Edisi 64 : Berpikir Global, Bertindak Lokal Ala Komunitas

Page 1

Edisi ke-64 2015 ď Ź kombinasi.net

Berpikir Global, Bertindak Lokal ala Komunitas Grabag TV: Getaran Lembut dari Grabag untuk Seluruh Dunia Peran Strategis Media Komunitas Membangun Desa Wisata Rumah Baca Komunitas, Gebrakan Pemuda untuk Anak Jalanan


life.viva.co.id

Dari redaksi

Menolak Upaya Menyiasati Lokal untuk Kepentingan Global

I

stilah berpikir global bertindak lokal (think global act local) yang begitu terkenal itu akhirnya memang bisa diartikan dalam konteks apa saja, terma­ suk yang belakangan paling sering ada­ lah di bidang pemasaran global. Namun sejatinya istilah ini muncul dalam kon­ teks sosial. Rasanya boleh juga diterje­ mahkan bahwa istilah ini bentuk peng­ akuan pada kekuatan komunitas lokal. Namun agaknya penganut istilah ber­ pikir global bertindak lokal ini rujukan utamanya tetap konsep dan pemikiran global yang diterjemahkan sesuai kon­ disi lokal. Misalnya di negara asalnya ju­ alan utamanya hamburger, begitu di In­ donesia jadi nasi, ayam goreng dan per­ kedel. Padahal sesungguhnya konsep global, termasuk di dalamnya ada sebut­ an kapitalisme global, sudah terbukti ka­ lah "sakti" dengan kebijaksanaan lokal. Saat krisis ekonomi global melanda pada 2008, Usaha Kecil Menengah dan Mikro (UMKM) membuktikan diri mam­ pu bertahan dan bahkan ikut menopang Indonesia dari kejatuhan yang dalam. Demikian pula sebelumnya saat senja­ kala orde baru 1997-1998. Mereka ini ter­ masuk para pedagang yang mengan­ dal­kan proses transaksinya dengan cara 2

tradisional, tanpa utang pada bank tapi konsumennya boleh utang berbasis ke­ percayaan dan catatan di secarik kertas, serta menjual barang yang memang be­ nar-benar dibutuhkan oleh warga di se­ kitarnya dan bukan menciptakan ke­ butuhan. Mereka ini jumlahnya jutaan orang, dan merekalah sebenarnya tulang punggung ekonomi Indonesia. Perkembangan teknologi komunikasi dan jaman yang serba modern membuat para pengambil kebijakan dan pengu­ asa bisnis kelas gurita kerap melupakan kekuatan komunitas ini. Menjejalkan tam­bang di daerah pertanian, membi­ arkan stasiun-stasiun televisi menyebar­ kan keburukan melalui beragam prog­ ram siarannya yang mengambil jatah frekuensi publik, hingga membiarkan harga buku menjadi sangat mahal ada­ lah segelintir contohnya. Bila tak ada aral melintang, April men­ datang CRI akan menghadirkan realitas ini melalui Jagongan Media Rakyat, aca­ ra dua tahunan yang menginjak kali ke­ empat. Seperti tersaji dalam edisi ini, kita butuh kembali diingatkan oleh ko­ munitas bahwa mereka memiliki kemam­ puan luar biasa dan terkadang hanya bu­ tuh teman, bukan tuan. 

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015

Pemimpin Redaksi Imung Yuniardi Redaktur Pelaksana Apriliana Susanti Editor Apriliana, Ferdhi F Putra Desain Kreatif Aris Haryanto Foto Dokumentasi CRI, Dokumentasi Rumah Baca Komunitas, Dokumentasi Grabag TV, Andrew Dananjaya Kontributor Andrew Dananjaya, Angela Shinta Dara Puspita, Destha Titi Raharjana, Natma S, Rahma Maliana Sampul Depan Dokumentasi Rumah Baca Komunitas Sampul Belakang Isnain Tata Letak MS Lubis Sekretariat Ulfa Distribusi Sarjiman, Gandung Triono Alamat Redaksi Jalan KH Ali Maksum RT 06 No. 183 Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia 55188 Telp/Fax: 0274-411123 Email: redaksikombinasi@combine.or.id Website: http://kombinasi.net

Kombinasi adalah majalah dua bulanan yang diterbitkan oleh Combine Resource Institution atas dukungan dari Ford Foundation. Combine Resorce Institution adalah lembaga yang mendukung pengembangan jaringan informasi berbasis komunitas. Redaksi Majalah Kombinasi menerima opini, resensi, maupun tulisan berbasis peliputan seputar tema media komunitas. Panjang tulisan sekitar 6.000 karakter (with spaces), dengan men­can­tum­kan foto untuk tulisan non opini, dan dikirim ke redaksikombinasi@ combine.or.id. Redaksi berhak memilih dan menyun­ting tulisan yang masuk ke maja­lah Kombinasi. Penulis yang karya­nya dimuat akan mendapat honor sepantasnya.


I n f o Sek i l a s

DELI SERDANG

Jurnalis Warga Menuju Jurnalis yang Profesional suarakomunitas.net

J

urnalis memiliki peran yang sangat penting dalam menyajikan sebuah berita. Oleh karena itu, sangat di­ butuhkan keberadaan jurnalis yang me­ mahami dan mengamalkan kode etik sebagai jurnalis profesional. Berdasarkan hasil survei yang dila­ kukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tentang profesionalisme jurnalis da­lam menulis berita, ditemukan fakta 85 persen jurnalis di Indonesia tidak per­ nah membaca dan memahami kode etik jurnalistik. Itu artinya, 25 ribu dari 30 ri­ buan jurnalis yang ada tidak tahu bagai­ mana proses memperoleh dan menulis berita dan bersikap sebagai jurnalis pro­ fesional. Hal itu disampaikan oleh Agoez Perdana, Ketua AJI Medan dalam acara “Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut, So­ sialisasi Perlindungan Hukum Pewarta Warga dan Diskusi Pengelolaan Suara Ko­ munitas” yang digelar CRI di Training Cen­ter Sayum Sabah, Kecamatan Sibo­ langit, Kabupaten Deli Serdang, Suma­ tera Utara, Sabtu (29/8). Agoez mengatakan, pelatihan terse­ but diharapkan dapat memberi pema­ haman kepada pewarta warga tentang kaidah kode etik jurnalistik. “Saya berha­ rap pewarta warga bisa menjadi bagian dari AJI, ke depan dapat membalikkan fakta survei ini bahwa jurnalis warga mam­pu bekerja profesional dan mema­ hami kode etik jurnalistik,” kata Agoez. Sementara itu, Ferdhi Fachrudin Put­ ra selaku Staf Analisis dan Advokasi CRI mengatakan pelatihan tersebut untuk menjawab tantangan profesionalitas jur­ nalis dan adanya kedaulatan informasi. “Pelatihan jurnalistik tingkat lanjut ini di­ selenggarakan selama tiga hari oleh Com­ bine Resource Institution (CRI) bertujuan menjawab tantangan menjadi jurnalis yang profesional dan mendorong kedau­

Acara pelatihan jurnalistik tingkat lanjut sekaligus sosialisasi perlindungan hukum pewarta warga.

latan informasi,” kata Ferdhi yang juga mengelola suarakomunitas.net. Acara ini bertujuan menjawab tan­ tangan profesionalisme pewarta warga untuk mendorong terciptanya kedau­ latan informasi masyarakat akar rumput berbasis komunitas. Selama ini suara akar rumput tak disuarakan oleh media-media besar. Karena itu, melalui Suara Komu­ nitas, masyarakat tak hanya men­jadi ob­ yek berita, tapi juga subjek berita. CRI berkomitmen untuk berperan ak­ tif memfasilitasi para pewarta warga da­ lam hal peningkatan kapasitas sebagai jurnalis. Acara pelatihan ini sudah dila­ kukan di tiga wilayah di Indonesia di an­ taranya Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, Sumatera dan ke depan juga akan dila­

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015

kukan di Jawa. CRI berharap pewarta warga Suara Komunitas yang telah meng­ ikuti pelatihan ini mengalami pening­ katan kapasitas jurnalistik. “Untuk menambah pemahaman para pewarta warga mengenai persoalan hu­ kum, kita melibatkan AJI. Karena AJI ada­ lah organisasi jurnalis yang selama ini sangat fokus dengan isu advokasi hu­ kum bagi para jurnalis,” ungkap Ferdhi. Seorang peserta pelatihan, Syahyanik (45) yang berasal dari Hamparan Perak Deli Serdang mengatakan, sangat senang mendapatkan pelatihan, karena selama ini belum tahu ilmu jurnalistik. “Saya sa­ ngat senang suara rakyat kelas bawah bisa terekspos ke media. Setelah pelatih­ an ini, saya harus banyak turun ke te­ ngah warga untuk melihat apa-apa yang bisa saya jadikan sebuah berita. Dalam seminggu ini saya mau naikkan dua be­ rita,” tutup Syahyanik dengan semangat­ nya.  www.suarakomunitas.net 3


biem.co

i n f o Sek i l a s

Pencemaran Sungai Ciujung, Kabupaten Serang, Banten.

