Majalah Ilmu Badeh vol.2

Page 1


PENGURUS REDAKSI Pelindung/Penasehat : Ketua Bagian Ilmu Bedah Ketua Program Study Ilmu Bedah Para Ketua Sub Bagian Ilmu Bedah Pengarah : Dr.dr. Djoko Widodo, Sp.BS Dr.dr. Warsinggih, Sp.B-KBD dr. Septiman, Sp.B (K) Onk dr. M. Asykar A. Palinrungi, Sp.U Pemimpin Redaksi : dr. Annas Ahmad Sekretaris Redaksi : dr. Azis Beru Gani Bendahara : dr. Agus Endrawanto Divisi fotografi : dr. Ilham Arief (koord), dr. James D. Laly, dr. Januario Divisi Reportase : dr. A.Irwansyah Ahmad (koord), dr. Nilam Smaradania, dr. Arwi Amiruddin, dr. Herlina, dr. Aris Abidin Divisi Artikel Ilmiah : dr. Suriadi Nurdin (koord), dr. Asyuddin, dr. Mulkyawan Bahrun, dr. Muhammad Nawir, dr. Pyewidont Todingan Divisi Iklan/Sponsorship : dr. A. Bau Tune Mangkau (koord), dr. Fikhi Anggara Melbana, dr. Tom Ch. Adriani, dr. Arif Budiman Divisi Percetakan, posting dan layout : dr. Gerson (koord), dr. Budiman Siri, dr. Faisal Bawanong, dr. Asdar Tajuddin Dewan Redaksi : dr. Abdul Syukur Kuddus, dr. Jufri, dr. Made Santika dr. Muhammad Astar, dr. Fahri Rumi, dr. Yoskar Kambuno, dr. Annas Ahmad

Alamat Redaksi : Majalah Ilmu Bedah Makassar Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea Makassar 90245 Telp./Fax : 0411 585 771, email : majalahbedah.mks@gmail.com



Pengantar Redaksi Salam sejawat, Apa kabar para insan bedah Indonesia?, Teriring salam dan do’a semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk dan kemudahan dalam segenap aktivitas kemanusiaan kita, Amin. Dari dapur redaksi Majalah Ilmu Bedah Makassar kami mencoba meraih dan menggenggam samudera pengetahuan kedokteran khususnya Ilmu Bedah dari karya-karya nyata para residen di Pusat Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah Universitas Hasanuddin Makassar. Seperti air yang mengalir, prosesi pendidikan dokter spesialis bedah telah banyak menerbitkan laporan-laporan kasus bedah, tinjauan pustaka, evaluasi kasus dari delapan sub bagian bedah dan penelitian-penelitian sebagai karya akhir. Gagasan dan temuan-temuan kreatif para residen tersebut perlu mendapat apresiasi semua kalangan sebagai bentuk perputaran ilmu pengetahuan yang tak pernah berhenti. Harapan kami, majalah ini dapat menjadi media sosialisasi, penyambung lidah atau agent transformasi pengetahuan kepada publik atas perkembangan pengetahuan kedokteran dewasa ini. Pada edisi ini, Majalah Ilmu Bedah Makassar semakin mempertegas eksistensinya setelah mendapatkan legitimasi dengan hak paten International Standart Of Serial Number (ISSN) dari Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII-LIPI). Dengan demikian artikel yang telah dipublikasikan adalah informasi ilmiah yang telah diuji dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah pula. Meski demikian, kami sadar bahwa untuk mencapai tahap kedewasaan berpikir, kesempurnaan isi dan keistimewaan tampilan dari sebuah majalah lokal perlu proses panjang. Oleh karena itu, dukungan dari para pembaca baik berupa kritik, saran, gagasan maupun sumbangsih isi majalah sangat kami harapkan. Kreatif, inovatif, sederhana dan aktual adalah slogan yang kami usung dalam mengemban misi penerbitan Majalah Ilmu Bedah Makassar ini. Akhir kata, ucapan terima kasih dan penghargaan yang tak ternilai kepada Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS selaku Ketua Bagian Ilmu Bedah FK Unhas yang terus memberikan semangat dan kepercayaan kepada pengurus redaksi, kepada Dr.dr. Ibrahim Labeda, SpB-KBD selaku Ketua Program Study Ilmu Bedah FK Unhas, Seluruh Ketua Sub Bagian Ilmu Bedah dan Para Konsulen yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu atas bantuan gagasan dan dukungan demi konsistensi dan eksistensi majalah ini. Wassalam, Pemimpin Redaksi


PETUNJUK BAGI PENULIS Majalah Ilmu Bedah Makassar

Seluruh pernyataan dalam artikel berada dalam tanggungjawab penulis, dewan redaksi berhak melakukan suntingan karangan dalam rupa gaya, bentuk dan kejelasan tanpa mengubah isinya. Makalah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia yang menggunakan bahasa/istilah baku yang efektif dan efisien atau bahasa inggris yang menggunakan ejaan amerika. Bentuk artikel Makalah dapat berupa laporan kasus, tinjauan pustaka, evaluasi kasus dan hasil penelitian dalam bidang ilmu bedah, diketik dengan spasi ganda, jarak tepi kertas dengan tulisan adalah 2,5 cm dengan huruf arial font 11 pada kertas ukuran kwarto. Tinjauan pustaka, laporan kasus dan evaluasi kasus tidak lebih dari 20 halaman sedangkan hasil penelitian tidak lebih dari 30 halaman. Kelengkapan makalah Makalah dialamatkan kepada Redaksi Majalah Ilmu Bedah Makassar, d/a Bagian Ilmu Bedah FK Unhas RSWS. Sedapat mungkin makalah disampaikan dalam bentuk compact disc program word 2007 dan I berkas salinan (print out) yang tersusun sesuai urutan 1) halaman judul, 2) abstrak, 4) isi, 5) daftar pustaka, 6) table-tabel, 7) gambar-gambar dan keterangannya. Halaman Judul dan Penulisan Halaman judul berisi 1) judul makalah yang ditulis ringkas dan tidak menggunakan singkatan, 2) nama lengkap dan gelar akademik penulis, 3) nama departemen dan institusi, 4) satu alamat korespondensi penulis . Nama penulis yang dicantumkan haruslah hanya yang ikut bertanggungjawab terhadap isi makalah dan telah memberikan kontribusi yang substansial dalam 3 hal : 1) konsep dan desain atau analisis dan interpretasi data, 2) penulisan makalah atau melakukan revisi atas bagian isi makalah, 3) pembuatan makalah versi terakhir yang akan dipublikasikan. Abstrak Abstrak 1) dibuat dalam bahasa Indonesia dan inggris, 2) berbentuk abstrak terstruktur, 3) memuat inti pendahuluan, metode, hasil terpenting dan simpulan utama, 4) tidak lebih dari 250 kata untuk hasil penelitian atau 150 kata untuk laporan kasus, disertai 3-10 keywords untuk yang berbahasa inggris. Isi Isi makalah tersusun dalam urutan headings : Pendahuluan, metode, hasil, diskusi dan simpulan. Tidak diperkenankan menggunakan singkatan yang tidak lazim dan catatan kaki. Data hasil ukur menggunakan system unit international. Angka di awal kalimat ditulis lengkap dalam huruf tereja. Pencantuman nomor daftar pustaka, nomor gambar dan table tersusun sesuai urutan kemunculan dalam isi. Tabel dan Gambar Tabel dan gambar disajikan dalam lembar terpisah dengan telah disebutkan letaknya dalam narasi makalah. Judul tabel diletakkan diatas dan setiap table diidentifikasi dengan nomor yang ditulis dengan angka. Setiap singkatan dalam tabel diberi keterangan sesuai urutan alphabet berupa catatan kaki di bawah table. Metode statistic Metode statistik yang digunakan harus diterangkan dalam bab metodologi dan untuk metode yang jarang digunakan harus diterangkan secara detail serta diberi keterangan rujukannya Ucapan Terima Kasih Ucapan terimakasih terbatas untuk pemberi bantuan teknis dan atau dana serta dukungan dari pemimpin institusi Daftar Rujukan Daftar rujukan disusun sesuai dengan ketentuan Vancouver. Sebaiknya tidak lebih dari 25 buah dan berupa rujukan terbaru dalam satu decade terakhir. Rujukan diberi nomor sesuai urutan pemunculannya dalam narasi. Hindari penggunaan abstrak dan komunikasi pribadi kecuali sangat esensial. Nama jurnal disingkat sesuai yang tercantum dalam indeks medicus. Rujukan yang telah diterima namun belum diterbitkan dalam suatu jurnal ditulis sesuai aturan dan tambahan : in press. Makalah di alamatkan ke redaksi Majalah Ilmu Bedah Makassar Alamat Redaksi : Majalah Ilmu Bedah Makassar Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea Makassar 90245 Telp./Fax : 0411 585 771, email : majalahbedah.mks@gmail.com

Majalah Ilmu Bedah Makassar

Pedoman Umum Tulisan yang diutamakan adalah tulisan asli yang belum pernah diterbitkan sebelumnya dan hanya ditujukan kepada majalah ini. Hak cipta seluruh isi makalah yang telah dimuat beralih kepada penerbit majalah ini dan seluruh isinya tidak boleh direproduksi dalam bentuk apapun

5


Majalah Ilmu Bedah Makassar

6

MAJALAH ILMU BEDAH MAKASSAR

Daftar isi Pengurus Redaksi

ii

Visi dan Misi

iii

Pengantar Redaksi

iv

Petunjuk Bagi Penulis Majalah Ilmu Bedah Makassar Daftar Isi

v vi

Laporan Kasus Cidera Kepala Penetrans Transorbital dan Corpus Alienum Intraserebellar Herlina L. Dunggio, Nasrullah

7

Tinjauan Pustaka Penanganan Hallux Valgus dengan Distal Metatarsal Osteotomi Budiman Siri, Jufri Latief

11

Tinjauan Pustaka Intestinal Failure Samuel Sampetoding, Ronald E. Lusikooy

17

Hasil Penelitian Ukuran Hidung dan Bibir Pada Anak Suku Bugis dan Suku Toraja di Sulawesi Selatan (Studi Antropometrik Sub Ras Deutero Melayu dan Proto Melayu) Syafari D. Mangopo, Leonardo Ch. Rieuwpassa, Burhanuddin Bahar

24

Evaluasi Kasus Evaluasi Kasus Trauma Inhalasi Pada Luka Bakar di Makassar Tahun 2008 – 2010 Nufrianto Mursad, Leonardo Rieuwpassa

48

Liputan Redaksi Sebuah Catatan Kecil; Kursus Laparoscopy di Ho Chi Minh City Vietnam Oleh : Ade Hanny M Kainama

52

Catatan perjalanan dari benua Biru Oleh : dr. Nasrullah, Sp.BS

54 55 56 57

Gallery Foto Lepas Sambut Sponsorship


Laporan Kasus

CIDERA KEPALA PENETRANS TRANSORBITAL DAN CORPUS ALIENUM INTRASEREBELLAR

7

Herlina L. Dunggio, Nasrullah

ABSTRAK Cidera kepala penetrans transorbita yang penetrasi ke basis cranii relatif jarang terjadi, sangat sedikit kasus yang dilaporkan dalam literatur. Kami mempresentasikan sebuah laporan kasus cidera kepala penetrans transorbital yang disebabkan oleh sebuah anak panah yang menancap sampai hemisfer cerebellum. Penanganan pasien ini dilakukan dengan tindakan craniectomy emergensi dan evakuasi anak panah dengan pendekatan dari occipital untuk menghindari kerusakan jaringan yang lebih berat dan memungkinkan tindakan debridement. Kata kunci : cidera kepala penetrans transorbital. Corpus alienum intracerebellar. Craniectomi. Debridemen. LAPORAN KASUS Seorang laki-laki 21 tahun, masuk Rumah Sakit DR. Wahidin Sudirohusodo dengan keluhan mata kanan tertancap panah, setelah terpanah oleh sesorang yang tidak dikenalnya yang dialami sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien merasakan gangguan penglihatan pada mata kanan. Panah tersebut adalah senjata tradisional yang terdiri dari 2 bagian, pangkalnya terbuat dari kayu, sedangkan bagian ujung terbuat dari besi yang berujung tajam dimana keduanya dihubungkan dengan ikatan tali. Tidak ada riwayat muntah dan tidak ada riwayat penurunan kesadaran dan tidak ada deficit neurologis. Pemeriksaan Fisis : Primary Survey : A : Clear, paten B : RR : 24 x/menit, spontan, simetris kiri = kanan, tipe toracoabdominal C : TD : 120/80 mmHg, N : 80 x / menit, regular, kuat angkat D : GCS 15 (E4 M6 V5) pupil isokor ϕ 2,5 mm, RC +/+ E : S : 36,8o C Secondary Survey : Regio Orbita Dekstra : I : Tampak anak panah menembus mata kanan pada kantus medial, perdarahan aktif (-), edema (-), chemosis (+), Visus : 1/~. P : Nyeri tekan (+), krepitasi (-)

Pemeriksaan penunjang Laboratorium Darah Rutin : • Hb : 11,1 mg/dl • WBC : 6740/uL • RBC : 4,81 x 106 /uL • PLT : 790x 10 3 /uL • Elektrolit : • Na : 136 • K : 4,5 • Cl : 102 • Kimia darah : • GDS : 95 • SGOT : 10 • SGPT : 29 • Ureum :19,1 • Kreatinin : 0,86 • Albumin : 3,8 Foto Skull AP/Lateral :

Gambar : Foto polos kepala AP dan lateral memperlihatkan adanya benda asing dengan banyangan logam hiperradiopaq yang penetrasi ke intrakranial

CT-Scan Kepala Potongan Axial :

Majalah Ilmu Bedah Makassar

ABSTRACT Transorbital penetrating head injuries through to the skull base are relatively rare, very few cases of penetrating head injuries that have been reported in literature. We presented a case report of transorbital penetrating head injuries that caused by an arrow that embedded in cerebellar hemisphere. We performed craniectomy emergency and evacuated the arrow from occipital approach to minimize injuries to the adjacent structure and allow us to performed debridement. Keyword : transorbital penetrating head injury. Intracerebellar foreign body. Craniectomy. Debridement.


CT-Scan Kepala Potongan Koronal

Majalah Ilmu Bedah Makassar

8

Keterangan : CT Scan Axial dan koronal tanpa kontras: memperlihatkan ada corpus alienum hiperdense yang melalui sinus ethmoidalis kanan, kemudian menembus sinus sphenoidalis kiri, dan menembus sampai ke cerebellum, tidak tampak adanya perdarahan atau contusio.

• Lakukan kraniektomi dengan menggunakan burrhole dan knabel tang

• Identifikasi ujung corpus alienum, dengan mobilisasi ujung proksimalnya

Diagnosis Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang, maka diagnosis pasien ini adalah : • Cidera kepala penetrans periorbital dan corpus alienum intraserebellum • Trauma okuli perforans dekstra Penatalaksanaan : Operasi CITO Craniectomy, evakuasi corpus alienum transorbita dan transoccipitale kerjasama dengan bagian Mata Prosedure Operasi : • Penderita berbaring dengan posisi supine dalam general anestesi • Prosedur sterilisasi dan drapping • Bagian Mata melakukan explorasi dan evakuasi corpus alienum dengan mengangkat bagian proksimal anak panah yang terbuat dari bambu yang difiksasi dengan kawat. Tampak bola mata intak, hanya sedikit lacerasi di daerah medial orbta kanan. Control perdarahan, lakukan repair luka dan pemberian antibiotic topical.

• Tarik ujung distal anak panah hingga keluar secara utuh, Tampak panjang anak panah ± 18,5 cm.

• Lakukan kontrol perdarahan, gantung dura dan tutup luka operasi lapis demi lapis dengan meninggalkan 1 buah drain hisap.

• Posisikan pasien ke posisi pronasi untuk approach transoccipitale dengan paramedian incisi • Operasi selesai Post Operasi : Pasien dipulangkan hari ke VIII post operasi dengan keadaan baik, GCS 15, tanpa defisit neurologis dan gangguan visus


CT Scan control Post Operasi

Pada pasien kami, rute yang dilalui oleh benda asing adalah melalui sinus ethmoidalis kanan, kemudian menembus sinus sphenoidalis kiri, dan menembus sampai ke hemisfer kiri cerebellum. Benda asing berupa anak panah tersebut tidak menciderai jaringan otak lain selain serebellum karena berjalan di bawah fossa crania anterior dan media, namun langsung memintas fossa cranii posterior mengenai cerebellum.

Gambar : CT scan potongan axial pasien setelah 7 hari post operasi craniectomi, tampak adanya defek craniectomy pada os occipitalis kiri, tidak tampak adanya hematoma dan kontusio

Diskusi Orbita berukuran seperti piramida quadrilateral. Suatu objek biasanya akan berpenetrasi pada atap orbita karena sudut dari penetrasinya (biasanya pasien terjatuh dan mengenai benda tersebut, maka objek akan penetrasi pada sudut atas), dan oleh karena bagian atas tulang frontal sangat tipis, sehingga biasanya akan menyebabkan cidera pada lobus frontalis. Lokasi berikutnya adalah melalui fissura orbitalis superior, yang biasanya diakibatkan oleh suatu objek dengan kecepatan rendah yang penetrasi ke orbita. Objek yang penetrasi melalui fissura orbitalis superior , struktur tulang pada area tersebut akan mengarahkan objek melalui bagian lateral dari sinus cavernosa, dibawah dari lobus frontalis, dan medial dari lobus temporalis, di atas dari petrosus ridge, dan lateral dari batang otak, sehingga berpotensi mengancam nyawa. Dan jalur ketiga yang terjarang adalah melalui canalis optikus, biasanya objek akan mangarah ke sisterna suprasellar, dekat dengan lokasi nervus optikus dan arteri carotis interna. Cidera penetrasi transorbital oleh suatu benda asing relatif jarang. Orbita, memiliki bentuk piramid horisontal pada bagian postero medial terhadap axis,cenderung mendefleksikan objek ke arah the apeks, di mana fissura superior orbital atau kanalis opticus menjadi jalur ke intrakranial. Bagaimanapun juga, ini merupakan dua rute utama penetrasi corpus alienum ke intrakranial, rute tersering melalui atap orbital, karena bagian superior orbital merupakan os frontal yang tipis. Penetrasi dapat menyebabkan kontusio lobus frontal. Bagian tersering kedua adalah fissure orbital superior, yang mana melalui ini benda asing dapat mencapai batang otak melalui sinus cavernous, yang menyebabkan cidera yang serius. Kanal optikus berukuran kecil sehingga penetrasi melalui rute

Untuk membantu menegakkan diagnosa, sangat diperlukan pemeriksaan penunjang seperti foto polos kepala dan CT scan kepala. Pada pasien kami pemeriksaan radiologi yang dilakukan yaitu foto polos kepala posisi AP/lateral, yang menunjukkan adanya penetrasi benda asing dari regio orbita dekstra ke fossa cranii posterior, CT Scan kepala sehingga dapat memberikan gambaran benda asing berbahan metal yang penetrasi melalui sinus ethmoidalis kanan, kemudian menembus sinus sphenoidalis kiri, dan menembus sampai ke cerebellum. Pada gambaran CT scan tidak tampak adanya perdarahan atau contusio. Oleh karena benda asing yang berpenetrasi ke intrakranial berbahan metal, maka foto polos kepala sudah dapat memberikan gambaran yang cukup jelas, namun pemeriksaan CT scan kepala dibutuhkan juga untuk melihat adanya cidera intrakranial lain yang menyertai. Angiografi dibutuhkan untuk mengidentifikasi struktur vaskuler intracranial. CT scan dengan kontras dengan potongan slice yang kecil dapat memperlihatkan hubungan dengan struktur vaskuler Pada pasien kami kami tidak melakukan pemeriksaan angiografi atau CT angiografi, karena pemeriksaan tersebut belum tersedia di institusi kami untuk setting emergensi. Penanganan cidera kepala penetrans dengan benda asing intraserebellaris ini dengan pemberian antibiotik dan tindakan pembedahan untuk evakuasi benda asing. Sama halnya dengan cidera kepala penetrans lainnya, penanganan dasar harus mencakup debridement dan pengangkatan corpus alienum dan detritus (seperti fragmen tulang, bekuan darah dan jaringan nekrotik). Hemostasis dan teknik penutupan duramater merupakan tahap yang terpenting untuk mencegah perdarahan intra dan post-operatif dan kebocoran CSS Bila pasien yang tidak ada bukti radiologis dari perdarahan intrakranial atau kerusakan struktur neurovaskuler, objek yang berpenetrasi dapat dievakuasi di bawah general anestesi. Benda asing harus selalu di tarik dalam posisi garis lurus searah dengan jalan masuknya, dengan meminimalkan gerakan zig-zag dengan tujuan meminimalkan kerusakan yang terjadi pada jalur yang dilalui oleh benda asing tersebut Dalam kasus ini, kami melakukan tindakan craniotomi emergenci pendekatan occipital paramedian kiri sesuai

9 Majalah Ilmu Bedah Makassar

ini sangat jarang. Bila benda asing berpenetrasi melalui kanalis optik, akan lewat dekat dengan nervus optikus yang masuk ke sisterna suprasellar. Hal ini penting diketahui dalam menegakkan diagnosis, karena nervus optikus berlokasi tepat di atas arteri karotis interna. Penting untuk mengetahui hubungannya dengan benda asing sebelum tindakan pembedahan.


Majalah Ilmu Bedah Makassar

10

dengan letak dari ujung benda asing pada occipital kiri. Tindakan bedah dengan akses dari region occipitalis untuk mengevakuasi benda asing tersebut lebih dipilih daripada mengevakuasi melalui ujung benda asing pada orbita dekstra karena ujungnya memiliki kait seperti anak panah yang dikuatirkan dapat menciderai struktur jaringan otak disekitarnya bila ditarik ke arah depan, oleh karena ujung panah yang berkait. Pertimbangan kami juga berdasarkan arah dari jalan masuk anak panah tersebut, kami memlih untuk mengevakuasi anak panah tersebut dalam searah dengan jalan masuknya. Selanjutnya dilakukan tindakan debridemen dan penutupan dura secara water tight. Selanjutnya dilakukan perawatan selama 7 hari dengan pemberian analgetik dan antibiotik. CT scan kontrol yang dilakukan 7 hari post operasi pasien ini dalam batas normal, kecuali defek pada tulang occipital kiri post craniektomi, tidak tampak adanya perdarahan intrakranial ataupun sisa benda asing. Pasien pulang dalam keadaan baik, tanpa gangguan visus dan defisit neurologis. Pembedahan dini pada pasien ini dapat membantu mengurangi risiko sepsis dan memberikan luaran yang baik. Glasgow coma score dari pasien menjadi suatu prediktor yang baik dari cidera kepala penetrans. Pada pasien ini datang dengan GCS 15 dan setelah pulih dari anestesi sampai saat keluar dari rumah sakit GCS tidak menurun. Pasien keluar rumah sakit tanpa adanya defisit neurologis dan gangguan visus. DAFTAR PUSTAKA

1. Vinas F, Wyler AR. Penetrating head trauma : article. May 27, 2009. [citied 2012 Jul 12]. Available from : http://emedicine. medscape.com/article/247664-overview 2. Hutchinson PJ. Cranial trauma in adults. In : Sindou M. Editor. Practical handbook of neurosurgery. SpingerWien. NewYork : 2007 ; p. 411-25. 3. Senthilkumaran S, Balamurgan N, Thirumalaikolundusubramanian P. Penetrating head injury from angle grinder: A cautinary tale : case report. J Neurosci Rural pract 2010 Jan-Jun: 1 (1): 26-29. 4. Kataria R. Low velocity penetrating head injury with impacted foreign bodies in situ: case report. Asian J of Neurosurg 2011. 5. Satyarthee GD, Borkar SA, Tripathi AK, Sharma BS. Transorbital penetrating cerebral injury with a ceramic stone : report of an interesting case. Neurology India, 2009, 59. 6. Karim T, Topno M. An unusual case of penetrating head injury in a child : case report. Journal of emergency, trauma and shock. 2012, 3: 197-8. 7. Paiva WS, Monaco B, Prudente M. Surgical treatment of a transorbital penetrating head injury: case report. Clinical opthalmology 2010: 4, 1103-1105. 8. De Tommasi A, Cascardi P, De Tommasi C, Occhiogrosso G, Vailati G. A severe skull base penetrating injury caused by a screwdriver: riview of literature. 2009. 9. Schreckinger M, Orringer D, Thompson G.Transorbital penetrating injury: case series, riview of the literature, and proposed management algorithm. J Neurosurg 2011 :114, 53-61. 10. Patologi dan patafisiologi cedera kepala. In : Japardi I. Editor. Cedera kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer Gramedia, 2004; p. 1-27 11. Rohkamm R. Color atlas of neurology. New York : Thieme, 2004; p. 4. 12. Yilkudi, M. G., et al. Penetrating cranial nail injury. An unusual domestic assault: Case report. East Central Afr. J. Surg. 1999. 10: 60-62 13. Kim DJ, Nates JL. Case of the month : case 1/2001. Internet scientific publications. 2001 : 1-7.

