Edisi ke-57 Agustus 2014 ď Ź kombinasi.net
Refleksi Peran Media Komunitas Pascapilpres
a r i Re d ak s i ilustrasi: personal.psu.edu
D
P
engawasan. Kata ini biasanya identik dengan mengamati obyek yang diawasi secara te liti, tajam, saksama. Kalau bi cara tentang pemerintah pusat, ma ka melakukan pengawasan terhadap pemerintah pusat umumnya diartikan sebagai mengamati kebijakannya, ko rupsi tidaknya, kemampuan personel nya dan sebagainya.
Inilah momentum bagi media komuni tas untuk mengambil peran penting. Yakni de ngan menjalankan sema ngat dasar media komu nitas: berjuang untuk dan bersama komunitas.
Melaksanakan pengawasan, dalam konteks pemerintahan, sebenarnya ju ga dapat dilakukan dengan melapor kan situasi dan kondisi di masyarakat. Tujuannya agar pemerintah tahu apa kah kebijakannya sudah tepat sasar an, sesuai kebutuhan, dan meningkat kan kualitas hidup masyarakat di se mua pelosok. Hal ini juga merupakan bentuk pengawasan. Pada pengertian pengawasan yang terakhir inilah media komunitas bisa mengambil peran. Idealnya memang fungsi media komunitas adalah me nyuarakan kebutuhan dan kepenting an masyarakat melalui produksi dan 2
distribusi informasi. Jadi bila ini dila kukan dengan konsisten, sesungguh nya fungsi pengawasan atau dalam te ori pers akrab disebut "anjing penja ga" (watchdog) telah dilakukan. Pertanyaannya, apakah media ko munitas masih konsisten menjalan kannya atau malah sudah mulai tertu lar virus media arus utama dengan le bih banyak menyebarkan ulang beri ta-berita dari luar ke komunitasnya? Atau rajin melakukan sosialisasi prog ram pemerintah tanpa sebaliknya, me rekam efek program tersebut di ma syarakat lalu memberitakannya agar diketahui para pembuat program? Kepemimpinan nasional yang ba ru telah terpilih. Meski ada riak-riak upaya merecoki pemerintahan baru oleh pihak yang kalah pilpres, toh pre siden serta wapres terpilih terlanjur identik dengan harapan akan perubah an ke arah yang lebih baik lewat trans paransi dan kebijakan berbasis kebu tuhan masyarakat. Bila kita mengamati sepak terjang media arus utama selama masa pil pres lalu, agaknya sulit berharap lagi peran pengawasan yang independen dari mereka. Inilah sebenarnya mo mentum bagi media komunitas untuk betul-betul mengambil peran penting dalam kehidupan berbangsa dan ber negara dan tak sekadar dianggap "me dia alternatif" alias "bukan pilihan uta ma". Caranya cukup dengan menjalan kan semangat dasar media komuni tas secara konsisten: berjuang untuk dan bersama komunitas.
Kombinasi Edisi ke-57 Agusustus 2014
Pemimpin Redaksi Imung Yuniardi Redaktur Pelaksana Idha Saraswati Kontributor A Dananjaya, Aang Kusmawan, Ferdhi F Putra, Hernindya Wisnuadji, Iwan Awaludin Yusuf, Khalimatu Nisa, M Affandi, M Syairi Sampul Dani Yuniarto Tata Letak MS Lubis Alamat Redaksi Jalan KH Ali Maksum RT 06 No. 183 Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia 55188 Telp/Fax: 0274-411123 Email: redaksikombinasi@combine.or.id Website: http://kombinasi.net
Kombinasi adalah majalah dua bulanan yang diterbitkan oleh Combine Resource Institution atas dukungan dari Ford Foundation. Combine Resorce Institution adalah lembaga yang mendukung pengembangan jaringan informasi berbasis komunitas. Redaksi Majalah Kombinasi menerima opini, resensi, maupun tulisan berbasis peliputan seputar tema media komuni tas. Panjang tulisan sekitar 6.000 karakter (with spaces), dengan men cantumkan foto untuk tulisan non opini, dan dikirim ke redaksikombinasi@ combine.or.id. Redaksi berhak memilih dan menyunting tulisan yang masuk ke majalah Kombinasi. Penulis yang karyanya dimuat akan mendapat honor sepantasnya.
I
n f o Sek i l a s
Rembang
100 Hari Menjaga Kendeng
dokumen kombinasi
P
ada Selasa (23/9), genap se ratus hari ibu-ibu penjaga Pe gunungan Kendeng di Kabu paten Rembang, Jawa Tengah, tinggal di tenda perjuangan. Mereka tetap bertahan untuk menuntut dihen tikannya rencana pembangunan pab rik semen milik PT Semen Indonesia yang dapat merusak lingkungan. Hingga hari yang ke-100, tuntutan agar PT SI mengeluarkan alat berat da ri lokasi pendirian pabrik belum men dapat tanggapan. PT SI tetap bersike ras melanjutkan rencana pembangun an. Setiap hari kendaraan milik PT SI berlalu lalang sehingga menerbang kan debu ke tenda yang dihuni para perempuan itu. Sementara itu pihak pemerintah daerah baik di Rembang maupun Jawa Tengah juga belum me nanggapi tuntutan warga. Menandai 100 hari upaya menye lamatkan pegunungan Kendeng, seba gian ibu-ibu yang selama ini bertah an di tenda mengadakan aksi diam di depan Kantor Bupati Rembang. Para suami serta sejumlah warga lainnya, terutama yang berasal dari Desa Tim brangan, Kecamatan Gunem, ikut men dampingi aksi tersebut.
Aksi memperingati 100 hari penye lamatan Kendeng tak hanya berlang sung di Rembang. Solidaritas berda tangan dari berbagai daerah. Di Yogya karta, aksi solidaritas untuk Rembang dilaksanakan pada Selasa (23/9) ma lam. Acara itu diisi diskusi, pertunjuk an musik, pemutaran film serta peng galangan dana. Acara serupa juga di gelar di Surakarta, Jawa Tengah. Saat ini, mayoritas warga yang me nolak rencana pendirian pabrik PT SI berasal dari dua desa, yakni Tegaldo wo dan Timbrangan. Keduanya ber ada di wilayah Kecamatan Gunem, de ngan jarak tempuh sekitar 1 jam per jalanan dari Rembang. Warga dari ke dua desa itulah yang saat ini aktif me nolak pabrik semen dengan mendiri kan tenda di pinggir jalan masuk ke lo kasi pabrik. Selama 100 hari terakhir, rutinitas harian warga yang mayoritas petani itu berubah karena waktunya diguna kan untuk bergiliran menunggu ten Foto: Ibu-ibu bertahan di tenda-tenda untuk menolak pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng.
da. Tak hanya para perempuan yang rutin menjaga tenda dari pagi hingga malam hari. Para lelaki yang bekerja di ladang pada pagi hingga sore hari biasanya ikut menyusul tidur di ten da pada malam hari. Begitu juga de ngan anak-anak mereka. Padahal tinggal di tenda yang ber atap terpal warna biru itu tak senya man rumah. Selain jumlah tikar yang tak memadai untuk semua orang yang menginap, tenda itu juga tidak tertu tup rapat sehingga angin leluasa ma suk. Angin juga menerbangkan debu yang membuat mereka rentan terke na gangguan pernafasan. Meski begitu, mereka terus berta han. Hal itu dilakukan karena mereka khawatir pada dampak buruk penam bangan karst bagi lingkungan. Apala gi aktivitas tambang itu dilakukan di kawasan cekungan air tanah (CAT) Wa tuputih, sehingga dikhawatirkan akan berdampak pada persediaan air di ka wasan tersebut. Hal ini didukung Ba dan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang mereko mendasikan supaya penambangan di CAT Watuputih dilarang guna menja ga kelestarian akuifer Watuputih. Mereka menilai pembangunan pab rik tak akan membuat petani sejahte ra. Selain serapan tenaga kerja lokal yang tidak akan besar, lingkungan jus tru terancam rusak. Jika lingkungan rusak, lahan pertanian akan tergang gu sehingga kehidupan mereka ter ganggu. Padahal tanpa kehadiran pab rik semen, saat ini mereka sudah bisa hidup berkecukupan dengan mengan dalkan hasil pertanian. “Pokoknya sa ya tidak rela kalau ada tambang, ka rena kalau lingkungan rusak anak cu cu saya akan menderita,” kata Sukinah, salah seorang warga. Warga juga sudah mengajukan gu gatan untuk mencabut izin lingkung an PT Semen Indonesia ke Pengadil an Tata Usaha Negara Semarang. Joko Prianto, salah satu warga sekaligus ko ordinator aksi mengatakan belum ta hu kapan aksi ini akan berakhir. Me reka berupaya mencari momentum, sambil berharap upaya mengusir alat berat berhasil. “Salah satu upaya ya menggugat ke PTUN,” katanya. IS
Kombinasi Edisi ke-57 Agustus 2014
3
I
n f o Sek i l a s
Lombok Utara
Penanggulangan Bencana Tanggung Jawab Bersama foto-foto: suarakomunitas.net
K
abupaten Lombok Utara di Pro vinsi Nusa Tenggara Barat ada lah satu daerah yang masuk ra wan bencana, yakni antara lain beru pa longsor pada musim hujan dan ke keringan pada musim kemarau. “Daerah kita memang rawan ben cana dan bila terjadi bencana dalam bentuk apapun merupakan tanggung jawab bersama untuk mengatasinya,” kata Kepala Seksi Kejadian Luar Bia sa (KLB) dan Bencana Dinas Kesehat an Kabupaten Lombok Utara Nyoman Sudiarta pada rapat koordinasi keca matan (rakorcam) kesehatan di aula Kantor Camat Bayan, Selasa (26/8). Nyoman Sudarta mengaku, Keca matan Bayan memiliki program ung gulan yaitu menanggulangi KLB dan bencana. Untuk menjalankan program unggulan tersebut, koordinasi dan ko munikasi perlu dioptimalkan. Nyoman menilai tingkat kehadiran kepala desa dan petugas kesehatan pa da rakorcam tersebut belum maksi mal. Padahal selain bertujuan melaku kan evaluasi setelah 8 bulan berjalan program unggulan KLB dan Bencana, rapat ini juga menjadi ajang untuk me
Nyoman Sudiarta (Tengah)
nyerap masukan dan saran dari semua pihak, mengingat pada Oktober 2014 mendatang pihaknya akan menyusun rencana kerja untuk tahun 2015. “Pada saat rakorcam ini sebenar nya semua pihak termasuk kepala de sa dapat menyampaikan semua ma salah yang terkait dengan penangan an KLB dan bencana, karena pada bu lan Oktober tahun ini Dinas Kesehat an KLU sudah mulai menyusun ren cana kerja untuk tahun 2015 menda tang,” tegas Nyoman Sudarta.
Sementara itu, Kepala Puskesmas Senaru, Subardi, dalam kesempatan tersebut meminta peserta yang hadir untuk tetap waspada terhadap benca na yang sewaktu-waktu bisa terjadi, terutama pada musim kemarau yang biasanya ditandai dengan adanya kri sis air bersih dan kebakaran. “Jika ada dusun atau desa yang mengalami hal tersebut, dipersilakan secepatnya me nyampaikan ke petugas yang ada di masing-masing Puskesmas,” pinta Su bardi. www.suarakomunitas.net
Medan
Kendaraan Roda Dua Tidak Kena Pajak Progresif DPRD Sumatera Utara mengesahkan Peraturan Dae rah tentang Perubahan Perda Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah Provinsi Sumatera Utara, Senin (25/8). Meski Perda yang baru itu memuat sejumlah perubahan persentase pajak, aturan untuk kendaraan roda dua tidak berubah. Juru bicara Badan Legislasi DPRD Sumut, Ristiawati mengatakan, pajak progresif tetap tidak diberlakukan bagi pemilik kendaraan roda dua. “Kepemilikan kenda raan roda dua bagi masyarakat umum dianggap sangat membantu meringankan beban, sehingga belum layak dikenakan kenaikan pajak progresif,” katanya. Menurutnya, perubahan penting terdapat di pasal 9, 21, dan 50. Pada pasal 9 tertulis, pajak progresif un 4
Kombinasi Edisi ke-57 Agusustus 2014
tuk kendaraan roda empat dinaikkan 0,5 persen. Jika sebelumnya pajak kepemilikan kedua untuk kendara an roda empat sebesar 2 persen, kini pajaknya menja di 2,5 persen. Adapun pajak untuk kendaraan ketiga 3 persen, keempat 3,5 persen, dan seterusnya. Pada pasal 21, disepakati perubahan tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) yang turun dari 15 persen jadi 10 persen. Pemerintah Provinsi Sumut mengatakan, tingginya tarif BBNKB di Sumut mendo rong warga membeli kendaraan di luar provinsi. Ada pun pada pasal 50, terdapat perubahan dalam tata ca ra pemungutan penyetoran dan pelaporan pajak ba han bakar kendaraan bermotor yang dikenakan untuk penyedia bahan bakar. www.suarakomunitas.net
Lombok Tengah
Pengusaha Pariwisata Pelit Perlu “Dipremankan”?
