Kombinasi 59 desember 2014

Page 1

Edisi ke-59 Desember 2014 ď Ź kombinasi.net


D

a r i Red a k s i

Pemimpin Redaksi Imung Yuniardi Redaktur Pelaksana Idha Saraswati Kontributor Aris Setyawan, Ferdhi Fachrudin Putra, Kus Sri Antoro, Maryani, M Syairi, Sang Nananging Jagad, Yoseph Kelik Sampul Dani Yuniarto Tata Letak MS Lubis

C

ukup tercenung saat mengamati angka-angka produksi pertanian Indonesia dalam peta global di pusat data FAO (badan PBB untuk urusan pangan dan pertanian) pada 2012. Ada begitu banyak pro­ duk pertanian Indonesia yang berada di peringkat 10 besar dari sisi kuantitas. Ketakjuban makin bertambah tatkala melihat data BPS yang menyebutkan jumlah petani Indonesia justru menurun dalam 10 tahun terakhir. Tidak hanya itu, masih menurut data BPS, pendapatan petani pun ma­ sih memprihatinkan. Tidak perlu dibandingkan dengan jenis pekerjaan la­ in, bahkan dibandingkan standar klasik pendapatan masyarakat miskin da­ri BPS sekalipun. Petani di sektor padi, palawija, perkebunan, peternak­ an, kehutanan dan perikanan rata-rata pendapatannya tercatat Rp 3,57 juta per tahun. Sedangkan buruh tani jelas lebih rendah, yaitu Rp 1,82 juta per tahun. Sebenarnya cerita tentang keberhasilan petani pun tidak sedikit. Mulai dari yang berhasil menerapkan pertanian organik hingga yang mampu me­ masok sayuran dan beras ke pasar-pasar modern. Lalu apa sebenarnya yang salah? Jawaban sederhananya mungkin adalah soal keberpihakan. Bila be­ nar pemerintah berpihak pada petani, maka kebijakan yang dibuat pun akan lebih banyak memproteksi petani. Kalau media berpihak pada petani, ma­ ka setidaknya porsi berita atau informasi tentang petani pun tidak hanya pelengkap melainkan digarap serius baik kuantitas maupun kualitas. Jika kita memang berpihak pada petani, maka mestinya tidak membeli buah, sayur maupun beras impor. Media komunitas, terutama yang berada di wilayah dengan basis peng­ hi­dupan utamanya bidang pertanian, memiliki fungsi sangat strategis un­ tuk membalikkan keadaan. Keberpihakannya mestinya jelas, yaitu kepada petani. Sehingga sirkulasi informasi di dalamnya pun bobot utamanya ada­ lah soal pertanian, bukan mengekor media arus utama dengan soal politik nasional misalnya. Apa yang dilakukan masyarakat Liku Dengen, juga Jogja Berkebun sedi­ kit banyak menggambarkan dampak nyata informasi bagi kemajuan peta­ ni. Bersama tulisan lain dalam edisi ini, semoga berbuah semangat keber­ pihakan kita pada petani yang makin nyata.  2

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

Alamat Redaksi Jalan KH Ali Maksum RT 06 No. 183 Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia 55188 Telp/Fax: 0274-411123 Email: redaksikombinasi@combine.or.id Website: http://kombinasi.net

Kombinasi adalah majalah dua bulanan yang diterbitkan oleh Combine Resource Institution atas dukungan dari Ford Foundation. Combine Resorce Institution adalah lembaga yang mendukung pengembangan jaringan informasi berbasis komunitas. Redaksi Majalah Kombinasi menerima opini, resensi, maupun tulisan berbasis peliputan seputar tema media komuni­ tas. Panjang tulisan sekitar 6.000 karakter (with spaces), dengan men­ can­tum­kan foto untuk tulisan non opini, dan dikirim ke redaksikombinasi@ combine.or.id. Redaksi berhak memilih dan menyun­ting tulisan yang masuk ke maja­lah Kombinasi. Penulis yang karya­nya dimuat akan mendapat honor sepantasnya.


I

n f o Sek i l a s

Aceh Barat Daya

Pertama Kali di Aceh, Pelayanan Terpadu Sidang Itsbat Nikah

suarakomunitas.net

A

ceh Barat Daya adalah kabu­pa­ ten pertama yang melakukan si­dang itsbat nikah dengan pe­ la­yanan terpadu di Provinsi Nagroe Aceh Barat Daya, dan merupakan ka­ bupaten ke-15 di Indonesia yang me­ luncurkan kebijakan tersebut. Pelun­ curan perdana layanan sidang itsbat nikah tersebut diadakan pada Selasa (2/12) dengan semboyan “One Day Service” atau pelayanan satu hari.

Dalam pembukaan sidang istbat ni­ kah yang dihadiri oleh Dirjen Badan Peradilan Agama (Badilag) dan per­ wa­kilan Australia Indonesia Partner­ ship For Justice (AIPJ), Ramli Bahar se­laku Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Barat Daya menyampaikan bah­ wa sidang itsbat nikah ini merupakan pelayanan terpadu. Dengan begitu, se­ telah pemohon menyelesaikan sidang itsbat, status nikah pemohon langsung

dicatat di Kantor Urusan Agama. Pada hari yang sama mereka bisa langsung mendapat akte ke­lahiran untuk anakanaknya di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dis­dukcapil). Dalam prosesnya, staf KUA dan Dis­ dukcapil langsung ditempatkan di ru­ ang sidang itsbat nikah. Ini dilakukan untuk menjawab kebutuhan para pe­ mohon yang selama ini mengeluh ka­ rena kendala biaya, jarak tempuh, pro­ ses yang berbelit-belit dan kurang in­ formasi dalam mengurus dokumen. Pekka, Lembaga Swada­ya Masya­ ra­kat di Aceh Barat Daya yang selama ini turut berperan dalam mendorong layanan sidang itsbat, mendapat ucap­ an terima kasih dari berbagai pihak, ter­masuk dari Dirjen Badilag dan AI­ PJ yang selama ini menjadi mitra Pek­ ka. Pekka selama beberapa bulan ter­ akhir dengan media yang dimilikinya terus melakukan berbagai upaya un­ tuk membantu pemerintah menye­le­ saikan permasalahan itsbat nikah. Menjadi yang pertama di Aceh ten­ tu saja memberikan kebanggaan ter­ sen­diri bagi masyarakat dan juga ber­ ba­gai pihak yang telah mengupaya­ kan sidang itsbat nikah dengan pela­ yanan terpadu ini. Wahyu, selaku per­ wa­kil­an dari AIPJ, berharap pelayan­ an ter­pa­du ini dapat menjadi proyek per­con­tohan untuk kabupaten lain, baik di wilayah NAD maupun Indone­ sia.  www.suarakomunitas.net

Pekalongan

Kenaikan BBM, Usaha Kecil Butuh Tambahan Modal Usaha kecil di bidang bangunan tampakya ikut di­ pu­singkan dengan dampak kenaikan harga bahan ba­ kar minyak. Ini karena harga sejumlah material yang dibutuhkan seperti pasir dan semen juga ikut naik lan­ taran biaya pengiriman juga membengkak. Edi Junaedi, pengusaha kluwung sekaligus paving me­ngeluh karena material yang dibutuhkan untuk usa­ hanya terjadi kenaikan harga. “Sebagai pengusaha ke­ cil, saya tentu pusing dengan naikya harga material, meskipun saya sudah memperkirakan hal ini setelah diumumkankanya kenaikan harga BBM tentu akan ber­ imbas pada usaha saya,” ucap Edi, Jumat (28/11).

Edi mengaku tak bisa serta merta menaikan harga dagangannya mengikuti kenaikan harga BBM. “Secara mendadak jelas sangat sulit, butuh waktu penyesuai­ an, belum lagi pembeli rata-rata masih lingkungan ter­ dekat dan masih agak kenal, jadi kalau harga langsung naik perasaan saya tidak enak,” tambahnya. Pengusaha kecil dengan tiga orang pekerja ini juga mengaku harus memikirkan kenaikan upah untuk pa­ ra pekerjanya lantaran biaya hidup saat ini sedang me­ ningkat. Ia berharap pemerintah memi­kir­kan kelang­ sungan pengusaha kecil secara serius, uta­manya pada sek­tor permodalan.  www.suarakomunitas.net Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

3


I

n f o Sek i l a s

Kota Pariaman

Petani Kakao Dapat Penghargaan dan Bantuan

K

elompok petani kakao Tunas Muda Desa Cubadak Air Utara, Kecamatan Pariaman Utara, Su­ matera Barat menerima hadiah dan bantuan pupuk dari Dinas Perkebun­ an Provinsi Sumatra Barat. Penghar­ gaan itu diserahkan oleh Walikota Pa­ riaman dalam sebuah acara yang di­ se­lenggarakan di Desa Cubadak Air Utara, Rabu (26/11). Dalam sambutannya, Walikota Pa­ ri­a­man Mukhlis Rahman meng­ucap­ kan selamat kepada para petani ka­ kao Tunas Muda yang sudah berhasil menda­patkan penghargaan sekaligus bantuan, yang berupa pupuk untuk ta­ naman ka­kao di kelompok taninya. Kota Pariaman saat ini memiliki la­ han kakao seluas 415 hektar. Lahan ka­kao yang sudah berproduksi men­ capai 281 hektar, dan sisanya berisi tanaman yang belum menghasilkan. “Dengan telah menerima bantuan ter­ sebut tentunya diharapkan agar ban­ tuan bibit perkebunan yang telah di terima benar-benar ditanam, dan ber­ sungguh-sungguh pula memelihara­ nya supaya kita bisa menikmati hasil yang kita harapkan,” ucapnya. Saat ini harga kakao sudah menca­ pai lebih dari Rp 30.000 per kilogram. Jika dikelola dengan baik, untuk seti­ ap setengah hektar lahan, petani bisa

suarakomunitas.net

memanen minimal 50 kilogram kakao per bulan, atau bisa mendapat peng­ hasilan sekitar Rp 1,5 juta per bulan. Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Sumatra Barat Fajarudin mengatakan, komoditi perkebunan adalah salah sa­ tu komoditi penting di Sumatra Ba­ rat. Hasil perkebunan berkontribusi tidak sedikit terhadap peningkatan pendapatan petani, penyerapan tena­ ga kerja, sumber devisa, bahkan yang tidak kalah penting juga mendukung kelestarian alam sebagai penyedia sum­ber daya air dan oksigen. Pada 2014, Pemprov Sumatera Ba­ rat telah menetapkan Desa Tungkal Utara dan Cubadak Air Utara di Keca­

Samosir

Turis Sakit, Ambulans Dipakai Dokter Seorang wisatawan asing yang tengah melancong di Pulau Samosir, Sumatera Utara, Selasa (18/11) terja­ tuh hingga tak sadarkan diri saat berjalan kaki di de­ pan Rumah Makan Elios Tuktuk Siadong. Hampir 30 menit terhempas di jalan, tidak satupun warga sekitar yang memberi pertolongan. Sementara tubuh wisata­ wan asing yang belum diketahui identitasnya itu su­ dah membiru dan darah dari mulutnya mengering. 4

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

matan Pariaman Utara sebagai naga­ ri model kakao ke-12 di Sumatra Ba­ rat. Berbagai kegiatan terkait budida­ ya kakao pun dila­kukan di dua desa tersebut, antara la­in berupa sekolah lapangan kakao. Petani juga akan di­ dampingi mahasiswa yang tengah me­ lakukan kuliah kerja nyata. Kota Pariaman mendapatkan ban­ tuan gunting pangkas kakao sebanyak 82 set, pupuk kakao sebanyak 4.000 kilogram, bibit unggul kakao sebanyak 2.000 batang, bibit kakao sambung pucuk 1.000 batang, tricoderma 1.000 kilogram, beuveria 50 kilogram, in­ sek­tisida 17 liter, serta satu unit ten­ da.  www.suarakomunitas.net