BANJARNEGARA

Diragukan, Komitmen Kementerian Lingkungan dalam Menangani Pencemaran Sungai

P

erwakilan masyarakat terdampak pencemaran Sungai Ciujung di Kabupaten Serang, Banten, me­ nyampaikan aspirasinya dalam Kongres Sungai Indonesia 2015 yang diseleng­ garakan di Banjarnegara, Jawa Tengah, 26-30 Agustus 2015. Menyambut musim kemarau, masyarakat kembali khawatir akibat menghitamnya Sungai Ciujung. “Kejadian ini berulang selama lebih dari dua dekade. Namun hingga kini, be­ lum ada langkah tegas yang diambil oleh baik oleh KLHK (Kementerian Lingkung­ an Hidup dan Kehutanan-red), Bupati me­lalui Badan Lingkungan Hidup Dae­ rah Kabupaten Serang, maupun (Dinas) Pekerjaan Umum,” ungkap Amrin Fasa, salah satu perwakilan masyarakat seki­ tar sungai yang terga­bung dalam kelom­ pok advokasi Riung Hijau, (26/8). 4

Sejak 2011, masyarakat telah meng­ advokasi penegakan hukum terhadap PT. Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) Se­ rang, yang merupakan perusahaan pen­ cemar limbah terbesar ke Sungai Ciujung. “IKPP ini izin pembuangan limbahnya su­ dah pernah dicabut pada 2011. Lalu ta­ hun 2012 KLHK mengenakan sanksi au­ dit lingkungan wajib terhadap IKPP. Se­ telah rekomendasi audit keluar, Ciujung masih hitam sehingga kami melapor ke KLHK hingga tiga kali,” tambah Amrin. Untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat dengan cepat dan efektif, di­ bentuklah Tim Penanganan Pengaduan Kasus-kasus Lingkungan Hidup dan Ke­ hu­tanan (TP2KLHK) pada bulan Januari 2015. Tim tersebut pun segera bergerak atas adu­an dari masyarakat dengan mem­ berikan sanksi administratif Paksaan Pe­

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015

merintah dalam Surat Keputusan Nomor 9 Tahun 2015 kepada PT. IKPPP. Dalam pertemuan de­ngan BLHD pada tanggal 14 Agustus 2015, PT IKPP menyatakan bahwa kewajiban-ke­wajiban yang dibe­ bankan sanksi terse­but telah dilaksana­ kan sepenuhnya. Meski begitu, hingga kini masyarakat belum mengetahui isi sanksi paksaan pe­ merintah tersebut karena KLHK enggan membuka detail SK Paksaan Pemerintah tersebut kepada pelapor. “Jika pelapor tidak tahu kewajiban apa yang KLHK be­ rikan kepada pencemar, bagaimana ma­ syarakat dapat yakin bahwa KLHK dan pen­cemar telah melakukan upaya ter­ baik menanggulangi pencemaran agar tidak terjadi lagi?” ungkap Anton dalam rilisnya. Ia pun menambahkan, “Percuma sanksi terus dijatuhkan kalau tidak ada


P E K A LO N G A N

Atasi Pencemaran Udara, Gemalawa Tanam Lidah Mertua Puluhan mahasiswa pecinta alam Greget Mahasiswa Pecinta Alam Wali­ songo (Gemalawa) STAIN Pekalongan melakukan penanaman Lidah Mer­ tua (Sansevieria) di pinggiran Jalan Kusuma Bangsa, Pekalong­an, Sabtu (19/9). Aksi tersebut dilakukan bersama puluhan siswa Madrasah Ibtida­ iyah Sudirman Desa Kandang Panjang, Pekalongan Utara. Ketua Gemalawa, Abdul Rozak men­jelaskan bahwa tanaman Lidah Mertua sangat banyak manfaatnya. Sela­in sebagai tanaman hias, Lidah Mertua juga mampu mengurangi polusi udara. “Selama ini sebagian ma­ syarakat tidak mengetahui manfaat Lidah Mertua, sehingga mereka ha­ nya memanfaatkannya sebagai tanaman hias belaka. Sansevieria ini cepat sekali tumbuh. Tunas­nya pun banyak. Ditambah cukup mudah juga un­ tuk memperolehnya sehingga tak ada alasan bagi kita untuk tidak eng­ gan melestarikannya,” jelas Rozak, (19/9). Muhammad Fahad selaku ketua panitia dalam aksi tersebut menam­ bahkan upaya pelestarian alam juga perlu ditularkan pada anak usia dini. Untuk itu, dalam aksinya tersebut UKM Gemalawa juga melibatkan siswa Madrasah Ibtidaiyah Sudirman Kandang Panjang. “Kami mencoba menu­ larkan rasa sadar alam terhadap anak juga. Maka dari itu kami ajak anakanak MI untuk ikut terlibat dalam aksi ini setelah sebelumnya kami beri­ kan penyuluhan kepada mereka” katanya. Budiman, selaku kepala MI Sudirman Kandang Panjang mengatakan, anak-anak sudah sepatutnya diajarkan tentang tanam-menanam sedini mungkin. Musim kemarau yang melanda sangat berpengaruh terhadap berkurangnya tanaman, seperti kebakaran hutan. “Diharapkan anak-anak juga melakukan penanaman secara mandiri di rumah masing-masing. Pastinya juga diajarkan juga perawatannya. Pada musim kemarau, tanaman harus dirawat secara maksimal agar tidak mudah layu dan mati. Tidak hanya tanam-tanam saja tanpa adanya pera­ watan” ungkap Budiman.  www.suarakomunitas.net suarakomunitas.net

perubahan apa-apa di lapangan. Kita ja­ di ragu dengan komitmen KLHK untuk betul-betul memastikan sanksi bisa efek­ tif dan bukan cuma formalitas.” Peneliti Indonesia Center for Environ­ mental Law (ICEL), Margaretha Quina, menyatakan sikap KLHK ini bertentang­ an dengan peraturan yang dibuat oleh KLHK sendiri. Peraturan Menteri Ling­ kungan Hidup nomor 6 Tahun 2011 ten­ tang Keterbukaan Informasi Publik men­ jamin bahwa keputusan merupakan do­ kumen publik, termasuk SK Paksaan Pe­ merintah secara hukum harus bisa diak­ ses publik setiap saai. “Informasi ini juga sudah menjadi hak pelapor dan masya­ rakat selaku pengadu berdasarkan Per­ men LH No. 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengaduan dan Pananganan Peng­ aduan Akibat Dugaan Pencemaran dan/ atau Perusakan Lingkungan Hidup,” te­ rang Margaretha. Margaretha berpendapat, akses pub­ lik merupakan salah satu syarat peng­ aduan berjalan efektif, sehingga publik bisa mendukung pemerintah dalam pe­ nerapan sanksi. Hal ini masuk akal meng­ ingat pemerintah sendiri memiliki keter­ batasan dalam melakukan pengawasan. Ode Rahman dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengatakan, selain penegakan hukum, pemulihan Su­ ngai Ciujung dalam jangka panjang mem­ ­butuhkan perhatian serius dari peme­ rintah. “Sungai Ciujung memiliki dua ma­ salah besar. Pertama, penegakan hukum terhadap pencemar harus benar-benar menimbulkan efek jera sehingga tidak berulang di masa depan. Kedua, semua instansi terkait perlu mendiskusikan pe­ mulihan sungai Ciujung dalam jangka panjang,” jelasnya. Dengan Kongres Sungai Indonesia ini, masyarakat di bantaran Sungai Ciujung mengharapkan pemerintah lebih serius dalam memprioritaskan penyelesaian pencemaran sungai, baik dalam konteks efektivitas penegakan hukum maupun pemulihan jangka panjang.  www.suarakomunitas.net

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015

5


i n f o Sek i l a s

L I M A P U LU H KOTA

Prospek Pasar Kombuik, Kerajinan Anyaman Jorong Taratak Meningkat Mulai dari penanaman sampai panen pertama membutuhkan waktu sekitar delapan bulan. Setelah itu, pemanenan dapat rutin dilakukan setiap tiga bulan sekali hingga 12-15 kali. Pemanenan bisa mencapai 20 kali jika dilakukan perawat­ an dan pemeliharaan yang intensif. Tan­ da-tanda jika mensiang harus ditanam ulang ialah pertumbuhan yang su­dah ti­ dak maksimal dan helaiannya sudah ha­ lus. Mensiang yang telah dipanen dila­ kukan pengolahan seperti pengeringan dan pewarnaan. Setelah itu dilanjutkan dengan penganyaman. Hasil anyaman bisa berupa kombuik ko­tak, kombuik tas, dompet, dan lain-lain. Pada kombuik juga bisa dicantumkan na­ma yang dianyam sesuai permintaan konsumen. Pada saat-saat tertentu, permintaan kombuik semakin meningkat, terutama dari luar daerah dan luar negeri seperti Malaysia. Kebanyakan pemesan menda­ pat informasi kombuik dari perantau Mi­ nang yang tersebar di berbagai daerah dan juga media sosial. Para perantau itu

Rupa-rupa kombuik, anyaman khas Limapuluh Kota.

6

memperkenalkan kombuik sebagai oleholeh dari kampung halaman. “Belakangan ini permintaan dari luar daerah tinggi, tapi pada waktu tertentu saja,” jelas Sri Rahayu salah seorang peng­ rajin kombuik. Peminat kombuik sebenarnya cukup banyak. Hanya saja, seringkali bahan ti­ dak tersedia karena pemesanan yang sa­ ngat mendadak. Hal tersebut diungkap­ kan oleh salah satu perajin yang tidak ingin disebut namanya, “Sebenarnya pe­ minat kombuik banyak cuma informasi yang didapat secara tiba tiba, sehingga bahan tidak tersedia.” Benny, perantau asal Taratak, Nagari Kubang yang kini berdomisili di Jakarta berpendapat, hal itu disebabkan belum terorganisirnya kepengurusan pengrajin kombuik. Benny mengatakan perlunya dibentuk kepengurusan yang bertuju­ an melancarkan usaha kerajinan daerah ini dengan cara adanya kerjasama an­ tara perantau dengan pengrajin di dae­ rah.  www.suarakomunitas.net suarakomunitas.net

S

etiap produk kerajinan memiliki co­ rak dan keragaman yang berbeda dengan keunikan tersendiri, de­ mikian juga dengan kombuik. Kombuik ialah salah satu dari sekian banyak pro­ duk kerajinan tradisional Sumatera Barat. Kombuik ini meru­pakan hasil kerajinan anyaman masya­rakat di Jorong Taratak, Nagari Kubang, Kecamatan Guguak, Ka­ bupaten Limapu­luh Kota. Hampir semua masyarakat perempu­ an bisa menganyam helaian mensiang menjadi kombuik dengan berbagai ma­ cam ragam bentuk. Proses pembuatan­ nya dibilangnya sederhana. Hanya lebih membutuhkan ketelitian dan kesabaran, karena hasil kerajinan kombuik ini mur­ ni hasil dari tangan penganyam tanpa bantuan mesin. Mensiang (scirpus grossus) ialah ba­ han baku kombuik yang dibudidayakan oleh masyarakat. Pembudidayaan tanam­ an yang berkembang biak dengan tu­ nas ini cukup sederhana, yakni hanya di­perlukan lahan khusus yang berair.

