Majalah Baruga Edisi 27

Page 1

Edisi

27 ISSN: 1035-0776 Laporan Utama

Budaya

Opini

Technoside

Konstruksi Media dalam Peliputan Bencana

Melihat Smong dan Kearifan Lokal Indonesia Sebagai Pengetahuan Mitigasi Bencana

Gempa Diri

Google ATAP, Teknologi yang Merubah Interaksi Manusia



SALAM REDAKSI Amalia Fildzah Adhani, Pemimpin Redaksi Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayahNya. Menulis adalah upaya untuk menuangkan gagasan kepada pembaca dengan menyertakan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Kemampuan yang didedikasikan untuk membantu memahamat peradaban. Pramoedya Ananta Toer pernah berkata bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Hal inilah yang turut serta mengantarkan Majalah Baruga Edisi 27 untuk terbit sebagai wadah untuk mengabadikan gagasan. Pada edisi kali ini kami menyapa pembaca dengan liputan mengenai jurnalistik bencana. Tim redaksi melihat hari ini bencana dipandang sebagai sebatas komoditas dalam proses peliputannya. Sebagai negara yang berada dalam kondisi rentan akan hal tersebut, aktivitas jurnalistik sebaiknya mengedepankan perspektif mitigasi dan mengawal fase rekonstruksi dan rehabilitasi.

Penanggung Jawab Taufik Syahrandi

Redaktur Foto Imam Ahmad Arafah

Pemimpin Redaksi Amalia Fildzah Adhani

Fotografer Kifo Kosmik

Redaktur Pelaksana Miftahul Jannah

Tata Letak Ninda Amalia Syahbani Muhammad Ihlasul A. Rachmat Hidayat

Sekretaris Redaksi Andy Marko Editor Nurul Muthia Amin Koordinator Liputan Laksmi Nurul Suci Reporter Wildan Maulana Jawahirus Saniah Ulfah Ainun Humaira Teguh Ardiansyah S. Jabal Rachmat H. Annisa Desti Rizkia Muhaimin Syadzali Agustina Zakaria Kartika Nursyahbani Dita Asshari Andi Ainun Fathira Muhammad Haeril Feby Ardiatri P.

Ilustrator Rachmat Hidayat Alhamdani Pratama Annysa Nur Agafanthy Khairil Amri Muh. Yahya Alkautsar Ninda Amalia Syahbani Manajer Iklan Rudi Salam Pembantu Umum Seluruh Warga Kosmik

Tidak hanya itu, Majalah Baruga juga hadir menyapa pembaca melihat perjalanan nahkoda baru Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Hasanuddin terhadap penolakan dan dualisme pergerakan mahasiswa. Kami juga menyuguhkan berbagai artikel lainnya yang menarik untuk disimak. Akhir kata, segenap tim redaksi mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung Majalah Baruga. Terima kasih sedalam-dalamnya kepada seluruh warga Kosmik yang senantiasa memberikan saran dan kritik terhadap proses belajar dan berkarya untuk tim redaksi. Semoga ide dan gagasan yang tertuang dalam tiap-tiap halaman dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Selamat membaca. Salam biru merah. Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Penerbit Desain Sampul Rachmat Hidayat Alamat Redaksi Pusat Lembaga Kemahasiswaan FISIP Unhas Jln. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Email baruga@kosmik.org

3

| Edisi 27 Tahun 2020


EDITORIAL Sepanjang Tahun 2018 tercatat terdapat tiga bencana alam besar yang melanda Indonesia. Ada gempa lombok yang diakibatkan pergeseran Sesar Naik Flores. Kemudian lilkuefaksi, gempa dan tsunami yang melanda Sulawesi Tengah. Serta letusan gunung Anak Krakatu di penghujung tahun yang mengakibatkan Tsunami Selat Sunda, Banten, dan Lampung. Kemudian pada awal Tahun 2019, Sulawesi Selatan dilanda banjir bandang yang berdampak pada 13 kota dan kabupaten. Baru-baru ini kita kembali dihebohkan dengan banjir yang melanda DKI Jakarta. Indonesia dengan kondisinya sebagai negara rentan bencana ini dijelaskan dalam Buku Sudibyakto berjudul Menuju Masyarakat Tangguh Bencana: Tinjauan dari Fenomena Multibencana di Indonesia (2012). Hal ini menjadi perbincangan melihat bagaimana media Indonesia meliput fenomena bencana dalam negeri. Bencana sebagai sebuah peristiwa seyogianya memenuhi beberapa nilai-nilai jurnalistik seperti magnitude, impact, timeliness, dan sebagainya sehingga peliputan bencana menjadi kebutuhan baik bagi penyintas maupun masyarakat pada umumnya.

Peliputan bencana di Indonesia sayangnya menyikapi peristiwa ini hanya sekadar komoditas ketimbang berfokus pada tujuannya untuk memberi informasi kepada publik. Ahmad Arif dalam Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme (2010) melihat akar masalahnya berasal dari cara pandang media yang memberlakukan korban sebagai komoditas belaka. Dengan sudut pandang ini, berita buruk merupakan berita baik bagi mereka. Padahal melihat status negara Indonesia, sudah sepatutnya media lebih menaruh perhatian kepada informasi terkait mitigasi bencana. Selain itu, ia juga punya akses lebih dalam melakukan kontak kepada petinggi dan pihak-pihak khusus serta keleluasaan dalam menyentuh dokumen. Ini sangat dibutuhkan dalam pemberitaan pascabencana untuk mengawal keberlangsungan proses rekonstruksi dan rehabilitasi. Melihat kondisi Indonesia sebagai negara rentan bencana, bagaimanakah seharusnya bentuk peliputan itu disuguhkan? Kerja jurnalisme yang mulia sebagai perpanjangan publik tentulah perlu memperhatikan keberpihakannya dalam menyuguhkan realitas.

Redaksi

4

| Edisi 27 Tahun 2020


Barug Content

Ilustrasi oleh Rachmat Hidayat

06-10 Laporan Utama Konstruksi Media dalam Peliuputan Bencana 11-14 Liputan Khusus Upaya Konsolidasi Nahkoda Baru BEM UH Terhadap Penolakan dan Dualisme Gerakan Mahasiswa 16-17 Lifestyle Zero Waste, Gerakan Menyelamatkan Bumi 18-19 Budaya Melihat Smong dan Kearifan Lokal Indonesia sebagai Pengetahuan Mitigasi Bencana 20-22 Tokoh Menyuarakan Gerak Feminis ke Ranah Kampus 23-28 Opini Gempa Diri

32-35

Cerpen Matahari yang Bisu dan Bintang yang Buta

38-39 Lingkungan Ada Apa dengan Perspektif Lingkungan? 40-41 Technoside Google ATAP, Teknologi yang Mengubah Interaksi Manusia 42-43 Budaya Dari Kedermawanan dan Kerelawanan untuk Kemanusiaan dan Peradaban Dunia 46

Resensi Film Rayuan Pulau Palsu: Reklamasi untuk Siapa?

47 Resensi Buku Pulang: Suara Kegelisahan Anak Bangsa 48-49

Puisi

50-51

Kaleidoskop

30-31 Opini Destinasi Sejarah dan Sisi Lain Pembangunan Lingkungan

5

| Edisi 27 Tahun 2020



KONSTRUKSI MEDIA DALAM PELIPUTAN BENCANA Teks Oleh: Amalia Fildzah Adhani, dkk. Ilustrasi Oleh: Rachmat Hidayat

Mengeruk perasaan keluarga penyitas, mengesampingkan perihal proses penyembuhan trauma yang panjang – media seakan kehilangan empati dalam menjalankan tugas mulianya sebagai penghubung publik dalam mengolah dan menyebarkan informasi. Tragedi dibingkai sedemikian rupa dengan melakukan objektivikasi pada penyintas perempuan dengan mengeksploitasi latar belakang kehidupan pribadinya. Belum lagi bumbu-bumbu mistis dalam pemberitaan yang justru menyudutkan penyintas, seperti tuduhan kutukan malapetaka kepada masyarakat setempat. Beberapa bencana yang akhir-akhir ini melanda Indonesia memberi ruang lebih besar terhadap media dalam menyajikan informasi. Lalu bagaimanakah seharusnya bentuk peliputan terhadap bencana tersebut disuguhkan?

7

| Edisi 27 Tahun 2020


Laporan Utama

Indonesia Negara Rentan Bencana Sudibyakto dalam Menuju Masyarakat Tangguh Bencana: Tinjauan dari Fenomena Multibencana di Indonesia (2012) menjelaskan bagaimana Indonesia berdiri sebagai negara yang berada dalam kondisi rentan bencana. Dari aspek geologis, kepulauan Indonesia termasuk dalam wilayah Pacific Ring of Fire (Deretan Gunung Berapi Pasifik), yang bentuknya melengkung dari Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, hingga Sulawesi Utara. Selain itu, Indonesia juga terletak di pertemuan dua lempeng tektonik dunia dan dipengaruhi oleh tiga gerakan, yaitu Gerakan Sistem Sunda di bagian barat, Gerakan Sistem Pinggiran Asia Timur dan Gerakan Sirkum Australia. Faktor geologis tersebut menyebabkan Indonesia rentan terhadap letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami. Dari aspek iklim, sebagai negara tropis, Indonesia memiliki kerentanan tinggi karena ancaman banjir, tanah longsor, dan wabah penyakit.

budaya, etnis serta agama. Di satu sisi hal ini merupakan keuntungan namun juga dapat menjadi bencana sosial apabila tidak dikelola dan dirawat dengan baik. Bencana sosial menurut UndangUndang Nomor 24 Tahun 2007 adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat dan teror. Rentannya Indonesia terhadap bencana sosial bisa dilihat dari serentetan konflik dan aksi yang kian terjadi. Pada 2018 silam sendiri terjadi peristiwa pengeboman di beberapa titik di Jawa Timur yang kemudian menambah daftar panjang aksi terorisme di Indonesia. Selain itu, menurut Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial Kemensos, tercatat ada empat bencana sosial yang terjadi sepanjang Tahun 2019. Serentetan bencana sosial tersebut merupakan kerusuhan dan konflik sosial. Media dalam Peliputan Bencana

Sepanjang tahun 2018 sendiri tercatat ada tiga bencana alam besar yang melanda Indonesia. Ada gempa Lombok yang diakibatkan pergeseran Sesar Naik Flores. Kemudian likuefaksi, gempa, dan tsunami yang melanda Sulawesi Tengah. Serta letusan gunung Anak Krakatu di penghujung tahun yang mengakibatkan Tsunami Selat Sunda, Banten, dan Lampung. Kemudian pada awal Tahun 2019, Sulawesi Selatan dilanda banjir bandang yang berdampak pada 13 kota dan kabupaten. Selain itu, baru-baru ini kita kembali dihebohkan dengan banjir yang melanda DKI Jakarta. Dijelaskan pula dari aspek demografis bahwa negara Indonesia terdiri dari beragam 8

| Edisi 27 Tahun 2020

Bencana sebagai sebuah peristiwa memenuhi beberapa nilai-nilai jurnalistik seperti magnitude, impact, timeliness, dan sebagainya sehingga peliputan bencana menjadi kebutuhan baik bagi penyintas maupun masyarakat pada umumnya. Hal ini dibenarkan oleh salah satu keluarga dari penyintas bencana alam gempa, tsunami dan likuefaksi, Annysa Nur Agafanty. Ia mengatakan saat terjadi bencana alam, koneksi dengan keluarga terputus dan media menjadi satu-satunya tempat untuk mendapatkan informasi terbaru. Kebutuhankebutuhan seperti inilah yang menggerakkan efektivitas performa liputan bencana. Salah satu netizen, Tenriana Nur Qalby menyetujui betapa cepatnya

kebutuhan dalam mengakses berita bencana, khususnya melalui media online. Peliputan bencana sendiri, khususnya di Indonesia, apabila dilihat dari kacamata seorang Pengamat Media Roy Thaniago ialah peliputan yang berfokus pada upaya memberikan informasi terhadap keadaan atau kondisi keluarga juga berupa lokasi dalam hal distribusi bantuan, memantau kerja pemerintah dan sektor lainnya. Ia menekankan bahwa peran media di sini adalah memberikan informasi berupa fakta kepada publik tapi dengan catatan semuanya kembali lagi kepada tujuan mendasar media itu sendiri. Ada beberapa media yang melihat peristiwa sekadar komoditas ketimbang berfokus pada tujuannya untuk memberi informasi kepada publik. “Hanya yang sering jadi masalah, banyak media alih-alih memberitakan isu atau konteks yang tadi malah memilih mengambil hal-hal yang bersifat drama. Drama di seputar bencana itu seperti membahas keluarga yang terdampak lalu berpisah atau misalnya tentang seorang ibu yang memiliki firasat terhadap adanya bencana. Artinya memang sebenarnya dalam banyak isu, bukan hanya bencana tapi media melihat peristiwa itu lebih sekadar komoditas ketimbang to inform citizen,� ungkap Roy Thaniago. Melihat peristiwa sebagai komoditas akan menuntut media untuk mempelajari seperti apa pola yang lebih diminati oleh publik. Hal ini kemudian melahirkan berita dengan kemasan yang bersifat drama. Walaupun sebenarnya sifat drama ini adalah representasi dari peliputan yang lebih berfokus pada sisi human interest – manusia sebagai makhluk emosional akan cenderung merasa terikat terhadap pemberitaan yang menyentuh sisi kemanusiaannya. Namun tanpa diimbangi dengan fakta yang tujuannya untuk memberikan informasi, fokus pemberitaan


Laporan Utama

akan sangat mudah bergeser menjadi perhatian publik alih-alih kepentingan publik. Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Makassar Drs. Khaeruddin M.Si. yang berada langsung di lokasi bencana alam, menyaksikan bagaimana media meliput suatu daerah yang bahkan jarang terjamah oleh perhatian masyarakat. “Hal ini di satu sisi tentu saja dapat membantu proses evakuasi serta saluran donasi yang sekiranya sangat dibutuhkan oleh korban,” ujar Drs. Khaeruddin M.Si. Senada dengan penuturan Drs. Khaeruddin M.Si., salah satu relawan bencana alam gempa Palu 2018 Afifah Nurfadhilah yang sempat berada di lokasi dan berinteraksi langsung dengan beberapa wartawan berpendapat bahwa bentuk liputan ini adalah salah satu cara melahirkan rasa empati, baik kepada para penyintas maupun publik kepada penyintas itu sendiri. Namun Afifah menambahkan, “Untuk menjaga terjadinya eksploitasi korban atau kemungkinan dramatisasi berita, media tetap perlu menjaga privasi korban. Meskipun telah ada persetujuan satu sama lain, sepatutnya beberapa hal kembali lagi kepada etika jurnalistik dalam peliputan.” Komodifikasi Bencana Kecenderungan media untuk mengejar komoditas dalam peliputan bencana melahirkan istilah komodifikasi bencana

dalam studi jurnalisme. Ahmad Arif dalam Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme (2010) melihat akar masalahnya berasal dari cara pandang media yang memberlakukan korban sebagai komoditas belaka. Dengan sudut pandang ini, berita buruk merupakan berita baik bagi mereka. Melihat berita sebagai produk jual berasal dari tolak ukur rating dalam dunia penyiaran, klik untuk media online dan tingkat keterbacaan bagi media cetak. Upaya yang ditempuh untuk mencapai target ini kemudian bermacam-macam, salah satunya adalah dengan mengeruk perasaan keluarga penyintas dan mengesampingkan perihal proses penyembuhan trauma di baliknya. Masih dalam Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme (2010), Ahmad Arif mengatakan telah sering menjumpai siaran televisi di mana reporternya mencecar korban dengan pertanyaan-pertanyaan yang justru membuat keadaan psikologisnya semakin terganggu. Ia bahkan mencatat berondongan pertanyaan reporter televisi kepada seorang bapak yang anaknya terjebak dalam bangunan rubuh sekolah akibat gempa Sumatera Barat, akhir September 2009. Media dalam peliputan bencana perlu mengindahkan proses penyembuhan trauma dari penyintas sebagai narasumber beritanya. Pemberitaan televisi tentang peristiwa traumatis sendiri mempunyai efek permanen dalam jangka panjang. Hal ini juga telah diatur dalam Peraturan KPI

tentang Standar Program Siaran (SPS) Bagiaan Keenam Peliputan Bencana Pasal 49 yang berbunyi “Program siaran jurnalistik tentang peliputan bencana atau musibah wajib mempertimbangkan proses pemulihan korban, keluarga dan/ atau masyarakat yang terkena bencana atau musibah.” Tidak hanya itu, bingkai peliputan bencana juga sampai pada tindakan objektivikasi penyintas. Firman dan Wisnu dalam tulisannya di Remotivi yang berjudul Peliputan Lion Air: “Human Interest” yang Tak Humanis mengatakan, “Sejak Senin 29 Oktober, hanya beberapa jam setelah berita mengenai kecelakaan pesawat Lion Air, Tribunnews.com mempublikasikan setidaknya 20 berita mengenai pramugari Lion Air yang berada di pesawat tersebut. Berita-berita tersebut adalah berita daur ulang dari postingan-postingan media sosial pramugari Lion Air. Tribun Timur malah mempublikasikan foto-foto dari akun Instagram salah seorang pramugari. Tidak lupa, dari sebagian besar berita tentang pramugari tersebut, selalu ada embel-embel ‘pramugari cantik’. Bukannya berfokus pada aspek pengalaman manusiawi, representasi ini malah mengobjektivikasi korban.” Selain itu beberapa media dalam peliputan bencana juga tidak keberatan melahirkan berita dengan asumsi kutukan malapetaka yang dinilai disebabkan oleh para pendosa. Salah satu penyintas bencana alam Palu 2018, Raihan

Walaupun sebenarnya sifat drama ini adalah representasi dari peliputan yang lebih berfokus pada sisi human interest – manusia sebagai makhluk emosional akan cenderung merasa terikat terhadap pemberitaan yang menyentuh sisi kemanusiaannya. Namun tanpa diimbangi dengan fakta yang tujuannya untuk memberikan informasi, fokus pemberitaan akan sangat mudah bergeser menjadi perhatian publik alih-alih kepentingan publik.