P
elaku usaha bidang pariwisata di kawasan Pantai Kute, Lom bok Tengah, Nusa Tenggara Ba rat dinilai pelit oleh aparat desa. Me reka kerap mengeluh soal kebersihan dan keamanan, namun “pelit” dalam memberikan kontribusi. Ketika diun dang ke pertemuan untuk membahas kawasan wisata, mereka biasanya cu ma mengutus petugas keamanan mau pun pramusaji untuk datang. Keluh kesah itu disampaikan oleh Kepala Desa Kute, Kecamatan Pujut, Lalu Badarudin kepada sejumlah war tawan, Kamis (21/08), setelah meng ikuti pertemuan di Kantor Bupati Lom bok Tengah. Menurut Badarudin, para pengusa ha di pantai Kute rata-rata berasal da ri luar desa. Mereka terlalu berhitung secara finansial, namun menuntut pi hak desa untuk melakukan banyak hal. Pada saat terjadi gangguan keaman an di sekitar tempat pariwisata pan tai Kute, mereka mempertanyakan ki nerja aparat. “Pengusaha itu sangat pe lit, setiap bulan hanya mau memberi Rp 200.000 sampai Rp 300.000. Pa dahal keamanan dan kebersihan ha rus dijaga setiap hari. Saat diajak pi hak desa berdiskusi yang diperintah
kan hadir hanya seorang satpam atau waiter-nya saja. Usai rapat utusan cu ma bilang, nanti saya lapor bos. Untuk itu kayaknya ini perlu dilawan dengan cara-cara preman,” ujarnya kesal. Situasi tersebut membuat hubung an antara pihak desa dan pihak pela ku pariwisata menjadi tak harmonis. Sejumlah lembaga masyarakat yang dibentuk untuk menjaga kebersihan maupun keamanan pun tidak terurus. Akibatnya, kawasan wisata di sekitar Pantai Kute pun menjadi tidak aman dan kotor. Menurut Badarudin, sikap cuek pa ra pengusaha tersebut bisa jadi mun cul karena hingga saat ini belum ada regulasi yang mengatur mereka dalam menjalankan aktivitasnya di Kute. “Mungkin karena Perdes (Peratur an Desa-red) yang kita ajukan sekitar empat kali itu tidak disetujui Badan Permusyawaratan Desa (BPD), sehing ga mereka merasa tidak perlu untuk memberikan kontribusi kepada ma syarakat atau lembaga yang siap mem bantu menjaga keamanan ini. Menu rut BPD, Perdes yang kita ajukan itu bertentangan dengan undang-undang di atasnya,” kata Badarudin. www. suarakomunitas.net
Pengusaha itu sangat pe lit. Padahal keamanan dan kebersihan harus dijaga setiap hari. Saat diajak berdis kusi, yang hadir hanya seorang satpam atau waiter-nya saja. Usai rapat utusan cuma bilang, nanti saya lapor bos. Untuk itu kayaknya ini perlu dilawan dengan cara-cara preman. Lalu Badarudin Kepala Desa Kute, Kecamatan Pujut
Luwu Utara
Pelatihan Jurnalisme Warga Liku Dengen Pemuda kampung Liku Dengen di Desa Uraso, Kecamatan Mappe deceng, Kabupaten Luwu Utara, Su lawesi Selatan mengikuti pelatih an jurnalisme warga. Acara yang berlangsung selama 3 hari, yakni pada 5-7 September 2014 itu di khususkan bagi pemuda. Pelatihan tersebut bertujuan un tuk meningkatkan dan mengem bangkan pengetahuan warga da lam memperoleh dan menyampai kan informasi secara tepat terkait kegiatan atau peristiwa yang ter jadi di sekitar pemukiman warga. Basri Andang dari Perkumpulan Wallacea menjadi pemateri. Selama pelatihan, peserta men dapat materi tentang jurnalisme warga, sekaligus wacana ke depan untuk lebih meningkatkan penge tahuan warga mengenai penting nya mendapatkan dan menyam paikan informasi yang berlangsung di sekitar warga. Setelah pelatih an, para peserta diharapkan bisa membuat berita atau informasi ten tang peristiwa yang terjadi di se kitar lingkungan Liku Dengen. “Pelatihan Jurnalisme Warga ini sangat penting dan amat berman faat bagi kami, karena dengan pe latihan ini, kami dapat memper oleh dan menyampaikan informa si secara tepat dari peristiwa yang terjadi di sekitar kami,” kata Wil son, salah seorang peserta pela tihan di sela-sela kegiatan berlang sung. www.suarakomunitas.net
Kombinasi Edisi ke-57 Agustus 2014
5
I
n f o Sek i l a s
celahgelegar.blogspot.com
Aceh Barat Daya
Sosialisasi Isbat Nikah Tanggung Jawab Siapa?
Ilustrasi Pernikahan Dini
Lombok Timur
Pernikahan Dini Picu Kemiskinan
P
ernikahan dini merupakan ka sus lama yang masih saja ter jadi, terutama di kalangan pel ajar. Fenomena ini kembali diung kap dalam sosialisasi hak anak dan dampak pernikahan dini yang diini siasi Yayasan Gagas NTB di aula Kan tor Kecamatan Pringgabaya, Lom bok Timur, NTB, Sabtu (6/9). Sampai saat ini kasus-kasus per nikahan anak di usia remaja banyak ditemukan di lapangan. Selain me ningkatkan angka kemiskinan, ka sus ini menjadi salah satu penyebab rendahnya indeks pembangunan ma nusia di Propinsi NTB. Tidak sedikit pelajar yang putus sekolah dan men jadi pengangguran. “Masalah pernikahan dini adalah kasus sederhana tetapi berdampak amat besar. Terbukti dengan indeks pembangunan manusia di NTB yang menempati urutan 32 dari 33 pro vinsi/kota. Angka kemiskinan ma kin melonjak karena bertambahnya kepala keluarga dari hasil menikah di usia anak,” kata Azhar Zaini, Di rektur Yayasan Gagas NTB. Anak yang menikah di usia dini rentan jadi obyek kekerasan, eksplo itasi, dan perlakuan salah. Anak ju ga rentan menjadi korban kekeras an baik secara seksual, fisik, psikis, maupun penelantaran. Di samping 6
itu ada juga kekerasan yang diaki batkan kondisi sosial ekonomi. Judan Putra baya, Ketua Lemba ga Perlindungan Anak Lombok Ti mur mengatakan, kasus kekerasan, diskriminasi, dan khususnya kasus pernikahan dini merupakan tang gung jawab bersama. Semua harus ikut memberikan penyadaran kepa da masyarakat, anak sekolah dan pe merintah untuk menunda pernikah an di bawah umur. “Kekerasan, pemerkosaan serta perdagangan anak tidak hanya kita temui di layar televisi saja. Kasus ter sebut banyak bermunculan di desa dan di lingkungan kita termasuk ka sus pernikahan anak di bawah umur. Ini tentu jadi tanggung jawab ber sama, baik individu, keluarga, seko lah dan pemerintah melindungi anak. Dan khusus untuk kasus pernikah an dini, penting ada upaya pence gahan,” jelas Judan. Kegiatan sosialisasi hak anak dan dampak pernikahan dini tersebut di hadiri oleh kepala desa, kepala se kolah SMP dan SMA se-kecamatan Pringgabaya. Dalam kegiatan yang diwarnai diskusi alot ini, para kepa la desa dan kepala sekolah bersepa kat akan menyelenggarakan sosia lisasi di tingkat masyarakat. www. suarakomunitas.net
Kombinasi Edisi ke-57 Agusustus 2014
Sidang Isbat Nikah yang digelar Mah kamah Syari’ah pada Mei 2014 masih menyisakan tanda tanya besar di be nak masyarakat. Ini karena dari 518 pasangan suami istri yang mendaftar, hanya 21 pasangan yang dapat meng ikuti sidang isbat nikah tersebut. Kepala Kantor Urusan Agama Kua la Batee Aceh Barat, Daya Asqalani, menyebutkan bahwa kurangnya res pons untuk mengikuti persidangan itu muncul karena minimnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pengu atan hukum sebuah pernikahan. Tapi berdasarkan penelusuran, tidak ada nya sosialisasi pemerintah dan lemba ga terkaitlah yang membuat masya rakat kurang memahami hal ini. Mantan Kepala KUA Blangpidie Ro ni Haldi dalam dialog yang diadakan serikat Pemberdayaan Perempuan Ke pala Keluarga (PEKKA) Kuala Batee, Rabu (13/8), mengatakan, sosialisasi sidang isbat nikah bukan wewenang Kemenag. KUA hanya berfungsi seba gai fasilitator yang menyampaikan pe san dari mahkamah syari’ah bahwa akan diadakan sidang isbat nikah ke liling. Melanjutkan pesan tersebut, se tiap KUA menyampaikan kembali ke kepala desa, dan kemudian baru di sampaikan kepada masyarakat. Pola seperti itu membuat masyara kat tak banyak tahu soal sidang isbat. Sebab selain tidak ada informasi ter tulis, juga tidak ada sosialisasi yang diadakan pemerintah untuk seluruh masyarakat. Jika ingin tahu secara rin ci, mereka harus menanyakan lang sung kepada ketua KUA setempat. Benarkah tak ada pihak yang ber tanggung jawab mensosialisasikan si dang isbat nikah? Bukankah ini tang gung jawab pemerintah untuk men sosialisasikan pentingnya penguatan hukum nikah? Jika semua angkat ta ngan, lantas siapa yang harus disalah kan? www. suarakomunitas.net
Kulonprogo
T
idak kurang dari seribu peta ni yang tergabung dalam Pa guyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulonprogo berkum pul dalam acara syawalan 1435 Hijri ah di Desa Garongan, Kecamatan Pan jatan, Kulonprogo, DI Yogyakarta, Se lasa (12/8). Di samping mempererat silaturahmi, syawalan itu juga untuk memperkuat tekad petani dalam me nolak rencana tambang pasir besi di pesisir selatan Kulonprogo. Maka selain lantunan doa-doa, sya walan siang itu juga diwarnai dengan pekik penolakan rencana tambang. Ke tua PPLP Kulonprogo Supriyadi dalam sambutannya mengatakan, petani te tap menolak rencana penambangan pasir besi di pesisir Kulonprogo. “Pe tani tak akan menjual tanah yang se karang ini ditempati, maupun digarap, kepada pihak lain,” katanya. Menurutnya, saat ini warga secara resmi memiliki sekitar 75 persen la han pesisir pantai. Ini dibuktikan de ngan sertifikat hak milik, C1, dan se Foto: salah satu bentuk aksi peno lakan petani Kulonprogo atas rencana penambangan pasir besi.
bagainya yang semuanya resmi. Pajak tanah yang sudah menjadi hak milik juga dibayar warga setiap tahun. Adapun sisa lahan sebesar 25 per sen adalah tanah yang saat ini diincar sebagai lahan penambangan pasir be si. Tanah tersebut dianggap sebagai tanah kritis yang tidak digunakan se hingga kini diincar sebagai lahan tam bang. Padahal warga telah lama meng garapnya sebagai lahan pertanian. Menurutnya, petani akan tetap ber pegang pada hukum negara, antara la in pada undang-undang nomor 5 ta hun 1960 yang mengatur agraria. Di salah satu pasalnya dijelaskan, lahan yang ditelantarkan lebih dari 20 ta hun akan hilang hak kepemilikannya. Berdasarkan itu, hak kepemilikan atas lahan tidak bersertifikat yang saat ini digarap petani dianggap hilang kare na lahan tersebut telah ditelantarkan selama tak kurang dari 60 tahun. Petani juga sepakat untuk memper tahankan lahan pesisir sebagai cagar alam. “Ini demi kepentingan orang ba nyak. Sebab jika pasir yang ada di pe sisir Kulonprogo diambil, cagar alam akan rusak sehingga jika ombak pan tai selatan naik, air akan meluap hing ga jauh ke daratan,” kata Supriyadi.