14. Tommasi AD, Cascardi P, Tommasi CD. Emergency surgery in a severe penetrating skull base injury by a screwdriver: case report and literature review. World Journal of Emergency Surgery 2006, 1:36 15. Ishikawa E, Meguro K, Yanaka K, Mukakmi T. Intracerebellar penetrating injury and abscess due to a wooden foreign body: case report. Neurol med chir (Tokyo) 2000, 40: 458-62. 16. Potts MB, Adwanikar H, Noble-Haeusslein LJ. Models of traumatic cerebellar injury. Cerebellum 2009, 8: 211-21. 17. Kitakami A, kirikae M, Kuroda K. Transorbital – transpetrosal penetrating head injury : case report. Neurol med chir (Tokyo) 1999: 39, 150-152 18. Levy ML. Outcome prediction following penetrating craniocerebral injury in civilian population: aggresive surgical management in patients with admission Glasgow Coma Scale scores of 6 to 15. Neurosurg Focus 1999: 8 (1): 2. 19. Aarabi B, Taghipour M, Haghnegahdar A. Prognostic factors in the occurrence of posttraumatic epilepsy after penetrating head injury during military service. Neurosurg Focus 8(1): article 1, 2000 20. Letarte PB. Central Nervous system. In : Britt LD, Trunkey DD, Feliciano DV, editors. Acute care surgery, principles and practice. Atlanta : Springer Science Business Media LLC, 2007; p. 332-40. 21. Head and maxillofacial injuries. In : Burkitt HG, Quick CRG, Deakin PJ, editors. Essential surgery. New York : 2002; p. 129138. 22. Management and prognosis of severe of severe traumatic brain injury. Bullock MR, Chesnut RM, Cliffon GL, editors. Brain Trauma Foundation, American Assosiation of Neurotrauma and Critical Care; 2000. 23. Head trauma. In : Boffard KP, editor. Manual of defenitive surgical trauma care. 2nd ed. London : Edward Arnold Ltd, 2007; p. 186-7.


Tinjauan Pustaka

PENANGANAN HALLUX VALGUS DENGAN DISTAL METATARSAL OSTEOTOMI

11

Budiman Siri, Jufri Latief

Hallux valgus merupakan penyakit kronik pada kaki yang paling umum dikeluhkan pada spesialis kaki dan tumit. Hallux valgus memberikan gangguan secara fungsional berupa nyeri, gangguan keseimbangan, dan mudah terjatuh bagi orang lanjut usia. Hallux valgus telah dilaporkan dengan prevalensi tinggi pada usia lanjut. Sebuah laporan baru-baru ini menunjukkan hingga 37 % terjadi pada usia lebih dari 65 tahun dengan berbagai derajat deformitas. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya prosedur pembedahan dalam mengoreksi deformitas. Menurut Coughlin dan Thompson bahwa sekitar 209.000 bunionectomies yang dilakukan di US pada tahun 1991. Sedangkan antara tahun 1997 hingga 2006 terdapat lebih dari 46.000 prosedur pembedahan Metatarsophalangeal I (Termasuk hallux valgus dan hallux rigidus/limitus) yang dilakukan oleh ahli bedah di Australia dengan kisaran biaya 20 juta dollar Australia.(1,3) Anatomi Hallux (ibu jari kaki) memiliki phalanx distal dan proximal. Phalanx proximal membentuk persendian dengan metatarsal I (Metatarsophalangeal/MTP) yang merupakan persendian biaksial yang ditutupi oleh kapsul synovial, ligamentum collateral, jaringan fibrous pada bagian plantar yang berperan dalam stabilitas sendi. Tulang sesamoid bagian medial dan lateral terbungkus oleh tendon otototot intrinsik dan berada di bagian bawah caput metatarsal. Pada bagian proximal Metatarsal I membentuk persendian dengan medial cuneiforme dan basis metatarsal II. Pada Hallux valgus yang berat akan terjadi gangguan hubungan dari struktur persendian tersebut. (4) Menurut Coughlin, otot-otot dan tendon dapat dibagi menjadi 4 group yang mengelilingi Sendi Metatarsophalangeal. Pada bagian dorsal terdapat Ektensor Hallucis Longus (EHL) yang bersinsensi pada phalanx distal dan Ektensor Hallucis Brevis (EHB) pada phalanx proximal. EHL ditutupi oleh ligamen yang membentuk kapsul sendi MTP. Pada bagain plantar terdapat Fleksor Hallucis Longus (FHL) dan Fleksor Hallucis Brevis (FHB). Kaput tendo medial dan lateral FHB melekat pada sesamoid medial dan lateral secara berurutan. Tulang sesamoid melekat pada basis phalanx proximal melalui plantar plate. FHL yang melekat pada phalanx distal berada dibawah dari sesamoid kompleks dan terbungkus dalam sarung tendon. Tendon Abductor Hallucis (AbH) dan Adductor Hallucis (AdH) terletak pada plantar medial dan lateral. Keduanya melekat pada basis phalanx proximal dan tulang sesamoid. Bagian

tengah kapsul sendi MTP pada bagian plantar diperkuat oleh tendon AbH dan AdH, sedangkan bagian dorsal tipis dan tidak dibatasi oleh tendon.(5)

Gambar 1 : Anatomi hallux dan struktur disekitarnya

Etiologi dan Patogenesis Penyebab terjadinya hallux valgus belum sepenuhnya dapat dimengerti meskipun kelainan ini termasuk hal yang sering ditemukan. Panggunaan Sepatu sempit dan hak tinggi adalah faktor ekstrinsik yang penting dalam perkembangan hallux valgus. Sedangkan faktor keturunan kemungkinan menjadi faktor major pada sebagian pasien dengan persentase hingga 68 % yang menunjukkan adanya kecenderungan. Faktor predisposisi yang lain berupa kelainan tulang (misalnya bentuk caput metatarsal atau metatarsal yang memanjang), pronasi kaki, serta jenis kelamin wanita.(4,6.7.8) Keberadaan pes planum belum bisa dipercaya sebagai faktor penting yang mencetuskan hallux valgus, namun keberadaan pes planum menyebabkan progresivitas perkembangan hallux valgus. Hal tersebut juga terjadi pada pasien-pasien yang disertai gangguan kapsul sendi seperti reumatoid artristis, defisiensi kolagen, atau gangguan neuromuskuler. Keberadaan pes planum tidak mengurangi keberhasilan dari penanganan operatif hallux valgus. (7) Hipermobilitas dari persendian tarsometatarsal I juga menjadi pertimbangan beberapa ahli menjadi komponen penyebab pada beberapa kasus hallux valgus. Pada pasienpasien tersebut, penggabungan sendi tarsometatarsal I (Prosedure Lapidus) menjadi pertimbangan koreksi yang berbeda dengan osteotomy. Patogenesis hallux valgus telah dijelaskan oleh Stephens. Proses awal yang terjadi adalah penipisan jaringan pada bagian medial sendi Metatarsophalangeal I (MTP I) dan erosi pada daerah caput metatarsal antara bagian medial dan lateral tulang sesamoid. Phalanx proximal menyimpang ke valgus sedangkan caput metatarsal menjadi varus. Selanjutnya tampak alur pada bagian medial cartilago artikularis yang atrofi akibat berkurangnya tekanan yang normal dan ini menyebabkan penonjolan exostosis ke medial semakian nyata. Tahap selanjutnya terbentuk bursa pada bagian medial sebagai respon terhadap tekanan sepatu yang berlebihan pada tonjolan tersebut. (7)

Majalah Ilmu Bedah Makassar

Pendahuluan Hallux valgus adalah kelainan letak ibu jari kaki (hallux) yang mengalami deviasi ke arah lateral (valgus) disertai penonjolan dari caput Metatarsal I ke arah medial. Ibu jari kaki tersebut menghadap ke jari kaki yang lebih kecil. Kelainan ini dapat disertai Bunion, yaitu pembengkakan yang sanyat nyeri pada jaringan lunak dan penonjolan tulang yang terbentuk pada bagian medial Metatarsal I. (1,2)


Majalah Ilmu Bedah Makassar

12

Sebagai akibat penipisan yang berlanjut pada jaringan lunak sebelah medial, caput metatarsal bergeser ke arah medial sehingga tulang sesamoid medial juga bergeser ke bagian bawah metatarsal yang mengalami erosi sedangkan tulang sesamoid lateral mengalami artikulasi dengan bagian lateral caput metatarsal pada daerah intermetatarsal space. Tendo dari muskulus ektensor hallucis longus dan fleksor hallucis longus terdorong ke lateral phalanx dan menjadi adductor dan memperberat deformitas. (7) Muskulus adductor hallucis dan caput lateral flexor hallucis brevis memperberat hal tersebut dan selanjutnya mereka jadi memendek dan menjadi kapsul sendi bagian lateral. Muskulus abductor hallucis dan caput medial flexor hallucis brevis juga kehilangan fungsi abduksi. Sebagai akibat ketidak-seimbangan ini terjadi dorsofleksi dan pronasi dari jari pertama yang menyebabkannya tidak berfungsi secara normal. Akibat dari berkurangnya tekanan plantar di bawah jari I menyebabkan menurunnya fungsi jari I dan memperberat fungsi jari-jari yang lainnya dengan akibat jari kedua menjadi claw dan kadang-kadang Sendi metatarsophalangeal II (MTP II) mengalami dislokasi. (7) Gambaran Klinik Mann, Rudicel dan Graves telah menunjukkan bahwa 80 % pasien-pasien dengan hallux valgus mengurangi penggunaan sepatu mereka, 70 % merasakan nyeri pada tonjolan bagian medial (bunion), 60 % dengan keluhan kosmetik serta 40 % mengalami nyeri sekitar caput metatarsal II. Nyeri juga dirasakan sepanjang perjalanan nervus cutaneus akibat penekanan. Deformitas dari jari-jari kecil seperti corn dan kallus sering menjadi sumber dari gejala-gejala akibat insufisiensi dari jari I dan mengalami overcrowding. Sinovitis dari sendi metatarso-phalangetal II (MTP II) disertai nyeri dan kadang-kadang disertai pembengkakan yang sangat nyeri. (5,7) Pemeriksaan fisis diawali dengan posisi berdiri dimana pada saat tersebut tempak jelas hallux valgus serta deformitas yang menyertai. Tonjolan pada bagian medial (bunion) adalah gambaran yang paling nyata. Hal yang penting juga adalah menilai kaki bagian belakang sebagaimana halnya kaki depan. Deformitas planovalgus dan penebalan dari muskulus gastocnemius dan soleus dapat sering menyebabkan memberatnya nyeri pada kaki depan. Beratnya deformitas hallux valgus dan kapan diperlukan koreksi telah banyak dicatat. Banyak yang terjadi pronasi dari Ibu jari. MTP I dinilai dengan melakukan tes range of motion. Sedangkan jari-jari yang lainnya dinilai adanya deformitas dan penebalan yang menyertai. Intermatatarsal spase harus dipalpasi untuk evaluasi interdigitas neuroma. Permukaan plantar dari jari-jari harus diperiksa untuk menilai nyeri pada penebalan di bawah caput metatarsal dari jari-jari yang lain (transfer lesi). Untuk menilai instabilitas metatarsal I, pemeriksa memegang metatarsal lain dengan ibu jari dan jarijari tangan dengan satu tangan, ibu jari dan telunjuk tangan yang lain memegang Metatarsal I dan menggerakkannya dari plantar lateral ke dorsomedial, bila pergerakannya lebih dari 9 mm menunjukkan adanya hipermobilitas. Selain ini pasien-pasien juga perlu dilakukan tes untuk menilai kelemahan (laxity) ligamentum secara umum.(5,7)

Gambar 2 : Deformitas Hallux valgus (9)

Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaaan radiologi dengan Posisi Weight-bearing anteroposterior (AP) dan Lateral pada kaki dilakukan untuk menilai deformitas dan membantu dalam perencanaan preoperatif. Sudut Hallux valgus (Hallux valgus angel/HVA) (normal < 15’) dan Sudut Intermetatarsal (Intermatatarsal Angel/IMA) (normal < 9’) diukur. Sudut artikulasi distal metatarsal (Distal Metatarsal Articular Angel/DMAA) (normal < 10’), adalah sudut antara permukaan artikulasi caput dan corpus dari metatarsal I. Pada Kebanyakan kasus DMAA normal dan sendi MTP I mengalami subluksasi. Hal ini disebut Inkongruen Hallux valgus. Pada sebagian kecil kasus yang biasanya terjadi pada usia muda sendi tersebut kongruen dan tidak mengalami subluksasi. Pada kasus ini Sudut DMAA bertambah, titik artikulasi metatarsal berada lebih lateral dari yang normal dan tidak ditemukan adanya sublukasi dari sendi MTP. Pada kongruen hallux valgus biasanya kurang progresif dibanding yang inkongruen. Sudut DMAA biasanya sulit untuk diukur dan dengan berbagai variasi berdasarkan pemeriksa. (7,9,10)

Gambar 3 : Sudut Hallux valgus (HVA) (4,7)

Deformitas interphalanx hallux valgus biasanya ditemukan jika terdapat angulasi yang signifikan antara phalax proximal dan distal. Hubungan Caput metatarsal I dengan tulang sesamoid dan ukuran dari penonjolan medial serta adanya degenerasi harus dicatat. Sudah menjadi tradisi dalam menentukan klasifikasi beratnya deformitas pada hallux valgus dengan menggunakan Kriteria Radiologis yang


membantu menentukan algoritme perencanaan operasi. Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut : Tabel 1. Klasifikasi Hallux Valgus Hallux Valgus Angel

Intermetatarsal Angel

Ringan

< 19

< 13

Sedang

20 - 40

14 - 20

> 40

> 20

Berat

Penatalaksanaan Penatalaksanaan Hallux Valgus dapat dilakukan dengan Non-operatif dan Operatif. Penatalaksanaan non operatif dapat dilakukan dengan penggunaan alas kaki yang sesuai. Penggunaan sepatu dengan bahan yang lembut dengan ujung lebar dan dalam dapat meringankan gejala pada beberapa penderita. Hal ini bisa menjadi terapi pilihan pada pasien dengan usia lanjut yang disertai gangguan vaskuler dan neurologik. (7) Penyediaan orthoses sering didiskusikan namun hanya sedikit penelitian yang mendukung penggunaan bahan tersebut disamping harganya yang cukup mahal. Pemakaian Alat bantu pada medial longitudional telah ditunjukkan mampu mengurangi gejala hingga 6 bulan saja. Namun saat ini belum didapatkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan orthoses dapat mencegah progresivitas hallux valgus. (7)

Sebagai bahan pemikiran, setelah lebih dari 160 thn pembedahan hallux valgus, Teknik yang sempurna seharusnya sudah ditemukan. Pada Tahun 1931 Peabody menyatakan bahwa dia telah menemukannya. Dia menyatakan bahwa semua pasien yang ditangani senang dan tidak ada komplikasi. Namun, ternyata dia salah. Pada tahun 1981, Helal menghitung lebih dari 150 teknik yang berbeda dalam penatalaksanaan hallux valgus, bahkan mungkin lebih lagi hingga saat ini. Sebagian kecil konsensus dari para dokter bedah telah ditetapkan. Untuk deformitas yang minor dan moderate (berdasarkan sudut hallux valgus dan intermetatarsal) mungkin ditangani dengan distal metatarsal osteotomy sedangkan untuk yang deformitas berat (severe) lebih baik dengan proximal metatarsal osteotomy. Hal ini telah dibuktikan secara matematis untuk memberikan koreksi yang terbaik. (12,13) Distal Metatarsal Osteotomy Osteotomi distal metatarsal I telah menunjukkan peran yang menonjol dalam manajemen operatif pada deformitas hallux valgus. Teknik ini sering dilakukan berbarengan dengan remodeling dari exostosis medial atau eminens dan beberapa bentuk teknik perbaikan jaringan lunak.(13), Pada tahun 1881, Reverdin dan Arthur E. Barker adalah orang yang pertama menjelaskan Closing wedge osteotomy caput metatarsal I dengan apeks pada bagian lateral yang juga disertai eksisi eminens sebelah medial. Hal ini bertujuan untuk realignment/meluruskan hallux yang abduksi dan menghilangkan penonjolan tulang. Prosedur ini secara efektif mengurangi sudut artikulasi proximal yang abnormal namun secara tidak langsung juga terhadap sudut metatarsal. (12,14)

Gambar 4 : Penggunaan Orthoses pada Hallux valgus(7)

Penatalaksanaan dengan teknik operatif diindikasikan bila nyeri menetap atau tidak bisa dikontrol dengan non operatif treatment. Nyeri bisa berasal dari bunion atau sendi Metatarsophalangeal II sebagai akibat dari insufisiensi jari I. Penatalaksanaan berdasarkan harapan dari penderita cukup penting. Oleh karena keberhasilan dari pembedahan hallux valgus tidak selamanya ideal dan konseling preoperatif sangat diperlukan. Hanya sekitar 60 % pasien dapat berharap bisa menggunakan sepatu secara bebas setelah pembedahan. Jika transfer lesi sudah terjadi sebelum operasi maka perlu untuk menggunakan sepatu dengan bantalan atau sol dalam setelah operasi. (7,11) Laporan pertama tentang operasi koreksi hallux valgus berasal dari gernet tahun 1836. Tindakan yang paling populer adalah reseksi sebagian dari Sendi Metatarsophalangeal I oleh Mayo, Keller dan Brandes. Koreksi dengan teknik metatarsal osteotomy menjadi terapi pilihan pada abad 21. Pada awalnya penggunaan teknik osteotomy dalam penatalaksanaan hallux valgus oleh para ahli bedah dibagi

Gambar 5 : Prosedure operasi Revendin’s osteotomy.

Modifikasi terhadap teknik ini sudah banyak dilakukan. Teknik ini menjadi populer setelah diterangkan oleh Hohmann dalam literatur Jerman tahun 1921. Hohmann mengemukakan teknik operasi yang tidak hanya mengoreksi deformitas hallux valgus tetapi juga mengoreksi seluruh kaki bagian depan. Prosedur ini mecakup diseksi dari abductor hallucis dari caput medial fleksor brevis dengan melepaskan

13 Majalah Ilmu Bedah Makassar

Derajat Hallux Valgus

menjadi dua yaitu distal metatarsal osteotomy dan proximal metatarsal osteotomy. Teknik Hohmann, Wilson, Mitchell dan chevron mewakili distal osteotomy sedangkan teknik Loison, Ludloff, Trott dan Crescent Mann mewakili teknik proximal osteotomy. (12)


Majalah Ilmu Bedah Makassar

14

insersinnya dari basis phalank proximal dan merefleksikan ke proksimal. Caput metatarsal dipisahkan dari corpus dengan trapezoid atau cuneiform osteotomi. Hasil potongan yang dikeluarkan lebih lebar pada aspek medial. Fragmen capital kemudian digeser ke arah metatarsal II menutupi osteotomi. Potongan dari abductor hallucis kemudian dilekatkan pada titik yang lebih dorsal pada sisi medial basis dari phalank. (14)

varus dan hallux valgus. Teknik osteotomy dilakukan dengan melakukan osteotomi incomplet yang tegak lurus terhadap aksis memanjang pada metatarsal I. Bagian distal, osteotomi hanya dilakukan ¾ dari permukaan artikulasi caput metatarsal. Ketebalan dari potongan tulang dari yang dibentuk tergantung dari jumlah pemendekan metatarsal yang diperlukan untuk melonggarkan struktur jaringan lunak disekitarnya. Selanjutnya dilakukan osteotomi proximal. Ukuran pergeseran ke lateral tergantung dari besarnya sudut metatarsal yang akan dikoreksi. Osteotomy ditempatkan ke arah plantar untuk mengurangi pemendekan metatarsal serta mencegah metatarsalgia. Angulasi dari potongan tulang bagian distal dilakukan untk mengoreksi sudut proximal artikular set. Pada tahun 1974 Miller menjelaskan modifikasi yang lain dari Mitchell osteotomy, dengan melakukan osteotomi tegak lurus terhadap aksis kaki, bukan tegak lurus terhadap aksis metatarsal. (5,15,16)

Gambar 6 : Teknik Hohmann osteotomy (14)

Kekurangannya dari teknik ini adalah menyebabkan terjadinya pemendekan dari metatarsal. Oleh karena itu dilakukan modifikasi oleh Kramer dkk yang mengganti closing wedge osteotomy dengan lateral translation dan tambahan fikasasi wire dari Kirschner. Bosch dkk menyederhanakan teknik ini dengan mengembangkan tuas khusus untuk melakukan osteotomy subkutaneus. Keuntungan dari teknik ini (khususnya yang dikembangkan oleh Bosch) menutupi kekurangan teknik sebelumnya yang tidak cukup stabil akibat tidak adanya fikasasi. Trnka dkk melakukan perbandingan hasil Osteotomy dari Kramer dan Austin, dengan mengobservasi persamaan koreksi Hallux Valgus Angel (HVA) dan Inter Metatarsal Angel (IMA), dimana secara statistik koreksi yang lebih baik dari posisi sesamoid didapatkan pada prosedure Austin. Setelah Kramer osteotomy banyak malalignment dan rekurensi hallux valgus yang berat ditemukan. Bosch dkk melaporkan banyak hasil yang lebih baik setelah follow up 7-10 tahun. Dari 98 kaki, rata-rata sudut hallux valgus dikoreksi dari 36º sebelum operasi menjadi 19º setelah operasi, demikian juga sudut intermetatarsal dikoreksi dari 13º sebelum operasi menjadi 10º setelah operasi. Komplikasi yang ditemukan berupa infeksi dan keterlambatan penyembuhan tulang (8 kasus).(12)

Gambar 7 : Prosedure operasi Bosch’s Osteotomy(12)

Pada tahun 1945, kemudian 1958, Mitchell menjelaskan teknik osteotomi dalam mengoreksi matatarsus primus

Gambar 8 : Teknik osteotomi Mitchell dan Miller (5)

Pada tahun 1963, wilson menjelaskan teknik oblik osteotomy secara sederhana dengan menggeser caput metatarsal tanpa memerlukan fiksasi internal, permukaan osteotomy yang lebar mengurangi resiko nonunion dan besarnya fragment caput metatarsal dapat mengurangi kemungkinan nekrosis avaskuler. Teknik ini mencakup osteotomy oblik sepertiga distal dari metatarsal I, yang dikombinasikan dengan remodeling exostosis bagian medial. Garis osteotomy berada pada sebelah medial dan proximal dari ujung exostosis yang diperluas ke lateral dengan sudut 45 ‘. Osteotomi dilakukan dengan memotong kemudian menggeser fragment distal dengan arah gergaji sudut 45 ‘, dan sisa tonjolan tulang dipotong setelah dilakukan koreksi alignment. (12, 14), Ada banyak teknik yang merupakan modifikasi dari teknik wilson ini antara lain yang dilakukan oleh Helal dkk pada tahun 1974 dengan merubah arah osteotomi dari posisi dorsal-distal ke plantar proximal. Pada tahun 1976, Davis dan Litman menggunakan teknik wilson dengan pengecualian, exostosis medial tidak dihilangkan, sehingga sendi Metatarsophalangeal tidak terganggu. Davis dan Litman menyatakan semakin sedikit intervensi pada sendi memberikan hasil yang lebih baik. Allen dkk pada tahun 1981 kemudian melakukan modifikasi osteotomy dengan 2 cara, pertama dengan menggunakan cancellous screw untuk fiksasi interna dan kedua dengan memodel irisan pada basis sebelah medial setelah dilakukan eksisi cartilago yang mengalami deviasi ke lateral. (14,17) Pada modifikasi yang lain Pittman dan Burns pada tahun 1984 dengan mengubah arah osteotomi dari proximal medial ke arah distal lateral dengan mengarahkan fragment


capital ke plantar. (4)

fungsi ibu jari setelah prosedur osteotomi Austin.(14,18)

Gambar 9 : Prosedure operasi Wilson’s Osteotomy(4)

Pada tahun 1981, Austin mempublikasikan teknik osteotominya, dengan irisan horizontal, V displacemen osteotomy dari kaput metatarsal dalam penanganan hallux valgus dan peningkatan sudut metatarsal. Pada bagian awal dilakukan remodeling eksostosis pada bagian medial dan membuat lubang pada permukaan medial caput metatarsal. Lubang tersebut menjadi apeks dari osteotomy. Teknik V osteotomy dilakukan dengan arah horizontal kemudian memotong dengan sudut 60 Âş dan menyisakan daerah cancellous bone pada caput metatarsal. Teknik potongan ini menghasilkan permukaan yang luas untuk penyembuhan dan satabilitas yang baik. Fragmen capital selanjutnya digeser ke arah lateral kemudian dilakukan fiksasi interna setelah koreksi dilakukan . Selanjutnya dilakukan remodeling pada penonjolan dari proximal metatarsal. (14)

Gambar 10 : prosedure operasi Austin’s osteotomy (14)

Distal metatarsal osteotomy merupakan teknik yang memberikan koreksi terhadap 4 hal, di antaranya dapat mengoreksi sudut intermetatarsal, realigment struktur yang abnormal aspek transversal, memendekkan atau mempertahankan ukuran metatarsal.(14) Rehabilitasi Pasca Operasi Analisis plantar pressure post operatif hallux valgus memberikan gambaran bahwa meskipun terdapat perbaikan secara klinis dan radiologi, perbaikan fungsi dari Artikulasi Tarsometatarsal I dan Matatarsal Phalangeal (MTP) bisa saja tidak berhasil. Kernozek dan Sterikker (2009) menyatakan fisioterapi post operatif hallux valgus dapat mengembalikan

Latihan pasif dari sendi dapat dilakukan pada minggu pertama dengan menggerakkan hallux/ibu jari ke atas dan ke bawah dengan menggunakan jari-jari tangan, di mana satu tangan memegang sendi Metatarsophalangeal I, dan tangan lain menggerakkan hallux. Latihan ini dapat dilakukan 3-4 kali setiap hari selama 5 menit. Latihan aktif dari sendi dapat dilakukan pada minggu kedua setelah pembedahan. Latihan dilakukan dengan menggunakan elastis verban yang dilingkarkan pada hallux, kemudian hallux digerakkan melawan beban tersebut, Latihan dimulai dari 10 kali gerakan sebanyak 3 kali sehari, dan ditingkatkan setiap minggu sebanyak 10 gerakan hingga 40 kali. Selanjutnya latihan dilakukan hingga kekuatan ibu jari yang telah dioperasi terasa sama dengan yang sehat, dan biasanya bisa dicapai setelah latihan 2-3 bulan. Latihan selanjutnya dapat dilakukan dengan Weight-Bearing Pushed, dimana latihan dengan posisi berdiri dengan tumit diangkat. Hal ini dilakukan sebanyak 20 kali gerakan dan dilakukan 3 kali sehari. Latihan ini bisa dilakukan selama 10 minggu dengan harapan kekuatan sendi bisa kembali berfungsi normal. Latihan-latihan selanjutnya dapat dilakukan untuk memperkuat dan mengembalikan fungsi dar hallux dan pesendian MTP I. (18)

Gambar 11 : Rehabilitasi pasca operasi osteotomi hallux valgus. (18)

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3.