Pewarta warga Suara Komunitas yang berada se­ki­ tar 25 meter dari lokasi mendapatkan informasi, war­ ga se­tempat enggan memberi pertolongan pada korban karena takut dijadikan sebagai saksi oleh aparat. Tak lama kemudian, ­polisi tiba di lokasi dan segera menghubungi petugas medis di Puskesmas Tuktuk Si­ adong. Walaupun sudah ditunggu sekitar 30 menit, tim medis tidak juga datang. Akhirnya, polisi tersebut ber­ angkat menjemput tim medis ke Puskesmas. Tiga tenaga medis pun da­tang tanpa peralatan P3K dan tanpa ambulans. “Ambulans tak ada pak, lagi dipa­ kai dokter,” kata seorang tim medis. Wisatawan asing itu pun dinaikkan ke mobil kijang untuk dibawa ber­ obat ke rumah sakit.  www.suarakomunitas.net


Lombok Utara

Penanganan Pelaku Galian C Nakal Tunggu Aturan Dinas Pekerjaan Umum Energi dan Sumber Daya Mineral (PU dan ESDM) Lombok Tengah menunggu aturan pas­ti untuk menindak te­ gas sejumlah pengusaha galian C nakal. Kepala Dinas PU dan ESDM HL Ra­sy­di pada Se­lasa (02/12) menuturkan, saat ini puluhan pela­ ku ga­li­an C yang tak berizin masih beroperasi meski sudah di­beri peringatan atau bahkan ditutup lokasi galiannya. Rata-rata gali­an C berlokasi di sejumlah desa di Kecamatan Batukliang Utara. “Ada se­ banyak 41 lokasi galian di Desa Karangsidemen, 38 di Desa Lantan dan sekitar 3 atau 4 galian di Desa Pemepek,” ungkapnya. Pihaknya sudah melakukan berbagai cara untuk menyelesaikan masalah tersebut. Mulai dari sosialisasi hingga memberi peringat­ an untuk menutup kegiatan galian C di lokasi yang memang dilarang dan tidak sesuai dengan tata ruang. “Kami sudah melakukan tahap­ annya, ini yang terpenting dulu. Nanti pasti kami akan akhiri dengan tindakan tegas. Kami sedang memvalidkan aturan yang tepat untuk melakukan hal itu. Jangan sampai nanti malah kami yang dijadikan tersangka oleh Polda,” pungkasnya.  www.suarakomunitas.net

Lombok Tengah

Anggaran Pendidikan KLU Belum Penuhi Amanat UU GUNa mengejar ketertinggalan pen­ didikan, baik mutu maupun alokasi anggaran, Undang-undang meng­ amanatkan alokasi anggaran pendi­ dikan sebesar 20 persen. Tapi ama­ nat UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut belum dipenuhi Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Hal ini terlihat dari hasil peneli­ tian Jaringan Peduli Anggaran (JPA) yang menyebutkan anggaran pendi­ dikan KLU tahun 2014 ha­nya 14 per­ sen dari total APBD. “Tak benar ang­ garan pendidikan KLU sampai 27,5 persen seperti yang sering diung­ kapkan pejabat KLU. Yang benar ada­ lah anggaran pendidikan yang di­ alo­ka­sikan dari APBD tahun 2014 itu di bawah 14 persen,” kata Anton Suhertian, ketika ditemui usai dia­ log membedah anggaran pendidik­ an KLU yang digelar di aula kantor Desa Karang Bajo, Selasa (25/11).

Menurut Anton, pemerintah seha­ rusnya menganggarkan sesuai ama­ nat UU yaitu 20 persen. Apalagi in­ deks pembangunan manusia KLU termasuk paling rendah bila diban­ dingkan dengan kabupaten lain di NTB. Demikian juga dengan sumber daya pengelola anggaran di dinas terkait perlu ditingkatkan agar tak menyisakan silva pada setiap akhir anggaran. “Dikbudpora termasuk di­ nas penyumbang silva,” katanya. Habibullah, salah seorang aktivis KLU mengatakan, jika sudah terpe­ nuhi 20 persen, pemda harus me­ manfaatkan anggaran dengan benar. Anggaran tersebut harus direalisa­ sikan dengan memperhatikan tiga hal: memastikan pelaksanaan prog­ ram wajib belajar sembilan tahun, menjamin tunjangan dan mening­ katkan SDM guru, serta adanya ja­ minan terkait perbaikan sarana pen­ didikan.  www.suarakomunitas.net

Warga Gotong Royong Bangun Talud Untuk mengantisipasi musim hujan tahun ini, warga Dusun Lokok Sutrang, De­sa Sesait, Kecamatan Kayangan Ka­ bupaten Lombok Utara, Minggu (30/ 11) menggelar gotong ro­yong mem­ bangun talud di perbatas­an tanah pe­ kuburan umum milik dusun. Kepala Dusun Lokok Sutrang Asru­ din mengatakan, pembangunan talud ini selain untuk mencegah banjir ju­ ga untuk menahan tanah pekuburan umum agar tak terkikis air hujan. Se­ bab, posisi tanah pekuburan itu agak miring dan berhadapan langsung de­ ngan jurang. Talud berukuran 2 x 4 meter tersebut ditargetkan selesai di­ bangun awal Desember 2014. Dengan melibatkan seluruh elemen masyara­ kat di wilayahnya, Asrudin mengaku optimistis semua program yang telah dicanangkannya akan sukses dengan peran dan dukungan warga. Zaenulhadi, Ketua Bajang Patuh Du­ sun Lokok Sutrang mengatakan, prog­ ram pembuatan talud tersebut meru­ pakan salah satu rangkaian kegiatan dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun Bajang Patuh yang ke-7. Selain membangun talud, mereka juga akan bergotong royong menghijaukan ta­ nah pekuburan, menanam berbagai je­nis pohon, membersihkan tempat ibadah, gotong-royong membuat pa­ gar pekarangan rumah, pembuatan bak sampah di setiap rumah pen­du­ duk dan lain sebagainya. “Mudah-mu­ dahan berbagai kegiatan dalam rang­ ka merayakan hari jadinya organisasi Bajang Patuh ini berjalan sukses,” ka­ ta Zaenul.  www.suarakomunitas.net

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

5

suarakomunitas.net

Lombok Tengah


U

tama

Bertani di Dunia Maya Sejak dulu Indonesia dibuai oleh mimpi manis sebagai negara agraris atau negara yang berjaya karena hasil pertanian. Namun statistik menyatakan bahwa ternyata kejayaan negara agraris itu sekadar mimpi manis yang tidak nyata.

Oleh Aris Setyawan

6

S

udah jadi semacam rahasia umum kalau pertanian bukan sektor yang membanggakan karena faktanya ba­nyak sumber pangan yang ma­ sih diimpor. Menurut data Badan Pusat Statistik impor pangan Indonesia te­ rus meningkat. Jika pada 2003 impor produk pertanian mencapai 3,34 miliar dolar AS, pa­ da 2013 nilainya melonjak menjadi 14,9 mi­ liar dolar AS. Di sisi lain, pada 2013 kontri­ busi pertanian terhadap angka pendapatan domestik bruto atau PDB hanya 14,43 per­ sen. Data-data tersebut menunjukkan bah­ wa men­jadi petani di Indonesia bukanlah se­ suatu yang membanggakan. Namun di tengah situasi semacam itu, ter­ nyata masih ada segelintir orang yang ber­ anggapan bahwa pertanian adalah kunci ba­ gi kejayaan bangsa. Masih ada yang berang­ gapan bahwa bertani itu keren. Dan segelin­ tir orang tersebut merupakan anak-anak mu­ da yang membuat gerakan agrikultur demi memperjuangkan kedaulatan pangan. Salah satu gerakan anak muda tersebut bernama Jogja Berkebun. Jogja Berkebun bermula dari keinginan beberapa anak muda untuk memanfaatkan lahan kosong agar dapat ditanami tanaman pangan. Menurut Anisa Sari Asih atau yang akrab dipanggil Nisa, mahasiswi Matemati­ ka UIN Sunan Kalijaga yang juga merupakan koordinator Jogja Berkebun, akhir Novem­ ber lalu, gerakan ini bermula dari gerakan Bandung Berkebun di Bandung Jawa Barat yang berlanjut dengan berdirinya Indonesia Berkebun. Gerakan ini lalu menyebar ke be­ berapa kota, termasuk Yogyakarta. Setiap gerakan berkebun itu terkait de­ ngan Indonesia Berkebun, namun memiliki otonomi sendiri dalam arti setiap daerah bi­ sa membuat dan melakukan program man­

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

diri. Karakter setiap gerakan juga berbeda. Di Yogyakarta, misalnya, kebanyakan anggo­ ta Jogja Berkebun adalah mahasiswa, sedang­ kan di daerah lain banyak diikuti oleh ibu rumah tangga. Rentang usia anggota Jogja Berkebun berkisar antara 18-30 tahun. Ada mahasiswa teknik, ekonomi, arsitektur, ju­ ga matematika. Anak muda dengan lintas di­ siplin ilmu ini bergerak di Jogja Berkebun de­ ngan motivasi yang sama: memulai gerakan pertanian demi kedaulatan pangan. Program kegiatan dan pendanaan diusa­ ha­kan secara mandiri oleh Jogja Berkebun. Adapun untuk benih, Jogja Berkebun men­ da­pat pasokan dari Indonesia Berkebun.

Kedaulatan Pangan Sebagai bentuk upaya memperjuangkan kedaulatan pangan, Jogja Berkebun meng­ awalinya dengan menanam sayuran sendiri, kemudian merawat, memanen, serta meng­ olahnya untuk konsumsi sendiri. Menurut Nisa upaya ini berawal dari keinginan yang tampaknya kecil, yaitu berkebun untuk me­ menuhi kebutuhan diri sendiri dan keluar­ ga. Langkah kecil ini dilakukan dengan ha­ rapan agar gerakan menanam kebutuhan pa­ ngan sendiri ini bisa meluas. Anggota Jogja Berkebun mengaku terlalu naif untuk menga­ takan bahwa gerakan ini akan dapat meng­ ubah arah pertanian Indonesia menjadi lebih baik. Namun paling tidak dengan memulai­ nya dari diri sendiri, gerakan untuk menyup­ lai makanan sehat bagi diri sendiri ini ba­ rangkali bakal menjadi gerakan yang lebih besar suatu saat nanti. Melalui gerakan ini, lanjut Nisa, mereka kini bisa membantu teman-teman mahasis­ wa yang dan ingin berkebun namun tidak pu­ nya lahan. Jogja Berkebun memberi bantuan membuat pertanian vertikultur dengan me­


Foto-foto: dokumen aris setyawan

dia botol-botol air mineral bekas yang diisi tanah. Langkah kecil ini dapat menjadi awal dari kemandirian pangan masing-masing in­ dividu, sekaligus bisa mempengaruhi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Jika pro­ ses itu terus berlanjut, maka gerakan ini akan menjadi besar sehingga kelak setiap orang akan bertani sendiri.

Berbagi Informasi Dalam menyebarkan informasi mengenai gerakannya, Jogja Berkebun banyak berpro­ mosi di dunia maya terutama media sosial. Bahkan sebelum turun di dunia nyata atau mencangkul tanah dan merawat tanaman di kebun, Jogja Berkebun terlebih dahulu eksis di media sosial dengan menyebarkan berba­ gai informasi mengenai pertanian atau cara bertani secara organik. Ini karena sebelum­ nya Jogja Berkebun tidak memiliki lahan un­ tuk bertanam. Mereka lebih aktif berinterak­ si dan berbagi informasi tentang pertanian di akun twitter @JGJberkebun atau di Face­ book Jogja Berkebun. Tapi sesudah menda­ pat­kan lahan kosong yang bisa ditanami gra­ tis, mereka mulai bergerak di dunia nyata.