Selain anggota PPLP Kulonprogo, acara syawalan itu juga dihadiri oleh sejumlah komunitas yang juga tengah menghadapi ancaman perampasan la han. Di antaranya adalah Wahana Tri Tunggal dari Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kulonprogo yang lahannya ba kal dijadikan bandar udara, serta ko munitas dan lembaga lainnya. Syamsudin dari Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Yogyakarta yang ju ga hadir dalam syawalan tersebut me nuturkan, LBH dan PPLP Kulonprogo sudah menjalin kerjasama sejak 2007. Pihaknya merasa bangga karena para petani tetap bersemangat untuk mem pertahankan haknya. “Karena yang ki ta tuntut saat ini adalah hak kita. Kita tidak sedang meminta belas kasihan,” kata Syamsudin. Kyai Muafak yang mengisi ceramah syawalan mengatakan, syawalan ada lah sarana halal bihalal serta sarana mempertahankan kerukunan. Keru kunan antarwarga sangat penting ka rena semua rukun adalah faktor uta ma guna meraih tujuan. Di Kulonpro go, menurutnya petani bakal mampu mencapai tujuan menolak renca na tambang pasir besi jika bisa tetap rukun dan berjuang bersama. IS
Kombinasi Edisi ke-57 Agustus 2014
7
radarjogja.co.id
Syawalan Memperkuat Semangat Tolak Tambang
U
tama
Media Komunitas dan Pemilu Oleh Idha Saraswati, M Affandi, A Dananjaya
8
Kombinasi ď Ź Edisi ke-57 ď Ź Agusustus 2014
Selama pemilihan calon anggota legislatif maupun presiden, sebagian besar media komunitas telah menjalankan peran sebagai penyedia informasi terkait pemilu bagi komunitasnya. Peran semacam itu perlu terus dilanjutkan oleh para pegiat media komunitas dengan aktif mengawal hasil pemilu agar para anggota legislatif maupun presiden tidak melupakan janji-janjinya.
S
inam, Ketua Jaringan Radio Komu nitas Indonesia (JRKI) mengatakan, di dunia penyiaran, ada dua hal me nonjol yang terjadi selama masa pemilu. Pertama, dunia penyiaran menyambut pemilu dengan semarak. Berba gai jenis media, dari media arus utama hing ga media sosial, aktif menyebarkan informa si terkait pemilu. Media komunitas pun tu rut mendorong semaraknya dunia penyiaran selama masa pemilu. Hal itu membuat per hatian masyarakat ke pemilu meningkat, se hingga partisipasi pemilih pun meningkat. “Waktu itu ada kekhawatiran bahwa pe milu akan kalah heboh dibandingkan piala dunia, tapi ternyata justru piala dunia yang kalah heboh,” katanya, saat dihubungi per tengahan September lalu. Namun di sisi lain, banyak pelanggaran pe nyiaran selama masa pemilu. Hal ini bisa di lihat dari maraknya penggunaan media arus utama sebagai alat politik bagi para pemilik media. Ini terutama bisa dilihat di sejumlah stasiun televisi yang menjadi media kampa nye bagi partai maupun calon presiden ter tentu sehingga pemberitaannya menjadi ti dak berimbang. Akibatnya media penyiaran tak berpihak pada rakyat. Itu ternyata tak bi sa dibendung oleh regulasi penyiaran. Dalam kondisi seperti itu, media komuni tas punya peran penting dalam memberikan informasi yang lebih berimbang bagi warga. Sebab, media komunitas merupakan media yang dikelola oleh dan untuk komunitas. Di masa pemilu lalu, radio komunitas da lam jaringan JRKI sudah ikut berperan aktif mendidik komunitasnya. Tidak sekadar me nyosialisasikan jadwal pemilu serta aturan
pencoblosan, mereka juga berupaya membe rikan referensi bagi para calon pemilih ten tang riwayat calon anggota legislatif yang bertarung dalam pemilu. JRKI juga mewanti-wanti anggotanya un tuk menjaga kepentingan komunitas sehing ga tidak memanfaatkan medianya sebagai alat kampanye kandidat ataupun parpol ter tentu. Netralitas harus dijaga. Hal itu meru juk kepada peraturan penyiaran yang sudah ada, juga aturan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). “Namun justru aturan-aturan itulah yang dilanggar baik oleh media maupun oleh lembaga seperti KPU yang tidak bisa bertin dak tegas,” tutur Sinam. Meskipun netral alias tidak berpihak, me dia tetap punya kewajiban untuk melakukan edukasi. Itu sebabnya sejumlah radio komu nitas ikut menjadi relawan demokrasi di ba wah koordinasi KPU. JRKI juga menyerukan anti politik uang ada calon pemilih. Rakom Pandawa FM di Kabupaten Sidoar jo, Jawa Timur, misalnya, aktif menyosialisa sikan pemilu dengan bergabung sebagai re lawan demokrasi KPU Sidoarjo. Widodo, pe giat Rakom Pandawa FM mengatakan, sega la informasi terkait teknis penyelenggaraan pemilu dari KPU disiarkan di radio ini. Tuju an utamanya adalah untuk mengurangi juml ah orang yang tidak menggunakan hak pi lihnya alias golput.
Masih Normatif? Meski aktif dalam pemilu, informasi yang disebarkan media komunitas dipandang ma sih normatif karena hanya mengabarkan halhal teknis seputar penyelenggaraan pemilu, mulai dari tanggal pelaksanaan pemilu, lo
Kombinasi Edisi ke-57 Agustus 2014
9
U
tama
Menyi arkan informasi yang lebih dalam, misalnya terkait rekam jejak para calon yang bakal bertarung, mencermati janji-janji ca lon, maupun temuan-temuan pelanggaran kampanye serta adanya politik uang jelang hari pencoblosan, jarang dilakukan oleh media komunitas.
10
kasi tempat pemungutan suara (TPS), hing ga tata cara pencoblosan. Selain itu, tak se dikit media komunitas yang mengikuti isuisu seputar pemilu yang diusung media arus utama sehingga informasi yang disajikan tak sesuai dengan kebutuhan komunitasnya. Menyiarkan informasi yang lebih dalam, misalnya terkait rekam jejak para calon yang bakal bertarung, mencermati janji-janji ca lon, maupun temuan-temuan pelanggaran kampanye serta adanya politik uang jelang hari pencoblosan, jarang dilakukan oleh me dia komunitas. Setidaknya itulah hasil ana lisis konten terhadap berita-berita seputar pemilu yang ditulis pewarta warga dari se luruh Indonesia di www.suarakomunitas.net. (lihat tulisan “Pemilu dalam Suara Komunitas: Masa Depan Media Alternatif”) Menanggapi hal itu, Sinam mengakui bah wa memang banyak media komunitas, ter masuk radio komunitas, yang memilih aktif di wilayah aman. Yakni dengan menyiarkan hal-hal seputar teknis penyelenggaraan pe milu, termasuk menyiarkan iklan layanan ma syarakat bekerja sama dengan KPU. Berita-berita yang lebih kritis terkait pe milu tidak banyak dihasilkan rakom karena pengelolanya harus hati-hati dengan risiko yang dihadapi. Ini karena pengelola rakom dan jurnalis warga pada umumnya rentan di kriminalisasi dengan pasal pencemaran na ma baik. Apalagi perlindungan hukum bagi pewarta warga saat ini masih lemah. Mengawasi Bercermin dari peran media komunitas di masa pemilu, kini media komunitas perlu semakin berperan aktif dalam mengawal ha sil pemilu. “Pemilu ini kan mengasilkan pro duk, yakni anggota DPR dan presiden. Jadi, pascapemilu tugas radio komunitas adalah memastikan bagaimana keluaran pemilu itu,” terang Sinam. Pengawasan itu bisa dilakukan dengan tu rut mengawasi kinerja anggota legislatif dan eksekutif. Misalnya dengan ikut memantau proses perumusan kebijakan sehingga pro ses itu bisa transparan dan partisipatif. Tu juannya tentu saja adalah lahirnya kebijak an yang baik. Dalam perumusan anggaran daerah, misalnya, media komunitas bisa ak tif memantau proses tersebut sehingga akhir nya bisa ikut andil dalam mendorong ang garan yang berpihak pada rakyat. Selain itu, media komunitas juga bisa ber peran dalam mendorong warga untuk ber
Kombinasi Edisi ke-57 Agusustus 2014
partisiasi aktif dalam mempengaruhi proses pengambilan suatu kebijakan. Melalui prog ram siaran maupun rubrik-rubrik yang ada di medianya, media komunitas juga bisa jadi jembatan komunikasi antara partai politik maupun anggota legislatif dengan warga. Peran semacam ini antara lain dilakukan oleh Primadona FM, radio komunitas di Lom bok Utara, Nusa Tenggara Barat. Menurut M Syairi, pengelola Primadona FM, selama ma sa kampanye pemilu radio komunitas ini ak tif menjembatani diskusi antara warga de ngan calon anggota legislatif yang daerah pe milihannya berada dalam jangkauan siaran Primadona FM. Kini, pascapemilu, Primadona FM bersiap menagih janji anggota legislatif yang sudah terpilih. Salah satu isu utama yang menjadi fokus radio komunitas ini adalah alokasi ang garan daerah untuk pendidikan. Mereka me nuntut realisasi anggaran pendidikan sebe sar 20 persen seperti yang dijanjikan sejum lah anggota legislatif saat kampanye. Di Palopo, Sulawesi Selatan, pascapemilu radio komunitas Tolakekaju FM fokus men dorong anggota legislatif di tingkat daerah untuk membuat regulasi pengembangan ja ringan hutan adat yang lebih berpihak pada rakyat. Basri Andang, pengelola Tokalekaju FM mengatakan, regulasi itu perlu ada agar ke depan pengelolaan lahan bisa lebih me rata. Selama ini, radio komunitas Tokalekaju FM yang diinisiasi Perkumpulan Wallacea Pa lopo memang fokus mengangkat isu penge lolaan sumberdaya alam yang berkeadilan. Regulasi Penyiaran Sebagai bentuk refleksi terhadap geliat du nia penyiaran di masa pemilu, selain berpe ran aktif dalam mengawal hasil pemilu, me dia komunitas juga masih harus terus turut membenahi regulasi penyiaran. Apalagi, re gulasi penyiaran yang saat ini berlaku ma sih belum benar-benar memberi ruang yang leluasa bagi pegiat media komunitas. Selain itu, reformasi regulasi penyiaran dipandang amat perlu dilakukan jika melihat kiprah se jumlah media arus utama yang berubah ja di media kampanye di masa pemilu lalu. Sinam mengatakan, pascapemilu ada be berapa hal yang perlu dibenahi di bidang re gulasi penyiaran. Pertama menyangkut ke pemilikan media yang harus diatur dengan tegas mengingat peran media sebagai peng awal demokrasi. Ke depan media mestinya ti dak boleh lagi digunakan sebagai alat kam
liputan6.com
panye oleh pemiliknya karena media meru pakan pengawal demokrasi. Yang kedua menyangkut alokasi frekuen si bagi media komunitas. Untuk radio komu nitas, misalnya, saat ini alokasi frekuensinya hanya 1,2 persen. Selain itu proses mengurus izin pendirikan radio komunikasi seringkali lama dan sulit. Akibatnya ada banyak radio komunitas yang beroperasi tanpa mengan tongi izin meskipun pengelolanya sudah la ma mendaftarkan proposal perizinan ke ko misi penyiaran daerah. Di samping itu, peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) baik di daerah maupun pu sat perlu diperkuat agar dapat menjalankan fungsinya dalam mengontrol penyiaran. “Mi sal jika ada media yang dimanfaatkan untuk politik praktis oleh pemiliknya, dan jika pe ran KPI kuat, dia bisa memberi sanksi terha dap media tersebut,” kata Sinam. Sebagai bentuk komitmen kepada demo krasi, pascapemilu JRKI juga ikut aktif me nolak wacana pemilihan kepala daerah me lalui DPRD. JRKI lebih mendukung pilkada langsung yang dipandang lebih demokratis. Radio komunitas merupakan media yang la hir dari rahim demokrasi, sehingga mendu kung pilkada langsung adalah keharusan ba gi radio komunitas.
Adapun untuk internal JRKI, lanjut Sinam, para anggota perlu saling mengadvokasi di ri untuk mendorong adanya perlindungan dan regulasi yang berpihak pada media ko munitas. Salah satu tujuannya adalah supa ya posisi pewarta warga bisa diakui setara dengan jurnalis dari media arus utama. Selain itu, secara internal JRKI dan para pegiat media komunitas lainnya perlu terus meningkatkan kapasitas antara lain dengan menyusun kode etik, mengadakan dan meng ikuti pendidikan jurnalistik, menambah pe ngetahuan agar bisa mengangkat nilai lokal ke dalam media komunitas yang dikelola, dan sebagainya. Saat ini, JRKI memiliki 423 anggota yang tersebar di 17 provinsi. Dengan jangkauan siaran yang terbatas di wilayah tertentu, ra dio komunitas tetap bisa berperan maksimal dalam memantau kebijakan legislatif dan ek sekutif di daerahnya masing-masing. Di luar itu, masih ada berbagai jenis me dia komunitas, baik berupa media cetak, elek tronik, maupun portal yang tersebar di ber bagai wilayah di Indonesia. Dengan jumlah dan persebaran yang terus bertambah, me dia komunitas bisa memiliki peran yang se makin signifikan dalam mendorong tata ke lola pemerintahan yang baik.
