BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
1
LAPORAN JAGONGAN MEDIA RAKYAT 2016 Penulis Imung Yuniardi Idha Saraswati Ferdhi F. Putra
Editor Apriliana Susanti Desain Visual Putud Utama Ilustrasi Bambang Nurdiansyah Foto Laila Rahma Dewi Tania Ayu Apsari Aris Hariyanto Irman Ariadi Video Aris Hariyanto Alex Nugroho Combine Resource Institution Jalan KH Ali Maksum 183 Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia, 55188 Telp/ Fax: 0274-411123 Email: office@combine.or.id Website: http://combine.or.id http://jmr2016.combine.or.id
2
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
DAFTAR ISI P ENGANTAR
Menganyam Asa untuk Mencapai Tujuan Bersama
HAL 7 Bijak Intervensi Demi Inovasi Komunitas yang Lestari
HAL 4
HAL 11 Advokasi di Era Digital; Keseimbangan Gerakan Online & Offline
DOKUMENTASI Aksi Para Pengunjung .................................... 31 Aksi Para Narasumber .................................. 34 ................................... 37 Aksi Para Seniman Aksi Para Relawan ........................................ 39 Rupa-Rupa JMR ........................................... 41 Stan-Stan JMR ............................................ 44 Tanda Informasi ............................................. 46
HAL 19 Literasi Sebagai Fondasi Perubahan Sosial
HAL 27 Menganyam WarnaWarni Inisiatif
PUBLIKASI JMR 2016 Dalam Angka ................................ 49 ........................................... 50 Kliping Media ............................................. 56 Youtube Lalu Lintas Informasi ..................................... 57 Website JMR ................................................ 59 ............................................ 61 Jadwal Acara Panitia ...................................................... 66
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
3
P ENG ANTAR
Menganyam Asa untuk Mencapai Tujuan Bersama Pada jam-jam akhir menjelang penutupan Jagongan Media Rakyat (JMR) 2016, sejumlah rekan jurnalis menyempatkan diri meliput gelaran tersebut. Dari beragam pertanyaan yang diajukan saat wawancana, ada satu pertanyaan yang dilontarkan nyaris oleh semua jurnalis, yakni: Apakah target JMR 2016 telah tercapai? Pertanyaan semacam itu terdengar mudah dijawab. Namun, kami harus berpikir panjang sebelum menjawabnya. Jika menggunakan logika sebuah penyelenggaraan acara, kami akan dengan mudah menjawab bahwa apa-apa yang direncanakan dalam JMR yang keempat ini telah terlaksana. Secara kuantitas, misalnya, seluruh kelas diskusi dan lokakarya yang jumlahnya mencapai 34 sesi, ditambah dengan 15 sesi pemutaran dan diskusi film, sembilan sesi pertunjukan musik, tiga sesi lokakarya seni, satu sesi Rembug Prakarsa, dan satu sesi Dolanan Anak terselenggara dengan lancar. Tentu kami juga memiliki sejumlah poin evaluasi terkait teknis penyelenggaraan JMR pada 21 – 24 April di Jogja National Museum ini. Selain kelas-kelas yang sudah direncanakan, kami mencatat setidaknya ada dua sesi kelas tambahan yang muncul di hari pelaksanaan. Ada juga momen-momen pertemuan informal yang jumlahnya tidak tercatat karena pertemuan tersebut terjadi begitu saja,
4
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
ketika sejumlah orang dari berbagai komunitas bertemu lalu klop untuk ngobrol. Pertemuan informal semacam itu kerapkali memantik ide untuk menjalin kerjasama untuk berkolaborasi di kemudian hari. Dari sisi pengunjung, kami memperkirakan jumlahnya meningkat dibandingkan dengan penyelenggaraan JMR dua tahun silam, yakni sekitar 3.500 orang. Sejumlah wajah yang familiar di setiap penyelenggaraan JMR terus hadir mendukung kegiatan ini, namun kami juga mendapati wajah-wajah baru. Kami juga mencatat ada lebih dari 100 lembaga dan komunitas yang berpartisipasi dalam kegiatan ini, yang masing-masing berganti peran sebagai penyelenggara diskusi, moderator, narasumber maupun peserta. Sejak awal JMR memang dirancang sebagai agenda kolaboratif. Semua menjadi narasumber sekaligus peserta. Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh partisipan JMR 2016. Akan tetapi, di luar hal-hal yang bisa dilihat dan dihitung selama kegiatan berlangsung, ada satu hal yang sebenarnya menjadi target utama penyelenggaraan JMR dari tahun ke tahun. Yakni adanya kolaborasi antarkomunitas untuk meneruskan kesepakatan dan kesimpulan yang dihasilkan selama momen berbagi ide, gagasan dan pengalaman di JMR. Tidak mudah memastikan adanya kolaborasi pascapenyelenggaraan JMR. Namun, kami meyakini bahwa kolaborasi itu ada dalam berbagai bentuk.
Mulai dari belajar satu gagasan hingga bersinergi dalam suatu kegiatan. Sebagai contoh, kami di Combine Resource Institution adalah pihak yang paling banyak mendapat pelajaran berharga. JMR tidak hanya memperluas jaringan, namun juga memantik munculnya ide dan gagasan baru untuk diimplementasikan dalam berbagai kegiatan. Contoh lainnya disampaikan Dandhy Dwi Laksono dari Watchdoc. Ia mengungkapkan bahwa ide membuat film dokumenter tentang gerakan warga di Yogyakarta yang menolak maraknya pembangunan hotel dan gerakan warga di sekitar Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, menolak pabrik semen muncul setelah bertemu dengan dua komunitas tersebut di JMR 2014. Maka lahirlah film dokumenter “Belakang Hotel” dan “Samin Semen” yang ramai di putar dari kampung ke kampung hingga kampus. Gelaran JMR 2016 memang sudah usai. Namun, kerja-kerja besar untuk mendukung kemandirian komunitas masih jauh dari kata selesai. Setelah selama empat hari berkumpul dan berbagi, maka kini saatnya untuk kembali bergerak. Sesuai dengan tema “Menganyam Inisiatif Komunitas”, pertemuan ide, gagasan, dan pengalaman selama JMR 2016 perlu terus dianyam bersama, sehingga menghasilkan kolaborasi antarkomunitas dalam menjawab segala tantangan dan peluang yang ada. Ketika hal itu terjadi, maka kami akan dengan mudah mengatakan bahwa target penyelenggaraan JMR telah tercapai.
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
5
6
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
I N OVASI
Bijak Intervensi Demi Inovasi Komunitas yang Lestari Im ung Yuniardi
Agak sulit untuk mencari padanan kata yang pas untuk istilah inovasi. Yang paling mendekati adalah terobosan. Yang pasti unsurnya adalah baru, sebab merujuk asal kata inovasi berasal dari Bahasa Latin yaitu in dan novare, artinya membuat baru. Biasanya orang lantas mengaitkan dengan ekonomi khususnya produksi dan pemasaran, teknologi atau bidang lain yang menyangkut temuan atau terobosan baru. Beberapa literatur menyebutkan bahwa menjadi inovatif tidak hanya berarti menemukan sesuatu yang baru. Inovasi dapat berarti mengubah cara melakukan sesuatu dan menyesuaikan diri dengan lingkungan agar dapat menghasilkan pelayanan dan produk yang lebih baik. Inovasi juga berarti merancang tujuan baru dari alat atau sarana yang sudah ada; membingkai tantangan sebagai kesempatan. Bahkan saat bicara tentang inovasi sosial yang definisinya sangat beragam dan potensial mengundang debat panjang pun, tetap ada pemahaman yang sangat sederhana. Yaitu ketika inovasi sosial dimaknai sebagai gagasan yang berjalan baik untuk kepentingan publik. Munculnya bisa dari individu, organisasi atau kelompok, bisa profit maupun nonprofit.
