10 minute read

Ringkasan Eksekutif

Ini adalah laporan ‘Status Perikanan’ tahunan yang ketiga (2021) dari Konsorsium Kakap yang mencakup tahun 2019-2021. Perikanan kakap merupakan salah satu dari tiga pola dasar perikanan Indonesia yang mendapatkan dukungan pendanaan dari Packard Foundation dan WFF melalui Konsorsium Kakap yang terdiri dari TNC-YKAN, WCS, SFP, dan Ocean Conservancy; dan TLFF yang bergabung pada tahun 2021. Konsorsium bekerja di tingkat nasional dan di lokasi yang ditetapkan di tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di bagian selatan dan barat daya Indonesia (713, 718, dan 573).

Kemajuan diukur dengan menggunakan 18 indikator berdasarkan Teori Perubahan (TOC) dan rencana kerja bersama yang disepakati oleh para anggota Konsorsium. Indikator-indikator tersebut terbagi dalam empat kategori: 1) Kendisi Kesehatan Perikanan; 2) Lembaga, Tata Kelola, Pengelolaan, dan Kebijakan; 3) Prakarsa Industri; and 4) Komunikasi.

Advertisement

Kondisi Kesehatan Perikanan – Indikator A, B, C, D

Hasil dari masing-masing empat indikator yang mengukur status kesehatan perikanan kakap pada tahun 2021 dijelaskan di bawah ini:

Indikator A: Rasio potensi pemihajan (SPR) menggambarkan status kesehatan tiga spesies kakap dan satu spesies kerapu di tiga WPP yang dipilih oleh Konsorsium untuk mewakili perikanan ini. Dengan menggunakan SPR yang dipakai oleh TNC-YKAN sebagai salah satu dari 4 indikator proksi untuk memperkirakan kesehatan stok, SPR 2021 (dinyatakan sebagai % SPR) untuk WPP 713, 718, dan 573, adalah sebagai berikut: Pristipomoides multidens – 11%, 17%, dan 7%; Lutjanus Malabaricus – 8%, 14%, dan 5%; Aphaerus rutilans – 7%, tidak ada tangkapan yang dilaporkan, dan 2%; dan Ephinephelus areolatus – 10%, 18%, dan 14%. Perlu diperhatikan bahwa angka-angka ini merupakan perkiraan dan tidak termasuk bilah kesalahan (error bars).

SPR yang stabil adalah minimal 30% dan 40%, yang menunjukkan status kesehatan stok yang cukup baik. Namun idealnya diperlukan target SPR yang lebih tinggi untuk spesies kakap yang berumur lebih panjang. Dengan sebagian besar stok berada di bawah titik rekrutmen yang terganggu, menunjukkan bahwa perikanan ini ditangkap secara berlebihan. Masih belum ada pengelolaan atau pembatasan yang efektif terhadap perikanan ini sehingga tren penurunan terus berlanjut.

Indikator B: Catch per unit effort (CPUE) atau tangkapan per unit usaha diperkirakan untuk subset alat tangkap prioritas di daerah penangkapan tertentu, yang menunjukkan variabilitas yang cukup besar di seluruh perikanan. Saat ini data yang tersedia tidak dapat menyimpulkan tren apa pun sampai metode tersebut dapat distandarisasi dan setidaknya tersedia data 4 hingga 5 tahun.

Indikator C: Sesuai rencana, kapasitas penangkapan ikan kakap merupakan indikator dua tahunan, dan tidak ada data yang dikumpulkan pada tahun 2020, sehingga untuk indikator ini, digunakan data tahun 2019 dan 2021. Pada tahun 2021, perikanan masih didominasi oleh kapalkapal kecil di bawah 5 GT (kategori nano) sebanyak 8.167 unit. Selain itu, ada 2.075 kapal 5–10 GT (kecil), 1.007 kapal > 10–30 GT (sedang), dan 287 kapal > 30 GT (besar). Ada variabilitas yang cukup besar di seluruh WPP, di mana WPP 713 terutama didominasi oleh kapal berkategori ‘nano’, sementara WPP 718 dan 573 didominasi oleh kapal yang lebih besar. Data juga menunjukkan pengurangan yang nyata dalam kapasitas penangkapan ikan, di mana banyak kapal besar tidak lagi menangkap kakap (kapal besar dengan pancing vertikal). Secara keseluruhan jumlahnya berkurang sebesar 19%, dan pada kapal musiman, terjadi pengurangan sebesar 14%. Sebagai perbandingan, kapal kecil dan menengah telah bergeser ke WPP 573 dan 713, yang menunjukkan peningkatan kapasitas penangkapan masing-masing sebesar 145% dan 63%.

