ekoliterazine Green Communication Club
2017
salam redaksi
memoar
Tanah Lengkese''
Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam Biru Merah! Puji syukur kepada Allah SWT sang pencipta alam semesta, berkat rahmat dan karunia-Nya E-Zine yang berjudul “Memoar Tanah Lengkese� bisa dirampungkan melalui kegiatan Liputan Lapangan di RW Lengkese, Dusun Bawakaraeng, Desa Manimbahoi, Kecamatan Parigi, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, pada tanggal 9-11 Desember 2017. Kemudian terima kasih kepada Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi atas wadah belajar dan rumah kedua yang diberikan kepada kami hingga saat ini. Kemudian terima kasih juga kepada Warga Desa Lengkese yang menerima dan membantu kami seperti keluarga sendiri. Akhir kata semoga E-Zine ini bisa bermanfaat dan memacu semangat untuk berkarya. Jika terdapat kesalahan dari E-Zine ini, itu datangnya dari kami.
Green Communication Club
PENANGGUNG JAWAB Azwar Asnan PENASEHAT Imam Pratama Muh. Risky S. Ali Muh. Akram Aslam Aziz Andrian Akbar Aldi Ashar Mappa Muh. Haeril Muh. Hidayat Said Yudhi Kurniadhi Syam Muzammil Agung Dewantara PEMIMPIN REDAKSI Huda Furqana R. EDITOR Laksmi Nurul Suci LAYOUTER Ninda Amalia Syahbani
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
2
3
“LENGKESE’ DAN PEMUDANYA HARI INI“ (6) “BERUNTUNG MENJADI PEREMPUAN LENGKESE’ “ (10) “ADAT DAN PENDIDIKAN” (14) “TRADISI DENGKALEPPA: IRAMA DAN NILAI KEBERSAMAAN” (16)
CO N T E N T S “LENGKESE BERCERITA” (18) “DESA YANG TERSEMBUNYI” (20) “LONGSOR INI TIDAK HANYA MENGGESER TANAH“ (22) “MASIH ADA YANG PEDULI“ (24) 4
“NIATI, IBU PARA PENDAKI GUNUNG LOMPOBATTANG“ (25) “MEMOAR DESA LENGKESE“ (26) ALAT BERTANI TRADISIONAL (28)
CO N T E N T S LIMPAHAN PANEN TOMAT (30) “AKTIVITAS PEREMPUAN-PEREMPUAN DI KAKI LANGIT“ (32) PERGI DAN KEMBALI (34) DATA KUNJUNGAN PENDAKI (35) 5
Lengkese’ dan Pemudanya Hari Ini. (Laksmi Nurul Suci)
6
Sambutan hangat menyambut kami, ketika
juga tampak warga yang sedang memberi
menjadi candu, membuat hati dan jiwa
kaki ini berpijak untuk pertama kalinya di
makan ternaknya (sapi), serta dua orang
tiap-tiap diri merasa enggan
suatu tempat yang jauh dari suara bising
anak kecil dengan raut wajah yang sumri-
galkan tempat ini. Belum lagi ketika
dan suara-suara gaduh perkotaan. Suhu
ngah dan tawa dari ujung bibirnya.
hentakan kaki mulai menyentuh tangga
dingin di siang hari tak sebanding dengan
Lengkese’ namanya. Letaknya berada
rumah, lagi-lagi terlontar senyum dari
dinginnya ketika sang fajar tak lagi me-
di kawasan gunung Bulu’ Bawakaraeng,
mama’ dan tata’ dari celah pintu. Sese-
mancarkan cahaya keemasannya. Per-
Desa Manimbahoi, Dusun Bawakaraeng,
derhana itu, orang tua yang merupakan
lahan dingin itu mulai menusuk kedalam
Kecamatan Parigi, Kabupaten Gowa Su-
mayoritas penduduk Lengkese ini akan
tubuh, membuat tubuh tak ingin lagi ber-
lawesi Selatan. Sebagai desa terakhir,
membuat tiap orang menjadi jatuh cinta.
anjak dari zona nyamannya.
Lengkese’ menjadi tempat
pendaki ber-
Mulanya, penduduk di sini berjumlah 200
Berbagai tumbuhan tropis seperti tomat,
istirahat, mengisi administrasi, dan mem-
jiwa; Sebanyak 70 kepala keluarga (KK)
cabai, kol, dan kopi membuat mata ini
persiapkan peralatan mendaki sebelum
dengan kategori penduduk yang variatif.
tak ingin abai melihat pemandangan di
memulai pendakian
ke Sungai Tanralili,
Kini, jumlahnya menurun pesat, beru-
sekitarnya. Di jalan setapak yang dilalui
Lembah Lowe, Lembah Ramma, hingga
bah menjadi 30 KK semenjak peristiwa
sewaktu perjalanan, terlihat beberapa
Lompobattang.
longsor yang terjadi 26 Maret 2004 lalu.
wanita dari bilik padi melempar senyum,
Jamuan dengan suguhan kopi dan pisang
“Pemerintah menawarkan kami rumah di
sembari menanam padi di lahannya, pun
goreng, ditambah senyum tulus penduduk
Desa Parangloe, tapi disini masih ada
menang-
Foto oleh : Imam Akhmad Arafah
7
8
sawah, tanah, ternak, kopi, dan beberapa
Melihat kondisi kepala keluarga yang terbi-
gan yang berusia 16 (enam belas) sampai
rumah yang masih utuh. Mengapa kita mau
lang minim, menimbulkan pertanyaan me-
30 (tiga puluh) tahun”. (Dilansir dari berita
pindah-pindah di sana? hanya masyarakat
ngapa para pemuda sangat jarang ditemui
Hukumonline.com)
yang rakus yang akan memilih pindah dan
dan hanya didominasi oleh orang tua saja.
“Itu perempuan kalau sudah mi menikah
menjual tanahnya yang di sini,” tutur Dg.
Rita, salah satu pemuda yang masih men-
pergimi ikut sama suaminya di desa lain
Tika selaku Ketua RW Lengkese. Semen-
etap di Lengkese menungkapkan, “Banyak
kayak ke Pattiro jadi tidak adami di sini,”
jak longsor tersebut, warga lebih memilih
sebenarnya pemuda di sini, tapi mereka
kata mama Kartini. Selain itu, sejak satu-sa-
untuk melanjutkan hidupnya di desa lain,
lebih napilih ki cari kerja di luar, seperti jadi
tunya sekolah yang berada di Lengkese’
seperti desa Mamajang dan Raulo. Kini
buruh bangunan bagi laki-laki sedangkan
yaitu SD Impres Kecil tertimbun longsor,
RW Lengkese menyisahkan 30 KK yang
ceweknya memilih bekerja jadi penjaga
tidak ada lagi sarana pendidikan yang ber-
masih menetap untuk tinggal, dan terja-
warung,” tuturnya. Nah, dalam undang-
diri di kawasan ini. Pemuda-pemudi yang
barkan dengan jumlah masing-masing 30
undang, Pasal 1 ayat (1) UU Kepemudaan
berada di Lengkese lebih memilih untuk
anak laki-laki dan anak perempuan deng-
menyebutkan bahwa “Pemuda adalah War-
menempuh pendidikan di desa lain.
an rasio satu kepala keluarga memiliki 2-3
ga Negara Indonesia yang memasuki peri-
Nurul misalnya, putri dari Dg. Mansyur
anak.
ode penting pertumbuhan dan perkemban-
yang melanjutkan pendidikannya di Pe-
santren kota Malino. Ia hanya pulang dan ber-
jar saja, saat itu gerimis mulai turun diirin-
temu orang tuanya sebulan sekali. Ada pula
gi kabut abu-abu. Tawa yang berat disela
teman sepermainannya yang bernama Aski,
ucapan Mama’ Kartini itu seolah dibenarkan
siswi SMP Negeri 1 Majannang yang saat ini
oleh semesta, didukung oleh pernyataan
duduk di bangku kelas dua. Ia merupakan
Dg. Tika.
gadis dari kedua orang tua yang merupakan
Ma’ buruttu, yang merupakan salah satu
warga asli RW Lengkese, namun karena tidak
tradisi di tanah Lengkese, dilakukan se-
adanya lagi fasilitas pendidikan di tempat ini,
bagai bentuk rasa syukur warga atas ke-
orang tuanya memutuskan untuk menetap di
suburan padinya. Setelah padi diambil dari
desa Majannang.
tiap rumah, warga menumbuk padi secara
Kedatangannya ke Lengkese bersama orang
bersama-sama sejak senja mulai nampak
tuanya hanya sekadar liburan dan mengunju-
hingga gelap yang tak kelam itu datang.
