Citra Ilmu, Edisi 31 Vol. XVI, April 2020
Model Pembacaan Kontekstual Nasr Hamid Abu Zayd Terhadap Teks Suci Keagamaan (Al-Qur’an) Farid Hasan Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora IAIN Salatiga faridhasan.m.hum@gmail.com
Siti Robikah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta bikarobikah@gmail.com Abstract According to Amin al-Khuli, one of the figures who gives an effect to the thought of Nasr Hamid Abu Zaid on his study about al-Qur’an, at the first time, a thought of the Islamic modernity is considered as an infidelity by some people. As time goes by, they pursue it and the thought of it becomes Madzhab for them. Perhaps, that is a right term for Nasr Hamid, the Egyptian intellectual whose thought is regarded an infidelity in the beginning, but it becomes a popular object for the field of study and the research in the world academics, as happened in Indonesia. It is caused by the Nasr Hamid Abu Zaid’s concepts about Islamic modernity which can be considered as a new term in study discourse of al-Qur’an. Linguistics-Semantics and literature are the approaches offered by him in the study of al-Qur’an, because these approaches are capable to find the objective meaning of al-Qur’an, so the approaches, thought and interpretation of religious texts can be more dynamic, contextual, inclusive and relevant to the contemporary discourse of society. Based on the explanation, this study analyzes the views of Nasr Hamid about al-Qur’an and the ways of interpretation which is developed by him. It is hoped that we can see more objectively about who he is, so we don’t fall into a blind claims and maintaining a stagnation.
Keywords: Al-Qur’an, Intellectual grasp, Semiotica, Historical Criticism, Contextual exegesis, al-Muntaj al-Tsaqafi.
Pendahuluan Mesir tampaknya memang ditakdirkan menjadi
Al Quran. Berbagai jenis tafsir Al Quran lahir di tanah Mesir.1
kawah candradimuka pemikiran Islam, terutama
Salah satu dari banyaknya Mufasir yang lahir di
setelah pamor Baghdad menyuram. Sejak itu, Mesir
Mesir adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Dia adalah tokoh
selalu menjadi kiblat perkembangan pemikiran Islam
yang sangat terkenal tidak hanya di tanah airnya sendiri
dunia, terutama saat tampil tokoh islam modern seperti
akan tetapi juga di manca negara Eropa dan Amerika.
Muhammad Abduh dan Rasyid Rida. Perkembangan
Karena kekritisannya tersebut Nasr dimasukkan
ini berlangsung sampai saat ini, diantara diskursus
dalam kategori pemikir pemberontak “dissident Muslim
yang meramaikan peta pemikiran Mesir adalah tafsir
thinkers”. Julukan tersebut tidak dimaksudkan sebagai Lihat dalam pengantar redaksi buku J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern Egyp, terj. Hairussalim (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997), h. vii 1
11
Model Pembacaan Kontekstual Nasr Hamid Abu Zayd ... – Farid Hasan, Siti Robikah
julukan negatif akan tetapi ditunjukkan untuk menamai
dan agama sebagai objek analisis dan interpretasi ilmiah
sebagian kelompok Islam yang memiliki pemikiran
serta terlepas dari mitologi apapun. Apa yang menjadi
terobosan yang cenderung melakukan reformasi
pengertian terakhir ini menurutnya adalah sebuah
terhadap status quo pemikiran Islam.2
kemerdekaan, kemajuan dan keadilan. Dia secara tegas
Ketika Nasr berada di Mesir, keadaan Mesir terbagi menjadi dua kelompok Islam yaitu Islamis
mengutuk pengertian yang pertama dan mendukung pengertian yang kedua.4
(al-Islamiyyun), yang terbagi menjadi Islam radikal (al-
Dalam membedakan antara agama dan pemikiran
mutatharrifun) dan Islam moderat (al-mu’tadilun) dan
agama, Nasr tidak hanya berdiam tanpa memunculkan
sekularis (al-almaniyyun), yang bisa juga dibagi menjadi
suatu hal yang baru. Kemuculan Nasr dengan pemikiran
sekularis radikal dan moderat. Yang termasuk dalam
kegamaan yang merujuk pada interpretasi atas teks
kategori radikal adalah organisasi Al Jihad dan Al
menjadi sumbangsih tersendiri di kancah pemikiran
Jama’ah Al Islamiyyah, sedangkan yang termasuk Islamis
intelektual Muslim. Keadaan Mesir menjadi satu hal
moderat yaitu Al Ikhwan Al Muslimun dan para Islamis
yang mempengaruhi adanya keinginan Nasr untuk
lain yang menentang penggunaan kekerasan dalam
memperbarui pemikiran keagamaan pada masa itu.
dakwah Islam. Kaum sekularis adalah para intelektual
Maka dari itu, tulisan ini akan membahas tentang
Muslim progresif Independen, penulis dan akademisi,
pemikiran Nasr Hamid yang mengkonsentrasikan pada
yang menolak diberlakukannya syariat Islam, yang
pembacaan kontekstual terhadap al-Qur’an.
dipahami secara sempit sebagai hukum Islam sebagai hukum positif negara.3 Nasr Hamid memposisikan dirinya sebagai salah satu pendukung sekularisme. Dia membedakan antara agama (al-din) dan pemikiran keagamaan (alfikr al-dini). Agama adalah sebuah kumpulan teks-teks Ilahiah yang dimantapkan secara historis, sementara pemikiran keagamaan merujuk kepada interpretasi manusia atas teks-teks. Sebagai interpretasi manusia, pemikiran keagamaan bisa jadi benar dan bisa jadi salah. Oleh karena itu mengkritik pemikiran keagamaan bukan berarti mengkritik agama itu sendiri. Nasr juga membedakan antara agama sebagaimana yang dimanipulasi sebagai alat ideologi fungsional yang dipergunakan baik oleh gerakan kanan maupun kiri,
Sketsa Biografi Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd Nasr Hamid Abu Zaid lahir di desa Thanta, ibu kota Provinsi Al Gharibiyah, Mesir pada 1 Juli 1943.5 Nasr Hamid besar dalam masyarakat Mesir modern. Istrinya bernama Ibtihal Yunus. Sebagaimana kebiasaan masyarakat Mesir, sejak sekitar usia 4 tahun dia belajar Qur’an di kuttab di desanya Qahafah, dan pada usia 8 tahun dia telah menghafal keseluruhan al-Qur’an, karena itulah kawan-kawannya memanggilnya “Syaikh Nasr”. Ia dilahirkan di lingkungan keluarga yang taat beragama karena itu sejak kecil sudah akrab dengan pengajaran agama yang akhirnya ia mampu menjelaskan Al Quran sejak umur delapan tahun. Sejak kecil ia Moch Nur Ichwan, Meretas kesarjanaan Kritis Al Quran: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd, h. 35 5 Mengenai tanggal lahir Nasr Hamid terdapat beberapa perbedaan. Terdapat tulisan Usman yang berjudul Bias Gender dalam penafsiran Al Quran memahami pemikiran Nasr Hamid abu Zayd dijelaskan bahwa tanggal lahir beliau adalah 10 Juli 1943 4
Lihat pengantar redaksi dalam Nasr Hamid Abu Zayd, Isykaliyat al-Qiraah wa Aliyyat at-Takwil, terj. Khorian Nahdliyin, (Jakarta Selatan: ICIP), h. v 3 Moch Nur Ichwan, Meretas kesarjanaan Kritis Al Quran: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd, (Jakarta Selatan: TERAJU), h. 26 2
12
Citra Ilmu, Edisi 31 Vol. XVI, April 2020
ditempa pendidikan keagamaan dari internalisasi
mula Nasr Hamid menunjukkan bakatnya dalam
pengajaran di lingkungan keluarga sendiri. Nasr Hamid
keilmuan bahasa dan sastra yang kemudian mampu
mengawali pengembaraan keilmuannya di sekolah
menghasilkan sebuah pembacaan baru dengan
Tekhnik Thanta dan lulus dari sekolah pada tahun
pendekatan linguistik dalam studi Al Quran. Pada tahun
1960.