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
7
Dalam pemahaman yang sederhana semacam itulah, pengertian inovasi dalam Jagongan Media Rakyat (JMR) diletakkan. Sebenarnya JMR sendiri awal digagas dulu juga bagian dari inovasi, dengan memanfaatkan cara yang sudah ada (diskusi, pameran, pertunjukkan) guna mencapai hal yang baru secara bersama untuk kemanfaatan publik. Inisiatif yang dilakukan beberapa komunitas anak muda di Yogyakarta untuk mengampanyekan gerakan menanam mungkin terlihat sederhana. Bisa jadi oleh sebagian orang terlihat lebih sebagai tren belaka. Namun dalam diskusi di hari kedua JMR 2016, yaitu 22 April, bertajuk “Menjaga Lingkungan dari Meja Makan� terungkap bahwa di balik itu ada fondasi gerakan yang filosofis. Menyatukan pemikiran tentang gerakan menanam di perkotaan, dengan kebiasaan membuang makanan, serta rantai ekonomi yang adil bukanlah gagasan lawas dan biasa. Hermintianta Prasetya dari Komunitas Jipang mengatakan, pada setiap pangan yang tidak dihabiskan ada energi dan sumber daya yang terbuang percuma berupa tanah, air, udara dan tenaga petani. Dityo P. Yuwono dari Jogja Berkebun menambahkan, data National Geographic menyatakan produksi pangan dunia sepertiganya terbuang. Padahal jumlah yang terbuang tersebut bisa untuk memberi makan sekitar dua miliar manusia di dunia ini. Mereka lantas tekun mengajak warga kota untuk mengenal (kembali) asal muasal yang mereka makan, dengan bertanam. Tak segan mereka membagi benih dan bibit gratis yang dikembangkan sendiri. Beberapa waktu sebelum perhelatan JMR 2016, bersama beberapa komunitas lain mereka melakukan aksi menanam di lahan-lahan terbengkalai milik pemerintah daerah di Yogyakarta. Menurut Maria Stephanie dari Letusee, spiritualitas yang hilang menjadi masalah dalam 8
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
ketahanan pangan. Yang tersembunyi di perkotaan adalah lahan-lahan yang tidak termanfaatkan. Nah, lahan inilah yang dicari untuk kemudian ditanami. Yang menarik adalah, dalam kesehariannya komunitas-komunitas tersebut merangkai beragam kegiatan untuk menguatkan jejaring pangan lokal. Mulai dari diskusi tentang pertanian dan pangan, gerakan menanam hingga pasar-pasar alternatif yang langsung mempertemukan pembeli dan petani.
Saat Petani Berkoperasi Fondasi gerakan dan tujuan yang jelas memang dibutuhkan untuk merancang inovasi. Tak kalah penting adalah keyakinan untuk menjalaninya. Bisa dibilang seluruh inovasi, termasuk para penemupenemu yang sekarang kita kenal, mengawali prosesnya dengan disertai keraguan banyak pihak. Tak banyak misalnya, anak muda sekarang yang menekuni pertanian alih-alih gaji tinggi baju berdasi. Demikian pula dengan para petani kopi di Temanggung yang digawangi Mukidi, seperti didiskusikan pada hari pertama JMR 2016 berjudul “Ekonomi, Konservasi dan Kemandirian Petani�. Pola tanam yang tidak lazim, antara lain mengingat lereng Sumbing di Temanggung adalah sentra tembakau, hingga bertahan dengan model koperasi tentu bukan hal populer. Justru sebaliknya, keraguan dan kadang cemooh menyeruak. Himpunan petani yang digagas Mukidi menjadi terobosan segar di wilayahnya. Tidak saja mengubah ketergantungan pada tembakau, lebih dari itu adalah konsep utuh dan menyeluruh berbasis pembagian peran dalam spesialisasi masing-masing. Petani kopi tidak sekedar menggunakan cara tradisional dengan menanam, memanen dan menjual biji melainkan dari pengolahan lahan, hasil panen, pengemasan hingga pemasaran.
Kesejahteraan yang bertambah tak lantas membuat ide dasar berhimpun surut. Ada pembagian peran untuk dilakukan himpunan, sehingga secara kelembagaan bisa tetap hidup. Sedangkan untuk menjamin inovasi ini terus hidup dan berkembang, maka regenerasi dan spesialisasi terus didorong oleh kesembilan petani anggota himpunan. Ada yang ahli rosting, ahli mengelola lahan, atau spesialis penghasil kopi yang aman untuk lambung dan sebagainya. Regenerasi juga menjadi kunci agar beragam inovasi yang telah dihasilkan oleh komunitas penghasil jamu tidak lantas berhenti dan justru makin berkembang. Sutrisno, perintis desa wisata jamu di Ngiringan, Bantul mengatakan tanpa merancang regenerasi yang baik maka jamu tradisional akan makin terlupakan. Menggagas produk jamu untuk merespon perkembangan jaman hanya bisa dilakukan oleh mereka yang intens terpapar perkembangan informasi. Itulah sebabnya konsep desa wisata berbasis jamu menjadi pilihan saat ini. Selain untuk meluaskan promosi, juga agar seluruh warga desa dapat memetik manfaat dari produksi jamu di Ngiringan. Selain dua diskusi tersebut, beberapa diskusi lain terkait ranah inovasi juga digelar selama JMR 2016. Bila dicermati, pada diskusi tersebut muncul beberapa kata kunci serupa. Sebut saja di antaranya keberanian, publik, regenerasi, spesialisasi, kreativitas dan informasi. Kata-kata yang sama selama ini juga disampaikan para pejabat negara saat bicara tentang kemandirian; tentang optimalisasi potensi lokal. Bedanya, kelompok dan komunitas masyarakat seperti yang berbagi di JMR 2016 membuktikan mereka mampu membuat kata-kata itu lebih bermakna. Makna itu berupa wujud yang nyata tanpa mesti hadir dalam tebaran janji dan kata di ruang publik. Pertanyaan sederhananya lantas muncul, apakah
Stan petani kopi Temanggung di JMR 2016.
dengan demikian warga tak lagi butuh negara? Toh mereka terbukti telah mampu melakukan adaptasi, melahirkan inovasi yang manfaatnya bahkan multibidang mulai dari sosial, lingkungan hingga ekonomi. Tentu negara masih dibutuhkan. Saat Sutrisno mengatakan, pihaknya ingin kerja sama dengan kelompok-kelompok macam Mukidi cs; saat makin banyak pasar alternatif yang mempertemukan petani dan pembeli; maka peran negara sebagai fasilitator dibutuhkan di situ. Negara tidak perlu mengatur secara kaku dalam bentuk regulasi yang rumit bila tidak sangat dibutuhkan. Daya lenting adaptasi komunitas melalui beragam inovasi cukup tinggi. Peran fasilitatorlah yang diperlukan. Tentu harus cermat. Misalnya untuk urusan pemasaran, tidak sekedar melatih e-dagang melainkan juga membuat kelas menengah dapat memahami proses panjang lahirnya sebuah produk. Bila perlu memfasilitasi arena untuk bertemu secara rutin agar mereka tidak hanya mau main klik dan sentuh gawai lantas produk dari petani telah terbeli. Sekali negara salah melangkah dalam melakukan intervensi, terobosan yang sudah berhasil tumbuh subur secara organik di kalangan warga dan dapat menyehatkan karakter bangsa, telah dimatikan.