Indikator D: Ketersediaan real time dan penggunaan data pemantauan ikan tingkat nasional dan WPP untuk menginformasikan pengelolaan perikanan kakap harvest strategy menunjukkan keberhasilan, di mana Crew-Operated Data Recording System (CODRS) dari TNC-YKAN dan data tangkapan kakap dari WCS digunakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk melacak status stok di seluruh armada. Semua basis data (database) CODRS TNC-YKAN dan WCS tersebut dapat diakses dan terhubung langsung ke Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) KKP.

Konsorsium ini secara kolektif memiliki salah satu kumpulan data paling komprehensif tentang perikanan kakap Indonesia, yang merupakan perikanan yang kompleks dengan banyak spesies dan banyak alat tangkap yang dapat berfungsi sebagai proksi untuk banyak perikanan lainnya di negara ini. Pencapaian ini merupakan yang pertama bagi perikanan Indonesia dan merupakan tonggak sejarah yang signifikan.

Lembaga, Tata Kelola, Pengelolaan, dan Kebijakan – Indikator E hingga M

Ada sembilan indikator untuk kategori tersebut, dengan hasil tahun 2021 sebagai berikut:

Indikator E: Kemajuan dalam mengadopsi Rencana Pengelolaan Perikanan Kakap Nasional (RPP) oleh pemerintah. RPP tersebut telah dikonsultasikan kepada publik dan ditetapkan melalui Keputusan Dirjen Perikanan Tangkap No. 123/2021. RPP meletakkan dasar bagi Harvest Strategy (di bawah), yang merupakan tonggak kemajuan yang baik yang didukung oleh semua anggota Konsorsium.

Indikator F: Kemajuan penerapan Harvest Strategy Kakap dan Harvest Strategy Kerapu oleh pemerintah untuk setiap WPP Prioritas. Harvest Strategy Kakap (3 spesies) dan Kerapu (4 spesies) untuk WPP 713 telah diselesaikan dan sedang menunggu penetapan dokumen Harvest Strategy melalui SK Dirjen Perikanan Tangkap. Konsorsium telah mendukung pekerjaan ini sampai sekarang, dan para anggota menunggu KKP untuk memprioritaskan lokasi tambahan, di mana proses yang sama direplikasi untuk WPP 573 dan 718 dan spesies lainnya.

Mitra Konsorsium bekerja sama dengan KKP mengusulkan titik acuan target (target reference point - TRP) sebesar 40% dan titik acuan batas (limit reference point - LRP) sebesar 20%. Spesies target utama yang dilacak di sini secara signifikan berada di bawah TRP, dan sebagian berada jauh di bawah LRP. Bahkan dengan memperhitungkan fluktuasi kumpulan data, terlihat jelas bahwa sebagian besar stok kakap dan kerapu secara signifikan berada di bawah TRP, dan sebagian besar jauh lebih rendah dari level kritis (20%). Ada kebutuhan yang mendesak untuk membuat program pemulihan stok secara ilmiah. Waktu pemulihan untuk kakap dan kerapu berkisar antara 5 hingga 50 tahun, sehingga semakin lama penundaan kebijakan dan pengelolaannya, maka semakin sulit pemulihan spesies tersebut. Indikator C menyoroti bahwa pengelolaan bersama perlu dilakukan secara simultan dan paralel di tingkat nasional dan lokal. Distribusi ekstensif nelayan penuh waktu dan musiman di kapal < 5 GT menekankan perlunya kebijakan perizinan nasional yang berkelanjutan.