Menurut Jogja Berkebun, media sosial sa­ ngat berguna untuk gerakan mereka karena sasaran utama gerakan ini adalah anak-anak muda. Melalui akun twitternya, Jogja Berke­ bun rajin berbagi informasi dan tips menge­ nai per­tanian, mulai dari cara bertanam or­ ganik hingga tips bertani dengan media bo­ tol bekas air mineral. Info yang dibagikan ter­ sebut mendapat respons positif dari peng­ ikut akun twitter Jogja Berkebun yang sudah berjumlah lebih dari 3.000 orang. Interaksi atau obrolan soal pertanian kerap ber­lanjut di situ, kemudian info tersebut akan disebar­ kan dari satu akun ke akun lainnya. Dengan demikian semakin banyak orang peduli de­ ngan isu kedaulatan pangan dan bertani di la­ han kosong yang diangkat Jogja Berkebun.

Jaringan Internasional Selain Jogja Berkebun yang bergerak di ta­ taran lokal, ternyata gerakan pertanian yang diinisiasi anak muda ini juga ada di tataran internasional. Salah satunya adalah gerakan yang bernaung di bawah koalisi yang berna­ ma La Via Campesina (LVC). Koalisi ini didi­ rikan tahun 1993 oleh para petani di Eropa,

Para anggota Jogja Berkebun, yang mayoritas mahasiswa, memanfaatkan lahan kosong untuk menanam sayuran.

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

7


tama

Foto-foto: gerakan pertanian internasional yang bernaung di bawah koalisi La Via Campesia (LVC).

8

Amerika Latin, Asia, Amerika Utara, dan Af­ rika. Awalnya mereka bermarkas di Bel­gia, lantas berpindah ke Honduras, dan kini di Ja­ karta. LVC juga mengampanyekan pentingnya kedaulatan pangan bagi sebuah bangsa. Menurut LVC, kedaulatan pangan penting karena tiap bangsa memiliki hak untuk me­ nanam tanaman pangan di daerahnya sen­ diri agar mampu mencukupi kebutuhan pa­ ngan seluruh penduduk tanpa harus meng­ impor dari negara asing. Untuk itu LVC me­ ngampanyekan agar setiap keluarga memi­ liki lahan pertanian kecil yang menghasilkan tanaman pangan. LVC juga mengampanyekan hak petani untuk memperoleh bibit murah, dan lain sebagainya. LVC juga banyak mempromosikan kampa­ nyenya di media sosial internet. Mereka ba­ nyak mengabarkan berbagai informasi ser­ ta isu pertanian melalui akun twitter @via_ campesina atau Facebook Via Campesina. Ada juga Open Permaculture, sebuah ge­ rak­an yang mengajarkan mengenai perma­ culture. Secara garis besar permaculture bi­ sa dipahami sebagai metode per­tanian yang berpijak pada etika melestari­kan bumi, ser­ ta kepedulian pada manusia. Demi cita-cita ini, petani tidak menggunakan asupan kimia (pestisida, pupuk kimia) untuk pertanian­ nya. Lahan pertanian yang digunakan juga lebih sedikit, namun mampu menghasilkan produk pertanian yang lebih banyak.

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

Di samping melalui website mereka yang beralamat di www.openpermaculture.com, gerakan ini juga memberikan informasi ter­ kait teknik bercocok tanam yang ramah ling­ kung­an melalui akun Facebook mereka www. face­book.com/permaculture.design. Salah sa­ tu posting di FB mereka misalnya mengenai cara membuat sebuah greenhouse pertanian yang ramah lingkungan dan murah dari se­ gi biaya. Setiap hari berbagai informasi me­ nge­nai pertanian permakultur ini dibaca oleh lebih dari 128.000 orang yang menyukai la­ man FB Open Permaculture, dan tentunya ba­ nyak orang yang berbagi informasi tersebut kepada teman mereka. Gerakan ini juga me­ nyebar ke Indonesia. Tidak dapat dimungkiri bahwa kini me­ dia sosial dan internet menjadi media yang menyebarkan informasi apa pun, termasuk informasi mengenai pertanian. Jogja Berke­ bun, La Via Campesina, Open Permaculture dan banyak gerakan lainnya memahami tren ini. Mereka mengerti bahwa para anak mu­ da yang menjadi sasaran gerakan mereka ba­ nyak berinteraksi di media sosial, maka oleh sebab itulah mereka mesti banyak berkam­ panye di media sosial. Seolah-olah mereka se­dang bertani di dunia maya.  Aris Setyawan Penulis lepas, lulusan jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia di Yogyakarta.

Foto-foto: dokumen aris setyawan

U


Liku Dengen

Tak banyak yang tahu apa dan di mana Kampung Liku Dengen. Tak pernah disorot televisi, hanya sesekali media cetak dan daring lokal. Tapi siapa sangka, di kampung inilah semangat perubahan muncul dari bawah. oleh Ferdhi Fachrudin Putra

Foto: pembuatan pupuk secara kolektif di Liku Dengen.

B

elum lama ini, saya sempat berkun­ jung ke kampung tersebut bersa­ ma rekan-rekan dari Perkumpulan Wallacea dan radio komunitas To Kalekaju FM Palopo, Sulawesi Se­ latan. Saat itu, puluhan warga sedang beris­ tirahat di tengah pembangunan balai warga. Sambutan hangat mereka membuat kami me­ rasa akrab meski baru pertama bertemu. Di bangunan balai desa yang lama, seba­ gian dari me­reka tengah beristirahat mere­ bah­kan badan. Siang itu cuaca cukup terik, tak banyak hujan turun ketika musim hujan sudah melanda sebagian besar Jawa. Tidur memang menjadi obat yang efektif guna me­ nangkal hawa panas mengisi ulang tenaga.

Awal Masalah Kampung Liku Dengen terletak di Desa Uraso, Kecamatan Mappedeceng, Kabupaten

Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Dahulu daerah ini masuk dalam wilayah Kabupaten Luwu, baru pada tahun 1999 menjadi wilayah ad­ mi­nistratif Luwu Utara. Lokasi yang ditinggali oleh masyarakat adalah tanah perkebunan seluas 900 hektar milik PTPN XIV yang mereka klaim kembali sejak 2000. Konflik antara masyarakat Ura­ so dengan PTPN XIV sudah berlangsung se­ jak 1984, setahun setelah perusahaan perke­ bunan milik negara itu menanamkan kelapa sawit di lahan seluas 2.020 hektar. Pascaor­ de­baru yang represif, petani Uraso mulai me­ rangsek ke lahan PTPN XIV. Gerakan taninya sendiri baru mulai terbentuk pada 2004. Pendudukan warga terhadap lahan perke­ bunan bukan tanpa sebab. Pada tahun 19831984, PTPN XIV yang semula bernama PTPN XXVIII mulai melakukan pembersihan lahan di atas tanah HGU yang masih berada di wi­ layah adat masyarakat Tabang—cikal bakal masyarakat Liku Dengen. Proses pengalihan lahan cukup kontroversial, sebab banyak warga yang tak memahami perjanjian yang dibuat pihak perusahaan. Maklum, tingkat melek aksara masyarakat waktu itu rendah.

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

9

Ferdhi Fachrudin Putra

Kampung Pendudukan menuju Swakelola


tama

Ferdhi Fachrudin Putra

U

Suasana musyawarah yang diadakan oleh warga Kampung Liku Dengen.

10

Sejak berlakunya HGU, akses masyarakat ter­ hadap sumber daya alam dan sumber peng­ hidupan ekonomi semakin terbatas. Semen­ tara, pihak perusahaan tak kunjung merea­ lisasikan janji memberikan kompensasi sa­ tu hektar kebun plasma untuk satu kepala keluarga. Alasan perusahaan kala itu adalah keterbatasan lahan, sehingga satu hektar ke­ bun plasma diperuntukkan hingga empat ke­ pala keluarga. Di samping itu, perusahaan juga melaku­ kan ak­si arogan yang membuat konflik se­ makin tajam. Perjanjian yang menyebutkan bahwa masyarakat berhak mengelola serta me­manen hasil bumi selama pembayaran ganti rugi juga belum dilakukan. Tidak ha­ nya itu, pondok berladang dan pohon sagu digusur dengan alat berat dan semua ladang milik masyarakat hancur. Padahal ancaman pengusiran dengan pengerahan aparat se­ be­narnya sudah terjadi sejak rencana pem­ bukaan perkebunan pada 1979.

Mulai Melawan Baru pada 1999, masyarakat mendatangi kantor DPRD Luwu Utara untuk menuntut pengembalian lahan yang dikuasai oleh PT­ PN XIV seluas 1.010 hektar. Akan tetapi, ka­ rena tidak juga ada respons berarti maka se­

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

tahun kemudian masyarakat pun melaku­ kan pendudukan (reclaiming) lahan. “Gerakan untuk menguasai lahan Itu lahir dari kesadaran masyarakat sendiri, karena sudah tidak ada tanah lain. Kenapa mau di­ biarkan perkebunan Sawit mengambil lahan kita yang jelas merupakan warisan turun te­ murun, sementara kita mau hidup dari situ,” ujar Akis Nuru, tokoh adat setempat yang di­ kutip di suarakomunitas.net, 2 Juli 2014. Aksi pendudukan tidak hanya sebatas pe­ manfaatan lahan sebagai ladang pertanian, namun juga untuk pemukiman. Tercatat sam­ pai hari ini, sudah ada 68 kepala keluarga di Liku Dengen yang bermukim atas lahan se­ luas 20 hektar, selain dua kampung lain yak­ ni, Tuwu dan Katimbangan yang masih da­ lam wilayah pendudukan. Di kampung ini­ lah mereka membangun gerakan dengan tiga prinsip utama: tata kelola, tata kuasa, dan ta­ ta produksi. Namun, PTPN XIV tidak benarbenar menelantarkan lahan tersebut. Sebab, masih cukup banyak lahan sawit yang aktif berproduksi hingga hari ini. Meski belum dapat dibilang berhasil 100 persen, upaya yang dilakukan oleh gerakan tani di Uraso adalah fenomena gerakan man­ diri. Meskipun berjejaring dengan banyak or­ ga­nisasi, prinsip otonom tetap mereka pe­


gang. Aktivitas organisasi yang berada di lu­ ar mereka hanya se­batas solidaritas. Menurut Sainal Abidin yang berasal dari Perkumpulan Wallacea, terdapat beberapa ‘kemenangan’ yang sudah dicapai oleh ma­ syarakat di lahan pendudukan. Pertama, pem­ bukaan kampung yang diresmikan oleh pe­ merintahan kabupaten setempat pada 12 Ma­ ret 2009. Kedua, pengerasan jalan yang di­ la­kukan oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabu­ paten Luwu Utara. Dan ketiga, bantuan per­ tanian seperti bibit durian otong pada 2012, koloni lebah madu Trigona di Liku Dengen pada 2013 dan di Tuwu pada 2014 dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Luwu Utara. Kini, masyarakat dan Perkumpulan Walla­ cea mulai menggagas pemenuhan kebutuh­ an listrik di kampung yang letaknya kurang lebih empat kilometer dari tepi jalan besar ke dalam hutan. Selama ini warga ber­tahan dengan listrik yang berasal dari genset.

