BULETIN BAWASLU RI Februari 2015

Page 1

EDISI 2, FEBRUARI 2015

BAWASLU BULETIN

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM

Dari Bawaslu Kita Selamatkan Pemilu Indonesia

UU Pilkada, Jalan Panjang Legislasi Demokrasi Lokal Ketua DKPP, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, MH

Ketua Bawaslu, Prof. Dr. Muhammad, S.IP., M.Si

Hukum dan Etika Penyelenggara Negara

Partisipasi Masyarakat Kunci Pengawasan Pemilu

HAL: 26

HAL: 18

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

www.bawaslu.go.id


UM

BADAN

N

PE

Mematangkan Demokrasi Lokal

AS PEMIL AW IH A NG

UM

IK INDO

A S L U

I

N

E

B

BL

W

R

P

U

SI

A

RE

A

-

Buletin BAWASLU ini diterbitkan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum, sebagai wahana informasi kepada khalayak serta ajang komunikasi keluarga besar pengawas Pemilu di seluruh tanah air. Terbit satu bulan sekali.

Penerbit: Bawaslu RI Pengarah: Prof. Dr. Muhammad, S.IP., MSi, Nasrullah, SH., Endang Wihdatiningtyas, SH., Daniel Zuchron, Ir. Nelson Simanjuntak Penanggung Jawab: Gunawan Suswantoro, SH, M.Si Redaktur: Jajang Abdullah, S.Pd, M.Si, Tagor Fredy, SH, M.Si, Drs. Hengky Pramono, M.Si, Ferdinand ET Sirait, SH, MH, Pakerti Luhur, Ak, Nurmalawati Pulubuhu, S.IP, Raja Monang Silalahi, S.Sos, Hilton Tampubolon, SE, Redaktur Bahasa: Saparuddin, Ken Norton Pembuat Artikel: Falcao Silaban, Christina Kartikawati, M Zain, Ali Imron, Hendru Wijaya, Anastasia, Irwan, Deytri Aritonang; Design Grafis dan Layout: Christina Kartikawati, Muhammad Zain, Muhtar Sekretariat: Tim Sekretariat Bawaslu Alamat Redaksi: Jalan MH. Thamrin No. 14 Jakarta Pusat, 10350. Telp./Fax: (021) 3905889, 3907911. www.bawaslu.go.id

2

Setelah melalui perdebatan yang panjang, DPR akhirnya mengesahkan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dalam rapat paripurna, 17 Februari 2015. Dengan adanya undang-undang itu, penyelenggara pemilu dan para penggiat pemilu akhirnya punya payung hukum yang pasti mengenai penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Tetapi, penetapan undang-undang itu menuai banyak kritis. Tidak banyak perubahan yang diusung UU tersebut jika dibandingkan UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Malah, Revisi UU itu banyak mengubah klausul dalam perppu yang justu jadi langkah balik ke UU 32/2004. Dalam mengawal revisi UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, Bawaslu mengusulkan penyelesaian sengketa pemilihan bupati dan walikota dapat diserahkan kepada Bawaslu Provinsi. Sedangkan penyelesaian sengketa proses dalam pemilihan gubernur

diserahkan kepada Bawaslu RI. Bawaslu juga meminta DPR memasukkan klausul sanksi pidana praktik politik uang. Sebab, perppu hanya mengatur soal praktik yang dapat dikategorikan sebagai politik uang, namun tidak mengatur sanksinya. Bawaslu juga menilai perlu diatur mengenai penjatuhan sanksi administrasi tanpa harus menunggu proses hukum di luar proses sanksi administrasi. Sayangnya, masukan-masukan itu tidak dituangkan dalam revisi UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Untuk itu, harus ada langkah progresif baik dari Bawaslu maupun Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengisi beberapa kekosongan hukum dalam revisi UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Di antaranya, Bawaslu harus tahu bagaimana caranya menjerat peserta pemilu yang terjerat dalam praktik politik uang. Dengan demikian, demokrasi lokal akan semakin matang. Imbasnya, demokrasi di tingkat nasional pun semakin mapan.

Salam Awas

DAFTAR ISI Dari Redaksi Laporan Utama UU Pilkada, Jalan Panjang Legislasi Demokrasi Lokal Sorotan Sentra Gakkumdu Tidak Efektif, Mungkinkah Bawaslu Jadi Eksekutorial? Opini Memercayakan Hasil Sengketa Pemilu kepada Bawaslu Investigasi Memelihara Ruang Curang dalam Pemilu Bawaslu Terkini Laporan Pengawasan Pemilu, Demi Pemilu Mendatang yang Lebih Baik

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

2

3

6

9

11

12

Info Bawaslu Bawaslu Targetkan Laporan Keuangan Berpredikat WTP

13

UU Pilkada, Jalan Panjang Legislasi Demokrasi Lokal Setelah lama dibahas, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) akhirnya mendapatkan payung hukum yang pasti. Dalam waktu yang panjang pula penyelenggaraan pilkada serentak 2015 tidak dipayungi hukum yang pasti. Pasca penetapan Revisi UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akhirnya dan pemangku kepentingan pilkada memiliki pegangan yang kokoh soal penyelenggaraan demokrasi di tingkat lokal. ILUSTRASI: MUHTAR

Divisi Update Partisipasi Masyarakat Kunci Pengawasan Pemilu

18

Kewenangan Hasil Sengketa Pilkada Belum Jelas, Bawaslu Nyatakan Siap Fasilitasi

20

Sudut Pandang Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggaraini: Pilkada 2015 Terlalu Dipaksakan Profil Ketua DKPP, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, MH

22

Ekspose Daerah

26

Galeri

32

24

P

engaturan ulang soal penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) sudah dibahas sejak 2010. Pembahasan Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) telah dilakukan pemerintah dan DPR sejak setahun setelah DPR hasil Pemilu 2009 dilantik. Berbagai perubahan klausul substansial terus mewarnai pembahasan itu. Tak ayal, pembahasan bergulir hingga beberapa kali masa sidang. Perbedaan pendapat bukan hanya terjadi di antara pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan DPR, terutama Komisi II. Bahkan di internal DPR pun terjadi perbedaan pendapat, terutama antar-fraksi di dewan. Di injury time masa jabatan DPR

periode 2009-2014, parlemen akhirnya memutuskan menetapkan RUU Pilkada. Rancangan itu menjadi UU pada 26 September 2014, hanya lima hari sebelum anggota DPR periode 2014-2019 dilantik. UU itu menuai banyak protes dan kritis. Sebabnya, DPR merebut suara rakyat untuk menentukan pemimpin daerahnya secara langsung. DPR menetapkan pemilihan kepala daerah, baik gubernur, maupun bupati/walikota dikembalikan ke DPRD. Bukan hanya menyulut kemarahan mayoritas masyarakat, keputusan itu juga turut merepotkan KPU dan Bawaslu. Pasalnya, kedua penyelenggara pemilu itu, pasca Pemilu 2014 terlanjur menyiapkan rancangan peraturan terkait pilkada 2015 secara langsung. Beruntung, kerepotan itu tidak perlu

berlangsung lama, mengingat presiden akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Perppu itu mengembalikan kedaulatan rakyat dengan mengatur mekanisme pilkada secara langsung oleh rakyat. Tetapi, KPU dan Bawaslu belum dapat sepenuhnya bebas bergerak menerbitkan peraturan pilkada langsung. Soalnya adalah, DPR belum menyetujui Perppu 1/2014 dan mengesahkannya menjadi UU meski memang sebelum ada aturan baru, perppu tersebutlah yang berlaku. Terlebih, DPR kerap memunculkan wacana mengevaluasi Perppu 1/2014 itu. DPR menilai, perppu itu masih mengandung banyak kekurangan karena memang disusun dalam waktu yang sangat singkat.

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

3


Sambungan: UU Pilkada .... Pergerakan KPU dan Bawaslu dalam menyiapkan pilkada serentak 2015 baru mendapat ruang yang lebih luas setelah DPR akhirnya secara bulat menyetujui penetapan Perppu Pilkada menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR 20 Januari 2015. Perppu itu ditetapkan tanpa ada satu pun perubahan dari perppu yang diterbitkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Saat menyampaikan pidato dari Komisi II DPR, Ketua Komisi II Rambe Kamarul Zaman meminta kepada pemerintah untuk mengundangkan Perppu yang disetuji DPR agar segera dilakukan perbaikan. Ia menyebutkan, Komisi II telah menyepakati beberapa poin perbaikan terhadap Perppu Pilkada. Sementara Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo dalam pidatonya menyampaikan mengenai perubahan-perubahan atas materi dalam muatan Perppu Pilkada, yang telah disetujui dan ditetapkan menjadi UU, salah satunya mengenai tahapan pelaksanaan, penyelesaian sengketa, dampak Pilkada serentak, pemerintah berpendapat, hal ini perlu dibicarakan lebih lanjut di DPR. Tjahjo mengatakan, pemerintah membuka diri untuk membahas peruba-

Pemerintah membuka diri untuk membahas perubahanperubahan yang diperlukan bersama DPR. Dia menyampaikan optimismenya, bahwa perubahan itu tidak akan mempengaruhi tahapan Pilkada yang telah disusun oleh penyelenggara pemilihan bupati, walikota dan gubernur.

Tjahjo Kumolo

MENTERI DALAM NEGERI

han-perubahan yang diperlukan bersama DPR. Dia menyampaikan optimismenya, bahwa perubahan itu tidak akan mempengaruhi tahapan pilkada yang telah disusun oleh penyelenggara pemilihan bupati, walikota dan gubernur. Faktanya, penetapan Perppu 1/2014 tidak jua membuat KPU dan Bawaslu segera menetapkan peraturan peraturan terkait pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. “Kami belum akan menetapkan (peraturan KPU) karena pembahasan (revisi UU) kan belum. Nanti kami akan berkomunikasi lagi dengan pihak DPR karena mereka sudah menjadwalkan batas akhir revisinya 18 Februari,” kata Ketua KPU Husni Kamil Manik, Senin (2/2/2015). Meski demikian, baik Bawaslu dan KPU sudah menyiapkan draft regulasinya. Dengan begitu, ketika revisi UU telah ditetapkan, hanya perlu sedikit penyesuaian saja. Revisi UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Banyak pihak mengawal revisi UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Pemilihan Gubernur, Bupati dan

Walikota, di antaranya Bawaslu. Salah satu isu yang disoroti Bawaslu adalah sengketa pencalonan. Bawaslu berpendapat, penyelesaian sengketa di tingkat kabupaten/kota sangat berisiko. Sebab, penanganan sengketa sangat dekat dengan sumber konflik di daerah pemilihan. Selain itu, konflik kepentingan sangat tinggi ketika yang menyelesaikan sengketa adalah panitia pengawas pemilu (panwaslu) kabupaten/kota. Atas permasalahan itu, Bawaslu mengusulkan penyelesaian sengketa untuk pemilihan wupati dan walikota dapat diserahkan kepada Bawaslu Provinsi. Sedangkan penyelesaian sengketa proses dalam pemilihan gubernur diserahkan kepada Bawaslu RI. Bawaslu juga mengusulkan ketentuan uji publik dalam tahapan pemilihan dihapuskan. Pasalnya, mekanisme tersebut menyita banyak waktu. Bawaslu juga meminta DPR memasukkan klausul sanksi pidana praktik politik uang. Sebab, perppu hanya mengatur soal praktik yang dapat dikategorikan sebagai politik uang, namun tidak

Kami belum akan menetapkan (peraturan KPU) karena pembahasan (revisi UU) kan belum. Nanti kami akan berkomunikasi lagi dengan pihak DPR karena mereka sudah menjadwalkan batas akhir revisinya 18 Februari

Husni Kamil Manik KETUA KPU

MERDEKA.COM

4

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

mengatur sanksinya. Bawaslu juga menilai perlu diatur mengenai penjatuhan sanksi administrasi tanpa harus menunggu proses hukum di luar proses sanksi administrasi. Hal lain yang diusulkan Bawaslu adalah penambahan klausul pengaturan tentang larangan bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah provinsi, kabupaten/ kota lain untuk terlibat dalam kampanye Pemilihan di provinsi, kabupaten/kota lain. Sementara itu, Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Didik Supriyanto mengatakan, dibandingkan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pileg, Perppu 1/2014 memang memiliki kelebihan. Perppu itu mengatur tujuh substansi baru, yaitu (1) pencalonan tunggal, (2) pencegahan politik dinasti, (3) uji publik, (4) pembatasan dana kampanye, (5) penyelesaian sengketa hasil pemilihan ke MA, (6) pemungutan dan penghitungan suara elektronik, dan (7) pilkada serentak. Tetapi, kata Didik, pengaturan tujuh substansi ini menimbulkan ketidakpastian hukum karena masing-masing berpeluang dibawa ke MK, baik karena terdapat ketidakjelasan dan kontradiksi atau karena dinilai melanggar konstitusi. “Demi keadilan dan kepastian hukum penyelenggaraan pilkada, Perppu 1/2014 (yang telah ditetapkan menjadi UU 1/2015) harus direvisi,” katanya. Dia menilai, UU Pilkada harus memastikan bahwa waktu penyelenggaraan pilkada cukup delapan bulan, yaitu enam bulan meliputi pendaftaran pemilih, pendaftaran calon (termasuk uji publik atau pengenalan calon), kampanye, serta pemungutan suara dan penghitungan suara di TPS. Sedangkan dua bulan sisanya untuk rekapitulasi penghitungan suara, penetapan hasil, penyelesaian sengketa hasil pilkada, dan pelantikan. Didik berpendapat, selain pengaturan uji publik atau pengenalan calon, beberapa isu yang harus dibahas dalam perubahan UU 1/2015 adalah perapian sistematika, penggunaan nomenklatur, susunan tahapan pelaksanaan, model pencalonan (tunggal atau pasangan), pembatasan dana kampanye (ruang lingkup dan bentuk sanksi), serta formula calon terpilih (cukup satu putaran atau perlu putaran kedua).

Demi keadilan dan kepastian hukum penyelenggaraan pilkada, Perppu 1/2014 (yang telah ditetapkan menjadi UU 1/2015) harus direvisi

Didik Supriyanto KETUA PERLUDEM

Penetapan Revisi UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tanpa banyak menghiraukan masukan publik, DPR mengesahkan Revisi UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pada 17 Februari 2015. Tidak banyak perubahan yang diusung UU tersebut jika dibandingkan UU 32/2004. Malah, Revisi UU itu banyak mengubah klausul dalam perppu yang justu jadi langkah balik ke UU 32/2004. Di antaranya, menghapuskan tahapan uji publik. Beberapa masukan Bawaslu juga tidak dimasukkan. Salah satu poin penting usulan Bawaslu yang dituangkan dalam UU itu adalah pengaturan soal tugas, wewenang dan kewajiban pengawas tempat pemungutan suara (TPS). Dalam laporannya di hadapan sidang Rapat Paripurna, Rambe menjelaskan Komisi II menyepakati beberapa hal. Di antaranya, pemilihan secara berpasangan. Terkait ambang batas, perolehan kemenangan pasangan calon ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak, “Salah satu tujuan yang hendak dicapai adalah efisiensi baik dari sisi waktu maupun anggaran,” terang Rambe yang juga politisi dari partai Golkar. Dalam laporan juga dijelaskan, mengenai kesepakatan bahwa akan dilaksanakan pilkada serentak dalam beberapa tahap yang dimulai Desember 2015, serta pelaksanaan pemilihan serentak nasional tahun 2027. [Dey]

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

5


Opini

Sentra Gakkumdu Tidak Efektif, Mungkin Bawaslu Jadi Eksekutorial?