ngi sang nenek. “Iye, biasa kalau hari libur
Proses menumbuk padi tersebut tidak se-
saya kesini temani nenekku, karena kalau bu-
kedar mengayun-ayunkan alu’ (penumbuk
kan dia yang turun ke bawah, saya yang naik
padi) saja, tetapi juga menggunakan baju
kesini temani ki,” ucapnya. Ketika bertandang
bodo, salah satu pakaian adat Sulawesi Se-
ke sini pun, gadis berjilbab coklat ini tidak
latan dan semakin memperkental konteks
melakukan aktivitas keseharian warga pada
kebudayaannya.
umumnya seperti memanen sawah atau mem-
“Sekarang
beri makan sapi, hanya memetik jambu, ber-
melakukannya, karena anak muda sudah
main, dan jalan-jalan.
malu-malu belajar. Sudah tidak ada lagi
Didukung oleh pernyataan Dg. Tika, menurut-
yang mau melestarikan. Padahal, sekarang
nya, orang yang berpendidikan tinggi sudah
bahkan ma’baruttu dipertandingkan di desa
tidak cocok untuk menetap di pelosok, karena
sampai kabupaten, tapi anak mudanya jus-
tidak ada lagi kegiatan yang dapat dilakukan.
tru malu untuk mempelajarinya sehingga
Pemuda lebih memilih untuk mencari peker-
orang-orang tua lagi yang dipanggil apabi-
jaan di kota maupun keluar negeri, hingga
la terdapat kegiatan seperti itu,” terang Dg.
mengikut sang suami atau istri. Kondisi desa
Tika. Kedatangan anak-anak muda ketika
yang minim akan pekerjaan juga terbatasn-
tradisi itu dilaksanakan hanyalah sebagai
ya lahan pertanian untuk melakukan aktivitas
seorang konsumen dan penonton saja, tan-
bertani menjadi alasan mengapa para pemu-
pa ingin mempelajari budaya tersebut lebih
da rela untuk pergi melangkahkan kakinya dan
dalam dan melakukan proses ma’baruttu itu
mencari pengalaman di tempat lain.
lebih intens.
“Kalau orang tua yang ada sudah meninggal
Dari sini, timbul tanda tanya besar, ketika
dan tidak ada lagi penurusnya, semua bisa hi-
kondisi pemuda yang berada di Lengkese
lang dan mati,” terang Mama’ Kartini. Dibalut
juga dialami oleh daerah-daerah lain, maka
sarung kotak-kotaknya, beliau tertawa kecil na-
bagaimana masa depan daerah tersebut?
sudah
tidak
banyak
yang
mun dengan nada yang berat. Pun beberapa mama’ yang duduk disampingnya, tersenyum tipis dan tiba-tiba saja termenung sembari mengeratkan dekapannya dibalik sarung. Wa-
9
"B er u n tu n g M en ja d i P er em pu an L en g k es e' � (Taufik Syahrandi)
Suatu sore di awal Desember. Jauh di atas tebing berbatu, awan tebal terlihat mengha-
yang kerap disinggahi rumahnya oleh pendatang. Dengan tangan yang masih bersim-
ri pagi mencuat dari balik tebing dan pepohonan, banyak perempuan yang telah
langi kehangatan sinar matahari mencapai permukaan daun yang berembun. Batang
bah cairan tomat dari dapurnya, ia menyuguhkan senyum kepada beberapa
melangkah meninggalkan rumah menuju sawah yang akan digarapnya. Karakter
rumput liar bergoyang, daunnya merumbai tertiup angin sore. Terlihat pula sisa-sisa
kerumunan orang di depan rumahnya. Mama Nia tahu persis bahwa orang-orang
jalanan yang menurun menuju sawah, membuat langkah para petani setiap pagi-
hujan pada lubang aspal yang digenangi air, menyebabkan perjalanan itu dipenuhi ke-
yang baru saja tiba itu nantinya akan mengepul dapur miliknya beberapa hari kede-
nya terjuntai-juntai penuh kewaspadaan.
hati-hatian agar kendaraan roda dua yang ditunggangi, tidak jatuh terpelanting. Dela-
pan. Benar saja, belum genap satu jam kedatangan, setengah karung beras dan dua
Persawahan memasuki tahapan penanaman 40 hari setelah penanaman benih.
pan motor bebek berderet-deret membelah jalanan, masing-masing memboyong dua
tandan pisang kapok digotong masuk ke dalam dapur. Begitu pun barang-barang lain
Kalau di tempat-tempat lain proses penanaman banyak dilakukan oleh kaum adam,
orang. Semua orang itu membalut dirinya dengan baju tebal sebagai penangkal dingin
menyusul hingga tak satupun tercecer di jalanan tempat barang diturunkan dari mobil.
justru di Lengkese proses penanaman semua dilakukan oleh perempuan. Serupa
yang semakin lama semakin menjadi.
Malam hari, kampung itu sama saja. Di bagian sudut tertentu ramai, bagian lainnya
dengan yang dijelaskan oleh Cabbi salah satu petani dalam tuturannya, bahwa
Secara spontan, semua orang berpaling ke arah kanan. Bentangan persawahan ber-
lengang. Seperti di salah satu potongan jalan depan kediaman Muhammad, puluhan
setiap proses penanaman berlangsung, tak ada laki-laki yang ikut menanam padi
isikan padi-padi ranum yang siap untuk dipanen memagut perhatian. Dari kejauhan
orang berkumpul di sana. Diterangi sebuah lampu dan cahaya api yang menari-nari
semuanya dilakukan oleh perempuan. Ia berdalih bahwa hal ini telah terjadi sejak
separuh badan para petani sesekali terlihat di antara kuningnya padi. Tak banyak
dari dalam tungku, beberapa Ibu paruh baya terlihat memukul-mukulkan ujung sepo-
lama yang diteruskan secara turun-temurun menjadi suatu kebiasaan masyarakat
petani di sana, hanya beberapa. Salah satu petani setengah membungkuk di pe-
tong kayu panjang berbentuk bulat bernama alu ke dalam wadah yang terbuat dari
Lengkese. Laki-laki biasanya disibukkan dengan membajak sawah, perawatan
matang sawah. Ia mengenakan kerudung berwarna hitam, memberi isyarat bahwa
batu setinggi lutut bernama assung. Menurut penuturan salah satu warga, kegiatan
padi dan proses panen. “Masyarakat Lengkese tidak hanya mengandalkan sektor
dia adalah seorang perempuan. Namun, jarak yang jauh antara jalanan dengan sang
ini diistilahkan dengan deng kaleppa’. Bukan tanpa maksud, kegiatan memukul-mukul
pertanian tapi juga perkebunan, laki-laki banyak mengurus tanaman di kebun, di
petani berkerudung, membuat samar potongan wajah dan terkaan umur para pen-
tersebut bertujuan untuk menghaluskan padi muda atau dalam bahasa setempat ber-
antaranya kopi, cabai, wortel, kol, dan tomat,� ujar Cabbi bercerita sembari me-
gendara terhadap petani itu.
nama pare lolo. Sebelum dihaluskan, padi muda disangrai terlebih dahulu di atas
nonton salah satu siaran lokal Makassar di televisinya. Selain itu menurutnya, je-
Namanya Kampung Lengkese, sebuah RW di bawah kaki Gunung Bawakaraeng.
tungku selama beberapa menit. Tidak hanya itu, padi muda yang telah halus dicam-
nis tanah yang subur mengakibatkan banyaknya rumput-rumput tumbuh liar. Hal
Berada di area pegunungan, ketinggian Lengkese mencapai sekitar 1.200 Mdpl. Kam-
purkan dengan gula pasir dan parutan kelapa muda untuk disantap bersama-sama.
itu dianggapnya bisa dimanfaatkan sebagai panganan ternak. Tak ayal apabila di
pung ini terkenal sebagai tempat persinggahan orang-orang dari berbagai tempat. Bu-
Rasa gurih kelapa yang dipadukan dengan manisnya gula menciptakan perpaduan
pemukiman warga banyak dijumpai ternak-ternak warga seperti sapi dan ayam.
kan tanpa alasan, Lengkese merupakan pintu awal menuju beberapa destinasi wisata
rasa baru yang dinikmati bersama padi yang telah disangrai itu.