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
9
10
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
ADVO KASI
Advokasi di Era Digital : Keseimbangan Gerakan Online dan Offline Idha Saraswati Kampanye isu melalui media berbasis internet kini dianggap sebagai hal yang wajib dilakukan. Namun, “teriakan� di internet tidak akan menghasilkan perubahan nyata apabila tidak diiringi dengan pengorganisasian dan aksi nyata di lapangan. Yang online harus berjalan bersama yang offline. Itulah benang merah sejumlah agenda diskusi dalam kluster advokasi yang digelar selama penyelenggaraan Jagongan Media Rakyat, 21 – 24 April, di kompleks Jogja National Museum, Yogyakarta. Total ada 11 agenda diskusi yang berbicara tentang advokasi dalam beragam tema kasus. Para narasumber dari berbagai lembaga dan komunitas berbagi inisiatif dalam upaya menyeimbangkan gerakan online dan offline. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia hingga akhir 2014 mencapai 88 juta orang, dengan pengguna terbanyak berada di Pulau Jawa (52 juta), dan paling sedikit di kawasan Nusa Tenggara, Maluku dan Papua (5,9 juta). Sebagian besar dari pengguna mengakses internet melalui telepon seluler. Seiring dengan kian meningkatnya jumlah pengguna internet di Indonesia, media online menjadi pilihan ruang yang lapang bagi berbagai upaya penyadaran kritis dan advokasi warga. Membagikan informasi, memopulerkan isu, menggalang solidaritas,
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
11
hingga mengajukan petisi kini menjadi semakin mudah dilakukan melalui beragam aplikasi yang tersedia di internet. Sejumlah pertanyaan yang muncul kemudian, antara lain, apakah berbagai upaya yang dilakukan di internet itu benar-benar telah menghasilkan perubahan nyata? Apakah semua isu bisa mendapatkan hasil yang sama ketika diresonansikan melalui internet? Bagaimana cara kampanye yang efektif di internet? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu bukannya belum pernah ditanyakan. Berbagai pihak telah mencoba menjawabnya dengan menyodorkan buktibukti bahwa internet telah membawa perubahan yang positif. Di Indonesia, kisah Prita Mulyasari, polemik cicak vs buaya, hingga aksi relawan pemantau pemilu pada 2014 lalu dianggap menjadi bukti konkret bahwa internet yang memudahkan setiap orang menyuarakan aspirasinya—sehingga muncul opini publik yang signifikan—telah menghasilkan perubahan nyata. Di sisi lain, mereka yang bergelut dengan dunia media pasti juga paham bahwa informasi bisa dikontruksi untuk kebutuhan maupun kepentingan tertentu. Perang informasi di dunia maya yang melibatkan para “serdadu” admin media sosial salah satunya memuncak jelang pemilihan presiden 2014 silam. Masing-masing tim sukses kandidat presiden memiliki konstruksi informasinya sendiri yang bertolak belakang satu sama lain. Opini warga pun pecah, dan di media sosial dampak perpecahan itu masih tampak membekas hingga sekarang. Belajar dari itu semua, mengalihkan seluruh energi untuk fokus menggarap media online saja disimpulkan tidak cukup. Upaya-upaya yang “tradisional” harus tetap dan bahkan perlu kian digencarkan untuk mengimbangi kecepatan media online dalam menyebarkan informasi yang kerapkali tidak akurat. 12
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
Upaya-upaya yang “tradisional” perlu digencarkan untuk mengimbangi kecepatan media online yang kerapkali tidak akurat.
Dalam diskusi bertajuk “Strategi Digital dalam Perubahan” yang dikelola oleh Change.org, misalnya, dua narasumber memaparkan pengalaman mereka dalam menyeimbangkan gerakan online dan offline itu. Change.org adalah platform petisi online yang beroperasi di Indonesia sejak pertengahan 2012. Dalam sesi diskusi yang diadakan di hari pertama JMR 2016 itu, Change.org menghadirkan Titi Anggraini dari Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) dan Zely Ariane dari Papua Itu Kita. Keduanya beraktivitas di Jakarta dan sama-sama pernah memanfaatkan layanan petisi online Change.org dalam upaya menggalang dukungan untuk mendesak perubahan kebijakan. Titi Anggraini membagikan pengalaman lembaganya ketika mengadvokasi Undang-undang pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 2014 silam. Waktu itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ingin mengesahkan UU yang mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah dari langsung menjadi tidak langsung. DPR ingin agar kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD, bukan rakyat. Perludem menilai pilkada langsung adalah anak kandung reformasi. Pilkada langsung merupakan salah satu wujud prinsip kedaulatan rakyat. Selain itu, perubahan mekanisme dari pilkada langsung menjadi pilkada tidak langsung dilakukan demi kepentingan politik sesaat, mengingat waktu itu pemilihan presiden sudah menjelang. Ditambah lagi, pemilihan tidak langsung juga akan membatasi hak politik perempuan karena mayoritas anggota DPRD adalah laki-laki.
Memopulerkan isu Tidak mudah bagi Titi dan kawan-kawan untuk mempertahankan pilkada langsung. “Kami harus
melawan situasi yang kekuatannya tidak imbang. Kami sudah melakukan demonstrasi, audiensi, bertemu ketua DPR, dan pemerintah. Isu langsung dan enggak langsung itu sangat elitis. Kami mencoba mengembangkan jaringan ke seluruh provinsi, tapi kami sadar itu tidak cukup karena selalu ditanya : konstituennya siapa?” tuturnya. Jalan terang muncul ketika Titi dan temantemannya bertemu tim Change.org yang menyarankan mereka untuk menggalang dukungan publik dengan membuat petisi online guna membatalkan pengesahan UU Pilkada tidak langsung. Di situ, mereka belajar cara merancang pesan yang efektif. “Jadi, dari rencana petisi yang bermacam-macam, itu digabungkan menjadi satu, dan jadilah petisi dukung pilkada langsung,” terangnya. Titi mengaku timnya lemah dalam mengemas kampanye. Poster monoton, terlalu banyak pesan, bahasa yang kurang persuasif adalah beberapa dari kelemahan itu. Maka bersamaan dengan pelucuran petisi online itu, mereka juga mendapat pelajaran tentang bagaimana bentuk poster dan desain kampanye yang lebih kreatif. Setelah materi kampanye siap, mereka pun melakukan tahapan advokasi berikutnya, yakni dengan menggelar aksi, menemui sejumlah tokoh, audiensi ke sejumlah lembaga dan sebagainya dalam rangka menggalang dukungan yang lebih luas. Ketika bertemu dengan Dewan Penasihat Presiden, misalnya, tim Titi sengaja mencetak nama-nama pendukung petisi yang jumlahnya mencapai sekitar 300.000 orang. Ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa orang-orang yang mendukung petisi itu benar ada. Artinya dukungan terhadap pilkada langsung itu memang nyata dilakukan oleh publik. Di momen inilah upaya advokasi online dan offline bertemu. “Strategi kita sangat komprehensif sekali. Digitalnya BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
13
Wall of Change dipasang di setiap kelas JMR 2016 untuk menampung aspirasi peserta maupun pengunjung.
