MAKALAH III Januari 2012
EVALUASI KASUS TRAUMA TORAKS DI RUMAH SAKIT WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR PERIODE TAHUN 2006-2009
OLEH ADE HANNY M KAINAMA NP : C104207101
PEMBIMBING Dr. MUHAMMAD NURALIM MALLAPASI
PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALISASI BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG MASALAH Trauma toraks masih merupakan masalah yang sangat signifikan
dari morbiditas dan mortalitas yang terjadi di Amerika Serikat. Trauma toraks merupakan penyebab kematian dan diperkirakan sekitar 150.000 kasus kematian per tahun yang terjadi akibat trauma toraks. Prevalensi umur paling banyak terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. (12) Sedangkan insiden penderita trauma toraks di Amerika Serikat diperkirakan 1 dari 4 kematian disebabkan karena trauma toraks LoCicero dan Mattox 1989.(12) Kematian yang disebabkan oleh trauma toraks sebesar 20%-25% dari seluruh kasus trauma yang menyebabkan kematian.(9) Hanya 15%-30% penderita trauma tumpul toraks yang memerlukan tindakan operasi, jadi sebagian besar hanya memerlukan tindakan sederhana untuk menolong korban dari ancaman kematian.(3). Penyebab terbanyak dari trauma tumpul toraks seperti yang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat masih didominasi oleh korban kecelakaan lalu lintas 70%-80%.(2) Alberta Trauma Registry di Calgary
Canada
dalam
laporan
penelitiannya
pada
tahun
2003
menyatakan bahwa insiden trauma tumpul toraks sebanyak 94,8% sedangkan sisanya sebanyak 4,6% adalah trauma tajam.14 Di Amerika Serikat tercatat 372 kasus trauma toraks per tahun dimana 27% disertai cedera ekstremitas, 24% disertai cedera traktus digestivus dan 15% yang disertai cedera otak. Di RS. Dr. Soetomo Surabaya tercatat 149 kasus 2
trauma toraks per tahun dimana 19% disertai cedera ekstremitas, 14% disertai cedera otak dan 9% yang disertai cedera traktus digestivus. Sedangkan di RS. Cipto Mangunkusumo FKUI Jakarta tercatat sejak tahun 1981 insiden trauma toraks adalah sebesar 16,8% dari seluruh kasus trauma. Dimana trauma tumpul 8% dan trauma tajam 8,8%. Sedangkan etiologi penyebab trauma toraks di Jakarta adalah akibat kecelakaan lalu lintas 63%-78%.10
1.2
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka
dapat
dirumuskan pada penelitian ini adalah bagaimana insidens trauma toraks yang terjadi di RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo.
1.3.
TUJUAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui insidens serta
mengevaluasi penatalaksanaan kasus trauma toraks yang terjadi di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo selama periode tahun 2006 – 2009
1.4.
METODE Metode
yang
digunakan
adalah
penelitian
dengan
studi
retrospektif-diskriptif terhadap kasus trauma toraks. Dilakukan studi terhadap catatan medik penderita yang di rawat di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo antara tahun 2006 sampai 2009.
3
Dari data yang didapat kemudian dicatat serta dievaluasi : jumlah kasus, kelompok usia, jenis kelamin, jenis trauma, etiologi penyebab trauma, lokasi trauma, pasien yang dipasang chest tube WSD, indikasi pemasangan WSD, trauma toraks yang disertai/ tidak disertai dengan trauma lain, berdasarkan jumlah pasien yang sembuh, meninggal dan pulang paksa serta motilitas bila disertai dengan trauma lain. Data yg terkumpul diolah, dianalisis dan disajikan berupa tabel dan narasi.
4
B A B II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Secara anatomis dinding toraks adalah daerah pada tubuh manusia (atau hewan) yang berada di antara leher dan perut (abdomen). Toraks dapat didefinisikan sebagai area yang dibatasi di bagian atas oleh apertura thoracic superior dan di bagian bawah oleh apertura thoracic inferior, dengan batas luar adalah dinding toraks yang disusun oleh vertebra torakal, iga-iga, sternum, otot, dan jaringan ikat.(1) 2.1.1. Rongga Toraks Sedangkan rongga toraks dibatasi oleh diafragma dengan rongga abdomen. Rongga Toraks dapat dibagi kedalam dua bagian utama, yaitu : paru-paru (kiri dan kanan) dan mediastinum. Mediastinum dibagi ke dalam 2 bagian : superior dan inferior. Sedangkan yang inferior dibagi lagi menjadi 3 bagian, yaitu : anterior, medial, dan posterior. Rongga toraks bagian atas atau Apertura Thoracis Superior merupakan "pintu masuk" rongga toraks yang disusun oleh: permukaan ventral vertebra torakal I (posterior), bagian medial dari iga I kiri dan kanan (lateral), serta manubrium sterni (anterior). Bagian bawah rongga toraks atau Apertura Thoracis Inferior adalah area yang dibatasi oleh sisi ventral vertebra torakal XII, lateral oleh batas bawah iga dan anterior oleh processus xiphoideus. Diafragma sebagai pembatas rongga toraks dan rongga abdomen, memiliki bentuk seperti kubah dengan puncak menjorok ke superior, sehingga sebagian rongga abdomen sebenarnya terletak di dalam "area" toraks.(2,8) Pada garis tengah dibagian anterior terletak sternum yang terdiri dari 3 bagian, manubrium, korpus, dan prosesus xiphoideus. Titik paling atas sternum dikenal sebagai sternal notch atau
5
insisura jugularis, yang tampak berupa lekukan antara kedua kaput klavikula. Insisura ini setinggi batas bawah dari vertebra torakal ke-2. Angulus ludovici adalah tonjolan yang terjadi oleh karena pertemuan bagian korpus dan manubrium sterni. Setinggi angulus ini terdapat organorgan penting: arkus aorta dan karina. Bagian terakhir sternum adalah processus xiphoideus yang dapat diraba sebagai ujung bawah yang lunak dari sternum; kira-kira setinggi vertebra torakal 9. Klavikula dapat dengan mudah diraba atau dilihat karena hanya ditutupi oleh subkutis dan kulit. Skapula dapat diraba dari permukaan dengan margo vertebralis, angulus inferior, dan spina. Untuk vertebra, sebagai patokan hanya dapat diraba prosesus spinosus vertebra; pada bagian atas yang terbesar dan paling menonjol adalah vertebra servikalis ke-7 dan dibawahnya adalah vertebra torakalis pertama. Garis-garis (imajiner) yang penting adalah linea midsternalis (midline), linea parasternalis, dan midklavikularis. 2.1.2. Dinding Toraks A. Costae Rangka toraks dibatasi pada bagian luar oleh iga-iga (tulang costa). Terdapat 12 pasang iga : 7 iga pertama melekat pada vertebra yang bersesuaian, sedangkan iga ke 8,9,10 menempel pada costa 7. Diantara batas inferior dan permukaan internal terdapat costal groove, tempat berjalannya arteri-vena-nervus interkostal. Iga pertama merupakan iga yang penting oleh karena menjadi tempat melintasnya plexus brachialis, arteri dan vena subklavia. Sela iga ada 11 (sela iga ke 12 tidak ada) dan terisi oleh m. intercostalis externus dan internus. Lebih dalam dari m. intercostalis internus terdapat fascia m. transversal thoracis. Pembuluh darah arteri, vena dan nervus berjalan di tepi bawah iga, kemudian ke anterior makin tertutup oleh iga. Di cekungan iga ini berjalan berurutan
6
vena, arteri dan nervus (VAN). Pada daerah inilah kemungkinan cedera pembuluh interkostalis dpt terjadi pada tindakan pemasangan WSD.