Kaum laki-lakilah yang bertanggung jawab memberi makan ternak-ternak itu.
alam yang sering dikunjungi, yaitu Sungai Tanralili, Lembah Lowe, Lembah Ramma’
Seperti perjalanan sore itu, sudah menjadi pemandangan yang biasa para perem-
Sejalan dengan hal itu, istri dari Alling juga mengatakan hal yang sama. Disam-
dan Gunung Lompobattang. Para pengunjung yang akan melakukan perjalanan ke
puan keluar rumah mengerjakan pekerjaan yang mayoritas dikerjakan kaum laki-laki.
bangi di rumahnya, ibu beranak dua itu beranggapan bahwa proses penanaman
beberapa tempat tersebut, memanfaatkan rumah-rumah warga untuk istirahat, mengi-
Termasuk turun ke sawah memproduksi padi. Dari tahapan pembajakan sampai padi
hanya dilakukan oleh kaum perempuan. Menurutnya laki-laki di Lengkese banyak
nap, dan peyimpanan logistik.
berubah menjadi karung-karung beras yang mengisi lumbung-lumbung mereka, para
yang tidak tau menanam padi diakibatkan kebiasaan yang telah lama menjalar di
Kedatangan disambut sukacita Mama Nia. Ia merupakan salah satu warga Lengkese
perempuan ikut mencemplungkan diri di dalamnya. Alhasil, ketika cahaya mataha-
kehidupan sehari-hari masyarakat Lengkese.
10
11
Foto oleh : Irfan Ashar Pratama
Foto oleh : Imam Akhmad Arafah
12
Sedangkan menurutnya, laki-laki banyak mengambil peran pada proses
padi yang acap dilakukannya dikerjakan tidak sendiri, melainkan bersama
pembajakan dan perawatan. Kemudian untuk proses panen dan penum-
banyak orang. Ini dirasanya sesuatu yang menyenangkan karena setidaknya
bukan dilakukan secara bersama-sama baik perempuan maupun laki-laki.
menanam padi menyediakan ruang perbincangan baginya dengan petani lain.
Dia juga menambahkan bahwa selain bertani suaminya bersama laki-laki
“Saya juga merasa kebingungan akan mengerjakan apa apabila saya tidak
lain setiap akhir pekan ditugaskan untuk meregistrasi pengunjung yang
turun menanam” tuturnya fasih menggunakan bahasa setempat. Bukan hanya
akan melakukan perjalanan ke Lengkese. Hal ini dilakukan setiap hari
dia katanya, tapi perempuan-perempuan lain juga merasakan hal yang sama
Sabtu sore hingga pukul dua malam yang kemudian digantikan orang lain
dengannya.
yang telah ditugaskan sebelumnya.
“Bagaimana perasaan ta pergi menanam seperti itu baru kalau perempuan
Ditemui di kediamannya sekitar seperempat malam Dg. Kenna yang juga
melelahkan sekali ki pasti ma?” tanya salah satu perempuan menyelah pem-
merupakan petani di Lengkese mengoceh membunuh keheningan. Di bibir
bicaraan. Mendengar pertanyaan itu, kening Dg. Kenna mengerut kemudian
rumah dia bersilah dekat dinding kayu yang tak berlapis pewarna apapun.
digantikan dengan tawa kecil yang khas. Dengan sedikit remeh dia menjawab
Tubuhnya yang tak besar terbungkus hingga seluruh bagian tubuh-
bahwa hal itu sangat tidak menjadi persoalan baginya. Sejak kecil dia telah
nya, kecuali kepala yang menyembul dari dalam sarung kotak-kotak gelap
diajarkan untuk dapat melakukan hal tersebut. Sekarang di usianya yang tak
yang membalutinya. “Anyamangji ku kasia ka tenaja na kale-kalenta, nia’ja
lagi muda, bekerja di sawah sudah menjadi suatu kebiasaan dan hal yang
taua ni bali’i a’nanang. Nampa tena poeng niisengngi erok anjama apa,
membahagiakan bagi dirinya dan orang lain yang sama sepertinya. ”Saya
punna tena ninanang,” ujarnya kepada sepasang wanita yang sedari tadi
beruntung telah menjadi perempuan Lengkese, selain kerja memasak dan
melayangkan pertanyaan kepadanya. Dalam bahasa Indonesia, tuturnya
mencuci, saya juga dibiasakan untuk bekerja di Sawah. Sebagai wanita saya
itu berarti dia merasa nyaman bersimbah peluh bergelut dengan tanah
senang bisa mengerjakan hal-hal itu,” ungkapnya menutup jawaban dari per-
dan padi yang kadang kala mengakibatkan gatal pada permukaan kulit
tanyaan perempuan di depannya.
ketika disentuh. Menurut perempuan berusia berkepala lima, menamam
13
"Adat " n a k i d i d n e P n da (Prabowo Arya)
‘’Biar itu Gunung Bawakaraeng runtuh, adat nda bisa di ubah-ubah’.’
ri. Mengapa saya selalu berharap untuk bisa tinggal di desa, sedangkan
dengan santainya.
Sekejap bulu kuduk saya merinding mendengar kata – kata yang keluar dari
rumah saya sekarang berada di keramaian dan sangat mudah untuk
Lucu mendengar jawaban Dg. Tika tentang anak muda yang tidak lagi ingin
mulut Dg.Tika, ketua RW Lengkese’. Adat yang tetap dipegang teguh oleh
mendapatkan uang? Biarkan itu menjadi refleksi untuk saya sendiri.
turun ke sawah untuk belajar menanam, atau anak muda yang tidak lagi
masyarakat desa Lengkese’ sudah menjadi teman hidup dalam keseharian
Rokok yang saya isap baru setengah batang ketika Dg.Tika menceritakan
ingin menari saat ma’baruttu diadakan. Seperti tidak ada rasa kekhawati-
masyarakat di sini. Peristiwa bencana alam yang terjadi di tahun 2004 silam
tentang ma’baruttu, tradisi atau cara masyarakat Lengkese mensyukuri
ran jika sudah tidak ada generasi yang melanjutkan persawahan mereka,
pun tidak membuat masyarakat di desa ini tidak takut untuk tetap tinggal dan
nikmat Tuhan. Tradisi ini biasanya dilakukan saat awal memanen pada
atau tidak ada lagi yang melanjutkan atribut kebudayaan ma’baruttu. Sam-
terus melakukan aktivitas keseharian. Mereka berfikir bahwa di manapun
musim hujan. Ma’bbarutu dilakukan dengan menumbuk padi muda, sam-
bil tersenyum, Dg. Tika melanjutkan ceritanya, tidak bisa dipungkiri bahwa
kita menetap, tidak ada yang bisa menghindarkan kita dari gejala alam dan
bil bercengkrama dan menari dengan alunan nada yang dihasilkan oleh
memang pendidikanlah yang sangat penting. Mungkin itu yang membuat
keputusan Tuhan.
suara tumbukan padi muda. Sangat beruntung ketika saya datang di desa
Dg. Tika sangat santai dengan hal ini. ‘’Biar ko tinggal di mana kalau punya
Di ruang tamu yang cukup besar, saya bersama beberapa teman duduk ber-
ini, pada malam hari warga melakukan ma’bbarutu, warga berkumpul dan
ko pendidikan pasti bisa jeko hidup, asalkan jangko jadi pemerintah nanti
sama Dg. Tika sang pemilik rumah, orang tua paruh baya yang hidup berdua
menumbuk padi muda bersama, padi muda yang ditambahkan dengan
korupsi ko, jadi pengusaha meko saja,’’ tutur Dg. Tika dengan bercanda.
dengan istrinya. Tiga anak beliau sudah menikah dan memilih tinggal di ibu
gula pasir dan parutan kelapa, rasanya di jamin enak. Ma’barutu malam
Ketenangan Dg. Tika menceritakan permasalahan yang ada mencermin-
kota kecamatan, sekitar 10 km dari Desa Lengkese’. ‘’Kalau kau mau cari
itu di lakukan oleh orang tua yang lanjut usia, hanya beberapa anak muda
kan tentang nilai – nilai yang tidak akan pernah hilang dalam keseharian,
uang pergi ko di orang banyak, kalau kau mau cari kayu bakar pergi ko di
yang ada di sana, pun mereka tidak melakukan apapun, hanya menung-
tetapi bagaimana cara mewariskan nilai – nilai itu salah satunya dengan
hutan,’’ cetus Dg. Tika ketika bercerita tentang nasihat yang diberikan oleh
gu padi muda selesai ditumbuk, sama seperti yang saya lakukan. ‘’Lama
pendidikan. Bukan permasalahan tentang ada atau tidak adanya lagi
orang tuanya dan kemudian disampaikan kepada anak – anaknya. Wajar
sekali mi itu baruttu nda saya liat yang kayak dulu toh, sekarang kah se-
generasi yang akan melanjutkan, melainkan adat, atribut kebudayaan dan
saja anak – anak beliau memilih tinggal di daerah yang ramai bukan untuk
dikit mami di situ di atas e,’’ kata Dg. Tika sembari mengangkat kepalanya.
