Edisi 60 : Merajut Semangat Bersama Radio Darurat

Page 1

Edisi ke-60 Februari 2015 ď Ź kombinasi.net

Merajut Semangat Bersama Radio Darurat


D

a r i Re d a k s i

P

ada 14-18 Maret 2015 lalu berlangsung Konferensi Dunia yang Ke­ tiga Tentang Pengurangan Risiko Bencana. Perhelatan ini digelar oleh PBB dan diadakan di Sendai, Jepang. Hasilnya adalah dokumen Kerangka Kerja untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030. Do­ kumen ini akan diturunkan oleh negara-negara yang menyepakatinya men­ jadi beragam kebijakan yang terkait, termasuk Indonesia. Salah satu yang menarik dari dokumen ini adalah di bagian Peran Para Pemangku Kebijakan. Secara singkat disebutkan mulai dari negara, yang bertanggung jawab secara umum mendukung upaya pengurangan risiko bencana dan merealisasikannya dalam kebijakan dan regulasi di berbagai level. Elemen kedua adalah masyarakat sipil yang berpartisipasi dalam ko­ laborasi, dukungan pengetahuan, sinergi hingga ke pelibatan dan pember­ dayaan komunitas di sekitarnya. Elemen terakhir adalah media yang “ber­ tugas” meningkatkan kesadaran dan pemahaman warga serta mendisemi­ nasi informasi kebencanaan secara akurat dan mudah dipahami. Radio darurat, dalam pemahaman bukan sebagai alat melainkan siaran radio saat situasi darurat bencana, adalah bagian dari elemen media. Sa­ ma seperti media komunitas lain, juga media arus utama. Dia bahkan tidak hanya menjadi garda terdepan dalam menjalankan peran informasi yang akurat dan cepat, tapi juga memiliki peran dalam pemulihan situasi psiko­ logis maupun sosial. Dalam tulisan-tulisan di edisi ini, peran strategis ter­ sebut bisa jelas terlihat. Saat ini belum ada regulasi yang mengatur radio darurat. Yang ada baru tentang radio komunitas, itu pun masih penuh pembatasan yang merugi­ kan komunitas masyarakat. Di saat yang sama, tahun ini revisi UU Penyi­ aran masuk dalam program legislasi nasional atau daftar undang-undang yang akan dibahas oleh DPR. Memang belum masuk prioritas, tapi setidak­ nya ada harapan pengaturan tentang radio darurat bisa diakomodir. Melihat luasnya cakupan definisi bencana seperti tertuang dalam Un­ dang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, serta status Indonesia sebagai negara rawan bencana, tentu pengaturan pengelolaan informasi kebencanaan melalui media yang paling realistis di masyarakat saat situasi darurat sangat mendesak. Realistis di sini bisa di­ artikan mudah diakses, familiar dan infrastrukturnya sederhana. Media memang memiliki peluang memainkan peran penting dalam si­ tuasi bencana. Dalam konteks bencana sosial misalnya, saat masyarakat di sekitar hotel mengalami bencana kekeringan seperti dalam resensi film Belakang Hotel, maka film tersebut juga terbukti menjadi alat yang ampuh meluaskan kesadaran tentang bahayanya pembangunan yang tidak meng­ hitung keberlanjutan lingkungan.  2

Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

Pemimpin Redaksi Imung Yuniardi Redaktur Pelaksana Apriliana Susanti Kontributor Ferdhi F Putra, Sumiatun, Sinam. M Sutarno, Lubabun Ni’am, Idha Saraswati, Yoseph Kelik Sampul Depan Apriliana Susanti Ilustrasi dan Sampul Belakang Dani Yuniarto Tata Letak MS Lubis Distribusi Sarjiman, Gandung Triono Alamat Redaksi Jalan KH Ali Maksum RT 06 No. 183 Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia 55188 Telp/Fax: 0274-411123 Email: redaksikombinasi@combine.or.id Website: http://kombinasi.net

Kombinasi adalah majalah dua bulanan yang diterbitkan oleh Combine Resource Institution atas dukungan dari Ford Foundation. Combine Resorce Institution adalah lembaga yang mendukung pengembangan jaringan informasi berbasis komunitas. Redaksi Majalah Kombinasi menerima opini, resensi, maupun tulisan berbasis peliputan seputar tema media komuni­ tas. Panjang tulisan sekitar 6.000 karakter (with spaces), dengan men­ can­tum­kan foto untuk tulisan non opini, dan dikirim ke redaksikombinasi@ combine.or.id. Redaksi berhak memilih dan menyun­ting tulisan yang masuk ke maja­lah Kombinasi. Penulis yang karya­nya dimuat akan mendapat honor sepantasnya.


I

n f o Sek i l a s

Rembang-Yogyakarta

Petani Pegunungan Kendeng Tuntut UGM “Yang bertanggung jawab di sini kan Kehutanan (Fakultas Kehutanan UGM-red). Yang punya kewenangan melepaskan lahan untuk pabrik se­ men, konservasi, untuk yang dilin­ dungi, itu (tanggung jawabnya-red) Kehutanan. Maka di sini yang punya kewenangan harus angkat bicara,” ungkap Gunretno, salah satu peserta aksi dalam bahasa Jawa. “Ada yang mau menanggapi, tidak? Jika tak ada tak perlu dipaksa. Maksa itu tidak baik. Jadi kalau maksa ada pabrik semen tidak baik juga, kan?” ujar Gunretno yang disambut riuh pe­ serta aksi. Karena tak ada tanggapan dari Fa­ kultas Kehutanan, massa pun berge­ rak ke Gedung Rektorat. Peserta aksi kembali mengeluarkan tuntutan yang sama, yakni mengenai keberpihakan kam­pus dalam konflik agraria di Pe­ gunungan Kendeng. Widodo, salah satu petani Kulon­ progo yang datang untuk mendukung aksi tersebut ikut menyuarakan pen­ dapatnya. “Ini membuktikan kampus ini sebetulnya tak ada fung­sinya bagi masyarakat,” kata Widodo menanggapi belum adanya respon da­ri rektorat.

“Kami memang bukan warga Rem­ bang. Kami adalah warga pesisir Ku­ lonprogo yang dulu pernah ke sini me­minta pertanggungjawaban UGM. UGM dulu juga pernah bekerja sama dengan investor JMM (Jogja Magasa Mining-red) untuk menambang (pa­ sir besi) di tempat kami. Dan ini ben­ tuk dukungan kami terhadap sedulursedulur (saudara-saudara) Rembang, bahwa perusakan lingkungan harus dilawan,” ucap Widodo lantang. Tidak lama kemudian, akhirnya pi­ hak rektorat mengundang 15 perwa­ kilan peserta untuk berdialog. Dalam dialog tersebut, pihak UGM berjanji akan mengkaji data dan aspirasi yang disampaikan warga. Tapi, pihak uni­ versitas juga belum memastikan ka­ pan hasil kajian tersebut akan disam­ paikan. Warga berharap, kelompok-kelom­ pok mahasiswa dan komunitas yang berdomisili di Yogyakarta dapat mem­ bantu warga Rembang mengawal ka­ jian oleh pihak universitas. Hal itu de­ mi kepastian sikap yang dijanjikan UGM kepada warga Pegunungan Ken­ deng, khususnya warga Rembang. 

www.suarakomunitas.net suarakomunitas.net

S

ebanyak 70 petani dari Pegu­ nungan Kendeng, Jawa Tengah berunjuk rasa di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, (20/ 3). Mereka menuntut pihak universi­ tas bertanggung jawab atas kesaksian dua civitas academica UGM yang di­ nilai menyalahi kebenaran ter­ka­it po­ lemik antara petani Pegunungan Ken­ deng dengan PT Semen Indonesia. Aksi petani ini dipicu oleh kesak­ sian dosen Fakultas Kehutanan UGM, Heru Hendrayana, dalam sidang lan­ jutan gugatan pendirian pabrik semen PT Semen Indonesia di Pengadilan Ta­ ta Usaha Negeri Semarang, (19/3/). Dalam kesaksiannya, pakar hidrologi UGM itu mengatakan, bahwa tak ada sumber mata air dan ponor (lubang) di kawasan karst Pegunungan Ken­ deng, Rembang sehingga kawasan itu boleh ditambang. Heru Hendrayana juga meyakinkan bahwa kesaksiannya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bahkan, kesaksiannya itu di­ du­kung oleh pakar karst dari UGM, Eko Haryono yang menegaskan bah­ wa bentang alam karst Rembang bu­ kan kawasan karst yang dilindungi. Salah satu penyebab pendirian pab­ rik semen di Rembang adalah karena polemik tukar guling lahan antara Di­ nas Kehutanan Mantingan dengan PT Semen Indonesia. Petani mengharap­ kan, Fakultas Kehutanan UGM seba­ gai otoritas keilmuan dapat angkat su­ ara terkait dengan polemik ini. Berangkat dari Semarang dengan 3 bus sedang, para petani yang ber­ asal dari Kabupaten Rembang dan Pa­ ti ini langsung menggelar unjuk rasa setibanya di depan Fakul­tas Kehutan­ an, UGM. Petani Kulon Pro­go beserta beberapa elemen mahasis­wa dan ko­ munitas solidaritas di Yog­yakarta pun turut mendukung aksi ter­sebut. Pengunjuk rasa menggelar poster protes kepada pihak universitas di depan gedung rektorat UGM.

Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

3


I

n f o Sek i l a s

foto-foto: gaung.aman.or.id, suarakomunitas.net

Maluku Utara

Mandiri Ekonomi karena Minyak Goreng

M

andiri secara ekonomi men­ jadi salah satu pilar gerak­ an perjuangan masyarakat adat nusantara. Igono Do­ daga merupakan wujud kemandirian Togutil Dodaga atau Komunitas Doda­ ga di Maluku Utara melalui pember­ dayaan ekonomi berbasis kultural. Igono Dodaga merupakan sebuah kelompok usaha bersama masyarakat Desa Dodaga yang memiliki arti “Ke­ lapa Dodaga”. Dinamakan demikian karena sumber daya alam khususnya kelapa sangat melimpah di desa ini. Elyeser Huhutu, tokoh agama sekali­ gus Sekretaris Desa Dodaga mengakui desanya memang mampu mempro­ duksi kopra sebagai bahan baku mi­ nyak goreng dalam jumlah besar. Ba­ yangkan, produksi kopra di desa ini mencapai 1.500 ton per tahun! Meski menghasilkan kopra yang me­limpah, hal itu ternyata belum ber­ dampak signifikan terhadap penda­ patan ekonomi masyarakat. Faktor do­ minan yang kini sangat mempenga­ Minyak goreng yang diproduksi secara mandiri oleh anggota masyarakat di Desa Dodaga, Maluku Utara.

