Kombinasi 58 2014

Page 1

Edisi ke-58 Oktober 2014 ď Ź kombinasi.net


D

a r i Re d a k s i

A

khirnya perhelatan Jagongan Media Rakyat (JMR) 2014 terlewati su­dah. Selama empat hari pada 23-26 Oktober 2014, beragam ak­ tivitas di Jogja National Museum sebagai lokasi kegiatan nyaris ti­ dak pernah berhenti. Prinsip bertemu, saling berbagi informasi pe­ ngetahuan dan kemudian berkomitmen melakukan sesuatu bersama-sama menjadi warna di seluruh kegiatan. Di balik kerumitan teknis khas kegi­at­ an berskala besar, inilah roh sesungguhnya dalam setiap JMR. Meski isu yang diperbincangkan dalam JMR 2014 begitu beragam, ma­ yoritas memiliki benang penjalin yang mirip yaitu pemanfaatan teknologi informasi. Perkembangan teknologi informasi kerap diidentikkan sebagai penanda kemajuan peradaban. Proses produksi, distribusi dan konsumsi informasi tak lagi bisa dibatasi pelaku, ruang dan waktunya. Lalu, seakan secara tiba-tiba membawa perubahan drastis pada kebiasaan, tatanan, dan cara berpikir manusia. Konsep global village yang klasik dari Marshal Mc Luhan itu benar-benar menemukan konteksnya di era ini. Arus informasi yang demikian luas pada akhirnya memang ditujukan untuk peningkatan kualitas hidup, dari soal kesejahteraan, pengetahuan hingga kesehatan. Para pelaku bisnis misalnya, berlomba menangguk un­ tung berlipat dengan memperluas pasar secara daring (online). Begitu ju­ ga dengan pelajar dan pengajar, bisa mendapat rujukan pengetahuan dari sumber-sumber yang dulu tanpa internet hampir mustahil dijangkau. Tapi tunggu, dahsyatnya badai informasi terbukti juga menyisakan per­ tanyaan tentang tata kelola informasi. Sebab meski sudah banyak regulasi, ternyata masih sulit menghadirkan informasi benar, transparan, partisipa­ tif. Hubungan personal, penularan informasi bahkan pengambilan kepu­ tusan ternyata tak jarang didasarkan pada informasi sumir yang karena ke­ kuatan media sosial lantas bisa berubah menjadi “kebenaran”. Bagi gerakan masyarakat sipil, internet (baca: media sosial) mestinya dapat menjadi senjata ampuh mengonsolidasikan dukungan dan memper­ luas kampanye isu. Kemajuan teknologi informasi di satu sisi memberi ba­ nyak ruang inovasi. Namun pekerjaan rumah menjaga idealisme pengelo­ laan suara rakyat tidak pernah berakhir. Itulah titik penting setelah hajat JMR usai. Saatnya bagi semua pihak yang telah memertemukan pengalam­ an kolektifnya dan meramu beragam gagasan untuk kembali menapak “ja­ lan pedang” pendampingan dan advokasi yang selama ini ditempuh. Keberhasilan JMR 2014 tak hanya diukur saat penyelenggaraan, tapi ju­ ga saat ruang kolaborasi antarkomunitas dan pegiat terjadi usai perhelat­ an. Aktivitas yang jadi menu hajatan JMR sangat menyehatkan bagi yang percaya bahwa negara lebih butuh masyarakat yang kritis daripada yang mengangguk-angguk laksana boneka kucing lambang peruntungan.  2

Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014

Pemimpin Redaksi Imung Yuniardi Redaktur Pelaksana Idha Saraswati Kontributor Aris Setyawan, Eva Natalia, Grattiana Timur, Irine Wardhanie, Mas Jhon Sihombing, S Supriantho, Yoseph Kelik Foto Sampul Lingga Sampul Belakang Dani Yuniarto Tata Letak MS Lubis Alamat Redaksi Jalan KH Ali Maksum RT 06 No. 183 Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia 55188 Telp/Fax: 0274-411123 Email: redaksikombinasi@combine.or.id Website: http://kombinasi.net

Kombinasi adalah majalah dua bulanan yang diterbitkan oleh Combine Resource Institution atas dukungan dari Ford Foundation. Combine Resorce Institution adalah lembaga yang mendukung pengembangan jaringan informasi berbasis komunitas. Redaksi Majalah Kombinasi menerima opini, resensi, maupun tulisan berbasis peliputan seputar tema media komuni­ tas. Panjang tulisan sekitar 6.000 karakter (with spaces), dengan men­ can­tum­kan foto untuk tulisan non opini, dan dikirim ke redaksikombinasi@ combine.or.id. Redaksi berhak memilih dan menyun­ting tulisan yang masuk ke maja­lah Kombinasi. Penulis yang karya­nya dimuat akan mendapat honor sepantasnya.


I

n f o Sek i l a s

Yogyakarta

P

emberlakuan Undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Pub­ lik tidak berjalan mulus ka­ rena paradigma yang ada di kalangan pengelola Badan Publik (lembaga pe­ layanan publik milik pemerintah) ma­ sih cenderung tertutup, berbelit, dan berjarak dengan masyarakat. Lantas bagaimana dengan cita-cita reforma­ si tentang tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi? Dalam diskusi yang digelar oleh Ko­ misi Informasi Provinsi DIY pada Se­ nin, 3 November 2014, Ketua Komisi Informasi Pusat, Abdulhamid Dipo­ pramono, mengungkapkan bahwa ke­ tertutupan merupakan benih penye­ leweng­an. Jika ingin mewujudkan ta­ ta kelola pemerintahan yang baik dan bebas korupsi, maka penyelenggara pemerintahan harus membuka diri dan memberi akses yang luas kepada masyarakat atas informasi yang me­ nyangkut hajat hidup warga. UU KIP memperkuat hak-hak war­ ga dalam memperoleh informasi se­ bagai hak konstitusional rakyat seba­ gaimana dijamin Pasal 28F UUD 1945. Dengan adanya UU ini, pemerintah ba­

Pengelenggara pemerintah harus membuka diri dan mem­ beri akses yang luas kepada ma­sya­rakat atas informa­si yang me­nyang­ kut ha­jat hidup warga. ik di ting­kat provinsi maupun kabu­ paten wajib menetapkan Pejabat Pe­ ngelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Tugas utama PPPID adalah me­ nyimpan, mendokumentasikan, dan menyediakan pelayanan informasi di setiap Badan Publik. Meskipun PPID sudah banyak di­ fungsikan, di berbagai tingkat peme­ rintahan masih terdapat kelemahankelemahan mendasar yang mempe­ ngaruhi efektivitas dan harapan rak­ yat akan transparansi lembaga peme­ rintahan. Saat ini PPID hanya dijadi­ kan formalitas untuk menunjukkan bahwa lembaga yang bersangkutan di­nilai transparan. Kapasitas sumber daya manusia PPID juga masih ter­ba­ tas, terutama terkait pelayanan infor­ masi yang cepat, mudah, dan seder­

ha­na. Hal ini diperparah dengan be­ lum adanya penetapan klasifikasi dan standardisasi informasi publik. “Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen para penyeleng­ gara pemerintahan mengenai pelak­ sanaan UU KIP,” lanjut Abdulhamid. Apa yang dijelaskan Ketua KIP itu berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan. Menurut catatan Jurnal Nasional, dalam rentang tahun 20102014 terdapat 1.043 kasus sengketa informasi antara warga dengan ba­ dan publik (Pemerintah). Publik harus tahu bahwa Komisi Informasi (KI) mempunyai wewenang untuk mengadakan sidang sengketa informasi. Maka apabila permintaan publik atas informasi publik ke badan publik menemui hambatan harus di­ laporkan ke KI. Lembaga sekuat apa pun di negeri ini tidak akan mampu mendorong tata kelola pemerintah­ an yang baik dan bebas korupsi tanpa dukungan aktif dari warga. Di sisi la­ in, badan publik juga harus menyadari bahwa mereka tak bisa melawan arus keterbukaan zaman yang ditandai de­ ngan pesatnya perkembangan tekno­ logi informasi.  Aris Harianto

Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014

3

balebengong.net

Implementasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik belum Optimal


I

n f o Sek i l a s

Padang Pariaman

Demi Rakom, Penyiar Jualan Atap Daun Rumbia Para pegiat dan penyiar radio komunitas (rakom) Su­ andri FM di Kecamatan IV Koto Aur Malintang Kabu­ paten Padang Pariaman, Sumatera Barat bekerja keras agar rakom tersebut dapat kembali mengudara men­ jumpai para pendengar setianya. Para pegiat ini tak hanya patungan untuk mengum­ pulkan dana, tapi juga berusaha mencari dana dengan membuat usaha dadakan, yaitu merangkai atap daun rumbia untuk dijual. Ide itu muncul karena ada salah seorang calon donatur yang membutuhkannya. “Ini un­tuk digunakan sebagai salah satu atap usaha rumah makan saya di Padang,” kata Junaedi yang menjadi do­ natur rakom Suandri FM, Jumat (10/10).

Untuk mengerjakan pesanan Juanedi, pegiat dan pe­ nyiar radio Suandri FM butuh waktu satu minggu. To­ tal ada 300 lembar atap anyaman, masing-masing se­ panjang 3 meter, dengan harga per lembar Rp 17. 000. Total penghasilan dari usaha ini mencapai Rp 5,1 ju­ ta. “Alhamdulilah jadi juga radio kita on air kembali, ” ce­letuk Mak Utiah, salah satu kru Suandri FM. Sebelumnya, rakom Suandri FM tidak dapat siaran ka­rena mixer sound dan komputer yang mendukung si­aran rusak tersambar petir. “Sekarang alhamdulilah berkat doa dan kerja keras pegiat Rakom Suandri FM, hari ini dapat siaran kembali,” ungkap Azwar Mardin, pimpinan Suandri FM.  www.suarakomunitas.net

Gudung Kidul

Gunung Kidul belum Ramah Penyandang Disabilitas

foto-foto: suarakomunitas.net

P

enyandang disabilitas kerap di­ anggap sebagai kaum minoritas yang perlu dikasihani dan dibe­ rikan santunan. Perspektif lama ini di­ nilai mendiskreditkam penyan­dang disabilitas, sehingga dalam kehidup­ an sehari-hari mereka dipandang ti­ dak normal. Hal tersebut adalah ben­ tuk diskrimniasi yang harus dihilang­ kan dari pikiran banyak orang. Untuk memberi pemahaman ten­ tang penyandang disabilitas, Institute Development for Economic Analysis

4

Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014

(IDEA) Yogyakarta menggelar Focus Group Discusion (FGD) yang melibat­ kan para penyandang disabilitas de­ ngan tema “Perencanaan Pembangun­ an Gunungkidul,” Kamis (09/10) di Gunungkidul, DI Yogyakarta. Kegiatan ini dihadiri oleh anggota DPRD Gunungkidul serta Dinas Sosi­ al Tena­ga Kerja dan Transmigrasi. Ha­ dir pu­la beberapa organisasi sosial se­ perti Srawung (Sarana Rembuk War­ ga untuk Gunungkidul), DRRGK (Di­ saster Risk Reduction Gunungkidul),