Indikator G: Kemajuan menuju integrasi sains dan pengetahuan lokal ke dalam Harvest Strategy tingkat WPP. Kegiatan yang relevan dengan indikator ini dimulai tahun lalu. Ada satu pertemuan nasional pada bulan September 2021 tentang Koordinasi Nasional Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP).

Indikator H: Sumber daya dialokasikan untuk kepatuhan dalam WPP 713, 718, dan 573. Tidak ada rencana kepatuhan yang disusun, dan oleh karena itu tidak ada anggaran yang dialokasikan.

Indikator I: Buku putih kebijakan yang didukung oleh pemangku kepentingan. Anggota Konsorsium telah menyusun dua buku putih dan mempresentasikannya di berbagai forum dan KKP. Buku putih masa depan yang ditulis bersama dan disetujui oleh Konsorsium dalam kemitraan dengan Asosiasi Demersal Indonesia (ADI) kemungkinan akan lebih efektif. Makalah tersebut membutuhkan koordinasi yang cermat antara pengelola dan peneliti di dalam KKP. Pada tahun 2021, kedua buku putih ini diadopsi untuk mendukung Dokumen Harvest Strategy Kakap dan Kerapu di WPP 713.

Indikator J: Panel Konsultatif dan Ilmiah Dewan WPP berfungsi dan mencapai milestone. Tidak ada kegiatan rutin pada tahun 2021 karena pandemi COVID19 dan interpretasi yang berbeda di dalam KKP tentang peran panel-panel ini. Satu pertemuan dilakukan tentang review ilmiah untuk kakap dan kerapu di WPP 713. Penundaan yang lama dalam pembentukan Dewan WPP membuat peran mereka mulai dipertanyakan, dan perlu dicari pendekatan-pendekatan alternatif untuk pengelolaan, seperti pendekatan yang diadopsi oleh WCS (dijelaskan lebih detail dalam teks utama).

Indikator K: Peningkatan alokasi sumberdaya untuk pengelolaan kakap di Teluk Saleh. Alokasi dana dari pemerintah provinsi berkurang untuk pengelolaan perikanan di Teluk Saleh karena dialokasikan untuk penanganan COVID19. Anggaran yang ketat pada tahun 2021 dapat dimengerti, tetapi alokasi sumberdaya merupakan indikator kuat keberhasilan jangka panjang, dan semoga anggaran tahun 2022 dapat meningkat.

Indikator L: Peningkatan manajemen pemangku kepentingan lokal dalam pengelolaan perikanan kakap di lokasi WCS. Hasilnya menunjukkan kemajuan tiga organisasi di Teluk Saleh untuk tahun 2021. Untuk Selat Alas, tiga organisasi menunjukkan keterlibatan dalam mengelola perikanan mereka. Pada tahun 2021 tidak ada organisasi baru yang dibentuk untuk Teluk Cempi, Teluk Waworada, dan Selat Sape. Ketiga daerah ini menunjukkan tingkat keterlibatan yang sama seperti pada tahun 2020. Ini merupakan hasil yang baik mengingat terbatasnya interaksi dan pertemuan tatap muka akibat pembatasan COVID19. Secara keseluruhan, anggota kelompok beralih ke pertemuan virtual tetapi perlahan-lahan kembali ke pertemuan tatap muka pada tahun 2022.

Indikator M: Kelompok pengelolaan perikanan provinsi menunjukkan kemajuan menuju pengelolaan adaptif di lima lokasi fokus. Satuan tugas (satgas) provinsi yang dilacak pada tahun 2019 tetap di Tahap 6 (berfungsi dengan baik), dan satgas Selat Alas stabil di Tahap 2 (rencana pengelolaan perikanan diadopsi oleh pemerintah provinsi). Ini adalah hasil yang baik mengingat interaksi dan pertemuan tatap muka yang terbatas karena pandemi COVID19. Secara keseluruhan, anggota kelompok beralih ke pertemuan virtual tetapi perlahan-lahan kembali ke pertemuan tatap muka pada tahun 2022.

