Majalah Bhinneka #007: Perayaan Hari Besar Agama

Page 1

bhinneka

GR

AT IS

karena Indonesia tidak tunggal ika

4JING "ING 3URABAYA 0ERAYAAN (YBRID .GURAS 'ENTONG

Perayaan Hari Besar


,EMBAGA "HINNEKA

3USUNAN 2EDAKSI

$IDIRIKAN DI TAHUN DI 3URABAYA ,EMBAGA "HINNEKA MENGUSUNG ISU KEANEKARAGAMAN TRADISI BUDAYA AGAMA DAN HAK ASASI MANUSIA DI )NDONESIA ,EMBAGA "HINNEKA BERU PAYA MENGEMBANGKAN STUDI DAN RISET MENDALAM TENTANG KEBERAGA MAN DALAM TATARAN AKADEMIS SEKA LIGUS MENJEMBATANINYA KE DALAM RANAH PUBLIK DAN PRAKTIS

0EMIMPIN 2EDAKSI 3OE 4JEN -ARCHING

,EMBAGA "HINNEKA TIDAK BERA½LIASI PADA KELOMPOK AGAMA IDEOLOGI PARTAI ATAUPUN ETNIS TERTENTU 0ENGEMBANGAN WACANA KEBHINNE KAAN DAN KEANEKARAGAMAN DIUPAYA KAN ANTARA LAIN MELALUI PENERBITAN MAJALAH DAN DISKUSI TERBUKA

-AJALAH "HINNEKA

2EDAKSI !NTOK 3EREAN 9ULIUS (ENDRI ,AYOUT &OTOGRA½ # / +ONTRIBUTOR 0HEBE !NGGRAENI 3EKRETARIS "ENDAHARA $IAN 0USPITA 3ARI !LAMAT REDAKSI *L -ONGINSIDI .O 3URABAYA ).$/.%3)! 4ELP %MAIL MAJALAHBHINNEKA YAHOO COM 7EB HTTP MAJALAHBHINNEKA COM HTTP WWW FACEBOOK COM PAGES -AJALAH "HINNEKA

-AJALAH KRITIS NIR LABA YANG MEMBA HAS TOPIK TERTENTU BERKAITAN DENGAN KERAGAMAN DAN HAL HAL YANG $ONASI ,EMBAGA "HINNEKA SERINGKALI DIANGGAP BAKU SEPERTI "ANK "2) CABANG +APAS +RAMPUNG AGAMA DAN TRADISI 4ERBIT DWIBULANAN SEJAK /KTOBER DENGAN OPLAH DAN BISA DIDAPATKAN GRATIS DI KOTA DI )NDO $IDUKUNG OLEH NESIA LIHAT DAFTAR TITIK DISTRIBUSI DI HALAMAN BELAKANG 3ELESAI MEMBACA SILAHKAN MEMBER IKAN MAJALAH INI KEPADA TEMAN ATAU SIAPA SAJA YANG TERTARIK


MENU BHINEKA $ARI 0EMRED 0ERAYAAN (ARI "ESAR

Sajian Pembuka %TIKA (ARI "ESAR !GAMA OLEH !HMAD :AINUN (AMDI

Sajian Utama 0ERAYAAN .ATAL !NTARA +APITALISME DAN (IBRIDITAS "UDAYA OLEH (ENDRI 9ULIUS 0ERAYAAN (ARI "ESAR DAN "AHAYA +EBISINGAN OLEH 3OE 4JEN -ARCHING "ELAJAR DARI 4RADISI $AERAH +ENAPA 4IDAK OLEH "IBLIOPHILEKID +ETAKWAAN 3EJATI OLEH !RIF 3AIFUDIN 9UDISTIRA 4JING "ING 3URABAYA OLEH 3UPARTO "RATA 0OTRET 0ERAYAAN (YBRID .GURAS 'ENTONG &OTO OLEH 'AMA 4RIONO !KU !GAMAKU OLEH !LI 9USRAN $ATUK -AJOINDO -EMAKNAI (ARI 2AYA DALAM 4RADISI !GAMA OLEH 3ALAMUN !LI -AFAZ .GOBROL 0ROF 3OETANDYO 7IGNJOSOEBROTO DENGAN 0HEBE !NGGRAENI

Sajian Penutup 2ITUS DAN 7AKTU OLEH 2ICHARD /H !PA +ATA -EREKA #ERPEN #ERUK "UKIT +APUR OLEH $INI 5SMAN

%DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


$!2) 0%-2%$ Perayaan Hari Besar

/LEH 3OE 4JEN -ARCHING

P

erayaan dan ritual adalah hal yang tak terpisahkan dari manusia. Karena ini menyangkut rasa dan ekspresi. Dalam ekspresi ini, kebersamaan dapat menjadikan perayaan dan ritual terasa akbar dan gempita. Sebuah kepuasan tersendiri. Karena itu, ritual dapat dengan mudah menanamkan emosi tertentu: Emosi publik. Di mana mereka yang terlibat seringkali mengamini hal-hal rutin, demi kepuasan massa, seperti adanya korban. Pada ritual Thargelia di masa Yunani kuno, mereka memilih seseorang yang dianggap telah mengakibatkan datangya bencana. Biasanya ia adalah yang termiskin dan terburuk di antara mereka. Manusia ini lalu diasingkan dari kota, dilempari batu, dan bahkan terkadang ada yang dibunuh dengan alasan untuk menyucikan masyarakat itu kembali. Korban manusia itu kemudian diganti oleh kambing: Massa memerlukan kambing hitam untuk mala petaka yang terjadi di sekitar mereka. Namun hingga kini, manusia lain masih sering dikorbankan. Bukankah hal ini yang dilakukan Soeharto pada orang-orang kiri atau yang dituduhnya sebagai kiri? Ri-tual itu diulangi dan ditekankan setiap tanggal 1 Oktober – Kesaktian Pancasila.

Apa pun yang terjadi di Negeri ini adalah salah Komunis, begitu kata sang Presiden kedua Indonesia. Karena mereka tak bertuhan, mereka patut disalahkan untuk segalanya. Kekejaman terkadang memang bisa terbungkus rapi dalam kata-kata yang mengelabui. Karena itu, beberapa pejabat kita selalu menggembar-gemborkan betapa relijiusnya mereka, namun di balik itu, ada korupsi dan manipulasi yang luar biasa. Dan kita mesti ingat, bahwa para penyalib Yesus adalah orang-orang relijius yang menuduhnya sebagai penghujat Allah, karena Yesus menerima pelacur, orang-orang yang dianggap kafir, dan mengritik keras pemerintahnya. Saat itu, sekitar perayaan Passover (perayaan Paskah orang Israel, memperingati pembebasan mereka dari Mesir). Hari Raya yang dianggap suci oleh masyarakat ini, ditandai dengan teriakan ganas dan tudingan keji terhadap Yesus: “Salibkan Dia!�. Dan kemudian, si kambing hitam ini diseret, dipukuli, dicambuki dan disiksa, diiringi sorak-sorai massa.

\ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


3!*)!. 0%-"5+!

ETIKA HARI BESAR AGAMA

&/4/ %2,). '

L

ihatlah spanduk yang terpasang di mana-mana menjelang dan pada saat Ramadhan! Dengan berbagai ragam redaksi kalimatnya, semua satu suara: Seruan untuk menghormati umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa. Sebagai seorang Muslim, saya berharap spanduk itu tidak dibuat oleh orang Muslim yang menjalankan puasa. Sikap keberagamaan saya tidak bisa menerima sebuah perintah kebaikan keagamaan, seperti puasa, menghasilkan pribadi yang narsis, gila hormat, dan arogan. Puasa semestinya mengajari orang untuk rendah hati karena tidak satupun yang bisa menilai kualitas puasa seseorang kecuali Tuhan sendiri. Tapi, spanduk-spanduk itu mengindikasikan hal sebaliknya, orang

yang menjalankan puasa merasa tinggi hati dan arogan dengan teriak kesanakemari menuntut orang lain untuk memberi hormat kepadanya hanya karena ia sedang menjalankan perintah agamanya sendiri. Bagaimana mungkin, seorang Muslim yang menjalankan kewajiban agamanya sendiri, yang seharusnya dijalankan dengan penuh kesadaran dan kekhusyukan, menjali gila hormat dengan berteriak-teriak kepada orang lain minta untuk dihormati? Puasa semestinya membentuk pribadi yang santun karena yang dipertaruhkan oleh seorang yang berpuasa adalah kejujuran langsung antara dirinya dengan Tuhan. Tapi spanduk-spanduk itu seakan ingin pamer; berisi pujian terhadap diri sendiri yang merasa melakukan “kebaikan�. Bagaimana

%DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


mungkin puasa yang di dijanjikan tuhan akan membentuk pribadi yang taqwa itu ternyata berujung pada sikap narsis yang memalukan? Lapar dan dahaga seharian yang ditanggung oleh orang yang berpuasa semestinya memungkinkannya memiliki empati dan toleran pada orang lain karena orang yang berpuasa memiliki pengalaman langsung tentang penderitaan orang lain. Akan tetapi, setiap menjelang dan selama Ramadhan mata dan telinga kita selalu disesaki dengan berita kekerasan oleh orang-orang yang berpuasa yang sedang menuntut siapa saja untuk menghormatinya yang sedang berpuasa. Sikap gila hormat, narsis, dan arogan itu seakan hanya menjadi pendahuluan saja untuk menjadikan Ramdhan sebagai dalih melakukan tindakan kekerasan. Bagaimana mungkin puasa yang seharusnya membuat seorang Muslim menjadi pribadi yang penuh kasih ternyata melahirkan teror? Merenungkan ini semua, saya semakin percaya bahwa ukuran kebenaran agama adalah kebaikan manusia. Jika ada sekelompok orang yang menenteng Islam ke mana-mana sambil menebar teror kemanusiaan, saya yakin itu bukanlah Islam yang diwahyukan Tuhan ke Muhammad, yang dinyatakan sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Jika ada yang melakukan pelecehan harkat dan martabat manusia atas nama Ramadhan, pastilah itu bukan Ramadhan yang dinyatakan Nabi Muhammad sebagai bulan penuh berkah. Apapun nama agamanya, jika tidak dilambari dengan semangat humanisme, ia hanya akan mendatangkan prahara kemanusiaan yang sangat mengerikan karena berbagai kejahatan kemanusiaan tiba-tiba dibenarkan, gilanya, atas nama Tuhan lagi. !(-!$ :!).5, (!-$) DOSEN +AJIAN )SLAM DI )!). 3URABAYA

\ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


3!*)!. 54!-! Inilah yang barangkali menyebabkan keberangan Richard Dawkins dalam bukunya The God Delusion: Anak-anak kecil yang tak berdaya dan belum bisa berpikir kritis dipaksa mengikuti kepercayaan dan ritual agama orang tuanya. Yang ada bukan ‘anak-anak Kristen’, tetapi ‘anak-anak dari orang tua yang beragama Kristen’. Sebab bukanlah anak-anak itu sendiri yang memilih, tetapi mereka tak lebih dari sekedar obyek penanaman keyakinan dari orang tuanya. Pertanyaannya, salahkah membuat anakanak memiliki keyakinan yang sama dengan orang tuanya? Mungkin Emile Durkheim tak akan mempermasalahkannya. Pasalnya, pemikir yang terkenal dengan sosiologi bunuh dirinya ini menyatakan bahwa agama adalah entitas yang dapat membentuk sebuah integrasi sosial dan mempersatukan masyarakat, seperti &/4/ /,)6)! 6 ! konsep totem dalam suku Arunta masyarakat Aborigin. Meminjam pemahaman ini, hari raya keagamaan, khususnya Natal etika masih kecil dan menganut bisa dilihat sebagai sebuah totem yang agama Kristen, saya tak pernah mempersatukan komunitas penganutnya. absen menanti kedatangan Hanya saja, dalam masyarakat modernitas, hari Natal. Tanpa ada niat yang membuat Natal menjadi totem adalah mempertanyakan keabsahannya, hari simbol-simbolnya, seperti pohon Natal Natal menjadi sebuah momentum di mana berkerlap-kerlip, ornamen-ornamen Santa Sang Juru Selamat dilahirkan ke dunia, Claus, dan ibadah besar-besaran. Filosofinya yang kelak akan menebus dosa manusia. barangkali masih diusung, tetapi sayangnya Nyatanya, bukan hal itu saja yang sematasedikit banyak sudah tergeser dengan mata membuat saya tak sabar menanti simbol-simbol material tersebut. Uniknya, Natal, tetapi justru tradisi mengenakan baju simbol-simbol itu juga menghadirkan suatu baru, pemasangan pohon natal berkerlaphibriditas kultural dengan budaya Indonesia. kerlip, serta ibadah heboh nan mewah yang Di Indonesia yang tak memiliki musim salju, menjadi penantian saya. Kebiasaan dan dibuatlah pohon Natal dengan nuansa ritual semacam itu sudah tertanam dalam putih salju—baik dengan menggunakan benak saya waktu itu. Tak ada sedikit pun tempelan kapas atau juga daunnya secara istilah semacam kapitalisme yang muncul dicat putih, juga ditambah dengan ornamen ketika melihat supermarket dihiasi pohon Santa Claus yang bernuansa baju musim natal dan hiasannya demi mengusung dingin berwarna merah. Belum lagi, mallsuasana Natal dalam strategi pemasaran.

K

%DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


mall besar demi strategi pemasarannya ikutikutan memasang ornamen pohon natal besar, dilengkapi dengan rumah-rumahan, dan hujan salju buatan (kebanyakan berupa kapas) yang menggelontor tiba-tiba dari atas. Fenomena macam ini membuat kultur Indonesia campur aduk dengan kultur Barat yang memang merayakan Natal identik dengan musim dingin. Tak ada yang salah dengan simbolisasi. Toh, agama juga penuh dengan simbol demi mencerap realitas yang konon disebut sebagai “realitas tertinggi� itu. Hanya saja penggunaan simbol berlebihan ini justru mengaburkan semangat Natal yang sesungguhnya—terlepas dari sejarah pembakuan hari Natal dari kebiasaan pengikut Pagan oleh Kaisar Konstantin, bahkan menimbulkan sebuah mitos bahwa Barat (dengan saljunya, tentu saja) sebagai titik pusat perayaan Natal, sedangkan Indonesia adalah wilayah pinggirannya (periferi). Inilah ekses dari kapitalisme global di mana seluruh kebudayaan dunia akan terserap menjadi satu dan monolitik. Natal yang sudah dikooptasi oleh produk massa dan simbol yang membuat kocek kapitalis makin tebal adalah buktinya. Belum lagi, ditambah dengan ibadah besar-besaran yang membuat seolah-olah setiap tempat ibadah sedang berlomba-lomba merebut pengikut. Kemewahan dan acara pujian perayaan yang menghabiskan uang berapa banyak itu menjadi paradoksal: Bagaimana bisa kita merayakan sesuatu dengan mewah, sementara banyak saudara-saudara kita yang kelaparan dan miskin di manamana. Pernahkah Yesus berfirman bahwa pengikutnya harus merayakan kelahirannya dengan mewah dan besar-besaran? Bukankah Yesus justru mengajarkan kesederhanaan? Nietzsche yang dihujat sebagai seorang ateis saja pernah berujar bahwa Kerajaan Surga bukan sesuatu yang ada di atas bumi, atau memiliki tanggal tertentu, melainkan

“perubahan dalam diri seseorangâ€?. Begitu pula dengan hari Natal—termasuk, agama— yang seharusnya bukan sekedar hebohhebohan materi, simbol, atau pemborosan fatwa yang tak tentu arah, tetapi bagaimana melakukan perubahan dan kebaikan bagi masyarakat tanpa pandang bulu, gender, orientasi seksual, dan lain-lain. Sayangnya, tak ada yang tak bisa dijual oleh kapitalisme global. Simbol-simbol agama pun jadi produksi skala massal dan dipasarkan dengan menggunakan pembakuan mitos bahwa perayaan Natal tak akan lengkap tanpa simbol-simbol pohon, salju, atau boneka Sinterklas. Agaknya, tak salah seloroh Soe Hok Gie dalam salah satu tulisannya “Generasi yang Kecewaâ€?: â€œâ€Ś bagaimana perasaan Jesus kalau ia masih di dunia dan melihat dirinya menjadi alat reklame kota-kota besar 1â€?. Yesus saja bisa dikomersialisasikan, apalagi kalau cuma sekedar pohon-pohon dan aksesoris? (%.$2) 95,)53 7)*!9! FEMINIS DAN EDITOR "ERBEDA DAN "ERWARNA "EBERAPA BUKUNYA TELAH DITERBITKAN OLEH %LEX -EDIA

Daftar Bacaan Dawkins, Richard. 2006. The God Delusion. New York: Mariner Books. Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Luntungan R., Nessy (ed). 2009. Soe Hok Gie‌Sekali Lagi. Jakarta: KPG. Santosa, Akhmad. 2009. Nietzsche Sudah Mati.Yogyakarta: Kanisius.