JKPGK (Ja­ringan Kelompok Perempu­ an Gunung­kidul), dan JMKG (Jaringan Media Komunitas Gunungkidul. Selama ini, pelayanan publik dan hasil pembangunan di Gunungkidul dinilai belum ramah dan belum me­ nyediakan akses khusus bagi penyan­ dang disabilitas. Gedung perkantoran untuk layanan publik yang lebih dari satu lantai belum ada yang menye­di­ akan tangga khusus bagi mereka. Staf IDEA Yogyakarta, Suci Tri Wu­ landari menyebutkan, selama ini pe­ nyandang disabilitas memang belum pernah dilibatkan dalam perencana­ an pembangunan dan penganggaran. Hal ini disebabkan belum ada penda­ taan secara spesifik terkait jumlah pe­ nyandang disabilitas yang ada di Gu­ nungkidul. Padahal data tersebut ada­ lah hal yang amat penting dalam pe­ rencanaan pembangunan. Dari acara ini, dirumuskan sejum­ lah rekomendasi untuk memberi ak­ ses dan ruang bagi penyandang dis­ abilitas agar diperlakukan sama de­ ngan masyarakat umum. Pembuat ke­ bijakan harus menelurkan peraturan yang memberi kemudahan akses ba­ gi seluruh masyarakat di area publik. Upaya sosialisasi juga harus terus di­ lakukan bahwa penyandang disabili­ tas adalah warga negara yang harus dihormati dan sama haknya dengan warga lain.  www.suarakomunitas.net


Lombok Utara

Labuhan Batu Utara

Pilkada Tak Langsung Rebut Hak Demokrasi Rakyat

Jalan Hancur, Warga Salahkan Kepala Desa

P

ro dan kontra ditetapkannya Undang-undang Pemilihan Ke­ pala Daerah (Pilkada) yang me­muat aturan tentang Pilkada tak langsung oleh DPR Pusat ternyata juga ramai dibicarakan masyarakat di tingkat desa. Bagi yang kontra, UU tersebut dinilai sudah merebut hak demokrasi rakyat. Hal itu dikha­ watirkan akan membuat masyara­ kat kembali seperti memilih kucing dalam karung. Selain itu, pemimpin yang dipilih kemungkinan juga tak dikenal oleh masyarakat. Di sisi lain, sebagian kepala desa dan PNS menyambutnya dengan su­ ka cita. Salah satu alasannya karena tanpa Pilkada, mereka tak akan la­gi dituding sebagai pedukung kelom­ pok tertentu. “Kalau pilkada tak lang­ sung, tentu akan mengirit biaya, ka­ rena tidak ada lagi biaya untuk PPK, PPS dan KPPS dan dampaknya akan banyak orang kehilangan pekerjaan musiman termasuk tim sukses,” ka­ ta Kertamalip, Kepala Desa Karang Bajo Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (4/10). Memberlakukan UU, lanjut Kerta­ malip, ada positif dan negatifnya. UU Pilkada yang baru bisa menjadi po­ sitif karena masyarakat tidak akan terkotak-kotak. Tapi sisi negatifnya, banyak pengamat menilai Pil­kada ti­ dak langsung adalah kemun­duran dalam berdemokrasi. Hak rak­yat di­ ambil alih anggota dewan yang jum­ lahnya hanya puluhan orang di ting­ kat provinsi ataupun kabupaten. Kepala Desa Anyar Ritanom me­ nilai Pilkada tak langsung merupa­ kan langkah yang tepat, karena bila Pilkada dilakukan secara langsung, para Kades secara otomatis ikut ja­ di sorotan sebab dinilai memihak kepada salah satu calon yang turut bersaing. “Kalau Pilkada tidak lang­ sung, tentu posisi para Kades akan

Kertamalip

aman, sebab tidak lagi menjadi so­ rotan baik dari masyarakat ataupun dari masing-masing pasangan ca­ lon,” jelas Ritanom. Sementara Kades Senaru Isa Rah­ man mengatakan, jika Pilkada tidak langsung tetap diberlakukan, masya­ rakat perlu mengawasi ketat para anggota DPRD. Ini perlu dilakukan agar masa Orde Baru tidak terulang kembali karena anggota dewan yang dipercaya memilih kepala daerah memenangkan calon yang tak sesu­ ai kehendak dan asprasi rakyat. Sejumlah warga Kabupaten Lom­ bok Utara mengaku kecewa terha­ dap Koalisi Merah Putih yang meng­ golkan UU Pilkada tidak langsung. Meski begitu, Mahsun Hidayat, sa­ lah satu warga, melihat masih ada ha­rapan karena Presiden SBY sudah mengeluarkan Peraturan yang men­ cabut UU Pilkada tak langsung un­ tuk diajukan ke dewan. “Semoga Per­ pu ini dapat dipertimbangkan oleh KMP untuk membatalkan UU terse­ but, sesuai dengan aspirasi rakyat, sebab hampir 90 persen rakyat In­ do­nesia masih menginginkan Pilka­ da langsung, agar tidak terjadi beli kucing dalam karung,” terang Mah­ sun.  www.suarakomunitas.net

Kondisi jalan di Desa Air Hitam, Ke­ camatan Kualuh Leidong, Kabupaten Labuhan Batu Utara, Sumatera Utara saat ini sangat memprihatinkan. Se­ perti ada Selasa (14/10), jalan tapak rusak berat dan terlihat banyak lubang dengan kedalaman antara 50-80 sen­ timeter. Kondisi ini menyebabkan per­ ekonomian masyarakat terpuruk aki­ bat biaya transportasi yang tinggi. Ak­ tivitas masyarakat juga terganggu. Kerusakan jalan juga akhirnya me­ micu ketegangan antara masyarakat dengan Suwarno (36) selaku Kepala Desa Air Hitam. Pada akhir 2013, Su­ warno mengontrakkan perbaikan dan perawatan jalan pada CV Dinda yang dimiliki anggota DPRD Kabupaten La­ buhanbatu Utara. Namun dalam pe­ laksanaannya, perbaikan serta pera­ watan tidak dilakukan sebagaimana mestinya sehingga jalan rusak parah saat musim hujan. Masyarakat kesal karena tak ada tindakan atas perso­ alan tersebut. Padahal masyarakat te­ lah berswadaya hingga Rp 1 miliar le­ bih untuk perbaikan jalan. Atas desakan Ketua Badan Per­mu­ syawaratan Desa (BPD) Hadi Siswo­ yo, pada 25 September 2014 Kepala Desa Air Hitam mengadakan rapat di Balai Desa. Rapat berjalan alot kare­ na masyarakat mendesak Suwarno memutus kontrak kerjasama karena merugikan masyarakat. “Jika pak Ka­ des tidak melakukan tindakan tegas lebih baik mundur saja dari jabatan­ nya,” kata salah seorang warga yang turut menghadiri rapat, Praja Guna­ wan (30) secara spontan. Hal senada juga diungkapkan oleh Hadi Siswoyo selaku BPD Desa Air Hitam. “Kita sudah berikan pekerjaan dan kepercayaan supaya memperba­ iki jalan dengan layak, tapi tidak ber­ tanggungjawab atas pekerjaan yang telah kita berikan. Oleh karena itu, sa­ ya meminta kepada bapak Kades me­ mutuskan kontrak kerjasama,” tegas­ nya.  www.suarakomunitas.net

Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014

5


U

tama

Komunitas Berperan Penting dalam Pemberantasan Korupsi Komunitas memiliki peran penting dalam upaya memberantas kejahatan korupsi yang telah menghambat realisasi pembangunan. Dengan bahasa lokal, komunitas bisa mengkampanyekan semangat anti korupsi di wilayahnya masing-masing. Oleh Irine Wardhanie, Grattiana Timur dan Idha Saraswati

P

Foto kanan: Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menjadi pembicara utama dalam seminar nasional dalam acara JMR 2014 di Jogja National Museum, 23 Oktober 2014.

6

eran komunitas dalam pemberan­ tasan itu dibedah dalam dua seri seminar nasional yang dilaksana­ kan pada kegiatan Jagongan Me­ dia Rakyat atau JMR 2014, 23-26 Oktober di kompleks Jogja National Muse­ um, DI Yogyakarta. Seminar nasional terse­ but menghadirkan sejumlah pembicara yang mewakili Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Dewan Perwakilan Rak­ yat (DPR), Kementerian Komunikasi dan In­ formatika, ICT Watch, Jurnalis dan perwa­ kilan komunitas. Seminar ini diikuti ra­tusan peserta yang terdiri dari mahasiswa, pega­ wai pemerintah, aparat desa, dan pe­giat ko­ munitas dari berbagai wilayah. “Hanya kekuatan komunitas yang mam­ pu melawan kejahatan korupsi,” ucap Bam­ bang Widjajanto, Wakil Ketua Komisi Pem­ berantasan Korupsi, Kamis (23/10). Bambang kemudian mencontohkan keter­ li­batan sejumlah media komunitas dalam kampanye pemberantasan korupsi melalui media lokal dengan bahasa lokal, mulai dari lagu hingga iklan layanan masyarakat. Media komunitas dianggap penting untuk meng­ kampanyekan bahaya korupsi. “Dapat diba­ yangkan jika jingle-jingle bahaya korupsi ini

Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014

dibuat dalam bahasa lokal, kesadaran ma­ sya­rakat mengenai korupsi akan dahsyat,” ucap Bambang. Selama ini, kejahatan korup­ si tidak sepe­nuhnya disadari oleh masya­ra­ kat. Korupsi se­mata dipahami sebagai ma­ sa­lah hukum yang ditangani dengan pende­ katan hukum, se­hing­ga tidak memberi efek jera pada pe­laku korupsi. Ia menambahkan, saat ini perhatian ma­ syarakat terhadap kasus korupsi selesai ke­ tika koruptor ditangkap. Padahal yang men­ jadi masalah adalah sistem yang merepro­ duksi tindakan korupsi tersebut. Jika hanya koruptor yang ditangkap tetapi sistem yang mereproduksi tindakan korupsi itu tidak di­ tangani, maka korupsi akan terus terjadi. Menurut Bambang, korupsi merupakan satu faktor yang menghambat pembangun­ an. Hal ini karena korupsi telah merugikan ne­gara triliunan rupiah. Pada rentang wak­ tu 2005-2013 saja, KPK berhasil menye­la­ mat­kan uang negara sebanyak Rp 248 trili­ un, dan menangkap sejumlah pejabat publik yang korup. “Jika kerugian negara tersebut dikonversikan, kita bisa dapat 2,5 juta unit rumah sederhana dan memberikan pendi­ dikan gratis bagi 429 juta anak SD selama se­ tahun,” ungkapnya untuk menunjukkan be­ sarnya kerugian negara akibat korupsi.