Pengelolaan Hutan Ekosentris Salah satu dampak perkebunan homogen yang masif adalah timbulnya kerusakan eko­ sistem. Hampir seluruh perkebunan berska­ la be­sar, baik milik negara maupun swasta, dibangun di lahan hutan heterogen. Meng­ ubah tanaman artinya mengubah pula eko­

Dengan nilainilai adat yang kuat, warga Liku Dengen mencoba me­ ngem­balikan kese­im­bangan ekosistem yang ter­lanjur rusak oleh perkebunan.

sis­tem yang sudah ada. Tak hanya tanaman yang hancur, fauna endemik dan sirkulasi ta­ nahnya pun ikut terganggu. Inilah salah sa­ tu alasan masyarakat Liku Dengen mengam­ bil alih kembali lahan tersebut. Sebagai masyarakat dengan nilai-nilai adat yang kuat, warga Liku Dengen mencoba me­ ngem­balikan keseimbangan ekosistem yang ter­lanjur rusak oleh perkebunan. Sebut saja mi­salnya penanaman kembali tanaman pro­ duk­si yang heterogen, pembudidayaan lebah ma­du Trigona, dan pemanfaatan mikro orga­ nisme lokal untuk pembuatan pupuk orga­ nik. Dan semua itu saling berkelindan satu sa­ ma lain. Kelestarian satu aspek akan meme­ ngaruhi aspek lainnya. Apa yang dilakukan warga tidak sematamata demi keuntungan ekonomis, namun ada kepekaan terhadap kelestarian alam. Ke­ sadaran ekosentris masyarakat mengalah­ kan egosentris individual mereka. Masyara­ kat percaya bahwa mengganggu hutan sama dengan mengganggu kehidupan mereka. Ka­ rena itu, mereka meninggalkan usa­ha yang mengandalkan eksploitasi ka­yu de­ngan pe­ ngembangan usaha non-kayu seperti, sagu, madu, rotan, dan tanam­an komoditas. Pengembangan tanaman komoditas juga menjadi langkah untuk menciptakan skema ekonomi tandingan. Sebab, pemerintah se­ lalu berargumen bahwa masyarakat belum cukup mampu untuk mengelola lahan sehing­ ga perlu perusahaan negara atau swasta un­ tuk mengoptimalkannya. Itu sebabnya ge­ rakan tata produksi ini dipakai untuk mema­ tahkan argumen tersebut. Harapannya, de­ ngan perhitungan tandingan yang lebih meng­ untungkan, masyarakat akan lebih memiliki legitimasi untuk menguasai lahan tersebut. Sejauh ini, langkah itu cukup berhasil. Liku Dengen adalah “Wanua Mappatuo Naewai Alena.” Kampung yang memberikan kehidupan dan mampu mengatur diri sen­ diri. Terlihat kebesaran asa pada keseharian warga. Semangat membangun, belajar, ke­ gembiraan, dan mempertahankan eksisten­ si sebagai masyarakat adat, membuat mere­ ka menjadi manusia dengan keutuhan ma­ nusiawinya. Namun, perjuangan masyarakat Liku Dengen masih amat panjang. HGU PTPN XIV baru akan habis pada tahun 2030. Arti­ nya, masih ada jeda 15 tahun lagi, dengan se­ gala kemungkinannya. Baik atau buruk.  Ferdhi Fachrudin Putra Pegiat Combine Resource Institution

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

11


U

tama

O pini

Pahlawan dari Desa Kita makan nasi yang ditanak dari beras. Beras berasal dari gabah yang ditumbuk atau digiling dan dipisahkan dari kulitnya. Gabah berasal dari buliran padi yang menjuntai pada tangkai tanaman padi, yang ditanam oleh para petani. Apakah ketika kita menyantap nikmatnya nasi putih yang hangat mengepul dengan rasa pulen berpadu aroma harum, kita masih mengingat jasa petani? Oleh Sang Nananging Jagad

B

12

agi masyarakat desa yang lahir, tum­ buh, hingga besar bahkan menjadi bagian dari lingkungan petani, ten­ tu saja mereka mengenal dengan sangat baik kehidupan para petani dalam mengolah tanah. Mulai tanah dibajak, diluku dan digaru, agar menjadi lumpur yang gembur dan subur. Selanjutnya, pada ham­ paran lumpur tersebut benih padi yang se­ belumnya telah disemai ditata sambil mun­ dur atau dalam bahasa jawa ditandur, ditata karo mundur (ditata sambil berjalan mundur). Sebuah pekerjaan yang menuntut ketelitian dan ketelatenan yang ekstra tinggi. Pun seiring dengan pertumbuhan akar be­ nih yang menguat, tunas-tunas baru tumbuh lebih sempurna sehingga tanaman padi ba­ gai bangun dari tidurnya di peraduan. Lirilir, tandure wis sumilir. Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar. Semilir angin meng­ hidupkan hamparan hijau tanaman padi ba­ gaikan pengantin yang tengah menikmati ma­ sa-masa yang indah, damai, dan nyaman. Seiring dengan itu, anakan tanaman padi akan berbiak membentuk rumpun padi yang semakin lama semakin rimbun. Maka lajurlajur tanaman padi menghijau menjadi luluh, lebur, dan sirna, menyatu menjadi hampar­ an tanaman yang rapat. Dua purnama sesudah tanam, bunga-bu­­ nga padi mulai merekah diiringi suara kodok ngorek, suara katak berceloteh di malam ha­ ri. Inilah masa-masa padi kematak di mana padi memulai fase pembentukan bulir padi yang bernas. Bulir padi terus tumbuh dan se­ makin padat berisi. Seiring waktu tanaman semakin menua, bulir padi itupun semakin

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

matang, semakin berisi, dan batang padipun semakin menunduk. Ibarat sebuah pesan ke­ baikan untuk petani dan manusia siapa pun yang kelak bakal menikmati dirinya, padi mengajarkan tentang nilai kerendahan hati yang akan membawa manusia kepada pun­ cak harkat dan martabat hidup. Tidak hanya pasrah kepada gerak kemu­ rah­an alam dan Tuhan, pada tiap tahap per­ tumbuhan benih padi hingga rumpun padi yang menguning, petani memberikan sege­ nap hati, segenap perhatian, segenap tena­ ganya untuk merawat tanaman padi dengan sebaik-baiknya. Air sebagai kebutuhan uta­ ma untuk menumbuh-kembang-biakkan be­ nih padi senantiasa dijaga dan dipenuhi se­ cara berkecukupan. Rumput-rumput liar, gulma-gulma nakal yang mengganggu dan merebut sari pati bumi yang dibutuhkan un­ tuk pertumbuhan tanaman padi dengan te­ laten diwatun, dibersihkan dan dibuang se­ ja­uh-jauhnya dari rumpun padi. Demikian pula jika tanaman sakit akibat gangguan hama, entah ulat, belalang, hing­ ga wereng coklat, dengan sigap para petani mengusirnya. Pun ketika padi mulai bernas berisi hingga menjelang masa kematangan­ nya, petani akan mati-matian mengamankan­ nya dari serbuan tikus sawah ataupun gerom­ bolan burung pipit. Maka segenap kerja ke­ ras dan usaha para petani terbayar lunas tat­ kala bulir-bulir malai padi yang dipetik de­ ngan anai-anai benar-benar tergenggam di telapak tangan. Masa panen tiba, saat-saat yang paling hikmat untuk para petani teng­ gelam dalam sujud syukur panen atas kerja keras sebelumnya.


Terpinggirkan Petani di masa lalu berbeda dengan peta­ ni di masa kini. Seiring bergulirnya dinami­ ka roda modernitas, semakin sedikit anakanak petani yang bercita-cita menjadi petani. Anak-anak di kota-kota terlebih lagi. Mere­ ka semakin jauh dari akar asal-usul darah pe­ tani dimana nenek moyang dan para leluhur mereka berasal. Mereka tidak lagi tahu dan diberi tahu darimana asal-usul nasi dan ma­ kanan yang terhidang di meja saji mereka. Mereka terbentuk menjadi manusia pragma­ tis yang sulit mengenang jerih payah petani di sudut desa untuk menghasilkan bulir pa­ di yang disantapnya tiap hari. Mereka hanya mengenal uang sebagai “petani” yang mem­ berikannya rasa senang dan kenyang. Mere­ ka seolah telah melupakan sangkan paraning dumadi, dari mana, di mana, dan ke mana asalusul rasa senang dan kenyang tersebut. Petani menjadi profesi yang terpinggirkan, seolah-olah manusia modern tak lagi mem­ butuhkan jasa dan karya kerja keras petani di sudut-sudut desa di kaki gunung. Para pe­ tani menjadi sosok yang semakin dilupakan anak jaman. Petani adalah pahlawan sejati yang tidak lagi dikenang jaman. Para petani memang bukan sosok pahlawan nasional yang dihafal oleh siswa-siswi di sekolah-se­ ko­lah formal kita. Petani bukan pula sosok menteri, anggota dewan, atau artis yang se­ nantiasa hadir di tivi, koran, dan in­ternet. Pe­ tani tenggelam dalam gelapnya lumpur kehi­ dupan. Mereka bertapa dengan kerja keras­ nya di pelosok-pelosok lembah dan ngarai. Meskipun petani dilupakan, tidak diang­ gap, bahkan dianggap tidak ada, namun pe­

nasa-748.blogspot.com

Dengan jujur kita harus mengakui, tanpa jerih payah dan kerja keras para petani, na­ si putih sebagai hidangan pokok kita seharihari tidak akan hadir dengan sendirinya di atas meja makan keluarga kita. Petani adalah kepanjangan tangan Tuhan untuk mengan­ tarkan gabah, padi, beras hingga nasi yang tertanak untuk memperpanjang nafas ma­ nusia, untuk menegakkan tulang manusia, un­tuk mengalirkan darah di segenap nadi manusia, bahkan untuk melangsungkan hi­ dup dan kehidupan itu sendiri. Jadi tidak la­ yakkah kita untuk mendudukkan petani se­ bagai pahlawan kita? Bukankah karya kerja keras mereka sangat penuh dengan hikmah kebajikan yang padanya tiada pernah akan terhenti pahala yang mbanyu mili, mengalir dengan abadi?

tani adalah pahlawan sejati yang hadir setia di meja makan, setidaknya tiga kali dalam se­ hari. Ia adalah pahlawan dari desa yang ha­ dir nyata di desa dan di kota. Ia tidak hanya sekedar pahlawan tanpa tanda jasa, ia adalah pahlawan kemanusiaan, pahlawan kehidup­ an, sebenar-benarnya pahlawan tanpa per­ nah disebut sebagai pahlawan. Maka tatkala setiap tanggal 10 No­vember kita tenggelam haru mengenang arwah pa­ ra pahlawan bangsa, ingatkah kita bahwa pe­ tani juga pahlawan kita? Salam dari desa!  Sang Nananging Jagad Dewan Sesepuh Komunitas Blogger Pendekar Tidar Magelang, Jawa Tengah.

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

13


U

tama

O pini

Tiga Cerita Regenerasi Petani Berpacu dengan terbit fajar, Karman (50) bergegas dengan langkah tegar. Disusurinya jalan setapak menuju tepi selatan Jawa. Di sanalah hidupnya dipertaruhkan, baik hari ini maupun kemudian. Lahan satu hektar miliknya memberikan penghasilan bersih rata-rata Rp 200 juta rupiah sepanjang masa panen, baik dari tanaman utama maupun tanaman sampingan. Oleh Kus Sri Antoro

L

14

adangnya, tidak berbeda dengan ja­ lan setapak yang ia lalui, bukan je­ nis ta­nah yang kaya hara. Sejauh ma­ ta me­mandang, hanya terhampar pasir membentang. Pasir yang ber­ baur logam bahan baku baja hitam dan alat perang. Pasir yang mengandung air tawar. Belum ada yang tahu dengan pasti bagaima­ na keajaiban itu terjadi. Sepuluh atau lima­ belas depa dari batas daratan, di bawah pa­ sir pada tepian samudera itu akan dijumpai air yang terpisah dari garam. Itulah alasan moyang Karman dapat bertanam. Suatu masa di tahun 1980-an, era ketika Revolusi Hijau dilaporkan berhasil mengha­ lau ancaman kelaparan, Karman muda pu­ lang dengan tangan hampa dari perantauan. Dia, seperti juga pemuda kebanyakan, per­ caya bahwa kota dapat melunasi janji-janji pembangunan. Janji yang berulang di setiap pergantian periode kekuasaan. Namun, janji itu ternyata hanya berlaku bagi mereka yang posisinya telah diuntungkan: birokrat, kor­ porat, dan petani bermodal kuat. Tentu bu­ kan dirinya, meski dia jenis yang langka dari

