BERSAMA MEREKA. Suara dari Tepi Kota (Refleksi Live In 2016 STKAJ)

Page 1

NAN LA

n SEPERJ ma A Te

E DIS

H IK

BERSAMA Mereka U

Suara dari Tepi kota

SU

S LIV E IN 20

16



bERSAMA Mereka Suara dari Tepi KOTA

Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II Keuskupan Agung Jakarta


Moderator RD. Simon Petrus Lili Tjahjadi Pemimpin Umum fr. Bernard Rahadian Pemimpin Redaksi fr. Carolus Budhi P. Sekretaris fr. Balsamus Pieter D. Sirkulasi fr. Reginald Mozetta J. fr. Bernando Gabriel S. Bendahara fr. Yoseph M. Yuddha A. Kepala Editor fr. Antonius Arfin Samosir Staf Redaksi fr. Ludowikus Andri N. fr. Yohanes Aditya RP. fr. Yoseph Sonny S. fr. ALbertus Adiwenanto W. fr. Alfonsus Andi K. Layout fr. Gregorius Wilson Artistik fr. Frederikus D. Rionaldo fr. FA. Oki Joko Prakoso Anggota Redaksi Komunitas Seminari Tinggi Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II

Keuskupan Agung Jakarta Jl. Cempaka Putih Timur XXV, No 7-8 Jakarta Pusat 021-420 3374 Email: seminaritinggi_yohanespaulusii@gmail.com ii


Pengantar Redaksi Bersama Mereka: Suara dari Tepi Kota. Ada orang tinggal di tepi kota—menatap kota dari tapal batas—bersuara di kejauhan. Suara yang kalah lantang dari deru mesin pabrik, suara kendaraan, dan bahkan suara keramaian di tengah kota—suara yang kalah lantang dari kebisingan akal dan budi manusia yang telah menikmati kota… Di pertengahan tahun 2016 ini, para frater diosesan Keuskupan Agung Jakarta berkesempatan untuk menjalani live-in di berbagai tempat dengan situasi yang berbeda-beda. Untuk mensyukuri rahmat yang diberikan kepada kami itu, kami menyusun bunga rampai yang berisikan inspirasi-inspirasi yang telah kami peroleh selama satu-dua minggu di tempat live-in kami masing-masing. Judul buku ini adalah Bersama Mereka: Suara dari Tepi Kota. Melalui judul tersebut kami mau menggambarkan situasi mereka yang secara geografis ada di tepi kota Jakarta. Kami juga mau menggambarkan kehidupan orang-orang yang tersisih dan terpinggirkan dari ‘peradaban’ Jakarta—kemana orang-orang datang karena cita-cita hidup bahagia. Bahkan ada orang-orang yang di tengah kota pun terasing—kehilangan dirinya di tengah hiruk-pikuk kota. Di balik semua pengalaman itu, kami pun mengajak pembaca untuk melihat Allah yang selalu hadir lewat berbagai macam cara. Itulah yang hendak kami sampaikan lewat tulisan kami. Buku ini tentu tidak luput dari kekurangan dan kekeliruan, namun semoga buah tangan ini tetap dapat memberikan sesuatu yang baik dan berguna bagi para pembaca. Selamat Membaca!

iii


Pengantar Vikjen KAJ RD. Samuel Pangestu

Sungguh mengagumkan karya keselamatan Allah melalui Yesus Kristus dalam Roh Kudus. Keselamatan-Nya terwujud dalam peziarahan banyak umat beriman di Fatima, Portugal, dan juga di Gua Maria Sendangsono. Dalam suasana hening ketika berdoa dan lilin yang bernyala, kami sungguh menyadari kehadiran Allah yang penuh kasih dan Maha Rahim dalam diri Bunda Maria di tempat-Nya yang kudus. Buah-buah dari kehadiran Allah sungguh kami rasakan dalam kedamaian dan kebahagiaan berada di tempat ziarah tersebut. Hingga sekarang, Allah dalam Roh Kudus memang selalu mau hadir dan menyertai hidup peziarahan umat-Nya sampai akhir zaman. Selain berziarah dan menerima sakramen-sakramen Gereja-Nya, umat beriman bisa melakukan live in dalam rangka berjumpa dengan Yang Ilahi. Perjumpaan dengan Yang Ilahi dialami dalam diri sesama dan pengalaman hidup bersama. Setiap tempat pada akhirnya dapat menjadi kudus karena kehadiran Allah. Live in yang dilakukan para frater calon Imam Keuskupan Agung Jakarta di berbagai tempat bukan pertama-tama bertujuan untuk mengisi hari liburannya. Dengan melakukan live in di berbagai tempat, para frater belajar mewujudnyatakan spiritualitas Inkarnasi Yesus Kristus, bahwa Allah sungguh mau hadir dan terlibat dalam hiruk-pikuk kehidupan manusia di dunia ini. Allah sungguh solider terhadap perjuangan hidup manusia menuju Kerajaan-Nya yang abadi di Surga. Para frater dan kita sebagai Gereja-Nya sungguh memahami dan menyadari bahwa dunia merupakan tempat di mana manusia bisa menjumpai Allah dan merasakan kehadiran serta kasih-Nya. Manusia bisa menjumpai Allah dalam diri sesamanya dengan segala pengalaman suka-dukanya. Semoga pengalaman perjumpaan dengan Tuhan dalam diri dan pengalaman hidup sesama, semakin membuat para frater yakin iv


bahwa dirinya dipanggil untuk menampilkan wajah Allah yang Mahakasih dan Maharahim. Para frater menghadirkan Allah bersama umat beriman dalam hidup keseharian masyarakat dan bangsa. Di samping itu, sangat diyakini bahwa para frater melalui live in, semakin dapat belajar bagaimana berbicara tentang Allah yang Mahakasih dan pengampun dalam konteks masyarakat atau situasi tertentu. Demikian pula dengan kita semua yang membaca tulisan refleksi ini diharapkan mendapatkan rahmat perjumpaan dan menghadirkanNya bagi sesama yang membutuhkannya. Selamat membaca dan merenungkan kumpulan refleksi live in ini dalam Tuhan. Tuhan memberkati.

Fatima, 28 Agustus 2016 Salam dan doa, RD. Samuel Pangestu Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Jakarta

Lakukan hal hal kecil dengan cinta yang besar - Mother Teresa -

v


Pengantar Rektor STKAJ RD Simon Petrus L. Tjahjadi

VERBA DOCENT, EXEMPLA TRAHUNT “Kata-kata mengajar, teladan menarik”, begitu lah terjemahan dari pepatah Bahasa Latin di atas. Ya, kata-kata itu bisa memberikan pengertian, wawasan, informasi, penjelasan, argumentasi, dan aneka masukan yang membawa kita ke pencerahan budi, hati, dan nurani. Namun, pada akhirnya, teladan hidup terutama kesaksian hidup dari si pembicara lah, yang akan menarik kita secara kuat untuk menjalankan aneka masukan yang telah kita peroleh dan pahami itu. Sebagai pribadi yang menyibukkan diri dengan Ilmu Filsafat dan Teologi, kita pasti sudah memperoleh “kata-kata” yang tak terbilang banyaknya lewat aneka studi, media, masukan dari pelbagai sumber dan refleksi atasnya. Ada yang bisa diterima karena benar, namun ada juga yang perlu dikritik lantaran kandungan substansialnya keliru atau setidaknya problematis. Nah, salah satu unsur yang perlu untuk menguji kebenaran dan melihat “kemembumian” dari kata-kata yang kita peroleh lewat kesibukan teoretis ini adalah pengalaman nyata. Salah satu cara untuk memperoleh pengalaman nyata itu adalah lewat live in. Begitu lah live in merupakan salah satu sarana bagi kita untuk melihat dan mengalami secara langsung hal-hal yang kita dapatkan tadi, dengan bercermin pada pengalaman-pengalaman dari aneka insan dan pihak yang langsung melakukan itu. Dari situ kita diharapkan memperoleh, baik pengetahuan praktis maupun figur-figur yang memberikan kepada kita teladan-teladan dalam memperjuangkan nilai hidup. Selain itu, lewat live in kita mau merealisasikan dan mempertajam sikap belarasa kita terhadap mereka yang selama ini sengaja atau tidak sengaja terluput dari perhatian dominan kita. Kita mau ikut merasakan apa yang mereka rasakan, menanggung apa yang mereka tanggung, memperjuangkan apa yang mereka perjuangkan; sebab suka duka sesama di sekitar kita adalah suka duka kita sebagai muvi


rid Kristus juga. Adalah Kristus yang telah melakukan pengosongan diri (kenosis, Filipi 2:16) dan mengidentikkan diri-Nya dengan “saudara yang paling hina” (Matius 25). Namun, memang perlu disimak apa yang pernah dikatakan oleh alm. P. Joost Drost, SJ, pembimbing Tahun Orientasi Kerasulan saya di Seminari Wacana Bhakti dan Kolese Gonzaga di awal 1990-an. Terhadap kegiatan live in dengan pelbagai labelnya (misalnya probasi) yang sering dilakukan oleh lembaga-lembaga calon imam, tetap berlaku, bahwa bagaimana pun juga kita bukan lah mereka. “Kalau seorang frater atau suster jatuh sakit di tempat probasi atau live in di antara para pemulung, misalnya, pastilah dalam waktu yang tidak terlalu lama ia akan dijemput oleh superiornya dan langsung ditangani secara medis olehnya.” Hal ini agaknya tidak akan terjadi secepat itu pada pihak mereka yang sunggguh miskin atau tersisihkan di tempat kita melakukan live in itu. Sebaliknya, mereka akan bertahan dalam sakitnya, juga jika tampaknya tak ada bantuan yang segera datang. Lalu setelah live in, hidup kita akan masuk ke dalam “zona aman” lagi, sementara mereka tetap berada dalam ketidakpastian. Justru kenyataan ini menunjukkan sebuah tantangan serius bagi kita yang mengalami live in: Apakah live in memang membuat kita berupaya mentransformasi diri melalui aneka pengalaman itu dan kesaksian teladan dari orang-orang di dalamnya? Atau jangan-jangan bisa jadi ia hanya merupakan sebuah “program” pendidikan saja? Apakah kita akan sama before dan after melalui itu? Semua jawaban atas pertanyaan ini akan tergantung cukup banyak pada kesungguhan dan disposisi batin mereka yang mengalaminya. Oleh karena itu, sembari menyadari catatan kritis dari alm. P. Drost tadi, marilah kita menjalankan live in dengan sepenuh hati, daya-tenaga dan pikiran, sebagai kesempatan untuk mengalami Tuhan dalam dialog dan kebersamaan dengan sesama. Tulisan-tulisan reflektif di dalam buku ini yang didasarkan pada pengalaman live in para calon imam diosesan KAJ di pelbagai tempat, kiranya telah bisa mengungkapkan dimensi itu. Setidak-tidaknya. vii


Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II Keuskupan Agung Jakarta 1. Gambar A. Burung Merpati B. Tongkat Gembala C. Salib D. Buku yang terbuka Sisi kiri Sisi kanan 2. Warna Biru Kuning

: Roh Kudus yang selalu berkarya. : Lambang ikatan janji Bapak Uskup sebagai gembala tertahbis. : Semangat kasih Kristus. : Kitab Suci : Bagian dari Gereja Universal : Pengabdian kepada Gereja Lokal

: Simbol warna Bunda Maria : Simbol warna Gereja atau Vatikan

3. Huruf “M� Bunda Maria sebgai Bunda Gereja, para imam, dan para calon imam.

viii


Daftar Isi Pengantar Redaksi....iii Pengantar Vikjen KAJ....iv RD. Samuel Pangestu

Pengantar Rektor STKAJ....vi RD. Simon P. L. Tjahjadi

Daftar Isi....ix Pesantren Kontemporer....1 Bernard Rahadian

Aku Tidak Berbeda dengan yang Lain....7 S. Harry Yudanto

Hidup Seorang Pekerja....15 Yoseph Sonny S.

Semangkuk Mie Ayam....21 Marcellinus Vitus D.

Mencari Domba yang Hilang....29 Ludowikus Andri N.

Alam adalah Guru Kesetiakawanan....35 Frederick Yolando

ix


Biarkanlah Aku Menjadi Bagian dalam Cerita Tentang Tanah....39 Reinardus Doddy T.

Pelayanan yang Sederhana....45 Alberto Ernes

Perjumpaan di satu titik yang sama yaitu Bumi....55 Joko Prasetyo

Buruh Harapan....61 Yohanes Aditya RP.

Suka di Rumah Duka....67 Salto D. Manulang

Kisah Para Pejuang....75 A. Arfin Samosir

Sepotong Rencana-Nya yang Indah....81 Albertus Bondika

Menemukan Belas Kasih di Kampung Ujung....89 Carolus Budhi P.

Puisi “Lantai�....95

Karol Wojtyla (St. Yohanes Paulus II)

x


Pesantren Kontemporer Bernard Rahadian


Pada malam gelap saya duduk di beranda rumah. Angin malam membuat saya menggigil. Di langit yang jernih bintang bertebaran. Ketika saya melihat ke sekeliling, saya mendapati cahaya kecil berpendar kelap-kelip melintasi sawah, kunang-kunang yang terbang dan menyala – tanda alam yang sehat. Di dalam rumah, tawa riang para santri dan tamunya terdengar hangat dan meriah. Itulah suasana malam di salah satu sudut Kota Garut. Saya pergi ke Garut untuk live-in di Pesantren Ath-Thaariq (artinya: yang terbaik). Saya tidak sendirian. Ada tiga rekan sesama frater diosesan Jakarta, 14 frater dari Serikat Jesus bersama tiga pastor pendamping mereka yang juga live-in di pesantren. Lebih tepatnya, kami yang diosesan ikut program live-in para frater Jesuit. Apa istimewanya sih pesantren Ath-Thaariq sampai-sampai kami datang ke sana dan tidak ke tempat lain? Pesantren ini kontemporer—mengikuti tren masyarakat dunia! Akan tetapi bukan tren gadget atau mode pakaian—melainkan tren global tentang ketahanan pangan dan lingkugan hidup. Pesantren ini unik, karena merupakan pesantren yang berkonsep agro-ekologis, kekeluargaan, dan membantu para santrinya belajar mengembangkan keterampilan pertanian ramah lingkungan. Sekilas Pesantren Ath-Thaariq Perkenalkan, Abi (Bapak) Ibang dan Umi (Ibu) Nissa—pendiri, pendamping, dan pemilik Pesantren Ath-Thaariq. Pasangan suamiistri ini memulai pesantren mereka pada tahun 2008, setelah sebelumnya lama berkecimpung dalam Ikatan Petani Pasundan. Pesantren ini unik karena menekankan pentingnya pendidikan ekologi, karena mereka sungguh meyakini bahwa kebersatuan dengan alam merupakan jalan menuju Allah. Jalan menuju Allah begitu konkret, sehingga lebih jelas daripada bicara tentang Allah. 2


Umi Nissa dan Abi Ibang bertekad untuk membina generasi muda agar sadar akan pentingnya menjaga dan memberdayakan alam secara optimal, tetapi tetap dengan cara yang sehat. Di lahan sebesar 7.500 meter persegi, mereka bertekad mewujudkan gaya hidup alternatif yang lebih sehat, ramah terhadap alam, serta membahagiakan. Mereka berhasil membuktikan bahwa dengan gaya hidup ‘alternatif’ yang mereka hidupi bersama para santri, mereka semua bisa bahagia. Tempat ini begitu subur dan ramai tanaman— sungguh merupakan ‘tanah surga’, tempat tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Yang tidak kalah penting, seluruh penghuni pesantren adalah keluarga. Abi Ibang dan Umi Nissa menjadi orangtua bagi para santri. Di antara para santri, mereka yang sudah lebih dewasa secara sadar bertanggungjawab membantu Abi dan Umi mendampingi adik-adik mereka. Keakraban sebagai saudara tampak dengan jelas. Ikatan keluarga semacam itu bisa menjadi teladan bagi kami yang tinggal di seminari. “Panggilan Alam” Abi Ibang dan Umi Nissa mengungkapkan, bahwa mereka merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu bagi alam. Mereka ingin mempromosikan kembali cara bertani yang sehat karena dewasa ini begitu banyak orang yang tidak lagi akrab dengan keanekaragaman hayati yang bermacam-macam manfaatnya, melainkan justru menggemari barang-barang sintetis-kimiawi yang tidak ramah lingkungan – dan bangga karena hal itu. Sebagai contoh, orang lebih bangga makan di restoran cepat saji ketimbang makan makanan tradisional yang bisa diusahakan di kebun sendiri. Bahkan, ada orang-orang yang malu bila ketahuan makan singkong dan malah bangga bisa makan daging yang disuntik obat-obatan. Banyak orang berlomba-lomba menjaga kesehatan, namun beberapa orang juga meracuni tubuh sendiri dengan pola konsumsi yang tidak sehat. Pola produksi pangan dewasa ini juga memprihatinkan mereka, karena tidak lagi sehat dan tidak ramah lingkungan bagi manusia. Hampir semua bibit tanaman pangan merupakan hasil rekayasa ge3


netik dan produksi pabrik. Bibit-bibit tersebut dirancang agar tidak bisa kembali berkembangbiak dengan subur, sehingga mau tidak mau para petani harus terus membeli bibit dari perusahaan. Lahan yang dipakai untuk produksi tanaman pangan juga menjadi ‘sakit’ karena terus-menerus ditanami. Setidaknya ada tiga faktor yang membuat tanah sakit: 1) Tanah tersebut ditanami terus-menerus tanpa cukup diistirahatkan; 2) Pola tanam monokultur (lahan hanya ditanami satu jenis tanaman saja); 3) Penggunaan pupuk kimia dan obat-obat pembasmi hama. Tanah yang dipakai terus-menerus tanpa istirahat mengakibatkan unsur hara akan cepat hilang. Bila tidak diberi pupuk alami, makhlukmakhluk hidup di dalam tanah juga akan kehabisan makanan dan mati. Dalam pengolahan tanah, cara-cara tradisional dinilai tidak praktis dan tidak mendukung produksi yang semakin meningkat. Selain itu, sistem penanaman monokultur menyebabkan keanekaragaman hayati juga semakin sedikit, karena jenis tanaman pangan yang tidak populer di pasar semakin tersisih dan hama semakin banyak. Hama menjadi semakin banyak karena sumber makanan mereka bertambah, sedangkan tanaman yang tidak mereka sukai semakin sedikit. Abi dan Umi percaya bahwa bila pola produksi pangan dapat ditata dengan baik, manusia dan lingkungan akan berada dalam keadaan sehat dan sejahtera. Menghadapi pandangan pesimis, dilematis, dan sinis atas upaya mereka, mereka tetap optimis bahwa dengan pola pertanian yang agro-ekologis. Insya Allah masyarakat Indonesia dapat mencukupi kebutuhannya – tanpa perlu mengalami krisis akibat kekurangan stok bahan pangan – dan dengan demikian bisa hidup bahagia. Bersatu dengan Alam = Jalan Menuju Sang Khalik Dalam perkara ekologi ada titik temu antara iman Kristiani dengan Islam. Semakin lama orang-orang Kristiani semakin sadar, bahwa orang yang hidup rohaninya baik menjaga kesehatan jasmaninya juga. Abi Ibang dalam ceramahnya mengatakan, bahwa itu jugalah yang diajarkan di dalam Islam. Umi Nissa juga mengungkapkan bahwa ia banyak menimba inspirasi dari ajaran Paus Fransiskus dalam en4


siklik Laudato Si’ yang cukup fenomenal itu. Semakin lama semakin disadari, bahwa salah satu jalan utama untuk mencapai Sang Khalik adalah dengan bersatu dengan alam. Mereka tidak menjanjikan, bahwa pola hidup ini akan mudah. Dibutuhkan tekad yang kuat dan ketekunan dalam berjuang untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut. Hal ini mengingatkan saya kepada Yesus yang tidak menawarkan kenikmatan dan kenyamanan, melainkan salib – perjuangan untuk sampai kepada Allah. Salib ekologis menjadi konsekuensi logis bagi setiap orang yang mau ikut ambil bagian dalam karya penyelamatan bumi ini. Sebagai orang beriman, perjalanan memanggul salib ekologis juga dapat kita hayati sebagai upaya kita mencari Kerajaan Allah. Tidakkah ayat berikut ini sudah akrab bagi kita, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu (Mat 6:33)”? Bila kita percaya bahwa upaya kita merawat kesehatan alam dan diri kita sendiri adalah jalan menuju Allah, kita pun patut percaya bahwa Allah akan menambahkan kepada kita hal-hal yang berguna bagi alam dan kita sendiri. Mungkin masuk akal bila kita mengelola alam dengan baik, maka kita juga akan memetik hasil yang baik. Lantas, bagaimana kita memahami peran Allah dalam siklus ‘alami’ itu? Kita perlu mengingat bahwa “Aku (Paulus) menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan (1 Kor 3:6)”. Sang Khalik tetap merupakan Sang Empu Kehidupan. Segala upaya kita akan sia-sia bila dilepaskan dari keterkaitannya dengan Allah, yang telah menciptakan manusia dan menjadikannya serupa dengan Allah – sumber hidup kita. Upaya kita untuk mencari Kerajaan Allah merupakan cara Allah untuk menyelamatkan kita – membawa kita semakin dekat dengan-Nya dan semakin erat bersatu dengan Dia. Penutup: Salib yang membahagiakan Selain pemahaman-pemahaman yang telah saya utarakan sebelumnya, satu hal lain yang memberi kesan mendalam bagi saya selama live-in. Bagi saya hal yang berikut ini bisa menjadi penutup tulisan sederhana ini.