Kombinasi ď Ź Edisi ke-58 ď Ź Oktober 2014

7

dokumen kombinasi


U

tama

Menurut dia ada tiga level korupsi, yaitu di tingkat kecil (seperti pembiayaan pembu­ atan Kartu Tanda Penduduk), tingkat mene­ ngah, serta tingkat publik (level kebijakan, antara lain berupa penggelembungan ang­ garan). Korupsi saat ini juga dilakukan de­ ngan melibatkan keluarga mulai dari ayah, menantu, istri dan anak. Di beberapa daerah, praktik korupsi semacam itu telah memben­ tuk kekuatan dinasti politik. Upaya meng­ atasi kondisi semacam itu tidak mudah. Kelemahan dalam pencegahan tindak ko­ rupsi selama ini adalah tak diikutsertakan­ nya komunitas atau masyarakat, sehingga semua kasus diserahkan pada pihak berwa­ jib. Hal inilah yang kemudian disadari oleh KPK. “Komunitas adalah ujung tombak per­ ju­angan bersama melawan tindak korupsi,” tegas Bambang.

Undang-Undang Desa Melihat pola korupsi saat ini, pemberla­ kuan Undang-undang Desa yang berimpli­ kasi pada adanya dana-dana yang akan lang­ ­sung disalurkan ke desa dipandang rawan diselewengkan. Oleh karena itu, KPK meng­ ajak masyarakat untuk turut memantau ang­ garan desa secara optimal. “Pemberantasan korupsi bukan hanya tugas penegak hukum. Tapi juga masyarakat,” ujar Johan Budi SP, Deputi Pencegahan Tindak Korupsi yang ju­ ga Juru Bicara KPK, Sabtu (25/10). UU nomor 6 tentang Desa memberi ke­ we­nangan pada desa untuk menyelenggara­ kan pemerintahan dan pembangunan di wi­ layahnya sendiri. UU tersebut juga mengatur alokasi anggaran untuk desa. Dalam pasal 72 ayat 4 UU Desa disebutkan bahwa alokasi dana desa paling sedikit ber­ jumlah 10 persen dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Ang­ garan Pendapatan dan Belanja Daerah, se­ telah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Dari situlah kemudian muncul angka Rp 1 miliar untuk setiap desa yang ramai dibicarakan masyarakat, meskipun pada praktiknya re­ a­lisasi anggaran itu bakal dilakukan secara bertahap. Terkait dengan adanya UU Desa itu, Johan menyoroti pentingnya peran masyarakat ter­ utama komunitas dalam membantu kerja KPK baik dalam menangani kasus korupsi maupun mencegah terjadinya korupsi. Sela­ ma ini masyarakat hanya memahami bahwa tugas KPK menangkap koruptor. Ini karena pemberitaan di media arus utama lebih me­ 8

Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014

Pada rentang waktu 2005 sampai 2013 saja, KPK ber­ hasil me­nye­ la­mat­kan uang negara sebanyak Rp 248 triliun.

nyoroti penangkapan para terpidana korup­ tor oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Karena itu, KPK pun meluncurkan Radio Kanal KPK dan TV streaming, serta meng­ gandeng elemen masyarakat salah satunya melalui JRKI (Jaringan Radio Komunitas In­ donesia) untuk mengkampanyekan gerak­ an anti korupsi hingga ke pedesaan. “Fungsi pengawasan ini yang harus kita ciptakan ber­ sama,” ujar Johan. Salah satu pegiat media komunitas Lintas Merapi yang beroperasi di kawasan lereng Gunung Merapi, Sukiman, menuturkan bah­ wa di tingkat desa ketidaktahuan masyara­ kat me­ngenai rencana dan pelaksanaan pem­ ba­ngunan telah menyediakan peluang bagi munculnya tindakan korupsi. Untuk itu, berbagai komunitas perlu ber­ gerak bersama guna membuka ruang infor­ masi terkait pembangunan, dan menyedia­ kan wacana untuk mengajak publik meng­ awasinya. “Medium yang sering kami pakai untuk melaksanakan fungsi ini adalah bule­ tin, radio komunitas, serta media internet yang mampu mengabarkan kegiat­an pem­ ba­ngunan dari peren­canaan hingga evalua­ si, terutama di ting­kat desa,” terangnya.


dokumen kombinasi

Keterbatasan Akses Anggota DPR RI Esti Wijayati menyepa­ kati bahwa masyarakat harus dilibatkan da­ lam mengawasi program-program pemba­ ngunan. Namun ia menilai selama ini peng­ awasan dari masyarakat masih sangat lemah karena adanya keterbatasan dalam mengak­ ses informasi. Menanggapi hal itu, Donny BU dari ICT Watch mengatakan semua pihak bertang­ gung­jawab untuk memastikan bahwa ma­ sya­rakat bisa mengakses informasi. “Kalau ada masyarakat yang tidak melek informasi, maka seluruh yang ada di sini bertanggung­ jawab,” ujarnya. Menurut dia, komunitas-komunitas me­ dia lokal juga memiliki tanggung jawab be­ sar dalam mengajak masyarakat turut serta dalam mengawasi pembangunan. Akan te­ tapi, di samping masalah keterbatasan ak­ ses, upaya melibatkan komunitas untuk ber­ peran aktif dalam mengawasi pembangun­ an maupun melaporkan dugaan tindak ko­ rupsi juga terhambat oleh sejumlah regulasi di bidang informasi. Donny lantas menyinggung regulasi di bi­ dang informasi, salah satunya UU nomor 11

tahun 2008 tentang Informasi dan Tran­sak­ si Elektronik terutama di pasal 27 ayat 3. Pa­ sal tersebut melarang “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan /atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang memiliki mu­ atan penghinaan dan/atau pencemaran na­ ma baik.” Sanksi pidana bagi pelanggar pa­ sal tersebut adalah penjara enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar. Isi pasal tersebut dianggap banyak peng­ amat serta praktisi seperti pedang bermata dua, terutama dalam upaya melibat­kan ma­ syarakat dalam mengawasi sekaligus mem­ berikan kritik kepada pemerintah. Sebagai informasi, sejak diundangkan pada tahun 2008 sampai sekarang ini, sudah ada 71 ka­ sus pi­dana akibat UU ITE. Tetapi meskipun ada regulasi yang mem­ batasi kebebasan masyarakat, menurutnya masyarakat tetap memiliki harapan dan ke­ kuatan. “Kunci UU Desa adalah partisipasi dan pendampingan terhadap masyarakat de­ sa. Jadi tinggal bagaimana kita bisa meman­ faatkan teknologi yang ada untuk kepenting­ an bersama,” tambahnya. 

Para narasumber Seminar Nasional saat menerima kenangkenangan dari panitia JMR 2014, Sabtu 25 Oktober 2014.

Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014

9


U

tama

Media Komunitas dan Jurnalis Warga Hadapi Banyak Tantangan Pegiat media komunitas termasuk jurnalis warga masih menghadapi berbagai tantangan. Selain mendorong regulasi yang mendukung kiprahnya, pegiat media komunitas dan jurnalis warga perlu terus meningkatkan kemampuan agar menghasilkan produk yang berguna bagi warga.

foto-foto: dokumen kombinasi

Oleh Eva Natalia dan Irene Wardhanie

10

H

al itu terungkap dalam sejumlah seri diskusi dengan tema media komunitas dan jurnalis warga pa­ da Jagongan Media Rakyat (JMR) 2014, 23-26 Oktober di Kompleks Jogja National Museum, DI Yogyakarta. Dis­ kusi “Jurnalis Warga di Mata Hukum”, misal­ nya, membahas soal ketentuan hukum yang menaungi aktivitas jurnalis warga. Sampai kini ternyata belum ada aturan hukum yang khusus mengatur kegiatan jurnalis warga. Namun kondisi tersebut tak boleh mem­ buat jurnalis warga berkecil hati. Pengurus Aliansi Jurnalis Indonesia Bambang Muryan­ to mengatakan, aktivitas jurnalisme warga tak menjadi “haram” selama etika jurnalistik diperhatikan. “Citizen journalist dalam me­ nyebarkan informasi yang benar perlu me­ lakukan verifikasi,” katanya, Jumat (24/10). Menurutnya, tujuan dari jurnalisme war­ ga adalah memberi informasi yang benar ke­ pada warga. Untuk itu pelaksanaannya tak boleh sembarangan, karena jika berita yang disampaikan tidak benar dampaknya bisa

Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014

fatal. Ini juga diperlukan guna menghindari tuntutan hukum, terlebih lagi sekarang ada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 ten­ tang ITE (Informasi dan Transaksi Elektro­ nik) yang bisa menjerat penyebar informasi berbasis elektronik kapan saja. Terkait dengan aturan hukum, Bambang menilai absennya ketentuan hukum yang menaungi Jurnalisme Warga kontradiktif de­ ngan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, terutama me­ nyangkut kebebasan berekspresi. Kondisi ter­sebut membuat praktik jurnalisme war­ ga dianggap sebagai jurnalisme yang tidak utuh, berbeda dengan pengertian jurnalis­ me sebagaimana yang diatur dalam UU No­ mor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Untuk menyiasati ketiadaan payung hu­ kum, cara aman bagi jurnalis warga adalah “bermain” di ranah etika. Basri Andang, pe­ giat media komunitas sekaligus peserta dis­ kusi menilai media komunitas lebih berani memberitakan dibanding media arus utama. “Tapi kami tak dilindungi hukum,” ujarnya.


Radio Komunitas Masih Anak Tiri Ternyata bukan cuma jurnalis warga yang masih harus menghadapi banyak tantangan. Media komunitas yang menaungi jur­nalis warga pun belum bisa berdiri tegak karena dibebani banyak hal. Hal itu bisa dilihat da­ ri pengalaman radio komunitas di Indonesia. Birokrasi yang berbelit-belit, kurang mema­ dainya alat, tabrakan frekuensi, juga adanya penganaktirian dalam pemberian izin fre­ kuensi adalah sebagian masalah yang diha­ dapi radio komunitas di berbagai daerah. Aneka persoalan itu dibahas dalam dis­ kusi bertajuk “JRKI – Alokasi Frekuensi, Per­ izinan, Perlindungan Hukum, dan Standard Teknis dalam Penyiaran Komunitas” yang di­ adakan Kamis (23/10). Sinam, Ketua Jaringan Radio Komunitas In­ donesia mengatakan, dalam hal izin, selama ini pegiat radio komunitas akhirnya memi­ lih mengikuti kemauan lembaga pemberi izin agar pengajuan izinnya segera disetujui. Hal semacam itu dihadapi oleh sebagian besar pegiat radio komunitas di Indonesia. Apalagi, alokasi frekuensi untuk radio ko­ munitas sangat kecil yakni sekitar 1,5 per­ sen. Proses mengurus izin pendirian juga se­ ringkali lama dan sulit. Akibatnya ada ba­ nyak radio komunitas yang beroperasi tan­ pa mengantongi izin meskipun pengelola­ nya sudah lama mendaftarkan proposal per­ izinan ke komisi penyiaran daerah. Imam Prakoso, Wakil Presiden Asosiasi Radio Komunitas (AMARC) Asia Pasifik me­ nilai, hal-hal yang dihadapi media alternatif di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir

Jika pers memiliki berbagai kode etik jurnalisme yang disusun oleh berbagai macam aliansi jurnalis dan Dewan Pers, maka jurnalis warga pun tidak boleh luput memper­ hatikan etika.