Prakarsa Industri – Indikator N, O, P, Q

Ada empat indikator untuk kategori tersebut, dengan hasil tahun 2021 sebagai berikut:

Indikator N: ADI mengadopsi rencana bisnis dan secara aktif mematuhi kode etik. ADI telah mengalami kemajuan yang signifikan pada tahun 2021. Mereka telah menyelesaikan rencana bisnis dan mengidentifikasi peluang untuk memperoleh pendapatan untuk membayar Proyek Perbaikan Perikanan (FIP) (USD0,01 per kg). Grup ini juga menawarkan tingkat kedua kepada pengolah eksportir non-AS (lebih dari 200 perusahaan) untuk membayar biaya yang lebih kecil untuk menjadi bagian dari asosiasi dan mengembangkan mekanisme untuk memastikan kepatuhan anggota industri terhadap kode etiknya.

Indikator O: Kinerja positif dicapai untuk dua Proyek Perbaikan Perikanan (FIP) yang komprehensif. Kinerja dua FIP komprehensif menunjukkan status yang relatif sama seperti tahun 2020. Indikator ini awalnya mencakup empat FIP dasar dan FIP ADI Komprehensif, dan tiga FIP dasar telah dikonsolidasikan ke dalam FIP ADI Komprehensif. Satu FIP dasar lainnya, yaitu FIP Deepwater Groundfish Dropline Trap and Gillnet Comprehensive FIP yang dipimpin oleh TNC-YKAN, yang dipimpin oleh TNC-YKAN, mendapat peringkat “B” untuk kemajuan di FisheryProgress. org, dengan skor hijaunya (lulus tanpa syarat) yang stabil sebesar 54%; dan skor kuningnya (lulus dengan syarat) menurun sebesar 3%, dari 14% menjadi 11%; namun, skor merahnya (gagal) meningkat dari 32% menjadi 36%. Sementara itu, ADI FIP Komprehensif telah menerima peringkat “C” (Beberapa Kemajuan Baru-Baru ini) di FisheryProgress.org dan skor tolok ukur MSC hijau 54%, kuning 14%, dan merah 32%.

Indikator P: Pemetaan rantai pasok perikanan kakap. Pemetaan rantai pasok yang dilakukan oleh TNC-YKAN telah melacak 78% pasokan kakap ke pasar/pengolahan lokal. Sekarang menjadi jelas bahwa mayoritas pasar untuk kakap adalah Asia.

Indikator Q: Penerapan ketertelusuran yang efektif oleh perusahaan anggota FIP. Tiga perusahaan telah berkembang dengan baik dalam tolok ukur ketertelusuran mereka, kecuali untuk memastikan bahwa ikan yang mereka beli tidak berasal dari sumber ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU). Karena perusahaan-perusahaan ini tidak memiliki armada sendiri, mereka sangat bergantung pada pasokan dari pengumpul dan pedagang, yang tidak mudah ditelusuri sampai ke kapal, armada, atau lokasi tangkapan ikan. Saat ini belum ada kebijakan di Indonesia yang mewajibkan ketertelusuran, sehingga sangat kecil kemungkinan tolok ukur ini dapat tercapai.

Komunikasi – Indikator R

Ada satu indikator untuk kategori ini:

Indikator R: Referensi media Indonesia tentang perikanan kakap berkelanjutan. Jumlah artikel tentang perikanan kakap mengalami penurunan hingga 30%, dari 40 artikel pada tahun 2019 menjadi 30 artikel pada tahun 2021. Namun angka ini lebih tinggi dibandingkan data tahun 2020 (17 artikel pada tahun 2020 menjadi 30 artikel pada tahun 2021). Peran media, baik cetak, penyiaran, maupun internet, sangat penting dalam mengedukasi dan mencerahkan masyarakat tentang kerja Konsorsium. Konsorsium perlu melakukan proses komunikasi yang lebih strategis dan agresif untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang manfaat, tantangan, tren, dan tindakan kebijakan yang diperlukan untuk membangun perikanan kakap lebih lanjut.

This article is from: