COKELAT EDISI 17, SEPTEMBER - DESEMBER 2018
The advancement of communication
Hari Perkebunan Nasional Ke-61:
TONGGAK SINERGI DAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN INDONESIA LIPUTAN UTAMA
MENGEMBALIKAN KEJAYAAN KAKAO SULAWESI SELATAN KANTOR EKSEKUTIF
KELOMPOK WANITA TANI PAWON GENDIS:
INOVASI PRODUK MAKANAN OLAHAN KOMBINASI COKELAT DENGAN DAUN PEGAGAN PROFIL PETANI
COKELAT
Se p te m b e r - D e s e mb e r 2 0 18
1
CATATAN editor PENGEMBANGAN sektor kakao berkelanjutan di Indonesia adalah upaya bersama yang dikoordinasikan oleh para pemangku kepentingan melalui Cocoa Sustainability Partnership. Sepanjang tahun 2018 ini, telah banyak pencapaian yang dilakukan untuk diarahkan pada pengembangan sektor kakao berkelanjutan di tanah air. Upaya tersebut diterapkan agar tingkat kesejahteraan petani kakao dan masyarakatnya bisa ditingkatkan dengan cara perbaikan mutu biji kakao dan peningkatan produktivitas tanaman kakao. Koordinasi dan komunikasi yang dibangun para anggota Cocoa Sustainability Partnership pun terus menerus dikembangkan melalui pertemuan-pertemuan yang melibatkan semua pemangku kepentingan di sektor kakao berkelanjutan di Indonesia. Sinergi dengan pemerintah, baik pemerintah nasional dan daerah, juga ditingkatkan sesuai dengan mandat platform nasional untuk kakao berkelanjutan ini. Sebuah upaya yang tentu saja tidak mudah. Namun dengan dukungan dari para anggotanya, Cocoa Sustainability Partnership pun mampu mengupayakan arah perubahan tersebut. Dalam mewujudkan arah pengembangan sektor kakao yang berkelanjutan di Indonesia, Cocoa Sustainability membuka diri untuk melakukan koordinasi dan komunikasi dengan berbagai pemangku kepentingan di sektor ini. Dan semua upaya bersama yang diterapkan dan dikoordinasikan tersebut akan bermuara pada peningkatan kesejahteran petani kakao dan masyarakatnya. Selamat membaca.
2
COKELAT
S eptember - D es em ber 201 8
The advancement of communication
PENANGGUNG JAWAB Wahyu Wibowo Cocoa Sustainability Partnership
PEMIMPIN REDAKSI/ NASKAH/ PENYELARAS AKHIR/ FOTOGRAFER Armin Hari
ALIH BAHASA Hamsani Hambali Hasriadi
TATA LETAK di5ketch Studio
KANTOR EKSEKUTIF: Menara Mandiri Tower II, Cocowork, Lt. 12, Suite 13, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 54-55, Jakarta Selatan, 12190 Tel: +62 21 5082 0859 Email: communication@csp.or.id
Daftar Isi
Diskusi Kelompok Terarah Provinsi Sulawesi Selatan:
Kejayaan Kakao 26 Mengembalikan Sulawesi Selatan
Hari Perkebunan Nasional Ke-61:
Sinergi dan Percepatan 32 Tonggak Pembangunan Perkebunan Indonesia
ENGLISH SECTION 40 The Synergistic and Coordination of Sustainable Cocoa Sector Stakeholders in Indonesia 41 Achieving Cocoa Production of 2 Kilograms per Tree: Productivity, Leadership, and Cocoa Production System 48 Cocoa Field Day 2018: ICCRI Launches a Highly Yielding Cocoa Clone 52 CSP General Assembly Meeting: Nurturing the Future Generation of Indonesian Cocoa Sector 62 Focussed Group Discussion of South Suawesi Province: Restoring the Booming Days of Cocoa in South Sulawesi 68 61st National Plantation Day: A Milestone of Synergy and Acceleration in the Development of Indonesian Plantation 74 KKNI Consensus on Sustainable Cocoa Cultivation Management: Increasing Production and Quality of Cocoa by Developing Human Resource Quality 75 Cooperation Program of CSP with Vocational Education
BAHASA INDONESIA 04 Sinergitas dan Koordinasi Para Pemangku Kepentingan Sektor Kakao Berkelanjutan di Indonesia 05 Mencapai Produksi Kakao 2 Kilogram Per Pohon: Produktivitas, Kepemimpinan, dan Sistem Produksi Kakao 07 Hari Kakao Indonesia 2018: Peningkatan Produksi dan Produktivitas Kakao dan Cokelat Indonesia 12 Temu Lapang Kakao 2018: Puslitkoka Luncurkan Varietas Kakao Unggul 16 Rapat Majelis Umum Anggota CSP: Mewujudkan Generasi Masa Depan untuk Sektor Kakao Indonesia 20 Kelompok Wanita Tani Pawon Gendis: Inovasi Produk Makanan Olahan Kombinasi Cokelat dengan Daun Pegagan 38 Konsensus KKNI Bidang Pengelolaan Budi Daya Kakao Berkelanjutan: Peningkatan Produksi dan Kualitas Kakao dengan Pengembangan Kualitas Sumber Daya Manusia 39 Program Kerja Sama Pendidikan Vokasi dengan CSP
National Cocoa Day 2018:
of Indonesian Cocoa43 Improvement Chocolate Production and Productivity
Pawon Gendis Women Farmers Group:
Food Product Innovations 56 Processed Combining Chocolate with Pegagan
Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
3
PENGANTAR
SINERGITAS DAN KOORDINASI PARA PEMANGKU KEPENTINGAN SEKTOR KAKAO BERKELANJUTAN DI INDONESIA
DI SEPANJANG tahun 2018 ini, bersama dengan anggota dan pemangku kepentingan lainnya, Cocoa Sustainability Partnership telah mengukuhkan beberapa pencapaian penting dalam pengembangan sektor kakao yang berkelanjutan di Indonesia. Titik tonggak penting tersebut dilahirkan dari upaya bersama dan koordinasi yang selama ini dikembangkan dalam platform nasional ini. Tidak hanya berhenti di situ, Cocoa Sustainability Partnership juga tidak henti-hentinya membangun sinergitas dan koordinasi dengan pemerintah, baik pemerintah nasional dan pemerintah daerah, untuk mengharmonisasikan upaya tersebut dengan kebijakan pemerintah yang akan diterapkan. Beberapa pencapaian penting tersebut misalnya saja adalah peluncuran dengan resmi dua dokumen nasional yang diberi nama Kurikulum Nasional dan Modul Pelatihan Budi Daya Berkelanjutan dan Pasca Panen Kakao yang dihasilkan dari kerjasama dengan Pusat Pelatihan Pertanian, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia, yang disertai kemudian dengan Kerangka Kualifikasi Nasional untuk Bidang Pengelolaan Budi Daya Kakao Berkelanjutan. Kedua dokumen negara ini kemudian akan digunakan sebagai acuan utama dalam pengembangan kurikulum dan sertifikasi profesi di bidang pengelolaan budi daya berkelanjutan dan pasca panen kakao. Selain itu, pihak Cocoa Sustainability Partnership juga telah dijadikan sebagai mitra bagi Pusat Pendidikan Pertanian, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia untuk menjadikan kurikulum nasional tersebut sebagai pokok acuan utama yang akan digunakan di Politeknik Pengembangan Pertanian yang tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Guna menyediakan akses bagi petani terhadap bahan tanam yang bersertifikat dan terjangkau, Cocoa Sustainability Partnership juga telah mengupayakan sebuah inisiatif pembangunan kebun induk di beberapa lokasi di Indonesia dan secara intens akan berkolaborasi dengan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan dalam pembangunan kebun induk di wilayah tersebut. Sebagai langkah awal, Cocoa Sustainability Partnership beserta anggotanya telah melakukan beberapa pertemuan dan diskusi penting dengan pihak pemerintah daerah tersebut untuk menggagas seperti apa kebun induk yang harus dibangun beserta pemenuhan persyaratan hukumnya. Di sisi lain, untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan pupuk spesifik kakao bagi petani, Cocoa Sustainability Partnership dan anggotanya juga telah menghasilkan sebuah rekomendasi pupuk yang dikhususkan untuk kakao, dan digunakan sebagai referensi acuan bagi perusahaan pupuk untuk memproduksi pupuk yang sesuai dengan rekomendasi tersebut. Tidak hanya berhenti hingga pada hal tersebut, Cocoa Sustainability Partnership juga akan membuat sebuah inisiatif untuk melakukan uji coba penerapan pupuk spesifik kakao tersebut di beberapa lokasi di mana anggota platform nasional ini bekerja. Dalam pengembangannya pula, Cocoa Sustainability Partnership membuka pintu seluas-luasnya untuk melakukan koordinasi, komunikasi, dan kerjasama dengan beragam pemangku kepentingan dalam mewujudkan sektor kakao yang berkelanjutan di Indonesia. Dan muara dari segala upaya bersama tersebut adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani kakao dan masyarakatnya melalui peningkatan produktivitas tanaman kakao. Selamat Tahun Baru 2019!
4
COKELAT
S eptember - D es em ber 201 8
OPINI
Mencapai Produksi Kakao 2 Kilogram Per Pohon:
PRODUKIVITAS, KEPEMIMPINAN, DAN SISTEM PRODUKSI KAKAO Lili Dahliani & Arief Wicaksono PENCAPAIAN produktivitas kakao dapat dilakukan dari dua sisi, yaitu dengan cara memaksimalkan upaya menuju pencapaian produktivitas sesuai dengan potensinya, dan menekan seminimal mungkin pengaruh buruk yang dapat menurunkan potensi tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara penerapan kegiatan budi daya sesuai GAP dengan dukungan SOP yang konsisten dijalankan dan kesamaan persepsi antara manajemen perusahaan juga karyawan yang mengeksekusi di lapangan. Melengkapi hal tersebut, kepemimpinan seorang pemimpin yang mumpuni pun harus melakukan fungsi pengawalannya. Seorang pemimpin perlu memahami bahwa sistem produksi di perkebunan kakao merupakan sistem terbuka, artinya sangat ditentukan oleh kondisi alam. Alam merupakan sistem eksternal yang bersifat tidak bisa dikendalikan dan terkadang sulit dikelola jika kita tidak memiliki pengetahuan dan teknologi yang terkait pengendalian, atau paling tidak menekan seminimal mungkin, dampak negatif yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan kakao sehingga menghambat tercapainya pencapaian produktivitas sesuai potensinya. Penerapan pengetahuan dan teknologi tersebut juga harus tetap memuliakan pengetahuan dan potensi lokal yang dimiliki di masing-masing lokasi. Pencapaian produktivitas selama kurun waktu 10 tahun terakhir ini memperlihatkan penurunan yang signifikan dengan capaian rata-rata berkisar 500-750 kilogram per hektar. Dan angka tersebut masih jauh dari harapan yang diidam-idamkan selama ini, yakni 2.000 kilogram per hektar, atau 2 kilogram per pohon dengan populasi tanaman 1.000 pohon per hektar. Secara umum, faktor-faktor yang menjadi penentu keberhasilan tanaman kakao adalah berturut-turut (1). tanah dan iklim; (2). penggunaan klon kakao yang unggul; (3). persiapan lahan dan pembibitan yang baik; (4).
pemeliharaan tanaman, dan; (5). pengendalian hama dan penyakit. Tanaman yang sudah ditanam dan berproduksi sebagaimana pertimbangan pemenuhan syarat minimum ketentuan tanah, iklim, dan potensi klon tanaman (faktor penentu nomor urut 1 hingga 3), tidak terlalu memberikan kontribusi terhadap penurunan produktivitas. Namun, penurunan produksi dan produktivitas hasil panen kakao akan lebih banyak dipengaruhi oleh pola pemeliharaan tanaman dan pengendalian hama dan penyakit tanaman. Tanaman kakao memiliki fisiologis tanaman berbunga sepanjang bulan dalam satu tahun, dengan pola pembungaan besar pada bulan Juni/Juli dan November/Desember. Sedangkan untuk pembentukan buah, tanaman ini akan memerlukan waktu sekitar lima bulan sejak pembungaan besar terjadi, dengan diikuti panen besar dua kali dalam satu tahun. Oleh karenanya, fisiologis kesehatan tanaman sangat berpengaruh dalam proses pembentukan pembungaan. Secara fisiologis, kesehatan tanaman dicirikan dengan percabangan kompak (habitus seimbang, aerasi cukup), dan jumlah daun sehat cukup (sekitar 20 daun untuk mendukung satu buah). Untuk memproduksi satu kilogram biji kakao kering, dibutuhkan sekitar 30 kolven (buah) kakao besar dan siap panen. Jika diinginkan untuk memproduksi dua kilogram kakao kering per pohon, maka harus diupayakan sekitar 60 kolven yang dapat dipanen sepanjang tahun. Buah besar siap panen, dibentuk dari bunga menjadi pentil (buah kecil)
* Lili Dahliani, Dosen Program Studi Teknologi dan Manajemen Produksi Perkebunan, Sekolah Vokasi Institut Pertanian Bogor, dan Asesor Kompetensi Perkebunan, Lembaga Sertifikasi Profesi Vokasi Institut Pertanian Bogor. * Arief Wicaksono, Manajer Perkebunan BUMN, PT. Perkebunan Nusantara XII, dan Asesor Kompetensi Perkebunan, Lembaga Sertifikasi Profesi Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
5
dan berkembang selama lima bulan. Perkembangan buah kecil menjadi buah besar secara fisiologis akan mengalami penurunan persentase keberhasilan sebesar 20%, setara dengan 300 buah kecil per pohon sepanjang tahun. Dalam rentan waktu tersebut, tanaman perlu dirawat dengan maksimal dengan menjaga keseimbangan nutrisi dan meminimalkan dari gangguan hama penyakit tanaman. Pekerjaan untuk menjaga kesehatan tanaman kakao yang utama adalah pemangkasan tanaman pokok, pemangkasan naungan tetap, dan pemupukan. Ketiga pekerjaan utama ini dilakukan sesuai dengan perencanaan waktu (irama) fisiologis tanaman dalam fase pembentukan daun muda, dan fase perubahan menjadi daun tua. Sehingga kegiatan tersebut tidak akan mengganggu proses pembungaan dan menghindari penurunan persentase potensi menjadi buah kakao. Pemangkasan produksi pada tanaman kakao dilakukan dua kali, yaitu pada semester I (April) dan semester II (Oktober). Dalam kurun waktu tersebut, kegiatan pemangkasan pemeliharaan (pangkas ringan) bisa dilakukan dua kali dalam satu bulan. Pemangkasan ini sangat perlu untuk dilakukan guna menjaga kesinambungan pembentukan bunga, buah kecil, menjaga prosentase buah jadi yang sudah terbentuk, dan menjaga aerasi (pengaturan kelembaban) tanaman. Mengingat bahwa kegiatan pemangkasan pemeliharaan ini adalah salah satu pekerjaan yang penting dan wajib dilakukan, maka harus dilakukan secara konsisten dan terpantau. Pengendalian hama dan penyakit pada tanaman kakao juga menjadikan salah satu faktor penentu kesehatan tanaman dan persentase buah jadi siap panen. Tanaman kakao memiliki sifat berbunga dan berbuah sepanjang bulan dalam satu tahun, dan menjadikannya rentan untuk dijadikan sebagai sumber makanan dan inang perkembangan hama dan penyakit tanaman kakao. Oleh karenanya, sangatlah penting melakukan pengendalian hama dan penyakit tanaman untuk mengendalikan perkembangannya. Salah satu cara pengendalian OPT yang efektif adalah dengan menerapkan pola peringatan dini (early warning system/ EWS) yang dilakukan untuk mengetahui perkembangan tingkat serangan hama dan penyakit pada tanaman kakao. Dalam penerapannya secara efektif dan efisien, kegiatan pengendalian ini memerlukan dukungan sistem pemantauan yang baik dan sumber daya manusia yang handal. Meskipun demikian, pekerjaan ini kerap kali diabaikan oleh petani dan pengelola perkebunan di lapangan. Pertimbangan pengendalian biaya (harga pokok) untuk mendapatkan keuntungan dan persaingan bisnis pengelolaan budi daya tanaman kakao biasanya dijadikan dasar untuk tidak menerapkan kegiatan tersebut. Pola pendekatan manusia ke kebun (man to land) yang dipadukan strategi alokasi biaya berdasarkan skala prioritas yang berhubungan dengan produksi secara langsung (overall cost leadership) dengan pemenuhan rasio tenaga pelaksanaan sesuai standar kebutuhan tanaman kakao,
6
COKELAT
S eptember - D es em ber 201 8
maka produktivitas dua kilogram per pohon bisa dicapai. Perpaduan pendekatan dan strategi ini juga bisa diterapkan tanpa melakukan pemotongan biaya untuk pengendalian biaya.
LIPUTAN UTAMA
Hari Kakao Indonesia 2018:
PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS KAKAO DAN COKELAT INDONESIA Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia, Ir. Bambang, MM., membuka dengan resmi kegiatan yang dilaksanakan dalam perayaan Hari Kakao Indonesia 2018 yang dilaksanakan di Pusat Perbelanjaan Taman Anggrek, Jakarta Barat, 25 Oktober 2018 silam. (CSP/AH)
SEPERTI halnya dengan tahun-tahun sebelumnya, beberapa kementerian terkait dan para pemangku kepentingan di sektor kakao berkelanjutan Indonesia, berkumpul bersama dalam perayaan Hari Kakao Indonesia di pertengahan Oktober 2018 lalu. Setiap tahunnya pula, perayaan Hari Kakao Indonesia ini diselingi dengan kegiatan pameran dari hulu hingga hilir, beragam lomba, demo masakan, dan seminar. Untuk tahun ini, kegiatannya dipusatkan di Pusat Perbelanjaan Taman Anggrek, Jakarta Barat, dan berlangsung mulai tanggal 25-28 Oktober 2018. Acara yang digelar bersama oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan dengan menggandeng para pemangku kepentingan di sektor kakao dari hulu hingga hilir ini mengambil tema pelaksanaan
“Cokelatku, Budayaku, Indonesiaku.� Harapan yang hendak dicapai adalah peningkatan produksi dan produktivitas kakao dan cokelat Indonesia. Dalam sambutan pembukaannya, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar, Direktorat Jenderal Industri Agro, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, Ir. Abdul Rochim, M.Si., menyampaikan bahwa sektor kakao memiliki peranan penting dalam perekonomian negara. Saat ini pula, kakao sudah dijadikan sebagai salah satu prioritas pengembangan industri pengolahan untuk meningkatkan produksi, baik makanan, minuman, kosmetik, dan farmasi. "Karena kurangnya bahan baku, kini tinggal 11 perusahaan yang masih aktif menggeluti kakao. Bahkan untuk memenuhi kebutuhannya, industri harus impor bahan bakunya. Selama 2017 impor kakao 226 ribu ton, dan kemungkinan 2018 akan bertambah," tambahnya.
Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
7
Foto: Armin Hari
Para pejabat dari beberapa kementerian yang berpartisipasi dalam kegiatan perayaan Hari Kakao Indonesia 2018 didampingi oleh para perwakilan asosiasi kakao dan cokelat, dan perwakilan pengusaha industri cokelat melakukan foto bersama setelah pembukaan kegiatan tahunan ini. (CSP/AH)
Di kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Ir. Bambang, MM., menyampaikan penghargaan dan apresiasinya terhadap penyelenggaran pameran ini sebagai rangkaian perayaan Hari Kakao Indonesia. Kegiatan ini diharapkan mampu memberikan semangat dan mengingatkan kita semua betapa pentingnya posisi perkebunan kakao untuk bangsa Indonesia. "Saat ini Indonesia menjadi penghasil kakao ke tiga di dunia, dan berpotensi bisa menjadi nomor satu kalau kakao bisa diurus dengan baik dari segi budi dayanya. Selain itu, perayaan Hari
Kakao Indonesia ini juga setidaknya mampu memacu tingkat konsumsi dalam negeri masyarakat kita akan produk cokelat yang selama ini masih tergolong rendah," ujar Ir. Bambang, MM. Selain itu, dalam perayaan Hari Kakao Indonesia tahun 2018 ini pula, dilaksanakan lomba kebun kakao berproduksi tinggi yang diselenggarakan bersama oleh Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Dewan Kakao Indonesia, dan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Setelah melakukan beberapa tahapan
seleksi dan penilaian, maka ditetapkan bahwa Busron Bahar, petani dari Kelompok Tani Saiyo Salayo, Nagari Salayo, Kabupaten Solok, Sumatera Barat menjadi pemenang. H. Santar dari Kelompok Tani Bukit Subur, Desa Riso, Kecamatan Tapango, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat berhasil meraih juara kedua, dan Burhanuddin dari Kelompok Tani LEM Sejahtera Horodopi, Desa Horodopi, Kecamatan Benua, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara menduduki posisi ke tiga. Dan penghargaan sebagai nominator juga diserahkan kepada Untung Junaidi, petani dari Kelompok
Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
8
Foto: Armin Hari
Ir. Bambang, MM., Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia, menyampaikan sambutannya pada pembukaan Hari Kakao Indonesia 2018 yang dilaksanakan selama tiga hari dari tanggal 25-28 Oktober 2018 di Pusat Perbelanjaan Taman Anggrek, Jakarta Barat. (CSP/AH)
Tani Karya Mandiri, Desa Tanjung Ratu, Kecamatan Katibung, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. “Penilaian lomba kebun kakao yang dilakukan di sentra perkebunan nasional ini, ditujukan untuk memberikan motivasi kepada para petani kakao yang telah meningkatkan produksinya," kata Ir. Bambang, MM., Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, pada saat memberikan penghargaan kepada para pemenang lomba kebun kakao. Disampaikan juga bahwa komitmen sektor swasta sangatlah diharapkan
9
COKELAT
S eptember - D es em ber 201 8
untuk meningkatkan produktivitas kakao dalam menciptakan dan memperkuat kemitraan. Hal tersebut mengingat bahwa luasan wilayah perkebunan kakao secara nasional adalah sekitar 96% merupakan kebun rakyat, sehingga petani-petani kakao berskala kecil tersebut memerlukan pembinaan, pengawalan, dan pendampingan dari berbagai pihak. Dalam perayaan Hari Kakao Indonesia tahun 2018 ini juga diselenggarakan lokakarya kecil yang menghadirkan Ir. Bambang, MM. selaku Direktur Jenderal Perkebunan,
Kementerian Pertanian, Drs. H. Anwar Adnan Saleh, mantan Gubernur Provinsi Sulawesi Barat periode 20062016, Ir. Achmad Manggabarani, MM., pakar perkebunan dan Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB), dan Fay Fay Choo sebagai Asia Director For Cocoa Sustainable Sourcing, Mars Incorporated. Diskusi yang diberi judul “Peran Swasta dalam Mendukung Peningkatan Produksi Kakao Nasional� ini dipandu oleh Dr. Ir. Soetanto Abdoellah, SU., selaku Ketua Dewan Kakao Indonesia. Diskusi antara peserta dan para narasumber menyangkut
Para petani pemenang perlombaan kebun kakao berproduksi tinggi melakukan foto bersama dengan Ir. Bambang, MM., Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia, Ir. H. Muhammad Anas, Direktur Perbenihan Perkebunan, dan Dr. Ir. Soetanto Abdoellah, Ketua Dewan Kakao Indonesia. Perlombaan ini diselenggarakan bersama oleh Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia, Dewan Kakao Indonesia, dan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia dan merupakan rangkaian perayaan Hari Kakao Indonesia 2018. (CSP/AH)
penggambaran umum tentang kondisi sektor kakao kita selama ini, dan harapan pengembangannya. Selama proses diskusi berlangsung, ide untuk memberikan ruang kepada sektor swasta dalam melakukan intervensi sebagai upaya peningkatan produksi dan produktivitas kakao pun bermunculan. Misalnya bahwa pemerintah harus menegaskan kepada pihak sektor swasta untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya dalam membangun perkebunan kakao di lokasi sektor swasta tersebut beroperasi. “Harus ada regulasi yang mengatur bahwa ada persentase minimal luasan lahan perkebunan yang harus dibangun oleh sektor swasta di lokasi mereka
beroperasi. Dengan demikian, sektor swasta pun bisa memberikan andil yang maksimal dalam upaya peningkatan produksi dan produktivitas kakao di tanah air,� ujar Drs. H. Anwar Adnan Saleh yang merupakan sosok perintis penerapan Gerakan Nasional Kakao beberapa tahun silam. Ditambahkan pula bahwa pemerintah juga harus memberikan kepastian dan perlindungan kepada sektor swasta dalam melakukan upaya-upaya peningkatan produksi dan produktivitas kakao. Tidak sekadar mengharuskan mereka untuk membangun kebun-kebun berproduksi tinggi. Dan sinergi antara para pemangku kepentingan di sektor kakao berkelanjutan di Indonesia akan
terbangun dengan sendirinya. Sesaat setelah pemberian penghargaan kepada petani pemilik kebun dengan produktivitas yang tinggi sebelumnya, Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia mengajak salah seorang kepala pemerintahan di Provinsi Sumatera Barat untuk menanyakan kesediaannya sebagai tuan rumah pelaksana kegiatan Hari Kakao Indonesia di tahun mendatang. “Selama ini, kita cenderung merayakan Hari Kakao Indonesia di pusat-pusat perbelanjaan. Bagaimana jika tahun depan kita melaksanakannya di kebun-kebun kakao yang dimiliki oleh para petani? Membawa semangat peningkatan produksi dan produktivitas
Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
10
Fay Fay Choo, Asia Director for Cocoa Sustainable Sourcing, Mars Incorporated, menjadi salah seorang narasumber dalam lokakarya yang diadakan dalam Hari Kakao Indonesia 2018 yang mengangkat tema Peran Swasta dalam Mendukung Peningkatan Produksi Kakao Nasional. (CSP/AH)
kakao langsung ke wilayah-wilayah sentra produksi kakao di tanah air,� tantang Ir. Bambang, MM. dan disambut tepuk tangan yang meriah tanda setuju oleh para pengunjung pameran Hari Kakao Indonesia tahun 2018. (CSP/AH)
Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
11
LIPUTAN UTAMA
Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia, Ir. Bambang, MM., Bupati Kabupaten Jember, dr. Hj. Faida, MMR., dan Direktur Utama Riset Perkebunan Nusantara, Dr. Teguh Wahyudi, M.Eng., didampingi oleh beberapa tamu penting lainnya membuka dengan resmi kegiatan Temu Lapang Kakao 2018, di Puslitkoka, Jember, Jawa Timur, akhir November 2018. (CSP/AH)
Temu Lapang Kakao 2018:
PUSLITKOKA LUNCURKAN VARIETAS KAKAO UNGGUL 12
COKELAT
S eptember - D es em ber 201 8
PUSAT Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia yang berlokasi di Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur, setiap dua tahun sekali melaksanakan sebuah kegiatan yang mempertemukan para pelaku dan pemangku kepentingan di sektor kakao di Indonesia. Kegiatan tersebut diberi nama Temu Lapang Kakao dan pelaksanaannya tidak semata-mata di pusat penelitian komoditas kopi dan kakao ini, namun juga sebelumnya telah dilaksanakan di beberapa tempat di Indonesia. Hadir dalam Temu Lapang Kakao 2018 tersebut antara lain Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Ir. Bambang Wahyu Dwi Antoro, MM., Direktur Utama Riset Perkebunan Nusantara yang sekaligus penjabat sementara Direktur Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Dr. Teguh Wahyudi, M.Eng., dan beberapa bupati dan wali kota kabupaten/kota di Indonesia. Dan sebagai tuan rumah pelaksanan, turut hadir juga Bupati Kabupaten Jember, dr. Hj. Faida, MMR. Dalam sambutannya, Bupati Jember membeberkan bahwa selama ini Kabupaten Jember hanya dikenal sebagai kota penyelenggara parade busana tingkat dunia. Namun banyak orang yang tidak mengetahui dengan baik bahwa ada hal lain yang berhubungan dengan komoditas perkebunan yang berkembang pesat. "Di logo Kabupaten Jember saja, ada daun tembakau yang menjadi dominan. Dan ini menunjukkan bahwa potensi utama kabupaten ini adalah komoditas perkebunan," ujar dr. Hj. Faida, MMR. Disampaikan juga bahwa selain tembakau, komoditas kopi dan kakao juga sudah menjadi komoditas lainnya yang sangat pesat pengembangannya. Pelaksanaan Temu Lapang Kakao 2018 ini juga disambut baik oleh Bupati Jember sebagai wadah koordinasi daerah-daerah yang sedang mengembangkan perkebunan kakao. Dan harapannya bahwa kegiatan serupa bisa dilaksanakan bukan hanya sekali dalam dua tahun, tapi bisa diupayakan untuk dilaksanakan sekali setahun. “Dalam sistem kekerabatan kita, ada
Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
13
Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia, Ir. Bambang, MM., menekankan kontribusi penting sektor perkebunan dalam menyokong perekonomian secara nasional. Beliau mengutarakan hal tersebut pada saat memberikan sambutan resminya dalam pembukaan Temu Lapang Kakao 2018 di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember, Jawa Timur, 27 November 2018 silam. (CSP/AH)
istilah saudara sepersusuan. Dan untuk para pemimpin daerah yang sempat hadir dalam kegiatan ini, kita semua adalah saudara kakao, karena masing-masing kita sedang mengembangkan budidaya perkebunan kakao,� tambahnya. Di kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Perkebunan, Ir. Bambang Wahyu Dwi Antoro, MM., mengutarakan bahwa tantangan petani kakao saat ini adalah bagaimana upaya mereka untuk meningkatkan produksinya. Dan dengan pengembangan varietas kakao yang lebih unggul terhadap hama dan penyakit dengan produktivitas tinggi yang dikembangkan oleh Puslitkoka, maka diharapkan produksi kakao Indonesia bisa semakin bagus. “Temu Lapang Kakao 2018 ini diharapkan bisa menjadi titik awal upaya untuk meningkatkan kakao secara Nasional, dan Puslitkoka sebagai pusat pengembangan dan penelitian benih diharapkan bisa memberikan kontribusi yang lebih,� ujar Ir. Bambang Wahyu Dwi Antoro, MM.. Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia juga mengatakan bahwa saat ini
14
COKELAT
S eptember - D es em ber 201 8
pemerintah bertekad untuk mengembalikan kejayaan kakao Indonesia. Upaya yang dilakukan adalah dengan menggalakkan peremajaan tanaman kakao dan membuka kesempatan kepada para petani kakao untuk memanfaatkan kebijakan perhutanan sosial yang sudah disosialisasikan oleh pemerintah. "Untuk mengatasi persoalan perbaikan dan peremajaan tanaman kakao, maka petani membutuhkan benih kakao yang unggul. Itu kemudian dijawab oleh Puslitkoka dengan mengeluarkan varietas kakao baru dan unggul yang diberi nama ICCRI 09 yang memiliki produktivitas yang tinggi, tahan terhadap penyakit dan hama, memiliki cita rasa yang lebih kuat, dan aroma yang lebih tajam," lanjutnya. Sedangkan Direktur Utama PT. Riset Perkebunan Nusantara (RPN), Dr. Teguh Wahyudi, M.Eng., mengatakan bahwa Temu Lapang Kakao 2018 ini dihadiri oleh sekitar 450 orang peserta yang berasal dari daerah sentra penghasil kakao di tanah air. Kegiatan ini juga diupayakan sebagai ajang diseminasi teknologi unggul dan sarana komunikasi antar pemangku kepentingan di sektor kakao berkelanjutan
(1). Direktur Utama PT. Riset Perkebunan Nusantara, Dr. Teguh Wahyudi, M.Eng., menyerahkan secara simbolis klon kakao ICCRI 09 kepada perwakilan petani. (2). Para tamu undangan penting melakukan foto bersama setelah pembukaan kegiatan dua tahunan ini di Puslitkoka, Jember, Jawa Timur. (3). Bupati Kabupaten Jember, dr. Hj. Faida, MMR. menyerahkan produk cokelat sebagai salah satu produk unggulan Kabupaten Jember. (4). Dr. Agung Wahyu Susilo, SP, MP. dari Puslitkoka memberikan keterangan kepada tamu undangan penting ketika mengunjungi ruang pameran yang berlangsung selama Temu Lapang Kakao 2018 November silam. (CSP/AH)
Indonesia. "Harapannya adalah dengan Temu Lapang Kakao 2018 ini beragam isu bisa dicarikan alternatif penyelesaiannya. Misalnya saja tentang pendanaan, perbenihan, kendala budi daya kakao di lapangan, hingga pengolahan dari hulu sampai hilir. Termasuk pengembangan UMKM yang bergerak di bidang industri hilir kakao,� tandasnya. Selain itu, beberapa kegiatan juga dilaksanakan sebagai rangkaian dari Temu Lapang Kakao 2018. Misalnya saja pameran dari sektor UMKM yang bergerak di bidang pengolahan makanan dan minuman berbasis cokelat, instansi pemerintah, industri, dan lembaga penelitian. Setelah pembukaan kegiatan dua tahunan ini, juga dilaksanakan kunjungan ke beberapa lokasi penanaman kakao di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia untuk memperlihatkan hasil pengembangan kajian tentang tanaman kakao yang dilakukan selama ini.