5


Keluarga Pesantren Ath-Thaariq hidup bahagia, meski hidup sederhana dan tentunya ada kekurangan di sana-sini. kegembiraan yang tidak dibuat-buat yang ditunjukkan oleh para penghuni pesantren, tanpa terkecuali, baik Abi Ibang, Umi Nissa, maupun anak-anak didik mereka di Pesantren Ath-Thaariq. Tawa-riang, celoteh, dan senda-gurau, mewarnai kegiatan mereka. Tidak hanya ketika berkumpul dan berbincang-bincang, melainkan juga saat mereka bekerja di kebun, saat mereka belajar mengaji, dan bahkan saat mereka shalat. Mereka membuktikan bahwa di dalam hidup ini ada hal-hal yang lebih berharga dari sekadar mencari kekayaan material, popularitas, pengaruh, maupun kekuasaan. Mereka yang tekun mencari Kerajaan Allah lewat pengabdian kepada alam, dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga dari lahan yang mereka olah. Mereka bahkan dapat menjual kelimpahan hasil tanah mereka dan memperoleh uang untuk kebutuhan yang lain. Keuletan mereka mempromosikan pertanian sehat lewat media sosial juga membuahkan hasil. Mereka menjadi salah satu komunitas alternatif yang mendapat perhatian dari lembaga-lembaga mancanegara. Warga sekitar pesantren juga mendapat keuntungan dari pesantren. Pihak pesantren kerap membagi-bagi hasil dari lahan mereka. Mereka yang berdagang juga mendapat rezeki tambahan karena kehadiran kelompok-kelompok yang berkunjung ke pesantren. Apa yang dihidupi di Pesantren Ath-Thaariq bagi saya menggambarkan suatu perjuangan memanggul salib, namun tidak dalam ratap dan tangis. Meskipun tidak berarti menghilangkan beban dan tantangan, namun perjuangan yang dijalani dalam semangat dan kebahagiaan menjadikan perjalanan salib sebagai sebuah perjalanan yang memperkaya dan memperkembangkan manusia menjadi semakin serupa dengan Allah.

6


Aku Tidak Berbeda dengan yang Lain S. Harry Yudanto


Pengalaman hidup berkomunitas bersama anak-anak “cacat” menyingkapkan bagaimana kita justru disembuhkan oleh mereka yang paling lemah dan mudah terluka. Maka ini bukan perkara bagaimana keluar dan melakukan kebaikan bagi mereka; sebaliknya justru pengalaman menerima anugerah kehadiran mereka itu sungguh menyembuhkan dan membaharui kita. (Jean Vanier) Awal Kisah di “Sekolah” Bhakti Luhur Ketika surat perutusan live-in disampaikan oleh pihak Seminari Tinggi, ada rasa penasaran sekaligus kecemasan saat nama Sekolah Bhakti Luhur tertulis dalam surat tersebut. Sejauh yang saya kenal, Bhakti Luhur merupakan sekolah untuk Anak-Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dengan segala tingkat disabilitas yang beragam. Di sekolah ini, bukan hanya soal pendidikan intelektual di Sekolah Luar Biasa (SLB), melainkan juga proses rehabilitasi supaya mereka bisa hidup mandiri; di asrama, di masyarakat sekitar, bekerja melalui pelatihan (workshop), pembinaan karakter, dan juga pembinaan bakat dan talenta mereka masing-masing. Awalnya Romo Paul Janssen, CM memiliki panggilan untuk melayani mereka yang miskin dan “cacat” yang cenderung disingkirkan oleh kaum “sehat”. Dorongan untuk melayani mereka tidaklah mungkin dilakukan sendiri. Beliau kemudian mendirikan Asosiasi Lembaga Misionaris Awam (ALMA) sebagai buah perjalanan misi dari jawaban atas realitas kemiskinan dan penderitaan sesama yang dijumpainya. Sebagai seorang misionaris Vinsensian, beliau senantiasa menghadirkan kasih Allah secara menyeluruh, penuh cinta dan berhasil guna bagi kaum miskin, terlebih yang menderita aneka “kecacatan” dan cenderung dipinggirkan oleh masyarakat karena dianggap tidak berguna. Karya ALMA yang begitu luas, termasuk salah satunya Yayasan Bhakti Luhur Jakarta menjadi bagian dari karya Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Umat yang beraneka ragam, termasuk juga anak-anak 8


yang berkebutuhan khusus pun menjadi bagian dari umat KAJ. Tidak ada satu orang tua pun yang menghendaki anak-anaknya terlahir dalam kondisi yang “cacat”. Mereka semua pasti menghendaki anakanaknya terlahir sehat dan normal. Kehadiran ALMA seakan menjadi oase di tengah padang gurun bagi ABK. Untuk menjaga semangat perjuangan yang berat, dibasahi keringat dan air mata, Romo Janssen, sebagai pendiri ALMA, menuturkan: “Kamu adalah remah-remah yang jatuh di tanah, dan ini mengingatkan kamu supaya kamu dengan rendah hati tahu asal-usul kamu. Dalam karya dan pelayanan, kamu harus berusaha dan bekerja agar kamu dapat hidup. Tempatmu di sana, di tengah mereka yang cacat, miskin, dan menderita.” Bhakti Luhur: Sekolah Cinta Ketika pertama kali saya berangkat ke Bhakti Luhur, ada stigma tersendiri tentang ABK. Mereka orang yang lemah, tidak berdaya, perlu dibantu, dsb. Mungkin hal ini juga yang menjadi pandangan bagi banyak orang ketika berhadapan dengan mereka. Namun, berbeda dengan apa yang saya temui di sana. Saya diterima di Asrama Bampu Apus dengan 9 ABK. Saat pertama kali melihat mereka, kesan awal yang saya tangkap yaitu mereka adalah orang-orang yang “normal”. Mereka bisa beraktivitas sebagaimana saya hidup dalam rutinitas harian. Mulai dari mencuci baju, mencuci piring, mengepel, menyapu, menyiapkan peralatan makan, dll. Saya melihat kehidupan di sana seperti di seminari kecil. Saat perjumpaan pertama dengan ABK, saya terheran-heran dengan apa yang mereka lakukan di dalam asrama. Mereka saling membantu satu sama lain. Kakak membantu adik, yang bisa berjalan membantu teman yang kesulitan, yang tidak bisa makan sendiri disuapi. Inilah bentuk kepedulian dan kasih yang nyata sesama ABK. Mereka dapat membantu yang lain juga dari keterbatasannya. Inilah semangat cinta kasih yang saya pelajari dari mereka. Kasih yang nyata mampu melebihi dari apa yang secara indrawi dirasa “terbatas”. 9


Pelajaran yang amat berharga juga saya temui soal pengampunan. Mereka kerap ditegur oleh guru atau perawat, bahkan tak jarang mereka mendapat perlakuan fisik yang “keras”. Semangat tidak “balas dendam” atau merasa sakit hati bila diperlakukan kasar atau dimarahi oleh para pengasuh inilah yang terlihat dalam diri mereka. Jika mereka berantem, mereka pun akan kembali rukun dan bersalaman serta dengan rendah hati berkata “minta maaf”. Mereka tidak menyimpan hal-hal yang buruk di dalam hati mereka. Secara singkat, mereka akan tertawa dan kembali berkomunikasi dengan orang yang sebelumnya telah menyakitinya. “Spiritualitas Aksi” Vinsensian Saya juga belajar dari komunitas suster ALMA, para perawat, dan guru-guru di SKh Bhakti Luhur. Saat pertama kali berkenalan dengan mereka, ada saja kebiasaan ‘aneh’ yang mereka lakukan. Dari BAB sembarangan, ngompol, menyakiti diri sendiri, hiperaktif, dll. Kasus mereka pun beragam mulai dari tuna grahita, tuna netra, tuna ganda, autis, hidrosepalus, dll. Kalau orang yang tidak punya hati yang besar untuk melayani pasti tidak akan bertahan lama untuk menjadi pelayan di sana. Lantas saya belajar dari para ‘guru kasih’ yang memberi teladan bagiku karena mereka bisa setia melayani di Bhakti Luhur selama bertahun-tahun. Salah satu spiritualitas ALMA yang ditegaskan oleh St. Vinsensius adalah “Totus opus nostrum in operatione consistit” [Seluruh tugas kita terletak dalam tindakan nyata]. Aksi nyata ini terlihat dari perilaku mereka sehari-hari dalam membina ABK. Mereka memperlakukan ABK sebagai tuan dan majikan. Mereka hidup, makan, tinggal, dan bahkan digaji oleh anak-anak sebagai tuannya. Para Suster ALMA dan perawat lainnya ada karena mereka. Maka, semangat pelayanan dan pengabdian yang tulus kepada sang tuan dan majikan mereka persembahkan sepenuh hati. Inspirasi dan model utama di jalan pelayanan ini adalah Yesus Kristus, Sang Misionaris sejati, seperti yang dinyatakan dalam Injil Lukas:

10


“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk 4: 18-19) Penghayatan akan spiritualitas aksi ini terwujud dari program kegiatan Community Based Rehabilitation (CBR), atau yang sering juga diterjemahkan Cari Bina Rawat. Para anggota ALMA tidak menunggu berita bencana, namun mereka pergi ke pelosok untuk mencari para penderita “kecacatan” yang disembunyikan oleh kaum ‘sehat’. Saya belajar dari para Suster ALMA yang terus berusaha mencari dan melayani ABK sebagai “korban bencana kemanusiaan” yang tersembunyi di balik peradaban zaman ini. Seperti halnya cerita dari Senensius yang ditemukan oleh Suster di Stasiun Senen. Sampai hari ini dia tidak tahu siapa orang tuanya. Ada lagi kisah dari Martin yang ditemukan di pinggir jalan karena ia “dibuang” oleh keluarganya. Di jalan pun dia mendapat perlakuan ‘brutal’ dari sekelompok masyarakat yang terus menolak keberadaanya. Banyak kisah dari mereka sebagai anak ‘buangan’, entah korban aborsi yang gagal, tidak diterima dalam keluarga, bahkan sampai tidak tahu keluarganya sama sekali sejak lahir. St. Vinsensius melihat wajah kaum miskin dalam perspektif iman yang berbeda. Ia menegaskan: “Sangat sering, karena berperilaku kasar dan jorok, orang miskin menampilkan diri mereka sebagai ciptaan yang tidak layak dihormati dan bodoh. Tetapi baiklah medali itu dan dalam cahaya iman, maka engkau akan memandang Putera Manusia, yang telah memilih menjadi miskin, sungguh hadir dalam diri orang miskin itu..

11


Oh, betapa indah wajah kaum miskin kalau kita melihat mereka dalam Allah, dan dalam terang sikap hormat Yesus sendiri kepada mereka.” Menjangkau yang Tak Terjangkau Semangat CBR (Cari Bina Rawat) menjadi pendorong karya ALMA terus berkembang dan semakin besar. ALMA berkarya di 17 Keuskupan. Di KAJ sendiri ada 4 komunitas, yakni Komunitas Lebak Bulus, Pamulang, Ciputat, dan Cilincing dengan puluhan asrama bersama dengan ratusan ABK. Seperti ‘menjemput bola’, mereka datang ke rumah-rumah mencari ‘domba-domba yang hilang’ yang disembunyikan, disingkirkan, dan ditelantarkan. ALMA juga memiliki program pemberdayaan masyarakat sekitar untuk membantu dan membina ABK di wilayah sekitar rumah mereka. Program pembinaan di SKh sangat beragam; mulai dari pelatihan keterampilan kerja misal berkebun, pertukangan, ternak ikan, bidang olah raga, seni musik, angklung, dsb. Saya berjumpa dengan seorang tuna netra yang pandai menyanyi dan juga memainkan piano. Ada juga seorang atlet lari dari tuna grahita yang prestasinya sampai mengikuti olimpiade internasional di Los Angles dan meraih juara kedua. Beragam prestasi dengan segudang piala dan medali menunjukkan bahwa mereka yang memiliki ‘keterbatasan’ masih bisa berkarya dan berprestasi lewat keahlian mereka. Hal ini memacu semangatku untuk selalu mensyukuri segala anugerah dan talenta yang Tuhan berikan. Selain itu aku juga diajak untuk menyalurkan bakat dan minatku untuk hal-hal yang berguna, bahkan sampai berprestasi seperti anak-anak di Bhakti Luhur. Proses Bina dan Rawat bukanlah hal yang mudah, apalagi untuk anak-anak yang mengalami retardasi mental. Mereka harus diajarkan berkali-kali dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Pengalaman mengajar di kelas menunjukkan bagaimana daya tangkap secara intelektual mereka lemah. Usia mereka sudah jauh lebih besar (setingkat SMA), namun pelajaranya masih setingkat kelas 4 SD. Pembinaan fisik dan latihan keterampilan lain pun juga membutuhkan energi dan perhatian yang tulus dari para guru dan perawatnya. 12


Semangat dan teladan pelayanan kasih ini ternyata dipelajari dari sosok Ibu Teresa. “Aku haus,� kata Yesus ketika Yesus dilucuti dari segala yang memberi penghiburan, wafat dalam kemiskinan yang mutlak, ditinggalkan sendirian, dilecehkan dan dihancurkan raga dan jiwa-Nya. Dia menyatakan kehausanNya-bukan akan air, tetapi akan cinta, akan pengorbanan. Yesus adalah Allah: karena itu, cinta-Nya, kehausan-Nya adalah tanpa batas. Tujuan kita adalah untuk memuaskan tanpa batas dari Allah yang menjelma menjadi manusia ini.�

13


“Sangat sering, karena berperilaku kasar dan jorok, orang miskin menampilkan diri mereka sebagai ciptaan yang tidak layak dihormati dan bodoh. Tetapi baiklah medali itu dan dalam cahaya iman, maka engkau akan memandang Putera Manusia, yang telah memilih menjadi miskin, sungguh hadir dalam diri orang miskin itu.. Oh, betapa indah wajah kaum miskin kalau kita melihat mereka dalam Allah, dan dalam terang sikap hormat Yesus sendiri kepada mereka.� St. Vinsensius a Paulo

14


Hidup Seorang Pekerja Yoseph Sonny S.


“Hidup adalah sebuah tantangan, hadapilah. Hidup adalah sebuah permainan, mainkanlah. Hidup adalah sebuah penderitaan, atasilah. Hidup adalah sebuah lagu, nyanyikanlah. Hidup adalah sebuah perjuangan, terimalah. Hidup adalah sebuah tragedi, hadapilah. Hidup ini terlalu berharga, janganlah hancurkan. - (Bunda Teresa dari Calcuta)” Kamis, 28 Juli 2016, tepatnya jam empat pagi, aku ditemani oleh saudara rohaniku (fr. Adit) berangkat menuju Cikarang. Tak banyak hal yang aku pikirkan saat itu. Aku hanya merasa bersyukur karena semuanya sudah diatur oleh-Nya yang sangat mencintaiku lewat perantaraan Romo Michael. Di tempat singgah yang baru ini, aku menemukan teman seperjalan yang baru, yaitu Allan, Edo, dan Ari. Mereka bertiga adalah para saudara yang dulunya dipanggil untuk menekuni jalan imamat, sama seperti diriku. Akan tetapi, Dia yang Maharahim sudah menyiapkan jalan baru yang terbaik bagi mereka. Setelah beristirahat sejenak di tempat tinggal yang baru dan menyapa Yesus, aku dan fr. Adit berangkat menuju PT. Plastikatama Teknologi Industri dengan berjalan kaki kurang lebih satu jam. Meskipun berjalan, aku tidak merasakan bahwa perjalanan ini sungguh melelahkan, karena kami berdua saling mengisinya dengan canda-tawa, sambil melihat mobil-mobil besar yang terus lewat. Hal ini menyadarkan kami, bahwa saat ini kami sedang berada di kawasan pabrik. Dalam benakku, hanya ada satu hal yang kupercaya, “Meskipun aku tidak memiliki keahlian apa-apa di bidang yang aku kerjakan nanti, aku masih memiliki Dia yang akan membimbingku untuk bekerja… apa pun jenis pekerjaannya.” Sesampainya di sana, kami bertemu dengan Ibu Elena dan Pak Nugroho. Saat itulah aku mulai mendapatkan gambaran tantang apa yang akan kami kerjakan nantinya. Aku dan fr. Adit akan ditempatkan di bagian produksi dengan bahan plastik, seperti PVC (Pollyvinil Carbon), dan sebagainya. Plat-plat plastik ini yang nantinya kami dan 16


teman-teman produksi olah menjadi tangki-tangki yang akan dipasarkan ke pabrik untuk pengolahan limbah. Setelah mendapat gambaran dan arahan singkat dari Ibu Elena, kami langsung diperkenalkan dengan teman-teman produksi. Mereka adalah rekan sekaligus guru kami dalam bekerja. Ketika kami diperkenalkan, belasan muka memandang dan ribuan ekspresi tergambar dalam diri mereka, antara bingung, semangat, serius, dan sebagainya. Meskipun demikian, aku sungguh bersyukur, karena Yesus mengijinkanku untuk menjadi bagian dari sejarah hidup mereka selama sepuluh hari ke depan. Aku percaya bahwa perjalanan hidup yang aku lalui bersama mereka akan menjadi sebuah perjalanan hidup yang tak terlupakan antara diriku bersama Allah tercinta, karena Allah sungguh hadir dalam diri mereka. Seniman Kehidupan “Hidup adalah sebuah keindahan, kagumilah. Hidup adalah sebuah kewajiban, penuhilah. Hidup adalah sebuah petualangan, jalanilah dengan berani. Hidup adalah sebuah mimpi, wujudkanlah. - (Bunda Teresa dari Calcuta).� Kata-kata inilah yang kiranya dapat menggambarkan diri temanteman produksi ketika bekerja. Bagiku mereka adalah seorang seniman lapangan oleh karena tangan-tangan mereka, mulai dari proses pengukuran, pemotongan, penghalusan bahan, perekatan bahan, hingga finishing suatu produk. Semua proses yang mereka kerjakan secara teliti menggambarkan diri mereka yang sungguh mengagumi keindahan. Beberapa dari mereka memang tidak pandai berbicara, tidak terlalu suka hitungan, tidak terlalu sering berpikir secara eksakta. Keahlian mereka tersembunyi di balik bahasa tubuh mereka ketika mereka mengelas, menggerinda, mengecat, memotong plat, dan sebagainya. Dari tangan-tangan mereka lah tercipta suatu karya yang mengagumkan bagi bumi kita ini, sebuah sistem penyaringan limbah pabrik. Ketika mereka bekerja, aku melihat mereka sebagai orang yang sungguh-sungguh menyadari panggilan hidupnya. Kesadaran inilah yang membuat mereka sungguh-sungguh sadar pula akan kewa17


jibannya, meskipun tak jarang rasa lelah dan bosan harus hadir di tengah-tengah mereka. Di sisi lain, mereka juga sadar bahwa panggilan hidup yang mereka miliki adalah sebuah petualangan yang berharga. Inilah yang membuat mereka mencoba untuk menikmati petualangan itu, seberapa besar resikonya. Mendengar cerita dari beberapa teman-teman produksi tentang berbagai kecelakaan kerja yang pernah terjadi di sana membuatku sadar bahwa mereka sungguh-sungguh seorang petualang kehidupan. Mereka hanya bisa menjalani petualangan itu dengan kesiap-siagaan dan keahlian yang mereka miliki, meskipun mereka tidak pernah tahu apakah masih bisa melanjutkan petualangan itu atau tidak nantinya. Meskipun demikian, ada satu hal yang membuat mereka tetap teguh dalam menjalani petualangan itu, yaitu keluarga yang menanti kepulangannya di rumah. Lalu, bagaimana dengan mimpi mereka? Bagi mereka hidup itu ibarat mewujudkan mimpi yang diwahyukan oleh Sang Pencipta. Banyak dari mereka yang ingin menjadi orang sukses. Lantas, apakah sukses yang dimaksud? Ternyata suskes yang dicita-citakan mereka tidak harus menjadi seorang yang besar dan dikenal. Cukuplah bagi mereka untuk menjadi orang yang bahagia dengan keluarganya, orang yang sehat, tidak kurang suatu pun, dan dapat terus bekerja sama dengan rekan kerja maupun atasan Bagiku‌ Hidup adalah sebuah peluang, manfaatkanlah. Hidup adalah sebuah janji, penuhilah. Hidup adalah keberuntungan, ciptakanlah. – (Bunda Teresa dari Calcuta). Dua minggu sudah aku menjalani kegiatan live-in di Cikarang sebagai seorang pekerja pabrik. Dua minggu itu pula lah aku merasakan cinta-Nya yang begitu indah lewat orang-orang yang aku jumpai. Aku bersyukur, karena dengan segala keterbatasanku Dia masih membimbingku untuk memanfaatkan setiap peluang yang ada sebagai sarana pembelajaran. Ia membantuku untuk setia menjadi pekerja pabrik biasa sebagai pemenuhan janjiku kepada-Nya.