K

eberadaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam pesta demokrasi di Indonesia terbilang tidak sebentar yakni sejak April 2008 atau sekitar 7 (tujuh) tahun. Namun keinginan untuk memperkuat lembaga yang bermarkas di Jalan MH. Thamrin No. 14 Jakarta Pusat ini, belum sepenuhnya atau masih setengah hati. Pertama dibentuk dengan UndangUndang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, Bawaslu diberikan kewenangan yang masih jauh dari harapan. Ketika dipimpin oleh Nur Hidayat Sardini dan Bambang Eka Cahya Widodo, Bawaslu hanya dianggap sebagai ‘tukang pos’ karena kewenangan yang diberikan masih ala kadarnya. Gambaran ‘tukang pos’ yang dimaksud di sini, adalah karena kewenangan Bawaslu yang hanya bisa mengantarkan sebuah pelanggaran kepada lembaga terkait untuk ditindaklanjuti. Contohnya, jika terjadi pelanggaran administrasi maka Bawaslu menyerahkannya kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara untuk menindaklanjutinya. Peran tersebut menurut banyak orang tidak ubahnya seperti peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menyampaikan adanya dugaan pelanggaran ke lembaga terkait untuk ditindaklanjuti. Sementara Bawaslu merupakan organ negara yang dibiayai oleh APBN namun tidak memiliki ‘gigi taring’ untuk menekan dan menindaklanjuti segala bentuk pelanggaran yang terjadi. Arus deras untuk membubarkan Bawaslu pun, kencang bergulir sebelum pelaksanaan Pemilu 2014 dan menginginkan pengawasan dikembalikan ke

6

www.google.com

masyarakat sipil. Namun, ternyata pilihan tersebut urung terwujud. Bawaslu tetap hadir dalam Pemilu di Indonesia, dengan kewenangan yang lebih kuat berdasarkan Undang-Undang No. 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu sebagai ganti UU No. 22/2007. Kewenangan yang lebih kuat diberikan kepada Bawaslu untuk memperkuat Bawaslu secara organ internal terlebih dahulu yakni dengan membentuk Bawaslu yang permanen di tiap-tiap provinsi untuk medukung dan membantu tugas Bawaslu di tingkat pusat. Selain itu, sekretariat Bawaslu yang dahulu hanya setingkat Eselon II kini sudah menjadi Eselon I atau Sekretariat Jenderal. Secara kewenangan Bawaslu juga sudah tampak lebih kuat, dengan rekomendasi yang wajib ditindaklanjuti oleh KPU sebagai pelaksana. Dengan kewenangan itu, maka tidak ada lagi KPU yang menolak rekomendasi Bawaslu seperti yang terjadi sebelumnya. Namun, keinginan Bawaslu untuk menjadi lembaga eksekutorial kembali menguat setelah, Bawaslu mengevaluasi hasil kinerja dengan Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu). Bawaslu ‘gregetan’ dengan hasil kinerja Sentra Gakkumdu yang menurut mereka mandul dan sia-sia. Penilaian tersebut muncul karena dari sekian banyak kasus tindak pidana pemilu yang direkomendasikan oleh Bawaslu di tingkat pusat tidak satupun yang berakhir di meja pengadilan. Semuanya, dihentikan oleh penyidik kepolisian dengan berbagai alasan. Inilah yang menyebabkan Bawaslu berpikir untuk mereformasi Sentra Gakkumdu. Pimpinan Bawaslu Nasrullah meng-

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

ungkapkan bahwa, tidak efektifnya Sentra Gakkumdu di tingkat pusat juga terjadi pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Banyak kasus yang tersendat dan akhirnya tidak dapat ditindaklanjuti karena berbagai alasan. Dan hanya sebagian kecil Sentra Gakkumdu yang berlangsung dengan efektif. Menurutnya, sudah semestinya Bawaslu diberikan ruang yang lebih luas untuk menindak segala macam bentuk pelanggaran khususnya pidana pemilu yang terjadi dalam pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota di Indonesia tanpa harus melibatkan unsur kepolisian dan kejaksaan secara terpisah. “Lebih baik, kepolisian dan kejaksaan berada di dalam tubuh Bawaslu sebagai penyidik dan penuntut dan bertanggung jawab pada Ketua Bawaslu. Keberadaan mereka (Polisi dan Jaksa) akan lebih efektif dibandingkan berdiri (pada) masingmasing (lembaga),” tutur Nasrullah. Kepolisian dan Kejaksaan memang tetap diperlukan dalam proses penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan terhadap pelanggaran pidana Pemilu, karena Bawaslu tidak memiliki sumber daya untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Keberadaan penyidik kepolisian dan kejaksaan tersebut ibarat seperti lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, entah seperti apa desain model penindakan pelanggaran pidana pemilu ke depannya, namun Bawaslu menjadi harapan masyarakat dalam menciptakan pemilu yang demokratis, jujur, dan adil dalam rangka menghasilkan pemimpin yang berkualitas yang mampu membawa bangsa ini pada arah kemajuan. [FS]

Memercayakan Sengketa Hasil Pemilu kepada Bawaslu Oleh: Deytri R. Aritonang*

Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota masih terus digodok DPR. Salah satu yang jadi perdebatan adalah soal sengketa hasil. Siapa gerangan lembaga yang dapat diberi wewenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada). Perdebatan barangkali sudah lama selesai andai saja Mahkamah Agung menerima mandat yang diberikan UU 1/2015. Pasal 157 ayat 2 UU itu mengatur, perselisihan hasil pemilihan diajukan kepada dan ditangani oleh pengadilan tinggi setempat. Sejak UU itu dibahas, MA memang kerap menolak kewenangan itu. Hingga UU ditetapkan pun, MA enggan menjalankannya. Alasannya, tanpa menangani sengketa hasil pemilihan saja, perkara yang belum tertangani, menumpuk di pengadilan. Menangani sengketa hasil pemilihan jangan-jangan malah mempertebal tumpukan perkara. Di sisi lain, lembaga yang lebih dulu diberi kewenangan menangani sengketa hasil pemilu dan pilkada juga tidak mau lagi menyelesaikan sengketa hasil pilkada. Alasannya, MK pernah memutuskan dalam uji konstitusional UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa pilkada berada di bawah rezim hukum pemerintahan daerah. Hal itu diperkuat lagi dengan putusan Mahkamah pada Mei 2014 lalu yang menyatakan, MK tidak lagi berwenang menyelesaikan sengketa pilkada. Pakar hukum tata Negara Refly Harun pernah menyatakan, bahwa secara teori, ada jenis lembaga penyelesaian sengketa, termasuk juga sengketa hasil pilkada. Empat lembaga itu adalah, pertama pengadilan. Pengadilan adalah lembaga yang paling umum dan banyak dipraktikkan untuk menyelesaikan sengketa. Namun dalam praktik di Indonesia saat ini, baik MK maupun MA sudah menyatakan tidak dapat dan tidak mau menanganinya. Pilihan kedua adalah menyerahkan penyelesaian sengketa pada parlemen. Bukan lagi rahasia, kepercayaan publik di Indonesia pada DPR sudah berada di titik nadir. Menyerahkan penyelesaian sengketa hasil pilkada pada DPR sama saja dengan meru-

sak integritas dan legitimasi hasil pilkada. Bukan hanya itu, penyelesaian sengketa pilkada oleh parlemen, baik proses maupun hasil pilkada sangat rentan konflik kepentingan. Pasalnya, DPR terdiri dari wakil-wakil partai politik, sedangkan kandidat kepala daerah kebanyakan adalah ditetapkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Lembaga ketiga yang dapat diberikan wewenang menangani sengketa hasil pilkada adalah penyelenggara pemilu. Jika ketiga lembaga itu sudah lumpuh, tidak dapat lagi berjalan atau tidak dipercaya public di negaranya untuk menangani sengketa pilkada, maka pilihan terakhir, penanganan ada pada instrumen internasional. Hal itu pernah dipraktikkan Afganistan. Kondisi politik dan demokrasi di Indonesia tentu tidak sama dengan di Afganistan. Maka, pilihan itu pun tidak dapat dipraktikkan dalam pilkada di Indonesia. Dengan demikian, pilihan yang paling mungkin adalah menyerahkan sengketa hasil pilkada pada penyelenggara pemilu. Di Indonesia, penyelenggara pemilu terdiri dari pelaksana penyelenggaraan dan pengawas pemilu. Pelaksana pilkada adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) sedangkan pengawas pemilu adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan jajarannya masing-masing di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Mengingat dalam sengketa hasil pilkada, KPU adalah pihak yang digugat, maka mustahil menyerahkan wewenang sengketa pada KPU. Konflik kepentingan sangat rawan terjadi. Dengan demikian, badan Negara yang dapat diberi tugas dan wewenang menangani sengketa hasil pilkada adalah Bawaslu. Ada beberapa syarat yang harus diaplikasikan jika memang Bawaslu menjadi lembaga yang menangani sengketa ha-

sil pilkada. Masih menurut Refly Harun, syarat pertama, harus ada reformasi organisasi Bawaslu. Jumlah anggota Bawaslu yang sekarang tidak cukup untuk menangani sengketa pilkada. Terlebih, ke depan, akan diselenggarakan pilkada serentak di lebih dari 200 daerah otonom. Bawaslu memerlukan sedikitnya sembilan pimpinan. Sehingga, dalam penanganan sengketa hasil pilkada dapat dibagi menjadi tiga panel. Anggota Bawaslu sekarang dapat ditambah dengan tokoh bangsa yang memenuhi kriteris tertentu. Kriteria itu di antaranya adalah memiliki pemahaman dan pengalaman menangani sengketa dan/ atau kepemiluan. Jadi, mereka yang paling tepat didudukkan bersama anggota Bawaslu yang ada sekarang misalnya, mantan hakim konstitusi di MK, mantan komisioner KPU dan komisioner Bawaslu. Selain soal kompetensi, syarat yang tidak kalah penting dimiliki kandidat anggota Bawaslu adalah integritas. Kompetensi dan integritas itulah yang akan menyelamatkan pilkada dari ketidakpercayaan publik. Syarat yang tidak kalah penting agar Bawaslu dapat menangani sengketa hasil pilkada adalah reformasi wewenang Bawaslu. Jika memang Bawaslu bekerja menangani sengketa hasil pilkada, maka sebaiknya Bawaslu hanya fokus melakukan pekerjaannya pada penanganan sengketa dan pengawasan dana kampanye. Sedangkan, wewenang pengawasan proses dan tahapan pilkada sudah waktunya diserahkan kepada masyarakat, pemantau pemiu, perguruan tinggi, bahkan peserta pilkada. *Opini dibuat berdasarkan wawancara dengan pakar hukum tata Negara Refly Harun

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

7


Memelihara Ruang Curang dalam Pemilu Ekspresi geram begitu ditunjukkan Nelson Simanjuntak, salah satu Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, pada Senin 10 Maret 2014 silam. Ia mengeluhkan tentang banyaknya partai politik yang sudah beriklan di media massa ketika masa kampanye baru dimulai 16 Maret, yang tidak mendapatkan sanksi. Bawaslu sebelumnya juga telah melaporkan sejumlah dugaan pelanggaran pidana pemilu tersebut kepada kepolisian, namun akhirnya dimentahkan.

B

awaslu pun mengkritik UndangUndang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif yang dianggap terlalu lemah sebagai penyebab kondisi tersebut. “UU pemilu banyak membuka celah sehingga tidak terterapkan aturan itu,” ujar Nelson kala itu. Lemahnya perangkat hukum, seolah menjadi pelengkap penderita ditengah minimnya personil pengawas serta kurang mendukungnya institusi penegak hukum lain. Reaksi serupa pernah diungkap Ketua Divisi Pengawasan dan Humas Bawaslu Jawa Tengah, Teguh Purnomo, selang sebulan dari pelaksanaan pemungutan suara pemilu legislatif 9 April 2014. Dia mengatakan tingginya praktik politik uang sulit diungkap karena sejumlah alasan. Kendati UU Pemilu memberi ancaman pelaku politik uang dengan penjara empat tahun, namun dalam UU yang sama juga mempersulit penegakan hukum karena sempitnya waktu yang diberikan untuk pembuktian. Dua cuplikan di atas memberi sedikit gambaran tentang beratnya jalan untuk terselenggaranya pemilu bersih dan jujur. Deklarasi pemilu bersih dan jujur seperti hanya menjadi agenda kegiatan rutin dari penyelenggara pemilu jelang pemungutan suara, namun nihil dalam implementasi.

8

MUHTAR

Menghalalkan semua cara dengan berperilaku curang, sayangnya oleh sebagian kalangan khususnya para aktor politik masih dianggap sebagai sesuatu yang wajar dalam pemilu. Di tengah pemilu legislatif maupun pemilu presiden 2014 yang secara umum terlaksana secara baik serta berjalan aman dan lancar, praktik kecurangan kembali menjadi salah satu catatan hitam pesta demokrasi teranyar itu. Kendati telah melewati tiga kali pemilu di era demokrasi dan selalu dilakukan penyempurnaan terhadap Undang-Undang Pemilu di tiap pemilunya, namun nyatanya kecurangan masih masif terjadi seperti kampanye diluar jadwal dan tempat terlarang, politisasi birokrasi, penggunaan fasilitas negara, politik uang, manipulasi suara, dan lainnya. Seharusnya dengan berbagai pembenahan undang-undang yang dilakukan sebagai bagian dari evaluasi pelaksanaan pemilu sebelumnya, peluang terjadinya pelanggaran dan kecurangan semakin mengecil. Karena tiap revisi UU Pemilu idealnya telah menutup celah yang ada di pemilu sebelumnya dan mestinya sekaligus bisa mengantisipasi berkembangnya modus pelanggaran dan kecurangan di pemilu yang akan datang.