Di akhir sambutannya, Bupati Kabupaten Jember, dr. Hj. Faida, MMR., mengapresiasi kegiatan serupa untuk dilaksanakan dan menghimpun para pemangku kepentingan di sektor kakao berkelanjutan di Indonesia. "Jika Temu Lapang Kakao ini hanya diselenggarakan sekali dalam dua tahun, maka melalui kesempatan ini saya menantang pihak Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia untuk menyelenggarakannya sekali dalam satu tahun. Dan pelaksanaannya dikoordinasikan dengan pihak pemerintah kabupaten. Bisa saja misalnya satu kali pelaksanaan Temu Lapang Kakao dibiayai oleh Puslitkoka, dan pelaksanaan di tahun berikutnya akan menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah Kabupaten Jember," ungkap dr. Hj. Faida, MMR yang disambut dengan tepuk tangan meriah dari para peserta dan undangan yang sempat hadir. (CSP/AH)
Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
15
KANTOR EKSEKUTIF
Rapat Majelis Umum Anggota CSP:
MEWUJUDKAN GENERASI MASA DEPAN UNTUK SEKTOR KAKAO INDONESIA Para perwakilan anggota Cocoa Sustainability Partnership dan pemangku kepentingan lainnya di sektor kakao berkelanjutan di Indonesia yang turut hadir dalam pelaksanaan Rapat Majelis Umum Anggota CSP yang diselenggarakan pada tanggal 11 Agustus 2018 di Makassar, Sulawesi Selatan. Tema umum yang dijadikan pokok bahasan diskusi adalah bagaimana mewujudkan generasi masa depan untuk sektor kakao. (CSP/AH)
DI AKHIR tahun 2018 ini, Cocoa Sustainability Partnership beserta anggotanya dan para pemangku kepentingan lainnya di sektor kakao berkelanjutan di Indonesia, kembali menyelenggarakan rapat majelis umum anggota. Kegiatan rapat majelis umum anggota ini adalah agenda rutin yang diselenggarakan tiga kali dalam setahun, yakni pada April, Agustus, dan Desember. Bertempat di Hotel Melia, Makassar, Sulawesi Selatan, Rapat Majelis Umum Anggota Cocoa Sustainability Partnership ini dihadiri oleh 28 orang peserta yang berasal dari perwakilan anggota dan pemangku kepentingan lainnya yang tergabung dalam platform nasional untuk pengembangan kakao berkelanjutan di Indonesia ini. Selain itu, pihak Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan juga ikut hadir dan turut memberikan kontribusi yang sangat 16
COKELAT
S eptember - D es em ber 201 8
berharga bagi pelaksanaan kegiatan ini. Dalam sambutannya, Ketua Dewan Pengawas Cocoa Sustainability Partnership, Chandra Panjiwibowo menyampaikan bahwa beberapa waktu yang lalu, CSP sudah melakukan pertemuan dan audiensi dengan Ir. Erna Rosdiana, M.Si. selaku Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan disampaikan bahwa pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyadari masih adanya pemanfaatan lahan di kawasan hutan untuk kebun kakao. Apabila kegiatan itu sudah dilakukan oleh petani kakao sejak lama maka Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial bisa membantu memfasilitasi dengan menerbitkan ijin pemanfaatan perhutanan sosial. "Untuk
Chandra Panjiwibowo dari UTZ/RA selaku Ketua Dewan Pengawas Cocoa Sustainability Partnership menyampaikan sambutan selamat datang dan pengantar dalam Rapat Majelis Umum Anggota CSP. (CSP/AH)
Wahyu Wibowo, Direktur Eksekutif Cocoa Sustainability Partnership menyampaikan perkembangan kantor eksekutif CSP dan perencanaan kegiatan untuk tahun berikutnya. (CSP/AH)
Agung Dwiastuti dari Yayasan Kalimajari terpilih sebagai Ketua Majelis Umum Anggota CSP menggantikan Nuzul Qudri dari Sahabat Cipta yang berakhir periode kepemimpinannya. (CSP/AH)
Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
17
Dr. Ir. Abd. Haris Bahrun, M.Si., selaku anggota dari Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D) Provinsi Sulawesi Selatan, dan Prof. Dr. Ir. Ade Rosmana, M.Sc., dari Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, menyampaikan apresiasinya terhadap CSP dan anggotanya yang telah berupaya dan memberikan rekomendasi yang sangat penting dalam pengembangan sektor kakao berkelanjutan di Indonesia selama ini. Disampaikan pula peran CSP dalam perancangan arah kebijakan pembangunan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan bersama dengan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. (CSP/AH)
isu tentang perhutanan sosial ini, CSP akan mengoordinasi sebuah kegiatan diskusi kelompok terarah yang melibatkan Kemenko Kemenko Perekonomian, Kementerian Pertanian, KLHK, Dinas Perkebunan terkait. Kegiatan tersebut diharapkan mampu mengumpulkan pengetahuan dan intisari tentang perhutanan sosial," kata Chandra Panjiwibowo. Senada dengan penurunan produksi kakao di Indonesia, Ketua Dewan Pengawas Cocoa Sustainability Partnership dalam kesempatan yang sama juga menyampaikan bahwa hal tersebut diantisipasi oleh anggota CSP melalui perumusan ukuran kinerja yang digunakan untuk mengukur kemajuan yang dicapai. Pengukuran kinerja tersebut akan diupayakan untuk isu tentang penyediaan pupuk spesifik kakao dan bahan tanam yang bersertifikat bagi petani kakao di lapangan. Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, yang juga turut hadir dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan ini, pun mengakui bahwa produksi kakao di Indonesia, khususnya di daerah Sulawesi Selatan mengalami penurunan produktivitas. Oleh karenanya, salah satu upaya yang sedang digalakkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan adalah melalui intensifikasi di daerah-daerah yang memiliki potensi pengembangan tanaman kakao. "Komitmen Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan, Prof. DR. Ir. H. M. Nurdin Abdullah, M.Agr., untuk mengembalikan kejayaan kakao di provinsi ini juga disampaikan oleh pihak Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Hal utama yang akan dilakukan adalah dengan menggandeng beberapa pihak, termasuk CSP, untuk melaksanakan program peremajaan dan peningkatan produktivitas kakao," ungkap perwakilan dari Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Dr. Ir. Abd. Haris Bahrun, M.Si., selaku anggota dari Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D) Provinsi Sulawesi Selatan. Beliau mengungkapkan bahwa antisipasi kebutuhan
18
COKELAT
S eptember - D es em ber 201 8
pengembangan tanaman kakao perlu ditunjang dengan ketersediaan bahan tanam batang bawah yang sesuai dengan kondisi di Provinsi Sulawesi Selatan. "Kami pun juga memberikan apresiasi yang tinggi kepada CSP dan anggotanya atas upaya dan kerja samanya dalam mewujudkan kakao berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan. Salah satu pencapaian dari CSP ini adalah Kurikulum Nasional dan Modul Pelatihan Budi Daya Berkelanjutan dan Pasca Panen Kakao yang sudah diterbitkan bersama Pusat Pelatihan Pertanian, Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP), Kementerian Pertanian, Republik Indonesia. Kurikulum dan modul pelatihan ini nantinya akan sangat bermanfaat jika digunakan di Politeknik Pengembangan Pertanian, sehingga lebih fokus untuk komoditas tertentu," ungkapnya. Prof. Dr. Ir. Ade Rosmana, M.Sc., dari Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, yang juga adalah salah seorang yang terlibat aktif dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Cocoa Sustainability Partnership, mengutarakan bahwa dalam hubungannya dengan pengembangan kakao di Sulawesi Selatan, pihak pemerintah daerah akan memberikan fokus perhatian kepada beberapa daerah di Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, dan Kabupaten Luwu Timur. Kegiatan yang diinisiasi oleh pemerintah daerah adalah dengan pengembangan peremajaan tanaman kakao, pendampingan petani, dan pembangunan kebun induk sebagai sumber benih batang bawah. "Alokasi benih ditargetkan sebanyak 15 juta benih per tahun yang berasal dari bantuan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, dan 6 juta benih yang merupakan bantuan Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia yang akan mulai didistribusikan pada Desember 2018. Dan untuk pengembangan kebun induk, maka sementara ini dilakukan kajian di calon lokasi yang berada di Desa Mario, Kecamatan Ponrang, Kabupaten Luwu, seluas 20 hektar," kata Prof. Dr.
Dalam Rapat Majelis Umum Anggota Cocoa Sustainabiliy Partnership ini pula, perwakilan anggota CSP memberikan gambaran umum tentang program dan inisiatif yang dilaksanakan untuk mewujudkan generasi masa depan sektor kakao berkelanjutan di Indonesia. Hadir dalam presentasi tersebut adalah masingmasing Ardy Husni dari Mars, Ani Setiyoningrum dari Barry Callebaut, Imran Fakhroni dari Mondelēz, dan Dinesh Babu Velumany dari Olam Cocoa. (CSP/AH)
Ir. Ade Rosmana, M.Sc.. Sesuai dengan tema Rapat Majelis Umum Anggota Cocoa Sustainability Partnership ini, maka ditampilkan beberapa presentasi dari anggota CSP menyangkut inisiatif mereka dalam mengembangkan generasi masa depan untuk sektor kakao. Presentasi dari para anggota CSP tersebut diharapkan mampu memberikan penggambaran utuh tentang bagaimana upaya anggota CSP dalam mengupayakan keberlanjutan di sektor kakao di Indonesia melalui inisiatif dan program penjangkauan kepada petani di wilayah sentra-sentra produksi kakao. Ani Setiyoningrum dari Barry Callebaut menyampaikan tentang Forever Chocolate, Ardy Husny dari Mars mempresentasikan tentang Cocoafor Generations, Imran Fakhroni dari Mondelēz tentang bagaimana memberdayakan petani dan masyarakat kakao melalui program Cocoa Life, dan Dinesh Babu Velumany dari Olam Cocoa yang mengutarakan tentang Olam Livelihood Charter.
Ketua Majelis Umum Anggota. Masa jabatan Nuzul Qudri dari Sahabat Cipta telah berakhir dan setelah melalui perembukan dan pengambilan suara, maka disepakati untuk mengangkat Agung Widyastuti dari Yayasan Kalimajari sebagai Ketua Majelis Umum Anggota Cocoa Sustainability Partnership untuk periode 2019-2020. Dan untuk pelaksanaan Rapat Majelis Umum Anggota Cocoa Sustainability Partnership berikutnya, para peserta yang hadir juga menyepakati untuk melaksanakannya pada tanggal 30 April 2019 dan lokasinya akan ditentukan kemudian. (CSP/AH)
Di akhir pelaksanaan Rapat Majelis Umum Anggota Cocoa Sustainability Partnership ini, juga dilaksanakan pemilihan
Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
19
PROFIL PETANI PEGAGAN (Centella Asiatica) merupakan tanaman liar yang banyak tumbuh di perkebunan, ladang, tepi jalan, atau di pematang sawah. Tanaman ini biasanya tumbuh di daerah Asia tropik, tersebar di Asia Tenggara termasuk Indonesia, India, Republik Rakyat Tiongkok, Jepang dan Australia. Biasanya pula, tanaman ini dikenal dengan nama lain seperti daun kaki kuda atau antanan. Dan bagi masyarakat tropis di perdesaan di Indonesia, tanaman ini adakalanya dijadikan sebagai sayuran, dan berkhasiat sebagai obat tradisional untuk berbagai penyakit. Sebagai salah satu tanaman herbal, pegagan ini berkhasiat untuk penyakit kulit, gangguan sarah, dan memperbaiki peredaran darah. Pegagan merupakan tanaman herba tahunan yang tumbuh menjalar dan berbunga sepanjang tahun. Tanaman akan tumbuh subur bila tanah dan lingkungannya sesuai hingga dijadikan penutup tanah. Jenis pegagan yang banyak dijumpai adalah pegagan merah dan pegagan hijau. Pegagan merah dikenal juga dengan antanan kebun atau antanan batu karena banyak ditemukan di daerah bebatuan, kering dan terbuka. Pegagan merah tumbuh merambat dan tidak mempunyai batang. Sedangkan pegagan hijau sering banyak dijumpau di daerah pesawahan dan di sela-sela rumput. Tempat yang disukai oleh pegagan hijau yaitu tempat agak lembap dan terbuka atau agak ternaungi. Selain itu, tanaman yang mirip pegagan atau antanan ada empat jenis yaitu antanan kembang, antanan beurit, antanan gunung dan antanan air. Di Pedukuhan Salak Malang, Desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, ada sebuah kelompok wanita tani mandiri yang mencoba meramu pegagan tersebut dengan produk olahan cokelat. Kelompok Wanita Tani Pawon Gendis, demikian mereka menamakan kelompok tani tersebut. Jumlah anggotanya adalah 40 orang perempuan ini mengolah daun pegagan menjadi makanan. 20
COKELAT
S eptember - D es em ber 201 8
Pagi hari itu, Dwi Martuti Rahayu sedang mempersiapkan produk olahan cokelat pegagan untuk dikirimkan ke beberapa toko-toko kecil yang tersebar di obyek-obyek pariwisata di Yogyakarta. Bersama dengan beberapa orang anggota kelompoknya, mereka terlihat sibuk mengemas pegagan cokelat dalam balutan kertas aluminium untuk dimasukkan ke dalam kemasan. "Produk yang kami hasilkan itu tidak hanya makanan, tapi juga produk minuman olahan dari bahan cokelat. Produk yang kami hasilkan dari pawon (dapur) kami setidaknya mampu memberikan penghasilan tambahan bagi anggota dan masyarakat di sekitar desa kami," ujar perempuan berusia 35 tahun ini. Menurut Dwi Martuti Rahayu, sebenarnya sudah ada beberapa program pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi, atau pemerintah pusat, langsung ke petani. Kabupaten Gunung Kidul sudah terlebih dahulu memperoleh fasilitas pendampingan dan bantuan tersebut, Kabupaten Kulon Progo baru kemudian memperoleh perhatian. Pendampingan dan bantuan tersebut biasanya juga langsung ke kelompok petani. "Untuk beberapa program pendampingan dan bantuan, ada beberapa yang tidak berhasil kemudian di Kabupaten Kulon Progo. Persoalan utamanya adalah sumber daya manusia pengelola bantuan tersebut. Kelompok Wanita Tani Pawon Gendis ini sebenarnya bukan kelompok tani seperti apa pemahaman umum orang, dan juga bukan pekebun kakao. Kami lebih utamakan tanaman pegagan yang kami oleh menjadi produk makanan jadi," ungkapnya. Kelompok Wanita Tani (KWT) ini didirikan sekitar tahun 2013, dan di tahun 2015 diseleksi sebagai salah satu nominator Penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara tingkat nasional dan memperoleh penghargaan dari Presiden Republik Indonesia untuk produk makanan dari pegagan. "Pada saat tersebut, kelompok kami baru memproduksi belasan produk olahan dari pangan lokal, salah satunya adalah pegagan. Dan salah satu dari produk
Kelompok Wanita Tani Pawon Gendis:
INOVASI PRODUK MAKANAN OLAHAN KOMBINASI COKELAT DENGAN DAUN PEGAGAN Produk makanan olahan dari daun pegagan yang dikombinasikan dengan cokelat adalah inovasi yang dilakukan oleh Kelompok Wanita Tani Pawon Gendis. Inovasi pengolahan tanaman herbal dengan cokelat tersebut dimaksudkan agar anak-anak bisa tertarik dan mengkonsumsi tanaman herbal yang memiliki khasiat untuk kesehatan. Dari inovasi tersebut pulalah yang membuat Kelompok Wanita Tani Pawon Gendis ini menerima penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara tingkat nasional di tahun 2015. (CSP/AH)
Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
21
Kantor Kelompok Wanita Tani Pawon Gendis yang dipadukan dengan ruang produksi makanan olahan, ruang pamer, dan tempat diskusi. Lahan di sekitar kantor tersebut, dimanfaatkan sebagai tempat untuk menanam pegagan dan beberapa tanaman herbal lainnya. (CSP/AH)
olahan pegagan tersebut dikombinasikan dengan cokelat," kata Dwi Martuti Rahayu. Dikatakan pula bahwa pada saat ikut seleksi nasional untuk penghargaan tersebut, pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo menanyakan produk cokelat yang dihasilkan oleh kelompok ini. Langsung saja dikatakan bahwa cokelat tersebut adalah produk olahan yang dihasilkan oleh anggota kelompok wanita tani yang dengan mengumpulkan biji kakao kering dari beberapa orang petani di kabupaten ini. Melalui upayanya itu, Tuti dan kelompoknya meraih prestasi yang membanggakan. Kelompok Wanita Tani Pawon Gendis berhasil meraih penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara. Penghargaan itu diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 21 Desember 2015. Dan pada saat tersebut, Bupati Kabupaten Kulon
22
COKELAT
S eptember - D es em ber 201 8
Progo, Dr. Hasto Wardoyo, SP. OG.(K), pun memasukkan produknya ke Program Bela dan Beli Kulon Progo. Alhasil, produknya dijual di toko milik rakyat (tomira) di kabupaten ini. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo pun kerap membeli produknya untuk kegiatan hajat atau untuk suvenir tamu undangan. Pemilihan tanaman pegagan untuk dikombinasikan dengan cokelat adalah agar anak-anak bisa memperoleh asupan gizi dan khasiat yang dikandung oleh tanaman herbal tersebut. Tentu saja sangat disukai oleh anak-anak, karena berbahan dasar cokelat. "Saya pilih cokelat itu tidak sengaja. Tapi saya ingin menambah inovasi soal pegagan, kalau dibuat peyek itu sudah umum dan untuk anak-anak tidak suka karena masih berbentuk daun. Nah kalau cokelat, anak-anak mendengarnya saja pasti sudah suka," ujar Tuti, panggilan
Salah satu produk olahan lainnya yang dihasilkan oleh Kelompok Wanita Tani Pawon Gendis ini adalah peyek dari daun pegagan. Tanaman pegagan yang selama ini dianggap gulma, ternyata bisa memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakat di Pedukuhan Salak Malang, Kabupaten Kulon Progo. (CSP/AH)
akrab ketua Kelompok Wanita Tani Pawon Gendis. Dan tidak berhenti di situ saja, tanaman pegagan yang selama ini banyak diabaikan oleh masyarakat di Pedukuhan Salak Malang, mulai dibudidayakan secara mandiri oleh anggota kelompok wanita tani ini. Pada awalnya, mereka membudidayakan daun pegagan di atas tanah milik desa untuk memenuhi kebutuhan produksinya. "Karena saya tidak punya lahan, maka saya menyewa tanah. Kemudian saya cangkuli sendiri dan saya tanami pegagan. Awal-awal orang menganggap remeh, kenapa sudah sewa tapi kok tanahnya ditanami tanaman liar. Sempat dibilang kayak wong edan," ujar Tuti. Warga mulai tertarik dengan apa yang dilakukan Tuti hingga akhirnya terbentuk KWT. Ia menyebut, warga mulai melihat produk olahan makannya berpeluang dan berpotensi meningkatkan taraf ekonomi. Inisiatif Tuti pun kemudian mulai menjalar ke warga sekitar. Dia menganjurkan untuk setidaknya menanam tanaman pegagan ini di wadah kantong plastik jika tidak memiliki cukup lahan. Dan sekarang ini bisa dilihat bahwa hampir semua warga di Pedukuhan
Salak Malang mengembangbiakkan tanaman menjalar ini di pekarangan dan lahan mereka. Nilai jualnya pun bisa dikatakan lumayan. Harganya jauh lebih mahal dari produk sayuran yang terlebih dahulu dibudidayakan masyarakat. Dan peminatnya pun lumayan banyak, tidak hanya berasal dari daerah sekitar Kabupaten Kulon Progo, namun dari kabupaten-kabupaten tetangga juga banyak yang datang untuk membeli tanaman pegagan tersebut. Bantuan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo, melalui Dinas Pertanian dan Pangan, berupa alat produksi sangatlah membantu para anggota Kelompok Wanita Tani Pawon Gendis ini untuk menghasilkan produk-produk makanan olahan dari pangan lokal. Dengan bantuan alat produksi tersebut, Dwi Martuti Rahayu beserta para ibu rumah tangga di Kecamatan Kalibawang mampu melakukan inisiatif pengolahan pangan lokal. Salah satu di antaranya adalah produk cokelat pegagan yang laris manis diserbu oleh anak-anak dan wisatawan lokal. “Ini sebenarnya tantangan dari Bupati Kulon Progo yang memberikan motivasi untuk mengolah biji kakao kering dari Kabupaten Kulon Progo menjadi produk olahan. Pemerintah daerah menyanggupi
Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
23
untuk memfasilitasi kelompok kami dengan alat produksi cokelat yang cocok dengan potensi yang kami miliki. Dan setelah berdiskusi dan melakukan kunjungan ke Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember, Jawa Timur, saya dan beberapa anggota kelompok wanita tani memberikan spesifikasi dan kapasitas alat produksi yang kami inginkan,� ungkapnya. Menanggapi banyaknya bantuan alat produksi cokelat yang selama ini tidak berjalan di beberapa daerah, Dwi Martuti Rahayu menanggapinya bahwa bantuan tersebut salah arah. Seharusnya tidak langsung ditujukan kepada petani. "Bantuan fasilitas berupa alat produksi cokelat seharusnya tidak langsung diberikan kepada petani, terkecuali jika mereka dibekali dengan pengetahuan bisnis dan pemasaran yang baik. Karena sebagian besar bantuan serupa yang diberikan kepada kelompok tani tersebut banyak yang tidak berhasil, karena mereka tidak mampu mengoperasikan alat tersebut untuk bisa berproduksi secara berkelanjutan," ungkap Dwi Martuti Rahayu. Ia pun mengakui bahwa kapasitas yang ia miliki bersama dengan para anggota Kelompok Wanita Tani Pawon Gendis adalah pengolah, bukan kelompok petani budi daya. Namun, karena sekarang ini banyak menampung produksi biji kakao dari para petani, kelompok ini mulai belajar tentang budi daya dan pasca panen kakao. "Mau tidak mau, kami harus belajar mundur, harus belajar tentang budi daya kakao. Secara perlahan, anggota kelompok kami sudah mulai belajar tentang cara melakukan sambung samping, sambung pucuk, mengetahui biji kakao yang bagus dan berkualitas itu seperti apa, dan proses fermentasi kakao seperti apa," kata Tuti. Cara belajarnya pun terbilang menarik. Selama proses pengumpulan biji kakao tersebut, Dwi Martuti Rahayu harus sering-sering blusukan ke petani-petani kakao. Dan dari proses tersebut, ia menyebarkan semangat untuk kembali merawat tanaman kakao mereka, dan menyampaikan tentang
24
COKELAT
Januari - Apri l 201 8
bagaimana proses budi daya kakao yang baik. "Potensi kakao di Kabupaten Kulon Progo sebenarnya banyak, dan bisa dikatakan produksinya lebih tinggi dari pada kabupaten lainnya di Provinsi DI Yogyakarta, misalnya Kabupaten Gunung Kidul. Namun karena selama ini petani hanya memperoleh harga yang rendah dari para tenggulak, baik itu biji berkualitas baik atau biji berjamur, maka petani kemudian tidak lagi memperoleh semangat dan mengabaikan kebun kakao mereka. Motivasi pertama yang saya berikan adalah jaminan harga yang lebih tinggi dari harga tengkulak," ungkapnya. Dari interaksinya tersebut, saat ini petani kakao di Kabupaten Kulon Progo, khususnya di Pedukuhan Salak Malang, mulai bersemangat merawat kebun kakao mereka. Bahkan sebagian besar petani kakao tersebut sudah melakukan peremajaan tanaman. "Upaya saya bisa dikatakan sangat kecil. Hanya langkah kecil yang mampu saya jalani. Namun, itu sangat berarti bagi petani. Memperoleh motivasi dengan jaminan harga yang lebih baik membuat mereka kembali merawat kebun. Ada beberapa orang petani yang mampu memproduksi biji kakao fermentasi dengan kualitas terbaik. Dan dari segi pengetahuan, sebenarnya petani kita itu pintar untuk urusan budi daya dan pasca panen kakao, dan mereka jauh lebih mahir dari pada pengetahuan yang saya miliki," kata Dwi Martuti Rahayu dengan bangga. Dari upaya interaksinya dengan para petani kakao di Kabupaten Kulon Progo, kiprah Koperasi Wanita Tani Pawon Gendis ini sudah dikenal oleh petani. Pengenalan produk yang dihasilkan dari biji kakao mereka pun memberikan semangat dan motivasi tambahan bagi mereka untuk kembali merawat kebun mereka untuk bisa memberikan produksi biji kakao yang berkualiatas. Seperti yang diakui sebelumnya, ini hanyalah sebuah langkah kecil yang dilakukan oleh para perempuan di Pedukuhan Salak Malang, Desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun ini sangat berarti untuk meyakinkan petani bahwa
tanaman kakao adalah komoditas yang mampu memberikan hasil terbaik untuk penghidupan masyarakat di wilayah perdesaan. "Sebenarnya, saat ini sudah ada beberapa pembeli biji kakao kering yang menghubungi saya langsung agar bisa memperoleh produksi biji
kakao dari desa di sini. Permintaan tersebut belum bisa saya penuhi karena sebagian besar petani kakao di daerah ini masih melakukan peremajaan ulang, atau rehabilitasi tanaman mereka. Tapi selalu saya yakinkan kepada para petani bahwa produksi biji kakao kering mereka sangatlah diminati, terbuka pangsa pasarnya yang luas,
dan jaminan harga yang lebih baik. Dan itu yang membuat mereka kembali bersemangat," ungkap Dwi Martuti Rahayu, Ketua Kelompok Wanita Tani Pawon Gendis. (CSP/AH)
Dwi Martuti Rahayu berdiri di depan ruang produksi cokelat yang dimiliki Kelompok Wanita Tani Pawon Gendis. Alat produksi cokelat tersebut adalah bantuan dari Dinas Pertanian dan Pangan, Kabupaten Kulon Progo. (CSP/AH)
Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
25
KANTOR EKSEKUTIF
Para peserta dan narasumber dalam kegiatan diskusi kelompok terarah melakukan foto bersama di akhir kegiatan. Kegiatan ini merupakan inisiatif Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan untuk melakukan curah pendapat tentang bagaimana menumbuhkan kembali kejayaan komoditas kakao di provinsi ini. (Askindo/Suratman Larakuti)
Diskusi Kelompok Terarah Provinsi Sulawesi Selatan:
MENGEMBALIKAN KEJAYAAN KAKAO SULAWESI SELATAN 26
COKELAT
S eptember - D es em ber 201 8
SELAMA beberapa tahun terakhir ini, komoditas bisa dikatakan telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. Di masa keemasan komoditas ekspor tersebut, masyarakat menikmati berkah yang melimpah. Dari hasil penjualan biji kakao, masyarakat di sentra-sentra produksi kakao di Provinsi Sulawesi Selatan mampu menyekolahkan anakanak mereka ke jenjang yang lebih tinggi, membangun rumah yang lebih layak, membeli kendaraan untuk transportasi, hingga menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Bahkan di era 1990-an, kala krisis moneter melanda Indonesia dan nilai mata uang Dollar melambung tinggi, komoditas kakao memberikan harapan dan bahkan masyarakat tidak merasakan perubahan signifikan dari kondisi ini. Tapi masa keemasan tersebut tidak bertahan lama. Produktivitas tanaman kakao semakin menurun. Semakin tua usia tanaman kakao, maka ia akan semakin rentan pula dengan ancaman serangan hama dan penyakit. Salah satu yang paling meresahkan adalah Penggerek Buah Kakao Kakao (PBK) yang bahkan bisa menurunkan produktivitas tanaman kakao hingga 60 persen. Produktivitas petani pun turun drastis, bahkan ada yang hanya bisa panen 250 kg per hektar per tahun. Tidak sedikit pula petani kita mulai meninggalkan tanaman ini, dan sebagian lainnya mengganti tanaman mereka dengan komoditas semisal kelapa sawit dan merica. Menyikapi hal tersebut, Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, yang baru-baru saja melakukan penggantian pemimpin baru secara resmi, menunjukkan antusiasme dan perhatiannya yang tinggi. Para pakar, peneliti, institusi pemerintah, perwakilan pihak swasta, LSM, dan para pemangku kepentingan lainnya di sektor kakao dikumpulkan di Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa pekan yang lalu. Dan, Wahyu Wibowo selaku Direktur Eksekutif Cocoa Sustainability Partnership pun hadir sebagai salah seorang narasumber dalam diskusi kelompok terarah bertajuk Mengembalikan Kejayaan Kakao sebagai Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
27
Wahyu Wibowo, Direktur Eksekutif Cocoa Sustainability Partnership, beserta Arie Nauvel Iskandar, Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia, dan Prof. Sikstus Gusli dari Universitas Hasanuddin, Makassar, hadir sebagai anggota panel narasumber selama kegiatan diskusi kelompok terarah dilaksanakan. (Askindo/Suratman Alimuddin)
28
COKELAT
S eptember - D es em ber 201 8
Para pakar, peneliti, institusi pemerintah, perwakilan pihak swasta, LSM, dan para pemangku kepentingan lainnya yang terlibat langsung dalam sektor kakao mencurahkan pemikiran mereka dalam kegiatan diskusi kelompok terarah. Hasil diskusi ini akan disampaikan kemudian oleh Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D) Sulawesi Selatan ke Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. (Askindo/
Suratman Alimuddin)
Identitas Masyarakat Sulawasi Selatan di Gedung Pusat Kegiatan Penelitian Universitas Hasanuddin. Kegiatan penting ini dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) UNHAS, Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D) Sulsel, dan Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO). Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balibangda) Sulawesi Selatan, DR. M. Iqbal S. Suhaeb, SE., MT., menyampaikan bahwa selama beberapa dekade ini, Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi kakao di Indonesia, dan produksinya mampu memberikan kontribusi sekitar 50 persen secara nasional. “Kita pernah menjadi produsen ketiga terbesar di dunia dengan produksi 400 ribu ton, lalu terus menurun. Tahun lalu produksi hanya sampai 200 ribu ton saja. Padahal kebutuhan kakao sendiri sekitar 800 ribu ton. Dilihat dari kontribusi secara nasional, Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Barat mampu memberikan pasokannya
secara signifikan. Artinya, jika kalau kakao di Sulsel bermasalah, maka secara nasional pun akan bermasalah,” katanya. Ketua Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D) Sulawesi Selatan, Prof. Dr. Ir. Yusran Jusuf, M.Si., IPU., menyampaikan bahwa kerusakan terjadi pada ekosistem kakao, sehingga diperlukan penanganan yang komprehensif dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada. “Persoalan lainnya yang dihadapi saat ini antara lain adalah masalah benih, dukungan kebijakan secara nasional, dan tidak adanya penyuluh yang khusus menangani budi daya kakao,” ungkap Prof. Yusran. Ditambahkan pula bahwa kelembagaan petani juga menjadi sangat penting, baik hubungannya dengan industri maupun perbankan. Di kesempatan yang sama, Prof. Sikstus dari Universitas Hasanuddin, Makassar, mendeskripsikan secara detail tentang diperlukannya pola penanaman yang terintegrasi dengan komoditas lain, sehingga bisa memberikan penghasilan tambahan bagi petani dalam periode setahun.
Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
29
Wahyu Wibowo, Direktur Eksekutif Cocoa Sustainability, menyampaikan profil sektor kakao di Indonesia dewasa ini. Selain itu, CSP juga dihadirkan sebagai salah satu narasumber selama kegiatan berlangsung. (Askindo/Suratman Alimuddin)
Arie Nauvel iskandar, Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia, menyampaikan bahwa salah tantangan sektor kakao saat ini adalah semakin menurunnya minat petani untuk kembali merawat tanaman mereka. Di sisi lain, minat generasi muda pun bisa dikatakan masih rendah untuk ikut terjun dan memberikan peran aktif mereka. “Petani kakao kita selama ini rata-rata berumur di atas 45 tahun. Dan minat generasi muda semakin menurun. Beberapa pihak swasta sudah membaca hal ini dan kemudian mewujudkannya dalam bentuk program guna memberikan daya tarik kepada pemuda untuk masuk ke wilayah pertanian. Inisiatif ini tentu saja menjadi tanggung jawab bersama dalam memberikan daya tarik untuk petani muda,� kata Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia ini. Dari hasil diskusi kelompok terarah tersebut akan diformulasikan menjadi rekomendasi kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D) Sulawesi Selatan untuk bersamasama para pemangku kepentingan dari hulu hingga hilir dalam melakukan
30
COKELAT
S eptember - D es em ber 201 8
pengembangan dan pembangunan sektor kakao. Harapan dan komitmen dari para pemangku kepentingan untuk membangkitkan kembali sektor kakao di Sulawesi Selatan pun dituangkan dalam plakat Kakao Bangkit. (CSP/AH)
Salah seorang peserta diskusi kelompok terarah menorehkan tanda tangan pada papan komitmen para pemangku kepentingan di sektor kakao berkelanjutan untuk mengembalikan kejayaan kakao Provinsi Sulawesi Selatan. (Askindo/Suratman Alimuddin)
Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
31
LIPUTAN UTAMA TANGGAL 10 Desember setiap tahunnya merupakan hari yang patut dirayakan oleh para pemangku kepentingan di sektor perkebunan di Indonesia. Tanggal tersebut setiap tahunnya pula diperingati sebagai Hari Perkebunan Nasional. Dan pada tahun ini, kegiatan serupa dilaksanakan di Bandung, Jawa Barat. Tidak hanya sekadar gelaran pameran produk perkebunan dari seluruh nusantara, pihak Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, juga melaksanakan beberapa kegiatan dalam bentuk lokakarya, lomba, kampanye produk perkebunan, dan beberapa kegiatan yang melibatkan masyarakat umum. Hari Perkebunan Nasional ke-61 ini diselenggarakan di pelataran Gedung Sate, Bandung, mulai dari tanggal 08-10 Desember 2018. Hari Perkebunan Nasional ke61 tahun 2018 ini dirayakan dengan tema "Sinergi dan Akselerasi Kejayaan Perkebunan" dan sekitar 103 ruang pamer yang diikuti oleh 90 peserta. Mereka berasal dari 33 SKPD provinsi yang membidangi perkebunan, Kementerian Pertanian, asosiasi, dewan komoditas, perusahaan swasta, yayasan, dan pemangku kepentingan lain terkait perkebunan dari seluruh Indonesia. Dan Cocoa Sustainability Partnership tentu saja yang didukung oleh beberapa anggotanya. Selain pameran, ada pula lokakarya yang digelar oleh delapan dewan komoditas dan Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia dengan narasumber dari berbagai kalangan terkait perkebunan. Lokakarya tersebut diupayakan sebagai sarana untuk membahas isu strategis terkini pembangunan perkebunan. Wakil Gubernur Jawa Barat, H. Uu Ruzhanul Ulum, SE., bersama Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Ir. Bambang, MM., Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian yang juga ketua panitia pelaksana, Ir. Dedi Junaedi, M.Sc., serta Menteri Pertanian 2009-2014, Dr. Ir. H. Anton Apriyantono, MS. membuka secara resmi pameran perkebunan ini di halaman depan Gedung Sate, Jl.
32
COKELAT
S eptember - D es em ber 201 8
Ir. Dedi Junaedi, M.Sc., Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Kementerian Pertanian, H. Uu Ruzhanul Ulum, SE., Wakil Gubernur Provinsi Jawa Barat, Ir. Bambang, MM., Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, dan Dr. Ir. H. Anton Apriyantono, MS., Menteri Pertanian periode 2009-2014, secara bersama-sama membuka Hari Perkebunan Nasional Ke-61 tahun 2018 di halaman Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, awal Desember 2018. (CSP/AH)
Hari Perkebunan Nasional Ke-61:
TONGGAK SINERGI DAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN INDONESIA Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
33
Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Ir. Bambang, MM., beserta Wakil Gubernur Provinsi Jawa Barat, H. Uu Ruzhanul Ulum, SE., mengunjungi ruang pameran Cocoa Sustainability Partnership beserta anggotanya dalam kegiatan perayaan Hari Perkebunan Nasional Ke-61 tahun 2018 di halaman Gedung Sate, Bandung, awal Desember 2018. (CSP/AH)
Diponegoro No. 22, Kota Bandung, Sabtu 8 Desember 2018. Dalam sambutan yang disampaikan oleh ketua panitia pelaksana, pihak Direktorat Jenderal Pertanian, Repubik Indonesia, sengaja menggelar kegiatan tahunan ini di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat. Semenjak dahulu, wilayah provinsi ini telah menjadi bagian dari sejarah perkebunan nasional, dan hingga saat ini pula sumbangsih Provinsi Jawa Barat terhadap hasil perkebunan unggulan nasional sangatlah besar. “Ratusan tahun lalu, pemerintah kolonial Belanda telah membangun beberapa sentra perkebunan di Indonesia. Termasuk di Jawa Barat yang juga telah menjadi perintis pembangunan perkebunan pada era tersebut. Dan
34
COKELAT
S eptember - D es em ber 201 8
hingga sekarang pun, provinsi ini terus menerus menghasilkan aneka produk perkebunan yang menjadi komoditas ekspor unggulan ke berbagai negara,� ujar Ir. Dedi Junaedi, M.Sc. dalam sambutannya. Hal yang sama juga disampaikan oleh Wakil Gubernur Provinsi Jawa Barat, H. Uu Ruzhanul Ulum, SE.. Beliau mengutarakan bahwa awal mula sejarah perkebunan Indonesia dimulai dari Jawa Barat. “Sejarah menyebutkan bahwa awalnya perkebunan bukan dari provinsi lain, tetapi adalah dari Provinsi Jawa Barat, sehingga perkebunan sekarang menyebar ke mana-mana,� katanya. Jawa Barat terkenal dengan hasil perkebunan yang melimpah. Banyak hasil perkebunan unggulan berasal dari
tanah Parahyangan. Seperti komoditas teh yang sudah semenjak lama dimulai penanamannya pertama kali di provinsi ini pada masa kolonialisme Belanda. Di kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia, Ir. Bambang, MM.. menyampaikan bahwa kondisi sektor perkebunan Indonesia masih belum optimal dari sisi produktivitas, meskipun dengan potensinya begitu besar. Dalam perjalanannya, sektor perkebunan selalu memberikan peran dan kontribusi yang signifikan bagi bangsa dan masyarakat Indonesia. Baik sebagai komoditi yang memiliki nilai ekonomis dalam menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri dan bio energi, maupun sebagai komoditas yang mampu
Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Ir. Bambang, MM., Wakil Gubernur Provinsi Jawa Barat, H. Uu Ruzhanul Ulum, SE. beserta Imam Suharto dari Olam Cocoa, dan Wahyu Wibowo,Direktur Eksekutif CSP berfoto bersama di depan ruang pamer Cocoa Sustainability Partnership dan anggotanya yang berpartisipasi dalam kegiatan Hari Perkebunan Nasional Ke-61 di Bandung, Jawa Barat. (CSP/AH)
Mohammad Khomeiny (Mars), Ir. Dedi Junaedi, M.Sc. (Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Kementerian Pertanian), Wahyu Wibowo (Direktur Eksekutif CSP), Ir. H. Muhammad Anas, M.Si. (Direktur Perbenihan Perkebunan,Kementerian Pertanian), Dr. Agung Wahyu Susilo, SP, MP. (Puslitkoka), dan Imam Suharto (Olam Cocoa) berfoto bersama di depan ruang pameran Cocoa Sustainability Partnership yang berpartisipasi selama kegiatan Hari Perkebunan Nasional Ke-61 berlangsung. (CSP/AH)
memelihara dan memperbaiki fungsi lingkungan dan fungsi sosial. “Kondisi sebenarnya perkebunan Indonesia belumlah sempurna. Perkebunan Indonesia dengan potensi yang begitu besar tetapi kita belum mampu mengantarkan perkebunan untuk mencapai setidaknya yang optimal dari sisi produktivitas,” tutur Ir. Bambang, MM..