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015


P idie

Bencana tsunami di Aceh dan Nias pada 2004 telah me­ renggut ratusan ribu nyawa manusia sekaligus merusak ribuan rumah warga, termasuk fasilitas pendidikan. Peduli dengan keberlanjutan pendidikan anak-anak, Asmawati Yusuf (50), seorang warga Desa Sukon, Kecamatan Kem­ bang Tanjong, Kabupaten Pidie, Aceh, terpanggil untuk mendirikan sebuah tempat belajar mengaji untuk anakanak. Ia memanfaatkan bangunan bambu beratap rumbia sebagai tempat belajar secara swadaya. Setelah 11 tahun bencana tersebut berlalu, Asmawati masih bertahan memanfaatkan bangunan tersebut untuk memberikan pengetahuan kepada 20 anak didiknya. “Saya mulai mengajar mengaji ini setelah tsunami, banyak anakanak tidak lagi belajar saat itu karena tempat-tempat pe­ ngajian rusak akibat gempa, jadi saya berinisiatif memba­ gun tempat ini,” ujarnya saat ditemui, Senin (14/9). Ia mengatakan, pada masa Pemilu 2014 ada seorang calon anggota dewan yang akan membantunya memba­ ngun sarana yang lebih layak, namun tak kunjung terea­ lisasi. “Masa-masa pencalonan anggota DPR ada seorang calon dari salah satu partai datang melihat tempat penga­ jian ini. Katanya kalau dia mendapat dukungan dari ma­

suarakomunitas.net

Peduli Pendidikan, Seorang Warga Aceh Bangun Fasilitas Pendidikan Swadaya

Di dalam gubug kecil inilah Asmawati membagikan pengetahuannya kepada 20 anak didiknya.

syarakat sekitar sini dan naik sebagai anggota dewan, tem­ pat ini akan dibagun yang lebih layak. Namun sudah ham­ pir dua tahun bapak itu jadi anggota DPR, tidak kunjung ditepati,” kisah Asmawati yang juga ibu rumah tangga de­ ngan satu anak laki-laki.  www.suarakomunitas.net

P E K A LO N G A N

Perlunya Menggali dan Mengembangkan Kearifan Lokal Nilai-nilai kearifan lokal dari ritual adat dan budaya perlu terus digali yang ke­ mudian diterapkan dalam kehidupan se­ hari-hari. Harapan tersebut disampaikan Dedi Romo dari Santiri Mataram dalam Focus Disccussion Group (FGD) di aula kan­tor camat Bayan Kabupaten Lombok Utara, (7/9). Hadir dalam acara tersebut beberapa tokoh dan pemuda adat dari Desa Bayan, Karang Bajo, Senaru dan De­ sa Sukadana. Nilai-nilai ritual adat dan budaya se­ benarnya tidak hilang. Hal itu terlihat dari masih adanya masyarakat yang peduli terhadap nilai-nilai kearifan lokal yang

Kalau orang Sasak tidak peduli terhadap budaya sendiri tentu lambat laun akan hilang. harus digali kembali dari para tokoh ma­ syarakat adat. Melestarikan budaya da­ pat dijadikan sebagai sumber kehidup­ an. Salah satu contohnya, bahwa orang tua dulu rajin menanam bambu petung yang memiliki nilai ekonomi. “Kerajinan menanam ini perlu dikem­ bangkan karena ini adalah budaya kita

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015

sendiri yang harus tetap dilestarikan, le­ bih-lebih di Bayan terkenal dengan Pe­ tung Bayan. Kalau orang Sasak tidak pe­ duli terhadap budaya sendiri tentu lam­ bat laun akan hilang. Ketika berbicara desa sebagai lokus dari pengembangan adat, maka harus memahami dan meng­ gali nilai-nilai kearifan lokal yang ada,” jelas Dedi Romo, (7/9). Sementara camat Bayan yang diwa­ kili Kariadi me­ngatakan, budidaya bam­ bu petung perlu terus dila­kukan karena bisa dijadikan bambu la­minasi sebagai bahan bangunan serta bernilai ekono­ mis.  www.suarakomunitas.net 7


U ta m a

Pengambilan gambar oleh kru Grabag TV foto: dokumentasi Grabag TV

8

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015


Grabag TV

Getaran Lembut dari Grabag untuk Seluruh Dunia Oleh Natma S

Berada di wilayah "blank spot" alias tak terjangkau siaran televisi, tidak lantas membuat warga Grabag menjadi kurang pergaulan ataupun gagap teknologi (gaptek). Sebaliknya, keterbatasan itu menjadi kekuatan besar yang kemudian menjadikan warganya kreatif membuat siaran televisi sendiri.

G

rabag adalah sebuah kota keca­ matan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Alamnya subur, de­ ngan ketinggian 680 meter di atas permukaan laut. Iklimnya yang se­ juk menjadikan wilayah ini cocok untuk perta­ nian dan tempat tinggal. Kondisi geografis ini tidak selalu mengun­ tungkan. Grabag yang dikelilingi perbukitan, menjadikan wilayah ini "blank spot". Tidak ada siaran televisi swasta yang bisa dinikmati secara bebas oleh warga. Warga Grabag hanya bisa me­ nikmati siaran TVRI, kecuali warga yang mampu membeli perangkat parabola. Dengan parabola, mereka bisa menikmati si­ aran televisi swasta Indonesia, bahkan beberapa stasiun televisi internasional. Tetapi, bagi seba­ gian besar warga Grabag, parabola adalah se­ buah kemewahan yang tak mampu dijangkau. Sebagian warga bisa menikmati siaran RCTI dan Trans TV melalui sarana relai yang ada di ke­ camatan. Namun, daya jangkaunya sangat ter­

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015

batas, sehingga tidak menjangkau semua area kecamatan. Kualitas gambar pun tidak jernih. Berawal dari keterbatasan tersebut, Hartan­ to, seorang dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ), menginisiasi berdirinya sebuah stasiun televisi komunitas. Tahun 2004, pria yang beristrikan seorang perempuan warga Grabag itu mendi­ rikan Grabag TV. Bukan sebuah upaya yang mu­dah mendiri­ kan sebuah stasiun televisi. Hanya bermodal se­ mangat, Hartanto berhasil meng­ajak 10 orang warga di sekitar tempat tinggal­nya. Mereka ber­ asal dari berbagai latar belakang, mulai petani, guru, pegawai kantoran hingga supir truk. Peralatan dan instalasi diperoleh iuran. Se­ buah ruangan di rumah Hartanto disulap men­ jadi studio. Untuk pemancar, mereka menum­ pang di antenna relai milik kecamatan. Dengan segala keterbatasan yang ada, di sinilah mereka kemudian berkreasi untuk memenuhi kebutuh­ an informasi bukan dari luar Grabag, melainkan justru dari dunia mereka sendiri. 9


U ta m a

Sudah biasa kami menjadi kameramen, petani, pendidik, sekaligus reporter. Semua dikerjakan oleh satu orang.

Sebagai televisi komunitas, Grabag TV mem­ fokuskan diri pada tiga bidang kehidupan ko­ munitasnya, yakni pertanian, pendidikan dan kesenian. "Ada acara apa di bidang tersebut, kami mendokumentasikan kemudian menyiar­ kannya," ungkap Hartanto. Jangan membayangkan mereka mengada­ kan sebuah forum dengan pemateri dan audi­ ens untuk sebuah tayangan program. Keterba­ tasan membuat mereka memanfaatkan kegiat­ an sehari-hari sebagai materi tayangan. Mungkin tak terbayangkan bagaimana pro­ duksi sebuah acara televisi dilakukan sendiri oleh satu orang. Tapi inilah yang terjadi di Gra­ bag TV. Sembari bekerja, para pelopor ini seka­ ligus menjadi pekerja media audio visual. Me­ reka merekam sendiri kegiatan mereka, meman­ du acara, memaparkan materi hingga mengolah hasil rekaman dan menyiarkannya. Hasilnya, tentu saja bukan sebuah tayangan acara yang penuh hingar-bingar musik dan pen­ cahayaan. Yang ada adalah tayangan kegiatan sehari-hari warga Grabag, terutama para pelo­ pornya, seperti tayangan pertanian di sawah yang berisi informasi-informasi praktis cara ber­ tanam. Ada pula tutorial tentang cara belajar yang diajarkan oleh pelopor yang seorang guru. Paling sering, adalah tayangan pentas seni. Wilayah Grabag terdiri belasan dusun, masingmasing memiliki kelompok seni, bahkan tidak hanya satu jenis, seperti jathilan, soreng dan kun­ tulan. Setiap ada pentas seni, Grabag TV menyi­ arkannya, sehingga warga yang tidak menon­ ton di lokasi, bisa menikmatinya dari rumah. Pemberdayaan Warga untuk Bersama Suatu hari, Anwar Sadat, seorang petani di Desa Grabag Kecamatan Grabag Kabupaten Ma­ gelang, berjalan bergegas menuju sawahnya. Ia membawa handycam dan tripod. Sampai di la­ hannya, segera perangkat perekam itu dipasang di pematang. Mode "merekam" ia aktifkan. Setelah "ON", Anwar Sadat kemudian berpindah ke depan ka­ mera. De­ngan bergaya bak presenter acara te­ levisi, ia mulai berceloteh ke kamera. Ia mene­ rangkan tentang tata cara bercocok tanam ca­ bai yang benar. Tak cuma bercerita, ia pun mem­ praktekkan dan me­nunjukkan langsung tata ca­ ranya, sambil tetap menghadap ke kamera.

10

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015

Setelah penjelasan dianggapnya cukup, ia menutup acara tersebut, berpamitan, kemudi­ an segera lari ke belakang kamera dan mema­ tikan tombol. Selesai sudah proses pengambil­ an gambar. Selanjutnya alat perekam itu diba­ wanya ke Studio Grabag TV untuk diedit men­ jadi sebuah tayangan. Kegiatan serupa menjadi hal yang biasa di­ lakukan oleh Anwar Sadat. "Sudah biasa kami menjadi kameramen, petani, pendidik, sekali­ gus reporter. Semua dikerjakan oleh satu orang," katanya, ketika bercerita tentang pengalaman­ nya bergabung dengan Grabag TV. Rekaman tersebut kemudian ditayangkan di Grabag TV. Hanya mengudara dua hingga lima jam sehari membuat Grabag TV selalu dinanti warga. Anwar sendiri awalnya merasa kaget de­ ngan gambarnya yang muncul di televisi. "Na­ mun, lama-lama semakin banyak yang tertarik dan ikut bergabung," katanya. Meski harus bekerja dengan penuh keterba­ tasan, ia mengaku tetap tertarik terus menghi­ dupkan Grabag TV. Alasannya, dunia pe­nyiaran menjadi sarana belajar untuk bidang yang tak pernah terlintas akan dikenal oleh pe­tani ini. Pelopor lainnya, Gentur Saptono, mengaku lebih bersemangat dalam bekerja menjadi peng­ giat pertanian. Sejak ikut bergabung di Grabag TV, pikirannya makin kreatif mencari cara-cara baru yang efisien di bidang pertanian. Hasil te­ muannya yang meski belum dibuktikan se­cara ilmiah, bisa langsung ia ajarkan pada masyara­ kat dengan cara disiarkan melalui Grabag TV. Manfaat lain ia rasakan ketika mensosialisa­ sikan program baru dari pemerintah di bidang pertanian. Dengan sekali sosialisasi yang dilak­ sanakan di satu forum sambil direkam oleh Gra­ bag TV, hasilnya bisa diketahui oleh lebih ba­ nyak warga yang menonton melalui siaran te­ levisi. "Dampak lain, saya jadi terkenal. Banyak orang yang menyapa saya, padahal saya tidak kenal mereka. Katanya melihat saya di televisi, ha ha ha..!" kelakarnya. Perjuangan membuat rekaman dan siaran yang dilakukan oleh para pelopor ini, tak jarang mendapatkan hasil yang sepadan. Ini seperti diakui oleh Muslih. Salah satu pelopor Grabag TV yang juga seorang guru di Madrasah Tsana­ wiyah Grabag ini mem­buat video profil seko­ lahnya, yang kemudian disiarkan di Grabag TV.