B. Vertebra
Untuk bedah toraks sebetulnya tidak banyak yang harus diketahui mengenai vertebra kecuali bahwa persendiannya dengan kosta.
2.2 Etiologi Penyebab paling sering dari trauma tumpul toraks yang paling signifikan adalah kecelakaan lalulintas (70-80%). Selain kecelakaan lalu lintas, jatuh, dan tindak kekerasan adalah mekanisme penyebab lainnya. 2.3 Patofisiologi Masalah utama yang dihadapi pada kasus trauma toraks adalah terjadinya gangguan dalam sistem transport oksigen, darah, atau kombinasi antara keduanya. Nyeri yang ditimbulkan dapat menyebabkan gangguan bernapas, dan ini merupakan kompromi dari ventilasi. Cedera yang terjadi pada paru-paru seperti contusio paru atau emfisema paru dapat
menyebabkan
terjadinya
gangguan
ventilasi.
Tahanan
dan
gangguan ventilasi akibat trauma dan cedera dapat mengganggu proses oksigenasi. Pada trauma thoraks seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan hemopneumothoraks, dapat mengganggu sistem oksigenasi dengan menekan jaringan parenkim paru-paru yang sehat.
7
2.6 Klasifikasi dan Mekanisme A. Klasifikasi : Trauma toraks dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu trauma tembus atau tumpul. 1. Trauma tembus (tajam) 
Terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat penyebab trauma

Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau peluru
2. Trauma tumpul 
Tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks.

Terutama akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush atau blast injuries.
B. Mekanisme Trauma Akselerasi Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab trauma. Gaya yang ditimbulkan berbanding lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi); sesuai dengan hukum Newton II (Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada luas jaringan tubuh yang menerima gaya dari trauma tersebut. Deselerasi Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan. Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma.
8
Torsio dan rotasi Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya deselerasi organ-organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki jaringan pengikat/fiksasi. Blast injury Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak langsung dengan penyebab trauma. Seperti pada ledakan bom. C. Kondisi Yang Berbahaya(10,13) Berikut adalah keadaan atau kelainan akibat trauma toraks yang berbahaya dan mematikan bila tidak dikenali dan di-tatalaksana dengan segera : 1. Rapidly Lethal Lesion suatu keadaan yg dapat mengakibatkan kematian dalam hitungan menit yaitu : a. Obstruksi jalan napas (Airway obstruction). b. Tension pneumotoraks. c. Open Pneumotoraks : d. Hemotoraks masif e. Flail chest. f. Tamponade jantung. 2. Potensially Lethal Lesion suatu keadaan yg dpt mengakibatkan kematian dalam hitungan beberapa jam yaitu : a. Kontusio paru. b. Ruptur aorta. 9
c. Ruptur trakheobronhial. d. Perforasi esophagus. e. Ruptur diafragma f. Kontusio Miokard
3. Non Immediatelly Life Threatening Lesion : Keadaan-keadaan yang termasuk didalamnya adalah : hemotoraks, simple pneumothoraks, fraktur costa, fraktur sternum, kelainan pada jaringan lunak, traumatic chyclotoraks, benda asing intratoraks, dan emphysema subkutis. 2.7.1. Trauma pada dinding toraks : A. Fraktur iga(3,6) Merupakan kelainan tersering yang diakibatkan trauma tumpul pada dinding dada. Sedangkan trauma tajam lebih jarang. Bila terdapat fraktur pada iga 1-3 atau fraktur klavikula maka harus dicurigai adanya trauma pada traktus neurovascular utama ekstremitas atas dan kepala (pleksus brakhialis, a/v subklavia). Lokasi tersering biasanya pada iga 4-9 maka hendaknya perlu diperiksa adanya kerusakan pada organ-organ intra toraks dan intra abdomen. Bila terdapat fraktur pada iga 10-12 maka perlu dicurigai adanya kerusakan intra abdomen (hepar atau lien). Penatalaksanaan pada fraktur iga tanpa penyulit/kelainan lain biasanya hanya konservatif (analgetika). Penatalaksanaan fraktur iga multipel adalah dengan analgetik yang adekuat (oral/iv/ intercostal block). Sedangkan pada fraktur iga multipel yang disertai penyulit ditujukan untuk mengatasi kelainan yang mengancam jiwa, diikuti oleh penanganan yang adekuat/operatif.(10)
10
B. Fraktur sternum(10) Insidens fraktur sternum pada trauma toraks cukup jarang, umumnya terjadi pada kendaraan bermotor yang mengalami kecelakaan. Biasanya diakibatkan trauma langsung dengan gaya trauma yang cukup besar. Penatalaksanaan untuk fraktur sternum tanpa dislokasi fragmen fraktur dilakukan pemberian analgetika dan observasi tanda2 adanya laserasi atau kontusio jantung. Sedangkan untuk fraktur dengan dislokasi atau fraktur fragmented dilakukan tindakan operatif untuk stabilisasi dengan
menggunakan
sternal
wire,
sekaligus
eksplorasi
adanya
perlukaan pada organ atau struktur di mediastinum. C. Flail Chest(10) Flail chest adalah area toraks yang "melayang" (flail) oleh sebab adanya fraktur iga multipel berturutan lebih dari 3 iga , dan memiliki garis fraktur lebih dari 2 (segmented) pada tiap iganya. Akibatnya adalah: terbentuk area "flail" yang akan bergerak paradoksal (kebalikan) dari gerakan mekanik pernapasan dinding dada. Penatalaksanaan pada flail chest ialah sebaiknya pasien dirawat intensif bila ada indikasi atau tandatanda kegagalan pernapasan atau karena ancaman gagal napas yang biasanya melalui pemeriksaan AGD berkala
serta dengan pemberian
analgetik yang adekuat, stabilisasi area flail chest atau fiksasi internal melalui operasi. Misalnya Kawat logam halus, Kawat logam inter meduler, Judet staple, Kawat logam cross section, atau Mini Plate.(10)
2.7.2. Trauma pada pleura dan paru A. Pneumotoraks(6,20) Merupakan suatu keadaa terkumpulnya udara di dalam kavum pleura. Udara tersebut dapat berasal akibat cedera pada jaringan paru, robekan
11
pada beonkhus, atau cedera pada dinding dada yang memungkinkan udara yang memungkinkan udara terhisap dari luar dan masuk kedalam paru.(20) Diklasifikasikan menjadi 3 : simpel, tension, open pneumotoraks a.Simpel Pneumotoraks merupakan keadaan terkumpulnya udara di sekitar paru tanpa ekspansi lebih jauh (non-expanding). Paru menjadi kolaps dengan derajat yang bervariasi. Sulit untuk mendiagnosis hanya berdasarkan pemeriksaan fisis. Tanda klasik berupa berkurangnya udara yang masuk serta perkusi yang sonor seringkali sulit dinilai atau bahkan tidak mungkin. Palpasi yang cermat pada dinding dada dan apeks dapat memperlihatkan emfisema subkutan dan fraktur iga sebagai satu-satunya tanda pneumotoraks tersebut.(20) b. Tension Pneumotoraks