9

| Edisi 27 Tahun 2020


Laporan Utama

Aulia mengaku kecewa dengan pemberitaan yang seolah menyalahkan dan menyudutkan masyarakat setempat. “Sebenarnya media sudah melakukan tugasnya dengan baik dalam memberitakan bencana Palu 2018, khususnya dari segi kesigapan. Namun saya cukup dikagetkan dengan ramainya berita di media yang mengatakan Palu terkena bencana karena azab.” Media juga seharusnya dapat menjadi perpanjangan tangan publik dan tempat aman untuk para penyintas berbagi ingatan. “Alih-alih berfokus pada bantuan, media sibuk mengangkat tindakan penjarahan yang dilakukan masyarakat, yang mengatakan kami tidak beradab. Bahkan sempat beredar tagar #stopbantupalu. Kita korban bencana menjadi sedih melihatnya,” tutur Raihan Aulia. Mengedukasi serta Mengawal Rekonstruksi dan Rehabilitasi Kemampuan media dalam hal “mengakses” perlu digunakan sebaik mungkin. Akses-akses yang dimaksud adalah kekuatan untuk melakukan kontak kepada petinggi dan pihak-pihak khusus serta keleluasaan dalam menyentuh dokumen. “Fokus saja bahwa media itu business of access. Mereka harus mengelola privilege itu untuk benar-benar melayani yang dibutuhkan. Bukan kemudian fokus pada masalah yang tidak dibutuhkan dalam informasi bencana. Kalau media akhirnya fokus kepada sekadar mencari laba dan mengekspoitasi tragedi maka semakin lama wartawan akan kehilangan harga tentang pekerjaannya. Saya pikir kembali saja bagaimana business of access itu bisa dikelola dengan baik. Dan akseslah informasi yang berguna dalam menanggulangi atau membantu orang dalam lokasi bencana. Bukan mengeksploitasi berita yang membuat kita semakin sedih,” jelas Roy Thaniago. Namun Roy menambahkan bahwa tidak semua media sekadar berfokus mengejar laba dan mengeksploitasi tragedi. Beberapa ada yang tetap menggunakan teknik-teknik dalam jurnalistik data. Mereka tidak hanya fokus dalam liputan lapangan, misalnya Beritagar dari Tirto yang menggunakan bidik data. Saat media sedang ramai meliput kecelakaan pesawat Lion Air Jt 610, kedua platform ini mengemas informasi dengan merekam perjalanan kecelakaan pesawat itu dalam 48 jam terakhir, seperti detail waktu dan performa. Menurutnya metode itu bagus dan segar. Selain dengan menyajikan berita menggunakan teknik-teknik dalam jurnalistik data, sebagai negara rentan bencana, sudah sepatutnya media lebih menaruh perhatian kepada informasi terkait mitigasi bencana. Pemberitaan sejenis ini bisa dimulai dari 10

| Edisi 27 Tahun 2020

tahapan prabencana. Tahapan yang bisa dilakukan dengan menghimbau masyarakat agar waspada dan siap siaga. Selanjutnya ada pemberitaan bencana yang bisa difokuskan untuk memberitakan korban selamat, atau setidaknya media bisa membangkitkan semangat penyintas. Pemberitaan yang berfokus pada informasi-informasi kemungkinan terjadinya bencana susulan dan himbauan mengenai korban terentan seperti anak-anak dan wanita dapat membantu memastikan keamanan penyintas ke depannya alihalih menitikberatkan pada eksploitasi penderitaan dan kehidupan pribadinya. Setelah pemberitaan bencana, ada fase pemberitaan pascabencana. Pemberitaan ini lebih kepada mengawal keberlangsungan proses rekonstruksi dan rehabilitasi. Menurut Roy Thaniago, di sini peran media tidak sebatas mengedukasi namun juga memantau kekuasaan bekerja, misalnya memastikan penyaluran bantuan, dll. “Di sinilah peran media untuk menjadikan kekuasaan itu transparan dalam konteks anggaran bencana ataupun pihak-pihak tertentu yang diberi kepercayaan untuk menangani bantuan bencana. Bagaimana pelaksanaan dan pengelolaannya,” ungkapnya. Media dalam peliputan bencana diharapkan mampu mengutamakan peran idealnya sebagai perpanjangan tangan publik. Dengan penelitian ilmiah dan kajian sosial yang menggolongkan Indonesia rentan bencana, sudah seharusnya menjadi tujuan utama bagi media untuk meliput menggunakan perspektif mitigasi dan mengawal fase rekonstruksi. Bukannya tidak bisa sama sekali membingkai tragedi dengan lebih mengangkat sisi human interest, namun sebaiknya hal ini tetap memperhatikan proses pemulihan trauma dari penyintas dan memberikan ruang aman bagi mereka untuk berbagi ingatan.


Liputan Khusus

UPAYA KONSOLIDASI NAHKODA BARU BEM UH TERHADAP PENOLAKAN DAN DUALISME PERGERAKAN MAHASISWA Teks Oleh: Taufik Syahrandi, dkk Foto Oleh: Asry Badawi

11

| Edisi 27 Tahun 2020


Liputan Khusus

Isu Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Hasanuddin (BEM UH) telah menjadi perbincangan semenjak Unhas menyandang status Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN BH). Hingga kini BEM UH seakan masih menjadi perdebatan yang tak kunjung menemukan titik terang. Terpilihnya Abd. Fatir Kasim sebagai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) Periode 2019/2020 beberapa bulan lalu menjadi puncak dari polemik. Isu tersebut santer dibicarakan kembali setelah munculnya sosok pemegang jabatan tertinggi di tingkat mahasiswa Unhas ini yang terakhir dinahkodai Arham tahun 2006 silam.

F

atir terpilih secara resmi pada Musyawarah Mahasiswa, Rabu (7/8/2019) bertempat di Wisma Perum Bulog, Malino, Gowa. Musyawarah ini berlangsung selama satu hari dengan diikuti oleh delegasi dari lembaga tingkat fakultas yang menyetujui terbentuknya BEM UH. Fatir terpilih setelah mengalahkan pesaingnya Aryangga Pratama, Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat. Fatir memperoleh 28 dari total 40 suara sah dan langsung ditetapkan menjadi Presiden BEM UH Periode 2019/2020. Sehari setelah terpilih, Fatir melakukan pidato pertamanya di atas mimbar di hadapan ribuan mahasiswa baru pada Upacara Penerimaan dan Pengembangan Karakter Mahasiswa Baru (P2KMB) tahun 2019 di Gelanggang Olahraga (GOR) Unhas. Dalam kesempatannya, Mahasiswa Teknik Industri angkatan 2014 tersebut menyampaikan bahwa lahirnya lembaga mahasiswa tingkat Unhas adalah sebagai mitra kritis bukan sebagai mitra strategis kemahasiswaan. Ungkapan tersebut hadir sebagai bentuk klarifikasi atas pernyataan Wakil Rektor III, Prof. Dr. drg A. Arsunan Arsin M.Kes. pada sambutan sebelumnnya yang menyatakan bahwa Presiden BEM UH akan menjadi mitra strategis dengan kemahasiswaan Unhas. Riuhnya penerimaan mahasiswa baru disambut berbeda oleh beberapa mahasiswa. Di sudut kampus yang lain, ratusan mahasiswa dengan setelan almamater Unhas melakukan aksi damai terkait penolakan terhadap

12

| Edisi 27 Tahun 2020

PTN BH dan Peraturan Rektor tentang Organisasi Kemahasiswaan (PR Ormawa) yang di dalamnya termasuk penolakan terhadap terbentuknya BEM UH. Aksi tersebut diwarnai dengan pembagian selebaran. Selebaran yang dibagikan merupakan bentuk protes terhadap kebijakan PR Ormawa sekaligus sebagai transmisi wacana kepada mahasiswa baru. Massa aksi merupakan mahasiswa dari lembagalembaga yang menolak PR Ormawa. Mereka tergabung dalam Federasi Mahasiswa, yakni wadah pergerakan alternatif pasca bubarnya Aliansi Unhas Bersatu. Wadah ini bergerak dalam mengawal isu-isu kampus yang berkembang semenjak mencuatnya isu Unhas sebagai PTN BH. Keesokan harinya pada rangkaian P2KMB Tingkat Fakultas, aksi penolakan kembali terjadi di sekitaran Gedung A. P. Pettarani. Mahasiswa yang berasal dari Lembaga Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) membentangkan spanduk selamat datang kepada mahasiswa baru pada sisi selatan gedung. Selain itu, mahasiswa membagikan selebaran yang sama pada hari sebelumnya sebagai bentuk protes sekaligus penyebaran wacana kepada mahasiswa baru lingkup FISIP Unhas. Tak berbeda jauh dari aksi sebelumnya, mahasiswa baru dihimbau langsung oleh Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kemitraan, Dr. Hasrullah, MA untuk tidak mempercayai narasi yang dibangun dalam selebaran yang mereka terima. Meski demikian, aksi berlangsung secara kondusif hingga

acara penyambutan selesai. Mahasiswa baru membubarkan diri dan dihimbau untuk segera meninggalkan kampus selepas acara selesai. Gesekan yang kerap terjadi antara birokrasi kampus dengan pihak mahasiswa menghasilkan konfrontasi yang tak terelakkan. Mulai dari ditetapkannya PR Ormawa yang dianggap bermasalah oleh mahasiswa, termasuk di dalamnya terbentuknya BEM-UH. Kemudian dibekukannya beberapa lembaga yang tidak pro PR Ormawa hingga tindakan represif pihak keamanan kampus pada aksi unjuk rasa yang digelar saat penerimaan mahasiswa baru. Semua ini kian menciptakan rasa antipati mahasiswa terhadap birokrasi kampus. Mereka tetap menunjukkan sikapsikap resistansi untuk tidak menerima PR Ormawa dan tidak mengakui BEM UH meski dihadapkan dengan resiko terkendalanya operasional organisasi. Tidak menerima PR Ormawa berarti dianggap ilegal oleh pihak kampus. Lembaga-lembaga tersebut semakin sering melakukan konsolidasi, kampanye media, serta mempublikasikan rilis pers terhadap sikap yang mereka gencarkan sebagai bentuk penolakan. Meski menerima banyak penolakan oleh beberapa lembaga, Ketua BEM UH menyampaikan tetap akan berupaya melakukan pendekatan persuasif kepada lembaga-lembaga tersebut, “Baik yang sepakat maupun yang menolak tetap menjadi tanggungan kami,� ungkapnya kepada Tim Kosmik


Liputan Khusus

TV saat diwawancarai dalam liputan Campus Corner. Fatir kerap melakukan diskusi kepada lembaga-lembaga yang menolak keberadaannya sebagai upaya untuk menyamakan persepsi terhadap BEM UH yang baru terbentuk. Ia berpendapat BEM UH ini lahir berdasarkan kebutuhan mahasiswa sebagai wadah pergerakan di lingkup Unhas. Menurutnya, pergerakan yang sebelumnya dilakukan mahasiswa dinilai tidak konstruktif dan progresif serta kerap memunculkan perdebatan. “Pergerakan yang selama ini terjadi tidak lagi konstruktif dan progresif contohnya hal-hal yang seharusnya tidak lagi diperdebatkan, kemudian diperdebatkan kembali,� ucapnya.

menarik simpati mereka. Adapun dalam penulisan rilis pers tersebut dinilai terdapat banyak kekeliruan di dalamnya. Seperti yang dilakukan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Menulis Keluarga Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (KMFIB). UKM ini mempublikasikan sebuah esai dimana di dalamnya terdapat revisi-revisi terhadap penulisan rilis BEM UH yang diunggah pada 17 Agustus 2019 melalui akun Instagram mereka.

Berbagai upaya turut dilakukan BEM UH sebagai lembaga mahasiswa tingkat universitas dalam keikutsertaannya mengawal isu kampus. Pada 16 Agustus 2019, BEM-UH mengeluarkan rilis pers yang dipublikasikan melalui akun media sosial. Rilis tersebut juga merupakan penegasan bahwa BEM UH tetap mendukung lembagalembaga yang menolak keberadaan mereka. Dalam rilis pers tersebut, BEM UH menyayangkan tindakan yang dilakukan pihak dekan yang melakukan pembekuan terhadap beberapa lembaga. Keputusan pembekuan tersebut dinilai tidak menjalankan asas Rule of Law serta cacat prosedural dalam penetapannya. Maka dari itu, BEM UH menegaskan agar pihak dekan segera mencabut keputusan yang telah dikeluarkannya dan akan mengambil langkah advokasi kepada pihak dekan apabila hal tersebut tidak diindahkan dan segera meninjau hak prerogatif, cacat prosedural yang dominan otoriter dilakukan oleh tiga dekan dari FISIP, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, dan Fakultas Kehutanan.

Pro dan kontra lembaga-lembaga mahasiswa terhadap PR Ormawa dan BEM UH berujung pada dualisme pergerakan mahasiswa dalam mengawal isu-isu. Dualisme ini terlihat pada gerakan yang dilakukan BEM UH dan Federasi Mahasiswa. BEM UH pun seperti belum bisa menjadi inisiator aksi akibat keberadaannya masih ditolak oleh lima lembaga mahasiswa tingkat fakultas. Sebut saja aksi yang dilakukan oleh ratusan mahasiswa yang mengatasnamakan Solidaritas Mahasiswa Unhas. Aksi ini berpusat di Gedung Rektorat Unhas pada Selasa (3/9/2019). Meski Ketua BEM UH telah terpilih, aksi ini tidak diinisiasi oleh BEM UH. Aksi ini melibatkan seluruh mahasiswa Unhas tanpa mengatasnamakan lembaga mahasiswa baik BEM UH maupun Federasi Mahasiswa. Sebelum aksi dilaksanakan, proses konsolidasi yang dilakukan mahasiswa menuai banyak perdebatan di dalamnya. Bahkan berujung pada Fakultas Teknik mengundurkan diri dari Solidaritas Mahasiswa yang menilai langkah yang diambil Solidaritas Mahasiswa dirasa tidak efektif. Sikap ini dikeluarkan oleh beberapa delegasi mahasiswa Fakultas Teknik yang hadir pada konsolodasi yang dilakukan di Taman Lema FISIP Unhas.

Tidak membutuhkan waktu lama, rilis pers BEM UH menjadi perbincangan termasuk di media-media sosial. Lagilagi beberapa lembaga menolak tidak memberikan respon baik terhadap rilis yang dikeluarkan BEM UH. Sikap yang dilakukan oleh lembaga ini justru dianggap sebagai upaya-upaya dalam

Masih pada bulan September, disaat isu kampus dan internal gerakan mahasiswa belum juga menemukan titik terang, isu Rancangan Undangundang (RUU) hadir dan menjadi perbincangan mahasiswa se-Indonesia. Isu ini juga menjadi isu yang santer di lingkup Unhas, mahasiswa, maupun

birokrasi kampus. Baik BEM UH maupun Federasi Mahaiswa, keduanya segera mengambil sikap terhadap isu RUU tersebut. Kosolidasi pun segera digalakkan oleh keduanya sebagai respon dalam mengambil sikap terhadap isu yang berkembang. Tepat pada Senin, (23/9/2019) ratusan mahasiswa Unhas menggelar aksi yang dilakukan di Pintu 1 Unhas dan memblokade ruas jalan Perintis Kemerdekaan. Mahasiwa ini tergabung dalam Aliansi Gerakan Merah Peduli Rakyat (Agraria) yang menolak RUU yang tidak pro terhadap rakyat. Aksi merupakan pra-kondisi aksi besarbesaran yang akan dilakukan Agraria bersama dengan Aliansi Masyarakat Sipil yang di dalamnya tergabung Mahasiswa se-Kota Makassar, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dan masyarakat Makassar secara umum. Di hari yang sama, BEM UH turut melakukan aksi meski tidak tergabung dalam Agraria. Aksi yang digelar BEM UH dilakukan lebih awal yakni pukul 09.00 WITA. Massa aksi BEM UH menyerukan penolakan revisi UU KPK kepada mahasiswa Unhas dengan pawai mengelilingi kampus. Berselang sehari, ratusan mahasiswa Unhas lengkap dengan almamater merah berkumpul di depan masjid kampus untuk menggelar aksi yang akan dipusatkan di depan Gedung DPRD Provinsi Sulawesi Selatan (24/9/2019). Mahasiswa yang berkumpul berasal dari dua kelompok yang berbeda yaitu BEM UH yang ditandai dengan ikat kepala berwarna putih bertuliskan “Save KPK� dan Agraria dengan tali rafia terikat di lengan mereka sebagai penanda. Baik Agraria maupun BEM UH, keduanya membawa tuntutan yang berbeda. BEM UH menuntut pemerintah terhadap revisi UU KPK sedangkan Agraria menuntut RUU tidak pro-rakyat yakni menolak RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU Ketenagakerjaan, Revisi UU KPK, RUU Pemasyarakatan, RUU Perkelapa sawitan, RUU KUHP dan mendesak disahkannya RUU PKS. Dengan itu, massa aksi mahasiswa Unhas yang melakukan long march ke 13

| Edisi 27 Tahun 2020


Liputan Khusus

Gedung DPRD Sul-sel berasal dari dua poros yang berbeda yaitu massa aksi BEM UH dan massa aksi Agraria. Dikotomi antara BEM UH dan Agraria juga mewarnai gerakan massa di titik aksi yakni di Fly Over, Jl. Urip Sumoharjo. Kedunya dikoordinir oleh Jendral Lapangan yang berbeda. Massa dari Agraria menempati posisi depan sedangkan massa dari BEM UH berada di bagian paling belakang. Dualisme ini berdampak pada tidak terkoodirnirnya massa yang berasal dari Unhas. Alhasil, beberapa mahasiswa berhasil diamankan pihak kepolisian ketika terjadi bentrokan antara kepolisian dan massa yang berusaha merangsek masuk ke depan Gedung DPRD. Aksi serupa kembali dilakukan oleh masyarakat Makassar di tempat yang sama pada Kamis (26/9/2019). Berbeda dengan aksi sebelumnya, aksi kali ini tidak diikuti oleh mahasiswa Unhas, baik dari BEM UH maupun Agraria. Ketidaksertaan mahasiswa Unhas pada aksi tersebut ditengarai oleh kurangnya persiapan mahasiswa Unhas untuk terlibat dalam aksi itu. Hal ini juga disebabkan oleh masalah-masalah yang hadir pada aksi sebelumnya seperti keterlambatan mahasiswa Unhas tiba di titik aksi, beberapa mahasiswa diamankan pihak kepolisian, serta tidak terjadinya soliditas massa aksi yang berasal dari Unhas. Selain itu, sehari sebelumnya telah terjadi pengerusakan fasilitas publik di daerah Pintu 1 Unhas oleh oknum yang tidak diketahui. Hal ini mengakibatkan Unhas dijaga ketat oleh pihak berwajib. Ketidaksertaan Unhas pada aksi yang dilaksanakan pada hari Kamis mendesak mahasiswa untuk berbenah. Dualisme gerakan mahasiswa dinilai menjadi masalah sehingga tidak terkoodinirnya massa. Maka dari itu, seluruh perwakilan lembaga mahasiswa melakukan konsolidasi di Gedung Pertemuan Ilmiah (GPI) pada Jumat (29/9/2019). Konsolidasi ini bertujuan untuk membahas posisi Unhas dalam aksi yang akan dilangsungkan esok harinya, Sabtu (30/9/2019). Konsolidasi 14