14
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
iya, lapangannya iya, online-nya iya, offline juga iya,” tambahnya. Petisi ini berakhir dengan baik. Di akhir masa jabatannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membatalkan pengesahan undang-undang nomor 22 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota. “Jika argumen sudah tidak setara, maka mau tidak mau harus menggunakan tekanan publik,” tandas Titi. Titi mengakui, selain perkara dukungan publik, kemenangan petisi itu juga didorong faktor lain. Salah satunya adalah isu pilkada yang bisa dibilang menyangkut kepentingan semua warga yang ingin menggunakan hak pilihnya. Dengan polarisasi opini publik yang mengerucut ke dua kubu kandidat, sikap publik terhadap rencana pengesahan UU pilkada tidak langsung pun terbelah ke dalam dua kubu, yakni pro dan kontra. Pihak yang kontra inilah yang diperkirakan menjadi pendukung terbesar dari petisi tersebut. Menurut Arief Aziz dari Change.org Indonesia, faktor-faktor “lain” semacam itu disebut sebagai momentum. Ketika melakukan kampanye guna menggalang dukungan publik, kemampuan melihat momentum dan mengelolanya diperlukan untuk mencapai tujuan. Namun, tentu saja, momentum baru akan muncul ketika upaya kampanye sudah dimulai. Keterkaitan suatu isu dengan kepentingan warga pengakses internet itu juga sangat terasa dalam kampanye-kampanye terkait isu Papua. Zely Ariane yang pernah membuat sejumlah petisi dengan beragam isu terkait Papua di Change.org mengaku tidak mudah untuk mengumpulkan dukungan. Ini karena isu Papua belum menjadi isu milik banyak orang, khususnya mereka yang aktif mengakses internet di Indonesia. Minimnya informasi soal apa yang terjadi di Papua bisa jadi adalah salah satu penyebabnya.
Satu-satunya petisi Papua yang mendapat dukungan lebih dari 10.000 orang adalah petisi tentang penembakan empat remaja di Kabupaten Paniai, 2014. Dengan petisi tersebut, Zely dan rekanrekannya bisa memaksa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membentuk tim ad hoc guna menyelidiki kasus tersebut. “Setahun proses itu kami kawal, baru kemarin mereka mengeluarkan surat keputusan,” terangnya. Dalam proses mengawal itu, mereka rutin melakukan gerakan di luar internet. Antara lain dengan menyebarkan poster kampanye, menggelar panggung budaya, serta meluaskan perspektif dan solidaritas ke berbagai lembaga advokasi, lembaga non pemerintah, komunitas, maupun kelompokkelompok masyarakat. Papua Itu Kita adalah media kampanye tentang Papua yang ingin membangun jembatan perspektif dan menyebarkan informasi untuk meningkatan solidaritas masyarakat Indonesia di luar Papua. Informasi yang dibagikan tidak melulu politik, namun sifatnya politis. Tim Papua Itu Kita memiliki laman dan fanpage di Facebook. “Fanpage mendapatkan 8.300 likes dalam waktu 1,5 tahun. Untuk isu Papua yang sulit mendapat dukungan itu sesuatu yang bagus banget. Karena susah sekali, susah sekali,” tambah Zely. Ketika media-media arus utama di Indonesia sangat jarang menyampaikan informasi sesungguhnya tentang Papua, media online termasuk media sosial menyediakan ruang untuk menyampaikan informasi tersebut. Meskipun jumlah pengguna internet di Papua masih sangat minim di banding Jawa, anak muda di sejumlah kota di Papua sudah akrab dengan sejumlah aplikasi media sosial. Selain itu, kampanye melalui media online ke orang-orang di luar Papua menjadi salah satu jalan yang dianggap paling efektif.
Jika informasi tentang Papua menjadi barang langka, informasi tentang berbagai kasus agraria yang dihadapi warga Yogyakarta lebih mudah ditemukan di berbagai media. Namun, dalam diskusi “Hak Komunitas atas Tanah” yang diadakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, muncul kesimpulan bahwa informasi tentang berbagai kasus itu hingga saat ini belum bisa menggerakkan solidaritas antarwarga untuk bersama-sama menghadapi kasusnya. Di tingkat akar rumput, otoritas kekuasaan di Yogyakarta memiliki pengaruh yang kuat sehingga ketika harus berhadapan dengan penguasa, tidak semua warga berani mempertahankan haknya atas tanah. Oleh karena itu, para narasumber diskusi sepakat bahwa warga harus diajak ‘melek’ terlebih dahulu dengan cara turun langsung dan bertatap muka. “Tidak hanya di jaringan media saja, melainkan aksi nyata secara door to door. Seringnya, rame di Facebook, padahal masyarakat bantaran Code sendiri jarang punya Facebook. Kenapa rakyat Yogya diam? Karena mereka mendapat pendidikan yang berupa simbol saja, bukan secara konkret,” ujar Wignyo, anggota Komunitas Paku Bangsa di bantaran Sungai Code, Kota Yogyakarta, yang menjadi salah satu pembicara diskusi.
Kemandirian
Selain membuka saluran bagi segenap jenis informasi yang semula mampet, media online beserta teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang mendukungnya bisa menjadi sarana untuk memberdayakan warga. Di sini, pokok bahasannya adalah bagaimana warga bisa membuat konten informasi tentang komunitasnya, lalu menyebarkan informasi itu melalui media milik sendiri. BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
15
Pemutaran film dokumenter tentang Kasepuhan Ciptagelar di Pendopo Ajiyasa pada JMR 2016, (23/4).
Diskusi “TIK Berdaya dan Mandiri� yang diadakan AirPutih fokus membahas potensi TIK dan media online untuk mendukung kemandirian komunitas. Para narasumber memaparkan contoh-contoh pemanfaatan media dan TIK oleh komunitas, yang pada akhirnya membuat budaya, nilai-nilai dan potensi yang dimiliki komunitas itu diketahui publik di luar komunitas. Dengan demikian, mereka bisa menunjukkan identitasnya di tengah budaya dan gaya hidup dominan. Salah satu contoh yang disebutkan adalah inisiatif warga Ciptagelar di Sukabumi, Jawa Barat. Masih menganut tata hidup sesuai adat turuntemurun, komunitas ini tidak anti teknologi. Mereka berdaya membuat saluran CIGA TV sendiri dengan konten berupa potensi-potensi desa. Dalam diskusi ini, forum diskusi menyepakati perlunya upaya untuk mendorong komunitas membuat website. Dengan demikian, informasi
16
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
tentang potensi yang ada di lingkungan masingmasing komunitas akan bisa diakses oleh banyak pihak. Kampanye tentang teknologi open source yang lebih ramah bagi komunitas perlu digencarkan. Selain itu, pelatihan-pelatihan tentang cara membuat konten web yang menarik juga perlu diperluas jangkauannya. Sebab, saat ini masih jarang laman komunitas yang membahas tentang ide dan kreativitas komunitas. Kebanyakan laman komunitas diisi dengan struktur organisasi dan informasi tentang kegiatan organisasi. Padahal, dengan konten yang semakin beragam, komunitas akan bisa belajar lebih banyak. Diskusi yang digelar SIGAB bertajuk “Peluang Desa Inklusi dalam Implementasi UU Desa� juga membahas pentingnya mewarnai media dengan informasi tentang hak-hak kelompok difabel. Untuk melakukan itu, kelompok difabel perlu memiliki media sendiri. Selain itu, yang juga tak kalah penting, gencarnya informasi
Gerakan melalui media online harus dikelola semaksimal mungkin untuk mendukung advokasi atas berbagai persoalan yang dihadapi warga.
di media juga harus diimbangi dengan keaktifan kelompok difabel untuk berpartisipasi aktif dalam pembuatan kebijakan desa. Dengan begitu, kebijakan pengelolaan sumber daya di desa akan lebih inklusif dan mengutamakan kebutuhan warga termasuk kelompok difabel. Inisiatif komunitas dalam mengadvokasi berbagai kasus dengan memanfaatkan media online dan TIK bukannya tidak mendapat tantangan. Ada beragam tantangan tentu, antara lain seperti yang dibahas di diskusi ICT Watch tentang potensi penyalahgunaan data pribadi di internet, belum lagi produk-produk hukum yang berpotensi mengkriminaliasi warga saat saling berbagi informasi di internet. Advokasi untuk mendesak negara melindungi privasi dan hak menyatakan pendapat di internet sangat diperlukan. Namun, di luar berbagai regulasi yang hingga saat ini belum mendukung, media online telah hadir
dan digunakan semakin banyak orang. Oleh karena itu, gerakan melalui media online harus dikelola semaksimal mungkin untuk mendukung advokasi atas berbagai persoalan yang dihadapi warga.
