Majalah Bhinneka #013 - Interpretasi Agama

Page 1

EDISI SEPTEMBER 2012

INTERPRETASI

AGAMA


01 . Dari Pemred: Soe Tjen Marching 03. Gelora Fanatisme Yordan Nugraha 07. Agama, Identitas dan Kekerasan Marcel Susanto 13. Keberpihakan Islam Mamang Haerudin 20. Penyebaran Agama Kristen: Bagaimana Kaum Muslim Perlu Menyikapinya? Ioanes Rakhmat 33. Apa Kata Mereka ? 37. Manusia, Agama dan Ketuhanan Anand Krishna 44. Interpretasi Agama Leonardo Rimba 51. Resensi Buku: Potret Agama di Media Massa Donny Anggoro 56. Cerpen: Iblis Ardy Krena Krenata 62. Sekilas Seksualitas 66. Komik: Agama Yang Mempersulit Ajie Prasetyo Distributor Bhinneka & Surat Pembaca

Majalah Bhinneka dilisensi sesuai dengan “Creative Commons Attribution 3.0 Unported License� creativecommons.org


DARI PEMRED

INTERPRETASI AGAMA Soe Tjen Marching

“Agama mengajarkan perdamaian, karena itulah ia suci.” Mungkin kalimat ini sudah kita dengar berkali-kali sejak dini. Bahkan mungkin sejak kita belum bisa berbicara, kita sudah diajarkan untuk mengimani dan mengamini hal ini. Memang, ajaran Yesus: “Cintailah sesamamu.” Bahkan “Kasihilah musuhmu.” Begitu juga dalam Islam: “barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” (Surat Al-Maida). “Bergegaslah dalam lomba pengampunan dari Tuhanmu, dan untuk Surga yang seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang benar - Mereka yang menyumbangkan (hartanya) baik dalam kemakmuran atau dalam kesulitan, yang menahan amarah dan memaafkan semua orang - sebab Allah mengasihi orang yang berbuat baik“ (Qur’an:3:133-134).

1 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


INTERPRETASI AGAMA

Tapi, dalam halaman lain, Yesus juga berkata: “Setiap tempat yang tidak menerima pengikut Yesus akan dihancurkan, lebih dari Sodom dan Gomora (Markus 6: 11)�. Dalam ayat ini, seolah bukan kasih terhadap sesama lagi yang ditekankan, tapi hanya pada mereka yang mau menjadi umat agama tertentu. Begitu juga dalam Qur’an ada perintah: “Perangilah orang-orang yang tak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), yaitu orang-orang yang diberikan AlKitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah“ (9: 29). Jizyah adalah pajak yang dipungut pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan Islam, sebagai pembayaran bagi keamanan diri mereka. Senada dengan perintah di Markus 6: 11, seolah kebaikan hanyalah untuk umat atau kelompoknya sendiri saja. Dalam menginterpretasi kalimat-kalimat ini, tentu para pembaca dipengaruhi oleh berbagai persepsi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam otak mereka sebelumnya. Dan tentu saja, teks tidak lepas dari lingkungan di mana tulisan itu muncul dan ada. Sebelum tersusun menjadi Kitab, kata-kata itu juga telah melewati proses yang luar biasa panjang.

kesalahan, beda interpretasi, atau beda pemahaman. Belum lagi masalah bahasa. Bahasa Arab kuno dan modern telah berbeda, kesalahan menulis 1 garis saja, akan menjadikannya salah arti. Apalagi pada jaman lalu, proses menulis masihlah jauh lebih lama dan lebih sukar. Perubahan cuaca (panas, dingin, salju, hujan) pada saat itu, sudah pasti telah mengaburkan atau menghapus beberapa tulisan yang tertera. Inilah yang menambah salah kaprah teks yang kita baca. Dari ajaran oral ke tulisan sudah jelas terdapat distorsi yang luar biasa. Dan dari tulisan ke buku, akan juga terjadi berbagai distorsi. Ditambah lagi dengan proses percetakan juga tidak lepas dari suntingan, penambahan dan pengurangan penerbitnya. Karena itu, di Indonesia, ada berbagai edisi Quran dan Alkitab. Bahkan, di Indonesia sempat ada Quran edisi Soeharto (yang secara tidak langsung mendukung kebijakannya). Karena itulah, kita tidak bisa selalu menerima segala hal mentah-mentah, tanpa memikirkannya kembali, tanpa melihat bagaimana proses tulisan itu sebelum sampai ke depan mata kita, sebagai buku yang harus ditaati kata-katanya. Dalam majalah Bhinneka edisi ini, akan dibahas beberapa interpretasi dan penyebaran agama, dan bagaimana kita menyikapinya.

Yesus tidak pernah menulis sendiri ajarannya, begitu juga Nabi Muhammad. (yang tidak bisa baca tulis). Jadi, ajaran mereka ditulis oleh orang lain yang mendengar, dan karena itu bisa saja terjadi 2 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


GELORA FANATISME

GELORA

FANATISME

Yordan Nugraha Kekerasan atas nama agama telah berkali-kali melanda Republik Indonesia. Alex Aan dihajar karena tidak memercayai keberadaan Tuhan. Kaum Ahmadiyah di Cikeusik dikoyak habis-habisan sementara lolongan “Allahu Akbar� mengalun. Belum lama ini Majelis Mujahid Indonesia (MMI) membubarkan paksa diskusi buku Irshad Manji di Yogyakarta dan bahkan memukuli beberapa peserta, termasuk perempuan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri lebih memedulikan koalisi (terutama dengan partai Islamis ekstrem kanan) daripada hak-hak rakyatnya yang dijamin oleh konstitusi, sementara para polisi tampak menyetujui tindakan para ekstremis itu. Gelora fanatisme tidak hanya menghantui Indonesia, tetapi juga dunia semenjak lahirnya tradisi beragama. Contohnya adalah peristiwa 9/11 di New York dan juga peperangan panjang antara umat Katolik dan Protestan di Irlandia. Bunuhmembunuh dan teror-meneror antar Protestan dan Katolik ini berlangsung cukup lama. Dimulai dengan perang saudara

sekitar 4 abad yang lalu, hingga pada Jumat Agung 1998 mereka menandatangani perjanjian untuk menghentikan perang agama ini, atas nama kemanusiaan. Tapi, ribuan korban telah berjatuhan. Begitu juga dengan peperangan antar umat Hindu dan Islam di India, yang mengakibatkan terbelahnya negara tersebut menjadi 2: Pakistan dan India.

3 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


GELORA FANATISME

Sejarah mengingatkan kita pula mengenai peristiwa sadis saat Hypatia, filsuf dan ilmuwan terakhir, dikuliti dan dibunuh oleh massa Kristen yang diperintahkan oleh Santo Cyrilius, atau penekanan yang dilancarkan oleh Kaisar Yustinianus terhadap penganut agama Mani, dan juga inkuisisi, pembakaran reruntuhan Maya oleh misionaris karena dianggap sebagai karya setan, dan masih banyak lagi. Mengapa hal ini terjadi? Agama seharusnya memanusiakan manusia. Namun, mengapa berkah agama malah menjadi kutukan? Mengapa manusia dibutakan oleh gelora fanatisme? Dalam artikel ini, ada dua bahasan yang saya tawarkan, yaitu: neurosaintifik dan antropologis. Bahasan pertama menjelaskan bagaimana aktivitas dan impuls di otak kita menghasilkan semangat gelora yang membabi buta, sementara bahasan kedua akan menemukan pola yang memicu fanatisme.

Neurosains Neurosains adalah ilmu yang mempelajari tentang susunan dan fungsi syaraf, salah satu yang dipelajari adalah fungsi syaraf otak. Sam Harris, seorang ilmuwan neurosains dan filsuf, meneliti kepercayaan dalam otak manusia dengan menggunakan functional magnetic resonance imaging (fMRI). Ia memindai otak beberapa subjek percobaan dengan mesin tersebut, dan berhasil menemukan fakta bahwa saat seseorang percaya akan sesuatu, aktivitas di medial prefrontal cortexnya akan meningkat.

Bagian otak ini juga terkait dengan emosi. Maka, ia menyimpulkan bahwa kepercayaan memiliki ikatan anatomis dengan emosi. Ini berarti bahwa ketika para ekstremis meyakini bahwa semua kafir harus dibunuh, keyakinan tersebut memiliki ikatan emosional, dan itulah mengapa gelora mereka begitu membabi buta. Emosi adalah “kuda hitam yang liar” menurut Plato. Karena ikatan emosi dalam kepercayaan fanatik mereka, ekstremis siap melakukan tindakan mengerikan apapun untuk mewujudkannya. Penemuan ini luar biasa karena semakin membantah mitos “membengkokkan ekor anjing lain.” Dalam neurosains, sebenarnya upaya kita untuk mengalahkan argumen radikal dalam suatu debat itu seringkali tidak berguna. Ilmuwan neurosains Jonathan Haidt menjelaskan dalam artikelnya “The Emotional Dog and Its Rational Tail” bahwa upaya untuk membantah argumen lawan agar ia mengubah argumennya itu sama dengan membengkokkan ekor anjing agar anjingnya bahagia. Haidt lebih lanjut menambahkan bahwa saat argumen mereka dibantah, emosi mereka akan menjadi pengacara yang akan mencari justifikasi baru bagi kepercayaannya. Penjelasan neurosains Harris telah memaparkan mengapa manusia memiliki gelora untuk menghancurkan “kafir” demi kepercayaan mereka. Namun, masih ada yang kurang. Penjelasan tersebut hanya menunjukkan aktivitas dalam otak manusia yang memicu seorang teroris melakukan pengeboman atas nama Allah, tapi tidak menjelaskan asal usul fanatisme itu

4 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


GELORA FANATISME

sendiri. Dengan menilik sejarah, kita dapat menemukan pola yang memicu penyebaran fanatisme.

Asal-usul Fanatisme Dalam sejarah, orang Kristen sangat terancam oleh kekhilafahan Islam. Maka, gereja pada masa lalu sangatlah fanatik. Perang Salib adalah salah satu puncak pertikaian antara umat Kristen dan Islam, yang berebut tanah suci di Yerusalem. Saat itu, Paus Urban ke-II menjanjikan surga bagi para rakyat miskin yang berani berperang melawan tentara Islam di Yerusalem. Lalu, pada abad ke 9, ada beberapa orang Kristen yang menjadi martir karena telah menjebol masuk masjid di Cordoba dan menghina Muhammad. Empat puluh delapan orang harus dihukum pancung tapi nama mereka terukir di Gereja, yang ironisnya memicu pengebom bunuh diri dari pihak Islam hari ini. Namun, perlahan ketakutan dunia Kristen terhadap Islam mereda, tapi tetap saja beberapa Negara Kristen di Eropa memarjinalkan dunia Islam. Walaupun beberapa jenis fundamentalisme seperti pendukung perang Irak di Amerika Serikat masih ada, orang Kristen hari ini lebih damai dibandingkan dengan abad kegelapan pada masa lalu. Ajaran Yesus “Kasihilah sesamamu“ bahkan “Kasihanilah musuhmu“ lebih sering didengungkan.

uang yang sangat banyak karena naiknya harga minyak yang dipicu oleh embargo minyak oleh negara-negara Arab. Dengan meningkatnya keuntungan, gelombang modernisasi segera masuk. Televisi diperkenalkan, bangunan raksasa didirikan. Bahkan ada rencana untuk membangun gedung opera raksasa. Modernisasi ini tampak identik dengan “westernisasi” dan mengakibatkan marjinalisasi nilainilai Islam. Akibatnya, wahhabisme dan salafisme ekstrem mencuat dan nilai-nilai Barat semakin dicurigai. Puncaknya adalah ketika Juhayman Al-Otaybi menguasai Masjid Agung di Makkah pada 20 November 1979 dan mendeklarasikan datangnya Imam Mahdi untuk menyelamatkan Arab Saudi dari ketidaksalehan. Masjid Agung berhasil dikuasai kembali oleh Arab Saudi pada dan Juhayman Al-Otaybi dihukum mati pada 9 Januari 1980, namun peristiwa ini menjadi kesempatan politik bagi para ulama yang mengklaim bahwa tragedi tersebut terjadi akibat ketidaksalehan negara. Mereka berhasil menekan Sultan agar melancarkan berbagai macam radikalisasi dan penghapusan nilai-nilai Barat. Lebih lagi, wahhabisasi juga dilancarkan di madrasah dan sekolah, yang kemudian disebar ke seluruh dunia, termasuk di pesantrenpesantren di Indonesia. Hal ini pula yang melahirkan fanatisme dalam diri Osama Bin Laden dan Abu Bakar Baasyir.

Ketika Arab Saudi di bawah kekuasaan Sultan Khaled (yang memerintah pada Maret 1975 – Juni 1982), negara ini kemasukan 5 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


GELORA FANATISME

Fanatisme: Bentuk dari Ketakutan Dari dua contoh tersebut, kita dapat mengenali sebuah pula: fanatisme didorong oleh ketakutan akan marjinalisasi. Saat masyarakat takut disudutkan atau dikuasai oleh kelompok lain, peperangan ideologis besar-besaran akan dilancarkan. Inilah yang saat ini terjadi di Indonesia. Kita seringkali melihat di situs berita radikal bahwa mereka merasa sangat terancam oleh ancaman luar, baik itu “konspirasi Zionis”, “gelombang pemurtadan”, “Kristenisasi”, “imperialism Amerika”, atau “kafir liberal.” Mereka menjadi sangat defensif karena takut akidah mereka akan dimarjinalisasi oleh ancaman tersebut. Diskursus ini telah menunjukkan bahwa kegilaan emosional dan ketakutan akan marjinalisasi merupakan akar dari gelora fanatisme. Berdasarkan pemahaman tersebut, solusi abstrak paling tidak bisa dirancang. Yang pertama harus dilakukan adalah menghentikan penyebaran pandangan yang menakut-nakuti di Indonesia. Seperti yang telah ditunjukkan, fanatisme dirorong oleh ketakutan. Hal ini adalah ancaman semu yang harus dihilangkan, apalagi mengingat kebanyakan ketakutan tersebut hanya didasarkan kepada asumsi konspirasionis yang tak terbukti. Sementara itu, untuk mengobati gelora emosional, meskipun fakta bahwa kepercayaan memiliki ikatan emosional itu agak mengecewakan, paling tidak kita bisa bergantung kepada konsep neuroplastisitas, yaitu kemampuan otak kita untuk mengubah fungsinya karena distimulasi input luar. Kita

harus menyebarkan input positif seperti kedamaian, altruisme, cinta, kebaikan, toleransi, keterbukaan, dan penahanan emosional. Kita harus mulai dari diri kita sendiri untuk menyebarkan ide tersebut dan ada banyak sekali cara untuk itu. Lebih lagi, Yesus, Muhammad, Buddha, dan tetuatetua besar dari Zaman Aksial mendukung nilai-nilai luhur seperti kedamaian dan keterbukaan, sehingga mengembannya sendiri akan mendekatkan kita kepada nilai religius yang sesungguhnya, yang memanusiakan manusia, dan bukannya menjadikannya serigala yang saling menyerang satu sama lain (bellum omnium contra omnes).

Yordan Nugraha, sedang menyelesaikan studi di bidang hukum di Groningen University – Belanda.

6 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


AGAMA, IDENTITAS & KEKERASAN

AGAMA

IDENTITAS & KEKERASAN

Marcel Susanto “Apakah agama anda?“ adalah sebuah pertanyaan yang biasa disodorkan oleh seorang Indonesia ketika berkenalan. Fakta ini adalah salah satu indikasi bahwa agama adalah identitas, bahwa agama punya peran penting dalam kehidupan sehari-hari seorang Indonesia. Di sekolah, kita diajari bahwa agama jugalah yang mengajarkan kebaikan dan kedamaian pada kita semua. Sayangnya, kekerasan atas nama agama juga adalah sebuah fakta kehidupan yang tak bisa disangkal. Kekerasan-kekerasan tersebut berlangsung baik antar agama maupun antar umat beragama yang sama. Misalnya, penganut Ahmadiyah dibacok di tengah jalan secara terbuka, beberapa gereja ditutup paksa. Kenapa kenyataan begitu berbeda dengan idealisme “Agama adalah pembawa kebaikan pada dunia”? Apakah kita telah dikibuli? Lalu, bagaimana caranya menghentikan kekerasan-kekerasan tersebut? Penulis akan mencoba menjelaskannya dalam artikel ini.

7 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


AGAMA, IDENTITAS & KEKERASAN

Definisi Agama

Durkheim pada akhirnya mendefinisikan agama sebagai:

Mari kita mulai dengan mempertanyakan definisi “agama” sendiri. Salah satu bapak sosiologi modern, Emile Durkheim, mengidentifikasikan 4 ciri-ciri agama:

Sebuah sistem kepercayaan-praktik terpadu yang berhubungan dengan halhal suci, yang memisahkan hal yang boleh dan tak boleh, kepercayaan-praktik yang menyatukan seluruh komunitas, semua orang yang melaksanakan sistem tersebut. Artinya, Durkheim mengkonfirmasi bahwa agama adalah nilai moral yang berfungsi sebagai identitas juga. Sekarang, mari kita lanjutkan ke bagian selanjutnya: kekerasan.

1. Pengakuan terhadap eksistensi supranatural, sesuatu yang di luar rasio. Misalnya: keberadaan akherat, karma, dan muzizatmuzizat. 2. Namun, kepercayaan terhadap entitas spiritual bukan salah satu ciri agama. Buddhisme dan Jainisme misalnya, bersifat lebih ateistik (Tuhan digambarkan sebagai “hal yang tidak diketahui”). 3. Eksistensi dan segregasi/pemisahan dunia nyata (tercemar) dan dunia ideal (suci). Agama berfungsi sebagai penyambung antara 2 dunia ini. Kehidupan setelah mati adalah contohnya, agama memberikan penjelasan bukan cuma tentang eksistensi akherat atau reinkarnasi, tapi juga menjelaskan mekanisme agar setelah dari dunia fana ini kita memasuki dunia yang lebih baik (surga). 4. Eksistensi institusi formal yang mengatur agama, berbeda dengan “sihir” atau “takhayul” semata. Agama adalah penyambung antara kaum elit dan rakyat jelata, memastikan keduanya berada dalam komunitas moral yang sama. Para pendeta inilah yang menafsirkan Kitab suci untuk rakyat yang lain, dan para pendeta ini memiliki institusi yang mengatur hubungan mereka dengan jemaat dan sesama pendeta.

Kekerasan Kenapa kekerasan atas nama agama bisa terjadi ketika agama mengklaim bahwa dirinya adalah sumber kebaikan? Ada satu asumsi yang mendasari pertanyaan tersebut: kekerasan itu jelas dan pasti salah. Penulis harus meluruskan hal ini dulu, kekerasan itu terkadang bisa dibenarkan. Di dunia yang tidak sempurna ini, terkadang kekerasan, atau bahkan perang, adalah jalan keluar terbaik. Ijinkan penulis mengutip Sam Harris tentang perlunya kekerasan: “Seorang psikopat dengan sebuah pisau kecil bisa dengan mudah membantai sebuah desa yang cuma dihuni oleh para pasifis.” Jadi, ada waktu dan tempat dimana kekerasan bisa dibenarkan, kita tak bisa menyatakan bahwa kekerasan itu pasti salah, terutama bila dilakukan untuk membela diri. Sekarang, pada pertanyaan berikut: “Apakah agama bisa digunakan untuk membenarkan atau melegitimasi kekerasan

8 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


AGAMA, IDENTITAS & KEKERASAN

seperti yang dilakukan oleh banyak ormas di Indonesia saat ini?�. Untuk menjawab pertanyaan ini dengan “tidak� secara garis besar ada 2 argumen yang dapat digunakan.

Agama dan Kekerasan (Dua Argumen yang Menentangnya) Ada dua argumen yang menentang kekerasan dalam agama, yang akan saya bahas di sini: 1. Argumen Teologis dan Sejarah: Dengan menggunakan dasar bahwa para pelaku kekerasan tersebut “tersesat�. Argumen ini biasanya bersifat teologis, menunjuk kesalahan para pelaku kekerasan dengan mengutip kitab suci yang menyarankan perdamaian. Atau juga merujuk pada sejarah, dengan menunjuk toleransi yang diterapkan oleh tokoh-tokoh agama di masa lampau. Biasanya argumen ini digunakan oleh orang moderat atau liberal dari internal agama tersebut. 2. Argumen Filosofis dan Pragmatis Argumen kedua menggunakan dasar bahwa terlepas dari perintah agama tentang hal itu, kekerasan tersebut tak bisa dibenarkan oleh kompas moral lain seperti HAM, nasionalisme, sekulerisme. Argumen ini biasanya bersifat filosofis, menggunakan filsafat & logika untuk membuktikan kesahihan identitas dan kompas moral lain, menunjuk inkoherensi atau irasionalitas kekerasan tersebut. Juga melalu pendekatan pragmatis, yaitu dengan menunjukkan bahwa kekerasan atas nama agama cuma merugikan umat

pelaku kekerasan itu sendiri. Biasanya metode ini digunakan oleh orang sekuler atau free-thinker atau orang-orang yang tidak berasal dari agama tersebut (orangorang eksternal). Kedua argumen memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing.

Kelemahan Argumen Pertama (Teologis-Sejarah) Masalah utama dengan argumen pertama adalah, siapa yang bisa memberi kepastian bahwa interpretasi kaum liberal dan moderat benar? Mari kita kembali ke ciriciri agama menurut Durkheim, khususnya butir pertama. Karena agama membahas sesuatu yang di luar rasio, supranatural, tidak ada yang bisa menyalahkan ataupun membuktikan klaim agama manapun. Begitu pula dengan argumen historis, kaum radikal bisa dengan mudah menggunakan contoh dari sejarah yang sejalan dengan pemahaman mereka. Kemungkinan kedua adalah, para radikal menggunakan contoh yang sama, tapi menginterpretasikannya dengan sangat berbeda. Sama juga dengan argumen teologis, siapa pihak yang berwenang yang menentukan interpretasi sejarah yang sahih? Intinya: siapa yang berwenang merumuskan kehendak Tuhan? Dengan kata lain, kaum moderat dan liberal menyerang argumen lemah kaum fanatik dan radikal yang berdiri di atas fondasi pasir dengan argumen lemah juga, dengan fondasi pasir juga. Dan ini bukan satu-satunya kelemahan argumen teologishistoris.