4.

Vanore JV, Christensen JC, Kravitz SR, et al. Diagnosis and treatment of Metatarsophalangeal Joint Disorders. Section 1: Hallux Valgus. J Foot Ankle Surg 2003; 42:124-136 Polastri M. Postoperative rehabilitation after hallux valgus surgery: A literature review. Foot Ankle Online J 2011; 4(6):19 Nix S, Smith M, Vicenzino. Prevalence of hallux valgusin the general population : a systemic review and metaanalysis. J Foot Ankle Res 2010; 3:21,1-9.6Kilmartin TE, O’Kane C. Combined rotation scarf and Akin osteomies for hallux valgus: a patient focused 9 year follow up of 50 patients. J Foot Ankle Res 2010; 3:2,1-2. Glasoe WM, Nuckley DJ, Ludewig PM. Hallux valgus and the first metatarsal arch segment : A theoretical biomechanical

15 Majalah Ilmu Bedah Makassar

Setelah satu minggu paca operasi, latihan berjalan sudah bisa dimulai dan secara hati-hati menggerakkan ibu jari. Biasanya rasa tidak nyaman masih dirasakan dan pembengkakan pada kaki masih ada. Setelah empat minggu konsentrasi latihan untuk berjalan secara normal dengan tenaga sendiri sudah bisa dilakukan, namun saat duduk atau beristirahat posisi kaki tetap lebih tinggi dari panggul serta tetap menggunakan perban tekan pada daerah kaki hingga di bawah lutut selama 4 minggu pertama.


16

perpective. Phys Ther 2010; 90:1, 110-120 Joseph TN, Mroczek KJ. Decision making in the treatment of hallux valgus. Bull NYU Hosp Jt Dis 2007; 65(1):19-23. 6. Kilmartin TE, O’Kane C. Combined rotation scarf and Akin osteomies for hallux valgus: a patient focused 9 year follow up of 50 patients. J Foot Ankle Res 2010; 3:2,1-2. 7. Robinson AHN, Limbers JP. Modern concepts in the treatment of hallux valgus. J Bone Joint Surg(Br) 2005; 87-B:1038-1045 8. D’Arcangelo PR, Landrorf KB, Munteanu SE, et al. Radiographic correlates of hallux valgus severity in older people. J Foot Ankle Res 2010; 3:20 , 1-9 9. Vidal CP, Vila J. A geometric analysis of hallux valgus: correlation with clinical assessment of severity. J Foot Ankle Res 2009; 2:15, 1-8. 10. Deenik AR, Visser E, Louwerens JW, et al. Hallux valgus angle as main predictor for correction of hallux valgus. BMC musculoskeletal Disord 2008; 9:70, 1-6. 11. Lin JS, Bustillo J. Surgical treatment of hallux valgus : a review. Curr Opin Orthop 2007; 18:112-117. 12. Trnka HJ. Osteomies for hallux valgus correction. Foot Ankle Clin 2005; 5:15-33.

Majalah Ilmu Bedah Makassar

5.

13. Oh IS, Kim MK, Lee SH. New modified technique of osteotomy for hallux valgus. J orthop Surg 2004; 12((2):235-238. 14. Snyder AJ, Heterington VJ. Overview of distal first metatarsal osteotomies. In: Heterintongton VJ,ed. Hallux Valgus and Forefoot Surgery. Amazone:Churchill Livingtone 1994;163167. 15. Baba AN, Bhat JA, Mir NA, et al. Mitchell’s osteotomy in the management of hallux valgus : An Indian persepective. Indian J Orthop 2009; 43:76-81 16. Glynn MK, Dunlop JB, Patick DF. The Mitchell distal metatarsa osteotomy for hallux valgus. J Bone Joint Surg 1980; 62B:188-191 17. Ramanathan EBS, Waddington MB. Plaster support after Wilson’s osteotomy for hallux valgus. J Bone Joint Surg 1988; 70B:412-414. 18. Schuh R, Hofsaetter SG, Adams SB, et al. Rehabilitation afer hallux valgus surgery: Importance of physical therapy to restore weight bearing of the first ray during the stance pase. Phys Ther 2009; 89(9): 934-945.


Tinjauan Pustaka

INTESTINAL FAILURE

17

Samuel Sampetoding, Ronald E. Lusikooy

Era 60 dan 70-an, pasien yang mengalami infark masif pada usus halus. Seringkali tidak di reseksi pada saat laparotomi, dikarenakan saat itu belum tersedia terapi nutrisi suportif selama periode post operasi. Sehingga pasien mengalami malnutrisi berat dan pada akhirnya meninggal oleh overwhelming sepsis dari usus yang mengalami nekrotik.5,6,7) Enteral nutrisi adalah penanganan intestinal failure selama ratusan tahun. Terapi satu-satunya pada waktu itu adalah dengan menggunakan enema (rectal infusion) yang terdiri dari telur, wiski, anggur, susu dan daging. 1958, mulai di pergunakan tabung berongga yang berisi makanan yang dimasukkan ke esophagus. Hal tersebut kemudian mengalami pembaharuan berupa tabung berongga yang lebih fleksibel dan halus yang menyediakan akses makanan ke esophagus dan gaster. Hal inilah yang menjadi awal dari perkembangan oro atau naso gastric tube. (5,6,7) Parenteral nutrisi merupakan pilihan utama pada intestinal failure pada jaman modern. Bangsa yunani kuno berpendapat bahwa sirkulasi darah dalam tubuh berasal dari hepar. Baru pada tahun 1628, Sir William Harvey, membuktikan bahwa sirkulasi darah berpusat dari dan ke jantung. 1800, lemak di injeksi secara subkutan, hal ini merupakan usaha pertama dalam nutrisi parenteral. Lalu pada akhir 1800, di publikasikan infus pertama yang berisi glukosa dan asam amino pada pasien demam. (5,6,7) Definisi Secara umum pengertian tentang intestinal failure adalah penurunan kemampuan usus secara adekuat sehingga jumlah nutrient yang di cerna dan di absorbsi, dibawah jumlah minimum yang diperlukan (Fleming & Remington, 1981). Interpretasi ini sama saja jika kita mendeskripsikan pasien dengan renal failure yang membutuhkan hemodialisis. Sayangnya, Intestinal Failure tidak memiliki perangkat klinis dan biokimiawi yang dapat di pergunakan untuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan berat tidaknya hal tersebut (seperti serum kreatinin pada renal failure dan gas darah pada respiratory failure). Definisi terbaru dari intestinal failure yaitu penurunan kemampuan usus dalam mengabsorbsi makro nutrient berupa air dan suplemen

elektrolit yang dibutuhkan oleh tubuh (Nightingale, 2001).5,6,7) Crehn dkk, (2000) telah mengajukan Absorbsi Xylose atau post prandial plasma citrulline sebagai alat ukur. Citrulline adalah asam amino non esensial yang di hasilkan oleh enterosit yang tidak terikat dengan peptide dan protein. Postabsorbsi plasma level dari citruline dengan nilai < 20 Âľmol/L dan terdeteksi setelah 2 tahun periode adaptasi kontinuitas usus yang telah stabil dari reseksi ekstensif usus, secara signifikan dikatakan telah mengalami intestinal failure permanen. (5,6,7) Etiologi a. Anak-anak Pada anak-anak, penyebab dari intestinal failure di dominasi oleh kelainan kongenital dan penyakit berat yang permanen dengan penanganan jangka panjang seperti penggunaan nutrisi parenteral dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Seperti reseksi, dimana Panjang reseksi berakibat pada ketidakcukupan nutrisi yang diperlukan oleh tubuh oleh karena berkurangnya area permukaan absorbsi dan dari kelainan kongenital. Seperti multiple intestinal atresia, gastroschisis, hirschprung disease. Atau akuisita akibat dari Necrotizing enterocolitis (NEC), midgut volvulus, Chronic intestinal pseudo-obstruction syndrome (CIPOS), Hirschprung Disease (HD), intractable diarrhea, protracted diarrhea, abnormalitas enterosit, autoimun enteropati, phenotypic diarrhea. (1,5,6,7,13) b. Dewasa Pada dewasa umumnya di akibatkan oleh tindakan Reseksi Masif. Tindakan tersebut dilakukan karena penyebab yang multifaktorial seperti trauma, embolisme arteri, carcinoma, adhesi, IBD dan lain sebagainya.1,5,6,7,13)

Majalah Ilmu Bedah Makassar

Aspek Historis Pada 50 tahun yang lalu intestinal failure (IF) dianggap problema kehidupan yang belum terpecahkan. Sejak itu, perkembangan nutrisi parenteral, dan, baru-baru ini, transplantasi intestinal, telah memberikan pilihan terapi baru dengan potensi untuk menawarkan kelangsungan hidup jangka panjang dengan kualitas hidup yang baik. Strategi medis dan bedah kini ditujukan untuk meningkatkan adaptasi usus, meningkatkan penyerapan gizi, dan meminimalkan komplikasi terapi nutrisi parenteral. Suatu pendekatan, terpadu multidisiplin untuk pengelolaan pasien dengan intestinal failure, erat terkait dengan program transplantasi, diakui sebagai faktor kunci dalam mengoptimalkan hasil terapi pasien.(5,6,7)


Majalah Ilmu Bedah Makassar

18

Patomekanisme • Short Bowel Syndrome (SBS) Yaitu malabsorbsi yang di akibatkan reseksi atau hilangnya usus dalam jumlah besar. Panjang reseksi berakibat pada ketidakcukupan nutrisi yang diperlukan oleh tubuh oleh karena berkurangnya area permukaan absorbsi. Faktor resiko terjadinya Short Bowel Syndrom setelah reseksi usus halus (14): - Panjang usus halus kurang dari 200 cm - Hilangnya valvula ileocaecal - Tidak adanya colon - Penyakit usus lain ( cth : crohn disease) - Reseksi ileum Efek daripada reseksi intestinal : - Sekresi dan Motilitas pada gaster dan intestinal Hipersekresi gaster terjadi setelah reseksi usus halus. Hipersekresi bisa saja me-reduksi absorpsi nutrisi dengan menginaktivasi enzim pancreas. Karena itu, reduksi dari sekresi asam meningkatkan absorpsi dari usus yang telah di reseksi. Reseksi usus halus meningkatkan motilitas gaster. Meskipun reseksi pada proksimal tidak meningkatkan kecepatan dari transit intestinal, reseksi ileum secara signifikan mempercepat waktu transit intestinal

- Absorpsi Cairan dan elektrolit Efek daripada reseksi tergantung pada luas dan lokasi reseksi. Reseksi pada proximal usus, tidak memberikan gejala berarti. Karena ileum dan colon mengabsorbsi peningkatan asupan cairan dan elektrolit dengan efisien. Ketika ileum direseksi, colon menerima asupan cairan dan elektrolit, serta garam empedu yang mana mereduksi kemampuan untuk mengabsorbsi cairan dan elektrolit sehingga mengakibatkan diare. Dan jika colon yang di reseksi, kemampuan mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit mengalami gangguan berat - Absorpsi Nutrisi Absorpsi nutrisi terjadi di sepanjang usus halus. Jika ileum di reseksi sekitar 100 cm. sehingga menyebabkan steatorrhea. tapi derajat malabsorbsi tergantung pada panjang reseksi dan variasi nutrisi. Pada sebuah penelitian, karbohidrat dan lemak, mengalami

penurunan sekitar 50-75% sesuai dengan panjang reseksi. Tetapi hal ini berbeda pada absorpsi nitrogen. - Adaptasi Intestinal Setelah reseksi, usus yang tersisa mengalami hipertrofi dan peningkatan kemampuan absorptive. Proses ini meningkatkan kemampuan sisa usus untuk menggantikan fungsi-fungsi yang hilang. Hal ini merupakan sebuah proses kompensasi. - Faktor yang mempengaruhi atrofi usus Penurunan aktivitas saluran cerna dari mukosa usus selama periode istirahat usus (bowel rest) merupakan penyebab utama hipoplasia. (1,5,6,7,13) • Dismotilitas Gangguan motilitas merupakan dasar dari disfungsi organ yang berakibat pada gangguan fisiologis. Pada kasus yang tergolong berat, bisa berakibat pada keadaan Intestinal failure seperti Chronic intestinal pseudoobstruction syndrome (CIPOS) dan Hirschprung Disease (HD) (1,5,6,7,13) • Enteropati Kongenital Salah satu penyebab dari intestinal failure yang permanen akibat gangguan perkembangan mukosa intestinal seperti intractable diarrhea, protracted diarrhea, abnormalitas enterosit, autoimun enteropati, phenotypic diarrhea(1,5,6,7,13) Diagnosis Intestinal failure merupakan suatu kondisi kompleks dengan penanganan multidisipliner. Komponen dari penilaian meliputi : a. Anamnesa • Riwayat klinis : ➢➢ Riwayat penyakit sekarang, sebelumnya dan trauma yang berhubungan dengan keluhan utama ➢➢ Riwayat penyakit kronis atau operasi pada saluran cerna ➢➢ Lokasi dari NGT, Drain post operasi, stoma atau fistula • Keluhan terkini ➢➢ Gangguan mengunyah dan menelan ➢➢ Nyeri, mual dan muntah pada saat dan setelah makan ➢➢ Perubahan nafsu makan, rasa pada makanan atau minuman ➢➢ Perubahan kebiasaan buang air besar dan buang air kecil ➢➢ Adanya demam, menggigil, dan nyeri otot • Riwayat makanan ➢➢ Restriksi diet, alergi ➢➢ Enteral, parenteral, rehidrasi oral, cairan intravena dan regimen elektrolit • Penggunaan obat-obatan ➢➢ Suplemen vitamin dan mineral ➢➢ Perangsang atau penekan rasa lapar ➢➢ Alergi obat-obatan tertentu • Kondisi Psikososial ➢➢ Status mental seperti cemas, depresi dan bingung ➢➢ Level pendidikan ➢➢ Kecanduan alcohol atau obat-obatan


➢➢ Terkucil di masyarakat(1,5,6,7,13)

Tanda fisik yang sangat nyata dari adanya defisiensi protein-kalori adalah adanya muscle wasting pada temporal dan skeletal. Serta hilangnya jaringan lemak subkutan pada wajah, triseps, paha dan pinggang

d. Status Nutrisi : penilaian antropometrik Pengukuran tinggi badan, berat badan, tebal lipatan kulit dan sirkumferensial merupakan parameter tradisional antropometrik sederhana dalam meng-interpretasikan komposisi tubuh, status nutrisi dan resiko operasi. Validitas dari interpretasi ini sangat tergantung pada riwayat berat badan yang akurat, peralatan dengan kalibrasi terukur, tenaga pemeriksa yang terlatih dan lain-lain. Meskipun dengan banyaknya batasan tersebut, parameter tradisional ini masih di pergunakan dalam berbagai penelitian

• Keseimbangan cairan Stress operasi dan malabsorbsi kronik dapat mengakibatkan hipoalbuminemia berat dan retensi cairan yang menyebabkan edema, ascites atau anasarca. Dehidrasi oleh karena kehilangan cairan melalui suction, muntah, diare dan fistel atau drainase luka terdeteksi secara fisis dengan memeriksa turgor kulit. • Fungsi gastrointestinal Traktus gastrointestinal di evaluasi dengan inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi. Peristaltik, level distended, serta adanya nyeri tekan di nilai untuk mengidentifikasi ileus atau obstruksi usus • Fungsi Muskular Defisit fungsi otot dihubungkan dengan deplesi nutrisi dan tingginya angka kejadian komplikasi post operasi pada pasien-pasien yang sementara dirawat. Fungsi otot dinilai melalui stimulasi nervus ulnaris, yang memiliki respon llebih cepat terhadap deplesi nutrisi dibanding dengan pengukuran komposisi tubuh dan serum protein. (Klidjian, dkk) kemunduran fungsi otot dinilai dengan kekuatan genggaman tangan, yang memiliki nilai prognostic tinggi untuk komplikasi post operasi dibanding dengan antropometrik dan level serum albumin • Fungsi imun Delayed hypersensitivity skin testing (DHST) merupakan alat ukur imunitas seluler berupa injeksi intradermal antigen yang mendatangkan indurasi. Ketiadaan respon diklasifikasikan sebagai perburukan signifikan dari fungsi imun c. Evaluasi saluran cerna : a) Barium enema : Colon in loop b) Endoskopi : UGIE dan LGIE Penilaian ini dilakukan sebagai sarana diagnostik dalam mencari kausa primer sehingga kondisi intestinal failure bisa terjadi. Dengan aplikasi colon in loop dan atau endoskopi, bisa melihat kondisi anatomi intestinal dan mendeteksi kelainan, apakah berupa short bowel syndrome dengan multikausa (reseksi oleh karena trauma, tumor, iskemik dan lain-lain), gangguan motilitas dan enteropati, yang di identifikasi melalui

e. Pemeriksaan laboratorium dan analisa biokimia a) Plasma Citruline Citrulline adalah asam amino non esensial yang di hasilkan oleh enterosit yang tidak terikat dengan peptide dan protein. Postabsorbsi plasma level dari citruline dengan nilai < 20 µmol/L dan terdeteksi setelah 2 tahun periode adaptasi kontinuitas usus yang telah stabil dari reseksi ekstensif usus, secara signifikan dikatakan telah mengalami intestinal failure permanen.

b) Protein serum Albumin, transferin, prealbumin dan retinolbinding telah di pertimbangkan sebagai indikator biokimia. Variasi level serum dari protein-protein ini (sintesis, degradasi dan distribusi) terlihat pada kondisi malnutrisi kronik dan stress akut. Pada keadaan puasa kronik tanpa komplikasi, konsentrasi serum albumin berada pada nilai mendekati normal, dikarenakan penurunan katabolisme dan pergeseran distribusi pada ruang intravascular. Tetapi pada stress akut,

19 Majalah Ilmu Bedah Makassar

b. Pemeriksaan Fisis • Tanda dari defisiensi makro dan mikronutrien Jaringan tubuh mengalami proliferasi progresif (rambut, kulit, kuku, cavum oral dan mata). Dengan respon yang cepat terhadap defisiensi nutrisi. Rambut tipis, kering dan gampang rontok diidentifikasi sebagai defisiensi protein-kalori. Kulit kering, bersisik dan kasar mungkin indikasi adanya defisiensi asam lemak esensial. Memar, edema dan penyembuhan luka yang lambat diobservasi sebagai defisiensi protein.

biopsi mukosa intestinal


Majalah Ilmu Bedah Makassar

20

level albumin seringkali turun secara dramatis akibat dari peningkatan degradasi, penurunan sintesa dan peningkatan permeabilitas vaskular dengan redisitribusi albumin ke ruang ekstravaskular

c) Acute phase reactans Sebagai respon terhadap kerusakan jaringan dan inflamasi, sitokin dilepaskan untuk menstimulasi produksi acute phase reactans proteins yang berasal dari sirkulasi asam amino. C-reactive protein (CRP) adalah acute phase reactans proteins yang di produksi selama inflamasi untuk mengontrol infeksi dan promosi perbaikan jaringan. Level CRP naik pada fase katabolik pada respon stress (10-300 mg/L) dan menurun secara cepat pada anabolik. Para klinisi intensive care mempergunakan CRP dengan prealbumin dalam penentuan agresivitas terapi nutrisi(1,5,6,7,13)

Manajemen Penanganan Medical Therapy Pemberian cairan serta penggantian elektrolit merupakan hal yang penting dalam therapy. Dilanjutkan dengan pemberian Total Parenteral Nutrition serta enteral nutrition yang bertahap. Antagonis H2 reseptor atau proton pump inhibitor diberikan untuk mengurangi sekresi asam lambung. Obat-obat yang menghambat motilitas seperti loperamide hydrochloride atau diphenoxylate diberikan dengan tujuan meningkatkan waktu transit makanan dalam usus halus. Pemberian Octreotide untuk mengurangi volume sekresi Gastrointestinal. (13,14) • Home Parenteral Nutrition (HPN) ➢➢ Nutrisi parenteral adalah “gold standard” untuk penanganan intestinal failure kronik ➢➢ Diberikan kepada pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya melalui asupan enteral dan memperoleh terapi di luar dari rumah sakit ➢➢ Nutritional support team (NST) di rekomendasikan untuk HPN. Terdiri dari dokter (gastroenterologist, bedah gastrointestinal, mikrobiologi klinik), perawat spesialis nutrisi, gizi senior, farmasi klinis senior. Tugas tim tersebut yaitu mempersiapkan protokol manajemen nutrisi parenteral untuk meminimalkan komplikasi lokal (kateter vena (sepsis dan thrombosis) dan sistemik (penyakit hati dan tulang, imbalans mikronutrien), mencegah pengeluaran yang berlebihan akibat terapi dan mengaudit terapi ➢➢ Kebutuhan nutrisi HPN : ◊ Cairan dan elektrolit dalam komposisi regimen seharusnya merefleksikan jumlah kehilangan cairan dan elektrolit

Energi Total kalori seharusnya 25-30 kcal/kgbb/hari Energi non protein Energy non protein seharusnya 100-150 kcal/ kgbb untuk setiap gram dari nitrogen. Karbohidrat Glukosa seharusnya 3-6 g/kgbb/hari Lemak ■■ Penggunaan lemak intravena jangka panjang (>6 bulan) tidak boleh lebih dari 1 g/kgbb/hari ■■ Asam lemak esensial 7-10 g/hari Protein ■■ Orang dewasa tanpa stress membutuhkan 0,8 – 1,0 g asam amino/kgbb/hari ■■ Dengan stress atau katabolisme, kebutuhan asam amino bisa naik sampai 2,0 g/kgbb/ hari Mikronutrien Vitamin sebaiknya diberikan dalam dosis standar. Tidak boleh berlebihan terutama pada pasien dengan kolestatic dan gagal ginjal