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

komunitasnya yang miskin papa: sarjana mu­ da. Enggan kembali ke kota, berhari-hari ia hanya mengais asa di tepi samudera. Akhir­ nya, harapan tiba dari hal yang tak disangkasangka. Sebatang cabai liar berbuah lebat, tumbuh pada sisa kotoran padat. Tumbuhan itu memberinya gagasan gila: bertani pala­ wi­ja di hamparan pasir tepian samudera. Lambat laun, gagasan Karman diikuti war­ ga kampungnya. Dan, seiring naiknya penda­ patan, pola pertanian lahan pasir itu beralih dari sekadar mencukupi kebutuhan seharihari (subsisten) menjadi agroindustri. Hing­ ga akhirnya, petani turut menentukan har­ ga lewat pasar lelang yang mereka ciptakan sendiri di era 2000an. Kampung Karman men­ jadi simbol kemajuan, melengkapi status Is­ timewa dari propinsi di mana dia tinggal. Da­ ri kampung yang ditinggalkan dan tak disa­ pa, kini menjadi kawasan yang mengundang penanam modal, pemanen laba. Pabrik be­ nih, pestisida, pupuk kimia, dan bensin men­ jadi sahabat Karman dalam berkarya. Bah­ kan tanpanya, kini Karman seperti kembali ke masa muda yang menakutkan, masa ke­


Idha Saraswati

ti­ka setiap orang mati karena kemelaratan. Supaya jauh dari kemiskinan, para pemuda yang semula terperangkap ilusi kemajuan ko­ ta berbondong-bondong pulang menggarap ladang. Arus itu tak terbendung, berarak se­ perti mendung, siap tumpah sebagai hujan, banjir modal menggenangi lahan. Seperti juga ajal, naas datang tanpa salam. Kampung Karman yang terlanjur menjelma padang hortikultura, ladang-ladang yang me­ nopang urat ekonomi, dan pemukiman di ma­ na benih-benih harapan berkecambah, tibatiba ditetapkan menjadi kawasan pertam­ bangan untuk menopang industri baja. Pe­ ngu­asa dan pengusaha menjalin perseling­ kuhan yang serasi. Ancaman yang lebih pas­ ti kini mereka hadapi: hilangnya petani be­ ri­kut sejarahnya. Lalu ke manakah pengusaha benih, pupuk, dan pestisida? Tentu saja, kampung Karman bukan satu-satunya pasar, banyak tempat la­ in siap mengonsumsi produk-produk yang mereka jajakan; tempat yang lebih sunyi da­ ri kicau sengketa petani dan penguasa, tem­ pat yang lebih sepi dari kacau konflik-konflik

agraria. Modal segera menemukan bentuk­ nya yang baru, tanpa peduli kisah Karman meng­haru biru. 

Tahun 2008. Melangkah mantap ke Kota Pelajar, Cecep (19) ingin mencecap status se­ bagai mahasiswa di salah satu institut perta­ nian. Di kampusnya ia masuk melalui jalur khusus: beasiswa penuh selama empat tahun, plus fasilitas unit usaha harian, mingguan, dan bulanan dari sponsornya. Fasilitas itu di­ kelola bersama teman-temannya sesama pe­ nerima beasiswa. Setiap pagi sebelum kuli­ ah, setidaknya 80 butir telur bebek mereka panen. Telur-telur itu ditampung dan dijual oleh pengelola beasiswa, dengan bagi laba tertentu dengan mereka. Seminggu sekali me­ reka panen sayur. Dalam dua atau tiga bulan, mereka panen ikan, kelinci, atau ayam. Unik­ nya, kegiatan sehari-hari mereka menjadi ni­ lai tambah kuliah. Secara teknis, kampus tem­ pat Cecep belajar berpotensi menjadi wadah pengkaderan untuk menyelamatkan regene­ rasi petani.

Ladang di atas lahan pasir besi Kulonprogo, yang kini menjadi sengketa.

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

15


U

tama

Jika ditanya, seorang maha­ siswa fa­kultas kedokteran akan menjadi apa? Jawab­annya pasti jadi dokter. Mahasiswa fa­ kultas ekonomi menjadi ekonom. Lalu, kenapa ma­ hasiswa per­ ta­nian enggan menjadi petani?

Memanfaatkan jaringan nasional Alumni Sekolah Tani Pengendalian Hama Terpadu, program beasiswa itu dipromosikan ke ber­ bagai pelosok di nusantara, dengan sasaran anak-anak asal keluarga ekonomi lemah, ter­ utama berlatar petani. Mungkin karena di­ ang­gap kurang bergengsi, program itu tidak terlalu disambut gempita di daerah lembaga sponsor itu berdiri. Sebagai lembaga yang profesional, lembaga itu merekrut sebuah bank swasta sebagai penjamin modal. Arti­ nya, para peserta beasiswa terikat pinjaman selama kuliah berlangsung, sehingga mere­ ka dikondisikan untuk serius dan fokus men­ cetak prestasi-prestasi yang selama ini tak diberi tempat di dalam kampus. Empat tahun Cecep ditempa dengan ker­ ja keras, manajemen lapangan, disiplin wak­ tu, dan kompetisi menjadi lebih unggul dari sesama peserta beasiswa. Memang, kualitas terburuk di antara mereka masih lebih baik dibandingkan mahasiswa PTN pada bidang sejenis di kota yang sama. Cecep pernah ber­ kelakar, “Jika ditanya, seorang mahasiswa fa­ kultas kedokteran akan menjadi apa? Jawab­ annya pasti jadi dokter. Mahasiswa fakultas ekonomi menjadi ekonom. Lalu, kenapa ma­ hasiswa pertanian enggan menjadi petani?” Minat mahasiswa pertanian untuk berka­ rir di bidang pertanian terbilang langka. Ba­ nyak sebab, namun bermuara pada satu mak­ na: pertanian tidak menguntungkan sehing­ ga tidak menjadi profesi yang membangga­ kan. Tampaknya, profesi petani dipilih keti­ ka harapan sudah bersanding dengan keter­ paksaan. Akhir perjalanan itu tiba. Cecep diwisuda. Kebanggaan baginya, ia dilantik sarjana oleh putri dari sang raja, sang idola kebanyakan warga daerah istimewa. Sepucuk berita me­ leng­kapi kebahagiaannya: ia sudah dipesan perusahaan yang turut menentukan ketahan­ an pangan nusantara! Dan begitu pula temantemannya, disalurkan ke area mapan sebe­ lum genap sebulan mereka diwisuda, entah di sektor negara atau swasta. Memperoleh ke­mudahan dan kemapanan di masa depan hampir menjadi impian setiap orang yang berpendidikan tinggi. Sementara, kondisi pe­ tani di kampung halaman Cecep masih akan sama dari masa ke masa, atau menjadi lebih buruk. Barangkali, di dalam lubuk hati me­ re­ka, ada kebanggaan sekaligus kehilangan terhadap Cecep. 

16

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

“Siapakah petani?” saya bertanya. Mere­ ka yang dipekerjakan untuk mempro­duksi makhluk hidup dan/atau sarana pendukung­ nya? Mereka yang mempro­duksi makh­luk hi­ dup dengan tenaga serta la­hannya sendiri? Atau, mereka yang mempe­kerjakan orang la­ in untuk memproduksi makhluk hidup itu? Ataukah ada pengertian lain yang lebih tepat menjawab: siapa petani? Huzain (20), mantan calon mahasiswa in­ stitut seni yang pindah haluan menjadi ma­ hasiswa pertanian pada salah satu PTS di Gunungsewu, memilih menjawabnya dengan aksi. Cita-citanya sebagai perupa formal kan­ das, meskipun ia tak pernah bisa lepas dari kuas dan kanvas. Bersama beberapa kolega­ nya ia merintis sebuah komunitas yang mem­ pelajari dan menyebarkan pengetahuan/tek­ nik-teknik pertanian yang bisa dilakukan dan dikembangkan oleh petani. Lingkungan di mana Huzain tinggal bukan daerah yang memberikan hasil bumi sepan­ jang tahun, ada periode ketika kekeringan menjadi alasan petani untuk meninggalkan ladang hingga musim hujan datang. Pada sa­ at itu, biaya pakan dua ekor sapi dapat men­ capai 3 juta dalam sebulan. Agar dapat ber­ tahan, salah satu ternak bakal dijual untuk menghidupi ternak lainnya. Menyiasati kon­ disi ini, Huzain dan koleganya membuat pa­ kan awetan yang murah dan mudah dikerja­ kan. Mereka juga mengembangkan budida­ ya sayur di musim kemarau dengan sistem irigasi tanam skala rumah tangga, supaya di musim paceklik petani masih berpenghasil­ an tanpa harus keluar desa. Agar tidak ter­ la­lu tergantung pada produk pabrikan, me­ reka mengajari petani membuat sendiri mik­ roorganisme lokal, pestisida nabati, dan ber­ bagai pupuk alami yang dapat diandalkan. Huzain dan koleganya cenderung untuk me­ netap di desa mereka daripada menjadi ba­ gian dari kemapanan. Akan tetapi, pertanian lebih dari masalah teknis bagaimana menyi­ asati keterbatasan alat produksi atau pasar bagi petani. Pertanian sebagai kebudayaan manusiawi kini sedang dialihkan menjadi aktivitas mesin (termasuk manusia), yang mana industrialisasi sebagai satu-satunya jalan dan laba sebagai satu-satunya iman. “Sebelum ke mana-mana mengajar, Indo­ nesia harus lebih dahulu belajar mengenali diri dan kebutuhannya”, ujar Huzain.  Kus Sri Antoro Relawan Forum Komunikasi Masyarakat Agraris


F

Ilm

repro nanconanyeah.blogspot.com

Bukan Cuma Dialami Agus dan Sheila... “SAYA sangat senang berada di sekolah favorit seperti ini.” Demikian ucap seorang remaja pria bernama Agus tentang perasaannya dapat bersekolah di SMK Negeri 5 Makassar, yang lebih beken di kalangan warga Makassar dengan sebutan STM Pembangunan. Oleh Yoseph Kelik

N

amun, kenyataannya hari-ha­ ri Agus di sekolahnya tak se­ lalu benar-benar terasa me­ nye­nangkan. Ia dan kawankawannya sesama murid kelas I alias tingkat terbawah tak jarang dimintai uang secara paksa oleh para senior­ nya dari kelas III. Dalih yang dipakai para kakak kelas itu adalah sodoran stiker yang harus dibeli atau brosurbrosur maupun kegiatan yang pem­ biayaannya mesti disumbang. Kata-kata kasar dan tindakan fisik intimidatif seperti dorongan tangan ke dada hingga pitingan pada leher ke­ rap menyertai. Jika permintaan uang diiringi kata-kata memaksa, atau bah­ kan yang telah disertai tindakan ma­ in tangan secara ringan tak mempan, para senior Agus tega bertindak lebih,

yakni lantas memukuli korban sam­ pai babak belur. Hari-hari bersekolah yang tak nya­ man dialami juga oleh Sheila. Ia ada­ lah seorang siswi di SMP Negeri 5 Bon­ dowoso, Jawa Timur. Sepintas kehidupan sekolah Sheila terlihat damai. Lebih lagi jika melihat bagaimana murid-murid dan guru-gu­ ru saling beruluk salam di gerbang se­ kolah pada pagi hari sebelum jam bel­ ajar mengajar dimulai. Hanya saja, di SMP tersebut, Sheila saban hari harus merasakan aneka perlakukan tidak menyenangkan da­ ri teman-teman sesekolahnya, terlebih lagi oleh kawan-kawan sekelasnya. Itu berupa ejekan berulang ulang, diha­ lang-halangi saat berjalan, dorongan tangan ke badan hingga jatuh, pengu­

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

17


F

Ilm

cilan, juga sindiran dan celaan di me­ dia sosial seperti Facebook. Ada saja hal pada Sheila yang dijadikan masa­ lah oleh orang-orang itu: sifatnya yang pendiam, kecenderungannya menja­ di kutu buku, kesukaannya menempati tempat duduk di pojok kelas, hingga bau badan yang kurang sedap. Kisah Agus dan Sheila tadi merupa­ kan isi dari dua film pendek. Kisah me­ ngenai Agus ada dalam “Palak Mema­ lak” yang berdurasi 4 menit 36 detik dan dibuat oleh para murid SMK Ne­ geri 5 Makassar pada 2006; kisah ten­ tang Sheila ada dalam “Jangan Bully Aku! Jangan Bully Aku!” berdurasi 6 menit 32 detik yang dibuat Komuni­ tas Langit Biru Bondowoso, yang me­ rupakan gabungan dari sejumlah sis­ Foto kiri: potongan adegan film “Palak Mema­lak”. Foto kanan: salah satu adegan film “Jangan Bully Aku! Jangan Bully Aku!”