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

Dengan alur tersebut, apabila menihilkan pelanggaran dan kecurangan di pemilu masih dianggap mustahil, maka secara teori setidaknya jumlah kecurangan akan terus berkurang tiap pemilunya. Namun sayangnya skema diatas hanya teori, yang dalam praktiknya justru bertolak belakang. Jumlah pelanggaran dan kecurangan dari pemilu ke pemilu malah semakin banyak. Berdasarkan data pengawas pemilu, pada Pemilu 1999 terjadi 4.290 pelanggaran dimana 707 diantaranya merupakan pidana pemilu, kemudian pada Pemilu 2004 terjadi 8.946 pelanggaran administrasi dan 3.153 pidana pemilu, dan terakhir Pemilu 2009 total pelanggaran sebanyak 21.360, dengan rincian 15.341 pelanggaran administrasi dan 6.019 pidana pemilu. Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin menilai ada sejumlah faktor yang mempengaruhi terus maraknya kecurangan tiap pemilu. Menurutnya Indonesia memiliki krisis moralitas dalam gelaran pemilu. Demi mengejar kekuasaan baik di legislatif maupun eksekutif, persoalan etika tidak pernah masuk hitungan peserta pemilu. “Kalau calon-calon pemimpin sudah alami krisis moral yang menghalalkan se-

gala cara, pada gilirannya tidak akan bisa perbaiki bangsa ini,” kata Said beberapa waktu lalu. Sulit berubahnya perilaku buruk semacam itu, dinilainya ikut didukung oleh regulasi yang bermasalah. Proses penyempurnaan UU Pemilu di DPR tiap kali jelang pelaksanaan pemilu tidak terlalu banyak memuat terobosan khususnya untuk menghadirkan proses kompetisi yang bersih. Bahkan dikarenakan pembentuk UU-nya merupakan mereka yang akan ikut berkompetisi, maka semacam ada kesepakatan bersama untuk memelihara “wilayah abu-abu” agar nantinya peserta pemilu tetap bisa melakukan kecurangan tanpa sanksi yang berat jika upayanya terbongkar. “Kalau secara sepintas pelajari peraturan perundangan pemilu kita, itu sudah baik. Tapi kalau dibedah secara mendalam, memang ternyata bermasalah karena ada maksud atau ada kepentingan yang coba disusupkan oleh calon peserta pemilunya sendiri. Jadi karena dia sudah tahu praktikpraktik didalam pemilu itu sendiri mana yang dia bisa berkelit, maka dibuatlah aturannya itu sangat fleksibel padahal secara prinsip itu melanggar,” paparnya. Dia mencontohkan salah satu ketentuan yang sengaja dibuat abu-abu dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah soal kampanye. UU Pemilu mengatur salah satu metodenya adalah kampanye dalam bentuk lain. “Ini kan sebenarnya menjadi biang permasalahan kecurangan pemilu. Disitulah orang bisa menggelar pembagian sembako disisipi uang, dalih pengobatan gratis, money politik. Jadi banyak sekali politik uang lahir dalam bentuk kampanye dalam bentuk lain,” ujar Said. Kecurangan seperti di atas semakin sulit ditindak, karena UU juga memberikan syarat yang sangat ketat bagi sebuah kegiatan bisa dikenai pasal tentang pelanggaran kampanye. “Sehingga dalam perjalanannya banyak pelanggaran-pelanggaran tidak bisa diproses,” tambah Said. Diakui Penyelenggara Selaku penyelenggara, Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ferry Kurnia Rizkiyansyah juga mengakui ada sejumlah titik lemah dalam UU Pemilu. Misalnya mengenai definisi kampanye yang belum jelas. Secara progresif perlu didefinisikan apa itu kampanye secara jelas. Sebab hal ini juga akan terkait dengan persoalan pen-

egakan hukum. “Sehingga ke bawahnya bisa ada kepastian. Dan teman-teman di Bawaslu maupun KPI. Kalau hanya mematok definisi kampanye komulatif, sulit ditindak,” ujarnya. Mantan Ketua KPU Provinsi Jawa Barat ini mengungkapkan pengaturan dana kampanye nantinya juga mesti dibuat lebih rigid. Menurutnya dengan pengaturan seperti itu maka bisa menjadi rem buat partai politik dan calon anggota legislatif. Dia menambahkan mengenai pendanaan kampanye, sebaiknya iklan kampanye media dibiayai negara sehingga orang tidak lagi berlomba dengan kekuatan finansial masing-masing. “Termasuk pungut hitung suara perlu jadi evaluasi kita. Juga soal keterlibatan saksi dan petugas KPPS,” Ferry menambahkan. Sementara itu Juru Bicara Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nur Hidayat Sardini menilai tiap pemilu pasti akan selalu ada pelanggaran, salah satunya karena mencakup wilayah sangat sangat besar dengan melibatkan begitu banyak aktor. Apalagi yang terlibat dalam pemilu itu, separuh diantaranya merupakan orang yang berkepentingan untuk memenangkan pemilu. “Dan pada saat yang sama, kursi yang tersedia untuk dimenangkan itu jauh lebih sedikit dari yang meminati. Sehingga saya suka ilustrasikan, bahwa pemilu itu ibarat permainan sepakbola yang pasti ada pelanggaran. Perkaranya adalah apa pelanggaran itu masih dalam batas yang bisa ditoleransi ataukah tidak,” tandasnya. Mantan Ketua Bawaslu RI periode 2008-2012 ini menegaskan, tidak boleh ada toleransi terhadap pelanggaran pemilu yang fatal atau merusak kredibilitas pemilu. Setidaknya ada lima pelanggaran yang tidak bisa ditoleransi dalam pemilu, yakni manipulasi suara, penyuapan penyelenggara, perlakuan yang tidak setara, penyalahgunaan jabatan seperti menerbitkan kebijakan yang menguntungkan atau yang merugikan orang lain, serta politik uang. “Seperti teori-teori kriminologi, selalu ada niat, ada peluang.

DKPP juga dorong KPU dan Bawaslu menutup segala celah peluang dan memperbesar niat baik, bersiteguh dengan integritas yang dimilikinya. Dan disaat bersamaan KPU, Bawaslu, dan DKPP menutup serapat mungkin kemungkinan bagi mereka yang punya niatan untuk manfaatkan kesempatan,” kata Nur Hidayat Sardini. Pandangan lain diungkapkan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini. Menurutnya efektivitas penegakan hukum bergantung pada banyak faktor. Mulai dari kerangka hukum yang menaungi penegakan hukum itu sendiri, aparat penegak hukumnya, penegakan hukumnya sendiri, dan terakhir kesadaran hukum dari masyarakat. Dalam konteks penegakan hukum pemilu di Indonesia, menurut dia empat faktor tadi memang memiliki masalah. Dari sisi kerangka hukum, aturan yang ada belum didesain untuk bisa mewujudkan keadilan pemilu secara optimal. Misalnya, baik hukum acara materiil maupun formilnya masih menyisakan masalah karena ketidakjelasan pengaturan, multitafsir, standar ganda, dan aturan tersebut sulit untuk bisa diterapkan di lapangan. “Contohnya soal waktu pelaporan pelanggaran 3 hari setelah kejadian dalam pilpres. Ini kan sangat Jakarta sentris. Kalau di Jakarta okelah masih bisa kita kejar, tapi bagaimana dengan Papua, Maluku, maupun daerah-daerah kepulauan yang membutuhkan upaya luar biasa untuk bisa jangkau penegak hukum,” papar Titi. Salah satu alasan mengapa banyak kelemahan di pengaturan, karena isu penegakan hukum tidak menjadi isu prioritas dari pembuat uu. Dalam pembahasan UU Pemilu, segmen penegakan hukum selalu diletakkan dalam bagian terakhir dari pro-

PELANGGARAN ADMINISTRASI 7720

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

9


ses pembahasan uu. Padahal menurutnya kerangka hukum untuk penegakan hukum tidak bisa dibicarkaan secara tergesa-gesa. “Harus memiliki filosofi dan juga kerangka berpikir yang jelas tentang desain keadilan pemilu yang mau kita wujudkan. Seperti dalam pembahasan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pemilu, isu penegakan hukum baru benar-benar menjadi konsen pembahasan dua bulan sebelum pengesahan,” kata dia. Hal tersebut tentunya sangat disayangkan, mengingat adanya ekspektasi yang tinggi bahwa kerangka hukum dalam UU Pemilu bisa menjamin penegakan hukum sehingga menjadi tidak multitafsir maupun tidak ambigu. Titi mensinyalir isu ini tidak diprioritaskan karena tidak berkorelasi kuat dengan kepentingan politik para pembentuk UU dalam pemilu. “Belum lagi isu pemilu bukan isu yang sangat mudah dikuasai oleh penegak hukum kita, karena pemilu ini unik, dia sangat lekat dengan konteks politik sehingga dimensi politiknya juga sangat kuat. Lalu soal komitmen yang kebanyakan menganggap bahwa pelanggaran thd aturan kepemiluan adalah kejahatan biasa. Padahal ini adalah kejahatan luar biasa karena menyangkut hal-hal yang dijamin konstitusi,” papar Titi. Sudah Maksimal Menanggapi dugaan adanya kesengajaan dari partai politik yang memiliki wakil di DPR untuk menciptakan celah terjadin-

ya kecurangan dalam proses pembahasan UU Pemilu, Mantan Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu yang melahirkan UU 8/2012, Taufiq Hidayat membantahnya. Dia menegaskan dengan berbagai catatan minus yang ada, pembentuk UU jelas bukan bermaksud memberi ruang terjadinya kecurangan. Menurutnya DPR dan pemerintah juga menginginkan terjadinya pemilu yang jurdil dan bersih. Banyaknya kecurangan yang terjadi di Pemilu 2009, menurutnya menjadi bahan acuan dalam pembahasan supaya UU Pemilu yang dibahas bisa menutup kemungkinan kecurangan terulang di 2014. “Itu sudah semaksimal mungkin kita pikirkan, hanya kemudian praktik atau modus operandinya itu berkembang terus. Tidak hanya pada satu modus yang terjaid pada masa lalu, tapi terus terjadi perkembangbiakan modus operandi kecurangan itu. Dan itu sangat bersumber pada para peserta, baik partai maupun calon anggota legislatif,” kata politisi Partai Golkar ini. Mantan Ketua Umum PB HMI ini mencontohkan Pansus RUU Pemilu melihat pada Pemilu 2009 praktik kecurangan banyak terjadi pada tingkat kecamatan karena rekapitulasi suara terjadi di kecamatan dan mengakumulasi sejumlah TPS di kecamatan memakan waktu yang lama. Proses waktu yang lama ini akhirnya digunakan oleh penyelenggara di tingkatan PPK untuk merubah hasil. “Lalu kita berpikir untuk atasi ini, kalau ini bisa dipersingkat waktunya, mung-

MUHTAR

10

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

kin bisa mengurangi praktik kecurangan. Dan akhirnya kita turunkan rekapitulasi itu ditingkat desa dan sebisa mungkin disana ada bukti administrasi yang cukup kuat karena disaksikan saksi dan masyarakat,” imbuhnya. Tetapi kenyataannya, sambung Taufiq, praktik kecurangan di 2014 justru banyak terjadi sebelum pencoblosan seperti mobilisasi maupun jual beli suara langsung di lapangan. Menurut dia hal ini memang di luar regulasi, karena partai-partai politik itu lemah dalam siapkan SDM untuk saksisaksi mereka dalam konteks pengawasan. Meskipun banyak yang menilai maraknya kecurangan sengaja diciptakan lewat pengaturan yang lemah di UU Pemilu, namun Taufiq yakin angka kecurangan nantinya bisa sangat ditekan. Dia berharap setelah melewati 2-3 kali pemilu lagi, bisa tercipta budaya politik yang jujur saat berkompetisi. “Tapi harus diupayakan terus menerus, kelemahan terus ditutup. Misalnya pembahasan UU Pemilu yang akan datang asalkan ada pandangan yang runtut. Yang kita khawatirkan karena orangnya baru, nantinya kembali lagi pada perspektif yang lama,” kata Taufiq. Di tengah berbuat curang yang seakan menjadi tradisi dalam pemilu, maka mau tidak mau UU Pemilu mendatang harus ada penguatan pengaturan dalam aspek penegakan hukum dengan mencantumkan aturan yang rigid dengan sanksi sangat tegas agar muncul efek jera. Karena untuk menciptakan pesta demokrasi yang minim kecurangan, seharusnya bukan hal sulit asalkan diciptakan sebuah aturan main yang mendukung adanya kompetisi yang sehat. Salah satu persoalan terbesar terkait hal tersebut adalah, para pembentuk undangundang nampaknya belum juga terangsang untuk mendukungnya. Walaupun situasi masifnya kecurangan tidak bisa disalahkan 100 persen kepada lemahnya UU, namun rasanya jika aturan mainnya dibuat tanpa celah, maka baik peserta pemilunya, penyelenggaranya, maupun pemilih nantinya akan berpikir ulang untuk melakukan atau terlibat dalam kecurangan pemilu. Dan menjadi keniscayaan, jika kompetisi berlangsung sehat akan melahirkan pemimpinpemimpin berkualitas yang pada gilirannya akan mampu berkontribusi positif bagi kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat luas. Semoga saja. [Haryo Sudrajat]

Temuan Penelitian di 10 Provinsi dan Problematik Pasca Pileg 2014

S

ebagai proses politik yang mendasar, penyelenggaraan Pemilu membutuhkan suatu telaah secara objektif, agar dalam pelaksanaan hajatan yang dilakukan lima tahun sekali terhadap masalah-masalah tersebut agar tidak terjadi kembali. Kalau pun terjadi hal ini sudah ada antisipasi guna mencapai hal tersebut. Evaluasi adalah keharusan untuk mencapai suatu kesempurnaan, agar tata kelola penyelenggaran pemilu di kemudian hari akan berjalan lebih baik dari waktu ke waktu. Lembaga riset yang dilakukan oleh Electoral Research Institute (ERI) yang bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan Evaluasi pada Pemilu Legislatif 2014, sebagai bagian upaya untuk memberi masukan dan perbaikan terhadap kualitas penyelenggaraan pemilu. Nantinya, penelitian tersebut diharapkan akan membuahkan hasil berupa sebuah data yang fantastis dengan tinggkat kerumitan yang tinggi. Dalam kaitannya tersebut, berbagai langkah sudah dilakukan oleh beberapa pihak seperti oleh para ahli dan peneliti kepemiluan dalam mengevaluasi Pileg 2014 secara umum, baik ditinjau dari aspek hukum di satu pihak, dan penyelenggaraan di pihak lain. Evaluasi yang dilakukan dinilai akan lebih jauh dan terperinci khususnya yang terjadi di 10 daerah penelitian. Adapun lokasi penelitian yang dilakukan di 10 daerah penelitian (Provinsi) yang mewakili Indonesia Bagian Barat, Indonesia Bagian Tengah, dan Indonesia Bagian Timur. Indonesia pada bagian barat diwakili oleh DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, dan Aceh. Sedangkan wilayah Indonesia bagian tengah mewakili NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Selatan. Dan Indonesia bagian Timur diwakili oleh Papua. Peneliti senior Pusat Penalitian Politik (P2P) Syamsuddin Haris secara metodologi, melakukan penelitian evaluasi Pemilu Legislatif 2014 dengan menggunakan

metode Evaluatif dengan dilakukannya 10 Provinsi dan daerah yang mewakili Indonesia Wilayah Barat, Indonesia Wilayah Tengah, dan Wilayah Timur. Atas temuan tersebut para peneliti yang tergabung oleh Electoral Research Institute (ERI) dan dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di 10 Provinsi menunjukan sejumlah kasus menonjol. Pertama, ketentuan jadwal tahapan penyelenggara pemilu tahun 2014. Pada bagian akhir tentang tahapan Pemilu 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerbitkan Peraturan KPU No. 21 Tahun 2013 tanggal 4 November 2014, yang merupakan perubahan ke- 6 dari peraturan KPU No. 7 tahun 2012 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal penyelenggara Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2014. Perubahan tahapan pemilu hingga ke enam kalinya itu lebih dikarenakan pelaksanaan suatu tahapan tidak dapat dilaksanakan tepat waktu, sehingga berdampak kepada pelaksanaan tahapan pemilu berikutnya. Dalam hal ini, nampaknya KPUmengambil langkah atas perubahan tahapan itu dalam rangka untuk melindungi aspek legalitas pelaksanaan suatu tahapan pemilu yang tidak tepat waktu berdasarkan ketentuan dalam tahapan yang telah ditetapkan sebelumnya. “Dengan kata lain ketidaktepatan pemenuhan jadwal waktu pelaksanaan tahapan pemilu di antaranya dalam kegiatan pendaftaran, verifikasi dan penetapan peserta pemilu, dan dalam pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih,” tuturnya. Kedua, ketentuan yang mengatur megenai jaminan pemilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya di TPS pada hari pemungutan suara, tidak seragam pada tingkat implementasi. Ketentuan tentang pemilih yang belum terdaftar dalam DPT dan dapat menggunakan hak pilihnya adalah harus di dalam DPKTb, dan penggunaannya hanya untuk warga setempat yang sesuai dengan domisili pemilih di TPS yang bersangkutan. Dalam

hal ini KPU menggeluarkan Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2013 yang di ubah menjadi Peraturan KPU Nomor 5 tahun 2014 yang mengatur mengenai Pemungutan dan perhitungan suara di tempat Pemungutan Suara dalam Pemilu Legislatif 2014. Peraturan tersebut tertanggal 21 Maret 2014 yang menjadi dasar adanya Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb). Ketiga, PKPU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pendaftaran, Verifikasi dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, yang tidak sejalan dengan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2012. Salah satunya adalah Peraturan KPU yang mengatur verifikasi administrasi partai politik calon peserta pemilu dilakukan hanya sampai ke tingkat Kabupaten/ Kota. Padahal UU nomor 8 Tahun 2012 mengharuskan verifikasi administrasi parpol calon peserta pemilu dilakukan dari tingkat pusat sampai ke tingkat kecamatan. Dengan ketentuan yang diatur PKPU, banyak parpol yang berhasil lolos dalam verifikasi di Kalimantan Selatan, padahal apabila dilihat dari objek verifikasi, maka parpol yang lolos tidak akan sebanyak seperti sekarang. Keempat, implementasi regulasi pemilu tidak mudah. Praktik di lapangan menunjukan bahwa unsur penegak hukum yang tergabung dalam Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) tidak memiliki pemahaman yang sama. Sering terjadi perbedaan pemahaman antara unsur Kepolisian dan Kejaksaan dalam memaknai suatu pelanggaran pemilu. Hal itu sebagai dampak dari tidak sepenuhnya terlibat dalam keseluruhan proses dan tahapan penyelenggara pemilu. Selain beda tafsir atas suatu pelanggaran pemilu, mereka sulit membangun kerja sama yang terpadu. Perbedaan tafsir antara penegak hukum pidana pemilu juga acapkali terjadi. Tidak jarang , pengawas pemilu berbeda pendapat dengan polisi dan jaksa. “Pengawas menganggap sudah cukup bukti terhadap suatu tindakan sebagai