Dokumentasi Grabag TV

Hasilnya, sekolah yang biasanya setiap tahun ajaran baru menolak rata-rata 160 siswa, sete­ lah profil tayang di Grabag TV, mereka terpaksa menolak 220 siswa karena pendaftar lebih ba­ nyak. "Jadi, Grabag TV membuat daya tarik un­ tuk sekolah kami," katanya. Tidak hanya semangat mendapatkan man­ faat, Wiwik Pambudiharto lebih menikmati ber­ gabung bersama Grabag TV sebagai upaya mem­ berikan apa yang ia miliki dan ia lakukan. "Yang penting bisa menyalurkan apa yang saya keta­ hui," kata wirausahawan di berbagai kegiatan usaha tersebut. Tanpa terasa, perjuangan para pelopor itu telah mencapai 11 tahun. Awal November 2015 lalu, Grabag TV merayakan ulang tahun ke 11. Sebuah pesta kecil digelar, dengan puncak aca­ ra adalah pemberian piagam penghargaan pa­ da 10 pelopor Grabag TV. Subagjo, akademisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang hadir pada acara tersebut mengung­ kapkan Grabag TV bukan hanya media penyi­

aran tetapi juga media pendidikan. "Sekarang ini, tidak banyak media yang bertahan. Perkem­ bangan yang sudah berhasil dicapai oleh Gra­ bag TV menjadi bukti semangat mereka. Kami akan selalu mendukung, agar ke depan Grabag TV menjadi lebih besar dan lebih mendunia," katanya.

Keterbatasan membuat para kru Grabag TV memanfaatkan kegiatan sehari-hari sebagai materi tayangan.

Grabag TV dan Perkembangan Teknologi Menjadi sebuah media penyiaran, Grabag TV mengalami pula permasalahan yang dihadapi televisi komunitas lain, yakni regulasi penyiaran. Memancarkan siaran melalui antena relai milik kecamatan, awalnya meraka menggunakan very high frequency (VHF) dengan jangkauan wilayah di radius 2,5 kilometer. Perubahan aturan pada 2009 mengharuskan stasiun televisi termasuk media komunitas ber­ pindah ke Ultra High Frequency (UHF). Perpin­ dahan ini butuh biaya yang tidak mam­pu dijang­ kau Grabag TV, karena mereka harus memancar dengan jangkauan minimal 65 kilo­meter.

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015

11


U ta m a menjadi televisi internet. Pada 2014, bersamaan dengan ulang tahun kesepuluh, mereka men­ deklarasikan diri sebagai televisi internet. Televisi internet menjadikan Grabag TV lebih mudah melangkah. Mereka bisa diakses mela­ lui grabagtv.com maupun situs youtube.com. Waktu siaran pun tidak lagi harus di jam-jam ter­ tentu karena internet akan menyimpan materi siaran mereka. Materi ini dengan mudah diton­ ton oleh pengakses internet kapanpun. Prog­ ram tayangan juga tersimpan terus di dunia maya sehingga pengakses internet bisa memi­ lih materi yang ingin ditonton. Perubahan mode siaran ini juga merubah semboyan Grabag TV. Jika semula mereka ber­ semboyan "Dari Masyarakat, Oleh Masyarakat, Untuk Masyarakat" kini berubah menjadi "Dari Masyarakat, Oleh Masyarakat, Untuk Bangsa". "Dengan disiarkan di internet, Grabag TV da­ pat diakses oleh siapapun di seluruh penjuru du­ nia. Ini membuat jangkauan kami menjadi se­ makin lu­as dan kami dapat bermanfaat untuk du­nia," demikian ungkap Hartanto. Televisi Komunitas dan Literasi Media Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memberikan dampak yang Dokumentasi Grabag TV

Hartanto beserta para pelopor Grabag TV, Kabupaten Magelang.

Kesulitan ini membuat Grabag TV terpaksa menghentikan siaran. Belum lagi, mereka diha­ dapkan pada aturan izin siar untuk media komu­ nitas. Perkembangan aturan yang akan meng­ ubah televisi menjadi televisi digital membuat mereka semakin pesimis untuk mendapatkan izin penyiaran. Hingga tahun 2010, mereka masih mengam­ bang dengan mengharapkan frekuensi siaran yang legal namun kesulitan mengikuti regulasi. Pada saat itu, Grabag TV terpaksa vakum dari kegiatan siaran. Namun, mereka tetap bertahan dengan melayani siswa SMK yang melakukan praktek kerja industri (prakerin). Pengelola juga mengisi waktu dengan mengadakan workshop dan pelatihan tentang media. Sejumlah SMK dari sejumlah wilayah di In­ do­nesia, telah bekerja sama dengan mengirim siswa untuk belajar tentang media dan penyi­ aran di Grabag TV. Berdasarkan catatan, sejak ta­hun 2007, sudah 872 siswa yang mengikuti prakerin di Grabag TV. Hingga akhirnya, perkembangan teknologi menjawab permasalahan regulasi ini. Teknologi internet yang semakin mudah diakses dengan perangkat komputer hingga telepon seluler di­ manfaatkan oleh Grabag TV dengan beralih

12

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015


Dokumentasi Natma S

luar biasa bagi kehidupan manusia. Teknologi telah menjadi dasar pertumbuhan media komu­ nikasi massa dan media komunikasi interperso­ nal audio visual. Berada di ranah ini adalah film, televisi, internet dan telepon selular. Di sisi lain, media menjadi sarana yang me­ mi­liki dua sisi. Media bisa bersifat madu yang memberikan manfaat, tetapi juga bisa bersifat racun yang merusak. Media bisa memberikan pencerahan atau sebaliknya, menghancurkan kehidupan manusia, tergantung muatannya. Pertelevisian di Indonesia saat ini telah diku­ asai oleh televisi swasta. Undang-undang No­ mor 32 Tahun Tentang Penyiaran menyebutkan bahwa televisi swasta adalah lembaga penyiar­ an yang bersifat komersial. Karenanya, menjadi hal yang lumrah ketika televisi swasta hanya me­ mentingkan sisi komersial daripada edukasi. Ketika televisi swasta telah mendominasi sis­ tem pertelevisian di negeri ini, maka tentu ma­ teri siaran televisi didominasi dengan citarasa komersial dan tidak ada kesempatan terpeliha­ ranya keragaman dan tumbuhnya kearifan lo­ kal. Televisi publik dan televisi komunitas yang semestinya menjadi penyeimbang, terberangus dengan kapitalisme. Begitu pula di internet. Internet menjadi me­ dia komunikasi yang semakin efektif mengingat perkembangan teknologi membuat saat ini in­ ternet bisa diakses dengan mudah melalui pon­ sel. Hampir semua orang dewasa, bahkan anakanak telah memiliki ponsel pribadi, bahkan satu orang bisa memiliki lebih dari satu unit. Seperti halnya televisi, muatan di internet kini semakin bervariasi. Tentu saja, muatan ini memiliki dua sisi, madu dan racun. Muatan di youtube.com memiliki manfaat sebagai media pembelajaran yang disertai tutorial, namun juga bisa menjadi racun, mengingat konten di you­ tube.com diunggah oleh masyarakat tanpa sen­ sor, seringkali tanpa etika dan tak memperhi­ tungkan dampaknya bagi publik. Berawal dari pemikiran tersebut, Hartanto menggagas sebuah pemikiran "literasi media". Secara sederhana literasi media diartikan seba­ gai melek media. Batasan yang lebih formal yak­ ni kemampuan mengakses, menganalisis, meng­ evaluasi dan mengkreasikan media. Dari batasan tersebut terkandung dua arah penger­tian, yaitu kemampuan untuk memba­

ca (decode) media dengan kritis serta kemam­ puan untuk me­nulis (encode) media. Grabag TV mewadahi pemikiran tersebut. Media komunitas ini diharapkan mengimbangi tayangan mainstream di media yang ada saat ini. "Kami ingin mengimbangi video mainstream, dengan memberi tayangan yang bermanfaat," tutur Hartanto. Hasilnya, respon masyarakat yang luar biasa. Bahkan, respon lebih banyak berasal dari warga luar Grabag, yang terlihat dari komentar mau­ pun umpan balik para pencari informasi. Ting­ ginya respon inilah yang membuat Grabag TV tetap bersemangat untuk bertahan. 

Hartanto, pendiri Grabag TV yang berprofesi sebagai dosen di Institut Kesenian Jakarta.

Natma S Pemerhati media komunitas di Magelang

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015

13


U ta m a

Peran Strategis Media Komunitas Membangun Desa Wisata Oleh Destha Titi Raharjana

M

edia komunitas wilayah perdesaan akan tu­ rut mendorong terjadinya transformasi. Le­ wat pariwisata dan media komunitas yang ter­ba­ngun menjadikan warga desa ber­trans­ for­ma­si men­jadi subjek bagian tak ter­pi­sah­ kan dari ele­men pembangunan wisata. Pengarusutamaan su­a­ra dan energi komunitas seyogyanya men­ja­di bahasa yang wajib disuarakan oleh se­ge­nap stakeholders. Pasca di­ hen­ti­kan hibah PNPM Man­diri Pariwisata bukan berarti desa wi­sa­ta ha­rus mati sosial. Bersama media komunitas, desa-­de­ sa wisata diharapkan mampu meraih pe­lu­ang dan membuka akses baik secara in­ter­nal ataupun eksternal untuk men­do­ rong pe­ngu­at­an diera global ini. foto-foto: dokumentasi Destha Titi Raharjana

Dukungan dan pelibatan masyarakat dalam sistem pariwisata sangatlah di­per­lukan. Sebagai bagian tak ter­pi­sah­kan dari destinasi, masyarakat per­lu diajak, didengar, serta dilibatkan, ter­ma­suk sa­at hendak merintis desa wisata. Hadirnya pro­gram pemberdayaan masyarakat disektor pa­ri­wi­sa­ta lewat desadesa wisata harus menjadi bukti bila suara akar rumput serta pelibatan ko­mu­ni­tas dalam menentukan bentuk pa­ri­wi­sa­ta­nya dapat dipertanggungjawabkan dan ber­ke­lanjutan.