Suasana workshop “Jurnalis Warga di Mata Hukum” dalam JMR 2014.

adalah persoalan klasik media generasi per­ tama. “Radio komunitas di Indonesia masih terjebak dalam isu-isu yang dalam sebutan saya adalah isu generasi pertama, yaitu ijin, alat dan frekuensi,” katanya. Menurutnya, radio komunitas kini harus­ nya lebih berani bergerak ke ranah konten karena radio adalah basis informasi untuk masyarakat di tempat yang sulit dijangkau media arus utama. Penyebaran isu lewat ra­ dio komunitas bisa lebih masif, contohnya: KPK yang menggandeng Radio Sangkala da­ lam penyadaran isu korupsi di level desa. Frekuensi Publik Peran media komunitas sebagai basis in­ formasi tidak hanya berguna bagi masyara­ kat di wilayah yang tidak terjangkau media arus utama. Bagi yang mudah mengakses media pun, media komunitas tetap memiliki peran. Apalagi kini media arus utama yang mengontrol frekuensi publik kerap mena­ yangkan informasi yang tidak sesuai dengan kepentingan publik. Hal itu terungkap da­ lam diskusi “Remotivi – Menjadi Penonton TV yang Kritis; Menilai Kualitas, Keragaman Konten dan Aksesbilitas dalam Penyiaran Publik”, Minggu (26/10). Dwitri Amalia dari Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) mengatakan, frekuensi publik saat ini justru dimanfaat­ kan media untuk menayangkan informasi yang lebih condong pada kepentingan pe­ modal. Adapun sukses tidaknya sebuah ta­ yangan diukur dari rating. Ini membuat pe­ nonton jadi pasif. “Pilihan mematikan TV pun tak menyelesaikan masalah,” ujarnya. Diskusi ini juga menghadirkan Klara Esti dari CIPG yang mempresentasikan hasil pe­ nelitian etnografi mengenai pengaruh tele­ visi dalam kehidupan masyarakat rural dan urban. Klara bercerita mengenai bagaimana masyarakat Ende, Nusa Tenggara Timur, me­ respons tayangan-tayangan yang ditayang­ kan di media arus utama nasional. Peneliti­ an itu menemukan bahwa tingkat pendidik­ an masyarakat ternyata tidak berpengaruh pada sikap kritis dalam memilih tayangan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masya­ rakat, terutama masyarakat lokal. Menanggapi penelitian itu, Dwitri mene­ kankan bahwa isu-isu lokalitas yang harus diangkat media arus utama sebenarnya su­ dah diatur dalam regulasi kepenyiaran. “Ja­ di televisi kini sudah tergolong ilegal karena melanggar regulasi itu,” tambahnya.  Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014

11


U

tama

Advokasi Komunitas Lewat Media Komunitas Advokasi menjadi kata kunci yang menggerakkan para pegiat komunitas untuk berkumpul dalam Jagongan Media Rakyat 2014. Pengalaman serta upaya advokasi itu mereka bagikan lewat aneka media yang dipajang selama pelaksanaan JMR maupun melalui sejumlah diskusi. Oleh Grattiana Timur, S Supriantho dan Idha Saraswati

A

Berbagai per­ soalan itu muncul antara lain karena peren­canaan pembangunan yang hanya memen­tingkan pertumbuhan ekonomi, tetapi abai pada kondisi masyarakat dan lingkungan. 12

da berbagai isu yang diadvokasi oleh komunitas maupun lembaga peserta JMR 2014. Mulai dari isu eksploitasi sumber daya alam dan perusakan lingkungan yang me­ ru­gikan warga, hak warga atas ruang pub­ lik, hak untuk mengakses dan memproduksi informasi, hak kelompok difabel, hak anak, kesetaraan gender, penyelamatan heritage dan warisan budaya, dan lain sebagainya. Komunitas Omah Kendeng, misalnya, me­ nyelenggarakan diskusi bertema “Melawan Kuasa Para Profesor: Politik Data, Praktik Me­ dia dan Skandal Penyusunan Amdal pada Ka­ sus Kendeng Utara”, Sabtu (25/10). Diskusi itu membedah rencana pembangunan pab­ rik PT Semen Indonesia di sekitar Pegunung­ an Kendeng Utara yang dinilai tidak berda­ sarkan Analisis Mengenai Dampak Lingkung­ an (Amdal) yang akurat. Untuk itu, warga sekitar telah menyiapkan data tandingan. Hingga kini, masyarakat di sekitar Ken­ deng Utara terus melakukan perlawanan ter­ hadap rencana pembangunan pabrik semen tersebut. Sebagai bentuk penolakan, bahkan kelompok perempuan di Desa Timbrangan dan Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Rembang tinggal di tenda selama lebih dari seratus hari. Tenda tersebut berlokasi di jalan ma­ suk menuju lokasi pembangunan pabrik. “Mungkin tidak ada Amdal versi ma­sya­ rakat? Sekarang ini kami sedang menyusun data-data tandingan. Nanti kalau sudah leng­ kap kami akan gugat PT Semen Indonesia di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),” ka­ ta Gunretno, tokoh masyarakat Sedulur Si­ kep dari Pati yang menolak pabrik semen. Sobirin dari Komunitas Omah Kendeng mengatakan, banyak strategi yang dilaku­ kan para pemilik modal untuk melegitimasi rencana pembangunan pabrik. Misalnya de­

Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014

ngan menyebut masyarakat di daerah Ken­ deng Utara miskin dan tertinggal. Itulah sebabnya beragam cara dilakukan warga dan para pihak yang mendukung un­ tuk melakukan perlawanan terhadap caracara tersebut. Mulai dari usaha mendapat­ kan dukungan warga sebanyak mungkin, mengajukan gugatan di PTUN hingga me­ ngampanyekan gerakan lewat media sosial. Selain diskusi, Komunitas Omah Kendeng juga mengkampanyekan upaya advokasinya melalui beragam jenis media. Stand Omah Kendeng di JMR 2014 dihias dengan berba­ gai benda untuk mengungkapkan penolakan warga. Ada tempelan kliping tulisan terkait penolakan rencana pendirian pabrik semen di media cetak, ada deretan kendi yang ber­ isi air dari sejumlah mata air di Pegu­nungan Kendeng utara, juga ada aneka poster advo­ kasi. Stand Omah Kendeng juga membuka la­ pak sablon kaus bertema penolakan terha­ dap pabrik semen. Dengan donasi sukarela, pengunjung bisa menyablonkan kausnya. Perampasan Tanah Ada banyak komunitas lain yang sedang menghadapi persoalan serupa. Berbagai per­ soalan itu muncul antara lain karena peren­ canaan pembangunan yang hanya memen­ tingkan pertumbuhan ekonomi, tetapi abai pada kondisi masyarakat dan lingkungan. Hal itulah yang dibahas dalam diskusi ten­ tang Masterplan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan tema “Bukan Desain Pembangunan, tetapi Skema Perampasan Tanah Air Rakyat Indonesia”. Dalam diskusi yang diadakan pada Kamis (23/10) ini, Dian Yanuardi selaku salah sa­ tu pemateri mengungkapkan bahwa desain pembangunan dalam MP3EI berujung pada perampasan tanah air. Ini bisa dilihat dari


dokumen kombinasi

geliat pembangunan yang terkonsentrasi pa­ da infrastruktur berbasis industri. “Pem­ba­ ngunan infrastruktur selama ini bukan un­ tuk rakyat, tapi untuk menghubungkan pu­ sat industri satu dengan yang lain,” katanya. Proses perampasan tanah air terjadi m­e­ lalui banyak mekanisme. Pertama, pulau-pu­ lau dinamai dengan komoditas sumber da­ ya andalan di pulau tersebut. Kedua, pem­ bentukan dan pemangkasan regulasi yang memudahkan aliran modal, dan ketiga pem­ bagian bok-blok produksi. Terkait acara JMR yang mewadahi banyak komunitas media rakyat, Hendro Sangkoyo dari Sekolah Ekonomika Demokratik (SED) mengingatkan agar suara komunitas tidak menjadi perpanjangan tangan aktor peram­ pas hak rakyat. Melalui diskusi ini, peserta diajak untuk memahami alasan di balik la­ hirnya aneka kebijakan dan progam pemba­ ngunan. Dengan menyadari alasan di balik semua itulah advokasi bisa dimulai.

Ruang Hidup Berbagai persoalan tersebut menimbul­ kan dampak buruk pada banyak orang. Tak hanya di wilayah pedalaman yang memiliki

cadangan besar sumber daya alam, masalah ruang hidup akibat pembangunan juga di­ hadapi warga di perkotaan. Itulah yang kini dihadapi warga Yogyakarta. Bertambah­nya jumlah hotel berbintang, pusat perbelanja­ an, dan jumlah kendaraan bermotor ternya­ ta menimbulkan berbagai persoalan baru. Hak pejalan kaki terabaikan karena tro­ toar digunakan untuk berbagai kepentingan. Hak kaum difabel bahkan tak dipikirkan. Be­ gitu juga dengan beralifungsinya ruang pub­ lik menjadi ruang komersil. Maraknya pem­ ba­ngunan hotel di daerah resapan air me­ mi­cu turunnya debit air. Akibatnya, sumur warga di sejumlah kampung mengering. Aneka persoalan itu mendorong gerak­an “Warga Berdaya” di Yogyakarta, yang aktif mengadvokasi kepentingan publik melalui ber­bagai media, salah satunya film. Seri film gerakan itu diputar di JMR 2014 pada Ming­ gu (26/10). Judul film yang diputar antara lain Jogja Tetaplah Sederhana, Ora Masalah Har!, Sepeda Sunyi #RIDEinPEACE, Merthi Ku­tha Serangan Umum 1 Maret, Lindungi Po­ hon Perindang, Bocah Jogja Nagih Janji, Jog­ ja untuk Kebhinnekaan, Global Street ProjectYogya, dan The Man Comes Around. 

Stand Omah Kendeng di JMR 2014 yang menampilkan poster advokasi tentang penolakan warga atas pembangunan pabrik semen di Pegu­nungan Kendeng Utara.

Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014

13


JMR 2014 Berkumpul, Berbagi, Bergerak

2

1

14

Kombinasi ď Ź Edisi ke-58 ď Ź Oktober 2014

3

4

5

15

14


1. Dua orang anak yang sedang membuat karya untuk Lomba Membuat Kartu Pos dalam rangkaian acara JMR 2014 (26 Oktober)  2. Penyiar Radio Sangkakala sedang beraksi  3. Pameran kuliner turut mewarnai JMR kali ini  4. Suasana lomba menggambar dan menulis kartu pos untuk anak  5. Penanda JMR dibuat dari bambu dan bahan ramah lingkungan lainnya  6. Sablon kaus bertema lingkungan  7. Relawan JMR 2014  8. Relawan JMR berfoto selfie  9. Pengunjung berfoto di stan Kanal KPK  10. Sutradara Nia Dinata diwawancarai reporter JMR 2014  11. Pengunjung mengamati foto Jepara tempo dulu  12. Pengukuhan Relawan TIK oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi  13. Pertunjukan musik juga mewarnai JMR kali ini  14. Anak-anak bermain dengan kursi roda milik komunitas yang memamerkan aneka peralatan bagi kelompok difabel  15. Pertunjukan seni oleh kelompok Dadung Awuk dalam JMR 2014 (25 Oktober) di Yogyakarta.

