D. RIO ADIWIJAYA
{design} AUTHORSHIP Authorship, kata benda yang sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia, bentukan dari kata benda author (pengarang, pencipta, penggubah, Latin: auctor, pendiri, penguasa, yang menyebabkan sesuatu muncul), dan punya kaitan erat dengan kata benda authority (otoritas, kewenangan, kuasa, wibawa, pengaruh, perintah dan seterusnya, Latin auctoritas). Mungkin tulisan kecil ini mulai dari menerjemahkan authorship secara literal saja, yakni kepengarangan, suatu kondisi punya ‘intensi’ atau ‘otoritas’ pengarang.
Authorship
Menengok sejarah Melihat spektrum arti dan sejarahnya, istilah ini tidak sederhana, dan 50 tahunan lalu malah dipersoalkan Roland Barthes yang menyatakan “the death of the author” dan Michel Foucault yang mempertanyakan “what is an author?” Namun di dunia DKV Amerika Serikat dan Inggris tahun 1990’an, istilah ini justru sempat mencuat sebagai slogan yang lalu dibahas dalam tulisan Michael Rock, The Designer as Author yang terkenal itu, dan Ellen Lupton, The Designer as Producer. Di Jakarta, isu kepengarangan dalam DKV terus terang belum sampai mewacana, karena paradigma mainstream DKV masih berasumsi bahwa komunikasi bisa disetir secara ‘obyektif’ (oleh kantor desain dan kemauan klien), atau dengan kata lain belum sampai pada kesadaran akan rumitnya persoalan interpretasi. Isu kepengarangan malah mungkin mengusik paradigma mainstream itu, tapi biarlah keterusikan itu bergulir bersama edisi ini.
Kali ini mari kita mendengar sedikit analisis Foucault yang menelisik perbedaan arti kepengarangan dalam setidaknya tiga konteks atau situasi zaman. Pertama dalam konteks zaman pramodern (sebelum Renaissance abad ke 15), teks atau artefak sakral (teks dan karya seni pramodern umumnya bersifat sakral dan komunal) otoritasnya malah dicapai dengan status asal-usul yang ‘misterius’ atau tanpa pengarang. Nama pengarang jikapun ada seringkali sifatnya simbolik, bukan tanda ‘hak kepemilikan obyektif.’ Namun dalam konteks kedua yakni zaman modern awal atau Renaissance yang melahirkan subyektivitas atau individualitas manusia, teks ilmiah yang menjadi sentral menggantikan teks religius yang puitis otoritasnya berbasis nama pengarang (ingat nama Keppler, Galileo atau Newton?).
Memasuki konteks zaman ketiga yakni abad ke-19, situasinya berbalik. Sains menjadi otoritatif justru jika tanpa kepentingan pengarang (murni obyektif), dan seni yang menjadi sangat ditentukan statusnya oleh otoritas kepengarangan (signature seniman selalu penting). Di sisi lain, DKV Jakarta kerap masih meributkan dirinya sebagai sama sekali bukan seni yang ditandai oleh otoritas kepengarangan tadi, dan statusnya dianggap lebih mirip sains yang ‘murni obyektif.’ Namun pertanyaannya, atas dasar ‘logika’ apa setiap karya DKV mahasiswa DKV harus membuat karya berbeda satu sama lain jika bukan karena isu kepengarangan ? Apa jadinya jika DKV ‘obyektif,’ artinya hanya ada ‘satu desain benar,’ di mana semua desainer mestinya menjadi seragam alih-alih otoritatif? Intinya di sini, bukankah DKV sebetulnya sangat mirip dengan seni dalam soal kepengarangan ini?
satu persatu bermaksud sengaja menjadi unik.
8
GRAFIK
Bahasa visual desainer kiranya mendekati bahasa musik yang tidak melulu soal ‘maksudku,’ melainkan justru menuntutku terampil dalam bahasa visual budaya tertentu, yang juga tidak ‘obyektif’ atau seragam di seluruh muka bumi melainkan historis dan plural secara kultural. Kepengarangan di sini tidak sama
r th
Sejak bukan niat segelintir pengarang pula yang melahirkan bahasa, bagi Barthes sang pengarang paling otoritatif adalah bahasa alih-alih pengarangnya. Menjadi pengarang adalah lebih seperti berpartisipasi dalam bahasa kebudayaan tertentu secara terampil. Orang yang belajar bahasa musik jazz misalnya, sejak orang itu menjadi semakin terampil, giliran musik jazz yang semakin berbicara lewat orang itu, bukan orang itu yang bicara jazz (jazz jelas milik banyak orang atau komunitas jazz, bukan hanya satu-dua musisi atau pengarang).