Suasana di studio MGM FM.

14

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015


tah, sehingga terjadi sinergi antara sumber da­ ya lokal, kekuatan politik pemerintah, dan sum­ ber daya dari luar atau investor. Partisipasi da­ri masyarakat ini diharapkan dapat me­mi­ni­ma­li­ sir terjadinya proses marginalisasi bagi ma­sya­ ra­kat lokal yang dalam hal ini Community Ba­sed Tourism (CBT) menjadi kerangka a­cu­an­nya. istimewa

Peran Rakyat dalam Membangun Wisata Desa wisata merupakan satu bagian sosial da­ri pembangunan destinasi wisata yang lebih me­ne­kan­kan pada proses partisipasi warga se­ tem­pat. Sebagai sebuah unsur “baru” yang di­ ke­nal masyarakat perdesaan, desa wisata se­pa­ tut­nya dirancang dengan seksama dengan ti­ dak mengabaikan dan mencerabut nilai-nilai so­sial budaya setempat atau bahkan mem­be­ri­ kan dampak negatif dalam kehidupan sosial ma­sya­rakat setempat. Bila kita cermati, maraknya pengembangan wisata alternatif yang mengarah pada aktivitas ru­ral tourism, dengan kentalnya nuansa dan ling­ kung­an alam yang masih relatif asli serta bu­da­ ya komunitasnya relatif lama sudah di­ja­lan­kan. Di Indonesia desa-desa wisata ini tum­buh de­ ngan mengandalkan atraksi alam dan bu­da­ya yang unik. Kawasan pedesaan kini men­ja­di ba­ gian dari entitas bisnis ke­pa­ri­wi­sa­ta­an se­hing­ ga patut diperhitungkan sebagai sa­lah satu upa­ ya pengentasan kemiskinan (Nasikun, 1997). Disadari atau tidak bila tulang punggung da­ ri aktivitas wisata di lingkungan pedesaan di­ ten­tu­kan oleh kualitas lingkungan desa itu sen­ di­ri (Raharjana, 2012). Ini artinya bahwa ling­ku­ ngan pedesaan dengan segenap un­sur­nya me­ ru­pa­kan sumberdaya dan berbagai ak­ti­vi­tas wi­ sa­ta yang dapat ditemukan ke­as­li­an­nya di desa setempat**. Sumberdaya yang ter­da­pat di pe­ de­sa­an dapat dikembangkan dalam mo­del wi­ sa­ta alam yang diintegrasikan dengan as­pek la­in­nya. Komponen sosiokultural pa­ri­wi­sa­ta di pe­de­sa­an sangat bergantung pada ku­a­li­tas ling­ ku­ngan, tidak hanya lingkungan fisik semata na­ mun juga lingkungan sosial budaya. Model wisata ini lebih memberikan peran ma­sya­ra­kat dan melibatkan dalam proses pe­ ngem­ba­ngan­nya, mulai dari gagasan, pe­ren­ca­ na­an, implementasi, pengelolaan, hingga pe­ man­fa­at­an. Untuk itu perlu disiapkan sumber da­ya manusia yang matang agar proses par­ti­si­ pa­si aktif berjalan dengan baik, sehingga peran ma­sya­ra­kat menjadi nyata (Hermantoro, 2013). Ha­ke­kat dari partisipasi masyarakat merupakan ben­tuk peningkatan daya tawar bagi ma­sya­ra­ kat itu sendiri, sehingga posisinya menjadi se­ im­bang dengan pemerintah ataupun investor. Hal ini juga berfungsi sebagai kekuatan untuk me­ngon­trol kebijakan yang diambil pe­me­rin­

Pariwisata berbasis masyarakat mem­bu­ka pe­ lu­ang untuk mengoptimalkan potensi sosial, bu­da­ya, hingga ekonomi masyarakat untuk me­ ngim­ba­ngi peran pelaku usaha sosial besar (ja­ ri­ngan korporasi multinasional). Fakta mem­per­ li­hat­kan profil demografi, sosial, ekonomi dan psikografi wisatawan terus berubah. Keinginan mencari pengalaman me­nan­tang dan unik juga menjadi motif yang ku­at untuk ber­ wi­sa­ta. Wisatawan cenderung meng­hin­da­ri pro­ duk yang seragam dan ke­mu­di­an memilih pro­ duk unggul meskipun mahal. Pa­da u­mum­nya mereka ini memilih jadi in­de­pen­dent travel un­ tuk mencari objek yang lebih orisinil dan men­ coba dekat dengan kehidupan masyarakat se­ tem­pat. Fokus perjalanan yang dirancang wi­sa­ ta­wan model ini adalah mencari pengalaman wi­sa­ta yang unik akibat dari motivasi yang sa­ ngat kental dengan hal-hal yang pribadi, se­ per­ti ekspresi diri, aktualisasi diri, pengayaan pe­nga­la­man, kontak lebih mendalam (Da­ma­ nik, 2013). Walaupun cenderung berskala sosial dan menengah, peran komunitas perlu di­le­tak­ kan dalam konteks kerjasama masyarakat se­ca­ ra global. Hubungan yang setara antara wi­sa­ tawan (guest) dengan tuan rumah (host) dapat di­kem­bang­k an secara lebih dalam agar mun­ cul suatu relasi kemitraan yang ber­ke­lan­jutan.

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015

Proses partisipasi warga Dusun Barepan dalam merancang desa wisata melalui workshop ber­ sama CRI, FMYY Jepang, dan rakom MGM FM.

15


U ta m a

Rakom MGM FM Borobudur melibatkan komunitas anakanak muda di sekitar Borobudur.

16

Media Komunitas di Desa Wisata Kombinasi (62/Juni/2015), mengulas bagai­ ma­na upaya serius didukung dengan kerja ke­ ras yang dipersiapkan warga Barepan secara ko­lek­tif untuk menjadikan dusunnya bukan se­ ma­ta menjadi “objek penangkap”, sosial tempat sing­gah atau ampiran, namun menjadikan du­ sun ini sebagai “objek penahan”, sosial dusun yang mampu menjadikan pilihan utama bagi wi­sa­ta­wan guna meluangkan waktu live in ting­ gal bersama warga Barepan. Hal ini tentunya tidak berlebihan karena du­ sun ini memiliki letak yang strategis dan ke­ter­ se­diaan sarana penunjang untuk menjadi daya ta­rik wisata sangatlah memadai. Atas du­ku­ngan Combine Resource Institution (CRI), dan FMYY Je­ pang, warga dusun ini berhasil me­ngem­bang­

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015

kan radio komunitas berlabel MGM FM dengan du­ku­ngan penuh anak-anak muda yang ter­ga­ bung dalam Amoeba (anak muda Barepan) ser­ ta perangkat dusun setempat. Mereka secara per­la­han namun pasti mencoba untuk ber­be­ nah dan bergerak menata dan mengemas po­ ten­si dusun untuk bagian penting bagi ke­be­ra­ da­an candi Borobudur. Menjadi warga Barepan sebagai pemain dan mendapatkan bagian dari kue pariwisata merupakan sebuah proses yang terus diupayakan dengan tidak meninggalkan lokalitas di dalamnya. Media komunitas lahir sebagai perlawanan da­ri media mainstream yang secara umum le­ bih banyak dikuasai dan dikontrol oleh negara atau pemilik modal. Beragam bentuk media ko­mu­nitas yang saat ini banyak dijumpai di ka­


la­ngan akar rumput, mulai dari media cetak dan e­lek­tro­nik. Hadirnya media komunitas yang di­ ra­sa­kan sesuai dengan kebutuhan akar rumput di­pan­dang sebagai jawaban bagi masyarakat ke­ti­k a media pada umumnya dipandang ku­ rang mampu memberikan informasi yang se­la­ ras dengan kehidupan dan kebutuhan warga. Lewat radio komunitas sebagai contoh seperti yang dikerjakan teman-teman di dusun Ba­re­ pan, Wanurejo, Magelang diharapkan akan men­ ja­wab kebutuhan sekaligus kebuntuan me­nge­ nai informasi seputar perkembangan pa­ri­wi­sa­ ta khususnya di sekitar Candi Borobudur dan In­do­ne­sia pada umumnya. Sholeh UG, peng­gi­ at media komunitas menyatakan media ko­mu­ ni­tas berkewajiban untuk mampu membaca ma­sya­rakat. Membaca dalam arti memahami

ke­bu­tu­han masyarakat, bukan sekedar me­nu­ ru­ti keinginan (www.balairungpres.com). De­ ngan demikian, radio komunitas sebagai salah satu bentuk media komunitas kehadiran dan ke­beradaannya sangat strategis. Setidaknya tiga peran sosial yang dapat di­ ma­in­kan, satu, mendorong gerakan sosial. Ra­ dio komunitas, seperti halnya yang tengah ber­ pro­ses yaitu MGM FM di Dusun Barepan secara nyata telah mampu hadir sebagai alat peng­ge­ rak sosial kemasyarakatan, khususnya men­do­ rong kaum muda setempat untuk men­da­pat­ kan penyaluran dan pemanfaatan waktu luang mereka secara positif. Lewat sarana ini juga da­ pat disuarakan informasi yang sesuai dengan ke­ bu­tu­han dan situasi kondisi yang benar-benar diperlukan masyarakat Barepan secara le­bih khu­ sus. Peran kedua, radio komunitas sebagai alat atau sarana pemberdayaan. Urgensi sentral ra­ dio komunitas yang dibentuk oleh komunitas se­bagai jembatan penghubung antar segenap kom­ponen masyarakat dengan segala sosial dan jenis kelamin. Lewat radio komunitas, setidaknya media i­ni berfungsi untuk lebih memberdayakan se­ ka­li­gus memberikan posisi tawar bagi para pen­ de­ngar yang mayoritas warga setempat un­tuk men­dapatkan informasi secara pro­po­si­o­nal. In­ for­masi yang memang dibutuhkan war­ga du­ sun dan bisa menjadi ajang sosial asah, a­sih dan asuh. Lewat radio, sepatutnya pem­be­ri­an informasi mengenai pariwisata terkait de­ngan dampak dan manfaatnya dapat secara kon­ti­nu di­be­ri­ta­kan ataupun diwacanakan da­lam se­ti­ ap kesempatan. Banyak narasumber lo­kal se­ki­ tar Borobudur yang sudah banyak me­nye­lami a­sam garam pariwisata setempat yang da­pat di­jadikan mitra dialog agar warga Ba­re­pan dan se­k itarnya dapat memahami apa yang se­be­ nar­nya berlangsung selama ini mengenai pa­ri­ wi­sata di kampung halamannya. Selanjutnya, peran ketiga, radio komunitas me­ru­pa­kan wujud atas keragaman kepemilikan ser­ta konten media. Situasi ini berbeda dengan me­dia penyiaran yang dikelola oleh swasta atau­ pun pemerintah. Keduanya, sebagai me­dia a­rus besar telah memiliki patokan dan bahan be­ri­ta tersendiri, yang belum tentu sesuai de­ngan kebutuhan warga pendengar. Untuk itu de­ngan adanya radio komunitas hadir untuk memenuhi

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015

Media ko­mu­nitas berkewajiban untuk mampu membaca masyarakat. Membaca dalam arti memahami ke­bu­tu­han masyarakat, bukan sekedar me­nu­ru­ti keinginan.