12

6

7

11

8

13

10

9

Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014

15


tama foto-foto: dokumen kombinasi

U

Berkumpul dan Berbagi di JMR 2014 Perhelatan Jagongan Media Rakyat 2014 yang berlangsung di Gedung Jogja National Museum, 23-26 Oktober lalu menjadi ajang bertemunya para pegiat dan pemerhati media komunitas. Ada banyak peristiwa dan cerita yang muncul dari pertemuan itu.

S

Foto atas: aktor Lukman Sardi mengun­ jungi Jagong­an Media Rakyat 2014.

16

elain agenda utama seperti semi­ nar nasional dan sejumlah diskusi maupun lokakarya, JMR 2014 juga diramaikan oleh sejumlah pegiat se­ni yang menampilkan karya me­ reka. Selama pelaksanaan JMR, setiap sore hingga malam hari, peserta dan pengunjung JMR 2014 dihibur oleh pertunjukkan musik dan teater tradisional. Seni dengan segala bentuknya adalah media untuk berekspresi. Itulah kenapa para pegiat seni selalu diun­ dang berpartisipasi dalam JMR 2014. Panggung pertunjukkan yang diberi nama “Panggung Tobong” berada di bagian tengah area JMR. Panggung tersebut dikelilingi se­ jumlah gerai kuliner yang menjajakan ane­ ka makanan dan minuman buatan sejumlah komunitas di Yogyakarta. Para peserta dan pengunjung JMR bisa menyantap makanan

Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014

di gerai-gerai tersebut sambil menyaksikan pertunjukan di panggung. Secara umum, JMR 2014 mengusung prin­ sip terbuka, kolaboratif, ramah lingkungan dan berkelanjutan. Meskipun tidak sempur­ na, prinsip-prinsip tersebut coba diwujud­ kan dalam seluruh aspek pelaksanaan JMR 2014 mulai dari pemilihan tema seminar dan diskusi, tata artistik area JMR, hingga halhal teknis lainnya. Untuk tata artistik, prinsip itu diwujudkan dengan menggandeng komunitas yang sela­ ma ini bergelut dengan bahan-bahan lokal ramah lingkungan. Dari situlah muncul stan berbahan bambu dengan atap daun tebu. Penggunaan bahan-bahan berbahan sinte­ tis, baik berupa plastik maupun vinil coba diminimalkan. Sebagai gantinya, tripleks dan bambu, termasuk anyaman bambu (kreneng) digunakan untuk membuat papan penunjuk arah, papan pengumuman, maupun aneka penghias ruangan. Untuk menghormati perokok dan non pe­ rokok, tanda “dilarang merokok” pun dibuat bervariasi, misalnya dengan kalimat “mero­ kok boleh tapi di luar ruangan”. Hak difabel juga diperhatikan, antara lain dengan me­ ma­sang jalur khusus kursi ro­da di sejumlah tangga. Jalur evakuasi beser­ta saran tentang hal yang harus dilaku­kan jika terjadi gem­pa bumi juga dipasang di sejumlah titik. Prinsip tersebut juga diterapkan dengan memberi ruang pada anak-anak untuk ter­


libat dalam JMR 2014. Salah satunya mela­ lui agenda lomba menulis dan menggambar kartu pos bertema “Dari Anak Indonesia un­ tuk Presiden” yang digelar pada hari Minggu (26/10). Lomba tersebut diikuti tak kurang dari 70 anak, berusia 6-15 tahun. Selain itu, Komisi Pemberantasan Korup­ si atau KPK juga menyambut kehadiran anakanak tersebut dengan membawa bus pem­ belajaran antikorupsi ke dalam area JMR. Di dalam bus tersebut terdapat media yang ber­ isi mengenai perilaku korupsi dan nilai-ni­ lai anti korupsi yang disesuikan dengan ting­ kat pemahaman anak-anak. Anak-anak juga dihibur oleh pembaca cerita yang menceri­ takan tema anti korupsi meng­gunakan bo­ neka tangan.

Kejutan Pelaksanaan JMR 2014 juga menghadir­ kan sejumlah kejutan. Salah satunya adalah dibatalkannya salah satu mataacara oleh pi­ hak Kepolisian Resort Kota Yogyakarta (Li­ hat Polisi Batalkan Pelatihan Pembaca Kritis Media LKiS). Agenda yang dilarang kepolisi­ an itu adalah pelatihan pembaca kritis me­ dia bertema “Melek Media: Menanggulangi Konten Negatif Fundamentalisme Agama di Dunia Maya” yang sedianya akan diselengga­ rakan oleh Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) pada Jumat (24/10). Akibat pembatalan tersebut, agenda dis­ kusi diganti dengan konferensi pers yang di­hadiri sejumlah pihak, antara lain LKiS, Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, serta Alissa Wahid dari Komunitas Gusdurian. Pem­ batalan agenda diskusi yang dipandang se­ bagai bentuk inteloransi itu menarik perha­ tian media arus utama, sehingga pemberita­ an tentang kejadian itu menyebar di berba­ gai media, termasuk media sosial. Kejutan lainnya datang pada hari ketiga, atau Sabtu (25/10) petang. Di tengah kera­ maian JMR 2014, sutradara Nia Dinata dan aktor Lukman Sardi tiba-tiba turut masuk ke dalam gedung. Mereka hadir untuk turut me­ ramaikan pemutaran film berjudul “Nyalon” karya sutradara Ima Puspita Sari yang di­ ada­kan Komunitas Kampung Halaman. Kehadiran dua figur publik itu menarik perhatian sejumlah peserta dan pengunjung JMR. Usai pemutaran film, sejumlah pengun­ jung meminta berfoto dengan keduanya. Fo­ to selfie bersama Nia Dinata maupun Lukman Sardi pun menyebar di media sosial. 

Polisi Batalkan Pelatihan Pembaca Kritis Media LKiS

P

elatihan pembaca kritis media dengan tema “Melek Media: Menanggulangi Konten Negatif Fundamentalisme Agama di Dunia Maya” yang rencananya disampaikan oleh Yaya­ san LKiS pada Jagongan Media Rakyat, Jumat (24/10), dibatal­kan. Keputusan itu diambil setelah pihak Kepolisian Kota Yogyakarta menolak pelaksanaan agenda tersebut. Dalam konferensi pers terkait pembatalan agenda tersebut, Imung Yuniardi yang mewakili panitia Jagongan Media Rakyat (JMR) menjelaskan kronologi penolakan. “Kamis (23/10, Polsek Wi­ro­brajan meminta panitia berkoordinasi dengan Kasat Intel Pol­ res­ta Yogyakarta. Dalam koordinasi tersebut pihak kepolisian me­ nya­ta­kan menolak pelaksanaan diskusi LKiS,” tuturnya. Penolakan pihak kepolisian tertuang dalam surat resmi yang ditandatangani oleh Kepala Satuan Intelkam Kepolisian Kota Yog­yakarta Komisaris Polisi Sigit Hariadi. Di surat bertanggal 23 Oktober itu tertulis bahwa kepolisian menolak pelaksanaan pe­ la­tih­an LKiS karena telah beredar pesan broadcast penolakan aca­ra tersebut oleh ormas Islam yang dianggap berpotensi me­ nimbulkan konflik. Koordinator Program LKiS Hafizen menjelaskan jika pelatihan tersebut dilakukan dalam rangka literasi media. Fokus pelatihan adalah memberi pemahaman kepada anak muda agar mereka bi­ sa memilih dan memilah informasi yang ada di media online. Pe­ latihan semacam ini juga telah dilakukan bekerjasama dengan ba­nyak lembaga pendidikan, dan tidak pernah ada masalah mau­ pun penolakan. Alissa Wahid dari komunitas Gusdurian yang hadir dalam kon­ ferensi pers tersebut menyayangkan keputusan pihak kepolisian. Tindakan itu bertentangan dengan konstitusi negara, terutama jika merujuk pada Undang-undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Menurut Alissa, insiden pembatalan ini menambah daftar ka­ sus intole­ran­si di Yogyakarta. “Kepolisian seharusnya mam­pu menjalankan misinya untuk melindungi, melayani, dan menegak­ kan hukum,” ujarnya.  S Supriantho (Dimuat juga di Buletin JMR 2014, Sabtu 25 Oktober 2014)

Alissa Wahid

Tim Media JMR 2014 Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014

17


R

adio

R adio F M Y Y

Radio Komunitas Pemersatu Bangsa-bangsa Gempa bumi dahsyat yang mengguncang wilayah Kota Kobe di Perfektur Hyogo Jepang tahun 1995 silam menyisakan banyak cerita pilu. Namun bencana alam itu juga telah melahirkan inisiatif warga untuk hidup damai berdampingan mencegah bencana lain yang mungkin datang.

1

Oleh Idha Saraswati

I

nisiatif itu bernama Radio Komu­ nitas FMYY. Sebuah radio yang dilahirkan oleh warga dari latar belakang yang berbeda. General Manager Radio FMYY Shi­ zuyo Yoshi­tomi yang mampir ke Kan­ tor Combine Resource Institution di Yogyakarta pertengahan November la­ lu menutur­kan, kisah radio itu bermu­ la pada 17 Januari 1995. Waktu itu ha­ ri Selasa pagi, Gempa berkekuatan 7,2 skala richter tiba-tiba mengguncang Kota Kobe yang padat penghuni. Sekitar 6.400 orang dilaporkan me­ ninggal akibat gempa tersebut. Puluh­ an ribu orang mengalami luka-luka. Duka membayangi seisi kota. Selain itu, sekitar 250.000 rumah ambruk. Ratusan ribu orang harus mengungsi. Gempa itu juga menyulut potensi bencana baru: konflik sosial. Di te­ ngah penderitaan dan keputusasaan akibat gempa, para penyintas mudah terbawa isu. Apalagi Kobe dihuni oleh banyak pekerja asing dari berbagai bangsa. Perbedaan latar belakang, bu­ daya dan bahasa rentan menimbul­ kan curiga dan prasangka. Shizuyo Yoshitomi atau yang akrab dipanggil Tomi bercerita, Kobe ada­ 18

Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014

lah kota multikultur di Jepang. Seiring dengan pertumbuhan industri di Ko­ be, kota ini menjadi tujuan banyak pe­ kerja asing dari berbagai negara. Ma­ yoritas berasal dari Asia, seperti Ko­ rea dan Vietnam. Tak sedikit di anta­ ranya yang memutuskan untuk hidup turun temurun di kota tersebut. Sebagai warga pendatang, tak se­ mua pekerja asing itu fasih berbaha­ sa Jepang dan membaca huruf kanji. Maka ketika terkena dampak gempa, mereka kebingungan karena kesulit­ an mengakses informasi. Kesalahpa­ haman pun mudah terjadi. Selain itu, bagi pendatang dari Ko­ rea, gempa itu mengingatkan mereka pada bencana serupa di tahun 1923. Waktu itu terjadi kerusuhan yang ber­ dampak pada dibakarnya distrik Na­ gata yang menjadi tempat tinggal ma­ yoritas warga Korea serta pendatang lainnya di Kobe. “Jadi, pascagempa 1995, trauma itu membuat mereka ta­ kut menuliskan nama Koreanya saat didaftar untuk mendapat shelter,” ka­ ta Tomi. Menurut dia, isu-isu yang menje­ lek-jelekkan ulah para pekerja asing seba­gai warga pendatang di Kobe ju­

2

ga muncul pascagempa 1995. Sedang­ kan warga pendatang merasa men­ dapat perlakuan yang diskriminatif. Isu-isu seperti itu menyulut ketegang­ an antara warga lokal dengan penda­ tang. Beruntung tidak semua warga tersulut isu karena telah terbiasa hi­ dup berdampingan dengan rukun. Me­ reka kemudian bahu membahu me­ nye­barkan informasi yang benar gu­ na menghapus isu. Mereka melaku­ kannya dengan radio.

Y dan Y Radio pascagempa pertama didiri­ kan oleh warga Korea dengan dukung­ an dari sejumlah warga lokal. Mereka punya ide mendirikan radio karena selama ini warga keturunan Korea di Jepang telah memiliki radio komu­ni­ tas bernama Saran FM. Dua minggu pascagempa, mereka membawa se­ jumlah peralatan radio Saran FM ke


Foto-foto: Kaori Okado dan tcc117.org/fmyy/

3

Foto 1: studio awal Radio Komunitas FMYY  Foto 2: siaran Radio Komunitas FMYY  Foto 3: pengelola Radio FMYY dari Kota Kobe Jepang membagikan pengalamannya dalam membangun radio multikultur di kantor Combine Resource Institution di Yogyakarta, Kamis (20/11). Nagata dan mulai mendirikan Yobo­ seyo FM. Yoboseyo adalah bahasa Ko­ rea yang berarti ‘halo’. Radio ini di­ dirikan untuk menjawab kebutuhan para penyintas gempa yang berbaha­ sa korea. Berdasarkan informasi dari laman http://www.tcc117.org/fmyy, di ra­ dio mini tersebut mereka menyiarkan informasi seputar perkembangan pas­ cagempa menggunakan bahasa ko­ rea dan jepang. Mereka juga rutin me­ nyiarkan lagu berbahasa korea untuk menyemangati para penyintas. Di samping warga keturunan Ko­ rea, warga keturunan Vietnam juga amat merasakan dampak gempa. Ba­

nyak warga Vietnam yang datang ke Jepang sebagai pengungsi, lalu ting­ gal di Nagata. Mereka kebanyakan be­ kerja di industri kimia. Gempa tidak hanya merusak tempat tinggal, tapi juga pabrik-pabrik, sehingga mereka kehilangan rumah dan pekerjaan. Banyak di antara mereka yang ke­ mudian mengungsi di taman dan se­ kolah. Kendala bahasa membuat me­ reka berada dalam kondisi yang ren­ tan. Melihat itu, kelompok-kelompok relawan kemudian berupaya membe­ rikan informasi yang mudah dipahami warga Vietnam. Dengan bantuan da­ ri Radio Yoboseyo FM dan Saran FM, mereka lantas mendirikan studio ra­

dio mini baru bertempat di kompleks Gereja Takatori. Radio itu bernama Yu­ men FM. Yumen adalah bahasa viet­ nam untuk persahabatan. Radio ini ti­ dak hanya menyiarkan informasi da­ lam bahasa vietnam, namun juga ba­ hasa tagalog dan inggris untuk pen­ datang dari Filipina, bahasa spanyol untuk pendatang dari Amerika Sela­ tan, dan bahasa jepang. Radio Yoboseyo FM dan Yumen FM punya tujuan yang sama. Selain me­ nyiarkan informasi seputar perkem­ bangan situasi pascagempa dengan ba­hasa ibu masing-masing, dua radio ini juga ingin menciptakan hubungan har­monis antarwarga penghuni kawa­ san Nagata yang berasal dari beragam latar belakang bangsa dan etnis. Tujuan itulah yang lantas meng­gi­ ring mereka untuk mendirikan stasi­ un radio komunitas lokal di Nagata. Maka pada 17 Juli 1995, Yoboseyo FM

Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014

19


R

adio

serta Yumen FM bergabung jadi satu. Namanya pun berganti menjadi Radio Komunitas FMYY. Dua huruf “Y” me­ wakili nama Yoboseyo dan Yumen. Mereka memulai kegiatan operasi­ onalnya dengan berupaya mendapat­ kan lisensi siaran dari Kementerian Pos dan Telekomunikasi Jepang sem­ bari tetap mengudara. Beruntung wak­ tu itu belum ada banyak radio komu­ nitas di Jepang, sehingga frekuensi ma­ sih sepi. Siaran mereka menjangkau wilayah dengan jarak hingga 30 kilo­ meter. “Sebenarnya kalau ada radio ilegal, biasanya langsung ditangkap. Namun karena waktu itu sedang ada bencana, pemerintah membiarkan FMYY siaran meski belum dapat ijin,” kata Junichi Hibino, Direktur FMYY. Untuk memenuhi syarat pengaju­ an lisensi, mereka kemudian mendi­ rikan studio di kawasan Gereja Taka­ tori dengan dukungan dari relawan

misi Rakom FMYY. Misi ini ada untuk menjawab kebutuhan warga Kobe, khususnya Nagata, yang multikultur. Misi tersebut diwujudkan dalam se­ rangkaian program siaran yang meli­ batkan peran aktif komunitas. Manager Rakom FMYY Chiaki me­ nuturkan, program itu diwujudkan an­ tara lain melalui program siaran yang menggunakan berbagai bahasa. Kini, total ada delapan bahasa yang digu­ nakan dalam siaran FMYY, yakni je­ pang, korea, vietnam, tagalog, inggris, spanyol, china dan portugis. Di samping melalui sejumlah prog­ ram siaran di dalam studio, FMYY juga rutin mengadakan kegiatan luar stu­ dio yang melibatkan komunitas mul­ tikultur. Ada festival desain, festival se­ ni yang mengundang artis lokal, dan lain-lain yang diadakan di pusat-pu­ sat kegiatan warga semisal sekolah hingga pusat perbelanjaan.

Menyuarakan hak-hak kelompok minoritas, serta mengkampanyekan hidup rukun berdampingan menjadi misi Rakom FMYY. Misi ini ada untuk menjawab kebutuhan warga Kobe, khususnya Nagata, yang multikultur. Misi tersebut diwujudkan dalam se­rangkaian program siaran yang meli­batkan peran aktif komunitas. Takatori Relief Base. Satu tahun ke­ mudian akhirnya mereka mendapat lisensi. Dengan lisensi tersebut, mere­ ka kemudian harus mengikuti aturan dengan mengurangi jangkauan siaran menjadi 5 kilometer. Maka pada 17 Ja­ nuari, tepat satu tahun pascagempa, Rakom FMYY resmi mengudara. Di samping warga pendatang, pe­ rempu­an seperti Tomi bersama sejum­ lah warga Jepang lainnya turut mem­ bidani kelahiran radio komunitas ter­ sebut. Mereka adalah warga biasa. Me­ reka mengudara untuk menyuarakan hak-hak kelompok minoritas dengan kesadaran bahwa semua orang bisa menjadi minoritas. Multikultur Menyuarakan hak-hak kelompok minoritas, serta mengkampanyekan hidup rukun berdampingan menjadi 20

Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014

Di setiap kegiatan, isu-isu komuni­ tas minoritas selalu disosialisasikan. Selain fakta-fakta tentang kehidupan mereka yang berdampingan dengan warga dari berbagai negara, isu gen­ der hingga difabel juga disampaikan. Kegiatan semacam itu juga selalu me­ libatkan seluruh komunitas minori­ tas yang ada di Nagata. Dengan begi­ tu mereka bisa berinteraksi, berbagi pengalaman, sehingga akhirnya me­ numbuhkan empati dan saling mema­ hami satu sama lain. Menurut Chiaki, awalnya menso­ sialisasikan isu-isu minoritas itu me­ mang tidak mudah. Oleh karena itu, di luar program radio, ia sendiri ke­ rap mendatangi warga dan mengajak mereka ngobrol tentang berbagai hal yang berhubungan dengan isu-isu ter­ sebut. “Prosesnya lama, ta­pi lama-la­ ma mereka bisa mengerti,” jelasnya.

Menyuarakan hak-hak komunitas minoritas bukanlah hal yang mudah. Berbagai tantangan selalu muncul, ba­ ik dari komunitas minoritas itu sen­ diri, maupun dari warga Jepang, ter­ masuk pemerintah yang mengeluar­ kan sejumlah kebijakan diskrimina­ tif terhadap warga keturunan non Je­ pang. Namun FMYY telah membukti­ kan bahwa tantangan itu tidak mus­ tahil untuk dihadapi. FMYY juga berupaya mendorong pemerintah untuk mengeluarkan ke­ bi­jakan berperspektif multikultur. Pengalaman Rakom FMYY kemu­ di­an dibagikan ke berbagai komuni­ tas, baik di Jepang maupun di luar ne­ geri termasuk Indonesia. Di Indone­ sia, Rakom FMYY bekerja dengan Com­ bine Resource Institution menginisi­ asi radio komunitas untuk isu pengu­ rangan risiko bencana dan pelestari­ an budaya. Dalam perkembangannya, Rakom FMYY bersama dengan sejumlah lem­ baga swadaya masyarakat lain yang memiliki visi sama berkumpul dalam naungan Komunitas Takatori. Komu­ nitas ini terdiri dari sepuluh organi­ sasi berbeda yang bekerja sama un­ tuk membentuk komunitas baru yang memberikan ruang setara bagi semua orang dari latar belakang berbeda. Komunitas Takatori yang multikultur telah melakukan berbaga inovasi dan membangun berbagai bentuk media untuk mewujudkan cita-citanya. Ko­ munitas ini pulalah yang mendukung kegiatan operasional Radio FMYY se­ hingga dapat terus mengudara mela­ yani pendengarnya. Menurut Tomi, dalam setiap tahap pembangunan, pemberdayaan komu­ nitas minoritas harus dilakukan. Upa­ ya ini merupakan sa­lah satu bentuk mitigasi bencana yang penting. Pengalaman gempa bumi Kobe pa­ da 1995 menunjukkan hal itu. Ben­ cana alam bisa menyulut bencana so­ sial yang dampaknya tak ka­lah serius. Tetapi bencana sosial itu bi­sa di­tang­ gulangi jika sejak awal selu­ruh komu­ nitas dilibatkan dalam pro­ses pem­ bangunan. “Kedamaian untuk komu­ nitas minoritas adalah kedamai­an un­ tuk semua orang,” ujar Tomi. 


Rakom Diakoni 107,8 Pematangsiantar

Mengudara di Tengah Keterbatasan Kelangsungan radio komunitas (rakom) saat ini sangat minim perhatian sehingga kondisinya semakin terjepit. Banyak Radio Komunitas yang sudah tutup, bukan karena mutu siaran yang buruk, melainkan karena keterbatasan dana untuk membiayai kebutuhan operasional.