Foto: para awak media meliput salah satu rangkaian kegiatan Pemilu 2014 di kantor KPU Pusat, jakarta.
Kombinasi Edisi ke-57 Agustus 2014
11
U
tama
Pemilu dalam Suara Komunitas
Masa Depan Media Alternatif Gambaran keriuhan pemilu lalu, baik legislatif (pileg) dan presiden (pilpres) mudah dijumpai di ratusan baliho, spanduk hingga tempelan pamflet yang bertaburan di jalan saat itu. Tak hanya di media luar ruang, hal serupa pun memenuhi media massa seperti koran, majalah, radio, media dalam jaringan (daring) dan televisi. Oleh Ferdhi F Putra
12
D
i televisi, kampanye para caleg le bih bersifat kolektif. Bukan cuma suara caleg yang muncul, melain kan suara partai politik. Ketidak berimbangan pemberitaan terka it dukungan politik pemilik modal amat ter lihat di televisi. Sebagai contoh TV One yang lebih banyak mengangkat berita-berita ten tang Partai Golkar. Begitupun dengan Metro TV yang lebih sering memberitakan tentang perjalanan Partai NasDem. Media massa pada saat pemilu cenderung menjadi alat komunikasi satu arah (nirdia lektika), cenderung menjadi media propa ganda kelompok tertentu. Muncullah perten tangan antara media korporat dengan pub lik sebagai audiens. Hal ini bakal terlihat je las bila kita menggunakan paradigma kritis. Eriyanto (2001) mengatakan bahwa media adalah alat kelompok dominan untuk mema
Kombinasi Edisi ke-57 Agusustus 2014
nipulasi sekaligus mengukuhkan kehadiran nya sembari memarjinalkan kelompok lain yang kurang dominan. Dalam kasus media massa dan pemilu di Indonesia, publik tidak pernah punya posisi tawar. Publik dipaksa mengonsumsi apa yang disajikan oleh media korporat serta terseret oleh isu-isu yang se sungguhnya elitis. Everett M. Roger (1994) pun berkesimpulan bahwa ternyata media bukanlah entitas yang netral, tetapi bisa di kuasai oleh kelompok dominan. Praktik ini lah yang kemudian membuat media dipenuhi prasangka, retorika dan propaganda (Eriyan to, 2001: 23).
Harapan pada Media Komunitas Melihat kecenderungan media arus uta ma dalam mengemas isu pemilu, ada harap an terhadap media komunitas untuk menja di media pembelajaran—bukan sekadar ju alan—politik bagi masyarakat akar rumput. Atau paling tidak, menjadi penyeimbang isuisu media arus utama. Ketika ‘perang’ opini pilpres berada di level tertingginya, laman pe warta warga www.suarakomunitas.net meri lis sebuah tajuk mengenai eksistensi media komunitas di tengah euforia pemilu pada 6 Juni 2014. Tajuk tersebut mendorong mediamedia komunitas untuk menjadi ruang nonpartisan yang mampu memberikan pendi dikan politik yang mencerahkan bagi masya rakat sekaligus mengajak mereka supaya te tap kritis dalam menyikapi pemilu (suarako munitas.net, 6 Juni 2014). Tim Analisis Isi Suara Komunitas merekam aktivitas pewarta warga di suarakomunitas. net dalam dua periode, yakni pemilihan le gislatif (Januari-Mei 2014) serta pemilihan presiden (Juni-Juli 2014). Hal itu dilakukan guna memudahkan pembacaan terhadap ma sing-masing isu, karena dinamikanya cukup berbeda. Setiap berita diklasifikasi ke dalam 3 kategori yakni, normatif (seputar tahapan pemilu secara ideal, seperti sosialisasi regu lasi dan sebagainya), kritis (seputar pemilu dengan wacana kritis) dan konflik (seputar pelanggaran beserta sengketa yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu).
Pada periode pileg, berita yang diunggah oleh para pewarta warga dari beberapa wi layah di Indonesia mencapai 97 berita. Seba nyak 52 berita atau 54 persen dikategorikan sebagai berita normatif, 23 berita atau 24 per sen kategori kritis, dan 22 berita atau 23 per sen kategori konflik. Sementara pada periode pemilihan pre siden, total berita yang diunggah mencapai 24 berita. Berita normatif sebesar 71 persen (17 berita), kritis 25 persen (6 berita) dan be rita yang masuk ke dalam kategori konflik 4 persen (1 berita). Jika kita lihat berdasarkan data-data tersebut, media komunitas masih berkutat pada isu-isu normatif meskipun te tap muncul berita kritis yang menarik. Contohnya berita dengan judul “Demokra si dan Penyakit Sosial” (suarakomunitas.net, 24 Maret 2014) yang ditulis pewarta warga asal Pekalongan, Buono. Dia menyoroti kon tradiksi pemilu yang di satu sisi membuka ru ang partisipasi warga, tetapi sekaligus juga membuka peluang politik uang yang bersi fat destruktif bagi masyarakat. Hal lainnya adalah upaya pendidikan politik dari dan un tuk masyarakat akar rumput. Seperti yang dilakukan oleh Forum Warga di Cilacap yang bekerja sama dengan beberapa kelompok un tuk mengadakan pendidikan politik bagi ke lompok buruh migran (suarakomunitas.net, 29 maret 2014). Sementara pada periode pilpres, di mana suasana politik lebih panas dibanding pileg, isi berita yang mengkritisi jalannya proses pemilu—baik ditingkatan elit maupun akar rumput—menjadi lebih tajam. Sebagai con toh, pewarta warga Kabupaten Lombok Uta ra, Syairi, mengangkat isu mengenai media (arus utama) yang dianggap tak berimbang dalam memberitakan konstelasi politik ke dua pasangan capres. Dalam berita itu diku tip komentar seorang warga yang bernama Jaelani, “Saya berharap Bawaslu dan peme rintah yang menangani media penyiaran un tuk mengawasi dan berita-beritanya disaring sehingga tidak membuat bingung pemirsa, pembaca ataupun pendengarnya,” (suarako munitas.net, 8 Juni 2014).
Memudarnya Harapan Kecenderungan media komunitas di ma sa pemilu itu bisa dilihat dari dua sudut pan dang. Pertama, bahwa media komunitas ma sih cenderung melihat fenomena tanpa daya kritis. Padahal media komunitas diharapkan mampu menjadi penawar atas media-media
arus utama yang kerap mengabaikan fungsi pendidikan sebuah media. Kedua, bahwa pa da dasarnya media komunitas memang bu kanlah antitesis dari media arus utama, se hingga dominannya berita-berita normatif dan minimnya nilai-nilai kritis menjadi sebu ah kewajaran. Seperti halnya media arus utama, media komunitas sedikit banyak akan dipengaruhi subjektivitas para pegiatnya. Atau dalam kon teks pemilu, media komunitas dipengaruhi pilihan politik mereka. Sebenarnya hal ini ti dak menjadi masalah selama tak berpenga ruh terhadap kualitas berita yang ditampil kan, agar tetap sesuai dengan harapan-ha rapan terhadap media komunitas. Yang menjadi masalah adalah jika pewar ta warga terjebak arus berita media arus uta ma dan mereproduksinya di media komuni tas. Mestinya media komunitas bisa meng ambil momentum di saat media arus utama maupun media sosial cuma menjadi ruang kampanye negatif maupun kampanye hitam. Yakni momentum untuk memunculkan su ara masyarakat akar rumput yang sesung guhnya ke ruang publik, sebagaimana sema ngat dasar keberadaannya.
Masa Depan Media Komunitas Colin Todhunter, mantan pengamat kebi jakan sosial asal Inggris yang kini menjadi jurnalis, pernah mengatakan bahwa keber adaan media komunitas menjadi ‘ancaman’ bagi media arus utama yang cenderung ber sifat komersil, menghamba pada sistem so sial yang korup dan berpihak kepada orang atau golongan tertentu yang merupakan pe milik dari media tersebut. Ia menyebutnya, “menjadi bagian dari lingkaran konglomera si, oligarki politik dan ekonomi” yang sama sekali tidak berpihak pada publik. Dalam konteks media komunitas di Indo nesia, khususnya suarakomunitas.net, per nyataan Colin perlu dikaji lagi. Benarkah me dia warga (suarakomunitas.net) sudah men jadi ‘ancaman’ bagi media arus utama? Be narkah ada perbedaan yang substantif anta ra media komunitas dengan media arus uta ma? Analisis di atas dapat menjadi jawaban sederhananya. Inilah yang perlu diperjuang kan bersama, agar media komunitas kemba li pada semangat dasarnya dan tak lagi seka dar mereproduksi media arus utama. Fershi F Putra, Analis Konten Suara Komunitas di Combine Resource Institution
Kombinasi Edisi ke-57 Agustus 2014
13
U
tama Media Komunitas dalam Pemilu
Ketika Media Arus Utama Tak Lagi Dapat Diandalkan Perdebatan tentang independensi media kembali mengemuka dalam Pemilu 2014. Politisi dan pemilik media secara terbuka berkolaborasi memanfaatkan media untuk melakukan berbagai strategi mengekspresikan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Dari sekadar pencitraan politik hingga modus-modus pembentukan opini untuk memilih atau tidak memilih kandidat tertentu yang menjadi kawan atau lawan politiknya.
Oleh Iwan Awaluddin Yusuf Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Lembaga Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA), Yogyakarta.
14
D
iskusi tentang pemanfaatan me dia untuk kepentingan politik se sungguhnya bukanlah hal baru. Di Amerika Serikat misalnya, stu di tentang kemenangan Presiden John F. Kennedy atas lawannya Richard Ni xon di tahun 1960, selalu dikaitkan dengan keberhasilan sang presiden mempopulerkan dirinya melalui televisi. Dalam buku Media Impact (2010), Shirley Biagi menyatakan bahwa berita-berita di te levisi dan penampilan Kennedy pada saat de bat kampanye berlangsung melalui televisi telah membuat jutaan rakyat Amerika Seri kat berbondong-bondong datang ke tempat pemungutan suara untuk memberikan pilih an mereka pada Kennedy. Senada dengan pemikiran tersebut, Alts chull (1984) menyindir bahwa isi media se nantiasa mencerminkan kepentingan mere ka yang membiayainya. Fakta ini diperjelas oleh Noam Chomsky dalam buku Manufac turing Consent. Dia mengkritik tajam posisi media yang tidak lagi bersifat netral. Ada ba nyak kepentingan oportunis yang tidak se suai dengan fungsi dasar media. Kekuatan be sar yang mengontrol dan membiayai media menyebabkan agenda utama media adalah menggiring publik pada pembentukan opi ni sesuai dengan kebutuhan sang penguasa media, termasuk dalam urusan politik. Bagaimana dengan Indonesia? Monopoli dan pemusatan kepemilikan media di Indo nesia semakin kuat. Bahkan sistem penyiar an Indonesia mengarah ke sistem sentralis tik karena kepemilikan lembaga penyiaran
Kombinasi Edisi ke-57 Agusustus 2014
swasta terpusat pada beberapa individu dan kelompok. Ironisnya, beberapa di antara pe milik media tersebut memiliki ambisi kuat dan terlibat langsung dalam aktivitas politik/ pemilihan umum. Akibatnya, berita-berita pemilik yang me miliki agenda politik dengan jumlah persen tase yang signifikan mempersempit ruang pemberitaan. Kondisi ini berimplikasi pada langkanya isu-isu publik yang mestinya bisa diangkat media. Dengan kata lain, masuknya agenda pemilik mau tak mau menggeser be rita-berita penting lainnya yang relevan dan signifikan bagi publik. Dalam situasi seperti ini, sekali lagi, pub lik dirugikan akibat minimnya informasi ber kualitas yang relevan bagi kehidupan mere ka. Dalam konteks pemilu, penyalahgunaan media sudah merampas hak-hak publik un tuk memperoleh informasi pemilu yang le bih beragam karena durasi yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk tayangan-tayang an yang informatif, justru diisi oleh wajahwajah para pemilik stasiun TV, capres dan ca wapres yang didukung, serta partai politik dari kelompok kepentingan mereka. Alhasil, sebagian media arus utama cenderung tidak lagi dapat diandalkan kredibilitasnya dalam menyampaikan informasi tentang pemilu. Regulasi di Indonesia sebenarnya sudah mengatur penyalahgunaan stasiun televisi untuk kepentingan pemilu ini dalam UU No mor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pada pasal 36 ayat 4 dijelaskan bahwa siaran wa jib dijaga netralitasnya dan tak boleh meng utamakan kepentingan-kepentingan golong
repro venitism.blogspot.com
an tertentu. Hal ini diperkuat dengan pasal 22 ayat 5 yang berbunyi, “lembaga penyiar an harus menjaga independensi dalam pro ses produksi program siaran jurnalistik un tuk tidak dipengaruhi oleh pihak eksternal atau internal, termasuk pemodal atau pemi lik lembaga penyiaran”. Dengan demikian, larangan penyalahguna an televisi untuk kepentingan politis pemi lik media yang tak berhubungan dengan ke pentingan publik secara tegas sudah diatur dalam Undang-undang Penyiaran. Selain me langgar UU, tayangan kampanye politik de ngan beragam modus juga melanggar Pedo man Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran tahun 2012, yang dikeluarkan Komi si Penyiaran Indonesia. Dalam pasal 11 ayat 2 dinyatakan bahwa “lembaga penyiaran wa jib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran”.