| Edisi 27 Tahun 2020

ini dihadiri oleh seluruh perwakilan lembaga tingkat fakultas, serta turut pula Ketua BEM UH dan perwakilan dari Agraria. Forum ini kemudian menghasilkan kesepakatan untuk membentuk gerakan Aliansi Mahasiswa Unhas untuk aksi pada 30 September 2019 sebagai solusi atas dualisme yang terjadi pada aksi sebelumnya. Problematika gerakan mahasiswa Unhas semenjak terbentuknya BEM UH menjadi permasalahan yang banyak disadari oleh lembaga mahasiswa. Hal ini kemudian menjadi alasan Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Unhas menggelar debat publik yang memperhadapkan Abd. Fatir Kasim selaku Ketua BEM UH dan Rachmat selaku Sekretaris Jendral (Sekjen) Federasi Mahasiswa. Debat ini bertajuk “Simpang Siur Gerakan Kemahasiswaan Unhas di Tengah Gelombang Wacana #ReformasiDikorupsi”. Ketua UKPM Andi Bambang mengatakan konsep debat publik yang dicanangkan ini menjadi wadah pertarungan wacana antara BEM UH dan Federasi Mahasiswa sehingga mahasiswa Unhas dapat melihat bagaimana wacana yang kedua belah pihak bawa dan keunggulan serta tujuan mereka. Hal ini berangkat dari kondisi Unhas saat ini yang menciptakan dualisme, yaitu kubu Federasi Mahasiswa dan kubu BEM UH yang masih menjadi isu panas dan sulit dipertemukan. “Setidaknya dari pendiskusian ini, kita bisa cari benang merahnya. Apa yang sebenarnya mempengaruhi gerakan mahasiswa Unhas dan apa masalah-masalahnya, sehingga ke depannya kita dapat memperbaiki hal-hal tersebut, dan gerakan di Unhas bisa sama-sama sejalan,” lanjut Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum angkatan 2015 ini. Debat publik tersebut dilaksanakan di Taman Sospol pada Senin (21/10/2019). Seiring berjalannya waktu, isu kampus dan RUU mengalami intensitas yang menurun diperbincangkan. Begitu pun dengan gerakan kemahasiswaan yang tidak menemukan titik terang. Beberapa

lembaga mahasiswa yang menolak keberadaan BEM UH tidak memberikan legitimasi terhadap sikap mereka terhadap BEM UH. Meski demikian, BEM UH tetap menjalankan agenda kepengurusan dan dilantik pada Selasa (22/10/2019) di Gedung Ipteks. Selepas pelantikan, BEM UH telah menggelar tiga kali tudang sipulung, yakni Kamis (28/11/2019) bersama Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Kamis (19/12/2019) bersama Himpunan Mahasiswa Departemen (HMD) dan Jumat (10/1/2020) bersama dengan Organisasi Tingkat Fakultas se-Unhas. Tudang sipulung yang digelar BEM UH bertemakan “Serap dan Salurkan Aspirasi yang Menginspirasi”, bertujuan untuk penyerap aspirasi-aspirasi dari seluruh lembaga mahasiswa tingkat departemen, fakultas dan universitas yang nantinya akan disampaikan di Majelis Wali Amanat (MWA). Meski mengundang seluruh lembaga mahasiswa se-Unhas, pada pelaksanaannya banyak perwakilan lembaga yang tidak menghadiri undangan tersebut. Hal ini menandakan masih banyak lembaga yang tidak menerima BEM UH sebagai poros pergerakan mahasiswa meski telah dilangsungkan pelantikan secara resmi terhadap pengurus. Semenjak Fatir terpilih sebagai Ketua BEM UH, polemik terus terjadi hingga saat ini. Hal tersebut kemudian berujung pada hadirnya dualisme pergerakan mahasiswa yakni BEM UH dan Federasi Mahasiswa. Hingga selang beberapa bulan setelah pelantikan, lembaga-lembaga kemahasiswaan masih belum menerima keberadaannya karena dianggap bermasalah. Hal itu menimbulkan pertanyaan bagi mahasiswa terkait arah pergerakan kemahasiswaan ke depannya serta upaya seperti apa yang akan BEM UH lakukan dengan kondisi yang sedang terjadi saat ini.


15

| Edisi 27 Tahun 2020


Lifestyle

ZERO WASTE, GERAKAN MENYELAMATKAN BUMI Teks Oleh: Nabilah Savitri Umran, dkk Ilustrasi Oleh: Khaeril Amri

16

| Edisi 27 Tahun 2020


Lifestyle

S

ampah masih menjadi masalah utama yang hingga sekarang belum ada habisnya. Apalagi hidup di generasi yang hampir seluruh pasar secara tidak langsung mendorong manusia untuk terus menerus memproduksi sampah, seperti dengan adanya barangbarang sekali pakai. Terutama untuk perempuan, segala jenis kosmetik dan botol-botol skincare termasuk juga pembalut, mempunyai peran yang begitu besar terhadap industri sampah. Belum lagi benda-benda semacam pembungkus makanan dan minuman. Untuk kebutuhan pribadi saja sudah hampir tak terhitung, bagaimana dengan kebutuhan teman ataupun saudara? Bisakah Anda bayangkan berapa banyak sampah yang setiap keluarga produksi? Indonesia masih menganut sistem pengelolaan “kumpul-angkut-buang� sehingga tidak ada pengelolaan yang terpadu, dan membuat sampah menumpuk di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA), yang bisa menyebabkan penyakit juga kerusakan lingkungan lainnya. Untuk sampah plastik itu sendiri, dikutip dari mojok.co, Indonesia memproduksi sampah plastik sebanyak 175.000 ton per hari dan menjadi penyumbang sampah terbesar kedua di dunia. Di tahun 2016, Indonesia dinobatkan sebagai negara kedua penyumbang sampah terbesar (khususnya sampah plastik ke laut) setelah Cina. Tanpa disadari, tempat pembuangan sampah pun mulai meluap, lautan banyak yang tercemar, Landfill juga ditinggalkan dengan miliaran ton sampah yang bahkan tidak dapat terurai selama ratusan tahun dan tidak dapat didaur ulang. Dilansir dari CNN Indonesia, lebih dari satu juta kantong plastik digunakan hamper setiap menit, serta 50% dari plastik tersebut hanya sekali pakai. Akibatnya nyaris sebagian sampah atau limbah yang terbuang akan berujung ke laut. Efek tersebut mungkin tidak dirasakan oleh manusia tetapi amat dirasakan oleh para penghuni lautan. Mereka terus menerus mengonsumsi sampah yang pada akhirnya akan membunuh mereka. Ada begitu banyak kasus kematian binatang laut yang mati mengenaskan karena mengonsumsi sampah. Seperti seekor ikan Paus yang ditemukan membusuk setelah terdampar di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada November 2018. Di dalam perut paus tersebut ditemukan banyak sampah plastik semacam botol, gallon, sandal, botol parfum, pembungkus mie instan, gelas minuman, tali rafia, karung terpal, kantong kresek dan masih banyak lagi. Fakta ini cukuplah mengingatkan manusia tentang meningkatnya produksi sampah di Indonesia yang sangat mengkhawatirkan, dapat dikatakan bahwa manusia telah mencapai titik dimana gerakan Zero Waste benar-benar dibutuhkan untuk menjaga masa depan ekosistem bumi.

Berangkat dari masalah ini, timbul istilah zero waste yang sedang booming disosialisasikan. Istilah zero waste pertama kali diprakarsai oleh seorang doktor kimia bernama Paul Palmer di Oakland, California 1970an. Zero waste atau bebas sampah adalah sebuah siklus yang memaksimalkan penggunaan sumber daya yang dijadikan sebagai gaya hidup demi mendorong sebuah produk untuk tetap digunakan kembali, sehingga tidak ada yang berakhir di tempat pembuangan sampah. Dimulai dari proses pembuatan hingga penggunaannya diharapkan dapat meminimalisir produksi sampah, dengan menjauhi single use plastic atau plastik yang hanya digunakan sekali. Oleh karena itu, zero waste juga dapat diartikan sebagai nol limbah alias nol sampah. Walaupun kenyataannya tidak mungkin untuk menghindari limbah benar-benar secara nol, setidaknya dengan gerakan zero waste dapat meminimalisir terciptanya sampah, tujuannya agar sampah tidak dikirim ke landfill. Pendidikan tentang zero waste harus dimulai sejak dini. Gerakan bebas sampah ini tidak hanya mengenai recycle atau mendaur ulang. Hal tersebut masih menjadi miskonsepsi yang kerap terjadi di masyarakat. Padahal sebenarnya zero waste mempunyai peran yang lebih penting, yaitu refuse, reduce dan reuse. Beberapa hal sepele yang dapat menekan timbulnya sampah baru, seperti menolak menggunakan kantong plastik ketika berbelanja, berusaha untuk mengurangi penggunaan benda-benda yang terbuat dari plastik, dan menggunakan kembali barang-barang yang sekiranya masih layak pakai. “Untuk melakukan gaya hidup zero waste, harus dimulai dari kesadaran diri sendiri dalam melihat isu-isu lingkungan sekitar dan permasalahan sampah yang semakin kompleks,� kata Muhammad Basman, lelaki berumur 20 tahun ini adalah Ketua Earth Hour Makassar. Melihat kesenjangan masalah sampah yang kian memuncak, Earth Hour sebagai non profit organization turut menyebarkan pesan zero waste melalui programnya yang dikenal dengan Bombe’ Kantong Plastik. Selain itu mereka juga turut serta dalam berbagai kampanye mulai dari online sampai terjun langsung ke publik, “Karena kalau hanya sendiri kita tidak akan merubah apapun, makanya kita butuh berkolaborasi juga dengan masyarakat,� lanjutnya. Masa depan bumi berada di tangan setiap manusia yang masih bertahan hidup. Kegiatan zero waste membutuhkan komitmen yang kuat dan tingkat kesabaran yang tinggi, tetapi bukan berarti tidak dapat dilakukan. Lestarikan alam bukan sampah, sadarkan diri masing-masing bahwa bumi hanya satu. Jika dibiarkan menumpuk sampah terus-menerus, perlahan makhluk hidup yang tinggal akan dimusnahkan oleh sampah. Jangan lupa pula manusia membutuhkan sumber daya alam, meminimalisir sampah akan menolong kehidupan alam itu sendiri. 17

| Edisi 27 Tahun 2020


Budaya

MELIHAT SMONG DAN KEARIFAN LOKAL INDONESIA SEBAGAI PENGETAHUAN MITIGASI BENCANA Teks Oleh: Jabal Rachmat Hidayatullah Ilustrasi Oleh: Andi Feninda Amalia Syahbani

18

| Edisi 27 Tahun 2020


Budaya

S

ecara geografis, Indonesia berada dalam cincin api, di mana posisi Indonesia dikelilingi oleh lempeng dan patahan yang berpotensi menyebabkan pergeseran sewaktu-waktu. Selain dikelilingi oleh lempeng IndoAustralia, Eurasia, dan Pasifik, Indonesia juga memiliki 129 gunung api aktif. Dengan serangkaian fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa Indonesia merupakan wilayah rawan bencana. Namun, riskannya Indonesia terkena bencana tidak serta merta terjadi pada masa sekarang. Sebab, sedari dulu, Indonesia memang kerap diterpa bencana. Seiring pengalaman-pengalaman menghadapi fenomena alam yang terjadi, masyarakat Indonesia akhirnya mengembangkan pengetahuan yang diwariskan secara turun temurun untuk menangani bencana. 14 tahun yang lalu, ketika gempa 9,2 skala richter mengguncang Aceh, dengan bermodalkan pengetahuan lokal, warga Pulau Simeulue berhasil selamat dari bencana yang menelan sekitar 250 ribu korban jiwa. Kearifan lokal tersebut bermuara pada peristiwa gempa 7,6 skala richter yang disertai gelombang tsunami yang menerjang Pulau tersebut pada 1907. Pengalaman pahit tersebut akhirnya dimanifestasikan dalam bentuk sebuah kata; smong. Kisah dan kata smong tersimpan dalam salah satu budaya lokal warga Simeulue yang disebut nafi-nafi. Tradisi tersebut merupakan budaya tutur masyarakat Simeulue berupa cerita yang berkisah tentang kejadian di masa lalu. Cerita-cerita tersebut dijadikan pembelajaran dan terus dikisahkan kepada warga Simeulue, utamanya anak-anak pada waktu-waktu tertentu. Seperti setelah memanen Cengkeh, saat anak-anak berkumpul selepas magrib dan membaca Al Qur’an. Salah satu kisah yang diceritakan dalam nafi-nafi adalah mengenai peristiwa gempa bumi dan tsunami yang meluluh lantakkan Pulau Simeulue pada 1907. Selain itu, di dalam kisah yang dituturkan secara turun temurun tersebut juga menceritakan tindakan yang perlu dilakukan saat terjadi gempa, yaitu segera menjauhi pantai atau menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi seperti bukit. Di samping itu juga perlu membekali diri dengan membawa beberapa barang seperti beras, gula, garam, korek api, baju dll. Bekal tersebut diperlukan selama di tempat pengungsian sementara.

Kejadian di Simeulue sebenarnya dapat menjadi penanda bagaimana manusia menjalin simbiosis mutualisme dengan manusia. Kita meraih manfaat dari alam dan melestarikannya, sehingga alam pun membalas dengan memberikan manfaat serta tanda-tanda jika sesuatu terjadi pada dirinya. Sedari dulu, masyarakat Indonesia telah belajar untuk membaca tanda-tanda alam. Melihat hewan-hewan yang memiliki insting lebih kuat dari manusia berlari tunggang langgang menandakan sesuatu akan terjadi dan kita harus menyelamatkan diri. Gemuruh yang besar terjadi di laut disertai dengan surutnya air laut beberapa puluh menit setelah gempa menandakan akan datangnya tsunami. Serta beragam tanda-tanda lainnya yang masyarakat nusantara sedari dulu perhatikan dan wariskan kepada anak cucunya. Warisan ini melahirkan pengetahuan yang berbasis kepada kearifan lokal Indonesia. Sebut saja seperti di daerah Palu yang ternyata telah memiliki istilah tersendiri untu sebutan tiga peristiwa yang baru saja menerpanya. Yaitu, linu untuk gempa bumi, bombatalu untuk tsunami dan nalodo (amblas ditelan bumi) untuk likuefaksi. Sedangkan di daratan Singkil, tsunami disebut dengan gloro, daerah Aceh menyebut tsunami dengan Ie-Beuna, dan Kepulauan Mentawai punya sebutan gu’gu untuk tsunami yang pada akhirnya melahirkan istilah leleu gu’gu untuk kawasan bukit tempat berlindung saat gu’gu (tsunami) terjadi. Sebenarnya bentuk pertahanan diri dalam menghadapi bencana telah ditanamkan masyarakat Indonesia dan meresap menjadi tradisi yang berbeda di setiap daerahnya. Hanya saja, kearifan lokal tersebut seakan disepelakan dan dipandang remeh dan dianggap kurang penting untuk dilestarikan karena tak memiliki bentuk yang bersifat fisik. Sehingga, alih-alih melestarikan nilai kebudayaan lokal secara utuh, kita cenderung memilah jenis tradisi yang berusaha untuk dilestarikan untuk generasi pelanjut. “Mitigasi bencana berbasis kearifan lokal seyogianya merupakan bentuk pertahanan diri yang terlahir dari pengalaman dan cerita-cerita yang diolah seiring tumbuhnya masyarakat Indonesia.” – Horst Liebner, Antropolog

“Mitigasi bencana berbasis kearifan lokal seyogyanya merupakan bentuk pertahanan diri yang terlahir dari pengalaman dan cerita-cerita yang diolah seiring tumbuhnya masyarakat Indonesia.” – Horst Liebner, Antropolog

19

| Edisi 27 Tahun 2020


Tokoh

MENYUARAKAN GERAK FEMINIS KE RANAH KAMPUS Teks Oleh: Wilda Yanti Salam & Ulfah Ainun Humaira Ilustrasi Oleh: Alhamdani Pratama

