1
PPKM Darurat dan Kompatibilitas Terhadap Konstitusi Oleh: Boy Anugerah, S.I.P., M.Si., M.K.P., Direktur Eksekutif LUSOR
>>> Urgensi Kesesuaian Public Policy Terhadap Konstitusi <<< Tabel 1. Proses Perumusan Kebijakan Publik
Public Policy atau Kebijakan Publik merupakan segala tindakan yang diambil oleh pemerintah yang mencerminkan respons terhadap situasi dan kondisi yang ada, umumnya sebuah permasalahan yang menyangkut kepentingan publik/masyarakat. Pemerintah menyusun sebuah kebijakan publik dengan tujuan untuk memberikan manfaat atau kemaslahatan bagi masyarakat dan terpenuhinya hajat masyarakat tersebut (Government designs public policies with the broad purpose of expanding the public good). Penyusunan kebijakan publik yang dilakukan oleh pemerintah melalui beberapa tahapan (seperti yang diilustrasikan pada tabel di atas), yakni identifikasi permasalahan yang terjadi di masyarakat (analisis sirkumstansi), perumusan kebijakan, pengadopsian kebijakan, implementasi kebijakan, serta evaluasi kebijakan. Tahapan-tahapan tersebut wajib diikuti untuk memastikan bobot dan kualitas kebijakan, apakah sudah sesuai atau cacat formulasi. Dalam perumusan atau pembuat kebijakan, pemerintah bukan merupakan aktor tunggal, melainkan dipengaruhi oleh posisi dan perilaku aktor-aktor lain. Aktor-aktor lain tersebut di antaranya kelompok-kelompok kepentingan, partai politik eksisting, LUSOR Analysis _ July 2021
2
media massa, lembaga-lembaga kajian dan pemikir, termasuk masyarakat itu sendiri yang merupakan objek dan penerima manfaat (beneficiary) dari kebijakan yang diformulasikan. Tabel 2. Aktor-Aktor Kebijakan Publik
Pemerintah sebagai representasi dan aparatur negara juga tidak bisa merumuskan kebijakan secara sepihak. Kebijakan yang diproduksi akan diawasi oleh parlemen atau legislatif yang menjalankan fungsi sebagai perwakilan rakyat, serta lembaga yudikatif yang memastikan kompatibilitas kebijakan dengan konstitusi (dalam hal ini dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi). Dalam hal mana sebuah kebijakan yang diproduksi oleh pemerintah (misalnya dalam bentuk undang-undang) bertentangan dengan konstitusi, maka masyarakat atau pihak lain dapat mengajukan tinjauan yudisial (Judicial Review) ke MK. Kesesuaian antara kebijakan yang diambil oleh pemerintah dengan konstitusi adalah sebuah keharusan. Dikarenakan konstitusi Indonesia, yakni UUD NRI 1945, merupakan sumber dari segala sumber hukum positif yang ada. Dalam konteks hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, UUD NRI 1945 menempati posisi tertinggi. Hal ini selaras dengan muatan dalam konstitusi itu sendiri yakni sebagai landasan formal yang mengatur segala praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yang mana hak dan kewajiban warga negara (termasuk pemerintah) diatur secara mendetil dan komprehensif.
LUSOR Analysis _ July 2021
3
Kebijakan publik yang diproduksi oleh pemerintah harus selaras dengan konstitusi agar wewenang pemerintah sebagai penyelenggara negara memiliki batasanbatasan tertentu. Jangan sampai kebijakan yang diambil tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat atau kemaslahatan publik, tapi semata-mata bagi kepentingan kelompok tertentu seperti kepentingan penguasa dan kelompoknya sendiri, atau kepentingan para pengusaha besar, konglomerat, dan pemodal. Kepatuhan terhadap konstitusi dalam perumusan kebijakan publik merupakan cermin keberpihakan pemerintah kepada masyarakat. >>> PPKM Darurat Sebagai Kebijakan Pemerintah: Apresiasi dan Kritik <<< Pada Kamis, 1 Juli 2021 yang lalu, Presiden Jokowi secara resmi mengeluarkan kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat untuk memperketat dan membatasi aktivitas masyarakat dalam rangka mencegah perluasan penyebaran Covid-19. Kebijakan ini merupakan sekuens dari kebijakan sebelumnya, yakni PPKM Mikro yang dikeluarkan pada 1 Juni 2021 yang lalu. PPKM Darurat ditetapkan oleh Presiden Jokowi sebagai respons atas lonjakan kasus positif Covid-19 sepanjang bulan Juni 2021 (masuknya varian baru Covid-19 yang memicu gelombang kedua pandemi di tanah air). Kebijakan ini diterapkan di daerah Jawa dan Bali dengan menilik sebaran kasus positif di kedua wilayah tersebut. PPKM Darurat diberlakukan sejakl 3 hingga 20 Juli 2021. Selain merujuk pada peta sebaran kasus, penetapan PPKM Darurat oleh Presiden Jokowi juga dilakukan atas masukan dan pertimbangan dari para menteri atau pembantu presiden lainnya, para kepala daerah, serta ahli kesehatan (dokter dan epidemiolog). Objektif yang hendak dicapai oleh pemerintah dari penetapan PPKM Darurat ini adalah penurunan penambahan kasus terkonfirmasi harian kurang dari 10.000 (sepuluh ribu kasus per hari). Ada banyak detil yang diatur dalam PPKM Darurat ini, beberapa di antaranya sebagai berikut: 1. Penerapan 100% WFH bagi sektor non-esensial. 