “Kita wait and see, yang penting kita diterima dulu. Lalu kita amati apa yang sungguh mereka butuhkan, “ kata Lintang. Sejak awal melakukan sosialisasi KKN pada warga, P3M sudah membangun pemahaman bahwa KKN STPMD “APMD” fokus pada pemberdayaan masyarakat. Sehingga kalau warga mengusulkan program-program fisik justru warga yang menanggung. Misalkan saat warga mengusulkan pembuatan gapura, plang atau penerangan, mahasiswa menggerakkan sumber daya yang ada. Warga menyumbang bahan baku, seperti semen, pasir, kayu dan bahan-bahan lain. Mahasiswa juga melakukan pendampingan misalkan, membuatkan proposal permohonan bantuan seperti permohonan lampu ke salah satu pabrik lampu (GE Lighting) dan mereka memperoleh sumbangan lampu. “Sehingga warga juga paham, mahasiswa yang datang untuk belajar dan tidak membawa materi menjadi sinterklas, pemasok dana, “ tambah Gatot. Bagaimana cara agar program bisa terima masyarakat tanpa mengeluarkan biaya atau yang sangat besar? Lintang dan kelompok mengorganisasikan program dengan adalah menarik sumber dayasumber daya yang ada di masyarakat. Dengan mengandalkan kreativitas, lintang dan kawan-kawan menggunakan sumber daya lokal. Misalkan, jika warga meminta program plangisasi maupun neonisasi, tiang-tiang yang gunakan dari bahan-bahan lokal yang tidak terpakai namun didesain dan diolah artistik sehingga terlihat unik dan cukup awet. Selain mengorganisasikan sumber daya lokal, peran mahasiswa juga menjadi jembatan (bridging) antara warga dengan lembagalembaga desa dan supra desa. Mahasiswa KKN menghubungkan warga dengan sumber daya di luar desa baik berupa sumber pengetahuan, jaringan pemasaran, dan otoritas perijinan. Sebagai gambaran adalah program peningkatan kapasitas ekonomi keluarga di Desa Tancep, Ngawen, Gunung Kidul.

70

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Mahasiswa KKN merancang program produk olahan makanan berbahan lokal yang dikerjakan kelompok perempuan. Mahasiswa juga memikirkan pemasaran produk olahan makanan. Mahasiswa lalu mendorong agar, dalam setiap hajatan warga dan rapat yang membutuhkan snack diminta memesan dari ibu-ibu. Saat pemerintah kabupaten menyelenggarakan pameran produk UMKM, mahasiswa juga menghubungkan agar kelompok para ibu dapat mengenalkan produk mereka pada khalayak yang lebih luas. “Mahasiswa juga menguruskan izin ke dinas kesehatan dan membantu memperbaiki kemasan, “ terang Gatot. Peran connecting juga tampak dari program edukasi tentang kesehatan reproduksi pada kelompok remaja di beberapa desa yang menjadi lokasi KKN STPMD “APMD”. Program ini banyak diinisiasi sejumlah desa di DIY karena terdapat fenomena pernikahan dini cukup tinggi. Mahasiswa KKN lalu memberikan pendampingan pada remaja dan orang tua dengan menggandeng Dinas Pemberdayaan dan KB atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang concern pada isu kesehatan reproduksi. Tak hanya sampai memberi edukasi mahasiswa juga turut membentuk peer group di kalangan remaja desa yang concern pada isu kesehatan reproduksi. “Minimal menghambat tingkat kasus perkawinan usia dini pada remaja, “ tambah Gatot. Apa yang dikerjakan mahasiswa KKN dan warga sampai saat ini masih dirawat oleh warga setempat. Lintang menuturkan saat dia berkunjung ke lokasi KKN setahun lalu, hasil KKN masih dirawat dengan baik oleh warga. Pos ronda yang dulu direhab Mahasiswa KKN dengan warga malah semakin bagus. Program pengarsipan data warga yang meninggal diteruskan oleh kelompok pemuda setempat bahkan telah digitalkan dan terintegrasi dengan sistem informasi desa. Ketika ada warga yang meninggal langsung diinput ke sistem oleh karang taruna. “Saya senang tinggalan kami masih di rawat dan diteruskan, “ kata Lintang.

55 TAHUN STPMD “APMD”

71


Hal serupa dituturkan oleh Kepala Dusun Gayam, Badarudin, terkait hasil-hasil kerja-kerja pengabdian oleh Imam dan kelompok. Selain menghidupkan sejarah lokal, Imam juga mengangkat potensi lokal berupa pangan lokal berupa umbi yang diubah dan diolah menjadi minuman lokal. Umbi tertentu yang oleh warga setempat disebut lembong, difasilitasi oleh Imam dan kawankawan menjadi sejenis minuman tradisional yang kemudian diberi branding wedhang lembong. Minuman wedhang lembong kemudian disajikan dalam setiap pertemuan dan hajatan warga, bahkan sampai ke luar desa. Sajian wedhang lembong menjadi identitas lokal warga setempat. Tantangan KKN: Menumbuhkan Tradisi Berdesa Menumbuhkan tradisi berdesa menjadi tantangan tersendiri saat menjalani KKN. Masih tertancap kuat dalam benak mahasiswa KKN dan masyarakat bahwa desa adalah situs dimana program dijalankan dan masyarakat adalah penerima manfaat program. Cara pandang semacam ini tentu memunggungi cara pandang STPMD “APMD” yang menempatkan desa sebagai subyek yang berdaulat. Bukan sebagai objek penderita. Desa adalah entitas politik yang utuh. Dalam setiap KKN, STPMD “APMD” selalu mendorong dan memperkuat tradisi berdesa, meski tidak mudah. Tantangan tersebut muncul, baik dari dalam desa sendiri maupun supra desa. Sudah sejak lama, tradisi berdesa dilemahkan. Identitas masyarakat desa di Yogyakarta lebih diikat oleh satuan sosial yang disebut dusun atau padukuhan. Kondisi demikian, membuat desa sebagai entitas politik kehilangan wibawa dihadapan warga. Tak jarang ketegangan justru muncul antara desa dan dusun. Tidak hanya sampai di situ, desa juga mengalami pelemahan supra desa melalui beragam program pembangunan yang hanya menempatkan desa sebagai situs proyek pembangunan. KKN STPMD “APMD” berada dalam medan semacam itu. Acapkali beragam program mahasiswa KKN hanya bekerja

72

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


dalam skala sangat mikro yakni pada level dusun. Dampak program pun hanya dapat dirasakan pada skala dusun dan jarang menghasilkan multiflier efect berikutnya. Mahasiswa juga kesulitan untuk menariknya dalam skala Desa, karena disibukkan dengan pernak-pernik kehidupan warga desa yang sangat mikro namun justru rumit. Alhasil untuk menumbuhkan tradisi berdesa, belum sepenuhnya berhasil. “ Yang kami lakukan baru ‘berdusun’, berdesa belum kuat, “ ujar Sakro. Namun demikian, harapan memperkuat tradisi berdesa terus dipupuk. Lurah Desa Pacarejo Suhadi mengungkapkan sejak kehadiran KKN STPMD “APMD” muncul kegairahan warga desa untuk membincang persoalan-persoalan dusun pada level Desa. Solidaritas warga mulai terbangun saat membincang masalahmasalah bersama dengan adanya jejaring warga antar dusun. “Untuk menumbuhkan kembali tradusi berdesa, muncul soliditas, gotong royong warga,” kata Suhadi. Suhadi menambahkan salah satu masalah di Pacarejo adalah penguasaan beberapa aset yang menjadi potensi desa seperti gua bawah tanah dan telaga oleh sekelompok warga. Padahal meski aset teletak di dusun tertentu, bukan berarti di bawah kelompok warga di dusun tersebut karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Gua bawah tanah maupun telaga menjadi sumber air bersih di Pacarejo. Keberadaan sumber-sumber air tadi sangat vital bagi warga. “Saya berharap tumbuhnya tradisi berdesa akan muncul, dan ada sikap saling menghargai. Apabila fungsi akademisi APMD bisa turun ke kami, maka akan merubah paradigma lama, “ tambah Suhadi. Simpul Wacana Kisah pengabdian kepada masyarakat melalui KKN membawa konsekuensi tidak hanya pada warga desa dan Desa. KKN memang telah memberikan kontribusi perubahan berarti bagi warga dan Desa. Namun lebih jauh lagi, KKN telah mengubah 55 TAHUN STPMD “APMD”

73


pelaku, mahasiswa peserta KKN. Perjalanan ke desa tidak hanya tentang aktivitas Kuliah Kerja Nyata. Bukan pula sepenuhnya tentang kisah pengabdian pada Desa. Namun juga tentang metamorfosis menjadi pribadi yang semakin matang dan peka terhadap pergulatan masalah kehidupan sehari-hari masyarakat desa, lokal dan pinggiran.

74

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 5 KEMITRAAN CSR UNTUK KEMAJUAN DESA Oleh: Reiki Nauli Harahap12

Prakata Desa sudah seharusnya menjadi entry point. Pendekatan sektoral sudah tidak lagi relevan untuk mengimplementasikan tanggung jawab sosial perusahaan. Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat “APMD” menjadi juruselamat dengan menyambung rantai yang terputus diantara multi-stakeholders (pemerintah, swasta, masyarakat). Aktualisasi hubungan diantara multistakeholders tersebut sepatunya terintegrasi menjadi bagian dari “Sistem Desa”. Jika desa berdaulat, maka negara pasti kuat. Diskursus tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) kian hari makin menarik untuk diperdebatkan, demikian juga diskursus desa. Dua konsep yang jarang bertemu dalam forum dan kajian-kajian akademis akan tetapi nyata terjadi di masyarakat. Corporate social responsibility (perusahaan) dan desa (masyarakat) memiliki hubungan dua arah. Dilihat dari sudut pandang bisnis, perusahaan membutuhkan social license untuk beroperasi yang diperoleh dari desa dan masyarakat desa. Dilihat dari sudut pandang pembangunan sosial, desa dan masyarakat desa membutuhkan perusahaan sebagai alternatif stakeholder untuk pemberdayaan di Desa. 12

Ditulis dari pengalaman Ir. M. Barori M.Si, Drs, Suharyanto M.M, Drs. Hasto Wiyono MS, Ratna Sesotya Wedadjati S.Psi M.si dan Robertus Suryantopo (Alumnus) 55 TAHUN STPMD “APMD”

75


Diibaratkan embrio, kemitraan dalam perspektif tanggung jawab sosial perusahaan merupakan sesuatu yang cukup baru. Fakta empirik ditemukan bahwa selama ini aktifitas tanggung jawab sosial perusahaan hanya dijadikan sebagai “pemadam api”. Pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan sifatnya hanya untuk meredam konflik, tidak ada proses dialog dan komunikasi di dalamnya. Pendekatan kemitraaan dianggap sebagai wajah baru implementasi tanggung jawab sosial perusahaan. Tanggung jawab sosial perusahaan tidak lagi dikategorikan sebagai biaya yang harus dikeluarkan (cost), akan tetapi tanggung jawab sosial perusahaan merupakan salah satu bentuk investasi sosial (social investment) sekaligus perwujudan upaya perusahaan menjadi warga negara yang baik. Hal yang sama juga terjadi di wacana ke-desa-an. Diskursus desa sebagai objek kajian akademis masih memunculkan perdebatan, salah satu diantaranya yaitu perkara perdesaan (rural) dan desa (village). Meskipun demikian, hal yang sebenarnya menarik dari perkembangna wacana desa adalah kelahiran UU No 6 Tahun 2014. Kebijakan tersebut sebagai sebuah produk politik dianggap menjadi batu loncatan “semangat” untuk memuliakan desa. Regulasi tersebut secara tegas memberikan daya kepada desa. Desa diberikan ruang gerak untuk maju sehingga mampu menjadi mandiri. Artikel ini merupakan sebuah irisan kecil dari begitu banyak pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh sivitas akademika di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta. Meminjam judul Kemitraan CSR untuk Kemajuan Desa, penulis akan memaparkan kegiatan-kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan dengan berbagai pihak, khususnya perusahaan-perusahaan yang beroperasi disekitar wilayah desa. Tulisan ini akan diawali dengan diskursus kemajuan desa dan dilanjutkan dengan diskursus kemitraan CSR dari kacamata desa serta diakhiri dengan refleksi (leasson learned)

76

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


dari pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh STPMD “APMD” Yogyakarta. Kemitraan untuk Kemajuan Kemajuan desa oleh STPMD “APMD” diidentikan dengan kemandirian desa. Desa yang mandiri adalah desa yang mampu melaksanakan fungsi pemeritahan, desa yang mampu memberdayakan masyarakat, desa yang mampu mengelola potensi dan permasalahan yang ada disekitarnya serta desa yang memiliki inisiatif untuk tidak bergantung dengan pihak lainnya. Kemandirian desa adalah sebuah proses panjang dari serangkaian kegiatan-kegiatan. Desa mandiri sebenarnya telah menjadi diskursus sejak orde baru, sebagaimana tercermin dalam konsep desa swasembada. Kemandirian desa tentu bukan “kedirian” (autarkhi) yang berarti desa bersikap congkak, sombong, ekslusif dan tidak mau bekerjasama dengan pihak lain, atau tidak mau diatur oleh pemerintah. Kemandirian bukan juga berarti “kesendirian”, yang berarti desa mengurus dan membiayai sendiri seluruh kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Secara filosofis, kemandirian desa sebenarnya bermakna: bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. UU Desa No. 6 Tahun 2014 adalah asbabunnuzul atas wacanawacana kemandirian desa. Azas rekognisi dan asas subsidiaritas merupakan dua azas mendasari UU Desa No. 6 Tahun 2014. Rekoginisi adalah pengakuan terhadap asal-usul sedangkan subsidiaritas adalah penetapan kewenanagan lokal bersakala desa dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat.

55 TAHUN STPMD “APMD”

77


Gambar 1. Pengabdian Masyarakat bersama PT. Agincourt Resource

UU Desa No. 6 Tahun 2014 dilihat menggunakan kacamata pemberdayaan masyarakat telah menunaikan nilai untuk memberikan kuasa/daya (to give power). Produk politik tersebut secara nyata menunjukkan desa sebagai aktor yang berdiri sendiri, sebagai pihak yang memiliki daya untuk mengelola urusannya

Gambar 2. Pola Kemitraan Pemerintah Desa

78

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


sendiri. Nilai to give power tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk alokasi dana desa. Selain to give power, paradigma pemberdayaan juga mensyaratkan nilai “menjadikan berdaya/ berkuasa” (to give enable). Upaya perwujudan nilai to give enable dilakukan dengan pembentukan ekosistem yang “ramah” desa. Kemitraan menjadi jalan ketiga untuk merealisasikan sebuah ekosistem yang “ramah” desa. Kemitraan adalah strategi utama sebagai pintu masuk untuk menajalankan strategi advokasi kebijakan, manajemen pengetahuan, pengembangan kapasitas dan pengorganisasian desa. Kemitraan diwujudkan dalam bentuk dukungan dari berbagai pihak atas upaya dan usaha desa untuk melakukan perubahan menuju kepada kemajuan dan kemandirian. Problematika yang selama ini sering terjadi adalah dominasi sepihak dan ego sektoral dari berbagai pihak yang ada disekitar desa. Desa kemudian dijadikan objek projek dan ladang pertempuran “politik”. Kemitraan dalam konteks to give enable, maka STPMD “APMD” berdiri sebagai fasilitator/pendamping. Desa menjadi entry point untuk melakukan pemberdayaan kepada pihak-pihak yang ada di dalam desa, sehingga mereka menjadi lebih mandiri. Keterlibatan berbagai pihak berkepentingan yang ada di sekitar desa, khususnya kemitraan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan alat/media untuk mewujudkan semangat to give enable kepada desa. Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” sebagai fasilitator kemajuan dan kemandirian desa telah melakukan banyak pendampingan, beberapa diantaranya bersama PT. Kaltim Prima Coal di Kabupaten Kalimantan Timur dan PT Agincourt Resource di Kabupaten Tapanuli Selatan. Sivitas akademika yang terlibat pada pengabdian masyarakat bersama PT Kaltim Prima Coal yaitu: Sutoro Eko Yunanto, M. Barori, Suharyanto, Hastowiyono, dan YB. Widyohari Murdianto (Pusat Pebaharuan Desa Berkelanjutan), sedangkan yang terlibat pada pengabdian 55 TAHUN STPMD “APMD”

79


masyarakat bersama PT Agincourt Resource adalah M. Barori, Suharyanto, dan Hastowiyono (Pusat Pengembangan Kapasitas Aparatur Pemerintah Desa). Kemitraan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) untuk kemajuan desa bersama PT. Kaltim Prima Coal dilakukan sejak tahun 2005-2015, meliputi 28 desa disekitar daerah tambang PT. Kaltim Prima Coal. Pendampingan diawali dengan obersevasi existing condition di masing-masing desa. Kondisi desa-desa termasuk dalam kategori tertinggal (pada saat itu kebijakan nasional yang berlaku adalah UU. 32/2004 dan PP. No72/2005) dan apabila merujuk kepada UU Desa No 6 Tahun 2014 bahwa empat kewenangan desa belum terlaksana dengan baik, meliputi 1) penyelenggaran pemerintahan, 2) pelaksanaan pembangunan, 3) pembinaan kemasyarakatan dan 4) pemberdayaan masyarakat. Melalui agenda CSR, PT Kaltim Prima Coal telah dan tengah berupaya “membangun desa” (pembangunan perdesaan) dengan pendekatan sektoral: infrastruktur, pendidikan, kesehatan, lingkungan, agribisnis, dan sebagainya, yang mempunyai kontribusi terhadap pencapaian kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Kutai Timur. Perjuangan panjang pengabdian kepada masyarakat oleh STPMD “APMD” kemudian membuahkan hasil, salah satunya yaitu Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) yang diresmikan pada tanggal 21 April 2011 di Desa Rantau Makmur Kecamatan Rantau Pulung Kabupaten Kutai Timur. Masa-masa fasilitasi juga digunakan untuk mendampingi desa belajar menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMDesa), Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDesa), Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), Peraturan Desa (Perdes) sampai dengan proses penyusunan laporan pertanggungjawaban. Kegiatan dan program fasilitasi yang dilakukan oleh STPMD “APMD” bersama dengan PT. Kaltim Prima Coal bermuara pada satu mimpi, yaitu memandirikan desa sebelum proses bisnis (pasca

80

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


tambang) dilakukan. Desa mampu mengelola urusannya sendiri dan tidak lagi bergantung dengan pihak-pihak disekitar desa (PT. Kaltim Prima Coal). Setelah menyelesaikan pengabdian kepada masyarakat di desa-desa sekitar PT. Kaltim Prima Coal di Kabupaten Kalimantan Timur, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa melanjutkan proses pengabdian di desa-desa yang menjadi mitra PT. Agincourt Resource (PT. AR) di Kabupaten Tapanuli Selatan. PT. Agincourt Resource merupakan sebuah perusahaan tambang emas yang berada di Kabupaten Tapanuli Selatan. Proses fasilitasi/pendampingan dilakukan di sepuluh desa dan lima kelurahan semenjak tahun 2015 dan masih berlangsung hingga saat ini. Tiga desa ditetapkan sebagai desa pilot project. Pendekatan best practices merupakan metode yang paling tepat untuk melakukan pembangunan di desa. Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” mengharapkan keberhasilan tiga desa “pilot project” tersebut dapat menjadi contoh bagi desa-desa lainnya sehingga mau melaukan perubahan. Proses advokasi juga dilakukan sebagai bagian dari upaya memajukan/memandirikan desa. Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” melakukan advokasi kebijakan ke pemerintah kabupaten untuk menerbitkan produk politik (Peraturan Bupati). Langkah advokasi ini dilakukan setalah proses identifikasi existing condition desa-desa yang ada di Kabupaten Tapanuli Selatan, khususnya desa-desa yang berada disekitar daerah tambang PT. Agincourt Resource. Salah satu permasalahan yang ditemukan yaitu struktur dan tata kelola pemerintah desa yang jauh dari kata ideal. Advokasi kebijakan yang dilakukan oleh Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” kepada Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan mengasilkan diantaranya sebagai berikut: 1. Peraturan Bupati perihal Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa (SOTK) 55 TAHUN STPMD “APMD”

81


2. 3. 4. 5.

Peraturan Bupati perihal Kewenangan Desa Peraturan Bupati perihal Badan Usaha Miliki Desa (BUMDesa) Peraturan Bupati perihal Perangkat Desa Peraturan Bupati perihal Penghasilan Tetap (SILTAP) di Pemerintahan Desa.

Peraturan Bupati sabagai produk politik diharapkan dapat memperlancar dan mempermudah upaya STPMD “APMD” dan pihak-pihak terkait untuk memajukan dan memandirikan desa. Regulasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan menjadi perwujudan aksi nyata kepedulian pemerintah supra desa terhadap perkembangan dan pembangunan di desa. Langkah tersebut dianggap sebagai upaya menepis rumor yang selama ini ada bahwa pemerintah kabupaten akan tetap membiarkan kondisi desa dalam keadaan minor, terdiskriminasi dan termarjinalkan sehingga proyek-proyek pembangunan tetap dilakukan dalam jangka waktu panjang dan terus menerus. STPMD “APMD” melalui proses fasilitasi yang dilakukan telah berhasil mengelaborasi berbagai kepentingan yang dibawa oleh masing-masing stakeholders. Kealpaan ego sektoral dari berbagai pihak dalam proses pengabdian kepada masyarakat menjadi bukti kemampuan dan spesifikasi khusus ke-desa-an yang dimiliki yang oleh STPMD “APMD”. Proses-proses yang dilakukan oleh STPMD “APMD” Yogyakarta kepada desa-desa disekitar perusahaan tersebut pernah disinggung oleh Lawrance Kincaid pada tahun 2002. Working paper yang berdujul The Integrated Model of Communication for Social Change menyebutkan pentingnya “community dialogue” dan “collective action” dalam rangka melakukan perubahan sosial (Harahap: 2016).

82

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Gambar 3. Tahapan Pencapaian Konvergensi

Catalyst adalah faktor pemantik dimulainya sebuah perubahan sosial. Agent of change merupakan katalisator yang paling dominan digunakan oleh Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”. Pihak-pihak yang ada di sekitar desa, khususnya perusahaan (PT. Kaltim Prima Coal dan PT Agincourt Resource) dianggap sebagai agen yang dapat melangsungkan proses perubahan di desa. Tahapan selanjutnya yang dilakukan oleh STPMD “APMD” adalah community dialogue. Tahapan community dialogue menjadi sangat penting sebagai bagian dari dinamika untuk memetakan konflik, potensi, permasalahan dan kebutuhan desa. Beberapa hal yang kemudian dilakukan selama proses community dialogue adalah identifikasi existing condition di masing-masing desa melalui penelitian, diskusi terarah dan public hearing. Tahap community dialogue ini berakhir dengan perumusan strategi dan langkahlangkah kongkret yang akan dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Tahapan akhir dari upaya pencapaian konvergensi adalah aksi bersama (collective action). Pada tahapan ini masing-masing pemangku kepentingan berkolaborasi dan bekerjasama untuk mencapai perubahan sosial yang telah disepakati bersama. STPMD “APMD” sebagai fasilitator mengorganisir pihak-pihak terkait. 55 TAHUN STPMD “APMD”

83


Proses mengorganisir ini dilakukan untuk menggali upaya-upaya pemecahan masalah yang dihadapi desa dan didistribusikan kepada pihak-pihak yang memiliki kemauan dan disesuaikan dengan kemampuannya. Beberapa hal yang dilakukan oleh STPMD “APMD” adalah mendorong Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan untuk menerbitkan Peraturan Bupati berkaitan dengan urusan desa, mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) di Desa Rantau Makmur Kecamatan Rantau Pulung Kabupaten Kutai Timur dan restrukturisasi kelengkapan pemerintah desa. Seluruh proses tersebut kemudian bermuara pada satu hal yaitu pembaharuan desa untuk kemajuan dan kemandirian desa. Alumnus dan DNA Pengabdian Robertus Suryantopo merupakan salah satu alumnus STPMD “APMD” yang secara nyata mengabdikan dirinya sebagai agen perubahan dan pemberdayaan masyarakat. Pada tahun 1982 Robertus Suryantopo memantapkan dirinya masuk ke Prodi Pembangunan Sosial (dahulu sosiatri). Aktivitas pengabdian kepada masyarakat diawali dengan jabatan sabagai seorang tenaga lapangan “Tenaga Pengembang Kelompok Swadaya” (TPKS). Setelah menyelesaikan pendidikan di STPMD, Robertus Suryantopo bekerja sebagai seorang trainer yang kemudian melatih para calon-calon pemberdaya masyarakat (Pembina wilayah). Aktivitas diawali dengan program plasma perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh PT. Tania Selatan. Pendekatan yang digunakan adalah “sistem kesatuan ekonomi” (community/group based). Masyarakat sebagai penerima manfaat dianggap sebagai sebuah kesatuan utuh atau kelompok. Pendekatan kelompok ini dianggap lebih efektif karena menjadikan kelompok sebagai jaminan keberlansungan program. Proses “rekayasa sosial” juga dilkaukan oleh Robertus Suryantopo untuk merubah pola pikir dan perulaku masyarakat di perkebunan plasma kelapa sawit. Aktifitas rekayasa sosial “social

84

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


engineering� tersebut merupakan salah satu bentuk pendekatan yang sering digunakan dalam proses pembangunan masyarakat. Rekaya sosial dilakukan untuk memastikan masyarakat siap dengan perubahan-perubahan yang akan terjadi di waktu mendatang. Masyarakat yang tidak siap dengan perubahan cendrung akan menolak atau justru kembali ke keadaan sebelumnya. Robertus Suryantopo sangat getol dalam aktifitas pembangunan masyarakat. Selah merasa cukup puas dengan kegiatan yang dilakukan di perkebunan plasma kelapa sawit tersebut, aktifitas membangun masyarakat dilanjutkan di berbagai daerah diantaranya Timor leste, Papua dan Kalimantan. Bekerja di bawah payung keorganisasian Oxfam, Robertus Suryantopo hadir sebagai fasilitator pembangunan masyarakat. Proses pembangunan tersebut diawali dengan pemberian akses air bersih kepada masyarakat sehingga dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang difasilitasi. Secara makro, tugas Robertus Suryantopo sebagai fasilitator adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Bahasa menjadi kendala yang dihadapi oleh Robertus Suryantopo selama proses pembangunan masyarakat dilakukan. Timor Leste sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki bahasa nasional sehingga dalam aktifitas kemasyarakatan setidaknya terdapat tiga bahasa yang digunakan yaitu Bahasa Indonesia, Portugis dan Inggris. Dilihat dari sudut pandang proses pendampingan atau fasilitasi di masyarakat, kemampuan seorang fasilitator untuk menggunakan bahasa lokal adalah sebuah keuntungan. Penggunaan bahasa sebagai simbol atau media yang dimengerti masyarakat menjadikan fasilitator sebagai sosok yang berasal dari dalam masyarakat. Komunitas menjadi lebih percaya dan bersedia bersama-sama melakukan perubahan sosial. Pekerjaan sebagai seorang aktor yang melakukan pemberdayaan di masyarakat terus dilanjutkan oleh Robertus 55 TAHUN STPMD “APMD�

85


Suryantopo. Setidaknya tiga bulan dihabiskan oleh Robertus Suryantopo di Timor Leste dan kemudian melanjutkan aktifitasnya di PT Freeport di Papua. Robertus Suryantopo melakukan program pemberdayaan masyarakat di sebelas kampung di sekitar PT Freeport dengan suku atau adat yang berbeda antara kampung yang satu dengan kampung yang lainnya. Setalah dua tahun bertugas sebagai agen perpanjangan tangan PT. Freeport di masyarakat, Robertus Suryantopo melanjutkan aktifitasnya di PT. Kaltim Prima Coal dan juga perusahaan tambang batu bara Barito Pacific. Kendala yang kemudian dihadapi dan menjadi tantanga bagi Robertus Suryantopo adalah berkaitan dengan budaya dan adat di masyarakat. Robertus Suryantopo menilai bahwa mayoritas masyarakat belum siap untuk melakukan perubahan yang prosesnya difasilitasi oleh pihak-pihak dari luar (peruahaan). Anggapan bahwa perusahaan sebagai mesin ATM tidak terjadi hanya di Papua, akan tetapi di Kalimantan dan juga di Sumatera. Hal tersebut menjadi problematika yang terjadi dari tahun ke tahun dan bahkan terkesan seperti dilestarikan. Robertus Suryantopo mengatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan adalah aktivitas “menunggangi dan ditunggangi�. Menunggangi tanggung jawab sosial perusahaan dibuktikan melalui ketidakseriusan pihak perusahaan untuk melakukan pembangunan di masyarakat. Robertus Suryantopo merasa bahwa beberapa perusahaan atau organisasi tidak serius dalam melakukan pembangunan masyarakat dan membatasi akses keuangan yang akan dijadikan sebagai program-program pemberdayaan masyarakat. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan diibaratkan dua sisi dari sebuah koin. Selain menunggangi, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan juga ditunggangi oleh berbagai pihak. Pemerintah, masyarakat dan organisasi-organisasi yang ada dimasyarakat melihat tanggung jawab sosial perusahaan sebagai ladang bisnis.