merupakan keadaan terkumpulnya udara
dalam cavum pleura, biasanya akibat laserasi paru yang memungkinkan udara masuk ke dalam cavum pleura tetapi tidak bisa keluar kembali. Ventilasi tekanan positif dapat mengeksaserbasi efek “katup searahâ€? ini („one-way-valveâ€&#x; effect = fenomena ventil).(20) Adanya peningkatan tekanan yang progresif dalam cavum pleura ini akan mendorong mediastinum ke sisi hemitoraks di sebelahnya (paru yang sehat), dan mengobstruksi venous return (ke jantung). Hal ini menyebabkan instabilitas sirkulasi dan menyebabkan traumatic arrest (henti jantung akibat trauma).(20) Tanda klasik tension pneumotoraks adalah deviasi trakea
yang
menjauhi
sisi
tension,
hiperekspansi
dinding
dada,
peningkatan bunyi (hipersonosr) pada perkusi dan dada hiperekspansi yang hanya bergerak sedikit dengan respirasi. Tekanan vena sentral biasanya meningkat, tetapi akan menjadi normal atau rendah pada keadaan hipovolemia.(20)
12
Penanganan yang lazim pada tension pneumothorax adalah dekompresi dada darurat dengan needle thoracostomy. Kanula intravena 14-16G dimasukkan ke ruang interkostal dua pada linea midklavikularis. Jarum dimasukkan lebih dalam hingga udara dapat diaspirasi ke dalam syringe yang terhubung ke jarum. Jarum kemudian ditarik ke luar dan kanula dibiarkan terbuka. Manuver tersebut pada dasarnya mengubah tension pneumothorax menjadi simple pneumothorax.(20) Needle thoracostomy juga mudah mengalami obstruksi, kinking (terlipat), tersangkut dan terlepas. Dengan demikian, tension yang tadinya sudah berkurang terbentuk kembali tanpa disadari. Yang lebih penting lagi, adalah kemungkinan laserasi paru akibat tertusuk oleh jarum, khususnya jika tanda pneumotoraks dari awal belum ada. Emboli udara melalui laserasi yang demikian sungguh perlu menjadi perhatian. (20) Pemasangan chest tube merupakan terapi definitif dari pneumothoraks traumatik. c. Open Pneumotoraks (Sucking Chest Wound) biasanya terjadi pada luka tembus dimana terbentuk hubungan antara ruang pleura dengan udara luar. Terjadi jika defek dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea.(3) Open Pneumothoraks biasanya terdapat pada luka tembak kecepatan tinggi (missile) saat perang, dapat terjadi akibat setiap cedera penetrasi pada dada yang memungkinkan ruang pleura terekspos dengan tekanan udara luar (atmosfer). Struktur intratorakal dapat atau tidak terkena cedera secara bersamaan.(6) Dengan adanya defek pada dinding dada yang kecil, serta resistensi terhadap aliran udara yang tinggi dan sejumlah besar volume tidal masih dapat mengalir ke hemitoraks yang tidak terluka melalui trakea. Defek yang lebih besar dengan resistensi yang lebih ringan dibandingkan trakea memungkinkan hampir seluruh volume tidal masuk ke hemithoraks yang cedera, dengan demikian hanya meninggalkan sedikit udara yang masuk ke trakea untuk pertukaran dengan udara intrapulmonal. Kondisi ini dapat segera menyebabkan hipoksiema dan kematian kecuali segera dikoreksi melalui penutupan defek dinding dada.
13
Penatalaksanaannya adalah dengan menutup luka dengan kasa steril yang diplester hanya pada 3 sisi saja. Diharapkan akan terjadi efek flutter type valve di mana saat inspirasi kasa penutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara dari dalam. Luka harus segera ditutup kemudian dilanjutkan dengan pemasangan chest tube WSD. Hal ini dilakukan untuk mencegah konversi open pneumothoraks menjadi tension pneumothoraks.(10) d. Hemotoraks merupakan keadaan terkumpulnya darah dalam ruang pleura dan dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau penetrasi pada dada. Kebanyakan hemotoraks disebabkan oleh fraktur iga, cedera parenkim paru dan cedera pada vena kecil, dan yang demikian bersifat self-limiting. Sumber perdarahan umumnya berasal dari A. interkostalis atau A. mamaria interna. Yang lebih jarang adalah cedera arteri, yang cederung membutuhkan tindakan operatif.
(10,20)
Kebanyakan hemotoraks
ringan-sedang tidak terdeteksi oleh pemeriksaan fisis dan hanya akan teridentifikasi pada foto toraks, FAST, atau CT-scan. Namun, hemotoraks yang lebih besar dan yang lebih signifikan secara klinis dapat teridentifikasi
secara
klinis.(20)
Pada
pemeriksaan
fisik
dapat
memperlihatkan adanya trauma toraks yang signifikan berupa memar (hematoma), adanya laserasi, atau krepitasi yang dapat dipalpasi menandakan adanya fraktur iga. Bisa terdapat tanda-tanda adanya cedera penetrasi pada hemitoraks yang terkena. Jangan lupa untuk memeriksa punggung pasien.(20) Tanda klasik hemotoraks adalah berkurangnya ekspansi dada, perkusi yang pekak dan berkurangnya suara pernapasan
14
di sisi hemithoraks yang mengalami cedera. Tidak terdapat deviasi mediastinal atau trakeal kecuali bila ada hemotoraks masif. Semua tanda klinis ini mungkin tidak jelas atau tidak ada pada pasien yang berada pada posisi yang telentang di UGD. Kebanyakan hemotoraks hanya akan terdeteksi
setelah
pemeriksaan
radiologis.(20)
Penatalaksanaannya
bertujuan untuk : evakuasi darah dan pengembangan paru secepatnya, penanganan hemodinamik segera untuk menghindari kegagalan sirkulasi. Tindakan bedah pemasangan chest tube atau operasi torakotomi cito (eksplorasi) untuk menghentikan perdarahan.(2,20) e. Hemothoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat di dalam rongga pleura. Indikasi torakotomi pada hemotoraks masif bervariasi menurut berbagai penulis, namun pada umumnya pasien tidak boleh menjalani torakotomi emergensi jika tekanan darah dan nadi yang berespons terhadap terapi penggantian cairan. Pasien dengan output chest tube WSD kurang dari 150 ml/jam setelah drainase awal yang kecil, dan pada pasien yang cedera parunya telah tereekspansi pada roentgen foto toraks tanpa rekurensi hemotoraks pada foto berikutnya. Di FKUI RSCM hematotoraks masif adalah perdarahan > 750 cc atau 15% dari total darah atau 5 cc/kgBB/jam sudah merupakan indikasi untuk tindakan operasi torakotomi emergency.(10) Jika setelah resusitasi ternyata hipotensi tetap persisten, dan volume ouput chest tube WSD lebih dari 150 cc/jam selama 10 jam, atau lebih dari 1500 cc totalnya, maka torakotomi harus segera dilakukan. Oleh karena cedera tersebut menyebabkan kehilangan darah yang signifikan dan biasanya berasal dari
15