20

| Edisi 27 Tahun 2020


Tokoh

W

ahidah Rustam atau lebih akrab disapa Ida mupakan salah seorang penggerak di Solidaritas Perempuan (SP) Anging Mammiri sejak 2001. Sedari mahasiswa, ia sudah sering mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan di SP Anging Mammiri. SP adalah sebuah organisasi yang berideologi feminis. Feminis itu sendiri bagi Ida adalah ideologi yang membuat perempuan bisa menyadari bahwa baik dari sekitarnya maupun dari dalam dirinya sendiri terkadang terjadi ketidakadilan. Ketidakadilan itu bisa saja dilakukan oleh anggota keluarga, lingkungan pertemanan, atau bahkan dosen dan guru kita. Ketika kita menyadari bahwa kita mengalami ketidakadilan dan bertindak untuk merubah situasi ketidakadilan tersebut, itulah feminis. “Seorang perempuan haruslah memiliki kesadaran kritis jika sesuatu tidak ‘wajar’ terjadi padanya, apalagi ketika ketidakwajaran itu berhubungan dengan hak-hak kita sebagai warga negara,” tegas Ida. Menurut Ida, contoh klasik yang sering terjadi adalah pernyataan bahwa perempuan tidak usah sekolah karena ujung-ujungnya juga "sumur, kasur, dapur" – ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga juga. Pandangan seperti itu akhirnya membuat banyak perempuan dinikahkan di usia yang seharusnya mereka gunakan untuk belajar, “Seolah-olah perempuan tidak berhak punya cita-cita, padahal di Konvensi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya itu ada bagian di mana perempuan itu harus mendapatkan pendidikan yang setinggi-setingginya, sama halnya dengan hak anak, anak itu punya 10 hak.” Perempuan juga harus bisa sekolah minimal 12 tahun pendidikan dasar, tetap punya cita-cita, mendapatkan lingkungan yang sehat dan aman untuk belajar, infrastruktur sekolah yang memadai, dan negara seharusnya menjamin itu. Tetapi, faktanya persoalannya juga terletak pada

konstruksi budaya yang berujung pada sulitnya negara membuat kebijakan. Ida bercerita saat menjadi aktivis kampus dan sering ikut aksi demonstrasi, isu yang diangkat selalu berkaitan dengan kenaikan bahan bakar minyak, listrik, dan sejenisnya. Sementara kasus kekerasan seksual, dan pemerkosaan tidak dilirik, dan tidak ada implikasi dari demonstrasi itu terhadap perempuan. Sebagai seorang aktivis kampus yang selalu punya keinginan untuk mencari tahu penyebab di balik banyak peristiwa yang terjadi, Ida diajak untuk bergabung di sebuah organisasi lokal yang menurutnya cukup besar yakni FPMP (Forum Pemerhati Masalah Perempuan Sulawesi Selatan). Salah satu tokoh pergerakan perempuan yang mendirikan FPMP adalah Almh. Sohrah Andi Baso. Dia adalah jurnalis dan tenaga pengajar di Universitas Pejuang Republik Indonesia (UPRI) yang gencar menyuarakan hakhak perempuan. Setelah FPMP, Ida bergabung di SP anging Mammiri. SP adalah organisasi tertua kedua di Indonesia yang sekarang sudah berusia 29 tahun. Bagi Ida, cukup konsisten untuk terus melakukan pergerakan agar perempuan bisa menjadi cerdas dan kritis, serta mampu untuk mencerdaskan perempuanperempuan lain. Sehingga mereka tidak hanya cerdas tetapi mampu berpikir bagaimana dia bisa berada di situasi yang aman dan tidak. Sewaktu di SP, Ida pernah menjadi ketua dan menurutnya, terdapat kesamaan antara visi organisasi SP dan visinya secara pribadi. Ia menambahkan bahwa anggota yang bergabung di SP memang semestinya memiliki visi yang sama dengan visi organisi, sebab jika tidak, misi besar dari organisasi tidak bisa tercapai. Bagi Ida, SP adalah organisasi feminis yg mendorong terciptanya pemimpinpemimpin perempuan. Ia mau menjadi pemimpin agar ada perubahan internal dan eksternal yang terjadi, dan SP

bisa lebih dikenal sebagai organisasi yang konsisten dengan perlawannya terhadap ketidakadilan perempuan. Menjadi pemimpin juga jadi kesempatan untuk Ida belajar mengambil keputusan, serta mengetahui batasan ketika menjadi anggota dan penanggungjawab organisasi. Baginya, anggota suatu organisasi tidak bisa hanya mengikuti kebijakan yang ada atau yang dibuat oleh penanggungjawab organisasi. Kebijakan yang dikeluarkan tidak boleh melanggar nilai dan garis politik SP. SP punya nilai, bahwa kebijakan tidak boleh diskriminatif, mengandung kekerasan, dan kebijakan itu harus setara dengan semua orang di dalamnya, yang terpenting memberikan manfaat kepada semua anggota didalamnya. “Di SP itu ketat dengan aturannya, disini diajar bagaimana kita patuh terhadap peraturan yang kita buat, dan itu berlaku untuk semua anggota,” tambah Ida. Selama menjabat, banyak perubahan yang terjadi pada Ida. Ia semakin menyadari berbagai ketidakadilan yang terjadi padanya, contohnya ia merasa tidak nyaman ketika dipeluk oleh teman laki-lakinya dari belakang. Ia harus memberontak karena itu adalah sebuah bentuk kekerasan. Ia menyadari banyak “tindakan” yang tidak boleh dilakukan kepada perempuan. Hak perempuan tidak ada bedanya dengan laki-laki. Ida juga semakin tau ternyata ada kebijakan yang berdampak terhadap kehidupan perempuan. Saat berjumpa di Kantor SP Anging Mammiri di Jl. Jati, Kota Makassar, Ida bercerita bahwa ketidakadilan juga terjadi karena konstruksi sosial di masyarakat yang membagi ranah atau porsi perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat. Konstruksi ini menyebabkan laki-laki bergerak di ranah publik dan perempuan di wilayah domestik. 21

| Edisi 27 Tahun 2020


Tokoh

Pembagian gender ini yang lambat laun menyebabkan munculnya berbagai ketimpangan sosial yang berujung pada ketidakadilan terhadap perempuan. Ida menjelaskan bahwa seringnya pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai kodrat perempuan. Walaupun ia melahirkan, dan hamil. Padahal itu hanyalah konstruksi yang dibangun di masyarakat. Kodrat perempuan itu adalah menstruasi, hamil, menyusui, dan melahirkan. Di luar daripada itu bukan kodrat. Konstruksi yang dibangun sebagai kodrat ini berefek pada stereotip bahwa perempuan lemah, cengeng, irasional, mudah dibohongi, dan kerjanya bergosip. Padahal perempuan dan laki-laki diciptakan sesuai kodrat dan perbedaan porsi yang harus saling menjaga dan menghargai, bukan untuk menjatuhkan apalagi berujung pada tindakan-tindakan yang tidak adil. Belajar di SP menjadikannya tau bahwa karena konstruksi ini, beban perempuan akan bertambah. Situasi ekonomi dan sumber daya alam yang semakin dieksploitasi menyebabkan tidak ada lagi lapangan pekerjaan. Akhirnya banyak perempuan memilih untuk menjadi buruh migran dengan resiko tidak tau apakah ia akan mendapatkan keamanan yang terjamin atau tidak. Yang buruh migran pikirkan hanyalah bagaimana cara menghasilkan uang untuk membiayai peindidikan anaknya dan punya rumah. Berbagai pengetahuan dan segala hal yang dipelajari Ida di SP-lah yang akhirnya bisa ia bagi ke mahasiswanya. Sebab saat ini Ida juga berprofesi sebagai dosen di dua kampus yakni Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM) dan Universitas Muslim Indonesia (UMI). Pun begitu, Ida lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya sesama aktivis perempuan di SP dan masyarakat yang didampinginnya. Ida sering berdiskusi dengan mereka untuk saling menguatkan, menolong, dan mendengarkan keluh kesah satu sama lain. Bagi Ida, profesi dosen adalah kesempatan yang tepat untuk menyalurkan informasi dan pengetahuan kepada mahasiswa yang diajarnya terkait isu global yang terjadi. Sebagai Dosen, Ida tidak serta merta membawa identitasnya sebagai aktivis di SP. Di UINAM, Ida mengampu mata kuliah Hukum Perdata Islam. Menurutnya, Hukum Perdata Islam itu berbicara soal bagaimana persoalan hukum

keluarga dalam islam. Dalam menjelaskan hukum keluarga dalam islam inilah Ida akan memasukkan perspektif anti kekerasan, alasan mengapa poligami dianggap bagian dari kekerasan, dan penjelasan terkait kekerasan yang tidak boleh dilakukan terhadap perempuan. Menurutnya, itulah cara yang bisa dilakukannya untuk memberikan perspektif dan nilai-nilai humanis kepada mahasiswa, melalui ruang kuliah ataupun di luar perkuliahan. Ida juga sering berdiskusi soal perubahan iklim, dan dampaknya terhadap kehidupan mahasiswa. Ida terkadang bertanya terkait apa pekerjaan orang tua mahasiswanya, misalnya jika petani, ia akan bertanya bagaimana hasil kebunnya. Hal itu akan dikaitkan dengan mata kuliah yang ketika sumber ekonomi sudah sulit, di situlah rentan terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Ida mencoba menghubungkan segala yang terjadi, agar para mahasiswa menyadari bahwa kita tidak boleh melakukan kekerasan, terlepas dari dampaknya. Jika dikaitkan dengan agama apapun, tidak ada yang membolehkan tindakan kekerasan kepada sesama manusia. Diskusi Ida dengan mahasiswanya terkadang sampai pada pembahasan soal Kekerasan Seksual Dalam Pacaran (KDP), hingga pendapat mereka terkait poligami. Bukan hanya membahas soal masalah perempuan, melainkan masalah sosial yang lain. “Ketika seorang aktivis itu menjadi seorang pengajar, ini bukan saya mengatakan bahwa aktivis itu punya nilai plus ya, tetapi saya harus mengatakan itu ada, dengan menjadi aktivis banyak hal yang kita bisa diskusikan yang sebenarnya itu tidak ada di bangku kuliah,� terang Ida. Diskusi-diskusi yang Ida lakukan tidak jarang menjadikan para mahasiswa bertanya dan mulai menyadari bahwa kekerasan dan ketidakadilan tidak boleh dilakukan. Perempuan kelahiran ujung padang, 10 April 1975 ini punya harapan agar perempuan muda Indonesia menjadi perempuan yang paham akan dirinya – mengerti hakhaknya, dan bertindak ketika mengalami peristiwa kekerasan. Ia juga berharap lebih banyak lagi perempuan yang menjadi pemimpin, dan perempuan harus mulai bersuara di berbagai ranah publik.

Konstruksi yang dibangun sebagai kodrat ini berefek pada stereotip bahwa perempuan lemah, cengeng, irasional, mudah dibohongi, dan kerjanya bergosip. Padahal Perempuan dan Laki-laki diciptakan sesuai kodrat dan perbedaan porsi yang harus saling menjaga dan menghargai, bukan untuk menjatuhkan apalagi berujung pada tindakan-tindakan yang tidak adil.

22

| Edisi 27 Tahun 2020


Opini

GEMPA DIRI Teks oleh: Hajir Muis Ilustrasi oleh: Rachmat Hidayat

D

ini hari, 3 november, lantai dan dinding rumah-rumah di Kota Makale, Tana Toraja, bergetar dengan kuatnya. Belum lepas dari ingatan, akan cemas, ketakutan saat gempa dan tsunami di Palu dan Donggla, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018). Getaran menakutkan itu, sekali lagi terasa. Memang tidak menghancurkan apa-apa. Namun hingga fajar, ketakutan terus melekat, menimbulkan perasaan yang penuh harap akan keselamatan dan cemas akan kehancuran tak terkira, tanpa diminta atau diprediksi, sangat mungkin datang kapan saja. Diketahui dari sumber laman kanal Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Indonesia, gempa itu tidaklah berasal dari Tana Toraja. Gempa tersebut berasal, kurang lebih 49 km dari Kota Makale (kota penulis tinggal). Sumber getaran tepatnya berasal dari Kota Mamasa, Sulawesi Barat. Besaran gempa pada malam

itu diperkirakan 5,5 Skala Ricter (SR). Memang tidak sebesar pada saat gempa di Palu, sebesar 6 hingga lebih dari 7 SR. Tetapi dengan jarak yg lebih dekat, getaran yang sampai dan dirasakan di Kota Makale, kedua gempa itu terasa mirip. Setidaknya ketakutan yang ditimbulkan sama mengerikannya. Sejak awal bulan november hingga awal desember, telah terjadi ratusan gempa dengan skala kecil dan beberapa kali dengan skala lebih dari 5 SR. Informasi lebih lengkap bisa dicek pada laman web dan aplikasi resmi BMKG Indonesia. Menurut update data BMKG, terus terjadi ratusan gempa dengan frekuensi puluhan kali dengan daya kekuatan skala kecil, tiap hari, di Kota Mamasa. Dan masih akan terus berlanjut entah sampai kapan. Pasca guncangan malam itu, saya sendiri terus ketakutan dibuatnya. Bahkan, sampai pada titik paranoid.

Pengalaman itu kemudian membekas, saya jadi terus terbayang-terbayang. Beberapa minggu bahkan saya terus berhalusinasi merasakan gempa. Tubuh saya terus merasakan getaran dan kecemasan yang tidak kunjung surut. Sampai-sampai, saya tidak mampu lagi membedakan: kencang debar jantung yang menggetarkan tubuh, ataukah memang getaran itu berasal dari bumi yang berguncang dan menggetarkan tubuh bersama lantai dan dinding! Walau setelah mencocokan dengan informasi dari BMKG, sekali lagi memang benar itu bukan sekadar perasaan saja. Tidak bisa dibayangkan bagaimana ketakutan mereka yang berada di titik bencana! Sampai di sini, saya teringat pembicaraan bersama kakak perempuan saya, beberapa hari setelah gempa dan tsunami Palu dan Donggala. Saat itu kakak saya bercerita tentang pengalamanya, 23

| Edisi 27 Tahun 2020


Opini

pulang menjenguk salah seorang sahabatnya. Seorang sahabat yang hampir seluruh keluarganya adalah korban meninggal di salah satu hotel yang runtuh, tempat mereka berlibur di kota Palu. Sebelumnya, tulisan ini tidak lebih lanjut menceritakan pengalaman korban atau keluarga korban gempa bumi. Tulisan ini malahan ingin membahas pengalaman kakak perempuan saya, berhadapan dengan suara-suara, pendapat, tafsir, yang berkembang dan banyak Ia temui di sekitaran lingkungannya, pada lingkaran sahabatnya dan dalam komunitas kantor tempatnya bekerja. Mengenai penyebab gempa bumi tersebut. Tafsir-Menafsir Ada suara-suara, yang mencoba menafsir penyebab gempa yang terjadi. Kemudian terbangun menjadi diskursus di lingkungan kakak saya bersosialisasi. Jika disimpulkan kira-kira bisa dirumuskan seperti ini: "Gempa itu terjadi karena di Palu, terjadi kemusyrikan sehingga Tuhan menciptakan gempa untuk menghukum dan mengazab mereka," Mendengarkan pembicaraan (diskursus) semacam itu di sekitarnya, membuat kakak saya meradang batinnya. Dia merasa ada masalah dalam diskursus seperti itu. Yang lebih menggalaukan lagi baginya, diskursus itu didasarkan dengan mengutip ayat-ayat suci tentang gempa bumi sebagai azab. Satu sisi, mau tidak mau, sebagai orang percaya tidak mungkin memungkiri kebenaran ayat-ayat suci itu, kedudukan ayat-ayat suci itu benar adanya, agung posisinya, dan dalam realitasnya bersifat universal, mampu meproyeksikan masa lalu, memprediksi masa depan, dan menjadi sumber inspirasi untuk berkehidupan. Namun di sisi lain, dibanding mengungkap kebenaran penyebab gempa bumi yang terjadi, dengan membagikan, mengangkat, pesan-pesan, peringatan, dan pengutipan ayat-ayat suci tertentu, 24

| Edisi 27 Tahun 2020

yang tentu menurut tafsir personal, terkesan merupakan sikap moralistis dan tendensius untuk menilai peristiwa tersebut. Padahal, merujuk pada sahabatnya, yang bisa dikatakan juga adalah korban. Kakak perempuan saya melihat; Tidak hanya bekas kehancuran dan kehilangan yang terpancar dari airmuka sahabatnya itu. Menurut kakak perempuan saya, juga terpancar cahaya harapan untuk bangkit dan melanjutkan hidup. Tetapi dengan diskursus-diskursus penyebab gempa yang berkembang itu, kakak perempuan saya juga mendapati, suara-suara itu malahan terkesan menghilangkan harapan dan mematikan semangat yang sebenarnya masih menyala. Seperti suara-suara, pendapat, tafsir yang didengarnya, mengenai penyebab gempa yang terjadi. Dengan mencoba berpikir dan berbaik sangka, bahwa di sana (di titik bencana) tentu hidup orang-orang yang baik dan manusia yang keimanannya sungguh tinggi derajatnya. Sebenarnya kakak perempuan saya pun mencoba menafsir (dengan tolak ukur dan referensinya sendiri), membaca, ada permasalahan dalam kontekstual kutipan ayat dengan peristiwa yang terjadi. Menurutnya, Seolah-olah dengan mengajukan diskursus itu, lalu seseorang dengan mudah generalisasi dan menghakimi bahwa di sana, para korban, memang layak menerima itu semua, bukan sebagai ujian, cobaan, atau ‘pelajaran’, yang bisa menimpah siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Dan puncak permasalahannya pengajuan diskursus itu (selanjutnya kita sebut diskursus azab), peristiwa itu seakan telah dikonfirmasi atau divonis sebagai “hukuman” untuk mengazab mereka, dengan ditimpahkan musibah bencana gempa bumi itu. Tentu kakak saya tidak lantas ingin buru-buru memastikan bahwa itu juga bukan suatu ‘hukuman’, karena Ia pun tidak dalam kapasitas mengambil alih dan untuk menilai dengan ‘perspektif’

Tuhan Yang Maha Mengetahui. Lebih sederhananya, kita tidak kuasa untuk melakukan penilaian, yang seharusnya adalah penilaian Tuhan. Lewat tafsirnya yang kritis itu, kakak perempuan saya, dengan latar belakang pendidikan dan berprofesi dibidang psikologi, tentu melakuakan sebuah analisis berbau psikologis atau analisis pada perilaku. Dengan merujuk pada pembicaraan (diskursus bencana) yang diajukan seseorang dan dengan melihat hal itu sebagai perilaku psikologis manusia. Perlu dicatat, konteks perilaku yang dianalisinya itu, spesifik, berada di lingkungan tempatnya bersosialisasi tanpa bermaksud generalisasi. Dan kesemuannya itu tentu merupakan suatu bentuk penafsiran atau pendapat, pun merupakan suatu diskursus pula. Menafsir-Tafsir Dari sudut pandang penulis, apa yang menjadi fokus sorotan kakak perempuan saya itu, sebenarnya adalah ambivalensi dalam perilaku personal. Terkhusus person pengemuka diskursus, yang dihadapinya dalam keseharian. Ambivalensi dalam perilaku yang berbentuk pengajuan diskursus bencana itu: Pada satu sisinya bermakna sebagai informasi dan konfirmasi kelayakan terjadinya peristiwa itu, tentu menurut tafsiranya terhadap ayat-ayat suci secara personal. Namun satu sisi lainya sebagai bentuk legitimasi, pembenaran, bagi dirinya sendiri. Disadari atau tidak, lewat diskursus tersebut, juga terbentuk dikotomidikotomi, antara: aku dengan dia, yang selamat dan yang dihukum, dan dalam bentuk ekstrimnya: ‘Saya yang beriman’ dengan ‘Mereka yang di azab’. Tertangkap kesan, diskursus itu menempatkan, “orang selamat” karena “bukan” bagian dari yang “dihukum”, dan mereka yang ditimpah bencana gempa bumi itu adalah mereka yang layak mendapat “hukuman” atau “azab”. Dengan melihat dengan cara pandang seperti itu, tidak ubahnya