nilai – nilai dalam keseharian akan tetap ada dan diwarisi dengan cara
meninggalkan orang tua mereka tetapi demi kebutuhan cucu Dg. Tika sendi-
‘’Mengapa sedikit sekali ji anak muda yang ada di Lengkese’?” tanya seo-
apapun salah satunya dengan pendidikan.
ri.
rang teman. “Iya sedikit memang, ka pergi semua di kota belajar, tapi
Mendengar nasihat itu saya pun merasa aneh dengan kehadiran saya di
itumi kalau pergimi belajar di kota nda mamumi turun di sawah, mena-
ruang tamu beliau, muncul banyak pertanyaan di dalam benak saya sendi-
nam, malu malu mi juga menari kalau ma’baruttu orang,’’ jawab Dg. Tika
14
15
Tradisi Dengkaleppa:
Irama dan Kebersamaan (Irfan Ashar Pratama)
Hawa sejuk dan sedikit dingin terasa menusuk kulit, namun tidak sedikitpun orang-orang yang terlihat menggigil. Bahkan semakin larut, tempat berkumpul tersebut semakin ramai. Di sana, sebatang kayu nangka berbentuk balok dengan ujung tumpul disentak dan ditumbukkan ke sebuah wadah berbentuk bundar dengan lubang yang semakin mengecil ke dasar. Tumbukan itu dikerjakan oleh seorang ibu berdaster dan berkerudung ditemani oleh seorang pemuda di depannya pada malam hari selepas petang. Seorang ibu lainnya sedang sibuk menggoreng padi muda berwarna sedikit kecoklatan, setelah agak kering, padi yang telah digoreng akhirnya ditumpahkan ke sebuah penampi kemudian dituangkan kembali ke wadah bundar tadi. Padi muda yang dipanen sebelum masa panen yang telah dijadwalkan memang sengaja diambil sebagai bahan baku makanan ini. Masa penanaman dan panen padi di RW Lengkese biasanya berlangsung dari bulan 7 hingga pertengahan bulan 12. Alu (balok) dan Assung (wadah tumbukan) menjadi pengganti mesin giling dalam proses pembuatan makanan tersebut. Proses pembuatannya dilakukan secara tradisional karena takaran ketebalan padi yang ingin ditumbuk lebih mudah diketahui ketika tidak menggunakan mesin giling. Ada juga kelapa parut dan gula yang menjadi tambahan bahan makanan ini, sebutan untuk makanan ini adalah parelolo. Secara keseluruhan, proses pembuatan parelolo memang harus dikerjakan bersama-sama, tujuannya untuk menjaga tali silaturahmi antara sesama warga RW Lengkese. Selain itu, karena mayoritas penduduk RW Lengkese bekerja sebagai seorang petani, hasil panen mereka seakan-akan menjadi kepemilikan bersama dengan adanya kegiatan membuat parelolo yang dinamakan dengkaleppa. Ma’baruttu adalah salah satu bagian dalam proses pembuatan parelolo. Beberapa orang menumbukkan alu ke dalam assung ber-
isi padi muda yang telah di goreng. Namun, sebelumnya beberapa ibu juga turut memainkan tumbukan-tumbukan yang sama tetapi dengan irama yang berbeda. Kegiatan tersebut adalah ma’padekko. Perbedaan ma’baruttu dan ma’padekko terletak pada assung yang terisi padi muda. Ma’padekko dilakukan tanpa padi muda di dalam assung. Ketika beberapa ibu melakukan ma’padekko, akan timbul irama tumbukan yang berbunyi dengan ritme yang sangat teratur, bahkan tumbukan-tumbukan tersebut juga seolah-olah menjadi nada yang bertujuan mencuri perhatian orang lain untuk segera berkumpul. Setelah berbagai persiapan yang dibutuhkan telah rampung, barulah proses pembuatan parelolo dilanjutkan. Dengan jumlah warga yang semakin bertambah, kehangatan dan kebersamaan yang mewarnai proses dengkaleppa ini pun menjadi semakin ramai. Ma’baruttu pada hari ini dilakukan secara bergantian, siapapun yang bersedia menumbuk padi muda yang telah digoreng boleh dengan segera mengambil alu yang tidak terpakai, kemudian ikut menumbuk di assung yang telah disediakan. Menurut penuturan salah satu warga, dulunya proses dengkaleppa sering dilakukan secara bersamaan oleh setiap warga di depan rumahnya. Sepanjang jalan RW Lengkese dipenuhi orang-orang yang ma’baruttu dan ma’padekko. Parelolo yang telah selesai kemudian dibagikan ke masing-masing warga dan disantap secara bersama. Setiap daerah memang memiliki adat dan budaya yang khas, hingga seorang warga bernama Dg. Tika pun berpesan “Warisan sawah supaya kau belajar, warisan ilmu adalah sebaikbaiknya warisan.” Foto oleh : Irfan Ashar Pratama
16
17
" a t i r e c r e B e s e k "Leng (Febby Ardiatri)
Hamparan sawah dan suara gemericik air men-
bagian dari tempat ini merupakan salah satu
rapa warga salah satunya Dg. Tika selaku ketua
untuk bekerja di tempat lain dan juga tak jarang
yambut kita ketika memasuki wilayah Desa Manim-
kisah yang tak dapat dilupakan begitu saja oleh
RW setempat. Beliau juga menyampaikan bah-
banyak yang menetap. Namun, meskipun ra-
bahoi, Dusun Bawakaraeng, Lengkese’. Udara se-
masyarakat di tempat ini. Sawah, kebun, ternak,
wa sebelum terjadi longsor, warga sangat ramai
ta-rata pendidikan anak muda di Lengkese’ SMP
juk menghambur ke wajah dan menembus pori-pori
sekolah, dan rumah menjadi rata dengan tanah
apalagi disaat acara ma’baruttu atau menumbuk
dan SMA ada pula yang melanjutkan pendidikan
tubuh. Tak hanya itu, kehangatan seperti keluarga
akibat longsor yang dikatakan sebagai longsor
padi muda bersama-sama. Semua warga turut
hingga ke perguruan tinggi.
sendiri juga dapat kita rasakan di tempat ini, kare-
terbesar di dunia. Hal yang paling memilukan
mengambil bagian dalam kegiatan itu. Baik anak
“Pelestarian budaya juga penting tapi kalau ti-
na masyarakat menyambut kita dengan tangan ter-
dari semua itu adalah kehilangan keluarga
muda hingga orang tua. Bahkan tidak hanya war-
dak ada pendidikan bagaimana mau dilestarikan
buka. Gugusan pegunungan yang berada dekat di
yang menjadi korban dalam bencana dahsyat
ga sekitar, warga di luar kampung turut mera-
itu budaya. Itu budaya lestari karena ada pendi-
sekeliling kita menambah rasa kagum akan tempat
ini. Tak tanggung-tanggung longsor yang terjadi
sakan kemeriahan acara tersebut. Sawah yang
dikan kalau tidak ada begitu-begitu ji itu budaya
yang merupakan salah satu desa yang berada di
pada 26 Maret 2004 ini menelan korban hingga
dulunya tidak pernah kekurangan air setelah ke-
sampai hilang. Sepeti ma’padekko (menumbuk
kaki Gunug Bulu Bawakaraeng.