Ba
Namun di paruh kedua abad ke-20 yakni jaman kita, status kepengarangan dalam seni pun dilihat Barthes mengalami “the death of the author,” di mana suatu karya sejak diluncurkan ke publik maknanya sama sekali tidak dapat dikuasai pengarangnya. Barthes melihat kuncinya terletak pada bahasa, yakni bahasa yang menurutnya ‘menulis kita,’ bukan kita yang menulis bahasa. Untuk mengerti pernyataan ‘ganjil’ ini, bayangkan bahwa kita sejak lahir, tanpa ditanya mau atau tidak, pastinya diwarisi bahasa tertentu, dan bahasa itu justru membentuk pikiran kita sejak pikiran kita tersusun dari bahasa (bagaimana berpikir atau mengarang tanpa bahasa?). Perhatikan bagaimana orang dari kultur dengan bahasa berbeda, masingmasing punya khazanah makna unik (dan kerap sulit diterjemahkan ke bahasa lain), tanpa orang- orangnya
es
Melihat sekarang
Ro
la
nd
sekali hilang, melainkan menjadi proses ‘ditulis dan menulis’ terus-menerus dalam/melalui sejarah budaya. Yang perlu kita tanya sebagai ‘pengarang’ barangkali adalah makna apa yang justru sedang ditulis oleh gegarnya bahasa sosmed masa kini. Karena jika kita malas bertanya, kitalah yang akan ditulis habis-habisan oleh bahasa media sosial itu.
G
07
JULY EDITION
EDITOR
BRIAN SINTYU ALVIN VAREL
JOURNALIST WRITER
BRIAN SINTYU ALVIN VAREL
TYPOGRAPHY NEWSLETTER
D. Rio Adiwijaya
Mempertanyakan Konsepsi kita tentang Desain Grafis yang Ideal Beberapa ‘isme’ desain Barat tidak dapat dipungkiri telah masuk ke alam pikiran kita akibat adanya proses globalisasi. Artikel ini membahas pengaruh beberapa ‘isme’ desain grafis Barat yang mempengaruhi konsepsi desain kita dalam lingkup pendidikan maupun profesi. Konsepsi tersebut sebetulnya adalah ‘versi sadar’ dan apa yang biasa kita sebut sense atau taste desain. Namun perlu ditegaskan, di sini sama sekali tidak dimaksudkan untuk memuja atau mengutuk desain Barat.
Artikel ini ditujukan untuk merangsang sikap kritis dan sadar atas sense atau taste desain kita masingmasing yang telah terpengaruh beberapa ‘isme’ desain Barat tersebut. Dengan disadari, keuntungan yang dapat diambil adalah konsepsi desain kita menjadi lebih sadar sehingga lebih dapat dijabarkan, dikembankan, serta dipertanggungjawabkan.
IN THIS ISSUE • Mempertanyakan Konsepsi kita tentang Desain Grafis yang Ideal • Pengaruh Beberapa Isme Modern • Musikalitas Tipografi • Pengaruh Desain Post-Modern • {design} Authorship
Garamond Poster
Taste of Style Sense atau taste sering menjadi ‘senjata’ andalan desainer dalam menyelesaikan problem desain. Akan tetapi perlu diingat bahwa ‘senjata’ itu sebetulnya memuat konsepsi-konsepsi tertentu yang diterima dari pembelajaran dan praktik, entah disadari atau tidak.
Desainer tanpa sadar cenderung menekankan satu paham misalnya Swiss Style tadi kepada puluhan mahasiswa yang punya minat dan kecenderungan berbeda-beda. Namun, sang pengajar tidak menyadari bahwa dirinya sebetulnya cuma terpengaruh. Belum lagi perdebatan antara sang pengajar dengan pengajar lainnya yang tanpa sadar terpegaruh New York School.
ya
“Masalah menjadi lebih luas jika sang desainer berperan sebagai pengajar.”
ija
ersoalannya memang, pernahkah sang desainer kini mempertanyakan asal-usul sense atau tastenya? Konsepsi desain Barat apa saja yang membentuknya? Desainer yang tanpa sadar terpengaruh Swiss Style misalnya, akan lebih sulit menerima desain berkonsep Vernacular karena jauh berbeda karakteristiknya.
Ad
i
w
P
Helvetica
D. R i o
Ceritanya akan lain jika keduanya menyadari status masing-masing sebagai orang yang sama-sama terpengaruh. Intinya bukan seberapa ‘benar’ taste masing-masing tetapi pada apa yang mempengaruhi sehingga taste-nya menjadi sedemikian rupa. Menyadari pengaruh suatu ‘isme’ sebenarnya membantu untuk mengungkap dan membentuk ‘jati diri desain’ kita sendiri.