9 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


AGAMA, IDENTITAS & KEKERASAN

Kelemahan lainnya adalah asumsi adanya identitas tunggal. Identitas itu masalah rumit, tetapi kaum fanatik selalu berusaha menyederhanakannya untuk membenarkan kekerasan mereka. Misalnya, partai Nazi mengagung-agungkan identitas rasial Jerman sebagai anugerah tuhan yang tidak dimiliki bangsa lain (sehingga mendapat alasan untuk memusnahkan orang Yahudi), kaum fundamentalis Kristen Amerika juga memercayai orang kulit putih mendapat rahmat dari Tuhan (sehingga bisa memperbudak orang kulit hitam). Ketika para moderat dan liberal dari suatu agama berdebat dengan para fanatik ini, seringkali mereka tanpa sadar menerima konsep “identitas tunggal” ini, menggunakannya sebagai (salah satu) dasar argumen mereka. Secara tak sadar dan tak langsung, orang-orang moderat dan liberal sudah membantu para fanatik dan radikal mengiklankan penyederhanaan identitas ini. Karena penyederhanaan ini, argumen teologis-Sejarah tak bisa dibarengi dengan argumen filosofis-pragmatis: kalau cuma “agama” yang penting, otomatis argumen berdasarkan HAM, nasionalisme, dan lainlain menjadi tidak relevan.

Kelemahan Argumen Kedua (FilosofisPragmatis) Argumen dengan menggunakan dasar HAM, biasanya akan ditolak oleh para fanatik dengan “mereka mensejajarkan nilai-nilai buatan manusia dengan nilainilai Tuhan.” Intinya: argumen filosofispragmatis sulit, atau malah mustahil, meyakinkan seorang fanatik-radikal.

Mereka akan serta merta menolak, karena merasa tidak dihargai kepercayaannya oleh para pendukung HAM, terutama dari golongan non-agamis.

Argumen Filosofis-Pragmatis yang Bisa Diterima Para Fanatik Dengan adanya kelemahan-kelemahan itu, kritik macam apakah yang terbaik? Penulis lebih memilih argumen filosofispragmatis, karena kelemahan argumen tersebut masih bisa ditutupi dengan sedikit modifikasi. Modifikasi yang penulis maksud tentu saja memasukkan elemen serangan teologis ke dalam argumen filosofis kita. Kita harus sadar, para fanatik-radikal tidak “irasional” secara mutlak. Mereka hanya mengikuti logika yang berbeda dengan logika orang-orang non-radikal. Logika inilah yang membuat mereka mengikuti tokoh semacam Osama bin Laden dan sejenisnya, maka argumen untuk menyerang mereka harus dibangun berdasarkan kesadaran atas logika yang digunakan oleh para fanatik ini. Misalnya, para tokoh fanatik terus menerus menyatakan bahwa orang-orang yang tak setuju dengan mereka melawan kehendak Tuhan. Jawaban yang bisa dimengerti para fanatik adalah “Tunggu, saya sekarang sedang berdiskusi dengan anda, bukan dengan Tuhan, kenapa mendadak anda menganggap pendapat anda adalah pendapat Tuhan?” Atau kita bisa menyerang dengan lebih assertif “Kalau Tuhan memang tak setuju dengan saya, biar Tuhan sendiri yang

10 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


AGAMA, IDENTITAS & KEKERASAN

bilang. Anda tak perlu sok pintar dan sok jago, merasa menjadi jubir dan tangan Tuhan di depan saya.” Intinya: kita harus mengingatkan semua orang tentang perbedaan antara Tuhan dengan agama, antara Tuhan dengan seorang tokoh agama. Seorang manusia yang “tercemar” tak mungkin menyerang Tuhan yang “suci” karena itu yang kita serang bukanlah Tuhan, tapi manusia lain yang “tercemar” juga, lebih spesifiknya: klaim mereka bahwa mereka mengerti Tuhan, dan klaim-klaim mereka tentang Tuhan. Serangan-serangan semacam ini mengingatkan semua orang bahwa mengklaim pendapat manusia sebagai pendapat Tuhan adalah sebuah arogansi tingkat tertinggi. Kita tidak boleh terjebak dengan menyatakan “Kalian salah, kamilah yang benar,” kita harus membangun argumen “Tak ada yang tahu kehendak Tuhan, jadi berhentilah mencatut namaNya, berargumenlah dengan argumen manusia, sebagai seorang manusia.” Namun argumen ini juga tak sempurna. Argumen ini otomatis bukan cuma menyerang seorang individu/tokoh dari kalangan fanatik-radikal, tapi juga menyerang institusi agama itu sendiri. Sebuah institusi pada dasarnya adalah kumpulan manusia, jadi sebuah institusi juga tak bisa mengklaim suaranya sebagai suara Tuhan. Kembali ke ciri-ciri agama menurut Durkheim, agama melibatkan insitusi formal, artinya sebuah institusi yang memiliki kekuatan politis, sosial, dan finansial. Artinya, menyerang institusi

agama adalah sebuah serangan terhadap kepentingan politis & bisnis para elite institusi tersebut. Fakta ini akan membuat perjuangan menyadarkan para radikal menjadi perjuangan melawan para elit yang memiliki kepentingan politis dan finansial, membuatnya menjadi bagian dari perjuangan melawan kekuatan kendali institusi agama. Tak ada pilihan lain, sebab ini adalah serangan terbaik dan paling koheren untuk menjatuhkan para pelaku kekerasan atas nama agama. Mari kita kembali ke awal lagi, agama adalah penjelasan terhadap hal-hal yang supranatural, yang irasional. Penulis menyadari, ada banyak hal irasional di dunia ini yang tak bisa dielakkan, misalnya warna favorit, musik favorit, dan sebagainya. Semua irasionalitas ini tak bisa disangkal eksistensinya, tetapi melakukan kekerasan atas nama hal-hal irasional ini, jelas-jelas salah. Melakukan diskriminasi berdasarkan hal-hal irasional ini juga sama salahnya. Apalagi menggunakan halhal irasional sebagai dasar logika seperti yang dilakukan oleh orang-orang fanatikradikal. Namun itulah yang dilakukan agama, membangun hukum dan logika berdasarkan irasionalitas. Hal yang sama valid untuk identitas-identitas lain. Suku, ras, dan identitas-identitas lainnya banyak yang dibentuk secara arbitrer, bukan secara rasional. Sama juga dengan agama, kita tak bisa mendiskriminasi siapapun berdasarkan hal-hal ini, misalnya diskriminasi berdasarkan ras itu disebut “rasisme.” Rasanya banyak yang keberatan tentang

11 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


AGAMA, IDENTITAS & KEKERASAN

serangan atas institusi agama. Mereka berpikir “agama sudah ada sejak awal peradaban, agama tak boleh dihapuskan!� Maaf saja, pembelaan ini tidak valid, sebab bila pembelaan ini valid, artinya penghapusan perbudakan juga tak bisa dibenarkan. Jadi, tunggu apa lagi? Saatnya kita menyerang dasar paling fundamental dari kekerasan atas nama agama. Dan bila kita percaya pada Tuhan, saatnya kita memuliakan Tuhan tanpa perantara, tanpa agama.

Bibliography: Durkheim, Emile, diterjemahkan dari bahasa Perancis ke Inggris oleh Joseph Ward Swain, Elementary Forms of Religious Life (London, Hollen Street Press 1915) Harris, Sam, The End of Faith: Religion, Terror, and The Future of Reason (New York: W.W. Norton 2004) Huntington, Samuel P., The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order, (London: Simon & Schuster 1996) Lewis, Bernard, What Went Wrong?: Western Impact and Middle Eastern Response, (London: Phoenix Paperback 2002) Sen, Amartya, Identity and Violence: The Illusion of Destiny (New York: W.W. Norton & Company Inc. 2006)

Marcel Susanto, kandidat Ph.D. di Universitas Passau, Jerman, jurusan Kajian Asia Tenggara. Tulisan ini disunting dari bab kedua Thesis Doktoralnya. Tulisan lain dari penulis bisa disimak di http://kananundkiri.blogspot.com

12 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


KEBERPIHAKAN ISLAM

KEBERPIHAKAN ISLAM UNTUK PEREMPUAN DAN LGBT

Mamang M. Haerudin

Islam—sebagaimana agama-agama lain yang ada di bumi—memiliki tawaran “menggiurkan” untuk menunaikan harapan hidup yang lebih baik dan adil bagi pemeluknya, dengan wujud.

Maka, tak ayal jika manusia—dengan nada

mempertanyakan— juga “menagih” kebaikan dan keadilan tawaran itu. Dalam konteks Islam, tawaran “menggiurkan” untuk pemeluknya itu—dalam menyamuderai derasnya lautan hidup—yakni; rahmatan lil’alamin, sebuah tawaran berupa rahmat (kasih sayang) sebagai modal dalam menegakkan keadilan hidup. Keadilan yang tidak hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam belaka, melainkan bagi seluruh alam semesta, termasuk dan khusus di dalamnya mengakomodir keadilan bagi keberadaan perempuan dan komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), yang sering mendapat perlakuan diskriminatif dan nirkeadilan. Namun, seringkali hal ini juga tergantung dari interpretasi. Bagaimana orang menginterpretasi Quran dan apakah mereka sudah menyesuaikan dengan jamannya?

13 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


KEBERPIHAKAN ISLAM

Islam: Merendahkan Perempuan dan Menolak LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender)? Karena interpretasi yang berbeda, umat Islam tidak bisa mengakomodir pemenuhan prinsip keadilan bagi perempuan dan komunitas LGBT. Memang, atas nama agama (Islam), tidak jarang pihak yang secara sebelah mata memandang perempuan sebagai manusia yang; “separuh harga” dari laki-laki, “konco wingking” dari laki-laki, “nomor dua” dari laki-laki, dan seterusnya. Perempuan disalahkan sebagai sumber hasrat dan tubuhnya harus ditutupi pula. Penyematan subordinatif seperti ini sering kali mengemuka tidak hanya di kalangan kalangan awam, melainkan juga di kalangan cerdik-agamawan. Selain itu, komunitas LGBT tak hanya mengalami pengucilan dan sumpah serapah sebagai komunitas manusia yang telah melanggar norma keumuman masyarakat, tetapi juga telah distempel negatif sebagai kelompok manusia yang telah melanggar ketentuan agama (Tuhan). Implikasi dari pelabelan timpang seperti ini telah berlangsung berabad lama, hingga kurun waktu dewasa ini. Manusia arus utama dengan heteronormavitasnya, seakan gelap mata dengan prinsip-prinsip universal kemanusiaan. Dinding-dinding ketabuan dan dangkalnya pengetahuan telah mengelabui mata dan sikapnya terhadap komunitas LGBT. Padahal, tentu mereka (komunitas LGBT) tidak melulu seperti apa yang dibayangkan cara pandang negatifnya.

Mencermati persoalan-persoalan tersebut di atas, melalui tulisan sederhana ini, saya hendak mencoba memberikan cara pandang dan interpretasi ulang, terhadap pelbagai stereotipe yang mendiskriminasikan itu. Diawali dengan lebih intim mengenal titik bahas antara gender dan seks dalam segi perbedaan dan pemaknaannya. Dilanjut dengan upaya saya dalam mendobrak dinding-dinding ketabuan tentang seksualitas, yang sering—untuk enggan mengatakan selalu—disudutkan secara tertutup dan negatif, sehingga berubah menjadi satu hal yang terbuka dan positif. Berikutnya, saya ingin membahas bagaimana Islam menunjang keadilan bagi perempuan dan komunitas LGBT.

Mengenal Seks dan Gender Problem pertama dan utama, yang sederhana tetapi beimplikasi besar, yakni dalam menyoal perbedaan gender dan seks, adalah tentang ketidak-cermatan arus-utama dalam hal memakna dan mendudukkan antara terma gender dan seks. Galibnya, orang menyama-artikan antara terma gender dan seks. Padahal, keduanya sama sekali berbeda makna dan arti. Oleh karena berbeda, cakupan dan jangkauannya pun berbeda. Nasaruddin Umar (1999) misalnya, memandang bahwa, gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosialbudaya. Sementara itu, sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi

14 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


KEBERPIHAKAN ISLAM

biologi. Studi gender lebih menekankan perkembangan aspek maskulinitas (masculinity/rujuliyah) atau feminitas (feminity/nisa’iyyah) seseorang, sedangkan studi seks menekankan perkembangan pada aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (malaness/dzukurah) dan perempuan (females/unutsah). Saya pun berpandangan tidak jauh berbeda dengan di atas, bahwa penting sekali mendahulukan perbedaan antara seks (jenis kelamin biologis) dan gender (jenis kelamin sosial). Dimensi seks (jenis kelamin biologis) meliput seputar hal-hal yang berkenaan dengan faktor biologis hormonal dan patologis yang menimbulkan adanya laki-laki dan perempuan. Laki-laki ditandai dengan beberapa identitas fisik seperti; penis, testis, dan sperma, sedangkan perempuan ditandai dengan beberapa identitas seperti; vagina, payudara, ovum, dan rahim. Berbeda dengan dimensi gender, ia meliput seputar sifat, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh konstruksi sosial-budaya masyarakat. Beberapa identitas yang melekat akibat dimensi gender ini, laki-laki biasanya identik dengan sifat-sifat maskulin; perkasa, rasional, tegas, dan lainlain. Sedangkan perempuan identik dengan sifat-sifat feminimnya; lemah lembut, penyayang, pemalu, dan lain-lain. Dengan uraian demikian, sampailah pada kesimpulan bahwa seks adalah anugerah Tuhan yang bersifat kodrati, yang tak dikonstruk sosial-budaya masyarakat Sedangkan gender, adalah sebaliknya, ia adalah bentukan budaya sosial-masyarakat,

yang dapat berubah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu waktu ke waktu yang lain. Buktinya, gender merupakan bentukan sosial-budaya masyarakat, adalah tidak sedikit laki-laki yang justru sangat lekat dengan identitas feministasnya—penakut, pemalu, dan lainnya--, dan perempuan sangat lekat dengan identitas maskulinitasnya—perkasa, berani, tegas, dan lainnya. Nah, berkenaan dengan studi keadilan gender, obyektivitas dalam memaknai gender dan seks mutlak dibutuhkan. Diskursus ini jika dihadapkan dengan studi tentang perempuan amatlah berguna, bahwa, dalam perspektif gender, perempuan memiliki hak yang sama dan setara sebagaimana laki-laki, entah itu di muka domestik maupun publik. Begitupun halnya dengan keberadaan komunitas LGBT, studi pemaknaan objektif tentang gender dan seks, dapat memberikan penerangan kepada kita, betapa mereka (komunitas LGBT) memiliki hak yang sama dan setara sebagai mana manusia dengan orientasi seksual hetero. Tak ada penyimpangan yang dilakukan komunitas LGBT dalam perspektif gender, selama mereka bersama kita saling mengedepankan prinsip-prinsip kamanusiaan universal; kebebasan, keadilan, dan kesetaraan.

Mendobrak Dinding Ketabuan tentang Seksualitas Ada yang luput di sebagian besar masyarakat—tidak hanya menjangkit kalangan awam, melainkan juga kalangan cerdik-agamawan—dalam memandang anugerah seksualitas. Teramat sering terma seksualitas, menjadi terma yang, ketika

15 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


KEBERPIHAKAN ISLAM

orang membincangkannya terkesan negatif, atau dalam bahasa klasiknya; pamali. Pamali, dalam masyarakat akar rumput dimaknai sebagai sebuah realitas, yang tidak mesti dibicarakan, dengan keyakinan; yang nanti di kemudian hari akan mengerti dengan sendirinya, selain karena akan berakibat negatif, juga menjaga tata sopan santun, karenanya lebih utama diam, dan tidak mengulasnya. Paradigma pamali seperti inilah, yang menurut saya, mesti di bicarakan ulang, disegarkan, dan di maknai secara baru. Konsep pamali dalam konteks ini pula yang sebenarnya telah, mengebiri potensi daya kritisisme masyarakat. Konsep pamali ini seringkali merupakan generalisasi untuk menyederhanakan dan mengolektifkan kondisi masyarakat yang kompleks. Di satu sisi, selama implikasi yang ditimbulkan maslahat, saya rasa tak ada masalah, namun pada nyatanya di sisi yang berbeda, paradigma dan konsep pamali ini telah hilang dan tercerabut nilai relevansi dan signifikansinya. Tak ada jalan lain, kecuali kita bersama, gegap-gempita, bahu membahu, bersama untuk mendobrak dinding-dinding ketabuan ini. Menurut Musdah Mulia (2010), seksualitas mencakup aspek yang sangat luas, yaitu pembicaraan tentang jenis kelamin biologis, identitas gender (jenis kelamin sosial), orientasi seksual, dan perilaku seksual. Sehingga dengan begitu, dari setiap pembicaraan tentang seksualitas; jenis kelamin biologis, jenis kelamin sosial, orientasi seksual, dan perilaku seksual, mempunyai pengertian

dan cakupan yang berbeda. Jenis kelamin biologis ini yang kemudian melahirkan pola laki-laki dan perempuan, sedangkan berkaitan dengan identitas gender (jenis kelamin sosial) terbagi menjadi tiga pola; perempuan dengan identitas feminimnya, laki-laki dengan identitas maskulinnya, dan transgender dengan identitas keduanya. Dan, transgender sendiri itu yang kemudian melahirkan; laki-laki keperempuanan (banci atau waria) dan perempuan kelakilakian. Mendasarkan seksualitas sebagaimana pengertian di atas, studi tentang perempuan dan komunitas LGBT adalah bagian terpenting di dalamnya. Pertama, dalam pespektif gender, perempuan tidak lagi di pandang sebagai obyek, melainkan sebagai subyek sebagaimana laki-laki. Perspektif patriarkhi yang mengakar kuat dalam budaya masyarakat menjadi penyumbang utama dalam kekeliruan memandang perempuan (hanya) sebagai objek seksualitas. Dalam budaya patriarkhi, perempuan, hanya diilustrasikan sebagai wujud manusia (yang hanya) berupa kecantikan, kemolekan, dan segala hal yang berbau seks-biologis semata. Perempuan, dalam perspektif gender, menyetara bersamaan dengan potensi maskulinitas sebagaimana dipunya laki-laki, ia samasama disyukuri (didayagunakan) seperti mensyukuri anugerah fisik perempuan. Cara pandang seperti ini berimplikasi, bahwa perempuan tidak hanya memiliki potensi “cantik fisik�, tetapi juga berpotensi “cantik sosial�. Kedua,

dalam

16 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA

perspektif

gender,


KEBERPIHAKAN ISLAM

komunitas LGBT tidak lagi distereotipe, disumpah serapah, dan dimarjinalkan, hanya karena memiliki orientasi seksual yang berbeda dengan arus utama. Perspektif patriarkhi, kembali menjadi pemicu memburuknya citra arus utama, terhadap komunitas LGBT. Dalam budaya patriarkhi, seksualitas selalu dipahami dengan konteks maskulinitas. Fatalnya lagi, hal demikian berbuntut tidak hanya distereotipe dengan cara pandang maskulinitas, tetapi juga dikonstruk dengan cara pandang orientasi seksual hetero, sembari menafikan cara pandang homo atau lainnya, dengan mutlak. Jadilah, selama berabad lamanya, bangunan seksualitas di masyarakat dihegemoni oleh orientasi seksual hetero (heteronormavitas). Padahal, orientasi seksual adalah sebuah anugerah yang alamiah (sunnatullah), ia merupakan kapasitas dan potensi seseorang—sebagaimana fitrahnya—yang memiliki orientasi tertentu berhubungan dengan ketertarikan emosi, rasa cinta, sayang, dan hubungan seksual. Berbeda dengan perilaku seksual, yang merupakan buatan manusia, yang bisa menyimpang atau tidak. Melihat akutnya cara pandang, pemahaman, dan sikap masyarakat arus utama, mendalami persoalan yang menimpa perempuan dan komunitas LGBT dengan perspektif yang adil gender, menjadi kemestian. Melalui banyak cara, satu diantara yang penting, adalah melakukan re-instrospeksi terhadap cara pandang, pemahaman, dan penyikapan kita, dengan lebih objektif, ilmiah, dan tidak emosional.

Islam dan Keadilan untuk Perempuan Misi utama dari Islam adalah memberantas segala bentuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan, di pelbagai dimensi kehidupan masyarakat. Satu fenomena yang menjadi agenda besar Islam, melalui Nabi Muhammad Saw, adalah dalam memberikan pembebasan untuk keadilan dan kesetaraan terhadap perempuan. Advokasi Nabi Saw, terhadap perempuan bukan sekedar isapan

jempol belaka. Semula, tatkala kelahiran (bayi) perempuan dianggap sebagai sebuah musibah, lalu kemudian dibunuh hiduphidup, sejak Islam membumi, realitasnya berubah. Perempuan, tatkala lahir dihargai dan dihormati oleh Islam, dengan akikah, sebagaimana lahirnya (bayi) laki-laki pada galibnya. Tak hanya itu, keberpihakan Islam terhadap perempuan, juga dibuktikan dengan mendapatnya hak waris, dan pelbagai penghargaan lainnya. Itu pulalah, yang telah menjadikan Umar bin Khatab, insaf. Satu pernyataan kata insafnya; “Pada masa Jahiliyyah kami sama sekali tidak menganggap penting kaum perempuan. Begitu Islam datang dan Tuhan

17 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


KEBERPIHAKAN ISLAM

menyebut mereka, kami baru sadar bahwa ternyata mereka juga memiliki hak atas kami”. Ya, begitulah, pengakuannya. Melalui banyak ayat, dalam al-Qur’an, Islam sesungguhnya begitu memuliakan kedudukan perempuan. Beberapa di antaranya seperti termaktub dalam QS. ali‘Imran [3]: 195 tentang proses penciptaan manusia (laki-laki dan perempuan) yang sama-sama berasal dari jiwa (nafs) yang satu. Dalam QS. al-Baqarah [2]: 228 tentang kesetaraan dan keseimbangan antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri) dalam menjalin kehidupan secara baik. Juga dalam QS. al-Taubah [9]: 71 tentang peranannya yang sama dalam kegiatankegiatan sosial. Atau juga seperti termaktub dalam QS. al-Nahl [16]: 97 tentang potensi laki-laki dan perempuan sebagai pemimpin, perempuan (istri) diberikan keleluasaan dalam memilih pendapat yang menurutnya benar, betapapun berbeda dengan lakilaki (suami), dalam QS. al-Tahrim [66]: 11. Begitupun, ayat dalam QS. al-Taubah [9]: 71 dimana Tuhan betul-betul menghimbau agar perempuan berani untuk tampil menyampaikan kebenaran, dan masih banyak ayat lainnya. Meski demikian, fakta sosiologis, memang rentan mengalami distorsi. Fakta diskriminatif terhadap perempuan banyak merebak. Meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tindak perkosaan dan pelecehan seksual, perdagangan perempuan, domestifikasi perempuan, dan lain sebagainya mesti di gempur dengan segera. Tak ada jalan lain, kecuali dengan kembali memahami secara objektif teks-teks

keagamaan. Interpretasi ulang, membenahi cara pandang, membebaskan perempuan, adalah beberapa cara yang efektif digulirkan. Sehingga, sinergislah antara tuntunan nilainilai agama dan kemanusiaan serta tuntutan harmonisasi kehidupan sosial masyarakat yang adil dan setara gender.