32 orang yang kebanyakan merupakan warga
jadian memiluhkan tersebut harus merasakan su-
padi sambil dibunyikan), budaya itu nanti akan
Berbagai hal menarik juga dapat kita temukan di
asli Lengkese’.
litnya mendapatkan pasokan air dikala kemarau
hilang karena tidak ada sekolah yang menga-
tempat ini, seperti aktifitas menumbuk padi muda
Hingga saat ini jumlah masyarakat yang ma-
melanda.
jari budaya tersebut, maka dari itu sebenarnya
hingga pipih yang masyarakat sebut dengkale-
sih menetap di tempat tersebut kurang lebih
Namun, sekarang kebiasaan tersebut sedikit
belajar itu perlu. Tapi sekarang masyarakat per-
pa , ma’baruttu (menumbuk padi bersama-sama),
30 KK dari jumlah sebelumnya yaitu 70 KK.
demi sedikit mulai jarang dilakukan. Keramaian
hitungan karena ada pendidikan, seperti tradisi
dan ma’padeko (menumbuk sambil membunyikan
Hal ini dikarenakan sebagian dari masyarakat
pun sudah jarang terlihat kecuali pada akhir pe-
padi muda tadi dianggap sebagai pemborosan,�
asung = wadah penumbuk). Makanan yang diberi
memilih pindah ke tempat lain, salah satunya
kan dan dihari-hari tertentu. Keramaian biasaya
ungkap Dg. Tika.
nama parelolo adalah padi muda yang ditumbuk
di Parangloe yaitu perumahan yang disediakan
nampak pada saat beberapa pendaki dari luar
Tak hanya itu, yang menjadi keresahan bebe-
hingga tipis lalu dicampurkan dengan kelapa parut
oleh pemerintah. Masyarakat yang memilih pin-
hendak menuju salah satu tempat yang menjadi
rapa warga yaitu jumlah penduduk yang sedikit
dan gula merupakan salah satu hasil dari aktifitas
dah dikarenakan beberapa faktor yaitu tidak
daya tarik wisatawan, Tanralili. Aktifitas ma’barut-
dan kebanyakan adalah masyarakat yang lanjut
dengkalepa.
lagi memiliki lahan, trauma, dan ketakutan akan
tu sebagai acara yang dinanti-nantikan tidak lagi
usia. Jika demikian, siapakah yang akan menja-
Namun, di balik keindahan dan keunikan itu ba-
bencana susulan. Namun, masyarakat yang
menjadi daya tarik bagi para kaum muda.
ga keberadaan tanah Lengkese’ di masa men-
nyak kisah yang mungkin sebagian dari kita tidak
memilih tetap tinggal beralasan bahwa tempat
Aktifitas berladang, berkebun, berternak tidak lagi
datang? Akankah kehangatan seperti keluarga
mengetahuinya. Mega Longsor Gunung Bulu Bawa-
itu masih menyediakan lahan untuk mereka
menjadi pekerjaan yang diminati oleh penerus
akan tetap dirasakan?
karaeng yang dalam sekejap meluluh-lantakan se-
tempati dan dikelola menurut penuturan bebe-
Lengkese’. Sebagian dari mereka lebih memilih
18
19
desa yang tersembunyi. (Andy Marko)
20
Kenapa diberi nama Lengkese’? Karena diambil
melekat dengan alam Lengkese’.
dari nama Bambalang Lengkese’ yang merupa-
Lengkese’ adalah lingkungan yang sangat ra-
kan pertemuan aliran air dari Gunung Lompo Bat-
mah. Di sisi lain kita sebagai tamu juga sebagai
tang dan Sungai Je’ne’berang. Daerah ini terletak
keluarga, terlihat aktivitas warga pada malam hari
di tengah-tengah aliran sungai kedua gunung ini.
cukup ramai dengan adanya tumbu’ padi muda
Lengkese’ merupakan RW yang sudah puluhan ta-
yang membuat rasa kekeluargaan kita semakin
hun lamanya ada, dari warganya yang dulu sekitar
kuat, katanya ini termasuk ritual mensyukuri nik-
100 kepala keluarga (KK) kemudian menjadi 26
mat yang diberikan Tuhan dan meminta rezeki ke-
KK saja diakibatkan terjadinya longsor pada tahun
pada Tuhan. Ritual ini dilakukan satu kali setiap
2004 yang menelan korban 39 orang, kejadian ini
barat, itu kita mengumpulkan padi muda kemudi-
mengakibatkan rumah rusak berat serta tempat
an disangrai lalu ditumbuk bersama dan mempu-
penghasilan masyarakat seperti sawah tertimbun
nyai bacaan tertentu demi meminta rezeki pada
oleh longsor, sehingga banyak masyarakat yang
Tuhan Yang Maha Esa. Melihat orang-orang yang
di rumah masing-masing dan menonton bersama.
dibandingkan laki-laki. Mulai dari menanam padi
kin menekankan peranan penting perempuan dalam
tidak kembali ke Lengkese, di sisi lain karena pe-
begitu akrab sangat terlihat kekeluarga yang ada
Ada juga aktivitas lain yang biasa dilakukan dari
sampai memanen menjadi aktifitas rutin bagi per-
perekonomian keluarganya. Sekarang ini tidak ada
merintah melakukan penutupan lokasi untuk RW
di Lengkese’ ini. Rumah panggung yang terlihat
masyarakat ialah menjaga sawah dari babi hutan
empuan, terkecuali membajak sawah yang hanya
sekolah di Lengkese’ akibat dari bencana yang terja-
Lengkese menurut Ibu Nurhaeda yang merupa-
sederhana menggambarkan bahwa warga setem-
yang biasa merusak padi-padinya. Di sini saya ti-
dilakukan oleh laki-laki.
di pada tahun 2004. Adapun masalah yang ternyata
kan pendatang tetapi sudah menetap di Lengkese
pat sangat terbuka pada siapapun yang datang,
dak banyak melihat apa-apa dari aktivitas warga
Perempuan bekerja sampai seperti ini karena
dihadapi masyarakat ialah dalam bentuk penanggu-
selama 22 tahun. Kemudian dari peristiwa ini pe-
kemudian saya melihat warga sangat mengenal
karena wilayah yang telah dibatasi oleh kakak-ka-
kasih sayang yang lebih terhadap sang suami.
langan kesehatan. Di sini tidak ada puskesmas
merintah menyediakan rumah di Parangloe kepa-
walaupun ada dari beberapa warga dari luar yang
kak pada saat observasi.
Selain pekerjaan perempuan yang sudah menja-
ataupun posyandu terdekat jadi tidak ada yang dapat
da masyarakat Lengkese’ tetapi di sisi lain seba-
hanya ikut pada suaminya. Malam ini aktivitas
Mendengar suatu hal yang menarik dari percaka-
di keniscayaan adalah memasak, membersihkan,
kita harapkan jika ada seorang warga yang sakit.
gian warga ingin tetap tinggal di daerah Lengkese’
warga hanya diramaikan oleh menumbuk padi
pan kami bersama Ibu Nurhaedah ialah kaitann-
bahkan membuat kopi untuk suaminya. Ibu
karena sudah sangat nyaman dan sudah sangat
muda selain dari itu sebagian warga hanya terlihat
ya dengan perempuan, perempuan bekerja lebih
Nurhaedah mengungkapkan bahwa hal ini sema-
21
LENGSER INI TIDAK HANYA MENGGESER TANAH. (Siti Lestari Rahmadani)
Apakah ini sebuah imajinasi ku? Melihat semuanya serba hi-
Lengkese’, tempat di mana aku merasakan hal-hal yang
jau, sawah, dan, kebun terbentang luas, hamparan gunung
berbeda dari rutinitasku. Kampung yang berada di salah
yang dihiasi kabut. Tidak seperti yang selalu ku lihat, hanya
satu kawasan kaki gunung tertinggi di Sulawesi Selatan,
gedung pencakar langit yang memadati kota. Udara yang se-
Gunung Bulu’ Bawakaraeng. Berbicara tentang Gunung
dang ku hirup saat ini tidak membuat ku menutup hidung, ti-
Bulu’ Bawakaraeng tak ada habisnya. Gunung ini kaya dari
dak seperti kebiasaan ku di kota, selalu menghindar dari asap
berbagai aspek. Bahkan, saat aku dan teman-teman tiba
dan bau yang tak sedap. Hawa dingin berhasil menembus ja-
di sini, untuk membahas kampung Lengkese tidak bisa ter-
ket tebal yang jarang ku gunakan ini, bahkan sebelumnya be-
lepas tanpa membahas Gunung Bulu’ Bawakaraeng. Hal
rada paling bawah di lemari baju ku. Saat kulit ku menyentuh
membekas bagi warga desa ini adalah bencana longsor di
air dari mata air di sekitar sini, betapa segar rasanya. Saat
area Gunung Bulu’ Bawakaraeng yang tanahnya meluncur
berpapasan dengan warga setempat, mata kami bertemu dan
ke pemukiman kampung Lengkese. Longsor ini menye-
saling menukar senyuman, kalau di kota, bukan senyuman
babkan kerusakan di pemukiman warga seperti rumah, ke-
yang ada, tapi kata “maaf” karena kita malah tertabrak akibat
bun, dan sawah. Bukan hanya harta yang menjadi korban,
kepala tertunduk terus.
para warga juga menjadi korban. Sebanyak tiga puluh dua
warga terenggut jiwanya. Longsor itu bermula saat pukul
22
Tempat yang ku pijaki saat ini adalah kampung
dua menyambar ditambah dengan suara gemuruh, lalu tanah
eka tidak hanya mengurusi pekerjaan rumah saja. Di lihat
turun ke pemukiman warga dan menimbun sebagian kampung
dengan banyaknya sawah, kebun, dan berbagi hewan ter-
Lengkese’.