Kateter vena sentral sebagai akses permanen dalam nutrisi parenteral jangka panjang ■■ PICC hanya untuk pemakaian jangka pendek ■■ Kateter multi lumen tidak direkomendasikan untuk meminimalkan infeksi Edukasi pasien : tentang perawatan kateter vena, penggunaan pump, dan mengenali, mencegah dan menangani komplikasi di bawah bimbingan perawat terlatih Monitoring terapi : ■■ Biokimiawi (elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, glukosa, hemoglobin, fe, albumin dan CRP) di periksa di setiap kunjungan ■■ Mineral dan vitamin di periksa setiap 6 bulan


■■ •

Densitas mineral tulang di periksa setiap tahun (4,8,9,10,12)

➢➢ ➢➢

Dalam beberapa laporan kasus, formula enteral dilusi diabsorbsi lebih efisien pada pasien dengan SBS Dalam sebuah penelitian, ditemukan perubahan mukosa saluran cerna pada pemberian nutrisi parenteral selama 14 hari dan mukosa tersebut kembali normal setelah pemberian nutrisi melalui nasoduodenal selama 5 hari

Komposisi formula enteral : ◊ Emulsi lengkap dari makronutrien dan mikronutrien ◊ Formula standar memberikan 1 kcal/ml, hampir isotonik, mengandung protein, polimer glukosa dan trigliserida ◊ Formula spesial terdiri dari formula standar dengan di-,tri- dan oligopeptida yang berfungsi merangsang absorbsi protein pada saluran cerna. Ada yang ditambahkan dengan mixture dari asam lemak rantai panjang dan rantai sedang serta asam lemak 0mega-3 ◊ Formula elemental terdiri dari asam amino bebas dan glukosa sebagai sumber nitrogen dan karbohidrat. Bila di tambahkan dengan makronutrien terhidrolisa memberikan 2 kcal/ ml dengan tonisitas >700 mOsm/kg(4,8,9,10,12)

Operasi ➢➢ Non transplantasi intestinal ◊ Optimalisasi sisa usus : menutup fistula enterokutaneus dan stoma ◊ Reversed segment, colonic interposition, nipple valve construction ■■ Reversed segment Prosedur yang paling sering dilakukan adalah segmen terbalik, yang terbentuk di pertemuan sisa usus halus dan colon dengan mengisolasi 3 sampai 10 cm jejunum (Atau ileum jika ada) dan memutarnya di 180 derajat. Segmen usus halus kemudian dijahit kembali ke tempatnya dan bertindak sebagai tempat istirahat dari transit cepat succus entericus, hal ini memungkinkan untuk kontak yang lebih lama dengan mukosa usus dan secara teoritis, terjadi penyerapan yang lebih baik.. ■■ Colonic Interposition, Interposisi dari segmen colon dengan bagian tengah dari sisa usus halus dengan tujuan untuk memperlambat motilitas ■■ Nipple valve construction Untuk menciptakan efek seperti pada

21 Majalah Ilmu Bedah Makassar

Enteral Nutrisi ➢➢ Walaupun kehilangan sebagian besar saluran cerna sehingga terjadi short bowel syndrome. Hal yang memungkinan untuk mempertahankan keseimbangan nutrisi pada rute oral-enteral ➢➢ Berdasarkan lokasi dan panjang reseksi ◊ Reseksi jejunum-ileum dan colon intak dan bebas penyakit Pasien dengan kategori ini dapat di beri nutrisi oral sesegera mungkin. Tetapi, jika terdapat penyakit pada ileum dan colon, dapat menyebabkan kehilangan fungsi yang sama pada segmen usus yang mengalami reseksi ◊ Reseksi ileum (<100 cm)-sebagian besar colon intak Pada kategori ini, sering disebut “bile salt induced diarrhea”. Sangat tepat di tangani dengan injeksi 4 gr cholestyramine 3 kali sehari untuk mengikat garam empedu yang tidak di absorbsi oleh ileum yang di reseksi. Penurunan absorbsi vitamin B12 di tangani dengan pemberian suplemen vitamin B12 200 ug per bulan secara intramuskuler ◊ Reseksi ileum (100-150 cm)-sebagian besar colon intak Pada kategori ini mengalami sedikit kesulitan untuk mempertahankan nutrisi melalui oral. Terjadi diare asam lemak, sehingga asupan asam lemak dibatasi. ◊ Reseksi ekstensif >100 cm pada usus halus dan reseksi minor berupa colostomy Pasien pada kategori ini di tangani seperti dibawah ◊ Reseksi dengan meninggalkan hanya 60 cm usus halus atau Cuma duodenum : reseksi usus massif Pada kategori ini memerlukan suplemen atau total parenteral nutrisi

➢➢


22 Majalah Ilmu Bedah Makassar

■■

valvula ileocaecal Intestinal lengthening procedures ■■ Longitudinal lengthening (Bianchi) Pada tahun 1980, Bianchi menggambarkan prosedur memanjangkan usus longitudinal (Gambar 26.1) Teknik ini dilakukan dengan stapel linier usus longitudinal setelah penciptaan sebuah terowongan avaskular antara setiap sisi mesenterium. Dia menggambarkan perpanjangan segmen yang berbeda-beda dari 10 sampai 30 cm.

➢➢

■■

Hand-Sewn Technique Pada tahun 1984, Bianchi menyarankan teknik alternatif yaitu tekhnik jahit tangan (Hand-Sewn Technique), seperti yang digambarkan dalam. Gambar 26.2 [11]. Modifikasi direkomendasikan untuk meminimalkan resiko terbentuknya fistula antar dua staple yang berdekatan.

■■

Longitudinal Lengthening Modified Sebuah penyederhanaan teknik, yang dibutuhkan hanya satu anastomosis untuk tetap menjaga kontinuitas proksimal dan distal usus

Serial Transverse Enteroplasty (STEP) Sebuah alternatif baru (Gambar 26.5) dengan menembakkan stapler linier alternatif pada tepi mesenterika dan antimesenterika dari usus halus yang dilatasi. Jarak antara stapler berikutnya stapler dipandu oleh diameter normal usus halus pasien dengan rentang antara 1 dan 2,5 cm.

Transplantasi intestinal ◊ Selama hampir tiga dekade, transplantasi intestinal adalah sesuatu yang mustahil, hal ini disebabkan oleh jaringan limfoid yang massif, high antigenicity dan kolonisasi mikroba. Dengan kemajuan teknologi berupa agen imunosupresif yang efektif, resiko penolakan allograft yang minimal dan eradikasi agen infeksi, transplantasi intestinal menjadi kenyataan dalam 16 tahun terakhir ◊ Indikasi :

Tipe allograft intestinal : ■■ Isolated intestine (Graft: jejunoileal)


■■

Combine liver and intestine (Graft: Seluruh atau sebagian hepar dan jejunoileal)

■■

Multivisceral (Graft: set organ en bloc yaitu hepar, duodenum, pancreas, jejunoileum, dengan seluruh atau sebagian dari gaster) (2,3,9,11)

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

Goulet Olivier et al. 2008. “Permanent Intestinal Failure”. Indian Pediatric. 45: 753-763 Kaufman, Stuart et al. 10, 01, 2011. Intestinal Transplantation. www.a-s-t.org Kocoshis, Samuel et al. 2004. “Intestinal Failure and Small Bowel Transplantation, Including Clinical Nutrition”. Pediatric Gastroenterology amd Nutrition. 39: 655-661 Koletzko, Berthold et al. 2005. “Guidelines on Paediatric Parenteral Nutrition”. Pediatric Gastroenterology amd Nutrition. 41: 1-4 Langnas, Alan et al. 2008. Intestinal Failure: Diagnosis, Management and Transplantation. Blackwell Publishing. Massachusetts Matarese, Laura et al. 2005. Intestinal Failure and Rehabilitation: a Clinical Guide. CRC Press. Florida Nightingale, Jeremy. 2001. Intestinal Failure. Greenwich Medical Media Limited. London Nightingale, Jeremy. 2003. “The Medical Management of Intestinal Failure: Methods to Reduce the Severity”. The Nutrition Society. 62: 703-710 Parrish, Carol. 2010. “Nutrition Interventions Before and After Adult Intestinal Transplantation: The Pittsburgh Experience”. Practical Gastroenterology. 89: 11-26 Richards, M et al. 1997. Home Parenteral Nutrition: a Systematic Review. Crown Copyright. Southampton Stanghellini, V et al. 2010. “Natural History of Intestinal Failure Induced by Chronic Idiopatic Intestinal Pseudo-Obstruction”. Transplantation Proceedings. 42: 15-18 Staun, Michael et al. 2009. “ESPEN Guidelines on Parenteral Nutrition: Home Parenteral Nutrition (HPN) in adult patients”. Clinical Nutrition. 28: 467-479 Wingate, David et al. 2002. “Disorders of Gastrointestinal Motility:Towards a new Classification”. Journal of Gastroenterology and Hepatology. 17: 1-14 Tavakkolizadeh et Al 2009.” Small Intestinal” Schwartz’s Principles of Surgery, 9th

Majalah Ilmu Bedah Makassar

23


Hasil Penelitian

UKURAN HIDUNG DAN BIBIR PADA ANAK SUKU BUGIS DAN SUKU TORAJA DI SULAWESI SELATAN (Studi Antropometrik Sub Ras Deutero Melayu dan Proto Melayu) Majalah Ilmu Bedah Makassar

24

Syafari D. Mangopo, Leonardo Ch. Rieuwpassa, Burhanuddin Bahar PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wajah asimetris dan tidak harmonis, ditandai dengan hidung lebar, terlalu panjang atau terlalu besar, dan bibir tidak seimbang biasanya dianggap tidak proporsional. Ketidaksimetrian dan ketidakharmonisan bentuk wajah terutama di daerah hidung dan bibir dapat disebabkan oleh kelainan kongenital. Kelainan kraniofasial kongenital hidung dan bibir yang paling sering ditemukan adalah terdapatnya celah (cleft). Celah dapat terjadi pada bibir, alveolus, langit-langit, dan dasar hidung. Kelainan kraniofasial ini memiliki frekuensi berbeda berdasarkan budaya, ras dan negara. Laporan Peterka et al. (2000) menyebutkan prevalensi kelainan kongenital ini di Eropa antara 1:500 dan 1:700. Fogh Andersen di Denmark melaporkan kasus bibir sumbing dan celah langit-langit mencapai 1,47/1.000 kelahiran hidup. Hasil yang hampir sama dilaporkan oleh Wolf dan Broadbent di Amerika Serikat, serta oleh Wilson untuk daerah Inggris. Insiden pada Kaukasian 1-1,5/1.000 kelahiran hidup. Neel menemukan insiden 2,1/1000 penduduk di Jepang. Insiden ini sesuai dengan laporan Richard AH. et al. (2007) yang menemukan insiden pada populasi kulit putih 1:1000 kelahiran hidup, pada orang Asia terjadi 2 kali lipat dan pada orang African Americans terjadi setengah kali. Data insiden celah bibir dan langit-langit di Indonesia belum diketahui pasti, diperkirakan pertambahan penderita 3.000 hingga 6.000 orang setiap tahun atau 1 kejadian setiap 1.000 kelahiran hidup.1,2,3 Penyebab kelainan celah bibir dan langit-langit adalah multifaktorial. Meskipun penelitian epidemiologi untuk pencegahan terjadinya bibir sumbing masih sedikit, namun teknik bedah untuk mengoreksi kelainan ini sudah banyak dilakukan. Jeffery dan Boormann (2001) dan Marcusson et al. (2002) mengungkapkan bahwa irregularitas celah bibir dan palatum sangat berubah-ubah misalnya dalam hal lebar celah, atau karakteristik lainnya. Modalitas terapi juga berbeda, tergantung pada waktu operasi dan teknik rekonstruksi. Menurutnya, hal yang perlu diperhatikan adalah daerah wajah sebagai tempat deformitas ini terjadi merupakan daerah yang sensitif. Untuk waktu yang lama, terapi celah bibir dan langit-langit dapat memberikan hasil yang baik dan fungsional (berbicara, oklusi).4,5 Koreksi yang menguntungkan diharapkan didapat pada koreksi deformitas hidung dan bibir karena deformitas ini merupakan satu dari sejumlah bagian wajah yang dapat berubah pada operasi estetik wajah. Tujuannya tidak untuk membentuk hidung dan bibir yang ideal tapi membentuk proporsi hidung dan bibir yang baik.6,7 Setiap individu memiliki keinginan memiliki wajah menarik, seimbang dan harmonis serta menghilangkan kelainan bentuk yang dialami. Usaha mendapatkan keinginan tersebut memerlukan bantuan ahli bedah atau ahli bedah plastik yang akan melakukan koreksi atau memenuhi keinganan individu bersangkutan melalui teknik pembedahan. Teknik ini harus memperhatikan proporsi struktur wajah dan menghilangkan hubunganhubungan yang tidak proporsional.8,9 Koreksi terhadap deformitas pada wajah (facial cleft) maupun bibir (bilateral lip cleft) memerlukan ukuran anatomis hidung dan bibir kelompok individu tersebut yang sebaiknya sesuai dengan karakteristik usia, jenis kelamin, ras dan tipe tubuh. Keberhasilan koreksi ini berkaitan erat dengan proporsi struktur wajah kelompok inividu dan tidak didapatkannya lagi adanya hubungan yang tidak proporsional. Operasi yang dilakukan pun dapat lebih efektif dan efisien. Dasar kesuksesan rinoplasti maupun labioplasti ditunjang dengan diketahuinya ukuran anatomi rata-rata hidung dan bibir pada kelompok individu tertentu. Agar setiap ahli bedah dalam melakukan prosedur kosmetik hidung dan bibir mendapatkan hasil yang memiliki nilai proporsi baik, sebaiknya memperhatikan data ukuran hidung dan bibir pada kelompok individu dengan teknik analisis yang baik. Pemeriksaan hidung dan bibir yang komprehensif bergantung pada pengetahuan mengenai karakteristik hidung dan bibir yang ideal karena karakteristik tersebut berhubungan dengan usia, jenis kelamin, ras dan tipe tubuh.10,11 Dengan demikian dibutuhkan ukuran anatomis rata-rata hidung dan bibir pada kelompok individu sebagai data dasar dalam


melakukan operasi bedah plastik dan rekonstruksi pada hidung dan bibir.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui ukuran rata-rata hidung luar dan bibir anak suku Bugis dan suku Toraja? 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Menentukan ukuran rata-rata tinggi nasal tip pada anak suku Bugis dan suku Toraja berdasarkan jenis kelamin. 2. Menentukan rasio lebar dan tinggi vestibulum nasi pada anak suku Bugis dan suku Toraja berdasarkan jenis kelamin. 3. Menentukan ukuran rata-rata lebar ala nasi pada anak suku Bugis dan suku Toraja berdasarkan jenis kelamin. 4. Menentukan rasio lebar ala nasi dengan interkantus pada anak suku Bugis dan suku Toraja berdasarkan jenis kelamin. 5. Menentukan ukuran rata-rata lebar pertengahan filtrum pada anak suku Bugis dan suku Toraja berdasarkan jenis kelamin. 6. Menentukan ukuran rata-rata lebar cupid bow pada anak suku Bugis dan suku Toraja berdasarkan jenis kelamin berdasarkan jenis kelamin. 7. Menentukan ukuran rata-rata tinggi filtrum pada anak suku Bugis dan suku Toraja berdasarkan jenis kelamin. 8. Menentukan jarak rata-rata subnasal dengan cupid bow pada anak suku Bugis dan suku Toraja berdasarkan jenis kelamin. 9. Menentukan ukuran rata-rata tebal bibir pada anak suku Bugis dan suku Toraja berdasarkan jenis kelamin. 10. Menentukan ukuran rata-rata panjang bibir pada anak suku Bugis dan suku Toraja berdasarkan jenis kelamin. 11. Menentukan rasio panjang jarak kommisura labium dengan jarak kedua pupil pada anak suku Bugis dan suku Toraja berdasarkan jenis kelamin. 12. Menentukan rasio tinggi subnasal-stomion, stomion-mention dan subnasal-mention pada anak suku Bugis dan suku Toraja berdasarkan jenis kelamin berdasarkan jenis kelamin. 13. Menentukan sudut nasofrontal pada anak suku Bugis dan suku Toraja berdasarkan jenis kelamin. 14. Menentukan sudut nasofasial pada anak suku Bugis dan suku Toraja berdasarkan jenis kelamin. 15. Menentukan sudut nasolabial pada anak suku Bugis dan suku Toraja berdasarkan jenis kelamin. 16. Menentukan sudut nasomental pada anak suku Bugis dan suku Toraja berdasarkan jenis kelamin. 17. Menentukan indeks nasal pada anak suku Bugis dan suku Toraja berdasarkan jenis kelamin. 18. Membandingkan ukuran hidung dan bibir pada anak suku Bugis dengan anak suku toraja. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi masyarakat, dengan didapatkan ukuran rata-rata hidung dan bibir pada anak suku Bugis dan suku Toraja di Sulawesi Selatan maka hasil koreksi pada operasi memperbaiki defek di hidung dan bibir sesuai dengan ukuran normal pada kelompok tersebut. 2. Bagi institusi, adanya data awal ukuran rata-rata hidung dan bibir menjadi sumber data penting untuk pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Bedah Plastik dan Rekonstruksi. 3. Bagi rumah sakit, diperolehnya data ukuran rata-rata hidung dan bibir pada anak suku Bugis dan suku Toraja sebagai data penunjang untuk memudahkan rekonstruksi pada operasi hidung dan bibir terutama pada operasi koreksi bibir sumbing sesuai dengan suku Bugis dan suku Toraja. 4. Bagi ahli bedah, sebagai data dasar untuk menunjang operasi koreksi defek pada hidung dan bibir (terutama koreksi defek bilateral cleft lip dan facial cleft) suku Bugis dan suku Toraja sehingga didapatkan hasil koreksi yang memiliki ukuran proporsional sesuai dengan suku dan jenis kelamin pasien bersangkutan. 5. Bagi peneliti lain, sebagai bahan acuan untuk melakukan penelitian yang sama pada suku berbeda atau pada suku yang sama dengan kelompok umur berbeda sehingga didapatkan data dasar ukuran

25 Majalah Ilmu Bedah Makassar

1.2 Rumusan Masalah Bagaimana ukuran anatomis rata-rata hidung luar dan bibir pada anak suku Bugis dan suku Toraja di Propinsi Sulawesi Selatan?


hidung dan bibir yang lebih banyak, atau menjadi informasi untuk topik penelitian lain. 6. Bagi penulis, untuk memenuhi syarat dalam rangka menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah I di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. Majalah Ilmu Bedah Makassar

26

KERANGKA PENELITIAN 3.1. Kerangka Teori − − − − − − − −

Ras (etnis) Genetik Umur Jenis kelamin Bentuk badan Personaliti Penyakit Trauma

Bentuk Hidung dan Bibir Atas

Proporsi Hidung dan Bibir Atas

Operasi Bedah Plastik dan Rekonstruksi Wajah

3.2. Kerangka Konsep − − −

− − −

Ras (etnis) Umur Jenis kelamin

Bentuk badan Personaliti Penyakit

Bentuk Hidung dan Bibir Atas

Ukuran Hidung dan Bibir Atas

3.3. Variabel Penelitian a. Variabel bebas adalah ras, umur, jenis kelamin, bentuk hidung dan bibir atas. b. Variabel tergantung adalah ukuran hidung dan bibir atas. c. Variabel kendali adalah bentuk badan, personaliti dan penyakit. 3.4. Pertanyaan Penelitian 1. Berapa ukuran rata-rata tinggi nasal tip pada anak suku Bugis dan suku Toraja? 2. Berapa rasio lebar dan tinggi vestibulum nasi pada anak suku Bugis dan suku Toraja? 3. Berapa ukuran rata-rata lebar ala nasi pada anak suku Bugis dan suku Toraja? 4. Berapa rasio lebar ala dengan interkantus pada anak suku Bugis dan suku Toraja? 5. Berapa ukuran rata-rata lebar pertengahan filtrum pada anak suku Bugis dan suku Toraja? 6. Berapa ukuran rata-rata lebar cupid bow pada anak suku Bugis dan suku Toraja? 7. Berapa ukuran rata-rata tinggi filtrum pada anak suku Bugis dan suku Toraja? 8. Berapa jarak rata-rata subnasal dengan cupid bow pada anak suku Bugis dan suku Toraja? 9. Berapa ukuran rata-rata tebal bibir pada anak suku Bugis dan suku Toraja? 10. Berapa ukuran rata-rata lebar bibir pada anak suku Bugis dan suku Toraja? 11. Berapa rasio panjang jarak kommisura labium dengan jarak kedua pupil pada anak suku Bugis dan


3.5. Definisi Operasional a. Suku asli adalah responden dengan riwayat keluarga 3 generasi asli. b. Sub ras Deutero Melayu adalah suku Bugis. c. Sub ras Proto Melayu adalah suku Toraja. d. Ras (etnis) adalah kakek, nenek, ayah dan ibu subyek penelitian merupakan satu suku. e. Ras Bugis: subyek yang memiliki riwayat 3 generasi asli Bugis di Kabupaten Maros. f. Ras Toraja: subyek yang memiliki riwayat 3 generasi asli Toraja di Kabupaten Toraja. g. Bentuk hidung dan bibir adalah bentuk hidung dan bibir sesuai dengan indeks antropologi. h. Ukuran hidung dan bibir adalah ukuran-ukuran pada hidung dan bibir secara anatomi. i. Umur: dihitung dalam tahun dan menurut ulang tahun terakhir. Perhitungannya berdasarkan penanggalan Masehi. j. Jenis kelamin adalah laki-laki atau perempuan. k. Kurva berat badan dan tinggi badan anak yang digunakan adalah kurva berat badan tinggi badan menurut World Health Organization, kelompok anak yang berada dalam kurva garis hijau merupakan kriteria inklusi. l. Jarak pengambilan foto: kamera diletakkan sejauh 40 cm dari wajah sampel dengan fokus berada pada mata. m. Parameter hidung dan bibir yang diukur adalah: 1. Tinggi nasal tip adalah jarak dari dasar subnasal ke puncak nasal tip.

Gambar 7. Pengukuran Tinggi Nasal Tip

2. Rasio lebar dan tinggi vestibulum nasi adalah perbandingan lebar vestibulum nasi dengan tinggi vestibulum nasi. 3. Lebar ala nasi adalah tebal ala dari tepi medial ke tepi lateral pada pertengahan ala nasi.

Gambar 8. Pengukuran Lebar Ala Nasi

27 Majalah Ilmu Bedah Makassar

suku Toraja. 12. Berapa rasio tinggi subnasal-stomion, stomion-mention dan subnasal-mention pada anak suku Bugis dan suku Toraja? 13. Berapa sudut nasofrontal pada anak suku Bugis dan suku Toraja? 14. Berapa sudut nasofasial pada anak suku Bugis dan suku Toraja? 15. Berapa sudut nasolabial pada anak suku Bugis dan suku Toraja? 16. Berapa sudut nasomental pada anak suku Bugis dan suku Toraja? 17. Berapa indeks nasal pada anak suku Bugis dan suku Toraja? 18. Apakah terdapat perbedaan ukuran hidung dan bibir pada anak suku Bugis berdasarkan jenis kelamin? 19. Apakah terdapat perbedaan ukuran hidung dan bibir pada anak suku Toraja berdasarkan jenis kelamin? 20. Apakah terdapat perbedaan ukuran hidung dan bibir pada anak suku Bugis dan suku Toraja?


Majalah Ilmu Bedah Makassar

28

4. Rasio lebar ala dengan interkantus adalah perbandingan lebar ala nasi kiri dan kanan dengan jarak interkantus. 5. Lebar pertengahan filtrum adalah jarak kedua tepi filtrum di daerah pertengahan. 6. Lebar cupid bow adalah jarak kedua tepi filtrum di daerah cupid bow. 7. Tinggi filtrum adalah jarak dari dasar filtrum di cupid bow ke tepi subnasal. 8. Jarak subnasal dengan cupid bow adalah jarak dari pertengahan cupid bow ke pertengahan subnasal.

