Meta Kecerdasan dan Kesadaran Multikultural (Kajian Pemikiran Psikologi Sufistik al-Gazali)

Page 1

Citra Ilmu, Edisi 23 Vol. xii, April 2016

META KECERDASAN DAN KESADARAN MULTIKULTURAL (Kajian Pemikiran Psikologi Sufistik al-Gazālī) Abdullah Hadziq IAIN Walisongo, Semarang, Indonesia Jalan Walisongo No.3-5, Tambakaji, Ngaliyan, Kota Semarang, jawa Tengah 50185

Abstrak Dalam diskursus filsafat persoalan metafisika merupakan persoalan abadi yang tak lekang oleh zaman. Diantara diskursus yang masuk dalam metafisika adalah persoalan psikologi. Salah satu varian unik dari kajian kali ini adalah pemikiran psikologi sufistik al-Ghazali tentang meta kecerdasan dan kesadaran multikultural. Ia membahas tentang ruh sebagai substansi ruhani yang memiliki qudrah ilahiyyah yang tercipta dari alam al-amr, bukan dari alam al-khalq yang bersifat jasmaniah. Ruh sebagai substansi psikologi memiliki daya latifah yang berkemapuna cerdas dalam berfikir, mengingat dan mengetahui terhadap realitas obyek. Ruh ini dalam diri manusia terdapat potensi psikis yang bersifat ketuhanan (rabbaniyyah). Jika potensi rabbaniyyah dikembangkan secara maksimal, maka seseorang sangat mungkin memiliki kecerdasan spiritual, yang mampu membawa implikasi positif terhadap segala tingkah laku yang berbasis etika ketuhanan (mutakhalliq bi akhlaq Allah). Konsepsi al-Ghzali ini menurut penulis unik karena ruh sekalipun masuk dalam wilayah transendental, namun bisa dikaji pula dalam keterkaitannya dengan kenyataan empirik yang bersifat psikofisik. Karenanya, bila potensi ketuhanan ini terus menerus dikembangkan secara maksimal dalam diri manusia, maka tidak mustahil tingkah laku psikologis yang muncul cenderung cinta kebaikan, kasih sayang, dan kedamaian yang berbasis moral dan bersifat multikultural.

Kata Kunci: Meta kecerdasan, Kesadaran Multikulutal, Psikologi Sufistik

Pendahuluan Masalah yang melatarbelakangi penulis melakukan kajian pemikiran psikologi sufistik Al-Gazālī tentang meta kecerdasan dan kesadaran multikultural adalah karena keunikan pemikirannya. Ruh sebagai substansi ruhani, dalam pandangan Al-Gazālī, memiliki qudrah ilahiyyah1 yang tercipta dari ‘alam al-amr2 dan bukan dari ‘alam al-khalq, sehingga sifatnya bukan jasmaniah dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu3. Namun ruh sebagai substansi psikologis memiliki daya laṭīfah yang

berkemampuan cerdas dalam berfikir, mengingat, dan mengetahui4 terhadap realitas objek. Hal tersebut dalam teori psikologi sufistik dapat dibenarkan karena di dalam diri manusia terdapat potensi psikis yang bersifat ketuhanan (rabbāniyyah)5. Jika potensi rabbāniyyah ini dikembangkan secara maksimal maka seseorang sangat mungkin memiliki kecerdasan spiritual yang mampu membawa implikasi positif terhadap segala tingkah laku yang berbasis etika ketuhanan (mutakhalliq bi akhlāq Allāh)6. Pemikiran Al-Gazālī tersebut dapat dipandang sebagai pendapat yang unik karena ruh sekalipun

1

Al-Gazālī, “Kimiya’al Sa’adah” dalam Majmū’āt Rasā’il alImām al-Gazāli, (Bairut: Dār al-Fikr, 1996), 421 2 Firman Allah dalam al-Qur’an, surat al-Isrā’ ayat 85: “Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang ruh. Katakanlah ruh itu termasuk urusan khusus Tuhanmu”. 3 Al-Gazālī, “Al-Ajwibah Al-Gazālīyyah fi al-Masa’il alUkhrawiyyah”, dalam Majmu’at Rasa’il, 363

4

Al-Gazālī,”Al Risalah al Laduniyyah”, dalam Majmu’at , 364. Al-Gazālī, Ihyā’‘Ulūm al-Dīn, Jilid III, Edisi Zain al-Din Abi al-Faḍl Abd al-Rahim Ibn Husain al-Iraqy (Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah , t.t.), 12 6 Al-Gazālī, “Rauḍat al Ṭālibīn wa ‘Umdat al-Sālikīn” dalam Majmu’āt, 147. 5

67


Meta Kecerdasan dan Kesadaran Multikultural – Abdullah Hadziq

masuk dalam wilayah transendental, namun dikaji pula dalam keterkaitannya dengan kenyataan empirik yang bersifat psikofisik. Menurut Al-Gazālī, bila potensi rabbāniyyah terus menerus dikembangkan secara maksimal, maka tidak mustahil tingkah laku psikologis yang muncul cenderung cinta kebaikan, kasih sayang, dan kedamaian yang berbasis moral multikultural.7 Masalah lain yang mendorong penulis melakukan kajian pemikiran Al-Gazālī adalah karena gagasannya tentang potensi rasa (al-qalb) cenderung unik dan melawan arus. Qalb atau potensi rasa, dalam psikologi modern, diartikan sebagai kekuatan psikologis yang masuk dalam domain afektif seperti rasa cinta, benci, senang, sedih dan sikap-sikap tertentu terhadap diri sendiri dan orang lain.8 Sementara qalb dalam pandangan psikologi sufistik Al-Gazālī terdiri dari dua aspek yaitu qalb dalam pengertian fisik yang berkaitan dengan sanaubar, dan metafisik yang berhubungan dengan laṭīfah tidak kasat mata yang memiliki konteks dengan kalbu jasmani.9 Qalb dalam pandangan Al-Gazālī mampu mengantarkan manusia pada tingkat kesadaran multikultural yang amat bermakna. Kemungkinan ini dapat dibenarkan karena hati yang jauh dari dorongan hawa nafsu akan selalu terhindar dari motivasi tingkah laku syaiṭāniyyah10 yang berarti hati secara kodrati mengikuti daya rasa positif (cinta kebaikan, keadilan, kejujuran, kebersamaan, kerukunan, toleransi dan kebermaknaan). Keunikan pemikiran Al-Gazālī tentang potensi rasa tersebut dapat diamati dari paradigma yang digunakan. Qalb dalam pemikirannya tidak hanya dihubungkan dengan realitas empirik dalam bentuk fenomena emosional manusiawi tetapi dikaitkan juga dengan realitas transendental dalam bentuk pengendalian 7

Al-Gazālī, Ihyā’, 12. Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Suatu Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosda karya,1995), 233. 9 Al-Gazālī, Ihyā’, 5. 10 Al-Gazālī, Ihyā’, 31. 8

68

dorongan setan, identifikasi tingkah laku malaikat dan pencerahan nūr ilāhī, dengan demikian qalb memungkinkan memiliki daya kecedasan emosional tinggi. Masalah lain yang melatarbelakangi ketertarikan penulis adalah keunikan pemikiran Al-Gazālī tentang ‘aql. Akal dalam pandangan psikologi modern selalu diidentikkan dengan inteligensi yang biasanya dikaitkan dengan kemampuan untuk pemecahan masalah, kemampuan untuk belajar, ataupun kemampuan untuk berfikir abstrak.11 Sementara perbedaan pemikiran Al-Gazālī tentang akal tersebut adalah terletak pada keterkaitannya dengan citra kemanusiaan12, moralitas13 dan pengendalian dorongan hawa nafsu14. Akibatnya potensi akal dapat berfungsi sebagai kekuatan yang mampu mendorong timbulnya kesadaran multikultural atas dasar citra kemanusiaan dan moralitas. Pemikiran Al-Gazālī ini dipandang unik karena memiliki spesifikasi yang jauh berbeda dengan pandangan positivisme Barat mengenai peran akal. Peran akal dalam pandangan mereka lebih ditentukan oleh kerja inderawi dan dijauhkan dari unsur rasa, moralitas dan hal-hal yang bersifat spiritual.15 Padahal akal dalam terminologi psikologi Islam16 tidak sebatas pada otak dalam tataran rasio, tetapi merupakan pengkristalan antara potensi ‘aql, qalb dan rūh dalam satu kesatuan. Pengintegrasian dimensi kecerdasan akal, emosional dan spiritual tersebut dalam istilah psikologi

11

Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum (Yogyakarta, Andi, 2004), 191 12 Al-Gazālī, Ihyā’, 101-102. 13 Ibid. 14 Ibid. 15 Jalaluddin Rahmat (Pengantar) dalam Ali Abdul Azhim, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu: Perspektif Al Qur’an, (Bandung: Rosda, 1989), V. 16 Muhammad Ustman Najati, Psikologi dalam Al Qur’an, terj. M. Zaka Al Farisi, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 224-225. Lihat juga: Al-Gazālī, Ihyā’, Jilid I, 101-102


Citra Ilmu, Edisi 23 Vol. xii, April 2016

disebut meta kecerdasan.17 Apabila seseorang dalam hidupnya berorientasi pada spiritualisme tauhid, maka keadaan psikologisnya menjadi terkendali, dan god spot yang merupakan sumber kecerdasan spiritual menjadi terbuka sehingga mampu merespon bisikan-bisikan ilahiyyah yang mengajak kepada sifat-sifat kasih sayang, kesantunan, kerukunan, kebersamaan dan kedamaian yang benuansa kesadaran multikultural. Bisikan mulia ini kemudian mendorong potensi kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional untuk bekerja optimal atas dasar moralitas multikultural yang berbasis nilai nilai luhur Ilāhiyyah.18 Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan kajian “Meta Kecerdasan dan Kesadaran Multikultural: Kajian Pemikiran Psikologi Sufistik Al-Gazālī”, dengan alasan bahwa: pertama, pemikiran Al-Gazālī sekalipun muncul di abad pertengahan, namun dalam kenyataannya masih aktual, karena masih memiliki daya inspiratif bagi pemikiran kekinian dalam bidang meta kecerdasan dan kesadaran multikultural. Kedua, pemikirannya unik karena selalu mengkaitkan realitas empirik sensual rasional dengan empirik etik transendental.

Kerangka Teoritik Pertama, konsep Meta Kecerdasan Kecerdasan dalam bahasa psikologi diartikan sebagai inteligensi, yaitu kemampuan yang dapat diukur melalui tes kecerdasan19, kemampuan mengantisipasi masalah-masalah yang akan datang20 dan kemampuan

dalam menghasilkan produk setting yang bermacammacam dalam situasi yang nyata. 21 Definisi tentang kecerdasan di atas memiliki kecenderungan yang sama, yaitu hanya berhubungan dengan potensi akademik yang dimiliki oleh manusia untuk melakukan sesuatu. Potensi tersebut seharusnya terus dikembangkan dan diintegrasikan dengan kecerdasan-kecerdasan yang lain sehingga menjadi meta kecerdasan. Meta kecerdasan merupakan integrasi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual 22 sehingga berbagai potensi kecerdasan tersebut satu dengan lainnya memungkinkan dapat saling melengkapi untuk kesempurnaan dalam satu kesatuan. 23 Dengan demikian, kecerdasan intelektual tidak akan berperan maksimal manakala tidak dibantu oleh kecerdasan lainnya karena dalam kenyataan manusia itu tidak hanya berhubungan dengan aspek kognitif, tetapi juga berkaitan dengan aspek psikologis lain dalam bentuk respon perasaan (emosional) dan keinginan untuk hidup bermakna secara spiritual24. Kemungkinan pengintegrasian ketiga potensi psikologis tersebut dikarenakan secara anatomis di dalam otak manusia sudah tersedia komponen untuk potensi intelektual, potensi emosional dan potensi spiritual.25 Ketiga jenis kecerdasan sebagaimana dijelaskan di depan sekalipun masing-masing memiliki potensi yang berbeda, namun secara fungsional merupakan satu kesatuan yang senantiasa saling melengkapi. Meta kecerdasan ini amat diperlukan karena kecerdasan intelektual yang tinggi, sekalipun dianggap 21

17 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses ESQ Power (Jakarta: Penerbit Arga, 2004), 217-218. 18 Ibid. 19 A.A.Anwar Prabu Mangkunegara, Perkembangan Inteligensi Anak dan Pengukuran IQ-nya, (Bandung: Angksa, 1993), 9. 20 Saifuddin Azwar, Pengantar Psikologi Inteligensi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 5.

Muh. Burhanuddin, Kecerdasan Spiritual Peserta Didik dalam Proses Pembelajaran: Studi Kasus pada Pondok Pesantren Rahmatul Ummah Jekulo Kudus (Tesis IAIN Walisongo Semarang), 59. 22 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia, 217. 23 Taufik Pasiak, Revolusi IQ/ EQ/ SQ: Antara Neurosain dan Al Qur’an (Bandung: Mizan, 2003), 136. 24 Danah Zohar and Ian Marshall, SQ Spiritual Intelligence the Ultimate Intelligence (Great Britain: Bloomsbury, 2000), 4. 25 Taufik Pasiak, Revolusi, 275.

69


Meta Kecerdasan dan Kesadaran Multikultural – Abdullah Hadziq

penting,26 belum tentu membuat seseorang sukses dan bahagia dalam hidupnya. Oleh karena itu, diperlukan kecerdasan emosional yang dapat mengenali berbagai perasaan yang positif (menyenangkan) dan negatif (tidak menyenangkan), mengubah suatu perasaan negatif menjadi positif, serta mampu melakukan hubungan sosial dan empati terhadap pihak lain.

Sedangkan kesadaran multikultural dapat digambarkan melalui berbagai karakteristik sebagai berikut: memiliki kesadaran untuk belajar hidup dalam berbagai perbedaan; kesadaran untuk saling percaya; kesadaran untuk saling menghargai; berpikiran terbuka; kesadaran ke arah resolusi konflik; dan rekonsiliasi nir kekerasan.30

Kecerdasan intelektual dan emosional tersebut secara fungsional masih belum memadai jika dihadapkan pada kebutuhan untuk hidup secara bermakna dalam konteks ibadah. Karena itu, diperlukan bantuan kecerdasan spiritual sebagai landasan dan pemberian makna spiritual bagi pemikiran, perasaan dan perilaku manusia.

Dalam pandangan lain disebutkan bahwa indikator kesadaran multikultural meliputi: Pertama, memiliki kesadaran untuk mengapresiasi terhadap kenyataan pluralisme budaya dalam masyarakat. Kedua, kesadaran untuk mengakui terhadap harkat dan martabat manusia serta hak asasinya dan ketiga, memiliki kesadaran untuk mengembangkan tanggungjawab manusia terhadap planet bumi.31

Kedua, konsep kesadaran multikultural Kesadaran multikultural secara psikologis merupakan sebuah kecenderungan bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan yang senantiasa berbeda-beda baik secara fisik maupun non fisik. Perbedaan non fisik ini bisa dalam wujud keberagaman sistem keyakinan, budaya, adat, agama, dan tata cara ritual yang unik.27 Selain itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kesadaran multikultural adalah kesiapan mental/ psikologis untuk menerima perbedaan sebagai sunnatullāh.28 Dengan kesiapan mental tersebut akan timbul kesadaran dalam diri seseorang tentang pentingnya hidup bersama dalam keberagaman kultur dan perbedaan agama dengan spirit kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami, menghargai perbedaan dan keunikan ke arah terciptanya kedamaian.29

Kesadaran multikultural sebagai sebuah konsep memberikan pengertian bahwa hidup dalam komunitas sosial yang beragam memerlukan pemahaman tentang pentingnya belajar hidup dalam perbedaan, rasa saling percaya, saling memahami dan saling menghargai. Pemahaman tentang konsep multikultural tersebut sangat diperlukan karena secara psikologis dapat mempengaruhi kesadaran multikultural dalam konteks hidup bernegara, berbangsa dan bermasyarakat yang di dalamnya terdapat keberagaman budaya, ras, etnis, agama dan aliran. Jika masing-masing komponen bangsa tidak memiliki kesadarn multikultural yang akomodatif, maka kemungkinan besar akan muncul sikap yang berlawanan dengan semangat nilai-nilai multikultural. Dalam pemikiran Islam, ada pandangan teologi multikultural karena dilatarbelakangi oleh adanya keragaman identitas manusia, latar belakang kesejarahan, pengalaman hidup dan kecenderungan

26

Ari Ginanjar Agustian, Rahasia, 99. Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 78-79. 28 M . Sae k ha n M u chith, “Pe mbe la ja r a n Berb asis Multikultural”, Journal Addin, Vol. I, No. 2 (Juli-Desember 2006), 2. 29 Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta: Erlangga, 2005), 85. 27

70

30

Masyharuddin, “Mendesain Pendidikan Agama dalam Perspektif Multikultural”, Journal Addin, Vol. I, No. 2, (JuliDesember, 2006), 22. 31 H. A. R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan suatu Tinjauan dari Perspektif Kultural (Magelang: Indesia Tera, 2003), 1701-72.


Citra Ilmu, Edisi 23 Vol. xii, April 2016

psikologisnya. 32 Atas dasar kenyataan tersebut, maka kemajemukan agama, keragaman pandangan, pemikiran, aliran, mazhab, partai, golongan, kultur dan tradisi, merupakan tuntutan pentingnya kesadaran berbasis teologi multikultural, karena kesadaran ini dalam konteks tersebut merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak.33 Dengan demikian, pemikiran yang bernuansa teologi multikultural tersebut sangat dimungkinkan dapat berpengaruh positif terhadap kesadaran multikultural dalam menghadapi kehidupan dan permasalahan yang plural dan majemuk. Ketiga, Hubungan Meta Kecerdasan dan Kesadaran Multikultural Meta kecerdasan secara psikologis merupakan pengintegrasian kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, 34 sehingga masing-masing potensi psikologis tersebut dapat saling melengkapi dan berfungsi dalam satu kesatuan.35 Ketiga kecerdasan tersebut bila diintegrasikan ke dalam satu kesatuan dalam wujud meta kecerdasan, mak a dimungkink an memiliki kemampuan membangun kesadaran multikultural dalam bentuk kesadaran belajar hidup dalam perbedaan, rasa saling percaya, saling memahami, saling menghormati dan saling menghargai.36 Kemampuan tersebut dapat dibenarkan karena di dalam meta kecerdasan selain terdapat kemampuan menganalisis segala akibat perbuatan, kemampuan membedakan citra manusia dengan citra hewan, juga terdapat kemampuan melakukan hubungan sosial

32 M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2005), 3-4. 33 Azyumardi Azra, “Pendidikan Agama: Membangun Multikulturalisme Indonesia”, dalam Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta: Erlangga, 2005), VII. 34 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia , 217. 35 Taufik Pasiak, Revolusi, 136. 36 Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan, 78.

dan empati terhadap pihak lain,37 serta kemampuan spiritual yang menghasilkan petunjuk moral yang kuat untuk berbagai tindakan dan perbuatan yang bernuansa multikultural.38 Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa antara meta kecerdasan dan kesadaran multikultural dapat dipandang memiliki hubungan yang signifikan. Pernyataan ini secara ilmiah dapat dibenarkan karena sejalan dengan pandangan lain yang menyatakan bahwa meta kecerdasan yang berorientasi pada spirit ketuhanan akan menghasilkan emosi terkendali, logika normal,39 dan suara hati yang berbasis spiritual bekerja secara optimal.40

Meta Kecerdasan dan Kesadaran Multikultural dalam Pandangan Al-Gazālī Pertama, Inner Potential sebagai Meta Kecerdasan Al-Gazālī dari sisi psikologis lebih menaruh perhatian pada kesempurnaan ruhaniah karena di dalamnya terdapat potensi psikis (inner potential) dalam wujud potensi kecerdasan ‘aql, qalb, dan ruh.41 Dengan demikian, pengintegrasian kecerdasan ‘aql (intelektual), qalb (emosional) dan ruhaniah (spiritual) merupakan sebuah keniscayaan karena dalam kenyataannya, masing-masing kecerdasan tersebut tidak mampu memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapinya secara mandiri. Kecerdasan intelektual hampir pasti memerlukan bantuan kecerdasan emosional yang mampu mengenali berbagai perasaan dan mampu melakukan hubungan sosial dengan pihak lain secara baik. 42 Kedua kecerdasan tersebut masih belum memadai karena 37

Ibid. Abdullah Hadziq, “Psikologi Sufistik: Upaya Menawarkan Solusi Pengembangan Pendidikan Multikultural”, Pidato Pengukuhan Guru Besar, (Semarang: IAIN Walisong, 2007), 22. 39 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia, 219. 40 Ibid., 226. 41 Al-Gazālī, Ihyā’, Jilid III, 4-5. 42 Ibid., 57. 38

71


Meta Kecerdasan dan Kesadaran Multikultural – Abdullah Hadziq

secara psikologis di dalam diri manusia terdapat keinginan dan tujuan ke arah pemenuhan kebutuhan hidup yang bermakna, 43 seperti kebutuhan akan ridha Allah, kebutuhan akan dekat dengan-Nya dan kebutuhan-kebutuhan spiritual yang bermakna ibadah. Oleh karena itu, di dalam diri manusia secara kodrati dilengkapi oleh Allah dengan kecerdasan spiritual dalam bentuk kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap tindakan dan perbuatan.44 Konsep meta kecerdasan sebagaimana yang diketengahkan di atas sebenarnya telah dirumuskan oleh Al-Gazālī sejak abad pertengahan yang lalu dalam bentuk pemikiran sebagai berikut: Pertama, Integrasi Kecerdasan Akal dan Kecerdasan Emosional Kecerdasan akal dalam pandangan Al-Gazālī tidak diposisikan dalam kondisi yang terpisah dari kecerdasan lain. Hal ini berlawanan dengan konsep kecerdasan intelektual yang dibangun oleh aliran positivistik Barat di mana potensi akal lebih ditentukan oleh kerja inderawi dan dijauhkan dari unsur rasa, moralitas dan hal-hal yang bersifat spiritual.45 Padahal akal dalam terminologi psikologi sufistik tidak sebatas pada otak dalam tataran rasio tetapi merupakan pengkristalan akal dan hati nurani dalam satu kesatuan. Dengan demikian, kecerdasan akal selalu terintegrasikan dengan kecerdasan hati. Akibatnya, akal selain memiliki kemampuan yang berhubungan dengan kognitif juga mempunyai kemampuan memahami nilai-nilai moral. Akal menurut Al-Gazālī memiliki kemampuan dalam menolak keinginan hawa nafsu dalam bentuk perilaku zina dan perbuatan lain 43

Daniel Goleman, Emotional Intelligence, Terj. T. Hermaya dengan judul: Kecerdasan Emosional (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 59. 44 Marsha Sinetar, Kecerdasan Spiritual, Terj. Soesanto Boedidarma (Jakarta: PT. Elex Media Komputerindo, 2001), x. 45 Jalaluddin Rahmat (Pengantar) dalam Ali Abdul Azhim, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif Al Qur’an (Bandung: Rosda, 1989), V.

72

yang tercela (iẓā kabura wa tamma ‘aqluh qadara ‘alā al-zīna wa al-syahwat).46 Pandangan di atas dapat dibenarkan karena ada sebuah tesis yang menyatakan bahwa akal yang dimiliki manusia, dari sudut pandang psikologi dapat dipergunakan untuk belajar apresiasi terhadap arti pentingnya sebuah nilai. Oleh karena itu, di dalam akal memungkinkan juga tumbuh ranah rasa (affective skill) yang dapat mengantarkan manusia pada substansi humanistik,47 karena kecerdasan akal yang diintegrasikan dengan kecerdasan rasa memiliki daya pembeda antara hal-hal yang baik dan yang buruk.48 Selain itu, akal juga mempunyai daya pengekang terhadap dorongan syahwat yang selalu mengejar kenikmatan.49 Kedua, Integrasi Kecerdasan Emosional (Qalb) dan Kecerdasan Spiritual (Rūh) Kecerdasan emosional dalam bahasa Al-Gazālī disebut sebagai qalbun Salīm,50 yaitu hati yang sehat dan cerdas secara emosional serta memiliki kemampuan empati dan kepekaan sosial. Pendapat ini sejalan dengan pemikiran Jahoda yang menyatakan bahwa indikasi orang yang sehat mental (cerdas emosional) adalah memiliki kemampuan empati dan kepekaan sosial,51 yaitu kemampuan mengenali perasaan orang lain dan sinyal-sinyal sosial yang dikehendakinya. Menurut Al-Gazālī, hati yang cerdas akan dapat berfungsi sebagai pemandu, pengontrol dan pengendali semua tingkah laku manusia. Apabila hati ini berfungsi secara normal,52 maka kehidupan manusia cenderung

46

Al-Gazālī, Ihyā’, Jilid I, 104. Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Suatu Pendekatan Baru (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), 124. 48 Al-Gazālī, Ihyā’, Jilid I, 101-102. 49 Ibid. 50 Al-Gazālī, “Raudlat al Thalibin wa ‘Umdat al Salikin”, dalam Majumu’āt, 145. 51 Marie Jahoda, Current Concepts of Positive Mental Health (New York: Basic Book, 1958), 23. 52 Al-Gazālī, “Rauḍat al-Ṭālibīn wa ‘Umdat al-Sālikīn”, dalam Majumu’āt, 103. 47


Citra Ilmu, Edisi 23 Vol. xii, April 2016

menjadi baik sesuai dengan fitrah aslinya dan akan selamat dari berbagai hal yang tidak diridhai Allah. Kemungkinan tersebut dapat terjadi karena kecerdasan qalb manusia, selain memiliki natur malaikat yang cenderung baik dan selalu berusaha untuk mendekat kepada Allah, 53 juga memiliki potensi dalam bentuk al-nūr al-ilāhī yang dapat membimbingnya ke arah kemaslahatan dan potensi al baṣīrah al-baṭiniyyah yang dapat memancarkan nilainilai keimanan.54 Pemikiran Al-Gazālī tentang kecerdasan hati (qalb) tersebut secara substansial psikologis berkaitan erat dengan hal-hal yang bersifat spiritual, seperti natur malaikat, kedekatan dengan Allah, nur ilahi dan penglihatan batin yang menghasilkan nilai-nilai keimanan. Akibat dari hubungan ini, keadaan qalb menjadi semakin cerdas karena terintegrasikan dengan kecerdasan spiritual sehingga mampu menangkap hal-hal yang diluar penglihatan indera, 55 mampu memperoleh ilmu-ilmu ladunnī yang bersifat metafisik dan mengungkap rahasia ketuhanan (kasyf asrār alrubūbiyyah)56 serta mampu mengantarkan manusia pada tingkatan supra kesadaran57 seperti yang pernah dialami oleh para Nabi dan para wali. Apa yang disampaikan oleh Al-Gazālī pada abad pertengahan tentang pengintegrasian kecerdasan aql, qalb dan rūh (spiritual) dengan pendekatan holistik pada hakikatnya identik dengan konsep “meta kecerdasan” yang diketengahkan oleh Ary Ginanjar Agustian. Kecerdasan akal menurut Al-Gazālī harus selalu diintegrasikan dengan kecerdasan hati dan kecerdasan

spiritual. Daya kecerdasan ‘aql yang ditentukan oleh kerja inderawi dan dijauhkan dari unsur rasa dan halhal yang bersifat spiritual hanya akan menghasilkan objek pemikiran yang bersifat empirik sensual rasional. Padahal secara ontologis, dalam dunia realitas, selain ada kenyataan yang bersifat inderawi juga terdapat realitas lain yang bersifat empirik etik dan spiritual transendental. Pandangan tersebut dapat dibenarkan karena sejalan dengan pendapat lain yang menyatakan bahwa realitas secara ontologis tidak hanya bersifat observable area, yaitu wilayah kenyataan yang bersifat empiris, profan, dan tidak bermakna secara spiritual, tetapi ada juga wilayah realitas yang terpikirkan (conceivable area)58 dan wilayah realitas lain yang tak terpikirkan (unconceivable area)59 seperti dorongan malaikat, dorongan setan yang dalam wacana ontologi Islam dikategorikan sebagai realitas alam jabarūt dan malakūt.60

Hubungan Rasional Meta Kecerdasan dan Kesadaran Multkultural dalam Perspektif AlGazālī Meta kecerdasan sebagaimana yang diketengahkan oleh Ary Ginanjar adalah pengintegrasian kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan spiritual61 di mana masing-masing potensi psikologis tersebut dapat saling melengkapi hingga menjadi satu kesatuan.62 Pengintegrasian tiga potensi kecerdasan tersebut dalam pandangan Al-Gazālī merupakan sebuah 58

Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif (Bandung: Mizan, 1988),

187. 53

Al-Gazālī, Al Maqṣad al-Aṣna fi Syarh Asmā’ Allāh al-Husnā, (Bairut : Dar al Kutub al-Ilmiyah, t.t.), 28. 54 Viktor Said Basil, Manhaj al-Bahṣ inda Al-Gazālī (Beirut: Dar al-Kitab al-Libnany, t.t.), 155. 55 Al-Gazālī, “Al Risalah al Laduniyyah”, dalam Majmu’āt, 226. 56 Al-Gazālī, “Sir al ‘Alamin wa Kasyf ma fi al Darain”, dalam Majmu’āt, 476. 57 Al-Gazālī, “Misykat al Anwar”, dalam Majmu’āt, 285.

59

Fuad Nashori, “Sebuah Telaah atas Konsep Perilaku Beragama”, dalam Pelita, (Jakarta), Sabtu, 17 September 1994, No. 6435, Tahun XXI, hlm. IV, kolom 9. 60 Ali Maksum, “Rekonsiliasi Epistemologi Antara Agama dan Sains: Studi tentang Pemikiran Filsafat Sayyed Hossein Nasr”, dalam Jurnal Penelitian Qualita Ahsana, IAIN Sunan Ampel Surabaya, No. 1, Vol. I (April-September 1999), 169. 61 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia, 217. 62 Taufik Pasiak, Revolusi, 136.

73


Meta Kecerdasan dan Kesadaran Multikultural – Abdullah Hadziq

keniscayaan karena masing-masing potensi psikologis tidak mungkin berdiri sendiri secara mandiri tanpa memiliki keterkaitan dengan potensi yang lain. Statemen ini dapat dibenarkan karena realitas yang dihadapi oleh manusia tidak hanya berhubungan dengan satu potensi psikologis saja, melainkan banyak realitas lain 63 yang membutuhkan peran potensi psikologis tertentu secara proporsional. Atas dasar pemikiran di atas, maka pengintegrasian potensi psikologis satu dengan potensi psikologis yang lain menjadi amat penting. Kecerdasan akal yang diintegrasikan dengan kecerdasan hati (qalb) dan kecerdasan spiritual (ruhaniah), menurut Al-Gazālī akan menghasilkan ilmu yang sebenarnya, yaitu ilmu yang membuahkan rasa takut kepada Allah, rasa taat kepada-Nya, dan mendorong hati untuk selalu berbuat baik, menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela.64 Apa yang disampaikan oleh Al-Gazālī di atas, mengisyaratkan adanya hubungan meta kecerdasan dengan kesadaran multikultural. Artinya bahwa integrasi kecerdasan akal, kecerdasan hati, dan kecerdasan ruhaniah (spiritual) yang merupakan substansi meta kecerdasan memiliki hubungan kausalitas dengan kesadaran multikultural. Hubungan tersebut dapat diperhatikan pada uraian dan penjelasan sebagai berikut: Pertama, kecerdasan intelektual yang diintegrasikan dengan kecerdasan emosional dan spiritual (ruhaniah), 63

Realitas dalam psikologi sufistik tidak hanya terbatas pada hal-hal yang empirik inderawi, melainkan juga dapat berwujud kenyataan-kenyataan yang tidak terpikirkan, seperti perilaku psikologis yang terkait dengan dorongan malaikat dan dorongan setan serta perilaku emosional dalam bentuk menangis saat melihat ka’bah di masjidil haram. Keadaan tersebut sulit dinalar melalui akal pikiran rasional berbasis positivistik, sekalipun realitasnya dapat dirasakan. Atas dasar fakta ini, maka wajar jika psikologi Islam (sufistik) dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia baik yang bisa terpikirkan oleh akal maupun yang tidak terpikir akal. Lih. Muhammad Mahmud Mahmud, ‘Ilm al Nafs al Mu’aṣir fi Ḍau’al-Islam, (Jeddah: Dar al Syuruq, 1984), 47. 64 Al-Gazālī, “Rauḍat al-Ṭalibin wa ‘Umdat al Sālikin”, dalam Majmu’āt, 125.

74

menurut Al-Gazālī akan membuahkan rasa takut dalam melakukan pelanggaran terhadap nilai-nilai multikultural yang merupakan bagian dari ajaran Tuhan, seperti sikap toleransi, empati dan kedewasaan emosional. Pandangan di atas dapat dibenarkan karena rasa takut terhadap pelanggaran nilai-nilai yang diajarkan oleh Allah sebagaimana yang dijelaskan di atas, merupakan kultur sufistik yang lebih mengedepankan nilai-nilai moral65 (multikultural), kualitas keagamaan,66 dan pengembangan psikologis67 untuk membangun motivasi ke arah pendekatan diri kepada Allah. Kedua, meta kecerdasan yang merupakan integrasi potensi akal, emosional dan spiritual menurut Al-Gazālī mampu menghasilkan rasa taat dalam menjalankan ajaran-ajaran Allah, baik yang bersifat mahḍah, maupun yang bersifat sosial multikultural, seperti sikap saling pengertian, saling menghargai dan saling menyayangi. Pemikiran di atas dapat dibenarkan, karena sejalan dengan konsep pendidikan berbasis meta kecerdasan yang tujuan utamanya adalah peningkatan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan spiritual dalam satu kesatuan. Orientasi pendidikan meta kecerdasan tersebut lebih dipusatkan ke arah:68 (1) pembinaan hubungan sosial atas dasar ridha Allah, melalui proses ini dimaksudkan untuk membangun kesadaran multikultural yang lebih mengedepankan sikap saling pengertian dan saling menghargai atas dasar ridha Allah, (2) pembinaan hubungan persaudaraan atas dasar kasih sayang, proses ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran multikultural dalam 65

Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 38. 66 M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 28. 67 Pengembangan psikologis dalam bahasa Al-Gazālī merupakan tanmiyat al-nafs yang berarti juga takhliyat al nafs dan tahliyat al nafs. Lihat Al-Gazālī, “Rauḍat al-Ṭālibīn wa ‘Umdat alSalikīn”, dalam Majmu’āt, 103. 68 Al-Gazālī, “Ayyuha al Walad”, dalam Majmu’āt, 226-267.


Citra Ilmu, Edisi 23 Vol. xii, April 2016

bentuk saling menghormati, saling menyayangi, dan saling tolong menolong, (3) pembekalan ilmu yang menimbulkan kesadaran hati nurani untuk mahabah kepada Allah, karena substansi mahabbah adalah mencintai hal-hal positif yang dicintai Allah. Ketiga, meta kecerdasan yang merupakan pengintegrasian kecerdasan aqliyah, qalbiyah, dan ruhaniyah, dalam pandangan Al-Gazālī memiliki potensi mendorong hati untuk selalu berbuat baik dan menghindarkan diri dari perbuatan tercela.69 Ini artinya bahwa meta kecerdasan memiliki hubungan signifikan dengan kesadaran mutikultural dalam bentuk mencintai kerukunan, kedamaian, kemaslahatan, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang berbau kekerasan dan kezaliman

Daya Inspiratif Pemikiran Al-Gazālī bagi Pengembangan Kesadaran Multikultural Bangsa Latar belakang psikologis yang melingkari AlGazālī sangat berpengaruh terhadap pola pikirnya yang berhubungan dengan teori-teori psikologi sufistik. Dalam konteks masalah kesadaran multikultural, Al-Gazālī menyampaikan pandangan-pandangannya mengenai teori taṣfiyyat al-nafs, sebagaimana tertuang dalam kajian asrār al-ṭahārah.70 Permasalahan multikultural pada hakikatnya lebih dekat dengan persoalan kesadaran yang menyangkut belajar hidup dalam perbedaan, sikap toleransi, kedewasaan emosional, sikap saling pengertian, saling menghargai, saling menunjukkan apresiasi, resolusi konflik dan rekonsiliasi nir-kekerasan.71 Untuk membangun kesadaran multikultural sebagaimana yang tergambar di atas, menurut Al69 Al-Gazālī Al-Gazālī, “Rauḍat al-Ṭālibīn wa ‘Umdat aSālikīn”, dalam Majmu’āt, 125. 70 Al-Gazālī, Ihyā’, 150. 71 Masyharuddin, Mendesain Pendidikan Agama dalam Perspektif Multikultural, Jurnal Addin, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2006, (Kudus, P3M STAIN, 2006), 31-32.

Gazālī diperlukan upaya taṣfiyyat al-nafs dalam bentuk pensucian hati/ jiwa dari berbagai akhlak tercela.72 Apa yang disampaikan tersebut dapat dijelaskan bahwa kesadaran multikultural, baik dalam konteks belajar hidup dalam perbedaan maupun sikap toleransi, menurut Al-Gazālī dapat dibangun melalui upaya pensucian hati/ jiwa dari berbagai akhlak tercela. Pandangan tersebut dapat dibenarkan, karena hati/ jiwa yang jernih dari berbagai kotoran batin yang diakibatkan oleh tindakan tercela, kemudian terdorong rasa cinta kepada Allah dan RasulNya,73 secara psikologis memiliki potensi membentuk dan melahirkan perilaku psikologis yang konstruktif, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, sikap maupun kesadaran multikultural, karena menurut Al-Gazālī: “innama al-‘a’māl al-ṣālih kulluh fi taṭhīr al-qalb” 74 (seluruh perilaku psikologis yang konstruktif hanya akan ada pada kejiwaan/ hati jernih yang senantiasa berhubungan dengan Allah dan Rasul-Nya) Konsep taṣfiyyat al-nafs sebagaimana yang diketengahkan Al-Gazālī di atas, secara psikologis dapat diartikan sebagai proses transformasi ke arah kesempurnaan kesadaran spiritual dan kesadaran multikultural, baik dalam konteks hubungan vertikal maupun horisontal. Selain konsep di atas, Al-Gazālī juga memiliki konsep bahwa kesadaran multikultural, baik dalam bentuk kedewasaan emosional maupun sikap saling pengertian, dan sikap saling menghargai, dapat dibentuk melalui sikap jujur bersama Allah dan perilaku terpuji dengan sesama manusia (al-ṣidqu ma’a Allāh waḥusn al-mu’āmalah ma’a al-nās ).75 Pemikiran tersebut dapat dibenarkan karena sikap jujur bersama Allah dan perilaku terpuji dengan sesama manusia, dari sudut pandang psikologi sufistik 72

Al-Gazālī, Ihyā’, 150. Ibid., 312. 74 Ibid., 335. 75 Al-Gazālī, “Khulashat al Tashanif fi al Tashawwuf”, dalam Majmu’āt, 174. 73

75


Meta Kecerdasan dan Kesadaran Multikultural – Abdullah Hadziq

memiliki potensi psikologis yang mampu melahirkan kepribadian taat pada nilai-nilai ketuhanan, baik yang berhubungan dengan ibadah mahḍah maupun yang berkenaan dengan nilai-nilai sosial multikultural. Pandangan di atas, sejalan dengan nalar pihak lain yang menyatakan bahwa kejujuran berbasis ketuhanan dan upaya pensucian jiwa yang berdampak pada tingkah laku terpuji dapat melahirkan kesempurnaan kesadaran spiritual76 dan kesadaran multikultural dalam cahaya ketuhanan.77 Pemikiran multikultural Al-Gazālī di atas, secara psikologis memiliki daya inspiratif bagi pengembangan kesadaran multikultural dan sekaligus dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi pemecahan masalahmasalah multikultural bangsa. Pandangan ini dapat dibenarkan dengan alasan bahwa pemikiran Al-Gazālī mengenai pengembangan kesadaran multikultural cenderung unik, karena selalu mengkaitkannya dengan kesadaran spiritual yang berbasis nilai-nilai ketuhanan. Dasar rasionalnya adalah bahwa tinggi-rendahnya kesadaran multikultural seseorang sangat ditentukan oleh tingkat kualitas kesadaran spiritualnya.78 Artinya seseorang yang memiliki tingkat kejujuran dan kecintaan (mahabbah) yang tinggi terhadap Allah tentu ia jauh lebih mudah dalam memecahkan permasalahan multikultural yang sedang dihadapinya. Sebaliknya seseorang yang tidak memiliki tingkat kejujuran yang tinggi dan tidak memiliki perilaku santun, baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk-Nya, maka dapat dipastikan sikap dan kesadaran multikulturalnya cenderung rendah, karena kurang menghargai nilai-nilai multikultural yang telah diajarkan oleh Allah dan RasulNya.

76 Yasien Mohamed, Insan yang Suci: Konsep Fitrah dalam Islam Terj. Masykur Abadi (Bandung: Mizan, 1997), 108. 77 Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi, Terj. Arif Rahmat (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 1998), 112. 78 Mahmud Ali Qura’ah, Al-Ṭaqāfah al-Rūhiyyah fī Kitāb Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn li al-Gazālī (Kairo: Dār Miṣr li al-Ṭaba’ah, t.t.), 78.

76

Daftar Pustaka Ahyadi, Abdul Aziz. Psikologi Agama: Kepribadian Muslim Pancasila. Bandung: Sinar Baru Algensido, 1995. Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ. Jakarta: Penerbit Arga, 2004. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Bina Aksara, 1987. Azwar, Saifuddin, Pengantar Psikologi Inteligensi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Azra, Azyumardi, “Pendidikan Agama: Membangun Multikulturalisme Indonesia”, dalam Zakiyuddin Baidhawy. Pendidikan A gama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Erlangga, 2005. Baidhawy, Zakiyuddin. Pendidikan Agama, Berwawasan Multikultural. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005. Bakker, Anton. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994. Bastaman, Hanna Djumhana. Integrasi Psikologi dengan Islam. Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1995. Burhanuddin, Muh. “Kecerdasan Spiritual Peserta Didik dalam Proses Pembelajaran: Studi Kasus pada Pondok Pesantren Rahmatul Ummah JekuloKudus”. Tesis, Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang. Daniel Goleman. Kecerdasan Emosional, T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002. Al-Gazālī, Majmu’āt Rasā’il al-Imām al-Gazāli. Bairut: Dar al Fikr, 1996. ______Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Jilid I, III, IV Edisi Zain alDīn Abī al Faḍl Abd al-Rahīm Ibn Husain al-Iraqy. Bairut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, t.t. ______Al-Maqṣad al-Asnā fī Syarh Asmā’ Allāh al-Ḥusnā. Bairut : Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t. Hadziq, Abdullah. “Psikologi Sufistik: Upaya Menawarkan Solusi Pengembangan Pendidikan


Citra Ilmu, Edisi 23 Vol. xii, April 2016

Multikultural”. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Semarang: IAIN Walisong, 2007. Jahoda, Marie. Current Concepts of Positive Mental Health. New York: Basic Book, 1958. Mangkunegara, A.A.Anwar Prabu. Perkembangan Inteligensi Anak dan Pengukuran IQ-nya. Bandung: Angksa, 1993. Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Mahmud, Muhammad Mahmud. ‘Ilm al-Nafs al Mu’āṣir fī Ḍau’al-Islām. Jeddah: Dār al-Syuruq, 1984. Maksum, Ali. “Rekonsiliasi Epistemologi Antara Agama dan Sains, Studi tentang Pemikiran Filsafat Sayyed Hossein Nasr”. dalam Jurnal Penelitian Qualita Ahsana, IAIN Sunan Ampel Surabaya, No. 1, Vol. I, April-September 1999.

Sutopo, Heribertus. Pengantar Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar Teoritis dan Praktis. Surakarta: Pusat Penelitian USM, 1988. Othman, Ali Issa. The Concept of Man in Islam in the Writing of Al-Gazālī. Kairo: Dār al Ma’ārif, 1960. Pasiak, Taufik. Revolusi IQ/ EQ/ SQ: Antara Neurosain dan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 2003. Quasem, Muhammad Abul. The Ethics of Al-Gazālī: a Composite Ethics in Islam. New York: Caravan Books Inc., 1978. Qura’ah, Mahmud Ali. Al-Ṡaqāfah al-Rūhiyyah fī Kitāb Ihyā’ ‘Ulūm al Dīn li al-Gazāli. Kairo: Dār Miṣr li al-Ṭaba’ah, t.t. Rahmat, Jalaluddin. (Pengantar) dalam Ali Abdul Azhim. Epistemologi dan Aksiologi Ilmu: Perspektif Al-Qur’an. Bandung: Rosda, 1989.

Masyharuddin. “Mendesain Pendidikan Agama dalam Perspektif Multikultural”, Journal Addin, Vol. I, No. 2. Juli-Desember. Kudus: P3M STAIN, 2006.

______Islam Alternatif. Bandung: Mizan, 1988.

Mohamed, Yasien. Insan yang Suci: Konsep Fitrah dalam Islam, Terj. Abadi, Masykur. Bandung: Mizan, 1997.

Sinet ar, Marsha. Kecerdasan Spiritual, Terj. Soesanto Boedidarma. Jakarta: PT. Elex Media Komputerindo, 2001.

Muchith, M. Saekhan. “Pembelajaran Berbasis Multikultural”, Journal Addin, Vol. I, No. 2 JuliDesember. Kudus: P3M STAIN, 2006.

Sumanto. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset, 1995.

Naesjirwan, Z.F. Joesoef. “Konsep Manusia Menurut Psikologi Transpersonal”, dalam Rendra K. (ed). Metodologi Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988. Nashori, Fuad. “Sebuah Telaah atas Konsep Perilaku Beragama” dalam Pelita, (Jakarta). Sabtu, 17 September 1994, No. 6435, Tahun XXI. Nurbakhsy, Javad. Psikologi Sufi, Terj. Arif Rahmat. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 1998.

Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

Sutopo, Heribertus. Pengantar Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar Teoritis dan Praktis. Surakarta: Pusat Penelitian USM, 1988. Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan, Suatu Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995. Syukur, M. Amin. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Tilaar, H. A. R.. Kekuasaan dan Pendidikan suatu Tinjauan dari Perspektif Kultural. Magelang: Indesia Tera, 2003. Viktor Said Basil. Manhaj al-Bahts inda al-Gazālī. Bairut: Dār al-Kitāb al-Libnāny, t.t.

77


Meta Kecerdasan dan Kesadaran Multikultural – Abdullah Hadziq

Walgito, Bimo. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Andi, 2004. Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2005.

78

Zohar, Danah and Ian Marshall. SQ Spiritual Intelligence the Ultimate Intelligence. Great Britain: Bloomsbury, 2000.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.