Pengaruh Beberapa Isme Modern
Beberapa isme modern seni penting
Ciri utama kebudayaan modern adalah dominannya rasio ilmiah dan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan. Periode sepanjang lima abad itulah yang telah menghasilkan berbagai perubahan dan penemuan dalam bidang mulai dan filsafat, sains, teknologi, seni, desain dan industri sampai ke bentuk masyarakat modern yang kita kenal pada masa sekarang. Indonesia yang terletak di belahan Timur dunia pun merupakan tempat yang tidak luput dan pengaruh modernitas Barat akibat terjadinya proses globalisasi.
Beberpa isme modern penting seperti Cubism (1907), Constructivism (1913), Dada (1915) dan De Stijl (1917) sangat mempengaruhi olah bentuk dalam desain Modern sebagaimana ditampilkan oleh sekolah Bauhaus (1919) gaya Art Deco (1918) sampai Swiss International Style tahun ’40-‘50an. Beberapa aspek paham seni dan desain modem yang disebutkan ini masuk ke dunia pendidikan dan praktek desain Indonesia. Untuk itu, perlu dibahas beberapa pengaruh paham atau ‘isme’ desain Barat modem tersebut pada konsepsi desain kita.
Sebelum berangkat lebih jauh, kita perlu menyamakan persepsi mengenai arti istilah modern. Dalam artikel ini, modern bukanlah masa kini melainkan sebuah periode dalam kebudayaan Barat yang dimulai sejak Renaissance pada abad ke-15 dan mencapai puncaknya pada masa revolusi industri abad ke-19. Menurut banyak pendapat, era modern mulai ditutup pada sekitar tahun lima puluh sampai enam puluhan.
DES IGN
Dalam dunia seni rupa Barat, periode Modern Art dimulai pada akhir abad ke-19 yang ditandai munculnya aliran impresionisme. Periode ini dtandai oleh kecenderungan abstraksi atau konseptualisasi meninggalkan dominasi realisme dari era sebelumnya.
Bauhaus
& Pengaruhnya
CIRI-CIRI BAUHAUS
BAU HAUS 2
GRAFIK
Gedung Dessau Bauhaus, 1925–26
Pada masa perang dunia II dan dibawah tekanan Nazisme, para pendiri Bauhaus berimigrasi dan membuka New Bauhaus di Chicago, Amerika Serikat. Di tempat baru itu, mereka berbaur dengan komunitas desain Amerika dan memberi pengaruh kuat pada tokoh-tokoh desain Amerika seperti Paul Rand dan Saul Bass. Prinsip dasar desain Bauhaus banyak diadopsi ke dalam silabus pendidikan dasar desain grafis di berbagai penjuru dunia termasuk Indonesia.
1. Penggunaan modul geometris sebagai struktur sebuah gambar, lay-out atau desain. 2. Penggunaan golden section, grid berbagai sarana matematis lainnya untuk mencapai proporsi yang ideal. 3. Penerapan prinsip-prinsip dasar seni rupa. 4. Penerapan teori warna secara rasional. 5. Penerapan abstraksi (Bauhaus sendiri sangat dipengaruhi beberapa aliran Modern Art). 6. Penekanan pada prinsip legibility, clarity, dan hirarki tipografi. 7. Penekanan pada desain yang metodologis dan rasional/fungsional.
Joost Schmidt, Bauhaus magazine cover, 1929.
Bauhaus adalah sebuah institusi pendidikan di Jerman yang meletakkan dasar-dasar desain dan tipografi barat modern. Lewat filosofinya, Bauhaus berusaha menggabungkan antara seni, kerajinan dan teknologi, serta menolak pembedaan antara seni murni dan seni terapan. Seluruh entitas seni dan desain itu disatukan oleh prinsip-prinsip universal olah bentuk dan kepekaan pada material (prinsip ini di Indonesia dikenal sebagai nirmana).