Gambar 9. Pegukuran Jarak Subnasal dengan Cupid Bow

9. Tebal bibir atas adalah jarak dari pertengahan cupid bow ke batas mukosa bibir atas (white skin roll). 10. Lebar bibir adalah jarak antara tepi commisura kiri dan kanan. Gambar 10. Pegukuran Lebar Bibir

11. Rasio panjang jarak kommisura labium dengan jarak kedua pupil adalah perbandingan lebar kedua kommisura labium dengan lebar jarak kedua pupil. 12. Rasio tinggi subnasal-stomion dengan stomion-mention adalah perbandingan jarak subnasal dan titik tengah kedua bibir pada saat tertutup dengan jarak titik tengah kedua bibir tersebut pada saat tertutup dengan ujung dagu. 13. Sudut nasofrontal: sudut yang dibentuk oleh garis yang melalui glabella dan dorsum nasi. 14. Sudut nasofasial : sudut antara dorsum nasi dan bagian datar wajah. 15. Sudut nasolabial : sudut inklinasi antara kolumella nasi dan bibir atas. 16. Sudut nasomental: sudut antara garis tangent hingga dasar dorsum nasi terhadap garis yang menghubungkan puncak hidung dan dagu melalui pogonium. 17. Nasal indeks: menurut antropometri yaitu perbandingan antara jarak maksimal antara kedua ala nasi dengan jarak nasal ke subnasal Rumus : AB x 100 N-SN Ket: AB = alarbase, N-SN = jarak nasal ke subnasal METODE PENELITIAN 4.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah suatu penelitian survei yang bersifat cross sectional study pada anak kelompok usia 3-5 tahun pada suku Bugis dan suku Toraja di Sulawesi Selatan. Penelitian cross sectional study merupakan penelitian potong lintang dalam periode waktu dan kelompok penduduk tertentu.23 Rancangan penelitian dibuat secara deskriptif berdasarkan pengelompokan data yang diperoleh dari sampel penelitian. Pengelompokan data tersebut mencakup ras (etnis), umur, dan jenis kelamin. Meskipun demikian


dilakukan uji statistik untuk mendapatkan informasi apakah terdapat perbedaan pada kelompok data tersebut. Pemaparan data ukuran rata-rata hidung dan bibir dibuat secara deskripsi agar memudahkan dalam penyajian data dan interpretasi hasil penelitian sehingga dapat dijadikan sebagai narasumber dalam operasionalisasinya sesuai dengan manfaat penelitian yang ingin dicapai.

4.3. Populasi Penelitian Populasi penelitian mencakup semua anak yang berumur 3-5 tahun di wilayah Kabupaten Maros dan Kabupaten Tana Toraja, Propinsi Sulawesi Selatan. 4.4. Subyek dan Sampel Penelitian Subyek penelitian adalah anak yang berumur 3-5 tahun berdomisili di wilayah Kabupaten Maros dan Kabupaten Tana Toraja, Propinsi Sulawesi Selatan dan memenuhi kriteria inklusi. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling yaitu semua subyek di tempat penelitian tanpa keluhan di hidung dan kelainan di bibir yang memenuhi syarat diambil sebagai sampel, sampai jumlah sampel penelitian terpenuhi sesuai dengan hasil perhitungan. Perkiraan besar sampel peneltian ditetapkan berdasarkan rumus statistik sebagai berikut: 23

n =

Z2p(1-p) d2

Z = tingkat kepercayaan 95% = 1,96 p = proporsi anak usia 3-5 tahun = (0,5) d = ketepatan penelitian = 0,1 2

Berdasarkan hasil perhitungan besar sampel didapatkan n = 97, dibulatkan menjadi 100 sampel untuk setiap suku. Syarat inklusi yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah: a. Berdomisili di Kabupaten Maros dan Kabupaten Tana Toraja, Propinsi Sulawesi Selatan b. Berumur 3-5 tahun c. Tidak ada riwayat trauma hidung d. Tidak ada tumor di hidung e. Tidak ada deviasi septum nasi f. Tidak ada kelainan kongenital di hidung dan bibir g. Dibedakan jenis kelamin laki-laki dan perempuan h. Bersedia ikut dalam penelitian 4.5. Bahan dan Cara penelitian Bahan Penelitian : a. Subyek adalah anak suku Bugis dan Toraja yang memiliki riwayat keluarga 3 generasi asli. b. Kamera digital merek Olympus tipe FE 4000 dengan kemampuan 12 Megapixel dan tripod sebagai penyangga kamera. c. Meteran plastik ukuran 500 cm dan timbangan berat badan. d. Kaliper geser merek Kenmaster dengan ketepatan 0,5 mm. e. Alat pengukur sudut berupa busur plastik dan mistar plastik ukuran 30 cm. f. Kain polos warna biru sebagai latar belakang foto. g. Printer merek Canon tipe MP 258.

Gambar 7. Peralatan yang Dipergunakan

Majalah Ilmu Bedah Makassar

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian berlangsung di Taman Kanak-kanak atau Play Group di wilayah Kabupaten Maros dan Kabupaten Tana Toraja, Propinsi Sulawesi Selatan. Waktu penelitian dilakukan mulai 14 Januari 2012 sampai dengan 28 Januari 2012.

29


Cara Kerja Setiap subyek peneltian yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan: 1. Pendataan asal suku, riwayat penyakit ataupun riwayat trauma sebelumnya kepada ayah, ibu dan atau dan atau wali dari subyek penelitian. 2. Pengukuran berat badan dan tinggi badan subyek. Dilakukan penentuan status gizi anak sesuai dengan kurva tinggi badan dan berat badan menurut WHO-NCHS. Status gizi gemuk merupakan kriteria eksklusi. 3. Pemeriksaan fisis pada hidung, rongga mulut dan orofaring serta telinga untuk mengevaluasi kondisi anatomi dan menyingkirkan tidak adanya kelainan anatomi. 4. Pengambilan gambar dengan kamera digital dari arah depan, serta arah samping kiri dan kanan. Cara pengambilan foto: • Posisikan kamera di atas tripod, dan kain biru sebagai latar belakang. • Subyek diminta meletakkan kepala tepat di posisi yang telah ditentukan, lalu foto diambil 40 cm dari arah depan, dan 40 cm dari arah samping kiri dan kanan. • Dilakukan pengukuran dengan menggunakan kaliper terhadap ukuran-ukuran hidung, bibir atas dan ukuran wajah lain sesuai dengan tujuan penelitian. Gambar 7. Pengukuran Hidung dan Bibir Subyek Penelitian

Majalah Ilmu Bedah Makassar

30

•

Hasil foto dari sisi lateral dicetak menggunakan printer merek Canon tipe MP 258, lalu dilakukan penarikan garis wajah dan pengukuran sudut hidung dan bibir atas menggunakan busur. 5. Hasil penelitian dicatat dalam format penelitian. 4.6. Pengumpulan dan Analisis Data Data yang terkumpul dikelompokkan dan dianalisis dengan uji statistik menggunakan Uji Anova. Data disajikan dalam bentuk narasi dan tabel. 4.7. Alur Penelitian Langkah-langkah pelaksanaan penelitian sebagai berikut :

Registrasi Populasi

Pemilihan Sampel Berdasarkan Kriteria Inklusi

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis

Normal

Pengambilan Gambar dengan Foto Digital

Pengukuran Sampel dengan Kaliper

Pengumpulan Data

Pengolahan/Analisis Data

Interpretasi/Pemaparan Data

Kesimpulan


5.1.1. Karakteristik Subyek Penelitian Karakteristik subyek penelitian berdasarkan kelompok umur dijabarkan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Data subyek penelitian suku Bugis didapatkan kelompok umur 5 tahun mempunyai jumlah subyek terbanyak sebesar 81% (81/100) sedangkan kelompok umur 3 tahun mempunyai jumlah subyek terendah sebesar 4% (4/100). Sedangkan data subyek penelitian di suku Toraja didapatkan kelompok umur 5 tahun mempunyai jumlah subyek terbanyak sebesar 80% (80/100) sedangkan kelompok umur 3 tahun mempunyai jumlah subyek terendah sebesar 8% (8/100). Subyek penelitian ini yang berumur terendah dan berumur tertinggi baik pada suku Bugis maupun suku Toraja masing-masing pada umur 3 tahun (36 bulan) dan umur 5 tahun (60 bulan). Tabel 2. Distribusi Subyek Penelitian Berdasarkan Kelompok Umur Kelompok Umur 3 tahun 4 tahun 5 tahun Total

n

Suku Bugis %

Jumlah

4 15 81 100

4 15 81 100

4 15 81 100

n

Suku Toraja %

Jumlah

8 12 80 100

8 12 80 100

8 12 80 100

Berdasarkan jenis kelamin (Tabel 3), data subyek penelitian suku Bugis didapatkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan sama banyaknya masing-masing 50% (50/100). Sedangkan data subyek penelitian suku Toraja didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 42% (42/100) lebih rendah dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 58% (58/100). Tabel 3. Distribusi Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total

n

Suku Bugis %

Jumlah

50 50 100

50 50 100

50 50 100

n

Suku Toraja %

Jumlah

42 58 100

42 58 100

42 58 100

5.1.2. Ukuran Hidung dan Bibir Suku Bugis (Sub Ras Deutero Melayu) Berdasarkan Jenis Kelamin Ukuran hidung dan bibir pada subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) dapat dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Secara detail deskripsi data hasil pengukuran hidung dan bibir pada anak usia 3-5 tahun bersuku Bugis (sub ras Deutero Melayu) dijabarkan lengkap pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4, rerata±standar deviasi (SD) tinggi nasal tip berbeda pada kelompok laki-laki dengan perempuan. Kelompok laki-laki memiliki nilai rerata±SD adalah 6.5100±1.22678 mm, lebih besar dibandingkan dengan kelompok perempuan yang memiliki nilai rerata±SD sebesar 6.3400±0.95533 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.441, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran tinggi nasal tip pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku

31 Majalah Ilmu Bedah Makassar

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian Penelitian untuk mendapatkan ukuran anatomis rata-rata hidung luar dan bibir pada anak suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) dan suku Toraja (sub ras Proto Melayu) di Propinsi Sulawesi Selatan sebagai suatu studi antropometrik telah dilakukan pada 14 Januari 2012 sampai dengan 28 Januari 2012. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan dengan jumlah sampel 100 anak usia 3-5 tahun dan di wilayah Kabupaten Tana Toraja Propinsi Sulawesi Selatan dengan jumlah sampel 100 anak usia 3-5 tahun.


Bugis (sub ras Deutero Melayu).

Majalah Ilmu Bedah Makassar

32

Lebar vestibulum nasi pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD 4.2800±0.70826 mm, sedangkan pada kelompok perempuan nilai rerata±SD sebesar 4.1000±0.70711 mm. Tinggi vestibulum nasi kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 2.5900±0.62833 mm. Sedangkan pada kelompok perempuan nilai rerata±SD sebesar 2.6500±0.75085 mm. Jadi nilai rerata±SD rasio lebar dan tinggi vestibulum nasi pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai sebesar 170.8048±33.10513 %, lebih besar dibandingkan dengan kelompok perempuan yang memiliki nilai rerata±SD sebesar 163.8889±43.29352 %. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.206 (lebar vestibulum nasi), p=0.666 (tinggi vestibulum nasi), dan p=0.206 (untuk rasio lebar dan tinggi vestibulum nasi). Nilai-nilai p tersebut menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran lebar vestibulum nasi, tinggi vestibulum nasi dan rasionya pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Jarak interkantus pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD 26.2500±1.94110 mm, sedikit lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 26.0700±2.64962 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.699, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran jarak interkantus pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Lebar ala nasi pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 1.7800±0.30573 mm, sedikit lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 1.7400±0.36756 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.722, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran lebar ala nasi pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Rasio jarak interkantus dan lebar ala nasi pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 103.8522±8.47969 %, sedikit lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 103.1901±12.73889 %. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.760, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara rasio jarak interkantus dan lebar ala nasi pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Lebar pertengahan filtrum pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 4.9400±0.86685 mm, lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 4.8920±0.70965 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.763, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran lebar pertengahan filtrum pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Lebar cupid bow pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 5.8800±0.83642 mm, lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 5.7400±0.71600 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.371, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran lebar cupid bow pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Tinggi filtrum pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 9.2100±1.88195 mm, lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 8.6000±1.64751 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.088, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran tinggi filtrum pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Jarak subnasal-cupid bow pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 9.9700±1.83061 mm, sedikit lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 9.6800±1.63744 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.406, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara jarak subnasal-cupid bow pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu).


Lebar bibir atau jarak kedua kommisura pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok lakilaki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 30.5900±3.97016 mm, lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 31.4300±4.16498 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.304, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran lebar bibir atau jarak kedua kommisura pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Jarak kedua pupil mata pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 49.0800±3.43951 mm, lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 47.8000±4.13546 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.096, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran tinggi nasal tip pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Rasio lebar bibir dengan jarak kedua pupil mata pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 62.6337±9.18512 %, lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 67.0045±18.20252 %. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.133, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara rasio lebar bibir dengan jarak kedua pupil mata pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Tinggi subnasal ke stomion pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 14.9900±2.158252 mm, lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 14.1900±2.24265 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.072, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran tinggi subnasal ke stomion pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Tinggi stomion ke mention pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 24.9700±2.89336 mm, lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 23.7800±2.83772 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.040, menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara ukuran tinggi nasal tip pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Tinggi subnasal ke mention pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 39.6633±4.03034 mm, lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 37.7700±4.74257 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.045, menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara ukuran tinggi subnasal ke mention pada kelompok jenis kelamin lakilaki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Rasio tinggi subnasal-stomion dan tinggi stomion-mention pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 60.2215±8.33483 %, lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 58.9201±8.58708 %. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.444, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran tinggi nasal tip pada kelompok jenis kelamin lakilaki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Sudut nasofrontal pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 139.9600±4.66078º, lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 141.7000±4.77878º. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.068, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran sudut nasofrontal pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu).

Sudut nasofasial pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai

33 Majalah Ilmu Bedah Makassar

Tebal bibir atas pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 3.6800±1.04861 mm, sedikit lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 3.5660±0.88953 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.559, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran tebal bibir atas pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu).


rerata±SD sebesar 34.1700±4.89753º, sedikit lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 34.8400±5.41016º. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.518, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran sudut nasofasial pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Majalah Ilmu Bedah Makassar

34

Sudut nasolabial pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 109.8000±14.01894º, lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 111.8300±15.18546º. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.469, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran sudut nasolabial pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Sudut nasomental pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 142.6100±10.17615º, sedikit lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 142.6500±11.64757º. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.985, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran sudut nasomental pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Jarak nasal ke subnasal pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 27.1200±1.71595 mm, lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 26.8200±2.24690 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.455, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara jarak nasal ke subnasal pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Jarak kedua ala nasi pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 28.4700±1.78546 mm, sedikit lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 28.2900±3.09557 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.722, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara jarak kedua ala nasi pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Tabel 4. Ukuran Hidung dan Bibir Suku Bugis (Sub Ras Deutero Melayu) Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Ukuran Hidung dan Bibir

Laki-laki Ukuran Minimal

Ukuran Maksimal

Rerata

Perempuan Standar Deviasi

Ukuran Minimal

Ukuran Maksimal

Rerata

Standar Deviasi

Nilai p Uji Anova

Tinggi nasal tip (mm)

4.00

9.00

6.5100

1.22678

4.00

8.00

6.3400

0. 95533

0.441

Lebar vestibulum nasi (mm)

2.50

5.50

4.2800

0.70826

3.00

5.00

4.1000

0.70711

0.206

Tinggi vestibulum nasi (mm)

1.50

4.00

2.5900

0.62833

1.50

5.00

2.6500

0.75085

0.666

Rasio lebar dan tinggi vestibulum nasi (%)

100.00

266.67

170.8048

33.10513

75.00

300.00

163.8889

43.29352

0.372

Jarak Interkantus (mm)

22.00

32.00

26.2500

1.94110

22.00

34.00

26.0700

2.64962

0.699

Lebar ala nasi

1.00

2.50

1.7800

0.30573

1.50

3.50

1.7400

0.36756

0.722

Rasio jarak interkantus dan lebar ala nasi (%)

88.46

128.26

103.8522

8.47969

67.65

155.10

103.1901

12.73889

0.760

Lebar pertengahan filtrum (mm)

3.00

7.00

4.9400

0.86685

2.60

6.50

4.8920

0.70965

0.763

Lebar cupid bow (mm)

4.00

8.00

5.8800

0.83642

4.00

7.00

5.7400

0.71600

0.371

Tinggi filtrum (mm)

5.00

16.00

9.2100

1.88195

3.50

12.00

8.6000

1.64751

0.088


5.00

14.00

9.9700

1.83061

6.00

14.00

9.6800

1.63744

0.406

Tebal bibir atas (mm)

1.50

6.00

3.6800

1.04861

2.00

5.00

3.5660

0.88953

0.559

Lebar bibir (mm)

20.00

36.00

30.5900

3.97016

20.00

45.00

31.4300

4.16498

0.304

Jarak kedua pupil mata (mm)

31.00

56.00

49.0800

3.43951

25.00

56.00

47.8000

4.13546

0.096

Rasio lebar bibir dan jarak kedua pupil mata(%)

40.82

93.55

62.6337

9.18512

40.00

180.00

67.0045

18.20252

0.133

Tinggi subnasalstomion (mm)

11.00

19.00

14.9900

2.15825

11.00

19.00

14.1900

2.24265

0.072

Tinggi stomionmention (mm)

18.00

32.00

24.9700

2.89336

17.00

28.00

23.7800

2.83772

0.040

Tinggi subnasalmention (mm)

30.00

48.00

39.6633

4.03034

29.00

47.00

37.7700

4.74257

0.045

Rasio tinggi subnasal-stomion dan tinggi stomionmention (%)

42.86

85.71

60.2215

8.33483

25.86

75.00

58.9201

8.58708

0.444

Sudut nasofrontal ( º)

127.00

151.00

139.9600

4.66078

129.00

153.50

141.7000

4.77878

0.068

Sudut nasofasial ( º)

23.50

56.00

34.1700

4.89753

22.50

46.50

34.8400

5.41016

0.518

Sudut nasolabial ( º)

82.00

162.50

109.8000

14.01894

77.00

159.00

111.8300

15.18546

0.489

Sudut nasomental ( º)

124.00

175.00

142.6100

10.17615

116.50

167.00

142.6500

11.64757

0.985

Jarak nasal-subnasal 23.00 (mm)

30.00

27.1200

1.71595

23.00

38.00

26.8200

2.24690

0.455

Jarak kedua ala nasi (mm)

33.00

28.4700

1.78546

20.00

35.00

28.2900

3.09557

0.722

23.50

5.1.3. Ukuran Hidung dan Bibir Suku Toraja (Sub Ras Proto Melayu) Berdasarkan Jenis Kelamin Ukuran hidung dan bibir pada subyek penelitian suku Toraja (sub ras Proto Melayu) dapat dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Secara lengkap deskripsi data hasil pengukuran hidung dan bibir pada anak usia 3-5 tahun bersuku suku Toraja (sub ras Proto Melayu) dijabarkan lengkap pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5, rerata±standar deviasi (SD) tinggi nasal tip berbeda pada kelompok laki-laki dengan perempuan. Kelompok laki-laki memiliki nilai rerata±SD adalah 6.5238±0.88312 mm, sedikit lebih besar dibandingkan dengan kelompok perempuan yang memiliki nilai rerata±SD sebesar 6.1552±0.87463 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.041, menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara ukuran tinggi nasal tip pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Lebar vestibulum nasi pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD 4.3571±0.69217 mm lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan yang nilai rerata±SD sebesar 4.1000±0.73113 mm. Tinggi vestibulum nasi kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 2.5595±0.54328 mm. Sedangkan pada kelompok perempuan nilai rerata±SD sebesar 2.5345±0.52031 mm. Jadi nilai rerata±SD rasio lebar dan tinggi vestibulum nasi pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai sebesar 173.8997±38.07220 %, lebih besar dibandingkan dengan kelompok perempuan yang memiliki nilai rerata±SD sebesar 168.1466±39.99243 %. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.703 (lebar vestibulum nasi), p=0.816 (tinggi vestibulum nasi), dan p=0.471 (untuk rasio lebar dan tinggi vestibulum nasi). Nilai-nilai p tersebut menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran lebar vestibulum nasi, tinggi vestibulum nasi dan rasionya pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu).

Jarak interkantus pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) kelompok laki-laki didapatkan

35 Majalah Ilmu Bedah Makassar

Jarak subnasalcupid bow (mm)


nilai rerata±SD 27.1071±2.65389 mm, lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 26.2845±2.01554 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.081, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran tinggi nasal tip pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Majalah Ilmu Bedah Makassar

36

Lebar ala nasi pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 1.5476±0.14855 mm, sedikit lebih kecil bila dibandingkan dengan Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.106, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran tinggi nasal tip pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Kelompok perempuan sebesar 1.6034±0.20431 mm. Rasio jarak interkantus dan lebar ala nasi pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 98.2105±11.3657311.36573 %, sedikit lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 97.3360±14.02157 %. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.740, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran tinggi nasal tip pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Lebar pertengahan filtrum pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 4.7024±0.69017 mm, sedikit lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 4.5431±0.60903 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.225, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran tinggi nasal tip pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Lebar cupid bow pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 5.5595±0.62667 mm, sedikit lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 5.7400±0.64044 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.208, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran tinggi nasal tip pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Tinggi filtrum pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 8.7738±1.43222 mm, lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 8.7672±1.50209 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.982, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran tinggi nasal tip pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Jarak subnasal-cupid bow pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 9.6905±1.43965 mm, nilainya hampir sama bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 9.6379±1.45636 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.858, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran tinggi nasal tip pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Tebal bibir atas pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 3.3095±0.90360 mm, sedikit lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 3.6466±0.77238 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.048, menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara ukuran tinggi nasal tip pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Lebar bibir atau jarak kedua kommisura pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok lakilaki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 32.0595±3.38973 mm, lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 30.9052±2.90108 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.070, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran lebar bibir atau jarak kedua kommisura tinggi nasal tip pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Jarak kedua pupil mata pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 48.3929±2.22386 mm, lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 47.5310±1.89637 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.040, menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara jarak kedua pupil mata pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan


kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu).

Tinggi subnasal ke stomion pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 13.8333±2.02022 mm, nilainya hampir sama bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 13.9138±1.76749 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.833, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran tinggi subnasal ke stomion pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Tinggi stomion ke mention pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 23.3333±2.07971 mm, lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 22.6207±2.41942 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.127, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran tinggi stomion ke mention pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Tinggi subnasal ke mention pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 37.1667±3.62018 mm, sedikit lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 36.4732±4.32479 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.336, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran tinggi nasal tip pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Rasio tinggi subnasal-stomion dan tinggi stomion-mention pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 59.4716±9.63564 %, sedikit lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 60.1249±11.17878 %. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.761, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara rasio tinggi subnasal-stomion dan tinggi stomion-mention pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Sudut nasofrontal pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 138.4167±5.15008º, lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 140.2931±6.52057º. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.125, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran sudut nasofrontal pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Sudut nasofasial pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 37.9048±17.41573º, lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 33.1552±4.53660º. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.049, menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara ukuran sudut nasofasial pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Sudut nasolabial pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 111.9286±11.67161º, lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 115.5431±13.03480º. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.156, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran sudut nasolabial pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Sudut nasomental pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 145.2143±11.48283º, nilainya mirip bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 145.1810±9.27442º. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.987, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara ukuran sudut nasomental pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu).

37 Majalah Ilmu Bedah Makassar

Rasio lebar bibir dengan jarak kedua pupil mata pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 66.4553±6.89149 %, lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 65.8976±7.62857 %. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.708, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara rasio lebar bibir dan jarak kedua pupil pada kelompok jenis kelamin lakilaki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu).