Disampaikan pula bahwa pada 2017 lalu, jika dilihat dari sumbangan terhadap PDB pertanian, komoditas perkebunan berkontribusi sebesar 34 persen atau senilai Rp 471,31 triliun dan angka ini lebih besar dari kontribusi minyak dan gas terhadap PDB Nasional yang hanya sebesar Rp 390,48 triliun rupiah. Berdasarkan catatan sampai akhir September 2018 ini sektor perkebunan telah memberikan kontribusi Rp 313 Triliun. Selain itu
komoditas perkebunan berperan dalam penyedia lapangan pekerjaan dengan keterlibatan 22,69 juta jiwa tenaga kerja dan pekebun. “Perkebunan Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Tetapi, kita belum mampu mengantarkan yang optimal dari sisi produktivitas. Produktivitas masih rendah dan ini menjadi tantangan bagi kita semua,” kata Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
35
(1). Mohammad Khomeiny (Mars), Imam Suharto (Olam Cocoa), Wahyu Wibowo (Direktur Eksekutif CSP), Dr. Agung Wahyu Susilo, SP, MP. (Puslitkoka), dan Andi Muhammad Amin (CSP) berfoto bersama di depan ruang pameran Cocoa Sustainability Partnership yang berpartisipasi selama kegiatan Hari Perkebunan Nasional Ke-61 berlangsung. (2). Para pengunjung yang ramai mengunjungi ruang pameran Cocoa Sustainability Partnership selama kegiatan berlangsung. (3). Peni Agustijanto dari Rikolto Indonesia dan Jeremy Hicks dari Bridgewater International memaparkan hasil penelitian tentang manfaat sertifikasi komoditas kakao dan kopi kepada para peserta lokakarya yang diselenggarakan selama kegiatan Hari Perkebunan Nasional Ke-61 di Bandung, Jawa Barat. (CSP/AH)
36
COKELAT
S eptember - D es em ber 201 8
Republik Indonesia. Misalnya saja untuk komoditas kakao. Rata-rata pencapaiannya hanya 500-600 kilogram per hektarenya. Namun, jika kita bisa mengawal dengan teknologi dan ilmu, maka bukan tidak mungkin hasil 3-4 ton per hektarenya bisa dicapai. Partisipasi Cocoa Sustainability Partnership beserta anggotanya dalam kegiatan Hari Perkebunan Nasional ke-61 tahun 2018 ini pun cukup menarik perhatian. Selama
pameran berlangsung, di ruang pamer platform nasional untuk pengembangan kakao berkelanjutan di Indonesia ini membagikan minuman cokelat kepada para pengunjung. Selain itu, CSP juga memberikan beberapa produk makanan cokelat kepada pengunjung yang berhasil menjawab beberapa pertanyaan dari CSP menyangkut pengembangan kakao berkelanjutan di Indonesia. (CSP/AH)
Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
37
KANTOR EKSEKUTIF SETELAH melalui proses panjang, Kementerian Pertanian merampungkan Kerangka Kerja Nasional Indonesia untuk Bidang Pengelolaan Budi Daya Kakao Berkelanjutan. Kerangka tersebut adalah paduan dari Kurikulum Nasional dan Modul Pelatihan Budi Daya Berkelanjutan dan Pasca Panen Kakao. Kedua dokumen nasional tersebut adalah upaya Cocoa Sustainability Partnership beserta angotanya dengan bekerja sama Pusat Pelatihan Pertanian, Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP), Kementerian Pertanian, Republik Indonesia untuk meningkatkan produksi dan kualitas kakao Indonesia dengan cara mengembangkan sumber daya manusia yang bergelut di bidang perkebunan kakao. "Sertifikasi ini sudah menjadi tuntutan zaman. Untuk menghasilkan produk kakao yang berkualitas mau tidak mau dibutuhkan SDM yang berkompeten dan bersertifikat," kata Direktur Politeknik Pembangunan Pertanian Yogyakarta Magelang, Dr. Rajiman, SP., MP. dalam sambutannya di acara Konsensus KKNI Bidang Pengelolaan Budi Daya Berkelanjutan di Yogyakarta, tanggal 23 November 2018 silam. Dalam konsensus tersebut, beliau juga menambahkan bahwa proses sertifikasi perlu segera dimulai untuk memastikan kompetensi SDM kakao. Dengan sumber daya manusia yang berkompeten dan terstandarisasi, produk kakao nasional juga akan secara otomatis memiliki standar global. Lebih lanjut lagi diutarakan oleh Direktur Politeknik Pembangunan Pertanian Yogyakarta Magelang bahwa keahlian dan profesionalisme kerja juga akan mendapat pengakuan baik secara nasional maupun internasional. "Jika insan perkebunan kakao sudah melalui proses sertifikasi dan standarisasi, maka hasil produksinya juga akan terstandar. Sehingga tidak akan ada lagi keluhan dan sorotan tentang sumber daya manusia di bidang perkakaoan ini," ungkapnya. Dan ini adalah upaya untuk menjadikan produk kakao nasional yang berkualitas dan terstandar sehingga mampu bersaing 38
COKELAT
S eptember - D es em ber 201 8
Konsensus KKNI Bidang Pengelolaan Budi Daya Kakao Berkelanjutan:
PENINGKATAN PRODUKSI DAN KUALITAS KAKAO DENGAN PENGEMBANGAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA Para peserta konsensus Kerangka Kerja Nasional Indonesia untuk Bidang Pengelolaan Budi Daya Kakao Berkelanjutan berfoto bersama dalam kegiatan serupa yang dilaksanakan di Hotel Grand Inna Malioboro, Yogyakarta, 22-23 November 2018. (CSP/AH)
dengan produk kakao dari negara lain di pasar internasional. Dalam kesempatan yang sama, Direktur Lembaga Sertifikasi Profesi Perkebunan & Hortikultura Indonesia (LSP-HI), Ir. Darmansyah Basyaruddin, M.Sc., mengatakan bahwa KKNI yang disusun Kementan bersama para pemangku kepentingan di sektor kakao berkelanjutan Indonesia ini akan dijadikan sebagai acuan utama untuk melakukan pengujian, pelatihan, dan pendayagunaan sumber daya manusia yang nantinya akan bergerak baik di dunia usaha, industri, serta lembaga sertifikasi yang berkaitan dengan perkebunan kakao. Dan dengan demikian, maka industri kakao Indonesia akan berkelanjutan sesuai dengan harapan selama ini. Direktur Bina Standar Kompetensi dan Pelatihan Kerja, Kementerian Tenaga Kerja, Drs. Soekiyo, M.M.Pd., mendukung penuh upaya Kementan untuk segera merealisasikan KKNI Bidang Pengelolaan Budidaya Kakao Berkelanjutan. KKNI yang sedang disusun Kementan ini akan digunakan
lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk memberikan pelatihan. "Setelah proses konsensus ini, maka Kementerian Tenaga Kerja akan memberikan pelatihan teknisnya, dan KKNI ini juga yang akan dijadikan sebagai rujukan pelatihannya," kata Drs. Soekiyo, M.M.Pd.. Bersama dengan Kurikulum Nasional dan Modul Pelatihan Budi Daya Berkelanjutan dan Pasca Panen Kakao, KKNI Bidang Pengelolaan Budi Daya Kakao Berkelanjutan ini akan digunakan sebagai rujukan utama untuk membangun sistem pendidikan dan pelatihan vokasi, dan sistem sertifikasi kompetensi di sektor perkebunan kakao di Indonesia. (CSP/AH)
KANTOR EKSEKUTIF SEBAGAI pengembangan dari penandatanganan nota kesepahaman antara Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) dan PISAgro, Pusat Pendidikan Pertanian melakukan diskusi kelompok terarah di Politeknik Pembangunan Pertanian, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan tanggal 18 Desember 2018 silam. Dalam acara tersebut, Cocoa Sustainability Partnership diundang untuk memberikan kuliah umum menyangkut kondisi dan tantangan di sektor kakao berkelanjutan di Indonesia. Dalam sambutan pembukaannya, Direktur Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Gowa, Dr. Ir. Syaifuddin, M.P., menyampaikan bahwa institusi yang dipimpinnya tersebut sudah merencanakan beberapa program kerja. Misalnya saja 19 item kegiatan yang segera harus dilaksanakan, khususnya kegiatan yang berhubungan kerja sama dengan dunia usaha dan industri. "Selain itu, Polbangtan Gowa juga sudah melakukan inisiatif mengintegrasikan pertanian dengan peternakan, hortikultura, dan muatan lokal yang dianggap berhubungan. Di masa mendatang juga, lahanlahan milik kampus politeknik akan dimanfaatkan sebagai lokasi pengembangan penanaman kakao," kata Dr. Ir. Syaifuddin, M.P.. Di kesempatan lainnya, Dr. Idha Widi Arsanti, SP., MP. selaku Kepala Pusat Pendidikan Pertanian, BPPSDMP, Kementerian Pertanian Republik Indonesia, menyampaikan bahwa salah satu poin dalam nota kesepahaman tersebut adalah penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Pola pembelajaran yang dikembangkan adalah system teaching factory yang bisa dilaksanakan di dalam kampus maupun di industri. "Sistem kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan dunia usaha dan industri, para pelaku dari sektor industri akan menjadi tenaga praktisi di Polbangtan yang tersebar di Indonesia. Selain itu, dunia usaha dan industri juga akan dijadikan sebagai tempat magang baik bagi para mahasiswa maupun
dosen," ungkap Kepala Pusat Pendidikan Pertanian dalam pengarahannya. Dalam nota kesepahaman tersebut, juga dibahas tentang sertifikasi dosen dan mahasiswa yang terlibat di sektor perkebunan kakao, dan penyerapan lulusan Polbangtan di dunia usaha dan industri. "Dari hasil diskusi terarah ini, diharapkan bahwa pihak CSP dan anggotanya di sektor usaha dan industri mampu memberikan masukan dan pertimbangan tentang penyesuaian kurikulum yang telah ada dengan kebutuhan pihak dunia usaha dan industri," kata Dr. Idha Widi Arsanti, SP., MP. dalam sambutannya. Ditambahkan pula bahwa Kementerian Pertanian berperan dalam Proyek YES (Youth Extension Service) yang bertujuan untuk mendorong generasi muda agar terlibat aktif di sektor pertanian dan perkebunan. Sebagai narasumber dalam kegiatan ini, Cocoa Sustainability Partnership yang diwakili oleh Andi Muhammad Amin dan Suharman Sumpala selaku Manajer Program SCPP Swisscontact, menyampaikan seperti apa platform nasional ini dan kegiatan yang dilaksanakannya bersama anggotanya di sektor kakao Indonesia. Selain itu, penggambaran umum tentang kondisi sektor kakao dewasa ini dan arah pengembangannya. "Menyikapi penurunan produksi kakao dewasa ini, CSP melakukan beberapa koordinasi penting dengan pihak pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian Republik Indonesia, dalam hal penyusunan Kurikulum Nasional dan Modul Pelatihan Budi Daya Berkelanjutan dan Pasca Panen Kakao. Dan untuk mempersiapkan tenaga terampil dan bersertifikasi, CSP beserta anggotanya telah merampungkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Pengelolaan Budi Daya Kakao Berkelanjutan. Dua pencapaian penting tersebut, dikoordinasikan bersama dengan Pusat Pelatihan Pertanian, BPPSDMP, Kementerian Pertanian Republik Indonesia," kata Andi Muhammad Amin. Selain itu, kedua dokumen nasional
PROGRAM KERJA SAMA PENDIDIKAN VOKASI DENGAN CSP Suharman Sumpala, Manajer Program SCPP Swisscontact, menyampaikan pandangan umum tentang program kakao berkelanjutan di Indonesia. Pihak Cocoa Sustainability Partnership beserta perwakilan anggotanya diundang sebagai narasumber dalam diskusi kelompok terarah yang dilaksanakan Pusat Pendidikan Pertanian, BPPSDMP, Kementerian Pertanian Republik Indonesia, di Polbangtan, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, 18 Desember 2018 silam. (CSP)
tersebut berfungsi sebagai rujukan utama dalam perancangan sistem pendidikan vokasi dan sertifikasi profesi di sektor perkebunan kakao untuk mempersiapkan sumber daya manusia perkebunan yang bersertifikasi dan berstandar global. Dalam kegiatan serupa, juga dilaksanakan sesi tanya jawab antara peserta dengan para narasumber menyangkut pengembangan sektor kakao berkelanjutan di Indonesia, dan lebih penting adalah bagaimana mempersiapkan sumber daya manusia perkebunan yang bersertifikasi dan berstandar global. Pelaksanaan diskusi kelompok terarah ini diharapkan mampu memberikan pemandangan umum tentang bagaimana penyesuaian kurikulum pendidikan vokasi dengan kebutuhan dunia usaha dan industri di kemudian hari. Posisi Cocoa Sustainability Partnership beserta anggota dan para pemangku kepentingan di sektor kakao berkelanjutan sangatlah untuk menjembatani proses-proses kerja sama dan kepentingan antara institusi pelaksana pendidikan dengan sektor usaha dan industri di kemudian hari. (CSP/AH)
Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
39
INTRODUCTION
THE SYNERGISTIC AND COORDINATION OF SUSTAINABLE COCOA SECTOR STAKEHOLDERS IN INDONESIA
DURING the 2018, Cocoa Sustainability Partnership, with its members and other stakeholders, had set some significant milestones within the development of sustainable cocoa sector in Indonesia. These historical points were resulted from the joint actions and coordination which had been developed in this national platform. It was not only at these points, Cocoa Sustainability Partnership established synergistic and coordination with governments, both of national and local, in harmonizing these efforts with the implementations of governments policies. Some of the significant milestones were the launching of National Curriculum and Training Modules for Sustainable Cocoa Cultivation and Post Harvest which was created with the cooperation of Center for Agricultural Training, Center for Counseling and Human Resources Development of Agriculture, Ministry of Agriculture, Republic of Indonesia, then followed by the National Qualification Framework for Sustainable Cocoa Cultivation Sector. Both of these national documents would be applied as main references in developing the curriculum and profession certification in the sector of sustainable cocoa cultivation and post harvest. Furthermore, Cocoa Sustainability Partnership had been referred as partner of Center for Agricultural Education, Center for Counseling and Human Resources Development of Agriculture, Ministry of Agriculture, Republic of Indonesia in defining the national curriculum as core reference that will be applied in the Agricultural Development Polytechnic in some parts of Indonesia. In order to provide decent access to the farmers towards certified and affordable planting materials, Cocoa Sustainability Partnership also had initiated the development of budwood garden in several places in Indonesia, and intensively established collaboration with the Provincial Government of South Sulawesi in constructing the budwood garden in this region. As the initial part, Cocoa Sustainability Partnership with its members had engaged into some significant meetings and discussions with this local government in initiating the development of budwood garden and the legal requirements. In other hands, in order to ensure the availability and affordability of cocoa specific fertilizers for the farmers, Cocoa Sustainability Partnership and its members had created a fertilizer recommendation for cocoa plantations, and it was applied as references for the fertilizer companies in producing the fertilizer as the recommendation. It was not only at that point, Cocoa Sustainability Partnership also will initiate an initiative in conducting application trial for the cocoa specific fertilizers in some areas where the members of this national platform are working. In its development phases, Cocoa Sustainability Partnership also provides wide opportunities to others stakeholders in implementing the coordination, communication, and cooperation in the sector of sustainable cocoa in Indonesia. And the objective of these communal efforts is to improve the welfare of cocoa farmers and its communities through the improvement of cocoa plantation productivity. Happy New Year 2019!
40
COKELAT
S eptember - D ecem ber 201 8
OPINION
Achieving Cocoa Production of 2 Kilograms per Tree:
PRODUCTIVITY, LEADERSHIP, AND COCOA PRODUCTION SYSTEM Lili Dahliani & Arief Wicaksono ACHIEVING the target of cocoa productivity can be done in two main ways, namely by maximizing efforts towards achieving productivity in accordance with the potential, and minimizing the adverse effects that can reduce this potential. This can be done by applying cultivation activities in accordance with GAP and the support of SOP that is consistently carried out and the allignment of perceptions between company management and employees who execute in the field. In addition to that, a great leader is needed to play the supervision role. A leader needs to understand that the production system on cocoa plantations is an open system, meaning that it is determined by natural conditions. Nature is an external factor that is not controllable and sometimes difficult to manage if we do not have the related knowledge and technology, or at least to suppress it to a minimum, negative impacts that disrupt the growth and development of cocoa, thus hampering the achievement of productivity according to its potential. The application of knowledge and technology must also continue to foster local knowledge and potential possessed in each location. The achievement in productivity over the past 10 years shows a significant decline with an average productivity of around 500 - 750 kilograms per hectare. And the figure is still far from the expectations that have been dreamed of so far, the target of 2,000 kilograms per hectare, or 2 kilograms per tree with plant population of 1,000 trees per hectare. In general, the factors that determine the success of cocoa plants are (1). land and climate; (2). use of superior cocoa clones; (3). good land preparation and nursery; (4). plant maintenance, and; (5). pest and disease control. Productive plants even under minimum requirements fulfillment for land, climate, and plant clone (determining factors number 1, 2 and 3) will still produce with minimum impact on productivity loss. However, the decline in
production and productivity of cocoa yields will be more influenced by crop maintenance patterns and control of plant pests and diseases. Cocoa as a plant has the physiology of flowering throughout the month in one year, with the main flowering patterns in June/July and November/December. As for the pod formation, will take about five months since the main flowering occurs, resulting in 2 main harvests a year. Therefore, physiological health of plants is very influential in the process of flowering. Physiologically, plant health is characterized by compact branching (balanced habitus, sufficient aeration), and sufficient number of healthy leaves (around 20 leaves to support one fruit). To produce one kilogram of dried cocoa beans, it takes about 30 large ready-to-harvest cocoa (pod). If the target is to produce two kilograms of dry cocoa per tree, then about 60 pods must be harvested throughout the year. The big ready-to-harvest pod, is formed from flowers into small fruit and develops for five months. Physiologically, the percentage of success of small fruit to develop into ready-to-harvest pod is around 20%, equivalent to 300 small fruits per tree throughout the year. During the development process, the fruit is very vulnerable, plants need to be treated to the maximum by maintaining a balance of nutrients and minimizing the disruption of plant diseases. In maintaining the health of the cocoa plants, the first important maintenance to carry out is pruning the cocoa
* Lili Dahliani, Lecturer on Program Study of Plantation Technology and Production Management, Vocational School of Bogor Agriculture Institute, and Accessor of Plantation Competency, Vocational Profession Certification Organization, Bogor Agriculture Institute. * Arief Wicaksono, Manager of National State Plantation, PT. Perkebunan Nusantara XII, and Accessor of Plantation Competency, Vocational Profession Certification Organization, Ministry of Agriculture, Republic of Indonesia.