Dipengaruhi oleh literatur teoritis kaum poststrukturalis, Katherine McCoy, desainer dan juga pengajar di Cranbrook, USA, menolak pembagian tradisional antara membaca dan melihat dan desainer seharusnya berperan aktif memadukan kedua pengalaman itu di mana sebuah gambar dapat dibaca sementara kata-kata tertulis dapat menjadi obyek visual. Bertolak dan pemahaman sesuatu yang dilihat dapat dialami bagai sebuah bacaan, dan sesuatu yang dibaca bagaikan sebuah gambaran, maka dengan mengintegrasikan indera pendengaran, dapat ditambahkan pula dalam tulisan ini, sesuatu yang terlihat, baik sebagai bacaan maupun gambaran, didesain sedemikian rupa sehingga memberi getaran seolah-olah terdengar dalam hati. Wolfgang Weingart, pembawa wabah “New Wave Typography� menekankan pentingnya keterkaitan antara sintaktik, semantik, dan pragmatik dalam tipografi yang ia perlihatkan baik melalui karyakaryanya maupun metode pengajarannya di Basel, Swiss. Dalam pandangannya, semantik adalah maksud atau makna rujukan dan sebuah tanda. Secara sintaktik, bagaimana tanda itu terkomposisi agar tercapai kesatuan di antara elemen-elemen desain yang ada. Bagaimana mencapai ‘efek’ pemahaman dari tanda itulah yang merupakan area pragmatik. Bagi Weingart, pemahaman dimensi sintaktik tipografi sangat penting karena di dalamnya terdapat kosakata visual yang menakjubkan, dan memiliki banyak cara untuk mendesain kembali informasi. Sintaksis tipografi memiliki pengertian sebagai sebuah proses penataan elemen-elemen visual ke dalam kesatuan bentuk.
B z
! o
Pengetahuan tidak lagi hanya berdasarkan ingatan-ingatan perorangan, tetapi manusia telah menemukan medium penyimpanan barunya melalui gambar-gambar, simbol, dan lambang serta tandatandanya. Manusia kemudian menyempurnakan peradabannya itu sebagai medium baca dan belajar dan masa ke masa sampai sekarang ini hingga kita mengenal peradaban sejarah tulisan, sebagaimana perkembangan sejarah manusia itu sendiri.
e g
Ingatan merupakan medium penyimpanan terbesar manusia sebagai tempat dialokasikannya ilmu pengetahuan yang diperoleh sepanjang hidupnya. Pemikiran serta pengetahuan manusia itu kemudian dituturkan turun-temurun dan mulut ke mulut melalui bahasa verbal. Di kala itu juga, manusia telah menyuarakan kata-kata terucap ke dalam lambanglambang, tanda-tanda atau bahasa visual.
2
S N
Asal-Usul Tipografi
Memusikkan Tipografi, Mempuitiskan Visual.
Sebelum melangkah lebih lanjut ke dalam eksperimental dan eksplorasi tipografi, pastikan dahulu bahwa segala aturan-aturan konvensional yang berlaku telah benar-benar dipahami maksud dan tujuannya. Aturan-aturan itu terdiri dan bagaimana menghasilkan tingkat keterbacaan yang optimum seperti menghindari kombinasi jenis huruf yang terlalu mirip atau juga terlalu banyak variasi yang mengurangi kejelasan dalam membaca, manfaat huruf kapital dan kecil, penentuan ukuran huruf, tebal tipis, lebar rapat dan kombinasinya, spasi antar huruf, kata, dan baris serta panjaganya kalimat, juga warna dan nada gelap terangnya. Lalu, perlu juga dipahami bagaimana tipografi desainer dapat menciptakan dan menekankan tekstur, bentuk, dimensi kedalaman, arah, dan irama untuk menguatkan komunikasi visual dan desain tipografi yang dibuat. Desainer Karl Gestner mempelopori sebuah morfologi berdasarkan bahasa formal dan huruf. Menurut Weingart sendiri, segala macam hal berpotensi untuk dikaitkan dan menginspirasi tipografi dalam praktis. Dengan menggunakan kategori morfologi, beberapa faktor atau variabel tipografis dapat dipakai oleh desainer sebagai alat efektif untuk mengeksplorasi kemungkinan tipografis dan mencari altematif-alternatif baru. Sarana bagaimana bermain dan bereksplorasi dengan tipografi itu ibarat bermain musik, namun bukan hanya dimainkan sekenanya saja melainkan dengan berbagai improvisasi dan penuh semangat. Dengan semangat itu, kita akan mengalami kesenangan sejati dan berekspresi dengan tipografi sehingga mata dan pikiran kita terbuka untuk meniti jalan baru dalam memecahkan beragam persoalan tipografis. Eksperimen tipografis ini bukan saja berpeluang melihat ke masa depan, tetapi juga sebuah peluang untuk memasukkan unsur-unsur lokalitas kultur visual di sekeliling kita. Tesis Marshall McLuhan, seorang media guru, meramalkan bahwa masa depan merupakan kurun waktu berlambang gambar. Artinya, kalau kita yakin dengan ramalan itu, maka apa saja yang kita rasakan dan alami selalu mempunyai kemungkinan untuk kita komunikasikan lewat bahasa visual. Sintaksis antara verbal dan visual dalam tipografi memperlihatkan kemungkinan bagaimana tipografi dapat dimainkan seperti musik.