2. Kegiatan belajar-mengajar dilakukan secara daring. 3. Bagi sektor esensial, 50% WFO dengan Prokes ketat, sedangkan sektor kritikal diperbolehkan 100% WFO juga dengan Prokes ketat. 4. Sektor esensial mencakupi keuangan dan perbankan, pasar modal, sistem pembayaran, teknologi informasi dan komunikasi, perhotelan non-penanganan karantina, serta industri orientasi ekspor. 5. Sektor kritikal meliputi energi, kesehatan, keamanan, logistik dan transportasi, industri makanan, minuman, dan penunjangnya, petrokimia, semen, objek vital nasional, penanganan bencana, proyek strategis nasional, konstruksi, utilitas dasar (listrik dan air), serta industri pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari. 6. Kegiatan di pusat-pusat perbelanjaan dan perdagangan sepenuhnya ditutup. LUSOR Analysis _ July 2021
4
7. Tempat-tempat ibadah ditutup sementara (belakangan direvisi). 8. Dan lain-lain. PPKM Darurat ditilik dari studi kebijakan publik dapat dikategorikan sebagai kebijakan publik atau kebijakan pemerintah. PPKM Darurat sebagai sebuah kebijakan diformulasikan sebagai respons pemerintah terhadap sirkumstansi yang ada, yakni meningkatnya penyebaran Covid-19 di seluruh tanah air, khususnya Jawa dan Bali yang paling banyak kasus terkonfirmasi positifnya. PPKM Darurat sebagai kebijakan publik juga memiliki objektif umum dan spesifik, umum mencegah penyebaran Covid-19, spesifik penurunan kasus <10.000 kasus/hari. PPKM Darurat sebagai sebuah kebijakan juga menarik untuk dicermati tahapan formulasinya. Dalam konteks identifikasi masalah, pemerintah merujuk pada data sebaran Covid-19 selama bulan Juni 2021 (ada dasar ukur kebijakan). Selama bulan juni, rata-rata kasus positif harian >20.000 kasus, terlebih lagi ada varian baru yang masuk seperti varian Alpha, Beta, dan Delta, yang notabene lebih cepat penularannya dan lebih mematikan. Identifikasi masalah by data ini kemudian diperkuat dengan saran dan masukan dari kepala daerah dan para pakar kesehatan yang memiliki otoritas keilmuan yang memadai mengenai permasalahan pandemi tersebut. Ditilik dari model perumusan kebijakan publik, PPKM Darurat ini masuk kategori kebijakan berbasis goal-attainment (pencapaian hasil), yakni kebijakan yang dibuat untuk mencapai target-target tertentu yang ditentukan pemerintah, yakni mencegah lonjakan kasus dan menurunkan angka kasus terkonfirmasi positif Covid-19. Untuk lebih jelasnya mengenai model-model kebijakan publik, dapat dilihat pada tabel di bawah: Tabel 3. Model-Model Kebijakan Publik
LUSOR Analysis _ July 2021
5
Ditilik dari sisi konstitusi, kebijakan PPKM Darurat dapat dikatakan sesuai dengan konstitusi. Dasarnya adalah kebijakan yang ditujukan bagi kepentingan masyarakat secara luas. Hal ini diamanatkan dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945, yakni “…melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia…”. Jika tidak diambil kebijakan emerjensi seperti ini, dikhawatirkan akan banyak masyarakat yang terpapar dan akan lebih banyak jatuh korban jiwa. Seperti lazimnya sebuah kebijakan, tidak semua masyarakat menerima kebijakan ini. Muncul resistensi atau penolakan dengan beragam argumentasi. Beberapa di antaranya, sebagai berikut: 1. Terganggunya perekonomian masyarakat, khususnya sektor rumah tangga, karena penurunan daya beli (purchasing power). 2. Bansos yang digelontorkan oleh pemerintah banyak kendala administrasi dan teknisnya, terlebih lagi besarannya tidak mencukupi. 3. Penegakan hukum sebagai kerangka penunjang kebijakan dilakukan secara tidak humanis. Akibatnya sering terjadi konflik sosial di masyarakat antara masyarakat dengan aparat penegak hukum, khususnya di lokasi-lokasi penyekatan. 4. PPKM Darurat dinilai terlambat. Komite PC-PEN lebih berorientasi pada sektor pemulihan ekonomi saja, tapi abai pada penanganan Covid-19. Hal ini dikarenakan pejabat yang mengampu Komite PC-PEN diiisi oleh pejabat bidang perekonomian sehingga bias dalam penanganan. 5. Pemerintah dinilai tidak komprehensif dalam menyosialisasikan kebijakan, sehingga banyak masyarakat yang tidak well-informed. Beberapa saran, masukan, serta kritikan masyarakat tersebut harus diatensi oleh pemerintah. Dalam konteks kebijakan, hal ini masuk ranah evaluasi kebijakan. Dengan melakukan evaluasi secara terukur, baik evaluasi terhadap mutu kebijakan itu sendiri, maupun evaluasi terhadap personel pelaksana, maka kebijakan dapat diperkuat, direvisi, atau dicabut. Hal ini juga dapat menjadi dasar untuk melakukan reformulasi kebijakan agar lebih tepat guna ke depan dalam mewujudkan kepentingan publik. *****
LUSOR Analysis _ July 2021