Majalah Ilmu Bedah Makassar

38

Jarak nasal ke subnasal pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 26.3095±2.17512 mm, lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 25.9569±1.69955 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.365, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara jarak nasal ke subnasal pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Jarak kedua ala nasi pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) kelompok laki-laki didapatkan nilai rerata±SD sebesar 28.2262±1.96059 mm, lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok perempuan sebesar 27.5948±1.87658 mm. Uji Anova yang digunakan menghasilkan nilai p=0.106, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara jarak kedua ala nasi pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Tabel 5. Ukuran Hidung dan Bibir Suku Toraja (Sub Ras Proto Melayu) Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Ukuran Hidung dan Bibir

Laki-laki

Perempuan

Nilai p Uji Anova

Ukuran Minimal

Ukuran Maksimal

Rerata

Standar Deviasi

Ukuran Minimal

Ukuran Maksimal

Rerata

Standar Deviasi

Tinggi nasal tip (mm)

5.00

9.00

6.5238

0.88312

4.00

8.00

6.1552

0.87463

0.041

Lebar vestibulum nasi (mm)

3.00

6.00

4.3571

0.69217

2.50

5.50

4.3017

0.73113

0.703

Tinggi vestibulum nasi (mm)

2.00

4.00

2.5595

0.54328

1.50

3.50

2.5345

0.52031

0.816

Rasio lebar dan tinggi vestibulum nasi (%)

75.00

300.00

173.8997

38.07220

75.00

275.00

168.1466

39.99243

0.471

Jarak Interkantus (mm)

22.00

35.00

27.1071

2.65389

22.50

31.00

26.2845

2.01554

0.081

Lebar ala nasi

1.50

2.00

1.5476

0.14855

1.50

2.00

1.6034

0.20431

0.106

Rasio jarak interkantus dan lebar ala nasi (%)

62.86

126.09

98.2105

11.36573

11.11

116.67

97.3360

14.02157

0.740

Lebar pertengahan filtrum (mm)

3.50

6.00

4.7024

0.69017

3.50

6.00

4.5431

0.60903

0.225

Lebar cupid bow (mm)

4.50

7.00

5.5595

0.62667

4.00

7.00

5.3966

0.64044

0.208

Tinggi filtrum (mm)

6.00

12.00

8.7738

1.43222

6.00

12.00

8.7672

1.50209

0.982

Jarak subnasal-cupid bow (mm)

6.50

13.00

9.6905

1.43965

6.50

13.00

9.6379

1.45636

0.858

Tebal bibir atas (mm)

1.50

5.00

3.3095

0.90360

2.00

5.00

3.6466

0.77238

0.048

Lebar bibir (mm)

20.00

37.50

32.0595

3.38973

24.00

38.00

30.9052

2.90108

0.070

Jarak kedua pupil mata (mm)

42.00

52.50

48.3929

2.22386

44.00

51.50

47.5310

1.89637

0.040

Rasio lebar bibir dan jarak kedua pupil mata(%)

38.46

79.12

66.4553

6.89149

46.60

100.00

65.8976

7.62857

0.708

Tinggi subnasalstomion (mm)

9.00

19.00

13.8333

2.02022

11.00

18.50

13.9138

1.76749

0.833

Tinggi stomionmention (mm)

19.00

28.00

23.3333

2.07971

17.00

29.00

22.6207

2.41942

0.127

Tinggi subnasalmention (mm)

28.50

44.00

37.1667

3.62018

19.50

48.50

36.4732

4.32479

0.336


Jenis Kelamin Ukuran Hidung dan Bibir

Laki-laki Ukuran Maksimal

Rasio tinggi subnasal-stomion dan tinggi stomionmention (%)

40.00

Sudut nasofrontal ( º)

Rerata

Standar Deviasi

Ukuran Minimal

Ukuran Maksimal

Rerata

Standar Deviasi

94.74

59.4716

9.63564

8.46

86.05

60.1249

11.17878

0.761

128.00

148.00

138.4167

5.15008

123.00

160.00

140.2931

6.52057

0.125

Sudut nasofasial ( º)

30.00

145.00

37.9048

17.41573

23.50

48.00

33.1552

4.53660

0.049

Sudut nasolabial ( º)

86.50

135.00

111.9286

11.67161

76.00

153.00

115.5431

13.03480

0.156

Sudut nasomental ( º)

107.50

162.50

145.2143

11.48283

116.00

161.00

145.1810

9.27442

0.987

Jarak nasal-subnasal (mm)

22.00

30.00

26.3095

2.17512

21.50

28.50

25.9569

1.69955

0.365

Jarak kedua ala nasi (mm)

23.50

33.00

28.2262

1.96059

23.50

32.00

27.5948

1.87658

0.106

5.1.3. Indeks Nasal serta Rasio Nasal-subnasal dan Subnasal-mention Suku Bugis (Sub Ras Deutero Melayu) Berdasarkan Jenis Kelamin Indeks nasal pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) didapatkan dengan membagi maksimal kedua ala nasi dengan jarak nasal ke subnasal lalu hasilnya dikali dengan 100. Data Tabel 6 menunjukkan nilai rerata±SD indeks nasal pada kelompok laki-laki suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) didapatkan sebesar 95.4814±95.4814 %. Hasil ini mirip dengan indeks nasal pada kelompok perempuan suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) dengan nilai rerata±SD sebesar 95.6389±10.46482 %. Berdasarkan Uji Anova yang digunakan didapatkan nilai p=0.928, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara rasio tinggi subnasal-stomion dan tinggi stomion-mention pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Rasio tinggi nasal-subnasal dengan subnasal-mention pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) didapatkan dengan membagi jarak nasal ke subnasal dengan jarak subnasal ke mention dikali dengan 100%. Data Tabel 6 menunjukkan indeks nasal pada kelompok laki-laki suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) didapatkan nilai rerata±SD sebesar -30.8313±7.42163 %. Hasil ini lebih besar bila dibandingkan dengan hasil pada kelompok perempuan suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) dengan nilai rerata±SD sebesar -27.9331±10.6017 %. Berdasarkan Uji Anova yang digunakan didapatkan nilai p=0.117, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara rasio tinggi subnasal-stomion dan tinggi stomion-mention pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) Tabel 6. Indeks Nasal serta Rasio Nasal-subnasal dan Subnasal-mention Suku Bugis (Sub Ras Deutero Melayu) Berdasarkan Jenis Kelamin Sub Ras Deutero Melayu Suku Bugis Ukuran Hidung

Laki-laki

Perempuan

39

Nilai p Uji Anova

Nilai p Uji Anova

Ukuran Minimal

Ukuran Maksimal

Rerata

Standar Deviasi

Ukuran Minimal

Ukuran Maksimal

Rerata

Standar Deviasi

Indeks nasal (mm)

79.31

108.00

95.4814

6.51428

73.53

125.00

95.6389

10.46482

0.928

Rasio nasalsubnasal dan subnasal-mention (%)

-45.56

-16.92

-30.8313

7.42163

-43.18

5.56

-27.9331

10.6017

0.117

Majalah Ilmu Bedah Makassar

Ukuran Minimal

Perempuan


Majalah Ilmu Bedah Makassar

40

5.1.4. Indeks Nasal serta Rasio Nasal-subnasal dan Subnasal-mention Suku Toraja (sub ras Proto Melayu) Berdasarkan Jenis Kelamin Indeks nasal pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) didapatkan dengan membagi maksimal kedua ala nasi dengan jarak nasal ke subnasal lalu hasilnya dikali dengan 100. Data Tabel 7 menunjukkan nilai rerata±SD indeks nasal pada kelompok laki-laki suku Toraja (sub ras Proto Melayu) didapatkan sebesar 95.4814±6.51428 %. Hasil ini mirip dengan indeks nasal pada kelompok perempuan suku Toraja (sub ras Proto Melayu) dengan nilai rerata±SD sebesar 95.6389±10.46482 %. Berdasarkan Uji Anova yang digunakan didapatkan nilai p=0.507, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara rasio tinggi subnasal-stomion dan tinggi stomion-mention pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Toraja (sub ras Proto Melayu). Rasio tinggi nasal-subnasal dengan subnasal-mention pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) didapatkan dengan membagi jarak nasal ke subnasal dengan jarak subnasal ke mention dikali dengan 100%. Data Tabel 7 menunjukkan indeks nasal pada kelompok laki-laki suku Toraja (sub ras Proto Melayu) didapatkan nilai rerata±SD sebesar -28.6936±7.91465 %. Hasil ini lebih besar bila dibandingkan dengan hasil pada kelompok perempuan suku Toraja (sub ras Proto Melayu) dengan nilai rerata±SD sebesar -27.5420±11.375 %. Berdasarkan Uji Anova yang digunakan didapatkan nilai p=0.574, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara rasio tinggi subnasal-stomion dan tinggi stomion-mention pada kelompok jenis kelamin laki-laki dengan kelompok jenis kelamin perempuan subyek penelitian suku Toraja (sub ras Proto Melayu). Tabel 7. Indeks Nasal serta Rasio Nasal-subnasal dan Subnasal-mention Suku Toraja (Sub Ras Proto Melayu) Berdasarkan Jenis Kelamin Sub Ras Proto Melayu Suku Toraja Ukuran Hidung

Laki-laki

Perempuan

Nilai p Uji Anova

Ukuran Minimal

Ukuran Maksimal

Rerata

Standar Deviasi

Ukuran Minimal

Ukuran Maksimal

Rerata

Standar Deviasi

Indeks nasal (mm)

69.70

100.00

93.4705

6.82969

75.81

105.77

94.4329

7.33075

0.507

Rasio nasal-subnasal dan subnasalmention (%)

-41.98

-8.77

-28.6936

7.91465

-43.75

33.33

-27.5420

11.3752

0.574

5.1.5. Uji Hubungan Ukuran Hidung dan Bibir Suku Bugis dan Suku Toraja Data ukuran hidung dan bibir subyek peneltiian ini telah dijabarkan dengan detail sesuai dengan hasil pengukuran yang telah didapatkan, seperti yang diuraikan pada hasil penelitian ini. Hasil pengukuran tersebut didasarkan pada subyek yang berasal dari 3 generasi yang sama suku, yaitu suku Bugis atau suku Toraja. Perbedaan asal suku ini menunjukkan juga adanya perbedaan karakteristik hidung dan bibir berdasarkan dengan ras. Penelitian ini juga bermaksud menunjukkan adanya perbedaan ukuran hidung dan bibir berdasarkan ras, yaitu sub ras Deutero Melayu dengan sub ras Proto Melayu. Perbedaan ukuran hidung dan bibir pada sub ras Deutero Melayu yang digambarkan dalam penelitian ini oleh suku Bugis dan sub ras Proto Melayu oleh suku Toraja dapat diketahui dengan melakukan uji statistik terhadap data hasil pengukuran yang telah didapatkan. Uji statistik yang dipilih adalah uji Anova dengan tingkat kemaknaan p≤0.05. Hasil uji Anova terhadap data pengukuran hidung dan bibir subyek penelitian ini dijabarkan pada Tabel 8. Berdasarkan data Tabel 8, didapatkan hasil uji Anova ukuran hidung dan bibir pada sub ras Deutero Melayu (suku Bugis) dan sub ras Proto Melayu (suku Toraja) memiliki nilai kemaknaan melewati nilai p=0.05 pada banyak variabel. Variabel tersebut adalah tinggi nasal tip (p=0.417), lebar vestibulum nasi (p=0.181), tinggi vestibulum nasi (p=0.389), rasio lebar dan tinggi vestibulum nasi (p=0.559), jarak Interkantus (p=0.154), tinggi filtrum (p=0.560), jarak subnasal-cupid bow (p=0.465), tebal bibir atas (p=0.359), lebar bibir (p=0.461), jarak kedua pupil mata (p=0.211), rasio lebar bibir dan jarak kedua pupil mata (p=0.420), rasio tinggi subnasal-stomion dan tinggi stomion-mention (p=0.836), sudut nasofrontal (p=0.086), sudut nasofasial (p=0.621), sudut nasolabial (p=0.097), sudut nasomental (p=0.087), jarak kedua ala nasi (p=0.102), indeks nasal (p=0.173), dan rasio nasalsubnasal dan subnasal-mention (p=0.321).


Tabel 8. Uji Anova Ukuran Hidung dan Bibir Suku Bugis (Sub Ras Deutero Melayu) dengan Suku Toraja (Sub Ras Proto Melayu) Suku dan Ras Ukuran Hidung dan Bibir

Sub Ras Deutero Melayu

Sub Ras Proto Melayu

Suku Bugis

Suku Toraja

p

Rerata

SD

Rerata

SD

Tinggi nasal tip (mm)

6.4250

1.09723

6.3100

0.89268

0.417

Lebar vestibulum nasi (mm)

4.1900

0.70989

4.3250

0.71200

0.181

Tinggi vestibulum nasi (mm)

2.6200

0.68946

2.5450

0.52750

0.389

Rasio lebar dan tinggi vestibulum nasi

167.35

38.49956

170.56

39.10630

0.559

Lebar ala nasi (mm)

1.7600

0.33695

1.5800

0.18423

0.000

Jarak Interkantus (mm)

26.1600

2.31255

26.6300

2.32859

0.154

Rasio lebar ala nasi dan jarak interkantus (%)

103.52

10.77127

97.7033

12.91833

0.001

Lebar pertengahan filtrum (mm)

4.9160

0.78852

4.6100

0.64581

0.003

Lebar cupid bow (mm)

5.8100

0.77778

5.4650

0.63665

0.001

Tinggi filtrum (mm)

8.9050

1.78616

8.7700

1.46581

0.560

Jarak subnasal-cupid bow (mm)

9.8250

1.73405

9.6600

1.44229

0.465

Tebal bibir atas (mm)

3.6230

0.96910

3.5050

0.84236

0.359

Lebar bibir (mm)

31.0100

4.07008

31.3900

3.15154

0.461

Jarak kedua pupil mata (mm)

48.4400

3.83846

47.8930

2.07400

0.211

Rasio lebar bibir dan jarak kedua pupil mata (%)

64.8191

14.51116

66.1318

7.29736

0.420

Tinggi subnasal-stomion (mm)

14.5900

2.22631

13.8800

1.86829

0.015

Tinggi stomion-mention (mm)

24.3750

2.22631

22.9200

1.86829

0.000

Tinggi subnasal-mention (mm)

38.6650

4.48119

36.7100

4.01587

0.001

Rasio tinggi subnasal-stomion dan tinggi stomion-mention (%)

59.5708

8.44441

59.8505

10.51217

0.836

Sudut nasofrontal ( ยบ)

140.83

4.77695

139.50

6.02750

0.086

Sudut nasofasial ( ยบ)

34.5050

5.14511

35.1500

11.95879

0.621

Sudut nasolabial ( ยบ)

110.82

14.57559

114.02

12.54816

0.097

Sudut nasomental ( ยบ)

142.63

10.88127

145.20

10.20445

0.087

Jarak kedua ala nasi (mm)

28.3800

2.51573

27.8600

1.92810

0.102

Jarak nasal-subnasal (mm)

26.9700

1.99472

26.1050

1.91128

0.002

Indeks nasal (mm)

95.5602

8.67255

94.0287

7.10539

0.173

Rasio nasal-subnasal dan subnasal-mention (%)

-29.3822

9.22026

-28.0257

10.03841

0.321

5.2. Pembahasan 5.2.1. Analisis Karakteristik Subyek Penelitian Karakteristik subyek penelitian berdasarkan kelompok umur yang dijabarkan pada Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan jumlah subyek lebih banyak pada kelompok umur 5 tahun sebesar 81% (81/100) pada suku Bugis dan pada suku Toraja sebesar 80% (80/100). Kondisi ini diakibatkan lebih kooperatifnya subyek pada kelompok umur subyek yang lebih besar, sedangkan kelompok umur yang lebih kecil lebih sulit untuk dilakukan pemeriksaan. Namun hal ini tidak berpengaruh pada penilaian hasil pengukuran hidung dan bibir subyek

41 Majalah Ilmu Bedah Makassar

Data Tabel 8 yang menunjukkan hasil uji Anova terhadap ukuran hidung dan bibir pada sub ras Deutero Melayu (suku Bugis) dan sub ras Proto Melayu (suku Toraja) dengan nilai kemaknaan pโ ค0.05 didapatkan pada beberapa variabel lainnya. Variabel tersebut antara lain: lebar ala nasi (p=0.000), rasio lebar ala nasi dan jarak interkantus (p=0.001), tinggi subnasal-stomion (p=0.015), lebar pertengahan filtrum (p=0.003), lebar cupid bow (p=0.001), tinggi stomion-mention (p=0.000), tinggi subnasal-mention (p=0.001), dan jarak nasal-subnasal (p=0.002).


penelitian karena semua subtyek penelitian ini telah memenuhi kriteria inklusi yang ditetapkan.

Majalah Ilmu Bedah Makassar

42

Karakteristik subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin seperti yang diuraikan pada Tabel 3 menunjukkan distribusi yang merata pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan, baik pada suku Bugis maupun suku Toraja. Jumlah subyek berjenis kelamin laki-laki dan perempuan sama banyaknya masing-masing 50% (50/100). Kondisi ini akan memudahkan dalam analisis dan pengambilan uji statistik yang digunakan karena sampel terdistribusi merata menurut jenis kelamin pada kedua suku dalam penelitian ini. 5.2.2 Analsis Ukuran Hidung dan Bibir Suku Bugis (Sub Ras Deutero Melayu) Berdasarkan Jenis Kelamin Ukuran hidung dan bibir pada subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) dapat dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Berdasarkan Tabel 4, didapatkan sebagian besar nilai rerata¹standar deviasi (SD) hasil pengukuran hidung dan bibir subyek memiliki perbedaan tinggi nasal tip berbeda pada kelompok laki-laki dengan perempuan. Namun beberapa variabel pengukuran juga memiliki nilai rerata¹SD yang mirip. Hal ini dapat diketahui berdasarkan nilai kemaknaan hasil Uji Anova. Berdasarkan Tabel 4, didapatkan ukuran hidung dan bibir pada subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) yang berbeda antara kelompok laki-laki dengan kelompok perempuan (nilai p > 0.005) adalah : 1. Tinggi nasal tip, p=0.441 2. Lebar vestibulum nasi, p=0.206 3. Tinggi vestibulum nasi, p=0.666 4. Rasio lebar dan tinggi vestibulum nasi, p=0.206 5. Jarak interkantus, p=0.699 6. Lebar ala nasi, p=0.722 7. Rasio jarak interkantus dan lebar ala nasi, p=0.760 8. Lebar pertengahan filtrum, p=0.763 9. Lebar cupid bow, p=0.371 10. Tinggi filtrum, p=0.088 11. Jarak subnasal-cupid bow, p=0.406 12. Tebal bibir atas, p=0.559 13. Lebar bibir atau jarak kedua kommisura, p=0.304 14. Jarak kedua pupil mata, p=0.096 15. Rasio lebar bibir dengan jarak kedua pupil mata, p=0.133 16. Tinggi subnasal ke stomion, p=0.072 17. Rasio tinggi subnasal-stomion dan tinggi stomion-mention, p=0.444 18. Sudut nasofrontal, p=0.068 19. Sudut nasofasial, p=0.518 20. Sudut nasolabial, p=0.469 21. Sudut nasomental, p=0.985 22. Jarak nasal ke subnasal, p=0.455 23. Jarak kedua ala nasi, p=0.722. Hasil Uji anova tersebut yang menunjukkan tidak didapatkannya nilai kemaknaan memberi arti klinis bahwa spesialis bedah maupun bedah plastik dan rekonstruksi yang akan mengerjakan rekonstruksi wajah pada anak usia 3-5 tahun suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) harus membedakan pengukuran pada kelompok laki-laki dengan kelompok perempuan. Pengukuran hidung dan bibir dengan indikator variabel-variabel di atas semestinya menjadi perhatian khusus terhadap nilai rerata yang telah didapatkan dalam penelitian ini agar kemiripan hasil rekonstruksi wajah yang dilakukan akan mendekati ukuran hidung dan bibir sesuai dengan suku Bugis (sub ras Deutero Melayu). Variabel pengukuran pada Tabel 4 yang menunjukkan terdapatnya kemiripan ukuran hidung dan bibir pada subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) antara kelompok laki-laki dengan kelompok perempuan (nilai p ≤ 0.005) adalah : 1. Tinggi stomion ke mention, p=0.040 2. Tinggi subnasal ke mention, p=0.045 Hasil Uji anova tersebut yang menunjukkan didapatkannya nilai kemaknaan memberi arti klinis bahwa spesialis bedah maupun bedah plastik dan rekonstruksi yang akan mengerjakan rekonstruksi wajah pada anak usia 3-5 tahun suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) dapat menyamakan penggunaan varibel di atas pada kelompok laki-


laki dengan kelompok perempuan. Namun pengukuran yang akan dilakukan pada rekonstruksi hidung dan bibir semestinya tetap mendapat perhatian agar kemiripan hasil rekonstruksi wajah yang dilakukan akan mendekati ukuran hidung dan bibir sesuai dengan suku Bugis (sub ras Deutero Melayu).

Hasil Uji anova tersebut yang menunjukkan tidak didapatkannya nilai kemaknaan memberi arti klinis bahwa spesialis bedah maupun bedah plastik dan rekonstruksi yang akan mengerjakan rekonstruksi wajah pada anak usia 3-5 tahun suku Toraja (sub ras Proto Melayu) harus membedakan pengukuran pada kelompok laki-laki dengan kelompok perempuan. Pengukuran hidung dan bibir dengan indikator variabel-variabel di atas semestinya menjadi perhatian khusus terhadap nilai rerata yang telah didapatkan dalam penelitian ini agar kemiripan hasil rekonstruksi wajah yang dilakukan akan mendekati ukuran hidung dan bibir sesuai dengan suku Toraja (sub ras Proto Melayu). Variabel pengukuran pada Tabel 5 yang menunjukkan terdapatnya kemiripan ukuran hidung dan bibir pada subyek penelitian suku Toraja (sub ras Proto Melayu) antara kelompok laki-laki dengan kelompok perempuan (nilai p ≤ 0.005) adalah : 1. Tinggi nasal tip, p=0.041 2. Tebal bibir atas, p=0.048 3. Jarak kedua pupil mata, p=0.040 4. Sudut nasofasial, p=0.049 Hasil Uji anova tersebut yang menunjukkan didapatkannya nilai kemaknaan memberi arti klinis bahwa spesialis bedah maupun bedah plastik dan rekonstruksi yang akan mengerjakan rekonstruksi wajah pada anak usia 3-5 tahun suku Toraja (sub ras Proto Melayu) dapat menyamakan penggunaan varibel di atas pada kelompok lakilaki dengan kelompok perempuan. Namun pengukuran yang akan dilakukan pada rekonstruksi hidung dan bibir semestinya tetap mendapat perhatian agar kemiripan hasil rekonstruksi wajah yang dilakukan akan mendekati ukuran hidung dan bibir sesuai dengan suku Toraja (sub ras Proto Melayu).

Majalah Ilmu Bedah Makassar

5.2.3 Analisis Ukuran Hidung dan Bibir Suku Toraja (Sub Ras Proto Melayu) Berdasarkan Jenis Kelamin Ukuran hidung dan bibir pada subyek penelitian suku Toraja (sub ras Proto Melayu) dapat dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Berdasarkan Tabel 5, didapatkan sebagian besar nilai rerataÂąstandar deviasi (SD) hasil pengukuran hidung dan bibir subyek memiliki perbedaan tinggi nasal tip berbeda pada kelompok laki-laki dengan perempuan. Namun beberapa variabel pengukuran juga memiliki nilai rerataÂąSD yang mirip. Hal ini dapat diketahui berdasarkan nilai kemaknaan hasil Uji Anova. Berdasarkan Tabel 5, didapatkan ukuran hidung dan bibir pada subyek penelitian suku Toraja (sub ras Proto Melayu) yang berbeda antara kelompok laki-laki dengan kelompok perempuan (nilai p > 0.005) adalah : 1. Lebar vestibulum nasi, p=0.703 2. Tinggi vestibulum nasi, p=0.816 3. Rasio lebar dan tinggi vestibulum nasi, p=0.471 4. Jarak interkantus, p= p=0.081 5. Lebar ala nasi, p=0.106 6. Rasio jarak interkantus dan lebar ala nasi, p=0.740 7. Lebar pertengahan filtrum, p=0.763 8. Lebar cupid bow, p=0.208 9. Tinggi filtrum, p=0.982 10. Jarak subnasal-cupid bow, p=0.858 11. Lebar bibir atau jarak kedua kommisura, p=0.070 12. Rasio lebar bibir dengan jarak kedua pupil mata, p=0.708 13. Tinggi subnasal ke stomion, p=0.833 14. Tinggi stomion ke mention, p=0.127 15. Tinggi subnasal ke mention, p= p=0.336 16. Rasio tinggi subnasal-stomion dan tinggi stomion-mention, p=0.761 17. Sudut nasofrontal, p=0.125 18. Sudut nasolabial, p=0.156 19. Sudut nasomental, p=0.987 20. Jarak nasal ke subnasal, p=0.365 21. Jarak kedua ala nasi, p=0.106.