Media Komunitas Aturan di atas kertas boleh jadi cukup te gas, namun penegakan dan pemberian sank si atas pelanggaran aturan dalam praktiknya seringkali tidak sejalan. Terbukti dari keti dakberdayaan regulator memberikan sank si tegas kepada pengelola televisi pelanggar aturan main pemilu. Pada kondisi demikian, kehadiran media komunitas amat penting dalam diskusi me ngenai demokratisasi media di masa pemilih an umum, terlebih di tengah tatanan media di Indonesia yang sangat didominasi swasta sebagai arus utama. Terlalu dominannya lem baga penyiaran swasta yang tunduk pada ra
Terlalu dominan nya lembaga penyiaran swas ta yang tunduk pada rating dan kepentingan pemilik telah terbukti merusak sendi-sendi de mokrasi pada pemilu 2014.
ting dan kepentingan pemilik telah terbukti merusak sendi-sendi demokrasi pada pemi lu 2014. Oleh karena itu, lembaga penyiaran swasta memerlukan penyeimbang, yakni me dia komunitas. Media komunitas pada dasarnya memain kan peran yang hampir sama dengan media massa pada umumnya, hanya saja pada wila yah (level of playing field) yang terbatas. Ter batasnya jangkauan media komunitas ini jus tru diharapkan dapat memberikan layanan secara lebih spesifik dan membuka partisi pasi penuh kepada komunitas karena media ini merupakan refleksi kebutuhan komuni tasnya. Ini berbeda dengan media swasta ko mersial yang selalu menggunakan logika be saran jumlah penduduk dan potensi ekono mi untuk membuka jaringannya. Akibatnya, daerah-daerah yang miskin dan secara eko nomi tidak menguntungkan tak akan men dapatkan layanan media swasta. Secara filosofis, urgensi keberadaan me dia komunitas adalah sebagai media alter natif yang mengusung keberagaman kepemi likan (diversity of ownership), yang juga men dorong adanya keberagaman isi (diversity of content) dalam melayani komunitasnya yang juga beragam. Oleh karena keberagaman ke pemilikan itulah, masyarakat dapat melaku kan kontrol sendiri (self controlling) terha dap isi media. Pengelola media komunitas ti dak dapat sewenang-wenang menampilkan isi media yang tak sesuai dengan nilai, atur an, maupun budaya komunitas. Dibandingkan jurnalisme arus utama yang memaknai berita sebagai konstruksi atas re Kombinasi Edisi ke-57 Agustus 2014
15
U
tama
Praktik penyeleng garaan jurnalisme warga harusnya tak dikendalikan oleh pihak mana pun sehingga mereka memper oleh kebebasan penuh dan amat independen. Karena itu, prinsip-prinsip atau nilai yang dibangun jurna lisme warga bisa menjadi antitesis dari jurnalisme arus utama.
16
alitas sosial yang dianggap penting dan me narik bagi banyak pembaca, jurnalisme pa da media komunitas menekankan pada as pek participation (partisipasi), proximity (ke dekatan), dan humanity (kemanusiaan). Jurnalisme pada media komunitas meru pakan proses pengumpulan data, penulisan, penyuntingan, dan penyebarluasan informa si oleh warga secara mandiri, nonprofit, me rupakan ekspresi jati diri reporter maupun kebudayaan masyarakat sekitar. Praktik pe nyelenggaraan jurnalisme warga seharusnya tidak dikendalikan oleh pihak manapun se hingga mereka memperoleh kebebasan pe nuh dan amat independen. Karena itu, prin sip-prinsip atau nilai yang dibangun oleh jur nalisme warga dapat menjadi antitesis dari jurnalisme mainstream. Jack Snyder (2003) melihat peran positif yang dapat dimainkan media komunitas, se perti sebagai pendidik, pengidentifikasi ma salah, penyedia forum, dan penguat (revital itator) sosiokultural bagi komunitas. Peran utama ini bersinergi dengan prinsip-prinsip good local governance, misalnya partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas di tingkat ko munitas. Partisipasi berarti adanya peran ak tif masyarakat dalam pengambilan keputus an. Transparansi didasarkan pada hadirnya mekanisme penjaminan akses umum untuk pengambilan keputusan. Sedangkan akunta bilitas menyatakan keputusan dan hasil ak hir dari keputusan harus dapat dipertang gungjawabkan kepada masyarakat. Media komunitas juga mempunyai poten si kontribusi yang signifikan bagi demokra si. Dalam kasus radio komunitas, misalnya, studi Prakoso sebagaimana dikutip Ignatius Haryanto dan Juventus Judy Ramodjo (2009) serta Puji Rianto et.al, (2012) memperlihat kan bahwa kehadiran radio komunitas mem beri kontribusi pada pelaksanaan demokra tisasi di tingkat pedesaan. Sejumlah peran demokratis dibawa oleh lembaga penyiaran komunitas seperti mem beri kesempatan masyarakat untuk mengon trol pemerintah setempat, memaksa adanya transparansi, pertanggungjawaban dari pe merintah kepada masyarakat, serta mengon trol pemilihan kepala desa secara terbuka. Selain berkontribusi dalam menjaga pro ses demokratisasi pada komunitas, di satu sisi, media komunitas juga berpotensi mem bawa efek ambivalen lantaran pegiat media atau pewarta warga seringkali belum beran jak dari pola pemberitaan di media arus uta
Kombinasi Edisi ke-57 Agusustus 2014
ma yang melihat bahkan mengikuti agenda setting media arus utama tanpa daya kritis. Dengan kata lain, media komunitas sering kali gagal menjaga jarak dan ikut larut secara emosional dengan dinamika kompetisi be rita politik di media arus utama, akibatnya liputan menjadi kurang sesuai dengan kebu tuhan spesifik warga.
Peningkatan Kapasitas Menjawab tantangan ini, pengelola media komunitas harus melakukan penguatan in ternal, khususnya dalam menghadapi rang kaian pemilu. Penguatan tersebut dimulai da ri proses rekrutmen atau penunjukan pegi at media komunitas yang ditugaskan secara khusus menjadi pewarta pemilu. Selanjut nya mereka diberi pelatihan atau peningkat an kapasitas tentang pengetahuan dasar da lam meliput dan memberitakan pemilu yang disesuaikan dengan format media maupun kekhasan dan kebutuhan komunitasnya. Pre ferensi awal mengenai karakteristik ini da pat diperoleh dari pengetahuan pengelola media komunitas dan masyarakat sekitar me ngenai informasi apa yang mereka butuh kan terkait pemilu di wilayahnya. Terkait dengan ini, informasi umum yang perlu disampaikan antara lain: hak-hak dan kewajiban warga negara dalam bidang poli tik, tahapan dan tata cara pemilu, profil ca leg, capres, bentuk-bentuk pelanggaran pe milu, rekapitulasi suara, penyelesaian seng keta pemilu. Selain itu, perlu juga disampaikan infor masi yang sederhana, memiliki aspek kede katan dan sangat bermanfaat, tapi tidak di tampilkan oleh media arus utama. Informa si tesebut misalnya lokasi TPS, jadwal pen coblosan, cara menjadi saksi/relawan, peng urusan hak pilih bagi yang belum terdaftar, serta informasi-informasi ringan seputar pe milu yang melibatkan narasumber dari ma syarakat, tokoh masyarakat, panitia pemu ngutan suara, dan aparat setempat. Terakhir, tak kalah penting dan perlu di tekankan kepada pengelola media komuni tas bahwa dalam hiruk-pikuk dan simpang siur informasi tentang pemilu, awak media komunitas harus selalu memperkaya penge tahuan tentang politik, ekonomi, sosial, bu daya, termasuk pemahaman cara kerja dan dampak media, sehingga dalam menyerap dan menyampaikan informasi kepada war ga bisa selalu memiliki konteks, tetap kritis, dan proporsional.
P engelolaan Pengetahuan
Merebut Kewenangan Desa atas Data Hingar bingar pemilihan presiden 2014 telah berlalu. Tapi ada yang menarik dari persaingan para kandidat untuk menjadi orang nomor satu di republik ini, yakni isu desa. Desa menjadi seksi karena para kandidat presiden ingin merebut suara dari 79.702 desa yang ada di Indonesia. Namun apakah desa menjadi seksi semata karena merupakan penyedia calon pemilih (konstituen), ataukah karena para kandidat presiden itu benar-benar menempatkan desa sebagai masa depan Indonesia? Oleh Hernindya Wisnuadji
foto: harianaceh.co.id
J
ika pertanyaan itu diajukan ke pada warga di enam desa di Ka bupaten Gunungkidul, Provin si DI Yogyakarta, maka mereka akan memilih alternatif kedua. Yakni bahwa para pemimpin nasional akan menempatkan desa sebagai nafas In donesia. Artikel ini ditulis berdasarkan peng alaman ke enam desa tersebut dalam upaya merebut kewenangan desa atas data. Ke enam desa itu adalah Nglegi, Nglanggeran, dan Beji yang terletak di Kecamatan Patuk, serta Girisuko, Gi rimulyo dan Girikarto yang berada di Kecamatan Panggang. Agar desa menjadi nafas Indonesia, kelompok-kelompok warga di enam desa tersebut sepakat bahwa warga perlu turut aktif berpatisipasi. Untuk itu, mereka mulai merapatkan baris an. Mereka juga sepakat bahwa me ngelola data secara mandiri akan men jadi titik awal kemandirian desa. Ob rolan antarwarga yang berasal dari beragam latar belakang, mulai dari ke lompok tani, kelompok perempuan, kelompok pemuda, dan kelompok-ke lompok lain pun dimulai untuk meng awali upaya tersebut.
Obrolan serius yang berkaitan de ngan apa yang terjadi di desa ternya ta berhasil mengidentifikasi berbagai persoalan yang selalu berulang. Per soalan-persoalan tersebut kemudian dikumpulkan menjadi daftar masalah yang harus dihadapi oleh desa. Sete lah melihat daftar masalah tersebut, berbagai pihak di tingkat desa kemu dian mulai mengurai akar masalahnya satu per satu. Dengan cara seperti itu, mereka tidak saja mampu mencurah kan kegelisahan-kegelisahannya ter kait pengelolaan desa, namun juga bi
sa mengidentifikasi upaya-upaya gu na mengatasi aneka masalah itu seca ra bersama-sama. Guna mempermudah upaya meng identifikasi kebutuhan, mereka me nyusun daftar kebutuhan dalam em pat sektor utama yang dinilai paling berhubungan dengan kehidupan war ga sehari-hari, yakni kesehatan, pen didikan, ekonomi, dan infrastruktur. Pemetaan kebutuhan ini harus mere ka lakukan untuk mendapatkan gam baran masalah secara terperinci, se hingga ide-ide yang muncul untuk me
Aksi demon strasi para apa rat desa yang menuntut segera disahkannya Undang-undang Desa beberapa waktu lalu.
Kombinasi Edisi ke-57 Agustus 2014
17
P
e n g e l o l aa n Pe n g e t a h u a n
Ilustrasi Rembuk Desa
nyelesaikan masalah itu pun diharap kan bisa lebih tepat. Pemetaan kebu tuhan juga membantu warga dalam menentukan prioritas masalah yang harus diselesaikan. Dari proses tersebut, mereka akhir nya dapat merumuskan rekomendasi terkait hal-hal yang harus dilakukan untuk menyelesaikan berbagai perso alan yang dihadapai warga. Biasanya rekomendasi tersebut senantiasa di tujukan kepada tiga sektor, yakni me nyangkut apa yang harus dilakukan oleh pemerintah, apa yang bisa dila kukan warga, dan apa yang bisa dila kukan swasta atau pihak ketiga. Namun, diskusi yang berlangsung dalam kelompok-kelompok warga di enam desa itu selalu menghasilkan re komendasi yang ditujukan pada pe merintah. Hal ini terjadi lantaran ke lompok-kelompok warga itu telah me mahami hubungan antara warga ne gara dengan negara, yakni bahwa war ga negara telah membayar pajak se hingga negara harus menyelenggara kan pelayanan publik yang terbaik. Pelayanan Publik Setelah memetakan berbagai per soalan yang harus dihadapi desa, me lihat kualitas pelayanan publik meru 18
pakan tahap lanjutan yang harus di lakukan. Pelayanan publik adalah sek tor yang diharapkan bisa mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi de sa. Tapi program-program pelayanan publik itu kerapkali justru melahirkan masalah baru bagi desa. Hal itu dapat dilihat dari program penyaluran beras untuk rakyat mis kin (raskin), bantuan langsung semen
tiknya, penerapan program-program semacam itu ternyata malah menim bulkan kecemburuan sosial. Untuk mengetahui mengapa prog ram-program pelayanan publik itu ti dak berhasil menyelesaikan persoal an desa, perwakilan warga enam de sa itu lantas menemui Tim Koordina si Penanggulangan Kemiskinan Dae rah (TKPKD) Kabupaten Gunungkidul.