Se pte mb e r - De c e mb e r 20 18
COKELAT
41
tree, secondly is to prune the shade trees, and thirdly is applying fertilization. These three main activities are carried out in timely manner in accordance with the plant physiology from the formation phase of young leaves, to the phase when the leaves turn old and fall. It is important for the activities to be done in such ways that it will not interfere with the flowering process and avoid the reduction in the potential percentage of pod formation. Production pruning (major pruning) in cocoa plants is done twice, namely in the first semester (April) and second semester (October). In between, maintenance pruning (minor pruning) can be done twice in one month. Pruning is extremely important to maintain the continuity of flower formation, small fruit, keeping the percentage of successful pod high, and maintaining the aeration (regulating humidity) of the plants.With the importance of maintenance pruning in mind, it should be considered mandatory and to be carried out consistently with sufficient monitoring. Pest and disease management also makes one of the main determinants of plant health and the percentage of pod ready for harvest. Since cocoa is flowering and fruiting throughout the month in a year, making it vulnerable to being used as a food source and host for the development of pests and diseases specific to cocoa. Therefore, it is very important to have a good pests and diseases management in place to control their development. One effective way of controlling pests is to implement an early warning system (EWS) that is carried out to determine the development levels of pest and disease attacks on cocoa plants. To effectively and efficiently implement this, the support of a good monitoring system and reliable human resources is required. Nevertheless, this activity is often ignored by farmers and plantation managers in the field. Cost is often the main reason along with the competition in the business of cocoa cultivation management is usually used as the basis for not implementing these activities. The man to land approach combined with the cost allocation strategy based on priority scale directly related to production (overall cost leadership) by fulfilling the ratio of implementation staff according to the standard applied, will result in the achievement of the productivity of two kilograms per tree. This combination of approaches and strategies can also be applied without tree maintenance cost cutting in controlling the overall cost.
42
COKELAT
S eptember - D ecem ber 201 8
MAIN REPORT
National Cocoa Day 2018:
IMPROVEMENT OF INDONESIAN COCOA-CHOCOLATE PRODUCTION AND PRODUCTIVITY The Director General of Estate Crops, Ministry of Agriculture, Republic of Indonesia, Ir. Bambang, MM., officially opens the activities in the celebration of National Cocoa Day 2018 which is conducted in Mall of Taman Anggrek, West Jakarta, October 25, 2018. (CSP/AH)
AS THE previous years, some correlated ministries and stakeholders in Indonesian sustainable cocoa sector gathered together during the celebration of National Cocoa Day 2018 in the mid of October 2018. This annual event of cocoa and chocolate enthusiasts is celebrated with exhibitions of upstream and downstream actors, various contests and competitions, cooking demo, and workshop. As for this year, the activities are centered at Mall of Taman Anggrek, West Jakarta, from October 25th to 28th, 2018. This event is conducted together with the Coordinating Ministry of Economic Affairs, Ministry of Industry, Ministry of Agriculture, and Ministry of Trade by inviting active participation of all stakeholders in cocoa sector, and entitled as “My Chocolate, My Culture, My Indonesia.� The expected output of the event is the improvement of Indonesian cocoa
and chocolate production and productivity. In this opening speech, the Director of Beverages, Tobacco, Refreshing Materials, Directorate General of Agro Industry, Ministry of Industry, Ir. Abdul Rochim, M.Si., delivers that the cocoa sector has played significant roles in the national economic. For the current period, cocoa has been referred as one of priorities in the development of procession industries in order to improve the production as food, beverages, cosmetics, and pharmacy. "Due to lack of raw materials supplies, there are only 11 industries remain for cocoa procession activities. Even in fulfilling the demands, the industries must import the raw materials. During 2017, the import rate of cocoa was 226 thousand tonnes, and it will be increased for this year," as he mentions.
Se pte mb e r - De c e mb e r 20 18
COKELAT
43
Foto: Armin Hari
The high level staffs of some ministries who contribute to the celebration of National Cocoa Day 2018 and accompanied by the representatives of cocoa and chocolate association, representatives of chocolate industries take photo after the opening ceremony of this annual event. (CSP/AH)
In the similar occasion, the Director General of Estate Crop, Ministry of Agriculture, Ir. Bambang, MM., expresses his regards and appreciations for the implementation of this exhibition as part of National Cocoa Day 2018 celebration. It is expected that this activity will provide spirits and as a reminder for us for the significant position of our cocoa plantation sector for Indonesia. "Nowadays, Indonesia is the third largest cocoa production in the world, and it is possible to be the number one, if the cocoa sector is well managed for its cultivation activities. The celebration of this National Cocoa
44
COKELAT
S eptember - D ecem ber 201 8
Day, furthermore, is also aimed to stimulate the national consumption rate for chocolate products which is relatively low," said Ir. Bambang, MM. During the celebration of this National Cocoa Day 2018, the contest of high production cocoa plantation is hold by the Directorate General of Estate Crop, Ministry of Agriculture, Indonesian Cocoa Board, and Indonesian Coffee and Cocoa Research Institution. After conducting series of selection and scoring phases, it is announced that the farmer from Saiyo Salayo Farmer Group, Nagari Salayo, Solok
District, West Sumatera, i.e. Busron Bahar is awarded as the winner of most productive cocoa plantation. H. Santar of Bukit Subur Farmer Group, Riso Village, Tapango Sub-district, Polewali Mandar District, West Sulawesi as the second winner, and Burhanuddin of LEM Sejahtera Horodopi Farmer Group, Horodopi Village, Benua Sub-district, South Konawe District, Southeast Sulawesi as the third winner. And the award for the nominator is awarded to Untung Junaidi of Karya Mandiri Farmer Group, Tanjung Ratu Village, Katibung Sub-district, South Lampung District, Lampung.
Foto: Armin Hari
Ir. Bambang, MM., the Director General of Estate Crops, Ministry of Agriculture, Republic of Indonesia, delivers his speech during the opening ceremony of National Cocoa Day 2018 which is conducted for three days from October 25 to 28, 2018, in Mall of Taman Anggrek, West Jakarta. (CSP/AH)
“The contest of the most productive cocoa plantation is conducted in the center of cocoa production areas in Indonesia is aimed to provide motivation to the smallholder cocoa farmers who had increased its production," as Ir. Bambang, MM., the Director of Estate Crop, Ministry of Agriculture, said when he awarded the winners and nominees for the contest of high production cocoa plantation. It is also expressed that the commitment of private parties is highly expected to increase the cocoa productivity in term of establishing and strengthening the partnerships. It is implies that the
width of Indonesian cocoa plantation areas are 96% run by smallholder farmers, and these cocoa farmers need facilitation, supervision, and assistance from multi stakeholders. This National Cocoa Day 2018 celebration, a workshop is also conducted by presenting Ir. Bambang, MM. as the Director General of Estate Crops, Ministry of Agriculture, Drs. H. Anwar Adnan Saleh, former Governor of West Sulawesi in 2006-2016, Ir. Achmad Manggabarani, MM., as plantation experts and chairperson of Sustainable Strategic Plantation Development
Forum (Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan/ FP2SB), and Fay Fay Choo as the Asia Director For Cocoa Sustainable Sourcing, Mars Incorporated. The discussion which is entitled as “Role of Private Sector in Supporting the Improvement of National Cocoa Production” is moderated by Dr. Ir. Soetanto Abdoellah, SU., as the chairperson of Indonesian Cocoa Board. The discussion among participants and resource persons are about the general overview of cocoa sector condition nationally, and the expected development.
Se pte mb e r - De c e mb e r 20 18
COKELAT
45
The farmers who win the contest of high cocoa production field take photo with Ir. Bambang, MM., the Director General of Estate Crops, Ministry of Agriculture, Republic of Indonesia, Ir. H. Muhammad Anas, the Director of Seed Propagation, and Dr. Ir. Soetanto Abdoellah, the Chairman of Indonesian Cocoa Board. The contest is conducted together with the Directorate General of Estate Crops, Ministry of Agriculture, Republic of Indonesia, Indonesian Cocoa Board, and Indonesian Cocoa and Coffee Research Institute as the part of National Cocoa Day 2018. (CSP/AH)
From the active discussion during the workshop among participants and resource persons, the idea to provide more spaces for the private sector in implementing their interventions in order to improve the cocoa production and productivity is arisen. For instance, the government shall stresses out the private sector to allocate their resources in developing the cocoa plantation within the area of they are working. “There should be a regulation that there is a minimal percentage of plantation land that must be developed by the private sector within the areas. By doing so, the private sector will contribute maximally to the efforts in improving the national cocoa production and productivity,” said
46
COKELAT
S eptember - D ecem ber 201 8
Drs. H. Anwar Adnan Saleh who is the pioneer of National Cocoa Movement (Gerakan Nasional Kakao) few years ago. It is also mentioned that the government also should ensure and guarantee the private sectors in implementing these efforts in improving the cocoa production and productivity. It is not merely to obligate them to develop the high productivity cocoa field. And the synergy among stakeholders in Indonesian sustainable cocoa sector will be established then. After the rewarding ceremony to the farmers with high productivity cocoa field, the Director General of Estate Crops, Ministry of Agriculture, Republic of Indonesia, asks one of the
attending local government authorities in West Sumatera Province for its readiness and willingness to host the upcoming National Cocoa Day in the next year. “For several years, we tend to celebrate the National Cocoa Day in the shopping malls. How do you think if in the next year, we will conduct the event in the cocoa filed? Bringing the spirits of cocoa production and productivity improvement directly to the cocoa production centers in Indonesia,” as challenged by Ir. Bambang, MM. and it is applauded gloriously as mark of agreement from all participants and visitors of National Cocoa Day 2018. (CSP/AH)
Fay Fay Choo, Asia Director for Cocoa Sustainable Sourcing, Mars Incorporated, as one of the resource persons in a workshop which is conducted as part of National Cocoa Day 2018 entitled as Role of Private Sector in Supporting the Improvement of National Cocoa Production. (CSP/AH)
Se pte mb e r - De c e mb e r 20 18
COKELAT
47
MAIN REPORT
The Director General of Estate Crops, Ministry of Agriculture, Ir. Bambang, MM., the Regent of Jember District, dr. Hj. Faida, MMR., and the General Director of PT. Riset Perkebunan Nusantara, Dr. Teguh Wahyudi, M.Eng., with other guests are inaugurating the Cocoa Field Day 2018 in ICCRI, Jember, East Java, last November 2018. (CSP/AH)
Cocoa Field Day 2018:
ICCRI LAUNCHES A HIGHLY YIELDING COCOA CLONE 48
COKELAT
S eptember - D ecem ber 201 8
THE INDONESIAN Coffee and Cocoa Research Institute (ICCRI) located in Jember District, East Java Province held a biennial event that facilitated a meeting for all practitioners and stakeholders in cocoa sector, referred to as the Cocoa Field Day. This event did not only take place in the coffee and cocoa research institute, but had also been previously carried out in several other areas in Indonesia. The 2018 Field Day was attended by a number of officials, such as the Director General of Estate Crops, Indonesian Ministry of Agriculture, Ir. Bambang Wahyu Dwi Antoro, Mm., the General Director of PT. Riset Perkebunan Nusantara, who also assumed the temporary role of Director of Indonesian Coffee and Cocoa Reserch Institute, Dr. Teguh Wahyudi, M.Eng., as well as some Head of Districts or Regions in Indonesia. The event was hosted by the Regent of Jember District, dr. Hj. Faida, MMR. In her opening speech, the Regent of Jember District stated that so far Jember had only been known as the host of an international fashion event. Not many people were aware of other things about Jember especially related to its rapid growing plantation. "We even have a picture of tobacco leave as the centerpiece of our official logo. This shows that the main potential of this District is actually its plantation commodities," she remarked. Furthermore, she added that aside from tobacco, coffee and cocoa were also catching up as the rapid growing commodities. This event was also well appreciated by the Regent of Jember District as a media of coordinating for regions that were developing cocoa plantations. She aspired that such event was not only held bienally but also anually. "To all Head of Districts attending this event today, we are family not by blood, but bonded by our shared interest in cocoa, as each of us here is striving to develop cocoa plantations," she remarked.
Se pte mb e r - De c e mb e r 20 18
COKELAT
49
The Director General of Estate Crops, Ministry of Agriculture, Ir. Bambang, MM., stresses out the significant contribution of plantation in supporting the national economy. He delivers the messages during the his remarks in the opening ceremony of Cocoa Field Day 2018 in ICCRI, Jember, East Java, last November 27, 2018. (CSP/AH)
In this opportunity, the Director General of Estate Crops, Ir. Bambang Wahyu Dwi Antoro, MM., said that the main challenge faced by cocoa farmers was currently how to improve their yields. And through the development of a highyielding variety that has better resistance against pests and diseases as well as high productivity developed by the Coffee and Cocoa Research Institute, it was expected to boost cocoa production in Indonesia. "This Field Day is expected to act as a starting point in the efforts of improving cocoa production nationally, and I'm looking further for Coffee and Cocoa Research Institute as the practitioner in research and developing of seeds to be able to contribute more," says Ir. Bambang Wahyu Dwi Antoro, MM. The Director General of Estate Crop, Indonesian Ministry of Agriculture also said currently the Government was determined to bring back the glory of cocoa in Indonesia. It was done through revitalization of cocoa plants, and providing opportunity for cocoa farmers to utilize government policies regarding social forestry that had previously been socialized by the government. "In order to
50
COKELAT
S eptember - D ecem ber 201 8
improve and revitalize cocoa plants, the farmers need highyielding cocoa seeds. This was responded by the ICCRI by launching a new high-yielding variety of cocoa called ICCRI 09 that has high productivity, strong resistance against pests and diseases, and carries stronger taste and aroma," he continued. Meanwhile, the General Director of PT. Riset Perkebunan Nusantara (RPN) , Dr. Teguh Wahyudi, M.Eng., said that the 2018 Field Day was attended by approximately 450 participants, coming from several cocoa producing regions in Indonesia. This event was also meant to serve as media to disseminate advanced technology and as means of communication among the cocoa stakeholders simultaneously. "We expect that through this Field Day, we can find solutions for many issues, for example in budgeting, seeds development, technical problems in cocoa plantations, and a thorough upstream to downstream management, including empowerment of micro, small and medium scale industries (UMKM) that act as the downstream industry in cocoa," he said.
(1). The General Director of PT. Riset Perkebunan Nusantara, Dr. Teguh Wahyudi, M.Eng., hands symbolically the cocoa clone of ICCRI 09 to the farmers representative. (2). The significant guests take photo after the opening ceremony of this biennial activity in ICCRI, Jember, East Java. (3). The Regentof Jember District, dr. Hj. Faida, MMR., presents the chocolate products as one of major products of the district. (4). Dr. Agung Wahyu Susilo, SP, MP. of ICCRI explains the ICCRI activities to the guests during the visit to the exhibition booths as part of the activities of Cocoa Field Day 2018. (CSP/AH)
Moreover, some activities were carried out as parts of the Field Day, such as exhibitions presented by UMKMs that run businesses in cocoa-based food and beverages, government institutions, industries, and research institutions. Following the establishment of the biennial meeting, the ICCRI had also conducted some visits to several cocoa plantations to show the result of cocoa review and development that had been done so far.
the attending participants and guests.
(CSP/AH)
At the end of her speech, the Regent of Jember District extended her wish that similar events would be held in the future, and she called upon all the stakeholders in cocoa field to sustain the efforts. "If such Field Day is only held biennially, I am taking this opportunity to challenge the ICCRI to hold it annually. And the implementation of such events can be coordinated with the Regional Government. For example, this year's Field Day is funded by the ICCRI, and next year's event will be funded by the Regional Government of Jember," she said, which was applauded by
Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
51
EXECUTIVE OFFICE
CSP General Assembly Meeting:
NURTURING THE FUTURE GENERATION OF INDONESIAN COCOA SECTOR The members representatives of Cocoa Sustainability Partnership and other sustainable cocoa stakeholders who are participating in CSP General Assembly Meeting on August 11, 2018, in Makassar, South Sulawesi. The theme as the main discussion was how to norture the future generation of Indonesian cocoa sector. (CSP/AH)
AT THE tahun end of 2018, members of Cocoa Sustainability Partnership (CSP) and other sustainable cocoa sector stakeholders in Indonesia, organized a general assembly. It was a regular agenda held three times a year, i.e. in April, August and December. The meeting, which was held at Melia Hotel, Makassar, South Sulawesi, was attended by 28 participants from CSP members and other stakeholders who are parts of the sustainable cocoa development platform in Indonesia. In addition, the South Sulawesi Provincial Government also attended and provided very valuable contributions to the discussion. In his speech, the CSP’s Supervisory Board Chairperson, Chandra Panjiwibowo, said that CSP had met Ir. Erna
52
COKELAT
S eptember - D ecem ber 201 8
Rosdiana, M.Sc., Director of Social Forestry Areas Preparation, Directorate General of Social Forestry and Environmental Partnerships, Ministry of Environment and Forestry (MoEF). In that meeting, the director mentioned that the government through the MoEF is aware that there is still land use in forest areas for cocoa plantations. Yet if these activities have been carried out by cocoa farmers for a long time, the directorate can help issuing the social forestry use permit. "To discuss this social forestry matter, CSP organized a focus group discussion involving the Coordinating Ministry for Economic Affairs, Ministry of Agriculture, Ministry of Environment and Forestry, and related Plantation Offices. The discussion was expected to gather knowledge and overview on social forestry," said Chandra Panjiwibowo.