18


Ia melatihku untuk menciptakan keberuntungan-keberuntungan yang membuatku semakin dipercaya oleh teman-teman produksi. Siapakah aku? Aku hanyalah air yang siap ditempatkan di mana saja dan berada dalam situasi apa pun. Aku sangat bersyukur dapat menjadi pekerja pabrik yang tidak diistimewakan. Dengan benarbenar menjadi pekerja pabrik inilah, aku dapat menjadi saudara senasib dengan teman-teman bagian produksi. Aku dapat mengikuti gaya bicara mereka, beristirahat bersama mereka, makan bersama-sama dengan mereka, dan tentunya mendengar kisah kehidupan mereka. Mungkin tidak banyak hal yang bisa kulakukan untuk membantu mereka, karena aku bukanlah sebuah aliran air di tengah-tengah riuhnya mesin pabrik. Akan tetapi, cukuplah bagiku untuk menjadi setetes air dengan cinta yang besar. Bukan Karena Diriku O Yesus, terima kasih atas rahmat-Mu kepadaku. Engkaulah yang mengetahui seberapa besar pergulatanku ketika menjadi seorang pekerja pabrik. Engkau tahu bahwa tak mudah bagiku untuk memenangkan diri-Mu ketika badanku sangat kelelahan setelah bekerja. Aku sendiri terkadang sulit untuk mendengar suara-Mu di antara suara pabrik yang begitu riuh. Engkau juga paham betapa diriku sangat terpukul karena menjadi orang yang tidak mengerti apa pun tentang apa yang aku kerjakan. Akan tetapi, aku sungguh berterima kasih atas pertolongan-Mu kepadaku. Aku yakin, bahwa karena kerendah-hatian yang Engkau berikan kepadaku, aku dapat menjadi pribadi yang rendah hati meskipun sempat direndahkan. Menjadi pribadi yang tetap bergembira ketika beberapa karyawan memandang para pekerja produksi dengan sebelah mata, dan tetap menjadi air yang tidak berubah dan siap untuk dibentuk kembali. Terima kasih karena boleh menjadi seorang pekerja pabrik di ladang-Mu.

19


Hidup adalah sebuah peluang, manfaatkanlah. Hidup adalah sebuah janji, penuhilah. Hidup adalah keberuntungan, ciptakanlah. Bunda Teresa dari Calcuta

20


Semangkuk MIE AYAM

Ketika Kumenyantapnya, Kuteringat Kerendahan Hati-Nya

Marcellinus Vitus D.


Mie Ayam. Tiada yang tidak mengenal panganan tradisional dengan harga terjangkau ini. Hampir di setiap penjuru Jakarta-Tangerang-Bekasi, menu ini dapat dijumpai. Harga terjangkau dan cepatnya waktu penyajian menjadikan Mie Ayam sebagai salah satu menu favorit penjegal dan pelepas lapar. Meski sederhana dan mudah dijangkau, panganan ini menawarkan nilai kemanusiaan yang luar biasa bagi diriku. Mie Ayam menjadi analogi, sekaligus alegori, perjalanan Character Building Training kemarin. Mau Pesan Apa? “Mau pesan apa, mas?” Pertanyaan ini sangat lumrah terjadi dan ditanyakan para penjaja makanan kepada calon pembelinya. Jawaban para pembeli inilah yang menentukan bagaimana sebuah makanan dipersiapkan, diracik, dimasak, hingga dihidangkan para penjual kepada para pembeli. Pembeli berkehendak dan penjaja makanan melakukan apa yang dikehendaki dan diinginkan para pembeli. Mengingat dan memeriksa kembali disposisi batinku sebelum mengikuti Character Building Training (CBT), aku ditatapkan kepada sebuah perasaan yang penuh dengan pertanyaan. Pertanyaan “Kok, aku yang pergi?” dan “Apa yang Rm. Tunjung inginkan dan harapkan dariku dengan ikut CBT ini?” merupakan salah dua dari sekian pertanyaan yang muncul dalam benakku. Pada intinya pertanyaan yang kuajukan ini menggambarkan keenggananku untuk mengikuti pelatihan ini. Perasaan dan pikiran yang penuh dengan tanya ini menjadi bahan doa serta permenunganku selama persiapan hingga pelaksanaan CBT. Dalam doa, permenungan, dan refleksiku pertanyaannya tidak lagi sekadar suka-tidak suka atau kehendak romo rektor, melainkan “Apa yang Allah inginkan bagi diriku dengan mengikuti pelatihan ini?” Mencapai kesadaran ini tidak mudah. Keengganan serta kesombonganku membuatku tidak cepat in dalam pelatihan ini. Rasa “ogah22


ogahan” hingga bibit apatis sempat muncul pada awal pelatihan. Beratnya hati dan pikiran yang penuh tanya membuatku lelah hingga akhirnya membuatku memutuskan untuk berhenti bertanya. Kutakatan kepada diriku, “Berhenti mengeluh, dan jalani pelatihan ini dengan sepenuh hati. Biarkan Allah yang bertindak” (bdk. Mat. 3:15). Aku membiarkan Allah bertindak merubah pola pikir dan sudut pandangku. Subyeknya berubah. Tidak lagi diriku atau para staf seminari, melainkan Allah yang bertindak dalam membentukku. Dengan membuka diri, Allah dengan segala rencana-Nya dapat masuk dan bertindak. Allah kini menjadi pihak yang memesan, sekaligus meracik, memasak, dan menghidangkannya bagiku. Ia menjadi “Pemesan” sekaligus “Penjaja”, sementara diriku tinggal “menyantapnya” dengan keterbukaan hati sebagai landasannya. Bahan Dasar: Conscience, Competence, dan Compassion Agar sebuah menu dapat disebut Mie Ayam, ia harus mengandung beberapa bahan-bahan dasar. Beberapa di antaranya adalah mie, ayam, sawi hijau, minyak, dan beberapa toping kekhasan masingmasing penjual (bisa pangsit maupun bakso). Bahan-bahan tersebut merupakan bahan utama sebuah mie ayam. Mau di Jakarta maupun Sabang, menu Mie Ayam pastinya mengandung bahan-bahan tersebut. Menariknya, kelihaian dan kemampuan para penjaja makanan lah yang menentukan rasa dan kualitas mie ayam yang ditawarkannya. Nilai dasar yang ditawarkan dalam pelatihan ini adalah conscience (hati), competence (kepala-pikiran), dan compasion (tangan-tindakan). Ketiga nilai ini merupakan nilai dasar bagi setiap pribadi untuk semakin manusiawi: mendasarkan segala tindakannya dalam relasi dengan Allah sehingga pikirannya semakin terwujud-nyatakan dalam tindakan konkret sehari-harinya. Jujur saja, ketiga hal ini bukan suatu yang baru bagiku. Materi ini pernah kudapatkan sebelumnya, bahkan dalam versi yang lebih komprehensif. Selayaknya kelihaian dan kemampuan penjaja mie ayam yang menentukan kualitas bahan jajaannya, dinamika dan perjumpaan dalam CBT menentukan proses pemaknaan bagiku. Perjumpaan den23


gan para mahasiswa/i dengan segala kisah perjuangan, kegundahan, dan harapannya masing-masing mengajak dan membuatku untuk mau semakin memahami dan menghidupi ketiga nilai dasar ini. Tidak sekadar tahu dan mengenal, melainkan bagaimana aku kemudian mau bertindak nyata dalam kehidupanku sehari-hari. Pertanyaanku selanjutnya adalah; “Bagaimana caranya?� Sebagai seorang calon imam Diosesan Keuskupan Agung Jakarta, semangat yang perlu terus-menerus kutumbuhkan adalah sehati dan seperasaan dengan semangat keuskupan (bdk. OT art. 9). Ketika keuskupan menaruh perhatian pada orang-orang kecil, miskin, dan tersingkir; di situlah aku perlu menumbuhkan perhatian dan keprihatinanku. Ketika keuskupan sedang menggalakkan cinta lingkungan hidup, di sana pula aku perlu menumbuhkan perhatianku. Dengan demikian, aku dapat semakin mempersiapkan diriku untuk “pelayanan kegembalaan...menghadirkan Kristus bagi sesama...dan dengan mengabdikan diri kepada siapa saja, memperoleh banyak orang� (OT art. 4). Peracikan: terbuka dan sedia dibentuk Sebelum dihidangkan kepada para pembeli, semangkuk porsi mie ayam harus melalui beberapa tahap peracikan. Sejumlah mie perlu direbus. Beberapa helai sawi hijau perlu dipatahkan dan dipotong-potong dan kemudian direbus, begitu pula pangsit dan bakso sebagai toping tambahan. Sementara itu, daging ayam perlu melalui proses yang lebih panjang: dicincang, dibumbui, dan dimasak. Setelah melalui proses tersebut, semua bahan ini barulah dipersatukan dalam sebuah mangkuk dan dihidangkan kepada pembeli. Pertanyaan dan pergulatanku di awal CBT memperlihatkan keenggananku untuk dibentuk (bdk. Rm. 9:20). Keenggananku ini dikarenakan keangkuhan dan kesombonganku. Hasilnya sudah jelas bahwa aku kemudian tidak mengalami perkembangan apa pun, selain menyibukkan diri dengan mempertanyakan perutusan. Bayangkan saja, apa jadinya bila sawi, mie, pangsit-bakso, dan ayam menolak untuk dipotong-direbus-dimasak; tentunya mereka akan tetap menjadi sawi, mie, pangsit-bakso, dsb. tanpa pernah menjadi semangkuk mie ayam yang memberi tenaga baru bagi penyantapnya. 24


Keterbukaan hati dan kesediaan dibentuk kiranya menjadi kehendak Allah untuk ditumbuh-kembangkan dalam diriku. Dengan memiliki hati yang terbuka, aku mendisposisikan diriku untuk mau dibentuk sebagaimana yang Ia kehendaki. Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa? (Rm. 9:21). Bumbu Rahasia: Kerendahan Hati Di seberang Pasar Ceger ada sebuah gerobak mie ayam yang cukup ringkih. Aku melihat sosok pria paruh baya. Joni namanya. Mungkin seumuran dengan orangtuaku. Sudah tiga puluh tahun ia menjadi penjaja mie ayam keliling, bahkan jauh sebelum kompleks perumahan tempat ia berjualan didirikan. Begitu banyak yang mengantri untuk membeli semangkuk mie ayam segar racikannya padahal tidak sedikit yang berjualan serupa. Mengapa? Adakah bumbu rahasia yang ia tambahkan? Kuberanikan diri untuk “melamar� kerja padanya dengan mengaku sebagai seorang pria dari daerah Rajeg (Tangerang pinggiran). Raut kecurigaan sempat muncul dari wajahnya. Namun, sesaat kemudian raut curiga itu berubah menjadi senyuman sebagai tanda persetujuan untukku bekerja padanya. Awalnya aku hanya diperbolehkan mencuci mangkuk, sendok dan sumpit, namun perlahan-lahan ia mengajariku cara membuat semangkuk mie ayam. Dari sekadar menaruh ayam dan daun bawang, hingga diperbolehkan meracik sendiri semangkuk mie ayam. Menarik. Karena merupakan pengalaman pertama. Namun, tidak sekadar demikian. Dalam refleksi dan permenunganku, kumerasakan adanya wajah kerahiman Allah dalam dirinya. Tiada curiga dan hanya penerimaan serta kesediaan mengajariku meracik mie ayam. Aku orang asing baginya. Begitu pun ia bagiku. Kerahiman tidak sekadar muluk-muluk nan surgawi. Kerahiman adalah pemberi harapan hidup, terutama bagi mereka yang tidak dikenal. Kerahiman Bpk. Joni ditunjukkan dengan kesediaanya mengajariku cara meracik tanpa takut tersaingi. 25


Mengapa ia begitu mudahnya mengajariku? Jawaban atas pertanyaan ini bisa diperdebatkan dengan pelbagai argumentasi yang meyakinkan, namun aku menangkap satu nilai rohani yang ia tawarkan kepadaku. Nilai itu adalah kerendahan hati. Dalam perbincanganku sejenak dengannya, aku ditatapkan pada kerendahan hatinya yang begitu luar biasa. Sempat ia berkisah bahwa banyak yang belajar padanya dan kini menjajakan mie ayam pula. Namun, ia tidak merasa tersaingi bahkan bersyukur karena kemampuannya bisa membuat orang lain hidup. Sangat sederhana, namun begitu mendalam. Perjumpaan dan proses belajarku bersamanya tidak lama. Hanya satu setengah jam. Waktu yang singkat, namun mengajarkan banyak hal bagiku. Tidak sekedar bagaimana memasak mie ayam, melainkan bagaimana menjadi pribadi yang rendah hati dan penuh kerahiman. Akhirnya, aku mendapat jawaban mengapa mie ayamnya begitu digemari banyak orang. Di sana ia tidak sekadar menjual mie ayam, melainkan mie ayam yang dibumbui dengan semangat kerendahan hati. “Dan akhirnya, hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati� (1 Pt. 3:8). Mie Ayam = Kerendahan Hati St. Paulus melukiskan dengan sangat indah kerendahan hati Allah untuk menyelamatkan manusia. Demi manusia, Ia menjadikan diriNya sama dan tidak asing bagi manusia. Tidak sekedar asing bahkan hingga wafat di kayu salib demi manusia (bdk. Flp. 2:5-8). Mengikuti Character Building Training (CBT) pada akhirnya mengingatkan, menegur, sekaligus mengajakku untuk menjadi pribadi yang rendah hati. Mau menjadi imam KAJ kudu rendah hati, menjadi pribadi dan sosok yang tidak asing dan jauh dari umatnya. Imam Diosesan adalah imam yang berada di tengah umat dan mengenal segala pergulatan dan perjuangan serta berjuang bersama umatnya. Layaknya semangkuk mie ayam yang dengan mudahnya dapat dijumpai serta dinikmati dengan harga yang terjangkau, begitu pula lah seyogianya diriku sebagai seorang calon imam Diosesan KAJ. Kusadari bahwa menjadi pribadi yang rendah hati tidak terjadi dalam satu malam. Menjadi pribadi yang rendah hati adalah pergulatan dan 26


perjuangan seumur hidup. Ada jatuh dan bangun, namun kuyakin Allah tetap setia menaungiku, menyertai, serta membentukku dengan pelbagai cara dan daya kreatif yang Ia miliki. Sebagaimana mie ayam mudah dijumpai, di situ pulalah kehadiran Allah semakin mudah kurasakan dalam hidupku. *** Akhirulkalam, ikut serta dalam CBT tidak sekadar pelatihan biasa. Perjumpaan, dinamika, serta permenungan selama CBT ini mengajakku untuk duc in altum (Luk. 5:4). Menjadi seorang imam pertamatama perlu menjadi seorang manusia yang utuh – semakin manusiawi dan semakin imami. Semuanya beralaskan pada pengalaman dan perjumpaan dengan Allah (heart), berkembang pada pengertian yang benar (head), dan berbuah pada tindakan konkret nyata (hand). Semuanya itu pada akhrinya perlu didasarkan pada keterbukaan hati serta kesediaan untuk dibentuk. Melalui dua sikap ini ditambah dengan kerendahan hati – sebagai bumbu utama – rahmat dan karya Allah dapat masuk dan semakin terwujud-nyatakan dalam hidupku. Ini adalah perjuangan serta pergulatan seumur hidupku. “Ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan” (Rm.5:4). Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan ... dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. (Flp. 2:5-8)

27


Layanilah Kristus di dalam keluarga serta para sahabatmu dan di dalam semua orang yang engkau jumpai dalam perjalanan hidupmu. St. Yohanes Paulus II

28


Mencari Domba yang Hilang Ludowikus Andri N.


Kampung Nelayan berada di daerah Cilincing, tepat pinggir laut. Lautan hitam, perkampungan kumuh, kulit-kulit kerang, sampah-sampah, serta kapal-kapal bagai pameran lukisan yang kunikmati ketika tiba di Kampung Nelayan. Dalam masa liburan kuliah, Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II mengadakan program live in untuk para fraternya. Program live in berlangsung selama dua minggu. Kami, diutus ke tempat-tempat yang berbeda. Ada yang diutus berdua-dua, bertiga, ada juga yang berempat, bahkan ada yang sendiri. Kali ini, aku diutus bersama Fr. Beto ke sebuah tempat bernama Kampung Nelayan. Kampung Nelayan berada di daerah Cilincing, tepatnya di pinggiran laut Jakarta. Lautan hitam, perkampungan kumuh, tumpukan kulit-kulit kerang, timbunan persampahan, serta kapal-kapal. Semuanya itu terkolaborasikan bagaikan pameran lukisan yang dapat kunikmati ketika tiba di Kampung Nelayan. Pada tanggal 28 Juli 2016, aku langkahkan kaki di bumi Cilincing. Aku dan Fr. Beto, tinggal di rumah warga yang berbeda. Aku tinggal di salah satu warga Kampung Bedeng, sedangkan Fr. Beto tinggal di salah satu warga Mbojem. Aku tinggal bersama Bapak Kasim dan keluarganya. Istrinya bernama Bu Nurlela. Mereka memiliki lima orang anak, yakni Siti, Solikin, Solidin, Sobirin, dan Sophian. Selain itu aku juga bercumpa dengan cucunya yang bernama Choirul. Pak Kasim adalah seorang nelayan kijing (kerang hijau). Sehari-hari, aku diajak pergi melaut oleh Pak Kasim mencari kijing dari pagi hingga siang. Ketika pergi melaut, aku ditemani juga oleh anak kedua Pak Kasim, yakni Solikin. Biasanya ketika melaut, kami pergi Laut Ancol, Marundak, dan Sunda Kelapa untuk mencari kijing. Kerang-kerang itu biasanya diambil dari karang-karang kapal dan bambu-bambu ternakan di laut. Kami biasanya berangkat pukul 06.00 WIB.

30


Pergulatanku Lantai dua rumah Pak Kasim dijadikan tempat istirahatku. Rumah Pak Kasim didirikan di atas tumpukan kulit kerang yang dipadatkan dengan tanah. Rumahnya hampir sama dengan bedeng, tidak terlalu luas tapi bertingkat. Rumah itu mempunyai satu ruang tamu dan dua kamar. Satu kamar ada di lantai bawah dan yang lain ada di lantai atas. Selain itu, kamar mandi di rumah ini cukup unik, sebab ruangannya bersatu dengan dapur. Oleh sebab itu, jika aku sakit perut dan ingin BAB, aku harus mencari MCK di sekitaran rumah. Sedangkan, jika ingin mandi, Pak Kasim harus membeli air tawar yang tidak bersih. Aku sempat merasa tidak nyaman dengan kondisi rumah itu dan tidak betah tinggal di sana. Aku bertanya-tanya, “Apa maknanya segala kesempatan ini?”. Pada saat yang sama, aku mulai bertanya lagi akan panggilan hidupku. “Mengapa aku ingin menghindar saat aku diutus ke tempat yang tidak menjanjikan kenyamanan? Apa jangan-jangan selama ini aku menjalani panggilan Tuhan ini karena terbuai mendapat kenyamanan saja?” Peristiwa ini mengajakku untuk merenungkan kembali tujuan hidupku dalam panggilan Tuhan ini, “Apa yang sebenarnya aku cari dalam panggilan hidup ini?” Ketika kuingat-ingat kembali niatanku dulu dalam menapaki jalan panggilan Tuhan, aku ingin membuka diri akan kehendak Tuhan. Aku juga bermimpi ingin menjadi seperti Romo Mangun yang bisa berkarya di tengah-tengah orang-orang miskin. “Apakah aku masih bersedia untuk terus membuka diri akan segala kehendak Tuhan, termasuk kondisiku sekarang di Kampung Nelayan? Atau apakah aku sudah mempunyai jalan lain dalam hidupku, sehingga seolah-olah, aku merasa ingin menghindar? “, tanyaku dalam hati. “Aku masih mau membuka diri akan jalan panggilan Tuhan, dan aku ingin menjalani secara totalitas dan terlibat dalam live in kali ini, meskipun aku malas dan tidak nyaman akan kondisi yang ada”. Aku menganggap, mungkin kini Tuhan merestui impianku menjadi Romo Mangun yang berkarya di tempat orang-orang miskin. Lewat live in di Kampung Nelayan, aku bisa belajar dan mengetahui kondisi orang-orang yang berada pada tingkat ekonomi rendah. Dengan mengenal mereka, aku tahu apa yang harus aku lakukan 31


untuk mereka. Aku kemudian merasa bersyukur juga, walau sempat mengeluh untuk live in di Kampung Nelayan. Aku membuka diri akan karya Tuhan itu. Aku telah dipercaya dan aku mau memberikan yang terbaik. Aku siap menjadi jubir (Juru Bicara) Allah. Jika bukan aku, siapa lagi? Orang-orang di Jakarta ini beragam, ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang punya gedung tinggi, ada juga yang tidak mempunyai tanah untuk mendirikan rumah sama sekali. Apakah panggilanku ini hanya untuk orang yang mempunyai segala sesuatu, mampu memberikan sesuatu, dan membuatku nyaman? “Tidak�. Aku membuka diri kepada Tuhan untuk diutus ke mana pun dan kepada siapa pun, inilah inti yang kucari mengapa aku mau melanjutkan anugerah panggilan yang ditawarkan ini. Aku ingin menjadi pewarta-Nya dalam kondisi apapun. Aku ingin membagikan kasih-Nya yang tak terbatas kepadaku untuk dapat dibagikan kepada semua orang. Kubagikan kasihnya kepada yang punya gedung tinggi ataupun yang tidak mempunyai rumah sekalipun. Kubagikan terang-Nya kepada yang yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Pun kubagikan kepada yang beragama sama denganku maupun kepada yang berbeda agama. Kebetulan aku diutus kepada orang-orang yang berbeda agama di Kampung Nelayan, sebab hampir semua warga Kampung Nelayan bergama Islam. Ya, aku juga mewartakan Tuhan di sana. Bukan semata untuk menarik orang-orang kampung Nelayan ke dalam agamaku, tetapi untuk mewartakan kasih Tuhan yang belum disadari oleh mereka. Misalnya, mengingatkan mereka untuk sholat ketika mereka malas. Aku mengajarkan kepada mereka nilai-nilai kejujuran, kerjasama, dan kasih. Aku juga berusaha menumbuhkan keberanian dalam diri mereka untuk berani bertanya dalam pengajaranku dalam kegiatan bimbel yang dibuat oleh kongregasi suster Putri Kasih. Aku juga mengajarkan hidup yang baik kepada keluarga Pak Kasim. Mereka memiliki kebiasaan hidup yang merugikan, seperti tidak pernah menabung, lalu membuang sampah sembarangan, dan tidak melatih anaknya bekerja. Beberapa kebiasaan itulah yang hampir sebagian besar muncul diantara warga Kampung Nelayan. Kebiasaankebiasaan itu membuat hidup mereka tidak bisa berkembang lebih 32


baik. Akibatnya lingkungan menjadi kotor, ekonomi keluarga terus terjerat uang, dan anak-anaknya banyak yang malas dan berhenti sekolah. Terkait dengan kesalahan pengelolaan uang yang mereka lakukan, saya merasa mereka tidak berpikir panjang. Ada uang langsung dipakai saja, sehingga ketika ada masalah, mereka akan langsung meminjam uang dulu. Mereka lebih nyaman untuk lari ke rentenir. Selanjutnya, untuk melunasi hutang, mereka membayarnya dengan mencicil setiap bulan, ada pula yang setiap minggu. Jika tidak bisa membayar, mereka akan mendapat denda. Denda uang inilah yang membuat mereka terjerat utang sangat banyak di rentenir. Permasalahan hidup mereka juga datang dari lingkungan luar keluarga. Penghasilan mereka kebanyakan didapat dari laut, dan kini laut menjadi semakin minim sumber dayanya karena terkena limbah. Laut-laut di dekat pesisir berwarna hitam. Di sekitar pesisir Jakarta sangat banyak sekali aktivitas pabrik-pabrik, bahkan di laut juga terdapat banyak pengangkut batu bara dan minyak. Pak Kasim beserta nelayan kijing lainya sebenarnya sudah merasakan dampak dari pencemaran lingkungan yang ada. Kijing-kijing penghasilan mereka semakin berkurang di laut dan tersisa tinggal kijing hitam, mungkin terkena limbah. Kijing hitam itu jika dijual harganya lebih murah dibanding kijing hijau per kilonya. Aku merasa miris melihat kenyataan hidup para nelayan dan juga keindahan Laut Jawa yang telah banyak rusak. Aku berharap bisa bersuara, tapi belum tahu caranya. Hal ini benar-benar menjadi tantanganku, supaya aku juga bisa bersuara untuk alam dan para nelayan itu agar memperoleh kehidupan yang layak. Aku berharap bisa membantu banyak orang seperti orang-orang di Kampung Nelayan, dan mengembalikan lagi keindahan alam di Laut jawa ini. Aku sungguh bersyukur, bisa mendapat pengalaman ini. Hal ini membukakan kesadaranku akan kehidupan di luar seminari yang jauh lebih kompleks. Dengan aku mengenal mereka, aku menjadi tahu hal apa yang bisa kuperbuat dalam tugas perutusanku sebagai imam nanti, bahkan sejak dari frater sekarang. “Aku mau membuka diri Tuhan, aku mohon restui aku.� 33