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
17
18
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
LITE R ASI
Literasi sebagai Fondasi Perubahan Sosial Ferdhi Fac hrudin Pu t ra Tingkat literasi Indonesia masih sangat rendah. Pernyataan ini bukan hanya kabar burung. Sebab baru-baru ini, Central Connecticut State University (CCSU) mengeluarkan survei tingkat literasi terbaru yang dianalisis dari kebiasaan membaca, ketersediaan infrastruktur survei output pendidikan di lebih dari 60 negara. Survei itu menyebutkan, Indonesia berada pada peringkat ke-60, diapit oleh Thailand (59) dan Bostwana (61). Singapura yang secara geografis sangat dekat, jauh lebih baik dengan menduduki peringkat ke-36. Bahkan jika dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia tertinggal tujuh tingkat. Presiden CCSU, John W. Miller mengatakan, literasi bisa menjadi indikator kemajuan bagi individu, bangsa dan ekonomi. Tentunya, literasi juga akan sangat mempengaruhi masa depan global.
Melek Media Haidar Bagir mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan perkembangan literasi di Indonesia begitu lambat. Salah satunya adalah lompatan budaya (Harian Kompas, 28 April 2016). Menurutnya, Indonesia mengalami lompatan drastis dari budaya tutur menuju budaya audio-visual (TV dan radio) tanpa sempat mematangkan budaya membaca. Perkembangan teknologi informasi global yang begitu masif juga tak bisa
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
19
dielak. Pasca-Orde Baru, informasi (dan teknologinya) mengalir merasuki sendi-sendi keseharian masyarakat perkotaan di Indonesia. Internet menjadi salah satu penandanya—bahkan menjadi salah satu faktor vital gerakan oposisi terhadap Orde Baru. Satu dekade kemudian, internet telah menjadi primadona media informasi. Bagir menilai kehadiran internet, hingga derajat tertentu, mampu mendorong budaya membaca pada masyarakat. Namun yang menjadi persoalan kemudian adalah bahan-bahan bacaan pada medium digital memiliki kecenderungan ringkas, singkat dan tidak memiliki kedalaman kajian seperti pada buku, misalnya. Kendati banyak juga tulisan-tulisan panjang dengan kedalaman setara buku, atau bahkan lebih, di internet. Kekhawatiran tersebut benar adanya. Isi internet Indonesia hari ini didominasi oleh informasiinformasi ringkas, cenderung tidak lengkap. Bahkan tidak sedikit informasi yang beredar tidak akurat sama sekali alias hoax. Banyaknya informasi yang beredar dengan tingkat keterbacaan yang tinggi ternyata tidak serta merta membuat masyarakat memahami esensi dari sebuah informasi. Yang terjadi adalah “banjir informasi” yang kemudian “menenggelamkan” pembaca ke arus yang menuju entah ke mana, jauh dari kesadaran akan informasi. Media massa online merupakan salah satu sumber utama banjir informasi ini. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta melihat pentingnya kemampuan literasi yang mumpuni dalam menerima dan mengolah informasi-informasi dari media online. Fito Agustin, salah seorang pegiat AJI Yogyakarta mengakui, “verifikasi dalam media online sering dilupakan.” Fenomena ini tidak semata-mata kesalahan jurnalis. Sistem yang bekerja di dapur redaksi, atas pengaruh pemilik media, seringkali mendesak jurnalis untuk menulis berita dengan cepat sehingga mengabaikan 20
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
Stan Rumah Baca Komunitas menyediakan ruang baca untuk para pengunjung JMR 2016.
unsur utama dalam jurnalisme: akurasi. Dampak lainnya dari fast-journalism adalah nihilnya pertimbangan etika dalam pemberitaan. Dalam memproduksi dan mereproduksi kasus seperti bencana (baik alam maupun sosial), kerapkali media mainstream tidak mempertimbangkan efek yang akan ditimbulkannya. Korban bencana alam misalnya diserang oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak empatik. Begitu pun dengan korban tragedi bom di Thamrin, Jakarta ditampilkan tanpa sensor disertai dengan info-info rangkaian bom dan penembakan yang akhirnya diketahui hoax. Akibatnya tidak sekadar disinformasi, tetapi juga menimbulkan keresahan berlebih di masyarakat. Perilaku media yang demikian didorong oleh orientasi (korporasi media) untuk mengejar profit semata. Sebuah media bisa melakukan salin-tempel dari sumber-sumber yang belum terverifikasi. Media sosial membuatnya semakin menjadi-jadi. Bahkan, cuitan seorang seleb di media sosial hari ini bisa dijadikan berita. Lalu, bagaimana agar terhindar dari jebakan tersebut? “Hanya masyarakat sendiri yang dapat menyelamatkan dirinya dari banjir informasi. Itulah pentingnya literasi media bagi masyarakat,” begitu kata Darmanto, pegiat Masyarakat Peduli Media (MPM). Akses internet di kawasan perkotaan sudah cukup merata. Menurutnya, kepemilikian smartphone bahkan sudah mencapai 85% di tingkatan rumah tangga. Konsekuensinya, “banjir informasi” terjadi di setiap rumah, “menenggelamkan” setiap individu, bahkan anak-anak. Orangtua pun kerap tidak mampu menjaga anaknya dari arus liar internet. Anak-anak dibekali gawai tanpa kontrol yang memadai. Ironi lainnya adalah banyak orang tua menjadikan gawai sebagai ‘babysitter’.
Kemunculan jurnalisme data adalah respons atas berita-berita yang berbasis pada talking news.
