Indonesia Masa Depan Sebagai Negara Maritim Terbesar di Asia (Bag. II) Penulis : Isran Noor, Mantan Bupati Kutai Timur
Pemerintah
Harus
Punya
Ocean
Policy
Di abad 21 ini, negara-negara di dunia yang saling berlomba dalam meningkatkan kekuatan maritimnya masing-masing harus punya Ocean Policy atau Kebijakan strategis tentang kemaritiman. Amerika Serikat dalam membangun kekuatan maritimnya menggunakan slogan: “Kekuatan Maritim Melindungi Cara Hidup Amerika.� Maka kemudian lahirlah A Cooperative Strategy for 21st Century Sea Power, yang dikeluarkan pada Oktober 2007 oleh United States Marine Corps, United States Coast Gudard dan Department of Navy. Dalam membangun aliansi dengan NATO pemerintah AS kemudian membentuk Global Maritime Partnership Initiative yang bertujuan untuk menjaga ketertiban dan perdamaian dunia yang berada dalam pengaruh imperium Amerika. Republik Rakyat Cina (RRC) pun membuat Ocean Policy yang bertumpu pada strategi Rantai Sutra (Chain of Pearl), yang bertujuan untuk membangun dan menyelamatkan urat nadi perdagangannnya lewat laut. India membangun Ocean Policy-nya dengan mengeluarkan Freedom to Use the Seas: Maritime Military Strategy, yang bertujuan untuk meningkatkan pembangunan kekuatan angkatan laut India. Inggris pun demikian, dengan mengeluarkan semboyan Britain Rules the Waves, yang bertujuan untuk membangun kekuatan maritim Inggris dalam menghadapi era globalisasi. Lautan Pasifik Merupakan Pusat Masa Depan Sejarah mencatat bahwa lautan Mediterania merupakan pusat kehidupan masa lalu, Lautan Atlantik merupakan pusat kehidupan masa kini, dan Lautan Pasifik merupakan pusat masa depan. Memasuki 2012 saya melihat adanya tren ke arah perobahan mendasar dalam kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang kemudian diikuti dengan kebijakan strategi keamanan nasionalnya (National Security Strategy). Presiden Barrack Obama pada awal 2012 telah menegaskan bahwa Amerika telah kembali ke Asia, suatu pernyataan yang seolah-olah ingin mengatakan bahwa selama ini(katakanlah selama 2 dekade), Amerika Serikat tidak menaruh perhatian terhadap Asia dan tepian Pasifik pada umumnya. Namun dalam pernyataannya itu, tersirat juga bahwa AS sesungguhnya tidak pernah meninggalkan Asia. Pada kenyataannya, selama dua periode masa jabatannya sebagai Presiden AS, Presiden George W Bush tetap memelihara hubungan baik dengan negaranegara sekutu maupun negara-negara sahabat di kawasan Asia Pasifik sekalipun sedang menghadapi perang di dunia front yaitu Timur Tengah dan Asia Selatan. Kita harus menyadari kenyataan bahwa Asia Pasifik saat ini sedang muncul sebagai pemain utama di bidang politik dan mesin ekonomi global. Negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara hampir menempati sepertiga penduduk dunia, menghasilkan kurang lebih seperempat produksi dunia, dan memproduksi hampur seperempat ekspor global. Pemerintah dan institusi di bawah kontrol pemerintah di Asia menguasai dua pertiga dari cadangan devisa dunia yang berjumlah 6 triliun dolar AS. Sekalipun dunia mengalami krisis finansial, pertumbuhan rata-rata Asia pada dekade terakhir mencapai dua digit. Sistem ekonomi yang menganut orientasi pasar dan keterlibatan secara global ditunjang oleh teknologi yang maju, telah memungkinkan Asia memberikan kontribusi yang besar dalam mengatasi masalah-masalah dunia saat ini.
Perkembangan Pesat Perekonomian Cina Perkembangan ekonomi Cina dan modernisasi kekuatan militernya, mengejutkan banyak pihak. Ketika Cina meningkatkan kemampuan militernya untuk menjamin keamanannya dan menyebarkan instalasi-instalasi militernya secara luas sebagaimana layaknya suatu kekuatan besar, maka keadaan ini akan mengancam keseimbangan kekuatan kontinental maritim yang selama ini ada. Ketika kekuatan militer dikombinasikan dengan pertumbuhan ekonomi, didukung oleh komitmen diplomatik, maka jadilah Cina sebagai pemain utama dalam semua aspek keamanan di Asia. Keberhasilan Cina dalam bidang ekonomi telah menghasilkan keuntungan yang sangat berarti, sehingga mampu membiayai modernisasi angkatan bersenjatanya secara menyeluruh di People’s Liberation Army (PLA). Di Samudera Hindia, Cina sedang mengembangkan infrastruktur militer, yang disebut Pentagon sebagai “Kalung Mutiara,” atau String of Pearl.Sebuah upaya untuk mengelilingi wilayahnya dengan infrastruktur ekonomi dan kekuatan militer dari Pakistan hingga Maladewa. Cina berupaya membangun hubungan persahabatan dan kerjasama dengan mitra-mitranya di Asia Selatan. Hal itu bertujuan untuk menjamin keamanan dan stabilitas regional serta memperluas persekutuan. Sementara itu Iran, melalui proses ekspansi angkatan laut, mengerahkan pasukan maritim semakin jauh dari perairan mereka di Teluk Persia dan Laut Oman. Angkatan Laut Iran menegaskan kembali rencana untuk memperluas kehadirannya di perairan internasional, termasuk Samudera Atlantik, Samudera Pasifik, sebelah selatan Samudera Hindia dan Kutub Selatan. Rusia juga telah memiliki dua pangkalan angkatan laut di luar wilayahnya, salah satunya adalah di pelabuhan Sevastopol Ukraina di Laut Hitam dan yang lainnya adalah di pelabuhan Tartus, Suriah, di Laut Mediterania. Kremlin sekarang melirik Laut Karibia, Laut Cina Selatan, dan pantai timur Afrika(di dekat Teluk Aden) sebagai lokasi yang cook untuk pangkalan bagi Rusia. Kekuatan-kekautan trans-regional ini menyadari bahwa pada dasarnya “perisai rudal global AS” merupakan komponen dari strategi Pentagon untuk mengepung Eurasia dan tiga kekuatan tersebut. Sistem militer itu bertujuan untuk mewujudkan keunggulan nuklir AS dengan menetralisir kemampuan nuklir Rusia maupun Cina. Moskow juga menyadari bahwa AS dan NATO ingin membatasi kehadiran kekuatan maritim Rusia di Laut Hitam dan Laut Mediterania. Barat ingin mengontrol dan membatasi akses maritim Rusia ke Suriah, yang sedang bergolak. Memahami Kerangka Teori Tony Cartalucci Meningkatnya militerisasi di dunia internasional memang semakin mencemaskan. AS dan sekutu-sekutunya sekarang sedang menerapkan teori Tony Cartalucci, Research Associate di Central for Research on Globalization (CRG), Montreal, Kanada. Dalam asumsi Cartalucci: "Matikan Timur Tengah, maka Anda mematikan Cina dan Rusia dan Anda akan menguasai dunia.” Semangat imperialisme AS tampaknya tak hanya mengikuti aliran minyak, tetapi juga formulasi geoekonomi baru yang tumbuh di Asia Pasifik. Langkah dan tindakan AS sekarang memaksa aktor internasional lainnya untuk mendefinisikan dan menilai kembali doktrin militer dan strategi mereka. Perkembangan terkini memang mengisyaratkan terjadinya pergeseran geopolitik dari Timur Tengah menuju Asia Tenggara, khususnya Laut Cina Selatan. Isyarat itu terlihat dari ambisi AS untuk membangun sistem pertahanan rudal di Asia dengan dalih untuk membendung manuver Korea Utara. AS juga mendukung pembentukan ASEAN Security Communituy 2015,
yang terkait isu Laut Cina Selatan. Indonesia di Tengah-Tengah Kehadiran Negara-Negara Adidaya di Asia Pasifik Sekarang, Indonesia berada dalam lingkaran kehadiran negara-negara besar seperti AS, Australia, India dan Cina. Negara-negara tersebut sudah mempunyai visi dan Ocean Policy. Lantas bagaimana dengan Indonesia? Negeri yang dinamakan Zamrud Khatulistiwa, yang kaya akan sumberdaya laut, memiliki ribuan pulau, dengan bentangan luas wilayah yang bagian terbesarnya adalah laut dan posisi geografi yang paling strategis di dunia, sudahkah kita memiliki Ocean Policy yang jelas sebagai jatidiri bangsa yang merupakan penghuni negara kepulauan terbesar di dunia. Kita harus bangkit dan menampilkan sosok kepemimpinan yang mempunyai visi dan strategi yang cerdas dan kreatif untuk keluar dari paradigma agraris tradisional ke arah paradigma maritim yang rasional dan berwawasan global. Maka dari itu, Indonesia, melalui tekad dan itikad para pemimpin dan rakyatnya, harus berani membangun paradigma baru sebagai negara maritim terbesar di Asia. (Bersambung ke bagian III)