Islam dan Keadilan untuk LGBT Sebagaimana dalam cita-cita keadilannya terhadap perempuan, Islam, amat akomodatif terhadap komunitas LGBT. Meskipun al-Qur’an hanya menyebut dua jenis identitas gender; laki-laki dan perempuan, tetapi kemudian fikih—sebagai salah satu bentuk analisis Islam terhadap pelbagai fenomena sosial—sedikitnya menyebut empat identitas, yakni laki-laki, perempuan, waria, dan mukhanits (secara biologis laki-laki, namun menyenderungkan diri sebagai perempuan, dan menghendaki pergantian kelamin). Hal demikian ini, sejak awal harus dipahami sebagai sebuah bentuk anugerah keragaman Tuhan. Keragaman yang tak hanya dipahami secara fisik, yang tampak dipelbagai bidang ekonomi, politik, sosial, agama dan lainnya, tetapi juga termasuk keragaman orientasi seksual yang tak terelakkan. Kalau kita membaca sumbersumber literatur keislaman, memang tidak begitu banyak dijumpai, ulama-ulama yang secara khsusus membedah persoalan ini. Namun demikian, hal ini juga tidak serta merta dijadikan legitimasi untuk menyumpah serapah komunitas LGBT.

18 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


KEBERPIHAKAN ISLAM

Biasanya, perbincangan mengenai komunitas LGBT akan cepat dinisbahkan dengan kaum Nabi Luth As, yang dengan pedih dan mengenaskan ditimpakan azab oleh Tuhan atas perilaku amoral dan biadabnya. Yang luput di sebagian banyak umat Islam, dalam memahami ayat ini— beberapa ayat dalam QS. al-Naml [27]: 5458; QS. al-‘Araf [7]: 80-81; Kemudian, QS. Hud [11]: 77-83; QS. al-Syu’ara [26]: 160175—adalah ketidakcermatannya dalam meninterpretasi dan mengidentifikasi secara jeli, substansi ayat-ayat ini.

Penutup Demikian, interpretasi Islam tentang rahmat keadilannya, dalam mengemban misi; rahmatan lil’alamin. Terbukti, bahwa Islam amat akomodatif terhadap siapapun, tak pandang bulu, termasuk terhadap perempuan dan komunitas LGBT. Semoga, sekarang dan ke depan, pemenuhan hak tentang keadilan gender terhadap perempuan dan LGBT, semakin baik dan meningkat. Amin. Wallahu ‘alam bi al-Shawab.

Kalau saya tarik pada substansinya, beberapa ayat itu, sebenarnya berbicara tentang kaum Nabi Luth As, yang secara eksplisit menegaskan umatnya telah berperilaku terlarang, dalam mengekspresikan perilaku seksual (bukan orientasi seksual), yang ditandai dengan adanya unsur kekerasan, pemaksaan, aniaya, dan lainnya. Jelas, bahwa ayatayat tersebut, sama sekali tak membahas orientasi seksual sebagai bentuk pelanggaran. Ini terbukti jika azab pedih itu pun, menimpa istri Nabi Lusth As, yang tak melakukan sodomi atau lesbian. Dengan begitu, kembali saya tegaskan, bahwa, beberapa sitiran ayat itu mengecam perilaku seksual yang menyimpang, bukan mengecam orientasi seksual. Sebab itu, bersikap akomodatif dan humanis terhadap komunitas LGBT, jelas, merupakan ajaran keadilan dalam Islam. Mamang M. Haerudin, Koordinator ADIL (Arus Dialektika Islam non-Literal) dan Khadim al-Ma’had di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin.

19 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


PENYEBARAN AGAMA

PENYEBARAN AGAMA KRISTEN:

BAGAIMANA KAUM MUSLIM PERLU MENYIKAPINYA?

Dr. Ioanes Rakhmat

Apa dan bagaimana metode utama penyebaran agama Kristen di Indonesia? Dan bagaimana umat Muslim di Indonesia dapat menyikapi metode-metode ini? Sama seperti semua orang beragama apapun, orang Kristen meyakini bahwa agama mereka adalah agama yang terbaik, atau paling benar, jika dibandingkan dengan semua agama lain. Karena itu mereka sangat termotivasi untuk menyebarkan agama mereka di manapun mereka berada.

20 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


PENYEBARAN AGAMA

Tujuan penyebaran biasanya adalah:

agama

Kristen

1. Membuat banyak orang mengenal Yesus Kristus sehingga mereka akan menerima keselamatan, yakni nantinya (sesudah kematian, atau sesudah dunia kiamat) akan masuk surga. 2. Membuat orang yang sudah mengenal dan menerima Yesus Kristus sebagai sang juru selamat pribadi masuk ke dalam gereja Kristen dengan diawali penerimaan ritual baptisan Kristen. Dengan kata lain, bertujuan menjaring tambahan umat.

sebagai Tuhan yang hidup. Pengalaman ini umumnya beraneka-ragam, dari mendengar suara Yesus dalam hati atau lewat telinga ketika berdoa, atau melihat Yesus menampakkan diri, sampai (mereka mengklaim) mendapatkan kesembuhan ilahi dari penyakit-penyakit berat, atau konon berubah jadi kaya raya begitu menjadi orang Kristen (padahal Yesus dari Nazaret meminta setiap orang yang mau menjadi pengikutnya untuk menjual seluruh hartanya dan memberikannya kepada orang miskin!).

(1) Penyebaran agama lewat kesaksian pribadi

Nah, orang yang mengklaim memiliki pengalaman pribadi dengan Yesus ini umumnya akan dengan yakin dan penuh gelora mempersaksikannya secara pribadi kepada orang lain, bila perlu setiap saat (ketika makan di restoran, arisan, di bis atau di ruang tunggu dokter atau di acaraacara rekreasi). Tentu adalah hak setiap orang untuk menceritakan pengalaman pribadi apapun (tidak harus pengalaman spiritual) kepada orang lainnya; tetapi adalah juga kewajiban setiap orang untuk menghormati privasi orang lain yang tidak mau diganggu, dan adalah juga hak dan kewajiban orang yang tak mau diganggu ini untuk menolaknya. Jadi, jika seorang Kristen mendatangi seorang Muslim atau sekelompok Muslim untuk menyebarkan agama, dia atau mereka dapat memintanya dengan sopan untuk segera pergi, tanpa perlu melakukan tindak kekerasan fisik apapun.

Umumnya orang Kristen mengklaim memiliki pengalaman pribadi dengan Yesus Kristus yang mereka klaim

Tetapi jika ada Muslim yang mau berdiskusi soal agama dengan seorang Kristen yang kebetulan mendatanginya,

Bentuk-bentuk penyebarannya pun berbeda, tapi saya akan membahas tujuh metode penyebaran agama Kristen dalam tulisan ini. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara internal (meskipun dapat dihadiri kalangan non-Kristen) tidak dipandang sebagai penyebaran agama dalam tulisan ini.

Bentuk-bentuk penyebaran agama Kristen Orang Kristen di Indonesia biasanya menyebarkan agama mereka dengan menggunakan metode dari yang terangterangan, sampai yang diam-diam dan tersamar.

21 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


PENYEBARAN AGAMA

dia dapat membangun suatu percakapan dialogis dengan si Kristen ini. Jika dia mau berdialog, maka tujuannya bukanlah perpindahan atau pelepasan agama atau keyakinan semula, melainkan untuk meningkatkan dan memperkaya pengetahuannya mengenai agama Kristen. Syukur-syukur kalau mitra dialognya yang Kristen juga mau diperkaya olehnya secara timbal-balik (tentang hal ini, akan diulas lebih lanjut). Sebetulnya jika seseorang bertemu dengan seorang beragama lain yang mau menceritakan pengalaman spiritualnya, diskusi dapat masuk ke dalam pandanganpandangan sains modern (khususnya neurosains) tentang pengalamanpengalaman spiritual. Menurut neurosains, pengalaman keagamaan, pengalaman spiritual, atau semua fenomena supernatural atau paranormal, adalah pengalamanpengalaman dan fenomena yang normal dan natural, yang muncul karena berlangsungnya aktivitas neural dalam neuron-neuron pada bagian-bagian tertentu otak manusia (yakni wilayah neural yang terletak persis di atas telinga).i Jika ditinjau dari sudut pandang neurosains, pengalaman seorang Kristen bertemu dengan Yesus yang berjubah putih dan bercahaya sama sifat dan jenisnya dengan pengalaman seorang pencari wangsit yang mengklaim bertemu dengan suatu hantu besar penunggu sebuah kawasan pekuburan. Begitu juga, dilihat dari perspektif neurosains, klaim seorang Kristen bahwa dia mendengar suara roh

kudus atau suara roh Yesus langsung di telinganya sama jenis dan sifatnya dengan klaim seorang Muslim bahwa di telinganya dia mendengar suara-suara jin atau suarasuara seorang sakti zaman dulu setelah dia bertapa sekian hari di tempat-tempat keramat. Bagaimanapun juga, menurut saya, kesaksian pribadi terkuat bukanlah lewat propaganda agama, melainkan lewat teladan bagaimana orang hidup bijak, bajik, apik, laik dan heroik.

(2) Penyebaran agama dari rumah ke rumah Ada kelompok-kelompok Kristen yang menjalankan penyebaran agama dari rumah ke rumah, dan hal ini umumnya dipandang sebagai gangguan terhadap privasi dan ketenangan rumah yang didatangi, yang bisa bermuara pada tindak kekerasan yang dilakukan pihak pemilik rumah, yang akhirnya bisa juga menimbulkan kemarahan orang sekampung terhadap para penyebar agama ini, khususnya jika yang didatangi mereka adalah rumah-rumah Muslim yang sama-sama tidak toleran. Tetapi umumnya, yang kerap didatangi para penyebar agama jenis ini bukanlah rumah-rumah Muslim, melainkan rumah orang-orang non-Muslim (misalnya rumah keluarga penganut agama Tridharma, atau malah rumah orang Kristen aliran lain), seperti yang sudah diketahui umum dilakukan oleh anggotaanggota perorangan Saksi Yehovah. Untuk mencegah didatangi mereka, pihak Muslim dapat menempel pada

22 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


PENYEBARAN AGAMA

dinding depan rumah mereka pernyataan pendek “Tidak Menerima Penyebar Agama Apapun”. Atau melaporkan mereka ke ketua RT/RW setempat untuk mendapat teguran. Menempelkan stiker yang bertuliskan “Awas Ada Anjing Galak“ mungkin tak bisa terjadi di rumah seorang Muslim. Susahnya, kalau menempelkan stiker “Awas Ada Kambing Galak”, tampaknya tak akan berpengaruh. Tetapi jika ada keluarga Muslim yang mau menerima dan melayani mereka, ya terimalah dan layanilah mereka dengan bermartabat, berintegritas dan cerdas, untuk membuat mereka dengan ikhlas dan sadar, siapa tahu, bisa pindah agama, masuk Islam, ketimbang sebaliknya. Supaya ini terjadi, keluarga Muslim yang didatangi tentu saja harus sudah memiliki basis kuat dalam akidah Islam dan pengalaman bagaimana hidup sebagai Muslim penyebar kedamaian, dan sudah terbiasa hidup dalam keanekaragaman pandangan keagamaan, dan tentu saja memiliki hati yang lemah lembut, sabar dan welas asih. Akidah yang benar dan mendewasakan manusia, dan akhlak yang jempolan, adalah dua modal utama untuk memenangkan orang ke agama sendiri, jika memindahkan orang lain ke agama sendiri memang dipandang sebagai suatu kebajikan, dan bukan sebagai suatu persoalan.

(3) Penyebaran agama lewat penyerangan dan pembelaan (apologetika). Hal ini dilakukan dengan membela agama sendiri dari serangan-serangan lawan dan memperlihatkan atau membuktikan kebenaran dan keunggulan agama sendiri,

dan kesalahan serta kelemahan posisi pihak lawan yang menyerang. Teknik ini bahkan ada istilah tersendiri, yaitu “apologetika”. Dalam lingkungan Kristen, banyak orang disekolahkan ke luar negeri, dengan memakan biaya yang sangat besar dan waktu yang panjang (bisa sampai delapan tahun), untuk meraih gelar doktor dalam ilmu apologetika, dengan kepiawaian satusatunya adalah membela agama sendiri dengan segala cara dan bentuk, yang harus dituangkan dalam tulisan-tulisan yang diklaim berbobot akademik tinggi, dan menunjukkan kelemahan atau kesalahan agama pihak lawan. Dalam debat-debat sengit antara pakarpakar agama yang bertitel doktor, yang umumnya ditugaskan berdebat adalah para ahli apologetika yang “berkacamata kuda”, yang memiliki telinga separuh tuli atau keduanya tuli, dan yang mempunyai mulut yang piawai menjual “Kecap Bango nomor satu di dunia”. Kalau kepada kedua belah pihak diberi sepasang sarung tinju atau sepasang kelewang, debat-debat agama ini akan berubah menjadi sangat seru, tetapi bersimbah darah.ii Sudah jelas seorang Muslim yang eling, yang memiliki wawasan akademik dan biasa hidup toleran dan damai di tengah kemajemukan, tidak akan mau masuk ke dalam debat agama kalangan ini. Debat-debat agama kalangan apologetika tidak pernah berakhir dengan rasa damai di hati masing-masing pihak yang berdebat, tidak pernah berhasil memindahkan orang lain ke agama sendiri, tidak pernah bisa memperkaya khazanah pengetahuan pihak-

23 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


PENYEBARAN AGAMA

pihak yang berdebat mengenai agamaagama lain, melainkan seringkali membuat para ahli apologetika makin histeris karena alasan-alasan sepele yang menyangkut agama mereka masing-masing.

(4) Penyebaran agama lewat dialog bermartabat Lawan dari apologetika adalah dialog. Dalam dialog, pihak-pihak yang aktif saling menghormati dan menghargai posisi masing-masing, memandang pihak lain bukan sebagai lawan tetapi sebagai mitra yang sederajat, dan keduanya akan sama-sama mengalami perluasan wawasan dan pengayaan intelektual dan spiritual. Keduanya akan sama-sama tumbuh dan berkembang menuju kematangan, keagungan, keterbukaan yang makin luas, dan akan mengalami pengalamanpengalaman baru yang akan merevitalisasi, mentransformasi dan menguniversalisasi kepercayaan-kepeercayaan yang semula dipegang masing-masing mitra, dan, pada saat yang sama, tidak akan terjadi proselitisasi atau pemurtadan terhadap pihak manapun.iii Lewat dialog yang intensif dan ekstensif, seorang Kristen akan menjadi Kristen plus, seorang Muslim akan menjadi Muslim plus, seorang Hindu akan menjadi Hindu plus, dan seterusnya. Mengapa? Karena lewat dialog yang jujur, terbuka dan bermartabat, setiap pihak yang terbenam di dalamnya akan diperkaya oleh agama-agama lain, tanpa harus pindah agama. Agamawanagamawan yang telah mengalami keadaan ini sangat diperlukan dalam masyarakat,

sebagai orang-orang yang bisa melintasi batas-batas agamanya sendiri, sehingga mereka bisa menjadi figur-figur pemersatu umat-umat beragama yang berbeda Dengan demikian, salahlah anggapan bahwa dialog antar agama-agama tidak akan bergerak ke mana-mana dan pihakpihak yang berdialog hanya akan makin terbenam dalam aktivitas tukar pikiran saja, yang tidak memberi buah berharga apapun buat agama dan umat mereka masing-masing: tidak ada konversi, tak ada pertambahan jumlah anggota umat, malah sebaliknya umat beragama yang minoritas akan makin tak berdaya dalam mengembangkan agama dan jumlah umat mereka. Selain itu, dialog antaragama yang menghasilkan pengayaan timbalbalik sering dituduh sebagai kegiatan sinkretisme, mencampur agama-agama sehingga masing-masing agama kehilangan keaslian atau kemurniannya. Tapi tuduhan ini salah, sebab sinkretisme adalah sesuatu yang sudah lama terjadi secara alamiah ataupun secara kultural. Kita semua tahu bahwa tidak ada agama apapun dalam dunia ini yang ketika lahir, tumbuh dan berkembang tidak memakai atau meminjam atau menyerap pandanganpandangan dari kebudayaan-kebudayaan lain, baik yang menjadi latarbelakang kelahirannya maupun yang menjadi tempattempat persemaian baru ketika agama ini disebarkan ke kawasan-kawasan lain yang asing. Memakai istilah-istilah baku dalam dunia misiologi agama-agama, akan selalu terjadi inkulturasi (atau indigenisasi) dan

24 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


PENYEBARAN AGAMA

kontekstualisasi baik ketika sebuah agama baru dilahirkan maupun ketika sebuah agama disebarkan dan masuk ke wilayahwilayah yang baru dan asing. Hanya dengan melewati semua proses antropologis kultural ini, sebuah agama baru akan cepat diterima masyarakatnya dan ketika disebarkan akan juga cepat dan mudah diterima dan dihayati oleh masyarakat asing yang menjadi sasaran penyebaran agama ini. Agama yang murni datang dari surga, yang seratus persen tidak bersentuhan dengan dunia nyata tempat kehidupan kita. Jika agama semacam ini ada, agama ini tidak akan dimengerti oleh siapapun di dunia ini, yang berjalan dengan menginjak muka Bumi dan yang masih terus-menerus belajar untuk menjadi lebih bijak dan bajik. Agama yang tidak dimengerti jelas akan ditolak, dan agama yang ditolak tentu akhirnya akan lenyap dari dunia ini, cepat atau lambat.

ajaran-ajaran agamanya dalam berbagai bentuk ekspresif kesenian dan kebudayaan yang diambil dari kebudayaan masyarakat sasaran penyebaran agama. Misalnya dalam bentuk gaya lukisan, madah, pantun, alat-alat musik, bentuk pakaian, bentuk bangunan, bahasa, kisah-kisah, olah raga, upacara-upacara, sampai ke gaya hidup, yang semuanya berurat dan berakar dalam kehidupan masyarakat-masyarakat lokal yang menjadi sasaran penyebaran agama. Inkulturasi bisa berlangsung dalam dua bentuk metaforis: bentuk percampuran air dan minyak, atau bentuk percampuran air dan susu.iv Sebagaimana air dan minyak tak bisa larut menyatu, tetapi tetap terpisah meskipun berada dalam satu wadah, inkulturasi bentuk ini masih menampilkan dengan kuat kekhususan agama si penyebar, yang disatukan tanpa terlebur dengan agama atau kebudayaan masyarakat lokal.

(5) Penyebaran agama lewat inkulturasi dan kontekstualisasi teologi

Contoh: gamelan dipakai, tetapi lagulagu yang dinyanyikan tetap lagu-lagu Kristen Barat sehingga terdengar aneh, tak klop, di telinga penduduk asli. Atau, lukisan dibuat dengan memakai wujud-wujud orang setempat yang memakai pakaianpakaian lokal, atau memakai latarbelakang lingkungan alam setempat, tetapi tema lukisannya nyata sekali tema Kristen, yang dulu muncul dan bertahan di Palestina atau di wilayah Eropa pada abad-abad pertama Masehi atau Eropa zaman Renesans, atau yang terdapat di dalam Alkitab.

Jika sebuah agama disebarkan lewat inkulturasi, maka si penyebarnya akan mengungkapkan kisah-kisah skriptural dan

Inkulturasi jenis kedua berhasil dijalankan jika suatu bentuk karya seni (lukisan, atau nyanyian, misalnya) tidak

Jadi, jika memang penyebaran agama tidak bisa dilarang, demikian juga perpindahan agama, maka lakukanlah ini lewat dialog untuk menghasilkan agamawan-agamawan lintas agama, yang punya basis kuat dalam agamanya sendiri tetapi juga bisa menyeberang ke agamaagama lain demi memikul tugas luhur mempersatukan umat manusia.

25 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


PENYEBARAN AGAMA

lagi bisa dibedakan secara internal, mana tema lokal dan mana tema agama tertentu, karena kedua tema ini sudah lebur menyatu, tanpa dapat dibedakan, dalam satu bentuk karya seni. Kita tahu, orang Kristen di Indonesia, yang dipelopori orang Katolik Indonesia, sudah lama memakai metode penyebaran agama Kristen lewat strategi inkulturasi jenis percampuran air dan minyak; dan strategi ini, karena tidak melebur dua tradisi (tradisi lokal dan tradisi asing yang diimpor), dengan mudah sudah terbaca dan diketahui umat Muslim di mana-mana, lalu diberi reaksi keras dan tak sedikit yang agresif. Nah, pertanyaannya: Apakah penyebaran agama Kristen lewat dua jenis inkulturasi ini harus dilarang? Jawabnya: Tak bisa dilarang, sebab yang disajikan kepada masyarakat adalah lukisan atau karya seni lain atau bentuk-bentuk ekspresif artistik kultural, yang meskipun lokal, tetap merupakan bagian dari kebudayaan global yang dilindungi oleh PBB untuk dipelihara. Kebudayaan dan kesenian yang sangat dipingit, yang dibatasi hanya untuk satu suku tertentu yang kecil populasinya, akan bisa hilang dari dunia, cepat atau lambat sekalipun dilindungi oleh UU suatu negara. Sebaliknya, bentuk-bentuk kesenian dan kebudayaan lokal yang oleh para penyebar agama diangkat ke peringkat dunia, sehingga dikenal dunia luas, akan lebih besar kemungkinannya untuk bertahan dalam jangka waktu yang sangat panjang. Jadi, ketimbang melarang paksa dua jenis strategi inkulturasi ini, sebaiknya

umat Muslim di Indonesia mempersilakan keduanya dijalankan oleh para pemberita Kristen lewat tangan para seniman, lokal maupun mancanegara. Dan kepada para pemuka Muslim, saya sarankan mereka dapat menjelaskan bahwa semua yang mereka lihat ada dalam wilayah kesenian dan kebudayaan, sehingga tak perlu dilarang, malah harus didorong supaya kebudayaan dan kesenian Indonesia yang sangat pluralistik bisa dikenal dunia luas di luar Indonesia. Jika semua hasil inkulturasi ini dipandang demikian, setiap Muslim yang memiliki basis kuat dalam akidah-akidah dasariah Islam, yang menyaksikan bentukbentuk ekspresif kesenian dan kebudayaan hasil inkulturasi, tak akan pindah agama, dan malah bisa menghargai seni sebagai seni, meskipun si senimannya atau orang yang memesan karya seni titipan ini punya tujuan lain, yakni mau mengkristenkan orang lain lewat karya-karya kesenian dan kebudayaan. Tujuan ini tidak bisa diabaikan atau dihilangkan, tetapi setiap Muslim yang bebas, bisa menentukan sendiri dengan merdeka apa pesan karya seni dan karya kebudayaan hasil inkulturasi, yang sedang dipandang dan ditafsirkannya. Kalau mau melangkah lebih jauh dan lebih kreatif, para pelukis Muslim juga dapat melakukan inkulturasi Islam ke dalam bentuk-bentuk kultural dan kesenian lokal, yang sangat banyak ragamnya di bumi Indonesia. Tentu hal ini akan dapat dilakukan jika hambatan-hambatan akidah dan tradisi Islam dapat diatasi atau dilampaui.