Yesus mempunyai hubungan yang unik dengan setiap orang, yang memungkinkan kita untuk melihat wajah Kristus dalam wajah setiap orang. St. Yohanes Paulus II

34


Alam adalah Guru Kesetiakawanan Frederick Yolando


Alam juga membutuhkan bantuan manusia untuk merawat dan mengembangkan dirinya. Akan tetapi yang sering terjadi, manusia lebih sering mengambil daripada merawat.

Mulai dari tanggal 28 Juli- 2 Agustus 2016, aku mendapatkan kesempatan untuk live-in di pesantren di Garut. Nama pesantren yang aku singgahi ini adalah Pesantren Ath-Thaariq. Perjalanan dari Jakarta sampai Garut memerlukan waktu yang cukup lama. Rasa lega dan ‘waswas’ bercampur ketika aku berhasil tiba di Darut. Lega karena akhirnya aku sampai di Garut meskipun dengan waktu yang lama; dan waswas karena membayangkan pesantren macam apa yang akan aku temui. Setelah sampai, kami singgah di Pastoran Gereja Garut. Sekitar pukul 5 sore, kami diantar oleh Romo Greg ke Pesantren Ath-Thaariq. Setibanya di pesantren, Romo Greg meninggalkan kami karena memiliki urusan lain terlebih dahulu. Kami diberikan tempat istirahat di bangunan yang sama dengan para santri laki-lakinya. Ketidakjelasan pun muncul karena kami tidak tahu apa yang perlu kami lakukan setelah beres-beres, sementara para santri menunaikan ibadah Sholat Maghrib dan Isah. Karena hari sudah gelap dan penerangannya terbatas, aku sendiri tidak dapat mengeksplorasi pesantren ini. Mulai muncul kekhawatiran dalam diriku karena tidak adanya sebuah kepastian dan kejelasan saat awal-awal di Pesantren. Pikiranku pun memuncul pertanyaan-pertannyaan mengenai pesantren macam apa yang aku singgahi ini. Aku bertanya-tanya karena pesantren ini tidak seperti bayanganku akan sebuah pesantren pada umumnya. Bangunannya begitu sederhana. Tidak seperti yang aku bayangkan. Setelah para santri selesai ibadah dan kami sudah cukup istirahat dari suasana yang gelap, aku mulai dibawa kepada suasana yang cerah. Kegelapan yang kualami entah karena pencahayaannya kurang 36


atau pengetahuanku yang sedikit, namun yang jelas telah hadir sosok pembawa ‘terang’. Ibu Nisa yang akrap dipanggil ‘Umi’ yang adalah pendiri pesantren ini mendatangai kami dan menyambut kami dengan ramah. Secara singkat dan semangat, Umi Nisa memberikan penjelasan mengenai pesantren Ath-Thaariq ini. Aku pun menjadi lebih tenang. Kekhawatiranku yang muncul karena adanya ketidaktahuan dan ketidakpastian akan pesantren sudah menghilang, ditambah lagi para santri pria dan perempuannya ramah-ramah. Memang, adanya ketidakpastian dan ketidakjelasan seringkali membuatku menjadi gelisah dan khawatir. Aku mengharapkan sesuatu yang lugas dan jelas sehingga segala sesuatunya dapat diantisipasi maupun dikendalikan. Aku pun sadar bahwa aku kurang memiliki sebuah kepercayaan akan masa depan yang berlangsung baik. Dengan kata lain, aku kurang memiliki sebuah optimisme. Pesantren Ath-Thaariq memiliki kekhasan pada pendidikan agroekologi yang diberikan kepada para santrinya. Tidak hanya pendidikan agama Islam saja yang diberikan kepada para santrinya namun juga belajar bagaimana cara mereka bersahabat dan merawat lingkungan hidup disekitar mereka. Dengan begitu, mereka dapat hidup bersama dengan alam lebih baik. Oleh karena itu, aku menyadari sebenarnya apa yang kita butuhkan untuk keperluan sehari-hari kita sesungguhnya ada di lingkungan sekitar kita. Kita perlu mengenali lingkungan hidup. Akan tetapi, dewasa ini sedikit orang yang mengetahui dan mengenali lingkungan sekitar kita. Kita hanya bisa menggunakan lingkungan sekitar kita, tetapi tidak dapat merawatnya. Jika demikian kita sama saja dengan mengekspansi lingkungan kita. Mungkin saat ini kita masih bisa bersantai-santai tapi lingkungan sekitar akan semakin lama semakin memburuk dan apa yang akan terjadi dengan generasi berikutnya? Setelah beberapa hari aku belajar, berteman, dan bekerja di pesanten ini, aku disadarkan bahwa alam adalah guru kesetiakawanan, kesetiaan. Selama ini, manusia dan alam adalah ciptaan yang selalu saling membutuhkan. Alam adalah bagian yang tidak akan terpisah dari kita. Mulai dari manusia lahir hingga meninggal nantinya, 37


alamlah yang akan selalu menemani. Makanan yang adalah hal mendasar dalam kehidupan manusia tentu berasal dari alam. Alam juga membutuhkan bantuan manusia untuk merawat dan mengembangkan dirinya. Akan tetapi yang sering terjadi, manusia lebih sering mengambil daripada merawat.

Puasa berarti sanggup melepaskan sesuatu (kebiasaan), hidup tanpa bergantung padanya demi suatu motif rohani yang lebih tinggi. Itu berarti hidup sebagai manusia rohani dan bukan sebagai manusia materialistis. St. Yohanes Paulus II

38


Biarkanlah Aku Menjadi Bagian dalam

Cerita tentang Tanah

Reinardus Doddy T.


Udara dingin langsung menghujam kulit ketika kulangkahkan kakiku di bumi Pasundan. Pemandangan kehijauan menyenangkan mata yang memandang. Tanah berair teriring hujan yang sayup-sayup deras menghantarkanku menuju tempat yang tampaknya asing, tak kukenal. Hanya kesederhanaan yang nampak dari jauh. Rumah panggung beralaskan bambu dan bertembokan beraneka ragam tanaman hayati menjadi tempat bernaung yang indah untuk melantunkan lagulagu merdu bagi Sang Pencipta. Suasana rimbun tanah ini membuat siapa saja yang bernaung di dalamnya bersorak gembira dalam sukacita kehidupan. Kiranya, suasana indah inilah yang dialami dalam hari-hari para santri. Sekaligus, hal ini yang membuat mereka tak satupun melewatkan waktu yang penuh keceriaan untuk belajar mengenal Allah sendiri. Para santri pun merasa nyaman untuk tinggal di dalam rumah ini dengan segala pergulatan batin mereka. Orang tua yang jauh dengan mereka, kemandirian dan kedisiplinan yang mesti ditumbuhkan, serta keakraban dalam hidup bersama kiranya menjadi pergulatan yang tak kunjung henti. Semua hal ini terungkap dalam sharing kecil mereka di sela-sela waktu senggang. Di dalam pergulatan inilah, sosok Umi Nissa dan Abi Ibang yang berusaha merangkul, bahkan memeluk mereka dengan penuh kasih sayang dan kebahagiaan. Bagiku, kedua sosok ini adalah adalah dua sosok inspirator dan formator yang saling melengkapi. Kepedulian yang tak berbatas itulah yang mampu menggerakkan mereka dan membuat semangat untuk terus mau belajar. Secara tak sadar, mereka pun ikut menebarkan pesona kebahagiaan itu ketika aku tiba di Pesantren Ath-Thaariq. Terlebih selama lima hari aku berada di tempat ini, aku boleh merasakan kedamaian batin, tawa penuh sukacita, dan senyum harapan yang selalu dibagikan 40


oleh para santri. Setiap percakapan yang boleh terjalin kunikmati sebagai anugerah persaudaraan dan keterbukaan dalam menjalani hidup panggilan bersama-sama. Kendati juga harus ambil bagian dalam kerja tangan untuk mengolah kebun, kualami bahwa kebahagiaan ini tidak luntur dimakan keletihan. Aku menikmati keramahan alam dan suasana kekeluargaan yang boleh kuterima di tempat ini. Alami Iman, Tumbuhkan Harapan Awalnya, memang sempat ada kebingungan dalam pencarian nilai: aku diutus untuk mendalami kembali hal-ikhwal ekologi atau mengenal lebih dekat mereka yang berbeda keyakinan denganku? Lama aku merenungkan hal ini. Namun demikian, kupahami bahwa apa pun proses yang kujalani, kuyakini berharga dan pasti mengembangkanku. Tuhan punya rencana atas diriku. Rencana indah itulah yang kugulati dalam setiap waktuku di tempat ini. Nyatanya, pengalaman inilah yang menjadi kesempatan pertamaku untuk boleh mengenal dunia pesantren, sekaligus juga bersyukur atas kehidupan yang indah ini dalam hal sederhana, melalui lingkungan hidup. Bagiku, berkebun dan mencintai lingkungan adalah bentuk kesederhanaanku dalam beriman. Dengan melihat sudut pandang ini, aku mengalami iman dalam hidup keseharian, namun juga menumbuhkan harapanku untuk dapat bertumbuh kembang bersama di tengah keberagaman. Mengalami iman dan tumbuhkan harapan. Di samping itu, mencintai lingkungan hidup menjadi bentuk konkret diri yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikan tanah ciptaan Allah yang selama ini menghidupkanku. Melalui kebersamaan dengan para santri di pesantren, aku diajak oleh Allah sendiri untuk belajar membangun iman dalam hidup keseharian di tengah keberagaman. Dalam kesederhanaan dalam panggilan-Nya, aku bersyukur atas kasih-Nya melalui kecintaan pada tanah. Saat ini, menjadi jelas bagiku bahwa kecintaan pada lingkungan hidup adalah bahasa universal yang mempersatukan keberagaman. Lingkungan hidup dalah kisah tentang manusia juga, tak peduli apapun agamanya, kita dipanggil untuk hadir dalam undangan-Nya.

41


Hidup di Tengah Para Santri Dialog sore hari dengan para santri menjadi kesempatan yang sama-sama dinikmati untuk belajar saling mengenal dan mengetahui. Bagiku, inilah bentuk sederhana untuk ‘dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami’ (NA art.3) satu sama lain. Pertanyaan dari para santri membuat imanku seakan disegarkan. Dalam canda tawa, kami berbagi bersama. Memang benar, keindahan ada dalam kedamaian yang menghormati keberagaman. Bagiku kini, pesantren adalah keluarga sederhana di mana iman yang tumbuh subur membawa semua anggota keluarganya semakin menyadari dari hari ke hari bahwa Allah selalu ada bersama mereka. Bagiku, mereka merupakan teman seperjalananku juga. Perlahan-lahan semakin terlihat jelas bahwa aku diajak terbuka untuk mengenal mereka yang berbeda denganku. Menyitir apa yang dikatakan oleh St. Paulus, aku semakin yakin bahwa inilah usahaku untuk ‘tidak saling mendustai, namun terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Allah sendiri’ (bdk. Kol. 3:9-10). Inilah wajah Allah, wajah Kerahiman yang terwujud dalam keharmonisan dan kedamaian di tengah keberagaman. Dalam kesederhanaan hidup dan kebahagiaan di tengah-tengah alam yang rindang, mereka hanya ingin didengarkan. Kami berbagi kisah dan kebahagiaan dalam menjalani panggilan masing-masing. Tak dipungkiri, persahabatan yang erat dan mendalam kuyakini dibangun dalam persahabatan yang didasari oleh iman. Bagiku, inilah bentuk keluarga sederhana yang sempurna, di mana Allah hadir melalui anggota keluarga untuk saling meneguhkan satu sama lain dan akan saling mengembangkan. Deus Providebit ‘Tuhan semesta Alam menyertai kita’ (Mzm. 46:11). Belajar dari kumbang-kumbang yang kehadirannya membawa tanda-tanda dari alam, aku pun disadarkan untuk mau belajar menjadi saluran rahmat untuk orang lain. Bersyukur atas segala rahmat penyertaan-Nya dan keberagaman bersama para santri merupakan satu hal konkret yang kumaknai dalam proses ini. Tuhan akan selalu mencukupkan. 42


Hidup di tengah Garut mengajarkanku untuk mau belajar akan artinya menghargai proses. Dengan demikian, bukan lagi budaya menerima atau mendapatkan yang terpatri dalam benakku. Namun aku harus menumbuhkan budaya ‘menanam’ dan memberi. Hal inilah yang bagiku merupakan salah satu wujud nyata menjadi ‘pribadi yang kaya di hadapan Allah’ (Luk 12:21). Satu hal yang juga kusyukuri, bahwa menjalin persaudaraan—dengan siapapun itu—adalah panggilanku juga sebagai orang kristiani. Kini, biarkanlah aku melebur menjadi bagian dalam cerita tentang tanah dan bumi. Belajar jujur dan adil kepada alam merupakan usaha memuliakan Allah dalam kehidupan sehari-hari. Aku mau belajar dari alam yang tidak menuntut, namun ia selalu memberikan harapan. Dengan merefleksikan hal ini, maka sejauh apa aku sudah menggoreskan tintaku dalam cerita yang bahagia ini? Kedinginan yang kualami selama di tempat ini, nyatanya memberikan kehangatan hati dan sikap diri. Aku diajarkan, aku digerakkan, dan aku dirahmati. Di tanah ini, bukan hanya aku dihidupi namun juga hidup bersama dengan yang lain. Di tanah ini, di tempatku berdiri, aku bertumbuh bersama dengan yang lain. Melalui tanah ini, aku hidup dan boleh menghargai keberagaman di sekitarku. Inilah ceritaku, cerita yang melebur bersama tanah. Tak pernah habis layang-layang terbang di langit Pasundan. Angin kencang bukan hanya membawa layang-layangku terbang, namun juga pikiran negatif yang juga terbang. Kebersamaan dengan para santri mengajarkanku akan makna dari sebuah kesederhanaan untuk memuji Allah, Sang Pencipta. Doa bukan hanya apa yang terucap dari mulut, namun kedalaman hati yang terwujud dalam tindakan nyata.

43


Orang Kristen yang setia dipanggil untuk membangun suatu “dunia baru�, mengubah struktur sosial yang mengingkari atau bertentangan dengan kebenaran tentang Allah dan manusia dengan cinta kasih, dan nilai-nilai Injili. St. Yohanes Paulus II

58


Pelayanan yang Sederhana Alberto Ernes


Angin dan udara laut di pagi hari yang dingin menyapaku lembut namun juga sekaligus menusuk-nusuk tubuhku hingga ke tulang-tulangku. Itulah dinamika perjalanan hidup, ada suka namun juga ada duka, ada senang juga ada susah. Dalam dinamika perjalanan hidup yang penuh perjuangan inilah, kita menemukan sekaligus membentuk diri kita sendiri. Pengantar Live-in merupakan kegiatan yang rutin setiap tahunnya dilakukan oleh para frater Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Lantas, pada pengalaman live-in kali ini, aku mendapat kesempatan untuk berada di salah satu wilayah Jakarta yang penuh dengan cerita yang warna-warni. Aku mendapat kesempatan untuk berada di Cilincing, Jakarta Utara, lebih tepatnya berada di wilayah Kampung Nelayan. Pada kesempatan live-in kali ini, aku bersama teman seperjalanan sekaligus seperjuanganku, yaitu fr. Ludo, mengalami perjalanan yang menyadarkan kami akan pentingnya keberadaan para nelayan dan orang-orang di sekitarnya bagi kehidupan masyarakat di dunia ini. Terlebih mereka memberikan peneguhan serta kekuatan bagi kami dalam jalan panggilan ini. Perjalanan Awal Pada perjalanan awal live-in ini, secara pribadi, aku merasa gembira karena mendapat kesempatan untuk mengenal kehidupan orang-orang yang berada di Kampung Nelayan, Cilincing. Kegembiraan yang kurasakan ini pertama-tama bukan disebabkan karena ingin mengenal saja, tetapi lebih dari itu, aku ingin mengetahui dan merasakan hidup bersama mereka yang seringkali dikatakan sebagai masyarakat pinggiran (kaum kecil). Lantas, kami pun memulai perjalanan kami menuju ke Cilincing dengan segala kesiapan jiwa dan raga kami atas segala tugas perutusan yang akan kami dapatkan di sana. 46


Sesampainya di sana, kami langsung berjumpa dengan Sr. Goretti, PK selaku pendamping kami selama di sana. Kami pun segera menuju ke tempat live-in kami di tempat yang berbeda. Aku berada di Bawah Jembatan (Bojem), sementara, fr. Ludo berada di Kampung Bedeng. Dua tempat yang berbeda ini mewarnai perjalanan kami dalam livein dan terlebih dalam perjalanan kami menapaki jalan panggilan sebagai calon imam KAJ. Pada kesempatan ini, aku dipertemukan dan dapat tinggal bersama dengan keluarga yang amat sangat luar biasa, yaitu keluarga Pak Saleh. Keluarga yang luar biasa ini hidupnya amat sangat sederhana dengan tinggal di rumah yang kira-kira sebesar lapangan badminton. Hampir seluruh bagian rumahnya diisi dengan tempat tidur. Dalam kesehariannya, mereka pun hidup amat sangat sederhana. Setiap pagi, Pak Saleh pergi berlayar ke laut untuk mencari penghasilan demi keluarganya. Bu Farida sudah mulai siap-siap pergi ke pasar dan belanja serta memasak untuk berjualan kecil-kecilan. Anak-anaknya bersiap-siap pergi ke sekolah. Satu hal yang kusyukuri melalui hal itu adalah perjuangan hidup mereka yang begitu luar biasa di tengah situasi dan kondisi yang sebenarnya dapat dikatakan jauh dari layak. Ketika melihat dan merefleksikan hal itu, aku merasa ditegur di mana aku terkadang kurang bersyukur atas segala situasi dan kondisi yang kualami,. Aku cenderung untuk memasuki zona nyaman. Aku kurang mau untuk berani memasuki di luar zona nyamanku. Sebagai seorang manusia biasa yang rapuh dan lemah ini, aku terkadang selalu menuntut sesuatu yang lebih dan nyaman, aku kurang bersyukur dan berterima kasih atas segala sesuatu yang terjadi kepadaku sampai saat ini. Akan tetapi, melalui perjumpaanku dengan mereka, aku disadarkan untuk senantiasa mengucap syukur dan terima kasih atas segala situasi dan kondisi yang kualami. Keluarga Pak Saleh yang begitu sederhana mengajakku juga menjadi pribadi yang sederhana terutama sebagai seorang calon imam KAJ. Pribadi yang sederhana dengan mau dan mampu untuk selalu dan senantiasa mengucap syukur dan terima kasih atas segala sesuatu yang terjadi kepadaku baik itu dalam suka maupun duka. 47