4

Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

ruhi tingkat pendapatan masya­rakat adalah belum stabilnya harga kopra. “Harga kopra paling tinggi menca­ pai 6.000 rupiah per kilogram dan yang paling rendah bisa sampai 1.500 rupiah per kilogram. Harga kopra ti­ dak bertahan lama. Yang sering dite­ rima oleh pembeli saat ini berkisar 4.000 rupiah per kilogram.” tutur Ma­ diki Haginik, seorang tokoh adat To­ belo Dalam, Dodaga. Dari segi penampilan dan isi minyak goreng produksi Desa Dodaga sudah

cukup bagus dan menarik. Ah­mad, se­ orang pembeli di salah satu pasar di Halmahera Timur menya­rankan akan lebih baik lagi jika mi­nyak goreng ter­ sebut dicantumkan kandungan nilai gizi pada label kemasannya. Pencan­ tuman nilai gizi tersebut akan mem­ buat pem­beli tidak ragu mengguna­ kan minyak goreng produksi lokal. Pemberdayaan ekonomi berbasis kultural dengan potensi lokalnya yang meliputi kelapa, sagu dan pala meru­ pakan pendukung ruang hidup semua komunitas masyarakat adat yang ada di Maluku Utara. Hal itu dijelaskan Ke­ pala Biro Ekonomi dan Dukungan Ko­ munitas Aliansi Masyarakat Adat Nu­ santara (AMAN) Maluku Utara. Tapi, kebijakan pemerintah selama ini be­ lum sepenuhnya berpihak pada peta­ ni kopra sehingga membuat banyak petani kopra yang merugi. Meskipun demikian, Igono Doda­ ga tetap akan berproduksi. Bahkan, pada bulan Maret 2015 mereka beren­ cana menaikkan produksi minyak go­ reng 200 hingga 300 liter dalam seka­ li produksi, supaya mampu untuk me­ menuhi per­mintaan pasar di Kabupa­ ten Halma­hera Timur. 

www.suarakomunitas.net


Yogyakarta

Keistimewaan Yogyakarta Harus dalam Kerangka UU Desa

D

esa-desa mulai mempersiapkan diri dengan diimplementasikan­ nya UU No. 6 tahun 2014 pada 2015 ini. Tapi bela­kangan, salah satu upaya implemen­tasi UU Desa terka­it tanah kas desa di Daerah Istime­wa Yogyakarta sedikit terganjal. Para perangkat desa menolak in­ ven­tarisasi tanah kas de­sa jika harus mengacu pada UU De­sa. Hal ini lan­ taran UU Desa tidak menjamin tanah kas desa yang sela­ma ini digunakan sebagai tanah lung­guh yang dapat di­ manfaatkan oleh kepala desa atau pe­ r­angkat sebagai sumber penghasilan sah. Pasal 76 ayat 4 UU Desa sendiri menyebutkan, bahwa kekayaan milik desa yang be­rupa tanah disertifikat­ kan atas na­ma pemerintah desa. Saat audiensi dengan DPRD DIY pa­ da Desem­ber 2014, Ketua Paguyuban Du­kuh Semar Sembogo, Sukiman Ha­ diwijoyo mengatakan, jika tanah kas desa diambil alih, ia akan ke­hilangan sumber penghasilan. Ia meminta agar tanah lung­guh diatur khusus dalam Perda Isti­mewa (Perdais) Pertanahan di ba­wah payung UU Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.

Dalam kesempatan lain, Ketua Pa­ guyuban Dukuh Bantul, Sulistyo Nu­ groho Atmaja mengatakan, pengatur­ an tanah kas desa tak perlu mengikuti UU Desa. “Tanah kas desa di Bantul seharusnya disertifikasi atas nama Sultan,” tegas Sulistyo. “Tanah NKRI itu tanah yang mana? Dilihat dari pem­ bentukan DIY, maka jelas kalau tanah kas desa di daerah ini adalah pembe­ rian Keraton. Jadi tidak bisa tunduk pada UU Desa.” Tahun 2014 lalu, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X menge­ luarkan Pergub Nomor 39 Tahun 2014 yang meme­ rintahkan desa untuk menyertifikatkan tanah anggaduh atas nama de­ sa. Namun, begitu UU De­ sa diberlakukan tahun ini, Sri Sultan mengelu­ arkan Pergub No­ mor 112 tahun 2014 yang ber­ Anggota DPR RI Budiman Sudjatmiko

bunyi sebaliknya, bahwa sertifikasi ta­ nah kas desa harus atas nama Kasul­ tanan dan Kadipaten. Dalam UU Desa, tanah kas desa ada­ lah milik desa meskipun tidak diatur secara khusus. Lebih lanjut, anggota DPR-RI, Budiman Sudjatmiko menga­ takan, “Di DIY, desa terikat pada dua undang-undang (UU Keistimewaan dan UU Desa-red), karenanya pihak Kesultanan maupun pihak Desa harus berbicara bagaimana pemanfaatan ta­ nah kas desa. Tidak berarti, misalnya, Sultan bisa menjualnya,” jelasnya usai acara Sarasehan UU Desa dalam Ke­ rangka Keistimewaan Yogyakarta di Kepatihan Yogyakarta, (31/1). Mengenai jaminan pemanfaatan ta­ nah oleh desa, Ketua Pansus UU Desa ini menambahkan, bahwa pengelola­ an tanah kas desa harus mengacu pa­ da prinsip keadilan. Ia menilai, Per­ gub DIY Nomor 12 Tahun 2014 perlu penyesuaian dengan UU Desa. “Pihak Kesultanan, dalam mener­ jemahkan Keistimewaan tidak bo­leh melanggar asas-asas keadil­an. Masyarakat bisa bernegosi­ asi terkait pengelolaan tanah desa. Sul­tan Ground bukan harga mati, dalam arti dia hanya me­nempatkan posi­ si Kesultanan sebagai part­ ner (negosiasi) komunitas desa,” pungkasnya.  www. suarakomunitas.net

Cirebon

Atur Sampah, Pemkab Terapkan Sistem Buka Tutup Tingginya sampah yang dihasilkan masyarakat mem­ buat Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Ci­ rebon akan melakukan sistem buka tutup Tempat Pem­ buangan Sementara (TPS). Sistem ini dilakukan kare­ na masyarakat yang membuang sampah tak memliki waktu tetap. DKP mengatur waktu pembuangan agar bisa bersamaan dan bisa diangkut bersamaan pula. “Baru saja diangkut. Lewat berapa lama sudah mu­ lai penuh lagi TPS-nya sehingga kelihatannya sampah selalu menumpuk. Karena itulah kita akan membuat sistem buka tutup sehingga sampah bisa diangkut se­ kaligus” ujar Taufan, Kepala DKP Kota Cirebon, (28/2).

Dalam pelaksanaannya, DKP akan menggandeng tim kebersihan baik di tingkat RT, RW maupun tingkat ke­ lurahan dan kecamatan. Taufan menjelaskan, pihak­ nya akan menyebarkan jadwal buka dan tutupnya TPS tersebut kepada setiap tim kebersihan. Harapannya, seluruh tim kebersihan dapat membuang sampah ke TPS sesuai jadwal. “ Kalau waktunya tutup, masyarakat tidak boleh buang sampah disitu,” tandasnya. Selain membuat sistem buka tutup TPS, DKP juga me­ nerjunkan tim pengawas TPS yang berjumlah 7 orang. Tim ini bertugas melaporkan kondisi 29 TPS yang ter­ sebar di Kota Cirebon.  www.suarakomunitas.net Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

5


I

n f o Sek i l a s

suarakomunitas.net

Warga Desa Lhueng Geulumpang meman­faatkan sungai untuk mencuci meski ju­ga dipakai untuk buang hajat.

Aceh Barat Daya

Minim Jamban di Rumah, Warga Abdya Buang Hajat di Sungai

M

embuang hajat di sungai atau saluran air masih ja­ mak dilakukan oleh warga Du­sun Ateuh, Desa Lhueng Geulumpang, Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya). Banyaknya jamban yang berdiri di bi­ bir sungai sudah menjadi pemandang­ an yang biasa bagi warga di sana. Kon­ disi tersebut cukup memprihatinkan. Pasalnya, sungai tersebut tidak hanya untuk membuang hajat, tapi juga di­ gunakan untuk mencuci pakaian dan peralatan rumah tangga lainnya. Maraknya penggunaan sungai un­ tuk membuang hajat disebabkan oleh minimnya kemampuan ekonomi war­ ga untuk membangun jamban di ru­ mah. Karena keterbatasan ekonomi itulah, warga tak punya pilihan selain menggunakan sungai sebagai tempat membuang hajat seperti yang dialami Hadisah, warga Desa Lhueng Geulum­ pang. Wanita paruh baya itu mengung­ kapkan, di desanya hanya ada dua ru­ mah warga yang mampu membangun jamban di dalam rumah. “Meski kon­ 6

Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

disi di desa kami ini dirasa amat mem­ prihatin, tapi kami tidak mempunyai pilihan lain karena belum memiliki jamban pribadi,” ujarnya, (23/9). Meski debit air sungai sedang su­ rut warga tetap mencuci pakaian dan membuang hajat di sana. “Saluran air itu kadang-kadang dialiri air, tapi ke­ tika musim kemarau saluran yang ber­ fungsi untuk mengaliri air ke sawah tersebut mengalami kekeringan. Na­ mun demikian, warga masih membu­ ang hajat sehingga menimbulkan bau yang tidak enak di lingkungan sekitar saluran air,” jelas Munawir, sekretaris Desa Lhueng Geulumpang. Sebenarnya, baik Hadisah maupun warga lainnya menyadari bahwa pe­ rilaku mereka membuang hajat di su­ ngai bisa berdampak buruk bagi ke­ sehatan. “Kami sebenarnya merasa membuang hajat di sungai tidak baik bagi kesehatan karena di saluran air ini juga kami mencuci pakaian, piring dan keperluan lainnya. Namun, kami tidak tahu mau buang hajat ke mana karena kami tidak mempunyai biaya

untuk membangun jamban sendiri. Jadi, terpaksalah kami buang hajat di situ,” ujar Hadisah yang berprofesi se­ bagai petani itu. Membuang hajat di sungai memang tidak baik untuk kesehatan. Menurut petugas Puskesmas Alue Pisang, Keca­ matan Kuala Batee, hal itu bisa menye­ babkan timbulnya ber­bagai pe­nyakit seperti diare, typus, gatal-gatal serta pencemaran air dan lingkungan. Sosialisasi kepada warga masyara­ kat akan pentingnya menjaga kesehat­ an dan tidak membuang hajat semba­ rangan pernah dilakukan para petu­ gas kesehatan setempat. Namun, so­ sialisasi ini dirasa kurang efektif ka­ rena sedikitnya warga yang mengha­ diri acara sosialisasi. Warga lebih me­ milih untuk beraktivitas di sawah atau kebun daripada berpartisipasi dalam sosialisasi tersebut. “Karena itu kami berharap kepada semua lapisan masyarakat agar samasama menjaga kesehatan lingkungan. Kami dari pihak petugas akan terus berupaya semaksimal mungkin sam­ pai timbulnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehat­ an lingkungan salah satunya dengan tidak buang air sembarangan. Kese­ hatan masyarakat adalah cita-cita ka­ mi, masyarakat sehat negara kuat,” ujar petugas tersebut. Selain di Kecamatan Kuala Batee, penggunaan sungai untuk membuang hajat juga masih banyak dilakukan warga di Kecamatan Babahrot di ba­ gian barat hingga Lembah Sabil. Di aliran sungai yang sama, warga juga mencuci pakaian bahkan peralatan ru­ mah tangga lainnya. Tempat pembuangan hajat yang aman dan sehat pun menjadi harap­ an warga. Munawir berharap peme­ rin­tah memberi perhatian pada war­ ganya terkait minimnya jamban di de­­ sanya. “Kami berharap adanya per­ hatian pemerintah dalam menyikapi masalah ini,” pungkas Munawir.  www.suarakomunitas.net