Opini

kita memomosikan diri, mengklaim diri, seperti term yang diajukan kakak perempuan saya, sebagai “panitia surga-neraka.” Seseorang seakan mendaulat dirinya mampu “memastikan’” posisi seseorang, dan sekaligus memastikan posisinya sendiri. Padahal kenyataannya kita manusia: "Kita bukan panitia surga dan neraka," kita hanyalah sesama makhluk. Namun perlu saya tegaskan di sini bahwa setiap diskursus, opini, tafsir, tentu tidak luput dari subjektivitas dan bersifat personal, yang berarti sangat dipengaruhi konstruksi pemikiranya, bangunan epistemiknya, referensi, juga diskursusyang menjadi pegangannya. Tersirat dengan pendapatnya itu, kakak saya pun bersikap etis, namun dengan berhatihati, ia berpendapat: “Jangan sampai menempatkan diri kita sendiri sebagai hakim pada orang. Padahal kita ini adalah sesama mahkluk.” Diskursus: Antara Bencana, Fenomena, dan Tafsir-Tafsir Mendengar kata “bencana”, saya jadi teringat untuk membahas apa yang di maksud dengan diskursus. Dulu ketika membaca buku-buku pengantar ekologi dasar, diceritakan contoh kasus tentang cara berbeda melihat gempa bumi atau angin kencang. Pertama, jika gempa atau angin kencang itu terjadi di alam bebas tanpa kehadiran manusia di sana. Kita, media, dan pengetahuan umum lebih condong meyebutnya sebagai fenomena alam. Fenomena alam umumnya memiliki pengertian, bahwa kejadian atau peristiwa itu memang terjadi secara alamiah. Yang berarti hal itu adalah proses yang memang sering dan biasa terjadi di alam. Kedua, jika gempa bumi atau angin kencang itu terjadi di bagian alam yang dihuni manusia, lalu menyebabkan kerusakan, kehancuran, bahkan kematian manusia, kejadian itu kemudian disebut dengan bencana alam. Bencana alam umumnya memiliki pengertian, bahwa alam tidak

sedang bersahabat dengan manusia lalu karena kehadirannya kehidupan manusia jadi terancam dan mengalami kerusakan. Jadi satu kondisi, kejadian atau peristiwa sebenarnya sama persis. Dari sudut pandang manusia bisa memiliki artikulasi (cara penyebutan) berbeda. Bisa positif seperti pengertian fenonomena alam. Bisa juga negatif, seperti penyebutannya sebagai bencana alam yang merusak kehidupan manusia. Dari contoh tersebut di atas, secara sederhana kita bisa belajar dan mengerti apa yang dimaksud dengan diskursus. Secara implisit diskursus adalah cara wicara, tuturan, tulisan kita, yang mengandung makna idiologis atau tafsir kebudayaan (parole) tertentu yang disuarakan ke ruang publik. Bisa diartikan bahwa wacana, teks, berita, peristiwa, pada diri manusia (baik yang dikonsumsi maupun yang diproduksi) bisa dikatakan selalu bersifat diskursif. Dengan menggunakan contoh kasus penyebutan peristiwa gempa bumi di atas, kita bisa mengembangkan contoh untuk melihat berbagai macam pendapat atau cara wicara yang mengartikulasikan suatu pemahaman, terhadap satu peristiwa. Hal ini yang kita sebut sebagai diskursus: Diskursus 1 Seorang agamawan dengan merujuk pada teks suci, berpendapat gempa bumi merupakan hukuman bagi orang-orang yang dengan terangterangan melanggar larangan Tuhan. Kita sebut pendapat ini: Diskursus Gempa Bumi Sebagai Azab. Diskursus 2 Seorang agamawan lain yang merujukan pendapatnya pada teksteks suci dari kitab suci yang sama. Menafsirkannya secara berbeda-beda, bahwa gempa bumi atau bencana itu adalah ujian dan cobaan untuk mengangkat derajat manusia jika ia bersabar dan agar sesama manusia dapat saling tolong menolong sesama

makhluk Tuhan. Agar manusia belajar merasakan penderitaan sesama. Kita sebut pendapat ini semisal: Diskursus Gempa Bumi Sebagai Ujian dan Cobaan. Diskursus 3 Dari perspektif Ekologi, memberi komentar bahwa gempa bumi, angin kencang, petir, air yang meluap, adalah proses alami alam sebagai sistem perbaikan dan penyeimbangan diri kembali. Kita sebut pendapat ini: Diskusus Gempa Bumi sebagai Fenomena Alam. Diskursus 4 Perspektif Ekologi yang lebih kritis lagi berpendapat bahwa peristiwa alam ini selain karena sifat alamianya juga dikarenakan kesalahan manusia dalam proses pengelolaannya. Tata kelola yang buruk, keliru, juga melampaui batas, adalah syarat yang menyebabkan tertelannya korban yang lebih banyak. Manusia yang pada dasarnya mampu untuk mempelajari dan merenungkan sistem kerja alam, walaupun tidak mampu menghindari, tetapi mampu untuk mengantispasi dan memperkecil dampak buruk bagi dirinya. Tentu dengan cara merawat dan hidup selaras dengan alam. Kita sebut pendapat ini: Diskusus Gempa Bumi dan kesalahan manusia. Dan seterusnya, ada berbagai cara pandang melihat peritiwa gempa bumi yang mungkin kita bisa temui dan dengarkan dari suara: diskursus kerugian material dari pemerintahan, diskursus menolong manusia dari para filantropis, diskursus tanggap bencana dari LSM, diskursus pelemahan pasar oleh ekonom, diskursus pengungsi sosiolog, diskursus pencitraan politis oleh politisi, dari kesehatan masyarakat, dari mistikus, dan banyak sudut pandang atau pendapat lainnya. Semua “suara-suara” yang terdengar atau terbaca itu adalah suara-suara, yang mungkin disuarakan, masingmasing didasarkan pada rujukan atau pandangan dunia tertentu. Hal inilah yang ditawarkan perspektif komunikasi, salah-satunya yaitu 25

| Edisi 27 Tahun 2020


Opini

menganalisis diskursus yang timbul dari suatu peristiwa, teks, dan suarasuara yang terdengar atau terbaca. Memahami suara atau teks dengan berbagai varian diskursusnya, kita sebenarnya sedang mencoba belajar memahami kuasa yang ada dalam teks atau bahasa. Kita juga mencoba memahami kondisi manusia, bagaimana sifat menafsirnya, yang pada kenyataanya tidak utuh dan bersifat fragmen-fragmen (bagianbagian). Dengan berhati-hati, mencoba melihat lebih teliti dan membaca berbagai diskursus yang muncul, kita dapat menimbangnimbang sebelum mengambil sebuah kesimpulan. Kesimpulan yang buru-buru di imanensikan secara total tetapi sebenarnya rapuh dan mengandung kekeliruan. Mempelajari diskursus juga berarti menuntut kita untuk memperluas cara pandang, memperbanyak wawasan ilmu pengertahuan, agar dapat memandang secara lebih holistik dan bersikap lebih adil. Pemahaman tentang diskursus sendiri memang bukan cara pandang yang utuh, tetapi lebih merupakan sebuah metode, “Cara untuk memandang” atau “Pisau untuk mendedah”. Secara etis, mempelajari diskursus berarti menginsafi dan menyadari keterbatasan kita dalam menghadapi teks, peristiwa, pemberitaan, pendapat dan tafsir-tafsir. Pemahaman tentang diskursus jika demikian merupakan suatu pandangan yang sifatnya kritis ke-luar maupun ke-dalam. Keluar berarti kritis pada fenomena teks berupa wacana-wacana, suarasuara, tulisan-tulisan, yang dihadapi dalam proses komunikasi. Dan ke dalam, berupa kritik pada diri sendiri, pada subjek yang melakukan penafsiran atau penilaian. Dengan segala kepentingan, ideologis-nya, sistem kepercayaan, tujuan politis, dan dengan segala keterbatasan informasi dan epistemologinya. Dengan begitu, sebagai sikap kritis, baik keluar dirinya maupun pada dirinya sendiri, kita berusaha mengemansipasi diri 26

| Edisi 27 Tahun 2020

kita dari kesewenang-wenangan menghakimi, mencegah diri kita dari terhegemoni oleh diskursus yang dipegang. Dan ke dalam diri kita sendiri, dari sikap “tutup mata” dari diskursus yang “bersuara”, yang mungkin di situ ada bagian kebenaran lain yang tercecer. Ambivalensi: Membaca Wajah” dalam Satu Diri

“Dua

Tema lain, yang diangkat dari pembicaraan dengan kakak perempuan saya dan telah disinggung sebelumnya, adalah konsep ambivalensi. Terutama untuk melihat sisi lain dari diri kita, yang terungkap dari sikap, kata, dan perbuatan kita. Konsep ambivalensi biasa kita temui dalam kajian budaya postkolonial. Tetapi disini ambivalensi yang dimaksudkan lebih sederhana pengertianya. Adalah kondisi etis, suatu yang kontradiktif dalam diri kita yang tidak terlalu kita perhatikan. Cukup sulit untuk menjelaskan apa itu ambivalensi. Melalui cerita anekdot berikut ini, dengan sederhana, bisa menggambarkan apa itu ambilavalensi dengan baik: Kita mengenal dan mungkin pernah melihat cara membela batang bambu. Salah satu caranya yaitu: menginjak satu sisinya dan mengangkat satu sisi lainnya. Nah, tentu kita tahu bahwa proses membela bambu itu tidak mengandung nilai etis, hanya suatu tindakan biasa. Namun sebagai simbolisasi, seperti halnya dengan mitos “Jangan duduk di atas bantal”, “Belah bambu” lalu mengandung makna sosial, moral, dan etis di dalamnya. Dengan cepat dan sederhana ambivalensi dapat diartikan: mengandung nilai kontradiktif dalam dirinya, positif dan negatif, baik dan tidak baik, benar dan salah, pada saat bersamaan. Seperti makna dari anekdot belah bambu: Mengangkat satu sisi bambu berarti membenarkan diri sendiri

dengan menginjak sisi lain bambu yang berarti sambil merendahkan selain dirinya sendiri. Ambivalensi dalam diri berarti terdapat kandungan baik dan buruk, dua wajah pada satu diri, pada saat bersamaan dalam satu kondisi. Memahani ambivalensi ini penting, jika kita ingin terhindar dari tindakan yang tidak kita sadari, yang mungkin mengandung kesemenah-menahan, dan dampak buruk kepada orang lain (padahal mungkin niat kita baik), dari tindakan, tutur bahasa kita, lewat opini, pendapat, tafsir, diskursus yang kita tunjukan. Kakak perempuan saya itu pun, mungkin melihat ambivalensi dari “diskursus azab” yang sudah dipaparkan sebelumnya. Sebagai orang yang beriman, sudah tentu menjadikan ayat-ayat suci sebagai pedoman hidup adalah jalan yang baik dan benar, yang sudah semestinya dilakukan. Tetapi dengan memahami kondisi ambivalensi di atas. Lewat kisah pengalaman kakak perempuan saya di awal tulisan ini, kita bisa memahami kegundahannya akan diskursus atau suara-suara moralis lingkungannya terhadap peristiwa gempa bumi Palu (sudah dibahas sebelumnya). Apa yang dilakukan kakak saya itu adalah suatu sikap berhati-hati dalam menafsir, sekaligus menafsir suatu penafsiran (berupa diskursus) terhadap peristiwa alam itu. Baginya, ayat-ayat gempa bumi dalam kitab suci, tidak hanya diperuntukan kepada para korban atau orang-orang yang berada di titik gempa. Tetapi ayat-ayat suci itu juga berbicara kepada setiap orang di manapun dia berada, terutama untuk diri kita masing-masing. Dengan demikian kakak perempuan saya itu, dengan tafsirannya, memilih membangun suatu diskursus lain. Ia berkata, “Memang gempa dahsyat itu terjadi di Palu, tetap ‘di sini’ (menunjuk dirinya), juga terjadi gempa


Opini

yang tidak kalah dahsyat!” Ujian dan musibah yang menimpa saudarasaudara kita di Palu dan Donggala atau bahkan di manapun adalah juga ujian untuk kita semua. Jika mereka mesti bersabar dengan kondisi kehancuran yang mereka hadapai. “Di sini,” katanya lagi, “Kita juga mesti bersabar menjaga mulut dan hati kita agar jangan sampai, tanpa disadari, kita berbuat zalim pada mereka dengan melukai perasaan mereka. Dan ternyata kita keliru dalam menafsirkan peristiwa.” Yang berbeda hanyalah kondisinya saja, namun bencana atau musibah ini adalah untuk kita semua. Sekarang kita yg lebih aman, paling pertama adalah mesti bergerak membantu mereka yang sedang kesulitan. Kita, bukan sebagai orang yang menolong dan mereka yang ditolong! Tetapi, kita sebagai sesama manusia, seperti kata Nabi Suci, “Jika satu bagian terluka maka yang lain pun merasakannya.” Kita saling berempati. Jika pun dengan gempa bumi ini, Tuhan, menegur masyarakat terdampak. Itu juga berarti, sama untuk kita – ditegur olehnyaNya. Kebungkaman: Jalan Menemukan diri Otentik Akhirnya, saya pun akan mencoba berbagi pengalaman pribadi saya, yang sudah disinggung pada cerita awal tulisan ini. Dahulu, sebelum saya merasakan gempa bumi, saya tidak punya referensi sama sekali tentang ketakutan menghadapi suatu bencana. Sehingga berita bencana di lokasi lain, yang terjadi dan terinformasikan lewat media, tidak ubahnya angin lalu atau paling tidak hanya mengorek sedikit rasa simpati saya. Setelah pengalaman merasakan gempa di Palu dan Mamasa yang getarannya terasa hingga Toraja, walau dengan skala kecil, saya jadi sedikit bisa untuk mengambil alih atau merasakan seminimal mungkin kondisi orang lain yang ditimpa gempa bumi di manapun terjadi. Bisa dikatakan, sekarang saya menjadi lebih mampu

untuk berempati. Walaupun, sekali lagi, tidak mungkin mengambil alih perspektif dan pengalaman orang lain, juga para korban, secara utuh. Pengalaman merasakan gempa bumi, menjadikan saya terhubung dengan para korban melalui memori kolektif (bersama). Hal penting lain dari momen yang meningkatkan rasa empati itu adalah momen permantiknya, yaitu momen kebungkaman. Bungkam di hadapan peristiwa yang tidak memperdayakan sama sekali, suatu ketakutan teramat sangat lewat gempa bumi, yang jika ditarik lebih jauh, ujungnya adalah ketakutan berhadapan kematian. Jika kita takut pada sesuatu hal, kita cenderung untuk menghindarinya. Kita dengan segala daya dan upaya akan berusaha mengantisipasi ketakutan kita itu. Dengan berbagai pemikiran, kita membuat rencana, entah itu lari menghindar atau menacari jalan keluar lain. Jika itu binatang menakutkan atau yang mengancam, tertentu secara instingtif kita dapat berusaha melawan, bahkan berusaha untuk membunuhnya. Ketakutan seperti itu masih dapat kita antisipasi dengan akal lewat imajinasi kita. Sedangkan dihadapan bencana alam, lebih tepatnya dihadapan kematian yang momenya spontan, ketakutan itu berubah menjadi kebungkaman. Bungkam bukan saja berarti diam tak bersuara. Momen kebungkaman di hadapan bencana, kehancuran, kematian, menyebabkan segala retorika, kata-kata, tidak lagi berarti apa-apa. Daya dan upaya raib. Kita percaya dan yakin seyakin-yakinya, bahwa kita semua akan mati. Semua yang bernyawa pasti akan mati. Namun kepercayaan seperti itu bisa saja hanyalah kata-kata. Kita masih bisa bersikap seakan-akan hidup selamanya. Tetapi dalam momen kebungkaman ini, di hadapan kuasa maha dahsyat, kita tak mampu lagi berbicara. Momen dimana kita tak mampu lagi berbuat apa-apa. Momen di mana kita hanya

bisa pasrah. Pada momen itulah, manusia mampu memaknai kematian, arti dirinya, menunjukan posisi aslinya, autentisitasnya, sebagai makhluk lemah tak berdaya, bergantung dan berserah diri. Mulutnya lalu mengumamkan “Satu-satunya suara”, menyebut "Nama-nama"; Yang Kuasa, Yang Maha Kasih, Yang Maha melindungi. Pada kuasa yang lebih besar lagi dari pada kematian atau pada yang kita yakini dapat menyelamatkan diri kita. Dengan bungkam yang tak bersuara kita bersaksi: Tolonglah hamba, Tuhan! Saat kebungkaman itulah, setidaknya menurut pengalaman pribadi saya, Tuhan ditempatkan manusia pada posisiNya. Dengan kebungkamannya itu pula, sebagai pengakuan atas diri sebagai eksistensi yang bergantung, lemah tak berdaya. (Pengalaman seperti ini banyak kita dapatkan, baca, lewat cerita pengalaman penumpang pesawat yang mengalami turbelensi, bahkan seorang yang mengaku ateis yang mengalami momen kebungkaman, lalu membuka selubung maknanya, “pelan-pelan” berkata: tolong!) Lalu, apa hubungan kebungkaman itu dengan tema-tema yang kita bicarakan sebelumnya? Bagi saya pribadi, di hadapan apa yang kita sebut femomena atau bencana alam itu, seharusnya akan menghancurkan seluruh suarasuara juga diskursus yang mungkin diajukan. Kemudian dengan jernih menyadari sebagai sesama manusia “bungkam”, kita menyadari diri kita, berada pada derajat yang sama, yaitu derajat kebungkaman (makhluk). Saat itu pula, setelah pengakuan ketakberdayaan dan permohonan pertolongan (kepada sang Penolong: Khalik), kita akan mampu mengambil alih perspektif mereka yang berada di lokasi bencana, mereka yang menjadi korban, yaitu kita ini sama-sama tak berdaya. Apalagi kita mengetahui, gempa bumi yang terjadi belumlah berujung pada kehancuran total, kehancuran sebelum hari pembalasan atau hari kiamat. Di mana “tolong27