Menyelam menjadi seorang Nelayan “Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon: “Bertolaklah ke tempat yang dalam ....� (Luk 5:4). Ayat ini merupakan salah satu ayat favoritku. Pertama-tama, ayat ini senantiasa mengajakku untuk semakin masuk dan mendalam akan segala pengalaman yang telah kualami baik itu pengalaman suka maupun duka. Segala sesuatunya memang terkadang rasa-rasanya tidak mudah untuk dijalani begitu saja, namun aku bersyukur bahwa ayat ini senantiasa kuingat dan mampu memberikanku kekuatan dalam jalan panggilan sebagai seorang calon imam KAJ. Menjadi seorang nelayan merupakan pengalaman yang amat sangat baru bagiku. Aku tidak mempunyai bayangan sama sekali untuk menjadi seorang nelayan. Aku memang sering mendengar cerita dari kakak-kakak kelasku mengenai pengalaman mereka sebagai seorang nelayan, namun hal itu rupanya masih belum cukup untuk membuatku membayangkan kehidupan seorang nelayan. Lantas, sampai pada akhirnya, aku mendapat kesempatan ini dan mengalami kehidupan sebagai seorang nelayan. Ketika aku bertemu dengan para nelayan di tempat live-in ku, aku cukup terkejut bahwa rupanya hidup mereka amat sangat dekat dengan perairan laut yang penuh dengan sampah-sampah dan lain-lainnya. Namun, seketika itu juga aku menyadari bahwa inilah situasi dan kondisi yang akan aku alami dan aku harus menjalaninya dengan taat dan sepenuh hati. Aku sadar bahwa nantinya sebagai seorang imam, aku harus senantiasa dan selalu siap akan segala tugas perutusan yang diberikan kepadaku dan hal ini pun selalu diingatkan oleh para romo formatorku di Seminari. “Kamu harus siap, taat, setia akan segala tugas perutusan yang diberikan serta menjalankannya dengan sepenuh hati.�, itulah kirakira ungkapan yang selalu diberikan Romo formator kepada kami. Lantas, ungkapan ini rasa-rasanya menjadi semakin penuh jika aku melengkapinya dengan ayat dari Luk 5:4 yang singkatnya berbunyi, Duc In Altum. Aku merasa sangat bersyukur mendapat kesempatan live-in di Cilincing terutama dapat hidup sebagai seorang nelayan. Aku merefleksikan bahwa tugas perutusan pastoral tidak hanya 48


membutuhkan sekadar kesiapan, ketaatan, dan kesetiaan belaka saja, tetapi juga harus masuk lebih dalam dengan menyelaminya. Bagiku, menyelam menjadi seorang nelayan memang tidak mudah, aku harus menyesuaikan diriku dengan derasnya arus laut yang serasa mengajakku seperti menaiki kora-kora yang mengayun-ayun tak karuan dan pada akhirnya berhasil membuatku mengalami mabuk laut di awal-awal hariku sebagai seorang nelayan. Pengalaman diayun dan diombang-ambingkan arus laut mengajakku untuk mencoba untuk menikmati indahnya menjadi seorang nelayan dan menerima arus serta ayunan ombak laut yang begitu menyenangkan. Aku mencoba merefleksikan sejenak perjalanan hidupku termasuk panggilanku sampai saat ini. Aku melihat bahwa rasa-rasanya pengalaman hidup dan panggilanku seperti halnya aku berlayar di lautan pertama kali. Aku merasa bingung karena terombang-ambing tak karuan, bahkan tak jarang aku mengalami ke-galau­­­­-an. Itulah proses yang harus kualami dan kujalani. Ketika terombang-ambing seperti itu, aku diajak untuk masuk dan menggeluti proses tersebut dengan menerima semuanya itu dan mengolahnya. Terkadang memang rasa-rasanya tidak mudah, tetapi itulah tantangan yang harus dihadapi sampai pada akhirnya kita menemukan dan mendapatkan buah yang manis. “Seperti halnya obat yang pahit, namun pada akhirnya memberikan kesehatan kepada kita.” Hal inilah yang pada akhirnya dapat kusyukuri, proses perjalanan hidup ini memang terkadang tidak mudah. Hal-hal yang sulit pasti akan dijumpai, tetapi kesulitan itu hendaknya dijadikan tantangan dan dinikmati dengan masuk dan menyelam ke dalam tantangan tersebut. Setiap kesulitan dan tantangan pasti akan mempunyai maksud dan tujuan yang indah pada akhirnya. ”... sekalipun mereka minum racun maut, mereka tidak akan mendapat celaka; mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh.” (Mrk 16:18)

49


Aku Belajar melalui Pengalaman Dilayani agar Mampu Melayani Selama live-in di Cilincing, aku mengalami sedikit pergulatan, keresahan, dan kegelisahan. Hal ini terjadi karena pengalaman kecil yang sebenarnya sepele, namun rupanya hal ini menjadi pergulatan tersendiri bagiku. Aku sebagai seorang calon imam harusnya melayani orang-orang yang ada di sekitarku. Namun, rupanya selama live-in, aku dilayani oleh keluarga Pak Saleh. Aku hanya diperbolehkan untuk pergi ke laut saja, lantas, untuk sisa aktivitas lainnya seperti membantu cuci piring, membawa alat makan ke dapur, dlsb., aku dilarang. Tentu saja, aku kaget dan terkejut ketika aku dilarang untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan sederhana tersebut. Aku mengalami pergulatan di dalam hati kecilku. Aku sebagai seorang pelayan, “kok aku malah dilayani, bukan melayani? Siapa aku ini sehingga aku harus mendapat perlakukan seperti ini? Apa yang Tuhan mau dariku, apa yang Tuhan ingin tunjukkan kepadaku melalui pengalaman ini? …” Pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul terusmenerus selama aku menjalani live-in ini. Dilayani memang rasanya menyenangkan, tetapi aku sungguh merasakan ketidaknyamanan, aku diperlakukan sebagai seorang tamu (terhormat), bukan sebagai sesosok orang yang sama seperti mereka. “Sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani ….” (Mat 20:28). Selama live-in, aku teringat akan ayat ini, aku sadar bahwa aku harus melayani orang-orang di sekitarku melalui hal-hal sederhana. Lantas, hal ini memacuku untuk langsung membantu keluarga live-in ku untuk memindahkan alat makan ke dapur, dlsb. Akan tetapi, hasilnya, aku malah dimarahi dan lagi-lagi aku dilarang untuk membantu hal-hal seperti itu. Aku pun lagilagi dan semakin bertanya-tanya kepada diriku dan Tuhan melalui pertanyaan-pertanyaan tadi. Sampai pada akhirnya, aku menemukan jawaban tersebut ketika aku melakukan bimbingan rohani dengan Romo Suto. Dalam bimbingan rohani tersebut, aku menyampaikan segala pergulatan yang kualami. Beliau mengatakan, “Melalui pengalaman dan pergulatan tersebut, cobalah frater melihat kepedulian dari sosok manusia-manusia yang tulus dan polos seperti itu, yang mau melayani 50


dan memperlakukan frater seperti itu. Lantas, melalui hal itulah, frater diajak untuk menghargai dan menerima mereka, dan tidak hanya berhenti pada itu saja, frater harus berefleksi secara lebih jauh dan mendalam di mana frater diajak untuk memperlakukan umat-mu (dan umat-Nya) nantinya seperti halnya mereka memperlakukan frater. Oleh karena itu, pertanyaannya adalah ‘Bisakah frater menjadi seperti mereka itu?� Melalui bimbingan rohani itu, aku kaget sekaligus kagum akan refleksi yang begitu mendalam dan tajam dari Romo Suto. Akan tetapi, melalui pengalaman inilah, akhirnya aku mendapat jawaban dari pertanyaan yang kucari. Inilah yang rupanya Tuhan yang mau dan inginkan dariku, aku diajak untuk melihat sebuah keluarga sederhana yang melayani secara tulus, ikhlas nan polos. Lantas, melalui pengalaman inilah, rasa-rasanya Tuhan berbicara kepadaku, “Saat ini, kamu diutus dan datang ke sana untuk melihat pelayanan keluarga tersebut. Oleh karena itu, sebagai seorang calon imam, hendaknya kamu belajar dari keluarga tersebut agar nantinya ketika kamu diutus dalam tugasmu berikutnya, kamu dapat melayani orang-orang di sekitarmu seperti halnya mereka telah melayani dan memperlakukanmu yang secara tulus, ikhlas, dan penuh cinta.� Aku merasa sangat bersyukur atas segala pengalaman yang indah ini, di mana rupanya pertama-tama aku diajak untuk menyadari bahwa segala sesuatu yang Dia berikan kepadaku mempunyai maksud dan tujuan tertentu yang baik. Kedua, aku diajak untuk belajar dari pengalaman dilayani ini agar nantinya aku mampu melayani umat (orang-orang di sekitarku) seperti halnya yang telah mereka lakukan kepadaku bahkan melebihi/melampauinya. Pengalaman sederhana ini sebenarnya cukup menusuk diriku. Aku benar-benar disadarkan akan artinya sebuah pelayanan. Pelayanan yang tulus, ikhlas nan polos serta penuh cinta dari keluarga Pak Saleh ini semakin melengkapi arti dan gambaran pelayanan yang sesungguhnya. Ketika aku mencoba untuk merenungkan sekaligus merefleksikan lebih jauh lagi, mungkin saja, pelayanan yang kudapatkan ini merupakan wujud nyata kasih dan kerahiman pelayanan Allah melalui keluarga tersebut. 51


Melalui pengalaman yang kualami ini rasa-rasanya memang benar bahwa Tuhan ingin agar aku pertama-tama dapat merasakan pelayanan tersebut sehingga akhirnya aku dapat membagikan rasa pelayanan tersebut kepada orang-orang di sekitarku sebagai calon imam KAJ. Pada akhirnya, hal ini membawaku kepada suatu kesadaran bahwa Tuhan memang menginginkan aku menjadi saluran rahmatNya dengan pertama-tama merasakan terlebih dahulu cinta kasih Allah. Penutup “Aku menjadi Aku karena Kamu/Mereka/Kalian”, inilah inspirasi yang kudapatkan ketika aku melakukan bimbingan rohani. Pernyataan tersebut rasa-rasanya memang benar di mana Aku menjadi Aku yang sekarang ini karena Mereka (Keluarga Pak Saleh). Mungkin saja, jika aku tidak mengalami perjumpaan dengan keluarga tersebut, rasarasanya, aku tidak akan mampu berkembang menjadi pribadi yang baik lagi terlebih sebagai seorang calon imam. Perjumpaan dengan mereka mengajakku untuk berefleksi sejenak dalam perjalananku menjadi seorang imam KAJ. Rasa syukur dan terima kasih. Dua hal inilah yang pertamatama muncul dalam permenungan dan refleksiku. Aku bersyukur dan berterima kasih atas pengalaman live-in yang kualami, aku dihadapkan dengan situasi dan kondisi yang pertama-tama memang tidak mudah, tetapi pada akhirnya dapat kujalani dengan gembira dan bahagia. Pengalaman “tertusuk” di Cilincing ini membuatku semakin sadar bahwa hidup ini memang sebuah perjalanan sekaligus perjuangan dalam mencari dan membentuk diriku. Potret perjalanan hidup mereka “menusukku” sekaligus membentukku agar Aku menjadi Aku karena Mereka (atau dengan kata lain, Aku menjadi Aku karena “ditusuk” Mereka). Perjalanan hidup mereka sungguh memperkaya, meneguhkan dan menguatkanku di jalan panggilan ini terlebih dalam hal melayani secara sederhana, tulus, ikhlas, dan polos.

52


Kini, kisah perjalanan dan perjuanganku dengan mereka sudah berakhir. Namun, nilai-nilai pengalaman tersebut tidak akan pernah berakhir. Terima Kasih.

KITA adalah umat yang hidup dan untuk kehidupan dan hal ini menyangkut bagaimana kita menghadirkan diri kita untuk setiap orang. St. Yohanes Paulus II

53


Keadilan yang bertahan lama adalah keadilan yang dijalankan dengan segala kerendahan hati, turut merasakan penderitaan orang lain, menabur semangat pengampunan serta belas kasih di mana-mana. St. Yohanes Paulus II

54


Perjumpaan di Satu Titik yang Sama yaitu Bumi

Joko Prasetyo


“Berbagai macam tanya muncul dalam hati ini sehingga menimbulkan sebuah rasa. Sebuah rasa takut karena aku belum melihat setitik cahaya. Namun, tanya dan rasa takut itu bagaikan sebuah angin lalu ketika aku telah melihat setitik cahaya. Dan cahaya itu ialah Tuhan yang nampak melalui mereka�. Akhirnya, aku dapat merasakan hidup berdinamika di Pesantren bersama dengan “komunitas yang berbeda� dari komunitasku. Sebelumnya, aku hanya dapat membayangkan dan menerka kehidupan di Pesantren melalui cerita-cerita dari masyarakat sekitar maupun literatur yang aku baca di STF Driyarkara. Aku merasa ini merupakan pengalaman yang baik dan kaya untuk tahap formasiku dalam menjadi imam di Keuskupan Agung Jakarta. Apalagi aku melihat ada buahbuah rohani yang sejalan dengan Arah Dasar Keuskupan Agung Jakarta dan semangat berdialog dari St Yohanes Paulus II dibalik live-in ini, sebagai pelindung Seminari Tinggi Keuskupan Agung Jakarta. Aku memperoleh gambaran dan terlibat secara nyata dalam paham Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menjadi salah satu bagian dari dasar Negara Indonesia. Bahwasanya, Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah merujuk pada salah satu agama mayoritas saja, tetapi semua agama atau pun kepercayaan yang menjadikan Tuhan sebagai daya yang tertinggi. Dengan demikian, kehidupan beragama merupakan hak setiap umat manusia yang ada di dunia ini, secara khusus di Indonesia. Jika hal tersebut diusahakan dalam kehidupan beragama, aku yakin pastilah kedamaian dan ketentraman di Indonesia dapat lebih terwujud. Benar saja, dalam pengalaman live-in di Pesantren ini aku menemukan Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi nyata terwujud di dalam keseharian. Dalam perjumpaan dengan Abi Ibang dan Umi Nisa serta teman-teman santri, aku merasakan bahwa perbedaan (agama) di antara aku dan mereka tidaklah menjadi masalah yang berarti. Sebab, 56


Abi Ibang, Umi Nisa, teman-teman santri dan aku merasa bahwa yang terpenting dalam melihat perbedaan itu ialah Tuhan telah menciptakan kita di dunia ini untuk saling mengasihi satu dengan yang lain. Menjaga seluruh ciptaan-Nya, termasuk bumi dan seluruh ekosistem yang ada di dalamnya. Selain itu, aku sungguh bersyukur dapat ikut serta dalam kegiatan live-in karena aku dapat melihat wajah Kristus yang menyelamatkan diriku dan juga orang lain yang berada di sekitarku, serta Gereja yang telah membuka diri sebesar-besarnya untuk keselamatan semua umat manusia; selayaknya semangat aggiornamento yang telah memperbarui Gereja dalam melihat kebenaran. Wajah Kristus yang menyelamatkan itu pula yang aku temukan dalam sosok Abi Ibang, Umi Nisa, dan teman-teman santri. Mereka semua mengingatkan diriku bahwa di balik setiap perbedaan yang ada kita tetaplah secitra atau segambar dengan Allah, Sang Pencipta. Melalui pengalaman ini juga aku tersadarkan kembali bahwa wajah Kristus bukanlah muncul dari sebuah keagungan, kemegahan, dan kebesaran, melainkan salib yang penuh dengan kehinaan, penderitaan, ketersingkiran, dan kelemahan. Justru, pengalaman tersalib bersama Kristus ini yang memampukan diriku untuk memperoleh sebuah kebangkitan, yakni buah rohani yang akan aku bagikan dalam refleksiku ini. Berjumpa dengan berbagai tanda “?” Ketika aku mengikuti acara “Refleksi dan Rekreasi Akhir Tahun”, saat itulah untuk pertama kalinya aku mengetahui bahwa aku akan live-in di Pesantren. Sepintas, aku bertanya kepada diriku, “Siapa yang akan aku jumpai?”Aku pun mencoba membayangkan dan gambaran yang terlintas ialah bahwa aku akan berjumpa dengan para lelaki atau pun perempuan yang belajar untuk menjadi “romo” dan “suster” nya umat Islam. Tentunya, santriwan dan santriwati ini akan membela kepercayaan mereka dengan sungguh-sungguh dan cenderung rela berkorban demi agama, sehingga aku harus berhati-hati dalam berbicara. Apalagi aku dan juga teman-teman yang live-in merupakan calon imam dari agama Nasrani. Jujur, pada waktu itu aku merasakan 57


perasaan takut yang begitu hebat; layaknya seorang anak diutus ke tengah-tengah serigala guna mencari Kristus, Sang Gembalaku. Apa yang harus aku lakukan dalam mempersiapkan live-in? Sebuah pertanyaan yang aku ajukan melalui pesan elektronik kepada RP. Greg, SJ, pembimbing live-in. Beliau pun memberi diriku beberapa informasi dan buku yang dapat menunjang kegiatan live-in yang aku jalani itu. Setelah mendengar informasi dan buku dari RP. Greg, SJ, aku langsung mempersiapkan diri agar dapat menjalani live-in ini dengan sungguh-sungguh baik. Terlebih aku dapat memperoleh pandangan baru mengenai Islam dan kehidupan para santriwan dan santriwati. Selanjutnya, pertanyaan yang paling meresahkan hatiku ialah “Bagaimana kehidupan di Pesantren?” Sebab, informasi yang aku ketahui ialah kehidupan mereka tidak jauh berbeda dari kehidupan para seminaris. Akan tetapi, para satriwan dan santriwati lebih memfokuskan diri pada nilai-nilai agama; seperti membaca Al-Quran, mengaji, sholat, dan melakukan kegiatan keagamaan lainnya yang mereka imani, serta menjauhkan diri dari nilai-nilai sekularisme atau pahampaham yang berasal dari Barat. Aku takut hidup di Pesantren karena mereka menjauhkan diri dari nilai-nilai atau paham-paham yang berasal dari Barat; apalagi mereka memiliki pandangan bahwa Nasrani identik dengan Barat ataupun penjajahan. Tanda “?” (tanya) berganti tanda “!” (seru) Semua pertanyaan yang telah aku ajukan kepada diriku lamakelamaan hilang berganti dengan perasaan seru dalam menjalani kehidupan di Pesantren Ath-Thaariq. Terlebih kehidupan yang coba ditawarkan di Pesantren Ath-Thaariq. Sebab, aku merasakan bahwa kehidupan di Pesantren jauh berbeda dari gambaran yang aku miliki tentang kehidupan para santriwan dan santriwati di pesantren pada umumnya. Sebelumnya, aku berpikir bahwa kehidupan di Pesantren lebih mendidik para santriwan dan santriwati untuk rela mati suci guna membela iman mereka. Akan tetapi, Pesantren Ath-Thaariq mengubah pikiran dangkal ku tentang kehidupan di Pesantren. Sebab, Abi Ibang dan Umi Nisa menjunjung tinggi penghargaan terhadap ekosistem dalam melaku58 72


kan pengajaran-pengajaran bagi para santriwan maupun santriwati. Tak heran sikap menjunjung tinggi penghargaan terhadap ekosistem berbuah pada kepedulian terhadap kemanusiaan dan juga kepedulian terhadap lingkungan hidup. Kepedulian terhadap kemanusiaan terlihat sangat jelas dalam persaudaraan yang ditawarkan oleh Abi Ibang dan yang lainnya. Sebab, aku merasa diterima sebagai anggota keluarga dari Pesantren ketika aku datang untuk pertama kalinya dan berjumpa dengan Abi Ibang dan yang lainnya. Lantas, Mereka semua langsung memperkenalkan apa saja yang menjadi visi, misi, serta semangat dari Pesantren AthThaariq. Hal itu membuat aku semakin semangat dan tertarik untuk lebih mendalami kehidupan di Pesantren, secara khusus kehidupan para santriwan dan santriwati. Satu pengalaman menarik yang menyentuh dan setidaknya membuat hatiku tersentil ialah pengalaman ketika Abi Ibang memberikan aku dan teman-teman beberapa sajadah panjang yang ada di Mushola, yang akan digunakan sebagai alas di mana aku dan teman-teman tidur. Saat itu aku teringat akan sabda Allah yang menyatakan, “ Sebab, ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberikan Aku tumpangan......�(Matius 25: 35-36). Maklum saja Pesantren Ath-Thaariq bukanlah pesantren yang besar, melainkan pesantren yang masuk dalam kategori menengah di antara pesantren-pesantren lainnya. Pesantren Ath-Thaariq terdiri dari tiga bangunan penting, persawahan, dan kandang kambing. Ketiga bangunan penting itu terdiri dari bangunan pertama yang merupakan tempat tinggal Abi Ibang, keluarga, dan para santriwati; bangunan kedua ialah tempat tinggal para santriwan, yang merupakan bangunan yang belum jadi tetapi setahap demi setahap pembangunan pun tetap berjalan; bangunan yang ketiga ialah Mushola tempat di mana mereka melakukan segala macam kegiatan keagamaan dan pembentukan karakter bagi para santriwan dan satriwati. Lantas, aku dan teman-teman pun tidur di bangunan kedua, yang masih dalam proses pembangunan. Walaupun aku melihat terdapat banyak keterbatasan, tetapi satu hal yang selalu aku lihat di wajah Abi 59 73


Ibang dan yang lainnya, yaitu perasaan syukur atas rahmat dan berkat yang selalu diberikan oleh Tuhan di dalam hidup mereka semua. Oleh karena itu, semua pertanyaan di awal berganti dengan sebuah keseruan sampai hari terakhir aku menjalani live-in. Pejuang Kehidupan Aku merasa bahwa Abi Ibang dan Umi Nisa serta para satri mengambil bagian dalam tugas kenabian, yaitu pewarta kabar sukacita. Mereka mewartakan kepada manusia modern zaman ini untuk memperjuangkan kehidupan dengan cara menjaga, merawat, dan memperbaiki ekosistem bumi, yang telah dirusak oleh tangan-tangan manusia rakus dan serakah. Padahal, manusia termasuk ke dalam ekosistem bumi. Apabila sikap rakus dan serakah dari manusia tidak dirubah, tak dapat dihindari bahwa hal itu akan membawa manusia kepada sebuah kehancuran. Aku sungguh sangat terkesan terhadap mereka, sebab mereka tidak hanya berkata-kata tentang apa yang mereka perjuangkan tetapi mereka juga turut melaksanakan melalui tindakan konkret, sebagai bentuk adil dalam menjaga, merawat, dan memperbaiki ekosistem bumi. Hal ini terlihat melalui spiritual dari pesantren, yaitu pesantren berbasis agro-ekologi. Salah satu perbuatan yang dilakukan adalah memperbaiki kualitas tanah yang ada di sekitar lingkungan tinggal mereka yang telah tercemar oleh berbagai macam bahan-bahan kimia. Buah Rohani Perjalanan selama enam hari di Pesantren Ath-Thaariq membuat aku menyadari bahwa penghargaan dan perjuangan akan kehidupan merupakan sesuatu yang sulit. Namun demikian, itu harus senantiasa diusahakan untuk kebaikan diriku dan juga sesama dengan belajar dan menimba dari Kristus yang mau menyelamatkan, menghargai dan memperjuangkan kehidupan umat manusia dari dosa lewat salib dan kebangkitan-Nya. Aku percaya bahwa aku dapat menghargai dan memperjuangkan kehidupan, yang merupakan anugerah dari Tuhan. 60


Buruh Harapan Yohanes Aditya RP.