18

wa-siswi SMP, SMA, MTs serta Madra­ sah di Bondowoso. Dua film pendek tersebut diproduk­ si dengan bantuan bimbingan dari Ya­ yasan Kampung Halaman, yang pula termasuk bagian dari 500 video kar­ ya anak muda yang didokumentasikan dalam bagian Depot Video situs kam­ pung­halaman.org, dapat ditonton se­ cara online di situ, bahkan diunduh se­ cara cuma-cuma selama untuk kepen­ tingan non profit. Sebagai film pendek berformat se­ ma­cam catatan harian remaja berfor­ mat video, Baik Palak Memalak mau­ pun Jangan Bully Aku! pada satu sisi bukanlah film-film yang termasuk ka­ tegori dokumenter sepenuhnya. Ya de­ mikian memang jika memandang me­ reka semata merujuk kepada ukuran otentisitas peristiwa, waktu, tempat, juga sosok-sosok yang diceritakan di dalam kedua film pendek itu. Namun, beranikah saya dan anda sepenuhnya mengabaikan kemung­

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

kin­an bahwa kisah dalam dua film ta­ di terinspirasi dari suatu atau bebe­ ra­pa kejadian nyata, atau juga malah visualisasi dari hal tadi yang lantas di­ kaburkan waktu, tempat, maupun na­ ma-nama orang yang sebenar? Untuk saya sih, jawabannya: tidak. Apa lagi jika mengingat rekam jejak film-film pendek karya remaja bimbingan Kam­ pung Halaman yang lazimnya memang dikembangkan dari pengalaman pri­ badi remaja-remaja pembuatnya, atau setidaknya pengalaman orang-orang di sekitar para remaja tadi. Khusus tentang Palak Memalak, ke­ terkaitan antara kisah dalam film pen­ dek ini dengan suatu atau peristiwa nyata dikuatkan oleh turut dimuncul­ kannya rekaman keterangan pihak pe­ ngelola sekolah atas fenomena mena­ hun pemalakan senior kepada junior di sekolah tersebut. Biarpun rekam­ an audio yang diselipkan di tengah film tersebut lebih menekankan pembela­ an pihak pengelola SMK Negeri 5 Ma­


Bullying di sekolah yang dialami oleh Agus dan Sheila sebagaimana diceritakan dalam "Palak Memalak" dan "Jangan Bully Aku!" dapat menjerumus­kan korban ke dalam berbagai masa­ lah baru yang lebih rumit. dianiya secara keroyokan oleh temanteman sekelasnya, juga tewasnya dua murid SMA Negeri 3 Setiabudi Jakar­ ta dalam acara ekstrakurikuler pecin­ ta alam sekolah tersebut. Ini pun cu­ ma sebagian yang terjadi dalam seta­ hun terakhir, belum seluruhnya, be­ lum juga yang terjadi pada tahun-ta­ hun sebelum-sebelumnya. Dalam kasus seperti yang dicerita­ kan dialami Agus dan Sheila, bullying jelas menciptakan penderitaan mental

maupun fisik yang tentu mengganggu kefokusan konsentrasi kegiatan bela­ jar di sekolah. Bullying di sekolah yang dialami Agus dan Sheila sebagaimana diceritakan dalam Palak Memalak dan Jangan Bully Aku! dapat menjerumus­ kan korban ke dalam berbagai masa­ lah baru yang lebih rumit. Pada apa yang dialami Sheila, gadis ini lantas terdorong mencuri ponsel salah satu pem-bully-nya sebagai se­ ma­cam tindakan balas dendam, yang pada akhirnya menciptakan stigma baru sebagai pencuri baginya, mem­ buat dirinya kian terkucilkan, lalu ia pun jadi kerap tak masuk sekolah. Pa­ da apa yang dialami Agus, diceritakan di akhir film, ketika ia telah duduk di kelas III, ia telah menyebut dirinya se­ bagai murid penguasa di sekolahnya. Siapa dapat menjamin ketika ia telah menjadi senior ia tak akan ganti me­ malak serta mem-bully junior?  Yoseph Kelik, Penulis lepas

foto-foto: dokumen yoseph Kelik

kassar bahwa mereka sudah melaku­ kan sejumlah tindakan untuk meng­ atasi masalah pemalakan dan tindak­ an kekerasan di sekolah tersebut. Benang merah penghubung Palak Memalak dan Jangan Bully Aku! tetap­ lah sebuah fenomena kekerasan se­ cara verbal maupun fisik yang kerap diberitakan di media massa serta me­ dia sosial akhir-akhir ini, yakni bully­ ing. Jika kita mencari di internet, mem­ buka-buka lagi isi koran-koran lama, juga mengingat isi berita di televisi, tentu kita bakal menemukan sejum­ lah peristiwa bullying di lingkungan sekolah yang bikin mengelus dada ka­ rena tidak cuma kejam, tapi ada yang sampai menciptakan hilangnya nya­ wa si korban. Sebut saja dalam hal ini antara lain kisah seorang murid SD di Jakarta Timur yang dipukuli sam­ pai mati oleh kakak-kakak kelasnya ga­ra-gara menjatuhkan pisang goreng milik satu kakak kelasnya, kemudian seorang siswi SD di Bukittinggi yang

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

19


R

adio

Memperjuangkan Pemerataan Anggaran Pendidikan Melalui Media Pertengahan Mei 2014, siang bolong, penulis selaku pewarta warga suara komunitas (selanjutnya ditulis sebagai “saya”) diperdengarkan sepenggal rekaman oleh salah seorang guru honorer yang mengajar di sebuah sekolah menengah kejuruan di Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Isi rekaman itu menceritakan soal rencana pencairan dana khusus bagi siswa baru yang mendaftar di sekolah tingkat menengah atas (SMA/sederajat) negeri. SMA swasta tidak menjadi sasaran dari program dana khusus tersebut. Oleh M Syairi

R

ekaman suara dari Kepala Bi­ dang Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Kebudaya­ an dan Olahraga (Dikbudpo­ ra) Kabupaten Lombok Utara terse­ but kemudian menjadi bahan obrolan an­tarsesama guru honorer di sebuah pon­dok kecil di Desa Anyar Kecamat­ an Bayan. “Kalau benar dana yang di­ sebut transisi Bantuan Siswa Miskin (BSM) sebesar Rp 2 miliar ini hanya diperuntukkan bagi siswa baru yang mendaftar di sekolah negeri saja, ten­ tu akan bisa mematikan sekolah yang dikelola swasta,” kata Rusman meng­ awali pembicaraan. “Ini benar-benar tak adil, pada­hal tujuan pendidikan baik yang di­kelola swasta ataupun negeri adalah samasama meningkatkan Indeks Pem­ba­ ngunan Manusia, ketakadilan ini per­ lu kita lawan,” timpal Irsan. Semula saya tidak begitu tertarik mendengar rekaman dan perbincang­ an para guru honorer itu. Namun sa­ at para guru yang mencoba menyusun 20

strategi perlawanan itu menemui ja­ lan buntu, saya mulai nimbrung dan ikut angkat bicara. Saya mengusulkan agar beberapa kepala sekolah swasta menghadap langsung ke Kabid Pendi­ dikan Menengah Dikpora untuk mena­ nyakan soal dana tersebut. Selain itu, perlu juga dibentuk Forum Kepala Se­ kolah Swasta (FKSS) sebagai wadah untuk berjuang melawan ketidakadil­ an, serta membuat siaran pers untuk dikirim ke beberapa media. Usulan untuk menghadap ke Dik­ pora itu pun diterima, namun pada sa­at itu tidak ada satu kepala sekolah swasta pun yang siap menjadi nara­ sum­ber media. Kendati demikian, pa­ ra guru honorer mulai menjalankan strategi pertama dengan mendatangi Dikbudpora, Wakil Bupati dan Ketua DPRD. Seluruh pertemuan itu direkam. Selanjutnya, FKSS pun dibentuk. Beberapa minggu berselang, saya mendapatkan informasi dari Kerta­ ma­lip, Kepala Desa Karang Bajo Keca­ matan Bayan yang menyebut bahwa dana tran­sisi BSM ini merupakan sa­ lah satu kebijakan Bupati KLU. Ia me­

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

ngetahui hal itu setelah menanyakan­ nya langsung pada Bupati dalam per­ temuan pada 30 Mei 2014 di Desa Se­ naru. Menurut Bupati KLU, dana tran­ sisi BSM itu diadakan untuk memban­ tu siswa miskin yang mau mendaftar SMA/sederajat negeri. SMA swasta ti­ dak menjadi sasaran lantaran dinilai kurang serius dalam mengelola seko­ lah. Selain itu, siswa di SMA swasta ra­ ta-rata sedikit, gedungnya masih me­ numpang, dan sudah mendapat dana Bantuan Oprasional Sekolah (BOS). Mendengar hal itu, saya segera me­ nemui beberapa kepala sekolah swas­ ta untuk meminta tanggapan mereka supaya bisa dipublikasikan di media suarakomunitas.net. Namun hampir


istimewa

semua orang yang saya temui enggan dipublikasikan namanya karena kha­ watir dituding sebagai provokator, se­ hingga kelak dipersulit ketika meng­ urus administrasi pendidikan.

Angkat di Media Lantaran tidak ada kepala sekolah SMA swasta yang siap dipublikasikan namanya, sayapun mencari narasum­ ber dari tokoh masyarakat yang ada di Kecamatan Bayan. Akhirnya mun­ cul­lah sejumlah tokoh yang mau mem­ beri komentar terkait dana transisi, ya­itu Arpawan sebagai tokoh muda da­ri Kecamatan Bayan, Kades Karang Bajo Kertamalip dan Sumadi selaku to­ koh masyarakat Desa Anyar. Tanggap­

an mereka akhirnya dipublikasikan di suarakomunitas.net pada tanggal 8 Juni 2014, dengan judul “Pemberian Dana Transisi BSM di KLU Dinilai Ti­ dak Adil” (lihat boks). Selain dimuat di suarakomunitas. net, berita ini juga dimuat oleh bebe­ ra­pa media cetak lokal seperti Suara NTB, Radar Lombok, Bali Pos dan be­ be­rapa media lokal lainnya. Sayang be­rita ini tidak begitu direspons oleh pengambil kebijakan di KLU. Respons justru muncul dari Kantor Kementerian Agama KLU yang dimu­ at harian Radar Lombok pada 9 Juni 2014, yang intinya meminta agar da­ na transisi BSM disalurkan secara me­ rata baik di sekolah negeri maupun

swasta. Jika hal itu tak dipenuhi, me­ reka siap melakukan aksi. Berita itu pun tidak direspons pe­ me­rintah sehingga beberapa kepala sekolah serta pendiri sekolah swasta mulai berani angkat bicara. Mereka me­nilai dana tersebut akan memati­ kan sekolah swasta. Sementara di si­ si lain sekolah SMA negeri di KLU mu­ lai memasang spanduk-spanduk be­ sar di pinggir jalan yang berisi infor­ masi biaya pendidikan gratis bagi sis­ wa baru. Para siswa tamatan SMP atau sede­ rajat pun berlomba-lomba mendaftar di SMA dan SMK negeri. Sementara se­ kolah swasta hanya menunggu sisa siswa yang kurang mampu, sehingga

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

21


R

adio

ada sekolah swasta yang hanya men­ dapat dua orang siswa baru. Melihat hal itu, salah satu pendiri sekolah swasta yang sekaligus Pem­ bina Yayasan Maraqitta’limat NTB mu­ lai angkat bicara, sebagaimana dimu­ at di suarakomunitas.net dengan ju­ dul “Kebijakan Dana Transisi BSM Di­ nilai Membunuh Sekolah Swasta”. Berita ini juga dimuat oleh bebera­ pa harian lokal, seperti Radar Lombok dan Suara NTB. Kali ini, Pemkab KLU langsung memberikan respons.