Orkestra musik merupakan sebuah komposisi nada nada dan sekumpulan alat-alat musik, mulai dan yang paling tradisional hingga yang paling modem sekali pun. Semuanya tergantung bagaimana seorang komposer menata permainan musik yang ingin ia perdengarkan pada audiensinya. Komposer menciptakan mood dan memainkan perasaan pendengarnya lewat komposisi yang dimainkan. Ia menggiring audiens memasuki dunia yang Ia ciptakan lewat musiknya, diajaknya mereka bertualang ke dalam dentingan nada-nada yang kadang lembut memelas, kadang cepat-menghentak, dan ketika semuanya selesai, komposisi yang telah dinikmati itu membekas di dalam hati audiens. Nada-nada itu masih bermain-main di hati mereka dan seolah masih terngiang di telinga. Seorang desainer grafis yang bertindak sebagai tipografer ibarat seorang komposer musik dalam tipografi. Ia mempunyai pesan yang harus disampaikan pada audiensi. merebut hati mereka, membuat mereka mengikuti pesan itu, dan bertanggung jawab atas balk atau buruknya penerimaan pesan yang Ia komunikasikan itu. Desain tipografi adalah komposisi musiknya. Melalui itu, ia membawa audiensi memperhatikan pesan yang dikomunikasikan itu. Dia memilih huruf bukan sembarang huruf tetapi yang bentuk dan olahannya mampu membangkitkan keingintahuan pelihatnya serta menyusun kata per kata, seolah-olah itu adalah nada-nada yang ia lantunkan sendiri. Ketika pesan harus dikatakan dengan keras, ia akan menyampaikannya dengan keras, seperti dengan warna, ketebalan, atau mengubah bentuk dasarnya. Ia mengatur alur konsentrasi pembacanya dengan memperhatikan jarak, keseimbangan dalam komponen desain tipografinya. Dia juga melakukannya berdasarkan karakteristik audiens, dari kultur visual yang berkembang di sekelilingnya, musik dan lagu yang Ia dengar pada siaran radio, televisi, satelit, dan pesta, serta dan apa-apa yang ia baca mulai cerpen picisan sampai karya sastra peraih nobel, yang kemudian ia serap dan persepsikan kembali.
GRAFIK
7
Wolfgang Weingart
didesain menurut tuntutan dan kebutuhan zamannya masing-masing, hingga munculnya genre-genre desain huruf yang spesifik pada kurun waktu tempat tertentu serta ditujukan bagi khalayak tertentu. Tipografi adalah subyek yang dengan setia mengikuti Mesin Cetak Gutenberg perubahan-perubahan itu tanpa kehilangan esensi dan eksistensinya sendiri.
Tipografi, Musik, Dan Puisi
Mesin Cetak Gutenberg
Tulisan Sebagai Awal Berkembangnya Tipografi Tipografi pada dasarnya mengakarkan dirinya pada perkembangan peradaban baca tulis. Bahasa tulis mempunyai posisi unik di antara bahasa verbal dan visual dan merupakan perkembangan mendasar dan bahasa gambar dan tanda yang dibunyikan berupa piktograf (simbol yang menggambarkan obyek) dan ideograf (simbol yang merepresentasikan gagasan yang lebih kompleks) serta fonograf (tanda atau huruf yang menandakan bunyi)’. Tulisan yang kita gunakan sekarang ini merupakan sistem alfabet yang disempurnakan oleh bangsa Romawi, yang mulanya diadaptasi dan alfabet Phoenician dan oleh bangsa Yunani dijadikan sistem alfabet dengan struktur anatomi huruf yang lebih teratur dengan penerapan bentuk-bentuk geometris. Jadi, pada hakikatnya tipografi adalah sebuah upaya menyampaikan gagasan berkenaan dengan huruf dan tulisan. Huruf dalam tulisan mempunyai nilai fungsi yang dengan desain yang baik dan tepat, akan dapat melahirkan sebuah komunikasi yang interaktif antara penyampai pesan dan penerimanya. Tipografi atau desain rancangan huruf, dalam perjalanan sejarahnya, tidak pernah lepas dari pengaruh faktor kebudayaan dan teknologi. Diawali menggunakan permukaan seperti kulit, batu, kertas, mesin cetak Gutenberg, hingga teknologi digital seperti desktop publishing dan internet, dalam hal ini tipografi menyimpan catatan perjalanan sejarahnya tersendiri. Bagaimana sebuah huruf dan tulisan
6
GRAFIK