nak seperti sapi, masyarakat Lengkese’ mayoritas beker-
“Banyak perubahan yang terjadi setelah longsor itu terjadi”, ujar
ja sebagai petani. Kaum hawa yang menanam, kemudian
Dg. Tika selaku ketua RW Lengkese’. Beliau juga merupakan
bertugas untuk merawat kebun serta sawah. Untuk proses
warga asli dari kampung Lengkese’. Geseran tanah longsor dari
panen, perempuan dan laki-laki saling membantu. “Tidak
Gunung Bulu’ Bawakaraeng ini tidak hanya menggeser tanah
tahuki memang laki-laki di sini menanam, memang dari ne-
tapi kehidupan warga di sini. Pasca longsor yang terjadi pada
nek moyang mi begini,” ujar Mama Rabi saat aku berbin-
tahun 2004 silam, membuat warga setempat mengungsi dan pin-
cang dengannya di perjalanan menuju sawah untuk
dah di berbagi tempat, misalnya di kampung-kampung sekitar
mengambil sayur gelang. Lalu, aku teringat saat warga
yang jauh dari kaki gunung. Pemerintah juga memberikan ban-
sekitar sedang ma’barutu di salah satu depan rumah war-
tuan kepada warga yaitu dibuatkan pemukiman di Parangloe.
ga, para warga mulai berkumpul dan tak ada perempuan
Tapi, ada juga warga yang memiliki rasa kepemilikan besar atas
remaja yang ku lihat. Selama berada di sini, aku jarag
kampung ini, memilih untuk tidak pergi dari sini. Wajar saja jika
temukan warga yang berusia muda, apalagi perempuan
rasa itu sangat besar, warga desa di sini masih serumpun keluar-
remaja. “Waktu tadi malam toh mama’ acara ma’barutu,
ga, serta adat tradisi yang mereka miliki menciptakan terjalinnya
ndada ku liat cewek-cewek di’?” ku lontarkan pertanyaan
rasa kebersamaan.
pada nya. “Memang sedikit ji cewek-cewek di sini sejak
Salah satu tradisi yang mereka miliki ialah tradisi ma’barutu. Se-
longsor itu nak, dulu banyak ji cewek-cewek di sini,” jawab
cara harfiah ma’barutu berarti menumbuk padi bersama-sama,
Mama.
merupakan salah satu tradisi kampung Lengkese. Warga sekitar
Semakin berkurangnya penduduk di sini, apalagi kurang-
menumbuk padi muda (parelolo), menggunakan alu (alat menum-
nya penduduk usia muda, menimbulkan rasa khawatir ten-
buk) dan assung (wadah untuk menumbuk) saat akhir musim ke-
tang pelestarian adat serta tradisi di Lengkese’. Tradisi
marau, menjelang musim panen. Tradisi ini sebagai ucapan rasa
bercocok tanam yang hanya dilakukan oleh kaum hawa
syukur dan sebagai ruang silaturahmi warga. Sebelum longsor
tidak disertai dengan peran kaum muda, sehingga
terjadi, acara ma’barutu selalu ramai. Warga memanen seba-
penerusnya semakin berkurang. Begitu pula dengan tra-
gian padi mudanya, ada warga yang menari-nari, bahkan para
disi ma’barutu. Tradisi ini dilakukan oleh semua kalangan.
penumbuknya menggunakan baju bodo (baju adat Makassar).
Tapi menurut Dg. Tika, remajanya saja yang tidak mau
Seluruh warga memakan parelolo’ bersama dan membawanya
tahu dan tidak mau belajar tentang kebudayaan mereka.
pulang. Kepala desa rutin melakukan ini untuk meramaikan dan
Sama halnya dengan tradisi bercocok tanam di sini, tak
mengumpulkan warga. Tapi, tradisi itu sudah tidak ramai seperti
ada kaum hawanya ikut bercocok tanam. Pernyataan yang
dulu. Penduduk yang menetap saat ini jumlahnya sedikit diban-
sama diucapkan Dg. Tika. “Bagaimana mau mempertah-
ding sebelum longsor dulu. Selain itu, pendidikan masyarakat
ankan kalau caranya saja mereka tidak mau tahu?” jelas
juga semakin berkembang. Asumsi tentang tradisi ma’barutu ini
Dg. Tika. Anak-anak yang sedang menempuh pendidikan
hanya pemborosan belaka mulai masuk di pikiran warga.
merasa tidak ingin untuk bercocok tanam, karena yang
Pendidikan semakin berkembang di kampung ini. Warga telah
menjadi prioritasnya ialah menuntut ilmu. Sebagian dari
sadar pentingnya bagi anak-anak mereka untuk memiliki ilmu
keturunan orang Lengkese’ telah lama pergi dari kampung
yang tinggi. Tapi akses ke sekolah dari kampung ini terbilang
ini, sebagian juga ada yang merantau untuk bekerja dan
cukup jauh, jadi ada beberapa warga yang tinggal di kampung
menuntut ilmu karena ilmu dianggap penting. Salah satu
di bagian bawah seperti Majennang, karena akses sekolah di
pepatah orang tua yang dilontarkan oleh Dg. Tika “Kalau
sana lebih dekat. Seperti yang dilakukan oleh keluarga Alling.
mau banyak uang, pergi di tempat yang banyak orang.”
Sebelumnya mereka menetap di kampung Lengkese tapi setelah
Ada pula pernyataan yang sangat saya sukai dari sosok
longsor tinggal di Kampung Majannang lalu kembali ke rumah di
pria tangguh yang telah bermukim di tempat ini sejak ia la-
Lengkese’ hanya pada hari tertentu, seperti hari libur atau hari
hir, yaitu “Budaya itu menjadi lestari jika ditunjang dengan
perayaan tertentu. “Di sini ada sawah, kebun. Tapi kita bangun
adanya pendidikan.”
rumah di bawah karena anak-anak sekolah, karena dekat. Dari
saat ini, bagaimana tradisi serta adat di Lengkese’ ini bisa
sini jauh sekolah,” ucap dari istri Alling.
tetap berlangsung? Agar hal tersebut tidak tergeser bah-
Tidak hanya tradisi ma’barutu, hal yang berbeda dari kampung
kan sampai tertimbun bersama harta serta korban jiwa dari
ini ialah kaum hawa yang melakukan aktifitas cocok tanam. Mer-
bencana 13 tahun silam di kampung ini.
Menjadi pertanyaan semua orang
23
Masih Ada yang Peduli!
, i t a i N
ibu para pendaki gunung lompobattang (Ukhwani Ramadhani)
(Threeona)
Sapuan lembut angin yang sejuk mulai menusuk-nusuk ke dalam tulang ketika pertama kali
menyentuh tanah
Lengkese. Sebuah desa di kaki gunung Bawakaraeng yang terletak di sebelah utara ini rimbun dipenuhi pepohonan hijau di samping kiri dan kanan. Sapaan hangat dari tanaman yang tumbuh di pinggir jalan setapak ikut menari-nari bersama desiran angin. Bahkan tomat dan kubis pun ikut menyapa kendaraan metropolitan yang baru saja melintas. Hari ini masih siang namun sinar matahari tak menyengat sama sekali, jauh berbeda dengan kota metropolitan. Sehari-hari hanya melihat kendaraan berlalu lalang, gedung-gedung tinggi dan polusi. Disini tidak ada bising dan debu-debu polusi, yang ada hanya dingin sejuk dan udara segar. Warga yang bermukim di Lengkese sangat ramah dan terbuka bagi orang-orang yang berkunjung di Lengkese. Seperti di malam hari, beberapa warga membiarkan pintu depan mereka terbuka seolah-olah membiarkan siapa saja bisa masuk ke dalam. Apalagi karena beberapa rumah penduduk memang sudah menjadi tempat persinggahan bagi pengunjung. Jadi kedatangan tamu kapan saja bukan masalah bagi mereka. Diseduhkan secangkir kopi maupun teh merupakan sebuah bentuk penerimaan sang tuan rumah pada tamu. Pertanda bahwa tamu tersebut tidak menggangu dan tuan rumah dengan senang menerima. Lebih dari semua hal menarik dari Lengkese, ada satu yang paling menarik perhatian yaitu sebuah organisasi kecil di desa yang baru berdiri sejak dua tahun silam. FPL atau Forum Pemuda Lengkese merupakan sebuah organisasi yang diprakarsai oleh Kepala RW untuk membantu para penda-
24
ki dan pengunjung yang ingin berkunjung ke Tanralili serta mengontrol keluar masuknya pengunjung. Adapun anggota FPL sebenarnya ditujukan untuk pemuda-pemudi di Desa Lengkese, namun beberapa pemuda dari desa lain pun ikut berpartisipasi. Tidak ada bayaran untuk para relawan, hanya inisiatif yang menggerakkan mereka. Setiap siang hingga sore hari, pos registrasi selalu dipenuhi oleh pemuda anggota FPL, sembari saling bercanda melepas penat sambil bekerja juga mendata pengunjung. Sesekali tawa mereka lepas karena candaan yang sering orang sebut receh. Hanya dengan merogoh kocek sebesar Rp. 5.000,- per kepala untuk biaya ke Tanralili, pengunjung yang datang pun semakin banyak, namun di sisi lain menimbulkan kekhawatiran soal kebersihan. Oleh sebab itu, Forum Pemuda Lengekese rutin mengadakan kegiatan membersihkan daerah Tanralili dan sekitarnya setiap seminggu sekali. Sebelum pengunjung diperbolehkan naik ke lokasi, pihak FPL terlebih dahulu memeriksa persediaan makanan kelompok yang berpotensi menghasilkan sampah seperti makanan ringan, makanan kaleng, dan lainnya. Sampah harus dibawa di akhir kunjungan untuk dibakar di samping pos, dan bagi yang tidak membawa pulang sampahnya akan diberi denda. Pihak FPL juga telah menyediakan alat-alat pendakian bagi pengunjung yang tidak memiliki alat lengkap. Dengan kehadiran FPL, memberikan sedikit kemudahan bagi pengunjung Danau Tanralili dan penduduk setempat. Kepedulian mereka terhadap Tanralili tidak pernah bisa dibayar dengan apapun.