Chandra Panjiwibowo of UTZ/RA as the Chairperson of Cocoa Sustainability Partnership Supervisory Board delivers his welcoming remarks during the CSP General Assembly Meeting. (CSP/AH)
Wahyu Wibowo, Executive Director of explains the progress of CSP executive office and activities planning for the upcoming year. (CSP/AH)
Agung Dwiastuti of Kalimajari Foundation is elected as the Chairperson of CSP General Assembly and replaces Nuzul Qudri of Sahabat Cipta who ends up his periodic leadership. (CSP/AH)
Se pte mb e r - De c e mb e r 20 18
COKELAT
53
Dr. Ir. Abd. Haris Bahrun, M.Si., as members of the South Sulawesi Development Acceleration Team (TP2D), and Prof. Dr. Ir. Ade Rosmana, M.Sc., from the Faculty of Agriculture, Hasanuddin University, present their appreciation to CSP and its members who had afforded and provided significant recommendation in the development of Indonesian sustainable cocoa sector. It is also delivered that the roles of CSP in supporting the policy direction of cocoa development in South Sulawesi along with the Provincial Government of South Sulawesi. (CSP/AH)
In the same occasion, the CSP Supervisory Board Chairperson also mentioned that CSP members have anticipated the decline of Indonesian cocoa production by formulating performance measures in assessing the progress. The performance measurement will be applied for issues regarding the supply of cocoa specific fertilizers and certified planting materials for cocoa farmers in the field. The South Sulawesi Provincial Plantation Office, which attended and actively participated in the discussion, also acknowledged that cocoa production in Indonesia, especially in South Sulawesi, is experiencing a productivity decline. To tackle this issue, the provincial government is introducing an intensification program in areas with strong potential for cocoa farming. "The South Sulawesi Governor, Prof. Dr. Ir. HM Nurdin Abdullah, M.Agr., is committed to bring back the glory of cocoa in the province. Our main program is cooperating with several parties, including CSP, to implement a program on rejuvenating and increasing the cocoa productivity," said the representative of Plantation Office. Dr. Ir. Abd. Haris Bahrun, M.Sc., a member of the South Sulawesi Development Acceleration Team (TP2D), was also reiterating the same point. He mentioned that the initiative to develop cocoa plants should be supported by the availability of rootstock planting materials suitable with the local geographical conditions. "We highly appreciate CSP and its members for their efforts and cooperation in realizing sustainable cocoa in South Sulawesi. One of the CSP achievements is the Cocoa National Curriculum and Cocoa Sustainable Cultivation and Post-harvest Training Module published by the Center of Agricultural Training, Directorate General of Agency for Agricultural Extension and Human Resources Development (BPPSDMP), Ministry of Agriculture. This curriculum and training module will be very useful for the Agricultural Development Polytechnic, as it will allow
54
COKELAT
S eptember - D ecem ber 201 8
them to focus on certain commodities," he said. Prof. Dr. Ir. Ade Rosmana, M.Sc., from the Faculty of Agriculture, Hasanuddin University, actively involved in CSP activities, stated that the South Sulawesi government will focus on some areas in Luwu, North Luwu, and East Luwu District for cocoa development. Some activities initiated by the local government are rejuvenation of cocoa plants, farmers facilitation, and building of parent garden as a source of rootstock seedlings. "The allocation of seeds is targeted to reach 15 million seeds per year from the provincial government assistance, and 6 million seeds under the assistance of the Directorate General of Plantation, which will be distributed in December 2018. For the development of parent garden, a study was carried out in a prospective site in Mario Village, Ponrang Sub-district, Luwu District, covering an area of 20 hectares," said Mr. Rosmana. Following the theme of this CSP’s General Assembly, some CSP members presented their initiatives in nurturing the future generations of cocoa sector. The presentations were expected to provide a comprehensive overview how the CSP members were striving to achieve the Indonesian cocoa sector sustainability through outreach programs to farmers in cocoa production centers. Ani Setiyoningrum (Barry Callebaut) talked about Forever Chocolate, Ardy Husny (Mars) presented on Cocoa for Generations, Imran Fakhroni (Mondelez) discussed the empowerment of cocoa farmers and communities through the Cocoa Life program, and Dinesh Babu Velumany (Olam Cocoa) talked about Olam Livelihood Charter. At the end of this meeting, the members also selected the Chairperson of the General Assembly. The tenure of Nuzul Qudri (Sahabat Cipta) has ended and after some discussions and voting, the members approved the appointment of Agung Widyastuti (Kalimajari Foundation) as
During this Cocoa Sustainabiliy Partnership General Assembly Meeting, the representatives of CSP members provide general overview of their programs and initiatives in establishing the future generations of sustainable cocoa sector in Indonesia. The presentation session is participated by Ardy Husni of Mars, Ani Setiyoningrum of Barry Callebaut, Imran Fakhroni of Mondelēz, and Dinesh Babu Velumany from Olam Cocoa. (CSP/AH)
the Chairperson for 2019-2020 period. For the incoming CSP General Assembly, the participants agreed to implement it on April 30, 2019 and the venue will be determined later. (CSP/AH)
Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
55
FARMER PROFILE PEGAGAN (Centella Asiatica) is a wild plant that grows on plantations, fields, roadsides, or in rice field dykes. This plant usually grows in tropical Asia, and spread in Southeast Asia including Indonesia, India, China, Japan and Australia. In Indonesia, this plant also known by other names such as the daun kaki kuda (horse's leg leaves) or antanan. For the tropical rural communities like Indonesia, this plant is often consumed as vegetables, and considered as efficacious traditional medicine for various diseases. As an herbal plant, pegagan is good for skin diseases, nerve pain, and improving the blood circulation. Pegagan is an annual herbaceous plant that grows like ivy plants and blooms throughout the year. It will thrive in a suitable soil and environment and it is a good ground cover. The popular type of pegagan commonly found is the red and green ones. The red pegagan is also known as antanan taman or antanan batu because it is found in rocky, dry and open areas. This red type grows like ivy plant and does not have stems, while the green one is often found in the rice field and between the grasses. The red pegagan likes to grow in a rather damp soil and open or somewhat shaded place. In addition, there are four other types of plants similar to pegagan or antanan, namely antanan kembang, antanan beurit, antanan kanan and water antanan. In Salak Malang Hamlet, Banjarharjo Village, Kalibawang Sub-district, Kulon Progo District, Yogyakarta Province, a group of women farmers are trying to mix the pegagan with chocolate processed products. The Women Farmer Group called Pawon Gendis has 40 members working to process the pegagan leaves into food. That morning, Dwi Martuti Rahayu was preparing processed pegagan chocolate products to be delivered to some small shops around the tourism objects in Yogyakarta. Together with some members of their group, they were busy packing pegagan chocolate in aluminum foil as the packaging. "Our
56
COKELAT
S eptember - D ecem ber 201 8
products are not only processed food, but also chocolate drinks. They are produced from our pawon (kitchen) which have been helping us to generate additional income for our members and wider community in our village," said the 35-year-old woman. According to Dwi, the provincial or the central government have actually delivered some assistance programs directly to farmers. The neighboring Gunung Kidul District has received the assistance schemes much earlier, compared to Kulon Progo District who was granted it more recently. The schemes are directly provided to farmer groups. "Some of the assistance programs in Kulon Progo were unsuccessful due to poor human resource management capacity. The Pawon Gendis Women Farmers Group is actually not a typical farmer group as what people generally understood, and we are also not cocoa farmers. We focus more on processing pegagan plant into ready-made food products," she said. The Women Farmers Group (KWT) was founded around 2013, and in 2015 it was selected as one of the national-level Nusantara Adhikarya Pangan Award nominees and won an award from the President of the Republic of Indonesia for the pegagan products. "At that time, our group only produced dozens of processed products from local food, one of them was pegagan. One of the pegagan processed products was mixed with chocolate," said Dwi. She also explained during their participation in the national selection for the award, the Kulon Progo District Government asked them to present chocolate products of the group. The group then responded that the chocolate is a processed foods produced by the group members by sourcing dried cocoa beans from some farmers in the district. The efforts of Tuti and her group members had secured a remarkable achievement. The Pawon Gendis Women Farmers Group won the Adhikarya Pangan Nusantara award, which was handed directly by President
Pawon Gendis Women Farmers Group:
PROCESSED FOOD PRODUCT INNOVATIONS COMBINING CHOCOLATE WITH PEGAGAN The processed food which is combined from pegagan with chocolate is the innovative food from Pawon Gendis Women Farmers Group. This innovative processed food of herbs and chocolate is aimed to gain interest of children in consuming the herbs with advantages to the health. With this innovation, Pawon Gendis Women Farmers Group have won the national Adhikarya Pangan Nusantara award in 2015. (CSP/AH)
Se pte mb e r - De c e mb e r 20 18
COKELAT
57
The secretariat of Pawon Gendis Women Farmers Group which is combined with processed food production unit, showroom, and discussion hall. The nearby lands in the secretariat are maintaned to be planted with pegagan and other herbs. (CSP/AH)
Joko Widodo at the State Palace on December 21, 2015. And at that time, the Kulon Progo District Head, Dr. Hasto Wardoyo, SP. OG. (K), also promoted their products by including them into the program to promote the Kulon Progo local products. As a result, the products are now widely sold in grocery shops (Tomira) in this district. The Kulon Progo District Government often buy their products for social events or for souvenirs of invited guests. The selection of pegagan plant to be combined with chocolate help the children to get sufficient nutritional intake contained in this herb. Moreover, children love it, because it's made of chocolate. "I chose chocolate unintentionally. I want to do an innovation about pegagan however because the products we have today are too common and the children does not like it because it is still
58
COKELAT
S eptember - D ecem ber 201 8
in considered as leaves. Well, once they knew that it’s mixed with chocolate, the just love it," said Tuti, the nickname of the Pawon Gendis Women Farmer’s Group. The innovation doesn’t stop there. Since then, the plant, which has been largely neglected by the villagers in Salak Malang Hamlet, is now widely cultivated by the individual group members. In the beginning, they cultivated it on the village collectively owned land to meet their production needs. "As I did not have land, so I rented it. Then I prepared the soil myself and I planted the pegagan. At first, people underestimated my effort of renting land and cultivating it with wild plants. They might think I was crazy," said Tuti. Later on, the villagers began to adopt what Tuti practiced until the farmers group was eventually established.
One of other processed food of Pawon Gendis Women Farmers Group is chips made of pegagan. The pegagan, referred as neglected plantation, can provide additional income source for the community in Salak Malang Hamlet, Kulon Progo District. (CSP/AH)
According to her, the emerging interest was due to the potential of the processed food products to increase their income. Tuti’s initiative then began to spread to her surrounding neighborhood. She recommended them to at least plant the pegagan in plastic bags if they didn’t have any land. Today they majority of Salak Malang villagers cultivate this plant in their home yard and farming land. The selling price is relatively pretty good. In fact, the price is far more expensive than vegetable products that they used to cultivate. The demand is also increasing, not only from the Kulon Progo District, but also from the neighboring districts who come to buy it from them. The assistance from the Kulon Progo Government, through the Agriculture and Food Office, who provided the equipment, have been very helpful for the Pawon Gendis members to produce the locally processed food products. Using these production tools, Dwi Martuti Rahayu and other housewives in Kalibawang Sub-district were able to improve the local food initiatives. One of them is the pegagan chocolate, a very popular snack among children and local tourists. "This was actually a challenge from the Kulon Progo
District Head who encouraged us to process the dried cocoa beans from Kulon Progo District into processed products. The local government was willing to support our group with chocolate production equipment that matches our potential. After discussing and making a visit to the Coffee and Cocoa Research Center in Jember, East Java, some members of the women group and I proposed the specifications and capacity of the production equipment we need," said Dwi. Commenting on the failures of similar chocolate production equipment provision scheme in some areas, Dwi considered the such assistances were misguided. Ideally the tools should not be directly delivered to farmers without proper preparation. "The provision chocolate production equipment should not be provided to farmers, unless if they have been equipped with good business and marketing skills. Many of similar assistance given to farmer groups are unsuccessful, because they are unable to operate the equipment sustainably," said Dwi. She also reiterated that initially the key capacity that the group members and her was mainly around food processing,
Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
59
not as cacao cultivation farmers group. However, because nowadays they have stored lots of cocoa beans from the farmers, the group gradually learns about cocoa cultivation and post- harvesting. "Inevitably, we have to step back, and start to learn about cocoa cultivation. Slowly, our group members have started learning about side grafting, bud grafting, selecting good quality cocoa beans, and cocoa fermentation," said Dwi. The learning process is fairly interesting. During the process of collecting the cocoa beans, Dwi often has to visit the cocoa farmers. These frequent visits inspired her to take care of their cocoa plants, and shared the good cocoa cultivation methods she had learned to other group members. "There is a huge potential for cocoa in Kulon Progo, and the production is relatively higher than other districts in Yogyakarta Province, for instance Gunung Kidul District. But because farmers only gained a lower price from the middlemen, regardless the seeds quality, the farmers their enthusiasms and ignored their cocoa gardens. The first encouragement I gave was a guarantee of a higher price than the middlemen's price," Dwi explained. Due to this interactive learning, the cocoa farmers in Kulon Progo Regency, especially in Salak Malang Hamlet, have regained the enthusiasm to take care of their cocoa farms. In fact, most of them have rejuvenated their trees. "My role was indeed quite insignificant. I could only play a small part. However, it was very meaningful for farmers. Getting them motivated with the guaranteed better prices encouraged them to return to their cocoa garden. Some farmers can even produce quality fermented cocoa beans. In terms of knowledge, actually our farmers are smart on cocoa cultivation and postharvesting, and they are far more skillful than me," said Dwi proudly. Today the intensified interactions with the cocoa farmers in Kulon Progo have popularized the work of Pawon Gendis Women Farmers Group. The introduction of new products from
60
COKELAT
S eptember - D ecem ber 201 8
cocoa beans also encouraged the group members even further to take care for their gardens in order to harvest high quality cocoa beans. As Dwi previously acknowledged, this is indeed only a small step taken by the women group in Salak Malang Hamlet. Yet this is a very meaningful one to convince them that cocoa is a commodity that can provide a decent livelihood for rural communities. "Actually, there are currently several some dried cocoa beans buyers who contact me directly to collect the cocoa beans production from this village. I cannot fulfill this request yet because most cocoa farmers in this area are still rejuvenating, or rehabilitating their crops. But I keep convince the farmers that their dried cocoa beans are in great demand, with wide market opportunities, and guaranteed better prices. All these expectations are enough to spark their interest to cocoa," said Dwi Martuti Rahayu, the Chairperson of Pawon Gendis Women Farmers Group. (CSP/AH)
Dwi Martuti Rahayu in her chocolate production unit of Pawon Gendis Women Farmers Group. These chocolate production units are the assistance of Agriculture and Food Office, Kulon Progo District. (CSP/AH)
Se pte mb e r - De c e mb e r 20 18
COKELAT
61
EXECUTIVE OFFICE
The participants and resource persons of focused group discussion are taking photographs in end of the sessions. This activity is the initiative of Local Government of South Sulawesi Province in doing brainstorming on how to regenerate and revive the cocoa commodity in this province. (Askindo/Suratman Larakuti)
Focussed Group Discussion of South Suawesi Province:
RESTORING THE BOOMING DAYS OF COCOA IN SOUTH SULAWESI 62
COKELAT
S eptember - D ecem ber 201 8
OVER the past few years, export commodities can be said to have become an important part of the life of the people of South Sulawesi. In the golden age of export commodities, people enjoyed abundant blessings. From the sale of cocoa beans, Communities in cocoa production centers in South Sulawesi Province were able to send their children to higher education, build more suitable houses, buy vehicles for transportation, and made the Islamic pilgrimage to the Holy Land. Even in the 1990s, when the monetary crisis hit Indonesia and the value of the US dollar soared, cocoa farmers thrived compared to the rest of the communities who suffered from the crisis. But the booming days did not last long. The productivity of cocoa plants has been decreasing ever since. The older the age of the cocoa plant, the more vulnerable it will be to the threat of pests and diseases. One of the most troubling is the Cocoa Pod Borer (PBK) which can even reduce the productivity of cocoa plants by up to 60 percent. The productivity of cocoa farmers has dropped dramatically, and some farmers have only been able to harvest 250 kg per hectare per year. Many cocoa farmers have switched to other commodities such as palm oil and pepper. In response to the situation, the Regional Government of South Sulawesi Province, under the new Governor has been showing high enthusiasm and attention towards this problem. Experts, researchers, government institutions, representatives of the private sector, NGOs, and other stakeholders in the cocoa sector were gathered in Makassar, South Sulawesi, a few weeks ago. And, Wahyu Wibowo as the Executive Director of Cocoa Sustainability Partnership was also present as one of the speakers in the focus group discussion entitled Restoring the Booming Days of Cocoa as the Identity of the South Sulawesi Community in the Hasanuddin University Research Center Building.