1 Dikutip dari tulisan Soe Hok Gie, “Generasi yang Kecewaâ€? (Sinar Harapan, 5 Maret 1969) yang telah dibukukan dalam buku “Soe Hok Gie‌sekali lagiâ€? (KPG, 2009)

\ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


Perayaan Hari Besar dan

Bahaya Kebisingan

B

atas usia manusia bertambah panjang. Di Indonesia, perempuan rata-rata mencapai 68 tahun, sementara laki-laki 65 tahun. Bila anda termasuk manusia yang getol hidup lebih lama, mahluk yang perlu diberi tanda terimakasih adalah teknologi. Perkembangan teknologi dalam kedokteran dan farmasi semakin mampu menyembuhkan berbagai penyakit dan juga mempertahankan kesehatan manusia, serta membuat hidup manusia bertambah nyaman. Tapi, tidak semua teknologi membuat masyarakat lebih sehat dan nyaman. Mereka dengan bahagia memuja teknologi, dan karena ini pula, ketergantungan pada pengeras suara semakin menjadi-jadi. Hampir semua acara, pesta dan perayaan dilengkapi dengan pengeras suara yang fungsinya tidak lagi membantu manusia untuk mendengar, tapi lebih kepada memekakkan telinga hadirin bahkan masyarakat sekitarnya. Di plaza-plaza, tempat permainan anak juga sudah dijajah oleh suara yang memekakkan. Seringkali suara kita sendiri menjadi hilang karenanya, sehingga bila kebisingan ini

menyerbu, kita harus saling berteriak untuk bisa berkomunikasi dengan sesama. Soegijanto, guru besar ilmu akustik di ITB, juga sempat bercerita tentang bandara udara di Makassar. Bangunannya mewah, dilengkapi dengan teknologi yang tak kalah dengan kota-kota Metropolitan di Indonesia. Namun, teknologi di bandara tersebut tidak saja memudahkan tapi juga menyulitkan dan bahkan membahayakan kesehatan. Bandara yang penuh dengan porselin dan dilengkapi dengan pengeras suara membuat bunyibunyi saling memantul dan memekakkan telinga. Masih saja, bahaya kebisingan tidak begitu disadari oleh masyarakat. Padahal, seringkali, gangguan pendengaran itu terjadinya bertahap. Sehingga manusia sendiri terkadang tidak sadar ketika pendengaran mereka sudah berkurang. Padahal, gangguan pada pendengaran tidak saja berdampak pada berkurangnya sensitifitas pada suara, namun juga bisa mempengaruhi mekanisme tubuh yang lebih luas, seperti tekanan darah, denyut jantung dan sistem pencernaan. Telinga kita juga mempunyai rumah siput

%DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


yang menjaga fungsi keseimbangan. Bila fungsi ini terganggu, maka manusia akan lebih mudah mengalami depresi, insomnia dan beberapa penyakit lain seperti vertigo. Hal ini seringkali terjadi tanpa disadari jadi, jangan menunggu sampai jadi tuli!!!! Tidak saja manusia yang terganggu, bahkan binatang (yang semakin terdesak oleh hutan beton), juga bisa mengalami gangguan yang luar biasa. Misalnya: gangguan komunikasi di antara mereka. Binatang yang seringkali diserang oleh polusi suara juga lebih mudah menjadi agresif daripada yang tidak. Bahkan polusi kebisingan terbukti ikut bertanggung jawab atas semakin punahnya ikan paus di dunia. Arthur Popper, ahli kebisingan dalam dunia laut dari University of Maryland, menjelaskan bahwa bunyi-bunyi keras dari kapal atau kendaraan bermotor lain, sangat mengganggu nyanyian ikan paus. Padahal, dengan nyanyian ini mereka berkomunikasi, mencari makan bersama, mencari kelompok mereka dan bahkan mengirim tanda SOS bila berada dalam bahaya. Bayi-bayi mereka pun mengalami tingkat kematian yang jauh lebih tinggi karena adanya polusi suara ini.

Decibel – ukuran suara Hampir semua orang tahu ukuran jarak (meter, kilometer dst), waktu (detik, jam, hari dst) atau berat. Tapi ukuran suara? Ketidaktahuan ini seringkali adalah pertanda ketidakpedulian masyarakat terhadap kebisingan. Padahal ukuran ini hanya satu kata yang sama sekali tidak seram: Decibel. Di tempat-tempat yang sepi, ukuran decibelnya akan rendah. Misalnya: • • •

Di perpustakaan (yang keheningannya dijaga): 35-40 decibel Di kantor: 60- 65 decibel Tempat permainan anak di Plaza-plaza Indonesia: 90-95 decibel

mendengar suara yang lebih dari 80 decibel. Ini juga tergantung dari lama suara tersebut. Bila tidak lebih dari 15 menit, maka gangguan yang dialami akan minimal. Tapi bila lebih dari 15 menit, gangguan akan semakin besar, apalagi bila dialami hampir setiap hari. Bayangkan anak-anak yang bermain di plaza berjam-jam dan dijajah oleh bunyi yang begitu keras? Kerusakan pendengaran sebesar apa yang akan mereka alami? Karena itulah, komponis Slamet Abdul Sjukur menyebut kebisingan ini sebagai “bahaya nasional�. Ancaman ini sudah tumbuh dimana-mana dan semakin merajalela. Bahkan gaya hidup kita semakin tidak bisa dipisahkan dari penjajahan bunyi ini. Suara mesin cuci, pengering rambut (blowdryer), penghisap debu, alat pemotong rumput – semua menjadi bagian yang diterima oleh masyarakat.

Peraturan Decibel (dB) di beberapa Negara Di beberapa Negara, sudah diberlakukan peraturan batas maksimal decibel yang cukup ketat. Ini adalah contoh batas decibel yang diberlakukan di Australia, Britania Raya (dan baru-baru ini, sangat diusahakan di Malaysia): $AERAH

-AKSI MAL D" JAM

-AKSI MAL D" JAM ÂŻ

! $AERAH )NDUSTRI

" $AERAH 0ERDAGANGAN

# $AERAH 0ERUMAHAN

Pendengaran manusia akan terganggu bila \ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


$AERAH

-AKSI MAL D" JAM

$ $AERAH (ENING SEPERTI RUMAH SAKIT PANTI JOMPO PENGADI LAN

-AKSI MAL D" JAM ÂŻ

Di Indonesia, Menaker juga telah mengeluarkan peraturan batas decibel. SK Menaker 1999 menentukan: • Suara 80 decibel, diperbolehkan selama tidak lebih dari 24 jam • Suara 82 decibel, diperbolehkan selama tidak lebih dari 16 jam • Suara 85 decibel, diperbolehkan selama tidak lebih dari 8 jam Dibandingkan dengan tabel di atas, tentu saja batas di Indonesia masih jauh daripada batas-batas di Negara-negara lainnya. Artinya, pemerintah kita masih lebih santai dalam menanggapi kerusakan kesehatan rakyatnya (bandingkan batas di atas, yang hanya mencantumkan angka 75 decibel, sedangkan pemerintah masih cukup kalem dengan 85 decibel). Ini pun masih dengan mudah dilanggar begitu saja.

Masyarakat Bebas-Bising Karena pemerintah kita yang lebih ribut bila mikrofon tidak bekerja (padahal, seperti yang disebut di atas, alat pengeras suara telah ikut bertanggung jawab atas polusi kebisingan), Masyarakat Bebas-Bising menjadi organisasi yang jauh lebih bertanggung-jawab daripada pemerintah dalam mengingatkan masyarakat akan “bahaya nasional� ini. Didirikan pada tanggal 23 Januari 2010, Masyarakat BebasBising mencoba meningkatkan kesadaran masyarakat melalui kampanye anti bising.

oleh Masyarakat Bebas-Bising antara lain: 1. Kampanye publik mengenai bahaya dari polusi kebisingan, baik bagi individu maupun masyarakat dan lingkungan secara umum, 2. Mendesak pemerintah untuk segera melengkapi kebijakan atau regulasi serta meningkatkan pengawasan pelaksanaan peraturan yang sudah ada terkait dengan kebisingan Dana yang didapat amat minim, sehingga para pendiri seringkali harus merogoh kocek mereka untuk kegiatan seperti di atas. Namun semua kegiatan ini akan sia-sia bila masyarakat secara luas tidak terlibat untuk mewujudkan lingkungan bebas-bising. Masih banyak kelompok masyarakat yang mengagungkan kebisingan dan mengharuskannya dalam perayaan hari besar. Tahun Baru hampir selalu dipenuhi dengan suara terompet, kembagn api, mercon yang memekik. Bahkan, tidak jarang yang melepas peredam knalpot sepeda motor mereka sehingga suaranya memekakkan telinga. Apakah perayaan selalu harus sama dengan kebisingan? Sedangkan di Bali, pada hari Raya Nyepi, masyarakat sudah membuktikan bahwa perayaan hari Besar bisa sangat berarti dengan keheningan. Mungkin pada perayaan hari besar mendatang, kita bisa mencoba untuk mengurangi polusi suara. Dari suara terompet tahun Baru, pengeras suara, atau mesin-mesin lainnya. Paling tidak, kita mencoba menikmati suasana yang tidak bising, dan mengajak saudara atau teman kita untuk lebih menyadari hal ini juga. 3/% 4*%. -!2#().' PENDIRI -AJALAH "HINNEKA DAN PEMRED *URNAL 'ANDRUNG .OVELNYA -ATI "ERTAHUN YANG ,ALU DITERBITKAN OLEH 'RAMEDIA

Beberapa kegiatan yang sudah dilakukan %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


Belajar dari Tradisi Daerah

H

ari besar keagamaan adalah sesuatu yang sudah melekat dan tak bisa terpisahkan oleh setiap umat beragama di manapun. Tak terkecuali di Indonesia. Pada setiap jatuhnya hari besar agama, sudah sewajarnya bagi setiap umat beragama merayakan hari besarnya masing-masing tanpa adanya intimidasi, maupun intervensi dari pihak manapun. Namun, sepertinya hal yang sudah sewajarnya dilakukan ini masih seringkali mendapat ganjalan di sana-sini. Sehingga—mau tak mau—pemeluk suatu agama harus membatasi kegiatan mereka dalam merayakannya. Dan ini sebenarnya sudah jelas-jelas melanggar hak asasi manusia dan privasi setiap umat beragama. Sudah tak perlu dipertanyakan lagi kalau yang biasanya sering menjadi korban adalah penganut agama minoritas di suatu wilayah, atau negara. Sebagai contoh diskriminasi agama yang terjadi di Liberia dua tahun yang lalu, persisnya pada tahun 2008. Dijelaskan bagaimana saat itu Pemerintah Liberia tidak mengakui HariHari Besar Islam untuk dimasukkan ke dalam kalender sebagai Hari Libur Nasional. Bahkan, meskipun Menteri Penerangannya sendiri yang beragama Kristen, Pendeta Dr. Lawrence Bropleh sudah sempat mengajukan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha untuk dijadikan sebagai Hari Libur Nasional, namun ternyata tetap tidak diacuhkan oleh pemerintah negaranya yang memang mayoritas Kristen tersebut. Menurut Pendeta Bropleh, Umat Islam sudah semestinya diperlakukan sama

dengan umat beragama lainnya. Dan dia pun menambahkan, semestinya persoalan semacam ini bisa disampaikan ke Dewan Legislatif untuk mendapatkan konsensus. Direktur Pusat Studi Arab dan Islam di Monrovia, yang merupakan Ibukota Liberia, yaitu; Abdul Mutthalib Bin Attoh menambahkan, kalangan moderat dan kaum yang berpikiran terbuka di pemerintahan bersama dan Umat Islam seharusnya bisa dan mampu

memperjuangkan hak-hak warga Muslim, “cukup� dengan cara mengakui Hari-Hari Besar Umat Islam. Namun sepertinya itu pun masih dirasa berlebihan. Buktinya? Meskipun Attoh menyatakan dukungannya pada Pendeta Bropleh, hal ini justru berbanding terbalik dengan Pemerintah Liberia yang seakan tutup telinga akan aspirasi warga Muslim di negara itu. Presiden Liberia, Ellen Johnson Sirleaf menegaskan penolakannya akan tuntutan tersebut. Bahkan pernyataan Pendeta Bropleh justru mendapatkan kecaman dari kalangannya sendiri, yaitu Gereja Persatuan Methodist, yang mendesak Pendeta Bropleh agar ia menarik pernyataannya kembali atau diminta mengundurkan diri sebagai pendeta. Peristiwa yang disebutkan tadi juga seringkali terjadi di beberapa wilayah yang

\ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


bertempat di Negara Indonesia kita—yang katanya demokratis ini. Di beberapa tempat ada penganut Agama Nasrani yang tak lagi diperbolehkan mengadakan acara kebaktian di lingkungan tempat tinggalnya, dikarenakan penghuni-penghuni kompleks perumahannya yang mayoritas Muslim merasa terganggu karenanya. Pasti masih segar dalam ingatan kita semua pada masa Orde Baru yang dengan “tegasnya” hanya mengakui lima agama. Bukankah ini jelas-jelas bertentangan dengan pasal dalam UUD 1945 yang katanya menjamin setiap warga Negara(nya) bebas memilih agamanya masing-masing, dan menjalankan ajaran-ajaran-ajaran agamanya tersebut? Ini masih ditambah dengan “berulahnya” Negara dengan pembahasan RUU KUB (Kerukunan Umat Beragama). Dalam naskah RUU KUB yang dibuat oleh Departemen Agama (Depag) Republik Indonesia disebutkan beberapa materi yang tercakup di dalamnya, yaitu antara lain: Tata tertib Penyiaran Agama, Pengaturan Tenaga dan Bantuan Asing, Penyelenggaraan Hari-hari Besar Keagamaan, Persyaratan Pendirian dan Penggunaan Tempat Ibadah Umum Keagamaan, Kebebasan Beragama dan Menjalankan Ibadah Agama, Kebebasan Mengikuti Pendidikan Agama, Perkawinan Antar Pemeluk Agama Yang Berbeda, Tata Tertib Pemakaman Jenazah, Penodaan dan Penghinaan Agama, serta Penyalahgunaan Agama Untuk Mengganggu Ketertiban Masyarakat dan atau Negara Kesatuan RI. Pasal-pasal ini yang seringkali dipakai untuk “mengamankan” agama-agama resmi yang diakui Negara dari tindakan “penyimpangan” dan penafsiran dengan menggunakan metode yang dilakukan oleh sekelompok sekte tertentu. Misalnya kasus diskriminasi terhadap kelompok Ahmadiyah, Darul Arqam, Konghucu, Agama Penghayat dll. Bahkan Negara pun ikut campur tangan soal kepercayaan mana yang harus berkembang di masyarakat lewat RUU KUB

tersebut. Namun itu berarti semua yang terjadi di Negara kita yang tercinta ini tidak ada yang bisa diambil sebagai contoh yang baik. Yang paling menarik adalah tradisi yang katanya sudah berjalan puluhan tahun di Desa Wonosari, Kecamatan Grogol, Kabupaten Kediri. Tradisi yang disebut Anjangsana ini konon berawal dari Umat Kristiani yang biasanya merayakan Natal yang dilanjutkan dengan tahun baru. Namun kini kebiasaan tersebut sudah melebur. Bukan hanya menjadi tradisi Umat Kristen, namun juga seluruh pemeluk agama lainnya yang menjadi warga desa tersebut. Anjangsana yang sebenarnya merupakan tradisi peserta sekolah minggu di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJU) Grogol itu biasanya dimulai sekitar pukul 08.00. Anakanak yang berjumlah puluhan mengunjungi rumah warga Umat Kristiani satu per satu hingga pukul 14.00. Ada sekitar 120 KK Umat Kristiani yang merayakan tahun baru di Desa Wonosari. Para anak-anak itu mengantre di depan rumah warga yang sedang merayakan hari besar masing-masing. Mereka bergantian mengucapkan selamat tahun baru pada sang empunya rumah sebelum masuk ke dalam. Di dalam sudah tersedia mulai dari kue kering, buah-buahan dan lain-lain. Setelah bersalaman biasanya mereka mendapat uang saku yang disebut angpao. Jumlah uang yang diberikan biasanya mulai dari Rp 2,000 hingga Rp 5,000. Jadi sebenarnya yang patut ditumbuhkan dan ditingkatkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bersosialisasi adalah kesadaran individu akan pentingnya sebuah penerimaan antara umat beragama yang satu dengan lainnya demi menjaga keharmonisan hubungan. Lagipula siapa sih yang tidak senang hidup rukun dalam bertetangga dan bermasyarakat? Bukankah kita selain bangsa yang terkenal dengan penduduknya yang multikultural dan multietnis, juga dikenal sebagai bangsa yang berjiwa Pancasila dan

%DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


Ketakwaan Sejati

&/4/ %2,). ' �Tuhan kami adalah nurani, neraka dan surga kami adalah nurani kami. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami, dengan melakukan kebajikan nurani kami pulalah yang memberi kurnia� [Surat Kartini 15 Agustus 1902 pada nyonya EC Abendanon, ditulis kembali oleh Pramudya dalam buku Panggil Aku Kartini Saja]

M

enurut Kartini nurani memang menjadi nilai atau patokan dasar seseorang mengamalkan religiositas yang hakiki. Ia sudah tidak lagi memandang, apalagi membedakan status agama seseorang ketika nurani berbicara. Esensi ketuhanan sebenarnya akan mampu menjelma dalam kehidupan manusia seharihari. Dalam falsafah Jawa kita mengenal istilah �manunggaling kawula gusti�. Yang dimaknai adalah apa yang dilakukannya adalah kehendak Tuhan, kehendak nurani. Jadi, tidak ada lagi perbedaan antara ritual atau perbuatan terhadap sesama, karena

interaksi terhadap sesama adalah bagian dari ritual itu juga. Yang menjadi pertanyaan kemudian: Mengapa di negeri ini masih saja ada semacam konflik laten yang kemudian mengatasnamakan agama? Dari berbagai permasalahan tentang konflik antar masyarakat beragama sampai dengan kasus terbaru mengenai terorisme yang juga terkesan menyudutkan salah satu agama tertentu, apalagi bila agama itu minoritas. Konflik yang terlampau panjang dan berlebihan ini seringkali menimbulkan

\ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


fanatisme yang sempit, yang menambah masalah baru. Tekanan psikologis, sosial, maupun budaya akan menyebabkan umat agama tertentu kemudian mengalami ”sindrom fanatisme agama” yang berlebihan. Bahkan, akhirnya manusia sendiri dikorbankan. Ketika hal ini terus dan senantiasa dibiarkan, maka tidak heran yang muncul ketika di ceramahceramah di gereja, kotbah-kotbah di masjid, dan upacara-upacara keagamaan adalah hujatan kepada kelompok tertentu. Dalih pun dikeluarkan untuk membenarkan diskriminasi ini.