Lombok Timur

Pudarnya Ritual Adat Ancam Keberlanjutan Hutan

suarakomunitas.net

D

ahulu, salah satu ritual adat Sapit sangat dipatuhi masya­ rakat. Kearifan lokal Desa Sa­ pit, Kecamatan Suela, Kabu­ paten Lombok Timur ini membuat si­ apapun tidak bisa sembarangan ma­ suk hutan apalagi menebang kayu. Me­ reka memiliki ritual-ritual adat un­ tuk mengelola sumber daya alamnya yang meliputi ritual adat dalam tata produksi sumber daya alam, tata dis­ tribusi dan ritual adat dalam tata kon­ sumsi. Inilah cara unik Desa Sapit me­ ngelola sumber daya alamnya. Tiap ritual adat Desa Sapit dipim­ pin tokoh penting yang disebut mang­ ku. Masyarakat yang akan mengelola sumber daya alam harus mendapat ijin dan meminta petunjuk dari mangku. Ada beberapa mangku dalam adat De­ sa Sapit. Mangku Gawar misalnya. Ia adalah seseorang yang dituakan di bi­ dang kehutanan. Mangku Gawar men­ jadi pemegang ijin bagi masyarakat yang akan memasuki hutan. Ia akan melakukan permohonan pada “peng­ huni” hutan menggunakan andang-an­ dang (sesajen) yang dibarengi dengan membaca mantra (doa-doa). Sebelum ditebang, pohon kayu ter­ lebih dahulu harus diikat dengan ila­ lang atau disebut bangar. Jika dalam waktu 3 hari bangar tersebut terbuka,

pohon itu tidak boleh ditebang oleh masyarakat. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, barulah pohon itu boleh ditebang. Orang yang menebang pun tidak sembarangan. Ia harus disem­ beq atau dibacakan jampi-jampi ter­ lebih dahulu oleh Mangku Gawar sam­ bil menunggu reaksi bangar yang di­ ikat pada pohon kayu. Lain pula Mang­ku Gubug. Ia adalah orang yang dituakan dalam pemanfa­ atan air bersih baik untuk irigasi mau­ pun bercocok tanam. Ketika masya­ rakat akan memulai bercocok tanam, mereka terlebih dahulu harus memin­ ta petunjuk Mangku Gubug. Praktek seperti ini masih diterapkan oleh ma­ syarakat hingga saat ini. Sementara dalam tata distribusi sumber daya alam, masyarakat Sapit mengenal adanya matak atau hasil pa­ nen. Dahulu setiap musim panen, ma­ tak ini tidak langsung dijual namun disimpan di lumbung untuk persiap­ an musim paceklik. Sayangnya, kebi­ asaan ini sudah menghilang seiring dengan perkembangan jaman yang pe­ nuh budaya materialistik dan instan seperti saat ini. Sekarang, petani cen­ de­rung pragmatis dalam pemanfaat­ an hasil panen. Demikian halnya de­ ngan ritual adat dalam tata konsumsi yang juga sudah memudar.

Besiru adalah salah satu ritual adat tata interaksi sosial dalam bentuk ber­ gantian saling menolong. Tak hanya besiru, tata interaksi sosial adat Sapit juga memiliki beragam bentuk ritual adat lainnya seperti langar, selamet­ an aiq, sawinih, lumbung, bebangar, so­ rong serah, nyelabar, nyongkolan, be­ gawe dan roah, ngebangin bale, besem­ beq, pelayaran, dan lain-lain. Beberapa ritual adat seperti lumbung, jimpitan, dan beberapa ritual lainnya telah hi­ lang tergerus jaman. Ritual adat yang tersisa saat ini adalah ritual yang ber­ sifat materialis, di mana hampir sega­ la hal diukur dengan materi. Jika dulu hasil panen jadi imbalan jasa yang di­ berikan petani pada pekasih (petugas pengatur air-red), sekarang tidak lagi. Kini, semua diukur dengan uang. Memudarnya kearifan lokal adat Desa Sapit memang cukup mempri­ hatinkan. Padahal, jika saja kearifan lokal seperti dalam tata kelola hutan di atas masih dipegang teguh masya­ rakatnya, kondisi hutan yang alami seperti masa dahulu masih bisa kita lihat hingga saat ini. Oleh karenanya, perlu ada kajian historis secara men­ dalam terkait dengan ritual adat De­ sa Sapit, minimal bisa menjadi bahan ingatan bagi generasi mendatang.  www.suarakomunitas.net

Seorang mangku memimpin doa dalam ritual adat sapit.

Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

7


U

tama

Merajut Semangat Bersama

Radio Gapura Klewer Darurat Seribu satu cara dilakukan untuk membangkitkan kembali semangat para pedagang Pasar Klewer pasca kebakaran, 27 Desember 2014 silam. Salah satunya seperti yang dilakukan Radio Gapura Klewer Darurat, radio kebanggaan Pasar Klewer yang sebelumnya bernama Radio Gapura Klewer. Meski studio dan semua peralatan mereka yang berada di bangunan Pasar Klewer ikut hangus dilalap si jago merah, radio ini telah kembali mengudara menyapa para pedagang di sana.

M

engunjungi studio sementara Radio Gapura Klewer Darurat di Gedung Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) Surakarta, (12/3), tim liputan Majalah Kom­binasi mendapatkan cerita menarik di balik misi baru mereka kini. Jika dulu misi kami lebih banyak membe­ rikan hiburan dan informasi ke pedagang ataupun pengunjung, sekarang ini misi kami adalah menemani mereka untuk berjuang, memberi dukungan agar mereka bangkit la­ gi,” jelas Lucia Caritas, pengelola senior radio yang mengudara sejak 1990 ini. Kebakaran yang melanda Pasar Klewer memang menyisakan kehilangan besar bagi para pedagang. Takut akan terjadi kebakaran lagi, mereka kini hanya membawa dagangan mereka dalam jumlah tidak sebesar seperti saat sebelum kebakaran. Namun, kehilangan 8

Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

terbesar ternyata justru dialami para buruh gendong, buruh angkut gledeg (troli pengang­ kut barang), tukang becak, penjual nasi, dan pedagang asongan. Kebakaran telah mem­ buat penghasilan mereka menurun drastis. “Rumiyen sedinten saget angsal setunggalatus ewu, sakniki saget angsal seket mawon sam­ pun paling kathah. (Dulu dalam sehari bisa dapat uang sampai 100 ribu, sekarang dapat 50 ribu saja sudah termasuk banyak),” ung­ kap Nardi, salah satu buruh gledeg di depan Pagelaran Kraton. Tidak sekedar memotivasi, Lucia dan ka­ wan-kawannya juga memberi informasi lo­ kasi ba­ru para pedagang kepada para pen­ dengar. “Keberadaan pedagang sekarang di mana, dulunya di mana, itu kami infokan se­ cara gratis,” jelas Lucia. Pasca kebakaran, lo­ kasi berjualan para pedagang memang ber­ pencar di beberapa titik, seperti Pagelaran

Foto-foto: dokumen kombinasi

Oleh Apriliana Susanti


Pasca kebakaran Seorang buruh gledeg pakaian melintas di depan puing-puing bangunan Pasar Klewer yang terbakar.

Kombinasi ď Ź Edisi ke-60 ď Ź Februari 2015

9


U

tama

Pasar darurat Ratusan mobil boks penjual pakaian meng­ gelar dagangannya di dalam Alun-Alun Utara Kraton Surakarta. Rencananya, sebelum Lebaran tahun ini, la­ pangan ini akan diper-­ gunakan sebagai pasar darurat untuk para pe­ dagang eks bangunan Pasar Klewer yang terbakar pada 27 De­ sember 2014 lalu.

10

Kraton, Pusat Grosir, kawasan Masjid Agung, Alun-Alun Utara, Pasar Cinderamata, hingga di par­kiran Batik Trade Center (BTC). Infor­ masi yang disampaikan Radio Gapura Kle­ wer Darurat itu diharapkan akan membantu pembeli untuk menemukan para pedagang Pasar Klewer yang kini telah berpencar itu.

Frekuensi Baru Tantangan Baru Sebagai radio kabel, jangkauan siar Radio Gapura Klewer Darurat hanya sebatas 500 meter saja. Itupun hanya di seputaran ba­ ngunan Pasar Klewer saja. Kini, dengan fre­ kuensi di gelombang FM 107,7 MHZ, radio ini bisa menjangkau hingga Alun-Alun Uta­ ra Kraton, Pusat Grosir Solo, Beteng, hingga Pagelaran dan tempat-tempat strategis lain dalam radius 3 kilometer. Memiliki gelombang frekuensi baru itu bu­kannya tanpa tantangan. Lucia mengata­ kan, “Kesulitan radio yang menggunakan fre­ kuensi adalah mereka (pendengar) tetap ha­ rus menggunakan pesawat radio. Padahal, ti­dak semua pedagang punya.” Kebakaran ta­hun lalu telah menghanguskan semua per­

Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

alatan Radio Gapura Klewer, termasuk se­ mua speaker yang dipasang di beberapa ti­ tik strategis di dalam bangunan pasar. Pada­ hal, lewat speaker itulah siaran Gapura bisa sampai ke telinga para pedagang dan pengun­ jung Pasar Klewer. Tiga bulan pasca kebakaran, masih ba­ nyak pedagang yang belum mengetahui ra­ dio andalan mereka itu telah kembali meng­ udara. Ketiadaan pesawat radio setiap peda­ gang membuat informasi yang disampaikan Radio Gapura Klewer Darurat tidak sampai ke telinga mereka. “Kalau dulu memang ra­ dio itu non-stop menyiarkan musik dan in­ formasi sekitaran Pasar Klewer. Sekarang sa­ ya malah belum pernah dengar kalau sudah siaran lagi ,” kata Imron, salah satu pedagang batik yang memindahkan lokasi dagangan­ nya di Alun-Alun Utara Kraton Surakarta. Tidak kurang akal, tim Radio Gapura Kle­ wer Darurat pun berinisiatif membagikan selebaran kepada para pedagang. Begini bu­ nyi brosurnya: “Kepada para pedagang Pasar Klewer, mo­ hon bisa SMS lokasi kios Anda yang baru de­


ngan GRATIS. Kami akan menyiarkan mela­ lui gelombang FM 107,7 MHZ Darurat Ga­ pu­ra Klewer Radio.” Selebaran itu ternyata cukup membantu meningkatkan interaksi para pedagang de­ ngan Radio Gapura Klewer Darurat. Kini, se­ tiap harinya tidak kurang dari 20 pedagang mengirimkan SMS pemberitahuan lokasi ba­ ru mereka ke nomor seluler para pengelola radio. Jumlah SMS ini masih jauh lebih sedi­ kit dibandingkan dengan sebelum kebakar­ an. “Kalau dulu SMS request (permintaan) pedagang bisa mencapai ratusan tiap hari. Sekarang jumlah 15 sampai 20 SMS saja su­ dah banyak, itu pun sebagian besar pedagang yang di Masjid Kauman yang masih bawa ra­ dio. Mereka request setiap hari” ujar Lucia.

Radio Darurat. Di kantor Dinas Badan Koordinasi Wilayah Surakarta ini­ lah Radio Gapura Klewer Darurat kembali mengudara. Pasca kebakaran Pa­sar Klewer, banyak pihak yang meminjamkan ruangan, peralatan, dan frekuensi gratis kepada Radio Gapura Klewer Darurat.