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

11


pidana pemilu, tetapi polisi dan jaksa menilai bukti masih kurang,” tambahnya. Kelima, keabsahan suara sah meliputi 15 kategori, ternyata dalam implementasinya banyak perlakukan yang berbeda antara petugas KPPS dalam menentukan suara sah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Perbedaan perlakuan terhadap penentuan suara sah itu berkaitan dengan keberhasilan sosialisasi atau pelatihan teknis bagi anggota KPPS, sehingga berakibat kepada beragamnya implementasi pemaknaan atau multi-tafsir terhadap suara yang sah. Keenam, masih terjadi inkonsistensi antar ketentuan. Inkonsistensi ini misalnya terlihat pada ketentuan yang mengatur mengenai pelanggaran kampanye pemilu seperti telah diatur Pasal 86 Ayat (1) huruf a sampai j. dalam praktik lapangan pelanggaran itu hanya diperuntukan bagi peserta kampanye atau petugas kampanye, sementara tim sukses calon tidak “dapat disentuh” oleh ketentuan pelanggaran yang diatur pada UU Nomor 8 Tahun 2012. Hal ini sebagai dampak dari pasal 1 Ayat 26 UU Nomor 8 Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa subjek hukum dari penyelenggaraan pemilu adalah peserta pemilu, dalam hal ini partai politik untuk DPR dan DPRD, dan perseorangan untuk pemilihan DPD. Padahal dalam praktiknya, yang melakukan kampanye calon Anggota DPR dan DPRD adalah calon tim suksesnya atau petugas kampanye. Tim suskses atau petugas kampanye menjadi subyek hukum manakala didaftarkan ke KPU sesuai dengan tingkatanya sebagaimana diatur oleh PKPU No15/2013 Pasal 5 Ayat 1 dan Pasal 6 Ayat 3 dan 4. Definisi subyek hukum pada PKPU pelanggaran pemilu . pengaturan mengenai kampanye dianggap “paling lemah” karena ada perbedaan atau multi tafsir dalam menilai sebuah kejadian tergolong pelanggaran atau tidak. Ketujuh, UU No. 8 Tahun 2012 dan PKPU belum efektif dan efesien dalam meinimalisir praktik penggunaan politik uang (money politics) dan bentuk – bentuk transaksi politik lainya. Regulasi mengenai politik uang ini dinilai kabur dan hukum acara serta ketentuan mengenai sanksi atas pelanggaran itu, masih lemah. Proses pembuktian politik uang tidak jelas menyebabkan pengaturan mengenai transaksi politik uang dan imbalan jasa sulit di berantas.

12

Kedelapan, pengaturan yang mempermudahkan kolompok Difable (Diffent Abiliti) atau seseorang yang keberadaan fisik atau sistem biologisnya berbeda dengan orang lain pada umumnya difabel dan kelompok – kelompok khusus sudah dikeluarkan KPU. Sayangnya, dalam praktiknya masih lemahnya data mengenai pemilih yang difabel atau kelompok berkebutuhan khusus di masing - masing TPS. Kesembilan, kejelasan validitas pengisian form C1. Pengisian form C1 merupakan sesuatu yang penting karena berkaitan dengan validitas hasil pemilu. Namun regulasi atau pengaturan yang dikeluarkan justru “tidak jelas”, atau kurang rigit. Sebagai contoh, pengisian form C1 justru tidak sesuai dengan norma, karena di berbagai tempat terjadi pencoretan akibat kesalahan pencatatan. Regulasi yang mengatur mengenai itu dianggap kurang, sehingga pencoretan form C1 terjadi secara masif. Hak itu justru akan berpengaruh pada validitas hasil pemilu itu sendiri, dan dapat membuka peluang terjadinya pelanggaran atau penyimpangan proses pemilu. Kesepuluh, perbedaan tafsir soal pengaturan mengenai sistem noken yang tidak disinggung pada UU No 8 Tahun 2012, yang kemudian dilarang oleh KPU telah memunculkan ketidak seragaman penyelenggara Pemilu Legislatif di Papua. KPU Provinsi Papua mengikuti larangan tersebut , tetapi beberapa KPUD dan Penyelenggara Pemilu ad hoc di tingkat bawah, khususnya PPS dan KPPS di beberapa wilayah pegunungan tidak bisa mencegah penerapan sistem noken pada pemilu Legislatif 2014. Akibatnya, beberapa wilayah pegunungan di Papua tetap menggunakan sistem noken sebagai sebuah cara pemilihan, bukan sebagai tempat suara. Kesebelas, dalam ketentuan peraturan perundang-undangan telah ditetapkan bahwa penyelenggara pemilu ad hoc, khususnya untuk PPS dan KPPS dan anggotanya adalah berpendidikan SLTA atau sederajat. Dalam praktiknya dilapangan, KPUD Kabupaten/Kota kesulitan memenuhi ketentuan tersebut karena sulitnya menemukan petugas PPS dan KPPS yang berijazah minimal SLTA atau sederajat. Hal itu justru mengganggu proses pengisian penyelenggara pemilu ad hoc di beberapa wilayah daerah.

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

Keduabelas, khusus berkaitan dengan penyelenggara pemilu di Aceh, terdapat masalah pengaturan mengenai posisi Komisi Independen Pemilu (KIP) Aceh. Persoalan itu antara lain berkaitan dengan; Pertama, pengaturan syarat yang berbeda dalam rekrutmen penyelenggara pemilu di daerah lain. Hal itu tampak dari kasus Aceh, yang standar rekrutmennya justru didasarkan pada UU No 11 Tahun 2006 dan bukan UU Nomor 15 Tahun 2011, sehingga berlakunya syarat yang “aneh” yakni fit dan proper tes yang dilakukan oleh DPRA atau DPRK ada uji kemampuan membaca Al-Quaran bagi calon komisioner KIP Aceh/KIP Kabupaten/Kota. Selain persyaratan yang berbeda dalam tata cara rekrutmen juga menjadi salah satu persoalan karena ada proses “politisasi” oleh DPRA/DPRK dalam penentuan anggota KIP Aceh/KIP Kabupaten/Kota. Kedua, kesulitan administratif. Secara administratif keuangan KIP Aceh tidak diakui oleh Kementrian Keuangan. Sebagai daerah dengan pengaturan khusus (les specialist) menurut UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, keberadaan penyelenggara pemilu yang bernama KIP Aceh dan KIP Kabupaten/ Kota telah diatur sebagai lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan pemilu. Dari segi pengakuan, keberadaan KIP ini telah diakui sebagai penyelenggara pemilu seperti termasuk pada pasal 123 UU Nomor 15/2011, namun pada saat pencarian dana, keberadaan KIP Aceh tidak diakui sehingga dana tidak dapat dicairkan. Apabila ingin mencari anggaran ini dari APBN, KIP Aceh harus berubah menjadi KPUD Aceh dengan kop surat dan stempel yang berbeda dengan KIP Aceh. Hal yang sama pula terjadi pada penyelenggara yaitu pada Bawaslu dan Panwaslu di Aceh. Dari hasil temuan yang ungkapkan Syamsuddin Haris, metode pengumpulan data yang digunakan meliputi beberapa hal, yakni, para peneliti mengumpulkan data yang bersumber dari laporan KPU ,Bawaslu, Persidangan MK dan DKPP, data dari para pemantau pemilu. Pengumpulan data juga dilakukan dengan metode wawancara mendalam secara tatap muka dengan penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, pemantau, pemilih, partai politik di tingkat provinsi. [Hendru Wijaya]

MUHTAR

Bawaslu Targetkan Laporan Keuangan

S

Berpredikat WTP

ekjen Bawaslu RI, Gunawan Suswantoro menargetkan laporan keuangan Bawaslu RI Tahun 2014 mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Hal ini disampaikan saat bertemu dengan seluruh Kepala Sekretariat, operator SAKPA dan operator SIMAK-BMN Bawaslu Provinsi pada kegiatan Konsolidasi Penyusunan dan Reviu Laporan Keuangan Bawaslu RI Tahun 2014, di Jakarta, Kamis (5/2). Kegiatan ini dilaksanakan dengan sasaran memperoleh keyakinan bahwa laporan keuangan Bawaslu telah sesuai dengan SAI, disajikan sesuai dengan SAP dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan Bawaslu. Nantinya, Pengawasan Internal (PI) Bawaslu RI akan ikut mendampingi dalam menyusun laporan keuangan. Ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa laporan keuangan yang di buat benar-benar tertib. “Bawaslu RI telah merancang kegiatan ini sejak beberapa minggu lalu. Reviu laporan keuangan ini sudah diantisipasi sebelum Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan laporan keuangan ke kantor Bawaslu,” ujarnya. Gunawan menambahkan, sesuai surat dari Kementerian Keuangan, bahwa laporan keuangan wajib disetorkan paling lambat pada tanggal 28 Februari 2015. Menurutnya, masih ada waktu bekerja keras untuk menghasilkan laporan keuangan semaksimal mungkin. “Saya yakin dengan bekerja keras akan membuahkan hasil yang lebih baik,” tambahnya. Selain itu, Laporan yang akan dinilai oleh BPK bukan hanya laporan aktual tetapi juga SIMAK-BMN. Kepada jajarannya dia menegaskan, agar lebih cermat dalam menyelesaikan laporan keuangan ini. “Jangan sampai karena

ketidakcermatan dalam membuat laporan ini, menjadi masalah dan menghambat target untuk mencapai laporan keuangan yang WTP,” tegasnya. Hal serupa disampaikan Ketua Bawaslu RI, Muhammad. Dia mengatakan, untuk mencapai target laporan keuangan Bawaslu WTP, agar memperhatikan 5 (lima) prinsip kerja. Prinsip kerja tersebut yaitu, kerja tulus dengan niat yang baik, kerja serius dengan mencintai pekerjaan itu, kerja yang cerdas dengan berusaha menjadi yang terbaik, kerja keras berusaha untuk menjadi bintang, dan kerja sama yaitu mesti saling tolong menolong. “Jika laporan keuangan Bawaslu WTP, pastinya karena 5 prinsip kerja tersebut”, ujarnya. Muhammad menambahkan, setiap tahun Kementerian Keuangan akan mengundang Ketua Lembaga dan seluruh Pimpinan Departemen dalam sebuah acara resmi. Kegiatan ini diibaratkan penerimaan raport laporan keuangan seluruh Lembaga dan Departemen baik yang mendapatkan raport nilai A, B dan C. “Di dunia saja sudah dibedakan antara yang mendapatkan nilai A atau WTP dengan yang masih ada catatan atau koreksi. Lembaga dan departemen yang mendapatkan laporan keuangan WTP akan dijemput di pintu depan, diantar dan diarahkan pada posisi di sebelah kanan. Sedangkan selebihnya di arahkan pada posisi di sebelah kiri,” jelasnya. Selain itu, Muhammad menyakini, bahwa perencanaan yang baik adalah 50 % (persen) dari sebuah keberhasilan. “Sesuai target, saya berharap pada saat penerimaan rapor laporan keuangan Bawaslu nanti bisa duduk di posisi sebelah kanan,” kata Muhammad. [MM/FS] BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

13


Laporan Pengawasan Pemilu 2014, Demi Pemilu Mendatang yang Lebih Baik

HUMAS

Ketua Bawaslu, Muhammad menyampaikan Laporan Hasil Pengawasan PEmilu 2014 kepada Presiden RI, Joko Widodo (24/2).

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyampaikan Laporan Hasil Pengawasan Pemilu 2014 kepada Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (24/2/2014). Laporan hasil pengawasan itu diharapkan dapat menjadi pijakan bagi penyelenggaraan Pemilu mendatang agar lebih baik. Dalam sambutannya, Ketua Bawaslu RI Muhammad mengatakan, secara umum, pihaknya dapat melaksanakan pengawasan di setiap tahapan pemilu. Meski demikian, kata dia, masih ada sejumlah kelemahan dalam pengawasan Pemilu yang harus diperhatikan seluruh jajaran pengawas Pemilu di seluruh Indonesia. Ia menyampaikan, laporan pengawasan pemilu adalah salah satu upaya Bawaslu dalam mendorong transparansi, akuntabilitas dan kredibilitas lembagalembaga Negara dan pemerintahan. Di sisi lain, bagi internal Bawaslu, lanjut Muhammad, laporan sangat berguna bagi indetifikasi dan pemetaan permasalahan. Dengan laporan itu, Bawaslu juga dapat membuat prediksi bagi kecenderungan umum (trend) atas berbagai isu yang mungkin terjadi dalam Pemilu berikutnya.

14

“Selain itu, laporan ini menjadi data dan informasi penting dalam menetapkan kebijakan Bawaslu guna peningkatan kinerja pengawasan pemilu di masa yang akan datang,” ujar Muhammad. Dia menjabarkan, selama proses penyelenggaraan pengawasan tahapan Pemilu Anggota Legislatif (Pileg) 2014, terdapat 8.380 pelanggaran. Dari jumlah itu, tuturnya, 69 persen atau 5.814 kasus merupakan hasil temuan Bawaslu. Sedangkan 31 persen, atau 2.566 kasus berasal dari laporan masyarakat. Lebih jauh Muhammad menjabarkan, 6.203 kasus ditindaklanjuti Bawaslu. Adapun, 2.177 kasus tidak ditindaklanjuti karena berbagai alasan, misalnya, tidak terpenuhinya unsur pelanggaran atau kurangnya alat bukti. Sedangkan dari hasil pengawasan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014, ditemukan 1.244 pelanggaran Pemilu. Rinciannya, 1.142 pelanggaran administrasi, 81 pelanggaran pidana dan 21 pelanggaran kode etik. Contoh Pembelajaran Demokrasi Muhammad menuturkan, dengan sega-

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

la kekurangannya, Pemilu 2014 merupakan pemilu yang sangat diapresiasi, bahkan oleh Negara lain. Ia mengatakan, banyak pihak dan Negara lain memprediksi, Pemilu 2014 akan berakhir rusuh. “Dengan kesiapan penyelenggara pemilu, yaitu KPU dan Bawaslu dan dukungan pemerintah serta peran serta aktif masyarakat melalui pengawasan partisipatif, kerusuhan tidak terjadi. Kita malah menjadi contoh terhadap beberapa negara dan kita akan memberikan pembelajaran demokrasi di dunia,” ujar Guru Besar Ilmu Politik Universitas Hasanuddin itu. Muhammad mengatakan, Bawaslu telah memberikan andil yang signifikan terhadap kesuksesan Pemilu 2014. Kesuksesan Pemilu 2014 juga berperan dalam meningkatkan indeks demokrasi Indonesia. Dalam kesempatan itu, Muhammad juga menyampaikan rekomendasinya untuk perbaikan kualitas poitik dan demokrasi di Indonesia. Dia merekomendasikan agar dilakukan evaluasi sistem kepemiluan secara komprehensif agar hasil pemilu mendukung prinsip pemerintahan presidensial. Kedua, ia merekomendasi-

kan agar Indonesia membangun model pemilu yang menjalin hubungan pemerintah pusat dan daerah yang lebih efektif. Terakhir, Muhammad merekomendasikan dibangunnya desain besar (grand design) pembangunan politik dalam negeri agar relasi antar negara dan rakyat dapat lebih terukur. “Dan mampu mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera,” katanya. Selain itu, dia mengatakan, dalam mengawasi penyelenggaran Pemilu 2014, Bawaslu bukan hanya memaksimalkan sumber daya internalnya saja. Bawaslu juga memaksimalkan kerja sama dengan berbagai pihak, terutama kementerian/ lembaga. “Bawaslu juga mengoptimalkan dukungan berbagai elemen masyarakat yang terwadahi melalui program Gerakan Sejuta Relawan (GSR) Pengawas Pemilu,” kata Muhammad. Kerja Sama Pengawasan dan Peradilan Pemilu Dalam forum yang dihadiri Ketua dan Kepala Sekretariat Bawaslu Provinsi seluruh Indonesia iu, Muhammad juga mengusulkan agar negara-negara Asia dan Afrika membentuk forum kerja sama yang bergerak dalam bidang pengawasan dan

peradilan pemilu. Dia meminta Presiden Joko Widodo membawa usulan tersebut dalam Konferensi Asia Afrika yang akan diselenggarakan di Bandung, April 2015 mendatang. “Melalui Konferensi Asia Afrika (KAA) kami mohon kepada Presiden agar merekomendasikan dibentuknya semacam forum kerja sama negara Asia Afrika terkait pengawasan dan peradilan pemilu. Forum kerja sama ini nantinya yang akan menjadi pusat pembelajaran dan pusat berbagi pengalaman bagi negara-negara yang sedang menjalani konsolidasi demokrasi,” ujar Muhammad. Dia mengatakan, dalam hal pembentukan dan pelaksanaan pekerjaan forum tersebut, Bawaslu siap menjadi motor penggerak. Dengan demikian, katanya, Indonesia berada pada garda terdepan untuk memperkuat konsolidasi demokrasi bagi negara-negara di Asia dan Afrika. Usulan itu mengemuka mengingat keberhasilan Indonesia dalam menyelenggarakan Pileg dan Pilpres 2014 lalu. Penyelenggaraan Pemilu 2014 yang diprediksi akan berjalan atau berujung rusuh, justru tetap berjalan damai. Menurut Muhammad, Bawaslu, KPU dan seluruh jajarannya telah membuktikan konsolidasi

demokrasi di indonesia mengalami kemajuan pesat. “Model sinergi penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bisa menjadi model standar negara-negara yang dalam masa transisi demokrasi untuk memperkuat konsolidasi demokrasi di negaranya,” katanya. Karena itu, ujar Muhammad, bangsa Indonesia berkewajiban membagi pengalaman konsolidasi demokrasi itu kepada negara lain, terutama negara di Asia dan Afrika. Presiden Jokowi juga mengamini keberhasilan penyelenggaraan Pemilu 2014. Ia menuturkan, dalam banyak pertemuannya dengan kepala negara lain, beberapa kepala negara menyampaikan apresiasi atas keberhasilan Indonesia menyelenggarakan pemilu tanpa konflik dan kerusuhan yang signifikan. “Dan akhirnya kita melihat bahwa memang masyarakat kita, juga partai-partai politik, peserta pemilu semuanya sudah dewasa dalam politik dan itu memang diapresiasi oleh negara-negara lain. Kelihatannya pemilu kemarin keras sekali, tapi happy ending semua,” kata Jokowi dalam forum yang sama. [Dey]

Political Quotes Struggles do not end when countries attempt the transition to democracy.

“Perjuangan Tidak Berakhir Ketika Negara Mencoba Transisi Menuju Demokrasi” Hillary Clinton

Democracy is not something that happens, you know, just at election time, and it’s not something that happens just with one event. It’s an ongoing building process. But it also ought to be a part of our culture, a part of our lives Demokrasi bukanlah sesuatu yang terjadi, hanya pada saat pemilu, dan itu bukan sesuatu yang terjadi hanya dengan satu event. Ini adalah proses pembangunan yang sedang berlangsung. Tapi juga harus menjadi bagian dari budaya kita, bagian dari hidup kita. Jim Hightower

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

15


HENDRU

16

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

17


Divisi Pengawasan Ketua Bawaslu:

Divisi Sosialisasi, Humas dan Kerjasama Antar Lembaga tutur Muhammad.(dey)

Kerjasama Bawaslu dan Kementerian Luar Negeri Selenggarakan Seminar Internasional

Partisipasi Masyarakat Kunci Pengawasan Pemilu

Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Muhammad menilai, pengawasan penyelenggaraan Pemilu 2014 berhasil. Salah satu faktor keberhasilannya adalah partisipasi otonom masyarakat untuk ikut mengawasi penyelenggaraan Pemilu.

Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Muhammad, S.IP, M.Si

“Pengawasan Pemilu 2014 dinilai berhasil dengan memerhatikan lima indikator,” ujar Muhammad pada pidato akademisnya dalam Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar Ilmu Sosiologi Politik Universitas Hasanuddin kepada dirinya di Makassar, Sabtu (28/2). Ia menyebutkan, indikator pertama, dalam pengawasan Pemilu 2014 lalu, Bawaslu mendorong partisipasi masyarakat untuk secara sukarela ikut mengawasi penyelenggaraan pemilu. Hal itu, dilakukan melalui Gerakan Sejuta Relawan Pengawas Pemilu (GSRPP). Dia mengakui, Bawaslu memiliki keterbatasan untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Keterbatasan itu bukan hanya dalam hal sumber daya manusia, namun juga sarana penunjang pengawasan. Karenanya, kata Muhammad, pengawasan pemilu harus melibatkan masyarakat agar terwujud pemilu yang berkualitas dan terlegitimasi. “Masyarakat perlu digugah kesadarannya bahwa tanggung jawab pengawasan pemilu tidak hanya berada di pundak Bawaslu tapi juga menjadi tanggung jawab bersama,” kata Muhammad. Ia menambahkan, indikator lain yang turut medorong kualitas pengawasan pemilu adalah penguatan kelembagaan dan kapasitas sumber data pengawas pemilu. Penguatan itu dilakukan pada semua jajaran pengawas pemilu mulai dari tingkat desa/

18

kelurahan hingga tingkat nasional, bahkan hingga pengawas pemilu di luar negeri. Indikator ketiga, dalam pengawasan Pemilu 2014, Bawaslu menolak tawaran kerja sama dari lembaga manapun, terutama pihak asing yang dinilai dapat menodai hasil pemilu. “Dengan syarat kemandirian, penyelenggara pemilu dapat menolak intervensi dari pihak manapun yang potensial menganggu proses dan hasil pemilu,” ujar Muhammad. Dia menilai, pemilu menyimpan potensi konflik politik yang dapat menciptakan instabilitas sosial politik. “Maka, penyelenggara pemilu yang mandiri, independen dan profesional adalah sesuatu yang tidak boleh ditawar-tawar,” ujar Muhammad. Dia menuturkan, lembaga penyelenggara pemilu harus diisi oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan kepemiluan. Penyelenggara pemilu, tambahnya, harus memiliki pengetahuan terkait demokrasi, kekuatan-kekuatan politik nasional dan lokal, konflik sosial politik, politik primordialisme, politik hukum, dan politik kekuasaan dan legitimasi. Penting juga diketahui penyelenggara pemilu hal terkait politik intervensi, politik budaya, politik ekonomi, politik sosial, politik organisasi, birokrasi, manajemen kepemimpinan dan politik anggaran. Muhammad menambahkan, indicator keberhasilan pengawasan yang keempat,

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

dok. bawaslu

Bawaslu menempatkan TNI/Polri sebagai kekuatan pendukung pengawasan pemilu. Penempatan dilakukan secara tepat mengingat, kedua lembaga itu masih memiliki kekuatan yang signifikan untuk melakukan intervensi. Yang tidak kalah penting, ia berujar, indikator kelima yaitu efektivitas penegakan hukum terhadap pelanggaran pidana pemilu. Pada Pemilu 2014 lalu, Bawaslu mendorong sinergitas tiga lembaga, yaitu pengawas pemilu, kepolisian dan kejaksaan. Sinergitas itu diformulasikan dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Pada kesempatan yang sama, Muhammad juga memberikan penilaiannya pada sistem pemilu dengan sistem proporsional daftar terbuka dengan mekanisme suara terbanyak yang diterapkan pada Pemilu Anggota Legislatif (Pileg) 2014. Dia menilai, sistem proporsional daftar terbuka menciptakan implikasi luas dan dinamika yang tinggi. Sebabnya, kata dia, dengan sistem itu, bukan hanya partai politik yang berebut suara rakyat, namun juga calon anggota legislatif (caleg) dari masing-masing partai di daerah pemilihan (dapil) yang sama. “Para caleg parpol di dapil yang sama, bersaing saling memperebutkan suara konstituen dengan berbagai cara, termasuk dengan cara membeli suara untuk meraih dukungan sebesar-besarnya dalam Pileg 2014 lalu,”

Pertemuan Bawaslu dengan Kementerian Luar Negeri di ruang rapat Gedung Bawaslu (18/2).

B

awaslu mengundang Kementerian Luar Negeri untuk bekerja sama menyelenggarakan Seminar Internasional (18/2). Pembicaraan awal rencana kegiatan ini Bawaslu akan melibatkan kantor-kantor kedutaan besar di Jakarta yang ditentukan bersama Kementerian Luar Negeri. Rencananya, Pimpinan Bawaslu RI Nasrullah dalam Seminar Internasional akan membahas Pemilu 2014 sekaligus memperkenalkan lembaga Bawaslu yang permanen. Baru sekitar tujuh tahun lebih usia lembaga ini. Kesekjenan baru terbentuk pada tahun 2012. “Apa saja kritik negara-negara lain untuk lembaga ini? Misi Bawaslu untuk penguatan demokrasi adalah penguatan pengawasan dari sisi masyarakat. Bawaslu bertujuan memberi kesadaran tentang hak-hak yang mereka miliki untuk melakukan pengawasan sendiri,” ujar Nasrullah. Oleh sebab itu, Bawaslu ingin mem-

beri substansi bahwa kegiatan Bawaslu merupakan partisipasi masyarakat. Bawaslu tidak sendirian mengawasi kepemiluan karena melibatkan unsur universitas, tokoh-tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat. Agen-agen Bawaslu mentransfer ilmu melalui Kementerian Luar Negeri. Itulah unsur penguatan Bawaslu. Kepala Bagian Umum Setditjen AMEROP Kementerian Luar Negeri Arief menerangkan bahwa ada 188 negara di Asia Pasifik dan Amerika, Eropa yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia. “Negara yang memiliki kantor kedutaan besar di Jakarta ada 97 negara. Sebaiknya Bawaslu melakukan maping, misalnya negara-negara sahabat seperti Amerika Selatan dan Karibia. Tidak semua negara punya kedutaan besar di Jakarta. Negara Uruguay belum ada kedutaan besar,” papar Arief. Sementara Diplomat Ditjen ASPASAF Kementerian Luar Negeri Sri Wahyuni

HUMAS

menjelaskan negara yang ada perwakilannya seperti Asia Selatan, ada 29 negara, Pasifik ada 15 negara, Afrika ada 47 negara, Timur Tengah ada 11 negara. Tidak semua negara mempunyai kantor kedutaan besar di Jakarta. Negara Timur Tengah ada Yordania, Palestina, Uni Emirat Arab, Maroko, Mesir. Jika ingin mempelajari demokrasi, Negara Kazakhstan menjelang Pemilu. Lebih lanjut, Nasrullah mengatakan minatnya untuk membandingkan sistem pemilu E-Voting yang akan diberlakukan negara Brazil, sedangkan negara maju seperti Jerman malahan meninggalkan sistem ini dengan alasan kepercayaan atau trust bagi pemilih. Pertemuan Bawaslu dan pihak Kementerian Luar Negeri ini masih sebagai penghantar. Proses selanjutnya, Bawaslu perlu membahas kalkulasi budget, proses surat menyurat antara Bawaslu RI dan Kementerian Luar Negeri yang terkait. [AR]

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

19


Divisi Hukum dan Penindakan Pelanggaran

Divisi Hukum dan Penindakan Pelanggaran

Kewenangan Sengketa Hasil Pilkada Belum Jelas,

Bawaslu Nyatakan Siap Fasilitasi

dok. bawaslu

Pimpinan Bawaslu Nasrullah, dalam konferensi pers tentang kesiapan Bawaslu menghadapi Pilkada, di Jakarta, Jumat (13/2). Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyatakan siap, jika nantinya Pemerintah dan DPR memberikan tanggung jawab untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu dalam revisi Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Pilkada. Hal tersebut merupakan jalan alternatif, karena Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) nampaknya menolak untuk diberikan kewenangan tersebut. “Pada dasarnya, kami siap saja (kewenangan sengketa hasil Pilkada). Atau alternatif lainnya, Bawaslu dapat memfasilitasi pembentukkan badan peradilan ad hoc yang khusus menangani sengketa hasil tersebut,” ujar Pimpinan Bawaslu Nasrullah, dalam konferensi pers tentang kesiapan Bawaslu menghadapi Pilkada, di Jakarta, Jumat (13/2). Menurutnya, badan peradilan ad hoc atau semacamnya yang difasilitasi oleh Bawaslu akan melibatkan orang-orang yang memiliki kompetensi, kredibilitas, netralitas, dan profesionalitas. Orangorang tersebut nantinya akan membantu Bawaslu dalam mengambil keputusan terkait kasus sengketa hasil yang diadukan.

20

“Mereka bisa berasal dari unsur hakim karir, akademisi, professional, dan juga eks hakim-hakim MA maupun MK. Kita harus mencari alternatif di tengah sulitnya mencari lembaga yang ingin menangani sengketa hasil tersebut dalam waktu yang begitu dekat,” tutur Nasrullah. “Hal ini merupakan alternatif penyelesaian sengketa Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang saat ini belum jelas ujungnya. Bawaslu siap memfasilitasi penyelesaian sengketa tersebut, dengan mengupayakan pelibatan beberapa unsur dalam pengambilan keputusan,” tambah Nasrullah. Sekedar informasi, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya silam menyatakan bahwa kewenangan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah bukan merupakan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi karena bukan merupakan rejim dalam Pemilu. Sedangkan yang dianggap sebagai rejim pemilu hanya Pileg dan Pilpres saja. Wacana untuk mengembalikan penyelesaian sengketa hasil pilkada ke Mahkamah Agung pun menguat. Namun, ada indikasi MA menolak kewenangan tersebut.