Ubah Kebijakan Pada Senin tanggal 30 Juni 2014, Bupati Lombok Utara Djohan Sjamsu memanggil semua instansi terkait un­ tuk menjelaskan perubahan kebijak­ an, yakni bahwa dana transisi BSM akan dibagi secara merata untuk se­ ko­lah negeri maupun swasta di bawah naungan Dikbudpora KLU. Ia beren­ cana mengumpulkan semua kepala se­kolah SMA sederajat di KLU untuk mensosialisasikan kebijakan itu. Selang beberapa hari kemudian, te­ patnya 8 Juli 2014, para kepala seko­ lah SMA/sederajat baik negeri atau­

Dalam daftar tersebut tercantum 24 sekolah SMA yang menerima da­ na transisi BSM, dengan jumlah pene­ rima manfaat sebanyak 1.000 siswa. Namun ada sekolah yang tidak masuk dalam daftar tersebut, yakni SMK Ke­ sehatan Hamzar. Tidak ada penjelas­ an mengapa sekolah itu tidak masuk dalam daftar. Menanggapi hal tersebut, Kepala SMK Ke­sehatan Hamzar Rusman Ha­ di yang su­dah berjuang supaya dana transisi BSM dibagi rata mengaku ti­ dak kecewa tidak terdaftar sebagai pe­ nerima. “Saya tidak kecewa walaupun sekolah yang saya pimpin tak terdaf­ tar sebagai penerima dana transisi BSM, karena dari perjuangan itu saya secara pribadi mendapat pengalam­ an luar biasa, dan pengalaman inilah yang saya coba terapkan untuk kema­ juan pendidikan ke depan,” katanya. Para kepala sekolah bersama Ra­ dio Komunitas Primadona FM telah berkomitmen untuk melanjutkan per­ juangan. Pengalaman mendorong da­ na pendidikan yang adil itu kini men­ jadi bekal untuk mengawal realisasi anggaran pendirikan sebesar 20 per­ sen di KLU.  M Syairi Pewarta warga, tinggal di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.

primadonalombok.blogspot.com

Kabid Komunikasi dan Informatika Lombok Utara, Kawit Sasmita, SH, berkunjung ke Primadona FM.

pun swasta dikumpulkan di aula kan­ tor Dinas Dikbudpora KLU untuk men­ dapat penjelaskan soal dana transisi BSM. Pada kesempatan itu, Bupati KLU menjelaskan bahwa dana transisi itu akan dibagi rata ke semua SMA di ba­ wah naungan Dikbudpora baik seko­ lah negeri ataupun swasta. Ia mene­ gaskan bahwa pemerintah tak pernah menganaktirikan sekolah swasta. Namun pada sesi dialog dalam per­ temuan tersebut, para kepala sekolah yang tergabung dalam FKSS meminta agar dana transisi BSM tak dicairkan. Alasannya, masa penerimaan siswa baru sudah berlalu, sehingga walau­ pun pencairan dana BSM merata, se­ kolah swasta telah terlanjur tak men­ dapatkan siswa. Penolakan tersebut dimuat dalam berita di suarakomu­ nitas.net pada 9 Juni 2014 dengan ju­ dul “Forum Kepsek Swasta Minta Da­ na Transisi BSM Tak Dicairkan”. Seusai pertemuan, persoalan dana transisi BSM di KLU sempat sepi dari pemberitaan, bahkan tak sedikit yang menduga kalau dana tersebut tidak di­ cairkan. Namun ketika saya bermak­ sud mengangkat kembali dana tran­ si­si tersebut, tiba-tiba keluar Surat Ke­ putusan mengenai sekolah penerima dana yang ditandatangani oleh Kabid Dikmen atas nama Kadis Dikbudpora KLU pada tanggal 8 September 2014.

22

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014


Pemberian Dana Tansisi BSM di KLU Dinilai Tidak Adil Lombok Utara, SK - Kebijakan Pemerintah KLU yang meng­gelontorkan dana transisi Bantuan Siswa Miskin (BSM) hingga Rp 2 miliar bagi siswa baru tingkat SLTA ne­ ge­ri belakangan ini menjadi bahan perbincangan dan so­ rot­an publik. Bahkan banyak tokoh menilai kebijakan ti­dak populis yang diambil oleh Dikbudpora KLU ini dinilai ke­lu­ ar dari konsep keadilan dan pemerataan. Pasalnya, semua siswa baru yang masuk ke sekolah ne­geri setingkat SLTA di bumi Tiok-Tata-Tunaq ini menda­ pat bantuan dana transisi BSM, yang masing-masing siswa mendapat Rp 1 juta yang diberikan dalam bentuk barang. Sementara sekolah swasta yang seharusnya lebih utama dibantu dianaktirikan alias tidak mendapat bantuan. “Kalau benar hanya sekolah negeri yang diberikan da­ na transisi BSM, ini artinya pemerintah KLU yang dalam hal ini Dikbudpora sudah keluar dari konsep-konsep ke­ adil­an dan pemerataan. Hal ini dapat menimbulkan gejo­ lak serta kecemburuan sosial di tengah-tengah masyara­ kat terutama SLTA yang didirikan oleh organisasi dan ya­ ya­san besar di NTB ini,” kata salah seorang tokoh muda Kecamatan Bayan, Arfawan. Dikatakan, yang seharusnya disuport anggaran oleh pemerintah adalah sekolah yang dikelola swasta, bukan se­kolah negeri yang sudah jelas anggarannya dari pe­me­ rintah pusat. Karena sekolah swasta secara legalitas, pe­ me­rintah kabupaten, provinsi dan pusat yang bertang­ gung jawab. “Kalau bantuan ini berdampak kepada me­ ma­ti­kan lembaga swasta, maka pemerintah KLU yang ha­ rus bertanggung jawab,” tegas sekretaris II DPC Partai Nas­dem ini. Secara umum, lanjutnya, tujuan pendidikan baik yang didirikan pemerintah ataupun lembaga swasta adalah men­­cerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan ma­nusia yang seutuhnya yaitu yang beriman dan bertak­ wa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti lu­ hur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan man­ diri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa. “Pemda jangan menyepelekan lembaga pendidikan yang dikelola oleh swasta, karena mereka memiliki andil besar untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di KLU. Jangan dengan alasan siswanya sedikit, ge­ dung­nya numpang, kemudian dianaktirikan, karena pendi­ dikan itu adalah hak konstitusional setiap warga negara, sehingga pihak Dikmen pada Dikbudpora harus berlaku

adil. Dan konsep keadilan itu sendiri mensuport yang le­ mah,” jelas Arpawan. Sumadi, salah seorang tokoh masyarakat Desa Anyar mempertanyakan kebijakan ini. “Apakah pemerintah KLU tidak mengakui keberadaan sekolah yang dikelola lem­ baga swasta sehingga dalam pemberian dana tran­sisi BSM disisihkan? Kalau memang pemerintah tidak meng­ akui kan lebih baik dibubarkan ketimbang dianak­tirikan. Dan jika benar yang diberikan dana transisi ini hanya SLTA yang negeri, sungguh alangkah tidak adilnya, padahal se­ ko­lah swasta selain membangun skill bagi siswanya juga se­kali­gus membuka lapangan kerja,” katanya. Pendapat senada juga dilontarkan Kertamalip yang mengaku heran melihat program dari Kabid Dikmen Dik­ bud­pora KLU, yang pada penerimaan siswa baru ini yang dibantu hanya sekolah SLTA yang berstatus negeri, pa­da­ hal yang sangat membutuhkan bantuan itu ada­lah seko­lah yang berstatus swasta yang dibangun oleh yaya­san ke­ agamaan. “Ini kan program aneh, yang seharusnya di­ban­ tu adalah sekolah swasta, tapi malah diberikan ke­pada se­ kolah negeri, dan dengan bantuan ini dapat me­nye­babkan sekolah swasta akan mati suri,” tegasnya. Sementara Ketua DPRD KLU, Mariadi, S.Ag mengaku be­lum tahu dana transisi BSM tersebut, dan seharusnya yang dibantu itu adalah sekolah swasta, karena sekolah ne­ge­ri itu sudah jelas anggarannya dari pemerintah. “Jika yang dibantu ini hanya sekolah negeri, lambat laun akan banyak sekolah swasta yang akan mati suri,” ka­ta­nya. Kabid Dikmen Dikbupora KLU, Ainul Yakin dalam bebe­ rapa kesempatan mengatakan, dalam pemberian dana transisi BSM kepada sekolah negeri jangan sampai ada pra­sangka, bahwa Dikbudpora membeda-bedakan, kare­ na hak para siswa itu adalah sama, namun pada tahun per­tama ini dana transisi BSM hanya Rp 2 miliar khsusus un­tuk sekolah SLTA yang negeri dengan target siswa di se­mua sekolah negeri 2.000 orang. “Pemberian dana ini akan ada batasan yaitu sesuai dengan jumlah rombongan belajar dan syarat siswa baru menerima antara lain yang masuk dalam Program Kelu­ar­ ga Harapan (PKH), korban bencana alam, anak-anak yang kurang mampu (miskin), yatim piatu dan syarat lainnya. Dan pada tahun-tahun berikutnya kita akan usahakan me­ rem­bet ke sekolah swasta,” katanya. (sk-22/001) Sumber : http://www.suarakomunitas.net/baca/79807/ pemberian-dana-tansisi-bsm-di-klu-dinilai-tidak-adil/

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

23


M ed i a

Berpendapat kok Dipenjara? UU ITE Harus Direvisi Siang itu, 11 November 2014, ruang sidang utama Pengadilan Negeri Bantul nyaris tak cukup menampung pengunjung yang mayoritas perempuan. Mereka menatap hakim dan mendengarkan ucapannya. Sebagian memplester mulutnya dengan lakban hitam, sebagian lain mengenakan ikat kepala bertuliskan “Bebaskan Ervani”. Pakaian mereka sangat sederhana. Wajah mereka sesekali mencerminkan keluguan dan kebingungan saat kamera belasan wartawan menyorot mereka. Oleh Maryani

P

ara perempuan itu mayoritas adalah warga Dusun Gedong­ an, Kasihan, Bantul. Bisa jadi baru sekali itu mereka hadir di sidang. Segala istilah hukum yang terlontar dari hakim, jaksa maupun pengacara barangkali belum pernah me­reka dengar sebelumnya, termasuk UU Informasi dan Transaksi Elektro­ nik (ITE). Hanya satu hal yang mere­ ka tahu pasti: menuntut dibebaskan­ nya Ervani. Ervani bukan tokoh kriminal. Ber­ nama lengkap Ervani Emi Handayani, perempuan 29 tahun itu adalah ibu ru­mah tangga asal Dusun Gedongan. Sidang tersebut adalah sidang perda­ na untuk mengadili dirinya sebagai tersangka dengan dakwaan pelanggar­ an pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 UU No. 18 Tahun 2008 tentang ITE serta pa­ sal 310 dan 311 KUHP yang intinya ten­tang pencemaran nama baik. Bu­ nyi tepatnya pasal 27 ayat 3 UU ITE adalah, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau mem­ buat dapat diaksesnya Informasi Elek­ tronik dan/atau Dokumen Elektronik yang mempunyai muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. La­ lu informasi elektronik apa yang bisa menyebabkan ibu rumah tangga asal Dusun Gedongan, Bantul bisa jadi ter­ sangka? Status Facebook. Ya, status Facebook, media sosial paling terkenal di Indonesia dengan pemilik akun lebih dari 60 juta orang 24

lintas usia, profesi hingga strata sosi­ al. Pada tanggal 30 Mei 2014, Ervani menulis status, “Iya sih, Pak Har baik. Yg gak ba­ik itu yang namanya Ayas dan spv lain­nya. Kami rasa dia gak pantas dijadi­kan pimpinan Jolie Jogja Jewele­ ry. Ba­nyak yg lebay dan msh labil sprt anak kecil”. “Saya tidak ada niat apa-apa dalam penulisan status tersebut. Cuma spon­ tan saja. Menurut saya tulisan tersebut kritik untuk manajemen,” jelas Erva­ ni dalam kesaksiannya di sidang. Jolie Jogja Jewelery adalah tempat suami Ervani, Alfa Janto, bekerja se­ be­lum pada pertengahan Maret 2014 dipecat tanpa pesangon dan gaji ter­ akhir. Penyebabnya Alfa menolak sa­ at diperintahkan pihak manajemen pindah tugas ke Cirebon lantaran me­ nurutnya soal mutasi tak tercantum dalam klausul kontrak kerja. Suasana hati yang galau, jengkel dan bingung sontak menimpa Ervani. Saat mantan rekan kerja suaminya da­ tang berkunjung dan bertukar kege­ li­sahan, muncullah kalimat yang lan­ tas diunggahnya sebagai status itu. “Ya, kami waktu itu ngobrol dengan teman-teman di rumah saya, dan me­ nge­luarkan kalimat seperti itu. Tapi saya tidak menyangka kalimat yang keluar dari saya dan teman-teman sa­ ya tersebut diunggah istri saya di Face­ book,” kata Alfa Janto saat memberi­ kan keterangan di sidang. Benarkah Pencemaran? Tak disangka Ervani, Dyas Sarastu­ ti alias Ayas yang disebut namanya da­

