GRAFIK - Typography Newsletter

Page 1

D. RIO ADIWIJAYA

{design} AUTHORSHIP Authorship, kata benda yang sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia, bentukan dari kata benda author (pengarang, pencipta, penggubah, Latin: auctor, pendiri, penguasa, yang menyebabkan sesuatu muncul), dan punya kaitan erat dengan kata benda authority (otoritas, kewenangan, kuasa, wibawa, pengaruh, perintah dan seterusnya, Latin auctoritas). Mungkin tulisan kecil ini mulai dari menerjemahkan authorship secara literal saja, yakni kepengarangan, suatu kondisi punya ‘intensi’ atau ‘otoritas’ pengarang.

Authorship

Menengok sejarah Melihat spektrum arti dan sejarahnya, istilah ini tidak sederhana, dan 50 tahunan lalu malah dipersoalkan Roland Barthes yang menyatakan “the death of the author” dan Michel Foucault yang mempertanyakan “what is an author?” Namun di dunia DKV Amerika Serikat dan Inggris tahun 1990’an, istilah ini justru sempat mencuat sebagai slogan yang lalu dibahas dalam tulisan Michael Rock, The Designer as Author yang terkenal itu, dan Ellen Lupton, The Designer as Producer. Di Jakarta, isu kepengarangan dalam DKV terus terang belum sampai mewacana, karena paradigma mainstream DKV masih berasumsi bahwa komunikasi bisa disetir secara ‘obyektif’ (oleh kantor desain dan kemauan klien), atau dengan kata lain belum sampai pada kesadaran akan rumitnya persoalan interpretasi. Isu kepengarangan malah mungkin mengusik paradigma mainstream itu, tapi biarlah keterusikan itu bergulir bersama edisi ini.

Kali ini mari kita mendengar sedikit analisis Foucault yang menelisik perbedaan arti kepengarangan dalam setidaknya tiga konteks atau situasi zaman. Pertama dalam konteks zaman pramodern (sebelum Renaissance abad ke 15), teks atau artefak sakral (teks dan karya seni pramodern umumnya bersifat sakral dan komunal) otoritasnya malah dicapai dengan status asal-usul yang ‘misterius’ atau tanpa pengarang. Nama pengarang jikapun ada seringkali sifatnya simbolik, bukan tanda ‘hak kepemilikan obyektif.’ Namun dalam konteks kedua yakni zaman modern awal atau Renaissance yang melahirkan subyektivitas atau individualitas manusia, teks ilmiah yang menjadi sentral menggantikan teks religius yang puitis otoritasnya berbasis nama pengarang (ingat nama Keppler, Galileo atau Newton?).

Memasuki konteks zaman ketiga yakni abad ke-19, situasinya berbalik. Sains menjadi otoritatif justru jika tanpa kepentingan pengarang (murni obyektif), dan seni yang menjadi sangat ditentukan statusnya oleh otoritas kepengarangan (signature seniman selalu penting). Di sisi lain, DKV Jakarta kerap masih meributkan dirinya sebagai sama sekali bukan seni yang ditandai oleh otoritas kepengarangan tadi, dan statusnya dianggap lebih mirip sains yang ‘murni obyektif.’ Namun pertanyaannya, atas dasar ‘logika’ apa setiap karya DKV mahasiswa DKV harus membuat karya berbeda satu sama lain jika bukan karena isu kepengarangan ? Apa jadinya jika DKV ‘obyektif,’ artinya hanya ada ‘satu desain benar,’ di mana semua desainer mestinya menjadi seragam alih-alih otoritatif? Intinya di sini, bukankah DKV sebetulnya sangat mirip dengan seni dalam soal kepengarangan ini?

satu persatu bermaksud sengaja menjadi unik.

8

GRAFIK

Bahasa visual desainer kiranya mendekati bahasa musik yang tidak melulu soal ‘maksudku,’ melainkan justru menuntutku terampil dalam bahasa visual budaya tertentu, yang juga tidak ‘obyektif’ atau seragam di seluruh muka bumi melainkan historis dan plural secara kultural. Kepengarangan di sini tidak sama

r th

Sejak bukan niat segelintir pengarang pula yang melahirkan bahasa, bagi Barthes sang pengarang paling otoritatif adalah bahasa alih-alih pengarangnya. Menjadi pengarang adalah lebih seperti berpartisipasi dalam bahasa kebudayaan tertentu secara terampil. Orang yang belajar bahasa musik jazz misalnya, sejak orang itu menjadi semakin terampil, giliran musik jazz yang semakin berbicara lewat orang itu, bukan orang itu yang bicara jazz (jazz jelas milik banyak orang atau komunitas jazz, bukan hanya satu-dua musisi atau pengarang).

Ba

Namun di paruh kedua abad ke-20 yakni jaman kita, status kepengarangan dalam seni pun dilihat Barthes mengalami “the death of the author,” di mana suatu karya sejak diluncurkan ke publik maknanya sama sekali tidak dapat dikuasai pengarangnya. Barthes melihat kuncinya terletak pada bahasa, yakni bahasa yang menurutnya ‘menulis kita,’ bukan kita yang menulis bahasa. Untuk mengerti pernyataan ‘ganjil’ ini, bayangkan bahwa kita sejak lahir, tanpa ditanya mau atau tidak, pastinya diwarisi bahasa tertentu, dan bahasa itu justru membentuk pikiran kita sejak pikiran kita tersusun dari bahasa (bagaimana berpikir atau mengarang tanpa bahasa?). Perhatikan bagaimana orang dari kultur dengan bahasa berbeda, masingmasing punya khazanah makna unik (dan kerap sulit diterjemahkan ke bahasa lain), tanpa orang- orangnya

es

Melihat sekarang

Ro

la

nd

sekali hilang, melainkan menjadi proses ‘ditulis dan menulis’ terus-menerus dalam/melalui sejarah budaya. Yang perlu kita tanya sebagai ‘pengarang’ barangkali adalah makna apa yang justru sedang ditulis oleh gegarnya bahasa sosmed masa kini. Karena jika kita malas bertanya, kitalah yang akan ditulis habis-habisan oleh bahasa media sosial itu.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
GRAFIK - Typography Newsletter by Brian Sintyu - Issuu