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

Saat ini, Pemerintah dan DPR sedang menggodok revisi Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Pilkada yang rencananya akan dibawa pada rapat paripurna pada Selasa (17/2) mendatang. Namun, hingga saat ini belum jelas lembaga mana yang diberikan keweanangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Sementara itu, terkait dengan ruang penyelesaian sengketa proses pemilihan kepala daerah, Bawaslu berpandangan sebaiknya gugatan hanya diprioritaskan pada proses pencalonan. Sedangkan untuk penyelesaiannya hanya dilaksanakan di Bawaslu RI. “Sifatnya final dan mengikat, tidak ada lagi banding ke PTUN, dan seterusnya seperti yang terjadi pada Pileg dan Pilpres lalu yang tidak efektif dan memakan waktu yang lama,” pungkas Nasrullah. DPR dan Pemerintah dalam melaksanakan revisi UU No. 1 Tahun 2015 telah meminta pendapat dari KPU dan Bawaslu dalam rangka perbaikan-perbaikan UU ini ke depan. Sementara itu, soal jadwal Pilkada sendiri masih akan diperdebatkan dalam Panita Kerja (Panja) Revisi UU tersebut. [FS]

Jelang Pilkada Serentak, Bawaslu Antisipasi Potensi Konflik

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mnenyatakan siap mengawasi penyelenggaraan pilkada serentak yang dimulai tahun 2015 ini. Menjelang penentuan tanggal pemungutan suara, Bawaslu menggarisbawahi potensi konflik sebagai salah satu hal yang harus diantisipasi. Ketua Bawaslu Muhammad mengatakan potensi konflik dalam penyelenggaraan Pilkada serentak untuk pertama kalinya ini diprediksi cukup tinggi.”Potensi masalah di Pilkada serentak cukup tinggi. Maka Bawaslu berkoordinasi dan menyampaikan kepada presiden apa yang akan dipersiapkan oleh jajaran penyelenggara pemilu sehingga pelaksanaan Pilkada serentak itu bisa lebih baik dari pemilupemilu sebelumnya,” ujar Muhammad di Istana Negara usai menemui Presiden Joko Widodo. Menurut dia, Bawaslu sudah selesai menyusun regulasi terkait Pemilu. Karenanya, ia berani menyatakan bahwa lembaganya sudah siap untuk menjadi pengawas dalam pelaksanaan Pilkada serentak periode pertama yang akan dilakukan pada Desember 2015 nanti. “Kami optimistis 90 persen regulasi kita sudah siap. Tinggal dikonsultasikan

dengan DPR dan pemerintahan,” ujarnya. Sementara terkait anggaran, Muhammad mengatakan bahwa Bawaslu terus melakukan advokasi dengan Kementerian Dalam Negeri agar dapat mendorong kabupaten atau kota yang belum optimal dalam menganggarkan dana untuk Pilkada.Meski demikian, ia tidak menyebut berapa kabupaten atau kota yang belum siap dalam hal anggaran tersebut. Pada kesempatan terpisah, Pimpinan Bawaslu Nasrullah mengatakan, kapanpun tanggal pemungutan suara yang ditetapkan KPU, Bawaslu harus siap. “Seandainya pemungutan suara dilakukan 2015, kalkulasi KPU bulan Desember, berarti ujungnya kita akan bersengketa di 2016. Ini baru bulan Februari, waktu yang ada masih cukup (untuk persiapan),” ujar Nasrullah. Menurut dia, kesiapan Bawaslu merupakan wujud tanggung-jawab moral sebagai penyelenggara pemilu. Setelah Mahkamah Agung menyatakan keberatan dalam menangani sengketa hasil pilkada, serta putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak lagi menangani perselisihan hasil pilkada. “Saat ini tidak ada yang bersedia

menangani sengketa hasil pilkada. Kami sebenarnya berharap ke MK saja lagi, tapi kalau tidak mau terpanggil hati ini untuk menanganinya,” ungkapnya. Kesiapan itu juga lantaran selama ini banyak pihak menilai Bawaslu dapat berperan sebagai lembaga peradilan pemilu. Dalam artian, dapat menyelesaikan sengketa baik terkait proses maupun hasil pilkada. “Kenapa kita tidak coba transisikan ini (penanganan sengketa Pilkada) ke sana (sengketa Pemilu), sehingga fungsi pengawasan nantinya dapat diambil masyarakat. Ini bukan aji mumpung tapi menjawab kebutuhan,” jelas Nasrullah. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara pemilu telah mengeluarkan perkiraan waktu yang paling ideal seandainya pilkada serentak mulai dilakukan tahun ini. Menurut Ketua KPU Husni Kamil Malik, akhir 2015 menjadi waktu yang dipilih seandainya pilkada diputuskan berlangsung mulai tahun ini. “Sampai saat ini kami masih mendiskusikan dua jadwal yang menurut kami cukup untuk mempersiapkan penyelenggaraan pilkada serentak, 18 November atau 16 Desember 2015,” ujar Husni. [IS]

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

21


Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini

Pilkada 2015 Terlalu Dipaksakan

FAJAR.CO.ID

Waktu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mempersiapkan pemilihan kepala daerah (pilkada) sangat sempit. KPU harus bekerja ekstra keras untuk mempersiapkan tahapan pilkada pada Juni 2015. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menyatakan, keputusan pemerintah dan DPR menyelenggarakan Pilkada 2015, sangat dipaksakan. Padahal, banyak hal yang bisa menghambat pelaksanaan pilkada pada tahun ini. “Kami mengkhawatirkan kesiapan penyelenggara. KPU harus bekerja sangat keras untuk mengimbangi jadwal itu,” kata Titi kepada SH di Jakarta, Selasa (17/2). Menurutnya, keputusan DPR dan pemerintah tersebut tidak memperhatikan kejenuhan pemilih. Pada 2014, masyarakat baru saja mengikuti pemilu dan selang setahun harus hiruk pikuk masalah pilkada. Ia juga mengkritik jadwal pilkada pada Desember, saat umat kristiani hendak merayakan Natal. Dari sisi penyelenggara, tidak mudah pertama kali melakukan pilkada serentak dalam waktu persiapan yang sempit. Bukan hanya merekrut tenaga ad hoc, KPU juga butuh waktu dan tenaga untuk menyosialisasikan cara kerja bagi petugas di TPS, PPK, dan PPS. Hingga saat ini, KPU belum menyelesaikan penyusunan Peraturan KPU (PKPU) dalam menyelenggarakan pilkada. Namun, anggota KPU, Ferry Kurnia Rizkiansyah, mengatakan pihaknya siap mengorganisasi penyelenggaraan pilkada akhir tahun 2015. KPU menargetkan persiapan aturan dan sosialisasi akan dilakukan pada Maret atau April 2015. “Sekitar Mei atau Juni pelaksanaan pilkadanya,” tuturnya.Sebelumnya, kata Ferry, jadwal ideal yang diusulkan KPU adalah pada April 2016 untuk daerah yang kepala daerahnya habis masa jabatan pada 2015 dan 2016. Kemudian pada 2017, untuk daerah yang habis masa jabatan 2017 dan 2018, serta 2021 untuk pilkada serentak nasional. “Itu yang kami usulkan ke panitia kerja (panja) DPR,” ujarnya. [VD]

22

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

Research Associate Poltracking, Ali Rif’an

Lebih Rawan Konflik, Masyarakat Harus Ikut Awasi Pilkada

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) satu putaran dan secara serentak justru menyimpan potensi konflik dan pelanggaran yang sangat besar. Karena itu, masyarakat harus ikut mengawasi penyelenggaraan pilkada. Research Associate Poltracking Ali Rif’an mengatakan, pilkada secara serentak membuat TNI/Polri kewalahan bila konflik juga terjadi secara serentak. “Sebab, jika dibandingkan dengan pemilu presiden dan pemilu anggota legislatif, pilkada merupakan pesta demokrasi yang paling rawan menimbulkan konflik,” kata Ali sebagaimana disampaikannya dalam kolom opininya di Jawa Pos. Dia mengatakan, potensi konflik dalam pilkada tidak hanya terjadi antarkandidat yang berbeda partai, tapi sesama kader di partai yang sama. Begitu pula, dengan diberlakukannya pilkada satu putaran, setiap kandidat pasti berusaha semaksimal-maksimalnya dan mengerahkan seluruh energi untuk bisa menang. “Pada titik inilah, tidak tertutup kemungkinan segala cara akan ditempuh, termasuk cara-cara kotor dan culas,” lanjutnya. Dia menjabarkan, kecurangan dalam pilkada sesungguhnya dapat dibagi dua, Publik luas juga yakni kecurangan saat harus ikut memantau pilkada dan kecurangan pilkada supaya dapat pra-pilkada. Kecurangan saat pilkada dimuberjalan dengan jujur lai ketika sang kandidan adil serta terhindar dat sudah ditetapkan dari segala praktik KPU sebagai peserta kecurangan (kandidat) pilkada dan berlangsung hingga pemungutan suara. Dalam hal ini, kecurangan bisa berupa kampanye hitam, politik uang, intimidasi, hingga manipulasi hasil perolehan suara. Namun, yang kerap luput dari pantauan adalah kecurangan pra-pilkada. Ada beberapa modus kecurangan pra-pilkada. Pertama, praktik kecurangan yang hanya melibatkan kontestan atau orang yang bertarung. Kedua, kecurangan yang melibatkan penyelenggara negara seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Karena itu, ujar dia, untuk mengantisipasi berbagai potensi kecurangan tersebut, dibutuhkan pengawasan ekstra supaya pesta demokrasi di tingkat lokal yang berlangsung secara serentak kali ini dapat berjalan sebagaimana mestinya. Menurut dia, tugas pengawasan tidak boleh diserahkan hanya kepada Bawaslu semata. “Publik luas juga harus ikut memantau pilkada supaya dapat berjalan dengan jujur dan adil serta terhindar dari segala praktik kecurangan,” kata dia.(Dey)

Guru Besar Universitas Airlanga Ramlan Surbakti

Proyeksi Pemilu Serentak 2019 serta Potensi Masalahnya Pemilu serentak dapat didefinisikan sebagai sistem pemilu yang dilangsungkan dalam satu waktu bersamaan. Oleh karena itu pemilu serentak 2019 tidak hanya pada tataran desain pemilu saja, namun proyeksi kedepan untuk menentukan bagaimana tingkatan praktiknya. Hal tersebut di ungkapkan oleh Guru Besar Universitas Airlanga Ramlan Surbakti dalam kegiatan Desain Pemilu serentak 2014 dan Peluncuran Electoral Research Institute (ERI) di Gedung Auditorium LIPI, Senin (2/2). Forum tersebut digunakan untuk menampung usulan dan ide terhadap penyelenggaraan pemilu serentak. Secara bersama – sama para ahli melakukan kajian yang dilakukan oleh Electoral Research Institute (ERI), Australia Election Commission (AEC) dan bekerja sama dengan LIPI untuk mendesain pemilu serentak 2019. Respon tersebut mendapatkan hasil dan rumusan oleh beberapa pihak, terutama oleh para ahli di bidang kepemiluan. Ramlan Surbakti yang ikut merumuskan pemilu nasional serentak di 2019, menuturkan beberapa hal terkait urgensi pemilu nasional serentak. “Urgensi yang pertama adalah mempercepat pemerintahan presidensial, kedua, ialah kemudahan teknis penyelenggaraan dan ketiga adalah

efisiensi anggaran,” ujar Mantan Anggota KPU tersebut. Menurutnya, studi yang dilakukan oleh LIPI memperlihatkan bahwa penggunaan sistem proporsional berimplikasi terhadap pemerintahan di Indonesia karena penggunaan sistem proporsional dengan kombinasi multi partai mengakibatkan terjadinya pembukaan saluran politik di luar jalur partai. “Mekanisme pembuatan kebijakan UU di tingkat legislatif seringkali mengalami jalan buntu akibat berbagai kepentingan yang sangat beragam di tingkat legislatif,” ujarnya. Dalam konteks penyelenggara, tambahnya, hasil simulasi yang telah dilakukan adalah jika pemilu DPD, DPR, DPRD (Provinsi dan Kabupaten/Kota), Pemilihan Kepala Daerah, serta pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara serentak dan pada hari yang sama, secara teknis sulit dilakukan. Penyelenggara mendapat pekerjaan yang sangat banyak dan beban volume sangat besar. “Penyelenggara terlalu di bebankan dengan pemilu secara borongan,” ujarnya. Namun, bagi penyelenggara pemilu akan ada efektivitas dan efisiensi pada tiga aspek, yaitu, penyelenggara akan dapat mempersiapkan, merencanakan, melaksanakan dan men-

MERDEKA.COM

gendalikan pemilu secara lebih efisien. Biaya penyelenggara pemilu lokal akan lebih efisien karena berubah tiga kali, dan Penyelenggara akan bekerja sepanjang tahun. Sedangkan dari sisi lain, parpol akan menghadapi situasi yang tidak terkendali karena harus mengajukan sekian banyak calon anggota legislatif dan calon kepala daerah dalam waktu secara bersamaan. “Akibatnya pemilih yang akan menggunakan hak pilihnya akan bingung, siapa yang akan dipilih karena terlalu banyak calon,” ujarnya. Ramdan berharap, ketika pemilu serentak yang akan dilakukan pada 2019 nanti, pemilih akan dapat memberikan suaranya secara cerdas. Pemilih yang cerdas akan selalu mengikuti perkembangan perilaku dan kinerja partai politik dan calonnya. [HW]

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Sujito

Bawaslu Harus Berikan Ruang bagi Pemilih Kritis

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Sujito mengatakan bahwa pemilih belum sepenuhnya dijadikan subjek dalam proses Pemilu di Indonesia. Oleh karena itu, ia mendorong Bawaslu untuk terus memberikan ruang bagi pemilih, untuk menjadi kritis dan memiliki nilai moral dalam memilih. Demikian disampaikan Ari pada Focus Group Discussion (FGD) Evaluasi Pemilu DPR, DPD dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 yang dilaksanakan oleh Bawaslu DIY, di Yogyakarta, Selasa (10/2). Ia juga mengatakan bahwa Bawaslu dapat mengambil peran dalam meningkatkan kualitas pemilih lewat kebijakan-kebijakan yang memicu pergerakan sosial (social movement). “Perubahan cara pandang teknokrasi harus ditopang dengan social movement yang merupakan hasil dari kebijakan. Warga negara harusnya menjadi pemilih aktif dan pemilih kritis,” tuturnya. Menurutnya, ketika pemilih itu sendiri tidak memiliki sikap kritis dalam Pemilu maka wakil-wakilnya atau pemimpin yang terpilih akan memiliki kecenderungan tidak kompeten dan tidak maksimal dalam kinerjanya. Apalagi jika dasar memilih hanya sebatas politik transaksional, yakni setiap suara dihargai oleh uang. Ia mengharapkan, Pemilu dari waktu ke waktu, bisa memberikan edukasi bagi publik tentang

bagaimana mengambil sikap dalam berpolitik. Jika masyarakat sudah mencapai tingkatan tersebut, maka niscaya wakil-wakil yang terpilih akan memiliki kinerja yang baik nantinya. “Memperbaiki kinerja anggota dewan menjadi tantangan kita bersama. Sehingga kita (sebagai pemilih) bisa bangga karena berhasil mengawal peUGM.AC.ID milu. Pendekatan demokrasi dengan gerakan politik sudah saatnya dilakukan,” tambahnya. Sekedar informasi, sejak Pemilu 2014 Bawaslu mencetuskan gerakan sejuta relawan Pengawas Pemilu. Gerakan ini merupakan gerakan moral untuk melibatkan para pemilih pemula untuk terlibat aktif dalam melaksanakan pengawasan Pemilu di Indonesia. Gerakan tersebut mendapat respon positif, dan menghadirkan lebih dari 800 ribu relawan yang tersebar di seluruh Indonesia. [FS/IR] BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

23


IRMA/DKPP

BIODATA

Nama Lengkap: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., MH Penghargaan Negara: 1) Bintang Maha Putera Adi Pradana, 2009. 2) Bintang Maha Putera Utama, 1999. Pendidikan: 1. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1977-1982 (Sarjana Hukum). 2. Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 19841986 (Magister Hukum). 3. Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia (program ‘doctor by research’) kerjasama dengan Rechtsfaculteit, Rijksuniversiteit, Leiden, (1987-1991). 4. Post-Graduate Course, Harvard Law School, Cambridge, Massachussett, 1994; 5. Berbagai ‘short courses’ lain di dalam dan luar negeri, seperti di IATSS Forum di Suzuka, Jepang (1984).