Se pte mb e r - De c e mb e r 20 18
COKELAT
63
Wahyu Wibowo, the Executive Director of Cocoa Sustainability Partnership, together with Arie Nauvel Iskandar, Chairperson of Indonesian Cocoa Association, and Prof. Sikstus Gusli of Hasanuddin University, Makassar, are presented as members of resource persons panel during the discussion activity. (Askindo/Suratman Alimuddin)
64
COKELAT
S eptember - D ecem ber 201 8
The experts, researchers, government institutions, NGOs, and other stakeholders in cocoa sector development are exchanging the ideas during the focused group discussion. The results of discussions will be delivered by the South Sulawesi Regional Development Acceleration Team (Tim Percepatan Pembangunan Daerah/TP2D) Sulawesi Selatan) to the Local Government of South Sulawesi Province. (Askindo/Suratman Alimuddin)
This important activity was carried out by the Biotechnology Research and Development Center, the Institute for Research and Community Service (LP2M) UNHAS, the South Sulawesi Regional Development Acceleration Team (TP2D), and the Indonesian Cocoa Association (ASKINDO). Head of South Sulawesi Regional Research and Development Center (Balibangda), DR. M. Iqbal S. Suhaeb, SE., MT., Said that for several decades, South Sulawesi Province was one of the centers of cocoa production in Indonesia, and its production was able to contribute around 50 percent nationally. "We were the third largest producer in the world with a production of 400 thousand tons, but then the production has been declining rapidly. Last year the production was only up to 200 thousand tons whereas the need for cocoa was around 800 thousand tons. The Province of South Sulawesi and the Province of West Sulawesi contribution to the national supply is very significant thus when the production in these two provinces is problematic, then the impact is felt
nationally," he said. Chairman of the South Sulawesi Regional Development Acceleration Team (TP2D), Prof. Dr. Ir. Yusran Jusuf, M.Sc., IPU., Said that damage occurred in the cocoa ecosystem, and a comprehensive handling is needed by utilizing existing local potential. "Other problems faced today include seed problems, national policy support, and the absence of extension agents who are specifically dealing with cocoa cultivation," said Prof. Yusran. He also added that farmer institutions have become more important than ever before, both in relation to industry and banking institutions. On the same occasion, Prof. Sikstus from Hasanuddin University, Makassar, described in detail the need for planting patterns that are integrated with other commodities, so they can provide additional income for farmers in a year period. Arie Nauvel iskandar, the Chairman of the Indonesian Cocoa Association, said that the current challenge of the cocoa sector is the decreasing interest
Se pte mb e r - De c e mb e r 20 18
COKELAT
65
Wahyu Wibowo, as the Executive Director of Cocoa Sustainability, delivers the current profiles of Indonesian cocoa sector. Furthermore, CSP is also presented as one of resource persons during the discussion activity. (Askindo/Suratman Alimuddin)
of farmers to take care of their cocoa again. On the other hand, the interest of the younger generation can be said to be still low to join in and give their active role. "Our cocoa farmers have been on average over 45 years old. And the interest of the younger generation has declined. Some private parties have addressed this situation with some programs to attract young people to enter agricultural areas. This initiative is of course a shared responsibility in providing attraction for young farmers," he said. The results of the focus group discussions will be formulated as recommendations to the South Sulawesi Provincial Government through the South Sulawesi Regional Development Acceleration Team (TP2D) to jointly engage stakeholders from upstream to downstream in developing the cocoa sector. The hope and commitment of the stakeholders to revive the cocoa sector in South Sulawesi were commemorated in the form of a Rising Cocoa plaque. (CSP/AH)
66
COKELAT
S eptember - D ecem ber 201 8
One of the focused group discussion participants is signing the commitment board of the stakeholders in sustainable cocoa sector to restore the glorious era of cocoa in South Sulawesi Province. (Askindo/Suratman Alimuddin)
Se p te m b e r - D e s e m b e r 2 01 8
COKELAT
67
MAIN REPORT DECEMBER 08 was day of celebration for the stakeholders of plantation in Indonesia. That date was commemorated as the National Plantation Day. This year, the celebration took place in Bandung, East Java. Not only exhibitions of plantation products from all over the nation, the Directorate General of Plantation also carried out several activities such as workshops, competitions, plantation products campaign, and some other activities involving members of public. This 61st National Plantation Day celebration was held at the park of Sate Building, Bandung, on December 8 - 10, 2018. The theme of this year's celebration was "Synergy and Acceleration for the Success of Plantation", and it provided around 103 exhibition rooms for its 90 participants. The participants came from 33 Provincial Government Working Units in the field of plantation, Ministry of Agriculture, Associations, Board of Commodities, private companies, foundations, and other stakeholders in plantation from all over Indonesia - last but not least, the Cocoa Sustainability Partnership that was well supported by its members. Beside exhibitions, a workshop was hosted by eight members of the Board of Commodities and the Associations of Plantations Enterprises, inviting spokesperson from various background in plantation field. The workshop was meant to facilitate a discussion of current strategic issues in developing plantations. Deputy Governor of West Java, H. Uu Ruzhanul Ulum, SE., together with the Director General of Estate Crops, Ministry of Agriculture, Ir. Bambang, MM., Director of Management and Marketing of Plantation Products, Ministry of Agriculture, also acting as the Head of Committee, Ir. Dedi Junaedi, M. Sc., and the former Minister of Agriculture 2009-2014, Dr. Ir. H. Anton Apriyantono, MS. officially opened the plantation exhibition in the front yard of Sate Building, Diponegoro Street No. 22, Bandung on Saturday, December 8, 2018.
68
COKELAT
S eptember - D ecem ber 201 8
Ir. Dedi Junaedi, M.Sc., the Director of Plantation Procession and Marketing, Ministry of Agriculture, H. Uu Ruzhanul Ulum, SE., the Deputy Governor of West Java Province, Ir. Bambang, MM., the Director General of Estate Crops, Ministry of Agriculture, and Dr. Ir. H. Anton Apriyantono, MS., the former Minister of Agriculture in 20092014, inaugurate the opening of the 61st National Plantation Day of 2018 in the park of Sate Building, Bandung, West Java, early of December 2018. (CSP/AH)
61st National Plantation Day:
A MILESTONE OF SYNERGY AND ACCELERATION IN THE DEVELOPMENT OF INDONESIAN PLANTATION 69
COKELAT
S eptember - D ecem ber 201 8
The Director General of Estate Crops, Ministry of Agriculture, Ir. Bambang, MM., with the Deputy Governor of West Java, H. Uu Ruzhanul Ulum, SE., visit the exhibition booth of Cocoa Sustainability Partnership with its members during the 61st National Plantation Day of 2018 in the park of Sate Building, Bandung, early of December 2018. (CSP/AH)
In the opening speech delivered by the Head of Committee, the Indonesian General Directorate of Plantation had a purpose in choosing Sate Building, Bandung, West Java as the venue for the annual event. This province had since long become part of the national plantation history, and even to this day it had contributed greatly in national plantation products. "Hundreds of years ago, the Dutch colonial government had built some plantations in Indonesia, including ones in West Java, that later served as the pioneer in plantation developments during that era. And up to now, this province has consistently produced a vast variety of plantation products that has become a top export commodities selling to many countries," said Ir. Dedi Junaedi, M.Sc.
70
COKELAT
S eptember - D ecem ber 201 8
in his speech. Similarly, the Deputy Governor of West Java, H. Uu Ruzhanul Ulum, SE. said that the history of plantation in Indonesia began in West Java. "The history had stated that the plantation was began in no other place than West Java before it spread out to other regions. So, all the plantations originated from West Java," he explained. West Java was well known for its abundant plantation products. Many of top plantation products were yielded in the land of Parahyangan, for example tea, which was planted first time in this province, during Dutch colonialization era. In this occassion, the Director General of Estate Crops, Indonesian Ministry of Agriculture, Ir. Bambang,
MM., said that the Indonesian plantation sector had not reached its optimal productivity, albeit its great potential. Throughout its development, plantation sector had always contributed significantly to the nation, in the form of food commodities, industrial raw materials, and bio energy that had economic value, as well as commodities that could contribute to maintain and improve ecological and social functions. "Indonesian plantation sector is still far from perfect. With its huge potential, we are still yet to achieve its optimal productivity," he said. It was also stated that in year 2017, out of the overall gross domestic products of agriculture, plantation products contributed 34 percent or
The Director General of Estate Crops, Ministry of Agriculture, Ir. Bambang, MM., the Deputy Governor of West Java, H. Uu Ruzhanul Ulum, SE., with Imam Suharto of Olam Cocoa, and Wahyu Wibowo, the Executive Director of Cocoa Sustainability Partnership are taking photo in front of the exhibition booth of CSP and its members during the 61st National Plantation Day of 2018 in Bandung, West Jawa. (CSP/AH)
Mohammad Khomeiny (Mars), Ir. Dedi Junaedi, M.Sc. (the Director of Plantation Procession and Marketing, Ministry of Agriculture), Wahyu Wibowo (the Executive Director of CSP), Ir. H. Muhammad Anas, M.Si. (the Director of Seed Propagation, Ministry of Agriculture), Dr. Agung Wahyu Susilo, SP, MP. (ICCRI), and Imam Suharto (Olam Cocoa) are takingphoto in front of the exhibition booth of Cocoa Sustainability Partnership during the 61st National Plantation Day of 2018. (CSP/AH)
amounted to 471.31 trillion rupiahs. This figure was larger than the contribution of oil and gas in the National Gross Domestic Products, which only amounted to 390.48 trillion rupiahs. Based on the data up to the end of September 2018, plantation sector had contributed 313 trillion rupiahs. Besides, plantation had contributed in creating job opportunities for 22.69 million employees and plantation workers.
"Indonesian plantation has a huge potential. However, we are still not capable of achieving its optimal productivity. The low productivity has become a challenge for us," said the Director General of Estates Crops, Indonesian Ministry of Agriculture. For example cocoa commodity, its average yield was 500-600 kilograms per hectare. Nevertheless, if we could apply advance technology and science, it was very likely that we could achieve
3-4 tons of yield. The participation of Cocoa Sustainability Partnership and its members in the celebration of 61st National Plantation Day in 2018 had gathered some public interests. During the exhibition in the assigned room for national platform for sustainable development of cocoa in Indonesia, they gave away free chocolate drinks to the visitors. Besides, CSP also gave away free chocolate-based Se pte mb e r - De c e mb e r 20 18
COKELAT
71
(1). Mohammad Khomeiny (Mars), Imam Suharto (Olam Cocoa), Wahyu Wibowo (the Executive Director of CSP), Dr. Agung Wahyu Susilo, SP, MP. (ICCRI), and Andi Muhammad Amin (CSP) are taking photo in front of the exhibition booth of Cocoa Sustainability Partnership during the participation in 61st National Plantation Day. (2). The visitors to the exhibition booth of Cocoa Sustainability Partnership during the 61st National Plantation Day. (3). Peni Agustijanto of Rikolto Indonesia, and Jeremy Hicks of Bridgewater International present the result of survey on cocoa and coffee commodities certification benefits to the participants of workshop during the 61st National Plantation Day in Bandung, West Jawa. (CSP/AH)
72
COKELAT
S eptember - D ecem ber 201 8
food products as a reward to visitors who had successfully answered some questions from CSP regarding sustainable cocoa development in Indonesia. (CSP/AH)
Se pte mb e r - De c e mb e r 20 18
COKELAT
73
EXECUTIVE OFFICE AFTER an extensive process, the Ministry of Agriculture finalized the Indonesian National Framework for the Sustainable Cocoa Cultivation Management. The framework is a blend of the Cocoa National Curriculum and the Cocoa Sustainable Cultivation and Post-Harvest Training Module. The two national documents are the parts of efforts of CSP and its members in cooperation with the Agricultural Training Center, Directorate General of Agency for Agricultural Extension and Human Resources Development (BPPSDMP), Ministry of Agriculture, to increase Indonesian cocoa production and quality by developing human resources in the cocoa plantation sector. "This certification is a current demand. To produce quality cocoa products, we urgently need competent and certified human resources," said the Director of Yogyakarta Agricultural Development Polytechnic, Magelang, Dr. Rajiman, SP., MP., in his remarks at the National Qualification Framework (KKNI) Consensus on Sustainable Cultivation Management in Yogyakarta, November 23rd, 2018. The consensus, he added, demanded that the certification process should be commenced immediately to ensure highly competent cocoa human resource. With competent and standardized human resources, national cocoa products will also eventually achieve the global standards. Furthermore, Mr. Rajiman stated that the standardized expertise and professionalism will receive national and international recognition. "If the people working in cocoa plantation have attended the certification and standardization processes, the production results will also be standardized. Therefore, there will be no more complaints on poor human resource quality in the cocoa sector," he said. Moreover, this is a concerted effort to produce quality and standardized national cocoa products so they can compete with products from other countries in the international market.
74
COKELAT
S eptember - D ecem ber 201 8
KKNI Consensus on Sustainable Cocoa Cultivation Management:
INCREASING PRODUCTION AND QUALITY OF COCOA BY DEVELOPING HUMAN RESOURCE QUALITY The participants of KKNI Consensus on Sustainable Cocoa Cultivation Management are taking photo during the activity in Grand Inna Malioboro, Yogyakarta, November 22-23, 2018. (CSP/AH)
In the same occasion, Director of the Indonesian Institute for Plantations & Horticulture Professional Certification (LSP-HI), Ir. Darmansyah Basyaruddin, M.Sc., said that the IQF, compiled by the Ministry of Agriculture together with stakeholders of the Indonesian sustainable cocoa sector, will serve as the main reference for testing, training, and utilizing human resources. Those are the people who will be involved in the business, industry and certification bodies related to cocoa plantations. Thus, is it a path toward the envisioned sustainable Indonesian cocoa industry. Director of Competency Standard and Training Development, Ministry of Manpower, Drs. Soekiyo, MMPd., fully supported the Ministry of Agriculture's efforts to immediately enforce the KKNI in Sustainable Cocoa Cultivation Management. The KKNI, currently being developed by the Ministry of Agriculture, will be used by the education and training institutions to deliver trainings. "After this consensus process, the Ministry of Manpower will
provide the technical training, and this KKNI will be used as a reference for the trainings," said Soekiyo. Together with the National Curriculum and Cocoa Sustainable Cultivation and Post-harvest Training Module, the KKNI for Sustainable Cocoa Cultivation Management will be used as the key reference in developing the vocational education and training systems, as well as the competency certification systems in the cocoa plantation sector in Indonesia.. (CSP/AH)
EXECUTIVE OFFICE AS A follow up to the signing of a memorandum of understanding (MoU) between the Head of Agricultural Extension and Human Resource Development Agency and PISAgro, the Agriculture Education Center and sustainable cocoa stakeholders conducted a focus group discussion in Agricultural Development Polytechnic, Gowa District, South Sulawesi, December 18th, 2018. In the event, the Cocoa Sustainability Partnership (CSP) and its member representatives were invited to deliver public lectures on the conditions and challenges of sustainable cocoa sector in Indonesia. In his opening remarks, the Director of Gowa Agricultural Development Polytechnic (Polbangtan), Dr. Ir. Syaifuddin, MP, said his institution had prepared some work plans. For instance, they now have 19 items of activities to be carried out in the near future, especially related to establishing cooperation with the business and industry. "In addition, the Gowa Polbangtan has also initiated the integration of agriculture with livestock, horticulture, and pertinent local contents. In the future, the lands owned by the polytechnic will be used as cocoa cultivation demonstration plot," said Syaifuddin. Dr. Idha Widi Arsanti, SP., MP., Head of the Agricultural Education Center, also explained that one of the points in the MoU is adjusting the curriculum to meet the business and industry needs by developing the factory teaching learning systems that can be implemented on campus and on industry setting. "With a curriculum system tailored to the business and industry needs, the industry players will serve as practitioners in the Agricultural Development Polytechnic located in several provinces in Indonesia. In addition, the business and industry will be used as internship sites for students and lecturers," said Arshanti in her talk. The MoU also discussed the certification of lecturers and students involved in the cocoa plantation sector, and the recruitment of Polbangtan graduates in the business and industry sector.
"The results of this discussion are expected to encourage the CSP and its members to provide inputs and considerations in adjusting and adopting the existing curricula to the business and industry needs," Arsanti added in her remarks. She also mentioned that the Ministry of Agriculture is involved in the YES (Youth Extension Service) project, which aimed to attract the younger generation to get actively involved in the agricultural and plantation sectors. During the core session of the event, the CSP, represented by Andi Muhammad Amin and accompanied by Suharman Sumpala as SCPP Swisscontact Program Manager, presented the national platform and the activities carried out with CSP members and other stakeholders in Indonesian sustainable cocoa sector. In addition, they also discussed the general condition of cocoa sector today and its future development directions. "Responding to the decline in cocoa production today, CSP has conducted some important coordination with the government, particularly the Ministry of Agriculture, in preparing the National Cocoa Curriculum and Training Modules for Sustainable Cocoa Cultivation and Post Harvest. To achieve competent and standardized cocoa plantation professionals, CSP and its members have also completed the Indonesian National Qualification Framework for the Sustainable Cocoa Cultivation Management. The two important milestones are coordinated together with the Agriculture Training Center, Agricultural Extension and Human Resources Development Agency, Ministry of Agriculture," explained Andi Muhammad Amin. In addition, the two national documents serve as the key reference in the design of vocational education systems and professional certification in the cocoa plantation sector to prepare certified and global standard plantation human resources.
COOPERATION PROGRAM OF CSP WITH VOCATIONAL EDUCATION Suharman Sumpala, Program Manager of SCPP Swisscontact, present the generaloverview of sustainable cocoa in Indonesia. Cocoa Sustainability Partnership with its members representatives are invited as resource persons during the focussed group discussion which is organized by Agricultural Education Center, BPPSDMP, Ministry of Agriculture, in Polbangtan, Gowa District, South Sulawesi, December 18, 2018. (CSP)
importantly in preparing certified and global standard plantation human resources. The implementation of this focus group discussion is expected to provide a general overview in adjusting the vocational education curriculum to the future needs of the business and industry. The CSP members and other stakeholders in the sustainable cocoa sector have crucial roles in bridging the cooperation processes and interests between the educational institutions and the business and industry sector. (CSP/AH)
The core presentation was followed by a Q&A session between participants and resource persons regarding the development of a sustainable cocoa sector in Indonesia, and more Se pte mb e r - De c e mb e r 20 18
COKELAT
75
Facebook:
Cocoa Sustainability Partnership
Instagram:
CSPINDONESIA Twitter:
CSPINDO
YouTube:
CSP Indonesia
SOCIAL MEDIA ADDRESS
J an u ar y - A p r i l 2 01 8
COKELAT
76