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

lam status itu melaporkannya ke Pol­ da DIY pada 9 Juni 2014 dengan tuduh­ an pencemaran nama baik. Setelah di­ periksa dua kali akhirnya berkas pe­ meriksaan Ervani dilimpahkan ke Ke­ jaksaan Negeri Bantul pada 29 Okto­ ber 2014. Saat itu juga, bertepatan dengan ha­ ri ulang tahun pernikahannya Ervani mendapatkan kado terpahit dalam hi­ dupnya yakni dimasukkan penjara LP Wirogunan Yogyakarta hingga akhir­ nya majelis hakim yang diketuai Su­ lis­tyo M Dwi Putro mengabulkan pe­ nang­guhan penahanan pada 17 No­ vem­ber 2014. Hingga tulisan ini dibu­ at, sidang Ervani masih berlangsung dan setiap kali dihadiri puluhan pen­ dukungnya yang menamakan diri Fo­ rum Solidaritas Korban UU ITE. Forum tersebut terdiri dari masyarakat Du­ sun Gedongan dan Dusun Soboman, sejumlah LSM dan mahasiswa. Korban pasal 27 ayat 3 UU ITE ini memang telah banyak berjatuhan se­ jak pertama kali diberlakukan. Catat­ an ICT Watch menyebutkan, kasus Er­ vani adalah kasus yang ke-71. Rinci­ annya, dua kasus pada 2008; dua pada 2009; turun jadi 1 kasus 2010; 2011 naik lagi jadi 3 kasus; 2012 sebanyak 8 kasus; 2013 menjadi 14 dan tahun ini hingga November telah 40 kasus. Ancaman hukumannya tidak tang­ gung-tanggung, yakni penjara maksi­ mal enam tahun dan atau denda mak­ simal Rp 1 miliar. Menurut hukum di Indonesia, polisi dan jaksa berhak lang­ sung menahan tersangka yang dian­ cam hukuman 5 tahun atau lebih un­


tuk pemeriksaan atau interogasi se­ be­lum persidangan dimulai. Polisi di­ per­bolehkan untuk menahan selama 20 hari, dan jaksa dapat memperpan­ jangnya hingga 40 hari. Masalahnya adalah, definisi peng­ hinaan atau pencemaran nama baik di dalam UU tersebut tak ada sehing­ ga harus merujuk pada pasal 310 dan 311 KUHP. Padahal ancamannya sa­ ngat jauh berbeda. Di KUHP ancaman­ ­nya maksimal sembilan bulan penja­ ra atau denda tiga ratus ribu rupiah. Pada kasus Ervani jelas terlihat le­ mahnya definisi pencemaran yang ke­ mudian membuat orang dengan mu­ dah melaporkan orang lain dengan pa­ sal itu. Ironisnya pihak kepolisian pun dengan mudah memutuskan kasus ini layak diteruskan di pengadilan mes­ kipun harusnya mereka memahami konteks pencemaran. Empat saksi ahli termasuk saksi ah­ li dari jaksa penuntut umum menya­ takan, harus dilihat konteks peristiwa­ nya dan tak hanya berdasar teks. Kro­ nologis cerita yang mendahului dan sesudah pengunggahan status terse­ but harus dipahami. Ervani sebenar­ nya telah berusaha meminta maaf pa­ da Ayas setelah tahu dirinya dilapor­ kan ke polisi. Berbagai cara pun di­ tempuh, mulai dari mendatangi ru­ mah dan tempat kerja sampai mengi­ rimkan surat melalui pos, namun tak satupun yang ditanggapi Ayas. Aprinus Salam, Dosen Fakultas Il­ mu Budaya UGM menyatakan status Ervani bukan merupakan pencemar­ an nama baik, hanya kritik biasa. Jika dilihat dari diksi yang digunakan an­ tara lain lebay yang merupakan ung­ kapan sehari-hari. Hanya sebuah kri­ tik dan kritikannya pun sangat lemah. Ketika yang dikatakan Ervani dalam statusnya itu tidak sesuai dengan ke­ nyataan, menurutnya itu juga tidak ada hubungannya dengan pencemar­ an nama baik. Foto: para perempuan mendatangi Pengadilan Negeri Bantul untuk menuntut dibebaskan­nya Ervani, yang dituding mencemarkan nama baik melalui satus di Facebook. Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

25


M ed i a

Menyelamatkan Kebebasan Berekspresi Dampak penggunaan pasal 27 ayat 3 UU ITE dikhawatirkan banyak pihak menjadi momok baru bagi kebebasan berekspresi. Pesatnya perkembangan teknologi internet yang mestinya men­ jadi faktor penting bagi kemajuan ke­ bebasan berpendapat, justru menja­ di semacam jerat yang lebih memati­ kan karena regulasi yang tumpang tin­ dih dan serba tak jelas. Komnas HAM dalam surat yang di­ sampaikan kepada PN Bantul sekali­ gus LBH Yogyakarta tertanggal 1 De­ sember 2014 mengatakan status yang

Status Ervani bukan pencemaran nama baik. Hanya sebu­ ah kri­tik dan kritikannya pun sangat lemah. Yang dikatakan Ervani tak ada hubungannya dengan pencemar­an nama baik. Aprinus Salam, Dosen Fakultas Il­mu Budaya Universitas Gadjah Mada ditulis Ervani merupakan bagian da­ ri proses penyampaian pendapat yang dijamin dalam UU No 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Konvensi Hak Sipil Politik pasal 19 ayat 2. Proses hukum yang dialami Erva­ ni bakal menimbulkan preseden bu­ ruk karena menciptakan ketakutan di ka­langan masyarakat untuk menyam­ pai­kan pendapatnya. Komnas HAM me­minta majelis hakim untuk memu­ tus perkara ini secara obyektif dengan memperhatikan norma-norma hak asasi manusia. Ini sejalan dengan UUD 1945 pasal 28F yang menyebutkan “Setiap orang berhak untuk berkomu­ ni­kasi dan memperoleh informasi un­ tuk mengembangkan pribadi dan ling­ kungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, me­

Foto: Ervani Emi Handayani memperhatikan dan mencermati kata demi kata yang keluar dari Majelis Hakim pada lembaran putusan yang diberikan kepadanya.

26

Kombinasi  Edisi ke-59  Desember 2014

nyim­pan, mengolah, dan menyampai­ kan informasi dengan menggunakan se­gala jenis saluran yang tersedia.” Namun, menurut Henry Subiakto, Staf Ahli Kementerian Kominfo, sebe­ nar­nya semangat UU ITE ini tak me­ reduksi kebebasan berpendapat dan berekspresi. UU ITE tidak menjerat orang beropini ataupun menilai atau mengevaluasi orang melainkan melin­ dungi orang dari pemalsuan fakta. Ji­ ka hanya menilai orang lain lebay, ti­ dak cerdas, dan lain-lain sebenarnya tidak masuk kriteria pencemaran na­ ma baik. Melihat kasus Ervani dan puluhan kasus lain yang mendahului, serta en­ tah berapa kasus lagi akan menyusul, maka revisi regulasi adalah hal yang harus diperjuangkan. Kampanye dan konsolidasinya sudah cukup luas ter­ utama melalui media sosial. Namun, pengawalan terhadap proses berikut­ nya di DPR harus terus dilakukan. Rin­ tisan revisi UU ITE akan menguap la­ gi bila ternyata tak masuk dalam pro­ legnas 2015 misalnya. “Penerapan pasal 27 ayat 3 tak bo­ leh tekstual. Kalau tidak, maka lebih banyak digunakan bagi yang memi­ liki kekuasaan untuk menekan yang lemah, jadi semakin jauh dari keadil­ an,” ujar Aloysius Wisnubroto. 

Maryani Pegiat Combine Resource Institution

Dokumen Kombinasi

Siswanto Sunarso dalam bukunya “Hukum Informasi dan Transaksi Elek­ tronik Studi Kasus: Prita Mulyasari” menyatakan ada tiga catatan penting terkait delik pencemaran nama baik. Pertama, delik itu bersifat sangat sub­ yektif. Artinya, penilaian terhadap pen­ cemaran nama baik amat tergantung pada pihak yang merasa diserang na­ ma baiknya. Kedua, delik penyebaran yaitu disebarluaskan kepada umum atau dilakukan di depan umum oleh pelaku. Ketiga, orang yang melakukan pencemaran harus diberi kesempat­ an untuk membuktikan tuduhan itu. Saksi ahli yang lain, Aloysius Wis­ nubroto bahkan dengan tegas menya­ takan sebenarnya kasus ini tidak per­ lu sampai ke pengadilan. Menurutnya di Facebook tersedia fasilitas untuk mem­berikan komentar. Jadi pelapor dapat mengklarifikasi atau menanya­ kan mak­sud dari status yang ditulis oleh Ervani di kolom tersebut. “Saya berharap diputuskan untuk bebas karena penulisan tersebut spon­ tan karena tekanan psikologis dan ti­ dak ada maksud apa-apa dan sudah berupaya minta maaf. Sebelumnya sa­ ya juga tidak mengetahui UU ITE. Ha­ rapannya saya bisa diputuskan untuk bebas,” ujar Ervani.


Majalah Kombinasi (Komunitas Membangun Jaringan Informasi) adalah majalah yang diterbitkan Combine Resource Institution (CRI) sebagai media untuk menyebarkan gagasan, inspirasi, dan pengetahuan tentang media komunitas. Majalah ini diterbitkan sebagai salah satu upaya Combine untuk membantu pelaku media komunitas dalam mengembangkan medianya, baik dalam hal teknis pengelolaan, keredaksian, maupun isu.

Tertarik Menulis di Majalah Kombinasi? Redaksi Majalah Kombinasi menerima tulisan berupa opini, feature hasil liputan, dan resensi (buku dan film dokumenter) dengan tema-tema yang berhubungan dengan komunitas maupun media komunitas.

Ketentuan tulisan l Tulisan merupakan karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan di media lain. l Ditulis menggunakan bahasa Indonesia dengan mengikuti kaidah penulisan yang benar. l Ditulis dengan font times new roman, ukuran 12, panjang tulisan sekitar 6.000 karakter (with spaces). l Untuk tulisan feature dan resensi, harap sertakan foto dengan resolusi standard (minimal 1.000 x 800 pixel). l Mencantumkan nama terang penulis dan aktivitas penulis l Mencantumkan nomor rekening penulis. l Redaksi berhak menyeleksi tulisan yang sesuai dengan Majalah Kombinasi. l Untuk tulisan yang terpilih, redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah maksud tulisan. l Penulis yang tulisan diterbitkan akan mendapatkan honor sepantasnya.

Tulisan bisa dikirim ke redaksi Majalah Kombinasi di Jalan KH Ali Maksum RT 06 No.183, Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (kode pos 55188) atau melalui surat eletronik di redaksikombinasi@combine.or.id


Selamat Natal Bagi yang Merayakan

& Selamat Tahun Baru 2015


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.