Berawal dari Radio Jaringan Berawal dari anak-anak pedagang yang mengisi waktu di pasar, jaringan radio Pa­ sar Klewer yang menjadi cikal bakal Radio Gapura Klewer mulai mengudara. Saat itu ta­ hun 1979. Jaringan radio ini hanya meng­ udara saat ada yang mau siaran saja. Jaringan radio itu sendiri mulai dikelola secara profesional pada tahun 1990 dengan nama Radio Gapura Klewer Promotion Me­ dia - yang selanjutnya disebut Radio Gapura Klewer saja. Meski memiliki jangkauan hing­ ga 500 meter, siaran radio ini hanya bisa di­ dengarkan di dalam bangunan pasar saja. Melalui speaker-speaker kecil yang tersam­ bung kabel dan dipasang di beberapa titik strategis, radio ini menghibur dan mengedu­ kasi warga Pasar Klewer sejak pukul 09.00 sampai 16.30 sore. Itulah kenapa radio ini lebih dikenal sebagai radio kabel. “Kami me­ mang sering disebut radio kabel karena ti­ dak mempunyai frekuensi,” tandas Lucia. Tidak adanya frekuensi yang dimiliki me­ mang membuat radio ini tidak memenuhi syarat sebagai radio komunitas. Namun, mes­ ki secara regulasi tidak memenuhi syarat, Radio Gapura Klewer ini ternyata memiliki komunitas yang jelas, yakni para pedagang Pasar Klewer. Tak hanya itu, Radio Gapura Klewer pun menjadi pionir radio pasar di In­ donesia. Kini, banyak pasar di Indonesia me­ nerapkan radio pasar untuk menyampaikan informasi yang mengedukasi dan menghi­ bur pedagang pasar. Sebulan pasca kebakaran pada 27 Desem­ ber 2014 lalu, suara merdu Lucia Caritas, Isti Panda, Listia Yana, Peny Mulyawati, dan Retno Madu kembali menyapa para pende­ Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

11


U

tama

Tersebar. Spanduk yang meng­ informasikan lokasi baru pedagang Pasar Klewer terpajang. Para pedagang memin­dah­ kan kios mereka di Pagelaran Kraton.

12

ngarnya di udara. Kembalinya radio ini tak lepas karena perhatian berbagai pihak. Se­ but saja Bakorwil Surakarta yang memin­ jam­kan ruangan untuk siaran serta Dinas Per­hu­bungan, Komunikasi dan Informatika (Dis­hubkominfo) Surakarta yang memfasi­ litasi koordinasi para pihak pasca kebakar­ an tersebut. “Ini merupakan wujud dukungan peme­ rintah kepada Radio Gapura Klewer untuk menjadi semacam crisis center yang dapat menjadi pusat informasi bagi warga Pasar Klewer. Diharapkan, radio darurat ini bisa menghubungkan informasi dari pemerintah ke pedagang dan sebaliknya,” kata Isnan Wi­ haryanto, selaku Kepala Seksi Pengembang­ an Informasi dan Komunikasi Dishubkomin­ fo Surakarta, (20/3). Perhatian tak hanya datang dari kalangan pemerintah kota saja, tetapi juga dari Com­ bine Resource Institution Yogyakarta, Jaring­ an Radio Komunitas Indonesia, Forum Pe­ ngurangan Resiko Bencana, bahkan para blog­ ger yang tergabung dalam Radio Blogger In­ donesia. Bantuan dan perhatian tak sebatas teknis saja, bantuan biaya operasional juga disumbangkan beberapa donatur, meski ten­ tu saja sebagian besar biaya masih memakai

Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

sisa dana operasional yang dimiliki radio ini sendiri sebelum kebakaran terjadi.

Radio Darurat untuk Pasar Darurat Bisa dekat kembali dengan para pedagang seperti saat sebelum kebakaran menjadi ha­ rapan Lucia dan kawan-kawannya. Demiki­ an halnya dengan pedagang yang juga ingin dekat dengan radio teman setia mereka. “Kami maunya dekat dengan pasar, dekat dengan pedagang agar secara emosional ka­ mi bisa lebih baik dalam membuat kalimat dan memberi informasi,” ungkap Lucia yang diamini kawan-kawannya. Tampaknya, harapan itu akan segera ter­ wujud sebentar lagi. Pasalnya, Pemerintah Kota Solo telah mewacanakan akan memin­ dah Pasar Klewer ke Alun-alun Utara Kraton selama bangunan pasar yang terbakar diba­ ngun kembali dalam 2 tahun ke depan. Se­ belum Lebaran, pasar darurat itu diharapkan sudah bisa ditempati para pedagang yang kiosnya terbakar di Pasar Klewer beberapa waktu lalu. Rencananya, pemerintah akan membantu pengadaan speaker-speaker yang di pasang di pasar darurat itu untuk memu­ dahkan para pedagang mendapatkan infor­ masi dari Radio Gapura Klewer. 


Radio Komunitas Sebagai Radio Darurat Membangun Komunikasi dan Informasi Partisipatif di Masa Tanggap Bencana Radio darurat. Kata ini memang tak pernah dikenal dalam regulasi penyiaran di Indonesia, pun belum ada definisi baku mengenai apa itu radio darurat. Padahal, negara ini memiliki potensi ancaman bencana yang cukup besar. Oleh Sinam M Sutarno

M

eski demikian, dalam praktik­ nya radio darurat sudah sering hadir dalam upaya tanggap ben­ cana di Indonesia, mulai saat erupsi Merapi, longsor Banjar­ negara, hingga erupsi Sinabung. Tentu saja, hal ini tak lepas dari kegigihan para aktivis penyiaran di Indonesia. Mereka menemu­ kan saat tanggap bencana, pola komunikasi di daerah yang mengalaminya selalu men­ jumpai banyak masalah. Definisi radio darurat justru akan mam­ pu kita dapatkan dari berbagai pengalaman praktis di lapangan. Berikut ini dijabarkan berbagai pengalaman yang dapat memban­ tu pendefinisian tersebut.

Belajar dari Tsunami Aceh sampai Gempa di Yogyakarta Lahirnya radio komunitas di Aceh tidak le­pas dari munculnya AERNET (Aceh Emer­ gency Radio Network) yang digawangi oleh Combine Resource Institution (CRI) ketika terjadi tsunami Aceh pada tahun 2004 silam. Ra­dio komunitas yang dikelola secara lang­ sung oleh warga Aceh ini ikut mengawal ma­ sa tang­gap bencana sampai dengan periode reha­bilitasi dan rekonstruksi.

Kehadiran radio komunitas sebagai radio darurat ini untuk menjawab kebutuhan ma­ syarakat akan kosongnya media informasi melalui saluran udara yang sebelumnya di­ isi oleh stasiun radio swasta. Pada masa pe­ mulihan pasca bencana, radio komunitas menjadi media penghubung komunikasi dan informasi antara masyarakat yang terkena dampak dengan pihak lain seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pemerintah daerah. Tak hanya itu, melalui radio komu­ nitas masyarakat juga dapat berkomunikasi antarmereka dalam rangka penyembuhan trauma, hiburan dan pendidikan. Pengalaman di Aceh tersebut menginspi­ rasi banyak orang sewaktu gempa bumi me­ nimpa Yogyakarta dan sebagian wilayah di Jawa Tengah pada 27 Mei 2006. Saat itu, pa­ ra aktivis penyiaran dari berbagai latar be­ lakang seperti radio komunitas dan lemba­ ga swadaya masyarakat berinisiatif mendi­ rikan radio darurat bernama Swara Puna­ kawan. Seperti halnya di Aceh, radio darurat ini juga bertujuan untuk memenuhi kebutuh­ an informasi yang relevan dengan korban bencana alam. Hadirnya Swara Punakawan diharapkan dapat membantu pengelolaan in­ formasi tanggap bencana yang partisipatif.

Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

13


tama Radio Darurat Swara Punakawan meng­ gunakan frekuensi AM karena masih banyak alokasi ruang di sana. Selain itu proses ijin siarnya juga lebih mudah. Selain relawan dari Swara Punakawan, para pegiat radio komunitas yang tergabung dalam Jaringan Radio Komunitas Yogya­kar­ ta juga terlibat. Sebut saja seperti Radio Ko­ munitas Angkringan, Balai Budaya Minomar­ tani, Lima Cemara, Kopi Lurah dan K FM Ma­ gelang. Selama 31 Juli 2006 sampai 30 Sep­ tember 2006, Radio Darurat Swara Punaka­ wan ini aktif menyediakan informasi tentang masalah yang sedang dihadapi korban hing­ ga tentang penyembuhan trauma korban. Informasi-informasi tersebut dihimpun oleh para jurnalis radio komunitas yang turun langsung ke lapangan.

Radio Tanggap Darurat Jemblung Bangkit menjadi pusat informasi dan komunikasi pasca bencana longsor di dusun Sijemblung, Banjarnegara.

14

Radio Darurat Sora Sinabung Erupsi Gunung Sinabung yang terjadi se­ jak September 2013 sampai awal Maret 2014 membuat resah warga. Bukan saja durasi­ nya yang sangat lama, namun saat pertama erupsi terjadi, Gunung Sinabung sudah ra­ tusan tahun "tertidur". Saat itu, alat komu­ nikasi seperti handy talkie (HT) dan telepon selular belum dapat digunakan secara opti­ mal. Padahal informasi yang akurat dan ak­ tual sangat dibutuhkan. Berbekal pengalaman dari pengelolaan ra­ dio darurat saat tsunami Aceh, gempa Yog­ yakarta dan Jateng, erupsi Merapi dan erup­

Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

si Kelud, dibentuklah radio darurat di Sina­ bung. Beberapa pihak yang berpartisipasi da­ lam pembentukan radio darurat ini seperti CRI, Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI), Radio Komunitas Lintas Merapi FM, dan Jaringan Radio Komunitas Sumatera Uta­ ra dengan dukungan dari FMYY Jepang. Mengudara dari Media Center di halaman kompleks Kantor Kecamatan Kabanjahe, Ka­ ro, Sumatera Utara, Radio Darurat Sora Si­ na­bung (Suara Sinabung) ini melengkapi ke­ beradaan media yang sudah ada. Melalui fre­ kuensi 107.8 FM, masyarakat dalam radius 2,5 kilometer dapat berpartisipasi mengisi program di radio darurat Sora Sinabung ini sejak pukul 07.00 sampai pukul 24.00 seti­ ap harinya. Karena keterbatasan jangkauan siarnya, radio darurat ini melengkapi diri dengan streaming. Siarannya bisa disimak di laman (website) www.suarakomunitas.net. dengan dukungan linimasa media sosial se­ perti facebook dan twitter. Pascatanggap darurat, radio ini bertrans­ formasi menjadi radio komunitas dan dike­ lola warga Desa Batu Karang, Sinabung. Ra­ dio Sora Sinabung ini masih tetap menguda­ ra hingga sekarang. Radio Tanggap Darurat Jemblung Bangkit Mengudara pada 29 Desember 2014, Ra­ dio Tanggap Darurat Jemblung Bangkit men­ jadi pusat komunikasi dan informasi pasca­ bencana longsor di dusun Sijemblung, Ban­

Foto-foto: dokumen kombinasi

U


Meski menjadi negara yang dihadapkan berbagai ancaman bencana, sampai kini Indonesia belum punya regulasi radio darurat. Regulasi itulah yang akan melindungi dan mengatur keberadaan terma­suk alokasi fre­kuensi khusus untuk radio da­rurat.

jarnegara yang terjadi dua minggu sebelum­ nya. Warga di beberapa desa di Kecamatan Karangkobar, Wanayasa dan sebagian Peja­ waran dapat mendengarkan informasi dari radio ini pada frekuensi 91.00 Mhz. Kehadiran Jemblung Bangkit FM sangat berdampak positif bagi masyarakat yang membutuhkan informasi yang cepat serta akurat. Kepanikan warga akibat isu-isu yang meresahkan seperti akan adanya longsor su­ sulan dapat dinetralisir dengan memberikan informasi yang lebih akurat baik oleh BPBD maupun pihak terkait lainnya. Tidak hanya warga masyarakat terdampak bencana yang menyambut baik radio darurat ini. Gubernur Provinsi Jawa Tengah, Ganjar Pranowo pun mengapresiasi kehadiran radio darurat. Proses pengadaan peralatan siaran radio yang dimotori JRKI dan JRK Jateng ini dila­ kukan secara gotong royong. Banyak pihak yang membantu pengadaan peralatannya se­ perti JRKI, Radio Komunitas Shakti FM Ban­ jarnegara, TST Telkom Purwokerto, CRI, Ka­ rang Taruna Banjarnegara dan Jogloabang. Untuk memperkuat penyebaran informasi dan sistem komunikasi, radio yang berlokasi di Desa Karangkobar ini juga didukung de­ ngan SMS Gateway, siaran streaming di www. sangkalajrki.net yang juga bisa diunduh di aplikasi android dan pengelolaan linimasa.