17


U ta m a

istimewa

ke­bu­tu­han keberagaman konten siaran dan ke­ pe­mi­li­kan, seperti yang dituangkan dalam UU No.32/2002 tentang Penyiaran. Salah satu tan­ ta­ngan yang dihadapi untuk kelangsungan ra­ dio komunitas adalah aspek pendanaan karena UU Penyiaran tidak memberikan sosial bagi ra­ dio komunitas untuk mencari sumber dana dari iklan komersial. Situasi seperti ini sepatutnya men­jadi cambuk bagi warga dan pengelola ra­ dio komunitas secara kreatif dan berdedikasi ting­gi untuk tetap bersedia menjadikan radio ko­munitas sebagai sarana media sosial untuk men­dorong kemerdekaan dalam memperoleh hak informasi. Salah satunya, mungkinkah se­ ba­gian dari pendapatan desa yang diperoleh da­ri dana desa dapat dialokasikan untuk men­ dukung operasional radio komunitas ini? Radio komunitas dan desa wisata memiliki spi­rit yang sama yakni pada aras pem­ber­da­ ya­an. Keduanya memberikan penekanan pada pe­ran sentral masyarakat. Sehingga dengan de­ mikian kebutuhan informasi yang sesuai de­ ngan atmosfir dan karakter warga setempat da­ pat diakomodir oleh pengelola radio ko­mu­ni­ tas. Demikian halnya dalam pengembangan de­ sa wisata, tentunya sangat memerlukan pe­li­ba­ tan warga. Dapat dianalogikan bahwa berbeda me­ngu­ rus hotel dengan mengelola desa wisata. Di de­ 18

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015

sa wi­sata segala keputusan yang di­ha­sil­kan di­ ten­tu­kan dan di­te­tap­kan atas nama ko­lek­ti­fi­ tas, bu­kan person se­men­ta­ra bagi hotel se­ge­ nap ke­pu­tusan dikendalikan ma­na­je­men. Oleh se­bab itu tak kalah pen­ting di desa wisata di­ per­lu­kan figur yang mam­pu mengelola, di­per­ ca­ya dan amanah un­tuk menjalankan bisnis ini. Di­tun­jang dengan keberadaan media ko­mu­ni­ tas, sebagai contoh radio komunitas di Dusun Ba­re­pan ini tentunya peluang untuk terus me­ nyu­a rakan dan memberikan informasi yang trans­pa­ran seputar usaha wisata yang sudah ber­ jalan selama ini dapat lebih digiatkan. Berbagai jalinan kerja sama dapat di­gan­deng, mi­sal­nya dengan ASITA (Association of The In­ do­ne­sian Tours And Travel Agencies/ Asosiasi Pe­ ru­sa­haan Perjalanan Wisata Indonesia-red), Apin­ do (Asosiasi Pengusaha Indonesia-red) a­tau­pun akademisi yang diminta talk show se­ca­ra cumacuma untuk memberikan pencerahan bagi war­ ga dusun. Event-event besar ataupun sosial yang ada di sekitar desa dapat pula diwartakan se­ ba­gai berita untuk mendatangkan wisatawan da­ri tempat lain. Sehingga radio komunitas da­ pat sebagai media pemasaran yang efektif dan e­fi­si­en. Tidak banyak desa-desa wisata di In­do­ ne­sia yang memiliki radio komunitas. Ke­be­ra­ da­an rakom MGM FM di Barepan mesti di­op­ti­ mal­kan agar mampu menjadi media pro­mosi dan penjaga semangat kolektivitas warga.  Destha Titi Raharjana, S.Sos., M.Si. Penggiat wisata komunitas, peneliti di Pusat Studi Pariwisata UGM. raharjanadt@sosial.com

**Kelengkapan sebuah desa men­jadi de­sa wisata diharapkan bila di desa ter­se­but wi­sa­ta­wan memperoleh, apa yang me­reka li­hat atau cari (something to see), apa yang dapat di­ker­ja­kan (something to do), apa yang wi­sa­ta­wan da­pat beli (so­me­thing to buy) dan apa yang dapat di­ra­sa­kan (something to fell) oleh wisatawan. Ke­em­pat aspek inilah yang sekiranya harus mam­pu diolah guna menjadikan pengalaman total (to­tal experiences) bagi wisatawan sehingga me­re­ka akan loyal dan mere­ko­men­dasikan desa ki­ta untuk menjadi tempat wisata. Dan, perlu ju­ga dipahami bisnis wisata dengan label desa wi­sa­ta semestinya jangan dipandang sebagai bu­si­ness as usual, namun juga bagaimana bis­nis desa wisata ini dapat diarahkan menjadi so­cio­en­treprenuer yang dapat memberikan pe­lu­ang setara antar warga desa untuk maju ber­sa­ma secara berkelanjutan.


Rumah Baca Komunitas, Gebrakan Pemuda untuk Anak Jalanan Oleh Angela Shinta Dara Puspita Minggu pagi yang cerah di sudut trotoar Alun-alun Kidul Yog­ya­karta. Saat itu November 2015. Sekelompok pe­muda, beberapa tukang becak, dan anak-anak jalanan menge­ ru­muni lapak sederhana dengan beragam buku bacaan tergelar di atas tikar. Sudah dua tahun ini Alun-Alun Kidul menjadi ruang publik un­tuk menginisiasi perpustakaan anak jalanan. Setiap Minggu pagi pukul 07.00 sampai 11.00 WIB, mereka membaca buku sambil berdialog santai.

A

FOTO-FOTO: DOKUMENTASI RBK

dalah Rumah Baca Komunitas (RBK), se­bu­ah komunitas anak-anak mu­ da yang me­nye­dia­kan buku-buku ba­ca­an untuk masyarakat te­ru­ta­ma anak-anak jalanan. Lahirnya ko­mu­ ni­tas ini tidak lepas akan semakin minimnya per­pus­ta­ka­an sebagai salah satu ruang publik

di Yog­ya­kar­ta. Perpustakaan yang ada di Yogya­ karta sa­at ini mewajibkan tanda identitas diri se­per­ti Kar­tu Tanda Mahasiswa (KTM), Kartu Tan­da Pen­du­duk (KTP) atau kartu pelajar dan se­je­nis­nya bagi masyarakat yang ingin me­man­ fa­at­k an buku-­buku di dalamnya. Per­sya­ra­tan tersebut mem­buat anak-anak jalanan tidak bi­ sa me­ngak­ses perpustakaan. Maka dari itu, se­ jak tahun 2011 RBK lahir untuk menjadikan ru­ ang publik men­jadi tempat berbagi ilmu ber­sa­ ma, khususnya untuk anak-anak jalanan. Komu­ nitas ini menyediakan beragam buku bacaan yang da­pat diakses oleh sia­pa­pun. Semua bisa membaca tanpa syarat dan ja­mi­nan apapun. “Bagaimana dengan anak jalanan yang ru­ mah singgah saja kadang mereka tidak punya? Di sinilah mengapa RBK mengadakan per­pus­ ta­ka­an jalanan. Kami mencoba memberi al­ter­ na­tif dengan membentuk perpustakaan ja­la­

Tiap hari Minggu pagi, perpustakaan jalanan RBK menggelar lapak bukunya di Alun-alun Selatan.

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015

19


U ta m a na­n. Lalu itu juga kami support di tempat lain tak hanya di Jogja, seperti di Gresik, Surabaya, Nusa Tenggara Timur,” papar David Efendi se­la­ ku pendiri dan pembina RBK, (8/11).

Komunitas RBK menyediakan bukubuku bacaan yang dapat diakses oleh siapapun tanpa syarat dan jaminan apapun.

Merintis RBK David bersama beberapa rekannya mulai me­rin­tis RBK sejak 2011. Mereka mengontrak rumah kecil di Dusun Onggobayan Desa Nges­ tiharjo, Kecamatan Kasihan, Bantul, Yogyakarta dengan mengumpulkan buku-buku yang di­pe­ ro­leh dari jaringan teman-teman lama. Ada dari para penyumbang itu yang berprofesi sebagai penulis, penerbit, bahkan mahasiswa. “Beberapa mahasiswa yang telah lulus lalu ti­ dak dapat membawa bukunya kembali ke kam­ pung halaman seringkali ‘menitipkan’ bukubuku tersebut ke RBK. Supaya kiranya lebih ber­ guna lagi,” jelas David yang juga seorang dosen Ilmu Pemerintahan di Universitas Mu­ham­ma­di­ yah Yogyakarta (UMY). Pada bulan Februari tahun 2013 RBK ber­pin­ dah ke Jl. Parangtritis KM 3.5 di Sewon, Bantul. Dari situlah gerakan inklusif RBK makin terlihat. Pasalnya, anak-anak jalanan di daerah Jalan Pa­ rang­tritis yang tergabung dalam Komunitas Omah Keong mulai rutin datang ke RBK untuk belajar bersama. Bahkan beberapa diantaranya ting­gal di rumah kontrakan RBK. Komunitas RBK ingin membuat perpustakaan 24 jam, meng­ ubah pandangan masyarakat se­la­ma ini tentang terbatasnya waktu kunjungan perpustakaan. Baru setahun bermarkas di Sewon, RBK kem­ bali pindah ke Sidorejo, Ngestiharjo, Kasihan,