Menyikapi pluralisme Kenyataan yang ada pada negeri ini dengan berbagai keanekaragaman dan masyarakat yang plural mengajarkan kita bahwa perbedaan adalah rahmah. Keanekaragaman tersebut termasuk adalah keanekaragaman dalam agama dan pengamalan praktek keagamaan. Sudah menjadi fitroh bahwasannya kita itu diciptakan dengan keanekaragaman.

Pluralisme yang dimaknai dan dijunjung tinggi secara bijak bukan menimbulkan konflik, akan tetapi menimbulkan semangat persatuan dan toleransi yang tinggi.

Ini sangat mengkhawatirkan bagi kebhinekaan kita. Menyelami hakikat ketuhanan bukan hanya kemudian kita menjalankan ibadah-ibadah sebagai sebuah rutinitas, melainkan mulai pada tahap aplikasi dalam kehidupannya. Sebagaimana dengan Bertrand Russel yang ia juga menulis buku ”Bertuhan tanpa agama” dimaknai kita menyembah dan mengaplikasikan nilainilai ketuhanan tanpa harus diembel-embeli label agama. Pejuang revolusioner indonesia Tan Malaka pernah pula mengatakan :”ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan muslim”. Secara tidak langsung Tan Malaka pun sudah memberi contoh kepada kita generasi penerusnya, agama sebenarnya bukanlah pada sisi merk atau sesuatu yang bermakna simbolis semata. Meski kita butuh simbol sebagai sebuah identitas keagamaan kita.

Pluralisme yang menjadi isu yang hangat yang difahami oleh beberapa kelompok atau agama tertentu seringkali disalah artikan. Pluralisme menurut Frans Magnis Suseno dimaknai sebagai ”menerima segala perbedaan di antara kita”. Perbedaan tersebut dilihat bukan hanya dari sisi agama, akan tetapi dilihat juga dari sisi yang lain, seperti bahasa, suku, kebudayaan, kebiasaan dan sebagainya. Akan tetapi, pluralisme oleh beberapa kelompok agama tertentu dimaknai secara sempit yaitu semua agama itu benar. Sehingga gesekan-gesekan antar kelompok agama tertentu menjadi tidak terhindarkan. Sikap menerima, menghargai perbedaan, serta menyikapi segala perbedaan itu dengan arif diperlukan di negeri yang plural ini. Dengan begitu, pluralisme yang dimaknai dan dijunjung tinggi secara bijak bukan menimbulkan konflik, akan tetapi menimbulkan semangat persatuan dan toleransi yang tinggi.

%DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


Memaknai Iman dalam Agama

juga menolak kekerasan, kebiadaban dan menekankan kasih antar sesama tanpa kecuali?

Slamet Gundono pernah mengatakan bahwa sederhananya �agama itu untuk manusia�. Artinya ketika orang yang beragama kemudian menyakiti sesama manusia, merusak alam, atau mendiskriminasi manusia lain, maka tidak berartilah agama manusia tersebut.

Teologi Pengharapan

Beragama perlu dimaknai sebagai sesuatu yang bukan lagi eksklusif, tabu, bahkan menakutkan. Makna agama akan tereduksi menjadi sesuatu yang remeh, bahkan ditinggalkan ketika demikian halnya. Memaknai agama yang seperti ini memang bukan hal yang mudah. Seringkali dalildalil agama begitu difahami secara tekstual dan dimaknai secara sempit, sehingga apa yang sering kita sebut dengan dakwah, atau penyebaran agama dipandang sebagai sesuatu yang keras, menakutkan, dan membuat manusia bertambah kejam. Sayang sekali forum-forum kerukunan umat beragama masih belum menyentuh pada persoalan substansial yang dihadapi oleh masalah-masalah kemanusiaan dan kebangsaan. Yang seringkali dibicarakan masih saja berkisar pada persoalanpersoalan bagaimana menanggulangi konflik dan gesekan antar umat beragama. Tidak banyak tokoh agamawan yang memikirkan bagaimana kemudian umat beragama bisa bersama-sama memerangi kapitalisme, bagimana umat ini bersatu memerangi kemiskinan, kebodohan, korupsi, permasalahan kesehatan, dan lain-lain.

Sigmund Freud pernah mengatakan �agama adalah ilusi karena ia tidak dilandaskan pada rasionalitas�. Pernyataan Freud tidak bisa kita benarkan seluruhnya tapi juga tidak baik ketika kita nafikan seluruhnya. Yang menjadi titik tekan disini adalah agama-agama kita pada umumnya memang disiarkan dan dikabarkan melalui teologi pengharapan. Harapan-harapan surga, harapan-harapan kedamaian, bahkan juga gambaran neraka yang tidak bisa kita tangkap dalam bayangan pun. Harapan-harapan itulah yang kemudian memberikan pengaruh, motivasi, dorongan, dan cita-cita. YB Mangunwijaya pernah mengungkapkan ini dalam roman burungburung manyar “Manusia tanpa harapan, ia mayat berjalan�. Yang akhirnya, memaknai keimanan sejati tidak lain adalah merumuskan, memikirkan kembali dan bekerjasama untuk senantiasa mencari dan menemukan solusi dari pada masalah-masalah keumatan, sehingga kita bisa menerima perbedaan yang ada, serta menepis rasa curiga. !2)& 3!)&5$). 95$)34)2! 0RESIDIUM +AWAH )NSTITUTE )NDONESIA

Sehingga agama untuk manusia, untuk rahmat seluruh alam bukan menjadi sesuatu yang utopi melainkan sebuah usaha dan praktek yang terus-menerus menjadi citacita semua agama. Bukankah semua agama menolak kemiskinan, bukankah agama \ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


Tjing Bing Surabaya /LEH 3UPARTO "RATA

K

ata Tjing Bing, pertama kalinya saya kenal ketika saya masih kecil (umur 7-8 tahun) di Sragen. Bagi saya waktu itu, Tjing Bing adalah perayaan besar di lapangan dekat pabrik gula, untuk merayakan permulaan giling tebu yang diadakan setahun sekali. Sesudah panen tebu, biasanya menjelang musim kemarau, tebu diangkut lori menuju pabrik. Sebelum digiling, diselenggarakan perayaan Tjing Bing, pesta rakyat atau pasar siang-malam di lapangan dekat pabrik. Di lapangan itu ada pertunjukan sulap, sirkus kecil, dagelan. Saya sudah beberapa kali mengikuti perayaan Tjing Bing di pabrik gula kota itu. Yang paling menarik adalah pemutaran film di lapangan untuk umum semalam suntuk. Film yang diputar biasanya dari Hollywood, dengan bahasa Inggris dan teks bahasa Belanda. Tentu saja saya (umur 7 tahunan) dan orang desa (buta huruf, kurang pengetahuan) yang menontonnya tidak mengerti jalan cerita sesungguhnya maupun seutuhnya. Namun bertahan menonton terus, karena bahasa gambar memang selalu

mempesona. Anak-anak kecil sekarang juga terpesona menonton TV, ada yang tahan menonton TV 3 jam per hari. Bandingkan dengan saya dan orang desa yang hanya setahun sekali sempat menonton lakon film Hollywood di waktu Tjing Bing. Biarpun tidak mengerti keseluruhan ceritanya, namun tetap terpesona! Dan film Hollywood waktu itu adegan berciuman maupun berpelukan laki-laki perempuan tidak disensor. Maka orangorang desa yang menonton adegan itu pun pada bersorak-sorak memprovokasi supaya semua bersaksi memperhatikan gambar, “Ambuuung! Ambuuuung!� (Ciuum! Ciuum!). Pada suatu tahun saya mengalami malam itu hujan. Namun pemutaran film tetap berlangsung, dan penonton tetap tidak beranjak dari tempatnya. Menonton terus. Yang paling dinanti adalah film cowboy. Film cowboy meskipun tidak dimengerti teksnya, namun dengan bahasa gerak gambar bisa difahami kepahlawanannya.

%DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


Cerita cowboy itu terus dipercakapkan oleh anak-anak termasuk saya, meskipun kami menyebut peran-perannya hanya dengan istilah “lakoné, nyonyaé lakoné, bandité, indiané”. Betul-betul ndesa dan primitif. Dan dalam peristiwa pemutaran film Tjing Bing, cerita cowboy ini pasti diputar terakhir, bubar ketika sudah remang-remang pagi, jam 04.30. Kami orang desa sudah biasa nonton wayang sampai pagi. Mengapa Tjing Bing untuk perayaan giling tebu? Apa hubungannya? Giling tebu itu dilakukan menjelang musim kemarau (biasanya bulan April). Mungkin istilah Tjing Bing ada hubungannya dengan perayaan pertanian yang berhasil, atau ada hubungannya dengan pergantian musim. Sawah-sawah yang ditanami tebu bergiliran disewa oleh pabrik. Sementara sawah lain yang tidak dapat giliran disewa pabrik ditanami padi atau yang lain oleh pemilik sawah. Untuk pengaturan bergilir tanam tidaknya sawah ditepatkan pada pergantian musim, sehingga tidak merugikan pihak petani pemilik sawah. Panen padi di sawah biasanya pada musim kemarau. Setelah hasil bumi (tebu dan padi) dipanen pada musim kemarau, sawah diolah. Pada awal musim penghujan ada air, sawah sudah siap ditanami (tebu atau padi). Musim-musim peralihan antara kemarau dan penghujan yang dibarengi sawah mulai ditanami padi begitu dalam bahasa Jawa disebut mangsa gadhu. Sedang musim peralihan antara musim penghujan menjelang musim kemarau (bulan Maret-April) yang dibarengi panen hasil pertanian (tebu, padi) dalam bahasa Jawa disebut mangsa marèng. Jadi sebetulnya dalam bahasa Jawa ada 4 musim, yaitu ketiga, marèng, rendheng, gadhu. Ketiga adalah musim kemarau, rendheng adalah musim penghujan. Jadi, Tjing Bing saya hubungkan dengan pergantian musim, lalu juga keberuntungan hasil pertanian (panen tebu dan padi).

Itu othak-athik saya sejak dulu mengapa perayaan awal giling tebu itu oleh Pabrik Gula Mojosragen dinamai Tjing Bing. Saya simpan ide ini dalam hati saja, sebab saya kira sudah tidak akan saya berucap kata Tjing Bing lagi. Namun, tiba-tiba saya ikut Melantjong Petjinan Soerabaia pada hari Minggu 25 April 2010, dengan judul Tjing Bing, yang artinya mengunjungi makam-makam leluhur Tionghoa. Ternyata perngertian saya yang dulu tentang kata Tjing Bing sama sekali tidak berhubungan dengan bersih makam leluhur seperti acara Tjing Bing hari ini. * Tujuan pertama adalah melihat perusahaan batu BONGPAY, katakanlah pembuatan batu nisan (nisan pralaya). Yang dikunjungi adalah Perusahaan Batu Bongpay Tjwan Tik Sing, Jalan Bunguran Surabaya, dekat Pasar Atom. Toko sekaligus bengkelnya diapit oleh bangunan-bangunan kuna daerah Kembang Jepun, namun itu hanya sebagai kantor pusatnya. Sebagai toko-bengkel di situ juga ada pekerja yang sedang giat memahat batu marmer atau granit, berada di ruangan depan toko. Para pekerja itu dengan telaten mengukir huruf-huruf Tionghoa dengan pahat pada batu marmer atau granit, yang dipesan orang untuk kelengkapan batu nisan kuburan. Si pemilik tokok, pak Suwanto, mengaku sebagai generasi ke-3 atau ke-4 mengelola perusahaan batu Bongpay itu. Kakek atau buyutnya tentulah sudah memulai pengusahaan itu jauh semenjak zaman Belanda. Dari arsip yang ditemukan, perusahaan batu Bongpay Tjwan Tik Sing itu mendapat ijin usaha (HO) tahun 1937. Tapi mulainya usaha tentu lebih jauh dari tahun itu. Karena penguburan orang Cina di Surabaya dan sekitarnya kan sudah dimulai jauh sebelum bangsa Belanda datang di Surabaya.

\ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


Untuk mencukupi atau memuaskan keinginan pemesan, sejak dahulu kala hingga sekarang perusahaan Tjwan Tik Sing memerlukan mencari dan memesan batu marmer atau granit dari segala tempat. Dulu kala orang Tionghoa yang sangat menghormati para leluhurnya dan asal usulnya, sangat menghendaki pahatan Bongpaynya bahannya juga didatangkan dari daratan Cina. Banyak yang pesan sudah jadi dari sana. Selain batu pualam dari Cina yang berwarna hijau, populer juga batu pualam dari Itali. Itali memang gudangnya dan sumbernya batu pualam sejak zaman dahulu. Dan penggunaan batu marmer dari Itali untuk patung-patung gereja dan juga makam sudah tersebar bersama dengan perkembangan agama Roma. Oleh karena itu perusahaan Bongpay Tjwan Tik Sing juga menyiapkan batu pualam import dari Itali. Banyak warnanya putih atau abu-abu. Karena kesulitan import bahan pualam dari luar negeri, padahal pesanan tulisan nisan atau patungnya tetap ada sesuai dengan banyaknya orang harus dikubur, maka dicarilah batu pualam dari negeri sendiri. Dalam pengalaman Tjwan Tik Sing batu-batu pualam dari dalam negeri bisa diperoleh di Batam, Salatiga, Jawa Barat, dan banyak lagi. Terus diupayakan pencarian karena konsumennya (pemesanan Bongpay) tetap ada. Perbedaan batu-batu pualam dari berbagai tempat bisa ditandai dari warnanya, misalnya yang dari Salatiga itu kekuning-kuningan. Dan juga kwalitas kekerasan batunya. Yang paling keras memang marmer, yang agak kurang keras batu granit. Tentu saja baik warna maupun kwalitas kerasnya pualam mempengaruhi harga-harga pesanan. Yang import dari Cina paling mahal. Selain itu pualam yang keras selain tahan lama, juga tidak tumbuh jamur atau lumut. Lain dengan yang kwalitasnya kurang keras. Karena Bongpay letaknya di alam terbuka dan kadang jarang dikunjungi

lagi oleh keluarganya, batu Bongpaynya bisa keropos kena panas-hujan, dan juga ditumbuhi lumut. Orang memesan Bongpay bermacammacam. Bentuk kuburan Cina biasanya gundukan tanah besar, di depan ditengarai dengan batu nisan atau Bongpay. Bongpay ini selain catatan (tulisan) tentang siapa yang dikubur juga terdapat simbul-simbul derajat mereka yang dikubur, yaitu berupa patungpatung, paling jamak menurut kepercayaan adalah patung binatang seperti singa dan naga. Bertambah hebat orang yang dikubur, bertambah megah bentuk-bentuk Bongpaynya. Selain simbul-simbul singa dan naga tersebut, juga terdapat “bangku altar� tempat persembahyangan. Nah, melayani permintaan pembuatan Bongpay lengkap begitu, tergantung pada kepercayaan, selera dan kekuatan finansialnya, seringkali nekaneka. Misalnya Bongpay (nisan bertulis) dengan “bangku altar� tempat sembahyang harus dari satu bongkahan pualam. Tidak boleh sambung-sambung (dengan niatan walaupun dilanda musim hujan panas dan lama tidak dikunjungi keluarga, keadaan makam di depan nisan sampai altar tetap bersih, tidak ditumbuhi rumput atau lumut). Atau bentuk patung singa dan naganya harus besar atau kecil saja, batunya kwalitas bagaimana, semua ada permintaan dan harganya. Pada zaman yang lampau, bentuk Bongpay bisa makan tempat 4-5 meter dengan ketebalan 10-20 cm (lebih tebal lebih kuat, lebih abadi), dan itu harus dalam satu keping pualam. Pembuatan batu Bongpay seperti itu (panjang 5 meter) tentu saja tidak dapat dikerjakan di Bunguran Surabaya. Tjwan Tik Sing punya bengkel-bengkel pembuatan Bongpay di luar kota. Dan bagaimana nanti setelah selesai dikerjakan di bengkel, lalu diangkut ke makam yang mungkin letaknya jauh (lain kota bahkan provinsi)? Betapa repotnya. Juga import pualam selain memerlukan ruangan palka kapal yang harus hati-hati juga makan

%DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


tempat. Tehnis-tehnis seperti itu sudah dikuasai betul. Untuk melengkapi pengetahuan para pelantjong pagi itu Pak Suwanto menunjukkan bahan-bahan yang telah diimport dari Cina, juga patung-patung pola (miniatur) yang bisa dipesan lewat Tjwan Tik Sing. Ada bongkahan pualam berbentuk bola besar (diameter 2 meter) memenuhi ruangan, katanya dari daratan Cina. Ya akan jadi seperti itu (memenuhi ruangan) selamanya, karena yang beli/ pesan tidak ada, dibuang ya sayang. Diparkir di situ ya untuk contoh riwayat perusahaan Bongpay itu saja. Sedang patung-patung pola yang terdapat hanya untuk contoh bagi para pemesan. Bentuknya sebesar kucing jantan. Sedang yang pernah saya lihat di makam Cina (misalnya di Tambaksari Surabaya 1942-1960-an), bentuk patung singanya sama dengan patung pola sebesar kucing jantan itu, tapi di makam Tambaksari Selatan besarnya seperti singa sungguhan. Oleh karena itu ketika saya pesan gambar sampul buku saya Gedhong Setan yang menggambarkan kuburan Cina di depan Gedhong Setan, saya minta gambar patung singa. Tapi pelukisnya tidak pernah menghayati (melihat) kuburan Cina yang saya maksud, maka yang digambar patung singa seperti halnya singa di kebun binatang. Bukan singa simbol makam Tionghoa.

Berbeda dengan Perusahaan Batu Bongpay Tjwan Tik Sing, perusahaan peti mati Ario tempatnya di pinggir jalan besar dengan halaman yang cukup luas. Halaman depan perusahaan itu bisa dimasuki 10 kendaraan roda 4 besar kecil. Sangat leluasa. Kami diterima oleh Pak Ario. Semula kami dipersilakan melihat-lihat kantor administrasinya, yaitu beberapa kamar di ruangan rumah depan. Semua serba modern, komputerize. Lalu dipersilakan berkumpul duduk di ruang paling depan yang merupakan seperti ruangan kelas sekolah, yaitu ada beberapa bangku-meja berjajar menghadap satu jurusan, sedang di muka ada tempat guru mengajar. Namun karena tamu pelantjong hari ini begitu banyak, ruang kelas itupun penuh sesak. Menerima banyak tamu begitu tampaknya telah biasa bagi Pak Ario, apalagi sudah dengan perjanjian sebelumnya. Seperti Pak Suwanto usahanya Bongpay, perusahaan Pak Ario inipun meneruskan dari leluhurnya. Untuk “menjual� peti mati tentu saja pengusaha memerlukan promosi. Dan promosi ini tentu saja yang diarah keluarga orang yang mati maupun akan mati. Orang yang mau mati, paling banyak terdapat di rumah sakit. Meskipun begitu Ario juga tidak menonjol-nonjolkan keunggulan pelayanannya itu di rumah-rumah sakit kepada keluarga yang sedang berduka. Paling-paling hanya memasang iklan, tidak membujuk-bujuk kepada keluarga yang berduka itu.

*

Perusahaan Peti Mati Dari Perusahaan Batu Bongpay Tjwan Tik Sing, para pelantjong disuruh segera naik kendaraan (mengejar waktu jadwal yang telah diatur) menuju ke Jalan Dinoyo melihat Perusahaan Pembuat Peti Mati Ario. Tempatnya di Surabaya selatan.

Dalam usahanya menjual peti mati, sudah sejak leluhurnya dahulu Ario juga menyediakan pelayanan angkutannya. Dulu kereta jenazah, sekarang mobil jenazah. Dengan kemajuan zaman dan ruwetnya kehidupan, sekarang Ario tidak hanya menjual peti mati, melainkan mengurusi segalanya soal kematian. Bisa dipaket mulai pengurusan surat dokter, pemakaman jenazah menurut kehendak keluarga,

\ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


sampai selesai. Orang berduka cita pasti bingung mengurusi baik administrasi penguburan jenazah (rumah sakit, surat dokter, menghubungi makam, menghubungi RT/RW/Dispenduk), maupun jalannya jenazah sampai ke liang kubur. Untuk itu, Ario melayani segala keperluan “perawatan� jenazah. Selain itu agama yang dianut orang Cina adalah Hindu atau Taoisme, (di Indonesia salah kaprah disebut Konghucu. Konghucu bukan nama agama, tetapi penyiar agama Taoisme. Konghucu artinya Guru Kong, nama orang) sangat menghormati orangtua maupun leluhurnya, sangat takut kalau tidak diketahui asal-usul leluhurnya. Karena itu jenazah leluhur sangat dihormati, ingin diabadikan. Waktu mengubur pun dicarikan hari yang baik menurut keyakinan keluarga. Dengan berjalannya zaman sangat mungkin merayakan Tjing Bing tidak bisa dilakukan di makam leluhur. Tapi tidak mengurangi maksud sakral menghormati leluhur, maka hari Tjing Bing (5 April) dilakukan oleh keluarga di rumah. Tidak harus persis tanggal 5 April, 2-3 hari sebelum dan sesudah tanggal itu pun boleh. Juga karena berjalannya zaman, mencari lahan untuk pemakaman jenazah kian sulit. Maka menurut agamanya jenazah tidak ditanam lagi, tapi dikremasi (dibakar). Yang diambil dan disimpan cuma abunya. Hal itu sudah dilakukan di Cina, 99% jenazah dikremasi. Di Hongkong 98%. Di Singapura 100%. Namun penghormatan leluhur pada hari Tjing Bing pun tetap bisa dilakukan (di rumah, bukan di makam lagi). Upacara Tjing Bing sendiri yang dilakukan adalah bersih makam leluhur dan bersembahyang, beda dengan keterangan saya tentang Tjing Bing pada perayaan awal menggiling tebu di pabrik gula. Tetapi kata Tjing Bing yang punya makna bersih dan transparan mengisyaratkan juga perubahan musim, yaitu musim semi sepertinya ada kaitannya dengan musim panen tebu atau

padi di Jawa (tempat pabrik gula). Ada sesuatu yang dihormati atau dirayakan dengan adanya perubahan musim, itulah yang dinamakan dengan istilah Tjing Bing. Makam Cina di Kembangkuning. Kembangkuning dulu merupakan tanah ujung akhir Timur dari pegunungan Kendeng. Karena itu letaknya lebih tinggi dari Kota Surabaya, dan karena tanahnya kapur, hanya tanaman keras yang bisa tumbuh. Yang saya tahu (melihat secara fisik) dengan berlakunya Undang-undang nomer 18 tahun 1965 yaitu Kota Praja Surabaya mendapat tambahan 5 Kecamatan baru dari semula milik Kabupaten Surabaya (sekarang namanya Kabupaten Gresik), maka daerah Kembangkuning menjadi wilayah administrasi Kota Praja Surabaya. Kembangkuning sejak zaman Belanda merupakan deret gugusan tanah makam, yaitu makam Kristen dan Tionghoa. Makam Kristen, dulunya lebih dikenal dengan istilah kerkhof (bahasa Belanda) atau kerkop (bahasa Belanda diucapkan lidah orang Jawa), atau lebih mudah lagi disebut Kuburan Belanda. Karena awalnya yang dikubur di situ memang orang Belanda. Setelah kuburan Belanda di Makam Peneleh dinyatakan penuh, maka dicarilah lahan untuk pemakaman orang Belanda, dan ditunjuk lahan di Kembangkuning itu. Karena berlangsungnya zaman tidak ada lagi orang Belanda, maka yang dikubur di situ adalah orang yang seagama dengan orang Belanda, yaitu orang-orang Kristen. Dan selanjutnya makam Belanda Kembangkuning lebih dikenal dengan sebutan Makam Kembangkuning otomatis yang terbayang Makam Kristen.

%DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


Persemayaman jenazah Adiyasa

tadi disemayamkan di situ seminggu, dan akhirnya dimakamkan di Malang, dikumpulkan dengan makam leluhurnya.

Acara terakhir adalah mengunjungi tempat pesemayaman jenazah (colombarium) Adiyasa. Lokasinya di Jalan Demak, Surabaya utara.

Kami disambut oleh pihak Adiyasa. Diterangkan bahwa pendirian tempat ini karena melayani banyak orang (keluarga yang berduka cita serta pelayatnya), diusahakan menjadi tempat yang menyenangkan. Artinya orang yang datang berkerumun kan perlu parkir mobil, perlu kencing, perlu makan, perlu bawa sumbangan. Maka selain gedung-gedung penyemayaman jenazah, dibangun juga tempat fasilitas umum, toko, ATM, bank. Jadinya seperti mall saja. Toko yang menjual atau mefasilitasi keperluan orang yang berkunjung ke Adiyasa. Dan karena keperluan orang yang melayat tidak kenal waktu, maka banyak toko juga yang bukanya 24 jam. Parkir, kencing, gratis. Polisi keamanan juga ada. Sebenarnya sudah diatur begitu ketat, namun masih ada saja keperluan orang untuk makan kesukaannya, misalnya tahu campur, atau gado-gado. Yang tidak bisa dipenuhi oleh pihak Adiyasa. Lalu ada kebijakan mendatangkan penjual makanan rombong, disediakan tempat tersendiri (dekat lapangan parkir). Jadi datanglah para penjual makanan ke situ. Masing-masing buka dengan siasatnya sendiri-sendiri, ada yang jual pagi-siang, atau malam. Akhirnya siang hari maupun malam hari selama 24 jam, lapangan Adiyasa itu tidak pernah sepi.

Memahami diri bahwa cara-cara memakamkan jenazah bagi orang-orang Tionghoa berbeda dengan adat-istiadat rata-rata warga kota atau penduduk Surabaya, yaitu bahwa untuk upacara duka cita membutuhkan beberapa hari bahkan minggu, kalau upacara adat itu diselenggarakan di rumahnya, akan membuat kampung tempat tinggal jenazah terbebani keramaian upacara adat tadi, maka warga Tionghoa mengadakan suatu tempat khusus untuk pesemayaman jenazah sebelum dimakamkan atau dikremasikan. Di Surabaya yaitu Yayasan Adiyasa yang terletak di Jalan Demak tadi. Di sana disiapkan bangunan tempat pesemayaman jenazah dengan ruangan para tamu pelayatnya, ruangnya bisa dikelompokkan per keluarga. Tahun 1987 saya pernah melayat tetangga ke sana. Di sana bertemu kerabat yang berduka cita, dan disambut menurut adat masing-masing pelayat. Ada yang hanya salaman dan menyatakan berduka cita, ada yang juga menyembayangi jenazah. Tentu saja tidak setelah salaman lalu pulang, pasti juga duduk-duduk sebagaimana lazimnya bertamu. Karena para tamu pelayat datang-perginya tidak sama, pasti banyak yang memerlukan tempat berjamuan, maka tiap ruangan kelompok keluarga yang berduka cita pasti juga menyediakan meja kursi, dan hidangan makanan. Segala keperluan itu bisa dilayani oleh Yayasan Adiyasa dengan cara menyewa ruangan tadi: ruang yang dibutuhkan berapa meja-kursi, hari berduka cita berapa hari, bisa dilayani oleh Yayasan Adiyasa. Ketika itu, saya ingat, jenazah tetangga

Tentang penyewaan tempat jenazah, diatur menurut kelas-kelasnya. Ada yang murah, juga ada yang mahal. Karena perbedaan kelas tadi, gedung-gedung di lapangan Adiyasa diberi tanda Gedung A, Gedung B dan selanjutnya, masing-masing berlainan kelas maupun fungsinya. Selesai makan ada sambutan dari pihak Adiyasa, yakni Pak Agus. Yang diterangkan lebih dahulu adalah fungsi Gedung E ini. Tempat meja kursi tempat kami makan dan

\ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


berkumpul itu terletak di tengah-tengah ruangan. Di kiri dan kanan merupakan berderet-deret “almari� kaca, isi dalamnya disekat-sekat. Isinya adalah abu jenazah. Agama Taoisme sepertinya tahu diri menjaga ramah lingkungan. Untuk menghemat lahan, jenazah leluhur tidak dimakamkan, melainkan dikremasi, dan abunya saja yang dipelihara dihormati. Abu jenazah itu ditempatkan dalam suatu wadah, dan lalu wadah tadi bisa dihormati di rumah masingmasing. Karena di rumah masing-masing menyimpan abu jenazah juga makan tempat, maka Yayasan Adiyasa menyediakan tempat khusus untuk penitipan abu jenazah, dengan sistem sewa tempat. Yaitu di Gedung E ini. Baik di rumah maupun di Gedung E, abu jenazah tadi toh tetap memakan tempat. Maka menyimpan abu jenazah tadi juga dibatasi waktunya. Batas waktunya adalah sewa kontraknya, bisa sebulan, bisa setahun atau lebih, sekemampuan keluarga menyewa tempat dan mencukupi penghormatan pada leluhurnya. Kalau sudah cukup waktunya, maka abu jenazah leluhur tadi dilarung, dibuang ke laut. Setelah dilarung, habislah riwayat jenazah manusia. Tidak makan tempat lagi.

mengirit untuk makan tempat daripada menanam jenazah di lahan makam, namun ternyata tempat persewaan penitipan abu jenazah di Adiyasa itu lekas penuh sehingga menolak sewa titip abu jenazah baru. Karena itu jalan keluarnya ya membangun lagi tempat penitipan penyimpanan abu jenazah. Di Adiyasa sekarang ini sewa penitipan penyimpanan abu jenazah yang wadahnya sekat-sekat di almari kaca tadi sudah dua lantai. Lantai bawah tempat kami makan tadi. Lantai atas juga terdapat almarialmari seperti itu. Dibuat klasifikasi, sewanya di bawah dan di atas berbeda. Menurut Pak Agus, di Jakarta, penitipan abu jenazah itu di sana sudah mencapai gedung tingkat lima. Setelah mengunjungi salah satu dari gedung tempat penyemayaman jenazah, kami kembali ke Gedung E, tempat kami makan bersama tadi, untuk mengantarkan ucapan perpisahan. Program “Tjing Bing� dengan Melantjong di Petjinan Soerabaia ini adalah perayaan yang berbeda dari yang saya kenal di pabrik tebu dulu, mungkin inilah variasi atau multi-dimensi dan multi-interpretasi perayaan hari besar itu! Tidak perlu baku dan kaku. 350!24/ "2!4! PENULIS DARI 3URABAYA

Sekalipun dengan cara menyimpan abu jenazah sementara waktu begitu sudah sangat

%DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


0/42%4 Perayaan Hybrid: Nguras Gentong

I

slam, Kejawen dan tradisi Hindu-Budha seringkali tidak bisa dipisahkan di Jawa. Sebelum Islam masuk dan berkembang di Jawa, masyarakat yang mayoritas beragama HinduBudha, mempunyai kebiasaan memuja leluhur dengan sesajen-sesajen. Sunan Kalijaga yang diperkirakan lahir pada tahun 1450, menggunakan tradisi yang telah ada di Jawa untuk menyebarkan agama Islam. Ia tidak menghujat kepercayaan lama mereka, namun merasuki kepercayaan itu dengan agama Islam. Salah satu cara yang diterapkan adalah menggunakan media wayang untuk menyebarkan agama Islam. Hal ini pertama kali dilakukan di serambi masjid Agung Demak dalam rangka merayakan hari Maulid Nabi. Begitulah Islam bercampur dengan kepercayaan, tradisi dan budaya Jawa. Memang, agama atau kepercayaan itu tidak pernah murni. Ia selalu hybrid (campuran), akibat pengaruh budaya lokal. Misalnya, di Arab, Islam akan bercampur dengan budaya Arab saat itu. Memaksakan kebiasaan atau kebudayaan Indonesia menjadi seperti Arab akan tidak cocok. Salah satu percampuran tradisi Islam dan Kejawen adalah nguras gentong di ImogiriYogyakarta, yaitu upacara penggantian air di dalam wadah besar ini. Gentong ini berasal dari Kerajaan Sultan Agung, berjumlah empat biji dan berasal dari Negara lain. Sultan Agung memberi nama gentong itu Kyai Danumaya (dari kerajaan Aceh), Nyai Danumurti (dari kerajaan Palembang), Kyai Mendung (dari kerajaan Rum, Turki), Kyai Syiem (dari kerajaan Siam, Thailand). \ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


Oleh masyarakat, gentong tersebut dianggap sebagai benda pusaka dan bersejarah serta diyakini bahwa air yang ada di dalamnya dapat membawa berkah. Karena itu, mereka membawa botol dari rumah untuk mendapat bagian air gentong. &OTO OLEH 'AMA 4RIONO

%DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


Aku, Agamaku Pernah aku bayangkan untuk menghadirkan tuhan yang sangat manusiawi, menerima semua kenyataan tentang kemanusiaan. Tuhan yang tidak kejam, tuhan yang demokratis, dan tentu saja tidak diskriminatif. Laki-laki kek, perempuan-kah, waria, gay, biseksual, dan dari agama atau yang tidak beragama, semua itu ada dan nyata. Keberadaannya harus sama sederajat.