Radio Darurat, Harapan dan Kenyataan Melihat perjalanan radio darurat di Indo­ nesia tersebut, terbukti pentingnya penge­ lo­laan informasi yang baik dengan radio da­ rurat sebagai salah satu alternatif medianya. Dalam situasi bencana, informasi sering men­ jadi permasalahan tersendiri terutama oleh media massa yang pemberitaannya cende­ rung bombastis serta mengesampingkan efek psikologis pada para penyintas. Keberadaan radio darurat yang dikelola secara bersama antara warga di daerah bencana, pemerin­ tah, media massa serta relawan dapat me­ ngurangi distorsi informasi tersebut. Meski merupakan negara yang dihadap­ kan pada berbagai ancaman bencana, hing­ ga sekarang In­donesia belum mempunyai re­gulasi radio darurat. Padahal, regulasi itu­ lah yang akan melindungi dan mengatur ke­ beradaan terma­suk alokasi fre­kuensi khu­ sus untuk radio da­rurat. Karena itulah penyelenggaraan radio da­ rurat yang selama ini dilakukan sesungguh­ nya memang tidak pernah dibenarkan da­ lam regulasi penyiaran kita, meski faktanya sangat dibutuhkan di lapangan. Dalam prak­ tiknya kemudian, para aktivis penyiaran ber­ pegang pada prinsip bahwa cara-cara daru­ rat dibenarkan untuk digunakan saat meng­ hadapi situasi darurat. Frekuensi yang di­

Pemasangan antena radio komunitas.

Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

15


U

tama

Radio darurat yang didirikan saat bencana Gunung Sinabung di Sumatera Utara.

16

pakai untuk siaran pun menggunakan fre­ kuensi yang masih kosong agar tidak meng­ ganggu radio lain yang sudah memiliki ijin menggunakan frekuensi. Hingga kini, belum banyak daerah yang yang memasukkan radio sebagai bagian dari sistem informasi dan komunikasi kebenca­ naan di rencana kontinjensi (suatu keadaan atau situasi yang diperkirakan akan segera terjadi, tetapi mungkin juga tidak akan ter­ jadi-red) mereka. Campur tangan pemerin­ tah sangat dibutuhkan untuk mempermudah koordinasi lintaspihak dalam upaya tang­ gap bencana serta sekaligus meningkatkan eksistensi keberadaan radio darurat. Radio komunitas yang dijadikan radio da­ rurat ini selain dapat dioperasikan melalui frekuensi analog FM, juga bisa dioperasikan menggunakan streaming yang bisa diakses pula melalui aplikasi android. Keberadaan jejaring media sosial seperti youtube, twit­ ter dan facebook sangat mendukung kegiat­ an penyiaran darurat, termasuk untuk me­ mublikasikan kondisi riil lokasi bencana ke­ pada dunia luar.

Radio Darurat Masa Depan Pada akhirnya legalitas keberadaan radio darurat yang terbukti dibutuhkan ini kem­ bali pada seberapa kuat kehendak pemerin­

Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

tah. Perlindungan dan pengaturannya dapat melaluiproses revisi UU Penyiaran atau me­ nyusun Peraturan Bersama antara Menteri Kominfo, Mendagri dan Badan Nasional Pe­ nanggulangan Bencana (BNPB). Bentuknya bisa mengenai alokasi frekuensi khusus ra­ dio darurat, mekanisme perijinan, mekanis­ me pendirian dan strategi fasilitasinya. Un­ tuk mendukung berjalanannya sistem infor­ masi, perlu ada mekanisme yang mewajib­ kan penyedia layanan internet memberikan perhatian khusus saat terjadi bencana di wi­ layah Indonesia. Radio darurat juga penting menjadi bagi­ an dari sistem informasi serta komunikasi yang tertuang dalam rencana kontingensi bencana, baik di tingkat nasional oleh BNPB, tingkat daerah oleh BPBD dan tingkat desa oleh Tim Siaga Desa. Jika selama ini inisiatif datang dari masyarakat, sudah saatnya ne­ gara menyambutnya dengan regulasi yang melindungi dan menguatkan keberadaan ra­ dio darurat sebagai media tanggap darurat, dan radio komunitas sebagai media untuk membangun kesiapsiagaan, membangun ma­ syarakat yang tangguh dan hidup nyaman bersama ancaman.  Sinam M Sutarno, Ketua Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI)


Pasar Sehat dimulai dari Argosari Radio Line “Kami pernah diprotes para pedagang yang tidak terima karena kami menyiarkan seperti apa daging yang baik dan bersih. Mereka kira kami sengaja menyinggung bahwa daging dagangan mereka tidak sebaik dan sebersih seperti yang kami siarkan,” kenang Sularno pada suatu siang di studio Argosari Radio Line, radio kabel yang mengudara di Pasar Argosari, Gunungkidul. Oleh Apriliana Sasanti dan Sumiatun

P

ernah diprotes pedagang tak men­ jadikan Argosari Radio Line kapok untuk terus menyiarkan informa­ si yang mengedukasi dan menghi­ bur pedagang pasar terbesar di Ko­ ta Wonosari, Gunungkidul ini. Sejak meng­ udara tahun 2010, radio ini konsisten meng­ ajak para pedagang untuk menjaga ke­ber­ sih­an pasar dan juga barang dagangannya. Bukan tanpa sebab ajakan menjaga keber­ sihan itu terus digaungkan. Misi ajakan itu muncul ketika para pengelola radio ini me­ lihat kesadaran pedagang untuk menjaga ke­ bersihan pasarnya masih sangat kurang. Ba­ nyaknya sampah yang berserakan di ling­ kungan pasar di samping mengganggu pe­ man­dangan, juga menimbulkan bau tak se­ dap yang mengundang lalat dan bakteri ber­ bahaya berkembang biak. Ujung-ujungnya, kesehatan seluruh warga pasar menjadi ta­ ruhannya. Padahal sebagai pasar tradisional, pasar Argosari harus bersaing menghadapi pasar-pasar modern yang kini mulai menja­ mur di Kota Wonosari. “Gimana Argosari bisa bertahan ka­lau pe­ dagangnya saja nggak mau menjaga kios dan barang dagangannya bersih dan ra­pi? Orang sekarang kan lebih senang belanja di super­ market karena tempatnya bersih,” kata Su­ lar­no, pengelola Argosari Radio Line, (17/3).

Mengubah perilaku pedagang untuk men­ jaga kebersihan pasar memang tak mudah. Hal itu diakui Sularno dan beberapa penge­ lola lainnya. Bagi para pedagang, menjaga kebersihan pasar adalah tugas para petugas kebersihan. “Mereka sudah merasa memba­ yar iuran sampah, jadi nggak mau lagi repotrepot membersihkan sampah yang berserak­ an di kios mereka,” ujar Sularno. Mempertahankan pasar tradisional yang ramai oleh pembeli merupakan harapan pa­ ra penghuni pasar. Sementara itu, para pem­ beli pun menginginkan lingkungan pasar dan barang yang akan mereka beli sehat, bersih dan rapi. “Kami mau mengubah imej pasar tradisional yang kotor menjadi bersih dan rapi agar masyarakat mau belanja di pasar lagi,” kata Sularno yang juga pegawai Kantor Pengelolaan Pasar Gunungkidul. Pasar yang sehat, bersih dan rapi dengan sendirinya akan menarik lebih banyak ma­ syarakat untuk membeli di sana. Dari sini­ lah misi Argosari Radio Line dimulai: menya­ darkan pedagang akan pentingnya menjaga kebersihan demi terwujudnya Pasar Argo­ sari yang sehat, bersih dan rapi. Meski perja­ lanan untuk mewujudkan hal itu masih pan­ jang, kini Sularno dan kawan-kawannya mu­ lai melihat kesadaran beberapa pedagang dalam memperlakukan sampah. Setidak-ti­ Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

17


U

tama daknya para pedagang itu telah mau mem­ buang sampah yang mengotori kiosnya sen­ diri ke tempat sampah.

Kenapa Perempuan Gunungkidul? Alasan mengapa dinamai Perempuan Gu­ nungkidul, Sularno menjelaskannya karena program ini memang difokuskan untuk pe­ rempuan, sebagai mayoritas pedagang di Pa­ sar Argosari. Memang, tak kurang dari 600 pedagang di pasar ini adalah perempuan. Su­ larno menguraikan, “Para pedagang perem­ puan lebih banyak berdiam di lapak dagang­ an mereka dibanding dengan para pedagang laki-laki yang lebih banyak berpindah ke ber­ bagai tempat untuk menyediakan komoditi dagangan. Selain itu perempuan adalah ujung tombak transaksi jual beli.”

Pasar Siap Tanggap Darurat Bencana Belajar dari gempa yang melanda Yogya­ karta tahun 2006 dan kebakaran Pasar Kle­ wer Solo pada 27 Desember tahun 2014 lalu, Argosari Radio Line mengajak para penghu­ ni pasar untuk selalu waspada menanggu­ langi bencana yang dapat terjadi sewaktuwaktu. Mereka kerapkali mengundang para

Foto-foto: dokumen kombinasi

Selain memberi hiburan, Sularno dan kawan-kawannya konsisten memberi informasi edukatif seperti dalam salah satu program andalan radio ini, yakni Perempuan Gunungkidul.

Ketika Perempuan Gunungkidul Mengudara Lima tahun mengudara, Argosari Radio Line tetap konsisten dengan misi mereka un­ tuk mengedukasi para pedagang di samping memberi hiburan. Tak mau setengah-sete­ ngah, radio ini kerap mengundang narasum­ ber-narasumber yang berkompeten di bi­ dangnya untuk semakin menguatkan misi mereka itu ke pendengarnya. Para narasum­ ber ini berasal dari latar belakang yang ber­ beda-beda seperti BAPEDA, PNPM, penyu­ luh kesehatan, dan sebagainya. Mereka di­ undang ke studio mini Argosari Radio Line di lantai 2 pasar dalam program unggulan bertajuk Perempuan Gunungkidul. Menyapa pendengarnya saban hari Jumat sejak pukul 09.00 pagi, program Perempuan Gunungkidul ini memberikan berbagai infor­ masi yang bermanfaat bagi para pedagang. Selama dua jam, program ini mengajak para pedagang itu untuk bergabung dalam dialog interaktif tentang makanan sehat, lingkung­ an pasar yang sehat, pelayanan kepada kon­ su­men dan berbagai informasi lainnya. “Informasi-informasi itu makin menum­ buhkan rasa percaya diri kami di pasar ini. Sebelumnya, kami asal-asalan saja dalam

berdagang. Jualan yang penting laku tanpa memikirkan kualitas dan kesehatan barang dagangan. Pengetahuan-pengetahuan yang disampaikan oleh radio ini sangat berharga dan sangat bermafaat untuk kami,” kata be­ berapa pedagang yang setia mendengarkan program Perempuan Gunungkidul ini.