26 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


PENYEBARAN AGAMA

Penyebaran agama juga dilakukan lewat kontekstualisasi, yang pada dasarnya sejajar dengan metode inkulturasi atau indigenisasi, tetapi dilakukan dalam konteks kehidupan politik suatu bangsa dan negara. Ini pun sudah dan sedang terjadi di Indonesia, yakni umat Kristen, dengan berlandaskan keyakinan-keyakinan mereka, ambil bagian dalam kegiatankegiatan politik, lokal maupun nasional, untuk ikut memberi arah ke mana bangsa dan negara ini diharapkan akan bergerak.

asuhan.

Umat Muslim tak perlu terkejut atau merasa geram terhadap usaha-usaha kontekstualisasi yang dijalankan oleh umat Kristen di Indonesia dalam kawasan politik, sebab mereka sendiri, sebagai umat beragama terbesar jumlahnya, juga sangat berkepentingan menuntun politik bangsa dan negara ini untuk sejalan dengan keyakinan-keyakinan Islami mereka. Semua orang sudah tahu, Islam adalah agama politik. Supaya tak terjadi benturan kepentingan politis, hemat saya, usahausaha ambil bagian dalam kehidupan politik bangsa dan negara secara kontekstual perlu dijalankan dengan berbasis bukan pada masing-masing komunitas keagamaan, tapi pada masyarakat sipil.

Tentu banyak gereja membuka sekolahsekolah atau universitas-universitas Kristen yang dapat juga dimasuki oleh orang-orang non-Kristen sebagai siswa/i atau mahasiswa/i. Tapi, sekolah-sekolah dan universitas-universitas semacam ini tunduk pada peraturan pemerintah yang melarang pemanfaatan secara langsung institusi pendidikan umum yang berlatarbelakang agama tertentu untuk kegiatan penyiaran agama kepada orang yang tidak menganut kepercayaan yang melandasi pendirian institusi ini. Kalaupun pemerintah tidak mengaturnya, sangat jarang institusi pendidikan semacam ini akan memakai kegiatan belajar-mengajar sebagai kesempatan mengkristenkan peserta didik yang non-Kristen, berhubung mereka juga menyadari dan paham betul bagaimana perasaan dan reaksi masyarakat non-Kristen terhadap mereka jika institusi pendidikan yang mereka bangun, ketahuan dibangun untuk kegiatan kristenisasi.

(6) Penyebaran agama lewat aktivitas pelayanan sosial (diakonia) Diakonia (kata Yunani, diterjemahkan “pelayanan� sosial) dilakukan gereja minimal dalam tiga bentuk. Pertama, pelayanan amal, misalnya pemberian sembako kepada penduduk miskin atau pakaian dan mainan bekas ke panti-panti

Kedua, pelayanan pendidikan dan pelatihan, yakni menyekolahkan dan melatih para pengangguran dan orang miskin agar mereka memiliki bekal pengetahuan praktis dan keahlian yang dapat membuat mereka menemukan pekerjaan. Filsafat moral yang dijalankan dalam kegiatan ini adalah: jangan beri orang miskin ikan, tetapi berilah mereka kail supaya mereka dapat menangkap ikan sendiri!

Biasanya juga, sangat jarang seorang Muslim mau masuk ke institusi-institusi pendidikan Kristen; kalaupun ada yang

27 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


PENYEBARAN AGAMA

mau masuk, institusi ini akan meminta orangtua peserta didik yang Muslim ini untuk menandatangani sebuah pernyataan bahwa anaknya tidak dilarang untuk mengikuti pelajaran agama Kristen.

Hal yang patut disayangkan, karena sebenarnya banyak juga orang Kristen yang menjalankannya tanpa pamrih apapun, selain untuk membahagiakan orang-orang yang mereka layani.

Masih dalam bentuk pelayanan yang kedua, gereja Kristen juga membuka pusatpusat pendidikan dan pelatihan bagi orang miskin dan pengangguran, dan juga pantipanti asuhan, yang pada awalnya, ketika belum diganggu oleh kalangan lain yang non-Kristen, banyak diminati mereka, tetapi akhirnya harus ditutup karena tuduhan bahwa pelayanan jenis ini dijalankan untuk mengkristenkan penduduk miskin dan pengangguran yang kebanyakan adalah Muslim.

Bagaimana kaum Muslim menyikapi dua bentuk diakonia ini? Pertama, cek langsung ke orang-orang, gereja-gereja, atau yayasan-yayasan Kristen, yang mengadakan dua kegiatan diakonia ini, khususnya yang diadakan di kawasan Muslim, apakah mereka bertujuan melakukan pengkristenan kaum Muslim atau tidak. Kedua, jika mereka menjamin (sebaiknya tertulis) bahwa misi mereka bukan kristenisasi sama sekali, percayalah kepada mereka, dan dukung dengan ikhlas, dan jika perlu juga dengan dana, kegiatankegiatan diakonia mereka.

Sebetulnya, semua bentuk pelayanan tidak boleh menjadi sarana pengkristenan orang non-Kristen, sebab yang menjadi tujuan diakonia adalah membantu mereka yang menerima perlakuan tidak adil dan tak memiliki kesempatan untuk maju sama sekali, untuk mendapat bagian atau berpartisipasi di dalam berbagai aktivitas bermasyarakat dan mengecap kemajuan di masa-masa selanjutnya kehidupan mereka. Tentu saja masih akan selalu ada orang Kristen yang memanfaatkan pelayanan sosial gereja untuk mengkristenkan orang-orang yang dilayani, secara diamdiam dan berharap-harap, atau dengan terang-terangan. Karena kesalahan pemahaman orang Kristen yang semacam inilah, akhirnya pelayanan sosial gereja sekarang ini dicurigai dan dinilai banyak Muslim sebagai kegiatan amal yang ujungujungnya adalah kegiatan pengkristenan.

Bentuk pelayanan yang ketiga adalah advokasi, yaitu melakukan pendampingan dan pembelaan atas orang-orang miskin jika mereka terlibat atau berhadapan dengan masalah-masalah hukum, yang timbul karena perlakuan-perlakuan tidak adil dan sewenang-wenang yang mereka alami dari para pengusaha, penguasa atau kalangan lain. Umumnya pelayanan advokatif ini tidak langsung ditangani gereja, melainkan lewat yayasan-yayasan bantuan hukum yang didirikan warga gereja. Bagaimana sikap Muslim terhadap pelayanan advokasi? Jika kalangan Muslim sepakat bahwa orang miskin yang mengalami perlakuan tidak adil harus dibela secara hukum, maka dukunglah atau ikutsertalah. Dalam pelayanan jenis ini, sama sekali tidak ada tujuan pengkristenan,

28 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


PENYEBARAN AGAMA

Banyak reaksi negatif dari kalangan Muslim terhadap penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa lokal atau bahasa-bahasa suku di Indonesia. Mereka khawatir bahwa lewat Alkitab yang ditulis dalam bahasabahasa suku akan banyak orang Indonesia, lebih-lebih yang tinggal di kawasan-kawasan pedalaman, menjadi Kristen.

bukankah Alkitab dalam bahasa Indonesia bisa membuat mayoritas Indonesia menjadi Kristen? Faktanya tidak demikian. Sejak 1928, hingga kini, Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya (anggaplah 85 persen) menganut agama Islam. Tampaknya tidak ada kemungkinan yang rasional bahwa suatu saat di masa depan Indonesia akan berubah menjadi sebuah negara Kristen. Selian itu, siapakah di dunia ini yang bisa dan absah melarang orang Indonesia berpikir, berbicara dan menulis dalam bahasa nasional mereka, bahasa Indonesia? Selain itu, harus diingat bukan hanya Alkitab, tetapi AlQur’an dan banyak kitab suci lain juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Siapa yang bisa dan sah melarang?

Ketika mereka sudah menjadi Kristen, dikhawatirkan mereka akan mengubah gaya hidup mereka, mengikuti gaya hidup para penyebar agama Kristen yang tidak sedikit di antaranya adalah orang-orang bule/Barat (yang biasa disebut misionaris), yang rela dan senang masuk ke pedalamanpedalaman Indonesia dan tinggal si sana bertahun-tahun, mempelajari kebudayaan, bahasa dan psikologi mereka.v

Kedua, bahasa Indonesia dan semua bahasa suku bangsa apapun, dan di manapun, adalah juga bagian dari kekayaan kebudayaan global yang patut dipelihara dan dipertahankan untuk jangka waktu yang lama. Penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa suku dapat dikatakan adalah bagian dari usaha-usaha melestarikan bahasa-bahasa suku yang ada dalam dunia ini, khususnya yang ada di Indonesia.

sebab umumnya ditujukan kepada banyak warga masyarakat miskin sekaligus, bukan kepada satu atau dua orang miskin. Dan akan jauh lebih baik, jika aksi advokasi dipikul dan dijalankan secara bersamasama oleh umat-umat lintas-agama.

(7) Penyebaran agama lewat penerjemahan Alkitab

Apakah kekhawatiran kaum Muslim semacam ini dapat dibenarkan? Sama sekali tidak, karena beberapa alasan. Pertama, jika penerjemahan ke dalam bahasa-bahasa suku dipandang berbahaya, bukankah jauh lebih berbahaya penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia, mengingat bahasa Indonesia adalah bahasa nasional? Lalu, ada lagi kekhawatiran: dengan memakai logika Muslim yang sudah digambarkan di atas,

Kanibalisme sekaligus rasisme ─ dua hal yang harus diperangi!

29 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


PENYEBARAN AGAMA

Ketiga, Alkitab meskipun berisi anjurananjuran tak bermoral jika dilihat dari kaca mata kehidupan modern (antara lain: perintah melakukan genosida; praktik atas nama agama mengorbankan anak sulung untuk Tuhan; larangan bergaul lintas agama atau menerima pengaruh dari agama-agama lain; posisi manusia yang dipandang lebih tinggi dari alam dan harus menaklukkan alam; dan lain sebagainya), tetap masih memuat pesan-pesan moral yang relevan secara universal. Pesan moral ini, lewat penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa suku, relevan untuk diperdengarkan dan diketahui suku-suku terasing, misalnya suku-suku yang kanibalis (dulu masih ada di Indonesia, sekarang mungkin sekali sudah tak ada) atau yang masih sering terlibat perang antar-suku dan tak bisa diperdamaikan. Lalu, bagaimana kaum Muslim harus menyikapi penyebaran agama Kristen lewat penerjemahan Alkitab ke dalam bahasabahasa suku? Jelas, kaum Muslim perlu juga menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa-bahasa suku yang ada di Indonesia, dengan maksud dan tujuan yang bisa serupa dengan maksud dan tujuan Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa suku, sebagaimana sudah diuraikan di atas. Mengingat, misalnya, keturunan Tionghoa di Indonesia yang masih berbicara dan membaca bahasa Mandarin dan berbagai dialeknya yang majemuk, masih banyak, maka supaya Islam makin masuk ke kalangan mereka, Al-Qur’an juga perlu diterjemahkan oleh para sarjana Muslim

Indonesia ke dalam bahasa Mandarin dan dialek-dialeknya untuk dipakai menyiarkan agama Islam ke mereka. Jadi, bersainglah dengan sehat dan agung dalam usaha menerjemahkan Al-Qur’an, ke dalam bahasa-bahasa suku yang ada di Indonesia, meskipun usaha ini masih sangat banyak yang menentang karena bahasa Arab Al-Qur’an (dan kebudayaan Arab pada umumnya) dipandang agung dan tinggi, melampaui bahasa-bahasa lain (dan kebudayaan-kebudayaan lain) apapun dalam dunia ini, suatu sikap mental Muslim yang sangat perlu dievaluasi dengan dingin di zaman modern ini.

Penutup Telah diuraikan di atas tujuh metode penyebaran agama Kristen di Indonesia, serta saran-saran bagaimana seharusnya umat Muslim Indonesia menyikapinya. Tentu masih ada metode-metode lainnya, yang belum saya uraikan dalam tulisan ini, misalnya metode passing-over dan coming-back, yang lazimnya dilakukan para pakar pengkaji agama-agama, yang demi pemahaman empatetis atas agamaagama lain pindah agama untuk sementara waktu (passing over), lalu, setelah sekian tahu berkelana, balik kembali ke agamanya semula (coming back) untuk memperkaya agamanya yang semula ini dengan berbagai pandangan baru.vi Sikap proaktif terkuat dan paling bertanggungjawab dan bermartabat untuk mencegah pemurtadan di lingkungan umat Muslim Indonesisa, adalah memperkuat basis spiritual, moral, akidah dan gaya

30 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


PENYEBARAN AGAMA

hidup semua Muslim di Indonesia. Jika ini sudah bisa dihasilkan, bisa jadi Muslim di Indonesia akan tampil dengan percaya diri, dan tak mudah curiga, resah dan marah ketika mereka melihat aktivitas penyebaran agama yang dilakukan orang Kristen. Pada sisi lain, orang Kristen di Indonesia hendaklah menyadari dan paham, bahwa berusaha mengganti agama orang yang sudah beragama dengan agama Kristen adalah sebuah tindakan yang tidak terpuji, sebuah tindakan yang a-sosial. Kalaupun agama apapun perlu terus disebarkan, lakukanlah lewat dialog yang jujur, terbuka, bermartabat dan mencerahkan, dengan hasil bukan pemaksaan apalagi “pemurtadan”, melainkan pengayaan timbal balik, sehingga yang Kristen menjadi Kristen plus, yang Muslim menjadi Muslim plus, yang Buddha menjadi Buddha plus, dan seterusnya. Metode dialog inilah yang pas dijalankan di Indonesia, suatu negara besar yang bisa pecah berantakan jika umat-umat beragama yang berbeda-beda berusaha memperbanyak umat sendiri lewat kegiatan pemurtadan.

iLihat tulisan saya yang tersedia online di http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2011/11/ pengalaman-pengalaman-spiritual.html

iiSeorang

Muslim dari Afrika Selatan yang ahli debat jenis ini adalah alm. Ahmed Hoosen Deedat (1918-2005), pendiri Islamic Propagation Centre International (IPCI). Deedat sangat bersemangat dalam membela pandanganpandangan Islam dan dalam melindungi umat Muslim dari praktek-praktek proselitisasi kaum Kristen evangelikal. Banyak topik yang

dia perdebatkan dengan para ahli debat sejenis dari kalangan Kristen evangelikal, antara lain mengenai doktrin Tritunggal Kristen (tersedia online di youtube http://www.youtube.com/ watch?v=9uF4hoU9HRs) dan mengenai Nabi Muhammad dalam Alkitab (tersedia online 11 seri di youtube http://www.dailymotion.com/ video/x3v42v_youtube-muhammed-in-thebible-ahmed_people). iiiTentang

dialog antar-agama, apa hakikatnya, maksud dan tujuannya serta panduanpanduannya sudah banyak ditulis, antara lain David Tracy, Dialogue with the Other: The InterReligious Dialogue (Louvain Theological and Pastoral Monographs 1; Louvain/Grand Rapids: Peeters Press/William B. Eerdmans Publishing Co., 1990); Raimon Panikkar, The Intra-Religious Dialogue (Mahwah, New Jersey: Paulist Press, 1999); Francis Xavier Clooney, Comparative Theology: Deep Learning Across Religious Borders (West Sussex: Blackwell Publishing, 2010). Tentang metode dialog dalam konteks demokrasi Amerika, lihat Daniel Yankelovich, The Magic of Dialogue: Transforming Conflict into Cooperation (New York, etc.: Simon and Schuster, 1999); William Isaacs, Dialogue and the Art of Thinking Together (A Currency Book; New York: Doubleday, 1999); Marianne Mille Bojer, Heiko Roehl et al., Mapping Dialogue: Essential Tools for Social Change (A Taos Institute Publication, 2008). ivDua macam pendekatan inkulturasi ini dijabarkan oleh Volker Küster, “Accomodation or Contextualization? Ketut Lansia and Nyoman Darsane - Two Balinese Christian Artists”, dalam Mission Studies 16 (1999) 157-172. Lihat juga idem, Die Vielen Gesichter Jesu Christi: Christologie Interkulturell (Neukirchen-Vluyn: Neukirchener Verlag, 1999); Ruth Illman, Art and Belief: Artists Engaged in Interreligious Dialogue (Cross Cultural Theologies, 2012) (Equinox Publishing Limited, 2012).

31 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


PENYEBARAN AGAMA

v Tentang

missiologi Kristen yang disusun dengan melibatkan ilmu-ilmu sosial, lihat Edward Rommen dan Gary Corwin, eds., Missiology and the Social Sciences: Contributions, Cautions and Conclusions (William Carey Library Pub., 1996); Paul G. Hiebert, Anthropological Insights for Missionaries (Grand Rapids: Baker Academic, 1985); tentang missiologi Kristen dalam perjumpaan dengan budaya-budaya lokal, lihat Don Kulick, Language Shift and Cultural Reproduction: Socialization, Self and Syncretism in a Papua New Guinean Village (Cambridge: The Press Syndicate of the University of Cambridge, 1992; cetak ulang 1995, 1997, 1998, 2002); David Lindenfeld and Miles Richardson, Beyond Conversion and Syncretism: Indigenous Encounters with Missionary Christianity 18002000 (Berghahn Books, 2011). Sejumlah biografi para missionaris Kristen telah disusun oleh Ruth A. Tucker, From Jerusalem to Irian Jaya: A Biographical History of Christian Missions (Grand Rapids: Zondervan, 1983, 2004). viFrasa “passing over” dan “coming back” berasal dari John S. Dunne. Dalam kata pengantar bukunya, The Way of All the Earth: Experiments in Truth and Religion (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1986), Dunne menulis: “Is a religion coming to birth in our time? It could be. What seems to be occurring is a phenomenon we might call ‘passing over’, passing over from one culture to another, from one way of life to another, from one religion to another. Passing over is a shifting of standpoint, a going over to the standpoint of another culture, another way of life, another religion.” Menurut Dunne, setelah ber-passing over si agamawan melakukan gerak kembali ke agamanya semula: “it is followed by an equal and opposite process we might call ‘coming back’, coming back with new insight to one’s own culture, one’s own way of life, one’s own religion.” Dunne melihat proses ini sebagai sesuatu yang khas berlangsung dalam zaman kita: “Passing over and coming back, it seems is the spiritual adventure of our time.”

Lihat juga buku Dunne, A Search for God in Time and Memory (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1987).

Ioanes Rakhmat, pengkaji agama-agama dan pemerhati sains.

32 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


APA KATA MEREKA

APA KATA MEREKA ? KATA DALAI LAMA: “TIDAK PERLU KUIL-KUIL ATAU GEREJA, KARENA AGAMAKU BEGITU SEDERHANA. AGAMAKU ADALAH KEBAIKAN HATI.” Apa kata mereka tentang pendapat Dalai Lama ini?

“Persoalannya, beribadah kerap disamakan dengan melakukan aktivitas ritual keagamaan. Karena itu masjid sebagai rumah ibadah adalah tempat di mana orang bersama dengan mereka yang ‘seiman‘ untuk bersembahyang, berzikir, mengaji serta mungkin berceramah, mendengarkan khotbah dan berdiskusi soal agama. Ketika orang meninggalkan masjid, dia masuk ke dalam sebuah kehidupan berbeda yang tak memberi tempat bagi Tuhan di otak mereka. Di dalam masjid semua persyarakat kesucian dipatuhi. Di luar masjid, semua hal yang bertentangan dengannya layak dilakukan. Karena itu pendirian banyak masjid tentu tidak berkolerasi dengan kesejahteraan, perdamaian, kemaslahatan orang banyak, karena masjid hanya menjadi tempat manusia berdoa pada Tuhan. Masjid hanya menjadi tempat persinggahan sesaat bagi orang untuk menenteramkan hatinya – atau menunjukkan kepada sejawat seiman - bahwa ia tetap ingat Tuhan. Itu yang menjelaskan mengapa ada begitu banyak orang yang tertidur saat menjadi jemaat shalat Jumat. Namun ini tentu tak berarti bahwa tempat ibadah tidak diperlukan. Hanya saja konsepsi rumah ibadah yang seharusnya diubah. Sebuah rumah ibadah yang mewah yang sekadar bersih, nyaman, harum dan tenang untuk mengakomodasi kebutuhan orang secara sungguh-sungguh berdoa pada Tuhan tidaklah diperlukan. Yang diperlukan adalah rumah ibadah yang menjadikan para pengunjungnya terlibat langsung dalam upaya menyejahterakan umat manusia. Yang dibutuhkan adalah masjid yang menjadikan kaum muslim sungguh-sungguh mengabdikan kehidupannya untuk menjadikan bumi lebih damai dan membawa kebahagiaan pada semua ciptaanNya.“ • Ade Armando, peneliti media dan dosen di Universitas Indonesia.

