Aceh dan papua, satu skema penguasaan asing

Page 1

27-07-2015

Aceh dan Papua, Satu Skema Penguasaan Asing? Penulis : Kusairi Muhamad, Pemerhati Politik Indonesia Munculnya peristiwa Tolikara di Papua telah memberi pelajaran banyak hal. Peristiwa yang diletupkan lewat pendekatan SARA, ternyata memiliki dimensi yang lebih luas. Tidak hanya soal geopolitik dan geoekonomi, tetapi juga masa depan Indonesia dan NKRI. Apabila kita mau tarik ke belakang, skema yang muncul di Papua hampir kongruen (sebangun) dengan apa yang terjadi di Aceh. Ujung ekstremnya sama: tuntutan merdeka. Sebagai jalan untuk membangun posisi sejajar dengan pemerintah pusat demi kepentingan bargaining posisi. Namun hasil minimal yang mau dicapai sesungguhnya adalah pengelolaan wilayah atau rumah tagga sendiri, secara LEBIH (perlu penegasan) otonom. Mengapa muncul keinginan untuk membuat homogen pemeluk agama dan marak bermunculan simbolsimbol Israel, mugkin bisa dipahami dalam kacamata itu. Walaupun dugaan ini sangat mungkin bisa salah. Namanya juga catatan. Barangkali masih ngantuk mencatatnya. Indonesia memang bukan hanya Aceh dan Papua. Masih ada 32 provinsi lagi yang membentang dan melengkapi sebuah negeri yang dkenal sebagai zamrud khatulistiwa ini. Bahkan mungkin bisa lebih, apabila ada lagi kabupaten atau kecamatan yang menuntut berdiri sendiri atau "dimerdekakan". Tetapi dua kutub Indonesia (Sabang-Merauke, Aceh-Papua) ini seakan menjadi simbol sekaligus isyarat ke-Indonesia-an. Bahkan lagu "Dari Sabang sampai Merauke" pun begitu akrab kita dengar dan hafal sedari kecil. Hingga sebuah produk mie instant yang sangat penetratif juga menggunakan idiom "Sabang-Merauke" untuk memberikan isyarat peguasaan produknya atas wilayah Indonesia. "Dari Sabang sampai Merauke, dari Timor sampai ke Talaut....dst". Namun ironisnya, dua daerah, yang begitu akrab dan terabadikan dalam lagu ini, punya sejarah konflik yang cukup panjang. Terutama dengan pemerintah (pusat). Aceh misalnya. Setelah cukup lama konflik dan memunculkan GAM (Gerakan Aceh Merdeka), pada gilirannya mendapatkan "keistimewaan" sebagai daerah khusus atau istimewa. Bahkan Aceh telah "ditetapkan" sebagai daerah yang memberlakukan penerapan syariat Islam. Menjadi solusi atau sekadar "basa-basi" untuk maksud tersembunyi? Allhu'alam. Satu hal yang perlu kita kritisi, tentu saja, segala fenomena dan dinamika yang berkembang di Aceh hingga melahirkan sebuah "daerah istimewa" adalah andilnya campur tangan asing dalam beragam perundingan yang terjadi. Pertanyaannya, apakah negara atau fasilitator "kemerdekaan" atau "keistimewaan" Aceh hanya mau diberikan cek kosong? Agaknya ini yang perlu kita telisik lebih dalam. Lalu bagaimana dengan Papua. Secara umum, Papua sesungguhnya hampir setali tiga uang dengan Aceh. Konflik terus terjadi berkepanjangan. Sebagimana Aceh, Papua pun memunculkan sebuah gerakan separatis yang bernama OPM (Orgaisasi Papua Merdeka). Lewat jaringan dan dukungan asing OPM terus berupaya bahkan "berperang" untuk memperoleh kemerdekaan sendiri di tanah Papua. Campur tangan asing pun di wilayah Papua muncul dari berbagai negara, terutama Belanda dan Amerika.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Aceh dan papua, satu skema penguasaan asing by BEM KM UGM - Issuu