Sinar matahari samar-samar nampak di celah-celah rumah warga. Dingin yang membalut seluruh tubuh hampir membekukan para pendaki yang tinggal sementara di rumah warga, sebagian masih tertidur menikmati mimpi akibat lelah di hari kemarin. Udara yang sejuk pun semakin membuat para pendaki tak bisa terlepas dari tempat tidur yang disertai dengan selimut. Kicauan burung-burung beserta jangkrik yang ada di hutan mulai berkicauan, menghasilkan bunyian yang indah didengar. Sebagian warga mulai bangun untuk mulai menjalankan aktivitas kesehariannya. Rumah panggung dengan lima anak tangga berdiri kokoh tepat di ujung batas jalanan beton. Rumah ini selalu menjadi tempat pijakan awal atau persinggahan setiap pemuda yang ingin mengunjungi beberapa destinasi wisata yang ada di Sulawesi Selatan, yakni Danau Tanralili, Lembah Ramma, Sungai Je’ne Berang, dan termasuk Gunung Lompobattang. Hampir setiap minggu, rumah yang terletak di Lengkese’ ini ramai disinggahi oleh para pengunjung. Pemilik rumah menerima dengan senang hati setiap pengunyang singgah untuk mempersiapkan dirinya maupun sekadar beristirahat. Syamsuddin Dg. Rafi dan Niati, Sepasang suami istri yang sudah 37 tahun membangun rumah tangganya dengan kesetiaan, penuh dengan suka maupun duka. Merekalah yang senantiasa membuka pintu bagi setiap pengunjung yang ingin berlibur ke
beberapa destinasi wisata yang harus melalui Lengkese sebagai jalur pendakian. Setiap pendaki akan menganggap mereka sebagai orang tua, pemuda yang mendaki biasa memanggil mereka dengan sebutan Tata dan Mama. Mama Niati yang lebih akrab disapa Mama Nia, merupakan salah satu penduduk asli Lengkese. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya beserta saudaranya. Mama Niati sekolah SD pada umur 9 tahun di SD Raulo Kecamatan Parigi. Ia melewati jalanan berbatu de-ngan jarak satu jam perjalanan untuk sampai di sekolah tersebut. Kadang, Mama Nia bersama teman-teman seangkatannya ketika SD melintasi sawah untuk mempercepat jarak ke sekolah. Mama Nia merasa masa kecilnya sangat bahagia. Dahulu ia sering sekali bermain bersama dengan teman-temannya. Mulai dari bermain lompat tali, kelereng, hingga bermain jongklang bersama teman-teman di sekolah maupun tetangganya. Mama Nia ketika kecil sering kali bermain ke sawah, jejak-jejak langkahnya mengisyaratkan gairah untuk segera bertemu kedua orang tuanya setelah pulang sekolah, turun langsung ke sawah kemudian membantu menanam hingga memanen padi. Selain itu mama nia kecil juga giat membantu ibunya untuk memasak.
25
r a o m e "M " e s e k g n e L a s e D (Muh. Alvin Syahriansyah)
Sekitar pukul 11.50 siang peserta Ekoliterasi yang berjumlah 16
warga. Rumah pertama yang menjadi observasi saya ialah
dasi kepada pemerintah. Masalah tidak diberikannya aliran listrik
tetapi tidak semua anak tersebut menetap bersama
peserta dan 5 pendamping berdoa bersama untuk pemberang-
rumah Dg. Raba, warga paruh-baya yang berumur sekitar 70
dikarenakan daerah lokasi yang berada di kaki Gunung Bawaka-
orangtuanya. Ada beberapa alasan mengapa anak terse-
katan menuju lokasi. Dengan menggunakan satu mobil dan dela-
tahun yang lagi santai menonton televisi ditemani dengan sang
raeng ini pernah terkena dampak Longsor pada tahun 2004 yang
but tidak tinggal bersama orangtuanya, seperti masalah
pan motor kami pun berangkat. Di perjalanan menuju lokasi saya
istri yang bernama mama’ Manni. Beliau langsung menyuguh-
menyebabkan lokasi observasi kali ini mendapat garis merah
pendidikan, pernikahan, ataupun pekerjaan. Hal tersebut
terpisah dengan rombongan sebab jalur yang saya lalui terkena
kan secangkir kopi dan pisang untuk dijadikan santapan sem-
dari pemerintah. Hasil observasi kami malam ini dituliskan untuk
menjadi masalah di RW Lengkese dengan banyaknya
macet dan alhasil agenda Ekoliterasi yang dijadwalkan bakal
bari berbincang. Observasi awal saya hanya seputar aktivitas
dijadikan sebuah data.
anak yang tidak menetap bersama orangtuanya membuat
turun riset pada sore hari menjadi terhambat. Barulah sekitar
keseharian mereka, yaitu memberi makan sapi sedangkan
Keesokan
begitu
RW Lengkese kekurangan pemuda. Hanya tinggal seba-
pukul 16.00 WITA kami tiba di tempat. Lokasi Ekoliterasi kali ini
sang istri hanya menjadi ibu rumah tangga. Tidak banyak in-
menyengat ditemani segelas kopi dan sepiring pisang goreng
gian pemuda yang masih menetap bersama orangtuanya.
bertempat di Desa Manimbahoi, RW Lengkese, Dusun Bawaka-
formasi yang saya dapatkan dari mereka dikarenakan latar be-
menemani cerita hasil observasi dari masing-masing kelompok.
Kendala tersebut yang menjadi masalah dari pandangan
raeng, Kecamatan Parigi, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
lakang bahasa yang berbeda.
Kemudian masing-masing kelompok berkumpul kembali untuk
kelompok kami mengingat ada budaya di RW Lengkese
Ekoliterasi kali ini dibagi menjadi dua kelompok dengan satu
Setelah berkunjung ke rumah Dg. Raba, saya melanjutkan ob-
membahas agenda evaluasi dan data. Setelah itu, hasil evalu-
yang mesti turun temurun di pertahankan seperti aktivi-
kelompoknya berjumlah delapan orang yang kemudian ma-sing-
servasi ke rumah warga lainnya, dan sampailah saya di se-
asi tersebut menjadi landasan gerak tiap-tiap kelompok dalam
tas merawat dan memamen padi. “Jadi kalau meninggal
masing kelompok ditempatkan di dua rumah warga untuk dijad-
buah rumah yang di dalamnya ada seorang teman yang juga
melanjutkan proses penyusunan pertanyaan-pertanyaan liputan
semua mi orangtua disini yang suka bertani, berarti ti-
ikan sebuah posko. Kebetulan posko saya menjadi posko induk
sedang melakukan observasi. Rumah tersebut dihuni oleh Dg.
sebagai langkah strategis agar fokus liputan tetap pada jalur ko-
dak ada mi lagi yang lanjut tradisi,� ucap Mama’ Kartini
yang bertujuan membahas segala proses agenda ekoliterasi.