pembuluh darah besar, maka keputusan untuk operasi emergensi harus segera dilakukan.(6) 2.7.3 Chest tube dan Water Sealed Drainage : (12) Pemasangan chest tube WSD (Tube Thoracostomy) merupakan dasar perawatan pada penderita trauma toraks. Penempatan yang standar untuk chest tube WSD adalah pada anterior linea midaksilaris interkostal ke- 5-6. Ada 2 alasan mengapa dipilih lokasi ini. Pertama, lokasi ini biasanya aman karena terletak di atas diafragma. Kedua, karena merupakan area dimana terdapat otot dinding dada yang paling tipis, sehingga memungkinkan insersi selang yg lebih cepat dan kurang terasa nyeri dibandingkan bila dipasang lebih ke anterior atau ke posterior. (12) Foto thoraks rutin akan sangat membantu di dalam memberikan bukti eliminasi udara dan cairan yang efektif dari ruang pleural. Chest tube dibiarkan pada tempatnya hingga tidak ada lagi kebocoran udara dari paru dan cairan drainase kurang dari 100-150 mL per 24 jam. Dalam suatu penelitian prospektif acak, Martino dkk menemukan bahwa percobaan dengan 6-8 jam water seal (WSD) memiliki kelebihan dibandingkan dengan drainase tanpa penyegel air dalam mengurangi insiden rekurensi pneumothoraks setelah tube dikeluarkan.(12) Meskipun insersi selang torakostomi dapat menjadi prosedur live-saving dan sering bersifat langsung, pelaksanaannya tidak boleh dianggap remeh karena tingkat komplikasi keseluruhan yang dilaporkan mendekati 25%. Faktor penting dalam menentukan tingkat komplikasi meliputi penempatan yang urgent, lokasi penempatan selang, dan tingkat pengalaman operator. Suatu penelitian menemukan tingkat komplikasi sebesar 33% pada selang yang dilakukan oleh personil pre-rumah sakit, 13% pada selang yang di tempatkan oleh dokter UGD, dan 6% oleh ahli bedah. Dengan demikian, jelaslah bahwa ahli bedah seharusnya terlibat aktif dalam mengedukasi non-ahli bedah mengenai teknik insersi chest tube yang tepat dan pengenalan akan komplikasinya. Dalam suatu studi dengan menggunakan CT scanning, malposisi chest tube didapatkan pada 26% pasien.(12) 16
1. Fungsi WSD sebagai alat(6,10) 1. Diagnostik 2. Terapetik 3. Follow-up 2. Tujuan : 1. Evakuasi darah/udara 2. Pengembangan paru maksimal 3. Untuk tujuan follow up penyakit 3. Indikasi pemasangan chest tube + WSD antara lain adalah pneumotoraks, hemotoraks, empiema, effusi pleura, pasca operasi torakotomi dll B. Trauma Jantung (6,12) Tamponade Jantung Patofosiologi tamponade jantung berasal dari akumulasi darah yang segera (150-200 cc) di dalam perikardium, yang menyebabkan ekualitas pada tekanan akhir diastole pada keempat ruang jantung. Diagnosis fisis dapat memperlihatkan pulsus paradoksus atau trias Beck – peningkatan tekanan vena sentral, bunyi jantung menjauh, dan penurunan tekanan arteri (hipotensi).(6) Pada ekg dapat memperlihatkan penurunan voltase pada semua lead. Foto toraks tidak sering memperlihatkan siluet jantung yang membesar karena perikardium tidak teregang akibat akumulasi cairan. Tamponade jantung dapat dikonfirmasi dengan memasukkan karteter Swan-Ganz melalui ruang jantung kanan untuk mendapat tekanan pada atrium kanan, ventrikel kanan dan pada posisi wedge untuk memperkirakan tekanan atrium kiri. Tekanan diastol yang sama besarnya pada semua daerah di atas dapat mengkonfirmasi diagnosis tamponade.(6) Terapi awal tamponade jantung adalah dengan mengaspirasi darah dari rongga perikardium untuk memungkinkan aliran darah ke dalam jantung. Respon tekanan darah yang dramatis dapat diperoleh dengan mengeluarkan 20-25 ml darah dari perikardium. Dulu, beberapa cedera
17
jantung akibat pisau ditangani hanya dengan aspirasi perikardial saja; namun standar saat ini adalah mengeksplorasi seluruh cedera jantung, dengan sternotomi midline.(6)
C. Trauma Diafragma (6,12) Hernia Diafragmatika Hingga saat ini, kebanyakan hernia diafragmatika adalah karena trauma penetrasi akibat perkelahian dan biasanya berakibat fatal. Meskipun pada beberapa kasus cedera diafragma masih tetap dilaporkan 88% sebagai akibat trauma penetrasi. Angka mortalitas akibat trauma tumpul diafragma dilaporkan berkisar antara 14-20%. Organ-organ yang paling sering mengalami herniasi sesuai urutannya adalah: lambung, kolon, usus kecil, limpa, omentum, hepar, dan ginjal.(6) Setiap cedera penetrasi setianggi ruang interkostal 4 dapat menembus diafragma dan menyebabkan cedera intraperitoneal. Dua pemeriksaan fisis yang paling sering ditemukan pada ruptur diafragma adalah hilangnya suara napas pada sisi cedera dan adanya tanda akut abdomen. Penangan pada ruptur diafragma NGT harus digunakan untuk mendekompresi
lambung
sementara
pasien
disiapkan
untuk
pembedahan. Pendekatan operatif untuk cedera diafragmatik akut biasanya melalui abdomen sehingga cedera terkait misalnya robekan pada hepar atau limpa dapat ditangani. Hernia diafrgamatika kronis biasanya ditangani dengan inisisi torakotomi untuk membebbaskan adhesi yang akan sulit ditangani bila dibuka dari abdomen.(6)
18
D. Trauma Esofagus (6,12) Cedera Esofagus Meskipun relatif jarang, akibat dari cedera esofagus yang terluput dapat menyebabkan kematian lanjut hampir sebesar 100%, bergantung pada lokasi cedera dan jumlah kebocoran dari lumennya. Esofagus merupakan saluran muskular berlubang tanpa lapisan serosa, sehingga lemah secara struktural. Terletak dekat dengan jaringan ikat longgar di leher dan mediastinum. Bila ada ruptur atau perforasi, maka infeksi dapat menyebar ruang fascia retrovisceral (prevertebral) pada regio faring. Oleh karena cedera yang lebih berat sering terjadi, penyebabnya sering tidak disadari sebelum terjadi sepsis ireversibel. Cedera pada esofagus pada pasien trauma meliputi dua klasifikasi utama: (a) cedera dari luar yang meliputi cedera penetrasi dan remuk dan (b) cedera dari dalam berupa cedera instrumentasi dan peningkatan mendadak tekanan intralumen.(6)
19
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 HASIL Dari hasil studi restrospektif yang dilakukan diperoleh data penderita Trauma toraks yang datang ke UGD serta mendapat perawatan di RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo dari tahun 2006 sampai 2009 sebanyak 360 pasien dengan rata-rata 90 pasien per tahun
Tabel 1. Distribusi Jumlah Kasus Trauma Toraks di RS Wahidin Sudirohusodo periode Tahun 2006-2009
20
Di Calgary Canada, Alberta Trauma Registry melaporkan pada tahun 2003 tercatat 325 kasus trauma toraks per tahun. 14 Di Surabaya angka yang tercatat di RS Dr. Soetomo terdapat 149 kasus trauma toraks per tahun. Di FKUI Jakarta tercatat sejak tahun 1981 insiden trauma toraks sebesar 16,8% dari seluruh kasus trauma.10 Sedangkan Di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar sendiri selama periode tahun 2006-2009 tercatat sebanyak 360 kasus pasien trauma toraks dengan rata-rata penderita yang dirawat sebanyak 90 pasien per tahun.