Data dalam Jurnalisme Sirkulasi informasi (data) di jagat digital begitu masif dan cepat. Dalam masyarakat dengan kecenderungan membaca yang rendah, hal-hal yang menarik perhatian adalah informasi-informasi ringkas, menyenangkan dan enak dibaca. Data, yang menjadi fondasi utama dalam jurnalistik, kerap tak dilirik karena kemasannya yang menjemukan. Data disajikan dalam tabel-tabel statistik membuatnya terkesan ‘rumit’. Padahal, data menjadi tolok ukur akurasi sebuah informasi atau berita. Oleh karena itu, sebagai tandingan atas informasi-minim-data, pengembangan jurnalisme data menjadi penting. Dalam diskusi “Jurnalisme Data di Era Digital”, Wisnu Prasetya Utomo, peneliti media Remotivi memaparkan bahwa kemunculan jurnalisme data adalah respons atas berita-berita yang berbasis pada kutipan orang atau narasumber (talking news). Lompatan budaya yang disebut oleh Haidar Bagir boleh jadi melandasi kebiasaan masyarakat kita dalam mengonsumsi media. Media memberikan ruang yang begitu luas bagi budaya tutur. Prinsip cover both sides (berimbang) pun seringkali hanya menjadi syarat agar berita-berita tersebut dianggap ‘berimbang’, kendati
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
21
pada kenyataannya yang terjadi adalah debat kusir, alih-alih klarifikasi. Jurnalisme data sejatinya adalah ‘jurnalisme’ itu sendiri, meski tanpa embel-embel ‘data’. Sebab, jurnalisme sudah seharusnya mengacu pada obyektivitas fakta dan kebenaran jurnalistik, dimana data adalah bahan bakar utamanya. Salah satu cara agar data kembali ‘diterima’ sebagai yang inheren dalam jurnalisme adalah dengan membuatnya menarik untuk dibaca. Data-data tersebut bisa dikemas dalam jurnalisme yang bercerita (naratif) sehingga memungkinkan khalayak mengerti dengan mudah esensi dari sebuah data. Tidak banyak perusahaan media yang memberi ruang layak bagi jurnalisme data. Kepentingan profit menjadi kendala utama. Namun, tidak sedikit komunitas (atau perusahaan media dengan semangat komunitas) yang mulai mengembalikan data ke tempatnya. Pindai, Beritagar, Remotivi dan Fandom Id adalah sejumlah pihak yang hendak menyeret kembali data ke ruang-ruang media ‘massa’. Muammar Fikrie, kurator beritagar.id, mengatakan bahwa di Indonesia, baik produsen maupun konsumen informasi, tidak terbiasa dengan data. Data pun begitu sulit didapat, apalagi diolah. Lembaga-lembaga pemerintah juga tak bisa diandalkan dalam penyediaan data yang mumpuni. Selama ini, hanya Badan Pusat Statistik (BPS) yang diandalkan menjadi sumber data resmi pemerintah. Ketika pemerintah tidak bisa menyediakan data yang memadai, media yang menjadikan data sebagai pijakan pun beralih kepada pihak-pihak swasta yang menyediakan data. Beritagar telah mempraktikannya. Sebagai media yang mendaku sebagai media berbasis data, Beritagar bekerja sama dengan lembaga penelitian Loop Indonesia. Tentu saja informasi yang lalu disajikan tidak berasal hanya dari satu sumber 22
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
tersebut. Beritagar membangun database dengan source dari berbagai tempat. Kemudian mengemasnya dalam bentuk naratif maupun berupa infografik atau videografik. Dengan demikian, niscaya informasi yang bersifat talking news bisa ditandingi oleh informasi kaya data yang, jika berjalan mulus, akan menjadi sarana ampuh mendorong literasi warga.
Literasi dan Demokrasi Internet adalah teknologi paling berpengaruh abad ini. Bisa jadi ini hanya klaim, tapi tak ada yang menyangkal bahwa internet telah menjadi realitas tersendiri bagi umat manusia. Media sosial, misalnya, berkembang demikian pesat dalam dekade terakhir dan menjadi ruang interaksi utama dalam relasi sosial masyarakat. Bahkan di beberapa kasus, interaksi di media sosial jauh lebih masif daripada interaksi di dunia nyata. Realitas telah berpindah dari ruang-ruang publik (dan privat) yang nyata, ke ruang-ruang maya. Fleksibilitas internet memungkinkannya menjadi ruang yang ‘demokratis’. Siapapun bisa melakukan apapun di internet. Internet bisa digunakan untuk memuaskan hasrat narsisis dan pada saat bersamaan bisa juga digunakan untuk menggalang massa untuk kemudian melakukan perubahan sosial. Dengan bermodalkan pulsa, gawai canggih dan ketelatenan, seseorang bisa menjadi aktivis. Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yohannes Widodo, mengatakan, revolusi di era teknologi saat ini tidak perlu turun ke jalan. “Cukup di bawah pohon, buka laptop atau gawai dan mengunggah ide pemikiran serta mengkritisi kebijakan pemerintah yang telah dikeluarkan,” katanya dalam diskusi ‘Perebutan Media Baru untuk Demokrasi’. Fenomena ini yang kemudian memunculkan istilah-istilah baru dalam dunia pergerakan: cyberactivism, online activism, clicktivism. Pernyataan Yohannes barangkali bercermin dari
gerakan-gerakan sosial yang belakangan diawali dari (atau melalui) gerakan digital. Gerakan petisi online, misalnya, menjadi salah primadona gerakan sosial di Indonesia. Kendati tidak banyak gerakan digital yang berhasil menciptakan perubahan kongkrit, metode ini bisa menjadi salah satu pilihan untuk membentuk opini publik. Di zaman ketika bermedia sosial menjadi keseharian, maka kampanye gerakan melalui ruang maya menjadi relevan. Mungkin masih lekat dalam ingatan beberapa tahun lalu ketika terjadi gerakan massa di kawasan Timur Tengah yang kemudian dikenal sebagai Arab Spring (Musim Semi Arab). Pada periode tersebut, warga di beberapa negara Timur Tengah seperti Tunisia, Mesir, Bahrain, Libya, dll. turun ke jalan menuntut pembubaran rezim yang sudah berkuasa begitu lama. Yang menarik dari fenomena tersebut adalah kontribusi gerakan digital dalam memobilisasi massa. Twitter dan Facebook (untuk menyebut dua platform digital berpengaruh) menjadi sarana untuk menyebarkan propaganda dan agitasi. Masa yang ‘terundang’ ini kemudian mengokupasi beberapa titik strategis negara-negara tersebut, berkonfrontasi dengan aparat hingga akhirnya sang penguasa tumbang. Ini merupakan contoh konkret bagaimana media baru menjadi arena perebutan demokrasi. Seturut dengan pengalaman ini, pegiat Purple Code, Dhyta Caturani, menegaskan bahwa internet harus dilihat sebagai alat untuk mengorganisir massa dan tidak memandang internet sebagai gerakan itu sendiri. Damar Juniarto, pegiat Safenet dan Forum Demokrasi Digital, mengatakan bahwa keberadaan media baru menguntungkan warga. Selama ini konsumsi informasi warga dikontrol oleh korporasikorporasi media. Korporasi media memonopoli dan mendikte informasi apa saja yang boleh dikonsumsi warga. Di media baru, peluang korporasi media
untuk menjadi dominan menjadi lebih kecil, sebab di internet siapapun bisa memproduksi informasinya sendiri. Media baru memungkinkan desentralisasi kekuasaan (wacana). Namun menurut Damar, warga pro-demokrasi juga tidak boleh lengah. Media baru bagaimanapun merupakan ruang yang akan terus diperebutkan layaknya tanah, air dan udara. Berbagai kepentingan berbenturan di sana. Pasar menggunakannya untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya; negara menggunakan internet untuk mengatur warga— mereduksi kemungkinan-kemungkinan ancaman terhadap negara. Masyarakat sipil yang terfragmentasi juga memanfaatkan internet untuk kepentingannya masing-masing. Kelompok fundamentalis, misalnya, menggunakan media baru sebagai ruang propaganda untuk menolak kebebasan sipil dan cenderung mengarahkan wacana kepada suatu tatanan nilai dan norma tertentu (undemocratic system). Di tengah pertarungan inilah, warga perlu meningkatkan kapasitas literasinya agar tidak menjadi korban tarikmenarik kekuasaan (wacana) di media baru.
Seni, Literasi dan Gerakan Sosial
Survey CCSU menjadikan output pendidikan sebagai salah satu variabel yang diukur untuk mengetahui tingkat literasi sebuah masyarakat. Tingkat literasi sebuah masyarakat bisa dipastikan linear dengan mutu pendidikannya. Maka satusatunya cara agar kapasitas literasi masyarakat Indonesia meningkat adalah melalui edukasi. Edukasi bisa dilakukan dengan banyak cara, dengan berbagai instrumen. Salah satunya adalah seni. Seni tentu memiliki makna yang sangat luas. Tanpa kontekstualisasi, seni hanya akan dimaknai sebagai ‘seni’ (art for art’s sake). Agar seni tidak menjadi terlalu tinggi untuk dipahami oleh awam, BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
23
Beberapa karya workshop zine dalam JMR 2016 mengusung berbagai isu ekonomi, sosial, politik, lingkungan, dsb.