1972 ia memperoleh gelar kesarjanaannya, kemudian
Pada tahun 1964 artikelnya yang pertama terbit dalam sebuah jurnal yang dipimpin oleh Amin al-Khuli,
Nasr Hamid melanjutkan studi pada program magister di jurusan yang sama dan selesai pada tahun 1981.7
al-Adab. Mulai saat itulah dia mempunyai hubungan
Sejak tahun 1976 sampai 1987 Nasr Hamid
dengan seorang tokoh penting dalam studi al-Qur’an
mengajar untuk orang asing di pusat diplomat dan
di Mesir yang menawarkan tentang pendekatan susastra
menteri pendidikan. Karena melihat bakatnya yang
(al-manhaj al-adabi) atas teks al-Qur’an. Tokoh inilah
luar biasa dari Nasr Hamid akhirnya pengurus jurusan
yang belakangan banyak mempengaruhi gagasan-
menetapkannya untuk menjadi asisten dosen dengan
gagasan dia mengenai studi-studi al-Qur’an. Sejak
mata kuliah pokok “Studi Islam” pada tahun 1982, dan
digesernya Amin al-Khuli dari posisi staf pengajar, pos
mendapat kehormatan sebagai “profesor penuh” pada
pengampu mata kuliah studi-studi al-Qur’an lowong.
tahun 1995 di bidang yang sama. Pada tahun 1975-1977
Oleh karena itulah, ketika Nasr ditunjuk sebagai
mendapat bantuan dana beasiswa dari ford Foundation
asisten dosen pada tahun 1972 Jurusan Bahasa dan
Fellowship untuk studi di Universitas Amerika Kairo.
Sastra Arab Universitas Kairo mewajibkan bagi asisten
Selanjutnya dia juga mendapatkan beasiswa pada tahun
dosen baru untuk mengambil studi-studi al-Qur’an
1978 sampai 1979 untuk belajar di Center For Middle
untuk penelitian MA dan PhD-nya. Dia sempat agak
East Studies. Karirnya memuncak ketika dia diangkat
ragu menerima kebijakan itu. Keraguan itu disebabkan
menjadi Profesor tamu di Osaka University of Foriegn
karena pada sat itu dia mempunyai kecenderungan pada
Studies Jepang pada tahun pada tahun 1985 sampai
studi dan kritik sastra yang sangat kuat, dan studi islam
1989 dan di Universitas Laiden Netherlands pada tahun
yang dekat dengan minatnya adalah studi al-Qur’an.
1995 sampai 1998.8
6
Dua kisah tersebut masih membekas dalam ingatannya.
Dalam rihlah akademisnya, Nasr Hamid telah
Namun pada akhirnya dia harus menentukan, dan sejak
menghasilkan banyak karya dalam bidang studi Islam,
saat itukah dia memulai konsern barunya yaitu studi
baik berkaitan dengan pemikiran keislaman pada
al-Quran dengan pendekatan sastra.
umumnya maupun studi Al Quran khususnya. Dari
Pada tahun 1968 dia melanjutkan ke jenjang
karya-karyanya banyak yang sifatnya kontroversial,
perkuliahan di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab pada
disebabkan banyaknya pandangan Nasr Hamid yang
Fakultas sastra di Universitas Kairo. Dari situlah awal
dianggap melenceng dari prinsip ajaran Islam. Karyakaryanya sebagai berikut Mafhum al-Nas (Dirasah fi Ulum
Disamping itu, kehawatiran Nasr Hamid dilatar belakangi oleh peristiwa penolakan desertasi dibidang yang sama yang dipresentasikan oleh Ahmad Khalafullah dengan judul al-Fann alQasasi fi al-Qur’an al-Karim, Ali Abdul Razik dengan judul al-islam wa Usul al-Hakim tahun 1925, dan Thaha Husain dengan judul Fi Syi’r al-Jahili. Lihat; Hilman Latief, Nasr Hamid abu zaid; kririk teks keagamaan, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003) h. 40. 6
Al Quran) atau Konsep Teks, Kajian atas Ilmu-Ilmu Al Ali Imron dkk, Hermeneutika Al Quran dan Hadis, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), h.116 8 Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zayd “Krtitik Teks Keagamaan”, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2003), h.39 7
13
Model Pembacaan Kontekstual Nasr Hamid Abu Zayd ... – Farid Hasan, Siti Robikah
Quran, Al Ittijahat al-Aql fi al-Tafsir; Dirasat fi Qadiyat
mengerti berbagai segi pertentangan antara kalangan
al-Majaz Ind al-Mu’tazilah (Pendekatan Rasional dalam
fundamentalis (al-Ushuliyyin) dan mereka yang membawa
Interpretasi; Studi terhadap Majaz menurut Kaum
propaganda: Islam adalah jalan keluar (yaitu menjadi
Mu’tazilah), Falsafat al-Ta’wil; Dirasat fi al-Ta’wil Al Quran
penengah) antara mereka yang sekuler dan mereka yang
‘Ind Muhyiddin Ibn ‘Arabi (Interpretasi Filosofis; Studi
menyerukan pembaharuan dan reformasi . Sikap Abu
Terhadap Intrepretasi Al Quran menurut Ibnu Arabi),
Zayd sebenarnya tidak begitu keras dibanding dengan
Naqd al-Khitab al-Dini (Kritik wacana Keagamaan), Al
apa yang sedang berjalan, karena ia tidak menjelaskan
Imam al-Syafi’i wa Ta’sis al-Aidiulujiyyat al-Wasatiyyat
antara kepentingan akademis dengan kegelisahan politis.