Suara pagi yang tidak biasa terjadi di sini, alunan orchestra mekanik saling menggeliat membuat harmoni gemuruh. Tak lupa teriakan tronton pembawa logistik, kepulan hitam cerobong-cerobong dan sengatan sinar mentari menghantar kepergianku ke tempat di mana aku mendulang harta. Mungkin tidak ada yang menyangka bahwa hidup terajut dari tetesan peluh yang keluar dari usaha yang keras. Mungkin tidak ada yang menyangka pula apabila setiap pekerjaan beresiko memudarkan harapan yang ada di dalam benak setiap pelakunya. Kesadaran inilah yang muncul ketika pertama kali menapakkan kaki di kawasan pabrik Cikarang. Pada saat memasuki tiap-tiap tikungan jalan, saya dihadapkan pada sebuah bangunan mahaluas yang berhiaskan cerobong-cerobong yang mebumbungkan asap gelap. Saya merasa gugup setelah melihat semua itu. Saya juga tidak tahu pekerjaan apa yang akan saya lakukan dalam live in kali ini. Sejenak saya merenung di dalam hati, “rasa-rasanya ilmu yang saya dapatkan selama ini tidak akan banyak berguna.� Meskipun demikian saya tetap melangkah maju dan menjemput kerinduan untuk berjumpa dengan mereka yang selama ini telah berjuang. Ya, mereka adalah para pekerja kontrak yang membanting tulang hingga larut malam demi memenuhi kebahagiaan keluarga. Sudah banyak hal yang saya lewati selama menjalani formatio di seminari, tetapi satu hal yang belum saya rasakan, yakni menjadi buruh pabrik. Satu hal yang membuat saya terus menyimpan impian itu adalah sebuah anggapan bahwa buruh pabrik itu hidup di antara berbagai macam ketegangan; entah itu dengan tuntutan profesi, atau tuntutan kualitas produk, belum lagi perintah bos, dan permintaan keluarga. Tidak hanya itu, belum lagi dengan tuntutan yang datang dari diri sendiri. Mungkin ini masih sebagian kecil beban yang mereka tanggung. 62


Lihat! Betapa berat gambaran hidup sebagai buruh pabrik. Gambaran seperti inilah yang saya sebut sebagai sebuah ketegangan, bahwa pada akhirnya hidup manusia itu diperuntukan bagi semua orang. Sehati: Berawal dari Kontrak Berawal dari kontrak. Semua orang mengetahui bahwa setiap pekerjaan memiliki surat kontrak. Tinggal membubuhkan tanda tangan saja, maka surat kontrak itu akan menjadi ‘hidup’. Hal serupa juga terjadi di pabrik. Saya memulai pengalaman ini dengan sebuah kontrak dan janji. Dengan demikian saya resmi menjadi seorang buruh pabrik, mengabdi kepada bos pabrik, dan bekerja setia selama delapan jam, bahkan jika perlu ikut lembur. Semenjak resmi menjadi buruh, dinamika kerja pun dimulai. Pada hari pertama bekerja, saya belum diperbolehkan untuk menggunakan alat apapun, maklum anak baru. Waktu itu hal yang bisa saya kerjakan adalah mengangkat plat plastik ukuran jumbo untuk di pasang. Selain itu saya juga menjadi transporter yang memindahkan plat yang sudah di potong ke tempat penyettingan. Hari berganti hari, saya merasakan kepercayaan yang mulai tumbuh. Saya pun mulai dipercaya untuk membaca sketsa dan mengukur. Naik tahap selanjutnya, saya dipercaya untuk membuat potongan plat sendiri. Hingga pada akhirnya, saya diberi kepercayaan untuk memberi tag pada settingan plat bentuk. Saya kira pengalaman yang sama akan terjadi pula pada orang lain yang baru pertama kali masuk kerja di tempat ini. Saya merasa kebiasaan untuk menumbuhkan kepercayaan kepada sesama buruh sangat nampak. Meski awalnya sempat mengalami penolakan, tetapi kerendahan hati para buruh di tempat ini memampukan mereka untuk bersikap terbuka. Dari keterbukaan inilah penghargaan kepada kolega kerja akan tumbuh seiring akrabnya relasi antara satu buruh dengan yang lain. Saya terkesan dengan perkataan seorang buruh, “Kita di sini tidak lagi teman, melainkan saudara, bahkan keluarga.� Bagi saya hal ini menunjukan bahwa yang ada di sini adalah lebih dari sekumpulan buruh semata. Mereka adalah sebuah komunitas yang 63


menawarkan persaudaraan sejati. Pada awalnya merupakan orangorang yang datang dari berbagai macam tempat, lalu kemudian dipersatukan dengan kontrak kerja. Suatu kali, saya pernah bertanya kepada Bang Debbie mengenai apa yang menjadi kerinduannya. Sejenak Bang Debbie berpikir dan tak lama kemudian ia menjawab ingin membeli mobil untuk istrinya. Pertanyaan yang sama juga saya lontarkan kepada pekerja buruh yang lain. Ada banyak hal yang ingin mereka miliki sebagai sebuah pemenuhan kebahagiaan. Meskipun demikian, di balik berbagai macam barang yang mereka inginkan itu ada sebuah kerinduan untuk dapat merasakan sukacita dalam hidup berkeluarga. Bagi mereka bekerja itu tidak sekadar menyambung kehidupan, tetapi juga usaha mereka untuk dapat menemukan kebahagiaan, terlebih bagi keluarga mereka. Oleh karena itu keluarga merupakan harta yang tidak bisa digantikan, dan mereka berusaha menjaga keluarga itu dengan bayaran keringat yang menetes. Perjumpaan dengan mereka yang bekerja sebagai buruh pabrik merupakan sebuah pengalaman syukur atas penyertaan Allah yang sungguh unik dan nyata. Selama menyamar menjadi buruh pabrik saya dekat dengan beberapa buruh. Mereka adalah Pak Muhidin, Bang Debbie, Pak Stefen, dan Pak Mayub. Orang-orang inilah yang dengan kerendahan hatinya membantu saya untuk belajar memproduksi sebuah desain dan menggunakan alat-alat produksi. Oleh karena itu, sekarang saya tidak asing lagi dengan yang namanya jigsaw, ketam, blower hot welding, dan sebagainya. Orang-orang ini pula yang mengajari saya untuk lebih masuk ke dalam refleksi pengalaman hidup. Setiap pengalaman hidup memang perlu direfleksikan agar dapat menemukan jati diri manusia yang sesungguhnya sudah berkembang sedari kecil. Hal inilah yang meyakinkan saya bahwa masing-masing di antara mereka adalah pribadi yang unik dengan cerita sederhana mereka masing-masing yang inspiratif. ***

64


Nyambut Gawe Suatu ketika dalam obrolan pekerjaan, Pak Muhidin pernah mengatakan kepada saya, “Mas, saya itu kalau kerja tidak pernah hitunghitungan loh! Saya bekerja itu seperti sebuah hobi, yakni melakukannya dengan senang hati.� Saya boleh yakin dengan celotehan itu, sebab selama bekerja dengannya saya dapat melihat dedikasi yang besar untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ketika yang lain bisa berlehaleha dan bahkan berlenggang selama bekerja, hanya orang ini yang tetap fokus dan dengan sepenuh hati menyelesaikan pekerjaannya. Dari beliau saya belajar bagaimana caranya untuk mencintai setiap pekerjaan. Perkaranya adalah pekerjaan itu bukan datang atas dasar kehendak, melainkan atas dasar kebutuhan yang mendesak. Maka usaha untuk mencintai pekerjaan merupakan sebuah pengorbanan diri untuk dapat memunculkan kebahagiaan. Pernah satu kali saya dan beberapa orang lainnya, termasuk Fr. Sonny, rekan live in saya, membantu membongkar muatan truk tronton yang berisikan beratus-ratus lembar plat plastik yang diimpor dari Jepang. Ukuran ketebalan plat plastik tersebut juga bermacam-macam: dari lima milimeter hingga tiga puluh millimeter. Uniknya adalah kami melakukan itu dengan menggunakan tangan-tangan kami tanpa dibantu dengan alat khusus. Awalnya saya ogah-ogahan, sebab barangnya terlampau banyak dan amat berat, sehingga saya pun melakukannya dengan setengah hati. Akan tetapi melihat bagaimana pekerja yang lain bekerja dengan semangat, saya kembali teringat celotehan Pak Muhidin dan jawaban-jawabannya atas pertanyaan saya. Semangat yang terlanjur terbakar oleh karena harapan, membuat pekerjaan menjadi mudah. Begitu pula dengan pekerjaan bongkar muatan tronton yang awalnya begitu menyedihkan. Hal itu menjadi sesuatu yang menyenangkan dan membanggakan, apalagi karena kehadiran teman-teman seperjuangan yang ikut membantu dan menyemangati. Aku dan Buruh Pengalaman tinggal di Cikarang dan bekerja sebagai buruh pabrik membuat saya menyadari satu hal, yakni pengalaman akan 65


kerahiman Allah. Selama sepuluh hari saya merasakan situasi yang tidak mengenakan. Saya merasa amat terusik melakukan pekerjaanpekerjaan yang berat. Perasaan-perasaan lelah dan capek kerap kali menyudutkan saya untuk berdiam diri saja. Itu semua adalah bentuk kesombongan saya untuk tidak mau bekerja keras. Akan tetapi dari pengalaman tersebut saya menemukan tangan Allah yang berkarya dalam hidup saya. Tidak hanya itu, oleh karena live in , saya juga bertemu dengan peristiwa keterbatasan. Saya menyadari betapa rahimnya Tuhan selama ini kepada saya, terutama dalam menghidupi jalan panggilan Tuhan ini. Tantangan, usaha, dan harapan. Ketiga kata itulah yang menjadi simpul penutup dalam refleksi saya kali ini. Hidup dan berjuang bersama mereka selama sepuluh hari, terhitung dari tanggal 28 Juli hingga 10 Agustus, membuat saya dapat mengalami kerahiman Allah. Saya disadarakan pada banyak hal, terutama saya menjadi yakin, bahwa Allah itu memang Mahacinta. Allah mencintai saya seutuhnya. Ia mencintai saya dari kekurangan yang saya miliki, dan itulah yang menjadi alasan saya dapat bertahan untuk menjadi buruh bersama mereka. Pengalaman perjumpaan dengan mereka yang kecil meneguhkan panggilan saya untuk dapat lebih setia melayani dengan tulus hati. Kini kontrak saya terikat pada jubah yang senantiasa saya pakai. Memakai jubah bukan hanya menunjukan siapa saya, tetapi juga merupakan sebuah perutusan yang berjalan atas kehendak Roh Kudus. Semoga pengalaman menjadi buruh semakin memanggil saya untuk menanggapi cinta Tuhan. Dengan demikian saya semakin diteguhkan dalam iman, harapan, dan kasih, oleh karena Yesus adalah Sang Guru kehidupan.

66


Suka di Rumah Duka Salto D. Manulang


“Eh mas terbalik itu,” kata seorang ibu kepadaku sambil tertawa cekikikan. Sambil masih menahan tawa, Ibu Vera, tetangga almarhum yang jenazahnya kumandikan nyeletuk, “Belum pernah lepas BH ya mas?” Spontan ruang memandikan jenazah langsung terpecah oleh tawa ngakak karyawan serta keluarga. Konyol, rupanya aku telah terbalik memasang BH untuk oma tercinta yang sudah selesai kami mandikan. Inilah kisah suka di rumah duka. Ketakutan, Keberanian, dan Kebebasan Begitulah menggembirakannya menjalankan tugas perutusan dengan kebebasan. Jika aku tidak bebas, aku bisa gagap ketakutan karena tiga hal yang menyergap. Pertama, kesendirian; Kedua, hantu; Ketiga, ular. Pak Dusman, Kepala Bagian Umum yang ramah dan peduli (ia mengantarku membeli perlengkapan mandi di mini market!) mewanti-wanti, “Frater berani sendiri? Gak takut gitu-gituan? Udah dibekali ya?” Kujawab, “Emang ada yang begituan?” Jawabnya cepat, sambil menarik pedal gas sepeda motornya, “Banyaakkk!” “Nah, justru saya ke sini untuk itu, supaya berani,” batinku. Itu juga yang ditanya ibu Felis, “Frater gak takut sendirian?” Letak kamarku ternyata memang dipojok. Kamar itu tadinya gudang. Tidak ada orang lain tidur di sekitar situ. Mereka merasa tidak enak menempatkanku sendirian. Tapi aku malah senang. Aku suka tantangan. Allah memang punya kejutan untuk hati orang-orang yang terbuka. Ditaruh sendiri, diwanti-wanti ada hantu, bu Felis, bu Rini, dan bu Sri sama-sama memperingatkanku kalau di taman Oasis Lestari banyak ular. Yang menjadi masalah adalah kamarku dekat dengan taman. Lebih menantangnya lagi, bu Felis berkata, “Di kamar frater banyak kardus kan. Takutnya di situ ada ular.” Wuuuu, saat aku ke kamar, di samping kiriku bertumpuk kardus. Mungkin di sana ada ular. Bahkan, dari cerita karyawan lain, ular itu pernah masuk sampai ke kantor. 68


Saat pikiran melayang, ketakutan datang. Jantung berdegup kencang. Suasana seolah-olah berubah. Bayang-bayang ilusi menyergap pikiran. Itu terjadi saat aku sendiri di lorong-lorong rumah duka (mortuarium). Rekaman-rekaman horor berputar di pikiran. Langkah kaki makin kencang berlari. Aku ingin lekas masuk area publik, tempat di mana aku tidak sendirian. Ketakutan adalah batu loncatan untuk berkembang. Syaratnya lawan! Jika tidak, ketakutan akan membelenggu, menghambat. Lawan ketakutan adalah keberanian. Ketakutan itu tidak disebabkan oleh lingkungan, hantu atau hal-hal di luar diri. Ketakutan muncul dari dalam diri sendiri. Maka yang harus kukalahkan adalah diri sendiri. Caranya: agere contra. Lakukan yang sebaliknya! Keluar dari zona nyaman memang tidak enak. Manusia selalu butuh penyesuaian. Itu bisa menyakitkan. Pada dasarnya, kenyamanan, sesuatu yang tetap, itulah yang dicari manusia. Namun setiap perkembangan membutuhkan proses untuk keluar dari zona nyaman, untuk maju ke tahap berikutnya, suatu pertarungan untuk mengalahkan diri sendiri. Proses yang “tidak mengenakkan” harus dilalui untuk mengembangkan diri. Kenyamananku sudah lama terbentuk. Kenyamanan itu adalah ketakutan. Aneh memang: nyaman dalam ketakutan. Itu semu, seolah-olah, hanya tipuan pikiran. Kurasakan ketakutan itu membatasi, membuat hati resah. Aku merindukan kebebasan batin, suatu kesiapsediaan untuk menghadapi situasi apa pun. Kusadari bahwa menghindar tidak menyelesaikan masalah. Setiap fiksasi, sekecil apa pun mesti diselesaikan. Aku berlatih untuk mempunyai sikap yang tegas pada diri sendiri. Keberanian untuk keluar dari kenyamanan ketakutan serta hidup dalam kenyataan, itulah yang membebaskan. Aku percaya rahmat. Allah membantuku. Dia berkuasa membebaskanku. Tapi Allah sendiri membutuhkan jawaban “Ya!” dari kebebasanku untuk menghadapi setiap tantangan perkembangan. Allah telah mengaruniakan kebebasan padaku untuk menjadi, untuk maju dan berkembang. Bukankah Allah sendiri menuntut, “Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat 5:48). Seperti yang Gereja harapkan, “supaya di tengah kelema69


han manusia pun, mereka mampu dan harus menuju kesempurnaan” (PO 12). Namun, di hadapan kebebasanku, Allah Yang Maha Kuasa itu menjadi kecil dan tidak berdaya. Maka dari itu, perkembangan optimal dimulai dari tanggapan positif atas curahan rahmat Allah. Kujawab, “Ya!”. Allah mengundang, aku menjawab. Ketika aku menyambut dan memeluk (kuasa rahmat) Allah, Dia semakin aktif membimbingku, memimpinku. Saat itu aku dijadikan alat-Nya yang hidup: bebas dalam ketaatan pada-Nya. Karena para imam, dalam berkarya, “Mereka tidak pernah seorang diri, melainkan bertumpu pada kekuatan Allah yang mahakuasa” (PO 22). Ironi dan Misteri Abu Dr Yadi, spesialis forensik yang biasa memformalin jenazah berbagi cerita denganku. Sudah bertahun-tahun ia membedah, melakukan otopsi, mengawetkan jenazah. Ada korban mutilasi yang kepala, tangan, dan kakinya ditemukan di waktu yang berbeda-beda. Ada seorang wanita yang mengandung lalu dibunuh. Kemaluannya dimasukkan cangkul. Sementara ketika aku datang di Oasis, baru saja seorang isteri dari orang Prancis, berusia empat puluh tahunan yang meninggal karena kecelakaan. Padahal, menurut keterangan karyawan lain ia berencana untuk berekreasi. Mobilnya gepeng. Mukanya kehilangan satu mata lagi. Sementara itu, keesokan harinya, Jumat 27 Juli 2016 aku turut merias Oma Alm. Kartika Sari yang meninggal di usia 92 tahun. Anak pertamanya sudah berusia 70 tahun. Ia bilang mamanya seorang kristiani. Tapi, beliau sendiri mengaku tidak beragama. Ada lagi Alm. Tommy Sugiarta Wijaya. Ia meninggal di usia 72 tahun. Isteri dan anak-anaknya berada di Swiss. Mereka tidak bisa pulang ke Indonesia. 15 jam perjalanan ke Indonesia terlalu lama dan mahal. Alhasil, handai taulan yang mengurus. Namun, ketika tiba di ruang transit jenazah, Alm. Tommy sudah rapi mengenakan dasi dengan tangan yang sudah berada dalam posisi berdoa. Ia diantar karyawan panti jompo dari daerah Depok. Ada lagi petinggi salah satu stasiun swasta yang dikremasi di Oasis Lestari. Ramai sekali yang 70