| Edisi 27 Tahun 2020


Opini

menolong� telah hapus. Malahan di lokasi peritiwa ini masih menyisahkan nyawa yang akan berjuang melanjutkan hidup. Seperti kata kakak perempuan saya, “Masih memiliki cahaya harapan diwajahnya.� Kita pun yang berada di lokasi lain yang cenderung aman juga masih hidup. Oleh karena kenyataan kebungkaman itu pula dalam kehidupan bersama, sesama makhluk bungkam, sepantasnya relasi kita hanyalah kepedulian. Setelah kebungkaman itu, suara hati (fitrawi) kita berbunyi. Dan yang paling pertama berbunyi adalah suara kepedulian. Kita yang tidak berada di lokasi bencana akan mampu merasakan bahwa saya dan dia satu: Kita. Kita harus melakukan sesuatu yang dapat mengangkat sesama kita, semampu kita, dari penderitaannya. Mungkin kita bisa menyebut hal itu dengan menolong. Tetapi dalam empati, penolong dan yang ditolong tidak memiliki relasi yang hirarki atau tinggirendah, tetapi malahan setara, senasib, sepenanggungan. Bukankah kita manusia hidup dengan berteman kematian? Bahkan jikapun tanpa peristiwa yang dahsyat seperti gempa bumi, jika kita terus menyadari, kita selalu bersama dengan kematian. Sesuatu yang nabi-nabi sepanjang masa menyuruh umatnya selalu mengingatnya. Mungkin agar manusia dapat selalu merasakan momen kebungkaman itu. Jadi setelah kebungkaman sebagai pengalaman yang otentik dan eksistensial. Kematian bisa dikatakan adalah memori kolektif sesama manusia. Dengannya, sesama manusia-manusia dapat saling merasakan perasaan satu sama lain untuk selanjutnya dapat saling berempati. Adapun diskursus yang semestinya pertama-tama muncul dari suatu peristiwa bencana sudah sepantasnya jika itu adalah diskursus kepedulian atau empati. Manusia yang “hidup bersama kematian�, kepastian akan matinya, cara pandang pada sesama manusia lebih cocok dengan cara pandang empati. Empati – merasakan penderitaan sesama, dan berusaha meringankannya dengan melakukan sesuatu, walau sekecil apapun usaha. Bahkan sekecil-kecilnya usaha menurut nabi yang suci bukankah adalah mendoakan? Bukankah mendoakan juga berarti kita berempati, menyatukan diri dan bersikap peduli dengan mereka yang kita doakan? Setelah memikirkan dan mengambil hikmah dari perjumpaan dengan sahabatnya yang menjadi korban. Bagi kakak saya, gempa tidak hanya terjadi di kota Palu saat itu. Menurutnya, bersamaan dengan gempa di alam yang bergetar, menghancurkan, meluluh-lantakan bangunan dan menelan

korban jiwa. Juga, pada diri kita, diri setiap orang yang menyaksikannya, pun sedang diguncang gempa. Senantiasa terjadi gempa dalam diri kita. Saat musibah yang menimpa saudara-saudara kita sesama manusia di tempat lain, walau mungkin kita tidak berada dalam kondisi gempa harfiah itu, di dalam diri kita juga terjadi gempa maknawi. Makna yang timbul dengan berhadapan dengan peristiwa. Makna yang timbul dari momen ketakutan, ketukatan yang membungkam, kebungkaman yang membuka selubung hati nurani, dan nurani yang menghasilkan kepedulian; itulah empati. Kita sama-sama ketakutan dan tidak berdaya di hadapan kehancuran itu. Perbedaanya kita mungkin tidak merasakan kehancuran bangunan. Tetapi dalam diri kita, hati kita tergetar. Kemanusian kita tersentuh, dan kita tahu dorongan baik dalam diri kita, dorongan fitrawi, getaran jiwa, gempa kemanusian, sedang menghancurkan pelan-pelan ke-aku-an kita. Gempa yang meretakkan batu keacuhan dan ketidakpedulian, kesombongan, rasa angkuh, yang secara tidak kita sadari (terselubungi lewat kata-kata kita), telah membendung deras kepedulian dalam diri kita. Kini gempa itu menjebol bendung itu dan kita tahu hasil dari gempa dalam diri kita akan membungkam diri kita dihadapanNya. Membuka curahan kasih sayangNya lewat kita pada sesama. Bukan pesimisme atau penghakiman atau sikap melemahkan yang mengemuka. Justru gempa dalam diri adalah menjadi jalan, sarana, meluapkan rasa empati dan kepedulian kita. Dengan spontan kita tahu, berdasarkan akal pikiran dan hati nurani kita menyadari tugas untuk saling membantu sesama, semampu, sekecil usaha kita. Bukankah seluruh pesan dalam ayat-ayat suci yang kita jadikan pegangan itu juga diperuntukan untuk diri kita masing-masing? Dan bukankah Tuhan, lewat ayat-ayat suciNya, di banyak tempat memerintahkan kita untuk saling tolong-menolong di dunia? Sementara di dunia, sebelum hari pembalasan tiba, hari di mana tidak ada lagi “Tolongmenolong� di antara kita. Kalau begitu, sekaranglah waktu yang tepat untuk berempati sejak dari pikiran, kata-kata, dan perilaku kita pada sesama. Mari kita panjatkan harapan, doa keselamatan, kepada para korban bencana alam atau yang sedang diuji dan coba dengan berbagai kesulitan, dimanapun berada, terkhusus untuk diri kita semua. Al-Fatihah.

Bukankah seluruh pesan dalam ayat-ayat suci yang kita jadikan pegangan itu juga diperuntukan untuk diri kita masing-masing?

28

| Edisi 27 Tahun 2020



Destinasi

DESTINASI SEJARAH DAN SISI LAIN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN Teks Oleh: Haeril Anwar, dkk. Foto Oleh: Diaz Antama Putra

Sulawesi Selatan merupakan provinsi yang beragam akan suku, agama, dan kebudayaan. Keberagaman ini menjadi magnet tersendiri untuk memikat para pelancong. Mereka berdatangan untuk menikmati kekayaan yang tersuguh di provinsi ini. Salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki banyak destinasi baru ini ialah Kabupaten Maros. Berjarak sekitar 25 Km dari Kota Makassar, Kabupaten Maros memiliki daerah dengan ciri perbukitan yang sangat indah dan nyaman, menjadikannya tempat yang menjadi daya tarik wisatawan asing maupun lokal.

30

| Edisi 27 Tahun 2020


Destinasi

Sungai di Biseang Labboro Maros.

Daerah yang menjadi penghubung ke kabupaten lain ini telah memiliki akses baru, tepatnya Trans Maros menuju Kabupaten Bone. Masyarakat yang sering melintas jalur ini biasa menyebutnya jalur Camba (nama Kecamatan di Maros). Barubaru ini jalanan itu menjadi persinggahan bagi sebagian orang yang melewati jalur Camba. Hal ini karena pemandangan di daerah tersebut mempunyai daya pikat tersendiri. Jalanan ini berada tepat di depan tempat wisata permandian Maros Water Park. Pengelola Maros Water Park mengatakan jika banyak masyarakat singgah di atas jalan flyover untuk berfoto. Hal ini disebakan karena tebing di sekitar are terkikis dan sangat cocok untuk spot foto. Tidak jauh dari Maros Water Park, terdapat tempat wisata yang sarat akan sejarah. Tempat ini dikenal dengan Biseang Labboro’ atau Bislab. Konon katanya zaman dahulu ada seorang saudagar dari Cina yang datang untuk melamar gadis dari Samangki. Akan tetapi lamarannya ditolak oleh gadis yang disukainya itu. Saudagar tersebutpun malu dan mengkaramkan kapalnya. Fosil dari kapal yang membatu tersebut kini dikenal dengan Biseang Labboro’ atau yang dalam

bahasa Makassar berarti Kapal yang Terdampar (dilansir dari anekawisatanusantara.blospot. com) Sebelum sampai ke Bislab, pengunjung harus berjalan kaki 2 Km. Bagi yang merasa ini cukup jauh, tenang saja, karena pengunjung tidak akan merasah lelah dan jenuh. Semua terbayar dengan keindahan pemandangan tebing bukit sekeliling perjalanan. Ditambah banyaknya flora dan fauna yang jarang ditemui di perkotaan, salah satunya hewan kuskus yang dipamerkan di sekitaran rumah penduduk. Namun akhir-akhr ini tempat itu tidak dibuka seperti biasanya karena adanya pengembangan dan pembenahan infrastruktur. Terlihat sedang dilakukan pengerjaan bagian tebing di kawasan luar Bislab. Masyarakat yang tinggal di daerah tersebut mengatakan bahwa setelah dibukanya jalan flyover, Bislab kemudian akan dijadikan tempat untuk pusat wisata. Oleh karena itu saat ini dilakukan pengerjaan jembatan kaca di tebing sekitar jalan. Adabanyakdampakyangditimbulkansaat dan setelah dilakukannya pembangunan daerah trans kabupaten tersebut. Camba yang sekarang mempunyai jalan baru

merupakan pengembangan dari jalan lama yang dianggap sempit dan sering terjadi kecelaakaan di tikungan. Sekarang jalanannya diperlebar, tikungan pun dibuat tidak terlalu curam serta ada pengikisan tebing. Lebih dari itu semua, seorang ibu bercerita tentang bagaimana keuntungan begitu meningkat karena 700-an pekerja didatangkan dari Pulau Jawa setiap hari ke warungnya. Sangat jauh berbeda ketika para pekerja itu telah menyelesaikan seluruh tugasnya dan kembali pulang ke Pulau Jawa. Hasna (48), seorang penjual warung mengaku dagangannya menjadi sepi. Kadang satu hingga dua hari tak ada pembeli. “Padahal waktu ada orang kerja di sini bisa ada uang lebih untuk kasih sekolah anak-anak,� tuturnya. Dampak lain yang dialami masyarakat ialah mereka harus bersiap sewaktuwaku rumah mereka dijadikan jalanan. Pemerintah setempat telah melakukan sosialisai dan memberi himbauan kepada pemilik tanah yang tidak punya surat izin resmi. Mereka harus bersiap-siap pergi jika sewaktuwaktu ada lanjutan pembangunan. Sebelumnya ada beberapa rumah yang telah dipindahkan karena terkena pembangunan jalan. Ini merupakan tanggungjawab pemerintah yang tidak lepas tangan untuk tetap memperhatikan dampak sosial ke depannya. 31

| Edisi 27 Tahun 2020


Cerita Pendek

MATAHARI YANG BISU DAN BINTANG YANG BUTA Teks Oleh: Aziziah Diah Aprilya Ilustrasi Oleh: Annysa Nur Agafanthy

M

atahari. Itulah nama yang diberikan kepada gadis kecil yang tuli itu. Umurnya 10 tahun dan tepat beberapa bulan setelah dia lahir, pemilik panti asuhan menemukannya di depan pintu panti dengan sepucuk surat. “Jaga dia.� Dua kata di surat itu membuat bunda, pemilik panti hanya bisa menghela napas. Sudah berkali-kali dia mendapatkan bayi di depan panti asuhannya itu, tapi baru kali ini dia mendapatkan surat yang sependek itu. Lalu dia sadar bayi perempuan di

32

| Edisi 27 Tahun 2020

depannya itu tampak sangat cantik dengan bola mata berwarna biru, bibir tipis, dan kulit putih langsat. Hasil perpaduan negara barat dan timur yang sempurna. Tiba-tiba saja nama Matahari terlintas dipikirannya dan dia memutuskan memberi nama bayi cantik itu dengan Matahari. Mungkin karena dia menemukannya saat matahari baru saja terbit di timur sana. Tentu saja bunda menyadari sesuatu yang aneh di Matahari. Sejak

pertama kali Matahari ditemukan di depan pintu, dia tidak pernah menangis dan tertawa sedikitpun. Dia bahkan akan dikira boneka kalau dia tidak pipis dan bernapas. Bunda kemudian sadar, Matahari mengalami tuna rungu sejak dia lahir. Sejak itu bunda belajar bahasa isyarat dan mengajarkannya kepada Matahari sejak dia sudah mulai mengerti kekurangannya. Matahari kemudian tumbuh dan menjelma menjadi gadis kecil yang sangat cantik. Bunda kadang menatapnya


Cerita Pendek

dengan kagum dan berpikir betapa sempurnanya Matahari jika dia bisa mendengar dan berbicara. Tapi Matahari pernah menulis di meja kecilnya, “Aku bahagia bisa tuli karena ibu guru tidak akan menunjuk seseorang yang tuli.” Matahari sama sekali tidak pernah mengeluh. Dia bahkan belajar melukis, menulis, dan membaca apa saja untuk mengisi keheningannya. Matahari lalu sadar bahwa betapa beruntungnya dia hanya tuli dan bisu. Dia pikir jika dia buta, dia tidak akan bisa melihat pelangi dan bintang di malam hari yang indah. Lalu tiba-tiba Matahari berpikir kembali, “Setidaknya orang buta bisa mendengar suara yang indah. Matahari kemudian menyerah memikirkan kelemahan yang lain dan mulai bersyukur setidaknya dia masih bisa hidup.” Kemudian suatu hari, Matahari menanyakan darimana dia berasal kepada bunda. “Aku tau bunda tidak mungkin melahirkanku dan semua 7 anak disini karena aku putih, Heri hitam, dan bunda cokelat,” kata Matahari menggunakan bahasa isyaratnya. Bunda hanya tertawa kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya, penasaran tentang bagaimana Matahari mengetahui pelajaran dasar biologi itu. “Kau tidak boleh mengatakan Heri hitam.” Bunda membalasnya dengan bahasa isyarat dan itu membuat Matahari bingung karena bukan itu tanggapan yang dia inginkan. “Aku tidak pernah bilang Heri menjadi buruk karena dia hitam,” “Aku hanya ingin tau siapa orang tuaku karena aku yakin ibuku yang sebenarnya bukan bunda,” Matahari menunggu tidak sabaran jawaban dari Bunda, dia tau Bunda bukan ibu kandungnya karena rupa mereka yang jauh berbeda. Matahari menyadari itu ketika dia membaca buku tentang seekor kelelawar yang dibesarkan oleh seekor bebek.

“Jadi kamu tidak suka kalau bunda menjadi ibu kamu?” tanya bunda dengan raut sedihnya. Sekali lagi Matahari tidak mendapatkan jawaban yang dia inginkan, malah menurutnya itu pertanyaan yang sangat bodoh dari seorang bunda. “Aku cinta bunda dan tidak ada yang bisa menggantikan bunda. Aku hanya ingin tau siapa orang tuaku,” Dia mengulangi kalimat itu lagi. Matahari hanya ingin tau siapa orang tuanya. Inilah yang membuat Matahari bersyukur bahwa dia juga bisu, Matahari tidak bisa berteriak kesal kepada bunda. “Jujur, bunda juga tidak tau. Kamu tiba-tiba ada di depan pintu panti asuhan saat kamu bayi,” Jawab bunda akhirnya. Matahari menghelanapas panjang karena dia hanya mendapatkan jawaban tidak tau dari kekesalannya. Walaupun setidaknya dia tidak perlu penasaran lagi karena bagaimanapun hanya bunda harapan terakhirnya tentang asal usulnya. Sebelum Matahari pergi, dia berkata dengan bahasa isyarat, “Ngomongngomong, hitam bukan warna yang buruk, bunda,” Dan itu membuat bunda tersenyum bahagia, menyadari betapa beruntungnya dia mempunyai Matahari. Matahari menyukai bintang. Kamarnya penuh dengan bintangbintang tempelan. Matahari juga sering melukis langit malam yang penuh dengan bintang. Di ulang tahun ke 10-nya kali ini, bunda menghadiakan kanvas besar dan cat air untuknya. Tapi Matahari hanya menggunakan warna hitam dan putih untuk melukis langit dan bintang. “Kenapa kamu tidak melukis yang lain?” tanya bunda suatu saat, melihat cat hitam dan putih yang semakin menipis sedangkan cat warna lain masih utuh seperti baru. “Karena aku suka langit dengan bintang dan bintang tidak keliatan

indah di warna yang lain. Hanya di hitam,” jawabnya polos. Heri, lelaki seumurannya yang membuat dugaannya kuat bahwa mereka tidak bersaudara kandung karena warna kulitnya jauh berbeda itu mendatanginya. Heri mendatangi Matahari dengan setumpuk buku. “Ajari aku membaca,” ujar Heri dengan bahasa isyarat yang patahpatah. Matahari menatapnya malas dan hanya menggelengkan kepala, tanda tidak mau. Heri lalu menariknarik lengan Matahari dengan tatapan memelas. Matahari tidak akan luluh dengan wajah itu. Sebenarnya Matahari sudah pernah mencoba mengajarkan Heri membaca, tapi menjadi guru membaca yang tuli dengan murid yang kurang mengerti bahasa isyarat dan pemalas seperti Heri sangatlah sulit. Ya, Matahari menggunakan kata “pemalas” bagi seseorang yang susah mengerti ketika sudah dijelaskan berkali-kali. Bagi Matahari, bunda yang sangat normal dan sabar saja sudah menyerah mengajarkan Heri membaca, apalagi dirinya yang tuli dan bisu. “Kau yang paling pintar diantara kami,” puji Heri, kali ini dengan bahasa isyarat yang lancar. Matahari menduga dia belajar dengan baik kalimat isyarat itu untuk mengambil hatinya. “Ya, karena aku yang paling pintar makanya aku percaya aku bukan saudaramu,” balas Matahari dengan gerakan isyarat yang sangat cepat. Tentu saja Heri tidak mengerti isyarat itu dan hanya kembali memasang wajah memelas. Matahari sebenarnya tidak sejahat itu, dia gadis yang sangat baik kepada semua orang. Hanya saja Heri sering membuat Matahari jengkel dengan tingkahnya yang mau hasil tapi tanpa usaha. Sudah berkalikali Matahari mengingatkan Heri bahwa kunci membaca dengan lancar adalah latihan membaca sendiri. Tapi Heri malah melupakan latihan dan sibuk bermain petak umpet dengan anak yang lain. 33