33 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


APA KATA MEREKA

“Agama memang begitu sederhana, akan tetapi mempertahankan bentuk kesederhanaannya itu harus melalui liku jalan yang berat. Kelemahan manusia dengan keluputan sifat kemanusiawiannya menjadikannya tidak sederhana lagi. Agama menjadi kendaraan nafsu manusia berserakah terhadap dunia dan sesamanya. Kuil dan gereja menjadi salah satu tempat singgah kendaraan keserakahan itu. Kuilku hari ini, gerejaku hari ini, dan kebenaranku hari ini adalah mitosku hari esok. Perbaharui selalu kuil-kuil kita, gerejagereja kita-agar kebenaran yang berjalan itu bukanlah nilai-nilai yang terusang dan terberhalakan, sebab kuil dan gereja bukanlah sandaran yang melenakan. Kuil dan gereja selayaknya menjadi ajang tempa diri untuk bisa membebaskan umatnya dari belenggu perbudakan, untuk bisa menjadikan umat manusia yang merdeka. Hanya manusia beragama yang merdeka yang tahu bagaimana melangkahkan kakinya agar tak terantuk. Manusia yang tidak tergagap dengan kebaharuan dan perkembangan peradaban. Manusia yang berani menghadapi segala rasa hidup, yang saat derita menimpa tidak mengingkarinya di bawah payung-payung yang tersimpan di kuil dan gereja. Menjadi beragama bukanlah menjadi budak agama, melainkan menjadi umat yang berdaulat atas suara hati dan langkah hidupnya. Umat yang selalu memperbaharui nilai-nilai kebenaran dan kebaikan-kebaikan yang terjalin di dalamnya.“ • Ping Setiadi, guru serta seniman gambar, ilustrasi, lukis dan desain grafis. “Dalai Lama menggambarkan agamanya adalah kebaikan hati. Pernyataan ini tidak hanya bermuatan perdamaian dan toleransi antar umat beragama, namun beliau juga benar bahwa moralitas tidak bersumber pada tempat ibadah, kitab suci, ajaran dogmatis, dan pemuka agama. Marilah sejenak kita membayangkan jika besok tidak ada satupun agama di dunia ini, apakah lantas semua orang akan saling membunuh? Tentu saja TIDAK! Saya berharap jika ada seseorang yang bertindak layaknya “orang Samaria yang murah hati”, ia melakukannya bukan karena dirinya beragama apalagi sok beragama melainkan karena terdorong oleh rasa kemanusiaan yang kuat. Rasa kemanusiaan inilah yang merupakan hakikat moralitas kita sebagai Homo sapiens. Dari sinilah tumbuh kebaikan hati. Ironisnya, seringkali justru agamalah yang membuat manusia kehilangan rasa kemanusiaan tersebut. Contoh yang ekstrem sekaligus nyata adalah teror bom bunuh diri atas nama Tuhan. Mereka

34 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


APA KATA MEREKA

melakukannya karena begitu percaya kepada Tuhannya dan merasa yakin bahwa tindakannya berada di jalan Tuhan. Mereka juga sungguh yakin akan memperoleh kehidupan kekal di surga. Di sinilah kebenaran semu yang ditawarkan oleh agama telah meleyapkan rasa kemanusiaan. Kita tidak memerlukan agama untuk memiliki kebaikan hati. Rasa kemanusiaan itu sudah tertanam cukup kuat dalam diri kita. Sudahkah kita menyadarinya?” • Brian Koentjoro, Mahasiswa pasca-sarjana di Sydney University – Australia. “Coba bayangkan saja bagaimana kalau ada agama yang tidak punya kuil membuat simbol? Tidak akan laku dijual. Di mana tempat untuk mengumpulkan ribuan bahkan jutaan orang untuk sumbangan yang tidak dikenakan pajak dan tidak ada pembukuan resmi, apalagi audit? Kalau tidak ada kuilnya, dari mana si pemuka agama bisa membeli mobil bagus dan berumah mewah? Penting itu! Penting buat jadi tempat cuci duit dan menjadi sumber hidup orang-orang yang pekerjaannya cuma berbicara di depan umat-umatnya. Umatnya juga merasa lebih suci begitu keluar dari sana dan merasa sudah berarti hidupnya walaupun tahunan cuma jadi buruh kecil dan juga mutusin sekolah anaknya buat ngamen di pinggir jalan. Tidak perlu protes apalagi demo, cukup sembahyang sesering mungkin, dari pagi sampai malam, untuk mendapatkan surga di atas sana. Kesimpulan: agama yang diajukan Dalai Lama tidak akan laku dijual di negera seperti indonesia ini, karena terlalu idealis, dan tidak pada tempatnya. Nanti, pada saat negara ini sudah kenyang semua manusianya, sudah punya pendidikan, rumah layak, sudah dicerdaskan semua, mungkin baru cocok. Kalau tidak, maka para manusianya tetap membutuhkan imajinasi yang menemani mereka saat perut lapar, sambil menunggu malaikat kematian menjemput.” • Dian Kencanasari, mahasiswa di Universitas Bina Nusantara dan mempunyai ketertarikan pada isu-isu filosofis serta ideologi praktis di masyarakat. “Tidak perlu kuil-kuil atau gereja, tidak perlu umat, tidak perlu ajaran suci, tidak perlu guru suci, tidak perlu ada seorang dengan titel ‘Dalai Lama‘ yang diagung-agungkan banyak orang.“ Katakan itu kembali pada Dalai Lama. Kebaikan hati, adalah sesuatu yang tidak mudah. Sepanjang sejarah manusia kita terus belajar menjadi lebih baik, menghapus perbudakan, diskriminasi agama, ras, gender, orientasi seksual, menghindari peperangan, pembantaian, penindasan, kelaparan, penyakit, dan berbagai kesengsaraan hidup lainnya. Kita belajar mengubah diri dari yang sebelumnya mencintai sesama anggota kelompok dan menyesat-nyesatkan kelompok lain, menjadi hidup bersama sebagai anggota dari umat manusia yang setara, yang punya hak asasi yang sama. 35 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


APA KATA MEREKA

Di manakah peranan agama? Sebuah agama tidak pernah hanya sekedar kebaikan hati, tidak pernah hanya sekedar cinta kasih dan menolong sesama, selalu lebih dari pada itu. Selalu ada yang disucikan, kebal kritik, diimani. Selalu ada penghakiman, entah itu Surga dan Neraka, reinkarnasi menjadi yang lebih rendah, atau lainnya. Selalu ada sarana mendiskriminasi dan menyesatkan kelompok lain. Agamaku adalah kebaikan hati, tetapi agamaku bukan agama Dalai Lama. Agamaku tidak perlu pengagung-agungan kitab, ajaran, umat, keimanan, tidak perlu seorang Dalai Lama. Agamaku tidak perlu disebut ‘agama’, hanya cukup disebut ‘kebaikan hati’. Apa agamamu?” • Karl Karnadi, sedang melanjutkan studi di Jerman. Pejuang HAM ini telah diwawancarai di beberapa media nasional dan internasional (antara lain ABC Radio Australia, BBC Radio London, Reuters dan Radio Nederland Wereldomroep).

36 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


MANUSIA, AGAMA DAN

MANUSIA, AGAMA, DAN KETUHANAN Anand Krishna

Ayah saya sudah berada di Indonesia sejak sebelum pecahnya Perang Dunia ke-II. Saat itu, dunia luar masih mengenal Indonesia sebagai Dutch Indies. Di negeri sendiri, orang awam menyebut kampung halamannya dengan sebutan pulau – Jawa, Sumatera, Bali, dan sebagainya. Sementara, kaum berpendidikan menerjemahkan Dutch Indies sebagai Hindia Belanda. Ketika Perang Dunia berakhir, dan ayah saya mendengar bila British India – negara asalnya – akan dibelah menjadi dua, India dan Pakistan, ia pun kembali ke Pakistan, negara baru. Pasalnya, kampung halaman dia tidaklah berada di belahan India yang baru merdeka, tetapi berada di Pakistan, negara baru yang “baru” lahir pula.

oleh peradaban tersebut jauh melebihi kemajuan peradaban-peradaban lain. Di tepi sungai Sindh yang berbadan lebar itulah para pujangga mengumpulkan pemikiran-pemikiran pendahulu mereka dan menyebutnya “Veda” – Pengetahuan.

Sesungguhnya…. Veda berarti “Pengetahuan berdasarkan Pengalaman”

Ya, orangtua saya berasal dari Sindh dengan warisan peradabannya yang tersohor, yaitu reruntuhan Mohan-joDaro. Para peneliti modern sudah bisa memastikan bahwa kemajuan yang dicapai

Jadi, bukan sekedar pengetahuan. Dan, jelas bukanlah sekedar pengetahuan yang diperoleh dari buku. Tetapi, pengetahuan yang diperoleh dari “pengalaman pribadi”. Pengetahuan yang merupakan hasil penelitian. Para penemu atau peneliti disebut Rishi atau Resi, mereka yang telah “melihat sendiri” atau “mengalami sendiri”. Kurang-lebih 5000 tahun yang lalu, seorang editor yang luar biasa, Vyasa atau Abiyasa, mengumpulkan seluruh hasil penelitian yang

37 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


MANUSIA, AGAMA DAN

dilakukan oleh para pujangga sebelumnya, dan dibaginya dalam 4 kumpulan utama, yang disebutnya Rig Veda, Sama Veda, Yajur Veda, dan Atharva Veda. Rig Veda memuat tulisan-tulisan tentang pengalaman keagamaan, ketuhanan. Sama Veda tentang seni, Yajur Veda tentang ilmu-ilmu kehidupan dan humaniora – termasuk ilmu pengobatan, strategi perang, kepemimpinan, dan sebagainya. Terakhir, Atharva Veda, adalah tentang fenomenafenomena yang masih dikategorikan sebagai gaib, sesuatu yang belum terjelaskan. Sesuatu yang masih harus diteliti lebih lanjut.

Kembali kepada Cerita Ayah Saya…. Tidak terlintas di benah ayah saya bila ia mesti memilih antara India yang baru merdeka dan Pakistan yang baru lahir. Kampung halamannya ada di belahan dunia yang sekarang disebut Pakistan, maka jelaslah ia pulang ke Sindh, ke Pakistan. Keluarga besarnya disana. Ibunya disana. Isterinya (ibu saya), dan anaknya (kakak perempuan saya) – semua ada disana. Mau kemana lagi? Ayah menjual usahanya di Yogyakarta dan Solo – dan berangkatlah dia ke tanah harapan baru - Pakistan, yang jika diterjemahkan berarti Holy Land, Tanah Suci. Ayah adalah pengagum Mahatma Gandhi. Namun, Muhammad Ali Jinnah, saingan politik Sang Mahatma, diakuinya pula sebagai pemimpin Pakistan yang berintegritas tinggi, dan memiliki sikap inklusif yang luar biasa.

Beberapa Hari sebelum Kelahiran Pakistan… Jaminan Jinnah adalah: “Kalian bebas, kalian bebas untuk pergi ke kuil. Kalian bebas pergi ke masjid atau ke tempat ibadah manapun juga di Negara Pakistan. Kalian boleh menganut agama atau kredo mana saja, berasal dari kasta apa saja – kepercayaan kalian tidak akan dicampuri oleh Negara.... “ menjadi harapan bagi manusia seperti ayah. Ya, pidato Jinnah dalam Sidang Konstitusi di Karachi pada tanggal 11 Agustus 1947, memang mendapatkan perhatian dari seluruh dunia. Jinnah muncul sebagai pemimpin sekuler yang berketuhanan. Para fundamentalis yang sering membenarkan kekerasan atas nama agama, menuduh dirinya sebagai penganut agama yang kurang baik, kurang taat pada doktrin-doktrin agama yang dianutnya. Jinnah tidak peduli terhadap tuduhantuduhan semacam itu. Barangkali, ia bukanlah seorang ritualis yang baik, “tetapi ia adalah pelaku nilai keagamaan yang baik…”, setidaknya

38 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


MANUSIA, AGAMA DAN

demikian menurut ayah saya.

Padahal Visi Jinnah tentang Islam

Namun, melihat keadaan di Pakistan,

Adalah tentang nilai-nilai Islami yang universal, yang dapat menjadi berkah bagi seluruh umat manusia. Ia menempatkan dirinya diatas perbedaan teologi dan pertentangan historis antara kelompok Shiah dan Sunni. Bagi Jinnah, Islam adalah satu, dan yang dijunjungg tinggi olehnya adalah nilai-nilai keagamaan, ketuhanan, bukan dogma-dogma yang acapkali menyebabkan perpecahan.

Ayah Terpukul sekali‌. Keluarga besarnya, dimana ada yang beragama Sikh, ada juga sepupu yang beragama Islam – semuanya terpecahbelah. Nilai-nilai kekeluargaan terkalahkan oleh kepentingan politik dan pemahaman agama yang cenderung memecah-belah

Sayang sekali, visi Jinnah ini tidak dipahami oleh bangsanya sendiri. Jutaan orang Hindu dan Sikh tidak merasa aman di Pakistan dan bermigrasi ke India untuk menjadi pengungsi disana. Pun demikian dengan sebagian umat Islam di India yang merasa akan lebih aman dan dihargai di Pakistan maka berduyung-duyung menuju ke tanah harapan.

demi kepentingan sesaat, dan tidak lagi menjadi bahan perekat baik antara, maupun antar komunitas. Jinnah, Bapak Pakistan, yang telah berjuang demi kelahiran Pakistan, menjadi sasaran kelompok-kelompok garis keras yang menentang kebijaksaannya terhadap keompok-kelompok minoritas. Mereka tidak setuju bila negara tidak lagi ikut campur dalam urusan agama. Mereka tidak ingin memisahkan negara dari agama. Apalagi karena kelahiran Jinnah dalam keluarga Shiah, maka sebagian kelompok Sunni pun berseberangan dengan dirinya.

Demikian, terjadilah perpindahan penduduk yang terbesar dalam sejarah umat manusia selama ini. Lebih dari 15 juta orang terpisah dari keluarga dan kampung halaman mereka untuk selamalamanya. Hampir satu juta orang tewas karena pertikaian antar agama. Dan, para sejarawan pun mencatat kesedihan dan kepedihan Muhammad Ali Jinnah. Ia tidak mengharapkan semua itu terjadi. Kiranya kepedihan dan kesedihan serupa yang dirasakan oleh ayah. Maka, ia memboyong ibu, isteri, dan anaknya kembali ke Indonesia. Ya, bukan ke India yang baru meraih kemerdekaan, tetapi seperti apa yang kelak diakuinya, ke‌

39 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


MANUSIA, AGAMA DAN

“Negeri Soekarno” Dua tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia masih seperti bayi yang baru lahir. Kedudukannya di antara negara dan bangsa-bangsa yang merdeka masih belum mapan – kenati demikian, ayah memilih untuk “pulang” ke tanah ini.

Kenapa? Belasan tahun kemudian, sebagai remaja yang sangat ingin tahu tentang asalusulnya, saya pernah bertanya kepada ayah: “Ayah kenapa memilih untuk ke Indonesia, padahal setidaknya ada dua pilihan lain, di antaranya, salah satu sangat menggiurkan?” Ya, saat itu, sebagai “warga India sebelum partisi” yang berada di luar India, ayah dan para diaspora lainnya diberi pilihan oleh Pemerintah Inggris. Pilihannya tiga: Menjadi Warga Negara India; Menjadi Warga Negara Pakistan; atau, terakhir, dan ini menurut sata amat sangat menggiurkan, meneruskan statusnya sebagai warga Inggris (British Subject). Ketika ayah meninggalkan India yang masih dijajah oleh Inggris untuk mengadu nasib di Jawa, ia memang berstatuskan sebagai British Subject – Warga Inggris. Ia memiliki paspor khusus yang diterbitkan bagi warga India oleh Pemerintah Inggeris.

Saya Pikir Ayah Sangat Bodoh…. “Mengapa tidak mempertahankan ke“warga”-an Inggris, bahkan menjadi Warga Negara Inggeris dan pindah ke London,

atau setidaknya menetap di Malaya, di Singapura yang masih dijajah Inggeris? Kenapa memilih Indonesia?” Ayah saya menjawab secara spontan, “Karena Bung Karno, dan karena Pancasila.” Sesederhana itu jawaban beliau. Ia memilih Indonesia bukan karena urusan ekonomi, tetapi karena urusan kemanusiaan, karena urusan kebersamaan, karena urusan ideologi yang dianggapnya sangat manusiawi. Sekarang ketika saya mendengar tentang diaspora yang memilih untuk bekerja dimana saja karena urusan ekonomi, urusan perut dan kantong semata, belaka, maka tidak bisa tidak saya mengenang kembali jawaban beliau di atas itu.

Memilih Indonesia Karena Bung Karno dan Pancasila Bagi ayah saya, Bung Karno dan Pancasila itulah identitas Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika adalah Indonesia, ya bukan sekedar ideologi atau motto bangsa dan negara, tetapi itulah identitas negara dan bangsa kita. Setidaknya demikian bagi ayah. Sekarang, jika ada yang ingin mengganti ideologi ini dengan ideologi lain; jika ada yang ingin merubah dasar negara – maka siapa yang mesti saya tuntut? Ayah? Pilihannya? Nasib saya yang seolah ditentukan oleh pilihan itu? Orang-orang yang ingin mengkhianati kontrak bangsa yang telah dibuat oleh para pendiri bangsa dan negara modern Indonesia? Mereka yang wajib memeliharanya, tetapi tidak

40 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


MANUSIA, AGAMA DAN

mampu, atau tidak sepenuh hati? Atau, siapa?

Sekian tentang Latar Belakang Tulisan Panjang ini….. Sekarang, memasuki inti tulisan ini…. Kiranya sejak tempo doeloe, agama yang konon diturunkan untuk mefasilitasi manusia, malah dibuat menjadi perusak dan alat penghancur, oleh mereka yang mengaku sebagai pembela agama. Keadaan ini sudah berjalan lama. Dan, akan terus berjalan, jika kita, Anda dan saya tidak bersuara, dan bersuara keras untuk menentang penyelewengan agama yang terjadi selama ini. Bung Karno pernah berkata bila agama dibuat untuk manusia, dan bukan sebaliknya manusia dibuat untuk agama. Kiranya, beliau pun pernah merasakan kepiluan hati yang dirasakan oleh Jinnah, atau oleh ayah saya. Agama, religi, adalah alat untuk mempersatukan. Demikian arti kata re ligare dalam bahasa Latin, yang kemudian menjadi akar kata bagi religion atau agama. Mempersatukan kembali, atau to reconnect, mereka yang terpisah – demikian tujuan agama jika kita menerima interpreatsi re ligare. Namun, sekarang apa yang terjadi? Bukannya mempertemukan yang telah berpisah, malah memisahkan mereka yang sudah bersatu-padu sejak dahulu.

Kiranya Ayah Memahami Hal ini…. Maka, sejak usia dini, kakak dan saya diberi pelajaran, diajarkan untuk menghormati semua agama. Adalah sangat

naïf jika sikap inklusif seperti ini kemudian dituduh sebagai sikap mencampuradukkan agama, atau dikaitkan dengan sinkretisme, atau dengan isme-isme lainnya. Swami Vivekananda (1863-1902), seorang tokoh pembaharu yang berasal dari India membanggakan dirinya sebagai orang Hindu, dan oleh karenanya ia dapat menghormati Kristus, Muhammad, Buddha, dan para suci lainnya sebagaimana ia menghormati para suci yang berasal dari wilayah peradabannya sendiri. Apakah kemudian ia pun dikategorikan sebagai pencampur-aduk agama? Ayah tidak mengajarkan saya untuk mencampuraduk akidah-akidah agama. Tidak sama sekali. Kendati demikian, ia pun tidak melarang saya untuk mengikuti akidah yang saya anggap terbaik dan paling cocok dengan tabiat dan kesadaran saya. Ayah membantu saya membuka cakrawala wawasan saya sehingga saya dapat mengapresiasi kebenaran yang ada dalam setiap agama, setiap ajaran, setiap keyakinan, setiap kepercayaan, setidak tradisi dan adat-istiadat. Ayah mengajarkan saya untuk menghormati pula mereka yang ateis, karena ateisme pun merupakan kepercayaan bagi mereka yang memercayainya. Apa salahnya? Sekarang Pak Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi, pun mengakui “kebebasan individu atheis dan komunis bebas menjalankan apa yang dianutnya di Indonesia. Tapi mereka tidak boleh mengganggu kebebasan orang lain, terutama orang yang menganut agama tertentu. Kebebasan harus dianggap sama.”

41 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


MANUSIA, AGAMA DAN

(Sumber: http://id.berita.yahoo.com/ mahfud-md-bantah-legalkan-ateisme-dankomunisme-083636582.html). Seorang ateis tidak boleh menjelekjelekkan kepercayaan para penganut agama atau kepercayaan lain, sebaliknya para penganut agama pun tidak berhak memperkarakan seorang ateis karena ia tidak beragama seperti dirinya. Bukankah demikian maksud Mahfud? Kiranya, puluhan tahun sebelum pernyataan Pak Mahfud, ayah saya sudah membantu saya dan kakak saya untuk melihat kearah yang sama. Adakah dia bersalah? Menurut saya, ia hanyalah berwawasan lebih maju dari zamannya. Atau, barangkali justru zaman itu wawasan umum adalah seperti wawasan ayah. Kemudian, kesadaran kita malah merosot, dan sekarang baru bangkit kembali.

Ketika Bung Karno Memilih Istilah “Ketuhanan” Beliau sangat berhati-hati, dan memikirkan juga kelompok-kelompok yang tidak memiliki konsep Tuhan sebagaimana dimiliki oleh mayoritas kelompokkelompok agama yang hidup di tanah air saat itu. Sebab itu, bukanlah “kepada Tuhan kita percaya” seperti yang tertera di atas mata uang Amerika Serikat, tetapi “Ketuhanan yang Maha Esa.” Ketuhanan adalah abstrak, adalah menyangkut nilai-nilai kebaikan, sifatsifat kemuliaan. Seorang ateis barangkali menolak konsep Tuhan, tetapi ia tidak bisa menolak nilai-nilai kemuliaan. Sebutlah

nilai-nilai itu sebagai nilai-nilai luhur kemanusiaan, kemuliaan, atau ketuhanan – nilai-nilai tersebut adalah universal, dan berlaku sama bagi setiap orang. Kebenaran, Kebajikan, Kasih-Sayang, Kedamaian, Ketulusan, Kejujuran, Pelayanan terhadap Sesama – inilah nilainilai kebaikan, inilah nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh setiap agama. Inilah tujuan manusia beragama.

Kiranya Nilai-Nilai Keagamaan inilah yang Mesti Dipromosikan…. Ketika itu terjadi, maka agama telah berhasil memanusiakan manusia. Itulah intisari agama dan keagamaan. Itulah jalan menuju Tuhan. Itulah ketuhanan. Sekarang, pemahaman universal inilah yang sedang dalam ancaman, sedang diserang oleh mereka yang lebih suka berteologi daripada ber-keagamaan. Lebih suka berdebat, berteriak-teriak, dan berdiskusi panjang daripada melakoni nilai-nilai keagamaan. Inilah keadaan yang mesti dirubah. Inilah tantangan bagi kita semua yang mendambakan kedamaian dan keharmonisan. Bagaimana mencapai hal itu? Berikut ini adalah sebuah ulasan singkat yang terpikir oleh saya.