86

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Tanggung Jawab Sosial ditunggangi oleh pemerintah untuk mendapatkan “tambahan” dan tanggung jawab sosial perusahaan ditunggangi oleh masyarakat sebagai sumber pendanaan alternatif sehingga mendapatkan dana yang berlimpah. Masyarakat juga tidak segan untuk membenturkan perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lainnya, sehingga terjadi kompetisi dalam aktifitas tanggung jawab sosial perusahaan. Padahal “kemitraan” adalah pendekatan yang paling sempurna untuk menyikapi tanggung jawab sosial perusahaan. Puncak dari kiprah Robertus Suryantopo sebagai seorang ahli pemberdayaan masyarakat adalah menjadi Senior Manager di PT. Gudang Garam yang fokus pada pengembangan perkebunan plasma kelapa sawit. Kemitraan antara perusahaan dan desa (masyarakat) terlihat nyata terjadi. Robertus Suryantopo dengan kekuasaan dan keahlian yang dimiliknya melakukan berbagai macam bentuk program pemberdayaan masyarakat di komunitas perkebunan plasma kelapa sawit, salah satu diantaranya yaitu mendirikan minimarket yang dikelola langsung oleh masyarakat. Leason Learned Pada 17 November 2020, STPMD “APMD” Yogyakarta genap berusia 55 tahun. Perjalanan panjang yang tidak memiliki ujung. Pengabdian kepada masyarakat (Tri Dharma Perguruan Tinggi) hanyalah tempat pemberhentian sementara untuk kemudian melanjutkan perjalan menjadi Perguruan Tinggi yang berpihak kepada desa. Pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan di desadesa di sekitar wilayah tambang PT. Kaltim Prima Coal dan PT Agincourt Resource hanyalah salah dua contoh dari berbagai mecam kegiatan pengabdian kepada masyarakat, baik yang telah dilakukan ataupun yang sedang berlangsung. Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” hadir sebagai pemantik (trigger) api semangat untuk memuliakan desa. “Api semangat” 55 TAHUN STPMD “APMD”

87


ini harus dijaga kobarannya dengan aksi bersama (collaborative action), sehingga semua pihak (pemeintah-swasta-masyarakat) berkontribusi dan merasa bertanggung jawab. Teori tanggung jawab sosial perusahaan menyebutkan bahwa salah satu wujud aktualisasi kontribusi dan tanggung jawab itu adalah dengan membentuk departemen/divisi/bagian yang secara khusus mengurusi perihal tanggung jawab sosial perusahaan. Hal tersebut dibuktikan oleh PT. Kaltim Prima Coal dengan membentuk departemen bernama community relation, dan PT Agincourt Resource dengan pembentukan struktur kelembagaan bernama community empowerment. Sosok Robertus Suryantopo (alumnus) menjadi bukti bahwa roh sebagai seorang motor penggerak pembangunan di masyarakat sudah melekat didalam jiwa civitas akademik Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa. Pengalaman Robertus Suryantopo mengjarkan kita bahwa praktik tanggung jawab sosial perusahaan memang masih belum sempurna “ditunggangi atau menunggangi�. Meskipun demikian tanggung jawab sosial perusahaan juga memiliki potensi untuk dikembangkan sehingga menjadi alat yang tepat apabila digunakan di masyarakat. Leason learned yang dapat kita refleksikan dari pengalaman pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD� adalah, bahwa memandirikan desa merupakan sebauh proses yang panjang. Sebuah rangkaian kegiatan yang tidak mungkin dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah maupun perusahaan. Dengan berbagai keterbatasan dan permasalahan, baik yang disadari maupun yang tidak disadari, pemerintah desa membutuhkan kerjasama dan keterlibatan berbagai pihak untuk mempermudah dan melakukan akselerasi proses perubahan serta pembangunan di desa. Kemitraan dianggap pendekatan yang paling ideal. Peningkatan interaksi multistakeholders (pemerintah-swasta-masyarakat) diharapkan terjadi kerjasama yang saling menguntungkan

88

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


(Krisdyatmiko: 2012). Hubungan kemitraan antara desa dan perusahaan diharapkan bersifat multiarah. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) merupakan salah satu media (tools) yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk memberikan kontribusi pembangunan di desa. Tulisan ini, dengan berbagai keterbatasan yang dimilikinya hanya mampu mendokumentasikan dan memetakan dua bentuk kontribusi dari begitu banyak aktifitas penelitian dan pengabdian yang dilakukan oleh Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” terhadap desa dan diskursus desa. Tulisan ini diharapkan dapat memperjelas posisi Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” sebagai institusi pendidikan yang berpihak pada desa dan masyarakat desa. Terima kasih penulis ucapkan kepada M. Barori, Suharyanto, Ratna Sesotya Wedadjati, dan Robertus Suryantopo (Alumnus) atas partisipasinya dalam proses penulisan artikel ini. Daftar Pustaka Krisdyatmiko. 2012. “Kemitraan Pemerintah-Swasta-Masyarakat dalam bingkai forum multistakeholder Corporate Social Responsibility (MSH-CSR)”. Dalam Susetiawan, dkk (eds), Corporate social responsibility: komitmen pemberdayaan masyarakat. Yoyakarta. Azzagrafika. Harahap, Reiki Nauli. 2016. Pemberdayaan Difable Tuna Netra oleh multistakeholder di Kabupaten Cilacap. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Indonesia. UU No 6 tahun 2014. Pemerintah Republik Indonesia. Indonesia.

55 TAHUN STPMD “APMD”

89


90

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 6 JARINGAN, GERAKAN & PEMBELAJARAN BERDESA MULAI DARI PIKIRAN, PEMBELAJARAN, JARINGAN DAN GERAKAN13 Oleh: Siti Sumaryatiningsih

STPMD “APMD” terlahir dengan nama Akademi Pembangunan Masyarakat Desa (APMD) secara resmi pada 17 November 1965 dengan jurusan Pembangunan Masyarakat Desa. Jadi APMD memang terlahir atas spirit membangun masyarakat desa yang mana menyiapkan lulusannya sebagai “dokter masyarakat”, penggerak pembangunan masyarakat, mengajak masyarakat menjadi penggerak dalam pembangunan, bukan menjadi penonton. Spirit ini sangat kental karena pendiri APMD, Drs Soetopo, M.M sangat banyak terinspirasi dengan pidato Soekarno tentang nation and character building, rencana pembangunan 80 tahun oleh “Brain Trust” yang dipimpin Prof. Ir. Herman Johannes dan Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) dengan jangka waktu setiap 8 tahun setiap tahapnya. Dari tahapan pembangunan tersebut muncul gagasan dalam menyediakan tenaga yang mampu menjembatani antara sarjana di tingkat atas dan komisaris pembangunan di tingkat bawah yang notabene berpendidikan SLTA yang mendapatkan pendidikan 6 bulan tentang pembangunan masyarakat. Hingga saat ini sudah puluhan 13

Tulisan ini hasil wawancara dengan narasumber Dr. Sutoro Eko Yunanto, Anom Surya Putra, SH, M.H, Drs. Farid Hadi Rahman, dipl. Ing.,M.E

55 TAHUN STPMD “APMD”

91


ribu lulusannya yang tersebar di seluruh nusantara mengabdi pada negara dan masyarakat dalam membangun desa. Dalam perjalanannya nama APMD berubah menjadi STPMD “APMD” sejak tahun 1989 dengan 3 Jenjang Program S1 dan 1 Jurusan Jenjang Program D3. (Soetopo, 2015) Menurut Sutoro Eko, “Sang Begawan Desa”, hingga tahun 1999 konteks orde baru sentralistik dan birokratik terhadap desa. Frame ini mengisolasi aktifitas tridharma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan, pengabdian dan penelitian dari dunia politik. “Dalam tridharma, kita kritis membaca Robert Chamber membangun desa dari belakang. Selama orba pembangunan desa dari depan yang didukung oleh para ilmuwan pelaksana professional yang sebenarnya tidak banyak membawa perubahan fundamental, hanya fisik dan wajah desa yang berubah. APMD kritis dalam hal itu, pun dalam mengajarkan ke mahasiswa. Diskursus aspirasi desa, kebijakan pemerintahan ilmu pengetahuan tidak terhubung. Pengabdian masyarakat penting untuk membangun kepekaan terhadap denyut kehidupan desa, ini jarang dilakukan. Pengabdian institusional lebih banyak penyuluhan, induksi pengetahuan, teknologi dan program kampus dimasukkan ke desa. Di satu sisi menyerap dengan baik ajaran Robert chambers membangun desa dari belakang pengabdian melakukan penetrasi iptek dari desa, ini kontradiktif. 1998 sebelum 1999 APMD banyak diskusi bagaimana melakukan reform perubahan cara pandang. Situasi belum memungkinkan di waktu itu dulu kita punya kepekaan terbatas dari dunia lokal mengkritisi UU No.5 Tahun 1979. Banyak pengetahuan kritis, literatur, belum terhubung dengan baik.” Menurut Sutoro Eko, ilmu belum amaliah dalam arti besar, dalam arti kecil masih menggunakan cara developmentalis, mengajari orang desa dengan administrasi pemerintah desa. Pengabdian dilakukan tanpa menyentuh pemberdayaan dan kebijakan di level lokal maupun nasional.

92

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Perubahan Paradigma: Belajar dari Kampus ke Kampung menjadi Belajar dari Kampung ke Kampus Tahun 1999 tonggak penting “APMD” dalam memuliakan desa. Komitmen APMD secara historis etik moral keilmuan terhadap desa tentu tidak perlu di pertanyakan, dari namanya sudah tercermin visinya. Perubahan orientasi “APMD” adalah hasil kristalisasi pengetahuan, jaringan, gerakan dan kebijakan. Pada tahun ini terdapat dua hal penting dalam kiprahnya. Pertama, APMD mulai bergerak keluar kampus, berjejaring dengan stakeholder desa dan ikut berkontribusi langsung dalam melahirkan kebijakan penting bagi desa. Pada titik ini APMD tidak lagi menjadi menara gading dan gudang para ilmuwan desa. Kedua, momentum penting berakhirnya rezim UU No. 5 Tahun 1979 dan digantikan dengan UU No. 22 Tahun 1999, tentang pemerintahan darerah. Munculnya UU ini memberikan spirit baru dalam keragaman otonomi dan spirit berdesa. Dari kedua faktor tersebut kemudian mengalir dengan berbagai kegiatan jaringan, NGO, penggiat desa dan pengambil kebijakan dalam hal ini kementrian desa dan DPR. Tahun 2000 APMD ikut terlibat dalam jaringan FPPM (Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat), forum itu mulai membicarakan otonomi masyarakat desa. Lappera bekerjasama dengan Ford Foundation, mengkaji parlemen desa, Badan Perwakilan Desa (BPD). Lappera memegang andil besar dalam pembicaraaan desa di awal. Lappera yang dirintis Dadang Juliantara dan Agung Wibawanto menggulirkan Pembaruan desa, politik otonomi dan demokrasi desa. Lappera juga menginisiasi Forum Komunikasi BPD dari level Kecamatan hingga Nasional. Diskursus desa cukup kuat digaungkan, sering ada forum diskusi FPPM dan Lappera. LSM lain yang terlibat adalah USC Satunama, CD Bethesda, Cindelaras. Dalam sebuah diskusi di Desa Panggang, Gunung Kidul, berbagai pihak hadir melahirkan pemikiran otak atik 55 TAHUN STPMD “APMD”

93


gathuk, desa itu jika diperjuangkan agar Demokratis, Emansipatoris, Sejahtera, Adil. Desa menjadi subjek jika demokrasi dan emansipasi tumbuh dan melahirkan kesejahteraan, itu adil. Desa milik rakyat, bukan milik elit. Selain itu, spirit otonomi dan demokrasi belum ada distribusi uang, memberikan peluang tanpa uang. Tahun 2001 desa mulai bergejolak dengan menguatnya parlemen desa. Konflik antara lurah desa dan parlemen desa mulai terasa, sampai ada plesetan BPD “Badan Provokasi Desa “. Dari situ desa mulai bergerak, APMD turut serta dalam memfaslitasi lahirnya demokrasi dengan asosiasi Asosiasi Kepala desa, Asosiasi Perangkat Desa juga mulai terbentuk. Dinamika desa semakin hangat. Desa bergerak maka akan menghasilkan kebijakan yang memihak. Tumbuhnya asosiasi ini menjadi embrio tumbuhnya gerakan civil society di desa. Asosiasi ini diharapkan memperkuat masyarakat bukan alat menindas rakyat. Titok Hariyanto, sebagai organisasi profesi tidak masalah muncul organisasi-organisasi asosiasi tersebut, yang menjadi masalah organisasi tersebut difungsikan menekan suara kritis dari masyaraakat. “Bicara substansi demokrasi yang penting dibangun pada pemdes, asosiasi BPD, memperkuat masyarakat, memperkuat rakyat. Di beberapa desa sudah muncul, ada yang mengorganisasir kelompok perempuan, difabel, beberapa kelompok yang diorganisir mampu mendorong perubahan di tingkat desa. Meski tidak fundamental bisa memberikan warna yang berbeda. Pemdes hari-hari harus berdiskusi dan berdialog. Belum menguat di level kabupaten, masih sectoral. Merajut kepentingan mereka belum terbentuk. Embrio Gerakan sosial sudah muncul tapi belum ada di tingkat kabupaten. Butuh transformasi gagasan, nilai di level desa, menjadi semakin luas gerakannya. Rajutan pada level kabupatennya. Ini mengimbangi tekanan politisasi sering digunakan asosiasi profesi asosiasi pemdes. Mereka memiliki kepentingan sendiri tanpa memiliki keterkaitan kuat dengan masyarakat desa�.

94

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Tahun 2001- 2005 APMD memperoleh pengalaman penting dengan dukungan dana dari Ford Foundation. APMD mulai turun melihat dinamika desa secara langsung di berbagai wilayah di Indonesia melalui penelitian. Isu yang berkembang yaitu BPD sebagai arena baru kekuasaan dan demokrasi di desa, masyarakat adat dan isu lainnya. Pengalaman di aras lokal disampaikan pada pidato pertama saat Sutoro Eko diangkat menjadi ketua STPMD “APMD” melalui pemilihan yang demokratis, dinamis, langsung, pada 17 November 2002. Dalam pidatonya Sutoro Eko juga bertekad menjadi Begawan Desa. APMD melibatkan diri pada ruang kehidupan desa, ruang gerakan maupun ruang kebijakan. APMD harus mendorong perubahan desa melalui tiga arena perubahan yaitu pemikiran dan pengetahuan, gerakan dan kebijakan. FPPM mengalami pemekaran pada Bulan Juli 2003, dimana FPPM Fokus partisipasi masyarakat dan kebijakan publik dan FPPD (Forum Pengembangan Pembaharuan Desa) fokus untuk desa. Pada bulan September 2003 banyak tokoh berkumpul lagi membicarakan konsep pembaruan atau pembaharuan desa. Konsep ini disesuaikan konteksnya dalam Bahasa Inggris, pembaruan adalah renewal, sedang pembaharuan adalah reform. Maka kalimat pembaharuan disepakati dan lahirlah FPPD sebagai Forum Pengembangan Pembaharuan Desa. FPPD mengkonsolidasi pemikiran dan gerakan kebijakan terkait desa. Mulai dari sini agak sulit memisahkan antara STPMD “APMD” dan FPPD, ibarat FPPD mainboard maka APMD Processor. Hal ini dibenarkan oleh Farid Hadi, Pasca reformasi, 2003 FPPD mengkaji desa pasca reformasi. Fokus kajian pada distribusi fiskal, dari pusat ke desa, negara ke desa, berhenti setelah reformasi. Hasil penelitian FPPD menyatakan bahwa semua fokus pada perubahan desentralisasi daerah minus desentralisasi desa. Riset berikutnya kajian nasional dari Sumatera hingga Papua tentang peluang transfer fiskal yang baru. Farid mendapat kesempatan melakukan riset di Kepulauan Selayar. Hasil riset menyatakan bahwa Kepulauan Selayar sangat 55 TAHUN STPMD “APMD”

95


progresif sebagai salah satu pelari terdepan memberikan alokasi dana desa di masa pasca orba, pasca reformasi. Sumatera Barat juga ada kebijkan mengenai Dana Alokasi Umum Nagari (DAUN). Praktek baik ini juga ada di beberapa Kabupaten lain seperti Kebumen, Magelang dan Tuban. Kebijakan dalam bentuk transfer fiskal dari daerah ke desa, Dana Alokasi Desa (DAD) mendorong otonomi desa. Menurut Farid Hadi, hasil penelitian ini menunjukkan 10% dari sisa DAU yang dipakai untuk kebutuhan umum, gaji operasional, menyebutkan ADD hanya sisanya sisa. Ini gebrakan pertama daerah melakukan bimbingan memperjelas posisi desa. Desa dengan sumber daya luar biasa perlu diperhatikan. Banyak daerah belum memberikan ADD, belum memberikan hak desa. Hasil riset ini kemudian dibukukan dengan judul alokasi dana desa. Pengalaman ADD di beberapa daerah direspon dengan terbitnya Surat Edaran dan dipertegas dalam UU No. 32 Tahun 2004 dalam perubahan, ADD masuk menjadi bagian dari transfer fiskal. Momentum penting berikutnya adalah pada awal 2004 ada pertemuan di Hotel Brongto dihadiri oleh perusahaan, pemerintah pusat, daerah dan desa. Dalam momen ini embrio jaringan STPMD “APMD”mulai terbentuk. Perkenalan pertama Hasto Wiyono, dosen STPMD “APMD” dengan Nurul Karim, Kalimantan Timur, kemudian Kerjasama secara kelembagaan antara STPMD “APMD” dan Pemerintah Daerah bermula. Di tahun ini juga banyak pembicaraan menggugat UU No. 22 Tahun 1999 yang dinyatakan sebagai otonomi liberal dan kebablasan. Suasana kebatinan saat itu para Bupati berani “melawan” Gubernur, Gubernur melawan Presiden, konfliktual, lurah dan BPD, kadang dengan DPRD. Dalam pembahasannya desa tetap tidak tersentuh hingga lahirnya UU No. 32 Tahun 2004. APMD menjadi salah satu aktor utama dengan membedah UU No. 32 Tahun 2004 di kampus. Ada banyak catatan kekecewaan atas kelahiran UU ini, diantaranya munculnya birokratisasi di

96

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


desa dimana sekretaris desa adalah PNS. Di sisi lain kewenangan parlemen desa dalam hal ini BPD dipreteli atas nama demokrasi. Seperti pendapat Titok Hariyanto dalam wawancaranya: “Dalam UU No. 32 Tahun 2004 ada banyak konflik seperti mengurangi mreteli kewenangan yang dipunyai BPD, dimana BPD tidak punya kontrol ke pemdes. Di UU 32 mengebiri, mengecilkan peran BPD, BPD menjadi Badan Permusyawaratan Desa, permusyawaratan, mestinya Lembaga perwakilan, sebagai parlemen desa lebih cocok. BPD tidak lagi bisa mengusulkan pencopotan kades. Peran BPD kecil, orang melihatnya BPD lembaga tidak bergigi sampai sekarang sebenernya. UU Desa desain ke arah sana belum cukup kuat. Peran BPD kurang optimal dalam UU desa, tukang stemple bagi pemdes, bukan chek and balances.” Namun demikian ada satu poin penting yang menjadi progress dalam perjuangan desa yaitu mengenai sumber keuangan desa. Sumber keuangan desa tidak lagi bantuan tapi bagian yang tersurat sebagai dana perimbangan. Secara politis posisi desa menguat dengan adanya dana perimbangan, desa mendapatkan haknya atas kue pembangunan. Pada 2005 STPMD “APMD” tambah kuat internal dan eksternal. Secara internal, April 2005 melaunching buku sebagai produksi pengetahuan, pengalaman dan gerakan yanng telah dilakukan. Buku Transformasi Ekonomi Politik Desa (Gregorius Sahdan). Pada November 2005, juga melaunching 5 buku, salah satunya berjudul Manifesto Pembaharuan Desa, 40 tahun STPMD APMD. Secara eksternal STPMD “APMD” telah mengukuhkan posisinya dalam jaringan gerakan dan kebijakan. Sebarai upaya mereproduksi pengetahuan maka M. Barori, Suharyanto, dan Widyohari merintis pelatihan setelah PP No. 72 tahun 2005 lahir. Pertengahan 2005 pengalaman pertama APMD menyelenggarakan pelatihan dengan peserta dari Polewali Mandar. Dalam pelatihan yang dihadiri Bupati dan kades ini menjadi arena transfer pengetahuan di mana APMD memperoleh cerita aspirasi 55 TAHUN STPMD “APMD”

97


dan daerah dan sebagai timbal baliknya APMD memberikan pembelajaran berdesa dan mempengaruhi kebijakan kabupaten. Perkembangan berikutnya pada tahun 2005 pemerintah dan DPR memecah UU No. 32 tahun 2004 menjadi UU pilkada dan UU desa. Disini peran kunci STPMD “APMD” dimainkan. Kampus menjadi ajang diskusi tentang posisi desa yang tidak berkesudahan. Hingga tahun 2006 APMD terlibat dalam lokakarya kedudukan dan kewenangan desa di Jakarta. Diskusi ini memperkenalkan memetakan ada 3 kedudukan desa, self governing community, local state government dan local self government. Yando Zakaria, memperkenalkan konsep rekognisi, selfgoverning community. Sementara Sutoro Eko, saat itu menjabat sebagai tenaga ahli di kemendagri mempunyai posisi strategis dan akses ke daerah semakin luas. Akses ini memberikan pengetahuan baru dengan menemukan dan menyerap aspirasi local desa. Suara dari desa terpencil dan daerah tertinggal seperti NTT dapat terdengar dan diperdengarkan sebagai pengetahuan sekaligus membangun kekuatan gerakan untuk mempengaruhi pembuat kebijakan. Secara tidak langsung jaringan STPMD “APMD” semakin meluas, pengetahuan bertambah dan gerakan semakin termaknai. Menurut Farid, di tahun 2005 FPPD menuliskan pengalaman dan pengetahuan pada majalah MUDIK tentang perkembangan desa. Majalah ini menjadi ditunggu di daerah. Saat itu belum popular medsos, di situ Sutoro Eko yang juga ketua FPPD membongkar pemikiran tentang desa. Diseminasi informasi mengenai desa bertumpu pada majalah ini. Membidani Lahirnya UU Desa Gerakan APMD semakin masif bersama jaringan ikut terlibat aktif membidani lahirnya UU Desa. Mulai dari proses pembuatan Naskah Akademik hingga menjadi UU Desa. Januari – Agustus 2007 bersama FPPD dan Dirjen PMD menyusun Naskah Akademik UU desa. Sutoro Eko mengusulkan konsep subsidiaritas, yang

98

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


merupakan kristalisasi pengetahuan dan pengalaman local desa. Subsidiaritas dalam bahasa formal dapat dikatakan sebagai kewenangan lokal berskala desa. Sementara Yando Zakaria bersama Ari Dwipayana mengajukan konsep rekognisi. Pada bulan Agustus Naskah Akademik selesai dengan beberapa catatan, pertama, secara akademik belum kuat spiritnya, kedua, aspek historis lemah. Dalam naskah akademik didominasi 2 konsep desa, rekognisi dan subsidiaritas. Kedua konsep itu kemudian menjadi ruh UU Desa. Orientasi masa depan desa, dimana desa dipandang sebagai entitas di mana desa itu otonom, memiliki kewenangan yang lebih jelas dalam mengambil keputusan dan dana desa harus jelas, karena uang tanpa uang sama saja bohong, uang tanpa duang percuma. Pelajaran penting lain pada tahun 2008 -2009 yaitu adanya PNPM mandiri pedesaan. Bagi STPMD “APMD” PNPM tidak masuk dalam sistem desa, masuk ke dalam desa melalui desa tetapi tanpa desa. Sementara Sutoro Eko menganggap bahwa program ini seperti “menarik sapi kurus dengan tali yang besar dan panjang”. PNPM menggaungkan jargon satu desa satu rencana satu anggaran. Desa itu banyak jadi lokasi dan obyek, banyak rencana, seperti pasar, ini disebut fragmentalis. Kondisi ini menjadi semangat dan spirit sendiri dalam Gerakan Desa Membangun. Pengetahuan dan gerakan sosial semakin banyak tidak tumbuh kuat kalau tidak masuk di politik. Gayung bersambut dengan terpilihnya Budiman Sujatmiko duduk di DPR dan menjadi jangkar RUU Desa. Budiman Sujatmiko berhasil membawa isu desa dari pinggir ke tengah. RUU yang diinisiasi memasukkan konsep subsidiaritas dan diterima tahun 2010. Konsep kewenangan lokal berskala desa, diterima setelah proses dan diskusi yang panjang. Konsep rekognisi masih alot dibicarakan. Peran Sutoro Eko menjadi tenaga ahli di kemendagri menjadi sangat strategis dalam merajut aspirasi dan ide, mengorganisir jaringan serta mempengaruhi kebijakan. Desa dengan pengalaman-pengalaman local yang baik mampu memberi warna yang berbeda atas pengakuan pada kemampuan 55 TAHUN STPMD “APMD”

99


desa dalam mengelola dirinya. Pengalaman dan kearifan berskala desa turut mewarnai pasal demi pasal dalam UU Desa. Praktik baik dan kekuatan mulai temukan di kawasan kerja di ACCESS pada tahun 2011. Lesson learn dari kawasan timur NTT, NTB Makasar mewarnai dialog substansi UU Desa. APMD bersama FPPD, IRE mengkaji dan mengambil mutiara tersebut dan dibahas dalam diskusi nasional. Desa bersuara salah satunya desa di Rapoa, Bantaeng. Desa mampu mengubah pangan Jakarta bahwa desa mampu menngelola dirinya sendiri. Substansi rancangan UU desa semakin tajam dengan suntikan pasal-pasal tentang kemandirian desa dan desa menjadi subjek bukan obyek. Selain itu, pemberdayaan fungsinya adalah kepercayaan, desa tidak akan berdaya kalau tidak dipercaya. Pada Januari 2012 mulai terbentuk pansus dinahkodai oleh Ahmad Muqowam, maka Sutoro Eko, Abdul rozaki, Ari Sujito mulai menggagas dan mengkonsep draft RUU. FPPD dan IRE, Barori dan Hasto Wiyono, mengumpulkan survei data uang masuk desa, dari berbagai daerah mitra kita yang telah terbangun sejak 2005 melalui pelatihan. Hasto meng-entry dan mengolah data bermalam-malam tanpa bayaran. Pansus mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Dalam RDPU menghadirkan sekitar 104 pakar, APMD menjadi salah satunya. Dalam kesempatan itu Habib Muhsin menyampaikan pandangan STPMD “APMD” dengan konsep baru “Desa Membangun Indonesia”. Pada saat yang sama 12 kades pilihan Indonesia Timur hadir di RDPU dan salah satu kades diberikan kesempatan bicara bahwa desa mampu, desa punya pengalaman inovatif, yang kemudian disebut sebagai mutiara perubahan dari timur. Pada tahun 2013 mulai dibentuk panitia kerja antara Pemerintah dan DPR membahas secara intensif RUU Desa. Beberapa diskusi alot asas demokratisasi, dana desa, BUM Desa yang belum mampu mempertemukan rezim bisnis dan rezim desa. Tim ahli melakukan kerja politik sekaligus kerja akademik. Dalam

100

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


menggodok pasal demi pasal dalam UU Desa Farid menyediakan “warung” untuk diskusi, semua kebutuhan diskusi dicukupi. “Saya memfasilitasi konsumsi, akomodasi dan keperluan diskusi lain. Proses diskusi ini mempertajam dialog kami datangkan ada RDPU Rapat Dengar Pendapat Umum kami hadirkan teman dari NTT, NTB Sulawesi mewakili desa di sana kades actor membuat dialog diskusi menjadi tema yang menarik untuk di RDPU dan kita publikasi. Pertama nama RDPU di streaming. Mengajak kawan LSM kuat di media mendukung diskusi di ruangan nusantara bisa dibawa keluar. Semua orang mulai belajar media itu penting system informasi itu penting, mendorong SID. Tema yang agak terpisah ini menjadi bagian dari informasi pemberdayaan dengan tata Kelola dan pembaharuan yang dilakukan”. UU desa memberikan banyak pembaharuan, desa mampu membangun kesejahteraan substansial bukan legal formal. Di akhir 2013 UU desa disetujui dan disahkan awal 2014. Kelahiran UU Desa mendapat sambutan luar biasa dari desa. Kemanangan ini dinodai dengan munculnya PP No. 43 Tahun 2014 dan PP No.60 Tahun 2014 menurunkan spirit berdesa. Kondisi ini diperparah dengan teknokratisasi desa dimana desa diampu Kemendagri dan Kemendesa. Desa Salah Asuhan Menurut Titok Hariyanto, desa tidak berkembang seperti yang diharapkan, yang melahirkan dan yang membesarkan berbeda. APMD termasuk yang melahirkan tapi banyak pihak yang membesarkan. “Dalam kaitan advokasi UU Desa, Sutoro Eko adalah figure yang paling menonjol. Dia menjadi magnet mempertemukan aktifis Gerakan sosial. APMD menjadi bagian support, Perguruan Tinggi melahirkan UU Desa. Setelah lahir tidak banyak secara aktif mengikuti, yang ikut menikmati banyak. Tidak semua Perguruan Tinggi terlibat. Dari APMD, ruh aktifisme mengadvokasi desa 55 TAHUN STPMD “APMD”

101


muncul. Banyak Perguruan Tinggi di periode sebelumnya melakuan aktifitas di desa, tetapi tidak banyak melakukan advokasi, menangkap problem sosial structural di desa. Penting untuk satu kebijakan untuk desa. APMD mendialogkan narasi lokal diangkat dikontekstualisasi untuk melahirkan UU Desa. Ini poin strategis dalam UU Desa. Kontribusi semacam itu tidak bisa lahir cara pandang intelektual tradisional membicarakan persoalan di desa, tanpa solusi ideal di desa. Manangkap apa yang menjadi persoalan di desa diolah kemudian apa yang harus dilakukan pemerintah�.

Fase awal 2 tahunan dari UU desa, banyak pihak melakukan aktifitas di desa tidak paham substansi UU desa. Ini menjadi masalah. Membuat program aktifitas advokasi baik NonGovernment Organization (NGO) local maupun internasional serta Perguruan Tinggi tidak memberikan ruang pembebasan terhadap desa tetapi sebaliknya malah memberi beban desa. Desa harus melakukan dan menerima program sesuai dengan proyek. Menurut Titok, APMD berbeda karena memegang ruh UU Desa, mengajak desa melihat dirinya. Cara pengorganisasian dan advokasi dengan melibatkan desa, memuliakan desa dan berembug bersama pemdes dan masyarakat desa. Frame berpikir ini menjadi pembelajaran terutama bagi lulusannya dalam berjaringan, mereproduksi pengetahuan dan membangun gerakan berdesa. UU desa adalah harapan desa menjadi hidup dan bermakna. “Titok mengkhawatirkan mengulangi sejarah otonomi daerah. Di awal banyak champion, Bupati Jembrana, Sragen, Jogja tapi periode kedua UU desa hilang begitu saja. Apa yang dirintis hilang tidak berbekas. Spirit dari pelaksanaan otonomi daerah berpusat pada agen, pemimpin. Sementara upaya mentransformasi membangun kesadaran di level public memberikan ruang di masyarakat menentukan, di UU desa seperti itu. Panggungharjo, Ponggok, apa yang dirintis oleh Kades hilang. Proses transformasi gagasan ini masih milik pemimpin itu sendiri. Menjadi rawan pembajakan

102

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


oleh elit otomatis program yang akan dijalankan oleh elit tidak menjadi kesejahteraan ke desa. Munculnya desa champion inisiatif lebih banyak dari pemimpinnya bukan dari masyarakat.�

Pengalaman ini menjadi pembelajaran penting. Tantangan bagi pemimpin desa dalam mengelola gagasan berdesa tidak hanya viral dan masuk dalam APBDesa, namun dimengerti betul oleh masyarakatnya. Pemimpin juga menjadi agen perubahan dalam mentransformasikan spirit berdesa kepada masyarakat desa. Spirit kewarganegaraan menjadi keharusan karena pemimpin tidaklah abadi dalam kekuasaan. Masyarakat desa harus memahami dan meyakini bahwa berdesa menjadi alternatif jalan menuju kesejahteraan warga. Pelaksanaan UU desa harus ada yang mengawal sehingga tidak lagi salah asuhan. Strategi advokasi yang tepat, jaringan yang kuat, pengetahuan yang hebat mewujudkan desa yang kuat dan rakyat berdaulat. Gagasan bisa nendang kalau lewat jaringan dan persoalan keadilan jangan sampai dikalahkan dengan laporan. Tradisi Berdesa Menurut Anom Surya Putra, tradisi berdesa yang merupakan bagian dari mazhab Timoho, perlu mendapatkan porsi lebih dalam pemikiran dan pengetahuan berdesa. Gagasan ini disampaikan ke jaringan supaya lebih nendang dan menjadi sebuah gerakan. Berdesa adalah bagaimana menghidupkan desa. Desa bukan sekedar ruang kosong. Desa dipandang sebagai subyek dengan lokalitasnya, hidup dan penghidupannya, kehidupan sosial, ekonomi, politik dipandang secara terintegrasi. Bentang lahan dan bentang fisik desa menjadi bagian utuh desa. Berdesa itu bagian dari dinamika tradisi, kearifan lokal situasi kebiasaan yang menjadi bagian dari dinamika berdesa. Berdesa diantaranya adalah cara bermasyarakat, cara membangun, cara berpemerintahan semua memiliki tradisi. 55 TAHUN STPMD “APMD�

103


Menurut Farid Hadi, setiap daerah memiliki tradisi berdesa beragam dan dinamis. Namun demikian tradisi berdesa ini memiliki satu catatan penting dimana petani tidak atau belum menjadi bagian dalam system dan tradiri berdesa. Salah satu persoalan berdesa adalah meminggirkan petani dari desa. Petani dengan pertaniannya menjadi ikon simbolik desa, namun dalam pembangunannya desa meminggirkan petani, baik dari program maupun anggaran desa. Petani ini punya bapak sendiri yaitu Dinas Pertanian dan kehutanan. Desa tidak ada yang mengalokasikan anggaran dan program untuk petani. LMDH lebih menjadi kepanjangan tangan perhutani, perhutani swasta. Reposisi STPMD “APMD” Dari berbagai pengalaman dalam membangun jaringan, Gerakan dan kebijakan STPMD “APMD dapat mereposisi tempatnya dalam memproduksi gagasan dan Gerakan berdesa. Pertama, APMD berubah dalam hal Tridharma, tidak hanya menjadi gudang ilmuwan desa tapi terlibat dalam kerja nyata. Integrasi antara tridharma dengan kerja politik dan kebijakan. Kedua, APMD bisa merajut, pemikiran pengetahuan, gerakan dan politik kebijakan di ranah lokal, meso, ranah makro. APMD adalah tempat untuk memproduksi dan mereproduksi pengetahuan, memiliki reputasi baik dan kepercayaan publik meningkat. Lulusan APMD harus bisa menjadi kader desa yang mempunyai kemampuan connecting. Crafting dan transforming. STPMD “APMD”

3HQJDEGLDQ NHSDGD 0DV\DUDNDW

104

3HQHOLWLDQ GDQ 3HQJHPEDQJDQ

MENGABDI DAN MELAYANI DESA

3HQGLGLNDQ GDQ 3HQJDMDUDQ


menjadi orkestrator baik isu maupun jaringan berdesa. Isu tradisi berdesa yang benar dan clear dalam memperlakukan desa dengan mazhab Timoho harus lebih sering digaungkan. Tradisi berdesa harus menjadi spirit utama dan kental dalam seluruh kegiatan di APMD dan terintegrasi dalam implementasi tridharma. Perubahan paradigma dalam melakukan Tridharma Perguruan Tinggi. Menurut Anom, sudah saatnya pengabdian mempunyai posisi utama dan melandasi penelitian dan pengembangan serta pengajaran di STPMD “APMD”. Membawa tradisi berdesa menjadi ilmu pengetahun yang layak diperhitungkan dalam membangun negara. Desa yang berdaulat negara bermartabat. Selain itu STPMD “APMD” dapat menjadi suara kritis bagi sesama Perguruan Tinggi, pemerintah dan penggiat desa dalam memperlakukan desa. Reframming dan repositioning STPMD “APMD” dalam menyatukan tradisi berdesa yang benar dengan Tridharma. Tridharma menjadi rutinitas yang penuh makna. Dalam pidato pengukuhannya Sutoro eko merujuk pada Filsafat Proses Manusia, mengatakan bahwa makna adalah proses dinamis manusia yang terus bergerak dari “mengada” (being) berubah “menjadi”

55 TAHUN STPMD “APMD”

105


(becoming). Baginya makna berarti hati, hati adalah cinta, yang melandasi kebajikan, vocation dan passion dalam memuliakan Tridharma. Kebijakan tanpa kebajikan ibarat otak tanpa hati, ibarat nalar tanpa cinta. Menjalankan Tridharma dengan penuh cinta dan sepenuh hati memproduksi kebijakan yang penuh kebajikan, membawa kebaikan bagi semesta raya. Tridharma memberikan kontribusi riil pada pembangunan masyarakat, dari desa untuk Indonesia. Ilmu yang diproduksi menjadi ilmiah dan amaliah dengan kontribusi STPMD “APMD” baik secara keilmuan maupun tindakan untuk desa berdaulat dan bermartabat. STPMD sebagai mercusuar melahirkan generasi berdesa yang membumi. Jaringan telah terbangun secara baik dengan banyaknya kerjasama pemerintah daerah juga alumni yang tersebar di seluruh negeri menjadi modalitas besar dan strategis gerakan. Gerakan dapat melahirkan perubahan desa di masa depan. Masa depan desa diubah dengan kebijakan yang memakmurkan rakyat dan bukan bukan pejabat. Kebijakan yang memakmurkan bumi bukan korporasi. Daftar Pustaka M. Soetopo, M.M. 2015. APMD Lahir dan Berkembang, STPMD “APMD”. Yogyakarta. Sutoro Eko Yunanto. 2019. Mendudukkan Keilmuan, Kelembagaan dan Kemakmuran. Pidato Kelembagaan Ketua dalam Rangka Dies Ke-54 Dengan Tema “Maju dan Bermartabat”. Yogyakarta

106

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 7 MENDAMPINGI BUMDESA, MERAJUT KORPORASI RAKYAT Oleh: Rema Marina14

Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” memandang BUMDesa sebagai sebagai upaya untuk menciptakan kemandirian desa. Kemandirian tersebut dapat dicapai melaui kerjasama yang baik antara pemerintah desa dengan BUMDesa dalam rangka memaksimalkan potensi yang ada di desa. Potensi seperti pertanian, perkebunan, perikanan atau kelautan, tambang, industri lokal dan UMKM sejatinya harus bisa menjadi kekuatan atas kemandirian desa. BUMDesa sebagai satu lembaga ekonomi desa idealnya mampu memberikan kontribusi yang besar untuk kesejahteraan masyarakat desa. Dalam hal ini APMD selaku institusi yang concern pada isu-isu tentang desa juga membahas terkait keberadaan BUMDesa, di mana upaya yang dilakukan adalah memberikan pelatihan dan pendampingan agar terwujudnya BUMDesa yang mampu meningkatkan kualitas hidup manusia. Sebelum adanya BUMDesa ada beberapa institusi sosial dan institusi keuangan mikro yang dibentuk pemerintah: BKD, BINMAS, KUEPEDES, KIK, KCK, BUUD, KUD, UEDSP, LPD di Bali sejak 1985. Juga hadir beberapa kelompok-kelompok masyarakat yang dibentuk oleh proyek-proyek sektoral kementerian seperti UPK dan simpan pinjam untuk perempuan (SPP) dalam PNPM 14

Staff pengajar STPMD “APMD”. Tulisan ini merupakan hasil diskusi bersama Dr. Sutoro Eko, Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada narasumber Drs.Suharyanto MM. Dosen STPMD “APMD” juga kepada Mujimin, S.Sos alumni STPMD “APMD”. 55 TAHUN STPMD “APMD”

107


Mandiri Perdesaan. Semua ini adalah LKM korporatis, atau lembaga keuangan mikro (LKM) yang dibentuk oleh pemerintah. Berbagai LKM ini dibentuk oleh pemerintah karena komitmen pemerintah menolong rakyat desa (termasuk kaum miskin) dari jeratan renternir dan sekaligus membuka akses kredit bagi rakyat desa mengingat bank-bank komersial (baik BUMN maupun swasta) tidak pro poor.15 Kehadiran UU Desa No. 6 tahun 2014 merupakan tonggak sejarah bagi desa di Indonesia, yang mana selama ini desa hanya sebagai objek dalam pembangunan, namun dengan hadirnya UU Desa memberikan kekuatan kepada desa dalam membangun desanya agar dapat berkembang terutama di basis perekonomian. Jika dulu pemerintahan di atas desa dapat mengintervensi kebijakan yang dibuat oleh desa namun sekarang sepenuhnya kewenangan itu ada di desa yang dirumuskan melalui musyawarah desa. Sebelumnya beberapa program pemerintah sudah diupayakan dalam pengembangan perekonomian desa namun belum memberikan hasil yang memuaskan untuk mensejahterakan masyarakat desa secara keseluruhan. Intervensi pemerintah yang terlalu dominan menjadikan masyarakat desa terhambat daya kreativitas dan inovasinya dalam menjalankan mekanisme perekonomian di desa. Pada penjelasan UU No.6/2014 tentang Desa pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa: BUM Desa di bentuk oleh pemerintah desa untuk mendayagunakan segala potensi ekonomi, kelembagaaan perekonomian, serta potensi sumber daya alam dan sumber daya manuasia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa Lahirnya BUMDesa sebagai badan usaha milik desa yang dikelola dengan melibatkan seluruh masyarakat desa dengan support dari pemerintah desa menjadikan BUMDesa sebagai altenatif desa dalam mengembangkan potensi maupun asset desa 15

108

Sutoro Eko Yunanto dkk, Policy Paper Membangun BUMDesa yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan (Yogyakarta:Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), hal.1 MENGABDI DAN MELAYANI DESA


melalui berbagai jenis usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Pengelolan BUMDesa yang sepenuhnya dilaksanakan oleh masyarakat desa ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang baik terhadap kesejahteraan desa karna dari desa, oleh desa, dan untuk desa. Hal ini sesuai dengan visi Presiden Jokowi membangun Indonesia dari pinggiran dalam Nawacita-nya adalah salah satu pengharapan agar desa mendapatkan nasib baik sehingga dapat menyinari sudut-sudut wilayah Indonesia. Membentuk Pengetahuan Tentang Bumdesa Pembentukan pengetahuan tentang BUMDesa perlu dilihat dari tradisi berdesa sebagai konsep hidup bermasyarakat dan bernegara di ranah desa. Inti dari gagasan berdesa adalah; pertama, desa menjadi basis modal sosial yang memupuk tradisi solidaritas, kerjasama, swadaya, dan gotong royong secara inklusif yang melampaui batas-batas ekslusif kekerabatan, suku, agama, aliran atau sejenisnya. Kedua, desa memiliki kekuasaan dan berpemerintahan yang di dalamnya mengandung otoritas dan akuntabilitas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Ketiga desa hadir sebagai penggerak ekonomi lokal yang mampu menjalankan fungsi proteksi dan distribusi pelayanan dasar kepada masyarakat. Tradisi berdesa ini merupakan salah satu gagasan fundamental yang mengiringi pendirian BUMDesa. Tradisi berdesa pararel dengan kekayaan modal sosial dan modal politik serta berpengaruh terhadap daya tahan dan keberlanjutan BUMDesa. Maraknya BUMDes yang berdiri di setiap desa sebelum hadirnya UU Desa No.6 tahun 2014, memberikan kekhawatiran atas ketidakjelasan status hukum (legal standing). Untuk itu Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) yang juga keanggotannya merupakan beberapa dosen STPMD “APMD”, sehingga STPMD “APMD” terlibat langsung dalam memberikan kontribusi gagasan terhadap kebijakan nasional guna membangun 55 TAHUN STPMD “APMD”

109


BUMDesa yang mandiri, kokoh dan berkelanjutan di masa depan melalui policy paper. Hasil dari sebuah riset panjang mengenai policy paper ini dengan berlandaskan pada tradisi berdesa menghasilkan Permendesa No. 4 tahun 2015 tentang pendirian, pengurusan dan pengelolaan, dan pembubaran badan usaha milik desa. Terdapat empat tujuan utama pendirian BUM Desa, yaitu meningkatkan perekonomian desa, meningkatkan pendapatan asli desa, meningkatkan pengelolaan potensi desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan menjadi tulang punggung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi pedesaan. Pendirian dan pengelolaan BUM Desa adalah perwujudan dari pengelolaan ekonomi produktif desa yang dilakukan secara kooperatif, partisipatif, emansipatif, transparansi, akuntabel, dan sustainable. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang cukup serius agar BUM Desa dapat berjalan secara efektif, efisien, profesional dan mandiri. Sebagai salah satu lembaga ekonomi yang beroperasi di pedesaan, BUM Desa harus memiliki perbedaan dengan lembaga ekonomi pada umumnya. Hal ini agar keberadaan dan kinerja BUM Desa Mampu Memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan warga desa. Prakarsa Mendampingi Dan Membentuk Bumdesa Prakarsa pendampingan BUMDesa seharusnya diselaraskan dengan adanya Korporasi rakyat. Korporasi rakyat sendiri adalah kapitalisme rakyat, atau dengan kata lain kapitalisme yang dimiliki atau dikuasai oleh rakyat secara komunal. Sutoro Eko memberikan penjelasan bahwa korporasi rakyat berarti bahwa rakyat merebut kapitalisme, jadi artinya kapitalisme itu jangan dihancurkan, jangan dihabisi seperti gagasan komunisme, yang telah habis cerita, dan pada sisi yang lain kapitalisme itu sistem ekonomi yang tidak bisa dibendung. Persoalannya apakah rakyat itu hanya menjadi residu, sisanya sisa, atau menjadi basis eksploitasi kapitalisme atau rakyat itu memang harus hadir melakukan konsolidasi.

110

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Korporasi rakyat bertumpu pada produksi, artinya rakyat berproduksi. Dalam menyalurkan hasil produksi, Sutoro Eko menjelaskan dua pola korporasi rakyat: Pola pertama, rakyat berproduksi, kemudian dikonsolidasi oleh BUM Desa dengan pendekatan partisipatoris, emansipatoris dan demokratis. Wadahnya apa? Musyawarah desa. Kedua, rakyat berproduksi sendiri dan mendistribusikan sendiri entah melalui jalur ofline maupun online. Namun, pada pola yang kedua terdapat kelemahan dalam hal persaingan antara sesama pelaku usaha. Ini pasti akan muncul kanibalisasi (saling memakan) antara sesama usaha. Pemerintah tidak perlu mengulang pendekatan yang keliru dengan membentuk BUMDesa secara serentak dan memeberi bantuan modal secara merata kepada seluruh BUMDesa yang telah di bentuk. Dukungan pemerintah lebih baik bersifat proporsional tergantung pada prakarsa dan usulan dari desa atau dari BUMDesa. Pendampingan oleh LSM, perguruan tinggi atau fasilitator profesional sangat di butuhkan untuk membangkitkan prakarsa dan kesiapan desa. STPMD “APMD” sebagai perguruan tinggi yang sedari awal pendiriannya selalu konsisten pada pembangunan masyarakat desa dan dalam hal mendampingi BUMDesa merajut korporasi rakyat telah memberikan kontribusi dengan terlibatnya beberapa dosen APMD dalam pengabdian terhadap masyarakat desa dengan memfasilitasi desa-desa yang ingin mendirikan dan membentuk BUMDesa. Diawali dari dosen APMD yang mengabdi bersama PT. KPC (Kaltim Prima Coal) di desa-desa seputar tambang batu bara di kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur yaitu Sutoro Eko yang saat ini menjabat sebagai ketua STPMD “APMD” juga bersama dosendosen senior APMD M. Barori, Suharyanto, Hastowiyono, dan alm. Widyo Hari yang tergabung dalam sebuah lembaga yang bernama PDDB (Pusat Pembaharuan Desa Berkelanjutan). Pengalaman pertama dosen APMD dalam mendampingi mendirikan BUMDesa di desa Rantau Makmur kecamatan Rantau Pulung kabupaten Kutai Timur pada tanggal 21 april 2011. 55 TAHUN STPMD “APMD”

111


Gambar 1. Pengabdian dosen APMD bersama PT. KPC mengenai BUMDesa.

Melalui wawancara penulis bersama Suharyanto, beliau sebagai dosen di kampus STPMD “APMD� melalui pengalaman pengabdiannya kepada Masyarakat (Peningkatan Kapasitas Pemerintah Desa) dalam bentuk ceramah dan dialog maupun Pendampingan tentang Pembentukan, Pengelolaan dan Pengembangan Badan Usaha Milik Desa. Pengalaman pengabdian yang dilakukan beliau terkait pendampingan pendirian BUMDesa selain bersama PT. KPC beliau juga banyak menjadi narasumber di berbagai daerah/kabupaten atau desa-desa untuk memberikan pemahaman mengenai pengelolaan BUMDesa. Sebagian desa-desa di DIY melibatkan APMD sebagai narasumbernya adalah Suharyanto dan beberapa desa-desa lain di luar DIY antara lain Sumba Tengah, Raja Ampat, Dairi, Labura, dan Sergai. Propinsi Sumatera Utara hampir 10 kabupaten semua kepala desanya pernah melibatkan APMD terkait diskusi mengenai BUMDesa. Potensi dan Kebutuhan Dalam undang-undang desa no. 6 tahun 2014 tentang desa menyebutkan desa dapat mendirikan badan usaha milik desa yang di sebut BUMDesa. Berarti desa tidak wajib membentuk

112

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BUMDesa, tetapi pada kenyataannya bahwa banyak desa-desa yang latah mendirikan BUMDesa. Sejatinya desa tidak juga dapat disalahkan namun terkadang instruksi dari pemerintah yang tidak tegas mensosialisasikan bahwa desa tidak harus mendirikan BUMDesa artinya tidak didirikan tidak masalah karena BUMDesa tidak wajib. BUMDesa itu dapat berdiri asal ada kebutuhan dan adanya potensi, melihat persyaratan BUMDesa sendiri tidaklah mudah dikhawatirkan setelah berdiri BUMDesa hanya tinggal papan nama saja, tetapi jika bisa melangkah kesana justru lebih baik asalkan ada kebutuhan dan potensi. Banyak sekali perkumpulan problematika dari pengalaman STPMD “APMD� dalam mendampingi desa-desa yang akan mendirikan BUMDesa dengan di temukannya beberapa kelemahan di awal dalam pendirian BUMDesa yaitu pertama problem di SDM, banyak masyarakat yang mampu mengelola BUMDesa akan tetapi tidak mau memulai karena mengetahui biasanya di awal pembentukan BUMDesa tidak bisa dipungkiri harus berproses secara kerja bakti atau swadaya dari pengelola BUMDesa itu sendiri. Hal ini dikarenakan masyarakat hanya antusias ketika melihat BUMDesa setelah maju, tapi justru tidak paham bahwa di awal ada beberapa problematika yang substansial karena syaratnya yaitu mau dan mampu untuk mengelola, karena pengelola seperti menjadi relawan pada awal terbentukmya BUMDesa. Kedua, banyak desa yang kesulitan memilih unit usaha yang tepat karena tidak ada fasilitas memadai misalnya terkait permodalan. Unit usaha yang tidak melalui supporting permodalan dan pemilihan usaha yang tepat akan menjadikan BUMDesa yang pada akhirnya hanya sekadar papan nama namun tidak ada kegiatan. Ketiga terkait saat operasionalisasi juga ada problematika, seperti teknis, kemampuan SDM, lalu masyarakat yang mendirikan BUMDesa tapi masyarakat tidak ikut berpartisipasi. Pada saat BUMDesa sudah besar biasanya permasalahan yang muncul adalah adanya elit capture, yaitu hanya dinikmati 55 TAHUN STPMD “APMD�

113


oleh segelintir penguasa namun tidak merembes ke masyarakat. Kepala desa adalah kunci desa mau melangkah karena mendirikan BUMDesa butuh permodalan dan sebagainya jika kepala desa tidak punya view terkait BUMDesa tidak akan ada arti, setelah BUMDesa berjalan akan terseok-seok tidak ada backup dan political will pemerintah desa atau kepala desa akan menyusahkan BUMDesa. Selanjutnya BUMDesa bisa berjalan baik namun pada akhirnya jadi sapi perahan elit ini juga problem sehingga harus ada supporting terkait pendirian BUMDesa ini sendiri terutama dari kepala desa yang punya jiwa entrepreneurship atau kewirausahaan, jika kepala desa tipe birokrat saja itu pun tidak bisa berjalan. Kepala desa menjadi kunci suksesnya BUMDesa misalnya ada supporting penyerahan lahan desa atau tanah kas desa. Jaman sekarang ini, kepala desa tidak hanya berfungsi sebagai pemberi tanda-tangan berbagai dokumen administratif saja namun juga dipengaruhi oleh kemampuan seorang kepala desa dalam menjalankan visi ekonomi untuk desanya. Adanya perubahan paradigma dulu kita melihat usaha di mulai dari SDA yang dengan menghasilkan sebuah produk terlebih dahulu, sekarang justru bergeser kepada customer needs (kebutuhan konsumen). Dengan kata lain memahami apa yang dibutuhkan masyarakat dahulu baru membuat produk ketimbang membuat produk dahulu tetapi kesulitan dalam hal pemasaran. Kita melihat saat ini setiap desa mulai bersaing untuk membuat desa wisata yang diangap merupakan jenis usaha yang terbaik saat ini untuk di kelola demi meningkatkan perekonomian desa. Apakah potensi yang dibutuhkan desa itu hanya bisa dikembangkan oleh BUMDesa sebatas pengelolaan desa wisata saja terbukti dari beberapa BUMDesa yang mendapatkan omset hingga milyaran rupiah pertahunnya itu di kuasai oleh desa-desa yang menghadirkan desa wisata sebagai jenis usaha yang memang terbukti mampu memberikan PADes yang luar biasa. Sehingga BUMDesa menjadi bergengsi manakala bisa menciptakan pendapatan keuntungan

114

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


yang besar. BUMDesa yang tidak menghasilkan pendapatan yang besar seperti layaknya unit wisata dianggap kurang berhasil atau kurang. BUMDesa yang berhasil bukan berarti yang bisa memberikan keuntungan besar itu keliru, padahal mungkin menyediakan kemanfaatan bagi desa yang luar biasa. Contoh pengelolaan air bersih, desa yang selama ini kesulitan akan air bersih dan kemudian dibantu oleh BUMDesa keuntungan tidak besar karena di jual ke masyarakat sendiri tidak mungkin ditarik keuntungan yang besar-besarnya, namun bisa bermanfaat bagi warga desa dan jika keuntungan itu kemudian diratakan atau di share kepada masyarakat dalam berbagai program misalnya program beasiswa pendidikan perbaikan rumah kumuh, dan program-program lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat desa. BUMDesa yg menghasilkan uang yang sangat besar namun tidak begitu memberikan berdampak pada kesejahteraan warga dapat dikategorikan BUMDesa yang belum berhasil. Ukuran dari keberhasilan BUMDesa, manakala BUMDesa itu bisa memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Bisa dalam bentuk secara langsung atau tidak langsung. BUMDesa mampu untuk memasarkan produk produk masyarakat desa dan BUMDesa mampu menggalang kebutuhan yang diinginkan desa. Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) sendiri merupakan salah satu lembaga ekonomi yang diharapkan kedepannya dapat menjadi salah satu yang berkontribusi pada sumber pendapatan desa. Sehingga keberadaan BUMDesa perlu mendapatkan justifikasi hukum yang pasti dan jelas. Menurut Suharyanto BUMDesa adalah lembaga ekonomi desa yang unik karena cukup dengan payung hukum perdes untuk berkiprah dengan aneka macam kegiatan. Problemnya manakala BUMDesa akan bersinergi dengan perbankan maka perdes itu tidak laku, dalam hal peminjaman uang untuk penambahan modal, Jika tidak bersindikasi ke perbankan tidak masalah peraturan desa sudah berkonsideran 55 TAHUN STPMD “APMD�

115


dengan undang-undang dan peraturan menteri. Karena jika hanya problem kerjasama dengan perbankan maka timbul badan hukum hingga yang maju hanya individual justru cocok untuk pribadi-pribadi yang akan membuka usaha. BUMDesa tidak di desain untuk PT, melainkan ini desain sebagai lembaga ekonomi desa yg mengelola potensi dan kebutuhan yg ada di desa untuk mensejahterakan masyarakat desa. Konsekuensi badan hukum itu tidak ringan, butuh biaya dan mengambil keuntungan sedikit pajak yg lumayan besar. BUMDesa ini adalah lembaga unik cukup berdasarkan perdes, jangan berpikir tentang badan hukum yang penting lembaga yang ada ini jalan dulu untuk mengembangkan perekonomian masyarakat sehingga belum saatnya BUMDesa berbadan hukum dan menjadi perseroan terbatas. APMD sendiri saat melakukan pengabdian kepada masyarakat di banyak desa pembahasan tentang badan hukum BUMDesa di bahas diakhir yang penting tumbuh dan dapat memberikan manfaat untuk masyarakat dan berkesinambungan. Pengembangan ekonomi lokal memungkinkan pengembangan ekonomi yang ada di desa tetap harus jaga. Desa maju tidak hanya dengan BUMDesa, desa maju karena lembaga ekonomi yang dikembangkan selama ini luar biasa. Maka tidak berarti semua urusan ekonomi desa masuk dalam ranah BUMDes, sama sekali tidak. Soalnya di desa masih ada banyak lembaga ekonomi yang tidak masuk dalam cakupan BUMDes bahkan tidak bisa di BUMDes-kan. Tirtonirmolo, simpan pinjamnya, meledak tidak dibungkus BUMDesa. Pengembangan ekonomi desa bisa dilakukan melalui banyak cara tidak semua harus BUM desa. Kelompok masyarakat yang telah berusaha tidak harus diintegrasikan dalam BUM Desa. Apapun itu baik BUM Desa, usaha warga desa, usaha kelompok masyarakat desa yang utama adalah proteksi, pemdes hadir memproteksi warga dari berbagai macam kekuatan dari luar. Pemerintah desa hadir di usaha masyarakat, usaha desa dan usaha kelompok masyarakat.

116

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Suharyanto ini juga mengingatkan tentang teori BUM Desa, bahwa pada dasarnya divisi usaha BUM Desa itu mempertemukan 2 hal penting, yaitu ada kebutuhan dan ada potensi. Inilah langkah awal terbentuknya divisi usaha. Kalau ini benar-benar dilakukan secara kelayakan studi diharapkan akan lebih abadi. Terkait dengan langkah memulai BUM desa, ini langkah yang dilakukan sederhana. Pemetaan awal pertama ada kebutuhan dan adakah potensi di desa dalam rangka mendirikan jenis usaha, divisi usaha, atau yang salah kaprah unit usaha. Potensi dipertemukan need dan resources akan berdampak pada kelanggengan usaha. Ada kebutuhan akan supporting permodalan di warga desa. Ada potensi dana desa yang cukup besar, dialihkan untuk kebutuhan permodalan. Akan tumbu oleh tutup. Memberikan jaminan kelanggengan. Manakala bisa dikelola dengan baik Korporasi Rakyat melalui BUMDesa sebagai “usaha bersama� (Holding) BUMDesa yang bertemakan desa wisata akhir-akhir ini menjadi salah satu jenis usaha yang memberikan kontribusi yang baik untuk keberlangsungan hidup masyarakat desa. Ini dapat dilihat dari salah satu desa di kecamatan Prambanan di kabupaten Sleman yaitu desa Sambirejo yang berhasil mengubah PADes yang hanya 10 jt pertahun menjadi milyaran rupiah. Kinerja BUMDesa jenis usaha desa wisata ini masuk kedalam tipe Holding yaitu BUMDesa sebagai usaha bersama, atau sebagai induk dari unit-unit usaha yang ada di desa, di mana masing-masing unit yang berdiri sendiri-sendiri ini, diatur dan ditata sinerginya oleh BUMDesa agar tumbuh usaha bersama di mana tujuan dan sifat dari jenis usaha ini adalah mengonsolidasikan berbagai jenis usaha lokal yang terkait dengan wisata, guna meningkatkan pendapatan masyarakat dan PADes. Bisnis ini sangat khas dan prospektif bagi desa-desa yang memiliki potensi wisata. Sehingga dapat berkembang secara sehat, kokoh dan berkelanjutan dan 55 TAHUN STPMD “APMD�

117


memberikan manfaat untuk menggairahkan perekonomian desa dan membuka lapangan pekerjaan, sekaligus meningkatkan pendapatan desa dan masyarakat. Mujimin sekretaris desa Sambirejo kecamatan Prambanan adalah salah satu alumni STPMD “APMD� yang berhasil dalam menggerakkan roda perekonomian di desanya melalui BUMDesa. Menurut Pak Ji sapaan akrab beliau, dari kampus APMD Ia banyak mendapat ilmu mengenai konflik sosial, pemberdayaan masyarakat, pengembangan potensi dan lain-lain yang berhubungan dengan desa. Potensi yang sudah dikembangkan pastinya ada konflik internal dan eksternal dengan banyak hal yang didapat dari APMD dikembangkan di desa tersebut. Sebelum membuat jenis usaha seperti halnya desa wisata beliau berpendapat juga terkait konflik kepemilikan tanah dalam wilayah desa, banyak sekali tanah yg tidak memiliki kepemilikan yang jelas sehingga pada saat unit usaha telah berkembang timbul konflik jangan sampai desa hanya mendapatkan sisanya saja. Ada 3 hal yang harus di perhatikan. Pertama, tanah itu milik siapa? milik desa atau pribadi? Kedua, siapa yang mengelola apakah masyarakat atau pemda? Ketiga, bagi hasilnya seperti apa? Dengan demikian harus diyakini dengan penguatan dan regulasi terlebih dahulu agar tidak bermasalah kemudian hari ditengah perjalanannya. Awalnya Sambirejo adalah desa paling miskin di kabupaten Sleman secara geografis menempati area pegunungan yang kontur tanahnya batu, ketika hilang tanahnya tinggal batunya sehingga warga Sambirejo seperti hidup di atas pot raksasa. Jika berbicara mengenai pertanian, di musim hujanlah baru bisa bercocok tanam dan setahun sekali sering di sebut petani tadah hujan karna tidak mungkin menanam pertanian. Sambirejo sangat sulit air dan mahal karena batu yang ada di Sambirejo kedap air, sehingga dihadapkan dengan kondisi mengembangkan potensi itu susah. Termasuk desa dengan warganya susah, mereka yang punya ide dan gagasan turun ke bawah transmigrasi dan tidak pulang yang tinggal di

118

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Sambirejo yang kurang punya pengalaman dalam banyak hal. Di tambah lagi dengan PADes Sambirejo yang hanya 10 jt pertahun dari tanah kas desa dan juga pungutan desa. Sehingga pada saat itu banyak warga desa diminta jadi perangkat desa tidak ada yg beminat. Tebing Breksi yang berada di desa Sambirejo, kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, awalnya adalah tempat penambangan batu alam untuk material bangunan oleh warga masyarakat Sambirejo secara manual untuk pertambahan penghasilan. Sejak tahun 2014 pemerintah menutup kegiatan pertambangan ini untuk menjaga kelestarian lingkungan. Namun tidak semua warga menerima akan hal ini bahkan sampai ada yang mengancam sampai ke Kades karna mereka merasa sudah memiliki Tebing Breksi tersebut. Akhirnya desa Sambirejo mulai berbenah diri, sebelumnya dalam hal pengembangan kawasan Breksi tidak melalui BUMDesa, melainkan melalui pokdarwis (kelompok sadar wisata) yang di gerakkan oleh Mujimin dan teman-teman. Karena pokdarwis hanya penggerak dibutuhkan pengelola akhirnya dibentuk pengelola yang pada saat itu masih mengacu pada UU No. 5 tahun 1979. Setelah ada pengelolaan atau eksekutor diserahkan dengan nama organisasi lowo ijo, sehingga pokdarwis hanya motor penggerak dan pelaku pelaksana sapta pesona yg tingkatnya di desa. Pokdarwis itu adalah orang-orang yang punya kapasitas, isinya orang yang memiliki potensi, bisa siapapun. Perangkat desa pun bisa jadi penggerak namun tidak bisa menjadi pengelola. Tahun 2016 hadirlah dari Kemendes untuk pendirian BUMDesa setiap desa dapat mendirikan BUMDesa, namun pada saat itu sosialisasi mengenai BUMDesa masih kurang masif sehingga masyarakat Sambirejo masih awam mengenal BUMDesa. Desa Sambirejo melalui Mujimin sendiri mulai berdekatan dengan akademisi dari STPMD “APMD� masih individual, melalui pembicaran dan diskusi pribadi dengan arahan dari dosen APMD Suharyanto yang dilihat dari kacamata akademisi. Di tahun 2018 55 TAHUN STPMD “APMD�

119


mulai berbenah membuat Perdes dengan penyertaan modal dari Pemdes senilai 51 juta hanya untuk simpan pinjam, lalu di tahun 2019 mulailah Breksi dimasukkan dalam BUMDesa atau dikelola BUMDesa Sambimulyo melalui koordinasi dengan beberapa pihak termasuk akademisi. Pokdarwis sebagai mitra lalu diserahkan pengelola dan yg membuat regulasi di serahkan pada BUMDesa yang mewadahi. Perubahan setelah masuk BUMDesa secara regulasi terwadahi karna adanya perdes dan Tebing Breksi mulai tertata secara administrasi dan mulai ada keterbukaan. Tahun 2015 PAD desa Sambirejo masih 10 juta pertahun mulai tahun 2019 tembus 1 Miliyar setelah masuk BUMDesa. Di tahun 2020 target PAD yang tadinya 1,1 M namun karena pandemi hanya tercapai 800 juta. Di masa pandemi aktivitas pekerja atau pengelola Breksi tidak berhenti, melainkan tetap dengan melakukan pembenahan dan mengembangkan wisata Breksi dengan berbagai inovasi dan kreativitas. Desa Sambirejo masih mempekerjakan masyarakat untuk berbenah dan mempercantik tampilan Tebing Breksi agar semakin memberikan nilai estetika yang semakin indah. Sehingga tidak ada pemutusan hubungan kerja, walaupun Breksi di tutup untuk sementara pada saat pandemi namun aktivitas pekerja tetap berlangsung dan tetap memberikan gaji terhadap pekerja ataupun pengelola yang ada di Tebing Breksi. Tanggapan masyarakat desa Sambirejo terhadap BUMDesa masih biasa saja mengenai BUMDesa untuk meyakinkan masyarakat sejak tahun 2019 setiap RT dapat 1 juta dari PADes, pemdes juga memberikan anak anak beasiswa, juga kegiatan social seperti mendampingi bedah rumah yang kedepannya akan berkelanjutan. BUMDesa merupakan wadah namun yang melaksanakan adalah unit-unit usaha, contoh kuliner yang ada di Tebing Breksi daripada belanja dari luar agar BUMDesa yang memberikan apa kebutuhan masyarakat, apapun yg masuk ke Breksi semua melalui BUMDesa. Sembako diadakan oleh BUMDesa tidak hanya di lokasi wisata bahkan untuk semua kegiatan yang ada di desa Sambirejo, dengan

120

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


adanya BUMDesa yang mewadahi semua unit usaha sesuai kebutuhan masyarakat dan potensi yang ada semua nantinya diharapkan akan kembali pada desa dan yg merasakan pada akhirnya masyarakat desa Sambirejo secara keseluruhan. Tebing Breksi tidak hanya menyumbang pemasukan PADes akan tetapi juga adanya keterlibatan semua masyarakat Sambirejo 98 persen untuk berpartisipasi dalam hal pengelolaan atau menyediakan kebutuhan, mulai dari pengelola, penjual makanan dan warung makan, petugas kebersihan, keamanan sampai penyedia spot foto di Tebing. Warga Sambirejo juga ada yang memiliki homestay dan pemilik jeep sehingga semua merasakan dampak positif dari hadirnya desa wisata Tebing Breksi ini. Keberhasilan BUMDesa dalam pengelolaan Tebing Breksi tidak terlepas dari sinergi berbagai elemen baik dari Pokdarwis yang sejak awal sudah menjadi motor penggerak untuk terbentuknya wisata Breksi juga dari beberapa lintas komunitas lainnya, warga Sambirejo, akademisi, pemerintah desa, pemerintah daerah, provinsi sampai kementerian pusat termasuk Kementerian Desa yang telah memberikan bantuan. Daftar Pustaka Eko, S. (2014), Desa Membangun Indonesia, Yogyakarta: FPPD Eko, S. dkk (2014), Policy Paper Membangun BUMDesa yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan (Yogyakarta: Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD). ANOM, S.P (2015), Badan Usaha Milik Desa, Spirit Usaha Kolektif Desa, Yogyakarta: kementrian desa PDTT Undang-Undang Desa No. 16 tahun 2014

55 TAHUN STPMD “APMD�

121


122

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 8 AKSI PEDULI DESA: MENGAMALKAN TRADISI “MUDA BERDESA”16 Oleh: Aulia Widya Sakina17

Desa memang tak menawarkan kehidupan yang serba lengkap seperti di perkotaan Namun kehidupan desa yang sederhana itu justru bisa membuat diri kita begitu rindu karena kehidupan desa memang begitu kaya, di balik segala keterbatasannya. “Desa Ibarat kaki, jika kaki lumpuh maka tubuh dan kepala tidak akan optimal” (Mohammad Yamin). Potret di masa lalu, desa selalu berfungsi hanya sebagai objek yang tidak berdaya bahkan program pemberdayaan yang pernah dirintis dan diterapkan tidak pernah berkesinambungan. Bahkan, perkembangan desa dengan segala aktivitasnya membuat kebanyakan diantara kita lupa: apa dan dari mana asal-usul desa. Sehingga konsep pembangunan desa menuju kemandirian cenderung memberikan dampak negatif terhadap sumber daya alam sebagai daya dukung lingkungan yang seharusnya diperhatikan kelestariannya (sustainable). Banyaknya pekerjaan yang menyangkut desa, selalu dihadapkan 16

17

Tulisan ini merupakan kontribusi dari Bruder Johny Kedang, S.Sos., MTB. (Alumni Prodi Ilmu Sosiatri Angkatan 2008 dan kini menjadi Tenaga Pemberdayaan Masyarakat Orang Asli Papua “OAP”), Umbu Domu Mahani (Ketua HMPS Ilmu Sosiatri 2018/2019 dan Wisudawan Terbaik Prodi Pembangunan Sosial Periode November 2020), Dra. Oktarina Albizzia, M.Si. (Ketua Prodi Pembangunan Sosial STPMD “APMD”), serta Rina Ardianti (Ketua HMPS Pembangunan Sosial 2019/2020), Hermanus Kabut (Ketua Kelompok Studi Tentang Desa/ KESA 2020/2021) dan Paskalis Smailino Darmawan (Ketua Komisariat PMKRI STPMD “APMD” 2020/2021) yang merupakan Mahasiswa Aktif Program Studi Pembangunan Sosial. Staff Pengajar Program Studi Pembangunan Sosial STPMD “APMD” Yogyakarta. 55 TAHUN STPMD “APMD”

123


pada sisi mana yang harus dikerjakan lebih dahulu. Oleh karena itu, desa membutuhkan fasilitasi berbagai pihak yang benar-benar bertanggung jawab serta mampu menghantarkan dan mengawal proses perencanaan kegiatan pembangunan, hingga desa dikatakan mandiri. Diangkat dari pemikiran kepedulian terhadap desa dan upaya untuk memecahkan persoalan masyarakat desa dalam konteks pemberdayaan masyarakat lokal maka muncul sebuah aksi kepedulian terhadap desa. Gagasan ini kemudian menjadi sebuah konsep pembelajaran antara mahasiswa dengan masyarakat desa, dalam kerangka Program Aksi Peduli Desa (APD). Perilaku pemberdayaan masyarakat yang coba diterapkan melalui APD dalam rangka penguatan kapasitas lokal dilakukan sebagai basis penguatan nilai-nilai sosial setempat. Sehingga APD merupakan proses pengembangan jaringan hubungan (fisik) antara komponen kepercayaan (trust), jaringan hubungan kerja (network), dan kerja sama (cooperation). Proses yang berlangsung diharapkan tidak hanya berada pada titik superfisial, namun bisa menyentuh langsung ke akar atau inti dari penguatan nilai-nilai sosial itu sendiri Mengawal Proses Panjang Aksi Peduli Desa APD dicetuskan pertama kali oleh mahasiswa Program Studi Ilmu Sosiatri (S1) dan Pembangunan Masyarakat desa (DIII) yang tergabung dalam wadah Ikatan Mahasiswa Ilmu Sosiatri (IMATRI) yang dinahkodai oleh Bruder Johny Kedang. Kegiatan APD pertama kali dilakukan pada Bulan Februari 2010, yang diawali dengan pembentukan panitia yang melibatkan seluruh mahasiswa IMATRI. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh panitia, maka kegiatan APD perdana dilaksanakan di Padukuhan Kracaan, Desa Semin, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, D.I.Yogyakarta. Kala itu, mahasiswa IMATRI yang saat ini telah berubah nama menjadi Himpunan Masiswa Program Studi Pembangunan Sosial (HMPS Pembsos), mengawali persiapan APD

124

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


dengan melakukan proses penggalangan dana secara mandiri, serta membangun jejaring kerjasama dengan Mahasiswa Fakultas Kedokteran UMY, RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan Dinas Sosial Provinsi DIY. Persiapan yang cukup panjang dan matang pun berakhir pada kesuksesan pelaksanaan Aksi Peduli Desa (APD), yang dilaksanakan pada tanggal 23 - 25 April 2010. Kesuksesan APD perdana tidak lepas dari keberhasilan mahasiswa untuk berkolaborasi dengan masyarakat desa. Melalui koordinasi yang apik dengan warga masyarakat desa, IMATRI mampu mengidentifikasi masalah-masalah yang ada di desa lokasi APD. Dari berbagai persoalan yang ada, mahasiswa IMATRI kemudian bekerjasama dengan warga untuk menciptakan solusi atas permasalahan tersebut. Pada penyelenggaraan APD perdana, salah satu bentuk kepedulian mahasiswa guna menjawab permasalahan masyarakat desa, adalah dengan mengadakan kegiatan pendampingan anak-anak usia dini (PAUD), penanaman aneka bibit pohon, pengobatan kesehatan gratis dan pasar murah. Kegiatan lain seperti pelatihan tentang pengisian formulir monografi desa dan padukuhan yang merupakan dasar administrasi desa menjadi pelengkap menu pembelajaran mahasiswa di Padukuhan Kracaan. Antusiasme mahasiswa dalam mempelajari hal baru di desa menghasilkan kesan tersendiri baik bagi mahasiswa maupun warga masyarakat desa. Kontribusi positif baik melaui pemikiran maupun tindakan nyata yang dilakukan oleh mahasiswa IMATRI menjadi aksi nyata kepedulian APMD muda untuk berbakti kepada masyarakat. Bruder Johny Kedang memaparkan bahwa APD memiliki beberapa tujuan sekaligus. Tujuan awal APD adalah agar mahasiswa berani mengawal proses pemberdayaan masyarakat desa. Selain itu, memberikan tantangan belajar tentang kompleksitas persoalan desa agar bisa menyeimbangkan antara praktik dengan teori yang diperoleh selama di kelas, rela berbaur dengan masyarakat untuk mengenal kearifan lokal desa dan terus 55 TAHUN STPMD “APMD�

125


berpihak kepada masyarakat desa yang pada waktu itu masih terpinggirkan. Desa memiliki karakteristik yang unik sehingga setiap mahasiswa dituntut untuk menyelami denyut kehidupan masyarakat desa. Kehadiran mahasiswa di desa dapat akan memotivasi anak-anak dan kaum muda desa tentang pentingnya pendidikan dan pembangunan desa yang lebih baik. Sehingga, desa bisa menjadi pioneer dalam pembangunan ekonomi untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan urbanisasi. Hal ini sejalan dengan pemaparan Oktarina Albizzia bahwa melalui kegiatan APD diharapkan mahasiswa bisa mengenal desa secara dekat dan mendengarkan kebutuhan masyarakat secara langsung sehingga muncul kepedulian dan rasa bangga mahasiswa terhadap desa. Pelaksanaan program APD rutin diselenggarakan setiap 1 tahun sekali oleh HMPS Pembangunan Sosial dengan jangka waktu pelaksanaan selama 3 hari live in bersama masyarakat. Tinggal bersama masyarakat desa tidak hanya sekedar tidur, tapi juga bagaimana mahasiswa bisa berinteraksi dan bersosialisasi dengan warga, sehingga manfaat kegiatan APD ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat desa setempat tetapi dirasakan pula oleh mahasiswa yang berkesempatan mengaplikasikan langsung pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Mengasah Kepedulian Sosial Terhadap Desa Mahasiswa dijuluki sebagai agent of exchange karena “dianggap� bisa membawa perubahan dalam lingkungan masyarakat. Untuk itu sebagai mahasiswa yang tengah hijrah menempuh pendidikan di kota sudah seyogyanya berperan dalam mengamalkan tradisi berdesa yang bermartabat menurut spirit Undang-undang Desa Nomor 06 Tahun 2014 tentang Desa. Artinya mahasiswa sebagai agen perubahan harus senatiasa menghormati, melindungi dan memberdayakan desa agar menjadi kuat bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Makna penting dari spirit berdesa

126

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


tersebut diaplikasikan oleh Mahasiswa Prodi Pembangunan Sosial melalui kegiatan Aksi Peduli Desa yang merupakan kegiatan unggulan HMPS Pembangunan Sosial yang telah berjalan selama 1 dasawarsa. Tradisi berdesa ala mahasiswa sebagai garda terdepan pembangunan dan perubahan desa ditundukkan atas dasar kepedulian generasi muda terhadap desa yang mulai luntur ditelan digitalisasi. Melalui Kegiatan APD mahasiswa dituntut untuk mampu memahami kondisi masyarakat desa, memiliki ruang inovasi pemberdayaan desa yang bisa mengawal keberadaan korporasi rakyat, serta mampu menjadi social bridging antar pemangku kepentingan di desa. Mahasiswa yang mengikuti 55 TAHUN STPMD “APMD�

127


kegiatan akan dilatih dan menjadi terlatih kepribadiaannya, di mana mahasiswa harus aktif berpartipasi dalam kegiatan di masyarakat, belajar beradaptasi dengan kondisi lingkungan masyarakat, belajar menjadi pribadi yang mandiri dan rela berbagai saat berada di tengah masyarakat. Rina Ardianti memaparkan bahwa dalam kegiatan APD, bentuk pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan telah memberikan dampak positif bagi mahasiswa dan masyarakat. Dampak tersebut baik itu berupa langsung ataupun tidak langsung, besar atau kecil, banyak atau sedikit, telah membuat APD menjadi sesuatu yang berharga bagi mahasiswa maupun bagi masyarakat. APD pada tahun 2018 di Padukuhan Kuwiran, Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, kiranya dapat menjadi gambaran tersebut. Kegiatan APD yang mengusung tema “Membangun Desa Berbasis Aset dan Potensi Masyarakat Mewujudkan Desa Mandiri� dilaksanakan selama 3 hari. Dalam kegiatan itu, mahasiswa dan masyarakat berkerjasama menjalankan program mulai dari, membersihkan sungai dari tumpukan sampah, memberikan workshop kewirausahaan serta menanam bibit pohon dibantaran sungai bekas galian tambang pasir Merapi yang kini menjadi lokasi wisata kuliner. Proses live in bersama masyarakat membuat mahasiswa belajar beradaptasi dengan masyarakat dan mampu mengamalkan tradisi yang muda yang berdesa. Sebuah kemajuan perubahan hidup bagi Rina Ardianti yang semula introvert, kini menjadi ambivert dan dipercaya mewakili HMPS Pembangunan Sosial dalam berbagai kegiatan eksternal. Sedangkan gelaran APD tahun 2019 di Padukuhan Wates, Desa Kemiri, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi D.I.Yogyakarta juga memberikan kesan serupa. Dengan mengusug tema “Membangun Desa Ramah Anak Berbasis Kearifan Lokal Yang Maju dan Mandiri�, APD dirancang berdasarkan hasil pemetaan kebutuhan warga. Pemetaan tersebut menghasilkan kegiatan yakni membuat taman toga, taman hidroponik, sosialisasi tentang desa ramah

128

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


anak, workshop decoupage dari botol bekas, workshop Hasta Karya, pemutaran edukasi tentang anak dan kegiatan lain yang melibatkan masayarakat Padukuhan Wates. Kegiatan APD tahun 2019, meski singkat namun mengena di hati masyarakat karena mengasilkan ikatan batin yang cukup kuat antara mahasiswa dengan masyarakat. Tidak sedikit masyarakat berlinang air mata atas berakhirnya kegiatan APD. Kepala Padukuhan Wates, Yohana Rahayuningsih, tidak bisa berkata apaapa ketika melepas kepergian mahasiswa HMPS Pembangunan Sosial. Pias kesedihan terpampang jelas di wajahnya “Baru dekat kok sudah harus berpisah” begitu ungkapan hati singkat yang 55 TAHUN STPMD “APMD”

129


mewakili rasa yang dialami Ibu Yohana. Meski demikian bu Dukuh berterimkasih kepada mahasiswa karena bersedia berbagi karya, karsa, asa, cita dan rasa dengan masyarakat di Padukuhan Wates. APD bahkan memiliki pesona tersendiri untuk memikat siapapun yang terlibat dalam kegiatan yang dilaksanakan. Dari kegiatan APD ini Puteri Ibu Dukuh Wates, Emren Avila Bening Prahasty, kini bergabung menjadi mahasiswa Angkatan 2020 di Prodi Pembangunan Sosial STPMD ”APMD”. Refleksi Kritis Aksi Peduli Desa Umbu Domu Mahani, Ketua HMPS Ilmu Sosiatri Periode 2018/2019 mengisahkan bahwa pada saat melaksanakan Praktikum I di Desa Sidorejo tahun 2018, seorang petani berujar kepada kami: “desa kami sudah sering dijadikan lokasi kegiatan mahasiswa, tapi kami tidak merasakan perubahan”. Pengakuan dari seorang petani ini, bisa berkembang menjadi bahan diskusi yang panjang soal mahasiswa turun desa. Tetapi diskusi yang panjang lebar itu akan bermuara pada dua hal: “mahasiswa mengepung desa” dan “desa mengepung mahasiswa”. Diskursus “mahasiswa mengepung desa” menjadikan desa sebagai tempat atau lokasi untuk mempraktikkan teori dengan niat baik, tetapi seringkali justru mengeksploitasi desa. Mahasiswa ramai-ramai turun desa membawa ide teks book, lalu mengambil data untuk kepentingan kegiatan, praktik dan penelitian yang dibungkus dalam kerangka pemberdayaan dan partisipasi. Desa memberi data dan mahasiswa mengakumulasi pengetahuan dari data, namun desa tidak mendapat apa-apa, komplit seperti pengakuan seorang petani di atas. Inilah yang Umbu sebut sebagai mahasiswa mengepung desa dengan niat baik tetapi justru mengekspoitasi desa. Diskursus “desa mengepung mahasiswa” lebih dimaknai sebagai basis hubungan keilmuan antara desa dan mahasiswa atau “ilmu yang berdesa dan desa yang berilmu” seperti yang diajarkan

130

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


oleh Bung Karno soal hubungan antara ilmu dan amal, “ilmu yang amaliah dan “amal yang ilmiah”. Desa tidak hanya dijadikan objek atau lokasi kegiatan keilmuan seperti diskursus yang pertama yang justru mengeksploitasi desa, tetapi harus memberi manfaat bagi desa. Ini hakikat soal ilmu yang tidak hanya bermanfaat bagi pemilik ilmu tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat, desa dan negara. Diskursus “desa mengepung mahasiswa” atau “desa mengepung ilmu” Umbu gunakan untuk memahami dan menjelaskan APD, sekaligus untuk mendudukkan APD sebagai spirit tradisi berdesa mahasiswa Program Studi Pembangunan Sosial. Berdasarkan diskursus tersebut, Umbu berbicara berberapa hal soal APD. Pertama, APD sebagai aksi dialektika antara teori dan praktik teori yang diperoleh mahasiswa dari ruang kelas dan teks book di bawah ke desa untuk memberi manfaat bagi masyarakat dan desa. Kemudian hasil temuan mahasiswa dari desa di bawah di ruang kelas untuk didiskusikan dan dinalarkan menjadi narasi besar. Inilah yang disebut sebagai dialektika antara narasi kecil dan narasi besar. Narasi kecil yang diperoleh dari hasil diskusi dengan rakyat di desa dan narasi besar yang diperoleh dari buku yang diproduksi oleh komunitas epistemik. Hasil dialektika mengantar pada novelty ilmu yang lebih relevan dan membawa manfaat ketika dibawa kembali ke desa. Kedua, APD sebagai ajang belajar, berbaur, bersosial, dan berdesa bagi mahasiswa. Hal ini berguna bagi mahasiswa untuk belajar bersopan santun, bergotong royong, saling tolong membantu, empati dan seterusnya. Desa yang satu punya cerita dan kebiasan yang berbeda dengan desa yang lain. Jika ada seribu desa maka akan ada seribu cerita dan kebiasaan. APD bisa memperkaya mahasiswa dari segi cerita dan kebiasaan yang berbeda itu sekaligus penghormatan terhadap kebergaman untuk menemukan inspirasi dari hasil dialog dengan masyarakat dan desa. 55 TAHUN STPMD “APMD”

131


Ketiga, APD sebagai tradisi berdesa yang khas ala mahasiswa Program Studi Pembangunan Sosial. Tradisi berdesa memerlukan dan menjadikan desa untuk semua urusan yang ada di desa, tidak sebatas urusan administrasi, tetapi meliputi semua basis kehidupan di desa. Tradisi berdesa memahami desa sebagai entitas politik yang oleh Azar Gat (2003) disebut sebagai negara kecil (petty states). Desa sebagai negara kecil, negara yang dekat dengan rakyat. Menjadikan desa sebagai solusi institusi dari semua urusan masyarakat desa. APD bisa mengambil bagian untuk memperkuat tradisi “muda berdesa” dan merajut hubungan antara desa, masyarakat dan kehidupan melalui desa sebagai petty states. Ketiga pemahaman di atas untuk menjelaskan APD sebagai basis diskursus desa mengepung ilmu untuk memperkuat tradisi “muda berdesa” dari sisi keilmuan. Keberlangsungan APD, meski hanya “live in” dengan masyarakat di desa selama tiga hari, bisa memberi dua manfaat bagi desa. Pertama, untuk mendorong daya ungkit ekonomi desa. Seperti cerita kegiatan APD tahun 2019 di Desa Kemiri soal workshop decoupage untuk ibu rumah tangga tentang pemanfaatan botol bekas sehingga memiliki nilai ekonomis. Ini bisa menjadi daya dorong ekonomi kreatif apabila dimanfaatkan secara berkelanjutan. Tetapi yang jauh lebih penting adalah mendorong daya ungkit ekonomi yang memiliki basis dengan ekonomi produksi masyarakat, sehingga bisa tumbuh menjadi ekonomi produksi yang berkembang menjadi korporasi rakyat. Kedua, menempatkan pembangunan dari berbasis komunitas menjadi berbasis desa. Tradisi village itu adalah tradisi yang cocok untuk Asia termasuk Indonesia karena kita memiliki desa sebagai institusi struktural sekaligus kultural, berbeda dengan Amerika dan Eropa yang memakai community dan rural. Mahasiswa melalui kegiatan APD bisa menemukan ruh village atau tradisi berbasis desa. Cara ini digunakan untuk mendorong ekonomi kreatif melalui gagasan membangun wisata berbasis desa saat kegiatan

132

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


APD 2017 di Desa Dlingo. APD melakukan kolaborasi dengan desa untuk melakukan promosi melalui jalur offline dan online termasuk melalui kegiatan yang fokus di Tebing Watu Mabur. Tetapi yang menjadi jalur paling cepat adalah jalur online, dan kemudian wisata Tebing Watu Mabur yang merupakan icon wisata di Dlingo berkembang menjadi wisata viral. Pengalaman Umbu ini bisa menjadi inspirasi tentang cara memperkuat tradisi berdesa melalui kegiatan APD. Sehingga APD tidak sekedar menjadi aktivitas rutin tanpa makna. APD harus menghadirkan makna dan dampak bagi desa. Sehingga inspirasi melalui cerita dan pengalaman ini bisa menemukan novelty praktik dan keilmuan yang berdesa atau desa mengepung ilmu yang berguna untuk APD di tahun berikutnya. Kini, tugas kita adalah merumuskan secara matang konsep kegiatan APD agar bisa berjalan dengan baik dan efektif bagi pengembangan tradisi “muda berdesa”, sebagai pengejawantahan dari Tridharma perguruan tinggi. Salah satu rekomendasi bagi terwujudnya rupa Aksi Peduli Desa adalah pengorganisasian masyarakat sebagaimana disampaikan Paskalis Smailino Darmawan. Mahasiswa Prodi Pembangunan Sosial yang saat ini menjabat sebagai Ketua PMKRI Komisariat STPMD “APMD” ini menambahkan ketika desa tersebut belum memiliki karang taruna, maka mahasiswa bisa mengkoordinir dan mengorganisir kaum muda untuk membentuk wadah bagi pemuda desa. Sementara itu, Hermanus Kabut Mahasiswa Pembangunan Sosial Angkatan 2018 menegaskan bahwa betapa penting memaknai dan merumuskan ulang definisi Aksi Peduli Desa. Ketua Kelompok Studi Tentang Desa (KESA) menyatakan hal ini dilakukan agar APD tetap berjalan dalam koridor yang sama sesuai dengan cita-cita para penggagasnya. “Apa itu Aksi Peduli Desa?”, “Mengapa kita peduli dengan desa?”, dan “Apa bentuk kepedulian kita terhadap desa?” perlu dimunculkan kembali ke permukaan. Menurutnya, pertanyaan-pertanyaan itu dapat membantu kita dalam menemukan konsep maupun imajinasi 55 TAHUN STPMD “APMD”

133


tentang kegiatan Aksi Peduli Desa. Sehingga, kegiatan APD tidak hanya sekedar menjadi program dan agenda tahunan Mahasiswa HMPS Pembangunan Sosial. Tetapi, lebih daripada itu, kegiatan tersebut memiliki tujuan yang jelas, yaitu mengenal dan mengawal desa agar menjadi entitas yang mandiri, kuat, dan berdaulat dengan membawa nilai-nilai filosofi yang jauh lebih hebat, yaitu nilai-nilai gotong royong, toleransi, solidaritas dan modal sosial yang luar biasa. Proses ini perlu diawali dengan penguatan pengetahuan mahasiswa tentang nilai-nilai socio cultural masyarakat desa. Kemudian hal itu diikuti dengan peningkatan pemahaman tentang pemberdayaan masyarakat dan pelayanan sosial. Kesemua itu ditujukan agar terjadi harmonisasi dalam mengawal proses kepedulian desa yakni dalam rangka “desa membangun dan membangun desa”. Hal ini diharapkan bisa mengantarkan mahasiswa Prodi Pembangunan Sosial memiliki komitmen dalam mengorganisasikan kegiatan Aksi Peduli Desa agar lebih bermakna dan bermanfaat. Sehingga hal itu bisa seiring sejalan dengan Visi Prodi Pembangunan Sosial, yakni: “Menjadi Program Studi yang Unggul dalam Pembangunan Sosial untuk Pemberdayaan Masyarakat dan Desa”.

134

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 9 EDUKASI DAN MEMAMPUKAN DESA Oleh: Hery Purnomo18

Edukasi dan memampukan desa menjadi bagian integral dalam menyelami denyut kehidupan desa. Desa memiliki berbagai macam sumber penghidupan dan pengetahuan yang secara alamiah tumbuh di dalamnya. Memaknai desa, dapat dilihat dari dua sisi wajah yaitu desa lama dan desa baru. Wajah desa lama yang indah tetapi mendapatkan bombardir program pembangunan dari negara. Desa direduksi kemampuan dan dayanya sehingga berakibat desa menjadi kerdil. Transformasi desa lama menuju desa baru mendapatkan momennya dengan terbitnya UU Desa. Keberadaan UndangUndang Desa membawa angin segar bagi desa untuk mulai meniti kembali meraih kemampuan dan daya. Paska diterbitkannya UU Desa, desa menggeliat dalam memajukan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya. Desa bergerak untuk memantabkan jati diri melalui rekognisi dan subsidiaritas. Meski demikian, implementasi Undang-Undang Desa masih memerlukan penguatan yang dilakukan melalui berbagai macam bentuk edukasi. Edukasi bertujuan agar desa dapat menata diri secara bertahap menuju kondisi sebagai mana cita-cita UU Desa. Upaya memampukan desa yang memposisikan desa sebagai aktor memang menghadapi berbagai macam rintangan. 18

Staff Pengajar Prodi Pembangunan Masyarakat Desa, Diploma Tiga. Penulis mengucapkan terimakasih pada narasumber yang telah meluangkan waktunya: Dr Widodo Triputro M.M, M. Si, Dr Supardal, M. Si, Dr Sutoro Eko Yunanto. 55 TAHUN STPMD “APMD�

135


Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) “APMD” Yogyakarta yang didirikan 55 tahun silam telah lama berpihak pada desa. Komitmen dari founding fathers terhadap keberpihakan desa berjalan hingga saat ini. Komitmen tersebut diejawantahkan dengan mengedukasi dan memampukan desa yang menempatkan desa bukan sebagai objek tetapi sebagai subjek. Melebur Menjadi Satu STPMD “APMD” Yogyakarta menjadi institusi pendidikan yang ambil bagian dalam upaya memampukan desa dan mengawal Undang-Undang Desa melalui edukasi desa. Kunci utama yang dijalankan STPMD “APMD” dalam memampukan desa adalah menegakkan komitmen, menjaga konsistensi, dan memastikan keberlanjutan. Dalam mengedukasi desa, sivitas akademik terjun baik secara langsung maupun tidak langsung ke desa-desa. Edukasi dilakukan melalui Bimtek, diklat, pelatihan hingga pendampingan menjadi jembatan untuk memampukan desa. Dari berbagai cara mengedukasi yang dilakukan salah satu prinsip yang dipegang adalah melebur menjadi satu atau menjadi bagian dari desa itu sendiri. Prinsip melebur menjadi satu menjadi suatu keharusan ketika terjun di desa. Pengalaman panjang dalam mengedukasi desa telah dilakukan STPMD “APMD” jauh sebelum Undang-Undang Desa dilahirkan. Salah satu pengalaman berharga yang disampaikan oleh Dr Supardal, M.Si. Pada tahun 2004, Supardal dan sivitas akademik melakukan pengabdian di Desa Wiladeg, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul. Perjumpaan antara Supardal selaku Ketua Prodi Ilmu Pemerintahan dengan Sukoco, Kepala Desa Wiladeg membuahkan kerjasama yang manis, bak “gayung bersambut”. Desa Wiladeg pada tahun 2004 merupakan desa yang sedang berkembang. Partisipasi masyarakat dalam aktivitas pembangunan desa masih kurang. Sejak Sukoco di daulat sebagai kepala desa, Desa Wiladeg mulai berbenah. Kapasitas kepala desa

136

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


yang memiliki jejaring dengan berbagai kalangan yang berpihak terhadap desa menjadi modal awal Wiladeg dalam membangun kemadiriannya. Semangat membangun desa yang ditunjukkan Sukoco dengan membangun kerjasama dengan STPMD “APMD” melalui Supardal. Kerjasama yang terjalin dengan masyarakat Desa Wiladeg ditindaklanjuti dengan serius oleh segenap sivitas akademik prodi Ilmu Pemerintahan. Upaya melebur menjadi bagian dari desa adalah prinsip bagi sivitas akademik STPMD “APMD” dalam menjalankan pendampingan. Melebur artinya menjadi bagian masyarakat yang mampu mendengar keluh kesah dan bersama-sama menemukan alternatif pemecahan masalah. Melebur menjadi satu dengan masyarakat dilakukan dengan berbagai strategi misal dengan menggunakan pendekatan participatory rural appraisal hingga metode yang ekstrim seperti etnografi. Dosen ataupun sivitas akademik yang terjun melakukan pengabdian, tidak hanya menjalankan tugas untuk mendampingi masyarakat tetapi menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Berbagai kegiatan yang diprakarsai oleh STPMD “APMD” Yogyakarta disambut antusias oleh masyarakat Desa Wiladeg. Pendekatan awal yang dilakukan dengan terjun langsung, berdialog dengan masyarakat desa, mengikuti aktivitas kegiatan kemasyarakatan, bergaul dalam forum-forum yang ada di desa. Salah satunya melalui radio komunitas pada waktu itu menjadi hal yang popular bagi masyarakat Desa Wiladeg. Melalui radio komunitas, banyak informasi desa yang dapat diakses oleh masyarakat desa. Radio komunitas menjadi sumber berharga bagi dosen-dosen pada kala itu. Salah satunya saat sivitas akademik di Desa Wiladeg mendorong masyarakat untuk dapat mampu menginventarisasi potensi desa dan mengelola potensi yang ada secara bersama dan mandiri. Upaya tersebut yang membuat masyarakat menjadi nyaman dan tidak canggung dengan keberadaan tim dosen dan sivitas 55 TAHUN STPMD “APMD”

137


STMPD “APMD”. Memang prosesnya membutuhkan waktu yang lama, pendampingan yang dilakukan Prodi Ilmu Pemerintahan berjalan hampir 10 tahun. Hasilnya terlihat jelas, kombinasi antara institusi pendidikan dengan desa, menjadikan Desa Wiladeg dapat berkembang menjadi desa yang mampu mengelola potensi desanya. Penyuluhan ataupun pertemuan yang diadakan selalu disambut dengan antusias masyarakat desa. Warisan dari Sukoco selaku kepala desa pada saat ini masih terasa manfaatnya. Mengedukasi dan memampukan desa merupakan bagian dari pemberdayaan. Ketika masyarakat mampu, masyarakat juga harus mengembangkan apa yang telah dikerjakan. Edukasi yang dilakukan STPMD “APMD” terhadap desa di luar Jawa menjadi suatu pengalaman berharga yang patut disimak. Supardal menuturkan pengalamannya mengedukasi Desa di Dogyai, Papua. Tim STPMD “APMD” Yogyakarta melakukan edukasi dan sosialisasi terkait Undang-Undang Desa di Dogyai, Papua. Implementasi Undang-Undang Desa belum berjalan dengan baik. Salah satu contoh terkait pengelolaan Dana Desa. Bagi kepala kampung di Distrik Dogyai, pengelolaaan dana desa masih dilakukan seadanya, Dana Desa lebih banyak dimanfaatkan untuk pembangunan fisik. Kemudian pelaporan Dana Desa menggunakan jasa dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat di tingkat kabupaten. Permasalahan ini menjadi suatu hal yang serius, di mana negara gagal melindungi desa. Permasalahan yang ada di Dogyai, Papua, direspon Tim “STPMD” APMD dengan memberikan edukasi. Edukasi yang dilakukan menyasar pada kepala distrik (camat). Melalui kepala distrik ini diharapkan transfer pengetahuan kepada kepala kampung dapat terjadi. Kepala distrik merupakan ujung tombak yang mengetahui medan, budaya, dan keadaan masyarakat kampung. Strategi yang digunakan dinamakan “training of trainer”. Memberdayakan kepala distrik alangkah lebih bijak dibanding langsung kepala kampung, karena kepala distrik dihormati dan

138

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


disegani. Strategi-strategi mengedukasi ini merupakan cara jitu dalam memecahkan permasalahan terkait di Dogyai. Mengedukasi desa dalam forum pertemuan anggota DPRD menjadi cerita menarik yang disampaikan Supardal. Keberadaan Undang-Undang Desa memang menguntungkan desa. Tetapi keberadaan Undang-Undang Desa belum menjamin kemakmuran desa itu sendiri. Berlakunya Undang-Undang Desa juga dibarengi dengan terbitnya berbagai macam peraturan kementerian yang membelitnya. Peraturan-peraturan kementerian justru membuat desa menjadi terjerat oleh urusan administrasi yang harus dipatuhi desa. Salah satunya penambahan nomenklatur dalam pengelolaan dana desa melalui peraturan kementerian dalam negeri menyebabkan desa menjadi kesulitan untuk mengoperasionalkan dana desa secara maksimal. Permasalahan ini yang kemudian ditangkap Supardal untuk disampaikan dalam forum dengan anggota DPRD yang topiknya berkaitan. Penyampaian gagasan yang diberikan sebagai upaya untuk memberikan “warning” bahwa ada sesuatu hal yang kurang pas dan perlu dicermati bersama. Keberadaan Undang-Undang Desa memang harus dikawal dengan seksama agar keberadaannya benar-benar dapat memberikan manfaat yang besar untuk desa. Jangan sampai desa menjadi bulan-bulanan sehingga muncul istilah “wes dicekel buntute, tetep dicekel ndase, malah di idak-idak” (dalam arti Bahasa Indonesia: sudah di pegang ekornya, tetap di pegang kepalanya, bahkan diinjak-injak). Istilah tersebut menganalogikan bahwa desa yang diberikan kebebasan terkait dengan pengakuan dan kewenangan terjerat kembali untuk didikte dan dieksploitasi. Mendorong dan Mengawal Upaya sosialisasi Undang-Undang Desa telah mulai digaungkan sejak undang-undang tersebut diketok. Berbagai sosialisasi dilakukan dalam bentuk bimbingan teknis, diklat, pendampingan yang ditujukan untuk meningkatkan kapasitas individu maupu 55 TAHUN STPMD “APMD”

139


organisasi. Harapan edukasi semacam ini agar desa memahami dan mampu dalam mengimplementasikan Undang-Undang Desa. Desa dapat menjalankan kewenangan lokal yang di miliki dan mampu mengelola sumber daya desa secara mandiri. Dalam kenyataannya, pelaksanaan bimtek, asistensi, dan diklat yang di terima perangkat desa memang telah membawa transfer pengetahuan tentang pelaksanaan Undang-Undang Desa. Perangkat desa dan jajarannya mendapatkan pemahaman tentang pengelolaan dana desa, penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), penyusunan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDes), dan aktivitas siklus tahunan desa. Tetapi sayangnya bimtek dan sejenisnya ini hanya dimaknai sebatas kegiatan rutin tahunan oleh kabupaten melalui dinas pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan pengalaman, pelatihan berombongan yang dilakukan dinas cenderung hanya ceramah saja dengan minim diskusi. Transfer pengetahuan berlangsung ketika ada pelatihan tetapi setelahnya tidak ada tindak lanjutnya. Selain itu, kegiatan pelatihan dan edukasi yang dilakukan kabupaten memiliki keterbatasan dari sisi anggaran dan waktu. Alhasil, kegiatan yang diselenggarakan kabupaten untuk memampukan desa hanya menjadi kegiatan yang formalitas. Pada tataran ini kabupaten belum serius dalam memampukan desa. Bimtek memang telah memungkinkan transfer pengetahuan terjadi. Tetapi pelaksanaan tradisi “berdesa� seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Desa belum terwujud. Pengalaman Dr. Widodo Triputro menegaskan kondisi tersebut. Widodo menuturkan, dalam memberikan pelatihan dan edukasi kerjasama dengan kabupaten/intitusi terkait menjelaskan bahwa setiap bimtek yang dilakukan dia hanya diberikan alokasi waktu dua jam, kemudian forum diskusi yang terjadi tidak ideal. Pelatihan dan edukasi yang tidak menjadi kebutuhan peserta (perangkat desa dan jajarannya) akhirnya menjadi kegiatan formalitas semata. Transfer ilmu pengetahuan berjalan tetapi tidak

140

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


mengendap dengan baik. Melihat kondisi tersebut Widodo sering memberikan masukan kepada penyelenggara pelatihan baik itu kabupaten atau institusi agar penyelenggaraan bimtek ditindak lanjuti dengan kegiatan pendampingan. Kemudian penyelenggara pelatihan diharapkan melakukan diskusi terlebih dahulu terkait dengan mengidentifikasi kebutuhan pelatihan. Berbeda dengan pelatihan dan edukasi yang dilakukan Widodo di Desa Tamanan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul yang menjadi tempat tinggalnya. Pelatihan dan edukasi yang dilakukan secara berkelanjutan hingga saat ini. Perangkat desa ataupun Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sering berkonsultasi dengan dia, misal terkait dengan penyusunan Peraturan Desa, tugas dan fungsi perangkat desa, penyusunan RPJMDes, dan berbagai macam hal yang berkaitan dengan pemerintahan desa. Setiap “selapan� hari, BPD mengadakan sarasehan rutin yang membahas terkait pembangunan desa. Kegiaatan sarasehan ini dihadiri oleh berbagai elemen mayarakat dan kelompok masyarakat di desa tersebut. Dalam sarasehan tersebut, Widodo menjadi fasilitator sekaligus narasumber. BPD ataupun kepala desa sering berkonsultasi dengan dia perihal penyusunan peraturan desa. Mereka meminta bantuan untuk mengoreksi draf perdes dari sistematika hingga substansi perdes. Dalam sarasehan BPD, Widodo sebagai fasilitator membantu elemen masyarakat dalam menampung berbagai macam aspirasi, kemudian dia memberikan masukan dan pencerahan terhadap permasalahan yang ada di desanya. Silang pendapat lazim terjadi dalam forum diskusi. Dinamika dalam forum diskusi dinilai menjadi nilai postif dalam membangun demokrasi di desanya. Dia dapat memposisikan dirinya sebagai fasilitator sekaligus mediator yang memberikan alternatif solusi. Hubungan baik antara Widodo dengan perangkat desa dan BPD karena masing-masing pihak memiliki komitmen bersama untuk memajukan desa.