18

Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015


pegiat dari Dissaster Risk Reduction untuk berbagi kepada pendengar tentang hal-hal yang bisa menyebabkan kebakaran, penang­ gulangan bencana, dan informasi-informasi lain seputar pengurangan resiko bencana. “Kami mengajak pedagang untuk hati-ha­ ti dan selalu waspada ketika memasak ma­ kanan di pasar terutama menggunakan ka­ yu atau arang. Kedua bahan bakar tersebut berpotensi besar menjadi penyebab keba­ karan. Kini, hampir semua pedagang makan­ an memakai kompor yang lebih aman dari­ pada kayu dan arang,” jelas Sularno. Program yang digagas Argosari Radio Line bekerjasama dengan Dissaster Risk Reduct­ ion ini disiarkan secara langsung pada ma­ lam hari yang memang selalu ramai oleh pe­ dagang baik siang maupun malam hari seti­ ap hari. Program malam hari itu direkam untuk kemudian disiarkan ulang siang hari­ nya. Memasuki episode siaran ke-50, diha­ rapkan program ini semakin meningkatkan kewaspadaan para penghuni pasar untuk si­ ap dan tanggap mengatasi situasi darurat, baik kebakaran maupun gempa bumi atau bencana lainnya.

Pedagang Hingga Tukang Parkir Pun Ikut Menjadi Penyiar Seperti halnya radio pasar pada umum­ nya, Argosari Radio Line tak sebatas mem­ berikan informasi edukatif saja, namun ten­ tunya juga memberi hiburan. Tak hanya Su­ larno saja, mulai dari pedagang, penyemir sepatu, hingga tukang parkir pun ikut men­ jadi penyiar di radio ini. Cuap-cuap mereka dengan selingan lagu-lagu merdu menyapa telinga para pedagang lewat 35 buah speak­ er yang terpasang di lantai satu dan lantai dua di dalam bangunan pasar. Lagu-lagunya pun tidak melulu beraliran pop saja, namun juga lagu dangdut dan juga lagu campur sa­ ri yang menjadi favorit para pedagang. “Lagu-lagunya jadi tombo ngantuk (obat anti mengantuk), juga sebagai teman saat sepi pembeli,” aku Suparni, salah satu pedagang sayur di lantai bawah pasar Argosari. Memasuki tengah hari, lagu-lagu campur sari yang dilantunkan penyanyi (alm.) Man­ thous pun menggema, menemani dan meng­ obati kantuk “Suparni Suparni” lain di sean­ tero pasar itu, “Yen ing tawang ono lintang cah ayu....Aku ngenteni tekamu....”  Sumiatun, Perempuan Gunungkidul pemerhati perempuan, pendidik SMK Negeri 3 Magelang.

Dari studio berukuran 5 x 5 meter inilah Argosari Radio Line mengudara menemani penghuni Pasar Argosari, Gunungkidul.

Melalui speaker kecil yang terpasang di beberapa titik strategis di lantai satu dan lantai dua bagian dalam bangunan pasar inilah para penghuni pa­sar bisa mendengarkan informasi dan hiburan dari Argosari Radio Line. Butuh banyak speaker lagi untuk memenuhi sisi luar bangunan pasar. Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

19


W acana

Memahami Lintasan Diskursus Bencana Apabila ditelusuri secara seki­las, penggunaan lema “disas­ter” (bencana) dalam sekira ti­ga abad mundur (1800–2008) tam­paknya lebih ditautkan pada isu pe­nge­lolaan bencana. Oleh Lubabun Ni’am

D

ata dari Google Ngram View­ er terhadap pangkalan buku Google Books yang memuat lema “di­saster” (khusus nas­ kah bahasa Ing­gris) menunjukkan de­ ngan jitu kecen­derungan tersebut: ha­ laman perta­ma pada naskah peri­ode 1800–1841 menampilkan teks-teks yang mena­utkan diri dengan benca­ na akibat ke­giatan industri. Seka­dar catatan tam­bahan, naskah perta­ma yang muncul adalah buletin yang di­ terbitkan pada tahun 1831 oleh De­ parte­men Perda­gangan Amerika Se­ rikat mengenai in­dustri air raksa. Se­ men­tara sejak ha­laman pertama un­ tuk naskah perio­de 1994–2008, teksteks yang disu­guhkan hampir selalu me­ngenai pe­ngelolaan bencana. Dari data itu, kecenderungan yang kita dapatkan adalah, pertama, ada­ nya kehendak untuk mengendalikan bencana. Kedua, sulit untuk dimung­ kiri bahwa terdapat keterkaitan erat antara bencana dan pertumbuhan in­ dustri dalam kelompok masyarakat tertentu di Barat. Pesatnya industri adalah perubahan paling mendasar kehidupan umat manusia dalam se­ jarah, yang dalam satu abad ini dipro­ mosikan sebagai pembangunan (de­ ve­lopment). Jadi, tak keliru bila Mark D. Anderson (2011) mengatakan bah­ wa pengetahuan modern tentang ben­ cana (modern grammar of disaster) 20

Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

semakin ke sini semakin diperguna­ kan sebagai pisau untuk membaca, memahami, dan menanggulangi ke­ ja­dian-kejadian malapetaka besar. Namun, seiring dengan makin gen­ carnya internalisasi proyek pemba­ ngunan di berbagai belahan bumi, ada kontradiksi atas upaya manusia untuk mengendalikan bencana dibanding dengan kekuatan yang bersifat meng­ hancurkan yang melekat dalam pro­ yek pembangunan itu sendiri. Benca­ na susulan pun tak jarang menghan­ tam kelompok masyarakat tertentu yang disentuh oleh proyek pemba­ ngunan. Tidak heran jika Allan Lavell (1994) sampai menyerukan supaya persoalan bencana menjadi kompo­ nen intrinsik dalam skema-skema pem­ bangunan. Dengan kata lain, meski agak berlebihan, tidak dapat dimung­ kiri bahwa manusia pada zaman ini sebe­narnya manusia yang terancam mara bahaya. Manu­sia menghu­ni, da­ ­lam istilah Greg Ban­­koff (2007), du­ nia yang tak aman (the world unsafe).

Dari Tropicality ke Natural Disaster Dari mana tarikan sejarah peng­ gambaran dunia yang berbahaya mesti ditelusuri? Greg Bankoff (2001) ber­ sandarkan dari uraian David Arnold (1996) tentang obat yang diramu oleh ahli medis Eropa sebagai obat penya­ kit iklim panas (warm climate). Pene­

litian obat dimulai dan berkembang bersamaan dengan pelepasan kapalkapal bangsa Eropa ke kawasan tro­ pis pada abad ke-16 dan ke-17, yang saat ini notabene negara bekas jajah­ an dari negara-negara Eropa koloni­ al. Bagi Eropa kolonialis, kawasan kha­ tulistiwa adalah kawasan yang ber­ bahaya bagi kesehatan dan kehidup­ an nyawa bangsanya. Melalui survei peta bumi dan se­ jumlah dampak patologis dan fisio­ logis iklim panas, kata David Arnold (2004), kawasan tropis didefinisikan sebagai ruang eksotis, tempat tak di­ kenal yang berbahaya, sebagian besar tidak nyaman untuk digunakan seba­ gai lokasi hunian yang permanen bagi bangsa kulit putih. Oleh David Arnold (1996), diskursus yang membentuk sikap nilai semacam itu disebut tro­ picality, yakni langgam Eropa yang secara kultural dan politik meman­ dang sesuatu sebagai barang asing di­ bandingkan Eropa dan kawa­san lain di bumi yang beriklim sedang. Sesudah pergantian sekian abad, yak­ni setelah tumbuhnya negara-ne­ gara merdeka di Asia dan Afrika—pe­ riode yang muncul usai senjakala ko­ lonialisme-imperialisme Eropa, dis­ kursus tropicality bergeser menuju diskursus serupa berikutnya, yakni pembangunan (development). Persis­ nya, setelah Perang Dunia II, para teo­


retikus Barat sibuk memikirkan kon­ disi sosial dan ekonomi yang sema­ kin parah di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Tetapi, rivalitas Perang Dingin dan upaya membendung penyebaran komunisme telah membuat programprogram investasi dan bantuan dari Barat diberi batas jarak secara kon­ septual; antara negara donor dan ne­ gera resipien, antara negara maju dan negara belum berkembang. Di sinilah tampak bahwa esensi ke-liyan-an an­ tara tropicality dan development sama sekali tak berbeda. Kini bencana alam (natural disas­ ter) menjadi diskursus yang paling mendominasi sejak akhir abad ke-20. Negara-negara baru yang merdeka pasca-Perang Dunia II, notabene ne­ gara berkembang, yang diterjang ben­

yang menyebutkan bahwa yang pa­ ling rentan terhadap ben­cana alam adalah negara-negara berkembang. Namun, bagaimana kita melihat fe­ nomena bahwa negara mana pun ki­ ni kelihatan dapat mengambil peran untuk menyalurkan bantuan? Indonesia bisa saja menyalurkan bantuan ke Filipina, meskipun Filipi­ na merupakan situs basah bagi ban­ tuan kebencanaan berbagai negara maju. Hanya saja, hal itu tidak dapat di­lakukan dalam jangka panjang dan secara terencana oleh negara berkem­ bang. Sementara itu, negara-negara maju mempunyai instrumen organi­ sasi bantuan di internal negara me­ reka maupun badan-badan interna­ sional untuk membangun semakin ko­ kohnya diskursus bencana alam, mem­

pada 2004 dan gempa bumi Yogyakar­ ta-Jawa Tengah pada 2006. Saat ini, tren tersebut merambah kawasan-ka­ wasan yang pernah digulung malape­ taka alam besar, menyusul kawasankawasan lain yang menurut peta ka­ wasan bahaya dan penilaian risiko (risk assessment) adalah kawasan de­ ngan penduduk yang dihantui oleh kerentanan. Kerentanan terhadap Bencana Kerentanan, kata Mark D. Ander­ son (2011), ialah konsep yang menyo­ kong keseluruhan sistem mengenai risk assessment. Risk assessment me­ mang merupakan perangkat penting dalam dokumen proyek pengelolaan bencana. Risk assessment menjadi pe­ nopang sekaligus penyaring dari ke­

Bencana alam menjadi diskursus yang paling mendominasi sejak akhir abad ke-20. Negara-negara baru yang merdeka pasca-Perang Dunia II, notabene ne­gara berkembang, yang diterjang ben­cana dikarenakan kejadian alam eks­trem, dianggap sebagai kawasan berbahaya karena jumlah korban secara statistik melambung tinggi dibanding­kan akibat dari bencana yang terjadi di negara maju.