Dimulai dengan Kedamaian-diri Atau, Inner Peace. Kekacauan yang terjadi diluar, pertikaian, perkelanian, perang, apa saja yang terjadi atas nama agama, politik, atau alasan

42 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


MANUSIA, AGAMA DAN

lainnya – hanyalah merupakan proyeksi dari kekacauan yang sudah ada di dalam diri kita. Mustahil kita memperbaiki keadaan diluar – karena yang ada di luar itu hanyalah bayang-bayang. Inti persoalan adalah di dalam diri kita. Bayangan tidak perlu diperbaiki, dan tidak bisa. Maka, memperbaiki diri dulu. Dan, hal itu hanyalah terjadi bila kita menengok ke dalam diri, menemukan borok-borok yang ada di dalam diri, dan mengatasinya, menyembuhkannya. Kemudian, ketika kedamaian-diri telah tercapai, maka dengan sendirinya diri yang sudah damai itu akan memancarkan kasih-sayang – yang dimulai dengan kasihsayang dalam keluarga, dengan tetangga, dengan sesama anak bangsa, dan sesama warga dunia. Al-hasil, Global Harmony atau Keharmonisan Global pun terwujud dengan sendirinya. Inilah, menurut pendapat saya, cara untuk memahami dan melakoni agama. Inilah jalan menuju kedamaian, kasih, dan kebersamaan sejati. Semoga!

Anand Krishna, aktivis lintas-agama, dan penulis lebih dari 150 buku. Baru-baru ini ia menggagas The Charter for Global Harmony (www.charterforglobalharmony. org) 43 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


INTERPRETASI AGAMA, TUHAN

INTERPRETASI AGAMA, TUHAN DAN ALLAH Leonardo Rimba

Topik interpretasi agama membuat saya bingung, karena saya sudah menginterpretasi agama sedemikian rupa sehingga tidak bisa dikenali lagi oleh orang yang kelilipan agama. Misalnya, saya bisa meditasi dengan lagu-lagu Hindu Buddha, dengan lagu Jawa, dengan lagu klasik, lagu pop, reggae, blues, lagu apa sajalah. Saya juga bisa bermeditasi dengan lagu Kristen yang sangat indah menurut saya, berjudul “Hanya Yesus Jawaban Hidupku.� Apa dan siapa Yesus buat saya? Simbol. Simbol dari kesadaran manusia. Manusia yang sadar akan kemanusiaan dan ketuhanan dirinya adalah Yesus. Yesus mau anda berpikir dan memutuskan sendiri apa yang anda mau lakukan dengan hidup anda. Kalau anda salah jalan, anda tanggung sendiri akibatnya. Dan jalan itu ada di dalam anda. Masuklah ke dalam kesadaran anda, dan temukan jalan itu disana. Yesus itu jalan yang ada di dalam kesadaran anda. Jalan dan tujuan sekaligus. Simbolik. Simbol dari Allah atau sesuatu yang disembah. Dipakai oleh yang suka, dan tidak dipakai oleh yang tidak suka. Banyak simbol lain. Semuanya valid. Simbol hanyalah penanda. Yang asli adalah kesadaran anda. Yang sadar bahwa dirinya sadar. Oh (andalah Yesus)! Anda tidak perlu menjadi penganut agama Kristen untuk menggunakan simbol Yesus. Anda tidak perlu menjadi penganut agama Hindu atau Buddha untuk menggunakan Mantra Gayatri. Anda tidak perlu menjadi penganut agama Islam untuk menggunakan Al Fatihah. Kita pilih simbol apa yang kita sukai, dan kita gunakan untuk hidup pribadi kita. Itulah jalan spiritual. Jalan penuh damai. Penerimaan segalanya yang tersedia, dan penciptaan yang baru

ketika tidak tersedia. Kita tahu kita ada, dan itu sudah cukup untuk bersyukur dan menjalani semuanya. Ikhlas dan pasrah, hidup disini dan saat ini. Dan dinikmati sepenuh-penuhnya, seperti ketika kita meditasi dengan lagu yang mengandung kata Yesus. Cuma lagu saja, menyimbolkan Yesus yang ada di dalam kesadaran kita. Oh (My Jesus, Yesus ku, kau ada di dalam aku)! Kita tidak perlu memperdulikan segala

44 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


INTERPRETASI AGAMA, TUHAN

macam debat agama. Saya tidak pernah perduli. Saya cuma tahu Yesus hidup di dalam saya. Di dalam kesadaran saya. Saya ajak bicara dalam bahasa Inggris, dan saya panggil “Lord”. Lord artinya gusti atau tuan, bukan Tuhan. Yesus sebagai manusia adalah Lord Jesus, atau Gusti Yesus dalam bahasa Jawa.

Yesus! Siapa Dia? Kebanyakan orang Kristen beraliran heboh suka teriak-teriak Yesus. Yesus! Yesus! Diteriakin sejadi-jadinya. Saya tidak suka itu (saya bukan aliran teriak-teriak). Kalau saya berbicara dengan Yesus, saya bicara di dalam hati saja. Saya akan tanya: “Lord, what should I do now ? (Apa yang harus saya lakukan sekarang?)” Tentu saja saya tahu saya cuma bicara dengan diri saya sendiri saja (Yesus simbol dari kesadaran saya sendiri). Dan tentu saja, dari pandangan Kristen saya dianggap sesat. Sesat karena mengobral Yesus dengan begitu murahnya. Oh (emangnya harus dihargain berapa ?). Saya orangnya memang sederhana, tidak suka buat ribet. Contohnya, orang Kristen bilang Yesus hidup di dalam orang percaya, dalam bentuk Roh Kudus. Roh Kudus itu dianggap pribadi lain yang masuk ke dalam itu orang pada saat dia percaya kepada Yesus. Nah, saya bilang, tidak ada yang masuk. Kalaupun ada roh di dalam orang itu, maka itu roh-nya sendiri. Dengan kata lain, yang namanya Roh Kudus atau Yesus yang hidup di dalam kesadaran manusia adalah roh atau kesadaran orang itu sendiri. Tidak kurang, tidak lebih.

Karena ini tulisan tentang interpretasi, maka saya interpretasikan dogma Trinitas dari Kristen sebagai Cakra Mahkota/Cakra Mata Ketiga, Cakra Tenggorokan/Cakra Jantung, dan Cakra Solar Plexus/Cakra Sex/Cakra dasar.

Trinitas – Ciptaan Siapa? Trinitas itu dogma yang bilang bahwa Allah terdiri dari tiga pribadi, yaitu Allah Bapa, Allah Anak (Yesus), dan Allah Roh Kudus. Ketiganya satu. Tiga dalam satu. Nah, saya bilang, Allah Bapa itu tempatnya di Cakra Mahkota/Cakra Mata Ketiga. Allah Anak or Yesus tempatnya di Cakra Tenggorokan dan Cakra Jantung. Allah Roh Kudus tempatnya di Cakra Solar Plexus, Cakra Sex dan Cakra Dasar. Memang tiga dalam satu, semuanya ada di diri kita. Manusia yang utuh. Dengan kata lain, dogma Trinitas, tentang tiga pribadi Allah yang hidup itu memang ada. Adanya di manusia hidup. Semuanya simbolik. Bukan di awang-awang. Ada, mungkin banyak, orang Kristen yang masih meributkan dogma Trinitas. Orang-orang non-Kristen juga meributkan itu dogma. Saya sendiri tidak merasa perlu meributkan. Buat apa? Jelas itu dogma buatan manusia. Dibuat, dan tidak datang begitu saja dibawa oleh malaikat. Menurut apa yang terekam di Injil, Yesus sendiri cuma bilang: Bapa hidup di dalam aku, dan aku di dalam Bapa. Kalau kamu percaya kepada aku, maka aku akan hidup di dalam kamu, dan kamu di dalam aku. Cuma begitu saja kurang lebih. Dan itu

45 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


INTERPRETASI AGAMA, TUHAN

artinya apa kalau bukan simbolik? Yesus di situ menempatkan dirinya sebagai simbol dari Allah yang disebutnya Bapa. Allah hidup di dalam Yesus, dan Yesus di dalam Allah. Kalau manusia lain mau percaya dan terima, maka Yesus alias reinkarnasi Allah akan hidup di dalam manusia itu.

Manusia: Reinkarnasi dari Allah Walhasil apa? Walhasil manusia itu juga bisa menjadi reinkarnasi dari Allah. Tidak berbeda dari Yesus sendiri. Karena itu saya bilang, untuk mereka yang mau menerima, Yesus itu manusia hidup. Tidak lain dan tidak bukan anda sendiri, kalau anda mau menerima simbol Yesus. Dan itu gratis, saudaraku. Menerima simbol Yesus dan menggunakannya untuk hidup adalah 100% gratis. Anda tidak perlu menangis-nangis minta ampun di depan patung Yesus atau di depan pastor yang di Jawa sering disebut Romo. Anda tidak perlu bayar biaya pendaftaran jadi anggota gereja. Tidak perlu bayar sumbangan perpuluhan dari penghasilan bulanan anda. Tidak perlu itu semua. Bila anda niatkan pikiran dan hati kepada simbol Yesus. Niatkan dan tarik saja, energinya bisa besar sekali. Ada dua energi spiritual terbesar di dunia kita ini, tidak bisa dikatakan yang mana yang lebih besar. Yang pertama adalah energi dari simbol Buddha, manusianya adalah Siddharta Gautama; dan yang kedua adalah energi dari simbol Kristus, manusianya adalah Isa bin Maryam. Keduanya bisa anda ambil untuk simbol pribadi anda. Gratis!

Menurut saya tidak bertentangan. Keduanya saling melengkapi. Barat dan Timur. Bisa dipakai oleh siapa saja yang mau tanpa perlu heboh.

Ritualnya? Tolong jangan anda tanya saya tentang ritual. Saya tidak melakoni ritual dari agama manapun. Walaupun saya bisa saja memakai simbol Yesus dan Buddha, saya tidak menjalani ritual dari agama yang menggunakan simbol itu. Kalau kebetulan ada upacara, bisa saja saya ikut. Tapi saya tidak mencari-cari dan merasa kebakaran bulu kaki ketika tidak mengikuti kegiatan keagamaan (saya tidak tergantung lembaga agama)! Interpretasi agama dan kepercayaan tergantung dari individu-individu sendiri. Saya tahu merupakan hak saya untuk interpretasi apa yang mau saya percayai. Kalau saya tidak percaya, saya bilang saya tidak percaya. Kalau saya percaya, saya bilang saya percaya. Sampai saat ini saya tidak bilang saya percaya. Percaya apa? Yang saya bilang adalah simbol-simbol apa yang saya pakai. Saya pakai simbolsimbol yang saya suka. Seperti simbol Siwa, itu juga saya suka, dan saya pakai juga. Tanpa perlu bilang percaya atau tidak percaya. Mungkin tidak semua orang bisa seperti saya yang begini bebas karena saya kebetulan memang berjiwa bebas, tidak mau dibohongi dengan mudahnya. Kalau mau membohongi diri saya sangat susah. Saya tahu trik-trik untuk menjebak orang lain supaya masuk agama tertentu.

46 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


INTERPRETASI AGAMA, TUHAN

Agama Kristen: Yang Tidak Cinta Damai Di sini saya membatasi diri untuk membahas agama Kristen saja. Menurut saya sekarang ada tiga aliran besar Kekristenan, yaitu Katolik Roma, Katolik Yunani Orthodox, dan Protestan. Protestan punya ratusan aliran. Dan ribuan denominasi atau organisasi gereja. Walaupun sepertiga penduduk dunia digolongkan sebagai penganut Kristen, agama Kristen sendiri terdiri dari ribuan organisasi, dan semuanya berhak interpretasi sendiri. Seperti semua orang sudah tahu, agama itu dibuat (oleh siapa lagi bila bukan manusia?). Agama Kekristenan juga bukan kekecualian - dibuat juga oleh manusia. Kita bisa menelusuri asal-usulnya dari Isa atau Yesus yang melakukan re-interpretasi atas agama Yahudi yang saat itu sudah mapan. Yahudi saat itu sangat kaku, mementingkan syariat, tetapi Isa memberikan interpretasi yang lebih relevan, lebih manusiawi. Isa tidak mementingkan syariat, melainkan hakekat. Yang membuat manusia najis bukanlah yang masuk ke dalam mulut, melainkan yang keluar dari dalam mulut. Yang masuk ke mulut jadi kotoran biasa. Tetapi yang keluar dari mulut bisa jadi racun, meracuni pikiran orang (termasuk keracunan agama juga, yang terkadang membuat orang berbuat kekerasan atau menjadi tidak manusiawi). Setelah kepergian Isa, pengikutnya tetap ada, dan masih menjadi satu dengan umat agama Yahudi. Ibadat bersama, merayakan

hari besar bersama, dan lain-lain. Tetapi kemudian pecah karena orang-orang Yahudi fanatik bilang itu orang-orang yang percaya kepada Isa adalah bidat, sesat. Karena sesat makanya diusir, dan akhirnya mendirikan tempat peribadatan tersendiri. Mereka mulai disebut Kristen, dan membedakan dirinya dari orang Yahudi dalam dua hal besar, yaitu makan babi dan tidak sunat.

Kristen: Reinterpretasi Agama Yahudi Jadi, ketika Kekristenan muncul sudah ada reinterpretasi dari agama Yahudi yang tadinya mengharamkan babi dan mengharuskan sunat. Sekarang babi halal, dan sunat tidak wajib. Kalau sudah terlanjur sunat, ya sudahlah, tidak bisa disambung kembali. Kalau belum sunat, tidak perlulah itu sunat, asal sering-sering dicuci pakai air. Itu reinterpretasi atau interpretasi ulang dari agama Yahudi yang akhirnya memunculkan Kekristenan. Kekristenan saat itu juga belum seragam, banyak sekali alirannya, termasuk yang percaya Dewa Dewi dan sebagainya. Yesus dianggap Dewa juga, setengah Dewa setengah manusia, yang sebenarnya juga tidak salah karena ini soal kepercayaan. Tetapi tentu saja situasi seperti itu tidak bisa digalang menjadi satu kekuatan. Untuk penggalangan umat perlulah keseragaman, makanya gereja yang berlokasi di Roma atau pusat kekaisaran Romawi berusaha dengan segala cara agar menjadi kepala dari semua gereja yang ada di seputar Laut Mediterania. Untuk menjadi kepala haruslah menjagokan dogma tertentu. Dan harus didukung oleh

47 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


INTERPRETASI AGAMA, TUHAN

kekuatan politik dan militer. Jadi, muncullah Dogma Trinitas, yang dijagokan oleh gereja Roma dan didukung oleh Kaisar Constantine. Tahun 325 Masehi, dogma itu resmi diterima, dan yang menolak langsung diberangus (pemberangusan Kristen sesat yang pertama). Dulunya mereka yang dituding sesat, sekarang gantian mereka yang menuding sesat!

Katolik: Pastor-pastor yang Korupsi Perpecahan kekaisaran Romawi merembet pula ke agamanya. Pada abad ke-4, terbelahlah Roma menjadi dua, Barat dan Timur. Gereja Katolik ikut-ikutan membelah diri. Gereja Katolik di Romawi Barat berpusat di Roma, dan yang di Romawi Timur berpusat di Constantinopel atau Istambul sekarang. Dari semula memang tidak cocok karena yang di Timur merasa diri lebih superior dan karena interpretasi yang berbeda. Interpretasi tentang hakekat Yesus Kristus, yang ajaran utamanya adalah kasih, malah membuat dunia Kristen terpecah. Termasuk di sini adalah sejarah berdarah-darah ketika gereja Katolik Roma mengirimkan ribuan orang ke Timur dalam Perang Salib. Gereja Katolik bertambah pula kuasanya – dari yang menjual surat pengampunan dosa, sampai pemberkatan ini dan itu. Para biara kenyang, sedangkan rakyat kecil makin merana. Hal inilah yang mendorong Martin Luther, pencetus Reformasi Gereja, berontak. Pada 31 Oktober 1517, protes

Martin Luther terhadap korupsi Gereja ditempel di depan pintunya, sehingga orang-orang yang lewat dapat membacanya. Kesucian agama yang dipertanyakan! (Bila hal ini dilakukan sekarang di depan pintu masjid di Indonesia, bagaimana jadinya?). Saat itu, tentu saja Paus marah besar dan menyebut Luther sebagai “orang Jerman mabuk�, dan mengeluarkan bantahan atas segala kecaman Luther terhadap Gereja. Paus menganggap pendapatnya sesat dan mengucilkannya (ekskomunikasi dari Gereja). Tapi Martin Luther tidak menyerah. Dia tidak akan taat kepada Gereja kecuali mereka mengurangi korupsinya. Seperti Yesus yang dimaki-maki semasa hidupnya oleh orang-orang beragama dan para pemimpin agama, Luther pun mengalami hal serupa (tapi tidak sampai disalib). Dan setelah Luther meninggal . . . bergulirlah reformasi agama, yang tidak lain dan tidak bukan adalah reinterpretasi. Interpretasi ulang atas praktek keagamaan.

Martin Luther Sekarang Martin Luther menjadi bapak dari aliran Protestan yang sekarang dikenal sebagai Lutheran. Gereja Batak HKBP termasuk aliran ini. Ada pula reformator lainnya seperti Jean Calvin yang menjadi bapak dari aliran Protestan yang sekarang dikenal sebagai Calvinisme. Organisasi gereja GPIB, GKI, dan banyak lainnya termasuk aliran ini. Bedanya apa? Interpretasi saja. Lutheran mengakui roti yang dimakan dalam ritual Perjamuan Kudus benar-

48 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


INTERPRETASI AGAMA, TUHAN

benar merupakan tubuh Yesus. Sedangkan Calvinis mengakuinya sebagai simbol saja, sebagai peringatan, dan bukan benar-benar tubuh Yesus. Pada awal abad ke 20 mulai muncul aliran yang sekarang dikenal sebagai Pentakosta atau Karismatik. Protestan juga, tetapi punya interpretasi berbeda terhadap beberapa hal. Pentakosta atau Karismatik pada umumnya tidak se-intelektual Katolik atau Protestan, karena muncul di kalangan menengah bawah. Mereka tidak mempelajari Alkitab dari sumber-sumber berbahasa asli, melainkan baca langsung dari bahasa Inggris. Makanya penafsiran mereka literal. Tetapi semangatnya bisa dibanggakan. Bagi mereka yang penting memenangkan jiwa-jiwa untuk Yesus. Jadi, daripada anda masuk neraka mendingan menerima Yesus. Tetapi ada embel-embelnya, yaitu anda akan dicuci otak, dan lama-lama jadi tumpul juga intelektualitas anda. Ketumpulan intelektualitas paling tampak di kalangan Pentakosta atau Karismatik ini, walaupun itu juga tidak salah, karena merupakan hak orang untuk menumpulkan otaknya sendiri.

Satu Agama, Berjuta Interpretasinya Bahkan di satu agama saja, kita bisa lihat bahwa kemunculan begitu banyak aliran merupakan hasil logis dari interpretasi ulang. Re-interpretasi. Yang melakukan re-interpretasi adalah manusia-manusia biasa, tidak lebih dan tidak kurang daripada anda. Apa bedanya anda dan saya dari Martin Luther, Jean Calvin dan

para pembaharu Kekristenan? Tidak ada bedanya secara fisik. Tapi untung juga selalu ada interpretasi ulang, reinterpretasi. Apa yang dulu diharamkan sekarang dihalalkan. Tanpa ada re-interpretasi atau pembahasan ulang tentang praktek spiritualitas keagamaan, maka kita semua akan jadi robot. Robot yang cuma mengulang-ulang saja tanpa mengerti hakekatnya apa, maknanya apa, essensinya apa, intinya apa. Secara diam-diam ataupun terbuka, saya juga sering melakukan interpretasi ulang. Interpretasi ulang terhadap kepercayaan yang saya comot dari agama. Cuma, saya tidak menamakan interpretasi saya sebagai agama baru.

Tuhan: Dari Mana? Tuhan itu sebenarnya istilah baru, digunakan pertama-kali ketika penerjemahan Alkitab ke bahasa Melayu. Menurut pengguna asli kata Tuhan, Tuhan artinya Tuan. Tidak lebih dan tidak kurang. Makanya ada istilah Tuhan Yesus yang di bahasa Jawa disebut sebagai Gusti Yesus. Kalau istilah Tuhan kemudian menjadi sinonim dengan Allah, maka itu merupakan salah kaprah. Allah itu lain lagi, di bahasa Inggris dituliskan sebagai God. God itu Allah. Dan Lord itu Tuhan yang artinya Tuan. Makanya di Kristen ada istilah Tuhan Allah, maksudnya Tuan Allah, atau Gusti Allah di bahasa Jawa. Ada juga istilah Tuhan Yesus, maksudnya Tuan Yesus, atau

49 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


INTERPRETASI AGAMA, TUHAN

Gusti Yesus di bahasa Jawa. Allah itu dianggap satu. Bahkan di Kristen, Allah itu tetap satu. Tetapi yang namanya Tuhan atau Tuan bisa bermacammacam. Ada Lord Jesus (Tuhan Yesus, Tuan Yesus, Gusti Yesus). Ada Lord God (Tuhan Allah, Tuan Allah, atau Gusti Allah). Ada Lord Mountbatten, Lord Churchill, Lord Voldermort, macam-macam Lord atau Tuan. Atau Gusti. Bahkan Gus Dur itu Lord juga. Gusti Abdurrachman Wahid, disingkat menjadi Gus Dur. Bisa diInggriskan menjadi Lord Abdurrachman Wahid, atau Lord Dur.

mengerti. Yang maha besar itu. Karena itu juga, interpretasi Allah (yang dianggap satu) bisa berbeda-beda. Karakter dan perintahnya bisa berbeda pula. Kadang sebanyak jumlah kepala manusia yang menginterpretasikannya. Jadi, apakah masih ingin ngotot bahwa ada sesuatu yang memang BENAR-BENAR kehendak Allah? Oh Allahku!