Tabel 2. Distribusi Umur Kasus Trauma toraks di RS Wahidin Sudirohusodo periode Tahun 2006-2009
Berdasarkan distribusi umur, pasien trauma toraks yang mendapat perawatan di RS. Dr.Wahidin Sudirohusodo selama tahun 2006 – 2009 terbanyak adalah pada golongan umur 25 – 44 tahun (43,6%) dan paling sedikit pada golongan umur > 65 tahun (3,5 %). Sesuai dengan insiden yang terjadi di Amerika Serikat dimana prevalensi umur paling banyak
21
terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Di Calgary Canada Alberta Trauma Registry melaporkan bahwa insiden terbanyak adalah pada golongan umur 15 â&#x20AC;&#x201C; 64 tahun (85,5%) dan paling sedikit pada golongan umur > 65 tahun (14,5%).14 Di FKUI RSCM trauma toraks dengan prevalensi tertinggi ditemukan pada usia < 12 tahun dan di atas 60 tahun.10 Tabel 3. Distribusi kasus Trauma Toraks di RSWS Periode tahun 2006-2009 : Berdasarkan Jenis kelamin
Berdasarkan distribusi jenis kelamin, pasien yang datang ke RS. Dr.Wahidin Sudirohusodo selama periode 2006 â&#x20AC;&#x201C; 2009 adalah pria 306 pasien (85,3%) sedangkan wanita hanya 54 pasien (14,7%). Kasus yg terjadi di Makassar dilaporkan pria : wanita = 5,6 : 1 disebabkan karena aktifitas kegiatan dan mobilitas tinggi dalam berkendara serta bekerja. Tidak ada laporan yang jelas mengenai prevalensi berdasarkan jenis kelamin pada trauma toraks.
22
Tabel 4. Distribusi kasus Trauma Toraks di RS Wahidin Sudirohusodo Berdasarkan Jenis Trauma
Berdasarkan distribusi dari jenis trauma yang terjadi di RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar untuk trauma tumpul toraks adalah sebanyak 333 kasus (92,5%) sedangkan untuk trauma toraks penetrans sebanyak 27 kasus (7,5%). Stockinger and Mc Swain (2004) di Tulaena university Amerika Serikat melaporkan 583 kasus trauma thoraks, 338 pasien (57,8%) dengan trauma tajam sedangkan trauma tumpul 192 pasien (32,9%).12 Alberta Trauma Registry di Calgary Canada dalam penelitian tahun 2003 menyatakan bahwa dari 325 pasien insiden trauma tumpul toraks sebanyak 94,8% sedangkan sisanya 4,6% adalah trauma tajam.14 Demetriades dkk (2004) melaporkan insiden trauma tumpul thoraks sebesar 65% dan trauma thoraks penetrans 35%. 12 Di FKUI RSCM dilaporkan sebanyak 18,8% merupakan trauma thoraks, 8% dengan trauma tumpul dan 8,8% dengan trauma tajam.10
Tabel 5. Distribusi kasus Trauma Torax di RS Wahidin Sudirohusodo Berdasarkan etiologi penyebab trauma
23
Berdasarkan distribusi etiologi dan penyebab trauma toraks, pasien yang datang ke RS. Dr.Wahidin Sudirohusodo selama periode 2006 â&#x20AC;&#x201C; 2009 penyebab terbanyak pada trauma tumpul toraks adalah akibat kecelakaan lalu lintas sebanyak 274 kasus (76,1%) dan paling sedikit adalah akibat tindak kekerasan seperti dipukul oleh benda keras/tumpul 2,7%. Keadaan ini sesuai dengan kepustakaan bahwa sekitar 70%-80% kasus trauma toraks merupakan trauma tumpul dan terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.2 Di FKUI RSCM etiologi penyebab trauma toraks di Jakarta juga adalah akibat kecelakaan lalu lintas 63%-78%.10
Tabel 6. Distribusi kasus Trauma Toraks di RS Wahidin Sudirohusodo Berdasarkan Lokasi Trauma
24
Berdasarkan distribusi lokasi trauma didapatkan hasil yang hampir sama yakni untuk hemitoraks dekstra 138 kasus (38,3%) dan hemitoraks sinistra 125 kasus (34,7%) sedangkan untuk jejas bilateral sebanyak 40 kasus (11,1%). Tidak ada laporan yang jelas mengenai prevalensi berdasarkan lokasi trauma pada trauma toraks. Mustakim Fauzi, dkk (2009) dari RS. Moh. Hoesen Palembang melaporkan bahwa terdapat 45,1% cedera pada hemithorax sinistra, 35,3% cedera pada hemithorax dekstra, 15,8 cedera pada abdomen dan hanya 3,6% cedera bilateral.
25
Tabel 7. Distribusi kasus Trauma Toraks di RS Wahidin Sudirohusodo yang dilakukan Tindakan Operasi :
Berdasarkan distribusi kasus trauma toraks dari 360 pasien 111 kasus (30,83%) dipasang WSD chest tube, 6 kasus (1,66%) menjalani operasi thoracotomy, dan masing-masing 3 kasus (0,83%) menjalani operasi thoraco-laparomoty dan pericardiotomy. Sedangkan 229 kasus (63,6%) tidak dipasang chest tube dan hanya mendapat penanganan terapi konservatif. Ini sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan bahwa hanya 15%-30% penderita trauma tumpul toraks yang memerlukan tindakan operasi, jadi sebagian besar hanya memerlukan tindakan sederhana.3 Washington (1985) dan Richardson (1996) menyebutkan bahwa 85% pasien trauma toraks dapat sembuh tanpa tindakan operasi. Dan hanya 15% saja yang membutuhkan tindakan thoracotomy.12
26
Tabel 8. Distribusi kasus Trauma Toraks di RSWS Berdasarkan indikasi Pemasangan WSD (Chest tube ) :
Distribusi kasus trauma toraks berdasarkan indikasi pemasangan chest tube di RS Wahidin Sudirohusodo Makassar yang terbanyak adalah dari 131 pasien terdapat 60 pasien dengan hemothoraks (45,8%) dan yang paling sedikit adalah effusi pleura dan tension pneumothorax masing-masing hanya 3 pasien (2,29%) sedangkan sebanyak 11 pasien (8,39%) menolak tindakan. Alberta Trauma Registry di Calgary Canada melaporkan bahwa sebanyak 134 pasien (41,2%) dengan pneumotorax, 45 pasien (13,8%) hemopneumothorax, 29 pasien (8,9%) hemothorax dan hanya 2,5% (8 pasien) dengan tension pneumothorax.14 Di FKUI RSCM Jakarta dilaporkan bahwa sebanyak 38% pasien disertai pneumotoraks, 42% disertai hemothorax dan 69% pasien yang disertai flail chest. Sedangkan Landercasper melaporkan 13% kematian pasien di Rumah Sakit yang disertai flail chest.10
27
Tabel 9. Distribusi kasus Trauma Toraks di RSWS antara yg disertai atau TIDAK disertai dengan trauma lain :
Distribusi kasus trauma toraks kebayakan disertai dengan trauma pada organ lain. Dari 360 kasus trauma toraks didapatkan 115 kasus (31,94%) yang disertai dengan cedera kepala, 24,4% disertai dengan cedera pada tulang wajah, 17,5% disertai dengan cedera ekstremitas, 15,1% disertai dengan cedera traktus digestivus dan hanya 10% yang cedera pada thorax/jantung saja. Sedangkan yang paling sedikit dilaporkan adalah trauma toraks yang disertai trauma urogenital sebanyak 4 kasus atau hanya (1,17%) semuanya adalah trauma ginjal. Di Amerika Serikat dilaporkan dari 372 kasus trauma toraks per tahun 27% disertai cedera ekstremitas, 24% disertai cedera traktus digestivus dan 15% yang disertai cedera otak. Di RS. Dr. Soetomo Surabaya tercatat 149 kasus trauma toraks per tahun dimana 19% disertai cedera ekstremitas, 14% disertai cedera otak dan 9% yang disertai cedera traktus digestivus.
28
Di Calgary Canada, Alberta (2003) melaporkan dari 325 pasien trauma thorax per tahun 65,8% yang disertai cedera otak, 60,3% disertai dengan cedera ekstremitas termasuk fraktur pelvis, 42,5% disertai cedera traktus digestivus, 37,5% disertai dengan cedera kulit termasuk luka bakar, 20,6% disertai cedera tulang wajah, dan hanya 10% yang cedera pada
thorax/jantung
saja.14
Richardson
(1974)
dalam
tulisannya
melaporkan bahwa dari 55 pasien trauma thorax yang disertai fraktur costa 64% disertai laserasi paru, 33% perlu dilakukan laparotomy eksplorasi, 14% disertai trauma jantung, 78% disertai cedera ekstremitas, dan 53% disertai cedera otak.10
Tabel 10. Distribusi kasus Trauma Toraks di RSWS Berdasarkan jumlah pasien yg Sembuh, Meninggal, dan Pulang Paksa :
Berdasarkan distribusi pasien trauma toraks dari 360 kasus trauma toraks
yang
terjadi selama
periode
2006-2009
di
RS. Wahidin
Sudirohusodo sebanyak 279 pasien (77,5%) dinyatakan sembuh dan di
29
ijinkan pulang. Sebanyak 21 pasien (5,83%) meninggal. Sebanyak 60 pasien (17,7%) pasien minta pulang paksa atau menolak untuk ditindaki lebih lanjut. Di FKUI RSCM Jakarta dilaporkan Mortalitas yang disertai fraktur iga 1,8%. Sedangkan bila disertai flail chest meningkat 3,9%. Angka Mortalitas akibat trauma thorax meningkatkan resiko kematian dari 27% menjadi 33%. Sedangkan bila disertai pneumothorax akan meningkatkan resiko kematian sebesar 38%, hemothorax 42%, kontusio paru 56% dan flail chest 69%.10 Landercasper melaporkan 13% kematian di RS pada pasien yang disertai flail chest. Di atas usia 65 tahun sebesar 29% dan bila di bawah usia 65 tahun hanya 7%.10 Demetriades dkk (2004) melaporkan dari 2648 pasien trauma thoraks 7,8% kematian akibat trauma tumpul dan 4% karena trauma penetrans. Sebanyak 979 pasien (2,9%) meninggal saat tiba di RS, 117 pasien (12%) dengan tanda-tanda syok hipovolemik berhasil selamat setelah surgical resusitasi, tetapi (77%) setelah resusitasi meninggal setelah 1 s/d 6 jam (17%) antara 6 s/d 24 jam, (3%) antara 24 s/d 72 jam dan (3%) setelah 72 jam (yang terakhir dikatakan Mortality Rate = 100%).12
3.2 PEMBAHASAN Di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar selama periode tahun 2006-2009 tercatat sebanyak 360 kasus pasien trauma toraks dengan rata-rata penderita yang dirawat sebanyak 90 pasien per tahun. Insiden yang terjadi di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 150.000 kasus kematian per tahun.12 Diperkirakan 1 dari 4 merupakan penyebab kematian yang disebabkan karena trauma toraks (LoCicero dan Mattox 1989).12 Di Calgary Canada, Alberta Trauma Registry melaporkan pada tahun 2003 tercatat 325 kasus trauma toraks per tahun.14 Di Indonesia sendiri belum ada angka yang jelas tentang laporan kasus kematian yang disebabkan oleh trauma toraks. Di Amerika Serikat tercatat 372 kasus per tahun. Di Surabaya angka yang tercatat di RS Dr. Soetomo terdapat 149 kasus trauma toraks per tahun. Di FKUI Jakarta
30
tercatat sejak tahun 1981 insiden trauma toraks sebesar 16,8% dari seluruh kasus trauma.10 Berdasarkan distribusi umur, pasien trauma toraks yang mendapat perawatan di RS. Dr.Wahidin Sudirohusodo selama tahun 2006 â&#x20AC;&#x201C; 2009 terbanyak adalah pada golongan umur 25 â&#x20AC;&#x201C; 44 tahun (43,6%) kemudian paling sedikit pada golongan umur > 65 tahun (3,5 %). Bila dilihat dari penyebab insiden terjadinya trauma toraks yang terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan terjadi pada usia produktif. Hal ini terjadi karena aktifitas serta mobilitas yg tinggi di dalam berkendara dan pekerjaan serta sesuai dengan insiden yang terjadi di Amerika Serikat dimana prevalensi umur paling banyak terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Di Calgary Canada Alberta Trauma Registry melaporkan bahwa insiden terbanyak adalah pada golongan umur 15 â&#x20AC;&#x201C; 64 tahun (85,5%) dan paling sedikit pada golongan umur > 65 tahun (14,5%).14 Di FKUI RSCM trauma toraks dengan prevalensi tertinggi ditemukan pada usia < 12 tahun dan di atas 60 tahun.10 Berdasarkan distribusi jenis kelamin, pasien yang datang ke RS. Dr.Wahidin Sudirohusodo selama periode 2006 â&#x20AC;&#x201C; 2009 adalah pria 306 pasien (85,3%) sedangkan wanita hanya 54 pasien (14,7%). Tidak ada laporan yang jelas mengenai prevalensi berdasarkan jenis kelamin pada trauma toraks. Kasus yg terjadi di Makassar dilaporkan pria : wanita = 1 : 5,6 disebabkan karena aktifitas kegiatan dlm pekerjaan dan mobilitas tinggi dlm berkendara khususnya pengendara sepeda motor. Berdasarkan distribusi dari jenis trauma yang terjadi di RS Wahidin Sudirohusodo Makassar untuk periode tahun 2006-2009 trauma tumpul toraks adalah 333 kasus (92,5%) sedangkan untuk trauma toraks penetrans sebanyak 27 kasus atau hanya sekitar (7,5%) saja. Stockinger and Mc Swain (2004) melaporkan dari 338 pasien hanya 0,9% dengan trauma tajam sedangkan trauma tumpul 62% dari 192 pasien.12 Alberta Trauma Registry di Calgary Canada dalam penelitian tahun 2003 menyatakan bahwa dari 325 pasien insiden trauma tumpul toraks sebanyak 94,8% sedangkan sisanya sebanyak 4,6% adalah trauma
31
tajam.14 Demetriades dkk (2004) melaporkan insiden trauma tumpul thoraks sebesar 65% dan trauma thoraks penetrans 35%. 12 Di FKUI RSCM dilaporkan sebanyak 8% dengan trauma tumpul dan 8,8% dengan trauma tajam.10 Berdasarkan distribusi etiologi dan penyebab trauma toraks, pasien yang datang ke RS. Dr.Wahidin Sudirohusodo selama periode 2006 â&#x20AC;&#x201C; 2009 penyebab terbanyak trauma tumpul toraks adalah kecelakaan lalu lintas sebanyak 274 kasus (76,1%) dan paling sedikit adalah akibat kekerasan atau dipukul oleh benda keras/tumpul biasanya akibat perkelahian sebanyak 10 kasus (2,7%). Hampir sebagian besar insiden terjadi adalah pengendara motor yang tidak memakai helm atau memakai helm standar yg tidak terkancing. Sedangkan pada trauma toraks penetrans hanya sebanyak 27 kasus (7,5%) dan yang terbanyak adalah akibat luka tusuk atau luka tikam sebanyak 21 kasus dan luka bacok 2 kasus, luka karena terkena busur panah 3 kasus dan luka tembak karena senapan angin 1 kasus. Keadaan ini sesuai dengan kepustakaan bahwa sekitar 70%-80% kasus trauma toraks merupakan trauma tumpul dan terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.2 Di FKUI RSCM etiologi penyebab trauma toraks di Jakarta juga adalah akibat kecelakaan lalu lintas 63%78%.10 Berdasarkan distribusi lokasi trauma untuk kasus trauma toraks tidak didapatkan perbedaan yang signifikans serta didapatkan hasil yang hampir sama yakni untuk hemitoraks dekstra 138 kasus (38,3%) sedangkan pada hemitoraks sinistra 125 kasus (34,7%) sedangkan untuk jejas bilateral sebanyak 40 kasus (11,1%). Tidak ada laporan yang jelas mengenai prevalensi berdasarkan lokasi trauma pada trauma toraks. Mustakim Fauzi, dkk (2009) dari RS. Moh. Hoesen Palembang melaporkan bahwa terdapat 45,1% cedera pada hemithorax sinistra, 35,3% cedera pada hemithorax dekstra, 15,8 cedera pada abdomen dan hanya 3,6% cedera bilateral.
32
Berdasarkan distribusi kasus trauma toraks dari 360 pasien terdapat 111 pasien (30,83%) yang dipasang atau mempunyai indikasi untuk dipasang chest tube WSD. Sebanyak 6 pasien (1,66%) menjalani operasi thoracotomy, dan masing-masing sebanyak 3 pasien (0,83%) pasien
menjalani
operasi
thoraco-laparotomy
dan
pericardiotomy.
Sedangkan 229 pasien (63,6%) tidak dipasang chest tube dan hanya mendapat penanganan terapi konservatif. Ini sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan bahwa hanya 15%-30% penderita trauma tumpul toraks yang memerlukan tindakan operasi baik itu pemasangan chest tube WSD maupun operasi, jadi sebagian besar hanya dengan penanganan non operatif.3 Washington (1985) dan Richardson (1996) menyebutkan bahwa 85% pasien trauma toraks dapat sembuh tanpa tindakan operasi. Dan hanya 15% saja yang membutuhkan tindakan thoracotomy.12 Distribusi kasus trauma toraks berdasarkan indikasi pemasangan WSD chest tube di RS Wahidin Sudirohusodo Makassar yang terbanyak adalah dari 131 pasien terdapat 60 pasien dengan hemothoraks (45,8%) kemudian 34 pasien (25,9%) dengan pneumotoraks, 18 pasien (13,7%) dengan hemopneumotoraks, sedangkan yang paling sedikit masingmasing sebanyak 3 pasien (2,29%) dengan tension pneumotoraks dan effusi pleura. Sedangkan sebanyak 11 pasien atau (8,39%) menolak tindakan. Alberta Trauma Registry di Calgary Canada melaporkan bahwa sebanyak 134
pasien
(41,2%) pneumotorax,
45
pasien
(13,8%)
hemopneumothorax, 29 pasien (8,9%) hemothorax dan hanya 8 pasien (2,5%) dengan tension pneumothorax.14 Di FKUI RSCM Jakarta dilaporkan bahwa sebanyak 38% pasien disertai pneumotoraks, 42% disertai hemothorax dan 69% pasien yang disertai flail chest. Sedangkan Landercasper melaporkan 13% kematian pasien di Rumah Sakit yang disertai flail chest.10
33
Berdasarkan distribusi kasus trauma toraks selama periode 20062009 kebayakan cedera akibat trauma toraks disertai dengan trauma pada organ lain. Dari 360 kasus trauma toraks didapatkan 115 kasus (31,94%) yang disertai dengan cedera kepala, 88 kasus (24,4%) yang disertai cedera tulang wajah (maksilofasial) dan didapatkan 63 kasus (17,5%) yang disertai trauma extremitas dan umumnya cedera extremitas yang terjadi adalah multipel fraktur. Kemudian yang disertai dengan trauma traktus digestivus sebanyak 54 kasus (15,1%). Trauma thoraks sendiri didapatkan sebanyak 36 kasus (10%). Sedangkan yang paling sedikit dilaporkan adalah trauma toraks yang disertai trauma urogenital sebanyak 4 kasus atau hanya (1,17%) semuanya ada trauma ginjal 2 diantaranya telah dilakukan Nefrektomi. Di Amerika Serikat dilaporkan dari 372 kasus trauma toraks per tahun 27% disertai cedera ekstremitas, 24% disertai cedera traktus digestivus dan 15% yang disertai cedera otak. Di RS. Dr. Soetomo Surabaya tercatat 149 kasus trauma toraks per tahun dimana 19% disertai cedera ekstremitas, 14% disertai cedera otak dan 9% yang disertai cedera traktus digestivus. Di Calgary Canada, Alberta (2003) melaporkan dari 325 pasien trauma thorax per tahun 65,8% yang disertai cedera otak, 60,3% disertai dengan cedera ekstremitas termasuk fraktur pelvis, 42,5% disertai cedera traktus digestivus, 37,5% disertai dengan cedera kulit termasuk luka bakar, 20,6% disertai cedera tulang wajah, dan hanya 10% yang cedera pada
thorax/jantung
saja.14
Richardson
(1974)
dalam
tulisannya
melaporkan bahwa dari 55 pasien trauma thorax yang disertai fraktur costa 64% disertai laserasi paru, 33% perlu dilakukan laparotomy eksplorasi, 14% disertai trauma jantung, 78% disertai cedera ekstremitas, dan 53% disertai cedera otak.10 Dari 360 kasus trauma toraks yang terjadi selama periode 20062009 di RS Wahidin Sudirohusodo terdapat 279 (77,5%) pasien dinyatakan sembuh serta di ijinkan pulang. Baik yang telah mendapat penanganan
konservatif
maupun
yang
telah
dilakukan
tindakan
34
pemasangan WSD chest tube serta telah menjalani perawatan. Semua dinyatakan baik setelah 3 hari berturut-turut produksi cairan WSD sudah kurang dari 50cc dan sudah tidak terdapat undulasi pada selang maupun botol WSD. Semua pasien di pulangkan dengan keadaan umum baik dan hasil foto kontrol sudah tidak terdapat cairan pada paru-paru dan sudah dicabut selang chest tubenya. Sebanyak 21 kasus (5,83%) pasien meninggal dan 11 kasus (52,3%) diantaranya
meninggal sebelum 24 jam sedangkan 10 kasus
(47,7%) meninggal lebih dari 24 jam. Umumnya pasien masuk RS dengan keluhan kesadaran menurun sebanyak 14 pasien dan 7 pasien masuk dengan keluhan sesak atau nyeri dada. Sebagian besar kasus disertai dengan trauma kepala dan hampir seluruhnya disertai dengan trauma ekstremitas. Pada semua kasus didapatkan cedera multiple yang umumnya disertai dengan trauma lain. Di FKUI RSCM Jakarta dilaporkan Mortalitas yang disertai fraktur iga 1,8%. Sedangkan bila disertai flail chest meningkat 3,9%. Angka Mortalitas akibat trauma thorax meningkatkan resiko kematian dari 27% menjadi 33%. Sedangkan bila disertai pneumothorax akan meningkatkan resiko kematian sebesar 38%, hemothorax 42%, kontusio paru 56% dan flail chest 69%.10 Landercasper melaporkan 13% kematian di RS pada pasien yang disertai flail chest. Di atas usia 65 tahun sebesar 29% dan bila di bawah usia 65 tahun hanya 7%.10 Demetriades dkk (2004) melaporkan dari 2648 pasien trauma thoraks 7,8% kematian akibat trauma tumpul dan 4% karena trauma penetrans. Sebanyak 979 pasien (2,9%) meninggal saat tiba di RS, 117 pasien (12%) dengan tanda-tanda syok hipovolemik berhasil selamat setelah surgical resusitasi, tetapi (77%) setelah resusitasi meninggal setelah 1 s/d 6 jam (17%) antara 6 s/d 24 jam, (3%) antara 24 s/d 72 jam dan (3%) setelah 72 jam (yang terakhir dikatakan Mortality Rate = 100%).12 Dari 360 pasien trauma toraks yang dilaporkan selama tahun 2006-2009 terdapat 60 pasien (16,6%) pasien yang minta pulang paksa atau menolak untuk ditindaki lebih lanjut. Dan dari 111 pasien yang
35
mempunyai indikasi untuk dilakukan tindakan pemasangan chest tube WSD terdapat 6 pasien (5,45%) yang menolak untuk ditindaki. Kebanyakan alasan dari pasien adalah karena mereka tidak tahu atau kurang paham tentang tindakan apa yang dilakukan serta akibat inform concern yang kurang baik dan kurang jelas terhadap keluarga pasien. Hanya beberapa diantaranya tidak setuju untuk ditindaki karena alasan biaya.
36
BAB IV PENUTUP
4.1. KESIMPULAN 1. Selama periode tahun 2006-2009 tercatat sebanyak 360 pasien trauma toraks dengan rata-rata penderita yang dirawat sebanyak 90 pasien per tahun. 2. Rata-rata umur penderita yang terbanyak adalah pada usia produktif 25 â&#x20AC;&#x201C; 44 tahun (43,6%) karena aktifitas kegiatan serta mobilitas yang tinggi dalam berkendara dan pekerjaan. 3. Tidak ada laporan yang jelas menyebutkan mengenai prevalensi berdasarkan jenis kelamin. Di RS Wahidin Sudirohusodo Makassar dilaporkan pria : wanita = 1: 5,6. 4. Insiden kasus trauma toraks sebagian besar disebabkan oleh trauma
tumpul
70%-80%
sedangkan
untuk
trauma
toraks
penetrans 10%-20%. Di Makassar insiden yang terjadi untuk trauma tumpul toraks > 92,5% sedangkan untuk trauma toraks penetrans 7,5%. 5. Kebanyakan kasus trauma toraks di RSWS Makassar (76,1%) disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas penyebab terbanyak adalah karena tidak memakai helm atau memakai helm standar yg tidak terkancing dengan baik. Juga akibat etika yang kurang baik di dalam berkendara seperti balapan liar atau mengemudi dengan ugal-ugalan dengan batas kecepatan yang melebihi batas kecepatan maksimum. 6. Tidak ada perbedaan yang signifikans pada lokasi trauma pada kasus trauma toraks. Di RSWS Makassar dilaporkan terdapat (38,3%) pada hemithorax dekstra, (34,7%) pada hemithorax sinistra, dan (11,1%) pada thorax bilateral. 7. Sebagian besar penatalaksanaan pada penderita trauma toraks adalah dengan konservatif Di Makassar sebagian besar pasien mendapat penanganan konservatif (67,5%) sedangkan
kasus
37
ditindaki dengan pemasangan WSD chest tube (30,83%). Juga sebanyak (1,66%) menjalani operasi thoracotomy dan masingmasing
(0,83%)
menjalani
operasi
thoraco-laparotomy
dan
pericardiotomy. 8. Berdasarkan indikasi pemasangan WSD chest tube di dapatkan bahwa yang terbanyak adalah hemotoraks (45,8%), pneumotoraks (25,9%), dan hemopneumotoraks (13,7%). 9. Sebagian besar trauma toraks biasanya disertai dengan trauma pada organ lain. Di Makassar hampir sebagian besar kasus trauma toraks disertai dengan cedera kepala (31,94%) dan umumnya pasien masuk dengan keluhan kesadaran menurun. Kemudian banyak pula dilaporkan trauma toraks yang disertai cedera maksilofasial sebanyak (24,4%). Kemudian hal yang penting dan patut dilaporkan adalah trauma toraks yang disertai dengan trauma ekstremitas
(17,5%)
terutama
multiple
fraktur
dan
trauma
digestivus (15,1%). Ke-2 kasus ini selain menyebabkan cedera dan komplikasi yang sangat
serius juga
merupakan
penyebab
mortalitas yang tinggi dari angka kematian. Sedangkan cedera thorax/jantung saja sebanyak (10%). 10. Mortalitas trauma toraks bila disertai dengan trauma pada organ lain lebih tinggi. Berdasarkan evaluasi kasus kematian terdapat (5,83%) kasus trauma toraks yang terjadi di Makassar semua adalah cedera organ multipel. Sebanyak 11 pasien meninggal sebelum 24 jam (52,3%) dan umumnya masuk dengan keluhan kesadaran menurun. Hampir sebagian besar kasus disertai dengan trauma kepala dan trauma ekstremitas. Penyebab kematian pada umunya adalah akibat syok hipovolemik. Sedangkan pada 10 pasien yang meninggal setelah 24 jam (47,7%) umumnya penyebab kematian adalah syok hipovolemik atau syok septik dengan beberapa komplikasi seperti Acute Renal Failure, ARDS, MOF, bahkan SIRS. Semua pasien meninggal setelah mendapat perawatan di ICU.
38
11. Pengambilan keputusan dirasakan sangat penting khususnya di dalam menentukan tindakan segera dalam penanganan kasuskasus pasien trauma toraks. Inform concern yang cepat, cermat, jelas dan terarah sangat diperlukan khususnya untuk tindakan emergency agar supaya pasien dan keluarganya dapat mengerti tindakan apa yang akan dilakukan terhadapnya.
4.2. SARAN Untuk memberikan gambaran data yang akurat maka hendaknya perlu dilakukan pengambilan data di beberapa Rumah Sakit lain atau jejaring selain di RS. Wahidin Sudirohusodo dan perlu pembenahan dari sistem pencacatan rekam medis yang lebih lengkap pada status penderita baik yang datang ke UGD maupun pasien yang kontrol setelah berobat jalan ke poliklinik Bedah, untuk memungkinkan pengambilan data yang lebih lengkap. Sangat diperlukan inform consern yang jelas dan terarah pada setiap tindakan yang akan dilakukan pada pasien trauma thorax yang akan dilakukan baik indikasi maupun komplikasi yang mungkin terjadi. Peran Rumah Sakit hendaknya perlu lebih ditingkatkan lagi di dalam melaksanakan semua kegiatan khusunya di dalam penanganan pasien-pasien trauma dan non trauma bukan saja setelah pasien tiba di ruang UGD akan tetapi dalam fase pra rumah sakit mengingat RS. Wahidin Sudirohusodo merupakan Rumah Sakit Tipe A serta merupakan pusat rujukan dan terbesar di kawasan wilayah Indonesia Bagian Timur.
39
40