Ketidaksinkronan antara pusat dengan daerah bisa dilihat mulai dari hal yang paling vital, yakni data. Pemerintah pusat menggunakan data makro yang berasal dari Badan Pusat Statistik. Padahal data itu tak sesuai dengan riil di desa. Akibatnya, penyaluran program kerap tidak tepat sasaran sehingga rentan memicu konflik. tara masyarakat (BLSM), program ke luarga harapan (PKH), jaminan kese hatan masyarakat (jamkesmas), ban tuan keuangan khusus (BKK), prog ram usaha agribisnis perdesaan (PU AP) serta program-program lainnya. Program-program yang didukung ang garan besar itu seharusnya bisa mem bantu penyelesaian sejumlah perso alan di tingkat desa. Tapi dalam prak
Kombinasi Edisi ke-57 Agusustus 2014
Dari pertemuan itu mereka kemudi an mengetahui bahwa dalam pelak sanaannya, program-program yang di luncurkan pemerintah pusat itu ter nyata setengah hati dalam melibatkan pemerintah daerah. Ketidaksinkronan antara pusat de ngan daerah itu bisa kita lihat mulai dari hal yang paling vital, yakni data. Pemerintah pusat menggunakan data
lsmbumiindonesia.blogspot.com
makro yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai rujukan dalam menetapkan data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS). Padahal data makro BPS itu tak sesuai dengan riil di desa. Nah, data PPLS itulah yang dipakai pemerintah pusat untuk me nentukan sasaran penerima programprogram layanan publik tersebut. Aki batnya, penyaluran program kerap ti dak tepat sasaran sehingga rentan me micu konflik di masyarakat. Hal itu antara lain terlihat dari ha sil pembuktian layanan publik untuk program raskin dan PUAP. Di atas ker tas, program itu diharapkan bisa me ngurangi angka kemiskinan. Namun, hasilnya jauh panggang dari api. Au dit sosial program raskin yang diada kan di dua desa, dan audit sosial PUAP di enam desa menyatakan bahwa ke dua program tersebut berantakan. Karena melihat bahwa data sasar an penerima program raskin tak sesu ai kondisi riil di masyarakat sehingga rantan memunculkan kecemburuan soal, maka di sejumlah desa raskin di bagi rata. Hal yang sama terjadi pada program PUAP. Dengan bekal data per tanian yang tidak valid dan ketidaksi apan desa, penyaluran dana PUAP da ri Kementerian Pertanian senilai Rp
100 juta per desa yang disalurkan le wat Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) pun berlarian tak tentu arah.
Inovasi Sistem Informasi Desa Berpijak dari hasil audit sosial ter hadap kedua program layanan publik tersebut, keenam desa bersama TKP KD Gunungkidul sepakat untuk me nyusun Sistem Informasi Desa (SID) yang terintegrasi dengan data Anali sis Kemiskinan Partisipatif (AKP). AKP memberi kesempatan kepada warga desa guna menentukan dan me nyepakati indikator kemiskinan se buah keluarga sesuai dengan konteks lingkungannya. Penilaian soal miskin tidaknya sebuah keluarga dilakukan di tingkat dasa wisma (per sepuluh ke luarga), untuk kemudian diuji di ting kat pedukuhan dengan melibatkan se luruh warga, sehingga hasilnya diya kini dapat jauh lebih obyektif diban dingkan data BPS. Adapun SID yang berfungsi sebagai instrumen untuk mengolah AKP dan data kependudukan terus dikembang kan untuk memvalidasi data yang di miliki desa. Kini data valid semacam itu mulai dipakai sebagai dasar peng ambilan keputusan pada tingkat de sa, sekaligus dijadikan sebagai data
sanding dari data BPS dalam perenca naan program oleh pemerintah kabu paten Gunungkidul. Inovasi semacam ini juga mulai dikembangkan di level provinsi DI Yogyakarta. Hingga tahun 2012, SID sudah di inisiasi di enam desa. Kemudian pa da tahun 2013, SID telah dikembang kan di 18 desa melalui Program Nasi onal Pemberdayaan Masyarakat (PN PM) Kabupaten Gunungkidul. Dan ta hun 2014, telah ada 20 desa yang me ngembangkan SID lewat Masterplan Program Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI). Sam pai akhir 2014, Gunungkidul memi liki jumlah desa terbanyak yang me ngembangkan SID di Indonesia. Sekarang TKPKD Gunungkidul se dang mengembangkan Sistem Infor masi Supra Desa sebagai instrumen terminal bagi 144 desa yang mengem bangkan SID di seluruh Gunungkidul. Sistem Informasi Supra Desa ini akan sangat bermanfaat untuk meningkat kan kinerja program penanggulang an kemiskinan di tingkat desa sebagai mandat sistem desentralisasi. Hernindya Wisnuadji Pegiat Lumbung Komunitas Combine Resource Institution
Kombinasi Edisi ke-57 Agustus 2014
19
F
ilm
Menonton Labbo dan Rappoa
Nun di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, Desa Labbo dan Desa Rappoa punya kisah sukses dalam mengembangkan Badan Usaha Milik (BUM) Desa serta menjalankan transparansi pemerintahan. Keberhasilan itu diangkat dalam film dokumenter sebagai penyebar inspirasi bagi desa-desa lain di Indonesia. Oleh Khlimatu Nisa
D
esa merupakan pusat sum ber daya alam dan sumber daya sosial yang akan sangat menguntungkan apabila da pat dikelola dengan baik. Pengelolaan aset alam dan aset sosial secara seri us inilah yang ditunjukkan oleh Desa Labbo dan Desa Rappoa. Labbo mam pu menggerakkan kekayaan alamnya untuk mencukupi kebutuhan dan me ningkatkan perekonomian desanya. Sementara, Desa Rappoa menunjuk kan praktik transapransi dan akunta bilitas pemerintahan desa dapat ber langsung dengan kerja sama seluruh unsur masyarakatnya. Media audio-visual dianggap men jadi cara paling efektif untuk memot
ret cerita sukses Labbo dan Rappoa. Pada medio 2013 silam, inisiasi pem buatan film dokumenter di dua desa tersebut muncul berkat prakarsa AC CESS Aus-Aid, Forum Pengembangan Pembaharuan Desa atau FPPD, Indipt, serta Komunitas Rumah Belajar Kaki Gunung Merapi (Kagem) Yogyakarta. Dua film yang didistribusikan secara cuma-cuma ke seluruh desa di tanah air ini diihtiarkan untuk mengampa nyekan praktik baik di Labbo dan Rap poa sebagai inspirasi.
Menilik BUM Desa Labbo Namanya Rosmiyati. Ia adalah se orang ibu rumah tangga sekaligus gu ru di sebuah TK di Desa Labbo. Sam bil memeragakan aktivitasnya di pagi hari, Rosmiyati bercerita, kini air di
Rumah Labbo
20
Kombinasi Edisi ke-57 Agusustus 2014
desa mudah didapat. Tak seperti du lu ketika ibu-ibu harus berjalan jauh ke sungai dan berebut untuk menda patkan air. Setelah adanya BUM Desa di Labbo, air dikelola sedemikian ru pa sehingga dapat mencukupi kebu tuhan dasar warganya. Dalam doku drama bertajuk “Labbo: BUM Desa un tuk Ekonomi dan Pelayanan Air Ber sih” Rosmiyati menuturkan awal mu la berdirinya BUM Desa Labbo. Desa Labbo merupakan sebuah de sa yang terletak di dataran tinggi di ba gian utara Kabupaten Bantaeng. De ngan wilayah seluas 9,8 km2 desa Lab bo sangat kaya sumber daya alamnya. Selain lahan pertanian, peternakan le bah, dan hutan desa seluas 342 hek tar aset lain yang dimiliki Desa Labbo adalah air. Selama ini, akibat pengelolaan yang buruk, meskipun dekat dengan sum ber air, warga masih kerap mengalami kekurangan air. Pengaliran dari sum ber air ke tempat-tempat penampung an warga mulanya dilakukan secara individual. Efeknya, pembagian yang tak merata kerap menyulut konflik.
foto-foto: Dokumen Khlimatu nisa
Dua Desa Inspiratif dari Bantaeng
Pada tahun 2008, Pemerintah Dae rah Bantaeng mendorong desa men dirikan BUM Desa untuk menggerak kan lokomotif perekonomian. BUM De sa pun didirikan di 46 desa di Banta eng, tidak terkecuali di Desa Labbo. Dalam rapat pendiriannya, warga Lab bo sepakat bahwa air menjadi salah satu hal yang akan dikelola oleh BUM Desa. Melalui musyawarah yang ter buka dan demokratis warga memilih salah satu dari mereka untuk menja bat sebagai direktur BUM Desa. Setelah diresmikannya BUM Desa Labbo, warga mulai membangun sa rana distribusi air yang lebih merata. Melalui gotong royong, mereka bahumembahu memasang pipa dan meter an air. Kran-kran juga dipasang dekat rumah warga sehingga mereka tidak perlu lagi berjalan jauh. Dengan ma najemen yang lebih tertata, warga ki ni cukup membayar tagihan air bu lanan ke pengelola BUM Desa. Warga amat terbantu dengan ada nya pengelolaan air bersih oleh BUM Desa tersebut. Di samping kebutuh an dasar makin terpenuhi, hubungan sosial antarwarga tidak lagi berjarak akibat konflik air yang sebelumnya se ring terjadi. Di sisi lain, BUM Desa pun mampu menambah pendapatan desa yang mnafaatnya kembali lagi ke ma syarakat. Di penghujung film ini, Ros miyati merasa bersyukur dengan ke beradaan BUM Desa di desanya. Dia berharap praktik yang baik ini dapat terus dilanjutkan dan diwarisi gene rasi-generasi mendatang. Belajar Transparansi dan Akuntabilitas dari Desa Rappoa Desa Rappoa memiliki keindahan berbeda dari Desa Labbo. Desa ini me rupakan desa pesisir yang terletak di tepi pantai Mararayya dan berbatas an langsung dengan Laut Flores. Ada lah Irwan Darfin, Kepala Desa Rappoa yang menginisiasi adanya keterbuka an dalam pemerintahan desa. Sejak 2009, dia mencoba menerapkan tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Upayanya memperoleh dukungan penuh dari warga. Cuplikan-cuplikan tentang rekon struksi praktik akuntabilitas beserta
Foto atas: rapat warga di Desa Rappoa. Foto kiri: warga Desa Labbo mengambil air.
transparansi Desa Rappoa dimuncul kan dalam dokudrama berjudul “Rap poa: Sebuah Cerita tentang Akuntabi litas dan Transparansi Desa”. Tampak, Desa Rappoa memiliki beberapa pa pan pengumuman di beberapa titik untuk menempelkan dokumen peng gunaan APBDesa. Irwan Darfin juga menggunakan kesempatan seusai iba dah sholat Jum’at di masjid untuk me nyampaikan laporan pemakaian dana tersebut. Grup Facebook pun dikelola oleh pemerintah desa guna menyam paikan informasi kepada warga. Dalam proses perencanaan, pelak sanaan, hingga pengawasan pemba ngunan desa masyarakat selalu terli bat aktif. Usulan-usulan warga, baik perempuan maupun laki-laki bermun culan dalam musyawarah desa dan di tampung untuk dieksekusi bersama. Program pengadaan gerobak sampah misalnya, ditindaklanjuti Desa Rappoa dengan melibatkan sebagian warga. Dengan alokasi anggaran yang jelas, gerobak lantas dibuat dari bahan-ba han lokal yang tersedia di sana.