24
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
maka perlu upaya untuk membahasakannya lebih sederhana. Dengan begitu, seni akan menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat ketika dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan-pesan dan mencapai tujuan-tujuan tertentu. Misalnya, sebagai alat gerakan sosial. Taring Padi (TP) adalah sebuah kolektif seni di Jogja dengan nama yang sudah cukup besar. Mereka muncul ketika senjakala kekuasaan Orde Baru dan terlibat aktif dalam berbagai aksi menggugat rezim tersebut. Berbeda dengan kalangan mahasiswa atau kelas menengah perkotaan yang lebih cenderung menggunakan tulisan sebagai bahan agitasi, TP menggunakan gambar dan karya seni instalasi sebagai mediumnya. Karya-karya tersebut bisa ditemukan dalam bentuk poster, mural, kaos, wayang kardus dan bentuk-bentuk lainnya. Tak hanya di waktu lampau, TP juga turut mengampanyekan penolakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Batang, Jawa Tengah pada 2014-2015 lalu. Bersama-sama dengan petani dan nelayan, TP membuat karya seni dan menunjukkannya kepada dunia perjuangan mereka menolak PLTU melalui media sosial. Cara ini dinilai cukup efektif untuk menumbuhkan awareness dan kepedulian sosial masyarakat di luar Batang. Setidaknya, orang-orang di luar Batang tahu bahwa ada persoalan sosial-ekonomi dan lingkungan yang sedang terjadi. Selain TP, tentu ada banyak kelompok/ individu yang melakukan hal serupa. Yang hendak digarisbawahi di sini adalah keterlibatan seni sebagai instrumen penyadaran (literasi) ternyata berperan cukup baik dalam gerakan sosial. Anti-tank Project (seni grafis), Ketjil Bergerak (seni dengan multiplatform), Malmime-Ja (pantomim), untuk menyebut beberapa contoh kelompok/ individu yang
cukup aktif dalam mengampanyekan isu-isu sosial di Yogyakarta melalui medium seni. Dengan kemasan dan penyajian yang menyenangkan dan segar, seni menjadi lebih mudah diterima dan dipahami awam, dan berpotensi memengaruhi wacana publik lebih luas.
Kesimpulan Dari paparan di atas ada beberapa hal yang hendak digarisbawahi. Pertama, bahwa persoalan literasi tidak semata-mata akibat dari lompatan budaya, namun ada juga peran serta mediamedia massa milik korporat yang turut ‘menjaga’ stagnasi—jika tidak disebut penurunan—tingkat literasi warga Indonesia. Ketika internet atau media baru menjadi salah satu akses dominan masyarakat terhadap informasi, sudah seharusnya media massa menjadi ruang pendidikan bagi warga. Tetapi faktanya menunjukkan sebaliknya. Alih-alih menjadi instrumen pendidikan, media massa korporat menjadi corong kepentingan ekonomi-politik para pemilik media. Independensi media hanya menjadi mitos. Di ranah ini, upaya tandingan sejumlah kelompok untuk mempopularkan jurnalisme data patut diapresiasi. Pasalnya, jurnalisme data mampu menjadi penawar atas informasi ‘gosip’ (talking news) yang mendominasi kanal-kanal informasi dewasa ini. Kedua, perebutan ruang demokrasi di media baru sedang berlangsung. Warga yang notabene konsumen informasi diharapkan turut aktif dalam perebutan ruang demokrasi. Media-media komunitas yang idealis, yang memiliki semangat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, seringkali terkendala oleh persoalan finansial yang berdampak pada keberlanjutan. Yang menjadi modal utama mereka adalah militansi, napas harapan bahwa masih ada peluang untuk membuat masyarakat kita lebih
baik. Upaya yang dilakukan segelintir orang inilah yang perlu didorong oleh khalayak agar ruang-ruang publik di media baru bisa benar-benar berguna bagi kita semua. Ketiga, pemanfaatan medium lain, seperti seni dan gerakan membaca, sebagai upaya meningkatkan literasi warga. Kelompok/ individu pegiat seni yang disebut di depan, misalnya, selain melakukan gerakan offline (aksi langsung), mereka pun memanfaatkan media baru untuk memperluas jangkauan kampanyenya. Setidaknya, dalam ranah gerakan sosial, upaya tersebut mampu meningkatkan kewaspadaan dan kepekaan warga terhadap persoalan-persoalan sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Jika upaya-upaya tersebut dilakukan secara simultan, dengan pembagian peran warga sesuai dengan porsinya, perubahan yang berangkat dari inisiatif warga akan menjadi keniscayaan. Tidak perlu menunggu negara—jika negara tidak peduli—untuk membuat tatanan masyarakat yang lebih baik.
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
25
26
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
Menganyam Warna-Warni Inisiatif
Jagongan Media Rakyat (JMR) 2016 mempertemukan warna-warni inisiatif dari 100 komunitas dan lembaga. Mereka berkumpul, berbagi pengalaman dan menganyam inisiatif bersama dalam penyelenggaraan JMR 2016 pada 21-24 April 2016 di Jogja National Museum (JNM). Mengusung tema “Menganyam Inisiatif Komunitas�, JMR kali ini mengupas tiga kategori pembahasan, yakni inovasi, advokasi, dan literasi. Ketiganya dibahas dalam 38 kelas sesi diskusi di Ruang Bioskop, Ruang Radio, Ruang Televisi, dan Ruang Surat Kabar. Seperti prinsip JMR yakni kolaboratif, pengunjung bebas berinteraksi membangun jaringan dengan para peserta dalam perhelatan ini. Itulah kenapa ruang diskusi tak terbatas di ruang-ruang kelas saja. Transfer pengalaman dan inisiatif juga berlangsung di bawah pohon beringin, di dapur umum, dan di beberapa titik kumpul lokasi JMR 2016. Semangat berkumpul, berbagi, dan bergerak inilah yang menghidupkan setiap penyelenggaraan JMR. Ruang bioskop JMR pun tak lepas dari semangat untuk berbagi pengalaman dan inisiatif dari para peserta dan pengunjung JMR 2016. Yayasan Kampung Halaman sebagai kolaborator Bioskop JMR mengemas 15 sesi pemutaran film dan diskusi pada 21 hingga BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
27
23 April 2016. Film-film yang diputar mengajak penonton untuk mengkritisi berbagai isu, mulai dari isu sosial, buruh migran, HAM, hingga isu lingkungan. Yang tak kalah seru, Dandhy Laksono juga berbagi pengalaman dan inisiatifnya dalam Ekspedisi Indonesia Biru-nya tentang Kasepuhan Ciptagelar di Sukabumi, Jawa Barat. Dalam diskusi itu, Dandhy turut mengajak Yoyo Yogasmana, salah satu tokoh adat dari Desa Ciptagelar. Ketertarikan dan rasa penasaran pengunjung dengan diskusi tersebut bahkan berlanjut dengan diskusi kecil setelah acara selesai. Rembug Prakarsa pada 23 April 2016 menjadi agenda puncak perhelatan JMR 2016. Agenda ini mempertemukan empat penganyam inisiatif yang mewakili komunitas dan lembaga. Ada Dandhy Laksono dari Ekspedisi Indonesia Biru, juga Mila Rosinta yang menyuarakan isu-isu sosial melalui media tari. Bersama John Bamba dari Credit Union Gemalaq Kemisik Kalimantan, dan Muhammad Hatta yang mengusung kiprah radio komunitas MGM FM Borobudur, keempatnya menjadi narasumber dalam acara puncak tersebut. Menyuarakan isu-isu sosial tidak melulu disampaikan melalui media diskusi, namun juga melalui seni. Kami berkolaborasi dengan komunitas Froghouse menghidupkan Panggung JMR dengan menggandeng sejumlah musisi dari Yogyakarta dan Malang. Setiap malam, ada 3 musisi dengan komunitasnya yang tampil di panggung utama JMR yang didesain dengan artistik nan segar. Mereka berbagi lirik dan nada menyuarakan isu-isu sosial dan lingkungan. Desain artistik kaya warna menghiasi setiap sudut lokasi penyelenggaraan JMR. Ratusan sulur kain beraneka warna saling menjalin membentuk 28
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
anyaman menghiasi langit-langit Panggung Utama di Pendopo Ajiyasa. Begitupun dengan rumbai-rumbai kain berwarna-warni dan papan-papan petunjuk arah dan informasi yang dipajang di titik-titik strategis. Segar, kreatif, dan informatif. Untuk desain artistik yang segar itu, kami berkolaborasi dengan Roemansa Gilda -- yang dengan inisiatif mereka memvisualisasikan tema JMR kali ini.