(Imam Syafi’i dan Pembentukan Ideologi Moderat), Al
Oleh karena itu, ia menceburkan diri ke dalam kancah
Nass, al-Sultat, al-Haqiqat (Teks, wewenang Kebenaran),
peperangan Mesir dengan memanfaatkan kemampuan
Isykaliyyat al-Qira’at wa Aliyat al-Ta’wil (Problematika
berfikirnya untuk menelanjangi propaganda-
Pembacaan dan Mekanisme Interpretasi), Al Tafkir fi
propaganda para Islamis, dengan menyatakan bahwa
Zaman al-Tafkir (Pemikiran di era Pengkafiran).
kepentingan yang paling utama dari seorang intelektual
9
Dari banyaknya karya Nasr Hamid—seperti apa
adalah mengkritik pemikiran keagamaan dengan
yang telah dipaparkan—jika ditimbang melalui isi
menggunakan beberapa gaya dan metode ilmiah di
karya tersebut terlihat bahwa Mafhum al-Nas (Dirasah
dalam mengkaji dan menganalisis dan puncaknya
fi Ulum Al Quran) atau Konsep Teks, Kajian atas Ilmu-
adalah membentuk kesadaran ilmiah terhadap tradisi
Ilmu Al Quran adalah karya yang paling kontroversi
karena dengan kesadaran seperti ini, menurut Nasr
dikarenakan di dalamnya terdapat penjelasan mengenai
Hamid, dapat melahirkan suatu perangkat yang
Al Quran yang dia sebut sebagai Produk Budaya (Muntaj
efektif di dalam melawan gagasan fundamentalis dan
al-Tsaqafi)10. Hal ini dihasilkan oleh realitas manusia
merupakan persyaratan mendasar bagi kebangkitan dan
yang menyejarah, yang mana para pemikir dan penulis
keberhasilan.11
di Mesir banyak mendapat tekanan dari kelompok-
Mengkaji tradisi harus dimulai dari dasar, yaitu
kelompok Islam. Hanya saja, Nasr Hamid menyadari
dari teks Al Quran sebagai sumber kebudayaan Islam
akan iklim pemikiran yang sedang memanas, dan dia juga
dan porosnya. Dari sini Nasr Hamid mendekati dengan menganalisis dan mengkritik wacana wahyu
Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zayd “Krtitik Teks Keagamaan”, h. 43-46 10 Menurut Abu Zaid, “Al-Qur’an yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada seorang Muhammad yang manusia. Bahwa Muhammad, sebagai penerima pertama, sekaligus penyampai teks adalah bagian dari realitas dan masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari masyarakatnya. Ia tumbuh dan berkembang di Makkah sebagai anak yatim, dididik dalam suku Bani Sa’ad sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan Badui. Dengan demikian, membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama, berarti tidak membicarakannya sebagai penerima pasif. Membicarakan dia berarti membicarakan seorang manusia yang dalam dirinya terdapat harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya. Intinya, Muhammad adalah bagian dari sosial budaya dan sejarah masyarakatnya” lihat pada Nasr Hamid, Mafhum al-Nash, terj. Khoiron Nahdiyin, hlm.59 9
14
yang kemudian menjadikannya sebagai materi bagi pengetahuan kritis-rasional. Dengan demikian ia seperti wacana manusia dimanapun dan produk pengetahuan apapun.12 Persoalan Nasr hamid merupakan perpanjangan dari sisi gelap sejarah, sejak dari masa penganiayaan al-Hajjaj hingga penghakiman Ibnu Rusyd. Wacana keagamaan sebagaimana dibicarakan oleh dalam buku kritiknya Ali Harb, Naqd an-Nashsh, Terj. Faisol Fatawi (Yogyakarta: LkiS, 2003, cet.II), h. 307-308 12 Ali Harb, Naqd an-Nashsh, Terj. Faisol Fatawi, h. 308 11
Citra Ilmu, Edisi 31 Vol. XVI, April 2020
terhadap “wacana keagamaan” hingga awal tahun 1990,
Apa yang dilakukan oleh Nasr Hamid sebagai
ibarat bom dengan aksi yang lambat. Publikasinya pada
tawaran metode penafsiran baru, dengan menggunakan
tahun 1992 mengakibatkan kemarahan rakyat Mesir
nalar hermeneutika, adalah sebuah keniscyaan agar tafsir
dan berbagai medium keagamaan Arab, khususnya
yang dihasilkan lebih produktif dan tidak mengabaikan
otoritas keagamaan Al Azhar. Atas dasar peristiwa
prinsip-prinsip kemanusiaan yang menjunjung tinggi
tersebut Nasr Hamid mempunyai kesimpulan bahwa
sikap rasionalisme. Beliau meninggal pada tanggal 5
masalah mendasar dalam kajian Islam adalah masalah
Juli 2010 dikarenakan mengidap virus aneh setelah
penafsiran teks secara umum, teks historis maupun teks
berkunjungnya ke Indonesia.
suci keagamaan, yaitu al-Quran. 13 Sebenarnya, keberanian Nasr Hamid untuk mengkritisi dan membuka jalan tabir wacana agama bertujuan untuk membebaskan agama dari segala penyalahgunaan yang dapat terjadi serta menyampaikan masa lalu sejarah Arab yang cederung mengerikan dan buruk. Karena tujuan itulah ia mengalami nasib berupa pelarangan dan tuduhan murtad. Nasr Hamid adalah tipologi cendikiawan muslim yang tidak mudah putus asa. Ia terus memperjuangkan apa yang menurutnya benar, walaupun harus menjalani kehidupan yang menggetirkan. Tidak jarang, karena pemikirannya sering kali berbeda atau berseberangan dengan pemikiran kebanyakan orang, ia telah mendapat hujatan, cacian dan makian dari berbagai kalangan (terutama kelompok tekstualis-tradisional-konservatif, yang masih berada pada jeratan hadlarat al-nash, dan belum memposisikan dirinya secara baik dihadapan teks). Nalar liberatif yang dikembangkan oleh Nasr Hamid berusaha membongkar penafsiran keagamaan yang sudah mapan akan tetapi kurang relevan dangan konteks kekinian menuju penafsiran yang lebih produktif, mencerahkan dan mengantarkan pemahaman baru atas teks-teks keagamaan baik Al Quran maupun hadis. Nasr Hamid Abu Zayd, Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan. (Jakarta: ICIP, 2003), h. 3 13
Pemahaman Intelektual Nasr Hamid Tentang al-Qur’an Nasr Hamid adalah seorang pengkaji khusus dalam studi al-Qur’an. Adapun tujuan Nasr Hamid dalam kajian studi al-Quran, yaitu, pertama; untuk mengaitkan kembali studi al-Qur’an dengan studi sastra dan studi kritis (ad-Dirasat al-Adabiyyah wa al Naqdiyyah).14 Menurutnya, studi Islam dan Al Quran didasarkan pertama dan utamanya adalah “teks”. Studi Al Quran sebagai sebagai teks linguistik meniscayakan penggunaan studi linguistik dan sastra. Mengkaji Al Quran sebagai sebuah teks semacam ini, baginya adalah jawaban dari seruan Amin Al Khulli dalam Manahij al-Tajdidnya. Untuk melakukan hal ini Nasr Hamid mengadopsi teori mutakhir dalam bidang linguistik, semiotik dan hermeneutik dalam kajian tentang Al Quran.15 Tujuan yang kedua adalah untuk mendefinisikan pemahaman “objektif”16 tentang islam (al-mafhum al-mawdhu’I li al Khudori Saleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), h. 362 15 Adapun teori yang banyak diadopsi didalam hermeneutiknya adalah teori strukturalisme linguistic Ferdinand De Saussure, yang di kenal dengan linguistic modern. Secara lebih lanjut Lihat; Hilman Latief, Nasr Hamid abu zaid; Kritik Teks Keagamaan, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), h. 04 16 Berbeda dengan Hassan Hanafi, “dia tidak sepakat dengan anggapan para mufassir modern tentang dapat ditemukannya makna obyektif al-Qur’an. Ketidakmungkinan ditemukannya makan sejati al-Qur’an menurut Hassan Hanafi tidak saja lantaran adanya jarak waktu yang begitu jauh antara sejarah teks al-Qur’an dengan penafsirannya, tetapi seperti pengalamannya sendiri menunjukkan, penafsiran selalu dibingkai oleh kepentingan 14
15
Model Pembacaan Kontekstual Nasr Hamid Abu Zayd ... – Farid Hasan, Siti Robikah
islam) yang terhindar dari kepentingan-kepentingan
yang dianggap datang dari dunia jin yang disampaikan
ideologis. Nasr sadar akan kenyataan bahwa selalu
kepada penyair dan peramal atau dukun melalui proses
saja ada kelompok-kelompok yang menggunakan islam
pewahyuan (wahy, tanzil).