Ketua DKPP, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, MH

Hukum dan Etika Penyelenggara Negara

M

edio Juni 2013 lalu, Jimly Asshidiqie secara langsung mengusulkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai perlunya dibentuk sistem peradilan etika penyelenggara negara. Peradilan etika tujuannya untuk mengontrol prilaku pejabat publik baik yang ada di pusat hingga ke daerah. “Kita memerlukan UU Etika Penyelenggara Negara. Presiden sangat menyambut baik ide ini. Presiden bila berbicara soal etika selalu concern,” kata Jimly. Menurut dia, dari pertemuan tersebut presiden meminta agar dibentuk Undangundang Etika Penyelenggara Negara. Jimly menegaskan, aturan tersebut tidak semata untuk mengatur aparatur sipil negara. Namun undang-undang ini mencakup semua etika pemerintahan dan pejabat penyelenggara negara meliputi eksekutif, legislatif hingga yudikatif baik yang ada di pusat hingga di daerah. Peradilan etik ini perlu diperkenalkan dengan insfrastruktur etika. Insfrastruktur etika ini komplementer terhadap infrastruktur hukum. ”Jadi peradilan etik ini sebagai mekanisme kontrol prilaku pejabat publik kita,” ujar pengajar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia itu. Sejak mengakhiri jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly dipercaya merintis sekaligus memimpin DKPP. Lembaga yang resmi dibentuk pada 12

24

Juni 2012. DKPP dikhususkan untuk mengimbangi dan mengawasi kinerja dari Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu serta jajarannya. DKPP bertugas memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/ atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu. DKPP dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 pasal 109 tentang Penyelenggara Pemilu. Dalam berbagai kesempatan, Jimly menyampaikan gagasannya tentang perlu dilakukan penguatan etika dan hukum penyelenggara negara. Tidak hanya terbatas bagi penyelenggara dan pengawas pemilu. Menurutnya sistem hukum yang sudah ada terus dijalankan. Tetapi mekanisme etika perlu dibangun dan diperkuat. Tujuannya, agar setiap pejabat publik yang menyimpang baik yang ada di pusat hingga daerah bisa langsung diproses dengan cepat. Tidak lagi melewati proses birokrasi yang sulit dan bertingkat-tingkat seperti pada peradilan hukum yang ada. “Peradilan ini lebih sederhana. Sehingga peradilan etik ini bisa membebaskan atau menyelamatkan institusi kita dari pejabat yang melanggar etika atau melanggar hukum,” ujarnya. Cara kerjanya, proses peradilannya sama dengan peradilan hukum, yaitu dilakukan secara terbuka. “Bedanya dengan peradilan hukum yaitu, sistem peradilan hukum itu prosesnya lebih ribet. Sistem hukum itu kalau nggak hukuman mati atau

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

hukuman penjara. Nah, sekarang penjara sudah penuh semua,” jelas dia. Jimly mengungkapkan, pengadilan etik ini perlu mengintegrasikan, membina atau mendorong, di dalam institusi publik dan profesi publik yang menyangkut kepentingan publik. “Sistem kode etik dan penegak kode etik. Kode etik ini tidak perlu seragam. Disesuaikan dengan kebutuhannya masing-masing,” jelas dia. Pria kelahiran Palembang, 17 April 1956 itu menegaskan gagasannya tentang etika bukan ingin menggantikan hukum. Rule of Law tetap perlu. Etika (rule of ethic) hanya sebagai penopang rule of law. Hukum dan etika harus bersinergi. Ia percaya jika etika berfungsi maka perilaku menyimpang bisa dihindari. Etika bisa mengoreksi penyimpangan yang terjadi oleh penyelenggara negara. “Etika melengkapi sistem hukum,” ujarnya. Penegakan etika bisa digunakan untuk mencapai keadilan. Prosesnya bisa melalui proses peradilan etika. Selain caranya lebih sederhana dibanding proses penegakan hukum, proses yang cepat juga bisa menyelamatkan nama baik institusi. Mengutip pandangan seorang hakim agung Amerika Serikat, Jimly mengibaratkan upaya mencapai tujuan di pulau keadilan menggunakan kapal melewati samudera. Kalau samudera etikanya kering, kapal tak mungkin mencapai pulau keadilan. “Hukum itu mengapung di samudera etik,” kata Jimly. [IS]

Pengabdian dalam Tugas Kenegaraan dan Jabatan Publik lainnya: 1. Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia (DKPP-RI), 2012-2017; 2. Ketua Dewan Penasihat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), 2013-2017, dan Penasihat KOMNASHAM 2009-2012; 3. Anggota Dewan Gelar dan Tanda Kehormatan Republik Indonesia (DGTK-RI), 2010-2015; 4. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia (WANTIMPRES) Bidang Hukum dan Ketatanegaraan, 2010 (Periode kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono); 5. Ketua Panitia Seleksi Anggota Komnas HAM 2012, dan Ketua Tim Seleksi Penasihat Komisi Pemerantasan Korupsi (2010); 6. Ketua Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK-KPU), 2010-2011; 7. Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Periode lima tahun pertama (2003-2008); 8. Penasihat Senior Menteri Negara Riset dan Teknologi (20102012), dan Penasihat Senior Menteri Perindustrian dan Perdagangan (2002-2003); 9. Tim Ahli Badan Pekerja MPR-RI, 2001-2002, dan Penasihat Ahli Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002-2003; 10. Asisten Wakil Presiden Republik Indonesia Bidang Kesejahteraan Rakyat (1998-1999); 11. Sekretaris Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Hukum Republik Indonesia (DPKSH), 1999; 12. Ketua Tim Nasional Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani (1997-1999), dan Penanggungjawab Panel Ahli bersama dengan Prof. Dr. Bagir Manan, SH. MCL. (Ketua Tim Perumus) dan para guru besar dan praktisi senior di bidang hukum, menghasilkan konsep awal Gagasan Perubahan UUD 1945 dan Sistem Pemilihan Presiden Secara Langsung, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1998; 13. Staf Ahli Menteri, merangkap Sekretaris Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1993-1998);

14. Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Fraksi Utusan Golongan), 1997-1998; 15. Anggota Tim Nasional Indonesia Menghadapi Tantangan Globalisasi, Kementerian Riset dan Teknologi, 1996-1998; 16. Anggota Tim Ahli pelbagai rancangan perubahan UndangUndang di bidang politik, bidang hukum dan hak asasi manusia, bidang pemerintahan daerah, dan di bidang perdagangan dan industri di masa reformasi, 1997-2003; 17. Senior Scientist Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta, 1990-1998; 18. Anggota Kelompok Kerja Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (WANHANKAMNAS) dalam rangka perancangan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), 1985-1995; 19. Anggota Tim Ahli Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 1988-1993; 20. Sampai sekarang, dalam kapasitas pribadi, terus aktif memberikan bimbingan, nasihat-nasihat, konsultasi, dan ceramah dalam pelbagai diklat ataupun konsultasi dengan pimpinan lembaga-lembaga dan komisi-komisi negara dalam rangka konsolidasi kelembagaan dan pengembangan kinerja. 21. Wakil Ketua Tim 9 (Tim Independen Penyelamatan KPK-Polri) Tahun 2015 Pengabdian dalam Pendidikan 1. Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia sejak tahun 1981 sampai sekarang dan Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara sejak 1998; 2. Pengajar pada berbagai Diklatpim Tingkat I dan Tingkat II Lembaga Administrasi Negara (LAN) sejak tahun 1997; 3. Pengajar pada kursus KSA dan KRA LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) sejak 2000-sekarang; 4. Pengajar pada pelbagai program Diklatpim Bank Indonesia, Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, dan pelbagai lembaga negara dan komisi negara, dan lain-lain; 5. Guru Besar pada Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), 2000-sekarang; 6. Mendirikan dan membina Yayasan Jimly School of Law and Government (JSLG), lembaga pendidikan di bidang hukum, politik, dan administrasi pemerintahan, Jakarta, 2010-sekarang. 7. Guru Besar Tamu di pelbagai universitas di berbagai daerah, dan luar negeri, seperti Sydney University, dan Melbourne University; 8. Ketua Bidang Ilmu Hukum dan Masalah Kenegaraan, Program Pasca Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, dan Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998-2002; 9. Anggota Senat Akademik Universitas Indonesia, 2001-2003; 10. Ketua Badan Pembina Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar, yang mengelola universitas dan sekolah-sekolah Al-Azhar mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai dengan SMA di seluruh Indonesia; 11. Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BKSPTIS), 1984-1989, 19891993; 12. Pembantu Rektor III Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), Jakarta, 1983-1992; BULETIN BAWASLU BAWASLU || EDISI EDISI 2, 2, FEBRUARI FEBRUARI 2015 2015 BULETIN

25


Ketua Bawaslu RI, Muhammad bersama dengan Ketua Bawaslu Provinsi Jateng, Abhan dan Anggota Bawaslu Provinsi Jateng, Teguh Pramono dan Juhannah bersilaturahmi dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Selasa (10/2) dalam rangka persiapan Pemilihan Bupati dan Walikota di Provinsi Jawa Tengah.

Gubernur Jateng Siap Dukung Pengawasan Pemilu

K

etua Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI) Muhammad bersilaturahmi dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Selasa (10/2) dalam rangka persiapan Pemilihan Bupati dan Walikota di Provinsi Jawa Tengah. Hadir juga dalam pertemuan tersebut Pimpinan Bawaslu Provinsi Jawa Tengah Abhan, Teguh Purnomo dan Juhanah. Turut mendampingi. Kepala Sekretariat Bawaslu Provinsi Jawa Tengah Kartini Tjandra Lestari beserta Staf Rr. Istilah Wulandari dan Widiantoro. Rombongan diterima langsung oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bertempat di Puri Gedeh Semarang Jl Gajah Mungkur (Jl Gubernur Budiono) No 8 Semarang. Pertemuan selama satu jam tersebut membicarakan dan mengkoordinasikan persiapan pengawasan Pemilihan Bupati dan Walikota yang akan datang. Ketua Bawaslu RI Muhammad menyampaikan tentang pentingnya keterlibatan Pemerintah Daerah yang dipimpin oleh Gubernur Jawa Tengah, untuk memfasilitasi dan mensukseskan Penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Walikota di Wilayah Jawa Tengah yang akan datang. “Kami memberikan apresiasi yang tinggi kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah

26

yang telah mengawal Penyelenggaraan Pemilu baik Pemilu Legislatif maupun Pilpres Tahun 2014 yang lalu dengan sangat baik sehingga tercapai Pemilu yang demokratis, lancar dan aman,” tutur Muhammad. Ketua Bawaslu Provinsi Jawa Tengah Abhan menambahkan bahwa persiapan yang telah dilakukan oleh Bawaslu Provinsi Jawa Tengah diantaranya adalah Pembentukan Panitia Pengawas (Panwas) Pemilihan Bupati dan Walikota di 16 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah yang akan melaksanakan Pemilihan Bupati/ Walikota. Terkait dengan hal tersebut dukungan anggaran dan sumber daya manusia juga sangat penting. “Kami (Bawaslu Jateng - red) masih membutuhkan Kasubbag untuk meningkatkan kinerja, selama ini Bawaslu Jateng dalam periode Pemilu Legislatif Tahun 2014 dan Pilpres Tahun 2014 hanya di dukung oleh Kepala Sekretariat tanpa dibantu oleh Kasubbag sesuai dengan tugas dan fungsi pokoknya,” tutur Abhan. Terkait dengan hal tersebut Bawaslu Provinsi Jawa Tengah telah berkoordinasi dengan Setda Provinsi Jawa Tengah dan akan dipenuhi untuk pengisian Kasubbag.

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

Dari sisi anggaran di 16 Kabupaten/ Kota yang akan melaksanakan Pemilihan Bupati/Walikota terdapat 2 (dua) Kabupaten yang anggaranya masih minim yakni Kabupaten Rembang sebesar Rp. 1 (satu) milyar dan Kabupaten Blora Rp. 1,5 (satu setengah) milyar. “Berkenaan dengan itu kami mohon agar Pemerintah Provinsi menghimbau kepada Pemerintah Kabupaten Rembang dan Pemerintah Kabupaten Blora untuk merevisi anggaran yang masih minim tersebut,” imbuh Abhan. Menanggapi hal tersebut, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, menyampaikan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Tengah beserta jajarannya siap mendukung penuh Penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Walikota yang akan datang. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga akan berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota yang akan melaksanakan Pemilihan Bupati/Walikota. “Terkait dengan anggaran penyelenggaraan Pemilihan Bupati di Kabupaten Rembang dan Kabupaten Blora, nanti kami akan koordinasikan dengan Bupati dan DPRD di 2 (dua) Kabupaten tersebut,” pungkas mantan Pimpinan Komisi II DPR itu. [Widiantoro/Staf Bawaslu Jateng]

Nilai Etika dan Moral Jadi Sasaran Utama Seleksi Pengawas Pemilu Prinsip utama seorang Pengawas Pemilu adalah integritas yang tinggi. Tidak hanya itu moral dan etika adalah hal penting sebagai modal dasar dan menjadi sasaran utama untuk menjadi Penyelenggara Pemilu.