Keterbukaan dalam pengambilan kebijakan pengurangan jatah raskin juga menjadi hal yang menarik di De sa Rappoa. Pemerintah desa tidak ser ta merta mengambil keputusan seca ra sepihak, namun memilih menda tangi satu per satu warga yang diku rangi jatah raskinnya agar menghin dari kesalahpahaman. Di akhir tahun anggaran, meski se mestinya pertanggungjawaban desa cukup diserahkan kepada kabupaten melalui kecamatan, Desa Rappoa ti dak lantas melupakan warga. Lapor an pertanggungjawaban di hadapan warga digelar secara umum dan ter buka. Kini banyak pihak datang silih berganti untuk belajar transparansi dan akuntabilitas desa di sana. Rap poa juga pernah dipercaya menjadi tu an rumah Fastival Kemandirian Desa Nasional 2012. Banyak pelajaran yang bisa diam bil dari Desa Labbo dan Desa Rappoa. Keduanya mengisyaratkan bahwa de sa memiliki potensi mengelola kehi dupan kolektifnya dengan lebih baik. Film-film ini mengharapkan, semes tinya desa-desa lain menyadari hal itu sehingga turut berbangga menjadi ba gian dari desa dan tetap tinggal untuk berpartisipasi membangun desa. Khlimatu Nisa, Aktif di Televisi Komunitas Kagem TV, Yogyakarta
Kombinasi Edisi ke-57 Agustus 2014
21
P
u s t aka
Taman Bacaan Multatuli untuk Petani Ciseel Lima tahun terakhir ini anak-anak di Kampung Ciseel, sebuah kampung nun jauh di pedalaman hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) mempunyai aktivitas yang berbeda dengan anak kampung biasa. Oleh Aang Kusmawan
S
epulang sekolah dan sebelum waktu mengaji datang, mereka berkumpul, bermain dan mem baca novel berjudul Multatuli secara rutin. Mereka semua melakukan akti vitas tersebut di taman bacaan Mul tatuli. Sebuah taman bacaan yang di rintis sekaligus dikelola oleh Ubaidi lah Mukhtar. Guru Sekolah Menengah Pertama (SMP), jebolan IKIP Bandung, kelahiran Subang. Tidak mudah untuk mencapai Ci seel. Dari terminal Cigajrug, terminal paling selatan di Rangkas Bitung ha nya bisa dijangkau dengan ojek. Infra struktur yang memadai adalah mim pi panjang yang entah akan kapan ter Ubaidilah Mukhtar, guru SMP dan perintis Taman Bacaan Multatuli.
22
capai. Hal ini menjadi wajar meng ingat secara administratif Ciseel me rupakan salah satu kampung yang ter letak di Kabupaten Lebak. Salah satu kabupaten di Provinsi Banten yang se pertinya sulit untuk maju. Tapi di balik itu semua, kita akan segera berdecak kagum ketika sam pai di Ciseel. Di tengah perkampung an di pedalaman, kita disuguhi oleh sebuah rumah dengan lantai keramik dan dinding bilik berwarna. Lalu di ba wah plafon kita dapat membaca se buah spanduk ajakan untuk memba ca dalam bahasa sunda “Hayu Urang Maca di Taman Bacaan Multatuli”. Hampir semua masyarakat Ciseel bekerja sebagai petani. Namun peta ni Ciseel berbeda dengan petani di da erah lain yang biasanya memfokus kan pada satu jenis tanaman pertani an saja. Masyarakat Ciseel menanam berbagai jenis tanaman yang disesu aikan dengan apa yang telah ditanam pendahulunya. Masyarakat Ciseel me nanam padi, durian, dukuh, serta ta naman lainnya. Tidak semua hasil ta ni dijual. Sebagian digunakan untuk konsumsi sehari-hari. Sisanya baru di jual ke pasar. Dengan pola bertani seperti itu, ke hidupan masyarakat Ciseel sulit un tuk beranjak maju. Namun juga tidak mundur. Tak pernah ditemukan kasus kelaparan di Ciseel. Kebutuhan san dang dan pangan masyarakat Ciseel telah terpenuhi dari mengolah alam sekitar. Dengan pola hidup seperti itu, kehidupan masyarakat Ciseel ibarat ja lan di tempat, seperti roda yang ber putar di tempat yang sama dalam jangka waktu yang panjang.
Kombinasi Edisi ke-57 Agusustus 2014
Masyarakat Ciseel tahu betul bah wa kemampuan membaca, menulis dan menghitung merupakan hal pen ting. Karena itu, hampir semua orang tua di Ciseel mengirim anak-anaknya untuk sekolah. Tujuannya hanya satu agar anak-anak mereka mampu mem baca, menulis dan menghitung. Tuju an sekolah tidak lebih dari itu. Pemahaman itu tentu tidak datang dengan sendirinya. Pandangan terse but muncul sebagai dampak dari po la kehidupan yang stagnan. Pendidik an belum dipandang sebagai tempat untuk mengaktualisasikan anak-anak mereka. Pendidikan belum dipandang sebagai sebuah tempat untuk mem bangun mimpi mengenai masa depan yang cemerlang. Dengan demikian, masyarakat Ci seel belum memandang pendidikan secara utuh. Pendidikan baru dipahami setengahnya. Pandangan masyarakat Ciseel atas pendidikan belum genap! Ada ruang kosong yang masih harus diisi. Dalam konteks sosial seperti ini lah Ubaidilah Mukhtar hadir di Ciseel dengan taman bacaan Multatulinya. Perjuangan Ubai Tentu saja mencoba menggenapi hati masyarakat memang bukan me rupakan hal gampang. Tantangannya bukan saja terdapat di benak masya rakat Ciseel saja, namun juga terda pat dalam diri Ubaidilah sendiri. Awal penugasannya sebagai PNS, Ubai ditugaskan bersama dengan de lapan guru. Tapi sekarang yang tersi sa tinggal tiga orang. Dalam bebera pa tahun lima guru mutasi ke sekolah lain yang kondisi infrastrukturnya le bih baik dan jaraknya dekat. Selain itu, jarak yang jauh dengan rumah dan istri merupakan tantang an tersendiri. Rumah dan istri Ubai berada di Depok. Waktu tempuh dari Depok ke Ciseel kurang lebih empat jam. Tentu saja ini bukan jarak yang dekat. Dengan jarak seperti itu, Ubai mustahil untuk pulang pergi. Sehing ga dalam seminggu otomatis Ubai ha nya bercengkrama dengan istrinya ti dak lebih dari dua malam. Sebetulnya jauhnya jarak tersebut bisa sedikit terobati seandainya kon
Foto-foto: readingmultatuli.blogspot.com
Suasana di Taman Bacaan Multatuli. Anak-anak Kam pung diajak bermain, berkumpul dan mem baca novel Multatuli secara rutin.
disi jalan berada dalam kondisi baik. Namun sayang sekali, kondisi jalan yang baik menuju ke Ciseel sepertinya hanya terwujud dalam mimpi setiap orang di sana. Akhirnya jarak yang ja uh ditambah dengan keadaan infra struktur yang sangat buruk menjadi “pelengkap derita” bagi Ubai. Selain tantangan dari dalam tentu saja tantangan dari luar juga datang perlahan. Pernah satu kali beberapa orang yang mengatasnamakan Jawa ra Banten datang dan menginteroga si Ubai dengan cara yang kasar. Na mun tentu saja Ubai menghadapinya dengan tenang. Mereka diajak berdis kusi dan ngopi. Setelah ditelisik, ter nyata mereka memaksa ingin tahu si apa di balik kehadiran Ubai yang gen car mengajak anak-anak Ciseel untuk giat membaca. Menanggapi hal tersebut tentu sa ja Ubai menjawab apa adanya. Tidak ada siapa-siapa dan kepentingan apa pun di balik aktivitasnya mengajak anak-anak Ciseel untuk gemar mem baca. Kalaupun ada, dan itu harus di paksa disebut sebagai kepentingan, maka kepentinganya hanya satu, ya itu untuk menjadikan anak-anak Ci seel lebih pintar membaca yang akan mungkin berdampak terhadap mim pi mereka di masa depannya. Dan dalam rangka menggenapi ha ti masyarakat Ciseel, tantangan-tan tangan tersebut harus selalu dijawab
dengan tepat. Semakin tepat jawab an yang diberikan maka semakin kuat usaha Ubai dalam menggenapkan ha ti masyarakat Ciseel dan dengan de mikian ketika usaha yang dilakukan Ubai semakin menguat maka peluang untuk menggenapkan hati masyara kat Ciseel menjadi lebih besar. Akan tetapi, Ubai tetaplah manu sia biasa yang kadang kala juga me rasakan kebosanan dan kejenuhan da lam menjalankan taman bacaan ter sebut. Saat kejenuhan melanda obat mujarabnya hanya satu saja, yaitu se mangat serta hiruk pikuk anak-anak yang berkegiatan di rumah baca. Kepada penulis, Ubai menyatakan bahwa senyuman, antusiasme dan mi nat anak-anak untuk berkegiatan di rumah baca merupakan menjadi mo tivasi yang paling besar bagi dirinya untuk terus mengelola Taman Baca an Multatuli. Selain itu, Ubai menyatakan bah wa apa yang telah, sedang dan akan dilakukanya di Taman Bacaan Multa tuli hanya satu dari berbagai rangkai an yang seharusnya dilakukan untuk memajukan masyarakat Ciseel. Ibarat peperangan, apa yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh Ubai bukanlah sebuah kemenangan besar. Kalau pun mau dinamai kemenangan, maka bagi Ubai semua kegiatan yang dilakukannya selama ini baru sebatas kemenangan-kemenangan kecil.
Langkah untuk menggenapkan ha ti masyarakat Ciseel sepertinya masih panjang. Dalam amatan penulis, Ubai memang belum berhasil mengubah pandangan masyarakat bahwa fungsi pendidikan untuk memanusiakan ma nusia, dan menjadikan peserta didik menjadi dirinya sendiri sesuai poten si yang dimilikinya. Tapi, Ubai berha sil membuka pandangan bahwa pen didikan itu tidak sekadar untuk bisa membaca dan menulis. Ada hal lain di luar hal itu. Hal lain yang tidak kalah memba hagiakan Ubai adalah ketika mende ngar dan menyaksikan alumni-alum ni Taman Bacaan Multatuli melanjut kan pendidikan ke tingkat menengah atas. Walau jumlahnya baru bebera pa gelintir saja, tetapi setidaknya hal ini menjadi sebuah bukti, sebuah ha sil bahwa mereka telah mampu ber mimpi serta berusaha mewujudkan mimpi tersebut dengan sekuat tena ga. Tentu saja hal itu tak akan terjadi tanpa adanya bantuan dan dukungan orang tua anak-anak tersebut. Aang Kusmawan Blogger yang aktif menulis di aangkusmawan.wordpress.com
Kombinasi Edisi ke-57 Agustus 2014
23
B
udaya
Dokumen M Syairi
Khitan, Simbol Pengislaman di Bayan Dalam kehidupan komunitas adat Wetu Telu, khususnya di Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, terdapat banyak ritual. Oleh M Syairi
A
dapun ritual-ritual yang ber hubungan langsung dengan sistem kosmologi Wetu Telu dapat digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: ritual peralihan individu, meliputi gawe urip dan ga we pati; ritual menjaga keseimbang an antara jagad besar dan jagad kecil yang terimplementasikan dalam upa cara siklus tanam padi; serta ritual penghormatan terhadap roh leluhur yang meliputi ritual selametan subak dan ritual membangar. 24
Khitan atau potong loloq atau ngi tanang termasuk kategori ritual ga we urip. Masyarakat Bayan meyakini tradisi ngitanang berasal dari ajaran Islam. Di Bayan, anak yang belum di potong loloq masih dianggap Bodha, dan potong loloq adalah tanda kalau sang anak sudah Islam. Tradisi masyarakat Bayan memang tidak bisa dipisahkan dari Islam. Da lam beberapa literatur disebutkan, se kitar abad ke-11 Masehi, Desa Adat Bayan awalnya merupakan salah satu kerajaan kecil di Pulau Lombok. Ter bentuknya Kerajaan Bayan berasal da ri pecahan kerajaan tertua di Lombok akibat meletusnya Gunung Rinjani. Ka ta Bayan sendiri tertulis di dalam Al Qur’an, yang artinya penerangan atau penjelasan. Dengan nama itu, masya rakat sekitar meyakini bahwa Islam masuk pertama kali di Lombok mela lui kerajaan Bayan.
Kombinasi Edisi ke-57 Agusustus 2014
Ngitanang bagi masyarakat Bayan selain bermakna sebagai pengislam an, juga dimaksudkan untuk syukur an karena anaknya sudah menginjak remaja. Termasuk di dalamnya ung kapan syukur atas rizki dari Yang Ma ha Kuasa karena dapat menyunatkan anaknya. Salah satu bentuk rasa syu kur itu diwujudkan dalam bentuk po tong kerbau (kao’), makan bersama (meriyap), pemberian seekor ayam jan tan pada penjalak (tukang sunat), pe nabuhan gamelan adat, dan gendang beleq. Jika yang melaksanakan orang kaya, acara seperti ini akan diadakan selama dua sampai tiga hari, bahkan jika bersamaan dengan tahun Alif di laksanakan sampai sembilan hari. Ngitanang wajib untuk anak lakilaki. Lazimnya dilakukan ketika anak berumur antara dua sampai sepuluh tahun. Pada umur ini, kulit loloq (ke lamin laki-laki/penis) masih mudah
Foto kiri: anak-anak yang dikhitan ditandu dan diarak dengan diiringi gendang beleq dan warga komunitas adat Wetu Telu.
untuk dipotong. Walaupun terkadang dirasa menakutkan, namun bagi anakanak tertentu di Bayan ngitanang sa ngat ditunggu-tunggu lantaran mere ka akan mendapatkan banyak hadiah dari saudara-saudaranya. Mereka ju ga akan didandani pakaian adat, di arak dengan iringan gendang beleq, dan ditonton orang banyak.