55 TAHUN STPMD “APMD�

141


Ada pula pengalaman edukasi menarik yang menjadi kenangan Widodo dalam melakukan bimtek, yaitu salah satunya bimtek di Gayo luwes, Aceh. Bimtek yang dilakukan menyasar pada memampukan petani kopi. Petani kopi di daerah tersebut memiliki hasil produksi kopi mentah yang baik. Permasalahan yang ada, petani kopi belum memaksimalkan hasil produksi kopi mentah menjadi barang yang memiliki nilai tambah lebih, kemudian belum terbentuknya wadah yang menaungi petani kopi. Bimtek tersebut dilakukan dengan menghadirkan berbagai stakeholders, baik dari pemerintah, LSM, dan petani kopi. Sebagai pengisi bimtek, Widodo mengambil peran dalam peningkatan kapasitas kelembagaan. Bimtek yang dilakukan kepada petani kopi di Gayuluwes menghasilkan beberapa kesepakatan yaitu terbentuknya 7 kelompok petani kopi yang berada dalam wadah Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Kelompok petani kopi yang terbentuk mengembangkan produksi kopi mentah menjadi produk minuman kopi. Peran masing-masing stakeholders mampu memberikan kebermanfaatan bagi petani kopi. Pemerintah desa berperan dalam memfasilitasi kegiatan bimtek untuk kelompok petani, LSM menjadi mediator dalam meningkatkan soft skill dari petani kopi tersebut terkait pengolajhan kopi. Tindak lanjut dari bimtek sebagai penguatan kelompok petani kopi ini kemudian diinisiasi dengan melakukan magang ke koperasi yang ada di Yogyakarta. Widodo mengarahkan ketujuh kelompok petani kopi untuk magang dan belajar selama tiga bulan di koperasi-koperasi yang direkomendasikan. Pelatihan dan edukasi diharapkan dapat mewujudkan transfer pengetahuan yang kemudian dielaborasi dengan pelaksanakan tindakan nyata. Perlu ada perubahan pandangan dalam memaknai pelatihan dan edukasi. Pelatihan dan edukasi diposisikan sebagai kebutuhan yang memang benar dibutuhkan dan kebutuhan tersebut di wujud nyatakan dalam pelaksanaan. Tentu pelatihan

142

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


dan edukasi yang berkelanjutan melalui proses trial dan error. Desa sebagai aktor yang memiliki kewenangan lokal harus serius dalam melakukan peningkatan kapasitas. Pembangunan yang selama ini masih banyak di arahkan ke pembangunan fisik perlu diimbangi dengan pembangunan sumber daya manusia. Ketergantungan dengan pemerintah supra desa harus dikurangi , sehingga desa mampu untuk menyesuaikan diri dan mandiri. Memperluas Ruang Pengetahuan Mengedukasi tidak hanya berada pada ranah pelatihan, bimtek, asistensi, diklat, dan sebagainya. Banyak ruang pengetahuan yang dapat disinggahi, Dalam konteks berdesa, ketika kita sedang mengobrol santai dengan kolega membahas isu mengenai UndangUndang Desa yang di by pass oleh banyak peraturan menteri itu sudah membuka masuknya ruang pengetahuan. Ketika kita berada di warung kopi, berselancar di dunia maya mengunggah review buku Desa Baru Negara Lama kemudian mendapatkan tanggapan di kolom chat itu juga membuka ruang pengetahuan. Ruang pengetahuan terbangun apabila terjadi interaksi dan transfer informasi. Ruang pengetahuan dapat dimaknai sempit sebagai tempat di mana dialektika pengetahuan itu dibangun. Saat ini banyak sarana yang dapat digunakan dalam menciptakan ruang pengetahuan, salah satunya melalui teknologi informasi. Ruang pengetahuan dalam teknologi informasi seperti Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, Podcast menjadi ruang pengetahuan yang bebas nilai, dimana berbagai hal dapat tersaji dan dibahas terutama terkait topik desa. Dalam ruang pengetahuan tersebut kemudian muncul transfer pengetahuan. Dr Sutoro Eko, ketua STPMD “APMD� Yogyakarta berbagi pengalaman dalam memperluas ruang-ruang pengetahuan berkaitan dengan berdesa. Memperluas ruang pengetahuan tentang berdesa ini merupakan salah satu tindak lanjut dan 55 TAHUN STPMD “APMD�

143


kesinambungan implementasi Undang-Undang Desa. Ruang pengetahuan dapat muncul dalam suasana dan kondisi yang santai misalnya pada saat ngobrol di ruangan kerja dia. Banyak kepala desa ataupun rombongan yang menyempatkan diri untuk bertemu dengan Pak Toro (sapaan akrabnya) membicarakan masalah desa. Kehangatan yang ditunjukkan dia dalam melayani kepala desa atau rombongan yang berkunjung memberikan pencerahan dan dampak yang luar biasa. Dodiet Prasetyo, Kepala Desa Wlahar Wetan, Kalibangor, Banyumas berbagi pengalaman ketika Sutoro Eko berkunjung ke desanya. Kunjungan ke Desa Wlahar terjadi pada bulan Maret tahun 2018. Kunjungan yang dilakukan STPMD “APMD� sebagai bentuk kunjungan balasan. Menyambut kehadiran begawan desa, antusias kepala desa dan perangkat desa tersebut sangat luar biasa. Kepala Desa dan jajarannya banyak menyampaikan curhatan dan keluh kesah yang berkaitan dengan desa. Curhatan dan keluh kesah di respon dengan penuh seksama bahkan Sutoro Eko mampu memberikan pandangan yang mencerahkan. Ruang pengetahuan terbangun dengan nilai humanisme yang dibawa begawan desa. Pengalaman yang sama dirasakan oleh Hadian Supriatna, SP, Kepala Desa Cibiruwetan, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung. Ruang pengetahuan yang di dapat berawal dari kedai kopi. Perjumpaan dia dengan Sutoro Eko di Kedai Kopi Poenam daerah Kebun Sirih Jakarta tahun 2014 memberikan spirit dalam memampukan desa. Kewenangan lokal dan pengakuan yang terkandung dalam Undang-Undang Desa (pada masa itu masih rancangan undang-undang) menyadarkan Kepala Desa Cibiruwetan bahwa desa harus mampu menentukan arah kebijakan pembangunan desa secara mandiri, di mana peran serta masyarakat ada di dalamnya. Hasil dari perjumpaan di warung kedai kopi membantu kepala desa dalam membuat kebijakan pembangunan dan kegiatan pembangunan yang inovatif dan kreatif sehingga mampu mensejahterakan masyarakat desa.

144

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Ruang pengetahuan tidak mengharuskan tempat yang formal seperti di hotel ataupun di audiotorium. STPMD “APMD” memiliki ruang diskusi yang cukup representatif yaitu Ruang M. Soetopo. Ruang M. Soetopo dahulu dan sekarang memiliki rupa yang berbeda dengan fungsi yang sama. Dahulu ruang tersebut merupakan ruang seminar yang dapat digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat yang ada di lingkungan sekitar kampus. Kelompok petani, perangkat desa, masyarakat umum menggunakan ruang tersebut untuk mendiskusikan berbagai macam hal. Dari ruangan tersebut muncul ide gagasan yang memberikan pengharapan bagi kalangan tersebut. Ruangan M. Soetopo dapat menjangkau segala aspek lapisan masyarakat untuk membangun ruang pengetahuan. Memang sekarang R. M. Soetopo sudah semakin bersolek, tetapi esensinya tetap terjaga dengan menghidupkan ruang-ruang pengetahuan. STPMD “APMD” Yogyakarta yang diidentikkan dengan kampus desa berupaya membuka seluas-luasnya ruang pengetahuan tersebut. Ruang pengetahuan dapat muncul dari media sosial. Keaktifan Sutoro Eko di media sosial seperti Facebook mendapatkan respons positif dari berbagai kalangan seperti kepala desa, pegiat desa, dan masyarakat umum yang peduli pada desa. Banyak postingan berkaitan dengan desa dia syiarkan. Kemampuan dia dalam memberikan informasi tentang desa memang tidak terbantahkan, baik itu opini ataupun gagasan-gagasan dia. Salah satunya Kepala Desa Kabela Wuntu, Kecamatan Katiku Tana, Kabupaten Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Gustiawan Walawengu. Kepala desa tersebut menuturkan perjumpaannya dengan Sutoro Eko melalui Facebook. Kepala desa pada awal mula hanya berteman dan menjadi pengikut saja. Postingan-postingan berdesa baik itu opini ataupun gagasan memikat kepala desa tersebut untuk mengikutinya. Hampir semua postingan rutin dibaca dan nyaris tidak ada postingan yang terlewatkan. Dari rutin dan rasa penasaran kepala desa ini kemudian yang mempertemukan kepala desa tersebut dengan Begawan desa secara langsung. 55 TAHUN STPMD “APMD”

145


Bulan September 2019 Kepala Desa Kabela Wuntu mendampingi pengurus Bumdes melakukan bimtek dan studi banding di Yogyakarta. Momen inilah yang kemudian mempertemukan kepala desa dengan Sutoro Eko. Kesempatan yang baik itu tidak disia-siakan untuk mendapatkan ilmu berdesa. Berkunjung ke STPMD “APMD� Yogyakarta dan diterima dengan baik menjadi pengalaman yang berharga bagi kepala desa. Perjumpaan yang singkat sambil menyeruput kopi dan cemilan, Pak Toro dengan bersahaja berbagi ilmu tentang bagaimana mengelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan Badan Usaha Milik Desa Bersama (Bumdesa Bersama). Kondisi diskusi yang cair, penuh kehangatan, dan semangat berbagi cukup memberikan efek yang luar biasa. Memperluas ruang pengetahuan merupakan suatu gagasan yang membuka jendela berpikir kita. Logika tersebut sangat relevan di mana keberadaan ruang-ruang pengetahuan akan berkontribusi pada pengembangan pengetahuan itu sendiri. Transfer pengetahuan, transfer informasi, diskursus yang terjadi akan melanggengkan pengetahuan itu sendiri, sehingga kemandegan pengetahuan dapat terhindarkan Memperluas ruang pengetahuan memberikan daya tersendiri dalam menghadapi berbagai tantangan permasalahan kehidupan. Keberadaan ruang pengetahuan juga dilandasi dengan nilai humanis yang perlu di pelihara. Nilai humanis ini merupakan pondasi atau benteng sehingga kita tidak terjebak pada ruang pengetahuan yang membabi buta atau pengetahuan yang disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Keberadaan ruang pengetahuan jangan sampai mengikis nurani sehingga menjadikan orang menjadi rakus. Simpulan Mengedukasi dan memampukan desa adalah bagian yang tak terpisahkan dari melayani desa. Berbagai macam strategi dalam melayani kemudian bisa kita sarikan menjadi tiga hal

146

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


yaitu melebur menjadi satu, mendorong dan mengawal, serta memperluas ruang pengetahuan. Melebur menjadi satu dapat diartikan bahwa dalam melayani desa kita harus mampu menjadi bagian dari desa itu sendiri. Mendorong dan mengawal dapat diartikan bahwa dalam melayani sebagai upaya mengedukasi dan memampukan desa kita cukup perlu mendorong dan mengawal. Kita tidak perlu mengintervensi terlalu dalam supaya tidak menciptakan ketergantungan. Ketergantungan tersebut bisa terlihat dari munculnya desa-desa ilmiah, dimana desa ilmiah ini malah merusak tatatan alamiah berdesa. Kemudian yang terakhir, memperluas ruang pengetahuan dalam artian bahwa keberadaan ruang pengetahuan ini akan memberikan transfer pengetahuan dan membuka dimensi cara berpikir dalam memahami suatu fenomena yang muncul. Dalam memperluas ruang pengetahuan nilai humanis juga menjadi bagian yang penting. Keberadaan nilai humanis inilah yang mampu menggiring kita untuk berpikir jernih dan bijaksana dalam melihat berbagai fenomena yang muncul dalam berdesa. Intisari yang dapat dipetik dari pengalaman dosen dalam mengedukasi dan berbagai desa adalah bentuk refleksi dari pengalaman berupa pencerahan yang dapat memperkaya khazanah dalam mengedukasi dan memampukan desa.

55 TAHUN STPMD “APMD�

147


148

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 10 MENDAMPINGI SELEKSI PERANGKAT DESA YANG BERMARTABAT Oleh: Minardi19

Saat pertama kali panitia seleksi perangkat desa memasuki kampus STPMD “APMD” untuk melakukan kerjasama, pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh pihak kampus adalah: “Apakah ada titipan yang nanti mau dijadikan (perangkat desa) atau tidak,? Jika ada titipan, silahkan Bapak dan Ibu keluar dari ruangan saya”, biasanya mereka lalu diam dan terbelalak. Itulah penggalan percakapan antara Tim STPMD “APMD” dengan panitia seleksi perangkat desa. Memang pernyataan ini sunggah sangat kasar. Namun Tim STPMD “APMD” hendak menyampaikan pesan mulia dibalik pernyataan tersebut. Tim STPMD “APMD” mengajukan persyaratan agar seluruh pihak turut mengawal penyelenggaraan tes perangkat desa yang berintegritas. STPMD “APMD” tidak ingin merusak marwah desa, dan nama besar STPMD “APMD” Yogyakarta yang telah hadir sejak 1965 untuk desa. Karena dari desa, Indonesia membangun. Desa harus dimuliakan dan dijaga bersama-sama.

19

Staf Pengajar Prodi S1 Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta. Penulis berterima kasih pada sejumlah narasumber yang telah bersedia meluangkan waktu: Drs. RY Gatot Raditya, M.Si (Kepala P3M STPMD “APMD”), Drs. Suharyanto MM (Anggota PPK-APD STPMD “APMD”), Dr. Supardal, M.Si (Kepala PSKPPM STPMD “APMD”, Ali Yahya (Kepala Seksi Pemerintahan Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul), Sudarman (Kepala Seksi Pemerintahan Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul) dan Haryono (Dukuh di Desa Hargowilis, Kulon Progo). 55 TAHUN STPMD “APMD”

149


A.

Mengawal Penegakan Integritas Seleksi perangkat desa

Kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang diakui dan didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Bagi seorang pemimpin pengakuan atas kepemimpinannya menjadi perihal pokok. Itulah legitimasi. Guna membangun legitimasi, proses rekrutmen pemimpin berintegritas sangat menentukan pengakuan tersebut. Untuk melahirkan kepemimpinan yang dibangun dengan legitimasi kokoh, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta turut memberikan kontribusi melalui Seleksi Perangkat Desa. Di lingkungan STPMD “APMD” Yogyakarta miliki tiga tim seleksi perangkat desa. Ketiga tim seleksi yaitu Pusat Studi Kebijakan Publik dan Pemberdayaan Masyarakat (PSKPPM), Pusat Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintahan Desa “APMD” (PPK-APD) dan Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M). Ketiga tim ini saling mengisi dan bekerjasama dalam pelaksanaan seleksi perangkat desa di berbagai desa di DIY. Tercatat, puluhan desa dari tiga kabupaten di Propinsi D.I. Yogyakarta yang mempercayakan tes seleksi perangkat desa kepada STPMD “APMD” Yogyakarta. Ketiga Kabupaten itu adalah Sleman, Bantul dan Kulon Progo. Sedangkan seleksi perangkat desa di Gunungkidul diserahkan kepada panitia seleksi perangkat desa yang dibentuk oleh Pemerintah Desa. “Di Gunungkidul ditangani sendiri dan tidak diserahkan pada pihak ketiga, “ ujar salah seorang personel PPK-APD Suharyanto. Lalu bagaimana cara Tim-tim STPMD “APMD” Yogyakarta dalam menyiapkan dukungan bagi penyelengaraan seleksi atau rekrutmen perangkat desa yang berintegritas? Tim STPMD “APMD” mendasarkan regulasi berupa peraturan daerah atau peraturan bupati yang ada. Sebab, masing-masing kabupaten memiliki pengaturan yang berbeda. “Dari tiga kabupaten yang desa-desanya telah menjalin kerjasama dengan Tim Penguji dijumpai perbedaan persyaratan maupun model seleksi. Setelah

150

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


calon lolos seleksi administrasi baru diijinkan mengikuti ujian yang modelnya juga variatif,“ kata Suharyanto. Kabupaten Kulon Progo mengatur seleksi hanya satu tahap yakni tes tulis saja. Tim STPMD “APMD” memiliki peran menyiapkan soal bergantung permohonan soal yang diajukan panitia. Urusan pendaftaran dan teknis penyelenggaraan ujian menjadi ranah panitia seleksi. Sedangkan regulasi Kabupaten Bantul dan Sleman lebih rumit karena melewati 4 hingga 5 tahap seleksi. Untuk seleksi perangkat di Bantul dan Sleman, tim STPMD “APMD” menjadi pelaksana ujian, setelah melakukan serah terima ujian dari pihak pemerintah desa kepada tim STPMD “APMD”. “Di Kulon progo lebih sederhana. kami hanya datang lalu menyerahkan soal, dan kami tunggu sampai ada terpilih, “ kata kepala P3M RY Gatot Raditya. Integritas dalam membangun legitimasi telah dimulai sejak pertama kali pihak desa dan panitia seleksi memasuki Saat pertama kali panitia desa dan kepada desa serta Muspika memasuki kampus STPMD “APMD” Yogyakarta untuk melakukan kerjasama. Pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh pihak kampus adalah: “Ada titipan tidak yang nanti mau dijadikan, salah satu peserta ini yang mau dijadikan nomor satu? Jika ada titipan, silahkan Bapak dan Ibu keluar dari ruangan saya dan mencari pihak ketiga yang lain”, biasanya mereka lalu diam dan terbelalak. Persyaratan tersebut mutlak dipenuhi oleh desa yang ingin bekerja sama dengan STPMD “APMD” dalam hal tes seleksi perangkat desa. Jika ada desa atau panitia seleksi yang memiliki agenda tersendiri di luar mencari pamong desa yang berintegritas, biasaya mereka mundur teratur. Namun kasus semacam ini sangat jarang terjadi. Umumnya, pihak pemerintah desa atau pantia seleksi menyambut perjumpaan awal tersebut secara positif terkait persyaratan yang diajukan oleh Tim STPMD “APMD” Mereka mengapresiasi terkait kenetralan APMD dalam tes perangkat desa. Sebab panitia seleksi juga mendapat manfaat dengan persyaratan 55 TAHUN STPMD “APMD”

151


tersebut, mereka juga dipercaya oleh warga. “(Persyaratan) ini sebelum ada MoU antara APMD dengan kami. Kita juga enak, tidak ada beban, nanti jika ada yang mempertanyakan silahkan tanyakan kepada pihak ketiga yang menguji,” tutur Kasi Pemerintahan Desa Panggungharjo, Ali Yahya. Hal serupa juga dialami panitia seleksi perangkat Desa Timbulharjo. Pihak desa dan panitia merasa nyaman atas cara yang dilakukan STPMD “APMD” dalam proses seleksi, khususnya saat awal pertama kali ke kampus. Timbulharjo selalu bekerjasama dengan STPMD “APMD”. Awalnya Kepala Desa Timbulharjo mengacu pada kampus APMD karena concern dengan desa. Di dalam benak Kepala desa setempat, untuk pengisian pamong itu lebih cocok di STPMD “APMD”, sesuai dengan namanya ada kata “Desa”. Kemudian, mereka menjajaki kerjasama dengan STPMD “APMD”. Di awal perjumpaan mereka sangat terkesan dengan syarat terkait menjaga integritas penyelenggaraan seleksi yang diajukan oleh tim STPMD “APMD”. “Jawaban kami atas syarat itu, jika kami punya kepentingan, maka tidak mungkin kami sampai sini berkali-kali, “ ujar Kepala Seksi Pemerintahan Desa Timbulharjo Sudarman. Upaya mengawal integritas penyelenggaraan seleksi perangkat desa memasuki tahap penyusunan soal ujian. Tim STPMD “APMD” biasaya akan mendistribusikan penyusunan soal kepada para dosen di STPMD “APMD” sesuai dengan bidang keahlian masing-masing dosen. Dalam setiap tes seleksi perangkat desa, dosen yang terlibat bisa mencapai 7 hingga 8 dosen yang terlibat. “Soal ini kami share ke berbagai dosen. Misalnya soal tentang Pancasila tentu kita serahkan ke dosen yang mengajar pancasila,” kata Kepala P3M RY Gatot raditya. Model semacam ini ini digunakan untuk mensiasati kebocoran soal. Karena tidak menutup kemungkinan ada peserta atau tim sukses peserta datang ke STPMD “APMD” Yogyakarta untuk mencari bocoran soal. Dengan model penyusunan yang

152

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


disebar semacam itu, kecil kemungkinan peserta dapat menembus tim untuk mendapat bocoran soal secara utuh. Bahkan saat soal dikompilasi oleh tim, soal tersebut masih diacak. Setelah soal selesai disusun, soal kemudian dikemas dalam bundel-bundel soal yang disegel. Penyegelan bundel paket soal ini penting dilakukan untuk memastikan soal tidak buka sampai pada saat pelaksanaan ujian. Ada kisah menarik yang dilakukan oleh ketua panitia di sebuah desa untuk menguji integritas STPMD “APMD” Yogyakarta dalam komitmen tes seleksi perangkat desa. Kebetulan kediaman salah satu Tim STPMD “APMD” berada di desa yang tengah menyelenggarakan seleksi perangkat tersebut. Dengan dalih bersilaturahmi, ketua panitia ingin rumah anggota tim STPMD “APMD” tersebut. Namun, oleh yang bersangkutan sementara menolak kunjungan tamu dari desa yang tengah menyelenggarakan tes perangkat desa tersebut. Dia baru bersedia kembali menerima tamu, jika tes selesai digelar. Walaupun dengan dalih silaturahim tanpa membahas tes perangkat desa, namun yang bersangkutan menjaga dari fitnah karena yang mendatangi adalah panitia seleksi perangkat desa. Ketua panitia seleksi tersebut semakin menaruh kepercayaan kepada STPMD “APMD” Yogyakarta. Memasuki hari pelaksanaan ujian, soal pun dibawa sendiri oleh oleh Tim STPMD “APMD” Yogyakarta ke lokasi tes. Tim STPMD “APMD, benar-benar membawakan paket soal langsung dari kampus, tidak dibawakan oleh panitia seleksi perangkat desa. Hal ini menunjukkan transparansi, karena soal benar-benar dibawa oleh tim STPMD “APMD” dan tidak sempat “mampir” ke tangan panitia seleksi. Soal kemudian dibuka dihadapan para peserta, kepala desa, perangkat desa, pimpinan kecamatan maupun masyarakat umum. Pada saat pelaksanaan ujian, sebelum soal dibagikan, tim STPMD “APMD” menunjukan soal masih dalam keadaan tersegel. Segel tersebut merupakan pesan yang ingin disampaikan kepada seluruh pihak, bahwa soal yang diujikan telah dijamin kerahasiaannya sampai pada saat pelaksanaan ujian. 55 TAHUN STPMD “APMD”

153


Setelah tahap demi tahap ujian diselesaikan, maka dilakukan koreksi hasil ujian. Uniknya, koreksi dilakukan secara terbuka. Proses koreksi secara teknis dilakukan oleh korektor dari Tim STPMD “APMD”. Kemudian disaksikan oleh peserta, panitia seleksi, pemerintah desa, perwakilan kecamatan, hingga warga. Prinsip keterbukaan itu artinya siapapun boleh mengikuti proses dari awal sampai akhir penyerahan hasil. Sehingga mereka tahu prosesnya. Salah seorang peserta tes Dukuh Klepu, Desa Hargowilis, Kulon Progo memberi kesaksian tes yang dilakukan tim STPMD “APMD” sangat transparan. Haryono yang kemudian lolos menjadi dukuh menambahkan, saat koreksi semua bisa saling mengawasi. “Yang mengkoreksi didampingi dari BPD, Muspika, disaksikan masyarakat umum, dan hasilnya dibacakan di depan umum, “ kata Haryono. Koreksi hasil ujian tes menjadi titik puncak dalam penyelenggaraan seleksi perangkat desa. Pada tahap ini sesunguhnya sangat rawan terhadap praktik-praktik kecurangan. Kecurigaan sangat mudah berkembang manakala proses koreksi berlangsung sangat tertutup, meski panitia tidak melakukan praktik kecurangan sekalipun. Apalagi jika praktik kecurangan dilakukan oleh pihakpihak tertentu. Kejanggalan-kejanggalan bisa saja ditemukan saat proses koreksi tertutup karena tidak dapat diawasi oleh publik. Atas dasar itulah, Tim STPMD “APMD” mengembangkan model penyelenggaraan tes perangkat yang transparan, karena terbuka untuk diawasi oleh siapapun. B.

Manfaat Menegakkan Integritas

Saat seleksi perangkat desa, kepala desa itu dan panitia seleksi menjadi yang paling banyak menerima tekanan. Mereka dipusingkan dengan banyaknya titipan kepentingan. Banyak pihak berkepentingan untuk meloloskan calon masing-masing. Belum lagi, jika kepala desa atau pemerntah desa terlibat dalam konflik kepentingan, karena memiliki “jago” tersendiri. Situasi tersebut

154

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


semakin rumit, manakala warga menghendaki proses seleksi yang terbuka dan transparan. Belum lagi supra desa yang diwakili kecamatan mengamanatkan agar proses seleksi diselenggarakan mengikuti aturan. Dilema pun muncul. Tekanan semacam ini pun juga dialami oleh Tim STPMD “APMD” saat menjadi pihak ketiga dalam penyelenggaraan tes perangkat desa. Berdasar pengalaman, banyak pula calon atau tim sukses calon yang berupaya “menembus” barikade integritas Tim STPMD “APMD”. Mereka mencari “jalur-jalur belakang” dengan meminta bocoran soal dengan iming-iming imbalan tertentu. Tentu tawaran tersebut ditolak mentah-mentah. Tawaran pun dinaikkan. Namun Tim STPMD “APMD” tetap bergeming. Tim STPMD “APMD” menyadari jika mengambil tawaran tersebut sama dengan sedang mempertaruhkan nasib desa dan juga mempertaruhkan kredibilitas nama baik kampus desa. Tekanan bahkan tidak berhenti sampai di situ. Pada saat hari pelaksanaan ujian, saat Tim tiba di lokasi ujian, beberapa kali Tim STPMD “APMD” disambut dengan aroma dupa dan kembang setaman. Dalam kepercayaan orang Jawa, dupa dan kembang sebagi medium dan simbol bekerjanya alam ghaib untuk mencapai tujuan tertentu. Namun Tim STPMD “APMD” tetap tegak lurus dan bergeming mempertahankan keyakinan untuk menjaga marwah desa serta menegakkan kredibilitas STPMD “APMD” yang berpihak pada desa. Sketsa persoalan tersebut memberikan gambaran tentang sisik melik seleksi perangkat desa yang bermuara kepada diujinya integritas masing-masing pihak dalam penyelenggaraan tes perangkat desa. Pertanyaan berikutnya, apa untungnya menegakkan integritas? Apakah memberi manfaat jangka panjang bagi pihak-pihak yang terlibat. Dari pengalaman panjang STPMD “APMD” turut serta menyelenggarakan seleksi perangkat desa, terdapat sejumlah manfaat yang dapat dipetik yang akan dipaparkan sebagai berikut ini. 55 TAHUN STPMD “APMD”

155


Menghasilkan Pamong Terpercaya dengan Legitimasi Kokoh Di masa lalu, seleksi perangkat desa menjadi arena politik pedesaan yang tidak steril dari isu-isu kolusi dan bahkan suap. Akibatnya, kepercayaan masyarakat runtuh terhadap penyelenggaraan tes perangkat desa. Jika proses seleksi diselenggarakan dengan curang dan sembrono, maka siapapun yang lolos sebagai perangkat desa akan menghadapi persoalan ketidakpercayaan warga. Mereka yang terpilih akan menangguk gugatan yang dibangun dari rendahnya ketidakpercayaan warga. Kondisi demikian tentu sangat rentan bagi mereka yang terpilih karena miskin legitimasi. Sekalipun mereka yang terpilih memiliki kompetensi dan mumpuni, warga terlanjur tidak mengakui calon terpilih karena dilahirkan dari proses yang cacat. Bagaimanapun juga proses seleksi perangkat desa bertujuan untuk menghasilkan perangkat-perangkat desa berkualitas. Jika proses seleksi dilakukan dengan tidak mengindahkan prinsip jujur dan adil, maka sesungguhnya desa tengah beresiko menghasilkan sosok yang tidak kompeteten. Dalam proses demikian, mereka yang terpilih bukan karena telah memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan dan telah memenangi dalam setiap tahapan ujian. Namun, mereka yang terpilih karena adanya “permainan belakang� yang memberi jalan bagi terpilihnya orang-orang semacam ini. Akibatnya, perangkat desa terpilih justru menjadi beban bagi desa. Disamping menghadapi persoalan pengakuan di masyarakat, sosok semacam ini juga tidak memiliki kompetensi yang cukup untuk memperkuat pemerintahan desa. Mereka yang terpilih melalui “jalan belakang� sejatinya bukan calon yang terbaik. Ketika mereka mulai menjabat, visi pelayanan kepada warga tidak tampak kuat. Orientasi bekerja mereka cenderung melayani diri sendiri. Guna memperbaiki situasi tersebut maka pihak pemerintah desa dan panitia seleksi mensiasati secara dinamis dengan menyelenggarakan pemilihan perangkat desa secara terbuka dan