A

ku dilahirkan dari keluarga fanatik beragama. Tidak perlu Anda bertanya apa agamaku, pokoknya agama yang ada tuhannya-ada nabi/rasul dan kitab sucinya. Dan pokoknya lagi memenuhi syarat buat kubela kesuciannya dari mulut dan tangan-tangan kotor manusia lain. Walaupun Aku tidak pernah tahu kedekatan tuhan itu dengan diriku, apa saja kandungan kitab suciku dan siapa rasul dan nabi yang kuimani itu, tetapi barang siapa bicaranya merendahkan atau menyindir kepercayaanku, pastilah mereka semua itu akan kuhancurkan, setidaknya kubalas dengan makian. Orang tuaku memberi jalan bagiku untuk mendapatkan pendidikan agama dan pendidikan umum secara berimbang. Entah kebetulan atau rancangan suciNya, siapa peduli itu, yang pasti aku lahir di era ini, era globalisasi yang telah membuka lebar semua sejarah kehidupan manusia dan agama, era

kemajuan sains dan teknologi yang telah membuat komunikasi antar manusia begitu cepat, dekat, lugas dan pastinya lebih terusterang. ”Sobat Internet”, begitu aku memberinya nama. Karena dialog melalui tulisan tidak perlu terpengaruh oleh perubahan wajah lawan yang terbakar emosi. Mereka seenak perutnya diperbolehkan berbicara. Ternyata diriku merasa demikian sangat terganggu. Hal ini dimulai ketika aku bertanya apa agama lawan bicaraku di seberang sana. “Hai, apa agamamu?” Pertanyaan yang membawa kami ke dialog panjang. “Mengapa harus bertanya tentang agama yang sudah sejak lama ditinggal oleh manusia modern? Sebaiknya kita dialog tentang perkembangan pengetahuan, sains dan teknologi sajalah sesuai kebutuhan kita dan mungkin informasi penting tentang daerah kita,” sambungnya. Oh, kesempatan telah dibukanya. Teman internetku ini rupaya seorang “free thinker”

\ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


atau pemikir bebas yang harus ditaklukan agar kembali ke jalan yang benar dalam hidup. Kerut keningku membiaskan ada pertarungan hebat. Betulkah agama mampu memberi siraman pada kekeringan sains dan teknologi era ini? Tapi, aku juga sadar, agama telah banyak menyumbang kekerasan pada kehidupan sepanjang sejarah umat manusia. Aku mulai diamuk kebimbangan ketika pertarungan akan dimulai. “Hei Sobat, masihkah engkau di situ? Aku hendak mengatakan kepadamu bahwa sains dan teknologi yang engkau banggakan itu akan jadi buah simalakama tanpa disertai keyakinan beragama,” kumulai berkotbah. “Hallo, argumenmu kok berbau kepurbaan sih. Agama yang ada bagiku hanyalah bagian dari perangkat kehidupan masa lalu. Ketika menusia masih seperti kodok di bawah tempurung, agama berperan sebagai dinamisatornya. Ketika sains telah membukakan tutup tempurung itu, tuhantuhan itu pun juga berubah dan bahkan mati,” komentarnya terus terang sekali. Kurang ajar, beraninya mahluk aneh ini menantangku. Pengaruh emosi pada kejernihan berpikir sering kurasakan, tetapi emosi yang membakar seperti kali ini karena tuhanku diobok-obok barulah benar kurasakan sakitnya. “Hei kawan, tidak satupun kebutuhan manusia jaman sekarang ada dalam agama apapun. Demikianlah makna tuhan telah mati atau jika tersisa harus kita matikan semuanya karena terkadang tuhan itu kejam, tuhan itu diskriminatif, penghambat kemajuan peradaban,” Sobat internetku menulis lagi dengan lancar. Sementara Aku semakin sempoyongan membaca komentar binatang berpikir ini. Mau mencari sisa-sisa anak buah Nurdin Top atau ikut FPI, selintas terbayang dalam

anganku. Agama masih kubutuhkan. Harihari besarnya, apakah itu Lebaran (Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru, Imlek dan Nyepi) semua menggairahkan. Namun ia kembali berkomentar, “Hei ke mesjid, ke gereja atau kelenteng sama saja, hanya digemari oleh para lansia dan anak-anak. Teman seangkatanku memang masih merindukan datangnya hari besar agama agar bisa pelisiran bersama teman kencannya.” Sekali lagi tulisan kurang ajarnya berlanjut! “Hoi, apakah kamu tidak butuh agama ketika mau menikah?” pertanyaan spontan dibenakku segera kutuliskan. “Nikah itu suatu upacara peresmian perzinahan kan? Zina, neraka dan surga, moral spiritual pelindung kejahatan dan topeng-topeng lain tempat menyembunyikan buruknya rupa jelaslah perangkat masa lalu, purba sekaleee. Sekarang ini tentulah era keterbukaan untuk mengetahui ketelanjangan diri masing-masing. Seks adalah kebutuhan tubuh dan pikiran yang sama dengan makanan, boleh dalam gaya apa saja, barat, timur, selatan atau utara. Yang penting tidak mencelakai orang lain dan tidak memaksa siapa saja,” katanya lagi lantang. Lalu ia melanjutkan: “Jika masih perlu kutambah, aku akan mengusulkan kepadamu mencari kesepakatan membentuk agama baru. Tuhan-tuhan masa lalu mari kita bunuhi saja. Kita sepakati saja melahirkan tuhan yang sesuai dengan tuntutan kehidupan sekarang. Mana mungkin manusia-manusia ilmiah seperti kita dipaksa menerima mitos manusia masa lalu dengan tuhan-tuhan yang kejam, diskriminatif, tidak konsekuenn dan bahkan ada tuhan yang tidak tahu kalau bumi itu bulat. Ayo kita ciptakan agama baru yang menempatkan semua manusia setara di kehidupan ini. Jika mereka berhasil

%DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


mengapa kita tidak. Kuncinya adalah kita harus paham bahwa adanya Tuhan itu hanya dalam pemikiran manusia. Intinya lagi manusialah yang menciptakan tuhan.� �Anjing, Kambing, Kuda, bedebah kau!� Aku mengutukinya. Aku menjerit antara sadar dan tidak di hadapan laptopku. Iblis yang menggoda Eva telah berubah bentuk, atau memang benar cerita seorang temanku yang mengatakan semua perempuan bangsa manusia sudah digagahi setan dan iblis keparat itu. Dan ini penyebab lahirnya anakanak iblis dari rahim manusia. Terserahlah jika memang realitanya demikian, yang pasti Aku sedang ditelanjangi olehnya.

Agama Baru Keyakinan, kebanggaan dan mungkin kefanatikanku mulai goyang sejak bergabung di komunitas aneh tapi nyata itu. Argumen tentang cinta kasih dan persaudaran seagama habis dilindasnya dengan fakta sejarah dunia. Ketika Irak dibombardir AS, semua negeri-negeri Islam di sekelilingnya hanya menjadi penonton yang baik. Begitu pula ketika Tsar dari Rusia menyerang Turki, Prancis yang Katolik dan Inggris yang Protestan bersatu membantu negeri umat Muhammad yang mereka kafirkan itu. Mengapa agama menyebabkan pertarungan dan pembunuhan? Referensi keagamaan yang kumiliki dari keluarga dan teman dekat tidak mencukupi untuk bertahan. Semuanya ludes digilas gerak revolusioner pengetahuan, sains dan teknologi, walaupun kenyataan itu belum dapat kuterima sepenuhnya. Harihari berikutnya menuju kekosongan dan pencarian. Apakah agama baru suatu alternatif, masih sangat prematur untuk mengiyakannya. Aku adalah anak kandung petani dan buruh kasar tapi kegelisahanku akan agama

mendorongku untuk membaca, membaca dan membaca supaya tidak lagi menjadi katak dalam tempurung. Karena itu, aku kembali kepada sobat internetku: “Hei mahluk sains, apakah kalian tidak melihat apa yang kini sedang terjadi? Kapitalis sedang sekarat, komunisme sudah di liang kubur dan satu-satu juru selamat yang tersisa tentulah agama.� “Apakah profesor pembimbing Anda yang bernama P. Huntington, si peramal ulung itu?� suatu ledekan yang menggelikan datang kepadaku. Semua bacaanku membuatku lebih sering bermenung mengembalikan kenangan masa lalu, menghadirkan kembali kotbah-kotbah tentang idealnya kehidupan manusia. Memikirkan kembali sejarah manusia yang begitu panjang, dan agama-agama yang telah begitu banyak berubah dari masa ke masa. Bahkan tuhan pun telah mengalami begitu banyak perubahan karena pengetahuan manusia. Di jaman purba, tuhan manusia tidak seperti yang sekarang – Mereka ada yang menyembah batu, gunung dan petir. Lalu, di Jepang, orang juga sempat dan beberapa masih menyembah matahari sebagai tuhan. Lalu, tuhan yang mana yang benar? Pernah aku bayangkan untuk menghadirkan tuhan yang sangat manusiawi, menerima semua kenyataan tentang kemanusiaan. Tuhan yang tidak kejam, tuhan yang demokratis, dan tentu saja tidak diskriminatif. Laki-laki kek, perempuan-kah, waria, gay, biseksual, dan dari agama atau yang tidak beragama, semua itu ada dan nyata. Keberadaannya harus sama sederajat. Tuhan dan Agama Baru yang bagaimana yang bisa menerima semua ini, tunggulah sejenak - tak usah terburu-buru. !,) 9532!. SASTRAWAN

\ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


Memaknai Hari Raya Dalam Tradisi Agama

&/4/ %2,). '

T

epat pada malam hari raya Idul Fitri, kurang lebih 25 SMS ucapan selamat hari raya berhamburan ke handphone genggam saya, ada beberapa pesan singkat yang kebetulan dikirim dari rekan yang kebetulan beragama nonmuslim. “Selamat hari raya Idul Fitri, semoga dihari kemenangan ini kebaikan kita terus bertambah dan hidup kita selalu dirahmati Tuhan�, begitulah isi ucapan dalam pesan singkat tersebut yang menurut hemat saya tidak jauh beda dengan isi ucapan selamat dari kalangan muslim. Ucapan selamat memang sudah menjadi sebuah tradisi ketika hari raya agama-agama telah tiba, bukan saja “Selamat Hari Raya Idul Fitri�, “Selamat Hari Raya Idul Adha,� akan tetapi “Selamat Natal�, “Selamat Hari Raya Waisak,� “Selamat Hari Raya Nyepi�, “Selamat Tahun Baru Imlek,�

“Selamat Tahun Baru Hijriyyah,� “Selamat Tahun Baru Miladiyyah.� Seakan menjadi “syahdu� ketika hari-hari besar itu tiba. Ucapan selamat memang menjadi suatu kebanggaan, bukan saja sebuah anugerah bagi para pemeluk agama, akan tetapi ucapan selamat hari raya merupakan sesuatu yang membedakan antara hari kemenangan dengan hari-hari lainnya. Di kalangan umat Islam sendiri, ketika hari besar keagamaan tiba, terutama setelah pelaksanaan ibadah puasa segera berakhir, maka dengan penuh suka cita, perasaan gembira, saling bersalaman, berpelukan, kumandang takbir menggema disetiap pelosok. Ucapan minal ‘aidzin wal fa idzin pun terdengar disetiap orang dan setiap sudut rumah, suasana saling memberi satu sama lain pun terlihat sebagai bentuk zakat fitrah menurut ajaran agama Islam. Tak lupa hidangan dan makanan dengan penuh rasa syukur dinikmati bersama-sama setelah

%DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


satu bulan penuh menunaikan ibadah puasa, begitulah kiranya gambaran singkat tradisi menyambut hari raya di dalam komunitas umat Islam. Hal yang serupa juga mudah kita temui dikalangan agama-agama selain Islam, akan tetapi prosesi pelaksanaan dan cara menyambutnya mungkin agak berbeda. Tetapi intinya, mengucapkan selamat hari raya dan meramaikannya sudah menjadi tradisi turun-temurun di tiap komunitas agama. Dalam konteks Indonesia, yang merupakan negara plural dan multikultural datangnya hari besar utamanya hari raya harus bisa dijadikan sebagai pemersatu dalam merajut ke-bhinnekaan kita. Setiap warga negara dan pemeluk agama saling menjunjung tinggi dalam menjalankan keyakinan dan rutinitas agama sesuai dengan wadah Pancasila yang bersemboyan Bhineka Tunggal Ika. Perbedaan harus dipandang sebagai sebuah keniscayaan dalam kehidupan utamanya dalam merawat ke-Bhinnekaan kita. Bhinneka Tunggal Ika yang dicetuskan Empu Tantular merupakan fundamen utama dalam membangun masyarakat yang terbuka dan menjunjung demokrasi. Hari raya, bukan saja hari kemenangan bagi setiap pemeluk agama, lebih dari itu hari raya merupakan kekayaan tradis dan budaya bangsa Indonesia. Sangat disayangkan jika mengucapkan selamat hari raya kepada agama lain dianggap sebagai keharaman. Dalam hal ini fatwa MUI yang mengharamkan mengucapkan selamat natal. Padahal bangsa ini dibangun bukan saja dari golongan umat Islam, bangsa ini dibangun oleh semua kalangan dan diperuntukan untuk semua, bukan untuk satu golongan.

Kekayaan Tradisi vdan Budaya Indonesia muncul dan berkembangnya kebudayaan dalam masyarakat seiring dengan munculnya agama Hindu, Budha, dan Islam, serta belakangan Kristen. Bangunan budaya dan perkembangannya dalam aspekaspek tertentu, bertumpang tindih dengan budaya dan sistem kepercayaan local, seperti syamanisme, paganisme, animisme, dan dinamisme. Ini terlihat dari upacara-upacara keagamaan di berbagai daerah di kepulauan Nusantara, bentuk dan corak sastra atau keseniannya, serta dalam berbagai kearifan lokal. Di Jawa misalnya, ada lebaran ketupat yang diadakan seminggu sesudah Idul Fitri yang diangkat dari tradisi pemujaan Dewi Sri. Di Madura, peringatan Maulid Nabi dirayakan lebih meriah disbanding Idul Adha, sama seperti orang Bali menyambut hari raya Galungan atau Kuningan. Adat menyembelih kerbau, satu hari menjelang Idul Adha, di Aceh lebih meriah dibanding Idul Adha itu sendiri. Sumber-sumber lokal, seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, Babad Tanah Jawa, Hikayat Maulana Hasanuddin, Hikayat Aceh, Hikayat Banjar, Misa Melayu, Tambo Minangkabau dan lain-lain membenarkan adanya tradisi dan budaya pada tiap-tiap pemeluk kepercayaan di Nusantara ini. Tradisi dan budaya di Nusantara ini begitu sangat kaya dan beragam, dalam konteks ini hari raya merupakan kekayaan yang ada di dalamnya. Mengacu pada beberapa catatan sejarah, nyatanya bangsa ini tetap mempertahankan tradisi dan budaya sebagai sebuah warisan nenek moyang yang harus dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Maka, melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisatanya mesti menjadi naungan dalam melindungi semua tradisi dan kebudayaan yang ada.

\ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


Berbeda Tapi Satu Tujuan Perbedaan hari raya bagi para pemeluk agama di Indonesia merupakan sebuah keniscayaan hidup, karena pada dasarnya Nusantara ini juga di bangun atas kebersamaan kaum beragama. Sikap ke-bhinnekaan kita hendaknya dipupuk lebih mendalam dalam memahami realita ini. Beraneka ragam corak dan ritual itu merupakan sebuah khazanah terbesar bangsa ini dalam mengokohkan bangunan yang bernama Bhinneka Tunggal Ika. Hari raya Imlek bagi pemeluk agama Konghucu adalah hari raya keagamaan untuk memperingati kelahiran Nabi Konfusius atau juga sering disebut Kung sang guru. Tetapi bagi warga Tionghoa yang memeluk agama lain, Imlek adalah peringatan hari raya kultural China. Dan memang pada mulanya Imlek merupakan hari untuk memperingati pergantian musim bagi petani di China. Tujuannya sebagai wujud syukur dan doa harapan agar di tahun depan mendapat rezeki lebih banyak. Maka “Gong Xi Fa Chai” yang biasa diucapkan berarti “Selamat Tahun Baru. Semoga anda menjadi kaya”. Sementara di umat Islam sendiri peringatan Tahun Baru Hijriyyah bertolak pada kelahiran peradaban Islam di Madinah. Perayaan ini menjadi sangat penting atau bahkan paling penting bagi umat Islam karena merupakan momentum terbesar munculnya peradaban baru dalam Islam. Pada peringatan Tahun Baru Hijriyyah umat Islam akan diingatkan kembali pada suatu semangat, makna, di mana Islam pernah berdiri sebagai sebuah peradaban yang sempurna. Kedua peristiwa bersejarah di atas memiliki arti penting bagi masing-masing agama. Keduanya akan merayakan dengan penuh suka cita, begitu pula pemeluk agama lain. Namun makna yang tak kalah pentingnya

dalam perayaan hari raya ini adalah makna ke-bhinnekaan kita dalam menciptakan persaudaraan antar agama. Perbedaan peringatan hari raya ini bisa dijadikan simbol perayaan kerukunan umat beragam di Indonesia dan menjadi suatu momentum besar terciptanya silaturahmi dan dialog terbuka dalam menumbuhkan nilai-nilai pluralisme. Dalam kaitannya dengan Hari Raya Natal, pandangan Tuhan antara umat Kristen dengan umat Islam mempunyai perbedaan tentang kehadiran Tuhan. Seperti apa yang pernah diungkapkan Firthjof Schuon dalam buku Filsafat Parenial bahwa sumber ketegangan teologi Kristen-Islam disebabkan teologi Kristen lebih menekankan kehadiran Tuhan, sedangkan teologi Islam menekankan pada keesaan Tuhan. Umat Kristen lebih mementingkan Tuhan itu hadir dalam kehidupan manusia, kalau perlu ia menjelma menjadi manusia. Sedangkan umat Islam mementingkan Tuhan itu Esa. Makna kehadiran Tuhan dalam Islam bisa dipahami melalui ayat-ayat al-Quran sebagai kalimat Tuhan. Dan Nabi Isa yang disebut Yesus oleh umat Kristen dalam alQuran disebut sebagai “kalimat” dan “ruh” Tuhan. Paham yang mengatakan al-Quran mengandung unsur-unsur ke-Tuhanan disepakati oleh mayoritas pengikut teologi Islam (Ahlusunnah Wal Jama’ah). Maka alQuran merupakan bukti kehadiran Tuhan sebagaimana Yesus dalam ajaran umat Kristen sebagai bukti kehadiran Tuhan. Dalam ajaran Islam juga sering kita temukan tentang makna dari pada “kehadiran Tuhan”, Tuhan hadir dan bersama manusia, dan Dia (Allah) bersama kalian di manapun berada (wa huwa ma’akum aynama kuntum). Tuhan hadir dan lebih dekat dari urat leher (aqrab min habl al-warid) manusia. Nabi Muhammad menegaskan, Tuhan turun ke langit bumi di sepertiga malam untuk menemani hamba-hamba-Nya yang

%DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


sedang bermunajat. Itulah beberapa ajaran yang menjelaskan kalau kehadiran Tuhan memang ada pada setiap ajaran agama termasuk dalam hal ini ajaran Kristen dan agama-agama lain yang dimanifestasikan dalam wujud dan rupa yang berbeda-beda, jadi tidak penting untuk diperdebatkan berlarut-larut. Menurut Robertson Smith, salah satu fungsi sosial upacara atau peringatan keagamaan adalah mengintensifkan solidaritas masyarakat. Dalam suatu perayaan umat beragama dibawa dalam penegasan satu identitas dan kelompok. Ikatan agama dan peradaban cukup bertahan lama, sebab, dalam setiap peringatan semangat dan emosi ini dibangkitkan kembali. Maka dari itu suatu perayaan keagamaan berpotensi menanamkan persaudaraan sempit bahkan fanatisme agama dan kelompok yang justru mengantarkan lahirnya superioritas agama dan peradaban. Perayaan hari raya sangat mungkin dipahami secara ekslusif sebagai suatu peringatan lahirnya masa emas peradaban. Kerinduan akan masa kejayaan peradaban akan membangkitkan kembali semangat kelompok tersebut.

sejarah yang dapat menyatukan masyarakat Madinah yang plural, dijadikan sebagai ujung tombak dalam melindungi perbedaan suku, etnik, dan agama secara rukun, inilah semangat persaudaraan yang harus dipupuk umat beragama dalam membangun kebhinnekaan kita. Kung Sang Guru pernah berkata : “Jika ada kebenaran dalam hati, akan ada keindahan dalam watak. Jika ada keindahan dalam watak, akan ada keserasian dalam rumah tangga. Jika ada keserasian dalam rumah tangga, akan ada ketertiban dalam bangsa. Jika ada ketertiban dalam bangsa, akan ada perdamaian di dunia�. Dengan merayakan hari raya ini, mari kita jadikan momentum bersama dalam rangka memperkuat ke-bninnekaan kita, menebarkan persaudaraan, perdamaian, dan menumbuhkan toleransi dalam beragama. 3!,!-5. !,) -!&!: !KTIVIS -UDA .AHDLATUL 5LAMA .5 DAN !SSOCIATE -ODERATE -USLIM 3OCIETY --3 *AKARTA

Sebuah perayaan hari raya yang ekslusif bukan tidak mungkin akan mengantarkan bangkitnya semangat fanatisme agama. Oleh karena itu, perayaan hari raya haruslah dijiwai semangat inklusif dalam membangun ke-bhinnekaan dan pluralisme di tengahtengah lingkaran umat beragama. Prinsip ke-bhinnekaan dan persaudaraan inilah yang akan menjadi modal utama dalam menjalin kerukunan umat beragama di Indonesai. Pada dasarnya pesan persaudaraan universal merupakan harapan semua agama. Dalam tradisi Konghucu, “all men within four seas are brothers� harus diwujudkan oleh umat Konghucu dan masyarakat China sebagai pandangan hidup untuk menghargai sesamanya. Dalam Islam Piagam Madinah merupakan bukti \ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


.'/"2/, Prof. Dr. Soetandyo Wignjosoebroto BERSAMA 0HOEBE !NGGRAENI

Soetandyo Wignjosoebroto lahir di Madiun, 19 November 1932. Saat kecil pindah dan besar di Surabaya. Tahun 1948 beliau masuk SMA A/B Margoyudan (sekarang SMA I), Solo. Sekolah itu sempat tutup pada tahun 1948 saat Perang Kemerdekaan. Setelah dibuka kembali di tahun 1950, beliau kembali bersekolah dan lulus tahun 1952. Setamat dari SMA, beliau melanjutkan ke Fakultas Hukum Gajah Mada di Surabaya (yang sekarang menjadi bagian dari Universitas Surabaya). Beliau melanjutkan ke University of Michigan, Wisconsin, di Amerika Serikat dari tahun 1961–1963. Setamat dari sana, beliau menjadi dosen di Fakultas Hukum dan FISIP, Airlangga dari tahun 1963 sampai pensiun di tahun 1997. Dari tahun 1993–2002 beliau adalah Ketua Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM. Beliau dikaruniai tiga anak dari alm. istri, Asminingsih, dan lima cucu dari anak-anaknya. Berikut adalah hasil obrolan beliau dengan kontributor Bhinneka, Phebe Anggraeni.

Apa saja kegiatan bapak sekarang setelah pensiun? Saya telah pensium selama 13 tahun, tetapi saya tidak mau tingal diam di rumah, makan dan tidur. Jadi kegiatan saya tetap saja seperti biasa; membaca, menulis, kadang mengadakan seminar, diskusi, mengajar, dan sebagainya. Pada bulan Maret 2009 bapak mengadakan ‘kuliah umum’ tentang hukum pada korban lumpur Lapindo. Bisa bapak bercerita sedikit tentang itu? Oh itu… sudah lama sekali. Memang saya ke sana untuk bertemu dengan korban Lapindo. Tapi kalau dibilang ‘kuliah’, sebenarnya itu bukan kuliah. Mereka adalah orangorang yang sedang mengalami kesusahan. Masa orang sedang tertimpa musibah dan kelaparan malah dikuliahi atau diceramahi? Bagaimana mereka bisa mendengarkan kalau perut mereka lapar? Tidak, saya tidak

%DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


punya hak untuk itu (mengkuliahi, red.). Saat itu saya diajak kawan-kawan di sini (Unair, red.) untuk berdiskusi dengan para korban lumpur Lapindo. Kami mendengarkan keluhan-keluhan mereka, aspirasi-aspirasi mereka. Itu semua kami tampung lalu kami sampaikan ke pihak yang bersangkutan. Kalau tidak begitu, bagaimana lagi suara mereka didengar? Wong suara kami saja tidak selalu didengar. Bapak sudah menerbitkan beberapa buku, apakah ada yang akan menyusul? Saat ini saya sedang menulis buku saya yang ke-6 atau ke-7, Hukum: Teori dan Metode. Mengapa bapak tertarik pada bidang hukum?

Sebenarnya dulu saya tidak tertarik dengan bidang hukum. Saya lebih tertarik ke bidang ekomoni dan ingin melanjutkan kuliah di Yogyakarta. Pada saat itu di Surabaya belum ada fakultas ekonomi. Yang ada hanya milik swasta. Karena keadaaan ekonomi yang tidak memungkinkan saya untuk tinggal di Jogja, ayah saya meminta saya untuk kuliah di sini (Surabaya, red.) saja, mengambil jurusan hukum. Saat itu kampus ini masih milik Gajah Mada, belum menjadi bagian dari Airlangga. Lalu, bagaimana bapak akhirnya mengajar hukum? Apakah bapak memang tertarik untuk mengajar dari kecil? Saya tidak punya rencana untuk menjadi pengajar. Setamat SMA, ayah saya sempat mendaftarkan saya untuk bekerja di perusahaan kereta api. Ayah saya adalah

-AKAN NASI PINCUK DI KANTOR \ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


kepala di perusahaan kereta api. Tetapi entah bagaimana, lamaran saya ditolak. Setelah itu, karena tidak jadi ke Yogya, saya masuk ke Universitas Gajah Mada jurusan Hukum. Saat saya memasuki tingkat ke lima (semester lima), saya dipilih oleh guru besar saya untuk menjadi asisten dosen sambil kuliah. Itulah pertama kalinya saya mengajar. Setelah lulus, saya dikirim ke Amerika untuk meneruskan pendidikan di University of Michigan. Sepulang dari sana, saya langsung menjadi dosen di Universitas Airlangga. Kebetulan saya merasa cocok dengan profesi ini (mengajar, red.). Inilah anehnya kehidupan. Jalan hidup kita tidak selalu seperti yang kita rencanakan. Malah seringkali yang kita rencanakan tidak sesuai dengan kehendak Yang Berkuasa. Tetapi pada akhirnya apa yang diberikan oleh-Nya pada kita adalah hal yang kita syukuri. Pak Tandyo adalah akademisi pluralis, apa yang membuat bapak demikian? Mungkin karena dari kecil saya hidup di lingkungan majemuk. Saya besar di Simolawang. Ayah saya adalah pegawai kereta api dan dia mendapat rumah dinas di sana. Saat itu kompleks Simolawang adalah daerah yang nama-nama jalannya dinamakan dengan nama kota-kota di Cina; keluarga saya tinggal di Jalan Makao. Kawasan itu terdiri dari bermacam-macam suku dan ras, jadi teman sepermainan saya waktu kecil punya latar belakang berbedabeda. Teman sepergaulan ayah sayapun juga dari berbagai golongan. Dalam keluarga kamipun, sampai sekarang, bercampur-baur. Misalnya, ibu saya dibesarkan di keluarga Islam tetapi beliau bersekolah di sekolah Belanda untuk anak putri, yang merupakan sekolah Kristen Protestan saat itu. Beliau sempat hampir

dibaptis, tapi kemudian menikah dengan ayah saya, yang beragama Islam. Jadi lucu juga, beliau beragama Islam, tapi cerita yang beliau bacakan sering berbau Nasrani. Bagaimana tanggapan bapak tentang hukum di Indonesia sekarang, seperti misalnya UU Pornografi atau UU Penodaan Agama? Kita harus membedakan antara hukum dan UU karena pengertian hukum lebih luas dari UU. Hukum ada yang tertulis dan ada tidak tertulis; yang tertulis ini yang kita sebut UU. Namun di Indonesia mmpelajari hukum itu sama seperti mempelajari UU. Hukum di Indonesia lebih banyak menekankan sisi formal & prosedural, tidak menukik ke substansi. Misalnya tadi, UU Pornografi. Pornografi adalah sesuatu yang berkaitan dengan value atau nilai. Istilah pornografi itu multitafsir. Contohnya, orang berciuman di pasar; apakah ini perbuatan mesum atau ekspresi cinta? Bisa jadi seorang suami sedang berjalan-jalan dengan istrinya di mall lalu mendengar sesuatu, mungkin kabar baik, dan secara reflek dia memeluk dan mencium istrinya. Perbuatan ini bagi orang lain bisa dianggap mesum, padahal bagi mereka bukan. Contoh lain, orang Bali yang memakai pakaian adat terbuka, apakah itu pornografi atau tradisi? UU hanya memperhatikan tingkah laku lahir, tanpa memandang motivasi atau latar-belakang. Padahal dalam mempertimbangkan kita memerlukan sesuatu yang lebih luas dari itu. Dan bagaimana dengan UU Penodaan Agama? Pada dasarnya keyakinan orang tidak bisa dipidana. Misalnya antara Kristen dan Islam,

%DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


ada cerita-cerita di Alkitab dan di Quran yang saling bertentangan, apakah ini berarti kedua agama tersebut saling menodai? Pada saat seorang pendeta berkhotbah tentang Yesus menderita di atas salib, apakah ini berarti beliau menodai agama Islam? Tentu saja tidak. Dalam sebuah agamapun ada berbagai macam aliran. Aliran umum di Indonesiapun sudah berbeda dari yang di tempat asalnya. Jadi bagaimana mungkin keyakinan dipidanakan? Mengenai UU ini, yang paling penting bukan apa yang diputuskan di parlemen, tapi apa yang diputuskan oleh hakim. Karena itu ilmu hukum lebih sering disebut jurisprudence; UU adalah produk politik. Bagaimana menurut bapak toleransi beragama di Indonesia sekarang? Toleransi beragama sekarang memang ada dan berjalan, tetapi hanya antar agama yang ditentukan Pemerintah Indonesia, yang merupakan produk politik. Padahal masih banyak agama, kepercayaan dan aliran lain di luar yang ditentukan Pemerintah. Seperti yang telah saya katakan, agama yang ditentukan pemerintahpun sudah berbeda dari agama tempat asalnya. Contohnya agama rakyat, yang di Indonesia sudah bercampur dengan kebudayaan setempat. Jadi toleransi beragama masih perlu ditingkatkan.

agama perlu menunjukkan filsafat dan tujuan agama itu? Perayaan hari besar agama itu ekspresi lahiriah saja; bisa menunjukkan filsafat agama, tapi tergantung dari orangnya. Bagi saya yang lebih penting adalah maknanya. Misalnya kaum Nasrani di Jawa Tengah. Mereka merayakan Natal dengan cara setempat, menggunakan hiasan dari pohon pisang dan bambu, yang di negara asalnya tidak ada. Bagi mereka itu sudah menunjukkan filsafat dan tujuan agama walaupun caranya berbeda dengan di negara lain. Nah, ada dua macam penganut agama Islam, yaitu Islam kultural & Islam struktural. Islam kultural adalah mereka yang menjalankan agamanya sesuai dengan budaya yang dianut. Sedangkan Islam struktural mengukur agamanya murni berdasarkan ajaran-ajaran. Tahlilan, untuk penganut Islam yang kulturalis, itu bermakna, tetapi untuk mereka yang di Arab, tidak. Sebagai seorang Muslim, apa yang bapak harapkan dari umat Islam yang lain? Agama dan kepercayaan adalah hal yang pribadi jadi sangat penting bagi kita untuk tetap menghargai public space. Jika kita berada di rumah, misalnya, kita bebas melakukan apa saja sesuai dengan keyakinan kita. Tetapi di tempat umum, kita perlu menghargai perbedaan.