17
secara ideologis untuk mendukung tujuan-tujuan politik dan ekonomi mereka.
18
Penyair dan dukun pada saat itu merupakan sumber-sumber kebenaran, karena mereka mendapatkan
Dalam pandangan Nasr Hamid, al-Qur’an adalah
informasi dari jin yang mampu mendengar atau
teks linguistic dan sekaligus sebuah karya sastra
mencuri informasi dari langit. Hal ini, menurut Nasir
tertinggi. pandangan Nasr terhadap al-Qur’an ini
merupakan baiss cultural fenomena wahyu keagamaan.
nampaknya sedikit banyak berbeda dengan asumsi yang
Karena keyakinan ini, pemikiran arab juga akrab
dibangun dan berkembang pada di kalangan umat islam
dengan konsep malaikat yang berkomunikasi dengan
pada umumnya yang melihat teks al-Qur’an sebagai
seorang nabi. Namun, dalam tahap selanjutnya al-
“kalam Tuhan” yang bersifat aktual dan disampaikan
Qur’an mendekonstruksi konsep cultural wahyu pra
kepada nabi Muhammad melalui sebuah proses
Islam itu dengan mengatakan bahwa para jin itu kini
pewahyuan. Asumsi umumnya, “pewahyuan “dimaknai
tidak bisa lagi mencapai langit, karena sebelum mereka
sebagai proses komunikasi yang bersifat “verbalistik”,
mencapainya dia telah dilempar bintang berapi oleh
tanpa memperbincangkan lagi persoalan ontologis yang
malaikat.22 Dengan demikian, teks qur’an menyatakan
mengitari proses tersebut.20
dirinya sebagai satu-satunya sumber kebenaran,
19
Wahyu—dalam pemikiran Nasr Hamid—diturunkan
dengan demikian juga Muhammad, karena al-Qur’an
dalam konteks yang tidak kosong dari sejarah manusia,
diwahyukan sendiri oleh Allah (bukan dengan cara
dengan artian bahwa pewahyuan maupun al-Qur’an,
dicuri) kepada Muhammad melalui malaikat Jibril.23
keduanya memiliki sejarah kontekstual, 21 sebab
Secara lebih lanjut, Nasr menjelaskan bahwa, kata-
fenomena wahyu keagamaan merupakan bagian dari
kata literal (mantuq) teks al-Qur’an bersifat ilahiyah,
budaya di tempat ia muncul. Pandangan Nasr seperti
namun ia menjadi sebuah “konsep” (mafhum) yang
ini, sebenarnya tidak lepas dari sejarah masyarakat
relatif dan bisa berubah ketika ia dilihat dari perspektif
Arab pra turunnya al-Qur’an itu sendiri. Yang mana ,
manusia, ia menjadi sebuah teks manusiawi. Dari
sebelum al-Qur’an diwahyukan, konsep wahyu telah ada
moment bahwa teks diwahyukan dan dibaca oleh Nabi,
didalam budaya masyarakat Arab. Konsep wahyu pada
ia tertransformasi dari sebuah teks ilahi (nass ilahi)
saat itu terkait dengan puisi dan perdukunan (ramalan)
menjadi sebuah konsep (mafhum) atau teks manusiawi
penafsir, posisi sosialnya, juga kondisi cultural di mana teks alQur’an di turunkan. Lihat; Abdul mustaqim, Sahiron samsuddin, Studi Al-Qur’an Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 104-105. 17 Abdul Mustakim - Sahiron Syamsudin (ed), Studi Al Quran Kontemporer; Wacana Baru Metodologi Tafsir, h.152-153 18 Khudori Saleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, h. 363 19 Hilman Latief, Nasr Hamid abu zaid; Kritik Teks Keagamaan, h. 28 20 Khudori Saleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, h. 155 21 Hilman Latief, Nasr Hamid abu zaid; Kritik Teks Keagamaan, h. 30
16
(nass insani), karena ia secara langsung berubah dari wwahyu manjadi interpretasi (ta’wil). Pemahaman
Q.S. al-Jinn, 72: 8-9 Mengenai bukti-bukti empiris tentang relasi al-Qur’an dengan budaya Arab, lihat Aksin Wijaya, Relasi al-Quran dan Budaya Lokal Sebuah Tatapan Epistemologis; (Hermenia Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 4, No. 2 Juli-Desember 2005), h. 235-257. Disini ia menjelaskan bagaimana pola relasi al-Qur’an Pra al-Qur’an, era al-Qur’an, hingga pasca al-Qur’an. 22
23
Citra Ilmu, Edisi 31 Vol. XVI, April 2020
Muhammad atas teks merepresentasikan tahap paling
“teks linguistik”, “teks historis”, “teks manusiawi”. Dan
awal dari interaksi teka dengan pemikiran manusia.
ketiganya terangkum dalam keberadaan al-Qur’an
Manurut Nasr realitas adalah dasar. Dari realitas,
sebagai teks sastra. Oleh karena itu, pendekatan sastra,
dibentuklah teks (Qur’an) dan dari bahasa dan
tidak bisa meninggalkan aspek linguistic, histories dan
budayanya terbentuklan konsepsi-konsepsi (mafahim)
kemanusiawian teks, yang kesemuanya itu berangkat
nya, dan ditengah-tengah pergerakannya dengan
dari konteks budaya Arab abad ke-7.
interaksi manusia terbaharuilah makna (dalalah) nya. Pandangan di atas mengantarkan Nasr untuk sampai pada kesimpulan bahwa al-Qur’an adalah “produk budaya” (al-muntaj al-tsaqafi), yakni bahwa teks muncul dalam sebuah struktur budaya arab abad ke-7 selama lebih dari 20 tahun, dan ”ditulis” berpijak pada aturan-aturan budaya tersebut, yang didalamnya bahasa merupakan system pemaknaannya yang sentral. Namun pada akhirnya, teks berubah menjadi “produser budaya” (muntij al-tsaqafah), yang menciptakan budaya baru sesuai dengan pandangan dunianya, sebagaimana tercermin dalam budaya Islam sepanjang sejarahnya.24 Sebagai produk budaya, al-Qur’an tidak lebih dari sebuah teks yang mana teks ini mempunyai hubungan dengan teks-teks lain yang mendahuluinya, yaitu: 1) teks keagamaan, seperti Taurat, Zabur, dan Injil, 2) teks kebudayaan, seperti puisi, dongeng/cerita, dan ramalan (perdukunan).25 Aspek lain yang terkait dengan keberadaan al-Qur’an sebagai “produk budaya” adalah bahwa teks al-Quran bukan merupakan teks tunggal, melainkan teks plural yang tediri dari berbagai teks : teks hukum, teks filsafat, teks sejarah, teks sastra, dll, sebagaimana pluralitas lefel konteks tertentu bagi makna dari setiap bagian-bagiannya. Dalam “konteks kebudayaan” inilah Nasr mengatakan bahwa al-Qur’an
Pendekatan Semiotika Nasr Hamid Terhadap Teks al-Qur’an Pendekatan yang diadopsi oleh Nasr Hamid berupa pendekatan semiotika yang berusaha untuk memperlakukan teks yang bermakna luas, mencakup seluruh sistem tanda yang dapat memproduksi makna. Dalam cakupan ini, konsep teks tidak hanya terbatas pada sistem tanda bahasa yang dapat memproduksi makna umum tetapi juga meliputi seluruh hubungan yang bersifat non-linguistik. Pendekatan semiotika yang dilakukan oleh Nasr Hamid merupakan usahanya untuk menjelaskan teorinya tentang teks Al Quran sebagai produk budaya sekaligus sebagai produsen budaya.26 Sementara dengan hermeneutika berarti memahami teks keagamaan tidak bisa lepas dari konteks sejarah dimana teks itu muncul, kepada siapa teks itu berdialog, mengapa teks itu dibuat dan seterusnya, yang pasti tidak lepas dari ruang lingkup yang mengintarinya. Teks adalah produk kebudayaan yang mengintarinya sehingga ia harus dipahami secara kritik historis. Dalam hal ini, Nasr Hamid memandang perlu untuk menggunakan pendekatan hermeneutika sebagai konsep interpretasi baru dalam dunia pemikiran Islam yang kemudian dia mengkaji penelusuran makna.27 Pendekatan yang diusulkan oleh Nasr Hamid
24 Inilah yang kemudian oleh Nasr Hamid disebut
bahwa peradaban Arab-Islam adalah peradaban teks, dengan pengertian bahwa; peradaban yang menumbuh kembangkan asas-asasnya dan menegakkan epistemology dan tradisinya atas dasar sesuatu yang tidak mungkin mengabaikan pusat teks di dalamnya. Khudori Saleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, h. 365
25
tersebut, adalah salah satu cara yang digunakan untuk Sudarto Murtaufiq, “Hermeneutika Al Quran: Kritik Atas Pemikiran Nasr Abu Zaid”, (AKADEMIKA, Jurnal Pemikiran Islam. Vol. 9, No.1, Juni 2015), h. 2-3 27 Sudarto Murtaufiq, “Hermeneutika Al Quran: Kritik Atas Pemikiran Nasr Abu Zaid”, h. 3 26
17
Model Pembacaan Kontekstual Nasr Hamid Abu Zayd ... – Farid Hasan, Siti Robikah
pencarian makna atas “kode” berupa bahasa Arab.
keilahiannya terjadi pada saat wahyu menghasilkan
Menurut Nasr Hamid, Al Quran adalah kode manusia
sekularisasi teks, yang kemudian menjadi suatu kitab,
(human code) yang digunakan Tuhan untuk menurunkan
seperti halnya kitab lainnya. Teks keagamaan pada
ajaran-Nya agar dapat dipahami manusia. Maka dari itu,
akhirnya tidak lebih dari teks linguistik, sebagai produk
kode-kode tersebut tidak akan ditemukan maknanya
struktur kultural di mana ia dilahirkan.29
jika tidak dilakukan pendekatan-pendekatan bahasa.
Oleh beberapa komunitas dalam peradaban,
Nasr Hamid membuat distingsi antara teks
terutama umat Islam, Al Quran dianggap sebagai kitab
metafisikal dan teks fisikal. Katanya, “keadaan teks suci
suci yang lengkap dan sempurna. Al Quran sebagai
yang orisinil bersifat metafisikal sehingga tidak dapat
“teks” (dengan T besar) yang melampaui “teks-teks lain
diketahui kecuali melalui apa yang dikatakan teks fisikal
dalam sejarah. Sebagai sebuah teks, Al Quran tidak
yang sampai pada kita melalui dimensi kemanusiaan
akan pernah kering, apalagi habis. Al Quran ditafsirkan
yang secara historis senantiasa berubah”. Kenyataannya
secara kaya, tergantung konteks sosial-budaya dan
memang tidak seorang pun mengklaim bahwa ia
“hermeneutika dalam” (struktur nilai dan kesadaran)
mengetahui kehendak Tuhan, dan teks fisikal itulah
pembacanya. Dengan demikian persentuhan antara
yang menyampaikan kehendak Tuhan kepada kita.
penafsir dengan Al Quran merupakan pergulatan
Namun demikian, implikasi hermeneutika dari klaim
yang dinamis. Ibarat sebuah puisi dan tanda, Al Quran
epistimologis semacam ini memang berseberang dengan
tidak pernah berhenti dan membeku, tetapi mengajak
konsepsi Al Quran yang biasa dipahami oleh kaum
para penafsirnya untuk mencari dan menjelajah, suatu
Muslim. Klaim epistemologis semacam ini membuka
“penziarahan” hidup yang tak pernah usai.30
jalan bagi desakralisasi dalam pembacaan Al Quran,
Persoalan penafsiran adalah sui genesis, ia berkaitan
karena ia menempatkan Al Quran sebagai teks terbuka
dengan teks dan konteks sosio historis seorang penafsir
layaknya semua korpus literatur. 28
pada satu sisi, dan pada sisi lain menjadi semakin
Titik berangkat argumen Nasr Hamid ialah ketika
kompleks ketika hermeneutik, sebagai sebuah metode
Al Quran yang metafisik dan sakral diwahyukan kepada
digunakan untuk melakukan pembaharuan terhadap
Nabi Muhammad, ia mulai memasuki ruang sejarah
realitas pemikiran umat Islam saat ini. Namun
tunduk pada aturan main sejarah dan sosiologis. Berbeda
kekuatan pembaharuan sebuah pemikiran keagamaan—
dengan asalnya yang bersifat Illahi, teks tersebut menjadi
seperti lazimnya yang terjadi di semua agama—pada
manusiawi merangkul ke dalam dirinya semua elemen
kenyataannya akan selalu tampil dan terkondisikan
masyarakat Arab abad ke 7 Masehi, seperti elemen
oleh sosio historis politis yang melahirkan dua poros
kultural, politik, dan ideologi. Sejak ia diekspresikan
pemikiran. Bagi yang menerima umumnya apresiatif
secara definitif, teks Illahi dibentuk dan masih terus
dan kritis dalam meyikapi tawaran demi tawaran sebagai
dipengaruhi oleh penalaran manusia, sehingga ia
proses dialektika intelektual yang kreatif. Sedangkan
mengambil jarak dari keilahiannya dan menjadi teks manusiawi. Dengan kata lain, pemisahan dari dimensi
Mun’im Sirry, Tradisi Intelektual Islam; Rekonfigurasi Sumber Otoritas Agama, (Malang: Madani,2015), h. 18 28
18
Mun’im Sirry, Tradisi Intelektual Islam; Rekonfigurasi Sumber Otoritas Agama, h. 19 30 Pengantar redaksi dalam buku Tekstualitas Al Quran terjemah dari buku Nasr Hamid yang berjudul Mafhum An Nash dirasah fi ‘Ulum Al Quran. 29
Citra Ilmu, Edisi 31 Vol. XVI, April 2020
kelompok yang menolak biasanya bersikap reaksioner
Pertama, jika ulama ushul menggunakan aspek asbab
dan apatis terkadang menggunakan cara-cara yang
an nuzul dalam menangkap makna, maka pembacaan
cenderung teologis-dogmatik sehingga melahirkan
kontekstual melihat permasalahan dari sudut yang lebih
tuduhan “pengkafiran” dan “ permurtadan” terhadap
luas, yaitu seluruh konteks sosial-historis (mujmal al-isyaq
pemikir tersebut.
al-tarikhi al-ijtima’i) turunnya wahyu. Kedua, jika ulama
31
Nasr Hamid Abu Zayd, salah satu pemikir yang
ushul cenderung menganggap asbaab an Nuzul berhenti
menawarkan satu bentuk hermeneutik sebagai salah satu
pada adagium al-‘ibrah bi umum al-lafdhi la bi khusus al-
cara untuk membongkar pembekuan pemikiran yang
sabab, maka pembacaan kontekstual harus melampaui
terjadi dalam tradisi penafsiran Al Quran umat Islam
kaidah-kaidah tersebut.
saat ini. Pembacaan kembali (‘iadat al qiraat) terhadap
Metode ini berusaha untuk mengungkap dua hal
Al Quran yang ditawarkannya menjadi persoalan yang
yang senantiasa melekat dalam teks, yakni ”makna” dari
menarik ketika persoalan penafsiran sebagai tawaran
sebuah teks dengan konteks kesejarahannya di satu pihak
yang bersifat akademis-epistimologis ditanggapi dan
dan “signifikansi” yang ditampakkan makna itu dalam
ditentang dengan kekuatan kepentingan politis-
konteks historis-sosiologis ketika penafsiran dilakukan
ideologis. Persoalan berkembang dan hasilnya tuduhan
di pihak yang berbeda. Makna dan signifikansi adalah
pemurtadan dan pengkafiran ditujukan padanya dan
dua hal yang tidak dapat dipisahkan ketika melakukan
menjadi sebab hijrahnya ke Belanda. Tulisan ini akan
penafsiran karena makna adalah asal dan signifikansi
membahas mengenai pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
adalah tujuan.
yang dianggap sebagai pemikiran—yang dianggap banyak kalangan—kontroversional.
Model Pembacaan Kontekstual (al-Qiraah alSiyaqiyah) Dalam upaya menangkap pesan Al Quran, Nasr memperkenalkan model pembacaan yang dia sebut dengan pembacaan kontekstual (al-qiraah al-siyaqiyah). Metode pembacaan ini merupakan pengembangan dari metode ushul fiqh tradisional di satu sisi dan kelanjutan kerja keras para pengusung nahdhah, terutama Muhammad Abduh dan Amin Al Khulli. Perangkat yang telah dipakai oleh ulama ushul dalam melakukan interpretasi teks dalam rangka melakukan istinbath
Nasr Hamid mengajak bahwa aktivitas interpretasi adalah gerakan simultan antara memastikan makna dan tujuan, bukan gerak diantara keduanya. Jika tidak maka kualitas interpretaasi yang dihasilkan cenderung tidak produktif, tendensius dan mudah dimasuki ideologi penafsirannya.32 Jika ini yang terjadi, maka antara makna awal serta substansi tidak sesuai dengan signifikansi sebab ia telah terkooptasi oleh kepentingan penafsir daripada menangkap substansi makna yang kemudian dikontekskan dengan realitas kekinian. Disamping persoalan historisitas dan sosiologis yang perlu dipertimbangkan dalam menafsirkan teks Al Quran, Nasr Hamid meyebutkan ada tiga tahapan
juga dijadikan sebagai perangkat yang signifikan. Perbedaannya terletak pada stressing-nya saja. Lujeng Lutfiyah, Bias Gender dalam Tafsir Keagamaan Membaca Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dalam Daw ir al-Khawf dan Catatan Kecil Untuknya”, (MADINAH, Jurnal Studi Islam. Vol.39, No.2, Desember 2016), h. 110 32
Nasr Hamid Abu Zayd, All Right Reserved, terj. Dede Iswadi dkk, (Bandung: RqiS), h. 7 31
19
Model Pembacaan Kontekstual Nasr Hamid Abu Zayd ... – Farid Hasan, Siti Robikah
yag harus diperhatikan sebagai penopang dari aplikasi
pesan Al Quran. Pengabaian atas aspek tekstualitas
kontekstual atas keagamaan :
Al Quran, menurut Nasr Hamid akan mengarahkan
33
Pertama, tahapan runtutan pewahyuan. Hal ini
pada pembekuan makna pesan dan kepada pemahaman
penting diperhatikan karena wahyu—dalam hal ini
mitologis atas teks. Ketika makna membeku maka akan
teks Al Quran—tidak secara langsung dan tidak sekali
mudah dimanipulasi sesuai dengan ideologi seseorang
selesai melainkan melalui proses bertahap (tajrijian)
atau pembaca.
sesuai dengan respon atas kesejarahannya. Mengetahui konteks runtutan ayat, tegas Nasr Hamid, tidak hanya
Pembacaan Nasr Hamid atas Ayat Poligami
mengungkap detail urutan turunnya ayat akan tetapi
Dalam al-Qur’an ayat yang menjelaskan
juga mengungkap pengaruh psikologi dari proses
tentang poligami terdapat dalam surat Al-Nisa’ [4]: 3.
pewahyuan sebagai penyapaan atas problematika
Menurut Abu Zaid, sebagaimana dikutip Moch. Nur
masyarakat (Arab).
Ichwan34 dalam mendiskusikan ayat poligami diatas
Kedua, tahapan kontes narasi teks wahyu. Tahapan ini biasa terjadi pada bentuk cerita atau deskripsi tentang perilaku umat terdahulu atau dalam bentuk penolakan atas orang-orang yang ingkar, menyerang atau menghina Al Quran dan Nabi Muhammad, baik yang dilakukan orang Mekah ataupun ahl kitab. Urgensi dari tahapan ini adalah untuk membedakan antara teks yang diperlakukan sebagai syariah, teladan, menakutnakuti hingga termasuk syariat. Ketiga, struktur linguistik (al-tarikh al-lughawi), yaitu level yang lebih kompleks dan sekedar struktur gramatikal, karena perlu memperhatikan dan menganalisis berbagai relasi seperti fashl (memisah) atau washl (menyambung), taqdim (mendahulukan) atau ta’khir (mengakhirkan) dan lain-lain. Namun penggunaan analisis struktur bahasa ini tidak hanya berhenti pada ilmu nahwu ataupun balaghah akan tetapi juga ditopang dengan menggunakan analisis keilmuan kontemporer, misalnya ilmu analisis wacana atau ilmu analisis teks. Tekstualitas Al Quran mengarahkan pada pemahaman dan penafsiran seseorang atas pesan-
dibagi menjadi tiga langkah. Pertama, konteks teks itu sendiri. Dia mengkontraskan absennya praktek hukum memiliki ‘yang dimiliiki tangan kananmu’ (budak perempuan atau tawanan perang) sebagai ‘selir’ dalam wacana Islamis pada satu sisi, dan untuk mempertahankan poligami: “makna nikahilah perempuan-perampuan yang kamu sukai: dua, tiga, atau empat,“ pada sisi lain. Menurut Abu Zaid, ada sesuatu yang hilang, yakni kesadaran akan historisitas teks-teks keagamaan, bahwa ia adalah teks linguistik dan bahwa bahasa adalah produk sosial dan kultur. Abu Zaid berargumen bahwa izin bagi seorang laki-laki untuk menikah dengan hingga empat istri haruslah diletakkan dalam konteks hubungan antar manusia, khususnya hubungan antara laki-laki dan perempuan sebelum kedatangan Islam. Dalam periode pra-Islam, hukum kesukuan sangatlah dominan dan poligami tidak dibatasi. Dalam konteks ini izin untuk memiliki istri sampai empat dipahami sebagai awal upaya penghormatan kepada kaum perempuan. Abu Zaid, menyarankan bahwa pembahasan ini harus dipahami Moh Nur Ikhwan, Meretas Kesarjanaan Al Quran, Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, (Jakarta Selatan: TERAJU), h. 137-143 34
Nasr Hamid Abu Zayd, Dawair Al Khawf: Qiraah fi Kitab alMar’ah, (Beirut: Al Markaz al-tsaqafi al-‘arabiy, 2000), h. 203 33
20
Citra Ilmu, Edisi 31 Vol. XVI, April 2020
sebagai awal pembebasan terhadap perempuan dari
mabda’. Dalam konteks yurisprudensi Islam, tujuan
dominasi kaum laki-laki. Kedua, meletakkan teks dalam
universal syari’at (al-maqashid al-kulliyyah li al-syari’ah)
konteks secara keseluruhan. Dengan ini, Abu Zaid
sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Syatibi dalam
berharap bahwa “yang tak terkatakan” atau yang
al-Muwaffaqat, yakni perlindungan terhadap agama
implisit dapat diungkapkan. Teks al-Qur’an sendiri
(hifd al-din), jiwa (hifd al-nafs), akal (hifd al-‘aql), keturunan
juga menyarankan untuk hanya memiliki seorang istri
(hifd al-nasl) dan harta (hifd al-mal). Sementara Nasr
jika suami takut tidak bisa berbuat adil: “jika kamu
Hamid menawarkan tiga prinsip universal dalam
takut tidak akan bisa bertindak adil (terhadap mereka),
hukum Islam. pertama, rasionalisme (‘aqliyyah)
maka seorang saja.”dalam ayat yang lain juga dipertegas
sebagai lawan dengan jahiliyyah, dalam pengertian
bahwa: “kamu tidak akan bisa berbuat adil diantara
mentalitas kesukuan dan tindakan emosional. Kedua,
istri-istri kamu meskipun kamu sangat berkeinginan
kebebasan (hurriyyah), yang dilawankan dengan segala
untuk melakukannya.(QS. Al-Nisa’[4]: 129).
bentuk perbudakan (‘ubudiyyah). Ketiga, keadilan
Analisis linguistik dari ayat poligami adalah tidak
(‘adalah) sebagai-mana dilawankan dengan eksploitasi
mungkin bersikap adil kepada istri. Penggunaan
manusia (zhulm).52 Dalam konteks poligami, keadilan
klausa kondisional (pengandaian) dan penggunaan
adalah mabda’ (prinsip) sementara untuk memiliki
partikel kondisional law (jika) menandakan penegasian
sampai empat istri adalah hukm. Hukm tidak menjadi
terhadap jawab al-syarth (konklusi dari klausa
qa’idah apalagi mabda’. Hukm adalah peristiwa spesifik
kondisional) disebabkan karena adanya penegasian
dan relatif, tergantung perubahan kondisi yang
terhadap kondisi (syarth) itu. Yang harus diperhatikan
melingkupinya. Ketika terjadi kontradiksi antara
adalah penggunaan partikel lan (tidak akan pernah)
mabda’ dan hukm, yang terakhir harus dikalahkan
yang berfungsi sebagai koroborasi (ta’yid) di awal
untuk mempertahankan yang pertama. Nasr Hamid
kalimat, ini menunjukkan bahwa “dapat bertindak
berpendapat bahwa al-Qur’an melarang poligami secara
adil” tidak akan pernah terjadi. Disini Nasr Hamid
tersamar dengan kata lain limitasi itu sesungguhnya
menyimpulkan bahwa terdapat negasi ganda: pertama,
mengindikasikan pelarangan (pengharaman) secara
negasi total terhadap kemungkinan bertindak adil
tersamar (al-tahrim al-dhimmi).
terhadap dua istri atau lebih, dan kedua, negasi
Langkah ketiga, berdasarkan kedua langkah
terhadap kemungkinan memiliki keinginan yang
tersebut, Nasr Hamid mengusulkan sebuah
kuat untuk berlaku adil terhadap mereka.
pembaharuan hukum Islam. dalam hukum Islam
Nasr Hamid meminjam distingsi ‘Adil Dhahir
klasik, poligami diklasifikasikan di bawah bab
tentang mabda’ (prinsip), qai’dah (kaidah), hukm
“hal-hal yang diperbolehkan” (al-mubahat). Terma
(hukum). Keadilan, kebebasan, hak untuk hidup,
“pembolehan”, menurut Nasr Hamid, tidaklah sesuai
dan kebahagiaan, termasuk dalam kategori mabda’.
karena pembolehan terkait dengan hal yang tidak
Qa’idah adalah derivasi dari mabda’ dan tidak boleh
dibicarakan oleh teks, sementara pembolehan poligami
bertentangan dengannya. Missalnya: “jangan mencuri,
dalam al-Qur’an pada hakekatnya adalah sebuah pem-
jangan berzina, jangan membuat kesaksian palsu,
batasan dari poligami yang tak terbatas yang telah
jangan mengganggu orang lain,” adalah termasuk
dipraktekkan sebelum da-tangnya Islam. Pembatasan
21
Model Pembacaan Kontekstual Nasr Hamid Abu Zayd ... – Farid Hasan, Siti Robikah
tidak berarti pembolehan. Namun demikian, poligami
linguistiknya mencoba memberikan pendangan
tidak masuk dalam bab “pelarangan (pengharaman)
pembaharuan terhadap pemahaman teks Al Quran.
terhadap hal yang diperbolehkan” (tahrim al-mubahat).
Pembaharuan penafsiran yang dilakukan oleh Nasr
Dalam hal ini Nasr Hamid berpendapat bahwa
Hamid bertujuan untuk mendapatkan makna asli dan
poligami sebagai hukm tidak boleh merusak qa’idah
signifikasi dari suatu ayat. Melalui metode tekstualitas
dan mabda’, sehingga poligami dilarang.
Al Quran, Nasr menawarkan pembacaan baru terhadap
Wacana al-Qur’an mengenai poligami
Al Quran. Merupakan sebuah teks yang dikirimkan
mempunyai level makna ketiga, dimana pemahaman
oleh seorang pengirim dengan kode tertentu dan
haruslah melampaui makna historisnya dengan
diterima oleh sang penerima yaitu Nabi Muhammad.
menguak signifikansi masa kininya. Bahkan, mampu
Menafsirkan adalah salah satu cara untuk memecahkan
menguak dimensi “yang tak terkatakan” dari suatu
kode-kode yang dimaksut oleh pengirim dari orang yang
pesan. Akhirnya, penggunaan distingsi ‘Adil Dhahir
disebut pembaca.
tentang mabda’, qa’idah, dan hukm untuk distingsi
Keinginannya untuk membaharui penafsiran
ini, pandangan bahwa poligami adalah dilarang dapat
bukan tanpa alasan suatu hal, akan tetapi karena
dengan mudah dan sistematis dipahami.
adanya kegeraman terhadap mereka yang menggunakan
Simpulan
dalil Al Quran dan menafsirkan Al Quran menurut kepentingan ideologi masing-masing. Seperti yang
Al Muntaj Al Tsaqofi adalah salah satu pemikiran
terlihat pada corak penafsiran di era pertengahan. Jika
baru yang kontroversi di kalangan banyak intelektual.
melihat periode perkembangan tafsir, model tafsir Nasr
Al Quran sebagai produk budaya sebenarnya bukan
Hamid termasuk pada periode kontemporer yang mana
tanpa alasan. Nasr Hamid berpendapat seperti itu
pada periode ini mereka mengkritik ketidak relevannya
dikarenakan Muhammad sebagai penerima wahyu
penafsiran sebelumnya termasuk pada penafsiran
pertama adalah bagian dari produk masyarakat yang
dengan kepentingan ideologi.
membudaya. Penulis setuju jika penamaan Al Quran produk budaya dengan alasan seperti apa yag telah dipaparkan.
Pendapat-pendapat Nasr Hamid di atas sangat dipengaruhi oleh Abdul Qahir al-Jurjani, seorang kritikus sastra yang bermazhab syafi’syyah-asy’ariyyah
Nasr Hamid Abu Zaid menginginkan sebuah
yang sangat ia kagumi. Dari al-Jurjani inilah berkar
pembaharuan terhadap pembacaan teks. Teks
pendekatan yang mengandaikan bahwa al-Qur’an
menurutnya, sesuatu yang mempunyai makna dan
adalah perkataan (kalam) yang mengikuti aturan-aturan
membutuhkan interpretasi. Al Quran sebagai wahyu
general sebagaimana perkataan lainnya (manusia).35di
yang diturunkan oleh Allah dengan berbahasa Arab,
samping itu Amin al-Khuli (yang juga sangat dipengaruhi
menurutnya adalah sesuatu yang perlu di cari maknanya.
oleh al-Jurjani), yang mana dalam Manahij al-Tajdid dia
Bahasa Arab sebagai sebuah kode tidaklah mungkin
melontarkan statemen yang terkenal, bahwa al-Qur’an
dipahami jika tidak memahami sistem bahasa Arab
adalah “teks bahasa arab paling agung “ (kitab al-arabiyah
terlebih dahulu. Nasr Hamid, melaui pemahaman Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsuddin dkk, Studi al-Qur’an Kontemporer, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002), h. 163 35
22
Citra Ilmu, Edisi 31 Vol. XVI, April 2020
al-akbar) dan “teks estesis Arab yang paling suci” (kitab al-
DAFTAR PUSTAKA
fann al-“arabi al-aqdas), juga sangat mempengaruhinya.
Abu Zayd, Nasr H. Dawair Al Khawf: Qiraah fi Kitab al-
Namun berbeda dengan para pendahulunya itu, dia
Mar’ah. Beirut: Al Markaz al-tsaqafi al-‘arabiy, 2000.
36
lebih jauh berpendapat bahwa al-Qur’an adalah “produk budaya”, pendapat yang banyak memancing kontrofersial dan kecaman kafir dan murtad.37 Disamping itu, metode-metode yang dipakai dalam menganalisis al-Qur’an banyak menggunakan teori-teori linguistic dari barat, seperti teori stukturalisme-linguistik -nya Ferdinan De Saussure.38 Selain itu, Konsep yang di proyeksikan oleh Nasr Hamid-pendekatan sastra- pada dasarnya merupakan bentuk perpanjangan tangan dari Amin al-Khuli dan Bint Syati’ yang telah di munculkan sebelumya. Konsep Nasr Hamid atas al-Qur’an sebagai teks (nass), sebagaimana teks lain pada umumnya, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan teori kemakhlukan al-Qur’an Muktazilah. Hal ini di buktikan dengan pendapat Nasr Hamid- sebagaimana dikutip oleh Aksin Wijayabahwa, ketika Muktazilah mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk karena ia ciptaan Tuhan, dan ia adalah sebagai tindakan Tuhan yang acapkali berkaitan dengan realitas. Oleh karena al-Qur’an telah berubah wajah menjadi teks profane sebagaimana layaknya teks-teks lain, maka ketika sampai ke realitas duniawi, teks ini bisa di dekati dengan pendekatan apapun sebagaimana teks-teks lainnya.
-----, Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan. Jakarta: ICIP, 2003. -----, Isykaliyat al-Qiraah wa Aliyyat at-Takwil, terj. Khorian Nahdliyin. Jakarta Selatan: ICIP. -----, Mafhum al-Nash, terj. Khoiron Nahdiyin. Yogyakarta: LkiS, 2013. -----, Hermeneutika Inklusif, terj. Muhammad Mansur dan Khairan Nahdiyin, Yogyakarta, LKiS, 2004 Harb, Ali. Naqd an-Nashsh, Terj. Faisol Fatawi. Yogyakarta: LkiS. cet.II. 2003. Ichwan, Moch Nur. Meretas kesarjanaan Kritis Al Quran; Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd. Jakarta Selatan: Teraju. Imron, Ali, dkk. Hermeneutika Al Quran dan Hadis. Yogyakarta: Elsaq Press, 2010. Jansen, J.J.G. The Interpretation of The Koran in Modern Egyp, terj. Hairussalim. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997. Latief, Hilman. Nasr Hamid Abu Zayd “Kritik Teks Keagamaan”. Yogyakarta: Elsaq Press, 2003. Lutfiyah, Lujeng. Bias Gender dalam Tafsir Keagamaan Membaca Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dalam Daw ir al-Khawf dan Catatan Kecil Untuknya”, Madinah, Jurnal Studi Islam. Vol. 39, No.2, Desember, 2016. Murtaufiq, Sudarto. “Hermeneutika Al Quran: Kritik Atas Pemikiran Nasr Abu Zaid”, Akademika, Jurnal Pemikiran Islam. Vol. 9, No.1, Juni, 2015.
Ibid., h. 164 Fonis murtad yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung Mesir inilah yang menyebabkan Nasr Hamid harus bercerai dengan istrinya. 38 Selain Nasr Hamid, beberapa tokoh yang menggunakan paradigma strukturalisme sebagai alat analisis kajian-nya adalah; Muhammmad Arkoun dan Tosihihiku Izutsu 36 37
Mustakim, Abdul, Studi Al Quran Kontemporer; Wacana Baru Metodologi Tafsir. Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002.
23
Model Pembacaan Kontekstual Nasr Hamid Abu Zayd ... – Farid Hasan, Siti Robikah
Mustaqim, Abdul. Syamsuddin, Sahiron. Studi al-Qur’an kontemporer, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002. Saleh, Khudori, dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003.
Sirry, Mun’im, Tradisi Intelektual Islam; Rekonfigurasi Sumber Otoritas Agama. Malang: Madani, 2015. Wijaya, Aksin. Relasi al-Quran dan Budaya Lokal Sebuah Tatapan Epistemologis, Hermenia Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 4, No. 2 Juli-Desember, 2005.
24