| Edisi 27 Tahun 2020


Cerita Pendek

“Lagipula aku tuli dan bisu. Aku bukan orang yang tepat untuk mengajarim,� Matahari mengeluarkan jurus terakhirnya, jurus yang paling dia benci yaitu mengatakan kekurangannya. Matahari dengan pelan-pelan menggerakannya tangannya untuk kalimat itu agar Heri mengerti. Heri lalu terdiam dan menghela napas panjang. Dia tau Matahari benar sekalipun dia sebenarnya kagum dengan Matahari karena dia bisa apa saja dengan kekurangannya itu. “Kau mungkin bisa meminta bunda untuk memberimu guru membaca dari luar,� saran Matahari. Tapi nampaknya Heri tidak mengerti isyarat kali ini dan dia hanya memilih berlalu pergi dengan setumpuk bukunya. Tiba-tiba dia melangkah mundur seperti menyadari sesuatu. Dia mengambil buku paling atas dan memberikannya pada Matahari. “Kurasa kau akan menyukainya,� kata Heri. Dia kemudian pergi betulan. Matahari hanya menatap takjub buku itu yang sepertinya buku dongeng. Matahari menyukai sampul buku itu yang memperlihatkan langit malam dengan satu bintang jatuh yang digambar dengan sangat indah. Matahari lalu membuka buku itu dan benar itu adalah buku dongeng tentang bintang. Bintang yang buta. Pada malam hari, Matahari tidak bisa tertidur. Dia menatap buku dongeng itu dan kemudian membuka jendela. Benarkah bintang itu buta? Tanyanya. Matahari telah selesai membaca buku

dongeng itu, tapi dia masih bertanyatanya kenapa bintang itu buta. Sama seperti pertanyaannya yang sampai sekarang tidak terjawab, kenapa Matahari tuli? Matahari melihat ke langit yang malam ini penuh dengan bintang. Dia bahagia melihatnya. Matahari lalu menaikkan telunjuknya dan menulis dengan titik-titik bintang itu menjadi nama teman-temannya, nama bunda, namanya, dan nama bintang yang buta. Bintang yang Buta, tulisnya di atas sana. Dia tertawa sendirian dan kemudian memperhatikan kembali langit malam yang indah itu, lalu entah kenapa dia menutup matanya. Angin tiba-tiba berhembus, membelai rambut panjang Matahari. Saat itu tiba-tiba juga ada sebuah suara. Untuk pertama kalinya Matahari mendengar sebuah suara. “Aku tidak buta dari lahir seperti kamu yang tuli dari lahir,� ujar suara itu. Matahari membuka matanya kaget dan ketakutan karena dia bisa mendengar suara itu. Aku bisa mendengar? Tanyanya dalam hati. “Iya kau bisa!� jawab suara itu. Matahari tidak mengajukan pertanyaan kepada sumber suara itu, dia tidak suka dengan orang yang menjawab tanpa diminta. Tapi dia juga tidak mengerti kenapa dia tiba-tiba bisa mendengar. Suara itu tiba-tiba bernyanyi, untuk pertama kalinya Matahari mendengar nyanyian dan itu sangat indah. Matahari merasa ingin menangis. Dia mencari dimana sumber suara

itu, lalu cahaya putih kekuningkuningan itu menampakkan dirinya dalam bentuk bintang di atas sana. Bintang itu sudah berada di sana sejak bumi terbentuk. Dia tidak pernah pindah. Dia sudah melihat beberapa hal yang terjadi di bumi. Punahnya dinosaurus, kota-kota yang tidak pernah tidur, pesawat yang jatuh, bahkan seorang presiden yang ditembak mati. Matahari melihatnya dengan tatapan aneh karena itu cerita pertama yang dia dengar dengan telinganya dan dia bingung ingin membalasnya bagaimana. “Aku paham isyarat tanganmu,� kata bintang dengan nada yakin. Tapi dia kan buta, kata Matahari dalam hatinya. “Oh iya! Aku ternyata sudah buta,� sahut bintang, entah bagaimana caranya bisa membaca pikiran Matahari. “Matahari yang bisu dan bintang yang buta bukan perpaduan yang baik bukan? untung kau bisa mendengar suaraku,� Bintang itu mengoceh sendirian membuat Matahari sedikit kesal karena banyak sekali yang ingin dia tanyakan. Kenapa aku bisa mendengar suaramu? Matahari mencoba bertanya dalam hatinya. Dia yakin bintang itu akan membalasnya. “Kau tau, sebenarnya semua orang tuli bisa mendengar satu suara. Ya, kalau dia mendengarnya baik-baik dan kali ini kau mendengarku baikbaik. Terima kasih Matahari,� jawab bintang. Bintang buta itu lalu bercerita bahwa dia sudah memperhatikan Matahari sejak dia ditemukan di

Dia tertawa sendirian dan kemudian memperhatikan kembali langit malam yang indah itu, lalu entah kenapa dia menutup matanya. Angin tiba-tiba berhembus, membelai rambut panjang Matahari. Saat itu tiba-tiba juga ada sebuah suara. Untuk pertama kalinya Matahari mendengar sebuah suara.

34

| Edisi 27 Tahun 2020


Cerita Pendek

depan pintu panti asuhannya. Dia menyaksikan Matahari tumbuh dan menjadi gadis kecil yang cantik dan berbakat. Bintang itu mengagumi Matahari.

sembunyikan, Matahari,” Ini tidak adil. Kau bisa mengetahui apa saja tentangku. Sedangkan aku hanya terlihat seperti orang bodoh yang menebak-nebak.

“Aku selalu yakin kau akan mendengarku suatu hari nanti dan ternyata kau memang mendengarku,” Lalu kenapa kau buta?

“Kau juga bisa mengetahui apa saja tentangku,”

“Lampu-lampu kota itu yang membutakanku. Seandainya mereka padam, penglihatanku akan kembali,” Kau seharusnya harus bersyukur karena masih buta, aku bahkan tuli dan tidak bisa berbicara. Ya, walaupun sekarang ini aku bisa mendengarmu. “Kalau aku buta, aku tidak bisa melihat betapa cantiknya wajahmu, Matahari,” Aku bisu dan aku bahkan tidak bisa mendengar suaraku sendiri. “Tapi kau bisa melihat mata orang lain. Mata adalah jendela hati dan hati tempat dimana segalanya terlihat jelas, bahkan tanpa suara atau kata,” Tidak perlu mata, bintang. Kita tidak perlu melihat hati, yang kita perlu adalah merasakannya. Lalu bintang itu terdiam. “Kau benar. Aku melihat banyak tempat luas di dunia ini, tapi tidak ada yang pernah seluas hati,” Bintang mencoba menunjukkan pengetahuannya. Dia merasa malu telah kalah satu kalimat pada Matahari yang berumur 10 tahun. Kau tidak nyambung, tapi aku suka itu. Tidak ada tempat yang seluas hati. “Kau bahkan bisa menemukan orang tuamu di hati,” Bintang itu kembali bersemangat. Matahari terdiam dan menatap Bintang. Darimana kau tau aku mencari orang tuaku? Matahari lalu sadar Bintang itu bisa mengetahui apa saja dari atas sana, termasuk pertanyaannya pada bunda waktu itu. “Kau bahkan sudah menyadarinya barusan. Tidak ada yang bisa kau

“Cari di hatimu. Kita sudah sepakat kan hati adalah tempat yang luas?” Oh ya, tapi kita tidak pernah sepakat soal kita bisa menemukan apa saja di hati. “Tentu saja bisa, untuk apa hati luas kalau isinya tidak ada?” Mudah sekali mengatakannya, Bintang. Tapi percayalah, melakukannya dan bertanya-tanya pada hatiku sendiri tentang dimana hal itu terdengar gila. “Yah, makanya dicari. Kau sudah tau kan negara ini luas, untuk mengetahui di mana pantai terindah yang kita harus lakukan adalah mencari. Sama halnya dengan hati. Kita sudah sepakat hati itu tempat terluas kan? Jadi kalau kau mau mengetahui tentang orang tuamu atau diriku, kau harus mencari. Percayalah,” Bagaimana caranya mencari? Matahari sebenarnya sedikit kesal pada Bintang tapi ada sesuatu yang bergerak di dalam dirinya, entah apa namanya dan setiap jawaban yang diucapkan Bintang seperti mewakilkan segala jawaban yang selalu dia tunggu. “Kau harus mencintaiku,” Matahari menghela napas panjang. Maksudmu apa dengan mencintaimu? Seperti aku mencintai bunda dan temantemanku? “Ya, mungkin seperti itu. Tapi aku lebih menyukai seperti bunda yang mencintaimu. Dia tidak cacat sedikit pun tapi dia belajar bahasa isyarat demi dirimu karena dia mencintaimu,” Matahari terdiam. Dia tidak pernah menyadari itu sebelumnya dan tiba-tiba dia merasa bersalah karena tidak

pernah berterima kasih pada bunda untuk itu. “Begitulah manusia, selalu melewatkan hal-hal yang kecil. Padahal kadang disanalah isi hati ditemukan,” Bintang itu mengoceh sendirian, Matahari menunduk dan merasakan sesuatu yang hangat di matanya. Aku juga mencintai bunda. Sangat. “Bunda menemukan cinta di dalam hatinya yang luas dan itulah temuan yang paling berharga. Harta karun di dalam hati kita. Kau juga punya itu, Matahari.” Aku sudah menemukannya?. “Ya, kau sudah menemukan apa yang seharusnya paling dicari.” Tiba-tiba angin datang sangat cepat dan menutup jendela, membuat Matahari terjatuh karena kagetnya. Lukisanlukisannya juga ikut terjatuh, dia lalu berdiri dan membereskan lukisanlukisannya itu. Dalam kegelapan, dia bisa melihat warna putih yang seperti menyala-nyala dalam lukisannya itu. Tiba-tiba dia menyadari satu hal. Ya, aku sudah menemukannya. Matahari tersenyum bahagia dan membuka jendela untuk memberitahukan Bintang tentang itu. Tapi, cahaya kuning yang menyala sendirian itu telah hilang. Matahari sampai mengeluarkan setengah badannya keluar untuk mencari cahaya itu di langit, tapi tetap saja Bintang itu tidak ada. Cari di hatimu. Suara itu seperti muncul dalam dirinya sendiri dan dia terpaku sesaat karenanya. Matahari kemudian duduk di tepi kasurnya dan menatap buku dongeng itu. Bintang yang Buta. Dia lalu memeluk buku itu. Besok kau tidak akan buta lagi Bintang, aku akan menyuruh orang-orang mematikan lampunya saat malam hari. Aku janji. Lalu Matahari sadar, di dalam dirinya tiba-tiba ada yang berdesir. Matahari mengetahui dia mencintai Bintang. Untuk malam ini, Matahari merasa telah menemukan harta karun di dalam hatinya itu. 35

| Edisi 27 Tahun 2020


Berjalan di tengah kebakaran sampah, 2019. Foto oleh: Imam Akhmad Arafah

36

| Edisi 27 Tahun 2020


37

| Edisi 27 Tahun 2020


Lingkungan

ADA APA DENGAN PERSPEKTIF LINGKUNGAN? Teks Oleh: Andy Marko Ilustrasi Oleh: Ilvi Nurul Izzah

I

ndonesia begitu kaya dengan sumber daya alamnya. Begitupun penduduknya yang padat mempengaruhi keberlangsungan makhluk hidup lain yang menjadi penghidupannya. Di sinilah muncul masalah akibat kebutuhan yang sangat melonjak tinggi, mulai dari kebutuhan yang besar hingga ke hal-hal sederhana seperti pembungkus makanan dan minuman yang terbuat dari plastik sekali pakai. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia pada tahun 2016 memproduksi sampah 65 juta ton. Jumlah ini meningkat pada tahun 2017 menjadi 67 juta 38

| Edisi 27 Tahun 2020

ton dan tahun 2019 sekitar 66 sampai 67 juta ton. Adapun jenis sampah yang mendominasi ialah sampah organik sekitar 60 persen dan sampah plastik yang mencapai 15 persen, terutama di daerah perkotaan. Data tersebut menunjukkan peningkatan sampah plastik dalam 10 tahun terakhir. Di Kota Makassar sendiri volume sampah mencapai 600700 ton setiap hari. Salah satu kota besar di Indonesia yang sedang berkembang ini mempunyai masyarakat yang memiliki kebutuhan dasar dengan jumlah yang tinggi. Hal ini kemudian berbanding lurus dengan volume sampah yang


Lingkungan

dihasilkan. Sayangnya, peningkatan sampah ini tidak diiringi dengan pengelolaan sampah yang baik. Sistem pengelolan sampah tersebut meliputi pengumpulan, dan pengangkutan yang berakhir di TPA Tamangapa. TPA Tamangapa merupakan tempat pemrosesan terakhir sampah yang sampai saat ini menggunakan metode open dumping. Untuk skala kota besar seharusnya menggunakan metode sanitary landfill. Di sisi lain, sarana dan prasarana memang belum memadai untuk pengoperasian metode sanitary landfill di TPA ini Tidak dapat dipungkiri, semakin hari sampah kian bertambah jumlahnya. Belum lagi maraknya pembuangan sampah sembarangan. Apa yang membuat permasalahan ini ada, pun sekarang belum selesai?

Era digital menjadi salah satu hal yang membantu membangun cara pandang kita terhadap suatu hal. Banyaknya informasi yang berbedabeda, membuat seseorang memilih hal mana yang ingin ia percayai berdasarkan preferensinya. Di sisi lain, seseorang juga perlu menelaah informasi yang didapatkannya. Pandangan-padangan keliru yang akhirnya terbentuk ini salah satunya menyangkut pandangan akan lingkungan hidup. Menurut Undang Undang No 32 tahun 2009, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan,

dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Lingkungan hidup yang sebagian orang ketahui ialah makhluk namun sebagian lagi memandangnya sebagai objek semata. Hal ini disebabkan oleh cara pandang terhadap lingkungan hidup itu sendiri. Kurangnya referensi dan pengalaman dapat membuat perilaku seseorang menjadi keliru. Sebagian orang yang memiliki kepentingan ekonomi dalam mengeksplorasi lingkungan tak memandangnya sebagai makhluk yang harus dijaga keseimbangannya. Mereka berlebihan dalam melakukan pengelolaan demi kepentingan finansial. Jika kita ingin menyelesaikan permasalahan ini, mari mulai untuk memosisikan lingkungan hidup sebagaimana kedudukan yang dimilikinya. 39

| Edisi 27 Tahun 2020


Technoside

GOOGLE ATAP, TEKNOLOGI YANG MENGUBAH INTERAKSI MANUSIA Teks & Ilustrasi Oleh: Muh. Yahya Alkautsar

P

ernahkah Anda berangan-angan tentang masa depan di mana manusia dapat mengendalikan produk-produk elektronik dengan menggunakan jari? Atau pernahkah Anda membayangkan produk fashion yang dapat terintegrasi dengan smartphone Anda? Ya, teknologi seperti itulah yang sedang dikembangkan oleh Google ATAP. Sebelumnya, apakah Google ATAP itu? Kita semua pasti sudah tahu apa itu Google. Penyedia jasa produk internet raksasa ini sudah sangat melekat pada setiap sendi kehidupan kita. ATAP

40

| Edisi 27 Tahun 2020

sendiri merupakan kepanjangan dari Advanced Technology and Projects, yaitu sebuah tim kecil yang dulunya merupakan divisi dari Motorola sebelum Motorola dibeli oleh Google. Keunikan dari tim kecil ini ialah struktur kerjanya yang sederhana dan jumlah mereka yang sedikit. Hal itu dilakukan demi membuat ruang kerja yang terfokus untuk menghasilkan inovasi teknologi. Sebuah prinsip kerja yang digunakan Vice President Google, Regina Dugan ketika ia masih bekerja di DARPA (Badan Proyek Riset Lanjut Pertahanan AS).

Google ATAP biasanya memberikan informasi mengenai kelanjutan proyek yang sedang mereka kerjakan melalui situs resminya. Namun sebenarnya banyak proyek-proyek individual mereka yang dirahasiakan sampai proyek tersebut sudah benar-benar matang untuk dipublikasikan. Saat ini, mereka sedang mengerjakan dua proyek, yaitu Project Soli dan Project Jacquard. Project Soli Mengatur volume speaker dengan gerakan jari, menyetel alarm jam


Technoside

tangan, hingga mengendalikan handphone tanpa menyentuhnya. Teknologi ini memanfaatkan ide radar yang menggunakan frekuensi radio untuk mendeteksi gerakan kecil yang dibuat oleh jari manusia secara akurat. Memang terdengar sederhana, namun bila dimanfaatkan dengan baik, teknologi ini memiliki potensi yang sangat besar dalam mengubah cara kita berinteraksi dengan produk elektronik yang ada saat ini. Jentikan jari, sentuhan antara ujung jari telunjuk dengan ibu jari, mengusap jari, semua interaksi tersebut akan diterima oleh sensor, kemudian ubah menjadi bentuk gelombanggelombang yang kemudian akan dibaca oleh perangkat elektronik, dan menghasilkan sebuah timbal balik dari perangkat elektronik tersebut. Masih ingatkah anda zaman sebelum adanya teknologi layar sentuh? Segala produk elektronik bergantung pada tombol mekanikal. Namun setelah teknologi layar sentuh diciptakan, zaman serasa tiba-tiba berubah, segalanya mulai dari handphone, mesin minuman, ATM, dan lainnya, berlomba-lomba untuk menerapkan teknologi layar sentuh pada produkproduk mereka, dan pada akhirnya lihatlah bagaimana kita berinteraksi dengan teknologi sekarang ini. Bila produk ini diluncurkan, bayangkan bila segala produk elektronik

menerapkannya, kita akan lebih mudah mengendalikan produk-produk elektronik yang ada. Dan karena ukurannya yang bahkan lebih kecil dari sebuah kancing baju, teknologi ini menjadi sangat praktis bagi produsenprodusen produk elektronik untuk menerapkan teknologi ini ke dalam produk mereka. Project Jacquard Mirip dengan Project Soli, proyek ini juga berkaitan dengan interaksi manusia dengan produk elektronik. Berangkat dari prinsip dasar teknologi layar sentuh yang menggunakan semacam benang-benang halus yang ditempatkan dibawah kaca transparan, muncul lah pertanyaan “Mengapa kita tidak membuat benang yang memiliki fungsi yang sama?� Itulah yang dilakukan Google ATAP dalam Project Jacquard. Google ATAP mengembangkan benang-benang khusus yang mendeteksi sentuhan dari manusia layaknya sebuah layar sentuh. Kemudian respon dari sentuhan tersebut dapat disalurkan kepada produk-produk elektronik tertentu seperti TV, handphone, jam tangan, dan lainnya. Bayangkan saja bagaimana bila Anda dapat mengganti channel televisi dengan menekan lengan baju Anda.

Benang ini hampir tidak ada bedanya dengan benang biasa. Pengguna busana yang menggunakan benang ini dalam produk mereka pun tidak akan merasakan adanya perbedaan dalam busana mereka. Dengan teknologi ini, Google memberikan kesempatan bagi para desainer fashion untuk memanfaatkan benang-benang ini ke dalam produk-produk busana mereka. Mereka dapat berkreasi dalam desain busana tanpa memaksa mereka untuk memiliki pengetahuan tentang teknologi. Karena yang perlu mereka lakukan hanyalah menempatkan benang-benang tersebut dalam desain mereka dan membiarkan para produsen elektronik yang menyesuaikannya dengan produk mereka. Dalam waktu dekat ini, Google bekerja sama dengan Levi’s juga akan meluncurkan sebuah jaket yang dilengkapi dengan benang dari Project Jacquard ini. Selain kedua proyek tersebut, Google ATAP sebenarnya sudah pernah meluncurkan beberapa proyek lainnya, namun kini mereka sudah berdiri independen terpisah dari manajemen Google ATAP. Contohnya yaitu Project Ara, Project Tango, Project Abacus, dan Project Vault.

Google ATAP biasanya memberikan informasi mengenai kelanjutan proyek yang sedang mereka kerjakan melalui situs resminya. Namun sebenarnya banyak proyek-proyek individual mereka yang dirahasiakan sampai proyek tersebut sudah benar-benar matang untuk dipublikasikan. Saat ini, mereka sedang mengerjakan dua proyek, yaitu Project Soli dan Project Jacquard.

41

| Edisi 27 Tahun 2020


Komunitas

DARI KEDERMAWANAN DAN KERELAWANAN UNTUK KEMANUSIAAN DAN PERADABAN DUNIA Teks Oleh: Siti Lestari Rahmadani & Wildan Maulana Foto Oleh: Dokumen Pribadi ACT

Setiap dari manusia pasti memiliki nurani, hal tersebut yang membuat manusia berbeda dari mahluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Dengan memiliki nurani, rasa peduli terhadap satu sama lain hadir dan rasa tersebut penting dalam hidup bersesama umat manusia. Tergeraknya hati nurani dari banyak orang yang memicu rasa peduli kemudian menghadirkan Aksi Cepat Tanggap (ACT). ACT adalah organisasi nirlaba profesional yang memfokuskan kerja-kerja kemanusiaan mulai dari kegiatan tanggap 42

| Edisi 27 Tahun 2020

darurat, pemulihan pascabencana, pemberdayaan dan pengembangan masyarakat, serta program berbasis spiritual seperti Qurban, Zakat, dan Wakaf. “Organisasi kemanusiaan ini 100% lahir dari ide orangorang Indonesia,� tegas Miftah, relawan ACT Sulawesi Selatan. Salah satu relawan yang bergabung dalam ACT Sulawesi Selatan ini membagikan berbagai informasi mengenai organisasi kemanusiaan yang kini telah menjadi


Komunitas

sebuah lembaga kemanusiaan global sejak tahun 2012. Menjadi salah satu relawan adalah hal baik yang telah dilakukannya karena rasa peduli yang ia miliki untuk orang banyak dapat tersalurkan melalui ACT. Pada tahun 1994, di Liwa, Lampung Barat, lembaga ini pertama kali melakukan kerja-kerja kemanusiaannya untuk membantu masyarakat dalam pemulihan pascabencana gempa bumi. Tonggak kemandirian lembaga ini resmi sejak menjadi Yayasan Aksi Cepat Tanggap pada tanggal 21 April 2005. Lembaga yang independen ini mencari sumber

daya bantuan lewat upayanya sendiri melalui donatur, kampanye, serta berbagai program yang ia miliki. Kantor pusat dari ACT berada di Jakarta Selatan, dan saat ini ACT masih sementara mengupayakan pengaktifan di seluruh kabupaten di Indonesia. Dalam lingkup global, ACT telah meliputi kurang lebih 22 negara yang memiliki permasalahan konflik, seperti di Suriah, Palestina, Afrika, Palestina, dan masih banyak negara lain. Melalui visinya, “Menjadi organisasi kemanusiaan global profesional berbasis kedermawanan dan

kerelawanan masyarakat global untuk mewujudkan peradaban dunia yang lebih baik,� ACT telah melahirkan berbagai program kemanusiaan hingga skala global. Telah banyak permasalahan sosial yang ACT turut serta untuk menangananinya, seperti persoalan di Gaza, Penanganan Pasca Gempa di Palu dan Lombok, Program Wakaf untuk mengurangi kemiskinan masyarakat, dan masih banyak lainnya. Dilansir melalui Sindonews.com, Ibnu Khajar, Presiden ACT, berharap bahwa bangsa ini dapat menjadi bangsa yang sangat terdepan dalam menjalani program kemanusiaan.

“Ketika kita memulai sesuatu, jangan berhenti belajar, berusaha, selalu berdoa dan yakin semuanya akan berjalan lancar, yang terpenting jangan berhenti mencoba dan jangan takut salah�

43

| Edisi 27 Tahun 2020


Sulit di balik kesulitan, 2018. Foto oleh: Irfan Ashar Pratama

44

| Edisi 27 Tahun 2020


45

| Edisi 27 Tahun 2020


Resensi Film

RAYUAN PULAU PALSU, REKLAMASI UNTUK SIAPA? Teks Oleh: Aidil Parastyo

“Mulai sekarang petani kembali ke sawah, nelayan kembali melaut, anakanak kita kembali ke sekolah, pedagang kembali ke pasar, buruh dan pekerja kembali ke pabrik, dan karyawan kembali bekerja di kantor,� ucap Jokowi, Presiden yang baru terpilih saat itu. Film dokumenter produksi WatchDoc, yang di sutradarai oleh Rudi P Saputro ini dibuka oleh pidato kemenangan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla atas kemenangan pada Pemilu 2014 di Pelabuhan Sunda Kelapa, 5,5 KM barat Muara Angke. Film ini menceritakan suasana kehidupan warga pemukiman nelayan Muara Angke yang hidup dari hasil menangkap ikan di Teluk Jakarta dari sebelum adanya proyek reklamasi sampai setelah reklamasi. Sumber Gambar : http://www.imdb.com Judul Rayuan Pulau Palsu, Reklamasi Untuk Sia- pa? Genre

Dokumenter

Sutradara

Rudi P Saputro

Produser

Randy Hernando

Pemain Ilyas Saepuddin Produksi Watchdoc Documentary Tanggal Rilis

30 April 2016

Seorang nelayan bernama Ilyas (67) mengatakan bahwa sebelum reklamasi, ia bisa mendapatkan setidaknya 20 Kg ikan dalam waktu semalam dan menghasilkan uang sebesar 200 ribu. Namun setelah reklamasi, ia mengaku beruntung jika bisa mendapatkan 50 ribu dikarenakan tempatnya memancing ikan dulu sudah tercemar oleh limbah reklamasi. Lalu ada Saepuddin (35) nelayan setempat yang aktif mengingatkan dan mengajak warga untuk menolak reklamasi. Ia pernah dicekal oleh oknum setempat ketika berusaha memasang spanduk penolakan reklamasi sampai dikatakan gila karena menjadi orang yang paling keras melakukan penolakan. Berbagai aksi penolakan dilakukan oleh para nelayan, salah satunya aksi demonstrasi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Beberapa nelayan diberikan kesempatan untuk masuk dan berdialog dengan pejabat setempat. Mereka mempertanyakan mengenai wacana Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama untuk merelokasi warga

46

| Edisi 27 Tahun 2020

Muara Angke ke Pulau Seribu. Padahal warga Muara Angke tidak tinggal secara ilegal. Mereka membayar pajak dan mengangsur rumah hingga lunas. Para nelayan sudah menempati Muara Angke sejak era Presiden Soeharto, dari Muara Angke masih menjadi hutan. Usaha penolakan warga terhadap reklamasi berbanding lurus dengan usaha beberapa oknum untuk memecah warga setempat. Banyak warga yang diberi suap untuk mendukung reklamasi tanpa diberi tahu dampak baik buruknya. Banyak cara dilakukan oleh oknum dari pengembang seperti memberi hadiah umroh bagi nelayan, menjadi donatur untuk renovasi rumah ibadah dan acara keagamaan sampai menjebak warga untuk ikut dalam aksi mendukung reklamasi tanpa sepengetahuan mereka. “Kalau kita tidak menolak reklamasi di Jakarta, maka Jakarta akan mati. Jakarta akan terkena bencana ekologi. Penolakan terhadap reklamasi di Jakarta itu sekaligus sikap dan penolakan terhadap reklamasi di seluruh Indonesia,� ucap salah seorang aktivis ketika berdemonstrasi menolak reklamasi. Di akhir film diperlihatkan beberapa kasus suap demi melancarkan proses reklamasi Teluk Jakarta ini. Beberapa kecacatan hukum inilah yang dimanfaatkan oleh nelayan dan aktivis untuk menggugat memberhentikan kegiatan reklamasi. Para nelayan dan aktivis yang tergabung dari beberapa koalisi penolakan reklamasi melakukan aksi simbolis dengan menyegel pulau G. Jika reklamasi tidak menguntungkan masyarakat kecil, untuk siapakah sebenarnya reklamasi Teluk Jakarta ini?


Resensi Buku

PULANG: SUARA KEGELISAHAN ANAK BANGSA Teks Oleh: Sukma Agustiani Imran

L Sumber Gambar : http://goodreads.com Judul

Pulang

Genre Fiksi Sejarah, Fiksi Politik Penulis

Lela S. Chudori

Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia Bahasa

Indonesia

Tanggal Rilis 2013

eila S. Chudori dalam buku ini membuat mata saya terbuka akan sejarah-sejarah yang tak terungkap. Cerita ini bermula pada April 1968, tiga tahun sejak pelaksanaan misi untuk membumihanguskan orang-orang “golongan kiri” dan merupakan salah satu masa di mana Indonesia mengalami kekacauan politik. Pulang mengingatkan saya pada Pramoedya Anata Toer dalam bukunya yang berjudul Bumi Manusia, sama-sama membahas tentang sejarah kelam yang terjadi di negeri ini. Namun yang berbeda adalah buku ini ditambah dengan bumbu modernitas dan romantika yang kekinian. Buku ini sendiri bercerita mengenai tiga peristiwa bersejarah: G30S PKI tahun 1965 di Indonesia, revolusi mahasiswa di Paris, Prancis pada Mei 1968, dan tragedi kerusuhan Mei 1998 yang menandai runtuhnya rezim Orde Baru di Indonesia. Karakter-karakter yang ada di buku ini tampil dengan kesederhanaan, mereka tokoh-tokoh “real” dengan segala kekurangannya juga, tapi saling melengkapi. Mereka adalah Dimas Suryo, Nugroho, Tjai, dan Risjaf. Keempatnya adalah mantan jurnalis di salah satu kantor berita, dan pada masa itu menjadi suatu hal yang haram karena kebenaran-kebenaran berusaha ditutupi oleh pihak-pihak tertentu. Pada masa itu mereka adalah buronan. Mereka merasa hidupnya telah cukup dikejar-kejar ketidakadilan

dan akhirnya memutuskan untuk lari ke Perancis, tepatnya di Kota Paris. Namun Hananto Prawiro, sahabat mereka, ditangkap dan dinyatakan tewas. Hidup merekapun dikejar-kejar rasa bersalah karena sahabatnya diburu, ditembak, atau menghilang begitu saja dalam peristiwa 30 September. Hidup bertahun-tahun di Paris dengan beberapa teman hingga akhirnya membangun sebuah keluarga sendiri, Dimas tetap tidak bisa pulang. Selama rezim kekuasaan Orde Baru masih berlangsung, Dimas masih dianggap seorang eksil politik. Pulang adalah suara kegelisahan anak bangsa. Keyakinan bahwa sejauh apa pun melangkah, tanah air adalah tempat kembali untuk selamanya. Namun pertanyaan besar terbenak dalam pikiran Dimas, “Inginkah aku pulang?”. Luar biasa adalah kata yang mendeskripsikan kekaguman saya terhadap buku ini. Buku yang menggugah saya untuk menghabiskannya hanya dalam sekali duduk. Meskipun begitu, masih terdapat beberapa kekurangan dalam buku ini, seperti peloncatan sudut pandang yang tak terduga membuat kita bingung saat pertama membaca novel ini. Setiap bab juga menyajikan sudut pandang pada tokoh yang berbeda-beda sehingga pembaca mencari-cari siapa tokoh utama sebenarnya. Tapi saya rasa itu bukanlah kekurangaan yang membuat buku ini tidak layak dibaca.

47

| Edisi 27 Tahun 2020


Puisi

LUKISAN NEGERI DI DASAR LEMBAH Oleh: Remetha Ramadanti P.

Lukisan negeri di dasar lembah.. Indah rupawan wajah-wajah sang zaman Membuat waktu berjalan lambat Isyarat mengakhiri zaman Negeri sebagai surga dunia Lukisan negeri di dasar lembah.. Dilukis oleh tangan Sang Maha Agung Garis-garis kehidupan pada setiap sudutnya Sinar surya terbias indah membentuk rupa-rupa warna Pancarkan siluet di atas kanvas putih Lukisan negeri di dasar lembah.. Rangkaian bukit di atas teluk Membawa kaki-kaki berlari menyusuri lekukannya Riakan ria sungai bertemu lautan Membenam tangan-tangan bersama percikan manja air Jua gunung megah membentengi Membuat mata-mata sayu memotret hidup pada puncaknya Pada lukisan negeri di dasar lembah.. Tubuh-tubuh etnik menari di atas lading Kakula mengalunkan pomonte Dengan nada yang kasat oleh telinga insan Namun nyata pada telinga alam Pada lukisan negeri di dasar lembah.. Madika menyapa dari bilik rumah raja Jelmaan malaikat bagi tanah kuning Bersama tadulako sang pahlawan Tetapi pada lukisan negeri di dasar lembah.. Semua harmoni terukir di atas kertas Dan kehidupan hanyalah perpaduan warna Lukisan khidmat seribu cerita Hingga segala sukma tersadar Bahwa negeri ini hanyalah secarik ilustrasi Yang akhir kisahnya harus dimaknai

48

| Edisi 27 Tahun 2020


Puisi

DI BALIK POTRET ALAM Oleh: Andi Aulya Valma Basyuni

Cekatan melonjak kian retak Keadaan melandai juga merebak Bincangan hangat terus mengoyak Ibarat nada indah nan terbetik Tuk santapan para khalayak Nabastala biru cerah memukau Cakrawala merona merintang mata Lepas renjana pada semesta Keruh kemungkas bila alam tak dijaga Kan rusak jua jika tak sepenuh hati Kepentingan hanya objek semata Isak tangis tak lagi tragis Lonjakan kondisi begitu drastis Sosok nelangsa umpan belaka Kamuflase usai jauh dari tujuan Ulasan hadir kan timbul keriuhan Hidup laksana candramawa Paduan hitam putih tak terbayang Warna baru larut jadi satu Duka ibarat patera berjatuhan Tumpang tindih dunia meronta Begitu lengah atas penderitaan Dugaan menyebar secepat kilat Hasutan mengotori tiap pihak Titisan pena mengalir begitu cepat Jejak perkara kecamuk para pengamat Pijakan kaki di atas titik tertinggi Mengamati negeri Indonesia nan elok ini Laut luas terbentang mengelilingi Tengoklah pula sesekali gugusan pulau Pasti bersyukur ciptaan Sang Maha Kuasa

49

| Edisi 27 Tahun 2020


KALEIDOSKOP

Pelantikan Pengurus Kosmik Periode 2018-2019.

Kelas Dasar Logika dan Filsafat pada Mei 2018 di Aula Ramsis Unhas.

Kelas Dasar Jurnalistik pada Mei 2018 di Aula Ramsis Unhas.

Basic Course Of Photography “Capture Your Experience� pada Mei-Juni 2018.

Pertunjukan dalam rangkaian Nurani 2018 pada November hingga Desember 2018 di Embun Pagi Malino.

Screening film #PALUKUAT pada Oktober 2018 di Aula Prof. Syukur Abdullah FISIP Unhas.

Indie Movie Class pada Agustus 2018 di Ruang B1 FISIP Unhas.

50

| Edisi 27 Tahun 2020


Pemutaran dan Diskusi Film Made in Siberut pada Agustus 2018 di Aula Prof. Syukur Abdullah FISIP Unhas.

Peserta Timelines melakukan liputan di Pasar Lelong pada Juli 2018.

Pertandingan cabang olahraga Mini Soccer pada Kompetisi Musim Hujan 2018 di Lapangan Ramsis.

Rapat Kerja Kosmik pada April 2018 di Tanjung Bayang.

Kosmik Space "Ikat Erat Benang Merahmu" pada September 2018 di Taman Sospol Unhas.

Kelas Materi Pendidikan Dasar (Dikdas) pada September 2018 di Taman Sospol Unhas.

Cyberclass pada November 2018 di Laboratorium Multimedia Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Unhas.

Orientasi Bersama Calon Unik dan Radikal (Obscura) pada September 2018 di Aula Ramsis Unhas.

Forum Inisiasi Gerakan Unik dan Radikal (FIGUR) “Get Deep Without Get Lost� pada November 2018.

51

| Edisi 27 Tahun 2020


KOSMIK.ORG


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.