Apakah perayaan hari besar agama bisa membantu dalam meningkatkan toleransi beragama? Bisa saja, asal kita mau saling menghargai ritualitas masing-masing. Misalnya Tahlilan, yang bukan ritual Islam yang asli, tapi merupakan campuran dengan budaya asli Jawa. Ini, walaupun bukan budaya Islam, harus kita hargai. Namun bukankah perayaan hari besar

\ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


3!*)!. 0%.5450

R

itus adalah sebuah pengitaran di dalam reruntuhan berlingkarnya Borges. Ia seperti sang penyihir di dalam reruntuhan berlingkar itu yang bermimpi membangkitkan seorang pemuda ideal dari mimpinya. Setelah mewujudkan seorang pemuda perkasa dari mimpinya, sang penyihir mengirimnya ke sebuah reruntuhan berlingkar di belahan selatan. Pada kentongan tengah malam, sang penyihir terjaga dari mimpi dan sadar bahwa walaupun ia bisa melahirkan seseorang dari mimpi, ia sebenarnya tidak luput dari sebuah impian orang lain. Sejak zaman Homer, ritus pengorbanan sakral, dari penyembahan seorang putri tersayang hingga hewan-hewan, diberlakukan untuk meredakan amarah atau sebagai penyembahan untuksebuah doa. Agammenon menyembahkan putrinya kepada Poseidon agar kapal-kapal perangnya

bisa melintas samudera dengan aman untuk menggempur Troya. Ritus pengabenan di Bali ataupun Rambu Solo di Toraja menyembahkan berekor-ekor babi dan kerbau untuk memuluskan penyeberangan ruh. Arca, kuil, altar dan piramida dibangun untuk memeringati mereka yang telah berpulang ataupun menambatkan yang tak tergapai ke dalam sebuah kehidupan keseharian manusia. Ritus dengan demikian adalah sebuah repetisi dalam sebuah reruntuhan berlingkar. Ia adalah sebuah simulacrum dalam sebuah roda waktu. Adakah ia sebuah upaya manusia untuk mempertahankan sebuah ingatan dari gerusan waktu? Ataukah ia sebuah representasi dibangun untuk menopang kegalauan manusia? Apa pun tujuannya, tampaknya sejak dulu, manusia menolak melihat waktu sebagai sebuah imensitas cair yang tidak merunut secara linear. Manusia,

%DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


menurut Michel Serres, masih terobsesi dengan kontinuitas dan diskontinuitas waktu dalam satu peninjauan paralel. Padahal waktu bergerak tidak seperti yang kita bayangkan menurut penanda waktu. Ia bisa ditilik darisebuah pra-posisi (pre-posisi), di antaraantara (inter-face), dari samping (valence), melalui sebuah kuala (confluence) atau fluks (fluxes). Metode perlipatan (folding) seperti ini memungkinkan kita untuk menyandingkan yang lampau bersama dengan yang kini dan memproyeksikan masa depan dari masa lalu dari sebuah superposisi. Bila waktu bisa begitu luwes, kenapa manusia masih juga merasa perlu sebuah ritus? Ritus bertahan mungkin karena manusia pada umumnya takut melepaskan diri dari tonggak-tonggak waktu. Waktu, seperti bumi pijakan, menuntut sebuah inskripsi, sebuah guratan jejak secara konkret. Di sinilah menurut Michel Serres kesulitan manusia mempertemukan ilmu pengetahuan dengan ilmu kemanusiaan. Setiap pintu yang dibuka oleh ilmu pengetahuan belum tentu akan dilalui oleh ilmu kemanusiaan. Dua sudut pandang kehidupan ini sepertinya terhadang oleh sebuah pintu dengan dua perangkat kunci yang berbeda. Ini terjadi karena manusia senantiasa ingin memartisikan waktu dan ruang sedangkan sebuah orientasi pikiran tidak terkurung oleh ruang, terbatasi oleh waktu. Seandainya ilmu pengetahuan tidak memberikan sebuah terobosan secara matematis, maka mitos ataupun puisi bisa dipergunakan untuk menerobos sebuah kebuntuan. Sebuah aparatus kehidupan dengan demikian tidak mesti terpatri pada sebuah displin tertentu yang menyempitkan eksplorasi. Kebuntuan tidak mesti diurai secara tuntas dari kebuhulannya. Yang dikejar dalam setiap penelusuran adalah sebuah jalan keluar yang bercabang terus, seperti mencari bilangan intervallic, Ni, dalam sebuah pencabangan fraktal. Celahcelah akan terkuak dan pergerakan menjadi sebuah kemestian, bukan kemungkinan. Pendekatan ini mensubyeksikan tubuh

dari ‘titik ke titik’ sebuah paparan topologi: tubuh tanpa kepala ini dengan demikian adalah sebuah subyek, sebuah penanda. Pergerakan, atau menurut Badiou, pengambilan langkah demi langkah ini, menjadi lebih penting daripada sebuah metode penyatu yang universal.Untuk konstruk yang membutuhkan pergerakan terus-menerus seperti ini, kita perlu sebuah aparatus mimetics, dalam pengertian Lacan, bukan sebagai replikator, tetapi sebagai sebuah regulator paradigma bergeser. Regulator mimetics ini memungkinkan sebuah penyesuaian terus menerus sehingga kita tidak pernah terhenti pada sebuah kebuntuan. Sebuah clinamen (celah) terkuak dari setiap kebuhulan. Jalan keluar dari reruntuhan berlingkar tidak mesti ditilik dari depan, mengejar terus sesuatu yang inovatif, tetapi ia bisa diolah dari apa yang terbenam, tertinggal di belakang. Apa yang terkubur, tak terpakaikan tidak lantas berarti ia telah usang atau kadarluasa. Bisa saja iatelah hadir mendahului masanya. Di dunia seperti ini, moralitas tidak lagi subjektif tapi terobjektifikasikan pada topologi. Yang individu dan pribadi menjadi tidak penting, tetapi sebuah kebersamaan terkonsolidasi dalam sebuah dunia obyektif yang menjadi beban tanggung jawab kita bersama: ia menjadi sebuah kemestian, bukan lagi sebuah kemungkinan. Namun, lingkaran reruntuhan berhenti saat sang penyihir sadar bahwa dirinya adalah impian orang lain jua. Kesadaran ini membebaskannya dari mimpi berulang dalam reruntuhan itu. Kesadaran ini merupakan sebuah langkah awal sebuah orientasi baru. Kesadaran ini sekaligus melepaskan sang penyihir dari kutukan ritus dan waktu. Karena sebuah ceruk telah terbuka. Sebuah eksplorasi baru melambaikan tangannya. 2)#(!2$ /( PENULIS DAN SUTRADARA SER TA PENGGAGAS +,! +HATULISTIWA ,ITERARY !WARD

\ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


Apa kata mereka? Hari besar sering dirayakan dengan gegap gempita, bahkan terkadang tidak mengindahkan apakah hal ini bisa mengusik orang lain. Padahal, agama seharusnya menunjukkan rasa hormat dan kasih terhadap sesama tanpa kecuali. Apa kata mereka tentang hal ini? Freddy H Istanto, Direktur Surabaya Heritage. Bergerak di Pelestarian Pusaka dan Cagar Budaya: “Globalisasi ekonomi dan kemajuan teknologi informasi & komunikasi membuat pergumulan dan tarik menarik yang kuat antara yang duniawi dan yang surgawi. Ketika aktivitas agama semakin marak di Indonesia, kapitalis juga tidak mau kalah. Muncullah tempat ibadah-ibadah baru bernama Mall, Department-store, pusat-pusat kebugaran dan tempat-tempat yang memanjakan dan menyamankan manusia. Maka tidak heran puncak-puncak hari besar agama, adalah juga puncak-puncak kegairahan umat melampiaskan hedonismenya. Acara-acara ritual berkompetisi ketat dengan acaraacara duniawi. Malah yang terakhir ini semakin melesak maju ke depan, karena serangan godaannya lebih besar melalui berbagai cara. Maka umat-pun terjebak dalam penggunaan status-status simbol dan prestise-prestise ketimbang berlomba di keimanan.� Hetih Rusli, Editor Fiksi: “Perayaan keagamaan besar-besaran di negara multiagama sebenarnya bisa menunjukkan pluralitas suatu bangsa. Seperti Indonesia, misalnya. Alangkah indah ketika umat Muslim bisa merayakan Idul Fitri dengan kebersamaan sebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia. Ketika Natal, umat Kristen melakukan ibadah yang membuat sesak parkiran Gereja hingga hampir tumpah ke jalan. Atau Waisak, ketika ribuan umat Buddha melakukan prosesi di Candi Borobudur. Atau saat seluruh Pulau Bali menjadi hening ketika Nyepi. Yang penting, perayaan ini tidak mengganggu orang lain. Tapi ketika satu agama menganggap hanya mereka yang boleh melakukan perayaan dengan benderang dan gempita, sementara yang lain melakukannya dalam ketakutan dan teror, saat itulah makna perayaan harus dipertanyakan.�

%DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


Dewi Candraningrum, Dosen di Lembaga Penelitian & Pengabdian kepada Masyarakat di Universitas Muhammadiyah Surakarta: “Saya masih ingat ketika berada di Jerman pada tahun 2007. Pada waktu itu, saya puasa, dan kebetulan Profesor saya mengundang untuk mengadakan presentasi dan diskusi. Saya masih ingat, bahwa, saya hadir paling pertama di ruangan beliau. Dan beliau menyuguhi saya dengan biskuit dan beberapa makanan kecil. Lalu saya menolak dengan halus, dan mengatakan bahwa saya sedang puasa. Kemudian, tanpa diduga lagi, Prof saya tersebut menyodorkan segelas air putih, dengan mengatakan, “karena kamu puasa, kalau begitu minum air putih saja ya. Silahkan.” Kemudian saya menolak dengan santun kembali, sembari menerangkan, bahwa puasa dalam Islam adalah tidak makan dan minum dari matahari terbit sd tenggelam. Saya sama sekali tidak tersinggung pada waktu itu. Saya memahami bahwa Profesor saya, dan beberapa teman-teman saya, dan bahkan seluruh orang Eropa, bisa jadi tidak paham. Mereka tidak tahu, kalau pada bulan itu adalah bulan Ramadan, dimana umat Islam merayakan kesucian dengan menahan makan dan minum. Pengalaman ini sangat berharga. Karena, di Indonesia, hampir semua orang sangat menghargai Islam. Karena mereka tahu. Dan di Eropa, mereka juga menghargai Islam, dengan caranya yang unik. Jika terlihat tidak menghargai, mungkin karena mereka tidak tahu. Ketika di Jerman itu pula, untuk pertama kalinya, saya diajak merayakan Natal bersama di rumah Profesor di Frankfurt. Pada tahun 2009 kemarin, saya kedatangan tamu dari Universitas Hamburg. Dan, meskipun dia seoarang Protestan, kami mengajaknya merayakan Idul Fitri bersama. Perayaan Natal dan Idul Fitri ini kami adakan dengan begitu sederhana, tapi justru kebersamaan dan persaudaraan yang membuatnya begitu mengesankan!” Mamay Mudjahid, peneliti di Fahmina Institute Cirebon, sekarang menjadi akademik tamu program IYL (Indonesian Young Leaders) di Universitas Leiden: “Indonesia dibangun atas begitu banyak perbedaan dan menurut hukum, setiap orang memiliki kebebasan untuk mengekpresikan apa yang diyakini, termasuk merayakan hari besar agama sesuai dengan kepercayaan yang dianut. Dalam Islam, tidak ada keharusan dalam merayakan hari raya Idul Fitri secara meriah dan mewah, yang ada hanya perintah untuk saling meminta maaf seperti yang di contohkan Nabi Muhammad SAW dan memakai pakaian yang baik bukan yang mewah. Pada hari raya Idul Fitri, umat Islam juga diwajibkan membayar zakat fitrah. Maka jika kita cermati, hari raya dalam Islam memiliki dimensi keluar, dari kita untuk orang lain. Hari raya menjadi kehilangan makna saat kita hanya berbicara tentang kebahagiaan diri sendiri. Perayaan hari raya selayaknya dilakukan secara sederhana dan dilakukan dengan cara yang \ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


ma’ruf (baik) sehingga saat kita merayakan kemenangan dan perasaan bahagia kita tidak menyakiti apalagi mengganggu yang lain. Karena itu, kita wajib selalu mempertimbangkan hak dan perasaan orang di sekeliling kita. Semoga hari besar agama mampu meningkatkan kepeduliaan kita terhadap orang lain, dan mereka yang berbeda keyakinan dengan kita.”

Undangan Menulis Majalah Bhinneka %DISI +EKAYAAN )NDONESIA Menurut beberapa pendapat, Indonesia mempunyai kekayaan alam, historis, budaya yang luar biasa. Beberapa kelompok sempat meledak emosinya ketika Malaysia disangka merampasbudaya Indonesia atau saat perusahaan asing merampok kekayaan tambang Indonesia dengan semena-mena. Namun, apakah pemerintah dan masyarakat Indonesia sendiri sudah ikut menjaga kekayaan ini? Dan apa yang dimaksud dengan “kekayaan Indonesia”? Bisakah kita mengklaim sesuatu dengan kepemilikan seperti ini?

%DISI *ENDER DAN /RIENTASI 3EKSUAL Seringkali orang masih bingung jender dan orientasi seksual. Masih ada yang tidak mengerti istilah ini. Atau terkadang, mereka merancukan antara keduanya. Lebihlebih karena di Indonesia, segala sesuatu yang berbau “seks” dimusuhi, ditabukan atau dianggap kebarat-baratan dan tidak sesuai agama. Padahal, jejak sejarah di Nusantara, menyatakan bahwa seksualitas di beberapa bagian Asia Tenggara jauh lebih terbuka daripada di Eropa. Bahkan beberapa agama adat juga tidak menabukan seks dan pembahasan yang rinci tentang seksualitas. +ETENTUAN TULISAN • Tulisan bisa berbentuk kolom (300 - 700 kata) atau artikel (800 - 2500 kata). Artikel dengan tema lain juga akan dipertimbangkan. • Artikel dan cerpen dikirim ke Soe Tjen Marching (smarching@yahoo.com), dengan subyek “artikel Bhinneka”. • Majalah Bhinneka juga menerima cerpen (panjang 1000-4000 kata) dengan tema bebas.

%DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


#%20%. Ceruk Bukit Kapur /LEH $INI 5SMAN

P

ada malam setenang ini, ketika matahari lelap, dan bulan perlahan menyembul, suara pukulan rapai raya memenuhi udara di Buluh Simpang Empat. Kepak burung hantu terasa lain dari biasa, meremangkan bulu roma. Adakah janji kakek akan ditunaikan? Kakek berjanji menceritakan sesuatu. Yang dipendamnya sekian puluh tahun berlalu. Ia amat menderita dengan endapan kisah itu. Dan akan kutagih janji ini. * Kutangkap dirinya dalam remang. Tak biasanya. Saat kucuri sinar mata yang memantul, aku dihinggapi rasa ngeri. Seperti melihat hantu. Hatiku penuh dengan bisik.

Mungkinkah keteduhan itu hanya kelambu? “Kakek, antarkan aku ke Ceruk Bukit Kapur.” “Jangan, manis. Ceruk Bukit Kapur adalah ceruk kematian. Berpuluh perempuan bergelimpangan di sana!” “Semua perempuan di tempat kita ini?” “Husst! Jangan keras-keras membicarakannya. Subversif.” “Subversif ? Bahasa yang tak kukenali wujudnya, Kakek. Itu hanya tuduhan. Hanya cermin kebodohan. Bukankah Ibu dan semua orang yang mengaku sebagai perempuan dipertemukan pada ceruk di bukit itu.” “Iya. Ceruk itu adalah pertemuan terakhir. Seperti saat ini. Barangkali juga sesudahnya, semua dipisahkan di ceruk itu.

\ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


Sama seperti Ibumu.” “Beritahu aku tentang ceruk itu. Bukankah Kakek sudah berjanji. Kini usiaku genap untuk menagih janjimu.” Hening berlalu begitu lama. Udara berubah dingin. Musim kemarau yang panjang membuat kakek batuk, dan asmanya kambuh. Kakek menderita asma akut. “Aku tak mau membiarkan segala pengasingan menjadi penguasa tunggal atas raga dan roh ini, Kekasih. Aku ingin mati malam ini.” “Tapi Kakek, bukankah membiarkanku dipungut keraguan akan sama dengan mencintai kebodohan. Apakah Kakek tidak tahu bagaimana manusia tak berdaya ketika Iblis menggoda? Mereka lemah Kakek. Hawa dan Adam sangat lemah. Hanya Iblis yang paling pintar dan paling mengerti situasi. Dia mengendalikan nenek kita menuju kesengsaraan. Ayo, ceritalah tentang Ceruk Bukit Kapur.” “Tidak semua orang paham. Termasuk juga Adam dan Hawa. Kalau Hawa tidak dinasihati Iblis, maka celakalah manusia. Mereka akan mati dalam surga yang mulai tandus itu.” “Kakek, kalau begitu aku tak sudi menjadi cucumu. Aku tak suka dipanggil cucu. Namaku Kekasih, bukan cucu. Aku tak mengenal siapa cucu. Dan aku tak mau menjadi cucu. Semua orang kampung ini menghinaku karena aku cucumu. Semua teman di sekolah sering menghindariku. Bahkan aku tak bisa memilih hidup sebagai apapun di tanah kelahiranku. Aku benci padamu, Kakek. Sangat membencimu.” “Tapi aku mencintamu. Sepenuh hidupku kuberikan untukmu. Kutunggu dua puluh lima tahun lamanya memendam cerita ini. Bukankah itu hebat, Kekasih. Dan kau akan menemui keasliannya. Bukan yang palsu seperti deritamu selama ini.” Mata yang dibalut kelopak kendur itu begitu redup. Sinarnya hampir menyamai bulan keperakan. Kita tahu rembulan hanyalah pencuri bermuka kanak-kanak.

Bulan mampu menyamar rupa untuk menguasai malam dan menyelimuti wajah aslinya. Bulan adalah mahluk yang mencuri sinar matahari. Kakek tengah terbayang pada Cinta. Cinta, siapa dirimu? Mengapa engkau hadir saat Kakek hidup bersamaku. Mengapa kau bayangi hidup Kakek dan memenjarakan rasa ingin tahuku. Siapakah kau Cinta. Jika tak kutahu hingga penghujung malam ini, aku akan turut pula membencimu. “Kekasih, Cinta itu mengajarkan pada semua orang yang papa tentang hidup. Tentang arti menjadi binatang yang bernama manusia. Kekasih, seharusnya kau melihat Cinta dalam hidupmu.” Daun-daun pisang yang disobek angin bergesek. Sebagian besar daunnya telah layu. Hampir semua berwarna coklat muda yang mulai sungkur dihempas-hempas angin dan kemarau yang panjang. Angin musim kemarau pada waktu ini juga memberitakan tentang kematian. Kematian yang berpuluh tahun lalu, yang tak boleh diungkit. Yang menimbulkan kegalauan dan dendam. “Jika Cinta ikut dalam pengasuhan pertumbuhan dan perkembanganmu, Ia akan memberi energi lebih besar daripada diriku yang renta. Tahukah kau siapa Cinta itu? Cinta adalah wujud kebenaran yang tertanam dalam gelombang sejarah bangsa ini. Dia adalah lelaki dan sekaligus perempuan. Dalam dirinya mengalir segala kelamin. Kelamin manusia dan binatang. Kau tak mengenal Cinta, Kekasih. Cinta adalah sumber hidupku dan jalan yang kau lewati menuju kehidupan. Karenanya kau adalah cucuku.” “Tentu tidak selalu, Kakek. Cucu adalah tutur yang memberi rekat dan jarak yang membentuk perilaku. Bukankah matamu yang teduh sebagai kelambu adalah jarak intai dari manusia manapun di bumi ini. Kau adalah Kakek. Namamu adalah Kakek. Kau sempurna menjadi Kakek. Tapi… aku mencintai mata kelambumu, Kakek.”

%DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


Cinta, apakah kau melihat binar cerdas matanya? Cinta, matanya seperti milikmu. Bibirnya sama seperti ibumu dan dagunya runcing seperti milikku. Mata tua itu melayang jauh. Menembus milyaran waktu. Mata teduhnya berselimut kelopak kendur, berlipat-lipat dan kini menitikkan air mata. “Mengapa menangis?” “Aku? Aku tidak menangis. Air mata yang menetes ini hanyalah bukti sisa hidup. Cinta direnggut oleh manusia licik dan bodoh. Mereka datang berbondong-bondong dari segala penjuru angin. Membawa parang lentik, rudus, tombak, kampak, rencong dan pistol. Mereka merebut paksa dari naunganku. Mereka membiarkanku dalam derita yang panjang ini, Kekasih. Kau selamat dari kepungan dan niat busuk mereka. Sebagian dari teman-teman kecilmu mati. Mereka menusuk atau membakar bayi-bayi. Membunuh anak-anak kecil yang tak berdosa. Mereka membunuh neneknenek mereka sendiri yang mati terkencingkencing karena tak mengerti apa salahnya. Kau Kekasih, masih hidup. Salah satu dari jutaan orang yang tak selamat hidupnya. Kau dibawa lari oleh seorang lelaki bertutup muka. Sampai kini tak kukenal siapa dia. Dialah yang meletakkanmu ke sebuah gua sampai aku bertemu denganmu.” “Jika Cinta dibawa maut, dan maut menjemput semua perempuan, aku akan ikut beserta maut, Kakek.” “Oh, jangan! Jangan. Kau adalah benih yang harus tumbuh.” “Percuma. Cinta juga menemui mati dalam ceruk itu. Semua orang tahu, bahwa ceruk adalah malaikat pencabut nyawa. Ceruk Bukit Kapur adalah saksi. Jika Cinta masih bersamamu, maka tak akan pernah lahir ketulusan di sini. Kau hanya dirasuki oleh bayangan masa lalu yang mengangkatmu menjadi pembual. Apakah Kakek masih takut pada orang-orang?” “Tidak! Aku tak pernah mengenal takut. Bahkan bagaimana takut menjelma dalam

diriku sendiri, aku tak tanda. Aku hanya menanti apakah keberanian datang dengan bersendiri.” Malam makin berkabut. Udara menusuk tulang. Dingin begitu tajam menyengat. Menggigil pun sepertinya basa-basi. Bukankah tubuh kita penuh dengan gerak basa-basi? Karena basa-basinya segala gerak disebut sebagai tari. Oh, manusia, binatang yang berpikir, begitu sempurnanya engkau berbasa-basi. Dan kami orang-orang yang compang-camping tak berumah bagaimana mungkin harus tidur bersama dingin. Sebab kamilah yang sebenarnya melahirkan hawa dingin. Dingin yang menakutkan. Yang melahirkan benturan. * Dua puluh lima tahun lalu. Semua orang tahu siapa maling agung itu. Segerombolan pengacau keamanan yang menamakan dirinya pembela moral dari tata sila yang ternyata tak memiliki susila. “Dan Ibu? Dimanakah ia berada?” “Ibumu berada dalam segala sengketa.” “Apakah Ibu seorang oportunis yang lentur seperti penari balet?” “Oh, tidak begitu Kekasih. Cinta seorang pemberani. Mulutnya lantang. Matanya nyalang. Sikapnya satria. Bukankah sudah kusebut bahwa ia adalah kumpulan segala kelamin. Manusia yang seperti itu adalah sangat sempurna dan maha.” “Maha hanyalah milik Tuhan, Kakek.” “Tidak Kekasih! Maha adalah milik manusia. Tuhan tak pernah menyatakan diri sebagai yang maha. Manusialah yang menganugerahkannya. Manusia itu keliru menyebut. Tahukah kau, kekeliruan yang fatal ini adalah sumbu segala keonaran.” “Kakek. Aku tak mau meneruskan perkataanmu. Kita akan dihalau dari tempat ini.” “Bukankah kini kita tak bertempat tinggal? Kita tak punya rumah? Tak ada tempat persinggahan, Kekasih. Hanyalah

\ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


kebenaran yang kita tuju. Dan ibumu telah mendahului kita beberapa puluh tahun yang lalu. Apakah kau tak rindu?� Mata Kakek kulihat penuh getar rindu. Kata orang ibumu seperti Nabi. Mengajak semua yang miskin, mengajak para buruh agar berjuang memenggal nasib. Nasib adalah kehinaan yang menelantarkan peruntungan. Nasib adalah kata yang harus dilawan wujudnya. Nasib adalah pecundang kehidupan. Tak semua orang bernasib baik. Tak semua orang hidupnya tenang. Nasib memisahkan jarak antara yang satu dengan yang lain. Mereka berbondong-bondong mendengar ceramah ibumu. Mengikuti gerakannya. Memotong jalur nasib adalah ibadah manusia. Kata-kata ibumu masih sering kudengar sesudah lonceng kematiannya. Tapi, Nabi sejati harus disiksa dan mati pada jamannya. Karena rasa kemanusiaan para Nabi, mereka seringkali menjadi musuh manusia yang mengaku bermoral dan sudah terjebak dogma. Ibumu dan pendukungnya diarak beramai-ramai oleh pemuda-pemuda yang datang dari tempat jauh, memperkosanya, memukuli wajah dan teteknya, menariknarik rambutnya, lalu menggunduli mereka di jalan-jalan dan pusat keramaian. Tahukah

kau Kekasih, Ibumu dan semua yang bersamanya tak satu pun menghiba. Mereka terus berkata-kata lantang, hingga mulut mereka dirobek. Semua digiring ke ceruk Bukit Kapur. Satu demi satu tubuh dibenturkan ke dinding cadas dan dijatuhkan di kedalaman ceruk. Orangorang kampung ini setiap malam sering mendengar suaranya. Mendengar pidatopidatonya. Mendengar kata-kata lantang dari mulutnya. Tetapi semua orang kini lari meninggalkannya. Takut dengan seruannya. Perempuan-perempuan yang mati di ceruk Bukit Kapur dikenang sebagai hantu merah. Mereka yang mati pada ceruk Bukit Kapur di desa itu, adalah kader dan simpatisan Gerakan Wanita Indonesia. Kau Kekasih, adalah buah cintanya. “Kakek, mengapa mata teduhmu kini bicara?�

-ENJELANG SENJA DI 3AMPALI -EI

Kirimkan cerpenmu! Majalah Bhinneka juga menerima cerpen (panjang 1000-4000 kata) dengan tema bebas.

%DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


-AJALAH "HINNEKA BISA DIDAPATKAN GRATIS DI KOTA DENGAN ALAMAT DI BAWAH INI

Bandung

&EBRI 1ORINA D A 1.%4 *L +OL !HMAD 3YAM 2UKO 0ERUMAHAN )KOPIN +AV ! 3AYANG *ATINANGOR 3UMEDANG *AWA "ARAT

Bekasi

2EYNALDO *L 'AMPRIT 2T 2W .O *ATIWARINGIN 0ONDOK 'EDE "EKASI (0

Jakarta

3ITOK 3RENGENGE +OMUNITAS 3ALIHARA *L 3ALIHARA .O 0ASAR -INGGU *AKARTA 3ELATAN !GUSTINE /KE !RDHANARY )NSTITUTE *L !MIL .O 0EJATEN "ARAT 0ASAR -INGGU *AKARTA 3ELATAN 4LP &AX (ENDRI 9ULIUS !PARTEMEN 'ADING .IAS 4OWER !LAMANDA ,ANTAI "LOK #5

*ALAN 0EGANGSAAN NO +ELAPA 'ADING *AKARTA 5TARA 4ELP

Pasuruan

!DAM 3OEN 'EREJA +ATOLIK 3T !NTONIUS *L "ALAIKOTA NO 0ASURUAN

Semarang

(ERU %MKA ,EDUWI 3ELATAN 3EMARANG !GUNG (IMA 'OMBEL PERMAI 6) 3EMARANG NO RUMAH HP

Yogyakarta

*ADUL -AULA ,+I3 *ALAN 0URA NO 3OROWAJAN 0LUMBON

9OGYAKARTA )NSTITUT (AK !SASI 0EREMPUAN *ALAN .AGAN 4ENGAH ! 9OGYAKARTA 4ELP +USEN !LIPAH (ADI 9AYASAN 5MAR +AYAM 0ERUM 3AWIT 3ARI I #ONDONG #ATUR 3LEMAN 9OGYAKARTA 3ILVAYANTI +OS 0UTRI "OROBUDUR *L -ENJANGAN 'G 7AJAR +UNCEN 7" ) 7IROBRAJAN

Solo

'ESSANG *L #OKROBASKORO .O " 3OLO 4ELP

Surabaya

3ARJONO 3IGIT '!9A .53!.4!2! *L -OJO +IDUL ) ¯ ! 4ELP &ERRY 0RANANTO *L 2ANGKAH ) ! &REDDY )STANTO &AKULTAS 3ENI $ESAIN 5NIVERSITAS #IPUTRA 7ATER0ARK "OULEVARD #ITRA2AYA 3URABAYA # / LIBRARY *L $R #IPTO 3URABAYA

3EKOLAH -ANDALA 0UTRO !GUNG )) NO 3URABAYA 4ELP 3ONY 2USDIANTO *L 'UBENG -ASJID 3URABAYA 4OM 3APTAATMAJA *L +ERTAJAYA )NDAH 3URABAYA 9USKA (ARIMURTI *L 2AYA $ARMO 0ERMAI ))) +OMPL 0LAZA SEGI "LOK # 3URABAYA ,ILIES 2ODINA ATAU %RIEN 3HE RADIO 7ONOKITRI "ESAR # 3URABAYA 4ELP

4JUK +ASTUARI 3UKIADI &AKULTAS %KONOMI 5NIVERSITAS !IRLANGGA *L !IRLANGGA 3URABAYA #HRISTIANTY (AN "LAURAN +IDUL ) 3URABAYA ,EONARDI ,UCKY +URNIAWAN *L .GAGEL *AYA 3ELATAN 3URABAYA

!4!5 (5"5.') ,EMBAGA "HINNEKA *L -ONGINSIDI NOMER 4ELP

!DITYA .UGRAHA 0ERPUSTAKAAN 5+ 0ETRA *L 3IWALANKERTO 3URABAYA

*IKA !NDA BERMINAT MENJADI PICK UP POINT ATAU BERLANGGANAN MAJALAH "HINNEKA HUBUNGI KAMI DI MAJALAHBHINNEKA YAHOO COM

\ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


Pelatihan Menulis di Media Massa • • •

Anda sering mengirim tulisan ke koran atau majalah tapi tidak pernah diterbitkan? Anda belum pernah mengirim karena tidak tahu caranya atau tidak punya percaya diri untuk mengirim tulisan Anda ke media massa? Anda tidak tahu cara menulis untuk media massa tetapi ingin sekali nama dan tulisan Anda terpampang di media massa?

Lembaga Bhinneka mengadakan pelatihan menulis di Media Massa dan memberi kesempatan bagi peserta yang tulisannya sesuai dan masuk seleksi untuk dimuat di majalah Bhinneka. Anda tidak saja belajar teknik menulis tapi juga cara mendekati media yang tepat agar tulisanmu dimuat. Tempat & Tanggal: Lembaga Bhinneka, jl. Monginsidi 5 Surabaya Waktu: 27, 28 & 29 Juni, jam 18.30 – 20.30 (3 x 2 jam) Investasi: Rp. 70.000 (sertifikat, materi pelatihan, snack) Peserta yang tulisannya dimuat di majalah Bhinneka, akan mendapat honor. Pelatih: • Dr. Soe Tjen Marching (Pendiri & pemred majalah Bhinneka,pernah menjadi dosen tamu di beberapa Universitas di Eropa dan Australia, tulisannya telah tersebar di manca Negara, dan sempat menjuarai beberapa lomba menulis di Australia), • Yovie Wicaksono (kontributor dan pengurus majalah Bhinneka, wartawan di vhr Media) Pendaftaran: Dian Puspita Sari Jl. Monginsidi 5 Surabaya Senin – Sabtu, jam: 11.00 – 17.00 Telp. (031) 70964268. %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR "()..%+! \


Lembaga Bhinneka Didirikan di tahun 2010 di Surabaya, Lembaga Bhinneka mengusung isu keanekaragaman tradisi, budaya, agama dan hak asasi manusia di Indonesia. Lembaga Bhinneka berupaya mengembangkan studi dan riset mendalam tentang keberagaman dalam tataran akademis sekaligus menjembataninya ke dalam ranah publik dan praktis. Lembaga Bhinneka tidak berafiliasi pada kelompok agama, ideologi, partai ataupun etnis tertentu. Pengembangan wacana kebhinnekaan dan keanekaragaman diupayakan antara lain melalui penerbitan majalah, jurnal, buku, diskusi dan pelatihan. Alamat Jl. Monginsidi no. 5 Surabaya 60246 Website http://lembagabhinneka.org Email info@lembagabhinneka.org

3500/24%$ "9

\ "()..%+! %DISI -ARET 0ERAYAAN (ARI "ESAR


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.