Bantul pada 2014. Kepindahan tersebut justru semakin meningkatkan berbagai kegiatan ino­ va­tif seperti pelatihan literasi dan pelatihan jur­ na­lis­tik. RBK juga mengadakan pelatihan ma­ ding ekoliterasi yaitu mading yang me­man­fa­ at­kan barang-barang bekas dan semacamnya di beberapa sekolah di Gunungkidul. Meluaskan Jejaring Seiring berjalannya waktu, RBK semakin me­ lu­as­kan jejaring kerjasama dengan berbagai ko­ munitas, salah satunya adalah komunitas Turun Tangan Yogyakarta (TTYK). Kedua komunitas itu sempat bekerjasama dengan melakukan pe­mu­ taran dan diskusi film “Di Belakang Hotel” di mar­kas RBK. Baik RBK maupun TTYK ingin me­ nga­jak para generasi muda untuk kritis dan terbuka terhadap isu-isu di lingkungan sekitar serta bergerak untuk menanggapi isu tersebut. Selain TTYK, RBK juga menjalin kerjasama de­ ngan Komunitas Sedekah Kreatif Edukatif, dan ikatan-ikatan kemahasiswaan dari berbagai da­ e­rah misalnya Lampung, Maluku, dan Bangka. RBK pun juga berkolaborasi dengan Sanggar Anak Alam di Kasihan, Bantul, Yogyakarta da­lam bentuk penyediaan book corner (pojok buku-red) bagi anak-anak sanggar. Jejaring komunitas, sekolah, maupun per­so­ nal yang dimiliki RBK memperkuat keguyuban ko­mu­nitas ini. Hal itu pulalah yang membuat ko­mu­nitas ini mandiri tanpa harus meminta da­ na dari pemerintah. RBK memiliki relawan-re­la­ wan solid yang berasal dari berbagai latar be­la­ kang seperti penulis, pengajar, mahasiswa, dan lain­nya. Dari situlah mereka mengumpulkan da­ na secara sukarela. Bahkan untuk urusan se­der­ hana seperti makanan kecil pun dilakukan se­ca­ ra sukarela oleh para relawan. Para orangtua re­ lawan yang merasakan positifnya kegiatan di RBK pun tak segan memberikan donasi untuk ko­mu­nitas itu. Donasi-donasi tersebut di­gu­na­ kan untuk keperluan rutin hingga membayar kon­tra­kan. Selain donasi, mereka juga meng­ga­ lang dana, salah satunya berjualan bu­ku. Beragam Kegiatan Kegiatan RBK sangatlah beragam. Justru, ke­ be­ra­gaman itu memunculkan kategori ranah ke­ gi­a­tan yang membuat komunitas ini semakin man­tap melangkah. Kegiatan pertama adalah

20

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015


pen­di­di­kan populer yaitu pendidikan inklusif yang memungkinkan siapapun untuk belajar, ber­bagi, serta menjadikan setiap orang pen­ ting dalam komunitas. Di dalamnya termasuk me­nge­tahui hak kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan diri. Pendidikan populer itu diperkuat dengan ap­ pre­ciative inquire, yaitu proses belajar yang meng­ har­gai masing-masing potensi dan me­nga­pre­ si­a­si apapun bentuknya. David me­ngung­kap­ kan kekuatan apresiatif ini sangat penting da­ lam komunitas. Itu karena mereka dapat ber­ kem­bang sesuai kemampuan dan bakatnya. Me­ re­ka yang memiliki bakat menggambar, me­nu­ lis, mendesain dan lainnya dapat berkontribusi da­lam komunitas ini. Itulah yang membuat me­ re­ka merasa betah dan memiliki rasa ke­ke­lu­ar­ gaan dalam komunitas ini. Dengan konsep a­pre­ si­a­tif, relawan maupun anak ja­la­nan menjadi tidak malu menunjukkan ke­mampuannya. Menginspirasi RBK telah menginspirasi berbagai kalangan. Lisa (20) adalah salah satu sukarelawan yang me­ ra­sa terinspirasi oleh komunitas ini. Setahun ber­ ga­bung dengan RBK, Lisa yang se­o­rang ma­ha­ sis­wi itu merasakan keramahan RBK terhadap

o­rang yang ingin bergabung. Meski baru se­ ming­gu bergabung ia merasa sangat a­krab. “Banyak perubahan yang saya rasakan se­te­ lah bergabung dengan RBK. Kan di RBK anak-­ anaknya pegiat (pegiat sosial-red) dan yang aku li­hat kebanyakan memotivasi, lalu aktif. Ada yang jago desain, dan lain-lain. Pastinya ter­mo­ti­va­si, la­lu ada keinginan untuk ke sana juga. Te­rus a­da semangat membaca yang lebih, bu­kan ha­nya untuk diri sendiri tapi juga orang lain misal saat dis­kusi,” papar Lisa pada saat mengobrol di la­ pak pinggir Alun-alun Kidul, (8/11). Lain lagi dengan Arya, seorang mahasiswa se­ mes­ter 3 UMY yang mengungkapkan bah­wa RBK mampu mewadahi bakatnya dalam bi­dang desain. Ia pun bisa saling bertukar pe­nge­ta­hu­ an yang ia dapatkan di kampus dengan di RBK. “Kegiatan di RBK sama sekali tidak meng­ gang­gu, malah di sini saya mendapat berbagai hal tentang volunteer (sukarelawan-red). Back­ ground saya sebagai desainer, jadi sa­ya bi­sa ber­bagi tentang poster, kampanye ke­ma­nu­sia­ an, dan lainnya bisa saya bagi di sini,” ujarnya. 

Perpustakaan Komunitas RBK terbuka untuk semua kalangan masyarakat.

Angela Shinta Dara Puspita Mahasiswi Universitas Atma Jaya Yog­ya­kar­ta jurusan Komunikasi­

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015

21


De s a

Dokumentasi CRI

Desaku yang Subur, Desaku yang Terlupakan Oleh Rahma Maliana Tanah bertuah negeri beradat. Itulah slogan dari Kabupaten Serdang Bedagai, sebuah kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Meski menjadi penghasil padi dan kaya akan wisata pantai, tidak serta merta menjadikan desa-desa di kabupaten ini dilirik pemerintah.

C

inta Air adalah salah satu d­esa di K­eca­mat­an Per­bau­ngan, Ser­ dang Be­da­gai. Kon­tras dengan namanya, Desa Cinta Air nya­ta­ nya adalah desa yang ke­ku­rang­an air. Pe­ nye­bab­nya, desa ini cukup de­kat de­ngan pantai yang membuat air ta­nah­nya ter­ kon­taminasi air laut. Jika di ta­nah pa­da umum­nya air baru bisa ke­luar saat peng­

22

galian mencapai ke­da­lam­an 8 sam­pai 9 meter, di Desa Cinta Air, air su­dah mun­ cul di kedalaman 3 meter. Tapi bu­kan air bersih yang didapat me­lain­kan air yang ke­ruh atau kuning. Be­be­rapa warga te­ lah berusaha membuat su­mur bor de­ ngan mesin mahal dengan ha­rap­an bi­sa men­dapatkan air bersih. Na­mun, masih sa­ja air keruh atau ku­ning yang keluar

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015

da­ri su­mur mereka. Alhasil, banyak war­ ga ha­rus meminta air ke te­tangga yang me­miliki air bersih. “Iya. Sepertinya ada pengaruh dari pan­tai yang menyebabkan air di desa kami ini jauh dari kata jernih. Tapi mau ba­gai­ma­na lagilah memang sudah be­ gi­tu. Sa­ya sendiri sudah berusaha mem­ buat su­mur bor, biar enggak capek ha­


yang luas di sekeliling rumahpun jadi­lah untuk tanam sayur dan cabe. Jadi gak per­nah pusinglah memikirkan harga ca­ be saat melambung mahal. Tapi sa­yang­ nya tidak ada pemerintah yang mem­ per­ha­ti­kan kami rakyat kecilnya.” ung­kap Nawiyah, (49), salah seorang warga. Keluhan warga akan minimnya air ber­ sih tersebut seolah menjadi angin lalu bagi pemerintah kabupaten. Pergantian peja­bat pemerintah yang selalu ber­gan­ ti setiap pemilu tidak memberikan pe­ nga­ruh untuk Desa Cinta Air. Warga men­ du­ga, pemerintah hanya me­man­fa­at­kan sumberdaya yang me­ngun­tung­kan saja seperti wisata pantai yang ber­taburan di Kecamatan Perbaungan “Se­tiap mau pemilu pasti ada saja pe­ja­bat yang da­tang ke desa kami. Se­ mualah di­jan­ji­kan­nya untuk warga. Tapi nyatanya tak per­nah nampak. Sudah 26

tahun saya ting­gal di desa ini ikut suami, tapi tak per­nah saya lihat ada PAM Air di desa ini, tapi saya dengar di desa lain ada. Mungkin memang sudah ter­lu­pa­ kan desa kami ini, meski nama­nya De­sa Cinta Air,” keluh Nawiyah. Ketersediaan air bersih tidak saja un­ tuk memenuhi kebutuhan warga desa se­ tempat, namun juga dapat mendukung wisata pantai di Desa Cinta Air. Perhatian dari pemerintah akan penyediaan air ber­ sih menjadi harapan seluruh warga. Ti­ dak hanya sekedar kunjungan dan janjijanji jelang pemilu saja, namun juga aksi nyata dari pemerintah setempat.  Rahma Maliana Pewarta Warga dari Serdang Be­da­gai, Su­ma­ tera Utara. Tulisan merupakan sa­lah sa­tu karya dalam kompetisi me­nu­lis Perem­puan dan Lingkungan yang diseleng­garakan CRI.

istimewa

rus ngang­ka­tin air terus dari tetangga. Tapi nya­ta­nya malah sama saja, airnya te­ tap ku­ning dan tambah jelek saja. Kalau di­pakai nyuci baju pun kuningnya leng­ ket ke baju. Jadi, te­tap harus minta ke te­ tang­ga juga,” keluh Ijum, (42), salah se­ orang warga di Dusun II, Desa Cinta Air. Setiap pagi dan sore, Ijum harus me­ ngang­kut air dari tetangganya yang me­ mi­li­ki air bersih. Demikian halnya de­ngan warga lainnya. Pe­rempuan ini meng­ung­ kap­kan belum ada tindakan dari pe­me­ rin­tah untuk menyediakan air bersih ba­ gi warga di desanya. Serupa dengan Ijum, Rafi, (28), se­o­ rang warga Desa Cinta Air yang sehariharinya bekerja sebagai tukang jualan ru­jak dan es campur keliling juga me­nge­ luh­kan sulitnya air bersih di de­sa­nya. Ia mengungkapkan, seharusnya pe­me­rin­ tah peka terhadap ke­bu­tuh­an air ber­sih untuk warganya. Kepala desa ha­rus bisa ber­tindak dengan membuat usulan ang­ gar­an kepada atasannya untuk pe­nye­di­ a­an PAM air bersih di Desa Cinta Air. “Dulu saya tinggal bersama orang tua saya Kebetulan di rumah orang tua saya air­nya lumayan jernih. Tapi sekarang sa­ ya sudah ngontrak rumah sendiri ber­sa­ ma istri saya dan di rumah kontrakan ini wa­lau pakai mesin atau sumur bor tapi airnya kuning. Saya jadi harus meminta air pada tetangga sebelah untuk ke­bu­ tuh­an jualan saya, karena kalau buat ma­ nis­an buah untuk rujak pakai air di ru­mah saya, warna buahnya jadi hitam. Ter­pak­ sa saya harus mengangkat air dari te­tang­ ga sebelah,” ungkap Rafi. Ironis memang. Tanah di desa ini ter­ ke­nal dengan kesuburannya. Bah­kan, tan­ pa pupuk pun pertanian di desa ini te­ tap menjadi andalan warganya. Na­mun, kesuburan itu berbanding terbalik de­ ngan ketersediaan air bersih war­ga­nya. “Memang di desa saya ini kondisi air bersihnya sangat minim, tapi tanahnya te­tap subur. banyak warga desa sini yang me­man­faatkan lahan pe­k a­rang­annya, se­perti saya inilah yang memang suka ber­cocok tanam, walau tak punya lahan