datang. Bunga belasungkawa berdatangan. Mobil-mobil dari stasiun TV memenuhi parkir. Yang mengurus administrasi pun dari Tiket.com. Gedung krematorium jadi penuh tamu. Yang jelas mereka orangorang mampu. Mobilnya bagus-bagus. Bunga-bunga putih pun menenteramkan mata. Namun, kulihat akhir dari semua jenazah itu. Mereka dibakar di oven dengan suhu 1.500 derajat celcius. Akhir bentuknya sama. Mula-mula seperti potongan-potongan kardus. Lalu serpihan tulang itu dihaluskan menjadi debu dengan ditumbuk di dalam mesin. Lantas, semua almarhum itu, siapa pun mereka, menjadi debu yang sama. Di sini aku berhenti termenung.Aku pun bertanya-tanya, “Apakah kalau begitu manusia hanyalah sekumpulan makhluk dengan nasib yang naas? Begitu sederhanakah hidup kita? Tragis: dilahirkan untuk menjadi debu. Kita hidup di dunia berjuang membanting tulang membangun hidup, keluarga dan seterusnya, lalu berakhir menjadi debu? Inikah yang dimaksudkan dengan, “Kesia-siaan belaka, kata pengkhotbah, segala sesuatu adalah sia-sia� (Pkh 1:2) “Tidak,� jawabku dalam hati. Kenyataan kalau manusia akan menjadi debu itu menunjukkan bahwa memang manusia itu rapuh. Tanpa Allah kita bukanlah siapa-siapa. Kita adalah orang-orang yang berpengharapan. Kita bahagia di dunia, tegar memandang kenyataan kematian sebagai realitas yang tak terhindarkan karena kita adalah orang-orang yang percaya dan mempunyai pengharapan kepada Allah. Manusia beriman mempunyai Allah yang mengasihinya. Perjalanan hidup manusia adalah peziarahan untuk belajar percaya pada Allah. Tidak semua hal dapat diatur oleh manusia. Tidak semua hal dapat dimengerti. Tidak semua hal bisa diterima. Salah satu penanda dari misteri kehidupan itu adalah kematian. Ia tidak bisa diatur, sulit dimengerti, bahkan kerap kali tidak bisa diterima orang. Jelas, setiap manusia pasti mati. Dari debu kita berasal, sebagai debu pula kita akan berakhir. Setiap manusia unik dan berbeda. Orang-orang mempunyai perjalanan hidup yang berbeda-beda pula. Kelahiran, perjalanan hidup, dan proses kematian manusia boleh berbeda-beda. Akan tetapi, asal dan akhir kita tetaplah sama: dari debu kembali menjadi debu. Lagipula, bukankah arti nama Adam si manusia pertama ber71


asal dari kata adamah yang berarti debu. Itulah pergulatan pencarian maknaku atas kematian di Krematorium Oasis. Manusia memang diciptakan oleh dan untuk Allah. Kiranya inilah yang dimaksudkan St. Agustinus, “Engkau telah menciptakan kami bagi diri-Mu, ya Allahku, dan hati kami tiada tenang sebelum beristirahat di dalam Dikau.� Keindahan Sekitar Upacara Kematian Fenomena-fenomena di Oasis Lestari unik-unik. Orang-orang hidup rela sekali repot-repot mengurusi orang mati. Mengapa dalam suasana duka-kematian ada bunga putih, peti-peti yang bagus, doa yang berkali-kali, dan seterusnya? Mengapa jenazah pria didandani ganteng dan jenazah wanita dirias hingga menjadi cantik? Mengapa keluarga mau-maunya membeli peti sampai puluhan juta padahal peti itu kira-kira dua hari kemudian akan dibakar bersama jenazah? Di Rumah Duka Oasis aku melihat dari dekat ragam upacara penghormatan terhadap almarhum-almarhumah. Jelang peti ditutup, pakaian Alm. Tommy Sugianta dimasukkan ke dalam peti. Satu tas penuh itu. Pakaiannya bagus-bagus. Dan yang menarik almarhum dipasangi mutiara-mutiara pada mata, hidung, dan telinga. Mata hatiku kesilauan melihatnya. Sakit rasanya. Tidak berhenti di situ. Di Oasis Lestari pun aku telah mengikuti empat upacara ritual dari empat agama berbeda untuk menghormati jenazah. Buddha, Konfusianisme, Kristen, dan Katolik. Simbol dan maknanya berbeda-beda. Konfusianisme yang paling menarik untukku. Nama almarhum yang didoakan adalah Hu, Jung Ping. Ia berkewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok. Almarhum meninggal di Lembaga Pemasyarakatan Pemuda, Buaran Indah, Tangerang. Petinya diisi kertas uang-uangan. Hanya wajahnya saja yang kelihatan, sedangkan badannya tenggelam tertutup uang-uangan. Di meja yang terletak di depan peti ada nasi, sumpit, buah jeruk, dan seterusnya. Pada orang Buddha pun malahan terdapat rumah-rumahan dengan mobilnya yang terparkir di garasi, lengkap dengan pembantu rumah tangga. Menurut keluarga yang bersangkutan, hal itu dimaksudkan agar almarhum yang berada di alam baka sana mempunyai rumah dan makanan. 72


Keindahan upacara kematian adalah gambaran kerinduan manusia akan keabadian. Itulah kerinduan terdalam dari sanggar suci hati manusia. Ada satu pribadi yang kuperhatikan betul pada tiga hari pertama aku tinggal di Oasis. Menarik karena nenek berusia 70 tahun ini adalah tamu pertama yang mendaftarkan mamanya ke rumah duka ketika aku di sana. Nama almarhumah mamanya adalah Ny. Kartika Sari yang kuceritakan di awal. Pribadinya sangat menarik. Beliau berkata bahwa dirinya tidak beragama. Uniknya, seluruh peribadatan kristiani untuk menghormati mamanya ia ikuti. Ia tidak duduk di luar seperti orang-orang non-kristiani lain. Lebih menarik lagi ketika kulihat ia membuat tanda salib. Aku memang tidak menanyakan alasannya. Namun memang, di hadapan kematian dan misteri sesudahnya, yang diperlukan oleh manusia adalah iman, suatu kepercayaan yang penuh kepada Allah. Yesus berjanji, “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.� (Yoh 11:25) Aku jadi ingat kata pemazmur, “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru dan kami melayang lenyap�(Mzm 90:10). Retret di Oasis Lestari Keheningan itu menyenangkan. Kendati sendiri aku tidak kesepian. Kendati sendiri aku tidak takut. Beberapa karyawan Oasis bertanya-tanya apakah aku tidak kesepian, bosan, atau takut karena sendirian? Apalagi aku tidak membawa hp, mp3, laptop atau gawaigawai lainnya. Di Oasis Lestari ini aku seperti retret. Di era internet dan keramaian media sosial seperti sekarang ini, aku bersyukur sebab aku tidak merasa sendirian, kesepian, apalagi ketakutan walaupun aku sendiri di kamar dan tanpa teknologi. Mengapa? Sebab aku memiliki dan dimiliki Allah di dalam hati. Allah itu tidak jauh. Dia tidak hanya ditemukan dalam keramaian. Di saat tidak ada siapa-apa seperti ini, sendirian, aku bertemu dengan diriku sendiri. Dan saat kesendirian itu dibalut dengan keheningan, yang tinggal hanya aku dan Allah, kita berdua saja. Sampai-sampai karyawan heran dan bertanya tentang apa yang aku buat di kamar73


gudang pojok itu sendirian? Sederhana, berdoa, menulis, dan membaca. Sungguh, saat batin itu benar-benar hening, rahmat keintiman dan kedalaman relasi dengan Allah kucecap tetesannya. Namun, bukan berarti aku jadi anti bertemu orang lain. Kebijaksanaan rohani yang selanjutnya adalah keheningan yang terjaga di dalam keramaian. Keheningan itu yang memampukanku membeda-bedakan nilai-nilai dengan tepat di antara belantara pilihan-pilihan dengan orang lain serta tuntutan pekerjaan. Doa itu yang menguatkanku dalam melayani, membedakan roh, dan mengambil keputusan. Sudah lama Gereja menyadari hal ini, “Kekudusan para imam besar sekali artinya untuk dengan subur menjalankan pelayanan mereka� (PO 12).

74


Kisah Para Pejuang A. Arfin Samosir


Seperti biasa, ceritanya juga mengandung makna. Tentang bocah kembar yang makan dari satu piring dan minum dari satu cawan. Begitu menginjak dewasa, biarpun wajahnya sama, masing-masing digerakkan oleh keinginan dan impian yang berlainan. - Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia) -

Kisah ini bukan tentangku, bukan tentang dia, dan bukan tentang kami. Kisah ini tentang mereka. Hidup mereka berada di bawah bayang-bayang penggusuran, dengan perjuangan untuk mengejar mimpinya. Beberapa dari mereka sampai harus mengais limbah untuk bertahan hidup. Mereka adalah sedulur-sedulur di Kampung Makasar, Cililitan Besar. Sejak tanggal 28 Juli 2016 mereka menerimaku. Selama dua minggu bersama, banyak dinamika yang kami alami. Nah, yang akan kubagikan di sini adalah narasi perjuangan hidup mereka di tepi Kota Jakarta. Konon, pada mulanya tanah mereka merupakan lahan garapan yang dipakai untuk bercocok tanam. Mulai dari jagung hingga cabai pernah ditanam oleh Pak Hadi, dua puluh tahun silam. Seiring dengan perpindahan masyarakat dari desa ke kota, tanah tersebut mulai beralih menjadi tempat tinggal untuk para perantau. Dalam keberagaman latar belakang, ada solidaritas antar warganya yang mampu melindungi mereka dari gangguan luar. Mereka merupakan komunitas yang hangat. Baru beberapa jam di sana, anak-anak setempat mengajakku untuk melihat pembangunan LRT (Light Rapid Transport) di belakang rumah Pak Hadi. Mata anakanak tersebut masih polos. Hidupnya saat ini dan di sini mungkin belum memikirkan bahwa alat-alat berat tersebut yang akan banyak membawa perubahan di sana. Dari sinilah aku disentil, bahwa saat kukatakan untuk “Jangan khawatir akan hari esok....� mereka telah melakukan hal itu dengan sendirinya. Malam hari biasanya rumah Bu Hadi ramai oleh pekerja-pekerja LRT yang ingin makan. 76


“Asli mana, Pak?”, tanyaku pada seorang pekerja proyek. “Saya dari Medan”, jawab Pak Ucok. Kami saling berbagi kisah. Di balik tubuh besarnya ternyata Pak Ucok menyimpan penyesalan yang mendalam. “Saya tidak berani, dek...”, katanya sambil menerawang jauh ke depan. Ia merasa khawatir dengan ini-itu apabila menguliahi anak perempuannya. Padahal menurutnya banyak juga teman-temannya yang berjuang untuk menyekolahkan anaknya sampai pendidikan tinggi. Ini baru satu kisah dari satu mulut yang berbicara. Ada lagi bapak bertubuh kekar yang berjuang untuk anaknya di kampung. “Bapakmu kerja ning lumpur, rapopo. Sing penting koe sekolah sing tinggi,” ucapnya sambil mengaduk es teh Hidup memang menyimpan banyak pengalaman untuk diperjuangkan. Sekarang pilihannya ada padaku. Apakah jalan terjal yang ingin kuambil, atau tetap di wilayah yang ombaknya tidak besar. Mungkin aku akan hilang di tengah samudera, namun aku akan bangga karena aku mau keluar dari diriku sendiri. Tak ada yang lebih indah selain menanggalkan sikap egois dan memberikan diri untuk orang lain. Aku sadar bahwa aku masih harus banyak belajar tentang pemberian diri dan Ia tahu itu. Tugas-Nya adalah memberi kesempatan untuk kami umat-Nya. Sekaranglah salah satu kesempatan itu, karena aku boleh mengolah sampah bersama kawan-kawan di Cililitan Besar. Sampah bisa dikategorikan dalam banyak jenis. Ada sampah botol, sampah kardus, sampah gelas, sampah kaleng, dan lain sebagainya. Belum lagi sampah botol bisa dibagi menjadi sampah botol plastik dan sampah botol kaca. Sampah botol plastik masih bisa dikategorikan lagi menjadi botol plastik putih, botol plastik biru, dan botol plastik selain biru-putih. Itu baru botolnya, pengolah sampah juga harus memisahkan botol dari tutupnya dan dari mereknya. Tutup botol bisa dijual lagi, pun sedotan bisa dihargai kembali. Jadi, bisa dibayangkan bahwa untuk memperolah hasil terbaik prosesnya sangat panjang. Memilah dan mengolah sampah bukan kegiatan yang mudah. Pertama-tama kami harus berani untuk keluar dari diri sendiri dan merawat apa yang ‘dibuang’ orang. Motivasi untuk keluar dari diri sendiri itu bisa bermacam-macam. Sebagian besar dari mereka dig77


erakkan oleh kebutuhan untuk menghidupi keluarganya. Ada Mang Kosim yang telah berjuang di sana selama hampir tujuh tahun. Ia mengibaratkan kegiatan mengolah sampah sebagai uang makan, dan upah bulanannya diperoleh dari RT setempat. Bagiku, lebih dalam dari sekedar tentang upah, ada kehidupan yang ingin diperjuangkan oleh mereka. Mereka berjuang untuk mewariskan bumi yang layak untuk generasi selanjutnya. Keringat mereka kerap kali tidak mendapat apresiasi, namun kelak ketekunan mereka pasti akan membuahkan hasil. Aku bisa belajar tentang ketekunan saat kebosanan kualami. Hasilnya baru bisa kulihat saat karung-karung siap diantar ke pabrik. Sedikit bagi kita, namun berarti banyak untuk bumi ini. Kembali pada proses pengolahan sampah botol. Setelah botol dipisahkan berdasarkan warnanya, botol-botol tersebut dikupas mereknya. Setelah dikupas, botol-botol itu diremas atau diinjak supaya karung bisa diisi banyak botol. Kalau diperhatikan dinamikanya dari awal, ditemukan pola yang unik untuk mengolah sampah menjadi berkah. Diambil-dipilih-dibersihkan-diperbaharui. Mang Kosim dan Pak Supri adalah sosok yang rajin mengambil sampah dari warga RT 02. Gerobak yang sudah terisi penuh dibawa ke tempat Pak Joko. Di situ ada beberapa orang berkumpul. Bu Supri membantu suaminya mengolah sampah dan seorang perempuan lain yang bercelana panjang sedang sibuk mengupas sampah gelas. Mas Didik “Bodong� mengisi karung-karung dengan sampah daur ulang. Dalam iringan musik dan lagu tempo dulu, sesekali mereka menggumamkan lagu yang populer pada masa jayanya. Inilah kebersamaan kami. Kebersamaan melahirkan kegembiraan bagi apapun panggilan kami. Dari sinilah aku diingatkan akan narasi kecil tentang kisah awal panggilanku. Aku adalah sampah. Andaikan aku tidak jadi memilih seminari mungkin aku sudah busuk di luar sana. Akan tetapi aku dipulung Allah. Gerobak dan karung-Nya sudah penuh dengan makhlukmakhluk sejenisku. Ia menyelamatkan aku. Jalannya memang terjal, namun dari sinilah aku dimurnikan. Bersama dengan teman-teman seperjalanan, kami saling mendukung untuk setia mengikuti Sang 78


Empu. Aku mendapat kawan seperjalanan baru ketika berada di tempat ini. Inspirator tidak selalu lahir dari tokoh-tokoh besar. Dalam rutinitas yang kerap disepelekan-pun ada bekal untuk perjalanan kami. Suatu ketika saat aku mengupas sampah bersama Ibu Nani. Warga sekitar memanggilnya Uti. Garis tangannya seolah mengisahkan perjalanan panjang dan keras hidupnya. Benar saja ia pernah menjadi asisten rumah tangga, pemulung, pekerja pom bensin, dan lain sebagainya. Singkat cerita ia harus berhadapan dengan polisi karena si anak polisi dipukul olehnya. Penyebabnya karena si anak menganggu Uti yang sedang bekerja. Menariknya, si Uti mengatakan, “Pak, saya mah pantes bersih-bersihin wc, mulungin sampah. Tapi bapak..., tolong ya..., kasih contoh kita-kita ini hidup baik.� Saat itulah untuk pertama kalinya aku dibuat merinding saat mendengar kisah mereka. Uti seolah yakin bahwa inilah jalannya dan demikian garisnya sampai akhir. Ia tidak menolak. Ia tidak lari. Aku jadi ingat kisah tentang Bunda Maria yang setia menemani Yesus di jalan salib-Nya. Ia sadar bahwa salib tak terelakan dari-Nya. Pemberian dirinya sepanjang jalan ke Kalvari sampai di bawah Salib Putranya merupakan jawaban akan perutusannya yang dari Bapa. Ia tidak menggerutu. Ia tidak mengutuki zaman. Tidak banyak kisah yang bisa kubagikan dalam lembar kertas ini, namun betapa bersyukurnya aku apabila kisah mereka menginspirasi pembaca. Dalam deru pancang yang menghujam nurani, mereka hanya punya narasi besar tentang kerasnya ibu kota. Mereka bukan wakil rakyat, mereka bukan pemakai seragam dinas. Dalam kebersamaan, mereka menjadi tangguh, dan bersama-sama pula mereka mengejar impian mulia.

79


Hati orang-orang kristen harus selalu terbuka terhadap dunia dan penderitaan dari saudara-saudari mereka. Bahkan, mereka yang jauh tidak boleh lupa untuk melibatkan mereka secara mendalam. St. Yohanes Paulus II

80


Sepotong Rencana-Nya yang Indah Albertus Bondika


Hidup layaknya suatu susunan gambar puzzle yang acak. Ada kalanya potongan yang satu bertemu pasangannya yang sesuai. Di lain waktu bisa menjadi kombinasi yang perlu dibongkar karena ternyata tidak berada di tempat yang sesuai. Dalam suatu perjalanan santai ke pasar, mataku tertangkap oleh seorang anak kecil yang tengah asik dengan susunan gambar-gambar puzzle-nya. Senyumnya tiba-tiba mengembang ketika ia menemukan pasangan yang sesuai. Di lain waktu matanya menyipit kebingungan mencari kombinasi yang sesuai. Tidak jarang pula bibirnya melengkung cemberut saat ia harus sedikit membongkar gambar yang kurang pas. Puas dengan pemandangan itu, aku melanjutkan perjalanan sambil tersenyum pada diriku sendiri. Baru saja aku mengikuti program Character Building Training (CBT) angkatan ke-8. Selama enam hari, aku bersama dengan 51 mahasiswi dan mahasiswa dari pelbagai tempat di Jakarta mengikuti serangkaian pelatihan karakter. Senyuman, kebingungan, dan rasa enggan adalah beberapa luapan emosi yang mengiringi prosesku di Wisma Canossa, Bintaro. “Ini training, bukan rekreasi,� suatu refrain yang terus diulang agar aku ingat bahwa kesempatan ini perlu diulang sampai pada masa panen dengan buah berlimpah. Ekspektasi Kisah ini sesungguhnya sudah berjalan jauh sebelum pelatihan ini dimulai. Di saat teman-teman yang lain pergi untuk menjalani live-in, aku diutus berdua untuk menjalani pelatihan ini. Bisa jadi aku termasuk dari beberapa orang yang pergi bukan atas keinginanku sepenuhnya. “begitu buruknya kah karakterku sehingga masih perlu dibentuk?� tanyaku dalam hati. Di tengah kesombonganku itu, aku memutuskan suatu langkah yang menurutku teramat sangat kekanak-kanakan. “Paling di sana 82


aku cuma jadi pengamat,â€? pikirku sebelum pergi. Hal ini semakin didukung oleh anggapanku bahwa kesempatan live-in adalah semata-mata untuk semakin kenal dengan sesamaku yang memiliki kehidupan berbeda. Singkat cerita, aku melangkahkan kaki dengan anggapan bahwa kesempatan CBT merupakan saat-saat untuk mengalami kehidupan mahasiswi dan mahasiswa dewasa ini, tidak lebih. Susunan gambar inilah yang sempat terpasang di benak-ku. Pada mulanya hal ini tidak terasa mengganjal di hatiku. Baru kemudian selama beberapa hari ke depan ada banyak potongan yang ternyata perlu dibenahi. Hidupku tengah berproses dalam kebersamaan untuk kembali mencari susunan gambar yang tepat bagi hidupku. Berbalik Arah Ceritaku masuk ke babak berikutnya ketika dalam perjalanan menuju ke Rumah Retret Canossa. Entah mengapa, bus yang kunaiki dari Semanggi itu masuk ke jalan yang salah. Semakin bingung aku dibuatnya ketika sang pengemudi memaksakan diri untuk terus melaju. Akibatnya, mobil ini hanya berputar-putar di tempat yang sama. Baru kemudian, kendaraan besar ini berbalik arah setelah mengakui bahwa jalan yang tengah ditempuhnya itu salah. Dalam sisa perjalanan selanjutnya, seakan ada sentuhan yang melunakkan hatiku. Sebuah peristiwa nyasar sederhana telah membuka mata hatiku yang beku. Aku merasakan bisikan Tuhan agar aku pun berani berbalik arah seperti bus yang kunaiki ini. Kerap kali aku terlampau percaya diri atas pengenalan diriku. Hal ini sayangnya membuat diriku tertutup. Selama ini aku hanya berputar-putar di tempat yang sama. Aku terbutakan oleh kekerasan kepalaku. Aku tersesat dalam pikiran yang menghambat perkembangan diriku sendiri. “Karena ketegaran hatimu lah Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu‌,â€? (Mat 19:8). Bangsa Israel tersesat karena hal ini. Akan menjadi suatu kebodohan bila aku mengulanginya. Kendati berat, aku mulai membuka diri seiring dengan jarak tempuh yang semakin dekat ke tempat pelatihan ini akan dilakukan. Pengalaman livein dalam dinamika CBT ini tidak sekedar menjadi kesempatan untuk mengamat-amati. Aku kini percaya bahwa ada rencana besar; Tuhan 83