156

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


transparan. Mereka juga bermitra dengan pihak ketiga yang kredibel dan terpercaya yakni perguruan tinggi yang mumpuni di bidangnya dengan tujuan meningkatkan kepercayaan penyelenggaraan seleksi perangkat desa. Perguruan tinggi yang dipilih tentunya, kampus yang berkomitmen untuk menyelenggarakan melakukan seleksi secara transparan seperti STPMD “APMD”. Dengan demikian, lahirnya perangkat desa yang berkualitas dan memiliki kompetensi serta bukan “titipan” menjadi harapan baru bagi desa melalui penyelenggaraan seleksi perangkat desa. Pada akhirnya, dampak keterbukaan proses penyelenggaraan tes perangkat desa meningkatkan kepercayaan terhadap hasil tes yang dilakukan oleh pihak ketiga sebagaimana yang dilakukan oleh STPMD “APMD”. Hasil seleksi perangkat desa yang transparan, akan memperkuat legitimasi kepada calon yang lolos seleksi. Bagi peserta tes yang tidak lolos menerima hasil tes dengan lapang dada dengan alasan memang demikian kemampuan mereka. Mereka yang tidak lolos juga mengakui keunggulan calon atau peserta yang meraih jabatan perangkat desa. “Karena ini hasil kompetisi sehat yang menunjukkan kompetensi masing-masing, maka jika mau marah, mau marah kepada siapa. Di Kulonprogo soalnya pilihan ganda semua,” kata Haryono. Melalui berbagai tahap penyaringan yang sangat ketat diperoleh perangkat desa yang berkualitas sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan. Mereka diharapkan mampu bekerja membawa desa ke arah kemajuan yang menyejahterakan warga dengan spirit melayani warga. Mereka yang memiliki kapasitas, mereka pula yang biasanya lolos seleksi. Mereka yang lolos seleksi biasanya tidak jauh-jauh dari prediksi masyarakat umum. Biasanya, masyarakat umum sudah bisa menebak siapa yang akan lolos seleksi, dengan melihat kualitas pendidikan, rekam jejak, dan kiprah kemasyarakatan para calon. Hasil tes perangkat desa acapkali mengkonfirmasi keyakinan atau suasana kebatinan warga terhadap calon tertentu yang dianggap unggul oleh warga. 55 TAHUN STPMD “APMD”

157


Sehingga calon “titipan” dan politik uang akan tidak berguna dalam model seleksi perangkat desa seperti ini. Proses rekrutmen jabatan pamong desa yang transparan dan berintegritas, dimana setiap warga memiliki hak yang sama, menjadi dambaan warga hari ini. Seluruh warga dapat mengikuti seleksi, mengawasi proses pelaksanaannya, dan bisa mengetahui hasilnya. Warga merasa puas dengan hasil yang dicapai. Mereka juga mengakui siapapun calon yang memenangkan kompetisi telah melewati tahapan dan proses kompetisi yang jujur dan adil. Hal itu juga meminimalkan terjadinya gejolak pasca tes rekrutmen di masyarakat. Calon yang terpilih pun diakui karena memang mumpuni kemampuannya. Warga akan menaruh kepercayaan kepada peserta yang lolos seleksi. Karena mereka yang lolos bukan berasal dari “permainan belakang” yang berupaya memberi jalan bagi orang-orang dekat kepala desa. Menjadi Lembaga Terpercaya Dalam Penyelenggaraan Tes Perangkat STPMD “APMD” Yogyakarta yang sejak berdiri konsisten untuk memajukan desa-desa di Indonesia merupakan lembaga yang tepat untuk kegiatan tersebut. Sejak terbitnya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa diberi kepercayaan untuk menyelenggarakan seleksi perangkat desa untuk berbagai formasi. Formasi tersebut antara lain sekretaris desa, kepala seksi, kepala urusan hingga kepala dusun. Kepercayaan desa dan masyarakat umum kepada STPMD “APMD” Yogyakarta telah terbangun sejak lama. Model seleksi perangkat desa yang transparan membuat Tim STPMD “APMD” dicari oleh banyak desa. Pengalaman desa-desa yang telah bermitra dengan STPMD “APMD” Yogyakarta dalam seleksi perangkat desa, akan tersyiar sendiri ke desa-desa lain, sehingga desa-desa lain tertarik untuk bermitra/berkerjasama. “Gethok Tular” atau cerita dari mulut ke mulut tentang reputasi STPMD “APMD”

158

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


sebagai lembaga terpercaya dalam penyelenggaraan seleksi perangkat desa terus berjalan. Sudah tidak terhitung STPMD “APMD” Yogyakarta menjadi mitra dalam tes/seleksi rekrutmen perangkat desa. Total desa yang pernah bekerjasama dalam seleksi perangkat desa tidak kurang dari 100 an desa, denga ratusan formasi perangkat desa di tiga kabupaten di D.I. Yogyakarta, yakni Sleman, Bantul dan Kulonprogo. Alasan desa-desa di beberapa kabupaten di DIY bekerjasama dengan STPMD “APMD” antara lain agar seleksi perangkat desa lebih transparan, obyektif serta kapabel untuk memperoleh calon yang memiliki kualifikasi seperti yang diharapkan oleh desa. Rata-rata setiap desa lebih dari dua kali mempercayakan seleksi perangkat desanya bersama kampus STPMD “APMD” Yogyakarta. Desa Panggungharjo misalnya, dari beberapa pengisian pamong, telah empat kali bekerja sama dengan Tim STPMD “APMD”. “Sampai saat ini tidak ada masalah dan yang dihasilkan pun ya Alhamdulillah berkualitas,“ kata Ali Yahya. Sekitar dua tahun yang lalu, Ketua DPRD Kulon Progo saat itu, Akhid Nuryati memuji kinerja Tim STPMD “APMD” dalam penyelenggaraan tes perangkat desa. Di sebuah situs laman berita, Akhid menyatakan kemampuan tim STPMD “APMD” sangat profesional dalam rekrutmen perangkat desa. Hal ini disebabkan karena pernah terjadi kekrisruhan di salah satu desa di Kulon Progo saat tes rekrutmen perangkat desa. Terindikasi terjadi kecurangan dengan adanya kunci jawaban soal yag tersimpan dalam flashdisk tidak berada satu tempat dengan hardfile kunci jawaban. Seleksi perangkat di suatu desa tertentu itu juga dinodai dengan adanya prosesi penandatanganan berita acara yang dilakukan sebelum tes selesai. Para peserta menilai itu janggal dan tidak ada dalam tata tertib. Pihak ketiga yang dipercayakan membuat soal ujian oleh panitia juga dinilai tidak terpercaya. Lembaga terpilih yang menyelenggarakan seleksi perangkat desa dianggap tidak 55 TAHUN STPMD “APMD”

159


profesional sehingga memunculkan kecurigaan di kalangan peserta maupun warga. Ketidakprofesionalan tersebut menjadi celah dan dapat mengurangi kepercayaan warga terhadap hasil tes perangakat desa. Hal ini juga menjadi catatan para anggota Dewan. Menurut Akhid Nuryati, Ketua DPRD Kulonprogo, sesuai azas kelaziman dalam pembuatan soal ujian perangkat desa haruslah dari lembaga yang kredibel. “Biasanya dari lembaga pendidikan seperti APMD, tapi kalau ini ….. (sensor), kami tidak tahu itu lembaga dari mana dan kredibilitasnya seperti apa,” ujar Akhid. Kesemua itu dibangun dari prinsip integritas dan profesional dalam penyelenggaraan tes perangkat desa. Bagaimana tim STPMD “APMD” membangun kapasitas profesionalnya dalam penyelenggaraan tes perangkat desa? Profesionalisme tim STPMD “APMD” dibangun dari pengalaman pembelajaran selama turut serta dalam menyelenggarakan seleksi perangkat desa. Pembelajaran yang didapat dari tes perangkat desa satu ke desa yang lain, justru semakin memperkuat kapasitas tim STPMD “APMD”. Setiap terdapat kasus baru menjadi pembelajaran yang menjadi rujukan pada seleksi perangjat desa berikutnya. Pembelajaran dari kasus ke kasus, semakin dan mengasah kematangan tim STPMD “APMD” dalam menyikapi tantangan penyelenggaraan seleksi perangkat desa. C.

Penutup: Mengabdi Tiada Henti

Sebagai kampus desa yang pada tahun 2020 ini genap berusia 55 tahun, STPMD “APMD” didirikan sebagai bentuk pengabdian kepada Desa. Kampus yang lahir pada tanggal 17 November 1965, STPMD “APMD” Yogyakarta lahir dari rahim eks-Tentara Pelajar yang membentuk Yayasan 17 Yogyakarta. APMD yang merupakan nama lama STPMD “APMD” Yogyakarta didirikan sebagai bentuk pengabdian dan balas budi dari eks-Tentara Pelajar kepada masyarakat desa. Karena sepanjang perang mempertahankan kemerdekaan, desa yang telah menolong perjuangan para

160

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


penjuang Indonesia saat itu, termasuk Tentara Pelajar. Pendirian institusi pendidikan ini sebagai bentuk pengabdian dan balas budi kepada desa. STPMD “APMD” Yogyakarta yang secara spesifik mencantumkan kata nama “Desa” di dalam nama kampusnya, dan itu satu-satunya di Indonesia. Hal itu merupakan bentuk keseriusan STPMD “APMD” Yogyakarta dalam turut serta dalam kepedulian terhadap desa. Cerita tentang pelaksanaan seleksi perangkat desa, juga menjadi bentuk pengabdian kepada desa. Melalui seleksi perangkat desa, STPMD “APMD” berupaya memastikan desa memperoleh sumber daya terbaiknya. Ringkasnya, upaya tersebut tidak lepas dalam rangka mewujudkan perangkat desa yang kompeten, dan diterima oleh masyarakat.Kesaksian sebagian besar warga menyatakan puas dengan seleksi perangkat desa yang dilaksanakan dengan bekerjasama dengan STPMD “APMD”. Upaya tersebut juga dibangun dari proses yang transparan dan berintegritas, agar tradisi berdesa dimana mutual trust menjadi fondasinya dapat dipulihkan. Hanya dengan membangun kepercayaan terhadap pemerintah desa oleh warganya, tradisi berdesa dapat tumbuh. Selama kepercayaan warga terhadap pemerintah desa belum tumbuh, tradisi berdesa sulit berkembang. Dengan seleksi perangkat desa yang berintegritas, STPMD “APMD” berupaya mengembalikan kepercayaan warga terhadap pemerintah desa. Transparan, profesional dan berintegritas menjadi nilai dasar yang diusung dalam penyelenggaraan seleksi perangkat desa. Itulah sekelumit proses seleksi perangkat desa menjadi ladang pengabdian kepada masyarakat civitas akademika STPMD “APMD” secara bermartabat.

55 TAHUN STPMD “APMD”

161


162

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 11 MENYIAPKAN KADER PERUBAHAN DESA20 Oleh: Kanita Khoirun Nisa21

Secara etimologis, istilah kader pada mulanya berkembang di Perancis dari bahasa asli cadre, yang secara literal dapat diartikan sebagai bingkai (a frame of picture). Dalam perkembangannya, konsep kader sebagaimana lazim dipahami dalam sebuah organisasi dapat diartikan sebagai a small group of people specially trained for a particular purpose or profession. Dengan kata lain kader adalah seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk untuk memegang peran penting (orang kunci) dan memiliki komitmen dan dedikasi kuat untuk menggerakkan organisasi mewujudkan visi misinya. Dalam konteks desa, kader Desa adalah “orang kunci“ yang mengorganisir dan memimpin rakyat desa bergerak menuju pencapaian cita-cita bersama. Kader Desa terlibat aktif dalam proses belajar bersama yang dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat desa. Bab ini membahas tentang komitmen STPMD “APMD” dalam mendidik, membentuk, dan mempromosikan para kader yang bisa menjadi village organizer yang tangguh dan mampu menggerakan perubahan desa di berbagai penjuru tanah air. Kader-kader penggerak desa hadir di dalam pengelolaan urusan desa melalui perannya sebagai kepala desa, anggota BPD, Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), tokoh adat; 20 21

Diskusi dengan para kader penggerak desa diantaranya Umbu Wulang, Hardjono, Minardi dan Ade Chandra selaku perancang master triener Kader Desa. Staf Pengajar di prodi Pembangunan Masyarakat Desa APMD 55 TAHUN STPMD “APMD”

163


tokoh agama; tokoh masyarakat; tokoh pendidikan; pengurus/ anggota kelompok tani; pengurus/anggota kelompok nelayan; pengurus/anggota kelompok perajin; pengurus/anggota kelompok perempuan. Kader Desa dapat berasal dari kaum perempuan dan laki-laki dalam kedudukannya yang sejajar, mencakup warga desa dengan usia tua, kaum muda maupun anak-anak. Kader penggerak desa memiliki derajat aktifitas yang jauh lebih intens dalam dinamika pembangunan desa. Kader juga harus dibekali dengan kompetensi dan kapasitas yang cukup memadai dalam perencanaan, pengorganisasian, dan implementasi kebijakan di desa. Konsisten dengan mandat UU Desa, keberadaan kader desa yang berasal dari warga desa itu sendiri berkewajiban untuk melakukan upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa. Kebutuhan akan kader penggerak di desa diatur dalam Pasal 4 Permendesa PDTT No.3/2015 tentang Pendampingan Desa. Regulasi tersebut mengatur tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD). Fokus pendamping desa adalah memperkuat proses kaderisasi bagi Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), dengan tidak tertutup peluang untuk melakukan kaderisasi terhadap komponen masyarakat lainnya. Pasal tersebut menetapkan bahwa pendampingan Desa dilaksanakan oleh pendamping yang terdiri atas tenaga pendamping profesional, kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD); dan/atau pihak ketiga22 Dengan demikian, KPMD merupakan pendamping desa yang dipilih dari warga desa setempat, untuk bekerja mendampingi 22

164

Abdulloh. Kader Desa “Penggerak Prakarsa Masyarakat Desa�. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


beragam kegiatan di desanya secara mandiri. Selain itu, dalam ketentuan PP Desa maupun Permendesa disebutkan bahwa KPMD dipilih dari masyarakat setempat oleh pemerintah Desa melalui Musyawarah Desa untuk ditetapkan dengan keputusan kepada Desa. Maknanya semakin terang bahwa KPMD merupakan individu-individu yang dipersiapkan sebagai kader yang akan melanjutkan kerja pemberdayaan di kemudian hari. Oleh karenanya, kaderisasi masyarakat Desa menjadi sangat penting untuk keberlanjutan kerja pemberdayaan sebagai penyiapan warga desa untuk menggerakkan seluruh kekuatan Desa. KPMD selanjutnya masuk ke dalam sistem pendampingan Desa skala lokal dan institusi Desa. Pendampingan Desa merupakan mandat UU Desa agar terdapat sistem pendampingan internal Desa guna menjadikan Desa yang kuat, maju, mandiri, dan demokratis. UU Desa dan peraturan-peraturan di bawahnya menegaskan pendampingan Desa sebagai kegiatan untuk melakukan tindakan pemberdayaan masyarakat. Tindakan pemberdayaan masyarakat Desa itu dijalankan secara “melekat� melalui strategi pendampingan pada lingkup skala lokal Desa. Identitas KPMD semakin jelas bahwa UU Desa mengarahkan representasi dari kelompok masyarakat Desa setempat untuk giat melakukan pendampingan sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat skala lokal Desa (Abdulloh, 2015). Pembangunan desa dapat berjalan dengan baik jika dibarengi dengan para kader desa yang mampu mengimplementasi RPJMDesa dengan baik. Dalam bab buku ini, penulis berdiskusi dengan beberapa pakar yang memiliki konsentrasi dalam pengkaderan desa. Para pakar tersebut antara lain: Umbu Wulang selaku Ketua Walhi NTT, Hardjono selaku ketua Prodi PMD dan Minardi selaku penggiat Desa di Klaten. Dalam pandangan Harjono, kader perubahan desa adalah pegiat-pegiat desa. Termasuk pegiat desa di dalamnya itu adalah Pendamping desa, pengurus-pengurus Lembaga Kemasyarakatan 55 TAHUN STPMD “APMD�

165


desa, dan Kader-kader yang ada di desa Seperti kader PKK kader kesehatan Kader gizi. Mereka mempunyai tugas untuk menyiapkan generasi penerus itu sesuai dengan bidangnya masing-masing. Misalnya kalau kader kesehatan menyiapkan bagaimana hidup sehat. Apalagi saat pandemi peran kader kesehatan itu sangat penting. Kemudian ada pula kader PKK juga terkait dengan bagaimana kaum ibu-ibu menyiapkan generasi penerus dengan mengajak beraktivitas dalam berorganisasi. Tidak lupa juga para pemuda melalui Karang Taruna. Para pemuda dan pemudi merupakan tulang punggung masyarakat di desa. Hanya saja kesadaran kebanyakan pemuda untuk kembali ke desa sangat minim. Mereka yang menimba ilmu di sekolah hingga perguruan tinggi kemudian mencari pekerjaan yang ada di kota. Mereka enggan tidak mau lagi kembali ke desa apalagi bekerja di bidang pertanian seperti sekarang ini. Harjono menambahkan pemuda maupun pemudi mempunyai peluang yang sangat kuat dan yang sangat besar untuk mengembangkan bakat maupun minatnya serta menjadi agen pembaharu di desa. Seorang pemuda Desa menimba ilmu di kota, menimba ilmu di perguruan tinggi, mereka mempelajari teori yang memampukan desa. Jika sudah selesai mereka kembali ke desa dan menjadi agen pembaharu di desanya. Berbagai ilmu yang telah dipelajari misalnya tentang tata kelola desa, teknik fasilitasi, pengelolaan keuangan dan aset desa bisa memberikan penguatan dan daya dorong bagi desa untuk maju. Menurut pengalaman Harjono, masyarakat desa diajari tradisi berdesa diawali dari hal-hal yang sangat kecil. Misalnya saja mengecek apakah perangkat desa itu lengkap atau tidak dalam mengisi struktur kelembagaan perangkat desa. Jika tidak lengkap, menurut peraturan itu harus dilengkapi. Bagaimana cara mengisinya, menggunakan regulasi apa. Apabila pamongnya sudah lengkap, apakah menjalankan tugasnya dengan ngantor dan memberikan pelayanan pada warga. Jangan-jangan perangkat

166

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


tersebut tidak berangkat kerja dan hanya di rumah. Jika ada perangkat tapi dia tidak membolos, bagaimana memotivasi agar mereka mau bekerja di kantor. Sudah bekerja di kantor, namun jam kerjanya tidak terpenuhi, ini juga harus perlu ditingkatkan lagi. Hardjono juga menuturkan bagaimana dalam menyiapkan kader dia selalu mengingatkan tugas pokok fungsi dengan aturan masing-masing. Misalnya tugas Carik itu apa saja, jabatan kepala urusan memiliki peran apa saja, jabatan kepala seksi harus menjalankan kewajiban apa, dan apa saja tugas kepala dusun. Lulusan perguruan tinggi sebenarnya sangat potensial karena telah menguasai ilmu yang kemudian untuk membangun desa. Pergantian pengurus Lembaga Kemasyarakatan Desa juga perlu dipikirkan. Sebab, saat ini susah mencari orang yang benarbenar bersedia dan memenuhi kualifikasi. Banyak bakal calon yang enggan menjadi pegiat desa dengan terlibat dalam lembaga kemasyarkatan. Justru sekarang terjadi krisis sumber daya manusia desa, yang mampu tidak mau menjadi penggerak lembaga desa. Sedangkan salah seorang alumni STPMD “APMD”, Umbu Wulang menuturkan kisah menyiapkan kader perubahan desa. Umbu Wulang saat ini adalah ketua WALHI NTT, dan pernah menempuh studi di program studi Ilmu Sosiatri STPMD “APMD”. Selepas lulus dari kampus desa, Umbu membentuk wadah bagi kaum muda, yakni Sahabat Alam. Melalui Sahabat Alam, Umbu mengkader pemuda desa, biasanya berusia di bawah 30 tahun. Calon kader-kader ini didampingi dan dilatih melalui dua hal. Pertama, membangun wacana tentang pengembangan kampung dengan mengembangkan aset dan potensi desa. Kedua, mengelola isu dan persoalan lingkungan hidup di kampung berdasar pengalaman mereka di kampung. Berdasar dua hal tersebut, kemudian dikembangkan lagi menjadi konsep model perlindungan kampung, membangun wacana dan penguatan kapasitas warga sesuai dengan kebutuhan mereka, dalam konteks pengelolaan desa dan perlindungan desa. 55 TAHUN STPMD “APMD”

167


Kader perubahan dalam desa itu berada dalam satu sistem warga, penggerak, pemerhati kampung, budayawan/ tokoh. Komponen pemerintahan, eksekutif desa maupun pada sistem kemasyarakatan. Biasanya dimulai dari basis ekonomi, pembangunan pemberdayaan ekonomi, kerajinan, disertifikasi pangan lokal, dan pengelolaan sumber daya alam. Kemudian mengenalkan potensi desa berbasis masyarakat/komunal yang tidak bersifat individual. Hingga membaca kondisi makro mereka dan apa yang sedang tumbuh dan berpengaruh di dusun mereka. Sejalan pengalaman Umbu, Minardi yang juga alumni STPMD “APMD” memiliki pengalaman menarik saat melaksanakan KKN di Dusun Jono, Desa Tancep, Kec Ngawen, Kab Gunung Kidul. Masyarakat sekitar dusun sangat welcome kepada mahasiswa, walaupun ada pertentangan paham keagamaan saat itu. Setelah selesai KKN, warga dusun masih kontak dengan mahasiswa KKN. Saat itu ada mahasiswa KKN dari Universitas lain, namun mereka tidak seramah seperti mahasiswa KKN dari APMD. Mahasiswa Universitas lain cenderung tertutup tidak berinteraksi dengan masyarakat sekitar dukuh. Kader APMD lebih humanis dan lebih militan. Kader APMD setelah keluar dari desa atau kampus kebanyakan menjadi “orang” entah itu menjadi perangkat desa atau staf desa atau pemegang suatu organisasi kemasyarakatan di tingkat desa. Penjelasan dari Ade Candra, selaku master trainer UUD Desa dulu bulan Juni tahun 2015 direkomendasikan oleh Sutoro Eko dari STPMD”APMD” ke Jakarta untuk mengikuti Training of Trainer (ToT) master trainer nasional yang disiapkan oleh Kementerian Desa untuk bekerja di sejumlah wilayah yaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan. Ade Chandra diterjunkan di Indonesia bagian Tengah dan Timur dengan pusat markasnya di Manado. Melakukan pendampingan desa di sana. Ada sekitar 150 peserta yang mengikuti TOT. Di kelompo Ade ada pegawai dari ASN yang berasal dari daerah tertinggal. Ada juga orang dari media saat itu yang sangat ternama di Republik ini.

168

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Training yang dilakukan oleh Ade Chandra dan kawankawan mengusung konsep empowerming, para master trainer tersebut dibekali oleh materi dan pemahaman dari para grand master termasuk Sutoro Eko, (Alm) Widyohari Murdianto, Farid Hadi, yang merupakan orang-orang yang kompeten. Tugas utama para trainer ini adalah mendelivery makna UU Desa terhadap perubahan mendasar di level masyarakat. Proses belajar dilakukan lewat sharing bersama, melakukan roleplay, membuat analisis sosial dan lain-lain. Para trainer harus mampu mengatasi segala dinamika lapangan jika akan memberi materi di seluruh Indonesia. Proses ini menjadi babak baru dalam tradisi berdesa, misalnya jika kita bandingkan dengan PNPM yang mana pendampingnya sibuk sebagai mandor proyek dan absen memperhatikan sumber daya manusia di desa. Pembangunan fisik lebih banyak daripada pembangunan sumber daya manusia dan keseluruhan proses yang dilakukan oleh Ade Chandra dan kawan-kawan merupakan proses transformasional, yang didasari oleh rekognisi. Peran para grand master adalah memberikan helicopter project. Lalu para master trainer membuat materi dan dikonsultasikan sebelum disampaikan kepada para calon pendamping desa. Pada tahun 2088 dan 2009, desa dibanjiri dengan program PNPM. Banyak pihak menginginkan kembali PNPM dilanjutkan di bawah UU Desa. Sementara teman-teman kritis dan berbeda serta memberikan kritik kepada PNPM saat itu. Desa tidak bisa lagi dijadikan sebagai lokasi proyek, dan para pendamping bukan sebagai mandor project. Dalam paradigma baru UU Desa, para pendamping tidak harus melaksanakan proyek, tetapi membangun kelembagaan yang kuat, merumuskan cetak biru pembangunan masyarakatnya, pembangunan insfratuktur, serta tidak disibukan lagi dengan project. Presiden Jokowi ingin para aktor di Desa mampu menegosiasi kepentingan desa dan berperan dalam pembangunan desa. BUMDes yang secara umum dibangun di desa mangkrak. 55 TAHUN STPMD “APMD�

169


Penyebabnya karena BUMDes tidak dibangun dari kearifal lokal berdasarkan potensi dan tantangan masing-masing. Misalnya ada desa yang tidak mempunyai tong sampah, namun BUMDes nya tentang bak sampah. Terlebih lagi di masa pandemi, banyak desa wisata tidak berjalan efektif di masa pandemi ini. Dalam UU Desa BUMDes tidak seperti badan hukum lainnya. BUMDes dibangun oleh masyarakat ketika ada hasil produksi maka dipasarkan ke pusat ekonomi lain. Itu berbeda sekali dengan kondisi yang ada di lapangan. Tanah yang mangkrak ditanami tanaman lalu 5 tahun kemudian bisa menanam. Di kota industri yang selama ini kita kenal, dengan begitu kita bisa memperkuat jalannya otonomi daerah, misalnya masyarakat yang punya sawah ditanami. Dengan demikian, para kader muda di desa, baik perempuan maupun lakilaki, agar bisa menjadikan desanya sebagai basis penghidupan. Landasan yang mengatur tentang Kader Desa adalah Permendesa PDTT tahun 2019 tentang pedoman umum pendampingan masyarakat desa. Peraturan Menteri ini mencabut dan menggantikan Permendesa PDTT 3 tahun 2015 tentang Pendampingan Desa, dengan alasan untuk disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum. Permendesa PDTT 18 tahun 2019 tentang Pedoman Umum Pendampingan Masyarakat Desa memiliki dasar pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 131 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pendampingan Masyarakat Desa adalah kegiatan Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan, dan fasilitasi Desa. Pendampingan Masyarakat Desa dalam Permendesa PDTT 18 tahun 2019 tentang Pedoman Umum Pendampingan Masyarakat Desa diatur secara struktural kembali yaitu dilaksanakan oleh Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Di tingkat Kecamatan

170

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Pendampingan Masyarakat Desa dikoordinasikan oleh Camat atau sebutan semacam lainnya. Dalam Pendampingan Masyarakat Desa tersebut, Menteri, Pemprov, Pemkab=Pemkot dapat dibantu oleh tenaga pendamping profesional, KPMD (Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa) dan/atau pihak ketiga. Pihak Ketiga dapat melakukan Pendampingan Masyarakat Desa dengan biaya sendiri, tidak dengan APBN/APBD, namun biaya mandiri Pihak Ketiga. Pihak Ketiga yang dimaksud dalam Permendesa PDTT 18 tahun 2019 tentang Pedoman Umum Pendampingan Masyarakat Desa adalah: a. lembaga swadaya masyarakat; b. perguruan tinggi; c. organisasi kemasyarakatan; d. perusahaan; dan e. individu yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan masyarakat Desa. Tahapan Pengelolaan Pendampingan Masyarakat Desa dilakukan mulai dari rekrutmen, peningkatan kapasitas, sertifikasi dan evaluasi kinerja. Tenaga Pendamping Profesional tersebut adalah pendamping lokal desa, pendamping desa, pendamping teknis dan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat. Fungsi Tenaga Pendamping Profesional Desa adalah untuk fasilitasi, edukasi, mediasi dan advokasi. Permendesa PDTT 18 tahun 2019 tentang Pedoman Umum Pendampingan Masyarakat Desa ditetapkan Menteri Desa PDTT Eko Putro Sandjojo pada tanggal 15 Oktober 2019 di Jakarta. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 18 tahun 2019 tentang Pedoman Umum Pendampingan Masyarakat Desa diundangkan oleh Dirjen PUU Kemenkumham Widodo Ekatjahjana dan ditempatkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tahun 2019 Nomor 1262, pada tanggal 22 Oktober 2019 di Jakarta. Agar setiap orang mengetahuinya. 55 TAHUN STPMD “APMD�

171


Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Umbu Wulang selaku Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nusa Tenggara Timur (NTT) menggelar Pelatihan Kader Rakyat Dasar (PKRD) bagi mahasiswa, relawan WALHI NTT dan perwakilan petani. Pelatihan ini berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama pada 4 – 5 Oktober 2016, 6 – 7 November 2016 dan 8 – 9 Desember 2016. Kegiatan ini mengangkat tema “Wahana Calon Pemimpin Muda NTT yang Berwawasan Lingkungan”. Direktur Eksekutif WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi menceritakan kegiatan tersebut merupakan program yang didasari oleh mandat untuk WALHI NTT. Mandat tersebut diberikan oleh seluruh anggota di NTT dalam Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup di Maumere pada Februari 2016. Kegiatan ini dalam upaya menumbuh kembangkan pengetahuan ekologis bagi orang-orang muda NTT. Baik itu, dari mahasiswa, petani dan kalangan lainnya,” Menurut Umbu Wulang, kegiatan itu dilakukan untuk membuka cakrawala pengetahuan orang muda terkait dengan berbagai persoalan ekologis di NTT. Diantaranya tentang bahaya pertambangan di pulau-pulau, krisis sumber daya air dan maraknya privatisasi daerah pesisir yang tengah marak di NTT atas nama pariwisata. Persoalan – persoalan tersebut terjadi akibat kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan publik dan keselamatan ekologis. Umbu juga menyampaikan, persoalan lingkungan merupakan persoalan kolektif, di era yang marak penyimpangan dan pencemaran lingkungan haruslah memperkuat daya juang rakyat dalam kegiatan-kegiatan dan kampanye lingkungan di masyarakat, sebab persoalan lingkungan merupakan persoalan serius yang membutuhkan pikiran dan kerja serius dalam penanganannya. Hal inilah yang menjadi acuan kritis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah NTT membentuk pelatihan seperti ini, dan diharapkan Sahabat Alam (SHALAM) sebagai organisasi underbound WALHI NTT mampu memberikan

172

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


pendidikan lingkungan dan kampanye-kampanye lingkungan hidup di masyarakat NTT. Begitu juga informasi yang didapat oleh Hardjono selaku ketua prodi Pembangunan Masyarakat Desa bahwa APMD menyambut baik para kader desa yang memiliki karakter kokoh. Karakter kokoh seperti yang dijelaskan oleh Habib Muhsin S.Sos, M.Si menekankan bahwa generasi penerus tidak hanya sebagai penonton masa depan tetapi sebagai pemain masa depan. Kerja keras menjadi kunci dalam menghadapi tantangan yang makin berat dan kompleks seperti persoalan kemiskinan, terbatasnya lapangan kerja, ketidakberdayaan masyarakat, perilaku korupsi, maraknya tindakan kekerasan, menurunnya nilai-nilai kebangsaan dan ketidakadilan, serta ancaman keutuhan NKRI. Selanjutnya Habib Muhsin berharap bahwa wisudawan akan dapat menjadi seorang entrepreneur di berbagai bidang. Selain itu sebagai kader bangsa harus memiliki karakter yang kokoh serta mengedepankan aklak yang mulia di atas semangat persatuan dan kesatuan Indonesia. Karakter yang kokoh ini bercirikan semangat patriotik, jiwa nasionalis, jati diri yang mengakar, berwawasan luas, kecerdasan yang mencerahkan, kepedulian yang merekatkan, serta keteguhan untuk bersatu yang semua ini dinaungi nilai-nilai Pancasila dalam bingkai NKRI. Desa membutuhkan pengawalan dan peran serta STPMD”APMD”. Sementara itu Ketua Yayasan Pengembangan Pendidikan Tujuh Belas Yogyakarta, Ir.M. Barori, M.Si, menegaskan bahwa dalam implementasi Undang-Undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa membutuhkan pengawalan dan peran serta STPMD”APMD”. Oleh karena itu inovasi perlu terus dikembangkan, konsolidasi dilakukan untuk memperteguh standing position akademik dan sosial. Hardjono, M.Si. selaku ketua prodi PMD menyelenggarakan Lokakarya Siklus Tahunan Desa, pada hari Selasa dan Rabu tanggal 10 dan 11 Januari 2017, di Gedung Pasca Sarjana STPMD “APMD” 55 TAHUN STPMD “APMD”

173


Yogyakarta. Hardjono menyampaikan bahwa tujuan, lokakarya ini untuk membekali dosen-dosen STPMD “APMD” khususnya dosen Prodi PMD Jenjang Program Diploma III sebagai pengampu mata kuliah yang menekankan pada pembangunan masyarakat desa serta mengaplikasikan UU No 6 tahun 2014 tentang Desa. STPMD “APMD” juga menyelenggarakan lokakarya tentang siklus tahunan desa. Lokakarya ini diselenggarakan karena semua desa di Indonesia telah melaksanakan Siklus Tahunan Desa sebagai konsekuensi dari implementasi UU Desa No 6 tahun 2014 namun masih mengalami berbagai kendala, sehingga akan mempengaruhi proses pembangunan masyarakat desa. Peserta lokakarya diberi wawasan pelaksanaan Siklus Tahunan Desa meliputi Perencanaan Pembangunan Desa, Pengelolaan Aset Desa, Pengelolaan Keuangan Desa, Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, dan Penyusunan Peraturan di Desa. Pemateri berasal dari praktisi yakni Wahyu Anggoro Hadi, S.Farm., Apt. yang menjabat sebagai Lurah Desa Panggungharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul yang saat ini sedang menempuh Program Pasca Sarjana Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD”, dan Masrukhan S.Sos. M.Si, Kabid Pemerintahan Desa Pemda Kabupaten Magelang (alumni STPMD “APMD”). Penyelnggaraan Lokakarya ini juga membahas kendalakendala yang dihadapi oleh perangkat desa saat melaksanakn Siklus Tahunan Desa dan menampung gagasan para peserta untuk mencari solusi demi kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat desa. Berbeda dengan alumni APMD yaitu Minardi. Dalam konteks Desa, Minardi berperan sebagai penggiat desa, yang mempunyai inisiatif untuk memajukan Desa di Klaten. Dalam bidang keagamaan, Minardi berperan sebagai penyuluh keagamaan. Bidang yang Minardi tekuni yaitu penyuluh pernikahan. Penyuluh pernikahan biasanya berbentuk Sosialisasi kepada para calon penganten. Hal

174

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


ini bertujuan untuk mengantisipasi permasalahan yang kurang baik seperti gagalnya membentuk keluarga bahagia dan sejahtera. Sosialisasi tersebut bisa dipakai bekal untuk menciptakan generasi muda yang berprestasi dan tentunya dengan harapan memiliki keluarga yang sakinah.

55 TAHUN STPMD “APMD�

175


176

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


EPILOG JALAN PANJANG MAHZAB TIMOHO: MELAYANI DAN MENGABDI PADA DESA Gregorius Sahdan

Sejak didirikan pada tahun 1965, kampus kami STPMD “APMD” menempatkan desa sebagai standing position keberpihakan. Standing position ini bukan tanpa alasan yang rasional. Desa memiliki kontribusi terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada zaman perjuangan kemerdekaan, pasukan pejuang kemerdekaan memperoleh dukungan perbekalan dari desa. Mereka juga kerap “ngaso” atau sekedar beristirahat di desa. Masyarakat desa menerima para pejuang dengan hati gembira. Para pemimpinnya diarak-arak dari desa ke desa, sebagai bentuk dukungan mereka terhadap perjuangan kemerdekaan. Kisah keramahan dan berbagai bentuk kontribusi desa ini, dengan mudah dilupakan negara. Paska kemerdekaan tahun 1945, para pejuang yang sudah menjadi elite dan pemimpin baru negara, mengabaikan dan melupakan desa. Desa bahkan dijadikan sebagai anak tiri republik. Berbagai peraturan dan kebijakan, menempatkan desa sebagai obyek. Desa dikerdilkan melalui berbagai kebijakan pemerintah dan segala petunjuk teknisnya. Berbagai latar itu, mendorong para pendiri STPMD “APMD” untuk mendedikasikan diri “mengabdi dan melayani desa”. Proses mengabdi dan melayani desa, tentu saja mengalami berbagai tantangan. Tantangan yang paling sulit tentu saja adalah 55 TAHUN STPMD “APMD”

177


bagaimana mengubah pandangan negara terhadap desa. Negara sampai dengan saat ini, bahkan tetap memperlakukan desa sebagai obyek. Desa belum sepenuhnya dianggap sebagai subyek yang memiliki kemampuan untuk menjalankan pemerintahan sendiri, tanpa intervensi negara. Negara tidak hanya menghadirkan kebijakan yang intervensionis terhadap desa dalam berbagai bentuk perangkat tekno-administrasinya, tetapi juga tak pernah menghadirkan kebijakan yang lebih proteksionis terhadap desa. Kemampuan self governing dan kewenangan desa, seringkali diabaikan negara dalam berbagai wujud instruksi dan peraturan perundang-undangan yang memiliki karakter yang sama, mengawasi dan mengendalikan desa. Selama Orde Baru, desa dicap sebagai tempat tinggal orang miskin dan bodoh. Karena itu, rezim developmentalis Orde Baru membuat berbagai kebijakan yang mengekang kemampuan desa dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Orde Baru juga menghadirkan pendekatan militeristik untuk merepresi nalar berpikir kritis desa, sehingga desa menjadi tidak berdaya secara politik dan juga secara sosial ekonomi. Orde Baru mengagungkan investasi yang dijamin dengan stabilitas politik. Pemberdayaan masyarakat diabaikan untuk menopang kesetiaan terhadap pemerintah. Bagaimana pun, warisan cara berpikir negara Orde Baru, masih mendominasi cara berpkir elite politik di Indonesia saat ini. Umumnya mereka berpandangan bahwa desa harus dicekoki dengan berbagai kebijakan developmentalism dan modernism yang menganggap desa tidak mampu mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Berbagai kebijakan dan peraturan-perundangan dibuat hanya untuk mengatakan bahwa rekognisi negara melalui UU No.6 Tahun 2014 tentang desa, merupakan bagian dari kebaikan hati negara terhadap desa, sehingga desa tidak perlu mengelola desa berdasarkan kepentingan dan kemampuanya, tetapi tunduk dan setia kepada petunjuk teknis administratif yang dibuat negara. Demokrasi desa pun kian tidak berjalan. Musyawarah desa hanya

178

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


sekedar formalitas, karena dijebak negara dengan cara berpikir developmentalism. Desa sibuk dengan pembangunan infratsruktur dan abai dengan pemberdayaan masyarakat yang menjadi masa depan desa. Bagi sivitas akademika STPMD “APMD” cara pandang dan perlakuan negara yang tidak adil terhadap desa, perlu dikritik. Kritik sivitas akademika sejauh ini, melahirkan komitmen yang kuat untuk membela desa. Pembelaan terhadap desa, tentu saja sebagaimana dikatakan Archon Fung dan Erik Olin Wrigth (2003) bahwa; “the state is the problem, not the solution”, sebagai bentuk kritik terhadap negara yang menganggap remeh desa. Dengan tema “Mengabdi dan Melayani Desa”, sivitas akademika STPMD “APMD” tidak hanya melakukan kritik terhadap negara, tetapi menjalankan agenda-agenda yang jelas untuk perubahan desa. Berbagai agenda itu di antaranya adalah; Pertama, membuat kebijakan akademik yang mendorong sivitas akademika untuk terus peduli dan memperkuat keberpihakan terhadap desa. Kebijakan yang paling menonjol sejak kepemimpinan Sutoro Eko 2002-2006 adalah menggeser perhatian tridharma dari inward looking ke outward looking. Pergeseran ini menghasilkan dinamika yang luar biasa di lingkungan akademik. Banyak dosen dan mahasiswa yang tadinya “jago kandang”, kemudian mampu merebut panggung yang ada di luar melalui kerjasama dengan pemerintah, pemerintah daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Dewan Perwakilan Rakyat, Perusahaan dan dengan Perguruan Tinggi lain untuk memperkuat jaringan, komitmen dan keberpihakan terhadap desa. Pada masa kepemimpinan berikutnya, dilakukan kebijakan yang lebih mengarah pada penguatan organisasi kelembagaan untuk menjamin transformasi ke outward looking. Melalui penguatan organisasi kelembagaan di tingkat internal, banyak dosen yang terbang keliling Indonesia, dari satu pulau ke pulau lain, dari satu desa ke desa yang lain sebagai bentuk mengabdi dan melayani desa. 55 TAHUN STPMD “APMD”

179


Kedua, memproduksi berbagai gagasan dan pengetahuan untuk mempengaruhi cara berpikir pemerintah dan masyarakat umum tentang bagaimana membangun Indonesia dari desa. Di antara gagasan dan pengetahuan yang diproduksi itu adalah beberapa buku yang sangat monumental antara lain; “Manifesto Pembaruan Desa” yang diterbitkan pada tahun 2005 pada saat STPMD “APMD” merayakan ulang tahun yang ke-40. Ketiga, melakukan penelitian, advokasi dan kerjasama dengan berbagai pihak untuk melahirkan Undang-undang desa yang dianggap sebagai pelopor terdepan dalam pembaruan desa. Komitmen STPMD “APMD” untuk melahirkan undangundang desa dilakukan dengan berbagai bentuk kegiatan action research yang diterbitkan dalam berbagai bentuk “policy paper” dan dikristalisasi dalam buku; “Transformasi Ekonomi Politik Desa” yang diterbitkan pada Februari 2005. Buku ini sebenarnya merupakan dukungan terhadap rancangan undang-undang desa supaya mendapat rekognisi dari negara. Keempat, melakukan kegiatan CSR dengan desa-desa yang berada di lingkungan perusahaan untuk meningkatkan kontribusi perusahaan terhadap desa. Perusahaan yang sejauh ini sudah sering bekerjasama dengan STPMD “APMD” di antaranya adalah KPC yaitu perusahaan Batu Bara yang berlokasi di Kalimantan Timur. Enam, mengembangkan jaringan dan keterampilan berdesa melalui kerjasama fasilitasi dan pemberdayaan terhadap masyarakat desa. Dalam berbagai kegiatan ini, STPMD “APMD” merintis kerjasama dengan IRE, FPPD, Satunama, dan sebagainya. Kerjasama ini di samping bertujuan untuk mengembangkan jaringan, juga untuk memperkuat keterampilan berdesa. Tentu saja, masih banyak hal lain yang dilakukan oleh civitas akademika STPMD “APMD” sebagai bentuk komitmen, kepedulian dan pembelaan terhadap desa untuk mengatakan bahwa kita sudah mempunyai pengalaman yang panjang bersentuhan dengan

180

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


“Mengabdi dan Melayani Desa”. Kalimat “Mengabdi dan Melayani Desa” inilah yang kami sebut dengan Mazhab Timoho. Jadi Mazhab Timoho adalah Mazhab yang mengamalkan ilmu, pengetahuan, gagasan, kebijakan dan komitmen semata-mata untuk “Mengabdi dan Melayani Desa”. Akhirnya, selamat kepada STPMD “APMD” yang memasuki usia 55 tahun. Usia ini mengkristalisasi pengalaman dan kontribusi kita dalam “Mengabdi dan Melayani Desa” menjadi Mazhab Timoho yaitu mazhabnya mereka yang hati, pikiran dan tindakannya selalu untuk desa.***

55 TAHUN STPMD “APMD”

181


182

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BIOGRAFI PENULIS

Aulia Widya Sakina, lahir di Magelang, Jawa Tengah. Seharihari menjadi dosen di Program Studi Pembangunan Sosial STPMD “APMD”. Lulus S1 Jurusan Ilmu Sosiatri, FISIPOL UGM pada tahun 2011 dengan Minat Studi Pemberdayaan Masyarakat. Sembari menempuh S1, terlibat aktif dalam beberapa penelitian tentang “Recovery After Natural Disasters: The Case of the 2006 Yogyakarta Earthquake” bersama United Nations Development Programme (UNDP). Kemudian, pada tahun 2015 lulus dari Program Studi S2 Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan FISIPOL UGM dengan konsentrasi keahlian Pemberdayaan Masyarakat dan CSR. Ketika menempuh S2 sempat menjadi Staff Peneliti di Pusat Pengembangan Kapasitas dan Kerjasama (PPKK) FISIPOL UGM dan membantu di Tim Kinerja FISIPOL UGM dalam mengawal Papua Days and Innovation Summit. Fokus terhadap isuisu mengenai Pemberdayaan Kelompok Rentan di Masyarakat, Manajemen Bencana Inklusif, dan saat ini sedang concern terhadap isu Digipreneurship.

55 TAHUN STPMD “APMD”

183


Fatih Gama Abisono Nst. adalah staf pengajar pada Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD� Yogyakarta. Menamatkan pendidikan sarjana dan magister pada Departemen Politik Pemerintahan, FISIPOL, UGM. Pernah bekerja sebagai jurnalis Tempo dan Metro TV. Sejak tahun 2008, menjadi pengurus pada sebuah NGO yakni Centre for LEAD sekaligus sebagai peneliti pada lembaga tersebut. Soni, demikian dia biasa disapa, juga terlibat dalam berbagai aktivitas riset, advokasi kebijakan, dan gerakan sosial untuk isu democratic governance, kewargaan, dan sumber daya baik pada level lokal maupun desa. Soni juga telah menghasilkan sejumlah karya berupa kumpulan artikel yang dibukukan, jurnal, dan editor beberapa buku. Dalam program ini, Soni bertindak sebagai salah satu penulis dan editor buku ini.

184

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Mohamad Firdaus, S.IP., M.A lahir di Banjarnegara, Jawa Tengah. Merupakan alumni S1 STPMD “APMD” Yogyakarta. Mendapatkan gelar Magister Politik dan Pemerintahan di Fisipol UGM. Minat studinya lebih ke politik elektoral dan teori politik. Studi skripsi dan tesisnya berkaitan dengan pilkada dimana skripsinya mencoba membahas mengenai pilkada di Kabupaten Banjarnegara pada tahun 2011 dengan fokus studi terkait strategi pemenangan. Kemudian tesisnya meneliti tentang pilkada di Provinsi Lampung pada tahun 2018 dengan fokus kajian terkait analisis kekalahan petahana. Selain itu juga menekuni di bidang politik agama dan kultur di Indonesia, minat studi di dalam politik dan agama sudah mulai dipelajari sejak menempuh pendidikan Madrasah Tsanawiyah di pondok pesantren pendidikan islam Miftahussalam Banyumas.

55 TAHUN STPMD “APMD”

185


Hery Purnomo, S.Sos, MPA., lahir di Magetan 10 Januari 1988. Lulus S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Program Studi Ilmu Sosiatri/Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2011. Kemudian menyelesaikan studi S2 di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada tahun 2015. Sambil menyelesaikan studi S2 telah bekerja menjadi pekerja sosial perlindungan anak Kementerian Sosial RI pada tahun 2011-2014. Kemudian pada tahun 2016-2017 menjadi community development officer (CDO) di PT Pertamina DPPU Ngurah Rai, Bali, mengelola kegiatan corporate social responsibility (CSR) desa binaan perusahaan. Pada tahun 2017-2018 menjadi asisten lapangan tenaga peneliti di Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan Universitas Gadjah Mada, melakukan kegiatan penelitian di beberapa provinsi yang ada di Pulau Jawa, dan Sumatera. Sejak tahun 2019 hingga saat ini menjadi dosen tetap Prodi Pembangunan Masyarakat Desa, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD�. Bidang keahlian yang dikuasai yaitu kebijakan publik, CSR, dan pemberdayaan masyarakat. Keorganisasian yang diikuti dan dijalankan yaitu menjadi volunteer bidang literasi di Komunitas Jendela dari tahun 2011 hingga saat ini. Aktvitas korespondensi dapat dilakukan melalui hery.purnomo.apmd@gmail.com.

186

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Dr. Irsasri, M.Pd., lahir di Yoyakarta 23 Juli 1985. Lulus S1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tahun 2009. Menyelesaikan studi S2 di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) tahun 2011 sekaligus mendapatkan kesempatan melanjutkan studi di program doktor (S3) di kampus yang sama hingga selesai pada tahun 2019. Sejak tahun 2010 menjadi dosen tamu di Universitas Sanata Dharma, Universitas Atma Jaya, Universiteit Leiden Belanda, National University of Laos, Universitas Kebangsaan Malaysia, Princeston University, Indonesia-Australia Language Foundation selanjutnya tahun 2013 menjadi dosen tetap di STPMD”APMD” Yogyakarta. Bidang keahlian yang dikuasai yaitu bahasa Indonesia, public speaking, jurnalistik, communication skills, BIPA, public relation management, teknik fasilitasi.

55 TAHUN STPMD “APMD”

187


Minardi, lahir di Klaten pada bulan April 1990. Menyelesaikan TK, SD, SMP, dan SMA di tanah kelahirannya di Bayat, Klaten. Kemudian menempuh S1 (sarjana) di S1 Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta dengan predikat cum laude. Kemudian menyelesaikan S2 di Ketahanan Nasional, Sekolah Pascasarjana, UGM dengan mengambil tesis tentang Agenda Setting Pencegahan Terorisme di Media Sosial pada Pemuda. Minardi saat ini menjadi staff pengajar di almameternya sendiri yaitu S1 Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta. Selama kuliah sampai saat ini, aktif di berbagai kegiatan sosial dan kemanusiaan. Dia juga menjadi staff di Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) Yogyakarta. Saat ini Minardi sedang melakukan penelitian tentang Deradikalisasi di LAPAS.

188

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Kanita Khoirun Nisa, lahir di Cilacap 22 Juni 1994. Lulus S1 Fakultas Ilmu Sosial Prodi Pendidikan Sosiologi dan Antropologi, Universitas Negeri Semarang tahun 2016. Kemudian menyelesaikan studi S2 di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik tahun 2019. Sambil menyelesaikan studi S2, beliau telah aktif mengajar di Bimbingan Belajar tahun 20162019. Beberapa karya yang sudah pernah dipublikasikan berjudul Sinkretisasi Nilai Islam dan Jawa dalam laku Ritual Peziarah yang diterbitkan oleh jurnal Solidarity Unnes Volume 9 No 1 (2020), lalu Pengembangan Pariwisata berbasis CBT yang diterbitkan oleh jurnal Hermeneutika Universitas Sultan Agung Tirtayasa Banten serta tulisan tentang Exploitation Behind the Growth of Batik Home Industry in Lawean, Solo yang termuat dalam International Journal of Social Science and Humanity, Vol. 7, No. 9, September 2017. Kemudian beliau juga aktif menjadi Asisten Redaksi Jurnal di Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada. Tahun 2020 menjadi staf pengajar di STPMD “APMD” Yogyakarta.

55 TAHUN STPMD “APMD”

189


Reiki Nauli Harahap S.Sos M.A., lahir di Bandar Lampung 25 tahun yang lalu. Menyelesaikan pendidikan strata satu di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol, UGM pada tahun 2016. Dua tehun kemudian menyelesaikan pendidikan pasca sarjana di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol, UGM dengan konsentrasi keahlian berupa pemberdayaan masyarakat, tanggung jawab sosial perusahaan, kesukarelawanan. Penulis terlibat aktif dalam forum-forum ilmiah salah satunya yaitu Best Student Presenter The 2nd Wolrd Disability & Rehabilitation Conference di Colombo, Srilanka pada Tahun 2017. Penulis juga aktif di penelitian dengan tema tanggung jawab sosial perusahaan diantaranya bersama PT. Pertamina RU IV Balongan, PT Badak LNG, Puslitbang Kementerian ESDM, PT. Pupuk Kalimantan Timur, PT. Pertamina DPPU Adisujipto, PT Holcim Indonesia Tbk dan JOB Pertamina Talisman Jambi Merang. Sebelum bekerja sebagai Dosen di Sekolah Tinggi pembangunan Masyarakat Desa “APMD� Yogyakarta, penulis merupakan Asisten Pengembangan Departemen PSDK Fisipol UGM.

190

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Rema Marina, lulus S1 Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Program Studi Sosiologi Universitas Sriwijaya Palembang pada tahun 2006. Sebelum memulai karier menjadi dosen pernah bekerja di PT. KAI DIVRE 3 Palembang Sumsel dan mejadi tentor di Bimbel Primagama Palembang. Pada tahun 2016 menjadi dosen di prodi Ilmu Pemerintahan Stisip Wamena Papua. Kemudian menyelesaikan pendidikan pada Magister Ilmu Pemerintahan di STPMD ”APMD” Yogyakarta pada tahun 2018. Dan saat ini memilih untuk memperkuat almamater dengan menjadi dosen di STPMD “APMD” Yogyakarta.

55 TAHUN STPMD “APMD”

191


Siti Sumaryatiningsih, S.Si, M.I.P lahir di Magelang, 10 April 1980, lulus S1 Fakultas Geografi Pengkhususan Kartografi Penginderaan Jauh Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tahun 2006. Melanjutkan pendidikan S2 di Program Pascasarjana STPMD “APMD” Yogyakarta mengambil Progam Studi Ilmu Pemerintahan. Sejak tahun 2000 aktif di NGO, International NGO dan ormas yaitu LAPPERA Indonesia, Institute for Development and Economic Analysis (IDEA), Institute for Development and Environment Studies (IdeAs), OXFAM, Perkumpulan NARASITA, Forum Komunikasi LSM Sleman, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), PW Fatayat NU DIY, Forum Komunikasi Perempuan Politik DIY, Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PUSPA) DIY. Terlibat aktif dan langsung dalam kerja-kerja advokasi, pengorganisasian dan pendampingan masyarakat di aras lokal dan pemerintah daerah (DIY, Kulonprogo, Gunungkidul, Bantul, Kalimantan Utara, Sumatera Barat). Konsen terhadap isu desa, lingkungan, sustainable development, livelihood, food security, perempuan, anak, difabel, lansia, gender dan politik. Saat ini menjadi Dosen Program Studi Pembangunan Masyarakat Desa STPMD “APMD” Yogyakarta.

192

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Yonatan Hans Luter Lopo menyelesaikan studi S1 pada Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta (2014) dan S2 Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM (2019). Semasa kuliah pernah menjadi Presiden BEM STPMD “APMD” Yogyakarta tahun 20112012. Ia juga aktif di GMNI sebagai Sekretaris GMNI Komisariat STPMD “APMD” 2011-2012 dan Wakabid Pengembangan Organisasi GMNI Cabang Yogyakarta 2012-2014. Sejak tahun 2017 sampai sekarang menjadi staf peneliti di Research Centre for Politics and Government (PolGov) Departemen Politik dan pemerintahan FISIPOL UGM. Saat ini aktif sebagai staf pengajar pada Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta. Sejumlah karya tulis yang pernah dipublikasikannya yaitu: Reposisi Fungsi Representasi BPD Menuju Proses Pelembagaan Demokrasi Desa (dalam Anang Zakaria, eds. 2017. Potret Politik dan Ekonomi Lokal di Indonesia: IRE & Akatiga); Kecerdikan Rezim Lokal Menyikapi Konsentrasi Uang: Transformasi Paternalisme menjadi Oligarki (dalam Longgina Novadona Bayo, dkk. Eds.2018. In Search of Local Regime: PolGov & Yayasan Obor); Pembiayaan Kampanye Calon Usungan Partai Politik di Pilkada: Kasus Pilkada Kota dan Kabupaten Madiun (dalam Mada Sukmajati & Aditya Perdana, eds. 2018. Pembiayaan Pemilu di Indonesia: Bawaslu RI); Daily Patronage Politics: A Village Chief’s Route to Power (Jurnal PCD UGM, Vol. VII, No.2, 2019);

55 TAHUN STPMD “APMD”

193


194

MENGABDI DAN MELAYANI DESA



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.