43


Majalah Ilmu Bedah Makassar

44

5.2.4 Analisis Indeks Nasal serta Rasio Nasal-subnasal dan Subnasal-mention Suku Bugis (Sub Ras Deutero Melayu) Berdasarkan Jenis Kelamin Indeks nasal pada subyek penelitian suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) berdasarkan jenis kelamin didapatkan nilai yang mirip, yaitu pada kelompok laki-laki rerata adalah 95.4814 %, sedangkan pada kelompok perempuan sebesar 95.6389 %. Berdasarkan Uji Anova terhadap variabel indeks nasal pada kedua kelompok jenis kelamin didapatkan nilai p=0.928. Hal ini berarti tidak ada perbedaan bermakna nilai indeks nasal pada kelompok laki-laki suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) dibandingkan dengan kelompok peempuan pada suku yang sama. Rasio tinggi nasal-subnasal dengan subnasal-mention pada suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) didapatkan rerata pada kelompok laki-laki sebesar -30.8313 %, sedangkan pada kelompok perempuan sebesar -27.9331 %, dan nilai kemaknaan pada Uji Anova p=0.117. Nilai rerata tersebut menunjukkan bahwa pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) jarak tinggi nasal-subnasal rata-rata lebih pendek dibandingkan jarak subnasalmention. Hal ini berarti anak usia 3-5 pada suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) termasuk dalam kelompok bigger alar face. 5.2.5 Analisis Indeks Nasal serta Rasio Nasal-subnasal dan Subnasal-mention Suku Toraja (Sub Ras Proto Melayu) Berdasarkan Jenis Kelamin Indeks nasal pada subyek penelitian suku Toraja (sub ras Proto Melayu) berdasarkan jenis kelamin didapatkan nilai yang mirip, yaitu pada kelompok laki-laki rerata adalah 95.4814 %, sedangkan pada kelompok perempuan sebesar 95.6389 %. Berdasarkan Uji Anova terhadap variabel indeks nasal pada kedua kelompok jenis kelamin didapatkan nilai p=0.507. Hal ini berarti tidak ada perbedaan bermakna nilai indeks nasal pada kelompok laki-laki suku Toraja (sub ras Proto Melayu) dibandingkan dengan kelompok peempuan pada suku yang sama. Rasio tinggi nasal-subnasal dengan subnasal-mention pada suku Toraja (sub ras Proto Melayu) didapatkan rerata pada kelompok laki-laki sebesar -28.6936 %, sedangkan pada kelompok perempuan sebesar -27.5420 %, dan nilai kemaknaan pada Uji Anova p=0.574. Nilai rerata tersebut menunjukkan bahwa pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) jarak tinggi nasal-subnasal rata-rata lebih pendek dibandingkan jarak subnasal-mention. Hal ini berarti anak usia 3-5 pada suku Toraja (sub ras Proto Melayu) termasuk juga dalam kelompok bigger alar face. 5.2.6 Analisis Uji Hubungan Ukuran Hidung dan Bibir Suku Bugis dan Suku Toraja Apabila dilakukan perbandingan nilai rerata ukuran hidung dan bibir pada subyek penelitian ini berdasarkan suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) dan suku Toraja (sub ras Proto Melayu) dengan Uji Anova (Tabel 8) maka didapatkan sebagian besar variabel pengukuran memiliki perbedaan (nilai p>0.05), yaitu: 1. Tinggi nasal tip, (p=0.417) 2. Lebar vestibulum nasi, (p=0.181) 3. Tinggi vestibulum nasi, (p=0.389) 4. Rasio lebar dan tinggi vestibulum nasi, (p=0.559) 5. Jarak Interkantus, (p=0.154) 6. Tinggi filtrum, (p=0.560) 7. Jarak subnasal-cupid bow (p=0.465) 8. Tebal bibir atas, (p=0.359) 9. Lebar bibir, (p=0.461) 10. Jarak kedua pupil mata, (p=0.211) 11. Rasio lebar bibir dan jarak kedua pupil mata, (p=0.420) 12. Rasio tinggi subnasal-stomion dan tinggi stomion-mention, (p=0.836) 13. Sudut nasofrontal, (p=0.086) 14. Sudut nasofasial, (p=0.621) 15. Sudut nasolabial, (p=0.097) 16. Sudut nasomental, (p=0.087) 17. Jarak kedua ala nasi, (p=0.102) 18. Indeks nasal, (p=0.173) dan 19. Rasio nasal-subnasal dan subnasal-mention, (p=0.321). Adanya perbedaan bermakna dari ukuran hidung dan bibir pada kedua suku menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pada bentuk wajah subyek berdasarkan suku.


Tampak sudut nasofrontal pada subyek suku Bugis (140.83º) sedikit lebih besar dibandingkan dengan suku Toraja (139.50º), sedangkan tinggi nasal tip pada subyek suku Bugis sebesar 6.4250 mm dan pada suku Toraja sebesar 6.3100 mm. Pada pengukuran sudut wajah lainnya, seperti sudut nasofasial pada subyek suku Bugis (34.5050º) lebih kecil dibandingkan dengan suku Toraja (35.1500º). Sudut nasolabial pada subyek suku Bugis sebesar 110.82º lebih kecil dibandingkan pada subyek suku Toraja sebesar (145.20º). Demikian juga ukuran sudut nasomental lebih kecil pada subyek suku Bugis (142.63º) dibandingkan dengan subyek suku Toraja (145.20º). Perbandingan nilai rerata ukuran hidung dan bibir pada subyek penelitian ini berdasarkan suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) dan suku Toraja (sub ras Proto Melayu) dengan Uji Anova (Tabel 8) yang menunjukkan variabel pengukuran memiliki kemiripan (nilai p>0.05), adalah: 1. Lebar ala nasi, (p=0.000) 2. Rasio lebar ala nasi dan jarak interkantus, (p=0.001) 3. Tinggi subnasal-stomion, (p=0.015) 4. Lebar pertengahan filtrum, (p=0.003) 5. Lebar cupid bow, (p=0.001) 6. Tinggi stomion-mention, (p=0.000) 7. Tinggi subnasal-mention, (p=0.001) 8. Jarak nasal-subnasal, (p=0.002). Data di atas menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna dari ukuran hidung dan bibir pada kedua suku, sehingga pada variabel pengukuran ini didapatkan kemiripan ukuran hidung dan bibir pada subyek berdasarkan suku. Namun hal ini tidak berarti adanya kemiripan bentuk wajah di antara kedua suku ini karena banyaknya variabel pengukuran yang berbeda. Kondisi ini menjadi perhatian dalam melakukan rekonstruksi wajah berdasarkan suku. 5.3. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sulitnya mengukur daerah hidung dan bibir serta pengambilan potret wajah pada subyek yang tidak kooperatif karena usia subyek yang masih berada dalam masa balita. Jumlah sampel yang tidak terlalu besar juga menjadi keterbatasan dalam penelitian ini. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Rerata tinggi nasal tip pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 6.5100 mm dan perempuan sebesar 6.3400 mm. Rerata tinggi nasal tip pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 6.5238 mm dan perempuan sebesar 6.1552 mm. 2. Rerata lebar vestibulum nasi pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 4.2800 mm dan perempuan sebesar 4.1000 mm. Rerata lebar vestibulum nasi pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 4.3571 mm dan perempuan sebesar 4.3017 mm. 3. Rerata tinggi vestibulum nasi pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 2.5900 mm dan perempuan sebesar 2.6500 mm. Rerata tinggi vestibulum nasi pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 2.5595 mm dan perempuan sebesar 2.5345 mm. 4. Rerata rasio lebar dan tinggi vestibulum nasi pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 170.8048 % dan perempuan sebesar 163.8889 %. Rerata rasio lebar dan tinggi vestibulum nasi pada subyek suku Toraja lakilaki sebesar 173.8997 % dan perempuan sebesar 168.1466 %.

45 Majalah Ilmu Bedah Makassar

Tampak rerata lebar kedua ala nasi pada subyek suku Bugis (1.7600 mm) lebih besar dibandingkan dengan subyek suku Toraja (1.5800 mm), sedangkan tinggi nasal-subnasal pada subyek suku Bugis sebesar 26.9700 mm, mirip dengan tinggi nasal-subnasal pada subyek suku Toraja sebesar 26.1050 mm. Ukuran indeks nasal pada suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) berbeda dengan indeks nasal pada suku Toraja (sub ras Proto Melayu). Pada subyek suku Bugis indeks nasal sebesar 95.5602 mm, sedangkan pada subyek suku Toraja indeks nasalnya sebesar 94.0287 mm. Namun tinggi subnasal-mention pada subyek suku Bugis sebesar 38.6650 mm, sedangkan pada subyek suku Toraja sedikit lebih rendah sebesar 36.7100 mm. Lebar bibir pada subyek suku Bugis sebesar 31.0100 mm sedangkan lebar bibir pada subyek suku Toraja 31.3900 mm. Demikian juga jarak interkantus dan jarak kedua pupil mata pada subyek suku Bugis sebesar 26.1600 mm dan 48.4400 mm, sedangkan pada subyek suku Toraja sebesar 26.6300 mm dan 47.8930 mm. Kondisi ini menunjukkan bahwa daerah wajah sekitar hidung dan bibir pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) sedikit lebih lebar dibandingkan dengan subyek pada suku Toraja (sub ras Proto Melayu).


Majalah Ilmu Bedah Makassar

46

5. Rerata jarak interkantus pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 26.2500 mm dan perempuan sebesar 26.0700 mm. Rerata jarak interkantus pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 27.1071 mm dan perempuan sebesar 26.2845 mm. 6. Rerata lebar ala nasi pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 1.7800 mm dan perempuan sebesar 1.7400 mm. Rerata lebar ala nasi pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 1.5476 mm dan perempuan sebesar 1.6034 mm. 7. Rerata rasio jarak interkantus dan lebar ala nasi pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 103.8522 % dan perempuan sebesar 103.1901 %. Rerata rasio jarak interkantus dan lebar ala nasi pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 98.2105 % dan perempuan sebesar 97.3360 %. 8. Rerata lebar pertengahan filtrum pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 4.9400 mm dan perempuan sebesar 4.8920 mm. Rerata lebar pertengahan filtrum pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 4.7024 mm dan perempuan sebesar 4.5431 mm. 9. Rerata lebar cupid bow pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 5.8800 mm dan perempuan sebesar 5.7400 mm. Rerata lebar cupid bow pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 5.5595 mm dan perempuan sebesar 5.3966 mm. 10. Rerata tinggi filtrum pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 9.2100mm dan perempuan sebesar 8.6000 mm. Rerata tinggi filtrum pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 8.7738 mm dan perempuan sebesar 8.7672 mm. 11. Rerata jarak subnasal-cupid bow pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 9.9700 mm dan perempuan sebesar 9.6800 mm. Rerata jarak subnasal-cupid bow pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 9.6905 mm dan perempuan sebesar 9.6379 mm. 12. Rerata tebal bibir atas pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 3.6800 mm dan perempuan sebesar 3.5660 mm. Rerata tebal bibir atas pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 3.3095 mm dan perempuan sebesar 3.6466 mm. 13. Rerata lebar bibir pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 30.5900 mm dan perempuan sebesar 31.4300 mm. Rerata lebar bibir pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 32.0595 mm dan perempuan sebesar 30.9052 mm. 14. Rerata jarak kedua pupil mata pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 49.0800 mm dan perempuan sebesar 47.8000 mm. Rerata jarak kedua pupil mata pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 48.3929 mm dan perempuan sebesar 47.5310 mm. 15. Rerata rasio lebar bibir dan jarak kedua pupil mata pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 62.6337 % dan perempuan sebesar 67.0045 %. Rerata rasio lebar bibir dan jarak kedua pupil mata pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 66.4553 % dan perempuan sebesar 65.8976 %. 16. Rerata tinggi subnasal-stomion pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 14.9900 mm dan perempuan sebesar 14.1900 mm. Rerata tinggi subnasal-stomion pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 13.8333 mm dan perempuan sebesar 13.9138 mm. 17. Rerata tinggi stomion-mention pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 24.9700 mm dan perempuan sebesar 23.7800 mm. Rerata tinggi stomion-mention pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 23.3333 mm dan perempuan sebesar 22.6207 mm. 18. Rerata tinggi subnasal-mention pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 39.6633 mm dan perempuan sebesar 37.7700 mm. Rerata tinggi subnasal-mention pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 37.1667 mm dan perempuan sebesar 36.4732 mm. 19. Rerata rasio tinggi subnasal-stomion dan tinggi stomion-mention pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 60.2215 % dan perempuan sebesar 58.9201 %. Rerata rasio tinggi subnasal-stomion dan tinggi stomionmention pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 59.4716 mm dan perempuan sebesar 60.1249 mm. 20. Rerata sudut nasofrontal pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 139.9600º dan perempuan sebesar 141.7000º. Rerata sudut nasofrontal pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 138.4167 % dan perempuan sebesar 140.2931%. 21. Rerata sudut nasofasial pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 34.1700º dan perempuan sebesar 34.8400º. Rerata sudut nasofasial pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 138.4167º dan perempuan sebesar 140.2931º. 22. Rerata sudut nasolabial pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 109.8000º dan perempuan sebesar 111.8300º. Rerata sudut nasolabial pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 37.9048 mm dan perempuan sebesar 33.1552 mm. 23. Rerata sudut nasomental pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 142.6100º dan perempuan sebesar 142.6500º. Rerata sudut nasomental pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 145.2143 mm dan perempuan sebesar 145.1810 mm. 24. Rerata jarak nasal-subnasal pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 27.1200 mm dan perempuan sebesar


6.2. Saran 1. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui ukuran hidung dan bibir pada suku-suku lain sehingga data base ukuran hidung dan bibir di bidang plastik dan rekonstruksi semakin lengkap. 2. Perlu penelitian lain yang membandingkan ukuran hidung dan bibir antara etnis campuran dengan etnis asli. 3. Operasi rekonstruksi wajah, terutama hidung dan bibir pada penderita bilaiteral lip cleft atau facial cleft yang membutuhkan hasil yang menyerupai suku dan ras dapat mempertimbangkan hasil penelitian ini sebagai bahan acuan apabila pasine yang dioperasi berasal dari suku Bugis atau suku Toraja. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.

Peterka M, Peterkova R, Tvrdek M, Kuderova J, Likovsky Z. Significant Differences in the Incidence of Orofacial Clefts in Fifty-two Czech Districts between 1983 and 1997. Acta Chir Plast. 2000;42:124–129. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarkat FK UNPAD. Epidemiologi Bibir Sumbing. Bandung. 2010. Richards A.Hopper, Court Cutting, and Barry Grayson. Cleft Lip and Palate. In: Grabb and Smith’s Plastic Surgery, editor by Charles H. Thorne. 6th Ed, Lippincott William & Wilkins, a Wolters Kluwer Business. Philadhelpia, USA. 2007; 23: 201-225. Jeffery SL, Boormann JG. Patient Satisfaction with Cleft Lip and Palate Services in a Regional Centre. Br J Plast Surg. 2001;54:189–191. Marcusson A, Paulin G, O¨ Strup L. Facial Appearance in Adults Who had Cleft Lip and Palate Treated in Childhood. Scand J Plast Reconstr Surg Hand Surg. 2002;36:16–23. Ideal Beauty? Facial Analysis. In: www.YesThey’refake.net/id-beauty.html36K Fisher, CA. Racial, Cultural and Historical Bases of Indonesian Regionalism. In: South east Asia, A Social, Economic and Political Geography. Methuen and Co Ltd.1964.77-83. Jain et al. Photometric Facial Analysis-Baseline Study. Adapted from: www. medinc.in/jal /t04/12. Agung IB.Soenarso S. Pengukuran Nasal Indices pada Orang Dewasa Indonesia. Kumpulan makalah PIT THT Palembang. Palembang. 1969. Mc Graw B. Facial Analysis. In: Bailey JB. Head & Neck Surgery Otolaryngology. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott-raven.1998. 253145. Ridley BM, VanHook MS. Aesthetic Facial Proportions. In: Facial Plastic and Reconstructive Surgery. 2nd ed. New York: Thieme. 2002. 96-109. Jewwet B. Anatomic Considerations. In: Principles of Nasal Reconstruction. 2nd ed: Mosby:Toronto.13-24. Behrbohm. Estetic Aspects of Septorhinoplasty. In: Essentials of Septorhinoplasty. Thieme. Philadelphia. 22-3. Huizing HE. Surgical Anatomy. In: Functional Reconstructive Nasal Surgery. Thieme. New York. 2033,1-25. Papel ID, Capone RB. Facial Proportions and Esthetic Ideals. In: Essentials of Septorhinoplasty. Thieme. Philadelphia. 66-74. 16. Rodriquez S. Refinement of the Nasal Tip. Adapated from: http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Nasal-Tip-2004-0303/Nasal-Tipslides-2004-0303.pdf. AAO-HNS. New Study Outlines Differences in Facial Characteristics between Korean-American and North American Caucasian Women. In: www.nyee.edu/oto-reseach-f p-aesthetic face. Djohansjah M, M. Jailani, David SP. Teknik Pembedahan Celah Bibir dan Langit-langit. Sagung Seto. Jakarta. 2002. Koch J. .Aesthetic Facial Analysis. In: Facial Plastic and Reconstructive Surgery. 2nd ed. New York: Thieme. 2002. 135-44. Affandi D. Bedah Kosmetik pada Hidung. Dalam: Bedah Plastik Kosmetik Muka dan Badan. FKUI. Jakarta.1985. Swasonoprijo S. Analisis Ukuran Kepala, Wajah dan Hidung dalam Hubungannya dengan Lebar Mediostal Gigi. Karya Akhir Program Pasca Sarjan UNHAS.2004. Powell NB. Aesthetic Evaluation of Nasal Contours. In: Otolaryngology-Head and Neck Surgery, Vol. 3. 2nd ed. Mosby Year Book. Baltimore. 2002. 687-700. Mattulada. Kebudayaan Bugis-Makassar. Dalam: Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Koentjaraningrat ed. Penerbit Djambatan. Jakarta. 266-85. Lemeshow, S. & David W.H.Jr, 1997. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan (terjemahan), Gadjahmada University Press, Yogyakarta.

47 Majalah Ilmu Bedah Makassar

26.8200 mm. Rerata jarak nasal-subnasal pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 26.3095 mm dan perempuan sebesar 25.9569 mm. 25. Rerata jarak kedua ala nasi pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 28.4700 mm dan perempuan sebesar 28.2900 mm. Rerata jarak kedua ala nasi pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 28.2262 mm dan perempuan sebesar 27.5948 mm. 26. Rerata indeks nasal pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar 95.4814mm dan perempuan sebesar 95.6389 mm. Rerata indeks nasal pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar 93.4705 mm dan perempuan sebesar 94.4329 mm. 27. Rerata rasio nasal-subnasal dan subnasal-mention pada subyek suku Bugis laki-laki sebesar -30.8313 mm dan perempuan sebesar -27.9331 mm. Rerata rasio nasal-subnasal dan subnasal-mention pada subyek suku Toraja laki-laki sebesar -28.6936 mm dan perempuan sebesar -27.5420 mm. 28. Ukuran hidung dan bibir pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) berbeda berdasarkan jenis kelamin. 29. Ukuran hidung dan bibir pada subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu) berbeda berdasarkan jenis kelamin. 30. Ukuran hidung dan bibir pada subyek suku Bugis (sub ras Deutero Melayu) berbeda dengan subyek suku Toraja (sub ras Proto Melayu).


Evaluasi Kasus

EVALUASI KASUS TRAUMA INHALASI PADA LUKA BAKAR DI MAKASSAR TAHUN 2008 – 2010 Nufrianto Mursad, Leonardo Rieuwpassa DEFINISI Trauma inhalasi (Yefta Moenadjat, 2003) adalah terminologi yang digunakan untuk menjelaskan perubahan mukosa saluran napas akibat adanya paparan terhadap suatu iritan dan menimbulkan manifestasi klinik dengan gejala distress pernapasan. (Kaloudova, 2000), suatu keadaan kerusakan akut pada traktus respiratorius yang disebabkan oleh menghirup produk asap pembakaran dan uap panas di dalam ruang yang tertutup.1,6 Trauma inhalasi adalah penyebab utama kematian pada pasien-pasien luka bakar. Trauma inhalasi disebabkan terutama oleh racun inhalan seperti, asap, gas dan uap. Banyak pasien yang meninggal segera di tempat kejadian karena trauma inhalasi. Dari semua pasien luka bakar yang dibawa ke rumah sakit, cedera inhalasi terlihat pada lebih dari > 30%, Sebagian besar pasien cedera inhalasi menderita luka bakar di sekitar kepala dan leher serta sering terbakar dalam ruang tertutup.1,2,3 Latar Belakang Masalah Trauma inhalasi adalah penyebab utama kematian pada pasien-pasien luka bakar. Trauma inhalasi disebabkan terutama oleh racun inhalan seperti, asap, gas dan uap.1,2,3, Tujuan kami mengumpulkan kasus-kasus trauma inhalasi pada luka bakar untuk mengetahui insiden berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, penyebab, jenis tindakan, lama perawatan out come yang dilakukan di bagian bedah plastik RS. Wahidin Sudirohusodo dan jejaringnya di Makassar dari Januari 2008 hingga Desember 2010 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pola trauma inhalasi pada luka bakar yang terjadi di RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo dan jejaringnya di Makassar tahun 2008 – 2010. 2. Bagaimana penanganan trauma inhalasi pada luka bakar. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum : Mengetahui insidens trauma inhalasi pada luka bakar yang terjadi selama Januari 2008 sampai Desember 2010 di kota Makassar.

2. Tujuan Khusus : • Mengetahui pola penderita trauma inhalasi pada luka bakar secara deskriptif selama kurun waktu 3 tahun • Mengetahui jenis penanganan penderita trauma inhalasi pada luka bakar. Metode Data didapatkan secara retrospektif deskriptif dari medical record di RS. Wahidin Sudirohusodo dan jejaringnya di Makassar periode 2008 – 2010. HASIL DAN PEMBAHASAN Kami melakukan evaluasi kasus trauma inhalasi pada luka bakar di Makassar tahun 2008 – 2010. Data diambil dari rekam medis pasien di RS. Wahidin sudirohusodo dan rumah sakit jejaring. Jumlah luka bakar dari Januari 2008 sampai desember 2010 sebanyak 343 orang, dengan kasus trauma inhalasi sebanyak 61 orang. 1. Angka kejadian. Selama periode 2008 – 2010 terdapat 343 kasus luka bakar di Makassar, tahun 2010 mempunyai kasus terbanyak yaitu 153 kasus (45%), sedangkan diantaranya mengalami trauma inhalasi. Pada tahun 2010 mempunyai kasus trauma inhalasi terbanyak yaitu 42 kasus (65%). 180 153

160 140

Trauma Inhalasi

120

Frekwensi

Majalah Ilmu Bedah Makassar

48

100

109

82

80 60

42

40 20

9

14

2008

2009 Tahun

0 2010

Grafik 1. Distribusi angka kejadian per tahun Terdapat peningkatan kasus dari tahun ke tahun, ini dihubungkan dengan tingginya jumlah kebakaran akibat penggunaan tabung gas baru yang beredar di masyarakat pada tahun 2010. 2. Distribusi kasus trauma inhalasi berdasarkan Rumah sakit


dan usia tertua lebih atau sama dengan umur 65 tahun sebanyak 4 kasus, sementara jumlah kasus terbanyak berdasarkan usia berada pada golongan umur 25 – 44 tahun adalah 30 kasus (46%).

35 30 25 20

Majalah Ilmu Bedah Makassar

15 10 5 0 RS.Ibnusina

RS. Wahidin Sudirohusodo

RS. Islam Faisal

RS. Akademis

RS. Stella Maris

Grafik 2. Distribusi kasus trauma inhalasi berdasarkan Rumah sakit. Pada penelitian ini ditemukan kasus terbanyak yang ditangani di Rumah sakit adalah RS. Wahidin sudirohusoda yang merupakan rumah sakit rujukan, sebanyak 30 kasus. 3. Distribusi kasus trauma inhalasi menurut jenis kelamin. Ditemukan jumlah pasien pria sebanyak 32 kasus (49%) sedangkan wanita 33 kasus (51%). Penyebab utama luka bakar pada penelitian ini adalah ledakan tabung gas dan kompor minyak tanah.

Distribusi menurut Jenis Kelamin

Frekwensi

33

Grafik 4. Distribusi kasus trauma inhalasi pada luka bakar menurut usia Dilaporkan Kurang lebih 2,5 juta orang mengalami luka bakar di Amerika Serikat setiap tahunnya. Dari kelompok ini, 200.000 pasien memerlukan penanganan rawat jalan dan 100.000 pasien dirawat di rumah sakit. Sekitar 12.000 meninggal setiap tahunnya. Anak kecil dan orang tua merupakan populasi yang beresiko tinggi untuk mengalami luka bakar. Kaum remaja lakilaki dan pria dalam usia kerja juga lebih sering menderita luka bakar (Smeltzer) 5. Distribusi kasus Luka bakar berdasarkan TBSA

32,5

160

32

140 120

31,5

100

Pria

Wanita Jenis Kelamin

Grafik 3. Distribusi kasus trauma inhalasi pada luka bakar menurut jenis kelamin Studi trauma inhalasi yang dilaporkan Edward di kanada melaporkan pada tahun 1977 – 1987, terdapat 1705 kasus luka bakar dengan 1344 kasus dialami oleh pria dan 361 wanita, dilaporkan tingginya kasus luka bakar pada pria akibat kasus kecelakaan kerja, terutama tingginya jumlah kebakaran yang terjadi di pabrik bahan kimia. Studi North-West England menemukan angka rata-rata yang datang ke rumah sakit dengan trauma inhalasi akibat luka bakar adalah 0,29 per 1000 populasi tiap tahun. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan yaitu 2:1. 4. Distribusi trauma inhalasi menurut usia. Pasien trauma inhalasi pada luka bakar dengan usia termuda berumur 0 – 28 hari sebanyak 1 kasus

49

80 60 40 20 0 <10

.10 - 19 .20 - 29 .30 - 39 .40 - 49 .50 - 59 .60 - 69 .70 - 79

≼ 80

TBSA % Grafik 5. Distribusi kasus luka bakar berdasarkan TBSA Dari penelitian ini ditemukan kasus terbanyak pada TBSA <10 %, yaitu sebanyak 143 kasus, dan yang menjadi penyebab luka bakar utama pada kasus ini adalah kecelakaan rumah tangga. Hasil penelitian kami sesuai dengan hasil penelitian Edwart di kanada yang juga menemukan pada kelompok TBSA <10% sebanyak 900 kasus. 6. Distribusi mortalitas pada kasus trauma inhalasi berdasarkan usia.


Pada penelitian ini ditemukan jumlah tertinggi pada tahun 2010 dengan 42 kasus dilakukan intubasi, 35 kasus dengan mortalitas dan survive 7 kasus. Penanganan segera pada kasus trauma inhalasi masih sangat terkendala dengan rendahnya pengetahuan masyarakat serta petugas medis di Makassar. 9. Distribusi trauma inhalasi berdasarkan lama perawatan dan survive

Grafik 6. Distribusi Mortalitas pada kasus trauma inhalasi berdasarkan umur

30 25 20 15

Pada penelitian ini ditemukan jumlah tertinggi pada kelompok umur 25-44 tahun, sebanyak 23 kasus, dimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Edwart di kanada juga menemukan kelompok umur produktif. 7. Distribusi mortalitas pada kasus trauma inhalasi berdasarkan TBSA (%)

survive

10 5 0

Mortalitas 1-7 8-14 15- 22- 29- 36- 43- >50 hari hari 21 28 35 42 49 hari hari hari hari hari hari

Grafik 9. Distribusi trauma inhalasi berdasarkan lama perawatan dan survive

15

Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara lama perawatan dan jumlah pasien survive, hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor pengaruh kecepatan tindakan awal pada pasien trauma inhalasi.

10 5 0 <10 .10 - 19.20 - 29.30 - 39.40 - 49.50 - 59.60 - 69.70 - 79 ≼ 80

TBSA (%) Grafik 7. Distribusi mortalitas pada kasus trauma inhalasi berdasarkan TBSA (%) Pada penelitian ini ditemukan pada kelompok TBSA 50-59% merupakan jumlah tertinggi, hal ini memberikan gambaran bahwa luasnya luka bakar sangat berpengaruh dalam mortalitas pasien. Sesuai kesimpulan hasil penelitian yang diperoleh Edwart di kanada. 8. Distribusi menurut tindakan pada trauma inhalasi pada luka bakar. 42

45 40

35

35 Frekwensi

Majalah Ilmu Bedah Makassar

50

30

Intubasi

25 20 15 10 5

17

14 9

11

9 5 1

3

Tracheostomi Ventilator Mortalitas

5 0

Survive

0 2008

2009

2010

Tahun

Grafik 8. Distribusi tindakan trauma inhalasi berdasarkan tahun

KESIMPULAN 1. Jumlah kasus luka bakar dari bulan Januari 2008 sampai Desember 2010 di Makassar didapatkan 343 kasus, dengan trauma inhalasi sebanyak 65 kasus. 2. Frekuensi Pria dan wanita yaitu, 1 : 1, tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Studi North-West England dengan hasil perbandingan rasio pria : wanita = 2:1. 3. Rumah sakit Wahidin sudirohusodo merupakan pusat rujukan di Makassar dengan jumlah kasus trauma inhalasi sebanyak 30 kasus. 4. Jumlah kasus terbanyak trauma inhalasi berdasarkan usia berada pada golongan umur 25 – 44 tahun adalah 30 kasus (46%). 5. Jumlah kasus terbanyak pada TBSA <10 %, yaitu sebanyak 143 kasus, dan yang menjadi penyebab luka bakar utama pada kasus ini adalah kecelakaan rumah tangga. 6. Jumlah mortalitas tertinggi pada kelompok umur 25-44 tahun, sebanyak 23 kasus, dimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Edwart di kanada juga menemukan mortalitas tertinggi pada kelompok umur produktif. 7. Kelompok TBSA 50-59% merupakan jumlah tertinggi menimbulkan mortalitas pada pasien trauma inhalasi, hal ini memberikan gambaran bahwa luasnya luka bakar sangat berpengaruh pada mortalitas pasien.


DAFTAR PUSTAKA 1. 2.

3. 4. 5. 6. 7.

8.

9.

10.

11. 12. 13. 14. 15. 16.

Charles H. Thorne. Grabb & Smith’s Plastic surgery: Chapter 17. Thermal, Chemical, and Electrical Injury. 6th edition. Philadelphia. Lippincott Williams&Wilkins; 2007.p.132-49. Yefta Moenadjat. Luka Bakar, Pengetahuan klinik praktis: Bab 4. SIRS, MODS dan sepsis pada kasus luka bakar, dan Bab 5. ARDS pada kasus luka bakar. Edisi kedua. Jakarta. Balai Penerbit FKUI; 2003. Hal 21-43. Keith W. Ashcraft. Pediatric Surgery: Chapter 13. Burns. 4th edition. Philadelphia. Elsevier Saunders; 2005. 153-67. Jeffrey A. Norton. Surgery Basic Science and Clinical Evidence; Chapter 20. Burns. New York. Springer-Verlag; 2001. p. 327-39. Lawrence W. Way. Current Surgical Diagnosis & Treatment; Chapter 15. Burns & Other Thermal Injuries. 11th edition. India. Lange Medical Publication; 2003.p. 267-82. Kaloudova Y, Inhalation Injury, Burn and Reconstructive Surgery Centre, University Hospital Brno, Czech Republic. Acta. Vol. 42. 2000 Edward E. Tredget. The Role of Inhalation Injury in Burn Trauma, Burn Treatment Unit, Division of Plastic Surgery, Departement of Surgery. University of Alberta, Canada. Ann Surg Journal. 1990. Vol 212, No 6.p.720-27. I.O. Adigun. Inhalation Injury in Burns Patiens in Ibadan, Departments of Surgery and Anaesthesia, College of Medicine, University of Ibadan. Nigeria. The Nigerian Journal of Surgical Research. 2001. Vol. 3, No. 2.p. 50-55. Ronald P. Mlcak, Oscar E. Suman, David N, Herdon. Respiratory management of inhalation injury. Department of surgery, The University of Texas Medical Brach, Galveston. Texas. 2006. Available From : Http://www.elsevier.com/locate/burns Robert L. Sheridan. Burns. Burn Surgery Service, Sheriners Burns Hospital, Summer Redstone Burn Center, Harvard Medical School. Copyright Š 2002 Lippincott Williams & Wilkins. Critical Care Medicine. 2002. Vol. 30, No. 11.p. 50014. Putz, R., Alat Pernafasan, Atlas Anatomi Manusia Sobotta, Jilid 1, Edisi 21, EGC, 2006 Holleran, RS., Burn Trauma, Air and Surface Patient Transport Principles and Practice, Third edition, Mosby, Ohio, 2003 Lynge, DC., Traumatic Injury, Surgical Problems and Procedurs in Primary Care,Mc Graw Hill, Washington, 2001 Way, LW., Burn and Other Thermal Injuries, Current Surgical Diagnosis andTreatment, 11th Edition, Mc Graw Hill, Boston, 2003 Robert H. Demling., Pulmonary Problems in The Burn Patient, available at www.burnsurgery.org, 2000 Beasly R.Thorne H. Grabb & Smiths Plastic Surgery Six Edition. AssociateProfessor of Plastic Surgery.NYU Medical Center. New York. 2007. 139-41

51 Majalah Ilmu Bedah Makassar

8. Pemeriksaan Laboratorium yang lengkap merupakan kekurangan dalam penelitian ini karena tidak lengkapnya status dan tidak dilakukannya pemeriksaan, terutama Analisa Gas Darah. 9. Tidak ditemukan adanya hubungan antara lama perawatan dan jumlah pasien survive, hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor pengaruh kecepatan tindakan awal pada pasien trauma inhalasi


Liputan Redaksi

SEBUAH CATATAN KECIL Kursus Laparoscopy di Ho Chi Minh City Vietnam Majalah Ilmu Bedah Makassar

52

Oleh: Ade Hanny M Kainama Berikut catatan kecil kami, residen Bedah FK Unhas yang mengikuti kursus Laparoscopy di Ho Chi Minh City Vietnam… Kegiatan ini disebut Basic Laparoscopy Surgery Course, Suatu Kursus Dasar tentang bedah minimal invasive yang diselenggarakan oleh University Medical Center Hospital di Ho Chi Minh City Vietnam. Berlangsung selama 4 minggu dengan biaya reguler 1000 USD Bagi Ahli Bedah maupun Peserta Pendidikan Dokter Spesialis Bedah. Kursus ini memang lebih fokus pada pengenalan basic skill operation khusus untuk Laparoscopic Appendectomy dan Laparoscopic Cholesistectomy. Tim Bedah Unhas yang berjumlah empat orang berangkat dari bandara Soekarno Hatta Jakarta menuju ke Ho Chi Minh City Vietnam dengan menggunakan pesawat Air Asia, menempuh perjalanan selama lebih kurang 3 jam. Tiba di Ho Chi Minh City, kami langsung disuguhkan dengan menu kegiatan harian yang telah terbayangkan akan sangat melelahkan. Agenda minggu pertama kegiatan ini memang kami habiskan dengan schedule yang sangat padat, yakni kegiatan class room, simulasi dan operasi di kamar operasi yang berlangsung dari pukul 08.00 sampai pukul 17.00 waktu Vietnam setiap harinya. Kegiatan ini dimulai dengan Opening Ceremony yang dilanjutkan dengan Kuliah Pengenalan tentang Basic Skill Laparoscopy, penyampaian agenda kegiatan selama mengikuti kursus dan perkenalan dengan para instruktur. Ho Chi minh Hospital > 1000 Bed’s with 15th floor  Over 1000 patien/days  20 Operation Room  > 100 Operation/days  Estimated Finish : 2014 

Rumah Sakit ini diprediksi akan selesai pada tahun 2014 terdiri dari 15 lantai dengan fasilitas lebih dari 1000 tempat tidur yang dilengkapi dengan 20 kamar operasi. Kunjungan lebih dari 1000 pasien setiap hari dan diperkirakan lebih dari 100 kegiatan operasi mini-

mal invasive setiap hari. Kunjungan pasien tidak saja berasal dari kota Ho Chi Minh tetapi dari berbagai negara tetangga seperti Kambodia dan Thailand. Peserta kursus di rumah sakit ini bukan hanya para dokter dari Indonesia karena saat kami mengikuti kursus, kami bersama-sama dengan Ahli Bedah dari Philipina dan beberapa dokter Konsultan Bedah Digestive dari Universitas Andalas Padang, Malaysia, Singapura serta Thailand. Vietnam juga telah rutin mengadakan pertukaran pelajar dengan dokter di Jepang, Taiwan, Perancis, Jerman dan Amerika Serikat. Setiap harinya kami di bimbing langsung oleh para instruktur yang memang sangat advance dalam melakukan operasi laparoskopi.

1x every – weeks

Latihan Simulasi Operasi dengan peralatan Video 3D di Pusat Laboratorium UMC Mecidal Faculty Fasilitas sarana dan prasarana pendukung operasi pada rumah sakit ini sangat inovative, canggih dan modern, dilengkapi dengan kurang lebih 20 set alat Laparoskopy yang jumlahnya lebih banyak dari ruangan operasi yang ada di RS tersebut serta dilengkapi dengan DVD record sehingga setiap operasi yang dilakukan dapat langsung direkam dan hasilnya bisa langsung dilihat. Jumlah kasus yang kami ikuti selama kurang lebih 4 minggu mengikuti kursus di UMC Hospital, kasus terbanyak adalah Laparoscopy Colecystectomi sebanyak 65 kasus, laparoscopy appendyctomi sebanyak 15 kasus, Laparoscopy explorasi CBD 10 kasus, dan beberapa kasus seperti Hemicolectomi kanan, Hemicolectomi kiri, Partial dan Total Gastrectomy, Transversectomy, Reseksi Anterior, Low dan Ultra Low Reseksi, Laparoscopy Mile’s Procedur, Laparoscopy sigmoidectomy, Splenectomy, Laparoscopy Hernia


dan kasus yang paling menarik adalah reseksi hepar. Sangat disayangkan satu kasus Laparoscopy Whipple yang akhirnya batal dilakukan operasi karena keadaan pasien yang tidak optimal.

Dari catatan kami selama mengikuti kegiatan operasi di UMC Hospital adalah : • Rata-rata durasi operasi Laparoskopi Appendectomy maupun Cholecystectomy adalah 30-45 menit • Untuk reseksi usus Hand Assist rata-rata 60-90 menit • Untuk Partial/Total Gastrectomy rata-rata 60-80 menit • Roux en Y anastomosis rata-rata 60-80 menit • Untuk lama perawatan pasien post operasi laparoscopy appendectomy dan colecystectomy adalah 1-2 hari. • Pada akhir kegiatan kursus, Closed ceremony dilakukan dengan kuliah Terakhir oleh Dr.Tuan yang dilanjutkan dengan penyerahan Sertifikat dan kenangkenangan dari UMC Hospital.

Majalah Ilmu Bedah Makassar

Pada catatan laporan operasi selama 1 bulan di UMC hospital, lebih dari 1000 operasi telah dilakukan, rata-rata terdapat 60-100 tindakan operasi setiap hari. Tindakan operasi rata-rata dapat diselesaikan hanya dalam waktu 6-8 jam per hari. Rutinitas sudah dimulai sejak jam 7 pagi hingga jam 5 sore tiap hari dan yang paling penting selama dilakukan operasi kami tidak pernah melihat adanya transfusi darah yang terpasang selama durante operasi, operasi tidak pernah tertunda dengan alasan menunggu darah tetapi semua dilakukan secara cepat, sistematis dan efisien.

53

Catatan penting : • Operasi minimal invasive pada center pendidikan Ilmu Bedah Unhas Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo dan jejaring, memang sudah berjalan namun mesti harus terus belajar utamanya para residen dan pengadaan perangkat alat minimal invasive yang memadai (bukan hanya satu dan sering macet) adalah sebuah keharusan pada Rumah Sakit yang berstandar JCI • Alat-alat penunjang minimal invasive kita memang jumlahnya masih jauh tertinggal dari UMC hospital yang telah menjadi pusat kursus laparoscopy • Minimal invasive telah menjadi trend pembedahan di negara sekelas Vietnam. Bagaimana dengan Indonesia?, Bagaimana dengan Makassar?, sebuah tantangan untuk kita yang harus dijawab dengan kesungguhan karena king of the doctor is surgeon…

dr. Nasrullah, Sp.BS, saat kunjungan ke Eropa


Liputan Redaksi

CATATAN PERJALANAN DARI BENUA BIRU

54 Majalah Ilmu Bedah Makassar

Oleh: dr. Nasrullah, Sp.BS “ Who lives sees much, who travels sees more” kami memasuki Eropa via Belanda ke Jerman, Rep. Ceko, Swiss, Austria, Prancis, Belgia dan kembali ke Belanda untuk ke tanah air Indonesia tercinta. Kunjungan ke Eropa pada akhir bulan april dan kembali awal Mei 2012. Bagi kami suhu 10-15oC cukup bersahabat, walaupun harus mengenakan jaket penghangat tubuh. Perjalanan yang kami tempuh selama ± 14 jam dari Singapura tidak terasa karena keramahan pramugari pesawat SQ airlines yang bisa kita ajak bercakap dalam bahasa Inggris maupun bahasa mandarin. Pesawat kami mendarat dipagi hari pada sebuah bandara megah Schipool Amsterdam, walaupun pemeriksaan sangat ketat dan harus melewati beberapa antrian, kami bisa menikmati sebab mereka terlihat cukup bersahabat dengan orang indonesia (mungkin karena kita pernah dijajah oleh moyang mereka; dalam benak saya). Bahkan beberapa dari mereka menggunakan bahasa indonesia sepenggal-sepenggal. Seorang dari rombongan kami ternyata sedang bermasalah karena tasnya tidak ikut dalam bagasi pesawat sehingga harus menunggu hari berikutnya untuk mendapatkan tas tersebut. Secara tak terduga, ternyata mereka sangat bertanggungjawab, Sejawat tersebut diberi kompensasi kerugian berupa uang dalam bentuk Euro. Dalam perjalanan dari bandara ke hotel, terasa angin bertiup sangat kencang dan suhu dingin mulai terasa. Kami sangat kagum melihat negara kecil yang sebagian wilayahnya di bawah permukaan air, dapat memanfaatkan kekurangan ini menjadi sebuah kelebihan dengan membangun pengairan dan sumber energi untuk menghidupkan industri pertanian secara modern. Yang lebih hebat lagi 25% hasil pertaniannya merupakan produk ekspor komersial. Bunga tulip yang bermekaran dan kincir angin dapat kita saksikan di Volendamm. Dari Belanda kami memasuki Jerman ke Cologne. Suasana kota Jerman yang serba teratur tidak mengherankan, mengingat Jerman merupakan negara dengan ekonomi terkuat di seluruh Eropa. Selama perjalanan kami melihat gereja Katedral bergaya Gotik di cologne dibangun pada abad ke XIII dengan ketinggian 160 meter menjadikannya salah satu gereja terkenal dan terbesar didunia. Walaupun demikian tidak lebih dari sebuah museum karena tampak mereka lebih memamerkan kehidupan dunia. Disini penulis terkejut karena penjual yang paling laris dekat gereja tersebut adalah orang China (dibenak saya, etos kerja rakyat Cina memang hebat karena ada dimana-mana). Perjalanan kami berikutnya memasuki republik Cheska yang baru merdeka ± 20 tahun yang lalu. Sebelumnya Cheska bergabung dengan Slovakia membentuk Federasi Cekoslovakia. Republik Cheska dengan populasi 10 juta penduduk yang beribukota di Praha dengan bahasa resmi Cheska. Bahasa ini mirip bahasa Rusia karena selama ini menjadi bagian dari Rusia. Walaupun untuk berbelanja mereka menerima mata uang Euro, tetapi mereka mempunyai mata uang sendiri yaitu Corona Cheska (CZK). Kehidupan beragama di Ceko umumnya tidak lagi mempercayai Tuhan, hal ini dapat dimengerti karena negara ini merupakan negara industri yang hidup lebih individual, menjadi alasan pula bagi Slovakia yang religius dan kehidupan perekonomiannya lebih ke arah pertanian untuk memisahkan diri. Kehidupan di Ceko juga sangat liberal, ini tidak lepas dari pengaruh komunis, sehingga jangan heran walaupun di siang hari mereka bisa berciuman dimana saja dan yang lebih mengejutkan lagi perempuan hidup bebas, cantik dan memiliki pesona Eropa Timur. Di Praha yang sangat terkenal dengan kekayaan arsitekturnya mulai dari zaman Romawi, Renaissans, Gotik, Barok, klasik art nouveau dan kubisme serta seniman Dvorak, Mohler dan Frans Kaflea. Apabila berbelanja di kota ini, hati-hatilah karena bisa saja lebih mahal padahal ternyata barang jualannya berasal dari Asia (China, Bangladesh dan mungkin Indonesia juga). Meski mereka memakai bahasa Cheska, kita tidak mengalami kesulitan berkomunikasi karena umumnya generasi muda bisa berbahasa Inggris. Di Praha kami juga bertemu dengan seorang sahabat Prof.dr.Andi Asadul Islam yakni Prof Vladimir Bennes yang sangat ramah dan

berkeinginan menerima kami belajar di disana suatu saat. Di Praha juga salah satu rombongan bernasib sial setelah kecopetan, maka berhati-hatilah karena copet ada dimana-mana bahkan ternyata di eropa pun ada. Di Austria sebagai daerah gugusan pegunungan alpen, Hanya 1/3 wilayahnya yang berbentuk daratan dan perbukitan. Salah satu sungai besar yang melewati negara ini di wilayah utara ialah sungai Danube tempat ibukotanya Wina (Vienna). Kondisi wilayahnya mungkin sama dengan wilayah Enrekang, hanya saja cuaca puncak gunung dipenuhi oleh salju. Austria ini tempat seniman besar Mozart dan Johann Strauss yang termasyhur karena musik Waltznya. Perjalanan dari vienna ke Zurich, kami memakai trem (kereta api cepat), dalam perjalanan tersebut kami berkenalan dengan perempuan Austria yang bersuamikan muslim Afrika, walaupun disana orang berpuasa mulai jam 4 pagi sampai jam 9 malam, ternyata suaminya menjalankan ibadahnya dengan sebaik-baiknya. Memasuki Swiss, kami sempat ke puncak gunung Alpen dengan menggunakan kereta gantung yang luar biasa, walaupun musim semi disana tetapi gunung-gunung diliputi salju sehingga dapat dimanfaatkan untuk olahraga ski. Mata uang Euro harus ditukar dengan mata uang French Swiss (CHF). Dengan pelayanan Kesehatan dan perekonomian yang termasuk terbaik di Eropa angka harapan hidup masyarakat rata-rata 80 tahun. Negara inipun terkenal dengan produksi jam terbaik didunia. Dari Zurich ke Paris, secara kebetulan bersamaan dengan pemilihan umum disana. Perancis adalah negara terbesar kedua setelah ukraina. Negara ini memliki pemandangan alam yang luar biasa dan sejarah yang luar biasa . Negeri Fashion ini menjadi tujuan wisatawan untuk membeli barang-barang KW satu (Original) tetapi harganya selangit. Kami sempat mengunjungi menara Eiffel setinggi 324 meter yang didirikan oleh Gustav Eiffel ± 1000 tahun yang lalu. Kami juga dapat melihat patung pahlawan perancis Napoleon Bonaparte, sayang kami tidak sempat melihat bangunan Mont Saint Michel di Normandia & puncak Gunung mont Blanc, puncak tertinggi di Eropa (5000 m). Kalau mau membeli barang di perancis jangan hitung konversinya uang Euro ke Rupiah, karena anda bisa-bisa tidak berbelanja karena sangat jauh perbedaan nilai kurs. Penulis juga kesulitan berkomunikasi dengan mereka karena mereka sangat fanatik dengan bahasanya (kurang memahami dan tidak mau tahu bahasa inggris sebagai bahasa international). Dari Perancis ke Belgia, suatu negara berukuran kecil ± 30.000 km dengan populasi 10 jutaan penduduk. Bahasa resminya ada tiga yaitu prancis, belanda dan jerman. Tergantung dari topografi penduduknya. Yang hebat di negara ini, 2/3 tenaga kerja disana terserap di sektor jasa. Kami menyempatkan diri berjalan-jalan ke degrande Palace Brussel dan sempat foto bersama di Manneken Pie (patung perunggy abad XVII sebagai simbol kota Brussel). Disitupun saya melihat banyak wanita berjilbab berlalu lalang, bahkan saya sempat mendengar mereka berbahasa arab sehingga penulis tertarik untuk mendekatinya dan mereka sangat gembira setelah mengetahui kami seakidah. Selama dalam perjalanan kami mendengar dari sopir bus yang berasal dari polandia bahwa masyarakat Eropa sangat khawatir dengan pertumbuhan imigran dari asia dan afrika. Penulis juga menyaksikan bahwa produk mobil dari asia yaitu Jepang dan Korea cukup banyak di Eropa, ini menunjukkan bahwa negara-negara asia bisa lebih maju dari Eropa kelak. Kesan penulis dalam catatan perjalanan ini bahwa untuk berinteraksi dengan masyarakat international, sungguh sangat dibutuhkan kemampuan berbahasa inggris meskipun hanya sedikit-sedikit karena bahasa ini akan menjadi modalitas komunikasi. Olehnya itu, jangan takut dan tidak ada kata terlambat untuk belajar. Sebuah harapan untuk bangsa kita, bahwa untuk sejajar dengan negara-negara eropa sangat dibutuhkan kerja keras dengan etos kerja masyarakat yang berlipat ganda serta dibutuhkan lahirnya seorang pemimpin yang hebat yang lebih cepat dan lebih baik lagi, agar negara kita dapat sejajar minimal dengan negara maju asia lainnya.


Galleri Foto


Lepas Sambut




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.