Salah kaprah ini sudah menggila, sehingga ketika muncul kata God di bahasa Inggris langsung saja diterjemahkan menjadi Tuhan. Itu salah kaprah. Salah besar. God harus diterjemahkan sebagai Allah. Kalau muncul kata Lord, yang jarang sekali, barulah diterjemahkan sebagai Tuhan. Artinya Tuan atau Gusti. Lord Jesus diterjemahkan menjadi Tuan Yesus. Tetapi dituliskan dengan kata h, menjadi Tuhan Yesus.

Allah: Darimana Asalnya? Kata Allah itu berasal dari istilah Elohim di bahasa Ibrani. Artinya “Sesembahan”. Dalam bahasa Ibrani, Allah telah mempunya nama antara lain: Adonai (yang Maha Perkasa), Elyon (yang Maha Tinggi), El Olam (Yang Kekal), El Roi (Yang Maha Melihat), El Shaddai (Yang Maha Perkasa). Dari nama-nama ini, bisa kita lihat bahwa Allah adalah interpretasi manusia untuk menamai sesuatu yang tidak mereka

Leonardo Rimba, pendiri Komunitas Spiritual Indonesia, dan penulis buku “Membuka Mata Ketiga” dan “Pelangiku Warna Ungu”. Keduanya dapat dipesan langsung melalui akun Penerbit Dolphin di facebook, atau melalui email <bunda_laksmi@yahoo.com>.

50 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


RESENSI BUKU

POTRET AGAMA DI MEDIA MASSA Oleh Donny Anggoro

Judul Buku

: Wajah Agama di Media, Kumpulan Karya Jurnalistik Peserta Fellowship Peliputan Agama Berperspektif Pluralisme.

Penulis

: M. Aziz Tunny, Ni Ketut Efrata Fransiska, Hendrina Dian Kandipi, dll.

Isi

: liv + 145 halaman.

Pengantar

: Idi Subandy Ibrahim.

Editor

: Hanif Suranto, P.Bambang Wisudo, & Ignatius Haryanto.

Penerbit

: LSPP, 2010.

Jika menyimak pemberitaan di media massa Indonesia perihal agama belakangan ini hampir rata-rata semuanya seragam, yaitu lebih banyak memberitakan praktik hubungan antar agama yang diwarnai konflik dan kekerasan dengan intensitas berbeda-beda. Selain kekerasan, praktik menanamkan kebencian kepada etnis dan agama tertentu berbekal ajaran agama dari sudut pandang fundamentalis yang

cikal bakalnya sudah diawali oleh majalah Islam, Sabili pada pertengahan 1990-an, pada masa kini nyatanya semakin merebak, misalnya diterbitkan salah satunya tabloid Suara Islam atau media on-line, VOA Islam (Voice of Al-Islam, voa-islam.com). Dalam presentasi yang diselenggarakan komunitas Sejuk (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman) di Bogor, 19 Oktober 2011, Ade Armando (peneliti media dan pengajar

51 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


RESENSI BUKU

UI) sempat menyebut media-media ini sebagai “tak berasaskan pada kaidah jurnalistik secara baik dan benar”. Begitu juga sejumlah media lain seperti Arrahmah. com, Hidayatullah.com, dan Eramuslim. com yang menurut Ade dimanfaatkan sebagai sarana dakwah dan propaganda agama Islam. “Media on-line menjadi jawaban yang dapat memenuhi harapan banyak kalangan yang selama ini tak memiliki kesempatan menjangkau khalayak luas, termasuk di dalamnya kelompok-kelompok Islam yang eksklusif, ekstrem atau radikal. Sebelum era Media Baru, kelompok-kelompok ini sulit sekali mengatasi rangkaian kendala yang sudah disebut. Bagi mereka, Islam diancam. Sebagian dari mereka rela membunuh dan dibunuh untuk memperjuangkan keyakinan mereka. Sebagian dari mereka memilih untuk menjadi agen agitasi dan propaganda. Adalah ironis bahwa dalam era tumbuhnya harapan akan jurnalisme damai, justru berkembang media berbasis Islam yang dengan sengaja menyebarkan kebencian. Bila media secara berkelanjutan menyebarkan ayat-ayat kebencian, jangan heran bila khalayaknya menjadi umat Islam yang berhasrat menindas kelompokkelompok di luar dirinya,” jelas Ade dalam tulisannya Islam Diancam! Konstruksi wacana keberagaman melalui Media Islam on-line (Sejuk.org, 15 November 2011). Masih jarang media massa di sini memberitakan keharmonisan kehidupan manusia dengan agama berbeda ataupun

dengan yang tidak beragama, sehingga terbetik kesimpulan masih terdapat jurang lebar antara cita-cita agama dan realitas kehidupannya. Tak heran, agama lantas sering tampil dalam dua wajah bertentangan antara sumber inspirasi dan kebajikan. Selain itu, media massa internal yang dikelola terbatas oleh kelompok/lembaga agama tertentu kebanyakan “asal ada” dalam arti dikelola secara “sambilan” sehingga menjadi profesi tersendiri yang “bermanfaat” di ruang kosong. Akibatnya, sadar atau tak disadari, cita-cita media internal tersebut yang seharusnya dapat pula membawa misi perdamaian dengan bermuara pada gagasan besar pluralisme dan perdamaian di lingkup terkecil saja saat ini nyaris tak terdengar. Di Amerika sendiri sebagai negara “adidaya” yang paling vokal menyerukan demokrasi juga menyimpan masalah serupa, terutama menyebarkan kebencian terhadap agama Islam yang terkenal disebut sebagai “Islampobhia” terutama setelah terjadi kasus pengeboman gedung World Trade Center, 2002. Ralph Reed, direktur eksekutif Christian Coalition dalam bukunya “Politically Incorrect: The Emerging Faith Factor in American Politics Dallas” terbitan Word Publishing, Texas, 1994 menyebutkan banyak media massa Amerika memerlakukan agama dalam konteks patologi dan kekerasan. Menurut laporan Few Forum on Religion and Public Life (Amerika) Desember 2009, indeks kebencian sosial di bidang agama termasuk kategori tinggi di Indonesia. Setara Institute pada akhir November

52 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


RESENSI BUKU

2010, juga mengungkap bahwa pandangan keagamaan masyarakat di Jabotabek cenderung intoleran.

Antara Agama Ilmu versus Laku dan Ketidaktahuan Media Wajah agama bak ”potret kekerasan” di berbagai media massa ini sebenarnya tanpa disadari akibat awal mula bibit pendidikan agama juga di sekolah-sekolah kita. Agama di sekolah diajarkan secara eksklusif. Murid dipisah satu sama lainnya, lalu diajari tentang kesucian agama mereka sendiri. Akhirnya murid percaya bahwa agama mereka yang paling benar, dan agama lain tidak bisa diterima, bahkan salah. Ajaran agama lebih ditekankan pada memperbesar jumlah umat, membangun tempat ibadah yang megah dan menaati teks-teks kitab suci. Masalah kemanusiaan dan menerima perbedaan, seringkali dilupakan. Jadinya, agama seringkali menjadi pemicu permusuhan antar umat, bukannya perdamaian. Selain mengutamakan berita agama, ada juga media massa lain yang jarang menyinggung agama, tapi mengutamakan sensasi (berita gosip seputar selingkuhan para artis, misalnya). Yang penting nilai komersial dan bisa menjual, maka berita apa pun dimuat, tanpa melihat dampaknya di masyarakat. Ditambah lagi, dalam soal pemberitaan yang menyangkut agama, masih banyak ketidaktahuan yang dialami jurnalis sendiri perihal melaporkan isu ini. Misalnya jika topik yang diangkat soal kekerasan agama, tak banyak yang mau menganalisa

dengan kritis. Bila ada kepercayaan yang dianggap berbeda, media massa seolah juga mengikuti labelisasi atau cap sebagai “aliran sesat” dan “sempalan” terlebih-lebih pada agama tradisi lokal. Mungkin sekali, hal ini disebabkan keharusan wartawan untuk mengejar beberapa berita dalam satu hari sehingga mereka tidak perduli apa yang diberitakan, asalkan bisa dimuat dan menyenangkan publik. Karena itulah, buku Wajah Agama di Media memberi kesegaran baru.

Wajah Agama di Media - Fakta Tersembunyi Buku ini merupakan kumpulan tulisan 11 jurnalis peserta workshop “Peliputan Agama Berperspektif Pluralisme” yang diselenggarakan Lembaga Studi Pers & Pembangunan (LSPP), Serasi, dan USAID. Kegiatan diselenggarakan di Jakarta dan Makassar yang diikuti sejumlah jurnalis dari Medan, Bogor, Bali, Ende, Kupang, Kendari, Makassar, Manado, Palu, Ambon, Ternate, Sorong dan Jayapura. Dalam buku Wajah Agama di Media ini kita dapat menyimak pelbagai laporan yang berimbang dengan mengandalkan data dan fakta terpercaya, sehingga pembaca tak terburu-buru digiring pada opini, terlebihlebih jika memang daerahnya tengah mengalami konflik kekerasan berdasarkan agama. Tulisan Ni Ketut Efrata Fransisca di Radar Bali, menggambarkan bagaimana kerukunan antar umat beragama di Bali masih terkoyak dengan ledakan Bom Bali

53 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


RESENSI BUKU

I, 12 Oktober 2002. Masih tersimpan rapi di benak masyarakat Bali bagaimana peristiwa itu mencabut ratusan nyawa, bukan saja warga asing tapi juga domestik yang sebagian besar adalah anggota keluarga mereka sendiri.” Ini kalimat pembuka yang menggugah walau di artikel ini terbetik fakta warga Muslim Bali sempat terkucil di tengah pergaulan sosial karena kebetulan para pengebom itu beragama Islam dan tak sedikit beranggapan aksi peledakan di dua klub malam di Kuta merupakan bagian dari ajaran Islam. Tapi dari tulisan ini ditekankan beberapa poin yang menyatakan bahwa tradisi Ngejot di Bali sebagai ungkapan rasa syukur dengan saling memberi makanan atau makan bersama (megibung) dengan kawan yang berlainan agama tetap berjalan walau baru saja berlangsung aksi pengeboman. Artikel di Radar Bali ini juga memberi fakta kepada perihal sejarah asal muasal makam Raden Ayu Siti Khotijah dan Bangunan Keramat Agung Pemecutan sebagai tempat terjalinnya silaturahmi umat Islam dan Hindu saat hari raya Idul Fitri. Sejarah makam Raden Ayu Siti Khotijah diawali dengan menikahnya Gusti Ayu Made Rai, putri Raja Pemecutan dengan Pangeran Cakraningrat IV , keturunan kerajaan Madura yang beragama Islam. Pernikahan ini terjadi setelah Pangeran Cakraningrat IV berhasil memenangi sayembara Sabda Pandita Ratu dari Raja Pemecutan, yaitu berhasil menyembuhkan Gusti Ayu Made Rai dari penyakit. Sebagai hadiah jika yang berhasil menyembuhkan penyakit Gusti Ayu Made Rai perempuan

akan diangkat sebagai saudara, sedangkan jika laki-laki akan dijadikan suami, dan Pangeran Cakraningrat IV yang berhasil memenanginya. Setelah menikah, Gusti Ayu Made Rai menjadi Muslimah dan berganti nama menjadi Raden Ayu Siti Khotijah. Ketika Raden Ayu Siti Khotijah meninggal, darahnya berbau harum dan kematiannya menjadi tonggak dimulainya kerukunan umat Muslim dan Hindu di Bali. Kemudian dari tulisan Hendrina Dian Kandipi dari Bintang Papua (h.69) terbetik kabar bahwa umat Muslim Wamena di Jayapura sudah berintegrasi dengan adat Wamena yaitu “bakar batu”. Adat “bakar batu” adalah memasak dengan cara memanggang daging babi di dalam tanah dengan batu panas, maksudnya untuk menguatkan silaturahmi. Acara ini dilakukan untuk menyambut orang penting, tradisi usai berperang, perkawinan, dan dilakukan sebagai pesta adat. Untuk umat Muslim Wamena ini sudah diganti dengan memanggang ayam karena babi diharamkan dalam ajaran Islam. Artikel di Bintang Papua ini juga menyorot testimoni seorang warga Muslim Wamena yang mengaku hidup rukun di wilayah ini, bahkan seringkali menyelenggarakan harihari Raya mereka bersama. Tulisan M.Azis Tunny, dari The Jakarta Post, mengangkat tentang agama Noaulu. Agama ini adalah agama lokal di Pulau Seram (Maluku) yang tidak diakui sebagai “agama resmi” oleh pemerintah. Agama-agama tradisi Maluku seringkali dicap sebagai “kafir” karena salah satu

54 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


RESENSI BUKU

tradisinya adalah persembahan kepala manusia dalam upacara adat Noaulu. Tapi, sebenarnya “tradisi potong leher� sudah tidak ada sejak tahun 1970-an dan diganti dengan kepala hewan kuskus dan piring kuno. Memang, masih banyak orang yang curiga dengan agama ini dan masih pula ada yang menolak. Memang, ada juga beberapa orang yang menolak agama ini, tapi kerja sama di pulau Seram antar umat yang beragama beda, telah tumbuh dengan baik. Membaca buku ini terdapat pelbagai fakta “tersembunyi� bahwa kehidupan pluralisme di beberapa daerah Indonesia masih terjalin baik. Kemanusiaan dan rasa penghargaan terhadap perbedaan inilah yang harus terus kita gali, sehingga tidak memancing kekeruhan dalam hubungan antar agama atau juga dengan mereka yang tidak beragama.

Donny Anggoro, editor lepas sebuah penerbit di Bandung, pemerhati masalah sosial dan kebudayaan. Pernah aktif sebagai redaktur/jurnalis majalah interfaith Majemuk terbitan ICRP (Indonesian Conference Religion & Peace) tahun 2007-2010.

55 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


CERPEN : IBLIS

IBLIS Ardy Kresna Crenata

BAIKLAH. Saya mulai cerpen ini dengan sebuah pernyataan: saya adalah iblis. Kamu mungkin tertawa mendengarnya. Silakan saja. Terserah. Justru semakin keras kamu tertawa, semakin kamu tidak percaya pada pernyataan saya, semakin saya diuntungkan. Karena dengan begitu, saya bisa lebih leluasa mempermainkan kamu, membuatmu berpikir bahwa selama ini kamu telah berada di jalan yang benar. Padahal, jalan yang kamu tempuh itu adalah jalan yang salah. Terlepas dari kamu percaya atau tidak, saya lebih tahu mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah. Adapun mengapa saya terus menempuh jalan yang salah, itu karena saya tak punya pilihan. Tuhanmu telah menutup pintu surga untuk saya. Betapapun saya berbuat baik untuk menebus dosa saya, Ia tak akan mengizinkan saya memasuki surga lagi. Karenanya, daripada melakukan hal yang sia-sia, lebih baik saya menjerumuskan sebanyak mungkin manusia untuk menemani saya nanti di neraka. Ya, itu jauh lebih masuk akal, bukan? Dan kamu, adalah manusia berikutnya yang akan saya jerumuskan. Dan betapa beruntungnya saya, kamu tidak menyadari upaya saya ini.

56 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


CERPEN : IBLIS

Apa itu? Mereka sedang membangun apa? Mereka sedang membangun gereja. Gereja? Ya, gereja. Yang benar saja? Masa iya di kawasan ini dibangun sebuah gereja. Memangnya kenapa? Di kawasan ini kan penduduknya Muslim.

mayoritas

Kamu tersenyum. Saya pun tersenyum, tapi dengan alasan yang berbeda. Untuk kesekian kalinya saya terheran-heran, mengapa Tuhan mengutus manusia untuk berkuasa di dunia. Padahal, manusia, seperti halnya kamu, begitu bodoh. Cara manusia berpikir, caramu berpikir, begitu dangkal. Kamu beranggapan bahwa di kawasan yang mayoritas penduduknya Muslim, tidak semestinya sebuah gereja didirikan. Kamu merasa anggapanmu ini benar. Ya, teruslah begitu. Berpeganglah teguh pada anggapanmu itu. Saya jamin, tinggal menunggu waktu sampai saya benar-benar berhasil menjerumuskan kamu. Tentu saja, saya tak mengatakan hal ini kepadamu. Alih-alih demikian, saya berbohong kepadamu dengan mengatakan bahwa anggapanmu itu memang benar. Bagi saya, satu kebohongan lagi tak jadi soal. Toh dengan berkata jujur pun, saya tetap akan dimasukkan ke neraka. Berbohong bagi saya jauh lebih masuk akal ketimbang berkata jujur. Beberapa minggu kemudian, saya mengingatkanmu akan bangunan itu. Pada

awalnya kamu tak tertarik. Kamu masih yakin bahwa apa yang sedang dibangun itu bukanlah gereja. Saya kembali tersenyum. Menghadapi manusia sepertimu memang harus sabar. Saya pura-pura mengalah. Saya ajak kamu untuk menghirup udara segar, dan kamu mau. Kamu pun melangkah meninggalkan rumahmu dengan santai, sambil melihat-lihat pemandangan di kiri dan kanan. Kebetulan, cuaca hari itu cukup segar. Meskipun kendaraan banyak berlalulalang menyisakan asap knalpot, warna langit, bentuk awan, dan gemerisik angin di dedaunan, cukup mampu mengganti kekesalanmu dengan ketenangan. Saya menemanimu. Langkah demi langkah. Detik demi detik. Sesekali saya ajak kamu memikirkan hal-hal sepele yang sama sekali tak penting. Hanya untuk mengalihkan perhatianmu. Pada akhirnya, kamu telah berada di tempat yang sama seperti waktu itu. Lihatlah, di seberang sana adalah bangunan yang waktu itu kamu tanyakan. Aku mendengar sesuatu dari sana. Apa yang sedang mereka lakukan? Kamu tidak sedang bertanya pada saya. Kamu hanya menyuarakan pikiranmu keras-keras. Kamu tahu persis apa yang sedang mereka lakukan di bangunan yang baru setengah jadi itu. Mereka sedang bernyanyi? Ya, mereka sedang bernyanyi. Kebaktian? Ya. Ini kan hari Minggu, hari untuk mereka beribadah. Jadi, bangunan itu‌ gereja?

57 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


CERPEN : IBLIS

Saya menahan diri untuk tidak tertawa. Dasar bodoh. Beberapa minggu yang lalu saya katakan bahwa mereka sedang membangun gereja, tapi kamu tidak percaya. Saya melihat kamu begitu terkejut. Bukan hanya itu, kamu gelisah. Kamu merasa terganggu. Barangkali, seseorang yang sejak kecil hidup di lingkungan masyarakat yang homogen secara keyakinan sepertimu, sulit menerima kenyataan bahwa di kawasan tempat kamu tinggal, sebuah gereja sedang dibangun. Jujur saja, saya tidak merasa ada yang salah dengan itu. Kalau saya boleh berpendapat, saya akan mengatakan bahwa dibangunnya gereja di seberang itu adalah sesuatu yang wajar. Lagipula, umat Kristiani di kawasan ini bukan satu dua orang, melainkan cukup banyak. Namun tentu saja, kepadamu, saya berbohong dengan mengatakan bahwa di kawasan ini umat Kristiani tidak cukup banyak, sehingga tidak perlu ada gereja. Menyaksikan kamu begitu gundah, kesal, dan bahkan marah, saya begitu gembira. Rasanya saya semakin dekat saja membawamu ke jalan nyata menuju neraka. Hari itu saya terus meyakinkan kamu bahwa pembangunan gereja itu harus dihentikan. Sekali lagi, saya berpurapura menjadi temanmu, sahabatmu. Saya menyambut dengan hangat keinginanmu untuk membicarakan hal ini dengan teman-temanmu. Saya mendukungmu sepenuhnya. Dari siang sampai sore, saya menemanimu menemui beberapa orang dan menceritakan gereja yang sedang dibangun itu. Tak setiap orang yang kamu

temui tertarik dengan ajakanmu untuk menghentikan pembangunan gereja itu. Ada yang merasa itu wajar-wajar saja dan tak perlu dipermasalahkan. Kamu kesal. Saya senang. Saat itulah saya ajari kamu salah satu cara menarik massa, yaitu dengan menyampaikan hal-hal yang berlebihan. Misalnya, kamu bisa mengatakan bahwa suara dari mereka yang menyanyikan pujipujian itu sangat mengganggu. Katakan saja bahwa suara mereka terdengar nyaring hingga ke seberang jalan, bahkan masih terdengar hingga jarak yang lebih jauh. Tentu saja itu sudah termasuk bohong. Kenyataannya, saat kamu berada di seberang gereja yang sedang dibangun itu, kamu hanya mendengar samar-samar suara mereka. Tapi tak apa. Kebohongankebohongan kecil kadang diperlukan untuk meraih apa yang kamu inginkan. Malam harinya, kamu sudah berhasil meyakinkan orang-orang itu untuk mendukungmu menghentikan pembangunan gereja. Saya lalu mengusulkan kepadamu untuk mendatangi rumah Ketua RT setempat untuk membicarakan masalah ini. Tentu saja kamu jangan hanya datang sendiri, melainkan membawa massa, supaya bisa mendesak Ketua RT untuk berada di pihakmu. Dan kamu berhasil. Langkah selanjutnya adalah mendatangi rumah Ketua RW, tentu saja dengan ditemani Ketua RT. Meyakinkan Ketua RW rupanya tidak semudah meyakinkan Ketua RT. Berbeda denganmu dan teman-teman yang kamu bawa, Ketua RW rupanya tahu betul tentang pembangunan gereja itu. Dia