HENDRU

U

Ketua Bawaslu, Muhammad hadir pada Ujian Tertulis Calon Pawaslu Kab/Kota di Jambi.

dasar demi terciptanya pengawas yang memiliki integritas dalam proses berdemokrasi. Selain itu, Muhammad menegaskan dalam proses seleksi calon anggota Panwaslu yang dilakukan di Provinsi Jambi, pihaknya tidak melakukan intervensi. Seluruh proses kegiatan seleksi sudah diserahkan kepada Bawaslu Provinsi yang nantinya melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon anggota panwaslu Kabupaten Kota terpilih. “Kedatangan saya kali ini tidak ada maksud apa-apa, hanya dalam rangka untuk melihat proses seleksi dilakukan. Untuk itu proses ini kami sudah diserahkan seluruhnya kepada Bawaslu Provinsi Jambi, karena sebelumnya kita juga melakukan seleksi tersebut dalam memilih ketiga orang Bawaslu Provinsi tersebut, soal tim seleksi saya yakin tidak dipertanyakan kembali Independensi dan kredibilitasnya,” ujarnya Sementara itu, Ketua Tim Seleksi (Timsel) Panwaslu Kabupaten/Kota untuk Provinsi Jambi, Rozali Abdullah mengatakan, seleksi nantinya menitik beratkan kepada tiga aspek penilaian yaitu, aspek pertama pada kualitas etika, kedua pada Moral dan ketiga pada aspek intelektual. Menurutnya dari tiga aspek, tersebut adalah kriteria Tes Tertulis Calon Pawaslu Kab/Kota di Jambi. wajib dalam proses penyeleksian ntuk itu, Ketua Bawaslu Muhammad mendorong agar rekrutmen Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten dan Kota se-Provinsi Jambi melahirkan Pengawas Pemilu yang memiliki etika dan moral dalam mengawal pelaksanaan proses Pemilu ke depan. “Tujuan dilakukannya seleksi calon Panwaslu adalah menghasilkan Panwaslu yang berkompeten di bidangnya serta memiliki integritas dan etika,” ujarnya usai ujian tertulis calon anggota Pengawas Pemilu Kabupaten Kota untuk Pemilihan Gubernur Jambi 2015, di Gedung Balai Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jambi, Senin (9/2). Mantan Ketua Panwaslu Provinsi Sulawesi Selatan tersebut menuturkan, nilai etika dan moral adalah prinsip yang mutlak sebagai pengawas pemilu sebagai modal

pengawas pemilu. “Mengapa dari tiga aspek tersebut, sebab pengawas sesuai dengan faktanya sudah sering diadukan ke DKPP karena permasalahan etika dan moral, dan aspek intelektual tentunya,” ujar pria yang juga sebagai Majelis Pemeriksa Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Provinsi Jambi. Sementara itu, Ketua Bawaslu Provinsi Jambi Asnawi menegaskan, pelaksanaan rekrutmen Panwaslu Kabupaten dan Kota dalam hal ini pihaknya sudah menyerahkan seluruhnya kepada timsel sejak awal dibentuk. ia menjelaskan nantinya dari enam besar terpilih yang diajukan, Bawaslu akan menyeleksi hingga tiga besar untuk ditetapkan menjadi Panwaslu Kabupaten Kota. “Tidak ada intervensi dari Bawaslu Provinsi Jambi dalam rekrutmen calon Panwaslu Kabupaten dan Kota. Kami sudah melakukan pelaksanaan seleksi sesuai dengan prosedur,” ujarnya. Sebagai Informasi, Bawaslu Provinsi Jambi secara resmi sudah menunjuk tim seleksi untuk rekrutmen untuk calon anggota Panwaslu Kota Jambi terdiri dari 11 (sebelas) Kabupaten Kota, nama – nama Tim Seleksi terdiri dari Rozali Abdullah sebagai (Ketua), Fadhillah Husain (Sekretaris) dan Anggota terdiri dari, Khairinal, Amir Hasbi dan Evi Syahrul. Diketahui, 146 keseluruhan jumlah peserta , dan 8 (delapan) orang peserta lainya tidak mengikuti ujian tes tertulis pada seleksi calon Panwaslu Kabupaten Kota. [HW]

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

27


Anekdot

Inspirasi

Kisah Secangkir Kopi

Cerimor

Suatu hari di sebuah universitas terkenal. Sekelompok alumnus bertamu di rumah dosen senior, setelah bertahun-tahun mereka lulus. Setelah mereka semua menggapai kesuksesan, kedudukan yang tinggi serta kemapanan ekonomi dan sosial.

(Cerita Humor) Menggunakan Uang Kelas untuk Kepentingan Pribadi

www.google.com

S

etelah saling menyapa dan berbasa-basi, ma- cangkir yang dipegang orang lain!. sing-masing mereka mulai mengeluhkan peAndaikan kehidupan adalah kopi, maka pekerkerjaannya. Jadwal yang begitu padat, tugas jaan, harta dan kedudukan sosial adalah cangkiryang menumpuk dan banyak beban lainnya yang cangkirnya. Jadi, hal-hal itu hanyalah perkakas yang seringkali membuat mereka stress. membungkus kehidupan. Adapun kehidupan (kopi) Sejenak sang dosen masuk ke dalam. Beberapa itu sendiri, ya tetap itu-itu saja, tidak berubah. saat kemudian, beliau keluar sambil membawa namSaat konsentrasi kita tersedot kepada cangkir, pan di atasnya teko besar berisikan kopi dan berbagai maka saat itu pula kita akan kehilangan kesempatan jenis cangkir. Ada cangkir-cangkir keramik tiong- untuk menikmati kopi. kok yang mewah. Cangkir-cangkir kristal. CangkirKarena itu kunasehatkan pada kalian, jangan tercangkir melamin. Dan cangkir-cangkir plaslalu memperhatikan cangkir, akan tetapi niktik. Sebagian cangkir tersebut luar biasa matilah kopinya…”. indahnya. Ukirannya, warnanya dan Sejatinya, inilah penyakit yang harganya yang waahh. Namun ada diderita manusia. Banyak orang Tidakkah juga cangkir plastik yang biasanyang tidak bersyukur kepada Allah kalian perhatikan ya berada di rumah orang-orang atas apa yang ia miliki, setinggi bahwa hanya cangkir-cangkir yang amat miskin. apapun kesuksesannya. Sebab ia Sang dosen berkata, “Silahkan selalu membandingkannya denmewah saja yang kalian pilih? masing-masing menuangkan gan apa yang dimiliki orang lain. Kalian enggan mengambil kopinya sendiri”. Setelah menikah dengan cangkir-cangkir yang Setelah setiap mahasiswa meseorang wanita cantik yang beramegang cangkirnya, sang dosen khlak mulia, ia selalu berfikir bahbiasa? berkata, wa orang lain menikah dengan wani“Tidakkah kalian perhatikan bahwa ta yang lebih istimewa dari istrinya. hanya cangkir-cangkir mewah saja yang Sudah tinggal di rumah sendiri, namun kalian pilih? Kalian enggan mengambil cangkirselalu membayangkan bahwa orang lain rumahnya cangkir yang biasa? lebih mewah dari rumah sendiri. Manusiawi sebenarnya, saat masing-masing dari Ia bukannya menikmati kehidupannya beserta iskalian berusaha mendapatkan yang paling istimewa. tri dan anak-anaknya. Tapi justru selalu memikirkan Namun seringkali itulah yang membuat kalian men- apa yang dimiliki orang lain, seraya berkata, “Aku jadi gelisah dan stress. belum punya apa yang mereka punya”. (NP) Sejatinya yang kalian butuhkan adalah kopi, bukan cangkirnya. Akan tetapi kalian tergiur dengan cangkir-cangkir yang mewah. Terus perhatikanlah, setelah masing-masing kalian memegang cangkir tersebut, kalian akan terus berusaha mencermati Diambil dari Berbagai Sumber

Cerita di atas adalah hasil saduran dan kutipan dari berbagai tulisan baik media cetak maupun elektronik. Tulisan tersebut dimaksudkan untuk sharing motivasi, inspirasi, kisah hidup dan lain-lain. Semoga dapat membawa manfaat.

28

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

Amir adalah anak seorang pejabat negara yang bertugas dalam bidang keuangan. Kebetulan, Amir pun merupakan bendahara di sekolahnya. Suatu hari, ia ketahuan menggunakan uang kelas itu untuk keperluan pribadi. Dipanggillah ia ke ruang guru. Guru: “Mengapa kau gunakan uang itu untuk kepentinganmu sendiri? Padahal itu kan uang milik temanmu! Apakah kau sedang terdesak?” Amir: “Tidak, Bu...” Guru: “Lalu mengapa? (Amir hanya terdiam.) Cepat katakan! Jika tidak, akan saya laporkan kepada ayahmu!!” Amir: “Laporin aja, Bu ..., toh ayah saya yang mengajarkan saya.” Sumber: http://radiosuaradogiyaifm. blogspot.com

Diskusi Masalah Gaji Pegawai Saat ‘ngrumpi’ di luar tugas antara orang Indonesia dan orang Eropa saling bertanya perihal penghasilan masingmasing. “Berapa gaji anda dan untuk apa saja uang sejumlah itu?,” tanya orang Indonesia mengawali pembicaraan. Orang Eropa menjawab, “Gaji saya 3.000 Euro, 1.000 euro untuk tempat tinggal, 1.000 Euro untuk makan, 500 Euro untuk hiburan.” ”Lalu sisa 500 Euro untuk apa?” tanya orang Indonesia. Orang Eropa menjawab

secara ketus, “Oh ... itu urusan saya, Anda tidak perlu bertanya!” Kemudian orang Eropa balik bertanya, “Kalau penghasilan anda?” “Gaji saya Rp950 ribu, Rp450 ribu untuk tempat tinggal, Rp350 ribu untuk makan, Rp250 ribu untuk transport, Rp200 ribu untuk sekolah anak, Rp200 ribu, bayar cicilan pinjaman, ... Rp100 ribu untuk....”. Saat orang Indonesia ‘nrocos’ menjelaskan, orang Eropa menyetop penjelasan itu dan langsung bertanya. “Uang itu jumlahnya sudah melampui gaji anda. Sisanya dari mana?,” kata orang Eropa itu keheranan. Kemudian, orang Indonesia itu menjawab dengan enteng, ”Begini Mister, uang yang kurang, itu urusan saya, anda tidak berhak bertanya-tanya.” Sumber: http://radiosuaradogiyaifm. blogspot.com/2012/04/cerita-lucuhumorpolitik.html

Melapor Polisi Karena Mobil Dicuri Seorang gadis cantik dengan muka bingung berjalan ke kantor polisi setempat. “Seseorang telah mencuri mobil saya !!” ia berkata keras. Petugas polisi di mejanya menjawab, “Tenang, Mbak. Semuanya akan baik-baik saja. Sekarang, apakah anda mendapatkan gambaran tersangka pencuri?” “Tidak”, kata gadis muda itu, “Tapi saya sudah mencatat nomor plat mobil yang dicuri itu...”

Kenapa Ikan Di Laut Tidak Pernah Habis Ada dua orang karyawan di sebuah perusahaan, namanya Fajar dan Nophe. Dua orang ini sering jalan bareng ketika pulang kerja. Untuk menghilangkan rasa takut ketika melintasi daerah angker, kemudian mereka main tebak-tebakan.

Cita-Cita Teman Sebangku

Fajar : “Kenapa Ikan Di Laut Tidak Pernah Habis Yah? “

Bu guru minta para muridnya membuat sebuah karangan pendek dengan judul: “Sesudah dewasa nanti aku akan bekerja apa dan menjadi apa?”

Nophe : “Memang ikan kalau punya anak banyak”

Adi menulis: “Aku sesudah dewasa akan menjadi seorang polisi, membantu warga menangkap orang jahat.”

Nophe : “Karena ikan menganut aliran hidup bebas”

Penilaian Bu Guru: “Angan-anganmu ini sangat baik, namun kamu besok harus lebih memperhatikan Amat, teman sebangkumu, ia mengatakan sesudah dewasa ia akan merampok bank.”

Fajar : “Salah...”

Fajar : “Wakakakaa... bukan itu jawabannya” Nophe : “Kalau bukan itu, apa jawabannya ?” Fajar : “Karena di laut gak ada kucing” Sumber : CeritaLucu.Gen22.net

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

29


Rektor Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pu- Penandatanganan SK Guru Besar Prof. Dr. Muhammad, S.IP, lubuhu, MA menyerahkan SK Guru Besar Prof. Dr. Muhammad, M.Si S.IP, M.Si

Ketua Bawaslu RI Dikukuhkan sebagai Guru Besar Unhas

Prof. Dr. Muhammad, S.IP, M.Si

30

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diberi anugerah sebagai Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, dalam rapat senat pengukuhan Guru Besar, di Gedung Rektorat Unhas, Makassar pada Sabtu (28/2). Pemberian anugerah Guru Besar tersebut diberikan langsung oleh Rektor Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA dan disaksikan langsung oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla. Dalam pidato ilmiahnya, pria kelahiran Makassar 17 September 1971 itu, menyampaikan tentang “Mewujudkan Akuntabilitas Pemilihan Umum Yang Berkualitas dan Berintegritas Melalui Transformasi Pemilihan Umum”. Beberapa poin penting yang disampaikan antara lain, mewujudkan pemilu yang berkualitas dengan mempersiapkan kader politik yang kompeten, kerangka hukum pemilu yang jelas, membangun kesadaran pemilih untuk menjadi pemilih cerdas, dan keempat adalah pentingnya pe-

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

nyelenggara pemilu yang independen serta profesional. Selain dihadiri oleh Wapres, dalam rapat senat tersebut juga dihadiri oleh beberapa tokoh antara lain, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie, Pimpinan Bawaslu Nasrullah, Endang Wihdatiningtyas, Daniel Zuchron, dan Nelson Simanjuntak, Anggota KPU dan DKPP, dan beberapa Anggota DPR RI. Dalam ucapan terima kasihnya, para pengunjung yang hadir dibuat terharu oleh pidato Muhammad ketika menceritakan tentang perjuangan dan cita-cita ibundanya Syarifah Aisyah Sadiq Alaydrus. Salah satu pesan yang diingat, yakni ketika ibunda tercinta menidurkan Muhammad sambil berkata “Tidurlah Anakku, Tidurlah Buah Hatiku, Jadilah Anak yang Berbakti, Jadilah Kebanggaan Orang Tuamu”. Dan gelar guru besar tersebut ia persembahkan untuk ibunda tercinta serta isteri dan tiga orang anaknya. Foto-Foto : Tim Humas Bawaslu RI

Prof. Dr. Muhammad, S.IP, M.Si mencium tangan ibunda.

Pimpinan Bawaslu RI, Nasrullah menyampaikan ucapan selamat kepada Guru Besar Prof. Dr. Muhammad, S.IP, M.Si

Pimpinan Bawaslu RI, Nasrullah, Endang Wihdatiningtyas, Daniel Zuchron dan Nelson Sumanjuntak hadir dalam pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Muhammad, S.IP, M.Si

Prof. Dr. Muhammad, S.IP, M.Si beserta keluarga berfoto bersama dengan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla beserta istri.

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

31


HENDRU

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Muhammad menjadi narasumber pada acara Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Hotel Bidakara Jakarta. Dalam kesempatan tersebut Muhammad mengatakan bahwa fakta pada persidangan yang ada pada amar putusan Mahkamah Konstitusi mengadopsi pada hasil Pengawasan Pemilu.

P S EMI A W L A IH G A N

UM

BADAN

N

PE

HAMID

Tim independen yang berjumlah 7 orang dari Australia-Indonesia Electoral Support Program (AEISP) Independent Completion Review (ICR) berkunjung ke kantor Bawaslu RI, Rabu, 28 Januari 2015. Bertempat di ruang rapat Lantai IV gedung Bawaslu RI, Tim AEISP ICR mengadakan dialog dengan Anggota Bawaslu RI, Nasrullah dan Nelson Simanjuntak beserta para pejabat struktural dan tenaga ahli Sekretariat Jenderal Bawaslu RI.

UM

A S L U IRWAN

Pimpinan Bawaslu, Nasrullah menjadi narasumber Focus Group Discussion (FGD) Evaluasi Pemilu DPR, DPD dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 yang dilaksanakan oleh Bawaslu DIY, di Yogyakarta, Selasa (10/2).

32

BULETIN BAWASLU | EDISI 2, FEBRUARI 2015

I

N O IK IND

R

W

SI

BL

E

P

A

B

U

A

HUMAS

Tim Seleksi Calon Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) Wahidah Suaib dan Sulaiman menyerahkan hasil seleksi tes wawancara Calon Anggota Bawaslu Provinsi Kaltara kepada Pimpinan Bawaslu RI, Endang Wihdatiningtyas selaku Koordinator Divisi Sumber Daya manusia (SDM) dan Organisasi di ruang kerjanya, Senin (2/3).

RE

MUHTAR

Pimpinan Bawaslu RI, Endang Wihdatiningtyas menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan APBN Tahun 2014 Bawaslu RI dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR RI. Terhadap anggaran Bawaslu RI pada RAPBN Perubahan 2015, Komisi II DPR RI dapat memahaminya dan akan membahasnya secara mendalam pada RDP yang mendatang.

-

HENDRU

Ketua Bawaslu, Muhammad menyerahkan naskah soal untuk ujian tertulis calon Panwaslu Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi kepada Ketua Tim Seleksi Calon Panwaslu Kabupaten/Kota, (9/2).


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.