cana dikarenakan kejadian alam eks­ trem, dianggap sebagai kawasan ber­ bahaya karena jumlah korban secara statistik melambung tinggi dibanding­ kan akibat dari bencana yang terjadi di negara maju. Mary B. Anderson (1985) pernah memberi ilustrasi dari kajian United Nations of Disaster Relief Co-ordina­ tor pada 1976. Lembaga itu menun­ jukkan, pada tahun itu, 95 persen ke­ matian yang terjadi karena bencana menimpa 66 persen warga yang ting­ gal di negara berkembang. Belum ber­ henti sampai di situ, pada 1985, saat rata-rata kematian oleh karena ben­ cana dari fenomena alam di Jepang tercatat 63 orang, di Peru terdata hing­ ga 2.900 orang. Belum lagi data World Risk Index yang dilansir pada 2013,

perkenalkan pemanfaatan kecanggih­ an ilmu eksakta pada masa-masa pra­ bencana, dan menjadi pemandu da­ lam strategi penanggulangan pasca­ bencana. Bukti nyatanya dapat ditelisik dari berbagai program kebencanaan yang digalakkan oleh pemerintah maupun organisasi nonpemerintah dan ma­ syarakat sipil bersandarkan dana dan pendampingan lembaga donor nega­ ra-negara maju. Setelah tsunami 2004, misalnya, Lynn Letukas dan John Barn­ shaw (2008) mencatat, delapan do­ nor terbesar bantuan tsunami adalah negara maju: Amerika Serikat, Austra­ lia, Jerman, Uni Eropa, Jepang, Inggris, Kanada, dan Belanda. Di Indonesia, tren ini mulai men­ colok setelah kejadian tsunami Aceh

ber­langsungan seluruh sistem yang penuh limit dan menafikan relasi po­ litik atas hadirnya risk assessment di tengah komunitas. Selain itu, dalam narasi-na­rasi prog­ ram pengelolaan bencana, meminjam kalimat Jonathan Joseph (2013), ter­ pampang pula argumen yang sema­ kin banal mengenai perubahan alam di dunia dan kebutuhan akan perlin­ dungan di setiap hari—suatu perlin­ dungan dari mara bahaya. Jadi, sede­ ret upaya untuk mengidentifikasi ke­ rentanan terhadap bencana adalah su­ atu tindakan yang bukannya apolitis, melainkan proses yang pada lintasan sejarahnya sangatlah politis.  Lubabun Ni’am, Alumnus Sosiologi, Fisipol, Universitas Gadjah Mada

Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

21


P

ustaka

Ketika Remaja Perempuan Bermedia Dunia baru saja menyaksikan Malala Yousafzai terpilih sebagai salah satu penerima nobel perdamaian termuda dalam sejarah. Di usianya yang masih remaja, perempuan Pakistan itu berani menuntut hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan di tengah rezim yang tidak ramah terhadap perempuan. Nyawa menjadi taruhannya. Oleh Idha Saraswati

K

isah Malala, terlepas dari prokontra yang muncul untuk hadiah nobelnya, menunjuk­ kan bahwa perjuangan me­ nuntut pemenuhan hak perempuan tidak mengenal umur. Ini tentu saja ti­ dak terlepas dari fakta ketidaksetara­ an jender yang juga tidak memandang umur. Sejak dari dalam kandungan hing­ga menjadi dewasa, perempuan rentan menjadi obyek penderita da­ lam dunia yang didominasi oleh bu­ daya patriarki. Kira-kira dalam konteks semacam itulah buku berjudul “Girls Make Me­ dia” ini ditulis. Jika umumnya para pe­ merhati kajian jender menjadikan pe­ rempuan dewasa dengan segala per­ soalan yang dihadapinya sebagai fo­ kus utama, maka sejak awal Kearney memutuskan untuk fokus membahas remaja perempuan. Setidaknya ada dua hal yang men­ dorong Kearney memilih fokus pada remaja perempuan. Pertama, karena dalam kajian jender, para peneliti dan pembuat kebijakan dipandang terla­ lu fokus pada persoalan perempuan dewasa sehingga kurang memperha­ tikan kebutuhan dan dinamika dunia perempuan yang masih remaja. Dan kedua, para pengkaji budaya remaja (youth culture maupun subculture) ku­ 22

Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

Girls Make Media Penulis: Mary Celeste Kearney Tebal: 384 halaman Penerbit: Routledge, New York, Amerika Serikat 2006

rang memberi perhatian bu­daya yang dikembangkan rema­ja perempuan. Melalui buku yang ditulis berda­ sarkan hasil penelitian ini, Kearney berkisah tentang bagaimana para re­ maja perempuan khususnya di Ame­ rika Serikat membangun budaya tan­ dingan dalam posisi mereka yang ter­ subordinasi oleh budaya patriarki dan budaya perempuan dewasa pada awal tahun 1990-an. Mereka melakukan­ nya melalui serangkaian kegiatan pro­ duksi pengetahuan. Satu kelompok yang banyak ia ku­ pas di buku ini adalah Riot Grrrl, ge­ rakan remaja pengusung feminisme yang muncul pertama kali di Washing­ ton DC di 1991 dan dengan cepat me­ nyebar ke kota-kota lain di Amerika Serikat. Gerakan ini mula-mula mun­ cul dari sejumlah remaja perempuan yang terlibat dalam skena punk. Sadar posisi mereka yang tersubordi­nasi oleh banyak hal, mereka mulai ang­

kat bicara. Para remaja pernah meng­ alami kekerasan fisik, psikolo­gis, mau­ pun seksual ketika masih anak-anak, juga mereka yang bersim­pati pada ka­ sus-kasus seperti itu, mulai berko­ munikasi lalu meng­organisasi diri.

Media Tandingan Media menjadi kata kunci yang ­jadi penyebab meluasnya gerakan femi­ nisme remaja tersebut. Ini karena ge­ rakan Riot Grrrl aktif memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan melalui berbahai jenis media yang mereka kuasai. Mereka menyadari bah­wa dunia remaja kerapkali disa­ lahpahami oleh media-industri, oleh karena itu memproduksi media juga menjadi salah satu bentuk upaya me­ reka melawan dominasi media. De­ ngan produksi media, mereka mem­ pertanyakan bahkan menantang ke­ benaran versi kelompok dominan. Zine dan musik menjadi media an­ dalan gerakan ini. Dalam zine yang dapat dibuat sendiri maupun berke­ lom­pok, mereka antara lain menulis bahwa remaja perempuan harus bera­ ni bicara tentang dirinya sendiri agar kehadiran mereka diakui. Mere­ka ju­ ga mengajak remaja perempuan ak­ tif menjadi produsen dengan meng­ usung prinsip “do it yourself (DIY)”.


Sebagai gerakan yang mula-mula muncul dari skena punk, mereka yang aktif dalam gerakan ini memang ak­ rab dengan musik. Oleh karena itu, musik menjadi media yang tak kalah penting untuk menyatakan sikap me­ reka. Selain itu, gerakan ini juga aktif memproduksi film/video. Mereka me­ miliki jadwal pemutaran film rutin di sejumlah kota. Perkembangan teknologi informa­ si dan komunikasi disambut baik oleh gerakan ini. Mula-mula, surat elektro­ nik menjadi andalan untuk mendis­ tri­busikan zine dalam jaringan me­ reka. Mengikuti perkembangan tek­ no­logi, mereka kemudian membuat blog dan website–bukan hanya seba­ gai peng­isi konten namun juga pen­ de­sain (web designer). Keakraban de­ngan teknologi itu se­ kaligus mengha­pus stereotip bahwa perempuan ber­jarak dari teknologi. Jika dikenalkan dari awal, perempuan akan mudah ak­rab dengan perkem­ bangan teknologi. Melalui beragam jenis media itu, mereka juga mendorong para perem­ puan untuk memproduksi barang-ba­ rang yang mereka butuhkan. Ini men­ jadi jawaban mereka terhadap posisi remaja perempuan yang menjadi sa­ saran produk-produk industri kapi­ talis. Dengan semangat DIY, kegiatan produksi barang-barang itupun me­ lu­as. Ini memantik semangat berwi­ rausaha di kalangan mereka. Pada akhirnya, media dan kultur produksi DIY itu adalah pernyataan untuk memberdayakan diri menjadi merdeka. Tentang hak remaja pe­ rempuan untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri. Meski fokus membahas gerakan re­ maja perempuan di tahun 1990-an, Kearney mencoba menelusuri gerak­ an serupa di era sebelumnya. Ia mi­ salnya menemukan bahwa dalam bu­ daya barat (terutama Inggris), remaja memang diposisikan untuk sekadar mengikuti apa kata orang dewasa. Pas­ caperang dunia kedua, remaja perem­ puan bahkan semakin diposisikan un­ tuk lebih fokus ke rumah dibanding saudara laki-lakinya, guna menyiap­ kan diri menjadi istri dan ibu.

Di rumah, mereka diajari membu­ at kerajinan di bawah bimbingan ibu atau perempuan dewasa lainnya. Ba­ gi remaja perempuan dari keluarga kaya, mereka juga diajari baca-tulis. Kearney mencatat, para remaja pe­ rempuan yang melek huruf didorong untuk menulis hal-hal yang berorien­ tasi ke dalam dirinya sendiri di dalam buku harian, misalnya tentang pera­ saannya maupun hubungannya de­ ngan Tuhan. Buku harian semacam itu kerapkali harus ditunjukkan kepada ibu maupun orang dewasa lainnya un­

Kemunculan gerakan semacam Riot Grrrl tidak bisa di­lepaskan dari munculnya gerakan so­sial di berbagai negara mulai perte­ ngahan abad 20, yang juga menjadi­ kan media sebagai salah satu bagian dari pergerakan.

tuk dikoreksi. Sedangkan remaja lakilaki didorong untuk menulis hal-hal yang berorientasi ke luar. Walaupun hidupnya dibatasi ba­ nyak hal, Kearney menemukan bahwa kegiatan membuat kerajinan maupun menulis buku harian semacam itu me­ nyediakan ruang berekspresi bagi pe­ rempuan. Dan itu menjadi pondasi bagi gerakan perempuan yang mun­ cul di era selanjutnya. Kearney juga menyebut bahwa kemunculan gerak­ an semacam Riot Grrrl tidak bisa di­ lepaskan dari munculnya gerakan so­ sial di berbagai negara mulai perte­ ngahan abad 20, yang juga menjadi­ kan media sebagai salah satu bagian dari pergerakan. Dalam buku ini, Kearney tak mem­ beri batasan tentang usia remaja. Na­ mun di beberapa bagian ia menyebut bahwa gerakan remaja perempuan itu disokong oleh mereka yang duduk di bangku sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. Ia juga mengutip pe­neliti yang membagi remaja dalam kelompok umur 9 – 18 tahun. Dijelas­ kan bahwa secara psikologis, remaja berumur 9 – 12 tahun lebih membu­ tuhkan informasi tentang perubahan yang terjadi di dalam tubuhnya saat beranjak dari anak menjadi remaja. Sedangkan remaja di usia 14 – 18 ta­ hun dipandang lebih mudah diajak diskusi dan lebih cepat akrab dengan teknologi sehingga lebih bisa diajak berpartisipasi memproduksi media. Di samping itu, buku ini didasar­ kan pa­da penelitian terhadap kultur remaja perempuan kulit putih. Oleh karena itu, kompleksitas persoalan yang di­hadapi remaja kulit hitam pe­ rempu­an dengan identitas ras mere­ ka hanya disinggung sekilas saja di da­ lam buku ini. Meski begitu, buku ini menyajikan informasi yang kaya tentang bagai­ mana upaya remaja perempuan mem­ bangun budaya tandingan. Buku ini bisa menjadi inspirasi bagi para pene­ liti serta pemerhati kajian jender, me­ dia dan budaya untuk melihat du­nia remaja perempuan yang dinamis. 

Idha Saraswati Pegiat Combine Resource Institution

Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

23


F

ilm

Keringnya Sumur Kami Oleh Yoseph Kelik Pulang ke kotamu/Ada setangkup haru dalam rindu/Masih seperti dulu/Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna/Terhanyut aku akan nostalgi/Saat kita sering luangkan waktu/ Nikmati bersama/Suasana Jogja

A

h... siapa tidak kenal lagu di atas? Yogyakarta. Lagu klasik besutan Kla Pro­ject itu me­ mang sangat ken­tal dengan imej kota Yogyakarta. Setiap nadanya seolah mengantarkan ki­ta kembali ke romantisme Yogyakarta di masa lalu yang sarat persahabatan, aman dan berhati nyaman. Tapi itu dulu. Yogyakarta yang menjadi lagu pem­ buka pada film bertajuk Belakang Ho­ tel ini justru membersitkan sebuah tanda ta­nya: “Masihkah Yogyakarta se­ perti du­lu? Masihkah setiap sudutnya me­nyapa bersahabat?” Lewat serangkaian argumentasi vi­ sual, film besutan Watchdoc & War­ga Berdaya ini mengantarkan kita untuk menjawab pertanyaan di atas. Bela­ kang Hotel mengajak kita menengok sumur-sumur warga di 4 kampung di kota Yogyakarta yang harus berjuang di tengah gempuran hotel-hotel yang semakin menyesaki Kota Budaya itu.

Airnya Cuma Sesendok Adalah empat kampung yang diki­ sahkan dalam film berdurasi 40 me­ 24

Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

nit ini, yakni: Penumping, Gowongan, Miliran, dan kampung yang pernah menjadi ibukota Kerajaan Mataram Is­lam ratusan tahun silam, Kotagede. Keempat kampung tersebut meng­ alami penyusutan debit air sumur, atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan is­ tilah asat. Kisah berawal pada Agustus-Sep­ tember 2014 silam. Saat itu, asatnya sumur-sumur warga Kampung Pe­ num­ping membuat mereka harus ber­ juang keras mendapatkan air. Mesin pompa nyaris tidak sanggup lagi me­ nyedot air, begitupun dengan timba ember. Kalaupun ada, hanya sedikit air yang bisa terhisap ataupun terpom­ pa, itupun membutuhkan waktu yang lama dan kesabaran ekstra untuk me­ naikkannya sampai ke permukaan tanah. Bahkan untuk memenuhi sebuah bak plastik bervolume 20 liter saja, se­ orang wanita paruh baya warga se­ tem­pat mengaku harus menimba le­ bih dari 20 kali. Setiap kali menimba, ember timbanya sudah mentok alias sudah menyentuh dasar sumur, lalu

cuma sanggup menciduk air tak sam­ pai segayung. “Ini cuma sesendok,” ujar­nya sambil tersenyum getir. Alhasil, berhari-hari selanjutnya se­ lama sumurnya asat, untuk urusan MCK (mandi, cuci, dan kakus) pun, ia dan para tetangganya harus numpang di kamar mandi umum di Pasar Krang­ gan. Setiap kali pemakaian kamar man­ di yang jaraknya beberapa ratus me­ ter dari rumah mereka itu, mereka ha­ rus memasukkan Rp. 2.000 ke dalam kotak pungutan di sana. Kisah asatnya sumur juga dialami oleh seorang ibu rumah tangga war­ ga Kampung Gowongan. Setiap hari, ia harus ngangsu (mengangkut air) be­ berapa kali dengan menarik troli un­ tuk mengangkut jeriken besar berisi air yang didapatnya dari sebuah kan­ tor di samping rumahnya. Dengan ca­ ra itulah ia bisa memenuhi kebutuh­ an air bersih rumah tangganya. Sejumlah warga dari keempat kam­ pung tersebut menuturkan, baru ta­ hun 2014 itulah mereka mendapati sumur mereka sampai benar-benar asat. Padahal, selama puluhan bahkan


beritadaerah.co.id

Lanskap Jogja yang padat oleh bangunan hotel dan pemukiman warga.

setengah abad bermukim di sana, me­ reka tak pernah mengalami hal itu. Banyaknya sumur warga menjadi gambaran padatnya Kota Jogja dengan setengah juta penghuni di dalamnya. Setiap sumur itu dipasangi 2 sampai 3 mesin pompa. Seperti halnya sumur dengan timba, sumur yang dipasangi mesin pompa itu pun juga dimanfa­ atkan oleh lebih dari satu keluarga. Memang, saat musim kemarau debit air sumur mengalami penyusutan, na­ mun itu tak sampai berujung hilang­ nya sama sekali pasokan air bersih. Kalaupun sumur-sumur itu susah di­ pompa atau ditimba, tak sampai ber­ langsung berhari-hari seperti tahun 2014. Biasanya, setelah satu sampai dua jam tidak dipompa atau ditimba, debit air akan kembali bertambah.

Ternyata Karena “Tetangga Baru” Usut punya usut, kehadiran “tetang­ ga baru” di kampung wargalah yang ternyata jadi biang keladi asatnya su­ mur warga. Ya, tetangga baru itu tak lain dan tak bukan adalah hotel yang berdiri di seputaran kampung mereka.

Belakang Hotel Produksi: Watchdoc & Warga Berdaya Tahun Produksi: 2014 Durasi: 40 menit

Kecurigaan warga bukannya tanpa alasan. Pasalnya, kebutuhan air hotel sangatlah banyak. Untuk memenuhi kebutuhan air kamar mandi satu ka­ mar saja, sebuah hotel bisa mengha­ biskan sampai 380 liter air. Padahal, sebuah hotel tentu memiliki belasan, puluhan, bahkan ratusan kamar. Ke­ butuhan itu belum termasuk untuk kolam renang, kebersihan lingkung­ an kompleks gedung, keperluan da­ pur, hingga keperluan laundri. Ban­ dingkan dengan kebutuhan air rumah tangga warga yang rata-rata hanya menghabiskan 100 liter air saja per harinya. Untuk mencukupi kebutuh­ an airnya yang sangat banyak itu, pi­ hak hotel sanggup membuat sumur bor yang jauh lebih dalam daripada sumur-sumur warga. Dengan kekuat­ ­an finansialnya yang jauh lebih besar, pihak hotel mampu memasang mesin pompa yang sedotan airnya jauh le­ bih kuat dari mesin pompa bia­sa yang dipakai warga pada umumnya. “Tetangga baru” itu ternyata tidak hanya menghuni kampung Penum­ ping, Gowongan, Miliran, dan Kotage­

Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

25


ilm

de saja. “Tetangga-tetangga baru” la­ innya juga bermunculan di berbagai penjuru kota Jogja. Dalam kurun wak­ tu 10 tahun dari 2003 sampai 2013 saja, ada 3000 hotel baru yang berdi­ ri di Kota Budaya ini. Itu berarti, ada 10.000 hotel yang berjejalan di kota ini. Meski tahun 2013 lalu Pemerin­ tah Kota Yogyakarta telah mengeluar­ kan moratorium izin pembangunan hotel, tetap saja jumlah itu semakin bertambah tahun 2015 ini. Pasalnya, sejumlah hotel telah mengantongi izin pembangunan sebelum moratorium itu diteken. Bahkan, beberapa di an­ taranya kini tengah dalam proses pem­ bangunan. Tak ayal lagi, menjamurnya hotelhotel itu telah mengubah lanskap Ko­ ta Jogja. Bangunan hotel baru baik be­ sar maupun kecil, baik di kiri kanan jalan utama maupun gang-gang kecil di tengah perkampungan kian mudah ditemukan di penjuru kota ini. Ke­ beradaan hotel-hotel dengan bangun­ annya yang glamor dan megah terli­ hat kontras dengan bangunan-bangun­ an lama dan kecil rumah milik warga di sekitarnya. Belakang Hotel menyu­ guhkan gambaran lanskap baru Kota Bentuk protes warga Miliran terhadap Fave Hotel yang dituding menyebabkan keringnya sumber air warga.

26

Kombinasi  Edisi ke-60  Februari 2015

Jogja tadi dengan lugas. Bahkan, drone yang melayang di ketinggian ratusan meter pun dikerahkan untuk mem­ bu­at gambaran tadi semakin lugas.

Protes dengan Mandi Tanah Ketaknyamanan warga karena ke­ sulitan memperoleh air bersih sejak kehadiran hotel-hotel baru itupun ber­ ujung pada aksi protes. Warga menun­ tut pengecekan sumur bor hingga penghentian operasional hotel. Salah satu ketua RT kampung Go­ wongan mulai membuat poster protes sederhana dari karton dan cat serta spidol. Poster itu sewaktu-waktu bi­ sa digunakan sebagai alat berunjuk ra­ sa ke pihak hotel di sekitar kampung­ nya. Tak sampai di situ, pria itu juga menjalin komunikasi dengan sejum­ lah warga dari kampung-kampung la­ in yang juga mengalami permasalah yang sama dengan kampungnya. Sementara itu, pada waktu yang berdekatan, warga Miliran dan maha­

siswa penghuni asrama di Jalan Ku­ sumanegara beramai-ramai mendemo Fave Hotel. Hotel itu disinyalir men­ jadi biang keladi asatnya sumur-su­ mur di Miliran. Tidak sebatas unjuk rasa dengan menggelar berbagai pos­ ter saja, warga bahkan sampai mela­ kukan aksi teatrikal yang berupa man­ di dan menggosok gigi dengan tanah. Aksi yang dilaku­kan oleh Dodo Putra Bangsa merupa­kan simbolisasi me­ ngenai sulitnya warga Mili­ran menda­ patkan air bersih sejak berdirinya Fave Hotel. Dodo melakukan aksi­nya di de­ pan papan nama hotel. Awalnya, Pemerintah Kota Jogja tak sepaham dengan kesimpulan warga yang mengadukan hotel sebagai pe­ nyebab asatnya sumur mereka. Badan Lingkungan Hidup Pemkot Jogja ber­ pendapat, asatnya sumur warga lebih banyak disebabkan karena pengaruh kemarau panjang 2014 saat itu. Na­ mun, warga tetap bersikukuh pada ke­ yakinan mereka bahwa kemarau pan­ jang bukanlah penyebab utama asat­ nya sumur mereka, melainkan kare­ na operasional sumur hotel yang le­ bih dalam dengan pompa yang juga le­ bih bertenaga. Hingga akhirnya, perjuangan warga Miliran terbayar. Seminggu sete­lah su­ mur Fave Hotel disegel pada Septem­ ber 2014, sumur-sumur war­ga pun kembali mengeluarkan air. Nah. 

istimewa

F


Majalah Kombinasi (Komunitas Membangun Jaringan Informasi) adalah majalah yang diterbitkan Combine Resource Institution (CRI) sebagai media untuk menyebarkan gagasan, inspirasi, dan pengetahuan tentang media komunitas. Majalah ini diterbitkan sebagai salah satu upaya Combine untuk membantu pelaku media komunitas dalam mengembangkan medianya, baik dalam hal teknis pengelolaan, keredaksian, maupun isu.

Tertarik Menulis di Majalah Kombinasi? Redaksi Majalah Kombinasi menerima tulisan berupa opini, feature hasil liputan, dan resensi (buku dan film dokumenter) dengan tema-tema yang berhubungan dengan komunitas maupun media komunitas.

Ketentuan tulisan l Tulisan merupakan karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan di media lain. l Ditulis menggunakan bahasa Indonesia dengan mengikuti kaidah penulisan yang benar. l Ditulis dengan font times new roman, ukuran 12, panjang tulisan sekitar 6.000 karakter (with spaces). l Untuk tulisan feature dan resensi, harap sertakan foto dengan resolusi standard (minimal 1.000 x 800 pixel). l Mencantumkan nama terang penulis dan aktivitas penulis l Mencantumkan nomor rekening penulis. l Redaksi berhak menyeleksi tulisan yang sesuai dengan Majalah Kombinasi. l Untuk tulisan yang terpilih, redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah maksud tulisan. l Penulis yang tulisan diterbitkan akan mendapatkan honor sepantasnya.

Tulisan bisa dikirim ke redaksi Majalah Kombinasi di Jalan KH Ali Maksum RT 06 No.183, Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (kode pos 55188) atau melalui surat eletronik di redaksikombinasi@combine.or.id



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.