Hari Baik Prosesi ngitanang diawali dengan mencari hari dan tanggal baik. Kerta malip, tokoh adat Karang Bajo menga takan bahwa waktu yang baik adalah hari Senin dan Kamis pada bulan Ra bi’ul Awal, Rajab dan Sya’ban. Hal ini tentu berbeda dengan pelaksanan khi tanan yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat di Bayan maupun Lom bok yang melakukan khitanan pada hari apapun. Menurut Erni Budiwati dalam bu kunya Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima, di kalangan warga Wetu Telu Bayan, anak laki-laki dikhitan sa at berusia 3 hingga 10 tahun. Adapun kedudukan Raden Penyunat atau tu kang khitan bersifat turun temurun. Lalu mengapa khitanan harus di lakukan pada hari Senin dan Kamis? Menurut penuturan beberapa tokoh adat Bayan, hari Senin dan Kamis ada lah hari yang mulia, karena pada hari Senin Nabi Muhammad Saw dilahir kan, sedangkan hari Kamis beliau di selamatkan dari mara bahaya. Warga setempat juga mengungkapkan bah wa pada hari Senin Nabi Adam mulai menjalani kehidupan di surga, sedang kan pada hari Kamis Siti Hawa dicip takan untuk menemani Adam. Selain alasan itu, alasan lain yang mengemuka adalah kisah tentang Na bi Muhammad Saw yang pertama kali mengkhitan cucunya pada hari Senin. “Biasanya hari Senin prosesi khitan an dilakukan oleh komunitas Pembe kelan Karang Bajo, Senaru dan seki tarnya. Sementara hari Ksamis ngita
nang dilakukan oleh komunitas adat wet Kepembekelan Bayan Barat, Ba yan Timur, Loloan dan sekitarnya,” je las Kertamalip yang juga menjabat Ke pala Desa Karang Bajo ini. Menurut konsep keyakinan mere ka, hari-hari lain tidak boleh diguna kan untuk prosesi khitan karena ala san khusus. Selasa, misalnya, adalah hari saat Tuhan menciptakan api. Ra bu adalah hari diciptakannya angin, Jum’at adalah hari yang suci, Sabtu hari diturunkannya segala wabah pe nyakit, dan Ahad (Minggu) merupa kan hari diciptakannya setan untuk menggoda umat manusia. Dalam buku Ensklopedia Islam kar ya Azyumardi Azra, diceritakan me ngenai khitanan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW pada pada cu
seperti penyakit dan sebagainya. Bah kan ada keyakinan anak yang dikhi tan bakal mengalami gangguan kese hatan (sakit) berkepanjangan,” kata Sirtawali, tokoh adat Sukadana.
Prosesi Biasanya upacara khitanan dilak sanakan dalam dua bentuk, yaitu per tama, warga atau keluarga dipersila kan melaksanakan sendiri, jika me mang mampu secara ekonomi; kedua, sebaliknya dipersilahkan untuk mela kukan bersama-sama (patungan), ji ka tidak mampu. Model kedua ini di kenal dengan sebutan begawe beleq. Setelah hari serta tanggal ditetap kan, tahap berikutnya adalah melaku kan gundem (musyawarah) dengan ca ra mengumpulkan seluruh anggota
Bila komunitas adat melakukan khitanan di samping hari Senin dan Kamis, maka anggota masyarakat akan ditimpa musibah. Bahkan ada keyakinan anak yang dikhitan akan mengalami gangguan kesehatan berkepanjangan. cunya, yaitu Hasan Bin Ali Bin Abi Tha lib dan Husein Bin Ali Bin Abi Thalib pada saat mereka baru berusia tujuh tahun. Konon, prosesi itu dilakukan pada hari Senin. Lalu adakah pantangannya bila ti dak melakukan khitanan anak pada hari Senin atau Kamis? Bagi sebagian umat Islam, menen tukan hari mengkhitan anak tak ada pantangan, semua hari baik, kecuali hari Jum’at. Berbeda dengan komuni tas adat Wetu Telu tidak semua hari bisa digunakan dalam melakukan aca ra ritual khitanan sebab ada pantang an yang diyakini. Bila pantangan ini dilanggar, maka akan timbul musibah. “Bila komunitas adat melakukan khi tanan di samping hari Senin dan Ka mis, maka anggota masyarakat akan ditimpa musibah. Jadi, tak hanya ke luarga si anak yang dikhitan, namun juga semua anggota komunitas adat,
keluarga (Kadang Jari) untuk membe ritahukan niat mengkhitan anaknya, kemudian barulah dilakukan persiap an mengumpulkan perlengkapan. Perlengkapan yang dikumpulkan untuk prosesi ini mulai dari kayu, be ras, kelapa, ketan, kambing atau ker bau bagi yang mampu, alat memasak dan lain-lain. Semua persiapan ini di lakukan secara gotong royong, bahu membahu antara sesama komunitas adat. Seminggu sebelum hari perhe latan, seorang keluarga diutus untuk menyilak (mengundang) Raden Penyu nat (Mak Lokak Penyunat/pencalak) atau juru khitan. Tiga atau dua hari sebelum dilaksa nakannya khitanan, sang anak yang akan dikhitan biasanya dibawa oleh orang tuanya untuk berziarah ke ma kam-makam yang dikeramatkan dan makam keluarganya. Tujuannya un tuk memohon doa keselamatan kepa
Kombinasi Edisi ke-57 Agustus 2014
25
udaya
Dokumen M Syairi
B
da arwah leluhur supaya anak yang akan dikhitan diberikan keselamatan dan dijauhkan dari marabahaya. Se lain itu, mereka membuat sesaji dan sembek serta pedupaan dari keme nyan. Mereka juga membawa ketupat, tikel (ketan yang bungkus daun kela pa muda), dan makanan lainnya. Tahapan berikutnya adalah persi apan ritual berendam di sungai. Anak yang akan dikhitan diarak ke sungai terdekat menggunakan tandu yang di pikul oleh empat orang pria. Bagi ke luarga mampu, arak-arakan menuju sungai biasanya dimeriahkan dengan tetabuhan gong (gendang beleq). Sebelum meninggalkan tempat be rendam tersebut terlebih dahulu sang anak mengambil air doa yang dilaku kan seperti berwudu, lalu digiring pu lang dengan mengenakan kain tem basak (kain kafan). Sesampainya di ru mah, keluarganya akan memasangkan pakaian yang serba baru. Setelah ber pakaian rapi, orang tua lalu memba wa si anak ke Amak Penyilak guna di serahkan ke Mak Lokak Penyunat yang akan mengkhitannya.
Peralatan dan Nilai-nilai Khitan Peralatan yang dipakai dalam ngi tanang cukup sederhana, yaitu pisau kecil bergagang kayu kelapa yang su dah diasah dengan tajam. Pisau ini ha 26
Foto: beberapa anak dipangku orang tuanya sebelum khitanan dimulai.
nya dimiliki oleh Mak Lokak Penyunat. Selain itu ada bambu penjepit loloq, yaitu dua buah bilah bambu kecil ber bentuk pipih yang ditangkupkan se hingga menyerupai supit. Fungsinya untuk menjepit loloq yang sudah di tarik kulitnya, untuk kemudian dipo tong dengan pisau kecil. Selain itu disediakan aik mel-mel, air putih yang sudah dibacakan man tra oleh kyai untuk membasuh loloq yang akan dipotong. Air ini dipercaya dapat mengurangi rasa sakit. Terdapat juga bejana dari kuning an berukuran sedang untuk menaruh beras, kain putih, daun sirih, kapur, dan benang. Dua buah kelapa tua ke ring sebagai tempat duduk anak saat dipotong loloqnya. Campuran ramu an dedaunan yang digunakan untuk mengolesi bekas luka potongan agar tidak banyak keluar darah dan cepat sembuh. Ramuan ini juga dipakai un tuk mengolesi kening sang anak. Se lain itu ada peralatan untuk menjahit bekas potongan, seperti jarum, be nang, gunting, perban, obat luka dan alkohol untuk bius. Saat menjalankan tugasnya, Mak Lokak Penyunat biasa nya didampingi petugas medis.
Kombinasi Edisi ke-57 Agusustus 2014
Pelengkap pendukung lainnya ada lah benang, kepeng bolong, beras, te lur ayam, daun sirih, senget (kapur), buah pinang, rombong beras lengkap dengan tutupnya dan lain-lain. Sesa at sebelum khitanan dimulai, bebera pa orang melakukan tarian Gegeruk Tandak. Setelah selesai, orang-orang berkumpul untuk makan bersama. Masyarakat setempat lebih memi lih alat serta cara tradisional untuk menghitan anaknya, ketimbang cara modern. Ini karena mereka menaati norma atau hukum adat yang diwa riskan secara turun temurun. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam ngitanang ini antara lain, per tama nilai kebersamaan. Hal ini ter cermin mulai dari proses pengumpul an bahan makanan hingga menyiap kan arak-arakan anak yang akan di khitan. Semua keluarga, saudara dan sahabat berbaur untuk ikut mengarak, bahkan secara bergantian turut me manggul si anak. Rasa kebersamaan sebagai sebuah keluarga yang saling membutuhkan dalam kehidupan so sial seakan lebur dalam prosesi ini. Kedua, nilai ketaatan pada agama dan adat. Melaksanakan upacara ngi tanang merupakan perintah agama Is lam sekaligus adat. Dan ketiga, nilai kebahagiaan. Nilai ini dirasakan oleh para orang tua anak yang ikut ngita nang. Mereka bahagia karena anaknya telah masuk Islam, dengan demikian ngitanang merupakan simbol peng Islaman orang Bayan. Selain itu, khitan bermanfaat seca ra medis, antara lain mengurangi risi ko terkena kanker. Anak yang dikhitan juga akan lebih mudah dalam menja ga kebersihan organ kemaluan. Khitan juga bisa mengurangi risiko terkena infeksi saluran kencing, serta infeksi yang ditularkan dari kegiatan seksu al, seperti syphilis, ghonore, dan lain sebagainya. Perpaduan keduanya tetap berja lan dengan harmonis dan mengarah kan kesadaran masyarakat Bayan dan sekitarnya akan keberagaman hidup yang lebih baik. M Syairi, Pegiat Radio Komunitas Primadona FM, Lombok Utara, NTB
Majalah Kombinasi (Komunitas Membangun Jaringan Informasi) adalah majalah yang diterbitkan Combine Resource Institution (CRI) sebagai media untuk menyebarkan gagasan, inspirasi, dan pengetahuan tentang media komunitas. Majalah ini diterbitkan sebagai salah satu upaya Combine untuk membantu pelaku media komunitas dalam mengembangkan medianya, baik dalam hal teknis pengelolaan, keredaksian, maupun isu.
Tertarik Menulis di Majalah Kombinasi? Redaksi Majalah Kombinasi menerima tulisan berupa opini, feature hasil liputan, dan resensi (buku dan film dokumenter) dengan tema-tema yang berhubungan dengan komunitas maupun media komunitas.
Ketentuan tulisan l Tulisan merupakan karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan di media lain. l Ditulis menggunakan bahasa Indonesia dengan mengikuti kaidah penulisan yang benar. l Ditulis dengan font times new roman, ukuran 12, panjang tulisan sekitar 6.000 karakter (with spaces). l Untuk tulisan feature dan resensi, harap sertakan foto dengan resolusi standard (minimal 1.000 x 800 pixel). l Mencantumkan nama terang penulis dan aktivitas penulis l Mencantumkan nomor rekening penulis. l Redaksi berhak menyeleksi tulisan yang sesuai dengan Majalah Kombinasi. l Untuk tulisan yang terpilih, redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah maksud tulisan. l Penulis yang tulisan diterbitkan akan mendapatkan honor sepantasnya.
Tulisan bisa dikirim ke redaksi Majalah Kombinasi di Jalan KH Ali Maksum RT 06 No.183, Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (kode pos 55188) atau melalui surat eletronik di redaksikombinasi@combine.or.id
23-26 Oktober 2014 Jogja National Museum, Yogyakarta
http//:jmr2014.combine.or.id