yang sedang membentukku. Dalam jiwa yang lapang, di situ pula rahmat-Nya akan bebas berkarya. Peristiwa kecil baru saja membongkar susunan gambar yang sedang terbentuk. Meskipun pedih dan tidak mudah, aku akhirnya cukup lapang mengakui bahwa ada kombinasi puzzle yang kurang pas. Setelah terbongkar, ternyata hembusan rahmat-Nya justru lebih menyejukkan. Inilah saatnya bagiku untuk kembali menyusun diriku di tengah kebersamaan CBT. Buka dan Kosongkan Seorang ibu pernah menggambarkan hidup selayaknya sebuah gelas. Ketika gelas itu terisi penuh dengan air, tentu akan sulit menambah hal baru karena pada akhirnya tetap akan tumpah. Akan lebih parah jika gelas itu tertutup, sebab tidak akan ada hal lain yang pernah menyentuh gelas itu selain air di dalamnya. Untuk itulah seseorang harus berani membuka tutup. Ia perlu mulai mengosongkan dirinya. Saat itulah banyak hal baru yang akan mengalirkan suasana segar bagi gelas itu. Aku mulai melakukan hal itu sejak melangkahkan kaki di Rumah Retret Canossa. Aku mengosongkan asumsi-asumsi yang sempat memenuhi kepalaku. Kubuka lebar-lebar pintu hatiku untuk segala rahmat yang mulai mengalir. Perlahan-lahan aku mulai merasakan dan menyadari gambaran rencana-Nya yang semakin indah. Semakin terbuka dan menjadi kosong diriku, aku justru semakin mengenal diriku. Lewat pelbagai cara yang ditawarkan dalam dinamika CBT, aku dibantu untuk semakin sadar atas hidupku. Identitas diri ternyata tidak akan pernah habis untuk didalami. Selalu ada hal baru yang bisa kusyukuri. Demikian pula senantiasa kutemukan tangantangan-Nya yang memicu diriku untuk terus melangkah dan bertumbuh. “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku,� (Mat 19:21). Identitasku sebagai calon imam menjadi hal terakhir yang aku buka dan kosongkan. Sempat muncul rasa minder karena 84


takut akan penolakan yang mungkin muncul. Di sisi lain juga muncul dorongan untuk membanggakan hal ini demi mendapatkan previlese tertentu. Pada titik tertentu aku akhirnya hanya membiarkan ini mengalir. Identitas calon imam bukanlah sesuatu yang perlu disembunykan atau bahkan dibanggakan. Aku sadar bahwa di saat hidupku semakin terintegrasi dengan panggilan ini, di situ pula imamat menjadi identitasku. Cahaya hangat-Nya yang tidak terlalu menyilaukan memancar sebagai terang bagi sesama. Garam-Nya yang tidak sangat tawar juga menambah rasa kebersamaan yang terbentuk. Rasa syukur atas identitasku dan panggilan hidupku berbuah pada kesaksian hidup yang meneguhkan. Perlahan-lahan susunan puzzle diriku ini mulai menampakkan wajahnya. Kombinasi yang terbentuk tampak semakin sesuai. Tanpa kusadari aku ternyata tidak hanya menyusun gambaran diriku sendiri. Di saat yang bersamaan ada pribadi-pribadi lain yang akan bergabung dalam sketsa agung-Nya. Kisah yang Bersuara Di tengah pengenalan diriku yang semakin mengasikkan, tibatiba saja muncul dorongan untuk memalingkan wajahku. Ternyata di ruangan yang sama terdapat 51 pribadi berharga yang juga sedang membangun dirinya. Kupejamkan mata dan getaran itu mulai terasa. Layaknya suatu simfoni orchestra, tengah terbentuk suatu harmoni dalam kebersamaan yang beragam. Masa pertumbuhan remaja akhir hingga menjelang dewasa muda bisa jadi merupakan saat-saat yang paling acak. Aku menemukan kisah yang paling bahagia hingga yang cukup memprihatinkan. Di saat yang sama ekspresi sukacita berbaur bersama tangisan yang memilukan. Banyak orang mengatakan bahwa periode ini menjadi saat yang labil dan kekanak-kanakan. Ternyata bukan itu yang kualami dan kurasakan. Inilah saat paling kaya dan berharga bagi generasi penerus bangsa dan Gereja di masa depan.

85


“… semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama…,” (Kis 2:44). Dalam situasi CBT angkatan ke-8 ini, ruang dan telinga menjadi sangat dibutuhkan. Dinamika CBT telah mewadahi tempat untuk berbagi dan menyuarakan diri. Di saat yang sama, telinga setiap pribadi menjadi senjata utama untuk semakin memadatkan persaudaraan. Kisah anak muda yang kerap disepelekan mulai berubah menjadi suara-suara surgawi yang lembut. Betapa indahnya menyuarakan cerita jatuh cinta yang murni dan tulus pada pengalaman pertama. Rasa sakit juga menyentuh hati ketika relasi dengan orangtua berubah menjadi tidak mudah. Bahkan ada emosi pengampunan yang turut membara ketika kisah kejatuhan pada kegelapan hidup mulai dapat ditinggalkan. Inilah kisah insan muda dunia yang juga punya kesempatan untuk bersuara dan didengarkan. Lebih dari itu, hal ini juga punya tempat untuk turut membangun cerita dunia. Kini aku tidak lagi bicara mengenai potongan puzzle diriku semata. Bersama yang lain, aku tengah membangun gambaran besar dunia. Aku sadar sepenuhnya bahwa susunan ini belumlah selesai. Dunia akan terus berkembang. Diriku pun masih akan bertumbuh. Permasalahannya kini, aku perlu menemukan perananku dalam kebersamaan ini. For and With Others “Fire enkindles other fire.” Kalimat itu kusuarakan sebagai lagu sederhana sebelum menyalakan api unggun. Aku membayangkan bahwa ada 52 nyala lilin yang tengah bergerak. Kendati demikian, api tidak dimulai dari kekosongan. Ada Sang Sumber yang memicu apiapi yang lain. Dalam kesadaran inilah aku mulai menemukan posisiku di tengah kebersamaan ini. “Dalam millennium ketiga panggilan imam tetap akan merupakan panggilan untuk menghayati imamat Kristus yang tunggal dan lestari … dan dengan demikian menanggapi harapan-harapan manusiawi secara memadai,” (PDV art. 5). Sebagai imam kelak, aku senantiasa berlatih untuk menghadirkan Tuhan di tengah dunia. Tentu hal ini didahului oleh relasiku yang semakin erat dengan-Nya. Kaum muda adalah salah satu wajah dunia yang tidak boleh terlupakan. Juga di sini, api 86


cinta-Nya akan mulai menyebar dan terus membakar dunia dengan kasih. Secara khusus dalam penghayatanku sebagai Imam Diosesan, suara kaum muda di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) tentu tidak bisa diabaikan. Di tangan mereka lah kunci Kerajaan Surga. Di sini lah strategi jitu untuk mengusahakan cita-cita dalam mewujudkan Kerajaan Allah di dunia. Pengalaman ini banyak membuka kesadaranku untuk turut membangun dunia yang lebih baik. Dimulai di KAJ, sudah saatnya teman-teman muda menggemakan suara surga dari kisahkisah yang berbicara. Susunan gambar sudah semakin meluas. Tidak ada yang tahu jika suatu saat ada sudut-sudut yang perlu kembali dibongkar. Tetapi, terbuka adalah sikap yang perlu dijaga. Terlebih dengan suatu kesadaran bahwa gambaran kisahku ini hanyalah sepotong rencana-Nya yang indah.

87


HIdup bersama yang tidak membuahkan belarasa TIDAK BISA disebut persaudaraan, melainkan sekedar kelompok atau bahkan KOMPLOTAN. Mgr. Ignatius Suharyo dalam Surat Gembala Prapaskah KAJ 2013

116


Menemukan Belas Kasih Di Kampung Ujung Carolus Budhi P.


Iklan-iklan properti di Jakarta senantiasa menawarkan hunian yang besar dan nyaman untuk ditinggali. Akan tetapi, sebagian kecil warga Jakarta sudah merasa cukup memiliki ‘rumah’ di Kampung Ujung sembari menemani jasad yang tidur dalam kedamaian. Hanya ada satu dambaan mereka, yaitu tetap tinggal bahagia di sana sampai ujung kehidupan menjemput. Selama dua minggu (28 Juli – 10 Agustus 2016) aku dan Arfin menjalani live-in bersama warga binaan FAKTA (Forum Warga Kota Jakarta) dalam rangka mengembangkan keprihatinan sosial bersama umat. Kali ini, aku tinggal bersama Ibu Lastri di Kampung Ujung. Tidak pernah terbayangkan olehku keberadaan kampung tersebut yang berada di atas lahan Kuburan Cina, Kebon Nanas, Jakarta Timur. Bongbong adalah tempat orang Tionghoa membaringkan sanak saudara mereka. Pekuburan tersebut diubah menjadi suatu perkampungan kecil sejak tahun 1990-an. Istilah “ujung” hanya berlaku bagi orangorang yang telah istirahat dalam damai, sedangkan bagi warga kampung setempat tidak ada “ujung” atas perjuangan hidup mereka. Kesiapsediaanku Diuji Agar Mampu Membuka Hati Pada tahun ini, kami mendapatkan kebebasan untuk memilih tempat live-in. Awalnya aku berencana untuk tinggal bersama mantan pecandu narkotik yang dibimbing oleh Romo Somar, MSC di Sentul. Akan tetapi, rencana awal harus diurungkan karena alasan perizinan dan hal lain yang lebih berharga. Betapa berharganya bisa hadir di tengah orang-orang sederhana dalam kota Megapolitan Jakarta. Oleh karena itu, aku memilih FAKTA untuk mendampingi dan memfasilitasi harapanku. Bapak Yoko, seorang yang bertanggung jawab dengan warga binaan, menempatkanku di Kampung Ujung bersama Mak Lastri. Mak Lastri adalah seorang janda sederhana yang seharihari berjualan tissue di lampu merah Jl. Ottista III. 90


Belum selesai dengan bayangan profesiku kelak, aku terkejut dengan situasi Kampung Ujung yang berbeda dengan tempat tinggalku selama ini. Bau kurang sedap dari sampah yang menumpuk, ayam dan bebek yang berkeliaran dengan bebas, kondisi MCK yang kurang bersih, dan asap buangan rokok adalah situasi yang harus aku hadapi. Belum lagi aku akan tinggal di rumah Mak Lastri, yang dulunya merupakan tempat tidur kambing, dan tidak lebih luas dari kamarku di seminari. Sebagai calon imam aku sering diingatkan agar siap sedia dan berani ke luar dari zona nyaman, dan kini kesiapsediaanku diuji. Yesus memberi teladan kepada para murid untuk memberi perhatian kepada saudara-saudara yang sederhana, kecil, lemah, dan tersingkir. Hal tersebut sering aku dengarkan, dan inilah saatnya undangan itu diberikan kepadaku untuk hadir dan menemukan wajah-Nya di tengah mereka. “Marilah dan kamu akan melihatnya (Yoh 1:39).� Sebagaimana para rasul yang meninggalkan segala sesuatu setelah dipanggil oleh Yesus (Luk 5:11), aku diajak memiliki kesiapsediaan untuk diutus. Oleh karena itu, aku merenungkan kembali motivasiku menjalani live-in. Aku termotivasi untuk hadir dalam kehidupan orang-orang sederhana dan membangun semangat option for the poor sebagai wujud konkrit dari iman. Aku berusaha membuka hati terhadap setiap pengalaman selama live-in dan dimaknai sebagai perjumpaan bersama Allah yang senantiasa membentuk panggilanku. Wawanhati Kehidupan dengan Ibuku Tinggal bersama Mak Lastri menjadi pengalaman yang mengesankan, karena aku telah dianggap dan diperkenalkan sebagai anaknya. Mak Lastri sendiri tidak dikaruniai anak. Sebagaimana seorang ibu, Mak Lastri berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya. Pada saat kondisinya sehat, ia akan memasak makanan untukku dan apabila tidak sempat memasak ia akan membeli makanan di warung. Terkadang aku merasa sering merepotkannya dan kemudian mengungkapkan hal ini kepadanya. Mak Lastri menanggapi bahwa segala yang dilakukannya berdasarkan rasa sayang seorang ibu kepada anaknya. Dalam kesederhanaannya, aku tersentuh dengan kebaikan dan kemurahan hatinya. Sebagai pemilik rumah, ia membukakan pintu 91


kepadaku untuk masuk dalam kehidupannya dan merasakan kebaikannya. Setelah direfleksikan, aku diajak untuk melampaui rasa belas kasihan, seolah-olah aku berada dalam posisi yang lebih beruntung dari padanya. Lebih dari pada itu, aku diajak untuk turut merasakan kasih yang tulus dari orang-orang sederhana. Demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Mak Lastri berjualan tissue di lampu merah Jl. Ottista III, Jakarta Timur. Biasanya, Mak Lastri membeli 40 tissue di Pasar Ciplak, lalu menjualnya dari pagi hingga tengah hari. Aku terpacu untuk rajin menjual tissue, karena seorang peserta live-in FAKTA sebelumnya lebih banyak duduk dan malu berjualan. Saat pertama kali berjualan, rasa malu adalah hal yang harus dihadapi dan dilampaui. Aku merasa malu karena mengandaikan akan berjumpa dengan orang yang dikenal. Apalagi dengan postur tubuhku yang besar tidak mungkin orang-orang akan percaya dan membeli daganganku. Sebagai pedagang, aku menawarkan tissue kepada supir angkot, pengendara motor, supir truk, pengendara mobil militer, pengendara mobil mewah, bahkan mobil yang di dalamnya terdapat rosario dan patung Bunda Maria. Kerap kali aku harus mengatasi rasa malu dan kecewa apabila langsung ditolak, khususnya ditolak pengandara yang berhiaskan simbol Krstiani. Pengalaman ditolak ini menjadi refleksi bagiku, bahwa mungkin selama ini aku pun melakukan hal yang sama kepada orang-orang sederhana. Lebih dari itu, aku disadarkan bahwa melalui kehadiran orang-orang sederhana, Allah pun hadir dan ingin mengetuk hati umat manusia agar mempunyai belas kasih kepada sesamanya. Selama berjualan bersama Mak Lastri, aku pernah mendapatkan hasil terkecil sebesar Rp. 3.000,00 sedangkan terbesar Rp. 39.000,00. Apabila dibandingkan dengan Mak Lastri, ia mendapatkan sekitar Rp. 60.000,00 s.d. Rp. 120.000,00. Aku pernah mengungkapkan rasa tidak enakku kepada Mak Lastri, karena hasil jualanku yang tidak laris dan memotong separuh rejekinya. Akan tetapi, Mak Lastri tetap membalas dengan senyuman dan mengungkapkan rasa bahagianya karena ada pemuda yang masih peduli dan mau membantu dirinya berjualan. 92


Aku memiliki prasangka awal mengenai pembeli tissue Mak Lastri, bahwa banyak di antara mereka memberi uang lebih karena merasa iba dengan Mak Lastri yang tua dan pincang. Akan tetapi, dari hari ke hari aku menyadari bahwa hasil yang didapatkan oleh Mak Lastri adalah buah kerja keras dan kesabaran. Hasil yang didapatkan pun tidak sekadar untuk dirinya sendiri, tetapi dibagikan pula kepada sesama. Kerapkali aku mendapati Mak Lastri memberi uang jajan kepada anak-anak tetangganya (Depa, Surya, dan Nanang).Ia tidak segansegan berbagi makanan dengan tetangganya yang hidupnya lebih memprihatinkan. Sebagai seorang janda yang hidup sederhana, Mak Lastri tidak lupa berbagi dengan saudara-saudara yang tidak punya. Dari kesederhanaan dan tindakannya, aku teringat akan tokoh Janda Miskin dalam Luk 21:3 yang menurut Yesus telah memberi lebih besar dari banyak orang. Apabila si Janda Miskin mempersembahkan dua peser uang miliknya sebagai persembahan kepada Allah, Mak Lastri memberikan pula persembahan kepada Allah dalam perjumpaan-perjumpaan dengan sesamanya. Dalam perbicangan dari hati ke hati, aku berusaha mendengarkan dengan sepenuh hati apa yang disampaikannya. Mak Lastri hanya berharap agar rumahnya tidak digusur dan jangan sampai ia tertangkap satpol pp untuk dibawa ke panti sosial. Ia tidak membutuhkan rumah besar atau rumah susun pemberian pemerintah, Mak Lastri hanya membutuhkan ‘rumah’ yang hangat dan penuh kekeluargaan seperti di Kampung Ujung. Walaupun dihimpit kesulitan ekonomi, suasana Kampung Ujung telah menghadirkan keluarga dekat bagi dirinya. Mak Lastri memberi pesan terakhir sebelum aku pulang, “Dek, kamu itu tidak bakat jualan kayak ibu, kamu itu bakatnya jadi romo. Nanti kalo udah jadi orang ‘gede’ jangan lupa dengan pengalaman di sini dan orang-orang sederhana seperti ibu.” Aku merasa tersentuh dengan pesan ibu, karena di dalamnya terdapat doa orang sederhana dan bahkan tidak seagama denganku, tetapi Mak Lastri mendukung panggilanku. Ia mengingatkanku agar menjadi romo yang tidak sibuk melayani orang-orang yang mapan, melainkan tetap peduli untuk pada orang-orang sederhana. 93


Menjadi Calon Imam yang Berbelas Kasih Pengalaman hidup bersama dengan orang-orang sederhana di tengah kota Jakarta, turut membantuku dalam menghayati Tahun Kerahiman Allah. Mereka turut membantuku untuk memiliki semangat Sentire Cum Ecclesiae dengan Gereja Keuskupan Agung Jakarta. “Meningkatkan belarasa melalui dialog dan kerjasama dengan semua orang yang berkehendak baik untuk mewujudkan masyarakat yang adil, toleran dan manusiawi khususnya untuk mereka yang miskin, menderita dan tersisih. (Ardas 2016-2020)â€? Kata kunci yang hendak aku bangun sesudah menjalani live-in adalah menjadi calon imam yang berbelas kasih. Akan tetapi, sejauh mana aku sendiri memaknai dan menghidupi belas kasih? Aku terbantu oleh permenungan St. Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Dives in Misericordia (DM) untuk memahami belas kasih Bapa dalam inkarnasi Yesus Kristus dan Penyertaan Roh Kudus. Kerap kali kita memahami belas kasih dalam tataran yang tidak setara, yaitu pemberi-penerima, seolah-olah penerima menjadi objek belas kasih (DM 6). Namun sebenarnya, dalam relasi belas kasih itu sendiri mengandaikan kesetaraan martabat sebagai manusia yang diciptakan dan dikasihi Allah. Sebagai imam kelak, aku diajak menjadi saksi iman Gereja yang berdiri dan berjuang bersama para umat dalam setiap keprihatinan umat dan juga untuk mendukung kekuatan iman umat dalam setiap pengalamannya (lih. Kamu Adalah Saksiku No. 189). Kesadaran akan kerahiman Allah dalam diri manusia akan berkembang sejauh â€œâ€Śia sendiri secara batiniah mau diubah dalam semangat mengasihi sesamanya (DM 14).â€? Belas kasih bukan sekadar mempuyai rasa iba terhadap orang-orang sederhana, tetapi aku didorong mempunyai kemurahan hati. Dari pengalaman bersama Mak Lastri aku belajar bermurah hati yang nyata karena pada kesempatan yang sama aku pun menerima kemurahan hati darinya (DM 14). Semoga dalam persiapan dan perjalanan imamatku kelak, aku mampu mengikuti teladan Yesus yang menghadirkan belas kasih Bapa dalam dunia sebagaimana diamanatkan Yesus: Hendaklah kamu murah hati seperti Bapa (Luk 6:36). 94


Lantai

Oleh: Karol Wojtyla (St. Yohanes Paulus II) Kaki kita bertemu bumi di ruangan ini ada banyak tembok dan tiang yang menopang atap namun kita tidak tersesat. Jika kita temukan makna dan keutuhannya, ia adalah lantai yang menuntun kita. Lantai itulah yang menghubungkan kamar-kamar dalam gedung yang megah ini, dan menyatukan kamar-kamar batin kita, yang sadar akan kelemahan dan kekurangannya Petrus, engkaulah lantai, supaya sesamamu boleh berjalan di atasmu (tanpa mengetahui ke mana mereka pergi) Engkau menuntun langkah mereka, Sehingga ruangan ini satu di mata mereka, dan dari dalam mereka lahir pemahaman bersama. Engkau ingin melayani kaki-kaki mereka yang lewat bagai karang melayani injakan kuku-kuku domba. Karang adalah lantai Gereja yang kuat, Salib padang gembalaan (Puisi-Puisi Karol Wojtyla, terj. Watu Yohanes Vianney, 2002)

95


Yesus tinggal di sekitar Anda, dalam diri sadara-saudari dengan siapa Anda menghayati eksistensi keseharian Anda. Ia mengambil wajah orang miskin, orang-orang yang terpinggirkan. Di mana ada orang yang menderita karena hak-haknya dilanggar, harapannya dikhianati, kecemasannya diabaikan, Yesus tinggal di sana. Di sanalah, di tengah umat manusia, Yesus tinggal, dan memintamu untuk menghapus setiap air mata dalam nama-Nya dan untuk mengingatkan siapa saja yang merasa kesepian bahwa yang menaruh harpaannya dalam Kristus tak akan pernah kesepian. St. Yohanes Paulus II



Bersama Mereka: Suara dari Tepi Kota. Ada orang tinggal di tepi kota —menatap kota dari tapal batas— bersuara di kejauhan. Suara yang kalah lantang dari deru mesin pabrik, suara kendaraan, dan hiruk-pikuk di tengah kota —suara yang kalah lantang dari kebisingan akal dan budi manusia yang telah menikmati kota... Suara-suara tersebut telah kami dengarkan dalam dialog dan kebersamaan dengan mereka. Terdorong oleh suara-suara yang telah menyentuh hati, kami ingin meneruskan seruan hati mereka melalui buku refleksi ini, BERSAMA MEREKA: SUARA DARI TEPI KOTA.

Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II

KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA

Jl. Cempaka Putih Timur XXV No. 7-8, Jakarta, Indonesia Kode Pos: 10510, Telp. (021) 420 3374, 420 7480 Facebook: Seminari Tinggi Yohanes Paulus II


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.