P

adahal Siaran Rakom sangat membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi pen­ ting yang berlangsung di da­ erah ter­sebut. Terlebih lagi informasi itu biasanya disajikan dengan gaya bahasa sehari-hari sehinggga mudah dimengerti oleh masyarakat. Keterba­ tasan dana itu juga yang menjadi peng­ halang eksisnya Rakom Nafiri Diako­ ni FM Pematangsiantar. Namun radio yang sudah berdiri sejak delapan ta­ hun lalu di Kota Pematangsiantar, Pro­ vinsi Sumatera Barat ini terus ber­ upaya untuk bertahan. Rakom Diakoni menyajikan sejum­ lah program acara misalnya informa­ si tentang pendidikan, kesehatan, ro­ hani dan hiburan. Program-prog­ram tersebut sebisa mungkin dikemas se­ Acara temu penggemar Diakoni FM Pematang Siantar (foto kiri) dan siaran bersama unsur pemerintahan setempat (foto kanan).

cara menarik. Penyiarnya ada­lah war­ ga yang tinggal di sekitar Rakom. Dengan peralatan sederhana ber­ kekuatan 50 watt, radio ini rutin me­ nyapa pendengar setiap pagi dan ma­ lam. Siarannya menjangkau pendengar di wilayah Pematangsiantar dan se­ ba­gian di Kabupaten Simalungun. Meski Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun saat ini dike­ lilingi puluhan radio komersial dengan daya yang besar, rakom Diakoni tetap mendapat tempat di hati pendengar­ nya. Para pendengar setiap radio ini bahkan rutin mengadakan acara te­ mu fans. Antusiasme para pendengar setia itulah yang membangkitkan se­ mangat pengelola radio untuk terus memperjuangkan kelangsungan siar­ an Diakoni FM. Dari forum-forum pertemuan pen­ dengar dan fans Rakom Diakoni FM, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pendengar radio ini adalah ma­ syarakat dengan tingkat ekonomi me­ nengah ke bawah. Ada yang berpro­ fesi sebagai pedagang kaki lima, bu­ ruh harian, supir, penarik becak, pe­

mulung dan sebagainya. Pengelola Di­ akoni FM sangat bangga dapat hadir memberikan informasi bagi mereka.

Perhatian Melihat kondisi yang ada saat ini, pengelola Rakom Diakoni mengharap­ kan Pemerintah Kota dan Kabupaten mem­beri dukungan kepada Rakom sebagai wadah penyampai informasi pada warga dan komunitas rakyat. Se­ bab kegiatan operasional setiap Ra­ kom membutuhkan biaya, baik untuk menyewa gedung, membayar listrik, dan sebagainya. Pengelola Rakom juga mengharap­ kan agar pemerintah lebih memper­ hatikan kehidupan orang kecil di Pe­ matangsiantar. Bila usaha kecil rakyat diperhatikan, kehidupan rakyat akan jadi lebih layak. Meski tidak seberapa luas, Pematangsiantar saat ini memi­ liki pemukiman yang kumuh di dae­ rah pinggiran rel kereta api. Penghu­ ninya menggantungkan hidup sebagai pemulung dengan penghasilan tidak seberapa, sehingga banyak anak me­ reka yang putus se­kolah. 

Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014

21

foto-foto: dokumen diakoni Fm

Oleh Mas jhon Sihombing


F

Ilm

R ese n si

Bukan Sekadar Riuh Heroisme di Jalan “Busway­-nya Jogja.” Seingat saya demikianlah komentar dari penduduk Kota Yogyakarta tentang Trans Jogja saat mulai beroperasi pada 2008. Rujukannya adalah Bus Transjakarta yang lahir empat tahun lebih awal dan populer dengan sebutan busway yang sebenarnya salah kaprah itu. Oleh Yoseph Kelik

B

us Trans Jogja sejatinya tidak sebesar bus Transjakarta, tak pula punya jalur khusus yang terpisah dari kendaraan-ken­ daraan lain. Kesamaan antara kedua­ nya sebatas sama-sama dilengkapi pe­ nyejuk udara dan hanya berhenti di halte-halte khusus. Meski begitu, te­ tap saja Trans Jogja lebih unggul fasi­ litas dibanding bus-bus kota konven­ sional yang ada sebelumnya. Sayangnya setelah berjalan lebih dari setengah dekade, satu demi satu keunggulan fasilitas pada Trans Jogja menjadi pudar. Mulai dari makin ba­ nyaknya bus Trans Jogja yang ngebul alias terlewat pekat semburan asap knal­potnya, tidak lagi menutup sem­ purna pintunya, tak lagi dingin hem­ busan AC-nya, hingga terkadang jadi terasa ngebut seperti terburu-buru. Alarm kesadaran warga Kota Yogya­ karta bahwa ada masalah dalam pe­ ngelolaan Trans Jogja pun berbunyi.

Masalah Ketenagakerjaan Nah, film dokumenter berjudul Ka­ mi Yang Melawan adalah sajian visu­ al sepanjang 46 menit yang membe­ ber persoalan-persoalan pengelolaan Trans Jogja. Lebih tepatnya tentang ke­ tenagakerjaan di dalam PT Jogja Tu­ gu Trans (JTT), perusahaan pengelo­ la layanan Trans Jogja, yang meme­ kerjakan tak kurang dari 280 pekerja. Sebut saja penyunatan upah, sulitnya menjadi karyawan tetap, hambatan dan intimidasi kegiatan berserikat, ju­ ga penolakan izin hamil yang tercatat membuat 12 buruh perempuan meng­ alami pemutusan hubungan kerja ali­ as PHK. Di antara empat hal tadi, ma­

Info Film Kami Yang Melawan Tahun Produksi: 2014 Durasi: 46 menit Produksi: Crab Corpse Film Tim Produksi: Yab Sarpote (Sutra­ dara, Juru Kamera, dan Edi­tor), Er­da Kurniawan (Teknis Mic­ro­phon­ ing, dan Penerjemah), Te­re­sia Dian Triutami (Asisten Juru Ka­mera)

22

Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014


foto-foto: dokumen yoseph kelik

salah yang paling mendapatkan por­ si utama adalah perihal tak kunjung diangkatnya para pekerja yang ada menjadi karyawan tetap. Mayoritas karyawan telah bekerja di PT JTT le­ bih dari tiga tahun. Padahal menurut Undang-Undang No 13 Tahun 2003, sebenarnya harus sudah diangkat se­ bagai karyawan tetap. Narasi dalam Kami Yang Melawan hadir melalui sekuen testimoni ber­ se­lang-seling beberapa buruh Trans Jogja yang terlibat aksi mogok pada Ju­ li 2013. Tuntutannya: diangkat se­ba­ gai karyawan tetap dan penghenti­an penyunatan upah. Para buruh diwakili oleh Arsiko, Faisal, Paino, dan Zainul. Arsiko antara lain menceritakan so­ al praktik penyunatan upah yang di­ alami sejak 2008. Menurutnya, pra­ mudi atau sopir yang resminya men­ dapat gaji bulanan Rp 2,339 juta, ter­ nyata hanya menerima dari perusa­ haan sebesar sekitar Rp 1,5-an juta; pramugara resminya bergaji 1,5 juta, tetapi yang diterima Rp 1,1 juta saja. Para karyawan juga harus pintar-pin­ tar mencari penghasilan pengganti ga­ ji bulanan untuk tetap menghidupi ke­ luarga mereka. Pasalnya, sebagai kon­ sekuensi dari aksi mogok, mereka ti­ dak lagi bisa mengandalkan gaji ru­ tin bulanan dari pihak perusahaan.

“Harus pintar-pintar cari serabut­ an: rosok, angkringan, nyetir rental, di rumah masak,” ucap Arsiko sebagai­ mana terekam dalam film. Kami Yang Melawan juga mende­ dahkan tentang aneka hambatan yang dialami para buruh Trans Jogja ke­ti­ ka hendak mewujudkan aksi mogok. Totok, sang Ketua Serikat Pekerja, jus­ tru membelot meninggalkan kawankawannya dan berpihak pada perusa­ haan jelang pelaksanaan aksi. Karena berbagai intimidasi, unjuk rasa dan mogok yang rencananya diikuti selu­ ruh pekerja pada akhirnya hanya di­ ikuti 50 orang. Tekanan terhadap pe­ serta aksi yang tidak putus membuat jumlah itu pun berkurang hingga ter­ sisa 20 orang. Perjuangan getir selama sekitar se­ tahun belum kunjung berbuah manis. Awal 2014, ketika putusan hakim di pengadilan atas perkara mereka ke­ luar, tuntutan-tuntutan mereka tiada dikabulkan dan cuma 1 buruh yang di­ angkat sebagai karyawan tetap.

Cerita Tambahan Pada Sabtu malam, 20 September 2014, ketika berlangsung pemutaran keliling film ini dan dilanjutkan dis­ kusi di Kampus 2 Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, ada sejum­

lah cerita tambahan dari para peme­ ran dan pembuat film. Misalnya ten­ tang uang saku pelatihan awal yang ternyata sampai ke pekerja, keluhan soal kualitas katering jatah pe­kerja, sampai keberadaan preman-preman yang mengintimidasi kegiatan harian para pekerja. Yab sang sutradara yang juga me­ rangkap juru kamera dan editor ber­ ujar bahwa selama ini ada kecende­ rungan dari media massa mainstream saat memberitakan gerakan masya­ rakat sipil ternyata melulu merekam­ nya dalam wujud riuh heroisme di ja­ ­lanan yang penuh jargon. Namun me­ reka luput merekam kehidupan kese­ harian para pelaku aksi di sela-sela menegakkan perjuangan mereka. Dalam film ini, Yab dan kawan-ka­ wan mencoba konsisten dengan apa yang menjadi kritik mereka. Mereka banyak mengeksplorasi aneka hal di luar unjuk rasa dan keriuhan herois­ me jalanan lainnya. Rekaman gambar ketika para pekerja itu menjalani pe­ kerjaan serabutan yang mesti mere­ ka sambar setelah memutuskan men­ jalani mogok: berdagang angkringan sampai mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena istrinya yang ganti be­ kerja sebagai tulang punggung kelu­ arga menjadi warna utama film. 

Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014

23


P

ustaka

R ese n si

Mendorong Perempuan Gunakan TIK Sebagian besar perempuan yang terjun di usaha kecil menengah atau UKM termyata belum bisa memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sebagai sarana pendukung usahanya. Rendahnya adopsi TIK ini berdampak pada rendahnya daya saing UKM yang dimiliki dan digerakkan perempuan. Oleh Aris Setyawan

T

Info Buku Perempuan Menggenggam Teknologi Informasi: Potret Pemanfaatan TIK oleh Perempuan Pelaku Usaha Kecil Menengah di Yogyakarta dan Jawa Tengah Penulis : Ambar Sari Dewi Penerbit : Google Policy Research Fellow­ ship dan ICT Watch Tahun : 2014 Tebal : 109 halaman

24

Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014

IK sebagai sebuah sarana pen­ dukung manusia modern ter­ nyata belum dapat digunakan oleh para perempuan pengge­ rak UKM di Indonesia. Padahal perem­ puan memiliki peran yang signifikan dalam menjalankan perekonomian. Menurut data Badan Pusat Statistik 2011, Indonesia mempunyai jumlah usa­ha berskala kecil atau UKM seba­ nyak 52 juta unit usaha. Dari jumlah tersebut, sekitar 54,5 persen UKM di­ jalankan oleh perempuan. Rendahnya angka pemanfaatan TIK oleh para perempuan pemilik UKM inilah yang menjadi fokus penelitian Ambar Sari Dewi, Staf Pengajar di Ju­ rusan Sosiologi Universitas Islam Su­ nan Kalijaga Yogyakarta. Penelitian yang dilaksanakan di Yogyakarta serta Ja­wa Tengah itu berlangsung pada ku­­run waktu Juli 2012 sampai Maret 2013. Tujuan utama penelitian ini ada­ lah untuk menge­tahui faktor pendo­ rong mau­pun penghambat adopsi TIK oleh perempuan pelaku UKM. Dalam penelitiannya, Ambar me­ nerapkan model penelitian kualitatif. Dengan model ini, peneliti mengikuti dan mengamati secara mendalami ke­ giatan yang dilakukan oleh subyek pe­ nelitian dalam jangka waktu yang la­ ma demi memperoleh kedalaman da­ ta. Maka selama hampir satu tahun, Ambar mengamati responden yang terdiri dari 50 orang perempuan pe­

laku UKM di Kabupaten Bantul, Kota Yogyakarta (DIY), serta Kabupaten Klaten, Wonogiri dan Kota Surakarta (Jawa Tengah). Lima kabupaten serta kotamadya tersebut dipilih lantaran mempunyai jum­lah UKM yang cukup besar. Kla­ ten, Wonogiri, dan Surakarta memi­ liki 21.903 atau 26,3 persen dari total UKM di Jawa Tengah yang berjumlah 83,140 unit. Sedangkan Bantul dan Yog­yakarta mempunyai 26,22 persen da­ri total UKM Propinsi Yogyakarta yang jumlah totalnya mencapai hing­ ga 88.862 unit. Kelima wilayah terse­ but dianggap cukup mewakili sample penelitian. Selain itu, lima daerah ter­ sebut mewakili unsur desa dan kota. Berdasarkan penelitian itu, Ambar me­nyimpulkan bahwa penerapan TIK oleh perempuan pelaku UKM ter­nya­ ta lebih rendah dibanding laki-laki pe­ laku UKM. Kondisi tersebut disebab­ kan oleh sejumlah faktor, yakni ke­ terbatasan sumber daya (sumber da­ ya manusia, keuangan dan teknis, so­ sial budaya, pendidikan), serta peran perempuan dalam keluarga yang me­ nyebabkan keterbatasan waktu da­ lam mempelajari serta menerapkan inovasi TIK. Pola Adopsi TIK Ambar juga ikut memetakan pola perempuan pelaku UKM dalam me­ nerap­kan inovasi TIK. Pola pertama


Berdasarkan pe­ne­ litian yang dila­ku­ kannya, Ambar Sari Dewi me­nyimpulkan da­lam buku ini bahwa pene­rap­ an TIK oleh pe­rem­puan pelaku UKM ter­­nya­ta le­ bih rendah diban­ding­kan laki-laki pe­laku UKM. cukup memadai. Mereka sudah mu­ lai menggunakan media berbasis in­ ternet guna memasarkan produknya. Sebagian besar dari mereka tinggal di wilayah perkotaan. Sedangkan pola keempat berisi in­ forman yang memang sudah mema­ hami pentingnya TIK dalam mengem­ bangkan usaha. Mereka biasanya ting­ gal di kota dan mempunyai latar be­ lakang pendidikan tinggi sehingga me­ miliki akses internet yang lebih baik. Hal ini mendorong mereka lebih ba­ nyak menggunakan internet sebagai sarana promosi bisnis. Dari berbagai pola tersebut, terli­ hat bah­wa pola satu dan dua yang di­ tandai dengan rendahnya angka peng­

gunaan TIK terjadi di kawasan pede­ saan. Ambar menemukan ada banyak faktor penghambat penerapan ino­ vasi TIK oleh para perempuan pelaku UKM di pedesaan. Di antaranya ada­ lah kurangnya infrastruktur teknolo­ gi informasi dan komunikasi di pede­ saan. Jangankan internet kecepatan tinggi, terkadang sinyal selular untuk kebutuhan telepon atau untuk mengi­ rim sms saja susah didapatkan. Per­ masalahan lain yang cukup penting adalah rendahnya tingkat pendidikan perempuan pelaku UKM sehingga me­ reka tak bisa cepat memahami TIK.

Telepon Seluler Pada bagian akhir laporan peneli­ tiannya, Ambar memaparkan bebera­ pa temuan terkait fenomena kurang­ nya pemanfaatan TIK oleh perempu­ an pelaku UKM. Pertama, mayoritas perempuan pelaku UKM mengguna­ kan telepon seluler atau ponsel (HP) sebagai alat komunikasi, promosi dan produksi. Kedua, mayoritas perempu­ an pelaku UKM tinggal di pedesaan, dengan tingkat pendidikan rendah, in­frastruktur TIK yang masih minim, serta kondisi sosial budaya yang ma­ sih bersifat pat­riarkis.

Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014

25

palcomtech.com

adalah pola paling sederhana, yakni informan adalah pelaku UKM yang be­ lum pernah menggunakan TIK seba­ gai sarana pendukung usaha. Tingkat kebutuhan TIK sangat rendah karena mereka menjalankan bisnis sebagai rutinitas harian belaka. Budaya pat­ riarki menjadi salah satu pemicu la­ hirnya pola ini, sebab pengambilan keputusan utama biasanya adalah la­ ki-laki (suami) sehingga perempuan merasa tidak membutuhkan TIK. Pada pola kedua, informan sudah memiliki pengalaman menggunakan perangkat TIK seperti telepon selu­ ler. Profil informan pola kedua ini se­ benarnya hampir mirip dengan pola pertama. Mereka umumnya tinggal di pedesaan sehingga infrastruktur in­ ternet masih sulit. Pengambilan kepu­ tusan juga berada di tangan laki-laki (suami). Bedanya, informan pada po­ la kedua ini bergabung dengan kelom­ pok atau jaringan perempuan pelaku UKM, sehingga mereka sedikit lebih maju ketimbang pola pertama. Hal ini terbukti dengan pemanfaatan telepon seluler untuk telepon dan mengirim pesan pendek (sms). Kemudian di pola ketiga, penge­ta­ huan informan mengenai TIK sudah


P

ustaka

Ketiga, kesadaran perempuan pe­ laku UKM mengenai pentingnya inter­ net untuk menunjang usaha sangat tinggi. Keempat, waktu serta tenaga yang terbatas menyebabkan keterba­ tasan perempuan dalam belajar TIK dan internet. Kelima, Lembaga Swa­ daya Masyarakat, kelompok jaringan pengusaha kecil, media massa, dan iklan adalah opinion leaders ataupun

itu rekomendasi bagi para pengem­ bang piranti lunak atau teknologi ser­ ta rekomendasi bagi para pengambil kebijakan. Para pengembang teknologi disa­ rankan untuk membuat program yang mudah digunakan setiap orang dan berbahasa Indonesia. Program terse­ but sebaiknya terintegrasi dengan la­ yanan sms dan media sosial, serta bi­

Agenda pe­latihan TIK yang selama ini digelar oleh sejumlah lembaga tidak optimal karena diadakan dalam durasi waktu yang panjang. Durasi waktu semacam itu justru memberatkan karena sema­kin mengurangi waktu mereka untuk mengurus UKM dan keluarga. sa dijalankan pada perangkat ponsel (HP) dengan spesifikasi sederhana. Sedangkan para pembuat kebijak­ an maupun kelompok pendamping (LSM) disarankan untuk membuat pe­ latihan TIK tepat guna untuk mening­ katkan penguasaan perempuan pela­ ku UKM terhadap TIK. Ambar menilai bahwa agenda pe­ latihan TIK yang selama ini digelar oleh sejumlah lembaga tidak optimal karena diadakan dalam durasi waktu

Aris Setyawan Penulis Lepas, Lulusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI)

tribunnews.com

agen yang memengaruhi inovasi TIK. Dan yang keenam, terdapat perbeda­ an pola adopsi TIK oleh perempuan pelaku UKM yang tinggal di wilayah pedesaan dengan yang tinggal di wi­ layah perkotaan. Dengan hasil temuan tersebut, Am­ bar lantas merumuskan rekomenda­ si kepada pihak yang terkait dengan pengembangan inovasi TIK bagi para perempuan pelaku UKM ini. Rekomen­ dasi tersebut dibagi menjadi dua, ya­

yang panjang, misalnya dua hari ber­ turut-turut. Durasi waktu semacam itu justru memberatkan karena sema­ kin mengurangi waktu mereka untuk mengurus UKM dan keluarga. Selain itu, pada banyak kasus, pascapelatih­ an berdurasi panjang itu umumnya mereka tidak mendapat pelatihan la­ gi karena ditinggalkan oleh para men­ tor atau pembimbing sehingga mere­ ka tidak benar-benar menguasai apa yang sudah diajarkan. Akhirnya me­ reka lupa dengan semua materi yang telah diberikan. Menurut Amabar, akan lebih tepat apabila pelatihan TIK yang diberikan berdu­rasi pendek tetapi berfrekuensi ting­gi. Misalnya berupa pelatihan ru­ tin de­ngan durasi 1 hingga 2 jam per hari, namun berkesinambungan sela­ ma satu ming­gu atau bahkan lebih. De­ ngan adanya infra­struktur yang me­ madai, yang diiringi pelatih­an serta pendampingan yang terjad­wal dengan baik, tak menutup ke­mungkinan bah­ wa beberapa tahun mendatang para pe­rempuan pelaku UKM akan lebih berdaya dengan inovasi TIK. 

26

Kombinasi  Edisi ke-58  Oktober 2014


Majalah Kombinasi (Komunitas Membangun Jaringan Informasi) adalah majalah yang diterbitkan Combine Resource Institution (CRI) sebagai media untuk menyebarkan gagasan, inspirasi, dan pengetahuan tentang media komunitas. Majalah ini diterbitkan sebagai salah satu upaya Combine untuk membantu pelaku media komunitas dalam mengembangkan medianya, baik dalam hal teknis pengelolaan, keredaksian, maupun isu.

Tertarik Menulis di Majalah Kombinasi? Redaksi Majalah Kombinasi menerima tulisan berupa opini, feature hasil liputan, dan resensi (buku dan film dokumenter) dengan tema-tema yang berhubungan dengan komunitas maupun media komunitas.

Ketentuan tulisan l Tulisan merupakan karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan di media lain. l Ditulis menggunakan bahasa Indonesia dengan mengikuti kaidah penulisan yang benar. l Ditulis dengan font times new roman, ukuran 12, panjang tulisan sekitar 6.000 karakter (with spaces). l Untuk tulisan feature dan resensi, harap sertakan foto dengan resolusi standard (minimal 1.000 x 800 pixel). l Mencantumkan nama terang penulis dan aktivitas penulis l Mencantumkan nomor rekening penulis. l Redaksi berhak menyeleksi tulisan yang sesuai dengan Majalah Kombinasi. l Untuk tulisan yang terpilih, redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah maksud tulisan. l Penulis yang tulisan diterbitkan akan mendapatkan honor sepantasnya.

Tulisan bisa dikirim ke redaksi Majalah Kombinasi di Jalan KH Ali Maksum RT 06 No.183, Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (kode pos 55188) atau melalui surat eletronik di redaksikombinasi@combine.or.id


Kencan


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.