Tulisan dan eksperimentasi seorang tokoh penyair Futuris Italia bernama (1876-1944) telah mewujudkan dengan penuh semangat sejumlah alternatif kemungkinan memusatkan komunikasi tipografis. perhatiannya kepada potensi bahasa, dan semua penjelajahan tipografinya ia lakukan untuk hal itu. Semangat kaum Futuris dan Dadais masa itu mencoba untuk mendobrak hampir segala aspek verbal dan visual dalam berkesenian. Semangat itu tampaknya terus-menerus berulang kali memberi cahaya inspirasi hingga saat ini. Perlu disadari bahwa tipografi mempunyai keistimewaan pada kombinasi verbal dan visual yang sama baik dan uniknya. Pada prinsipnya, tipografi memiliki hal-hal mendasar dalam mendesain seperti keseimbangan (balance), repetisi / pengulangan (repetition), arah gerak (movement), komposisi, proporsi, hierarki, dan kesatuan (unity). Contohnya dalam sebuah acara musik, alangkah baiknya bila poster acara dan undangan tidak didesain secara serampangan tanpa memperhatikan wama musik yang akan dibawakan nanti. Desain sampul sebuah kaset lagu sangatlah penting untuk menyuarakan secara visual karakter bermusik dan penyanyi album rekaman tersebut. Tipografi tidak hanya dinilai dan sekadar tingkat keterbacaannya, tetapi apa yang ditangkap audiens melalui indera penglihatan untuk membawa mereka lebih dalam lagi mengalami gagasan atau pesan yang disampaikan. Misalnya bagaimana sebuah lagu yang dinyanyikan dengan iringan musik khas tertentu dapat diterjemahkan ke dalam sebuah poster dengan bidang yang serba terbatas itu? Bagaimanakah caranya agar seseorang dapat mengkomunikasikan hal itu pada audiens lewat pencerapan indera penglihatan? Dalam hal itulah, seorang komunikator visual perlu mengkaji kembali secara mendalam unsur-unsur dan prinsip-prinsip desain yang harus ia kembangkan
dalam membuat rancangan alternatif tipografi untuk memberi pengalaman dan pemahaman visual baru kepada khalayak yang melihatnya. Selain itu, seringkali sebuah puisi pun dapat dirancang sedemikian rupa agar para pembaca dapat lebih apresiatif menikmatinya secara visual sebelum mendengarkan sang penyair bersuara, atau bila para pembaca itu hendak menyuarakan nya sendiri. Ditinjau dari sisi ekstrimnya, puisi yang tertulis itu mampu ‘berdeklamasi’ sendiri tanpa pembacaan dan sang penyair. Syair-syair dalam puisi itu didesain agar mampu berbi cara lewat rancangan tipografi yang atraktif, menstimuli secara visual mata yang melihat dan mem bawa alam pikiran pada kondisi tertentu yang diinginkan melalui bait-bait syair puisi tersebut.
Prinsip Desain Dalam Tipografi Tipografi merupakan sebuah seni sebagaimana sebuah kompisisi musik dan syair puisi yang dapat menggugah indera pendengaran melalui nada-nada dan kata-kata, maka tipografi pun dapat menyentuh perasaan manusia melalui stimuli yang terjadi pada indera penglihatan. Sebagaimana desainer menyusun bentuk- bentuk karakter abjad, pengaturan spasi antar baris, leading antara kata dengan kata dan huruf per huruf. Permainan komposisi dan proporsi kata-kata atau teks yang diolah secara tipografis dapat menciptakan irama pembacaan yang beraneka ragam sehingga diperoleh hasil interpretasi yang lebih mengena.
Wolfgang Weingart, exhibition poster
David Carson
Dalam perkembangan desain grafIs dewasa ini, tipografi dirasakan semakin penting dalam wujud olahan komunikasi visual. Sesungguhnya, huruf-huruf itu sendiri bukanlah sekadar tampakan visual belaka, entah di jalan, toko-toko, buku, dan setiap sudut ruang perkotaan yang kita lalui. Huruf berguna untuk memenuhi berbagai keperluan hidup dan lebih jauh lagi mewakili wajah budaya masyarakat penggunanya. Mempelajari seni mengolah huruf atau tipografi bermanfaat untuk belajar mendengar, merasakan, dan menyuarakan kekuatan verbal dan visual dalam tiap-tiap huruf balk melalui bentuk maupun desainnya.
a
T
i
MUSIKALITAS TIPOGRAFI
New York School
& Pengaruhnya
Pada periode tahun dua puluh sampai lima puluhan, desain grafis Amerika Serikat didominasi The New York School of Advertising dengan metode “The Big Idea” yang sangat menonjol. Mereka sering menyebut desain grafis sebagai Commercial Art karena paham dan pekerjaan mereka yang berkisar pada dunia perdagangan komersial. Kalangan desain New York (East Coast) yang juga dipengaruhi New Bauhaus dalam beberapa aspek ini memberi warna kental pada desain gratis dan periklanan modern seluruh Amerika Serikat setelah pengaruhnya sampai ke daerah Pantai Barat (West Coast).
CIRI-CIRI NEW YORK SCHOOL
No Way Out
Di sisi lain, New York School juga memancarkan semacam aura profesi desain yang ‘besar’ dan ‘berkelas.’ Hal itu merupakan cermin kondisi Amerika Serikat yang berupaya bangkit dari krisis ekonomi pasca perang lewat industri korporatis. Industri yang mencapai sukses finansial mengganjar desainernya dengan sukses yang sama. Pengaruh New York School di Indonesia masuk lewat literatur, perusahaan perikianan, dan pendidikan desain yang mengacu pada periklanan.
1. Kecenderungan pada proyek-proyek periklanan dan gratis korporasi. 2. Pengintegrasian berbagai teori atau metode marketing massal. 3. Desain bersifat research-based dan ditujukan untuk menjual. 4. Lebih mementingkan ide-ide yang bersifat ‘nakal’ atau ketimbang eksperimen gratis. 5. Penerapan berbagai metode berpikir kreatif dalam mencari ide. 6. Kecenderungan abstraksi (New, York School terkena pengaruh New Bauhaus). 7. Kecenderungan pada lay-out dan tipografi yang fungsional.
Swiss Style
& Pengaruhnya
CIRI-CIRI SWISS STYLE
Paham terakhir era modern tahun empat puluh dampai enam puluhan adalah Swiss International Style yang banyak dipengaruhi rasionalitas desain Bauhaus. Hampir sama seperti pen- dahulunya tadi, para desainer dan pengajar dan Swiss juga mengklaim telah menemukan bahasa visual yang universal dan diperkuat argumen-argumen ilmiah. Awalnya, paham ini hanya berkutat di seputar Eropa namun akhirnya berskala internasional setelah masuk dan diterima di Amerika Serikat kemudian disebarkan ke berbagai penjuru dunia lewat korporasi besar. Gaya Swiss International Style kerap menjadi pakem standar untuk corporate graphics dan information graphics. Swiss Style juga memberi kesan profesi desain sebagai ‘tinggi’ seperti dikutip Katherine McCoy dan Massimo Vignelli: “Cara kerja yang rasional dan sistematis itulah yang membedakan profesi desainer dan pengrajin.” Pengaruh Swiss Style masuk Indonesia lewat
Paul Rand
Lemonhead typeface poster
literatur-literatur desain, beberapa institusi pendidikan desain dan corporate identity para PMA (Penanam Modal Asing) asal Eropa dan Amerika Serikat pada era pembangunan Orde Baru.
1. Kecenderungan pada proyek-proyek industri, corporate, dan information graphics. 2. Penekanan pada desain yang fungsional, rasional, dan metode yang sistematis. 3. Penerapan teori Semiotik Visual (triadik Charles Morris: semantik, sintaktik, dan pragmatik). 4. Kecenderungan abstraksi, khususnya pada logo. 5. Penggunaan grid system secara ketat. 6. Kecenderungan pada jenis huruf Sans Serif yang awalnya diklaim bersifat ‘universal’ dan netral (mulai dan Akzidens Grotesk, Haas Grotesk, Helvetica sampai Univers). 7. Penekanan pada legibility, clarity dan menolak visual chaos.
GRAFIK
3
PENGARUH DESAIN POST-MODERN Revolusi Neolitik Pekerjaan tangan, agrikultur Sporadis Suku/feodal Kelas ningrat, pendeta, tentara Buruh kasar Bersiklus Perubahan lambat Pemisahan ruang-waktu Kampung/ kota/ kerajaan Agraria Tertutup / terintegrasi Aristokrat Terintegrasi Budaya nenek-moyang
Revolusi industri Pabrikan, produksi massal Sentralistik Kapitalisme Borjuis/kelas menengah ke atas Pekerja Linier Bergerak maju, bertahap Pemampatan ruang– waktu Nasionalisme Rasionalisme bisnis Eksekutif Ala borjuis Budaya massal versi kelas penguasa, Abad mesin Revolusi Informasi Kantoran, produksi komponen Desentralistik Socitalism, Cognitariat Kelas antara tengah-pekerja Pekerja kantor Bersiklus dan linier Perubahan cepat Peleburan ruang-waktu Post-Nationalism Multinasional, plural, eklektik Inkklusif Citarasa berbagai budaya Banyak genre, berbasis pengetahuan, Abad tanda-tanda
4
GRAFIK
PRODUKSI
MASYARAKAT
RUANG WAKTU
Pra-Modern 10.000 SM - 1450
ORIENTASI
Post-Modern menurut Charles Jencks, seorang kritikus arsitektur dan analis kebudayaan Barat, adalah periode yang dimulai sekitar tahun enam puluhan saat orang Barat mulai bereaksi atas berbagai aspek budaya modern. Era itu ditandai oleh munculnya berbagai ‘isme’ arsitektur, seni, desain, filsafat, dan berbagai gerakan kebudayaan. Namun, hal yang kompleks itu tidak akan kita bicarakan karena kita hanya mencari gambaran situasi zaman. Pengamat kebudayaan Mudji Sutrisno pernah mengatakan bahwa salah satu fakta munculnya gejala Post-Modernitas antara lain kekecewaan orang Barat atas kebudayaan modern karena ia bukan cuma gagal untuk menghasilkan kebahagiaan manusia di muka bumi, malah menambahnya dengan perang (Perang Dunia I, II, dan perang Vietnam terjadi di ufuk era kebudayaan Barat modern.) Perang tersebut didukung rasionalitas iptek dalam berbagai bentuk persenjataan modern. Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang konteks desain grafis Barat dengan perubahan zamannya, berikut ini tabel perubahan budaya Barat dari era Pra-Modern sampai Post-Modern menurut Charles Jencks.
WAKTU
PRODUKSI
MASYARAKAT
RUANG WAKTU
Modern 1450 - 1960
ORIENTASI
WAKTU
PRODUKSI Perubahan zaman menuju Post-Modern
MASYARAKAT
RUANG WAKTU
Post-Modern
POST MODERN 1960 - ?
ORIENTASI
WAKTU
Paham-paham
lainnya
Berbagai genre desain Post-Modern Barat yang mulai muncul tahun enam puluh sampai tujuh puluhan Reform
disebutkan di atas. Awalnya desain-desain Post Modern merupakan semacam protes atau pemberontakan terhadap berbagai aspek rasionalitas desain Modern dalam kadar yang beragam, mulai dari yang lunak sampai ekstrim. Umumnya gerakan desain masa ini berskala kecil, lokal dan plural meninggalkan kecenderungan universalistik desain modern. Berikut ini beberapa paham, istilah atau pengertian dalam desain Post- Modern Barat yang juga hadir dalam alam pikiran dan khazanah desain grafis kita.
Revivalism atau Retro (Retrospective) Arti istilah retro adalah kembali ke masa silam. Semangat revivalism membuat desain Phsycedelia menampilkan kembali karakter organis Art Nouveau abad ke-19 sebagai wujud protes atas perang Vietnam yang dianggap sebagai sisi gelap kebudayaan Modern. Revivalism di sini menjadi ekspresi atau bahasa pemberontakan generasi muda enam puluh sampai tujuh puluhan atas bahasa visual generasi modern pendahulu mereka yang didominasi tipografi dan lay-out geometris.
Inkymole Illustration
Wolfgang Weingart
New Wave New Wave mengusung semangat untuk bereksperimen visual lewat medium atau baru yang disediakan oleh teknologi. Dimulai oleh desainer asal Swiss tempat kelahiran Swiss International Style yakni Wolfgang Weingart pada tahun enam puluhan akhir. Di Swiss pada era sebelum Weingart, jarang sekali medium / teknik mempengaruhi metode, konsep dan keputusan desain desainer yang umumnya sangat sistematis dan rasional. Weingart menjebol ‘dogma’ Desain Modern para seniornya dengan berani benimprovisasi namun tetap memperhitungkan semiotika visual yang menjadi tradisi desain Swiss.
Eclecticism
Vernacularism
Eklektik berarti gabungan yang kelihatan paling bagus dan berbagai sumber, sistem atau gaya yang berbeda. Eclecticism semakin dimungkinkan sejak tersedianya teknologi reproduksi mulai dan mekanikal sampai digital. Namun, kecenderungan ini pernah dicibir tokoh desain modern Massimo Vigneli sebagai mentalitas cut and paste dalam desain yang buta konteks sejarah.
Istilah yang dipinjam dan bidang arsitektur ini maksudnya adalah kecenderungan atau semangat untuk menampilkan ‘dialek’ bahasa visual khas subkultur tertentu seperti punk, surfer, skate boarder, street atau jalanan dan sebagainya. Vernacularism ini jelas merupakan suatu bentuk protes juga terhadap kecenderungan Desain Modem “satu desain untuk semua” atau universalisme. Gaya bahasa visual yang vernacular ini diusung oleh desainer-desainer seperti Jamie Reid, Neville Brody (Punk) sampai David Carson (Grunge).
Theatre Workshop Poster
Di Amerika Serikat, kecenderungan new wave diteruskan oleh bekas murid Weingart April Greiman dan Dan Friedman sekitar tahun delapan puluhan, dan kemudian oleh font house Emigre yang dimotori Rudy Vanderlans dan Suzana Licko pada era sembilan puluhan.
ISME ISME GRAFIK
5