58 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


CERPEN : IBLIS

bahkan menyatakan tidak keberatan dan mengizinkan pembangungan gereja itu. Membiarkan dia menjelaskan lebih banyak akan membuat saya repot, sebab ada fakta-fakta yang selama ini sengaja saya sembunyikan darimu. Kalau kamu sampai tahu fakta-fakta itu, bahwa gereja itu sudah memiliki IMB, bahwa sudah ada izin dari penduduk setempat, bahwa hari pertama pembangunan gereja itu disaksikan oleh tokoh masyarakat, ulama, dan orangorang dari kepolisian dan pemerintah kota, bisa-bisa kamu membanting setir, mendukung pembangunan gereja itu. Maka saya kompor-kompori kamu. Saya suruh kamu mengompor-ngompori orang-orang yang kamu bawa. Akhirnya, terjadilah pertengkaran hebat antara kalian dan Ketua RW. Sesungguhnya saya senangsenang saja melihat kalian bertengkar. Tapi, saya terpaksa mengusulkan kepadamu untuk menghentikan pertengkaran, sebab tujuan utama saya bisa terganggu. Kamu pun akhirnya berhasil membujuk mereka untuk bicara baik-baik, dan berhasil pula membuat Ketua RW berada di pihakmu, meskipun dia terlihat terpaksa. Malam itu, kalian pun sepakat untuk menyusun rencana agar pembangunan gereja itu dihentikan. Dan hari Minggu ini adalah untuk kesekian kalinya kamu bersama temantemanmu melakukan demonstrasi di dekat lokasi gereja yang baru setengah jadi itu. Sayup-sayup kamu dengar suara mereka yang sedang bernyanyi di sana. Saya tahu, sebenarnya kamu tidak terganggu dengan suara itu, sebab suara mereka

hanya samar terdengar. Kamu justru terganggu oleh suara teman-temanmu yang dengan gampangnya meneriakkan takbir, menyebut-nyebut nama Tuhanmu, tanpa mereka benar-benar paham apa yang sesungguhnya sedang mereka lakukan: menghalangi suatu umat beragama untuk melakukan ibadah di sebuah negeri yang menjunjung tinggi kebebasan beragama. Kamu terkadang meragukan tindakanmu. Pada saat itulah saya mati-matian meyakinkan kamu bahwa kamu melakukan hal yang benar. Ya, tentu saja saya berbohong. Tapi, kamu memang selalu bisa saya bohongi. Kamu ini benar-benar bodoh. KAMU berhasil. Kamu dan temantemanmu berhasil. Dengan terus melakukan upaya-upaya penolakan pembangunan gereja itu, mulai dari demonstrasi di hari Minggu ketika misa kembali dilakukan di sana, sampai pendekatan-pendekatan persuasif kepada masyarakat sekitar untuk menambah kuat dukungan, akhirnya pemerintah kota mengeluarkan kebijakan: menghentikan paksa pembangunan gereja itu dan menyegelnya. Kamu senang, tentu saja. Saya pun senang, karena dua hal. Pertama, saya semakin nyata membawamu menuju neraka. Kedua, saya bangga dengan apa yang telah dilakukan salah satu kerabat saya. Ia, berhasil dengan sempurna membujuk Wali Kota untuk mendukung seluruh upayamu. Meski mereka yang berada di pihak pembangunan gereja telah menempuh jalur pengadilan dan memenangkannya hingga tingkat paling tinggi di negeri ini, yang berarti putusan pengadilan tersebut

59 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


CERPEN : IBLIS

mutlak harus dijalankan, Wali Kota tetap bergeming. Lebih jauh lagi, kerabat saya itu bahkan berhasil membuat Sang Wali Kota mengucapkan tegas bisikan-bisikannya. Salah satunya sebuah komentar yang telah kamu baca di media massa: penyegelan gereja dan pencabutan IMB yang dilakukan pemerintah kota adalah demi keamanan bersama. Membacanya, kamu tersenyum. Saya juga. Tanpa sepengetahuan kamu saya pernah diam-diam menemui kerabat saya itu. Kami membahas pernyataan wali kota itu. Pengakuannya pada saya, “Meyakinkan orang itu sebenarnya tidak mudah. Pernah suatu hari ia berpikir mencabut katakatanya dan mengeluarkan kembali izin pembangunan gereja itu, gara-gara seorang teman dekatnya mengiriminya sms: kebenaran semestinya ditegakkan, meski itu datangnya dari yang sedikit. Beberapa malam ia tak bisa tidur memikirkannya, atau tidur tapi terbangun karena mimpi buruk. Kukatakan padamu, hampir saja ia membelot. Hampir saja. Tapi aku gencar meyakinkannya. Tapi aku teguh menghasutnya. Akhirnya, seperti yang kau tahu sekarang, ia masih setia membela mereka para pendosa itu, para pendusta itu. Hahaha...� Setelah mendengar pengakuannya, entah kenapa, saya jadi semakin bersemangat, seperti baru saja tubuh saya ini dimasuki cairan yang memompa jantung lebih cepat. Saya berdebar-debar. Saya berdebar-debar. Saya bayangkan upaya saya ini berhasil dan kelak sungguh-sungguh kamu masuk ke neraka, seperti manusia-manusia lainnya

yang pernah saya jerumuskan. Semakin hari, semakin gila saya meyakinkanmu bahwa tindakanmu ini benar. Setiap kali tampak kamu mulai ragu, seperti ketika kamu lihat anak-anak yang mengikuti misa di trotoar itu menatap sedih pada matamu, saya merapatkan diri kepadamu, mendekatkan bibir saya ke telingamu, membisikkan lagi kata-kata hingga kamu kembali percaya. Seperti juga ketika kamu dan teman-temanmu menggunakan paksa trotoar di depan gereja itu untuk para pedagang kaki lima, dan setelahnya kamu menyadari itu keliru—sebab trotoar sesungguhnya adalah tempat orang berjalan kaki, bukan berjualan—saya mati-matian membisikimu. Hingga kamu pun kembali ke dalam kuasa saya. Dan saya merasa lega karenanya. Sungguh lega. Saya tertawa dan tertawa. Tentu saja, kamu tak mendengar tawa saya itu. MESKI saya merasa kamu telah sepenuhnya berada dalam kuasa saya, saya belum juga puas. Selanjutnya saya ajak kamu ke warnet. Saya ajak kamu mencari-cari isu pembangunan gereja yang dihentikan itu lewat internet. Saya ajak kamu membaca dengan sabar forum demi forum, situs demi situs, blog demi blog. Sambil kamu terus membaca, saya terus membisiki kamu tentang perlunya memperkeruh suasana. Saya pun mengajarimu bagaimana melakukannya. Setelah membaca habis satu forum yang membahas hal ini, saya menyuruhmu untuk menuliskan komentar yang benarbenar menghina salah satu umat beragama. Itu tentu saja untuk memancing komentar

60 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


CERPEN : IBLIS

pedas lainnya, yang bisa jadi bertentangan, atau bisa jadi mendukung. Kalau tidak ada juga yang melawan komentarmu itu, kamu tinggal menggunakan identitas lain dan berpura-pura menjadi orang yang tersinggung dan melancarkan serangan balik. Dengan kata lain, kamu menjadi dua orang dengan dua pendapat yang bertentangan untuk mengacaukan suatu forum. Teruslah seperti itu dan kamu akan menyaksikan sendiri komentar demi komentar lainnya bermunculan. Situasi akan semakin keruh. Kamu akan tersenyum. Saya akan kembali tertawa dan tertawa. Dan malam ini adalah malam Natal. Dan telah satu jam kamu dan teman-temanmu kembali melakukan demonstrasi penolakan. Sementara mereka terus bernyanyi, kamu dan teman-temanmu terus bersholawat, bertakbir. Seperti halnya teman-temanmu, kamu merasa tindakanmu ini benar. Padahal, jika saja kamu mau berpikir jernih, kamu akan tahu, bahwa apa yang kamu lakukan ini adalah suatu kesalahan. Mudah saja untuk membuktikannya. Balik saja situasinya. Kamu dan teman-temanmu sedang merayakan Idul Fitri, dan mereka mengganggu kalian dengan berdemonstrasi dan bernyanyi. Bagaimana? Saya yakin seratus persen, bahkan tiga ratus persen, kalian tidak akan menerima perlakuan itu. Dan itulah yang kini sedang terjadi. Mereka berusaha bernyanyi dengan khidmat. Kamu dan teman-temanmu bersholawat dengan tujuan mengganggu mereka. Untuk kesekian kalinya, saya kembali tersenyum puas dan mulai tertawa dan tertawa, sampai perut saya sungguh sakit karenanya.(*)

(Selesai. Mereka yang mendengarkan hanya diam. Tak ada tepuk tangan. Tak seperti pembacaan sebelumnya. Lalu pelan-pelan, satu-satu, lampu-lampu lain menyala.)

Ardy Kresna Crenata, Muslim, belajar Matematika di Institut Pertanian Bogor. Kumpulan cerpennya yang telah terbit berjudul Pendamping, pemenang sayembara Buku Indie 2011. Ia bisa dihubungi di nomor 083877120171, twitter: @crenata014, atau facebook: www.facebook.com/ardysama.

61 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


SEKILAS SEKSUALITAS

SEKILAS SEKSUALITAS Dalam beberapa agama (terutama di Indonesia kini), seks dianggap tabu. Namun, ada agama-agama lain yang menganggap seks sebagai bentuk ibadah. Sebagai salah satu bentuk keindahan yang begitu luar biasa, seks dianggap mendekatkan diri kepada Tuhan dalam agama Hindu, yang bisa disimak dari buku Kamasutra. Di kepercayaan Jawa kuno, seks juga dianggap sebagai sesuatu yang suci. Lihatlah candi-candi dan simbol lingga dan yoni. Begitu pula Serat Centini. Lalu, bagaimana kelima penulis ini menorehkan pena tentang seks?

MAZMUR SEKSUALITAS Vagina bukan lagi hikayat kantong semar yang selalu lapar membenamkan binatang jalang ke dalam pusara klistoris. Timpas sudah! Akibatnya vagina terus berkekurangan, selalu merintih , meratapi defisit penis. Hegemoni kidung agungkitabpatriarki purba. Kantong semar tak perlu menarik hati serangga dan binatang besar. Dia mengangkang permanen dan ejakulasi klistoris yang merdeka. Lantas darimana lendir itu berasal? Tidak penting lagi. Selekasnya ia menjadi Mazmur. Terbanglah ke gunung seperti burung! • Chris Poerba bergiat di lembaga lintas agama ICRP (Indonesian Conference on Religions and Peace). Tahun 2012 ini sedang mengikuti kelas Pendidikan Gender di Kalyanamitra. Mazmur Seksualitas adalah prosa pertamanya

KELAMIN MENGANTUK Jika malam ini tak dimulai, mungkin kelamin-kelamin akan bergelantungan pada pucuk daun kuning dan berserah pada hempasan angin yang membawanya. Kelamin-kelamin itu mengantuk, tetapi demi sebuah cacing perut yang menjadi peliharaan pasti tiap manusia, maka mereka mau memicingkan kelaminnya. Kelamin adalah korban keganasan cacing perut yang mengaum bak pemimpin demo yang berteriak di depan gedung MPR. Kelaminkelamin itu sebenarnya enggan saling bercengkrama dalam ruang kosong yang dikutuk Tuhan. Kelamin-kelamin yang bergoyang tiap hari, juga menerima sambutan cacian dari manusia yang sok berkelamin. Sungguh tidak berperikelaminan untuk manusia penghujat yang diotaknya dipenuhi lingkaran ketidakmengertian pekara kelamin. Kelamin-kelamin itu beradu demi seonggok hari esok dengan usus penuh berisi. Kelamin adalah korban

62 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


SEKILAS SEKSUALITAS

mutilasi kebiadaban sebuah kehendak yang tak bisa dicegah oleh sejengkal logika. Jika boleh memilih, kelamin itu ingin mengantuk pada daun kuning dan terhempas pada angin yang membawanya. Supaya kelamin-kelamin itu dapat beristirahat dengan tenang tanpa harus memikirkan apa isi usus mereka untuk hari esok? Namun sebagai manusia yang berperikelaminan, tak semuanya bisa menjadi 100 % berkelamin dan 100 % berusus. • Mamik Bo Wijaya, Lahir di kota Kediri, tanggal 4 Sepetember 1989. Masih kuliah di Universitas Airlangga, Surabaya semester, jurusan Sastra Indonesia. Selain sibuk kuliah, juga menjadi pengajar les privat dan penulis lepas di salah satu web yaitu anneahira.com, selalu tertarik dengan diskusi dan kajian seni budaya termasuk film, sastra, teater, musik dan tari, serta mengelola blog pribadi yang berisi tentang sastra. Jika ingin berkomunikasi bisa follow twitter @Mamik Bo Wijaya atau FB dengan akun yang sama.

IBUKU PENARI Ibu, ceritakanlah mengapa kau mau bersetubuh dengan lelaki yang lebih menyerupai anjing dimataku? Sudah lewat tengah malam dan diluar hujan menderu-deru seolah marah terhadap tingkah laku manusia. Aku merasakan ketika itu di rumah bukan dua orang, bukan kau dan aku, tetapi tiga. Meskipun aku tak bisa mendengar apapun selain deru hujan, aku bisa merasakan tiga nafas berbeda. Nafasku, nafasmu dan nafas satu orang yang aku belum tahu siapa dia. Sesungguhnya tubuhku sudah lunglai saat itu, tapi rasa penasaran mengetahui nafas ketiga itu membuatku terjaga. Inilah yang kutemukan; bahwa sesungguhnya kau adalah seorang penari. Tubuhmu serupa ilalang yang melenting gemulai. Kulitmu bersinar diantara kulitnya yang nyaris legam. Butiran keringat mengalir dari sela-sela rambutmu yang terburai diantara tubuhmu dan tubuhnya tanpa menyadari kehadiranku. Musiknya adalah dahaga jiwa yang tersimpan rapi dalam tubuhmu. Aku tidak pernah melihatmu sebahagia itu, seperti melihatmu seutuhnya sebagai perempuan yang memegang kendali atas diri sendiri. Lalu kulihat kau meledak diatas pasangan yang memegangi kedua payudara yang padanya dulu kukecap kehidupan. Kau cantik sekali, Ibu. Tapi aku menangis sesudah itu, bukan karena kau menyimpan rahasia bahwa kau seorang penari yang gemulai. Tetapi aku cemburu, sebab kau menari bersama laki-laki yang padanya telah kuserahkan hidupku. Lelaki yang kukenalkan sebagai kekasihku. • Ali Mustofaenudin, Laki-laki penggila musik death metal ini lahir hari Rabu Legi tahun 1988 bulan ke enam di kota Batang, Jawa Tengah. Hubungi penulis Email: contact@ pantura.org, twitter: @alisakit. 63 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


SEKILAS SEKSUALITAS

MENCURI CELANA DALAM TUHAN “Merah bibir dan pantat tak akan mengantarkanmu ke neraka”, bait pertama syairku memang itu dusta tuhan yang berdiam diri di hati, waktu itu dia mabuk kepayang karena raja syetan menjamunya dengan bir berbintang. “Kaos kutang dan celana dalam tak akan memberikan peta ke ranjang jahannam” bait kedua syairku memang itu dusta tuhan di bibir ranjang, waktu itu dia telanjang siap menyelimuti tubuh bidadari yang diculik malam itu, dari surga Aku tak tahan melihat kediaman senar gitar dalam selangkangan, membelatung dalam gantungan waktu yang gelap takut itulah percuma, tuhan telah mati tadi pagi, tercancang di pantatpantat dan celana dalam bidadari tidak usah takut, tuhan lagi asyik bersenggama di kamar hati, menjamu rayu bidadari ayo kita culik kaos kotang dan celana dalamnya, jadikan tumbal kebiadaban hidup yang tak hidup Kopma UNIROW, Januari 2012 • Ahmad Moehdor al-Farisi Penulis asal kota Rembang, kelahiran Sampang Madura, 26 Juni. Ketua umum Jendela Sastra (2009 s/d 2010) dan Devisi Dokumentasi KOSTRA (Komunitas Sanggar Sastra) UNIROW Tuban (2010 s/d 2011), kini dipercayai menjadi Presiden KOSTRA (2011 s/d 2012). Bukunya yang sudah terbit antara lain Jual Beli Bibir, Sehelai Waktu, Di Sebuah Surau Ada Mahar Untuk Mu, Sepucuk Surat untuk Rasulullah, Mimpi Kecil, dan Malam pun Menyetubuhiku.

ADAM, HAWA, DAN ULAR BELUDAK Ini perjamuan makan kesekian kali yang kami akhiri dengan saling bertukar cairan. Kembali pada keheningan paling primitif. Melawan deru kota yang tiada habis. Buah apel di atas meja masih menyisakan bekas gigitanku yang berlendir. Begitu juga dengan dirinya. Ia tepat di atasku. Basah. “Bagaimana jika ular yang menggoda hawa bukanlah iblis?” tanyaku mengalahkan derit ranjang yang terdengar seru. “Jika dia bukan iblis, barangkali malaikat.” Ia berdesis. “Bagaimana jika dia adalah Adam dalam rupa lain yang Tuhan ciptakan bagi Hawa?” Kami berganti posisi. Kini aku tepat berada di atasnya. Ia menatap mataku. Aku melihat birahinya yang besar. “Bagaimana jika ada Adam lain bagi Hawa?” tanyaku lagi. “Hawa diciptakan bagi Adam. Adam yang pertama. Tidak bagi Adam kedua atau 64 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


SEKILAS SEKSUALITAS

berikutnya.” “Bagaimana kau begitu yakin?”Aku melenguh. Sesuatu seperti hendak memberontak keluar tubuhku. Ia berusaha mempercepat prosesnya. “Karena Tuhan mengusir Adam dan Hawa dari Eden, hanya mereka berdua, dan mengutuk Si Ular Beludak. Tidakkah itu sebuah bukti?” Aku merasakan sesuatu mencair di dalam ronggaku. Hangat dan menenggelamkan. “Aku mencintaimu. Jangan ada Adam lain selain aku.” Ia berbisik di telingaku, melolosi dirinya dari garbaku. Kami merasakan kehangatan. Tidak saling bicara. Tidak saling menatap. Namun kesunyian ini bercerita tentang kisah purba sebelum lelap menyempurnakannya. • Dianna Firefly Lahir pada 7 November 1991 di sebuah kota kecil di Kalimantan Barat. Gadis biasa yang memiliki banyak kebiasaan yang tidak biasa. Tidak ada informasi penting tentangnya. Bukan figur yang perlu ditodong dengan kamera dan alat tulis cetak. Harap berhati-hati bila memutuskan berteman dengannya. Ia gila. Namun baginya menjadi gila adalah sebuah kenikmatan. Twitter: @DiannaFirefly

65 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


KOMIK : AJIE PRASETYO

66 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


KOMIK : AJIE PRASETYO

67 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


KOMIK : AJIE PRASETYO

68 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


KOMIK : AJIE PRASETYO

69 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


KOMIK : AJIE PRASETYO

70 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


KOMIK : AJIE PRASETYO

71 | Bhinneka edisi 12 ~ INTERPRETASI AGAMA


DAFTAR DISTRIBUTOR MAJALAH BHINNEKA

SURABAYA Lembaga Bhinneka Jl. Monginsidi 5 Surabaya 60264 (031) 561-2036 (0888) 0483-4837 info@lembagabhinneka. org C2O library Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264 (031) 7752-5216 (0815) 1520-8027 info@c2o-library.net dbuku Bibliopolis Diana AV Sasa Jl. Karangrejo 6/5 Surabaya 60234 (031) 828-5953 dbuku.dbuku@gmail.com GAYa NUSANTARA Sarjono Sigit Jl Mojo Kidul 1/11A Surabaya, Jatim Sekolah Mandala Jl. Putro Agung 2/6 Surabaya, Jatim (031) 376-5926 SHE Radio Erin Erniati Jl. Wonokitri Besar 40C Surabaya, Jatim (031) 560-0099 Tom Saptaatmaja Jl. Kertajaya Indah 61 Surabaya, Jatim

Yanuar H.K. Jl. Raya Lontar 296B Surabaya, Jatim (031) 7116-4660 (0813) 3023-4196 Yuska Harimurti Ruko Surya Inti Permata 2 Jl. HR. Muhammad 179, Blok D8-9 Surabaya, Jatim BANDUNG Stefanus Ping Setiadi Terracota Workshop Jl. Gandapura No. 71 Bandung, Jawa Barat BEKASI Reynaldo Jl. Gamprit 1 RT 003 / RW 014 No 73 Jatiwaringin - Pondok Gede Bekasi 17411 (0817) 587-774 Isti Komah Taman Bacaan Nawit Dusun Nawit, Desa Kertarahayu RT/RW 03/02 No 99, Kec Setu Bekasi 17329 BOGOR Rafiq Mahmood Jl. Sempur Kaler No. 97 Bogor 16154 (0251) 7112 416

CIANJUR Pujiono (Bina Insan Center) Villa Gunung Bakti 19 (Air Isi Ulang Agape) Jl. Cilengsar - Cipanas Cianjur 43253 DENPASAR Dapur Olah Kreatif Wayan Sunarta Jl. Kroya 12, Denpasar Timur Bali 80235 JAKARTA Hendri Yulius Jl. Cipaku 4/3A, Kebayoran Baru Jaksel 12170 ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) Chris Poerba Jl. Cempaka Putih Barat 21/34 Jakpus 10520 Komunitas Salihara Sitok Srengenge Jl. Salihara 16 Pasar Minggu Jaksel 12520 (021) 789 1202 Shinta Miranda Jl. Mesjid No. 1F, RT04 / RW06 Kampung Ambon, Kel. Kayuputih, Kec. Pulogadung

Jaktim 13210 JOMBANG Aan Anshori Jl. Wisnu Wardhana 40B Jombang, Jatim LAMONGAN Bahrul Ulum Jl. Andan Wangi 161 Tlogoanyar Lamongan 62218 LUMAJANG Hari Kurniawan Jl. Kol. Suruji 86 Lumajang 67313 MAKASSAR Kantor Sehati Jl. Kancil Selatan 85 Makassar, Sulsel MEDAN Febry (Kantor ASB) Jl. Vanili Raya 97A Perumnas Simalingkar Medan, Sumut 20141 (0857) 6159 2609 PONTIANAK Dianna Kos Ananda Kamar T A. Yani 1, Gg. Sepakat 2, Blok O Pontianak, Kalbar 78122

Semarang, Jateng (024) 747-1166 SIDOARJO Sanggar Al Faz Cak Irsyad Besuki Timur, Porong Sidoarjo, Jatim TUBAN Lie Kwang Yen Jl. Teuku Umar 1A Tuban 62314 YOGYAKARTA IHAP (Institut Hak Asasi Perempuan) Jl. Nagan Tengah 40A Yogyakarta 55133 (0274) 382-393 LKiS Jl. Pura No. 203 Sorowajan, Plumbon Yogyakarta 55198 Yayasan Umar Kayam Kusen Alipah Hadi Perum Sawit Sari I-3 Condong Catur, Sleman Yogyakarta 55283

SEMARANG Dewan Kesenian Semarang Agung Hima Jl. Gombel Permai 6/107

- Saya ingin mendapatkan majalah Bhinneka. Bagaimana caranya? Dan berapa harganya? Mira Susanti, Jakarta

Surat Pembaca.

- Majalah Bhinneka dibagikan gratis dan ada beberapa distributor di Jakarta. Nanti bisa kami emailkan daftar distributor di Jakarta. Redaksi - Apakah majalah Bhinneka bisa didapat online? Budi Adianta, Surabaya - Bisa. Ini linknya: http://issuu.com/bhinneka Redaksi.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.