Impa dan Dg. Sau. Seperti biasa kami kembali disuguhkan
ridornya. Setelah mengembangkan data, kelompok kami sepakat
yang merupakan salah satu narasumber kami. Kalau para
Agenda Ekoliterasi pertama dibuka dengan membahas apa fokus
kopi. Warga sekitar lokasi observasi kali ini memang mempu-
untuk mengangkat isu tentang kurangnya efektivitas pemuda di
pemuda yang masih menetap dan berfikiran sama dengan
kajian isu yang nantinya akan menjadi liputan umum dari tiap-ti-
nyai keunikan sendiri dengan selalu menyuguhkan kopi. Mak-
RW Lengkese. Dari hasil data yang diperoleh ada 37 Kepala Ke-
pemuda yang keluar desa bisa saja terjadi pergeseran bu-
ap kelompok dan karya dari masing-masing individu. Setelah
lum saja mayoritas mata pencahariaan warga sekitar ialah
luarga yang masih menetap di RW Lengkese dengan klasifikasi
daya. Bukan tanpa upaya, para orangtua yang ada di desa
pembahasan mengenai agenda yang disepakati barulah mas-
berkebun. Dg. Impa bercerita soal ketersediaan aliran listrik
rata-rata umur 40 – 70 tahun, dari 37 kepala keluarga rata-ra-
sudah berusaha untuk memberitahu dan mengajak para
ing-masing dari tiap kelompok turun untuk observasi. Observasi
yang baru diberikan oleh pemerintah pada tahun 2016, pada-
ta perkepala keluarga memiliki 2-3 anak baik laki-laki maupun
anak-anaknya untuk ikut merawat dan memanen padi
dilakukan pada malam hari dengan mengunjungi rumah-rumah
hal warga sekitar sudah beberapa kali melayangkan rekomen-
perempuan; dengan total 30 anak laki-laki dan 30 perempuan
tetapi si anak tetap saja enggan untuk ikut.
26
harinya
dengan
suasana
dingin
yang
27
ALAT BERTANI
l a n o i s i d a r T (Eka Wahyuni Pratiwi)
Di zaman modern ini, banyak petani yang
bil rumput dan talinya yang dipakai
sudah menggunakan alat modern mulai
untuk mengikat rumput tersebut. Untuk
dari menanam, membajak, serta memanen.
mencabut rumput yang mengganggu ta-
Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa
naman, warga menggunakan Sangko.
masih ada sebagian petani menggunakan
Untuk memotong bambu dan kayu, war-
alat-alat tradisioanl demi mendapatkan ha-
ga biasa menggunakan Berang, yang
sil yang memuaskan ataupun untuk mem-
biasa dikenal sebagai Parang. Saat
pertahankan budaya mereka.
musim panen tiba, warga memotong
Di Lengkese’ misalnya. Sebagian besar
padi dengan Sangki untuk memotong
mata pencaharian warga adalah bertani
keseluruhan padi, dan untuk memotong
menggunakan alat-alat tradisional. Mulai
tangkai padi, para petani menggunakan
dari proses penanaman sampai dengan
Pakatto. Saat selesai panen, padi dio-
panen mereka masih menggunakan alat
lah menjadi beras menggunakan mesin
alat yang sederhana. Saat musim mena-
penggiling padi untuk cara yang praktis.
nam misalnya, para
Tetapi untuk padi yang muda dan tidak
petani menggunakan Pakekke dan Bingkung
bisa di digiling, maka petani menggu-
untuk menggali tanah serta membajak
nakan Assung. Assung juga bisa digu-
sawah. Sedangkan untuk memberi makan
nakan untuk menumbuk kopi.
hewan ternak, ada Kandao untuk mengam-
28
29 29
Limpahan Panen Tomat (Imam Akhmad Arafah)
Panas terik sinar matahari secara perlahan mulai menunjukkan sinarnya. Sebuah ember mulai penuh berisikan tomat, dan ember yang lain pun juga demikian hingga ada yang melebihi kapasitasnya. Satu per satu tomat di cabut dari batangnya, dengan teliti para petani memilih kualitas yang terbaik dari hasil panen mereka untuk di bawa ke kota dan di jual. Menurut Annisa Hardjanti, tomat memiliki empat gradasi warna yang menandakan kematangan buah tersebut. Jika tomat masih berwarna hijau, maka buah itu jauh dari kondisi matang dan belum bisa dipetik. Ketika tomat mulai berwarna hijau muda, hijau kekuningan, hingga merah, maka buah tersebut akan mulai siap untuk dipanen. Awalnya, bibit tomat dibeli di Gowa dan di bawa kembali ke Desa Lengkese. Lalu para petani mulai menanam bibit tersebut, di hari lain para petani kembali ke lahannya untuk memeriksa bagaimana perkembangan tomat mereka dan terkadang para petani juga mengusir hama bila mereka menemukan hama yang berada di lahannya. Hingga musim panen telah tiba para petani mulai turun kembali ke lahannya untuk memeriksa bagaimana hasil panen mereka, kebanyakan ada yang tersenyum melihat rata-rata panen mereka sukses dan terkadang ada juga yang sedih melihat hasil panen yang kurang memuaskan. Perbincangan kami cukup singkat tapi cukup berkesan. Karena mengetahui asal kami yang jauh dari Desa Lengkese, mereka memberikan kami sedikit oleh-oleh yaitu beberapa 30
buah tomat yang cukup matang.
31
A k ti vi ta s P er em p u an -P er em p u an d i K ak i L an g it (Wilda Yanti Salam)
Perempuan dan tanah Lengkese' adalah manifestasi kesederhanaan Tuhan yang indah. Tanah yang bertempat di kaki Gunung Bulu' Bawakaraeng sekaligus desa yang menjadi jalan dan persinggahan bagi orang-orang yang telah dan akan menuju Danau Tanralili. Tanah yang ditumbuhi makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia yakni padi, menjadikan warga Lengkese' bekerja sebagai petani sawah sejak dulu. Menariknya, Di tanah Lengkese' aktivitas bertani banyak dilakukan oleh perempuan, utamanya perempuan-perempuan yang sudah berumah tangga. Perempuan "wonder"- saya senang menyebut mereka demikian. Bukan hanya pandai meracik berbagai tumbuhan dan ternak menjadi masakan khas beraroma kayu bakar, perempuan Lengkese' juga mahir bertani. Berdasarkan cerita dari beberapa warga di sana, tanah Lengkese' banyak memberi ruang kepada perempuan, bukan hanya persoalan dapur tapi juga persoalan mengelola persawahan yang menjadi mayoritas sumber penghidupan masyarakat di Lengkese'. Di Lengkese', perempuanlah yang berkesempatan menanam bibit padi, mengelola, dan merawat padi dan sawah yang telah ditanami. Mereka turut membantu kaum adam Lengkese' memanen padi, mengeringkan padi yang telah berubah bentuk menjadi beras, menumbuk padi muda menjadi parilolo yang enak dimakan sembari mendengar beberapa perempuan "wonder" menumbuk assung dengan allu' yang menghasilkan irama penuh semangat layaknya suppporter bola, menapis beras sambil memanaskan air panas untuk menyeduh kopi, sampai menghidangkan nasi putih ditambah ikan kering dan sayur dedauan yang membuat perut serasa belum diisi selama sewindu. Semua dilakukan perempuan tanah Lengkese' dengan senyuman. Senyum yang mampu menghangatkan tubuh-tubuh kami yang kedinginan di tengah kabut yang sisa sejengkal menggapai kepala. Empat perempuan yang ada di foto tersebut adalah Mama Nia, Mama Midah, Mama Palling dan Nenek Tanning. Warga lokal tanah Lengkese' adalah bidadari-bidadari Tuhan di kaki langit Gunung Bawakaraeng.
32
33
i g r Pe dan i l a b Kem (Tyta Agusti)
Aku duduk dalam ketermenungan Menatapi sebuah deretan waktu yang telah berlalu Aku menunggu dan terus menunggu Namun nyatanya hal itu hanya sia-sia Aku berjalan dalam keheningan Meratapi sebuah fatamorgana yang tak pernah lekang Sehingga aku berusaha mencapai dengan kesenandungan Namun sama halnya , aku tak mampu mencapainya Tak perlu lagi menelah, akan sebab Walau tak seperti lagi cahaya mentari di ufuk barat Setidaknya aku kembali ke tempatku (Ninda Amalia Syahbani) 34
35
36
Green Communication Club