Ruang ekspresi untuk anak-anak dalam pentas seni dan lomba mewarnai wayang kartun di JMR 2016.
Pasar Jongkok
Ruang Ekspresi Anak
Beralaskan tikar dan dingklik kayu sederhana (kursi pendek dengan tinggi sekitar 10 cm), lapak-lapak pasar komunitas berjejer di salah satu ruang terbuka di JNM. Interaksi antara penjual dan pembeli dilakukan dengan berjongkok- yang menjadi alasan kenapa disebut Pasar Jongkok. Melalui interaksi itulah, obrolan ringan seputar jual beli seringkali berlanjut ke diskusi yang lebih serius. Dari situlah kemudian jejaring baru antar komunitas maupun lembaga dan perorangan terjalin. SurviveGarage! yang menjadi kolaborator pasar komunitas JMR 2016 mengajak 11 komunitas dari Yogyakarta untuk mengisi Pasar Jongkok ini. Mereka menjual produk kreatif buatan tangan yang unik dan ramah lingkungan. Setiap sore, mereka juga mengajak pengunjung untuk berkreasi membuat zine, pembalut kain, dan seni paste-up.
Senada dengan penyelenggaraan tahun-tahun sebelumnya, JMR kali ini juga memberi ruang berekspresi untuk anak-anak. Berkolaborasi dengan Kampung Dolanan dari Desa Pandes, Bantul, kami mengajak anak-anak untuk mengekspresikan kreativitas mereka dalam pentas tari tradisi di panggung utama pada Minggu (24/6). Kami juga mengajak 80 anak usia 4 hingga 11 tahun yang hadir untuk berkreasi dalam lomba mewarnai wayang kartun. Tentu saja, bukan perkara menang kalah yang menjadi tujuan utama dari lomba tersebut. Lebih dari itu, lomba ini bertujuan untuk menumbuhkan cinta budaya tradisi khususnya pada anak-anak.
Pasar Jongkok menjual produk kreatif buatan tangan yang unik dan ramah lingkungan.
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
29
DOKUMENTASI
30
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
AKSI PARA P ENGUNJ UNG
Interaksi peserta dengan pengunjung di berbagai sudut lokasi JMR 2016
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
31
A KS I PARA P E NG UNJ UNG
32
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
AKSI PARA P ENGUNJ UNG
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
33
A KS I PARA NAR ASUMBER
Aksi para narasumber JMR 2016.
34
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
AKSI PARA NARASUMBER
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
35
A KS I PARA NAR ASUMBER
36
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
AKSI PARA SE NI MAN
Aksi para seniman menyuarakan berbagai isu, baik sosial maupun lingkungan melalui lirik dan nada.
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
37
A KS I PARA SE NIMAN
38
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
AKSI PARA RELAWAN
Para relawan JMR 2016 berasal dari berbagai latar belakang pendidikan dan dari berbagai daerah.
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
39
A KS I PARA RE LAWAN
40
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
R UPA-R U PA JMR
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
41
R U PA-R U PA JMR
42
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
43
STA N-STAN JMR
Ada 37 stan komunitas dan lembaga peserta JMR 2016.
44
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
STAN-STAN JM R
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
45
TA NDA INFO RMASI
Berbagai tanda informasi dipasang di lokasi JMR 2016.
46
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
TANDA INFO RMASI
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
47
PUBLIKASI
48
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
49
KLI P ING ME DIA
50
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
KLIP ING ME DIA
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
51
KLI P ING ME DIA
52
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
KLIP ING ME DIA
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
53
KL I PING ME DIA
54
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
KL IP ING ME DI A
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
55
YO UTU B E
56
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
LALU LIN TAS I NFORMASI
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
57
LA LU LIN TAS INFORMASI
Kicauan dengan tagar (#) JMR2016 menjadi trending tropic di linimasa Twitter pada 23 April 2016.
58
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
WE B SITE JMR
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
59
JA DWAL ACARA
60
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
61
JA DWAL ACARA
62
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
63
JA DWAL ACARA
64
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK | JMR 2016
65
PA NITIA
PANITIA INTI Penanggung Jawab: Imung Yuniardi Koordinator Pelaksana: Idha Saraswati Sekretaris: Ulfa Hanani Administrasi & Keuangan: Anton Hadiyanto Acara: Ferdhi F. Putra, Elanto Wijoyono Artistik: Zani Noviansyah, Aris Hariyanto Relawan: Irman Ariadi Pemasaran: Ichwan Harmanto, Maryani Konsumsi dan Akomodasi: Ulfa Hanani, Rani Soraya Siregar Publikasi, Media dan Dokumentasi: Apriliana Sasanti, Kadon Rizka Himawan Logistik: Muhammad Amrun, Gandung Triono, Sarjiman. Web Designer: Inyong Rahmad Hafidz, Isnu Suntoro
66
JMR 2016 | BERKUMPUL, BERBAGI, BERGERAK
RELAWAN Administrasi dan Akomodasi: Khalida Noor, Majes Maestra Artistik dan Dekorasi: Minda Lillahi Radit, Dioritania Putri Andiny, Rifliany Restiannisa Keuangan: Cinta Konsumsi: Ngadiyanto, Metilda Menimawati Gulรถ, Adib Nurul Fajariyanto, Kinan Aji Nurdiansyah Reporter: Angela Shinta Dara Puspita, Anis Nur Nadhiroh, Brigita Febrina Ayu Rumung, Hartono Wira Ardi Kusuma Jaya Lase, Ilham Bagus Prastiko, Tina Bastaja , Tri Umi Asni, Yosepha Debrina Ratih Pusparisa. Editor: Buono , Lamia Putri Damayanti, Rosa Vania Setowati Fotografer: Laila Rahma Dewi , Tania Ayu Apsari Spesialis Media Sosial: Aris Setyawan, Luki Antoro , Siti Fata. Lomba: Eva Tri Rusdyaningtyas, Ribka Silvianna, Karisma Niki Utami Perlengkapan: Bimbim, Khoirul Imam, Muhibbul Khoiri, Nanang Sujatmiko, Qurrota Akyun, Tepos LO: Aina Nufus, Angelita Patricia Malaha, Herlinda Dwi Rahmawati, Hilarius Adi Evaldo, Muhammad Ash-Shiddiqy, Ngaliman, Sekar Banjaran Aji, Siti Aminah, Ulfaneza Maulida. Notulis: Anna Yanti, Devy DC, Mulatno, Norlia handayani, Annisatun Nafisah, Handini Desi, Risma Yunita.