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015

23


L i n gku n g a n

Festival Wai Humba Parade Komunitas Lokal Tolak Tambang! Oleh Andrew Dananjaya

A

genda budaya yang dilaksa­ nakan di kaki bukit Wangga­ meti, Sumba Tengah ini ber­ langsung selama tiga hari dari tanggal 13 hingga 15 Oktober 2015. Hu­ jan lebat serta riuhnya pagelaran sema­ lam suntuk, tidak menyurutkan sema­ ngat komunitas lokal yang hadir untuk menyerukan: “Mari bertani, tolak tam­ bang!” Festival Wai Humba digelar untuk memperingati keberhasilan jejaring ma­ syarakat marginal dalam melawan kuasa investor tambang. Saat itu, tahun 2011 silam, investor tambang emas masuk di kawasan perbukitan Wanggameti, Sum­ ba Tengah. Hadirnya perusahaan tam­ bang tersebut mendapat penolakan war­ ga yang berbuntut pada pemenja­raan tiga pemuka adat setempat. Me­reka di­ tuduh mendalangi pembakaran alat be­ rat pengeboran milik perusahaan tam­ bang. Tuntutan untuk pembebasan ke­

24

tiga pemuka adat tersebut dilakukan de­ ngan melibatkan sejumlah lembaga or­ ganisasi non pemerintah nasional yang pada akhirnya membuahkan hasil. Layaknya pagelaran budaya, festival ini membuka kesempatan bagi komuni­ tas yang hadir untuk menampilkan per­ tunjukan seni-budaya khas desanya ma­ sing-masing. Tak terkecuali komunitas Ice Ndaha dari desa Kalena Ronggo dan Kandahu Tana yang turut berpartisipasi dalam acara tersebut. Regina menam­ pilkan tarian Monyet yang merupakan kesenian kreasi ala Kalena Ronggo. Ta­ buhan gendang serta gong, meramai­ kan suasana saat itu. Tidak hanya pertunjukan seni, terda­ pat pula diskusi paralel yang membahas persoalan komunitas. Topik diskusi yang diusung adalah seputar pertanian kon­ servasi, pengembangan jaringan antar perajin tenun Sumba, sekaligus peng­ galian kembali narasi Marapu yang sela­

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015

FOTO-foto: Dokumentasi A. DANANJAYA

Festival Wai Humba merupakan aksi budaya komunitas lokal untuk menolak masuknya korporasi pertambangan ke tanah Sumba. Digagas oleh kolaborasi kerja organisasi masyarakat sipil (Yayasan Sosial Donders, Satu Visi, Satunama, dan Komnas HAM), festival ini dihadiri sekitar 300 orang dari berbagai desa di Sumba Barat Daya, Tengah, Barat hingga Timur. CRI turut hadir sebagai wujud nyata dukungan terhadap gerakan masyarakat marginal setempat.

Damiana Daindoladi


Perbukitan Wanggameti, Sumba Tengah, bekas lokasi penambangan emas.

ma ini mulai tersingkir karena penetrasi agama formal. Sebagai partisipan, Da­ miana Daindoladi selaku ketua kelom­ pok tani Ngindi Ate, Desa Bolora, Weteng, Sumba Barat Daya, menjelaskan andil­ nya dalam diskusi pertanian selaras alam karena ingin membagikan informasi dan pengetahuan terkait konsep pertanian yang telah diwariskan secara turun te­ murun kepada peserta lainnya. “Kita orang Sumba, punya cara yang khas dalam bertani. Kita pakai model pertanian yang mengandalkan teknis lu­ bang tanam untuk pemupukan secara

alami. Tidak akan merusak lingkungan seperti yang dilakukan oleh nenek mo­ yang dulu,” jelas Damiana Daindoladi, (11/11). Pada sesi diskusi lanjutan, Damiana bersama komunitas perajin tenun Ice Ndaha dari Desa Kalena Ronggo juga membahas tata cara penggunaan pe­ warna alami sebagai alternatif pewar­ naan benang tenun. Keingintahuan Da­ miana tentang jenis tanaman apa saja yang bisa digunakan sebagai bahan ba­ ku pewarnaan, menyambung antusias­ me dialog antar komunitas tersebut.

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015

Bertani Tanpa Tambang Kembali pada ruh festival tersebut: Sumba terancam pertambangan. Ma­ suk­nya investor dari luar kawasan Sum­ ba tidak lain karena terbukanya peluang kerjasama dengan para elit lokal. Oknumoknum yang bermain juga terindikasi mendapat peluang dari pejabat di ting­ kat kabupaten. Kondisi tersebut men­ dorong munculnya kesadaran akan ni­ hilnya nilai positif bagi lingkungan, baik tatanan ekonomi, maupun sosial budaya di kawasan eksplorasi tambang. Bersama beberapa jaringan lembaga sipil, Yaya­ 25


L i n gku n g a n

san Sosial Donders terdorong untuk me­ lakukan advokasi bersama komunitas di kawasan Paponggu, Sumba Tengah. Elton, dari Yayasan Sosial Donders me­ nuturkan keresahannya dalam menentu­ kan langkah strategis yang efektif untuk melakukan penolakan tambang secara kolektif. Dengan mempertimbangkan segala kebutuhan dan sumber daya yang dimiliki, maka dipilihlah pola pengorga­ nisasian komunitas budaya beserta religi setempat yakni Marapu lewat festival ini. Mengusung tema “Bertani Tanpa Tam­ bang” festival ini ingin menunjukan ka­ rakter masyarakat Sumba yang lekat de­ ngan kehidupan agraris. Bagi masyara­ kat Sumba, pertanian tidak bisa lepas dari ritual Marapu. Hal ini menunjukan kearifan lokal yang terjalin secara alami dan identik dengan warisan leluhur. “Ka­ mi ingin meyakinkan kembali, bahwa melalui bertani, warga dapat hidup de­ ngan layak. Tanpa harus merusak sistem ekologi semesta,” demikian ujar Elton. 26

Senada dengan Elton, Damiana me­ nyatakan penolakannya terhadap tam­ bang. “Apa jadinya bumi di masa depan? Bagaimana dengan anak cucu kita, me­ reka akan menderita bila saat ini kita ti­ dak berpikir soal keberlanjutan kelesta­ rian alam. Saya benci dengan tambang,” ungkapnya. Damiana juga menjelaskan pemberian ijin masuk bagi investor tam­ bang hanyalah sekedar dalih untuk pe­ ningkatan kesejahteraan warga setem­ pat. “Saya percaya melalui bertani kami masih mampu menghidupi dan menye­ kolahkan anak kami. Kami tak akan per­ nah mengabaikan perta­nian sebagai la­ han ekonomi keluarga,” tegasnya. Menambahi pernyataan yang disam­ paikan Damiana, Paulus Ngongo Pan­ daka, anggota ke­lompok tani Tura Baru, Yawila menga­takan, “Cara untuk meno­ lak tambang ada­lah menyatukan per­ sepsi dan pan­dang­an kita soal dampak yang akan di­timbul­kan dari adanya ak­ tivitas pertam­bangan tersebut.”

Kombinasi I Edisi ke-64 I 2015

Aksi budaya komunitas lokal untuk menolak masuknya korporasi pertambangan ke tanah Sumba.

Wai Humba berarti air Sumba. Lokasi penyelenggaraan festival Wai Humba ini berada di antara tiga gunung yakni Wang­ gameti, Tanadaru dan Yawilla yang men­ jadi sumber mata air untuk seluruh Sum­ ba. Bisa dibayangkan bila terjadi peng­ eksploitasian lahan secara besar-besar­ an, sistem ekologis serta ketersediaan air akan terancam. Puncak dari seremonial festival terse­ but diakhiri dengan penutupan kembali lubang bekas galian bor tambang di bu­ kit Wanggameti dengan ritual adat Ma­ rapu. Di sela acara penutupan tersebut, Damiana menyatakan, “Saya tidak akan rela melihat bumi Sumba ini dihancur­ kan oleh mesin-mesin bor.” Setelah Pa­ pua dan Bali, kini giliran Humba menya­ takan dengan tegas: tolak tambang! 


Redaksi Majalah Kombinasi menerima tulisan berupa opini, feature hasil liputan, dan resensi (buku dan film dokumenter) dengan tema-tema yang berhubungan dengan komunitas maupun media komunitas.

Ketentuan tulisan Tulisan merupakan karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan di media lain  Ditulis menggunakan bahasa Indonesia dengan mengikuti kaidah penulisan yang benar  Ditulis dengan font times new roman, ukuran 12, panjang tulisan sekitar 6.000 karakter (with spaces).  Untuk tulisan feature dan resensi, harap sertakan foto dengan resolusi standard (minimal 1.000 x 800 pixel)  Mencantumkan nama terang penulis dan aktivitas penulis  Mencantumkan nomor rekening penulis  Redaksi berhak menyeleksi tulisan yang sesuai dengan Majalah Kombinasi  Untuk tulisan yang terpilih, redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah maksud tulisan  Penulis yang tulisan diterbitkan akan mendapatkan honor sepantasnya

Tulisan bisa dikirim ke redaksi Majalah Kombinasi di Jalan KH Ali Maksum RT 06 No.183, Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (kode pos 55188) atau melalui surat eletronik di redaksikombinasi@combine.or.id

ilustrasi: florian klauer - freepik.com

Tertarik Menulis di Majalah Kombinasi?


S a n tu n Be r m e d i a


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.